Anda di halaman 1dari 36

1

UNIVERSITAS INDONESIA

SISTEM COMPUTER-AIDED DETECTION KELENJAR


GETAH BENING MEDIASTINAL MENGGUNAKAN
METODE 3D CONVOLUTIONAL NEURAL NETWORK

PROPOSAL PENELITIAN S2

EDDY KURNIAWAN
1706081334

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI FISIKA
DEPOK
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Proposal tesis ini diajukan oleh:

Nama Mahasiswa : Eddy Kurniawan


NPM : 1706081334
Program Studi : Magister Ilmu Fisika (Fisika Medis)
Judul Proposal : Sistem Computer-Aided Detection Kelenjar Getah
Bening Mediastinal Menggunakan Metode 3D
Convolutional Neural Network

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji sidang Proposal dan


disetujui untuk dilanjutkan sebagai penelitian tugas akhir S2 Fisika Medis, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

,Pembimbing I : Dr. Prawito Prajitno ( )

Pembimbing II : Prof. Dr. Djarwani S. Soejoko ( )

Penguji : Supriyanto A. Pawiro, Ph.D ( )

Penguji : I Putu Susila, Ph.D ( )

Ditetapkan di : Depok, Maret 2019

i Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................3
1.3 Batasan Masalah ......................................................................................3
1.4 Tujuan Penelitian .....................................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian ...................................................................................4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Kelenjar Getah Bening ............................................................................5
2.2 Citra CT ...................................................................................................8
2.3 Prinsip Dasar CADe Berbasis Citra CT ................................................12
2.4 3D Convolutional Neural Networks (CNN) ..........................................16
2.5 Metode Evaluasi Performa Sistem CADe .............................................18

3 METODOLOGI PENELITIAN 21
3.1 Alat dan Bahan ......................................................................................21
3.2 Metode ...................................................................................................21
3.3 Tempat Penelitian ..................................................................................29
3.4 Jadwal Penelitian ...................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................31

ii Universitas Indonesia
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker paru merupakan jenis kanker yang paling banyak diderita dari segala
jenis kanker. Berdasarkan data dari Global Cancer Statistics (GLOBOCAN) 2018,
kanker paru menjadi kanker yang paling banyak ditemukan (11,6 % dari total kasus)
dan paling banyak menyebabkan kematian (18,4 % dari total kematian akibat
kanker) (Bray dkk., 2018).
Salah satu parameter dalam menentukan stadium kanker paru adalah dengan
mendeteksi dan mengevaluasi adanya metastase pada kelenjar getah bening. Hal
tersebut paling sering dilakukan oleh dokter radiologi dengan mengevaluasi citra
CT daerah dada dari pasien penderita kanker paru (Feuerstein dkk., 2009).
Selama ini, dokter radiologi memeriksa citra CT secara manual untuk
mengetahui ada atau tidaknya metastase pada kelenjar getah bening (KGB). Dokter
akan menilai bagian citra yang diduga merupakan KGB berdasarkan sifat – sifatnya,
seperti ukuran, bentuk, letak, dan lain – lain. Dokter radiologi yang melakukan
pekerjaan tersebut rentan mengalami kekeliruan dikarenakan berbagai faktor,
seperti kelelahan, gangguan, ataupun kurangnya pengalaman. Oleh karena itu, saat
ini berkembang sistem perangkat komputer yang mampu membantu pekerjaan
dokter radiologi tersebut. Sistem yang membantu dokter radiologi dalam proses
diagnosis itu disebut computer-aided diagnosis (CAD) systems (Rafael dkk., 2015).
Sistem CAD dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu computer-aided
detection (CADe) dan computer-aided diagnosis (CADx). Fokus utama sistem
CADe adalah menentukan lokasi / daerah yang di dalamnya mungkin terdapat lesi,
nodul, atau objek lain yang tidak normal kemudian meperingatkan dokter radiologi
untuk memperhatikan daerah tersebut. Sedangkan fokus dari sistem CADx adalah
melakukan karakterisasi dan klasifikasi sehingga dapat mengidentifikasi penyakit
yang meliputi tingkat keparahannya, stadiumnya, serta perkembangan atau
pengurangannya (Rafael dkk., 2015). Adapun sistem untuk mendeteksi KGB
mediastinal secara otomatis tergolong kedalam sistem CADe.

1 Universitas Indonesia
2

Penelitian mengenai sistem CADe untuk mendeteksi KGB mediastinal sampai


saat ini masih berkembang. Feuerstein et al. (2009) pertama kali memulai penelitian
tersebut sekitar 10 tahun yang lalu dan sejak saat itu setiap tahunnya terdapat satu
sampai dua publikasi mengenai sistem CADe KGB mediastinal. Meskipun
demikian, performa sistem terbaik saat ini masih belum begitu memuaskan.
Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, metode terbaik saat ini dalam
penelitian sistem CADe KGB mediastinal adalah metode deteksi berbasis deep
learning yang dilakukan oleh Shin dkk., (2016). Mereka menggunakan deep
convolutional neural networks (CNN) dan transfer learning untuk mendeteksi
KGB mediastinal. Arsitektur CNN yang telah dilatih menggunakan database
ImageNet digunakan untuk mendeteksi KGB mediastinal pada citra CT daerah
thorax. Sistem CADe yang dihasilkan mampu mendeteksi KGB mediastinal dengan
sensitivitas 85% / 3 false positive per pasien.
Performa sistem CADe yang dikembangkan oleh Shin dkk., (2016) sudah cukup
baik namun masih mungkin untuk ditingkatkan. Shin dkk., (2016) menggunakan
sifat 2.5D dari citra CT, yaitu triplanar vew (axial, sagittal, dan coronal view) yang
sesungguhnya bisa dikembangkan menjadi sifat pure 3D. 3D CNN saat ini telah
berkembang dan terbukti menghasilkan beberapa sistem CADe yang memiliki
performa baik, seperti hasil dari penelitian Gu dkk. (2018), Huang dkk. (2017), dan
Pezeshk dkk. (2018) dalam mendeteksi nodul paru.
Konsekuensi penggunaan sifat 3D pada CNN adalah terjadinya peningkatan
jumlah data yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan jumlah parameter yang butuh
dipelajari dalam 3D CNN semakin banyak sehingga jumlah training samples yang
dibutuhkan juga meningkat (Pezeshk dkk., 2018). Hal ini menjadi masalah apabila
objek yang diteliti berupa citra medis karena jumlah data citra medis tidak bisa
begitu banyak mengingat analisa citra medis membutuhkan biaya dan beban kerja
untuk dokter radiologi. Meskipun demikian, training dengan jumlah data yang
sedikit, seperti pada kasus citra medis, tetap bisa dilakukan dengan menggunakan
metode data augmentation dan transfer learning (Yamashita dkk., 2018).

Universitas Indonesia
3

Berdasarkan studi literatur dan analisa masalah yang telah dijelaskan


sebelumnya, metode 3D CNN berpotensi untuk diujikan pada sistem CADe KGB
mediastinal. Hal ini dikarenakan metode tersebut belum pernah diujikan pada
sistem CADe KGB mediastinal namun telah terbukti menghasilkan performa yang
baik di sistem CADe nodul paru. Oleh karena itu, penulis mengajukan usulan
penelitian ini untuk membuat sistem CADe KGB mediastinal menggunakan metode
3D CNN. Harapannya, metode ini dapat meningkatkan performa sistem yang telah
ada atau minimal memperluas metode yang telah diujikan pada sistem tersebut
sehingga memperkaya khasanah pengetahuan pada topik CADe.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah yang hendak diselesaikan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana membuat sistem CADe KGB mediastinal menggunakan metode
3D CNN?
2. Bagaimana performa sistem CADe tersebut?

1.3 Batasan Masalah


Penelitian yang akan dilakukan ini dibatasi oleh beberapa hal, yaitu:
1. KGB yang dideteksi hanya KGB di daerah mediastinal
2. Data citra CT thorax yang digunakan adalah dataset online yang
diperoleh dari www.cancerimagingarchive.net dan data dari Rumah Sakit
Persahabatan.

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah:
1. Membuat sistem CADe KGB mediastinal menggunakan metode 3D CNN
2. Mengevaluasi performa sistem yang telah dibuat

Universitas Indonesia
4

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Terciptanya sistem CADe KGB mediastinal menggunakan metode 3D
CNN
2. Diperoleh informasi mengenai performa sistem CADe KGB mediastinal
menggunakan metode 3D CNN
3. Sistem CADe KGB mediastinal yang dibuat dapat dikembangkan lebih
lanjut untuk penerapan pada praktik klinis jika performanya memuaskan

Universitas Indonesia
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Getah Bening (KGB) Mediastinal


Kelenjar Getah Bening (KGB) Mediastinal adalah KGB yang terletak di
mediastinum. Mediastinum merupakan istilah untuk area diantara paru kiri dan paru
kanan. Gambar 2.1 menunjukkan frontal view dari lokasi – lokasi rongga tubuh
dengan mediastinum ditunjukkan oleh huruf a dan d. Pada mediastinum terdapat
beberapa organ, yaitu jantung, saraf jantung, kelenjar thymus, trachea, esophagus,
dan KGB (Mallick dan Paul, 2018).
Berdasarkan lokasinya, KGB mediastinal dapat dipetakan dalam beberapa zona.
Pemetaan KGB mediastinal yang paling umum digunakan adalah yang berdasarkan
standard dari International Association for the Study of Lung Cancer (IASLC). Peta
sebaran KGB tersebut dikenal dengan istilah station map. Gambar 2.2
menunjukkan station map sesuai standard IASLC.

Gambar 2.1 Frontal view lokasi rongga tubuh. (a) superior mediastinum, (d) inferior
mediastinum (Betts dkk., 2018)

5 Universitas Indonesia
6

Gambar 2.2 IASLC mediastinal lymph node station map (Jiamin Liu dkk., 2016)

KGB berfungsi untuk menyaring racun dan pathogen sebelum racun ataupun
pathogen tersebut menginfeksi bagian lain pada tubuh. KGB dapat membesar
apabila KGB sedang berfungsi atau terinfeksi. Adapun pembesaran KGB
mediastinal disebabkan oleh beberapa penyakit, seperti tuberculosis, kanker
esophageal, dan kanker paru. (Mallick dan Paul, 2018).
Pada umumnya, sel kanker dari paru terperangkap pertama kali di KGB
mediastinal sehingga akan membuat KGB mediastinal membesar. Oleh karena itu,
pembesaran KGB mediastinal digunakan oleh dokter untuk mengetahui apakah
terjadi penyebaran kanker paru atau tidak. Lokasi dan jumlah KGB mediastinal
yang terpengaruh oleh sel kanker paru menjadi salah satu acuan dalam menentukan
stadium kanker paru tersebut (Mallick dan Paul, 2018).
Penentuan stadium kanker paru berdasarkan sistem TNM yang diadopsi oleh
Komite Penanggulangan Kanker Nasional (2017) salah satunya
mempertimbangkan metastase pada KGB. Tingkatan metastase pada KGB sesuai
sistem TNM untuk kanker paru ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Universitas Indonesia
7

Tabel 2.1 Tingkatan metastase pada KGB regional dalam penentuan stadium kanker
paru (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017)

Berdasarkan response evaluation criteria in solid tumors (RECIST) 1.1 criteria,


diameter KGB yang dianggap membesar secara patologis adalah ≥ 10 mm pada
sumbu pendeknya (umumnya dilihat dari potongan axial pada citra CT). Ukuran ini
digunakan oleh dokter radiologi untuk menentukan ada tidaknya metastase sel
kanker pada KGB tersebut. Namun, KGB yang perlu dideteksi oleh dokter radiologi
untuk mengevaluasi hasil penanganan kasus kanker hanyalah yang berukuran ≥ 15
mm. KGB yang diameter sumbu pendeknya < 10 mm dianggap normal dan tidak
perlu dideteksi (Eisenhauer dkk., 2008). Contoh citra CT yang memperlihatkan
KGB mediastinal sesuai dengan station map-nya ditunjukkan pada Gambar 2.3.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2.3 Citra CT axial yang menunjukkan beberapa KGB mediastinal
(Smithuis, 2010)

Universitas Indonesia
8

2.2 Citra CT
Computed Tomography (CT) merupakan salah satu modalitas pencitraan yang
sering digunakan dalam bidang diagnostik dan terapi. Keunggulan CT
dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain, seperti MRI atau PET, yaitu lebih
sensitif, memerlukan waktu yang cepat dalam pegambilan data, lebih murah, dan
lebih mudah diperoleh (G. Zhang dkk., 2018). Oleh karena keunggulannya tersebut,
CT dimanfaatkan untuk berbagai keperluan diagnostik, seperti pemeriksaan daerah
thorax, abdomen, pelvis, cranium, dan lumbal.
Prinsip kerja CT didasari oleh perumusan matematis yang dikembangkan oleh
Radon pada tahun 1971. Radon menyatakan bahwa citra dari objek yang tidak
diketahui dapat diperoleh apabila seseorang memiliki proyeksi tak berhingga dari
objek tersebut (Bushberg dkk., 2002). Saat sinar X dipaparkan pada suatu material
dengan intensitas mula – mula 𝐼0 , maka sinar X tersebut akan mengalami
pelemahan intensitas (atenuasi) sehingga setelah melewati material tersebut
intensitasnya menjadi 𝐼(𝑑), dengan 𝑑 adalah tebal material. Pelemahan yang terjadi
sesuai dengan Hukum Beer pada persamaan (2.1) (Dance dkk., 2014).

𝐼(𝑑) = 𝐼0 𝑒 −𝜇𝑑 (2.1)

𝜇 (𝑚−1 ) adalah koefisien atenuasi linear yang menentukan seberapa besar


pelemahan intensitas sinar X yang terjadi. Nilai 𝜇 bergantung pada komposisi dan
densitas material serta energi foton.

