Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HADIST IKHLAS, SABAR DAN PEMAAF

(Untuk Memenuhi Tugas Makalah Hadist dan


Pembelajaran)

Dosen Pengampu

Achmad Fauzi,M.Ag

Disusun oleh

Muhamad Sidik

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AT-


TAQWA
BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini dunia pendidikan dinegara kita semakin mendapatkan
tantangan, berbagaiusaha pembaharuan dibidang pendidikan telah
dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitaspendidikan,
misalnya kurikulum yang mengalami penyempurnaan dan beberapa metode
dan mediapembalajaran mengalami pembaharuan yang dinamis. Hal tersebut
bertujuan untuk membentuk individu-individu yang berkualitas, kreatif dan memiliki
keimanan serta kepribadian yang matang gunamenghadapi perkembangan dan
kemajuan jaman.Guru memiliki peranan penting dalam pembentukan
kepribadian siswa, selain mengajar u n t u k menyampaikan materi
pelajaran, guru juga harus dapat mengintegrasikan nilai-nilai
y a n g bermuatan moral dan spiritual kepada anak didik. Melalui berbagai model dan
cara harus dilakukan olehseluruh guru bidang studi, agar menghasilkan anak didik
yang cerdas secara intelaktual dan sekaligusberkepribadian yang matang berkarakter.
Pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai
cara, baik didalam kelasmaupun diluar kelas, seperti melalui penugasan dirumah,
melalui lembar kerja yang disusun oleh guru,motivasi sebelum pelajaran dimulai,
membuat program kultum diluar kelas atau bentukkegiatan yang lainnya. Dan yang
menjadi pembahasan dalam kajian ini adalah mengenai hadist ikhlas, pemaaf dan
sabar dan pembelajarannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi Rumusan maalah:
1. Apa itu ikhlas,sabar dan pemaaf?
2. Bagaimana ciri-cici prilaku ikhlas sabar dan pemaaf?
3. Apa manfaat ikhlas, sabar dan pemaaf ?
C. Tujuan Masalah
Adapun yang menjadi tujuannya:
1. Mengetahui pengertian ikhlas, sabar dan pemaaf
2. Mengetahui ciri-ciri prilaku ikhlas,sabar dan pemaaaf
3. Mengetahui manfaat prilaku ikhlas, sabar dan pemaaf
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian
1. Iklas
ikhlas artinya tulus dan bersih. Adapun menurut istilah, ikhlas ialah
mengerjakan sesuatu kebaikan dengan semata-mata mengharap rida Allah SWT.
Bagi orang yang ikhlas, suatu perbuatan baik tidak harus dikaitkan dengan imbalan
atau balasan, melainkan semata-mata ingin mendapatkan rida Allah SWT. Jadi
meskipun tidak mendapat imbalan apa pun dan dari pihak mana pun, akan tetap
melakukan perbuatan baiknya tersebut.
Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam
menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah
mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas
adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.
Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf
melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan
dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.
Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.”
Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari
perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan
tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya
seberat biji sawi”.
Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan
selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan
seorang hamba antara lahir dan batin”.
Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia
adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila
Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.
2. Sabar
Kata sabar berasal dari bahasa arab yaitu as-Shabru, merupakan masdar dari
fi’il madhi yang berarti menahan diri dari keluh kesah. Ada juga yang mengatakan
as-Shibru dengan mengkasrahkan shadnya yang berarti obat yang sangat pahit dan
tidak enak. Imam Jauhari memahami kata sabar yang bentuk jamaknya berupa lafad
‫ ُصُبٌر‬dengan menahan diri ketika dalam keadaaan sedih atau susah.
Ar-Raghib Al-Asfihani berpandangan bahwa sabar adalah kuat atau tahan
ketika dalam keadaan sempit maupun sulit. Menurutnya, sabar juga berarti menahan
hawa nafsu dari sesuatu yang dapat merusak akal dan syari’at.
Sabar dalam pandangan M. Quraish Shihab adalah menahan diri atau
membatasi jiwa dari keinginan demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik.
Adapun dalam pandangan Ibnu Qayyim al-Jauzi sabar adalah menahan diri
dari rasa gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah, menahan
tubuh dari kekacauan
kata sabar sebagaimana dalam Kamus Al-Quran aw Ishlah al-Wujuh wa an-
Nadlair fi Al-Quran Al-Karim mempunyai lima makna
Pertama, sabar bermakna menahan, sebagaimana firman-Nya:
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اْسَتِع يُنوا ِبالَّصْبِر َو الَّص اَل ِةۚ ِإَّن َهَّللا َم َع الَّصاِبِريَن‬
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS.
Al-Baqarah : 153)
Kedua, sabar bermakna berani, sebagaimana firman-Nya :
‫ُأ َٰل‬
‫و ِئَك اَّلِذ يَن اْش َتَرُو ا الَّض اَل َلَة ِباْلُهَد ٰى َو اْلَع َذ اَب ِباْلَم ْغ ِفَرِةۚ َفَم ا َأْص َبَر ُهْم َع َلى الَّناِر‬
Artinya:“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan
petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang
api neraka.” (QS. Al-Baqarah : 175)
Ketiga, sabar bermakna ketabahan, sebagaimana firman-Nya:
‫ِإْن َك اَد َلُيِض ُّلَنا َع ْن آِلَهِتَنا َلْو اَل َأْن َصَبْر َنا َع َلْيَهاۚ َو َس ْو َف َيْع َلُم وَن ِح يَن َيَر ْو َن اْلَع َذ اَب َم ْن َأَض ُّل َس ِبياًل‬
Artinya:“Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-
sembahan kita, seandainya kita tidak sabar(menyembah)nya” dan mereka kelak
akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat
jalannya.”(QS. Al-Furqan : 42)
Keempat, sabar bermakna ridha, sebagaimana firman-Nya :
‫َو اْص ِبْر ِلُح ْك ِم َر ِّبَك َفِإَّنَك ِبَأْع ُيِنَناۖ َو َس ِّبْح ِبَحْمِد َر ِّبَك ِح يَن َتُقوُم‬
Artinya:“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” (QS. At-Thur : 48)
Kelima, sabar bermakna sabar itu sendiri, sebagaimana firman-Nya :
‫َو ُخ ْذ ِبَيِد َك ِض ْغًثا َفاْض ِر ْب ِبِه َو اَل َتْح َنْث ۗ ِإَّنا َو َج ْد َناُه َص اِبًراۚ ِنْع َم اْلَع ْبُدۖ ِإَّنُه َأَّواٌب‬
Artinya:“Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah
dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia
(Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat
taat (kepada Tuhan-nya).” (Q.S Shad: 44)
3. Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela memberi maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf berarti sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa sedikit pun ada
rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Dalam bahasa Arab sikap pemaaf
disebut al-‘afw yang juga memiliki arti bertambah (berlebih), penghapusan, ampun,
atau anugerah.
B. Ciri-ciri Perilaku ikhlas, Sabar dan Pemaaf
1. Ikhlas
a. Gemar melakukan perbuatan terpuji dan tidak di pamerkan kepada orang
lain;
b. Ikhlas dalam beribadah, semata-mata karena Allah Swt.;
c. Tidak mengharapkan pujian atau sanjungan dari orang lain;
d. Selalu berhati-hati dalam bertindak atau berperilaku;
e. Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil;
f. Tidak menghitung-hitung apalagi mengungkit-ungkit kebaikan yang
pernah diberikan kepada orang lain.
2. Sabar
a. Sabar dalam menjalankan perintah Allah Swt., seperti: 1) Ketika
mendengar azan segera menuju ke masjid untuk melaksanakan shalat
berjamaah; 2) Ketika bel berbunyi segera masuk kelas untuk mengikuti
pelajaran; 3) Saat orang tua memanggil, segera menghadap dan menemui
agar tidak mengecewakannya.
b. Sabar dalam menjauhi maksiat atau meninggalkan larangan Allah Swt.,
seperti: 1) Ketika diajak membolos segera menolak dan menghindari
teman-teman yang bersekongkol untuk membolos; 2) Saat diajak tawuran
segera menolak dan menjauhi teman-teman yang mengajaknya; 3) Tidak
cepat marah dan main hakim sendiri.
c. Sabar dalam menerima dan menghadapi musibah, seperti: 1) Ketika
terkena musibah sakit tidak mengeluh dan tidak putus asa untuk berusaha
mencari obatnya; 2) Ketika terkena musibah tidak mengeluh dan tidak
menyalahkan Allah dan orang lain.
