Anda di halaman 1dari 19

P

MAKALAH AKIDAH AKHLAK


“ KEMULIAAN SABAR DAN KEAGUNGAN SYUKUR”

Disusun Oleh:
NURROIS

NIM : PAI . 14002

Dosen pengampu :
Drs. Ariza Arsul, M.Pd.I
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


AL-AZHAR DINIYAH JAMBI
TAHUN 2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat illahi rabbi yang dengan segala nikmatnya lah kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad
saw beserta keluarganya, sahabatnya, dan umatnya hingga akhir zaman.

Makalah Akidah Akhlak yang berjudul “Kemuliaan sabar dan keagungan syukur ” ini kami
ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kewirausahaan di program studi Pendidikan
Manajemen Bisnis.

Kami menyadari maklah ini jauh dari kesempurnaan dan memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan makalah ini. Dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat memperbaiki
makalah ini.

Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami selaku penyusun
makalah ini dan umumnya bagi yang berkepentingan terhadap makalah ini.

Jambi, Mei 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………….............................. ii

DAFTAR ISI……………………………………......................................... iii

BAB I PENDAHULUAN………… …………………...................................

A. Latar belakang……… …………………............................................... 1

B. Rumusan Masalah……………. .……...................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................

A. Pengertian Sabar ……………………………………………………. 2

B. Hakikat Sabar …………………………………………………………. 3

C. Pembagian Sabar ……………………………………………………… 5

D. Jenis-jenis Sabar ………………………………………………………. 7

E. Syukur ………………………………………………………………….. 9

F. Lebih utama sabar atau syukur …………………………………………. 18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………….…................................. 20

DAFTAR PUSAKA……………………………......................................... 21
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sabar merupakan sifat yang wajib ada pada diri seseorang, karena sifat inilah yang
menentukan kualitas hidup sesorang, terutama orang islam, karena disetiap hal yang dilakukan oleh
kaum muslimin disitu dituntut adanya kesabaran, sifat sabar jugalah yang telah membuat para nabi
dan rasul berhasil dalam dakwahnya menyampaikan risalah dari Allah SWT. Bahkan para Rasul yang
disebut sebagai Ulul Azmi adalah mereka yang tingkat kesabarannya paling baik diantara Rasul-rasul
yang lain. Kita sebagai manusia biasa tentu harus banyak belajar dari mereka terutama dalam hal
kesabaran. Selain bersabar kita juga harus banyak bersyukur, sering sekali kita melupakan hal ini,
karena kurangnya kesadaran kita bahwa segala nikmat itu datangnya dari Alloh SWT, sebagai umat
muslim yang memiliki banyak pengetahuan kita harus belajar untuk selalu mensyukuri nikmat Alloh.
Namun dalam merealisasikan sifat sabar dan syukur ini tentu bukanlah hal yang mudah, karena nafsu
kita cenderung kepada hal-hal yang menuntut untuk segera diselesaikan dengan mudah tanpa harus
melalui hambatan yang membutuhkan kesabran yang tinggi, apabila seorang telah merasa
kesabarannya telah habis maka yang akan muncul adalah sifat-sifat tercela seperti serakah. Sifat
serakah inilah yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam lembah kenistaan karena
ambisinya yang tidak di barengi dengan kesabaran.

Dalam tulisan ini pemakalah akan menguraikan sedikit tentang sabar dan serakah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian sabar dan syukur?

2. Apa saja jenis-jenis sabar yang ada dalam diri manusia?

3. Mana yang lebih utama antara sabar dan syukur?

4. Apa pengertian, hakikat, dan pengaruh serakah dalm kehidupan manusia?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian sabar.

Kata sabar bermakna mencegah, mengekang atau menahan (man’u, habs). Menurut istilah,
sabar bermakna menahan jiwa dari perasaan cemas, menahan lisan dari berkeluh-kesah dan
menahan anggota badan dari tindakan menampar pipi sendiri, menyobek-nyobek pakaian sendiri
dan lain-lain, yang sering disebut sebagai tindakan jahiliyah.

Ada pendapat bahwa asal kata “sabar” itu adalah bermakna keras dan kekuatan. Pendukung
makna ini adalah kata shabir yaitu obat yang sangat pahit dan tidak enak (jadam).

Al-Usmu’i berkata, “ketika seseorang menghadapi kepayahan dan kesulitan yang memuncak,
maka disebutkan: laqiyaha bi ashbariha. Yakni dia mendapatkan getirnya.” Juga kata shubru adalah
bermakna “tanah subur”, karena tanah itu padat dan mengeras, dan perempuan merdeka
disebut ummu shabbaryang bermakna ibu penyabar.” Orang arab mengatakan: waqa’a al-qaumu f
amrin shabbur, yang bermakna orang-orang itu berada dalam urusan yang sulit atau berbahaya. Juga
katashabarrah yang bermakna musim dingin karena suhu dingin yang mencekam.

Pendapat lain mengatakan kata “sabar” itu bermakna menghimpun, karena orang yang
bersabar menghimpun atau mengkonsentrasikan jiwanya untuk tidak cemas dan berkeluh-kesah.
Termasuk makna demikian adalah adalahshubrah al-tha’am bermakna “seonggok atau sekumpulan
makanan”, dan shubarah al-hijarahbermakna “setumpuk batu”.

Melihat makna-makna tersebut berarti sabar mengandung tiga makna: menahan atau
mengekang, kuat kokoh atau keras, dan menghimpun.

Ketika bentuknya berubah (sesuai wazan, pola kata) maka terdapat selipan makna.Shabara:
menjalani kesabaran. Tashabbara, memaksakan atau mendorong jiwanya untuk bersabar. Ishthabara:
menuntut dan melatih bersabar. Shabara, menghentikan musuh pada ruang kesabaran. Shabbara:
membawa jiwanya pada kesabaran. Sedangkan bentuk ism fa’il-nya, shabir (dari shabara, shabbar,
shabur, mushabir, (dari shabara), dan mushtabir (dari ishthabara);
adapun shabbar dan shabur adalah bentuk lain yang mengandung makna banyak (sebagai
bentuk mubalaghah) seperti kata dharrab dandharub (tukang pukul).[1]

B. Hakikat Sabar

Kata “sabar” secara etimologi sudah cukup jelas diterangkan diatas. Hakikat sabar adalah
suatu sikap utama dari perangai kejiwaan yang dapat menahan perilaku yang tidak baik dan tidak
simpati. Sabar merupakan kekuatan jiwa untuk stabilitas dan baiknya orang dalam bertindak.
Al-junaidi Ibn Muhammad Al-Baghdadi (seorang ulama’ yang zuhud, wafat th. 297 H)
mengatakan, “sabar adalah menelan kepahitantanpa bermuka masam.” Dzunnun Al-Mishri, (seorang
yang terkenal zuhud dan gemarberibadah, wafat th. 245 H) berkata, “sabar ialahmenjauhi larangan,
bersikap tenang disaatmeneguk duri cobaan,
dan menampakkan sikaptidak membutuhkan padahal kemelaratanmenimpa ditengah pelataran kehi
dupan.”

Ada definisi lain bahwa sabar adalahkonsisten menghadapi cobaan dengan berbaiksikap.
Ada pula yang mengatakan bahwa sabaradalah sikap tidak membutuhkan sesuatu ketikadicoba,
tanpa menampakkan pengaduan. Abu utsman berkata, “penyabar adalah orang yang
membiasakan jiwanya menyerang ataumenghadapi berbagai kesulitan.” Juga ada yangberpendapat,
“sabar ialah konsisten menghadapicobaan dengan sikap yang
baik sebagaimanakonsisten bersama dalam keadaan selamat (sehat).”

Seorang hamba wajib memenuhipengabdian kepada Allah


disaat sehat atauselamat dan saat diuji. Dia wajib menyikapi sehatdan selamat dengan bersyukur dan
menyikapiujian dengan bersabar.

Amribn Utsman Al-Makki (seorang sufi danulama’ ilmu ushul, wafat th. 297 H) berkata,
“sabar ialah berteguh bersama Allah danmenerima ujian-Nya dengan lapang dada dansikap tenang.”
Yakni diterimany

Al-Khawwash (Abu Ishaq Al-Khawwash, seorangsufi, wafat th. 291 H) berkata,


“sabar adalahkonsistensi terhadap peraturan dan ketentuan Al-qur’an dan Al-hadits.” Ruwain
(seorang sufiterkenal di Bagdad, wafat th. 330 H) menyatakan,
“kesabaran adalah berkomitmen meninggalkanpengaduan.”a ujian Allah dengan jiwa lapang, yang
tidak mengenal kesempitan, kedengkian danpengaduan.

Ulama’ lain mengatakan, “kesabaran adalahsikap memohon pertolongan kepada Allah.” Abu
Ali menyatakan, “sabar ialah seperti kata itusendiri (pahit rasanya).” Ali ibn Abu
Thalib ra.menyatakan, ‘sabar itu kendaraan yang tidakakan terperosot.”Abu Muhammad Al-
Jarirmengatakan,
“sabar itu tidak membedakan antaramendapatkan kenikmatan dengan mendapatkanujian,
dengan sikap ketenangan jiwa.”

Aku katakan, (tidak membedakan sikap antara ketika mendapat kankenikmatan dengan
ketika mendapatkan ujian) itu tidak dalam ukuran kemampuan dan tidak diperintahkan, karena Allah
menciptakan tabi'at manusia tersusun untuk membedakan antara dua keadaan tersebut. Adapun
kemampuan manusia menahan jiwa dari berkeluh kesah, tidaklah menyetarakan dua keadaan
tersebut.
Cakupan keselamatan (sehat, keadaan normal) adalah lebih luas daripada kesabaran,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam do’a beliau:

‫ب لعلليي لفلل أ كلباَالىِ لغنيلر الين لعاَافليلت ل‬


ِ‫ك ألنولسكع الى‬ ‫اانن للنم ليككنن اب ل‬
‫ك لغ ل‬
‫ض ب‬
“... jika pada-Mu tidak ada kemurkaankepadaku, maka aku tidak peduli (tidakmasalah).
Tetapi keselamatan (dari)-Mu lebihluas bagiku.” (Khanz al-Ummal 3613, Majma’ al-Zawaid 96: 35).

Hadits ini tidak bertentangan dengan sabdaRasulullah SAW.:

‫لولماَ ا كنعاطلي أللحبد لعلطاَءء لخنيءرا لوالنولسلع املن ال ي‬


‫صنبار‬
“Tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang
lebih baik dan lebih lapang daripadakesabaran.”(HR. Al-Bukhari 1469, Muslim 1053).

Abu Ali al-Daqqaq berkata, “Batasan minimal kesabaran adalah tidak menentang takdir.
Adapun menampakkan cobaan, tanpa ada unsur pengaduan, tidaklah menafikan kesabaran. Allah
SWT berfirman dalam mengisahkan Nabi Ayyub:

‫اانناَلولجندلنكه ل‬
‫صاَابءرا‬
“Sungguh kami (Allah) mendapati Ayyub sebagai orang yang sabar.” (QS. Shad: 44)

“Aku (Ayyub) terkena sakit.” (QS. Al-Anbiya’:83)[2][2]

C. Pembagian sabar

Kesabaran terbagi dua, kesabaran secara fisik oleh anggota badan (badany) dan kesabaran
oleh iwa (nafsany), dan masing-masing ada yang merasa sukarela(atas pilihan sendiri) atau terpaksa.
Dengan demikian maka kesabaran pada manusia terbagi empat:

Pertama: kesabaran anggota badan secara sukarela (badany ikhtiyary), yaitu seperti menggeluti
aktifitas fisik yangdan kemauan sendiri.
Kedua: kesabaran anggota badan secara terpaksa (badany dharury), seperti bersabar merasakan
sakitnya dihantam, sakit, penderitaan, kepanasan, kedinginan, dan lain-lain.

Ketiga: kesabaran jiwa secara sukarela (nafsany ikhtiyary), seperti kesabaran jiwa tidak melakukan
perilaku yang tidak baik di mata syariat dan akal sehat.

Keempat: kesabaran jiwa secara terpksa (nafsany dharury), seperti kesabaran jiwa ketika dipaksa
untuk berpisah dengan kekasih oleh suatu sebab.

Kita mengetahui bahwa pembagian empat tersebut adalah untuk manusia, tidak-lah untuk
hewan. Kesabaran untuk hewan adalah dua bagian dari empat bagian tersebut: yaitu kesabaran
badan dan kesabaran

jiwa secara terpaksa. Akan tetapi, kesabaran hewan kadang lebih kuat daripada manusia.
Sedangkan keistimewaan manusia dibandingkan dengan hewan adalah pada dua bagian kesabaran
yang sukarela. Namun banyak manusia kwesabarannya menguat pada bagian kesabaran yang juga
dimiliki hewan (kesbaran terbaksa)-tidak pada bagian kesabaran yang istimewa pada manusia-maka
dalam hal ini dia masukl dalam kategori oranmg yang bersabar tetapi tidak termasuk golongan orang-
orang yang sobirin yakni bersabar karena ketulusab hati tanpa merasa terpaksa untuk bersabar.

Mungkin ada yang bertanya, “apakah jin sama seperti manusia dalam hal sabar?” ya, sabar
adalah konsekuensi logis dari taklif (beban / tugas dari Allah), yang terdiri dari perintah dan larangan.
Maka jin juga dibebani bersabarterhadap pelaksanaan perintah dan pencegahan larangan,
sebagaimana kita dibebani demikian.

Apabila ditanyakan lagi, “apakah taklif kepada jin itu dengan bentukya sama ataukah berbeda
dengan bentuk taklif kepada kita?” sikap kejiwaan-seperti cinta, benci, iman, membenarkan,
menjalin kasih sayang dan bermusuhan pada jin sama dengan kita dalamhal ini.adapun tu tutan
tuntutan yang bersifatbadany-seperti mandi besar, membasuh anggota badan dalam berwudlu,
cebok, klhitan, mandi selesai haid dan lain-lain. Tidaklah hjarus sama dengan kita dalam ukuran
pembebanan, karena taklif berstandar dengan ruipa penciptaan dan cara kehidupan mereka.

Pertanaan lagi,”apakah malaikat sama seperti kitadalam pembagian sabar tersebut? “


malaikat tidak diuji dengan hawa nafsu yang memerangi akal dan pengetahuan mereka, bahkan bagi
mereka ibadah dan ketaata bagi nafas bagi kita. Maka tidak bisa dibayangkan pada mereka bentuk
kesabaran, yang notabeneketabahan yang membangkitkan agama dan akal pikiran untuk
mengahadapi dorongan keinginan dan awa nafsu. Meski demikian mereka berkesabara yang sesuai
bagi mereka, yaitu ketabha dan konsisitensi mereka terhadap habitat mereka, tanpa perlawanan
dengan hawa nfsu, keinginan atau perwatakan.
Maka manusia yang kesabaranya mengalahkan pendorong hawa nafsu dan keinginan,dia
sekelas malaikat; tetapi sebaliknya, jika pendorong hawa nafsu dan keibginannya mengalahkan
kesabarannya, maka dia seklas setan. Apabila pendorong abiat makan-minum dan

bersetubuh mengalahkan kesabarannya maka dia sekelas hewan.[3]

D. Jenis-jenis sabar

1. Sabar dilihat dari variabelnya, terbagi tiga bagian:

a. Kesabaran terhadap perintah dan ketaatan, hingga itu terlaksana

b. Kesabaran dari larangan dan penyimpangan, hingga ia tidak terjatuh ke dalamnya.

c. Kesabaran menghadapi takdir dan penentun, hingga dia tidak marah.

Tiga bentuk kesabaran inilah yang dikatakan Abd al-Qodir (seorang sufi yang zuhud, pendiri
toriqoh qodiriah, wafat th. 561 H) di dfalam futuh al-ghaib,”keharuan bagi hjamba terhadap perintah
adalah melaksanakan, terhadap larangan adalah menghindar, dan terhadap takdir adalah bersabar.
[4]

2. Sabar berdasarkan hukum lima

a. Kesabaran yang wajib

Sabar yang wajib ada tiga:

Pertama, kesabaran dalam menjauhi keharaman

Kedua, kesabaran dalam melaksanakan kewajiban,

Ketiga, kesabaran dalam mengajhadapi musibah yang tidak dibuat hamaba, seperti kefakiran , sakit,
dan lain-lain.

b. kesabaran yang sunnah

sabar yang sunnah ada;lah kesabaran tidak melakukan hal-hal yang makruh, kesabaran
melaksanakan hal-hal yang sunnah, dan kesabaran tidak membalas setimpal pada pelaku kejahatan.

c. Kesabaran yang haram

Adapun bentuk kesabaran yang dilarang (haram), jumlahnya cukup banmyak, seperti
kesabaran tidak makan minum hingga meninggal. Bersabar tidak memakan bangkai, darah, atau
daging babi, ketika kel;aparan (dan tidak ada makanan halal) adalah haram, apabila dikhawatirkan
akan menimbulkan kematian.
Imam Tawus (seorang tabi’in, ulama Fiqh dan Hadits yang zuhud, wafat th. 106 H) kemudian
didukung oleh Imam Ahmad Ibnu Hambal m,engatakan, orang yang dalam keadaan darurat harus
memakan ulat atau darah, tetapi jika dia tidak makan dan akhirnya dia meninggal, maka dia masuk
neraka.

d. Kesabaran yang Makruh

Kesabaran yang makru, contohnya: bersabar tuidak makan-minum-bersetubuh yang


menyebabkan jasamni terganggu; bersabar tidak menyetubuhi istri, ketika istri membutuhkan dan
tidak mengganggunya; bersabar terhadap hal-hal yang tidak mengenakan; dan bersabar tidak
melakukan kesunnahan.

e. Kesabaran yang boleh

Kesabaran yang boleh adalah kesabaran terhadap segala perilaku, yang kedua sisinya sama-
sama baik. Yakni dia berhak memilih antara melakukan, tidak melakukan dan bersabar terhadap hal
ini.

Jadi, kesabaran terhadap yang wajib adalah wajib dan bersabar tidak melaksanakan yang
wajib adalah haram. Bersabar untuk tidak melakukan yang haram adalah wajib dan bersabar
melakukan yang haram adalah haram. Bersabar terhadap yang sunnah adal;ah sunnah, dan bersabar
tidak melakuka yang sunnah adalah makruh. Bersabar tidak melakukan yang makruh adalah sunnah,
dan bersabar terhadap makruh adalah makruh. Bersabar tidak melaksanakan yang mubah adalah
mubah (boleh).[5]

E. Syukur

Syukur menurut bahasa artinya berterimakasih. Adapun menurut istilah, adalah ,merasa
gembira dan puas serta berterimaksih ats segala nikmat dan anugerah Allah yang dilimpahkan
kepadanya, sungguh pun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sikap dan sifat syukur tersebut
diwujudkan dalam bentuk meningkatkan amal ibadah dan ikhtiar, yang semuanya itu dilakukan
karena Allah dan untuk Allah. Kedudukan syukur mengisyaratkan kesadaran serta mencakup ikhwal
keluasan rahmat Allah atas hamba-Nya.[6]

Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,dan wa syukuran yang berarti
berterima kasih keapda-Nya .Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih,
syukranlaka artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih, asy-syakir artinya
yang banyak berterima kasih .

Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran
dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya . Syukur berasal dari kata syukuran yang
berarti mengingat akan segala nikmat-Nya .

Menurut bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta
mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati
maupun dilaksanakan melalui perbuatan.

Dalam kamus besar Bahasa indonesia, memiliki 2 arti:

1. Rasa berterima kasih kepada allah.

2. Untunglah atau merasa lega senang dll.

Ada tiga ayat yang dikemukakan tentang pengertian syukur ini, yaitu sebagai berikut disertai
penafsirannya masing-masing.

1. Surah al-Furqan, ayat 62

‫لوكهلو الياذيِ لجلعلل اللينيلل لوالينلهاَلر اخنللفءة لالمنن أللرالد ألنن لييذيكلر ألنو أللرالد ك‬
‫شككوءرا‬
artinya:

“Dan Dia(pula)yang menjadikan malam dan sian

g silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur ”. (QS. Al-
Furqan: 62).

Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam dan siang
silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak mengambil pelajaran dari
pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri nikmat tuhannya untuk
memperoleh buah dari keduanya. Sebab, jika dia hanya memusatkan kehidupan akhirat maka dia
akan kehilangan waktu untuk melakukan-Nya. Jadi arti syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri
nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.

Hal senada dikemukakan Ibn Katsir bahwa syukur adalah bersyukur dengan mengingat-Nya.

Penafsiran senada dikemukakan Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd
Rahman Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa syukur adalah bersyukur atas segala
nikmat Rabb yang telah dilimpahkan-Nya pada waktu itu.
Departemen Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur atas segala
nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang ciptaan-Nya.

2. Surah Saba, ayat :13

‫ب لولتلماَاثيلل لواجلفففاَنن لكففاَنللجلوا ا‬


‫ب لوقكففكدونر لرااسففلياَ ن‬
‫ت‬ ‫لينعلمكلولن للكه لماَ ليلشاَكء امنن لملحاَاري ل‬
‫يِ اليشككوكر‬ ‫انعلمكلوا آللل لداكوولد ك‬
‫شنكءرا لولقاليبل امنن اعلباَاد ل‬
artinya:

“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan
patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas
tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-
hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba: 13).

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyebut-nyebut apa yang pernah Dia anugrahkan kepada
Sulaiman as,. Yaitu merek

a melaksanakan perintah Sulaiman as untuk membuat istana-istana yang megah dan patung-patung
yang beragam tembaga, kaca dan pualam. Juga piring-piring besar yang cukup untuk sepuluh orang
dan tetap pada tempatnya, tidak berpindah tempat. Allah berkata kepada mereka “agar mensyukuri-
Nya atas segala nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kalian”.

Kemudian Dia menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur yaitu dikarenakan
sedikit dari hamba-hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt dengan
menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.

Menurut al-Maragi arti kata asy-Syukurdi atas adalah orang yang berusaha untuk bersyukur. Hati dan
lidahnya serta seluruh anggota tubuhnya sibuk dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan,
keyakinan dan perbuatan. Dan ada pula yang menyatakan asy-syukur adalah orang yang melihat
kelemahan dirinya sendiri untuk bersyukur.

Sementara itu Ibn Katsir memberikan arti dari kata asy-syukur adalah berterima kasih atas segala
pemberian dari Tuhan yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Penafsiran yang senada dikemukakan oleh jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal
al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bkar al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa syukurnya itu
dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.

3. Surah al-Insan, ayat 9

‫إاينلماَ كننطاعكمككنم لالونجاه ي ا‬


‫ا لل كناريكد امننككنم لجلزاءء لولل ك‬
‫شككوءرا‬
artinya:

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah,
kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak meminta dan mengharapkan dari kalian balasan dan lain-
lainnya yang mengurangi pahala, kemudian Allah memperkuat dan menjelaskan lagi bahwa Dia tidak
mengharapkan balasan dari Hamba-Nya, dan tidak pula meminta agar kalian berterimakasih kepada-
Nya.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah bersykur
dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya
dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan.

2. Cara mensyukuri nikmat dan karunia Allah.


Rasulullah shollallahu Alaihi Wa Sallam dikenal sebagai abdan syakuura (hamba Allah yang banyak
bersyukur). Setiap langkah dan tindakan beliau merupakan perwujudan rasa syukurnya kepada
Allah.Suatu ketika Nabi memegang tangan Muadz bin Jabal dengan mesra seraya berkata :
“Hai Muadz, demi Allah sesungguhnya aku amat menyayangimu”. Beliau melanjutkan sabdanya,
“Wahai Muadz, aku berpesan, janganlah kamu tinggalkan pada tiap-tiap sehabis shalat berdo’a :
Allahumma a’innii `alaa dzikrika wa syukrika wa husni `ibaadatika (Ya Allah,tolonglah aku agar
senantiasa ingat kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan baik dalam beribadat kepada-Mu)”.
Mengapa kita perlu memohon pertolongan Allah dalam berdzikir dan bersyukur ? ., Tanpa
pertolongan dan bimbingan Allah amal perbuatan kita akan sia-sia. Sebab kita tidak akan sanggup
membalas kebaikan Allah kendati banyak menyebut asma Allah; Menyanjung, memuja dan
mengaungkan-Nya. Lagi pula, hakikat syukur bukanlah dalam mengucapkan kalimat tersubut, kendati
ucapan tersebut wajib dilakukan sebanyak-banyaknya.
Al Junaid seorang sufi, pernah ditanya tentang Makna (hakikat) syukur. Dia berkata, “Jangan sampai
engkau menggunakan nikmat karunia Allah untuk bermaksiat kepada-Nya”.

Kita taat dengan menggunakan karunia dan izin Allah. Bahkan ketaatan itu sendiri merupakan
karunia dan hidayah Allah. Sebaliknya, seseorang yang melakukan maksiat pun sudah pasti dengan
menyalahgunakan nikmat Allah dan akibat kesalahannya sendiri.

Ketika kita menerima pemberian Allah kita memuji-Nya, tetapi ini sama sekali belum mewakili
kesyukuran kita. Pujian yang indah dan syahdu saja belum cukup, dia baru dikatakan bersyukur bila
diwujudkan dalam bentuk amal shaleh yang diridhai Allah.

Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Perumpamaan orang yang memuji syukur kepada Allah
hanya dengan lidah, namun belum bersyukur dengan ketaatannya, sama halnya dengan orang yang
berpakaian hanya mampu menutup kepala dan kakinya, tetapi tidak cukup menutupi seluruh
tubuhnya. Apakah pakaian demikian dapat melindungi dari cuaca panas atau dingin ?”
Syukur sejati terungkap dalam seluruh sikap dan perbuatan, dalam amal perbuatan dan kerja Nyata.

Para ulama mengemukakan tiga cara bersyukur kepada Allah.

1. bersyukur dengan hati nurani. Kata hati alias nurani selalu benar dan jujur. Untuk itu, orang yang
bersyukur dengan hati nuraninya sebenarnya tidak akan pernah mengingkari banyaknya nikmat
Allah. Dengan detak hati yang paling dalam, kita sebenarnya mampu menyadari seluruh nikmat yang
kita peroleh setiap detik hidup kita tidak lain berasal dari Allah. Hanya Allahlah yang mampu
menganugerahkan nikmat-Nya.

2. Bersyukur dengan ucapan. Lidahlah yang biasa melafalkan kata-kata. Ungkapan yang paling baik
untuk menyatakan syukur kita kepada Allah adalah hamdalah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah
bersabda, ``Barangsiapa mengucapkan subhana Allah, maka baginya 10 kebaikan. Barangsiapa
membaca la ilaha illa Allah, maka baginya 20 kebaikan. Dan, barangsiapa membaca alhamdu li Allah,
maka baginya 30 kebaikan.

3. Bersyukur dengan perbuatan, yang biasanya dilakukan anggota tubuh. Tubuh yang diberikan
Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal yang positif. Menurut Imam al-Ghazali,
ada tujuh anggota tubuh yang harus dimaksimalkan untuk bersyukur. Antara lain, mata, telinga, lidah,
tangan, perut, kemaluan, dan kaki. Seluruh anggota ini diciptakan Allah sebagai nikmat-Nya untuk
kita. Lidah, misalnya, hanya untuk mengeluarkan kata-kata yang baik, berzikir, dan mengungkapkan
nikmat yang kita rasakan. Allah berfirman, ``Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah
kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).`` (QS Aldhuha [93]: 11).

3. Hikmah bagi orang-orang yang mau bersukur

Adapun hikmah bagi orang bersyukur sangat banyak diberikan oleh Allah swt, bahkan Allah sangat
mengetahui tanda-tanda orang yang bersyukur. balasan yang diberikan Allah di dunia dan diakhirat.
Ada banyak ayat-ayat al-qur’an yang memaparkan tentang apa yang akan diperoleh atau didapatkan
bagi orang yang beryukur, diantaranya seperti dalam surat Ali-Imran ayat 144 dan 145 sbb : ‘’
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah berlalu beberapa orang
Rasul. Apakah jika wafat atau terbunuh kamu berbalik kebelakang. Barang siapa yang berbalik ke
belakang, maka tidaklah ia memberi mudarat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberikan
balasan kepada orang-orang yang bersyukur. setiap diri tidaklah akan mati kecuali seizin Allah sebagai
ketentuan yang telah ditetapkan waktunya. Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, Kami akan
memberikan itu kepadanya dan barang siapa yang menghendaki pahala diakhirat, Kami berikan pula
kepadanya dan Kami akan memberi balasan bagi orang-orang yang bersyukur.’’(Ali-Imran: 144-145) .
‘’ Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri,
dan barang siapa yang tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji.’’
( Lukman : 12). Ayat ini merupakan Makiyah, tema utamanya adalah mengajarkan ajakan kepada
tauhid dan kepercayaan akan niscaya Kiamat serta pelaksanaan prinsip-prinsip dasar agama. Adapun
tafsiran ayat-ayat diatas menunjukan al-qur’an yang penuh hikmah dan Muhsin yang menerapkan
hikmah dalam kehidupanya, serta orang-orang kafir yang bersikap sangat jauh dari hikmah
kebijaksanaan. Dan sesungguhnya Kami Yang Maha Perkasa dan Bijaksana telah menganugerahkan
dan mengajarkan juga mengilhami hikmah kepada Lukman, ‘’ Bersyukurlah Kepada Allah, dan barang
siapa yang bersyukur kepada Allah , maka sesungguhnya ia bersyukur untuk kemaslahatan dirinya
sendiri, dan barang siapa yang kufur yakni yang tidak bersyukur, maka akan merugi adalah dirinya
sendiri. Dia sedikit pun tidak merugikan allah, sebagaimana yang bersyukur tidak menguntungkan-
Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Kaya tidak butuh kepada apapun, Lagi Maha Terpuji oleh
Makhluk di langit dan di bumi.’’ Kata syukur yang berasal dari kata syakara berarti pujian atas
kebaikan serta penuhnya sesuatu. Syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari
lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerah-Nya, disertai dengan ketundukan
dan kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya, dan dorongan untuk memuji-Nya dengan
mengfungsikan anugerah yang diterima sesuai dengan tujuan penganugerahnya, ia adalah
menggunakan nikmat sebagaimana yang dikehendaki oleh penganugerahnya, sehingga
penggunaannya mengarah sekaligus menunjuk penganugerah. Tentu saja untuk maksud ini,yang
bersyukur perlu mengenal siapa penganugerahnya (Allah swt) mengetahui nikmat yang
dianugerahkan kepadanya, serta fungsi dan cara menggunakan nikmat itu sebagaimana yang
dikehendaki-Nya, sehingga yang dianugerahkan nikmat itu benar-benar menggunakan sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh Peangugerah. Hanya dengan demikian, anugerah dapat berfungsi
sekaligus menunjuk kepada Allah, sehingga ini pada giliranya mengantar kepada pujian kepada-Nya
yang lahir dari rasa kekaguman atas diri-Nya dan kesyukuran atas anugerah-Nya. Firmannya :usykur
lillah adalah hikmah itu sendiri yang dianugerahkan kepadanya itu. Dari kata ‘’ Bersyukurlah kepada
Allah.’’ Sedangkan menurut Al-Biqa’I yang menulis bahwa ‘’Walaupun dari segi redaksional ada
kalimat Kami katakana kepadannya, tetapi makna akhirnya adalah Kami anugerahkan kepadanya
syukur.’’ Sayyid Qutub menulis bahwa ‘’ Hikmah, kandungan dan konsekuensinya adalah syukur
kepada Allah.’’ Bahwa hikmah adalah syukur, karena dengan bersyukur seperti diatas, seseorang
mengenal Allah dan mengenal anugerah-Nya. Dengan mengenal Allah seseorang akan kagum dan
patuh kepada-Nya, dan dengan mengenal dan mengetahui fungsi anugerah-Nya, seseorang akan
memiliki pengetahuan yang benar lalu atas dorongan kesyukuran itu, ia akan melakukan amal yang
sesuai dengan pengetahuannya, sehingga amal yang lahir adalah amal yang tepat pula .‘’ Dan tanah
yang baik , tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah yang tidak subur, tanaman-
tanaman yang tidak subur, tanaman-tanaman hanya tumbuh merana. Demikianlah kami
mengulanngi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.’’ (Al-A’raf : 58) ‘’(Dan
demikianlah telah Kami uji) Kami telah coba (sebagian mereka dengan sebagian lainnya) yakni orang
yang mulia dengan orang yang rendah, orang yang kaya dengan orang yang miskin, untuk Kami
lombakan siapakah yang berhak paling dahulu keimanan, (supaya mereka berkata: ) orang-orang
yang mulia dan orang-orang kaya yaitu mereka yang ingkar (‘’Orang-orang semacam inikah) yakni
orang miskin (diantara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada Mereka???’’) hidayah artinya jika
apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang miskin dan orang-orang rendahan itu dinamakan
hidayah, niscaya orang-orang mulia dan orang-orang kaya itu tidak akan mampu mendahuluinya.
(’’Tidaklah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur (Kepada)Nya.’’) Kepada-Nya, lalu Dia
memberikan hidayah kepada mereka. Memang betul. (Al-An’am : 53). Ayat ini termasuk ayat
Makiyah. Berdasarkan asbabun nuzul ayat ini diturunkan berkenaan enam orang periwayat tentang
Abdullah Ibnu Mas’ud dan empat orang lainnya. Mereka (kaum musyrikin) berkata kepada kepada
Rasulullah saw : ‘’Usirlah mereka (yakni para pengikut Nabi) sebab kami merasa malu menjadi
pengikutmu seperti mereka.’’ Akhirnya hamper saja Nabi saw terpengaruh oleh permintaan
mereka,akan tetapi sebelum terjadi Allah swt menurunkan Firman-Nya : ‘’Dan janganlah kamu
mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya s/d Firman-Nya : ‘’ Tidakkah Allah lebih mengetahui
tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya) . ‘’ Dan (ingatlah juga), tatkala tuhan mu
mema’lumkan : ‘’ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepada
mu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-ku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih.’’ (Ibrahim : 7).

4. Sebab-sebab kurang bersyukur.

Allah menyebutkan dalam kitab-Nya, bahwa makhluk tidak akan mampu menghitung nikmat-
nikmatNya kepada mereka. Allah befirman:

“Dan seandainya kalian menghitung nikmat Alloh, kalian tidak akan (mampu) menghitungnya.” (an-
Nahl: 18)

Maknanya, mereka tidak akan mampu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah dengan cara yang
dituntut. Karena orang yang tidak mampu menghitung nikmat Allah, bagaimana mungkin dia akan
mensyukurinya?

Barangkali seorang hamba tidak dikatakan menyepelekan jika dia mengerahkan segenap usahanya
untuk bersyukur, dengan mewujudkan ubudiyah (penghambaan) kepada Alloh, Robb semesta alam,
sesuai dengan firmanNya,

“Maka bertakwalah kalian kepada Alloh, menurut kemampuan kalian.” (at-Taghobun: 16)

Sikap meremehkan yang kami maksudkan adalah, jika seorang manusia senantiasa berada dalam
nikmat Allah siang dan malam, ketika safar maupun mukim, ketika tidur maupun terjaga, kemudian
muncul dari perkataan, perbuatan dan keyakinannya sesuatu yang tidak sesuai dengan sikap syukur
sama sekali. Sikap peremehan inilah yang kita ingin mengetahui sebagian sebab-sebabnya. Kemudian
kita sampaikan obatnya dengan apa yang telah Allah bukakan. Dan taufiq hanyalah di tangan Allah.

Di antara sebab-sebab ini:

1. Lalai dari nikmat Allah.


Sesungguhnya banyak manusia yang hidup dalam kenikmatan yang besar, baik nikmat yang umum
maupun khusus. Akan tetapi dia lalai darinya. Dia tidak mengetahui bahwa dia hidup dalam
kenikmatan. Itu karena dia telah terbiasa dengannya dan tumbuh berkembang padanya. Dan dalam
hidupnya, dia tidak pernah mendapatkan selain kenikmatan. Sehingga dia menyangka bahwa perkara
(hidup) ini memang seperti itu saja. Seorang manusia jika tidak mengenal dan merasakan
kenikmatan, bagaimana mungkin dia mensyukurinya? Karena syukur, dibangun di atas pengetahuan
terhadap nikmat, mengingatnya dan memahami bahwa itu adalah nikmat pemberian Alloh
kepadanya.

Sebagian salaf berkata, “Nikmat dari Alloh untuk hambaNya adalah sesuatu yang majhulah (tidak
diketahui). Jika nikmat itu hilang barulah dia diketahui.” [Robii’ul Abror 4/325].Sesungguhnya banyak
manusia di zaman kita ini senantiasa berada dalam kenikmatan Allah, mereka memenuhi perut
mereka dengan berbagai makanan dan minuman, memakai pakaian yang paling indah, bertutupkan
selimut yang paling baik, menunggangi kendaraan yang paling bagus, kemudian mereka berlalu
untuk urusan mereka tanpa mengingat-ingat nikmat dan tidak mengetahui hak bagi Allah. Maka
mereka seperti binatang, mulutnya menyela-nyela tempat makanan, lalu jika telah kenyang dia pun
berlalu darinya. Dan semacam ini pantas bagi binatang.

Jika kenikmatan telah menjadi banyak dengan mengalirnya kebaikan secara terus-menerus dan
bermacam-macam, manusia akan lalai dari orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat itu. Dia
menyangka bahwa orang lain seperti dia, sehingga tidak muncul rasa syukur kepada Pemberi nikmat.
Oleh karena itu, Alloh memerintahkan hambaNya untuk mengingat-ingat nikmatNya atas mereka –
sebagaimana telah dijelaskan. Karena mengingat-ingat nikmat akan mendorong seseorang untuk
mensyukurinya. Allah berfirman:

Yang artinya:

“Dan ingatlah nikmat Alloh padamu, dan apa yang telah diturunkan Alloh kepadamu, yaitu al-Kitab
dan al-Hikmah (as-Sunnah). Alloh memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkanNya
itu.” (al-Baqarah: 231)

F. Lebih Utama Sabar Atau Syukur

Dalam hal ini Ibnu Faraj al-Jauzi meriwayatkan tiga pendapat: pertama, sabar lebih
utama. Kedua, syukur lebih utama. Ketiga, seimbang, sebagaimana Umar Ibn al-Khottob berkata,
“jika sabar dan syukur berwujud dua ekor unta maka aku tidak peduli yang mana aku menunggang.

1 Argumen orang-orang yang bersabar

Para penyabar berkata, Allah SWT. Memuji sabar dan pelakunya, dia menyanjung sabar dan
memerintahkannya, dad Dia mengaitka kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat dengan sabar.
Dia juga me nuturkannya di dalam, al-Qur’an dalam 90-an tempat.

Kiranya cukup untuk menunjuklan bahwa sabr lebih utam dengan sabbda Rasulullah SAW.
‫االَصطاَّ ر رع االَصشاَّ ركرر ببام ن رنرال االَصصاَّ ر رئ االَصصاَّربرر‬

“orang tidak berpuasa yang bersyukur adalah sekelas dengan orang berpuasa yang bersabar.” (H.R.
Al-Titmidzi 3488, Ibnu Majjah 1769 dan Ahmad 2: 283).[7]

2 Argument orang-orang yang bersyukur

Oranng-orang yang besyukur berkata, “hai orang-orang yang penyabar (yang mayoritas orang
fakir), kalian telah melangkahi tahapan, kalian mengumpulkan suatu kedudukan padahal ada
kedudukan lain yang lebih unggul, dan kalian mengedepankan sarana atas sarana, mengedankan
sarana antara atas sarana tujuan, amal sempurna atas amalan yang lebih senpurna, amal utama atas
amalan yang lebih utama, pula kalian tidak mengenali syukur secara benar dan kalin tidak
mendudukan syukur pada matabatnya. Padahal Allah SWT. Menyejajarkan syukur dengan dzikir
(mengingati) Allah, yang dikehendaki-Nya dari makhluk. Dzikir dan syuikur adalah tujuan
diciptakannya makhluk dfan sasaran perintah, sedangkan sabar adalah pelayan dan penolong
keduanya, serta sebagai sarana bagi keduanya.

BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata sabar bermakna mencegah, mengekang atau menahan (man’u, habs). Menurut istilah,
sabar bermakna menahan jiwa dari perasaan cemas, menahan lisan dari berkeluh-kesah dan
menahan anggota badan dari tindakan menampar pipi sendiri, menyobek-nyobek pakaian sendiri
dan lain-lain, yang sering disebut sebagai tindakan jahiliyah.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jauziyah, Ibnu al-qayyim, Sabar dan Syukur,Semarang: Pustaka Nun, 2010.

Hartati , Netty, dkk, Islam dan Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Iman, Fauzul, Lensa Hati, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.

Al-Hafidz, Ahsin W., kamus Ilmu Al-Quran, Jakarta: Amzah, 2012.

Anda mungkin juga menyukai