Anda di halaman 1dari 23

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI-FITOKIMA

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MIPA


UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR

LAPORAN FITOKIMIA LANJUTAN

OLEH:

NAMA : DEVI AMIRUDDIN

NIM : 17031014078

KELA : VI B

KELOMPOK : II (DUA)

ASISTEN : EKA QURNIATI SYAHPUTRI

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
MAKASSAR
2020
PENDAHULUAN

Kromatografi ialah cara pemisahan berdasarkan perbedaan

kecepatan zat-zat terlarut yang bergerak bersama-sama dengan

pelarutnya pada permukaan suatu benda penyerap. Cara ini umum

dilakukan pada pemisahan zat-zat berwarna (bahasa Yunani: chromos =

warna) (Kennedy, 1990).

Kromatografi adalah cara pemisahan campuran yang didasarkan

atas perbedaan distribusi dari komponen campuran tersebut diantara dua

fase, yaitu fase diam (stationary) dan fase bergerak (mobile). Fase diam

dapat berupa zat padat atau zat cair, sedangkan fase bergerak dapat

berupa zat cair atau gas (Kennedy, 1990).

Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-

komponen campuran dimana cuplikan berkesetimbangan di antara dua

fase, fase gerak yang membawa cuplikan dan fase diam yang menahan

cuplikan secara selektif. Bila fase gerak berupa gas, disebut kromatografi

gas, dan sebaliknya kalau fase gerak berupa zat cair, disebut

kromatografi cair (Hendayana, 1994).

Meskipun dasar kromatografi adalah suatu proses pemisahan

namun banyak diantara cara ini dapat digunakan untuk analisis

kuantitatif. Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam analisis

kualitatif dan analisis kuantitatif adalah kromatografi kertas,

kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi kolom, kromatografi gas, dan

kromatografi cair kinerja tinggi. Kromatografi kertas dan KLT pada


umumnya lebih bermanfaat untuk tujuan identifikasi, karena lebih

mudah dan sederhana (Hendayana, 1994).

Teknik pemisahan kromatografi dilakukan untuk mendapatkan

pemisahan campuran diantara dua fase. Fase tersebut adalah fase diam

dan fase gerak. Fase diam dapat berupa zat cair dan zat padat,

sedangkan fase gerak dapat berupa zat cair atau gas.

Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengidentifikasi

komponen senyawa dari tanaman sambiloto (Andrographis paniculata)

dengan menggunakan beberapa metode yaitu diantaranya kromatografi

kolom, kromatografi cair vakum, kromatografi lapis tipis preparatif dan

kromatografi dua dimensi atau multieluen.

Manfaat kromatografi dalam bidang farmasi yaitu dapat

mengetahui bagaimana cara memisahkan atau mengisolasi dan

mengidentifikasi senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam bahan

alam yang akan dimodifikasi menjadi obat baru.


A. TEORI UMUM

1. Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom adalah proses pemisahan yang tergantung

pada perbedaan distribusi campuran komponen antara fase gerak dan

fase diam. Fase diam dapat berupa pembentukan kolom dimana fase

gerak dibiarkan untuk mengalir (kromatografi kolom) atau berupa

pembentukan lapis tipis dimana fase gerak dibiarkan untuk naik

berdasarkan kapilaritas (kromatografi lapis tipis). Perlu diperhatikan

bahwa senyawa yang berbeda memiliki koefisien partisi yang berbeda

antara fase gerak dan diam. Senyawa yang berinteraksi lemah dengan

fase diam akan bergerak lebih cepat melalui sistem kromatografi.

Senyawa dengan interaksi yang kuat dengan fase diam akan bergerak

dengan sangat lambat (Christian, 1994; Skoog, 1996).

Pemisahan komponen campuran melalui kromatografi adsorpsi

tergantung pada kesetimbangan adsorpsi-desorpsi antara senyawa yang

teradsorbsi pada permukaan dari fase diam padatan dan pelarut dalam

fase cair. Tingkat adsorpsi 8 xxi komponen tergantung pada polaritas

molekul, aktivitas adsorben, dan polaritas fase gerak cair. Umumnya,

senyawa dengan gugus fungsional lebih polar akan teradsorbsi

lebih kuat pada permukaan fase padatan. Aktivitas adsorben tergantung

komposisi kimianya, ukuran partikel, dan pori-pori partikel

(Braithwaite, dkk, 1995).


