Anda di halaman 1dari 20

Sya'jaah

Dikutip dari Taujihat Tarbawiyah

Secara sederhana, syaja’ah biasa diartikan berani. Bila hendak didefinisikan


dengan lebih luas, Syaja’ah dikatakan sebagai kemampuan menundukkan jiwa agar
tetap tegar dan teguh serta tetap maju saat berhadapan dengan musuh atau musibah.
Istilah yang berdekatan dengan saja’ah adalah jur’ah. Sinomin lainnya adalah
iqdam. Syaja’ah adalah sifat pertengahan (wasath) antara jubn (penakut, pengecut)
dan tahawwur (berani tanpa perhitungan). Imam Syahid Hasan Al Banna
mendefinisikan Syaja’ah sebagai ‘azhimul ihtimal (besarnya daya pikul dan daya
tahan). Sifat Syaja’ah seperti ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan
seseorang kepada Allah swt, hari akhir, malaikat, nabi dan rasul dan kepada qadha’
dan qadar Allah swt.

Keimanan kepada Allah swt, hari akhir dan kepada Qadha’-Qadar misalnya akan
menjadikan seseorang merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa siapa saja yang
berada di jalan Allah swt. berarti berada pada jalan kebenaran. Kematian di jalan
Allah swt hanyalah mempercepat kerinduannya untuk bertemu Allah swt dan
menikmati surga-Nya serta mati atau hidup itu sudah ada ketentuannya di sisi Allah
swt. Betapa pun seseorang selalu berhadapan dengan mara bahaya, namun, jika
Allah swt belum menakdirkannya meninggal, ia tidak akan meninggal. Bukankah
Khalid bin Al Walid, seorang sahabat Rasul saw yang piawai dalam berperang pada
tubuhnya ada lebih dari 70 luka antara tusukan dan sabetan, namun, meninggal di
atas pembaringan, bukan di medan laga. Sebaliknya ada seorang yang sedang asyik-
asyiknya menikmati rokok di dalam kamarnya, menikmati hangatnya kopi yang
dihidangkan istrinya, namun toh ia meninggal tertembus roket nyasar saat gudang
peluru Cilandak meledak pada sekitar tahun 1984 M, padahal tempat tinggalnya,
cukup jauh dari lokasi ledakan.
Perwujudan sifat Syaja’ah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bisa
bermacam-macam, tidak mesti dalam medan pertempuran atau medan laga. Imam
Syahid Hasan Al Banna rahimahullah menyebutkan bahwa Syaja’ah bisa
terwujudkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

1. Ash-Sharahah fil haq (terus terang dalam kebenaran), tidak plin-plan


(sesekali mengatakan begini dan pada kali lainnya mengatakan begitu).
2. Kitmanus-sirr (menyembunyikan rahasia, tidak membukanya, apalagi
menyebarluaskannya). Apapun yang dia hadapi dalam menyimpan rahasia
itu, ia tetap mempertahankannya, sepatah pun tidak mengatakannya.
3. Al I’tiraf bil khatha’ (mengakui kesalahan), tidak lempar batu sembunyi
tangan, menutupi kesalahan apalagi mengemasnya dengan kemasan-
kemasan kebenaran.
4. Al Inshaf minan-nafs (Obyektif terhadap diri sendiri), dan
5. Milkun-nafsi ‘indal ghadhab (menahan nafsu saat marah), hati boleh panas,
telinga boleh merah, akan tetapi, akal pikiran tetap jernih dan memilih cara
mengekspresikan kemarahannya dalam bentuk yang paling tepat.

