Anda di halaman 1dari 52

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asfiksia neonatorum merupakan salah satu penyebab mortalitas dan

morbiditas bayi baru lahir dan akan membawa beberapa dampak pada

periode neonatal baik di negara berkembang maupun Negara maju.

(Saputra, 2014).

Asfiksia neonatorum menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)

adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau

beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia,

hiperkarbia,dan asidosis (Saputra, 2014).

Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2013

Angka Kematian Bayi (AKB) di dunia 34 per 1.000 kelahiran hidup dan

mengalami peningkatan pada tahun 2015 dengan AKB 43 per 1.000

kelahiran hidup. (WHO, 2016).

Di kawasan Asia Tenggara, AKB 24 per 1.000 kelahiran hidup

(WHO, 2016), setiap tahunnya sekitar 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir

mengalami asfiksia, hampir 1juta bayi ini kemudian meninggal. AKB akibat

asfiksia di kawasan Asia Tenggara menurut WHO merupakan ke-2 yang

paling tinggi yaitu sebesar 142 per 1.000 setelah Afrika. Indonesia

merupakan Negara dengan AKB akibat asfiksia tertinggi ke-5 untuk Negara

ASEAN yaitu 35 per 1.000 kelahiran hidup, dimana Myanmar 48 per 1.000,

Laos dan Timor Leste 46 per 1.000 kelahiran hidup (WHO, 2016).

1
2

Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI),

AKB sebesar 34 kematian/1000 kelahiran hidup. AKB ini sebanyak 47%

meninggal pada masa neonatal, setiap 5 menit terdapat 1 neonatus yang

meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia, salah satunya

asfiksia yaitu sebesar 27% yang merupakan penyebab ke-2 kematian bayi

baru lahir setelah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Adapun penyebab

langsung kematian bayi baru lahir 29% disebabkan BBLR, asfiksia (13%),

tetanus (10%), masalah pemberian makan (10%), infeksi (6,7%), gangguan

hematologik (5%), dan lain-lain (27%) (SDKI, 2013).

Dari data Dinkes Provinsi Sumatera Selatan jumlah kematian bayi

tahun 2015 terlaporkan 776 kasus, dimana jumlah kematian bayi tertinggi

terjadi di Kabupaten Musi Rawas yaitu (118 kasus) dan diikuti Kabupaten

Banyuasin yaitu (110 kasus). Sedangkan jumlah kematian bayi terendah

terjadi di Kabupaten Pali yaitu (3 orang) (Profil Kes. Prov. SumSel, 2015).

Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Palembang, di tahun 2016

sebanyak 16 kematian bayi dari 29.521 atau 0.54 per 1000 kelahiran hidup

(Profil Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar, 2016). Penyebab kematian antara

lain adalah BBLR, down syndrome, infeksi neonatus, perdarahan

intrakranial, sianosis, kelainan jantung, respiratory distress syndrome, post

op hidrosefalus dan lainnya (Profil Dinkes Kota Palembang, 2016). Jumlah

kematian bayi di tahun 2017 sebanyak 29 kasus kematian yang terdiri dari

20 bayi neonatus (0 s.d 28 hari) dan 9 bayi (29 s.d 11 bulan) dari 27.876

kelahiran hidup. Penyebab kematian antara lain adalah diare, pneumonia,


3

Asfiksia, BBLR, kelainan kongenital, dan lainnya (Profil Dinkes Kota

Palembang, 2017).

Asfiksia neonatorum terjadi ketika bayi tidak cukup menerima

oksigen sebelumnya, selama atau setelah kelahiran. Faktor yang

menyebabkan asfiksia neonatorum antara lain faktor keadaan ibu, faktor

keadaan bayi, faktor plasenta dan faktor persalinan. Faktor keadaan ibu

meliputi hipertensi pada kehamilan (preeklampsia dan eklampsia) (24%),

perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta) (28%), anemia

dan Kekurangan Energi Kronis (KEK) berkisar kurang dari 10 %, infeksi

berat (11%), dan kehamilan postdate. Faktor keadaan bayi meliputi

prematuritas (15%), BBLR (20%), kelainan kongenital (1-3%), ketuban

bercampur mekonium. Faktor plasenta meliputi, lilitan tali pusat, tali pusat

pendek, simpul tali pusat, prolapsus tali pusat. Faktor neonatus meliputi

depresi pernafasan karena obat-obat anestesi atau analgetika yang diberikan

pada ibu, dan trauma persalinan,misalnya perdarahan intrakranial (2-7%).

Faktor persalinan meliputi partus lama atau macet (2,8-4,9%), persalinan

dengan penyulit (letak sungsang, kembar, distosia bahu, vakum ekstraksi,

forsep) (3-4%), dan Ketuban Pecah Kini (KPD)(10-12%) (Rustam, 2012).

Indonesia sendiri telah mengeluarkan kebijakan dalam upaya

menurunkan AKB ini melalui program Indonesia Sehat dengan pendekatan

keluarga melalui Permenkes No.39 Tahun 2016. Namun kebijakan publik

tersebut belum menjangkau seluruh stakeholder, terutama Puskesmas

sebagai ujung tombak pelaksanaan program Indonesia Sehat, sehingga


4

implementasi dari kebijakan belum optimal. Tren AKB yang terus

meningkat merupakan suatu permasalahan besar bagi suatu negara,

dikarenakan AKB ini merupakan indikator yang mencerminkan tingkat

pembangunan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat dari suatu negara.

Sejak 2015 lalu, dunia mulai bekerja keras ke arah agenda pemgembangan

global yang baru, yaitu Suistainable Development Goals (SDGs). Ini

bertujuan untuk menurunkan AKB sekurang-kurangnya 12/1.000 kelahiran

hidup pada 2030 (Rina Karmila, 2019).

Hasil observasi awal di RSI, Siti Khadijah Palembang dari bagian

Rekam Medis peneliti memperoleh data asfiksia neonatorum pada tahun

2016 sebanyak 7 kasus dari 654 kelahiran, tahun 2017 sebanyak 9 kasus

dari 329 angka kelahiran, dan ditahun 2018 sebanyak 6 dari 222 kelahiran.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui distribusi frekuensi kejadian

asfiksia neonatorum berdasarkan solusio plasenta menunjukkan bahwa

hanya ditemukan satu kasus solusio plasenta yaitu sebesar 2%, sedangkan

pada kontrol tidak ditemukan kejadian solusio plasenta sehingga tidak dapat

dilakukan uji statistik. Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari

tempat implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan

(Prawirohardjo, 2012).

Dalam hal ini terdapat kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan

oleh Evi Desfauza (2008) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara Solusio Plasenta dengan kejadian Asfiksia Neonatorum.


5

Pada bayi dengan solusio plasenta sebagian besar akan mengalami

kematian sebelum bayi dilahirkan karena seluruh kebutuhan janin dari ibu

tidak tersalurkan oleh plasenta yang telah lepas dari tempat implantasinya.

Dalam hal ini terdapat kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan

oleh Evi Desfauza (2008) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara Solusio Plasenta dengan kejadian Asfiksia Neonatorum.

Asfiksia ini dapat terjadi karena hipoksia kronik dalam uetrus

menyebabkan tersedianya sedikit energi untuk dapat memenuhi kebutuhan

pada saat persalinan dan kelahiran. Sehingga selalu mengakibatkan

hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia bayi. Keadaan ini perlu dikenal,

karena dapat mengakibatkan antara lain gangguan aliran darah pada tali

pusat karena tekanan tali pusat. Tejadinya tekanan pada tali pusar ini

dikarenakan kekurangan oksigen sehingga menyebabkan gangguan aliran

darah pada tali pusat dan menyebabkan asfiksia. Hal ini dapat dilakukan

pemasangan infus pada ibu sehinggga melancarkan jalannya oksigen kepada

fetus (S. A Goeslan. 2015).

Gangguan tali pusat akan mengakibatkan terganggunya aliran darah

dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara

ibu dan janin yang dapat menyebabkan terjadinya Asfiksia Neonatorum

(Nurhayati, 2009). Hal ini terlihat dari penelitian Elisa Damayanti, (2008)

yang berjudul Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia

Neonatorum di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil uji statistik

menunjukkan hasil OR>1 yaitu 1.74 artinya lilitan tali pusat menyebabkan
6

kejadian asfiksia 2 kali lebih besar dikarenakan aliran O2 ke janin kurang

sehingga kecukupan O2 menuju janin kurang lancar. Hal ini menyebabkan

hipoksia janin sehingga terjadi asfiksia pada saat bayi dilahirkan. Hasil ini

sesuai dengan teori Wiknjosastro (2009), lilitan tali pusat menyebabkan

aliran O2 kurang lancar sebab tali pusat membelit leher maupun anggota

tubuh bayi lainnya sehingga kecukupan O2 untuk bayi kurang dan lahirlah

bayi dengan asfiksia.

Berat badan lahir rendah merupakan salah satu faktor risiko yang

menjadi penyebab utama untuk terjadinya asfiksia neonatorum. Hal ini

terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Gilang dari Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Semarang pada tahun 2010, menyatakan

bahwa berat badan lahir merupakan salah satu faktor risiko yang

berhubungan secara signifikan dan sangat dominan pada kejadian asfiksia

neonatorum di RSU DR. Pirngadi Medan. Bayi yang lahir dengan berat

badan kurang memiliki risiko terjadi asfiksia sebesar 53,737 kali (OR =

53,737) lebih besar dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi dengan

berat badan normal ρ-value sebesar 0,033 (<0.05), yang berarti menunjukan

bahwa ada hubungan antara berat badan lahir bayi dengan kejadian asfiksia

neonatorum.

Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Dharma (2008)

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat badannya

saat lahir kurang dari 2500 gram. BBLR tidak hanya dapat terjadi pada bayi

prematur, tapi juga pada bayi cukup bulan yang mengalami hambatan
7

pertumbuhan selama kehamilan (Sutarjo 2014). Bayi kurang bulan pada

BBLR memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan bayi cukup bulan,

dikarenakan pada bayi kurang bulan pertumbuhan dan perkembangan paru

nya belum sempurna, dan kekurangan surfaktan sehingga kesulitan memulai

pernafasan yang berakibat untuk terjadi asfiksia neonatorum (Nugroho

2015).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik ingin meneliti

dengan judul “Hubungan Solusio Plasenta, Kelainan Tali Pusat dan

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan kejadian Asfiksia

Neonatorum di RSI Siti Khadijah Palembang tahun 2018”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, faktor keadaan ibu, faktor keadaan bayi,

faktor plasenta dan faktor persalinan. Faktor keadaan ibu meliputi hipertensi

pada kehamilan (preeklampsia dan eklampsia) (24%), perdarahan

antepartum (plasenta previa, solusio plasenta) (28%), anemia dan

Kekurangan Energi Kronis (KEK) berkisar kurang dari 10 %, infeksi berat

(11%), dan kehamilan postdate. Faktor keadaan bayi meliputi prematuritas

(15%), BBLR (20%), kelainan kongenital (1-3%), ketuban bercampur

mekonium. Faktor plasenta meliputi, lilitan tali pusat, tali pusat pendek,

simpul tali pusat, prolapsus tali pusat. Faktor neonatus meliputi depresi

pernafasan karena obat-obat anestesi atau analgetika yang diberikan pada

ibu, dan trauma persalinan,misalnya perdarahan intrakranial (2-7%). Faktor

persalinan meliputi partus lama atau macet (2,8-4,9%), persalinan dengan


8

penyulit (letak sungsang, kembar, distosia bahu, vakum ekstraksi, forsep)

(3-4%), dan Ketuban Pecah Kini (KPD)(10-12%) (Rustam, 2012).

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas banyak faktor yang

berhubungan dengan asfiksia neonatorum. Namun mengingat keterbatasan

waktu, dana, tenaga dan sarana prasarana maka peneliti hanya meneliti

variabel solusio plasenta, kelainan tali pusat dan berat badan lahir rendah

(BBLR) sebagai variabel independen dan kejadian asfiksia

neonatorumsebagai variabel dependen.

1.4 Rumusan Masalah

1.4.1 Adakah hubungan solusio plasenta, kelainan tali pusat dan berat badan

lahir rendah (BBLR) secara simultan dengan kejadian asfiksia

neonatorum di RSI Siti Khadijah Palembang tahun 2018 ?

1.4.2 Adakah hubungan solusio plasenta secara parsial dengan kejadian

asfiksia neonatorum di RSI Siti Khadijah Palembang tahun 2018 ?

1.4.3 Adakah hubungan kelainan tali pusat secara parsial dengan kejadian

asfiksia neonatorum di RSI Siti Khadijah Palembang tahun 2018 ?

1.4.3 Adakah hubungan berat bayi lahir rendah (BBLR) secara parsial

dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSI Siti Khadijah Palembang

tahun 2018 ?
9

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan umum

Ingin mengetahui hubungan solusio plasenta, kelainan tali pusat dan

berat badan lahir rendah (BBLR) secara simultan dengan kejadian

asfiksia neonatorumdi RSI Siti Khadijah Palembang tahun 2018.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Ingin mengetahui hubungan solusio plasenta secara parsial dengan

kejadian asfiksia neonatorum di RSI Siti Khadijah Palembang

tahun 2018.

2. Ingin mengetahui hubungan kelainan tali pusat secara parsial

dengan kejadian asfiksia neonatorumdi RSI Siti Khadijah

Palembang tahun 2018.

3. Ingin mengetahui hubungan berat bayi lahir rendah (bblr) secara

parsial dengan kejadian asfiksia neonatorumdi RSI Siti Khadijah

Palembang tahun 2018.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Secara Teoritis

Pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kebidanan khususnya

mengenai asfiksia neonatorum sebagai penerapan ilmu yang

didapatkan selama perkuliahan dan serta menambah pengalaman,

wawasan dan pengetahuan dalam penelitian.


10

1.6.2 Secara Praktis

1. Bagi Pimpinan RSI Siti Khadijah Palembang

Sebagai bahan evaluasi untuk mengembangkan kesehatan

tentang asfiksia neonatorum, sehingga petugas dapat memberikan

pelayanan yang maksimal dan dapat meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan.

2. Bagi Peneliti

Dapat menerapkan ilmu, terutama mata kuliah metodologi

penelitian, yang didapat selama mengikuti perkuliahan di program

studi DIV Kebidanan Universitas Kader Bangsa Palembang.

3. Bagi Universitas Kader Bangsa Palembang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membagi informasi

perkembangan ilmu kebidanan dan menambah referensi

perpustakaan.

4. Bagi Peneliti yang akan datang

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi

dan dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai

asfiksia neonatorum.
11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Bayi Baru Lahir

2.1.1 Definisi

Bayi baru lahir (neonatus) adalah bayi yang berusia 0-28 hari

(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Bayi baru lahir adalah bayi

berusia satu jam yang lahir pada usia kehamilan 37-42 minggu dan

berat badannya 2.500-4000 gram (Dewi, 2010).

Bayi baru lahir adalah bayi yang lahir presentasi belakang

kepala melalui vagina tanpa memakai alat, pada usia kehamilan 37

minggu sampai 42 minggu dengan berat badan 2500-4000 gram

(Rochmah, 2012).

Neonatus atau bayi baru lahir adalah dari lahir sampai usia 1

bulan. Sedangkan pengertian bayi yaitu dari usia 1 bulan sampai

berjalan sendiri. Periode nenoatal atau neonatus adalah bulan pertama

kehidupan (Maryunani, 2015).

2.1.2 Ciri-ciri Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir normal mempunyai ciri-ciri berat badan lahir

2500-4000 gram, umur kehamilan 37-40 minggu, bayi segera

menangis, bergerak aktif, kulit kemerahan, menghisap ASI dengan

baik, dan tidak ada cacat bawaan (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

Bayi baru lahir normal memiliki panjang badan 48-52 cm, lingkar

dada 30-38 cm, lingkar lengan 11-12 cm, frekuensi denyut jantung

11
12

120-160 x/menit, pernapasan 40-60 x/menit, lanugo tidak terlihat dan

rambut kepala tumbuh sempurna, kuku agak panjang dan lemas, nilai

APGAR > 7, refleks-refleks sudah terbentuk dengan baik (rooting,

sucking, morro, grasping), organ genitalia pada bayi laki-laki testis

sudah berada pada skrotum dan penis berlubang, pada bayi perempuan

vagina dan uretra berlubang serta adanya labia minora dan mayora,

mekonium sudah keluar dalam 24 jam pertama berwarna hitam

kecoklatan (Dewi, 2010).

2.1.3 Klasifikasi Neonatus

Bayi baru lahir atau neonatus di bagi dalam beberapa kasifikasi

menurut Marmi (2015) , yaitu :

1. Neonatus menurut masa gestasinya : (a) Kurang bulan (preterm

infant) : < 259 hari (37 minggu), (b) Cukup bulan (term infant) :

259-294 hari (37-42 minggu), (c) Lebih bulan (postterm infant) :

> 294 hari (42 minggu atau lebih).

2. Neonatus menurut berat badan lahir : (a) Berat lahir rendah : <

2500 gram (b) Berat lahir cukup : 2500-4000 gram (c) Berat

lahir lebih : > 4000 gram.

3. Neonatus menurut berat lahir terhadap masa gestasi (masa

gestasi dan ukuran berat lahir yang sesuai untuk masa

kehamilan) : (a) Nenonatus cukup/kurang/lebih bulan

(NCB/NKB/NLB) (b) Sesuai/kecil/besar untuk masa kehamilan

(SMK/KMK/BMK).
13

2.1.4 Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir Normal

Semua bayi diperiksa segera setelah lahir untuk mengetahui

apakah transisi dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterine berjalan

dengan lancar dan tidak ada kelainan. Pemeriksaan medis

komprehensif dilakukan dalam 24 jam pertama kehidupan.

Pemeriksaan rutin pada bayi baru lahir harus dilakukan, tujuannya

untuk mendeteksi kelainan atau anomali kongenital yang muncul pada

setiap kelahiran dalam 10-20 per 1000 kelahiran, pengelolaan lebih

lanjut dari setiap kelainan yang terdeteksi pada saat antenatal,

mempertimbangkan masalah potensial terkait riwayat kehamilan ibu

dan kelainan yang diturunkan, dan memberikan promosi kesehatan,

terutama pencegahan terhadap sudden infant death syndrome (SIDS)

(Lissauer, 2013). Tujuan utama perawatan bayi segera sesudah lahir

adalah untuk membersihkan jalan napas, memotong dan merawat tali

pusat, mempertahankan suhu tubuh bayi, identifikasi, dan pencegahan

infeksi (Saifuddin, 2008).

2.2 Asfiksia Neonatorum

2.2.1 Definisi

Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan

Dokter Anak Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan

teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi,

2015).
14

Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang

gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia

neonatorum dapat menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, dan

asidosis (Rusepni, 2013).

Asfiksia adalah keadaan yang ditandai dengan hipoksemia

(penurunan paCO2), hiperkarbia (peningkatan paCO2), dan

asidosis/penurunan pH 7 (Fadhila, 2015).

Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan

oleh kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan:

1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteriumbilikalis.

2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep0-3.

3. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik

iskemia ensefalopati).

4. Gangguan multiorgan sistem.

(Prambudi,2013).

Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir

dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia

merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi

baru lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin (Grabiel, 2015).

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan

asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan

kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi

fungsi organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami kekurangan


15

oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang

singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti,

denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular

berkurang secara berangsur- angsur dan bayi memasuki periode apnea

yang dikenal sebagai apnea primer. Perlu diketahui bahwa kondisi

pernafasan megap-megap dan tonus otot yang turun juga dapat terjadi

akibat obat-obat yang diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian

perangsangan dan oksigen selama periode apnea primer dapat

merangsang terjadinya pernafasan spontan. Apabila asfiksia berlanjut,

bayi akan menunjukkan pernafasan megap-megap yang dalam, denyut

jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan

bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin lama makin

lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut apnea

sekunder (Saifuddin, 2015).

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan

teratur segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya

mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan.

Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau

masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).

Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat

segera bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat

gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada

saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan


16

kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang

mempengarui kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.

2.2.2 Etiologi

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia)

antara lain :

a. Faktoribu.

1) Preeklampsia dan eklampsia.

2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusioplasenta).

3) Partus lama atau partusmacet.

4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis,

TBC, HIV).

5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggukehamilan).

b. Faktor TaliPusat.

1) Lilitan talipusat.

2) Tali pusatpendek.

3) Simpul talipusat.

4) Prolapsus talipusat.

c. Faktorbayi.

