Anda di halaman 1dari 47

PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH PADA MATERI


LAJU REAKSI DI KELAS XI SMA NEGERI 1 PETANG

OLEH

I GUSTI AYU AGUNG MAS ROSMITA

17130301013
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

2020

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abad-21 merupakan abad pengetahuan, sains, dan teknologi. Pada abad ini telah
terjadi banyak perubahan di berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut menuntut
adanya sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu memiliki pengetahuan dan
nantinya mampu untuk diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
adalah melalui jalur pendidikan.

Berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan pendidikan adalah
mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu serta
menanamkan kompetensi sesuai dengan tuntutan dari kurikulum.

Kurikulum 2013 menekankan pada kegiatan pembelajaran dengan pendekatan


saintifik. Pendekatan saintifik menuntut peserta didik untuk lebih banyak
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui berbagai tahapan (mengamati,
menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi, dan menyimpulkan). Kondisi
pembelajaran yang diharapkan adalah siswa dapat secara aktif mencari tahu dari
berbagai sumber melalui observasi dan tidak hanya bergantung pada informasi
yang disampaikan guru. Pendekatan saintifik dapat mendukung pembentukan
salah satu keterampilan abad 21 yaitu critical thingking and problem solving
(berpikir kritis dan memecahkan masalah).

Kemampuan memecahkan masalah merupakan hal yang penting dimiliki bagi


setiap siswa. Menurut Trilling & Hood dalam Paidi (2010) secara tegas
menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah sebagai bagian dari 7 jenis
keterampilan yang dituntut untuk dijadikan student’s learning outcome di
sekolah-sekolah lanjutan. Menurut YYCD yang dikutip oleh Paidi (2010) para
ahli pendidikan dari Yosemite Community College District (YCCD) dari Mesa
College juga menegaskan bahwa untuk abad ini, tuntutan hasil belajar (student
learning outcome) di sekolah menengah mencakup kemampuan pemecahan
masalah, keterampilan berkomunikasi global, keterampilan IT (information and
technology), dan kemampuan soft skills lainnya.

Adanya tuntutan berkaitan dengan kemampuan memecahkan masalah, maka


diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam memecahkan masala. Model pembelajaran berbasis masalah
(problem based learning) diduga dapat membantu untuk mengembangkan
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Menurut Asfi Yuhani (2018)
pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah suatu model pembelajaran yang
diawali dengan memberikan permasalahan, selanjutnya siswa diminta
menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun, untuk dapat menyelesaikan
permasalahan, siswa membutuhkan pengetahuan-pengetahuan yang dapat
memebantunya dalam memecahkan permasalahan. Menurut Tri Swandi (2016)
masalah yang dikemukakan kepada siswa bertujuan untuk membangkitkan
pemahaman siswa terhadap masalah, sebuah kesadaran akan adanya kesenjangan,
keinginan memecahkan masalah, dan adanya persepsi bahwa mereka mampu
memecahkan masalah tersebut. Masalah-masalah yang disajikan pada PBM
berupa masalah yang berkaitan dengan dunia nyata yang bersifat open-ended,
yaitu masalah yang memiliki banyak alternatif jawaban dan memancing pemikiran
untuk menemukan alternatif rumusan dan solusinya (Paidi, 2010).
Menurut Redhana (2019) pembelajaran berbasis masalah adalah model
pemblajaran yang cocok pada abad-21. Masalah-masalah yang disajikan berupa
masalah yang berhubungan dengan dunia nyata, bersifat kompleks, ill-structured,
open-ended, memacu kerja tim, dan, mengembangkan pengalaman sebelumnya.

Salah satu ahli yang mendukung pembelajaran problem based learning adalah
Vygotsky (1978) pada teorinya Zone Proximal Development yaitu jarak antara
tingkat perkembangan aktual yang ditunjukkan oleh kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dengan tingkat perkembangan potensial yang ditunjukkan
melalui pemecahan masalah dengan kolaborasi teman sebaya (peer) yang lebih
mampu.

Kimia merupakan salah satu mata pelajaran cabang dari ilmu pengetahuan
alam yang mana kajiannya meliputi susunan, struktur, sifat, dan perubahan materi,
serta energi yang meneyertai perubahan tersebut. Mata pelajaran kimia
merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah menengah atas.
Sebagai besar, siswa yang belajar kimia mengangap bahwa kimia merupakan ilmu
yang sulit. Ilmu yang sarat akan konsep dan perhitungan. Sebenarnya ilmu kimia
merupakan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mempelajari ilmu kimia,
dibutuhkan kaijan baik secara makroskopi, mikroskopis, dan simbolis, sehingga
membutuhkan pemikiran kritis (critical thingking) dan kemampuan memecahkan
masalah (problem solving) dalam mengaitkan fenomena kimia yang dapat
diinderakan (makroskopis) yang kemudian diinterpretasikan secara molecular
(mikroskopis) serta dicatat dengan bahasa dan simbol-simbol yang representatif
(simbolik).

Laju reaksi (raction rate) merupakan salah satu bagian dari pembelajaran kimia
yang diajarkan dikelas XI sekolah menengah atas. Pada materi laju reaksi ini
mencangkup tiga aspek baik makroskopis, mikroskopis dan simbolik. Namun
pada kenyataannya guru-guru yang mengajar disekolah cenderung hanya
membahas hal-hal yang berkaitan dengan aspek makroskopis dan simbolik serta
masih menggunakan metode mengajar konvensional. Hal ini menyebabkan siswa
cendrung hanya menghapal istilah-istilah tanpa memahami makananya, serta
hanya disibukkan dengan kegiatan menghapal rumus-rumus dan menghitung
angka-angka sehingga kemampuan memecahkan masalah (problem solving) siswa
tidak terlatih. Selain itu pada proses pembelajaran guru juga memberikan latihan-
latihan soal-soal, namun latihan soal yang diberikan tidak merupakan soal yang
berkaitan dengan pemecahan masalah. Melainkan soal-soal yang masih
menggunakan indicator taksonomi bloom dengan kata kerja operasional
mengingat (C1) dan memahami (C2). Sehingga siswa menjawab soal-soal latihan
dengan menghandalkan buku yang tersedia dan menyalin jawaban yang terdapat
pada buku. Hal tersebut mendorong siswa menjadi tidak dapat memaknai materi
yang diajarkan serta tidak terlatih dalam memecahkan masalah. Dengan demikian
model pembelajaran berbasis masalah (open ended) dirasa dapat membantu untuk
melatih kemampuan pemecahan masalah pada siswa.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Tri Swandi (2016) tentang


“Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Open-Ended Terhadap Peningkatan
Kemampuan Pemecahan Masalah Oleh Siswa” diperoleh hasil yang menunjukkan
bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah oleh siswa kelompok
eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (eksperimen = 82,92;
kontrol = 73,92). Rata-rata persentase peningkatan aktivitas siswa dalam semua
aspek yang diamati pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol
(eksperimen = 81,32; kontrol = 64,22) setelah diajarkan menggunakan pendekatan
pembelajaran berbasis masalah. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh
Nattawat (2019) tentang “Efek Pembelajaran Berbasis Masalah Pada
Keterampilan Pemecahan Masalah pada Siswa Kelas 8 “diperoleh hasil bahwa
terdapat peningkatan yang signifikan dalam keterampilan pemecahan masalah
siswa setelah dibelajarakan dengan model pembelajaran berbasis masalah, dengan
peningkatan sebesar 86% setelah diajarkan menggunakan pendekatan
pembelajaran berbasis masalah.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis ingin menguji model pembelajaran


berbasis masalah pada pembelajaran Kimia. Oleh karena itu, penulis termotivasi
mengadakan penelitian eksperimen tentang Penerapan Pembelajaran Berbasis
Masalah (PBM) Open-Ended Terhadap Peningkatan Kemampuan
Pemecahan Masalah Pada Materi Laju Reaksi Di Kelas XI SMA Negeri 1
Petang.

1.2 Identifikasi Masalah


Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini antara lain.
A. Masalah Teoritis:
1. Ilmu kimia dianggap ilmu yang sulit sarat konsep dan perhitungan.
2. Metode ceramah menyebabkan siswa hanya diam mendengarkan penjelasan
guru, diskusi tidak efektif karena hanya bersifat informatif saja.
3. Tujuan pembelajaran tidak tercapai.
B. Masalah Empiris
1. Model pembelajaran berbasis masalah open-ended belum pernah diterapkan
dalam proses pembelajaran kimia.
2. Guru menggunakan metode ceramah dan diselingi dengan latihan soal.
3. Latihan soal tidak efektif karena hanya menyalin jawaban yang sudah
tercantum pada buku.
4. Siswa tidak terlatih untuk mengembangkan kemampuan memecahkan
masalah secara luas dan kreatif.
1.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan dalam penelitian ini digunkan untuk menghindari penafsiran yang
kurang tepat dan adanya kegandaan makna serta agar permasalahan yang diangkat
tidak meluas. Adapun batasan dalam penelitian ini antara lain.
1. Penelitian ini dilakukan pada pembelajaran kimia dengan topik laju reaksi.
2. Pengelitian ini akan mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan kemampuan
pemecahan masalah pada siswa yang dibelajarakan dengan model
pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran langsung.
1.4 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah yaitu
1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah pada materi laju
reaksi di kelas XI SMA N 1 Petang yang dibelajarakan dengan pembelajaran
berbasis masalah open-ended dengan siswa yang dibelajarkan dengan
pembelajaran langsung?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka yang menjadi
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan perbedaan kemampuan pemecahan
masalah pada materi laju reaksi di kelas XI SMA N 1 Petang yang dibelajarakan
dengan pembelajaran berbasis masalah open-ended dengan siswa yang
dibelajarkan dengan pembelajaran langsung.

