Orang sukses itu tidak identik dengan orang kaya dan orang gagal itu
tidak identik dengan miskin. Menang kalahnya seseorang, atau sukses
gagalnya seseorang, tidak ditentukan oleh apakah ia kaya atau ia miskin,
melainkan oleh kekalahan atau kemenangan mental orang itu terhadap
kekayaan atau kemiskinan.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
AlFalaq AnNas.
Berapa kalipun sekuatnya, syukur sekurang-kurangnya 31 kali.
8.
Kapan luang dan ikhlas wiridkan:
Ya Mannana Ya Karim Ya Adla Ya Hakim Ya Rohmana Ya Rohim Ya
Hafiidha ya Halim.
Berapa kalipun sekuatnya, syukur sekurang-kurangnya 100 kali.
9.
Jika muncul rasa takut, cemas, gelisah, wiridkan kalimat Rasulullah
Muhammad SAW di saat genting:
In lam takun alayya ghodhobun fala ubali.
Semoga Allah SWT mengayomi hamba-hambaNya yang tidak ikut
merusak kehidupan, serta mengampuni siapapun yang bertobat, yang
mengerti dan mengakui dosa-dosanya.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
2.
3.
4.
5.
Perlawanan Badar
Kenapa sejak 2 hari yang lalu saya tekankan jarak 4 km dan seterusnya
dari puncak, kemudian pengungsi pindah turun lagi seterusnya dan kini
20 km dari puncak Merapi agar kita tahu bahwa:
1.
derita ini tidak kepada siapapun selain Engkau wahai Maha Pengasuh
kami.
Engkau Maha Mendengar hati kami semua serta Ibu Heru dan putra-putri
mereka bahwa tangis kehilangan kami sama sekali bukanlah bentuk
perlawanan kami kepada-Mu. Engkaulah juga yang menganugerahkan
kekuatan bagi hati kami serta ketangguhan mental bagi perjuangan masa
depan kami semua sepeninggal hamba-Mu yang sangat kami cintai itu.
Tentu saja kukejar hatiku sendiri dengan menungkapkan pernyataan Allah
SWT: Barang siapa tidak mau menerima ketentuan-Ku hendaklah ia
berpindah dari bumiku dan mencari Tuhan yang lain.
Ya Allah Engkau Maha Mengetahui segala sesuatu yang kami nyatakan
maupun yang kami sembunyikan, maka sesungguhnya tiadalah
sesuatupun yang kami sembunyikan dari-Mu. Ya Allah Engkau mengarifi
segala yang tersurat maupun yang tersirat, segala yang kasat mata dan
yang tak kasat mata, segala yang terucapkan maupun yang tersimpan di
dalam kebisuan, segala yang dimaksudkan maupun kandungan yang
sejati di balik setiap yang kami maksudkan.
Ya Allah, adakah ucapan dari kefaqiran hamba-Mu yang tidak salah?
Adakah kalimat, kata, huruf, bahkan setiap titik dari setiap huruf, dari
kami semua yang hina dina ini yang tidak khilaf, yang memiliki ketepatan,
yang sedikit saja mendekati garis kebenaran sejati yang berada di
keharibaan-Mu?
Ya Allah sesungguhnya niscaya tiadalah satu huruf dari kata-kata kami,
tiadalah satu kata dari kalimat-kalimat kami, tiadalah satu kalimat dari
pembicaraan kami, tiadalah satu tetes dari deraian tangis kami, tiadalah
satu satu debu dari setiap upaya kemakhlukan kami, yang memiliki kadar
kebenaran yang memadai di hadapan agungnya kebenaran-Mu.
Ya Allah, kami semua tetap di sini, bersemayam di genggaman cinta-Mu,
berpasrah diri di ujung jari kekuasaan-Mu, bersujud di bumi cinta-Mu
kepada hamba-hamba-Mu dan di kekumuhan keringat upaya ibadah kami.
Ya Allah kami berjalan hanya ketika Engkau perjalankan, kami melakukan
apapun hanya karena Engkau memerintahkan kami untuk melakukannya,
dan tak seserpihpun dari hidup dan mati kami yang kami relakan untuk
siapapun selain Engkau.
Ya Allah, tentulah kami ikhlas atas setiap terbitnya matahari-Mu di fajar
pagi dan atas tenggelamnya ia di ufuk senja hari. Tentulah kami rebah
pasrah mensyukuri bergoyangnya setiap helai rumput, jatuhnya setiap
tetes embun, serta selalu munculnya secercah cahaya dari tengah
kegelapan yang Engkau limpahkan untuk mengasah iman dan cinta kami.
Ya Allah namun bimbinglah kami bagaimana memaknai rasa kehilangan
ini. Tuntunlah kami mengarifi dan menghikmahi kekagetan besar kami.
Maka hari ini, jika saya mengucapkan Asyhadu an-la ilaha ilallah, wa
asyhadu anna Muhammadan rasulullah, perkenankan saya
meneruskan wa asyhadu anna Ali Audah yamalu amalan shalihan
wa yamalu amalan shalihan wa yamalu amalan shalihan. Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah, dan aku bersaksi bahwa Ali Audah beramal
shaleh dan beramal shaleh dan beramal shaleh.
Sebab saya seorang Muslim, dan cukup sudah bekal Islam saya
dengan Al-Quran, kemudian Hadits, Sunnah dan Sirah Rasul yang
saya telusuri melalui Sejarah Hidup Nabi Muhammad karya Husain
Haekal yang diterjemahkan oleh beliau Bapak Ali Audah.
Saya membaca buku itu sejak remaja. Saya pikir itu adalah buku yang
diterjemahkan oleh penulis dari masa silam, kalau dilihat dari usia
generasi saya. Tapi yang saya tidak sangka adalah ternyata buku itu
diterjemahkan oleh seorang penulis masa depan, ketika saya lihat dari
kenyataan bahwa dunia penulisan sudah menjadi masa silam saya.
2.
Beliau Bapak Ali Audah adalah seorang hamba Allah yang hidup
syahid.Orang yang hidup syahid bukanlah orang yang tidak perlu mati
untuk menjadi syahid. Sebab dua hal. Pertama, Allah sendiri
menyatakan secara lugas bahwa hamba-hambaNya yang syahid tidak
mati. Kedua, konteks syahid memang tidak terutama terkait dengan
hidup atau mati.
Syahid adalah orang yang menyaksikan keagungan Allah dengan
karya dan lelaku hidupnya, dengan perjuangannya, ketekunannya,
kesetiaannya, keikhlasannya, tentu saja yang dilandasi oleh akar
ketaqwaannya, totalitas kepasrahannya, tunai lillahi-taalanya, serta
tanpa reserve kepatuhan uluhiyahnya.
Apakah beliau Bapak Ali Audah seorang yang hebat? Jangan. Jangan
hebat. Jangan bawa dan tenteng-tenteng kehebatan kesana kemari
kepada sesama manusia karena sesungguhnya yang hebat bukan
engkau. Jangan persembahkan kehebatan ke hadirat Allah wahai laronlaron di permukaan matahari wahai debu di tengah ruang hampa jagat
raya.
Hebatilah dirimu sendiri 87 tahun. Hebatlah atas dirimu sendiri 87
tahun. Taklukkan dirimu sendiri 87 tahun. Kuraslah dirimu sampai
kosong dan Allah akan mengisinya dengan kehebatan-Nya. Allah akan
mengisikan diri-Nya padamu.
87 tahun tidak membangun kehebatan, melainkan ketekunan. 87
tahun tidak menegakkan kebesaran, melainkan kepatuhan. 87 tahun
ini sama sekali tidaklah mengandung apapun yang beliau Bapak Ali
Audah berkepentingan atasnya.
Kalau kita menjunjung beliau, tidaklah membuat beliau menjadi
berderajat lebih tinggi, sebab bagaimana mungkin kerendahan
sanggup mempersembahkan ketinggian, apalagi kepada orang yang
ketinggiannya tidak terjangkau oleh kerendahan.
Kalau kita tidak menjunjung beliau, sama sekali tidaklah membuat
beliau menjadi lebih rendah dari ketinggiannya, sebab kerendahan itu
terletak di luar diri beliau Bapak Ali Audah tanpa pernah bisa
menyentuh ketinggian beliau.
6.
Itulah sebabnya saya bersyukur sampai hari ini di baju beliau Bapak
Ali Audah tidak tersemat tanda penghargaan atau penghormatan
apapun dari Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gadis yang berwajah cantik jangan berbangga dipuji kecantikannya
oleh pemuda yang buta matanya.Rumah Puisi mungkin tidak pasti
bukan pemuda yang buta matanya, tetapi hari ini ia membuktikan
kedalaman nuraninya, ketajaman akal sosial dan kearifan budayanya,
untuk menemukan kecantikan sejati gadis itu yang terdapat tidak
pada wajahnya, melainkan pada kandungan jiwanya serta bau keringat
kerja kerasnya.
Beliau Bapak Ali Audah telah benar dan dibenarkan oleh Allah memilih
wilayah amanah kehidupannya. Benar memilih nilai dan pekerjaan di
antara berbagai-bagai kemungkinan nilai dan pekerjaan manusia di
muka bumi. Kemudian beliau membangunnya dengan kesungguhan,
kesetiaan dan keikhlasan yang sukar dicari tandingannya.
Masing-masing kita yang hadir di sini mungkin juga orang yang
bersungguh-sungguh, setia dan ikhlas bekerja. Tetapi jangan pernah
pamerkan itu di hadapan orang yang bekerja sungguh-sungguh, setia
dan ikhlas selama 87 tahun. Tataplah wajah beliau, yang sama sekali
bukan wajah 87 tahun. Rasakanlah ketangguhan mental, kekhusyukan
hati dan keluasan jiwa beliau. Andaikan Allah tidak rikuh atau pekewuh
kepada kita yang jauh lebih muda tapi rapuh, mungkin akan
dipaparkan di depan kesombongan dan kekerdilan kita semua bahwa
sampai kelak 50 tahun lagi tetap secerah dan sebercahaya itu wajah
beliau Bapak Ali Audah.
Saya tidak berani tampil turut berpendapat. Hanya berani membawa tema
itu ke forum bulanan saya di Jombang, Surabaya, Yogya, Semarang dan
Jakarta, di mana ribuan orang berkumpul dari pukul 20.00 hingga 03.00.
Saya tidak termasuk manusia Indonesia yang nge-fans sama Timteng,
berkata salah seorang, Sepengetahuan saya sangat sedikit orang
Indonesia yang beranggapan bahwa untuk mencapai Islam kaffah harus
berorientasi ke Timteng.
Yang lain berpendapat, Kita dipelajari habis oleh Belanda, khasanah
utama sejarah kita ada di Leiden, dan kita mengeluh. Sekarang bangsa
lain tidak mempelajari kita, kita juga mengeluh. Apakah kelak kalau
kampus-kampus Timteng menyelenggarakan studi Islam Indonesia,
sehingga mereka akan lebih mengerti kita dibanding kita sendiri, lantas
kita juga akan mengeluh.
Lainnya lagi menyatakan, Saya kok bersyukur mereka tidak
memperhatikan kita. Memang tak usahlah Timteng mempelajari
Indonesia, kita saja yang mempelajari Timteng. Kita pandai tentang
mereka, dan mereka bodoh tentang kita. Yang mempelajari pasti lebih
unggul, menang dan mulia dibanding yang dipelajari. Kita pelihara
anggapan Timteng bahwa Indonesia adalah TKW, sehingga duta utama
kita di sana ya TKW saja.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Selalu sadar dan peka untuk tidak berlaku menyakiti Allah SWT dan
membuat sedih hati Rasulullah Muhammad SAW.
Memohon kepada Allah SWT perlindungan dan keselamatan bagi
semua yang hidupnya menomersatukan Allah dan mensyukuri
kecukupan rahmat-Nya serta nikmat syafaat Rasul-Nya, yang berupa
wujud sunnah qudroh keduniaan apapun asalkan di dalam rohani cinta
kepada Beliau berdua.
Memohon perkenan Allah SWT untuk meneguhkan mandat khilafah
kepada kesungguhan perjuangan dan cita-cita rahmatan lilalamin
para KJMN.
Memohon peneguhan kuasa dan keadilan yang maujud atas semua
yang membelakangi Allah dan Rasul-Nya, yang merusak bumi dan
memperhinakan martabat manusia.
Memohon anugerah marifatul-jihad, hidayatul-jihad dan hifdhuljihad, sebatas hak kekhalifahan, agar menolong KJMN dalam
menyusun langkah-langkah Jihad Ilahiyah yang sudah dan sedang
dijalankan.
Memohon keluangan waktu atau kelonggaran kesempatan karena
menurut batas ilmu yang diselami oleh KJMN dari hamparan ilmu Allah,
diperlukan era-era yang tidak pendek untuk mewujudkan jihadulmaiyah.
Memohon tambahan ilmu, quwwah dan sulthan, memohon
tuntunan dan panduan, agar para KJMN diperjalankan oleh Allah SWT
di jalur yang tepat sebatas daya dan skala yang Allah perkenankan.
Memohon perlindungan bagi akar dan pohon Maiyah, bagi hutanhutan dan taman-taman Maiyah, dari segala marabahaya dari bumi
maupun angkasa.
7.
Perahu Retak aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal 1980an
yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada awal abad 15. Inti
kandungannya adalah kegagalan Bangsa (yang pernah sangat besar)
Nusantara untuk menemukan kepribadian sosialnya sesudah punahnya
kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.
Kepribadian sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang lebih luas.
Misalnya, ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan
bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun
Kerajaan atau (sekarang) Negara, dengan segala perangkatnya, dari
konstitusi, hukum, persambungan sosial-budaya, strategi sejarah, sistem
perekonomian, hingga karakter kemanusiaan di dalam membangun atau
memelihara kebudayaan, serta yang lebih besar: peradaban.
Mungkin lebih jelas kalau cara pandangnya kita tujukan langsung pada
keadaan bangsa Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya,
kehilangan ukuran hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil.
Kehilangan dari kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan
pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun
manusia. Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya, kehilangan
pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan
rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak
apapun saja kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda, itupun
salah berat konsepnya tentang materi dan harta benda.
Embrio kemusnahan kepribadian sosial Bangsa Nusantara itu dimulai
secara substansial di akhir era Majapahit. Mulai retaknya kepribadian
Bangsa Nusantara itu yang disebut Perahu Retak, di mana lakon teater
ini berkisah tentang upaya Seorang Pengelana untuk menghindarkan
kemusnahan yang lebih total. Pengelana itu hadir di bumi sebagai Syekh
Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga
memerankan Smarabhumi di Tikungan Iblis dan Ruwat Sengkolo di
Nabi Darurat).
Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai
kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga
bermartabat. Dan pangkal pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih
Gadjah Mada.
Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau
ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk
memelihara martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian
Majapahit runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di
wilayah Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur
meskipun tidak ada manusia lain di luar Majapahit.
Tanpa semburan lumpurpun kebesaran Gadjah Mada akan meretakkan
psikologi rakyat Majapahit di era-era sesudahnya, karena semakin lama
semakin mengalami degradasi oleh tiadanya tokoh sekaliber Gadjah
Mada. Memelihara apa yang pernah diperjuangan dan kemudian
dipanggul oleh Gadjah Mada sajapun tak mampu. Raja Majapahit
terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat disebut Gubernur salah satu wilayah
Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena dianggap tidak
mampu membangkitkan kembali kebesaran Majapahit.
Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan
kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit benar-benar
mengalami Sirno Ilang Kertaning Bumi, kebesaran Gadjah Mada berubah
menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting psikologi sejarah
Bangsa Nusantara.
Hari ini, retakan itu sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia
bukan hanya tidak sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang
Ada konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang membuat
berbagai wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan
kemandirian dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme
kekuasaan di lokal-lokal.
Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah tafsir Agama. Antara
yang menolak Islam dengan yang menerima Islam. Antara yang menerima
Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang mengambil Islam
untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Antara yang
puritan menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang merancukan
Islam dengan tradisi budaya. Antara individu atau kelompok masyarakat
yang kadar penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda, bertingkattingkat.
Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke segala penjuru,
menciptakan polaritas-polaritas baru yang bersaling-silang. Kiai Kanjeng
Sunan Kalijaga merupakan semacam padatan Muhammad kecil bekerja
dan berjuang sangat keras dalam skema sosial yang penuh retakanretakan semacam itu.
Meskipun beliau merambah ke delapan penjuru angin, memasuki bilik-bilik
Kraton hingga mengurusi kaum tani di pelosok dan para gelandangan,
hanya berhasil menanam infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang
sangat Islami dan dahsyat, namun memerlukankontinyuasi dan akselerasi
perjuangan pada para pelaku di zaman berikutnya.
Perjuangan Sunan Kalijaga itu bahkan terganggu sangat serius oleh
keras dan meluasnya konflik-konflik pada Masyarakat Nusantara yang
semakin kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya
Kesultanan Demak sampai beberapa Sultan, dengan keadaan di mana
kepemimpinan Demak belum cukup matang untuk mensosialisasikan nilainilai Islam Kalijagan, dan pada saat yang sama rakyat Demak juga kurang
terdidik untuk menjadi pelaku yang sadar dan aktif dari
reformulasi Kalijagan.
Kiai Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal kesultanan Pajang yang
semakin mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas
Karebet, Sultan Hadiwijaya, Raja terakhir Pajang, menyerahkan
kontinyuasi kepemimpinannya kepada anak angkatnya, Sutawijaya,
dengan mendirikan Kerajaan (bukan Kesultanan) Mataram, maka saat
itulah lahir Indonesia.
Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sari-nya ad-Din), Pengelana yang
dikisahkan dalam Perahu Retak adalah cucu murid Kanjeng Sunan
Kalijaga melalui Sunan Kudus muridnya.
Ia memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan Kalijaga
yang saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan
recovery dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas
Yang sedang kita lalui sekarang ini adalah hari-hari yang sedang sangat
rawan-rawannya bagi kehidupan hati nurani, akal sehat dan kemanusiaan.
Hari-hari penghancur logika, penjungkir-balik rasionalitas dan peremuk
kejujuran. Hari-hari di mana pengetahuan dan ilmu manusia diselubungi
oleh kegelapan, atau sekurang-kurangnya keremangan. Hari-hari di mana
manusia, kelompok-kelompok masyarakat, lembaga dan birokrasi sejarah,
bukan saja tidak memiliki akurasi, kejernihan dan kejujuaran dalam
menatap hal-hal di dalam kegelapan tapi lebih dari itu bahkan tidak
semakin bisa mereka pilahkan beda antara cahaya dan kegelapan.
Inilah hari-hari di mana kebanyakan manusia bukan hanya kehilangan
alamat kemanusiaannya, alamat rohaninya, alamat moralnya, lebih dari
itu juga kehilangan alamat sosialnya, alamat politik, ekonomi dan
kebudayaannya. Inilah hari-hari di mana standar-standar pengetahuan
bersifat terlalu cair, di mana pilar-pilar ilmu dan pandangan kabur pada
dirinya sendiri, di mana kepastian hukum bersifat terlalu gampang
dilunakkan dan diubah bentuk maupun substansinya sehingga juga
sangat gampang kehilangan kepastiannya.
Inilah hari-hari di mana makhluk kekal yang bernama rakyat tidak
dipandang sebagai Ibu dari siapapun, melainkan lebih diperlakukan
sebagai anak-anak kecil, yang sangat banyak di antara mereka
diperhatikan hanya sebagai anak tiri yang hampir selalu dianggap
potensial untuk bodoh dan bersalah. Inilah hari-hari di mana makhluk
yang bernama politik tidak lagi mengenali dirinya sebagai anak dari
kedaulatan rakyat. Di mana para pelakunya melakukan perjalanan sejarah
yang berpangkal tidak di kepentingan rakyat dan berujung juga tidak di
kesejahteraan rakyat, tanpa kondisi itu disadari oleh subyek-subyeknya.
Para pelaku kedhaliman merasa tidak enak terhadap perasaannya sendiri,
sehingga mereka berusaha menutup-nutupinya bungkus kemuliaan dan
label keluruhan sampai pada akhirnya mereka kehilangan obyektivitas
dan benar-benar percaya bahwa yang mereka lakukan memang bukan
kedhaliman. Para pekerja kediktatoran bisa meminta bantuan kepada para
pekerja ilmu untuk meyakinkan diri mereka bahwa itu bukan kediktatoran.
