Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hidup tanpa keberanian adalah hidup yang sia-sia. Hidup dan keberanian ibarat
tubuh dan bayang-bayang. Kemana pun kita pergi dia selalu mengikuti. Hidup ini begitu
penuh pilihan, maka beranilah memilih. Apapun pilihan yang kita ambil selama berpijak
dari pemahaman tentang hidup yang utuh tak akan menjadi pilihan yang salah. Maka,
keberanian adalah sebuah iman. Ketika kita mendengar, melihat dan berbicara dengan hati
kita, maka apapun tindakan, pikiran dan ekspresi yang kita lakukan bukan keberanian lagi
namanya. Ia sudah menjadi iman yang hidup.
”Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita ” (QS 9: 40)
Ali bin Abu Thalib bercerita, “Semua hijrah sembunyi-sembunyi kecuali Umar ibn
Khattab. Saat hendak hijrah, dia menyandangkan busur panahnya dan mendatangi Ka’bah
saat orang-orang Quraisy berada sekitar itu. Umar bertawaf tujuh kali, shalat dua rakaat,
lalu mendatangi kelompok orang Quraisy satu demi satu sambil berkata, ‘Wahai wajah
yang muram! Barang siapa ingin ibunya kehilangan anaknya, dan anaknya menjadi yatim,
atau istrinya menjadi janda, temuilah aku di belakang bukit itu besok pagi.’

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud As syaja’ah?
2. Apa saja landasan As syaja’ah ?
3. Apa saja bentuk-bentuk As syaja’ah?

C. Tujuan Penulisan
D. Untuk mengetahui As syaja’ah?
E. Untuk mengetahui landasan As syaja’ah ?
F. Untuk mengetahui bentuk-bentuk As syaja’ah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
As syaja’ah menrut bahasa berani, gagah. Menurut istilah: keteguhan hati, kekuatan
pendirian untuk membela dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji.
Keberanian yang berlandaskan kebenaran, dilakukan dengan penuh pertimbangan dan
perhitungan untuk mengharapkan keridhaan Allah.
Asy Syaja’ah adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah,
selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut atau penakut). Pemberani adalah orang
yang berani membela kebenaran dengan resiko apa pun dan takut untuk berbuat yang tidak
benar. Sebaliknya, penakut adalah orang yang takut membela kebenaran.

B. Landasan As syaja’ah

1- Iman yang kokoh


Dalam kisah hijrah Rasullullah dan Abu Bakr ke Madinah, sesampai di gua Tsur keadaan
mencekam dirasakan Abu Bakar, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat
betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.”
Rasulullah SAW. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu
mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut
dan gentar, Allah bersama kita.”
Sikap keberanian yang ditunjukkan Rasulullah disaat tidak ada lagi pertolongan apa-apa
selain Allah, adalah pengejewantahan keimanan yang begitu kuat. Sekiranya iman lemah,
mungkin akan mendatangkan kepanikan.
Kisah pembakaran Nabi Ibrahim a.s. menujukkan bahwa rasa takut manusiawi terhadap
api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan
subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi
dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Diantara turunan sikap dari keimanan yang kokoh adalah berupa hanya menggantungkan
harapan kepada Allah dan juga sikap tawakkal yang benar, sehingga menimbulkan sikap
berani dalam diri seseorang dalam menghadapi segalam macam situasi dan tantangan.
2- Bersabar Terhadap Ketaatan
Jalan kebenaran itu pasti tidak akan mulus, gampang. Jika mulus dan gampang saja yang
dialami, justru harus dipertanyakan, apakah benar dalam jalan kebenaran? Banyak
tantangan, baik dari dalam diri sendiri berupa hawa nafsu, maupun godaan syaithan yang
tak akan pernah berhenti sampai akhir hayat, atau godaan manusia lainnya yang ingin
menjerumuskan pada kebatilan. Semua itu akan selalu dihadapi, kondisi hidup yang
sedang dihadapi, semisal himpitan masalah ekonomi, musibah dan lainnya bisa jadi
melunturkan semangat. Tetapi, itulah memang jalan yang harus dihadapi. Bersabar adalah
kunci, mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Sabar jugalah jalan yang
ditempuh para Rasul dan Nabi, salafus shaleh. Sehingga kita pun mesti berjuang dengan
penuh kesabaran untuk menjalani ketaatan kepada Allah.
“ Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu beruntung ”. (QS 3: 200)
Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan apalagi berkaitan
dengan pelecehan nilai agama, tapi sabar justru melahirkan sikap keberanian dalam
menjalani perintah Allah sekaligus berjuang dalam menegakkan kalimat Allah. Sikap
keberanian di sini tidak melulu terwujud dalam bentuk kebringasan, gagah perkasa, tapi
bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan memaafkan demi kemaslahatan yang lebih besar.
Layaknya suri tauladan yang sangat menyentuh oleh Rasulullah, ketika dakwah nya di
tolak di Taif yang sampai pada bentuk kekerasan. Namun, keberanian Rasulullah untuk
memaafkan walaupun sungguh berat waktu itu ujiannya, karena pandangan jauh ke depan,
membuat azab yang bisa jadi ditimpakan pada Taif tak jadi diturunkan. Dan buah dari
kesabaran tersebut terwujud dengan ber Islam nya penduduk Taif kemudian hari.
Keimanan yang kuat akan menumbuhkan kecintaan yang lebih pada akhirat dari pada
kehidupan dunia.
3- Mewariskan Hal yang Terbaik
Kita dalam tanda kutip adalah produk masa lalu, hasil didikan berbagai pihak bermula
mungkin orang tua, keluarga, guru, lingkungan dan seterusnya. Sehingga sedikit
banyaknya karakter yang kita miliki sekarang ini adalah buah dari pendidikan orang-orang
yang terdahulu. Jika pendidikan yang itu baik, akan menghasilkan generasi yang baik.
Begitu juga dengan kedepannya, kita adalah bagian dari orang yang akan mewarisi
generasi masa depan. Karena perjuangan dakwah adalah perjuangan sampai akhir zaman,
bukan satu generasi saja. Sehingga menyiapkan generasi baru yang kuat, adalah keharusan
bagi keberlangsungan dakwah.
Selain itu generasi yang kuat dan mandiri akan lebih berpeluang melahirkan karakter
pemberani. Perumpamaan orang-orang yang hidup dibawah belas kasihan orang lain, atau
orang yang meminta-minta, bisa jadi akan berkurang keberaniannya dalam menyampaikan
kebenaran terutama kepada pihak dimana dia meminta-minta atau mendapat belas kasihan.
“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. ” (QS 4: 9)
Nubuwah terkait penaklukan konstantinopel yang disampaikan Rasullullah menjadikan
kaum muslimin pada masanya dan setelahnya berharap bisa menjadi orang yang
disebutkan Rasulullah menjadi tokoh utama penakluknya atau anak keturunannya, atau
mungkin menjadi bagian barisan tentaranya. Dan pada akhirnya panglima Al Fatih
bersama para tentaranya yang berhasil menaklukan baru muncul berabad setelah
penyampaian nubuwah tersebut. Dalam kisahnya, beliau telah dipersiapkan semenjak dini
berupa penanaman karakter, akhlak ilmu dan seterusnya.
Bagaimana dengan masa kini? Janji Allah akan kembalinya kekuatan besar kaum
muslimin mneguasai dunia sebelum akhir zaman, semoga memotivasi kita untuk
mempersiapkan generasi penerus yang semoga menjadi bagian menuju kebangkitan umat
Islam, walaupun mungkin tidak hidup dimasa kejayaan tersebut nantinya.

C. Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah


1- Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii sabililah)
Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat
diambil, mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan
akhirat. Sehingga ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang
sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang
siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat)
perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya
orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka
Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).
2- Berani menegakkan kebenaran
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari
sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan
ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw melalui Hadits Riwayat Ibnu
Hibban. ‘ Qulil haq walau kaana muuran ’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan
berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil
lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa
berterus terang dalam kebenaran.
“Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang
zhalim ”. (Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)
3- Memiliki Daya Tahan Yang Besar
Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin
saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di
masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan
yang dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu, masih dalam
rintisan awal-awal dakwah, harus dihadapi berbagai bentuk perlawanan, permusuhan,
makar. Boikot ekonomi, siksaan terhadap individu bahkan pembunuhan. Secara umum
kaum muslimin sungguh menderita waktu itu.
Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam
menghadapi siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan
aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi
syahidah pertama dalam Islam yang menumbuh suburkan perjuangan dengan darahnya
yang mulia.
4- Kemampuan Menjaga Rahasia
Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan
rahasia bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat penting,
apakah untuk menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga
keberlangsungan dakwah.
Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabat pun hanya
segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk menyimpan rahasia.
Adalah Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan
shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang
lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi
konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya
adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah
saw. “ Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah
bila aku tertangkap. ”
5- Mengendalikan Nafsu
Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat dihilangkan
tapi dapat dikendalikan.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS.
12: 53).
Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an bahwasanya
salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan
orang lain .
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu
orang yang berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan. ”(QS. 3:133-134).
“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani
itu ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah
emosi, justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh
tersebut, karena Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah
terhadap sikap musuh bukan karena mengharapkan keridaan Allah.
6- Mengakui Kesalahan
Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul
merasakan sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru
mengelakkannya apalagi menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila
berkaitan dengan pihak lain, tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan
bersedia bertanggung jawab.
Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan
hidup Nabi Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat
pengampunan Allah sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi”. (QS 7: 23)
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah Harun Al
Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana
lazimnya penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk
untuk umum. Pada saat Khalifah melakukan sa’i antara bukit Marwah dan Shofa seorang
diri, sambil disaksikan, ribuan jamaah haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-
Amri ke tempat sa’i. Sesampainya di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana.
Berteriaklahlah beliau, “Haruuuun…!”, tanpa menyebut embel-embel kekhalifahan.
Mendengar jeritan tadi, seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah
datangnya suara. Melihat wajah yang memanggil, menjawablah beliau, “Labbaika ya
‘amm”.
“Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka’bah, berapakah jumlah manusia di sana ?”.
“Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah”, jawab Khalifah.
“Ketahuilah, setiap orang dari mereka akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti di
hadapan Allah, dan kamu akan diminta pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu
dan seluruh rakyatmu. Lihatlah kepada dirimu, apakah pantas engkau perlakukan ummat
seperti ini ?”. Mendengar ucapan Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri tersebut, menangislah
Khalifah seraya mengakui kesalahan yang beliau lakukan. [5] Sikap Abdullah bin Abdul
Aziz Al-Amri juga mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam kebenaran,
meskipun harus disampaikan pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.
7- Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri
Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan
untuk diperbaiki semaksimal mungkin dan kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin.
Jangan terlalu berlebihan memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada keangkuhan
dan kesombongan. Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan
ada sebutan bahwasanya beliau adalah khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh
saat berpidato dihadapan rakyatnya: “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian.
Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat
besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini.”
PENUTUP
Banyak kisah-kisah dulu dan sekarang yang mencerminkan keberanian hakiki untuk
ditauladani, semoga kita semua bisa memilikinya dan mewariskannya pada generasi penerus.
Wallahu ‘alam.

REFRENSI
https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/08/makalah-14-bersifat-berani/

Anda mungkin juga menyukai