Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN KASUS

FARINGITIS KRONIS HIPERPLASTIK, RINITIS ALERGI PERSISTEN

RINGAN, DAN LARINGOPHARINGEAL REFLUX

NAMA : Ng Chor Yao


NIM : 11.2018.110

PEMBIMBING:
DR RIZA RIZALDI, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
RSUD TARAKAN JAKARTA PUSAT
PERIODE 29 JULI 2019 -31 AGUSTUS 2019
II

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : Ng Chor Yao

NIM : 11.2018.110

PERIODE : 29 Juli 2019 – 31 Agustus 2019

JUDUL : faringitis kronis hiperplastik, rinitis alergi persisten ringan, dan

laringopharingeal reflux
TANGGAL PRESENTASI : 24 Agustus 2019

NAMA PEMBIMBING / PENGUJI : dr. Riza Rizaldi, Sp.THT-KL

Jakarta, 24 Agustus 2019

Yang Mengesahkan,

dr. Riza Rizaldi, Sp.THT-KL


III

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas penyertaan-NYA saya

dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul ” Faringitis Kronis Hiperplastik,

Rinitis Alergi Persisten Ringan, Dan Laringopharingeal Reflux”.


Laporan kasus yang berjudul ” Faringitis Kronis Hiperplastik, Rinitis

Alergi Persisten Ringan, Dan Laringopharingeal Reflux ” ini bertujuan untuk

mengetahui tentang dengan lebih mendalam mengenai infeksi kronis pada hidung

dan tenggorokan serta penatalaksanaanya.

Saya menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak

kekurangan dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun

mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna menambah ilmu dan

pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup Ilmu Telinga, Hidung dan

Tenggorokan, khususnya yang berhubungan dengan laporan kasus ini.

Saya mengucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di Departemen

THT RSUD Tarakan Jakarta Pusat, atas ilmu dan bimbingannya selama ini.

Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 24 Agustus 2019


IV

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS II


KATA PENGANTAR III
DAFTAR ISI IV
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi & Fisiologi 3
2.2 Penyakit Terkait Kasus 16
2.2.1 Faringitis Kronik 16
2.2.2 Rinitis Alergi 19

2.2.3 LPR 42
BAB III LAPORAN KASUS 57
BAB IV PEMBAHASAN 72
BAB V PENUTUP 73
DAFTAR PUSTAKA 74
1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan

oleh virus(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma dan toksin. Virus dan bakteri

melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi

bakteri Streptococcus hemolyticus grup A banyak menyerang anak usia sekolah

dan orang dewasa. Penularan infeksi biasanya melalui sekret hidung dan ludah.1

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact

on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh IgE. 1


Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam

lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang

berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.Laringofaringeal Refluks

(LPR) didefinisikan sebagai gejala kronis atau kerusakan mukosa laring yang

disebabkan oleh refluks abnormal isi lambung ke dalam saluran napas bagian

atas.2
2

Maksud Penulis
Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai

Faringitis Kronik, Rinitis Alergi, dan Laryngopharyngeal refluks dengan harapan

pembaca dapat mengerti dan memahami perjalanan penyakit ini berdasarkan teori

dan membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.


Tujuan Penulis

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah ilmu

pengetahuan tentang penyakit Faringitis Kronik, Rinitis Alergi, dan

Laryngopharyngeal refluks. Dengan ada laporan ini diharapkan penulis mampu

membuka wawasan dan gambaran dalam mendiagnosa penyakit tersebut dari segi

keterampilan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.


3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi Faring
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :
1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah

adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang

adalah vertebra servikal.1


Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan

beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral

faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang

merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu

refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen

jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius

spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan

foramen laserum dan muara tuba eustachius.1,2


2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas

bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan

kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring

adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring

anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. 1,2
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada

radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot
4

bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot

palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus. 1

b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas

lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub

atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil.

Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah

memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan

bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan

merupakan kapsul yang sebena-benarnya.1


c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil

faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya

membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang

biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil

seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang

kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. 1,3
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah

yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga

meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit,

epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. 2,4


Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut

kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah

dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor,


5

a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan

a.lingualis dorsal.

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh

ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini

terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila

sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus

tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid

lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi dapat terjadi di antara

kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar

palatum mole sebagai abses peritonsilar. 1


3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah

valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman

atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara

glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring

superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus

piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas

anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior

adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina

krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus.1


Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan

laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung,

maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian

ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum

glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.


6

Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets), sebab pada beberapa orang,

kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.2


Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk

omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang

bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam

perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya

sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita

suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan

minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis

dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis

pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian

anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. 1

2.1.2. Fungsi Faring


1) Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu

menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam

menelan yaitu fase oral, fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral,

bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja

(voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus makanan

melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase

esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus

makanan bergerak secara peristaltic di esofagus menuju lambung. 1,2


2) Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot

palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum

mole ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi

sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.


7

palatofaring, kemudian m. levator veli palatine bersama-sama m.

konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.

levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hampir

mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh

tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi

akibat 2 mavam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil

gerakan m,palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi

aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja

tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa

tonjolan Passavant ini menetap pda periode fonasi, tetapi ada pula

pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat

bersamaan dengan gerakan palatum. 1,3

2.1.3. Anatomi Esofagus


Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke

lambung. Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Di mulai dari batas

bawah tulang rawan krikoid atau setinggi vertebra C.VI, berjalan sepanjang leher,

mediastinum superior dan posterior, di depan vertebra servikal dan torakal, dan

berakhir pada orifisium kardia lambung setinggi vertebra Th.XI. Melintas melalui

hiatus esofagus diafragma setinggi vertebra Th.X.1,2


Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang tebal dan

memiliki dua sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah. Sfingter esofagus

atas merupakan daerah bertekanan tinggi dan daerah ini berada setinggi kartilago

krikoid. Fungsinya mempertahankan tonus, kecuali ketika menelan, bersendawa

dan muntah. Meskipun sfingter esofagus atas bukan merupakan barrier pertama

terhadap refluks, namun dia berfungsi juga untuk mencegah refluks keluar dari

esofagus proksimal menuju ke hipofaring.1,4


8

Sfingter bawah esophagus panjangnya kira-kira 3 cm, dapat turun 1-3 cm

pada pernafasan normal dan naik sampai 5 cm pada pernafasan dalam,

merupakan daerah bertekanan tinggi yang berada setinggi diafragma. Sfingter ini

berfungsi mempertahankan tonus waktu menelan dan relaksasi saat dilalui

makanan yang akan memasuki lambung serta mencegah refluks. Relaksasi juga

diperlukan untuk bersendawa.


Menurut letaknya esofagus terdiri dari beberapa segmen :1
1) Segmen servikalis 5-6 cm ( C.VI-Th. I )
2) Segmen torakalis 16-18 cm ( Th. I-V )
3) Segmen diafragmatika 1-1,5 cm ( Th. X )
4) Segmen abdominalis 2,5-3 cm ( Th. XI )
Esofagus memiliki beberapa daerah penyempitan :
1) Daerah krikofaringeal, setinggi C. VI
Daerah ini disebut juga Bab el Mandeb / Gate of Tear, merupakan bagian

yang paling sempit, mudah terjadi perforasi sehingga paling ditakuti ahli

esofagoskopi.
2) Daerah aorta, setinggi Th. IV
3) Daerah bronkus kiri, setinggi Th. V
4) Daerah diafragma, setinggi Th. X .

2.1.4. Anatomi Hidung

2.1.4.1. Anatomi Hidung Luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk

hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung

(hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). 1 Hidung
9

terhubug dengan os frontale dan maksila melalui pangkal hidung yang dibentuk

ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan

memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan

rhinophyma.2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang

dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus

nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa

pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang

kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis

inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior

kartilago septum. 1

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung2


10

2.1.4.2. Anatomi Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang

letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut

vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.4

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk

oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os

etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian
1
tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium

pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian

depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya

terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media,

lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka

suprema. Konka suprema disebut juga rudimenter. 1,2


11

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila

dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan

bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung

terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada

tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di

antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. 1

Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi1

Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.

Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris

dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit

melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid

anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila

dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk
12

oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
1,3

2.1.5. Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat

pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,

sinus etmoid dan sinus sphenoid. Sinus paranasal merupakan pneumatisasi tulang-

tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus

mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1


Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3- 4 bulan, kecuali sinus

sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan dan sinus etmoid telah ada saat

anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada

anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai

pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.

Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal 15-18 tahun. 1

2.1.5.1. Sinus maksila


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus

maksila bervolume 6- 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.


Sinus maksila berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan

fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah

permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral


13

rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya

ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah

superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infundibulum etmoid. 1,3

2.1.5.2. Sinus frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke

empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum

etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan

akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.


Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak

adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto

Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang

yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus

frontal mudah menjalar ke daerah ini.


Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal,

yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. 1,2


2.1.5.3. Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-

akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi

sinus-sinus lainnya.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang

tawon (cellulae etmoidales), yang terdapat di dalam massa bagian lateral os

etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang

bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
14

superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak letaknya di

bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya

lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari

perlekatan konka media.


Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut

resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar

disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan

atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan

pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.


Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina

kribos. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan

membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. 1


2.1.5.4. Sinus sphenoid
Sinus sphenoid terletak di dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid

posterior. Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat yang disebur septum intersfenoid.

Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm.

Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan

nervus di bagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan

rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan

kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan

dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)

dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah

pons.1
15

2.1.6. Kompleks Ostiometal

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior

yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus

paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media

dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah

prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger

nasi dan ressus frontal. 1


KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan

drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid

anterior dan frontal.1

Gambar 4. Kompleks Ostiomeatal.


2.1.7. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka

fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk

mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2)

fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir

udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk

resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
16

melalui konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan

beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta 5) refleks

nasal. 1

2.2 Penyakit Terkait Kasus

2.2.1. Faringitis Kronik

Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.

2.2.1.1 Faringitis Kronik Atropi

Faringitis kronik atropi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.

Pada rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya,

sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. 2

2.2.1.1.1 Gejala

Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada

pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila

diangkat tampak mukosa kering. 2

2.2.1.1.2 Terapi

Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik

atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.

2.2.1.2 Faringitis Kronik Hiperplasia


17

Pada faringitis kronik hiperplasia terjadi perubahan mukosa dinding posterior

faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band

hiperplasia.Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,

bergranular.2

2.2.1.2.1 Gejala

Rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan dari tenggorokan.

Batuk serta perasaan mengganjal di tenggorokan.2

2.2.1.2.2 Terapi

Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia

larutan nitras argenti atau dengan listrik. Pengobatan simptomatis diberikan obat

kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau

ekspektoran.Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati. 2

2.2.1.3 Patofisiologi

Pada faringitis yang disebabkan infeksi bakteri ataupun virus dapat secara

langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman

menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian lapisan epitel terhakis maka jaringan

limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dan infiltrasi leukosit

polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi kemudian edema dan

sekresi yang meningkat. Eksudat mula mula serosa tapi menjadi tebal dan

kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.2,3
18

Dengan hiperemi pembuluh dindng faring menjadi lebar. Terbentuk

sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu abu terdapat dalam folikel atau

jaringan limfoid. Kemudian tampak folikel limfoid dan bercak bercak pada

dinding faring posterior atau terletak lebih lateral, menjadi radang dan

membengkak. Virus seperti Rhinovirus dan Corona Virus apat menyebabkan

iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal. Infeksi streptokokal

memiliki karakteristik khusus iyaitu invasi lokal dan pelepasan toksin ektraselular

dan proteas yang dapat menyebabkan kerosakan jaringan hebat karena fragmen

protein M dari group A streptokokus memeilki struktur yang sama dengan

sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan reumatik dan kerosakan katup

jantung. Selain itu jua dapat menyebabkan akut glomerulonephritis karena fungsi

glomeruslus terganggu akibat terbnetuknya kompleks antigen antibodi.2

2.2.1.4 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah :2,3

1. Infeksi persisten di sekitar faring. Pada rhinitis dan sinusitis kronik, mukus

purulen secara konstan jatuh ke faring dan menjadi sumber infeksi yang

konstan. Tonsilitis kronik dan sepsis dental juga bertanggung jawab dalam

menyebabkan faringitis kronik dan odinofagia yang rekuren.


2. Bernapas melalui mulut. Bernapas melalui mulut akan mengekspos faring

ke udara yang tidak difiltrasi, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu

tubuh sehingga menyebabkan lebih mudah terinfeksi. Bernapas melalui

mulut biasa disebabkan oleh :


a. Obstruksi hidung
b. Obstruksi nasofaring
c. Gigi yang menonjol
19

d. Kebiasaan.
3. Iritan kronik. Merokok yang berlebihan, mengunyah tembakau, peminum

minuma keras. Makanan yang sangat pedas


4. Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan yang berdebu atau uap industri
5. Faulty voice production. 2

2.2.2 Rinitis Alergi

2.2.2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact

on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh IgE. 5


Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau

allergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi

paparan, polesan genetic dari individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh

pejamu.
Rinitis alergik terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien

telah mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia

hidung: reseptor histamin H1, adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2,

kolinoseptor, reseptor histamin H2 dan reseptor iritan. Dari semua ini yang

terpenting adalah reseptor histamin H1, dimana bila terangsang oleh histamine
20

akan meningkatkan tahanan jalan napas hidung, meneybabkan bersin, gatal, dan

rinore. 6
2.2.2.2 .Etiologi Rinitis Alergi

Etiologi rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan

predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan

herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi

tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada

anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan

pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.

Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan

rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi

perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama

tungau yaitu Dermatophagoidesfarinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,

jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko

untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang

tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor

resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan

memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi

udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. 5
2.2.2.3 Faktor risiko untuk Rhinitis Alergi (RA) dan sensitisasi allergen

 Studi Populasi Genetik


Meskipun basis genetik AR telah dievaluasi secara intensif, seluruh profil

herediter AR belum sepenuhnya diklarifikasi karena penyakit alergi akibat

interaksi yang kompleks antara gen dan lingkungan serta umur yang terpapar

[mis. untuk gen GSTP1]. Studi harus memiliki ukuran sampel yang lebih

besar untuk mendeteksi efek interaksi gen-gen dan peran lingkungan dalam
21

ekspresi penyakit. Dalam studi kohort longitudinal, frekuensi alel dari 39

tunggal polimorfisme nukleotida (SNPs) diselidiki hubungan dengan fenotip

alergi yang tepat dari tiga genomewide metastudies di Swedia . Di antara

mereka, 12 SNPs ditemukan berhubungan dengan AR. Lokus TLR6-TLR1

mungkin memiliki peran sentral dalam pengembangan penyakit alergi.

Hubungan antara variasi genetik dalam Lokus SSTR1-MIPOL1 dan TSLP-

SLC25A46 saat usia onset adalah laporan pertama tentang efek onset on-onset

pada AR. Studi lain menemukan hubungan yang signifikan antara lima SNP di

lokas kerentanan penyakit 17m21, rs9303277, rs7216389, rs7224129,

rs3744246, dan rs4794820, dan AR di Jepang. Dua studi populasi di Jepang

menunjukkan bahwa mutasi FLG (faktor predisposisi penting untuk

dermatitis atopik) adalah faktor predisposisi yang signifikan untuk demam

dengan OR 2,01 (95% CI 1,027-3,936, P <0,05) (18); dan varian (rs9303277,

rs7216389, rs7224129, rs3744246, dan rs4794820) pada lokus kerentanan

penyakit 17q21 juga terkait dengan AR. Selain itu, ekspresi dari mRNA gen

ORMDL3 pada lokus ini secara signifikan meningkat di epitel hidung. Banyak

variasi genetik lainnya, meliputi DNA, atau perubahan profil ekspresi miRNA

telah dilaporkan di hubungan dengan atopi, asma dan atopic dermatitis , yang

belum direplikasi dalam AR.6


 Variasi sensitivitas alergen antar letak geografis yang berbeda
Variasi global yang besar dalam pola sensitisasi alergi menunjukkan bahwa

lingkungan merupakan penentu penting dalam sensitisasi. Studi tentang

migrasi memberikan tes lakmus untuk teori ini sebagai manifestasi alergi

harus berubah sebagai Pasien bergerak di antara area yang berbeda secara

geografis. Variasi geografis dalam konsentrasi dari tungau debu rumah

(HDM) alergen di debu rumah, dengan tingkat yang lebih rendah di daerah
22

yang lebih dingin dan lebih kering dan lebih hangat dan daerah yang lebih

lembab di Eropa. . Toppila-Salmi et al menegaskan bahwa sensitisasi HDM

dalam bahasa Finlandia populasi asma secara signifikan lebih rendah (kurang

dari 10% baik pada penderita asma maupun kontrol sehat), sedangkan

sensitivitas poli lebih menonjol daripada monosensitisasi. Ini menimbulkan

pertanyaan tentang apakah sensitisasi HDM akan terjadi peningkatan pada

orang yang bermigrasi dari garis lintang Utara ke benua tropis. Andiappan

dkk. menunjukkan bahwa 70-80% Singapura-atau orang Cina kelahiran

Malaysia dan kurang dari 20% dari jumlah yang belum lama ini migran dari

China peka terhadap HDM. Monosensitisasi untuk HDM (lebih dari 80%)

adalah fenotip khas di Singapura- atau orang Cina kelahiran Malaysia kurang

dari 30% dari jumlah tersebut juga memiliki sIgE untuk alergen lainnya dan

beberapa HDM-sIgEnegative individu bereaksi terhadap alergen lainnya.

Menariknya, migran ke Singapura, sebuah kota tropis semakin bertambah

menjadi peka terhadap HDM dan semakin ditunjukkan gejala AR dan asma.

Lebih dari 40% migrant dari China yang tinggal lebih dari 8 tahun di

Singapura memiliki SPT positif untuk HDM sementara kurang dari 20% dari

mereka yang Tinggal selama <3 tahun peka. Gas, debu dan asap, terpapar

pekerjaan, dapat bertindak sebagai bahan pembantu yang memfasilitasi

sensitisasi terhadap tungau, dan tungau-peka individu mungkin sangat rentan

terhadap efek inhalasi berbahaya . Post et al menunjukkan sinyal Ca2 +

memainkan peran penting dalam disfungsi penghalang dan pro-inflamasi

epitel bronchial Paparan HDM dan karenanya memiliki implikasi penting

untuk perkembangan asma alergi. Adenosin yang berasal dari serbuk sari,

seorang mediator dalam serbuk sari ragweed, ternyata sangat penting kofaktor

pada ragweed-pollen-induced allergic airway inflammation.5,6


23

 Kontroversi dalam 'atopic march'


Manifestasi penyakit alergi yang umum adalah eksim, AR /

rhinokonjungtivitis, dan asma. Hal ini cenderung muncul pada urutan

temporal yang dikenal sebagai 'atopic march', yang klasik dimulai dengan

eksim pada anak usia dini diikuti oleh munculnya asma dan AR di kemudian

hari. Ini mengarah untuk pertanyaan apakah eksim adalah faktor penyebab di

perkembangan penyakit atopik berikutnya, atau apakah ini kondisi klinis

manifestasi dari IgE yang berubah respon sebagai sistem kekebalan tubuh

matang. Analisis MeDALL (Mekanisme Pembangunan) dari ALLergy) yang

melibatkan 17 209 anak-anak berusia 4 tahun dan 14.558 anak-anak berusia 8

tahun dari tujuh orang Eropa kohort lahir, secara statistik mempartisi anak-

anak kelompok dan dianalisis pada periode usia kedua. Dua kelompok

diidentifikasi di mana eksim, AR dan asma memiliki signifikan prevalensi

yang lebih tinggi di Grup 2 dibandingkan dengan Kelompok 1 (pada 8 tahun:

27,5%, 49,0% dan 36,9% berbanding 8,0%, 1,8% dan 1,1%). Setelah

stratifikasi oleh sensitisasi IgE, prevalensinya dipertahankan. Studi ini

memberikan bukti statistic bahwa trio atopik klasik memang sekelompok

komorbiditas alergi namun, pengelompokan trio atopik tidak tersedia jawaban

atas pertanyaan apakah salah satu langkah dari 'March' adalah faktor penyebab

untuk langkah selanjutnya. Penyebabnya Teori itu menarik, karena

menyiratkan bahwa menghentikan langkah pertama 'march' dapat

menghambat perkembangan tahap selanjutnya. Membuktikan hipotesis

kausalitas, terutama yang serumit ini, membutuhkan beberapa pendekatan,

termasuk bukti epidemiologis, bukti molekuler dan fisiologis, dan studi

intervensi yang menunjukkan penangkapan perkembangan. Dharmage dkk

melakukan review terhadap 17 longitudinal studi. Studi ini sesuai dalam


24

menunjukkan hal itu Pasien yang terkena eksim pada masa bayi memiliki

kemungkinan lebih tinggi mengembangkan AR dan asma kemudian,

memberikan kuat bukti statistik membuktikan hubungan temporal dari pawai

atopik, tapi itu bukan merupakan bukti kausalitas. Hipotesis yang berlaku

tentang kausalitas eksim sampai selanjutnya Langkah-langkah berpusat di

sekitar penghalang epitel yang rusak yang menyebabkan penetrasi dan

sensitisasi dini terhadap alergen, memulai pawai, hipotesis penghalang kulit).

Kita Menantikan studi mendatang mengenai topik menarik ini.6

 Faktor risiko orang tua


Rinitis alergi (AR) parental terisolasi meningkatkan kemungkinan AR (OR

2.2, 95% CI 1.6-3.2), sedangkan asma terpisah atau eksim tidak memiliki

ketiga kondisi atopik (AR, eksim, dan asma) memberikan peluang tertinggi

untuk keturunan AR (OR 5.6, 95% CI 3.8-8.4) dan rhinitis nonallergik (NAR)

(OR 4,9, 95% CI 2,8-8,4). Prevalensi AR tertinggi (37,5%) ada pada anak-

anak yang orang tuanya memiliki AR dan NAR. Atopi ayah dan ibu

mengandung kemungkinan atopi yang sama dalam keadaan offsprings Fuertes

dkk. ditemukan dari dua orang besar Jerman kohort kelahiran studi bahwa

bahkan jika orang tua berkembang kondisi atopik ini setelah kelahiran anak,

ada Juga merupakan hubungan positif dengan anak yang sedang berkembang

atopic kondisi terutama untuk asma (dan kurang konsisten begitu untuk AR

dan eksim), dan efek dari asosiasi serupa untuk orang tua dengan atopi

prebirth. Andersson dkk. (mengkaji 16 penelitian (25 analisis) menyelidiki

stres ibu prenatal dan menemukan bahwa 21 analisis menunjukkan hubungan

positif antara prenatal stres ibu dan atopi. Dari empat analisis yang dihadapi
25

AR, tiga ditemukan asosiasi positif dengan OR yang disesuaikan (AOR)

berkisar antara 0,96 dan 2,38. Merokok ibu dan tidak adanya menyusui

ditemukan menjadi prediktor yang lebih kuat dari NAR, sedangkan wheeze

dan eksim saat ini prediktor kuat AR. Menariknya, HDM (Der p 1) Alergen

ditemukan pada susu manusia dan prima karena alergi sensitisasi pada model

tikus asma. Penelitian ini adalah awal studi masa depan untuk

mengidentifikasi dan menentukan apakah Faktor-faktor dalam ASI

berkontribusi terhadap sensitisasi alergi.5

 Faktor risiko lain untuk AR dan manifestasi atopik


Kadar serum 25 (OH) D <50 nM adalah terkait dengan peningkatan kejadian

AR pada pria (AOR 2,55, 95% CI 1,01-6,49) dengan masing masing 25 nM

reduksi 25 (OH) D dikaitkan dengan AOR 1,84 (CI 95% 1,18-2,87).

Menariknya, asosiasi ini bertolak belakang wanita, dengan AOR 0,83 (95% CI

0,66-1,05) untuk masing-masing Penurunan 25 nM pada level 25 (OH) D.

Tingkat serum vitamin D adalah berbanding terbalik dengan eksim pada anak-

anak dan remaja di Jerman. Data ini bisa mendukung teori vitamin D memiliki

sifat imunomodulator, yaitu juga dilaporkan pada tikus. Sebuah tinjauan

sistematis menemukan bahwa Suplementasi vitamin D mungkin efektif untuk

mencegahnya eksaserbasi asma, namun temuannya perlu dikonfirmasi oleh uji

klinis karena heterogenitas yang signifikan di antara penelitian. Suplementasi

vitamin A neonatal ditemukan dikaitkan dengan peningkatan risiko atopi dan

mengi, terutama pada anak perempuan. Dalam multicentre Eropa studi kohort

kelahiran, konsentrasi vitamin E serum pada 1 tahun Usia tidak berhubungan


26

dengan alergi atau asma pada usia 6 tahun. Hipotesis keanekaragaman hayati

mendalilkan bahwa penurunan eksposur anak untuk mikrobiota lingkungan

akibat kehilangan ruang hijau dan kebersihan yang ditingkatkan berdampak

pada keanekaragaman hayati commensal dan pengaruhnya terhadap toleransi

kekebalan tubuh. Ruokolainenet al. mempelajari hubungan antara jumlah

hijau ruang (kawasan hutan dan pertanian) di sekitar anak-anak yang adalah

subyek penelitian dalam tiga studi Finlandia dan Estonia, dan atopi. Mereka

menemukan daerah hijau itu berjarak 2-5 km dari rumah itu berbanding

terbalik dan terbalik dengan atopic sensitisasi pada anak usia 6 tahun ke atas.

