Anda di halaman 1dari 11

Biografi Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969)

Theodor W. Adorno lahir di Frankfrut pada 11 September 1903. Dia adalah seorang
keturunan yahudi yang diliputi oleh suasana musik. Sejak belia dia sudah belajar musik, kemudian dia
belajar sosiologi, filsafat, dan musik di Universitas asalnya. Selama kuliah dia kenal dan akrab dengan
Hokheimer. Mereka adalah sahabat dekat yang akhirnya menjalin hubungan kerjasama dalam bidang
intelektual. Adorno mendapatkan gelar doktor filsafat dengan mempertahankan disertasinya tentang
fenomenologi Husserl. Ia juga selalu aktif dalam menulis tentang sosiologi musik pada artikel di
majalah untuk penelitian musik.

Ketika tahun 1934, Adorno hijrah dari Inggris ke AS. Bersama dengan Hokheimer dia disana
menulis buku tentang “dialektika pencerahan”, tepatnya ada tahun 1947. Kemudian pada 1949 dia ke
Jerman untuk mendirikan institut penelitian sosial bersama sahabatnya Hokheimer. Disinilah dia
memperoleh gelar profesor. Setelah kepemimpinan Hokheimer di institut ini, Adornolah yang
menggantikan posisi Hokheimer sebagai direktur hingga Hokheimer meninggal, yaitu tanggal 06
Agustus 1969.

Sebagai seornag penulis, Adorno dikenal sebagai penulis yang sangat luas. karya yang pernah
ditulisnya antara lain adalah “Filsafat tentang musik modern” (1949), “pengantar sosiologi musik”
(1962), “dialektika negatif (1966)”. Kebanyakan karya Adorno tersebut diterbitkan dalam bahasa
Jerman. Karyanya yang paling terkenal adalah “The Authoritarian Personality” (1950).

Negasi Dialektika Pencerahan

Pada umumnya apa yang menjadi pemikiran Adorno memiliki kesamaan dengan tradisi
marxisme dan idealisme di Jeman. Namun demikian, tidak selamanya apa yang menjadi pemikiran
Adorno semurni seperti apa yang ada pada tradisi marxisme dan idealisme. Adorno mengkritik aas
identitas sebagai basis atas idealisme. Seperti yang telah diketahui bila idealisme pada era Plato dan
Hegel lebih menekankan pada realitas dan pengertian atas realitas. Adorno justru melakukan yang
sebaliknya. Bagi Adorno, yang terpenting adalah menemukan kontradiksi nonidentitas. Inilah yang
dimaksudkan oleh Adorno sebagai dialketika negatif yang menjadi inti sistem. Titik sentral yang dia
bidik adalah rasionalitas. Adorno mempertahankan ide tentang pencerahan, karena di dalam
pencerahan terdapat sebuah emansipasi atau pembebasan. Namun disini Adorno menambahnya
dengan rasionalitas.

Adorno memiliki pandangan yang berbeda dari Hegel. Dimana Hegel mengklaim dialketis
melalui “negasi dari negasi”. Disini Adorno mengusulkan tentang adanya prinsip “dialektika negatif”.
Dimana ia menolak segala bentuk jenis pembenaran atau positivisme. Bagi Adorno, dialektika negatif
itu nonindentitas. Meskipun konsep nonidentitas ini penting, Adorno juga mengungkapkan bila tidak
ada pemikiran yang dapat mengungkapkan nonidentitas ini. Pemikiran identitas ini hanya bisa
memikirkan kontradiksi sebagai sesuatu yang murni. yaitu sebagai identitias yag lain. Lalu bagaimana
konteks nonidentitas ini bisa memberikan bekas pada pemikiran. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
menggunakan berbagai pembalikan. Adorno mengakui bahwa pada prinsipnya filsafat akan selalu
terjebak pada jalan yang sesat. Namun itulah yang membuat filsafat akan terus bergerak kearah yang
lebih maju. Oleh karena itulah filsafat adalah dialektika negatif dalam pengetiannya yang paling kuat.
Dia adalah nonidentitas yang ingin dikonseptualisasikannya. Dalam mengkonseptualisasikan sesuatu,
maka yang dibutuhkan adalah bahasa. Karena bahasa akan setara dengan tampilnya” ketidakbebasan”.
Filsafat adalah seperti halnya ketidakmungkinan untuk mengkonseptualisasikan nonidentitas ini. bila
bahasa kemudian tidak penting lagi di dalam filsafat, maka bahasa ini akan mirip dengan ilmu.

Dengan kritik radikal yang dilancarkan oleh Adorno atas pemikiran masa pencerahan yang
dinaungi oleh adanya rasionalitas. Teori-teori kemjuan yang dikembangkan tak lain hanyalah berasal
dari pertetangan satu sama lain. sejarah telah dipandang sebagai pembebasan manusia dari
cengkeraman alam. Pada saat itulah manusia berusaha untuk membebaskan dari dominasi alam.
Akhirnya manusia terbebas dari ketergantungan dengan alam. Jika manusia telah mendapatkan
kebebasan dari cengkeraman alam, maka pada hakikatnya manusia telah mendapatkan kebebasan
secara penuh. Akan tetapi yang perlu diingat adalah bahwa proses kemajuan yang diperoleh oleh
manusia tak pernah lepas dari kemundurannya. Karena kemajuan yang dilontarkan manusia dengan
menghancurkan alam adalah kemajuan yang menuju kemunduran. Dalam hal ini, Adorno melihat bila
substansi dialektika yang berkembang adalah penguasaan, sama dengan prinsip rasionalitas.

