POLTEKKES KEMENKES
PALEMBANG
( Hotel Beston : Jl. Jenderal Sudirman No. 57, Ilir
Timur I, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia)
Susunan Panitia
PELINDUNG : Direktur Poltekkes Kemenkes Palembang
(Lukman, S.Kep,Ners,MM,M.Kep)
Palembang
Yuliani, S.KM
Budiono
BENDAHARA : Sintya
SEKSI-SEKSI :
1. Seksi Acara
Koordinator : Oktarisa
Anggota :
1) Aulia Rizki Utami 4) Nopa Aprilia Yosi Yuni
2) Rangti Annisa Harartasyahrani 5) Siti Khotimah
3) Ananda Noviyanti 6) Delia Zahara
2. Seksi Kesekretariatan
Koordinator : Bella Mayasari
Anggota :
1) Fadilah Dwi Wardani 4) Septiyani Putri Endira
2) Puput Oktarina 5) Wulan Suci Rahmadini
3) Sabilla Gustiharda
3. Seksi Keuangan
Koordinator : Deva Puza Anggraini
Anggota :
1) Yoriza Afriola
2) Alysha Titania Shalshabila
4. Seksi Konsumsi
Koordinator : Elfa Sakinah
Anggota :
1) Mealdry Dwie Almira 3) Siska Oktari
2) Ellen Angelina 4) Refi Hardianti
5. Seksi Hubungan Masyarakat
Koordinator : Picky Pernanda
Anggota :
1) Adhella Vianka Yudhistiarani 6) Galang Rizka Prasetya
2) Oka Selviana 7) Anayani Dalilah
3) Monica 8) Putri Wulandari
4) Prety Marsyanda Putri 9) Retno Ayu Winanti
5) Widyan Muchzadi Akbar 10) Hanifah Dzakirah
6. Seksi Publikasi dan Dokumentasi
Koordinator : Tiara Mayang Pratiwi
Anggota :
1) Fatima Roihana 3) Kurniati Munzilah
2) Aziz Muhammad Rifqy Irawan 4) Khoiriah Syifa Adilah
7. Seksi Perlengkapan
Koordinator : Fira Doramia
Anggota :
1) Gabby Gita Sawitry 7) Rahma Rofiana
2) Feli Sabila 8) Vrisillia Mawarni Ramadina
3) Suci Indah Lestari 9) Putri Jasmine El Nino
4) M. Aldino Putra 10) Haikal Ahmad Mujahidin
5) Sulistio 11) Niti Rahayu
6) Titis Nadhira Pandan Arum
SUSUNAN ACARA
WAKTU ACARA
12.30-13.00 WIB Registrasi
13.00-13.05 WIB Pembukaan
13.05-13.15 WIB Peserta 1
13.15-13.25 WIB Peserta 2
13.25-13.35 WIB Peserta 3
13.35-13.45 WIB Peserta 4
13.45-13.55 WIB Peserta 5
14.05-14.15 WIB Peserta 6
14.15-14.25 WIB Peserta 7
14.25-14.35 WIB Peserta 8
14.35-14.45 WIB Peserta 9
14.45-14.55 WIB Peserta 10
14.55-15.00 WIB Penutup
1. RUANG PENDAFTARAN
2. PEMBUKAAN
3. RUANG SEMINAR
4. RUANG LOMBA
FOTO NARA SUMBER KETIKA PRESENTASI
Daftar ISI
PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING
1. 1
TAHUN 2019
1)
Dinas kesehatan Rejang lebong
2)
Poltekkes Kemenkes Bengkulu, email; chandrabagus71@yahoo.com
3)
Poltekkes Kemenkes Bengkulu, email; roestamadjierohmat@gmail.com
ABSTRACT
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat suku Lembak yang berada pada wilayah kerja PKM Kota
Padang dalam melakukan pemeriksaan kehamilan dan persalinanya masih
melakukan pemeriksaan pada dukun beranak yang disebut dengan budaya
betatap.Di wilayah PKM Kota Padang masih terdapat 20 orang dukun
beranak yang tersebar dalam 10 desa di wilayah PKM Kota Padang.Selama
masa kehamilan ibu hamil melakukan pemeriksaan kepada dukun beranak
setiap bulan atau tiga pagi berturut-turut sesuai dengan kondisi kesehatan ibu
hamil. Angka persalinan oleh tenaga kesehatan di PKM Kota Padang pada
tahun 2016 adalah 189 dari jumlah sasaran sebesar 225, yang berarti masih
terdapat sekitar 35 orang ibu melahirkan ke dukun. Selanjutnya dari 10
persalinan hanya 3-4 orang yang murni ditangani oleh tenaga kesehatan,
sisanya lahir di dukun terlebih dahulu dan dibawa ke tenaga kesehatan bila
tidak dapat dilahirkan oleh dukun.Dari data yang ditolong oleh non nakes 9
orang perdarahan post partum.
Hasil penelitian Chandra B (2018) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara keyakinan dan pengetahuan responden tentang tanda bahaya
kehamilan dengan rencana pemilihan penolong persalinan pada suku
Lembak.Selanjutnya pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan bagi ibu
sangatlah penting untuk mengarahkan rencana pertolongan persalinan
kepada tenaga kesehatan, sehingga tanda bahaya yang dialami dapat
dideteksi guna mencegah terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pre-experiment dengan one group pretest
– post test untuk menganalisis efektifitas pemberian promosi kesehatan
dengan media poster dengan pengetahuan dan sikap ibu tentang tanda
bahaya kehamilan bagi masyarakat suku lembak di wilayah PKM Kota
Padang tahun 2019. Penelitian dilaksanakan bulan Juli sampai dengan
September tahun 2019 di wilayah kerja PKM Kota Padang Kecamatan Kota
Padang Kabupaten Rejang Lebong.
Tabel 4.1
KARAKTERISTIK RESPONDEN
N
Karakteristik Jumlah
o
N %
1 Umur
Mean 25 6.8
Median 26 6.8
Modus 28 11.0
Minimum 15 1.4
Maximum 40 1.4
2 Pendidikan
Tamat SLTA 57 79.2
Tidak Tamat SLTA 15 20.8
3 Kepemilikan Buku KIA
Ada 70 97.2
Tidak Ada 2 2.8
4 Riwayat Pemeriksaan Kehamilan
Ya 41 56.9
Tidak 31 43.1
Jumlah 72 100
Variabel Mean P
Pengetahuan
4. Pembahasan
4.1 Efektifitas Media Poster Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Ibu
Tentang Tanda Bahaya Kehamilan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperolehnilaiperbedaanrata - rata
pengetahuan sebelum dan setelah diberikan media poster adalah 0,555 dan
nilap P= 0,000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
media p o s t e r terhadap pengetahuan ibu sebelum dan sesudah diberikan
media poster. Dapat pula disebutkan bahwa secara statistic media poster
efektif dalam upaya peningkatan pengetahuan ibu tentang tanda bahay
kehamilan.
Berdasarkan hasil penelitian ini pula diperoleh bahwa nilai perbedaan
rata-rata sikap sebelum dam setelah diberikan media poster adalah 0,263
dan nilap P= 0,000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
media poster terhadap sikap ibu sebelum dan sesudah diberikan media
poster, sehingga pula disebutkan bahwa secara statistic media poster efektif
dalam upaya peningkatan sikap ibu tentang tanda bahaya kehamilan pada
suku Lembak di wilayah kerja PKM Kota Padang Kabupaten Rejang
Lebong.Pengetahuan ibu tentang tanda dan bahaya kehamilan sangatlah
penting untuk menjaga kesehatannya. Ibu hamil yang memiliki pengetahuan
lebih tentang resiko tinggi kehamilan maka kemungkinan besar ibu akan
berfikir untuk menentukan sikap dan berperilaku untuk mencegah,
menghindari atau mengatasi masalah resiko kehamilan tersebut dan ibu
memiliki kesadaran untuk melakukan kunjungan antenatal untuk
memeriksakan kehamilannya, sehingga apabila terjadi resiko pada masa
kehamilan tersebut dapat ditangani secara dini dan tepat oleh tenaga
kesehatan (Hasugian, 2012).
Kegiatan pemberian pendidikan kesehatan secara berkesinambungan
dengan variasi teknik dan media penting dan perlu dilakukan sejak dini pada
ibu hamil untuk meningkatkan pengetahuan tentang perawatan kesehatan
selama masa kehamilan. Salah satu cara pemberian pendidikan kesehatan
adalah dengan penyuluhan tentang tanda bahaya kehamilan dengan
menggunakan media poster, yang tujuan dari penyuluhan tersebut dapat
meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan
sehingga mereka dapat mengenali tanda bahaya tersebut sejak awal dan
mereka bisa segera mencari pertolongan kebidan, dokter, atau langsung ke
rumah sakit untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi.
Keefektifan penyuluhan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik
sasaran yang diberi penyuluhan, faktor media dan pemberi penyuluhan dan
proses dari penyuluhan itu sendiri (Fitriani, 2011). Metode dan media
merupakan aspek penting dalam pemberian penyuluhan kesehatan hal ini
sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007) penyampaian informasi
dipengaruhi oleh metode dan media yang digunakan yang mana metode dan
media penyampaian informasi dapat memberikan efek yang signifikan
terhadap peningkatan pengetahuan.Menurut Rogers (1974) dalam
Notoatmodjo (2012) apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku
didasari oleh pengetahuan, kesadaran.
Dalam penelitian ini, intervensi pendidikan kesehatan yang diberikan
dengan menggunakan media poster dan kalender .Menurut Notoatmodjo
(2010) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah
suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada
masyarakat, kelompok atau individu baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan menggunakan media tertentu, salah satunya adalah media
oster dan kalender.Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan pada
media tersebut, maka masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh
pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Proses pendidikan
kesehatan merupakan salah satu proses transfer informasi yang biasanya
dilakukan dalam waktu relatif singkat namun diharapkan mampu merubah
pengetahuan tentang masalah yang sedang dibahas (Setiawan, 2010).
Hasil penelitian yang memperkuat penelitian ini adalah hasil penelitian
yang dilakukan oleh Ripca (2014) tentang pengaruh promosi kesehatan
tentang tanda bahaya kehamilan dengan menggunakan media poster dan
leaflet terhadap pengetahuan ibu hamil di Puskesmas Amurang Kabupaten
Minahasa Selatan dengan jumlah responden sebanyak 35 responden
menunjukkan ada peningkatan pengetahuan ibu-ibu hamil di Puskesmas
Amurang dari cukup pada pre-test (74,3%) menjadi baik (80%) pada post-
test.
Hasilpenelitian Sandra (2015), diperoleh bahwa ada efektivitas promosi
kesehatan dengan media poster terhadap peningkatan pengetahuan
respondenya itu antara pengetahuan sebelum diberi promosi kesehatan
dengan media poster dibandingkan dengan pengetahuan sesudah diberi
promosi kesehatan dengan media poster diperoleh nilai p<0,001. Nilai rata-
rata sikap sebelum diberi promosi kesehatan dengan media poster
dibandingkan dengan nilairata-rata sikap sesudah diberi promosi
kesehatandengan media poster juga mengalami peningkatan sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada efektivitas promosi kesehatan dengan media poster
terhadap sikap remaja antara sikap sebelum diberikan promosi kesehatan
dengan media poster dibandingkan dengan sikap sesudah diberikan promosi
kesehatan dengan media poster diperoleh nilai p<0,001.
Sejalan dengan penelitian Siburian (2015) menunjukkan bahwa ada
perbedaan rerata nilai pengetahuan dan sikap responden sesudah
diberiperlakuan penyuluhan dengan media leaflet maupun dengan media
filmd alam meningkatkan pengetahuan dan sikap responden, dimana rerata
nilai pengetahuan dan sikap responden sesudah diberi perlakuan
penyuluhan dengan media film lebih besar nilainya dibandingkan dengan
rerata nilai pengetahuan dansikap responden sesudah diberi perlakuan
penyuluhan dengan medialeaflet.
Berdasarkan hasil penelitian peneliti berpendapat bahwa perbedaan nilai
pada pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan
dengan media poster efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu tentang
tanda bahaya kehamilan pada suku Lembak di wilayah kerja PKM Kota
Padang Kabupaten Rejang Lebong. Selain karena media poster yang telah
diberikan, hal ini juga dipengaruhi oleh penyuluhan kesehatan yang telah
didapat oleh ibu sebelumnya ini dikarenakan secara umum ibu-ibu sudah
mendapatkan informasi mengenai tanda-tanda bahaya kehamilan baik dari
petugas puskesmas dan posyandu, media elektronik, pengalaman
sebelumnya dan pengetahuan turun temurun namun perlu adanya
optimalisasi pengetahuan dari pihak kesehatan sehingga hasil yang
diharapkan juga dapat lebih memuaskan. Informasi yang diberikan kepada
ibu hamil berupa tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, hal ini membuat ibu
lebih paham dan dapat mengatisipasi sejak dini apabila ibu hamil mengalami
salah satu dari tanda bahaya kehamilan.
5. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode pre-eksperimen
dimana penngetahuan dan sikap yang diukur dalam penelitian ini masih ada
risiko masyarakat untuk bertemu dan berdiskusi tentang topik penelitian yang
dilaksanakan sehingga risiko bias penelitian selalu ada. Hal ini
mempengaruhi pada saat pengisian kuesioner terutama pada saat post tes.
6.2 Rekomendasi
1. Bagi Puskesmas Kota Padang dan Dinas Kesehatan Rejang Lebong ;
perlu kiranya diadakan program-program promosi kesehatan yang lebih
intensif terutama terkait dengan pencegahan komplikasi kehamilan dan
persalinan pada suku Lembak khususnya yang berada dalam wilayah PKM
Kota Padang.
2. Bagi tenagabidan ; dalam melaksanakan promosi kesehatan hendaknya
lebih diperhatikan aspek sosial budaya yang masih dianut oleh masyarakat
suku Lembak.
3. Mediaposter dapat digunakan dalam melakukan promosi kesehatan
tentang tanda bahaya kehamilan di wilayah kerja PKM Kota Padang.
4. Bagi pemerintahan setempat (Camat dan Kades) perlu melibatkan lebih
banyak lagi peranan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam kegiatan
sosialisasi program-program kesehatan yang ada di wilayah kecamatan
Kota Padang.
5. Bagi penelitiselanjutnya ; perlu mengadakan pengembangan lebih lanjut
promosi kesehatan dengan menggunakan media poster dalam upaya
meningkatkan pngetahuan masyarakat tentang tanda bahaya kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson OW, Krathwohl DR. (2006) A taxonomy for learning, teaching and
assessing: a revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New
York: Longman.
Scram, Shoji, K., Bock, J., Cieslak, R., Zukowska, K., Luszczynska, A., &
Benight, C. C. (2014).cultivating secondary traumatic growth among
healthcare workers: the role of social support and self efficacy. Journal of
clinical psychology, Vol. 70, no. 9, 831-846.
1
Farmasi, Program Studi S-1 Farmasi, STIFI Bhakti Pertiwi,
Palembang, Indonesia
1
Biologi Farmasi, STIFI Bhakti Pertiwi, Palembang, Indonesia
*
E-mail : arendowaty@gmail.com.
Abstrak
Telah dilakukan penelitia n pengaruh cara pengeringan terhadap
kandungan total fenol teh jati belanda (Guazuma ulmifolia Lam.)
dengan metode kolorimetri Follin-ciocalteu. Metode pengeringan
yang digunakan adalah kering angin pada suhu ruangan (28 oC),
pengeringan oven pada suhu 40 oC dan pengeringan cahaya
matahari tidak langsung. Daun jati belanda segar yang digunakan
untuk masing-masing pengeringan seberat 120 gram dikeringkan
dan diperoleh berat kering teh 12 gram. Kandungan total fenol teh
daun jati belanda di analisa dengan reagen Folin- ciocalteu.
Kandungan total fenol teh jati belanda dengan kering angin 4,1 mg
GAE/g, teh jati belanda kering oven 3,2 mg GAE/g dan teh jati
belanda kering matahari 2,2 mg GAE/g. Hasil penelitian
memperlihatkan kandungan total fenol yang lebih tinggi dengan
metode kering angin pada suhu ruangan. Dari penelitian ini
disimpulkan metode pengeringan mempengaruhi kandungan total
fenol teh daun jati belanda.
Abstract
PENDAHULUAN
Tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lam.) merupakan salah satu
tanaman obat tradisional yang telah diketahui digunakan untuk menurunkan
berat badan dan kolesterol (Batubara et al, 2017), antidislipidemia
(Permana et al, 2016), antihiperlipidemia (Ulfah dan Iskandar, 2020).
Kandungan metabolit sekunder daun jati belanda adalah alkaloid,
tannin, saponin, flavonoid, terpenoid, kardiak glikosida dan steroid.
Senyawa yang terkandung didalam daun adalah oktakosanol, taraxeroloac,
friedelin-3- aoac, alfa sitosterol dan friedelinol-3- acetate (Kumar dan
Gurunani, 2019).
Senyawa fenol merupakan senyawa yang memiliki cincin aromatik yang
mengandung satu atau lebih atom hidroksil (Djamal, 2008). Senyawa fenolik
memiliki kemampuan untuk meredam atau mereduksi radikal bebas.
Kandungan total fenol ekstrak etanol daun jati belanda 95,465 mg GAE/g
ekstrak dan aktivitas antioksidan dengan IC 50 162,29 μg/mL (Kusumowati et
al, 2012). Ekstrak etanol daun jati belanda memperlihatkan aktivitas
antioksidan EC50 119,85 μg/mL dengan kandungan total fenol 78,021 mg
GAE/g ekstrak dan kandungan total flavonoid 0,8055 mg QE/g ekstrak
(Morais et al, 2017).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan total fenol teh
daun jati belanda yang dikeringkan dengan pengeringan angin, oven dan
cahaya matahari. Pengeringan merupakan salah satu metode pengolahan
bahan alam dengan menurunkan kadar air sehingga simplisia akan
bertahan lama dalam penyimpanan.
Pengeringan akan mempengaruhi simplisia secara fisik dan senyawa
yang terkandung dalam bahan alam (Katno, 2008).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia Bahan alam dan
laboratorium Instrumen, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi
Palembang.
Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas berupa labu
ukur, pipet volume, tabung reaksi, gelas ukur, corong, beaker glass (pyrex),
corong buchner, spektrofotometer UV-VIS (Bel- photonics type M51),
kertas whatman no.42, oven listrik (DHG-9053A).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol p.a (Merck),
reagen Folin-ciocalteu (Merck), Asam galat (Sigma-aldrich), NaOH 1 %, air
suling.
Prosedur kerja
Preparasi sampel
Daun jati belanda diperoleh dari Desa Rantau Alai, Kabupaten Ogan
Ilir, Sumatera Selatan. Daun dipetik dengan gunting dan dipilih yang
berwarna hijau terang, daun dicuci dengan air mengalir, keringkan selama
18 jam untuk menghilangkan air, kemudian dirajang 20 mm. Daun dibagi
menjadi tiga bagian dengan berat 120 gram dan lakukan pengeringan
dengan cara dikeringkan menggunakan oven 40 oC, dikering angin pada
suhu ruangan 28oC dan dikeringkan dibawah cahaya matahari tidak
langsung dengan melapisi sampel daun jati belanda dengan kain hitam.
Pengeringan ini berlangsung hingga diperoleh persen rendemen simplisia
kering 10 %.
Pembuatan teh
Teh daun jati belanda dibuat dengan konsentrasi 200 mg/mL, ditimbang
sebanyak 1 g dan diseduh dengan air suling panas (80 oC) selama 5 menit,
dan disaring dengan kertas saring dua lapis. Filtrat disaring dengan
penyaring buchner.
Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian kandungan total fenol dari
S. Polycystum 1656,3 ppm dengan kering angin, kering oven 1274,4 ppm
dan dikeringkan dibawah sinar matahari 1179,7 ppm (Masduqi et al, 2014).