Ini dapat menunjukkan efek lingkungan pada commensal mikrobiota, yang

juga telah ditunjukkan pada eksim atopik. Ekspresi lahan dan tren waktu di

masa kanak-kanak ditemukan mempengaruhi metilasi DNA terkait asma dan

alergi. Di Polandia, pertanian telah menunjukkan perlindungan efek terhadap

ukuran obyektif atopi dan ini berpotensi terkait dengan kontak dengan gandum

atau kegiatan peternakan terkait. Selanjutnya Sozanska dkk. menunjukkan

bahwa efek perlindungan dari ukuran keluarga yang lebih besar dan urutan

kelahiran Atopi jauh lebih kuat pada anak daripada pada orang dewasa dan di

antara mereka yang tinggal di sebuah desa. Hahm dkk. data yang diambil dari

studi ISAAC di Korea Selatan dan menemukan bahwa tinggal di rumah yang

baru dibangun pada masa bayi dikaitkan dengan kemungkinan pengembangan

AR yang lebih tinggi. Pada usia 7-8 tahun (OR 3,09, 95% CI 1,71-5,57).

Mereka mendalilkan hal ini bisa disebabkan oleh konsentrasi bahan kimia

yang lebih tinggi, termasuk bahan kimia organik yang mudah menguap, di

bangunan baru. Kelembaban dan jamur di rumah juga terkait dengan AR (OR

1,31, 95% CI 1,07-1,61). Selain itu, paparan traffic-polusi udara terkait,

terutama PM2.5, ditemukan terkait dengan eksim dan demam. Ekspos


27

terhadap kimia antimikroba, triklosan, dalam produk perawatan pribadi,

dikaitkan dengan penyakit alergi di Norwegia. Merokok dikaitkan dengan

tingginya prevalensi penyakit kronis rinitis pada kedua jenis kelamin namun

prevalensi AR rendah pada pria..Rhinitis dikaitkan dengan penyakit arteri

perifer, predictor kejadian serebrovaskular dan kardiovaskular di masa depan,

terlepas dari adanya atopi.6

Gambar 5. Faktor risiko Rinitis Alergi.6

2.2.2.4 Patofisiologi

Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari

"non-self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan

tubuh melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin

yang bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi

sistem tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs


28

menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik,

komplek imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi

(rangsangan antibodi dan antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi

sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi

hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi modalitas bekerja di berbagai titik

dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki pemahaman umum tentang

hal tersebut.6,4
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase

yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase

allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat

berlangsung 24-48 jam.3

Gambar 6. Patofisiologi terjadinya reaksi alergi.6

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofagatau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen PresentingCell/APC) akan


29

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah

diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung

dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper

(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)

yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2

akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.4


IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E

(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE

di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini

menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,

maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi

(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator

kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain

histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2

(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,

PlateletActivating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-

CSF(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain.

Inilahyang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).4


Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga

akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selainhistamin merangsang ujung saraf


30

Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1).6,4


Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini

tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai

puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan

mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan

Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada

sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah

akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Cationic Protein (ECP),Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major

Basic Protein (MBP), danEosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain

faktor spesifik (alergen),iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala

seperti asap rokok,bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara

yang tinggi.4
2.2.2.5 Gambaran Histopatologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)

dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga

pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta

ditemukaninfiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

hidung.6,4
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan

serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-

menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan


31

yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,

sehingga tampak mukosa hidung menebal.5

Gambar 7. Cara masuknya alergi.4

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:4


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan.

Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,

rerumputan serta jamur.


2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan.

Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-

kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan. Misalnya:

penisilin dan sengatan lebah.


4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan

mukosa. Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.


2.2.2.6 Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya, yaitu:6,4
 Rinitisalergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
32

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara

yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu

tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat

adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak

ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
 Rinitisalergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa

variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.Penyebab yang

paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan

alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah

(indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah

berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab

pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti

urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan

perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi

karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.


Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,

yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :3


 Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
 Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :3
 Ringan
33

Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.


 Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara

garis besar terdiri dari:


1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini

bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak

berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga

kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya

dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.

Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik,

maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.


3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.

Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya

eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini

atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate

hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks

imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).


34

Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang

THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

2.2.2.7 Gejala Klinik Rinitis Alergi


Gejala klinik rinitis alergi, yaitu: Gejala rinitis alergi yang khas ialah

terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang

normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar

debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan

sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih

dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga

sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan

banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai

dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).4


Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.

Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada

tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan

pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat

muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau

cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar

hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi

membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba

eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia

submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita

suara.5,2
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah

penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip.
35

Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu

makan dan sulit tidur.4,5


2.2.2.8 Diagnosis Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi

dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari

anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan

bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,

terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar

debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama

merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai

akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya

riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang

encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-

kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali

gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-

kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-

satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.5,2


2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna

pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala

persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi

dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah

terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena


36

stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic

shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung

karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic

salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga

bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan

lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan

pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak

granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring

menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).5,2


3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent

test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada

pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga

menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga

dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE

spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme

Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,

walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap)

mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN

menunjukkan adanya infeksi bakteri.


37

In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit

kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-

point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan

menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat

tinggi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.


Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak

dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test

(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi

dan provokasi (“Challenge Test”).


Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5

hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan

pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati

reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari

menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan

suatu jenis makanan.


38

Gambar 8: Diagnosis Rinitis Alergi1


2.2.2.9 Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan

allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.1


 Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan

preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama

pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa

kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam

2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2

(non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat

menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta

serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara

lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,


39

sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.

Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus

sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak

mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP

minimal (non-sedatif).1,4 Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat

dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada

fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua

golongan menurut keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan

terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap

jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat

menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia

medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah

loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.1,4 Preparat

simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh

untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis

medikamentosa.1

Tabel 1 . Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi


40

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin


b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset

obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat

menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu

lama.4
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine

HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan

vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5

tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan

setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering adalah

insomnia dan iritabilitas.4


c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat

untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada

permukaan sel efektor.1


d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat

respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering

dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,


41

flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal

bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,

mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi

aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel

hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada

respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja

menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga

pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga

menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,

eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai

profilaksis.1

e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.1


Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa

pseudoephedrine dan montelukastmemiliki efek yang serupa dalam

mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien.8

 Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan

bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat1


 Imunoterapi
42

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat

dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah

pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode

imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.1

Gambar 9: Alur tatalaksana rhinitis alergi.


2.2.2.10 Komplikasi Rinitis Alergi
1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous

glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih

eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan

metaplasia skuamosa,
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
43

3. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para

nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa

yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi

dan tekanan udara rongga sinus

2.2.3 Laryngopharingeal Reflux (LPR)

Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam

lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang

berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.4


Beberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literature kedokteran: Reflux

Laryngitis, Laryngeal Reflux, Gastropharyngeal Reflux, Pharyngoesophageal

Reflux, Supraesophageal Reflux, Extraesophageal Reflux, Atypical Reflux. Dan

yang paling diterima dari beberapa sinonim tersebut adalah Extraesophageal

Reflux.9
2.2.3.1 Etiologi
Etiologi LPR dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu adanya gangguan

fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia, abnormalitas kontraksi

esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga

disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, iritasi dari polusi udara, dan gaya

hidup, misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID, makanan pedas,

merokok, minuman beralkohol.8


2.2.3.2 Patofisiologi
Patofisiologi LPR masih menjadi kajian banyak ilmuan. Sampai saat ini ada

dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses terjadinya LPR.

Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara langsung mencederai laring

dan jaringan sekitarnya. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa asam lambung
44

dalam esofagus distal merangsang refleks vagal yang mengakibatkan

bronkokontriksi dan gerakan mendehem dan batuk kronis, yang pada akhirnya

menimbulkan lesi pada mukosa saluran napas atas.8,9


Terdapat 4 jenis pertahanan fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif

dari cedera refluks yaitu LES (Lower Esophageal Spinchter), fungsi motorik

esofageal dengan pembersihan asam lambung, resistensi jaringan mukosa

esofageal, dan spingter esofageal atas.8,9


a.) LES (Lower Esophageal Spinchter)
Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah gastroesophageal

junction. Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan elemen otot dari lower

esophageal sphincter (LES) dan otot lurik dari diafragma bagian bawah, yang

berkombinasi untuk menjaga tekanan GEJ, hal ini penting untuk menahan tekanan

intraabdominal, dan mencegah isi lambung melewati esofagus. Secara fisiologis

LES merupakan sphincter dengan panjang 3-4 cm dengan otot yang dapat

berkontraksi di distal esofagus. Sphincter akan relaksasi setelah terjadi proses

menelan makanan dan memasukkan ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini

mempunyai ketebalan 2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal

esofagus. 8,9
b.) Fungsi motorik esofageal dengan pembersihan asam lambung
Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari esofagus.

bolus makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan dari gerak peristaltik

dari pharyngoesophageal junction turun kebawah sampai ke gastroesophageal

junction dan ke dalam lambung. Gerak peristaltik secara primer dirangsang oleh

proses menelan di faring atau secara sekunder dengan stimulasi langsung pada

mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini penting untuk membersihkan refluks ke

dalam lambung. Adanya gangguan gerakan esofagus akan meningkatkan refluk


45

dengan melewati esofagus sampai ke laringofaring. Dengan pengukuran

manometric, pada pasien LPR didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.8,9


c.) Resistensi jaringan mukosa esofageal
Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah laringofaring

akan menyebar di sepanjang mukosa yang berbatasan di daerah kepala leher. Pada

keadaan ini hanya ada satu pertahanan untuk mencegah inflamasi dan kerusakan

dari komponen korosif refluks yaitu resistensi dari mukosa faring dan laring. 8,9
d.) Spingter esofageal atas
Pertahanan antirefluks yang keempat adalah Upper Esophageal sphincter

(UES). Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang membedakan antara

GERD dan LPR. UES didefinisikan sebagai daerah yang dapat berkonstriksi

secara tonik di pharyngoesofageal junction. Seperti pada LES, UES akan

berelaksasi pada saat makanan atau minuman akan masuk pada proses menelan.

Secara anatomi UES merupakan serabut distal dari otot cricopharyngeus dan

bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot cricopharyngeus memegang peranan

penting pada tekanan di UES. Fungsi utama dari UES adalah menjaga masuknya

udara masuk kedalam esofagus selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk

ke faring sewaktu refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi sfingter yang kedua

tersebut diyakini sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR, yang

bermanifestasi terjadinya refluks yang mencapai laryngopharyngeal.8,9


46

Gambar 10: Patofisiologi LPR9

2.2.3.3 Gejala Klinis

Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di jumpai

adalah suara serak. Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia, throat

clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik,

sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan.10,11

Gambar 11. Manifestasi klinik laryngipharyngeal reflux10


47

Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran eritema, edema

serta gambaran cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis dengan

gambaran ulkus, nodul, polip, leukoplakia dan kerusakan ventrikular band.1,10


2.2.3.4 Diagnosis

Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang. Pada sebuah survei internasional yang dilakukan oleh

American Bronchoesophagological Association ditemukan dari anamesis pasien

yang dicurigai mengalami LPR mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing

(98%), batuk-batuk kronik (97%) dan globus pharingeus (95%).1,11


Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam menentukan diagnosis

LPR, yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS). Penilaian

skor RSI dikembangkan oleh Belafsky et al pada tahun 2002, sistem RSI ini

didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada pasien, setiap pertanyaan

memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0 menampilkan tidak ada masalah

sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total dari RSI adalah 45

dan dikatakan sugestif LPR apabila skor RSI >13. 1,10

Tabel 3. Reflux Score Index10


48

Skor penilaian :

0 : tidak ada keluhan

1 : ringan, keluhan biasa diabaikan 1x dalam 1 bulan

2 : sedang, keluhan tidak dapat diabaikan , 1 x dalam 1 minggu

3 : berat, keluhan mempengaruhi gaya hidup, beberapa kali dalam 1 minggu

4 : sangat berat, keluhan sangat mempengaruhi gaya hidup, setiap hari

5 : keluhan yang sangat berat dan menetap sepanjang hari

Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang

berhubungan dengan gejala LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan

jumlah total skor 26. Apabila skor yang ditemukan lebih dari 7 maka sugestif

untuk terjadinya LPR.11

Tabel 4. Reflux Finding Score10


49

(A) posterior pharyngeal wall


cobblestoning,

(B) interarytenoid bar with erythema,

(C) posterior commissure with erythema


and surface irregularity,

(D) posterior cricoid wall edema,

(E) arytenoid complex with apex edema,


erythema, and medial wall erythema,

(F) true vocal folds with edema,

(G) false vocal folds erythema,

(H) anterior commissure erythema,

(I) epiglottis erythema, and

(J) aryepiglottic fold edema.

Gambar 11. Gambaran Laryngopharyngeal Refluks10


2.2.3.5 Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada setiap kasus

yang dicurigai LPR, yaitu: 12

Laringoskopi

Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu

laringoskopi indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel

(flexible fibreobtic laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan ditemukan

hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica vokalis dan

kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menilai

Reflux Finding Score. Adanya edema dan eritema pada plika vokalis, walaupun

bukan tanda patogmonis namun sudah dapat menguatkan adanya tanda


50

peradangan pada laring. Temuan lain yang sering adalah granuloma, sekitar 65-

75% pasien yang terkonfirmasi LPR dengan monitoring pH akan tampak

granuloma pada pemeriksaan laringoskopi. Gambaran pseudokulkus juga

merupakan salah satu temuan fisik lain yang sering, sekitar 90% pasien yang

terkonfirmasi LPR memperlihatkan gambaran pseudokulkus. Lihat Gambar 24.

Gambaran granuloma dan pseudoculcus (tanda panah) pada pemeriksaan

laringoskopi. 1

Gambar 12. Gambaran granuloma dan pseudoculcus (tanda panah) pada

pemeriksaan laringoskopi. 12

Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun

pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa pada

esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi. 1

24-hour pH Monitoring
51

Pemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged Ambulatory pH Monitoring

berfungsi untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun LPR.

Pemeriksaan ini biasanya dilakukan apabila pengobatan tidak memberikan respon

yang baik dan gejala yang ditampilkan cukup berat. Pemeriksaan ini merupakan

gold standard untuk LPR karena dapat membedakan refluks asam yang terjadi

pada sfingter esofagus atas ataupun bawah. 13

Pemeriksaan ini menggunakan dua elektroda yang dapat memantau

perubahan pH, elektroda pertama di pasang 5 cm di bawah sfingter esofagus

bawah dan elektroda kedua di letakkan pada laringofaring (hipofaring). Elektroda

tersebut tersambung pada komputer yang akan merekam setiap perubahan dari

pH, setelah pemeriksaan selama 24 jam, hasil data tersebut akan di analisa. 13,14

Pemeriksaan Videostroboskopi

Pemeriksaan videostroboskopi merupakan pemeriksaan dengan menggunakan

endoskop sumber cahaya xenon yang di aktivasi oleh pergerakan pita suara,

gambaran ini dapat dilihat dalam bentuk lambat. Pada hampir seluruh pasien yang

mengeluhkan masalah pada suaranya saat diperiksa dengan pemeriksaan

videostroboskopi ditemukan adanya tanda-tanda dari gejala LPR. Selain dalam

kriteria diagnostik, pemeriksaan ini juga dapat memantau perkembangan penyakit

LPR yang sedang dala pengobatan, fungsinya untuk menilai apakah terapi yang

diberikan antireflux yang diberikan berhasil atau tidak. 15


52

Gambar 13. Gambaran edema eritonoid pada pemeriksaan videostoboskopik. 12

Gambar 14. Hipertrofi dan leukoplakia pada plika vokalis pada pemeriksaan

videostroboskopik12

2.2.3.6 Tatalaksana

Pilihan pengobatan untuk LPR dapat dibagi menjadi tiga modalitas utama:

modifikasi gaya hidup, farmakologi, dan bedah. Modifikasi gaya hidup yang

mirip dengan perubahan gaya hidup yang disarankan untuk orang yang

mengalami GERD. Pasien diinstruksikan untuk menghindari asupan oral 2-3 jam

sebelum berbaring terlentang dan meninggikan kepala tempat tidur. Elevasi harus

dilakukan dengan memposisikan tempat tidur bukan dengan menambahkan

bantal. Selain itu, pasien dianjurkan untuk tidur di sisi kiri sesuai dengan arah
53

krura diafragma, agar tidak menyebabkan kekakuan alami persimpangan

gastroesophageal ketika seseorang berada dalam posisi dekubitus lateral kiri.

Menurunkan berat badan biasanya membantu mengurangi gejala LPR dan GERD.

Pasien dianjurkan untuk menghindari alkohol, kafein, minuman berkarbonasi,

cokelat, tembakau, dan makanan yang digoreng, pedas, atau mengandung jeruk

sebagai faktor-faktor ini telah dicatat memperparah refluks.16

Apabila gagal mengatasi LPR dengan modifikasi perilaku, dapat diberikan

antasida atau antagonis reseptor histamin 2 (H2B) yaitu ranitidin telah terbukti

lebih poten untuk menghambat sekresi gaster dibanding simetidin untuk LPR

dengan gejala ringan. Natrium alginat membentuk barier fisik pada bagian atas

lambung untuk mencegah regurgitasi isi lambung ke esofagus dapat diberikan

sebagai ajuvan dan telah terbukti secara signifikan mengurangi jumlah episode

refluks dan pH esofagus kurang dari 4,0. Natrium alginat dapat digunakan sebagai

terapi tambahan untuk semua gejala LPR atau sebagai terapi tunggal pada LPR

dengan gejala ringan. Proton Pump Inhibitor atau penghambat pompa proton (PPI

(omeperazole, esomeprazole, rabeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole))

merupakan terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus

refluks terutama pada LPR dengan gejala berat. Cara kerja PPI dengan

menurunkan kadar ion hidrogen cairan refluks tetapi tidak dapat menurunkan

jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan refluks asam lambung sampai

lebih dari 80%. Akan tetapi efektifitas obat PPI terhadap LPR tidak seoptimal

efektifitasnya pada kasus GERD. Akan tetapi pengobatan PPI ternyata cukup

efektif dengan catatan harus menggunakan dosis yang lebih tinggi dan pengobatan

lebih lama dibandingkan GERD. Rekomendasi dosis dengan dosis PPI 2 kali

sehari rentang waktu 3 sampai 6 bulan untuk LPR dengan gejala berat. PPI baik
54

diminum 30-60 menit sebelum makan. Follow up terapi dilakukan 3 bulan setelah

pemberian PPI dosis 2 kali sehari. Dari hasil studi didapatkan bahwa

berkurangnya gejala LPR dialami pasien setelah pemberian PPI dosis 2 kali

sehari, namun inflamasi laring baru akan terjadi resolusi pada bulan ke-6

pengobatan. Sehingga setelah pemberian terapi selama 3 bulan, pasien harus

difollow up, apabila terjadi penurunan gejala, dosis PPI dapat diturunkan menjadi

1 kali sehari. Apabila hasil follow up 3 bulan tidak adanya perbaikan pada gejala

pasien, dapat dilakukan pH monitoring (terapi pada pasien dihentikan selama 1

minggu terlebih dahulu), jika hasil yang didaptkan abnormal maka pasien

dikatakan resisten PPI, sedangkan bila hasilnya normal maka yang menyebabkan

gejala pasien tidak membaik harus dicari.16,17

Terapi pembedahan dilakukan dengan memperbaiki barier pada daerah

pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat menccegah refluks seluruh isi

gaster kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus

menerus minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk

menekan asam lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah

funduplikasi laparoskopi yang kurang invasif. Namun semua tindakan

pembedahan memiliki risikonya sehingga tindakan pembedahan bukan merupakan

pilihan utama dalam menangani LPR.berikut algoritma penatalaksanaan LPR. 17


55

Gambar 15. Alur Penatalaksanaan LPR14

Edukasi pasien dan Perubahan pola hidup

Pemeriksa harus menasehati pasien mengenai hal-hal yang dapat

meningkatkan aliran refluks asam lambung. Pasien sebaiknya mengurangi atau

hentikan merokok, kurangi berat badan, tidak makan 2-3 jam sebelum tidur, tidak

memakai pakaian yang ketat atau ikat pinggang yang terlalu ketat serta

meninggikan kepala tempat tidur. Pasien juga harus diingatkan untuk

memodifikasi dietnya, seperti tidak memakan makanan yang dapat mengiritasi


56

lambung dan esofagus seperti kopi, minuman berkarbonasi, coklat, jus citrus,

alkohol, tomat ataupun makanan berlemak.

Terapi Medikamentosa

Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau

Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan obat-obat

proteksi sel atau cytoprotective. Pengobatan dengan PPI dipertimbangkan sebagai

pengobatan utama dalam terapi medikamentosa ini. PPI yang biasanya diberikan

adalah Omeprazole dengan dosis 20mg perhari (terapi rumatan). Obat lain yang

dapat dipilih seperti Lanzoprazole dengan dosis 30mg per hari. Pengobatan PPI

ini diberikan selama 6 bulan sebelum di follow up kembali apakah pengobatan

berhasil atau tidak.

Obat lain yang sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan golongan

antagonis reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari. Obat

proteksi yang sering diberikan adalah antasid sedangkan obat prokinetik yang

sering dipakai adalah metoclopramid dengan dosis 5-10 mg dan diminum 4 kali

dalam sehari. Obat proteksi dapat menetralisasi refluks asam serta mengurangi

kerusakan dari mukosa serta mencegah aktivitas pepsin.

Terapi Bedah

Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi

mengobati LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa operasi

bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau Toupet atau Bore

(parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk memperbaiki kompetensi dari

sfingter esofagus bawah (SEB). Laparoscopic Nissen Fundoplication adalah

terapi bedah standar yang aman dan efektif dalam pengobatan LPR.
57

2.2.3.7 Komplikasi

Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada saluran

pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis, ulkus

dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba eustachius

yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada orang

dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan

mengakibatkan karsinoma esofagus. 17

2.2.3.8 Prognosis

Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan

terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari salah

satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan laryngitis

posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol.

Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat, sedangkan

prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari

selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.17

BAB III
58

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Selasa/ 20 Agustus 2019

SMF PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama: Ng Chor YaoTanda tangan


Nim: 11.2018.110

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Riza Rizaldi, Sp.THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. I Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 21 tahun Agama : Kristen
Pekerjaan : Mahasiswa Pendidikan :S1
Alamat : Jl. Arjuna, Jakarta Barat Status menikah :Belum menikah

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis
Tanggal : 15 Agustus 2019, Kamis Jam : 11.30 WIB
Keluhan Utama :
 Tenggorokan kering dan suara serak

Keluhan Tambahan :
59

 Tenggorok terasa kering dan kadang-kadang gatal sejak 2 minggu yang

lalu
 Sering radang dan sakit tenggorokan
 Sering demam
 Hidung setiap pagi berair disertai bersin dan sering mengalami pilek

berulang
Riwayat Perjalanan Penyakit (RPS)
Pasien datang dengan keluhan suara serak sejak 2 tahun yang lalu, Pasien

merasakan suara serak dirasakan sepanjang hari namun bertambah parah apabila

tenggorokannya kering. Pasien menyangkal bahwa suara seraknya bermula dari

waktu kecil. Pasien juga kadang-kadang merasa ada sesuatu yang mengganjal dan

nyeri di tenggorokan tetapi pasien mengatakan tidak menemukan benjolan di

daerah leher dan kepala. Pasien mengatakan keluhan suara seraknya bermula dari

nyeri tenggorokan. Kemudian pasien juga batuk berdahak setiap pagi hingga siang

dan berkurang pada malam hari, dahak berwarna bening namun susah

dikeluarkan, dan beberapa hari kemudiannya menjadi serak. Pasien juga mengeluh

sering demam. Pasien mengatakan bahwa dia belum pernah mengalami

kecelakaan atau cedera di daerah leher dan kepala. Namun pasien mengatakan

tidak ada keluhan kesulitan menelan makanan dan nafsu makan tetap baik.
Selain itu, Pasien mengeluh hidungnya sering mengeluarkan cairan selepas

bersin setiap pagi sejak dari kecil lagi. Bersinnya bertambah parah apabila pasien

terkena paparan debu atau di ruangan yang dingin. Pasien mengatakan bahwa dia

lebih nyaman apabila bernapas lewat mulut daripada hidung. Hidung pasien

sering mampet pada pagi hari. Cairan yang keluar dari hidung berwarna bening

dan encer. Kadang-kadang pasien juga merasa gatal pada mata dan hidung. Gejala

hidung suka keluar cairan ini timbul secara terus terusan pada pagi hari dan mulai
60

membaik pada siang hari. Pasien mengatakan bahwa pasien tetap bisa melakukan

kegiatan sehari hari tanpa ada merasa terganggu. Riwayat pilek berulang juga

dimiliki pasien. Di dalam keluarganya ada ayah dan sodara pasien yang memiliki

keluhan hidung berair serta pilek berulang seperti pasien. Sebelumnya pasien juga

tidak memiliki riwayat infeksi ataupun trauma pada daerah hidungnya.Pasien

menyangkal adanya mulut berbau tidak enak. Bau tidak enak dari hidung juga

disangkal oleh pasien. Tidak ada lendir yang mengalir di tenggorokan.