Ketika manusia telah berhasil mentakhlukkan alam dengan rasionalitasnya. Disini Adorno
melihat teknologi yang dibuat oleh manusia adalah manifestasi dari rasionalitas. Teknologi digunakan
oleh manusia untuk membebaskan manusia dari dominasi alam. Namun pada akhirnya, ternyata
manusialah yang akan di dominasi oleh teknologi yang dibuatnya sendiri. Manusia menjadi
diperbudak oleh teknologi. Disini terlihat bahwa terjadi sebuah pembalikan dari subyek ke objek.
Pembalikan inilah yang menjadi problem bagi Adorno. Hilangnya kebebasan manusia sebagai bentuk
pembalikan disebut sebagai negatifitas total.

Dalam hal ini Adorno melihat sejarah ternyata hanya untuk mereka yang menang. Sejarah
bukanlah untuk mereka yang terkalahkan. Dalam bukunya tentang dilektika negatif. Kesejarahan
mereka yang terkalahkan ini akan dirumuskan kedalam keadaan negatif yang membuatnya menderita.
Inilah yang dianggap Adorno sebagai malapetaka permanen atas sejarah. Keadaan yang negatif ini
kemudian menjadi awal pemikiran manusiawi. Selanjutnya hal itu kemudian dirumuskan kedalam
negasi dari keadaan yang awalnya negatif. Hal itu dilakukan untuk mengubah dan mengatasi situasi
penderitaan. Tampaknya pada tahap ini pandangan Adorno hampir memiliki kesamaan dengan Marx.
Bagi Adorno, bukan kesadaran yang membentuk keadaan, tapi keadaanlah yang membentuk
kesadaran.

Adorno dan Kebudayaan Massa

Pernyataan Adorno tentang dialektika pencerahan tersebut tentu perlu mendapatkan perhatian
yang lebih dalam lagi. Adorno sangat tertarik dengan musik dan seni avant garde. Adorno tertarik
pada hal itu karena ia ingin menentang hogenisasi pada komersialisasi seni (reifikasi). Dimana dalam
hal ini seni akan direduksikan kearah hal-hal yang bisa dipertukarkan. Subyektifitas akan
direduksikan kearah yang memiliki status “objek”. Dalam hal ini Adorno ingin mengembalikan
kembali kemurnian dari subyektifitas seperti yang tampil di dalam obyek seni. Hal itu dilakukan
dengan cara melawan pasar dimana nilai itu disamakan dengan harga. Hal ini mirip seperti yang
dinyatakan oleh Marx tentang konsep adanya nilai guna yang diubah menjadi nilai tukar bagi para
kapitalis. Pada tahap inilah akhirnya yang membuat para pekerja kapitalis menjadi terasing atau
teralienasi atas karyanya. Kemudian yang muncul berikutnya adalah fetisisme komoditas. Dimana di
tangan kapitalis, komoditas menjadi suatu berhala yang harus disembah atas nilai tukar yang telah
tereifikasi.
Dalam pemikiran Adorno, kebudayaan massa merupakan produk nyata dari pemikiran
pencerahan semu kapitalisme. Apa yang dilakukan oleh masyarakat kapitalisme pada kebudayaan
adalah dengan menjadikan kebudayaan menjadi patuh pada hukum komoditi kapitalisme. Dalam
bahasa Adorno, orang yang seperti ini hanya akan menghasilkan apa yang disebutnya sebagai
“kebudayaan industri”. Yaitu industri kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksi yang
dilakukan adalah berdasarkan pada mekanisme kekuasaan sang produser dalam menentukan bentuk,
gaya, dan maknanya. Dalam hal ini Adorno menganggap bila kebudayaan industri adalah bentuk
pengkomandoan konsumer dalam kepentingan kapitalisme melalui kebudayaan.

Adorno menyatakan bila kebudayaan industri merupakan bentuk dehumanisasi melalui


kebudayaan. Rasionalisasi dan komodifikasi kebudayaan sebagai perwujudan dari pencerahan yang
dikomandoi oleh kapitalis sebenarnya hanyalah berisi kepalsuan yang nantinya akan menghambat
aspirasi dan kreatifitas individu. Inilah yang sebenarnya akan menghambat mimpi manusia untuk
hidup dalam kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Yang diperoleh dari para konsumer atas
konsumsi kebudayaan sebenarnya hanyalah tak lebih dari produk seni yang memberikan kebahagiaan
dan kesenangan yang palsu. Apa yang dikonsumsi oleh konsumer atau massa atas berbagai kebebasan
untuk memilih produk gaya hidup, sebenarnya hanyalah kebebasan yang berada dalam keterbatasan
pilihan. Bagi Adorno, seni seharusnya menolak segala muatan ideologis tertentu. Karena dalam hal ini
Adorno sangat menjunjung tinggi kemurnian seni.

