OLEH
I GUSTI AYU AGUNG MAS ROSMITA
1713031013
I. TUJUAN
Untuk membuktikan rekasi substitusi nukleofilik pada pembentukan t-butil klorida.
Substitusi Nukleofilik
Dalam substitusi nukleofilik alifatik, pendonor elektron memberikan pasangan elektron
kepada substrat dan menggunakan pasangan elektron ini untuk membentuk ikatan yang baru
sedangkan gugus pergi (nucleofuge), pergi dengan membawa pasangan elektron. Reaksi yang
terjadi dapat digambarkan seperti berikut.
R X + Y R Y +X
Nukleofil Y harus memiliki sepasang pasangan elektron bebas, sehingga semua nukleofil
termasuk basa Lewis (Smith & March, 2007).
Menurut kinetika reaksinya, reaksi substitusi nukleofilik dapat dibagi menjadi 2 macam,
yaitu:
1. Reaksi Substitusi Nukleofilik Unimolekuler (SN1)
Laju reaksi substitusi nulkeofilik yang hanya bergantung pada konsentrasi substrat dan
tidak bergantung pada konsentrasi nuleofil dinyatakan sebagai reaksi S N1. Persamaan laju
reaksinya adalah:
Laju reaksi = k [ Substrat]
Reaksi SN1 terdiri dari dua tahapan reaksi. Tahap pertama melibatkan ionisasi substrat
menjadi ion karbonium yang berlangsung lambat dan merupakan tahap penentu laju reaksi.
Tahap kedua melibatkan serangan nukleofil secara cepat terhadap ion karbonium.
Pada reaksi SN1, reaksi yang terjadi tidak serempak melainkan terjadi secara bertahap.
Tahapan yang terjadi dalam reaksi ini adalah pembentukan ion karbonium yang berlangsung
secara lambat dimana tahapan ini merupakan penentu laju reaksi kemudian tahapan kedua
penyerangan ion karbonium oleh nukleofil yang berlangsung secara cepat. Ion karbonium
terbentuk dari pemutusan secara heterolisis terhadap ikatan C-OH dimana pemutusan gugus
OH- merupakan gugus pergi yang tidak baik sehingga diperlukan pereaksi H+ untuk
melepaskan gugus OH- dalam bentuk H2O. Ion karbonium merupakan hasil intermediet
dalam suatu reaksi organik, dan akan menjadi stabil apabila mengikat gugus penyumbang
elektron. Ion karbonium dapat menerima pasangan elektron dari nukleofil membentuk ikatan
baru. Mekanisme yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Tahap 1 Pembentukan ion karbonium
Me Me Me
Pr C X Pr C X Pr C + X
Et Et Et
Y + Pr C Y C Pr Y C Pr
Et Et Et
Pada reaksi substitusi nukleofilik, ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi
reaksi yakni
struktur substrat
sifat nukleofil,
sifat pelarut
sifat gugus pergi.
Struktur substrat (RX) mempengaruhi reaksi substitusi yang terjadi. RX primer
cenderung mengalami reaksi SN2, RX tersier cenderung mengalami reaksi SN1, dan RX
sekunder dapat mengalami reaksi SN1 dan SN2. Hal ini disebabkan oleh kerapatan elektron
pada atom karbon yang mengikat gugus pergi. Semakin stabil ion karbonium yang dihasilkan
maka mekanisme reaksi SN1 semakin dominan. Sifat nukleofil dimana nukleofil kuat seperti
alkoksida dan ion hidroksida cenderung mengalami reaksi SN2, sedangkan nukleofil lemah
seperti air dan alkohol cenderung mengalami reaksi SN1. Pelarut yang memiliki polaritas
besar cenderung akan terjadi reaksi SN1 karena hal ini mempermudah substrat mengalami
ionisasi dan menstabilkan ion yang dihasilkannya. Sebaliknya apabila polaritas kecil maka
terjadinya ionisasi kecil sehingga dominan terjadi reaksi SN2.
2. Reaksi Substitusi Nukleofilik Bimolekuler (SN2)
Jika laju reaksi reaksi substitusi nuleofilik tergantung pada konsentrasi substrat dan
nukleofil, maka tergolong reaksi tingkat dua dan dinyatakan sebagai reaksi S N2. Persamaan
laju reaksinya adalah:
laju reaksi = k [substrat ][nukleofil ]
Mekanisme yang terjadi dalam reaksi substitusi bimolekuler adalah reaksi substitusi
dimana putusnya ikatan lama dan terbentuknya ikatan baru terjadi secara serempak. Dalam
mekanisme ini, gugus Y:- menyerang dari arah berlawanan dari gugus X kemudian mencapai
keadaan transisi dimana keadaan ini memiliki tingkat energi yang paling tinggi. Mekanisme
reaksi dapat digambarkan sesuai pada gambar di bawah ini.
H R
R H
Y + R C X Y C X Y C H + X
H H H
Kekuatan nukleofil juga dapat mengubah mekanisme reaksi yang dilalui oleh reaksi oleh
reaksi Sn. Jika nukleofilnya kuat maka mekanisme Sn2 yang terjadi. Berikut ini ada beberapa
petunjuk yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu nukleofil adalah kuat atau lemah:
1. Ion nukleofil bersifat nukleofil. Anion adalah pemberi electron yang lebih baik dari pada
molekul netralnya. Jadi
2. Unsur yang berada pada periode bawah dalam table periodic cenderung merupakan
nukleofil yang lebih kuat dari pada unsure yang berada dalam periode di atasnya yang
segolongan. Jadi
3. Pada periode yang sama, unsure yang lebih elektronegatif cenderung merupakan nukleofil
lebih lemah (karena ia lebih kuat memegang elektron).
Karena C dan N berada dalam periode yang sama, tidak mengherankan jika pada ion :
C=N: yang bereaksi adalah karbon, karena sifat nukleofilnya lebih kuat.
Tabel 3. Bahan
No Nama Bahan Jumlah
1. HCl pekat 15 mL
2. Tersier butyl alcohol 5 mL
3. Larutan Natrium bikarbonat 10 mL
4. Aquades 100 mL
5. Serbuk Tembaga Sulfat anhidrat 5 gram
(CuSO4)
berwarna putih
Setelah dimasukkan ke dalam
produk berubah menjadi biru
Setelah terus ditambah CuSO4 tidak
berubah warna tetap berwarna putih
Diuji titik didih secara mikro dengan Mulai mendidih suhu 51oC
rentang suhu 49-52oC Larutan tersedot kedalam pipa
kapiler 52oC
V. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini dilakukan percobaan mengenai reaksi substitusi nukleofilik
unimolekuler (SN1). Reaksi ini termasuk ke dalam reaksi SN1 karena digunakan HCl
sebagai pelarut. HCl merupakan salah satu jenis pelarut yang bersifat polar. Substrat
yang digunakan pada reaksi ini adalah tersier butil alkohol. Pertama-tama HCl pekat
bening kekuningan yang digunakan didinginkan terlebih dahulu dalam penangas es. Hal
tersebut bertujuan agar HCl tetap berada dalam wujud cair, dikarenakan pada suhu kamar
HCl pekat sangat mudah menguap. Agar HCl yang digunkan nantinya untuk
mereaksikan tidak sedikit. Asam klorida pekat yang digunakan bening kekuningan
dikarena kan memang dari botol tersebut berwarna demikian dan kemungkinan sudah
terkontaminasi oleh senyawa lain akibat penggunaan yang tidak baik.
Mereaksikan HCl dan t-butanol dilakukan dalam corong pisah. Tersier-butanol
ditambahkan kedalam corong pisah dikit demi sedikit sambil dikocok dengan jangka
waktu pengocokan tertentu. Pengocokan bertujuan untuk mempercepat proses reaksi
karena pemisahan awal pada reaksi Sn1 memerlukan waktu yang cukup lama. Pada saat
pengocokan terdapat tekanan di dalam corong pisah, tekanan tersebut disebabkan oleh
gas HCl. Oleh karena itu pada saat pengocokan sesekali tutup corong pisah dibuka untuk
menghindari tutup corong yang terlepas akibat tekanan gas HCl yang berlebihan. Setelah
penambahan 5 mL tertier butanol selesai dilanjutkan kembali dengan pengocokan ± 20
menit. Hal tersebut bertujuan agar agar terjadi tumbukan antar partikel tertier butanol dan
HCl lebih banyak sehingga lebih cepat terbentuk produk (tertier butil klorida). Reaksi-
reaksi oraganik ini melibatkan molekul-molekul yang besar sehingga diperlukan
pengocokan yang kuat dan baik untuk mereaksikannya.
Setelah direaksikan campuran tersebut didiamkan hingga membentuk 2 lapisan.
Berdasarkan hasil pengamatan terdapat dua lapisan yang mana lapisan atas keruh dan
lapisan bawah bening tak berwarna. Berdasarkan massa jenis antara t-butil klorida dan
HCl, t-butil klorida memiliki massa jenis yang lebih kecil dibandingkan HCl sehingga
yang terdapat pada lapisan atas adalah t-butil klorida berwarna keruh dan HCl yang
bening tak berwarna. Mekanisme reaksi pembentukan t-butil klorida yang terjadi pada
corong pisah adalah sebagai berikut.
H
O H H H H
O O
H Cl
H 3C C CH3 H 3C C CH 3 H 3C C CH 3
CH 3 CH 3 CH 3
-H2O
Cl
Cl
H 3C C CH 3 H 3C C CH 3
CH 3 CH 3
Dalam mekanisme reaksi SN1 tidak terjadi secara serempak, melainkan secara bertahap.
Dalam hal ini, terjadi dua tahapan yakni pembentukan ion karbonium dan penyerangan ion
karbonium oleh nukleofil. Pada tahap pembentukan ion karbonium, tertier butanol bereaksi
dengan H+ akibat adanya pasangan elektron pada O yang menyerang H +. Pembentukan ion
karbonium tersier ini diikuti dengan pelepasan molekul air (H2O). Tahap selanjutnya adalah
nukleofil yang dalam hal ini adalah Cl: - menyerang ion karbonium sehingga terbentuk hasil
reaksi yakni tertier butil klorida.
Jika ditinjau dari segi stereokimia, pada reaksi di atas ion karbonium merupakan intermediet
dan mempunyai geometri berbentuk plana, sehingga nukleofil dapat menyerang dari dua sisi,
jika digambarkan adalah sebagai berikut:
HCl
CH3 CH3
+
C
CH3
Senyawa t-butilalkohol terionisasi menghasilkan ion karbonium berbentuk planar. HCl
dapat menyerang arah depan atau belakang, dan diharapkan kedua isomer yang terbentuk
sama jumlahnya, sehingga membentuk campuran rasemat yang sempurna. Tetapi dalam
kenyataannya, produk inverse lebih dominan. Hal ini disebabkan gugus pergi masih ada di
sekitar ion karbonium membentuk pasangan ion, sehingga menghalangi serangan dari sisi
yang sama. Akan tetapi jika gugus terlepas jauh dari ion karbonium, maka ion karbonium
akan tersolvasi secara simetris, sehingga dihasilkan produk bentuk d- dan l- dalam jumlah
yang sama.
Pada lapisanatas t-butil klorida yang terbentuk belum merupakan t–butil klorida yang
murni sehingga harus dilakukan pencucian menggunakan air dilanjutkan dengan larutan
natrium bikarbonat (NaHCO3). Air digunakan untuk mencuci bertujuan untuk memgencerkan
dan menghilangkan sisa-sisa HCl yang masih terkandung didalam t-butil klorida. Selain itu
juga, pencucian dengan air bertujuan untuk melarutkan HCl yang teroklusi (terjebak) dalam
molekul tertier butil klorida. Pencucian ini akan menyebabkan terbentuk dua lapisan dimana
lapisan atas merupakan lapisan tertier butil klorida dan lapisan bawah merupakan lapisan air
yang mengandung HCl. Pencucian selanjutnya menggunakan NaHCO3 yang berperan sebagai
basa. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kontaminan HCl yang mungkin tersisa
dalam tertier butil klorida. Pencucian ini juga akan menyebabkan terbentuknya dua lapisan,
yang mana lapisan atas merupakan lapisan tertier butil klorida dan lapisan bawah merupakan
larutan NaCl yang merupakan hasil reaksi antara NaHCO3 dengan HCl. NaHCO3 akan
bereaksi dengan HCl sesuai dengan persamaan reaksi sebagai berikut.
NaHCO3(aq) + HCl(aq) → NaCl(aq) + H2O(l) + CO2(g)
Pada lapisan atas t- butil klorida yang terbentuk berwarna keruh, hal tersebut
disebabkan karena masih terkandung molekul air. Oleh karena itu ditambahkan sedikit zat
pengikat air untuk mengikat air. Zat anhidrous yang digunakan adalah CuSO4. Penambahan
CuSO4 ke t-butilklorida dihentikan ketika CuSO4 yang ditambahkan tidak berubah warna
menjadi biru. Setelah penambahan CuSO4, t-butilklorida yang terbentuk menjadi bening.
CuSO4 yang digunakan diperoleh dari pemanasan CuSO4 terhidrat, sehingga menjadi CuSO4.
Dalam memastikan bahwa memang benar produk yang diperoleh dari reaksi substitusi
yang dilakukan adalah t-butil klorida maka dilakukan pengujian terhadap titik didih dari
senyawa tersebut. Pengujian terhadap titik didih senyawa yang diperoleh dilakukan dengan
menggunakan uji titik didih secara mikro menggunakan pipa kapiler. Berdasarkan hasil
pengamatan diperoleh suhu mulai mendidih 51oC dan larutan mulai tersedot ke dalam pipa
kapiler pada suhu 52oC. berdasarkan literatur suhu senyawa t-butil klorida ada pada rentang
49-52oC, sehingga suhu yang terukur sesuai dengan teori yang ada. Selanjutnya pengujian
indeks bias menggunakan refraktometer tidak dilakukan dikarenakan adanya sedikit kendala
dengan alat yang teresedia, sehingga hanya dilakukan uji titik didih.
VI. SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
t-butil klorida dapat diperoleh melalui rekasi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN 1)
dengan mereaksikan t –butanol dengan Asam klorida pekat.
DAFTAR PUSTAKA
Frieda Nurlita dan I Wayan Suja. 2004. Buku Ajar Praktikum Kimia Organik. Singaraja: IKIP
Negeri Singaraja
Furniss, Brian S., Antony J. Hannaford, Peter W.G. Smith, Austin R. Tatchell. 1989. Vogel’s
Textbook of Practical Organic Chemistry. New York : The Bath Press
I Wayan Suja dan Frieda Nurlita. 2000. Buku Ajar Kimia Organik 1. Singaraja : STKIP
Singaraja
I Wayan Suja dan I Wayan Muderawan. 2003. Kimia Organik Lanjut. Singaraja : IKIP N
Singaraja
Pine, Stanley H., James B. Hendrickson, Donald J. Cram, George S. Hammond. 1988. Kimia
Organik 2 Terbitan Keempat. Diterjemahkan oleh Roehyati Joejodibroto dan Sasanti
W. Purbo-Hadiwidjoyo. Bandung : Penerbit ITB