Anda di halaman 1dari 4

TUGAS TERSTRUKTUR

JATI DIRI UNSOED

Resensi Film Jenderal Seodirman

Oleh:

Hayatun Nufus
B1A019048

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SEODIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2020
PAK DIRMAN BERGERILYA

Film Jenderal Seodirman, dari judulnya saja kita bisa menduga film ini akan berfokus
pada salah satu sosok pahlawan nasional Indonesia. Film yang dirilis pada 26 Agustus 2015
dan distrudarai oleh Viva Westi berlatar pada perjuangan gerilya Jenderal Seodirman setelah
serangan Agresi Militer II Belanda pada 18 Desember 1948 hingga kembali ke Jogja pada
Juli 1949. Sosok Jenderal Seodirman sendiri diperankan oleh aktor Adipati Dolken, lalu ada
Mathias Muchus sebagai Tan Malaka, Lukman Sardi sebagai Yusuf Ronodipuro, Ibnu Jamil
sebagai Kapten Tjokropranolon (Kapten Nolly), Nugie sebagai Bung Hatta, dan Baim Wong
sebagai Bung Karno.

Film dibuka dengan adegan pemilihan Jenderal Seodirman sebagai panglima besar
TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Adegan selanjutnya dikenalkan Tan Malaka yang
mengobarkan slogan “Merdeka 100 Persen”. Terlihat dalam adegan ini Tan Malaka
digambarkan tidak setuju dengan pemerintah yang hanya melakukan perjuangan diplomasi
dan kemerdekaan seharusnya diusahakan dengan perjuangan fisik. Sebagai tentara tentunya
Jenderal Seodirman akan berjuang secara fisik namun beliau tetap akan patuh kepada
presiden dan pemerintah. Selanjutnya alur cerita langsung menuju pada serangan militer
Belanda II atas Yogyakarta yang masih menjadi Ibukota RI setelah perjanjian Renville yang
dilanggar oleh Belanda. Serangan mendadak tentara Belanda dipimpin oleh Pasukan Khusus
Korps Speciale Troepen (KST) yang memporak-porandakan Yogyakarta. Presiden Seokarno
segera membentuk PDRI (Pemerintahan Darurat RI) di Sumatera dan memimpin sidang
kabinet. Hasil keputusan sidang yaitu Presiden tetap berada di Yogykarta. Keputusan ini
membuat Pak Dirman kecewa karena pada awalnya direncanakan bahwa seandainya terjadi
serangan Belanda lagi setelah Agresi Militer I, Presiden dan Wapres RI akan turut bergerilya.
Terbentuklah dua front perjuangan yakni perjuangan bersenjata lewat perang gerilya dan
perjuangan politik lewat perundingan diplomasi. Pak Dirman memulai perang gerilya dan
bergerak keluar Yogyakarta diiringi pasukannya. Keberhasilan Pak Dirman meloloskan diri
dari serangan Belanda, membuat Jenderal Spoor (mantan kepala intel Belanda) menjadikan
Jenderal Seodirman sebagai target operasi perburuan. Di lain sisi, diperlihatkan Tan Malaka
membentuk tentara komunis ditandai dengan pasukan bersenjata yang memakai “pita merah”
di lengannya. Di akhir film dijelaskan bahwa Tan Malaka berhasil ditangkap. Sedangkan
perjuangan Pak Dirman bersama pasukannya dan atas seizin Tuhan Yang Maha Esa, berhasil
mengelabuhi tentara Belanda dengan perang gerilya hingga kondisi di Yogyakarta mulai
kondusif dan Belanda dikecam oleh Amerika untuk segara menghentikan serangan terhadap
Indonesia. Setelah perjanjian Reom Royen, Pak Dirman diminta oleh Presiden RI dan Sultan
Yogyakarta agar segera kembali dan menghentikan perang gerilya. Pak Dirman yang
mulanya kecewa atas hasil perjanjian Roem Royen dan tetap ingin meneruskan gerilya,
dengan berat hati harus patuh atas perintah presiden.

Film berdurasi sekitar dua jam ini telah berhasil menyampaikan tujuannya secara
gamblang, yaitu menggambarkan perjuangan gerilya Jenderal Seodirman. Untuk itu tak heran
mengapa perjuangan secara fisik terlihat begitu jelas dan memiliki pengaruh kuat dalam
menghentikan Agresi Militer Belanda. Sedangkan perjuangan diplomasi oleh tokoh-tokoh
pemerintah kurang diceritakan bahkan seakan kehilangan perannya untuk mempertahankan
RI. Menurut saya itu tak masalah, mengingat film ini mengangkat kisah Jenderal Seodirman
yang notabene adalah seorang tentara. Lain cerita, jika kita menonton film Soekarno yang
akan penuh dengan perjuangan diplomasi dan sedikit diperlihatkan peran tentara dalam
kemerdekaan RI.

Cerita mengenai sosok Tan Malaka sendiri cukup mengganggu dan membingungkan
bagi saya. Tan Malaka terlihat begitu agresif, radikal, sangat berlawanan dengan sosok Pak
Dirman, bahkan pasukan “pita merah” bentukannya digambarkan memiliki sifat buruk
melalui konflik kecil dengan para pedagang. Tentunya, bagi orang yang awam sejarah, akan
menimbulkan presepsi sangat buruk terhadap Tan Malaka. Daripada menyisipi cerita Tan
Malaka yang menurut saya tidak memiliki pengaruh apapun terhadap perang gerilya (tidak
menggagalkan juga tidak mendukung perang gerilya), alangkah bagusnya jika ditambahkan
adegan perjuangan diplomasi seperti adegan perjanjian Roem Royen itu sendiri yang
memiliki pengaruh diberhentikannya perang gerilya.

Saya sangat setuju dengan sutradara untuk tidak memunculkan cerita romansa dalam
film ini. Hanya cerita cinta dari sosok panglima besar kepada negara dan tanah air tidak akan
membuat fokus penonton terpecah antara kisah sejarah atau kisah romansa. Sedangkan
dimunculkannya tokoh Karsani, si pejuang rakyat yang akhirnya tertembak oleh tentara
Belanda, walaupun dalam film terlihat mendrama namun berhasil mempertegas peran rakyat
kecil yang juga sangat berpengaruh atas keberhasilan perang gerilya. Selain Karsani, juga
diperlihatkan para rakyat dengan ringan tangan membantu perjuangan Jenderal Seodirman
bahkan nyawa sekalipun menjadi taruhannya. Sedangkan secara sinematografi, seperti biasa
saya belum pernah dipuaskan oleh perfilman Indonesia. Adegan serangan udara oleh pesawat
Belanda terhadap sasaran di darat cukup menggelikan, terlihat sangat kacau dan tidak
sinkron. Namun, untuk penggambaran desa, gunung, hutan, sudah lumayan untuk
memunculkan suasana dengan latar waktu tempo dulu.

Pada akhirnya film Jenderal Seodirman telah berhasil menggambarkan sosok


perjuangan Pak Dirman bersama pasukan dan dibantu rakyat melalui perang gerilnya untuk
mempertahankan Republik Indonesia. Sangat layak ditonton oleh para kalangan remaja agar
menumbuhkan semangat juang dan nasionalisme pada diri mereka seperti yang digambarkan
oleh Bapak Soedirman dan rekan-rekan. Sekian. Terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai