PEREMPUAN
DALAM BERBAGAI
PERSPEKTIF
Cetakan Pertama
Januari 2012
Penulis
Dr. Hj. Eti Nurhayati, M.Si.
Penyunting
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Perwajahan Buku
Jendro Yuniarto
Cover
Haitamy El Jaid
Diterbitkan oleh
PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548
Yogyakarta 55167
Telp. 0274 381542,
Faks. 0274 383083
E-mail: pustakapelajar@yahoo.com
ISBN: 978-602-229-032-2
Penulis,
PSIKOLOGIS PEREMPUAN
DALAM BUDAYA PATRIARKHIS
MEMAHAMI
PSIKOLOGI PEREMPUAN
SECARA KOMPREHENSIF
A. Kepribadian Perempuan
Selama ini masih banyak orang beranggapan bahwa kepribadian
perempuan dan laki-laki sangat berbeda dan tidak ada kesamaan yang
dapat menjembatani keduanya. Anggapan ini menimbulkan banyak
orang mengalami penderitaan psikis karena mereka terikat untuk
berperan sebagai perempuan saja atau laki-laki saja, seperti yang telah
digariskan oleh masyarakat. Mereka seolah membawa suratan takdir
sejak lahir untuk berperilaku dan berperan sesuai dengan yang telah
digariskan masyarakat terhadapnya. Mereka tidak boleh keluar dari
batas itu. Begitu mereka bertindak sebaliknya dari yang diharapkan
masyarakat, mereka dianggap mempunyai kelainan. Sedangkan kalau
mereka tetap dalam jalur yang diharapkan masyarakat, kendati merasa
A. Krisis Lingkungan
Masalah lingkungan menjadi isu penting di pelbagai kalangan,
baik akademisi maupun praktisi, mengingat jika masalah ini dibiarkan
berlarut, akan mengancam kelangsungan kehidupan di bumi, bukan
saja berdampak kepada manusia dan kemanusiaan, tetapi juga kepada
seluruh makhluk hidup beserta seluruh alam seisinya.
Krisis lingkungan pada dasarnya merefleksikan adanya ketidak-
harmonisan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya,
padahal hubungan manusia dengan lingkungan alam seharusnya
terjadi keseimbangan (equilibrium), sebagaimana pesan Tuhan dalam
QS. Al-Baqarah [2]:3 bahwa manusia diharapkan menjadi pemelihara
alam di bumi (kholifah fil ardh).
Krisis lingkungan merupakan akumulasi dari perkembangan
B. Masalah Lingkungan
Ilmu lingkungan sering disebut dengan “ekologi”, yang berasal
dari kata “oikos” yang berarti “rumah” dan “logos” adalah ilmu. Jadi
secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumah, tempat tinggal manusia,
yaitu alam. Shouthwide (1976:xvi) mendefinisikan, ecology is the scien-
tific study of the relationships of living organism with each other and with their
environments”. Istilah ekologi mulai diperkenalkan oleh seorang sarjana
biologi dari Jerman bernama Ernest Haeckel pada 1869 (Rososoedarmo,
dkk., 1989:1). Ilmu lingkungan memusatkan perhatiannya pada
masalah lingkungan ditinjau dari kepentingan manusia, bagaimana
manusia mempengaruhi alam, dan bagaimana alam dipengaruhi manusia.
Menurut Undang-undang No 4/1982 tentang Lingkungan Hidup,
yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelang-
sungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya.
Menurut Humprey & Buttel, ada empat jenis lingkungan yaitu:
1. Lingkungan alam yang alamiah, seperti: satwa liar, deposit bahan
tambang, lautan dan gunung-gunung.
2. Lingkungan alam yang dimodifikasi, seperti: polusi, perkebunan,
pemanfaatan sumber daya energi air dan angin.
3. Lingkungan buatan, seperti: perumahan, jalan raya, suasana
perkantoran, kompleks pendidikan, arena bermain, gelanggang
olah raga, pusat perbelanjaan, pusat layanan kesehatan.
4. Lingkungan sosial, seperti: pergaulan di masyarakat, interaksi
guru murid, relasi dalam rumah tangga (Sarlito, 1995:40).
Masalah lingkungan, ada yang timbul sebagai akibat dari berbagai
gejala alam, yaitu sesuatu yang melekat pada alam dan diselesaikan
A. Lahirnya UU PKDRT
Para aktifis gender, pemerhati, dan yang peduli pada praktek
ketidak-adilan, dengan penuh semangat mendesak Presiden Megawati
untuk segera mengesahkan rancangan Undang-undang untuk meng-
hapuskan kekerasan dalam rumah tangga. Maka menjelang turun
dari jabatan presiden, Megawati sempat mengesahkan rancangan
tersebut menjadi “UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (UU No 23 tahun 2004 PKDRT).
Namun sampai saat ini, tampaknya kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga masih belum mengalami penurunan yang berarti.
D. Kekurangan UU PKDRT
Di samping memiliki kelebihan, UU PKDRT memiliki beberapa
kelemahan:
1. UU PKDRT hanya melindungi korban yang berada dalam lingkup
rumah tangga selama yang bersangkutan menetap sementara
D. Ilusi Poligami
Laki-laki yang berpoligami cenderung beranggapan bahwa
dirinya akan merasa lebih bahagia, atau setidaknya dipandang lebih
hebat dibanding hanya beristeri satu. Laki-laki juga cenderung
mengharapkan kesempurnaan dari isteri yang berikutnya sebagai
wujud dari kekurang-puasan dari isteri terdahulunya, karenanya ia
memilih yang lebih cantik, lebih menarik, lebih pintar, lebih seksi,
lebih muda, bahkan mungkin lebih kaya dari isteri terdahulunya.
Demikian pun isteri berikutnya rela dirinya dipoligami dengan harapan
agar memperoleh kebahagian, seperti: terangkat ekonominya, terjamin
hidupnya, terdidik anak-anaknya (bagi yang sudah memiliki anak),
A. Nestapa Perempuan
Ada rona yang masih menyesakkan dada para feminis acapkali
menyaksikan perlakuan diskriminasi dari satu kaum terhadap kaum
lain, apakah suami terhadap isteri, pemimpin terhadap yang dipimpin,
atasan terhadap bawahan, majikan terhadap pembantu, orangtua
terhadap anak, orang kaya terhadap orang miskin, penguasa terhadap
rakyat, dan yang lebih umum laki-laki terhadap perempuan.
Para feminis, khususnya feminis muslim percaya, bahwa Allah
Maha Adil dan dengan demikian ketidak-adilan dan perlakuan
sewenang-wenang satu kaum terhadap kaum lain, juga kesewengan
laki-laki terhadap perempuan bukanlah norma Allah, tetapi norma
Ibu Karto memiliki kisah yang lain lagi. Isteri seorang pegawai swasta ini baru
saja sembuh dari penyakit menular seksual (PMS). Awalnya ia tidak mencurigai
apapun, termasuk ketika ia merasa ada yang tidak beres dengan organ
reproduksinya. Terdorong oleh rasa ingin tahu penyakit apa yang diderita, pergilah
ibu Karto ke dokter. Betapa terkejut dan sekaligus hancur hatinya ketika dokter
mendiagnosis bahwa ia terkena PMS dan penyakit itu hampir pasti ditularkan
melalui hubungan seksual. Jadi, begitu ibu Karto menyimpulkan, rupanya inilah
“hasil” yang dibawa oleh sang suami selama perjalanan-perjalanan dinasnya.
Demi menjaga keutuhan rumah tangganya maka ia berinisiatif untuk mengajak
sang suami mengunjungi seorang ibu psikolog. Di hadapan ibu psikolog, ia
menumpahkan kekecewaannya atas ulah suami yang ternyata suka “jajan” di
luaran itu. Sang suami yang menyadari bahwa memang ia berbuat itu dan
sekarang ini merasa sangat menyesal karena mendapatkan bahwa isterinya tertular
PMS akibat perbuatannya, hanya diam dan siap menerima teguran dari ibu psikolog.
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan ibu Karto, karena, ibu psikolog
dengan panjang lebar menerangkan bahwa lelaki itu mengalami masa puber ke-
2 pada usia di atas 40 tahun. Pada masa tersebut adalah hal yang wajar bila
seorang lelaki tertarik kepada perempuan lain atau mencoba-coba, “iseng-iseng”
menguji daya tarik seksualnya terhadap perempuan lain. Ibu Karto sungguh
geram mendengarkan tanggapan ibu psikolog. Sepulangnya dari kunjungan ke
psikolog, ia menjadi sangat temperamental dan depresif. kehilangan semangat
hidup dan merasa kehidupannya telah hancur (124-125).
Tanggapan dari kedua terapis atas kasus tersebut sebagian bukti
reflektif bagaimana terapis merespon persoalan yang berkaitan dengan
relasi laki-laki dan perempuan. Menurut Nurhayati (2000: 126) inilah
fakta sebenarnya bagaimana perlakuan laki-laki terhadap perempuan
dipandang sebagai suatu bentuk “kelumrahan”. Sex role laki-laki
dicitrakan sebagai kasar, keras, mata keranjang, dan statusnya dalam
perkawinan adalah pemimpin keluarga, sedangkan bagi perempuan
G. Tujuan Konseling
Konseling keluarga untuk mengatasi kekerasan dalam rumah
H. Sasaran Konseling
Sasaran konseling adalah keluarga di mana terjadi kekerasan
dalam rumah tangga, khususnya isteri yang mengalami tindak
kekerasan dari suami, mencakup: (1) kekerasan fisik, seperti pemu-
kulan, penyiksaan yang mengarah kepada organ kelamin (genital mu-
tilation), (2) pemaksaan alat kontrasepsi tertentu yang mengakibatkan
kesakitan, seperti sterilisasi (enforced sterilization), (3) kekerasan ekonomi,
seperti menelantarkan keluarga; (4) kekerasan psikologis, seperti
mengintimidasi, mendiskreditkan, mengusir, berbicara kasar dan
menyakitkan secara terus menerus.
Karakteristik klien yang perlu mendapat layanan konseling adalah
isteri beserta anggota keluarganya yang mengalami hal-hal seperti:
(1) isteri yang mengalami tindakan kekerasan fisik, ekonomi,maupun
psikologis, (2) klien yang telah mendapat bantuan medis dari tindakan
kekerasan fisik untuk mendapat pemulihan kesehatan psikologis, (3)
klien yang akan atau sedang menghadapi proses bantuan hukum, (4)
klien yang mengalami trauma psikis, frustasi, cemas, dan depresi akibat
kekerasan fisik dan/atau psikis.
J. Teknik Konseling
Dalam praktek konseling keluarga dapat menggunakan salah satu
atau beberapa teknik sekaligus sesuai dengan kebutuhan. Menurut
Mary (1988); Smith & Smith (1992), ada beberapa teknik dasar yang
dapat digunakan dalam konseling keluarga, yaitu:
a. Sequencing. Dalam teknik ini, konselor dapat mengajukan per-
tanyaan yang berisi arahan tentang siapa melakukan apa, serta
kapan dan di mana melakukan hal yang direncanakan. Misalnya,
apa yang akan dilakukan isteri saat suami marah-marah dan
menampar isterinya, atau apa yang akan dilakukan anak-anak
saat ayahnya menendang ibu mereka?.
b. Hyphotetic Questions. Konselor dapat mengajukan beberapa
pertanyaan untuk memperoleh jawaban hipotesis. Misalnya, apa
yang akan terjadi pada anak-anak jika ayah ibu sering bertengkar?
c. Family Photos. Konselor meminta klien memperlihatkan photo
album keluarga dan konselor memperlihatkan photo keluarga
yang sangat penting untuk menyajikan kekayaan informasi
mengenai situasi masa lalu dan sekarang. Dengan teknik ini klien
dapat memperoleh gambaran mengenai anggota keluarga yang
K. Tahapan Konseling
1. Tahap Perencanaan
Penting untuk merencanakan pertemuan pertama kali dengan
keluarga yang menjadi klien untuk memperoleh data awal latar
belakang keluarga dalam mengidentifikasi masalah yang dihadapi
keluarga tersebut. Pada tahap ini, konselor harus mendorong anggota
keluarga untuk terlibat dalam proses penentuan aturan dasar kon-
seling, mencakup jadwal pertemuan, tempat pertemuan, dan ketentuan
yang mengatur jalannya proses konseling.
Pada tahap ini konselor berusaha membangun hubungan baik
dengan seluruh anggota keluarga dengan cara menunjukkan per-
hatian, penerimaan, penghargaan, dan pemahaman empatik serta ber-
sikap hangat, terbuka, permisif, dan penuh keakraban. Satu hal yang
membedakan konseling keluarga dengan konseling individual adalah
dinamika interaksi sosial yang dapat berkembang secara intensif dalam
keluarga. Peranan konselor dalam konseling diperkuat oleh dinamika
interaksi dalam keluarga.
2. Tahap Eksplorasi
Menurut M. Sholehuddin (1993) konseling pada tahap ini
difokuskan untuk: (1) membuka dan menjalin hubungan konseling,
(2) mengklarifikasi permasalahan klien, (3) menentukan apakah
konseling ini sebaiknya dilanjutkan atau tidak, (4) menstrukturkan
hubungan konseling.
Jika hubungan telah terbina antara konselor dengan seluruh
anggota keluarga yang terlibat, konselor harus mau dan mampu
Abbas, Ibn. (tt). Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas. Abu Thahir
ibn Ya’qub al-Fayruzzabadi (Ed). Beirut: Daar el-Fikr.
Abdullah, Th. (1990). Konsep Kehidupan Islam: Hak Suami Pada Isteri dan
Hak Istri Pada Suami. Bandung: Mizan.
Ahmad, I. (1993). “Perempuan dalam Kebudayaan”. Ridjal, Mariyani
& Husein (eds). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ainsworth, MD. (1967). Infancy in Uganda. Baltimore: John Hopkins.
Al-Asqalani, Ibn.H. (1978). Fath al-Bari. Cairo:Maktabah Al-Azhar.Juz 16.
Al-Ghazali. (1991). Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW: Antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan.
Al-Haq, M. (1995). Reflections on Human Development. New York: Oxford
University Press.
Ali Engineer, A. (1994). Hak-hak Perempuan dalam Islam. Alih Bahasa:
Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf. Yogyakarta: Bentang.
Al-Ma’thi, AJ. (tt). Wadhifah al-Mar’at fi Nadhar al-Islam. Cairo: Daar
al-Huda.
Al-Masri, N. (1994). Menyambut Kedatangan Bayi. Jakarta: Gema Insani
Press
Al-Nawawi. (tt). Mar’ah Labid. Jilid I. Beirut: Daar al-Fikr.
Al-Thabari, Ibn. J. (1988). Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayat Al-Qur’an. Jilid
14. Beirut: dar al-Fikr.
Al-Zamahsyari. (1977). Al-Kasysyaf. Jilid I. Beirut: Daar al-Fikr.
Amin, Q. (tt). Tahrir al Mar’ah. Mesir: Al-Markaz al-‘Arabiyah li al-
Bahtsi wa al-Nasyr.