Anda di halaman 1dari 6

MASIH ADAKAH TEMPAT BAGI KRISTUS?

Yes. 9:2-7; Mzm. 96; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14, 15-20

Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari tidak ada seorangpun di antara kita yang tidak
membutuhkan “tempat” atau “ruang”. Apakah tempat tersebut berfungsi sebagai
tempat tinggal, tempat berteduh, tempat dan ruang berkomunikasi, tempat studi,
tempat  mengembangkan diri, tempat bermain, tempat berbagi rasa, tempat
beribadah, tempat bekerja, dan sebagainya. Makna ruang bagi manusia bukan
sekedar suatu tempat yang bersifat fisik seperti tersedianya sebuah gedung,
rumah, sekolah, mal/plaza, pasar, gereja, dan akses jalan raya. Tetapi juga
makna ruang menunjuk kepada tersedianya situasi batiniah atau rohaniah yang
personal. Misalnya kita dapat merasa “sesak” di dalam gedung yang cukup luas
karena kita tidak memperoleh penghargaan yang sewajarnya. Keadaan “sesak”
di sini lebih menunjuk keadaan batin kita yang merasa tertekan karena orang-
orang di sekitar bersikap mengabaikan dan merendahkan diri kita. Sebaliknya
kita juga dapat merasa “nyaman” dan “lapang” di suatu ruang yang sempit
secara fisik sebab kita memperoleh kehangatan kasih, keakraban, dan
persaudaraan yang tulus. Dengan demikian makna “ruang yang sempit” atau
“ruang yang lapang” sangatlah relatif bagi setiap orang sebab tergantung dari
kualitas relasi yang terjalin di dalamnya.  Semakin tinggi kualitas relasi atau
komunikasi kita dengan orang-orang di sekitar kita, maka sebenarnya kita telah
memperoleh ruang batiniah yang lebih lapang dan melegakan. Tetapi semakin
rendah kualitas relasi atau komunikasi kita dengan orang-orang di sekitar kita,
maka sebenarnya ruang  batin kita menjadi serba sempit, menekan,
menyesakkan, mengancam, bahkan  menakutkan walau kita hidup di suatu
gedung yang sangat mewah dan megah. Keleluasaan ruang batin tidak
senantiasa identik nilai dan ukurannya dengan keleluasaan ruang fisik.

Allah diimani sebagai satu-satunya Tuhan yang menciptakan ruang kehidupan


yaitu bumi dengan segala isinya. Dialah Tuhan yang berada di tempat yang tidak
terbatas. Dia serba tidak terbatas oleh waktu dan ruang, sebab waktu dan ruang
hanyalah ciptaanNya. Keberadaan Allah lebih tepat disebut sebagai keberadaan
yang kekal (eternal), maha-hadir (omnipresent), melampaui segala sesuatu
(transcendent). Namun ketika Allah dalam inkarnasi Kristus hadir dalam sejarah
kehidupan manusia, Alkitab menyaksikan situasi yang paradoksal. Injil Yohanes
1:10-11 menyaksikan: “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya,
tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi
orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya”.  Saat Allah yang telah
menciptakan ruang dan alam datang ke bumi, ternyata umat ciptaanNya tidak
mau menyediakan ruang bagiNya.  Dia datang kepada milik kepunyaanNya,
tetapi manusia tidak mengenal dan menolak kehadiranNya. Dengan demikian
peristiwa Natal sebenarnya juga menyaksikan bagaimana sikap manusia yang
tidak tanggap terhadap kehadiran Allah, sehingga manusia lebih memilih untuk
menutup setiap ruang kehidupan yang dimilikinya. Yang mana pilihan dan
penolakan kita tersebut telah membuat semua kemungkinan atau celah yang
ada telah tertutup rapat, sehingga hanya tinggal satu kemungkinan yaitu tidak
tersedianya tempat bagi Allah. Bukankah sejarah kehidupan kita sering ditandai
oleh berbagai respon penolakan terhadap kehadiran Allah dan FirmanNya? Kita
sepertinya sering mencoba untuk menyingkirkan Allah dalam ruang kehidupan
kita dan kalau perlu kita berupaya untuk membunuhNya. Sebagaimana yang
dikatakan oleh  Frederick Nietzche: “God is dead” (Allah telah mati). Kalau Allah
telah mati, maka tertutuplah segala kemungkinan bagi manusia untuk
memperoleh perlindungan. Manusia merasa dirinya bebas sehingga manusia
dapat menentukan dirinya lebih leluasa. Dalam realita hidup kita tidak hanya
berupaya menyingkirkan Allah secara filosofis dan teologis, tetapi juga dalam
praktek dan tindakan. Kita umumnya lebih menyukai untuk memenuhi seluruh
ruang hati kita dengan mengejar ketamakan seperti materi, uang, sikap yang
ambisius, hawa-nafsu seks dan popularitas.

Berkat Yang Tersembunyi?


Karena perintah kaisar Agustus, Yusuf dan Maria harus pergi dari Nazaret
menuju Betlehem yang berjarak sekitar 170 km dengan berjalan kaki. Mereka
harus pergi ke Betlehem untuk pendaftaran sensus karena Yusuf dan Maria
berasal dari keturunan raja Daud.  Firman Tuhan kepada Samuel berkata:
“Berapa lama lagi engkau berdukacita karena Saul? Bukankah ia telah Kutolak
sebagai raja atas Israel? Isilah tabung tandukmu dengan minyak dan pergilah.
Aku mengutus engkau kepada Isai, orang Betlehem itu, sebab di antara anak-
anaknya telah Kupilih seorang raja bagi-Ku" (I Sam. 16:1). Keterangan I Sam.
16:1 sangat jelas menyatakan bahwa raja Daud dan leluhurnya berasal dan lahir
di kota Betlehem (bdk. Luk. 2:4-5 dengan Rut. 1:1-2, 19; 4:17). Dari sumber ini
kita dapat melihat bahwa bukan hanya Yusuf saja yang keturunan Daud, tetapi
juga Maria. Sebagaimana diketahui bahwa Yusuf adalah keturunan Daud melalui
Salomo. Sedangkan Maria berasal dari keluarga Lewi, tetapi dia juga adalah
keturunan Daud melalui Natan (Luk. 3:32).  Dengan demikian Yesus yang
dilahirkan oleh Maria secara hukum dan biologis berasal dari keturunan raja
Daud. Jika demikian, bukankah melalui perintah kaisar Agustus yang
mewajibkan setiap penduduk di wilayah kekuasaan kerajaan Romawi khususnya
bagi Yusuf dan Maria untuk didaftarkan di tempat asal mereka masing-masing
sebenarnya merupakan suatu berkat yang tersembunyi (blessing in disguise)? 
Artinya melalui perintah kaisar Agustus tersebut, Yusuf dan Maria dapat kembali
menengok sanak famili atau kerabat yang masih tinggal di Betlehem. Selain itu
khusus untuk Maria, dia dapat melahirkan di tengah-tengah keluarga besar
keturunan raja Daud. Bukankah suatu sukacita besar bagi seorang wanita dapat
melahirkan anak di tengah-tengah keluarga besar mereka? Tradisi Timur di
Israel, seperti halnya budaya Jawa pada umumnya memiliki kebiasaan bagi
seorang wanita untuk kembali pulang ke rumah orang-tua atau kerabat saat dia
akan melahirkan seorang anak.

Tetapi tampaknya kota Betlehem saat itu sedang sibuk dengan para pendatang
yang juga memiliki tujuan seperti yang dilakukan oleh Yusuf dan Maria untuk
pendaftaran sensus penduduk. Demikian pula halnya dengan para kerabat dan
sanak famili dari Yusuf dan Maria. Mereka juga sibuk dengan berbagai urusan
dan persoalannya masing-masing. Sehingga mereka tidak dapat membantu
Maria untuk melahirkan anaknya di tengah-tengah keluarga besar keturunan
Daud. Bahkan juga tempat penginapan di kota Betlehem telah penuh.  Padahal
Maria pada waktu itu telah tiba saatnya untuk bersalin. Luk. 2:6-7 menyaksikan:
“Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia
melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya
dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat
bagi mereka di rumah penginapan”. Apa yang dialami oleh Maria sepertinya
sesuatu yang wajar. Karena orang-orang Betlehem dan kerabat telah sibuk
dengan urusannya masing-masing dan tempat di rumah mereka telah penuh,
maka  harap dimaklumi jikalau mereka tidak dapat menyediakan tempat bagi
Maria untuk melahirkan Anaknya di tengah-tengah mereka. Budaya kita sering
membuat “permakluman” dengan alasan kesibukan atau sedang repot, sehingga
kita sering tidak tanggap dengan kesusahan dan pergumulan orang-orang dekat
di sekitar kita.  Itu sebabnya alasan kesibukan atau kerepotan sering menjadi
senjata yang sangat ampuh untuk membenarkan diri; yang  artinya kita tidak
mau disalahkan apabila kita tidak dapat menyediakan sedikit “ruang” bagi orang
lain.

Yusuf dan Maria yang kemungkinan besar berharap dapat berada di tengah-
tengah keluarga besar mereka, namun kini harapan tersebut kandas. Semua
tempat kerabat dan tempat penginapan telah penuh, sehingga Maria terpaksa
harus melahirkan seorang Anak di tempat yang tak layak yaitu kandang ternak. 
Bukankah cerminan peristiwa yang dialami oleh Yusuf dan Maria yang
melahirkan Kristus di tempat yang tidak seharusnya merupakan gambaran dari
kehidupan sehari-hari yang sering kita tidak tanggap untuk menyambut
kehadiran Allah di tengah-tengah umatNya? Saat kita tidak mau menyediakan
waktu dan hati untuk mendengarkan sesama atau saudara yang sedang
menanggung beban yang sangat berat, maka sebenarnya kita juga tidak
menyediakan “ruang” bagi Allah dalam kehidupan kita. Rasa enggan dan
penolakan kita terhadap kehadiran orang lain merupakan cermin dari sikap
spiritualitas kita yang enggan dan menolak terhadap kehadiran Allah yang
sebenarnya hendak menyapa diri kita. Bukankah saat kita menolak kehadiran diri
Allah, sebenarnya kita juga menolak keselamatan yang hendak
dianugerahkanNya? Kita sering menolak kehadiran Allah karena kita tidak mau
menyediakan suatu ruang khusus untuk menyambut kedatanganNya yang
menyelamatkan. Dalam hal ini kita sering lupa bahwa keselamatan Allah tidak
mungkin akan terwujud selama kita tidak menyediakan ruang bagiNya. Sebab
bukankah keselamatan Allah membutuhkan konteks hidup, yaitu “ruang
relasional” sehingga memungkinkan terjadi perjumpaan Allah dengan umatNya?
Tanpa ruang atau konteks hidup, keselamatan dari Allah hanyalah suatu
harapan yang utopis belaka.

Umat Yang Menyediakan Ruang


Kisah kelahiran Kristus di Betlehem ditandai oleh peristiwa yang paradoksal.
Pada satu pihak disaksikan bahwa kerabat dan famili Yusuf atau Maria tidak
dapat membantu untuk menyediakan tempat untuk melahirkan Anaknya. Namun
pemilik kandang dan para gembala justru dikisahkan oleh Injil  Lukas lebih
tanggap terhadap kesulitan yang dihadapi oleh Yusuf dan Maria. Pemilik
kandang berkenan memberi tempat bagi Maria untuk melahirkan Anaknya,
sedang para gembala bersedia datang beramai-ramai datang menengok bayi
Yesus. Pada intinya baik pemilik kandang dan para  gembala bersedia
menyediakan ruang, yaitu ruang fisik bernama kandang dan ruang hati berupa
kesediaan untuk menyambut. Mereka merupakan representasi dari umat yang
dengan tulus mau menyediakan ruang bagi karya keselamatan Allah. Sehingga
tidak mengherankan, jikalau kabar baik tentang kelahiran Kristus disampaikan
Allah melalui para malaikatNya kepada para gembala yang  sedang menjaga
kawanan ternak mereka. Kata para malaikat kepada para gembala: "Jangan
takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk
seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di
kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi
dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan" (Luk. 2:10-12).
Hanya kepada para gembala, para malaikat memberitakan suatu kesukaan
besar bagi seluruh bumi sebab kini telah lahir Kristus Tuhan di kota Daud.
Mereka diminta untuk datang mengunjungi bayi Yesus yang terbaring dalam
palungan (tempat  makanan ternak). Tentu saja tanda yang disebut oleh para
malaikat telah begitu akrab atau familiar bagi para gembala. Mereka tahu dengan
persis apa artinya “kandang dan palungan”. Sehingga kelahiran bayi Yesus
Kristus di palungan yang dinyatakan oleh malaikat sebagai Tuhan dan Juru-
selamat bagi para gembala merupakan peristiwa yang begitu akrab dan cocok
dengan situasi hidup mereka sehari-hari. Di satu pihak para gembala pernah
gentar (pengalaman “tremendum”) saat para malaikat menampakkan diri di
hadapan mereka, tetapi sikap mereka kemudian berubah takjub dan bertanya-
tanya  saat mereka melihat bayi Yesus di dalam palungan (Luk. 2:17-18).  
Dalam hati para gembala timbul suatu perasaan takjub akan keagungan Allah
(pengalaman “fascinans”), tetapi juga makna kelahiran Kristus masih
tersembunyi sebagai rahasia ilahi (pengalaman “mysterium”) yang belum
sepenuhnya dimengerti oleh mereka.

