PENDAHULUAN
2.1 Coronavirus
2.1.1 Virologi
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini pada
dasarnya menginfeksi terutama hewan yang termasuk di antaranya adalah kelelawar dan
unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat
menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,
betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness
Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus
(MERS-CoV).11
Coronavirus sebagai etiologi dari COVID-19 termasuk dalam genus
betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam
subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute
Respiratory Illness (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. 12 Atas dasar ini,
International Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV-2.13
Gambar 2.1 Struktur genom virus. ORF: open reading frame, E: envelope, M: membrane, N:
nucleocapsid14
Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada umumnya
(Gambar 1). Sekuens SARS- CoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang
diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari
kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia.15 Mamalia dan burung
diduga sebagai reservoir perantara.16
Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga sebagai reservoir perantara. Strain
coronavirus pada trenggiling adalah yang mirip genomnya dengan coronavirus
kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV-2 (91%). Genom SARS-CoV-2 sendiri memiliki
homologi 89% terhadap coronavirus kelelawar ZXC21 dan 82% terhadap SARS-CoV.17
Hasil pemodelan melalui komputer menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 memiliki
struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-binding yang hampir identik
dengan SARS-CoV. Pada SARS-CoV, protein ini memiliki afinitas yang kuat terhadap
angiotensin-converting-enzyme 2 (ACE2).18 Pada SARS-CoV-2, data in vitro
mendukung kemungkinan virus mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor
ACE2.15 Studi tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak menggunakan
reseptor coronavirus lainnya seperti Aminopeptidase N (APN) dan Dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4).15
Gambar 2.2 Pendekatan potensial untuk mengatasi COVID-19 yang dimediasi ACE2 setelah infeksi
SARS-CoV-2. Temuan bahwa SARS-CoV-2 dan SARS-CoV menggunakan reseptor ACE2 untuk entri
sel memiliki implikasi penting untuk memahami penularan dan patogenesis SARS-CoV-2. SARS-CoV
dan kemungkinan SARS-CoV-2 menyebabkan downregulation dari reseptor ACE2, tetapi bukan ACE,
melalui pengikatan protein spike dengan ACE2. Hal ini menyebabkan masuknya virus dan replikasi, serta
cedera paru-paru yang parah. Pendekatan terapi potensial termasuk vaksin berbasis protein lonjakan
SARS-CoV-2; inhibitor transmembran protease serine 2 (TMPRSS2) untuk memblokir priming protein
spike; menghalangi reseptor ACE2 permukaan dengan menggunakan antibodi atau peptida anti-ACE2;
dan bentuk ACE2 terlarut yang harus memperlambat masuknya virus ke dalam sel melalui pengikatan
kompetitif dengan SARS-CoV-2 dan karenanya mengurangi penyebaran virus serta melindungi paru-paru
dari cedera melalui fungsi enzimatiknya yang unik. MasR — reseptor perakitan mitokondria, AT1R —
reseptor tipe II Ang II18
2.1.2 Transmisi
Saat ini, penyebaran menjadi lebih agresif karena penyebaran SARS-CoV-2 dari
manusia ke manusia menjadi sumber transmisi utama. Transmisi SARS-CoV-2 dari
pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin. 19
Penelitian telah mengungkapkan bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol
(dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3 jam.20 WHO memperkirakan
reproductive number (R0) COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain
memperkirakan R0 sebesar 3,28.21
Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier asimtomatis,
namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus terkait transmisi dari karier
asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan pasien COVID-19.19,22
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus. Namun,
transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat terjadi.
Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang transmisi vertikal tergolong
kecil.19,23 Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu pada ibu
yang positif COVID-19 ditemukan negatif.23
SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil biopsi
pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus mampu terdeteksi di feses, bahkan
sekitar 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam feses walaupun
sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini menguatkan dugaan
kemungkinan transmisi secara fekal-oral.24
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan SARS-
CoV. van Doremalen, dkk.20 dalam eksperimennya menunjukkan pada bahan stainless
steel dan plastik (>72 jam) SARS- CoV-2 lebih stabil dibandingkan tembaga (4 jam)
dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang
ekstensif pada kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat
dideteksi di gagang pintu, dudukan kipas ventilasi, toilet, tombol lampu, jendela hingga
lemari, namun tidak pada sampel udara. 25 Persistensi berbagai jenis coronavirus lainnya
dapat dilihat pada Tabel 1.26
Tabel 2.1 Persistensi berbagai jenis coronavirus pada berbagai permukaan benda mati26
2.1.3 Epidemiologi
Sejak Desember 2019, sebuah novel coronavirus, yang ditunjuk SARS-CoV-2, men
yebabkan wabah pernafasan internasional penyakit yang oleh WHO akhirnya disebut
sebagai COVID-19 (awalnya disebut 2019 n-COV).1-5 Terhitung 31 Desember 2019
hingga 3 Januari 2020 terjadi peningkatan kasus secara pesat yang ditandai dengan
dilaporkannya sebanyak 44 kasus. Penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain
di China, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan tidak sampai satu bulan. 6 Pada 12 Maret
2020, WHO mengumumkan COVID-19 sebagai pandemik.7
COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah
dua kasus.27 Saat ini di Indonesia sudah ditetapkan 2.273 kasus dengan positif COVID-
19 dan 198 kasus kematian.9 Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,7%,
angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.7,28
Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh dunia.
Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan kasus dan
kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat menduduki peringkat pertama
dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan penambahan kasus baru sebanyak 19.332
kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan 6.549 kasus baru. Italia
memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 11,3%.7
Dengan menggunakan data 24 kematian yang terjadi di daratan Tiongkok dan 165
pemulihan di luar Tiongkok, kami memperkirakan durasi rata-rata dari timbulnya gejala
hingga kematian adalah 17.8 hari ( 95% CRI 16.9–19.2) dan upasien yang dipulangkan
menjadi 24.7 hari (22.9–28.1). Di semua laboratorium yang dikonfirmasi dan secara
klinis didiagnosis kasus dari Cina (n = 70117),Verity dkk. memperkirakan rasio fatalitas
kasus kasar (disesuaikan untuk penyensoran) sebesar 3.67% (95% CrI 3.56-3.80).
Namun, setelah penyesuaian lebih lanjut untuk demografi dan di bawah kepastian,
Verity dkk. memperoleh estimasi terbaik dari rasio fatalitas kasus di Cina sebesar 1.38%
(1. 23–1.53), dengan rasio yang jauh lebih tinggi pada kelompok usia yang lebih tua (0 ·
32% [0.27-0.38] pada mereka yang berusia <60 tahun vs 6.4% [5.7–7.2] pada mereka
yang berusia ≥60 tahun), hingga 13.4% (11.2–15.9) pada mereka yang berusia 80 tahun
atau lebih. Perkiraan rasio fatalitas kasus dari kasus internasional yang dikelompokkan
berdasarkan usia konsisten dengan yang dari China (perkiraan parametrik 1.4% [0.4-
3.5] pada mereka yang berusia <60 tahun [n = 360] dan 4.5% [ 1.8–11.1] pada mereka
yang berusia ≥60 tahun [n = 151]). Perkiraan rasio fatalitas infeksi keseluruhan kami
untuk Cina adalah 0.66% (0.39–1.33), dengan peningkatan profil seiring bertambahnya
usia. Demikian pula, perkiraan proporsi orang yang terinfeksi cenderung dirawat di
rumah sakit meningkat dengan usia hingga maksimum 18,4% (11.0-7.6) pada mereka
yang berusia 80 tahun atau lebih.29
Gambar 2.3 Grafik Kasus COVID-19 di Dunia (atas) dan Indonesia (bawah) 9
2.1.4 Patogenesis
Patogenesis SARS-CoV-2 sebenarnya masih belum banyak diketahui secara pasti,
namun diduga tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV. Ada banyak kesamaan SARS-
CoV-2 dengan SARS-CoV. Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel
pada saluran napas yang melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan
reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat
pada envelope spike virus akan berikatan kuat dengan reseptor selular berupa ACE2
pada SARS-CoV-2 berdasarkan studi interaksi biokimia dan analisis struktur kristal. Di
dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-
protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan
sel.18
Seperti halnya dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 juga diduga setelah virus
masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan
ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus
akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk
masuk ke dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan
nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid. Partikel virus
akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel
yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan membran plasma untuk
melepaskan komponen virus yang baru.30
Gambar 2.5 Skema replikasi dan patogenesis virus, diadaptasi dari berbagai sumber39
2.1.6 Diagnosis
Definisi operasional pada kasus COVID-19 di Indonesia mengacu pada panduan
yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang mengadopsi dari
WHO (dirangkum dalam Tabel 2).41
Kasus probable didefinisikan sebagai PDP yang diperiksa untuk COVID-19 tetapi
hasil inkonklusif atau seseorang dengan dengan hasil konfirmasi positif pancoronavirus
atau betacoronavirus. Kasus terkonfirmasi adalah bila hasil pemeriksaan laboratorium
positif COVID-19, apapun temuan klinisnya. Selain itu, dikenal juga istilah orang tanpa
gejala (OTG), yaitu orang yang tidak memiliki gejala tetapi memiliki risiko tertular atau
ada kontak erat dengan pasien COVID-19.41
Kontak erat didefinisikan sebagai individu dengan kontak langsung secara fisik
tanpa alat proteksi, berada dalam satu lingkungan (misalnya kantor, kelas, atau rumah),
atau bercakap-cakap dalam radius 1 meter dengan pasien dalam pengawasan (kontak
erat risiko rendah), probable atau konfirmasi (kontak erat risiko tinggi).79, 86 Kontak
yang dimaksud terjadi dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala hingga 14 hari setelah
kasus timbul gejala.41
Song, dkk.42 dalam hal ini mencoba membuat skor COVID-19 Early Warning
Score (COVID-19 EWS) berdasarkan 1311 orang yang melakukan pemeriksaan SARS-
CoV-2 RNA di China, seperti pada lampiran 1. Skor ini memasukkan gambaran
pneumonia pada CT scan toraks, riwayat kontak erat, demam, gejala respiratorik
bermakna, suhu tertinggi sebelum masuk rumah sakit, jenis kelamin laki-laki, usia, dan
rasio neutrofil limfosit (RNL) sebagai parameter yang dinilai. Nilai skor COVID-19
EWS minimal 10 menunjukkan nilai prediksi yang baik untuk dugaan awal pasien
COVID-19.
Diagnosis komplikasi seperti ARDS, sepsis, dan syok sepsis pada pasien COVID-
19 dapat ditegakkan menggunakan kriteria standar masing-masing yang sudah
ditetapkan. Tidak terdapat standar khusus penegakan diagnosis ARDS, sepsis, dan syok
sepsis pada pasien COVID-19.
Tabel 2.2 Definisi Operasional PDP dan ODP41
9. Putuskan tangkai plastik di daerah mulut cryotube agar cryotube dapat ditutup
dengan rapat.
10. Pastikan label kode spesimen sesuai dengan kode yang ada di
formulir/Kuesioner.
11. Cryotube kemudian dililit parafilm dan masukkan ke dalam Plastik Klip. Jika
ada lebih dari 1 pasien, maka Plastik Klip dibedakan/terpisah. Untuk
menghindari kontaminasi silang.
Pengepakan Spesimen43
Spesimen dikonfirmasi harus dilakukan tatalaksana sebagai UN3373, "Substansi
Biologis, Kategori B", ketika akan diangkut/ditransportasikan dengan tujuan diagnostik
atau investigasi. Semua spesimen harus dikemas untuk mencegah kerusakan dan
tumpahan. Adapun sistem yang digunakan adalah dengan menggunakan tiga lapis
(Three Layer Pacakging) sesuai dengan pedoman dari WHO dan International Air
Transport Association (IATA).
Gambar 2.8 Contoh Pengepakan Tiga Lapis43
Spesimen dari pasien yang diduga novel coronavirus, harus disimpan dan dikirim
pada suhu yang sesuai. Spesimen harus tiba di laboratorium segera setelah pengambilan.
Penanganan spesimen dengan tepat saat pengiriman adalah hal yang sangat penting.
Sangat disarankan agar pada saat pengiriman spesimen tersebut ditempatkan di dalam
cool box dengan kondisi suhu 2-80C atau bila diperkirakan lama pengiriman lebih dari
tiga hari spesimen dikirim dengan menggunakan es kering (dry ice).
Pengiriman Spesimen43
Pengiriman spesimen ODP, dan PDP dilakukan oleh petugas Dinas Kesehatan
dengan menyertakan formulir pemeriksaan spesimen pasien dalam pengawasan/orang
dalam pemantauan. Sedangkan pengiriman spesimen OTG harus menyertakan salinan
formulir pemantauan harian. Pengiriman spesimen ditujukan ke laboratorium pemeriksa
sesuai dengan wilayah kerja berdasarkan KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/214/2020
tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan COVID-19 (Lampiran 19). Pengiriman
spesimen ke Laboratorium pemeriksa dapat dilakukan menggunakan jasa kurir door to
door. Pada kondisi yang memerlukan pengiriman port to port, petugas Dinas Kesehatan
dapat berkoordinasi dengan petugas KKP setempat dan Laboratorium pemeriksa.
Pengiriman spesimen sebaiknya dilakukan paling lama 1x24 jam.
Tabel 2.4 Perbedaan Kriteria Kasus dalam Konfirmasi Laboratorium Menggunakan RT PCR43
Berikut merupakan alur pemeriksaan Rapid Test Antibodi dan Rapid Test Antigen.
Gambar 2.9 Alur Pemeriksaan Menggunakan Rapid Test Antibodi43
Gambar 2. 10 Alur Pemeriksaan Menggunakan Rapid Test Antigen43
Konfirmasi Laboratorium
Spesimen yang tiba di laboratorium pemeriksa, akan segera diproses untuk
dilakukan pengujian. Pengujian laboratorium dari spesimen OTG, ODP, dan PDP
dilakukan dengan menggunakan metode RT-PCR. Adapun algoritma pemeriksaannya
adalah sebagai berikut:
Semua hasil pemeriksaan COVID-19 dikirim ke Balitbangkes (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan), dengan tembusan Dinas Kesehatan Provinsi dan menginformasikan hasil ke rumah sakit
pengirim untuk kepentingan diagnosis dan penelusuran kontak. Pengumuman hasil kepada masyarakat
hanya dilakukan oleh pusat.
2.1.7 Tatalaksana43
1. Tatalaksana Pasien di Rumah Sakit Rujukan43
a. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan43
1. Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat dan
distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.
- Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan nasal
kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥90% pada anak dan
orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2 ≥ 92%-95% pada pasien
hamil.
- Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau
apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau
kejang) harus diberikan terapi oksigen selama resusitasi untuk
mencapai target SpO2 ≥94%;
- Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan pulse
oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan baik, dan semua
alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka
sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) harus digunakan sekali
pakai.
- Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk
menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana,
sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam
pengawasan atau terbukti COVID-19.
2. Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA berat
tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian cairan intravena,
karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi,
terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.
3. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada kasus
sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik empirik
yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.
Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis (pneumonia
komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis), epidemiologi dan peta
kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi empirik harus di de-ekskalasi
apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian
klinis.
4. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan
pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan
lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat
menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA
berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru
bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu,
kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.
5. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami
perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan
suportif secepat mungkin.
6. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan
dan penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana yang
harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien
dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi prognostik.
7. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan penyesuaian
dengan fisiologi kehamilan.
Persalinan darurat dan terminasi kehamilan menjadi tantangan dan perlu
kehati-hatian serta mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia
kehamilan, kondisi ibu dan janin. Perlu dikonsultasikan ke dokter
kandungan, dokter anak dan konsultan intensive care.
b. Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS43
1. Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress pernapasan
mengalami kegagalan terapi oksigen standar
Pasien dapat mengalami peningkatan kerja pernapasan atau hipoksemi
walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup tutup muka dengan
kantong reservoir (10 sampai 15 L/menit, aliran minimal yang dibutuhkan
untuk mengembangkan kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas
hipoksemi pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau
pirau/pintasan dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.
2. Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO) atau ventilasi
non invasif (NIV) hanya pada pasien gagal napas hipoksemi tertentu, dan
pasien tersebut harus dipantau ketat untuk menilai terjadi perburukan klinis.
- Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen 60 L/menit dan FiO2
sampai 1,0; sirkuit pediatrik umumnya hanya mencapai 15 L/menit,
sehingga banyak anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk
memberikan aliran yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen
standar, HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Pasien
dengan hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru obstruktif, edema paru
kardiogenik), hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau
penurunan kesadaran seharusnya tidak menggunakan HFNO,
meskipun data terbaru menyebutkan bahwa HFNO mungkin aman
pada pasien hiperkapnia ringan-sedang tanpa perburukan. Pasien
dengan HFNO seharusnya dipantau oleh petugas yang terlatih dan
berpengalaman melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien
mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan
(dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera. Saat ini
pedoman berbasis bukti tentang HFNO tidak ada, dan laporan tentang
HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
- Penggunaan NIV tidak direkomendasikan pada gagal napas hipoksemi
(kecuali edema paru kardiogenik dan gagal napas pasca operasi) atau
penyakit virus pandemik (merujuk pada studi SARS dan pandemi
influenza). Karena hal ini menyebabkan keterlambatan dilakukannya
intubasi, volume tidal yang besar dan injuri parenkim paru akibat
barotrauma. Data yang ada walaupun terbatas menunjukkan tingkat
kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS mendapatkan terapi
oksigen dengan NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil, gagal multi-
organ, atau penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan NIV.
Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas terlatih dan
berpengalaman untuk melakukan intubasi endotrakeal karena bila
pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami
perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera.
- Publikasi terbaru menunjukkan bahwa sistem HFNO dan NIV yang
menggunakan interface yang sesuai dengan wajah sehingga tidak ada
kebocoran akan mengurangi risiko transmisi airborne ketika pasien
ekspirasi.
2. Terapi Etiologi/Definitif
Biarpun belum ada obat yang terbukti meyakinkan efektif melalui uji klinis,
China telah membuat rekomendasi obat untuk penangan COVID-19 dan
pemberian tidak lebih dari 10 hari. Rincian dosis dan administrasi sebagai
berikut:44
- IFN-alfa, 5 juta unit atau dosis ekuivalen, 2 kali/hari secara inhalasi;
- LPV/r, 200 mg/50 mg/kapsul, 2 kali 2 kapsul/hari per oral;
- RBV 500 mg, 2-3 kali 500 mg/hari intravena dan dikombinasikan
dengan IFN-alfa atau LPV/r;
- Klorokuin fosfat 500 mg (300 mg jika klorokuin), 2 kali/ hari per oral;
- Arbidol (umifenovir), 200 mg setiap minum, 3 kali/ hari per oral.
2.2 Favipiravir
2.2.1 Struktur Kimia
Favipiravir ditemukan dengan modifikasi kimia dari analog pirazin yang awalnya
diskrining oleh aktivitas virus anti-influenza in vitro dalam sel. Favipiravir adalah
inhibitor selektif dan kuat dari virus influenza RNA polymerase dan efektif terhadap
semua subtipe dan jenis virus influenza termasuk yang sensitif atau resisten terhadap
neuraminidase dan inhibitor M2 yang dipasarkan. Favipiravir menunjukkan kegiatan
anti-virus terhadap virus RNA lainnya. Data ini jelas menunjukkan bahwa favipiravir
adalah obat yang menjanjikan untuk pengobatan infeksi tidak hanya oleh virus influenza
tetapi juga berbagai macam virus RNA.47
Gambar 3.1 Struktur Kimia Fapiviravir47
Gambar 3.2 Representasi skematis dari mekanisme aktivasi favipiravir (Berdasarkan Furuta dkk.).
Favipiravir dimasukkan ke dalam sel, dan dikonversi menjadi favipiravir ribofuranosyl fosfat oleh enzim
sel inang. Bentuk trifosfat, favipiravir-RTP, menghambat aktivitas virus RNA polimerase influenza. 52
2.2.3 Indikasi
Favipiravir menghambat proliferasi virus RNA tetapi tidak pada virus DNA.
Favipiravir menunjukkan aktivitas anti-virus terhadap semua subtipe dari strain virus
influenza, termasuk tipe A, B dan C dalam penelitian yang menggunakan strain
laboratorium dari virus influenza dengan nilai konsentrasi efektif 50% (EC50) mulai
dari 0,014 hingga 0,55 ug / mL. 53 Favipiravir dievaluasi in vitro untuk kemampuan
memblokir proliferasi virus influenza yang representatif, termasuk strain A (H1N1), A
(H1N1) pdm09, A (H3N2), dan B; virus avian influenza sangat patogen A (H5N1)
diisolasi dari manusia. Strain ini mengandung yang resisten terhadap oseltamivir atau
zanamivir, dan beberapa yang resisten terhadap kedua inhibitor NA. Tercatat bahwa
favipiravir menunjukkan aktivitas anti-virus terhadap semua jenis yang diuji.
Favipiravir bukan sitotoksik untuk sel MDCK dengan konsentrasi sitotoksik 50%
(CC50)> 1000 μg / mL, menunjukkan suatu indeks antivirus yang tinggi.53
Gambar 3.3 Tes kerentanan virus influenza terhadap favipiravir dalam uji pengurangan plak dalam sel
MDCK (Berdasarkan Sleeman dkk). Virus influenza termasuk jenis A (H1N1), A (H1N1) pdm09, A
(H3N2), dan B; virus flu burung yang sangat patogen (H5N1) diisolasi dari manusia. Strain ini
mengandung yang resisten terhadap oseltamivir atau zanamivir, dan beberapa yang resisten terhadap
kedua inhibitor NA. Perubahan NA dideteksi oleh kriteria pengawasan (Sheu dkk). EC50, konsentrasi
efektif 50%. ○; ● Inhibitor NA sensitif, ●; Tahan Oseltamivir, ▲; Tahan Oseltamivir dan Zamanivir. 54,55
Efek favipiravir pada viral load diselidiki pada tikus yang terinfeksi virus influenza
H1N1 (A / California / 04/09). Pengobatan oral dengan favipiravir pada 60 dan 300
mg / kg / hari menurunkan viral load di paru-paru 3 dan 6 hari setelah infeksi.
Favipiravir menunjukkan kemanjuran anti-virus yang sama atau lebih kuat daripada
oseltamivir dan zanamivir dalam model infeksi murine dengan virus influenza A
(H1N1) pdm09.56 Selain itu, favipiravir secara signifikan lebih efektif daripada
oseltamivir pada model infeksi murine dengan tantangan virus dari Titer 100 kali lebih
tinggi dengan virus influenza A / PR / 8 (H1N1), atau dosis yang tertunda (hingga 96
jam setelah infeksi) di A / Duck / MN / 1525/81 (H5N1) model murine infeksius.57,58
Kombinasi agen anti-virus dengan mekanisme aksi yang berbeda digunakan untuk
meningkatkan efek terapeutik atau untuk mengurangi munculnya klon virus yang
resistan. Efek sinergis ditunjukkan oleh kombinasi favipiravir dengan oseltamivir dalam
model murine virus influenza. Kombinasi favipiravir dan oseltamivir secara signifikan
meningkatkan tingkat kelangsungan hidup tikus yang terinfeksi virus influenza A /
Victoria / 3/75 (H3N2), sementara keduanya agen tunggal saja menunjukkan efek
terbatas. Efek kombinasi serupa ditunjukkan pada tikus yang terinfeksi virus influenza
A / NWS / 33 (H1N1) atau A / Duck / MN / 1525/81 (H5N1). Hasil ini memberi kami
pilihan terapi yang lebih luas untuk pengobatan virus epidemi influenza yang kebal
terhadap agen anti-influenza yang ada atau untuk pasien yang parah.59
Demam berat dengan sindrom trombositopenia (SFTS), yang disebabkan oleh virus
SFTS (SFTSV), adalah penyakit menular virus baru-baru ini diidentifikasi. Terlepas
dari pentingnya medis penyakit ini, saat ini tidak ada vaksin atau terapi yang efektif
untuk SFTS. T-705 atau favipiravir, yang merupakan turunan pirazin, telah
menunjukkan aktivitas antivirus luas terhadap berbagai virus RNA. Penelitian ini
menunjukkan, untuk pertama kalinya dalam pengetahuan kami, kemanjuran T-705
dalam mengobati infeksi SFTSV dalam model tikus yang mematikan. T-705
menunjukkan kemanjuran tinggi dalam pengobatan infeksi SFTSV pada model tikus,
bahkan ketika perawatan dimulai setelah timbulnya penyakit.60