Anda di halaman 1dari 8

A Pengertian Syaja’ah

Secara bahasa kata syaja’ah berasal dari bahasa arab ُ‫ عا ٌ َ ش‬yang berarti berani, gagah.
Menurut istilah: keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan
kebenaran secara jantan dan terpuji. Keberanian yang berlandaskan kebenaran, dilakukan dengan
penuh pertimbangan dan perhitungan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT. Asy Syaja’ah
adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-
ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubn (pengecut atau penakut). Pemberani adalah orang yang
berani membela kebenaran dengan resiko apa pun dan takut untuk berbuat yang tidak benar.
Sebaliknya, penakut adalah orang yang takut membela kebenaran. Jadi berani adalah: “Sikap dewasa
dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan
khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat
maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’).

B Landasan Sifat Syaja’ah

1. Iman yang kokoh.


Dalam kisah hijrah Rasullullah SAW dan Abu Bakr ke Madinah, sesampai di gua Tsur keadaan
mencekam dirasakan Abu Bakar, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat
betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.” Rasulullah SAW menenangkannya dengan
menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu
Bakar, kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah SWT bersama kita.” Sikap keberanian
yang ditunjukkan Rasulullah SAW disaat tidak ada lagi pertolongan apa-apa selain Allah SWT
adalah perwujudan keimanan yang begitu kuat. Sekiranya iman lemah, mungkin akan
mendatangkan kepanikan.
Kisah pembakaran Nabi Ibrahim a.s. menujukkan bahwa rasa takut yang sangat manusiawi
terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut yakni takut kepada Allah SWT. Dan
subhanallah, pertolongan Allah SWT datang dengan perintahNya kepada api agar menjadi dingin
dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. Itulah buah dari sikap iman yang kokoh
34
yaitu menggantungkan harapan hanya kepada Allah SWT dan juga sikap tawakkal yang benar,
sehingga menimbulkan sikap berani dalam diri seseorang dalam menghadapi segalam macam
situasi dan tantangan.
2. Bersabar Terhadap Ketaatan.
Jalan kebenaran itu pasti tidak akan mulus dan gampang. Jika mulus dan gampang saja yang
dialami, justru harus dipertanyakan, apakah benar itu jalan kebenaran? Banyak tantangan, baik
dari dalam diri sendiri berupa hawa nafsu, maupun godaan syaithan yang tak akan pernah
berhenti sampai akhir hayat, atau godaan manusia lainnya yang ingin menjerumuskan pada
kebatilan. Semua itu akan selalu dihadapi, kondisi hidup yang sedang dihadapi, semisal himpitan
masalah ekonomi, musibah dan lainnya bisa jadi melunturkan semangat. Tetapi, itulah memang
jalan yang harus dihadapi.
Bersabar adalah kunci, mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Sabar jugalah
jalan yang ditempuh para Rasul dan Nabi, salafus shaleh. Sehingga kita pun mesti berjuang
dengan penuh kesabaran untuk menjalani ketaatan kepada Allah SWT sebagaimana firmanNya:

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung ”.
(QS 3: 200)

Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan apalagi berkaitan dengan
pelecehan nilai agama, tapi sabar justru melahirkan sikap keberanian dalam menjalani perintah
Allah SWT sekaligus berjuang dalam menegakkan agamaNya.
Sikap keberanian di sini tidak melulu terwujud dalam bentuk kebringasan, gagah perkasa,
tapi bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan memaafkan demi kemaslahatan yang lebih besar.
Layaknya suri tauladan yang sangat menyentuh yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika
dakwahnya ditolak oleh penduduk Thaif bahkan dalam bentuk kekerasan. Namun, keberanian
Rasulullah SAW untuk memaafkan walaupun sungguh berat, karena pandangannya yang jauh ke
depan, membuat azab yang akani ditimpakan pada penduduk Thaif tak jadi diturunkan. Dan
buah dari kesabaran tersebut terwujud dengan berimannya penduduk Thaif dikemudian hari.
3. Mewariskan Hal yang Terbaik
Kita semua ini adalah produk masa lalu, hasil didikan berbagai pihak bermula mungkin orang
tua, keluarga, guru, lingkungan dan seterusnya. Sehingga sedikit banyak karakter yang kita miliki
sekarang ini adalah buah dari pendidikan orang-orang yang terdahulu. Jika pendidikan itu baik,
akan menghasilkan generasi yang baik. Begitu juga dengan kedepannya, kita adalah bagian dari
orang yang akan mewarisi generasi masa depan. Karena perjuangan dakwah adalah perjuangan
sampai akhir zaman, bukan satu generasi saja. Sehingga menyiapkan generasi baru yang kuat,
adalah keharusan bagi keberlangsungan dakwah. Selain itu generasi yang kuat dan mandiri akan
lebih berpeluang melahirkan karakter pemberani.
Perumpamaan orang-orang yang hidup dibawah belas kasihan orang lain, atau orang yang
meminta-minta, bisa jadi akan berkurang keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran
terutama kepada pihak dimana dia meminta-minta atau mendapat belas kasihan. Allah SWT
berfirman :

