Pola perawatan diri seimbang Kadang perawatan diri Tidak melakukan perawatan saat stres
Kadang tidak
3. Penyebab
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah:
a. Faktor Predisposisi
1. Perkembangan: Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan
klien sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2. Biologis: Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3. Kemampuan realitas turun: Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian
dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4. Sosial: Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Wartonah (2006) ada beberapa faktor persipitasi yang dapat
menyebabkan seseorang kurang perawatan diri. Faktor-
faktortersebutdapat berasal dari berbagai stressor antara lain:
1. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli terhadap kebersihannya.
2. Praktik Sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status Sosioekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta
gigi, sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan
uang untuk menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya
pada pasien penderita diabetes mellitus dia harus menjaga
kebersihan kakinya.
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri
adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau
perseptual, hambatan lingkungan, cemas, lelah atau lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri (Nanda, 2006).
4. Tanda dan Gejala
a. Fisik
1. Badan berbau
2. Pakaian kotor
3. Kuku panjang dan kotor
4. Gigi kotor dan berbau
5. Penampilan tidak rapi
6. Pemakaian pakaian tidak seperti biasanya
b. Psikologis
1. Malas tidak ada inisiatif
2. Isolasi social
3. Merasa tidak berdaya
4. Rendah diri dan merasa terhina
c. Social
1. Interaksi kurang
2. Kegiatan kurang
3. Tidak mampu berperilaku sesuai norma: cara makan berantakan,
BAB/ BAK sembarangan, tidak mau mandi dan gosok gigi, tidak
mampu berpakaian sendiri
5. Akibat
Penampilan diri tidak adekuat
III.
A. POHON MASALAH Kebersihan diri tidak adekuat (BAB/BAK, Makan minum dan berhias)
Akibat
Isolasi Sosial
Penyebab ----------------------
B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU
DIKAJI
1. Risiko perilaku kekerasan
DS : “ Suara-suara itu menyuruh saya untuk marah-marah”
DO : - Klien gelisah.
- Klien marah-marah ingin memukul.
- Bermusuhan, merusak/ menyerang.
2. Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran
DS : “ Saya juga mendengar suara-suara“
DO : - Klien bicara dan tertawa sendiri.
- Klien tiba-tiba marah.
- Ekpresi muka tegang, mudah tersinggung.
3. Isolasi Sosial
DS : “ Suara-suara itu datang saat saya sedang sendiri di
kamar”
DO : - Klien menyendiri dikamar.
- Menghindar
dari pergaulan dengan orang lain.
- Tidak mampu
memusatkan perhatian.
- Selalu
menunduk saat diajak bicara.
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan sensori persepsi :halusinasi pendengaran
2. Isolasi ssosial
V. RENCANA KEPERAWATAN
Dx. 1 : Gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaraan
a. Tujuan Umum (TUM)
Klien dapat mengontrol perilaku halusinasi yang dialaminya.
b. Tujuan Khusus (TUK)
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
1.1 Bina Hubungan saling percaya.
a. Sapa klien denganramah baik verbal maupun non verbal.
b. Perkenalkan diri dengan sopan.
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang
disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan.
e. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
f. Berikan perhatian pada klien, perhatikan kebutuhan dasar
klien.
1.2 Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
1.3 Dengarkan ungkapan klien dengan empati.
2. Klien dapat mengenal halusinasinya.
2.1 Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap.
2.2 Observasi tingkah laku klien terkait halusinasinya : bicara
dan tertawa tanpa stimulus, memandang ke kanan/ kekiri/
kedepan seolah-olah ada teman bicara.
2.3 Bantu klien mengenal halusinasinya.
a. Jika menemukan klien sedang halusinasi, tanyakan
apakah ada suara yang di dengar.
b. Jika klien menjawab ada, lanjutkan apa yang dikatakan.
c. Katakan bahwa perawat percaya klien mendenar suara
itu, namun perawat sendiri tidak mendengarnya (dengann
nada bersahabat tanpa menuduh atau menghakimi).
d. Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti klien.
e. Katakan bahwa perawat akan membantu klien.
2.4 Diskusikan dengan klien :
a. Situasi yang menimbulkan/ tidak menimbulkan
halusinasi.
b Waktu, frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore
dan malam atau jika sendiri, jengkel/ sedih).
2.5 Diskusikan denganklien apa yang dirasakan jika terjadi
halusinasi (marah/ takut, sedih, senang) beri kesempatan
mengungkapkan perasaan.
3. Klien dapat mengontrol halusinasi
3.1 Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika
terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukan diri, dll).
3.2 Diskusikan manfaat dan cara yang digunakan klien, jika
bermanfaat beri pujian.
3.3 Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol timbulnya
halusinasi :
a. Katakan “saya tidak mau dengar kamu“ (pada saat
halusinasi terjadi).
b. Temui orang lain (perawat/ teman/ anggota keluarga)
untuk bercakap – cakap atau mengatakan halusinasi yang
didengar.
c. Membuat jadual kegiatan sehari – hari.
d. Meminta keluarga/ teman/ perawat menyapa klien jika
tampak bicara sendiri.
3.4 Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi
secara bertahap.
3.5 Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dilatih.. Evaluasi
hasilnya dan beri pujian jika berhasil.
3.6 Anjurkan klien mengikuti terapi aktifitas kelompok, orientasi
realita, stimulasi persepsi.
4. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
4.1 Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami
halusinasi.
4.2 Diskusikan dengan keluarga (pada saat keluarga berkunjung/
kunjungan rumah).
a. Gejala halusinasi yang dialami klien.
b. Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk
memutus halusinasi.
c. Cara merawat anggota keluarga yang mengalami
halusinasi dirumah : beri kegiatan, jangan biarkan sendiri,
makan bersama, bepergian bersama.
d. Beri informasi waktu fallow up atau kapan perlu mendapat
bantuan halisinasi tidak terkontrol dan resiko mencederai
orang lain.
5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik untuk mengontrol
halusinasinya.
5.1 Diskusikan dengan keluarga dan klien tentang jenis, dosis,
frekuensi, dan manfaat obat.
5.2 Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan
manfaatnya.
5.3 Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek
samping obat yang dirasakan.
5.4 Diskusikan akibat berhenti obat tanpa konsultasi.
5.5 Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta :
EGC. 1998
2. Townsend, M.C. 1998. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
Psikiatri, edisi 3. Jakarta: EGC.
3. Stuart, G.W. & Michele T. Laraia, Principles and Practice of Psychiatric
Nursing, 6 th Edition, Mosby Company, St. Louis, 1998
4. Keliat, B. A., Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, EGC, Jakarta, 1999
5. Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa :
Yasmin Asih, Edisi 6, EGC, Jakarta, 1998
LAPORAN PENDAHULUAN
“HARGA DIRI RENDAH”
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah
kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan
atau produktivitas yang menurun.Secara umum,gangguan konsep diri
harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara
situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakann,perkosaan atau dipenjara, termasuk dirawat dirumah
sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik
atau pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman. Harga diri
rendah kronik, biasanya dirasakan klien sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.
C. Pohon Masalah
Isolasi sosial (Effect)
E. Penentuan Diagnosa
1. Batasan Karakteristik (NANDA I)
a. Pengungkapan diri negative
b. Ekpresi malu atau rasa bersalah
c. Ekpresi diri sebagai seorang yang tidak dapat mengatasi suatu
situasi
d. Merasionalisasi penolakan
e. Ketidakmampuan untuk menentukan tujuan
f. Pemecahan masalah yang buruk
g. Menunjukkan gejala depresi (ggn tidur, makan)
h. Mencari jaminan secara berlebihan
i. Perilaku penyalahgunaan diri
j. Menolak mencoba situasi baru
k. Mmengingkari masalah-masalah nyata
l. Proyeksi rasa bersalah/ tanggung jawab terhadap masalah
m.Merasionalisasikan kegagalan pribadi
n. Hipersensivitas terhadap kritik ringan
o. Penuh kata-kata yang muluk
2. Tanda Mayor (Lynda Juall Carpenito)
a. Menyebutkan kekurangan diri
b. Mengekpresikan rasa malu atau perasaan bersalah
c. Mengevaluasi diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu
d. Mengatasi berbagai kejadian
e. Mengesampingkan umpan balik positif dan membesar-besarkan
umpan balik negative dari diri sendiri
f. Kurang kemampuan dalam pemecahan masalah
g. Ragu-ragu untuk mencoba hal-hal baru
h. Mencoba menalar kegagalan personal
i. Hipersensitif terhadap kritik dan saran
3. Tanda Minor (Lynda Juall Carpenito)
a. Berperilaku sesuai aturan secara berlebihan
b. Tidak mampu membuat keputusan dengan cepat
c. Pasif
d. Mencari persetujuan atau dukungan secara berlebihan
e. Kurang presentasi tubuh
f. Menyangkal masalh yang jelas terlihat orang lain
g. Proyeksi kesalahan atau tanggung jawab terhadap berbagai
masalah
F. Perumusan Diagnosa Keperawatan
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Gangguan : aksis 3 (diskriptor)
Konsep diri : aksis 1 (konsep diagnosa)
Harga diri rendah: aksis 1 (konsep diagnosa)
G. Intervensi
TUM : Pasien secara bertahap mencapai harga diri yang realistis
TUK 1: Pasien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria Evaluasi:
1. Ekspresi bersahabat
2. Menjawab salam
3. Mampu berjabat tangan
4. Pasien mau duduk berdampingan dengan perawat
5. Mengutarakan masalah yang dihadapi
Intervensi:
1. Bina hubungan saling percaya
2. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan tentang penyakit
yang diderita
3. Sediakan waktu untuk mendengarkan pasien
4. Katakan pada pasien bahwa ia seorang yang berharga, bertanggung
jawab dan mampu menolong dirinya
2. Rentang Respons
RENTANG RESPONS SOSIAL
5. Akibat
Risiko terjadi gangguan sensori persepsi : halusinasi
III.
A. POHON MASALAH
Isolasi Sosial
Masalah utama --------------
V. RENCANA KEPERAWATAN
Dx. 1. Isolasi sosial
a. Tujuan Umum (TUM)
1. Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
b. Tujuan Khusus (TUK)
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
1.1 Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip
komunikasi terapeutik.
a. Sapa klien dengan ramah, baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang
disukai klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Beri perhatian pada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
klien
2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
2.1 Kaji pegetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya
2.2 Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri atau tidak mau bergaul
2.3 Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-
tanda serta penyebab yang muncul
2.4 Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang
lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
3.1 Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan
3.2 Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
3.3 Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan
orang lain
3.4 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan
dengan orang lain
3.5 Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain
3.6 Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
3.7 Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain
3.8 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
4.1 Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
4.2 Dorong dan bantu klien untuk berhubungan dengan orang lain
melalui tahap:
a. Klien - Perawat
b. Klien - Perawat - Perawat lain
c. Klien - Perawat - Perawat lain - Klien lain
d. Klien - Keluarga / kelompok / masyarakat
4.3 Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah
dicapai
4.4 Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
4.5 Diskusikan jadual harian yang dapat dilakukan bersama klien
dalam mengisi waktu
4.6 Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
4.7 Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan
ruangan
5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan
dengan orang lain
5.1 Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila
berhubungan dengan orang lain
5.2 Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan
dengan orang lain
5.3 Beri reinforcement positif atas kemampuan klien
mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan orang
lain
6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluanga mampu
mengembangkan kemampuan klien untuk berhubungan dengan orang
lain
6.1 Bina hubungan saling percaya dengan keluarga
a. Salam, perkenalkan diri.
b. Sampaikan tujuan
c. Buat kontrak.
d. Eksplorasi perasaan keluarga
6.2 Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
a. Perilaku menarik diri.
b. Penyebab perilaku menarik diri.
c. Akibat yang akan terjadi jika perilaku menarik diri tidak
ditanggapi
d. Cara keluarga menghadapi klien menarik diri.
6.3 Dorong anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada klien
untuk berkomunikasi dengan orang lain.
6.4 Anjurkan anggota keluarga untuk secara rutin dan bergantian
mengunjungi klien minimal satu kali seminggu.
6.5 Beri reinforcement atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta :
EGC. 1998
2. Townsend, M.C. 1998. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan
Psikiatri, edisi 3. Jakarta: EGC.
3. Rawlins, R.P. & Patricia Evans Heacock, Clinical Manual of Psychiatric
Nursing, 2 nd Edition, Mosby Year Book, St. Louis, 1993
4. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung,
RSJP Bandung, 2000
LAPORAN PENDAHULUAN
“PERILAKU KEKERASAN”
Respons Respons
Adaptif Maladaptif
3. Penyebab
1) Faktor Predisposisi
a. Psikologis
Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya, atau saksi
penganiayaan
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan
frustasi yang kemudian dapat menimbulkan agresif atau
amuk
b. Perilaku
Reinforcement yang diterima mendapatkan dukungan pada
saat melakukan kekerasan
Sering mengobservasi kekerasan dirumah/ di luar rumah
c. Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif – agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
diterima (permisive)
d. Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan kerusakan sistem
limbik, lobus frontal, lobus temporal dan
ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya peilaku kekerasan
5. Akibat
a. Risiko Mencederai diri sendiri
b. Risiko Mencederai orang lain
c. Risiko Mencederai lingkungan
Perilaku Kekerasan
Akibat ------------------------
V. RENCANA KEPERAWATAN
Dx. 1. Resiko perilaku kekerasan
a. Tujuan Umum :
Klien tidak melakukan tindakan kekerasan
b. Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
1.1. Bina hubungan saling percaya.
a. Beri salam / panggil nama klien
b. Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan
c. Jelaskan maksud dan tujuan intraksi.
d. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
e. Beri rasa aman dan sikap empati
f. Lakukan kontak singkat tapi sering
2. Klien dapat mengidentifikasikan penyebab perilaku kekerasan.
2.1 Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
2.2 Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel /
kesal.
3. Klien dapat mengidentifikasikan tanda-tanda perilaku kekerasan.
3.1 Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel / kesal.
3.2 Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.
3.3 Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami
klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekeraan yang biasa dilakukan.
4.1 Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekeraan yang biasa
dilakukan klien.
4.2 Bantu klien untuk bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasaan
yang biasa dilakukan.
4.3 Bicarakan dengan klien, apakah dengan cara yang klien dilakukan
masalahnya selesai.
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
5.1 Bicarakan akibat / kerugian dari cara yang dilakukan klien.
5.2 Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan klien.
5.3 Tanyakan pada klien “Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat.”
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
marah.
6.1 Tanyakan pada klien Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat.
6.2 Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.
6.3 Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat :
a. Secara fisik.
Tarik napas dalam, jika sedang kesal / tersinggung / jengkel atau
memukul bantal / kasur, atau olah raga, atau pekerjaan yang
memerlukan tenaga
b. Secara verbal.
Katakan bahwa anda sedang kesal/ tersinggung / jengkel
(contoh : “Saya kesal anda berkata seperti itu, saya marah
karena mama tidak memenuhi keinginginan saya”)
3. Secara sosial.
Lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang seha, latihan
asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan
4. Secara spiritual.
Anjurkan klien sembahyang, berdo’a, ibadah lain ; meminta pada
Tuhan untuk diberi kesabaran, maengadu pada Tuhan tentang
kekerasan/ kejengkelan.
7.Klien dapat mendemontrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
7.1 Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien
7.2 Bantu klien mengidentivikasi manfaat cara yang telah dipilih
7.3 Bantu klien menstimulasikan cara tersebut (role play)
7.4 Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasikan
cara tersebut.
7.5 Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang dipelajari saat jengkel
atau marah
7.6 Susun jadual melakukan cara yang telah dipelajari.
8. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program
pengobatan).
8.1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien.
8.2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat
tanpa ijin dokter.
8.3. Jelaskan prinsip lima benar: benar klien, dosis, waktu, obat dan
caranya.
8.4. Jelaskan manfaat minum obat dan efek samping obat
8.5. Anjurkan klien meminta sendiri obatnya dan minum obat tepat
waktu
8.6. Anjurkan klien melapor pada perawat / dokter jika merasakan efek
yang tidak menyenangkan.
8.7. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.
9. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
9.1 Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap
yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
9.2 Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
9.3 Jelaskan cara-cara merawat klien :
Terkait dengan cara mengontrol perilaku kekerasan yang
konstruktif
Sikap tenang, bicara jelas, tidak terburu-buru
Membantu klien mengenal penyebab marah
9.4 Bantu keluarga mendemontrasikan cara merawat klien di rumah.
9.5 Bantu keluarga mengungkapkan perasaan setelah melakukan
demontrasi.
10. Klien mendapat perlindungan dari lingkungan untuk mengontrol
perilaku kekerasan.
10.1 Bicara tenang, gerakan tidak terburu-buru, nada suara rendah,
tunjukkan kepedulian, jangan menentang klien.
10.2 Lindungi agar klien tidak mencederai diri atau orang lain/
lingkungan
10.3 Jika tidak bisa diatasi lakukan pembatasan gerak/ pengekangan
(lihat pedoman pengekangan pada klien)
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta :
EGC. 1998
2. Townsend, M.C. 1998. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan
Psikiatri, edisi 3. Jakarta: EGC.
3. Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa :
Yasmin Asih, Edisi 6, EGC, Jakarta, 1998
LAPORAN PENDAHULUAN
“RESIKO BUNUH DIRI”
2. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
Peningkatan diri
Beresiko destruktif
Destruktif diri tak langsung
Pencederaan diri Bunuh diri
Keterangan :
a. Peningkatan diri. Seorang individu yang mempunyai pengharapan,
yakin dan kesadaran diri meningkat.
b. Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri.
c. Destruktif diri tak langsung. Yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian,
seperti perilaku merusak, mengebut, berjudi, penyalahgunaan zat,
perilaku yang menyimpang secara social, dan perilaku yang
menimbulkan stress.
d. Pencederaan diri. Yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri
sendiri yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan
terhadap diri sendiri, tanpa bantuan orang lain dan cedera tersebut
cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan
diri termasuk melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau
anggota tubuh, melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit
jari.
e. Bunuh diri. Yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri
untuk mengakhiri kehidupan.
3. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
1. Diagnosisi Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu beresiko untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, skizofrenia.
2. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsive dan depresi.
3. Lingkungan Psikososial.
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan social, kejadian-
kejadian negative dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting
dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan lebih
dahulu mengetahui penyebab masalah, respon seseorang dalam
menghadapi masalah tersebut dan lain lain.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
5. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat dalam otak
seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat
tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro
Encephalo Graph (EEG).
b. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Factor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakuakn bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu
yang emosinya labil, hal tersebut sangat rentan.
c. Perilaku Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang
ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak factor, baik factor
sosil maupun budaya. Isolasi social dapat menyebabkan kesepian dan
keinginan untuk bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka
bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah
seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
d. Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme
koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk
denial, rasionalization, regression, dan magical thinking. Mekanisme
pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa
memberikan koping alternatif.
5. Akibat
Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :
1. Keputusasaan
2. Menyalahkan diri sendiri
3. Perasaan gagal dan tidak berharga
4. Perasaan tertekan
5. Insomnia yang menetap
6. Penurunan berat badan
7. Berbicara lamban, keletihan
8. Menarik diri dari lingkungan social
9. Pikiran dan rencana bunuh diri
10. Percobaan atau ancaman verbal
III.
A. POHON MASALAH
Resiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan verbal)
Effect
Resiko bunuhdiri
Core Problem
Masalah keperawatan
a. Resiko Perilaku bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada
gunanya hidup.
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba
bunuhdiri.
b. Koping maladaptive
DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada
harapan.
DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol
impuls.
b. Faktor Presipitasi
1) Hubungan yang bermusuhan
2) Merasa ada tekanan
3) Isolasi diri/ social
4) Pengangguran disertai perasaan tidak berguna
5) Putus asa dan tidak berdaya
5. Akibat
a. Kerusakan komunikasi verbal
b. Periko perilaku kekerasan
III.
A. POHON MASALAH
1. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta :
EGC. 1998
2. Townsend, M.C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada
Keperawatan Psikiatri, edisi 3. Jakarta : EGC
3. Stuart, G.W. & Michele T. Laraia, Principles and Practice ofPsychiatric
Nursing. 6 th Edition, Mosby Company, St. Louise, 1998
4. Keliat, B.A. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC : Jakarta
5. Carpenito, Lynda Juall. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Alih
Bahasa : Yasmin A