Cara kerja ada dua macam (Hargono, 1986).

a) Cara kering yaitu silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah

diberi kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi.

b) Cara basah yaitu silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan cairan

pengelusi yang akan digunakan kemudian dimasukkan kedalam kolom

melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi sedikit hingga

masuk semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga silika

gel mapat, setelah silika gel mapat eluen dibiarkan mengalir sampai

batas adsorben kemudian kran ditutup dan sampel dimasukkan yang

terlebih dahulu dilarutkan dalam eluen sampai diperoleh kelarutan

yang spesifik. Kemudian sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam

kolom melalui dinding kolom sedikit demi sedikit hingga masuk semua,

dan kran dibuka dan diatur tetesannya, serta cairan pengelusi

ditambahkan. Tetesan yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi.

Fase diam: biasa digunakan silika gel dan alumina

Fase gerak : eluen / solven

Keuntungan kromatografi kolom yaitu dapat digunakan untuk

analisis dan aplikasi preparatif, digunakan untuk menentukan jumlah

komponen campuran digunakan untuk memisahkan dan purifikasi

substansi. Kerugian kromatografi kolom yaitu untuk mempersiapkan

kolom dibutuhkan kemampuan teknik dan manual, metode ini sangat

membutuhkan waktu yang lama (time consuming) (Rahman, 2009).


2. Kromatografi Cair Vakum

Kromatografi Cair Vakum (KCV), Teknik KCV dilakukan dengan

suatu sistem yang bekerja pada kondisi vakum secara terus-menerus

sehingga diperoleh kerapatan kemasan yang maksimum atau

menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju alir fase gerak.

Urutan eluen yang digunakan dalam kromatografi cair diawali dari eluen

yang mempunyai tingkat kepolaran rendah kemudian kepolarannya

ditingkatkan secara perlahan-lahan. Urutan eluen yang digunakan dalam

kromatografi diawali dari eluen yang mempunyai tingkat kepolaran

rendah kemudian kepolarannya ditingkatkan secara perlahan-lahan

(Hosstetmann dkk., 1995).

Cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi

dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 µm) dalam

keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum

dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan

penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dipisah sampai kering dan

sekarang siap dipakai (Hostettman, 1988).

Fase diam yang digunakan dikemas dalam kolom yang digunakan

dalam KCV. Proses penyiapan fase diam dalam kolom terbagi menjadi

dua macam, yaitu (Sarker et al., 2006):

a) Cara Basah

Preparasi fase diam dengan cara basah dilakukan dengan

melarutkan fase diam dalam fase gerak yang akan digunakan.


Campuran kemudian dimasukkan ke dalam kolom dan dibuat merata.

Fase gerak dibiarkan mengalir hingga terbentuk lapisan fase diam yang

tetap dan rata, kemudian aliran dihentikan.

b) Cara kering

Preparasi fase diam dengan cara kering dilakukan dengan cara

memasukkan fase diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi.

Fase diam tersebut selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan

digunakan.

Preparasi sampel cara basah dilakukan dengan melarutkan

sampel dalam pelarut yang akan digunakan sebagai fase gerak dalam

KCV. Larutan dimasukkan dalam kolom kromatografi yang telah terisi

fase diam. Bagian atas dari sampel ditutupi kembali dengan fase diam

yang sama. Sedangkan cara kering dilakukan dengan mencampurkan

sampel dengan sebagian kecil fase diam yang akan digunakan hingga

terbentuk serbuk. Campuran tersebut diletakkan dalam kolom yang

telah terisi dengan fase diam dan ditutup kembali dengan fase diam

yang sama (Sarker et al., 2006).

Keuntungan dari kromatografi cair vakum (KCV) yaitu konsumsi

fase gerak KCV hanya 80% atau lebih kecil dibanding dengan kolom

konvensional karena pada kolom mikrobor kecepatan alir fase gerak

lambat (10-100 µl/menit), adanya aliran fase gerak lebih lambat

membuat kolom mikrobor lebih ideal jika digabung dengan spektrometer

massa, sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solute lebih


pekat karenanya jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel

terbatas misalnya sampel klinis. Sedangkan kerugian KCV yaitu

membutuhkan waktu lama, sampel yang dapat digunakan terbatas

(Shill, 1978).

3. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu

metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana.