Pada penelitian tentang aktivitas antioksidan daun senggani lebih tinggi
pada daun yang dikering angin dengan persen inhibisi 54,60 %,
pengeringan oven 52,76 %, pengeringan cahaya matahari tidak langsung
49,19 %, pengeringan cahaya matahari langsung 38,06 % (Luliana et al,
2016).
Kandungan total fenol yang dikering angin lebih tinggi dibandingkan
dengan pengeringan oven dan dibawah cahaya matahari. Hal ini
disebabkan suhu pengeringan pada kering angin lebih rendah dibandingkan
oven dan cahaya matahari. Senyawa fenol mudah teroksidasi dan sensitif
dengan adanya panas, dengan adanya proses pengeringan dengan sinar
matahari dapat menurunkan kandungan senyawa fenol.
Pada penelitian ini berbeda, dimana kandungan total fenol cinnamon
dengan metode pengeringan oven (50 oC) 0,238 mg GAE/g lebih tinggi
dibandingkan pengeringan dengan kering angin 0,152 mg GAE/g, dan sinar
matahari 0,084 mg GAE/g. Hal ini disebabkan oleh waktu pengeringan oven
lebih pendek dan tertutup sehingga kondisi pengeringan dapat dimonitor
(Bernard et al, 2014).
Kandungan total fenol ekstrak daun Scurulla ferruginea lebih baik pada
pengeringan oven (60oC) dibandingkan kering angin, hal ini dipengaruhi
oleh karakteristik dari daun, yaitu ukuran, ketebalan dan modifikasi daun
dimana daun S.ferruginea ini kecil, berlilin dan berbulu, sehingga pada
pengeringan udara, daun akan kehilangan air melalui epidermis dan sel
tumbuhan mudah rusak oleh proses enzimatik atau mikroba sehingga
mempengaruhi kandungan kimia sampel (Justine et al, 2019).
KESIMPULAN
Kandungan total fenol teh daun jati belanda dipengaruhi oleh metode
pengeringan, dimana kandungan total fenol tertinggi pada pengeringan
angin, selanjutnya kering oven dan kering cahaya matahari.
SARAN
Penelitian selanjutnya untuk meneliti kandungan total flavonoid dan
aktitas antioksidan dari teh daun jati belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Batubara I, Husnawati, Darusman LK, Mitsunaga T. 2017. Senyawa
Penciri Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
sebagai antikolesterol. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia ;22(2):87-91.
Ulfah VF, Iskandar Y. 2020. Review jurnal aktivitas tanaman jati belanda
(Guazuma ulmifolia Lam.) sebagai antihiperlipidemia. Farmaka ;
17(1): 98-104.
Kumar NS, Gurunani SG. 2019. Guazuma ulmifolia Lam ; A review for
future view. Journal of Medicinal Plants Studies ;7(2): 205-210.
Morais SM, Calixto-Junior JT, Ribeiro LM, Sausa HA, Silva AAS,
Figueiredo FG, et al. 2017. Phenolic compoposition and antioxidant,
anticholinesterase and antibiotic-modulating antifungal activities
of Guazuma ulmifolia L (Malvaceae) ethanol extract. South African
Journal of Botany ;110(1):251-257.
Bernard D, Kwabena AI, Osei OD, Daniel GA, Elom SA, Sandra A. 2014.
The effect of different drying methods on the phytochemicals and
radical scavenging activity of ceylon cinnamon (Cinnamomum
zeylanicum) plants parts. European Journal of Medicinal Plants ;
4(11):1324-1335.
1
1Farmasi,ProgramStudiS-
1Farmasi,STIFIBhaktiPertiwi,Palembang,Indonesia
2FarmasiKomunitasKlinik,STIFIBhaktiPertiwi,Palembang,Indonesia *e-
mail:mpie030178@gmail.com
Abstrak
Pasien dengan penyakit asma menunjukkan manifestasi klinis yang
berbeda – beda atau bervariasi antara satu kelompok pasien dengan
pasien lainnya bahkan dalam satu pasien itu sendiri dari waktu ke waktu
dapat berbeda frekuensi dan intensitas gejalanya sehingga menyebabkan
meningkatnya jumlah obat yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui korelasi jumlah obat yang digunakan dengan resiko terjad Drug
Related PRoblem(DRP’s) pada pasien asma.
Abstract
The result showed that there was a significant correlation between the
number of drugs used by the category of DRPs improrer drug selection
(p=0.028) with the strength of weak correlation(r=0.371)and a category DRPs
drug interactions (p=0.031)with the strength of weak correlation(r=0.367). The
number of drugs used do not show a significant correlation in the category of
DRPs untreated indication(p=0.794), dose(p=0.255) and unnecessary drug
therapy(p=0.057). Pharmacists need active participation to prevent the
incidence of DRP's potential and over come the actual incidence of DRPs.
PENDAHULUAN
Asma merupakan suatu penyakit yang heterogen, yang dikarakterisir
oleh inflamasi kronis pada saluran pernafasan yang ditentukan oleh adanya
riwayat gejala gangguan pernafasan seperti mengi, nafas terengah
– engah, dada terasa berat/tertekan, diikuti dengan keterbatasan
aliran udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2015). Asma termasuk
salah satu penyakit tidak menular utama dengan perkiraan kejadian sekitar
235 juta orang saat ini menderita asma. World Health Organization (WHO)
pada Desember 2016 telah merilis memperkirakan terdapat 383.000
kematian akibat asma pada tahun 2015 (The Global Asthma Report, 2018).
Menurut Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018)
prevalensi asma di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada
penduduk semua umur sebesar 2,4 % dan Provinsi Sumatera Selatan
sebesar 1,9 % dari prevalensi tersebut. Berdasarkan data Sistem Informasi
Rumah Sakit (SIRS) diketahui pada tahun 2017 jumlah pasien asma rawat
inap di Indonesia mencapai 53.949 pasien, dengan kasus terbanyak
di Jawa Timur sebanyak 7.942 pasien dan Sumatera Selatan berada pada
peringkat kelima dengan jumlah 2.841 orang pasien. Dari jumlah total
pasien tersebut diketahui sebanyak 1.182 pasien (2,2
%) keluar rumah sakit meninggal
dunia.
Suatu studi di Amerika Serikat, hanya 60 % dokter ahli paru dan alergi
yang memahami panduan tentang Asma dengan baik, sehingga di lapangan
sering ditemukan penggunaan obat anti asma yang kurang tepat dan masih
tingginya kunjungan pasien ke unit gawat darurat, perawatan rawat inap
bahkan perawatan intensif. Studi lainnya di Asia Pasifik menunjukkan
tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
di Eropa dan Amerika Serikat yang mana hampir separuh dari seluruh
pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke
unit gawat darurat setiap tahunnya (Kemenkes, 2008).
Pasien dengan penyakit asma menunjukkan manifestasi klinis yang
berbeda – beda atau bervariasi antara satu kelompok pasien dengan
pasien lainnya bahkan dalam satu pasien itu sendiri dari waktu ke waktu
dapat berbeda frekuensi dan intensitas gejalanya (Ikawati, 2016). Hal ini
menyebabkan meningkatnya jumlah obat yang digunakan dan beresiko
menimbulkan kejadian polifarmasi yaitu obat dalam jumlah yang banyak
dalam suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak
sesuai. Polifarmasi termasuk bagian dari Drug Related Problems (DRPs)
(Rambadhe dkk, 2012). Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian
suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial
mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (PCNE, 2006).
Menurut Cipolle (2004) DRPs adalah suatu kejadian atau situasi yang
melibatkan terapi obat yang secara aktual atau potensial mengganggu hasil
terapi yang optimal untuk pasien tertentu dengan Tipe DRPs terdiri dari
untreated indication,improper drug selection dosis subterapeutik, pasien
gagal mendapatkan terapi, overdosis, terjadi ADR, interaksi obat,
penggunaan tanpa indikasi dan pengobatan gagal.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hidayah dan Prasetyo
(2011) tentang identifikasi Drug Related Problem (DRP’s) pada pasien
penyakit asma di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun
2009, menunjukkan hasil bahwa pasien yang mengalami DRPs yaitu 55%
(55 pasien) dengan jumlah kejadian DRPs seluruhnya 75 kejadian.
Presentase kejadian tiap kategori DRPs yaitu membutuhkan tambahan
terapi obat yaitu 16,0%, obat tanpa indikasi dan duplikasi terapi yaitu
21,3%, obat salah yaitu 10,7%, dosis terlalu rendah yaitu 18,7%,
interaksi obat yaitu 12,0%, dan dosis terlalu tinggi yaitu 21,3%.
Penelitian Lorensia dan Wijaya (2016) tentang hubungan jumlah obat
yang digunakan terhadap risiko terjadinya Drug Related Problem (DRP’s)
pada pasien asma disuatu rumah sakit di Surabaya, menunjukkan bahwa
ada korelasi antara jumlah obat dengan jenis obat DRPs yang kurang
tepat (p
<0,05), sehingga semakin banyak jenis obat yang digunakan oleh pasien
asma, semakin besar risiko pasien mendapatkan obat yang kurang tepat.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit X Palembang dengan
kejadian asma termasuk 10 penyakit terbesar pada tahun 2016 dan belum
pernah dilakukan penelitian semacam ini sebelumnya. Berdasarkan latar
belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Drug
Related Problem (DRP’s) dalam pengobatan pasien asma yang bertujuan
untuk mengetahui korelasi jumlah obat yang digunakan dengan resiko
terjadi Drug Related Problem (DRP’s) pada pasien asma.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasi dengan desain cross
sectional korelasional analitik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
jumlah obat dengan tipe DRPs untreated indication, improper drug selection,
dosis, interaksi lain, unnecessary drug therapy diRS X Palembang.
Pengambilan data
Data diperoleh dari data sekunder yaitu rekam medik secara
retrospektif pada pasien dengan diagnosa asma pada bulan Januari –
Desember 2016. Penelitian ini dilakukan terhadap seluruh populasi
(populasi target) sesuai kriteria inklusi meliputi semua umur dan diagnosis
utama asma dengan atau tanpa tanpa penyakit penyerta.
Analisa data
Data dianalisa sesuai dengan algoritma penatalaksanaan serangan
asma (GINA, 2015), Pharmacotherapy A Pathophysiological Approach
ed 8 (Dipiro dkk, 2011), pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
Asma (PDPI, 2003) dan Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
(Kemenkes, 2008). Tipe DRPs dikategorikan sesuai dengan tipe
DRPs (Cipolle, 1998). Jumlah obat dihitung dengan membuat rata –
rata jumlah obat selama pasien dirawat dan dikategorikan menjadi 2 yaitu
< 5 dan ≥ 5. Korelasi jumlah obat dengan tipe DRPs diuji statistik dengan
uji korelasi koefisien kontingensi menggunakan SPSS versi 21.
Pasien yang diikutkan pada penelitian ini adalah semua umur pasien
dimulai dari umur 2 tahun sampai 89 tahun dan diketahui pasien dewasa
lebih banyak daripada pada pasien anak dan berdasarkan jenis kelamin
pasien lebih banyak pasien dengan jenis kelamin perempuan.
1 Bronkodilator Salbutamol, 2
90
aminofilin, teofilin 7
2 Kortikosteroid Deksametaso 2
n, 9
metilprednisolo 96,
ne, 7
Budesonide,
Budesonide+formoter
ol
3 Bronkodilator + Salbutamol +
2 86,
anti Kolinergik ipratropium Bromida
6 7
4 Ekpektoran OBH 3 100
0
5 Mukolitik Ambroksol, erdostein 3 100
0
Selain obat – obat untuk mengatasi asma, berikut ini merupakan obat –
obat lain untuk terapi penyakit penyerta pada pasien tersebut.
Tabel 3. Obat untuk terapi penyakit penyerta
N Golongan Jenis obat N %
o
1 Ceftazidime,
ceftriaxone,
Antibiotik cefixime,cefadroxile, 30 100
cefuroxime,
ampisilin,
levofloksasin,
azitromisin
2 Analgetik antipiretik Parasetamol 10 33,33
3 Amlodipine,
candesartan,
Antihipertensi 15 50
furosemide,
spironolakton
4 Vitamin Vitamin B kompleks 4 13,33
5 ISDN, gliseril trinitrat,
Antiangina 9 30
amiodaron
6 Antiplatelet Klopidogrel 1 3,33
7 Antihistamin Setirizin 2 6,67
8 Antiemetik Domperidone, 1 3,3
3
9 Ansiolitik Klobazam
10 Phenolpthlein +
Pencahar 1 3,3
paraffin liquidum +
3
gliserin
11 Lansopraz
Antiulcer 1 3,3
ole,
3
omeprazol
e
12 Betahistine mesylate,
Antivertigo 3 10
flunarizine
13 Elektrolit Kalium
Pottasium Chlorida 2 6,6
Konsentrasi tinggi
7
Pada pasien asma penggunaan obat tanpa indikasi. Pada penelitian ini
obat tanpa indikasi yang sesuai yaitu jika dalam anamnesia, diagnosa,
dan hasil laboratorium tidak ada indikasi diberikannya suatu obat.
Penggunaan obat tanpa indikasi yang ditemukan adalah penggunaan
vitamin yang belum jelas manfaatnya untuk kondisi pasien, penggunaan
ISDN untuk pasien dengan gejala sesak tetapi tidak ada indikasi penyakit
jantung dan penggunaan antibiotik untuk kasus yang belum menunjukkan
gejala atau hasil laboratorium menunjukkan adanya infeksi. Terapi obat
tanpa indikasi hanya dapat menimbulkan potensi efek toksik dari obat
tersebut dan memiliki sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki efek
positif terhadap outcome pasien. Biaya obat tanpa indikasi juga perlu
dipertimbangkan (Cipolle dkk, 1998).
Kekuatan korelasi
lemah
3 Dosis (under 0,25 0,20 Tidak bermakna secara
dosis/over dosis) 5 4 statistic
4 Interaksi obat 0,03 0,36 Bermakna secara
1 7 statistic
Kekuatan korelasi
lemah
5 Penggunaan tanpa 0,05 0,32 Tidak bermakna secara
indikasi 7 8 statistic
Uji hubungan jumlah obat dengan tipe DRPs menggunakan uji korelasi
koefisien kontingensi menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara
jumlah obat yang digunakan dengan kategori DRPs Drug Improrer
Selection (p = 0,028) dengan kekuatan korelasi lemah (r = 0,371) dan
kategori DRPs interaksi obat (p= 0,031) dengan kekuatan korelasi lemah (r
= 0,367). Hasil penelitian Lorensia dan Wijaya (2016) menunjukkan
Terdapat korelasi antara jumlah obat dengan jenis DRPs obat yang
kurang sesuai, sehingga makin banyak jenis obat yang digunakan oleh
pasien asma maka makin besar risiko pasien mendapatkan obat yang
kurang sesuai, namun tidak ditemukan korelasi antara jumlah obat dengan
tipe DRPs interaksi obat.
Pada peneitian ini juga diketahui jumlah obat yang digunakan tidak
menunjukkan korelasi yang signifikan pada kategori DRPs untreated
indication ( p= 0,794), dosis (p = 0,255) dan unnessary drug therapy
(p = 0,057). Salah satu dimensi baru praktek Pelayanan farmasi yaitu,
Pharmaceutical care, yaitu apoteker bekerjasama dengan pasien dan
tenaga kesehatan lain mendesain, mengimplementasikan, dan
memonitor Pharmaceutical car plan yang dapat memberikan hasil terapi
yang spesifik dengan pasien yang memiliki fungsi mengidentifikasi DRPs
yang potensial dan aktual, menyelesaikan DRPs yang actual dan mencegah
DRPs yang potensial.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah obat akan mempengaruhi tipe
DRPs pemilihan obat yang tidak tepat dan interaksi obat. Perlu peran serta
apoteker untuk mencegah DRPs yang potensial dan mengatasi kejadian
DRPs yang aktual. Apoteker
DAFTAR PUSTAKA
Baxter,K. 2008. Stockley drug interaction pocket companion. London
Pharmaceutical Press.
Dipiro, J.T., Robert, L.,Talbert., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara, G.,
Wells, L., Michael, P. 212. Pharmacotherapy a pathophysiologic
approach Ed 8 Amerika serikat: The McGraw- Hill Companies
1
Farmasi, Program Studi D-III Farmasi, STIFI Bhakti Pertiwi Palembang,
Indonesia
1
Biostatistika, STIFI Bhakti Pertiwi, Palembang, Indonesia
*
E-mail : ensiwi.munarsih@gmail.com
Abstrak
Pelayanan kefarmasian yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang
dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan sesuai dengan tingkat
kepuasan pasien, serta penyelenggarannya sesuai dengan kode etik dan
standar pelayanan yang ditetapkan. Penelitian ini bertujuan mengetahui
tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di Puskesmas
Muara Enim berdasarkan 5 komponen penilaian tingkat kepuasan pasien
yaitu : keandalan (reliability), ketanggapan (responsivenes), jaminan
(assurance), empati (emphaty), dan berwujud (tangible). Sampel penelitian
ini adalah semua pasien yang datang berobat di Puskesmas Muara Enim
yang memenuhi kriteria inklusi, berjumlah 100 orang. Teknik pengumpulan
data menggunakan kuisioner. Analisa data menggunakan metode
Importance Performance Analisys (IPA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pasien merasa sangat puas dengan pelayanan kefarmasian di Puskesmas
Muara Enim, tetapi adanya prioritas utama pada kuadran A yang perlu
ditingkatkan seperti kecakapan petugas farmasi dalam menjelaskan cara
pemakaian obat yang benar, kelengkapan obat dan obat yang diterima
sesuai dengan keluhan penyakit yang diderita.
Kata Kunci : Tingkat Kepuasan; Pelayanan Kefarmasian; Importance
Performance Analisys (IPA).
Abstract
Pharmaceutical services quality are health services that can satisfy each
service user in accordance with the level of patient satisfaction, and delivery
according to the code of ethics and established service standards. This study
aims to determine the level of patient satisfaction with pharmaceutical
services at the Muara Enim Community Health Center based on 5
components of the level of patient satisfaction, namely: reliability,
responsiveness, assurance, empathy, and tangibility. The sample of this
study were all patients who came for treatment at the Muara Enim
Puskesmas who met the inclusion criteria, totaling 100 people. Data
collection techniques using questionnaires. Data analysis uses the
Importance Performance Analysis (IPA) method. The results showed that
patients were satisfied with pharmaceutical services at the Muara Enim
Health Center, but there were top priorities in quadrant A that needed to be
improved such as the ability of pharmacists to explain how to use drugs
correctly, the completeness of drugs and drugs received in accordance with
complaints of illness.
Keyword : Satisfaction level; Pharmaceutical services; Importance
Performance Analisys (IPA).
PENDAHULUAN
Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang
menyelenggarakan upaya kesehatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),
dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (Kemenkes, 2016).
Salah satu bentuk pelayanan yang diselenggarakan di puskesmas yaitu
pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan
langsung kepada pasien yang bertanggung jawab yang berkaitan dengan
sedian farmasi, untuk meningkatkan kualitas kesehatan pasien (Depkes,
2006).
Pelayanan kefarmasian yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang
dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan sesuai dengan tingkat
kepuasan pasien, serta penyelenggarannya sesuai dengan kode etik dan
standar pelayanan yang ditetapkan (Novaryatiin dkk, 2018). Pelayanan yang
bermutu dapat dilihat salah satunya dengan melihat dari tingkat kepuasan
konsumen atau pasien.
Kepuasan pasien dapat digambarkan sebagai harapan dan kenyataan
yang dirasakan pasien pada saat mendapatkan pelayanan kefarmasian,
pasien akan merasa puas apabila pelayanan kefarmasian yang diperoleh
pada kenyataannya sama atau melebihi harapan, sebaliknya pasien akan
merasa tidak puas apabila pelayanan kefarmasian yang diperoleh pada
kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan (Pohan, 2007). Menurut
kotler dan keller (2012) komponen penilian tingkat kepuasan pasien meliputi
keandalan (reliability), ketanggapan (responsivenes), jaminan (assurance),
empati (emphaty), dan berwujud (tangible).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Prihandiwati dkk (2018)
tentang tingkat kepuasan pasien Puskesmas Pekauman Banjarmasin
terhadap pelayanan kefarmasian pada tahun 2018 disebutkan bahwa tingkat
kepuasan pasien didominasi kategori puas dengan persentase 68,03%.
Puskesmas Muara Enim merupakan puskesmas yang terletak di kabupaten
Muara Enim dengan status akreditasi madya. Penelitian ini bertujuan
mengevaluasi tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Muara Enim.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menyajikan
gambaran tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Muara Enim. Data yang diperoleh berupa data primer
menggunakan instrumen kuesioner.
Prosedur Kerja
Langkah-langkah kerja yang dilakukan pada penelitian ini sebagai
berikut :
1. Tahapan Persiapan
Pada tahap ini disusun instrumen kuesioner yang diadopsi dari Andriani
(2017), Kemenkes (2014), Rikmasari (2014), dan disesuaikan dengan
keadaan Puskesmas Muara Enim. Kuisioner digunakan untuk mengukur
tingkat kepuasan pasien terhadap layanan kefarmasian. Selanjutnya
dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan cara membagikan kuesioner
pada 30 responden. Data yang terkumpul analisis menggunakan SPSS.
2. Tahap Pengumpulan Data
Hasil kuesioner yang telah di uji validitas dan reliabitasnya selanjutnya
diberikan kepada responden.
3. Tahap Pengolahan Data
Kuesioner yang telah diisi responden selanjutnya dinilai menggunakan
skala likert, yaitu dengan melakukan skoring terhadap masing-masing
jawaban pasien dengan skala 1 sampai 5 (Supranto, 2011). Data
selanjunya dianalisa menggunakan metode Importance Performance
Analysis (IPA)
Responden yang bersedia mengisi kuisioner sebanyak 100 orang, terdiri dari
61 (61%) laki-laki dan 39 (39%) perempuan. Jumlah laki-laki lebih banyak
diandingkan dengan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara jenis
kelamin dan tingkat kepuasan pelayanan kesehatan. Namun menurut
Rahmqvist (2001), laki-laki cenderung lebih merasa puas dibandingkan
dengan perempuan terhadap masalah layanan kesehatan.
b. Kuadran B
Kuadran B adalah daerah yang memuat atribut-atribut yang dianggap
penting oleh pasien, dan atribut-atribut tersebut dianggap telah sesuai
dengan keinginan pasien sehingga tingkat kepuasan pasien relatif lebih
tinggi, sehingga perlu untuk dipertahankan oleh pihak puskesmas karena
sudah bisa memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan pasien sehingga
pasien merasa puas. Butir pertanyaan yang terdapat kuadran B yaitu : pasien
mendapatkan informasi yang jelas dan mudah dimengerti tentang pelayanan
obat di puskesmas, petugas berpakaian rapi dan sopan, petugas farmasi
melayanin dengan ramah sopanobat yang diterima keadaan baik dan rapi
sesuai aturan, dan etiket mudah dibaca.
c. Kuadran C
Kuadran C adalah daerah yang berisikan atribut-atribut yang dianggap
kurang penting oleh pasien dan pada kenyataannya kinerja pihak puskesmas
pun dinilai kurang memuaskan. Tidak menutup kemungkinan Kuadran C
pada waktu yang akan datang menjadi perhatian yang penting oleh pasien,
sehingga puskesmas juga harus mempertimbangkan hal tersebut. Butir
pertanyaan yang terdapat pada kuadran C yaitu petugas farmasi memberi
tahu lamanya pemberian obat, kebersihan dan kenyaman ruang tunggu
farmasi, petugas farmasi memberi kesempatan pasien dalam menyampaikan
keluhannya, dan petugas farmasi memberikan perhatian kepada keluhan
pasien.
d. Kuadran D
Kuadran D adalah wilayah yang memuat atribut-atribut yang dianggap
kurang penting oleh pasien dan kinerja yang dilakukan oleh pihak puskesmas
dirasakan terlalu tinggi atau berlebihan, sehingga puskesmas tidak perlu
melakukan perbaikan. Butir pertanyaan yang tedapat kuadran D yaitu
petugas farmasi cepat tanggap terhadap keluhan pasien, petugas farmasi
mampu memberikan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi oleh
pasien, kenyamanan ruang tunggu sejuk tersedia sarana hiburan, dan
petugas kefarmasian siap membantu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengumpulan, pengolahan dan analisa data
yang dilakukan terhadap pelayanan kefarmasian di Puskesmas Muara Enim
mengenai kepuasan pasien yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pelayanan kefarmasian di Puskesmas Muara Enim sangat puas dengan
adanya prioritas utama untuk ditingkatkan meliputi : petugas farmasi
menjelaskan cara pemakaian obat yang benar, kelengkapan obat di
Puskesmas yang memadai dan obat yang diterima sesuai dengan keluhan
penyakit yang diderita.
DAFTAR PUSAKA
Andriani, A. 2017. Hubungan pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien
di ruangan poli umum puskesmas Bukit Tinggi. Journal Endurance. 2
(1). 47-49.
Arikunto S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik ( edisi revisi
6). Jakarta : PT Rieka Cipta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman
penyelenggaraan dan prosedur rekam medis Rumah Sakit di
Indonesia. Jakarta. Depkes RI
Kotler,P., Keller, K. 2012.Marketing management.New Jersey.Prentice Hall.
Kementerian Kesehatan, 2014. Tentang pusat kesehatan masyarakat.
Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan, 2016.Tentang standar pelayanan kefarmasian di
puskesmas. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Novaryatiin, S., Ardhany, S.D., Aliyah, S. 2018. Tingkat kepuasan pasien
terhadap pelayanan kefarmasian di RSUD Dr. Murjani Sampit. Borneo
Journal of Pharmacy. 1(1):22-26.
Oroh, M.E, Rompas, S., dan Pondaag, L. (2014). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien rawat inap terhadap
pelayanan keparawatan di ruang interna RSUD Noongan. Jurnal
Keperawatan, 2(2).
Prihandiwati,E.,Muhajir,M.,Alfian,R.,Feteriyani,R.2018. Tingkat kepuasan
pasien puskesmas Pekauman Banjarmasin Terhadap pelayanan
kefarmasian, Banjarmasin, Journal Of Current Pharmaceutical
Sciences, Vol. 1, No. 2.
Pohan, I.S. 2007. Jaminan mutu layanan kesehatan : Dasar-dasar
Pengertian dan Penerapan. Jakarta. EGC.
Rikmasari, Y. 2014. Pengukuran kinerja instalansi farmasi rumah sakit X
dengan pendekatan balanced scorecard. Jurnal manajemen dan
pelayanan farmasi. 4(2).
Rahmqvist, M. (2001) Patient satisfication in relation to age, health status and
other background factor : A modal for comparison of care units.
International Journal of Quality In Health Care. 13(5), 385-390.
Suprapto, J., 2011, Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan, Jakarta. Rineka
Cipta.
Yuniarta, E dan Suharto, G. (2011). Hubungan tingkat pendidikan pasien
terhadap kepuasan pemerian informed consent di bagian bedah RSUP
Dr. Kariadi Semarang. (dissertation Faculty of Medicine).
PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING
Sriwijaya Palembang
yunidasimanjuntak21@gmail.com
ABSTRAK
ABSTRACT
Pendahuluan
β-karoten adalah suatu provitamin A yang terdiri dari dua kelompok
retinil. β-karoten diuraikan di mukosa usus halus oleh β-karoten
dioksigenase menjadi retinal, salah satu bentuk vitamin A. β-
karotenadalahsuatuantioksidanyangdapatditemukandalambuahdansayurya
ngberwarnakuning, oranye, dan sayuran daun yang berwarnahijau. 1
Karotenoid memiliki aktivitas biologi yang bervariasi, termasuk
kemungkinan aktivitas antioksidan, memperkuat sistem kekebalan tubuh,
menghambat mutagenesis, dan menghambat
pertumbuhantumor.Karotenoidjugaterkaitdenganbeberapaefekyangsangatp
entingdalambidang kesehatan, antara lain mengurangi risiko gangguan
mata yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk melihat dan katarak,
mengurangi risiko kanker, dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. 2
HPLC(HighPerformanceLiquidChromatography)padadasarnyaadalah
kromatografikolom yang diperbaharui dan diperlengkapi dengan teknologi
tinggi sehingga tidak seperti pada kromatografi kolom, dimana pelarut
mengalir melalui kolom dengan mengikuti hukum gravitasi, pada HPLC
pelarut dialirkan dengan cepat, dipompa ke atas dengan tekanan tinggi
sampai dengan 400 atmosfer sehingga membuat kerjanya menjadi
lebihcepat.3
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara kualitatif
dan kuantitatif kandungan β-karoten dalam sampel tomat, papaya, dan
wortel dengan menggunakan metodeHPLC.
Metode
Penelitian ini adalah penelitian analitik eksperimental. Penelitian ini
dilakukan dengan menganalisis β-karoten menggunakan kromatografi cair
kinerja tinggi (HPLC) fase terbalik menggunakan kolom C18 dalam kondisi
sistem gradien biner. Asetonitril : metanol (85: 15) merupakan fase gerak
terbaik untuk pemisahan. Deteksi β-karoten dilakukan pada panjang
gelombang 210 nm.
Hasil
Konsentrasi standar β-karoten yang digunakan adalah 10 ppm; dengan
waktu retensi β-karoten standar adalah 6,423 menit; dan area di bawah kurva
β-karoten standar adalah 198635,9. Setelah dilakukan analisis, β-karoten
terdeteksi pada semua sampel (pepaya, tomat, dan wortel).
Tabel 1. berat sampel, retention time dan area di bawah kurva sampel
tomat, pepaya, dan wortel.
Mg β-karoten
No Berat Sampel [β-karoten] dalam dalam
Sampel Sampel
1. Pepaya = 10,0378 gram 9,3610 ppm 0,0936 mg
2. Tomat = 10,0147 gram 9,8599 ppm 0,0986 mg
3. Wortel = 10,0783 gram 9,4316 ppm 0,0943 mg
Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh waktu retensi larutan beta
karoten standar yang sedikit berbeda, namun perbedaannya tidak
signifikan. Waktu retensi betakaroten standar pada trial tanggal 13 Februari
2020 pukul 09.16 WIB diperoleh RT = 6,350 menit dan pada percobaan
yang dilakukan pada pukul 14.00 diperoleh RT = 6,423menit.
Menurut teori, waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan oleh analit
(sampel) mulai saat injeksi kemudian melewati kolom, keluar dari kolom
untuk seterusnya sinyalnya ditangkap secara maksimum. Waktu retensi ini
tergantung beberapa aspek sebagai berikut. 4
d. Suhu/temperaturpelarut.
Daftar Pustaka
1. Koch WM. Early Diagnosis and Treatment of Cancer Series: Head and
Neck Cancers. Philadelphia: Saunders. 2009.
2. Olson. Dietary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium and
Carotenoids. Washington: National Academy Press. 2000.
3. Ardianingsih R. Penggunaan High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) dalam Proses Analisa Deteksi Ion. Berita
Dirgantara. 2009; 10(4): 101-104.
4. Susanti M., Dachriyanus. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Padang:
Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Universitas Andalas.2017.
5. Skoog et al. Principle of Instrumental Analysis. Fifth Edition.
Philadelphia: Saunders College Publishing.. 1998.
6. Lachance PA. Natural Cancer Prevention Science. 1996;272:1860–1.
PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING
1)
Mahasiswa RPL Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang
2)
Dosen Jurusan Farmasi
Poltekkes Kemenkes
Palembang E-mail
:yuni25026@gmail.com
ABSTRAK
Hipertensi merupakan penyakit yang memerlukan terapi jangka
panjang, sehingga diperlukan kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan untuk melakukan kontrol tekanan darah secara teratur dan
menurunkan risiko komplikasi seperti jantung, stroke dan gagal ginjal
sehingga dapat membawa penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan
kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan usia,
kepatuhan dengan tekanan darah pasien hipertensi yang berobat di Klinik
Pratama KORPRI Provinsi Sumatera Selatan.Penelitian ini adalah
penelitian observasional dengan rancangan analitik cross sectional/
potong lintang.penelitian ini dilakukan di Klinik Pratama KORPRI Provinsi
Sumatera Selatan periode januari hingga april 2019.pengumpulan data
diambil dari data rekam medik pasien hipertensi.data dianalisis secara
statistik menggunakan Uji Fisher Exact.Hasil uji statistik menggunakan Uji
Fisher Exact untuk usia dengan tekanan darah sebesar 0,197 yang
artinya bahwa H0 diterima, dan untuk tingkat kepatuhan dengan tekanan
darah sebesar 0,006 yang artinya bahwa H0 di tolak.Sehingga dapat
diartikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan
tekanan darah, dan ada hubungan yang signifikan antara tingkat
kepatuhan pasien dengan tekanan darah pasien hipertensi yang berobat
di Klinik Pratama KORPRI Provinsi SumateraSelatan.
Kata Kunci : Usia ; Kepatuhan ; Tekanan Darah
ABSTRACT
Hypertension is a disease that requires long-term therapy, so it requires compliance of patients in undergoing
treatment to control blood pressure regularly and reduce the risk of complications such as heart disease, stroke and
kidney failure so that patients can be brought into serious cases and even death. This study aims to analyze the
relationship of age, compliance with blood pressure of hypertensive patients who seek treatment at the KORPRI
Pratama Clinic in South Sumatra Province. This study was an observational study with cross sectional analytic
design / cross section. until April 2019. data collection was taken from medical record data of hypertensive
patients. data were analyzed statistically using Fisher Exact Test. The results of statistical tests used the Fisher
Exact Test for ages with blood pressure of 0.197 which means that H0 was accepted, and for the level of
compliance with blood pressure amounting to 0.006, which means that H0 is rejected. So that it can be interpreted
that there is no significant relationship between age and blood pressure, and there is a significant relationship
between the level of compliance of patients with blood pressure of hypertensive patients who seek treatment at
Klinik Pratama KORPRI Sumatra Strait Province an.
Sampel
Pengambilan sampel ditetapkan menurut ( Isaac dan Michael ). dengan
rumus Sehingga di dapat sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak
83 orang pasien hipertensi dari total populasi. Teknik pengambilan sampel
menggunakan metode Simple Random Sampling yang cara
pengambilannya menggunakan nomor undian.
HASIL PENELITIAN
1. HASIL
Hasil didapat bahwa responden yang berusia > 45 tahun dan
menunjukkan tekanan darah normal sebanyak 8 orang sedangkan yang
tekanan darah yang tidak normal sebanyak 58 orang. Untuk responden
yang berusia < 45 tahun tidak ada yang tekanan darahnya menjadi normal
sedangkan tekanan darah yang tidak normal sebanyak 17orang. Dan hasil
yang didapat dari kepatuhan dengan tekanan darah bahwa dari 24
responden yang patuh melakukan kontrol hanya ada 6 orangyang tekanan
darahnya menjadi normal dan ada 18 orang responden yang tekanan
darahnya tetap tidak normal. Sedangkan dari 59 responden yang tidak
patuh melakukan kontrol ada 2 orang responden yang tekanan darahnya
menjadi normal dan 57 orang yang tidak patuh tekanan darahnya tetap
tidak normal.
Tabel 1.
Data kasus hipertensi periode Januari – April 2019 mulai bulan Januari
hingga April 2019.
No Kategori Jumlah Persentase
Hipertensi
1 Normal- 25 30,12%
Tinggi
(TD : 130-
139/85-89
mmHg)
2 Hipertensi 38 45,78%
Derajat 1
(TD : 140-
159/90-99
mmHg)
3 Hipertensi 13 15,67%
Derajat2
(TD : 160-
179/100-
109mmHg)
4 Hipertensi 7 8,43%
Derajat 3
(TD :
180/110
mmHg)
Total 83 100%
Tabel 2.
Distribusi frekuensi usia pasien hipertensi
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
TekananDarah p
Norm Tida Total
val
Usia al k
ue
Terko Norm
nt al
rol
N % N % n %
Tua 8 12,1 5 87,9 6 10
% 8 % 6 0 0,1
% 9
Muda 0 0% 1 100 1 10 7
7 % 7 0
%
Total 8 9,6% 7 90,4 8 10
5 % 3 0
%
Tabel 6
Tekanan Darah
Kepat Nor p
uh an m al Tida Total v
Kontr Terk k al
ol o Norm u
ntrol al e
N% n % n %
Patuh 6 25 1 75 2 100
% 8 % 4 % 0,0
Tidak 2 3,4 5 96,6 5 100 06
Patuh % 7 % 9 %
Total 8 9,6 7 90,4 8 100
% 5 % 3 %
RP =A/(A+B)
C/(C+D) RP =6/(6+18)
2/(2+57) RP = 7,35
2. PEMBAHASAN
Usia Pasien Hipertensi
Dari 83 responden hipertensi menunjukkan bahwa penderita hipertensi
yang berusia >45 tahun sebanyak 66 orang (79,5%) dan yang berusia <45
tahun (muda) sebanyak 17 orang (20,5%). Hal ini menunjukkan penderita
hipertensi banyak di derita oleh pasien yang berusia diatas 45 tahun,
dikarenakan hilangnya elastisitas jaringan dan arterisklerosis serta
pelebaran pembuluh darah.Menurut penelitian yang dilakukan Fajar
Apriandi (2010) bahwa faktor usia adalah faktor utama penyebab
terjadinya hipertensi yang prevalensinya pada usia diatas 45 tahun yakni
74,1 %.
Kepatuhan Pasien Hipertensi Melakukan Kontrol Tekanan Darah
Dari 83 pasien hipertensi, sebanyak 24 orang (28,9%) yang patuh
melakukan kontrol sedangkan yang tidak patuh 59 orang (71,1%). Ini
berarti tingkat kepatuhan pasien hipertensi dalam melakukan kontrol di
Klinik Pratama Korpri Provinsi Sumatera Selatan masih rendah. Menurut
penelitian Gede Wahyu Pratama (2016) menyatakan dari 97 orang
sampel 63,9% sampel memiliki kepatuhan rendah dan 36,1 % sampel
menunjukkan kepatuhan tinggi terhadap pengobatan hipertensi.
Provinsi Sumatera Selatan periode Januari hingga bulan April 2019, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari 83 pasien hipertensi
di Klinik Pratama KORPRI.
SARAN
Dari hasil penelitian Hubungan Usia, kepatuhan dengan tekanan darah
pasien hipertensi yang berobat di klinik Pratama KORPRI Provinsi
Sumatera Selatan dapat disarankan:
1. Diharapkan dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya dengan
memperhatikan variabel lain yang mempengaruhi tekanan
darah pasien hipertensi agar normalterkontrol.
2. Diharapkan Klinik Pratama KORPRI mencari tahu apa sebab
pasien tidak patuh melakukan kontrol dan mencari solusi agar
pasien menjadipatuh.
3. Diharapkan Klinik Pratama KORPRI lebih optimal dalam
memberikan motivasi dan edukasi terhadap pelayanan
kesehatan terutama untuk penderita hipertensi agar lebih patuh
dalam melakukan kontrol tekanan darah.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Heltri Mahardika, 2014. Klasifikasi hipertensi menurut JNC VIII
Tirotoksikosis Indeks, Wayne dan New Castelle. (https://id.scrib.com)
Diakses 10 Mei2019.
