Anda di halaman 1dari 20

PENGATURAN SANKSI PIDANA DALAM PENYELENGGARAAN

IMUNISASI WAJIB DI TENGAH PRO DAN KONTRA HALAL ATAU HARAM


PADA PEMBERIAN VAKSIN POLIO

FADLI ALFARISI 1

INTISARI
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas hukum yang muncul
dalam menghadapi pro dan kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio serta
menganalisis kebijakan pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi
wajib, khususnya pada pemberian vaksin polio.

Penulisan makalah ini merupakan penelitian yang bersifat normatif yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka (penelitian hukum
kepustakaan). Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji,
kemudian ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mengenai pro dan kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio, dalam sudut
pandang Islam (hukum asal) pada dasarnya dibolehkan dan dianjurkan guna
mencegah terjadinya penyakit Polio. Hal ini diperkuat juga dengan adanya fatwa dari
MUI, keterangan ilmiah dari PT. Bio Farma dan Ikatan Dokter Anak Indonesia yang
menyatakan pada produk final tidak ditemukan unsur tripsin (enzim babi).

2. Pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi wajib pemberian vaksin


polio masih kabur dan tidak berdasar, sehingga tidak dapat diterapkan pada peristiwa
konkret karena tidak sesuai dengan asas legalitas. Menurut asas legalitas, suatu
ketentuan Perundang-undangan harus dirumuskan secara cermat dan terperinci atau
lex certa. Perumusan ketentuan Perundang-undangan yang tidak jelas dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan dalam
Penuntutan pidana.

Kata kunci: pengaturan sanksi pidana, penyelenggaraan imunisasi wajib, pro dan kontra
halal atau haram, pemberian vaksin polio.

BAB I
1
Penulis merupakan Jaksa Fungsional pada Badan Diklat Kejaksaan RI yang sedang dalam masa
tugas belajar di Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Konsentrasi Hukum Litigasi.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kemajuan suatu zaman berbanding lurus dengan kemajuan teknologi.
Perkembangan teknologi bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran umat
manusia. Berbagai macam teknologi dikembangkan mulai dari yang  hemat energi,
ramah lingkungan, hingga di bidang kesehatan manusia. 2 Pada bidang kesehatan
manusia, perubahan zaman selalu diiringi dengan kemajuan bioteknologi yang pesat. 3
Bioteknologi adalah penggunaan tanaman, hewan, ataupun mikroba, baik secara
keseluruhan maupun sebagian, untuk membuat atau memodifikasi suatu produk mahluk
hidup ataupun merubah spesies mahluk hidup yang sudah ada. Beragam produk muncul
seiring kemajuan bioteknologi,4 salah satunya adalah vaksin. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi (selanjutnya disebut Permenkes tentang Imunisasi) definisi vaksin, yaitu: 5
“antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih
utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah
diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan
menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.”
Vaksin diberikan kepada manusia melalui imunisasi, yaitu suatu proses untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh
melalui suntikan atau diminum (oral). Setelah vaksin masuk ke dalam tubuh, sistem
pertahanan tubuh akan bereaksi membentuk antibodi. Reaksi ini sama seperti jika tubuh
kemasukan virus atau bakteri yang sesungguhnya. Antibodi selanjutnya akan
membentuk imunitas terhadap jenis virus atau bakteri tersebut.6
Imunisasi yang kita kenal saat ini tidak terlepas dari peran besar Edward Jenner
(1749-1823). Pada tahun 1796, saat berbagai belahan dunia sedang dilanda wabah
2
Mita Erna Wati, 2013, Kemajuan Teknologi Kedokteran, http://mitaunair
fk12.web.unair.ac.id/artikel_detail-70489-Kesehatan%20Kita kemajuan%20teknologi
%20kedokteran.html, diakses tanggal 20 Juni 2015.
3
Samsuridjal Djauzi & Dirga Sakti Rambe (Satgas Imunisasi Dewasa Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia/PAPDI), 2013, Imunisasi : Sejarah dan Masa Depan,
http://www.kalbemed.com/Portals/6/24_205Opini-Imunisasi-Sejarah%20dan%20Masa%20Depan.pdf,
diakses tanggal 25 Juni 2015.
4
Wahyu Yun Santoso, 2015, Bahan Kuliah Teknologi dalam Hukum-Aspek Hukum Terkait
Bioteknologi, MH Konsentrasi Hukum Litigasi FH UGM, Jakarta, slide.3.
5
lihat Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi.
6
Fit/Igw, 2013, Yang Benar dan Salah dari Imunisasi, http://health.liputan6.com/read/504460/yang-
benar-dan-salah-dari-imunisasi, diakses tanggal 20 Juni 2015.