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggukehamilan).

2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar distosia

bahu, ekstraksi vakum, ekstraksiforsep).

3) Kelainan bawaan(kongenital).

4) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).


17

(DepKes RI,2009).

Towel (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan

pernafasan pada bayi yang terdiri dari :

1. Faktor Ibu.

Hipoksia ibu, hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan

segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena

hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia

dalam. Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran

darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya pengaliran

oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin.

Hal ini sering ditemukan pada keadaan:

a. Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni

atau tetani uterus akibat penyakit atau obat.

b. Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.

c. Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain- lain.

2. Faktorplasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan

kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat

gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta,

perdarahan plasenta dan lain-lain.

3. Faktorfetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran

darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat


18

pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini

dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat

melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan

lain-lain.

4. Faktorneonatus.

Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat terjadi karena

beberapa hal, yaitu :

a. Pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada

ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat

pernafasan janin.

b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan

intrakranial

c. Kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia

diafragmatika, atresia/stenosis saluran pernapasan,

hipoplasia paru dan lain-lain (Staf Pengajar Ilmu

Kesehatan Anak FK UI, 1985).

2.2.3 Patofisiologi

Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical

dapat terjadi pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat

tali pusat dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang

dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambahberat.

a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan

untuk mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat


19

kepala dijalan lahir atau bila paru tidak mengembang karena

suatu hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas

komplit yang disebut apneaprimer.

b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi

klinis karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha

bernafas otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam

waktu singkat, kemudian jika paru tidak mengembang, secara

bertahap terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan.

Selanjutnya bayi akan memasuki periode apnea terminal.

Kecuali jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari

keadaan terminal ini tidak akanterjadi.

c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya

turun di bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin

sedikit meningkat saat bayi bernafas terengah-engah tetapi

bersama dengan menurun dan hentinya nafas terengah-engah

bayi, frekuensi jantung terus berkurang. Keadaan asam-basa

semakin memburuk, metabolisme selular gagal, jantungpun

berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukuplama.

d. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan

pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun

demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi

jantung, mengalami penurunan tajam selama apneaterminal.


20

e. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia.

Apnea primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat

dibedakan. Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi syok

memburuk apnea terminal.

2.2.4 Manifestasiklinik

Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang

menimbulkan tanda-tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :

a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidakteratur.

b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letakkepala.

c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan

organlain.

d. Depresi pernafasan karena otak kekuranganoksigen

e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan

oksigen pada otot-otot jantung atau sel-selotak.

f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot

jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang

kembali ke plasenta sebelum dan selama prosespersalinan.

g. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-

paru atau nafas tidakteratur/megap-megap.

h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen

didalamdarah.

i. Penurunan terhadapspinkters.

j. Pucat (Depkes RI, 2017)


21

2.2.5 Pengkajian klinis

Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal

dan Neonatal (2016) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk

melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting,

yaitu :

a. Pernafasan; Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan

cermat. Lakukan auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan

abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, nafas tersengal, atau

mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi

baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau

tidak sama sekali.

b. Denyutjantung; Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi

denyut apeks atau merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan

menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka ini

merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya

hipoksia yangsignifikan.

c. Warna; Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah

muda. Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal

pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin

mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi

berwarna merah muda, biru, atau pucat.


22

Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar.

Dua komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan

menggambarkan depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami

asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak

berhubungan.
23

Tabel 2.1
Skor Apgar
Skor 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Usaha pernafasan Tidak ada Tidak teratur, lambat Teratur,
menangis
Tonus otot Lemah Beberapa tungkai Semua tungkai
fleksi fleksi
Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis
Warna kulit Pucat Biru Merah muda

Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5

menit sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai

segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi

berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi,

maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus

dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian

Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama

pada bayi yang mengalami depresi berat (Syailendra, 2014).

Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan

keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya

penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi

nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai

Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu

tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian

menunjukkan nilai 8 dan lebih (Saifuddin, 2016).


24

2.2.6 Diagnosis

Menurut tersebut Aminullah, 2002 Untuk dapat menegakkan

gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan sebagai

berikut :

1. Denyut jantungjanin; Frekeunsi denyut jantung janin normal

antara 120 – 160 kali per menit; selama his frekeunsi ini bisa

turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula.

Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak

artinya, akan tetapi apabila frekeunsi turun sampai di bawah 100

per menit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu

merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardiograf

janin digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan

denyut jantung dalam persalinan.

2. Mekonium di dalam air ketuban; Mekonium pada presentasi-

sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi – kepala

mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus

menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air

ketuban pada presentasi-kepala dapat merupakan indikasi untuk

mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan

mudah.

3. Pemeriksaan pH darahjanin; Dengan menggunakan amnioskop

yang dimasukan lewat servik dibuat sayatan kecil pada kulit

kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa
25

pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila

pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda

bahaya oleh beberapa penulis.

Diagnosis gawat-jaanin sangat penting untuk daapaat

menyelamatkaan dan dengan demikian membatasi morbiditas

dan mortalitas perinatal. Selain itu kelahiran bayi yang telah

menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan

asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan persiapan untuk

menghadapi keadaan tersebut (Aminullah, 2002).

2.2.7 Penatalaksanaan

Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola

pernapasan biasa, walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak

efektif, tanpa intervensi khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder

tidak akan bernapas sendiri. Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi

dengan tekanan positif (VTP) dan oksigen diperlukan untuk

membantu bayi memulai pernapasan pada bayi baru lahir dengan

apnusekunder (Syailendra, 2014)

Menganggap bahwa seorang bayi menderita apnu primer dan

memberikan stimulasi yang kurang efektif hanya akan memperlambat

pemberian oksigen dan meningkatkan resiko kerusakan otak. Sangat

penting untuk disadari bahwa pada bayi yang mengalami apnu

sekunder, semakin lama kita menunda upaya pernapasan buatan,

semakin lama bayi memulai pernapasan spontan. Penundaan dalam


26

melakukan upaya pernapasan buatan, walaupun singkat, dapat

berakibat keterlambatan pernapasan yang spontan dan teratur.

Perhatikanlah bahwa semakin lama bayi berada dalam apnu sekunder,

semakin besar kemungkinan terjadinya kerusakan otak (Syailendra,

2014)

Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini,

segera sesudah tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan

tidak mampu melalui pernapasan spontan yang memadai akan

mengalami hipoksia yang semakin berat dan secara progresif menjadi

asfiksia. Resusitasi yang efektif dapat merangsang pernapasan awal

dan mencegah asfiksia progresif. Resusitasi bertujuan memberikan

ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang

cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat – alat

vital lainnya (Saifuddin,2017).

Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi

bantuan sangatlah penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada

setiap kelahiran harus ada setidaknya satu orang yang bertanggung

jawab pada bayi baru lahir. Orang tersebut harus mampu untuk

memulai resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan

kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang datang harus memiliki

kemampuan melakukan resusitasi neonatus secara komplit, termasuk

melakukan intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila

dengan mempertimbangkan faktor risiko, sebelum bayi lahir


27

diidentifikasi bahwa akan membutuhkan resusitasi maka diperlukan

tenaga terampil tambahan dan persiapan alat resusitasi. Bayi prematur

(usia gestasi < 37 minggu) membutuhkan persiapan khusus. Bayi

prematur memiliki paru imatur yang kemungkinan lebih sulit

diventilasi dan mudah mengalami kerusakan karena ventilasi tekanan

positif serta memiliki pembuluh darah imatur dalam otak yang mudah

mengalami perdarahan Selain itu, bayi prematurmemiliki volume

darah sedikit yang meningkatkan risiko syok hipovolemik dan kulit

tipis serta area permukaan tubuh yang luas sehingga mempercepat

kehilangan panas dan rentan terhadap infeksi. Apabila diperkirakan

bayi akan memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya sebelumnya

dimintakan informed consent. Definisi informed consent adalah

persetujuan tertulis dari penderita atau orangtua/wali nya tentang suatu

tindakan medis setelah mendapatkan penjelasan dari petugas

kesehatan yang berwenang. Tindakan resusitasi dasar pada bayi

dengan depresi pernapasan adalah tindakan gawat darurat. Dalam hal

gawat darurat mungkin informed consent dapat ditunda setelah

tindakan. Setelah kondisi bayi stabil namun memerlukan perawatan

lanjutan, dokter perlu melakukan informed consent. Lebih baik lagi

apabila informed consent dimintakan sebelumnya apabila diperkirakan

akan memerlukantindakan (Andreani, 2015)

Oleh karena itu untuk menentukan butuh resusitasi atau tidak,

semua bayi perlu penilaian awal dan harus dipastikan bahwa setiap
28

langkah dilakukan dengan benar dan efektif sebelum ke langkah

berikutnya (Legawati, 2018).Secara garis besar pelaksanaan resusitasi

mengikuti algoritma resusitasi neonatal.Berikut ini akan ditampilkan

diagram alur untuk menentukan apakah terhadap bayi yang lahir

diperlukan resusitasi atau tidak (Legawati, 2018)

.
29

2.1.7 Algoritma Resusitasi Neonatal.

Lahir Perawatan Rutin


Cukupbulan?Ya. Rawat Gabung Bernapas/Menangis?Hangatkan
Tonus baik? Tidak\ Bersihkan jalan napas jikaperlu
Keringkan
-Evaluasi lanjutan

Hangatkan, bersihkan jalan napas jika perlu, keringkan, rangsang


Tidak
30 detik
FJ<100,Tidak
megap-megap/apnu?Labored breathing/ sianosispersisten?

Ya Ya
Bersihkan jalan napas Pantau SpO2
VTR, SpO2 Pertimbangkan CPAP

60 detik

Tidak
FJ < 100?

Ya

Koreksi langkah-langkah ventilasi Perawatan Pasca-Resusitasi

Tidak

FJ< 60?

Ya

Pertimbangkan intubasi Kompresi dada, koordinasi dengan VTP

Tidak
Koreksi langkah- FJ <60?
langkah ventilasi
Intubasi jika dada
tidak
mengembang

Pertimbangkan : Y
-Hipovolemia
-Pneumotorak Epinefri IV

Sumber: New algorithm for 6th.edition (Prambudi, 2015).


30

1. Langkah-langkah resusitasi neonatus

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan

menjawab 3 pertanyaan:

a. Apakah bayi cukupbulan?

b. Apakah bayi bernapas ataumenangis?

c. Apakah tonus otot bayi baik ataukuat?

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung

dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak

dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada

ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga

suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di

atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan

resusitasi berikut ini secara berurutan:

a. Langkah awal dalamstabilisasi;

1. MemberikankehangatanBayi diletakkan dibawah alat

pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang

agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan

eksplorasi seluruh tubuh.Bayi dengan BBLR memiliki

kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat

perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan

pemberian teknik penghangatan tambahan seperti

penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi

dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR.


31

Alat lain yang bisa digunakan adalah alas penghangat.

2. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan

kepalanya Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit

tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings

dan trakea dalam satugaris lurus yang akan mempermudah

masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk

melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau

untuk pemasangan pipa endotrakeal.

3. Membersihkan jalan napas sesuaikeperluanAspirasi

mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan

pneumonia aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang

digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan

melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu

(intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari

beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak

menunjukkan efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi

mekonium (Legawati, 2018)

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah

bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila

terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi

mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi

jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea

sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi


32

mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah- langkah

pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea,

kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah

mulut, faring dan trakea sampaiglotis.

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi

tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti

pada bayi tanpa mekoneum.

b. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkanpada

posisi yangbenar. Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap

sekret, dan mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada

bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar,

penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat,

maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau

menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh

atau ekstremitas bayi.Bayi yang berada dalam apnu primer akan

bereaksi pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang

berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan

menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua

tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan

membuang waktu yang berharga dengan terus menerus

memberikan rangsangan taktil.Keputusan untuk melanjutkan dari

satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3

tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan


33

warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik,

lalu nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke

langkahberikutnya.

c. Ventilasi Tekanan Positif (VTP);

1. Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yangbenar.

2. Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi)

dan tekanan ventilasi harussesuai.

3. Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60kali/menit.

4. Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas

pertama setelah lahir, membutuhkan: 30-40 cm H2O. Setelah

nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm H2O. Bayi dengan

kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya

compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi

hanya dapat diatur apabila digunakan balon yang mempunyai

pengukurantekanan.

5. Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik

merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan

paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal.

Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas

panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang

berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat

menyebabkanpneumothoraks.
34

6. Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai

sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak paru mungkin

disebabkan masuknya udara ke dalamlambung.

7. Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan

menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru

merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yangbenar.

8. Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu

berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi meremas

balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan

oleh salah satu penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang

sempurna, arus udara terhambat, dan tidak

cukuptekanan.Apabila dengan tahapan diatas dada bayi masih

tetap kurang berkembang sebaiknya dilakukan intubasi

endotrakea dan ventilasi pipa-balon (Saifuddin, 2016).

9. Kompresidada; Teknik kompresi dada ada 2cara:Teknik ibu jari

(lebihdipilih) dan Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari

tangan melingkari dada dan menopangpunggung, Lebih baik

dalam megontrol kedalaman dan tekanan konsisten, Lebih

unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan

perfusicoroner.Teknik duajari;Ujung jari tengah dan

telunjuk/jari manis dari 1 tangan menekan sternum, tangan

lainnya menopangpunggung, Tidaktergantung dan Lebih mudah

untuk pemberianobat. (3) Kedalaman dantekananKedalaman


35

±1/3 diameter anteroposteriordadaLama penekanan lebih pendek

dari lama pelepasan curah jantungmaksimum.