Apabila material yang dilewati oleh sinar X tidak homogen, maka terjadi
distribusi nilai 𝜇 di dalam material tersebut. Sebagai contoh, Gambar 2.4
menunjukkan gambaran ketika suatu sinar X menembus material yang tidak
homogen (heterogen). Pada kasus seperti pada Gambar 3, maka persamaan (1)
berubah menjadi persamaan (2.2) untuk merepresentasikan atenuasi sinar X pada
tiap – tiap nilai 𝜇. Nilai 𝐼0 dan 𝐼𝑑 dapat diukur sehingga apabila proyeksi dilakukan
dari berbagai sudut, maka dapat diperoleh persamaan linear dengan variabel 𝜇𝑖 .
Dengan demikian, persamaan linear tersebut dapat diselesaikan untuk memperoleh
distribusi nilai 𝜇 yang merupakan dasar dari citra CT.
𝑖=4
𝐼(𝑑) = 𝐼0 𝑒 − ∑𝑖=1 𝜇𝑖 ∆𝑥 (2.2)

Universitas Indonesia
9

Gambar 2.4 Skema paparan sinar X pada material heterogen (Dance dkk., 2014)

Metode yang menjadi standard dalam proses rekonstruksi citra CT saat ini
adalah filtered back projection (FBP). Gambar 2.5 menunjukkan skema proses FBP
yang meliputi 5 tahap sebagai berikut (Dance dkk., 2014).
1. profil intensitas sinar X yang melewati material 𝐼(𝑑) dari berbagai sudut
diolah menggunakan transformasi Radon sehingga membentuk citra ruang
Radon atau yang biasa disebut Sinogram.
2. citra ruang Radon kemudian diolah menggunakan transformasi Fourier 1D
untuk memperoleh citra ruang Fourier
3. citra ruang Fourier kemudian difilter menggunakan high pass filter
4. citra ruang Fourier yang telah difilter kemudian ditransformasi Fourier balik
sehingga menjadi citra ruang Radon yang terkoreksi
5. terakhir, dilakukan backprojection (transformasi balik Radon) dari citra
ruang Radon sehingga diperoleh citra tomografi.

Universitas Indonesia
10

Gambar 2.5 Skema proses FBP (Dance dkk., 2014)

FBP yang dilakukan secara suksesif (berulang – ulang secara berurutan) dapat
meningkatkan kualitas citra hasil rekonstruksi. Semakin banyak perulangan yang
dilakukan maka kualtias citra yang dihasilkan semakin baik. Gambar 2.6
menunjukkan efek jumlah perulangan FBP terhadap kualitas citra rekonstruksi.

Gambar 2.6 Citra hasil FBP yang dilakukan secara suksesif. Masing – masing
gambar secara berurutan menunjukkan jumlah perulangan FBP
sebanyak 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 256, dan 1024 kali di berbagai sudut
(Dance dkk., 2014)

Universitas Indonesia
11

Citra CT akhir tidak dinyatakan dalam bentuk matriks distribusi nilai 𝜇, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.3, melainkan ditransformasi menjadi matriks
Hounsfield Units (HU) atau CT number. HU merupakan besaran tak berdimensi
yang digunakan untuk menyatakan nilai 𝜇 suatu material dalam bentuk yang
standard. Nilai 𝜇 air dan udara dalam kondisi standard temperature and pressure
(STP) dijadikan sebagai nilai referensi dalam perhitungan HU, yaitu 𝜇𝑎𝑖𝑟 = 0 dan
𝜇𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 = −1000. Dengan demikian, nilai HU untuk suatu material dapat diperoleh
melalui persamaan (2.3) (Dance dkk., 2014).

𝜇𝑚𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 − 𝜇𝑎𝑖𝑟 (2.3)


HU𝑚𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 = × 1000
𝜇𝑎𝑖𝑟

Nilai HU untuk setiap material (kecuali air dan udara) akan bervariasi
tergantung dari komposisi material, tegangan tabung sinar X, dan temperatur. Hal
ini disebabkan nilai 𝜇 yang juga bervariasi terhadap faktor – faktor tersebut. Oleh
karena itu, setiap material akan memiliki rentang nilai HU seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 2.2 (Dance dkk., 2014).

Tabel 2.2 Nilai HU yang umum dimiliki suatu material beserta rentang nilainya
(Dance dkk., 2014)

Universitas Indonesia
12

2.3 Prinsip Dasar CADe Berbasis Citra CT


Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, prinsip dasar CADe berbasis
citra CT terdiri dari 3 tahap pokok, yaitu akuisisi data, prapengolahan citra, dan
deteksi objek. Namun, pada tahap deteksi objek, metode yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu metode rekayasa sifat dan metode deep
learning. Dengan demikian, pada tahap deteksi objek terdapat dua kategori sistem
CADe, yaitu yang berbasis rekayasa sifat (feature engineering based) dan yang
berbasis deep learning (deep learning based). Alur sistem CADe berbasis citra CT
ditunjukkan pada Gambar 2.7.

2.3.1 Akuisisi data


Tahap pertama yang perlu dilakukan dalam CADe adalah akuisisi data. Tahap
ini merupakan tahap memperoleh citra CT Untuk keperluan praktik klinis, maka
tahap ini dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan sistem CADe dengan
sistem rekam medis elektronik serta sistem pengarsipan dan pengiriman citra.
Dengan demikian, citra CT hasil pemeriksaan pasien dapat dikirimkan ke sistem
CADe untuk kemudian diolah dan dianalisis menggunakan sistem CADe oleh
dokter radiologi (G. Zhang dkk., 2018).
Di sisi lain, untuk keperluan penelitian, maka tahap akuisisi data ini dapat
dilakukan dengan meminta data sekunder yang telah dimiliki oleh rumah sakit
ataupun mengambil data citra CT yang telah tersedia di internet. Pada umumnya,
para peneliti menggunakan sumber data yang sama dari internet untuk
membandingkan kemampuan dari suatu sistem / metode dengan sistem / metode
lainnya.

Gambar 2.7 Alur sistem CADe berbasis citra CT

Universitas Indonesia
13

Saat ini, telah cukup banyak sumber data yang dapat diakses dengan bebas di
internet, misalnya sumber data dari Lung Image Database Consortium (LIDC) yang
menyediakan data citra CT pada pemeriksaan daerah thorax untuk keperluan
penelitian CADe nodul paru.

2.3.2 Prapengolahan citra (image preprocessing)


Setelah citra CT diterima oleh sistem CADe, maka selanjutnya masuk ke tahap
prapengolahan citra. Tahap ini bertujuan untuk meminimalisir atau bahkan
menghilangkan informasi yang tidak diperlukan, seperti noise, artifact, dan
sebagainya. Selain itu, tahap ini juga bertujuan untuk mengembalikan atau
meningkatkan nilai informasi yang diperlukan, seperti melakukan peningkatan
kontras (contrast enhancement) (G. Zhang dkk., 2018). Gambar 2.8 menunjukkan
perbandingan antara citra CT sebelum dan sesudah mengalami tahap prapengolahan
citra.

2.3.3 Deteksi objek


Tahap deteksi objek merupakan tahap kunci pada sistem CADe karena pada
tahap ini sistem CADe melaksanakan peran utamanya, yaitu mendeteksi objek yang
diinginkan, seperti nodul paru, polip kolorektal, dan sebagainya. Sistem CADe pada
tahap ini diharapkan mampu mengenali objek yang hendak dideteksi dari citra CT
yang diberikan. Tahap ini adalah tahap yang panjang, mulai dari menentukan dan
mengekstrak sifat objek, mempelajari sifat objek tersebut, sampai pada tahap
menentukan daerah mana saja yang termasuk sebagai objek (klasifikasi).

(a) (b)
Gambar 2.8 Citra CT lobus paru sebelum dilakukan vessel elimination (a) dan
sesudah dilakukan vessel elimination (b) menggunakan Gaussian
kernel (σ = 1,5) (Jiang dkk., 2018)

Universitas Indonesia
14

Pada tahap deteksi objek, sistem CADe terbagi menjadi dua kategori, yaitu
sistem CADe yang berbasis metode rekayasa sifat (feature engineering based) dan
yang berbasis deep learning (deep learning based) (J. Zhang dkk., 2018). Perbedaan
dari sistem CADe berbasis deep learning dan rekayasa sifat terletak pada proses
pemerolehan sifat yang hendak dijadikan parameter klasifikasi. Pada sistem CADe
berbasis rekayasa sifat, ekstraksi dan pemilihan sifat dilakukan secara manual oleh
user menggunakan berbagai macam metode. Di sisi lain, pada sistem CADe
berbasis deep learning, user menyerahkan kepada komputer itu sendiri dalam
menentukan sifat apa yang akan dipilih dan digunakan dalam proses klasifikasi.

2.3.3.1 Sistem CADe berbasis rekayasa sifat (feature engineering-based)


Sistem CADe berbasis rekayasa sifat menggunakan alur yang secara umum
digambarkan pada Gambar 2.9. Pertama, sistem CADe umumnya perlu melakukan
segmentasi, yaitu proses untuk mengekstrak daerah atau volume yang hendak
diperhatikan (volume of interest). Sebagai contoh, pada deteksi nodul paru perlu
dilakukan segmentasi daerah parenkim paru sedangkan pada deteksi stroke perlu
dilakukan segmentasi jaringan otak saja. Perbandingan citra CT otak sebelum dan
sesudah proses segmentasi ditunjukkan pada Gambar 2.10 (Chin dan Lin, 2017).

Gambar 2.9 Alur deteksi objek pada sistem CADe berbasis rekayasa sifat

Universitas Indonesia
15

(a) (b) (c)


Gambar 2.10 Citra CT otak sebelum dilakukan segmentasi jaringan otak tanpa cairan
Cerebrospinal (a), daerah cairan Cerebrospinal (b), citra CT jaringan
otak setelah proses segmentasi (tanpa cairan Cerebrospinal) (c) (Chin
dan Lin, 2017)
Setelah proses segmentasi, umumnya dilakukan penentuan kandidat objek.
Penentuan kandidat objek merupakan proses menentukan daerah mana saja yang
diduga sebagai objek yang kemudian diikuti dengan proses segmentasi kembali
pada daerah tersebut. Contoh proses penentuan kandidat objek pada kasus CADe
polip kolorektal ditunjukkan pada Gambar 2.11 (Tulum dkk., 2017).

Langkah terakhir adalah proses pengurangan false positive. Langkah ini


merupakan langkah yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu feature extraction,
feature selection, dan klasifikasi. Maksud dari proses ini adalah untuk
mengeliminasi kandidat objek yang sebenarnya bukan objek yang hendak dideteksi.
Secara umum, sifat (feature) yang digunakan dalam tahap ini dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu intensitas, bentuk, dan tekstur. Selanjutnya dilakukan klasifikasi
berdasarkan sifat – sifat tersebut untuk menentukan mana saja yang merupakan
objek yang hendak dideteksi dari sekian banyak kandidat objek. Klasifikasi
dilakukan saat ini umumnya menggunakan teknik machine learning, seperti support
vector machine (SVM), boosting, decision tree, dan sebagainya (J. Zhang dkk.,
2018).

(a) (b)
Gambar 2.11 Citra CT yang memuat beberapa daerah usus besar. Dinding usus
besar ditunjukkan dengan garis merah dan kandidat polip ditunjukkan
dengan lingkaran hijau (a). Segmentasi kandidat polip untuk
kemudian dianalisa lebih lanjut (b) (Tulum dkk., 2017)

Universitas Indonesia
16

2.3.3.2 Sistem CADe berbasis deep learning (deep learning-based)


Sistem CADe berbasis deep learning sampai saat ini masih belum dapat dibuat
alur kerjanya secara umum dalam tahap deteksi objek. Hal ini dikarenakan setiap
peneliti yang menggunakan deep learning dalam deteksi objek membuat modelnya
masing – masing sehingga tidak dapat dibuat kerangka secara umum untuk metode
ini (J. Zhang dkk., 2018). Setiap peneliti mengembangkan alur atau modelnya
sendiri dalam menggunakan metode ini sesuai dengan masalah yang ingin
dipecahkan. Bahkan, bisa saja metode deep learning ini dipadukan dengan metode
rekayasa sifat untuk meningkatkan kemampuan sistem CADe.

2.4 3D Convolutional Neural Networks (CNN)


CNN merupakan sebuah kelas di dalam Artificial Neural Networks yang saat
ini populer digunakan untuk berbagai keperluan computer vision, termasuk analisa
citra medis seperti radiologi. CNN mulai populer sejak metode tersebut
memberikan hasil yang memuaskan dalam kompetisi pengenalan objek berjudul the
ImageNet Large Scale Visual Recognition Competition (ILSVRC) pada tahun 2012
(Yamashita dkk., 2018). Beberapa pemanfaatan terkini yang menggunakan CNN
dalam deteksi objek pada citra medis adalah untuk mendeteksi nodul paru (Jacob,
2016), KGB (Shin dkk., 2016), stroke (Chin dan Lin, 2017), batu ginjal (Martin
dkk., 2018), dan lesi spinal (Chmelik dkk., 2018).
Skema prinsip kerja CNN digambarkan pada Gambar 2.12. CNN terdiri dari
tiga lapis proses, yaitu: lapisan convolution, pooling, dan fully connected (FC).
Lapisan convolution dan pooling berperan untuk mengestrak sifat dari citra yang
dibaca sedangkan lapisan FC memetakan sifat yang telah diekstrak untuk menjadi
output, seperti hasil klasifikasi objek. Hasil dari output kemudian dievaluasi
menggunakan loss function untuk memperoleh loss value yang digunakan untuk
mengupdate parameter (kernels dan weights). Proses optimisasi parameter ini
disebut training. Setelah proses training dianggap selesai, maka telah terbentuk
hierarki klasifikasi dalam CNN yang diharapkan mampu melakukan klasifikasi
citra yang baru (test data) secara akurat (Yamashita dkk., 2018).

Universitas Indonesia
17

Gambar 2.12 Skema prinsip kerja CNN (Yamashita dkk., 2018)

Skema CNN yang ditunjukkan pada Gambar 2.12 berlaku baik untuk 2D CNN
maupun 3D CNN (Yamashita dkk., 2018). 3D CNN adalah perkembangan dari 2D
CNN yang menggunakan 3D kernels untuk menganalisa citra volumetrik, seperti
citra CT dan MRI (Pezeshk dkk., 2018). Pada 3D CNN, citra input, lapisan
convolution, dan pooling yang digunakan juga dalam 3D. Salah satu contoh skema
3D CNN ditunjukkan pada Gambar 2.13.
Saat ini 3D CNN telah diaplikasikan dalam sistem CADe, khususnya CADe
nodul paru. Huang dkk. (2017) menggunakan 3D CNN serta teknik data
augmentation dan regularization untuk mendeteksi nodul paru pada citra CT.
Kedua teknik tersebut digunakan untuk memperoleh training samples yang banyak
dan menghindari overfitting. Kandidat nodul dideteksi menggunakan local
geometric-model sehingga dihasilkan 3D cubes yang kemudian diinput kepada deep
3D CNN. Performa sistem CADe dari penelitian ini merupakan state-of-the-art dari
sistem CADe nodul paru saat itu yang mencapai sensitivitas 90% / 5 FP per scan.

Gambar 2.13 Contoh skema 3D CNN (Huang dkk., 2017)

Universitas Indonesia
18

Tabel 2.3 Performa sistem CADe nodul paru Dai dkk. (2018)

Dai dkk. (2018) untuk pertama kalinya menggunakan 3D CNN untuk


mendeteksi nodul paru dengan berbagai ukuran nodul. Mereka menggunakan kubik
berukuran 64 × 64 × 64 pixel yang mengandung minimal satu nodul sebagai positive
samples sedangkan kubik yang diambil dari lokasi sembarang sebagai negative
samples. Baik training samples maupun validation samples dilabel dengan
koordinat nodul 3D disertai diameternya. Mereka mendapat hasil seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 2.3.

Pezeshk dkk. (2018) juga menggunakan 3D CNN untuk mendeteksi nodul paru
dari dataset LIDC. Mereka mengagas dua tahap deteksi nodul paru, yaitu (1)
penentuan kandidat nodul menggunakan 3D fully convolutional networks (FCN)
kemudian (2) klasifikasi nodul paru menggunakan 3D CNN. Strategi yang mereka
terapkan agar tahap kedua “belajar” dengan sudut pandang berbeda dari tahap
pertama adalah 3D CNN tahap kedua dilatih menggunakan false positive patches
yang diperoleh dari tahap pertama namun dengan threshold dan jenis augmentasi
data yang berbeda. Berdasarkan metode tersebut, sistem CADe dari hasil penelitian
ini memiliki sensitiitas 91% / 2FP per scan.

2.5 Metode Evaluasi Performa Sistem CADe


Setiap sistem CADe yang telah dibuat perlu dievaluasi performanya untuk
mengetahui potensi sitem tersebut untuk diterapkan pada praktik klinis. Saat ini
belum ada metode standard tertentu untuk mengevaluasi performa sistem CADe
sehingga banyak variasi dalam proses evaluasi tersebut (Petrick dkk., 2013).
Beberapa parameter yang umumnya digunakan dalam mengevaluasi performa
sistem CADe ditunjukkan pada Tabel 2.4 (Gonçalves dkk., 2014).

Universitas Indonesia
19

Tabel 2.4 Parameter utama dalam proses evaluasi performa sistem CADe
(Gonçalves dkk., 2014)

Dengan: TP = true positive, FP = false positive ,


TN = true negative, FN = false negative

Metode lain yang digunakan dalam mengevaluasi performa sistem CADe


adalah dengan menggunakan grafik Receiver Operating Characteristics (ROC) dan
Free-Response Receiver Operating Characteristics (FROC). Grafik ROC
merepresentasikan sensitifitas sebagai fungsi fraksi FP (FFP = 1 – spesifisitas).
Sedangkan, grafik FROC merepresentasikan sensitiftas sebagai fungsi dari rerata
FP per citra atau rerata FP per pasien (Gonçalves dkk., 2014). Gambar 2.14
menunjukkan contoh grafik ROC dan FROC dalam sistem CADe.
Sistem CADe yang baik umumnya memiliki nilai sensitivitas yang tinggi pada
rerata FP yang rendah. Jika menggunakan grafik ROC sebagai metode evaluasi,
maka parameter yang umumnya digunakan adalah area under the curve (AUC) dari
grafik ROC. Nilai AUC yang semakin mendekati 1 menyatakan performa sistem
yang semakin baik. Adapun beberapa peneliti menyatakan penggunaan AUC dari
grafik ROC lebih tepat untuk daripada menggunakan sensitivitas atau spesifisitas.
Namun, untuk dapat menghasilkan AUC yang semakin baik dibutuhkan
peningkatan jumlah data serta menambah kerumitan dan biaya dari penelitian
tersebut (Summers, 2012).

Universitas Indonesia
20

(a) (b)
Gambar 2.14 Contoh grafik ROC (Miyake dkk., 2013) (a) dan FROC (Jianfei Liu
dkk., 2015) (b)

Universitas Indonesia
21

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


Penelitian kali ini menggunakan citra CT thorax sebagai bahan penelitian. Citra
CT thorax diperoleh dari dua sumber, yaitu dataset online
(www.cancerimagingarchive.net) dan RS Persahabatan. Dataset online berisi citra
CT thorax 90 pasien yang totalnya terdapat 388 KGB mediastinal. Data dari RS
Persahabatan direncanakan untuk diambil sesuai jadwal pada Tabel 3.1. Alat yang
digunakan terdiri dari hardware dan software. Hardware yang digunakan berupa 1
unit komputer desktop dengan processor Intel Core i7, RAM 4 GB (DDR4), HDD
1 TB, dan OS Windows 10. Software yang digunakan adalah MatLab R2018a
(disertai Deep Learning ToolboxTM, Computer Vision System ToolboxTM, dan
Statistic and Machine Learning ToolboxTM).

3.2 Metode
Metode deteksi KGB mediastinal yang akan digunakan dalam penelitian ini
mengadopsi metode yang digunakan oleh Pezeshk dkk., (2018) untuk mendeteksi
nodul paru. Metode tersebut dianggap cukup sesuai untuk mendeteksi KGB
mediastinal mengingat nodul paru juga berada di daerah thorax dan sampai saat ini
metode tersebut adalah metode yang paling baik dalam 3D CNN pada topik CADe.
Adapun metode deteksi KGB mediastinal yang akan dilakukan dibagi menjadi dua
tahap, yaitu tahap 1: screening dan tahap 2: pengurangan false positive

3.2.1 Tahap 1: screening


Tujuan dari tahap screening ini adalah untuk meminimalisir daerah pencarian
dan menentukan kandidat nodul yang perlu dianalisa lebih lanjut. Training pada
tahap ini menggunakan 3D patches yang diekstrak dari citra CT. Training samples
dalam proses ini dibedakan menjadi dua, yaitu positive samples dan negative
samples. Positive samples diambil dari 3D volume of interest (VOI) yang berpusat
pada tiap KGB mediastinal sedangkan negative samples diambil dari 3D VOI di
sembarang lokasi pada citra CT namun tidak beririsan dengan VOI positive
samples. KGB mediastinal yang dimaksud dalam positive samples adalah KGB

Universitas Indonesia
21
22

mediastinal yang telah ditentukan oleh dokter radiologi. Ukuran VOI positive
samples maupun negative sample dibuat sama, yaitu 64 × 64 ×16 voxel. Hounsfield
Unit (HU) setiap voxel pada positive dan negative samples kemudian dinormalisasi
menggunakan persamaan (3.1) (Pezeshk dkk., 2018).


𝑉𝑖,𝑗,𝑧 − 𝑚𝑖𝑛
𝑉𝑖,𝑗,𝑧 = (3.1)
𝑚𝑎𝑥 − 𝑚𝑖𝑛

Dengan 𝑖, 𝑗, 𝑧 adalah koordinat voxel dalam sebuah patch (sample), 𝑚𝑎𝑥 dan 𝑚𝑖𝑛
adalah nilai HU maksimum dan minimum dari citra CT dimana patch tersebut
diekstrak.
Langkah selanjutnya adalah melakukan data augmentation untuk menambah
jumlah positive samples. Setiap positive samples diolah kembali kedalam dua
kelompok. Kelompok pertama adalah kombinasi dari positive samples yang dibalik
(flipped) dengan samples yang dirotasi (90˚, 180˚, dan 270 ˚) sehingga diperoleh 8
artificial positive samples yang baru. Kelompok kedua adalah kombinasi dari
positive samples yang diolah dengan in-plane rotation, shear transform, dan size
scaling. Proses pengolahan ini dilakukan pada setiap slice 2D yang menyusun
sample 3D tersebut sehingga dihasilkan transformasi secara 3D. In-plane rotation
diatur pada sudut antara 15˚ s.d 345˚, horizontal shear transform diatur pada nilai
antara -0,2 s.d 0,2, dan size scaling diatur pada nilai antara 0,75 s.d 1.25. Kelompok
kedua ini akan menghasilkan 20 artificial positive samples yang baru sehingga dari
proses data augmentation ini diperoleh 28 artificial positive samples yang baru
untuk setiap positive samples yang asli.
Setelah diperoleh positive dan negative samples yang cukup, dilakukan proses
training pada arsitektur 3D CNN. Arsitektur 3D CNN yang direncanakan dalam
penelitian ini terdiri dari tiga lapisan konvolusi dan dua lapisan max-pooling
berselang-seling kemudian diikuti dengan dua lapisan fully connected dan diakhiri
dengan lapisan fully connected softmax. Input samples diberikan perlakuan zero
padding untuk mempertahankan sifat tepi. Skema arsitektur 3D CNN yang hendak
digunakan beserta ukuran kernel dan lapisan max pooling-nya ditunjukkan pada
Gambar 3.1. Skema tersebut diadopsi dari Pezeshk dkk. (2018) dengan sedikit
perubahan pada ukuran sample dan kernel.

Universitas Indonesia
23

Gambar 3.1 Skema arsitektur 3D CNN tahap screening (Pezeshk dkk., 2018)

Ukuran sample diperkirakan dari ukuran KGB mediastinal yang hendak


dideteksi. Sistem CADe yang hendak dibuat diharapkan mampu mendeteksi KGB
mediastinal dengan diameter minimal 10 mm sehingga minimal ukuran sample
adalah (10 × 10 × 10) mm3. Voxel spacing pada citra CT yang telah diperoleh senilai
0,85 mm untuk bidang XY dan 1 mm sepanjang sumbu Z sehingga ukuran minimal
sample yang digunakan sekitar (12 × 12 × 10) voxel. Dengan demikian, ukuran
sample yang digunakan pada penelitian ini direncanakan sebesar (24 × 24 × 20)
voxel. Ukuran sample dibuat dua kali lebih besar dari ukuran minimalnya agar dapat
memuat seluruh citra KGB mediastinal yang telah membesar.
Ukuran 3D kernel berdasarkan rule of thumb umumnya 3 × 3 × 3 sedalam
sample-nya. Misalnya sample berupa citra RGB, maka 3D kernel yang sama harus
berukuran 3 × 3 × 3 sebanyak 3 buah karena RGB memiliki 3 kedalaman, yaitu
Red, Green, dan Blue channels. Citra CT yang digunakan dalam penelitian ini
adalah citra grayscale sehingga hanya memiliki 1 kedalaman. Oleh karena itu,
ukuran 3D kernel yang rencananya akan digunakan adalah 3 × 3 × 3 sebanyak 1
buah namun dengan 32 variasi bobot sehingga akan dihasilkan 32 activation map.
Lalu sample diberi tambahan nilai nol di tepinya (zero padding) sebanyak 1 elemen
dan pergereseran kernel tiap kali pembobotan (stride) adalah 1 voxel. Berdasarkan
pengaturan demikian, ukuran data output dari lapisan konvolusi akan sama dengan
ukuran data input-nya.
Nilai bobot dalam 3D kernel akan diinisialisasi dari distribusi acak (randomized
initialization) yang umumnya memiliki rerata nol dan dapat diatur nilai variansinya.
Terdapat dua algoritma inisialisasi bobot yang terkenal dan mungkin akan

Universitas Indonesia
24

digunakan dalam penelitian ini, yaitu Glorot / Xavier Uniform Initializer dan He
Normal Initializer. Kedua algoritma tersebut menginisialisasi nilai variansi setiap
lapisan sedemikian rupa sehingga setiap neuron menghasilkan distribusi output
yang sama.
Fungsi aktivasi yang akan digunakan setelah proses konvolusi adalah Rectified
Linear Unit (ReLU). ReLU merupakan fungsi aktivasi yang umum digunakan pada
CNN karena fungsi aktivasi tersebut mengatasi permasalahan vanishing gradient
yang sering terjadi pada fungsi aktivasi lainnya. Fungsi aktivasi ReLU hanya berupa
operasi matematis yang membuat nol nilai negatif dan mempertahankan nilai
positif. Secara matematis fungsi aktivasi ReLU dinyatakan sebagai berikut.

(3.1)

Jenis lapisan pooling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah max
pooling. Ukuran operasi 3D max pooling (MP) yang akan digunakan adalah seperti
ukuran 3D MP pada umumnya, yaitu 2 × 2 × 2. Stride pada lapisan MP bernilai 2
agar tidak terjadi overlapping pada operasi MP. Berdasarkan pengaturan demikian,
ukuran data output dari lapisan MP akan menjadi setengah kali dari ukuran data
input-nya.
Skema training yang akan digunakan untuk meng-update nilai bobot kernel
adalah Stochastic Gradient Descent (SGD). SGD merupakan skema yang umum
digunakan dalam proses training CNN. Proses training menggunakan skema SGD
lebih cepat dibandingkan skema batch karena pada skema SGD nilai bobot kernel
di-update setiap satu data training selesai dievaluasi. Adapun perhitungan update
bobot pada kernel menggunakan algoritma back-propagation yang diilustrasikan
seperti pada Gambar 3.2. Algoritma backpropagation adalah sebagai berikut (Kim,
2017).
1. inisialisasi nilai bobot
2. masukkan nilai input dari training data {input, correct output (𝑑)} dan
hitung nilai output (𝑦)

Universitas Indonesia
25

Gambar 3.2 Ilustrasi algoritma backpropagation (Kim, 2017)

3. hitung nilai error (e) dari output terhadap correct output dan hitung nilai
delta (δ)
𝑒 =𝑑−𝑦 (3.2)
𝛿 = 𝜑 ′ (𝜈)𝑒 (3.3)
𝜑 ′ (𝜈) adalah turunan pertama dari fungsi aktivasi 𝜑 pada nilai 𝜈
𝜈 adalah jumlahan hasil pembobotan dari input
4. rambatkan nilai 𝛿 dari lapisan output secara backward dengan cara
menghitung nilai 𝛿 pada lapisan – lapisan sebelumnya (𝛿 (𝑘) )
𝑒 (𝑘) = 𝑊 𝑇 𝛿 (3.4)
𝛿 (𝑘) = 𝜑 ′ (𝜈 (𝑘) )𝑒 (𝑘) (3.5)
Indeks (𝑘) menyatakan besaran pada lapisan ke – 𝑘 secara backward
𝑊 𝑇 adalah transpose dari matriks bobot
5. ulangi langkah ke-4 hingga mencapai lapisan terakhir sebelum lapisan input
6. atur nilai bobot menggunakan delta rule
Δ𝑤𝑖𝑗 = 𝛼𝛿𝑖 𝑥𝑗 (3.6)
𝑤𝑖𝑗 = 𝑤𝑖𝑗 + Δ𝑤𝑖𝑗 (3.7)
𝛼 adalah learning rate (0 < 𝛼 ≤ 1)
𝑤𝑖𝑗 adalah bobot antara node ke-i pada lapisan input dan node ke-j pada
lapisan output
𝑥𝑗 adalah output dari node ke-j pada lapisan input
Δ𝑤𝑖𝑗 adalah nilai update bobot
7. ulangi langkah 2 s.d. 6 untuk setiap training data
8. ulangi langkah 2 s.d. 7 sampai error dianggap sudah cukup kecil untuk
training data

Universitas Indonesia
26

Setelah dilakukan training pada arsitektur 3D CNN tahap screening, 3D CNN


tersebut dapat digunakan untuk membaca seluruh citra CT. Akan tetapi ukuran
input patch 3D CNN harus sama dengan saat training, yaitu lebih kecil dari ukuran
citra CT secara keseluruhan, sehingga pembacaan citra CT dapat dilakukan dengan
metode sliding window. Namun, metode tersebut tidak efisien bahkan untuk 2D
CNN sehingga ketika metode tersebut diterapkan pada 3D CNN maka akan
membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, merujuk pada metode yang
digunakan oleh Pezeshk dkk. (2018), 3D CNN yang telah di-training tersebut perlu
diubah menjadi fully convolutional networks (FCN) yang ukuran input patch-nya
dapat dibuat lebih besar dari saat training. Hal ini akan membuat proses komputasi
lebih efisien sehingga pembacaan citra CT secara keseluruhan menjadi lebih cepat.
3D CNN dapat diubah menjadi FCN dengan cara mengubah deretan bobot yang
digunakan pada lapisan FC menjadi berbentuk volume yang ukurannya sama
dengan input pada lapisan FC tersebut. Volume bobot tersebut berperan sebagai
kernel sehingga lapisan FC kini menjadi lapisan konvolusi. Bobot yang digunakan
hanya diubah bentuknya (bukan nilainya) sehingga arsitektur FCN yang dihasilkan
tidak memerlukan training kembali dan akan menghasilkan output yang sama
seperti arsitektur 3D CNN aslinya.

3.2.2 Tahap 2: pengurangan false positive


Setelah dilakukan screening untuk menentukan kandidat KGB mediastinal,
dilakukan tahap berikutnya, yaitu pengurangan false positive. Pada tahap ini, score
(probabilitas) dari kandidat KGB mediastinal yang telah diperoleh diolah kembali
menggunakan metode 3D non-maximum suppression. Langkah ini dilakukan untuk
mengurangi kelompok voxel berdekatan yang memiliki probabilitas hampir sama
menjadi satu voxel yang memiliki probabilitas tertinggi saja. Score map yang
diperoleh dari proses ini kemudian dapat dibatasi pada nilai - nilai tertentu untuk
memperoleh hard negative samples (patch yang bukan KGB mediastinal namun
memiliki probabilitas cukup tinggi).
Hard negative samples bersama dengan positive samples kemudian diolah
menggunakan data augmentation yang serupa pada tahap screening untuk
menambah keragamannya dan djadikan training samples tahap kedua untuk

Universitas Indonesia
27

arstitektur 3D CNN yang sama. Variasi threshold dari hard negative samples dan
variasi jenis negative samples dilakukan untuk membentuk negative training
samples yang berbeda. Negative training samples dibedakan menjadi empat
kelompok, yaitu yang terdiri dari 50% random negative dan 50% hard negative
dengan hard negative threshold 0,9 (kelompok 1) dan 0,98 (kelompok 2).
Kemudian negative training samples yang hanya terdiri dari hard negative dengan
hard negative threshold 0,9 (kelompok 3) dan 0,98 (kelompok 4) sehingga
dihasilkan empat kelompok 3D CNN (ensemble). Score dari kandidat KGB
mediastinal yang dihasilkan oleh ensemble 3D CNN kemudian dirata-rata untuk
dihasilkan score akhir.
Pada proses training baik pada tahap screening maupun pengurangan false
positive dilakukan evaluasi score yang dihasilkan oleh sistem baik untuk positive
maupun negative samples menggunakan metode cross-validation. Langkah
melakukan cross-validation adalah sebagai berikut (Kim, 2017).
1. bagi training data menjadi training set dan validation set. Berdasarkan rule
of thumb porsi training set terhadap validation set adalah 8:2. Skema
pembagian data pada proses cross validation ditunjukkan pada Gambar 3.3
2. lakukan proses training menggunakan training set (misalnya, menggunakan
algoritma backpropagation) yang dipilih secara acak untuk setiap proses
training
3. Evaluasi performa dari model yang telah dibuat menggunakan validation set
(yang juga dipilih secara acak)
a. jika model tersebut telah memberikan performa yang memuaskan, maka
proses validasi dan training telah selesai
b. jika model tersebut belum memberikan performa yang memuaskan,
maka modifikasi model tersebut dan ulangi kembali dari langkah 2.

Gambar 3.3 Skema pembagian data pada proses cross validation (Kim, 2017)

Universitas Indonesia
28

Adapun diagram alir metode penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.4

Gambar 3.4 Diagram alir penelitian

Universitas Indonesia
29

3.3 Tempat Penelitian


Seluruh proses penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 3.1 dilakukan di
Ruang Laboratorium Telekomunikasi, Departemen Fisika, Universitas Indonesia.

3.4 Jadwal Penelitian


Jadwal penelitian yang hendak dilakukan ditunjukkan pada tabel 3.1.

Universitas Indonesia
30

Universitas Indonesia
Tabel 3.1 Jadwal penelitian
30

Universitas Indonesia
31

DAFTAR PUSTAKA

Betts, J. G., College, T. J., DeSaix, P., Johnson, J. E., Korol, O., Kruse, D. H.,
Poe, B., Wilse, J. A., dan Young, A. (2018): 1.6 Anatomical Terminology,
Anatomy and Physiology, OpenStax College.
Bray, F., Ferlay, J., dan Soerjomataram, I. (2018): Global Cancer Statistics 2018 :
GLOBOCAN Estimates of Incidence and Mortality Worldwide for 36
Cancers in 185 Countries, Ca Cancer J Clin, 1–31.
https://doi.org/10.3322/caac.21492
Bushberg, J. T., Seibert, J. A., Leidholdt Jr., E. M., dan Boone, J. M. (2002): The
Essential Physics of Medical Imaging, Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins.
Chin, C., dan Lin, B. (2017): An Automated Early Ischemic Stroke Detection
System using CNN Deep Learning Algorithm, IEEE 8th International
Conference on Awareness Science and Technology (iCAST), 368–372.
Chmelik, J., Jakubicek, R., Walek, P., Jan, J., Ourednicek, P., Lambert, L.,
Amadori, E., dan Gavelli, G. (2018): Deep convolutional neural network-
based segmentation and classification of difficult to define metastatic spinal
lesions in 3D CT data, Medical Image Analysis, 49, 76–88.
https://doi.org/10.1016/j.media.2018.07.008
Dai, C., Xiao, B., Chen, Y., Du, Y., Liang, Y., Zhao, K., dan Yan, L. (2018):
Automated Detection of Lung Nodules in CT Images with 3D Convolutional
Neural Networks, Proceedings of IC-NIDC, 55–59.
Dance, D. R., Christofides, S., Maidment, A. D. A., Mclean, I. D., dan Ng, K. H.
(2014): Diagnostic Radiology Physics: A Handbook for Teachers and
Students, Vienna, International Atomic Energy Agency.
Eisenhauer, E. A., Therasse, P., Bogaerts, J., Schwartz, L. H., Sargent, D., Ford,
R., Dancey, J., Arbuck, S., Gwyther, S., Mooney, M., Rubinstein, L.,
Shankar, L., dan Dodd, L. (2008): New response evaluation criteria in solid
tumours : Revised RECIST guideline ( version 1 . 1 ), European Journal of
Cancer, 45(2), 228–247. https://doi.org/10.1016/j.ejca.2008.10.026
Feuerstein, M., Deguchi, D., Kitasaka, T., dan Iwano, S. (2009): Automatic
Mediastinal Lymph Node Detection in Chest CT, Proc. of SPIE, 7260, 1–11.
https://doi.org/10.1117/12.811101
Gonçalves, V. M., Delamaro, M. E., dan Lourdes dos Santos Nunes, F. De (2014):
A systematic review on the evaluation and characteristics of computer- aided
diagnosis systems, Rev. Bras. Eng. Bioméd., 30(4), 355–383.
Gu, Y., Lu, X., Yang, L., Zhang, B., Yu, D., Zhao, Y., Gao, L., Wu, L., Zhou, T.,
Lu, X., Yang, L., Zhang, B., Yu, D., Zhao, Y., Gao, L., Wu, L., dan Zhou, T.
(2018): Automatic lung nodule detection using a 3D deep convolutional
neural network combined with a multi-scale prediction strategy in chest CTs,
Computer in Biology and Medicine.
https://doi.org/10.1016/j.compbiomed.2018.10.011

Universitas Indonesia
32

Huang, X., Shan, J., dan Vaidya, V. (2017): Lung Nodule Detection in CT Using
3D Convolutional Neural Networks, IEEE, 379–383.
Jacob, C. (2016): Lung Nodule Detection in CT Images using Deep Convolutional
Neural Networks, International Joint Conference on Neural Networks
(IJCNN), 243–250. https://doi.org/10.1109/IJCNN.2016.7727205
Jiang, H., Qian, W., Gao, M., dan Li, Y. (2018): An Automatic Detection System
of Lung Nodule Based on Multigroup Patch-Based Deep, IEEE Journal of
Biomedical and Health Informatics, 22(4), 1227–1237.
https://doi.org/10.1109/JBHI.2017.2725903
Kim, P. (2017): MATLAB Deep Learning: With Machine Learning, Neural
Networks and Artificial Intelligence, Seoul, Apress.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional (2017): Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Kanker Paru, Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Liu, J., Hoffman, J., Zhao, J., Yao, J., Lu, L., Kim, L., Turkbey, E. B., dan
Summers, R. M. (2016): Mediastinal lymph node detection and station
mapping on chest CT using spatial priors and random forest, Med. Phys.,
43(7), 4362–4374.
Liu, J., Wang, S., George, M., Yao, J., dan Summers, R. M. (2015): Computer-
aided detection of exophytic renal lesions on non-contrast CT images,
Medical Image Analysis, 19, 15–29.
https://doi.org/10.1016/j.media.2014.07.005
Mallick, I., dan Paul, D. (2018): Mediastinal Lymph Nodes in the Chest, diperoleh
melalui situs internet: www.verywellhealth.com/mediastinal-lymph-nodes-
2252159.
Martin, L., Jendeberg, J., Thunberg, P., Lout, A., dan Lid, M. (2018): Computer
aided detection of ureteral stones in thin slice computed tomography volumes
using Convolutional Neural Networks, 97(April), 153–160.
https://doi.org/10.1016/j.compbiomed.2018.04.021
Miyake, M., Iinuma, G., Taylor, S. A., dan Halligan, S. (2013): Comparative
performance of a primary-reader and second-reader paradigm of computer-
aided detection for CT colonography in a low-prevalence screening
population, Jpn J Radiol, 31, 310–319. https://doi.org/10.1007/s11604-013-
0187-7
Petrick, N., Sahiner, B., Iii, S. G. A., Bert, A., Correale, L., Delsanto, S.,
Freedman, M. T., Fryd, D., Gur, D., Morra, L., Paquerault, S., Samuelson, F.,
Summers, R. M., dan Zheng, B. (2013): Evaluation of computer-aided
detection and diagnosis systems, Med. Phys., 40(8), 1–17.
https://doi.org/10.1118/1.4816310
Pezeshk, A., Hamidian, S., Petrick, N., dan Sahiner, B. (2018): 3D convolutional
neural networks for automatic detection of pulmonary nodules in chest CT,
IEEE Journal of Biomedical and Health Informatics.
https://doi.org/10.1109/JBHI.2018.2879449
Rafael, I., Valente, S., César, P., Cavalcanti, E., Marques, J., Hugo, V.,

Universitas Indonesia
33

Albuquerque, C. De, Manuel, J., dan Tavares, R. S. (2015): Automatic 3D


pulmonary nodule detection in CT images : A survey, Computer Methods
and Programs in Biomedicine, 124, 91–107.
https://doi.org/10.1016/j.cmpb.2015.10.006
Shin, H., Roth, H. R., Gao, M., Lu, L., Member, S., Xu, Z., Nogues, I., Yao, J.,
Mollura, D., dan Summers, R. M. (2016): Deep Convolutional Neural
Networks for Computer-Aided Detection : CNN Architectures , Dataset
Characteristics and Transfer Learning, IEEE Transactions on Medical
Imaging. https://doi.org/10.1109/TMI.2016.2528162
Smithuis, R. (2010): Mediastinum - Lymph Node Map, diperoleh melalui situs
internet: www.radiologyassistant.nl.
Summers, R. M. (2012): Guest Editorial Evaluation of Computer-aided Detection
Devices : Consensus Is Developing, Academic Radiology, 19(4), 377–379.
https://doi.org/10.1016/j.acra.2012.01.010
Tulum, G., Bolat, B., dan Osman, O. (2017): A CAD of fully automated colonic
polyp detection for contrasted and non-contrasted CT scans, Int J CARS, 12,
627–644. https://doi.org/10.1007/s11548-017-1521-9
Yamashita, R., Nishio, M., Kinh, R., Do, G., dan Togashi, K. (2018):
Convolutional neural networks : an overview and application in radiology,
Insights into Imaging, 9, 611–629.
Zhang, G., Jiang, S., Yang, Z., Gong, L., Ma, X., Zhou, Z., dan Bao, C. (2018):
Automatic nodule detection for lung cancer in CT images : A review,
Computers in Biology and Medicine, 103, 287–300.
https://doi.org/10.1016/j.compbiomed.2018.10.033
Zhang, J., Xia, Y., Cui, H., dan Zhang, Y. (2018): Pulmonary nodule detection in
medical images : A survey, Biomedical Signal Processing and Control, 43,
138–147. https://doi.org/10.1016/j.bspc.2018.01.011

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai