Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Angka Kematian Ibu merupakan tolak ukur untuk menilai baik buruknya pelayanan
kebidanan dan sebagai indikator tingkat kesejahteraan ibu. Angka Kematian Ibu (Maternal
Mortality Ratio, MMR) didasarkan pada risiko kematian ibu berkaitan dengan proses
melahirkan, persalinan, perawatan obstetrik, komplikasi kehamilan dan masa nifas. (Londok
THM , 2013).
Berdasarkan laporan World Health Organization, 2008 angka kematian ibu di dunia
pada tahun 2005 sebanyak 536.000. Kematian ini dapat disebabkan oleh 25% perdarahan,
20% penyebab tidak langsung, 15% infeksi, 13% aborsi yang tidak aman, 12% eklampsi, 8%
penyulit persalinan, dan 7% penyebab lainnya. Penyebab perdarahan pada kehamilan yang
penting adalah perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. (Chamberlain G , 2002).
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada saat usia kehamilan
mencapai trimester ke-3 (> 20 minggu) dan sebelum proses persalinan. Perdarahan obstetrik
yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan yang terjadi setelah anak dan plasenta lahir
pada umumnya adalah perdarahan yang berat, dan merupakan kasus gawat darurat sehingga
jika tidak segera ditangani bisa mendatangkan syok yang fatal dan berujung kematian.
Penyebab utama perdarahan antepartum yaitu plasenta previa dan solusio plasenta; penyebab
lainnya biasanya pada lesi lokal vagina/serviks. Plasenta previa merupakan penyulit
kehamilan hampir 1 dari 200 persalinan atau 1,7 % sedangkan untuk solusio plasenta 1 dalam
155 sampai 1 dari 225 persalinan atau <0,5%. (Hanretty KP , 2004).
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, menyebutkan
Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak 228 per 100.000 kelahiran hidup pada periode tahun
2003 sampai 2007. Pada tahun 2009 angka AKI masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000
kelahiran hidup. Dari hasil survei tersebut terlihat adanya peningkatan angka kematian ibu di
Indonesia. Sedangkan AKI selama tahun 2006 sebanyak 237 per 100.000 kelahiran hidup.
Dari total 4.726 kasus plasenta previa pada tahun 2005 didapati kurang lebih 40 orang ibu
meninggal akibat plasenta previa itu sendiri. Sedangkan pada tahun 2006 dari total 4.409
kasus plasenta previa didapati 36 orang ibu meninggal akibat plasenta previa.Melihat Angka
kematian ibu yang cukup tinggi di dunia maupun Indonesia, maka pemahaman mengenai
perdarahan antepartum sebagai salah satu penyebab kematian terbanyak ibu
hamil/melahirkan sangat diperlukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perdarahan Antepartum
2.1.1 Definisi
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam semasa kehamilan di mana
umur kehamilan telah melebihi 28 minggu atau berat janin lebih dari 1000 gram (Manuaba,
2010). Sedangkan menurut Wiknjosastro (2007), perdarahan antepartum adalah
perdarahan pervaginam yang timbul pada masa kehamilan kedua pada kira-kira 3% dari
semua kehamilan. Jadi dapat disimpulkan perdarahan antepartum adalah perdarahan yang
terjadi pada akhir usia kehamilan.

2.1.2 Jenis – jenis Perdarahan Antepartum


1. Plasenta Previa
 Definisi
Plasenta previa adalah plasenta atau biasa disebut dengan ari-ari yang letaknya tidak
normal, yaitu pada bagian bawah rahim sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan rahim. Pada keadaan normal ari-ari terletak dibagian atas rahim
(Wiknjosastro, 2005).

 Klasifikasi

Jenis-jenis plasenta previa di dasarkan atas teraba jaringan plasenta atau ari-ari melalui
pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu.

1. Plasenta previa totalis, yaitu apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta atau
ari-ari.

2. Plasenta previa parsialis, yaitu apabila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.

3. Plasenta Previa marginalis, yaitu apabila pinggir plasenta atau ari-ari berada tepat pada
pinggir pembukaan jalan ari.

4. Plasenta letak rendah, yaitu apabila letak tidak normal pada segmen bawah rahim akan tetapi
belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir (Wiknjosastro, 2005).

 Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belum diketahui dengan
pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua didaerah segmen bawah
rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu
penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai mungkin akibat dari proses
radang atau atrofi (Arquette N, 2007).
Beberapa kondisi terkait plasenta previa yaitu :
1. Usia ibu yang semakin lanjut meningkatkan risiko plasenta previa. Seperti pada
gambar 6, insiden plasenta previa meningkat secara bermakna pada setiap peningkatan
kelompok usia ibu. Insiden ini sebesar 1 dalam 1500 pada perempuan berusia ≤ 19 tahun dan
sebesar 1 diantara 100 pada perempuan berusia lebih dari 35 tahun.
2. Multiparitas juga berkaitan dengan peningkatan risiko plasenta previa. Babinszki
melaporkan insidens 2,2% pada perempuan para 5 atau lebih merupakan peningkatan yang
signifikan dibandingan dengan insiden pada perempuan idengan paritas yang lebih sedikit.
Angka kejadian plasenta previa 40% lebih tinggi pada kehamilan dengan janin multipel
dibandingkan janin tunggal
3. Untuk alasan yang tidak diketahui, riwayat sectio caesar meningkatkan risiko plasenta
previa. Insiden ini sebesar 1,3% pada mereka yang memiliki riwayat menjalani sectio caesar
1 kali, dan 3,4% pada mereka yang pernah menjalani enam kali atau lebih sectio caesar.
Peningkatan risiko plasenta previa sebanyak 3 kali lipat pada perempuan yang pernah
menjalani sectio caesar.
4. Risiko relatif plasenta previa dilaporkan meningkat sebanyak dua kali lipat pada
perempuan yang merokok. Dibuat teori bahwa hipoksia karbon monoksida menyebabkan
hipertrofi plasenta kompensatoris. Yang mungkin terkait terganggunya vaskularisasi desidua,
mungkin akibat perubahan atrofik atau peradangan, terlibat dalam terjadinya plasenta previa.
5. Perempuan dengan kadar maternal serum alpha-fetoprotein (MSAFP) pada penapisan
tanpa sebab yang jelas, memiliki risiko plasenta previa yang besar. Perempuan dengan
plasenta previa yang juga memiliki kadar MSAFP ≥ 20 ng/ml pada penapisan 16 minggu
mengalami peningkatan risiko untuk perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan kurang
bulan.
 Patofisiologi
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama
dari plasenta previa. Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada triwulan
ketiga, akan tetapi tidak jarang pula dimulai sejak kehamilan 20 minggu karena sejak itu
segmen bawah rahim telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah
tuanya kehamilan, segmen bawah rahim akan lebih melebar lagi, dan leher rahim mulai
membuka. Apabila plasenta atau ari-ari tumbuh pada segmen bawah rahim, pelebaran
segmen bawah rahim dan pembukaan leher rahim tidak dapat diikuti oleh plasenta yang
melekat disitu tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding rahim. Pada saat itulah
mulai terjadi perdarahan.
Sumber perdarahannya ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta
dan dinding rahim atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannya tidak
dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah rahim untuk
berkontraksi menghentikan perdarahan itu, tidak sebagaimana serabut otot uterus
menghentikan perdarahan pada kala III dengan plasenta yang letaknya normal, makin
rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi (Winkjosastro, 2005)
 Manifestasi Klinis

