Anda di halaman 1dari 4

Jenis film : drama

Genre : anak-anak
Produksi : SBO Film Dam Mizan Production
Produser : Shanty Harmayn
Sutradara : Ifa Isfansyah
Penulis : Salman Aristo
Pemain : Emir Mahira (Bayu)
               Aldo Tansani (Heri)
               Marsha Aruan (Zahra)
               Ikranagara (Kakek Usman)
               Maudy Koesnaedi (Wahyuni)
               Ary Sihasale (Pak Johan)
               Ramzi (Bang Duloh)
Durasi : 1 jam 36 menit
Rilis : 18 Juni 2009 

GARUDA DI DADAKU:
BOLA MANIS BAYU 

Film Garuda di Dadaku karya sutradara muda Ifa Isfansyah ini bertema sepak bola.
Film ini diharapkan menjadi salah satu media untuk menghibur masyarakat terutama
anak-anak pada saat liburan sekolah. "Ini adalah salah satu bentuk mengekspresikan
sebuah realitas yang ada di lapangan ke layar film. Film ini kami harapkan sukses
seperti film-film lainnya," kata Produser Eksekutif Mizan Production, Putut Widjanarko. 

Latar Belakang Film


Film ini merupakan hasil kerja sama antara Mizan Production, Unilever dalam hal ini
Lifebuoy Shampoo, serta SBO Production. Lokasi pengambilan gambar sendiri
dilakukan di beberapa tempat di Jakarta. 

Adegan Awal
Adegan awal, mengiringi judul dan credit title, menggambarkan Bayu (Emir Mahira)
dengan lincah menggiring bola di gang sempit rumahnya menuju ke lapangan bulu
tangkis di lingkungan gang tersebut. Kamera bergerak sama lincahnya dengan dribble
bola Bayu. Lagu pengiring rancak. Penonton diajak masuk ke dunia Bayu yang dekat
dengan keseharian masyarakat, sekaligus diajak menonton keistimewaan bocah satu
ini. 

Sinopsis
Bayu, yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, memiliki satu mimpi dalam
hidupnya, yaitu menjadi pemain sepak bola hebat. Setiap hari dengan penuh semangat,
ia menggiring bola menyusuri gang-gang di sekitar rumahnya sambil men-dribble bola
untuk sampai ke lapangan bulu tangkis dan berlatih sendiri di sana.  
Bayu hidup bersama ibu dan kakeknya. Bapak bayu adalah penggila bola yang telah
meninggal dunia karena kecelakaan. Bapak bayu adalah penggemar bola yang sering
bermain bola hingga suatu hari mengalami cedera di kaki sehingga tidak bisa
melanjutkan kembali hobi lamanya dan berakhir dengan menjadi sopir taksi. Bapak
bayu meninggal saat sedang bertugas sebagai sopir taksi. Rasa kehilangan kakek Bayu
menjadikan bola (yang membuat bapak Bayu cedera hingga berakhir menjadi sopir
taksi dan mengalami kecelakaan) sebagai alasan kematian anaknya. Trauma akan hal
tersebut menyebabkan kakek bayu tidak menyukai siapa pun dalam keluarganya untuk
bergelut dengan sepakbola, terutama Bayu.  

Itulah alasan sebenarnya kakek Bayu, Pak Usman, menentang impian Bayu. Ia pun
berdalih bahwa menjadi pemain sepak bola identik dengan hidup miskin dan tidak
punya masa depan. Bahkan, ia tidak akan mengakui Bayu sebagai cucu jika Bayu
nekad menjadi pemain bola. Sebagai cucu yang baik, ia pun taat kepada sang kakek
dengan mengikuti berbagai les yang dipersiapkan kakek. Akan tetapi, darah sang ayah
pecinta bola turut mengalir dalam dirinya sehingga ia sering mencuri waktu untuk
berlatih dan bermain bola bersama teman-temannya. 

Bayu memiliki teman dekat yang senantiasa mendukungnya. Heri, sahabat Bayu
penggila bola, sangat yakin akan kemampuan dan bakat Bayu.  Dialah motivator dan
”pelatih” cerdas yang meyakinkan Bayu agar mau ikut seleksi untuk masuk Tim
Nasional U-13 yang nantinya akan mewakili Indonesia berlaga di arena internasional. 

Di tengah upaya kakek Usman mendidik Bayu menjadi orang sukses lewat beragam
kursus, Bayu justru bertemu dengan Johan (Ari Sihasale), pelatih sekolah sepakbola
Arsenal di Jakarta. Pertemuan ini menjadi langkah awal bagi perjalanan panjang Baju
untuk masuk menjadi tim sepak bola nasional yang memakai seragam berlambang
garuda di bagian dada.

Dibantu teman baru bernama Zahra yang misterius, Bayu dan Heri harus mencari
berbagai alasan agar Bayu dapat terus berlatih sepak bola. Akan tetapi, hambatan demi
hambatan terus menghadang mimpi Bayu. Bahkan, persahabatan tiga anak itu
terancam putus. 

Keunggulan
Film ini bercerita tentang olahraga bola yang memang digandrungi oleh segala usia,
semua kasta, berbagai warna kulit, dan berbagai negara sehingga menjadikan film ini
meraih animo tinggi dari masyarakat. Bola yang masih dikritik beberapa pihak sebagai
hal yang membosankan dan kurang bermanfaat karena hanya menghabiskan waktu
tidur malam saja ternyata bisa memberikan makna dari sisi lain yang berbeda.

Film Garuda di Dadaku menyimpan hikmah yang berharga, di antaranya mengajarkan


kita untuk terus mengejar impian dan menjaganya meski aral melintang. Jika kita yakin
dan mampu, teruslah jaga keyakinan itu. Sesungguhnya kesuksesan juga bisa diraih
melalui mimpi yang berawal dari hobi.

Film ini menggambarkan realita kehidupan seorang anak dalam mencapai impiannya
meskipun mimpi itu sederhana. Garuda di Dadaku memberi suguhan yang lengkap
dengan berbagai factor, yaitu berkualitas, menyentuh, menghibur, sekaligus
menginspirasi. 

Garuda Di Dadaku menyajikan sebuah cerita yang sederhana namun berisi.


Mengisahkan pertarungan dua kepentingan antara dua generasi. Olahraga sepakbola
menjadi cantolan untuk mengaitkan tema besar tersebut. Film ini diramu dengan begitu
apik, didukung permainan yang gemilang, plot cerita yang matang, cinematografi, dan
editing yang terjaga. Hasilnya? Garuda Di Dadaku tak ubahnya sebuah masakan yang
racikan bumbunya terasa pas. Ada haru, kadang juga tawa. Pada bagian ini, apresiasi,
lagi-lagi layak diberikan kepada Ramzi, yang kali ini berperan sebagai Bang Duloh. 

Akting aktor cilik pendatang baru Emir yang memang memiliki kemampuan memainkan
si kulit bundar membuat Garuda di Dadaku menjadi lebih nyata. Ditambah dukungan
dari aktor-aktris kelas wahid, seperti Ikranagara dan Maudy, yang membuat kualitas film
ini patut mendapat acungan dua jempol. 

Suntikan kekuatan juga datang dari soundtrack film yang begitu penuh warna
dihadirkan pasangan suami istri penata musik, Aksan Sjuman dan Titi Sjuman. Music
Score yang mereka hadirkan membawa penontonnya pada suasana batin yang riuh.
Hal ini makin terasa dihadirkan lewat lagu Garuda Di Dadaku yang notasinya
mengambil lagu daerah asal Papua, Apuse, yang diaransemen dan dibawakan grup
rock Netral. Ia berhasil membangun suasana yang terasa bergelora mengiringi
semangat Bayu dalam menggapai mimpinya. 

Inti cerita
Inti cerita film ini tak hanya memuat unsur perjuangan seorang anak untuk menggapai
mimpinya, nilai-nilai persahabatan juga ditanamkan lewat hubungan Bayu dengan Heri.
Meskipun mempunyai hambatan berupa cacat fisik, Heri mampu berperan sebagai
sahabat sekaligus manajer Bayu. 

Teknis penyajian
Ifa Isfansyah, sang sutradara, dengan cantik mencicil informasi soal tokoh-tokoh dalam
film yang mulai diputar 18 Juni 2009 itu. Semua datang satu demi satu, tanpa narasi
yang mendeskripsikan ini-itu, dari nama para tokoh, peran-peran mereka,
keberpihakan, hingga detail-detail yang memperkaya karakternya.

Wahyuni, misalnya, cukup berucap, "Nyari downline sekarang susah. Orang tidak
percaya MLM seperti dulu." Penonton pun jadi tahu apa yang (sempat) ia lakukan untuk
menyokong hidup.
Ifa juga tak menyia-nyiakan "celah" yang masih bisa diisi. Ada adegan saat Wahyuni,
misalnya, berkata di telepon, "Besok, jam 15.57." Ini sebuah sindiran terhadap "budaya"
jam karet. Ada pula adegan bola yang ditendang Bayu mendarat di poster calon
legislator, tepat di wajah, serta adegan melintas di tepi busway yang porak-poranda.

Sebagai film anak-anak, Garuda di Dadaku mencoba membangkitkan semangat cinta


Indonesia melalui sepak bola. Penonton akan mudah tergiring ke suasana patriotik
ketika menyaksikan adegan Bayu yang mengenakan seragam tim nasional berdiri di
tengah lapangan berumput hijau. Dari situ penonton akan menyadari betapa bangganya
menyandang garuda di dada. Sebenarnya rasa nasionalisme telah terasa sejak awal
film dimulai dengan diperdengarkannya theme song film ini.  

Adegan dramatis
Tak lupa, sindiran terhadap pemangku pemerintahan juga terselip dalam film ini. Ambil
contoh, adegan yang menceritakan kesulitan Bayu dan rekannya mencari lapangan
sepakbola untuk berlatih sehingga mereka berlatih di pekuburan. 

Penghargaan yang pernah diraih


Film Garuda di Dadaku menjadi film pembuka pada Film Festival Anak-anak dan
Remaja Hamburg, Michel Kinder und Jungen Filmfest, yang untuk pertama kalinya
dilaksanakan di bioskop terbesar, Cinema XX Damtor, di kota Hamburg. Film ini
mendapat sambutan dan apresiasi dari penyelenggara festival, pemerhati film, artis
setempat, dan penonton.

Film ini mendapat penghargaan khusus sebagai film anak-anak terbaik pada Festifal
Film Indonesia (FFI) 2009. Selain itu, lagu Garuda di Dadaku (dinyanyikan Netral) yang
populer lewat soundtrack film ini mendapat penghargaan dalam MTV Indonesia Award
2009 sebagai the best original soundtrack, Rabu malam, 25 November 2009.

Anda mungkin juga menyukai