Anda di halaman 1dari 19

1.

Kitab Suci Taurat

Kitab ini diturunkan kepada Nabi Musa as sebagai pedoman dan petunjuk bagi
Bani Israel. Allah.Swt Berfirman :

“Artinya : Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan
kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): “Janganlah kamu
mengambil penolong selain Aku” (QS. Al-Isra’ [17]: 2)

Terdapat isi kandungan kitab Taurat meliputi hal-hal seperti berikut :

1. Kewajiban meyakini keesaan Allah.SWT


2. Pelarangan menyebut-nyebut nama Allah.SWT dengan sia-sia
3. Pelarangan menyembah berhala atau Patung
4. Supaya mensucikan hari yakni hari sabtu (sabat)
5. Menghormati ke2 orang tua
6. Larangan membunuh sesama manusia tanpa alasan yang dibenarkan
7. Melarang berbuat zina
8. Melarang mencuri
9. Melarang menjadi saksi palsu
10. Melarang mengambil hak orang.

2. Kitab Zabur

Kitab Suci Zabur ini diturunkan kepada Nabi Daud. A.S agar menjadi pedoman
atau petunjuk bagi umatnya. Allah Swt Berfirman :
Terjemahannya: “Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. Al-Isra’ [17]:
55)

Kitab Suci Zabur ini berisi kumpulan nyanyian dan pujian-pujian kepada Allah
atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Selain itu berisi Doa, Nasihat,
Dzikir serta kata-kata hikmah. Bagi orang-orang non muslim yakni Yahudi dan
Nasrani, Kitab Suci Zabur sekarang ada pada Perjanjian Lama yang terdiri atas
150 pasal.
3. Kitab Injil
Kitab Suci Injil diturunkan kepada Nabi Isa. A.S agar menjadi petunjuk dan
tuntunan bagi Bani Israel. firman allah. SWT :

Kitab Suci Injil memuat ajaran pokok, antara lain yakni :

 Terdapat perintah agar kembali kepada tauhid yang murni


 Ajaran yang menyempurnakan kitab Taurat
 Terdapat Ajaran agar hidup sederhana dan menjauhi sifat tamak.
 Penjelasan atau Pembenaran terhadap kitab-kitab yang turun sebelumnya

4. Kitab al-Qur’an
Kitab al-Qur’an sebagai kita penyempurna yakni yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad S.a.w sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia,
bukan hanya bangsa Arab. Sebagaimana firman Allah

Artinya: “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran)
kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam.” (QS. Al-Furqan [25]: 1)

Isi al-Qur’an meliputi hal-hal berikut:

 Terdapat pembahasan mengenai prinsip-prinsip akidah (keimanan)


 Terdapat pembahasan yang mengangkat prinsip-prinsip ibadah
 Terdapat pembahasan yang berkenaan dengan prinsip-prinsip syariat

Kedudukan Kitab Suci al-Qur’an antara lain:

 Wahyu Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw


 Mukjizat Nabi Muhammad saw
 Menjadi pedoman hidup manusia agar tercapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat
 Menjadi sumber dari segala sumber hukum Islam

Fungsi Iman kepada Kitab-kitab Allah


 Agar meningkatkan kualitas kehidupan pribadi
 Agar manusia membangun kehidupan bermasyarakat
 Agar manusia menjalin kerukunan dalam hidup berbangsa dan bernegara

Hikmah Iman kepada Kitab-kitab Allah


 Meningkatkan rasa keimanan kepada Allah yang telah mengutus para
rasul-rosulnya untuk menyampaikan risalahnya.
 Kehidupan manuisa menjadi tertata karena adanya hukum yang
bersumber pada kitab suci
 Semangat dalam beribadah atau menjalankan kewajiban-kewajiban
agama.
 Dapat menumbuhkan sikap optimis karena telah dikaruniai pedoman hidup
dari Allah untuk meraih kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat
 Ketakwaannya terjaga dengan selalu menjalankan perintah-perinta
Allah.Swt serta menjauhi semua larangan-Nya

Penerapan Iman terhadap Kitab-kitab Suci


1. Banyak cara untuk beriman terhadap kita-kitab suci Allah, cara tersebut
diantaranya :

 Yakin Dan Percaya kebenaran yang terkandung dalam kitab-kitab


Allah.Swt
 Yakin dan percaya bahwa kitab-kitab itu benar-benar wahyu Allah.Swt
bukan karangan dari para Nabi dan Rasul

2. Beriman kepada al-Qur’an. Caranya seperti berikut :

 Yakin dan percaya bahwa al-Qur’an benar-benar wahyu Allah, bukan


karangan dari Nabi Muhammad S.a.w
 Yakin dan percaya bahwa isi yang terkandung dalam al-Qur’an dijamin
kebenarannya.
 Harus mempelajari, memahami, dan menghayati isi kandungan al-Qur’an
 Dan mengamalkan ajaran Kitab Suci al-Qur’an dalam kehidupan.

PENGERTIAN SYAJA’AH
Sebelum mengenal secara lebih mendalam, mari kita pahami sifat syaja’ah ini dari
pengertiannya terlebih dahulu, baik itu menurut bahasa maupun istilah.
Syaja’ah Menurut Bahasa
Menurut bahasa, syaja’ah dalam bahasa Arab memiliki arti berani atau teguh. Syaja’ah
adalah sifat pertengahan antara Al–Jubn (Pengecut) dan Tahawwur (Berani tanpa
Perhitungan).
Syaja’ah Menurut Istilah
Adapun menurut istilah, Syaja’ah artinya keteguhan hati dan kekuatan pendirian untuk
membela dan mempertahankan hal yang benar secara bijaksana dan terpuji.
Sikap syaja’ah menjadi salah satu ciri yang perlu dimiliki oleh orang yang istiqomah di jalan
Allah. Mereka akan berani menyampaikan kebenaran walaupun itu pahit. Hal ini karena
mereka yakin dengan pertolongan Allah.
Imam Syahid Hasan Al-Banna mendefinisikan Syaja’ah sebagai ‘Azhimul Ihtimal yang
artinya besarnya daya pikul dan daya tahan. Ia akan bersabar ketika diberi ujian, dan ia
akan bersyukur ketika ia diberi kenikmatan.
DALIL SYAJA’AH
Syaja’ah sangat disarankan untuk menjadi salah satu sifat yang dimiliki oleh orang muslim.
Allah swt. Berfirman:

‫ن ْاْل َ ْع َل ْونَا َوأ َ ْنت ُ ُام تَحْ َزنُوا َو َال ت َ ِهنُوا َو َلا‬
‫ُمؤْ ِمنِينَا ُك ْنت ُ ْام إِ ْا‬
Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
(Q.S Ali Imran: 139)

Pada ayat tersebut, Allah melarang umat manusia untuk memiliki sikap lemah. Kita
diharuskan memiliki sikap berani.

Hal ini karena manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah jika
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Selain itu, manusia juga akan memiliki kedudukan
tertinggi apabila beriman dan bertakwa pada Allah.

Dalam kehidupan saat ini, banyak sekali ditemukan kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Jika umat islam memiliki sifat syaja’ah, maka ia akan berani melaporkan hal tersebut,
meskipun hal tersebut bisa saja membawa ia dalam bahaya.
Allah swt. berfirman:

ْ ‫ن أ ُ ِم ْرتَا َك َما فَا‬


‫ست َ ِق ْما‬ ‫بَ ِصيرا ت َ ْع َملُونَا بِا َما إِنَّ اهُ ۚ ت َ ْطغَ ْوا َو َال َمعَكَا ت َ َا‬
‫اب َو َم ْا‬
Artinya: “maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Hud: 112)

MACAM MACAM SYAJA’AH


Syaja’ah terbagi kedalam 2 macam, antara lain:
Syaja’ah Harbiyyah
Syaja’ah Harbiyyah adalah bentuk keberanian yang tampak secara langsung. Misalnya
keberanian kaum muslimin zaman dahulu untuk berjihad (perang) demi membela agama.
Syaja’ah Nafsiyyah
Syaja’ah Nafsiyyah adalah keberanian secara mental seseorang. Ia akan berani dalam
menghadapi bahaya dan penderitaan jika hal tersebut demi menegakkan keadilan.
PERWUJUDAN SIKAP SYAJA’AH
Dari kedua macam sifat syaja’ah diatas, syaja’ah dapat terimplementasikan menjadi
beberapa bentuk. Berikut diantaranya:
Quwwatul Ihtimal (Daya Tahan yang Besar)
Seseorang terbukti memiliki sifat syaja’ah ketika ia mampu bersabar dan siap untuk
menghadapi kesulitan, penderitaan, bahaya, ataupun yang lainnya ketika berjuang di jalan
Allah SWT.
Banyak kisah-kisah perjuangan para sahabat yang menceritakan tentang gambaran hal ini.
Misalnya saja Bilal bin Amr bin Yasir yang mengalami penyiksaan agar mengingkari
keimanannya. Namun, beliau tetap teguh pada keimanannya.

Ash-Sharahah fil Haq (Terus Terang dalam Kebenaran)


Berani untuk berterus terang dalam kebenaran menjadi salah satu implementasi lainnya
dari sifat syaja’ah (berani). Abu Dzar r.a pernah diberi wejangan oleh Rasulullah saw.
Diantara wejangannya adalah:
‫ق قُ ِال‬
‫ن ا ْل َح َّا‬
‫ُم ًّرا كَانَا َوإِ ْا‬
“Katakan kebenaran, sekalipun itu pahit” (HR. Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 4737)
Kitmanu As-sirri (Memegang Rahasia)
Dalam memegang rahasia, tentunya butuh keberanian pada diri kita. Apalagi informasi
yang kita pegang tersebut terindikasi berbahaya jika ada kebocoran. Dengan menjaga
rahasia, seseorang juga menjaga amanah yang telah diberikan oleh orang lain.

Di kalangan sahabat Rasulullah saw pun tidak banyak yang dipercaya sebagai pemegang
rahasia. Salah satu sahabat yang mampu menjaga rahasia adalah Hudzaifah Ibnul Yaman ra.
yang sangat dikenal akan dengan sebutan Shahibus Sirri (pemegang rahasia).
Hudzaifah adalah sahabat yang Rasulullah beritahukan mengenai semua orang-orang
munafik yang ada. Selama hidupnya, Hudzaifah ini menjaga informasi mengenai hal ini
bahkan kepada khalifah yang sedang menjabat saat itu (Khalifah Umar).

Al-I’tirafu bil Khatha’i (Mengakui Kesalahan)


Orang yang siap dan mau mengakui kesalahannya menjadi salah satu ciri orang yang
memiliki sifat syaja’ah (berani).
Mengakui kesalahan memang tidak mudah. Kita harus siap untuk dicaci, dimaki, dikucilkan
ataupun hal lain yang diakibatkan karena kesalahan yang pernah kita perbuat.
Dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengakui kesalahan dan siap untuk menerima
konsekuensi atas kesalahan yang kita lakukan tersebut.

Al-Inshafu min Adz-Dzati (Bersikap Objektif pada Diri Sendiri)


Ada sebagian orang yang menganggap dirinya lebih dari orang lain (over confidence). Ada
juga sebagian orang yang menganggap dirinya lebih bodoh dibandingkan orang lain (under
confidence).
Jika hal tersebut muncul dalam diri seseorang, tentunya tidak proporsional dan tidak
objektif terhadap diri sendiri. Orang yang bersifat syaja’ah akan menilai dirinya secara
objektif dan meyakini bahwa dirinya memiliki kekurangan dan kelebihan.
Milku An-Nafsi ‘inda Al-Ghadhabi (Menguasai Diri Saat Marah)
Salah satu ciri orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah ketangguhan ia dalam melawan
hawa nafsu dan amarah. Meskipun dalam kondisi yang emosional, ia masih dapat berpikir
jernih.
Ia mampu melampiaskan kemarahannya, namun ia arahkan pada hal yang sesuai.

CARA MENANAMKAN SIKAP SYAJA’AH


Ada beberapa cara untuk menanamkan sifat keberanian ini kepada diri kita. Antara lain:

Al-Imanu bil Ghaib (Iman Kepada yang Ghaib)


Dengan iman kepada hal yang ghaib, kita akan yakin terhadap pertolongan Allah.

Allah berfirman:

ُ ‫ّللاُ َي ْن‬
‫ص ْر ُك ُام ِإ ْنا‬ ‫ل َّا‬‫ب فَ َا‬
‫غا ِل َا‬ ‫ص ُر ُك ْام الَّذِي ذَا فَ َم ْا‬
‫ن َي ْخذُ ْل ُك ْام َو ِإ ْا‬
َ ‫ن لَ ُك ْام‬ ‫ع َلى َب ْع ِد ِاه ِم ْا‬
ُ ‫ن َي ْن‬ ‫ا ْل ُمؤْ ِمنُونَا فَ ْل َيت َ َو َّك ِال َّا‬
َ ‫ّللاِ َو‬
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah
membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat
menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-
orang mu’min bertawakkal.” (QS. Ali Imran, 3: 160)
Selain yakin akan pertolongan Allah, ia pun akan percaya akan apapun yang sudah
ditentukan oleh Allah.

Allah berfirman:

‫سكَا َو ِإ ْنا‬
ْ ‫س‬
َ ‫ّللاُ يَ ْم‬ ‫ف فَ َا‬
‫ل بِضُرا َّا‬ ِ ‫ن ه َاُو إِ َّال لَ اهُ َكاا‬
‫ش َا‬ ‫سكَا َوإِ ْا‬ َ ‫علَى فَ ُه َاو بِ َخيْرا يَ ْم‬
ْ ‫س‬ َ ‫قَدِيرا ش َْيءا ك ِاُل‬
“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu,
maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An’am, 6: 17)
Dengan keyakinan akan hal-hal ghaib seperti ini, maka akan muncul keberanian pada diri
seorang muslim. Keberanian ini dibentengi oleh keimanan dan ke tawakkal-an pada Allah
swt.

AL-MUJAHADATU ‘ALAL KHAUF (MENAKLUKKAN RASA


TAKUT)
Rasa takut sebenarnya merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap manusia. Misalnya takut
ketinggian, takut tenggelam, takut terbakar ataupun ketakutan yang lainnya. Namun,
ketakutan ini harus berada dibawah Khauf Syar’i takut kepada Allah Ta’ala.
Setiap rasa takut yang muncul pada dirinya, ia akan memasrahkannya kepada Allah Ta’ala.
Dengan begitu, ia akan mampu mengendalikan rasa takutnya. Melawan ketakutan akan
kedzaliman menjadi salah satu pembuktian kesungguhan dalam taat dan keimanan.

Allah Ta’ala berfirman:

‫با‬ َ ‫سى لَ ُك ْام ك ُْرها َوه َاُو ا ْل ِقتَا ُال‬


َ ِ‫علَ ْي ُك ُام ُكت‬ َ ‫ع‬ ‫ش ْيئ ًا تَك َْرهُوا أَ ْا‬
َ ‫ن َو‬ َ ‫سى َل ُك ْام َخيْرا َوه َاُو‬
َ ‫ع‬ ‫ش ْيئ ًا ت ُِحبُّوا أ َ ْا‬
َ ‫ن َو‬ ‫َال َوأَ ْنت ُ ْام يَ ْعلَ ُام َو َّا‬
َ ‫ّللاُ لَ ُك ْام شَرا َوه َاُو‬
‫ت َ ْعلَ ُمونَا‬
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 216)
PENTINGNYA TAURITSUL KHAIRIYYAH (PEWARISAN
KEBAIKAN)
Jika kita menginginkan penerus kita menjadi seseorang yang pemberani melawan
kebathilan, maka wariskanlah sifat tersebut kepada mereka. Bagaimana caranya? Dengan
memberikan contoh dan teladan kepada mereka mengenai keberanian.

Abul Ala Al Maududi menegaskan bahwa untuk mendapatkan keturunan dan generasi yang
lebih baik, maka jangan lakukan sifat-sifat rendahan kepada mereka. Berikan contoh yang
baik kepada mereka.

Ingatlah, kebaikan akan mewariskan suatu kebaikan. Keburukan akan mewarisi suatu
keburukan pula.
Ash-Shabru ‘ala Ath-Tha’ah (Bersabar dalam Ketaatan)
Kokohnya sifat keberanian ini ditopang oleh kesabaran dalam diri. Tanpa kesabaran,
keberanian hanyalah bentuk emosi semata.

Ketika syaja’ah ditegakkan, tentu akan muncul tantangan, ujian dan cobaan. Oleh karena
itu, seimbangkanlah antara kesabaran dan keberanian.
Dalam suatu hadits dari Khabab, ia berkata:

‫سو َال أَت َ ْي َنا‬ ‫صلَّى َّا‬


ُ ‫ّللاِ َر‬ ‫علَ ْي ِاه َّا‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َام‬َ ‫سدًا ا ْل َك ْعبَ ِاة ِظ ِال فِي َوه َاُو َو‬ ِ ‫سو َال يَا َفقُ ْل َنا لَ اهُ بُ ْر َد اةً ُمت َ َو‬ ُ ‫ّللاِ َر‬‫ع َّا‬‫ّللاَ ا ْد ُا‬
‫اركَا َّا‬ َ َ‫لَ َنا َوتَ َعا َلى تَب‬
‫ستَ ْن ِص ْرهُا‬ْ ‫ن كَانَا َلقَ ْاد فَ َقا َال ت َ َغيَّ َار أ َ ْاو لَ ْونُ اهُ َفاحْ َم َّار َقا َال َوا‬
‫َار َويُجَا ُاء ُح ْف َرةا لَ اهُ يُحْ فَ ُار َق ْبلَ ُك ْام كَانَا َم ْا‬ ‫ض ُاع ِبا ْل ِم ْنش ِا‬ َ ‫علَى فَيُو‬ َ ‫س ِاه‬ ِ ْ‫ق َرأ‬ َ ُ‫َما فَي‬
‫ش ُّا‬
ُ‫َن يَص ِْرفُ اه‬ ‫ط دِينِ ِاه ع ْا‬ ‫ش ُا‬ ‫ع ْظما دُونَا َما ا ْل َحدِي ِاد ِبأ َ ْمش ِا‬
َ ‫َاط َويُ ْم‬ َ ‫ن‬ ‫عصَبا أَ ْاو َلحْ ما ِم ْا‬ َ ‫َن يَص ِْرفُ اهُ َما‬ ‫ّللاُ َو َليُتِ َّمنَّا دِينِ ِاه ع ْا‬
‫اركَا َّا‬ َ َ‫َهذَا َوتَعَا َلى تَب‬
‫ِير َحتَّى ْاْلَ ْم َار‬‫ب يَس َا‬ َّ ‫ص ْنعَا َاء بَيْنَا َما‬
‫الرا ِك ُا‬ َ ‫ض َر َم ْوتَا إِلَى‬ ْ ‫ّللاَ ِإ َّال يَ ْخشَى َال َح‬ ‫ْب تَعَالَى َّا‬ ِ ‫علَى َو‬
‫الذئ َا‬ َ ‫غنَ ِم ِاه‬َ ‫ت َ ْع َجلُونَا َو َل ِكنَّ ُك ْام‬
“Kami mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berada di dekat
ka’bah dengan selimut musim dinginnya, kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada
Allah untuk kami dan mintalah tolong padanya!’ Khabab berkata, ‘Maka wajah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berubah merah. Beliau lalu bersabda: ‘Sungguh telah berlalu pada
orang-orang sebelum kalian seorang yang digalikan lubang untuknya, lalu diletakkan gergaji
di atas kepalanya hingga membelahnya, namun hal itu tidak merubah keyakinannya. Ada yang
disisir dengan sisir besi panas hingga terkoyak dagingnya, namun itu tidak mengubah dari
agamanya. Dan sungguh, benar-benar Allah Tabaaraka Wa Ta’ala akan menyempunakan
urusan (agama) ini hingga ada seorang pengendara berjalan dari Shan’a menuju Hadarmaut
dalam keadaan tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau
kawatir kambingnya akan dimakan serigala. Akan tetapi kalian terburu-buru.” (HR. Ahmad)
Keyakinan pada Al-Ajru min Allah (Pahala dari Allah Ta’ala)
Dengan selalu mengharap ridha dan pahala dari Allah swt membuat seorang muslim
menjadi seseorang yang pemberani. Ia akan tetap berkomitmen untuk beramal dan
berjuang di jalan Allah.

Allah berfirman:

‫ّللاُ َربُّ َنا قَالُوا الَّذِينَا ِإنَّا‬


‫ست َ َقا ُموا ث ُ َّام َّا‬ َ ُ‫عدُونَا ُاك ْنت ُ ْام الَّ ِتي ِبا ْل َجنَّ ِاة َوأ َ ْبش ُِروا تَحْ َزنُوا َول ت َ َخافُوا أَل ا ْل َملئِك اَة‬
ْ ‫علَي ِْه ُام تَتَنَ َّز ُال ا‬ َ ‫ت ُو‬
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu’”. (QS. Al-Fushilat, 41: 30)
Tata Cara Mengurus Jenazah
dalam Islam
<

A. Perawatan Jenazah
Ketika seseorang sudah dinyatakan positif meninggal, maka ada beberapa hal yang perlu
disegerakan oleh keluarganya dalam mengurus jenazah tersebut, yaitu memandikan, mengkafani,
menyalati dan menguburkan.

Namun, kita juga perlu melakukan hal-hal berikut sebelum memandikan jenazah, diantaranya
adalah memejamkan matanya dan memohonkan ampunan atas segala dosanya pada Allah swt.
Setelah itu kita memerlukan kain untuk menutup seluruh badannya agar auratnya tidak kelihatan.
Kemudian menempatkan jenazah tersebut di tempat yang aman dari jangkauan binatang.

B. Memandikan Jenazah
Dalam memandikan jenazah kita juga perlu memperhatikan beberapa hal, di antaranya yaitu
mengenai syarat-syarat wajib memandikan jenazah, orang-orang yang mempunyai hak
memandikan jenazah, dan kemudian tata cara memandikan jenazah itu sendiri.

Berikut adalah pembahasannya :

Syarat – Syarat Wajib Memandikan Jenazah


1. Jenazah merupakan orang islam
2. Terdapat/masih ada bagian tubuhnya walaupun sedikit.(misalkan ketika orang tersebut tertabrak
kereta sehingga tubuhnya hancur berkeping-keping, namun masih ditemukan bagian tubunya
seperti kaki, maka itu wajib untuk dimandikan).
3. Meninggalnya bukan karena mati syahid (mati dalam peperangan ketika membela agama islam).
4. Yang berhak memandikan jenazah
5. Jika jenazah tersebut berjenis kelamin laki-laki maka yang wajib memandikannya juga laki-laki,
perempuan tidak diperbolehkan memandikan jenazah tersebut kecuali istri dan mahramnya.
6. Jika jenazah tersebut berjenis kelamin perempuan maka yang wajib meamandikannya adalah
perempuan, laki-laki tidak diperbolehkan memandikan jenazah tersebut kecuali suami dan
maharamya.
7. Jika jenazah tersebut merupakan seorang istri, maka apabila suami dan mahram masih ada, yang
lebih berhak memandikan adalah suami.
8. Jika jenazah tersebut merupakan seorang suami, maka apabila istri dan mahramnya masih ada,
yang lebih berhak memandikan adalah istri.
9. Kemudian jika jenazah tersebut adalah anak laki-laki yang masih kecil, perempuan diperbolehkan
untuk memandikannya. Begitu pula sebaliknya, jika jenazah tersebut anak perempuan yang masih
kecil, maka laki-laki diperbolehkan untuk memandikannya.

Tata Cara Memandikan Jenazah


1. Jenazah harus dimandikan di tempat yang tertutup, agar yang melihat hanya orang-orang yang
memandikan saja.
2. Jenazah di tempatkan di tempat yang tinggi, seperti dipan atau meja yang panjang.
3. Menggunakan sarung unruk menutup aurat jenazah.
4. Jenazah didudukkan atau disandarkan pada sesuatu, kemudian diusap perutnya dan ditekan pelan-
pelan agar semua kotorannya keluar. Lalu yang memandikan menggunakan sarung tangan kiri
untuk membasuh lubang depan dan lubang belakang jenazah, dan kemudian membersihkan mulut
dan hidung jenazah, setelah itu mewudhukannya seperti wudhunya orang yang masih hidup.
5. Membasuh kepala dan wajah jenazah dengan menggunakan sabun atau lainnya, kemudian
menyisir rambutnya.
6. Membasuh seluruh tubuh dimulai dari sisi kanan jenazah, kemudian sisi kirinya.
(disunahkan membasuh sebanyak 3 kali)

C. Mengkafani Jenazah
Kain kafan dibeli menggunakan harta dari orang yang meninggal tersebut. Apabila jenazah tersebut
adalah laki-laki maka membutuhkan kain kafan tiga lapis, namun apabila jenazah tersebut adalah
perempuan maka membutuhkan kain kafan sebanyak lima lapis, dan itu sudah termasuk yang
digunakan sebagai pakaian dalaman/basahan jenazah.

Dalam HR.Muslim, Abu Salamah ra bercerita bahwa ia pernah bertanya pada ‘Aisyah ra. “Berapa
lapiskah kain kafan Rasulullah saw.?” “Tiga lapis kain kafan putih.” Jawab ‘Aisyah.

Disunahkan pula untuk memberi wewangian pada kain kafan.

Tata Cara Mengkafani Jenazah


 Membentangkan tali-tali pengikat kain kafan secukupnya.
 Membentangkan lapis pertama kain kafan di atas tali tersebut kemudian ditambahkan
wewangian.
 Membentangkan lapis kedua kain kafan di atas lapis pertama kain kafan kemudian ditambahkan
wewangian.
 Membentangkan lapis ketiga kain kafan di atas lapis kedua kain kafan kemudian ditambahkan
wewangian.
 Letakkan jenazah pada kain kafan tersebut.
 Tutup menggunakan kain kafan lapis ketiga dari sisi kiri ke kanan, lalu dari sisi kanan ke kiri.
 Tutup menggunakan kain kafan lapis kedua dari sisi kiri ke kanan, lalu dari sisi kanan ke kiri.
 Tutup menggunakan kain kafan lapis pertama dari sisi kiri ke kanan, lalu dari sisi kanan ke kiri.
 Kemudian mengikat jenazah dengan tali-tali tadi.
D. Menyalati Jenazah
Rukun sholat jenazah ada delapan, yakni:

1. Niat
2. Berdiri bagi yang mampu
3. Empat kali takbir
4. Mengangkat tangan pada saat takbir pertama
5. Membaca surat Al Fatihah
6. Membaca sholawat Nabi
7. Berdoa untuk jenazah
8. Salam

Tata Cara Sholat Jenazah


1. Takbiratul ihram dan membaca niat :

Lafadz niat sholat jenazah (sebagai makmum) untuk jenazah laki-laki

َ ُ ‫ع َلى ا‬
‫ص ِلى‬ ‫للِِۚ َمأ ْ ُم ْو ًما ا ْل ِكفَايَ ِاة فَ ْرضَا تَ ْك ِب َراتا ا َ ْربَ َاع َهذَاا ْل َم ِي ِا‬
َ ‫ت‬ ‫تَ َعا َلى ا‬
Ushollii ‘alaa haadzal mayyiti arba’a takbirootin fardhol kifaayati ma’muuman lillaahi
ta’aalaa

Artinya: Saya niat sholat atas mayit ini empat kali takbir fardhu kifayah, sebagai makmum
karena Allah Ta’ala.
Lafadz niat sholat jenazah (sebagai makmum) untuk jenazah perempuan

‫ص ِلى‬ َ ‫للِِۚ َمأ ْ ُم ْو ًاما ا ْل ِكفَا َي ِاة فَ ْرضَا تَ ْك ِب َراتا ا َ ْر َب َاع ا ْل َم ِيت َ ِاة َه ِذ ِاه‬
َ ُ ‫ع َلى ا‬ ‫تَ َعا َلى ا‬
Ushollii ‘alaa haadzihill mayyitati arba’a takbirootin fardhol kifaayati ma’muuman lillaahi
ta’aalaa

Kemudian membaca surat Al Fatihah

Setelah takbiratul ihram, tangan diletakkan di atas pusar sebagaimana sholat pada umumnya, lalu
membaca surat Al Fatihah.

2. Takbir kedua setelah itu membaca sholawat Nabi.

‫ص ِال اَللَّ ُه َّما‬


َ ‫َلى‬ ‫صلَّيْتَا كَما َ ُم َح َّمدا آ ِال َوع َا‬
‫َلى ُم َح َّمدا ع َا‬ َ ‫َلى‬ ‫َلى با َ ِركْا اَل َّل ُه َّام َم ِجيْدا ح َِميْدا إِنـَّكَا إِب َْرا ِه ْي َام آ ِال َوع َا‬
‫َلى إِب َْرا ِه ْي َام ع َا‬ ‫َلى ُم َح َّمدا ع َا‬
‫َوع َا‬
‫َلى با َ َركْتَا كَما َ ُم َح َّمدا آ ِال‬
‫َلى ِإب َْرا ِه ْي َام ع َا‬
‫َم ِجيْدا ح َِميْدا ِإنـَّكَا ِإب َْرا ِه ْي َام آ ِال َوع َا‬
Allohumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa
Ibroohiima wa ‘alaa aali Ibroohim, innaka hamiidum majiid. Allohumma baarik ‘alaa
Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa Ibroohiima wa ‘alaa aali
Ibroohim, innaka hamiidum majiid
Artinya: Ya Allah, berilah rahmat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad
sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi
Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah keberkahan
kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau telah
memberikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia
3. Takbir ketiga setelah itu membaca doa untuk jenazah.

‫ار َح ْم اهُ لَ اهُ ا ْغ ِف ْار اللَّ ُه َّما‬ ‫ع ْن اهُ َواع ُا‬


ْ ‫ْف َوعَافِ ِاه َو‬ َ
Allohummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu ‘anhu

Artinya: Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah dia. Bebaskanlah dan maafkanlah dia.
Untuk jenazah perempuan, doa singkat tersebut menjadi:

‫ار َح ْمهَا لَهَا ا ْغ ِف ْار اللَّ ُه َّما‬ ‫ع ْنهَا َواع ُا‬


ْ ‫ْف َوعَافِهَا َو‬ َ
Allohummaghfirlahaa warhamhaa wa’aafihaa wa’fu ‘anhaa

4. Takbir keempat berdoa dengan doa untuk jenazah dan doa untuk orang-orang yang
ditinggalkannya.

Sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud:

‫َولَ اهُ لَنَا ا ْغ ِف ْار َاو َب ْع َد ُاه ت َ ْف ِت َّنا َو الَ أَجْ َر ُاه تَحْ ِر ْمنَا الَ اللَّ ُه َّما‬
Allohumma laa tahrimnaa ajrohu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfirlanaa walahu

Artinya: Ya Allah, jangan haramkan kami dari pahalanya dan jangan cobai kami
sepeninggalnya. Ampunilah kami dan ampunilah dia.
Jika jenazahnya perempuan, maka doanya menjadi:

‫َولَهَا لَنَا ا ْغ ِف ْار َاو َب ْع َد َها ت َ ْف ِتنَّا َو الَ أَجْ َر َها تَحْ ِر ْمنَا الَ اللَّ ُه َّما‬
Allohumma laa tahrimnaa ajrohaa wa laa taftinnaa ba’dahaa waghfirlanaa walahaa

5. Salam

Yakni mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri sebagaimana sholat-sholat lainnya.

E. Menguburkan Jenazah
Dalam HR.Bukhari Muslim, Rasulullah saw menganjurkan “agar segera menguburkan jenazah orang
yang meninggal”. Dan lebih baik jenazah tersebut dikuburkan pada siang hari, namun apabila dalam
keadaan terpaksa diperbolehkan mengubur jenazah pada malam hari.
Kemudian berikut ini cara menguburkan jenazah yang baik, yaitu :

 Jenazah dikuburkan ke dalam lubang yang tingginya sama dengan orang berdiri yang
melambaikan tangannya ke atas, dan kemudian lebarnya adalah lebih dari satu jengkal.
 Setelah itu jenazah wajib dimiringkan ke sebelah kanan dan menghadapkannya ke arah kiblat.
 Kemudian setelah itu disunahkan untuk membuka ikatan tali jenanzah yang dimulai dari kepala.
Kita sebagai sesama manusia utamanya kaum muslimin sudah menjadi kewajibkan mengurus
jenazah muslim lainnya ketika meninggal dunia.

Nah, teman-teman semoga dengan mempelajari cara-cara mengurus jenazah tersebut mulai dari
perawatan jenazah, memandikan jenazah, mengkafani jenazah, menyalati jenazah dan
menguburkan jenazah maka kepedulian kita antarumat muslim semakin bertambah. Aamiin Ya
Robbal ‘Alamiin…

Kekhalifahan Umayyah
Bani Umayyah (bahasa Arab: ‫بنو أمية‬, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan
Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah
dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribu kota di Damaskus); serta dari 756
sampai 1031 di Cordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Cordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada
Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah
bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.

SILSILAH
Masa Keemasan

Kubah Batu di Kompleks Masjidil Aqsa yang dibangun Bani Ummayyah

Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan
Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-
orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan
kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum
muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya
Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal, terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, serta
penghianatan dari orang-orang Khawarij[2] dan Syi'ah.[3][4][5][6]

Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan
Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke
sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul,. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai
melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke
timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil
menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan
sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan.

Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa
pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam
merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu
tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu
pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin
pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko
(magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama
Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi
sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai.
Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan
mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.

Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Pirenia.
Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang
Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang
terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah
(mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di
Asia Tengah.

Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan
di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu
dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga
berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan
khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah
seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan
Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang
tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik
bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan
memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M)
meningkatkan pembangunan, di antaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan
pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.

Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, tetapi tidak berarti bahwa politik dalam negeri
dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat
monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, di mana ketika
dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin
Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan
Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, tetapi Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan
interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut di mana khalifah Allah dalam pengertian penguasa
yang diangkat oleh Allah padahal tidak ada satu dalil pun dari al-Qur'an dan hadits nabi yang
mendukung pendapatnya.

Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan
Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian
kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid
bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di
kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.

Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur
Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan
cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah
bin Zubair Ibnul Awwam.

Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin
Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun
terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran
Karbala[7], Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang
tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.

Kelompok Syi'ah sendiri, yang tertindas setelah kesyahidan pemimpin mereka Husain bin Ali,
terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan di antaranya adalah yang dipimpin oleh Al-
Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum
Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada
masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar
sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai
khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan
gerakan Syi'ah secara keseluruhan.

Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia
terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan
Mekkah secara biadab seperti yang diriwayatkan dalam sejarah. Dua pasukan bertemu dan
pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian
Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.

Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik
bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh
Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73
H/692 M.

Setelah itu, gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah juga
dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani Umayyah mulai dapat
diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di
sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk
menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjutnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi
membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), di mana
sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-
negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik daripada menambah
perluasannya, di mana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan
zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat, tetapi berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut
agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.

Penurunan[sunting | sunting sumber]


Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-
Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian,
pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis,
masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung
kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut
hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan
pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung
oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah
yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak
berhasil dipadamkannya.

Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya
bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi.
Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang
merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, di mana Marwan bin Muhammad, khalifah
terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir, tetapi kemudian berhasil
ditangkap dan terbunuh di sana. Namun, salah satu penerus bani umayyah yang bernama
Abdurrahman Ad-dakhil dapat meloloskan diri pada tahun 755 M. Ia dapat lolos dari kejaran
pasukan bani abbasiyah dan masuk ke Andalusia (Spanyol). Di Spanyol sebagian besar umat
islam disana masih setia dengan bani umayyah. Ia kemudian mendirikan pemerintahan sendiri
dan mengangkat dirinya sebagai amir (pemimpin) dengan pusat kekuasaan di Cordoba.[8]
Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur
(Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di
Al-Andalus.

Bani Umayyah di Andalus[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Bani Umayyah Al-Andalus

Al-Andalus atau (kawasan Spanyol dan Portugis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam
pada zaman khalifah Bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M), di mana tentara
Islam yang sebelumnya telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu
propinsi dari dinasti Bani Umayyah. Dalam proses penaklukan ini dimulai dengan kemenangan
pertama yang dicapai oleh Tariq bin Ziyad membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih
luas lagi. Kemudian pasukan Islam di bawah pimpinan Musa bin Nushair juga berhasil
menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan
Goth, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya
berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari
Zaragoza sampai Navarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Abdul-Aziz tahun 99 H/717 M, di mana sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar
pegunungan Pirenia dan Prancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah,
tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan
pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia
menyerang kota Bordeaux, Poitiers dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours, di kota ini ia
ditahan oleh Charles Martel, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Tours, al-Ghafiqi
terbunuh sehingga penyerangan ke Prancis gagal dan tentara muslim mundur kembali ke
Spanyol.

Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi
negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak
dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Goth bersikap
tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi
terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar
dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa,
dan dibunuh secara brutal.

Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan
politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderic, Raja Goth
terakhir yang dikalahkan pasukan Muslimin. Awal kehancuran kerajaan Visigoth adalah ketika
Roderic memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat
itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing
amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit
menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderic. Mereka pergi ke Afrika Utara dan
bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Raja Roderick
dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum
muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian
bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa.

Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderic yang terdiri dari para
budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang, selain itu, orang Yahudi yang
selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan
kaum Muslimin.

Sewaktu penaklukan itu para pemimpin penaklukan tersebut terdiri dari tokoh-tokoh yang kuat,
yang mempunyai tentara yang kompak, dan penuh percaya diri. Yang tak kalah pentingnya
adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan
tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum
muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.

Anda mungkin juga menyukai