Ada sejumlah pemikiran dari Adorno, diantaranya :

2.1. Teori Filsafat

Teori filsafat dalam karyanya bersama Max Horkheimer dalam buku berjudul Dialektika
Pencerahan diawali dengan pertanyaan; “Mengapa umat manusia, bukannya memasuki kondisi
manusiawi yang sejati, malahan tenggelam dalam barbarisme baru?”. Salah satu pemikiran Theodor
Adorno adalah tentang hubungan antara lingkungan dengan manusia. Adorno menjelaskan bahwa
manusia menjadi rakus untuk mengambil sumber daya alam dengan teknologinya. Kondisi ini
dinamakan Adorno sebagai "negativitas total". Kondisi ini mencerminkan bahwa alam menguasai
manusia. Akibat dari "negativitas total" ini, maka kerusakan lingkungan merupakan akibat yang harus
ditanggung oleh manusia itu sendiri. Ia memberikan solusi agar manusia meninggalkan sifat
ketamakan.(O’Connor, 2010)

2.2. Mitos Odisseus

Odisseus terkenal cerdas, peristiwa yang tekenal adalah dalam perang Troya. Dia juga handal
dalam dunia Armada. Begitu cerdas Odesius sehingga mampu mengelabuhi para dewa di Yunani.
Odisseus sering lolos dari setiap persoalan hidupnya ketika dia melakukan perjalanan keluar
istananya, Ithaka dan meninggalkan istrinya yang benama Penelope. Walaupun usahanya untuk
mengelabuhi pada dewa selalu berhasil, dia sendiri menyangkal esensi atau identitasnya sebagai
Odisseus. Misalnya ketika dia diperhadapkan dengan raksasa mata satu, Kiklops yang disuruh oleh
Poseidon untuk membunuhnya, dia tidak mengatakan bahwa dirinya Odisseus dan justru menjawab
"bukan siapa-siapa", sehingga dia menyangkal identitasnya. Sama dengan manusia yang selalu ingin
keluar dari persoalan hidupnya, pada zaman modern justru terjebak dalam hilangnya segi
manusiawinya, hal ini karena hakikat manusianya terjebak dalam kebutuhan-kebutuhan materi,
hiburan, kenyamanan dan lain sebagainya.(Theodor W. Adorno, Horkheimer, & Hullot-Kentor, 1992)

2.3. Teori Estetika


Selain teori sosialnya, Adorno juga dikenal sebagai seorang yang mempunyai tempat
tersendiri dalam kelompok elit musisi. Dia menganalisis mengenai musik pop sebagai salah satu
produk industri budaya. Musik pop merupakan objek analisisnya dalam memandang budaya populer
yang berkembang di masyarakat berkat kehendak kaum kapitalis. Menurutnya, hal yang mendasari
teori musik pop adalah standardisasi dan individualitas semu. Dalam membuktikan pandangannya,
Adorno menggunakan musik klasik sebagai pembanding.(Theodor W. Adorno, 1984)

Ahli teori Sekolah Frankfurt termasuk di antara ahli teori pertama yang meneliti peran
fundamental media dalam membentuk pemikiran dan perilaku, mempengaruhi politik, dan mengelola
permintaan konsumen di abad kedua puluh. Analisis Horkheimer dan Adorno tentang "industri
budaya" menghadirkan model media sebagai instrumen kekuasaan dan kontrol sosial yang
dikembangkan oleh Walter Benjamin, Herbert Marcuse, Erich Fromm, dan Jürgen Habermas, yang
memberikan landasan sejarah pada analisis industri budaya Horkheimer dan Adorno. (Theodor W.
Adorno & Rabinbach, 1975) Sekolah Frankfurt juga mempelajari efek budaya massa dan kebangkitan
masyarakat konsumen pada kelas pekerja yang menjadi instrumen revolusi dalam skenario Marxis
klasik. Mereka juga menganalisis bagaimana industri budaya dan masyarakat konsumen menstabilkan
kapitalisme kontemporer dan dengan demikian menjadi yang pertama melihat peran media massa dan
komunikasi yang berkembang dalam politik, sosialisasi dan kehidupan sosial, budaya dan konstruksi
subjektivitas.(Theodor W. Adorno & Horkheimer, 2007)

2.4. Media dan Teori Sosial

Media dan teori sosial yang dikembangkan Sekolah Frankfurt dan keterbatasan mereka,
memperlihatkan bahwa Adorno dan Habermas sama-sama memperjuangkan tujuan masyarakat yang
rasional. Namun, mereka berbeda secara signifikan tentang seperti apa masyarakat itu seharusnya dan
bagaimana cara terbaik untuk mencapainya. Menjelajahi tempat yang dibagikan oleh kedua ahli teori
kritis, bersama dengan ketidaksepakatan mendalam mereka tentang kondisi sosial hari ini, buku itu
membela Adorno terhadap kritik Habermas yang berpengaruh terhadap akunnya tentang masyarakat
Barat dan prospek untuk mencapai kondisi kehidupan manusia yang wajar. (Livingstone &
Thompson, 1997)

Adorno dan Habermas mengikuti Georg Lukacs ketika mereka berpendapat bahwa dominasi
terdiri dari perpanjangan bentuk pemikiran yang menghitung dan merasionalisasi ke semua bidang
kehidupan manusia. Pandangan mereka tentang reifikasi dibahas dalam bab kedua dan tiga. Pemikiran
mereka yang saling bertentangan tentang kemunculan historis dan perkembangan jenis rasionalitas
yang terjadi di Barat.

Adorno dan Habermas memiliki pandangan kritis pada kehidupan sosial yang dipertanggung-
jawabkan, pengaruh kritis teori-teori mereka diurai dalam bab empat. Pada bab terakhir menampilkan
pandangan mereka yang bertentangan tentang seperti apa sebuah masyarakat yang rasional akan
terlihat, serta klaim mereka tentang prospek untuk membentuk masyarakat seperti itu. Adorno,
Habermas dan Pencarian untuk Masyarakat yang Rasional akan menjadi bacaan penting bagi
mahasiswa dan peneliti teori kritis.(Cook, 2004)

Adorno adalah musisi ulung, awalnya berfokus pada teori budaya dan seni. Dia kemudian
beralih ke masalah dialektika yang mengalahkan diri sendiri atas alasan dan kebebasan modern.
Daftar spesialis khusus Adorno mengeksplorasi berbagai kontribusinya pada filsafat, sejarah, teori
musik, estetika dan sosiologi dalam kumpulan esai ini. Dia adalah penulis banyak buku, termasuk
Dialektika Pencerahan (dengan Max Horkheimer, 1947; Bahasa Inggris 1972), Menulis untuk Film
(dengan Hanns Eisler, 1947; Bahasa Inggris 1997), Filsafat Musik Modern (1949; Bahasa Inggris
1973), Minima Moralia (1951; Bahasa Inggris. 1974), Against Epistemology: A Metacritique (1956;
Bahasa Inggris 1982), Negatif Dialektika (1966; Trans Inggris. 1973) dan Aesthetic Theory (1970;
Trans Inggris. 1984), dan co-editor dan penulis pendamping The Authoritarian Personality (1950).
(Gracyk, 2013)

III. MAZHAB FRANKFURT

Penciptaan Mazhab Frankfurt tentang teori kritis pada 1920-an menyaksikan lahirnya
beberapa tulisan paling menarik dan menantang di abad ke20. Di luar latar belakang inilah kritikus
besar Theodor Adorno muncul. Esai-esai terbaiknya dikumpulkan, menawarkan wawasan yang tak
tertandingi kepada pembaca tentang pemikiran Adorno tentang budaya. Dia berpendapat bahwa
industri budaya mengkomodifikasi dan menstandarisasi semua seni. Pada gilirannya, ini mencekik
individualitas dan menghancurkan pemikiran kritis. Pada saat itu, Adorno dituduh telah memulai
reaksi berlebihan, akibatnya menimbulkan histeria oleh banyak penentangnya. Di dunia sekarang ini,
di mana konsumen yang paling tidak sinis pun sadar akan pengaruh media, akhirnya karya Adorno
menjadi terasa lebih penting. Industri Budaya adalah dakwaan yang tidak ada bandingannya atas
banalitas budaya massa.(Rahman, 2015)

Pandangan pesimistis Adorno bahwa film sangat populer dalam pengertian konsumeris sangat
terkenal sehingga menyebabkan ahli teori kritis baru-baru ini memberikan judul bukunya tentang
budaya populer Roll over Adorno. Sedangkan dalam literatur dan khususnya dalam musik, Adorno
mengidentifikasi janji seni yang benarbenar emansipatoris, pada kenyataannya tidak sepenuhnya
melihat semua alasan mengapa kita membutuhkan pembebasan. Sebagian sikapnya adalah produk
dari pengalaman pribadi Adorno, ia menghabiskan pengasingannya dari Jerman selama perang dunia
ke-2 di Los Angeles tepat di sebelah Hollywood, markas besar yang ia, bersama Max Horkheimer,
datang untuk memanggil industri budaya.(Miklitsch, 2006b)

Pemikiran Adorno, semakin dianggap sebagai kontributor terpenting bagi estetika Jerman
abad 20. Selain banyak membaca dalam literatur Jerman dan Perancis, ia belajar komposisi dengan
Alban Berg dan dianggap sebagai pianis konser. Banyaknya volume tulisannya tentang musik, filsafat
dan budaya dibagi antara teori filosofis yang padat dan kumpulan kritik musik dan sastra yang relatif
lebih mudah diakses. Namun, Adorno memiliki reputasi beragam. Aesthetic Theory (1997 [1970])
dan karyakarya besar lainnya berulang, tidak jelas dan tanpa argumentasi langsung atau organisasi
yang jelas - mungkin dengan sengaja demikian. Esai yang lebih mudah dipahami banyak pembaca
sebagai olokolok elitis pesimistis yang tidak bisa dibenarkan. (Miklitsch, 2006a)

Pembaca yang simpatik memaafkan kesalahan yang tampak sebagai tanda integritas dan
sebagai satu-satunya strategi penulisan yang tersedia bagi seorang filsuf yang telah meragukan
kemampuan filsafat modern untuk mengatasi kondisi manusia. Dengan demikian, ketidakjelasan dan
pembesarannya tampaknya merupakan strategi yang disengaja dan dapat dipertahankan untuk
membebaskan pembaca dari penutup mata yang didapat secara historis. Dia memperingatkan bahwa
nuansa tulisan Jermannya tidak dapat diterjemahkan.