3. Pemaaf
a. Memberikan maaf dengan ikhlas kepada orang yang meminta maaf;
b. Meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat;
c. Tidak memendam rasa benci dan perasaan dendam kepada orang lain.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Ikhlas
‫ ِاَّن َهللا َال َيْنُظُر ِالَى َاْج َس اِم ُك ْم َو َال ِالَى ُص َو ِر ُك ْم َو ٰل ِكْن‬: ‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا ص‬: ‫َع ْن َاِبى ُهَر ْيَر َة رض َقاَل‬
‫ مسلم‬. ‫َيْنُظُر ِالَى ُقُلْو ِبُك ْم‬
Dari Abu Hurairah RA, berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula
menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan
hatimu”. (HR. Muslim)
Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal,
membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang
melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada
noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri
sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari
harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena
syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang
banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau
karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi
karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata.
Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit
atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu
ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh
perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan
perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak
akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
1. Hukum Beramal Yang Bercampur Antara Ikhlas Dan
Tujuan-Tujuan Lain
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena
Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub
kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.
Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang
jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya
ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang
dimudahkan Allah.
Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih
berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada
diriku”Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a:
‫ َثِّبْت َقْلِبْي َع َلى ِد ْيِنَك‬، ‫َيا ُم َقِّلَب الُقُلْو ِب‬
Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.
Lalu seorang sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan
kepada apa yang engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,”Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan
Allah, dan Allah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302;
Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792;
Shahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225
dari sahabat Anas]. Yahya bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih
penting daripada amal”
Muththarif bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan
amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat”
Pernah ada orang bertanya kepada Suhail: “ Apakah yang paling berat bagi
nafsu manusia?” Ia menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian
dari ikhlas”
Dikisahkan ada seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu
hari ia datang terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya
terbersit rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat
itulah, ia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika
shalat di shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat
orang lain. Yusuf bin Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia
adalah ikhlas. Aku sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari
hatiku, seolah-olah timbul riya, dengan warna lain.”
Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa,
karena ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa
melakukan ibadah sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas
karena Allah, maka ia akan selamat.
Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali
perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang
memperhatikannya, kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan
kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan
senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari
kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang
dimaksudkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
‫َو َبَدا َلُهم ِّم َن ِهللا َم اَلْم َيُك وُنوا َيْح َتِس ُبوَن َو َبَدا َلُهْم َسِّيَئاُت َم اَك َس ُبوا َو َح اَق ِبِهم َّم اَك اُنوا ِب ِه َيْس َتْه ِز ُءوَن‬
Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka
perkirakan.Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka
perbuat … [Az Zumar/39:47-48]
‫ُقْل َهْل ُنَنِّبُئُك ْم ِبْاَألْخ َس ِر يَن َأْع َم اًال اَّلِذ يَن َض َّل َسْعَيُهْم ِفي اْلَح َياِة الُّد ْنَيا َو ُهْم َيْح َس ُبوَن َأَّنُهْم ُيْح ِس ُنوَن ُص ْنًعا‬
Katakanlah:”Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang
yang paling merugi perbuatannya”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya. [Al Kahfi/18 :103-104]
Bila Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah
melakukan amalan Islam secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga
beranggapan seperti itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda
mendapatkannya sebagai orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok
pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain,
bahwa seakan-akan dia berbuat untuk Allah.
Ada lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin
dikatakan sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam
hatinya bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang
lainnya tidak. Ada lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya
dapat penghormatan dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama,
mengalahkan orang yang bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa
Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah
wal ‘Afiyah.
Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi,
membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak
mudah. memerlukan usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu
masuk bagi setan ke dalam jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan,
gila kedudukan, pangkat, harta untuk pamer dan lainnya.
Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik.
Setan selalu menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati
manusia, serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek.
Karena itu kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman.
‫َو ِإَّم ا َيْنَز َغ َّنَك ِم َن الَّش ْيَطاِن َنْز ٌغ َفاْس َتِع ْذ ِباِهَّلل ۚ ِإَّنُه َسِم يٌع َع ِليٌم‬
Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
[Al-A’raf/7:200].
Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan
pribadi, memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu
dan lainnya.
Dan bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong
seseorang melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin
selamat di dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.
Upaya mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub
kepada Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal
mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang dorongan nafsu, dan selalu berdo’a
kepada Allah Ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang
yang beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga
golongan.
Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam
ibadahnya, dan untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti
membatalkan amalnya dan termasuk syirik, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:
‫ َم ْن َع ِم َل َع َم ًال َأْش َر َك ِفْيِه َم ِع ي َغ ْيِر ْي َتَر ْكُتُه َو ِش ْر َك ُه‬، ‫َأَنا َأْغ َنى الُّش َر َك اِء َع ِن الِّش ْر ِك‬
Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal
mempersekutukanKu dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya.
[HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].
Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti
ingin menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud
untuk taqarrub kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫َم ن َك اَن ُيِر يُد اْلَح َياَة الُّد ْنَيا َو ِز يَنَتَها ُنَو ِّف ِإَلْيِهْم َأْع َم اَلُهْم ِفيَها َو ُهْم ِفيَها َالُيْبَخ ُسوَن ُأْو َلِئَك اَّلِذ يَن َلْيَس َلُهْم‬
‫ِفي ْاَألِخ َرِة ِإَّال الَّناَر َو َح ِبَط َم اَص َنُعوا ِفيَها َو َباِط ٌل َّم اَك اُنوا َيْع َم ُلوَن‬
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna,
dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hud/11:15-16].
Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama
bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan
golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada
Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena
perbuatannya.
Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada
Allah sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :
 Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga
berniat untuk membersihkan badan.
 Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
 Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-
tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak
adalah niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal
itu tidak menyeret pada dosa, seperti firman Allah tentang jama’ah haji disebutkan
dalam KitabNya:[10]
‫َلْيَس َع َلْيُك ْم ُج َناٌح َأن َتْبَتُغوا َفْض ًال ِّم ن َّرِّبُك ْم‬
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al
Baqarah/2:198].
Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak
memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan
dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang
mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling tinggi, ia jadikan sebagai sarana
untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Keadaan seperti itu difirmankan
Allah Subhanahu wa Ta’ala :
‫َو ِم ْنُهم َّم ن َيْلِم ُز َك ِفي الَّصَد َقاِت َفِإْن ُأْع ُطوا ِم ْنَها َر ُض وا َو ِإن َّلْم ُيْع َطْو ا ِم ْنَهآ ِإَذ ا ُهْم َيْس َخ ُطوَن‬
Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika
mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak
diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At-Taubah/9:58].
Dalam Sunan Abu Dawud, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ada
seseorang bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Seseorang ingin
berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ingin mendapatkan harta (imbalan)
dunia?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak ada pahala
baginya,” orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”
Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907),
dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َأِو اْم َر َأٍة َيْنِكُح َها َفِهْج َر ُتُه ِإَلىَم ا َهاَج َر ِإَلْيِه‬، ‫َم ْن َك اَنْت ِهْج َر ُتُه ِلُد ْنَيا ُيِصْيُبَها‬
Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau
karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai
dengan tujuan niat dia berhijrah.
Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena
Allah dan tujuan lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa
pendapat ulama. Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang
tersebut tidak mendapatkan apa-apa.
Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain
ibadah pada golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya
merupakan kehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari
pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka.
Apabila ditanyakan“bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang yang
termasuk dalam golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau selain ibadah?”
