Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN

 
A. Pengertian Syaja’ah
SYAJA’AH ( ‫ )ش جاعة‬menurut makna Etimologi berarti “benar” atau
“gagah”. Sedangkan menurut istilah ialahketeguhan hati, kekuatan pendirian untuk
membela dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan
terpuji. Jadi,Syaja’ah yaitu keberanian yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan
dengan penuh petimbangan. 
Tokoh Abu Zahra berpendapat bahwa Syaja'ah (berani)
berkata akan kebenaran dan berani bertindak membelanya adalah salah satu ciri
dan inti akhlaq islami itu. Ciri yang dimiliki para Nabi, Abdullah bin Abdul Aziz
Al-Amri, Hasan Al Basri ketika menghadapi Al Hajjaj, Ibnu Taimiyyah dan
sebagainya. Ciri yang muncul atas penuhnya tsiqobillah (kepercayaan kepada
Allah), dalam hati seorang Muslim, keyakinan akan kebenaran Allah.
Hati yang telah terwarnai oleh celupan Allah (sibghatullah) dan memiliki
tsiqoh tak akan ragu, apalagi bersangka buruk terhadap Allah.  Dalam satu detik di
tengah kegagalan usaha, tak pernah ia melemparkan kesalahan diri pada Allah,
meragukan keadilan Allah dsb. Dia percaya dengan sepenuh percaya akan Allah
dengan segala asmaNya.  Dia percaya tindakannya selalu dalam pengawasan Allah
dan mendapat perlindungan dariNya.  Dia percaya Allah akanmembelanya baik di
dunia maupun kelak di pengadilan akhirat, hari dimana semua pembela pun turut
diadili, saat dimana tak ada lagi pembela selain Allah.
Rasa percaya itulah yang melahirkan keberanian, tsiqoh yang kuat
membuahkan syaja'ah yang benar--berani bukan untuk pujian, kelompok atau
sesuatu yang lain, tetapi berani karena itu, tindakan itu untuk Allah, untuk
membela agama Allah semata, dan tidak untuk yang lainnya.Dalam titik tsiqoh ini,
dalam hati seorang Muslim, kebenaran Al Qur'an dan sunah tak memerlukan lagi
legalitas ilmiah dari para orientalis. Tidak lagi keyakinan baru tumbuh setelah
orang-orang kafir juga mengakuinya. Tsiqoh kepada Allah dan RasulNya memutus
ketergantungan pada selain Allah. Kebenaran Allah adalah benar,meski ia
dibenarkan atau tidak oleh para hamba taghut.
Al Haq adalah haq, meski seluruh musuh Allah berkonspirasi
untuk menolaknya. Kebenaran Allah adalah cahaya yang menerangi hati dan akal
yang fitri.  Dia tidak memerlukan pembenaran, karena dia benar adanya. Dia akan
terang dan menjulang meski mulut-mulut pendustamengingkarinya. Maha Benar
Allah dengan segala firmanNya.
 
 
B. DALIL SYAJA’AH
َ ‫َو اَل تَ ِه ُن ْو ا َو اَل تَ ْح َز ُن ْو ا َو ا َْن ُت م ُ ا اْل َ عْ ل َْو‬
‫ن‬
َ ‫ِا نْ ُك ْن ُت ْم ُّم ْؤ ِم ِن ْي‬
‫ن‬
(QS. Ali Imran-Ayat 139)
Artinya : Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman.
 
C. Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah
1. Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii
sabililah)
Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam
dapat diambil, mereka tidak takut akanmati, tidak cinta dunia, lebih mencintai
kehidupan akhirat. Sehingga ketika perintah jihad datang, disambut dengan
semangat tinggi.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang
kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka
(mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu,
kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan
pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa
kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat
buruklah tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).
 
2. Berani menegakkan kebenaran
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila
dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat
dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw
melalui Hadits Riwayat Ibnu Hibban. ‘Qulil haq walau kaana muuran ’ (katakan
yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang
zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam
kebenaran.
"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa
yang zhalim”. (Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)
 
3. Memiliki Daya Tahan Yang Besar
Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan
mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan
Islam. Di masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar
sekali bentuk cobaan yang dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang belum
seberapa saat itu, masih dalam rintisan awal-awal dakwah, harus dihadapi berbagai
bentuk perlawanan, permusuhan, makar. Boikot ekonomi, siksaan terhadap
individu bahkan pembunuhan. Secara umum kaum muslimin sungguh menderita
waktu itu.
Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar
dalam menghadapi siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian
mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin
Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuh suburkan
perjuangan dengan darahnya yang mulia.
 
4. Kemampuan Menjaga Rahasia
Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena
menyimpan rahasia bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara
yang sangat penting, apakah untuk menjaga kehormatan seseorang atau bahkan
sampai untuk menjaga keberlangsungan dakwah.
Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel
sahabat pun hanya segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah
untuk menyimpan rahasia. Adalah Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi
yang dikenal dengan sebutan shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan
baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga
rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan
tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana
yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut
bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”
 
5. Mengendalikan Nafsu
Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat
dihilangkan tapi dapat dikendalikan.
 “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).
Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an
bahwasanya salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan
memaafkan kesalahan orang lain .
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang
yang bertaqwa. Yaitu orang yang berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang
lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. 3:133-134).
 “Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya
pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu
marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau,
bukannya malah emosi, justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap
untuk menebas musuh tersebut, karena Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya
justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap musuh bukan karena mengharapkan
keridaan Allah.
 

6. Mengakui Kesalahan
Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk
betul-betul merasakan sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan
justru mengelakkannya apalagi menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain.
Dan apabila berkaitan dengan pihak lain, tidak ragu, takut atau merasa hina untuk
meminta maaf, dan bersedia bertanggung jawab.
Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui
perjalanan hidup Nabi Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan,
namun rahmat pengampunan Allah sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal
menjemput.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Al- A’raf/ 7: 23)
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah
Harun Al Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah
haji, sebagaimana lazimnya penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat
yang akan dilaluinya tertutup untuk untuk umum. Pada saat Khalifah melakukan
sa'i antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri, sambil disaksikan, ribuan jamaah
haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke tempat sa'i. Sesampainya
di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah beliau,
"Haruuuun...!", tanpa menyebut embel-embel kekhalifahan.  Mendengar jeritan
tadi, seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya
suara. Melihat wajah yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".
"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia
di sana ?". "Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab
Khalifah.  "Ketahuilah, setiap orang dari mereka akan dimintai pertanggung-
jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu akan diminta pertanggung-
jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu.  Lihatlah kepada dirimu,
apakah pantas engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya
mengakui kesalahan yang beliau lakukan. [5] Sikap Abdullah bin Abdul Aziz Al-
Amri juga mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam kebenaran,
meskipun harus disampaikan pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.
 
 
C. Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan
Sumber keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu :
1. Rasa takut kepada Allah Swt
2. Lebih mencintai akhirat daripada dunia.
3. Tidak ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang.
4. Tidak menomor satukan kekuatan materi.
5. Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah.
Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya
ketika mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena
dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat
maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani)
bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut sama sekali)”
Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap
sesuatu bukan berarti hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari
tindakan yang berorientasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab dan
berdasarkan pertimbangan maslahat.
Predikat pemberani bukan hanya diperuntukkan kepada pahlawan yang
berjuang di medan perang. Setiap profesi dikategorikan berani apabila mampu
menjalankan tugas dan kewajibannya secara bertanggungjawab. Kepala keluarga
dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tanggungjawabnya secara
maksimal, pegawai dikatakan berani apabila mampu menjalankan tugasnya secara
baik, dan seterus nya.
Keberanian terbagi kepada terpuji (al-mahmudah) dan tercela (al-
madzmumah). Keberanian yang terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal
dalam setiap peranan yang diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan
berani yang tercela adalah apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak
tepat penggunaannya.
 
D. Keutamaan syaja’ah
Dalam ayat ini rasa takut itu dapat dikendalikan dan bahaya dari hal yang
ditakuti itu dapat diperkecil atau dihindari. Oleh karena itu orang yang mempunyai
sifat syaja’ah memiliki ketenangan hati dan kemampuan mengolah sesuatu dengan
pikiran tenang.
Menurut Ibnu Miskawih, sifat Syaja’ah mengandung keutamaan-keutamaan
sebagai berikut:
Jiwa besar, yaitu sadar akan kemnampuan diri dan sanggup melaksanakan
pekerjaan besar yang sesuai dengan kemampuannya. Bersedia mengalah dalam
persoalan kecil dan tidak penting Menghormati tetapi tidak silau kepada orang
lain. 
1. Tabah, yaitu tidak segera goyah pendirian, bahkan setiap pendirian keyakinan
deipegangnya dengan mantap
2. Keras Kemauan, yaitu bekerja sungguh-sungguh dan tidak berputus asa serta tidak
mudah dibelokkan dari tujuan yang diyakini
3. Ketahanan, yaitu tahan menderita akibat perbuatan dan keyakinannya
4. Tenang, yaitu berhati tenang, tidak selalu menuruti perasaan (emosi) dan tidak
lekas marah
5. Kebesaran, yaitu suka melakukan pekerjaan yang penting atau besar
 
E. Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:
Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:
1. Syaja’ah harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya
keberanian waktu menghadapi musuh dalam peperangan (al-Jihad fi Sabilillah).
Allah berfirman :  
(244)  ‫وا َأ َّن هَّللا َ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
ْ ‫يل هَّللا ِ َوا ْعلَ ُم‬
ِ ِ‫وا فِي َسب‬ ْ ُ‫َوقَاتِل‬
artinya :  “dan berperang lah kamu di jalan allah, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Mendengar, Maha Mengetahui “ ( Qs. Al- baqarah: 244)  
 
2. Syaja’ah nafsiyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan
menegakkan kebenaran
a. Keberanian mengatakan kebenaran sekalipun didepan penguasa yang DzalimDari
Abu Sa’id Al Khudri, NabiMuhhammad saw bersabda :
ٍ َ‫ض ُل ْال ِجهَا ِد َكلِ َمةُ َع ْد ٍل ِع ْن َد س ُْلط‬
‫ان َجاِئ ٍر‬ َ ‫َأ ْف‬
Artinya “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata
yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344,
Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan
.bahwa hadits ini hasan)
b. Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia bisa
melampiaskannya dan firman Allah swt:
‫س ع َِن ْالهَ َوى‬ َ ‫َوَأ َّما َم ْن خَ افَ َمقَا َم َربِّ ِه َونَهَى النَّ ْف‬
Artinya “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggal(nya).”(Q.S. An-Nazia’at 40- 41.)
 
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.
2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.
Dari dua macam syaja’ah(keberanian) tersebut di atas,
makasyaja’ahdapat dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan
mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang
zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan.
Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu
menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggungjawab.
 
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.
2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa. Dari dua
macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat dituangkan
dalam beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan
mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang
zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan.
Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu
menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
d) Berani mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat pengecut yang
tidak mau mengakui kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap ”lempar batu
sembunyi tangan” Orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan,
mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.
e) Bersikap obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung bersikap “over
con dence” terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak
memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap “under
estimate” terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat
apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam
mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
f) Menahan nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu ber–
mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat
mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan
peluang untuk melampiaskan amarahnya.
 
 F. Hikmah Syaja’ah
Dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk di miliki
setiap muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan
berbagai kebaikan bagi kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.
Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia,
cepat, tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai.
Akan tetapi apabila seorang terlalu dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol
dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat ceroboh,
takabur, meremehkan orang lain, unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika seorang
mukmin kurang syaja’ah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas,
kecewa, kecil hati dan sebagainya.
 
Kesimpulan
SYAJA’AH ( ‫ )ش جاعة‬menurut makna Etimologi berarti “benar” atau
“gagah”. Sedangkan menurut istilah ialahketeguhan hati, kekuatan pendirian untuk
membela dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan
terpuji. Jadi,Syaja’ah yaitu keberanian yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan
dengan penuh petimbangan. 
Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya
ketika mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena
dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat
maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani)
bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut sama sekali)”

Anda mungkin juga menyukai