ABSTRAK
ABSTRACT
Drug Information Services is a service activity carried out by
pharmacists to provide accurate, unbiased and up to date information to
doctors, nurses, other health professionals and patients. Compliance to
achieve treatment success can be improved by drug information services
to improve understanding of treatment instructions. This study aims to
determine the effect of on the level of compliance with tuberculosis
patients in Palembang Social Health Center . This study used quasi
experimental method design with static groups, so that it consists of 2
groups, namely PIO and without PIO. Data was collected from the MMAS-
8 questionnaire. Sampling was conducted by prospectively based on
inclusion and exclusion criteria during July-September 2019 and analyzed
using the chi square test. Samples was 40 people who consisting of 20
people without PIO and 20 people with PIO. The results showed that TB
patients were 75% male and 25% female. Aged 16-25 years, aged > 55
years 27,55%. The percentase of patients compliant with PIO 55% low
-moderate adherence, 45% high adherence. The prsentase of patients
without PIO 90% low- moderate adherence, 2% high adherence. Based on
chi square analysis the value of p= 0,01 (≤0,05) so that PIO affects the
level of compliance. Drug information services significantly influence the
compliance of tuberculosis patients in Palembang Social Health Center.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan metode eksperimen semu (quasi
experiment) Randomized ControlPost test Design. Pengambilan data
dilakukan secara prospektif menggunakan instrument kuesioner MMAS-
8.Sampel di penelitian ini adalah semua populasi pasien tuberkulosis yang
terdiagnosa TB paru kategori 1dan mendapatkan obat TB dibulan Juli
2019 di Puskesmas Sosial Palembang. Sampel sebanyak 40 pasien
dibagi 2 kelompok yaitu kelompok pasien yang Pelayanan Informasi Obat
(PIO) dan tanpa Pelayanan Informasi Obat (PIO). Kelompok pasien PIO
masing masing 20 pasien. Selanjutnya 2 kelompok tersebut diukur
kelompok pasien diberikan PIO dan kelompok pasien tanpa PIO. Pasein
tanpa PIO diberikan oleh peneliti waktu pengguaan obat, sedangkan
kelompok yang diberikan PIO oleh peneliti nama obat, waktu pengguaan,
cara pengguaan, efek samping dengan penjelasan leafleat serta stiker
untuk mengingat waktu pengguaan minum obat TB.
Data Jumlah
Presentase(%)
demografi pasien
Jenis
Laki-laki 30 75
kelamin
Perempuan 10 25
Usia 16-55 tahun 29 72,5
>55 tahun 11 27,5
Pendidikan SD 21 52,5
SLTP 4 10
SLTA 12 30
Sarjana 3 7,5
Pekerjaan Pelajar 3 7,5
PNS 2 5
Wiraswasta 19 47,5
Pegawai
10 25
swasta
Ibu rumah 6
15
tangga
Kriteria Inklusi :
1. Pasien yang datang berobat kePuskesmas Sosial Palembang,
terdiagnosa TB paru kategori 1 yang dan mendapatkan obat.
2. Bersedia ikut dalam penelitian dengan mengisi informed consent.
KriteriaEksklusi :
1. Pasien TB paru kategori 1 dengan penyakit penyerta/ komplikasi.
2. Pasien yang tidak dapat ikut perkembangan.
Fase pengobatan
Intensif 17 42,5
Lanjutan 23 57,5
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian Adanya pengaruh Pelayanan Informasi
Obat (PIO) yang signifikan terhadap tingkat kepatuan pasien tuberkulosis
dan adanya perbedaan tingkat kepatuhan pasien PIOyaitu hasil tingkat
kepatuhan tinggi 45% rendah-sedang 55% dan tanpa PIO, sedangkan
tingkat kepatuhan tanpa PIO yaitu hasil tingkat kepatuhan tinggi 10%,
kepatuhan rendah-sedang 90%.
Daftar Pustaka
Burman, W.J., Dalton, C.B. (1997). A Cost effectivenes Analysis of Directly
Observed Therapi vs Self Administered Therapy for Treatment of
Tuberkulosis, CHEST. 112:63-70
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2004). Penemuan Penderita
Baru dan Keberhasilan Pengobatan Indikator Keberhasilan
Penanggulangan TB Paru.Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2005). Pharmaceutical care
untuk penyakit tuberkulosis.Jakarta: Bina Farmasi Komuintas dan
Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2009). Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis.Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. (2014). Propil Kesehatan
Tahun 2014, Sumatera Selatan. Palembang: Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Selatan.
Dinas Kesehatan. (2015). Propil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Selatan.Sumatera Selatan.
Gunawan, A.R.S., Simbolon, R.L., dan Fauzia, D. (2017). Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Pasien Terhadap
Pengobatan Tuberkulosis Paru Di Lima Puskesmas Se- Kota
Pekanbaru.JOM FK. 4(2): 1-20.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2014). Panduan Praktis
Klinis Bagi Dokter Difasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.Jakarta:
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2011). Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2015). Survei Prevalensi
Tuberkulosis 2013-2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2016). Tentang standar
pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Kurniaputri, A., dan Supadmi, W. (2015). Pengaruh Pemberian Informasi
Obat Antihipertensi terhadap Kepatuhan Pasien Hipertensi di
Puskesmas Umbulharjo I Yogyakarta periode November 2014.
Majalah Farmaseutik. 11(1) : 268-274.
Made Suadyani Pasek, I Made Satyawan.2013. Hubungan Persepsi dan
Tingkat Pengetahuan Penderita TB dengan Kepatuhan Pengobatan di
Kecamatan Buleleng Jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan
Rwkreasi.Skripsi.Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja Indonesia.
Manalu, H.S.P. (2010). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB
Parudan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol.
9 (4): 1340-1346
Morisky D.E., Ang A., Krousel-wood M., & Ward H.J. (2008).Predictive
validity of a medication adherence measure in an outpatient
setting.The Journal of Clinical Hypertension.Vol. 10(5). 348-354
Nurkumalasari., Wahyuni, D., Ningsih, N. (2016). Hubungan Karakteristik
Penderita Tuberkulosis Paru Dengan Hasil Pemeriksaan Dahak di
Kabupaten Ogan Ilir.Jurnal Keperawatan Sriwijaya. 3 (2): 51-58.
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia.(2016). Standar
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Mentri Kesehatan
Republik Indonesia.
Rantucci, M.J. (2007). Komunikasi Apoteker-Pasien :Panduan Konseling
Pasien (Edisi 2). Penerjemah : A.N. Sani. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Rapoff, M.A. (2010). Adherence to Pediatric Medical Regimens, 50-51,
University of Kansas Medical Center, Kansas City.
Saragi, S. (2011). Panduan Penggunaan Obat, Rosemata Publisher: A
review didalam Chusna, N., Sari, P.I., Probosuseno. (2014).
Pengaruh Kepatuhan Dan Pola Pengobatan Terhadap Hasil Terapi
Pasien Hipertensi. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi.Vol.
4(4), 230-235.
Schnipper, JL, Jennifer, LK, Michael, CC,Stephanie, AW, Brandon,
AB,Emily, T, Allen, K, Mark, H,Christoper, LR, Sylvia, CM, David,WB.
(2006). Role of PharmacistCounseling in Preventing AdverseDrug
Events After Hospitalization.USA :Archives of Internal Medicine. Vol
166.565-571.
Siregar, C.J.P. (2005). Farmasi Klinik: Teori dan Penerapan. Jakarta:
EGC.
Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, I.J., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., dan
Kusnandar. (2008). ISO Farmakoterapi.Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
World Health Organization. (2013). Treatment of Tuberculosis: guidelines
for National Programmes, Third Edition, World Hearlth Organization.
Geneva: WHO.
World Health Organization. (2015). Treatment of tuberculosis: guidelines
for national programmes. 2nd ed. Geneva: World Health Organization.
PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING
SEBAGAI STIFFENINGAGENT
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Nyamuk adalah salah satu jenis serangga yang setiap hari dijumpai
dan berinteraksi dengan manusia. Beberapa jenis nyamuk yang ada
merupakan vector penyebaran penyakit pada manusia, seperti Aedes
sp, Culex sp, Anopheles sp, dan Mansonia sp (Sembel, 2009). Menurut
WHO pada tahun 2016 terdapat 725.000 kasus kematian yang
disebabkan oleh gigitan nyamuk. Dimana penyakit yang paling sering
terjadi diakibatkan oleh nyamuk diantaranya seperti DBD, malaria serta
filariasis. Berbagai cara dilakukan untuk mencegah gigitan nyamuk
diantaranya penggunaan insektisida, fogging (pengasapan), abatisasi,
penggunaan obat nyamuk bakar dan obat nyamuk elektrik serta
penggunaan anti nyamuk (repellent). Menurut Wahyono dan Oktarinda
(2016) dibandingkan penggunaan obat nyamuk bakar, elektrik ataupun
insektisida sebanyak 32,5% masyarakat lebih memilih untuk
menggunakan repellent.
Repellent adalah sediaan yang digunakan untuk melindungi kulit dari
gigitan nyamuk (anti nyamuk). Sediaan ini tidak membunuh nyamuk
tetapi hanya membuat nyamuk tidak tertarik terhadap manusia
(Rutledge, 2008). Repellent diformulasikan untuk digunakan pada kulit.
Beberapa bentuk repellent yang ada dipasaran diantaranya lotion
dengan merk seperti Caladine, Bite fighter, Sofell, Autan, Dee- dee.
Sediaan berbentuk krim seperti Pure baby mosquitoe repellent, Bebe
roosie, Caladine cream, untuk repellent spray seperti Soffel, Bite fighter,
Autan, Nokito dan untuk sediaan berbentuk stik hanya Mosi guard dan
Autan. Repellent dalam bentuk lotion dan krim membutuhkan bantuan
tangan dalam pengaplikasiannya sehingga mengakibatkan resiko
tertelannya bahan-bahan kimia yang terkandung dalam repellent
tersebut, salah satunya adalah diethyl toluamide (DEET) yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan, seperti mual, muntah, kelesuan,
ataksia, dan anafilaksis (Mabey, 2005). Repellent berbentuk spray
dianggap lebih aman karena tidak membutuhkan tangan dalam
penggunaannya tetapi sediaan ini lebih mudah menguap bila
diaplikasikan dikulit sehingga perlindungan yang diberikan tidak
bertahan lama (Lestari, 2011). Berbeda dengan ketiga bentuk repellent
diatas sediaan berbentuk stickdiaplikasikan tanpa menggunakan tangan,
tidak mudah menguap dan dapat bertahan relatif lebih lama dikulit.
Repellent stick adalah sediaan repellent berbentuk batang yang
terbuat dari. campuran lilin padat dan alkohol berlemak tinggi (Fush dan
Schopflin, 1974). Beberapa lilin padat yang dapat digunakan sebagai
basis pembentuk stik diantaranya yaitu, lilin lebah, lilin carnauba, serta
cetaceum (Allen, 2002) dan alkohol berlemak tinggi seperti myristyl
alcohol, cetyl alcohol, dan stearyl alcohol (Fush dan Schopflin, 1974).
Dari bahan tersebut yang paling banyak digunakan adalah kombinasi
antara lilin lebah dan cetyl alcohol, karena stabil dengan cahaya, udara
dan tidak berubah menjadi tengik (Rowe, Sheskey dan Quinn, 2009).
Kombinasi lilin lebah dan cetyl alcohol sebagai basis pembentuk stik
juga telah diteliti oleh Rao (2011) yang membuktikan bahwa keduanya
dapat menghasilkan stik yang baik, tetapi menurut Lutfia, Sutyasningsih
dan Widayanti, (2013) campuran basis ini dapat mengalami penurunan
kekerasan bila adanya penambahan minyak sehingga menghasilkan
stick yang lunak. Walaupun demikian kombinasi lilin lebah dan cetyl
alcohol dapat diaplikasikan dalam bentuk sediaan stik dengan
penambahan zat aktif yang berkhasiat sebagai repellent.
Zat aktif pada sediaan repellent yang banyak beredar dipasaran
adalah DEET dengan konsentrasi berkisar 5%-100% (Mabey, 2005).
DEET merupakan bahan kimia sintetis yang dapat menolak nyamuk,
tetapi beracun pada konsentrasi 10-15% (Gunandini, 2006).
Penggunaan DEET yang secara terus menerus dan berulang dapat
mengakibatkan beberapa masalah kesehatan mulai dari iritasi kulit,
hingga insomnia dan kram otot (Osimitz, 1997). Dampak negatif tersebut
dapat dihindari dengan mengganti DEET dengan bahan alami yang lebih
aman bagi tubuh. Salah satu keanekaragaman hayati yang memiliki
potensi untuk dimanfaatkan menjadi pengganti DEET adalah minyak
atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulusL.).
Minyak atsiri eukaliptus dihasilkan dari daun eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) dengan cara destilasi uap. Tumbuhan ini berasal dari
Australia dan Tasmania (Soetrisno, 1969) dan termasuk kedalam family
Mirtaceae. Minyak atsiri eukaliptus mengandung zat berupa eucalyptol
(Bolland, 1991) yang berkhasiat sebagai insektisida dan pengusir
(repellent) serangga (Klocke, 1987). Menurut Ranasinghe (2016) minyak
atsiri eukaliptus pada konsentrasi 10% dapat bermanfaat sebagai
repellent nyamuk dengan daya tolak 100% dimana menurut Peraturan
Pemerintah melalui Komisi Pestisida Departemen Pertanian (1995)
syarat repellent nyamuk dapat dikatakan efektif apabila daya proteksinya
paling sedikit 90%.
Berpedoman dari penelitian mengenai medicatestick dengan
menggunakan kombinasi lilin lebah putih (cera alba) dan cetyl alcohol
oleh Rao (2011) dan mengingat khasiat minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L.) yang dapat dijadikan sebagai repellent
(Ranasinghe, 2016) maka peneliti tertarik untuk memformulasikan
minyak atsiri eukaliptus dalam bentuk repellent stick dengan
memvariasikan lilin lebah (cera alba) dan cetyl alcohol sebagai basis
pembentuk stik.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum
Memformulasikan repellent stick minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan cetyl alkohol
yang stabildan memenuhi syarat.
Tujuan Khusus
a. Mengukur pH sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan
cetylalcohol
b. Mengukur suhu lebur sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan
cetylalkohol
c. Mengamati homogenitas sediaan repellent stick minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan
cetylalkohol
d. Mengukur daya oles sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan
cetylalkohol
e. Mengamati perubahan bau sediaan repellent stick minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan
cetylalkohol
f. Mengamati perubahan warna sediaan repellent stick minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan
cetyl alkohol
g. Mengamati efek iritasi kulit dari sediaanrepellent stick minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan
cetyl alcohol
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan
membuat beberapa formula repellent sick yang mengandung minyak
atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba
dan cetyl alcohol sebagai stiffening agent pada konsentrasi 12%:10%,
15%:12,5% dan 18%:15%.
Objek Penelitian
Objek penelitian yang akan digunakan adalah minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang diperoleh dari supplier
essential oil dengan brand “Happy Green” di Jakarta
b. IndeksBias
Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam
ruang hampa dengan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Indeks
bias minyak dapat ditentukan dengan menggunakan alat Abbe
Refractometer, menurut Depkes (1995) minyak atsiri eukaliptus
memiliki indeks bias 1,458-1,470.
c. Bobot perml
Bobot per milliliter suatu zat adalah bobot dalam gram per ml zat cair
pada suhu 20ºC. Bobot per ml minyak atsiri eukaliptus adalah 0,906
hingga 0,925 (Depkes, 1995).
4. Uji KestabilanFisik
Uji kestabilan fisik yang dilakukan antara lain, pH, suhu lebur, dan
organoleptik sediaan (warna dan bau) setelah dilakukan penyimpanan
selama 28 hari, yaitu pada hari ke 0, 7, 14, 21, dan 28.
a. pH
Nilai pH sediaan dapat diukur dengan menggunakan pH meter.
Untuk mengukur nilai pH ini dibutuhkan sampel sebanyak 1gr yang
dilebur dalam beaker gelas dengan 100ml Aquadest diatas
penangasair
Cara kerja :
1) Nyalakan alat pH meter dengan menekan tombol “ON”
2) Kalibrasi alat pH meter dengan cara:
3) Menekan tombolpH
b. Suhu Lebur
Suhu lebur sediaan dapat diukur dengan menggunakan alat Kofler
Heating Banch System. Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut:
1) Nyalakan alat dengan menekan tombol “ON”, lampu petunjuk hijau
akanmenyala.
2) Panaskan bangku lebur selama 1jam.
3) Setelah 1 jam, letakkan sampel repellentstick
diatas lempeng pemanas
4) Amati perubahan yang terjadi selama 10detik
5) Geser jarum joki sampai terlihat perubahantitik leleh padasampel
6) Catat titik lebursampel
c. UjiHomogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan repellent
stick pada kaca transparan (objek glass) dan dilihat apakah terdapat
butir-butir kasar yang tertinggal pada kaca tersebut (ilham, 2016).
d. Daya Oles
Uji daya oles dilakukan dengan melibatkan 30 responden yang dipilih
secara acak. Pengujian dilakukan secara visual dengan cara
mengoleskan repellent stick pada kulit punggung tangan kemudian
mengamati apakah sediaan repellent stick mampu menempel saat dioles
pada kulit dengan beberapa kalipengolesan.
e. Warna
Pengamatan warna dilakukan dengan menggunakan 30 orang
responden untuk mengamati perubahan warna yang terjadi dalam
sediaan repellent stick yang disimpan selama 28 hari.
f. Bau
Pengamatan bau dilakukan dengan menggunakan 30 orang
responden untuk mengamati perubahan bau yang terjadi dalam sediaan
repellent stick yang disimpan selama 28 hari.
g. IritasiKulit
Uji Iritasi kulit melibatkan 30 orang responden yang dipilih secara
acak. Pengujian dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan (F1, F2,
F3) pada punggung tangan selebar 2,5 x 2,5 cm (Mitsui, 1996).
Kemudian amati reaksi yang mungkin terjadi misalnya gatal, kemerahan
danperih.
HASIL PENELITIAN
1. Hasil Identifikasi Minyak Atsiri Eukaliptus
Zat aktif minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang
diperoleh dari supplier essential oil dengan brand “Happy Green” di
Jakarta, kemudian dilakukan uji identifikasi dengan hasil sebagai
berikut;
pH (hari
Repellent Stick Keterangan
ke)
0 7 14 21 28
Formula Kontrol 5,3 5,3 5,4 5,5 5,73 M
3 7 3 5 S
Formula I 5,2 5,2 5,3 5,3 5,44 M
2 5 0 6 S
Formula II 5,1 5,2 5,2 5,3 5,57 M
9 1 7 9 S
Formula III 5,0 5,1 5,2 5,3 5,38 M
1 4 0 0 S
Keterangan tabel:
MS : Memenuhisyarat
pH yang memenuhi syarat 4-8 (Aulton, 2002)
PEMBAHASAN
1. Identifikasi MinyakAtsiri
Identifikasi minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dilakukan
untuk memastikan bahwa minyak atsiri yang digunakan dalam penelitian
ini adalah minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.). Pengujian
yang dilakukan berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi ke-IV
didapatkan hasil dengan pembahasan sebagai berikut:
a. Organoleptis
Dari hasil pengamatan, minyak atsiri eukaliptus yang digunakan tidak
memiliki warna (bening), berbau kamfer yang menusuk dan rasa pedas,
dingin seperti kamfer dimana hal ini sesuai dengan yang tertera dalam
farmakope edisi ke-IV.
b. IndeksBias
Hasil indeks bias yang didapatkan adalah 1,460, menurut Depkes
(1995) minyak atsiri eukaliptus memiliki indeks bias sebesar 1,458-1,470.
Berdasarkan dengan hasil indeks bias yang didapat, miyak atsiri yang
digunakan memenuhi standar karakteristik indeks bias minyak
eukaliptus.
c. Bobot perml
Berdasarkan hasil pengujian, minyak atsiri yang digunakan pada
penelitian ini memiliki bobot per ml sebesar 0,9244, hasil tersebut sesuai
dengan range standar minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.)
yaitu sebesar 0,906 hingga 0,925 (Depkes, 1995).
2. KestabilanFisik
a. pH
Pada tabel 3 dapat dilihat hasil pengamatan pH sediaan repellent
stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang disimpan
selama 28 hari dengan variasi kombinasi cera alba dan cetyl alkohol
untuk formula kontrol dan formula I (12%:10%), formula II (15%:12,5%)
dan formula III (18%:15%). Dalam penelitian ini didapatkan pH repellent
stick berkisar 5,01-5,73, dimana formula kontrol memiliki pH 5,33-5,73,
dengan persentase kenaikan pH sebesar 6,3%, formula I memiliki pH
5,22-5,44, dengan persentase kenaikan pH sebesar 4,2%, formula II
memiliki pH 5,19-5,57 dengan persentase kenaikan pH sebesar 7,3%,
dan formula III memiliki pH 5,01-5,38 dengan persentase kenaikakn pH
sebesar 7,3%. Dari persentase kenaikan pH yang terjadi dapat dilihat
bahwa formula I cenderung lebih stabil dibanding formula yang lain
karena formula I memiliki persentase perubahan pH yang paling kecil.
Selama 28 hari penyimpanan keempat formula repellent stick
mengalami kenaikan pH tiap minggunya. Kenaikan pH dari keempat
formula ini diduga disebabkan oleh bahan yang terdekomposisi oleh
suhu tinggi saat pembuatan atau penyimpanan yang menghasilkan
senyawa basa dan juga dapat disebabkan karena faktor lingkungan
seperti suhu dan penyimpanan yang kurang baik (Putra, Dewantar dan
Swastini, 2014). Walaupun terjadi peningkatan pH selama proses
penyimpanan, keempat formula repellent stick tersebut masih
memenuhi standar pH yang aman untuk kulit yaitu sebesar 4-8 (Aulton,
2002), karena apabila pH sediaan topikal terlalu asam maka dapat
menyebabkan iritasi kulit dan juga tidak diperbolehkan terlalu basa
karena dapat menyebabkan kulit kering dan bersisik (Kuncari,
Iskandarsyah dan Praptiwi,2014).
b. Suhu Lebur
Pengukuran suhu lebur dilakukan untuk mengetahui suhu dimana
repellent stick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) akan melebur. Pada tabel 4 dapat dilihat hasil pengamatan
suhu lebur repellent stick minyak atsiri eukaliptus yang disimpan selama
28 hari. Dari keempat formula didapatkan range suhu lebur berkisar
53ºC-69ºC. Selama 28 hari penyimpanan formula kontrol tidak
menunjukkan adanya perubahan suhu lebur dimana suhu lebur formula
kontrol ialah 64ºC. Sedangkan ketiga formula lainnya mengalami
penurunan suhu lebur selama masa penyimpanan, dimana formula I
memiliki suhu lebur berkisar 53-59ºC dengan persentase penurunan titik
lebur sebesar 10,16%. Formula II mengalami penurunan suhu lebur
sebesar 11,7% dengan range suhu antara 60-68ºC sedangkan formula
III memiliki suhu lebur berkisar 64-69ºC dan mengalami penurunan suhu
lebur sebesar7,2%.
Penurunan suhu lebur berpengaruh terhadap kekerasan stik yang
dihasilkan dimana bila terjadi penurunan suhu lebur maka stik yang
dihasilkan akan menjadi lebih lunak. Pada penelitian ini repellent stick
formula 1 cenderung lebih lunak dibandingkan dengan formula kontrol
ditinjau dari suhu leburnya yang lebih rendah padahal konsentrasi
pengeras yang digunakan sama yakni cera alba 12% dan cetyl alkohol
10% hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya pengaruh penggunaan zat
aktif berupa minyak, dimana sesuai dengan penelitian Lutfia,
Sutyasningsih dan Widayanti, (2013) yang menyatakan bahwa campuran
kedua pengeras yang digunakan dapat mengalami penurunan
kekerasan bila adanya penambahan minyak. Menurut penelitian
Perdanakusuma dan Zakiah (2005) penambahan minyak pada basis stik
akan menambah jumlah cairan dalam emulsi sehingga sediaan stik yang
terbentuk akan semakin lunak dan nampakcreamy.
Sedangkan formula II dan formula III cenderung memiliki bentuk fisik
stik yang lebih keras dibanding formula I dikarenakan adanya
peningkatan konsentrasi pengeras yang digunakan yakni formula II
menggunakan cera alba dan cetyl alkohol sebesar 15% dan 12,5%
sedangkan formula III sebesar 18% dan 15%. Dilihat dari hasil pengujian
suhu lebur dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
pengeras yang digunakan maka suhu lebur dan kekerasan yang
dihasilkan akan semakin meningkat (Pracima, 2015), sama halnya
seperti penelitian Mulangsari, Mimiek dan Eni (2017) yang juga
mengalami peningkatan kekerasan karena adanya peningkatan
konsentrasi pengeras. Penambahan pengeras dapat meningkatkan
jumlah padatan dalam emulsi sehingga produk stik yang terbentuk akan
semakin keras (Perdanakusuma dan Zakiah, 2005). Karena formula III
menggunakan konsentrasi pengeras paling besar maka suhu lebur
tertinggi dimiliki oleh repellent stik formulaIII.
Selama penyimpanan 28 hari ketiga formula repellent stick
mengalami penurunan suhu lebur tiap minggunya sehingga setiap
minggu ketiga formula cenderung menjadi semakin lunak hal ini diduga
karena suhu ruangan penyimpanan yang tidak dikendalikan sehingga
terjadi fluktuasi suhu (Pracima, 2015). Penurunan suhu lebur juga terjadi
pada penelitian Noermastuti (2015) yang menggunakan minyak jarak
pada sediaan stik, dimana menurutnya suhu dapat mempengaruhi
kepadatan atau ketegaran stik menjadi berkurang sehingga suhu ruang
penyimpanan stik berpengaruh terhadap kekerasan sediaan stik.
Walaupun tiga formula mengalami penurunan suhu lebur akan tetapi,
keempat formula repellent stick tersebut masih memenuhi standar suhu
lebur sediaan stik yakni 50- 70ºC (Keithler,1956).
c. Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan untuk melihat ada tidaknya butir-
butir kasar saat pengolesan repellent stick selama masa penyimpanan
28 hari. Adanya butir-butir kasar menandakan sediaan repellent stick
yang dibuat tidak homogen karena tidak terdispersinya antar komponen
bahan pembuat stik (Siregar dan Utami, 2014). Pengujian homogenitas
dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan repellent stick pada kaca
transparan (objek glass) dan dilihat apakah terdapat butir-butir kasar
yang tertinggal pada kaca tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa partikel pada repellent stick formula kontrol, formula I, formula II
dan formula III terdistribusi dengan baik ditandai dengan tidak adanya
butir-butir kasar yang tertinggal pada objek glass selama 28 hari
penyimpanan dan pada saat dioleskan di kulit juga tidak terdapat butiran
kasar yang menggumpal ataupuntertinggal. Untuk pengujian terhadap
daya oles, warna, bau dan iritasi kulit, peneliti melibatkan 30 responden,
hal ini didasarkan pada syarat pengujian untuk desain penelitian
eksperimen, menurut Gay dan Diehl (1992) untuk jenis penelitian
eksperimental dengan mengunakan beberapa formula atau grup maka
jumlah responden yang digunakan minimalsebanyak
15 orang per 1 grup penelitian dan maksimal 30 orang untuk penelitian
dengan lebih dari 3 formula. Selain itu menurut Frankel dan Wallen
(1993) penelitian eksperimen dengan menggunakan 30 orang responden
pada setiap grup sudah cukup untuk menggambarkan keseluruhan
populasi
d. Daya Oles
Pengujian daya oles dilakukan secara visual dengan cara
mengoleskan repellent stick pada kulit punggung tangan kemudian
mengamati apakah sediaan repellent stick mampu dioleskan pada kulit
dengan beberapa kali pengolesan. Pada tabel 6 disimpulkan bahwa
sebanyak 30 responden menyatakan keempat formula mampu
menempel pada kulit saat pengolesan pertama. Sehingga dapat
dikatakan bahwa keempat formula repellent stick mudah diaplikasikan
pada kulit hal ini dikarenakan tingginya konsentrasi vaselin alba dan
propilen glikol yakni 15% dan 13% dalam tiap formula sehingga
menghasilkan stik yang lembut dan lembab, dimana vaselin album
berfungsi sebagai emollient yang dapat menghasilkan stik yang lembut
ditambah dengan propilen glikol yang berfungsi sebagai humektan untuk
melembabkan sehingga menghasilkan stick yang mudah untuk dioleskan
pada kulit. Dari hasil yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa daya
oles repellent stick minyak atsiri eukaliptus sangat baik karena
memenuhistandar.
e. Warna
Pengujian warna bertujuan untuk mengetahui apakah repellent stick
minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang dibuat mengalami
perubahan warna atau tidak selama penyimpanan 28 hari dengan
melibatkan 30 responden. Formula kontrol memiliki warna putih susu,
begitu pula dengan ketiga formula lainnya yang mengandung zat aktif
berupa minyak atsiri eukaliptus. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan zat aktif kedalam basis stik tidak mempengaruhi warna stik
yang dihasilkan mengingat bahwa zat aktif yang digunakan memang
tidak berwarna (bening).
Data hasil kuesioner menunjukkan bahwa sebanyak 100% responden
menyatakan keempat formula repellent stick tidak mengalami perubahan
warna selama penyimpanan 28 hari hal ini dikarenakan kondisi tutup
sediaan yang baik dan tertutup rapat sehingga kontak langsung antara
sediaan dengan udara serta cahaya dapat dihindari.
f. Bau
Pengujian bau bertujuan untuk mengetahui apakah repellent stick
minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang dibuat mengalami
perubahan bau atau tidak selama penyimpanan 28 hari dengan
melibatkan 30 responden. Repellent stick formula kontrol tidak memiliki
bau, sedangkan formula I, II dan III memiliki bau seperti kamfer khas
dari minyak atsiri eukaliptus. Pada tabel 9 disimpulkan sebanyak 30
orang responden menyatakan bahwa keempat formula repellent stick
tidak mengalami perubahan bau selama masa penyimpanan. Hal ini
membuktikan bahwa tidak adanya pertumbuhan bakteri dan mikroba
pada repellent stick yang dapat mempengaruhi perubahan bausediaan.
g. Iritasi Kulit
Pengujian iritasi kulit bertujuan untuk melihat apakah sediaan
repellent stick yang dibuat menimbulkan gejala iritasi atau tidak pada
saat digunakan. Pada tabel 7 didapatkan data hasil kuesioner yang
menunjukkan bahwa 100% responden menyatakan tidak mengalami
gejala iritasi yang berupa kulit kemerahan, gatal-gatal, terasa panas dan
perih pada permukaan kulit setelah diolesi keempat formula repellent
stick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus
L.) hal ini dikarenakan pH sediaan yang dihasilkan berkisar 5,01-5,73,
dimana rentang pH tersebut masih mampu ditoleransi dengan baik oleh
kulit (Aulton,2002) . Hal lain yang mempengaruhi yaitu bahan-bahan
yang terkandung dalam formula tidak menyebabkan iritasi kulit dan
kondisi sediaan repellent stick tersebut masih baik selama 28 hari
penyimpanan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap kestabilan
fisik repellent stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.)
dengan kombinasi cera alba dan cetyl alkohol sebagai stiffening agent
selama 28 hari penyimpanan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dapat diformulasikan
menjadi sediaan repellent stick yang stabil dan
memenuhipersyaratan.
2. Kombinasi cera alba dan cetyl alkohol yang paling optimal ialah pada
konsentrasi 18% cera alba dan 15% cetylalkohol
3. pH semua formula repellent stick yang mengandung minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) memenuhi persyaratan dan stabil
secarafisik.
4. Hasil pengukuran suhu lebur semua formula repellent stick yang
mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.)
memenuhi persyaratan dan stabil secarafisik.
SARAN
Dari hasil penelitian mengenai repellent stick yang mengandung
minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dapatdisarankan:
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, A, 2000. Minyak Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB, Bandung,
Indonesia, hal. 2 dan 24
Allen, LV, 2002. Current & Practical Compounding Information for the
Pharmacist : Compounding Medication Sticks. Secundum Artem.
5 (3)
Cibro, YNP, 2013. Penetapan Kadar Minyak Atsiri Pada Biji Pala
(Myristica fragans Houtt). Karya Tulis Ilmiah, Jurusan Farmasi
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Gunawan, D., dan S Mulyani, 2004. Ilmu Obat Alam. Jakarta: Penebar
Swadaya, hal. 106.
Kirnanoro, H., dan N.S. Maryana, 2016. Anatomi Fisiologi. Pustaka Baru
Press, Yogyakarta, Indonesia, hal. 74-75
Klocke, J.A., M.V Darlington., M.F Balandrin, 1987. 1,8-Cineole
(Eucalyptol), A Mosquito Feeding and Ovipositional Repellent
from Volatile Oil of Hemizonia fitchii (Asteraceae). Journal of
Chemical Ecology. 13 (12) : 2131-2141
Lestari, MI, 2011. DEET, Bahan Aktif Repellentyang Efektif dan Aman
Bagi Travellers. Skripsi, Universitas Udayana, Bali.
Mabey, M, 2005. DEET Insect Repellant Toxicity. Utox Update. 7 (2): 1-4.
Maulina, I.D, 2011. Uji Stabilitas Fisik dan Aktivitas Antioksidan Sediaan
Krim Yang Mengandung Ekstrak Umbi Wortel (Dancus carota L.).
Skripsi, Universitas Indonesia, Depok.
Zen, S., dan T. Asih, 2017. Potensi Ekstrak Bunga Tahi Kotok (Tagetes
erecta) Sebagai Repellent Terhadap Nyamuk Aedes aegypti
Yang Aman Dan Ramah Lingkungan. BIOEDUKASI Jurnal
Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Metro. 8 (2):
142-149.
LOMBA POSTER
SWISS-WEBSTER
ABSTRAK
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
Kepercayaan masyarakat Indonesia pada produk herbal terus
meningkat. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (2010), masyarakat
yang memilih obat herbal untuk mengobati penyakit atau memelihara
kesehatan mencapai 59,12%, meningkat dalam waktu 3 tahun dari
yang semula hanya 35,7% (Badan Litbang Kesehatan, 2007). Di
Indonesia sebagian besar produk herbal yang terdaftar adalah
kelompok jamu, dimana pembuktian khasiat dan keamanannya
berdasarkan penggunaan empiris secara turun temurun (Menkes,
2007). Selain jamu masyarakat pun telah mengenal dan
mengkonsumsi bermacam-macam obat herbal dari berbagai Negara
lain, baik itu yang berasal dari Cina, India,Australia, ataupun yang
berasal dari Negara-negara Barat dalam era globalisasi saat ini
(Kamaludin, 2016).
Menurut survey Maryani, dkk (2017) jamu dan produk herbal
saat ini disenangi dan dipilih masyarakat karena dianggap tidak
memiliki efek samping. Persepsi masyarakat karena herbal adalah
tanaman (alami) maka otomatis aman. Namun data-data yang
mendukung asumsi tersebut tidaklah banyak. Banyak efek samping
yang berbeda pada herbal telah dilaporkan, termasuk efek dari
konstituen yang aktif secara biologis dari herbal, efek samping yang
disebabkan kontaminan, dan interaksi obat herbal (Bent, 2008).
Contoh kasus yang dilaporkan yaitu kasus ibu hamil yang mengalami
kesulitan dalam proses melahirkan. Dalam dua tahun dilaporkan
beberapa kasus sejenis di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta. Pasien
mengalami periode hamil yang diperpanjang dan setelah dilakukan
operasi Caesar, ditemukan selaput cair janin berwarna kehijauan.
Pasien mengatakan bahwa mereka mengkonsumsi produk jamu
khusus yaitu cabe puyang yang mengandung cabe jawa (Piper
retrofractum) dan empirit lempuyang (Zingiber americans). Konstituen
aktif produk jamu ini belum jelas. Menurut tes farmakologis in situ
ekstrak produk jamu mungkin menghambat kontraksi rahim sebagai
efek dari alkaloid piperine (Pramono dalam Torri, 2012).
Kasus di atas menunjukkan bahwa produk herbal tidak
sepenuhnya aman, untuk itu akan lebih baik bila produk-produk
herbal tersebut diteliti dari manfaat dan keamanannya. Salah satu
produk herbal yang sudah beredar dipasaran adalah produk herbal
“X” yang merupakan produk salah satu industri obat tradisional di
Indonesia yang diklaim mampu menurunkan tekanan darah tinggi.
Produk herbal “X” merupakan produk herbal kategori jamu. Komposisi
produk herbal “X” yaitu Morinda citrifolia fructus dan Nigella sativa
semen. Berbagai penelitian tentang aktivitas dan keamanan kedua
tanaman ini (dalam bentuk tunggal) pun sudah banyak dilakukan
termasuk penentuan nilai LD50. Akan tetapi kombinasi 2 tanaman ini
berpotensi terjadinya interaksi karena 2 senyawa yang diberikan
bersamaan sehingga perlu dilakukan peninjauan keamanannya.
Salah satu uji keamanan yang dapat dilakukan adalah uji
toksisitas akut. Uji ini dapat menghasilkan informasi tentang gejala
keracunan dan nilai LD50 (Lethal Dose) yang akan memberikan
gambaran besarnya daya racun suatu bahan, dan dari sini dapat
diketahui kategori tingkat toksisitas suatu produk herbal (Ngatidjan,
2006).
2. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui efek toksisitas akut produk herbal “X” yang mengandung
kombinasi biji jinten hitam (Nigella sativa L.) dan buah mengkudu
(Morinda citrifolia L.) yang diukur dengan penentuan nilai lethal dose
(LD50).
Mengetahui kategori tingkat toksisitas produk herbal “X” yang
mengandung kombinasi biji jinten hitam (Nigella sativa L.) dan buah
mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap mencit putih betina galur
Swiss-Webster.
Mengetahui apakah terdapat tanda-tanda toksisitas pada mencit
putih betina galur Swiss-Webster yang diberi produk herbal “X” yang
mengandungkombinasi biji jinten hitam (Nigella sativa L.) dan buah
mengkudu (Morinda citrifolia L.).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan
metode Up and Down dan terdiri dari 2 kelompok perlakuan, yaitu
kelompok kontrol dan kelompok uji. Hewan uji yang digunakan dalam
penelitian ini adalah mencit putih betina galur Swiss-Webster usia 8-
12 minggu dengan selisih berat badan antar mencit tidak lebih dari
±20%. Sampel yang digunakan adalah produk herbal “X” yang
mengandung kombinasi biji jinten hitam (Nigella sativa L.) dan buah
mengkudu (Morinda citrifolia L.).
Prosedur Penelitian
1 5000 O O
2 5000 O O
3 5000 O O
Penga 0 6 1 1 2 H H H H H H H H H H H H H
mata 2 8 4
n m 0 0 0 0 1 1 1 1
m m m m 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 1
4
Pirolek - - - - - - - - - - - - - - - - - -
si
Konvul - - - - - - - - - - - - - - - - - -
si
Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Nyeri - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mata N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Reflek
Daun N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Teling
Salivasi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Lakrima - - - - - - - - - - - - - - - - - -
si
Hiperak - - - - - - - - - - - - - - - - - -
tivi
tas
Mortalit - - - - - - - - - - - - - - - - - -
as
Keterangan:
Jantun
g
Hati
Ginjal
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil
beberapa kesimpulan, diantaranya:
1. Produk herbal “X” memiliki Nilai LD 50 lebih besar dari 5000
mg/kgBB.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Kesehatan. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Tahun 2007. Diambil dari
https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset- kesehatan-
dasar-riskesdas/.
ABSTRAK
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme
lemak, karbohidrat, dan metabolisme protein yang ditandai dengan
beberapa macam resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif.
Resistensi insulin dimanifestasikan oleh peningkatan lipolisis dan
produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik,
dan penurunan serapan otot rangka glukosa, kerja insulin (sensitivitas)
atau keduanya (Wells dkk, 2015). Menurut World Health Organization
(2019), diabetes mellitus merupakan salah satu penyebab utama gagal
ginjal, 10-20% penderita diabetes mellitus meninggal karena gagal
ginjal. Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM
adalah masalah kesehatan yang besar. Terjadi peningkatan jumlah
penderita diabetes dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, sebanyak
415 juta orang dewasa memiliki diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108
juta di tahun 1980an. Indonesia menempati peringkat ke tujuh dunia
untuk prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia dengan jumlah
estimasi orang dengan diabetes sebesar 10 juta (IDF, 2015).