Para penerap monopoli, oligopoly, subyektivisme kekuasaan dan
hedonism keduniaan, bisa dengan gampang membeli parfum-parfum
untuk mengubah kebusukan menjadi seakan-akan berbau harum, sampai
akhirnya mereka yakin bahwa yang terpancar dari diri mereka adalah
aroma-aroma harum.
layar pertunjukan serta arena ajojing yang watak dan temanya satu
belaka: yakni proses pendangkalan kemanusiaan.
Inilah hari-hari di mana titik nadir demokrasi telah dicapai dengan amat
sukses, sehingga budaya otoritarianisme semakin tidak bisa dikontrol,
tidak saja oleh lembaga-lembaga kebenaran dan moral, tapi juga bahkan
tidak terkontrol oleh diri para penguasa itu sendiri. Inilah hari-hari di mana
terdapat kerjasama sejarah yang otomatik antara mereka yang berkuasa
dengan mereka yang tidak berkuasa untuk sampai batas tertentu
bersama-sama mentradisikan kepatuhan terhadap system kedhaliman
yang diciptakan oleh semua pihak secara dialektis.
Inilah hari-hari di mana kita bisa dengan gambling menyaksikan terputus
dan terbuntunya tugas kebenaran dunia ilmu dan kaum intelektual dari
realitas kekuasaan Negara. Sehingga kenyataan-kenyataan runtuhnya
akal sehat politik dan kebudayaan bukan saja semakin tidak bisa
diantisipasi, melainkan terkadang malah dikukuhkan oleh lembagalembaga ilmu. Karena para pekerja kebenaran ilmu, para pengembara
pengetahuan, beserta institusinya, sudah terlalu lama tidak berkeberatan
untuk bertempat tinggal di propinsi sejarah yang tidak memiliki otonomi
nilai dan independensi politik.
Inilah hari-hari di mana Agama semakin terasing dari para pelakunya. Di
mana agama tidak disikapi rendah hati oleh para pelakunya, melainkan
dijadikan alat untuk tidak dewasa dan pemarah. Di mana Agama tidak
dijadikan samudera ilmu, melainkan dijadikan jimat-jimat beku yang
disimpan, dielus-elus, namun tidak diperkenalkan kepada hakekat realitas
dan tidak diterjemahkan ke dalam syariat sosial sebagaimana Agama itu
sendiri menuntunnya. Di mana Agama tidak dijadikan sumur kearifan dan
kolam kedamaian, melainkan dipandei menjadi pisau tajam untuk
mengiris-iris ulu hati dan harga diri sebagian hamba Allah.
Inilah hari-hari di mana Agama tidak digali akurasi moral dan power
(akhlaq dan sulthan)nya demi mengontrol dan membimbing perilaku
kekuasaan, sehingga nilai-nilai Agama justru banyak tersisakan sisi
simboliknya belaka yang dipresentasikan justru pada fungsi legalisasi dan
legitimasinya terhadap perilaku kekuasaan belaka.
Inilah hari-hari semakin tidak berdayanya kaum seniman dan pekerja
kebudayaan terhadap proses dekulturasi budaya kekuasaan, sehingga
mereka sendiri mengalami stress kekaburan diri, degradasi integritas
sosial serta hanya terpukau pada khayal-khayal subyektif. Inilah hari-hari
ini di mana kantong-kantong kreativitas dan kemerdekaan mencipta tidak
memiliki geografi konkret, dan hanya terdapat di kandungan hati dan
mentalitas masing-masing seniman dan pekerja kebudayaan.
Inilah hari-hari di mana dua sayap tugas kaum seniman dan pejalan
kebudayaan tiba pada titik mutu terendahnya. Pertama tugas kreativitas
kesenian yang semakin tidak mengenali seberapa luas cakrawalanya,
Pada suatu pagi, sekitar 15 tahun yang lalu, sepeda pancal alias sepeda
onthel saya hilang dari rumah kontrakan saya. Tentu diambil oleh salah
seorang dari anak-anak muda sekitar sini. Banyak dari mereka
pengangguran, dan lagi rumah ini memang dekat dengan pasar.
Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten
dan tidak rasional. Rumah ini memang tak pernah dikunci. Setiap orang
gampang sekali membuka pintu yang sebelah manapun dan mengambil
apapun. Jadi, kalau sepeda hilang, itu logis dan realistis.
Tapi saya tak peduli. Saya ke depan rumah, berdiri bertolak pinggang
menghadap ke arah pasar, dan berteriak: Kalau sepeda saya tidak
kembali sampai nanti sore, saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang
pengkor satu kakinya, cekot sebelah tangannya, atau pethot mulutnya.
Orang-orang di sekitar kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera
masuk rumah dan tidur lagi.
Tak disangka tak dinyana, ketika siang belum sempurna, pintu depan
diketuk berulangkali. Saya nongol, seorang anak muda berpakaian butut
berdiri dengan wajah ketakutan dengan sepeda berdiri terjagang di
sebelahnya.
Ketika saya menatapnya, ia menunduk. Kenapa kamu? Saya bertanya.
Maaf, Cak ia menjawab tersendat, saya yang mencuri sepeda
Sampeyan. Saya minta maaf. Sekarang saya kembalikan.
Lho, kenapa kamu kembalikan? Saya bertanya lagi.
Saya dengar dari orang-orang bahwa Sampeyan marah..
Tapi kan kamu butuh sepeda? Saya kejar terus.
Iya, siih.
Untuk apa sepeda?
Tempat kerja saya jauh sekali. Kalau saya jalan kaki, kejauhan. Kalau
saya pakai angkutan, gaji saya jadi terlalu sedikit.
Jadi kamu butuh sepeda?
Ya, Cak
Ya sudah, kamu bawa saja sepeda ini, kata saya, sekarang sepeda ini
sudah halal kalau kamu bawa. Saya sudah ikhlas, kamu sudah tidak
berdosa. Dan, Insya Allah, kalau yang kamu pakai adalah barang halal,
rejekimu akan berkah. Kalau tadi, karena kamu mencuri, maka kamu
berdosa, dan saya kamu tindas. Kamu dikutuk Tuhan, saya tidak
mendapat apa-apa kecuali kemarahan. Sekarang semua sudah halal dan
baik. Silakan pakai, semoga Allah menambah rezekimu dan meringankan
hidupmu.
Dia bengong. Saya masuk rumah dan kembali tidur.
Dengan dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke
subyek yang sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai
kalkulasi ekonomi dunia, maka saya rugi kehilangan sepeda. Maka saya
pakai teologi manajemen dunia akhirat, sehingga beralihnya sepeda saya
ke tangan anak itu tidak membuat saya kehilangan. Malah saya laba
banyak, bukan hanya pahala di akhirat, tapi Allah juga menjanjikan rezeki
berlipat ganda, entah berupa apapun, terserah Dia saja. pokoknya la in
syakartum la azidannakum.
Saya ini hampir selalu dikeluarkan dari setiap sekolah yang pernah saya
masuki. Jadi saya ini bukan kaum terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan
Kitab Kuning, maupun di sektor persekolahan modern. Jadi saya tidak tahu
banyak mengenai banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu
saya haqqul yaqin dan ainul yaqin bahwa apa yang saya pahami, sikapi,
dan lakukan dalam hal sepeda itu adalah konsep teologi Islam.
Apapun saja yang saya lakukan di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi
berikutnya, ketika berada di timur atau barat, tatkala berjaga, atau
mengantuk, sebisa-bisa saya tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep
teologi yang segamblang-gamblangnya.
Kalau saya menjumpai sebatang kayu melintang, saya sisihkan ke pinggir
supaya tidak menyandungi orang lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai
ia untuk menyangga sesuatu atau untuk apapun yang bermanfaat.
Konsep teologi saya ada lah bahwa segala yang di depan saya itu
merupakan amanat Allah untuk saya Islamkan. Di-Islamkan artinya diubah
dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi kegunaan dan
kemashlahatan.
Ingatan, kesadaran, dan formula konsep teologi itu harus terus-menerus
saya cari, saya pahami, dan saya terapkan. Dan itu berlaku untuk
pekerjaan yang kecil maupun yang besar. Untuk soal rumput di halaman
rumah sampai soal pekerjaan sejarah besar yang menyangkut
kebudayaan masyarakat.
Saya menyuapi mulut saya dengan nasi tidak karena saya ingin makan,
melainkan karena saya wajib memelihara kesehatan badan yang
dimandatkan oleh Pencipta saya. Saya mencangkuli tanah dan menanam
sesuatu bukan sekadar karena saya menyukai keindahan, melainkan juga
karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada di dalam hidup ini yang
namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau ditaruh di situ lantas
tumbuh dengan penuh keajaiban.
Saya berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin
menikmatinya, tapi karena saya wajib bergabung ke dalam irama
sunnatullah yang menyangkut badan dan jiwa saya. Saya bersedia pulang
ke rumah hanya beberapa hari dalam sebulan dan selebihnya diatur orang
banyak untuk berada di berbagai tempat dan melaksanakan kemauan
mereka, bukan karena itu karir saya atau profesi saya, karena saya tidak
punya karir dan tidak peduli profesi.
Saya lakukan itu semua karena, pertama, saya ini aslinya tidak ada,
kemudian Allah mengadakan saya, ia satu-satunya yang berhak atas saya,
dan karena itu segala yang saya lakukan bergantung pada kemauan-Nya.
Saya diberi wewenang oleh-Nya untuk berkemauan, tapi saya tidak
pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri saya dan dunia ini akan
pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas diri saya dan dunia ini.
Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan apapun sampai yang
sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian pengetahuan
tentang apa yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung Allah SWT
itu.
Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan dengan amr-Nya.
Terkadang cocok, terkadang tidak. Terkadang benar, terkadang salah. Tapi,
apapun yang terjadi, iradah itu harus saya lakukan dengan
menggunakan qoul-Nya supaya produknya adalah kun fayakun. Saya
tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi hanya itulah yang
saya pahami sebagai konsep teologi.
Maka, sebab kedua, orang-orang yang memintaku untuk melakukan
segala macam pekerjaan itu
ya kesenian, ya keagamaan, ya politik, ya ekonomi, ya pengobatan, yak
onsultasi kejiwaan, ya segala macam jenis partisipasi dan sumbangan
sosial tidak bisa saya yakini bahwa kemauan mereka itu benar-benar
terlepas dari kemauan Tuhan. Saya harus berspekulasi dan bersangka baik
bahwa mereka adalah penyalur amanat Tuhan kepada saya.
Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin ABRI, tidak berhak dilakukan
oleh manusia yang memiliki hubungan vertikal total dengan Allah tanpa
memberangkatkannya dari ingatan, kesadaran, dan konsep teologi yang
jelas.
Dengan kata lain, tak perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru
berpikir tentang konsep teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin
Golkar, bikin negara, bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan
titik tuju teologisnya.
Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika berformalisme
Islam, ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam formal dipakai atau
disembunyikan, ketika Islam diletakkan di kultur thok, atau juga di politik
resmi, semua terikat pada penyikapan teologis. Apalagi yang namanya
Partai Islam, harus terutama dilihat secara substansial: bisa saja namanya
Partai Daun atau Partai Kambing, tapi yang kita lihat adalah apakah
substansi kerjanya Islam atau tidak. Hanya orang-orang yang tradisinya
berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam hanyalah partai
yang memakai nama dan kata Islam.
Kalau ada parpol yang pilar perjuangannya adalah amar makruf nahi
munkar dan akhlaqul karimah, maka secara substansial ia telah
bersyahadat Islam. Bahkan kalau ada parpol lain yang memperjuangkan
demokrasi, kemerataan kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghormatan
atas haq asasi manusia, secara substansial ia bisa kita sebut partai Islam.
Masalahnya, tinggal ditunggu proses aktualisasinya saja: konsisten atau
tidak, istiqamah atau tidak.
Kalau misalnya saya sibuk dan mencemaskan berdirinya partai Islam,
karena toh substansi partai-partai yang ada juga relatif sudah
substantially Islam, maka berarti saya berpikir simbolik. Juga berarti saya
tidak paham bahwa kalau ada anjuran tentang partai Islam formal, itu
sekadar upaya pembebasan dari tradisi simbolisme: agar tidak resmi
Islam ya boleh, resmi Islam ya boleh. Yang penting, substansinya Islam
atau tidak.
Tidak hanya ketika saya pakai peci saya maka saya terikat oleh teologi
Islam. Tatkala saya pakai kaos oblong dan menjadi gelandangan di tepi
jalan pun saya terikat oleh Allah.
Manusia Berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa
depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani
beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani
menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan
dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir
besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan
melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap
melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil
dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era
Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau
Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan
bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau
menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka
memilih Jokowi, tidakpeduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya
begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih
hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin siapa tahu dan kalau-kalau
menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua
Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan wi telah
menyekunderkan Joko. Wi itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa
Indonesia untuk menuansakan masa silam.
Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak
kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah
tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah
(bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat
dengan-Nya, menjadi Iblis?
Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada
Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi Ya, Allah
untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak
Bumi dan menumpahkan darah.
Mencari Asal
Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur sangkan
paran, bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada din
sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya,
sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin
rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu
atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah
dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia
Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari
Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka is yang dicari. Namun,
Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang
dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia
Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya
mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Se-mar,
Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, Sesungguhnya Aku
menciptakan khalifah di, Bumi. Manusia dan bangsa Indonesia mengakui
mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan
ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka
pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa bukan ini Indonesia.
Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.
Allah, 2014
Sejak jauh sebelum hari Pilgub Jakarta, sejumlah teman saya tanya
lebih ok mana Foke-Nara atau Jokowi-Ahok? muncul labirin dan mosaik
jawaban.
Ada jawaban close-up : si FN bagusnya di sini, kacaunya di situ; si JA
hebatnya begini,memblenya begitu tentu saja semua dalam skema
nilai-nilai baku kebangsaan dan kenegaraan: kualitas kepemimpinan,
kematangan manajemennya, kreativitas pembangunannya, watak sosial
budayanya, juga kadar kasih sayang kerakyatannya.
Jawaban yang ini ada yang ambil dari konsep demokrasi modern, ada
yang dari filosofi dan budaya tradisi, ada yang dari Agama, tapi tentu saja
banyak yang common sense atau kata ini, menurut itu dan lain
sebagainya. Yang dari Agama misalnya menyebut pemimpin harus soleh.
Soleh maksudnya kebaikan yang dikerjakan dengan konsep, perencanaan
dan perhitungan komprehensif sedemikian rupa sehingga dipastikan
sangat minimal mudlaratnya.
Soleh itu baik pada formula yang demikian. Ada baik-baik yang lain
dalam bahasa Tuhan. Khoir itu kebaikan yang universal, cair, bahkan
Kristal, belum berbentuk, belum aplikatif. Maruf itu kebaikan yang
sudah melalui dialektika, diskusi, perundingan, pergesekan-pergesekan
antar manusia, sehingga kemudian disepakati sebaga aturan bersama.
Ihsan itu kebaikan yang lahir murni dari nurani manusia: orang berbuat
baik meskipun tidak disuruh, tidak diwajibkan, tidak diatur oleh hukum
atau etika. Ada lagi birr, yang menghasilkan istilah mabrur : itu
puncak pencapaian kebaikan dalam hubungan spesifik antara manusia
dengan Tuhan, pada posisi di mana dunia dipunggungi atau sekurangkurangnya dinomer-duakan secara total.
Kalau memakai close-up pemahaman yang ini, benar-benar tidak
gampang menilai mana yang lebih oke antara FN dengan JA. Begitu
luasnya kemungkinan dalam kehidupan, namun begitu jauh lebih luasnya
cakrawala probabilitas pada diri manusia. Kalaupun persepsi, analisis dan
kesimpulan kita tepat tentang JA dan FN, kebenarannya direlatifkan oleh
teori ilmu teater: Tidak ada aktor yang buruk. Yang ada adalah pemain
yang berada di tempat yang tepat atau tidak.
Jadi, soal casting. Hidung seindah dan semancung apapun menjadi
mengerikan kalau letaknya tergeser setengah sentimeter. Shalat menjadi
kebaikan kepada Tuhan hanya kalau dilaksanakan pada interval waktunya.
mentransformasikan visi menjadi realitas, ilmu menjadi kenyataan, citacita dan cinta menjadi entitas kehidupan.
Mereka toh juga sama-sama Amirul Muminin, pemimpin proses menuju
aman, dengan landasan iman, membawa senjata amanah, dengan
ujung doa amin. Amirul Muminin membangun iman amin amanah
aman beras rakyatnya, aman sekolah anak-anaknya, aman pasarnya,
aman kesehatannya, aman keadilannya, aman hartanya, aman
kerjaannya, aman seluruhnya.
Jokowi dan Foke sama-sama Muslim dan Mumin. Kriteria, parameter atau
tanda-tandanya: kalau ada Jokowi dan Foke, kalau ada Muslim dan Mumin
di suatu lingkungan, maka terjamin amanlah harta semua orang, aman
martabat semua orang, dan aman nyawa semua orang.
Tetapi jaminan aman itu belum pernah benar-benar menjadi
pengalaman sejarah, sekurang-kurangnya belum dipercaya bahwa benar
demikian. Sehingga atas pertanyaan tentang JA-FN itu muncul jawaban
yang sangat lebih jauh mempercayai relativitas. Memang lebih luas
namun ada semacam tarik-ulur antara kemungkinan dengan kepastian.
Semacam jawaban agak bingung antara sangka baik dengan sangka
buruk, antara kewaspadaan dengan rasa kapok oleh suatu
keberlangsungan realitas yang mungkin mengecewakan, bahkan mungkin
menyiksa.
Kehidupan ini sedemikian tidak pastinya sehingga ada suatu momentum
pertandingan sepakbola di mana suatu kesebelasan lebih baik kalah dari
pada menang. Karena faktor mental, karakter, route hati dan bioritme,
situasi kebersamaan mereka, peta dan tahap turnamen membuat
kesebelasan itu lebih baik mengalami kalah dulu kali ini, demi
kebangunan yang lebih matang pada tahap berikutnya. Juga karena
kwalitas mental para pemain belum transenden dari situasi kalah atau
menang.
Jawaban yang ini berpandangan bahwa dalam hukum dialektika sejarah,
belum tentu kalau JA menang itu pasti baik bagi diri mereka atau rakyat
Jakarta. Juga kalau FN kalah belum tentu itu buruk bagi keduanya maupun
bagi rakyat. Juga tak bisa dipastikan sebaliknya. Tetapi karena
keterbatasan rasional, manusia harus mengambil ketetapan pandangan
bahwa yang baik adalah kalau JA menang dan yang celaka adalah kalau
FN menang. Sementara kalangan yang lain harus memastikan pendapat
sebaliknya: bahwa yang aman adalah kalau FN menang dan yang bahaya
adalah kalau JA menang.
Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing, sehingga yang terindah
dalam kehidupan adalah kita manusia menyediakan ruang seluas-luasnya
untuk apresiasi bahwa orang lain hidup dalam kebenarannya sendiri yang
bisa jadi berbeda atau bertentangan dengan kebenaran kita. Kebudayaan
dan peradaban dibangun oleh kesanggupan managemen, kerendah-
Presiden
menginnovasikan penghadiran Semar di dalam peta kekuasaan Kerajaankerajaan yang dikenali masyarakat melalui Wayang, struktur hubungan
vertikal hamba-Gusti rakyat-Raja direlatifkan oleh adanya Semar.
Semar adalah rakyat biasa, Ki Lurah Semar Bodronoyo di sebuah dusun
bernama Karang Kedempel. Pada saat yang sama beliau adalah
Panembahan Ismaya. Dewa yang posisinya sangat tinggi, paling senior, di
atasnya Bathara Guru Presidennya Jagat Raya. Di atas Semar langsung
adalah Sang Hyang Widhi (istilah Arabnya Ilahi) atau Sang Hyang
Wenang(Robbi), yakni yang di segala zaman dikenal sebagai Tuhan itu
sendiri dengan sebutan bermacam-macam.
Dengan adanya Semar struktur kedaulatan vertikal dilengkungkan
menjadi bulatan. Kekuasaan itu siklikal. Semar ada di titik tertinggi di
bawah Tuhan, sekaligus di titik terendah bersama rakyat jelata. Dua titik
itu satu, sehingga garis lurus vertikal itu menjadi bulatan. Sangat indah
Sunan Kalijaga mendisain demokrasi.
Maka tafsir manunggaling kawula lan Gusti yang saya sebarkan
beberapa tahun belakangan ini adalah bahwa di dalam diri seorang
Presiden, kawula dengan Gusti itu manunggal. Di dalam entitas
tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan menyatu. Di dalam dada dan
kepala Presiden, rakyatnya dengan Tuhannya tidak bisa dipisahkan. Kalau
Presiden menindas rakyatnya, Tuhan sakit hati. Kalau Presiden
mengkhianati Tuhannya, rakyat turut tertimpa kehancuran karena
kemarahan Tuhan.
Isi kepala Presiden adalah kesibukan mesin penyejahteraan rakyat, isi
dadanya adalah rasa bersalah karena belum maksimal bekerja, rasa
malu karena belum berhasil seperti yang seharusnya, serta kerendahan
hati kepada Tuhan dan rakyatnya.
Maka sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri, memasang gambargambar wajahnya di sepanjang jalan, menyatakan aku yang baik
yang maknanya adalah selain aku tak ada yang baik. Kata tukangtukang becak di Yogya: bisa rumangsa, ora rumangsa bisa: sanggup
merasa tak mampu, bukan mampu merasa aku bisa. Toh nanti
rakyatnya akan memberi raport kepada setiap Presidennya ia bisa
ataukah ber-bisa. Orang yang bilang aku bisa adalah orang yang tak
percaya diri sehingga memompa-mompa dan membisa-bisakan diri.
Sebenarnya agak mengherankan bahwa, rakyat Jawa umpamanya, bisa
sedemikian serius kehilangan kearifan lokalnya, setelah mereka terseret
memasuki model aplikasi tipu-daya demokrasi untuk memilih pemimpin
mereka. Seluruh cara orang-orang yang mencalonkan diri menjadi
Presiden, Dewan Perwakilan, Gubernur, Bupati, Walikota hingga Lurah,
tanpa terkecuali seluruhnya sangat menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang yangrumangsa bisa. Nuansa budaya pencalonan dengan
modus rumangsa bisa itu dipastikan akan membuat semua orang lain
Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini bergerak menuju Indonesia
harus terus hidup, tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara Indonesia
harus lemah, bangsa Indonesia harus kerdil.
Maka orasi seorang tokoh tua di sebuah rapat gelap ini mungkin justru
merupakan ungkapan cinta yang mendalam dan pembelaan kepada
Indonesia:
Kita bangsa Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum
Indonesia benar-benar total kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita
amandemen terus sampai berapa kalipun sampai kelak nasionalisme dan
kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis.
Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga
kenegaraan sebelah manapun, di tingkat paling atas sampai bawah,
sebaiknya dipastikan menuju proyek besar sejarah de-nasionalisasi
Indonesia hingga titik paling nadir.
Demikian juga policy dan penanganan segala bidang: perdagangan,
pertanian, perpajakan, pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara berpikir
dan selera makan, hendaknya jangan memanjakan ke-Indonesiaan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang dengan ketangguhannya
siap ditimpa dan memikul ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin
dipanggul oleh bangsa-bangsa lain.
Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme
Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang
Sembelihan Allah
Ciptaan Allah paling awal, Nur Muhammad (cahaya yang terpuji), yang
kemudian membuat Allah berminat menciptakan jagat raya, salah satu
episode tugasnya adalah berlaku menjadi Muhammad bin Abdullah. Di
Mekah, selama 63 tahun, berpangkat Nabi dan menjabat sebagai Rasul
terakhir; salah satu profesi utamanya adalah dihina.
Tak ada perdebatan kenapa hanya 63 tahun, sementara pendahulunya,
misalnya Adam atau Nuh, ditugasi menjadi pelakon utama antara 900 sd
1300 tahun. Mungkin Allah ambil keputusan begini: Muhammad sebentar
aja, tetapi saya bawain buku panduan lengkap, Al-Quran, tinggal
disampaikan, terserah manusia memakainya atau tidak.
Para pendahulu dikasih ratusan tahun tapi ternyata tidak cukup untuk
meneliti dan menemukan jatidiri. Maka yang terakhir ini 63 tahun saja,
dengan buku manual yang terjaga kemurniannya secara absolut. Inna
nahnu nazzalnadz-dzikro wa inna lahu lahafidhun, Allah kasih buku
bimbingan, dan Ia berjanji menjaganya.
63 tahun dengan pencapaian sejarah yang membuat Michael Hart
meletakkannya sebagai tokoh nomer satu yang paling berpengaruh dalam
sejarah ini, terlalu revolusioner dan ekstra-fenomenal sehingga sangat
Para penghina Nabi Muhammad itu berjasa besar kepada Ummat Islam,
karena repot-repot menciptakan momentum, konteks dan nuansa
kekhusyukan agar kita semua lebih rajin menyatakan cinta dan kesetiaan
kita kepada Allah dan Muhammad.
Bentuk pernyataan cinta itu bisa batiniah saja, bisa dengan pekikanpekikan dalam demo, bisa counter-informasi, atau apapun. Yang penting
tidak perlu GR seolah-olah Muhammad butuh pembelaan kita karena
beliau kita anggap lemah dan kita yang kuat. Jadi, pembelaan kita atas
Muhammad sasaran utamanya adalah integritas kita sendiri di hadapan
beliau dan Allah. Apalagi semarah-marah kita terhadap penghinaan itu,
masih jauh lebih murka Allah, sebab cinta kita kepada Muhammad tidak
ada sebutir debu dibanding cinta Allah kepada kekasih-Nya itu.
Kaum Muslimin juga diam-diam berterima kasih kepada para penghina
Muhammad karena kekejaman mereka adalah peluang sangat indah untuk
memaafkan mereka, sehingga derajat kita meningkat di mata Allah.
Penghinaan adalah rejeki kemuliaan bagi yang dihina. Ayo, hinalah daku,
kau kusayang.
Tahun 2008 bersama musik Kiai Kanjeng saya pentas di distrik dekat
rumah Geerd Wilders, Belanda, orang penting dalam kasus film
penghinaan atas Islam yang membuat Theo van Gogh dibunuh oleh
pemuda Muslim keturunan Maroko. Sebelum atau sesudah pentas kami
berniat bertamu ke rumah beliau, tapi tak jadi karena beliau pergi tak
jelas ke mana. Kami menyesal karena gagal menyampaikan ucapan
terimakasih atas penghinaannya, demi mengurangi dosa-dosa kami.
Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang
diwisuda.
Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan
Barat. Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang
melebihi kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik
dari anjing kurap. Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam
kehidupan yang dipuja orang melebihi kebudayaan barat sehingga
terkadang ia melebihi Tuhan.
Sayap-Sayap Kerbau
Di tengah padang yang terbuka luas, dua orang musafir berdebat tentang
sebuah titik hitam yang tampak nun jauh di depan. Yang seorang
menyatakan, titik itu tak lain seekor kerbau. Sementara lainnya sangat
meyakini, itu seekor banteng.
Riuh rendah mereka berdebat dengan argumentasinya. Karena tidak ada
titik temu, satu-satunya jalan yang mereka sepakati adalah bersegera
mendatangi titik itu ke tempatnya.
Maka, mereka pun berjalan menyusuri padang, sambil terus berdebat,
beradu wacana, mempertandingkan acuan, referensi dan pengalaman.
Sampai akhirnya mereka hampir tiba di titik yang dituju. Namun, sebelum
mereka melihat persis apa gerangan ia, titik itu tiba-tiba melesat, terbang
dari tempatnya, melayang-layang ke angkasa.
Burung! kata salah seorang, Apa saya bilang. Tidak bisa! sahut
lainnya.
Keduanya berlari mendekat, meskipun si benda terbang itu melesat makin
jauh dan tinggi. Akhirnya, mereka berhenti dengan sendirinya dengan
napas terengah-engah.
Kerbau! kata orang kedua.
Kerbau bagaimana? orang pertama membantah, Sudah jelas benda itu
bisa terbang, pasti burung!
Kerbau! orang kedua bersikeras, Pokoknya kerbau! Meskipun bisa
terbang, pokoknya kerbau!
Saya doakan dengan tulus ikhlas semoga Allah melindungi Anda dari
kemungkinan memiliki teman, saudara, istri, rekanan kerja, direktur,
bawahan, pemerintah, penguasa, pemimpin atau apa pun, yang wataknya
seperti si pengucap kerbau itu.
Kalau nyatanya Anda telanjur memiliki sahabat kehidupan yang habitat
mentalnya seperti itu, saya hanya bisa menganjurkan agar Anda
bersegera menyelenggarakan ruwatan bagi nasib Anda sendiri. Atau,
tempuhlah cara yang lebih relegius: puasa empat puluh hari, salat hajat
tiap malam, mencari wirid-wirid paling sakti yang memungkinkan Anda
terlindung oleh para malaikat Allah dari spesies manusia semacam itu.
Cobalah kata kerbau itu Anda ganti dengan kata lain. Umpamanya
reformasi. Kata terbang bisa Anda ganti dengan kata lain, yang relevan
terhadap reformasi. Ucapkan kata-kata semacam tokoh kita itu, Meskipun
saya mempertahankan agar segala sesuatunya harus tetap mapan, stabil
dan buntu, tapi yang penting pokoknya saya ini pendukung reformasi!
Meskipun saya bisa sampai ke wilayah yang serba menggiurkan ini, serta
duduk di kursi yang penuh wewangian ini berkat proses dan mekanisme
nepotisme dan feodalisme, tapi yang penting pokoknya saya
antinepotisme.
Meskipun terus terjadi ketertutupan, pembungkaman dan pemusnahan,
tapi pokoknya ini keterbukaan dan demokrasi.
Meskipun saya berbuat tidak adil, tapi pokoknya saya anjurkan agar
saudara-saudara berbuat adil.
Meskipun habis-habisan saya melanggar hukum, tapi pokoknya saya ini
penegak hukum.
Meskipun sebagai pihak yang diamanati oleh rakyat dan digaji oleh
rakyat, saya tidak pernah minta maaf kepada rakyat atas terjadinya
kebangkrutan negara dan krisis total, tapi yang penting pokoknya saya
bukan pemerintah yang buruk.
Meskipun kita kandas di landasan, tapi yang penting pokoknya ini adalah
tinggal landas.
Meskipun harga bukan hanya naik tapi lompat galah, yang penting
pokoknya ini bukan kenaikan melainkan penyesuaian.
Memang tidak ada makhluk Tuhan yang cakrawala kemungkinannya
melebihi manusia. Manusia adalah sepandai-pandainya makhluk, namun
ia bisa menjadi sedungu-dungunya hamba Tuhan. Ular saja mengerti
persis kapan ia harus makan, seberapa banyak yang sebaiknya ia makan,
serta kapan ia mesti berhenti makan. Sementara manusia makan kapan
saja, menangguk keuntungan tak terbatas sebanyak-banyaknya
seandainya ia tak dibatasi oleh maut.
Manusia itu paling lembut, tapi ia juga yang paling kasar. Manusia bisa
mencapai kemuliaan kepatuhan kepada Tuhan, namun ia juga mampu
melorot ke titik paling nadir untuk bandel, mokong, mbalela dan makar.
Untunglah, Allah itu sendiri adalah khoirul makirin: sebaik-baiknya pelaku
makar.
Manusialah mahluk Allah termulia. Ahsani taqwim. Tapi ia juga yang paling
hina dan paling rendah. Asfala safilin.
Doa kita hanya sekalimat: Ya Allah, makhlukMu yang asfala safilin, tolong
jangan izinkan punya kekuasaan dan memegang senjata. Amin.
yang menetes hingga tujuh langit yang tak terjangkau, adalah bahasa
yang dipenuhi oleh kehendak dan penyampaian Allah. Juga Bahasa alQuran dan Bahasa Arab tidak kita sebut Bahasa Komunikasi Allah, sebab
kita tidak berani menyimpulkan bahwa Allah tidak pernah menyampaikan
sesuatu menggunakan bahasa Jawa, bahasa Perancis. bahasa Swahili,
atau bahasa-bahasa nir-kata dan berbagai macam alat komunikasi
lainnya.
Tanggungjawab Allah
Mungkin kurang syari, atau kurang absah menurut syariat Islam, tapi
kami sekeluarga merasa aman dunia akhirat karena Saudara Sulung kami
adalah agen penyalur dan penyebar salah satu bahasa terpenting Allah
kepada ummat manusia. Saudara Sulung itu salah seorang pegawai
Allah yang utama, karena bekerja sebagai wali urusan bahasa al-Quran
yang antara lain menggunakan bahasa Arab.
Karena pegawai penting, maka Allah pasti bertanggung jawab untuk
menganugerahkan fasilitas-fasilitas, perlindungan dan kesejahteraan
kepada pegawainya itu selama bertugas. Dengan sendirinya kami
sekeluarga akan memperoleh cipratan dan limpahan dari beliau. Allah
pasti juga mencintai dan menyayangi pegawainya yang setia, dengan
demikian asalkan kami bersikap tazhim dan patuh kepada Saudara
Sulung, tidak logis kalau tidak lantas Allah juga mencintai dan
menyayangi kami semua.
Kami sekeluarga bersepakat bahwa yang penting sering-sering meniru
mengucapkan kata dan kalimat dari al-Quran yang sering Saudara Sulung
ucapkan. Apa boleh buat kalau ada orang yang menyangka kami sepintar
Saudara Sulung dalam ber-al-Quran, pokoknya cas-cis-cus kefasihan
Saudara Sulung kami buntuti dan lakukan. Mudah-mudahan masyarakat
berlaku seperti Rasulullah Muhammad saw: pada orang seburuk apapun
beliau mencari kebaikannya, bukan pada orang sebaik apapun kita
mencari keburukannya.
Imaginasi Romantik
Hari ini saya menemukan dan menyadari kemungkinan kenapa Allah swt
tidak memperkenankan saya melanjutkan belajar di Pondok Modern
Gontor Ponorogo, sehingga Ia menciptakan suatu peristiwa dan
memerintahkan pengurus Pondok untuk mengusir saya pada bulan Maret
1968, sehingga saya kabur kanginan sampai hari ini. Padahal setengah
mati Saudara Sulung membimbing saya sejak akhir SD agar bisa dan
pantas masuk Gontor.
Loket baitul-Quran
Alhasil 14 adik-adiknya dibebani kewajiban di bidang dan wilayah-wilayah
lain yang berbeda-beda, namun kami semua menyepakati bahwa beliau
saudara sulunglah rujukan utama segala wacana dan ilmu. Sebab apapun
yang kami kerjakan, profesi apapun, bidang pekerjaan apapun, tidak
berada di luar lingkup bimbingan nilai-nilai Al-Quran, dan Saudara Sulung
adalah loketnya.
Ada Saudara kami yang urusannya adalah pertanian,
membangun ghirrah dan kepercayaan diri para petani: sabbaha lillhi m
fis-samwti wam fil-ardh, mana mungkin ada tanah, sawah, tanaman,
dedaunan, musim, benih, bakteri, wabah, warna hijau atau kuning, atau
rasa syukur tatkala panen, yang terletak di luar Allah dan al-Quran.
Saudara-saudara kami yang lain ada yang berdagang kecil-kecilan. Ada
yang ajegmemelihara proses kependidikan dan menyirami dinamika
pesuburan ilmu, ijtihad dan kreativitas. Ada yang berkeliling menemani
hati dan pikiran masyarakat. Serta berbagai macam ragam tugas yang
lain.
Semua itu tak bisa tuntas dan legal atau hallan thayyiban kalau tidak
pada saat-saat yang mendasar berdiri antre di depan loket baitulQuran yang dijaga dengan sangat setia dan penuh ketekunan oleh
Saudara Sulung.
konteks jihad, syahid, qitl, Allahu Akbar; mau belajar membedakan posisi
yang tidak sama antara agama, syariat, madzhab, fiqih, aliran, ormas,
golongan, sekte, termasuk antara Quran dengan hadits, antara hadits
dengan hadits-haditsan, dst maka roaitannsa yadkhulna f dnillhi
afwja, termasuk di dalamnya penduduk Bumi berduyun-duyun
menikmati bahasa al-Quran.
Saudara Sulung adalah pemimpin kami semua untuk menikmati
kepemimpinan Allah, Rasulullah dan al-Quran di hari esok di muka Bumi
yang Allah meletakkan Khalifatullah padanya. Akan tetapi kalau
kenikmatan itu belum menjadi kenyataan hingga hari terakhir jatah hidup
kita, tak masalah, karena kita sudah menjadi bagian yang aktif dari iradah
Allah, cinta Rasulullah dan pekerjaan suci al-Quran. Otoritas dan fakta
inn nahnu nazzalnadz-dzikr wa inna lah lahfizhn adalah otoritas,
kekuatan dan fakta yang tak bisa dilawan oleh siapapun dan apapun.
Berada dalam keyakinan itu saja sudah merupakan kebahagiaan yang
tiada tara.
Fragmen Manunggal
RUWAT SENGKOLO
Dari Sabang sampai Ternate. Berjajar pulau-pulau.
KI JANGGAN
Apa itu, apa itu, kok gitu. Coba ulang, ulang.
RUWAT SENGKOLO
Dari Sabang sampai Ternate. Berjajar. Maaf Guru.
KI JANGGAN
Kok Ternate?
RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru, saya mendengar Irian Jaya sedang terancam. Kalau kita
nggak serius menjaga Negara, dia bisa lepas dari tangan kita seperti
Timor Timur dulu.
KI JANGGAN
Justru karena itu lirik lagunya harus tetap Dari Sabang sampai Merauke.
Kamu sebagai generasi penerus harus meneguhkan nasionalisme.
RUWAT SENGKOLO
Siap Guru! Hidup matiku untuk NPKRI!
KI JANGGAN
Lho kok NPKRI?
RUWAT SENGKOLO
Negara Persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia, Guru
Itulah sebabnya Guru, sila pertama adalah Tuhan Yang Maha Tunggal. Foto
oleh Adin (Progress)
KI JANGGAN
NKRI!
RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru. Selama ini Guru mengajariku berpikir utuh. Persatuan dan
Kesatuan tidak bisa dipisahkan. Pidato semua pemimpin kita tidak pernah
menyebut persatuan dan kesatuan secara terpisah. Persatuan harus
kesatuan, kesatuan harus persatuan.
KI JANGGAN
Ya ya ya. Kamu berpikir utuh dan logis, tapi tidak lazim, tidak umum.
Yang lazim dan konstitusional itu NKRI. Negara kesatuan dari beragamragam suku dan golongan.
RUWAT SENGKOLO
KI JANGGAN
Bhinneka Tunggal Ika!
RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru, yang Tunggal itu hanya Tuhan. Kalau manusia itu
Manunggal, menyatu,nyawiji kata orang Jawa.
KI JANGGAN
Sudah terlanjur Tunggal Ika, jangan macam-macam.
RUWAT SENGKOLO
Tunggal itu satu-satunya, the only. Tuhan Yang Maha Tunggal. Bukan
Tuhan yang Maha Esa. Kalau Esa itu bisa diteruskan ke Dua, Tiga.
seperti bahasa Tagalog: Esa, Dalawa, Tatlu, Apat, Lima, Anip, Pitu, Wolu,
Sanga, Sampoh. Kalau Tunggal, tidak ada Dua-nya, tidak ada Tiga-nya.
GASPOL
Saya Gaspol. Saya petugas kepolisian.
Saya penjaga konstitusi dan penegak hukum.
NKRI itu harga mati. Yang menentang NKRI, harganya: mati!
Sudah jelas cetho welo-welo, kata NKRI itu disebut secara tegas dalam
Teks Proklamasi 1945 dan UUD-45.
Barang siapa melawan, berhadapan dengan: Gaspol!
Hukum itu tidak pandang bulu, hukum itu buta kulit, buta warna, bahkan
kalau perlu buta huruf. Foto oleh Adin (Progress)
RUWAT SENGKOLO
Itulah sebabnya, Guru, sila pertama adalah Tuhan yang Maha Tunggal.
KI JANGGAN
Apa-apaan kamu. Sila pertama itu Ketuhanan Yang Maha Esa.
RUWAT SENGKOLO
Ampun, ampun. Guru mengajarkan kepadaku berpikir jernih.
Ketuhanan itu sifat. Tuhan itu subyek, maha subyek. Yang disembah oleh
seluruh bangsa kita bukan hanya sifat Tuhan, tapi Tuhan itu sendiri.
KI JANGGAN
Ruwaaat! Pikiranmu berbahaya dan semakin sesat.
RUWAT SENGKOLO
Kita menyembah Tuhan, bukan ketuhanan. Bendera kita Merah Putih,
bukan kemerahan dan keputihan.
Terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh.
Pak Jangkep entrance. Tertatih-tatih pakai tongkat.
PAK JANGKEP
Keputihan. Keputihan. Sembelit.
KI JANGGAN
Mohon maaf Pak Jangkep, saya merasa salah telah menjadikan Ruwat
seperti anak yang salah didik.
PAK JANGKEP
Salah asuhan. Saya juga salah dalam mengasuh anak saya ini.
KI JANGGAN
Saya tidak pernah mengajarkan semua yang dia omongkan tadi.
PAK JANGKEP
Kalau mikirmu seperti itu, lama-lama kamu bisa jadi Teroris, Ruwat.
RUWAT SENGKOLO
Guru pernah mengajarkan bahwa pikiran kita memerlukan terror, supaya
dinamis dan kreatif.
PAK JANGKEP
Maksudku bukan terror pikiran, tapi terror. Yaaa terornya teroris itu lho!
KI JANGGAN
Pak Jangkep bapakmu ini was-was, Ruwat, jangan sampai kamu
melanggar hukum. Negara kita ini Negara Supremasi Hukum.
RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru. Hukum itu mutlak penting, tapi letaknya paling bawah.
Kalau kita tidak menolong orang yang menderita, tidak dipersalahkan oleh
hukum. Koruptor harus dihukum, tetapi kalau petugas hukum tidak
menghukum koruptor, atau pura-pura tidak tahu bahwa atasannya terlibat
tipikor, petugas itu tidak dihukum oleh hukum.
PAK JANGKEP
Kamu ini sekolah kebatinan kok ngomong hukum.
KI JANGGAN
Kamu ini sedang menuduh ada petinggi yang korupsi tapi bebas
hukuman, begitu?
RUWAT SENGKOLO
Bukan, Guru. Yang saya bicarakan ini soal supremasi. Yang berpikir
Supremasi Hukum itu petugas Negara. Kalau rakyat dan wakil-wakilnya
berpikir supremasi keadilan. Kalau masyarakat dan guru-guru bangsa
berpikir supremasi moral. Atau kalau bangsa dan negara kita mau
dewasa, ya semua warganegara berpikir 3 supremasi itu sekaligus.
Soalnya, hukum itu cuma salah satu anaknya keadilan saja. Anak lainnya
masih banyak.
PAK JANGKEP
Oalah Ruwaaat Ruwat. Kamu ini penganggur, makan saja sering masih
minta-minta, kok sempat-sempatnya mikir hukum.
KI JANGGAN
Justru karena ndak punya kerjaan maka murid saya ini
pikirannya ngomyang ke mana-mana, Pak Jangkep.
RUWAT SENGKOLO
Bahkan, seharusnya, Jaksa jangan hanya pandai mencari kesalahan: Jaksa
juga harus pinter mencari kebenaran.
PAK JANGKEP
.Jaksa kok disuruh cari kebenaran. Terus isi tuntutannya apa.
KI JANGGAN
Mungkin maksudnya Ruwat, Jaksa ke Pengadilan tidak hanya menyeret
terdakwa kejahatan, tapi bisa juga terdakwa kebaikan. Kalau terbukti
jahat, Hakim menghukum. Kalau terbukti baik, Hakim memerintahkan
kepada pemerintah agar memberinya hadiah.
RUWAT SENGKOLO
Aslinya memang begitu. Hakim di Pengadilan, modal utamanya bukan
pasal-pasal hukum, melainkan rasa keadilan dan keteguhan moral. Sangat
mungkin manusia melakukan kesalahan yang belum ada pasal hukumnya.
Buah catur saja yang jumlahnya hanya 32, punya 114 juta kemungkinan
langkah. Lha kalau buah caturnya sebanyak penduduk Indonesia, 235
juta, berapa trilyun probabilitas pelanggaran hukumnya? Maka Hakim
harus selalu siap menciptakan pasal-pasal baru berdasarkan kejujuran
nuraninya, rasa keadilan dan keteguhan moralnya.
GASPOL
Ini Negara Supremasi Hukum. Jangan ditambah-tambah dengan
supremasi-supremasi macam-macam lainnya. Hukum thok saja sudah
repot!
kita tidak benar-benar mengenali diri kita pada atau sebagai dimensidimensi yang lebih substansial.
Kita, pada konteks tertentu, dan itu sangtat serius dan merupakan
mainstream: mungkin sekali adalah boneka-bonekanya Setan. Kita hanya
robot yang diremot oleh kehendak Setan. Kita hanya instrumen dari
kemauan-kemauan Setan.
Anda mungkin menganggap saya main-main retorika. Tidak. Ini sungguhsungguh. Jangan mengandalkan ilmu pengetahuan baku dari sekolahan
dan universitas, sebab penelitian-penelitian di wilayah itu tidak akan
sampai pada hipotesis, identifikasi atau invensi tentang Tuhan, Malaikat,
Iblis, Jin dlsb yang sesungguhnya merupakan wujud nyata sehari-hari
kehidupan kita.
Kita sedang menghabiskan waktu untuk bermain-main menunggu
kematian tiba. Mainan kita namanya Negara, demokrasi, Pemilu, clean
governance, pengajian, tausiyah, mauidhah hasanah, band dan lagu-lagu,
tayangan dan sinetron. Semua itu tidak benar-benar kita pahami bahwa
bukanlah kita subyek utamanya.
Tentu ini semua harus sangat panjang ditelusuri, dianalisis, dipaparkan
dan disosialisasikan. Tulisan ini sekedar membukakan pintu agar manusia
mulai mempelajari Setan, sebagai salah satu metoda paling pragmatis
dan efektif untuk mengenali dirinya. Sebab hanya dengan benar-benar
mengenali dirinya maka manusia akan bisa berpartisipasi untuk turut
menjamin keselamatan dirinya, keluarganya, anak cucunya, lewat Negara,
sistem sosial atau apapun.
Anda semua semua sedang menjadi korban tipu daya dari segala sesuatu
yang Anda sangka kemajuan, kesejahteraan, pembangunan, segala yang
indah-indah di layar teve, di halaman koran, di kantor-kantor
pemerintahan dan perusahaan, bahkan di pasar, di panggung, di gardu
dan di manapun.
Tolong jangan membantah dulu sebelum mempelajari Setan, dalam segala
wilayah, konteks dan skala. Pelajari setan untuk individumu, untuk
keluargamu, untuk keselamatan anak-anakmu tahun-tahun yang akan
datang, untuk masyarakat dan bangsamu. Tuhan bilangMereka
melakukan tipu daya, dan Aku juga. Aku kasih waktu sejenak kepada
mereka.
Jatah untuk menyembuhkan diri bagi bangsa kita sudah berlalu. Ramadlan
dan Idul Fitri sudah kita lalui tanpa makna apa-apa. Metabolisme zaman
sudah tiba di putaran di mana kita memerlukan jangka waktu yang akan
jauh lebih lama lagi untuk bisa menyembuhkan dan menyelamatkan kita
semua sebagai bangsa. Segala sesuatu sudah kita jalani, kita junjung,
tanpa melahirkan paradigma baru apapun di bidang apapun. Indonesia
sudah mati. Tahun 2008-2015 akan semakin terpecah, semakin tertipu
daya, semakin lapar dan panas, semakin stress dan deppressed, karena
kita sendiri sudah terbiasa menipu daya diri kita sendiri.
Semua sisi kehidupan kita sudah palsu. Setan bilang kepada saya: Tidak
ada tantangan lagi. Manusia bukan tandingan Setan sama sekali. Manusia
sangat mudah kami kendalikan. Sangat tidak memiliki kepegasan dan
ketahanan untuk mempertahankan kemanusiaannya. Sungguh sudah
tidak menarik lagi bertugas sebagai Setan.
Di dalam Kitab Suci ada disebutkan: Dan ketika dikatakan kepada
Malaikat: Bersujudlah kepada Adam, maka bersujudlah mereka, kecuali
Iblis, karena sombong dan lalai
Diam-diam dibisikkan kepada saya oleh Setan: Kami sengaja tidak
bersujud kepada Adam, kami minta satu periode zaman saja kepada
Tuhan untuk membuktikan argumentasi kenapa kami tidak bersujud
kepada Adam. Hari ini saya nyatakan: Tidak relevan Iblis bersujud kepada
Adam, karena anak turun Adam sekarang terbukti sangat beramai-ramai
dan kompak menyembah Iblis.
Kafir Politis
Untuk Umbu
Presiden Malioboro
Malioboro
Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan
Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai
Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis
kebudayaan 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti
bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia
masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung
kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.
Kemudian sebagai jebolan Universitas Malioboro, hampir setengah abad
saya lalui jalan sesat, dan kini saya terjebak di kurungan peradaban di
mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan
Wali Pengembara
Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap
manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh jalan utama. Tafsir
atas jalan utama sangat banyak. Bisa pengutamaan akal dan budi,
bukan menomersatukan pencapaian kekuasaan, kesejahteraan ekonomi
atau eksistensialisme ngelmu katon alias kemasyhuran yang pop dan
industrial. Bisa juga jalan utama adalah berbadan sehat, berbudi tinggi,
berpengetahuan luas, berpikiran bebas, atau apapun yang intinya
memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi rahmat bagi seluruh
alam semesta.
Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka Malio-boro. Malio
artinya jadilah Wali, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan
untuk memperindah dunia, mamayu hayuning bawana. Malioboro
artinya jadilah Wali yang mengembara (boro): mengeksplorasi potensipotensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif,
berkelana di langit ruhani. Nanti akan tiba di jalan kemuliaan (Margomulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham (inspirasi)
dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), maunah (keistimewaan) dan
karomah (kemuliaan).
Di ujung jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah
urakan (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970an?):
sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, ya dunya ghurri
ghoiri, laqat thalaqtuka tsalatsatan: wahai dunia, rayulah yang selain aku
saja, sebab kamu sudah kutalak-tiga. Bahkan diri sendiri sudah ditalak,
karena diri sejati adalah kesediaannya untuk berbagi, kerelaannya
untuk menomersatukan orang banyak. Parameter manusia bukanlah
siapa dia, melainkan seberapa pengabdiannya kepada sesama.
Memilih Presiden 2014 sangat mudah: pandangi wajahnya dan pelajari
perilaku hidupnya, apakah penempuh jalan Margoutomo, Malioboro dan
Margomulyo. Raja-raja sejati nenek moyang kita mengakhiri hidupnya
dengan merohanikan diri, menjadi Begawan, Pandita, Panembahan. Raja
yang sibuk mengatur agar penguasa berikutnya adalah sanak familinya,
tidak punya kwalitas memasuki jiwa Pangurakan, karena memang tidak
pernah memilih jalan utama, mewali-pengembara sehinga lolos masuk
jalan mulia.
Kekasih Umbu
Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali
saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.
Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kost
saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap,
berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir
tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan
Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang,
ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki. Atau duduk saja di
trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat
sekolah.
Umbu mengajak saya mlaku, bukan mlaku-mlaku. Jalan, bukan
jalan-jalan. Ada beda sangat besar antara ngepit dengan pit-pitan,
antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira. Sangat
beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang dengan iseng-iseng,
antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan kaki sunggugan
dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu menghayati,
lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu
merenungi, lainnya memenggal.
Harian lokal Yogya pernah memuat foto sangat besar almarhum Prof. Dr.
Umar Kayam di halaman depan sedang naik sepeda, menempuh jarak 150
meter dari Bulaksumur B-12 ke kantornya di E-12. Pak Bon kantor
menyongsong juragannya, menyodorkan koran itu dan nyeletuk: Bapak
ampuh tenan. Baru mulai kemarin naik sepeda ke kantor sudah keluar di
koran. Kok saya sudah 30 tahun lebih naik sepeda 30-an km tiap hari
pulang pergi dari Gunung Kidul ke kantor, kok ndak masuk koran ya
Pak.. Maklumlah Pak Bon tidak mengerti apa-apa tentang jurnalisme.
Dia melaju. Subuh tiba di Malang, Umbu turun sebelum Tugu masuk pusat
kota Malang. Jalan kaki masuk ke wilayah timur. Melintasi Jl Diponegoro, di
situ rumah sang kekasih. Berjalan cepat, menundukan wajah, tidak
sesekonpun berani menoleh ke rumah si gadis pujaan. Kemudian berputar
balik ke jalan besar, mencegat bis menuju Surabaya, terus ke Yogya.
Sorenya sudah datang lagi ke tempat kost saya: duduk, ah-uh-ah-uh,
mengambil batang demi batang rokok dari sakunya dengan jepitan dua
jari-jarinya. Tak ada kata tak ada huruf hingga pagi.
Kehidupan Puisi
Beberapa tahun kemudian Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si
kekasih rohaninya, diperistri oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan
memanggilnya ketika bermain surfing di pantai, sebagaimana Umbu
sepanjang hidupnya surfing di atas gelombang demi gelombang, tanpa
pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.
Siapapun pasti menyebut percintaan Umbu itu platonik, pengkhayal,
hidup tidak di dunia nyata. Dunia yang gegap gempita ini memang tidak
nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah memburu wanita itu untuk
disentuh dan diperistrikannya. Sampai hari ini Umbu mengayomi anakanak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi
sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh
Majalah Horizon elite media sastra di era 1970an: Umbu diam-diam
masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya
sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga
kepada kemasyhuran dan popularitas.
Sejak 50 tahun silam meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya
sebagai Pangeran di Sumba. Di pinggiran Denpasar ia menempati
rumah tepi hutan karena ia menghormati temannya yang membikinkan
rumah itu. Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang
semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh
keputusannya itu dengan idiom kehidupan puisi. Saya mengenalinya
sebagai zuhud: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia
meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran dan menyimpan
uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.
Saya bukan siapa-siapa di dunia, tetapi kapan ada yang tanya siapa Guru
saya, baru nama Umbu yang pernah saya sebut. Puluhan tahun saya
berkeliling berjumpa dengan jutaan orang. Rata-rata mereka adalah orang
memperlakukan saya sebagai keranjang sampah untuk mengeluhkan
dunia, membuang kesedihan dan frustrasi, menumpahkan kebingungan
dan rasa tertekan oleh keadaan-keadaan dunia yang menindas mereka.
Kecuali Umbu: ia bahagia dan khusyu dalam kesunyian dan
ketiadaannya.
Di mana-mana sajapun orang riuh rendah mengejar dunia, tetapi di manamanapun saja orang ribut curhat tentang dunia. Ke manapun saya pergi,
ke delapan penjuru angin, dari bawah sampai atas, pada segmen dan
level sosial yang manapun, yang terutama saya dengar dan disampaikan
kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan, kesulitan
mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.
Terkadang saya balik tanya, dengan terminologi Agama: Lha kamu hidup
ini mencari dunia atau akhirat?. Kalau ia menjawab mencari dunia,
saya tuding salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan. Kalau
jawabannya mencari akhirat, saya katakan kalau kamu mencari akhirat
kenapa mengeluhkan dunia. Kan sudah jelas sejak dahulu kala
bahwa urip ming mampir ngombe, hidup hanya mampir minum.
Namanya juga mampir, singgah sejenak, bukan bertempat tinggal. Sudah
jelas dunia hanya tempat persinggahan sementara di tengah perjalanan,
kok disangka kampung halaman.
Sayangnya Tuhan menyatakan dan mungkin memang sengaja
menskenario demikian kebanyakan manusia tidak mau berpikir, atau
minimal banyak di antara manusia yang tidak menggunakan akal.
Karena kemalasan mengolah logika dan sistem ratio, orang menyangka
dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak dan bahkan
bertentangan. Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira
kalau mencari akhirat maka tak mendapatkan dunia. Orang mengira kalau
tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.
Mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah. Bekerja
keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap
persinggahannya untuk diolah. Orang yang fokusnya bekerja keras
memperoleh lebih banyak uang dibanding orang yang fokusnya adalah
mengejar uang. Orang yang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan
dunia, mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat
akhirat dan pasti memperoleh dunia.
Begitu kumuh dan joroknya situasi ummat manusia berebut dunia. Dan
begitu indah dan bercahayanya kehidupan puisi Umbu. Suatu hari saya
mohon izin untuk membuktikan bahwa keindahan sesungguhnya adalah
puncak kebenaran dan kebaikan. Peradaban manusia sampai hari ini
menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.
Persemakmuran Nusantara
Siapa tahu ada manfaatnya kisah tentang Gundul Pacul ini bagi Anda.
Ketika grup musik KK(Kiai Kanjeng, red) pentas keliling lima kota Mesir
Cairo, Alexandria, El-Fayoum, Tanta dan Ismailia nomer-nomer lagu
Ummi Kultsum panitia mempersoalkan kenapa saya tidak selalu tampil
pentas, padahal nama saya sudah terlanjur diumumkan di setiap
pemberitaan, spanduk dan katalog, terbata-bata saya menjawab: Karena
saya lebih lancar berbicara bahasa Inggris dibanding bahasa Arab. Dan
ketika KK pentas di Australia, Melbourne, Canberra, Sydney dan Adelaide,
pertanyaan yang sama nongol lagi dan saya menjawab: karena saya lebih
lancar berbahasa Arab dibanding bahasa Inggris.
Sebagai penganggur saya sering dolan ke toko komputer atau mobilephone (HP) untuk iseng-iseng belajar ikut nyervis. Itu kebiasaan saya
sudah hampir 20 tahun. Selama berada di tempat servis itu saya berkata
atau setidaknya saya ciptakan kesan kepada setiap teman di sana dan
diam-diam kepada diri saya sendiri : Saya sangat sibuk, acara saya
sangat padat dan semua urusan besar, sehingga kalau ada luang waktu
saya pergi ke sini agar hidup saya ada variasi. Juga tak baik selalu
mengurusi masalah nasional, ada segarnya jika diselingi mengurusi
masalah lokal. Nanti kalau saya sudah berada di rumah, saya tipu diri
saya sendiri dengan memaksanya percaya bahwa: Hari ini saya sudah
sangat sibuk melakukan kegiatan yang kelihatannya kecil dan remeh,
namun sesungguhnya itu fenomenologis, avant gard dan sekian langkah
lebih kontemporer dibanding kebanyakan orang. Wakil Presiden atau
anggota DPR saja kesana kemari bawacommunicator tapi ngertinya paling
pol cuma menelpon, kirim SMS dan menggunakanWord. Saya adalah
penghuni utama era peradaban informasi dan komunikasi. Saya rekannya
Bill Gate dan komunitas perkebunan Nokia.
Alasan yang sesungguhnya jelas: kalau berteman dengan orang komputer
dan HP, kalau beli dikasih murah. Alasan yang nyata dari kenapa saya
tidak tampil dengan KK di Mesir dan Aussie sudah dimafhumi semua
orang bahwa saya memang tidak becus bermusik, tak bisa nyanyi, apalagi
memetik gitar atau sekedar memukul saronpun. Tetapi toh saya cukup
pandai untuk berlagak: setiap kali KK mendapatkan a long standing
ovation, tepuk tangan panjang sambil berdiri dan meminta persembahan
dilanjutkan saya sigap berlari ke panggung dan ikut berbaris dengan
KK.
Orang yang tak punya peran harus pintar-pintar caper (cari perhatian).
Kalau artis atau Menteri diwawancarai di tengah keramaian, Anda harus
segera menerobos untuk menongolkan wajah Anda di kiri-kanan Menteri
agar tampak di kamera. Setelah itu kalau ada wartawan terjebak jalan
sesat dengan mewawancarai Anda, perlu Anda susun kalimat-kalimat
yang menimbulkan kesan bahwa seluruh prestasi itu bermula dari tangan
jenius Anda. Hindarkan kejaran cerdas wartawan yang mau bukti, terus
cocor saja image self building diri dikau. Kita sedang hidup di tengah
masyarakat kesan, di tengah bangsa kayaknya, The Image Society,
bukan masyarakat realitas. Kita memilih presiden berdasarkan kesan,
bukan pemahaman tentang kenyataan. Kita juga bisa membunuh orang
lain yang tak pernah berususan dengan kita cukup dengan membangun
kesan tentang dia dalam hati kita sepanjang hidup. Mampuslah dia.
Dan di toko-toko komputer dan mobile-phone itu realitas yang sebenarnya
adalah bahwa saya seorang penganggur, dan terus tetap penganggur
sampai usia lewat setengah abad sekarang ini. Tetapi penganggur jangan
berpuas diri sebagai penganggur. Penganggur harus punya lagak. Rugi
kalau Anda menganggur lantas tampil rendah diri. Bodoh kalau Anda
miskin lantas hati bersedih dan kalau berjalan tidak tegak dan wajah tidak
menunjukkan kepercayaan diri. Sudahlah miskin, minder dan merasa
sengsara pula. Yang terbaik bagi orang miskin yang penganggur adalah
fenomena sikap gemlelengan, atau bahasa jalanannya cengengesan.
Jadi, sampailah kita pada Gundul Pacul.
Gundul itu botak. Pacul itu cangkul. Tak ada kaitan literer antara gundul
dengan pacul dalam idiom Jawa gundul pacul. Itu peng-enak-an bunyi
belaka. Tak perlu ditafsirkan bahwa kepala kita menjadi botak sesudah
dicangkuli oleh tetangga. Paralel dengan istilah uuwakehe suwidak
jaran, banyaknya sampai 60 kuda. Tak usah dihitung berdasar angka 60.
Atau malam seribu bulan, belum tentu pas kalau Lailatul Qodar Anda
hitung melalui jumlah hari, jam, menit dan detik dalam seribu bulan. Idiom
Allah itu lebih bersifat kualitatif: kara seribu menggambarkan hampir tak
terbatasnya peluang pemaknaan di balik idiom itu. Juga bersifat dinamis,
bergantung pada pola pergerakan hubungan antara Tuhan dengan
hamba-Nya.
Gundul Pacul mungkin menggambarkan karakterisasi anak, pemuda, atau
manusia tertentu memalui mata pandang dan rasa budaya Jawa.
Gundul pacul adalah anak yang nakal pol,mblunat, mbethik, mbeling,
susah diatur, berlaku seenaknya sendiri. Main sana main sini, teriak sana
teriak sini, ambil makanan siapa saja di meja senafsu-nafsu dia, pergi ke
sungai dan mandi bluron sampai kulitnya bersisik, lomba lari mengejar
layang-layang putus sambil mengusap ingus. Intinya: punya bakat dan
naluri anarkisme yang serius.
Di Arab jaman dahulu ada seorang pemuda bernama Nuaim yang heboh
benar gundul paculnya. Tak ada kata Ibu Bapaknya kecuali ia bantah. Tak
ada larangan orangtuanya kecuali ia langgar. Tak ada perintah mereka
berdua atau bahkan siapapun kecuali ia tabrak. Pada suatu hari Bapaknya
melihat Nuaim berjalan jauh ke tengah padang pasir. Bapaknya yang
sangat berpengalaman tahu persis anaknya sedang ditunggu bahaya
besar. Kalau Nuaim teruskan berjalan karah itu, ia akan ditipu oleh
fatamorgana sehingga beberapa langkah kemudian ia akan terjerumus
masuk pasir bergelombang dan ditelan bumi tanpa bekas.
Betapa gundul paculpun putranya, sang Bapak tetaplah mencintainya.
Maka Bapaknya berteriak: Nuaiiiim! Teruuuuus! Teruuuus!. Itu adalah
sebuah metode empirikal berdasarkan pengalaman atas watak anaknya.
Kalau dibilang Stop, maka ia akan terus, sehingga agar ia stop harus
dibilang Teruuuus!. Akan tetapi subhanallah Nuaim siang itu mendapat
hidayah dari Allah swt. Tiba-tiba ia bergumam dalam hati: Ya Allah
ampunilah kenakalanku yang selalu membantah dan menyakiti hati orang
tuaku. Setidaknya satu kali ini perkenankan aku mematuhi perintah
Bapakku.
Anda tidak memerlukan keterangan lebih lanjut untuk mengetahui apa
yang kemudian terjadi pada Nuaim. Dendangkanlah saja lagu kuno itu:
Gundul gundul pacul cul, gemelelengan.. Nakal tapi sok benar. Tak
mau belajar tapi sok pandai. Kelakuannya seenaknya tapi sok suci. Tak
Konspirasi Semesta
HAM
Di samping HAM, ada WAM: wajib asasi manusia, tapi tidak saya tulis di
sini. Yang pasti Martin Luther King adalah Mbahnya semangat HAM,
Gusdur penikmat HAM. Martin Luther berjuang memerdekakan manusia,
Gusdur adalah manusia paling merdeka. Kalau pakai idiom Islamnya
Gusdur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap dawah bilisanil qoul
(menganjutkan dengan kata-kata), sedangkan Gusdur amal bililasil-hal
(melakukan dan menteladani dengan perilaku).
Andaikan yang didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin
Luther King tetap begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan
memperjuangkan hak-hak kaum hitam di Amerika, melainkan menempuh
perjalanan menuju keadilan universal bagi seluruh dan setiap ummat
manusia. Bukan hitamnya yang dibela, melainkan hak
kemanusiaannya. Bukan kulitnya, tapi manusianya.
Atas aspirasi pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gusdur, Pasukan
Banser selalu siap siaga menjaga Gereja-gereja setiap Natal atau hari
penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara
Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat
kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah
pelatihan-pelatihan iman, uji militansi dan ketahanan juang. Kaum
Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh
keyakinannya.
Gusdur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya,
namun sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri,
dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya
Jombang, agar supaya anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu
diancup-ancupno ndik jeding (kepalanya dibenam-benamkan ke air
kamar mandi), dibatek ilate (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak
bisa omong), atau disambleki mbarek sabuk lulang (dicambuki pakai
ikat pinggang kulit).
Diskriminasi
Kehidupan ummat manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin
memang selamanya demikian, selalu hiruk pikuk oleh silang sengkarut
diskriminasi, berbagai-bagai jenis, konteks dan modus diskriminasi. Ada
Kebanyakan manusia berjuang mengada-adakan dirinya, menonjolnonjolkan dirinya, bahkan untuk itu mereka meniada-niadakan orang dan
makhluk lainnya, bahkan meniadakan Tuhan.
Itulah kematian.
Manusia Tauhid adalah orang yg terus berjuang untuk tidak mempercayai
adanya, karena yg sejati ada hanyalah Maha Penciptanya, serta hanya
Dia-lah yg sejatinya berkarya.
Di maqam kesadaran itulah persemayaman makrifat Budi Ismanto SA:
Saya lahir tidak ingin menjadi penyair, tapi ingin menjadi manusia, itu
kalimat akhir yang diucapkan alm. boedi ismanto kepada temannya saat
ketemu di tegal sebelum meninggal kemarin.
Ia juga berkata ibarat gajah, mati tak meninggalkan gading ketika
seorang Presiden memasang gambarnya di tepi jalan merayakan panen
raya, padahal para petani yang berjuang menanam padi.
Manusia yang mengenal hakekat Tuhannya adalah yg menemukan
belumnya selama menjalani sudah puluhan tahun lamanya.
Boedi sudah menemukan hakekat ada dalam tiada, mentiada sehingga
ada.
Itulah kehidupan.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Itulah statemen paling mendasar dari
Allah, yang kita ucapkan untuk merayakan kehidupan sejati Boedi
Ismanto.
11 Maret 2013
Jazz 7 Langit
1
Apa benar Jazz itu suatu aliran musik? Alangkah sempitnya kalau ia hanya
sebuah aliran, berjajar atau berderet dengan aliran-aliran yang lain.
Aku tak mau Jazz sekedar sebuah sungai yang mengalir, betapapun
indahnya sungai itu. Bahkan pun andai ia sungai si sorga.
Aku mau Jazz itu pengembaraan di jagat raya.
Aku mau Jazz itu petualangan kemerdekaan menyusuri seluruh wilayah,
bidang, garis, titik-titik, ketinggian dan kedalaman, cakrawala yang
menantang atau jiwa rebah di bumi, kemudian terbang kembali se segala
penjuru langit tujuh.
Tujuh Langit, di luar maupun di dalam diri kita.
2
Tentu saja Jazz itu suatu aliran. Tetapi aku benci kata aliran dirampok
oleh epistemologi, disempitkan oleh kebudayaan, didangkalkan oleh
bahasa, dan dikerdilkan oleh politik dan institusi Agama.
Jangan katakan Jazz itu aliran. Nyanyikan: Jazz itu mengalir.
Jazz itu berlompatan, berhembus, terbang melayang, menelusup dan
menyelam.
Jazz menyapa setiap kemungkinan, Jazz menyentuh segala probabilitas.
Jazz memandang horizon nun jauh, Jazz mendekap cakrawala di rahim
rahasia dirinya.
Jazz itu cahaya yang meledak dari Al-Ahad, Sang Entitas Tunggal,
memecah diri-Nya menjadi dan mencapai A-Wahid, menyebar, menabur,
menjagat mensemesta, meruang tanpa sisa, mewaktu, bertualang di
Fana, menembus Baqa.
Jazz itu semangat iradah cinta dan hak absolut kemerdekaan Allah atas
diri-Nya dan apapun saja yang diciptakan oleh-Nya. Allah menyamar
menjadi alam semesta, menjadi ummat manusia, menjadi bunyi dan
warna, menjadi kata dan makna.
Allah menggemerecakkan nyanyian pada gitar, Allah berdendang pada
trombone, terompet dan saksopon, Allah melampiaskan rindu pada
tabuhan drum, Allah menyatakan cinta dari belakang punggung para
pengrawit, Allah bermanja dan pura-pura mengeluh di snar biola, Allah
3
Jazz itu penerimaan seluruh muatan ruang dan waktu, bahkan kesetiaan
mengetuk semua pintu.
Jazz tidak membuang siapa-siapa, Jazz tidak mengharamkan apa-apa, Jazz
memanggul ilmu, kecerdasan dan kepekaan untuk meletakkan sesuatu
pada tempatnya.
Haram adalah disharmoni, sesuatu yang dijodohkan padahal bukan
jodohnya, sesuatu yang dipadukan padahal bukan paduannya.
Maka Jazz tidak mengenal fals, karena pelakunya mengerti untuk tidak
mempertemukan dua hal yang semestinya bersemayam di tempat yang
berbeda.
Jazz itu puncak kesadaran Mizan, keseimbangan, harmoni. Harmoni
adalah kejujuran atas diri, letaknya dan lelakunya. Kejujuran adalah
keikhlasan menjadi diri tempat Tuhan menjelma, serta kerelaan berada
di maqam atau wilayah yang telah disusun ditata oleh sunnah-Nya.
Orang yang belum mempelajari harmoni, belum meneliti peta iradah dan
tata sunnah, terkurung di dalam kebutaan dan kebodohan untuk
membuang-buang yang ia tak pahami, menghardik-hardik yang ia belum
mengerti, mensesat-sesatkan yang ia belum dalami.
Orang mengharam-haramkan saudaranya dan mengusir-usir mereka dari
hakekat cinta, karena belum mengetahui bahwa tidak ada sejengkal
ruangpun di luar jagat kasih sayang-Nya.
4
Hai.
Apakah Jazz itu musik?
Dan musik adalah bagian dari kehidupan?
Jadi, apakah Jazz itu bagian dari bagian kehidupan?
5
Maka jangan tanya apa definisi Jazz, karena dua alasan.
Pertama, begitu Jazz didefinisikan, berakhirlah sejarah eksplorasinya.
Kedua, karena definisi itu membelenggu, sedangkan Jazz itu
memerdekakan.
Pun jangan salahkan aku yang lancang menulis sesuatu dengan
menyebut-nyebut kata Jazz, yang semua orang menyepakati bahwa itu
bukan milikku, bukan hakku, apalagi ekspertasiku. Tak ada pengetahuanku
tentang Jazz. Aku lebih dari awam. Bahkan tak ada satu alat musik yang
sesederhana apapun yang aku mampu memainkannya. Berkunjunglah ke
Planet Musik, musik apapun: tak kan kau temukan jari jemari dan
wajahku.
Akan tetapi tak ada hak padamu atau pada siapapun saja untuk
mempersalahkan cintaku. Karena Jazz sudah terlanjur memasuki telingaku
dan menyentuh jiwaku, maka kudekap ia menjadi bagian dari cintaku.
Jazz adalah kuda tunggangan cintaku.
Jazz adalah burung-burung terbang kerinduanku.
6
Hai.
Kehidupan dituntut memahami Jazz, ataukah Jazz memahami kehidupan?
Manusia memahami Jazz ataukah Jazz memahami manusia?
Kehidupan mangandung Jazz, ataukah Jazz hamil kehidupan?
Manusia dialiri Jazz, ataukah Jazz dialiri manusia?
Haha.
Itu pertanyaan sebelum Jazz.
Itu deskripsi yang tanggal di depan gerbang Jazz.
Itu pertanyaan orang yang berjarak dari kehidupan.
Itu pertanyaan yang berhitung-hitung sehingga cinta menjauhinya.
Jangan dijawab kedua-duanya.
Jazz adalah penerimaan bunyi oleh bunyi, keridhaan nada atas nada,
keikhlasan nuansa dengan nuansa, ketulusan cinta bersama cinta.
Jadi kenapa langit dihitung-hitung tujuh?
Hahaha.
Terserah-serah Yang Punya. Tuhan yang menggagas hak, Ia juga yang
punya ide tentang kewajiban. Semau-mau Ia juga akan mengikatkan diri
pada aturan-Nya ataukah melanggarnya.
Kenapa doremifasollasi? Kenapa qiraah-sabah? Kenapa satuan tujuh
dijadikan patokan hampir semua kejadian-kejadian besar dalam sejarah?
Kenapa 3,5 abad bersama VOC dan 3,5 tahun bersama Nippon? Kenapa
tujuh saja, jangan sampai 5 jangan pula berlebihan hingga 10? Tak perlu
8-9 amat, meskipun kalau bisa jangan sampai 5-6. Tujuh adalah presisi
nuansa kebersahajaan. Sebagaimana Jazz menyederhanakan peta
keindahan yang sebelumnya dianggap mewah. Sebagaimana Jazz
mencairkan, meng-udara-kan, meng-gelombang-kan padatan-padatan
bunyi.
Hahaha.
Tuhan bermesraan denganmu. Menjebakmu di antara 1 dengan 7, di
antara 7 ke tak terhingga. Di senja hidupmu engkau lelah oleh hitunganhitungan kehidupan, sehingga rebah di pangkuan-Nya.
Kecuali engkau yang menudingkan jari-jarimu ke atas untuk menunjuk
langit. Padahal langit bersemayam di dalam jiwamu.
Bumi dalam langit. Langit dalam bumi. Keduanya dalam engkau.
Bumi langit mikro-kosmos. Engkau makro-kosmos. Karena Ia bertajalli
padamu.
7
Apakah Jazz adalah Duke Ellington, Louis Armstrong, Buby Chen, Bing
Slamet, atau Balawan dan Beben?
Habibuna Maulana Khidlir AS adalah profesor segala profesor Jazz
kehidupan, gurubesar segala gurubesar pengembaraan men-tauhid.
Yai Sudrun ngiler menetes air dari sudut bibirnya sepanjang zaman.
Wajahnya buruk seburuk-buruk wajah. Pakaiannya dikenakan untuk
menyamar agar disangka manusia sebagaimana yang menyangka. Tak
pakai alas kaki ke manapun, tak cuci kaki naik dan masuk Masjid.
Membuka sarungnya dan kencing di lantai Masjid. Tapi tak bisa kau
salahlah dia karena tak ada cairan kencing Sudrun di lantai Masjid.
Seribu orang menabuh rebana. Sudrun bosan dengan regulasi nada dan
irama rebana. Ia merebut satu rebana, memukulnya sekali, padam
ratusan lampu petromak. Kemudian ia lempar rebana itu, berlari dan
tertawa-tawa, mentertawakan dunia dan kedunguan penghuninya.
Sudrun tidur telentang di tengah jalan raya. Semua kendaraan stop. Macet
tak bergerak. Kedua kakinya dilempar-lempar ke atas seperti bayi.
Wajahnya menangis seperti bayi. Mulutnya menangiskan tangis bayi. Para
petugas menghampirinya dengan takut-takut:
Yai Sudrun kenapa nangis di tengah jalan. Ayo kita ke warung saja. Kita
Menangis
Tetapi Gus Dur adalah idola mereka, panutan mereka, pemimpin mereka,
pilihan presiden mereka.
Orang hidup dalam citra, tidak dalam kenyataan. Kenyataan senyata
apapun kalah oleh citra. Saya tidak pernah masuk Parpol, tidak pernah
menjadi anggota DPR, tidak pernah menjadi pejabat serendah apapun,
tidak pernah punya perusahaan, tidak pernah berususan dengan proyekproyek dan konglomerat, dan sampai hari ini saya menunggu orang
membuktikan dan mengumumkan besar-besaran bahwa saya pernah
dikasih uang oleh Suharto atau siapapun kroninya dan tak kunjung
datang pengumuman itu tetapi sebagian orang tetap mencitrakan saya
sebagai orangnya Suharto. Sementara mereka mengangkat Akbar
Tanjung yang dulu Menterinya Suharto menjadi calon presiden reformasi.
Juga menjunjung Nurkhalis Madjid yang dulu anggota MPR di jaman
Suharto.
Manusia hidup dalam citra.
Citra itulah yang dipertahankan mati-matian oleh Amrozi. Amrozi marah
besar dan serius kalau dikatakan bukan dia yang melakukan pengeboman
di Bali 12 Oktober itu. TNI bikin demo bom di Bogor untuk membuktikan
bahwa TNI tidak punya kemampuan untuk melakukan pemboman jenis
Dimona Micro Nuclear yang aksesnya hanya dimiliki oleh 5 negara besar
di luar Indonesia, yang menghasilkan lubang besar di tanag dan jamur
raksasa di angkasa, yang dalam radius 20 meter sekelilingnya tak ada
benda yang tersisa kecuali jadi abu. Jadi kemampan Amrozi jauh di atas
TNI.
Kalau Anda membuktikan bahwa bom yang dipasang oleh Amrozi di Bali
namun tidak meledak karena dirancang untuk didahului beberapa
menit oleh meledaknya Dimona Micro Nuclear hanyalah bom ringan
dan sekedar di atas molotov atau Sinso (Bensin Rinso) dan di bawah
TNT atau C4: Amrozi akan menjawab: Hasil ledakan itu jauh melebihi
kapasitas bom aslinya berkat kekuasaan Allah, sebagaimana lemparan
pasir Mujahidin di Afganistan bisa menghancurkan tank-tank.
Amrozi tidak terima kalau dia dituduh bukan dia pelaku bom Bali. Dia ingin
hidup dalam citra, bukan dalam kenyataan tentang dirinya. Maka jangan
heran dia bergembira ria dihukum mati, karena vonnis itu mengukuhkan
citranya. Maka ia juga selalu bertanya kepada setiap Polisi yang
mengawalnya: Pak, kapan sih saya ditembak? Amrozi sangat
merindukan mati, dalam konsep yang dia pahami sebagai syahid.
Amrozi tidak mau dituduh lemah syahwat. Dia butuh citra kejantanan
tentang dirinya. Itulah sebabnya seorang pakar psikiatri dari Unair
meminta Amrozi diperiksa secara psikiatris, dan bukan diperiksa oleh
psikolog seperti yang dilakukan oleh Polri. Sebab kalau pemeriksaan klinispsikiatris dilakukan pada Amrozi, secara yuridis ia akan bebas itu itu
merugikan Polri maupun Amrozi sendiri.
6 Oktober 2003
Tadi malam Allah menganugerahi saya rejeki yang luar biasa, yang
membuat aliran darah saya menghangat, hati penuh kegembiraan dan
kebanggaan, dan seandainya ketika itu saya sakit saya yakin langsung
menjadi sembuh.
Di Taman Ismail Marzuki Jakarta setiap orang kenal orang yang
mengantarkan rejeki Allah ini. Seorang pemuda berusia sekitar 35 tahun,
kumuh, berpenampilan gelandangan, tidur di sembarang tempat di
komplek itu, sorot matanya menusuk ke dalam nurani. Setiap orang
mengenalnya sebagai orang yang tidak lengkap, agak miring, minimal
setiap orang normal cenderung tidak menganggapnya sebagai manusia
sesama orang normal.
Dulu tatkala sebulan sekali saya beracara Kenduri Cinta di parkiran TIM,
beliaunya ini selalu hadir. Di akhir acara selalu menemui saya dan dengan
sangat menakutkan ia mencium tangan saya. Saya meletakkannya di
tempat yang khusus di lubuk hati saya. Kemudian acara bulanan saya di
Jakarta itu tidak menetap lagi di TIM melainkan keliling ke kampungkampung Jakarta.
Ya Allah, beliau ini tiba-tiba menelpon saya. Saya tidak pernah
membayangkan bahwa ia kenal telpon. Tentu ia ternyata tahu wartel juga.
Ya Allah, dia bercerita tentang demo di DPR dan situasi mutakhir di
Jakarta. Ya Allah aku bangga menerima telpon dari seseorang yang setiap
orang tidak menganggapnya sebagai sesama manusia dalam kehidupan
yang wajar.
Tentu saja tidak bisa saya berkata begini: Saya ditelpon oleh Menteri,
oleh Presiden, oleh Sekjen PBB, tidak punya perasaan apa-apa dan tidak
bangga sedikitpun. Tetapi saya ditelpon oleh beliau ini, ya Allah, hati saya
berbinar-binar penuh kegembiraan dan kebanggaan. Tidak
bisa, wong memang tidak ada Menteri yang gila untuk repot-repot
menelpon saya. Apalagi Presiden dan Sekjen PBB.
Kalimat seperti itu pernah juga muncul di hati saya ketika saya kenal
kekasih gila yang lain. Kalau Anda pergi ke Jogja, jalanlah ke perempatan
dekat jembatan rel kereta di sebelah barat kantor Samsat. Sekitar siang
atau sore, insyaallah Anda akan berjumpa dengan kekasih Allah: pemuda
kurus, hitam, menari-nari, melemparkan wajah penuh kegembiraan,
melambaikan tangan kepada siapa saja yang lewat. Adakah orang bisa
berpikir bahwa ada orang yang sehat jiwanya menari-nari di perempatan
jalan?
Tetapi apakah kekasihku itu benar tidak sehat jiwanya? Apakah ia pernah
korupsi? Apakah ia pernah menyakiti hati orang? Apakah ia pernah
mencuri, mencopet atau menjambret? Bukankah berjam-jam ia berjogetjoget di jalan dengan penuh suka cita itu sesungguhnya berkata kepada
orang-orang yang lewat yang kebetulan punya akal pikiran: Kenapa
engkau cemberut, uring-uringan dan berwajah duka? Kau punya mobil
kan? Punya rumah kan? Lihatlah aku, tak punya apa-apa, tak punya
rumah, tak punya pekerjaan, tak pernah sekolah, tak tahu apa-apa
mengenai negara dan masyarakat, tak mendapat gaji, tidak akan kawin
seumur hidup, tak punya harapan dan karier apa-apa di muka bumi ini
tetapi aku selalu bergembira.
Pada suatu sore di sebuah sanggar beliau muncul dan bersalaman dengan
setiap orang yang ada di situ termasuk saya. Pimpinan sanggar bertanya
kepadanya: Kamu salaman-salaman begitu apa tahu dengan siapa kamu
salaman?
Beliau tertawa nyengir, mendekat dan memegang sebelah tangan saya
dan menjawab dengan suara kecil lirih lucu: Cak Nunnn! Ya Allah,
bangganya saya dikenal oleh beliau. Siapa yang ngasih tahu dia tentang
saya? Koran? Saya sudah beberapa tahun tidak laku di koran, bahkan
koran lokalpun sudah tidak kenal saya. Ah, kuajak beliau naik panggung
nanti 17 Agustus malam di Boulevard UGM. Di situ kita akan
bercengkerama bersama komunitas Sarkem (Dolly), pimpinan
paguyuban tukang becak Jogja, mandataris buruh-buruh gendong Pasar
Beringharjo, para Dauri (sapaan persahabatan di antara para preman,
korak atau gali) dari Buto Mati sampai Buto Kempung. Tentu saja, juga
dengan yang kita junjung tinggi para intelektual, dosen-dosen, aktivis
mahasiswa, bahkan Pak Rektor. Kalau Ngarsodalem HB X pengayom wong
cilik berkenan hadir, tentu teman-teman kita itu akan sangat gembira.
Seandainya beliau tak hadir, insyaallah beliau tetap mengayomi, di
manapun beliau berada malam itu.
Ya Allah, syukur kepadaMu akhir-akhir ini Engkau pertemukan aku dengan
kekasih-kekasih sejati. Yang tidak menyalami tanganku dengan
kepentingan. Yang tidak cemburu dan dengki kepadaku. Yang tidak
menuduh-nuduh aku atas dasar kabar burung dan obrolan warung. Yang
tidak meminta apa-apa dariku, bahkan memberiku ilmu dan hikmah yang
tidak aku peroleh dari kaum cerdik pandai, dari para penguasa dan kaum
penyebar isyu. Yang tidak mengancamku. Yang tidak mencurigaiku
berdasarkan keperluan subyektifnya. Yang tidak menyantet atau
menenungku demi melindungi ambisinya. Yang tidak bersaing denganku
kecuali dalam mencari ridhallah.
Dulu waktu ulang tahun Kartolo dengan Kiai Kanjeng datang kekasihMu,
ibu-ibu setengah baya, pakai kaos oblong dan rok pendek, beteriak-teriak
sehingga Satpam dan Polisi akan mengusirnya. Aku loncat turun dari
panggung, kurebut ibu-ibu ini dari Polisi, saya gandeng naik panggung,
duduk di samping kiri saya, saya bisiki dan alhamdulillah ia bersedia
duduk manis di situ sampai acara usai lewat tengah malam.
Di Alun-alun Magetan itu, begitu kami naik panggung, ibu-Ibu tua
mendahului berdiri dan berpidato teriak-teriak. Saya datangi, saya
nyatakan cinta, saya bimbing duduk di samping saya. Ia patuh manis
sampai akhir acara, meskipun berulang kali ia mencubit punggung atau
paha saya seakan-akan ia adalah pacar saya yang sebentar lagi saya
nikahi.
Berikutnya di Magetan itu datang lelaki muda gagah besar, pakai celana
pendek, membawa tali dadung panjang, berjalan sambil menari
menyaingi Sardono W. Kusumo, membelah hadirin menuju panggung.
Terus ada lagi di belakang hadirin: laki-laki juga, berbaring mengomel
dan kayal-kayal seperti bayi persis seperti nasib rakyat Indonesia.
Dan itu ya Allah, lelaki kurus pucat, pakai hanya celana pendek, langsung
masuk ke rumah, bersila, menyembah saya dan berkata: Lapor! Saya
dulu anaknya orang kaya. Saya merantau sekolah di Jogja. Kemudian
orang tua saya bangkrut. Saya tidak bisa melanjutkan kuliah. Untuk bisa
makan saya akhirnya jualan darah. Tetapi karena darah yang saya
keluarkan tidak sebanding dengan makanan yang masuk, maka akhirnya
saya gila. Laporan selesai! Kemudian ia nyelonong pergi.
Yang lain datang dan juga langsung masuk rumah. Bahkan tidur di depan
pintu tengah. Saya biarkan berjam-jam, sampai akhirnya saya bertanya:
Kok tidur di sini sih, Mas?. Ia menjawab dengan tegas: Ini adalah bumi
Tuhan, makhluknya bebas tidur di mana saja!
Menjelang maghrib saya hampiri dia dan saya omong dengan lembut:
Boleh saya menolong Sampeyan untuk saya carikan bumi Tuhan yang
lain yang bukan ini?
skala kehidupan sehari-hari maupun yang lebih luas dan lebih sistemik,
sesungguhnya disumberi oleh pertentangan dasar tersebut.
Sesudah Abad Pertengahan, peradaban masyarakat Eropa mengalami
kebangkitan rasionalisme yang mencerahkan sejumlah kegelapan nilai
dasar manusia. Salah satu hasilnya adalah filosofi sekularisme yang
secara tegas memilahkan otoritas Negara dari otoritas agama.
Sejak itu wilayah agama menjadi sangat terbatas pada
lingkar privacy setiap orang. Agama tidak boleh seenaknya mengatur
kehidupan manusia dari dapur, kamar mandi, gardu hingga istana Negara.
Ia hanya punya kapling yang hanya menyangkut komunikasi antara
individu dengan Tuhan. Lalulintas di jalan raya, juga lalulintas uang dan
birokrasi, bukan Agama yang berhak mengaturnya. Teokrasi adalah
momok dari masa silam yang tak boleh bangkit kembali dari kuburnya.
Dalam sejarah pra-Indonesia, konflik semacam itu sesungguhnya telah
ada, setidaknya secara embrional.
Raja-raja Majapahit memang memeluk ramuan unuk antara Hindu dengan
Budha, tetapi konsep kerajaan dan kepemerintahan yang berlaku sama
sekali berada di tangan Raja dan lingkarannya. Secara natural, otoritas
negara ketika itu telah mengatasi kekuasaan Agama.
Tatkala Brawijaya terakhir bersedia memangkas rambut-nya atas
fetakompli Raden Patah, kemudiaan Nyoo Lay Wa Gubernur Majapahit
ketika Demak telah membawahinya dibunuh beramai-ramai oleh sisa
rakyat Majapahit non-muslim: seolah-olah teokrasi Islam sedang didirikan.
Pemerintahan Demak dilatari oleh kewibawaan dan otoritas politik para
Wali. Islam pesisir memberi format pada pelaksanaan pemerintahan
kesultanan dan kehidupan rakyatnya. Meskipun ketika itu telah ada
perbedaan approach politik dan kultural antara para Wali bang-wetan di
Surabaya dan Gresik dengan Wali pesisir utara Kudus Semarang, di mana
Sunan Kudus telah menerapkan suatu model persuasi Islam terhadap
idiom-idiom kebudayaan Jawa tetapi dominasi otoritas Agama atas
kerajaan tetap sangat menonjol.
Sampai akhirnya Sunan Kalijaga menegaskan pendekatan kultural itu
secara lebih masuk ke dalam rempelo ati kebudayaan Jawa. Sampai
akhirnya ia mendorong transformasi untuk menseimbangkan antara dua
orotitas itu dan melatarbelakangi pola kekuasaan Sultan Hadiwijaya di
Pajang. Dan akhirnya Arya Penangsang mbrodol ususnya oleh tombak
Jebeng Sutawijaya.
Barangkali memang menarik posisi Pajang: tidak terlalu pesisir, tidak
terlalu pedalaman. Seolah-olah letak geografis Pajang mewakili peletakan
strategi penyeimbangan otoritas itu.
Tulisan ini tidak mengupas soal gejolak rupiah. Saya belum gendheng.
Bukan saja karena bukan ahli ekonomi. Bahkan benar-benar saya tidak
mengerti ekonomi. Pahamnya saya kasih duit dua ribu rupiah, dapat
sebungkus rokok.
Yang saya lakukan justru menyodorkan sejumlah paket kepada sampeyan,
koen, peno, ndiko, riko, panjenenganipun maupun awakmu, untuk
dirasani, digunjing-gunjingkan di warung, didiskusikan, kalau sempat.
Kalau tidak ya biarkan saja, wong diskusi sampeyan-sampeyan ini tidak
akan memperkuat atau memperlemah kekuatan bargain rupiah terhadap
dolar maupun terhadap mata uang kerajaan Ratu Bulkis sekalipun.
Meskipun sampeyan diskusi sampai mblenek dan bengok-bengok sampai
tenggorokan mencolot, rupiah akan tetap dengan iramanya sendiri, di
mana kaitannya dengan sampeyan hanyalah bahwa sampeyan ini terkena
akibatnya. Di negeri dan di dunia ini sampeyan bukan subjek, melainkan
objek. Sampeyan jadi subjek hanya dalam menentukan hal-hal remehremeh, serta dalam kosmos mimpi sampeyan sendiri.
Hanya saja saya jamin rupiah tidak akan sampai ke posisi mata uangnya
Ashabul Kahfi, yang tertidur selama 309 tahun sehingga ditertawakan
orang di seluruh pasar dunia tatkala hendak dipakai untuk menjadi nilai
tukar.
***
***
***
Ketiga, kita digangguin dan dirongrong dari luar, tapi kita juga
mengganggu dan merongrong diri kita sendiri.
Kita ikut mengizinkan konglomerasi sampai ke titik sangat optimum, yang
hampir sama sekali tidak memungkinkan penataan kesejahteraan
nasional yang adil dan maksimal. Kemudian di-kemplang dengan tak bisa
dielakkannya milik-milik mereka ke mancanegara.
Untung Tuhan bikin alam negeri ini kaya-raya, termasuk kearifan kultur
kemiskinannya di antara rakyat sedemikian rupa sehingga masih bisa
dihindarkan situasi collapse nasional.
Itu pun sesungguhnya kita masih memiliki sangat-sangat banyak warisan
harta dari tokoh nasionalis zuhud yang menjadi kekasih pertama bangsa
Indonesia. Tanyakan kepada tetanggamu hal-hal mengenai Dana Ampera
(jangan dijerumuskan oleh istilah Dana Revolusi yang memang dipasang
untuk mengelabui pengetahuan dan perhatian Anda).
Sekurang-kurangnya cari tahu siapa itu yang rampal untune di sebuah
kota kecil di tengah-tengah sana gara-gara bersumpah seperti Bilal di
depan Umayyah tidak akan bersedia melepaskan warisan yang
(sebagian) diamanatkan ke genggaman tangannya untuk dibagi 60%
untuk penodong resmi-nya dan hanya 40% untuk rakyat kecil.
***
lainnya, misalnya Pakde Haye, Pakde Nuri Yogya, dll, malah disuruh Allah
untuk cepat-cepat meninggalkan dunia yang penuh laknat dan kebusukan
ini.
Saya menjadi minder di depan para Almarhum itu, saya merasa malu di
depan Rasulullah Muhammad saw serta merasa hancur di hadapan Allah
swt sebab sepertinya yang cepat dipanggil adalah mereka yang tulus
dan lulus sedangkan saya yang lebih tua sepertinya masih berkutat
dengan kebusukan dan akal bulus sehingga masih diberi peluang untuk
memperbaiki diri di muka bumi.
Pakde Busan diluluskan oleh Allah untuk berpindah ke dimensi kehidupan
berikutnya yang lebih berkwalitas dan rohaniah. Sementara saya masih
terlalu kotor untuk diperkenankan berhijrah ke alam kesejatian.
Pakde Busan adalah sahabat saya kesekian yang paling tulus, paling
lembut hatinya, pemurah, pecinta manusia, sangat menghormati
kebaikan dan kebenaran, serta sangat tidak bisa melewatkan menit-menit
dalam kehidupan yang dijalaninya dengan membolehkan dirinya tidak
bersentuhan dengan Allah swt serta kekasih-Nya Muhammad saw. Di
dalam mobil yang dikendarainya hampir selalu terdengar bunyi musik
yang bermuatan bisikan, lantunan, keluhan, ungkapan kekaguman, pujapuji serta kerinduan kepada Allah dan Rasulullah.
Allahu Akbar, beliau mendadak datang, kemudian mendadak pergi.
Beberapa tahun silam Pakde Busan tiba-tiba saja masuk ke dalam
kehidupan saya. Ketika kemudian saya selesai membenah-benahi dan
membersihkan ruang di dalam hidup saya untuk beliau tempati dalam
jangka waktu yang saya bayangkan akan cukup panjang, ternyata setelah
sejenak-duajenak belaka beliau bersemayam di dalamnya: tiba-tiba pergi
tanpa pamit.
Pakde Busan menempati ruang cinta bersebelahan dengan ruang cintanya
Pakde Haye (Heru Yuwono) serta beberapa sahabat sejati lainnya di lubuk
kalbu hidup saya.
Allah swt yarham Pakde Busan dan para pahlawan kelembutan hati
lainnya yang menyandera cinta kemanusiaan saya. Allah swt mendekap
beliau berdua dengan tiupan cinta yang sama dengan yang Allah
dekapkan kepada kekasih-Nya Muhammad saw serta siapapun yang
mencinta-Nya dan mencintainya.
Saya tidak pernah sempat benar-benar mengenalnya, karena setiap
pertemuan dengan beliau saya dipenuhi oleh rasa gugup ditimpa oleh
ketulusan hatinya, kemurahan langkah-langkahnya, kasih sayang
kemanusiaannya yang menabur ke manapun kakinya melangkah.
***
dari kecurangan pikiran, kotornya kalbu, atau adigang adigung adigunanya sikap kita kepada sesama manusia.
Di atas semua itu, benar-benar semoga Allah jangan sampai memaparkan
di langit ayat wallahu khoirul makirin, gara-gara kita makar terhadap
kebenaran, kefitrian, ketulusan, dan kejujuran hidup.
Demikianlah pengajian ndeso seorang mudin tiban dan darurat.
Seminggu lebih saya menunda kepulangan dari Jakarta ke Yogya garagara mendapatkan tugas-tugas mendadak menjadi mudin. Awalnya,
Galang rambu Anarki, putra sulung Iwan Fals, dipanggil Allah. Besoknya,
pada dini hari, menurut keluarga Iwan, datang tiga lelaki dari Jombang tak
dikenal, tapi wajah-wajah mereka mirip saya semua. Datang entah pakai
kendaran apa di rumah yang begitu keslempit dan susah dicari. Datang
jauh-jauh dari Jawa Timur untuk mendoakan Galang dan menenangkan
hati keluarganya.
Muncul sangkaan yang aneh-aneh, sehingga besoknya saya datang untuk
tahlilan. Tapi, kedatangan saya yang juga tak mereka sangka-sangka itu
malah menyempurnakan sangkaan mereka, padahal tiga lelaki itu sekadar
mirip saya.
Sudahlah, yang penting saya ikut bertahlil. Pada tujuh harinya saya
datang tahlilan lagi. Dan ternyata, tiap malam tugas saya di sekitar itu:
tahlilan, yasinan, taziyah. Kemudian diajak merintis terbangan.
Kemudian ngaji al-Hasyr untuk nyonya sutradara sinetron yang
kandungannya sudah lewat hampir tiga minggu, tapi bayinya belum turun
juga. Esok malamnya dimasukkan ke acara nyleneh: shalawatan barengbareng pakai keyboard. Esok malamnya lagi saya rampok Gus Mustafa
Bisri agar mengimami sebuah jamaah badan usaha, agar perusahaannya
bermanajemen horizontal-vertikal alias kalkukasi dunia akhirat.
Lantas, kalau siang berjam-jam di rumah sakit. Ada kawan lama yang
enak-enak melangkah ke luar pintu rumahnya mendadak ada colt
nyelonong. Ia terlempar, ambruk, kepala retak, darah mengucur
alhamdulillah cuma gegar otak ringan dan selama dalam keadaan
koma terus memanggil-manggil saya. Ya Allah, segala puji bagimu, ada
juga orang yang mengasihi saya, meskipun hal itu baru mereka sadari
kalau sudah tak berdaya.
Kawan yang sakit ini berhari-hari belum sadar. Tapi, syukur bawah
sadarnya bisa saya ajak bercanda. Kemurnian isi hati dan pikirannya saya
tampung dengan kelakar-kelakar yang menggembirakan. Ia mengigau
Pancasila Yes! Pancasalah No!
Saya tanya, apa itu pancasalah?
***
Ketika saya asyik bercanda dengan sang pasien, tiba-tiba seorang sahabat
masuk dan lapor: Cak, Gus Dur ingin ketemu!
Lho Gus Dur?
Ya! Beliau ngamar di sebelah sana! Dia harus disuplai darah terus, dan
sekarang sedang kesulitan cari darah.
Saya langsung cium pasien sahabat kita itu dan loncat berlari. Sampai di
kamar yang dimaksud, ternyata memang bertuliskan Abdurrahman
Wahid. Saya masuk. Puluhan orang ngumpul dalam suasana penuh
keprihatinan.
Ketika saya lihat ke ranjang, saya menghela napas panjang. Tapi saya
tidak mau banyak cincong. Langsung saya cium kedua pipi dan kening
beliau, kemudian mengangkat tangan, ber-washilah doa. Saya bukan
siapa-siapa, saya hanyalah salah satu debu hasil ciptaan-Nya, yang
sekecil apa pun diberi hak oleh-Nya untuk Ia dengarkan dan siapa tahu Ia
kabulkan.
Saya berdoa panjang. Tangis meledak. Kemudian sampai lama saya tidak
tega meninggalkan ruangan itu, meskipun Abdurrahman Wahid yang
terbaring di situ bukan yang ketua PBNU, melainkan seorang kiai kecil asal
Gresik yang sudah 18 tahun di Jakarta.
Teman saya si pelapor itu benar-benar prima aktingnya.
sederhana: apakah sesudah haji, ia adalah madu bagi tetanggatetangganya, bagi orang lain, bagi masyarakat, bangsa dan negara?
Menjadi madu itu punya kemanfaatan sosial, produktif dan kreatif bagi
kemaslahatan umum. Dalam hal ini saya tidak bersedia ngrasani tentang
kualitas madu haji-haji kita. Kaum haji adalah tingkat manusia yang
semestinya paling pandai bercermin diri.
Ada ratusan ribu haji dan kita bisa melupakannya, sementara ada tidak
banyak kiai namun kita tak bisa melupakannya. Secara kultural kiai lebih
berwibawa dan lebih menjanjikan kualitas hidup dibanding haji. Padahal
haji adalah produk agama, sementara kiai adalah produk masyarakat.
Kalau seseorang disebut haji, itu hanya menginformasikan bahwa ia
pernah melakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Tapi kalau seseorang disebut
kiai, ada berbagai dimensi yang dikandungnya: kesalehan, kepandaian,
kealiman, kepribadian, dan mungkin juga kepemimpinan atau kapasitaskapasitas fungsi dan reputasi sosial tertentu, yang mungkin sama sekali
tak terasosiasikan ketika seseorang disebut haji.
Kenapa secara sosiologis haji kalah wibawa dibanding kiai? Kenapa
syarat dan konvensi keulamaan seseorang lebih diwakili idiom kiai
dibanding haji? Kalau disebut H. Bur, tak begitu terdengar di telinga. Tapi
kalau ditambah menjadi KH. Bur, baru orang mendongak. Kenapa?
Mungkin karena pada umumnya pengalaman haji berposisi diskontinyu
dan mungkin irrelevan dengan tahapan-tahapan peningkatan kualitas
kepribadian seseorang melalui proses Islamisasi diri dalam kehidupan
nyata. Mungkin.
dipakai sebagai patokan awal abad Islam, sebab fokus ajaran Islam tidak
pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah yang dititipkan melalui ia.
Islam tidak bersikap feodal dan veded-interest dengan memonumenkan
Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih
sayang Allah yang dibawanya untuk seluruh ummat manusia. Muhammad
bukan founding father of Islam. Agama tidak didirikan oleh Nabi, Rasul
atau manusia. Agama bukan bikinan atau ciptaan yang selain Allah.
Otoritas atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah,
dan para Nabi hanya menyampaikannya. Bagi tradisi sifat Allah, Nabi dan
Rasul boleh tidak ada. Allah berhak tidak menciptakan Muhammad, tidak
memilihnya sebagai kekasih, atau melakukan apapun. Jadi, sekali lagi,
yang penting adalah hijrahnya, bukan Muhammadnya meskipun
karena etika historis dan logika cinta: Muhammad kita sayangi sesayangsayangnya sebagaimana Allah menyayanginya melebihi sayangNya
kepada apapun dan siapapun saja.
Kedua, hijrah sebagai acuan pokok ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam.
Anda jualan bakso itu menghijrahkan bakso ke pembeli dan si pembeli
menghijrahkan uang kepada Anda. Anda buang air besar itu
menghijrahkan sampah biologis ke lubang WC. Anda nikah dan bikin anak
itu menghijrahkan sperma ke ovum istri. Anda juga menghijrahkan
Suharto ke rumahnya, menghijrahkan Habibie ke Binagraha dan
seterusnya. Anda menghijrahkan uang Anda ke brangkas bank. Anda
menghijrahkan diri Anda ke rumah Allah. Hidup adalah hijrah dariNya
menuju keharibaanNya. Hidup hanya berlangsung dalam konsep dan
mekanisme hijrah. Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau apapun saja
dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah.
Yang menjadi masalah dan pilihan manusia adalah pengakuan dari mana
ia berhijrah, ke mana ia sedang dan akan menghijrahkan dirinya, dengan
cara apa ia melakukan hijrah. Anda menghijrahkan uang dari kas kantor
ke kas keluarga: pertanyaannya terletak pada bagaimana konteks dan
nilai (akidah, akhlak, hukum) hijrahnya uang itu. Yang disebut Era
Reformasi, jatuhnya Suharto, kerusuhan Ambon, pekikan Aceh, kasus
Bank Bali, tempe-delenya perilaku politisi, sidang MPR dan apapun
diikat oleh bagaimana nilai seseorang menghijrahkan dirinya, aspirasinya,
political will-nya. Di situ terdapat langit nilai baik buruk, benar salah,
indah dan jorok; serta terdapat acuan formal: legal atau illegal, sah atau
tidak sah, halal atau makruh atau haram atau malah wajib, dan
seterusnya.
Menjadi jelas bahwa empasis nilai Islam tidak pada Muhammad,
melainkan pada nilai Hijrah. Muhammad wajib patuh kepada nilai hijrah,
terikat untuk menjadi uswatun hasanah atau teladan, dan tidak boleh
melanggar kasih sayang Allah yang sudah la rumuskan dalam AI-Quran,
serta yang juga dicipratkan melalui subbah-nya atas Muhammad sendiri.
Ketiga, metodologi dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh
Rasulullah saw. begitu tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum
Muhajirin dengan Kaum Anshor. Mempersaudarakan ini sangat luas
maknanya: mempersaudarakan dalam konteks transaksi kultural,
sosiologis, politis dan lain sebagainya. Negara Indonesia kecolongan
kerusuhan di Ambon, Timor Timur dan Aceh dan lain-lain. Karena konsep
sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana
yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan
jelas-jelas waras.
Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan
bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang
berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko
Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai
Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu manajemen sejarah dan
strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.
Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas,
tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan.
Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan
karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara
tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan
bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan
mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di
langit.
Jangan sok kamu Din! saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. Bersyukur ya bersyukur,
tapi kalau saya, juga berprihatin.
Kenapa? tanya saya.
Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang
majnun!
Gila?
Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!
Majnun gimana?
Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi
saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak.
Gitu itu gimana yang kamu maksud?
Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat.
Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya
kepada-Mu aku memohon pertolongan., tiba-tiba tertawanya meledak
lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian.
Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah.Wong jelas tiap hari dia
menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati.
Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak
tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak
menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor
satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal
dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu
namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan
dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi.
Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi.
Saya melengos. Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia
punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna.
Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap.
Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada
akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan
bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!
untuk rakyat, padahal prakteknya tidak itu namanya virus junun, lebih
parah dari HIV.
Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!
Juara Itu Tak Ada
Sesungguhnya yang disebut juara, atau eksistensi sebuah kemenangan
itu hakekatnya tidak berlaku begitu sebuah pertandingan berakhir dan
tanda kejuaraan disematkan kepada sang juara.
Sebuah tim olah raga atau seorang atlet memenangkan pertarungan
melawan tim lainnya sehingga sesudah pertandingan ia dijunjung sebagai
juara. Kalau sesudah penobatan gelar juara diselenggarakan lagi
pertandingan antara kedua tim itu, maka tidak seorang pun bisa
memastikan bahwa sang juara akan pasti menang lagi.
Di Manila tahun 1974 Joe Fraizer tidak sanggup bangkit dari kursinya
untuk memasuki ronde ke-15 pertarungannya melawan Muhammad Ali,
sehingga petinju Philadelphia ini dinyatakan kalah TKO dari Ali.
Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa Muhammad Ali memiliki siasat
dan kecerdasan yang Frazier tak punya. Keduanya sudah bertarung habishabisan selama 14 ronde. Besoknya Frazier memuji Saya sudah
timpakan kepada Ali ratusan pukulan saya yang biasanya merobohkan
dinding, tetapi Ali tetap tegak. sehingga secara fisik maupun mental
Frazier tidak lagi sanggup berdiri pada ronde ke-15.
Tetapi Ali masih punya sisa ruang berpikir. Secara fisik ia juga
sudah lungkrah, bahkan mungkin lebih kecapekan dibanding Frazier. Tapi
Ali punya kenakalan intelektual sehingga ia berkata kepada Tuhan: Wahai
Tuhan, tolong pinjamkan kepadaku sedikit saja tenaga yang Engkau
jatahkan kepadaku untuk besok pagi, supaya aku bisa tampil di ronde
terakhir ini dan besok aku tidur sepanjang hari.
Maka ketika bel ronde ke-15 berdentang, Ali menggagah-gagahkan diri
untuk berdiri dan berlagak seakan-akan ia fit dan siap berkelahi lagi
sementara Frazier terduduk lunglai dan tidak sanggup berdiri. Ali menang,
tapi sesuai dengan janjinya pinjam tenaga kepada Allah maka sesudah
duel itu Ali terbaring di rumah sakit, sementara Frazier nyanyi-nyanyi dan
berjoget di diskotek.
Jadi, kemenangan Ali itu relatif. Kalau sepuluh menit sesudah kemenangan
Ali itu mereka diduelkan lagi, belum tentu Ali bisa menang. Kalau di piala
dunia empat tahun lalu sepuluh menit sesudah Perancis menjadi juara
lantas mereka dipertandingkan lagi, maka tak ada jaminan bahwa
Perancis akan menang.
Lebih tidak bisa dijamin lagi jika waktu kemudian berlalu ke bulan dan
tahun. Kemarin Anda menyaksikan meskipun Zidane dipaksakan main
padahal masih belum OK benar keadaannya terbukti kesebelasan
Perancis hanya mampu tampil di ronde awal dan itu pun secara sangat
memalukan.
Jadi, sesungguhnya juara itu tidak ada.
Coba Anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau kesebelasan produser
total football Belanda tidak bisa ikut piala dunia sementara Arab Saudi
saja bisa masuk meskipun dihajar Jerman dengan gol seperti pertandingan
sepakbola kampung. Terus kesebelasan Italia? Betapa tidak konsistennya
kekuatan dan kekuasan dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.
Maka ketika kaya, sadarilah miskinmu. Tatkala menang, sadarilah
kalahmu. Di waktu jaya, renungilah keterpurukanmu. Pada saat engkau
hebat, ingat-ingatlah kemungkinan konyolmu.
Balbalan Jawa Pos 12 Juni 2002
Al-muallim Syarwan
BISMILLAH, kutuliskan kandungan hatiku, bahwa aku berguru kepada
siapa saja. Dari para kuli sampai presiden. Dari rumput kering sampai jin,
malaikat dan Allah. Dan sekali ini, dengan segala kerendahan hati: kepada
Mayor Jenderal Syarwan Hamid, Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI, yang
karena itu aku panggil beliau Al-muallim.
Segala hal yang Al-muallim kemukakan mengenai cekal di GATRA
mungkin sebagian ditujukan kepadaku, mungkin juga tidak sama sekali.
Namun karena aku berguru maka kuterapkan kalimat-kalimat Al-muallim
itu kepadaku, atau mengandaikan bahwa yang beliau maksud adalah aku.
Sikap ini kuambil karena aku membutuhkan kandungan hikmahnya.
Kupelajari setiap butiran kata-kata beliau, meskipun yang kutuliskan di
sini tentu tak bisa semua.
Aku membayangkan bahwa Al-muallim sedang memuji dan sedikit
memarahiku sehingga aku berkewajiban untuk menjawab dan
mempertanggungjawabkan. Dari beliau ingin kucari ilmu bagaimana
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 pada taraf yang paling dangkal
dan verbal seperti yang aku lakukan selama ini agar bisa tak terlalu
mendapat halangan dari abdi negara yang ternyata juga ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Ini semua mungkin tak penting bagi
negara dan bangsa karena ada dan tidaknya aku tidaklah ada bedanya.
Tapi justru karena itu perkenankanlah aku belajar.
Al-muallim berkata: Kebebasan berbicara mesti diatur, jangan sampai
menjadi counter productive bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muridmu menjawab: Bagaimana kalau dikumpulkan para ahli yang secara komprehensif dan jujur bisa menilai setiap kasus, seminar, diskusi,
dan isi pembicaraan. Untuk memilah-milah mana yang produktif dan
yang counter-productive bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi
kepentingan kekuasaan, bagi proses pencerdasan bangsa, bagi
peningkatan kualitas SDM manusia Indonesia, bagi tradisi dialog dan
demokratisasi, dan seterusnya agar supaya pembicaraan AI-muallim
tak berhenti abstrak dan generalistik. Sebab selama ini, menurut
pendapat muridmu, pelarangan-pelarangan itu justru counter
productive bukan saja bagi Pancasila dan proses demokratisasi, bahkan
juga bagi kepentingan politik pemerintah sendiri serta bagi investasi
kelanggengan kekuasaan.
Al-muallim berkata: Kebebasan bisa dipakai untuk menghasut.
Kebebasan bisa disalahgunakan, di samping bisa dimanfaatkan untuk hal
yang positif. Kalau kebebasan tak diatur, yang muncul tentunya akan
bebas sebebas-bebasnya.
Muridmu menjawab: Apakah kuningisisasi ala Pak Harmoko itu
menghasut proses marjinalisasi Merah Putih? Apakah Muhammad SAW
menghasut kaum Jahiliyah untuk bertauhid? Mengemukakan kebenaran
disebut menghasut hanya oleh mereka yang tidak menghendaki
kebenaran. Ya, Muallimku, kalau ayam itu mati, bukan karena kubunuh,
melainkan karena kusembelih. Ada beda sangat prinsipil antara
penyembelih ayam dan pembunuh. Ya, Muallimku, kalau dokter
mengoperasi, itu bukan menyakiti pasien, melainkan berusaha
menyembuhkannya.
Menghasut itu kata yang tak bisa berdiri sendiri: ia membutuhkan
konteks. lklan-iklan di televisi itu menghasut atau tidak, ya Muallimku?
Tidakkah setiap pidato, setiap khotbah, bahkan setiap kata, termasuk
yang diucapkan oleh Al-muallim, bisa juga disebut menghasut? Juga kata
disalahgunakan, positif dan seterusnya tak bisa berdiri sendiri. Apa
beda antara menghasut, berdakwah, mengiklankan, mempromosikan,
menasihati, membimbing, dan memberi petunjuk? Bergantung dari sudut
pandang mana, dari kepentingan pihak mana. Dalam hal ini, Al-muallim
Insya Allah tak akan menjumpaiku di pihak mana pun kecuali di kosmos
nilai, bukan di kelompok, partai, atau apa pun, tidak di pemerintah, tidak
di rakyat. Alamatku adalah di ruang keyakinan nilaiku sendiri.
Kemudian soal bebas sebebas-bebasnya, ya, Muallimku, kesadaran utama hidupku bukanlah mengenai kebebasan, melainkan mengenai keterbatasan dan keterikatan. Jika aku punya kepandaian maka aku lebih pandai
untuk mengerti batas dibandingkan dengan pandai untuk bebas. Aku tak
mimpi untuk bebas, ya, Muallimku, sebab aku lahir juga bukan karena aku
bebas untuk lahir, melainkan karena aku diikat oleh Tuhan untuk harus
mau lahir.
Dalam menjawab pertanyaan, Mengapa pembicara yang nakal tak dihadapkan dengan pembicara orang pemerintah yang ahli, agar ada dialog,
Al-muallim berkata: Kalau bicaranya terakhir mana bisa? Banyak terjadi
mereka sengaja bicara yang terakhir. Kalau sudah demikian, bagaimana
meng-counter-nya.
Muridmu menjawab: Ya, Muallimku, kalau melarang acara saja bisa, apa
susahnya bagi aparat untuk mengatur agenda acara panitia? Ya,
Muallimku, pembicara manakah yang punya kekuasaan untuk mengatur
panitia agar ia diletakkan sebagai pembicara terakhir? Setahu muridmu
ini, seseorang diletakkan sebagai pembicara terakhir karena khawatir
kalau ia bicara awal lantas hadirin pada pulang karena yang sesudahnya
dianggap tak menarik. Ada pembicara saron, gndr, gambang, ada juga
pembicara gong. Percayalah, akan dua hal, ya, Muallimku. Pertama, tak
ada saron atau gong yang berinisiatif datang sendiri untuk berbunyi.
Kedua, sungguh tak enak jadi gamelan: dipukuli terus, nanti kalau sudah
tak kungbunyinya pasti segera dicampakkan.
Al-muallim berkata: Ada forum akademis diisi oleh pembicaraan yang
tidak ilmiah.
Muridmu menjawab: Aku inferior dalam soal ini, ya Muallimku. Aku
berhenti belajar seusai sekolah menengah atas. Kemudian diperintahkan
toh tetap juga timbul keruwetan dari proporsi yang demikian, toh kita
masing-masing tetap bisa berserah diri kepadaNya, kaanal-ilahu bi-kulli
syai-in aliimaa. Ini sebab kedua kenapa perbedaan-perbedaan faham
diantara kita tak selalu harus kita risaukan. Berulangkali aku mengatakan
kepada saudaraku bahwa kita memang harus berusaha agar perbedaan
diantara kita bisa menjadi seperti yang dikehendaki Allah, yakni menjadi
rahmat, bukan malapetaka.
Bukan Musyawarah, tapi Konsensus
Namun betapa susahnya hal itu kita capai, Saudaraku, kita telah
mengalami bersama.
Kita ini bukan masyarakat musyawarah, tapi masyarakat konsensus.
Bukan masyarakat diskusi, tapi masyarakat kompromi. Tentu saja tidak
sepenuhnya demikian, tapi itulah frekuensi terbesar dari praktek
komunikasi sosial kita. Kalau kita bermusyawarah, kita telorkan
kebijaksanaan itu seringkali berarti tahu sama tahu yang tak jarang
disifati kemungkaran-kemungkaran tertentu. Kita suka damai, tapi itu
acapkali berarti kita mengkompromikan, atau menganggap klop apa yang
sesungguhnya bertentangan. Kita menyogok dengan sejumlah uang untuk
kelancaran suatu urusan, dan kita sebut itu perdamaian. Kita putuskan
sesuatu yang tak bijaksana untuk rakyat banyak dan kita sebut
ketidakbijaksanaan itu sebagai kebijaksanaan. Kita bisa menganggap
kekejaman-kekejaman tertentu sebagai tindakan luhur yang menegakkan
hukum dan harkat kemanusiaan. Kita membiasakan diri untuk sedemikian
luwes dan retoris untuk mendorong diri beranggapan, bahwa sesuatu hal
itu maruf, bukan mungkar. Dalam praktek urusan kenegaraan dan
kemasyarakatan seringkali kita menjumpai kenyataan seperti itu.
Kita tak membiasakan diri untuk melihat dan memahami perbedaan
dalam proporsi yang wajar. Sistim politik negeri kita jelas mendorong
suatu keadaan untuk tunggal seperti kehendak Pemerintah. Mafhumlah
kita terhadap perilaku kaum establishment itu. Namun lebih menyedihkan
hati jika dalam praktek kehidupan beragama kita juga menjumpai
kecenderungan sikap otoriter yang secara sadar atau tak sadar cenderung
memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Ummat sukar akan
berangkat dewasa dalam iklim seperti itu. Tentulah Saudaraku tak usah
memintaku untuk menyebut-nyebut contoh kongkrit itu, sebab kita sudah
sama-sama mengetahui dan mangalami.
Aku meyakini sepenuhnya bahwa kecenderungan itu tidak muncul dari
niatan sengaja untuk bersikap otoriter. Paling jauh itu adalah ungkapan
naluri manusia untuk senantiasa mempertahankan diri. Diri harus selalu
dipertahankan, termasuk semua keyakinan dan pengertian-pengertian
pikirannya, sebab seseorang tak bisa hidup jika tidak dengan keyakinan
dan pengertian pikirannya sendiri. Namun persoalannya bahwa ia tak
harus menyuruh semua orang untuk berpendapat seperti ia, dan
hendaknya ia yakin juga bahwa tanpa seorang pun yang lain yang
sependapat dengannya: ia tetap syah untuk menghidupi keyakinan dan
pengertiannya. Saudaraku mengalami, terkadang ada saudara kita
merasa gugur gara-gara orang lain tak sependapat dengannya, lantas
gugur dirinya itu memanifestasi liwat kata-katanya bahwa yang gugur
suatu sikap yang tak menyiapkan untuk membuka diri dan menerima
kemungkinan-kemungkinan kebenaran baru atas diri kita.
Dalam keadaan begitu kita tanpa sadar, sering melangkahi peringatan
Allah, ijtanibuu katsiiron minazh zhonni, inna badhodh zhonni istmun,
walaa tajassasuu walaa yaghtab badhukum badhoo. Kita sering cepat
berburuk sangka, cepat cenderung mencari hanya kesalahan-kesalahan
saudara kita ynag lain. Bahkan ada prototype mentalitas kita yang kurang
biasa berbeda dalam berhadapan ini, mendorong kita mengungkapkan
perbedaan itu dengan cara yaghtab badhukum badhoo. Dengan begitu
akan gampang terjerumus pula kita untuk tergolong dalam kata-kata
Allah yashkor qoumun minqoumin, sedangkan bisa-bisa saja kaum yang
dicerca itu yakuunuu khoiron minhum.
Lebih lucu lagi, Saudaraku, didalam saling mencerca itu, masing-masing
kita merasa benar, dan sungguh-sungguh dengan khusyu menyandarkan
kebenaran masing-masing itu ke hadirat Allah, sehingga masing-masing
meras innalloha maanna. Tidakkah, Saudaraku, engkau pernah
menangkap dan merasakan getaran keadaan yang seperti itu ditengah
perselisihan faham diantara kita semua? Bahkan ada Saudara kita yang
dalam keadaan itu lantas saling mengemukakan kata-kata seperti yang
diungkapkan Al Quran: imaluu alaa makaanatikum innii aamil,
wantadhiru inni muntazhirun, atau lanaa amalunaa wa lakum
amaalukum, salamun alaikum laa nabtaghil-jaahilin atau fanistakbaruu
fal-ladziina inda robbika yusabbihuuna bil lili wan-nahaari wa hum laa
yas-amuun, bahkan idz jaalalladziina kafaruu fii qulubihimulhamiyyata hamiyyatal-jaahiliyati fa-anzalallahu sakinatahu alaa rosuulihi
wa alal mukminina wa alzamahum kalimatat-taqwa.
Tentu saja, Saudaraku, itu benar. Dan mungkin saja memang diantara
beribu pikiran kita atau diantara sikap-sikap hidup kita terdapat unsur
kekufuran tertentu (seperti juga silau mata kita yang berlebihan terhadap
keduniawian dewasa ini bisa dianggap meng-ilah-kan yang selain Allah);
akan tetapi, tentu akan lebih afdhol, apabila kita mengusahakan suatu
keterbukaan dan kedewasaan komunikasi, justru untuk membuka kedok
kemungkina kekufuran pribadi kita masing-masing dan melenyapkannya.
Saudaraku mungkin pernah mendengar aku beberapa kali mengalami
berbagai perselisihan faham dengan berbagai kalangan Muslim
dalam pentas-pentas atau pembicaraan-pembicaraanku di berbagai
tempat, dan aku gagal menemui keinginanku akan keterbukaan dan
kedewasaan komunikasi seperti itu. Aku sering berkata kepada saudarasaudara kita: Jika Saudaraku melihat aku sesat, dan bersedia mengishlah
membawaku kepada jalan yang benar, maka alangkah besar rasa
syukurku. Namun, aku justru sering menghadapi berbagai sikap tertutup
seperti kuungkapkan diatas: sikap tertutup itu bukan karena Islam, tetapi
karena faktor mentalitas, keterbatasan-keterbatasan psikologis. Sampai
pada suatu saat aku berkata kepada diriku sendiri: Kalau saja aku ini
seorang muallaf, maka dengan menghadapi sikap jumud seperti itu, tak
mustahil aku terlempar kembali ke luar Islam. Namun, Alhamdulillah,
justru karena itu maka Allah berkenan menganugerahiku tenaga untuk
makin mencintai-Nya serta lebih dalam meyelami samudera nilai Islam
yang demikian luas dan dalam.
Saudaraku tahu mungkin kemusliman kita ini belum apa-apa dan sungguh
masih amat jauh dari yang dikehendaki Allah, karena itu betapa kita
semua harus senantiasa siap terbuka atas nilai-nilai kebenaran Islam yang
mungkin saja kemarin masih belum kita insyafi. Banyak hal kita ketahui,
namun jauh lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Allah telah
memaparkan segalanya, tapi barangkali mata kita masih cukup buta dan
telinga kita masih agak tuli. Segala yang kita kuasai itu pastilah
sedzurroh saja dibanding realitas dan nilai yang sesungguhnya yang
disediakan oleh Allah Yang Maha Kaya.
Kita semua adalah khalifah fil-ardh, tetapi engkau atau aku bukanlah satusatunya khalifah. Dan aku kira tidak benarlah apabila kita mempunyai
sikap seperti itu: seakan-akan kita adalah langsung mewakili Allah dimana
setiap orang musti sependapat dengan kita, betapapun secara subjektif
kita amat meyakini dan menganggap luhur keyakinan serta kebenaran
pikiran kita sendiri itu. Saudaraku Insya Allah sudah membaca
buku Dialog Sunnah Syiah: surat-menyurat antara Kyai Sunnah asySyaikh al-Bisri al-maliki dengan Ulama Jumhur as-Sayyid Syarafuddin alMusawi al-Amili itu amat memberi informasi berharga kepada kita
tentang percaturan faham yang berbeda antara Sunnah yang mayoritas
dan Syiah yang minoritas. Akan tetapi yang tak kalah bermaknanya
dibanding informasi itu ialah bagamana cara dan watak mereka didalam
berdialog. Bagaimana keterbukaan sikap pribadi mereka, seberapa
kematangan dan kedewasaan yang menjadi ruh komunikasi antara
mereka, betapa tawadhu dan rendah hati mereka, serta betapa besar
gairah murni untuk sungguh-sungguh mencari kebenaran: tanpa sikap
defensif dalam arti emosional, tanpa menonjolkan gengsi atau harga
diri pada proporsi yang tak wajar, atau tanpa etos mempertahankan
pendapat secara membabi- buta seperti yang sering menjadi watak dari
dialog-dialog moderen dewasa ini, yang acapkali terkotak pada dimensi
intelektual belaka. Semua perwatakan dialog itu tentu saja merupakan
dimensi tersembunyi dibalik formalitas informasi yang dipaparkan oleh
buku tersebut.
Demikianlah, Saudaraku, kita yang masih faqir ini semoga dibimbing oleh
Allah untuk menumbuhkan kekayaan-kekayaan seperti itu. Kita Kaum
Muslimin Insya Allah akan menyongsong kemenangan, tetapi itu tak bisa
tidak harus dimulai dari kesediaan kita semua untuk memerangi
berbagai marodhun didalam diri kita sendiri. In dholaltu fainnamaa adhillu
alaa nafsii, wa-inihtadaitu fabimaa yuuniya ilayya robbil innahu samiiun
qorlib.
Menturo Jombang, Agustus 1983.
Bukan Pahlawan Orang Hitam
NELSON MANDELA bukan pahlawan orang hitam, karena sebutan macam
itu meletakkan orang kulit putih atau kulit cokelat dan merah sebagai
musuh. Mandela tidak punya musuh manusia. Musuh Mandela adalah
Seandainya tak ada kata karena kita mungkin bersifat berpikir lokal.
Pagi dan di sini berpikir 4 x 4 = 16. Sore nanti di sana kita berpikir: bisa
saja tidak = 16. Kita sangat percaya kepada keajaiban, doa, tahayul.
Ketika di sekolah kita diberi logika dan keyakinan bahwa kalau harga
minyak naik, maka rakyat tambah beban kesengsaraannya. Sesudah
tamat universitas kita memahami suatu kosmos pasca logika bahwa
belum tentu kenaikan harga minyak akan membebani rakyat, sehingga
logis kalau kita berharap demikian.
Kondisi dan tradisi persepsi seperti ini yang sering memenuhi kepala kita.
Indonesia adalah negeri surrealistik. Kita sangat mendamaikan dan
mempersatukan apa saja. Kebenaran dan ketidakbenaran bisa berjalan
seiring. Yang berbuat tidak adil bisa mempidatokan keadilan. Iblis
dikerjasamakan dengan malaikat. Orang punya hutang, karena tak bisa
bayar, maka demi mempertahankan hatinya sendiri ia menuduh orang
yang menghutangi itu yang terhutang. Orang berbuat baik membantu
orang lain, bisa malah kehilangan uang sekaligus kehilangan
persaudaraan dengan orang yang dibantunya. Bahkan juga kehilangan
kehormatan di wilayah tertentu karena orang beramal bisa tertuduh
pencuri, sementara pencuri bisa diumumkan sebagai orang beramal. Dan
kita jamin bahwa kita tetap damai-damai saja dengan itu semua.
Itu adalah kasus keputusasaan.
Penduduk dua desa di Kabupaten Jepara kita doakan jangan sampai jadi
melaksanakan perang suku sesudah tiga orang itu terbunuh. Yang satu
desa membela korban, yang lain desa membela martabat kelompok
penduduk desanya.
Kita sudah tiba kepada tingkat keputusasaan dan kemarahan global yang
sangat serius. Namun kita tidak memiliki efektivitas untuk menyentuh
pihak yang sebenarnya berkewajiban atas keputusasaan dan kemarahan
kita. Energi kemarahan dua desa itu berasal dari situasi-situasi global
yang tidak adil dan mengepung mereka. Namun karena mereka tak
mampu berbuat apa-apa atas kekuatan global itu, maka potensialitas
psikologis kemarahannya itu mengendap, menggumpal di bawah sadar
kemudian sewaktu-waktu akan muncrat dan yang ditimpa adalah sedulursedulurnya sendiri, semua orang tertekan dan menderita.
Selama setahun belakangan ini telah kita alami potensi dan kemarahan
global, namun diekspresikan dalam amukan-amukan lokal. Tidak hanya
kerusuhan di suatu kota, tapi juga kengawuran-kengawuran dalam
pergaulan, perdagangan serta dalam menjalankan berbagai tugas hidup
lainnya. Kita juga tak bisa jamin bahwa muncrat-muncratan lokal itu
sudah usai.
Salah satu bentuk keputusan itu antara lain menimpa saya: Tidak
diizinkan berbicara di Pekalongan dan Kudus karena ada asumsi bahwa
saya turut menyulut kerusuhan di tempat itu beberapa waktu yang lalu.[]
Tulisan diambil dari buku Kyai Kocar Kacir (Zaituna, Yogyakarta, 1999, hal.
104-106).
Peringatan dan Amarah
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga.
Jumlahnya bertambah terus. Soalnya tidak ada mantan-Guru. Yang ada
adalah yang sedang menjadi Guru dan yang akan menjadi Guru. Tak
ada seseorang atau sesuatu pun yang pernah mengajari saya lantas tidak
lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin
mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya
berguru kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena
mereka sangat telaten untuk marah kepada saya. Bukankah murid
memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh
Gurunya supaya tidak terlalumblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin
saya ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan
keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalahpahami, bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha
menjadi murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa
syukur.
Ketika saya masuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk
pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita
menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha
menjadi menantu seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah
sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena
lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. Kamu
mau jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syuara yang berkisah tentang
penyair-penyair pengingkar Allah?
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya
tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai
sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan
mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: Kenapa kamu hanya sibuk
dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah
kamu mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?. Tetapi ketika
kemudian saya mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam,
saya dimarahi lagi: Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur
adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: Sastra Islami saja tidak
cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu
tidak bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan
politik, kemelaratan ummat dan lain sebagainya!.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat.
Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu
dengan lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani
anak-anak muda protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di
mana idealisme nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah
dalam Islam bisa saya terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah
ada yang ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja,
jangan macam-macam!.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: Golput ya? Itu
tidak bertanggungjawab!. Dan ketika besoknya saya tampil membantu
salah satu OPP, saya diperingatkan: Kamu kehilangan independensi!.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: Perjuangan itu
memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!. Tatkala saya didaftar di
pengurus pusat ICMI, saya ditatar: Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap
anggota pasukan berada dalam barisan!. Dan akhirnya tatkala karena
suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan:
Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya
diingatkan: Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah
kamu budak ilmuwan barat?. Dan sesudah saya mengungkapkan segala
tema dari sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja
dengan acuan Quran dan Hadits, saya dikecam habis-habisan: Kamu ini
mufassir liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran
dan Hadits! Berbahaya!.
Ketika saya menulis tentang sesuatu yang makro dan suprastruktural,
saya dijewer: Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?. Dan
ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat
kecil saya ditabok: Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam
menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: Kamu tidak
rasional!. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: Kamu
komersial!.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: Kulu
wasyrabuu! Makan dan minumlah. Ketika saya sesekali berpikir mencari
rejeki, saya ditonyo: Kamu menuhankan uang dan harta benda!.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu
saya sungguh-sungguh tidak paham: Sungguh hebat perjuanganmu.
Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk
mendapatkannya.kau tak punya!.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel
ngomong ngunu!.
*****
Dokumentasi Progress
usaha tajdid, sang Kiai membeli dan memelihara anjing, maka segera
inovasi ini diikuti oleh puluhan orang. Hari ini di satu jalur jalan saja ada
kira-kira 40 anjing. Memelihara anjing itu betul-betul kenikmatan
baru: Kayak yang di tv! Ini suatu ironi besar, karena dulu penduduk desa
adalah pembenci, bahkan pembunuh anjing. Ada seekor saja nongol di
desa, mampuslah ia.
Aku sendiri belum memberi tanggapan cukup jauh terhadap hal ini, karena
harus ditemukan persuasi yang tepat untuk membereskan sesuatu di
desa. Aku tidak anti anjing, tapi ada konteks yang tak beres dengan tajdid
peternakan anjing itu.
Suatu hari, aku mengobrol saja dengan salah seorang penduduk. Hakim
paling kuat untuk Muslim desaku ini ialah ukuran halal-haram. Kata Pak
Kiai memelihara anjing itu tidak haram, ungkapnya. Jadi itulah
sumbernya.
Kucoba kemukakan kepadanya: memelihara anak yatim itu bukan hanya
tak haram, bahkan penuh pahala dan keluhuran. Padahal biayanya tak
lebih mahal dari memelihara seekor anjing, sementara seorang anak
yatim bisa memberi kita manfaat dan kekayaan spiritual yang tak bisa
kita peroleh dari buih mulut anjing. Memelihara anjing memang bolehboleh saja, seperti juga kita boleh siang hari bolong merangkak dari gardu
sini sampai ke depan rumah Pak Lurah di ujung sana. Tapi, agama bukan
sekedar soal boleh dan tak boleh. Halal-haram itu garis batas, yang tidak
kita injak atau harus kita hindari. Seperti main sepakbola, ada garis
pinggir, ada garis untuk penalty dan offside, juga tangan kita termasuk
daerah haram untuk bola.
Tapi, masalah sepakbola yang paling utama ialah bagaimana bermain bola
secara baik, bukan bagaimana tak memegang bola atau berlari menginjak
garis pinggir. Garis batas itu menjadi wilayah permainan kita, namun yang
penting ialah bagaimana mengolah suatu permainan yang baik. Engkau
tidak diharamkan main sepak bola sambil pakai peci atau sambil makan
ketela, tetapi kita punya akal yang mengukur manfaat dan mudharat.
Untuk itu, maka kita bermain pakai celana pendek dan bukan sarung.
Memahami mana garis batas dan liku-liku peraturan main bola tidak
sukar, dan yang terutama kita usahakan bagaimana mentalitas bermain,
bagaimana teknik dribbling pribadi serta metode kerjasama sosial,
bagaimana menemukan taqarrub terhadap gawang secara baik
sehingga kita menang dan gol kita ciptakan dengan menggetarkan jaringjaring surga. Itulah sepakbola hidup.
la kemudian mengemukakan anjing itu nanti bisa dijual kembali dengan
harga yang lebih mahal. Jadi pertimbangan ekonomi. Maka kuingatkan
bahwa kita dulu punya tradisi ternak kambing kerbau sapi. Sekarang
ini, kambing atau sapi lebih menguntungkan dibanding anjing. Dan lagi,
apakah penduduk desa kita ini akan menjadi pendorong pertumbuhan
manusia-manusia pemakan anjing? Baiklah teruskan dan kelak orang di
kita di desa ini sudah cukup membangun fundamen, tiang pun sudah
cukup berdiri, tinggal kita sempurnakan kekuatannya semua, sehingga
bisa kita taruh genteng untuk melindungi kita dari hujan. Jika demikian,
maka Insya Allah kita bukan saja terhindar dari pencuri ayam, tapi juga
segala pencuri yang lebih bermutu, bahkan dari sihir dan fitnah. Kenapa
tidak? Allah Maha Benar bahwa Dia Maha Melindungi. Cuma barangkali
saja di dalam diri kita ayat-ayat Allah itu masih berupa tumpukan genteng
yang mubazir, karena kita tak menggunakan hikmahnya.
Saudaraku itu termangu-mangu. Ketika itu Ashar segera tiba dan kami
beranjak sama-sama ke surau.
Hancurkan Kebinatanganku
Pada setiap rakaat sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda
memerlukan tahap transisiruku dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi
kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung
tanpa ruku.
Ini acuan pertama.
Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa
karakter atau sifat Allah Swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda
ucapkan selama melakukan shalat.
Pertama, tentu saja Allah yang Akbar. Lantas ia sebagai Rabbun.
Selanjutnya, Rahmandan Rahim. Kemudian hakekat kedudukannya
sebagai Malik. Dan akhirnya Allah yang Adhim dan Ala.
Kedudukan Allah sebagai Akbar atau Yang Maha Lebih Besar (Ia
senantiasa terasa lebih besar, dinamis, tak terhingga, seiring dengan
pemuaian kesadaran dan penemuan kita) kita ucapkan untuk
mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap
berikutnya dalam shalat.
Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam
penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya.
Si Maha Lebih Besar yang dahsyat itu bukannya mengancam dengan
kebesaran-Nya, melainkan mengasuh kita melalui fungsi-Nya
sebagai Robbun.
Sebagai Yang Maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh
sayang. Rahman danRahim. Penuh cinta dalam konteks hubungan
individual Ia dengan Anda, maupun dalam konteks hubungan yang lebih
heterogen antara Ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan
dan alam semesta.
Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja. Ia Malik, hakim agung di hari
perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha
Yudikatif.
rata sama rasa dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak boleh
membantah, alias tidak ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap
orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan berserikat tapi dengan
syarat harus cari makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani
bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang mengharmonisasikan
dua keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda tidak
usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu protes-protes, karena
toh makan dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin sendiri.
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI, PCPP,
YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda
beserta keluarga akan tidak sampai kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa
kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara
psikologis seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari
yang Maha Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja
kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya
Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok ya
langsung saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini
ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga
bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam,
lantas di dalam perkembangan dunia maupun pembangunan kebudayaan
nasional Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk
menjadi idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme perekonomian
dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan
asasi manusia dan lain sebagainya Setan banyak menjadi wacana
utama. Para penguasa tertentu dan pemegang modal besar tertentu,
banyak memperlakukan Iblis sebagai mitra-kerja, dengan alasan:
Alah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis kok.
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk
bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang
membuktikan bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan
Saridin bahkan membuktikan bahwa ia tidak takut mati. Saridin
membuktikan bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian.
Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna, 1997)
Kepada raja dikatakan Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi
sangat dibutuhkan pergantian. Dan kepada mereka dikatakan:
He anak-anak, Paduka sudah tidak berkenan lagi sama si Waru, jadi
segera bikin kumpul untuk penggantian.
Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa
merupakan makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai,
atau apapun, yang penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan
khusyu bisa pada momentum tertentu terpaksa menjadi buto, untuk
kepentingan tertentu yang harus dilaksanakan secepat-cepatnya.
Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan
bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dhawuhnya,
perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun
dan penuh wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang
berlangsung di seluruh negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas
senyum sang Ratu. Kalau interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau
interpretasi berdasar kepentingan para buto, susahlah semua rakyat.