Anda di halaman 1dari 8

PERAWATAN SAKARATUL MAUT

Disusun Oleh:
Happy Nurhayati
NIM: B 1801014

STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN


PROGRAM ALIH JALUR S1 KEPERAWATAN
2018/2019
KATA PENGANTAR
       
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya telah menyelesaikan tugas ini dengan lancar dan sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh bapak.
         Tugas makalah ini merupakan salah satu tugas di bidang mata kuliah Agama Islam
kami yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang “PERAWATAN
SAKARATUL MAUT”. Makalah ini berisikan tentang perawatan sakaratul maut bagi
muslimin/muslimat.

        Dengan terselesaikannya tugas makalah kami ini, maka kami berharap telah
memenuhi tugas Agama Islam yang diberikan oleh Bp. Syahbana Daulay, M. Ag. dan
mendapatkan nilai yang baik. Serta bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

                                                                                                Klaten, 8 November 2018


                                                                                                              

                                                                     
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan
masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan
kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati. Bagaimana peran
perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi proses sakaratul maut?

Peran perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat
adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk
pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-
spritual ( APA, 1992 ), karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan
dasar spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ). Pentingnya bimbingan
spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek
agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya
(WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan terutama perawat untuk
memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat yang konfrehensif tersebut
pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas mulia mengantarkan pasien diakhir
hayatnya sesuai dengan Sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa amalan yang
terakhir sangat menentukan, sehingga perawat dapat bertindak sebagai fasilisator
(memfasilitasi) agar pasien tetap melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai
dengan kondisinya. Namun peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat.
Padahal aspek spiritual ini sangat penting terutama untuk pasien terminal yang
didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
Menurut Dadang Hawari (1977,53) “ orang yang mengalami penyakit terminal dan
menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual,
dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu
mendapatkan perhatian khusus”. Pasien terminal biasanya mengalami rasa depresi yang
berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir
kehidupannya ini, pasien tersebut selalu berada di samping perawat. Oleh karena itu,
pemenuhan kebutuhan spiritual dapat meningkatkan semangat hidup klien yang
didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk
menghadapi alam yang kekal. Menurut konsep Islam, fase akhir tersebut sangat
menentukan baik atau tidaknya kematian seseorang dalam menuju kehidupan alam
kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT
karena upaya pemenuhan kebutuhan pasien di rumah sakit mutlak diperlukan. Perawat
hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam menjalani fase akhir dari
kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut. Fase sakaratul maut seringkali
di sebutkan oleh Rasulullah sebagai fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga
kita diajarkan do’a untuk diringankan dalam fase sakaratul maut.
Sakratul maut juga dapat diakatakan sebagai warming up (pemanasan) kematian.
Karena kematian itu sulit, berat dan amat sakit maka diperlukan pemanasan. Di samping
itu, sebagaimana kehidupan pertama manusia memerlukan proses dan tahapan,
Kematian Kedua pun memerlukan proses dan tahapan agar bisa memasuki penginapan
ke tiga yang bernama Barzakh, sebuah penginapan yang jauh lebih besar dan sangat
berbeda situasi, kondisi dan lingkungannya dengan dua penginapan sebelumnya, yakni
perut atau rahim ibu kita dan bumi untuk kehidupan dunia.
Sakratul maut adalah sesuatu yang ditakuti manusia. Faktanya, berbagai riset dan upaya
telah dilakukan manusia untuk menghindarinya seperti, menciptakan obat-obatan untuk
memperpanjang umur. Hal tersebut digambarkan Allah dalam firman-Nya “Dan
datanglah Sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari
daripadanya”. (Q.S. Qaf (50): 19 )
“Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang” (HR Tirmidzi)

“Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di
selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta
bagian kain sutera yang tersobek ?” (HR Bukhari)

“Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut
seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting
itupun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan
yang tersisa”. (Ka’b al-Ahbar, sahabat Rasulullah saw)

“Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu
menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan
melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”. (Imam Ghozali
mengutip atsar Al-Hasan).
“Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke
seluruh anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang sekarat merasakan dirinya
ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar
rambut dan kulit kepala hingga kaki”. ( Imam Ghozali)
Imam Ghozali juga mengutip suatu riwayat ketika sekelompok Bani Israil yang sedang
melewati sebuah pekuburan berdoa pada Allah SWT agar Ia menghidupkan satu mayat
dari pekuburan itu sehingga mereka bisa mengetahui gambaran sakaratul maut. Dengan
izin Allah melalui suatu cara tiba-tiba mereka dihadapkan pada seorang pria yang
muncul dari salah satu kuburan. “Wahai manusia!”, kata pria tersebut. “Apa yang kalian
kehendaki dariku? Limapuluh tahun yang lalu aku mengalami kematian, namun hingga
kini rasa perih bekas sakaratul maut itu belum juga hilang dari hatiku”.
Proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak
dapat dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita
menyaksikan detik-detik terakhir kematian seseorang. Rasa sakit sakaratul maut
dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa sakit, ini tidak terkait
dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang selama ia hidup. Sebuah riwayat
bahkan mengatakan bahwa rasa sakit selama kita hidup dan saat sakaratul maut bisa jadi
merupakan suatu proses pengurangan kadar siksaan akhirat kita kelak.
Kematian akan mengejar siapapun meskipun ia berlindung di balik benteng yang kokoh
atau berlindung di balik teknologi kedokteran yang canggih serta ratusan dokter terbaik
yang ada di muka bumi ini. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan
kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau
mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit
pun? (QS An-Nisa 4:7 8) Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian)
seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (QS, Al-Munafiqun, 63:11)
Sakaratul maut itu pedih seperti firman Allah SWT kepada Ibrahim AS adalah “Seperti
panasnya besi dibakar pada kain sutera yang basah, lalu nyawapun ditarik”, Selanjutnya
Allah berfirman kepada Nabi Musa “rasanya seperti burung hidup yang digoreng dalam
wajan. Rasanya seperti domba yang hidup kemudian diikuti oleh penjagal. Rasanya
lebih perih pedih dibanding sayatan pedang, geretan gergaji, dan tusukan benda tajam.
Seringan-ringannya kematian seperti duri dalam kain. Bisakah duri keluar dari sutera
tersebut tanpa robekan. Seperti berada dalam selimut api panas dan seolah-olah bernafas
dalam lubang jarum seakan-akan berada dalam satu pohon yang berduri lalu ditarik dari
ujung kaki sampai keubun-ubun”.
Allah SWT memberikan gambaran khusus dalam Quran surat Al- Qiyamah:”berbelit
kepayahan demi kepayahan, tindih bertindih kesengsaraan demi kesengsaraan.
Penyesalan dengan penyesalan dan kesakitan demi kesakitan” (Bey, 1987: 339)
Melihat batapa sakitnya sakaratul maut maka perawat harus melakukan upaya –upaya
sebagai berikut :
1. Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT.
Pada sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada
Allah sebagaimana Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem “Jangan
sampai seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada
Allah” selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi ”Aku ada pada sangka-
sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan sangkaaan
yang baik”, selanjutnya Ibnu Abas berkata ”Apabila kamu melihat seseorang
menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan
berjumpa dengan Tuhannya itu”, selanjutnya Ibnu Mas´ud berkata ”Demi Allah
yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang berbaik sangka kepada Allah
maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya itu”. Hal ini menunjukkan
bahwa kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2. Mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah.
Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada
pasien terminal menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan
nafasnya yang terakhir. Wotf, Weitzel, Fruerst memberikan gambaran ciri-ciri
pokok Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan nafasnya yang terakhir,
yaitu :
a. Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang
dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki,
tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab,
b. Kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.
c. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.
d. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes.
e. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan
rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat
kekuatan ingatan bervariasi tiap individu.
f. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan
cemas nampak lebih pasrah menerima.
Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi kebutuhan
fisiknya juga harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim agar
diupayakan meninggal dalam keadaan Husnul Khatimah. Perawat membimbing
pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan melafalkan secara berulang-
ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat Muslim
“Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat
Laailahaillallah karena sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya
dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang
mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya menuju
surga” Selanjutnya Umar Bin Khatab berkata “Hindarilah orang yang mati
diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka
sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa,
kamu lihat”. Para ulama berpendapat,” Apabila telah membimbing orang yang
akan meninggal dengan satu bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali
apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan atau materi pembicaraan lain. Setelah
itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha Illallha menjadi ucapan
terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada pentingnya
menjenguk orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup
kedua matanya dan memberikan hak-haknya.” (Syarhu An-nawawi Ala Shahih
Muslim : 6/458)
3. Berbicara yang Baik dan Do´a untuk jenazah ketika menutupkan matanya.
Di samping berusaha memberikan sentuhan perawat muslim perlu
berkomunikasi terapeutik, antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim
Rasulullah SAW bersabda ”Bila kamu datang mengunjungi orang sakit atau
orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena sesungguhnya malaikat
mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan”, Selanjutnya diriwayatkan oleh
Ibnu Majah Rasulullah bersabda “apabila kamu menghadiri orang yang
meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena sesungguhnya
mata itu mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata yang baik
karena malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan”. Berdasarkan
hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa
yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat
hambanya, mendo’akan dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh
terlepas, dari jasadnya.
4. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
“Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan
orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian
disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air.
Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang menderanya,
sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas tersebut
setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami
sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam
mengucapkan dua kalimat syahadat.” (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
5. Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut
kearah kiblat. Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari
hadits Rasulullah Saw., hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan
bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut. Para Ulama sendiri telah
menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat :
a. Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak
kakinya dihadapkan kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut
diangkat sedikit agar ia menghadap kearah kiblat.
b. Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut
menghadap ke kiblat.
Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling
benar. Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah
orang tersebut berbaring kearah manapun yang membuatnya selesai.

Anda mungkin juga menyukai