Jawaban kami: “Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali
kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan
niatnya lebih besar tertuju untuk ibadah. Dan bila sebaliknya, ia tidak mendapat
pahala”.
Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar
dan penting. Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang
paling bawah disebabkan dengan niatnya.
Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling
berat atas diriku, melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah
agar diberi keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal”[12].
2. Ikhlas adalah Syarat Diterimanya Amal
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku
ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya
dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan
kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat
diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang
tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan
ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya
atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi,
maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini
ditunjukan dalam firmanNya:
‫َو اِح ٌد َفَم ْن َك اَن َيْر ُج وا ِلَقآَء َرِّبِه َفْلَيْع َمْل َع َم ًال َص اِلًح ا َو َالُيْش ِر ُك ِبِع َباَد ِة َر ِّبِه َأَح ًدا‬
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia
mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan
Rabb-nya. [Al Kahfi : 110].
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai
shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu
mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya: “Inilah dua landasan
amalan yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang)
seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang
diperolehnya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia tidak
mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan
apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
‫ِإَّن َهللا َال َيْقَبُل ِم َن الَعَمِل ِإَّال َم ا َك اَن َلُه َخ اِلصًا َو اْبُتِغ َي ِبِه َو ْج ُهُه‬
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali
yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah.
[HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri
dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no.8].
B. Sabar
Tentang Sabar, Nabi SAW bersabda :
‫ قال رسول هّللا عجباالمرالمؤمن اّن أمره كّل ه ل««ه‬: ‫وعن ابى يحي صهيب بن سنان رضى هّللا عنه قال‬
‫ وإن اصابته ضّراءصبرفكان خيرال««ه‬،‫خيروليس ذلك ألحداّالللمؤمن إن اصابته سّرءشكرفكان خيراله‬
٠)‫“(رواه مسلم‬
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan ra., ia berkata : "Rasulullah saw. Bersabda
: "Sangat menakjubkan bagi orang mukmin, apalagi segala urusannya sangat baik
baginya, dan itu tidak akan terjadi bagi seseorang yang beriman, kecuali apabila
mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka yang demikian itu sangat baik, dan
apabila ia tertimpa kesusahan ia sabar maka yang demikian sangat baik
baginya."(HR. Muslim)
Allah menyebut kata sabar dalam Alquran sebanyak 70 kali. Sedangkan,
ungkapan Allah yang khusus diperuntukkan bagi mereka yang bersabar tertuang
setidaknya melalui 16 ayat Alquran yang berbeda-beda.
Di antaranya, surah al-Baqarah ayat 45. Allah meminta segenap hamba-Nya
agar menjadikan shalat dan sabar sebagai media pelipur lara. “Dan mohonlah
pertolongan terhadap Allah SWT dengan sabar dan shalat.”
Dari 16 ayat tersebut, tersarikan segudang hikmah dan manfaat bersabar.
Hikmah bersabar tersebut, antara lain, Allah memuji orang sabar sebagai golongan
orang yang beriman dan bertakwa. Kemudian, orang yang tidak dapat bersabar
merupakan orang yang lemah dan bersedih.
Allah mencintai orang-orang yang bersabar, Dia akan selalu dekat dengan
orang yang bersabar, memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang bersabar,
serta Allah akan memberikan pahala dan ganjaran yang tanpa batas bagi orang-
orang yang bersabar.Selain itu, sabar bisa dikategorisasikan secara garis besar
ketiga bagian yang utama, yaitu
Pertama, sabar karena pertolongan Allah. Artinya, seseorang mengetahui
kesabaran karena pertolongan-Nya. Dan, Allahlah yang menganugerahkan
kesabaran kepada hamba-Nya.
Kedua, sabar untuk Allah SWT. Maknanya, pendorong umat untuk bersabar
adalah karena cinta pada-Nya. Penuh harap dan mendekat dengan berbagai ragam
ketaatan kepada-Nya. Bukan hanya untuk memperlihatkan jiwa yang kuat dan
ketabahan terhadap manusia lain ataupun tujuan lain.
Ketiga, sabar beserta Allah. Yakni, sabar yang dilakukan sesuai dengan
hukum-hukum Allah. Sehingga, dia dapat menegakkan hukum Allah sekuat tenaga,
pikiran, dan hatinya.
Terkait hukum bersikap wajar, tapi berdasarkan konsensus ulama, hukumnya
wajib. Karena pada hakikatnya, menurut Islam, iman seseorang terbagi dua bagian,
separuhnya terdapat kesabaran dan sebagiannya lagi terkandung rasa syukur.
C. Pemaaf
Tentang pemaaf, Nabi SAW bersabda :
، ‫ َم ا َنَقَص ْت َص َد َقٌة ِم ْن َم اٍل‬: ‫ عن َر ُسوَل ال َّلِه صّلى هللا عليه وسّلم َقاَل‬،‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة رضي هللا عنه‬
‫ رواه مسلم وغيره‬.‫ َو َم ا َتَو اَضَع أَح ٌد ِهلل ِإَّال َر َفَع ُه ُهللا‬،‫َو َم ا زاَد ُهللا َعْبدًا بَع ْفٍو ِإَّال ِع ّز ًا‬
“Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, 'Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah
menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,)
kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri
karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat).'”
(HR. Muslim, no. 2588 dan imam-imam lainnya).
Pemaaf adalah sifat luhur yang perlu ada pada diri setiap muslim. Ada
beberapa ayat al-Quran dan hadis yang menekankan keutamaan bersifat itu yang
juga disebut sebagai sifat orang yang hampir di sisi Allah SWT.
‫اَّلِذ يَن ُيْنِفُقوَن ِفي الَّسَّراِء َو الَّضَّراِء َو اْلَك اِظِم يَن اْلَغْيَظ َو اْلَع اِفيَن َع ِن الَّناِسۗ َو ُهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْح ِسِنيَن‬
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-
Imran:134)
Kandungan QS. Ali-Imran:134 menjelaskan ciri-ciri orang yang taqwa, yaitu
selalu memaafkan orang lain. Rasulullah Saw. menganjurkan kepada kita untuk
saling memaafkan dan meminta maaf, sebagaimana sabdanya: “Dari Aisah dari
Anas berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Sambunglah tali silaturahmi kepada
orang yang telah memutuskanmu dan maafkanlah orang-orang yang
mendzalimimu“. (H.R. Baihaqi)
Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Kesalahan dan kekhilafan
adalah fitrah yang melekat pada diri manusia. Rasulullah Saw. bersabda “Setiap
manusia pernah melakukan kesalahan dan sebaik-baik pelaku kesalahan itu adalah
orang yang segera bertobat kepada Allah Swt.”. Ini berarti bahwa manusia yang
baik bukan orang yang tidak pernah berbuat salah, karena itu mustahil, kecuali
Rasulullah Saw. yang ma’sum (senantiasa dalam bimbingan Allah Swt.). Akan
tetapi, manusia yang baik adalah manusia yang menyadari kesalahannya dan segera
bertobat kepadaNya. Orang yang mulia adalah orang yang suka memafkan.
Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwasannya
Rasulullah SAW bersabda: Musa bin Imran a.s, berkata: "Wahai Tuhanku diantara
hamba-hamba-Mu, siapakah orang yang paling mulia dalam pandangan-Mu ?
"Allah Azza Wajalla menjawab, “ Orang yang memaafkan walaupun ia mampu
membalas. “ (HR. Baihaqi)
Apabila seseorang itu memiliki sifat pemaaf sebenarnya itu adalah tanda
hatinya bersih dan tenang. Sebenarnya bukanlah mudah untuk menjadi seorang
pemaaf. Sikap negatif yang menjadi lawannya yaitu pemarah sentiasa berusaha
menidakkan wujudnya sifat pemaaf dalam seseorang. Pertembungan dua unsur ini
mewujudkan satu mekanisme yang saling ingin menguasai diri seseorang. Iman dan
takwa menjadi pengemudi melahirkan sifat pemaaf, manakala syaitan pula
mengambil tempat mendidik sifat pemarah.