1
penyakit smallpox (disebabkan oleh virus Variola) yang mematikan, Jenner melalui
eksperimennya berhasil membuktikan bahwa seseorang yang terpapar cowpox (penyakit
kulit yang ditularkan oleh sapi) memiliki imunitas terhadap smallpox. Untuk
menghargai jasa Jenner, diperkenalkanlah istilah vaksinasi yang mengadaptasi “vacca”
dari bahasa Latin yang berarti “sapi”. 7 Kemajuan bioteknologi dan komitmen semua
pihak memungkinkan pengembangan vaksin-vaksin generasi baru dengan pendekatan
yang berbeda-beda. Lebih dari 200 tahun sejak Jenner menemukan vaksin smallpox
pada tahun 1796, kini puluhan vaksin telah digunakan oleh negara-negara di seluruh
dunia. Data dan fakta telah memperlihatkan bahwa vaksin memberikan dampak yang
sangat besar dalam pencegahan penyakit infeksi secara efektif. 8
Perkembangan imunisasi di Indonesia sudah di mulai sejak tahun 1977, pada saat
diterapkan program Expanded Program of Immunization (EPI) atau dikenal dengan
Program Pengembangan Imunisasi. EPI merupakan program yang dicanangkan World
Health Organization (WHO) sejak tahun 1974 yang bertujuan membasmi penyakit-
penyakit infeksi yang mematikan dan sejatinya dapat dicegah melalui vaksinasi.9
Definisi imunisasi menurut Pasal 1 butir 1 Permenkes tentang Imunisasi adalah suatu
upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Salah satu regulasi yang mengatur mengenai
pemberian imunisasi di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan) Pasal 130
dinyatakan “Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan
anak” dan Pasal 132 ayat (3) dinyatakan “Setiap anak berhak memperoleh imunisasi
dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang
dapat dihindari melalui imunisasi.” Kemudian di dalam Pasal 132 ayat (4) dinyatakan
“Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri”. Imunisasi dikelompokkan
menjadi imunisasi wajib dan pilihan. Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang
diwajibkan oleh Pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka
melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular

7
Samsuridjal Djauzi & Dirga Sakti Rambe, 2013, Op.cit.
8
Ibid.
9
Ibid.

2
tertentu.10 Imunisasi wajib salah satunya adalah imunisasi rutin yang terdiri atas
imunisasi dasar, yaitu imunisasi yang diberikan kepada bayi sebelum berusia 1 tahun.
Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu,
efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit
menular.11 Salah satu jenis imunisasi dasar adalah Polio (vaksin polio).12 Jadi, karena
sudah tertuang dalam peraturan tertulis, maka ketentuan mengenai penyelenggaran
imunisasi wajib dalam pemberian vaksin polio, berlaku mengikat sebagai hukum positif
terhadap seluruh masyarakat, khususnya yang memiliki bayi, sehingga timbul
kewajiban untuk mematuhi dan mendukung (pro) kebijakan tersebut.
Pemberian imunisasi dasar yang bersifat wajib kini mulai dipertentangkan (kontra)
oleh sebagian masyarakat atau kaum anti vaksin (anti vaks). Mereka beranggapan
bahwa demam, bengkak, nyeri, kemerahan yang muncul setelah imunisasi adalah akibat
dari kandungan vaksin yang berbahaya. Sebagai contoh berdasarkan penelitian tahun
1998 yang dilakukan oleh dr. Wakefield,13 pada pemberian vaksin MMR, Mumps
(gondong), Measles (campak), dan Rubella (campak Jerman)14 dapat menyebabkan
autism. Bahkan pada vaksin polio (IPV dan OPV) terkandung bahan yang berasal dari
jaringan ginjal kera dan atau enzim babi yang bersifat haram menurut agama Islam.
Polemik mengenai imunisasi dengan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses
pembuatannya menggunakan enzim babi masih hangat diperbincangkan sampai saat
ini.15 Umat Islam banyak yang menentang hal ini sebagaimana tertuang dalam Al-
Qur’an Surah Al-Maidah ayat 3: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi...dst” 16. Para produsen vaksin menggunakan enzim Babi dengan dalih
asam amino manusia hanya sedikit berbeda dari binatang Babi. Asam amino adalah
salah satu penyusun protein pada makhluk hidup. Jika melihat insulin pada manusia dan
babi, maka hanya akan terpaut satu dari babi. Berikut penjelasannya:17

10
Lihat Pasal 3 Permenkes Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, Op.cit.
11
Lihat Pasal 153 Undang-undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
12
Lihat, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, Op.cit.
13
Fit/Igw, 2013, Op.cit
14
Hartono Gunardi, 2014, MMR Tidak Menyebabkan Autisme Bagian I, http://idai.or.id/public-
articles/klinik/imunisasi/mmr-tidak-menyebabkan-autisme-bagian-i.html, diakses 20 Juni 2015.
15
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, 2008, Majalah Al-Furqon, Edisi 05, Hukum Imunisasi
(Kontroversi Imunisasi Vaksin Polio yang Mengandung Babi).
16
Tio Alexander, 2010, Mengungkap Konspirasi Imunisasi dan Bahaya Vaksin,
https://un2kmu.wordpress.com/2010/04/19/mengungkap-konspirasi-imunisasi-dan-bahaya-vaksin/,
diakses tanggal 20 Juni 2015.
17
Ibid.

