Anda di halaman 1dari 21

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKALAH AKHLAK

”SABAR DAN SYUKUR, IKHLAS DAN RIDHO ’’

OLEH:

NAMA : 1. SITI LUTFIAH SAMSIDAR (15020180086)

2. NUR ALFIAH SAHRA (15020180096)

KLP : VI

KELAS : C5

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis panjatkan segala puji dan syukur kepada
Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “SABAR,SYUKUR,IKHLAS DAN RIDHA”.
Makalah ini disusun dan diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah akhlak.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan
pengarahan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadasemua pihak yang telah
membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi maupun penyusunan makalah ini masih
kurang sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran serta masukan yang bersifat membangun
penulis harapkan dari semua pihak demi perbaikan penulis dalam menyusun makalah
lainnya dikemudian hari.
Akhir kata, penulis sampaikan pula harapan semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat yang berarti khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembaca pada umumnya.

Makassar, Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG.................................................................................iii
RUMUSAN MASALAH.............................................................................iv
1.3 TUJUAN...............................................................................................iv
BAB II PEMBAHASAN
2.1 SABAR DAN SYUKUR…...................................................................2
2.2 IKHLAS DAN RIDHO….……………………....................................7
BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP
3.1. KESIMPULAN....................................................................................13
3.2. SARAN.................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sabar merupakan sifat yang wajib ada pada diri seseorang, karena sifat inilah
yang menentukan kualitas hidup sesorang, terutama orang islam, karena disetiap hal
yang dilakukan oleh kaum muslimin disitu dituntut adanya kesabaran, sifat sabar
jugalah yang telah membuat para nabi dan rasul berhasil dalam dakwahnya
menyampaikan risalah dari Allah SWT. Sabar mengandung tiga makna: menahan
atau mengekang, kuat kokoh atau keras, dan menghimpun sabar adalah konsisten
menghadapi cobaan dengan berbaik sikap. Ada pula yang mengatakan bahwa sabar
adalah sikap tidak membutuhkan sesuatu ketika dicoba, tanpa menampakkan
pengaduan
Selain bersabar kita juga harus banyak bersyukur, sering sekali kita melupakan
hal ini, karena kurangnya kesadaran kita bahwa segala nikmat itu datangnya dari
Alloh SWT, sebagai umat muslim yang memiliki banyak pengetahuan kita harus
belajar untuk selalu mensyukuri nikmat Alloh. Namun dalam merealisasikan sifat
sabar dan syukur ini tentu bukanlah hal yang mudah, karena nafsu kita cenderung
kepada hal-hal yang menuntut untuk segera diselesaikan dengan mudah tanpa harus
melalui hambatan yang membutuhkan kesabran yang tinggi, apabila seorang telah
merasa kesabarannya
Seorang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras dari kerikil-
kerikil dan batu-batu kecil disekitar beras. Jika beras itu telah bersih, beras yang
dimasak jadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah
akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan menyebabkan beramal
menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat.
Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan amal tidak terasa
nikmat . pelakunya akan mudah menyerah dan akan selalu kecewa. Namun, banyak
dari kita yang beribadah tidak berlandasakan ikhlas kepada Allah SWT, melinkaan
dengan sikap riya’ atau sombong agar mendapatkan pujian dari orang lain. Hal inilah
yang dapat menyebabkan ibdah kita tidak diterima oleh Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1.   Bagaimana hakikat sabar dan syukur?
2.   Bagaimana hakikat ikhlas dan ridho ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami yang dimaksud Sabar dan Syukur,Untuk
mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan ilkhlas dan ridho.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sabar dan Syukur
a. Pengertian sabar.
Kata sabar bermakna mencegah, mengekang atau menahan (man’u, habs).
Menurut istilah, sabar bermakna menahan jiwa dari perasaan cemas, menahan lisan
dari berkeluh-kesah dan menahan anggota badan dari tindakan menampar pipi
sendiri, menyobek-nyobek pakaian sendiri dan lain-lain, yang sering disebut sebagai
tindakan jahiliyah.
Al-Usmu’i berkata, “ketika seseorang menghadapi kepayahan dan kesulitan
yang memuncak, maka disebutkan: laqiyaha bi ashbariha. Yakni dia mendapatkan
getirnya.” Juga kata shubru adalah bermakna “tanah subur”, karena tanah itu padat
dan mengeras, dan perempuan merdeka disebut ummu shabbar yang bermakna ibu
penyabar.” Orang arab mengatakan: waqa’a al-qaumu fi amrin shabbur, yang
bermakna orang-orang itu berada dalam urusan yang sulit atau berbahaya. Juga kata
shabarrah yang bermakna musim dingin karena suhu dingin yang mencekam.
Pendapat lain mengatakan kata “sabar” itu bermakna menghimpun, karena
orang yang bersabar menghimpun atau mengkonsentrasikan jiwanya untuk tidak
cemas dan berkeluh-kesah. Termasuk makna demikian adalah adalah shubrah al-
tha’am bermakna “seonggok atau sekumpulan makanan”, dan shubarah al-hijarah
bermakna “setumpuk batu”.
Melihat makna-makna tersebut berarti sabar mengandung tiga makna: menahan
atau mengekang, kuat kokoh atau keras, dan menghimpun.
b. Hakikat Sabar
Kata “sabar” secara etimologi sudah cukup jelas diterangkan diatas. Hakikat
sabar adalah suatu sikap utama dari perangai kejiwaan yang dapat menahan perilaku
yang tidak baik dan tidak simpati. Sabar merupakan kekuatan jiwa untuk stabilitas
dan baiknya orang dalam bertindak.
Al-junaidi Ibn Muhammad Al-Baghdadi (seorang ulama’ yang zuhud, wafat th.
297 H) mengatakan, “sabar adalah menelan kepahitan tanpa bermuka masam.”
Dzunnun Al-Mishri, (seorang yang terkenal zuhud dan gemar beribadah, wafat th.
245 H) berkata, “sabar ialah menjauhi larangan, bersikap tenang disaat meneguk duri
cobaan, dan menampakkan sikap tidak membutuhkan padahal kemelaratan menimpa
ditengah pelataran kehidupan.”
Ada definisi lain bahwa sabar adalah konsisten menghadapi cobaan dengan
berbaik sikap. Ada pula yang mengatakan bahwa sabar adalah sikap tidak
membutuhkan sesuatu ketika dicoba, tanpa menampakkan pengaduan. Abu utsman
berkata, “penyabar adalah orang yang membiasakan jiwanya menyerang atau
menghadapi berbagai kesulitan.” Juga ada yang berpendapat, “sabar ialah konsisten
menghadapi cobaan dengan sikap yang baik sebagaimana konsisten bersama dalam
keadaan selamat (sehat).”
Cakupan keselamatan (sehat, keadaan normal) adalah lebih luas daripada
kesabaran, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam do’a beliau:

‫ي فَالَ أُبَالِى َغي َْر اَ َّن عَافِيَتَكَ أَوْ َس ُع لِى‬


َّ َ‫ضبٌ َعل‬ َ ِ‫اِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن ب‬
َ ‫ك َغ‬
“... jika pada-Mu tidak ada kemurkaan kepadaku, maka aku tidak peduli (tidak
masalah). Tetapi keselamatan (dari)-Mu lebih luas bagiku.” (Khanz al-Ummal 3613,
Majma’ al-Zawaid 96: 35).
Hadits ini tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW.:

َّ ‫َو َما اُ ْع ِط َي أَ َح ٌد َعطَا ًء َخ ْيرًا َواَوْ َس َع ِمنَ ال‬


‫صب ِْر‬
“Tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih lapang
daripada kesabaran.”(HR. Al-Bukhari 1469, Muslim 1053).
Abu Ali al-Daqqaq berkata, “Batasan minimal kesabaran adalah tidak
menentang takdir. Adapun menampakkan cobaan, tanpa ada unsur pengaduan,
tidaklah menafikan kesabaran. Allah SWT berfirman dalam mengisahkan Nabi
Ayyub:
َ ّ‫اِن‬
َ ُ‫او َج ْدنَه‬
‫صابِرًا‬
“Sungguh kami (Allah) mendapati Ayyub sebagai orang yang sabar.” (QS.
Shad: 44)
c. Pembagian sabar
Kesabaran terbagi dua, kesabaran secara fisik oleh anggota badan (badany) dan
kesabaran oleh iwa (nafsany), dan masing-masing ada yang merasa sukarela(atas
pilihan sendiri) atau terpaksa. Dengan demikian maka kesabaran pada manusia
terbagi empat:
Pertam: kesabaran anggota badan secara sukarela (badany ikhtiyary), yaitu
seperti menggeluti aktifitas fisik yangdan kemauan sendiri.
Kedua: kesabaran anggota badan secara terpaksa (badany dharury), seperti
bersabar merasakan sakitnya dihantam, sakit, penderitaan, kepanasan, kedinginan,
dan lain-lain.
Ketiga: kesabaran jiwa secara sukarela (nafsany ikhtiyary), seperti kesabaran
jiwa tidak melakukan perilaku yang tidak baik di mata syariat dan akal sehat.
Keempat: kesabaran jiwa secara terpksa (nafsany dharury), seperti kesabaran
jiwa ketika dipaksa untuk berpisah dengan kekasih oleh suatu sebab.
Kita mengetahui bahwa pembagian empat tersebut adalah untuk manusia, tidak-
lah untuk hewan. Kesabaran untuk hewan adalah dua bagian dari empat bagian
tersebut: yaitu kesabaran badan dan kesabaran jiwa secara terpaksa. Akan tetapi,
kesabaran hewan kadang lebih kuat daripada manusia. Sedangkan keistimewaan
manusia dibandingkan dengan hewan adalah pada dua bagian kesabaran yang
sukarela. Namun banyak manusia kwesabarannya menguat pada bagian kesabaran
yang juga dimiliki hewan (kesbaran terbaksa)-tidak pada bagian kesabaran yang
istimewa pada manusia-maka dalam hal ini dia masukl dalam kategori oranmg yang
bersabar tetapi tidak termasuk golongan orang-orang yang sobirin yakni bersabar
karena ketulusab hati tanpa merasa terpaksa untuk bersabar.
Mungkin ada yang bertanya, “apakah jin sama seperti manusia dalam hal
sabar?” ya, sabar adalah konsekuensi logis dari taklif (beban / tugas dari Allah), yang
terdiri dari perintah dan larangan. Maka jin juga dibebani bersabarterhadap
pelaksanaan perintah dan pencegahan larangan, sebagaimana kita dibebani demikian.
d. Jenis-jenis sabar
1. Sabar dilihat dari variabelnya, terbagi tiga bagian:
a. Kesabaran terhadap perintah dan ketaatan, hingga itu terlaksana
b. Kesabaran dari larangan dan penyimpangan, hingga ia tidak terjatuh ke
dalamnya.
c. Kesabaran menghadapi takdir dan penentun, hingga dia tidak marah.
Tiga bentuk kesabaran inilah yang dikatakan Abd al-Qodir (seorang
sufi yang zuhud, pendiri toriqoh qodiriah, wafat th. 561 H) di dfalam futuh
al-ghaib,”keharuan bagi hjamba terhadap perintah adalah melaksanakan,
terhadap larangan adalah menghindar, dan terhadap takdir adalah bersabar.
[4]
2. Sabar berdasarkan hukum lima
a. Kesbaran yang wajib
Sabar yang wajib ada tiga: pertama, kesabaran dalam menjauhi
keharaman, kedua, kesabaran dalam melaksanakan kewajiban,ketiga,
kesabaran dalam mengajhadapi musibah yang tidak dibuat hamaba,
seperti kefakiran , sakit, dan lain-lain.
b. Kesabaran yang sunnah
Sabar yang sunnah ada;lah kesabaran tidak melakukan hal-hal yang
makruh, kesabaran melaksanakan hal-hal yang sunnah, dan kesabaran
tidak membalas setimpal pada pelaku kejahatan.
c. Kesabaran yang haram
Adapun bentuk kesabaran yang dilarang (haram), jumlahnya cukup
banmyak, seperti kesabaran tidak makan minum hingga meninggal.
Bersabar tidak memakan bangkai, darah, atau daging babi, ketika
kel;aparan (dan tidak ada makanan halal) adalah haram, apabila
dikhawatirkan akan menimbulkan kematian.
Imam Tawus (seorang tabi’in, ulama Fiqh dan Hadits yang zuhud,
wafat th. 106 H) kemudian didukung oleh Imam Ahmad Ibnu Hambal
m,engatakan, orang yang dalam keadaan darurat harus memakan ulat atau
darah, tetapi jika dia tidak makan dan akhirnya dia meninggal, maka dia
masuk neraka.
d. Kesabaran yang Makruh
Kesabaran yang makru, contohnya: bersabar tuidak makan-minum-
bersetubuh yang menyebabkan jasamni terganggu; bersabar tidak
menyetubuhi istri, ketika istri membutuhkan dan tidak mengganggunya;
bersabar terhadap hal-hal yang tidak mengenakan; dan bersabar tidak
melakukan kesunnahan.
e. Kesabaran yang boleh
Kesabaran yang boleh adalah kesabaran terhadap segala perilaku,
yang kedua sisinya sama-sama baik. Yakni dia berhak memilih antara
melakukan, tidak melakukan dan bersabar terhadap hal ini. Jadi,
kesabaran terhadap yang wajib adalah wajib dan bersabar tidak
melaksanakan yang wajib adalah haram. Bersabar untuk tidak melakukan
yang haram adalah wajib dan bersabar melakukan yang haram adalah
haram. Bersabar terhadap yang sunnah adal;ah sunnah, dan bersabar tidak
melakuka yang sunnah adalah makruh. Bersabar tidak melakukan yang
makruh adalah sunnah, dan bersabar terhadap makruh adalah makruh.
Bersabar tidak melaksanakan yang mubah adalah mubah (boleh).[5]
E. Syukur
Syukur menurut bahasa artinya berterimakasih. Adapun menurut istila,
adalah ,merasa gembira dan puas serta berterimaksih ats segala nikmat dan anugerah
Allah yang dilimpahkan kepadanya, sungguh pun tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Sikap dan sifat syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk meningkatkan
amal ibadah dan ikhtiar, yang semuanya itu dilakukan karena Allah dan untuk Allah.
Kedudukan syukur mengisyaratkan kesadaran serta mencakup ikhwal keluasan
rahmat Allah atas hamba-Nya.[6]
F. Lebih Utama Sabar Atau Syukur
Dalam hal ini Ibnu Faraj al-Jauzi meriwayatkan tiga pendapat: pertama, sabar
lebih utama. Kedua, syukur lebih utama. Ketiga, seimbang, sebagaimana Umar Ibn
al-Khottob berkata, “jika sabar dan syukur berwujud dua ekor unta maka aku tidak
peduli yang mana aku menunggang.
1. Argumen orang-orang yang bersabar
Para penyabar berkata, Allah SWT. Memuji sabar dan pelakunya, dia
menyanjung sabar dan memerintahkannya, dad Dia mengaitka kehidupan yang
baik di dunia dan di akhirat dengan sabar. Dia juga me nuturkannya di dalam, al-
Qur’an dalam 90-an tempat.
Kiranya cukup untuk menunjuklan bahwa sabr lebih utam dengan sabbda
Rasulullah SAW.
‫اَلطَّا ِع ُم اَل َّشا ِك ُر بٍ َم ْن ِزلَ ِة اَلصَّائِ ِم اَلصَّابِ ِر‬
“orang tidak berpuasa yang bersyukur adalah sekelas dengan orang berpuasa yang
bersabar.” (H.R. Al-Titmidzi 3488, Ibnu Majjah 1769 dan Ahmad 2: 283).[7]
2. Argument orang-orang yang bersyukur
Oranng-orang yang besyukur berkata, “hai orang-orang yang penyabar (yang
mayoritas orang fakir), kalian telah melangkahi tahapan, kalian mengumpulkan
suatu kedudukan padahal ada kedudukan lain yang lebih unggul, dan kalian
mengedepankan sarana atas sarana, mengedankan sarana antara atas sarana tujuan,
amal sempurna atas amalan yang lebih senpurna, amal utama atas amalan yang
lebih utama, pula kalian tidak mengenali syukur secara benar dan kalin tidak
mendudukan syukur pada matabatnya. Padahal Allah SWT. Menyejajarkan syukur
dengan dzikir (mengingati) Allah, yang dikehendaki-Nya dari makhluk. Dzikir dan
syuikur adalah tujuan diciptakannya makhluk dfan sasaran perintah, sedangkan
sabar adalah pelayan dan penolong keduanya, serta sebagai sarana bagi keduanya.
[8]
B. IKHLAS DAN RIDHO
A.    Definisi Ikhlas
Kata ikhlas termasuk salah satu kata yang penting dalam sislam. Kata ikhlas banyak
terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah dan biasa didengar oleh kaum muslimin. Ikhlas menurut
Al-Qur;an.
Secara Bahasa ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih.
Sedangkan secara terminologi ikhals berarti niat dengan mengharap ridlo Allah saja dalam
beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Definisi ikhlas menurut Al-Qur’an, seluruh kata yang terdapat pada kamus islam, jika
maknanya bersumber dari al-qur’an maka kita akan dapat memahami maknanya secara
mendalam yang akan membantu kita dalam memahami islam pada seluruh aspeknya,
karena al-qur’an adalah ajaran islam itu sendiri.
     Kata ikhlas secara etimologi banyak sekali terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya:
a.    Khalis, yaitu bersih dan tidak dicampuri noda apapun seperti dalam firman Allah SWT
Q.S Az-zumar: 3 “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih”.
b.    Khalashu, yaitu menyendiri,sebagaimana firman Allah Q.S Yusuf ayat 80 : “ Maka
tatkala mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil
beruding dengan berbisik-bisik”.
c.    Khalishah, yakni khashshah yang berarti khusus, sebagaimana dalam firman Allah, Q.S
Al-A’raf ayat 32 : “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambanya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik ? ‘ katakanlah, semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) dihari
kiamat’. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui”.
d.    Mukhlish, yaitu orang yang memurnikan agamanya untuk Allah semata sehingga tidak
dikotori noda sedikitpun. Adapun bentuk jama’ dari kata al-mukhlish adalah kata al-
mukhlisin. Seperti dalam firman Allah , Q.S Az-Zumar ayat 12: “katakanlah ‘hanya
Allah yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agamaku.” Dan Q.S Az-Zumar ayat 11: “Katakanlah, ‘sesungguhnya
aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama.’”
e.     Mukhlas, bentuk jama’ dari mukhlashin. Seperti dalam firman Allah Q.S Maryam ayat
51: “Sesungguhnya dia adalah orang yang dipilih dan seorang rasul dan Nabi.”
b.     Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah melakukan amal, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang
ditunjukan untuk Alla SWT semata. Allah SWT dalam Al-Qur’an memerintahkan kita
untuk ikhlas, seperti dalam Firmannya QS. Yunus ayat 105 :
َ‫ ْال ُم ْش ِر ِكين‬  َ‫ ِمن‬ ‫تَ ُكون ََّن‬  ‫ َواَل‬ ‫ َحنِيفًا‬ ‫ِّين‬ َ َ‫ َوجْ ه‬ ‫أَقِ ْم‬ ‫ َوأَ ْن‬ (
ِ ‫لِلد‬ ‫ك‬
Artinya : “Dan aku (telah diperintah) : “Hadapkanlah wajahmu kepada agama
dengan tulus dan ikhlas, dan jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang musyrik.”
Ikhlas merupakan buah dan intisari dari iman.  Seseorang tidak dianggap beragama
dengan benar jika tidak ikhlas. Ikhlas juga merupakan hakikat dari agama dan kunci
dakwah para Rosululloh SAW. Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika
dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya
dan tidak berpahala, bahkan pelakunya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar.
Sebagaimana dalam hadist, bahwa manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah
orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. 
Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta
mempelajari Al-Qur’an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori’ atau alim.  Dan orang
ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfaq dengan harta
tersebut akan tetapi tujuanya agar disebut sebagai orang yang dermawan.  Maka ketiga
orang ini bernasib sama yakni dimasukkan kedalam neraka.
C.     Macam-macam ikhlas
a.      Ikhlas Mubtadi, yaitu orang yang beramal karena Allah tetapi didalam hatinya
terbesit keinginan pada dunia.  Ibadahnya dilakukan hanya untuk menghilangkan
kesulitan dan kebingungan. Ia melaksanakan sholat tahajud dan bersedekah karena
ingin usahanya berhasil. Ciriorang dalam kategori ikhlas ini obisa terlihat dari cara
beribadahnya. Orang yang hanya beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak
akan istiqomah. Ia beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah
terpenuhi, ibadahnyapun akan berhenti.
b.      Ikhlas ‘Abid, yaitu orang yang beramal karena allah dan hatinya bersih dari riya serta
keinginan dunia. Ibadahnya dilakukan hanya karena allah dan demi meraih
kebahagiaan akhirat, meggapai surga, takut neraka, dengan dibarengi keyakinan
bahwa amal ini bisa menyelamatkan diriny dari siksaan api neraka.