Kalau kita membuka-buka lembaran kehidupan para anbiya’, mursalin, sahabat,


tabi’in dan para ulama’, kita akan menemukan banyak sekali contoh-contoh
syaja’ah mereka yang bisa kita jadikan suri teladan. Di antaranya adalah sikap
Imam Nawawi rahimahullah. Berikut ini adalah penggalan kisahnya: Pada masa
Imam Nawawi rahimahullah, penguasa saat itu hendak meminta sumbangan dari
rakyat untuk pembiayaan perang melawan pasukan Mongol Tartar. Pada saat itu,
rakyat sedang dalam masa paceklik dan terjerat kemiskinan. Menurut hukum fiqih,
negara memang dibenarkan meminta sumbangan dari rakyat jika anggaran negara
tidak mencukupi. Terlebih lagi hal ini dilakukan penguasa dalam rangka berperang
membela rakyat dari ancaman pasukan Mongol Tartar yang sangat terkenal
keganasannya.
Imam Nawawi rahimahullah adalah seorang ulama’ Syafi’i terkenal. Sepintas lalu,
apa yang diinginkan oleh penguasa saat itu ada benarnya menurut hukum fiqih.
Namun Imam Nawawi yang memiliki ketajaman fiqih ahkam dan fiqih waqi’
melihat bahwa apa yang diinginkan oleh penguasa saat itu adalah sesuatu yang salah
dan munkar. Maka beliau berdiri di hadapan penguasa itu dan menentang kehendak
sang penguasa. Beliau mengatakan, “Meminta sumbangan dari rakyat baru
dibenarkan secara fiqih jika penguasa telah mengambil semua harta yang ada di
tangan para pejabat negara dan keluarganya. Jika hasil penarikan harta dari para
pejabat yang korup itu masih belum mencukupi, barulah negara boleh meminta
sumbangan dari rakyat. Namun sebelum itu, meminta sumbangan seperti yang
dimaksud penguasa tidaklah sah, dan merupakan perbuatan zhalim.
Ada lagi kisah menarik lainnya dari kisah Imam Nawawi, yaitu kisah Imam Al ‘Izz
bin Abdus-Salam. Pada masa beliau, terjadi kudeta yang dilakukan oleh pasukan
elit penguasa sebelumnya. Pasukan elit ini adalah para budak yang dibeli dari
kawasan Turki, mereka dididik secara khusus, baik dari sisi kemiliteran maupun
dari sisi agama. Saat itu rezim yang ada sangatlah lemah, sedangkan pasukan elit
yang terdiri dari para budak yang sangatlah kuat dalam dua sisi, sisi komitmen
moral agama dan sisi kemiliteran, dan bahkan dalam ilmu pemerintahan.
Melihat kelemahan yang ada pada pemerintahannya, habislah kesabaran para budak
yang menjadi pasukan elit itu. Mereka pun melakukan kudeta dalam rangka
menyelamatkan negara dari berbagai ancaman luar maupun dalam. Namun mereka
lupa bahwa diri mereka adalah budak. Jangankan untuk memimpin negara yang
sangat komplek permasalahannya, untuk memiliki harta saja, secara hukum,
mereka tidak dibenarkan. Saat pasukan elit itu meminta bai’at dari rakyat, sebagai
sumpah setia mereka terhadap pimpinan baru ini, Al Imam Al ‘Izz bin Abdus-Salam
berdiri dan mengatakan, “Bai’at tidak boleh dan tidak sah dilakukan terhadap
mereka”. Melihat sikap tegas ini, pasukan elit itu hampir saja membunuh Al Imam
Al ‘Izz bin Abdus-Salam. Namun, karena segan pada ketokohan sang Imam,
mereka pun bertanya, “Apa maumu wahai Imam? Sang Imam berkata, “Saya tidak
memiliki kemauan apa-apa, hanya saja, kalian adalah para budak, dan budak tidak
boleh menjadi pemimpin, apalagi mengambil bai’at, oleh karena itu, kalau kalian
ingin menjadi pemimpin, kalian harus mau kami jual di pasar, lalu, sang pembeli
itu memerdekakan kalian, setelah kalian menjadi manusia merdeka, barulah bai’at
itu sah”.
Maka mereka pun oleh sang Imam dibawa ke pasar untuk dijual, dan dimerdekakan,
dan selanjutnya dibaiat menjadi pimpinan negara. Semenjak saat itulah sang Imam
dikenal dengan gelar Sulthanul Auliya’ wa ba-I’ul Umara’ (Sultan para ulama’ dan
Penjual para penguasa).
Kemungkaran tidaklah berhenti pada zaman Imam Al ‘Izz bin Abdis-Salam dan
pada Imam Nawawi. Namun, sampai hari ini, dan bahkan sampai hari kiamat,
kemungkaran selalu akan bermunculan. Yang menjadi pertanyaan penting,
“Adakah akan terulang nama-nama harum Imam Nawawi dan Imam Al ‘Izz bin
Abdus-Salam?!” Kualitas keimanan umat Islamlah yang akan menjawabnya

Tinjauan dan bahasan materi tentang


Asy-Syaja’ah (Keberanian)
"Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita" (QS 9: 40)

Ali bin Abu Thalib bercerita, "Semua hijrah sembunyi-sembunyi kecuali Umar ibn Khattab. Saat
hendak hijrah, dia menyandangkan busur panahnya dan mendatangi Ka'bah saat orang-orang
Quraisy berada sekitar itu. Umar bertawaf tujuh kali, shalat dua rakaat, lalu mendatangi
kelompok orang Quraisy satu demi satu sambil berkata, 'Wahai wajah yang muram! Barang siapa
ingin ibunya kehilangan anaknya, dan anaknya menjadi yatim, atau istrinya menjadi janda,
temuilah aku di belakang bukit itu besok pagi.' "

Pengertian
ُ berani, gagah secara etimologinya
ٌ‫ش َجاع‬

Menurut istilah: keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan
kebenaran secara jantan dan terpuji.

Keberanian yang berlandaskan kebenaran, dilakukan dengan penuh pertimbangan dan


perhitungan untuk mengharapkan keridhaan Allah.

Asy Syaja’ah adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri
berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).

Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut atau penakut). Pemberani adalah orang yang
berani membela kebenaran dengan resiko apa pun dan takut untuk berbuat yang tidak benar.
Sebaliknya, penakut adalah orang yang takut membela kebenaran.

Landasan Keberanian

1- Iman yang kokoh

Dalam kisah hijrah Rasullullah dan Abu Bakr ke Madinah, sesampai di gua Tsur keadaan
mencekam dirasakan Abu Bakar, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat
betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.” Rasulullah SAW. menenangkannya dengan
menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar.
Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.”

Sikap keberanian yang ditunjukkan Rasulullah disaat tidak ada lagi pertolongan apa-apa selain
Allah, adalah pengejewantahan keimanan yang begitu kuat. Sekiranya iman lemah, mungkin akan
mendatangkan kepanikan.

Kisah pembakaran Nabi Ibrahim a.s. menujukkan bahwa rasa takut manusiawi terhadap api dan
terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah,
pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.

Diantara turunan sikap dari keimanan yang kokoh adalah berupa hanya menggantungkan
harapan kepada Allah dan juga sikap tawakkal yang benar, sehingga menimbulkan sikap berani
dalam diri seseorang dalam menghadapi segalam macam situasi dan tantangan.

2- Bersabar Terhadap Ketaatan


Jalan kebenaran itu pasti tidak akan mulus, gampang. Jika mulus dan gampang saja yang dialami,
justru harus dipertanyakan, apakah benar dalam jalan kebenaran? Banyak tantangan, baik dari
dalam diri sendiri berupa hawa nafsu, maupun godaan syaithan yang tak akan pernah berhenti
sampai akhir hayat, atau godaan manusia lainnya yang ingin menjerumuskan pada kebatilan.
Semua itu akan selalu dihadapi, kondisi hidup yang sedang dihadapi, semisal himpitan masalah
ekonomi, musibah dan lainnya bisa jadi melunturkan semangat. Tetapi, itulah memang jalan yang
harus dihadapi. Bersabar adalah kunci, mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan.
Sabar jugalah jalan yang ditempuh para Rasul dan Nabi, salafus shaleh. Sehingga kita pun mesti
berjuang dengan penuh kesabaran untuk menjalani ketaatan kepada Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”.
(QS 3: 200)

Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan apalagi berkaitan dengan
pelecehan nilai agama, tapi sabar justru melahirkan sikap keberanian dalam menjalani perintah
Allah sekaligus berjuang dalam menegakkan kalimat Allah. Sikap keberanian di sini tidak melulu
terwujud dalam bentuk kebringasan, gagah perkasa, tapi bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan
memaafkan demi kemaslahatan yang lebih besar. Layaknya suri tauladan yang sangat menyentuh
oleh Rasulullah, ketika dakwah nya di tolak di Taif yang sampai pada bentuk kekerasan. Namun,
keberanian Rasulullah untuk memaafkan walaupun sungguh berat waktu itu ujiannya, karena
pandangan jauh ke depan, membuat azab yang bisa jadi ditimpakan pada Taif tak jadi diturunkan.
Dan buah dari kesabaran tersebut terwujud dengan ber Islam nya penduduk Taif kemudian hari.

Keimanan yang kuat akan menumbuhkan kecintaan yang lebih pada akhirat dari pada kehidupan
dunia.

3- Mewariskan Hal yang Terbaik

Kita dalam tanda kutip adalah produk masa lalu, hasil didikan berbagai pihak bermula mungkin
orang tua, keluarga, guru, lingkungan dan seterusnya. Sehingga sedikit banyaknya karakter yang
kita miliki sekarang ini adalah buah dari pendidikan orang-orang yang terdahulu. Jika pendidikan
yang itu baik, akan menghasilkan generasi yang baik. Begitu juga dengan kedepannya, kita adalah
bagian dari orang yang akan mewarisi generasi masa depan. Karena perjuangan dakwah adalah
perjuangan sampai akhir zaman, bukan satu generasi saja. Sehingga menyiapkan generasi baru
yang kuat, adalah keharusan bagi keberlangsungan dakwah.

Selain itu generasi yang kuat dan mandiri akan lebih berpeluang melahirkan karakter pemberani.
Perumpamaan orang-orang yang hidup dibawah belas kasihan orang lain, atau orang yang
meminta-minta, bisa jadi akan berkurang keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran
terutama kepada pihak dimana dia meminta-minta atau mendapat belas kasihan.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (QS 4: 9)
Nubuwah terkait penaklukan konstantinopel yang disampaikan Rasullullah menjadikan kaum
muslimin pada masanya dan setelahnya berharap bisa menjadi orang yang disebutkan Rasulullah
menjadi tokoh utama penakluknya atau anak keturunannya, atau mungkin menjadi bagian
barisan tentaranya. Dan pada akhirnya panglima Al Fatih bersama para tentaranya yang berhasil
menaklukan baru muncul berabad setelah penyampaian nubuwah tersebut. Dalam kisahnya,
beliau telah dipersiapkan semenjak dini berupa penanaman karakter, akhlak ilmu dan seterusnya.

Bagaimana dengan masa kini? Janji Allah akan kembalinya kekuatan besar kaum muslimin
mneguasai dunia sebelum akhir zaman, semoga memotivasi kita untuk mempersiapkan generasi
penerus yang semoga menjadi bagian menuju kebangkitan umat Islam, walaupun mungkin tidak
hidup dimasa kejayaan tersebut nantinya.

Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah

1- Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii sabililah)

Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat diambil,
mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan akhirat. Sehingga
ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah
tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).

2- Berani menegakkan kebenaran

Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi
dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi
sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw melalui Hadits Riwayat Ibnu Hibban. ‘Qulil haq
walau kaana muuran ’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan
penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.

"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang zhalim”.
(Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)

3- Memiliki Daya Tahan Yang Besar

Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di masa-masa
awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan yang dirasakan
kaum muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu, masih dalam rintisan awal-awal dakwah,
harus dihadapi berbagai bentuk perlawanan, permusuhan, makar. Boikot ekonomi, siksaan
terhadap individu bahkan pembunuhan. Secara umum kaum muslimin sungguh menderita waktu
itu.

Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam menghadapi
siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan aqidah hingga mati
nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam
yang menumbuh suburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.

4- Kemampuan Menjaga Rahasia

Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan rahasia
bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat penting, apakah untuk
menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga keberlangsungan dakwah.

Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabat pun hanya
segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk menyimpan rahasia. Adalah
Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan shahibus sirri. Dia
dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung
jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat.
Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang
pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akan
tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”

5- Mengendalikan Nafsu

Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat dihilangkan tapi
dapat dikendalikan.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).

Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an bahwasanya salah satu
ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain .
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang yang
berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS.
3:133-134).

“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu
ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah emosi,
justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh tersebut, karena Ali
takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap musuh bukan
karena mengharapkan keridaan Allah.

6- Mengakui Kesalahan

Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul merasakan
sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya apalagi
menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan pihak lain,
tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung jawab.

Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan hidup Nabi
Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat pengampunan Allah
sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni
kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi”. (QS 7: 23)

Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah Harun Al Rasyid. Alkisah
pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana lazimnya penguasa yang
ada sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk untuk umum. Pada saat
Khalifah melakukan sa'i antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri, sambil disaksikan, ribuan
jamaah haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke tempat sa'i. Sesampainya di Shofa,
kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah beliau, "Haruuuun...!", tanpa menyebut
embel-embel kekhalifahan. Mendengar jeritan tadi, seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut
melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika
ya 'amm".
"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana ?". "Tidak ada
yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah. "Ketahuilah, setiap orang dari mereka
akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu akan diminta
pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah kepada dirimu,
apakah pantas engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan Abdullah bin Abdul
Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui kesalahan yang beliau lakukan. [5]
Sikap Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri juga mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam
kebenaran, meskipun harus disampaikan pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.

7- Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri

Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan untuk
diperbaiki semaksimal mungkin dan kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin. Jangan terlalu
berlebihan memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada keangkuhan dan kesombongan.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan ada sebutan bahwasanya
beliau adalah khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat berpidato dihadapan
rakyatnya: “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian
akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah
diriku dalam menunaikan amanah ini.”

Penutup

Banyak kisah-kisah dulu dan sekarang yang mencerminkan keberanian hakiki untuk ditauladani,
semoga kita semua bisa memilikinya dan mewariskannya pada generasi penerus. Wallahu ‘alam.

*Jika terdapat kesalahan atau kekeliruan, penulis dengan senang hati menerima koreksi,
masukan dan perbaikan.

Referensi

[1] Dikutip dari buku Kisah Hidup Umar, hal 31, karya Dr. Musthafa Murad Penerbit Zaman.
https://books.google.com.sa

[2] http://www.slideshare.net/fuad_ar_rhizma/syajaah

[3] http://oasetarbiyah.blogspot.com/2008/05/asy-syajaah-keberanian.html

[4] Berani Membela Kebenaran: Seri Pendidikan Karakter Islami, oleh Dr. Marzuki , M.Ag

[5] http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/tarbiyah3/tarbiyah/tar-0132.htm

[6] http://www.nanangwahidin.com/2014/09/makalah-hadits-tarbawi-sopan-dan-perwira.html

[7] http://www.dakwatuna.com/2008/05/27/673/berani-di-jalan-dakwah/#axzz3W8pOB0IM

[8] http://www.slideshare.net/fafapie/syajaah-dan-tawadhu
Syaja'ah

1. 1. SYAJA’AH (Berani Membela Kebenaran) Oleh : 1. Karisa Putri Rahmadhani 2.


Rafika Nur Azizah 3. Ratih Windira Pangestuti 4. Rheinata Thariqah
2. 2. SYAJA’AH Ciri-ciriBentuk-bentukDalilPengertian Sumber
3. 3. Pengertian Syaja’ah • Secara etimologi: Syaja’ah ( berarti “benar”atau ) ‫شجاعة‬
gagah” • Menurut istilah Keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela “
dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. • Kesimpulan
Syaja’ah adalah keberanian yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan
dengan penuh petimbangan
4. 4. Dalil Syaja’ah QS Al Imran : 139 Artinya : Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling
tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
5. 5. Bentuk-bentuk Syaja’ah 1. Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan
(Jihad fii sabilillah) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu
dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah
kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi
mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau
hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, Maka Sesungguhnya
orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah
neraka jahannam. dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal 8: 15-
16) 2. Keberanian menyatakan kebenaran (kalimah al-haq) sekalipun di hadapan
penguasa yang zalim. Rasulullah saw bersabda :
Jihad yang paling afdhol adalah “ )‫أفضلالجهادكلمةعدلعندسلطانجائر(أبوداودوالترمذى‬
memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud
) dan Tirmidzi
6. 6. 3. Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia mampu
melampiaskannya ) ‫إنماالشديدالذىيملكنفسهعندالغضب (متفقعليه‬,‫ليسالشديدبالصرعة‬
Bukanlah yang dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, “
sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika
” marah
7. 7. Ciri-ciri Syaja’ah 1. Tidak mundur kalau dicela 2. Tidak mencari pujian 3. Terus
terang mengakui kesalahan 4. Tabah menghadapi penderitaan 5. Sabar
meghadapi masalah 6. Berpendirian tetap 7. Bersemangat tinggi
8. 8. Sumber Syaja’ah • 1. Rasa Takut Kepada Allah SWT “)yaitu( orang-orang yang
menyampaikan risalah-risalah Allah[1222], mereka takut kepada-Nya dan
mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan
cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al- Ahzab 33:39) • 2. Lebih
Mencintai Akhirat daripada Dunia Bagi seorang muslim, dunia bukanlah tujuan
akhir. Dunia adalah jembatan menuju akhirat. “Hai orang-orang yang beriman,
apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang)
pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? apakah
kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?
padahal kenikmatan hidup di dunia Ini (dibandingkan dengan kehidupan)
diakhirat hanyalah sedikit.”)QS. At-Taubah 9:38)
9. 9. • 3. Tidak Takut Mati Kematian adalah sebuah kepastian. Cepat atau lambat
setiap orang pasti mati. Kalau ajal sudah datang tidak ada yang dapat
mencegahnya. Seorang muslim tidak takut mati, apalagi mati dalam jihad. Setiap
prajurit Islam pasti mendambakannya. Bagi mereka kematian adalah jalan
menuju sorga. Semangat itulah yang menyebabkan para prajurit Islam punya
keberanian luar biasa. Panglima Khalid ibn Walid mengatakan kepada pasukan
Romawi: “Kami datang dengan pasukan yang mencintai kematian, sebagaimana
kalian mencintai kehidupan. • 4. Tidak Ragu-Ragu Rasulullah SAW bersabda:
“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu, menuju apa-apa yang tidak
meragukanmu.” )HR.Tirmidzi dan Nasa’i( • 5. Tidak Menomorsatukan Kekuatan
Materi Seorang muslim memang meyakini bahwa kekuatan materi diperlukan
dalam perjuangan, tapi materi bukanlah segala-galanya. Di balik itu tetap Allah
SWT yang menentukan.
10. 10. • 6. Tawakal dan Yakin Akan Pertolongan Allah Orang yang memperjuangkan
kebenaran tidak pernah merasa takut, karena setelah mengerahkan segala
tenaga, tinggal dia bertawakkal dan mengharapkan pertolongan dari Allah SWT.
“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-
tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq 65:3)
Syaja’ah

1. 1. Menegakkan Kebenaran
2. 2. Arti Syaja’ah? • Etimologi: Syaja’ah berarti “benar”atau “gagah” • Istilah:
Keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan
kebenaran secara jantan dan terpuji Jadi Syaja’ah adalah: keberanian yang
berlandaskan kebenaran dan dilakukan dgn penuh petimbangan
3. 3. Dalil Al-Qur’an • ‫ينام وق وانوك وانمآ َينذال اهيأ َ ب‬
‫اي ْ۞ول َو ّلل َءادهش طسقالىلع ۚ َينب َرق ال َو ّنيدلا َوال وأ مكسفنأ اللف‬
‫ايرقف وأًاينغ نكي نإىل وأ ولدعت نأ ى َوهال واعبتت ََّ لف ۖ امهبإف واض رعت وأ‬
Wahai orang-orang yang beriman, “ • ‫وا ُولت نإ َو ۚ ا الل ن َونلمعت امب َانكايربخ‬
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika
ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang
. kamu kerjaan." (QS. An Nisaa 4: 135)
4. 4. Dalil-Dalil • "Rasa takut (segan) terhadap manusia jangan sampai menghalangi
kamu untuk menyatakan apa yang sebenarnya jika memang benar kamu
melihatnya, menyaksikannya atau mendengarnya." (HR. Ahmad) • Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban, "Janganlah takut berada di jalan Allah terhadap celaan orang
yang suka mencela." Aku berkata, "Tambah lagi ya Rasulullah." Beliau
melanjutkan pesannya, "Katakanlah apa yang hak meskipun akibatnya terasa
pahit."
5. 5. Ciri-Ciri Syaja’ah? 1. Tidak mundur kalau dicela 2. Tidak mencari pujian 3.
Terus terang mengakui kesalahan 4. Tabah menghadapi penderitaan 5. Sabar
meghadapi masalah 6. Berpendirian tetap 7. Bersemangat tinggi
6. 6. Balasan? َّ‫ الل َ ي‬Hai • ‫وارصنت نإ وانمآ َينذال اهيأ ايكمادقأ ّّتبي َو مك رصنم‬
orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
. menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad 47 : 7)
7. 7. Hikmah... • Kekuatan yang ada dalam diri kita melahirkan keberanian •
Menjadikan diri yang memiliki sikap istiqomah di jalan Allah • Membuat kita
lebih dekat lagi dengan Allah dan lebih mengenal lagi akan diriNya

eberanian dalam Islam

1. 1. Idrus Abidin, Lc., MA.


2. 2. • Keberanian adalah kekuatan hati dan ketetapan jiwa dalam rangka
mencapai kebaikan dan dalam menghindari keburukan selama hidup di dunia
ini. Keberanian lahir di tengah dua sifat yang berbeda ; ketakutan dan
kecerobohan. • Keberanian seperti ini merupakan sikap yang senantiasa
diarahkan oleh akal yang menyampaikannya kepada tingkat kebijakan. Jika
keberanian tidak terkendali oleh kekuatan akal sebagai pengarah dan tidak
diformat oleh kebijaksanaan maka ujungpangkalnya hanyalah bunuh diri dan
sikap ngawur. • Asy-syaja’ah adalah keberanian yang didasari pertimbangan
matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk
meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian
kerja (itqan). Buka keberanian yang tanpa perhitungan, namun juga bukan
terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan. P E N G E R T
IAN
3. 3.  Secara manusiawi seseorang memang memiliki sifat khauf (takut) sebagai
lawan sifat asy-syaja’ah. Namun sifat khauf thabi’i (alamiah) yang diadakan Allah
di dalam diri manusia sebagai mekanisme pertahanan diri seperti takut terbakar,
tenggelam, terjatuh dimangsa binatang buas, harus berada di bawah khauf syar’i
yakni takut kepada Allah Taala.
4. 4. 1) Rasa takut kepada Allah Swt. ‫ي‬ َ ََّ‫ش ونَه ُ َول‬ َ ‫يخ‬ َ ‫سالََّ ت اللَّّّ َو‬ َ ‫الذينَ يُ َبل غُونَ ر‬
َ َ
‫خش ونَ أ َحد ا إلَّ اللَّ َّّ َوكفَى‬ َ ) 39 ) ‫باللَّّّ َحسيب ا‬33:39. (yaitu) orang-orang yang
menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada- Nya dan mereka
tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah
Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. Al-Ahzab [33] : 39)
5. 5. 2.KECINTAAN TERHADAP AKHIRAT. ‫سبيل‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذينَ آ َمنُوا َما لَ ُكم إذَا قي َل لَ ُك ُم انف ُروا في‬
ُ ‫اللَّّّ اثاقَلتُم إلَى الَّّ رض أ َ َرضيتُم بال َح َياة الدُّن َيا منَ الّخ َرة ف َما َمت َا‬
‫ع ال َح َياة الدُّن َيا في الّخ َرة‬
ٌ َ
َّّ‫ )إل‬38 ) ‫قليل‬9:38. Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila
dikatakan kepada kamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah"
kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan
kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan
hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah
sedikit.(QS at- Taubah [9] : 38)
6. 6. 3. Keimanan Terhadap Alam Ghaib. A. Keyakinan akan adanya pertolongan
Allah. B. Kedatangan dan bantuan malaikat untuk orang-orang beriman. C.
Keyakinan akan pahala akhirat karena keberanian dalam mempertahankan
akidah dan kebenaran Islam.
7. 7. 4. Tidak Takut Mati )، ‫فس أ َ ن ت َ ُموتَ إلَّ بإ ذ ن هللا كت َابا ُّم َؤجل ( ]آل‬ ٍ َ‫]و َما َكانَ لن‬ َ :‫عمران‬
1453:145. Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. .] ) ‫ي ست َأ‬ َ ََّ‫فَإذَا َجاء أ َ َجلُهُ م ل‬
34 :‫ي ستَ قد ُمونَ ( ]األعراف‬ َ ََّ‫عة َول‬
َ ‫سا‬
َ َ‫خ ُرون‬7:34. maka apabila telah datang
waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak
dapat (pula) memajukannya.
8. 8. 5. Tawakkal. • ‫علَى اللَّّّ فَ ُه َو َح سبُه ُ إن اللَّ َّّ َبال ُغ أ َ مره قَ د َج َع َل‬ َ ‫)و َم ن َيت ََوك ل‬ َ
3 ) ‫ش يءٍ قَ د را‬ َ ‫ •اللُّ َّّ لكُ ل‬Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS at- Thalaq [65] : 3)
9. 9. 6. Izzah (Harga Diri) dan Keinginan untuk Memperoleh Kemuliaan. • Setelah
Khubaib bin Adi ditawan oleh pasukan Quraisy yang dipimpinj oleh Abu Sufyan
dan Sofwan bin Umayyah untuk disalib, Abu sufyan berkata kepadanya, “Apakah
engkau rela jika Muhammad sekarang menempati posisimu untuk dipukuli dan
dibunuh, sementara engkau aman bersama keluargamu ? Khubaib tersenyum
sambil menjawab, “Demi Allah, saya tidak suka Rasulullah Saw menempati
posisiku sekarang. Saya tidak rela beliau tersiksa sedang aku berdiam diri di
tengah keluargaku. Abu sufyan pun berkomentar, “Demi Allah, Saya belum
pernah mendapati ada orang yang mencinta sesamanya, layaknya para sahabat
Muhammad mencintai Muhammad.”
10. 10. 7. Itsar (Sikap Mementingkan Orang Lain) • Pada akhir perang Yarmuk,
terdapat 3 orang panglima Islam yang terkapar karena terkuras energi mereka
dalam peperangan. Ketiganya adalah : Harits bin Hisyam, Iyash bin Abu Rabi’ah,
Ikrimah bin Abu Jahl. Haris lalu meminta air minum. Tatkala iar itu hendak ia
minun, maka Ikrimah memandangnya. Lalu Haris mengatakan, “ Berikan saja
padanya’. Tatkala mereka mneyodorkan air itu kepada Ikrimah, Iyash
melihatnya. Ikrimah pun mengatakan, “berikan saja Iyash’. Ketika mereke
hendak menyerahkan air itu kepada iyash, ternyata ia meninggal. Lalu air itu
hendak diberikan kepada yang lain, ternyata mereka pun juga telah meninggal.
11. 11. 7. Pendidikan Keberanian dari orang tua maupun lingkungan.
12. 12. Bentuk-Bentuk Keberanian • Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat
berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan,
penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan
Allah. • Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak
pada diri orang-orang beriman di dalam surat Al-Buruuj (QS. 85) yang
dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena
mereka menyatakan keimanannya kepada Allah Taala.
13. 13. 2.Keberanian Menyatakan Kebenaran di Hadapan Penguasa yang Zhalim ‫إن‬
َ ‫» م ن أ َ ع‬. ‫سى‬
‫ظم ا لج َهاد‬ َ ‫ قَا َل قَا َل أَبُو عي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫سعي ٍد ا ل ُخ در ى أَن النبى‬ َ ‫ع ن أَبى‬َ «
‫س ٌن غَريبٌ م ن هَذ ا ا َلو جه‬ ‫ح‬
َ َ ٌ
‫يث‬ ‫د‬‫ح‬َ ‫ا‬ َ ‫ذ‬‫ه‬َ ‫و‬
َ . ‫ة‬‫م‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ َُّ ‫أ‬ ‫ى‬‫ب‬َ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ع‬
َ ‫اب‬‫ب‬
َ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ى‬‫ف‬‫و‬ ‫ر‬‫ائ‬‫ج‬
َ ٍ َ ٍ‫ان‬‫ط‬َ ‫ل‬ ‫س‬ ‫د‬
َ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ل‬
ٍ ‫ع‬
‫د‬ َ َ‫كَل َمة‬
. Dari Abu Said al-Khudri ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Termasuk
jihad yang agung adalah menyatakan kebenaran di depan penguasa yang
zhalim”. (HR Tirmidzi)
14. 14. ‫ _ أمرني بحب‬1 : ‫ ] أمرني خليلي صلى هللا عليه وسلم بسبع‬: ‫ عن أبي ذر رضي هللا عنه قال‬
3 . ‫ ول أنظر إلى من هو فوقي‬، ‫ _ وأمرني أن أنظر إلى من هو دوني‬2 . ‫ والدنو منهم‬، ‫_المساكين‬
‫ _ وأمرني أن أقول بالحق‬5 . ‫ _ وأمرني أن ل أسأل أحدا شيئا‬4 . ‫وأمرني أن أصل الرحم وإن أدبرت‬
‫ _ وأمرني أن أكثر من قول‬7 . ‫ _ وأمرني أن ل أخاف في هللا لومة لئم‬6 . ‫ وإن كان مرا‬: ) ‫ل حول ول‬
‫ رواه أحمد‬. [ ( ‫ فإنها كنز من كنوز الجنة‬: ‫ ) وفي رواية‬. ‫قوة إل باهلل ( ؛ فإنهن من كنز تحت العرش‬
‫ الصفحة‬5 ‫ السلسلة الصحيحة‬. ‫والبيهقي والبزار والطبراني صحيح‬199 2166 ‫رقم الحديث‬ Dari
Abu Dzar, ra, ia berkata, Sahabatku, Rasulullah Saw menyarankan aku agar
melakukan 7 hal : Mencintai orang miskin, melihat orang-orang yang lebih
rendah kehidupannya dariku dan tidak selalu fokus pada orang-orang yang lebih
sukses, melakukan silaturrahmi sekali pun terhadap orang yang membenci, tidak
meminta apa pun kepada siapa pun, mengatakan kebenaran sekali pun pahit,
agar aku tidak takut di jalan Allah sekali pun dihina, memperbanyak ucapan La
haula wala quwwata illa billah, karena ia merupakan perbendaharaan Arasy.
(HR. Ahamad, al-Baihaqi, al- Bazzar, Thabrani ) Lihat : Silsilah Hadits Shahih Vol.
5, al-Albani, No.2166
15. 15. • Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi
tangan” • Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui
kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
16. 16. 5. Bersikap Obyektif Terhadap Diri Sendiri  Ada orang yang cenderung
bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat,
mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang
bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh,
tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua
sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani
akan bersikap objektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan
buruk.
17. 17. Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi,
melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan
menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk
melampiaskan amarahnya.
18. 18. 7. Kemampuan Menyimpan Rahasia  Orang yang berani adalah orang yang
bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan
jihad menghadapi musuh-musuh Islam. Kemampuan merencanakan dan
mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah
merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
19. 19. Tips Untuk Menggapai Keberanian 1. Menegaskan keimanan terhadap qadha
dan qadar. 2. Membenahi tingkat tawakkal kepada Allah. 3. Melakukan pola
latihan bela diri secara sistematis. 4. Mempelajari biografi para pemberani,
mulai dari Rasulullah Saw, sahabat, tabi’in serta ulama robbani. 5.
Mendedikasikan diri untuk mewariskan kebaikan. 6. Mengharapakan pahal dari
Allah Swt. 7. Do’a
20. 20. 8. Menghindari Was-was Syetan ) ‫وف أ َ وليَاءهُ فَ َل تَخَافُوهُ م‬ َ ‫إن َما ذال ُك ُم الش ي‬
ُ ‫طانُ يُ َخ‬
، ‫]وخَافُون‬
َ 175 :‫عمران‬ ‫]آل‬ ( َ‫ين‬‫ن‬‫ؤم‬ ‫م‬
ُّ ‫م‬ ‫نت‬‫ك‬ُ ‫ن‬‫إ‬ 3:175. Sesungguhnya mereka itu tidak
lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya
(orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS Ali
Imran : 175)

Anda mungkin juga menyukai