Ketebalan penjerap yang sering dipakai adalah 0,5 - 2 mm. Ukuran plat

kromatografi biasanya 20 x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan

ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan

dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum digunakan adalah

silika gel. Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan

dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak

sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita.

Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol

otomatis. Pelarut yang baik untuk melarutkan cuplikan adalah pelarut

yang atsiri. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana

kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh

dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang

diletakkan berdiri di sekitar permukaan bagian dalam bejana

(Hostettmann, et al, 1995). Kebanyakan Penjerap KLT preparatif

mengandung indikator fluorosensi yang membantu mendeteksi letak pita

yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Untuk


mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet yaitu dengan

cara menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot kedua sisi

dengan penyemprot (Hostettmann, et al, 1995). Setelah pita

ditampakkan dengan cara yang tidak merusak maka senyawa yang tidak

berwarna dengan penjerap dikerok dari plat kaca. Cara ini berguna untuk

memisahkan campuran beberapa senyawa sehingga diperoleh senyawa

murni (Gritter, et al, 1991).

Adsorben yang paling banyak digunakan dalam kromatografi lapis

tipis adalah silika gel dan aluminium oksida. Silika gel umumnya

mengandung zat tambahan Kalsium sulfat untuk mempertinggi daya

lekatnya. Zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk

kromatografi senyawa netral, asam dan basa. Aluminum oksida

mempunyai kemampuan koordinasi dan oleh karena itu sesuai untuk

pemisahan senyawa yang mengandung gugus fungsi yang berbeda.

Aluminium oksida mengandung ion alkali dan dengan demikian bereaksi

sebagai basa dalam suspensi air (Munson, 2010).

Kelebihan dari penggunaan KLT Preparatif adalah biaya yang

digunakan murah dan memakai peralatan paling dasar. Sementara

kekurangannya antara lain adanya kemungkinan senyawa yang diambil

dari plat adalah senyawa beracun, waktu yang diperlukan dalam proses

pemisahan cukup panjang, adanya pencemar setelah proses ekstraksi

senyawa dari adsorben dan biasanya rendemen yang diperoleh berkurang

dari 40%-50% dari bahan awal (Kristanti, 2008).


4. Kromatografi Dua Dimensi/Multieluen

Kromatografi dua dimensi adalah jenis teknik kromatografi di

mana sampel yang disuntikkan dipisahkan dengan melewati dua tahap

pemisahan yang berbeda. Dua kolom kromatografi yang berbeda

dihubungkan secara berurutan, dan eluen dari sistem pertama

dipindahkan ke kolom kedua. Biasanya kolom kedua memiliki mekanisme

pemisahan yang berbeda, sehingga pita yang tidak terselesaikan dengan

baik dari kolom pertama dapat sepenuhnya dipisahkan di kolom

kedua. (Misalnya, kolom kromatografi fase terbalik C18 dapat diikuti

oleh kolom fenil.) Sebagai alternatif, dua kolom dapat berjalan pada

suhu yang berbeda. Selama tahap kedua pemisahan tingkat di mana

pemisahan terjadi harus lebih cepat daripada tahap pertama, karena

masih ada hanya satu detektor. Permukaan bidang setuju untuk

pengembangan berurutan dalam dua arah menggunakan dua pelarut yang

berbeda. Teknik kromatografi dua dimensi modern didasarkan pada hasil

perkembangan awal kromatografi kertas dan kromatografi lapis

tipis yang melibatkan fase gerak cair dan fase diam padat. Teknik-teknik

ini nantinya menghasilkan kromatografi gas modern dan

analisis kromatografi cair . Kombinasi berbeda dari GC satu dimensi dan

LC menghasilkan teknik analitik kromatografi yang dikenal sebagai

kromatografi dua dimensi. Bentuk awal kromatografi 2D datang dalam

bentuk pemisahan TLC multi-langkah di mana selulosa tipis digunakan

pertama dengan satu pelarut dalam satu arah, kemudian, setelah kertas
dikeringkan, pelarut lain dijalankan dalam arah pada sudut kanan ke

yang pertama (Biochem J. 1994).

Multi eluen adalah penggunaan eluen atau fase gerak yang

memungkinkan pemisahan analit dengan berdasarkan tingkat polaritas

yang berbeda. KLT dua arah adalah cara yang memungkinkan pemakaian

lapisan fase diam yang mengandung banyak komponen (Ibnu, 2008).

