Masih Adakah Tempat Bagi Kristus
Masih Adakah Tempat Bagi Kristus
Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari tidak ada seorangpun di antara kita yang tidak
membutuhkan “tempat” atau “ruang”. Apakah tempat tersebut berfungsi sebagai
tempat tinggal, tempat berteduh, tempat dan ruang berkomunikasi, tempat studi,
tempat mengembangkan diri, tempat bermain, tempat berbagi rasa, tempat
beribadah, tempat bekerja, dan sebagainya. Makna ruang bagi manusia bukan
sekedar suatu tempat yang bersifat fisik seperti tersedianya sebuah gedung,
rumah, sekolah, mal/plaza, pasar, gereja, dan akses jalan raya. Tetapi juga
makna ruang menunjuk kepada tersedianya situasi batiniah atau rohaniah yang
personal. Misalnya kita dapat merasa “sesak” di dalam gedung yang cukup luas
karena kita tidak memperoleh penghargaan yang sewajarnya. Keadaan “sesak”
di sini lebih menunjuk keadaan batin kita yang merasa tertekan karena orang-
orang di sekitar bersikap mengabaikan dan merendahkan diri kita. Sebaliknya
kita juga dapat merasa “nyaman” dan “lapang” di suatu ruang yang sempit
secara fisik sebab kita memperoleh kehangatan kasih, keakraban, dan
persaudaraan yang tulus. Dengan demikian makna “ruang yang sempit” atau
“ruang yang lapang” sangatlah relatif bagi setiap orang sebab tergantung dari
kualitas relasi yang terjalin di dalamnya. Semakin tinggi kualitas relasi atau
komunikasi kita dengan orang-orang di sekitar kita, maka sebenarnya kita telah
memperoleh ruang batiniah yang lebih lapang dan melegakan. Tetapi semakin
rendah kualitas relasi atau komunikasi kita dengan orang-orang di sekitar kita,
maka sebenarnya ruang batin kita menjadi serba sempit, menekan,
menyesakkan, mengancam, bahkan menakutkan walau kita hidup di suatu
gedung yang sangat mewah dan megah. Keleluasaan ruang batin tidak
senantiasa identik nilai dan ukurannya dengan keleluasaan ruang fisik.
Tetapi tampaknya kota Betlehem saat itu sedang sibuk dengan para pendatang
yang juga memiliki tujuan seperti yang dilakukan oleh Yusuf dan Maria untuk
pendaftaran sensus penduduk. Demikian pula halnya dengan para kerabat dan
sanak famili dari Yusuf dan Maria. Mereka juga sibuk dengan berbagai urusan
dan persoalannya masing-masing. Sehingga mereka tidak dapat membantu
Maria untuk melahirkan anaknya di tengah-tengah keluarga besar keturunan
Daud. Bahkan juga tempat penginapan di kota Betlehem telah penuh. Padahal
Maria pada waktu itu telah tiba saatnya untuk bersalin. Luk. 2:6-7 menyaksikan:
“Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia
melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya
dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat
bagi mereka di rumah penginapan”. Apa yang dialami oleh Maria sepertinya
sesuatu yang wajar. Karena orang-orang Betlehem dan kerabat telah sibuk
dengan urusannya masing-masing dan tempat di rumah mereka telah penuh,
maka harap dimaklumi jikalau mereka tidak dapat menyediakan tempat bagi
Maria untuk melahirkan Anaknya di tengah-tengah mereka. Budaya kita sering
membuat “permakluman” dengan alasan kesibukan atau sedang repot, sehingga
kita sering tidak tanggap dengan kesusahan dan pergumulan orang-orang dekat
di sekitar kita. Itu sebabnya alasan kesibukan atau kerepotan sering menjadi
senjata yang sangat ampuh untuk membenarkan diri; yang artinya kita tidak
mau disalahkan apabila kita tidak dapat menyediakan sedikit “ruang” bagi orang
lain.
Yusuf dan Maria yang kemungkinan besar berharap dapat berada di tengah-
tengah keluarga besar mereka, namun kini harapan tersebut kandas. Semua
tempat kerabat dan tempat penginapan telah penuh, sehingga Maria terpaksa
harus melahirkan seorang Anak di tempat yang tak layak yaitu kandang ternak.
Bukankah cerminan peristiwa yang dialami oleh Yusuf dan Maria yang
melahirkan Kristus di tempat yang tidak seharusnya merupakan gambaran dari
kehidupan sehari-hari yang sering kita tidak tanggap untuk menyambut
kehadiran Allah di tengah-tengah umatNya? Saat kita tidak mau menyediakan
waktu dan hati untuk mendengarkan sesama atau saudara yang sedang
menanggung beban yang sangat berat, maka sebenarnya kita juga tidak
menyediakan “ruang” bagi Allah dalam kehidupan kita. Rasa enggan dan
penolakan kita terhadap kehadiran orang lain merupakan cermin dari sikap
spiritualitas kita yang enggan dan menolak terhadap kehadiran Allah yang
sebenarnya hendak menyapa diri kita. Bukankah saat kita menolak kehadiran diri
Allah, sebenarnya kita juga menolak keselamatan yang hendak
dianugerahkanNya? Kita sering menolak kehadiran Allah karena kita tidak mau
menyediakan suatu ruang khusus untuk menyambut kedatanganNya yang
menyelamatkan. Dalam hal ini kita sering lupa bahwa keselamatan Allah tidak
mungkin akan terwujud selama kita tidak menyediakan ruang bagiNya. Sebab
bukankah keselamatan Allah membutuhkan konteks hidup, yaitu “ruang
relasional” sehingga memungkinkan terjadi perjumpaan Allah dengan umatNya?
Tanpa ruang atau konteks hidup, keselamatan dari Allah hanyalah suatu
harapan yang utopis belaka.
Ini berarti melalui peristiwa inkarnasi Kristus, selaku umatNya kita dipanggil
untuk menggeser dan membuka sekat-sekat rohaniah yang menyebabkan ruang
hati kita dipenuhi (disesaki) oleh berbagai macam kejahatan dan egoisme diri.
Rasul Paulus juga berkata: “yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk
membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya
suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Tit. 2:14).
Sehingga dalam iman kepada Kristus, kita dapat menjadi umat yang kudus dan
rajin berbuat baik. Bukankah kekudusan dan rajin berbuat baik merupakan kunci
iman yang utama untuk menciptakan ruang yang membebaskan di tengah-
tengah kesesakan hidup yang duniawi? Tanpa kekudusan, kita akan menjadi
umat yang cemar dan bergelimangan dosa. Dan tanpa spiritualitas yang rajin
berbuat baik, kita akan menjadi umat gemar berbuat jahat. Padahal hidup cemar
dan gemar berbuat jahat merupakan manifestasi dari spiritualitas yang menindas
dan merusak nilai-nilai kehidupan ini. Bahkan juga pola hidup yang cemar dan
gemar berbuat jahat akan menghancurkan martabat dan keagungan dari karya
keselamatan Allah. Hanya dengan pola hidup yang kudus dan gemar berbuat
baik saja yang memungkinkan kita menciptakan berbagai ruang yang
menghadirkan syaloom Allah, yaitu keselamatan dan damai-sejahtera dari Allah
secara konkret.
Panggilan
Saat ini seluruh umat manusia telah didera oleh “krisis global” yang
menyebabkan begitu banyak orang kehilangan pekerjaan dan tiba-tiba jatuh
miskin. Mereka menjadi terpukul dan putus-asa. Sehingga banyak orang merasa
makin sesak di tengah-tengah kompleksitas persoalan hidup ini. Dalam situasi
demikian, ruang batiniah atau spiritualitas kita makin menyempit dan menekan,
sehingga kita merasa terbelenggu tanpa daya. Situasi kehidupan kita saat ini
seperti yang dialami oleh umat Israel yang tinggal di wilayah Naftali dan Zebulon.
Serba kelam dan suram. Tetapi ternyata kasih Allah begitu besar, sehingga Dia
tidak membiarkan kita terus-menerus berada dalam kekelaman dan kesuraman
hidup. Di dalam inkarnasi Kristus, Allah telah hadir sebagai terang besar yang
membawa sukacita bagi setiap orang agar mereka mengalami pembebasan,
kelegaan, damai-sejahtera dan keselamatan. Ini berarti dalam peristiwa Natal,
kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Tit.
2:11). Jika demikian, apakah kita yang saat ini diperkenankan merayakan
inkarnasi Kristus bersedia membuka ruang hati kita bagi sesama yang lebih
menderita? Semakin kita membuka ruang hati untuk menolong sesama, maka
semakin luas pula ruang spiritualitas kita. Jadi damai-sejahtera Allah akan kita
alami saat ruang hati kita makin meluas dan berhasil menyingkirkan sekat-sekat
penghalangnya. Sebaliknya perasaan gelisah dan tertekan akan kita alami saat
ruang hati kita semakin menyempit dan dipenuhi oleh berbagai sekat
penghalang. Jika demikian, apakah kita kini lebih memilih untuk menutup pintu
dan ruang hati yang akan menyebabkan kita bersikap egoistis dan tidak mau
peduli dengan kehadiran sesama? Damai-sejahtera Natal dari Kristus akan
memampukan kita untuk lebih membuka ruang hati kita bagi orang-orang di
sekitar kita, sehingga kita dapat menciptakan ruang kehidupan yang lebih
memberdayakan dan membebaskan. Amin.