2.3 Faktor yang mempengaruhi kejadian Asfiksia

2.3.1 Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya

dengan implantasi normal pada kehamilan trimester ketiga. Kelainan

Tali Pusat Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan

timbunan darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat

menimbulkan gangguan penyulit terhadap ibu dan janin (sasmita,

2016).

Solusio plasenta (solutio placentae), atau yang disebut juga

sebagai abrupsioplasenta (abruptio placentae), adalah

lepasnya plasenta dari dinding rahim bagian dalam sebelum proses

persalinan, baik seluruhnya maupun sebagian. Kondisi ini merupakan

komplikasi kehamilan yang serius, namun jarang terjadi (Andriani,

2012).

Solusio Plasenta atau abrupsio plasenta adalah kondisi plasenta

yang lepas dari dinding rahim sebelum proses persalinan terjadi, baik

sebagian maupun seluruhnya (Andita, 2011)

Dalam hal ini terdapat kesesuaian dengan penelitian yang

dilakukan oleh Evi Desfauza (2008) yang menyebutkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara Solusio Plasenta dengan kejadian

Asfiksia Neonatorum.
36

2.3.2 Kelainan Tali Pusat

Tali pusat (umbilical cord) adalah saluran kehidupan bagi janin

selama dalam kandungan dengan plasenta. Saluran ini biasanya terdiri

dari tiga pembuluh darah yaitu satu pembuluh darah vena dan dua

pembuluh darah arteri (Callahan, L dalam Mattson & Judi, 2004 : 63).

Tali pusat dalam istilah medisnya umbilical cord. Merupakan

suatu tali yang menghubungkan janin dengan uri atau plasenta. Sebab

semasa dalam rahim, tali inilah yang menyalurkan oksigen dan

makanan dari plasenta ke janin yang berada di dalamnya. Setelah

janin dilahirkan, bayi tidak lagi membutuhkan oksigen dari ibunya,

karena sudah dapat bernafas sendiri melalui hidungnya. Oleh karena

sudah tidak diperlukan lagi, maka saluran ini harus segera dipotong

dan dijepit atau diikat (Baety, 2011).

Tali pusat atau umbilical cord adalah saluran kehidupan bagi

janin selama dalam kandungan (Ronald, 2011).

Kelainan tali pusat sangat penting, artinya sehingga janin bebas

bergerak dalam cairan amnion sehingga pertumbuhan dan

perkembangannya berjalan dengan baik. (Manuaba, 2010)

Tali pusat berfungsi untuk mengalirkan darah ke janin selama

masa pertumbuhan dan perkembangan janin. Jaringan dari tali pusat

bekerja untuk mempertahankan aliran darah selama perkembangan

janin. Tali pusat merupakan suatu sistem kardiovaskular janin

,sehingga pemahaman mengenai tali pusat memiliki potensi besar


37

dalam mempelajari dan menilai perubahan dalam jaringan pembuluh

darah janin.

Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak

dalam cairan amnion sehingga pertumbuhan dan perkembangannya

berjalan dengan baik. Pada umumnya tali pusat mempunyai panjang

sekitar 55 cm. Tali pusat terpendek pernah dilaporkan sepanjang 2,5

cm sedangkan tali panjang berkisar 300 cm. Tali pusat yang terlalu

panjang dapat menimbulkan bahaya asfiksia sampai kematian

(Manuaba, 2010).

Hal ini terlihat dari penelitian Elisa Damayanti, (2008) yang

berjudul Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia

Neonatorum di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil uji

statistik menunjukkan hasil OR>1 yaitu 1.74 artinya lilitan tali pusat

menyebabkan kejadian asfiksia 2 kali lebih besar dikarenakan aliran

O2 ke janin kurang sehingga kecukupan O2 menuju janin kurang

lancar

2.3.3 Berat Bayi Lahir

Berat bayi lahir adalah berat badan bayi yang di timbang dalam

waktu 1 jam pertama setelah lahir. Hubungan antara berat lahir

dengan umur kehamilan, berat bayi lahir dapat dikelompokan : bayi

kurang bulan (BKB), yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi

< 37 minggu (259 hari). Bayi cukup bulan (BCB), bayi yang

dilahirkan dengan masa gestasi antara 37-42 minggu (259-293 hari),


38

dan Bayi lebih bulan (BLB), bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi

> 42 minggu (294 hari) (Kosim dkk, 2009).

Bayi baru lahir (neonatus) adalah bayi yang berusia 0-28 hari

(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Bayi baru lahir adalah bayi

berusia satu jam yang lahir pada usia kehamilan 37-42 minggu dan

berat badannya 2.500-4000 gram (Dewi, 2010).

Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir denganumur

kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500 gram

sampai4000 gram (DepKes RI, 2015).

Bayi yang mengalami BBLR akan mengalami asfiksia lebih

berisiko dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi dengan berat

badan normal. Berat badan bayi mempunyai pengaruh langsung

terhadap kualitas bayi. BBLR adalah berat bayi kurang dari 2500

gram. Bayi prematur organ-organ belum sempurna sehingga mudah

terjadi gangguan pernafasan dan asfiksia neonatorum.

Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Gilang dari

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang pada

tahun 2010, menyatakan bahwa berat badan lahir merupakan salah

satu faktor risiko yang berhubungan secara signifikan dan sangat

dominan pada kejadian asfiksia neonatorum di RSU DR. Pirngadi

Medan. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang memiliki risiko

terjadi asfiksia sebesar 53,737 kali (OR = 53,737) lebih besar

dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan


39

normal ρ-value sebesar 0,033 (<0.05), yang berarti menunjukan bahwa

ada hubungan antara berat badan lahir bayi dengan kejadian asfiksia

neonatorum.

2.3.4 Partus lama

Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24

jam pada primi, dan lebih dari 18 jam pada pada multi ( Mochtar,

2012).

Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah

berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks di

kanan garis waspada persalinan aktif (Syaifuddin AB., 2002 : hal.

184).

Partus lama adalah persalinan berlangsung lebih dari 24 jam

pada primi, dan lebih dari 18 jam pada multi (Mochtar, 1998).

Lambatnya kemajuan persalinan di sebabkan oleh kombinasi

penyebab yang berkaitan dengan berbagai faktor. Pemeriksaan fisik

selama persalinan meliputi: frekuensi lama dan kekuatan his, inspeksi

vagina untuk menentukan cairan atau darah yang keluar, menentukan

kedudukan janin, evaluasi denyut jantung janin, memeriksa apakah

kandung kemih ibu penuh dapat manahan turunnya kepala janin,

periksa dalam dengan sarung tangan steril setiap 4 jam untuk melihan

apakah ada kemjuan pembukaan minimal 1 cm setiap jamnya

(Depkes, 2008).
40

Persalinan pada primi biasanya lebih lama 5-6 jam dari pada

multi. Bila persalinan lama dapat menimbulkan komplikasi –

komlikasi baik terhadap ibu maupun terhadap anak, salah satunya

menyebabkan asfiksia neonatorum dan dapat meningkatkan angka

kematian ibu dan anak.(Depkes, 2008).