Cara kerja kromatografi dua dimensi/multieluen adalah sampel

ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satu sistem fase

gerak sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan

salah satu sisi. Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90 o, dan

diletakkan dalam bejana kromatografi yang berisi fase gerak kedua,

sehingga bercak yang terpisah pada pengembangan pertama terletak

dibagian bawah sepanjang lempeng, lalu dikromatografi lagi

(Rohman, 2009).

Keuntungan dari kromatografi dua dimensi yaitu pemisahan dua

dimensi pada KLT yang mudah dilakukan sangat berguna untuk sampel

yang mengandung banyak komponen yang tidak mudah diselesaikan oleh

metode lain. Sedangakan kerugiannya yaitu analisis kuantitatif dengan

celah scan densitometri tidak terlalu berhasil untuk TLC 2D karena

standard dapat diterapkan hanya setelah elusi pertama dan tidak akan

memiliki konfigurasi zona yang sama dengan elusi analit ganda

(Satari, 1999; Fried et al., 1999).


B. Prinsip Kerja Dari Metode

Prinsip kerja kromatografi  kolom  adalah dengan

adanya perbedaan daya serap dari masing-masing komponen, campuran

yang akan diuji, dilarutkan dalam sedikit pelarut lalu di masukan lewat

puncak kolom dan dibiarkan mengalir kedalam zat menyerap. Senyawa

yang lebih polar akan terserap lebih kuat sehingga turun lebih lambat

dari senyawa non polar  terserap lebih lemah dan turun lebih cepat. Zat

yang di serap dari larutan secara sempurna oleh bahan penyerap berupa

pita sempit pada kolom. Pelarut lebih lanjut / dengan tanpa tekanan

udara masing-masing zat akan bergerak turun dengan kecepatan khusus

sehingga terjadi pemisahan dalam kolom (Sudjadi, 1988).

Prinsip kerja kromatografi cair vakum KVC yaitu partisi dan

adsorpsi komponen senyawa yang pemisahannya dibantu dengan tekanan

dari alat vakum. Fase diam yang digunakan dalam kromatografi kolom

cair vakum adalah silika gel, sedangkan fase geraknya digunakan fase

gerak terbaik pada KLT dengan eluen (Maro et al., 2015).

Prinsip kerja kromatografi lapis tipis preparatif yaitu adsorpsi

dan partisi, dengan menggunakan lempeng yang besar (20 X 20)

(Nasution, 2010).

Prinsip dari KLT dua dimensi adalah adsorpsi dan partisi dengan

menggunakan lempeng sebagai fase diam dan perbandingan eluen

pada profil KLT dimana akan memperpanjang lintasan noda (Rf)

dengan menunjukkan senyawa tunggal. Prinsip dari multi eluen


yaitu adsorpsi dan partisi dengan menggunakan lempeng sebagai

fase diam dengan beberapa perbandingan eluen pada tingkat

kepolaran tertentu untuk mempertegas adanya senyawa tunggal yang

terdapat pada sampel (Markham, 1998).

C. Hasil Pengamatan

1. Tabel Pengamatan

a. Kromatografi Kolom

Perbandingan Pelarut Keterangan


- N heksan Bening
- N heksan : etil asetat (8:2) Orange
- N heksan : etil asetat (6:4) Kuning
- N heksan : etil asetat (2:8) Kuning pucat
- N heksan : etil asetat (1:9) Bening

b. Kromatografi Cair Vakum

Perbandingan Pelarut Keterangan


- N heksan Bening
- N heksan : etil asetat (8:2) Kuning
- N heksan : etil asetat (6:4) Kuning pucat
- N heksan : etil asetat (3:7) Kuning kehijauan
- N heksan : etil asetat (1:9) Bening

c. KLT Preparatif

Eluen 8:2 Fraksi Pengamatan UV 254 Rf


dan UV 366
N heksan : etil KK 1. Kuning 0,6
asetat
N heksan : etil KCV 1. Orange 0,24
asetat 2. Kuning 0,5

d. Kromatografi Dua Dimensi / Multieluen


Eluen 8:2 Fraks Pengamatan UV Rf Bercak
i 254 dan UV 366
N heksan : etil KK - - -

asetat
N heksan : etil KCV Orange 0,45 1

asetat

D. Pembahasan

1. Kromatografi kolom

Kromatografi kolom adalah proses pemisahan yang tergantung

pada perbedaan distribusi campuran komponen antara fase gerak dan

fase diam.

Prinsip kerja kromatografi  kolom  adalah dengan

adanya perbedaan daya serap dari masing-masing komponen, campuran

yang akan diuji, dilarutkan dalam sedikit pelarut lalu di masukan lewat

puncak kolom dan dibiarkan mengalir kedalam zat menyerap. Senyawa

yang lebih polar akan terserap lebih kuat sehingga turun lebih lambat

dari senyawa non polar  terserap lebih lemah dan turun lebih cepat. Zat

yang di serap dari larutan secara sempurna oleh bahan penyerap berupa

pita sempit pada kolom. Pelarut lebih lanjut / dengan tanpa tekanan

udara masing-masing zat akan bergerak turun dengan kecepatan khusus

sehingga terjadi pemisahan dalam kolom (Sudjadi, 1988).

Percobaan ini dilakukan dengan metode kromatografi kolom pada

sampel sambiloto (Andrographis paniculata) dengan menggunakan dua

pelarut yang berbeda yaitu N-heksan dan etil asetat. Hasil yang
diperoleh pada percobaan ini yaitu pertama, pada pelarut N-heksan

diperoleh hasil bening. Kedua dengan menggunakan pelarut N-heksan :

etil asetat dengan perbandingan (8:2) diperoleh hasil berwarna kuning,

ketiga dengan menggunakan pelarut N-heksan : etil asetat dengan

perbandingan (6:4) diperoleh hasil kuning pucat, keempat dengan

menggunakan pelarut N-heksan : etil asetat dengan perbandingan (3:7)

diperoleh hasil kuning kehijauan, kelima dengan menggunakan pelarut

N-heksan : etil asetat dengan perbandingan (1:9) diperoleh hasil bening.

Pada fraksi pertama dan kelima menunjukkan bahwa tidak adanya

senyawa yang tertarik. Sedangkan pada fraksi kedua, ketiga dan

keempat telah sesuai dengan literatur (Harbone, 1987) yang menyatakan

bahwa pada pengujian flavonoid positif apabila terjadi perubahan warna

menjadi kuning, merah, atau jingga. Sehingga dapat diketahui pada

sampel sambiloto (Andrographis paniculata) tersebut positif mengandung

flavonoid.

2. Kromatografi cair vakum

Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode

fraksinasi yaitu dengan memisahkan ekstrak kasar menjadi fraksi-

fraksinya yang lebih sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan

kolom yang berisi fase diam dan aliran fase geraknya dibantu dengan

pompa vakum. Fase diam yang digunakan dapat berupa silika gel atau

alumunium oksida (Ghisalberti, 2008).


Kromatografi cair vakum dilakukan untuk memisahkan golongan

senyawa metabolit sekunder secara kasar dengan menggunakan silika gel

sebagai absorben dan berbagai perbandingan pelarut N-heksana : etil

asetat : metanol (elusi gradien) dan menggunakan pompa vakum untuk

memudahkan penarikan eluen (Helfman, 1983).

Pada percobaan ini digunakan dua pelarut yang berbeda yaitu

N- heksan dan etil asetat dengan metode kromatografi cair vakum pada

sampel sambiloto (Andrographis paniculata). Hasil yang diperoleh

dengan hanya menggunakan pelarut N-heksan yaitu bening, kedua

dengan menggunakan pelarut N-heksan : etil asetat dengan

perbandingan 8:2 diperoleh hasil orange, ketiga dengan menggunakan

pelarut

N-heksan: etil asetat dengan perbandingan 6:4 diperoleh hasil berwarna

kuning, keempat dengan menggunakan pelarut N-heksan : etil asetat

dengan perbandingan 2:8 diperoleh hasil kuning pucat, kelima dengan

menggunakan pelarut N-heksan:etil asetat dengan perbandingan 1:9

diperoleh hasil bening. Hal ini telah sesuai dengan literatur

(Harbone, 1987) yang menyatakan positif mengandung flavonoid jika

terjadi perubahan warna kuning, merah atau jingga. Sehingga dapat

diketahui bahwa pada sampel sambiloto (Andrographis paniculata)

positif mengandung alkaloid yang ditandai dengan terjadinya perubahan

warna.

3. Kromatografi lapis tipis preparatif


Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu

metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana.

Prinsip kerja kromatografi lapis tipis preparatif yaitu adsorpsi

dan partisi, dengan menggunakan lempeng yang besar (20 X 20)

(Nasution, 2010).

Pada UV 254, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel

akan tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 254

adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator

flouresensi yang terdapat pada lempeng. Flouresensi cahaya yang

tampak merupakan pancaran cahaya yang dipancarkan oleh komponen

tersebut ketika electron dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi

kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.

Pada UV 366 noda akan berflouresensi dan lempeng akan

berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 adalah karena

adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang

terikat oleh ausokrom yang ada pada noda tersebut.

Percobaan ini dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis

preparatif pada sampel sambiloto (Andrographis paniculata) dengan

menggunakan dua pelarut yaitu digunakan eluen N-heksan:etil asetat

dengan perbandingan 8:2 dengan fraksi Kromatografi kolom. Berdasarkan

hasil pengamatan yang telah dilakukan dengan menggunakan UV 254 dan

UV 366 diperoleh hasil berwarna kuning dengan nilai Rf 0,6. Dimana

untuk nilai Rf yang diperoleh tidak sesuai dengan literatur


(Depkes RI, 2008) yang menyatakan bahwa standar nilai Rf pada tanaman

sambiloto (Andrographis paniculata) adalah 0,55 dan telah perubahan

warna kuning sesuai dengan literatur (Harbone, 1987) yang menyatakan

bahwa positif mengandung flavonoid jika terjadi perubahan warna

kuning, merah atau jingga. Sehingga dapat diketahui pada sampel

sambiloto (Andrographis paniculata) tersebut positif mengandung

flavonoid. Sedangkan dengan fraksi Kromatografi cair vakum pengamatan

dengan menggunakan UV 254 diperoleh hasil berwarna orange dan kuning

dengan nilai Rf 0,24. Dimana untuk nilai Rf yang diperoleh tidak sesuai

dengan literatur (Depkes RI, 2008) yang menyatakan bahwa standar nilai

Rf pada tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) adalah 0,55 dan

perubahan warna orange dan kuning telah sesuai dengan literatur

(Harbone, 1987) yang menyatakan bahwa positif mengandung flavonoid

jika terjadi perubahan warna kuning, merah atau jingga. Sehingga dapat

diketahui pada sampel sambiloto (Andrographis paniculata) tersebut

positif mengandung flavonoid. Dan pada UV 366 diperoleh hasil berwarna

kuning dengan nilai Rf 0,5 telah sesuai dengan literatur

(Depkes RI, 2008) yang menyatakan bahwa standar nilai Rf pada tanaman

sambiloto (Andrographis paniculata) adalah 0,55. Untuk perubahan

warna kuning sesuai dengan literatur (Harbone, 1987) yang menyatakan

bahwa positif mengandung flavonoid jika terjadi perubahan warna

kuning, merah atau jingga. Sehingga dapat diketahui pada sampel


sambiloto (Andrographis paniculata) tersebut positif mengandung

flavonoid.

4. Kromatografi dua dimensi/multieluen

Multieluen adalah penggunaan eluen atau fase gerak yang berbeda

yang memungkinkan pemisahan analit dengan berdasarkan tingkat

polaritas yang berbeda.

KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel

ketika komponen-komponen solute mempunyai karakteristik kimia yang

hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama.

Prinsip dari KLT dua dimensi adalah adsorpsi dan partisi dengan

menggunakan lempeng sebagai fase diam dan perbandingan eluen

pada profil KLT dimana akan memperpanjang lintasan noda (Rf)

dengan menunjukkan senyawa tunggal. Prinsip dari multieluen

yaitu adsorpsi dan partisi dengan menggunakan lempeng sebagai

fase diam dengan beberapa perbandingan eluen pada tingkat

kepolaran tertentu untuk mempertegas adanya senyawa tunggal yang

terdapat pada sampel daun paliasa (Markham, 1998).

Pada UV 254, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel

akan tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 254

adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator

flouresensi yang terdapat pada lempeng. Flouresensi cahaya yang

tampak merupakan pancaran cahaya yang dipancarkan oleh komponen


tersebut ketika elektron dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi

kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.

Pada UV 366 noda akan berflouresensi dan lempeng akan

berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 adalah karena

adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang

terikat oleh ausokrom yang ada pada noda tersebut.

Pada percobaan ini menggunakan metode kromatografi dua

dimensi digunakan eluen N-heksan:etil asetat dengan perbandingan 8:2

dengan fraksi Kromatografi kolom. Berdasarkan hasil pengamatan dengan

menggunakan UV 254 dan UV 366 tidak diperoleh hasil yang disebabkan

karena terjadi kesalahan pada saat proses praktikum. Sedangkan dengan

fraksi Kromatografi cair vakum, berdasarkan hasil pengamatan dengan

menggunakan UV 254 dan UV 366 diperoleh hasil berwarna orange

dengan nilai Rf 0,45 dan bercak 1. Dimana telah sesuai dengan literatur

(Depkes RI, 2008) yang menyatakan bahwa standar nilai Rf pada tanaman

sambiloto (Andrographis paniculata) adalah 0,55. Dan untuk perubahan

warna orange telah sesuai dengan literatur (Harbone, 1987) yang

menyatakan bahwa positif jika ditandai dengan adanya perubahan warna

kuning, merah atau jingga. Sehingga dapat diketahui pada sampel

sambiloto (Andrographis paniculata) tersebut positif mengandung

flavonoid.
E. Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil :

a. Pada kromatografi kolom diperoleh hasil positif mengandung

flavonoid yang ditandai dengan adanya perubahan warna kuning,

kuning pucat, kuning kehijauan pada sampel sambiloto

(Andrographis paniculata).

b. Pada kromatografi cair vakum (KVC) diperoleh hasil positif

mengandung flavonoid yang ditandai dengan adanya perubahan

warna kuning, kuning pucat dan orange pada sampel sambiloto

(Andrographis paniculata).

c. Pada kromatografi lapis tipis preparatif diperoleh hasil positif

mengandung flavonoid yang ditandai dengan adanya perubahan

warna kuning pada sampel sambiloto (Andrographis paniculata).

d. Pada kromatografi dua dimensi atau multieluen yaitu positif

mengandung flavonoid yang ditandai dengan adanya perubahan

warna kuning pada sampel sambiloto (Andrographis paniculata).


DAFTAR PUSTAKA

Braithwaite A dan Smith F J. 1995. “Chromatographic methods 5 th


Edition”. London: Chapman and Hall.

Christian, Gary D. 1994. “Analytical Chemistry 5 th Edition”. University of


Washington. John Wiley & Sons, USA.

Depkes RI, 2008. “Farmakope Herbal Indonesia”. Depkes RI : Jakarta.

Gritter, R. J. 1991. “Pengantar Kromatografi”. Bandung: Penerbit ITB.

Harbone, J.B. 1987. “Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern


Menganalisis Tumbuhan”. Penerbit ITB : Bandung.

Hendayana, Sumar.1994. “Kimia Analitik Instrumentasi”. IKIP Semarang


Press: Semarang.

Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rahman. 2008. “Kimia Farmasi Analisis”.


Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Kennedy, John.1990. “Analytical Chemistry Principles”. Sounders College


Publishing:New York.

Hostettmann, K., Tuan rumah, M., dan Marston, A. 1995. “Cara


Kromatografi Preparatif”. Bandung: Penerbit ITB Bandung.

Markham,K.R.1988. “Cara Mengidentifikasi Flavonoida”. Terjemahan


Kosasih Padmawinata. ITB : Bandung.

Maro JP, Alimuddin AH, Harlia. 2015. “Aktivitas Antioksidan Hasil


Kromatografi Vakum Cair Fraksi Metanol Kulit Batang Ceria
(Baccaurea hookeri)”. JKK.4(4): 35-40.

Munson. 2010. “Plant Resources of South East Asia Edible Fruits and
Nuts”. Prosea Foundation: Bogor
Nasution, 2010. Pharmacochemical Investigation on Raw Materialsof
Passiflora Edulis Forma Flavicarpa. Planta : Media.

Rohman, Abdul. 2009. “Kimia Farmasi Analisis”. Pustaka Pelajar :


Yogyakarta.
Sarker, SD. Latif Z and Gray. 2006. “Natural product Isolation”. Humana
Press inc: Totowa New Jersey.

Schill, Goran. 1978. “Separation Methods” Swedish Phasma Centrical


Press : Stockholm.

Skoog, D.A., D.M. West, dan F.J. Holler. 1996. “Fundamental of


Analytical chemistry 7th Edition”. Sauders College Publishing.

Sudjadi.1988. “Metode Pemisahan”. Konsius: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai