tentang
MAKNA SYAJA’AH (MEMBELA KEBANARAN)
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
1. NUR SYAHRANI
2. SEPTIKA DEWI
3. M. RAFLI
4. SULIS SETIAWATI
5. ABDURRAHMAN
6. M. FADIL
7. KELVIN RIZKIANDI
DIBIMBING OLEH:
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, yang karena atas limpahan rahmat dan
anugerah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Tak lupa pula
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Mata Pelajaran yang
telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, terutama terkait penulisan
makalah ini.
Adapun makalah ini penulis rangkum dari sumber yang dapat dipercaya yang
penyajiannya penulis sajikan dalam lembar Daftar Pustaka. Penulis menyadari penulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis
harapkan guna penyempurnaannya di masa mendatang.
Akhir kata semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan kemampuan
kita dalam bidang Ilmu Agama Islam sebagaimana yang kita semua harapkan.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER .............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Strategi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan eropa sebelum dan sesudah
abad ke-20 .............................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Syaja’ah?
2. Bagaimana DALIL SYAJA’AH?
3. Apa Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah?
4. Bagaimana Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan?
5. Apa Keutamaan syaja’ah?
6. Apa Hikmah Syaja’ah?
7. Apa Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang Pengertian Syaja’ah
2. Untuk menjelaskan tentang DALIL SYAJA’AH
3. Untuk menjelaskan tentang Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah
4. Untuk menjelaskan tentang Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan
5. Untuk menjelaskan tentang Keutamaan syaja’ah
6. Untuk menjelaskan tentang Hikmah Syaja’ah
7. Untuk menjelaskan tentang Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat
Syaja’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syaja’ah
SYAJA’AH ( )شجاعةmenurut makna Etimologi berarti “benar” atau “gagah”.
Sedangkan menurut istilah ialah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan
mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi, Syaja’ah yaitu keberanian yang
berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh petimbangan.
Tokoh Abu Zahra berpendapat bahwa Syaja'ah (berani) berkata akan kebenaran dan
berani bertindak membelanya adalah salah satu ciri dan inti akhlaq islami itu. Ciri yang
dimiliki para Nabi, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri, Hasan Al Basri ketika menghadapi Al
Hajjaj, Ibnu Taimiyyah dan sebagainya. Ciri yang muncul atas penuhnya tsiqobillah
(kepercayaan kepada Allah), dalam hati seorang Muslim, keyakinan akan kebenaran Allah.
Hati yang telah terwarnai oleh celupan Allah (sibghatullah) dan memiliki tsiqoh tak
akan ragu, apalagi bersangka buruk terhadap Allah. Dalam satu detik di tengah kegagalan
usaha, tak pernah ia melemparkan kesalahan diri pada Allah, meragukan keadilan Allah dsb.
Dia percaya dengan sepenuh percaya akan Allah dengan segala asmaNya. Dia percaya
tindakannya selalu dalam pengawasan Allah dan mendapat perlindungan dariNya. Dia
percaya Allah akan membelanya baik di dunia maupun kelak di pengadilan akhirat, hari
dimana semua pembela pun turut diadili, saat dimana tak ada lagi pembela selain Allah.
Rasa percaya itulah yang melahirkan keberanian, tsiqoh yang kuat membuahkan
syaja'ah yang benar--berani bukan untuk pujian, kelompok atau sesuatu yang lain, tetapi
berani karena itu, tindakan itu untuk Allah, untuk membela agama Allah semata, dan tidak
untuk yang lainnya.Dalam titik tsiqoh ini, dalam hati seorang Muslim, kebenaran Al Qur'an
dan sunah tak memerlukan lagi legalitas ilmiah dari para orientalis. Tidak lagi keyakinan baru
tumbuh setelah orang-orang kafir juga mengakuinya. Tsiqoh kepada Allah dan RasulNya
memutus ketergantungan pada selain Allah. Kebenaran Allah adalah benar,meski ia
dibenarkan atau tidak oleh para hamba taghut.
Al Haq adalah haq, meski seluruh musuh Allah berkonspirasi untuk menolaknya.
Kebenaran Allah adalah cahaya yang menerangi hati dan akal yang fitri. Dia tidak
memerlukan pembenaran, karena dia benar adanya. Dia akan terang dan menjulang meski
mulut-mulut pendusta mengingkarinya. Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.
B. DALIL SYAJA’AH
QS Al Imran : 139
Artinya : Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati,
padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.
5. Mengendalikan Nafsu
Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat
dihilangkan tapi dapat dikendalikan.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).
Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an
bahwasanya salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan
kesalahan orang lain .
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu
orang yang berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan.”(QS. 3:133-134).
“Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu
ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah
emosi, justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh tersebut,
karena Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap
musuh bukan karena mengharapkan keridaan Allah.
6. Mengakui Kesalahan
Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul
merasakan sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya
apalagi menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan
pihak lain, tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung
jawab.
Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan
hidup Nabi Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat
pengampunan Allah sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-
orang yang merugi”. (QS 7: 23)
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah Harun Al
Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana
lazimnya penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk
untuk umum. Pada saat Khalifah melakukan sa'i antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri,
sambil disaksikan, ribuan jamaah haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke
tempat sa'i. Sesampainya di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah
beliau, "Haruuuun...!", tanpa menyebut embel-embel kekhalifahan. Mendengar jeritan tadi,
seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah
yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".
"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana ?".
"Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah. "Ketahuilah, setiap
orang dari mereka akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu
akan diminta pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah
kepada dirimu, apakah pantas engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui
kesalahan yang beliau lakukan. [5] Sikap Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri juga
mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam kebenaran, meskipun harus disampaikan
pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.
E. Keutamaan syaja’ah
Dalam ayat ini rasa takut itu dapat dikendalikan dan bahaya dari hal yang ditakuti itu
dapat diperkecil atau dihindari. Oleh karena itu orang yang mempunyai sifat syaja’ah
memiliki ketenangan hati dan kemampuan mengolah sesuatu dengan pikiran tenang.
Menurut Ibnu Miskawih, sifat Syaja’ah mengandung keutamaan-keutamaan sebagai
berikut:
Jiwa besar, yaitu sadar akan kemnampuan diri dan sanggup melaksanakan pekerjaan
besar yang sesuai dengan kemampuannya. Bersedia mengalah dalam persoalan kecil dan
tidak penting Menghormati tetapi tidak silau kepada orang lain.
1. Tabah, yaitu tidak segera goyah pendirian, bahkan setiap pendirian keyakinan
deipegangnya dengan mantap
2. Keras Kemauan, yaitu bekerja sungguh-sungguh dan tidak berputus asa serta tidak
mudah dibelokkan dari tujuan yang diyakini
3. Ketahanan, yaitu tahan menderita akibat perbuatan dan keyakinannya
4. Tenang, yaitu berhati tenang, tidak selalu menuruti perasaan (emosi) dan tidak lekas
marah
5. Kebesaran, yaitu suka melakukan pekerjaan yang penting atau besar
PENUTUP
A. Kesimpulan
SYAJA’AH ( )شجاعةmenurut makna Etimologi berarti “benar” atau “gagah”.
Sedangkan menurut istilah ialah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan
mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi, Syaja’ah yaitu keberanian yang
berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh petimbangan.
Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika
mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian
menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah
pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut
sama sekali)”
B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://kabarwictwicky.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-as-syajaah-dalam-islam.html
http://ildenabineri.blogspot.co.id/2015/05/tinjauan-dan-bahasan-materi-tentang-asy.html