1.6 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
pembelajaran kimia. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pengetahuan tentang
model pembelajaran berbasis masalah untuk membantu meningkatkan
kemampuan pemecahan maslah siswa pada pembelajaran kimia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
Penerapan pembelajaran berbasis masalah open-ended dapat memberikan
pengalaman baru tentang bagaimana cara belajar kimia sehingga siswa senang
belajar kimia. Mereka dapat aktif mengkonstruksikan pengetahuannya dalam
belajar kimia sehingga mudah memahami materi yang dipelajari. Selain itu,
siswa terlatih untuk menuangkan ide atau gagasan dalam pembelajaran kimia
baik secara tertulis ataupun lisan.
b. Bagi Guru
Hasil dari penelitian ini dapat menambah pengalaman guru dalam menerapkan
model pembelajaran di kelas sehingga model pembelajaran variatif dan mampu
menciptakan suasana belajar yang aktif dan berpusat pada siswa.
c. Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran kimia serta
mengurangi permasalahan-permasalahan yang dihadapi sekolah dalam
pendidikan khususnya pembelajaran kimia.
d. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dalam melakukan
penelitian kuantitatif dan mengetahui kondisi di sekolah secara langsung terkait
gambaran penerapan model pembelaran yang diterapkan di kelas.

BAB II
DASAR TEORI
2.1 Hakikat Ilmu Kimia
Ilmu kimia merupakan salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Oleh
karena itu, kimia mempunyai karakteristik yang sama dengan IPA. Karakteristik
tersebut adalah objek ilmu kimia, cara memperoleh serta kegunaannya. Ilmu
kimia berkaitan dengan susunan, struktur, sifat, perubahan serta energi yang
menyertai perubahan suatu zat (Saidah & Purba, 2010). Ilmu kimia diperoleh dan
dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan
apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam, khususnya yang berkaitan
dengan struktur, komposisi, sifat, transformasi, dinamika, dan energitika zat
(Wiratma, 2015).
Konsep kimia dalam ilmu kimia dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek
makroskopis, mikroskopis, dan simbolis (Indrayani, 2013). Konsep makroskopis
adalah konsep yang diperoleh dari pengamatan langsung terhadap gejala alam
atau hasil eksperimen. Konsep mikroskopis adalah konsep yang menjelaskan
mengenai struktur dan proses pada level partikel terhadap fenomena makroskopik
yang diamati. Konsep simbolis adalah konsep yang menggambarkan tanda serta
bentuk-bentuk lainnya yang digunakan untuk mengomunikasikan hasil
pengamatan. Ketiga konsep tersebut harus dikenali untuk dapat memahami suatu
konsep kimia dengan utuh (Sirhan,2007).
Ada dua hal penting dalam ilmu kimia, yaitu kimia sebagai produk dan kimia
sebagai proses. Kimia sebagai produk sangat banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, mulai dari kebutuhan rumah tangga hingga kebutuhan industri
berteknologi tinggi. Produk kimia dalam rumah tangga banyak dijumpai dalam
bentuk barang, misalnya sabun, pasta gigi, detergen, gula, garam, air, minyak,
shampo, pelembab kulit, dan lain-lain. Bukan hanya produk kimia yang dapat
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, proses kimiapun banyak digunakan oleh
masyarakat, misalnya penggunaan baterai dan aki sebagai sumber energi listrik,
penggunakan elektrolisis dalam penyepuhan logam, penggunaan tawas sebagai
koagulan untuk mengendapkan kotoran air, penggunaan air sebagai pelarut
berbagai zat, dan lain-lain.
Produk dan proses ilmu kimia juga ada dalam bentuk deskripsi pengetahuan
(Subagia & Siregar, 2006). Kimia sebagai produk meliputi sekumpulan
pengetahuan yang terdiri atas fakta, konsep, teori, hukum, prinsip dan hitungan.
Kimia sebagai proses meliputi kegiatan mengamati, mengidentifikasi,
mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data, meramalkan, menerapkan konsep,
merencanakan percobaan, dan mengkomunikasikan hasil pengamatan. (BSNP,
2006).
Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa ilmu kimia dibangun oleh
dua pilar kajian yang saling mendukung satu sama lain, yaitu kajian teoretis dan
empiris (Sunarya, 2012). Kajian secara teoretis merupakan upaya untuk
menerapkan hukum-hukum fisika dan teorema matematika guna mengungkapkan
sifat dan gejala alam. Kajian secara empiris merupakan upaya untuk menemukan
keteraturan berdasarkan fakta yang ada di alam menggunakan metode ilmiah.
2.2 Pembelajaran Kimia SMA
Pembelajaran Kimia merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru yang
mengajarkan materi kimia dan siswa yang belajar materi kimia, yang mana dalam
kegiatan tersebut melibatkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan
sumber belajar, serta siswa dengan siswa. Kegiatan pembelajaran kimia dapat
berlangsung dengan cara guru memberikan informasi atau materi-materi yang
berkaitan dengan ilmu Kimia, serta siswa juga dapat mencari informasi terkait
dengan materi pelajaran Kimia dalam sumber-sumber belajar yang lain.
Berdasarkan rekomendasi kurikulum 2013 pelaksanaan kegiatan pembelajaran
untuk seluruh mata pelajaran di tingkat pendidikan dasar dan menengah dilakukan
dengan pendekatan saintifik. Menurut Permendikbud No. 22 Tahun 2016
pengalaman belajar yang harus dialami pebelajar yaitu mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Melalui kelima
kegiatan pembelajaran tersebut memungkinkan peserta didik untuk aktif dalam
mengkonstruksi konsep, hukum serta prinsip yang telah ditemukan melalui
kegiatan 5M. Sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Menurut Mulyasa (2003) mata pelajaran kimia di SMA/MA bertujuan agar siswa
memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dan menyadari keteraturan dan
keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat
bekerjasama dengan orang lain.
3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan
atau eksperimen, yang mana peserta didik melakukan pengujian hipotesis
dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan,
pengolahan, dan penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara
lisan dan tertulis.
4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan
juga merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menyadari
pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan
masyarakat.
5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya
dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari
dan teknologi.
Pada pembelajaran kimia kegiatan pembelajaran akan mencapai tujuan ketika
kegiatan pembelajaran dikemas dengan menggunakan model pembelajaran yang
sesuai dengan karakter dari materi pelajaran yang akan diajarkan. Hal tersebut
dilakukan agar mempermudah siswa untuk memahami pelajaran dan akan
terciptanya pembelajaran yang bermakna.
Pelaksanaan pembelajaran kimia di sekolah cakupan materi kimia untuk SMA
kelas XI meliputi Hidrokarbon dan Minyak Bumi, Termokimia, Laju Reaksi,
Kesetimbangan Kimia, Larutan Asam Basa, Stoikiometri Larutan, Hidrolisis
garam, Larutan Buffer, Titrasi Asam Basa, Kelarutan Garam, dan Sistem Koloid
(Permendikbud, 2016a). Pemahaman terkait materi pelajaran kimia di kelas XI
harus diperoleh melalui penjelasan teori dan praktik. Selain itu, pembelajaran
harus sampai pada pemberian pemahaman mengenai penerapan konsep yang
diajarkan agar menjadi bermakna bagi peserta didik. Oleh karena itu, guru harus
memikirkan metode yang digunakan untuk menanamkan konsep tersebut ketika
membuat perencanaan pembelajaran. Dalam membuat perencanaan kegiatan
pembelajaran perlu memperhatikan standar isi dan standar proses.
Standar isi merupakan kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat
kompetensi peserta didik (Permendikbud, 2016a). Standar isi terdiri dari tingkat
kompetensi dan kompetensi inti sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan
tertentu. Kompetensi inti meliputi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan
ketrampilan. Ruang lingkup materi yang spesifik untuk setiap mata pelajaran
dirumuskan berdasarkan tingkat kompetensi dan kompetensi inti untuk mencapai
kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi
lulusan (Permendikbud, 2016b). Standar proses berisi kriteria minimal proses
pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Standar proses
meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan pelaksanaan pembelajaran.
Keempat komponen standar ini digunakan sebagai landasan dalam melakukan
pengelolaan pembelajaran di sekolah.
2.3 Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal
samapai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di dalam kelas (Esti, 2010).
Sedangkan menurut Himawan (2018) model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
kegiatan pembelajaran dikelas. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan
yang digunakan termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap
dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas
(Suprijono, 2013: 46). Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka, dapat
disimpulkan bahwa model pembelajarana adalah seluruh rangkaian kegiatan
pembelajaran dari awal hingga akhir yang didalamnya meliputi pendekatan,
strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi
satu kesatuan yang utuh, yang digunakan untuk memncapai tujuan pembelajaran.
Model pembelajaran berbasis masalah atau yang selanjutnya disingkat PBM
merupakan suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai
langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan (Firman
dan Miftahus, 2016). Hal senada juga disampaikan Boud & Feletti dalam Sterling
(2001) PBM diawali dengan memberi permasalahan, pertanyaan, atau teka-teki
yang ingin dipecahkan oleh pelajar. Sedangkan menurut Hidayet (2016) model
pembelajaran berbasis masalah adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan
secara berkelompok dan bekerja sama untuk menyelesaikan permasalahan yang
berkaitan dengan dunia nyata. Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah adalah model
pembelajaran yang berpusat pada masalah, atau masalah yang menjadi focus
perhatian dalam kegiatan pembelajaran, masalah-masalah yang diberikan
digunakan sebagai awalan dalam mengkonstruksi pengetahuan siswa. Jenis
permasalahan yang digunakan meliputi permasalahan kehidupan sehari-hari untuk
memotivasi siswa dalam mengidentifikasi konsep-konsep yang harus diketahui
untuk dapat memecahkan masalah yang diberikan.
Pada kegiatan PBM siswa akan dibentuk menjadi kelompok-kelompok kecil.
Didalam kelompok-kelompok ini siswa akan berdiskusi antara anggota kelompok
serta mengelola kegiatan secara mandiri untuk memecahkan permasalahan yang
diberikan. Guru hanya berfungsi sebagai fasilitator dan memberikan scaffolding
berupa dukungan dalam upaya meningkatkan kemampuan inkuiri dan
perkembangan intelektual peserta didik. Model pembelajaran ini juga mengacu
pada model pembelajaran yang lain, seperti pembelajaran berdasarkan proyek
(project-basec instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-
basec instruction), belajar autentik (authentic learning), dan pembelajaran
bermakna (anchored instruction). Dengan adanya PBM akan terjadi pergeseran
pandangan tentang bagaimana siswa belajar. Belajar tidak lagi dipandang sebagai
proses menerima informasi untuk disimpan pada memori siswa yang diperoleh
melalui pengulangan praktek dan penguatan, namun siswa dengan mendekati
setiap persoalan baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki, mengasimilasi
informasi baru dan membangun pengertian sendiri (Nita Puspita, 2011). Kegiatan
pembelajaran berbasis masalah ini akan mendorong kemampuan siswa dalam
berpikir kritis dan terlatih dalam memecahkan masalah.
2.4 Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Rusman dalam Lilis (2017) karakteristik dari pembelajaran berbasis
masalah adalah
a. Permasalahan menjadi starting point dalam belajar.
b. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata
yang tidak.
c. Permasalahan membutuhkan prespektif ganda (multiple prespective).
d. Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan
kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan
bidang baru dalam belajar.
e. Belajar pengarahan diri menjadi hal utama.
f. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunannya, dan
evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam
pembelajaran berdasarkan Masalah.
g. Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif.
h. Pengembangan keterampilan inquiriy dan pemecahan masalah sama
pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari
sebuah permasalahan.
i. Keterbukaan proses dalam pembelajaran berbasis masalah meliputi sintesis
dan integrasi dari sebuah proses belajar.
j. Pembelajaran berdasarkan masalah melibatkan evaluasi dan riview
pengalaman siswa dan proses belajar.
2.5 Hakikat Masalah dalam Pembelajaran Berbasis Masalah
Masalah yang disajikan ada PBM merupakan masalah dalam kehidupan
sehari-hari yang bersifat terbuka (epen-ended) yang berarti masalah yang
memiliki banyak kemungkinan penyelesaian. Sehingga setiap siswa dapat
mengembangkan setiap kemungkinan jawabnnya. Selain menggunakan masalah
yang bersifat open-ended pada proses PBM juga digunakan permasalahan yang
ill-structure yaitu permasalahan yang tidak terstruktur, yang mencerminkan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga butuh untuk
memperhitungkan beberapa solusi terhadap masalah tersebut. Dengan demikian
masalah tersebut akan menjadi masalah yang kompleks dan mengharuskan siswa
untuk mengambil pendekatan interdisipliner ketika menafsirkan keadaan awal
masalah, mengumpulkan pengetahuan dan informasi yang relevan dari disiplin
ilmu lain dengan bekerja sama dengan orang lain, memeriksa dan merekonsiliasi
informasi dari berbagai disiplin ilmu, dan sebagainya (Wiley, Blackwell, 2019).
Menurut (Lilis, 2017) kriteria pemilihan bahan pelajaran model pembelajaran
berbasis masalah adalah.
a. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik yang
bisa bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lainnya.
b. Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar (akrab) dengan siswa,
sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik.
c. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan
orang banyak (universal), sehingga terasa manfaatnya.
d. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi
yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum berlaku.
e. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa
perlu untuk mempelajarinya
2.6 Sintak Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Rusman dalam Mutia (2019) tahapan dalam pembelajaran berbasis
masalah (PBM) adalah.
Tabel 1. Langkah-langkah pada pembelajaran berbasis masalah
Fase Indikator Tingkah laku guru
1 Orientasi siswa pada Menjelaskan tujuan pembelajaran,
masalah menjelaskan logistic yang diperlukan, dan
memotivasi siswa terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah.
2 Mengorganisasi siswa Membantu siswa mendefinisikan dan
untuk belajar mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
3 Membimbing pengajaran Mendorong siswa untuk mengumpulkan
individu /kelompok informasi yang sesuai, melaksanakan
eksprerimen untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah.
4 Membimbing Membantu siswa dalam merencanakan dan
pengalaman dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
menyajikan hasil karya laporan, dan membantu mereka untuk
berbagai tugas dengan temannya.
5 Menganalisis dan Membantu siswa untuk melaksanakan
mengevaluasi proses refleksi atau evaluasi terhadap
pemecahan masalah penyelidikan meraka dan proses yang
mereka gunakan.

