Secara bahasa kata syaja’ah berasal dari bahasa arab ُ عا ٌ َ شyang berarti berani, gagah.
Menurut istilah: keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan
kebenaran secara jantan dan terpuji. Keberanian yang berlandaskan kebenaran, dilakukan dengan
penuh pertimbangan dan perhitungan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT. Asy Syaja’ah
adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-
ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubn (pengecut atau penakut). Pemberani adalah orang yang
berani membela kebenaran dengan resiko apa pun dan takut untuk berbuat yang tidak benar.
Sebaliknya, penakut adalah orang yang takut membela kebenaran. Jadi berani adalah: “Sikap dewasa
dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan
khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat
maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’).
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung ”.
(QS 3: 200)
Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan apalagi berkaitan dengan
pelecehan nilai agama, tapi sabar justru melahirkan sikap keberanian dalam menjalani perintah
Allah SWT sekaligus berjuang dalam menegakkan agamaNya.
Sikap keberanian di sini tidak melulu terwujud dalam bentuk kebringasan, gagah perkasa,
tapi bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan memaafkan demi kemaslahatan yang lebih besar.
Layaknya suri tauladan yang sangat menyentuh yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika
dakwahnya ditolak oleh penduduk Thaif bahkan dalam bentuk kekerasan. Namun, keberanian
Rasulullah SAW untuk memaafkan walaupun sungguh berat, karena pandangannya yang jauh ke
depan, membuat azab yang akani ditimpakan pada penduduk Thaif tak jadi diturunkan. Dan
buah dari kesabaran tersebut terwujud dengan berimannya penduduk Thaif dikemudian hari.
3. Mewariskan Hal yang Terbaik
Kita semua ini adalah produk masa lalu, hasil didikan berbagai pihak bermula mungkin orang
tua, keluarga, guru, lingkungan dan seterusnya. Sehingga sedikit banyak karakter yang kita miliki
sekarang ini adalah buah dari pendidikan orang-orang yang terdahulu. Jika pendidikan itu baik,
akan menghasilkan generasi yang baik. Begitu juga dengan kedepannya, kita adalah bagian dari
orang yang akan mewarisi generasi masa depan. Karena perjuangan dakwah adalah perjuangan
sampai akhir zaman, bukan satu generasi saja. Sehingga menyiapkan generasi baru yang kuat,
adalah keharusan bagi keberlangsungan dakwah. Selain itu generasi yang kuat dan mandiri akan
lebih berpeluang melahirkan karakter pemberani.
Perumpamaan orang-orang yang hidup dibawah belas kasihan orang lain, atau orang yang
meminta-minta, bisa jadi akan berkurang keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran
terutama kepada pihak dimana dia meminta-minta atau mendapat belas kasihan. Allah SWT
berfirman :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
35
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (QS an-Nisa/4: 9)
Nubuwah terkait penaklukan Konstantinopel yang disampaikan Rasullullah SAW menjadikan
kaum muslimin pada masanya dan setelahnya berharap bisa menjadi orang yang disebutkan
Rasulullah SAW menjadi tokoh utama penakluknya atau anak keturunannya, atau mungkin
menjadi bagian barisan tentaranya. Dan pada akhirnya panglima Al Fatih bersama para
tentaranya yang berhasil menaklukan kota tersebut baru muncul beberapa abad setelah
penyampaian nubuwah tersebut. Dalam kisahnya, beliau telah dipersiapkan semenjak dini
berupa penanaman karakter, akhlak ilmu dan seterusnya. Bagaimana dengan masa kini? Janji
Allah SWT akan kembalinya kekuatan besar kaum muslimin menguasai dunia sebelum akhir
zaman, semoga memotivasi kita untuk mempersiapkan generasi penerus yang semoga menjadi
bagian menuju kebangkitan umat Islam, walaupun mungkin tidak hidup dimasa kejayaan
tersebut nantinya.
C Bentuk-bentuk Syaja’ah
Artinya : “dan berperang lah kamu di jalan Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui “ ( Qs. al- Baqarah: 244)
2. Syaja’ah nafsiyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan
kebenaran. Keberanian mengatakan kebenaran sekalipun didepan penguasa yang zalim. Dari
Abu Sa’id Al Khudri, NabiMuhammad saw bersabda :
Artinya “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”(Q.S. An-
Nazia’at 40- 41.)
Dari dua macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat dituangkan dalam
beberapa bentuk, yakni :
a) Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii sabililah).
Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat diambil,
mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan akhirat. Sehingga
ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi. Lihat firman Allah SWT berikut :
36
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau
hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali
dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat
buruklah tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).
b) Berani menegakkan kebenaran.
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi
dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi
sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi SAW melalui hadits riwayat Ibnu Hibban. ‘ Qulil haq
walau kaana murran ’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan
penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang zhalim”.
(Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)
c) Memiliki daya tahan yang besar.
Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah SWT. Banyak suri tauladan dalam sejarah
perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase
Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan yang dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang baru
berapa saat itu masih dalam rintisan awal-awal dakwah, harus berhadapan dengan berbagai
bentuk perlawanan, permusuhan, makar, boikot ekonomi, siksaan terhadap individu bahkan
pembunuhan. Secara umum kaum muslimin sungguh menderita waktu itu. Sahabat Bilal
menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam menghadapi siksaan
pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada
Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang
menumbuh suburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.
d) Kemampuan Menjaga Rahasia.
Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan rahasia
bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat penting, apakah untuk
menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga keberlangsungan dakwah.
Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabatpun hanya
segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah SAW untuk menyimpan rahasia.
Adalah Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan shahibus
sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan
tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa
amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh.
Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut
bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”
e) Mengendalikan Nafsu.
Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat dihilangkan tapi
dapat dikendalikan. Allah SWT berfirman :
37
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).
Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah SWT menyebutkan dalam Alqur’an bahwasanya
salah satu ciri orang bertaqwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan
orang lain .
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang
yang berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan.”(QS. 3:133-134).
Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu
ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah emosi,
justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh tersebut, karena
Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap musuh
bukan karena mengharapkan keridaan Allah SWT.
f) Mengakui Kesalahan.
Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul merasakan
sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya apalagi
menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan pihak lain,
tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung jawab. Allah
SWT telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan hidup Nabi
Adam a.s. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat pengampunan Allah
SWT sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni
kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi”. (QS al-A’rof / 7: 23)
g) Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri.
Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan
untuk diperbaiki dan kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin. Jangan terlalu berlebihan
memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada keangkuhan dan kesombongan. Umar bin
Abdul Aziz seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan ada sebutan bahwasanya beliau adalah
khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat berpidato dihadapan rakyatnya: “Aku
bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku
mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam
menunaikan amanah.
38
D Cara Menerapkan Perilaku Syaja’ah
Aktivitas Siswa:
1. Buktikan bahwa syaja’ah itu membawa hikmah bukti kan dengan dalil naqli-nya baik ayat
maupun hadis!
Kejujuran membutuhkan keberanian demikian pula keberanian yang tanpa perhitungan akan
berakibat fatal, karena keberanian adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang jujur dan istiqamah
di jalan Allah SWT. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang jujur, istiqamah dan teguh
pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Perhatikan QS.
Huud/11: 112 berikut :
40
Arti : Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang
telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang
kamu kerjakan.( QS. Huud/11: 112)
Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat tanpa perhitungan dan
pertimbangan. Asy-syaja’ah adalah keberanian yang didasari kejujuran dan pertimbangan matang
dengan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah SWT. Sifat syaja’ah yang disertai dengan
kejujuran akan melahirkan sifat-sifat berikut:
1. Memiliki daya tahan besar.
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk
menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di
jalan Allah.
2. Berterus terang dalam kebenaran.
“Qulil haq walau kaana murran” (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di
hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala resiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
3. Kemampuan menyimpan rahasia.
Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan
terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam. Kemampuan merencanakan dan
mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk
keberanian yang bertanggung jawab.
4. Mengakui kesalahan.
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan, mencari
kambing hitam dan bersikap lempar batu, sembunyi tangan. Sebaliknya orang yang memiliki sifat
syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
5. Bersikap obyektif terhadap diri sendiri.
Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik,
hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap
under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa
dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak
obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik
dan buruk.
6. Menahan nafsu di saat marah.
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah linafsi, melawan nafsu dan amarah.
Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya
kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.
Jadi berani adalah sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam.