PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu merupakan tolak ukur untuk menilai baik buruknya pelayanan
kebidanan dan sebagai indikator tingkat kesejahteraan ibu. Angka Kematian Ibu (Maternal
Mortality Ratio, MMR) didasarkan pada risiko kematian ibu berkaitan dengan proses
melahirkan, persalinan, perawatan obstetrik, komplikasi kehamilan dan masa nifas. (Londok
THM , 2013).
Berdasarkan laporan World Health Organization, 2008 angka kematian ibu di dunia
pada tahun 2005 sebanyak 536.000. Kematian ini dapat disebabkan oleh 25% perdarahan,
20% penyebab tidak langsung, 15% infeksi, 13% aborsi yang tidak aman, 12% eklampsi, 8%
penyulit persalinan, dan 7% penyebab lainnya. Penyebab perdarahan pada kehamilan yang
penting adalah perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. (Chamberlain G , 2002).
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada saat usia kehamilan
mencapai trimester ke-3 (> 20 minggu) dan sebelum proses persalinan. Perdarahan obstetrik
yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan yang terjadi setelah anak dan plasenta lahir
pada umumnya adalah perdarahan yang berat, dan merupakan kasus gawat darurat sehingga
jika tidak segera ditangani bisa mendatangkan syok yang fatal dan berujung kematian.
Penyebab utama perdarahan antepartum yaitu plasenta previa dan solusio plasenta; penyebab
lainnya biasanya pada lesi lokal vagina/serviks. Plasenta previa merupakan penyulit
kehamilan hampir 1 dari 200 persalinan atau 1,7 % sedangkan untuk solusio plasenta 1 dalam
155 sampai 1 dari 225 persalinan atau <0,5%. (Hanretty KP , 2004).
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, menyebutkan
Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak 228 per 100.000 kelahiran hidup pada periode tahun
2003 sampai 2007. Pada tahun 2009 angka AKI masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000
kelahiran hidup. Dari hasil survei tersebut terlihat adanya peningkatan angka kematian ibu di
Indonesia. Sedangkan AKI selama tahun 2006 sebanyak 237 per 100.000 kelahiran hidup.
Dari total 4.726 kasus plasenta previa pada tahun 2005 didapati kurang lebih 40 orang ibu
meninggal akibat plasenta previa itu sendiri. Sedangkan pada tahun 2006 dari total 4.409
kasus plasenta previa didapati 36 orang ibu meninggal akibat plasenta previa.Melihat Angka
kematian ibu yang cukup tinggi di dunia maupun Indonesia, maka pemahaman mengenai
perdarahan antepartum sebagai salah satu penyebab kematian terbanyak ibu
hamil/melahirkan sangat diperlukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perdarahan Antepartum
2.1.1 Definisi
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam semasa kehamilan di mana
umur kehamilan telah melebihi 28 minggu atau berat janin lebih dari 1000 gram (Manuaba,
2010). Sedangkan menurut Wiknjosastro (2007), perdarahan antepartum adalah
perdarahan pervaginam yang timbul pada masa kehamilan kedua pada kira-kira 3% dari
semua kehamilan. Jadi dapat disimpulkan perdarahan antepartum adalah perdarahan yang
terjadi pada akhir usia kehamilan.
Klasifikasi
Jenis-jenis plasenta previa di dasarkan atas teraba jaringan plasenta atau ari-ari melalui
pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu.
1. Plasenta previa totalis, yaitu apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta atau
ari-ari.
2. Plasenta previa parsialis, yaitu apabila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
3. Plasenta Previa marginalis, yaitu apabila pinggir plasenta atau ari-ari berada tepat pada
pinggir pembukaan jalan ari.
4. Plasenta letak rendah, yaitu apabila letak tidak normal pada segmen bawah rahim akan tetapi
belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir (Wiknjosastro, 2005).
Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belum diketahui dengan
pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua didaerah segmen bawah
rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu
penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai mungkin akibat dari proses
radang atau atrofi (Arquette N, 2007).
Beberapa kondisi terkait plasenta previa yaitu :
1. Usia ibu yang semakin lanjut meningkatkan risiko plasenta previa. Seperti pada
gambar 6, insiden plasenta previa meningkat secara bermakna pada setiap peningkatan
kelompok usia ibu. Insiden ini sebesar 1 dalam 1500 pada perempuan berusia ≤ 19 tahun dan
sebesar 1 diantara 100 pada perempuan berusia lebih dari 35 tahun.
2. Multiparitas juga berkaitan dengan peningkatan risiko plasenta previa. Babinszki
melaporkan insidens 2,2% pada perempuan para 5 atau lebih merupakan peningkatan yang
signifikan dibandingan dengan insiden pada perempuan idengan paritas yang lebih sedikit.
Angka kejadian plasenta previa 40% lebih tinggi pada kehamilan dengan janin multipel
dibandingkan janin tunggal
3. Untuk alasan yang tidak diketahui, riwayat sectio caesar meningkatkan risiko plasenta
previa. Insiden ini sebesar 1,3% pada mereka yang memiliki riwayat menjalani sectio caesar
1 kali, dan 3,4% pada mereka yang pernah menjalani enam kali atau lebih sectio caesar.
Peningkatan risiko plasenta previa sebanyak 3 kali lipat pada perempuan yang pernah
menjalani sectio caesar.
4. Risiko relatif plasenta previa dilaporkan meningkat sebanyak dua kali lipat pada
perempuan yang merokok. Dibuat teori bahwa hipoksia karbon monoksida menyebabkan
hipertrofi plasenta kompensatoris. Yang mungkin terkait terganggunya vaskularisasi desidua,
mungkin akibat perubahan atrofik atau peradangan, terlibat dalam terjadinya plasenta previa.
5. Perempuan dengan kadar maternal serum alpha-fetoprotein (MSAFP) pada penapisan
tanpa sebab yang jelas, memiliki risiko plasenta previa yang besar. Perempuan dengan
plasenta previa yang juga memiliki kadar MSAFP ≥ 20 ng/ml pada penapisan 16 minggu
mengalami peningkatan risiko untuk perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan kurang
bulan.
Patofisiologi
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama
dari plasenta previa. Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada triwulan
ketiga, akan tetapi tidak jarang pula dimulai sejak kehamilan 20 minggu karena sejak itu
segmen bawah rahim telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah
tuanya kehamilan, segmen bawah rahim akan lebih melebar lagi, dan leher rahim mulai
membuka. Apabila plasenta atau ari-ari tumbuh pada segmen bawah rahim, pelebaran
segmen bawah rahim dan pembukaan leher rahim tidak dapat diikuti oleh plasenta yang
melekat disitu tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding rahim. Pada saat itulah
mulai terjadi perdarahan.
Sumber perdarahannya ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta
dan dinding rahim atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannya tidak
dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah rahim untuk
berkontraksi menghentikan perdarahan itu, tidak sebagaimana serabut otot uterus
menghentikan perdarahan pada kala III dengan plasenta yang letaknya normal, makin
rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi (Winkjosastro, 2005)
Manifestasi Klinis
Peristiwa yang paling khas pada plasenta previa adalah perdarahan dengan darah
berwarna merah terang tanpa nyeri, yang biasanya tidak terjadi hingga mendekati akhir
trimester kedua atau setelahnya. Namun, perdarahan dapat terjadi sebelumnya, dan terkadang
aborsi dapat terjadi akibat lokasi abnormal plasenta yang sedang berkembang (Londok THM,
2013).
Pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan;
perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip pada solutio plasenta. Perdarahan diperberat
berhubung segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim.
Dengan demikian, perdarahan bisa berlangsung sampai pascapersalinan. Perdarahan bisa juga
bertambah disebabkan serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan
mudah mengalami robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya pengeluaran plasenta
dengan tangan misalnya retensio plasenta sebagai komplikasi plasenta akreta (Londok THM,
2013).
Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering
ditemui bagian terbawah janin masih tinggi diatas simfisis dengan letak janin tidak dalam
letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak
tegang (Londok THM , 2013).
Diagnosis
Plasenta previa atau solusio plasenta harus selalu dipikirkan saat menghadapi
perempuan dengan perdarahan uterus pada paruh kedua kehamilan. Kemungkinan plasenta
previa tidak boleh disingkirkan hingga pemeriksaan sonografi telah jelas menunjukan
ketiadaan plasenta previa. Diagnosis ini jarang dapat ditegakkan secara pasti dengan
pemeriksaan klinis, kecuali jika jari dimasukan melalui serviks dan plasenta dipalpasi.
Pemeriksaan serviks dengan jari seperti demikian tidak diperbolehkan, kecuali perempuan
tersebut berada diruang operasi dengan persiapan lengkap untuk persalinan caesar segera,
bahkan sentuhan jari yang paling lembut sekalipun dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Selain itu, jenis pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan kecuali direncanakan untuk persalinan
karena dapat menyebabkan perdarahan yang mengharuskan persalinan segera. Pemeriksaan
persiapan ganda (double set-up) ini jarang diperlukan karena letak plasenta hampir selalu
dapat dipastikan dengan sonografi (Pernoll ML, 2001).
Penentuan letak plasenta dapat dibuat dengan menggunakan sonografi. Metode yang
paling sederhana, aman, dan akurat untuk menentukan letak plasenta dilakukan dengan
sonografi transabdominal. Akurasi rata-rata pemeriksaan ini adalah 96%, bahkan pernah
dilaporkan hampir 98%. Hasil positif semu umumnya disebabkan oleh distensi kandung
kemih. Karena itu pemeriksaan pada kasus yang diduga positif harus diulangi setelah
kandung kemih dikosongkan. Sumber kesalahan yang jarang adalah ditemukannya plasenta
dalam jumlah besar di fundus uteri tetapi pemeriksa gagal mengenali bahwa plasenta tersebut
besar dan meluas kebawah hingga mencapai ostium uteri internum (Pernoll ML, 2001).
Penggunaan sonografi transvaginal telah meningkatkan secara nyata ketepatan
diagnostik plasenta previa. Meskipun tampaknya berbahaya untuk memasukan probe
ultrasonografi kedalam vagina pada kasus yang diduga plasenta previa, teknik ini telah
terbukti aman. Sonografi trans perineal dilaporkan akurat untuk menentukan letak plasenta
previa (Pernoll ML, 2001).
Gambar 5. Plasenta previa total A. Sonografi plasenta transabdominal (kepala panah putih)
dibelakang kandung kemih yang menutupi serviks (panah hitam). B. Gambaran sonografik
plasenta transvaginal (panah) yang sepenuhnya menutupi serviks yang berdekatan dengan
kepala janin.
2. Solusio Plasenta
Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum
waktunya yakni sebelum anak lahir. Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini yaitu
abruptio placentae, ablatio placentae, dan accidental hemorrhage. Beberapa studi
menyebutkan solusio plasenta ditegakkan bila terdapat perdarahan pada usia kehamilan di
atas 24 minggu dan sebelum kelahiran, namun secara definitif diagnosisnya baru bisa
ditegakkan setelah partus jika terdapat hematoma pada permukaan maternal plasenta.
Klasifikasi
1. Klasifikasi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta
a. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
b. Solusio plasenta parsialis, plasenta terlepas sebagian.
c. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang
terlepas.
2. Klasifikasi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan :
a. Solusio plaseta dengan perdarahan keluar (revealed hemorrhage). Biasanya
perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk
seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke
kanalis servikaslis dan keluar melalui vagina.
b. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage). Ada
kalanya, perdarahan tersebut tidak akan keluar melalui vagina dan tersembunyi di
dalam uterus jika, bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding
rahim, selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim, perdarahan masuk ke
dalam kantong ketubansetelah selaput ketuban pecah karenanya, dan bagian terbawah
janin umumnya kepala menempel ketat pada segmen bawah rahim.
Epidemiologi
Kejadian solusio plasenta yang dilaporkan bervariasi karena berbagai kriteria yang digunakan
untuk diagnosis. Konon, frekuensinya rata-rata 0,5 persen atau 1 dari 200 kelahiran. Dari satu
database hampir 28 juta kelahiran dari 2006 hingga 2012, kejadian solusio plasenta hampir 1
persen (Ananth, 2016). Dari kohort lebih dari 1,57 juta kelahiran di Belanda, Ruiter dan rekan
kerja (2015) menemukan frekuensinya adalah 0,22 persen — 1 banding 450. Dalam lebih
dari 250.000 kelahiran di Parkland Hospital dari tahun 2000 hingga 2015, angka kejadian
solusio plasenta rata-rata 0,35 persen atau 1 dalam 290 .
Faktor Resiko
1. Gangguan kardiovaskuler : Hipertensi paling sering dikaitkan dengan solusio plasenta, ini
termasuk hipertensi gestasional, preeklampsia, hiertensi kronis atau kombinasi keduanya.
Menurut Pritchard dkk (1991), dari 408 wanita dengan solusio plasenta dan kematian
janin, setengahnya (204) menderita hipertensi. Setengah dari 204 wanita tadi menderita
hipertensi kronis
2. Ruptur membran : Terjadinya solusio plasenta meningkat secara signfikan ketika terjadi
ruptur membran sebelum melahirkan (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2016a; Hackney, 2016). Major dkk (1995) melaporkan bahwa 5 % dari 756
wanit dengan ketuban pecah dini pada usia kehamilan 20 – 36 minggu mengalami solusio
plasenta.. Nath (2008), Peradangan dan infeksi serta kelahiran prematur mungkin menjadi
penyebab utama pada solusio plasenta
3. Solusio placenta yang berulang : Solusio plasenta memiliki tingkat kekambuhan yang
tinggi. Pritchard dkk (1970) mengidentifikasi tingkat kekambuhan 12 % solusio plasenta
dan setengah mengalami kematian janin.
4. Merokok meningkatkan reisko terjadinya solusio plasent (Misra, 1999; Naeve 1980)
5. Leiomioma Uterus, terutama bila terletak didekat tempat implantasi plasenta, dapat
menjadi predisposisi terjadinya solusio plasenta (Ezzedine dan Norwitz, 2016)
Patofisilogi
Solusio plasenta terjadi ketika ada kompromi dari struktur pembuluh darah yang
mendukung plasenta. Dengan kata lain, jaringan pembuluh darah yang menghubungkan
lapisan rahim dan sisi ibu dari plasenta terkoyak. Struktur pembuluh darah ini mengantarkan
oksigen dan nutrisi ke janin. Gangguan jaringan pembuluh darah dapat terjadi ketika struktur
pembuluh darah terganggu karena hipertensi atau penggunaan zat atau oleh kondisi yang
menyebabkan peregangan rahim. Rahim adalah otot dan elastis sedangkan plasenta kurang
elastis daripada uterus. Karena itu, ketika jaringan rahim membentang tiba-tiba, plasenta tetap
stabil dan struktur pembuluh darah yang menghubungkan dinding rahim dengan plasenta
hilang.Abrupsi plasenta terjadi ketika pembuluh darah ibu terlepas dari plasenta dan
perdarahan terjadi antara lapisan rahim dan sisi maternal plasenta. Ketika darah menumpuk,
itu mendorong dinding rahim dan plasenta terpisah. Plasenta adalah sumber oksigen dan
nutrisi janin serta cara janin mengeluarkan produk limbah. Difusi ke dan dari sistem
peredaran darah ibu sangat penting untuk mempertahankan fungsi plasenta yang menopang
kehidupan ini. Ketika akumulasi darah menyebabkan pemisahan plasenta dari jaringan
pembuluh darah ibu, fungsi vital plasenta ini terganggu. Jika janin tidak menerima cukup
oksigen dan nutrisi, janin akan mati.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gambaran klinis penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau
luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang klasik dari
solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina, rasa
nyeri perut dan uterus tegang terus menerus mirip his partus prematurus
1. Solusio plasenta ringan. Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada
yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya
<250 mL. Tumpahan darah yang keluar terlihat seperti pada haid bervariasi dari
sedikit sampai seperti menstruasi yang banyak. Gejalagejala perdarahan sulit
dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang kehitaman. Komplikasi
terhadap ibu dan janin belum ada.
2. Solusio plasenta sedang. Luas plasenta yag terlepas telah melebihi 25%, tetapi
belum mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar 250-1000mL.
Umumnya perdarahan darah terjadi keluar dan kedalam bersama-sama. Gejala-
gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus
menerus, denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.
3. Solusio plasenta berat. Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan
jumlah darah yang keluar telah mencapai 1000mL atau lebih. Pertumpahan darah
bisa terjadi keluar dan kedalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda
klinik jelas, keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hampir semua
janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai
pada oliguria biasanya telah ada.
Komplikasi
Syok hipovolemik : perdarahan yang terjadi sangat banyak dan hebat menyebabkan
ibu mengalami syok perdarahan yang hebat.
Consumptive Coagulopathy : Solusio plasenta dan emboli caairan amnion (Sindrom
Defibrinasi). Yang saat ini dikenal sebagai Koagulopati konsumtif lebih mungkin
terjadi pada solusio plasenta tersembunyi karena tekanan intrauterin lebih tinggi.
Pengobatan yang tertunda atau adekuat dari hipovolemi dengan solusio plaenta berat
dapat menyebabkan AKI (Acute Kidney Injury)
Apoplexie uteroplacentaire : perdarahan retroplasenta menyebabkan darah
menerobos melalui sela-sela serabut miometrium bahkan bisa kebawah perimetrium,
dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum latum, ke bawah perisalping dan dan
ovarium -> keadaan miometrium yg telah terinfiltrasi darah dilaporkan jarang
mengganggu kontraksinya sampai mjd atonia yg bisa menyebabkan perdarahan berat
pasca persalinan -> uterus couvuleire
Tatalaksana
Perawatan wanita dengan solusio plasenta bervariasi tergantung pada kondisi
klinisnya, usia kehamilan, dan jumlah perdarahan terkait. Dengan janin yang hidup layak
usia, dan dengan persalinan pervaginam tidak segera, kelahiran sesar darurat dipilih oleh
sebagian besar. Jika janin telah meninggal atau jika dianggap tidak cukup matang untuk
hidup di luar rahim, maka persalinan pervaginam lebih disukai. Dalam kedua kasus, resusitasi
cepat dan intensif dengan darah plus kristaloid mulai menggantikan darah yang hilang dari
perdarahan retroplasenta dan eksternal. Langkah-langkah ini menyelamatkan nyawa bagi ibu
dan mudah-mudahan bagi janinnya. Jika diagnosa abrupsi tidak pasti dan janin masih hidup
dan tanpa bukti bahaya, maka pengamatan yang ketat dapat dibenarkan asalkan intervensi
segera tersedia.
DAFTAR PUSTAKA