Hakikatnya, syaitan sentiasa menggunakan kelemahan manusia untuk digoda
dari pelbagai penjuru agar timbul sifat haiwaniah dalam diri manusia. Memang tepat
sifat pemaaf itu bukanlah satu perbuatan mudah dilakukan. Firman Allah Swt yang
bermaksud:
‫ُأْل‬ ‫َٰذ‬
‫َو َلَم ْن َصَبَر َو َغ َفَر ِإَّن ِلَك َلِم ْن َع ْز ِم ا ُم وِر‬
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan..” (QS. asy-Syura : 43).
D. Contoh perilaku ihlas, sabar dan pemaaf
1. Perilaku Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari.
Secara harfiyah, ikhlas artinya tulus dan bersih. Adapun menurut istilah,
ikhlas ialah mengerjakan sesuatu kebaikan dengan semata-mata mengharap rida
Allah Swt. Bagi orang yang ikhlas, suatu perbuatan baik tidak harus dikaitkan
dengan imbalan atau balasan, melainkan semata-mata ingin mendapatkan rida Allah
Swt. Jadi meskipun tidak mendapat imbalan apa pun dan dari pihak mana pun, akan
tetap melakukan perbuatan baiknya tersebut.
‫ِإاَّل اَّلِذ يَن َتاُبوا َو َأْص َلُحوا َو اْعَتَصُم وا ِباِهَّلل َو َأْخ َلُصوا ِد يَنُهْم ِهَّلِل َفُأوَٰل ِئَك َم َع اْلُم ْؤ ِمِنيَن ۖ َو َس ْو َف ُيْؤ ِت ُهَّللا‬
‫اْلُم ْؤ ِمِنيَن َأْج ًرا َع ِظ يًم ا‬
“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan
berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama
mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman
dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang
besar."(QS. an-Nisa' : 146)
Perilaku ikhlas sebagai penghayatan dan pengamalan QS. an-Nisa' ayat 146
dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan cara:
a. Gemar melakukan perbuatan terpuji dan tidak di pamerkan kepada orang
lain;
b. Ikhlas dalam beribadah, semata-mata karena Allah Swt.;
c. Tidak mengharapkan pujian atau sanjungan dari orang lain;
d. Selalu berhati-hati dalam bertindak atau berperilaku;
e. Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil;
f. Tidak menghitung-hitung apalagi mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah
diberikan kepada orang lain.
2. Perilaku Sabar dalam Kehidupan Sehari-hari.
Sabar berasal dari kata “sobaro-yasbiru” yang artinya menahan. Dan
menurut istilah, sabar adalah menahan diri dari kesusahan dan menyikapinya sesuai
syariah dan akal, menjaga lisan dari celaan, dan menahan anggota badan dari
berbuat dosa dan sebagainya. Sabar adalah sikap hati yang muncul pertama kali
ketika mendapatkan ujian maupun musibah. Bila menghadapi musibah dan respon
pertama yang muncul adalah kalimat istirja (inna lillahi wa inna ilaihi roji’un)
ataupun sejenisnya, maka itu adalah salah satu ukuran kesabaran.
Firman Allah SWT.
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اْسَتِع يُنوا ِبالَّصْبِر َو الَّص اَل ِةۚ ِإَّن َهَّللا َم َع الَّصاِبِريَن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar."(QS. al-
Baqarah :153)
Perilaku sabar sebagai penghayatan dan pengamalan QS. al-Baqarah ayat 153
dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan cara sebagai berikut.
a. Sabar dalam menjalankan perintah Allah Swt., seperti:
 Ketika mendengar azan segera menuju ke masjid untuk melaksanakan £alat
berjamaah;
 Ketika bel berbunyi segera masuk kelas untuk mengikuti pelajaran;
 Saat orang tua memanggil, segera menghadap dan menemui agar tidak
mengecewakannya.
b. Sabar dalam menjauhi maksiat atau meninggalkan larangan Allah
Swt., seperti:
 Ketika diajak membolos segera menolak dan menghindari teman-teman yang
bersekongkol untuk membolos;
 Saat diajak tawuran segera menolak dan menjauhi teman-teman yang
mengajaknya;
 Tidak cepat marah dan main hakim sendiri.
c. Sabar dalam menerima dan menghadapi musibah, seperti:
 Ketika terkena musibah sakit tidak mengeluh dan tidak putus asa untuk
berusaha mencari obatnya;
 Ketika terkena musibah tidak mengeluh dan tidak menyalahkan Allah dan
orang lain.
3. Perilaku Pemaaf dalam Kehidupan Sehari-hari.
Pemaaf berarti orang yang rela memberi maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf berarti sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa sedikit pun ada
rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Dalam bahasa Arab sikap pemaaf
disebut al-‘afw yang juga memiliki arti bertambah (berlebih), penghapusan, ampun,
atau anugerah.
‫اَّلِذ يَن ُيْنِفُقوَن ِفي الَّسَّراِء َو الَّضَّراِء َو اْلَك اِظِم يَن اْلَغْيَظ َو اْلَع اِفيَن َع ِن الَّناِسۗ َو ُهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْح ِسِنيَن‬
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS.
Ali-Imran :134)
Perilaku pemaaf sebagai penghayatan dan pengamalan QS. Ali-Imran ayat
134 dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan:
a. Memberikan maaf dengan ikhlas kepada orang yang meminta maaf;
b. Meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat;
c. Tidak memendam rasa benci dan perasaan dendam kepada orang lain.
E. Manfaat Perilaku Ikhlas, Sabar dan Pemaaf
Manfaat dari orang yang sabar, ikhlas dan pemaaf adalah :
1. Memberikan ketenangan dalam berpikir
2. Membawa keberuntungan dan keselamatan dunia akhirat
3. Mendapat pertolongan dan kasih sayang dari Allah SWT
4. menjaga untuk terus melakukan amal amal baik
5. meningkatkan derajat ketaqwaan terhadap Allah SWT
6. meningkatkan keimanan terhadap Allah SWT
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Sabar merupakan bagian dari iman, karena orang orang yang bersabar, ikhlas
dan memberikan maaf kepada orang lain dalam menghadapi ujian dari Allah SWT
maka beruntung lah ia. karena Allah menyayangi orang orang yang sabar. sabar
adalah suatu perilaku untuk menahan diri dari emosi dan keinginan, dan juga tidak
mengeluh terhadap cobaan.
Orang yang bersabar terdiri dari beberapa macam, yaitu :
 Sabar terhadap yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT
 Sabar dalam menjalankan segala perintah dan larangan Allah SWT
 Sabar dalam menghadapi ujian dari Allah SWT
Didalam Al-Quran telah dijelaskan bahwa orang yang memberi maaf adalah
ciri ciri orang beriman dan bertaqwa dalam mengerjakan amal kebaikan dan
merupakan perilaku mulia yang akan memberikan ketenteraman hati.
Ikhlas adalah segala sesuatu perbuatan yang dilakukan bukan karena terpaksa
atau hanya mengharap imbalan saja. Untuk menanamkan sifat ikhlas harus dimulai
dari niat. Niat yang ikhlas, akan menjadikan kita seseorang yang melakukan segala
sesuatunya kepada perbuatan ikhlas.
Pemaaf berarti orang yang rela memberi maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf berarti sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa sedikit pun ada
rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Dalam bahasa Arab sikap pemaaf
disebut al-‘afw yang juga memiliki arti bertambah (berlebih), penghapusan, ampun,
atau anugerah.
DAFTAR PUTAKA
https://brainly.co.id/tugas/10287699#readmore
https://almanhaj.or.id/11937-pengertian-ikhlas-2.html
https://brainly.co.id/tugas/10287699#readmore
https://almanhaj.or.id/11937-pengertian-ikhlas-2.html
https://www.bacaanmadani.com/2016/09/pengertian-dan-ciri-ciri-sifat-ikhlas.html
https://www.bacaanmadani.com/2017/01/pengertian-pemaaf-dalam-
islam.html
https://brainly.co.id/tugas/45195#readmore

Anda mungkin juga menyukai