Penatalaksanaan DM tipe 2 sering membutuhkan penggunaan
beberapa terapi agen (terapi kombinasi), termasuk oral dan/atau
antihiperglikemik dan insulin injeksi untuk mendapatkan tujuan
penurunan kadar gula darah. Manajemen faktor risiko penyakit
kardiovaskular DM tipe 2 diperlukan untuk mengurangi risiko
kardiovaskular yang merugikan. Penghentian merokok, penggunaan
antiplatelet terapi sebagai strategi pencegahan utama. Metformin
direkomendasikan dalam terapi untuk pasien DM tipe 2 dengan
obesitas jika tidak kontraindikasi, karena metformin merupakan satu-
satunya obat antihiperglikemik oral terbukti mengurangi risiko total
mortalitas (Wells dkk, 2015). Obat- obat hipoglikemik oral terutama
ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II yaitu
golongan sulfonilurea, biguanida, tiazolidindion dan golongan inhibitor
α-glukosidase (Gunawan, 2016).
Glibenklamid merupakan salah satu obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea yang sering digunakan dikalangan masyarakat
meskipun secara umum telah diketahui memiliki berbagai efek samping.
Contohnya pada penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa
glibenklamid memiliki efek nefrotoksik dan hepatotoksik (Khoja, 2004).
Pada penelitian lain mengungkapkan bahwa pengobatan glibenklamid
memiliki peran yang signifikan dalam menurunkan glukosa darah tetapi
pada saat yang sama meningkatkan stres oksidatif, yang terlihat dalam
aktivitas malondialdehid tinggi dari kedua jaringan hati dan pankreas
(Pandarekandy dkk, 2017).
Efek samping yang telah diketahui tidak membuat masyarakat
untuk berhenti menggunakan terapi glibenklamid. Oleh sebab itu telah
dilakukan penelitian yang membuktikan bahwa terapi kombinasi
glibenklamid dengan ekstrak buah mengkudu pada dosis 170 mg/kgBB
340 mg/kgBB selama 14 hari sebagai komplemen glibenklamid pada
dosis 1,3 mg/kgBB mampu menurunkan kadar glukosa darah mencit
diabetes yang masing- masing sebesar 66,45% dan 59,06%. Nilai
persentase penurunan kadar glukosa darah tersebut lebih besar
dibandingkan pemberian glibenklamid tunggal (Meisyayati dan Lidia,
2011). Pada penelitian lain mengungkapkan bahwa ekstrak buah
mengkudu (Morinda citrifolia L.) memiliki aktivitas antioksidan dengan
hasil identifikasi kandungan terbesar buah mengkudu adalah senyawa
n-hexadecanoic acid, squalene, pyridin-3-carboxamide, oxime, N-(2-
trifluoromethylphenyl) dan β – sitostero yang terdapat pada fraksi
klorofom (Sogandi dan Rabima, 2019). Kombinasi sari rimpang kunyit
putih dengan sari buah mengkudu bersifat hepatoprotektor, sehingga
diharapkan dapat digunakan untuk pengobatan pasien pengidap
gangguan fungsi hati atau pasien dengan SGOT dan SGPT tinggi
(Ma’at, 2012). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Karamcheti dkk
(2014) menyebutkan bahwa ekstrak buah mengkudu memiliki sifat
nefroprotektor dengan dosis tunggal harian ekstrak Morinda citrifolia
200 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB selama 14 hari setelah dosis tunggal
cisplatin pada hari 1 secara signifikan menurunkan urea, kreatinin,
kadar protein pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan
kelompok toksik.
Adanya efek hipoglikemia pada penggunaan kombinasi
glibenklamid dengan ekstrak buah mengkudu, maka diharapkan kedua
tersebut dapat mengurangi efek hepatotoksik dan nefrotoksik yang
disebabkan dari terapi glibenklamid. Untuk itu penelitian ini dilakukan
untuk melihat apakah kombinasi tersebut dapat mengurangi efek
hepatotoksik dan nefrotoksik yang disebabkan dari terapi glibenklamid.
2. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui apakah pemberian kombinasi glibenklamid dan
ekstrak buah mengkudu dapat menurunkan risiko hepatotoksik
3. METODE
Penelitian ini menggunakan metode studi eksperimental secara in
vivo dengan pendekatan post test with control group design dengan
subjek penelitian ini adalah tikus putih (Rattus nervegicus) galur wistar,
berusia 2-3 bulan, berat badan antara 180-200 gram. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi STIFI Bhakti Pertiwi
Palembang dan BBLK Palembang. selama 3 bulan.
Nilai Rerata
No Dosis Perlakuan
Kontrol Negatif
(NaCMC 0,5%)
Kontrol Positif
SGPT
± SD( U/L)
62 ± 10,22
77,4 ± 13,64
77 ± 7,38
75,2 ± 19,67
Kontrol Negatif
(NaCMC 0,5%)
Kontrol Positif
mg/kgBB
± SD (mg/dL)
0,62 ± 0,83
0,38 ± 0,53
0,45 ± 0,93
0,44 ± 0,83
Diagram Batang Rerata Kadar SGPT
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Tingkatan hepatotoksik dan nefrotoksik glibenklamid tunggal dan
glibenklamid dengan komplemen ekstrak buah mengkudu dalam
kategori normal.
2. Tidak ada perbedaan signifikan pada tingkatan hepatotoksik antara
pemberian glibenklamid tunggal dan pemberian glibenklamid
dengan komplemen ekstrak buah mengkudu.
3. Tidak ada perbedaan signifikan pada tingkatan nefrotoksik antara
pemberian glibenklamid tunggal dan pemberian glibenklamid
dengan komplemen ekstrak buah mengkudu.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad, Mruthunjaya K.B., Nandini C.A., Nabeel K.A dan
Manjula S. N. 2016. Chemoprotective Effect Of Noni (Morinda
Citrifolia L.) Fruit Juice Against Cisplatin-Induced Nephrotoxicity.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences,
8(10), 105 – 110.
Arjadi, Fitranto, Dhadhang Wahyu K., Tomi Nugraha, Fikriah Rismi F.,
Emiliza Salman, dan Nafisah Putri W. 2017. Pengaruh Pemberian
Ekstrak Akar Purwoceng (Pimpinella pruatja Molk.) Secara Akut
Terhadap fungsi Hepar Tikus Putih Jantan: Uji Toksisitas Akut.
Prosiding Seminar Nasional dan Cali For Papers, Purwokerto.
Gunawan, Gan Sulistia. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Lestari, Tri, Yuliani mardiati L., Sri Wahyuni N., Sri Lestari W. N., Djong
Hon T., Hermansyah Aziz, Rahmana Zein dan Ali Napiah N. 2019.
Uji Efektivitas Ekstrak Buah Kurma dan Ekstrak Buah mahkota
Dewa Dari Pemeriksaan SGOT dan SGPT Terhadap Tikus Yang
Di Induksi Parasetamol. JURNAL FARMACIA, 1(1): 1-7.
Ma’at, Suprapto. 2012. Kunyit Putih Dan Buah Mengkudu Sebagai
Hepatoprotektor Terkait Karbon Tetraklorida. Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 19(1), 34–36.
Saryanto dan Danang Ardiyanto. 2015. Uji Toksisitas Akut dan Sub
Kronis Ramuan Jamu untuk Fibro Adenoma Mamae (FAM).
Prosiding Seminar Nasional Peluang Herbal Sebagai Alternatif
Medicine. Semarang.
Shayne C. Gad. 2007. Animal Model in Toxicology (2rd ed.). New York:
Taylor & Francis.
Wardani, Rizka N., Elly Nurus S. dan Yudha Nurdian. 2016. Pengaruh
Pemberian Ekstrak Etanol Brokoli (Brassica oleracea) Terhadap
Kadar SGOT dan SGPT Tikus Wistar yang Diinduksi DMBA. E-
Jurnal Pustaka Kesehatan, 4(2): 196-199.
Wells, Barbara G., Joseph T. DiPiro, Terry L. Schwinghammer, dan
Cecily V. DiPiro. 2015. Pharmacotheraphy Phatophysiologic
Approach Ninth Edition.United State American: McGraw-Hill
Education.
ABSTRAK
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
2. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui apakah fraksi aktif gambir memiiliki efek
mengurangi luas lesi mukosa gaster tikus model gastritis dan
menurunkan eksprei TNF-α pada jaringan mukosa gaster tikus model
gastritis.
3. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
eksperimental in vivo dengan pendekatan post tes with control
group design.
a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus)
galur Wistar, berusia 2-3 bulan, berat badan antara 150-200 gram,
memiliki kondisi sehat yang ditandai dengan surat keterangan
sehat. Besar sampel penelitian dihitung menggunakan rumus
federer:
(n-1) x (t-1) ≥ 15
Keterangan : n: jumlah sampel
t: jumlah perlakuan Didapatkan bahwa jumlah
minimum sampel tiap kelompok adalah 3 ekor tikus.
2. Prosedur:
a. Persiapan sampel: jaringan gaster disentrifugasi 3000 rpm
selama 20 menit. Kemudian, supernatan diambil dan
dimasukkan ke dala m tabung eppendorf.
b. Persiapan reagen:
1.Biotin-antibody (1x) : 10 µL biotin-antibody + 990 µL
biotinantibody diluent.
2.HRP-aidin (1x) : 10 µL HRP- avidin + 990 µL HRP-avidin
diluent.
3.Wash buffer (1x) : larutkan 20 ml wash buffer ke dalam 500
ml aquadest.
4.Standard : siapkan standard dengan serial konsentrasi 2000,
1000, 500, 250, 125, 62,5 , 31,25 dan 0 pg/ml.
c. Pemeriksaan Kadar:
1.Tambahkan 100 µl standard dan sampel pada tiap sumuran.
Tutup mikroplate dengan adhesive strip. Inkubasi selama 2 jam
pada 37oC.
2.Buang cairan yang ada pada tiap sumuran, tetapi jangan
mencuci sumuran.
3.Tambahkan 100 µl biotin- antibody (1x) pada tiap sumuran.
Tutup mikroplate dengan adhesive strip. Inkubasi selama 30
menit pada 37oC.
4.Aspirasi cairan pada tiap sumuran dan cuci dengan wash
buffer (200µl), ulangi sebanyak 3 kali.
5.Tambahkan 100 µl HRP-avidin (1x) pada tiap sumuran.
Tutup mikroplate dengan adhesive strip. Inkubasi selama 30
menit, pada suhu 37oC.
6.Aspirasi cairan pada tiap sumuran dan cuci dengan wash
buffer (200µl), ulangi sebanyak 5 kali.
7.Tambahkan 90 µl TMB substrate pada tiap sumuran.
Inkubasi selama 15 menit pada 37oC.
8.Tambahkan 50 µl stop solution pada tiap sumuran.
9.Tentukan nilai OD dengan mikroplate reader pada panjang
gelombang 450nm.
10. Pemeriksaan kadar dilakukan secara duplo pada tiap
sumuran dan cuci dengan wash buffer (200µl), ulangi
sebanyak 5 kali.
11. Tambahkan 90 µl TMB substrate pada tiap sumuran.
Inkubasi selama 15 menit pada 37oC.
12. Tambahkan 50 µl stop solution pada tiap sumuran.
13. Tentukan nilai OD dengan mikroplate reader pada panjang
gelombang 450nm.
f. Analisis Data
Analisis statistika dilakukan dengan program SPSS 23. Perbedaan
rerata k ekspresi protein TNF-α, dan luas lesi mukosa lambung diuji
secara bivaratiat dan multivariat dengan signifikansi P < 0,05.
DAFTAR PUSTAKA
Azis, N. 2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 dalam Pengobatan
Ulkus Peptikum. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 4. p. 222-226.
Carpani de Kaski, M., Rentsch, R., Levi, S., Hodgson, H.J. 1995.
Corticosteroids reduce regenerative repair of epithelium in
experimental gastric ulcers. Gut. PubMed. 37:613– 616.
Kalaiselvi, P., Rajashree, K., Priya, L.B., dan Padma, V.V. 2013.
Cytoprotective Effect of Epigallocatechin-3-gallate Against
Deoxynivalenol-induced Toxicity Through Antioxidative and Anti-
inflammatory Mechanisms in HT-29 c.
Siregar, A., Halim, S., Ricky R.S. 2015. Serum TNF-α. IL-8, VEGF
Levels in Helicobacter pylori Infection and Their Association with
Degree of Gastritis. Faculty of Medicine Universitas Sumatera
Utara: Vol,47. No,2.
Suhatri, Zet R. Debhi M.I. 20015. Pengaruh Pemberian Gambir dari
Uncaria gambir (Hunter) roxb Terhadap ph dan tukak lambung
pada tikus putih Jantan. Padang: Jurnal Farmasi Higea, Vol.7, No.1.
7.
1
Mahasiswa Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi
Palembang
ABSTRAK
ABSTRACT
I. PENDAHULUAN
Sedatif merupakan salah satu golongan obat pendepresi Susunan
Saraf Pusat (SSP). Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang
ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang
berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma, dan mati.
Beragam obat golongan pendepresi SSP yang dapat digunakan sebagai
efek sedasi tetapi banyak diantara obat tersebut memiliki efek samping
toksik dan menyebabkan kematian pada saat pemakaiannya. Salah satu
contoh obat dari golongan pendepresi saraf pusat yang biasa sering
digunakan adalah obat diazepam dari golongan benzodiazepin dan
phenobarbital dari golongan barbiturat (Utama dan Vincent, 2007)
Salah satu nya adalah infusa kombinasi biji pala dan daun kemangi
yang di gunakan sebagai efek anti depresan (Devi dkk, 2018), Infusa
Kombinasi biji alpukat dan biji pepaya yang di gunakan sebagai efek
hipoglikemia (Nurkhalifa dkk, 2014).
b. Hewan Percobaan
c. Perencanaan Dosis
d. Prosedur Penelitian
c) Kombinasi infusa daun nangka 5% b/v dan daun sirsak 17,5% b/v
Dibuat dengan cara menambahkan 50 ml infusa daun nangka
10% b/v kedalam 50 ml infusa daun sirsak 35% b/v.
d) Kombinasi infusa daun nangka 2,5% b/v dan daun sirsak 8,75%
b/v
Dibuat dengan cara menambahkan 25 ml infusa daun nangka
10% b/v kedalam 25 ml daun sirsak 35% b/v dan dicukupkan
dengan aquadest hingga volume 100 ml.
22,4 ± 2,70
dan larutkan dengan aquadest hangat + ITD
hingga larut, lalu tambahkan sisa aquadest hingga 10ml.
KI 1/4 (ITDN 2,5% b/v + ITDS 8,75%
b/v)
12,8 ± 1,30
80
Kelompok Perlakuan
60
0
Rerata waktu
bertahan
(detik)
masing-
masing
kelompok
perlakuan
Kelompok Perlakuan
77 ± 2,64
62,4 ± 6,10
36,9 ± 3,49
V. KESIMPULAN
1) Kombinasi infusa setengah dosis tunggal (5% b/v dan 17,5% b/v)
serta seperempat dosis tunggal (2,5% b/v dan 8,75% b/v)
menunjukkan efek sedatif yang lebih besar dibandingkan dengan
sediaan infusa tunggal masing-masing.
2) Kombinasi infusa seperempat dosis tunggal (2,5% b/v dan 8,75%
b/v) memberikan hasil yang lebih optimal dibanding infusa setengah
dosis tunggal (5% b/v dan 17,5% b/v) dan kombinasi tersebut
menunjukkan efek yang sinergis
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, E. (2016). Uji Efek Sedatif Ekstrak Etanol Daun Nangka
(Artocarpus hetereropyllusLamk.)Terhadap Mencit Putih Jantan
Galur Swiss Webster. (Skripsi). Palembang : STIFI BP
Palembang.
Badan POM R.I. (2011). Acuan sediaan herbal. (Cetakan pertama). Jakarta : Direktorat
OAI, Deputi II, Badan POM R.I.
Dewi, T., Budi, S.C., Yusrina, S.C. (2014). Ujidaya hambat infusa daun
nangka (Artocarpus hetereropyllusLamk.) terhadap pertumbuhan
bakteru Staphylococcus aureus. Jurnal permata Indonesia, 5(2),
1-7.
K.S Ika Devi., Khoirunissa., dan Istriningsih E., (2018). Efek antidepresan
kombinasi infusa biji pala (Myristica fragrans) dan daun kemangi
(Ocimum basilicum) pada mencit jantan putih (Mus musculus).
Jurnal para pemikir, 7(2).
Rizki, N. K. (2014). Uji Efek Sedatif Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona
muricata L.) Terhadap Mencit Putih Jantan Galur Swiss Webster.
(Skripsi). Palembang : STIFI BP Palembang.
1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan
Palembang
ABSTRAK
Kata kunci : Isolasi beta karoten, tabir surya, krim, wortel, logam kalsium.
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki
paparan sinar matahari yang tinggi(Yulianti,2015).Radiasi sinar
matahari terdiri atas sinar infra merah (>760 nm), sinar tampak (400-
760 nm), dan sinar UV (ultra violet) yang terdiri atas UV A (320-400
nm), UV B (290- 320 nm) serta UV C (200-290 nm). Sinar matahari
yang sampai di permukaan bumi dan mempunyai dampak negatif
kerusakan terhadap kulit adalah sinar UV A dan UV B, sedangkan
UV C tertahan karena diabsorbsi seluruhnya oleh lapisan ozon
sehingga tidak mencapai permukaan bumi(Shovyana,2013).
Paparan sinar matahari selain memberikan efek menguntungkan
juga memberikan efek merugikan pada tubuh manusia
bergantung pada panjang dan frekuensi paparan, intensitas sinar
matahari, dan sensitivitas individu yang terpapar(Damogalad,2013).
Paparan sinar UV yang berlebihan dapat mengakibatkan sunburn,
eritema, hiperpigmentasi, penuaan dini, bahkan kanker kulit.Untuk
mencegah efek merugikan tersebut, dapat dilakukan beberapa
cara, salah satunya adalah pemakaian tabir surya(Rejeki.2015).
Tabir surya (sunscreen) adalah bahan yang dapat
mengabsorbsi, memantulkan, atau menghamburkan radiasi UV
sehingga dapat menjaga kulitdari efek UV yang
membahayakan(Subchan,2011).
Tabir surya dapat dibuat dalam berbagai sediaan farmasisalah
satunya adalah sediaan krim. Krim adalah bentuk sediaan
setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut
atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.(Kemenkes
RI.2014)
Antioksidan dalam pengertian biologis adalah semua senyawa
yang dapat meredamdan atau menonaktifkan serangan radikal
bebas dan ROS atau Reactive Oxygen Species (Halliwel and
Gutterridge, 2007). Antioksidan dapat melawan pengaruh bahaya
dari radikal bebas sebagai hasil metabolisme oksidatif, yaitu hasil
reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi di dalam
tubuh.Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa
antioksidan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit kronis
seperti kanker dan jantung koroner. (Amrun et al, 2007)
Penggunaan antioksidan pada sediaan tabir surya dapat
meningkatkan aktivitas fotoprotektif dan dapat mencegah berbagai
penyakit yang ditimbulkan oleh radiasi sinar ultraviolet. Adapun
beberapa senyawa aktif antioksidan seperti flavonoid, tanin,
antrakuinon, sinamat, vitamin C, vitamin E, dan betakaroten telah
dilaporkan memiliki kemampuan sebagai pelindung terhadap sinar
ultraviolet(Ayuningrum, 2016).
Bahan –bahan alami yang dapat digunakan sebagai tabir
surya antara lain lidah buaya, pepaya,stroberi,semangka,kelapa
dan mentimun.Penelitianini menggunakan wortel untuk bahan
yang berfungsi sebagai tabir surya. Penggunaan bahan alami
sebagai bahan tabir surya karena bahan alami memiliki efek
yang dapat mengurangi iritasi bagi kulit hyperallergic
(Malsawmtluangi et al., 2013; Vender, 2008).
Salah satu bahan alam yang merupakan sumber antioksidan
adalah wortel(Daucus carota L)(Ahmad,2016).Wortel mengandung
senyawa beta karoten dan vitamin A. (Simon, 2015).Beta karoten
memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan dengan menetralisis
radikal bebas yang timbuldari reaksi normal biokimia tertentu
ataupun dari sumber eksogen seperti polusi udara, asap rokok,
pelatihan fisik berlebih. Beta karoten juga dapat meredam singlet
oksigen,suatu molekul yang reaktif yg terbentuk dari pajanan sinar
UV pada kulit,sehingga dapat mencegah berkembangnya menjadi
sel kanker. (Roche, 2000)
Salah satu sediaan krim tabir surya dengan ekstrak wortel yang
telah beredar di pasaran adalah sediaan tabir surya merek, “Biotique
Botanical Bio Carrot” dengan nilai SPF sebesar 40 yang digunakan
pada pagi hari sebelum beraktivitas. Sediaan ini mengandung
ekstrak total wortel sebanyak 2,5%. Krim tersebut mengandung
bahan tabir surya kombinasi sintetik (talk) dan alam (ekstrak
Daucus carota, Nyctanthesarbortristis dan Symplocos racemosa).
Malsawmtluangietal(2013) telah melakukan penelitian uji
efektivitas tabir surya dari β-carotenedengan menggunakan ekstrak
perasan air wortel dengan konsentrasi 10% yang menghasilkan
nilaiSPF yaitu1,34±0,13. Konsentrasi ekstrak wortel sebesar 10%
mendasari dari penelitian ini untuk dilakukan modifikasi dari variasi
konsentrasi ekstrak wortel sebesar 0,5%, 1% dan 2,5% yang
kemudian akan dilakukan pemilihan konsentrasi ekstrak wortel
yang memiliki nilai SPF tertinggi sehingga memenuhi kriteria sebagai
bahan tabir surya yaitu memiliki nilai SPF sekitar 2 untuk dilakukan
formulasi krim tabir surya (Balakrishnan and Narayanaswamy,
2011)
Basis krim yang digunakan mengacu pada penelitian Harry
(2019)yang berjudul “Formulasi Sediaan Krim Tabir Surya dari
Ekstrak Etanol Buah Bisbul (Diospyros blancoi)”karena basis krim ini
memiliki hasil uji mutu fisik yang baik, bersifat stabil (tidak ada
pemisahan antara fase minyak dan air),tidak terjadi perubahan
derajat keasaman(p H)yang signifikan, perubahan viskositas yang
tidak signifikan setelah penyimpanan selama 4 minggu.
Tipe krim dibedakan menjadi dua tipe, yaitu krim tipe minyak
dalam air(M/A) dan air dalam minyak (A/M). (Kemenkes RI. 2015)
Krim tipe M/A (vanishing cream) mudah dicuci dengan air, jika
digunakan pada kulit, maka akan terjadi penguapan dan
peningkatan konsentrasi dari suatu obat yang larut dalam air,
sehingga mendorong penyerapannya ke dalam jaringan kulit.
Sedangkan krim tipe A/M memiliki daerah sebaran lebih baik dan
rasa panas minimal pada kulit(Shovyana.2013). Pada penelitian ini
tipe krim yang digunakan dalam formulasi adalah tipe A/M sebagai
basis karena lebih lama melekat di kulit dan dapat melembutkan
kulit.
2. TUJUAN PENELITIAN
Untuk membuat sediaan tabir surya dari sari wortel (Daucus carrota
L)dalam bentuk sediaan krim.
3. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental
dengan membuat beberapa formulasi sediaan krimtabirsurya yang
mengandung ekstrak beta karoten dari wortel (DaucusCarota L)
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya blender,
saringan (alatserkai), corong, gelasukur, tabung reaksi, centrifuge, pot,
mortir, stamper, sudip sendok spatula, erlenmayer, beaker glass, cawan
penguap, kacaarloji, pH meter, dan objek glass. Bahan yang digunakan
pada penelitian ini diantaranya ekstrak betakaroten dari sari wortel lokal
yang diperoleh dari pasar daerah sekip palembang, dengan ciri berwarna
jingga terang, berukuran 5-10 cm, dengan diameter 3-5 cm, Cera Alba,
Sorbitan Monostearat, paraffin cair, nipagin, nipasol, Trietanolamin, Aqua
c. Cara Kerja
5)UjiHomogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan pada objek
glass dan dilihat apakah terdapat butir-butir kasar yang tertinggal pada
kaca tersebut(Ilham, 2016)
6)Uji dayasebar
Uji daya sebar dilakukan dengan meletakkan 0,1 gram krim ditengah
kaca bulat kemudian kaca penutup diletakkan diatas krim dan didiamkan
selama 1 menit hitung diameter krim yang menyebar. Selanjutnya
ditambah beban seberat 50 gram diatas kaca penutup dan dibiarkan 1
menithitung diameter krim yang menyebar.Percobaan dilanjutkan dengan
beban sebesar 100, 150 dan 200 gram (Nova,2012)
MS : Memenuhi Syarat
pH yang memenuhi syarat 4,5-6,5(Djajadisastra,2004)
b. Daya Sebar
Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula mempunyai daya
oles yang baik dilihat dari hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan
krim semakin menyebar ketika beban bertambah
5. KESIMPULAN
Beta karoten dari ekstrak wortel (DaucusCarota L) dapat
diformulasikan menjadi sediaan krim tabir surya yang stabil dan
memenuhi persyaratan. Formula krim tabir surya yang paling optimal yaitu
formula II yang mengandung cera alba 1,20g; paraffin cair 4g; span 60
0,16g; trietanolamin 0,24g.
Untuk pH, Suhu lebur, daya oles, homogenitas memenuhi persyaratan
dan stabil secara fisik. tidak mengalami perubahan bau, warna serta tidak
terjadi iritasi kulit saat digunakan.
6. HASIL PRODUK
DAFTAR PUSTAKA
Ayuningrum. Uji stabilitas fisik dan penentuan nilai SPF (sun protection
factor) krim tabir surya ekstrak kulit buah pepaya (Carica
papaya L.).Ungaran: Sekolah Tinggi Kesehatan Ngudi Waluyo
Ungaran. 2016.
Damogalad V, Edy HJ, Supriati HS. Formulasi krim tabir surya ekstrak
kulit nanas (Ananas winosus L MERR) dan uji in vitro sun
protecting faCtor (SPF). Pharmacon. 2013; 2(2): 39-43.
Maulina, Ika.Uji stabilitas fisik dan aktivitas antioksidan sediaan krim yang
mengandung ekstrak umbi wortel (Daucus Carota L.) Universitas
Indonesia.2011
Shovyana HH, Zulkarnain AK. Stabilitas fisik dan aktivitas krim W/O
ekstrak etanolik buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpha(Scheff .) Boerl,) sebagai tabir surya. Trad. Med. J.
2013;18(2):109-17
1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan
Palembang
ABSTRAK
Abstract
The quality and limited source of natural dyes causes the use of
synthetic dyes widely used in various pharmaceutical preparations.
However, the content of synthetic dyes can trigger certain adverse
reactions for vulnerable patients. The red betel leaf plant (Piper
crocatum) contains the most striking natural flavonoid compound,
anthocyanin, which forms the basis of the red pigment. The purpose of
this study is to extract anthocyanins from red betel leaves (Piper
crocatum) to be a quality natural dye and have good physical stability in
syrup. This research is doing by the experimental method by extracting
red betel leaf and making it a powder that will be tested for stability by
variations in the concentrations of extracts and variations of citric acid
concentrations that based on the pH stability. The results showed that
the color in the syrup already qualified pH test and color stability of the
syrup storage. The best formula for taste, color and aroma paracetamol
syrup is the second formula
Latar Belakang
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengekstraksi antosianin dari daun
sirih merah (Piper crocatum) menjadi pewarna alami yang bermutu
serta mengetahui kestabilan fisiknya pada sediaan sirup.
Metode
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sirih merah,
metanol murni (hasil destilasi), akuades, HCl pekat, aerosol. Alat yang
digunakan yaitu seperangkat alat distilasi, rotary evaporator, neraca
analitik, kertas saring (Whatman No.1), alat gelas.
Pertama dilakukan persiapan sampel. Sampel yang digunakan
adalah bagian daunnya saja. Daun sirih merah disortasi dan dicuci
bersih dengan air mengalir, kemudian dirajang tipis-tipis. Daun dikering
anginkan pada suhu ruang selama 1-2 hari.
Daun sirih merah lalu dimaserasi dengan methanol murni (hasil
destilasi) yang mengandung HCl 1 % (pH 4) dengan perbandingan
sampel terhadap pelarut 1 : 4 (b/v), selama 3 hari pada suhu dingin (±
5⁰C). Filtrat disaring dengan kertas Whatman No. 1, lalu di
enaptuangkan selama 2 hari. Maserat ini digunakan untuk identifikasi.
Kemudian, maserat dipekatkan menggunakan rotary evaporator di suhu
35⁰C sehingga didapatlah ekstrak kental. Ekstrak kental ini ditambah
dengan sejumlah aerosil dengan perbandingan 1 : 2 hingga menjadi
padatan / serbuk.
Tabel 1. Formula Sirup Paracetamol
Variasi ektrak
No Nama Bahan FI F2 F3 F4
1 Paracetamol 1.44 g 1.44 g 1.44 g 1.44 g
2 Sukrusa 0,6 g 0,6 g 0,6 g 0,6 g
3 Propilen glikol 12,9g 12,9g 12,9g 12,9g
No Nama Bahan FI F2 F3 F4
1 Paracetamol 1.44 g 1.44 g 1.44 g 1.44 g
2 Sukrusa 0,6 g 0,6 g 0,6 g 0,6 g
3 Propilen 12,9g 12,9g 12,9g 12,9g
Glikol
4 Acid citric 1g 02g 3g 0,6 g
5 Natrium 0,66 g 0,66 g 0,66 g 0,66 g
Benzoat
6 Serbuk ektrak sirih 0,2 g 0,2 g 0,2 g 0,2 g
Merah
7 Aquadest Ad Ad Ad Ad
60ml 60ml 60ml 60ml
a. pH
Variasi Ekstrak
Keterangan :
MS : Memenuhi Persyaratan
MS : Memenuhi Persyaratan
Kesimpulan
Sirup parasetamol ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) yang
memiliki variasi perbandingan ekstrak formula I 0.15g formula II 0.2g, dan
formula III 0.3g setelah dilakukan evaluasi kestabilan warna formula II
menunjukkan warna yang lebih stabil. Setelah didapatkan kestabilan
warna dari formula II selanjutnya dilakukan variasi asam sitrat untuk
mengatur kadar keasaman sirup paracetamol dengan menggunakan
perbandingan asam sitrat formula I 1g, formula II 2g dan formula tiga 3g.
Formula II menunjukkan kestabilan pH pada lama penyimpanan yang
dilakukan selama 28 hari. Formula sediaan sirup paracetamol yang
optimal ialah formula II dengan ekstrak 0,2g dan asam sitrat 2g. Formula II
dapat diformulasikan menjadi sirup yang memenuhi syarat uji kestabilan
pH, dan uji tanggap rasa, warna, dan aroma. Selain itu sirup ekstrak daun
sirih merah (Piper crocatum) dari formula II adalah yang paling disukai
responden.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam, Materi 4: Ilmu Kimia
Flavonoid. Karunika Universitas Terbuka. Jakarta.
1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan
Palembang
ABSTRAK
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
Mual dan muntah pada kehamilan atau nausea and vomiting of
pregnancy (NVP), dalam istilah medis dikenal dengan emesis
gravidarum merupakan komplikasi umum yang paling sering terjadi
selama kehamilan hingga 85% pada ibu hamil (Madjunkova et al., 2013).
Maka dari itu diperlukan terapi untuk mengurangi mual dan muntah ,
salah satu terapi yang diapakai ialah terapi komplementer menggunakan
aromaterapi. Aromaterapi merupakan salah satu terapi kesehatan yang
menggunakan minyak esensial (sari pati) hasil ekstraksi bunga, daun,
buah dan bagian lain tumbuh- tumbuhan (Balkam, 2001). Prinsip utama
aromaterapi yaitu pemanfaatan bau dari tumbuhan atau bunga untuk
mengubah kondisi perasaan, psikologi, status spiritual, dan
mempengaruhi kondisi fisik seseorang melalui hubungan pikiran dan
tubuh pasien (Carstens, 2010). Sumber minyak essensial yang
digunakan sebagai aromaterapi diantaranya berasal dari Papermint,
bunga lavender, bunga mawar, jahe dan lemon (Allen, 2007; Buckle,
2007; Kim, et al, 2007).
Minyak essensial lemon (Oleum Citrus limon L) blended Minyak
Peppermint (Oleum Menthae pipperitae L) adalah salah satu yang paling
banyak digunakan dan dianggap aman pada kehamilan . Menurut
sebuah studi, telah terbukti bahwa aroma lemon tersebut efektif untuk
mengontrol gejala mual dan muntah pada 26,5% wanita hamil (Kia et al,
2014). Minyak esensial lemon mengandung limonene 66-80%,
geranilasetat, nerol, linalilasetat, á pinene 0,4-15%, á pinene 1-4%,
terpinene 6-14% dan myrcen. Ketika minyak essensial dihirup, molekul
masuk ke rongga hidung dan merangsang sistem limbik di otak. Sistem
limbik adalah daerah yang mempengaruhi emosi dan memori serta
secara langsung terkait dengan adrenal, kelenjar hipofisis, hipotalamus,
bagian- bagian tubuh yang mengatur denyut jantung, tekanan darah,
stress, memori, keseimbangan hormon, dan pernafasan.
Begitu banyak jenis minyak essensial yang ada. Jenis minyak
essensial yang biasa digunakan adalah pappermint, spearmint (3 tetes),
lemon, dan jahe ( 2 tetes) (Santi, 2013). Sediaan gel biasa disebut jeli,
merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,
terpenetrasi oleh suatu cairan. Keuntungan gel dibandingkan dengan
bentuk sediaan topikal lainnya yaitu memungkinkan pemakaian yang
merata dan melekat dengan baik mudah digunakan mudah meresap dan
baik, mudah digunakan, mudah meresap, dan mudah dibersihkan oleh
air.
Selain itu aromatherapy gel dapat di variasikan dengan Surfaktan
salah satunya Triethanolamin yang merupakan senyawa organik bersifat
ampifatik dimana senyawa tersebut memiliki gugus hidrofobik (bagian
ekor) dan gugus hidrofilik (bagian kepala). Sehingga dengan adanya
kedua gugus tersebut, surfaktan dapat larut baik dalam air maupun dalam
pelarut organik. Ketika surfaktan dicampurkan kedalam emulsi, surfaktan
akan menutupi permukaan droplet dengan bagian hidrofobiknya terdapat
dalam droplet (minyak) dan bagian hidrofiliknya terdapat dalam air (Li et
al., 2008 dalam Muhaimin, 2013) sehingga dapat mencegah droplet
minyak mendekat satu sama lain (Wang, 2014).
Berpedoman pada penelitian s.ezhil vendan, dkk (2017) mengenai
mixtures of peppermint + lemon oil (1:1 ratio) produced an equivalent
effect dan modifikasi dari penelitian suryani tambunan dan teuku nanda
saifullah sulaiman (2018) mengenai basis gel, maka penelliti tertarik
melakukan penenlitian dengan judul blended minyak lemon (Oleum
Citrus limon l) dan minyak peppermint (Oleum Menthae pipperitae l)
dalam formulasi sediaan aromatherapy gel dengan variasi triethanolamin
sebagai surfaktan.
2. TUJUAN PENELITIAN
Untuk membuat sediaan Formulasi Aromatherapy Gel
Blended Minyak Lemon (Oleum Citrus limon L) Dan Minyak
Peppermint (Oleum Mentha Pipperitae L) Dengan Variasi
Trietanolamin Sebagai Surfaktan sebagai gel serta evaluasi sediaan
yang stabil dan memenuhi syarat.
3. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental
dengan membuat bebrapa formulasi sediaan aromatherapy gel
yangmengandung campuran Minyak Lemon (Oleum Citrus limon L)
Dan Minyak Peppermint (Oleum Menthae Pipperitae L).
b. Identifikasi minyak
1) Organoleptis
Minyak lemon merupakan cairan bening, berwarna kuning pucat
atau kuning kehijauan,bau khas aromatik, rasa pedas agak pahit. Minyak
peppermint menusuk, rasa pedas diikuti rasa dingin jika udara dihirup
melalui mulut.
2) Indeks Bias
Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya
dalam dalam zat tersebut. Indeks bias dapat ditentukan dengan
menggunakan alat Abbe Refractometer, menurut Guenther (1990)
minyak lemon memiliki indeks bias pada 20º sebesar 1,4742 - 1,4755
dan minyak peppermint memiliki indeks bias pada suhu 20 0C sebesar
1,463. Indeks bias diukur dengan cara sebagai berikut :
a) Teteskan minyak sebanyak 2-3 tetes air suling ke atas permukaan
prisma, lalu tutup
b) Lihat melalui teropong, putar tombol skala sampai batas gelap-
terang pada lapang pandang berimpit dengan perpotongan garis
diagonal.
c) Baca skala, bila sudah menunjukkan angka 1,3330 berarti alat siap
dipakai. Lalu teteskan 2-3 tetes minyak yang akan di identifikasi.
Lakukan prosedur yang sama seperti kalibrasi.
𝑐−𝑎
BJ =
𝑏−𝑎
c. Formulasi Aromatherapy Gel
d. Cara kerja
b. Kekentalan/Viskositas
Diambil sebanyak 20g untuk mengukur kekentalan menggunakan
alat viscometer Brookfield menggunakan spindle no 6 dipasang
kepada alat kemudian dicelupkan kedalam gel yang telah di masukan.
c. Daya sebar
Untuk mengukur daya sebar gel pada kulit. Dilakukan dengan cara
: sebanyak 1 gram sediaan diletakkan di tengah cawan petri yang
telah dibalik dan dilapisi plastik transparan di bawah dan di atas gel
lalu tambahkan berat sebesar 125 g. Didiamkan selama 1 menit
kemudian diukur menggunakan penggaris dan catat daya sebarnya
lakukan sebayak 3 kali (Garg et al, 2002).
3) Uji Homogenitas
Sampel diambil dari 3 tempat berbeda (atas, tengah, dan bawah)
masing-masing sebanyak ± 0,10 gram. Sampel kemudian diletakkan
pada kaca objek, tutup dengan deck glass dan dilihat di bawah
mikroskop dengan pembesaran 100 kali lalu amati homogenitas antar
partikelnya.
5) Iritasi Kulit
Dilakukan dengan cara sediaan (F control, F1, F2, F3, F4, F5,
F6) dioleskan pada punggung tangan. Lalu tunggu hingga mengering.
Kemudian amati reaksi yang mungkin terjadi misalnya gatal,
kemerahan dan perih.
pH (hari
Aromathera
Ke- Ket
py Gel
)
0 7
Formula 5,9 6,0 MS
8 0
Kontrol
Formula I 5,9 5,9 MS
7 8
Formula II 5,9 5,9 MS
8 8
Formula III 5,9 5,9 MS
8 9
Formula IV 5,9 5,9 MS
9 8
Formula V 6,0 6,0 MS
0 0
Formula VI 6,0 6,0 MS
1 1
Keterangan :
2) Daya Sebar
Daya
Aromathera Sebar
py Gel Keteranga
(hari ke)
n
0 7
Formula 5,1 cm 5,3 MS
cm
Kontrol
Formula I 5 cm 5,2 MS
cm
Keterangan :
Formula II 5,5 cm 5,6 MS
cm MS :
Formula 5,9 cm 6 cm MS Memenuhi
III Syarat
Formula 5,8 cm 5,9 MS Memenuhi
IV cm syarat
Formula V 5,6 cm 5,7 MS apabila
cm memiliki
Formula 5,9 cm 6cm MS diameter 5-7
VI
cm. Tidak memenuhi syarat apabila kurang dari 5
atau lebih dari 7 (Garg et al, 2002):
b. Uji Organoleptis
Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula
mempunyai homogenitas yang baik, ditandai dengan partikel
yang tersebar merata ketika dilihat di bawah mikroskop.
f. KESIMPULAN
Campuran minyak Lemon (Oleum Citrus limon L) dan Minyak
Peppermint (Oleum Menthae piperitae L.) dapat diformulasikan
menjadi sediaan aromatherapy gel yang stabil dan memenuhi
persyaratan. Formula sediaan aromatherapy gel yang optimal ialah
formula V dengan campuran minyak Lemon (Oleum Citrus limon L)
dan minyak Peppermint (Oleum Menthae piperitae L.) sebanyak
0,05% dan Triethanolamin sebanyak 3%. Untuk PH,
kekentalan/viskositas, daya sebar, homogenitas memenuhi
persyaratan dan stabil secara fisik. tidak mengalami perubahan
bau, warna serta tidak terjadi iritasi kulit saat digunakan.
g. FOTO PRODUK
DAFTAR PUSTAKA
762166/FORMULASI_GEL
_AROMATERAPI
Universita s Muhammadiyah Yogyakarta. BAB II Tinjauan
Pustaka: Mual dan Muntah. Available at:
http://repository.umy.ac.id/bit stream/handle/123456789/64
26/6.BAB%20II.pdf
Ansel, C.H, 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV.
Terjemahan Oleh: F. Ibrahim, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, Indonesia
Namazi, M., Akbari, A.S., Mojab, F., Talebi, A., Majd, H.A. &
Jannesari, S. (2014). Aromatherapy With Citrus
Aurantium Oil And Anxiety During The First Stage Of Labor.
Irania Journal Of Pharmaceutical Research.
http://eprints.umm.ac.id/3938 0/3/BAB%202.pdf
ABSTRAK
Infeksi merupakan penyakit yang mudah ditemukan di daerah
tropis seperti Indonesia. Penyebab penyakit infeksi yang mudah
ditemukan diantaranya adalah infeksi karena bakteri. Bakteri ini masuk
ke tubuh manusia salah satunya melalui tangan yang kotor. Hal ini dapat
dicegah dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas,
serta penggunaan produk hand sanitizer yang dapat menghilangkan
kontaminan dan membunuh organisme. Namun antiseptik atau hand
sanitizer bila digunakan terus menerus dapat berbahaya dan
mengakibatkan iritasi hingga menimbulkan rasa terbakar pada kulit.
Karena menggunakan alkohol dan triklosan yang merupakan bahan
kimia. Salah satu upaya untuk mengurangi alkohol dan triklosan, maka
dilakukan inovasi produk antiseptik hand sanitizer dengan menggunakan
ekstrak daun mangga arumanis dan lengkuas yang mengandung
senyawa antimikroba. Penelitian ini dilakukan dengan metode
eksperimental dengan menguji coba beberapa konsentrasi basis yang
menghasilkan formula paling baik. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa
formula sediaan Hand Sanitizer yang optimal ialah formula I dengan
kombinasi ekstrak daun mangga arumanis (Mangifera indica L.) dan
ekstrak rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.) sebanyak 0,25 ml,
karbomer 0,17 g, gliserin 0,47 ml, metil paraben 0,1 g, pewangi manga
0,1 ml dan aquadest 50 ml. Untuk uji stabilitas ekstrak , homogenitas,
dan uji iritasi kulit memenuhi persyaratan dan stabil secara fisik.
ABSTRACT
Infection is a disease that is easily found in tropical regions like
Indonesia. Causes of infectious diseases that are easily found include
infections due to bacteria. One of these bacteria enters the human body
is through dirty hands. This can be prevented by washing hands before
and after activity, and using hand sanitizer products that can eliminate
contaminants and kill organisms. However, an antiseptic or hand
sanitizer when used continuously can be dangerous and cause irritation
to cause a burning sensation on the skin. Because it uses alcohol and
triclosan which is a chemical. One of the efforts to reduce alcohol and
triclosan, an hand sanitizer antiseptic product innovation was carried out
by using arumanis and galangal mango leaf extract containing
antimicrobial compounds. This research was carried out by an
experimental method by testing several base concentrations that
produced the best formula. The evaluation results show that the optimal
Hand Sanitizer preparation formula is formula I with a combination of
arumanis mango leaf extract (Mangifera indica L.) and galangal rhizome
extract (Alipinia galanga L.) as much as 0.25 ml, carbomer 0.17 g,
glycerin 0, 47 ml, 0.1 g methyl paraben, 0.1 ml manga deodorizer and 50
ml aquadest. For the extract stability test, homogeneity, and skin
irritation tests meet the requirements and are physically stable.
1. PENDAHULUAN
Infeksi merupakan penyakit yang mudah ditemukan di daerah
tropis seperti Indonesia. Penyebab penyakit infeksi yang mudah
ditemukan diantaranya adalah infeksi karena bakteri. Bakteri ini masuk
ke tubuh manusia salah satunya melalui tangan yang kotor. Hal ini dapat
dicegah dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas,
serta penggunaan produk hand sanitizer yang dapat meghilangkan
komtaminan dan membunuh organisme
Adapun kelebihan hand sanitizer dapat membunuh kuman dalam
waktu relatif cepat, karena mengandung senyawa alkohol (etanol, propa
nol, isopropanol) dengan konsentrasi ± 60% sampai 80% dan golongan
fenol (klorheksidin, triklosan).
Hand sanitizer ada 2 basis, yaitu alkohol dan non alkohol.
Mekanisme kerja basis alkohol dan non alkohol kurang lebih sama, yaitu
mendenaturasi protein bakteri. Alkohol juga dapat mendenaturasi lemak
dan menyebabkan dehidrasi pada bakteri. Hand sanitizer berbasis non-
alkohol biasanya mengandung benzalkonium klorida, senyawa aromatik
dan asam piroglutamat (Dixit et al., 2014).
Tanaman mangga arumanis (Mangifera indica L.) merupakan
salah satu tanaman yang berpotensi sebagai obat. Tanaman mangga
berpotensi sebagai obat herbal karena mengandung senyawa metabolit
sekunder. Daun mangga arumanis mengandung senyawa metabolit
sekunder seperti, flavonoid, alkaloid, steroid, polifenol, tanin, dan
saponin. Ekstrak metanol daun mangga arumanis konsentrasi 1000 ppm
berpotensi sebagai antijamurdan antibakteri yaitu mampu menghambat
pertumbuhan Candida albicans dengan zona hambat sebesar 8,12 mm
(Ningsih et al., 2017).
Islam et al. (2010) menyatakan bahwa ekstrak etanol daun
mangga memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri gram positif
(Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Bacillus cereus,
Bacillus megaterium, Bacillus subtilis, Lactobacillus vulgaricus) dan
bakteri gram negatif (Shigella flexneri, Shigella sonei) dan fungi
(Aspergillus ustus, Aspergillus nigerdan Aspergillus ochraceus).
Rimpang lengkuas memiliki berbagai khasiat di antaranya
sebagai antijamur dan antibakteri. Penelitian Yuharmen dkk. (2002)
menunjukkan adanya aktifitas penghambatan pertumbuhan mikrobia
oleh minyak atsiri dan fraksi metanol rimpang lengkuas pada beberapa
spesies bakteri dan jamur. Penelitian Sundari dan Winarno (2000)
menunjukkan bahwa infus ekstrak etanol rimpang lengkuas yang berisi
minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan beberapa spesies jamur
patogen, yaitu: Tricophyton, Mycrosporum gypseum, dan Epidermo
floccasum.
Oleh karena itu pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
aktivitas antifungi dari ekstrak rimpang lengkuas dan akan dilakukan
formulasi ekstrak daun mangga sebagai antibakteri pada gel hand
sanitizer dengan menggunakan bakteri Staphylococcus aureus pada
pengujian aktivitas antibakteri sediaan gel hand sanitizer. S. aureus
adalah bakteri saprofit yang masuk dalam kategori bakteri gram
positif.Bakteri ini termasuk dua bakteri patogen dengan tingkat
penyebaran yang luas bersama bakteri E. coli. Pada saat uji aktivitas
ekstrak metanol daun mangga yang telah dipekatkan diencerkan dalam
aquades. Hal ini untuk meminimalisir pengaruh pelarut metanol yang
digunakan pada saat ekstraksi.
2. TUJUAN PENELITIAN
Memformulasikan sediaan hand sanitizer kombinasi ekstrak
daun mangga arumanis (Mangifera indica L.) dan ekstrak rimpang
lengkuas (Alipinia galanga L.) dengan berbagai perbandingan
konsentrasi yang stabil dan memenuhi syarat.
3. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental
dengan membuat beberapa formulasi sediaan hand sanitizer dengan
kombinasi ekstrak daun mangga arumanis (Mangifera indica L.) dan
ekstrak rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.).
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu alat destilasi, rotary evaporator, panci,
pisau, gunting, sendok, timbangan, mortir dan stamper, gelas ukur,
beaker glass, corong, cawan, sudip, pengaduk kaca, pipet tetes,
kompor. Bahan yang digunakan pada peneltian ini diantaranya daun
mangga arumanis (Mangifera indica L.) dan ekstrak rimpang lengkuas
(Alipinia galanga L.), Karbomer, TEA, Gliserin, Metil Paraben, Pewangi
dan aquadest.
3) Ekstraksi Lengkuas
Rimpang lengkuas yang telah kering, kemudian dirajang dan
diekstraksi secara maserasi dengan menggunakan pelarut etanol
96% yang telah didestilasi terlebih dahulu sampai semua terendam
dan diaduk lalu ditutup. Proses maserasi ini dilakukan selama 3 x 24
jam. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh disaring dan dipekatkan
dengan menggunakan rotatory vacuum evaporator pada sehingga
didapat cairan kental bewarna coklat. Ekstrak rimpang lengkuas
padat kemudian ditimbang.
Jumlah yang digunakan
No Bahan Formula Formula Formula Formul Khasiat
Kontrol I II a
III
Ekstrak Daun
1. 0,25 mL 0,25 mL 0,25 0,25 mL Zat Aktif
Mangga
mL
Arumanis
2. Ekstrak Lengkuas 0,25 mL 0,25 mL 0,25 0,25 mL Zat Aktif
mL
Gelling Agent
3. Karbomer 0,2 g 0,17 g 1,17 g 1,67 g
Basa Penetral,
4. Trietanolamin (TEA) 0,05 mL 0,02 mL 1,02 1,52 mL
mL Emulgator
5. Gliserin 0,5 mL 0,47 mL 1,47 1,97 mL Pelembab,
mL Emolient
Pengawet
6. Metil Paraben 0,1 g 0,1 g 0,1 g 0,1 g
Antimikroba
b.Formulasi Hand Sanitizer
c. Cara Kerja
1) Pembuatan Formula Hand Sanitizer Ekstrak Daun Mangga
3) Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan
hand sanitizer pada plat kaca dan ditindih dengan plat kaca
lainnya. Standar yang ditentukan pada homogenitas yaitu tidak
adanya bulir maupun gumpalan saat sediaan ditindih plat kaca
ataupun diusap pada plat kaca. (Ningsiher al., ALCHEMY Jurnal
Penelitian Kimia,Vol. 15(1) 2019,10-23)
2)Uji Homogenitas
Dari hasil evaluasi uji homogenitas menunjukkan bahwa semua
formula mempunyai homogenitas yang baik, ditandai dengan tidak
adanya gumpalan ketika dilihat dibawah mikroskop.
5. KESIMPULAN
Kombinasi ekstrak daun mangga arumanis (Mangifera indica
L.) dan ekstrak rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.) dapat
diformulasikan menjadi sediaan Hand Sanitizer yang stabil dan
memenuhi persyaratan. Formula sediaan Hand Sanitizer yang optimal
ialah formula I dengan kombinasi ekstrak daun mangga arumanis
(Mangifera indica L.) dan ekstrak rimpang lengkuas (Alipinia galanga
L.) sebanyak 0,25 ml, karbomer 0,17 g, gliserin 0,47 ml, metil
paraben 0,1 g, pewangi manga 0,1 ml dan aquadest 50 ml. Untuk uji
stabilitas ekstrak, homogenitas, uji iritasi kulit memenuhi persyaratan
dan stabil secara fisik.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope
Indonesia, Edisi III Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
Lachman, L., Lieberman, H.A., Kaning J.L., 1994. Teori dan Praktek
Farmasi Farmasi Industri. Jilid II. Edisi III. Diterjemahkan oleh
Suyatmi S, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hal: 1119-1120
Lachman, L., Lieberman, H.A., Kaning J.L., 1994. Teori dan Praktek
Farmasi Farmasi Industri. Jilid III, Edisi III. Diterjemahkan oleh
Suyatmi S, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hal:1298-
1300.
Titaley, Stany., Fatimawati, dan Widya A. Lolo. 2014. Formulasi dan Uji
Efektivitas Sediaan Gel Ekstra Etanol Daun Mangrove Api-api
(Avicenna marina) Sebagai Antiseptik Tangan. Jurnal Kimia
Farmasi – UNSRAT Vol. 3 No. 2
LOMBA POSTER
1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan
Palembang
ABSTRAK
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
Hampir semua orang pernah mengalami luka, misalnya teriris,
terjatuh, kecelakaan ataupun luka pada penderita diabetes militus. Luka
adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena adanya
suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh (Dorland,
2006). Kebanyakan orang mengalami luka pada bagian kulit. Kulit
mempunyai fungsi utama sebagai barrier pelindung dari lingkungan. Luka
pada kulit terjadi karena terdapatnya kerusakan morfologi jaringan kulit
dan akan mengalami proses penyembuhan.
Penyembuhan luka adalah kembalinya integritas kulit menjadi normal
dan jaringan yang berada dibawahnya (Winarsieh et al., 2012). Proses
penyembuhan luka dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi dan fase maturasi yang merupakan pemulihan kembali
(remodelling) jaringan (Sjamsuhidajat, 2010). Proses penyembuhan luka
bisa dipercepat dengan penggunaan obat pada luka. Sediaan obat luka
yang beredar di masyarakat dalam bentuk krim, pasta, salep, liquid, patch
dan plester luka.
Bahan aktif yang biasanya digunakan dalam edible film berasal dari
bahan kimia. Tetapi penggunaan bahan kimia sebagai obat bisa
menimbulkan efek samping maka dari itu untuk menghindarinya
masyarakat lebih memilih menggunakan tanaman alami/ obat tradisonal
untuk mengobati luka. Di Indonesia kepercayaan masyarakat pada obat
herbal terus meningkat. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional
2007, masyarakat yang memilih mengobati diri sendiri dengan obat
tradisional mencapai 29,69%, meningkat dalam waktu tujuh tahun dari
yang semula hanya 15,2%. Menurut WHO, 80% populasi di negara Asia
dan Afrika menggunakan cara pengobatan tradisional yaitu obat herbal
karena lebih murah, lebih mudah didapat, dan efek samping yang rendah
(Kumar dkk, 2007). Faktor yang mendorong masyarakat untuk
menggunakan obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat
moderen/ sintetis dan banyaknya efek samping (Hedi, Dewoto, 2007).
Salah satu bahan alam yang bisa digunakan sebagai obat luka yaitu
maggot (Hermetia illucens). Maggot ini digunakan untuk pengobatan
peradangan dan luka karena mengandung lemak , karbohidrat dan protein
yang cukup tinggi, yaitu sekitar 42% (Saurin 2005 ; Retnosari, 2007).
Kelebihan lain yang dimiliki maggot (Hermetia illucens) adalah memiliki
kandungan antimikroba dan anti jamur protein.
2. TUJUAN PENELITIAN
Memformulasikan sediaan edible film ekstrak maggot (Hermetia
illucens) dengan variasi pati jagung dan HPMC yang stabil dan memenuhi
syarat.
3. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental dengan
membuat beberapa formulasi sediaan edible film yang mengandung
ekstrak maggot (Hermetia illucens).
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya cawan porselin,
gelas ukur, beaker glass, batang pengaduk, timbangan analitik, timbangan
obat, pipet tetes, sudip, oven, sendok spatel, pinset, cawan petri,
alumunium foil, penjepit kayu dan water bath. Bahan yang digunakan pada
peneltian ini diantaranya ekstrak maggot, pati jagung, HPMC, sorbitol,
nipagin, nipasol, dan aqua dest/ air suling.
d. Cara Kerja
Pembuatan Edible film
5. KESIMPULAN
Ekstrak maggot (Hermetia illucens) dapat diformulasikan menjadi
sediaan edible film yang stabil dan memenuhi persyaratan karena tidak
mengalami perubahan bau, bentuk, warna serta tidak terjadi iritasi kulit
saat digunakan.
6. FOTO PRODUK
DAFTAR PUSTAKA
Plas, Van Der, et al. 2007. Maggot Excretions/ Secretions Inhibit Multi
Pleneutrophil Pro Inflammatory Responses. Microbes and Infection ,
Vol. 9, No. 4:507–514
POSTER ILMIAH
ABSTRAK
ABSTRACT
1. Pendahuluan
2. Tujuan Penelitian
Membuat mie basah dengan campuran sari daun kelor sebagai
penambah nutrisi sehingga dapat dijadikan alternatif makanan yang
sehat serta mempelajari pengaruh penambahan tepung tapioka pada
pembuatan mie dengan campuran sari daun kelor untuk memprediksi
formula yang disukai konsumen.
3. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah eksperimental
dengan membuat beberapa formulasi sediaan mie basah dengan
campuran sari daun kelor
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
tampah,bak pencuci,timbangan digital, blender / crusher,
penyaring, Mesin pencetak mie (noodle marker), sendok
pengaduk, pisau.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung
terigu, tepung tapioka, daun kelor, telur, air dan garam
b. Cara Kerja
1) Pembuatan Adonan
Pembuatan adonan dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a. Formula 1
Mencampurkan sari daun kelor, tepung terigu, dan tepung tapioka
dengan perbandingan 25 ml : 100 gr : 5 gr. Selain itu juga
Seminar Pharmacase 2020
b. Formula 2
Mencampurkan sari daun kelor dengan tepung terigu, dengan
perbandingan 25 ml : 100 gr Selain itu juga ditambahkan Natrium
Klorida (NaCl) sebanyak 1% dari total berat tepung, putih telur
sebanyak 15 gr ( 1 butir ) dan minyak secukupnya
2) Pencetakan Mie
Proses pencetakan mie dilakukan dengan alat noodle maker.
3) Perebusan Mie
Mie yang sudah dicetak direbus dalam air mendidih, setelah
mengapung (tandanya sudah matang ) diangkat dan ditiriskan.
4) Analisa Produk
Uji organoleptik mie dengan campuran sari daun kelor
dilakukan dengan menggunakan kuisioner (lampiran) yang
diberikan kepada 30 orang responden. Setiap responden diminta
memberi penilaian terhadap produk mie dengan campuran daun
kelor. Produk tersebut diteliti berdasarkan warna, rasa, dan
tekstur
% Berat
Produ Produ
Bahan Produk Produk
k1 k2
1 1
Tepun 100 gr 100 gr 100 % 100 %
g
Terigu
Tepung 5 gr 0 gr 5% 0%
Tapiok
a
Telur 17,3 15 gr 17,3 % 15 %
gr
NaCl 0,5 gr 0,5 gr 0,5 % 0,5 %
Sari 50 ml 50 ml 50 % 50 %
Daun
Kelor
Minyak qs qs
5. Kesimpulan
6. Foto Produk
DAFTAR PUSTAKA
Seminar Pharmacase 2020