Hasil uji bivariat yaitu hasil analisis bivariat hubungan partus

lama dengan asfiksia di RSUD Dr H Abdul Moeloek Tahun 2014

diperoleh p-value sebesar 0,386. Nilai ini jika dibandingkan dengan

harga α=0,05 maka p-value > 0,05 yang berarti bahwa tidak ada

hubungan partus lama dengan kejadian asfiksia di RSUD Dr H Abdul

Moeloek Tahun 2014.

2.3.5 Riwayat SC

Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak

lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus (Fadhilah, 2015).

Persalinan sesar atau partus sectio caesarea adalah proses

melahirkan janin melalui jalur abdominal dengan laparotomi yang

selanjutnya memerlukan insisi ke dalam uterus dengan histerotomi

(Norwitz & Schorge, 2007).

Seksio sesarea adalah melahirkan janin yang sudah mampu

hidup (beserta plasenta dan selaput ketuban) secara transabdominal

melalui insisi uterus (Benson dan pernoll, 2009. hal 456).

Neonatus yang dilahirkan dengan sectio caesarea, terutama jika

tidak ada tanda persalinan, tidak mendapatkan manfaat dari


41

pengeluaran cairan paru dan penekanan pada toraks sehingga

mengalami gangguan pernafasan yang lebih persistan. Kompresi

toraks janin pada persalinan kala II mendorong cairan untuk keluar

dari saluran pernafasan. Proses kelahiran dengan sectio caesarea

memicu pengeluaran hormon stress pada ibu yang menjadi kunci

pematangan paru-paru bayi yang terisi air. Tekanan yang agak besar

seiring dengan ditimbulkan oleh kompresi dada pada kelahiran per

vaginam dan diperkirakan bahwa cairan paru-paru yang didorong

setara dengan seperempat kapasitas residual fungsional. Jadi, pada

bayi yang lahir dengan sectio caesarea mengandung cairan lebih

banyak dan udara lebih sedikit di dalam parunya selama enam jam

pertama setelah lahir. Kompresi toraks yang menyertai kelahiran per

vaginam dan ekspansi yang mengikuti kelahiran, mungkin merupakan

suatu faktor penyokong pada inisiasi respirasi. (Fadhilah, 2015)

Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Kolas pada tahun 2006

pada 18.653 kelahiran di 24 sentral persalinan. Penelitian yang

dilakukan selama enam bulan mendapatkan bahwa bayi yang

dilahirkan secara sectio caesarea mendapatkan resiko dua kali untk

mendapatkan perawatan di ruang intensive care. Selain itu Kolas juga

mendapatkan bahwa anak yang dilahirkan dengan sectio caesarea

berisiko mengalami kelainan paru-paru. Kejadian perawatan di ruang

intensive care berkisar 5,2% sampai 9,8% dari kelahiran dan kelainan.
42

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan formulasi atau simplifikasi dari

kerangka teori-teori yang mendukung penelitian tersebut.

Kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan bahwa variabel

dependen dipengaruhi oleh variabel independen. Faktor-faktor yang

berhubungan dengan asfiksia neonatorum yaitu solutio plasenta, kelaianan

tali pusat, dan berat bayi lahir.

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat

implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan Gangguan

tali pusat akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh

darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin yang

dapat menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum.

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat

badannya saat lahir kurang dari 2500 gram. BBLR tidak hanya dapat terjadi

pada bayi prematur, tapi juga pada bayi cukup bulan yang mengalami

hambatan pertumbuhan selama kehamilan. Bayi kurang bulan pada BBLR

memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan bayi cukup bulan, dikarenakan

pada bayi kurang bulan pertumbuhan dan perkembangan parunya belum

sempurna, dan kekurangan surfaktan sehingga kesulitan memulai

pernafasan yang berakibat untuk terjadi asfiksia neonatorum.

42
43

Kerangka konsep dapat dilihat dalam skema di bawah ini :

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Solutio Plasenta

Kelaianan Tali Pusat Asfiksia neonatorum

Berat Bayi Lahir

3.2 Hipotesis

3.2.1 Hipotesis Mayor

Ada hubungan solutio plasenta, kelaianan tali pusat, dan berat bayi lahir

secara simultan dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSI Siti

Khodijah Palembang 2018.

3.2.2 Hipotesis Minor

1. Ada hubungan solutio plasentasecara parsial dengan kejadian

asfiksia neonatorum di RSI Siti Khodijah Palembang 2018.

2. Ada hubungan kelainan tali pusat secara parsil dengan kejadian

asfiksia neonatorum di RSI Siti Khodijah Palembang 2018.

3. Ada hubungan berat bayi lahir secara parsil dengan kejadian asfiksia

neonatorum di RSI Siti Khodijah Palembang 2018.


44

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif yaitu dilakukaan terhadap

sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk melihat gambaran

fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi pada populasi tertentu

(Notoatmodjo, 2014).

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey

analatik dengan menggunakan pendekatan Cross-Sectional, dimana variabel

dependen (asfiksia neonatorum) dan variabel independen (solutio plasenta,

kelainan tali pusat dan bayi baru lahir) dikumpulkan dalam waktu yang

bersamaan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitianini akan dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2019.

4.2.2 Tempat Penelitian

Tempat iniakan dilaksanakan di RSI Siti Khodijah Palembang.

4.3 Populasi Dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian ataupun objek

yang diteliti. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini semua bayi

baru lahir di RSI Siti Khadijah PalembangTahun 2018 yang berjumlah

1160 (Notoatmodjo, 2014).


45

4.3.2 Sampel Penelitian


Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi, diambil secara

acak sistematis (systematic Random Sampling) dengan cara membagi

jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah sampel yang

diinginkan, hasilnya adalah interval sampel. Sampel diambil dengan

membuat daftar elemen atau anggota populasi secara acak antara 1

saampai dengan banyaknya populasi. Kemudian membagi dengan

jumlah sampel yang diinginkan, hasilnya sebagai interval adalah X,

maka yang terkena sampel adalah setia kelipatan dari X tersebut

(Notoatmodjo, 2014).

Sampel dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir dengan

asfiksia di Rumah Sakit Palembang bulan Januari–Desember tahun

2018. Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

N
n= ₂
1+ N (d)

Keterangan :

N = besar populasi

n = besar sample

d = tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan (0,1)2

N
n=
1+ N ( d ) ²

1160
n=
1+1160 ( 0,1 ) ²
46

1160
n=
1+1160 ( 0,01 )

1160
n=
1+11,6

n=92

4.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan kegiatan mencari data dilapangan yang

akan digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Data yang

dikumpulkan meliputi data sekunder. Data sekunder adalahdatayang

diperoleh peneliti dari sumber yang sudah adayaitu diperoleh dari prekam

medik RSI Siti Khadijah Palembang.