Pasien juga mengeluh pada saat sendawa ataupun berbaring setelah makan

terasa seperti makanan naik ke tenggorokan atau rasa tidak enak di tenggorokan

seperti ingin batuk. Pasien juga mengeluh bahwa suaranya bertambah serak

sesudah bangun dari tidur. Terkadang saat berbaring setelah makan terasa seperti

sesak atau begah. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 2 bulan ini dan hilang timbul.

Pasien juga mengatakan suka mengkonsumsi makanan pedas, makanan

mengandung santan dan meminum es. Pasien menyatakan bahwa keluhan ini baru

timbul sejak 2 tahun yang lalu.


Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Pasien mengakui mempunyai riwayat maag. Riwayat sinusitis disangkal.

Riwayat asma disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK

I. TELINGA

Hasil Pemeriksaan Dextra Sinistra


61

Bentuk Daun Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),

Telinga anotia (-), atresia (-), anotia (-), atresia (-),

fistula (-), bat’s ear (-), fistula (-), bat’s ear (-),

lop’s ear (-), cryptotia (-), lop’s ear (-), cryptotia (-),

satyr ear (-), caulifolower satyr ear (-), caulifolower

ear (-) ear (-)

Kelainan kongenital Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),

atresia (-), atresia (-), atresia (-), atresia (-),

fistula (-), kelainan bentuk fistula (-), kelainan bentuk

(-), bat’s ear (-), anotia (-), (-), bat’s ear (-), anotia (-),

stenosis canalis (-), stenosis canalis (-),

agenesis canalis (-), lop’s agenesis canalis (-), lop’s

ear (-), cyptotia (-), satyr ear (-), cyptotia (-), satyr

ear (-) ear (-)

Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), Nyeri (-), massa (-),

hiperemis (-), edema (-) hiperemis (-), edema (-)

Nyeri Tekan Tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Penarikan Daun Nyeri tarik aurikula(-) Nyeri tarik aurikula(-)

Telinga

Kelainan Pre-, Infra- Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),

& Retroaurikula fistula retro-aurikula (-), fistula retro-aurikula (-),

hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-),

abses (-), sikatriks (-), abses (-), sikatriks (-),

massa (-), hiperemis (-), massa (-), hiperemis (-),


62

nyeri (-), edema (-) nyeri (-), edema (-)

Regio Mastoid Hiperemis (-), massa (-), Hiperemis (-), massa (-),

nyeri (-), edema (-), abses nyeri (-), edema (-), abses

(-), fistula (-) (-), fistula (-)

Liang Telinga Lapang, Furunkel (-), Lapang, Furunkel (-),

Jaringan granulasi (-), Jaringan granulasi (-),

Serumen (+),Edem (-) Serumen (+),Edem (-)

Sekret (-), Darah (-), Sekret (-), Darah (-),

Hiperemis (-), Laserasi (-), Hiperemis (-), Laserasi (-),

Kolesteatom (-) Kolesteatom (-)

Membran Timpani Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

karena tertutup serumen karena tertutup serumen

 TES PENALA

Hasil Pemeriksaan Dextra Sinistra

Rinne Positif Positif

Weber Tidak ada lateralisasi

Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa


63

Penala yang dipakai 512 Hz

∴ Kesan : Tidak ada kelainan tuli sensonineural dan konduktif pada tes

penala dengan frekuensi 512 Hz pada kedua telinga.

II. HIDUNG

Hasil Pemeriksaan Dextra Sinistra

Bentuk Saddle nose (-), hump nose Saddle nose (-), hump nose

(-), agenesis (-), bifida (-), (-), agenesis (-), bifida (-),

deformitas (-), krepitasi (-) deformitas (-), krepitasi (-)

Tanda Peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), Hiperemis (-), nyeri (-),

massa (-), udem (-) massa (-), udem (-)

Daerah Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketuk Nyeri tekan (-), nyeri ketuk

Frontalis Dan (-), krepitasi (-) (-), krepitasi (-)

Maksilaris

Vestibulum Tampak bulu hidung, Tampak bulu hidung,

laserasi (-), sekret (-), laserasi (-), sekret (-),

furunkel (-), krusta (-), furunkel (-), krusta (-),

hiperemis (-), nyeri (-), hiperemis (-), nyeri (-),

massa (-), atresia nares massa (-),atresia nares

anterior (-) anterior (-)

Kavum Nasi Lapang, Sekret (+) warna Lapang, Sekret (+) warna

bening (+) , massa (-), bening (+), massa (-),

krusta (-), benda asing (-), krusta (-), benda asing (-),

edema (-), pendarahan aktif edema (-), pendarahan aktif

(-), clotting (-) (-), clotting (-)


64

Konka Nasi Inferior Hipertrofi (-), atropi (-), Hipertrofi (-), atropi (-),

hiperemis (-), livide (+), hiperemis (-), livide (+),

edema (+) edema (+)

Meatus Nasi Inferior Sekret (-), massa (-) Sekret (-), massa (-)

Konka Nasi Medius Edema (-), atropi (-), Edema (-), atropi (-),

hipertrofi (-), hiperemis (-), hipertrofi (-), hiperemis (-),

livide (-), konka bulosa (-) livide (-), konka bulosa (-)
Meatus Nasi Medius Sekret (-), massa (-), Sekret (-), massa (-), sempit

sempit (-) (-)


Septum Nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-),

hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),

perforasi (-), crista (-) perforasi (-), crista (-)

 RHINOPHARYNX

Koana : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif


Septum nasi posterior : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
Muara tuba eustachius : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif

Torus tubarius : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif


Post nasal drip : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
 PEMERIKSAAN TRANSLUMINASI
Sinus Frontalis Kanan : Positif
Sinus Frontalis Kiri : Positif
Sinus Maksilaris Kanan : Positif
Sinus Maksilaris Kiri : Positif
III. TENGGOROK
65

 PHARYNX

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan

Dinding pharynx Hiperemis (-), granula (+), edema (-), ulkus (-),

perdarahan aktif (-), clotting (-), post nasal drip (-),

massa (-), krusta (-), corpus alienum (-), vulnus

laceratum (-), vulnus punctum (-)

Arcus Pergerakan simetris (+), hiperemis (-/-), edema (-), ulkus

(-), laserasi (-)

Tonsil T1-T1, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-), detritus (-),

pseudomembran (-), kriptus (-)

Uvula Terletak di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-),

memanjang (-), edema (-)

Gigi Caries dentis (-), gigi berlubang (-)

Lain-lain Mukosa mulut : permukaan licin, hiperemis (-), massa

(-)

Gingiva : hiperemis (-), ulkus (-), laserasi (-)

 LARYNX

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan

Epiglotis Hiperemis (-), edema (-), ulkus (-), massa (-), omega

shape (-), kista (-)

Plica aryepiglotis Hiperemis (- ), massa (-), ulkus (-), edema (-)

Arytenoids Hiperemis (-), massa (-), ulkus (-), jaringan granulasi

(-), tuberkuloma (-), hemangioma (-)

Ventricular band Pergerakan simetris, edema (-), hiperemis (-), massa (-)
66

Pita suara Pergerakan simetris , nodul (-), edem (-), hiperemis (-),

ulkus (-), polip (-), kista (-), massa (-), papilloma (-),

leukoplakia (-), paralisis (-), parase (-)

Rima glotidis Terbuka, simetris, lapang, benda asing (-)

Cincin trakea Massa (-), benda asing (-), stenosis (-), edema (-)

Sinus piriformis Benda asing (-), standing secretion (-), corpus alienum

(-)

Kelenjar limfe Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening pada


submandibular dan
inspeksi dan palpasi.
servikalis

Skor RSI : 21

Suara serak/ problem suara 4

Sering mendehem 3

Lendir di tenggorok (PND) 3

Kesukaran menelan 0

Batuk setelah makan atau berbaring 2

Kesukaran bernafas 1

Batuk yang mengganggu 2

Rasa mengganjal di tenggorok 2

Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 4


pencernaan, regurgitasi asam

RESUME
67

Seorang wanita berusia 21 tahun datang ke poli THT RSUD Tarakan dengan

keluhan tenggorokan terasa mengganjal dan nyeri terkadang disertai rasa kering

dan mengeluarkan secret bening, selain itu hidung berasa gatal dan berair sejak 2

minggu SMRS. Pasien mengatakan mempunyai riwayat alergi terhadap udara

dingin dan debu. Cairan yang keluar dari hidung berwarna bening dan encer.

Pasien mengeluh sering bersin pada waktu pagi. Gejala hidung suka keluar cairan

ini timbul secara terus terusan pada pagi hari dan mulai membaik pada siang hari.

