Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

ILMU PENYAKIT SARAF


MIGRAIN

Pembimbing:
dr. Diah Utari, Sp.S

Disusun oleh:

Adeline Tampang Allo 2019.04.2.0012


Belinda Anasthasya Tansy 2019.04.2.0065
Benedicta 2019.04.2.0066
Billy Suyanto Wijaya 2019.04.2.0067
Bima Dewatara 2019.04.2.0068
Clara Amelia Pondaag K 2019.04.2.0069
Claudia Monica 2019.04.2.0070

RSAL Dr. RAMELAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Migrain” telah diperiksa dan disetujui sebagai


salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSAL Dr. Ramelan
Surabaya.

Surabaya, 9 Januari 2020


Mengetahui,

Pembimbing

dr. Diah Utari, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya sehingga referat Ilmu Kesehatan Mata yang berjudul “Migrain” dapat
terselesaikan dengan baik. Adapun pembuatan referat ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Saraf RSAL Dr. Ramelan Surabaya.
Dalam menyusun referat ini penyusun telah banyak mendapatkan
bantuan serta dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari
semua pihak. Ucapan terima kasih kepada dr. Diah Utari, Sp.S selaku
pembimbing dalam penyusunan referat ini serta kepada teman – teman
sejawat.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih belum
sempurna sehingga masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam
penyusunan referat ini. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik
dan saran untuk perbaikan dalam penulisan berikutnya.
Demikian referat ini disusun dengan sebaik – baiknya. Semoga dapat
memberikan manfaat yang besar bagi pembaca pada umumnya dan
penyusun pada khususnya.

Surabaya, 9 Januari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................i

KATA PENGANTAR.....................................................................................ii

BAB I............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................1

BAB II...........................................................................................................2

2.1 Definisi................................................................................................2

2.2 Etiologi................................................................................................2

2.3 Klasifikasi Migraine.............................................................................3

2.4 Manifestasi Klinis................................................................................3

2.5 Kriteria Diagnosis................................................................................4

2.6 Differential Diagnosis..........................................................................5

2.6 Patofisiologi.........................................................................................6

2.8 Pencegahan......................................................................................11

2.9 Manajemen Migraine........................................................................11

2.10 Komplikasi.......................................................................................16

2.11 Prognosis........................................................................................16

2.12 Kesimpulan.....................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................18

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Migrain merupakan gangguan nyeri kepala berulang, dengan
serangan berlangsung selama 4–72 jam dengan karakteristik
berlokasi unilateral, nyeri berdenyut (pulsating), intensitas sedang
atau berat, diperberat oleh aktivitas fisik rutin, dan berhubungan
dengan mual dan/atau fotofobia serta fonofobia (Headache
Classification Subcommittee of the International Headache Society,
2004).
Nyeri kepala migrain merupakan keluhan klinis yang sering
dihadapi oleh dokter dalam praktik sehari-hari. Migrain dapat
menyebabkan disabilitas bagi pasien, keluarganya, dan masyarakat
(Fernández-de-LasPeñas et al., 2010). Menurut Migal dkk., 2004,
migrain merupakan nyeri kepala primer yang memberatkan serta
sering disalahpahami, kurang terdiagnosis, dan kurang penanganan
dalam praktik klinis.
Di Eropa, migrain memengaruhi 12–28% penduduk pada
suatu waktu dalam hidup mereka dengan sekitar 6–15% pria
dewasa dan 14–35% wanita dewasa menderita migrain setidaknya
sekali dalam setahun. Rata-rata penderita migrain sedikit lebih
rendah di Asia dan Afrika daripada di negara-negara Barat. Migrain
kronis terjadi pada sekitar 1.4 sampai 2.2% populasi.
Selain itu, migrain umumnya bermula pada usia antara 15
sampai 24 tahun dan terjadi paling sering pada mereka yang berusia
35 sampai 45 tahun. Pada anak-anak, sekitar 1,7% dari anak usia
7 tahun dan 3,9% dari anak usia antara 7 sampai 15 tahun
menderita migrain. Dengan kondisi yang sedikit lebih umum
ditemukan pada anak laki-laki sebelum pubertas. Selama masa
remaja migrain menjadi lebih umum diderita oleh wanita.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Migrain adalah nyeri kepala berulang yang baik sebelumnya
didahului oleh gejala neurologis fokal (migraine dengan aura), terjadi
independen tanpa didahului gejala neurologis fokal (migraine tanpa aura)
atau memiliki presentasi atipikal (migraine varian). (Ferri 2015)
Sedangkan menurut International Headache Society (IHS), migrain
adalah nyeri kepala dengan serangan nyeri yang berlangsung 4 – 72 jam.
Nyeri biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang
sampai berat dan diperberat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual
muntah, fotofobia dan fonofobia.

2.2 Etiologi

Gen dan lingkungan diketahui sebagai faktor risiko pada


pathogenesis migrain. Perubahan pada tekanan barometric, stress,
perubahan metabolisme, diet, hormon, dan gangguan tidur telah di
buktikan mempengaruhi kerentanan terjadinya migraine dan respon
pengobatan. Sedangkan, beberapa faktor yang diketahui meningkatkan
resiko transisi migraine dari episodic menjadi kronis termasuk serangan
berulang, penyalahgunaan medikasi abortif, manajemen serangan
migraine inadekuat, dan obesitas. Jenis kelamin perempuan, depresi,
kecemasan, dan nyeri komorbid, juga gangguan lainnya, juga merupakan
faktor resiko untuk migraine kronis. (Gazerani 2018)
Banyak teori telah dikemukakan mengenai patogenesis migrain,
diantaranya:

2
2.3 Klasifikasi Migraine

Secara garis besar migraine di klasifikasikan menjadi dua oleh


International Headache Society (IHS) 1988, yaitu migraine tanpa aura
atau common migraine dan migraine dengan aura atau classic migraine.
1. Migrain dengan aura atau classic migraine diawali dengan adanya
deficit neurologi fokal atau aura, terutama visual dan sensorik
pembauan seperti melihat garis bergelombang, cahaya terang, bintik
gelap, diikuti nyeri kepala unilateral, mual dan kadang muntah kejadian
ini umumnya berurutan dan manifestasi nyeri biasanya tidak lebih dari
60 menit.
2. Migrain tanpa aura atau common migraine. Nyeri pada salah satu
bagian sisi kepala dan bersifat pulsatile dengan disertai mual, fotofobi
dan fonofobi, intensitas nyeri sedang sampai berat, nyeri diperparah
saat aktivitas dan berlangsung selama 4 sampai 72 jam.

2.4 Manifestasi Klinis


Secara keseluruhan manifestasi klinis pemderita migraine
bervariasi tiap individu. Terdapat 4 fase umum yang terjadi pada
penderita migraine. Tetapi tidak semuanya harus dialami oleh tiap
individu.(IHS , 2018)
1. Fase Prodromal.
Fase ini dialami sekitar 40-60% penderita migraine. Gejalanya
berupa perubahan mood, irritable, depresi atau euphoria,
perasaan lemah, tidur berlebihan dan menginginkan jenis
makanan tertentu. Gejala ini muncul beberapa jam atau hari
sebelum nyeri kepala.
2. Fase Aura
Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang mendahului
atau menyertai serangan nyeri kepala migraine. Fase ini muncul
bertahap selama 5-20 menit. Aura dapat berupa sensasi motorik,
sensorik, visual atau gabungan diantaranya. Aura visual 64%
muncul pada pasien dan merupakan gejala neurologis yang paling

3
umum. Aura pada migraine biasanya hilang beberapa menit dan
kemudian muncul nyeri kepala. Contoh gejalanya berupa
skotoma, defek lapang pandang homonim hemianopia, parastesia
hingga rasa baal.
3. Fase Nyeri Kepala
Nyeri kepala migraine biasanya berdenyut, unilateral dan
biasanya berawal di daerah frontotemporalis dan ocular.
Kemudian setelah 1-2 jam menyebar secara difus kearah
posterior. Serangan berlangsung selama 4-72 jam pada orang
dewasa dan pada anak-anak biasanya 1-48 jam. Intensitas nyeri
sedang sampai berat dan menggangu aktivitas sehari-hari.
4. Fase Postdromal
Gejala pasca fase nyeri yang dapat berlangsung hingga 24 jam,
pasien akan merasa lelah, nyeri otot, konsentrasi menurun,
penurunan nafsu makan, dan terjadi perubahan mood.

2.5 Kriteria Diagnosis


Gejala yang paling utama adalah adanya keluhan nyeri kepala
unilateral di regio frontotemporal (meskipun nyeri bilateral juga
terdapat pada sebagian kecil kasus), yang terjadi secara tiba-tiba
akibat faktor pencetus dengan kualitas berdenyut berintensitas nyeri
sedang-berat.Adapun kriteria diagnosis untuk migraine tanpa aura
adalah sebagai berikut: (IHS, 2018)
A. Sedikitnya terdapat 5 serangan nyeri kepala, dan memenuhi
kriteria B-D
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (belum
diobati atau sudah diobati namun belum berhasil)
C. Nyeri kepala disertai dua dari empat ciri-ciri berikut :
1. Lokasi unilateral
2. Berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang-berat

4
4. Keadaan diperberat oleh aktivitas fisik atau aktivitas di luar
kebiasaan rutin (berjalan atau menaiki tangga)
D. Selama serangan nyeri kepala, minimal terdapat satu dari gejala
berikut :
1. Mual dan/atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan penyakit lain
Aura dikenal sebagai gejala yang bersifat reversible terjadi pada
visual, sensorik, atau sistem saraf pusat lainnya yang muncul perlahan
disertai nyeri kepala dan gejala-gejala migraine. Adapun kriteria
diagnosis migraine dengan aura, yaitu :
A. Sedikitnya dua serangan nyeri kepala yang memenuhi criteria B
dan C
B. Satu atau lebih gejala aura yang reversibel berikut :
1. Visual
2. Sensorik
3. Bicara dan/atau bahasa
4. Motorik
5. Batang Otak
6. Retinal
C. Sedikitnya dua dari empat karakteristik berikut :
1. Sedikitnya satu gejala aura yang berkembang secara
bertahap selama ≥ 5 menit, dan/atau dua atau lebih gejala
aura yang terjadi berurutan
2. Gejala aura berlangsung selama 5-60 menit
3. Sedikitnya satu gejala aura yang terjadi bersifat unilateral
4. Gejala aura bersamaan atau diikuti dengan gejala nyeri
kepala sesuai dengan criteria migrain tanpa aura
D. Tidak berkaitan dengan nyeri kepala akibat penyakit lain dan
Transient Ischemic Attack (TIA) telah disingkirkan.
2.6 Differential Diagnosis
 Tension Type Headache

5
 Cluster Headache
 Post-Traumatic Headache
 Subarachnoid hemorrhage (SAH)
 Cerebral Neoplasm
 Medication Overuse Headache (Durham & Garrett 2009)
2.6 Patofisiologi
Hingga saat ini, patofisiologi dari migrain masih belum dapat
dipastikan. Namun selama beberapa tahun terakhir, ada 3 teori utama
yang diyakini dapat menjelaskan mekanisme dari migrain.
1. Teori Vascular
Migrain disebabkan karena adanya gangguan vasospasme
yang menyebabkan pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga
terjadi hipoperfusi otak yang dimulai pada korteks visual dan
menyebar ke depan. Penyebaran frontal berlanjutan dan
menyebabkan fase nyeri kepala dimulai. Vasospasme bersifat lokal
dan pada fase awal terjadi vasokonstriksi dan kemudian
vasodilatasi.
Siklus ini dimulai dengan peningkatan kadar norepinefrin
dalam plasma, sehingga menyebabkan platelet beragregasi dalam
pembuluh darah otak. Platelet ini melepaskan serotonin yang dapat
menyebabkan konstriksi arteri maupun dilatasi kapiler. Arteri-arteri
tersebut pertama-tama berkonstriksi pada satu sisi kepala dan
menyebabkan iskemia sehingga menimbulkan gejala aura berupa
gangguan visual, rasa tebal atau kelemahan pada satu sisi tubuh.
Platelet yang beragregasi ini juga melepas neurokinin yang
mensensitisasi reseptor nyeri di dinding pembuluh darah
ekstrakranial. Hal ini menjelaskan mengapa kulit kepala dan leher
sering terasa nyeri selama dan setelah serangan migrain (Charles
& Brennan 2011).
2. Teori Neurovaskular-neurokimia (Trigeminovascular System)
Peran sistem trigeminovascular didukung dengan adanya
penelitian terhadap calcitonin gene related peptide (CGRP), suatu

6
neuropeptide yang berperan dalam regulasi pembuluh darah
cerebri, dimana CGRP meningkat pada vena jugularis saat
serangan migrain (Charles & Brennan 2011).
Adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO
akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah
sehingga melepaskan CGRP (calcitonin gene related). CGRP akan
berikatan pada reseptornya di sel mast meningens dan akan
merangsang pengeluaran mediator inflamasi sehingga
menimbulkan inflamasi neuron. CGRP juga bekerja pada arteri
serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan peningkatan
aliran darah. Selain itu, CGRP akan bekerja pada post junctional
site second order neuron yang bertindak sebagai transmisi impuls
nyeri. Selain itu terjadi aktivasi sistem saraf simpatis yang akan
mengaktifkan lokus sereleus sehingga terjadi peningkatan kadar
epinefrin. Selain itu, sistem ini juga mengaktifkan nukleus dorsal
rafe sehingga terjadi peningkatan kadar serotonin. Peningkatan
kadar epinefrin dan serotonin akan menyebabkan konstriksi dari
pembuluh darah lalu terjadi penurunan aliran darah di otak.
Penurunan aliran darah di otak akan merangsang serabut saraf
trigeminovaskular.
Jika aliran darah berkurang maka dapat terjadi aura. Apabila
terjadi penurunan kadar serotonin maka akan menyebabkan
dilatasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial yang akan
menyebabkan nyeri kepala pada migrain (Charles 2018).

7
3. Teori Cortical Spreading Depression (CSD)
Pada orang migrain, terjadi penurunan nilai ambang saraf
sehingga mudah terjadi eksitasi neuron yang menyebabkan short-
lasting wave depolarization oleh pottasium-liberating depression
(penurunan pelepasan kalium) sehingga menyebabkan terjadinya
periode depresi neuron yang memanjang. Selanjutnya, akan terjadi
penyebaran depresi yang akan menekan aktivitas neuron ketika
melewati korteks cerebri.
Depresi yang meluas timbul akibat reaksi terhadap
semacam rangsang lokal pada jaringan korteks otak. CSD
menyebabkan aura dan penurunan aliran darah korteks otak
sebanyak 20-30% dalam jangka waktu 2-6 jam. Apabila CSD
sampai pada area cortex sensori-motorik primer dapa muncul
gejala pada extremitas. CSD berhenti setelah mencapai sulkus
centralis, namun CSD juga dapat meluas ke arah ventral mencapai
serabut yang sensitif terhadap nyeri dan akan menyebabkan nyeri
kepala.

8
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grafstein, pada
depresi kortikal yang menjalar terdapat peningkatan aktifitas neuron
yang menyebabkan perubahan cairan ekstraseluler (konsentrasi ion
K+ bertambah, pH turun) keadaan ini akan mengaktifasi serabut
nyeri dan proses ini mereda kembali karena saluran Na 2+ inaktif.
Neuron di sekitarnya akan mengalami proses yang sama dan
depresi menjalar sesuai difusi K +. Disamping itu Ca2+ akan masuk
ke sel yang berperanan besar pada pada pelepasan
neurotransmiter, sehingga proses ini sangat sensitif terhadap zat
yang memblokir Ca2+ (Durham & Garrett 2009).

9
Faktor-faktor pemicu migraine dapat menimbulkan aktivitas
abnormal dari batang otak dan merangsang terjadinya CSD. Area otak
yang di inervasi oleh akson trigeminal akan mengaktifkan system
trigeminovascular. System ini bekerja pada pembuluh kapiler untuk
melepaskan NO, CGRP dan mediator inflamasi seperti substansi P dan
neurokinin A. Hal ini memicu vasodilatasi dari pembuluh darah cerebral
sehingga menimbulkan nyeri.
Aktivasi system trigeminovascular pada thalamus merangsang
cortex sehingga menyebabkan nyeri kepala pada migraine. Gejala lain
seperti fonofobi dan fotofobi pada migraine disebabkan karena
rangsangan yang timbul pada hipotalamus. Migraine juga dapat
menyebabkan mual dan muntah akibat adanya rangsangan pada
chemoreceptor trigger zone (CTZ).
Faktor-faktor seperti hormone dan stress juga dapat meningkatkan
stimulasi serotonergic pada otak. Hal ini menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah pada otak dan menimbulkan nyeri (Girortra P and Singh
SK, 2014).

2.8 Pencegahan
Perawatan pencegahan migrain termasuk obat-obatan, suplemen
gizi, perubahan gaya hidup, dan operasi. Pencegahan direkomendasikan
pada mereka yang memiliki sakit kepala lebih dari dua hari seminggu,
tidak dapat mentolerir obat yang digunakan untuk mengobati serangan
akut, atau mereka dengan serangan parah yang tidak mudah
dikendalikan.
Perubahan gaya hidup yang disarankan termasuk menghentikan
penggunaan tembakau dan perilaku surut yang mengganggu tidur.
Tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi, rasa sakit, dan
durasi migrain, dan untuk meningkatkan efektivitas terapi abortif.
Alasan lain untuk pencegahan adalah untuk menghindari obat sakit
kepala yang berlebihan . Ini adalah masalah umum dan dapat
menyebabkan sakit kepala harian kronis.

10
2.9 Manajemen Migraine
Terapi Abortif Migraine

a. Abortif Non Spesifik : Analgetik, obat anti-inflamasi non


steroid (OAINS), Anti muntah
 Aspirin 500 - 1000 mg per 4-6 jam
 Ibuprofen 400 – 800 mg per 6 jam
 Parasetamol 500 -1000 mg per 6-8 jam untuk terapi
migrain akut ringan sampai sedang
 Kalium diklofenak (powder) 50 -100 mg per hari dosis
tunggal.
 Anti Muntah
Antimuntah oral atau per rektal dapat digunakan
untuk mengurangi gejala mual dan muntah dan
meningkatkan pengosongan lambung
Metokloperamid 10 mg atau donperidone 10 mg oral
(PERDOSSI 2016).
b. Abortif Spesifik
Triptan, Dihidroergotamin, Ergotamin, diberikan jika
analgetik atau OAINS tidak ada respon
 Triptan
Triptan oral dapat digunakan pada semua migran
berat jika serangan sebelumnya belum dapat
dikendalikan dengan analgesik sederhana.
Sumatriptan 30mg, Eletriptan 40-80 mg atau
Rizatriptan 10 mg.
Mekanisme Aksi
Pertama, triptans, ergot alkaloid, dan
antidepresan mengaktivasi reseptor 5-HT1D/1B pada
ujung nervus trigeminus presinaps untuk
menghambat pelepasan vasodilating peptides, dan
agen antiseizure dapat menekan respon yang
berlebihan dari ujung2 saraf tersebut.

11
Kedua, aksi vasokontriktor dari agonis 5-HT
direct (triptans dan ergot) dapat mencegah
vasodilatasi dan peregangan dari ujung saraf nyeri
(stretching of the pain endings)

Efek samping

Efek samping ringan yang mencakup perubahan


sensai (tinglings (geli), hangat, dll), pusing, kelemahan
otot, nyeri leher, dan reaksi pada lokasi injeksi
sumatriptan. Ketidaknyamanan dada terjadi pada 1-
5% pasien, dan nyeri dada telah dilaporkan, mungkin
karena kemampuan obat ini menyebabkan
vasospasme koroner.
Kontraindikasi
Kontraindikasi pada pasien dengan penyakit arteri
koroner dan pada pasien dengan angina(Katzung
2007).

12
 Ergotamin
Mekanisme Aksi
Pada manusia, ergotamin adalah senyawa untuk
konstriksi sebagian besar pembuluh darah dalam
konsentrasi nanomolar.

Efek samping
Efek toksik yang paling umum dari turunan ergot
adalah gangguan gastrointestinal, termasuk diare,
mual, dan muntah. aktivasi pusat muntah meduler dan
reseptor serotonin gastrointestinal dilibatkan. Karena
serangan migrain sering dikaitkan dengan gejala ini
sebelum terapi dimulai, efek samping ini jarang
kontraindikasi terhadap penggunaan ergot. Efek toksik
yang lebih berbahaya biasanya terkait dengan
overdosis agen seperti ergotamine dan ergonovine
adalah kejang yang berkepanjangan.
Kontraindikasi
Kontraindikasi pada penyakit vaskular obstruktif,
terutama penyakit arteri koroner simtomatik, dan
penyakit kolagen (Katzung, Bertram G; Masters,
Susan B.;Trevor 2013).

Terapi Profilaksis Migrain

13
Pengobatan profilaksis migrain hanya boleh digunakan jika jika
frekuensi, intensitas serangannya tinggi dan ketika seorang pasien
perlu diberikan 6-8 x dosis obat akut dalam satu bulan. , berturut-turut
selama tiga atau lebih. Pasien dengan jenis perawatan ini harus
dijelaskan bahwa profilaksis hanya mengurangi frekuensi dan tingkat
keparahan serangan migrain tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan
kemungkinan serangan. Obat-obatan berikut telah direkomendasikan
untuk pengobatan profilaksis migraine :

 Pengobatan lini pertama: Beta blocker (propranolol,


metoprolol), oxetorone, antidepresan trisiklik (amitriptyline).
 Pengobatan lini kedua: Flunarizine, methysergide, pizotifen,
valproate (sodium valproate, asam valproic atau divalproex)
dan topiramate.
Profilaksis farmakologis ini hanya boleh digunakan dalam
kasus kegagalan prosedur profilaksis non-farmakologis untuk
migrain, seperti relaksasi, terapi kognitif dan perilaku untuk
menghilangkan stres(Girotra, Priti; Saini 2014).
 Prinsip umum :
 Obat harus dititrasi perlahan sampai dosis efektif atau
maksimum untuk meminimalkan efek samping.
 Obat harus diberikan 6 sampai 8 minggu mengikuti dosis
titrasi.
 Pilihan obat harus sesuai profil efek samping dan kondisi
komorbid pasien.
 Setelah 6-12 bulan profilaksi efektif, obat dihentikan secara
bertahap.
 Beta Bloker
 Propanolol 80-240 mg per hari sebagai terapi profilaksi lini
pertama
 Timolol 10-15 mg dua kali/hari, dan metropolol 45- 200
mg/hari, dapat sebagai obat profilaksi alternatif
 Anti Epilepsi

14
 Topiramat 25-200 mg per hari untuk profilaksi migrain
episodik dan kronik
 Asam valproat 400-1000 mg per hari untuk profilaksi migrain
episodik
 Anti Depresi
 Amitriptilin 10-75mg, untuk profikasi migrain.
 Obat Antiinflamasi non steroid
 Ibuprofen 200 mg 2 kali sehari (PERDOSSI 2016)

2.10 Komplikasi

1. Status Migrenosus
Serangan migren dengan fase nyeri kepala lebih dari 72 jam,
mendapat pengobatan atau tidak, (Headache International Society 2013)
2. Infark Migrenosus
Dahulu disebut migren komplikata. Migren komplikata adalah satu
keadaan atau lebih gejala aura yang tidak sepenuhnya hilang dalam
waktu 7 hari dan atau didapatkan infark iskemik pada konfirmasi
pemeriksaan neuroimaging. Insidensi sangat rendah, biasanya jenis
migren ini terjadi setelah lama menderita migren dengan aura.
Patogenesis belum diketahui (Headache International Society 2013)

2.11 Prognosis
Prognosis migren dapat sembuh sempurna dengan menghindari
faktor pencetus dan meminum obat yang teratur. Tetapi risiko untuk
menderita stroke pada pasien riwayat migren meningkat. Sekitar 19% dari
seluruh kasus stroke terjadi pada orang dengan riwayat migraine
(Headache International Society 2013).

2.12 Kesimpulan
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri
kepala dengan serangan nyeri yang berlansung 4 – 72 jam. Nyeri
biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai

15
berat dan diperhebat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual muntah,
fotofobia dan fonofobia. Merupakan penyebab nyeri kepala primer kedua
terbanyak setelah Tension Type Headache (TTH). Migrain ditandai
dengan nyeri kepala yang umumnya unilateral dengan sifat nyeri yang
berdenyut, dan lokasi nyeri umumnya di daerah frontotemporal. Migrain
secara umum dibagi menjadi 2 yaitu migren tanpa aura atau common
migraine dan migren dengan aura atau classic migraine. Yang paling
sering terjadi adalah migren tanpa aura yaitu sekitar 80% dari semua
pengidap migren. Migren dapat terjadi pada semua usia tetapi biasanya
muncul pada usia 10 – 40 tahun dan angka kejadiannya menurun setelah
usia 50 tahun. Diagnosis migraine dapat ditegakkan dengan anamnesis
yang cermat dengan memperhatikan ciri-ciri khusus dari beberapa
klasifikasi migraine menggunakan kriteria diagnosis International
Headache Socety, Selain itu jika ada indikasi diperlukan menggunakan
pemeriksaan penunjang seperti CT Scan, MRI atau Lumbal Punksi untuk
menyingkirkan diagnosis banding untuk menyingkirkan penyakit cephalgia
lain nya seperti tumor Intracranial yang membutuhkan pemeriksaan
penunjang CT scan atau MRI, Infeksi Intracranial seperti meningitis yang
membutuhkan penegakan diagnosa dengan lumbal pungsi. Prinsip
pengobatan adalah untuk mengurangi serangan migraine dan mencegah
serangan berikutnya (Headache International Society 2013).

16
DAFTAR PUSTAKA

Charles, A., 2018. Series Headache 2 The pathophysiology of migraine :


implications for clinical management. The Lancet Neurology, 17(2),
pp.174–182.
Charles, A. & Brennan, K.C., 2011. The neurobiology of migraine 1st ed.,
Elsevier B.V.
Durham, P.L. & Garrett, F.G., 2009. Neurological mechanisms of migraine:
Potential of the gap-junction modulator tonabersat in prevention of
migraine. Cephalalgia, 29(SUPPL. 2), pp.1–6.
Ferri, F.F., 2015. Ferri’s clinical advisor 2015 M. . RUBEN ALVERO, ed.,
Philadelphia: Elsevier Mosby.
Gazerani, P., 2018. Current Evidence on the Role of Epigenetic
Mechanisms in Migraine : The Way Forward to Precision Medicine.
OBM Genetics 2018, 2(4).
Girotra, Priti; Saini, D., 2014. Disentangling The Intricacies Of Migraine.
Available at:
https://www.researchgate.net/publication/261606558_Disentangling_
The_Intricacies_Of_Migraine_A_Review#pf5.
Headache International Society, 2013. The International Classification of
Headache Disorders 2nd edition, Denmark: Sage Journal.
The-International-Classification-of-Headache-Disorders-3rd-Edition-2018.
Katzung, Bertram G; Masters, Susan B.;Trevor, A.J.T., 2013. Farmakologi
Dasar & Klinik 12th ed., Jakarta: ECG.
Katzung, B., 2007. Section I. Basic Principles.
PERDOSSI, 2016. Panduan praktik klinis neurologi.

17

Anda mungkin juga menyukai