Tokoh para gembala sebagai representasi dari umat yang bermurah-hati


menyediakan ruang hati bagi Kristus pada hakikatnya bukan terjadi karena
mereka senantiasa hidup serba miskin dan berkekurangan secara materi. Sebab
tidak otomatis setiap orang yang miskin secara materi atau ekonomis senantiasa
akan menjadi orang-orang yang bermurah-hati dan mau menyediakan ruang
bagi sesamanya. Justru karena alasan “miskin” atau hidup “kekurangan”
bukankah cukup banyak orang menjadi sangat kikir dan egoistis, sehingga
mereka sering menolak atau mengelak untuk memberi bantuan kepada
sesamanya? Karena kita merasa diri “miskin” dan hidup serba “pas-pasan”,
maka kita sering enggan untuk menolong orang yang datang kepada kita.  Jadi
lebih tepat para gembala yang dilukiskan di Luk. 2 pada prinsipnya representasi
dari umat yang telah terbiasa hidup miskin, terhimpit dan tertindas; maka
spiritualitas mereka lebih terlatih untuk hidup sederhana dan bersandar kepada
anugerah Allah.  Dengan demikian tokoh para gembala merupakan simbolisasi
dari umat yang “miskin” di hadapan Allah. Spiritualitas para gembala ditandai
oleh kesederhanaan hidup, kesediaan untuk menghadapi ketertindasan dan
pergumulan hidup dengan sikap  iman yang berserah penuh kepada Allah.
Sehingga hati mereka lebih terbuka dengan keadaan dan persoalan sesamanya
yang sedang menderita. Selain itu mereka percaya kepada janji Allah, bahwa
Allah akan memulihkan dan menyelamatkan kehidupan mereka. Allah akan
mengubah kehidupan mereka yang terhimpit dan penuh kenistaan menjadi
kehidupan yang penuh pengharapan.
 
Nubuat Yang Tergenapi
Sukacita dan pengharapan yang dialami oleh para gembala sebagai representasi
dari umat yang menyambut kehadiran Allah merupakan penggenapan janji Allah
sebagaimana pernah disaksikan oleh Yes. 8:23 – 9:7. Semula umat Israel yang
tinggal di tanah Naftali dan Zebulon berada dalam situasi yang kelam dan suram.
Sebab daerah mereka mengalami kerusakan yang paling hebat akibat perang
Syro-Efraimi tahun 734-733 sM. Tentara Asyur waktu itu telah melakukan
penyerbuan dengan menyerang terlebih dahulu wilayah Naftali dan Zebulon di
kerajaan Utara, baru kemudian  meluas ke wilayah kerajaan Israel Selatan yakni
kerajaan Yehuda. Di tengah-tengah umat yang sedang terhimpit dan menderita
itu, Allah berfirman kepada nabi Yesaya, yaitu: “Tetapi tidak selamanya akan ada
kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu TUHAN merendahkan
tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka di kemudian hari Ia akan memuliakan
jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain”
(Yes. 8:23).  Itu sebabnya di Yes. 8:23 – 9:7 terjadi suatu perubahan situasi, dari
situasi sedih dan putus-asa berubah menjadi penghiburan dan pengharapan.
Sebab janji Allah menyatakan: “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah
melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya
terang telah bersinar” (Yes. 9:1). Dalam konteks ini Allah telah menghadirkan
janji keselamatan dan pengharapan yang baru di tengah-tengah umat Israel
yang waktu itu sedang terpuruk dalam kesuraman hidup. Jadi dalam inkarnasi
Kristus, umat diperkenankan mengalami karya keselamatan Allah yang
membawa pengharapan baru; sehingga kini makin terbukalah ruang atau
dimensi “syaloom” dalam arti yang sepenuh-penuhnya.  Sungguh, inkarnasi
Kristus telah menghadirkan dimensi ruang rohaniah yang melegakan,
membebaskan dan membuka suatu perspektif hidup yang baru. Sehingga
sangat tepatlah ketika rasul Paulus berkata: “Karena kasih karunia Allah yang
menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Tit. 2:11).

Ini berarti melalui peristiwa inkarnasi Kristus, selaku umatNya kita dipanggil
untuk menggeser dan membuka sekat-sekat rohaniah yang menyebabkan ruang
hati kita dipenuhi (disesaki) oleh berbagai macam kejahatan dan egoisme diri.
Rasul Paulus juga berkata:  “yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk
membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya
suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Tit. 2:14).
Sehingga dalam iman kepada Kristus, kita dapat menjadi umat yang kudus dan
rajin berbuat baik. Bukankah kekudusan dan rajin berbuat baik merupakan kunci
iman yang utama untuk menciptakan ruang yang membebaskan di tengah-
tengah kesesakan hidup yang duniawi?  Tanpa kekudusan, kita akan menjadi
umat yang cemar dan bergelimangan dosa. Dan tanpa spiritualitas yang rajin
berbuat baik, kita akan menjadi umat gemar berbuat jahat. Padahal hidup cemar
dan gemar berbuat jahat merupakan manifestasi dari spiritualitas yang menindas
dan merusak nilai-nilai kehidupan ini. Bahkan juga pola hidup yang cemar dan
gemar berbuat jahat akan menghancurkan martabat dan keagungan dari karya
keselamatan Allah. Hanya dengan pola hidup yang kudus dan gemar berbuat
baik saja yang memungkinkan kita menciptakan berbagai ruang yang
menghadirkan syaloom Allah, yaitu keselamatan dan damai-sejahtera dari Allah
secara konkret.

Panggilan
Saat ini seluruh umat manusia telah didera oleh “krisis global” yang
menyebabkan begitu banyak orang kehilangan pekerjaan dan tiba-tiba jatuh
miskin. Mereka menjadi terpukul dan putus-asa. Sehingga banyak orang merasa
makin sesak di tengah-tengah kompleksitas persoalan hidup ini. Dalam situasi
demikian, ruang batiniah atau spiritualitas kita makin menyempit dan menekan,
sehingga kita merasa terbelenggu tanpa daya. Situasi kehidupan kita saat ini
seperti yang dialami oleh umat Israel yang tinggal di wilayah Naftali dan Zebulon.
Serba kelam dan suram. Tetapi ternyata kasih Allah begitu besar, sehingga Dia
tidak membiarkan kita terus-menerus berada dalam kekelaman dan kesuraman
hidup. Di dalam inkarnasi Kristus, Allah telah hadir sebagai terang besar yang
membawa sukacita bagi setiap orang agar  mereka mengalami pembebasan,
kelegaan, damai-sejahtera dan keselamatan. Ini berarti dalam peristiwa Natal,
kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Tit.
2:11).  Jika demikian, apakah kita yang saat ini diperkenankan merayakan
inkarnasi Kristus bersedia membuka ruang hati kita bagi sesama yang lebih
menderita? Semakin kita membuka ruang hati untuk menolong sesama, maka
semakin luas pula ruang spiritualitas kita. Jadi damai-sejahtera Allah akan kita
alami saat ruang hati kita makin meluas dan berhasil menyingkirkan sekat-sekat 
penghalangnya. Sebaliknya perasaan gelisah dan tertekan akan kita alami saat
ruang hati kita semakin menyempit dan dipenuhi oleh berbagai sekat
penghalang. Jika demikian, apakah kita kini lebih memilih untuk menutup pintu
dan ruang hati yang akan menyebabkan kita bersikap egoistis dan tidak mau
peduli dengan kehadiran sesama? Damai-sejahtera Natal dari Kristus akan
memampukan kita untuk lebih membuka ruang hati kita bagi orang-orang di
sekitar kita, sehingga kita dapat menciptakan ruang kehidupan yang lebih
memberdayakan dan membebaskan. Amin.

Anda mungkin juga menyukai