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
35
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (QS an-Nisa/4: 9)
Nubuwah terkait penaklukan Konstantinopel yang disampaikan Rasullullah SAW menjadikan
kaum muslimin pada masanya dan setelahnya berharap bisa menjadi orang yang disebutkan
Rasulullah SAW menjadi tokoh utama penakluknya atau anak keturunannya, atau mungkin
menjadi bagian barisan tentaranya. Dan pada akhirnya panglima Al Fatih bersama para
tentaranya yang berhasil menaklukan kota tersebut baru muncul beberapa abad setelah
penyampaian nubuwah tersebut. Dalam kisahnya, beliau telah dipersiapkan semenjak dini
berupa penanaman karakter, akhlak ilmu dan seterusnya. Bagaimana dengan masa kini? Janji
Allah SWT akan kembalinya kekuatan besar kaum muslimin menguasai dunia sebelum akhir
zaman, semoga memotivasi kita untuk mempersiapkan generasi penerus yang semoga menjadi
bagian menuju kebangkitan umat Islam, walaupun mungkin tidak hidup dimasa kejayaan
tersebut nantinya.

C Bentuk-bentuk Syaja’ah

Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:


1. Syaja’ah harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian waktu
menghadapi musuh dalam peperangan (al-Jihad fi Sabilillah). Allah SWT berfirman :

Artinya : “dan berperang lah kamu di jalan Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui “ ( Qs. al- Baqarah: 244)
2. Syaja’ah nafsiyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan
kebenaran. Keberanian mengatakan kebenaran sekalipun didepan penguasa yang zalim. Dari
Abu Sa’id Al Khudri, NabiMuhammad saw bersabda :

‫ان َجائ ٍِر‬


ٍ ‫س ْل َط‬ َ ‫أَ ْف‬
ُ َ‫ضل ُ ا ْل ِج َها ِد َكلِ َم ُة َعدْ ٍل ِع ْند‬
Artinya “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan
penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia bisa melampiaskannya dan
firman Allah SWT ;

Artinya “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”(Q.S. An-
Nazia’at 40- 41.)

Dari dua macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat dituangkan dalam
beberapa bentuk, yakni :
a) Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii sabililah).
Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat diambil,
mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan akhirat. Sehingga
ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi. Lihat firman Allah SWT berikut :

36
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau
hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali
dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat
buruklah tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).
b) Berani menegakkan kebenaran.
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi
dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi
sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi SAW melalui hadits riwayat Ibnu Hibban. ‘ Qulil haq
walau kaana murran ’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan
penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang zhalim”.
(Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)
c) Memiliki daya tahan yang besar.
Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah SWT. Banyak suri tauladan dalam sejarah
perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase
Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan yang dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang baru
berapa saat itu masih dalam rintisan awal-awal dakwah, harus berhadapan dengan berbagai
bentuk perlawanan, permusuhan, makar, boikot ekonomi, siksaan terhadap individu bahkan
pembunuhan. Secara umum kaum muslimin sungguh menderita waktu itu. Sahabat Bilal
menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam menghadapi siksaan
pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada
Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang
menumbuh suburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.
d) Kemampuan Menjaga Rahasia.
Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan rahasia
bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat penting, apakah untuk
menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga keberlangsungan dakwah.
Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabatpun hanya
segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah SAW untuk menyimpan rahasia.
Adalah Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan shahibus
sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan
tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa
amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh.
Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut
bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”
e) Mengendalikan Nafsu.
Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat dihilangkan tapi
dapat dikendalikan. Allah SWT berfirman :

37
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).
Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah SWT menyebutkan dalam Alqur’an bahwasanya
salah satu ciri orang bertaqwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan
orang lain .

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang
yang berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan.”(QS. 3:133-134).
Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu
ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah emosi,
justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh tersebut, karena
Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap musuh
bukan karena mengharapkan keridaan Allah SWT.
f) Mengakui Kesalahan.
Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul merasakan
sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya apalagi
menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan pihak lain,
tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung jawab. Allah
SWT telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan hidup Nabi
Adam a.s. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat pengampunan Allah
SWT sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni
kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi”. (QS al-A’rof / 7: 23)
g) Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri.
Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan
untuk diperbaiki dan kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin. Jangan terlalu berlebihan
memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada keangkuhan dan kesombongan. Umar bin
Abdul Aziz seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan ada sebutan bahwasanya beliau adalah
khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat berpidato dihadapan rakyatnya: “Aku
bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku
mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam
menunaikan amanah.
38
D Cara Menerapkan Perilaku Syaja’ah

1. Al Iman bil Ghaib (Iman kepada yang Ghaib).


Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy syaja’ah dalam diri seseorang
adalah memperkuat keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti yakin akan pertolongan Allah
SWT. Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang
memperjuangkan agama Allah SWT. Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan
oleh amaliyah kita di dunia ini. Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak
takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam
kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan. Sebagaimana pengalaman
nyata yang menarik dari seorang yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas
kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan: “Mana Tuhanmu, Apakah ia bisa
menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu
berkeping-keping”. Jawab orang itu: “Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka
aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku
mati maka aku pun tidak akan mati”. Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang
ghaib, yakni Allah SWT. Keyakinan semacam ini adalah buah dari pendidikan yang telah tertanam
karena rasa takutnya hanya kepada Allah SWT.
Demikianlah hasil dari proses pendidikan yang panjang, membina seseorang untuk
senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang ghaib. Rasulullah SAW telah
mengingatkan Abu Bakar RA. akan keyakinan pada Rabbul Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah
berada di gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar berkata, Ya Rasulullah, sekiranya salah satu
dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat kita. Nabi SAW. menenangkannya
dengan menyatakan, ‘duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini Cuma berdua. Tidak,
Abu Bakar, kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita. Karena
kemenangan para pejuang bukan ditentukan oleh kekuatan material melainkan kekuatan dari
Yang Maha Perkasa.
2. Al Mujahadah Ala Al Khauf (Menaklukkan Rasa Takut).
Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi. Kenyataan ini
merupakan watak alamiah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh
di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di
bawah khauf yakni takut hanya kepada Allah SWT.
Dengan begitu mereka akan ringan dalam memperjuangkan Islam, tidak maju mundur
lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya. Hal tersebut secara indah dan heroik
terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa AS., Ibrahim AS. dan Muhammad SAW. Rasa takut pada
kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme dan keberanian
Nabi Musa AS. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar
saja Allah SWT memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan
pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu
menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya. Kisah yang tak kalah
mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim as. Rasa takut terhadap
api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takutnya kepada Allah SWT saja. Dan subhanallah,
pertolongan Allah SWT datang dengan perintah-Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk
serta menyelamatkan Nabi Ibrahim AS.
3. Taurits Al Khairiyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik).
Penopang lainnya adalah dengan mempertimbangkan keadaan generasi berikutnya harus
lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-
warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai
akhlaq mulia. Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani maka wariskan sifat
39
berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap
generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik. Abul ‘Ala Al Maududi
menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan
lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan
akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh karena itu Allah
SWT telah mengingatkan agar memperhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan
nilai-nilai kebaikan untuk mereka. Sebagimana firman Allah SWT dalam Q.S. An Nisa’: 9 di atas.
4. As Shabru Ala Ath Tha’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan).
Keberanian akan terus ada pada diri seseorang bila mereka bersabar. Sabar terhadap
peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang
memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat
membandingkan kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan.
Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini.
Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas jalan Islam dengan
gagah berani. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat menasihati Khabbab bin
Al Arts yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan
Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat
tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan
berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh
terdahulu”. Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit. Kesabaran mesti
dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng
dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan dari Allah SWT sebagaimana firmanNya.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
beruntung”. ( Ali Imran: 200)

E Hikmah Sifat Syaja’aah

Adapun hikmah syajaah yaitu:


1. Dapat menempatkan perkataan yang bijak sesuai pada tempatnya.
2. Bertindak secara jujur dimanapun dia berada
3. Tidak ragu-ragu dengan kebenaran yang dia lakukan walaupun harus menghadapi resiko.
4. Dapat menempatkan mujadalah (dialog) sesuai situasi dan kondisi.
5. Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah SWT bahwa kebatilan pasti akan lenyap.

Aktivitas Siswa:
1. Buktikan bahwa syaja’ah itu membawa hikmah bukti kan dengan dalil naqli-nya baik ayat
maupun hadis!

F Hubungan Perilaku Syaja’ah dengan Sifat Jujur

Kejujuran membutuhkan keberanian demikian pula keberanian yang tanpa perhitungan akan
berakibat fatal, karena keberanian adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang jujur dan istiqamah
di jalan Allah SWT. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang jujur, istiqamah dan teguh
pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Perhatikan QS.
Huud/11: 112 berikut :

40
Arti : Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang
telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang
kamu kerjakan.( QS. Huud/11: 112)

Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat tanpa perhitungan dan
pertimbangan. Asy-syaja’ah adalah keberanian yang didasari kejujuran dan pertimbangan matang
dengan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah SWT. Sifat syaja’ah yang disertai dengan
kejujuran akan melahirkan sifat-sifat berikut:
1. Memiliki daya tahan besar.
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk
menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di
jalan Allah.
2. Berterus terang dalam kebenaran.
“Qulil haq walau kaana murran” (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di
hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala resiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
3. Kemampuan menyimpan rahasia.
Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan
terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam. Kemampuan merencanakan dan
mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk
keberanian yang bertanggung jawab.
4. Mengakui kesalahan.
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan, mencari
kambing hitam dan bersikap lempar batu, sembunyi tangan. Sebaliknya orang yang memiliki sifat
syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
5. Bersikap obyektif terhadap diri sendiri.
Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik,
hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap
under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa
dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak
obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik
dan buruk.
6. Menahan nafsu di saat marah.
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah linafsi, melawan nafsu dan amarah.
Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya
kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.
Jadi berani adalah sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam.

Anda mungkin juga menyukai