Rupanya dan meskipun ada banyak kesamaan dalam hal substansi dan tujuan Sekolah
Frankfurt memiliki sedikit pengaruh langsung pada kontributor terkemuka untuk “La Pensée 68” di
Prancis. Tetapi, dalam konteks Anglophone, karya-karya Adorno dan Horkheimer, Marcuse dan
Fromm dimasukkan ke dalam ransel para intelektual muda yang membentuk gerakan politik dan
kontra-budaya pada 1960-an. Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk merangkul teori Prancis dan
postmodernisme akademis secara lebih umum, mereka memfasilitasi merger yang berkontribusi pada
gangguan disiplin ilmu humaniora di seluruh dunia.(“Luc Ferry, Alain Renault La Pensee 68--Essai
sur l’antihumanisme contemporain,” 1986)

3.1. Adorno dan Teori Kritis

Bahasan yang berfokus pada kehidupan dan karya Theodor Adorno, secara selektif; tujuannya
adalah untuk memberikan pemahaman yang cukup tentang apa isi "Teori Kritis" awalnya, sehingga
pengaruh akhirnya dalam konteks Anglophone. Katakanlah, studi budaya dapat dinilai secara adil. Ini
sangat jelas dari semua bentuk "neoMarxisme" yang selamat dari kesadaran bahwa "superstruktur"
budaya memiliki khasiat historisnya sendiri, teori kritis yang dipahami oleh Sekolah Frankfurt adalah
yang paling berpengaruh dan produktif.

Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis dan meragukan apakah
pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal dari keberatannya terhadap berpikir
metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis memiliki kecenderungan untuk sampai
pada kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premispremisnya.
Adorno adalah pemikir antiHegel dan, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap
posisi filosofis Hegel yang bercorak totalitarianisme.

Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul dari kebutuhan terhadap adaptasi dan,
karenanya, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel,
dominasi pada wilayah materi tercermin dengan dominasi pada tataran konsep. Totaliarianisme sistem
pemikiran paralel dengan totalitarian fasisme dan totalitarianisme dalam industri kebudayaan.
Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara umum juga
kecenderungan apapun terhadap sintesis final. Dia menekankan hak untuk tidak sama.

Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha


memberikan analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan untuk
mengamankan kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk
dominasi politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan individualitas dan masyarakat
kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual
dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian, dimana dominasi kapitalis merupakan
bahaya terbesar yang muncul darinya.(Horkheimer & Adorno, 2002)

Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno dimulai dengan usaha untuk memahami kaitan
antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian
Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang memaparkan
beberapa temuantemuan sosiologis. Essay ini penting karena analisis musik adalah awal dari refleksi
sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya
estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yang disebut mediasi sosial, yang berarti
kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; masyarakat dan individu.(T. W. Adorno,
1978).

Objek sentral dalam teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara
pertentanganpertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan
subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai
subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis” dengan menegasikan
ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
(Arnold, 2015)
Beberapa artikel yang berbicara tentang penggunaan filsafat Dekolonial untuk menghilangkan
pandangan Eurosentris dan rasionalitas yang tersirat dalam teori kritis. Topik yang dibahas dalam
artikel termasuk modernitas Eropa, teori kritis di Amerika Latin, dan teori Postkolonial. Pandangan
kritis para ahli teori termasuk Amy Allen, Jürgen Habermas, dan Theodor Adorno juga disajikan,
mazhab Frankfurt telah menulari dunia dengan pemikiran alternatif yang hingga kini terus menjadi
perbincangan.(Huhn, 2004)

Esai-esai Adorno, telah menjadi pembanding bagi Todorov, The Conquest of America
(Todorov) dan Dialectics of Enlightenment: Sebuah perbandingan singkat, dalam The Conquesto of
America dan Dialectics of Enlightenment, dua teks yang teliti dan istimewa yang tampaknya terikat
pada keharusan etis-diskursif untuk tidak berpartisipasi, namun secara kiasan, dalam kekerasan yang
mereka usahakan pertanggungjawabkan. Beberapa berbeda: sementara Todorov mengistimewakan
hubungan dengan orang lain, Adorno dan Horkheimer memberikan analisis mereka pada hubungan
pencerahan-mitos. Tetapi pada intinya, tidak ada teks yang menyediakan panduan yang memadai
untuk sosiologi dan budaya dari tradisional peradaban mitos; mereka dengan demikian dicela karena
beroperasi dalam kerangka acuan Eurosentris, bahkan ketika mereka mencela peradaban Eropa.(A.
Todorov, 2008)

Dalam gaya proto-dekonstrusi, Adorno dan Horkheimer tidak memberikan deskripsi panjang
untuk pertunangan atau mitos dalam isolasi; dengan demikian mereka melakukan, pada tingkat
tekstual, pernyataan mereka bahwa setiap istilah dalam biner secara internal ditandai oleh yang lain
yang tampak. Deskripsi pandangan Todorov tentang Aztecs, mengatakan: Orang Indian
mengintegrasikan kedatangan Spanyol ke dalam jaringan hubungan alam, sosial, dan supranatural, di
mana peristiwa tersebut dengan demikian kehilangan singularitasnya: entah bagaimana ia dijinakkan,
diserap ke dalam urutan kepercayaan yang sudah ada. Membandingkan fitur modern Cortez dengan
gambar pencerahan Adorno dan Horkheimer. Gagasan Adorno dan Horkheimer tentang mitos sebagai
mode. of domination, Mitos dan logika substitusi, Dialektika mitos dan enlitghtenment.(E. Todorov,
2004)

Adorno dan Horkheimer, menilai secara langsung, urutan konvensional antara modern dan
primitif, pencerahan, dan mitos, ia berpartisipasi pada tingkat makro dari argumennya dalam proyeksi
sendiri. Diantaranya dalektika bahwa orang Spanyol memandang orang Indian sebagai objek, bukan
subjek, tidak serta merta berarti akan menjajah dan membinasakan mereka. Dominasi suatu objek
hanya mewakili satu kemungkinan relasi dengan objek; ini bukan konsekuensi yang diperlukan dari
hubungan subjek-objek. Hampir setiap komentar tentang Dialektika Pencerahan telah merespons, dan
mencoba menjelaskan, cynisme model Adorno dan Horkheimer.

Pendahuluan Konsep sejarah berkembang dalam berbagai arah selama periode filsafat Jerman
modern. Mulai dari analisis struktural makro tentang evolusi peradaban hingga deskripsi pengalaman
sosial temporal individu, sejarah pada dasarnya adalah konsep kritis, konsep yang berusaha
mengungkap gagasan naif yang diduga tentang sifatsifat tetap budaya dan individu yang mungkin
hidup dalam mereka. Adorno termasuk dalam tradisi filsafat historis kritis ini. Filsafat sejarahnya
sangat ditandai oleh berbagai ide Hegelian, Marxian, Nietzschean dan hermeneutis. Keasyikan dengan
gagasan sejarah terbukti dari awal karier Adorno. Dari Habilitationsschrift (1931) hingga Aesthetic
Theory (tidak lengkap pada saat kematiannya pada 1969).(Symes, 2010)

Untuk mengenal secara komprehensif dengan berbagai pengaruh dan beragamnya aplikasi
konsep sejarah dalam karya Adorno akan menjadi koekstensif dengan analisis kritis terhadap oeuvre-
nya, juga sebagai penanda yang akan membatasi diri pada keterlibatan Adorno dengan apa yang
mungkin secara khusus dianggap sebagai ‘teori sejarah’, diantaranya kritik Adorno tentang (1)
gagasan sejarah universal dan (2) kemajuan; (3) pembacaan dialektisnya tentang gagasan sejarah
alam; dan (4) penilaiannya tentang peran totalitas dalam produksi sejarah.

3.2. Teori Kritis

Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa dikenal dikalangan publik akademis
dalam masyarakat kita. Jurgen Habermas menggambarkan Teori kritis sebagai suatu metodologi yang
berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Teori Kritis
tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang umumnya dianut oleh aliran positivistik. Teori
krtis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang
bersifat trasendental yang melampaui data empiris. Dapat dikatakan, Teori kritis merupakan kritik
ideologi. (Rahman, 2015)

Teori kitis ini dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh selubung
ideologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia
modern. Akan tetapi, semua itu konsep Teori Kritis yang ditawarkan oleh para pendahulu Jurgen
Habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse) mengalami kemacetan atau
berakhir dengan rasa pesimis. Akan tetapi, teori ini tidak berakhir begitu saja, Jurgen Habermas
sebagai penerus Mazhab Frankfurt akan membangkitkan kembali teori tersebut dengan sebuah
paradigma baru.(“TEORI SOSIAL DALAM PERSPEKTIF TEORI KRITIS MAX HORKHEIMER,”
2017)

3.3. Paradigma Baru Teori Kritis

Jurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di dalam Teori Kritis tersebut. Menurut
Jurgen Habermas, komunikasi dapat menyelesaikan kemacetan Teori kritis yang ditawarkan oleh
pendahulunya. Jurgen Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi (interaksi). Pekerjaan
merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan untuk mencapai sesuatu.
Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling pengertian. Dalam tradisi Mazhab Frankfurt, teori dan
praksis tidak dapat dipisahkan. Praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam
kegiatan-kegiatan yang berkerja melulu, melainkan interaksi dengan orang lain menggunakan bahasa
sehari-hari. Selain itu juga, para pendahulunya memandang rasionalitas sebagai penaklukan,
kekuasaan. (Habermas, 2013)

Kedua hal itulah yang membuat kemacetan dalam Teori Kritis menurut Jurgen Habermas.
Pandangan ini telah membuat sudut pandang masyarakat tentang krtik dengan penaklukan itu sama
dan praksis dengan penaklukan itu sama. Jurgen Habermas berpendirian kritik hanya dapat maju
dengan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif.
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekerasan,
tetapi melalui argumentasi. Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi, yaitu:
perbincangan atau diskursus dan kritik.(Boyne & Habermas, 1986)

3.4. Teori Kritis dalam Paradigma Komunikasi

Paradigma yang lama disebut Habermas sebagai filsafat kesadaran atau filsafat subjek
dianggap tidak cocok lagi untuk kondisi-kondisi masyarakat dewasa ini yang ditandai oleh pluralitas
bentuk kehidupan dan orientasi nilai. Di dalam paradigma yang lama itu menurut Habermas,
terkandung pemahaman tertentu tentang subjektivitas, yaitu subjek yang mengenal dan menguasai
objeknya secara monologis. Misalnya dalam berbagai ilmu-ilmu kemanusiaan dewasa ini yang
berlandaskan seperti yang dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, yaitu mengobjektifikasi manusia,
mengambil sikap netral terhadap objek riset, bahkan bila perlu memanipulasi objek riset itu secara
eksperimental. (Yasir, 2012)

