Anda di halaman 1dari 16

KONSEP UTANG PIUTANG DALAM

PERBANKAN SYARIAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PRODI AKUNTANSI
2020
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan ekonomi
yang dikembangkan dan berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan ekonomi
masyarakat, utang piutang bisa berlaku pada seluruh tingkatan masyarakat baik
masyarakat kuno maupun masyarakat modern. Berdasarkan pemikiran ini, utang
piutang dapat diperkirakan telah ada dan dikenal oleh masyarakat yang ada di bumi
ini ketika mereka berhubungan antara satu orang dengan orang lainnya mempunyai
sisi-sisi sosial yang sangat tinggi.
Dalam konsep Islam, utang piutang merupakan akad (transaksi ekonomi) yang
mengandung nilai ta‟awun (tolong menolong). Dengan demikian utang piutang dapat
dikatakan sebagai ibadah sosial yang dalam pandangan Islam juga mendapatkan porsi
tersendiri. Utang piutang juga memiliki nilai luar biasa terutama guna bantu
membantu antar sesame yang bagi yang tidak mampu secara ekonomi atau sedang
membutuhkan. Keinginan yang begitu baik, maka tujuan utang piutang tolong
menolong, transaksi ini terlepas dari unsur komersial dan usaha yang berorientasi
pada keuntungan. Kata utang dalam penyebutanya terdapat dua buah kata, yakni kata
dayn dan kata qardh. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba membahas beberapa
permasalahan yang
menyangkut tentang utang dengan melampirkan dalil Al- Quran dan Hadis sebagai
penguat dalam pembahasannya.
Struktur keuangan syari’ah berkisar pada larangan atas penghasilan apa pun
yang berasal dari pinjaman (utang) adalah berupa riba, namun keuangan syari’ah
melegalkan laba yang diperoleh dari transaksi yang riil. Dalam konteks keuangan
syari’ah, pinjaman akan dianggap sebagai transaksi moneter atau finansial. Dalam hal
ini, uang hanya berpindah tangan dengan suatu jaminan pembayaran kembali
sepenuhnya tanpa adanya imbalan bagi pihak yang memberi pinjaman. Pinjaman di
dalam islam tidak dianggap sebagai investasi.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Utang Piutang

Dalam masyarakat Indonesia, selain dikenal istilah utang piutang juga


dikenal istilah kredit. Utang piutang biasanya digunakan oleh masyarakat dalam
kontek pemberian pinjaman pada pihak lain. Seseorang yang meminjamkan
hartanya pada orang lain maka ia dapat disebut telah memberikan utang padanya.
Sedangkan istilah kredit lebih banyak digunakan oleh masyarakat pada transaksi
perbankan dan pembelian yang tidak dibayar secara tunai. Secara esensial, antara
utang dan kredit tidak jauh beda dalam pemaknaannya di masyarakat.

Selain itu, utang piutang sangat terkait dengan pemberian pinjaman dari
pihak lain sebagai metoda transaksi ekonomi di masyarakat. Sedangkan kredit
secara umum lebih mengarah pada pemberian pinjaman dengan penambahan nilai
dalam pengembalian. Hal ini dikarenakan istilah kredit lebih banyak digunakan
dalam dunia perbankan.

Sedangkan dalam terminologi fiqh mu’amalah, utang piutang disebut


dengan “dain”. Istilah “dain” ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” yang
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman. Dari sini nampak bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan antara “dain” dan “qard” dalam bahasa fiqh
mu’amalah dengan istilah utang piutang dan pinjaman dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam mengkaji masalah utang piutang,
kredit, pinjaman, pembiayaan ataupun qard harus dijelaskan satu persatu agar
jelas perbedaan dan persamaannya.
Pertama, dalam terminologi fiqh mu’amalah, pinjaman yang
mengakibatkan adanya utang disebut dengan “qard”. “Qard dalam pengertian
fiqh diartikan sebagai perbuatan memberikan hak milik untuk sementara waktu
oleh seseorang pada pihak lain dan pihak yang menerima pemilikan itu
diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan
tanpa mengambil imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib
mengembalikan harta yang diterimanya kepada pihak pemberi pinjaman (Jamali”,
1992: 162).

Kedua, dalam bahasa perbankan pemberian utang atau pembiayaan disebut


dengan “kredit”. “Kata “kredit” secara kebahasaan berasal dari kata credo yang
dalam pengertian keagamaan berarti kepercayaan. Adapun pengertian kata credo
yang terkait dengan masalah financial adalah memberikan pinjaman uang atas
dasar kepercayaan” (Karim, 2001: 109).

Utang dalam pengertian masyarakat berarti menerima pinjaman dari pihak


lain yang harus dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang dilakukan ketika
transaksi. Secara umum, ketiga istilah di atas tidak mempunyai pengertian yang
berbeda-beda. Adanya perbedaan istilah antara utang, kerdit, dan dain hanya
perbedaan bahasa saja yang dalam pengertian umum masyarakat tidak berbeda.
Sedangkan perbedaan antara pinjaman, pembiayaan, dan qard juga demikian.

Adanya perbedaan pengertian yang disampaikan oleh para pakar hukum,


baik pakar hukum Islam, maupun para pakar perbankan di dunia dan Indonesia
tidak menunjukkan adanya perbedaan pemaknaan. Perbedaan yang terjadi
biasanya hanya dalam redaksional pemberian definisi saja. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa pengertian qard yang disampaikan beberapa pakar hukum Islam
(fuqaha’) sebagai berikut;
1. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi “qard
sebagai harta yang diberikan oleh pemberi pinjaman kepada penerima
dengan syarat penerima pinjaman harus mengembalikan besarnya nilai
pinjaman pada saat mampu mengembalikannya” (Sabiq, 1987: 144).

2. Abdullah Abdul Husain at-Tariqi memberikan pengertian “qard sebagai


pembayaran harta pada orang yang memanfaatkan kemudian ada ganti
rugi yang dikembalikan dengan syarat harus sesuai dengan harta yang
dibayarkan pertama kali kepada yang menerimanya” (Tariqi, 2004: 268).

3. Berbeda dengan pengertian-pengertian di atas, Hasbi ash-Shiddieqy


mengartikan “utang piutang dengan akad yang dilakukan oleh dua orang
di mana salah satu dari dua orang tersebut mengambil kepemilikan harta
dari lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya,
kemudian ia harus mengembalikan barang tersebut senilai dengan apa
yang diambilnya dahulu. Berdasarkan pengertian ini maka “qard”
memiliki dua pengertian yaitu; “i’arah” yang mengandung arti tabarru’
atau memberikan harta kepada orang dasar akan dikembalikan, dan
pengertian mu’awadlah, karena harga yang diambil bukan sekedar
dipakai kemudian dikembalikan, tetapi dihabiskan dan dibayar gantinya”
(Shiddieqy, 1997: 103).

B. Dasar Hukum Utang Piutang

Utang piutang secara hukum dapat didasarkan pada adanya perintah dan
anjuran agama supaya manusia hidup dengan saling tolong menolong serta saling
bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Surat al-Ma’idah ayat 2 Allah
berfirman;
Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan dalam melaksanakan
takwa, dan jangan kamu bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, Allah sangat keras hukumannya (Dahlan, 2000:
187).

Dalam transaksi utang piutang terdapat nilai luhur dan cita-cita sosial yang
sangat tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan. Dengan demikian, pada
dasarnya pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus didasari niat yang
tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan. Ayat ini berarti juga
bahwa pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus didasarkan pada
pengambilan manfaat dari sesuatu pekerjaan yang dianjurkan oleh agama atau
jika tidak tidak ada larangan dalam melakukannya.

Selanjutnya, dalam transaksi utang piutang Allah memberikan rambu-


rambu agar berjalan sesuai prinsip syari’ah yaitu menghindari penipuan dan
perbuatan yang dilarang Allah lainnya. Pengaturan tersebut yaitu anjuran agar
setiap transaksi utang piutang dilakukan secara tertulis. Ketentuan ini terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut;

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertransaksi atas dasar utang
dalam waktu yang telah ditentukan, tulislah. Hendaklah seorang penulis
diantaramu menulis dengan benar, dan janganlah dia enggan menulisnya
sebagaimana yang telah diajarkan Allah. (Dahlan, 2000: 84).

Karena pemberian utang pada sesama merupakan perbuatan kebajikan,


maka seseorang yang memberi pinjaman, menurut pakar hukum Islam, tidak
dibolehkan mengambil keuntungan (profit). Yang menjadi pertanyaan
selanjutnya, keuntungan apa yang diperoleh pemberi utang atau pemberi
pinjaman? Tentang hal ini Allah menjawab dalam surat al-Hadid ayat 11 sebagai
berikut;
Barang siapa yang meminjami Allah pinjaman yang baik, Allah akan
melipat gandakan baginya dan di sisi-Nya pahala berlimpah dan lebih
mulia. (Dahlan, 2000: 975).

Selain dasar hukum yang bersumber dari al-Qur’an sebagaimana di atas,


pemberian utang atau pinjaman juga didasari Hadiŝ Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah sebagai berikut;

Barang siapa yang memberikan pinjaman pada seorang muslim dua kali
maka tidak lain pahalanya kecuali seperti pemberian shadaqah satu kali.

Dalam sabda Rasulullah yang lain, Ibnu Majah juga meriwayatkan sebagai
berikut;

Saya melihat pada waktu di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis “Pahala
shadaqah sepuluh kali lipat dan pahala pemberian utang delapan belas
kali lipat” lalu saya bertanya pada Jibril “Wahai Jibril, mengapa pahala
pemberian utang lebih besar?” Ia menjawab “Karena peminta-minta
sesuatu meminta dari orang yang punya, sedangkan seseorang yang
meminjam tidak akan meminjam kecuali ia dalam keadaan sangat
membutuhkan”.
Di sisi lain, Allah memberikan aturan yang tegas dalam utang piutang yang
merupakan bagian dari transaksi ekonomi (mu’amalah maliyah). Ketegasan
aturan transaksi ekonomi tersebut tercermin dalam firman Allah dalam surat an-
Nisa’ ayat 29 sebagai berikut;

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta yang


beredar diantaramu secara bathil, kecuali terjadi transaksi suka sama
suka. Jangan pula kamu saling membunuh. Allah sangat saya kepadamu
semuanya. (Dahlan, 2000: 146).
Salah satu transaksi yang termasuk baţil adalah pengambilan riba. Riba
berdasarkan penjelasan para mufassir, baik dalam bentuk definisi maupun
gambaran praktis di masa Jahiliyyah, menurut Qardhawi (2001: 76-78), maka riba
yang maksud dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Riba itu terjadi karena transaksi pinjam meminjam atau hutang piutang

2. Ada tambahan dari pokok pinjaman ketika pelunasan

3. Tambahan dimaksud, dimaksudkan terlebih dahulu

4. Tambahan itu diperhitungkan sesuai dengan limit waktu peminjaman.

Dalam perspektif ekonomi, (Razi, 1938: 87-88) mengemukakan ulasan


yang cukup baik dalam mengungkap sebab dilarangnya riba. Sebab-sebab tersebut
antara lain:

1. Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain


tanpa ada imbalan. Boleh saja orang berdalih bahwa keuntungan akan
diperoleh seandainya harta yang dipinjamkan pada orang lain itu dijadikan
modal dagang. Tetapi keuntungan yang akan diperoleh pihak peminjam itu
sifatnya belum pasti. Sebaliknya, pemungutan “tambahan” oleh pemberi
pinjaman itu adalah hal yang pasti, tanpa resiko.

2. Riba menghalangi pemodal ikut berusaha mencari rezeki karena ia dengan


mudah membiayai hidupnya dengan bunga, hal ini akan mengakibatkan
distorsi dalam masyarakat.

3. Bila diperbolehkan, maka masyarakat dengan maksud memenuhi


kebutuhannya, tidak segan meminjam uang walaupun sangat tinggi
bunganya. Hal ini akan mengelmiinir sifat tolong menolong, saling
menghormati dan perasaan berhutang budi.

4. Dengan riba, pemilik modal akan semakin kaya, sementara pihak peminjam
akan semakin miskin. Jadi riba bisa menjadi media bagi orang kaya untuk
menindas orang miskin.

5. Larangan riba sudah ditetapkan oleh nas, dimana tidak harus seluruh rahasia
tuntutannya diketahui oleh manusia. Keharamannya itu pasti, kendati orang
tidak mengetahui persis segi pelarangannya.

C. Prinsip-prinsip Dasar Utang Piutang

Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan
ekonomi yang dikembangkan dan berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan
ekonomi masyarakat, utang piutang mempunyai sisi-sisi sosial yang sangat tinggi.
Selain itu, utang piutang juga mengandung nilai-nilai sosial yang cukup
signifikan untuk pengembangan perekonomian masyarakat.

Islam sebagai agama yang universal dan menyeluruh (kamil dan syamil),
memandang kegiatan ekonomi, di mana utang piutang juga termasuk di
dalamnya, sebagai tuntutan kehidupan manusia. Di sisi lain, kegiatan ekonomi
merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan dan memiliki dimensi ibadah
dalam intensitas yang cukup signifikan (Lubis, 2000: 1)

Dalam konsep Islam, utang piutang merupakan akad (transaksi ekonomi)


yang mengandung nilai ta’awun (tolong menolong). Dengan demikian utang
piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial yang dalam pandangan Islam juga
mendapatkan porsi tersendiri. Utang piutang juga memiliki nilai luar biasa
terutama guna bantu membantu antar sesama yang kebetulan tidak mampu secara
ekonomi atau sedang membutuhkan. Dari sini maka utang piutang dapat
dikatakan sebagai salah satu bentuk transaksi yang mengandung unsur ta’abbudi
(Karim, 1997: 38)

Secara mendasar, karena sifat dan tujuan utang piutang tolong menolong,
maka transaksi ini terlepas dari unsur komersial dan usaha yang berorientasi pada
keuntungan (profit orientit). Sebagai contoh, A mengutangkan sejumlah uang
atau barang pada B, jika tujuannya didasarkan atas niat tolong menolong, maka A
tidak boleh mengharapkan keuntungan apapun dari B. Secara lahiriah, dalam
konsep dasar di atas, A yang mengutangkan uangnya itu memberikan sesuatu
pada B tanpa meminta imbalan material sedikitpun. Kenyataan terlihat bahwa B
sebagai pihak yang berutang tidak diwajibkan secara material membayar lebih
ketika mengembalikan uang yang dipinjamkannya pada A, dan bahkan B itu
secara leluasa diberi wewenang untuk memanfaatkan uang itu. Karena itulah para
ulama’ berpendapat bahwa utang piutang itu hukum asalnya sunnah (Karim,
1997: 38).

Sebagai salah satu bentuk transaksi ekonomi, utang piutang bisa berlaku
pada seluruh tingkatan masyarakat baik masyarakat kuno maupun masyarakat
modern. Berdasarkan pemikiran ini, utang piutang dapat diperkirakan telah ada
dan dikenal oleh masyarakat yang ada di bumi ini ketika mereka berhubungan
antara satu orang dengan orang lainnya.

Dalam kajian fiqh, seseorang yang meminjamkan uang pada orang lain
tidak boleh meminta manfaat apapun dari yang diberi pinjaman, termasuk janji
dari si peminjam untuk membayar lebih. Larangan pengambilan manfaat ini telah
banyak dikemukakan oleh para pakar fiqh yang salah satunya Wahbah Zuhaily
(Zuhaily, 1989: 475). Larangan pengambilan manfaat dari yang diberi pinjaman
ini besumber dari kaedah sabda Rasulullah berikut;
Setiap transaksi pinjam meminjam yang mengambil manfaat dari yang
diberi pinjaman maka itu masuk kategori riba.

Namun apabila pihak yang menerima pinjaman ketika mengembalikan pada


waktu yang telah ditentukan menambahkan dengan yang lebih baik yang tidak
disertai syarat-syarat tertentu baik sebelum maupun sesudahnya, maka hal itu
termasuk perbuatan yang baik. Pada era modern ini, hal inilah yang sering
dipraktekkan dalam bank syari’ah. Dalam bank syari’ah hal ini diterapkan dengan
bentuk produk qard al-hasan (Karim, 2001: 109-110).

Berdasarkan ayat-ayat tentang utang piutang sebagaimana di atas, maka


dalam transaksi utang piutang terdapat illat (alasan) hukum yakni tolong
menolong dalam kebaikan dan takwa sehingga dianjurkan atau tolong menolong
dalam dosa sehingga perbuatan tersebut dilarang. Bahkan lebih dari itu dapat
diketahui apakah utang piutang menjadi wajib, sunnah, makruh atau haram. Hal
ini disebabkan karena illat hukum yang ada menentukan ada tidaknya suatu
hukum dalam sebuah peristiwa hukum (Djamil, 1995: 48).

Sehubungan illat hukum tersebut, transaksi utang piutang bisa wajib atas
seseorang jika ia mempunyai kelebihan harta untuk meminjamkannya pada orang
yang sangat membutuhkan. Maksud dari membutuhkan di sini adalah seseorang
yang apabila itu tidak diberi pinjaman menyebabkan ia teraniaya atau akan
berbuat sesuatu yang dilarang agama seperti mencuri karena ketiadaan biaya
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya atau ia akan mengalami kebinasaan.
Kondisi inilah yang menyebabkan utang piutang menjadi wajib dan harus
dikerjakan walaupun oleh satu orang saja (Karim, 1997: 38-39).

Hukum utang piutang bisa juga haram apabila diketahui bahwa dengan
berutang seseorang bermaksud menganiaya orang yang mengutangi atau orang
yang berutang tersebut akan memanfaatkan orang yang diutanginya untuk berbuat
maksiat. Dalam kasus demikian, maka utang piutang yang berorientasi pada
perbuatan tolong menolong dalam kemaksiatan. Maka dari itu, berdasarkan pada
kondisi yang amat bervariasi, hukum utang piutang pun amat bervariasi pula,
seperti wajib, haram, makruh dan mubah (Karim, 1997: 38-39).

Dalam konteks hukum Islam, utang piutang atau pinjam meminjam


termasuk dalam kategori fiqh mu’amalah. Dengan demikian prinsip-prinsip Islam
yang diterapkan dalam utang piutang atau pinjam meminjam ini adalah prinsip-
prinsip fiqh mu’amalah. Pengetahuan prinsip-prinsip fiqh mu’amalah ini penting
terutama untuk melakukan kajian terhadap transaksi ekonomi modern saat ini
yang lebih cenderung dikerjakan oleh lembaga perbankan.

Basyir (2000: 15-16) menemukan rumusan prinsip-prinsip fiqh mu’amalah


sebagai berikut;

1. Pada dasarnya segala bentuk mu’amalah (transaksi) hukumnya mubah,


kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Prinsip ini
mengandung pengertian bahwa hukum Islam memberikan kesempatan
seluas-luasnya dalam pengembangan bentuk dan macam-macam transaksi
baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup dari suatu
masyarakat.

2. Mu’amalah (transaksi) dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung


unsur-unsur paksaan. Prinsip ini mengingatkan agar kebebasan kehendak
para pihak yang melakukan transaksi harus selalu menjadi perhatian
utama. Pelanggaran terhadap kebebasan kehendak ini akan berakibat pada
tidak dapat dibenarkannya sesuatu traksaksi yang dilakukan. Sebagai
contoh, seseorang yang dipaksa menjual rumah kediamannya, namun ia
sebenarnya masih menginginkan untuk tetap tinggal di situ dan tidak ada
sesuatu yang mengharuskan ia menjualnya, maka transaksi tersebut batal
demi hukum.

3. Mu’amalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan


menghindari bahaya (madarat) dalam kehidupan masyarakat. Prinsip ini
menghendaki bahwa suatu transaksi harus dilakukan berdasarkan
pertimbangan pengambilan manfaat dan menghindari bahaya dalam
hidup, baik untuk satu pihak maupun kedua belah pihak. Salah satu
bentuk transaksi yang berakibat pada penyebaran bahaya di masyarakat
adalah transaksi narkotika.

4. Mu’amalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari


unsur-unsur penganiayaan, dan unsur-unsur yang mengarah pada
pengambilan kesempatan dalam kesempitan (maisir, riba, gharar, dan
bathil). Prinsip ini menentukan bahwa segala bentuk transaksi yang
mengandung unsur penindasan dan kesewang-wenangan tidak dibenarkan
dalam Islam. Contoh, dalam kasus utang piutang harus memberikan
jaminan berupa barang. Untuk jumlah pinjaman yang lebih kecil
barangnya lebih kecil atau untuk utang yang besar dengan barang yang
besar pula.

Tentang riba, mayoritas Fuqaha’ membaginya pada dua macam, yaitu riba
nasi’ah dan riba fadl. Sedang mazhab Syafi’i membagi riba menjadi tiga, yaitu
riba fadl, nasi’ah dan yad. Ayat Al-Qur’an yang ditunjuk sebagai dalil
dilarangnya kedua macam riba tersebut adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-
Baqarah dan Ali Imran, tetapi dalam pengulasannya, ada kesan bahwa ayat-ayat
tersebut berbicara tentang riba nasi’ah sesuai dengan kasus-kasus riba jahiliyyah
yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut (Antonio, 2001: 41).
Rumusan riba nasi’ah seperti telah dikemukakan itu dapat mendeskripsikan
bentuk formal praktek riba jahiliyyah secara tepat. Kegiatan ekonomi yang
mengandung unsur “kerugian sepihak” dan “dzulm” sebagai hakikat riba itu,
nampaknya sampai masa fuqaha’, formulanya tetap. Artinya, setiap “tambahan
atas pokok pinjaman” itu dapat dipastikan akan mendatangkan zulm (Zein, 2004:
198)

Demikian mapannya rumusan riba nasi’ah itu, menurut Dumairi (1992: 112)
sehingga para fuqaha’ tidak lagi sempat memikirkan “apa sebab riba
mendatangkan kesengsaraan” perhatian mereka tertuju pada pencarian ‘illat,
benda-benda apa yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan dengan tenggang
waktu, padahal di zaman modern ini, orang tidak lagi jual beli kurma dengan
gandum, atau garam dengan garam, misalnya, hampir semua teransaksi, baik jual
beli, penyimpanan maupun peminjaman, tidak lagi dilakukan dengan barang,
melainkan dengan uang sesuai dengan fungsinya sebagai standar harga dan sarana
pertukaran barang (medium of exchange).
DAFTAR PUSAKA

Iska, Sukri. Sistem Perbankan Sayriah di Indonesia dama Persperspektik Fikih


Ekonomi , Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012.

Huda, Nurul at.al. Dalam Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah,
Jakarta: Kencana, 2012.

Abdillah, Abu Muhammad bin Ismail al Buhari. al Jami‟ asy Shahih, Qohira:
Muktabah asy-Syalafiyah, tt.

Abu Husaini, Imam Muslim bin al-Hajaz an-Naisaburi. al Jami‟ as-Shahih (t.tp, tt).

Anda mungkin juga menyukai