Anda di halaman 1dari 9

Asy Syaja’ah

(Keberanian)
"Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita" (QS 9: 40)

Ali bin Abu Thalib bercerita, "Semua hijrah sembunyi-sembunyi


kecuali Umar ibn Khattab. Saat hendak hijrah, dia menyandangkan
busur panahnya dan mendatangi Ka'bah saat orang-orang Quraisy
berada sekitar itu. Umar bertawaf tujuh kali, shalat dua rakaat, lalu
mendatangi kelompok orang Quraisy satu demi satu sambil berkata,
'Wahai wajah yang muram! Barang siapa ingin ibunya kehilangan
anaknya, dan anaknya menjadi yatim, atau istrinya menjadi janda,
temuilah aku di belakang bukit itu besok pagi.' "

Pengertian

ٌ ‫ ُش َجا‬berani, gagah secara etimologinya


‫ع‬

Menurut istilah: keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela


dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji.

Keberanian yang berlandaskan kebenaran, dilakukan dengan penuh


pertimbangan dan perhitungan untuk mengharapkan keridhaan Allah.

Asy Syaja’ah adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang
istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan
(ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).

Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut atau penakut).


Pemberani adalah orang yang berani membela kebenaran dengan
resiko apa pun dan takut untuk berbuat yang tidak benar. Sebaliknya,
penakut adalah orang yang takut membela kebenaran.

Landasan Keberanian
1-       Iman yang kokoh

Dalam kisah hijrah Rasullullah dan Abu Bakr ke Madinah, sesampai


di gua Tsur keadaan mencekam dirasakan Abu Bakar, “Ya
Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat betisnya maka
mereka pasti akan melihat kita.” Rasulullah SAW. menenangkannya
dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di
sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah
takut dan gentar, Allah bersama kita.”

Sikap keberanian yang ditunjukkan Rasulullah disaat tidak ada lagi


pertolongan apa-apa selain Allah, adalah pengejewantahan keimanan
yang begitu kuat. Sekiranya iman lemah, mungkin akan
mendatangkan kepanikan.

Kisah pembakaran Nabi Ibrahim a.s. menujukkan bahwa rasa takut


manusiawi terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut
syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan
Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin
dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.

Diantara turunan sikap dari keimanan yang kokoh adalah berupa


hanya menggantungkan harapan kepada Allah dan juga sikap
tawakkal yang benar, sehingga menimbulkan sikap berani dalam diri
seseorang dalam menghadapi segalam macam situasi dan tantangan.

2-       Bersabar Terhadap Ketaatan

Jalan kebenaran itu pasti tidak akan mulus, gampang. Jika mulus dan
gampang saja yang dialami, justru harus dipertanyakan, apakah benar
dalam jalan kebenaran? Banyak tantangan, baik dari dalam diri sendiri
berupa hawa nafsu, maupun godaan syaithan yang tak akan pernah
berhenti sampai akhir hayat, atau godaan manusia lainnya yang ingin
menjerumuskan pada kebatilan. Semua itu akan selalu dihadapi,
kondisi hidup yang sedang dihadapi, semisal himpitan masalah
ekonomi, musibah dan lainnya bisa jadi melunturkan semangat.
Tetapi, itulah memang jalan yang harus dihadapi. Bersabar adalah
kunci, mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Sabar
jugalah jalan yang ditempuh para Rasul dan Nabi, salafus shaleh.
Sehingga kita pun mesti berjuang dengan penuh kesabaran untuk
menjalani ketaatan kepada Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah


kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)
dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. (QS 3: 200)
 
Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan
apalagi berkaitan dengan pelecehan nilai agama, tapi sabar justru
melahirkan sikap keberanian dalam menjalani perintah Allah
sekaligus berjuang dalam menegakkan kalimat Allah. Sikap
keberanian di sini tidak melulu terwujud dalam bentuk kebringasan,
gagah perkasa, tapi bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan
memaafkan demi kemaslahatan yang lebih besar. Layaknya suri
tauladan yang sangat menyentuh oleh Rasulullah, ketika dakwah nya
di tolak di Taif yang sampai pada bentuk kekerasan. Namun,
keberanian Rasulullah untuk memaafkan walaupun sungguh berat
waktu itu ujiannya, karena pandangan jauh ke depan, membuat azab
yang bisa jadi ditimpakan pada Taif tak jadi diturunkan. Dan buah
dari kesabaran tersebut terwujud dengan ber Islam nya penduduk Taif
kemudian hari.

Keimanan yang kuat akan menumbuhkan kecintaan yang lebih pada


akhirat dari pada kehidupan dunia.

3-       Mewariskan Hal yang Terbaik

Kita dalam tanda kutip adalah produk masa lalu, hasil didikan
berbagai pihak bermula mungkin orang tua, keluarga, guru,
lingkungan dan seterusnya. Sehingga sedikit banyaknya karakter yang
kita miliki sekarang ini adalah buah dari pendidikan orang-orang yang
terdahulu. Jika pendidikan yang itu baik, akan menghasilkan generasi
yang baik. Begitu juga dengan kedepannya, kita adalah bagian dari
orang yang akan mewarisi generasi masa depan. Karena perjuangan
dakwah adalah perjuangan sampai akhir zaman, bukan satu generasi
saja. Sehingga menyiapkan generasi baru yang kuat, adalah keharusan
bagi keberlangsungan dakwah.

Selain itu generasi  yang kuat dan mandiri akan lebih berpeluang
melahirkan karakter pemberani. Perumpamaan orang-orang yang
hidup dibawah belas kasihan orang lain, atau orang yang meminta-
minta, bisa jadi akan berkurang keberaniannya dalam menyampaikan
kebenaran terutama kepada pihak dimana dia meminta-minta atau
mendapat belas kasihan.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.” (QS 4: 9)

Nubuwah terkait penaklukan konstantinopel yang disampaikan


Rasullullah menjadikan kaum muslimin pada masanya dan setelahnya
berharap bisa menjadi orang yang disebutkan Rasulullah menjadi
tokoh utama penakluknya atau anak keturunannya, atau mungkin
menjadi bagian barisan tentaranya. Dan pada akhirnya panglima Al
Fatih bersama para tentaranya yang berhasil menaklukan baru muncul
berabad setelah penyampaian nubuwah tersebut. Dalam kisahnya,
beliau telah dipersiapkan semenjak dini berupa penanaman karakter,
akhlak ilmu dan seterusnya.

Bagaimana dengan masa kini? Janji Allah akan kembalinya kekuatan


besar kaum muslimin mneguasai dunia sebelum akhir zaman, semoga
memotivasi kita untuk mempersiapkan generasi penerus yang semoga
menjadi bagian menuju kebangkitan umat Islam, walaupun mungkin
tidak hidup dimasa kejayaan tersebut nantinya.

Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah

1-       Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan


Allah (jihad fii sabililah)
Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama
umat Islam dapat diambil, mereka tidak takut akan mati, tidak cinta
dunia, lebih mencintai kehidupan akhirat. Sehingga ketika perintah
jihad datang, disambut dengan semangat tinggi.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan


orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu
membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi
mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang
atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari
Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah
tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).

2-       Berani menegakkan kebenaran

Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang


pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila
dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi sebuah
keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw melalui Hadits Riwayat Ibnu
Hibban. ‘Qulil haq walau kaana muuran ’ (katakan yang benar
meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang
zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja
dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa
berterus terang dalam kebenaran.

"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di


hadapan penguasa yang zhalim”. (Hadits Riwayat Abu Daud Dan
Tirmidzi)

3-       Memiliki Daya Tahan Yang Besar

Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan,


penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia
berada di jalan Allah.
Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan
penegakan Islam. Di masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase
Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan yang dirasakan kaum
muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu, masih dalam
rintisan awal-awal dakwah, harus dihadapi berbagai bentuk
perlawanan, permusuhan, makar. Boikot ekonomi, siksaan terhadap
individu bahkan pembunuhan. Secara umum kaum muslimin sungguh
menderita waktu itu.

Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang


begitu besar dalam menghadapi siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan
juga Keberanian mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada
Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah
pertama dalam Islam yang menumbuh suburkan perjuangan dengan
darahnya yang mulia.

4-       Kemampuan Menjaga Rahasia

Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah,


karena menyimpan rahasia bukanlah hal yang mudah. Menjaga
rahasia adalah perkara yang sangat penting, apakah untuk menjaga
kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga
keberlangsungan dakwah.

Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan


selevel sahabat pun hanya segelintir orang yang mendapat
kepercayaan dari Rasulullah untuk menyimpan rahasia. Adalah
Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan
sebutan shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik.
Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya
menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun
terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah
bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada
Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati,
akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”

5-       Mengendalikan Nafsu


Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu
tidak dapat dihilangkan tapi dapat dikendalikan.
 
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).

Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam


Alqur’an bahwasanya salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu
menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain .

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan


mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang yang
berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan
Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. 3:133-
134).

“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat,


sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai
dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau,


bukannya malah emosi, justru beliau menghentikan tebasan pedang
yang siap untuk menebas musuh tersebut, karena Ali takut kepada
Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap
musuh bukan karena mengharapkan keridaan Allah.

6-       Mengakui Kesalahan

Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian


untuk betul-betul merasakan sendiri sambil mencari cara untuk
memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya apalagi menuduhkan
kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan
pihak lain, tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf,
dan bersedia bertanggung jawab.

Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia,


melalui perjalanan hidup Nabi Adam. Semua manusia berpotensi
berbuat kesalahan, namun rahmat pengampunan Allah sungguh besar,
senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS 7:
23)

Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman


Khalifah Harun Al Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang
melaksanakan ibadah haji, sebagaimana lazimnya penguasa yang ada
sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk untuk
umum. Pada saat Khalifah melakukan sa'i antara bukit Marwah dan
Shofa seorang diri, sambil disaksikan, ribuan jamaah haji,
berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke tempat sa'i.
Sesampainya di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana.
Berteriaklahlah beliau, "Haruuuun...!", tanpa menyebut embel-embel
kekhalifahan. Mendengar jeritan tadi, seluruh jamaah termasuk
Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah
yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".

"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah


manusia di sana ?". "Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali
Allah", jawab Khalifah. "Ketahuilah, setiap orang dari mereka akan
dimintai pertanggung-jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu
akan diminta pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan
seluruh rakyatmu. Lihatlah kepada dirimu, apakah pantas engkau
perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan Abdullah bin
Abdul Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui
kesalahan yang beliau lakukan. [5] Sikap Abdullah bin Abdul Aziz
Al-Amri juga mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam
kebenaran, meskipun harus disampaikan pada seseorang yang
berposisi khalifah sekalipun.

7-       Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri

Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan


kelebihan. Kekurangan untuk diperbaiki semaksimal mungkin dan
kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin. Jangan terlalu
berlebihan memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada
keangkuhan dan kesombongan. Umar bin Abdul Aziz seorang
khalifah yang sangat mashur, bahkan ada sebutan bahwasanya beliau
adalah khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat
berpidato dihadapan rakyatnya: “Aku bukanlah orang yang paling
baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku
mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu
bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini.”

Anda mungkin juga menyukai