Bentuk kesadaran yang mengontrol objeknya namun juga berpikir secara monolog ini disebut
Habermas sebagai filsafat kesadaran. Filsafat jenis ini menurutnya, merupakan ciri khas filsafat
modren sejak Descartes, filosof yang menemukan kesadaran diri (cogito) sebagai realitas akhir.
Habermas lalu menunjukkan kebuntuan yang dihadapi oleh generasi tua Teori Kritis. Sama seperti
seorang ideolog, seorang kritikus masyarakat ingin menguasai objek yang dikritiknya secara
monologis untuk memaksakan visi-visi dan keyakinankeyakinan kepada orang lain. Dengan cara ini,
kritik ibarat manifestasi lain dari ideologi. Para pendahulu Habermas, tidak dapat menemukan jalan
keluar dari dilemma macam ini karena tolok ukur kritik mereka sama dengan tolok ukur objek yang
dikritiknya, yaitu ideologi. Dengan kata lain, kritik pada akhirnya diungkapkan dalam kaitannya
dengan kekuasaan.(Surahman, 2005)

Paradigma baru Habermas adalah paradigma teori komunikasi. Paradigma ini tidak lagi
memahami subjektivitas sebagai subjek yang terisolasi yang ditandai dengan cara pengenalan
monologis dan manipulasi objek-objek yang ada di hadapannya. Sebaliknya paradigma yang dia
sarankan itu memahami subjektivitas dan pengetahuan sebagai hasil proses komunikasi intersubjektif.
Pengetahuan adalah hasil dari konsensus dengan subjek-subjek lain. Pergeseran fokus ini menandai
seluruh proyek Teori Kritis Habermas.(Halik, 2019)

Setelah mengatasi kemacetan Teori Kritis generasi pertama Habermas menitikberatkan Teori
Kritisnya pada perkembangan teoritis konsep rasio komunikatif sebagai rekonstruksi teori kritis
terhadap masyarakat. Perihal terpenting dalam rasio prosedural bukanlah soal masuk akal atau
tidaknya hal yang dirancang oleh seorang subjek secara monologis, melainkan prosedur yang diakui
secara intersubjektif. Lewat prosedur itulah produk-produk dari proses rasional mendapat
kesahihannya. Hal ini berarti bahwa sifat rasional tidak dicapai semata-mata oleh seorang subjek
tunggal.(Iwan, 2014)

Misalnya di dalam proses pengadilan dapat didekati melalui argumentasi rasional dengan peserta lain.
Begitu pula sifat rasional dari sebuah klaim rasio hanya dapat dicapai secara komunikatif, yaitu
melalui pemahaman timbal balik dengan subjek-subjek lainnya. Di dalam pengadilan keadilan tidak
dapat terwujud bila kekuasaan campur tangan di dalam proses pengadilan. Demikian juga klaim rasio
tidak masuk akal, jika klaim itu dikeluarkan di bawah paksaan.

Habermas pernah menunjukkan di dalam Erkenntnis und Interesse bahwa ilmu-ilmu sosial
kemanusiaan yang disebutnya ilmu-ilmu historishermeneutis diarahkan oleh kepentingan kognitif
praktis untuk saling memahami di dalam sebuah proses komunikasi. Karena itu untuk memberi sifat
rasional sebuah klaim, sangat pentinglah sebuah prosedur yang memastikan bahwa orang dapat
mengeluarkan klaim tersebut tanpa paksaan dan bebas kekuasaan. Mekanisme pemeriksaan secara
intersubjektif tersebut dan prosedur yang diterima secara intersubjektif adalah syarat-syarat formal
yang mengandung rasio prosedural.(Bungin & Burhan, 2009)

IV. GAGASAN INTI ADORNO


Tidak dapat diragukan lagi bahwa pemikir Jerman ini bergerak dalam wilayah ilmiah yang
amat luas. Namanya menjadi tersohor dalam hubungan dengan filsafat, sosiologi, psikologi maupun
musikologi. Dan terus menerus ia menerobos tapal batas antara ilmu-ilmu itu.

Salah satu ciri yang menonjol dalam pandangan filosofisnya adalah penolakannya terhadap
pemikiran sistematis. Hal ini berasal dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat
sistematis dan pemikiran metodologis, menurutnya memiliki kecenderungan untuk sampai pada
kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premis-premisnya.

4.1. Emansipasi dan Rasionalitas

Adorno ingin mempertahankan ide dasar Aufklarung, yaitu emansipasi dengan menambah
jalan rasionalitas. Hanya dengan kritik radikal atas pemikiran masa Pencerahan yang berkisar pada
paham “kemajuan”, dapat ditentukan arti rasionalitas bagi zaman kita ini. Dengan kata lain, hanya
dengan mencari sebab-sebab gagalnya emansipasi yang begitu dicita-citakan oleh teori-teori
kemajuan dalam masa Pencerahan dan sesudahnya, dapat kita buka perspektif baru bagi zaman kita
sekarang.(Nielsen, 1977)

“Dialektika Pencerahan” adalah judul sebuah buku karya terkenal dari Max Horkheimer dan
Theodor W. Adorno yang ditulis bersama pada tahun 1944. Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa
Jerman dengan judul “Dialektik der Aufklarung” dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai
“Dialectic of Enlightenment”. Secara umum isi buku tersebut bermuatan kritik terhadap modernitas
yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer sebagai sejarah dominasi atau penguasaan. Pemikiran
mereka secara umum senada dengan kritik Karl Marx, adapun yang membedakan adalah bahwa
Adorno dan Horkheimer tidak menjelaskan sejarah penguasaan dari hubungan produksi, melainkan
dari dorongan psikologis manusia yang berkeinginan kuat untuk menguasai pihak lain.(Horkheimer &
Adorno, 2002)

Melalui Dialektika Pencerahan tersebut Adorno dan Horkheimer lebih jauh mengkritik
kesadaran yang ada pada masyarakat dengan kesadaran modern, yang dengannya bahwa rasio sebagai
alat utama dominasi. Lebih lanjut, Adorno dan Horkheimer juga beranggapan bahwa pencerahan yang
dipandang sebagai kemajuan dari cara pandang mitologis, sebenarnya telah menjadi mitos itu sendiri.
Lebih jauh, mitos itu pada gilirannya juga menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia yang
satu terhadap yang lainnya. Kenyataan terjadinya penindasan, antara lain sebagaimana yang dialami
Adorno sendiri, yaitu dengan munculnya ideologi fasisme di Jerman, disamping juga
kepincangankepincangan yang diakibat-kan dari kemajuan teknologi yang telah memanipulasi
manusia, pada umumnya.

4.2. Kemajuan Sebagai Teori Dialektis

Sejarah dipandang sebagai pembebasan manusia semakin mendalam dari cengkeraman alam.
Kemajuan sepanjang sejarah merupakan suatu emansipasi. Namun kemajuan tidak dapat dipikirkan
terlepas dari kemundurannya. Sebab, kemajuan tidak mungkin jika tidak ada sesuatu yang ditiadakan
atau dihancurkan yaitu alam dari mana manusia membebaskan diri. Maka dari itu suatu teori tentang
kemajuan hanya mungkin sebagai teori dialektis, artinya kemajuan hanya dimengerti sejauh
kemunduran turut dimengerti. Inti dialektis adalah penguasaan.(Munawir, 2009)

4.3. Negativitas Total

Adorno menyamakan prinsip penguasaan dengan prinsip rasionalitas. Dengan rasionalitasnya


manusia menaklukkan bumi kepadanya. Hal ini dinamakan Adorno sebagai teknologi. Yang paling
penting bagi Adorno ialah dengan menaklukkan alam kepadanya manusia belum masuk dalam
kebebasannya. Namun, manusia ingin membebaskan diri dengan menguasai alam, pada zaman
sekarang ini menjadi obyek penguasaan itu. Daripada menghasilkan emansipasi manusia, ilmu
pengetahuan dan teknik (atau dengan perkataan lain, seluruh proses penguasaan alam) membuat
manusia menjadi obyek. Manusia sebagai subyek yang menguasai, menjadi obyek penguasaannya
sendiri. Ia yang ingin membebaskan dirinya sendiri, pada kenyatannya diperbudak saja. Keadaan
inilah yang disebut sebagai “negativitas total”.(Sunarto, 2017)

4.4. Sejarah Ditandai Malapetaka Perma- nen

Adorno beranggapan bahwa sejarah ditandai oleh suatu “malapetaka permanen” (a permanent
catastrophe). Hal ini harus mempunyai dasarnya dalam awal-mula sejarah. Pada permulaan sejarah
sebagai malapetaka permanen terdapat suatu tindakan irrasional, yaitu kemampuan untuk menguasai
alam secara total. Tetapi jika permulaan sejarah, dan dengan itu juga seluruh sejarah selanjutnya
bersifat irrasional, maka dapat ditarik kesimpulan pula bahwa sejarah tidak mutlak perlu harus
berlangsung seperti adanya (melawan Hegel).(Ponzi & Ponzi, 2017) Adorno mengakui kemungkinan
utopi, artinya kemungkinan timbulnya suatu masyarakat yang sama sekali lain daripada yang kita
kenal dalam sejarah konkret. Tetapi serentak juga ia merasa pesimistis terhadap kemungkinan untuk
sekarang ini merealisasikan suatu masyarakat yang benar. Untuk saat ini Adorno hanya melihat
kemungkinan untuk membiarkan pikiran akan masyarakat benar menjadi matang dalam teori (teori
tentang negativitas total).

4.5. Penderitaan Mendobrak Penguasaan Total

Rasio sendiri tidak dapat memecahkan belenggu yang mengikatkan rasionalitas yang
terbelenggu. Namun demikian, sudah nyata suatu kritik radikal hanya mungkin berdasarkan
rasionalitas (yang terbelenggu itu). Cara mendobrak penguasaan total itu menurut Adorno hal itu
hanya mungkin berdasarkan pengalaman tentang pederitaan. Penderitaan meloloskan diri dari
penguasaan total dan akibatnya dapat menyadarkan serta mengatasi negativitas total. Adorno
melukiskan penderitaan sebagai obyektifitas yang menekan subyektifitas. Maksudnya bahwa
penderitaan merupakan sesuatu hal yang bersifat subyektif (menyangkut subyek sebagai subyek),
tetapi serentak juga melebihi subyek, karena disebabkan oleh fakta-fakta obyektif. Kebebasan filsafat,
menurut Adorno tidak lain daripada kesanggupan untuk memberi suara kepada ketidakbebasan.
Kiranya sudah jelas bahwa filsafat Adorno bersifat pesimistis.(Jongha Lee, 2011)

Kebebasan filsafat, menurut Adorno tidak lain daripada kesanggupan untuk memberi suara
kepada ketidakbebasan. Kiranya sudah jelas bahwa filsafat Adorno bersifat pesimistis.

Anda mungkin juga menyukai