2.7 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Berbasis Masalah


Menurut Wina Sanjaya dalam Lilis (2017) keunggulan dan kelemahan PBM
adalah sebagai berikut.
Keunggulan
1. Pemecahan masalah (problem solving) merupaka teknik yang cukup bagus
untuk lebih memahami isi pelajaran.
2. Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan
siswa serta dapat memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru
bagi siswa.
3. Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktifitas
pembelajaran siswa.
4. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaimana
mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan
masalah.
5. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk
mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam
pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, pemecahan masalah itu juga
dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun
proses belajarnya.
6. Melalui pemecahan masalah (problem solving) bisa memperlihatkan
kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran (matematika, IPA, sejarah dan lain
sebagainya) pada dasarnya merupakan cara berfikir, dan sesuatu yang harus
dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku-
buku saja.
7. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan
disukai siswa.
8. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan
kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan
mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
9. Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan
pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia
nyata.
10. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa
untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal
telah berakhir.
Kelemahan
1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan
merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan
cukup waktu untuk persiapan.
3. Tanpa pemahaman maka mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang
sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin
pelajari.
2.8. Teori belajar yang Melandasi Pembelajaran Berbasis Masalah
1. Teori Belajar Bermakna dari David Ausubel
Ausubel membedakan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal.
Belajar bermakna merupakan proses belajar di mana informasi baru dihubungkan
dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar.
Belajar menghafal diperlukan bila seseorang memperoleh informasi baru dalam
pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahuinya.
Belajar hafalan akan terjadi jika para siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan
yang baru dengan pengetahuan yang lama. Tugas gurulah untuk memberi
kemudahan bagi para siswanya sehingga mereka dapat dengan mudah mengaitkan
pengalaman atau pengetahuan barunya dengan pengetahuan yang relevan yang
sudah ada di dalam pikirannya atau dalam struktur kognitifnya (Thobrani dan
Arif, 2013).
2. Teori Belajar Vigotsky
Perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan
pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka berusaha untuk memecahkan
masalah yang dimunculkan. Pemahaman didapatkan dengan upaya berusaha
mengaitka pengetahuan baru dengan penetahuan awal yang telah dimilikinya
kemudian membangun pengertian baru. Vigotsky meyakini bahwa interaksi social
dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dalam memperkaya
perkembangan intelektual siswa. Kaitan dengan PBM dalam hal mengaitkan
informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa melalui
kegiatan belajar dalam interaksi sosial dengan teman lain. Vigotsky sangat
mementingkan perkembangan bahasa, maka perkembangan bahasa ini dapat
diasah melalui interaksi yang dilakukan anak dengan lingkungan disekitarnya atau
tempat tinggalnya, hal ini sangat berhubungan erat dengan komunikasi yang
dilakukannya sebab merupakan cara yang sangat efektif dalam mengembangkan
kosakata anak tersebut beserta makna dari kata-kata tersebut sehingga ia dapat
menyampaikan suatu pesan atau menerima pesan dengan baik (Khadijah, 2013)
3. Teori Belajar S. Bruner
Menurut Teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk
konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang
menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Metode penemuan merupakan
metode di mana siswa menemukan kembali, bukan menemukan yang sama sekali
benar-benar baru. Belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik, berusaha
sendiri mencari pemecahan masalah serta didukung oleh pengetahuan yang
menyertainya, serta menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.
Bruner juga menggunakan konsep Scaffolding dan interaksi sosial di kelas
maupun di luar kelas, Scaffolding adalah suatu proses untuk membantu siswa
menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui
bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih (Rusman,
2013).
4. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan di kelompok dalam
teoripembelajaran konstruktivis. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa
harusmenemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,
mengecekinformasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila
aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi peserta didik agar benar-benar memahami
dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah,
menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan
ide-ide. Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam
psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di
benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi
kesempatan peserta didik menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar (Trianto,2011).
Menurut pandangan konstruktivis, belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia harus
aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna
tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara peranan
guru dalam belajar konstruktivistik berperan membantu agar proses
pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransfer
pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk
membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan
pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar (Eveline dan Hartini, 2010).
2.9 Kemampuan Pemecahan Masalah
Masalah berasal dari bahasa Yunani yaitu problema, yang berarti hambatan
(David H. Jonassen, 2011). Masalah merupakan keadaan yang mana adanya
kesenjangan atara apa yang diharapkan dengan kenyataan (Thobroni, 2016). Jika
Menurut kaum behavioristik, masalah terjadi apabila respon yang diperlukan
untuk mencapai beberapa tujuan tertentu kurang kuat dibanding respon-respon
lain atau jika sejumlah respon sebenarnya diperlukan namun cenderung tidak
dapat ditampilkan keseluruhannya. Sedangkan menurut teori pemrosesan
informasi, masalah merupakan suatu keadaan ketika pengetahuan yang tersimpan
dalam memori belum siap untuk digunakan dalam memecahkan masalah
(Bambang, 2012). Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
masalah merupakan hambatan yang timbul karena adanya perbedaan anatara apa
yang diharapkan dengan yang terjadi sebagai akibat kurang pengetahuan yang
digunakan memecahkan masalah.
Pemecahan masalah (problem solving) menurut Marzano dkk (1988) yang
dikutip oleh Bambang (2012) adalah salah satu bagian dari proses berpikir berupa
kemampuan untuk memecahkan persoalan. Menurut Palumbo (1990) problem
solving adalah fungsi dari cara bagaimana stimulus tertentu menjadi in-put
melalui sistem sensori ingatan, diproses dan dikoding melalui memori kerja
(working memory/short term memory) dan disimpan bersama asosiasi-asosiasi dan
peristiwa-peristiwa (histories) yang sekeluarga dalam memori jangka panjang
(Long Term Memory). Sedangkan menurut Girl dkk (2002) menyatakan bahwa
pemecahan masalah adalah proses yang melibatkan penerapan pengetahuan dan
ketrampilan-ketrampilan untuk mencapai tujuan. Berdasarkan beberapa pendapat
diatas maka dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses
yang melibatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk menyelesaikan suatu
masalah.
Menurt Marzano dkk (1988) para pendidik umumnya menggunakan istilah
problem solving untuk menunjukkan jenis tugas tertentu yang disajikan kepada
pebelajar dalam pelajaran matematika, sains dan ilmu sosial. Pemecahan masalah
mencakup tindakan mengingat kembali aturan-aturan dan menerapkan langkah
langkah yang akan mengantar pembelajar kepada jawaban yang diharapkan
(Bambang, 2012). Dalam memecahkan masalah melalui pembelajaran para
pebelajar akan memperoleh beberapa aturan yang lebih tinggi tingkatnya atau
aturan yang kompleks. Kegiatan pemecahan masalah itu sendiri mensyaratkan
agar pebelajar memanggil-kembali (merecall) beberapa aturan yang lebih
sederhana dan telah mereka pelajari sebelumnya.
Menurut Polya (1957) dalam David H. Jonassen (2011) tahap-tahap yang
dilakukan dalam pemecahan masalah yaitu.
1. Memahami masalahnya
2. Membuat rencana
3. Melaksanakan rencana
4. Mengevaluasi efektivitasnya.
a. Memahami masalah (understand the problem) 
Tahap pertama pada penyelesaian masalah adalah memahami soal. Siswa perlu
mengidentifikasi apa yang diketahui, apa saja yang ada, jumlah, hubungan dan
nilai-nilai yang terkait serta apa yang sedang mereka cari. Beberapa saran yang
dapat membantu siswa dalam memahami masalah yang kompleks: (1)
memberikan pertanyaan mengenai apa yang diketahui dan dicari, (2) menjelaskan
masalah sesuai dengan kalimat sendiri, (3) menghubungkannya dengan masalah
lain yang serupa, (4) fokus pada bagian yang penting dari masalah tersebut, (5)
mengembangkan model, dan (6) menggambar diagram.
b. Membuat rencana (make a plan) 
Siswa perlu mengidentifikasi operasi yang terlibat serta strategi yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini bisa dilakukan
siswa dengan cara seperti: (1) menebak, (2) mengembangkan sebuah model, (3)
mensketsa diagram, (4) menyederhanakan masalah, (5) mengidentifikasi pola, (6)
membuat tabel, (7) eksperimen dan simulasi, (8) bekerja terbalik, (9) menguji
semua kemungkinan, (10) mengidentifikasi sub-tujuan, (11) membuat analogi,
dan (12) mengurutkan data/informasi.
c. Melaksanakan rencana (carry out the plan) 
Membuat perencanaan yakni memilih rencana pemecahan masalah yang sesuai
dan bergantung dari seberapa sering pengalaman siswa menyelesaikan masalah
sebelumnya. Untuk merencanakan pemecahan masalah siswa dapat mencari
kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi atau mengingat kembali masalah
yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan sifat/pola dengan masalah
yang akan dipecahkan. Kemudian baru siswa menyusun prosedur
penyelesaiannya.
d. Melihat kembali (evaluate its effectiveness)
 Aspek-aspek berikut perlu diperhatikan ketika mengecek kembali langkah-
langkah yang sebelumnya terlibat dalam menyelesaikan masalah, yaitu: (1)
mengecek kembali semua informasi yang penting yang telah teridentifikasi; (2)
mengecek semua perhitungan yang sudah terlibat; (3) mempertimbangkan apakah
solusinya logis; (4) melihat alternatif penyelesaian yang lain; dan (5) membaca
pertanyaan kembali dan bertanya kepada diri sendiri apakah pertanyaannya sudah
benar-benar terjawab.
Pada proses pemecahan masalah seseorang memerlukan pengetahuan-
pengetahuan dan kemampuan-kemampuan untuk dapat memecahkan masalah.
Pengetahuan-pengetahuan dan kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang
tersebut harus dapat digabung dan dipergunakan secara kreatif dalam
memecahkan masalah yang bersangkutan. Berikut ini indicator dalam kemampuan
memecahkan masalah menurut Kennedy dalam Dian (2017).
1. Menunjukkan pemahaman masalah, meliputi kemampuan mengidentifikasi
unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan.
2. Mampu merumuskan masalah berdasarkan informasi-informasi yang disajikan
dalam permasalahan.
3. Memilih dan mengembangkan strategi pemecahan masalah, meliputi
kemampuan memunculkan berbagai kemungkinan atau alternatif cara
penyelesaian rumus-rumus atau pengetahuan mana yang dapat digunakan
dalam pemecahan masalah tersebut.
4. Mampu menjelaskan dan memeriksa kebenaran jawaban yang diperoleh,
meliputi kemampuan mengidentifikasi kesalahan-kesalahan, memeriksa
kecocokan antara yang telah ditemukan dengan apa yang ditanyakan dan dapat
menjelaskan kebenaran jawaban tersebut.
2.10 Model Pembelajaran Langsung
Menurut Arends dalam Trianto (2007:29) model pembelajaran langsung adalah
salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses
belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan
prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola
kegiatan yang bertahap. Sedangkan menurut Killen dalam Iru dan Arihi
(2012:155) menyatakan model pembelajaran langsung adalah teknik pembelajaran
ekspositori (pemindahan pengetahuan dari guru kepada murid secara langsung,
misalnya melalui ceramah, demonstrasi, dan tanya jawab) yang melibatkan
seluruh kelas. Dari dua pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa model
pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang merujuk pada pola-pola
pembelajaran yang mana guru yang lebih
banyak menjelaskan konsep atau keterampilan kepada sejumlah kelompok siswa.
Langkah-langkah model pembelajaran langsung langkah-langkah
pembelajaran model pengajaran langsung pada dasarnya mengikuti pola-pola
pembelajaran secara umum menurut Bruce dan Well dalam Iru dan Arihi
(2012:155) terdapat 5 (lima) tahap, seperti ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2. Langkah-langkah model pembelajaran langsung

Tahap Uraian Tahap Uraian


Orientasi Sebelum menjelaskan dan menyajikan materi baru, akan
sangat menolong siswa jika guru memberikan kerangka
pelajaran dan orientasi terhadap materi yang akan
disampaikan. bentuk-bentuk orientasi dapat berupa: 1.
Kegiatan pendahuluan untuk mengetahui pengetahuan yang
relevan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. 2.
Mendiskusikan atau menginformasikan tujuan
pembelajaran. 3. Memberi penjelasan atau arahan
mengenai kegiatan yang akan dilakukan. 4.
Menginformasikan materi/konsep yang akan digunakan
dan kegiatan yang akan dilakukan selama pembelajaran. 5.
Menginformasikan kerangka pelajaran.
Presentasi Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran baik
berupa konsep-konsep maupun keterampilan. Penyajian
materi dapat berupa: 1. Penyajian materi dalam langkah-
langkah pendek. 2. Memberi contoh-contoh konsep. 3.
Pemodelan atau peragaan keterampilan dengan cara
demontrasi atau dengan penjelasan langkahlangkah kerja.
4. Menjelaskan hal-hal yang sulit.
Latihan Pada fase ini guru memandu siswa untuk melakukan
Terstruktur latihan-latihan. Peran guru yang penting dalam fase ini
adalah memberikan umpan balik terhadap respon siswa dan
memberikan penguatan terhadap respon siswa yang benar
dan mengoreksi respon siswa yang salah
Latihan Pada fase ini guru memberikan kesempatan pada siswa
terbimbing untuk berlatih konsep atau keterampilan. Latihan
terbimbing ini baik juga digunakan oleh guru untuk
mengakses kemampuan siswa untuk melakukan tugasnya.
Pada fase ini peran guru adalah memonitor dan
memberikan bimbingan jika diperlukan.
Latihan Mandiri Fase ini siswa melakukan kegiatan latihan secara mandiri,
fase ini dapat dilalui siswa jika telah menguasai tahap-
tahap pengerjaan tugas 85%-90% dalam fase bimbingan
latihan.

2.11 Materi Lajur Reaksi


1. Laju Reaksi
Bidang Kimia yang mengkaji tentang laju terjadinya reaksi Kimia dinamakan
kinetika Kimia. Laju reaksi (reaction rate) adalah perubahan konsentrasi
persatuan watku (M/s) (Chang, 2005). Setiap reaksi dapat dinyatakan dengan
persaman umum
Reakatan Produk
Pada persamaan diatas menjelaskan bahwa, selama berlangsungnya suatu reaksi,
molekul reaktan bereaksi sedangkan molekul produk terbentuk. Cara mengamati
jalannya reaksi dapat dilakukan melalui pemantauan terhadap menurunnya
konsentrasi reaktan atau meningkatnya konsentrasi produk.
Contoh:
A B
Menurunnya jumlah molekul A dan meningkatnya jumlah molekul B dapat
dilihat dari persamaan perubahan konsentrasi terhadap waktu berikut.
Δ[ A] Δ[B]
Laju =- atau Laju =
Δt Δt
Dengan Δ[A] dan Δ[B] adalah perubahan konsentrasi (dalam molaritas) selama
waktu Δt. Karena konsentrasi A menurun selama selang waktu tersebut Δ[A]
merupakan kuantitas negative. Laju reaksi adalah kuantitas positif, sehingga
tanda minus diperlukan dalam rumusan laju agar lajunya positif. Sebaliknya, laju
pembentukan produk tidak memerlukan tnda minus sebab Δ[B] adalah kuantitas
positif (konsentrasi B meningkat seiring waktu) (Chang, 2005).

Gambar. 1 Laju reaksi A B, dinyatakan sebagai penurunan molekul A


sehingga seiring dengan waktu dan sebagai peningkatan molekul B seiring
dengan waktu
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Reaksi
1. Konsentrasi
Satu sendok gula dan 2 senduk gula sama-sama dilarutkan dalam sebuah wadah
yang berisi air sama banyaknya, jika dilihat dari kasus ini maka yang akan lebih
cepat bereaksi adalah gelas yang berisi 2 sendok gula karena akan lebih mudah
terjadinya tumbukan. Hal ini sesuai dengan teori laju reaksi yang menyatakan
bahwa Laju reaksi dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi bukan konsentrasi hasil
reaksi. Semakin besar konsentasi pereaksi maka laju reaksi semakin besar dan
sebaliknya. Pengaruh konsentrasi awal terhadap laju reaksi adalah khas untuk
setiap reaksi. Pada reaksi orde 0 konsetrasi tidak berpengaruh langsung terhadap
laju reaksi. Laju reaksi pada orde pertama (orde 1) berbandingblurus dengan
konsentrasi awal pereaksi, sehingga jika konsentrasi naik dua kali akan
mengakibatkan laju reaksi menjadi dua kali lebih cepat. Pada orde reaksi kedua
(orde 2), laju reaksi berbanding dengan kuadrat konsentrasi awal pereaksi,
sehingga jika konsentrasi naik dua kali mengakibatkan laju reaksi menjadi empat
kali lebih cepat (Unggul, 2014)
2. Luas Permukaan Sentuh
Kita tentu pernah membuat larutan gula, jika sebuah bongkohan gula dan gula
pasir masing-masing dilarutkan dalam suatu wadah dengan ukurannya sama,
wadah manakah yang lebih cepat larut gulanya? Tentu saja wadah yang berisi
gula pasir. Hal ini disebabkan karena gula pasir memiliki luas permukaan yang
lebih luas dibandingkan dengan bongkohan gula. Hal ini sesuai dengan teori
faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi, yaitu faktor luas permukaan sentuh
yang menyatakan bahwa laju reaksi dipengaruhi oleh luas permukaan sentuh zat
zat yang bereaksi. Semakin luas permukaan zat yang bereaksi, semakin cepat
reaksi berlangsung.
3. Suhu
Terkadang suatu reaksi akan berlangsung lambat, tetapi akan berlangsung cepat
jika dipanaskan pada suhu tertentu ini terjadi karena laju reaksi dipengaruhi oleh
suhu pada waktu reaksi berlangsung. Semakin tinggi suhu dalam suatu reaksi,
semakin cepat reaksi berlangsung. Pengaruh suhu pada laju reaksi;
Pada umumnya bila suhu dinaikkan 100oC laju reaksi menjadi dua kali lebih
cepat
(waktu berkurang setengahnya)
Δt
Vt = V0 (2)
10
1 Δt
tt = t0 ( )
2 10
4. Katalis
Terkadang suatu zat agak sukar bereaksi dengan sendirinya, maka diperlukan
suatu katalis untuk mempercepat reaksinya. Katalis adalah suatu zat yang dapat
mempercepat atau memperlambat laju reaksi. Katalis mempercepat laju reaksi
tetapi tidak mengalami perubahan yang kekal dalam reaksi. Katalis mempercepat
laju reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi (Apri Utami, 2014).
1. Teori Tumbukan
Reaksi kimia terjadi karena adanya tumbukan yang efektif antara pertikel pertikel
zat yang bereaksiTumbukan efektif adalah tumbukan yang mempunyai energi
yang cukup untuk memutuskan ikatan-ikatan pada zat yang bereaksi. Sebelum
suatu tumbukan terjadi, partikel-pertikel memerlukan suatu energy minimum yang
dikenal sebagai energi pengaktifan atau energi aktivasi (Ea). Energi pengaktifan
atau energi aktivasi adalah energi minimum yang diperlukan untuk
berlangsungnya suatu reaksi. Ketika reaksi sedang berlangsung akan terbentuk zat
komplek teraktivasi. Zat komplet teraktivasi berada pada puncak energi. Jika
reaksi berhasil, maka zat komplek teraktivasi akan terurai menjadi zat hasil reaksi
(Budi, 2009)
a. Teori tumbukan dan konsentrasi awal pereaksi
Semakin besar konsentrasi pereaksi, semakin besar jumlah partikel pereaksi
sehingga semakin banyak peluang terjadinya tumbukan. Hal ini menyebabkan
semakin besar peluang untuk terjadinya tumbukan efektif antar partikel. Semakin
banyak tumbukan efektif berarti semakin laju reaksi semakin cepat
b. Teori tumbukan dan luas permukaan
Semakin luas permukaan, semakin banyak peluang terjadinya tumbukan antar–
pereaksi. Semakin banyak tumbukan yang terjadi mengakibatkan semakin besar
peluang terjadinya tumbukan yang menghasilkan reaksi (tumbukan efektif).
Akibatnya, laju reaksi semakin cepat.
c. Teori tumbukan dan suhu
Pada suhu tinggi, partikel-partikel yang terdapat dalam suatu zat akan bergerak
(bergetar) lebih cepat daripada suhu rendah. Oleh karena itu, apabila terjadi
kenaikan suhu, partikel-partikel akan bergerak lebih cepat, sehingga energy
kinetik partikel meningkat. Semakin tinggi energi kinetik partikel yang bergerak,
jika saling bertabrakan akan menghasilkan energi yang tinggi pula, sehingga
semakin besar peluang terjadinya tumbukan yang dapat menghasilkan reaksi
(tumbukan efektif).
d. Energi aktivasi dan katalis
Energi minimal yang diperlukan untuk berlangsungnya suatu reaksi disebut
engergi pengaktifan atau energi aktivasi. Tiap reaksi mempunyai energy aktivasi
yang berbeda-beda. Jika energi aktivasi suatu reaksi rendah, reaksi tersebut akan
lebih mudah terjadi. Beberapa reaksi sukar berlangsung disebabkan oleh
tingginya energi aktivasi. Oleh karena itu, agar reaksi lebih mudah berlangsung
ditambahkan katalis. Katalis mempercepat reaksi dengan cara mengubah jalannya
reaksi, di mana jalur reaksi yang ditempuh tersebut mempunyai energi aktivasi
lebih rendah daripada jalur reaksi yang biasa ditempuh (Unggul, 2014).
2. Persamaan Laju Reaksi dan Orde Reaksi
Pada umumnya hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi zat-zat pereaksi
hanya diturunkan dari data eksperimen. Bilangan pangkat yang menyatakan
hubungan konsentrasi zat pereaksi zat pereaksi dengan laju reaksi disebut orde
reaksi. Untuk reaksi aA+bB→cC+dD, persamaan lajunya ditulis dengan
r = k[A]m.[B]n
Keterangan:
r = laju reaksi
k = konstanta laju
[A] = konsentrasi zat A dalam mol per liter
[B] = konsentrasi zat B dalam mol per liter
m = orde reaksi terhadap zat A
n = orde reaksi terhadap zat B
Orde reaksi dapat juga ditentukan melalui kecenderungan dari data suatu
percobaan yang digambarkan dalam grafik. Berikut ini penjelasan penentuan
orde
reaksi melalui grafik
1. Grafik orde nol
Laju reaksi tidak dipengaruhi oleh besarkannya konsentrasi pereaksi. Persamaan
laju reaksinya ditulis:
r=k.[A]0
bilangan dipangkatkan nol sama dengan 1 sehingga persamaan laju reaksinya
menjadi; r = k. Jadi reaksi dengan laju tetap mempunyai orde reaksinya nol.
Grafiknya digambarkan seperti gambar
2. Grafik orde satu
Untuk orde satu, persamaan laju reaksi adalah r = k[A]1.
Persamaan reaksi orde satu merupakan persamaan linier berarti laju reaksi
berbanding lurus terhadap konsentrasi pereaksinya. Jika konsentrasi pereaksinya
dinaikkan misalnya 4 kali, maka laju reaksi akan 41 atau 4 kali lebih besar.
Grafiknya digambar seperti gambar

3. Grafik Orde dua


Persamaan laju reaksi untuk orde dua adalah r = k [A]2. Apabila suatu reaksi
berorde dua terhadap suatu pereaksi berarti laju reaksi itu berubah secara kuadrat
terhadapperubahan konsentrasinya. Apabila konsentrasi zat A dinaikkan misalnya
2 kali, maka laju reaksi akan menjadi 22 atau 4 kali lebih besar. Grafiknya
digambarkan seperti gambar
2.12 Penelitian yang Relevan
Adapun hasil-hasil penelitian yang
relevan terkait dengan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
Suardani, dkk (2014) melakukan
penelitian mengenai Pengaruh Model
Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Dan
Keterampilan Proses Sains Siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1)
Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah, dan keterampilan proses
sains antara kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dengan kelompok siswa
yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran langsung; 2) Terdapat
perbedaan kemampuan pemecahan masalah antara kelompok siswa yang belajar
dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based
learning) dengan kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran langsung. Rata-rata gain skor keterampilan proses sains siswa yang
mengikuti model pembelajaran problem based learning (X = 0,480) lebih besar
dari rata-rata kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran langsung (X =
0,377).; 3) Terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok siswa
yang belajar dengan menggunakan model model pembelajaran berbasis masalah
dengan kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran
langsung. Relevansinya dengan penelitian yang dilakukan adalah penggunaan
model pembelajaran berbasis masalah dan melihat pengaruhnya terhadap
kemampuan pemecahan masalah.
Raudhatul Hanifa (2017) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Model
Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada
Materi Stoikiometri Di Man 1 Pidie. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
persentase aktivitas siswa yang relevan selama proses pembelajaran adalah
sebesar 88,99%. Hasil belajar siswa diperoleh 24 siswa berkriteria tinggi dan 6
siswa berkriteria sedang. Berdasarkan data yang dianalisis menggunakan uji t
diperoleh nilai signifikan 0,000 < 0,005 maka dapat diputuskan bahwa Ho
ditolak. Respon siswa terhadap model PBL dengan hasil persentase menjawab
sangat tidak setuju 0,67%, siswa tidak setuju 5,55%, siswa setuju 73,55%, dan
siswa setuju 20,22%. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model problem based learning dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada materi stoikiometri. Relevansinya dengan penelitian yang dilakukan
adalah penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dan melihat
pengaruhnya terhadap kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran Kimia
SMA.
Joseph E. dan Melfei E (2019) melakukan penelitian mengenai Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Keterampilan Pemecahan
Masalah Pada Siswa Di Sekolah Menengah Atas. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: 1) Tingkat keterampilan pemecahan masalah sebelum diterapkan model
pembelajaran pendekatan PBL umumnya sangat rendah; (2) Tingkat keterampilan
pemecahan masalah pada awalnya sangat rendah tetapi secara komparatif
meningkat menjadi rendah setelah diterapkan PBL; (3) terdapat perbedaan yang
signifikan dalam tingkat keterampilan pemecahan masalah siswa dalam
kelompok PBL; (4) antara dua pendekatan ini dalam penelitian ini, pendekatan
PBL mengajarkan konsep Kimia untuk siswa kelas 9 terbukti lebih efektif
daripada pendekatan non-PBL. Relevansinya dengan penelitian yang dilakukan
adalah penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dan melihat
pengaruhnya terhadap kemampuan pemecahan masalah.
2.13 Kerangka Berpikir
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang berlaku pada sistem pendidikan
nasional di Indonesia. Kurikulum 2013 menekankan pada kegiatan pembelajaran
yang dilaksanakan menggunakan pendekatan saintifik 5M. Pendekatan saintifik
merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam
membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Pembelajaran dengan
pendekatan saintifik mendorong siswa untuk memecahkan masalah berdasarkan
materi-materi yang dipelajari melalui langkah-langkah mengamati, menanya,
mengumpulkan data, mengasosiasi, dan menyimpulkan. Dalam rangka
memecahkan masalah-masalah, siswa membutuhkan pengetahuan-pengetahuan
dasar yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Siswa harus mengkonstruksi
pengetahuan tersebut secara mandiri. Kegiatan pembelajaran dengan memecahkan
masalah dapat mendorong kemandirian siswa dalam belajar.
Pembelajaran Kimia merupakan suatu proses pembelajaran yang mana terjadi
interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa dengan
sumber belajar dalam rangka mencapai tujuan pemebelajaran. Pada kegiatan
pembelajaran Kimia harus mecangkup pada aspek makroskopis, mikroskopis, dan
simbolis. Namun, pada kegiatan pembelajaran yang terjadi disekolah tidak
mencapi pada tiga aspek tersebut. Melainkan hanya pada aspek makroskopis dan
simbolis. Hal tersebut menyebabkan siswa hanya menghafal dan menghitung.
Sehingga, pemahaman terhadap materi tidak pernah terjadi dan menyebabkan
siswa menjadi tidak terbiasa dalam menyelesaikan masalah-masalah Kimia yang
bersifat aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
Laju reaksi merupakan salah satu materi pada pembelajaran Kimia. Materi
laju reaksi ini merupakan materi yang melingkupi aspek makroskopis,
mikroskopis, dan simbolis. Materi laju reaksi juga merupakan materi pelajaran
Kimia yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan pemahaman siswa serta kemampuan dalam pemecahan masalah
pada materi laju reaksi, dibutuhkan suatu model pembelajaran yang dapat
menciptakan pembelajaran yang inspiratif dan menyenangkan. Sehingga siswa
dapat mengkonstruksi pemahamannya secara mandiri dan dapat memecahkan
masalah-masalah yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat banyak
model pembelajaran khususnya pada pembelajaran kimia. Namuan pada
penelitian ini digunakan model pembelajaran langsung dan model pembelajaran
berbasis masalah (PBM).
Model pembelajaran langsung adalah salah satu model pembelajaran yang
dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik
yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap. Model pembelajaran
langsung adalah merujuk pada teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan
pengetahuan dari guru kepada murid secara langsung, misalnya melalui ceramah,
demonstrasi, dan tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas.
Model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang
menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan. Jenis permasalahan yang digunakan meliputi
permasalahan kehidupan sehari-hari untuk memotivasi siswa dalam
mengidentifikasi konsep-konsep yang harus diketahui. Pada pembelajaran
berbasis masalah siswa akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk
melakukan diskusi. Langkah-langkah yang digunakan siswa untuk memecahkan
masalah yaitu pertama siswa mengidentifikasi masalah dan memahaminya, kedua
merencanakan strategi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, ketiga
melaksanakan semua startegi yang telah direncanakan, dan yang terakhir adalah
mengevaluasi segala hal yang telah dilakukan dalam memecahkan masalah.
Dalam model pembelajaran berbasis masalah, siswa tidak hanya dituntut untuk
mengontruksi pengetahuannya, namun siswa juga dituntut untuk dapat
mengomunikasikan temuan-temuan yang mereka peroleh melalui kerja kelompok.
Berdasarkan pemaparan penggunaan kedua model pembelajaran diatas terdapat
perbedaan pada proses pembelajaran. Perbedaan tersebut diduga akan
memepenaruhi kemampaun pemecahan masalah siswa yang dibelajarkan dengan
model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang dibelajarkan dengan
pembelajaran langsung.
2.14 Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir diatas, hipotesis penelitian dapat dirumuskan
bahwa “Terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang dibelajarkan dengan
model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dengan siswa yang dibelajarkan
dengan pembelajaran langsung”.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Penelitian
eksperimen dibedakan menjadi tiga yaitu pre experiment, true experiment dan
quasi experiment (Uhar, 2012). Dalam penelitian ini digunakan quasi experiment.
Quasi experiment (eksperimen semu) dipilih karena peneliti tidak dapat
mengendalikan sepenuhnya faktor lingkungan yang mempengaruhi hasil
penelitian. Penelitian eksperimen semu digunakan untuk melihat dampak dari
perlakuan yang diberikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.
3.2 Rancangan Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah “Pretest-Posttest Control Group
Design”. Desain ini dipilih karena ingin melihat pengetahuan awal yang dimiliki
siswa dan hasil akhir setelah diberikan treatment atau perlakuan. Ilustrasi
rancangan penelitian dapat dilihat pada tabel.

Tabel 3. Desain penelitian pretest-posttest control group design

Pretest Perlakuan Post-Test


Kelompok
Eksperimen O1 X O3

Kontrol O2 - O4

(dalam Dantes, 2017)


Keterangan:
X: Perlakuan pada kelas eksperimen yaitu model pembelajaran berbasis masalah
O1: Pretest pada kelas eksperimen
O2: Pretest pada kelas kontrol
O3: Posttest pada kelas eksperimen
O4: Posttest pada kelas control
Dalam desain pretest-posttest control group design ini terdapat dua buah
kelompok. Kelompok pertama (kelompok eksperimen) diberikan perlakuan,
sedangkan kelompok kedua (kelompok kontrol) tidak diberikan perlakuan.
Dalam penelitian ini, kedua kelas akan diberikan tes awal untuk melihat
pengetahuan awal sebelum diberikan perlakuan. Setelah diberikan perlakuan maka
akan diberikan tes. Diakhir pelajaran, kelas eksperimen dan kelas kontrol
diberikan posttest. Nilai pretest dan posttest tersebut digunakan untuk mengetahui
perbedaan hasil belajar antara kelas kontrol dan kelas eksperimen yang
dipengaruhi oleh perlakuan.
3.3 Definisi Variabel Penelitian (Definisi Konseptual dan Operasional)
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel bebas adalah variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahan yang terjadi pada variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebas
yaitu model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran langsung.
Sedangkan variabel terikat adalah varibel yang dipengaruhi atau yang akan
menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel terikat
yaitu kemampuan pemecahan masalah.

Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Penelitian


Definisi Konseptual Variabel Penelitian
1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang
menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan (Firman & Miftahus, 2016).
2. Model Pembelajaran Langsung
Model pembelajaran langsung adalah teknik pembelajaran ekspositori
(pemindahan pengetahuan dari guru kepada murid secara langsung, misalnya
melalui ceramah, demonstrasi, dan tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas
(Killen dalam Iru & Arihi, 2012:155).
3. Kemampuan memecahkan Masalah
Kemampuan memecahkan masalah adalah salah satu bagian dari proses berpikir
berupa kemampuan untuk memecahkan persoalan (Marzano dkk, 1988).
Definisi Oprasional Variabel Penelitian
1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang kegiatan
pembelajarannya berbasis pada masalah. Pembelajaran berbasis masalah terdiri
dari beberapa tahap yaitu, 1) Orientasi siswa pada masalah, guru menjelaskan
tujuan pembelajaran, menjelaskan logistic yang diperlukan, dan memotivasi siswa
terlibat pada aktivitas pemecahan masalah. 2) Mengorganisasi siswa untuk belajar,
guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut. 3) Membimbing pengajaran individu
/kelompok, guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksprerimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah. 4) Membimbing pengalaman dan menyajikan hasil karya. 5).
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
2. Model Pembelajaran Langsung
Model Pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang terdiri dari
beberapa tahap yaitu, 1). Orientasi, guru mengecek pengetahuan awal yang
relevan, memberikan tujuan pembelajaran, memeberi arahan tentang kegiatan
yang dilakukan, menginformasikan kerangka pelajaran. 2). Presentasi, guru
menyajikan materi, memberi contoh, menjelaskan hal-hal yang sulit. 3). Latihan,
guru memandu siswa untuk melakukan latihan-latihan.
3. Kemampuan Memecahkan Masalah
Kemampuan pemecahan masalah adalah proses yang melibatkan pengetahuan dan
ketrampilan untuk menyelesaikan suatu masalah. Data kemapuan pemecahan
masalah diperoleh dari hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan soal uraian
dalam pre-test dan post-test setelah melaksanakan pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran langsung.
3.4 Populasi Dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Petang.
Dalam penentuan sampel penelitian, terlebih dahulu dilakukan penyetaraan
terhadap semua anggota populasi untuk memperoleh sampel yang setara.
Penyetaraan terhadap anggota populasi dilakukan dengan memberi tes awal untuk
memlihat hasil belajar siswa. Kelas yang memiliki hasil belajar yang sama
diasumsikan memiliki kemampuan yang sama dan kemudian digunakan sebagai
sampel pada penelitian.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah
menggunakan teknik probability sampling. Probability sampling adalah teknik
pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota
populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi, simple
random sampling, proportionate stratified random sampling, disproportionate
stratified random sampling, cluster sampling (Sugiono, 2013). Karena teknik
probability sampling terdiri dari beberapa cara pengambilan sampel, peneliti
memilih teknik simple random sampling. Teknik simple random sampling dipilih
karena pengambilan anggota sampel yang dilakukan secara acak dan tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi. Cara yang digunakan pemilihan
sampel adalah dengan cara undian.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan meliputi:
1. Lembar observasi
Lembar observasi berupa lembar pengamatan aktivitas siswa terhadap
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah yang
dibubuhi dengan tanda check list. Lembar observasi diberikan kepada pengamat
untuk mengamati aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Aktivitas yang
dilakukan siswa yaitu mendengarkan pembelajaran dan menentukan masalah
yang akan dipecahkan, meninjau masalah secara kritis, merumuskan berbagai
kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, siswa
menyajikan karyanya, siswa melakukan evaluasi, dan aktivitas yang tidak
relevan. Lembar observasi yang digunakan untuk memperoleh data dan tes
kemapuan pemecahan masalah siswa.
2. Tes
Tes yang diberikan dengan dengan jenis soal uraian pemecahan masalah yang
bersifat open-ended dan iil structure yang mengacu pada indikator sesuai dengan
KI dan KD materi kelas XI khususnya laju reaksi. Pada soal uraian diberikan
skor berdasarkan tahapan dan jawaban siswa sesuai dengan bobot yang telah
ditetapkan. Digunakan tes essay bertujuan mengetahui bagaimana siswa
mengkontruksikan pengetahuan yang dimiliki dan mampu memecahkan
permasalahan yang diberikan yang kemudian dituangkan secara tertulis terhadap
jawaban soal-soal yang diberikan. Sebelum digunakan tes diuji cobakan terlebih
dahulu untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya beda, dan tingkat
kesukarannya.

Uji Coba Tes


Uji coba tes yang dilakukan antara lain:
a. Uji Validitas isi
Pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen
dengan materi pelajaran yang diajarkan saat penelitian. Secara teknis, pengujian
validitas isi dapat dibantu dengan menggunakan kisi-kisi instrumen atau matriks
pengembangan instrumen. Dalam kisi-kisi terdapat variabel yang akan diteliti,
indikator sebagai tolok ukur dan nomor butir pertanyaan yang dijabarkan dari
indikator.
b. Uji Validitas Butir Tes
Validitas bertujuan untuk mendapatkan gambaran kelayakan penggunaan
instrument penelitian dan perangkat pembelajaran dalam penelitian. Validitas butir
tes dihitung dengan mengorelasikan antara skor tiap butir dengan skor total yang
dicapai setiap individu. Sebuah butir tes memiliki validitas tinggi jika skor pada
butir soal mempunyai kesejajaran dengan skor total. Rumus koreksi yang
digunakan untuk menguji validitas butir adalah rumus korelasi product moment
sebagai berikut.
r xy =N ∑ XY −( ∑ X)¿ ¿ ¿

Keterangan:

rxy= koefisien korelasi

N = jumlah sampel

X = skor butir

Y = skor total
Penentuan validitas butir soal dapat ditentukan dengan membandingkan koefisien
korelasi hitung dengan tabel harga r yang bergantung pada jumlah sampel. Butir
soal dinyatakan valid apabila r hitung > r tabel.

c. Uji Reliabilitas
Reliabilitas tes uraian ditentukan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach.
Rumus alpha cornbach sebagai berikut.
2
n ∑σ
(
r 11 =
(n−1) )(
1− 2 i
σt )
Keterangan:

n = jumlah butir tes

∑ σ 2i = jumlah varians skor dari tiap-tiap butir soal


σ 2t = varians total

Menurut Arikunto (2002), harga koefisien korelasi yang diperoleh dapat


dikategorikan sebagai berikut.

r11= 0,00-0,20 berarti derajat reliabilitas sangat rendah;

r11= 0,21-0,40 berarti derajat reliabilitas rendah;

r11= 0,41-0,60 berarti derajat reliabilitas sedang;

r11= 0,61-0,80 berarti derajat reliabilitas tinggi;

r11= 0,81-1,00 berarti derajat reliabilitas sangat tinggi

d. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran digunakan untuk dapat mengetahui butir soal yang tergolong
sulit, sedang, atau mudah. Untuk mengetahui tingkat atau taraf kesukaran setiap
butir soal digunakan rumus sebagai berikut.

I =∑ U +¿
∑ L−(2 Nx ¿ S min) ¿ ¿
2 N (Smak −S min )

(dalam Candiasa, 2011)


Keterangan:
∑U = total skor kelompok atas

∑L = total skor kelompok bawah


Skor mak =skor maksimum butir
Skor min = skor minimum butir
N = banyak peserta tes
Taraf kesukaran soal yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus di atas selanjutnya diinterpretasikan dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut.
Tabel 4. Klasifikasi Taraf Kesukaran Soal

Taraf Kesukaran Soal Interpretasi


0,00 < I< 0,30 Soal sukar
0,30 < I< 0,70 Soal sedang
0,70 < I< 1,00 Soal mudah
(dalam Arikunto, 2010)
e. Daya Beda
Daya beda digunakan untuk mengetahui perbedaan antara siswa yang memiliki
kemampuan tinggi dan kemampuan rendah. Untuk mengetahui daya pembeda
setiap butir soal digunakan rumus sebagai berikut.
d= ( n+1 ) ¿ ¿

(dalam Candiasa, 2011)

Keterangan
d = indeks daya pembeda
N= banyak peserta tes
N = banyak butir
f i= frekuensi pada tiap-tiap skor

Menurut Agung (2014) daya beda yang diperoleh diinterpretasikan dengan


menggunakan klasifikasi daya pembeda sebagai berikut.

Tabel 5 Klasifikasi Indeks Daya Pembeda

Taraf Indeks Daya Beda Interpretasi


0,00 <d< 0,20 Sangat terndah
0,20 <d< 0,40 Rendah
0,40 <d< 0,60 Sedang
0,60 <d< 0,80 Tinggi
0,80 < d< 1,00 Sangat tinggi
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu.
1. Observasi
Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah observasi aktivitas siswa dalam
proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.
2. Tes
Tes untuk menguji taraf pemahaman siswa terhadap materi yang telah
diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah. Serta untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah. Tes yang diberikan terbagi dua, yaitu pre-
test dan post-test yang diberikan sebelum proses pembelajaran berlangsung,
sedangkan post-test diberikan sesudah pembelajaran berlangsung.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik. Terdapat dua
macam statistik yang digunakan untuk analisis data yaitu statistik deskriptif dan
statistik inferensial.
Teknik Analisis Statistik Deskriptif
Data aktivitas siswa dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif
dengan mendeskripsikan rata-rata skor aktivitas belajar siswa yang diperoleh
dari observasi pada saat pembelajaran. Analisis data aktivitas siswa
menggunakan rumus sebagai berikut:
f
x= x 100 %
N

Keterangan:

P = Angka persentase

f = Frekuensi rata-rata aktivitas siswa

N = Jumlah aktivitas keseluruhan siswa

Tabel 6. interval persentase dan kategori kriteria penilaian hasil observasi

Taraf Indeks Daya Beda Interpretasi


76 <%≤ 100 Sangat tinggi
51 <%≤ 75 Tinggi
26 <%≤ 50 Rendah
0 <%≤ 21 Sangat rendah
(dalam Arikunto, 2013)

Teknik Analisis Statistik Inferensial


Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian
ini menggunakan uji Anakova atau analisis kovarian. Sebelum uji Anakova
dilakukan, terlebih dahulu dilakukan beberapa uji prasyarat yaitu uji
normalitas, uji homogenitas, uji linieritas, dan uji kemiringan garis regresi.
a. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui bahwa data berasal dari populasi
yang terdistribusi normal atau tidak, sehingga uji hipotesis dapat dilakukan.
Uji normalitas sebaran data menggunakan Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro
wilk. Kriteria pengujian data memiliki sebaran normal jika angka signifikansi
lebih besari dari 0.05.
b. Uji homogenitas digunakan untuk menguji bahwa setiap kelompok yang
dibandingkan memiliki variansi antar kelompok menggunakan uji F.
Homogenitas varian diuji berdasarkan rumus:
S 21
F= 2
s2

Keterangan:

F = Nilai F hitung

S21= nilai varian terbesar

s22= nilai varian terkecil

Kriteria pengujian data memiliki varians sama (homogen) jika Fhitung < F tabel.

c. Uji linearitas
Uji linearitas merupakan salah satu upaya untuk memenuhi asumsi analisis
kovarian yang mensyaratkan adahanya hubungan antara variabel kovariat dan
variabel terikat yang saling membentuk kurva linear. Kurva linear dapat
terbentuk apabila setiap kenaikan skor variabel kovariat diikuti oleh kenaikan
skor variabel terikat. Pada penelitian ini, uji linearitas dimaksudkan untuk
mengetahui bentuk hubungan variabel kovariat (pengetahuan awal) dan
variabel terikat (kemampuan pemecahan masalah). Uji linearitas regresi
menggunakan lavene’s test of equality of error variance. Kriteria pengujian
yang digunakan yaitu data yang memiliki varians sama (homogen) jika angka
signifikansi yang dihasilkan lebih besa dari 0,05 dan dalam hal lain, varians
sampel tidak homogen.
d. Uji kemiringan garis regresi
Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kovariat (pengetahuan awal
siswa) terhadap hasil belajar. Kemiringan (slope) garis antara kelompok harus
sama. Kesamaan kemiringan garis ini dibuktikan dengan tidak adanya
interaksi antara kovariat (pengetahuan awal) dengan kelompok perlakuan.
Interaksi dinyatakan tidak berarti apabila memiliki nilai signifikansi lebih
besar dari 0,05.
e. Uji hipotesis menggunakan analisis kovarian satu jalur satu kovariabel
Adapun langkah-langkah untuk menghitung anakova satu jalur satu kovariabel
sebagai berikut.
1. Menghitung jumlah kuadrat total pada variabel terikat, kovariabel dan
product XY.
2. Menghitung jumlah kuadrat dalam kelompok variabel terikat, kovariabel
dan produk XY.
3. Menghitung jumlah kuadrat residu total, dalam dan antar kelompk.
4. Menghitung derajat kebebasan total, dalam dan antar kelompok
5. Menemukan varian residu dengan menghitung rata-rata kuadrat residu
antar kelompok dan dalam kelompok.
6. Menghitung rasio F residu
7. Melakukan uji signifikansi dengan jalan membandingkan F empirik
dengan teoritik.

Hipotesis yang dirumuskan dari penelitian ini sebagai berikut.

Ho: μ1=μ2: tidak terdapat perbedaan kemapuan pemecahan masalah siswa kelas XI
pada materi laju reaksi yang mengikuti model pembelajaran berbasis
masalah dengan kelas yang mengikuti model pembelajaran
langsung.
H1: μ1≠μ2: terdapat perbedaan kemapuan pemecahan masalah siswa kelas XI pada
materi laju reaksi yang mengikuti model pembelajaran berbasis
masalah dengan kelas yang mengikuti model pembelajaran
langsung.

Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan uji Anakova.


Penggunaan uji Anakova ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh pretest
terhadap hasil posttest, sehingga hasil yang diperoleh pada posttest murni
diakibatkan oleh perlakukan yang diberikan. Pengujian pengaruh antar variabel
dilakukan terhadap angka signifikansi 5%.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, G. 2014. Buku Ajar Metodologi Penelitian Pendidikan. Malang: Aditya
Media Publishing.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Apri Utami, dkk. 2014. Ringkasan Genius IPA SMA. Jakarta: Laskar Aksaran.
Asfi Yuhani, dkk. 2018. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Jurnal
Pembelajaran Matematika Inovatif Volume 1, No. 3.
Bambang SS, 2012. Problem Solving: Signifikansi, Pengertian, dan Ragamnya.
Satya Widya, Vol. 28, No.2: 156-165.
Budi, Utami. 2009. Kimia Untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional.
BSNP. 2006. Standar Isi Untuk Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta:
Depdiknas.
Candiasa, I M. 2011. Pengujian Instrumen Penelitian Disertai Aplikasi. Singaraja:
Undiksha Press.
Chang, Rymond. 2015. Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti. Edisi Ketiga (Jilid 2).
Jakarta: Erlangga.
Dantes, N. 2017. Desain Eksperimen dan Analisis Data. Depok: PT. Raja
Grafindo Persada.
David H. Jonassen. 2011. Learning to Solve Problems A Handbook for Designing
Probem-Solving Learning Envioromentas. New York: Routledge.
Dian, Handayani. 2017. “Pengaruh Model Problem Based Learning Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa di Kelas Viii Mts. S Al-
Washliyah Tahun Ajaran 2016/2017”. Skripsi. Jurusan Pendidikan
Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri. Sumatera Utara.
Dwiyanto, Firman dan Miftahus Surur. 2016. Strategi Pembelajaran Berbasis
Masalah. www.nulisbuku.com. (diakses pada tanggal 10 januari 2018).
Esti, Zaduqisti. 2010. Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model
Pembelajaran Untuk Peningkatan Prestasi Belajar Dan Motivasi
Berprestasi). Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN)
Pekalongan Vol. 8, No. 2.
Eveline Siregar dan Hartini Nara. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Girl, T.A., Wah, L.K.M., Kang, G.Ng., & Sai, C.L. 2002.New Paradigm for
Science Education. A Perspective of Teaching Problem-Solving, Creative
Teaching and Primary Science Education; Singapore: Prentice Hall.
Hidayet. 2016. Learning and Teaching Theories, Approaches and Models.
Türkiye: Çözüm Eğitim Yayıncılık
Himawan, Putranta. 2018. Model Pembelajaran Kelompok Sistem Perilaku:
Behavior System Group Learning Model. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Indrayani, P. 2013. “Analisis Pemahaman Makroskopik, Mikroskopik, dan
Simbolik Titrasi Asam Basa Siswa Kelas XI IPA SMA serta Upaya
Perbaikannya dengan Pendekatan Mikroskopik”. E-Journal Universitas
Negeri Malang, 1(2): 109-120.
Joseph E. dan Melfei E. 2019. Problem-Based Learning Approach Enhances The
Problem Solving Skills In Chemistry Of High School Students. Journal of
Technology and Science Education, Volume 9 No.3: 282-294.
La Iru dan La Ode Safiun Arihi. 2012. Analisis Penerapan Pendekatan, Metode,
Strategi, dan Model-Model Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.
Lilis, Satriani. 2017. “Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Penerapan
Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Mata Pelajaran Akidah
Akhlak Kelas Viii Mtsn Ma’rang Pangkep”. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Uin Alauddin. Makassar.
Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mutia, Rahmi. 2019. “Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning
Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Laju Reaksi Di Sma Negeri 12
Banda Aceh” Skripsi. Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry. Banda Aceh.
Nattawat. 2019. Effects of Problem-Based Learning Approach On Problem-
Solving Skills and Cooperative Working Ability of Eighth-Grade Students.
International Journal of Social Sciences Volume 4 Issue 3, pp. 1277-1284.
Paidi. 2010. Kemampuan Memecahkan Masalah. [Online]. Diakses dari
http:staff.uny.ac.id/sites/default/files /132048519/ArtikelSemnas FMIPA
UNY.pdf
Palumbo.D.B. 1990. Programming Language/Problem-Solving Research: A
Review of Relevant Issue. Review of Educational Research; Spring. Vol. 60
(1), pp 65 –89.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang
Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. 2016. Jakarta.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 tentang
Standar Proses Pendidian Dasar dan Menengah. 2016. Jakarta.
Puspitasari, Nitta. 2011. Pembelajaran berbasis masalah dengan strategi
kooperatif Jigsaw untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa
sekolah menengah pertama. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
Matematika. Vol. 1.
Raudhatul Hanifa. 2017. “Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based
Learning (Pbl) Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Stoikiometri di
Man 1 Pidie”. Skripsi. Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry Darussalam. Banda Aceh.
Redhana, I W. 2019. Mengembangkan Keterampilan Abad Ke-21 Dalam
Pembelajaran Kimia. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 13, No 1, 2019,
halaman 2239 – 2253.
Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sirhan, G. 2007. “Learning Difficulties in Chemistry”. Journal of Turkish Science
Education, 4(2): 2-20.
Suardani, Ni Nyoman, dkk. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis
Masalah Terhadap Kemampuan Pemecahan masalah dan Keterampilan
Proses Sains Siswa. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi Pendidikan IPA. Volume 4.
Subagia, I W. dan M. Siregar. 2006. Strategi Pembelajaran Kimia dengan
Pendekatan Struktur. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sunarya, Y. 2012. Kimia Dasar 1. Bandung: Yrama Widya.
Suprijono, Agus. 2013. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thobrani, Muhammmad dan Arif Mustofa. 2013. Belajar & Pembelajaran:
Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan
Nasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.Khadijah.
Thobroni, 2013. Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Tri Swandi, dkk .2016. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Open-Ended
Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Oleh Siswa. Jurnal
Pendidikan Progresif, Vol. VI, No. 2 November 2016 hal. 163- 173.
Trianto. 2007. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep,
Landasan, Dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,
Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Jakarta: Kencana.
Uhar, Suharsaputra. 2012. Metode Penelitian Kuntitatif, Kualitatif, dan Tindakan.
Bandung: PT Refika Aditama.
Unggul, Sudarmo. 2014. Kimia Untuk SMA/MA. Jakarta: Erlangga.
Wiley, Blackwell. 2019. The Wiley Handbook of Problem‐Based Learning.
Wiratma, I G.L. 2015. “Relasi Kekuasaan dalam Pembelajaran Kimia pada SMA
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di Bali”. Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran, 48(3).

Anda mungkin juga menyukai