Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

tentang

MAKNA SYAJA’AH (MEMBELA KEBANARAN)

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK

1. Annisa Sukmawati

2. Hasna Kharuinisa

3. Jibril Hanfiah

4. Iqbal Raditiya

5. Reza Alraafi

SMA MUHAMMADIYAH 4 MARGAHAYU


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, yang karena atas limpahan rahmat dan

anugerah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.  Tak lupa pula

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Mata Pelajaran yang

telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, terutama terkait penulisan

makalah ini.

Adapun makalah ini penulis rangkum dari sumber yang dapat dipercaya yang

penyajiannya penulis sajikan dalam lembar Daftar Pustaka.  Penulis menyadari penulisan

makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis

harapkan guna penyempurnaannya di masa mendatang.

Akhir kata semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan kemampuan

kita dalam bidang Ilmu Agama Islam sebagaimana yang kita semua harapkan.

Reza, Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Strategi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan eropa sebelum dan sesudah

abad ke-20 ............................................................................................................... 3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 8

B. Saran ....................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 10


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar tidak menjadi penakut

dan pengecut. Iman pada Allah Swt. mengajarkan kita menjadi orang-orang yang berani

menghadapiberagam tantangan dalam hidup ini. Islam tidak menyukai orang yang

lemah/penakut. Orang yang lemah/penakut biasanya tidak berani untuk mempertahankan

hidup sehingga gampang putus asa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Syaja’ah?

2. Bagaimana DALIL SYAJA’AH?

3. Apa Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah?

4. Bagaimana Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan?

5. Apa Keutamaan syaja’ah?

6. Apa Hikmah Syaja’ah?

C. Tujuan

1. Untuk menjelaskan tentang Pengertian Syaja’ah

2. Untuk menjelaskan tentang DALIL SYAJA’AH

3. Untuk menjelaskan tentang Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah

4. Untuk menjelaskan tentang Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan

5. Untuk menjelaskan tentang Keutamaan syaja’ah

6. Untuk menjelaskan tentang Hikmah Syaja’ah

7. Untuk menjelaskan tentang Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat

Syaja’ah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syaja’ah

SYAJA’AH ( ‫جاعة‬DDD‫ )ش‬menurut makna Etimologi berarti “benar” atau “gagah”.

Sedangkan menurut istilah ialah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan

mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi, Syaja’ah yaitu keberanian yang

berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh petimbangan.

Tokoh Abu Zahra berpendapat bahwa Syaja'ah (berani) berkata akan kebenaran dan

berani bertindak membelanya adalah salah satu ciri dan inti akhlaq islami itu. Ciri yang

dimiliki para Nabi, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri, Hasan Al Basri ketika menghadapi Al

Hajjaj, Ibnu Taimiyyah dan sebagainya. Ciri yang muncul atas penuhnya tsiqobillah

(kepercayaan kepada Allah), dalam hati seorang Muslim, keyakinan akan kebenaran Allah.

Hati yang telah terwarnai oleh celupan Allah (sibghatullah) dan memiliki tsiqoh tak

akan ragu, apalagi bersangka buruk terhadap Allah.  Dalam satu detik di tengah kegagalan

usaha, tak pernah ia melemparkan kesalahan diri pada Allah, meragukan keadilan Allah dsb.

Dia percaya dengan sepenuh percaya akan Allah dengan segala asmaNya.  Dia percaya

tindakannya selalu dalam pengawasan Allah dan mendapat perlindungan dariNya.  Dia

percaya Allah akan membelanya baik di dunia maupun kelak di pengadilan akhirat, hari

dimana semua pembela pun turut diadili, saat dimana tak ada lagi pembela selain Allah.

Rasa percaya itulah yang melahirkan keberanian, tsiqoh yang kuat membuahkan

syaja'ah yang benar--berani bukan untuk pujian, kelompok atau sesuatu yang lain, tetapi

berani karena itu, tindakan itu untuk Allah, untuk membela agama Allah semata, dan tidak

untuk yang lainnya.Dalam titik tsiqoh ini, dalam hati seorang Muslim, kebenaran Al Qur'an

dan sunah tak memerlukan lagi legalitas ilmiah dari para orientalis. Tidak lagi keyakinan baru
tumbuh setelah orang-orang kafir juga mengakuinya. Tsiqoh kepada Allah dan RasulNya

memutus ketergantungan pada selain Allah. Kebenaran Allah adalah benar,meski ia

dibenarkan atau tidak oleh para hamba taghut.

Al Haq adalah haq, meski seluruh musuh Allah berkonspirasi untuk menolaknya.

Kebenaran Allah adalah cahaya yang menerangi hati dan akal yang fitri.  Dia tidak

memerlukan pembenaran, karena dia benar adanya. Dia akan terang dan menjulang meski

mulut-mulut pendusta mengingkarinya. Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.

B. DALIL SYAJA’AH

QS Al Imran : 139

Artinya : Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati,

padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang

beriman.

C. Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah

1. Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii sabililah)

Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat

diambil, mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan akhirat.

Sehingga ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang

sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa

yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang
atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu

kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam.

Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. al-Anfal [8]: 15-16).

2. Berani menegakkan kebenaran

Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat

dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan

ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw melalui Hadits Riwayat Ibnu

Hibban. ‘Qulil haq walau kaana muuran ’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan

berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan.

Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus

terang dalam kebenaran.

"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang

zhalim”. (Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)

3. Memiliki Daya Tahan Yang Besar

Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan

mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di

masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar sekali bentuk cobaan

yang dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu, masih dalam rintisan

awal-awal dakwah, harus dihadapi berbagai bentuk perlawanan, permusuhan, makar. Boikot
ekonomi, siksaan terhadap individu bahkan pembunuhan. Secara umum kaum muslimin

sungguh menderita waktu itu.

Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam

menghadapi siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan aqidah

hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah

pertama dalam Islam yang menumbuh suburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.

4. Kemampuan Menjaga Rahasia

Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan

rahasia bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat penting,

apakah untuk menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk menjaga

keberlangsungan dakwah.

Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabat pun

hanya segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk menyimpan

rahasia. Adalah Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan

sebutan shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui

yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi

konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah

bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya

Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku

tertangkap.”

5. Mengendalikan Nafsu

Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat

dihilangkan tapi dapat dikendalikan.


 “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu

menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12: 53).

Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an

bahwasanya salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan

kesalahan orang lain .

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang

luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu

orang yang berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan

amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang

berbuat kebaikan.”(QS. 3:133-134).

 “Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu

ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah

emosi, justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh tersebut,

karena Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh amarah terhadap sikap

musuh bukan karena mengharapkan keridaan Allah.

6. Mengakui Kesalahan

Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul

merasakan sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru mengelakkannya

apalagi menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan apabila berkaitan dengan

pihak lain, tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta maaf, dan bersedia bertanggung

jawab.
Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan

hidup Nabi Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat

pengampunan Allah sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak

mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-

orang yang merugi”. (QS 7: 23)

Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah Harun Al

Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana

lazimnya penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk

untuk umum. Pada saat Khalifah melakukan sa'i antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri,

sambil disaksikan, ribuan jamaah haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke

tempat sa'i. Sesampainya di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah

beliau, "Haruuuun...!", tanpa menyebut embel-embel kekhalifahan.  Mendengar jeritan tadi,

seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah

yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".

"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana ?".

"Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah.  "Ketahuilah, setiap

orang dari mereka akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu

akan diminta pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu.  Lihatlah

kepada dirimu, apakah pantas engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan

Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui

kesalahan yang beliau lakukan. [5] Sikap Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri juga

mencerminkan point nomor 2, berterus terang dalam kebenaran, meskipun harus disampaikan

pada seseorang yang berposisi khalifah sekalipun.


7. Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri

Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan

untuk diperbaiki semaksimal mungkin dan kelebihan untuk dioptimalkan sebaik mungkin.

Jangan terlalu berlebihan memandang diri yang mungkin bisa berakhir pada keangkuhan dan

kesombongan. Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah yang sangat mashur, bahkan ada

sebutan bahwasanya beliau adalah khulafaur rasyidin yang ke-5, memberikan contoh saat

berpidato dihadapan rakyatnya: “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku

hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar

melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini.”

D. Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan

Sumber keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu :

1. Rasa takut kepada Allah Swt

2. Lebih mencintai akhirat daripada dunia.

3. Tidak ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang.

4. Tidak menomor satukan kekuatan materi.

5. Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah.

Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika

mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian

menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah

pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut

sama sekali)”

Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu

bukan berarti hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang
berorientasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab dan berdasarkan pertimbangan

maslahat.

Predikat pemberani bukan hanya diperuntukkan kepada pahlawan yang berjuang di

medan perang. Setiap profesi dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan

kewajibannya secara bertanggungjawab. Kepala keluarga dikategorikan berani apabila

mampu menjalankan tanggungjawabnya secara maksimal, pegawai dikatakan berani apabila

mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterus nya.

Keberanian terbagi kepada terpuji (al-mahmudah) dan tercela (al-madzmumah).

Keberanian yang terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal dalam setiap peranan

yang diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan berani yang tercela adalah

apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak tepat penggunaannya.

E. Keutamaan syaja’ah

Dalam ayat ini rasa takut itu dapat dikendalikan dan bahaya dari hal yang ditakuti itu

dapat diperkecil atau dihindari. Oleh karena itu orang yang mempunyai sifat syaja’ah

memiliki ketenangan hati dan kemampuan mengolah sesuatu dengan pikiran tenang.

Menurut Ibnu Miskawih, sifat Syaja’ah mengandung keutamaan-keutamaan sebagai

berikut:

Jiwa besar, yaitu sadar akan kemnampuan diri dan sanggup melaksanakan pekerjaan

besar yang sesuai dengan kemampuannya. Bersedia mengalah dalam persoalan kecil dan

tidak penting Menghormati tetapi tidak silau kepada orang lain.

1. Tabah, yaitu tidak segera goyah pendirian, bahkan setiap pendirian keyakinan

deipegangnya dengan mantap

2. Keras Kemauan, yaitu bekerja sungguh-sungguh dan tidak berputus asa serta tidak

mudah dibelokkan dari tujuan yang diyakini


3. Ketahanan, yaitu tahan menderita akibat perbuatan dan keyakinannya

4. Tenang, yaitu berhati tenang, tidak selalu menuruti perasaan (emosi) dan tidak lekas

marah

5. Kebesaran, yaitu suka melakukan pekerjaan yang penting atau besar

F. Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:

Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:

1. Syaja’ah harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian

waktu menghadapi musuh dalam peperangan (al-Jihad fi Sabilillah). Allah berfirman :  

(244)  ‫وا َأ َّن هَّللا َ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬


ْ ‫وا فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َوا ْعلَ ُم‬
ْ ُ‫َوقَاتِل‬

artinya :  “dan berperang lah kamu di jalan allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha

Mendengar, Maha Mengetahui “ ( Qs. Al- baqarah: 244)  

2. Syaja’ah nafsiyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan

menegakkan kebenaran

a. Keberanian mengatakan kebenaran sekalipun didepan penguasa yang DzalimDari

Abu Sa’id Al Khudri, NabiMuhhammad saw bersabda :

ٍ َ‫ض ُل ْال ِجهَا ِد َكلِ َمةُ َع ْد ٍل ِع ْن َد س ُْلط‬


‫ان َجاِئ ٍر‬ َ ‫َأ ْف‬

Artinya “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik)

di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu

Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

b. Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia bisa

melampiaskannya dan firman Allah swt:

‫س َع ِن ْالهَ َوى‬
َ ‫َوَأ َّما َم ْن خَ افَ َمقَا َم َربِّ ِه َونَهَى النَّ ْف‬
Artinya “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan

menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat

tinggal(nya).”(Q.S. An-Nazia’at 40- 41.)

Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:

1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.

2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.

3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.

Dari dua macam syaja’ah(keberanian) tersebut di atas, makasyaja’ahdapat

dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:

a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan

mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang

zalim.

c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan.

Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu

menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggungjawab.

Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:

1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.

2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.

3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa. Dari dua

macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat dituangkan

dalam beberapa bentuk, yakni:


a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan

mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang

zalim.

c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh

perhitungan. Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di

dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian

yang bertanggung jawab.

d) Berani mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat pengecut

yang tidak mau mengakui kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap

”lempar batu sembunyi tangan” Orang yang memiliki sifat syaja’ah berani

mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan

bertanggung jawab.

e) Bersikap obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung bersikap

“over con dence” terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni

dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap

“under estimate” terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak

mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap

tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan

bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.

f) Menahan nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu

ber–mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat

mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan

peluang untuk melampiaskan amarahnya.


G. Hikmah Syaja’ah

Dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk di miliki setiap

muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan berbagai kebaikan

bagi kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.

Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia, cepat,

tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai. Akan tetapi

apabila seorang terlalu dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol dengan kecerdasan

dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat ceroboh, takabur, meremehkan orang lain,

unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika seorang mukmin kurang syaja’ah, maka akan dapat

memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa, kecil hati dan sebagainya.

H. Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah

Berani karena benar dan rela mati demi kebenaran. Slogan tersebut pantas dilekatkan

pada diri sahabat-sahabat dan sahabiyah-sahabiyah Rasulullah saw. karena keagungan kisah-

kisah perjuangan mereka.

Rasulullah Muhammad saw. sendiri menjadi teladan utama saat beliau tak

bergeming sedikit pun ketika disuruh menghentikan dakwahnya. Beliau pun berucap dengan

kata-katanya yang masyhur, “Walaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di

tangan kiriku, aku tidak akan pernah menghentikan dakwahku ini”.

Keberanian dan keteguhan sikap nampak pula pada diri sepupu dan menantu Nabi

saw., Ali bin Abu Thalib r.a. Ali mengambil peran yang sangat beresiko, menggantikan

Rasulullah di tempat tidur untuk mengelabui musuh-musuh yang mengepung. Dan benar saja

ketika tahu mereka dikelabui, mereka pun marah serta memukuli Ali hingga babak belur.
Khalifah kedua yakni Umar bin Khathab juga sangat terkenal dengan ketegasan

sikap dan keberaniannya. Ketika mau hijrah berbeda dengan sahabat-sahabat lain yang

sembunyi-sembunyi, Umar malah berteriak lantang, “Umar mau hijrah, barang siapa yang

ingin anak istrinya menjadi yatim dan janda, hadanglah Umar”.

Keberanian mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda

Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuhsuburkan

perjuangan dengan darahnya yang mulia.

Begitu pula Khubaib bin Adiy yang syahid di tiang salib penyiksaan dan Habib bin

Zaid yang syahid karena tubuhnya dipotong-potong satu demi satu selagi ia masih hidup.

Mereka berani bertaruh nyawa demi mempertahankan akidah dan itu terbukti dengan

syahidnya mereka berdua.

Bilal dan Khabab bin Al-Irts, yang mantan budak disiksa dengan ditimpa batu besar

(Bilal) dan disetrika punggungnya (Khabab) adalah bukti bahwa keberanian tidak mengenal

lapisan dan strata sosial.

Ada pula anak bangsawan seperti Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash

yang diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak oleh orangtua mereka karena masuk Islam.

Dan akhirnya wanita-wanita perkasa dan pemberani seperti Shafiyah binti Abdul

Muthalib, bibi Rasulullah saw., Nusaibah binti Ka’ab, perisai Rasulullah saw. dan

Fatimah, putri Rasulullah saw. yang menjadi bukti wanita tak kalah berani dibandingkan

laki-laki dalam mempertahankan kebenaran.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

SYAJA’AH ( ‫جاعة‬DDD‫ )ش‬menurut makna Etimologi berarti “benar” atau “gagah”.

Sedangkan menurut istilah ialah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan

mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi, Syaja’ah yaitu keberanian yang

berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh petimbangan.

Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika

mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian

menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah

pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut

sama sekali)”

B. Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan

dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena

terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan

judul makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan

saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan

makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis

pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

http://kabarwictwicky.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-as-syajaah-dalam-islam.html

http://ildenabineri.blogspot.co.id/2015/05/tinjauan-dan-bahasan-materi-tentang-asy.html

Anda mungkin juga menyukai