PERBANKAN SYARIAH
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan ekonomi
yang dikembangkan dan berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan ekonomi
masyarakat, utang piutang bisa berlaku pada seluruh tingkatan masyarakat baik
masyarakat kuno maupun masyarakat modern. Berdasarkan pemikiran ini, utang
piutang dapat diperkirakan telah ada dan dikenal oleh masyarakat yang ada di bumi
ini ketika mereka berhubungan antara satu orang dengan orang lainnya mempunyai
sisi-sisi sosial yang sangat tinggi.
Dalam konsep Islam, utang piutang merupakan akad (transaksi ekonomi) yang
mengandung nilai ta‟awun (tolong menolong). Dengan demikian utang piutang dapat
dikatakan sebagai ibadah sosial yang dalam pandangan Islam juga mendapatkan porsi
tersendiri. Utang piutang juga memiliki nilai luar biasa terutama guna bantu
membantu antar sesame yang bagi yang tidak mampu secara ekonomi atau sedang
membutuhkan. Keinginan yang begitu baik, maka tujuan utang piutang tolong
menolong, transaksi ini terlepas dari unsur komersial dan usaha yang berorientasi
pada keuntungan. Kata utang dalam penyebutanya terdapat dua buah kata, yakni kata
dayn dan kata qardh. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba membahas beberapa
permasalahan yang
menyangkut tentang utang dengan melampirkan dalil Al- Quran dan Hadis sebagai
penguat dalam pembahasannya.
Struktur keuangan syari’ah berkisar pada larangan atas penghasilan apa pun
yang berasal dari pinjaman (utang) adalah berupa riba, namun keuangan syari’ah
melegalkan laba yang diperoleh dari transaksi yang riil. Dalam konteks keuangan
syari’ah, pinjaman akan dianggap sebagai transaksi moneter atau finansial. Dalam hal
ini, uang hanya berpindah tangan dengan suatu jaminan pembayaran kembali
sepenuhnya tanpa adanya imbalan bagi pihak yang memberi pinjaman. Pinjaman di
dalam islam tidak dianggap sebagai investasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Selain itu, utang piutang sangat terkait dengan pemberian pinjaman dari
pihak lain sebagai metoda transaksi ekonomi di masyarakat. Sedangkan kredit
secara umum lebih mengarah pada pemberian pinjaman dengan penambahan nilai
dalam pengembalian. Hal ini dikarenakan istilah kredit lebih banyak digunakan
dalam dunia perbankan.
Utang piutang secara hukum dapat didasarkan pada adanya perintah dan
anjuran agama supaya manusia hidup dengan saling tolong menolong serta saling
bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Surat al-Ma’idah ayat 2 Allah
berfirman;
Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan dalam melaksanakan
takwa, dan jangan kamu bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, Allah sangat keras hukumannya (Dahlan, 2000:
187).
Dalam transaksi utang piutang terdapat nilai luhur dan cita-cita sosial yang
sangat tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan. Dengan demikian, pada
dasarnya pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus didasari niat yang
tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan. Ayat ini berarti juga
bahwa pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus didasarkan pada
pengambilan manfaat dari sesuatu pekerjaan yang dianjurkan oleh agama atau
jika tidak tidak ada larangan dalam melakukannya.
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertransaksi atas dasar utang
dalam waktu yang telah ditentukan, tulislah. Hendaklah seorang penulis
diantaramu menulis dengan benar, dan janganlah dia enggan menulisnya
sebagaimana yang telah diajarkan Allah. (Dahlan, 2000: 84).
Barang siapa yang memberikan pinjaman pada seorang muslim dua kali
maka tidak lain pahalanya kecuali seperti pemberian shadaqah satu kali.
Dalam sabda Rasulullah yang lain, Ibnu Majah juga meriwayatkan sebagai
berikut;
Saya melihat pada waktu di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis “Pahala
shadaqah sepuluh kali lipat dan pahala pemberian utang delapan belas
kali lipat” lalu saya bertanya pada Jibril “Wahai Jibril, mengapa pahala
pemberian utang lebih besar?” Ia menjawab “Karena peminta-minta
sesuatu meminta dari orang yang punya, sedangkan seseorang yang
meminjam tidak akan meminjam kecuali ia dalam keadaan sangat
membutuhkan”.
Di sisi lain, Allah memberikan aturan yang tegas dalam utang piutang yang
merupakan bagian dari transaksi ekonomi (mu’amalah maliyah). Ketegasan
aturan transaksi ekonomi tersebut tercermin dalam firman Allah dalam surat an-
Nisa’ ayat 29 sebagai berikut;
1. Riba itu terjadi karena transaksi pinjam meminjam atau hutang piutang
4. Dengan riba, pemilik modal akan semakin kaya, sementara pihak peminjam
akan semakin miskin. Jadi riba bisa menjadi media bagi orang kaya untuk
menindas orang miskin.
5. Larangan riba sudah ditetapkan oleh nas, dimana tidak harus seluruh rahasia
tuntutannya diketahui oleh manusia. Keharamannya itu pasti, kendati orang
tidak mengetahui persis segi pelarangannya.
Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan
ekonomi yang dikembangkan dan berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan
ekonomi masyarakat, utang piutang mempunyai sisi-sisi sosial yang sangat tinggi.
Selain itu, utang piutang juga mengandung nilai-nilai sosial yang cukup
signifikan untuk pengembangan perekonomian masyarakat.
Islam sebagai agama yang universal dan menyeluruh (kamil dan syamil),
memandang kegiatan ekonomi, di mana utang piutang juga termasuk di
dalamnya, sebagai tuntutan kehidupan manusia. Di sisi lain, kegiatan ekonomi
merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan dan memiliki dimensi ibadah
dalam intensitas yang cukup signifikan (Lubis, 2000: 1)
Secara mendasar, karena sifat dan tujuan utang piutang tolong menolong,
maka transaksi ini terlepas dari unsur komersial dan usaha yang berorientasi pada
keuntungan (profit orientit). Sebagai contoh, A mengutangkan sejumlah uang
atau barang pada B, jika tujuannya didasarkan atas niat tolong menolong, maka A
tidak boleh mengharapkan keuntungan apapun dari B. Secara lahiriah, dalam
konsep dasar di atas, A yang mengutangkan uangnya itu memberikan sesuatu
pada B tanpa meminta imbalan material sedikitpun. Kenyataan terlihat bahwa B
sebagai pihak yang berutang tidak diwajibkan secara material membayar lebih
ketika mengembalikan uang yang dipinjamkannya pada A, dan bahkan B itu
secara leluasa diberi wewenang untuk memanfaatkan uang itu. Karena itulah para
ulama’ berpendapat bahwa utang piutang itu hukum asalnya sunnah (Karim,
1997: 38).
Sebagai salah satu bentuk transaksi ekonomi, utang piutang bisa berlaku
pada seluruh tingkatan masyarakat baik masyarakat kuno maupun masyarakat
modern. Berdasarkan pemikiran ini, utang piutang dapat diperkirakan telah ada
dan dikenal oleh masyarakat yang ada di bumi ini ketika mereka berhubungan
antara satu orang dengan orang lainnya.
Dalam kajian fiqh, seseorang yang meminjamkan uang pada orang lain
tidak boleh meminta manfaat apapun dari yang diberi pinjaman, termasuk janji
dari si peminjam untuk membayar lebih. Larangan pengambilan manfaat ini telah
banyak dikemukakan oleh para pakar fiqh yang salah satunya Wahbah Zuhaily
(Zuhaily, 1989: 475). Larangan pengambilan manfaat dari yang diberi pinjaman
ini besumber dari kaedah sabda Rasulullah berikut;
Setiap transaksi pinjam meminjam yang mengambil manfaat dari yang
diberi pinjaman maka itu masuk kategori riba.
Sehubungan illat hukum tersebut, transaksi utang piutang bisa wajib atas
seseorang jika ia mempunyai kelebihan harta untuk meminjamkannya pada orang
yang sangat membutuhkan. Maksud dari membutuhkan di sini adalah seseorang
yang apabila itu tidak diberi pinjaman menyebabkan ia teraniaya atau akan
berbuat sesuatu yang dilarang agama seperti mencuri karena ketiadaan biaya
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya atau ia akan mengalami kebinasaan.
Kondisi inilah yang menyebabkan utang piutang menjadi wajib dan harus
dikerjakan walaupun oleh satu orang saja (Karim, 1997: 38-39).
Hukum utang piutang bisa juga haram apabila diketahui bahwa dengan
berutang seseorang bermaksud menganiaya orang yang mengutangi atau orang
yang berutang tersebut akan memanfaatkan orang yang diutanginya untuk berbuat
maksiat. Dalam kasus demikian, maka utang piutang yang berorientasi pada
perbuatan tolong menolong dalam kemaksiatan. Maka dari itu, berdasarkan pada
kondisi yang amat bervariasi, hukum utang piutang pun amat bervariasi pula,
seperti wajib, haram, makruh dan mubah (Karim, 1997: 38-39).
Tentang riba, mayoritas Fuqaha’ membaginya pada dua macam, yaitu riba
nasi’ah dan riba fadl. Sedang mazhab Syafi’i membagi riba menjadi tiga, yaitu
riba fadl, nasi’ah dan yad. Ayat Al-Qur’an yang ditunjuk sebagai dalil
dilarangnya kedua macam riba tersebut adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-
Baqarah dan Ali Imran, tetapi dalam pengulasannya, ada kesan bahwa ayat-ayat
tersebut berbicara tentang riba nasi’ah sesuai dengan kasus-kasus riba jahiliyyah
yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut (Antonio, 2001: 41).
Rumusan riba nasi’ah seperti telah dikemukakan itu dapat mendeskripsikan
bentuk formal praktek riba jahiliyyah secara tepat. Kegiatan ekonomi yang
mengandung unsur “kerugian sepihak” dan “dzulm” sebagai hakikat riba itu,
nampaknya sampai masa fuqaha’, formulanya tetap. Artinya, setiap “tambahan
atas pokok pinjaman” itu dapat dipastikan akan mendatangkan zulm (Zein, 2004:
198)
Demikian mapannya rumusan riba nasi’ah itu, menurut Dumairi (1992: 112)
sehingga para fuqaha’ tidak lagi sempat memikirkan “apa sebab riba
mendatangkan kesengsaraan” perhatian mereka tertuju pada pencarian ‘illat,
benda-benda apa yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan dengan tenggang
waktu, padahal di zaman modern ini, orang tidak lagi jual beli kurma dengan
gandum, atau garam dengan garam, misalnya, hampir semua teransaksi, baik jual
beli, penyimpanan maupun peminjaman, tidak lagi dilakukan dengan barang,
melainkan dengan uang sesuai dengan fungsinya sebagai standar harga dan sarana
pertukaran barang (medium of exchange).
DAFTAR PUSAKA
Huda, Nurul at.al. Dalam Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah,
Jakarta: Kencana, 2012.
Abdillah, Abu Muhammad bin Ismail al Buhari. al Jami‟ asy Shahih, Qohira:
Muktabah asy-Syalafiyah, tt.
Abu Husaini, Imam Muslim bin al-Hajaz an-Naisaburi. al Jami‟ as-Shahih (t.tp, tt).