Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

tentang
MAKNA SYAJA’AH (MEMBELA KEBANARAN)

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
1. NUR SYAHRANI
2. SEPTIKA DEWI
3. M. RAFLI
4. SULIS SETIAWATI
5. ABDURRAHMAN
6. M. FADIL
7. KELVIN RIZKIANDI

DIBIMBING OLEH:

SMA NEGERI 1 WOHA


TAHUN AJARAN 2019 / 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, yang karena atas limpahan rahmat dan
anugerah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Tak lupa pula
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Mata Pelajaran yang
telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, terutama terkait penulisan
makalah ini.
Adapun makalah ini penulis rangkum dari sumber yang dapat dipercaya yang
penyajiannya penulis sajikan dalam lembar Daftar Pustaka. Penulis menyadari penulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis
harapkan guna penyempurnaannya di masa mendatang.
Akhir kata semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan kemampuan
kita dalam bidang Ilmu Agama Islam sebagaimana yang kita semua harapkan.

Bima, Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

COVER .............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Strategi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan eropa sebelum dan sesudah
abad ke-20 .............................................................................................................. 3

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................................ 8
B. Saran ...................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 10


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar tidak menjadi
penakut dan pengecut. Karena rasa takut dan pengecut akan membawa kegagalan dan
kekalahan. Keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada Allah Swt. mengajarkan kita
menjadi orang-orang yang berani menghadapiberagam tantangan dalam hidup ini. Tantangan
utama yang kita hadapi adalah memperjuangkan kebenaran, meskipun harus menghadapi
berbagai rintangan. Rasulullah saw.
Islam tidak menyukai orang yang lemah/penakut. Orang yang lemah/penakut biasanya
tidak berani untuk mempertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Ketakutan itu
diantaranya karena takut dikucilkan dari lingkungannya. Takut karena berlainan sikap dengan
banyak orang atau takut untuk membela sebuah kebenaran dan keadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Syaja’ah?
2. Bagaimana DALIL SYAJA’AH?
3. Apa Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah?
4. Bagaimana Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan?
5. Apa Keutamaan syaja’ah?
6. Apa Hikmah Syaja’ah?
7. Apa Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang Pengertian Syaja’ah
2. Untuk menjelaskan tentang DALIL SYAJA’AH
3. Untuk menjelaskan tentang Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah
4. Untuk menjelaskan tentang Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan
5. Untuk menjelaskan tentang Keutamaan syaja’ah
6. Untuk menjelaskan tentang Hikmah Syaja’ah
7. Untuk menjelaskan tentang Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat
Syaja’ah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syaja’ah
SYAJA’AH ( ‫ )شجاعة‬menurut makna Etimologi berarti “benar” atau “gagah”.
Sedangkan menurut istilah ialah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan
mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi, Syaja’ah yaitu keberanian yang
berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh petimbangan.
Tokoh Abu Zahra berpendapat bahwa Syaja'ah (berani) berkata akan kebenaran dan
berani bertindak membelanya adalah salah satu ciri dan inti akhlaq islami itu. Ciri yang
dimiliki para Nabi, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri, Hasan Al Basri ketika menghadapi Al
Hajjaj, Ibnu Taimiyyah dan sebagainya. Ciri yang muncul atas penuhnya tsiqobillah
(kepercayaan kepada Allah), dalam hati seorang Muslim, keyakinan akan kebenaran Allah.
Hati yang telah terwarnai oleh celupan Allah (sibghatullah) dan memiliki tsiqoh tak
akan ragu, apalagi bersangka buruk terhadap Allah. Dalam satu detik di tengah kegagalan
usaha, tak pernah ia melemparkan kesalahan diri pada Allah, meragukan keadilan Allah dsb.
Dia percaya dengan sepenuh percaya akan Allah dengan segala asmaNya. Dia percaya
tindakannya selalu dalam pengawasan Allah dan mendapat perlindungan dariNya. Dia
percaya Allah akan membelanya baik di dunia maupun kelak di pengadilan akhirat, hari
dimana semua pembela pun turut diadili, saat dimana tak ada lagi pembela selain Allah.
Rasa percaya itulah yang melahirkan keberanian, tsiqoh yang kuat membuahkan
syaja'ah yang benar--berani bukan untuk pujian, kelompok atau sesuatu yang lain, tetapi
berani karena itu, tindakan itu untuk Allah, untuk membela agama Allah semata, dan tidak
untuk yang lainnya.Dalam titik tsiqoh ini, dalam hati seorang Muslim, kebenaran Al Qur'an
dan sunah tak memerlukan lagi legalitas ilmiah dari para orientalis. Tidak lagi keyakinan baru
tumbuh setelah orang-orang kafir juga mengakuinya. Tsiqoh kepada Allah dan RasulNya
memutus ketergantungan pada selain Allah. Kebenaran Allah adalah benar,meski ia
dibenarkan atau tidak oleh para hamba taghut.
Al Haq adalah haq, meski seluruh musuh Allah berkonspirasi untuk menolaknya.
Kebenaran Allah adalah cahaya yang menerangi hati dan akal yang fitri. Dia tidak
memerlukan pembenaran, karena dia benar adanya. Dia akan terang dan menjulang meski
mulut-mulut pendusta mengingkarinya. Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.
B. DALIL SYAJA’AH

QS Al Imran : 139
Artinya : Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati,
padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.

C. Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah


1. Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii sabililah)
Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat
diambil, mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan akhirat.
Sehingga ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang
sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa
yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang
atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam.
Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).

2. Berani menegakkan kebenaran


Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat
dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan
ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw melalui Hadits Riwayat Ibnu
Hibban. ‘Qulil haq walau kaana muuran ’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan
berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan.
Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus
terang dalam kebenaran.
"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang
zhalim”. (Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)
3. Memiliki Daya Tahan Yang Besar
Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan
mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di
masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan
yang dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu, masih dalam rintisan
awal-awal dakwah, harus dihadapi berbagai bentuk perlawanan, permusuhan, makar. Boikot
ekonomi, siksaan terhadap individu bahkan pembunuhan. Secara umum kaum muslimin
sungguh menderita waktu itu.
Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam
menghadapi siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan aqidah
hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah
pertama dalam Islam yang menumbuh suburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.

4. Kemampuan Menjaga Rahasia


Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan
rahasia bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat penting,
apakah untuk menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga
keberlangsungan dakwah.
Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabat pun
hanya segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk menyimpan
rahasia. Adalah Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan
sebutan shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui
yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi
konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah
bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya
Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku
tertangkap.”

5. Mengendalikan Nafsu
Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat
dihilangkan tapi dapat dikendalikan.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).
Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an
bahwasanya salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan
kesalahan orang lain .
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu
orang yang berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan.”(QS. 3:133-134).
“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu
ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah
emosi, justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh tersebut,
karena Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap
musuh bukan karena mengharapkan keridaan Allah.

6. Mengakui Kesalahan
Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul
merasakan sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya
apalagi menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan
pihak lain, tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung
jawab.
Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan
hidup Nabi Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat
pengampunan Allah sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-
orang yang merugi”. (QS 7: 23)
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah Harun Al
Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana
lazimnya penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk
untuk umum. Pada saat Khalifah melakukan sa'i antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri,
sambil disaksikan, ribuan jamaah haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke
tempat sa'i. Sesampainya di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah
beliau, "Haruuuun...!", tanpa menyebut embel-embel kekhalifahan. Mendengar jeritan tadi,
seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah
yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".
"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana ?".
"Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah. "Ketahuilah, setiap
orang dari mereka akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu
akan diminta pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah
kepada dirimu, apakah pantas engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui
kesalahan yang beliau lakukan. [5] Sikap Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri juga
mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam kebenaran, meskipun harus disampaikan
pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.

7. Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri


Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan
untuk diperbaiki semaksimal mungkin dan kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin.
Jangan terlalu berlebihan memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada keangkuhan dan
kesombongan. Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan ada
sebutan bahwasanya beliau adalah khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat
berpidato dihadapan rakyatnya: “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku
hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar
melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini.”

D. Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan


Sumber keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu :
1. Rasa takut kepada Allah Swt
2. Lebih mencintai akhirat daripada dunia.
3. Tidak ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang.
4. Tidak menomor satukan kekuatan materi.
5. Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah.
Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika
mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian
menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah
pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut
sama sekali)”
Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu
bukan berarti hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang
berorientasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab dan berdasarkan pertimbangan
maslahat.
Predikat pemberani bukan hanya diperuntukkan kepada pahlawan yang berjuang di
medan perang. Setiap profesi dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan
kewajibannya secara bertanggungjawab. Kepala keluarga dikategorikan berani apabila
mampu menjalankan tanggungjawabnya secara maksimal, pegawai dikatakan berani apabila
mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterus nya.
Keberanian terbagi kepada terpuji (al-mahmudah) dan tercela (al-madzmumah).
Keberanian yang terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal dalam setiap peranan
yang diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan berani yang tercela adalah
apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak tepat penggunaannya.

E. Keutamaan syaja’ah
Dalam ayat ini rasa takut itu dapat dikendalikan dan bahaya dari hal yang ditakuti itu
dapat diperkecil atau dihindari. Oleh karena itu orang yang mempunyai sifat syaja’ah
memiliki ketenangan hati dan kemampuan mengolah sesuatu dengan pikiran tenang.
Menurut Ibnu Miskawih, sifat Syaja’ah mengandung keutamaan-keutamaan sebagai
berikut:
Jiwa besar, yaitu sadar akan kemnampuan diri dan sanggup melaksanakan pekerjaan
besar yang sesuai dengan kemampuannya. Bersedia mengalah dalam persoalan kecil dan
tidak penting Menghormati tetapi tidak silau kepada orang lain.
1. Tabah, yaitu tidak segera goyah pendirian, bahkan setiap pendirian keyakinan
deipegangnya dengan mantap
2. Keras Kemauan, yaitu bekerja sungguh-sungguh dan tidak berputus asa serta tidak
mudah dibelokkan dari tujuan yang diyakini
3. Ketahanan, yaitu tahan menderita akibat perbuatan dan keyakinannya
4. Tenang, yaitu berhati tenang, tidak selalu menuruti perasaan (emosi) dan tidak lekas
marah
5. Kebesaran, yaitu suka melakukan pekerjaan yang penting atau besar

F. Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:


Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:
1. Syaja’ah harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian
waktu menghadapi musuh dalam peperangan (al-Jihad fi Sabilillah). Allah berfirman :
َ ‫ّللاِ َوا ْعلَ ُمواْ أ َ َن‬
(244) ‫ّللاَ َسمِ ي ٌع َعلِي ٌم‬ َ ‫َوقَاتِلُواْ فِي‬
َ ‫سبِي ِل‬
artinya : “dan berperang lah kamu di jalan allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui “ ( Qs. Al- baqarah: 244)

2. Syaja’ah nafsiyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan


menegakkan kebenaran
a. Keberanian mengatakan kebenaran sekalipun didepan penguasa yang DzalimDari
Abu Sa’id Al Khudri, NabiMuhhammad saw bersabda :
‫ان َجائ ٍِر‬
ٍ ‫ط‬َ ‫س ْل‬ َ ُ ‫ض ُل ْال ِج َها ِد َك ِل َمة‬
ُ َ‫ع ْد ٍل ِع ْند‬ َ ‫أ َ ْف‬
Artinya “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik)
di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu
Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
b. Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia bisa
melampiaskannya dan firman Allah swt:
‫ع ِن ْال َه َوى‬ َ ‫ام َربِ ِه َونَ َهى النَ ْف‬
َ ‫س‬ َ ‫َوأ َ َما َم ْن خ‬
َ َ‫َاف َمق‬
Artinya “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya).”(Q.S. An-Nazia’at 40- 41.)

Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:


1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.
2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.
Dari dua macam syaja’ah(keberanian) tersebut di atas, makasyaja’ahdapat
dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan
mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang
zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan.
Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu
menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggungjawab.
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:
1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.
2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa. Dari dua
macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat dituangkan
dalam beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan
mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang
zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh
perhitungan. Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di
dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian
yang bertanggung jawab.
d) Berani mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat pengecut
yang tidak mau mengakui kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap
”lempar batu sembunyi tangan” Orang yang memiliki sifat syaja’ah berani
mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
e) Bersikap obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung bersikap
“over con dence” terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni
dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap
“under estimate” terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak
mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap
tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan
bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
f) Menahan nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu
ber–mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat
mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan
peluang untuk melampiaskan amarahnya.
G. Hikmah Syaja’ah
Dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk di miliki setiap
muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan berbagai kebaikan
bagi kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.
Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia, cepat,
tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai. Akan tetapi
apabila seorang terlalu dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol dengan kecerdasan
dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat ceroboh, takabur, meremehkan orang lain,
unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika seorang mukmin kurang syaja’ah, maka akan dapat
memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa, kecil hati dan sebagainya.

H. Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah


Berani karena benar dan rela mati demi kebenaran. Slogan tersebut pantas dilekatkan
pada diri sahabat-sahabat dan sahabiyah-sahabiyah Rasulullah saw. karena keagungan kisah-
kisah perjuangan mereka.
Rasulullah Muhammad saw. sendiri menjadi teladan utama saat beliau tak
bergeming sedikit pun ketika disuruh menghentikan dakwahnya. Beliau pun berucap dengan
kata-katanya yang masyhur, “Walaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di
tangan kiriku, aku tidak akan pernah menghentikan dakwahku ini”.
Keberanian dan keteguhan sikap nampak pula pada diri sepupu dan menantu Nabi
saw., Ali bin Abu Thalib r.a. Ali mengambil peran yang sangat beresiko, menggantikan
Rasulullah di tempat tidur untuk mengelabui musuh-musuh yang mengepung. Dan benar saja
ketika tahu mereka dikelabui, mereka pun marah serta memukuli Ali hingga babak belur.
Khalifah kedua yakni Umar bin Khathab juga sangat terkenal dengan ketegasan
sikap dan keberaniannya. Ketika mau hijrah berbeda dengan sahabat-sahabat lain yang
sembunyi-sembunyi, Umar malah berteriak lantang, “Umar mau hijrah, barang siapa yang
ingin anak istrinya menjadi yatim dan janda, hadanglah Umar”.
Keberanian mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda
Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuhsuburkan
perjuangan dengan darahnya yang mulia.
Begitu pula Khubaib bin Adiy yang syahid di tiang salib penyiksaan dan Habib bin
Zaid yang syahid karena tubuhnya dipotong-potong satu demi satu selagi ia masih hidup.
Mereka berani bertaruh nyawa demi mempertahankan akidah dan itu terbukti dengan
syahidnya mereka berdua.
Bilal dan Khabab bin Al-Irts, yang mantan budak disiksa dengan ditimpa batu besar
(Bilal) dan disetrika punggungnya (Khabab) adalah bukti bahwa keberanian tidak mengenal
lapisan dan strata sosial.
Ada pula anak bangsawan seperti Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash
yang diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak oleh orangtua mereka karena masuk Islam.
Dan akhirnya wanita-wanita perkasa dan pemberani seperti Shafiyah binti Abdul
Muthalib, bibi Rasulullah saw., Nusaibah binti Ka’ab, perisai Rasulullah saw. dan
Fatimah, putri Rasulullah saw. yang menjadi bukti wanita tak kalah berani dibandingkan
laki-laki dalam mempertahankan kebenaran.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
SYAJA’AH ( ‫ )شجاعة‬menurut makna Etimologi berarti “benar” atau “gagah”.
Sedangkan menurut istilah ialah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan
mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi, Syaja’ah yaitu keberanian yang
berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh petimbangan.
Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika
mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian
menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah
pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut
sama sekali)”

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

http://kabarwictwicky.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-as-syajaah-dalam-islam.html

http://ildenabineri.blogspot.co.id/2015/05/tinjauan-dan-bahasan-materi-tentang-asy.html

Anda mungkin juga menyukai