Anda di halaman 1dari 10

SYAJA'AH (BERANI MEMBELA

KEBENARAN)

OLEH:

IQLIMA

KELAS: XI-IPA3

SMA NEGERI 11 BANDA ACEH


2020
1. Pengertian
ٌ ‫ ُش َجا‬berani, gagah secara etimologinya
‫ع‬

Menurut istilah: keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan

mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji.Keberanian yang

berlandaskan kebenaran, dilakukan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan

untuk mengharapkan keridhaan Allah.Asy Syaja’ah adalah salah satu ciri yang

dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan

(ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).

Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut atau penakut).

Pemberani adalah orang yang berani membela kebenaran dengan resiko apa pun

dan takut untuk berbuat yang tidak benar. Sebaliknya, penakut adalah orang yang

takut membela kebenaran.

Syajaah adalah benar atau gagah. Secara istilah syajaah adalah keteguhan

hati kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan kebenaran secara

bijaksana dan terpuji. Jadi syaja’ah adalah keberanian yang berlandaskan

kebenaran dan di lakukan dengan penuh pertimbangan.

2. Landasan Keberanian

A. Iman yang kokoh

Dalam kisah hijrah Rasullullah dan Abu Bakr ke Madinah, sesampai di gua

Tsur keadaan mencekam dirasakan Abu Bakar, “Ya Rasulullah, sekiranya salah

satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.”

Rasulullah SAW. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar,

apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di sini

bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.”

Sikap keberanian yang ditunjukkan Rasulullah disaat tidak ada lagi

pertolongan apa-apa selain Allah, adalah pengejewantahan keimanan yang begitu

kuat. Sekiranya iman lemah, mungkin akan mendatangkan kepanikan.Kisah


pembakaran Nabi Ibrahim a.s. menujukkan bahwa rasa takut manusiawi terhadap

api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah

saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api

agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.

Diantara turunan sikap dari keimanan yang kokoh adalah berupa hanya

menggantungkan harapan kepada Allah dan juga sikap tawakkal yang benar,

sehingga menimbulkan sikap berani dalam diri seseorang dalam menghadapi

segalam macam situasi dan tantangan.

B. Bersabar Terhadap Ketaatan

Jalan kebenaran itu pasti tidak akan mulus, gampang. Jika mulus dan gampang

saja yang dialami, justru harus dipertanyakan, apakah benar dalam jalan

kebenaran? Banyak tantangan, baik dari dalam diri sendiri berupa hawa nafsu,

maupun godaan syaithan yang tak akan pernah berhenti sampai akhir hayat, atau

godaan manusia lainnya yang ingin menjerumuskan pada kebatilan. Semua itu

akan selalu dihadapi, kondisi hidup yang sedang dihadapi, semisal himpitan

masalah ekonomi, musibah dan lainnya bisa jadi melunturkan semangat. Tetapi,

itulah memang jalan yang harus dihadapi. Bersabar adalah kunci, mudah

diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Sabar jugalah jalan yang ditempuh

para Rasul dan Nabi, salafus shaleh. Sehingga kita pun mesti berjuang dengan

penuh kesabaran untuk menjalani ketaatan kepada Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah

kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah

kepada Allah supaya kamu beruntung”. (QS 3: 200)

Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan

apalagi berkaitan dengan pelecehan nilai agama, tapi sabar justru melahirkan

sikap keberanian dalam menjalani perintah Allah sekaligus berjuang dalam

menegakkan kalimat Allah. Sikap keberanian di sini tidak melulu terwujud dalam
bentuk kebringasan, gagah perkasa, tapi bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan

memaafkan demi kemaslahatan yang lebih besar.

C. Mewariskan Hal yang Terbaik

Kita dalam tanda kutip adalah produk masa lalu, hasil didikan berbagai pihak

bermula mungkin orang tua, keluarga, guru, lingkungan dan seterusnya. Sehingga

sedikit banyaknya karakter yang kita miliki sekarang ini adalah buah dari

pendidikan orang-orang yang terdahulu. Jika pendidikan yang itu baik, akan

menghasilkan generasi yang baik. Begitu juga dengan kedepannya, kita adalah

bagian dari orang yang akan mewarisi generasi masa depan. Karena perjuangan

dakwah adalah perjuangan sampai akhir zaman, bukan satu generasi saja.

Sehingga menyiapkan generasi baru yang kuat, adalah keharusan bagi

keberlangsungan dakwah.

Selain itu generasi yang kuat dan mandiri akan lebih berpeluang melahirkan

karakter pemberani. Perumpamaan orang-orang yang hidup dibawah belas kasihan

orang lain, atau orang yang meminta-minta, bisa jadi akan berkurang

keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran terutama kepada pihak dimana

dia meminta-minta atau mendapat belas kasihan.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir

terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa

kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS 4:

9)

Nubuwah terkait penaklukan konstantinopel yang disampaikan Rasullullah

menjadikan kaum muslimin pada masanya dan setelahnya berharap bisa menjadi

orang yang disebutkan Rasulullah menjadi tokoh utama penakluknya atau anak

keturunannya, atau mungkin menjadi bagian barisan tentaranya. Dan pada

akhirnya panglima Al Fatih bersama para tentaranya yang berhasil menaklukan


baru muncul berabad setelah penyampaian nubuwah tersebut. Dalam kisahnya,

beliau telah dipersiapkan semenjak dini berupa penanaman karakter, akhlak ilmu

dan seterusnya.

Bagaimana dengan masa kini? Janji Allah akan kembalinya kekuatan besar

kaum muslimin mneguasai dunia sebelum akhir zaman, semoga memotivasi kita

untuk mempersiapkan generasi penerus yang semoga menjadi bagian menuju

kebangkitan umat Islam, walaupun mungkin tidak hidup dimasa kejayaan tersebut

nantinya.

3. Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah

1. Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii

sabililah)

Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam

dapat diambil, mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai

kehidupan akhirat. Sehingga ketika perintah jihad datang, disambut dengan

semangat tinggi.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang

kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka

(mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu,

kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan

pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa

kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah

tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).

2. Berani menegakkan kebenaran

Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila

dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat

dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw
melalui Hadits Riwayat Ibnu Hibban. ‘Qulil haq walau kaana muuran ’ (katakan

yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang

zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan

keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam

kebenaran.

"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan

penguasa yang zhalim”. (Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)

3. Memiliki Daya Tahan Yang Besar

Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan

dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.Banyak

suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di

masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar sekali bentuk

cobaan yang dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu,

masih dalam rintisan awal-awal dakwah, harus dihadapi berbagai bentuk

perlawanan, permusuhan, makar. Boikot ekonomi, siksaan terhadap individu

bahkan pembunuhan. Secara umum kaum muslimin sungguh menderita waktu itu.

Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu

besar dalam menghadapi siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian

mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin

Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuh suburkan

perjuangan dengan darahnya yang mulia.

4. Kemampuan Menjaga Rahasia

Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena

menyimpan rahasia bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara

yang sangat penting, apakah untuk menjaga kehormatan seseorang atau bahkan

sampai untuk menjaga keberlangsungan dakwah.


Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabat

pun hanya segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk

menyimpan rahasia. Adalah Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang

dikenal dengan sebutan shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik.

Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga

rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan

tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana

yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut

bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”

5. Mengendalikan Nafsu

Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat

dihilangkan tapi dapat dikendalikan.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena

sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang

diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).Diantara bentuk nafsu adalah amarah.

Allah menyebutkan dalam Alqur’an bahwasanya salah satu ciri orang bertakwa

adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain .

6. Mengakui Kesalahan

Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk

betul-betul merasakan sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan

justru mengelakkannya apalagi menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang

lain. Dan apabila berkaitan dengan pihak lain, tidak ragu, takut atau merasa hina

untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung jawab.

Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui

perjalanan hidup Nabi Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan,


namun rahmat pengampunan Allah sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum

ajal menjemput.

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau

tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami

termasuk orang-orang yang merugi”. (QS 7: 23)

Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah

Harun Al Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah

haji, sebagaimana lazimnya penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat yang

akan dilaluinya tertutup untuk untuk umum. Pada saat Khalifah melakukan sa'i

antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri, sambil disaksikan, ribuan jamaah

haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke tempat sa'i. Sesampainya

di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah beliau,

"Haruuuun...!", tanpa menyebut embel-embel kekhalifahan. Mendengar jeritan

tadi, seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya suara.

Melihat wajah yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".

"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di

sana ?". "Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah.

"Ketahuilah, setiap orang dari mereka akan dimintai pertanggung-jawabannya

nanti di hadapan Allah, dan kamu akan diminta pertanggung-jawabanmu oleh

Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah kepada dirimu, apakah pantas

engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan Abdullah bin Abdul

Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui kesalahan yang

beliau lakukan. [5] Sikap Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri juga mencerminkan

point nomor 2, berterus terang dalam kebenaran, meskipun harus disampaikan

pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.


7. Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri

Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan.

Kekurangan untuk diperbaiki semaksimal mungkin dan kelebihan untuk

dioptimalkan sebaik mungkin. Jangan terlalu berlebihan memandang diri yang

mungkin bisa berakhir pada keangkuhan dan kesombongan. Umar bin Abdul Aziz

seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan ada sebutan bahwasanya beliau

adalah khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat berpidato dihadapan

rakyatnya: “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah

manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar

melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini.”

Kesimpulan

Faktor yang menyebabkan seseorang memiliki keberanian :

1. Rasa takut kepada Allah SWT.Selama seseorang yakin bahwa yang

dilakukannya dalam rangka menjalankan perintah Allah, maka orang

tersebut tidak takut kepada siapapun kecuali Allah SWT.

2. Lebih mencintai akhirat daripada dunia. Perlu dipahami bahwa     dunia

bukanlah tujuan akhir, namun hanya sebagai jembatan menuju akhirat.

Seorang muslim tidak akan ragu meninggalkan dunia asalakan dia

mendapat kebahagiaan di akhirat.

3. Tidak takut mati apabila ajal sudah datang, tidak ada yang dapat   

mencegah atau lari darinya. Kematian adalah sebuah kepastian dan   setiap

orang pasti akan mati. 

4. Tidak ragu-ragu apabila seseorang ragu dengan kebenaran yang dia

lakukan tentu dia akan menghadapi resiko.

5. Tidak menomorsatukan kekuatan materi . kekuatan materi diperlukan

dalam perjuangan, tetapi materi bukanlah segala-galanya. Allah yang

menentukan segala sesuatu.


6. Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah. Orang yang berjuang untuk

kebenaran tidak pernah takut, karena setelah berusaha dengan keras maka

dia akan bertawakal dan memohon pertolongan kepada Allah SWT.

7. Hasil Pendidikan sikap berani lahir melalui pendidikan yang diterapkan

dirumah, sekolah, masjid, maupun lingkungan. Sebagai contoh, anak yang

dididik dan diasuh oleh orang tua pemberani juga akan tumbuh dan

berkembang menjadi pemberani.

Anda mungkin juga menyukai