Anda di halaman 1dari 8

Defisiensi Enzim G6PD dan Implikasi Klinisnya

Vioini Gracia Prokhorus


(102017145)
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat-11510
vioini.2017fk145@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Defisiensi enzim G6PD merupakan kelainan gen tunggal pada bagian distal dari lengan panjang
kromosom X (x-linked) dan bersifat resesif. The National Organization of Rare Disorders,
terdapat 400 juta orang di dunia yang menderita penyakit ini dengan prevalensi yang tinggi yaitu
di Afrika, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Mediterania. Kelainan genetik tunggal ini
dapat membahayakan nyawa penderitanya jika tidak terdeteksi sejak dini karena jika penderita
terpapar oleh stressor maka dapat menyebabka hemolisis yang hebat. Enzim G6PD berperan
penting untuk mencegah terjadinya stress oksidatif yag disebabkan oleh radikal bebas. Skrinning
G6PD diperlukan untuk deteksi dini dan mencegah pasien mengalami komplikasi klinis seperti
anemia hemolitik dengan cara menghindari stressor.

Kata kunci: defisiensi G6PD, anemia hemolitik, krisis hemolitik, kelainan genetik

Abstract

G6PD deficiency is a single gene disorder distal to the long arm of the X chromosome (x-linked)
and is recessive. The National Organization of Rare Disorders, there are 400 million people in
the world who suffer from this disease with a high prevalence, namely in Africa, Asia, the
Middle East, Latin America, and the Mediterranean. This single genetic disorder can endanger
the life of the sufferer if it is not detected early because if the patient is exposed to stressors it
can cause severe hemolysis. The G6PD enzyme plays an important role in preventing oxidative
stress caused by free radicals. G6PD screening is necessary for early detection and prevention
of clinical complications such as hemolytic anemia by avoiding stressors.

Key words: G6PD deficiency, hemolytic anemia, hemolytic crisis, genetic disorders
Pendahuluan
Kelainan genetik sudah menjadi fenomena yang tidak jarang terjadi pada masa ini, salah
satunya adanya kelainan genetik tunggal yang dapat membahayakan nyawa penderitanya jika
tidak terdeteksi sejak dini, yaitu defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD).
Kelainan ini merupakan kelainan genetik yang dapat diturunkan dan menurut estimasi The
National Organization of Rare Disorders, terdapat 400 juta orang di dunia yang menderita
penyakit ini dengan prevalensi yang tinggi yaitu di Afrika, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin,
dan Mediterania.1
Pada abad ke-19, para pakar penyakit anak dari Portugal, Italia, dan Yunani pernah meneliti
kejadian anemia hemolitik yang diduga disebabkan oleh fava beans, karena itu terciptalah
sebutan favism, dan yang nantinya diketahui bahwa gejala klinis tersebut merupakan salah satu
manifestasi klinis dari defisiensi enzim G6PD yang terinduksi.2
Kelainan genetik pada penyakit defisiensi enzim G6PD bersifat x-linked resesif yang berarti
kelainan tersebut bertaut pada kromosom X, oleh karena itu penderita defisiensi enzim G6PD
lebih banyak terdapat pada laki-laki dan karier lebih banyak terdapat pada perempuan. 2,3
Defisiensi enzim G6PD merupakan salah satu penyakit yang digolongkan sebagai inborn errors
of metabolism (IEM). Enzim G6PD berperan penting dalam proses metabolisme terutama pada
sel eritrosit, sehingga defek dari gen yang memproduksi enzim G6PD ini dapat menyebabkan
gangguan metabolisme.4

Defisiensi Enzim G6PD dan Patofisiologinya


Defisiensi enzim G6PD merupakan kelainan gen tunggal pada bagian distal dari lengan
panjang kromosom X (x-linked) dan bersifat resesif. Seseorang harus mempunyai sepasang gen
yang mempunyai kelainan untuk mengalami penyakit ini, sehingga kemungkinan yang dapat
ditemukan pada anak yang lahir dari pasangan dengan gen yang normal dan karier adalah 20%,
kemungkinan anak yang menjadi karier adalah 50%.1,4
Penyakit ini dilaporkan bahwa lebih banyak ditemukan pada laki-laki karena laki-laki hanya
mempunyai satu kromosom X dan karier lebih sering ditemukan pada wanita. Wanita yang
heterozigot akan mewariskan kelainan gennya pada anak laki-laki (menjadi sakit) atau anak
perempuannya akan menjadi heterozigot (karier).1
Gambar 1. Pewarisan gen yang bersifat autosom resesif. 5

Enzim G6PD ini merupakan enzim “housekeeping” yang berperan penting dalam sel
eritrosit. Enzim mengkonversi NADP menjadi NADPH yang dibutuhkan untuk membuat
glutathione sebagai antioksidan yang membantu melindungi eritrosit dari oxidative stress yang
disebabkan oleh radikal bebas. Pada eritrosit normal, NADPH dapat dihasilkan secara cepat bila
dibutuhkan atau ketika terjadi oxidative stress. Tetapi pada orang yang mempunyai defek pada
gen yang menghasilkan enzim G6PD, akan mengalami defisiensi enzim tersebut sehingga
NADPH tidak dapat dihasilkan, glutathione menurun, dan akhirnya mereka tidak mampu
mengatasi oxidative stress yang disebabkan oleh radikal bebas yang masuk. Hal ini dapat
menyebabkan hemolisis akut dan ditandai dengan badan Heinz yang merupakan indikasi dari
adanya kerusakan sel yang disebabkan oleh oxidatic stress.1,2,6,7
Gambar 2. Perbandingan proses oksidasi radikal bebas pada eritrosit dengan G6PD normal dan defisiensi
G6PD ketika terinduksi fava beans.6
Defisiensi enzim G6PD bukan berarti sepenuhnya tidak memiliki aktivitas enzim tersebut.
Klasifikasi yang dibuat oleh World Health Organization (WHO) didasarkan atas persentase
enzim tersebut. Aktivitas enzim <10% berarti tegolong defisiensi berat. Aktivitas enzim 10-60%
tergolong defisiensi ringan dan hemolisis hanya terjadi jika ada stressor atau zat yang dapat
memicu oxidative stress. Aktivitas enzim >60-100% biasanya tidak bergejala dan tidak
diasosiasikan dengan hemolisis, begitu pula dengan aktivitas enzim yang >100%.1,7,8

Penegakkan Diagnosis melalui Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Penegakkan diagnosis dari defisiensi G6PD dapat didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, harus dicari tahu kapan timbulnya keluhan
dan adakah faktor-faktor yang memicu atau memperberat keluhan tersebut. yang perlu lebih
diperdalam adalah riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit pada keluarga. Pada
pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tanda-tanda anemia hemolitik seperti ikterus, jantung
yang berdebar, urin yang berwarna gelap, dan bisa juga adanya organomegali. Pada neonatus
harus diperhatikan lebih baik tanda-tanda dan gejalanya karena dapat didiferensiasikan dengan
neonatal jaundice yang fisiologis. Oleh sebab itu, diperlukan juga pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan dugaan-dugaan lain.1,7,9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pertama ada pemeriksaan darah lengkap dan
retikulosit untuk melihat apakah ada tanda-tanda anemia hemolitik. Biasanya terdapat
hiperbilirubinemia pada bilirubin total atau untuk lebih spesifik, bilirubin indirek akan
meningkat. Kemudian dapat juga dilakukan pewarnaan supravital dengan metil violet dari
sampel darah tepi untuk melihat, bite cells, blister cells, atau badan Heinz yang menjadi tanda
adanya kerusakan sel yang disebabkan oleh oxidative stress. Pemeriksaan dengan NADP
fluorescent assay juga dapat dilakukan untuk melihat penurunan aktivitas enzim.1,2,6,10
Gambar 3. Hasil pemeriksaan lab pada pasien dengan hemolisis akut. 10

Gambar 4. Hasil pemeriksaan darah tepi dengan pewarnaan Giemsa pada pasien dengan defisiensi
G6PD.2,10

Pentingnya Skrinning dan Diagnosis Dini


Skrinning defisiensi G6PD pada neonatus sudah banyak dimasukkan ke dalam program
skrinning wajib terutama pada tempat-tempat dengan prevalensi defisiensi G6PD yang tinggi dan
di daerah yang endemis malaria. Ini disebabkan karena pada daerah yang edemis malaria,
prevalensi dari defisiensi G6PD sagat tinggi. Hal tersebut disimpulkan karena orang yang
mempunyai defisiensi G6PD akan kebal terhadap malaria sehingga mutasi gen ini terjadi pada
orang-orang di daerah endemis malaria tersebut.1,11
Metode skrinning yang dilakukan ada yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan
kuantitatif dengan metode spectrophotometric digunakan sebagai standar referensi. Pemeriksaan
kualitatif hanya bisa membedakan orang normal dengan penderita defisiensi G6PD yang
intermediate. Pemerikdaan kualitatif ini menggunakan metode fluorescent spot test (FST). Hasil
yang true positive berarti pasien tersebut menderita defisiensi G6PD.11
Skrinning G6PD pada neonatus terbukti menurunkan beban yang harus ditanggung untuk
merawat komplikasi klinis dari pasien defisiensi G6PD. Skrinning ini juga berguna untuk
menetapkan farmakoterapi yang tepat bagi pasien, terutama pasien malaria. Ini dipertimbangkan
karena sebagian besar yang dapat menimbulkan krisis anemia hemolitik dari pasien defisiensi
G6PD adalah obat-obatan, makanan, infeksi, 12dan juga paparan zat lain. Sampai sekarang, para
peneliti masih melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai hal yang harus dihindari oleh pasien
defisiensi G6PD agar tidak menimbulkan krisis hemolitik. Skrinning G6PD juga sangat
menguntungkan dari segi cost-effectiveness karena biaya untuk skrinning lebih sedikit dari biaya
yang dikeluarkan jika pasien tersebut mengalami komplikasi.1,11,12

Penatalaksanaan
Penderita defisiensi enzim G6PD tidak akan menunjukkan gejala klinis jika tidak dipicu oleh
hal-hal tertentu yang dapat menimbulkan hemolisis dari
eritrosit. Pasien yang diketahui menderita defisiensi G6PD
dianjurkan untuk menghindari makanan-makanan tertentu
seperti fava beans atay kacang-kacangan, anggur merah,
produk yang mengandung soya, zat tinta henna, memakai
baju yang disimpan bersama dengan kamfer, karena kamfer
mengandung naphthalene yang dapat menimbulkan stress
oksidatif dengan menghasilkan radikal bebas, minuman
tonik, dan lain sebagainya.1,5-6,13-14 Selain makanan dan zat-
zat tertentu, banyak obat-obatan yang dihindari oleh pasien
defisiensi G6PD seperti obat anti-malaria, antibiotik, obat
TBC, acetaminophen, dan lain-lain.1,5
Pada neonatus yang mengalami krisis hemolitik, terapi
yang diberikan bersifat suportif. Biasanya dapat diberikan
transfusi darah untuk mengatasi anemia hemolitik yang
berat. Darah yang diberikan dapat berupa whole blood atau
packed cells. Kemudian hindari pasien dari hal-hal yang
menginduksi terjadinya krisis hemolitik tersebut.1,7,8

Penutup
Defisiensi enzim G6PD merupakan kelainan genetik
Gambar 5. Obat-obatan yang harus
yang diturunkan melalui kromosom X dan bersifat
dihindari atau hati-hati
penggunaannya.1
resesif sehingga membutuhkan sepasang allel yang sama untuk menimbulkan penyakit tersebut.
Secara klinis, pasien tidak menunjukkan gejala namun manifestasi yang sering ditemukan adalah
kejadian anemia hemolitik yang dipicu oleh zat-zat yang dapat menimbulkan stress oksidatif.
Konseling genetik harus dilakukan untuk mengetahui implikasi dari penyakit tersebut.
Penegakkan diagnosis dapat didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Skrinning defisiensi G6PD disarankan untuk dilakukan untuk menghindari timbulkan
komplikasi klinis pada pasien. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari
hal-hal yang dapat memicu terjadinya hemolitik dan jika terjadi krisis hemolitik dan anemia
berat, maka dapat dilakuka transfusi darah.

Daftar Pustaka

1. Harcke SJ, Rizzolo D, Harcke HT. G6PD deficiency: An update. J Am Acad Physician
Assist. 2019;32(11):21–6.
2. Luzzatto L, Nannelli C, Notaro R. Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase Deficiency.
Hematol Oncol Clin North Am [Internet]. 2016;30(2):373–93. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.hoc.2015.11.006
3. Lippi G, Mattiuzzi C. Updated Worldwide Epidemiology of Inherited Erythrocyte
Disorders. Acta Haematol. 2019;
4. Shakya AK. Inborn Errors of Metabolism in: Advances in Biochemistry & Applications in
Medicine. 2017.
5. Fact Sheet: G6PD deficiency ( Favism ) Fact Sheet G6PD deficiency ( Favism ). New
South Wales Government; 2018.
6. Luzzatto L, Arese P. Favism and glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. N Engl J
Med. 2018;378(1):60–71.
7. Haley K. Congenital Hemolytic Anemia. Med Clin North Am [Internet].
2017;101(2):361–74. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.mcna.2016.09.008
8. Belfield KD, Tichy EM. Review and drug therapy implications of glucose-6-phosphate
dehydrogenase deficiency. Am J Heal Pharm. 2018;75(3):97–104.
9. Kaplan M, Wong RJ, Stevenson DK. Hemolysis and Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase
Deficiency-Related Neonatal Hyperbilirubinemia. Neonatology. 2018;114(3):223–5.
10. Elyassi AR, Rowshan HH. Perioperative management of the glucose-6-phosphate
dehydrogenase deficient patient: a review of literature. Anesth Prog. 2009;56(3):86–91.
11. Anderle A, Bancone G, Domingo GJ, Gerth-Guyette E, Pal S, Satyagraha AW. Point-of-
care testing for G6PD deficiency: Opportunities for screening. Int J Neonatal Screen.
2018;4(4):1–13.
12. Cohan N, Karimi M, Khalili AH, Falahzadeh MH, Samadi B, Mahdavi MR. The efficacy
of a neonatal screening programme in decreasing the hospitalization rate of patients with
G6PD deficiency in southern Iran. J Med Screen. 2010;17(2):66–7.
13. Kheir AEM, Gaber I, Gafer S, Ahmed W. Life-threatening haemolysis induced by henna
in a sudanese child with glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. East Mediterr
Heal J. 2017;23(1):28–30.
14. Volney G, Tatusov M, Yen AC, Karamyan N. Naphthalene Toxicity: Methemoglobinemia
and Acute Intravascular Hemolysis. Cureus. 2018;10(8):6–11.

Anda mungkin juga menyukai