3
“Insulin manusia : C256H381N65O76S6, MW=5807,7 dan Insulin babi :
C257H383N65O77S6, MW=5777,6. Kesimpulannya, hanya 1 (satu) asam amino yang
berbeda. Sementara jika di bandingkan antara Insulin manusia : C256H381N65O76S6,
MW=5807,7 dan Insulin Sapi : C254H377N65O75S6, MW=5733,6, maka ada 3 asam
amino berbeda. Dengan demikian, jika menggunakan asam amino babi, maka tidak
diperlukan banyak proses penelitian lagi karena hanya terpaut satu asam amino.
Berbeda dengan sapi yang terpaut 3 asam amino”.18
Menurut dr. Muladno, ahli genetika molekuler dari Fakultas Peternakan IPB,
dinyatakan“Secara chemisty, DNA manusia dan babi hanya beda 3 persen. Aplikasi
teknologi transgenetika membuat organ penyusun tubuh babi akan semakin mirip
dengan manusia”. Asam amino yang hampir identik sama dengan memakan daging
manusia (kanibal) dan dapat menyebabkan penyakit genetik yang tidak bisa
disembuhkan. Babi juga mengandung cacing pita yang berbahaya dan bakteri yang
dapat menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu sistem syaraf manusia.19
Ajaran agama Islam sebenarnya telah memberikan alternatif imunisasi yang
diajarkan oleh Rasullulah, yakni dari Imam Bukhari dalam Shahih-nya men-takhrij
hadits dari Asma’ binti Abi Bakr Dari Asma’ binti Abu Bakr, yaitu: 20
”bahwa dirinya ketika sedang mengandung Abdullah ibn Zubair di Mekah mengatakan,
“Saya keluar dan aku sempurna hamilku 9 bulan, lalu aku datang ke madinah, aku
turun di Quba’ dan aku melahirkan di sana, lalu aku pun mendatangi Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam, maka beliau Shalallaahu alaihi wasalam menaruh
Abdullah ibn Zubair di dalam kamarnya, lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam
meminta kurma lalu mengunyahnya, kemudian beliau Shalallaahu alaihi wasalam
memasukkan kurma yang sudah lumat itu ke dalam mulut Abdullah ibn Zubair. Itu
adalah makanan yang pertama masuk ke mulutnya melalui Rasulullah Shalallaahu
alaihi wasalam, kemudian beliau men-tahnik-nya, lalu beliau pun mendo’akannya dan
mendoakan keberkahan kepadanya.”
Sehingga, disunnahkannya tahnik kepada bayi adalah obat sekaligus tindakan
preventif. Selain dilakukan tahnik, juga tetap diberikan ASI dan obat-obatan herbal.
Belum selesainya pertentangan antara pihak yang pro dan kontra (kaum vaksin dan
anti vaks) dalam pemberian vaksin polio, kini muncul pengaturan sanksi pidana bagi
seorang ibu yang tidak memberi imunisasi pada anak. Menurut dr. Elizabeth Jane selaku
Direktur Bina Kesehatan Anak Republik Indonesia, sesuai Permenkes tentang
Imunisasi, seorang ibu yang tidak memberi imunisasi pada anak dianggap telah
melakukan tindakan kriminal dan bisa dituntut di pengadilan (dipidana). Permenkes ini

18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.

4
merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 21
Hal ini tentu dapat menimbulkan masalah baru di kemudian hari, karena dengan
minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap kebijakan tersebut di
tambah dengan sikap dari sebagian orang tua (khusunya yang beragama islam) yang
menolak imunisasi kepada bayinya karena dianggap haram, kini malah diatur sanksi
pidana bagi yang melanggar aturan tersebut.
Dengan demikian, pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi
wajib di tengah pro dan kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio menjadi
menarik untuk dikaji agar tidak menimbulkan kebingungan, keresahan, dan masalah
baru di masyarakat. Oleh karena itu, di dalam penulisan makalah ini penulis mencoba
untuk membahas dan menganalisis rasionalitas hukum yang mungkin timbul mengenai
pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi wajib di tengah pro dan
kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis membuat perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana menghadapi pro dan kontra halal atau haram dalam pemberian vaksin
polio?
2. Bagaimana pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi pada
pemberian vaksin polio?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Menghadapi Pro dan Kontra Halal atau Haram Pada Pemberian Vaksin Polio
Vaksin Polio ada 2 macam, yaitu Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV) dan Oral
21
Aditya Eka Prawira, 2015, Orang Tua Bisa Kena Sanksi Bila Tak Beri Imunisasi Pada Anak,
http://health.liputan6.com/read/2216822/orangtua-bisa-kena-sanksi-bila-tak-beri-imunisasi-pada-anak,
diakses tanggal 20 Juni 2015.

5
Polio Vaccine (OPV). Vaksin IPV sudah tersedia, tetapi belum banyak digunakan.
IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian
dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV
tidak hidup, maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio walaupun
diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh lemah. Pada proses pembuatannya
IPV menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi) dan sampai saat ini
belum ditemukan IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut.22
Jenis vaksin OPV sering dipakai di Indonesia dan pemberiannya dengan cara
meneteskan cairan melalui mulut (oral). Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild)
hidup yang dilemahkan. OPV dibuat oleh PT Bio Farma Bandung. Vaksin ini dibuat
dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa.23
Kedua vaksin polio tersebut mengandung bahan yang berasal dari atau
mengandung benda najis ataupun benda terkena najis, seperti enzim babi atau
jaringan ginjal kera yang haram hukumnya menurut agama Islam.

Komentar dan Analisis :


Umat Muslim dalam menyikapi pro dan kontra halal atau haram pada pemberian
vaksin polio kepada anak hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Melihat hukum asal (hukum agama) Imunisasi, melalui :
a) Hadist Nabi, antara lain:24
1) Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat pula
obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun. (Abu Daud dari Usamah bin
Syarik).
2) Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi
setiap penyakit; maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda
yang haram (Abu Daud dari Abu Darda).
3) Sekelompok orang dari suku ‘Ukl atau ‘Urainah datang dan tidak cocok
dengan udara Madinah (sehingga mereka jatuh sakit); maka Nabi S.A.W.
memerintahkan agar mereka diberi unta perah dan (agar mereka)
meminum air kencing dan unta tersebut.(Al-Bukhari dari Anas bin Malik).
4) Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula)
obatnya. (Bukhari dari Abu Hurairah).
5) Jika keju itu keras (padat), buanglah tikus itu dan keju sekitarnya, dan
makanlah (sisa) keju tersebut; namun jika keju itu cair, tumpahkanlah
(HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan Nasa’i dari Maimu-nah isteri Nabi S.A.W.).
22
Widodo Judarwanto, 2005, Permasalahan Imunisasi Polio,
http://www.indosiar.com/ragam/permasalahan-imunisasi-polio_21480.html, diakses 26 Juni 2015.
23
Ibid.
24
Lihat Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Penggunaan
Vaksin Polio Oral (OPV) tanggal 25 Juli 2005.

