Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“SABAR, ZUHUD, WARA’, TAWAKAL, SYUKUR”


Mata Kuliah Pengantar Tafsir Tarbawi
Dosen Pengmampu:
Muhammad Solekhin S. Pdi M. Pd

Disusun Oleh:
Nur Aqifah (2111101257)
Thoriq Assegaf (2111101120)
Tyas Ayu Ramadhani (2111101178)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Pengantar Psikologi, dengan judul: “Hukum dan Keadilan”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhya bahwa makalah ini jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki, oleh
karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan.

Samarinda, 09 Mei 2022

Penulis.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................................5
C. Tujuan Penelitian..............................................................................5
D. Manfaat Penelitia..............................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Sabar, Zuhud, Tawakal, Wara’, dan Syukur...................6
B. Macam-macam Sabar, Zuhud, Tawakal, Wara’ dan Syukur............9
C. Keutamaan Sabar, Zuhud, Tawakal, Wara’, dan Syukur.................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di zaman sekarang yang semakin modern, di mana kehidupan dunia
semakin maju dan canggih, banyak orang yang setiap harinya bukan tekun
beribadah, tetapi malah sibuk dengan pekerjaanya tanpa mengenal waktu.
Mereka hanya mengejar kemewahan dunia dan lalai dengan kehidupan
akhirat, maka dalam keadaan seperti itulah kita semua dituntut untuk
berlaku zuhud agar selamat dari godaan materi yang menyesatkan dan
bahkan kadang-kadang menyeret manusia dalam kekufuran.
Dalam kehidupan sehari-hari juga kita sebagai manusia adalah
tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia
yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang
terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung
bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat
sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali.
Hamba yang baik dan senantiasa memelihara kedekatanya dengan
Allah SWT lalu berusaha mensyukuri setiap nikmat dan karunia Allah
SWT, niscaya akan Allah beri sesuatu yang lebih bernilai dan bermanfaat,
baik berupa kenikmatan dan keberkahan hdup di dunia maupun di akhirat.
Sebaliknya, jika ia menelantarkan rasa syukur kepada Allah, maka Dia
akan mencabut nikmat tersebut dan menggantinya dengan sesuatu yang
lebih buruk sebagai bentuk azab atas kufur nikmat.
Ridha Allah adalah dambaan setiap muslim yang menyadari bahwa
itulah harta termahal yang pantas diperebutkan oleh manusia. Tanpa ridha
Allah, hidup seorang insan akan hampa, kering, tidak dapat merasakan
nikmat atas segala apa yang telah ada di genggaman kita,bermacam
masalah silih berganti menyertai hidup kita. Harta berlimpah, makanan
berlebih namun ketika tidak ada ridha dari Allah SWT, semua menjadi

4
hambar. Tidak tahu kemana tujuan hidup, merasa bosan dengan keadaan,
hari terasa berlalu begitu cepat, namun tanpa disertai dengan perubahan
kebaikan hari demi hari.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sabar, wara’, zuhud, ridha, tawakal, dan
syukur?
2. Apa saja macam-macam dari sabar, wara’, ridha, tawakal,dan
syukur?
3. Bagaimana keutamaan dari sabar, wara’, ridha, tawakal, dan
syukur?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari sabar, wara’, zuhud,
ridha, tawakal, dan syukur.
2. Mampu menyebutkan macam-macam dari sabar, wara’, zuhud,
ridha, tawakal, dan syukur.
3. Mengetahui keutamaan dari sabar, wara’, zuhud, ridha, tawakal,
dan syukur.

D. Manfaat Penelitian
Dalam sebuah penelitian pastinya ada manfaat yang di torehkan dalam
penelitian tersebut. Manfaat tersebut bisa bersifat teoritis dan praktis.
Namun bagi penelitian yang bersifat kualitatif, manfaat penelitian lebih
bersifat teoritis, yaitu untuk pengembangan ilmu, namun juga tidak
menolak manfaat praktisnya untuk memecahkan masalah. Bila peneliti
kualitatif dapat menemukan teori, maka akan berguna untuk menjelaskan,
memprediksikan dan mengendalikan sesuatu gejala.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sabar, Wara’, Ridha, Tawakal, dan Syukur


a) Sabar
Sabar (al-shabru) menurut bahasa adalah menahan diri dari keluh
kesah. Bersabar artinya berupaya sabar. Ada pula al-shibru dengan
mengkasrah-kan shad artinya obat yang pahit, yakni sari pepohonan
yang pahit. Menyabarkannya berarti menyuruhnya sabar. Bulan sabar,
artinya bulan puasa. Ada yang berpendapat, "Asal kalimat sabar adalah
keras dan kuat. Al-Shibru tertuju pada obat yang terkenal sangat pahit
dan sangat tak enak. Al Ushmu'i mengatakan, "Jika seorang lelaki
menghadapi kesulitan secara bulat, artinya la menghadapi kesulitan itu
secara sabar. Ada pula Al-Shubru dengan men-dhamah-kan shad,
tertuju pada tanah yang subur karena kerasnya.1
Ada pula yang berpendapat, "Sabar itu diambil dari kata
mengumpulkan, memeluk, atau merangkul. Sebab, orang yang sabar
itu yang merangkul atau memeluk dirinya dari keluh-kesah. Ada pula
kata shabrah yang tertuju pada makanan. Pada dasarnya, dalam sabar
itu ada tiga arti, menahan, keras, mengumpulkan, atau merangkul,
sedang lawan sabar adalah keluh-kesah.2
Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit,
berat, dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh
tanggung jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan
menurut M. Quraish Shihab merumuskan pengertian sabar sebagai
"menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai
sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur)".3
1
Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang Sobar Ali,
(Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 342
2
Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, hlm. 342
3
M.Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 165-166.

6
b) Wara’
Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara’a, yari’u, wara’an yang
bermakna berhatihati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia, warak
bermakna “patuh dan taat kepada Allah”. Di dunia tasawuf, kata warak
ditandai dengan kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi. Al-Qusyairi
menjelaskan bahwa “wara” adalah meninggalkan segala hal yang
syubhat. Ibrahim bin Adam berkata, “wara” adalah meninggalkan hal-
hal yang syubhat dan segala hal yang tidak pasti yakni meninggalkan
hal-hal yang tidak berfaedah. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, warak
adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dan syubhat.
Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni menjauhi keburukan karena
hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman,
menjaga hukum dalam segala hal yang mubah, melepaskan diri dari
kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melampaui hukum, dan
menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perpecahan.
Maqam wara’ yaitu sebuah sikap moral seorang sufi yang sangat
selektif, dan tidak mengambil sesuatu, kecuali kalau diyakininya itu
halal dan tidak mengambil suatu pendapat kecuali yang ia yakini betul-
betul benar.
Pengertian dasar dari wara’ sebenarnya adalah menghindari apa saja
yang tidak baik. Tetapi orang sufi memiliki penafsiran sendiri, dimana
mereka mengartikan wara’ itu sebagai: Meninggalkan segala sesuatu
yang tidak jelas persoalannya baik menyangkut makanan, pakaian
maupun persoalan.
Wabah perusak wara’ adalah cinta dunia. Cinta dunia merupakan
pokok, darinya muncul ketamakan. Ketamakan akan mengantarkannya
pada fadhilah dalam [aib, dalam pengurusan harta]. Oleh karena itu,
orang Arab menyebut tamak sebagai abu fadha’ih (biang aib).
Kemudian tamak menelurkan hirshun (rakus). Hirshun lebih kental
dan hina dari pada tamak, serta lebih membahayakan. Karena, hirshun
ini akan mengantarkannya pada kerusakan akal, kehancuran

7
pemahaman dan kejelasan. Sebagai mana disebutkan, “jika hirshun
adalah wadah, maka isinya adalah berbagai kerusakan”. Saat seseorang
hamba terbebas dari kejelakan 3 penyakit ini, wara’ nya akan sah.
c) Ridha
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya
“senang, puas, memilih, menyenangkan, dan menerima.” Dalam
kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati,
berkenan, dan rahmat.”4 Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
bahwa Allah SWT ridho terhadap kebaikan hambanya. Menurut
kamus Al-Munawwir artinya senang, suka, rela. Dan bisa diartikan
Ridho/rela adalah nuansa hati kita dalam merespon semua pemberian-
NYA yang setiap saat selalu kita rasakan. Pengertian ridho juga ialah
menerima dengan senang segala apa yang diberikan oleh Allah S.W.T.
baik berupa peraturan (hukum) atau pun qada’ atau sesuatu ketentuan
dari Allah SWT.
Ridha termasuk salah satu akhlak terpuji. Ridha artinya sudah
merasa cukupdengan apa yang la miliki, baik harta maupun pekerjaan.
Sebagian orang mungkin menganggap, sikap yang demikian termasuk
akhlak yang buruk.5 Karena dengan merasa cukup terhadap apa yang
dimilikinya itu maka akan menimbulkan kemalasan pada dirinya dan
tidak man bekerja. Pandangan yang seperti itu adalah pandangan yang
sesat dan keliru. Islam tidak mengajarkan kepada umatnya supaya
hidup malas. Ridha dapat menjauhkan diri dari ajakan nafsu terhadap
berbagai tipu daya kehidupan dunia, yang membuat seseorang lupa
akan Allah dalam mempersiapkan diri menuju kehidupan akhirat
kelak. Akibat godaan nafsu, seseorang tidak takut atas ancaman yang
akan diterimanya sehingga sikap dan perilakunya melampaui batas-
batas norma agama.
d) Tawakal

4
Al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim, h. 408-409
5
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, h.223

8
Tawakal (bahasa Arab: ‫ )توُك ل‬atau tawakkul dari kata wakala
dikatakan, artinya, ‘meyerah kepadaNya’.6
Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya
kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan,
atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil
dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia
diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-
galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan
mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya
untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang
dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan
Maha Bijaksana.7
Dengan demikian, tawakkal kepada Allah bukan berarti penyerahan
diri secara mutlaq kepada Allah, melainkan penyerahan diri yang harus
didahului dengan ikhtiar secara maksimal.
e) Syukur
Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,dan
wa syukuran yang berarti berterima kasih kepada-Nya. Bila disebut
kata asy-yukru,maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka artinya
berterima kasih bagimu,asy-syukru artinya berterima kasih, asy-syakir
artinya yang banyak berterima kasih. Menurut Kamus Arab –
Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran dan
tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya.

B. Macam-Macam Sabar, Wara’, Ridha, Tawakal, dan Syukur


1. Sabar
Dilihat dari lemah dan kuatnya sabar, Imam al-Gazâlî membaginya
ke dalam tiga kategori:
6
Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, At-Tawakkal Alallah Ta’al (Jakarta : PT Darul Falah, 2006)
7
Labib Mz, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thoriqot & Tashowwuf (Surabaya:
Bintang Usaha Jaya)

9
a) Bahwa ia memaksakan penggerak hawa nafsu, lalu
penggerak hawa nafsu itu tidak lagi mempunyai kekuatan
untuk melawan.
b) Bahwa menanglah penggerak-penggerak hawa nafsu dan
jatuhlah perlawanan penggerak agama, jadi dalam hal ini
kesabaran dapat terkalahkan oleh hawa nafsu yang
kemudian menyebabkan jatuhnya kesabaran, lalu ia
menyerahkan dirinya kepada tentara syetan dan ia tidak
berjuang (bermujahadah).
c) Bahwa peperangan itu adalah menjadi hal yang biasa
diantara dua tentara, sekali ia memperoleh kemenangan atas
peperangan dan pada waktu yang lain peperangan itu
mengalahkannya.
2. Wara’
Pengertian dasar dari wara’ sebenarnya adalah menghindari apa saja
yang tidak baik. Tetapi orang sufi memiliki penafsiran sendiri, dimana
mereka mengartikan wara’ itu sebagai: Meninggalkan segala sesuatu
yang tidak jelas persoalannya baik menyangkut makanan, pakaian
maupun persoalan. Bahkan lebih dari itu, ada sufi mengartikan wara’
itu ada dua macam, yaitu:
a) Wara’ lahiriyah, yaitu tidak mempergunakan anggota
tubuhnya untuk hal-hal yang tidak di ridhoi Allah, dan
b) Wara’ bathin yaitu tidak mengisi hatinya kecuali hanya
Allah. Wabah perusak wara’ adalah cinta dunia. Cinta
dunia merupakan pokok, darinya muncul ketamakan.
Ketamakan akan mengantarkannya pada fadhilah dalam
[aib, dalam pengurusan harta].
3. Ridha
Para sufi telah memberikan penegasan mengenai arti dari maqam
terakhir yang mungkin dicapai oleh kaum sufi sebagaimana dijelaskan
oleh sufi-sufi dari mahzab Sunni. Diantara mereka, Ibn Khatib

10
mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan
(takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang
dijadikan Allah Ta’ala.
Menurut al-Hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam: rida Allah
terhadap hambanya, dan rida hamba terhadap Allah SWT. Rida Allah
terhadap hamba-Nya adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat,
dan karamah-Nya, sedangkan rida hamba kepada Allah adalah
melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hukum-Nya.
4. Tawakal
Tawakal dibagi menjadi dua macam, antara lain :
a) Tawakal kepada Allah
Macam-macam Tawakal kepada Allah, yaitu :
 Tawakal kepada Allah dalam istiqamah dirinya
dengan petunjukknya, pemurnian tauhid.
 Tawakal kepada Allah dalam penegakan agama
Allah di muka bumi, menaggulangi kehancuran,
melawan bid’ah, berijtihad melawan orang kafir,
amar makruf nahi munkar.
 Tawakal kepada Allah dalam rangka seorang hamba
ingin mendapatkan berbagai hajat dan bagian
duniawi atau dalam rangka menghindari berbagai hal
yang tidak diharapkan dan berbagai musibah
duniawi.
 Tawakal kepada Allah dalam rangka mendapatkan
dosa dan kekejian.
b) Tawakal kepada selain Allah
Bagian ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
 Tawakal Bernuansa Syirik
Ini juga terbagi menjadi dua:
1) Tawakal kepada selain Allah Ta’ala dalam
hal yang tidak mampu mensikapinya selain

11
Allah azza wa Jalla, “Seperti halnya orang-
orang yang bertawakal kepada orang-orang
yang telah mati dan para thaghut dalam
rangka menyampaikan harapan tuntutannya
berupa pemeliharaan, penjagaan, rezeki dan
syafaat.
2) Tawakal kepada selain Allah berkenaan
dengan perkara-perkara yang dimampui
sebagaimana yang ia kira oleh orang yang
bertawakal tersebut. Ini adalah syirik kecil.
 Perwakilan yang diperbolehkan
Yaitu ketika seseorang mewakilkan suatu
pekerjaan yang dimampui kepada orang lain. Dengan
demikian orang yang mewakilkan itu mencapai
sebagian apa yang menjadi tututannya.8
5. Syukur
Al-Raghib, membagi syukur kepada tiga macam;
a) Syukr al-Qalb (Syukur hati)
b) Syukr al-Lisân (Syukur lidah)
c) Syukr sâiri al-Jawârih (Syukur semua anggota badan).
Syukur hati, yaitu syukur dengan cara mengingat-ingat nikmat.
Syukur Lidah, yaitu memuji kepada yang memberi nikmat. Syukur
anggota badan, yaitu membalas nikmat sesuai dengan kepatutan
(kepantasannya).

C. Keutamaan-Keutamaan Sabar, Wara’, Ridha, Tawakal, dan


Syukur
1. Sabar

8
Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, At-Tawakkal Alallah Ta’al (Jakarta: PT Darul Falah, 2006), 191-
194

12
Seorang mukmin yang sabar tidak akan berkeluh kesah dalam
menghadapi segala kesusahan yang menimpanya serta tidak akan
menjadi lemah atau jatuh gara-gara musibah dan bencana yang
menderanya. Allah SWT telah mewasiatkan.kesabaran kepadanya
serta mengajari bahwa apa pun yang menimpanya pada kehidupan
dunia hanyalah merupakan cobaan dari-Nya supaya diketahui orang-
orang yang bersabar.9
Kesabaran mengajari manusia ketekunan dalam bekerja serta
mengerahkan kemampuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan amaliah
dan ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia,
baik di bidang kehidupan praksis misalnya sosial, ekonomi, dan politik
maupun di bidang penelitian ilmiah, membutuhkan banyak waktu dan
banyak kesungguhan. Oleh sebab itu, ketekunan dalam mencurahkan
kesungguhan serta kesabaran dalam menghadapi kesulitan pekerjaan
dan penelitian merupakan karakter penting untuk meraih kesuksesan
dan mewujudkan tujuan-tujuan luhur.10
2. Zuhud
Zuhud memiliki yang namanya tujuan dan keutamaan yaitu:
1. Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan
hilangnya sesuatu.
2. Orang yang memujinya dan orang yang dianggapnya sama saja.
3. Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa lezat dalam
mentaatinya. Zuhud bukan meninggalkan dunia, tetapi tidak
meletakkan hati padanya.
Zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak
meletakkan nilai yang tinggi padanya. Dan inilah definisi zuhud dari
Rosulullah SAW, “Bukanlah zuhud itu mengharamkan yang halal,
bukan menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud dalam dunia itu ialah

9
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan
Gangguan Kejiwaan, hlm. 471.
10
8Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan
Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), hlm. 467.

13
engkau tidak memandang apa yang ditanganmu itu lebih diandalkan
dari apa yang di sisi Allah”.
Dalam Qur’an disebutkan, “Supaya kamu tidak bersedih karena apa
yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan
kepadamu” (QS 57:23).
Dari tafsir ayat itu kita dapat dua karakteristik orang yang
zuhud,Pertama, “zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya
pada apa yang yang dimliknya.” Para psikolog eksistensialis bercerita
tentang dua pola hidup:pola hidup memiliki dan pla hidup menjadi.
Zuhud adalah pola menjadi. Zahid tidak memperoleh kebahagiaan dari
pemilikan. Alangkah rentannya hhidup pada berbagai persoalan, bila
hati diletakkan pada benda-benda yang memiliki.Kedua, “kebahagiaan
seorang zahid tidak lagi terletak pada hal-hal yang material tetapi pada
tataran spiritual.”
3. Wara’
Memang pada akhirnya dapat dikatakan, rasa takut kepada Allah
akan membuahkan wara’ dan wara’ akan membuahkan zuhud, berarti
masalah ini sangat penting. Adapun wara’ itu mempunyai banyak
faedah antara lain:
a) Terhindar dari azab Tuhan Yang Maha Pemurah.
Terealisasikannya kenyamanan pikiran bagi orang yang
mukmin yang bersangkutan dan ketenangan jiwanya.
b) Terhindar dari hal-hal yang diharamkan
c) Dijauhkan dari sikap membuang-buang waktu untuk hal-hal
yang tidak berfaedah
d) Mendatangkan kecintaan Allah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang wara’
e) Beroleh keridhaan dari Tuhan Yang Maha Pemurah dan
pahala alam kebaikannya ditambah.
Seorang muslim apabila mengalihkan perhatian hatinya
dari masalah duniawi, lalu mengarahkannya pada masalah

14
akhirat dan menekuni perjalanan rohani sesuai tuntunan
alquran, maka akan terbukalah baginya semua pintu nya dan
dia akan mejadi orang yang mampu mengemban ke-wara’-
an ini.
4. Ridha
Ridha memiliki keutamaan yang agung dan banyak, di antaranya
adalah:
a) Ridha adalah sebab diampuninya dosa-dosa.
Hal sebagaimana dalam hadits yang artinya sebagai
berikut:
“Siapa yang berkata saat mendengar adzan, “radhiitu
billahi rabban wa bi muhammadin rasuulan wa bil Islaami
diinan, (Aku telah ridha Allah sebagai Rabb, Muhammad
sebagai rasul dan Islam sebagai agama), dosa-dosanya
diampuni.” [Hadits riwayat Muslim]
b) Ridha adalah sebab wajib masuk surga bagi pelakunya.
Hal ini sebagaimana dalam hadits dari Abu Sa’id Al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda yang
artinya:
“Hai Abu Sa’id! Siapa yang ridha kepada Allah sebagai
Rabb, kepada Islam sebagai Agama dan kepada Muhammad
sebagai Nabi, surga diwajibkan bagi dirinya.” [Hadits
riwayat Muslim]
f) Ridha adalah sebab untuk meraih keridhaan yang abadi dari
Allah.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi yang artinya:
“Sesungguhnya Allah berfirman kepada para penghuni
surga, “Wahai para penghuni surga!” maka mereka
menjawab, “Labbaika rabbanaa wa sa’daik.” Lalu Allah
bertanya, “Apakah kalian telah ridha?”

15
Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak ridha, padahal
Engkau telah menagunerahkan kepada kami apa yang tidak
pernah diberikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.”
Lalu Allah berfirman, “Aku akan berikan kepada kalian
yang lebih utama dari hal itu.” Mereka bertanya, “Yaa
Rabb! Apakah yang lebih utama dari hal itu?” Allah
berfirman, “Aku halalkan keridhaan-Ku kepada kalian
sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian setelahnya
selama-lamanya.” [Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim]
5. Syukur
a) Hidup Penuh Keberkahan
Salah satu manfaat yang didapat seseorang jika rajin bersyukur
adalah membuat hidup menjadi lebih berkah. Dengan bersyukur, orang
tersebut merasa tercukupi berapa pun rezeki yang didapat. Bukan tak
mungkin pula rezeki tersebut dapat memberikan manfaat bagi orang lain
sehingga bisa mendatangkan berkah bagi pemiliknya.
b) Terhindar dari Penyakit Hati
Bersyukur kepada Allah juga bisa menghindarkan seseorang dari
penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, dan dendam. Perlu diketahui
bahwa penyakit hati dapat membuat hidup seseorang menjadi tidak
tenang.
Bahkan, hal-hal tersebut bisa meningkatkan risiko penyakit yang
berhubungan dengan kesehatan seseorang. Allah SWT juga tidak
menyukai orang-orang yang menyimpan penyakit di dalam hatinya.
c) Meningkatkan Keimanan Seseorang
Bersyukur juga bisa menjadi cara meningkatkan iman dan takwa
kepada Allah SWT. Seseorang harus rida atau mampu menerima dengan
senang hati atas semua pemberian yang berasal dari Allah SWT.
Dalam urusan dunia, seseorang harus bisa memandang orang lain
yang nasibnya tidak seberuntung dirinya agar bisa meningkatkan rasa
syukur.

16
“Dua hal apabila dimiliki oleh seseorang dia dicatat oleh Allah sebagai
orang yang bersyukur dan sabar. Dalam urusan agama (ilmu dan
ibadah) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan
mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih
bawah, lalu bersyukur kepada Allah bahwa dia masih diberi
kelebihan.” (HR. Tirmidzi)
d) Dijanjikan Surga
Ketika seseorang menerima keadaannya dengan syukur dan tabah
saat tertimpa masalah, maka Allah SWT menjanjikan surga kepada
orang tersebut. Surga adalah tujuan bagi orang-orang yang beriman dan
bertakwa selama hidup di dunia.
“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku
dengan kedua matanya, kemudian dia bersabar, maka aku gantikan
surga baginya.” (HR. Bukhari)
e) Ditambahkan Kenikmatannya
Seseorang yang senantiasa mengucap syukur dengan kondisi apa
pun, maka Allah SWT akan menambahkan nikmatnya. Sebaliknya,
ketika seseorang lebih banyak mengeluh dan selalu iri dengan kehidupan
orang lain, maka hidupnya akan semakin sengsara.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang tercantum di Al-
Quran. “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari materi yang telah kami sampaikan berupa pengertian
dari masing-masing akhlak terpuji yakni sabar, sabar menurut bahasa
adalah menahan diri dari keluh kesah. Bersabar artinya berupaya sabar.
Ada pula al-shibru dengan mengkasrah-kan shad artinya obat yang pahit,
yakni sari pepohonan yang pahit. Menyabarkannya berarti menyuruhnya
sabar. Sedangkan Wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik.
Tetapi orang sufi memiliki penafsiran sendiri, dimana mereka mengartikan
wara’ itu sebagai: Meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas
persoalannya baik menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ja’far, Gerbang Tasawuf (Medan : Perdana Publishing, 2016)


Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan :
Perdana Publishing, 2015)
Siroj K.H. Said Aqil, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung : Mizan,
2006)
Al-Laja’i ‘Abd al-Rahman ibn Yusuf, Terang Menderang dengan
Makrifatullah (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2008)
Al-Jauziyyah Ibnul Qayyim, Tobat dan Inabah (Jakarta : Qisthi Press,
2012)
Isa, Abdul Qaqir, Hakekat Tasawuf (Jakarta : Qisthi Press, 2005)
Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta : Erlangga,
2006)
Sholikin K.H Muhammad, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi
(yogyakarta : Mutiara Media, 2009)
Mujieb M. Abdul, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail M, Ensiklopedia
Tasawuf Imam AlGhazali (Jakarta : Mizan Publika, 2009)
Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf (Bandung : Mizan, 2005)

19

Anda mungkin juga menyukai