Anda di halaman 1dari 5

Keberanian dalam islam

Pengertian

‫ش‬
‫شججاَعع‬ berani, gagah secara etimologinya

Menurut istilah: keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan
kebenaran secara jantan dan terpuji.
Keberanian yang berlandaskan kebenaran, dilakukan dengan penuh pertimbangan dan
perhitungan untuk mengharapkan keridhaan Allah.
Asy Syaja’ah adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-
ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut atau penakut). Pemberani adalah orang yang
berani membela kebenaran dengan resiko apa pun dan takut untuk berbuat yang tidak benar.
Sebaliknya, penakut adalah orang yang takut membela kebenaran.

Landasan Keberanian

1. Iman yang kokoh

Dalam kisah hijrah Rasullullah dan Abu Bakr ke Madinah, sesampai di gua Tsur keadaan
mencekam dirasakan Abu Bakar, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat
betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.” Rasulullah SAW. menenangkannya dengan
menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu
Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.”

Sikap keberanian yang ditunjukkan Rasulullah disaat tidak ada lagi pertolongan apa-apa selain
Allah, adalah pengejewantahan keimanan yang begitu kuat. Sekiranya iman lemah, mungkin
akan mendatangkan kepanikan.

Kisah pembakaran Nabi Ibrahim a.s. menujukkan bahwa rasa takut manusiawi terhadap api dan
terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah,
pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.

Diantara turunan sikap dari keimanan yang kokoh adalah berupa hanya menggantungkan
harapan kepada Allah dan juga sikap tawakkal yang benar, sehingga menimbulkan sikap berani
dalam diri seseorang dalam menghadapi segalam macam situasi dan tantangan.

2. Bersabar Terhadap Ketaatan

Jalan kebenaran itu pasti tidak akan mulus, gampang. Jika mulus dan gampang saja yang
dialami, justru harus dipertanyakan, apakah benar dalam jalan kebenaran? Banyak tantangan,
baik dari dalam diri sendiri berupa hawa nafsu, maupun godaan syaithan yang tak akan pernah
berhenti sampai akhir hayat, atau godaan manusia lainnya yang ingin menjerumuskan pada
kebatilan. Semua itu akan selalu dihadapi, kondisi hidup yang sedang dihadapi, semisal himpitan
masalah ekonomi, musibah dan lainnya bisa jadi melunturkan semangat. Tetapi, itulah memang
jalan yang harus dihadapi. Bersabar adalah kunci, mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk
dilaksanakan. Sabar jugalah jalan yang ditempuh para Rasul dan Nabi, salafus shaleh. Sehingga
kita pun mesti berjuang dengan penuh kesabaran untuk menjalani ketaatan kepada Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”.
(QS 3: 200)

Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan apalagi berkaitan dengan
pelecehan nilai agama, tapi sabar justru melahirkan sikap keberanian dalam menjalani perintah
Allah sekaligus berjuang dalam menegakkan kalimat Allah. Sikap keberanian di sini tidak melulu
terwujud dalam bentuk kebringasan, gagah perkasa, tapi bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan
memaafkan demi kemaslahatan yang lebih besar. Layaknya suri tauladan yang sangat
menyentuh oleh Rasulullah, ketika dakwah nya di tolak di Taif yang sampai pada bentuk
kekerasan. Namun, keberanian Rasulullah untuk memaafkan walaupun sungguh berat waktu itu
ujiannya, karena pandangan jauh ke depan, membuat azab yang bisa jadi ditimpakan pada Taif
tak jadi diturunkan. Dan buah dari kesabaran tersebut terwujud dengan ber Islam nya penduduk
Taif kemudian hari.

Keimanan yang kuat akan menumbuhkan kecintaan yang lebih pada akhirat dari pada
kehidupan dunia.

3. Mewariskan Hal yang Terbaik

Kita dalam tanda kutip adalah produk masa lalu, hasil didikan berbagai pihak bermula mungkin
orang tua, keluarga, guru, lingkungan dan seterusnya. Sehingga sedikit banyaknya karakter
yang kita miliki sekarang ini adalah buah dari pendidikan orang-orang yang terdahulu. Jika
pendidikan yang itu baik, akan menghasilkan generasi yang baik. Begitu juga dengan
kedepannya, kita adalah bagian dari orang yang akan mewarisi generasi masa depan. Karena
perjuangan dakwah adalah perjuangan sampai akhir zaman, bukan satu generasi saja.
Sehingga menyiapkan generasi baru yang kuat, adalah keharusan bagi keberlangsungan
dakwah.

Selain itu generasi yang kuat dan mandiri akan lebih berpeluang melahirkan karakter
pemberani. Perumpamaan orang-orang yang hidup dibawah belas kasihan orang lain, atau
orang yang meminta-minta, bisa jadi akan berkurang keberaniannya dalam menyampaikan
kebenaran terutama kepada pihak dimana dia meminta-minta atau mendapat belas kasihan.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (QS 4: 9)

Nubuwah terkait penaklukan konstantinopel yang disampaikan Rasullullah menjadikan kaum


muslimin pada masanya dan setelahnya berharap bisa menjadi orang yang disebutkan
Rasulullah menjadi tokoh utama penakluknya atau anak keturunannya, atau mungkin menjadi
bagian barisan tentaranya. Dan pada akhirnya panglima Al Fatih bersama para tentaranya yang
berhasil menaklukan baru muncul berabad setelah penyampaian nubuwah tersebut. Dalam
kisahnya, beliau telah dipersiapkan semenjak dini berupa penanaman karakter, akhlak ilmu dan
seterusnya.

Bagaimana dengan masa kini? Janji Allah akan kembalinya kekuatan besar kaum muslimin
mneguasai dunia sebelum akhir zaman, semoga memotivasi kita untuk mempersiapkan generasi
penerus yang semoga menjadi bagian menuju kebangkitan umat Islam, walaupun mungkin tidak
hidup dimasa kejayaan tersebut nantinya.

Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah

1. Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii


sabililah)

Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat diambil,
mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan akhirat. Sehingga
ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah
tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).

2. Berani menegakkan kebenaran

Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi
dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi
sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw melalui Hadits Riwayat Ibnu Hibban. ‘Qulil
haq walau kaana muuran ’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di
hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja
dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam
kebenaran.

"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang zhalim”.
(Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)

3. Memiliki daya tahan yang besar

Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di masa-
masa awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan yang
dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu, masih dalam rintisan awal-
awal dakwah, harus dihadapi berbagai bentuk perlawanan, permusuhan, makar. Boikot ekonomi,
siksaan terhadap individu bahkan pembunuhan. Secara umum kaum muslimin sungguh
menderita waktu itu.

Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam
menghadapi siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan aqidah
hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama
dalam Islam yang menumbuh suburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.

4. Kemampuan menjaga rahasia


Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan rahasia
bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat penting, apakah untuk
menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga keberlangsungan dakwah.

Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabat pun hanya
segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk menyimpan rahasia. Adalah
Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan shahibus sirri.
Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan
tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa
amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh.
Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut
bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”

5. Mengendalikan nafsu

Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat dihilangkan tapi
dapat dikendalikan.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).

Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an bahwasanya salah
satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang
lain .

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang yang
berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS.
3:133-134).

“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu
ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah emosi,
justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh tersebut, karena
Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap musuh
bukan karena mengharapkan keridaan Allah.

6. Mengakui kesalahan

Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul merasakan
sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya apalagi
menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan pihak lain,
tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung jawab.

Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan hidup
Nabi Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat pengampunan Allah
sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni
kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi”. (QS 7: 23)

Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah Harun Al Rasyid.
Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana lazimnya
penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk untuk umum.
Pada saat Khalifah melakukan sa'i antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri, sambil
disaksikan, ribuan jamaah haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke tempat sa'i.
Sesampainya di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah beliau,
"Haruuuun...!", tanpa menyebut embel-embel kekhalifahan. Mendengar jeritan tadi, seluruh
jamaah termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah yang
memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".

"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana ?". "Tidak ada
yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah. "Ketahuilah, setiap orang dari mereka
akan dimintai pertanggung - jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu akan diminta
pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah kepada dirimu,
apakah pantas engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan Abdullah bin Abdul
Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui kesalahan yang beliau lakukan. [5]
Sikap Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri juga mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam
kebenaran, meskipun harus disampaikan pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.

7. Bersikap obyektif pada diri sendiri

Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan untuk
diperbaiki semaksimal mungkin dan kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin. Jangan
terlalu berlebihan memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada keangkuhan dan
kesombongan. Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan ada sebutan
bahwasanya beliau adalah khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat berpidato
dihadapan rakyatnya: “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia
seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu
bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini.”

Anda mungkin juga menyukai