Peristiwa yang paling khas pada plasenta previa adalah perdarahan dengan darah
berwarna merah terang tanpa nyeri, yang biasanya tidak terjadi hingga mendekati akhir
trimester kedua atau setelahnya. Namun, perdarahan dapat terjadi sebelumnya, dan terkadang
aborsi dapat terjadi akibat lokasi abnormal plasenta yang sedang berkembang (Londok THM,
2013).
Pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan;
perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip pada solutio plasenta. Perdarahan diperberat
berhubung segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim.
Dengan demikian, perdarahan bisa berlangsung sampai pascapersalinan. Perdarahan bisa juga
bertambah disebabkan serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan
mudah mengalami robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya pengeluaran plasenta
dengan tangan misalnya retensio plasenta sebagai komplikasi plasenta akreta (Londok THM,
2013).
Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering
ditemui bagian terbawah janin masih tinggi diatas simfisis dengan letak janin tidak dalam
letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak
tegang (Londok THM , 2013).
 Diagnosis
Plasenta previa atau solusio plasenta harus selalu dipikirkan saat menghadapi
perempuan dengan perdarahan uterus pada paruh kedua kehamilan. Kemungkinan plasenta
previa tidak boleh disingkirkan hingga pemeriksaan sonografi telah jelas menunjukan
ketiadaan plasenta previa. Diagnosis ini jarang dapat ditegakkan secara pasti dengan
pemeriksaan klinis, kecuali jika jari dimasukan melalui serviks dan plasenta dipalpasi.
Pemeriksaan serviks dengan jari seperti demikian tidak diperbolehkan, kecuali perempuan
tersebut berada diruang operasi dengan persiapan lengkap untuk persalinan caesar segera,
bahkan sentuhan jari yang paling lembut sekalipun dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Selain itu, jenis pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan kecuali direncanakan untuk persalinan
karena dapat menyebabkan perdarahan yang mengharuskan persalinan segera. Pemeriksaan
persiapan ganda (double set-up) ini jarang diperlukan karena letak plasenta hampir selalu
dapat dipastikan dengan sonografi (Pernoll ML, 2001).
Penentuan letak plasenta dapat dibuat dengan menggunakan sonografi. Metode yang
paling sederhana, aman, dan akurat untuk menentukan letak plasenta dilakukan dengan
sonografi transabdominal. Akurasi rata-rata pemeriksaan ini adalah 96%, bahkan pernah
dilaporkan hampir 98%. Hasil positif semu umumnya disebabkan oleh distensi kandung
kemih. Karena itu pemeriksaan pada kasus yang diduga positif harus diulangi setelah
kandung kemih dikosongkan. Sumber kesalahan yang jarang adalah ditemukannya plasenta
dalam jumlah besar di fundus uteri tetapi pemeriksa gagal mengenali bahwa plasenta tersebut
besar dan meluas kebawah hingga mencapai ostium uteri internum (Pernoll ML, 2001).
Penggunaan sonografi transvaginal telah meningkatkan secara nyata ketepatan
diagnostik plasenta previa. Meskipun tampaknya berbahaya untuk memasukan probe
ultrasonografi kedalam vagina pada kasus yang diduga plasenta previa, teknik ini telah
terbukti aman. Sonografi trans perineal dilaporkan akurat untuk menentukan letak plasenta
previa (Pernoll ML, 2001).
Gambar 5. Plasenta previa total A. Sonografi plasenta transabdominal (kepala panah putih)
dibelakang kandung kemih yang menutupi serviks (panah hitam). B. Gambaran sonografik
plasenta transvaginal (panah) yang sepenuhnya menutupi serviks yang berdekatan dengan
kepala janin.

Sejumlah peneliti menggunakan MRI untuk memvisualisasikan abnormalitas plasenta,


termsuk plasenta previa. Meskipun banyak mendapat tanggapan positif, mengenai
penggunaannya, kemungkinan MRI akan menggantikan sonografi untuk pemeriksaan rutin
dalam waktu dekat ini adalah kecil. MRI dapat terbukti bermanfaat untuk diagnosis plasenta
akreta (Pernoll ML, 2001).
 Penatalaksanaan
Perempuan dengan plasenta previa dapat digolongan ke salah satu kategori berikut :
 Janin kurang bulan dan tidak terdapat indikasi lain untuk persalinan
 Janin cukup matur
 Persalinan telah dimulai
 Perdarahan sedemikian hebat sehingga harus dilakukan persalinan tanpa
memperdulikan usia gestasi8
Terapi Ekspektatif
Penanganan pada plasenta previa dengan janin kurang bulan menggunakan terapi
ekspektatif. Tujuan supaya janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan
secara non invasi. Syarat terapi ekspektatif :
 Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti
 Belum ada tanda inpartu
 Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dan tanda-tanda vital dalam
batas normal)
 Janin masih hidup
Yang dilakukan pada terapi ekspektatif:
 Rawat inap, tirah baring, observasi tanda vital, dan berikan antibiotik profilaksis.
 Apabila berhubungan dengan trauma, monitoring sekurang-kurangnya 12-24 jam
untuk menyingkirkan kemungkinan solutio plasenta.
 Pemeriksaan USG untuk menentukan implantasi plasenta, usia kehamilan, letak, dan
presentasi janin.
 Perbaiki anemia dengan pemberian Sulfas ferosus atau Ferous fumarat peroral 60
mg selama 1 bulan.
 Pastikan sarana untuk melakukan tranfusi
 Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama,
pasien dapat dirawat jalan (kecuali rumah pasien di luar kota atau diperlukan waktu
> 2 jam untuk mencapai rumah sakit) dengan pesan segera kembali ke rumah sakit
jika terjadi perdarahan.
 Jika perdarahan berulang pertimbangkan manfaat dan resiko ibu dan janin untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Terapi Aktif (tindakan segera)
Rencanakan terminasi kehamilan jika:
 Janin matur
 Janin mati atau menderita anomaly atau keadaan yang mengurangi kelangsungan
hidupnya (misalnya anensefali)
 Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif dan
banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang maturitas
janin.
Untuk pasien dengan perdarahan aktif dan gangguan hemodinamik, tindakan segera
yang harus dilakukan adalah terminasi kehamilan dan penggantian cairan tubuh.
Selama persiapan proses terminasi kehamilan, dilakukan:
 Resusitasi cairan dengan saline atau ringer laktat, 2 jalur, jarum
besar (16G, 18G)
 Persiapkan 4 labu darah yang sesuai golongan darah pasien
 Observasi keadaan janin
 Berikan O2 murni untuk semua pasien dengan hipotensi (konsumsi
O2 pada kehamilan meningkat hingga 20% dan janin sangat rentan terhadap
hipoksia)
Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa
Faktor-faktor yang menentukan sikap atau tindakan persalinan mana yang akan dipilih
adalah :
 Jenis plasenta previa
 Perdarahan: banyak, atau sedikit tapi berulang-ulang
 Keadaan umum ibu hamil
 Keadaan janin: hidup, gawat janin, atau meninggal
 Pembukaan jalan lahir
 Paritas atau jumlah anak hidup
 Fasilitas penolong dan rumah sakit.
Setelah memperhatikan faktor-faktor diatas, ada 2 pilihan persalinan, yaitu:
 Persalinan pervaginam, bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta
dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga
perdarahan berhenti.
Cara yang terpilih adalah pemecahan selaput ketuban (Amniotomi). Indikasi
amniotomi pada plasenta previa:
 Plasenta previa lateralis atau marginalis atau letak rendah, bila telah ada
pembukaan
 Pada primigravida dengan plasenta previa lateralis atau marginalis dengan
pembukaan 4 cm atau lebih
 Plasenta previa lateralis/marginalis dengan janin yang telah meninggal.
 Seksio sesaria, bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan, dengan
demikian memberikan kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi menghentikan
perdarahnnya, dan untuk menghindarkan perlukaan serviks dan segmen bawah
uterus yang rapuh apabila dilangsungkan persalinan pervaginam.
Indikasi seksio caesaria pada plasenta previa:
 Semua plasenta previa totalis, janin hidup atau meninggal; semua plasenta
previa partialis, plasenta previa marginalis posterior, karena perdarahan yang
sulit dikontrol dengan cara-cara yang ada.
 Semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan tidak berhenti
dengan tindakan-tindakan yang ada
 Plasenta previa dengan panggul sempit, letak lintang.
 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang menderita plasenta
previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan fatal
(Arquette N , 2007)
1. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim terjadi secara ritmik, maka pelepasan
plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak, dan
perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia bahkan
syok.
2. Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini
yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya menerobos ke dalam
miometrium bahkan sampai permertium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta akreta atau
inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi retensio plasenta dan pada bagian plasenta yang
sudah terlepas timbullah berdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada
uterus yang sudah pernah seksio sesarea. Dilaporkan plasenta akreta terjadi 10% sampai 35%
pada pasien yang pernah seksio sesarea satu kali, naik menjadi 60-65% bila telah seksio
sesarea 3 kali.
3. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial
untuk robek disertai oleh perdarahan yang sangat banyak. Oleh karena itu, harus sangat
berhati-hati pada semua tindakan manual ditempat ini misalnya pada waktu mengeluarkan
anak melalui insisi pada segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan
tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang
tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah
rahim, ligasi arteria uterina, ovarika, hipogasrika, dtau pemasangan tampon, maka pada
keadaan yang lebih gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total.
Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta
previa.
4. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini memaksa lebih sering
diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya.
5. Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan sebagian oleh karena
tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm. Pada
kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan amniosintesis untuk mengetahui kematangan paru
janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya
antisipasi.
6. Komplikasi lain plasenta previa yang dilaporkan dalam kepustakaan lain selain masa rawat
yang lebih lama, adalah berisiko tinggi untuk solusio plasenta (Risiko relatif 13,8), seksio
sesarea (RR 3,9), kelainan letak janin (RR 2,8), perdarahan pasca persalinan (RR 1,7),
kematian maternal akibat perdarahan (50%), dan disseminated intravascular coagulation
(DIC) 15,9%.
 Prognosis
Penurunan nyata angka kematian ibu akibat plasenta previa berhasil dicapai pada
paruh kedua abad 20. Akan tetapi, plasenta previa merupakan sebab penting kematian dan
kesakitan ibu. Persalinan kurang bulan akibat plasenta previa merupakan sebab penting
kematian perinatal. Angka kematian neonatus meningkat tiga kali lipat pada kehamilan yang
disertai komplikasi plasenta previa. Sebab utama kematin neonatus pada kondisi tadi adalah
meningkatnya angka kelahiran kurang bulan. Laporan lain menyatakan risiko kematian
neonatus yang relatif meningkat bahkan pada janin yang dilahirkan aterm sekalipun. Sebab
dari risiko ini tampaknya berkaitan dengan restriksi pertumbuhan janin dan keterbatasan
asuhan pranatal. Selain itu telah diteliti hubungan antara peningkatan insiden malformasi
kongenital dan plasenta previa, namun belum terbukti. Penting diketahui, beberapa peneliti
menyesuaikan kontol menurut usia ibu dan karena alasan yang belum diketahui, anomali
janin meningkat 2,5 kali lipat pada kehamilan yang dipersulit plasenta previa (Pernoll ML ,
2001)
Hubungan antara restriksi pertumbuhan janin dan plasenta previa masih kurang begitu
jelas. Dilaporkan insidennya mendekati 20%. Penelitian lainnya mendapatkan sebagian besar
kaitan antara plasenta previa dengan berat lahir rendah adalah oleh karena kelahiran kurang
bulan, dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan. (Pernoll ML ,
2001)

2. Solusio Plasenta
 Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum
waktunya yakni sebelum anak lahir. Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini yaitu
abruptio placentae, ablatio placentae, dan accidental hemorrhage. Beberapa studi
menyebutkan solusio plasenta ditegakkan bila terdapat perdarahan pada usia kehamilan di
atas 24 minggu dan sebelum kelahiran, namun secara definitif diagnosisnya baru bisa
ditegakkan setelah partus jika terdapat hematoma pada permukaan maternal plasenta.
 Klasifikasi
1. Klasifikasi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta
a. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
b. Solusio plasenta parsialis, plasenta terlepas sebagian.
c. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang
terlepas.
2. Klasifikasi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan :
a. Solusio plaseta dengan perdarahan keluar (revealed hemorrhage). Biasanya
perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk
seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke
kanalis servikaslis dan keluar melalui vagina.
b. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage). Ada
kalanya, perdarahan tersebut tidak akan keluar melalui vagina dan tersembunyi di
dalam uterus jika, bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding
rahim, selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim, perdarahan masuk ke
dalam kantong ketubansetelah selaput ketuban pecah karenanya, dan bagian terbawah
janin umumnya kepala menempel ketat pada segmen bawah rahim.

3. Klasifikasi menurut temuan klinis :


a. Solusio plasenta ringan
Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada yang menyebutkan kurang
dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya <250 mL. Tumpahan darah yang
keluar terlihat seperti pada haid bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang
banyak. Gejala-gejala perdarahan sulit dibedakan dari plasenta previa kecuali warna
darah yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
b. Solusio plasenta sedang.
Luas plasenta yag terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum mencapai separuhnya
(50%). Jumlah darah yang keluar 250-1000mL. Umumnya perdarahan darah terjadi
keluar dan kedalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti
rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung janin menjadi cepat,
hipotensi dan takikardia.
c. Solusio plasenta berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang keluar telah
mencapai 1000mL atau lebih. Pertumpahan darah bisa terjadi keluar dan kedalam
bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda klinik jelas, keadaan umum penderita
buruk disertai syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi
koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai pada oliguria biasanya telah ada.
Gambar 8. Klasifikasi solusio plasenta

 Epidemiologi
Kejadian solusio plasenta yang dilaporkan bervariasi karena berbagai kriteria yang digunakan
untuk diagnosis. Konon, frekuensinya rata-rata 0,5 persen atau 1 dari 200 kelahiran. Dari satu
database hampir 28 juta kelahiran dari 2006 hingga 2012, kejadian solusio plasenta hampir 1
persen (Ananth, 2016). Dari kohort lebih dari 1,57 juta kelahiran di Belanda, Ruiter dan rekan
kerja (2015) menemukan frekuensinya adalah 0,22 persen — 1 banding 450. Dalam lebih
dari 250.000 kelahiran di Parkland Hospital dari tahun 2000 hingga 2015, angka kejadian
solusio plasenta rata-rata 0,35 persen atau 1 dalam 290 .
 Faktor Resiko
1. Gangguan kardiovaskuler : Hipertensi paling sering dikaitkan dengan solusio plasenta, ini
termasuk hipertensi gestasional, preeklampsia, hiertensi kronis atau kombinasi keduanya.
Menurut Pritchard dkk (1991), dari 408 wanita dengan solusio plasenta dan kematian
janin, setengahnya (204) menderita hipertensi. Setengah dari 204 wanita tadi menderita
hipertensi kronis
2. Ruptur membran : Terjadinya solusio plasenta meningkat secara signfikan ketika terjadi
ruptur membran sebelum melahirkan (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2016a; Hackney, 2016). Major dkk (1995) melaporkan bahwa 5 % dari 756
wanit dengan ketuban pecah dini pada usia kehamilan 20 – 36 minggu mengalami solusio
plasenta.. Nath (2008), Peradangan dan infeksi serta kelahiran prematur mungkin menjadi
penyebab utama pada solusio plasenta
3. Solusio placenta yang berulang : Solusio plasenta memiliki tingkat kekambuhan yang
tinggi. Pritchard dkk (1970) mengidentifikasi tingkat kekambuhan 12 % solusio plasenta
dan setengah mengalami kematian janin.
4. Merokok meningkatkan reisko terjadinya solusio plasent (Misra, 1999; Naeve 1980)
5. Leiomioma Uterus, terutama bila terletak didekat tempat implantasi plasenta, dapat
menjadi predisposisi terjadinya solusio plasenta (Ezzedine dan Norwitz, 2016)
 Patofisilogi
Solusio plasenta terjadi ketika ada kompromi dari struktur pembuluh darah yang
mendukung plasenta. Dengan kata lain, jaringan pembuluh darah yang menghubungkan
lapisan rahim dan sisi ibu dari plasenta terkoyak. Struktur pembuluh darah ini mengantarkan
oksigen dan nutrisi ke janin. Gangguan jaringan pembuluh darah dapat terjadi ketika struktur
pembuluh darah terganggu karena hipertensi atau penggunaan zat atau oleh kondisi yang
menyebabkan peregangan rahim. Rahim adalah otot dan elastis sedangkan plasenta kurang
elastis daripada uterus. Karena itu, ketika jaringan rahim membentang tiba-tiba, plasenta tetap
stabil dan struktur pembuluh darah yang menghubungkan dinding rahim dengan plasenta
hilang.Abrupsi plasenta terjadi ketika pembuluh darah ibu terlepas dari plasenta dan
perdarahan terjadi antara lapisan rahim dan sisi maternal plasenta. Ketika darah menumpuk,
itu mendorong dinding rahim dan plasenta terpisah. Plasenta adalah sumber oksigen dan
nutrisi janin serta cara janin mengeluarkan produk limbah. Difusi ke dan dari sistem
peredaran darah ibu sangat penting untuk mempertahankan fungsi plasenta yang menopang
kehidupan ini. Ketika akumulasi darah menyebabkan pemisahan plasenta dari jaringan
pembuluh darah ibu, fungsi vital plasenta ini terganggu. Jika janin tidak menerima cukup
oksigen dan nutrisi, janin akan mati.
 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gambaran klinis penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau
luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang klasik dari
solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina, rasa
nyeri perut dan uterus tegang terus menerus mirip his partus prematurus
1. Solusio plasenta ringan. Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada
yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya
<250 mL. Tumpahan darah yang keluar terlihat seperti pada haid bervariasi dari
sedikit sampai seperti menstruasi yang banyak. Gejalagejala perdarahan sulit
dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang kehitaman. Komplikasi
terhadap ibu dan janin belum ada.
2. Solusio plasenta sedang. Luas plasenta yag terlepas telah melebihi 25%, tetapi
belum mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar 250-1000mL.
Umumnya perdarahan darah terjadi keluar dan kedalam bersama-sama. Gejala-
gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus
menerus, denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.
3. Solusio plasenta berat. Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan
jumlah darah yang keluar telah mencapai 1000mL atau lebih. Pertumpahan darah
bisa terjadi keluar dan kedalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda
klinik jelas, keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hampir semua
janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai
pada oliguria biasanya telah ada.
 Komplikasi
 Syok hipovolemik : perdarahan yang terjadi sangat banyak dan hebat menyebabkan
ibu mengalami syok perdarahan yang hebat.
 Consumptive Coagulopathy : Solusio plasenta dan emboli caairan amnion (Sindrom
Defibrinasi). Yang saat ini dikenal sebagai Koagulopati konsumtif lebih mungkin
terjadi pada solusio plasenta tersembunyi karena tekanan intrauterin lebih tinggi.
 Pengobatan yang tertunda atau adekuat dari hipovolemi dengan solusio plaenta berat
dapat menyebabkan AKI (Acute Kidney Injury)
 Apoplexie uteroplacentaire : perdarahan retroplasenta menyebabkan darah
menerobos melalui sela-sela serabut miometrium bahkan bisa kebawah perimetrium,
dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum latum, ke bawah perisalping dan dan
ovarium -> keadaan miometrium yg telah terinfiltrasi darah dilaporkan jarang
mengganggu kontraksinya sampai mjd atonia yg bisa menyebabkan perdarahan berat
pasca persalinan -> uterus couvuleire
 Tatalaksana
Perawatan wanita dengan solusio plasenta bervariasi tergantung pada kondisi
klinisnya, usia kehamilan, dan jumlah perdarahan terkait. Dengan janin yang hidup layak
usia, dan dengan persalinan pervaginam tidak segera, kelahiran sesar darurat dipilih oleh
sebagian besar. Jika janin telah meninggal atau jika dianggap tidak cukup matang untuk
hidup di luar rahim, maka persalinan pervaginam lebih disukai. Dalam kedua kasus, resusitasi
cepat dan intensif dengan darah plus kristaloid mulai menggantikan darah yang hilang dari
perdarahan retroplasenta dan eksternal. Langkah-langkah ini menyelamatkan nyawa bagi ibu
dan mudah-mudahan bagi janinnya. Jika diagnosa abrupsi tidak pasti dan janin masih hidup
dan tanpa bukti bahaya, maka pengamatan yang ketat dapat dibenarkan asalkan intervensi
segera tersedia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Londok THM, Lengkong RA, Suparman E. Karakteristik perdarahan antepartum dan


perdarahan postpartum. Jurnal e-Biomedik, Volume 1, Nomor 1; Maret 2013.
2. Chamberlain G, Morgan M. ABC of antenatal care 4th ed. London : BMJ Books ; 2002.
3. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. 6thed. London : Churchill Livingstone ; 2004.
4. Manuaba,IBG.,2010. Ilmu Kebidanan, penyakit Kandungan dan KB untuk. Pendidikan Bidan
Edisi 2. Jakarta: EGC.
5. Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
6. Arquette N. Holcraft CJ, Thrid-trimester bleeding. In : Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE,
Wallach EE. Editors. Jhons hopkins manual of gynaecology and obstetrics. 3 rd ed. USA.
Lippincot Williams and Wilkins; 2007.
7. Londok THM, Lengkong RA, Suparman E. Karakteristik perdarahan antepartum dan
perdarahan postpartum. Jurnal e-Biomedik, Volume 1, Nomor 1; Maret 2013.
8. Pernoll ML. Benson and pernoll’s handbook of obstetrics and gynaecology. 10 thed. USA.
McGraw-Hill ; 2001.

Anda mungkin juga menyukai