Pasien juga mengeluh sering sendawa dan mempunyai rasa tidak enak di

tenggorokan seperti ingin batuk apabila berbaring. Pasien juga mengeluh bahwa

suaranya bertambah serak sesudah bangun dari tidur. Terkadang saat berbaring

setelah makan terasa seperti sesak atau begah.

Dari hasil pemeriksaan otoskop telinga ditemukan serumen di telinga kiri

dan kanan sehingga liang telinga dan membran timpani tidak dapat dinilai.. Tes

garpu penala; Tidak ditemukan kelainan tuli sensonineural dan konduktif

pada tes penala dengan frekuensi 512 Hz pada kedua telinga.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tidak ditemukan sekret serous pada

kedua kavum nasi kiri dan kanan. Pada pemeriksaan faring dinding posterior tidak

rata dan tampak granul. Dinding posterior faring tampak eritem. Pada

pemeriksaan laring tidak ditemukan kelaianan.

Berdasarkan pemeriksaan dengan menggunakan reflux score index (RSI),

didapatkan bahwa skor RSI = 21. Skor RSI > 13 menunjukkan susgeti

laringopharingeal refluks.

DIAGNOSIS KERJA

1. Faringitis Kronik Hiperplastik


68

Dasar yang mendukung:

Anamnesis

 Tenggorokan sering kering dan gatal.

Pemeriksaan Fisik :

 Pemeriksaan faring dinding posterior tidak rata dan tampak

granul, serta eritema.


2. Rinitis Alergi Persisten ringan
Dasar yang mendukung:
 Hidung sering gatal dan sering keluar cairan bening dan encer

dari hidung
 Riwayat bersin jika terkena debu dan udara dingin dan bersin

hampr tiap hari


 Riwayat hidung sering terumbat pada waktu pagi
 Gejala tersebut tidak menggangu kegitan harian pasien
Pemeriksaan Fisik :
 Pada rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior

tampak basah, livide dan edem. Dikavum nasi terliat cairan

yang encer dan bening


3. Laringopharingeal refluks.
Dasar yang mendukung:
 Suara serak/ problem suara
 Sering mendehem
 Lendir di tenggorok (PND)
69

 Batuk setelah makan atau berbaring


 Kesukaran menelan
 Kesukaran bernafas
 Rasa mengganjal di tenggorok
 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan, regurgitasi
asam
 Skor RSI =21

DIAGNOSIS BANDING

Rinitis Vasomotor

Dasar yang mendukung :

 Bersin – bersin jika terkena debu dan dingin


 Hidung mampet

Dasar yang tidak mendukung :

 Hidung mampet yang bergantian dan tidak tergantung posisi pasien


 Rinore tidak mukoid

RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN

 Pemeriksaan darah lengkap


 Reflux Finding Score
 Skin Prick test

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

a) Faringitis kronik hiperplastik


70

 Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat

kimia larutan nitras argenti.


 Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap.
 Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau

ekspektoran.
 Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati.
b) Rinitis Alergi Persisten Ringan
 Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai

sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Loratadine tablet

10 mg, 1 kali sehari.

 Dekongestan
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah

pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15

mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg

untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam.


c) Laringopharingeal refluks
 PPI: Lanzoprazole 2 x 30 mg
 Prokinetik: Metoklopramid 4 x 5mg
Edukasi :
71

 Hindari makanan yang dapat mengiritasi lambung dan esophagus seperti

kopi ,minuman berkarbonasi , coklat , jus alpukat / jeruk , alcohol, tomat

ataupun makanan berlemak ,

 Tidak menggunakan pakaian atau korset yang terlalu ketat

 Ketika mahu tidur berhenti makan 3-4 jam sebelumnya

PROGNOSIS

1. Faringitis kronik hiperplastik

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
2. Rinitis Alergi Persisten Ringan
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
3. Laryngopharingeal refluks

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
72

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasar temuan dari kasus dan sesuai teori dari tinjauan pustaka, maka

dapat ditegakkan diagnosa adalah faringitis kronik hyperplasia, Rinitis Alergi

Persisten Ringan, Laryngopharingeal refluks. Diagnosa tersebut didukung dengan

adanya keluhan tenggorokan terasa mengganjal dan nyeri. Pasien mengatakan

keluhan yang sering kambuh apabila terpapar debu ataupun sewaktu cuaca dingin.

Pada pemeriksaan faring dinding posterior tidak rata dan tampak granul serta

tidak hiperemis.

Selain itu pasien sering bersin jika terkena debu dan udara dingin,

mengalami pilek saat pagi hari dengan secret yang bening dan cair disertai gatal.

Pada pemeriksaan fisik rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior

tampak livide dan edem. Di kavum nasi terliat secret being dan encer

Selain itu, Dinding posterior faring tidak tampak hiperemis dan terdapat

granula. Hasil skor Berdasarkan pemeriksaan dengan menggunakan reflux score

index (RSI), didapatkan bahwa skor RSI = 21. Skor RSI > 13 menunjukkan
73

susgeti laringopharingeal refluks. Hal ini didukung dengan hasil anamnesis yaitu

pasien sering makan makanan pedas, makanan mengandung santan dan meminum

es. disertai riwayat maag. Ketiga hal itu merupakan faktor predisposisi dari

penyakit LPR.

BAB V

PENUTUP

Faringitis kronis adalah kondisi inflamasi dalam waktu yang lama

pada mukosa faring dan jaringan sekitarnya. Faringitis kronis terbagi menjadi

faringitis kronis hiperplastik (granular) dan faringitis kronis atropi atau kataralis.

Faringitis kronis bisa disebabkan karena induksi yang berulang-ulang faringitis

akut atau karena iritasi faring akibat merokok berlebihan dan penyalahgunaan

alkohol, sering konsumsi minuman ataupun makanan yang panas, dan batuk

kronis karena alergi. Faringitis kronis akibat gangguan pencernaan pada lambung

juga mungkin terjadi.

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus

yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung

sari yang ada di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat,

bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata,

yaitu: berair, kemerahan dan gatal. RA merupakan penyakit umum dan sering

dijumpai
74

Laringopharingeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks

asam lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian

yang berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6.

Penerbit buku kedokteran EGC. 1997; H. 173-260.


2. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi

ke-7. Badan penerbit FKUI. 2012.


3. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
4. Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam

Saluran Pencernaan. Dalam : Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran edisi 11. EGC. Jakarta. 2007. Hal. 821-831

5. Nina I, Elise K, Nikmah R. Rinitis alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.h.106-12.


6. Adams G. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC

1997.h. 210-11.
75

7. Rao JJ, Kumar CV, Babu KR, Chowdary VS, Singh J, Rangamani SV.

Classification of nasal septal deviation-relation to sinonasal pathology.

Indian J otolaryngol head neck surg. 2005: 57 (3). Pg 199-201.


8. Yunizaf M, Iskandar M. Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan

Manifestasi Otolaringologi. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin

J, Restuti R, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia: 2007:303-09


9. Mitrovic SM. Terminology, Diagnostic and Therapy of Laringopharingeal

Reflux: 71(6): 608-10.


10. Mattoo O, Muzaffar R, Mir A, Yousuf A, Charag A, Ahmad A.

Laryngipharyngeal Reflux: Prospective Study Analyzing Various

Nonsurgical Treatment Modalities for LPR. Interntional Journal of

Phonosurgery and Laryngology. 2012: 2 (1): 5-7


11. Zulka E. Laryngopharyngeal Reflux. Simposium & Demo Sulit Telan

(Dysphagia). Semarang. 2008.


12. NCBI. Comparison between the Reflux Finding Score and the Reflux

Symptom Index in the Practice of Otorhinolaryngology. Dipost 12

Februari 2016.
Diakses : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4942286/. 9

Agustus 2018.
13. Martinucci I, de Bortoli N, Savarino E, Nacci A, Romeo SO, Bellini M, et

al. Optimal treatment of laryngopharyngeal reflux disease. Ther Adv

Chronic Dis [Internet]. 2013;4(6):287–301.


14. Singhealth. Reflux laringofaringeal. Dipost 9 November 2014
76

Diakses : https://www.singhealth.com.sg/PatientCare/Overseas-

Referral/bh/Conditions/Pages/Laryngopharyngeal-Reflux.aspx. 9 Agustus

2018.
15. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol.

Head Neck Surg 1993.h.146–7.


16. Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4. New Delhi:

Gopson Paper Ltd; 2007. Hal: 145-8


17. Belafsky, Peter C. Rees, Catherine J. Identifying and Managing

Laryngopharyngeal Reflux, Department of Otolaryngology/Head and

Neck Surgery. University of California at Davis Medical Center. 2007.

Anda mungkin juga menyukai