6
6) Barangsiapa memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar
sehari itu dari racun dan sihir. (Bukhari : 5768, Muslim : 4702).25
b) Kaidah-kaidah fiqh, antara lain:26
1) “Dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin.”
2) “Dharar (bahaya) harus dihilangkan.”
3) “Kondisi hajah menempati kondisi darurat.”
4) “Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”
5) “Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar
(kebutuhan) nya.”
c) Pendapat para ulama, antara lain:27
1) Keharaman menggunakan benda najis atau yang diharamkan untuk obat:
“Imam Zuhri (w. 124 H) berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia
untuk (mengobati) suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis;
Allah berfirman: ‘…Dihalalkan bagimu yang baik-baik (suci)…’ (QS. al-
Ma’idah [5]:5)”; dan Ibnu Mas’ud (w. 32 H) berkata tentang sakar
(minuman keras), Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang
diharamkan atasmu” (Riwayat Imam al-Bukhari).
2) Kebolehan menggunakan benda najis atau yang diharamkan untuk obat
ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya:
- Berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada
benda suci yang dapat menggantikannya (Muhammad al-Khathib al-
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [Bairut: Dar al-Fikr, t.th.], juz I,h. 79).
- Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan
benda suci yang dapat menggantikan-nya, karena maslahat kesehatan
dan keselamatan lebih sempurna (lebih diutamakan) dari pada
maslahat menjauhi benda najis (al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-
Ahkam fi Mashalih al-Anam, [Qahirah: Mathba’ah al-Istiqamah, t.th.).

2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Penggunaan Vaksin IPV sudah dikaji berdasarkan surat Menteri Kesehatan
RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta
penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan
POM, LP POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa hari Selasa tanggal 8 Oktober
2002 dengan kesimpulan sebagai berikut:28
a) Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat
fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya;

25
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, 2008, Op.cit.
26
Fatwa Komisi Fatwa MUI, Op.cit.
27
Ibid.
28
Lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Vaksin Polio Khusus tanggal 08 Oktober 2002.

7
b) Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise
(kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang
diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).
c) Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak
diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit polio serta sangat
dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus;
d) Vaksin IPV dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal
dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.
e) Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin
tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi
(biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas.

Berdasarkan kajian tersebut dan pertimbangan lainnya, Komisi Fatwa


MUI memutuskan menetapkan Fatwa tentang Penggunaan Vaksin Polio
Khusus (IPV), yaitu mengenai ketentuan hukum:
a) Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal
dari/mengandung benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
b) Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita
immunocompromise, pada saat ini dibolehkan, sepanjang belum ada IPV
jenis lain yang suci dan halal.

Komisi Fatwa MUI juga memberikan rekomendasi agar Pemerintah


hendaknya mengkampanyekan agar setiap ibu memberikan ASI, terutama
colostrum secara memadai (sampai dengan dua tahun) dan Pemerintah
hendaknya mengupayakan secara maksimal, serta melalui WHO dan negara-
negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam
dalam hal kebutuhan akan obat-obatan yang suci dan halal.29
Mengenai vaksin OPV juga sudah dikaji berdasarkan surat Menteri
Kesehatan RI nomor: 1048/MENKES/ VII/2005, tanggal 13 Juli 2005, serta
penjelasan dari pihak Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM,
LP.POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa hari Senin tanggal 25 Juli 2005:30
a) Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit
Polio dari masyarakat secara serentak di seluruh wilayah tanah air melalui
program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dengan cara pemberian dua tetes
vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).
b) Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan
kelumpuhan menetap pada mereka yang menderitanya.

29
Ibid.
30
Fatwa Komisi Fatwa MUI Nomor 16 Tahun 2005, Op.cit.

8
Komisi Fatwa MUI memutuskan menetapkan Fatwa tentang Penggunaan
Vaksin Polio Oral (OPV) dengan ketentuan hukum:
a) Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal
dari/mengandung benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
b) Pemberian vaksin OPV kepada seluruh balita, pada saat ini, dibolehkan,
sepanjang belum ada OPV jenis lain yang produksinya menggunakan
media dan proses yang sesuai dengan syariat Islam.
Rekomendasi dari Komisi Fatwa MUI agar Pemerintah mengupayakan
secara maksimal bersama WHO dan Negara-negara Islam dan berpenduduk
muslim agar memproduksi vaksin polio yang sesuai dengan syariat Islam.

3. Pernyataan dari Bio Farma selaku Produsen Vaksin Polio di Indonesia dan
Ikatan Dokter Anak Indonesia
PT Bio Farma (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang seluruh
sahamnya dimiliki oleh Pemerintah serta satu-satunya produsen vaksin untuk
manusia di Indonesia. Selama ini PT. Bio Farma telah memproduksi vaksin dan
antisera yang berkualitas internasional untuk mendukung  Program Imunisasi
Nasional (PIN) dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki
kualitas derajat kesehatan yang lebih baik.31 Menurut dr. Novilia dari PT. Bio
Farma, menekankan ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi, yaitu:32
a) Tripsin bukan bahan pembuat vaksin, tapi untuk harvest sel (panen) yang
digunakan untuk media virus. Tripsin merupakan bahan untuk melepaskan sel
dari tempat merekatnya virus pada media virus;
b) Tripsin kemudian dibuang dan ada proses pencucian, dan kemudian pelarutan
dengan air dalam jumlah yang sangat besar;
c) Pada produk final tidak ditemukan unsur tripsin.
Mengenai vaksin lainnya diluar polio, tidak ada yang menggunakan tripsin.
Vaksin adalah suatu medikasi yang sifatnya urgent, bukan pilihan. Menurut dr.
Soedjatmiko selaku Sekretaris Satgas Imunisasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia,
pernyataan imunisasi dianggap berbahaya yang dimuat pada buku, tabloid, blog,
atau milis pada umumnya dikutip dari artikel yang ditulis oleh psikolog,
bakteriologi, sarjana hukum, kolumnis, ahli kanker, dan jurnalis, yang bekerja
sebelum tahun 1960. Padahal jenis dan teknologi pembuatan vaksin telah

31
Ayu Theresia Marboen, 2014, Makalah PT. Bio Farma,
http://www.scribd.com/doc/240686657/Makalah-Pt-Bio-Farma#scribd, diakses tanggal 25 Juni 2015.
32
Merry Wahyuningsih, 2012, Vaksin apa saja yang bersinggungan dengan babi,
http://health.detik.com/read/2012/06/20/152505/1946278/775/vaksin-apa-saja-yang-bersinggungan-
dengan-babi, diakses tanggal 20 Juni 2015.

9
mengalami kemajuan pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.33
Sampai saat ini belum ada badan penelitian di dunia yang menyatakan ASI,
gizi, dan suplemen herbal bisa menggantikan imunisasi, meskipun memiliki
kebersihan yang akan memperkuat pertahanan tubuh secara umum. Karena
kekebalan yang dibentuk sangat berbeda dan spesifik terhadap kuman tertentu yang
berbahaya. Vaksin merangsang pembentukan kekebalan yang spesifik (antibodi)
terhadap kuman (racun) atau virus tertentu. Setelah antibodi terbentuk akan bekerja
lebih cepat, effektif dan effisien untuk mencegah penularan penyakit berbahaya.34
Badan penelitian di berbagai negara juga telah membuktikan dengan
meningkatnya cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah menjadi
berkurang. Oleh karena itu, program imunisasi dilakukan terus menerus di 194
negara, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan mayoritas penduduknya
beragama Islam. Negara-negara pendukung imunisasi yakin bahwa imunisasi aman
dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat, dan kematian. Di Indonesia,
pernah terjadi wabah polio pada tahun 2005-2006 karena banyak bayi yang tidak
diimunisasi polio, sehingga  menyebabkan 305 anak lumpuh permanen. Lalu
digencarkan imunisasi polio dan sampai saat ini tidak ada lagi kasus polio baru.35
Menurut dr. Soedjatmiko, mengenai vaksin polio yang mengandung enzim
babi, hal itu tidak benar. Karena pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu
15 – 20 tahun lalu, ketika proses panen bibit vaksin tersebut  bersinggungan dengan
tripsin pankreas babi untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya, tetapi
kemudian induk bibit vaksin tersebut dicuci dan dibersihkan total dengan cara
ultrafilterisasi ratusan kali, sehingga pada vaksin yang diteteskan atau disuntikan
pada anak tidak mengandung tripsin babi. Proses pembuatan vaksin juga diawasi
dan diaudit secara periodik oleh pakar-pakar WHO dan diekspor ke 120 negara lain,
termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam.36
Dengan demikian, kesimpulan penulis mengenai pro dan kontra halal atau haram
pada pemberian vaksin polio, dalam sudut pandang Islam (hukum asal) pada
dasarnya dibolehkan bahkan dianjurkan untuk mencegah terjadinya penyakit. Hal
ini diperkuat dengan fatwa MUI tentang dibolehkannya penggunaan vaksin polio
33
Ibid.
34
Fit/Igw, 2013, Op.cit.
35
Ibid.
36
Ibid.

10
IPV dan OPV serta keterangan ilmiah dari PT Bio Farma dan Ikatan Dokter Anak
Indonesia yang menyatakan pada produk final tidak ditemukan unsur tripsin (enzim
babi) dan vaksin adalah suatu medikasi yang sifatnya urgent, bukan pilihan guna
pencegahan terhadap penyakit polio yang dapat mengakibatkan kelumpuhan tetap
sepanjang hayat dan dapat melahirkan generasi yang lemah di masa mendatang.

B. Pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi pada pemberian


vaksin polio
Menurut dr. Elizabeth Jane selaku Direktur Bina Kesehatan Anak Republik
Indonesia dari Kementrian Kesehatan, sesuai Permenkes tentang Imunisasi, seorang
ibu yang tidak memberi imunisasi pada anak dianggap telah melakukan tindakan
kriminal dan bisa dituntut di pengadilan (dipidana). Permenkes ini merupakan
turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.37

Komentar dan Analisis :


Pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi wajib pada
pemberian vaksin polio dapat menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Karena
dengan minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah atas kebijakan
tersebut di tambah dengan sikap dari sebagian orang tua (khusunya yang beragama
islam) menolak imunisasi karena dianggap haram, kini malah diatur sanksi pidana
bagi yang melanggar aturan tersebut. Selain itu, tidak semua orang tua di Indonesia
“melek hukum”, terutama yang tinggal di pedesaan dan pelosok daerah yang secara
geografis sulit mengakseses informasi dan mendapatkan sosialisasi dari petugas
yang berkompeten mengenai hal tersebut. Namun adanya teori fiksi, yaitu “setiap
orang dianggap mengetahui hukum“ dan Putusan MA No. 645K/Sip/1970 serta
putusan MK No. 001/PUU-V/2007 juga memuat prinsip yang sama, yaitu
“ketidaktahuan seseorang akan Undang-Undang tidak dapat dijadikan alasan
pemaaf”, sehingga masyarakat wajib mematuhi aturan tersebut.38
Pengaturan sanksi pidana pada penyelenggaraan imunisasi wajib dalam
pemberian vaksin polio memang membutuhkan penyesuaian demi pengurangan

37
Aditya Eka Prawira, 2015, Op.cit.
38
MYS, 2012, Menjadikan Fiksi Hukum Tak Sekadar Fiksi,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ffe7ed9ac70f/menjadikan-fiksi-hukum-tak-sekadar-fiksi,
diakses tanggal 28 Juni 2015.