4.5 Pengolahan Data


Dalam suatu penelitian, pengolahan data merupakan salah satu

langkah yang penting. Hal ini disebabkan oleh karena data yang diperoleh

langsung dari penelitian masih mentah, belum memberikan informasi apa-

apa, dan belum siap untuk disajikan. Berikut langkah-langkah pengolahan

data :

1. Editing (Pengolahan Data)

Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus

dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu.

2. Coding(Pengkodean)

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

peng “kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat

atau huruf menjadi data angka atau bilangan.


47

3. Data Entry (Memasukkan Data)

Yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dlam

bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau

“softwore” komputer.

4. Cleaning (Pembersihan Data)

Yakni apabila semua data dari setiap sumber atau responden selesai

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidak lengkapan,

dan sebagainya, kemudian dilakukan pembentulan dan koreksi

(Notoatmodjo, 2014).

4.6 Analisis Data

Analisa data suatu penelitian, baiasanaya melalui prosedur bertahap

antara lain:

4.6.1 Analisis Univariat

Untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap

variabael penelitian yaitu (solutio plasenta, kelainan tali pusat dan

berat bayi lahir) sebagai variabel independen dan (asfiksia

neonatorum) sebagai variabel dependen yang ditampilkan dalam

bentuk tabel (Notoatmodjo, 2014).

4.6.2 Analisis Bivariat


48

Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi antara partus lama, hipertensi, dan

kelahiran prematur dengan kejadian asfeksia neonatorum pada bayi

baru lahir yang disajikan dalam bentuk tabel yang dianalisis dengan

uji statistik Chi-square (X2) dengan batas ke maknaan α = 0,05,

keputusan hasil statistik diperoleh dengan cara membandingkan nilai

p- Value dengan nilai α (0,05) :

Kriteria hasil uji statistik adalah :

1. Bila P Value ≤ α (0,05) Berarti ada hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen.

2. Bila P Value > α (0,05) Berarti tidak ada hubungan antara

variabel dependen dengan variabel independen

4.7 Defenisi Operasional

4.7.1 Variabel Dependen

Asfiksia neonatorum

a. Pengertian : Keadaan bayi yang tidak dapat bernapas

spontan dan teratur, sehingga dapat

menurunkan O2 dan makin meningkat CO2

yang menimbulkan akibat buruk dalam

kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2014).

b. Alat Ukur : Check List

c. Cara Ukur : Melihat dan mencatat di rekam medik


49

d. Hasil Ukur : 1. Ya : jika bayi terdiagnosa

asfiksia

2. Tidak : jika bayi tidak terdiagnosa

asfeksia (Manuaba, 2014).

e. Skala Ukur : Nominal

4.7.2 Variabel Independen

1. Solutio Plasenta

a. Pengertian : Terlepasnya plasenta sebelum waktunya

dengan implantasi normal pada kehamilan

trimester ketiga.

b. Alat Ukur : Checklist

c. Cara Ukur : Melihat dan mencatat dari rekam medik

d. Hasil Ukur : 1. Ya : Jika terdiagnosa solutio

plasenta

2.Tidak : Jika tidak terdiagnosa solutio

plasenta

e. Skala Ukur : Ordinal

2. Berat Bayi Lahir

a. Pengertian: berat badan bayi yang di timbang

dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir

b. Alat Ukur: Cheklist

c. Cara Ukur : Melihat dan mencatat dari rekam medik


50

d. Hasil Ukur :1. Resiko: jika berat badan bayi normal<

2500gr

2. Tidak Resiko : jika berat badan normal >

2500 gr

e. Skala Ukur : Ordinal

3. Kelainan Tali Pusat

a. Pengertian : jaringan ikat yang menghubungkan antara

plasenta dan janin yang memiliki peranan

penting dalam interaksi antara ibu dan janin

selama masa kehamilan

a. Alat Ukur : Checklist

b. Cara Ukur : Melihat dan mencatat dari Rekam medik

c. Hasil Ukur : 1.Ya : jika terdiagnosa ada kelainan pada

tali pusat

2.Tidak : jika tidak terdiagnosa ada kelainan

pada tali pusat (Sarwono, 2014)

e. Skala Ukur : Nominal


51

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2013). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia


(SDKI) 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Desfauza E. (2007) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Asphyxia Neonatorum


pada Bayi Baru Lahir Di RSU Pirngadi Medan. Tesis. Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatra Utara Medan.

Dewi, V. (2010).Asuhan Neonatus Bayi dan Balita.Jakarta : Salemba Medika

Dewi, Vivin Nanny Lia. (2011) Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Jakarta:
Salemba Medika.

Dinas Kesehatan Kota Palembang, (2017). Profil Dinkes Kota Palembang 2017.
Dari http://dinkes.palembang .go.id/ Diakses tanggal 13 April 2019.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. (2016) Profil Kesehatan Sumatera


Selatan Tahun 2015. Dari http://dinkes.sulselprov.go.id/ Diakses
tanggal 13 April 2019.

Elisa Damayanti. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia


Neonatorum di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Fadhila, 2015, Analisis Beberapa Faktor Risiko Kejadian Asfiksia Neonatorum di


KabupatenPurworejo, http://eprints.undip.ac.id/14393/ [16 April 2014],

IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.


Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004.h. 272-276. (level of evidence IV)

Kemenkes RI., 2014, Profil Kesehatan Indonesia, Pusdatin Kementrian Kesehatan


RI, Jakarta.

Lissauer, Tom; Fannarof, Avroy A., 2009, At a Glance Neonatologi, Penerbit


Erlangga, Jakarta.
52

Marmi. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil. Yogyakarta: Penerbit Pelajar

Maryunani A, Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyuit pada


Neonatus. Jakarta : Trans Info Medika

Maryunani, Anik & Nurhayati. (2008) Asuhan Bayi Baru Lahir Normal. Jakarta:
Trans Info Media.

Mochtar, Rustam, 2012, Sinopsis Obstetri, EGC, Jakarta


Nugroho, PMC., 2015, Tingkat Keparahan Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Berat
Lahir Rendah, Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, p. 44.

Prambudi, R. 2013. Prosedur Tindakan Neonatusi. dalam. Neonatologi Praktis.


Anugrah Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung,

Prawiroharjo, Sarwono. (2012). Ilmu Kebidana, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawiroharjo.

Rina Karmila. 2019. Strategi Menurunkan Angka Kematian Bayi.


http://aceh.tribunnews.com/2017/05/31/strategi-menurunkan-angka-ke
matian-bayi?page=1. Diakses tanggal 6 Mei 2019

Rusepni. 2013. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, jilid I. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta,p: 21Trenggalek.

Saifuddin, AB. (2008). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal


dan Neonatal.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Saputra, Lyndon. (2014) Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita. Tanggerang: Bina
Aksara.

Sutarjo, US., 2014, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014, Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Wiknjosastro, Hanifa, 2009. Ilmu Kebidanan, YP-SP, Jakarta

World Health Organization (WHO). (2016). Children: mortality reducing. Dari


http://www.who.int/mediacentre/factssheets/fs178/en/. Diakses tanggal
05 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai