Anda di halaman 1dari 17

TAUBAT, TAAT, ISTIQAMAH, DAN IKHLAS

Disusun oleh:

M. DIO RIZKIANSYAH (200201023)

Dosen Pengampu Mata Kuliah:

Dr. H. Amiruddin, M.A.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH

2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah swt Tuhan yang Maha Esa. Kepada-
Nyalah kita memohon perlindungan dan pertolongan. Tak lupa berselawat kita kepada Nabi
Muhammad saw yang risalahnya menjadi tuntunan bagi kita semua dalam menjalani kehidupan.

Penyusunan makalah yang berjudul “TAUBAT, TAAT, ISTIQAMAH DAN IKHLAS”


membahas tentang bagaimana konsep dasar tentang taubat, taat, istiqamah, dan ikhlas. Dimulai
dari pengertian, dalil, dan contoh.

Adapun tujuan penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Akidah Akhlak di MTs/SMP. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen
pada mata kuliah ini, Bapak Amiruddin yang telah membimbing kami.

Dengan kerendahan hati, kami memohon maaf apabila ada kesalahan dalam proses
pembuatan makalah. Kami juga mengharapkan dan membuka bagi yang ingin mengkritik dan
memberi saran yang bersifat membangun.

Wassalam

Aceh, 11 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………i
Daftar Isi……………………………………………………………………………………………………ii
Bab 1 Pendahuluan…………………………………………………………………………………………1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………………….1
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………………...1
Bab 2 Isi…………………………………………………………………………………………………….2
A. Taubat……………………………………………………………………………………………...2
B. Taat………………………………………………………………………………………………...5
C. Istiqamah…………………………………………………………………………………………..7
D. Ikhlas……………………………………………………………………………………………...10
Bab 3 Penutup……………………………………………………………………………………………..13
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………………….13
B. Saran……………………………………………………………………………………………...13
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………………..14

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Memiliki akhlak yang terpuji adalah kewajiban seluruh umat Islam. Akhlak yang baik merupakan ciri
orang Islam yang beriman dengan baik. Pada dasarnya keharusan memiliki akhlak yang terpuji adalah
dengan menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai tokoh panutan hidup. Banyak sekali sikap terpuji
Rasulullah yang terbilang sederhana namun pada kenyataannya sangat sulit untuk kita terapkan
dikehidupan sehari-hari.
Taubat, taat, istiqamah, dan ikhlas adalah beberapa sikap akhlak terpuji yang sudah sangat erat
kaitannya dengan kehidupan kita. Taubatnya misalnya. Kita sangat sering mendengar kata ini, tapi pada
praktiknya kita sangat jarang sekali melakukan taubat. Penyebabnya mungkin karena kita merasa bersih
dari segala dosa. Kita terlalu berbangga dengan amal yang sedikit sehingga merasa bersih dari dosa
maksiat yang sangat banyak sekali.
Tentang taat, tak jarang juga kita menjadi seorang yang pembangkang. Entah itu kepada orang tua,
para pemimpin, terlebih kepada Allah dan Rasul-Nya. Tak jarang kita tidak merasa gelisah ketika
meninggalkan salat. Selanjutnya istiqamah. Pada penyebutan katanya terdengar mudah, tapi pada
kenyataannya banyak sekali ujian yang didapat bagi orang yang ingin mencoba istiqamah. Terakhir
adalah ikhlas. Ikhlas sangat sulit dilakukan.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep dasar tentang taubat?
2. Bagaimanakah konsep dasar tentang taat?
3. Bagaimanakah konsep dasar tentang istiqamah?
4. Bagaimanakah konsep dasar tentang ikhlas?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar tentang taubat.
2. Untuk mengetahui konsep dasar tentang taat.
3. Untuk mengetahui konsep dasar tentang istiqamah.
4. Untuk mengetahui konsep dasar tentang ikhlas.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Taubat
1. Pengertian
Taubat berasal dari kata “taba” yang berarti kembali, sedangkan menurut istilah taubat
artinya kembali mendekatkan diri kepada Allah setelah menjauh darinya. Adalah sebuah keinginan,
kegandrungan, kebutuhan akan Allah SWT. Maupun segala yang dapat membuat kita lebih mengenalnya
Oleh karena itu, landasan bertaubat adalah mencari Allah Singkatnya bahwa bertaubat adalah kembalinya
seorang hambaa dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah SWT., dengan menjalankan apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa yang dibenci-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata bertaubat dan beristigfar. Untuk mengetahui
pengertian bertaubat, maka perhatikan firman Allah SWT Yang Artinya: “karena itu mohonlah ampun
kepada-Nya, kemudian bertaubatlah, sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan
memperkenankan (doa Hamba-Nya).”(QS.Hud/11:2)
Bertaubat sesungguhnya merupakan panggilan Allah SWT. Allah yang menumbuhkan keinginan
bertaubat didalam hati manusia. Allah memerintahkan manusia untuk bertaubat didalam al-
qur‟an sebanyak 87 kali. Allah juga memerintahkan nabi Muhammad SAW. untuk bertaubat.
Bertaubat sangat penting bagi manusia karena kalau tidak bertaubat berarti mereka sudah menzalimi
dirinya sendiri. Selain itu bertaubat juga merupakan ibadah yang utama dan yang disukai Allah SWT.
Perhatikan firman Allah berikut ini :
َ َ ‫ب ا ْل ُمت‬
َ‫ط ِه ِّريه‬ ُّ ِ‫ب الت ََّّىابِيهَ َويُح‬ َّ َّ‫إِن‬
ُّ ِ‫َّللاَ يُح‬
Artinya : “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.” (QS.Al-Baqarah/2:222).
2. Syarat-syarat Taubat
Banyak manusia yang tidak tahu akan hakikat taubat, syarat, dan adab-adabnya. Oleh karena itu,
banyak yang bertaubat hanya dengan lisan saja, sedangkan hati mereka kosong, sehingga mereka tidak
berhenti melakukan maksiat. Artinya bahwa tidak semua taubat dapat diterima, tentu terdapat beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi agar taubat diterima oleh Allah.
Supaya taubat kita diterima oleh Allah SWT., maka ada beberapa hal yang harus dilakukan,
diantaranya adalah:
a. Meninggalkan dosa tersebut. Ibnu Qayyim berkata: “Taubat mustahil terjadi, sementara dosa tetap
dilakukan.”
b. Menyesali perbuatan tersebut. Rasulullah SAW. Bersabda:“menyesal adalah taubat.”

2
c. Berjanji. (berazzam) untuk tidak mengulangi lagi. Ibnu mas‟ud berkata bahwa taubat yang benar
adalah taubat dari kesalahan yang tidak akan diulangi kembali, bagaikan air susu yang tidak mungkin
kembali kekantong susunya lagi.
d. Mengembalikan kezaliman kepada pemiliknya, atau meminta untuk dihalalkan. Imam Nawawi
berkata bahwa diantara syarat taubat adalah mengembalikan kedzaliman atau meminta untuk
dihalalkan
e. Ikhlas. Ibnu hajar berkata, “Taubat tidak akan sah kecuali dengan ikhlas”
f. Taubat dilaksanakan pada waktu masih hidup ( sebelum sakaraul maut). Hal ini disandarkan pada
firman Allah SWT., yang artinya:“Dan taubat itu tidaklah diterima Allah dari merekayang
melakukan kejahatan hingga ajal kepada seorang diantara mereka, barulah dia mengatakan, “saya
benar-benar bertaubat sekarang”
3. Faidah Bertaubat
Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang ditemukan bahwa untuk melakukan tobat agak sulit. Oleh
karena itu, untuk menggerakkan hati kita agar setiap saat bergerak untuk bertaubat, ada beberapa hal yang
dapat dilakukan, diantaranya adalah :
a. Mengetahui hakikat taubat
b. Merasakan akibat dosa yang dilakukan
c. Menghindar dari lingkungan yang kurang baik
d. Membaca dan mengkaji al-qur‟an dan hadits, terutama yang berkaitan dengan dosa.
e. Berdoa
f. Mengetahui keagungan Allah yang maha pencipta
g. Mengingat kematian yang tidak diketahui kapan, dimana, dan datangnya tiba-tiba
h. Membaca sejarah atau kisah-kisah orang yang bertaubat.
Setelah kita mengetahui syarat dan hal-hal yang dapat menggerakkan hati untuk bertaubat, maka kita
dapat mengetahui manfaat taubat diantarnya adalah :
 Tobat itu jalan menuju keberuntungan
 Malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat
 Mendapat kemudahan hidup daan rezeki yang luas
 Menghapus kesalahan dan pengampunan dosa
 Hati menjadi bersih dan bersinar
 Dicintai Allah SWT.
4. Kriteria orang yang bertaubat.

3
 Orang yang bertaubat sesudah melakukan kesalahan. Orang ini diampuni dosanya. Artinya: “Selain
orang-orang yang tobat sesudah berbuat kesalahan dan mengadakan perbaikan, sesungguhnya Allah
maha pengampun dan maha penyayang.” (QS Ali Imran:89)
 Taubat seseorang ketika hampir mati atau sekarat. Taubat semacam ini sudah tidak dapat diterima.
Artinya:“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal dan setelah kepada seorang diantara mereka, (barulah) ia
mengatakan : Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak pula (diterima taubat) orang-orang
yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksaan yang
pedih.” (QS An Nisa:18)
 Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya. Taubat nasuha adalah taubat yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh atau semurni-murninya. Taubat semacam inilah yang dinilai paling tinggi.
Taubat nasuha dapat dilakukan dengan proses sebagai berikut.
1) Segera mohon ampun dan meminta tolong hanya kepada Allah (QS An Nahl:53)
2) Meminta perlindungan dari perbuatan setan atau iblisdan ari kejahatan makhluk lainnya. (QS An
Nas:1-6, Al Falaq:1-5, dan An Nahl:98)
3) Bersegera berbuat baik atau mengadakan perbaikan, dengan sungguh-sungguh, sesuai keadaan, tidak
melampaui batas, dan hasilnya tidak boleh diminta segera (QS Al A‟raf:35, Hud:112, Al Isra‟:17-19,
Al Anbiya:90&37, Az Zumar:39) serta sadar karena tidak semua keinginan dapat dicapai. (QS An
Najm:24-25)
4) Menggunakan akal dengan sebaik-baiknya agar tak dimurkai Allah (QS Yunus:100) dan
menggunakan pengetahuan tanpa mengikuti nafsu yang buruk (QS Hud:46 dan Ar Rum:29) serta
selalu membaca ayat-ayat alam semesta Al Qur‟an (QS Ali Imran:190-191), mendengarkan perkataan
lalu memilih yang terbaik (QS Az Zumar:18), dan bertanya kepada yang berpengetahuan jika tidak
tahu (QS An Nahl:43)
5) Bersabar (QS Al Baqarah:155-157) karena kalau tidak sabar orang beriman dan bertakwa tidak akan
mendapat pahala (QS Al Qasas:30)
6) Melakukan salat untuk mencegah perbuatan keji dan munkar (QS Al Ankabut:45) dan bertebaran di
muka bumi setelah selesai salat untuk mencari karunia Allah dengan selalu mengingatnya agar
beruntung (QS Al Jumuah:9-10)
7) Terus menerus berbuat baik agar terus menerus diberi hikmah (QS Yusuf:22, Al Qasas:4, Al
Furqan:69-71, At Taubah:11 dan Al mukmin:7)
Untuk bisa dinyatakan sebagai taubat nasuha, seseorang harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut.
1) Harus menghentikan perbuatan dosanya
2) Harus menyesalai perbuatannya

4
3) Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Dan mengganti dengan
perbuatan yang baik, dan apabila ada hubungan dengan hak-hak orang lain, maka ia harus meminta
maaf dan mengembalikan hak pada orang tersebut
B. Taat
1. Pengertian Taat
Taat memiliki arti tunduk (kepada Allah Swt., pemerintah, dsb.) tidak berlaku curang, dan atau setia.
Aturan adalah tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan. Taat pada aturan adalah sikap tunduk
kepada tindakan atau perbuatan yang telah dibuat baik oleh Allah Swt., nabi, pemimpin, atau yang
lainnya. Aturan yang paling tinggi adalah aturan yang dibuat oleh Allah Swt., yaitu terdapat pada al-
Qur‟an. Sementara di bawahnya ada aturan yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw., yang disebut sunah
atau hadis.
Di bawahnya lagi ada aturan yang dibuat oleh pemimpin, baik pemimpin pemerintah, negara, daerah,
maupun pemimpin yang lain, termasuk pemimpin keluarga. Taat pada Allah tidak hanya asal taat,
didalam pelaksanaan teknisnya harus benar dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki, dan dengan tampa alasan apapun menghentikan segala larangan-Nya. Semua yang menjadi
perintah Allah Ta‟alla sudah tidak diragukan lagi pasti mengandung kemaslahatan (kebaikan), sedangkan
yang menjadi larangan-Nya pasti mengandung kemudharatanya (keburukan) apabila dilakukan.
Kemudharatan (bencana alam dimana-mana) yang sering terjadi akhir-akhir ini merupakan imbas dari
tidak menghiraukan segala larangan Allah dan Rasul-Nya.
Allah Swt adalah adalah khalik, pencipta alam semesta beserta isinya ini. Rasulullah Saw adalah
utusan-Nya untuk seluruh umat manusia bahkan kelahiran dari beliau Saw alam semesta ini mendapat
rahmat yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu siapapun yang telah berikrar (bersyahadad) maka
dengan sendirinya lahirlah suatu kewajiban dalam bentuk ketaatan kepada keduanya dalam situasi dan
kondisi apapun. Namun jenis ketaatan seperti yang disebutkan diatas akan lebih sempurna kalau diiringi
dengan ketaatan dan kepatuhan kepada ulil amri atau pemimpin. Ketaatan tersebut dalam artian harus
selalu taat dan mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditelurkan secara bersama, tentu selam peraturan
itu masih diatas nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menyimpang dari aturan agama Islam. Peranan
pemimpin sangatlah penting.
Sebuah institusi, dari terkecil sampai pada suatu negara sebagai institusi terbesar, tidak akan tercapai
kestabilannya tanpa ada pemimpin. Tanpa adanya seorang pemimpin dalam sebuah negara, tentulah
negara tersebut akan menjadi lemah dan mudah terombang-ambing oleh kekuatan luar. Oleh karena itu,
Islam memerintahkan umatnya untuk taat kepada pemimpin karena dengan ketaatan rakyat kepada
pemimpin (selama tidak maksiat), akan terciptalah keamanan dan ketertiban serta kemakmuran. Ketaatan
itu bukan hanya harus diimplementasikan pada pemimpin dalam artian luas saja dalam artian

5
sempitpun harus menjadi keseharian kita, seperti kepada orang-orang yang memiliki kuasa dan
kedudukan yang lebih tinggi. Contohnya seorang anak harus taat dan patuh pada kedua orang tuanya,
murid kepada gurunya, istri kepada suaminya dan berbagai contoh ketaatan lainnya.
2. Macam-macam Taat
a. Ketaatan kepada Allah Swt.
Ketaatan kepada Allah menempati posisi ketaatan tertinggi. Sebagai seorang muslim, tidak ada satu
pun di dunia ini yang dapat mengalahkan ketaatan kita kepada Allah Swt. Saat Allah Swt. menginginkan
sesuatu dari kita, kita harus menaati-Nya. Inilah makna keislaman kita kepada Allah Swt. Menunaikan
perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya merupakan cara menunjukkan ketaatan kepada Allah
Swt. Salah satu contoh taat kepada Allah swt., yaitu:
a) melaksanakan salat fardu lima waktu dengan f) menjaga sopan santun ketika berbicara;
ikhlas dalam hati; g) jujur memegang amanah yang diberikan;
b) menunaikan zakat atau sebagian hartanya di h) sabar ketika tertimpa musibah, dan
jalan Allah; bersyukur ketika mendapat rezeki;
c) berpuasa di bulan Ramadan; i) selalu berkalimah thayyibah, tidak berkata-
d) melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu kata kotor;
melaksanakannya; j) selalu berbuat dan beramal saleh;
e) berbuat baik dan berbakti kepada kedua k) saling menasihati dengan haq dan kesabaran.
orang tua;
b. Ketaatan kepada Nabi Muhammad saw.
Ketaatan kepada rasul memiliki posisi sejajar dengan ketaatan kepada Allah Swt. Hal ini karena apa
pun yang disampaikan, dilakukan, serta diinginkan Rasulullah saw. merupakan wahyu dari Allah Swt.
Pada saat yang sama, Allah Swt. senantiasa menjaga kehidupan rasul berikut segala gerak-gerik yang
dilakukan beliau. Sedikit saja beliau bergeser dari kebenaran, Allah Swt. segera mengingatkannya.
Dengan adanya penjagaan Allah Swt. ini Rasulullah menjadi seorang yang maksum atau terjaga dari
kesalahan.
Dengan kedudukannya yang sedemikian istimewa, Allah Swt. menempatkan Rasulullah saw. dalam
posisi yang terhormat dalam ketaatan seorang muslim. Allah menyatakan bahwa menaati Rasulullah sama
dengan menaati Allah Swt. Dengan demikian, ketaatan kepada Rasulullah saw. merupakan prioritas yang
sama dengan ketaatan kepada Allah Swt. Meskipun begitu, kita tidak boleh menganggap Rasulullah saw.
sejajar dengan kedudukan Allah Swt. sebagai Tuhan. Menyamakan Rasulullah saw. dengan Allah Swt.
sebagai Tuhan merupakan tindakan kemusyrikan karena Rasulullah hanyalah manusia biasa yang diberi
wahyu oleh Allah Swt. Menaati perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya berarti menaati rasulNya.
Hal ini karena perintah rasul berarti perintah Allah Swt.

6
c. Ketaatan kepada Ulil Amri
Ketaatan tingkat ketiga adalah taat kepada ulil amri. Sebagian ulama menafsirkan kata ulil amri di
sini terbatas pada pemerintah di negara kita berada. Oleh karena itu, kita juga harus taat pada berbagai
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Semua peraturan itu disusun untuk menjaga keteraturan
dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagian ulama yang lain meluaskan makna ulil amri ini. Mereka tidak
membatasi makna ulil amri sebatas pemerintah saja, tetapi segala hal atau aturan atau sistem yang ada di
sekitar dan terkait dengan kita. Oleh karena itu, taat kepada ulil amri dapat diartikan sebagai taat pada
orang tua, taat pada aturan masyarakat, taat pada norma yang berlaku hingga taat pada janji kita kepada
teman.
Ketaatan kepada ulil amri ini ada syarat-syarat tertentu. Syarat tertentu itu adalah tidak boleh
bertentangan dengan aturan Allah Swt. dan rasul-Nya. Ketika bertentangan dengan aturan Allah Swt. dan
rasul-Nya, perintah ulil amri harus kita tinggalkan. Kita juga dianjurkan untuk bersikap taat kepada guru.
Ketaatan kepada guru ditunjukkan dengan mematuhi perintahnya, menghormati, dan bersikap peduli. Kita
patuhi perintah dan tugas yang guru berikan kepada kita, baik itu tugas sekolah maupun tugas luar.Kita
juga wajib menghormatinya, misalnya dengan berkata dan bersikap sopan kepadanya. Sikap peduli
kepada guru dapat ditunjukkan dengan selalu mengingat jasa baiknya, mendoakannya, dan berbuat
sesuatu yang menyenangkan hatinya.
Ketatatan yang kita lakukan kepada Allah, Rasul dan ulil amri merupakan ketaatan yang akan
berakibat baik terhadap amal ibadah kita selama ketatan tersebut tidak diselimuti oleh berbagai bentuk
kebohongan, penyakit hati, kemunafikan dsb. Memiliki sifat taat akan memberikan akibat yang baik bagi
pemiliknya. Jika setiap orang telah memahami maksud sikap ini, ia akan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dapat dipastikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara akan berjalan dengan harmonis.
3. Manfaat Taat
Manfaat dari perilaku taat yaitu :
a. Mengenali Diri f. Manfaat Perdamaian
b. Rendah Hati. g. Hubungan dengan Mahluk Lain
c. Kasih sayang. h. Menikmati Rasa Syukur
d. Optimistis. i. Rasa Hormat
e. Akrab dengan Lingkungan j. Ketenangan Batin
C. Istiqamah
1. Pengertian Istiqamah
Istiqomah menurut bahasa adalah pendirian yang teguh atas jalan yang lurus. Sedangkan menurut
istilah, istiqomah adalah bentuk kualitas batin yang melahirkan sikap konsisten (taat asas) dan teguh

7
pendirian untuk menegakkan dan membentuk sesuatu menuju pada kesempurnaan atau kondisi yang lebih
baik, sebagaimana kata taqwim merujuk pula pada bentuk yang sempurna.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Mustaqiim adalah ragkaian kata dari istiqomah. Kalau jalan yang lurus,shirotha mustaqiim telah
diberikan, tercapailah sudah istiqomah.
Mengenai pengertian istiqomah itu sendiri, para ulama berbeda pendapat. Menurut Abu al-Qasim al-
Qusyairi, istiqomah adalah sebuah tingkatan yang menjadi pelengkap dan penyempurna segala urusan.
Lantaran istiqomahlah segala kebaikan berikut aturannya dapat terwujud. Orang yang tidak istiqomah
dalam melakukan urusannya pasti akan sia-sia dan mengalami kegagalan.
Adapula yang berpendapat, istiqomah hanya mampu dilakukan oleh orang-orang besar karena
istiqomah itu keluar dari kebiasaan, bertentangan dari tradisi, dan melakukan hakikat kejujuran di
hadapan Allah SWT. Berangkat dari inilah Nabi bersabda, “istiqomahlah, sekalipun kalian tetap tidak
akan mampu.” (HR. Ahmad)
Lain halnya dengan al-Wasithi, menurut beliau istiqomah adalah sifat yang bisa menjadikan
sempurnanya kebaikan. Apabila ia hilang, kebaikan-kebaikan menjadi buruk.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan istiqomah. Abu Bakar menafsirkan bahwa meraka
adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah SWT dengan sesuatupun. Ada yang menafsirkan
bahwa mereka adalah yang masuk Islam lalu tidak menyekutukan Allah SWT dengan susuatupun hingga
mereka menghadap kepada-Nya. Yang lainnya menafsirkan bahwa mereka istiqomah di atas kalimat
syahadat, dan tafsiran yang lainnya bahwa mereka istiqomah dalam melakukan ketaatan kepada-Nya.
Menurut Abu Ali ad-Daqqaq, ada tiga derajat pengertian istiqomah, yaitu menegakkan atau
membentuk sesuatu (taqwiim), menyehatkan dan meluruskan (iqomah), dan berlaku lurus (istiqomah).
Taqwim menyangkut disiplin jiwa, iqomah berkaitan dengan penyempurnaan, dan istiqomah
berhubungan dengan tindakan mendekatkan diri pada Allah SWT.
Sikap istiqomah menunjukkan kekuatan iman yang merasuki seluruh jiwa, sehingga seseorang tidak
akan mudah goncang atau cepat menyerah pada tantangan atau tekanan. Mereka yang memiliki jiwa
istiqomah itu adalah tipe manusia yang merasakan ketenangan luar biasa walau penampakkannya di luar
bagai seorang yang gelisah. Dia merasa tenteran karena apa yang dia lakukan merupakan rangkaian
ibadah sebagai bukti mahabbah. Tidak ada rasa takut apalagi keraguan.
Kegelisahan yang dimaksud janganlah ditafsirkan sebagai resah. Ia adalah metafora (tamsil) dari
sikap dinamis atau sebuah obsesi kerinduan untuk mengerahkan seluruh daya dan akal budinya agar hasil
pekerjaannya berakhir dengan baik atau sempurna.
Dengan demikian, istiqomah bukanlah berarti sebuah sikap yang jumud, tidak mau adanya perubahan,
namun sebuah kindisi yang tetap konsisten menuju arah yang diyakininya dengan tetap terbuka terhadap

8
gagasan inovatif yang akan menunjang atau memberikan kontribusi positif untuk pencapaian tujuannya.
Mengomentari masalah ini, Dr. Nurcholis Madjid berkata, “Kesalahan itu timbul antara lain akibat
persepsi bahwa istiqomah mengandung makna yang statis. Memang istiqomah mengandung arti
kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekkan, namun lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis”,
maka itulah yang disebut istiqomah.
Pribadi muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten yaitu kemampuan untuk
bersikap pantang menyerah, mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan
dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu memngendalikan diri dan mengelola
emosinya secara efektif. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan memiliki
integritas serta mampu mengelola stres dengan tetap penuh gairah. Seorang yang istiqomah tidak mudah
berbelok arah betapapun godaan untuk mengubah tujuan begitu memikatnya. Dia tetap pada niat semula.
Istiqomah berarti berhadapan dengan segala rintangan, konsisten berarti tetap menapaki jalan yang
lurus walaupun sejuta halangan menghadang. Iman dan istiqomah akan membuahkan keselamatan dari
segala macam keburukan dan meraih segala macam yang dicintai. Orang yang istiqomah juga akan
dianugerahi kekokohan dan kemenangan, serta kesuksesan memerangi hawa nafsu. Beruntunglah orang
yang mampu istiqomah dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Khususnya pada zaman seperti
ini, saat cobaan, ujian, dan godaan selalu menghiasi kehidupan. Siapa saja yang kuat imannya akan
menuai keberuntungan yang besar. Dan siapa saja yang lemah imannya akan tersungkur di tengah
belantara kehidupan dan mengecap pahitnya kegagalan.
Maka mari kita senantiasa meningkatkan iman dan memohon kepada Allah SWT agar bisa istiqomah
dalam beramal shaleh. Terlebih dalam dua hal, yaitu istiqomah dalam keikhlasan dan mengikuti ajaran
Allah SWT dan Rasul-Nya
2. Dalil-dalil istiqamah
QS. Al-Ahqaaf (46): 13-14

َ ‫علَ ْي ِه ْم‬
ََۚ‫َۚو ََلَۚ ُه ْمَۚيَحْ زَ وُ ْىن‬ ٌ ‫َاَّٰۚللاَُۚث ُ َّمَۚا ْستَقَا ُم ْىاَۚفَ ََلَۚخ َْى‬
َ َۚ‫ف‬ َ ‫ا َِّنَۚالَّ ِذيْهَ َۚقَالُ ْى‬
‫اَۚربُّى ه‬
ٰٰۤ ُ
َۚ‫َۚخ ِل ِديْهَ َۚفِ ْي َهاَۚ َجزَ ٰۤا ًءَۚۢبِ َماَۚ َماوُ ْىاَۚيَ ْع َملُ ْى َن‬ ْ ‫ب‬
ٰ ‫َۚال َجىَّ ِت‬ ْ َ ‫ول ِٕىلَ َۚا‬
ُ ٰ‫صح‬ ‫ا‬

Artinya: 13. Sesungguhnya orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka tetap
istiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita.
14. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. Sebagai balasan atas apa yang telah
mereka kerjakan.
Orang-orang yang mengaku bahwa Allah SWT adalah Tuhannya dan menjadikan Allah SWT
sebagai sentral dalam segala sesuatu. Lalu mereka istiqomah, teguh, yang merupakan derajat tinggi.

9
Derajat itu berupa ketenangan jiwa dan ketenteraman hati serta keistiqomahan perasaan. Sehingga tidak
galau dan ragu-ragu karena adnya berbagai pengaruh yang keras, bervariasi dan banyak. Derajat itu
berupa keistiqomahan perbuatan dan perilaku yang bersifat stabil dan dinamis meskipun banyak bisikan.
QS. Al-Furqon (25): 32
َ َ‫َۚواحِ دَةًََۚۛۚم َٰذلِلَ ََۚۛۚ ِلىُثَبِّتَ َۚبِ ٖهََۚۚفُ َؤادَك‬
َۚ‫َۚو َرت َّ ْل ٰىهَُۚت َْزتِي ًَْل‬ َّ ً‫َِۚالقُ ْز ٰانُ َۚ ُج ْملَت‬
ْ ‫علَ ْيه‬
َ ََۚ‫َوقَالََۚالَّ ِذيْهَ َۚ َمف َُز ْواَۚلَ ْى ََلَۚوُ ِ ّزل‬
Artinya: Dan orang-orang kafir berkata, “Mengapa tidak diturunkan Al-Qur’an itu kepada Muhammad
dengan sekaligus?”. Diturunkan Al-Qur’an dengan cara demikian karena menetapkan hatimu (wahai
Muhammad) dengannya, dan kami nyatakan bacaannya kepadamu dengan teratur satu persatu.
Ayat ini berkaitan dengan istiqomah hati, yakni senantiasa teguh dalam mempertahankan kesucian
iman dengan cara menjaga kesucian hati daripada sifat syirik, menjauhi sifat-sifat cela seperti riya dan
hendaknya menyuburkan hati dengan sifat terpuji, terutamanya ikhlas, dengan kata-kata lain istiqomah
hati mempunyai maksud keyakinan yang kukuh terhadap kebenaran.
3. Contoh Perilaku Istiqomah
Kita harus mampu mengambil sikap sikap keteladanan dari Rasulullah SAW dalam hal keteguhan
beliau membawa misi risalah dakwahnya. Suatu saat Abu Thalib membujuk Rasulullah SAW agar
berhenti berdakwah. Rsulullah SAW dengan percaya diri dan teguh pendirian menjawab, “Wahai
pamanku, demi Allah, kalau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan
kiriku agar aku meninggalkan urusan agama ini (dakwah) tidaklah aku akan meninggalkannya sehingga
Allah memberi kemenangan agama ini atau aku hancur di dalamnya.”
Istiqomah berarti konsisten pada jalan yang lurus walaupun sejuta halangan menghadang. Ini bukan
idealisme, tetapi sebuah karakter yang melekat pada jiwa pribadi seorang muslim yang memiliki
semangat tauhid laa ilaaha illallahu.Sebagaimana Bilal seorang mu‟adzin yang tetap mengucapkan,
“Ahad..Ahad..Ahad..!” walaupun dicambuk dan klitnya melepuh karena dibakar di atas pasir panas dan
ditindih batu yang besar di atas perutnya. Istiqomah tangguh menghadapi badai berjalan sampai ke batas,
berlayar sampai ke pulau. Untuk mencapai semua itu, maka kuncinya adalah istiqomah. Sikap keteguhan
ini mulai pudar diantara kita. Sebaliknya, semangat serta mutiara akhlak Rasulullah telah menjadi sumber
inspirasi bangsa-bangsa lain yang justru bukan muslim.
D. Ikhlas
1. Pengertian Ikhlas
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar
kata khalasha. Menurut Luis Ma‟luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan
konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan
I‟tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah apa saja harus disertai dengan
niat yang ikhlas tanpa pamrih apapun.

10
Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung
penggunaannya dalam al-Qur‟an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan kata ikhlas
tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-
kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish
masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali,
mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan
mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur‟an juga mengandung arti yang
beragam. Dalam hal ini al-Alma‟i merinci pemakaian term tersebut kepada empat macam :
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa‟ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma‟i
mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih
mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-
Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami (Allah) istimewakan mereka dengan
mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi
dan selalu ingat kepada negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara
ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa‟ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana
tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut
binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan
pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam
konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda
seperti syirik, bid‟ah dan lain-lain.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94,
al-An‟am : 139, al-A‟raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.
Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian
qira‟at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur‟an, antara lain
terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A‟raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65,
Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata
yang banyak digunakan adalah dalam bentuk isim fa‟il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan
mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid
(yang mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur‟an dinamakan surat al-
ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan demikian makna
ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah dalam beragama, yakni
dalam beribadah, berdo‟a dan dalam perbuatan taat lainnya harus dikerjakan semata-mata karena Allah;

11
bukan karena yang lain. Itulah sebabnya mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan
dengan al-diin.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah disucikan
Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih
pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat: 40, 74, 128,
166, 169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut semuanya memakai kata
mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu
semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).
2. Dalil tentang Ikhlas
QS. al-Bayyinah: 5
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
(mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”
QS. Yunus : 105
“dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan
janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik”
3. Contoh Perilaku Ikhlas
Terdapat beberapa contoh yang dapat kita ambil hikmah serta pelajarannya. Yang pertama adalah saat
seseorang sedang bekerja lalu mendengarkan adzan dhuhur, setelah itu Ia langsung bergegas pergi ke
masjid untuk melaksanakan sholat dhuhur. Namun hati dan juga pikirannya dilatarbelakangi karena Ia
hanya ingin menghindari pekerjaannya itu. Maka orang tersebut tidak dapat kita golongkan ke dalam
orang-orang yang ikhlas. Sebab, alasan yang Ia miliki adalah salah satu alasan yang salah, karena Ia
melakukan sholat dhuhur untuk menghindari pekerjaan bukan karena Allah SWT. Lalu untuk contoh yang
kedua adalah saat seseorang melakukan amal dengan cara sodaqoh ataupun infaq yang bertujuan untuk
mencari perhatian orang lain. Maka amal perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sikap ikhlas.

12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Taubat berasal dari kata “taba” yang berarti kembali, sedangkan menurut istilah taubat
artinya kembali mendekatkan diri kepada Allah setelah menjauh darinya. Adalah sebuah
keinginan, kegandrungan, kebutuhan akan Allah SWT. Maupun segala yang dapat membuat kita
lebih mengenalnya Oleh karena itu, landasan bertaubat adalah mencari Allah Singkatnya bahwa
bertaubat adalah kembalinya seorang hambaa dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah
SWT., dengan menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dibenci-Nya.
2. Taat memiliki arti tunduk (kepada Allah Swt., pemerintah, dsb.) tidak berlaku curang, dan atau
setia. Aturan adalah tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan. Taat pada aturan adalah sikap
tunduk kepada tindakan atau perbuatan yang telah dibuat baik oleh Allah Swt., nabi, pemimpin,
atau yang lainnya. Aturan yang paling tinggi adalah aturan yang dibuat oleh Allah Swt., yaitu
terdapat pada al-Qur‟an. Sementara di bawahnya ada aturan yang dibuat oleh Nabi Muhammad
saw., yang disebut sunah atau hadis.
3. Istiqomah menurut bahasa adalah pendirian yang teguh atas jalan yang lurus. Sedangkan menurut
istilah, istiqomah adalah bentuk kualitas batin yang melahirkan sikap konsisten (taat asas) dan
teguh pendirian untuk menegakkan dan membentuk sesuatu menuju pada kesempurnaan atau
kondisi yang lebih baik, sebagaimana kata taqwim merujuk pula pada bentuk yang sempurna.
4. Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari
akar kata khalasha. Menurut Luis Ma‟luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti
sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat),
washala (sampai), dan I‟tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah
apa saja harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih apapun.
B. SARAN
Setelah membaca makalah ini diharapakan dapat menambah wawasan keIslaman kita tentang beberapa
akhlak terpuii, yaitu taubat, taat, istiqamah, dan ikhlas.

13
DAFTAR PUSTAKA

Daud Ma‟mur , 1938, Terjemahan Hadis Shahih Muslim , Jilid I-IV, Widjaya, Jakarta.

Drs. H. Thoyyib Sah Saputra, M.Pd, Drs. H. Wahyudin, M.Pd, 2009, Aqidah Akhlaq PT.Toha Putra,
Semarang.

Hafidz, Imam al-Faqih Abi Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi. Riyaadh ash-Sholihin. Surabaya.

Halim Abdul Nipan m 2000, Menghias Diri Dari Akhlak Terpuji, Mitra Pustaka, Yogyakarta.

Ibrhim Mahyudin , 2000, 180 Sifat Tercela Dan Terpuji, Restu Agung, Jakarta

Mohammad Ruhan Sanusi, Kuliah wahidiyah, (jombang : DPP PSW, 2010)

Mu‟is, Fahrur dan Muhammad Suhadi. 2009. Syarah Hadits Arbain an-Nawawi. Bandung: MQS
Publishing

Syaikh Muhammad bin Shalih Al „Utsaimin, Riyadhus Shalihin.

Suar, Teja. (ed.). 2004. Islam Saja! Bekal Bagi Pemuda Muslim. Bandung: Kalam UPI Press.

Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniyah (Transcedental Intellegence). Jakarta: Gema Insani Press.

Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani Press.

14

Anda mungkin juga menyukai