TESIS
NOOR DIANI
NPM
1006833911
TESIS
NOOR DIANI
NPM
1006833911
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 11 Januari 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Pengetahuan dan
Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan”.
Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti banyak mendapat bimbingan dan dukungan
dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Agung Waluyo, SKp, MSc, PhD selaku Pembimbing I yang telah memberikan
masukan dan arahan selama penyusunan tesis.
2. Lestari Sukmarini, S.Kp., MNS selaku pembimbing II yang telah memberikan
masukan dan arahan selama penyusunan tesis.
3. Riri Maria, SKp., MANP, selaku penguji I pada sidang ujian proposal dan sidang
ujian hasil yang telah banyak memberikan masukan dan arahan selama
penyusunan tesis.
4. Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
5. Astuti Yuni Nursasi, MN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
6. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia .
7. Rekan-rekan mahasiswa khususnya Program Magister Keperawatan Medikal
Bedah yang telah saling mendukung dan membantu selama proses pendidikan.
8. Suamiku tercinta H. Muhammad Fakhruddin Noor dan putra-putri ku Muhammad
Haikal Ash-Shiddiqiy, Nabiila Aufaa ‘Aziizah dan Muhammad Hafidz Ghazi Al
Fath tercinta yang senantiasa memberikan semangat, do’a dan kasih sayangnya
kepada peneliti serta kesediaannya mengikuti pendidikan di Universitas
Indonesia.
9. Ibunda Hj. Gusti Masriyah, atas segala do’a dan motivasinya selama ini, Ayahnda
H. Soehaimi (Alm) yang selalu menginspirasi untuk terus meningkatkan
pendidikan.
10. Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyusunan tesis ini.
Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat
balasan yang lebih baik dari Allah SWT.
Selanjutnya peneliti sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan
tesis ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan
keperawatan
Peneliti
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini :
Nama : Noor Diani
NPM 1006833911
Program Studi : Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Tesis
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 11 Januari 2013
Yang menyatakan
Noor Diani
ABSTRAK
Upaya pencegahan primer pada pengelolaan kaki diabetik bertujuan untuk mencegah
luka kaki secara dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
pengetahuan dan praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di
Kalimantan Selatan. Penelitian ini merupakan penelitan descriptive correlational
dengan desain cross sectional dan jumlah sampel sebanyak 106 orang. Hasil analisis
Chi Square menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan
praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 (p=0,040). Faktor
pengetahuan memiliki peluang 2,38 kali untuk melakukan praktik perawatan kaki.
Direkomendasikan untuk perlunya dikembangkan pendidikan kesehatan tentang
perawatan kaki dan pemeriksaan kaki.
Kata Kunci:
Pengetahuan perawatan kaki, praktik perawatan kaki, diabetes melitus tipe 2.
ABSTRACT
Keywords:
Knowledge of foot care, foot care practices, diabetes mellitus type 2.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKSI KARYA ILMIAH ............................ vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
ABSTRACT ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR SKEMA ............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
Halaman
Halaman
Tabel : 5.4 Hubungan Usia dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan Bulan
Desember Tahun 2012 (n=106) ......................................... 60
Diabetes melitus adalah masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia karena
prevalensi yang meningkat cepat (Lewis et al., 2011). Menurut laporan Center for
Disease Control and Prevention/ CDC (2008) jumlah klien diabetes melitus tipe 1
kurang lebih 5-10% sedangkan diabetes melitus tipe 2 mencapai 90 – 95% dan
banyak dialami oleh orang dewasa tua lebih dari 40 tahun serta lebih sering terjadi
pada individu obesitas (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010; Suyono, 2009).
Diabetes melitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut banyak
perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya dibandingkan dengan penyakit kronis
lainnya, karena penyakit diabetes melitus tidak dapat diobati namun hanya dapat
dikelola. Tujuan terapi pada tiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa normal
tanpa terjadi hipoglikemia serta memelihara kualitas hidup yang baik. Untuk
mencapai tujuan terapeutik tersebut ada lima komponen yang harus diperhatikan dan
diikuti pasien dalam penatalaksanaan umum diabetes, yaitu diet, latihan, pemantauan
kadar glukosa darah, terapi serta pendidikan (Smeltzer et al., 2010).
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Kemenkes RI (2011) dan PD
Persi (2011), memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) dalam Kemenkes RI (2011) dan
PD Persi (2011), memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus dari
7 juta tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan
angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah
penyandang diabetes sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Kemenkes RI, 2011;
PD Persi, 2011).
Menurut Diabetes Care (2004) dalam Kemenkes RI (2011) dan PD Persi (2011)
Indonesia menduduki rangking ke 4 (empat) dunia setelah Amerika Serikat, China,
dan India dalam prevalensi diabetes. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
Indonesia (2003) dalam Kemenkes RI (2011) dan PD Persi (2011), diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan
prevalensi diabetes sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2% pada daerah rural,
maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes
di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola
pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk di Indonesia yang berusia diatas 20 tahun dengan asumsi prevalensi
diabetes pada daerah urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12
juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.
Dari hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukan bahwa prevalensi diabetes melitus di
daerah urban Indonesia untuk usia 15 tahun sebesar 5,7% (1,5% terdiri dari pasien
diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya, sedangkan 4,2% baru diketahui
diabetes saat penelitian). Sementara itu, menurut Propinsi diperoleh prevalensi
diabetes melitus tertinggi terdapat di Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-
masing 11,1%) sedangkan prevalensi diabetes melitus terendah di Papua (1,7%).
Prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu tertinggi di Papua Barat (21,8%),
sedangkan terendah di Jambi (4%). Sementara itu angka kematian akibat diabetes
melitus terbanyak pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan sebesar
14,7%, sedangkan di daerah pedesaan sebesar 5,8% (Kemenkes RI, 2011).
Diabetes melitus dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan dengan gejala yang sangat bervariasi. Jika dibiarkan tidak dikelola
dengan baik dapat menimbulkan berbagai komplikasi baik akut maupun kronik
(Waspadji, 2009). Salah satu komplikasi umum dari diabetes melitus adalah masalah
kaki diabetes. Kaki diabetes yang tidak dirawat dengan baik akan mudah mengalami
luka, dan cepat berkembang menjadi ulkus kaki (Monalisa & Gultom, 2009). Sekitar
15% klien diabetes melitus dalam perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi
ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Cahyono, 2007).
Masalah kaki diabetik yang rumit dengan berbagai pengobatan yang sering memakan
waktu, dan biaya yang besar, memberi dorongan bagi kita bahwa semua usaha harus
dilakukan untuk mencegah terjadinya kaki diabetik. Orang yang mengidap penyakit
diabetes melitus lebih tinggi risikonya mengalami masalah kaki karena berkurangnya
sensasi rasa nyeri setempat (neuropati) sehingga membuat klien tidak menyadari dan
sering mengabaikan luka yang terjadi. Sirkulasi darah pada tungkai yang menurun
dan kerusakan endotel pembuluh darah berperan terhadap timbulnya kaki diabetik
dengan menurunnya jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit maupun
jaringan lain, sehingga menyebabkan luka tidak sembuh-sembuh. Berkurangnya daya
tahan tubuh yang terjadi pada klien diabetes melitus juga lebih rentan terhadap
infeksi. Kuman pada luka akan berkembang cepat ke seluruh tubuh melalui aliran
darah yang bisa berakibat fatal, yang disebut sepsis (kondisi gawat darurat) (Monalisa
& Gultom, 2009).
Selain itu diketahui bahwa salah satu faktor resiko timbulnya ulkus pada kaki klien
diabetes adalah perilaku maladaptif yaitu kurang patuh dalam melakukan pencegahan
luka, pemeriksaan kaki, memelihara kebersihan, kurang melaksanakan pengobatan,
aktivitas yang tidak sesuai, serta kelebihan beban pada kaki (Lypsky et al., 2004).
Upaya pencegahan primer pada pengelolaan kaki diabetik yang bertujuan untuk
mencegah luka kaki secara dini penting sekali untuk menghindari kerusakan lebih
lanjut dan tidak timbul ulkus yang dapat mengakibatkan tindakan amputasi. Infeksi
atau luka kecil harus ditangani dengan serius. Sepatu yang tidak pas harus cepat
diganti karena bisa menimbulkan luka (Monalisa & Gultom, 2009).
Upaya pencegahan meliputi mengontrol keadaan kadar gula darah dengan diet dan
atau pemberian obat yang teratur dari dokter, ditambah dengan perawatan kaki yang
baik, yaitu dengan cara memeriksa kaki setiap hari terutama telapak kaki, jari kaki,
sela jari kaki, merawat kuku, perawatan kulit kaki, sepatu yang dipakai harus sesuai
dengan bentuk dan besarnya kaki, dan senam kaki diabetik. Klien diabetes melitus
harus menyadari bahwa kegiatan perawatan kaki merupakan bagian dari kebiasaan
hidup sehari-hari (Monalisa & Gultom, 2009).
Usaha untuk menjaga agar gula darah tetap mendekati normal dan mencegah
terjadinya ulkus, tergantung motivasi serta pengetahuan klien mengenali penyakitnya.
Pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perilaku yang akan diambilnya, karena
dengan pengetahuan tersebut penderita memiliki alasan dan landasan untuk
menentukan suatu pilihan. Dengan pengetahuan manusia dapat mengembangkan apa
yang diketahui dan dapat mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup, sehingga akan
mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Terbentuk suatu perilaku baru terutama
pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif dalam arti subyek tahu terlebih
dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek diluarnya, sehingga
menimbulkan pengetahuan baru dan akan terbentuk dalam sikap maupun tindakan
(Notoatmodjo, 2010).
Klien diabetes melitus harus mengetahui cara mencegah timbulnya ulkus pada kaki
sehingga kejadian ulkus dan amputasi dapat dihindarkan. Klien diabetes melitus harus
rajin merawat dan memeriksa kaki untuk menghindari terjadinya kaki diabetik dan
kecacatan yang mungkin akan muncul. Peningkatan pengetahuan klien diabetes
melitus mengenai cara mencegah kaki diabetik juga dapat meningkatkan kualitas
hidup klien diabetes sehingga klien dapat menikmati hidup seperti orang normal pada
umumnya yang tidak menderita diabetes melitus, serta klien tidak perlu
mengeluarkan uang secara berlebihan untuk pengobatan yang sebenarnya tidak
diperlukan (Monalisa & Gultom, 2009).
Menurut penelitian Hasnain dan Sheikh (2009) tentang pengetahuan dan praktek
perawatan kaki pada klien diabetes didapatkan hasil sekitar sepertiga dari klien
diabetes memiliki pengetahuan kurang tentang perawatan kaki dan sedikit klien
memiliki praktik yang baik untuk perawatan kaki. Penelitian Jinadasa dan Jeewantha
(2011) tentang pengetahuan dan praktek perawatan kaki pada klien dengan ulkus
diabetes kronis dengan sampel 110 didapatkan hasil yang signifikan antara
pengetahuan perawatan kaki dan praktek perawatan kaki. Ini menunjukkan bahwa
pengetahuan yang cukup pada penyakit kaki diabetik, namun praktek pencegahan
perawatan kaki masih rendah. Penelitian menurut Hoong (2011) tingkat pengetahuan
klien dari aspek asupan gizi, cara pemantauan gula darah, perawatan kaki,
komplikasi, gejala klinis dan pengontrolan penyakit diabetes melitus jumlah sampel
sebesar 75 orang didapatkan sebagian besar tingkat pengetahuan klien terhadap
penyakit diabetes melitus masih kurang. Penelitian Desalu et al. (2011) menunjukkan
adanya kesenjangan pengetahuan dan praktik perawatan kaki pada klien diabetes
melitus sehingga perlu adanya program pendidikan untuk mengurangi komplikasi
kaki diabetik.
Berdasarkan data Riskesdas 2007 dalam Depkes (2008) prevalensi penyakit diabetes
melitus di Kalimantan Selatan sebesar 0,6% yg terdiagnosa dan 1,0% terdiagnosa
atau dengan gejala. Adapun prevalensi toleransi glukosa terganggu di Kalimantan
Selatan sebesar 14,7% berada di atas prevalensi nasional sebesar 10,2%. Berdasarkan
pengamatan penulis pada tanggal 15 Agustus 2012 didapatkan jumlah kasus diabetes
melitus di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2011 sebesar 1.296 orang pasien rawat
jalan dan diperingkat kedua dari 10 penyakit terbanyak setelah hipertensi, sedangkan
dirawat inap berjumlah 162 orang. Adapun klien dengan kaki diabetik tahun 2010
sebesar 1.129 orang dan tahun 2011 sebesar 1.466 orang (Profil RSUD Ulin
Banjarmasin, 2011).
Perawatan kesehatan diri merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Ini
berarti bahwa tanggung jawab untuk kesehatan dan kesejahteraan dengan dukungan
dari orang-orang yang terlibat. Perawatan kesehatan diri termasuk hal yang kita
lakukan setiap hari untuk tetap fit, menjaga kesehatan fisik dan mental yang baik,
mencegah penyakit atau kecelakaan, dan efektif menangani penyakit ringan dan efek
jangka panjang karena diabetes tipe 2 adalah suatu kondisi jangka panjang serta tetap
produktif dimasyarakat (Basuki, 2009).
Perilaku klien merawat kesehatan dirinya atau mengatur dirinya, dimana klien aktif
memonitor dan merespon terhadap perubahan lingkungan dan kondisi biologis
dengan cara menyesuaikan terhadap berbagai aspek perawatan untuk memelihara
keadekuatan metabolisme dan mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi.
Perilaku perawatan kesehatan diri meliputi pemantauan glukosa darah atau urin di
rumah, penyesuaian diet, pemberian pengobatan (insulin atau obat hipoglikemik
oral), keteraturan aktivitas fisik, perawatan kaki, keteraturan kunjungan berobat, serta
perilaku lainnya tergantung pada jenis diabetes (WHO, 2003).
Perawatan kesehatan diri terdiri dari empat aspek yakni memantau glukosa darah,
diet, pengobatan dan latihan. Hal ini diketahui bahwa faktor-faktor yang beragam
mempengaruhi perawatan kesehatan diri seperti pengetahuan, keterampilan fisik dan
aspek emosional dan self-efficacy (Sigurdardottir, 2005). Menurut Boulton (2005)
dalam Shiu dan Wong (2011) penyediaan layanan perawatan diabetes yang tepat
untuk mencegah terjadinya dan kekambuhan penyakit kaki diabetik sebagian
bergantung pada kesadaran dan pengetahuan profesional perawatan kesehatan
mengenai perawatan kaki diabetik. Berdasarkan penelitian Shiu dan Wong (2011)
bahwa pengetahuan perawat dengan pelatihan sebelumnya tentang perawatan kaki
diabetik lebih tinggi daripada mereka yang tidak dilakukan pelatihan, hasil ini
menunjukkan bahwa pelatihan lebih berdampak pada perkembangan pengetahuan dan
pengalaman kerja. Menurut penelitian Soemardini, Nurudin dan Debora (2008)
tentang perbedaan dan perbandingan penyuluhan perawatan kaki dengan dan tanpa
demonstrasi terhadap tingkat pemahaman menunjukkan bahwa penyuluhan perawatan
kaki lebih baik apalagi ditambah dengan demonstrasi. Penelitian Ekore, Ajayi, Arije
dan Ekore (2010) menunjukkan bahwa kesadaran untuk melakukan perawatan kaki
pada klien diabetes melitus sangat kurang dan kurangnya pendidikan atau penyuluhan
dari penyedia layanan kesehatan.
Kurangnya pengetahuan dan praktik pada klien diabetes melitus tentang perawatan
kaki sangat memprihatinkan dan jumlah klien diabetes melitus di Indonesia semakin
meningkat akan berpengaruh terhadap terjadinya komplikasi akut dan kronis.
Kurangnya pengetahuan dan praktik pada klien diabetes tentang perawatan kaki dan
mengikuti program terapi akan menyebabkan kadar glukosa darah klien diabetes
melitus tidak terkendali, dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Banyaknya
masalah-masalah yang dihadapi klien diabetes melitus khususnya tentang perawatan
kaki dapat dicegah dan diminimalkan jika klien melakukan peningkatan pengetahuan
dan praktik perawatan kaki yang tepat. Klien diabetes melitus harus menyadari
bahwa kegiatan perawatan kaki merupakan bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari.
2.1.2 Klasifikasi
Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, diabetes kehamilan dan diabetes tipe lain yang berhubungan
dengan keadaan atau sindrom lainnya (Smeltzer et al., 2010)
Tabel 2.1. Karakteristik dan Implikasi Klinis Diabetes Melitus Tipe 1 dan Tipe 2
Karakteristik Klinis dan Implikasi Klinis
Tipe 1 Terjadinya cepat sebab tidak ada insulin yang diproduksi.
Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda (< 30
tahun).
Biasanya bertubuh kurus pada saat didiagnosis, dengan penurunan
yang baru saja terjadi.
Etiologi mencakup faktor genetik, imunologi atau lingkungan
(misalnya virus).
Sering memiliki antibodi sel pulau Langerhans.
Sering memiliki antibodi terhadap insulin sekalipun belum pernah
mendapatkan terapi insulin.
Sedikit atau tidak mempunyai insulin endogen.
Memerlukan insulin untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Cenderung mengalami ketosis jika tidak memiliki insulin.
Komplikasi akut hiperglikemia : ketoasidosis diabetik.
2.1.3 Patofisiologi
Pada diabetes tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Insulin yang dikeluarkan oleh
sel beta dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya
glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisme
menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada atau bila insulin itu kerjanya tidak baik seperti
dalam keadaan resistensi insulin maka glukosa tak dapat masuk sel dengan akibat
glukosa akan tetap berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam
darah meningkat (Suyono, 2009).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali glukosa yang tersaring keluar, glukosa yang berlebihan diekskresikan ke
dalam elektrolit yang dinamakan diuresis osmotik. Kehilangan cairan yang berlebihan
akan mengalami peningkatan berkemih (poliuri) dan rasa haus (polidipsi). Defisiensi
insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Klien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia)
akibat menurunnya simpanan kalori dan gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan (Smeltzer et al., 2010).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus tipe 2 berhubungan dengan defisiensi relatif
insulin yang berakibat klien tidak dapat mempertahankan kadar glukosa darah
normal. Apabila hiperglikemia melebihi ambang ginjal (± 180 mg/dl), maka timbul
tanda dan gejala glukosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik. Akibat
diuresis osmotik akan pengeluaran urin (poliuri), timbul rasa haus yang menyebabkan
banyak minum (polidipsi). Klien juga mengalami poliphagi akibat dari kondisi
metabolik yang diinduksi oleh adanya defesiensi insulin serta pemecahan lemak dan
protein. Gejala-gejala lain yaitu kelemahan, kelelahan, perubahan penglihatan yang
mendadak, perasaan gatal atau kekebasan pada tangan atau kaki, kulit kering, adanya
lesi luka yang penyembuhannya lambat dan infeksi berulang (Smeltzer et al., 2010);
Waspadji, 2009).
a. Nutrisi (diet)
Penekanan tujuan terapi gizi pada diabetes tipe 2 pada pengendalian glukosa, lipid
dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diet hipokalori (pada klien yang gemuk)
biasanya memperbaiki kadar glikemik jangka pendek dan mempunyai potensi
meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang. Diet dengan kalori sangat rendah,
pada umumnya tidak efektif untuk mencapai penurunan berat badan jangka lama,
dalam hal ini perlu ditekankan bahwa tujuan diet adalah pengendalian glukosa dan
lipid. Perencanan makan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup dan
disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh (Waspadji, 2009).
Konsistensi mengikuti perencanaan makan merupakan salah satu aspek yang sangat
menantang. Oleh karena itu untuk membantu klien mengikuti kebiasaan diet yang
baru ke dalam gaya hidupnya, pendidikan diet, terapi perilaku, dukungan kelompok,
dan konseling nutrisi yang berkelajutan adalah dianjurkan (Smeltzer et al., 2010).
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut
karbohidrat 45-60%, protein 10-20%, lemak 20-25%. Jumlah kalori disesuaikan
dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, 2009).
b. Latihan
Pada diabetes melitus tipe 2, latihan fisik berguna untuk pengaturan kadar glukosa
darah dan menurunkan berat badan serta lemak tubuh. Pada saat latihan resistensi
insulin berkurang, sebaliknya sensitivitas insulin meningkat, hal ini menyebabkan
kebutuhan insulin pada diabetisi tipe 2 akan berkurang. Respon ini hanya terjadi
setiap kali latihan, tidak merupakan efek yang menetap atau berlangsung lama, oleh
karena itu latihan harus dilakukan terus menerus dan teratur.
Melakukan kegiatan fisik seperti pekerjaan mengepel, mencuci mobil, berjalan kaki
ke tempat kerja secara teratur selama 3-5 kali seminggu dengan waktu 30 menit setiap
kalinya dapat memperbaiki sensitifitas insulin dan kendali glukosa darah. Sebaiknya
monitor kadar gula darah sebelum, selama, sesudah olahraga untuk menentukan
kebutuhan insulin dan asupan makanan. Bila berolahraga ringan, tidak perlu
mengatur insulin, cukup snack kecil sebelum olahraga pada gula darah < 80 mg/dl.
Pada olahraga lama, snack dimakan setiap ½-1 jam. Pada olahraga berat, dosis perlu
diturunkan untuk mencegah hipoglikemi serta minum banyak cairan untuk mencegah
dehidrasi (Ilyas, 2009).
Klien diabetes melitus harus diajarkan untuk selalu melakukan latihan setiap harinya.
Latihan yang dilakukan setiap hari secara teratur lebih dianjurkan daripada latihan
sporadik. Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes, karena efeknya
dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskular.
Manfaat latihan yaitu menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin, memperbaiki
sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan
kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida. Semua
manfaat ini penting bagi penyandang diabetes mengingat adanya peningkatan rasio
untuk terkena penyakit kardiovaskular pada diabetes (Smeltzer et al., 2010).
c. Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan kadar glukosa darah sendiri atau Self-Monitoring Blood Glucose
(SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan mencegah hiperglikemia atau
hipoglikemia, serta berperan dalam memelihara normalisasi glukosa darah, pada
akhirnya akan mengurangi komplikasi diabetik jangka panjang. Pemeriksaan ini
sangat dianjurkan bagi klien dengan penyakit diabetes yang tidak stabil, kecendungan
untuk mengalami ketosis berat atau hiperglikemia, serta hipoglikemia tanpa gejala
ringan. Kaitannya dengan pemberian insulin, dosis insulin yang diperlukan klien
ditentukan oleh kadar glukosa darah yang akurat. SMBG telah menjadi dasar dalam
memberikan terapi insulin (Smeltzer et al., 2010).
d. Terapi Farmakologi
Tujuan terapi insulin adalah menjaga kadar gula darah normal atau mendekati
normal. Pada diabetes melitus tipe 2 akan membutuhkan insulin apabila terapi jenis
lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah dan keadaan stress
berat seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut atau
stroke (Soegondo, 2009).
Beberapa jenis insulin yaitu jenis short-acting misalnya regular (“R”) dimana awitan
kerja human insulin reguler adalah ½ - 1 jam, puncaknya 2 – 3 jam, durasi kerjanya 4
– 6 jam. Indikasi biasanya diberikan 20 – 30 menit sebelum makan, dapat diberikan
sendiri atau bersama dengan insulin long-acting. Jenis intermediate-acting, misalnya
NPH, lente (“L”) awitannya 3 – 4 jam, puncaknya 4 – 12 jam, durasi 16 – 20 jam,
biasanya diberikan sesudah makan. Jenis long-acting misalnya ultralente (“UL”),
awitan 6 – 8 jam, puncaknya 12 – 16 jam, durasi 20 – 30 jam, digunakan terutama
untuk mengendalikan kadar glukosa darah puasa (Smeltzer et al., 2010).
Pada diabetes tipe 2, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk
mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak
berhasil mengontrolnya. Pada klien diabetes melitus tipe 2 kadang membutuhkan
insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan
atau beberapa kejadian stress lainnya (Smeltzer et al., 2010).
Menurut Shiel Jr. (2012) Tipe insulin terdiri dari Aksi cepat (rapid acting), aksi
pendek (short acting), aksi menengah (intermediate acting), aksi lama (long-acting)
dan campuran (Pre-mixed). Pembagiannya dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Macam-Macam Insulin dan Cara Kerja dalam Tubuh
Obat oral antidiabetik mungkin berkhasiat bagi klien yang tidak dapat diatasi hanya
dengan diet dan latihan, tetapi obat ini tidak dapat digunakan pada kehamilan. Di
Amerika serikat, obat antidiabetik oral mencakup golongan sulfonilurea dan biguanid.