11
dampak wabah penyakit polio. Oleh karena itu, perlu diwadahi dalam suatu
kebijakan dan regulasi. Permasalahan bioteknologi yang multidimensi terkadang
memberikan jarak antara perkembangan hukum, kemajuan teknologi, dan antisipasi
masyarakat yang kurang dan risiko serta kerusakan yang tidak bisa diprediksi.39
Penulis mencoba menganalisis pernyataan dari dr. Elizabeth Jane mengenai
seorang ibu yang tidak memberi imunisasi pada anak dianggap tindak pidana sesuai
Permenkes tentang imunisasi yang merupakan turunan dari Undang-Undang
Kesehatan. Hasil dari analisis penulis terhadap pernyataan dari dr. Elizabeth Jane
adalah pernyataan tersebut kabur dan tidak berdasar. Alasannya sebagai berikut:
1. Tidak dibenarkan Peraturan Menteri (Permenkes) mengatur sanksi pidana
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan “Materi muatan
mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang,
Peraturan Daerah Provinsi; atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”. Sanksi
pidana hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang, Perda Provinsi, Kota, atau
Kabupaten. Lalu setelah penulis membaca Permenkes tentang imunisasi secara
keseluruhan, memang di dalamnya tidak ada ketentuan sanksi pidana.
2. Tidak ada sanksi pidana bagi Ibu yang tidak memberikan imunisasi pada anak
berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
Penulis mencoba mencari makna dari suatu peraturan dan mulai dari
peraturan hukum yang paling tinggi tingkatnya atau yang dikenal sebagai
kegiatan mencari ratio legis. Penulis berharap bisa menemukan pengertian yang
lebih luas, lebih umum jangkauannya dari yang semula,40 yaitu dengan melihat
dan menganalisis Undang-Undang Kesehatan. Penulis berharap dengan
menemukan ratio legis, bisa menyusun suatu bangunan tatanan lebih lanjut yang
konsisten dengan Peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya.41
Setelah penulis membaca seluruh ketentuan dari Undang-Undang Kesehatan,
ternyata juga tidak ada sanksi pidana bagi Ibu yang tidak memberikan imunisasi
pada anak. Penulis hanya menemukan dalam Pasal 132 ayat (3) Undang-Undang
Kesehatan dinyatakan “Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai

39
Wahyu Yun Santoso, 2015, Op.cit.
40
Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.46.
41
Ibid., hlm.47.

12
dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat
dihindari melalui imunisasi”, tetapi tidak ada sanksi pidana bagi yang melanggar
jika anak tidak memperoleh imunisasi dasar.

3. Pernyataan dr Elizabeth tidak didasarkan pada kajian yang mendalam


Selain Permenkes tentang Imunisasi dan Undang-Undang Kesehatan, penulis
juga berusaha melihat Undang-Undang terkait lainnya, karena hukum
merupakan suatu sistem. Sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur
yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang
terorganisasi dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan. Masing-masing tidak
berdiri sendiri dan saling terkait.42 Tanpa sistematik kita tidak mengenal
peraturan-peraturan baru sebagai peraturan hukum.43 Sistem hukum bersifat
lengkap, yaitu melengkapi kekosongan, kekurangan dan ketidak-jelasan hukum,
dalam hal ini adalah Peraturan Perundang-undangan melalui penemuan hukum.44
Tidak mudah membaca suatu Undang-Undang, karena tidak hanya sekedar
membaca bunyi kata-katanya saja (“naar de le er van de wet”), tetapi harus pula
mencari arti, makna atau tujuannya. Disini masalahnya bukanlah hafal isi
Undang-undangnya, melainkan bagaimana menggunakannya. Oleh karena itu,
membaca Undang-Undang tidaklah cukup membaca Pasal-pasalnya saja, tetapi
harus pula dibaca penjelasannya dan juga konsiderannya. Mengingat hukum
adalah suatu sistem, maka untuk memahami suatu Pasal dalam Undang-Undang
atau untuk memahami suatu Undang-Undang harus dibaca juga Pasal-pasal lain
dalam satu Undang-Undang itu atau Peraturan Perundang-undangan yang lain.45
Penulis mulai menganalisis dari konsideran Undang-Undang Kesehatan pada
huruf d yang dinyatakan:
“bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan
dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat
dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun
masyarakat”.
Jika dikaitkan dengan penyelenggaraan imunisasi wajib, berdasarkan Pasal
132 ayat (3) dan (4) dinyatakan: “setiap anak berhak memperoleh imunisasi
dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya
42
Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm.24.
43
Ibid, hlm.27.
44
Ibid, hlm.33.
45
Ibid, hlm.65.

13
penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi dan ketentuan lebih lanjut
ditetapkan dengan Peraturan Menteri”. Kemudian pada Pasal 133 dinyatakan:
“Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk
diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya”.
Permenkes tentang Imunisasi pada bagian mengingat yang merupakan dasar
hukum (landasan yuridis) pada angka 3 merujuk pada Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kini telah dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya
disebut Undang-Undang Perlindungan Anak). Hal ini tentu bersesuaian dengan
konsideran dan Pasal yang ada pada Undang-Undang Kesehatan, yaitu
penekanannya pada anak. Dimana setiap anak berhak memperoleh imunisasi dan
setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk
diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
Sementara pada bagian mengingat Undang-Undang Kesehatan, tidak secara
eksplisit merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga harus
dicari terlebih dahulu melalui penemuan hukum. Kemudian penulis membaca
seluruh ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan tetap tidak
ditemukan pengaturan sanksi pidana bagi orang tua yang tidak memberikan
imunisasi pada anak. Namun jika dilakukan analisis lebih mendalam, maka
sebenarnya ada Pasal yang terkait, yaitu Pasal 46 yang dinyatakan: “Negara,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib
mengusahakan agar Anak yang lahir terhindar dari penyakit yang
mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan”. Pada
penjelasannya dinyatakan penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan
menimbulkan kecacatan, misalnya HIV atau AIDS, TBC, kusta, dan polio.”
Dengan demikian, orang tua mempunyai kewajiban agar anak yang lahir
terhindar dari penyakit polio. Namun tetap tidak ada pengaturan sanksi pidana
bagi orang tua yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Satu-satunya sanksi
pidana yang dimungkinkan dapat dikenakan kepada orang tua yang tidak
memberikan vaksin polio kepada anak ada di dalam Pasal Pasal 76A huruf a,
yaitu “Setiap orang dilarang memperlakukan anak secara diskriminatif yang
mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga

14
menghambat fungsi sosialnya”. Sanksi pidananya menurut Pasal 77 berupa
pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00.-. Lalu apakah orang tua yang tidak memberikan imunisasi
vaksin polio kepada anak dapat dikategorikan sebagai perlakuan diskriminatif?
padahal yang dilakukan oleh orang tua tersebut atas dasar kepentingan yang
terbaik bagi anak mengingat penggunanan vaksin polio dianggap haram dan
dapat digantikan dengan tahnik, obat-obatan herbal, dan ASI.
Pasal 76A tidak memberikan penjelasan (cukup jelas) dan definisi dari
diskriminatif juga tidak ada di dalam Ketentuan Umum Undang-Undang
Perlindungan Anak.46 Menurut principles of legality atau asas legalitas, suatu
ketentuan Perundang-undangan harus dirumuskan secara cermat dan terperinci
atau lex certa. Perumusan ketentuan Perundang-undangan yang tidak jelas dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan kegagalan dalam Penuntutan pidana.47
Dengan demikian, pernyataan dr Elizabeth tidak didasarkan pada kajian yang
mendalam. Karena pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi
wajib pemberian vaksin polio masih kabur (banyak kekurangan dan kelemahan
di dalamnya) dan tidak berdasar, sehingga belum dapat diterapkan karena tidak
sesuai dengan asas legalitas, khususnya mengenai lex certa.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan perjalanan sejarah, perkembangan vaksin dipengaruhi oleh hal-hal


seperti kebutuhan dunia medis dan kesehatan masyarakat yang mendesak,
kemajuan bioteknologi yang sangat pesat, inovasi dalam melakukan berbagai
pendekatan baru dari aspek imunologi, persaingan industri vaksin yang kian

46
Ibid Pasal 76 A dan Pasal 77.
47
Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga,
Jakarta, hlm.26.

15
kompetitif, meningkatnya kepedulian dan komitmen komunitas dunia, dan
pertimbangan ekonomi (efektif, efisien, dan biaya murah).
2. Mengenai pro dan kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio, dalam
sudut pandang Islam (hukum asal) pada dasarnya dibolehkan dan dianjurkan
guna mencegah terjadinya penyakit Polio. Hal ini juga diperkuat dengan fatwa
dari MUI tentang dibolehkannya penggunaan vaksin polio IPV dan OPV serta
keterangan ilmiah dari PT. Bio Farma dan Ikatan Dokter Anak Indonesia yang
menyatakan pada produk final tidak ditemukan unsur tripsin (enzim babi).
Vaksin adalah suatu medikasi yang sifatnya urgent, bukan pilihan guna
mencegah penyakit polio yang dapat mengakibatkan kelumpuhan tetap
sepanjang hayat dan dapat melahirkan generasi yang lemah di masa mendatang.
3. Pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi wajib pemberian
vaksin polio masih kabur dan tidak berdasar, sehingga tidak dapat diterapkan
pada peristiwa konkret karena tidak sesuai dengan asas legalitas. Menurut asas
legalitas atau principles of legality, suatu ketentuan Perundang-undangan harus
dirumuskan secara cermat dan terperinci atau lex certa. Perumusan ketentuan
Perundang-undangan yang tidak jelas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
dan menghalangi keberhasilan dalam Penuntutan pidana

B. Saran

1. Sampai saat ini tidak ada satupun badan penelitian di dunia yang menyatakan
Air Susu Ibu (ASI), tahnik, gizi, dan obat-obatan herbal bisa menggantikan
imunisasi. Karena kekebalan yang dibentuk sangat berbeda dan spesifik terhadap
kuman tertentu yang berbahaya. Vaksin akan merangsang pembentukan
kekebalan yang spesifik (antibodi) terhadap kuman, virus atau racun kuman
tertentu untuk mencegah penularan penyakit yang berbahaya. Oleh karena itu
pencegahan penyakit polio secara efektif dan efisien hanya mungkin dilakukan
melalui imunisasi dengan vaksin polio dan mendukung Pemerintah dalam
program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
2. Agar Pemerintah melalui petugas-petugas teknis yang terkait dengan
penyelenggaran program imunisasi wajib harus giat melakukan sosialisasi
kepada masyarakat melalui posyandu, pertemuan dengan para tokoh atau
pemuka adat di daerah masing-masing dan memanfaatkan teknologi internet

16
guna penyebaran informasi yang cepat dan meluas. Lalu setiap informasi seperti
Fatwa MUI dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pusat
terkait penyelenggaraan imunisasi wajib disosialisasikan kepada masyarakat.
3. Agar Pejabat publik berhati-hati dalam membuat pernyataan ke publik terkait
suatu kebijakan yang memiliki dampak yang luas dan signifikan di masyarakat.
Pernyataan tersebut hendaknya dikaji terlebih dahulu secara mendalam melalui
tim atau tenaga ahli atau berkordinasi dengan pihak yang berkompeten.
Terhadap kebijakan yang sifatnya lintas bidang (antara kesehatan dan hukum),
Kementrian Kesehatan dapat meminta pendapat hukum terlebih dahulu kepada
Kejaksaan Agung. Supaya pernyataan tersebut tidak keliru dan berdampak pada
timbulnya kebingungan dan keresahan di masyarakat.
4. Jika Pemerintah ingin mengatur sanksi pidana bagi orang tua yang tidak
memberikan imunisasi polio pada anak, maka Pemerintah dan pembentuk
Undang-Undang (DPR) harus merevisi Undang-Undang kesehatan dan
memasukan rumusan perbuatan tersebut ke dalam suatu Pasal beserta sanksinya,
sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Namun apabila ingin
diatur di dalam Undang-Undang lain, maka pada bagian mengingat Undang-
Undang Kesehatan yang dijadikan landasan yuridis dalam penyelenggaraan
imunisasi wajib, harus dimasukan rujukan Undang-Undang terkait, misalnya
Undang-Undang Perlindungan Anak. Tujuannya agar suatu ketentuan
Perundang-undangan dirumuskan secara cermat, terperinci, dan saling terkait
antara Undang-Undang yang satu dan lainnya, sehingga ada kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Hiariej, Eddy O.S., 2009, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana,
Erlangga, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2014, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

17
B. Makalah
Marboen, Ayu Theresia, “PT. Bio Farma”, Makalah, 2014,
http://www.scribd.com/doc/240686657/Makalah-Pt-Bio-Farma#scribd, diakses
tanggal 25 Juni 2015.

C. Artikel Majalah
Yusuf, Abu Ubaidah bin Mukhtar as-Sidawi, 2008, Hukum Imunisasi (Kontroversi
Imunisasi Vaksin Polio yang Mengandung Babi), Majalah Al-Furqon Edisi 05.

D. Internet
Aditya Eka Prawira, 2015, “Orang Tua Bisa Kena Sanksi Bila Tak Beri Imunisasi Pada
Anak”, http://health.liputan6.com/read/2216822/orangtua-bisa-kena-sanksi-
bila-tak-beri-imunisasi-pada-anak, diakses 20 Juni 2015.

Fit/Igw, 2013, “Yang Benar dan Salah dari Imunisasi”,


http://health.liputan6.com/read/504460/yang-benar-dan-salah-dari-imunisasi,
diakses 20 Juni 2015.

Hartono Gunardi, 2014, “MMR Tidak Menyebabkan Autisme Bagian I”,


http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/mmr-tidak-menyebabkan-
autisme-bagian-i.html, diakses 20 Juni 2015.

Merry Wahyuningsih, 2012, “Vaksin apa saja yang bersinggungan dengan babi”,
http://health.detik.com/read/2012/06/20/152505/1946278/775/vaksin-apa-saja-
yang-bersinggungan-dengan-babi, diakses 20 Juni 2015.

Mita Erna Wati, 2013, “Kemajuan Teknologi Kedokteran”, http://mitaunair


fk12.web.unair.ac.id/artikel_detail-70489-Kesehatan%20Kita kemajuan
%20teknologi%20kedokteran.html, diakses 20 Juni 2015.

MYS, 2012, “Menjadikan Fiksi Hukum Tak Sekadar Fiksi”,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ffe7ed9ac70f/menjadikan-fiksi-
hukum-tak-sekadar-fiksi, diakses 28 Juni 2015.

Samsuridjal Djauzi & Dirga Sakti Rambe (Satgas Imunisasi Dewasa Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia/PAPDI), 2013, “Imunisasi : Sejarah
dan Masa Depan”, http://www.kalbemed.com/Portals/6/24_205Opini-Imunisasi-
Sejarah%20dan%20Masa%20Depan.pdf, diakses 25 Juni 2015.

Tio Alexander, 2010, “Mengungkap Konspirasi Imunisasi dan Bahaya Vaksin”,


https://un2kmu.wordpress.com/2010/04/19/mengungkap-konspirasi-imunisasi-
dan-bahaya-vaksin/, diakses 20 Juni 2015.

Widodo Judarwanto, 2005, “Permasalahan Imunisasi Polio”,


http://www.indosiar.com/ragam/permasalahan-imunisasi-polio_21480.html,
diakses 26 Juni 2015.

18
E. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5063).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor


23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2014
Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang


Penyelenggaraan Imunisasi.

F. Lainnya
Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Vaksin Polio Khusus tanggal 08
Oktober 2002.

Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Penggunaan Vaksin Polio Oral (OPV) tanggal 25 Juli 2005.

Wahyu Yun Santoso, 2015, Bahan Kuliah Teknologi dalam Hukum-Aspek Hukum
Terkait Bioteknologi, Magister Hukum Konsentrasi Hukum Litigasi, FH UGM,
Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai