Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH GIZI MASYARAKAT

MATERI PENYULUHAN GIZI


GIZI MASYARAKAT

Sub Topik : Edukasi Cegah Stunting di Pondok Pesantren Pelajar dan


Mahasiswa Baitul Makmur

KELOMPOK :
16050394075 Rozan ‘Irfan Rostyanta
16050394088 Ardita Lukito

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN
KELUARGA
PROGRAM STUDI S1 PENDIIKAN TATA BOGA
2018
1.1 Pengertian Stunting

STUNTING
ADALAH KONDISI
GAGAL TUMBUH
PADA ANAK
BALITA (BAYI DI
BAWAH LIMA
TAHUN)akibat dari
kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu
pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi
terjadi sejak bayi
dalam kandungan dan
pada masa awal
setelah bayi lahir akan
tetapi, kondisi
stunting baru nampak
setelah bayi berusia 2
tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek
(severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut
umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study)
2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita
dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely
stunted) Menurut Sudirman (2008), proses menjadi pendek atau stunting pada anak di suatu wilayah atau
daerah miskin dimulai sejak usia 6 bulan, sementara menurut Soekirman et al., (2010) bahwa usia 0–24
bulan merupakan kesempatan emas untuk memperbaiki kualitas hidup anak sehingga sangat efektif dan
efisien dilakukan intervensi untuk memperbaiki kualitas hidup generasi yang akan datang sedini mungkin.

Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon
ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti
masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai kondisi
lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan.

Pengalaman dan bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat


pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya
11% GDP(Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20%. Selain
itu,stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi
10% dari total pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi.

Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita
pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama
kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah merupakan
periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai
"periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity".
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut, dalam jangka pendek
adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah
menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah
sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh

darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang
berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.

Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami stunting (Riset Kesehatan Dasar/
Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima
terbesar. Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki
tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit
dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara
luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
memperlebar ketimpangan.

Anak kerdil yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak hanya dialami oleh rumah tangga/keluarga
yang miskin dan kurang mampu, karena stunting juga dialami oleh rumah tangga/keluarga yang
tidak miskin/yang berada di atas 40 % tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi. Seperti yang
digambarkan dalam grafik dibawah, kondisi anak stunting juga dialami oleh keluarga/rumah tangga
yang tidak miskin.

Menurut hasi PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase
tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.
Menurut hasi PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase
tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.

Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20%
atau lebih. Karenanya persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah
kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek
di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand
3 (16%) dan Singapura (4%)(UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia
termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting,
wasting dan overweight pada balita.
\

1.2 Faktor Penyebab Stunting

Faktor-faktor penyebab stunting erat hubungannya dengan kondisi-kondisi yang mendasari kejadian
tersebut, kondisi-kondisi yang mempengaruhi faktor penyebab stunting terdiri atas: (1) kondisi politik
ekonomi wilayah setempat, (2) status pendidikan, (3) budaya masyarakat, (4) Agriculture dan sistem
pangan, (5) kondisi air, sanitasi, dan lingkungan. Kondisi-kondisi tersebut dapat mempengaruhi
munculnya faktor penyebab sebagai berikut.

1. Faktor keluarga dan rumah tangga


Faktor maternal, dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama prekonsepsi, kehamilan, dan
laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu yang pendek, infeksi, kehamilan muda,
kesehatan jiwa, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat, dan hipertensi.
Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas yang tidak adekuat, penerapan
asuhan yang buruk, ketidakamanan pangan, alokasi pangan yang tidak tepat, rendahnya edukasi
pengasuh.

2. Complementary
feeding yang tidak
adekuat

Kualitas makanan
yang buruk meliputi
kualitas micronutrient
yang buruk,
kurangnya keragaman
dan asupan pangan
yang bersumber dari
pangan hewani,
kandungan tidak
bergizi, dan
rendahnya kandungan energi pada complementary
foods. Praktik pemberian makanan yang tidak memadai, meliputi pemberian makan yang
jarang, pemberian makan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit, konsistensi pangan
yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak mencukupi, pemberian makan yang tidak
berespon.24 Bukti menunjukkan keragaman diet yang lebih bervariasi dan konsumsi makanan dari
sumber hewani terkait dengan perbaikan pertumbuhan linear. Analisis terbaru menunjukkan
bahwa rumah tangga yang menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang diperkaya nutrisi
pelengkap, akan meningkatkan asupan gizi dan mengurangi risiko stunting.

3. Beberapa masalah dalam pemberian ASI


Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi Delayed
Initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini konsumsi ASI. 24 Sebuah
penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu (Delayed
initiation) akan meningkatkan kematian bayi. 25 ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian
ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu
selain ASI. IDAI merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk
mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat makanan pendamping
yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan. 26 Menyusui yang berkelanjutan
selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan terhadap asupan nutrisi penting pada bayi.

4. Infeksi
Beberapa
contoh
infeksi yang
sering dialami
yaitu infeksi
enterik
seperti
diare, enteropati,
dan cacing,
dapat juga
disebabkan
oleh infeksi
pernafasan (ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan inflamasi.
5. Kelainan endoktrin
Kelainan endokrin dalam faktor penyebab terjadinya stunting berhubungan dengan defisiensi GH,
IGF- 1, hipotiroidisme, kelebihan glukokortikoid, diabetes melitus, diabetes insipidus, rickets
hipopostamemia.
Pada referensi lain dikatakan bahwa tinggi badan merupakan hasil proses dari faktor genetik
(biologik), kebiasaan makan (psikologik) dan terpenuhinya makanan yang bergizi pada anak
(sosial). Stunting dapat disebabkan karena kelainan endokrin dan non endokrin. Penyebab
terbanyak adalah adalah kelainan non endokrin yaitu penyakit infeksi kronis, gangguan nutrisi,
kelainan gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan faktor sosial ekonomi.
1.3 Gejala penyakit stunting (badan pendek)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 20% kejadian gejala penyakit stunting sudah
terjadi ketika bayi masih berada di dalam kandungan. Berarti, stunting sendiri sangat berkaitan dengan
asupan gizi ketika sang ibu sedang mengandung. Kondisi gejala penyakit stunting yang diakibatkan
pada masa mengandung ini karena asupan gizi selama kehamilan kurang berkualitas, sehingga nutrisi
yang diterima janin sedikit.
1. Anak berbadan lebih pendek disbanding anak seusianya
2. Anak tampak lebih muda atau lebih kecil dibanding seusianya
3. Pertumbuhan tulang tertunda
4. Berat badan tidak naik cenderung menurun
5. Untuk anak perempuan menstruasi terlambat
6. Mudah terkena penyakit infeksi
7. Usia 8 – 10 tahun menjadi lebih pendiam , tidak banyak melakukan eye
contact

1.4 Dampak Stunting

Hasil penelitian menunjukan bahwa dampak stunting yang berhubungan dengan fungsi kognitif anak
antara lain yang dilakukan oleh Mendez dan Adair (1999) di Filipina ditemukan bahwa anak stunting
pada umur 2 tahun secara signifikan memiliki tes skor kognitif yang lebih rendah dibanding dengan anak
yang tidak stunting, khususnya anak dengan stunting yang berat. Dalam penelitian lain yang dilakukan
oleh Kar et al., (2008) ditemukan bahwa anak yang stunting menampilkan performa yang buruk pada tes
perhatian, memori bekerja, memori belajar, dan kemampuan visuospasial, namun masih baik dalam
koordinasi dan kecepatan gerak, sementara menurut Fernald dan Gertler (2008) yang melakukan
penelitian pada anak-anak usia 24-60 bulan di Meksiko menyatakan bahwa anakanak yang menderita
stunting memiliki kecenderungan untuk sekaligus mengalami obesitas dengan prevalensi diperkirakan
mencapai 15%.

Masalah gizi pada bayi dan balita berdampak besar terhadap perkembangan dan pertumbuhan pada masa
bayi dan balita terutama pada dua tahun awal kehidupan karena dampak yang ditimbulkan tidak dapat
dikembalikan, termasuk menjadi dewasa yang pendek, prestasi sekolah yang rendah, dan menurunkan
produktivitas pada saat dewasa. (Black et al., 2008)

Stunting pada balita dipengaruhi oleh riwayat gizi ibu seperti kekurangan energi kronis (KEK) dan
anemia gizi besi (AGB). Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan
janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil
kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal, dengan
kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama
hamil. Pertumbuhan janin yang jelek dari ibu hamil dengan keadaan KEK akan menghasilkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (Almatsier, 2001). Seorang ibu hamil akan melahirkan bayi
yang sehat bila tingkat kesehatan dan gizinya berada pada kondisi yang baik

1.5 penanganan stunting

KEBIJAKAN DAN PROGRAM YANG TELAH DILAKUKAN TERKAIT INTERVENSI


STUNTING

Terkait upaya untuk mengurangi serta menangani pervalensi stunting, pemerintah di tingkat nasional
kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan serta regulasi yang diharapkan dapat berkontribusi
pada pengurangan pervalensi stunting, termasuk diantaranya:

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 (Pemerintah melalui


program pembangunan nasional ‘Akses Universal Air Minum dan Sanitasi Tahun 2019’,
menetapkan
bahwa pada tahun 2019, Indonesia dapat menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang
layak bagi 100% rakyat Indonesia).
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 (target penurunan prevalensi
stunting menjadi 28% pada 2019).
3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Bappenas, 2011.
4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan.
5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif.
6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan
Gizi.
7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian
Ais Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas
Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013.
12 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK), 2013.

Selain mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi, kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya
telah memiliki program baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang
potensial untuk menurunkan stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh
Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1.000 Hari Pertama Kegiatan (HPK). Berikut ini adalah
identifikasi beberapa program gizi spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah:
1. Program terkait Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil, yang dilakukan melalui beberapa
program berikut :
• Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein
kronis
• Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
• Program untuk mengatasi kekurangan iodium

• Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu hamil


• Program untuk melindungi ibu hamil dari Malaria.

2. Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan termasuk diantaranya
mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini melalui pemberian ASI jolong/colostrum dan
memastikan edukasi kepada ibu untuk terus memberikan ASI Eksklusif kepada anak balitanya.
Kegiatan terkait termasuk memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, Inisiasi
Menyusui Dini (IMD), promosi menyusui ASI eksklusif (konseling individu dan kelompok),
imunisasi dasar, pantau tumbuh kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit
secara tepat.
3. Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:
• mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian
MP-ASI

•menyediakan obat cacing


• menyediakan suplementasi zink
• melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan
• memberikan perlindungan terhadap malaria
• memberikan imunisasi lengkap
• melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
4.

Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat


Program Perbaikan Gizi Masyarakat yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan
(melalui Puskesmas dan Posyandu)
Kegiatan yang dilakukan berupa:
• Peningkatan pendidikan gizi.
• Penanggulangan Kurang Energi Protein.
• Menurunkan prevalansi anemia, mengatasi kekurangan zinc dan zat besi, mengatasi Ganguan
Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) serta kekurangan Vitamin A
• Perbaikan keadaan zat gizi lebih.
• Peningkatan Survailans Gizi.
• Pemberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat

Anda mungkin juga menyukai