Golongan sulfonilurea (asetoheksamid, chlorpropamid) bekerja terutama dengan
merangsang langsung pankreas untuk mengsekresi insulin, dengan demikian pankreas
yang masih berfungsi merupakan syarat utama agar obat ini bekerja efektif. Golongan
sulfonilurea tidak dapat digunakan pada diabetes tipe 1, obat ini memperbaiki kerja
insulin pada tingkat selular dan dapat langsung menurunkan produksi glukosa oleh
hati. Sedangkan golongan biguanid seperti metformin (glocophage), menimbulkan
efek antidiabetik dengan memfasilitasi kerja insulin pada tempat reseptor perifer, oleh
karena itu obat ini hanya digunakan jika masih terdapat insulin (Smeltzer et al.,
2010).
e. Pendidikan
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan
yang khusus seumur hidup. Karena terapi nutrisi, aktifitas fisik, dan stress fisik serta
emosional dapat memperngaruhi pengendalian diabetes, maka klien harus belajar
untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor. Klien tidak hanya belajar
keterampilan untuk merawat diri sendiri guna menghindari fluktuasi kadar glukosa
darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya
hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. Klien harus mengerti
mengenai nutrisi, manfaat dan efek samping terapi, latihan, perkembangan penyakit,
strategi pencegahan, teknik pengontrolan gula darah, dan penyesuaian terhadap terapi
(Smeltzer et al., 2010).
2.1.6 Komplikasi
Hiperglikemia yang terjadi berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi
mikrovaskuler kronis seperti nefropati, retinopati, dan neuropati. Diabetes melitus
juga mengakibatkan peningkatan komplikasi penyakit makrovaskuler seperti infark
miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer (Smeltzer et al., 2010).
Black dan Hawks (2009), membagi komplikasi diabetes melitus menjadi 2 (dua)
kelompok, yaitu komplikasi akut dan kronis.
a. Komplikasi akut terdiri atas hiperglikemia, ketoasidosis diabetikum, sindrom
hiperglikemik hiperosmolar nonketotik dan hipoglikemik. Hiperglikemia dan
ketoasidosis diabetikum kondisi ini disebabkan oleh tidak adanya insulin atau insulin
yang tersedia dalam darah tidak cukup untuk metabolisme karbohidrat, keadaan ini
mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Ada tiga
gejala klinis yang terlihat pada ketoasidosis yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan
asidosis. Sindrom hiperglikemik hiperosmolar nonketotik yakni kondisi dimana klien
mengalami hiperosmolaritas dan hiperglikemia disertai perubahan tingkat kesadaran.
Yang membedakan sindrom ini dengan ketoasidosis ialah tidak terdapatnya gejala
ketosis dan asidosis. Gambaran klinis kondisi ini biasanya terdiri atas hipotensi,
dehidrasi berat, takikardi dan tanda-tanda defisit neurologis yang bervariasi
(perubahan sensori, kejang dan hemiparesis). Sedangkan hipoglikemik terjadi kalau
kadar glukosa darah kurang dari 50-60 mg/dl, yang dapat diakibatkan oleh pemberian
insulin atau obat diabetes oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu
sedikit atau karena aktifitas fisik yang berat.
2.2 Pengetahuan
2.2.1 Pengertian
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tau yang terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia,
yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Dengan sendirinya
pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan tersebut
sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian
besar pengetahuan diperoleh dari indra pengihatan/ mata dan indra pendengaran/
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo,
2011).
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang lebih
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Appication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan
kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
b. Pengalaman.
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh
dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam
bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan professional
serta pengalaman belajar selama bekerja, dapat mengembangkan kemampuan
mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara
ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerja.
c. Usia
Undang-Undang Depkes RI No. 4 Tahun 1965 dalam Nugroho (1992) menjelaskan
bahwa “seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai
umur 55 tahun keatas, tidak mampu mencari nafkah sendiri dan memenuhi kebutuhan
hidup sendiri dan juga memberi nafkah”. Kemudian dalam UU RI No. 13 Tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia dijelaskan bahwa “lanjut usia adalah seseorang yang
telah mencapai usia 60 tahun ke atas”. Sedangkan WHO memberikan batasan lansia
dalam tiga kategori, yaitu : middle/ young elderly usia antara 45-49 tahun, elderly usia
antara 60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun, dan very old usia diatas 90 tahun.
Bertambahnya usia seseorang maka akan semakin banyak informasi yang dijumpai
dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya. Daya
pikir seseorang akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada
beberapa kemampuan yang lain misalnya kosa kata dan pengetahuan umum.
c. Lingkungan.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik,
biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini
terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai
pengetahuan oleh setiap individu.
2.3 Praktik Perawatan Kaki
2.3.1 Pengertian
Praktik atau tindakan adalah wujud dari sikap yang nyata. Untuk mewujudkan sikap
menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap positif terhadap nilai-nilai
kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan merupakan komponen penting dari perawatan kaki. Pemeriksaan kaki tiap
hari adalah langkah pertama untuk menemukan masalah cedera awal untuk
mendapatkan perawatan kaki yang tepat. Kaki harus dilihat setiap hari setelah mandi
atau mandi dan sebelum mengenakan sepatu dan kaos kaki. Gunakan cermin dan
letakkan di lantai untuk melihat kaki. Pemeriksaan kaki harus dilakukan dalam
pencahayaan yang baik. Meskipun sebagian besar orang dengan diabetes tahu bahwa
mereka harus memeriksa kaki mereka setiap hari, akan tetapi banyak yang tidak tahu
bagaimana melakukan ini dengan benar atau apa yang mereka evaluasi (Heitzman,
2010).
Permasalahan kaki merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian pada
orang dengan diabetes melitus. Masalah kaki juga merupakan masalah yang umum
pada klien dengan diabetes melitus dan hal ini menjadi cukup berat akibat adanya
ulkus serta infeksi, bahkan akhirnya dapat menyebabkan amputasi. Terjadinya ulkus
diantaranya adalah akibat ketidakpatuhan dalam melakukan tindakan pencegahan,
pemeriksaan kaki, serta kebersihan, kurang melaksanakan pengobatan medis,
aktivitas klien yang tidak sesuai, kelebihan berat badan, penggunaan alas kaki yang
tidak sesuai, kurangnya pendidikan klien, pengontrolan glukosa darah dan perawatan
kaki.
2.3.2 Tingkatan Praktik atau Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2011), tingkatan praktik atau tindakan terdiri dari
a. Persepsi (Perception)
Praktik tingkat pertama adalah persepsi yaitu mengenal dan memilih berbagai objek
atau sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
c. Mekanisme (Mechanism)
Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu
sudah merupakan kebiasaan.
d. Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Tindakan atau keterampilan itu sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
c. Pendidikan
Inti dari kegiatan pendidikan adalah proses belajar mengajar. Hasil dari proses belajar
mengajar adalah seperangkat perubahan perilaku. Dengan demikian pendidikan
sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku seseorang. Seseorang yang
berpendidikan tinggi akan berbeda perilakunya dengan orang yang berpendidikan
rendah. Seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti berpengetahuan rendah.
Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi
juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang
sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua
aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap dan tindakan seseorang terhadap
obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan
menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut. Penelitian Hasnain dan
Sheikh (2009) peran pendidikan menunjukkan hubungan statistik yang signifikan
dengan pengetahuan dan praktek tentang perawatan kaki. Menurut Desalu et al.
(2011) klien yang memiliki pendidikan rendah secara signifikan memiliki
pengetahuan yang rendah tentang perawatan kaki. Pengetahuan tentang perawatan
kaki yang tepat secara positif dipengaruhi oleh pendidikan klien sehingga dapat
mengurangi resiko terjadinya komplikasi pada kaki. Bijoy et al. (2012) dalam
penelitiannya juga mengatakan bahwa pendidikan secara statistik menunjukkan
hubungan yang signifikan dengan pengetahuan klien tentang perawatan kaki.
d. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan faktor penentu penting dari kesehatan. Jenis pekerjaan
seseorang dan kondisi kerja yang dilakukan akan mempengaruhi kesehatan seseorang
(Marmot, 2010). Penelitian Soemardini et al. (2008) tentang penyuluhan perawatan
kaki terhadap tingkat pemahaman penderita diabetes melitus mengatakan bahwa
faktor pekerjaan tidak ada hubungan yang signifikan dengan pemahaman penderita
diabetes melitus. Klien diabetes melitus yang bekerja menggunakan sepatu sangat
beresiko terjadi ulkus kaki apabila tidak memperhatikan bentuk dan jenis sepatu yang
digunakan. Menghindari penggunaan sepatu pada bagian jari kakinya yang sempit,
sepatu hak tinggi, sol keras, dan tali antara jari kaki. Sepatu harus nyaman, sepatu
harus sesuai dengan bentuk kaki dan terbuat dari bahan yang lembut.
f. Penghasilan
Menurut Desalu et al. (2011) status sosial ekonomi rendah secara signifikan memiliki
pengetahuan yang rendah tentang perawatan kaki. Penelitian Bijoy et al. (2012) peran
penghasilan menunjukkan hubungan statistik yang signifikan dengan pengetahuan
tentang perawatan kaki.
g. Penyuluhan Perawatan Kaki
Penyuluhan diperlukan bagi klien diabetes melitus tipe 2 karena penyakit diabetes
melitus tipe 2 berhubungan dengan perilaku seseorang untuk berubah. Penyuluhan
yang diberikan kepada klien adalah program edukasi diabetes melitus tentang
perawatan kaki yang merupakan pendidikan dan pelatihan tentang pengetahuan dan
praktik bagi klien diabetes. Penyuluhan bertujuan untuk menunjang perubahan
perilaku, meningkatkan pemahaman klien akan perawatan kaki yang diperlukan
untuk mencapai keadaan sehat yang optimal dan penyesuaian keadaan psikologis.
Edukasi diabetes yang dilakukan secara adekuat akan meningkatkan kemampuan
klien diabetes melitus tipe 2 untuk melakukan perawatan kesehatan diri secara
konsisten sehingga akan tercapai pengontrolan kadar glukosa darah secara optimal
dan komplikasi diabetes melitus dapat diminimalkan (Basuki, 2009). Penelitian Ekore
et al. (2010) menunjukkan bahwa kesadaran untuk melakukan perawatan kaki pada
klien diabetes melitus sangat kurang dan kurangnya pendidikan atau penyuluhan dari
penyedia layanan kesehatan.
c. Pencegahan Tersier (pencegahan agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun
sudah terjadi penyulit).
Pencegahan tersier, upaya yang dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya
kecacatan kalau penyulit sudah terjadi seperti amputasi tungkai bawah. Pengelolaan
konservatif dengan medikamentosa, debridemen, mengatasi infeksi.
Pedoman dasar untuk perawatan kaki dan pemilihan alas kaki yang dikembangkan
oleh National Institutes of Health dan American Diabetes Association untuk
mencegah terjadi cedera (Heitzman, 2010), yaitu :
a. Kaki Bersih, Kering, dan Lembut.
Mencuci kaki dan antara jari-jari kaki dengan air hangat (tidak panas) dan sabun dan
dikeringkan dengan kain lembut. Lotion dapat digunakan pada atas atau bawah kaki
dan bukan antara jari-jari kaki. Bedak antara jari-jari kaki untuk menjaga kulit tetap
kering.
b. Perawatan Kulit.
Klien diabetes melitus harus menggunakan alas kaki, baik di dalam ruangan atau di
luar ruangan. Mengenakan pakaian hangat, pada musim dingin menggunakan kaos
kaki katun untuk melindungi kulit dari cuaca dingin dan basah. Kaos kaki tidak
memiliki lubang atau bersambung, memiliki jahitan tebal, atau memiliki band elastis
yang menyebabkan cedera pada kulit. Kaos kaki harus diganti setiap hari untuk
mencegah kelembaban dari keringat yang bisa menyebabkan iritasi kulit.
c. Perawatan Kuku.
Kuku harus dipotong lurus untuk menghindari lesi pada kuku. Klien yang mengalami
kesulitan melihat kaki mereka, mencapai jari-jari kaki mereka, atau memiliki kuku
kaki menebal harus dibantu oleh orang lain atau perawat kesehatan untuk memotong
kuku kaki. Menghilangkan kalus untuk mengurangi tekanan di bawah tulang dan
dapat membantu membebaskan beban tekanan setempat untuk mengurangi
kemungkinan pembentukan ulkus.
d. Sepatu.
Waktu yang tepat klien membeli sepatu yakni sore hari ketika kaki membesar. Kaki
harus diukur setiap membeli sepatu baru karena struktur berubah. Kedua bagian
sepatu kiri dan kanan, harus dicoba sebelum membeli. Hindari penggunaan sepatu
yang pada bagian jari kakinya yang sempit, sepatu hak tinggi, sol keras, dan tali
antara jari kaki. Sepatu harus nyaman, sepatu harus sesuai dengan bentuk kaki dan
terbuat dari bahan yang lembut dengan tempat tumit kaku, bantalan dan fleksibilitas
pada bola kaki, kotak jari kaki yang mendalam dan luas, dan dukungan lengkungan
yang baik. Sepatu harus diperiksa setiap hari untuk melihat adanya benda asing, dan
daerah kasar. Mengubah sepatu beberapa kali sehari untuk memvariasikan tekanan
pada kaki. Tekanan sepatu yang terlalu ketat atau terlalu longgar dapat menyebabkan
iritasi mekanis. Sepatu harus disimpan pada udara kering pada malam hari untuk
mencegah penumpukan air, yang dapat menyebabkan iritasi kulit lebih lanjut.
Secara umum status kesehatan sangat dipengaruhi oleh perilaku, menurut Blum
dalam Notoatmodjo (2010) dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat
menyimpulkan bahwa perilaku kesehatan mempunyai andil dalam menentukan status
kesehatan setelah faktor lingkungan. Perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi 3
kelompok, yaitu perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance), perilaku
mencari dan menggunakan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau pengobatan
(health seeking behavior) dan perilaku kesehatan lingkungan. Perilaku pemeliharaan
kesehatan merupakan perilaku usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau
menjaga agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit, diantaranya
adalah perilaku pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan kesehatan, perilaku
peningkatan kesehatan serta perilaku makanan dan minuman (Notoatmodjo, 2010).
Perspektif perawatan diabetes saat ini menyetujui peran sentral klien dalam merawat
kesehatan dirinya atau mengatur dirinya. Perawatan kesehatan diri menunjukan
bahwa klien secara aktif memonitor dan berespon terhadap perubahan lingkungan dan
kondisi biologis dengan beradaptasi terhadap berbagai aspek perawatan yang
dipesankan untuk memelihara keadekuatan metabolisme dan mengurangi
kemungkinan terjadinya komplikasi. Perilaku perawatan kesehatan diri pada klien
diabetes melitus meliputi pemantauan glukosa darah atau urin di rumah, penyesuaian
asupan makanan khususnya karbohidrat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,
pemberian terapi (insulin atau obat hipoglikemik oral), keteraturan aktivitas fisik,
perawatan kaki, keteraturan kunjungan berobat, serta perilaku-perilaku lain
tergantung pada jenis diabetes (WHO, 2003).
Adapun menurut Smeltzer et al. (2010), tip atau cara melakukan perawatan kaki
adalah :
a. Memelihara kadar glukosa darah dalam batas normal bersama tim kesehatan yang
memberikan perawatan diabetes.
b. Lakukan pemeriksaan kaki setiap hari dengan mengamati adanya luka, lecet,
bintik kemerahan dan pembengkakan, gunakan kaca untuk memeriksa bagian
dasar kaki, dan periksa adanya perubahan suhu.
c. Mencuci kaki setiap hari, mencuci kaki dengan air hangat, keringkan dengan
lembut terutama diantara jari kaki, kaki jangan digosok-gosok, dan tidak
memeriksa suhu air dengan kaki, gunakan termometer atau siku.
d. Menjaga kulit agar tetap halus dan lembut dengan memberikan pelembab diatas
dan dibawah kaki, tetapi tidak diantara jari kaki.
e. Menggunakan batu apung untuk melembutkan kapalan (callus)
f. Memotong kuku kaki setiap minggu atau ketika diperlukan: memotong kuku jari
kaki lurus dan bagian tepi kuku dihaluskan.
g. Menggunakan sepatu dan kaos kaki setiap waktu, tidak berjalan tanpa alas kaki,
memakai sepatu yang nyaman, cocok serta yang dapat melindungi kaki, selalu
memeriksa bagian dalam sepatu sebelum dipakai pastikan permukaannya lembut
dan tidak terdapat objek atau benda kecil.
h. Lindungi kaki dari panas atau dingin, memakai sepatu pada area yang panas,
memakai kaos kaki pada waktu malam jika kaki dingin.
i. Mempertahankan kelancaran aliran darah kekaki, meninggikan kaki ketika
duduk, gerakan jari dan sendi kaki keatas dan kebawah selama 5 menit, selama 2
atau 3 kali sehari. Jangan menyilangkan kaki dalam jangka waktu lama, dan tidak
merokok.
g. Memeriksa kaki bersama dengan petugas kesehatan untuk menemukan
kemungkinan adanya masalah yang serius, segera beri tahu pemberi pelayanan
kesehatan jika luka, lecet, atau bengkak tidak mulai sembuh setelah satu hari.
Ikuti saran pemberi pelayanan kesehatan mengenai perawatan kaki, tidak
melakukan pengobatan sendiri untuk mengobati masalah kaki.
Menurut Monalisa & Gultom (2009) pemeriksaan kaki sehari-hari dengan memeriksa
bagian atas kaki atau punggung kaki, telapak kaki, sisi-sisi kaki dan sela-sela jari.
Untuk melihat telapak kaki, tekuk kaki menghadap muka (bila sulit, gunakan cermin
untuk melihat bagian bawah kaki atau minta bantuan orang lain) untuk memeriksa
kaki. Periksa apakah ada kulit retak atau melepuh, periksa apakah ada luka dan tanda-
tanda infeksi (bengkak, kemerahan, hangat, nyeri, darah atau cairan lain yang keluar
dari luka, dan bau).
2.4 Pentingnya Pengetahuan dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes
Melitus dalam Konteks Keperawatan
Pentingnya pengetahuan pada klien diabetes melitus dalam melakukan perawatan
kaki adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi diabetes. Peningkatan
pengetahuan klien diabetes melitus mengenai perawatan kaki dapat meningkatkan
kualitas hidup klien sehingga dapat menikmati hidup seperti normal pada umumnya
yang tidak menderita diabetes melitus, serta klien tidak perlu mengeluarkan uang
secara berlebihan untuk pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Perawatan
kaki merupakan upaya perawatan mandiri dalam mengatasi masalah kesehatan.
Perawat berperan dalam memfasilitasi kemandirian pasien sesuai dengan teori Orem
tentang perawatan diri dipandang sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk
merawat dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan
dan mencapai kesejahteraan (Tomey, Marriner, Alligoods, & Raile (2006). Klien
dengan diabetes melitus dapat mencapai sejahtera/ kesehatan yang optimal dengan
mengetahui perawatan kaki yang tepat sesuai dengan kondisi dirinya sendiri dan
dapat melaksanakannya. Oleh karena itu, perawat menurut teori tentang perawatan
diri sangat berperan sebagai pendukung/pendidik bagi klien yang menderita diabetes
melitus terkontrol untuk tetap mempertahankan kemampuan optimalnya dalam
mencapai sejahtera.
Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang dialami oleh klien dengan
diabetes melitus menurut Orem disebut dengan kurang perawatan diri. Menurut Orem
peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien sejauh mana klien mampu untuk
merawat dirinya sendiri dalam hal ini adalah bagaimana klien melakukan perawatan
kaki untuk mencegah timbulnya kaki diabetik. Tindakan yang harus dilakukan dalam
perawatan kaki untuk mengetahui adanya kelainan kaki secara dini yaitu dengan
memotong kuku yang benar, pemakaian alas kaki yang baik, menjaga kebersihan kaki
dan senam kaki. Hal yang tidak boleh dilakukan mengatasi sendiri bila ada masalah
pada kaki atau menggunakan alat-alat/ benda. Oleh karena itu klien penting
mengetahui perawatan kaki diabetik dengan baik sehingga kejadian ulkus ganggren
dan amputasi dapat dihindarkan (Monalisa & Gultom, 2009).
2.5. Kerangka Teori
Ulkus
Faktor Confounding Perawatan Kaki Baik
Usia Infeksi
Jenis kelamin
Pendidikan
Lama diabetes melitus Amputasi
Penghasilan
Pekerjaan
Penyuluhan perawatan kakiglukosa darah terkontrol
Kadar
Komplikasi minimal
Sumber : Lewis et al. (2011), Black & Hawks (2009), Smeltzer et al. (2010),
Notoatmodjo (2010), WHO (2003)
BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
DAN DEFINISI OPERASIONAL
Bab ini akan menjelaskan kerangka konsep penelitian, hipotesis dan definisi
operasional. Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara
konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Hipotesis
merupakan jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Sedangkan definisi
operasional adalah pembatasan ruang lingkup atau pengertian variabel - variabel yang
diteliti dan untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap
varibel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan alat ukur (Notoatmodjo,
2002).
Variabel Confounding
Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
Penghasilan
Lama diabetes melitus
Pekerjaan
Penyuluhan perawatan kaki
Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep penelitian maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik perawatan kaki pada responden diabetes melitus ti
Ada hubungan antara usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, lama
Variabel
Dependen:
2. Tinggi, jika
pendapatan
responden
perbulan ≥ Rp
1.225.000,-
UMR Kal-Sel
(Rp 1.225.000,-)
5. Lama Jumlah waktu dalam tahun sejak Kuesioner 1. < 5 tahun Ordinal
menderita responden mengetahui menderita 2. ≥ 5 tahun
diabetes diabetes melitus sampai saaat ini.
melitus
4.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
diteliti dan diambil kesimpulan (Sugiyono, 2012). Populasi pada penelitian ini adalah
seluruh klien diabetes melitus yang ada di tiga rumah sakit yakni Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin, RSUD Banjarbaru dan RSUD Ratu Zalecha
Martapura di Kalimantan Selatan dengan total 168 klien diabetes melitus.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiyono, 2012). Sampel pada penelitian ini adalah klien diabetes melitus
yang berobat jalan di Rumah Sakit yang ada di Kalimantan Selatan. Menghitung
jumlah sampel dari populasi yang telah diketahui jumlahnya dengan rumus dari Isaac
dan Michael dalam Sugiyono (2012)
Zα 2 x P x Q xN
n = ---------------------------------
d 2 (N-1) + Zα 2 x P x Q
Keterangan:
n : besar sampel
Zα : deviat baku alpha
(ditetapkan α= 0,05 atau Zα= 1,96)
P : Proporsi pada penelitian sebelumnya
Q :1-P
d : limit dari error atau presisi absolut (d=0,05)
Tabel 4.1 Proporsi Sampel Klien Diabetes Melitus di Kalimantan Selatan Tahun 2011
Jumlah sampel yang diperoleh pada penelitian ini adalah 106 orang yakni 74 orang di
RSUD Ulin Banjarmasin, 20 orang di RSUD Banjarbaru, 12 orang di RSUD Ratu
Zalecha Martapura.
Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner.
Kuesioner berupa daftar pertanyaan yang tersusun dengan baik, ada dalam bentuk
isian dan ada dalam bentuk check list sehingga responden tinggal mengisi dan
memberi check list pada pilihan jawaban yang sesuai. Data yang dikumpulkan yaitu:
a. Kuesioner tentang karakteristik responden (lampiran 3).
Kuesioner ini untuk mengetahui karakteristik responden yang dibuat sendiri oleh
peneliti yang meliputi usia, jenis kelamin, lama menderita diabetes melitus,
pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan penyuluhan tentang perawatan kaki
Instrumen atau alat pengumpul data yang akan digunakan sebelumnya dilakukan
ujicoba dan diuji validitas dan reliabilitasnya. Pelaksanaan uji validitas dan
reliabilitas dilakukan pada populasi yang tidak menjadi sampel dalam penelitian ini,
akan tetapi memiliki karakteristik yang tidak berbeda dalam penelitian ini.
a. Validitas
Validitas adalah indeks yang menunjukkan nilai ketepatan dari alat ukur sehingga
menggambarkan suatu instrumen telah benar-benar mengukur apa yang diukur
(Notoatmodjo, 2010). Uji validitas instrument dilakukan di RSUD Ulin
Banjarmasin pada 30 responden yang bukan menjadi sampel dalam penelitian ini,
sehingga diperoleh df= 28 (n-2). Pada tingkat kemaknaan 5% didapatkan angka r
tabel = 0,361. Hasil uji validitas kuesioner pengetahuan adalah 5 soal dinyatakan
tidak valid yaitu soal nomor 3, 4, 6, 10 dan 11. Sedangkan untuk kuesioner praktik
adalah 3 soal dinyatakan tidak valid yaitu soal nomor 9, 10 dan 11. Karena
substansi soal tersebut dianggap penting, maka soal-soal tersebut tetap dimasukkan
dengan memperbaiki strukturnya.
b. Reliabilitas
Reliabilitas adalah konsistensi dari alat ukur yang digunakan, apabila digunakan
untuk yang kedua kalinya atau lebih terhadap gejala yang sama maka akan
mendapatkan hasil yang sama (Notoatmodjo, 2010). Hasil uji reliabilitas kuesioner
pengetahuan diperoleh r alpha cronbach’s 0,963 (r alpha>0,361). Sedangkan
kuesioner praktik diperoleh r alpha cronbach’s 0,842 (r alpha>0,361).
b. Analisis bivariat
Sebelum dilakukan analisis bivariat terlebih dulu dilakukan uji kenormalan data
baik pada variabel independen, variabel dependen maupun variabel confonding
dengan menggunakan uji Kolmogorv-Smirnov. Hasil yang diperoleh untuk semua
variabel berdistribusi tidak normal dengan nilai p value < 0,05 sehingga analisis
bivariat variabel independen dan confonding menggunakan uji statistik
nonparametrik.
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian tentang pengetahuan dan praktik
perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan yang telah
dilaksanakan pada tiga rumah sakit yaitu RSUD Ulin Banjarmasin, RSUD Banjarbaru
dan RSUD Ratu Zalecha Martapura. Pengambilan data dilaksanakan di poliklinik
Penyakit Dalam. Adapun hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Usia
< 55 tahun 42 55,7
≥ 55 tahun 64 44,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 45 42,5
Perempuan 61 57,5
Lama Menderita DM
< 5 tahun 57 53,8
≥5 tahun 49 46,2
Pendidikan
Pendidikan Tinggi 23 21,7
Pendidikan Rendah 83 78,3
Pekerjaan
Bekerja 63 59,4
Tidak Bekerja 43 40,6
Penghasilan
< Rp. 1.225.000,- 25 23,6
≥ Rp. 1.225.000,- 81 76,4
Penyuluhan
Pernah 22 20,8
Tidak Pernah 84 79,2
Berdasarkan tabel 5.1, lebih banyak responden berusia lebih dari 55 tahun, berjenis
kelamin perempuan, lama menderita diabetes melitus kurang dari 5 tahun,
berpendidikan rendah dan bekerja, berpenghasilan diatas Rp. 1.225.000.- dan tidak
pernah mendapatkan penyuluhan tentang perawatan kaki.
5.1.2 Gambaran pengetahuan dan praktik perawatan kaki
Pengetahuan
Baik 58 54,7
Kurang 48 45,3
Praktik
Baik 59 55,7
Kurang 47 44,3
Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan jumlah responden yang memiliki pengetahuan baik
tentang perawatan kaki berjumlah 58 orang (54,7%) dan melakukan praktik
perawatan kaki baik berjumlah 59 orang (55,7%).
Praktik
Total OR
Pengetahuan Baik Kurang p-value
(95% CI)
N % N % N %
Baik 38 65,5 20 34,5 58 100,0 2,44; 0,04*
Kurang 21 43,8 27 56,3 48 100,0 1,11-5,36
Jumlah 59 55,7 47 44,3 106 100,0
*Bermakna pada α: 0,05
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,04, pada alpha 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan
praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Analisis kekuatan
hubungan antara dua variabel didapatkan nilai Odd Ratio (OR) = 2,44 (95% CI :
1,11-5,36) artinya klien diabetes melitus tipe 2 yang berpengetahuan baik 2,44 kali
untuk memiliki praktik perawatan kaki baik dibandingkan dengan klien diabetes
melitus tipe 2 yang berpengetahuan kurang.
Hasil analisis bivariat hubungan usia dengan praktik perawatan kaki pada klien
diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut :
Tabel 5.4 Hubungan Usia dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2
di Kalimantan Selatan Bulan Desember Tahun 2012 (n=106)
Praktik
Total OR
Usia Baik Kurang (95% CI) p-value
N % N % N %
≥ 55 tahun 42 65,6 22 34,4 64 100,0 0,36; 0,02*
< 55 tahun 17 40,5 25 59,5 42 100,0 0,16-0,80
Jumlah 59 55,7 47 44,3 106 100,0
*Bermakna pada α: 0,05
Tabel 5.4 menggambarkan bahwa dari 64 responden yang berusia lebih atau sama
dengan 55 tahun dan memiliki praktik perawatan kaki yang baik sebesar 65,6%. Hasil
persentase menunjukkan bahwa antara responden berusia lebih atau sama dengan 55
tahun memiliki praktik perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan responden
yang berusia kurang dari 55 tahun.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,02, pada alpha 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan praktik
perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Analisis kekuatan hubungan antara
dua variabel didapatkan nilai OR = 0,36 (95% CI : 0,16-0,80) artinya klien diabetes
melitus tipe 2 yang berusia lebih atau sama dengan 55 tahun berpeluang 0,36 kali
untuk memiliki praktik perawatan kaki baik dibandingkan dengan klien diabetes
melitus tipe 2 yang berusia kurang dari 55 tahun.
Hasil analisis bivariat hubungan jenis kelamin dengan praktik perawatan kaki pada
klien diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel 5.5
berikut :
Tabel 5.5 Hubungan Jenis Kelamin dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Kalimantan Selatan Bulan Desember Tahun 2012 (n=106)
Praktik
Jenis Total OR
Kelamin Baik Kurang (95% CI) p-value
N % N % N %
Laki-Laki 31 68,9 14 31,1 45 100,0 2,61; 0,03*
Perempuan 28 45,9 33 54,1 61 100,0 1,16-5,85
Jumlah 59 55,7 47 44,3 106 100,0
*Bermakna pada α: 0,05
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,03, pada alpha 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Analisis kekuatan
hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 2,61 (95% CI : 1,16-5,85)
artinya klien diabetes melitus tipe 2 laki-laki berpeluang 2,61 kali untuk memiliki
praktik perawatan kaki baik dibandingkan dengan klien diabetes melitus tipe 2
perempuan.
5.2.4 Hubungan Lama Menderita Diabetes Melitus dengan Praktik Perawatan Kaki
Hasil analisis bivariat hubungan lama menderita diabetes melitus dengan praktik
perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan dapat dilihat
pada tabel 5.6 berikut :
Tabel 5.6 Hubungan Lama Menderita Diabetes Melitus dan Praktik Perawatan
Kaki pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan
Bulan Desember Tahun 2012 (n=106)
Praktik
Lama
Total OR
Menderita Baik Kurang p-value
(95% CI)
DM N % N % N %
≥ 5 tahun 32 65,3 17 34,7 49 100,0 0,48; 0,10
< 5 tahun 27 47,4 30 52,6 57 100,0 0,22-1,05
Jumlah 59 55,7 47 44,3 106 100,0
Tabel 5.6 menggambarkan bahwa dari 49 responden yang lama menderita diabetes
melitus lebih atau sama dengan 5 tahun memiliki praktek perawatan kaki yang baik
sebesar 65,3%. Hasil persentase menunjukkan bahwa antara responden yang lama
menderita diabetes melitus lebih atau sama dengan 5 tahun memiliki praktek
perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan responden yang lama menderita
diabetes melitus kurang 5 tahun.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,10, pada alpha 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama menderita
diabetes melitus dengan praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 0,48, artinya responden yang lama menderita
diabetes melitus lebih atau sama dengan 5 tahun mempunyai peluang 0,48 kali untuk
melakukan praktek perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan responden yang
lama menderita diabetes melitus kurang dari 5 tahun.
Hasil analisis bivariat hubungan pendidikan dengan praktik perawatan kaki pada
klien diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel 5.7
berikut :
Tabel 5.7 Hubungan Pendidikan dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes
Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan Bulan Desember Tahun 2012 (n=106)
Praktik
Total OR
Pendidikan Baik Kurang p-value
(95% CI)
N % N % N %
Tinggi 16 69,6 7 30,4 23 100,0 2,13; 0,20
Rendah 43 51,8 40 48,2 83 100,0 0,79-5,71
Jumlah 59 55,7 47 44,3 106 100,0
Tabel 5.7 menggambarkan bahwa dari 23 responden yang pendidikan tinggi memiliki
praktek perawatan kaki yang baik sebesar 69,6%. Hasil persentase menunjukkan
bahwa antara responden yang pendidikan tinggi memiliki praktek perawatan kaki
lebih baik dibandingkan dengan responden yang pendidikan rendah.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,20, pada alpha 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Dari hasil analisis
diperoleh nilai OR = 2,13, artinya responden yang pendidikan tinggi mempunyai
peluang 2,13 kali untuk melakukan praktek perawatan kaki lebih baik dibandingkan
dengan responden yang pendidikan rendah.
Hasil analisis bivariat hubungan pekerjaan dengan praktik perawatan kaki pada klien
diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut :
Tabel 5.8 Hubungan Pekerjaan dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes
Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan Bulan Desember Tahun 2012 (n=106)
Praktik
Total OR
Pekerjaan Baik Kurang p-value
(95% CI)
N % N % N %
Bekerja 26 60,5 17 39,5 43 100,0 0,72; 0,53
Tidak
33 52,4 30 47,6 63 100,0 0,33-1,58
Bekerja
Jumlah 59 55,7 47 44,3 106 100,0
Tabel 5.8 menggambarkan bahwa dari 43 responden yang bekerja memiliki praktek
perawatan kaki yang baik sebesar 60,5%. Hasil persentase menunjukkan bahwa
antara responden yang bekerja memiliki praktek perawatan kaki lebih baik
dibandingkan dengan responden yang tidak bekerja.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,53, pada alpha 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan
praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Dari hasil analisis diperoleh
nilai OR = 0,72, artinya responden yang bekerja mempunyai peluang 0,72 kali untuk
melakukan praktek perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan responden yang
tidak bekerja.
Hasil analisis bivariat hubungan penghasilan dengan praktik perawatan kaki pada
klien diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel 5.9
berikut :
Tabel 5.9 Hubungan Penghasilan dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes
Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan Bulan Desember Tahun 2012 (n=106)
Praktik
Baik Total OR
Penghasilan Kurang (95% CI) p-value
N % N % N %
<Rp.1.225.000 14 56,0 11 44,0 25 100,0 1,02; 1,00
≥Rp.1.225.000 45 55,6 36 44,4 81 100,0 0,41-2,51
Jumlah 59 55,7 47 44,3 106 100,0
Tabel 5.9 menggambarkan bahwa dari 25 responden yang penghasilan kurang dari
Rp.1.225.000 memiliki praktek perawatan kaki yang baik sebesar 56,0%. Hasil
persentase menunjukkan bahwa antara responden yang penghasilan kurang dari
Rp.1.225.000 memiliki praktek perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan
responden yang penghasilan lebih atau sama dengan Rp.1.225.000.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 1,00, pada alpha 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penghasilan
dengan praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Dari hasil analisis
diperoleh nilai OR = 1,02, artinya responden yang penghasilan kurang dari
Rp.1.225.000 mempunyai peluang 1,02 kali untuk melakukan praktek perawatan kaki
lebih baik dibandingkan dengan responden yang penghasilan lebih atau sama dengan
Rp.1.225.000.
Hasil analisis bivariat hubungan penyuluhan dengan praktik perawatan kaki pada
klien diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel 5.10
berikut :
Tabel 5.10 Hubungan Penyuluhan dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes
Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan Bulan Desember Tahun 2012 (n=106)
Praktik
Baik Total OR
Penyuluhan Kurang (95% CI) p-value
N % N % N %
Pernah 15 68,2 7 31,8 22 100,0 1,95; 0,28
Tidak Pernah 44 52,4 40 47,6 84 100,0 0,72-5,26
Jumlah 59 55,7 47 44,3 106 100,0
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,28, pada alpha 5%, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penyuluhan
dengan praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Dari hasil analisis
diperoleh nilai OR = 1,95, artinya responden yang pernah mendapatkan penyuluhan
mempunyai peluang 1,95 kali untuk melakukan praktek perawatan kaki lebih baik
dibandingkan dengan responden yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan.
Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan variabel dengan p value kurang dari 0,25 (p<0,25)
yang memenuhi untuk dilakukan uji multivariat, yaitu usia, jenis kelamin, lama
menderita diabetes melitus, pendidikan, penyuluhan dan pengetahuan. Sedangkan
variabel pekerjaan dan penghasilan lebih dari 0,25 (p>0,25) akan tetapi secara
substansi dianggap penting maka variabel pekerjaan dan penghasilan dimasukan.
Selanjutnya kedelapan variabel tersebut dimasukkan dalam analisa multivariat.
5.3.2 Pemodelan Multivariat
Setelah dilakukan uji regresi logistik berganda terhadap variabel yang memenuhi uji
multivariat, maka variabel yang mempunyai nilai p terbesar dikeluarkan dari
pemodelan dengan memperhatikan perubahan nilai OR (perubahan OR lebih dari
10% pada semua variabel maka variabel dipertahankan). Hasil akhir uji multivariat,
dapat dilihat pada tabel 5.12
Tabel 5.12 Pemodelan Akhir Analisis Multivariat Praktik Perawatan Kaki pada Klien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan Tahun 2012
1
P(x) = 1 + e – (-2,85+0,87Pngt+0,67JK+0,63Penyu+0,48Phsl+0,23pdd-0,20Pkj-0,54LM-0,66Usia)
BAB 6
PEMBAHASA
N
Bab ini membahas mengenai hasil penelitian meliputi pengetahuan dan praktik
perawatan kaki, hubungan antara pengetahuan dan praktik perawatan kaki, faktor
pengganggu yang mempengaruhi hubungan pengetahuan dan praktik perawatan kaki.
Disamping itu dibahas juga mengenai keterbatasan penelitian dan implikasi hasil
penelitian terhadap keperawatan.
a. Usia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 106 klien diabetes melitus tipe 2 yang
menjadi responden lebih banyak berusia lebih dari 55 tahun pada rentang usia
30 – 74 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Desalu et al. (2011) pada 352 klien diabetes melitus, rata-rata
mempunyai usia 50 tahun. Hasil yang sama juga dijelaskan oleh Bijoy et al.
(2012) dalam penelitiannya mengatakan dari 150 klien diabetes melitus rata-
rata usia klien 57 tahun. Sama hal nya dengan penelitian Ekore et al. (2010)
dari 137 klien diabetes melitus berusia antara 37-75 tahun.
b. Jenis Kelamin
Pada penelitian ini didapatkan responden perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki. Penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan Sihombing (2012) menunjukkan bahwa frekuensi jenis kelamin yaitu
sebagian besar dari responden berjenis kelamin perempuan. Begitu juga dengan
penelitian Hasnain dan Sheikh (2009) didapatkan responden perempuan lebih
banyak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa sumber dan hasil penelitian yang
terdahulu yang menjelaskan bahwa diabetes melitus lebih sering terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Menurut Levine (2008) perempuan
mempunyai kecenderungan untuk mengalami penyakit yang berhubungan
dengan gangguan endokrin seperti diabetes melitus dan gestasional diabetes
melitus. Tingginya angka kejadian diabetes melitus tipe 2 pada perempuan
salah satunya dihubungkan dengan faktor kegemukan yang merupakan faktor
pencetus diabetes melitus tipe 2 (Soegondo, 2009).
c. Lama Menderita Diabetes Melitus
Banyak responden dalam penelitian ini menunjukkan lama menderita diabetes
melitus kurang dari 5 tahun. Hal ini sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan Sihombing (2012) menunjukkan bahwa lamanya menderita diabetes
melitus frekuensinya yaitu sebagian besar responden menderita diabetes melitus
selama kurang dari 5 tahun.
d. Pendidikan
Pada penelitian ini didapatkan lebih banyak responden memiliki latar belakang
pendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian menurut Desalu et al.
(2011) klien yang memiliki pendidikan rendah lebih banyak. Hal ini berbeda
dengan penelitian Hasnain dan Sheikh (2009) dalam penelitiannya didapatkan
responden lebih besar memiliki pendidikan tinggi. Hal yang sama terdapat juga
pada penelitian Bijoy et al. (2012) yakni rata-rata responden memiliki
pendidikan yang tinggi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan sumber yang diungkapkan oleh Notoatmodjo
(2010) bahwa semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima pengaruh
yang positif, obyektif dan terbuka terhadap berbagai informasi termasuk
informasi kesehatan. Tingkat pendidikan umumnya berpengaruh terhadap
kemampuan seseorang dalam memahami suatu informasi. Sehingga dengan
banyaknya pendidikan tinggi pada hasil penelitian diharapkan klien dapat
memahami berbagai informasi yang didapatkan tentang kesehatan khususnya
tentang perawatan kaki dan dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi
pada kaki.
e. Pekerjaan
Pada penelitian ini didapatkan banyak responden yang bekerja. Adapun yang
lebih banyak adalah bekerja sebagai pegawai negeri. Jika pekerjaan dikaitkan
dengan aktivitas fisik sehari-hari, aktivitas merupakan salah satu dari lima pilar
manajemen diabetes melitus yang dapat berkontribusi dalam pengelolaan
diabetes melitus dan mencegah terjadinya komplikasi diabetes melitus.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Arifin
(2011) berdasarkan jenis pekerjaan menunjukkan hasil sebagian besar
responden tidak bekerja. Pada penelitian yang sama Arifin (2011) juga
mengatakan responden yang tidak bekerja beresiko 1,6 kali mengalami
komplikasi dibanding responden yang bekerja. Hal ini dikaitkan dengan
aktivitas yang dilakukan klien dalam kehidupan sehari-hari seperti pekerjaan.
Bagi penyandang diabetes melitus olahraga/ latihan jasmani yang mana pun
dapat dianjurkan dan dikerjakan. Tidak harus olahraga seperti sepakbola, tenis
tetapi kegiatan jasmani apapun yang memadai seperti bekerja, berkebun dan
lain-lain asalkan dikerjakan dengan teratur (Waspadji, 2005). Latihan sangat
penting dalam penatalaksanaan diabetes, karena efeknya dapat menurunkan
kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskular. Manfaat
latihan yaitu menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin,
memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar lemak darah yaitu
meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total
serta trigliserida (Smeltzer et al., 2010).
f. Penghasilan
Pada penelitian ini didapatkan banyak responden berpenghasilan diatas nilai
Upah Minimum Regional (UMR) yang berlaku di Kalimantan Selatan yaitu Rp.
1.225.000.-. Hal ini sejalan dengan penelitian Waluyo (2008) didapatkan lebih
banyak status ekonomi tinggi.
g. Penyuluhan
Pada penelitian ini didapatkan responden yang tidak pernah mendapatkan
penyuluhan tentang perawatan kaki lebih banyak dibandingkan responden yang
pernah mendapatkan penyuluhan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh penelitian Ekore et al. (2010) menunjukkan bahwa kurangnya
pendidikan atau penyuluhan dari penyedia layanan kesehatan.
Hal ini menggambarkan bahwa pasien telah melakukan perawatan kaki dengan
baik sehingga resiko terkena komplikasi pada kaki semakin kecil. Dalam
penelitian ini tingkatan praktik yang dilakukan klien adalah melakukan praktik
perawatan kaki dengan benar secara otomatis atau merupakan suatu kebiasaan
sehari-hari. Perawatan kaki yang baik dan pengetahuan tentang perawatan kaki
dapat mencegah terjadinya komplikasi kaki diabetes secara dini. Pencegahan
komplikasi diabetes melitus dapat membantu meningkatkan angka harapan
hidup bagi penderita diabetes. Kebiasaan perawatan kaki yang baik pada
responden sudah menunjukkan prosentase yang cukup besar penelitian ini.
Menurut Kerri Wright (2010) dalam Sihombing (2012), perawatan kaki yaitu
memeriksa kaki setiap hari, apakah ada perubahan warna, terjadi
pembengkakan, nyeri atau mati rasa, memeriksa alas kaki seperti sepatu atau
kaus kaki yang digunakan untuk memastikan bahwa alas kaki sesuai dan tidak
menyebabkan lecet pada kaki, mencuci kaki setiap hari menggunakan sabun
dan air hangat, mengeringkan kaki dengan hati-hati, khususnya diantara sela-
sela jari kaki, serta menggunting kuku.
Kaki merupakan bagian paling bawah dari tubuh. Mungkin karena itu pula,
banyak yang jarang memperhatikan kulit kaki. Bahkan sedikit yang mau
melakukan perawatan kaki sebagaimana merawat kulit muka. Kaki adalah
penyangga pada tubuh manusia, karena itu sudah seharusnya dijaga dan dirawat
senantiasa agar berfungsi dengan baik dan sehat. Selain itu pada kaki terdapat
berbagai syaraf yang menghubungkan berbagai anggota tubuh. Jadi jika tidak
dirawat dengan baik, tentunya dapat menimbulkan berbagai keluhan pada
tubuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klien diabetes melitus tipe 2 berusia lebih
dari 55 tahun memiliki praktik perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan
klien diabetes melitus tipe 2 yang berusia kurang dari 55 tahun. Hal ini berbeda
dengan hasil penelitian Desalu et al. (2011) mengatakan usia diatas 50 tahun
pengetahuan dan praktik perawatan kaki masih kurang meskipun hubungan ini
tidak signifikan secara statistik.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara usia dengan
praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan Sihombing (2012) menunjukkan bahwa
tingkat perawatan kaki berdasarkan usia menunjukkan bahwa sebagian besar
responden yang melakukan perawatan kaki yang baik berusia rata-rata dibawah
usia 55 tahun.
Perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin antara lain dalam hal melakukan
pekerjaan sehari-hari, dan pembagian tugas pekerjaan. Perbedaan ini karena
faktor hormonal, struktur fisik maupun norma pembagian tugas. Perempuan
seringkali berperilaku berdasarkan perasaan, sedangkan orang laki-laki
cenderung berperilaku atau bertindak atas pertimbangan rasional. Kebanyakan
perempuan yang ada di Kalimantan Selatan selain mengurusi rumah tangga
juga membantu keluarga mencari nafkah untuk menambah perekonomian
keluarga dengan bekerja sehingga memungkinkan sekali untuk praktik
perawatan kaki kurang karena kesibukannya sehari-hari.
6.1.4 Hubungan Lama Menderita Diabetes Melitus dengan Praktik Perawatan Kaki
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klien diabetes melitus tipe 2 yang lama
menderita diabetes melitus lebih dari 5 tahun memiliki praktik perawatan kaki
lebih baik dibandingkan dengan klien diabetes melitus tipe 2 yang lama
menderita diabetes melitus kurang dari 5 tahun. Walaupun hasil penelitian ini
dilihat hubungannya, menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara lama menderita diabetes melitus dengan praktik perawatan kaki pada
klien diabetes melitus tipe 2. Hal ini sesuai dengan penelitian Soemardini et al.
(2008) yang mengatakan lama menderita penyakit diabetes melitus tidak
signifikan dengan perawatan kaki.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klien diabetes melitus tipe 2 yang bekerja
memiliki praktik perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan klien diabetes
melitus tipe 2 yang tidak bekerja. Namun hasil penelitian ini menunjukkan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan praktik perawatan
kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Meskipun secara uji statistik
menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi secara deskriptif menunjukkan
lebih dari setengah proporsi 59,4% klien bekerja memiliki praktik perawatan
kaki yang baik.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Soemardini et al. (2008)
mengatakan bahwa faktor pekerjaan tidak ada hubungan yang signifikan
dengan pemahaman penderita diabetes melitus. Pekerjaan merupakan faktor
penentu penting dari kesehatan. Jenis pekerjaan seseorang dan kondisi kerja
yang dilakukan akan mempengaruhi kesehatan seseorang (Marmot, 2010).
Dari penelitian ini didapatkan banyak responden yang bekerja sebagai pegawai
negeri memiliki praktik perawatan kaki yang baik. Hal ini terlihat banyaknya
responden yang mengatakan bahwa mereka melakukan pencucian kaki setiap
hari dan mengeringkan dengan handuk. Disamping kegiatan mereka setiap hari
bekerja dikantor, mereka masih sempat melakukan pemeriksaan kaki dan
menggunakan alas kaki yang nyaman dan tidak sempit berupa sepatu ketika
berjalan. Karena klien diabetes melitus yang bekerja menggunakan sepatu
sangat beresiko terjadi ulkus kaki apabila tidak memperhatikan bentuk dan jenis
sepatu yang digunakan. Menghindari penggunaan sepatu pada bagian jari
kakinya yang sempit, sepatu hak tinggi, sol keras, dan tali antara jari kaki.
Sepatu harus nyaman, sepatu harus sesuai dengan bentuk kaki dan terbuat dari
bahan yang lembut.
Meskipun secara uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi
secara deskriptif menunjukkan lebih dari setengah proporsi 56% klien yang
penghasilan kurang dari Rp.1.225.000 memiliki praktik perawatan kaki yang
baik. Namun didapatkan juga sebagian besar responden yang punya
penghasilan diatas Rp.1.225.000 memiliki praktek perawatan kaki (55,6%).
Masyarakat dengan penghasilan tinggi maupun kurang tetap dapat melakukan
praktek perawatan kaki dengan baik dalam kehidupan sehari-harinya. Keadaan
penghasilan tidak menjadi masalah dalam melakukan perawatan kaki karena
bagi keluarga yang berpenghasilan kurang/ tidak mampu, pemerintah
menyediakan pelayanan berupa asuransi kesehatan untuk masyarakat tidak
mampu (jamkesmas) dan untuk pegawai negeri. Program ini sangat membantu
bagi klien diabetes melitus dengan penghasilan yang kurang agar dapat
melakukan pemantauan terhadap kondisi kesehatannya dan melakukan
pemeriksaan kaki secara rutin. Oleh karena itu tindakan pencegahan sangat
penting dilakukan khususnya dalam hal perawatan kaki untuk mencegah
terjadinya ulkus pada kaki karena masalah ini membutuhkan biaya yang besar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klien diabetes melitus tipe 2 yang pernah
mendapatkan penyuluhan memiliki praktik perawatan kaki lebih baik
dibandingkan dengan klien diabetes melitus tipe 2 yang tidak pernah
mendapatkan penyuluhan. Namun hasil penelitian ini menunjukkan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara penyuluhan dengan praktik perawatan
kaki pada klien diabetes melitus tipe 2. Meskipun secara uji statistik
menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi secara deskriptif menunjukkan
bahwa klien yang pernah mendapatkan penyuluhan akan memiliki praktik
perawatan kaki yang baik. Merujuk pada penelitian ini, terlihat bahwa masih
banyak responden yang belum mendapatkan penyuluhan. Hal ini sama dengan
penelitian Ekore et al. (2010) menunjukkan bahwa kurangnya pendidikan atau
penyuluhan dari penyedia layanan kesehatan tentang perawatan kaki.
Hal ini didapatkan data dari penelitian banyaknya responden yang belum
pernah mendapatkan penyuluhan khusus tentang perawatan kaki di rumah sakit
pada saat berobat. Tidak adanya penyuluhan ini membuat klien tidak
mengetahui bahwa perawatan kaki sangat penting untuk mencegah terjadinya
komplikasi pada kaki. Disamping itu dalam penelitian ini sebagian responden
yang tidak mendapatkan penyuluhan akan tetapi dapat melakukan praktik
perawatan kaki dengan baik karena mendapatkan informasi yang diperoleh baik
dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka
pendek sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
Majunya teknologi dan tersedia bermacam-macam media massa yang bisa
didapat tentang perawatan kaki sebagai sarana komunikasi dengan berbagai
bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang.
Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa
membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini
seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan tentang praktik perawatan kaki.
Informasi yang memadai dan rasional bagi penyandang diabetes melitus, dari
tenaga pengelola diabetes melitus yang profesional, pengetahuan para
penyandang diabetes melitus mengenai penyakitnya diharapkan akan semakin
meningkat dan akan dapat dihindari adanya berbagai informasi yang kadang
malahan menyesatkan. Dengan pengetahuan yang baik akan dapat diperoleh
kepatuhan yang lebih besar terhadap anjuran pengelola kesehatan terutama
perawatan kaki dan selanjutnya akan dapat diharapkan hasil pengelolaan
diabetes melitus yang maksimal, berupa pencegahan terjadinya komplikasi
kronik diabetes (Waspadji, 2007).
Perawatan kaki seharusnya dilakukan oleh setiap orang, terutama juga harus
dilakukan oleh penderita diabetes melitus. Hal ini dikarenakan penderita
diabetes sangatlah rentan terkena luka pada kaki, dimana proses penyembuhan
luka tersebut juga membutuhkan waktu yang lama. Sehingga apabila setiap
orang mau untuk melakukan perawatan kaki dengan baik, akan mengurangi
resiko terjadinya komplikasi pada kaki. Oleh karena itu perawatan kaki yang
baik dapat mencegah terjadinya kaki diabetik, karena perawatan kaki
merupakan salah satu faktor penanggulangan cepat untuk mencegah terjadinya
masalah pada kaki yang dapat menyebabkan ulkus kaki.
Tindakan pencegahan kaki diabetik terdiri dari mencari informasi tentang kaki
diabetik, identifikasi faktor resiko, manajemen diabetes melitus, perawatan
kaki, edukasi perawatan diabetes melitus, dan penggunaan alas kaki yang
semestinya, serta penanggulangan yang cepat apabila ada masalah pada kaki.
Pencegahan terjadinya komplikasi pada kaki adalah dengan melakukan
pengontrolan kadar gula darah secara teratur dan mencegah terjadinya luka
pada kaki karena adanya komplikasi yang disebut neuropati, pasien diabetes
mengalami penurunan sensitivitas dan intoleransi terhadap dingin di kaki
mereka. Neuropati terjadi ketika suplai darah ke ujung saraf kecil di kaki dan
tangan berhenti atau berkurang (Echeverry, 2007).
Praktik yang lebih baik dalam melakukan perawatan kaki akan mengurangi
risiko terkena kaki diabetik. Karena mencegah terjadinya kaki diabetik lebih
baik daripada proses penyembuhannya. Proses penyembuhan kaki diabetik
membutuhkan waktu yang lama. Menurut Saskatchewan Ministry of health
(2008) dalam Sihombing 2012, jika sudah terjadi kaki diabetik maka akan
memerlukan waktu yang lama untuk penyembuhan.
a. Pengumpulan data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner tanpa
melakukan observasi perilaku. Hal ini dapat saja menimbulkan bias karena
responden tidak mengisi sesuai dengan keadaan sebenarnya ataupun
mengalami kesulitan dalam mengisi instrumen. Walaupun peneliti telah
melakukan penjelasan sebelum penelitian (informed consent) akan tetapi hal
tersebut tidak menutup kemungkinan masih saja dapat terjadi. Dalam
penelitian ini peneliti melakukan kriteria penilaian pengetahuan berdasarkan
nilai rata-rata dari penelitian sehingga cut of point rendah. Oleh karena itu
untuk penelitian selanjutnya digunakan kriteria penilaian pengetahuan
sesuai standar yang ditetapkan berdasarkan teori-teori bukan dari hasil
penelitian.
b. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga point,
berdasarkan variabel yang diteliti yaitu karakteristik responden,
pengetahuan dan praktik perawatan kaki. Banyaknya jumlah kuesioner
penelitian ini sehingga pengisian tidak fokus, dan banyak responden yang
meminta peneliti untuk dibacakan. Instrumen pengetahuan merupakan
pengembangan dari instrumen Diabetes Foot Care Knowledge Scale
(DFKS) yang dikembangkan oleh Shiu & Wong (2011), sedangkan untuk
instrumen praktik perawatan kaki dikembangkan dari Questions
determining the knowledge and practices about foot care yang
dikembangkan oleh Hasnain dan Sheikh (2009). Sebelum dilakukan uji
validitas dan reliabelitas instrumen, ditemukan beberapa pertanyaan yang
tidak valid, tetapi karena mengingat substansi tersebut penting untuk
diketahui maka pertanyaan tersebut tetap dimasukkan dengan merubah
struktur pertanyaan. Seharusnya uji instrumen dilakukan lagi tetapi karena
keterbatasan waktu maka pengujian hanya dilakukan sekali.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan suatu bukti ilmiah bahwa klien diabetes
melitus yang pengetahuan kurang yaitu 45,3 %. Diketahui ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan dengan praktik perawatan kaki pada klien
diabetes melitus. Oleh karena itu hasil penelitian ini menjadi sangat penting
bagi institusi pelayanan kesehatan untuk melaksanakan program pendidikan
kesehatan yang terstruktur dan terintegrasi untuk dapat meningkatkan praktik
perawatan kaki yang optimal yang dapat dilakukan oleh pasien secara mandiri
sehingga dapat menurunkan insidensi komplikasi kaki diabetik. Hal ini juga
dapat dijadikan dasar untuk penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap praktik perawatan kaki dan upaya pencegahan
selanjutnya benar-benar didasarkan dari hasil penelitian dan sesuai dengan
kebutuhan pasien.
Bagian ini merupakan bagian akhir dari laporan hasil penelitian mencakup simpulan
hasil pembahasan yang berkaitan dengan upaya menjawab tujuan dan hipotesis
penelitian. Serta beberapa saran peneliti berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan.
7.1 Simpulan
7.2 S a r a n
Arifin, Z. (2011). Analisis Hubungan Kualitas Tidur dengan Kadar Glukosa Darah
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Ayele, K., Tesfa, B., Abebe, L., Tilahun, T.,& Girma, E. (2012). Self Care Behavior
among Patients with Diabetes in Harari, Eastern Ethiopia: The Health
Belief Model Perspective.7(4), Di unduh dari www.plosone.org.
Bai, Y. L., Chiou, C. P, & Chang, Y. Y. (2009). Self-care behaviour and related
factors in older people with Type 2 diabetes. Journal Clinical Nursing, 18(23),
3308-3315.
Bijoy C.V., Feba B., Vikas R.C., Dhandapani C., Geetha K., Vijayakumar A. (2012).
Knowledge Assessment and Patient Counseling on Diabetic Foot Care.
Indian Journal of Pharmacy Practice, 5(2), 11-15.
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009). Medical-Surgical Nursing : Clinical Manaement
for Positive Outcome. (8th ed.). St. Louis, Missouri : SaundersElsevier.
Cahyono, J.B.S.B. (2007). Manajemen Ulkus Kaki Diabetik. Dexa medica, 20(3),
103-108. Di unduh dari http://www.dexa-medica.com/images/publication.
Dahlan, M.S. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Seri Evidence Based Medicine. Seri
2. Jakarta: Salemba Medika.
Desalu, O.O., Salawu, F.K, Jimoh, A.K., Adekoya, A.O., Busari, A.O.,& Olokaba,
A.B. (2011). Diabetic Foot Care : Self Reported Knowledge and Practice
among Patients Attending Three Tertiary Hospital in Nigeria. Ghana
Medical Journal, 45(2), 60-65.
Dharma, K.K.(2011). Metode Penelitian Keperawatan : Panduan Melaksanakan
dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta : Trans Info Media.
Echeverry, D., Duran, P., Bonds, C., Lee, M., Davidson, M.B.. (2009). Effect of
Pharmacological Treatment of Depression on A1C and Quality of Life in Low-
Income Hispanics and African Americans With Diabetes. A randomized,
double-blind, placebo-controlled trial. Diabetes Care, 32(12), 2156–2160, Di
unduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2782968/
Ekore, R.I., Ajayi, I.O., Arije, A., & Ekore, J.O. (2010). Attitude; Diabetic Foot Care;
Knowledge; Type 2 Diabetes Mellitus. African Journal of Primary Health
Care & Family Medicine. 2(1), 1-3.
Friedman, M., Bowden, V. R., Jones, E., (2003). Family Health Nursing. Theory and
Practice 5th Edition. Pearson Education Inc. USA
Hasnain, S. & Sheikh, H.S. (2009). Knowledge and Practices Regarding Foot Care in
Diabetic Patients Visiting Diabetic Clinic in Jinnah Hospital Lahore.
Journal Pakistan Medical Association, 59(10), 659-687.
Hastono, S.P. (2007). Analisis Data Kesehatan: Basic Data Analysis for Health
Research Training. FKM UI. Tidak diterbitkan.
Heitzman, J. (2010). Foot Care for Patients With Diabetes. 26(3), 250–263. Diunduh
dari http://www.nursingcenter.com/lnc/journalarticle?Article_ID=1047440.
Hoong Kew Kam. (2011). Tingkat Pengetahuan tentang Penyakit Diabetes Mellitus
pada Pasien Diabetes di Poli-Endokrin, Departemen Penyakit Dalam,
Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan.
Ilyas, E.I. (2009). Olahraga bagi Diabetesi dalam Soegondo, S., Soewondo, P.,&
Subekti, I. (Eds.). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Jinadasa, C.V.M. & Jeewantha, M. (2011). A Study to Determine the Knowledge and
Practice of Foot Care in Patients with Chronic Diabetic Ulcer. International
Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Health,
3(1), 115-122.
Kementerian Kesehatan RI. (2011). World Diabetes Day 14 November 2011.
http://www.pppl.depkes.go.id/index.php?c=berita&m=fullview&id=374.
Levine, J.P. (2008). Type 2 Diabetes Among Women: Clinical Considerations for
Pharmacological Management to Achieve Glycemic Control and Reduce
Cardiovascular Risk. Journal of Women’s Health, 17(2), 249-260.
Lewis, S.L., Dirksen, S.R., Heitkemper, M.M., Bucher, L., &Camera, I.M. (2011).
Medical Surgical Nursing: Assesment and Management of Clinical
Problem. 8th ed., St. Louis: Mosby, Inc.
Lipsky, B.A., Berendt, A.R., Deery, H.G., Embil, J.M., Joseph, W.S., & Karchmer,
A.W. (2004). Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infections.
Guidelines for Diabetic Foot Infections. CID, 39, 885-888. Infectious
Diseases Society of America.
Di unduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16799390.
Marmot Sir Michael. 2010. Area aksi IPH dalam ketidaksetaraan kesehatan:
pendidikan, ketrampilan hidup dan pekerjaan. Di unduh dari
http://www.publichealth.ie/healthinequalities/educationandskills
Monalisa, T. & Gultom, Y. (2009). Perawatan Kaki Diabetes dalam Soegondo, S.,
Soewondo, P.,& Subekti, I. (Eds.). Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Notoatmodjo, S. (2011). Kesehatan Masyarakat : Ilmu & Seni. Edisi Revisi 2011.
Jakarta : Rineka Cipta
Rheeder, P., Venn, M., de Korte, E., & van Zyl, D. (2008). Knowledge of Foot-Care
in People with Diabetes in a Tertiary Care Setting, Journal of
Endocrinology, Metabolism and Diabetes of South Africa (JEMDSA), 13(3),
105-108.
Rochmah, W. (2006). Diabetes Melitus pada Usia Lanjut dalam Sudoyo, A.W.,
Setyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. (4th ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
RSUD Ulin Banjarmasin. (2012). Profil RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2011.
Banjarmasin (tidak dipublikasikan).
RSUD Banjarbaru. (2012). Profil RSUD Banjarbaru Tahun 2011. Banjarbaru (tidak
dipublikasikan).
RSUD Ratu Zalecha Martapura. (2012). Profil RSUD Ratu Zalecha Martapura
Tahun 2011. Martapura (tidak dipublikasikan).
Sihombing, D. (2012). Gambaran Perawatan Kaki Dan Sensasi Sensorik Kaki Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik DM RSUD. Universitas
Padjadjaran, Bandung
Shiu, A.T-Y., & Wong, R.Y-M. (2011). Diabetes Foot Care Knowledge: a Survey of
Registered Nurses. Blackwell Publishing Ltd, Journal of Clinical Nursing,
20, 2367–2370.
Sousa, V.D., Zauszniewski, J.A., Musil, C.M., Lea, P.J.P.,& Davis, S.A. (2005).
Relationship among self-care agency, self efficacy, self-care and glycemic
control. Research and Theory for Nursing Practice : An International
Journal, 9(3), 61-67.
Tomey, Marriner A., Alligoods,& Raile M. (2006). Nursing Theorists and Their
Work. 6th ed. St.Louis, Missouri.-Mosby Elsevier.
Varghese, B.C., Feba B., Vikas R.C., Dhandapani C., Geetha K., & Vijayakumar A.
(2012). Knowledge Assessment and Patient Counseling on Diabetic Foot
Care. Indian Journal of Pharmacy Practice.5(2)
Waspadji, S. (2007). Pertanyaan Pasien dan Jawabannya tentang Diabetes. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
PENJELASAN PENELITIAN
Judul Penelitian : Pengetahuan dan Praktik Perawatan Kaki pada Diabetes Melitus
Tipe 2 di Kalimantan Selatan
Peneliti : Noor Diani
NPM 1006833911
Saya Noor Diani adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, bermaksud melaksanakan penelitian untuk
mengetahui hubungan antara pengetahuan dan praktik perawatan kaki pada klien
diabetes melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan resiko apapun yang sifatnya merugikan, tetapi
jika Bapak/ Ibu/ Saudara (i) ketika mengisi kuesioner ini merasa kelelahan, maka
Bapak/ Ibu/ Saudara (i) berhak meminta untuk dihentikan dan akan dilanjutkan
kembali sesuai dengan keinginan Bapak/ Ibu/ Saudara (i). Jika Bapak/ Ibu/ Saudara
(i) tidak bersedia melanjutkan penelitian ini, maka saya akan menghargai keinginan
Bapak/ Ibu/ Saudara (i) dan tidak akan memaksakan.
Informasi yang Bapak/ Ibu/ Saudara (i) berikan selama prosedur penelitian akan
peneliti jamin kerahasiaanya. Demikian penjelasan ini peneliti sampaikan dan atas
perhatian dan partisipasinya dalam penelitian ini peneliti ucapkan terima kasih.
Peneliti
Lampiran 5
Setelah mendapat penjelasan dari peneliti, dengan ini saya menyatakan bersedia
berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “Pengetahuan dan
Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Kalimantan Selatan”.
Keikutsertaan saya ini sukarela tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun.
Demikian surat pernyataan ini saya buat, untuk dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Noor Diani
(Nama & Tanda tangan)
Lampiran 6
KUESIONER PENELITIAN
PENGETAHUAN DAN PRAKTEK PERAWATAN KAKI
PADA KLIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
Petunjuk pengisian :Isilah pertanyaan berikut dan berikan tanda check list (√) pada
jawaban yang sesuai
A. Karakteristik responden
Inisial :
Usia : tahun
Jenis kelamin :L / P
Lama menderita Diabetes Mellitus : tahun
Pendidikan :
Tidak Sekolah SMA/MA
SD/MI Akademi/PT
SMP/MTs
6. Pekerjaan :
Tidak bekerja Swasta, sebutkan ................................
Buruh PNS/TNI/POLRI
Petani Lain-lain .............................................
Pedagang
Petunjuk: Berilah tanda check list (√) pada kolom Benar atau Salah sesuai dengan
pilihan Bapak/ Ibu/ Saudara (i) ketahui berkaitan dengan perawatan kaki
No Pertanyaan Benar Salah
1 Berapa kali Bapak/ Ibu/ Saudara (i) harus memeriksa kaki?
Setiap hari
Dua kali seminggu
Lebih sering jika ketidaknyamanan atau rasa sakit
dirasakan diseluruh kaki
Setelah memakai sepatu baru
Permintaan dari dokter untuk melakukan hal tersebut
disetiap konsultasi
2 Apa yang harus Bapak/ Ibu/ Saudara (i) perhatikan ketika
Bapak/ Ibu/ Saudara (i) memeriksakan kakinya?
Memeriksa area kaki termasuk telapak kaki, sela-sela jari
kaki, bagian depan kaki, dan tumit
Memeriksa setiap retakan kaki, lecet, kutil
Setiap adanya luka
Setiap adanya perubahan warna, misalnya memar,
kebiruan
Setiap adanya bengkak
Setiap adanya perubahan suhu
3 Tentang cara pemotongan kuku kaki
Memotong tiap sudut kuku kaki
Tidak memotong kuku kaki untuk menghindari luka
Memotong kuku kaki dengan lurus
Memotong kuku kaki sependek mungkin
4 Pada bagian mana dari kaki yang tidak tepat atau tidak boleh
diberikan pelembab ?
Telapak kaki
Tumit
Sela-sela jari kaki
Permukaan/ Punggung kaki
No Pertanyaan Benar Salah
5 Apa yang harus dilakukan jika Bapak/ Ibu/ Saudara (i)
memiliki kutil pada kaki?
Menggunakan plester kutil
Rendam kaki di air dan potong kutil dengan gunting
Pergi ke ahli kecantikan
Menggunakan batu apung
Mengganti sepatu yang lebih baik
6 Apabila terjadi luka ringan pada kaki, apa yang harus Bapak/
Ibu/ Saudara (i) gunakan untuk mengobati luka tersebut?
Menggunakan Merkurokrom/ obat merah
Menggunakan obat ramuan tradisional
Memakai alkohol khusus bedah
Menggunakan cairan antiseptik seperti sabun
Menggunakan cairan NaCl atau cairan Infus
7 Apa yang harus digunakan Bapak/ Ibu/ Saudara (i) untuk
menjaga kaki tetap hangat di musim dingin?
Selimut Listrik
Botol air panas
Baskom berisi air panas
Kaos kaki berbahan katun atau wol
8 Apa yang harus dilakukan Bapak/ Ibu/ Saudara (i) jika merasa
sakit pada kaki?
Menggunakan plester herbal
Menggunakan air panas atau mencuci kaki dengan air jahe
Menggunakan obat tradisional
Berkonsultasi ke ahli perawatan kaki, perawat diabetes
atau dokter
9 Jenis kaos kaki seperti apa yang sesuai untuk Bapak/ Ibu/
Saudara (i) ?
Katun
Sintetis
Wol
Nylon
10 Jenis sepatu yang tepat untuk digunakan Bapak/ Ibu/ Saudara
(i) ?
Sepatu yang terbuka bagian atas dan depannya
Sepatu Olahraga
Sepatu dengan tumit tinggi
Sepatu sendal
No Pertanyaan Benar Salah
11 Bagaimana Bapak/ Ibu/ Saudara (i) memilih sepatu agar
sesuai dengan kaki?
Membeli sepatu di pagi hari
Meminta teman atau anak untuk membelikan sepatu
Bentuk ujung sepatu yang datar dan sempit
Panjang sepatu setidaknya harus 1,5 cm lebih panjang dari
kaki
12 Apa faktor risiko untuk ulkus kaki?
Kulit yang pecah-pecah
Kapalan/ kallus tebal
Luka bakar
Sepatu yang tidak pas
Teknik pemotong kuku yang salah/ sembarangan
Menggunakan benda tajam untuk memotong kutil
Memakai alkohol bedah diantara jari-jari kaki
13 Pada kondisi seperti apa Bapak/ Ibu/ Saudara (i) harus
membuat janji dengan ahli perawatan kaki/ podiatris?
Pada pertumbuhan kuku kaki
Tumbal/ Kalus yang menebal
Masalah dalam memilih sepatu
Masalah dalam perawatan kaki
Adanya luka ulkus pada kaki baru-baru ini, muncul dan
harus disembuh saat ini
14 Pada kondisi seperti apa Bapak/ Ibu/ Saudara (i) harus
berkonsultasi dengan dokter atau ahli perawatan kaki/
podiatrist?
Luka yang membengkak atau bernanah
Tidak ada perbaikan setelah merawat sendiri luka selama 3
hari
Perubahan warna kaki, misalnya berubah mnjadi hitam
Setelah membeli sepasang sepatu baru
Petunjuk: Berilah tanda check list (√) pada kolom Ya atau Tidak sesuai dengan
pilihan Bapak/ Ibu/ Saudara (i) lakukan atau tidak lakukan berkaitan dengan praktik
perawatan kaki
Dilakukan
No Aktivitas Ya Tidak
1 Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara (i) setiap hari minum obat
antidiabetik untuk mencegah komplikasi
2 Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara (i) setiap hari mencuci kaki
3 Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara (i) menggunakan air hangat untuk
mencuci kaki/ saat mandi
4 Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara (i) sebelum menggunakan air
hangat terlebih dahulu mencek suhu air
5 Apakah kaki yang telah dicuci dikeringkan dengan lembut,
khususnya diantara jari kaki
6 Apakah pada sela jari kaki Bapak/ Ibu/ Saudara (i) diberi bedak
agar tetap kering
7 Apakah bagian atas dan bawah kaki Bapak/ Ibu/ Saudara (i)
selalu diberi pelembab
8 Apakah pada sela jari kaki Bapak/ Ibu/ Saudara (i) diberi
pelembab
9 Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara (i) jika menggunakan kaos kaki
sering mengganti kaos kaki.
10 Apakah kuku kaki yang panjang dipotong mengikuti bentuk
kuku sampai kesudut kuku (tidak lurus)
11 Apakah setiap hari Bapak/ Ibu/ Saudara (i) melakukan
pemeriksaan pada kaki
12 Apakah alas kaki yang digunakan nyaman dan tidak sempit
13 Apakah sebelum memakai sepatu Bapak/ Ibu/ Saudara (i)
selalu membersihkan bagian dalamnya terhadap benda-benda
asing seperti kerikil atau benda-benda kecil lainnya
14 Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara (i) selalu menggunakan alas kaki
ketika berjalan
15 Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara (i) segera berkonsultasi ke dokter/
petugas/ahli yang menangani diabetes jika ada perubahan pada
kaki dengan tanda-tanda : kemerahan, nyeri, atau adanya luka
baik kecil maupun besar.
DAFTAR RIWAYAT
HIDUP