c.       Ikhlas Mukhibb, yaitu oaring yang beribadah hanya karena allah, bukan ingin surga 
ataupun takut neraka.  Semuanya dilakukan karena bhakti dan memenuhi perintah
dan mengagungkan-Nya.
d.      Ikhlas Arif, yaitu orang yang dalam ibadahnya memiliki perasaan bahwa ia
digerakkan Allah. Ia merasa bahwa yang beribadah itu bukanlah dirinya.  Ia hanya
meyaksikan ia sedang digerakkan Allah karena memiliki keyakinan bahwa ia tidak
memiliki daya melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Semuanya
berjalan atas kehendak Allah .[3]
D.    Manfaat dan keutamaan ikhlas
Ikhlas memliki manfaat dan keutamaan yang sangat besar. Diantara manfaat dan
keutamaan ikhlas tersebut adalah :
 Membuat hidup menjadi tenang dan tentram
 Amal ibadah kita akan diterima oleh allah SWT.
 Dibukanya pintu ampunan dan dihapuskannya dosa serta dijauhkan dari api
neraka
 Diangkatnya derajat dan martabat oleh Allah
 Doa kita akan diijabah oleh allah
 Allah SWT akan memberi hidayah (petunjuk) sehingga tidak tersesat kejalan
yang salah.
 Dapat memiliki sifat zuhud (menerima dengan apa adanya yang diberikan
oleh allah)
E.     Perusak-perusak ikhlas
Diantara tipu daya syaitan yang dapat menghalangi kita untuk melakukan perbuatan -
perbuatan baik dengan ikhlas adalah sebagai berikut :
a.     Riya’ yaitu memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu
orang – orang pun memujinya. Terdapat bentuk detail dari perbuatan riya’ yang
sangat tersembunyi, atau disebut dengan riya’ khafiy.
b.     Sum’ah yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari
popularitas ).
c.     Ujub, masih termasuk kategori riya’ hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taiimiyah
membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa : “ riya’ masuk didalam bab
meyekutukan Allah dengan makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan
Allah dengan diri sendiri.(Al fatawa, 10/277).
d.     Nifaq yaitu menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembuyikan kekufuran
dan kejahatan.
2.      RIDHA
A.    Pengertian Ridha
        Ridha berasal dari kata Rodhiya -Yardho yang berarti menerima suatu perkara dengan
lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridha
adalah menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan lapang dada,
menghadapinya dengan tabah, tidak merasa kesal dan tidak berputus asa. 
        Hakikat Ridha adalah menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena hal itu
merupakan kehendak Allah SWT. Orang yang telah mencapai maqom ridha, tidaka akan
menentang keputusan (Qodho Allah). Maka hati orang yang ridho akan tetap tenang,
meskipun sedang tertimpa musibah. Sikap ridha merupakan buah dari ma’rifatullah dan
bukti bahwa seseorang benar-benar mencintai Allah SWT. Demikian penegasan Abdul
Qodir Isa dalam kitab Haqa ‘iq al-Tashawwuf (hlm.239).[4]
           Sikap ridha bukan berarti seseorang boleh meninggalkan usaha (ikhtiar). Usaha
adalah sesuatu yang wajib dilakukan. Demikian pula sikap ridho.  Ia juga merupakan
sesuatau yang di perintahkan Allah SWT. Sebagian orang memang mengira bahwa sikap
ridha akan menyebabkan seseorang bersikap fatalistic dan pasif, sehingga tidak mau
berusaha (ikhtiar).[5] Orang yang ridha tetap merasakan pedihnya musibah, tetapi ia yakin
bahwa dibalik kepedihan itu ada kebahagiaan. Dia ridha atas musibah sebab ia ibaratkan
sebagai obat dalam kehidupan. Sebagaimana halnya orang yang sakit lalu disuntik oleh
seorang dokter. Ia tetap merasakan sakitnya jarum suntik, tetapi ia rela disuntik karena
yakin akan memperoleh kesembuhan. Sebagian orang lagi mengira bahwa dengan sikap
ridha seseorang tak perlu lagi berdoa. Itu adalah anggapan keliru. Sebab termasuk dalam
konteks sikap ridho adalah apabila seorang mukmin mau melakukan amal perbuatan yang
diridhoi Allah SWT, antara lain berdoa dan berusaha.  Allah SWT berfirman dalam QS. Al-
Mukmin ayat 60  yang Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: “berdoalah kepada-Ku,
niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS
Mu’min:60)
B.     Macam-macam Ridha
a.       Ridho terhadap perintah dan larangan Allah
Artinya ridho untuk mentaati Allah dan Rosul-Nya dan ridho untuk
meninggalkan larangan Allah dan Rosul-Nya. Pada hakikatnya seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimah syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridho
terhadap semua nilai dan syariat islam.[6] Perhatikan firman Allah dalam QS. Al-
Bayyinah (98 ayat 8)  yang Artinya: “Balasan mereka disisi Tuhan mereka ialah
surga ‘Adn yang mengalir dibawahnya sungai- sungai, mereka kekal didalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya.
Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Bayyinah ayat 8).
b.      Ridha terhadap takdir Allah
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak
diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan,
sedangkan sabar adaalah keharusan dan kemestian yang perlu dilkukan oleh seorang
muslim. Perbedaan antara ridha dan sabar adalah sabar merupakan perilaku
menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan
mengharap akan segera berlalunya musibah.[7] Sedangkan ridha adalah kelapangan
jiwa dalam menerima takdir Allah SWT, dan menjadikan ridha sendiri sebagai
penawarnya. Sebab, di dalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (khuznudzan)
terhadap sang Khaliq. Bagi orang yang ridha ujian adalah pembangkit semangat
untuk semakin dekat dengan Allah dan mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah
kepada Allah. Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama’ syalaf mengatakan,
“Tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi dari pada orang-orang yang
senantiasa ridha kepada Allah SWT dalam situasi apapun.
c.        Ridha terhadap perintah orang tua
Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan
kita kepada Allah SWT. Karena keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang
tua, terdapat dalam Q.S Al Luqman (31) Ayat 14 : 
ِ ‫ي ْال َم‬
١٤( ‫صي ُر‬ َ ِ‫ص ْينَا اإل ْن َسانَ بِ َوالِ َد ْي ِه َح َملَ ْتهُ أُ ُّمهُ َو ْهنًا َعلَى َو ْه ٍن َوف‬
َّ َ‫صالُهُ فِي عَا َم ْي ِن أَ ِن ا ْش ُكرْ لِي َولِ َوالِ َد ْيكَ إِل‬ َّ ‫َو َو‬
artinya : “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada
kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”.
Bahkan Rasulullah bersabda: “keridhaan Allah tergantung keridhaan orang
tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha
orang tua dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah,
mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua.[8]
d.      Ridha terhadap peraturan dan Undang-undangan Negara
Menaati peraturan yang berlaku merupakan bagian dari ajaran islam dan
merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Karena dengan demikian
akan menjamin keteraturan dan ketertiban social. Sebagaimana firman Allah pada 
Q.S An-Nisa ayat 59:
‫ول إِن ُكنتُ ْم‬
ِ ••‫َّس‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَإِن تَنَازَ ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوالر‬
‫ك خَ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل‬َ ِ‫تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل‬
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S An Nisa: 59).
Termasuk ridha terhadap peraturan dan perundang-undang negara adalah ridha
terhadap peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian berarti membantu diri
sendiri, orang tua, guru dan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan
demikian mempersiapkan diri menjadi kader bangsa yang tangguh.
C.     Manfaat bersikap Ridha
1.     Dengan ridha umat manusia akan menimbulkan rasa optimis yang kuat dalam
menjalani dan menatap kehidupan di masa depan dengan mengambil hikmah
dari kehidupan masa lampau.
2.     Orang yang berhati ridha atas keputusan-keputusan Allah SWT, hatinya menjadi
lapang, dan jauh dari sifat iri hati, dengki hasud dan bahkan tamak atau rakus.
3.     Ridho akan menumbuhkan sikap husnazzann, terhadap ketentuan-ketentuan
Allah, sehingga manusia tetap teguh iman dan amal shalehahnya.
4.     Dengan ridha setiap kesulitan yang kita hadapi akan ada jalan keluarnya, di tiap
satu kesulitan ada dua kemudahan.
5.     Dengan ridha akan menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama makhluk
Allah SWT, dan akan lebih dekat dengan Allah SWT.

3.   PERBEDAAN IKHLAS DAN RIDHA


Terkadang ridho disama artikan dengan ikhlas. Namun sebenarnya ridho dan
ikhlas adalah dua hal yang berbeda. Ridho ( ً‫)رض‬
ِ berarti suka, rela, senang, yang
berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai
sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka
adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-
Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.
Perilaku yang ditampakkan oleh seorang hamba yang ridho adalah ia tidak
membenci apa yang terjadi menimpa dirinya, sehingga terjadi atau tidak terjadi adalah
sama saja baginya. Sementara Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan syariat yang
ditujukan hanya kepada Allah secara murni atau tidak mengharapkan imbalan dari
orang lain. Bahkan bila tingkatan ridho seorang hamba sudah mencapai tingkat
tertinggi, ia akan selalu memuji Allah apapun yang Allah berikan kepada dirinya baik
nikmat maupun bencana, karena ia percaya apa yang menimpanya semata-mata untuk
kebaikan dirinya. Sang hamba secara suka rela dan senang menerima apapun yang
diberikan Allah kepada-Nya baik berupa nikmat maupun musibah berupa bencana.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Syukur artinya berterimakasih. adalah ,merasa gembira dan puas serta
berterimaksih ats segala nikmat dan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya,
sungguh pun tidak sesuai dengan yang diharapkan. sabar bermakna mencegah,
mengekang atau menahan (man’u, habs). Menurut istilah, sabar bermakna menahan
jiwa dari perasaan cemas, menahan lisan dari berkeluh-kesah dan menahan anggota
badan dari tindakan menampar
Orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk
Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan
tidak riya dalam beramal. Ikhlas dalam beramal sendiri berarti perbuatan yang
dilakukan dengan hati yang tulus tanpa ingin mendapatkan penghargaan dari orang
lain dan perbuatan itu dilakukan dengan niat karena ingin mendapat ridha dari Allah
SWT. Ridha adalah salah atu akhlak terpuji yang memiliki pengertian menerima
dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah SWT. Bentuk perilaku ridha
yaitu rela menerima setiap takdir yang sudah ditetukan allah dan berkeyakinan bahwa
dibalik takdir baik maupun buruk tersimpan rahasia dan hikmah yang berharga.
B. Saran
Disarankan kepada pembaca, supaya lebih memahami tentang sabra,syukur,
ikhlas dan ridha dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kami juga
menyarankan kepada para pembaca agar mencari referensi lain selain makalah ini.
Karena makalah ini jauh dari kata sempurna untuk dijadikan sebuah buku
pedoman. Dalam sistem pembelajaran dan penulis mengharapkan saran dan kritik
dari Ibu  Dosen dan para pembaca untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Mahmud, Ali.2010.Rukun Ikhlas.Solo: PT Era Adicitra Intermedia


Al-Jauziyah, Ibnu al-qayyim, Sabar dan Syukur, Semarang: Pustaka Nun, 2010.
Al-Hafidz, Ahsin W., kamus Ilmu Al-Quran, Jakarta: Amzah, 2012.
Mustaqim, Abdul.2013.Akhlak Tasawuf-Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati.Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara
Hartati , Netty, dkk, Islam dan Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Iman, Fauzul, Lensa Hati, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Gerbangilmuduniaku.(2016, September. 06).RidhadanAmal
Shaleh[Online].Available : Http://gerbangilmuduniaku.blogspot.in/2013/01/makala
h-adil-ridho-amal-dhaleh.html
Upe, Muh. Ilyas, 2019, “Akhlak-Tasawuf”, Makassar: Univeritas Muslim Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai