Keimanan kepada Allah swt, hari akhir dan kepada Qadha’-Qadar misalnya akan
menjadikan seseorang merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa siapa saja yang
berada di jalan Allah swt. berarti berada pada jalan kebenaran. Kematian di jalan
Allah swt hanyalah mempercepat kerinduannya untuk bertemu Allah swt dan
menikmati surga-Nya serta mati atau hidup itu sudah ada ketentuannya di sisi Allah
swt. Betapa pun seseorang selalu berhadapan dengan mara bahaya, namun, jika
Allah swt belum menakdirkannya meninggal, ia tidak akan meninggal. Bukankah
Khalid bin Al Walid, seorang sahabat Rasul saw yang piawai dalam berperang pada
tubuhnya ada lebih dari 70 luka antara tusukan dan sabetan, namun, meninggal di
atas pembaringan, bukan di medan laga. Sebaliknya ada seorang yang sedang asyik-
asyiknya menikmati rokok di dalam kamarnya, menikmati hangatnya kopi yang
dihidangkan istrinya, namun toh ia meninggal tertembus roket nyasar saat gudang
peluru Cilandak meledak pada sekitar tahun 1984 M, padahal tempat tinggalnya,
cukup jauh dari lokasi ledakan.
Perwujudan sifat Syaja’ah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bisa
bermacam-macam, tidak mesti dalam medan pertempuran atau medan laga. Imam
Syahid Hasan Al Banna rahimahullah menyebutkan bahwa Syaja’ah bisa
terwujudkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
Ali bin Abu Thalib bercerita, "Semua hijrah sembunyi-sembunyi kecuali Umar ibn Khattab. Saat
hendak hijrah, dia menyandangkan busur panahnya dan mendatangi Ka'bah saat orang-orang
Quraisy berada sekitar itu. Umar bertawaf tujuh kali, shalat dua rakaat, lalu mendatangi
kelompok orang Quraisy satu demi satu sambil berkata, 'Wahai wajah yang muram! Barang siapa
ingin ibunya kehilangan anaknya, dan anaknya menjadi yatim, atau istrinya menjadi janda,
temuilah aku di belakang bukit itu besok pagi.' "
Pengertian
ُ berani, gagah secara etimologinya
ٌش َجاع
Menurut istilah: keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan
kebenaran secara jantan dan terpuji.
Asy Syaja’ah adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri
berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut atau penakut). Pemberani adalah orang yang
berani membela kebenaran dengan resiko apa pun dan takut untuk berbuat yang tidak benar.
Sebaliknya, penakut adalah orang yang takut membela kebenaran.
Landasan Keberanian
Dalam kisah hijrah Rasullullah dan Abu Bakr ke Madinah, sesampai di gua Tsur keadaan
mencekam dirasakan Abu Bakar, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat
betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.” Rasulullah SAW. menenangkannya dengan
menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar.
Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.”
Sikap keberanian yang ditunjukkan Rasulullah disaat tidak ada lagi pertolongan apa-apa selain
Allah, adalah pengejewantahan keimanan yang begitu kuat. Sekiranya iman lemah, mungkin akan
mendatangkan kepanikan.
Kisah pembakaran Nabi Ibrahim a.s. menujukkan bahwa rasa takut manusiawi terhadap api dan
terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah,
pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Diantara turunan sikap dari keimanan yang kokoh adalah berupa hanya menggantungkan
harapan kepada Allah dan juga sikap tawakkal yang benar, sehingga menimbulkan sikap berani
dalam diri seseorang dalam menghadapi segalam macam situasi dan tantangan.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”.
(QS 3: 200)
Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan apalagi berkaitan dengan
pelecehan nilai agama, tapi sabar justru melahirkan sikap keberanian dalam menjalani perintah
Allah sekaligus berjuang dalam menegakkan kalimat Allah. Sikap keberanian di sini tidak melulu
terwujud dalam bentuk kebringasan, gagah perkasa, tapi bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan
memaafkan demi kemaslahatan yang lebih besar. Layaknya suri tauladan yang sangat menyentuh
oleh Rasulullah, ketika dakwah nya di tolak di Taif yang sampai pada bentuk kekerasan. Namun,
keberanian Rasulullah untuk memaafkan walaupun sungguh berat waktu itu ujiannya, karena
pandangan jauh ke depan, membuat azab yang bisa jadi ditimpakan pada Taif tak jadi diturunkan.
Dan buah dari kesabaran tersebut terwujud dengan ber Islam nya penduduk Taif kemudian hari.
Keimanan yang kuat akan menumbuhkan kecintaan yang lebih pada akhirat dari pada kehidupan
dunia.
Kita dalam tanda kutip adalah produk masa lalu, hasil didikan berbagai pihak bermula mungkin
orang tua, keluarga, guru, lingkungan dan seterusnya. Sehingga sedikit banyaknya karakter yang
kita miliki sekarang ini adalah buah dari pendidikan orang-orang yang terdahulu. Jika pendidikan
yang itu baik, akan menghasilkan generasi yang baik. Begitu juga dengan kedepannya, kita adalah
bagian dari orang yang akan mewarisi generasi masa depan. Karena perjuangan dakwah adalah
perjuangan sampai akhir zaman, bukan satu generasi saja. Sehingga menyiapkan generasi baru
yang kuat, adalah keharusan bagi keberlangsungan dakwah.
Selain itu generasi yang kuat dan mandiri akan lebih berpeluang melahirkan karakter pemberani.
Perumpamaan orang-orang yang hidup dibawah belas kasihan orang lain, atau orang yang
meminta-minta, bisa jadi akan berkurang keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran
terutama kepada pihak dimana dia meminta-minta atau mendapat belas kasihan.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (QS 4: 9)
Nubuwah terkait penaklukan konstantinopel yang disampaikan Rasullullah menjadikan kaum
muslimin pada masanya dan setelahnya berharap bisa menjadi orang yang disebutkan Rasulullah
menjadi tokoh utama penakluknya atau anak keturunannya, atau mungkin menjadi bagian
barisan tentaranya. Dan pada akhirnya panglima Al Fatih bersama para tentaranya yang berhasil
menaklukan baru muncul berabad setelah penyampaian nubuwah tersebut. Dalam kisahnya,
beliau telah dipersiapkan semenjak dini berupa penanaman karakter, akhlak ilmu dan seterusnya.
Bagaimana dengan masa kini? Janji Allah akan kembalinya kekuatan besar kaum muslimin
mneguasai dunia sebelum akhir zaman, semoga memotivasi kita untuk mempersiapkan generasi
penerus yang semoga menjadi bagian menuju kebangkitan umat Islam, walaupun mungkin tidak
hidup dimasa kejayaan tersebut nantinya.
1- Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii sabililah)
Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat diambil,
mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan akhirat. Sehingga
ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah
tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi
dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi
sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw melalui Hadits Riwayat Ibnu Hibban. ‘Qulil haq
walau kaana muuran ’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan
penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang zhalim”.
(Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)
Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di masa-masa
awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan yang dirasakan
kaum muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu, masih dalam rintisan awal-awal dakwah,
harus dihadapi berbagai bentuk perlawanan, permusuhan, makar. Boikot ekonomi, siksaan
terhadap individu bahkan pembunuhan. Secara umum kaum muslimin sungguh menderita waktu
itu.
Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam menghadapi
siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan aqidah hingga mati
nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam
yang menumbuh suburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.
Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan rahasia
bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat penting, apakah untuk
menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga keberlangsungan dakwah.
Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabat pun hanya
segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk menyimpan rahasia. Adalah
Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan shahibus sirri. Dia
dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung
jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat.
Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang
pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akan
tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”
5- Mengendalikan Nafsu
Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat dihilangkan tapi
dapat dikendalikan.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).
Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an bahwasanya salah satu
ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain .
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang yang
berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS.
3:133-134).
“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu
ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah emosi,
justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh tersebut, karena Ali
takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap musuh bukan
karena mengharapkan keridaan Allah.
6- Mengakui Kesalahan
Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul merasakan
sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya apalagi
menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan pihak lain,
tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung jawab.
Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan hidup Nabi
Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat pengampunan Allah
sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni
kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi”. (QS 7: 23)
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah Harun Al Rasyid. Alkisah
pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana lazimnya penguasa yang
ada sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk untuk umum. Pada saat
Khalifah melakukan sa'i antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri, sambil disaksikan, ribuan
jamaah haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke tempat sa'i. Sesampainya di Shofa,
kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah beliau, "Haruuuun...!", tanpa menyebut
embel-embel kekhalifahan. Mendengar jeritan tadi, seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut
melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika
ya 'amm".
"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana ?". "Tidak ada
yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah. "Ketahuilah, setiap orang dari mereka
akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu akan diminta
pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah kepada dirimu,
apakah pantas engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan Abdullah bin Abdul
Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui kesalahan yang beliau lakukan. [5]
Sikap Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri juga mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam
kebenaran, meskipun harus disampaikan pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.
Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan untuk
diperbaiki semaksimal mungkin dan kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin. Jangan terlalu
berlebihan memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada keangkuhan dan kesombongan.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan ada sebutan bahwasanya
beliau adalah khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat berpidato dihadapan
rakyatnya: “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian
akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah
diriku dalam menunaikan amanah ini.”
Penutup
Banyak kisah-kisah dulu dan sekarang yang mencerminkan keberanian hakiki untuk ditauladani,
semoga kita semua bisa memilikinya dan mewariskannya pada generasi penerus. Wallahu ‘alam.
*Jika terdapat kesalahan atau kekeliruan, penulis dengan senang hati menerima koreksi,
masukan dan perbaikan.
Referensi
[1] Dikutip dari buku Kisah Hidup Umar, hal 31, karya Dr. Musthafa Murad Penerbit Zaman.
https://books.google.com.sa
[2] http://www.slideshare.net/fuad_ar_rhizma/syajaah
[3] http://oasetarbiyah.blogspot.com/2008/05/asy-syajaah-keberanian.html
[4] Berani Membela Kebenaran: Seri Pendidikan Karakter Islami, oleh Dr. Marzuki , M.Ag
[5] http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/tarbiyah3/tarbiyah/tar-0132.htm
[6] http://www.nanangwahidin.com/2014/09/makalah-hadits-tarbawi-sopan-dan-perwira.html
[7] http://www.dakwatuna.com/2008/05/27/673/berani-di-jalan-dakwah/#axzz3W8pOB0IM
[8] http://www.slideshare.net/fafapie/syajaah-dan-tawadhu
Syaja'ah
1. 1. Menegakkan Kebenaran
2. 2. Arti Syaja’ah? • Etimologi: Syaja’ah berarti “benar”atau “gagah” • Istilah:
Keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan
kebenaran secara jantan dan terpuji Jadi Syaja’ah adalah: keberanian yang
berlandaskan kebenaran dan dilakukan dgn penuh petimbangan
3. 3. Dalil Al-Qur’an • ينام وق وانوك وانمآ َينذال اهيأ َ ب
اي ْ۞ول َو ّلل َءادهش طسقالىلع ۚ َينب َرق ال َو ّنيدلا َوال وأ مكسفنأ اللف
ايرقف وأًاينغ نكي نإىل وأ ولدعت نأ ى َوهال واعبتت ََّ لف ۖ امهبإف واض رعت وأ
Wahai orang-orang yang beriman, “ • وا ُولت نإ َو ۚ ا الل ن َونلمعت امب َانكايربخ
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika
ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang
. kamu kerjaan." (QS. An Nisaa 4: 135)
4. 4. Dalil-Dalil • "Rasa takut (segan) terhadap manusia jangan sampai menghalangi
kamu untuk menyatakan apa yang sebenarnya jika memang benar kamu
melihatnya, menyaksikannya atau mendengarnya." (HR. Ahmad) • Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban, "Janganlah takut berada di jalan Allah terhadap celaan orang
yang suka mencela." Aku berkata, "Tambah lagi ya Rasulullah." Beliau
melanjutkan pesannya, "Katakanlah apa yang hak meskipun akibatnya terasa
pahit."
5. 5. Ciri-Ciri Syaja’ah? 1. Tidak mundur kalau dicela 2. Tidak mencari pujian 3.
Terus terang mengakui kesalahan 4. Tabah menghadapi penderitaan 5. Sabar
meghadapi masalah 6. Berpendirian tetap 7. Bersemangat tinggi
6. 6. Balasan? َّ الل َ يHai • وارصنت نإ وانمآ َينذال اهيأ ايكمادقأ ّّتبي َو مك رصنم
orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
. menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad 47 : 7)
7. 7. Hikmah... • Kekuatan yang ada dalam diri kita melahirkan keberanian •
Menjadikan diri yang memiliki sikap istiqomah di jalan Allah • Membuat kita
lebih dekat lagi dengan Allah dan lebih mengenal lagi akan diriNya