Anda di halaman 1dari 184

Orang Sukses dan Orang Gagal

Orang sukses itu tidak identik dengan orang kaya dan orang gagal itu
tidak identik dengan miskin. Menang kalahnya seseorang, atau sukses
gagalnya seseorang, tidak ditentukan oleh apakah ia kaya atau ia miskin,
melainkan oleh kekalahan atau kemenangan mental orang itu terhadap
kekayaan atau kemiskinan.

Maiyah Cinta Segitiga

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, kepada Jamaah Maiyah di


seluruh jagat Allah SWT, dari Kadipiro Kamis 4 November 2010.
1.

2.
3.

4.
5.
6.
7.

Salah sawijine sopo biso anglakoni, insyaAllah Gusti Pengeran


ngijabahi.
Melakukan salah satu, baik. Melakukan sebagian, ahsan. Melakukan
semua, afdhal.
Mulai hari-hari ini, ingat-ingat kembali, gali, perdalam, diskusikan,
ijtihadi bersama Ilmu Dasar Maiyah CINTA SEGI TIGA, Tafsir Maiyah
tentang Syafaat Rasulullah Muhammad SAW.
Sempatkan berkumpul, kalau tidak- sering2 masing-masing
bertafakkur: Membaca doa Rasulullah Muhammad SAW di tengah
bahaya besar:
Allahummahrusnaa bi ainikallati laa tanaam, waknufnaa bi
kanafikallati laa yuraam, warhamnaa bi qudratika alaina, falaa nahliku
wa Anta rajaauna Laa Ilaaha Illallahul adziimul haliim Laa Ilaaha
Illallahu robbil Arsyil Adziim Walhamdulillahi Rabbil Alamiin.
(Allahumma ya Allah jagalah kami dengan mripatMu yang tidak pernah
tidur. Peluklah (lindungilah) kami dalam pelukanMu yang tak
terlepaskan. Kasihilah kami dengan kuasaMu atas kami, maka kami
tidak akan binasa karena Engkaulah semata harapan kami. Tiada
tuhan selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Sabar. Tiada tuhan
selain Allah, Penguasa Arasy yang Agung. Segala puji milik Allah Tuhan
semesta alam)
Membaca kembali, memahami dan meyakini makna Al-Anfal 33.
Ber-IJTIHAD menyelami Al-Hasyr 18 sampai 24.
Ber-MUJAHADAH dengan mewiridkan AlHasyr 20.
Mohon ikhlas sempatkan setiap atau sekali saja malam Jumat
melakukan Shalatullail, kemudian membaca urut surah Al-Ikhlas

AlFalaq AnNas.
Berapa kalipun sekuatnya, syukur sekurang-kurangnya 31 kali.
8.
Kapan luang dan ikhlas wiridkan:
Ya Mannana Ya Karim Ya Adla Ya Hakim Ya Rohmana Ya Rohim Ya
Hafiidha ya Halim.
Berapa kalipun sekuatnya, syukur sekurang-kurangnya 100 kali.
9.
Jika muncul rasa takut, cemas, gelisah, wiridkan kalimat Rasulullah
Muhammad SAW di saat genting:
In lam takun alayya ghodhobun fala ubali.
Semoga Allah SWT mengayomi hamba-hambaNya yang tidak ikut
merusak kehidupan, serta mengampuni siapapun yang bertobat, yang
mengerti dan mengakui dosa-dosanya.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Abadi Meyakini Wadullah dan Syafaat Rasulullah

Untuk Jamaah Maiyah dari Kadipiro hari perenungan Sabat 6 November


2010
1.

2.

3.

4.

5.

Alhamdulillah kita semua bersyukur atas lewatnya Kamis dan Jumat


4-5 November 2010 di bawah ayoman rahman rahim Allah SWT. Mulai
hari ini kita refresh iman kita lagi, bekerja maiyah lebih lanjut, narju,
nastaghits wa nuslim kembali.
Kita buka kembali edaran Maiyah Cinta Segitiga, kita baca, pilih dan
kerjakan dengan lelaku jiwa semampu kita. Di waktu luang kita selami
secara akal, firman-firman itu, wirid-wirid itu, doa-doa itu, urutan
logikanya, peta konteks syafaatnya, kausalitas langit
buminya, sangkan dan parannya, 5W1H nya, patrap maiyahnya.
Kita berhusnudzdzan dan meyakini kandungan cinta dan kekuatan
firman Allah serta transfer frekwensi derita hati Badar Rasulullah SAW.
Seluruh pekerjaan maiyah bertahun-tahun adalah pengharapan agar
diterima untuk berada sepihak dengan Allah dan kekasihNya. Karena
Ia memastikan Aku tidak mengadzab mereka yang engkau
Muhammad berada di antara mereka.
Kita lebih kecil dan lebih lemah dari sebutir debu Merapi, karena
segala gunung adalah milikNya. Yang membuat gunung-gunung
ketakutan dan lari terbirit-birit meninggalkan amukannya khasyian
mutashoddian adalah khosyyatillah, Maha Supreme Kuasa Allah
yang kita pegang teguh dalam Maiyah.
Pasukan Badar Maiyah di telapak tangan kedahsyatan vulkanik
Merapi dan puluhan gunung lainnya, di jepitan lempengan-lempengan
tektonik yang bergerak-gerak, secara ilmu wadag dan ilmu katon tidak
memiliki kemungkinan untuk menang. Tetapi kita teruskan tekad dan

keyakinan Rasulullah SAW di medan Badar bahwa Allah akan


menganugerahkan kemenangan, kasih sayang dan pertolongan.
Karena semua prajurit Maiyah sudah menuntaskan keikhlasannya
untuk la ubali atas apapun di dunia, asalkantakun alaina
ghadhabun Allah tidak murka kepada kita.
6.
Syukur yang mendalam kepada Allah dan terima kasih kepada
Jamaah Maiyah, kantung-kantung Kadipiro, yang dengan tulus lelaku
mewiridkannya dengan bersila sepenuh jiwa. Sekarang kita berangkat
lagi menempuh maiyah, melewati dunia, menuju Allah.
7.
Semoga Allah mengizinkan dan mengayomi nanti malam atau
kapan kita berkumpul di Kadipiro atau di manapun untuk:
o
Memahami kembali muatan Edaran itu dalam situasi Merapi
dan irama Nusantara.
o
Memasuki ilmu dan wacana Maiyah untuk
menemukan patrap/maqamat taqwa di tengah antara ketakutan
dan keberanian.
o
Belajar kembali peta ilmu yang membuat kita bisa
menentukan dan mengakurasikan takaran bahaya, serta
menemukan momentum dan sebab musabab untuk bersyukur,
dengan takaran yang setepat-tepatnya.
o
Mempetakan gelembung-gelembung tentang:

Mbah Petruk, Ki Blotok, Kiai Gringsing, Panembahan


Sapujagat dll,

Perwujudan sumpah Sabdopalon Noyogenggong


pada sirnaning Majapahit,

Kiai Semar nagih janji,

Angin laut dan titik serbu: Kraton Yogya, Gedung Agung.

Supremasi janji Allah tentang gunung berapi, logika dan


peta Syafaat Rasul, konsentrasi lelaku Maiyah, dan faltandzur
nafsun ma qaddamat lighad.

Perlawanan Badar

Maiyah adalah di mana saja kita berada, di rumah, di tempat bekerja, di


rumah ibadah maupun di pasar, di jalan dan di manapun saja, selalu kita
bersama Allah dan Rasulullah. Kapan saja kita sadar maupun tidur, di pagi
hari, siang sore atau malam hari selalu kita bersama Allah dan Rasulullah.
Maiyah adalah membangun perlawanan badar yang sabar dan berilmu
matang terhadap segala tindakan membangun rumah-rumah yang
menjauhkan manusia dari Allah dan Rasulullah, terhadap konsep pasar
dunia yang menyepelekan Allah, terhadap managemen penataan
kehidupan yang mendhalimi Allah dan Rasulullah.

Maiyah adalah dengan siapapun saja kita berada dengan keluarga,


dengan teman, dengan masyarakat, bahkan ketika kita sedang berada di
tengah makhluk-makhluk Allah yang memusuhi kita selalu kita bersama
Allah dan Rasulullah.
Maiyah adalah perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang
terhadap segala kekuasaan yang tidak menghadirkan Allah dan Rasulullah
di dalam bangunan keluarga-keluarga manusia, di dalam peta pergaulan
masyarakat.
Maiyah adalah apapun yang kita alami kegembiraan atau kesedihan,
kekayaan atau kemiskinan, kesepian atau tidak kesepian, di kesunyian
atau di keramaian, dalam keadaan sehat atau sakit, dalam kekalahan atau
kemenangan selalu kita bersama Allah dan Rasulullah.
Maiyah adalah perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang
terhadap segala macam sistem dan ideologi kehidupan yang membangun
kesedihan manusia, yang memiskinkan manusia di tengah luasnya rahmat
dan rizki Allah, yang mengucilkan kemanusiaan, yang menyakiti dan
menyakitkan manusia, yang memenangkan energi setan dan menindas
Rahman Rahim Allah di dalam bangunan negeri dan negara manusia.
Maiyah adalah apapun sebab-sebab dari kehidupan yang menimpa kita
ketika dijunjung atau dicaci, ketika dipuji atau dihinakan, ketika ditemani
atau dikucilkan, ketika disayang atau tak diperdulikan, ketika disapa atau
diacuhkan, ketika diberi atau dicuri akibatnya hanya satu: ialah selalu kita
bersama Allah dan Rasulullah.
Maiyah adalah perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang
terhadap segala jenis kebudayaan, segala jenis benda tekhnologi, sastra
dan lagu, kesenian dan kerajinan, berita dan hiburan yang menjunjung
kebodohan dan mencaci ilmu, yang memuja kekonyolan dan melecehkan
derajat manusia, yang membiayai besar-besaran kehinaan nilai, yang
menghancurkan kehormatan, yang mencuri rahmat Allah.
Maiyah adalah apapun yang kita jumpai atau menjumpai kita batu, air,
langit, dedaunan, cahaya, kegelapan, kaca, keburaman, peristiwa, revolusi
dan amuk, peluru, otoritas yang memalsukan kekuasaan Tuhan, angin,
nafas dan seluruh badan kita sendiri membawa kita untuk selalu
bersama Allah dan Rasulullah.
Maiyah adalah perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang
terhadap segala bentuk kekuasaan dan pemerintahan yang
memperlakukan alam dan kehidupan manusia untuk makar kepada
kehendak suci Allah yang diinformasikan melalui Rasulullah.

Hal Wilayah Aman

Kenapa sejak 2 hari yang lalu saya tekankan jarak 4 km dan seterusnya
dari puncak, kemudian pengungsi pindah turun lagi seterusnya dan kini
20 km dari puncak Merapi agar kita tahu bahwa:
1.

Ilmu dan teknologi manusia tidak mampu menjangkau kepastian


kapan Merapi menyembur, seberapa besar muntahannya, wedus
gembel ataukah lahar atau debu, berapa jauh jangkauannya.
2.
Jadi statemen mbah Marijan tidak mau turun itu tak ada dasar
rasionalnya: kita berdiri pada KM berapa dari puncak Merapi untuk
disebut sudah turun atau belum turun?
3.
Letusan terbesar yang membawa korban nyawa mbah Marijan dan
lain-lain itu justru terjadi ketika Seismograf tenang. Terasa sekarang
kenapa mbah Marijan selalu meletakkan diri sebagai wong
bodo sedangkan Pemerintah itu wong pinter. So, wong bodo mati
karena tidak ada kepastian ilmu dari wong pinter.
4.
Ciamis Purwokerto dan lain-lain kena taburan debu, sementara
Yogya udara bersih sampai menjelang sore, kemudian hujan sampai
sekarang membersihkan debu kemarin lusa. Tapi Pemerintah dan
siapapun jangan bilang Yogya wilayah aman, kecuali menyampaikan
kabar legal dari Wali Penyangga Arasy.

Ya Allah, Orang Setulus itu.

Sebagaimana manusia biasa sesungguhnya sampai hari ini hati saya


belum bisa menerima dipanggilnya Mas Heru Yuwono oleh Yang Maha
Memilikinya.
Ya Allah, Engkau panggil hamba-Mu, manusia setulus itu, dari tengah
keadaan dimana besarnya kepalsuan manusia jauh lebih besar dari
besarnya bumi.
Engkau panggil saudara kami yang se-mukhlis itu hati lembutnya, dari
tengah masyarakat yang hilang kepribadiannya karena dipenuhi oleh
kepercayaan yang berlebihan atas topeng-topeng.
Engkau panggil intelektual yang sesportif itu di dalam memandang
kehidupan dan ummat manusia, dari tengah percaturan kaum cerdik
pandai yang beramai-ramai mengendarai kereta-kereta kecurangan
terhadap akal sehat.

Engkau panggil pejuang silaturahmi, kooperator kesejahteraan dan


perajut kasih sayang yang berjiwa seluas samudera, dari tengah bangsa
yang isi utama sejarahnya adalah perilaku penyempitan, pergerakan
pendangkalan dan perjuangan individualisme.
Engkau panggil sahabat kami yang selalu menampung dan tidak
menuntut siapapun untuk menampungnya, yang selalu santun tanpa
menunggu kesantunan siapapun saja kepadanya, yang selalu menjadi
ruang dan kami semua adalah kumpulan perabot-perabot yang selalu
merepotkannya.
Engkau panggil hamba kiriman-Mu yang senantiasa memperlakukan kami
lebih dari saudaranya sekandang dan sedarah, khalifah-Mu yang
senantiasa memurahi kami dengan berbagai bentuk kasih sayang
melebihi mereka yang sesungguhnya berkewajiban atas kami.
Engkau memanggil hamba-Mu, Bapak yang amat sangat dicintai, dipatuhi,
dan dibanggakan oleh istri anak-anak dan seluruh keluarganya, oleh
semua saudara dan sahabat-sahabatnya, oleh sanak famili dan
masyarakat siapapun yang berkenalan dan merasakan kelembutan dan
kesantunannya.
Engkau memanggil pejuang-Mu dan pejuang kami semua dari tengah
keadaan sangat genting dari Negeri dan Bangsa kami sehingga sungguhsungguh kami semua berada di puncak kebutuhan kami atasnya?
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Kutahu tak setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
Ya Allah apa sesungguhnya maksud-Mu? Apa saja gerangan alasan, logika
dan hikmah di balik iradah-Mu yang penuh keindahan langit namun
memuat keperihan bumi?
Ya Allah betapa faqirnya jiwa kami, betapa rendahnya kesanggupan kami
untuk mendayagunakan akal kami, betapa lemahnya kemampuan kami
untuk mengendalikan hati kami, di hadapan rahasia iradah-Mu, di
hadapan misteri kehendak-Mu, serta di kandungan luas tak terbatasnya
cinta-Mu.
Ya Allah, jika kukatakan tidak bisa terima kepergiannya: itu sematamata merupakan suatu bentuk tangis insaniyah dan kepatuhan uluhiyah
yang perih bagi hati kemanusiaan kami. Inna asyku batstsi wa huzni illa
ilaika ya Rabbi, sesungguhnya kamu mengeluhkan kesedihan dan duka

derita ini tidak kepada siapapun selain Engkau wahai Maha Pengasuh
kami.
Engkau Maha Mendengar hati kami semua serta Ibu Heru dan putra-putri
mereka bahwa tangis kehilangan kami sama sekali bukanlah bentuk
perlawanan kami kepada-Mu. Engkaulah juga yang menganugerahkan
kekuatan bagi hati kami serta ketangguhan mental bagi perjuangan masa
depan kami semua sepeninggal hamba-Mu yang sangat kami cintai itu.
Tentu saja kukejar hatiku sendiri dengan menungkapkan pernyataan Allah
SWT: Barang siapa tidak mau menerima ketentuan-Ku hendaklah ia
berpindah dari bumiku dan mencari Tuhan yang lain.
Ya Allah Engkau Maha Mengetahui segala sesuatu yang kami nyatakan
maupun yang kami sembunyikan, maka sesungguhnya tiadalah
sesuatupun yang kami sembunyikan dari-Mu. Ya Allah Engkau mengarifi
segala yang tersurat maupun yang tersirat, segala yang kasat mata dan
yang tak kasat mata, segala yang terucapkan maupun yang tersimpan di
dalam kebisuan, segala yang dimaksudkan maupun kandungan yang
sejati di balik setiap yang kami maksudkan.
Ya Allah, adakah ucapan dari kefaqiran hamba-Mu yang tidak salah?
Adakah kalimat, kata, huruf, bahkan setiap titik dari setiap huruf, dari
kami semua yang hina dina ini yang tidak khilaf, yang memiliki ketepatan,
yang sedikit saja mendekati garis kebenaran sejati yang berada di
keharibaan-Mu?
Ya Allah sesungguhnya niscaya tiadalah satu huruf dari kata-kata kami,
tiadalah satu kata dari kalimat-kalimat kami, tiadalah satu kalimat dari
pembicaraan kami, tiadalah satu tetes dari deraian tangis kami, tiadalah
satu satu debu dari setiap upaya kemakhlukan kami, yang memiliki kadar
kebenaran yang memadai di hadapan agungnya kebenaran-Mu.
Ya Allah, kami semua tetap di sini, bersemayam di genggaman cinta-Mu,
berpasrah diri di ujung jari kekuasaan-Mu, bersujud di bumi cinta-Mu
kepada hamba-hamba-Mu dan di kekumuhan keringat upaya ibadah kami.
Ya Allah kami berjalan hanya ketika Engkau perjalankan, kami melakukan
apapun hanya karena Engkau memerintahkan kami untuk melakukannya,
dan tak seserpihpun dari hidup dan mati kami yang kami relakan untuk
siapapun selain Engkau.
Ya Allah, tentulah kami ikhlas atas setiap terbitnya matahari-Mu di fajar
pagi dan atas tenggelamnya ia di ufuk senja hari. Tentulah kami rebah
pasrah mensyukuri bergoyangnya setiap helai rumput, jatuhnya setiap
tetes embun, serta selalu munculnya secercah cahaya dari tengah
kegelapan yang Engkau limpahkan untuk mengasah iman dan cinta kami.
Ya Allah namun bimbinglah kami bagaimana memaknai rasa kehilangan
ini. Tuntunlah kami mengarifi dan menghikmahi kekagetan besar kami.

Ajarilah kami sebagaimana Engkau langsung mengajari kakek moyang


kami Adam alaihissalam, allama Adama al-asma-a kullaha, tsumma
aradhahum alal-Malaikah.
Ya Allah di tengah riuhnya kebodohan dunia, di tengah gemuruhnya
kehinaan para penghuninya, rebutlah kami semua keluarga almarhum
Mas Heru Yuwono, saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya, tawanlah
kami di penjara cinta-Mu, kurunglah kami di dalam tabung cahaya-Mu,
hajarlah kami dengan ilmu dan kesabaran, cambukilah kami dengan
hikmah dan rasa syukur, bariskan dan latihlah kami di laboratorium
kecerdasan dan ilmu, serta tambahkanlah para Malaikat aparat-aparat-Mu
untuk menjadi asisten-Mu di dalam menguji iman dan ilmu kami.
Ya Allah negeri kami sudah hancur, negara kami sudah dijajah oleh
penghuninya sendiri dan diluluh-lantakkan oleh para penanggungjawabnya sendiri, bangsa kami sudah melata-lata di dataran terendah dari
kehinaan, bahkan lebih dari yang selama ini kami bayangkan tentang
asfala safilin, masyarakat kami sudah menjadi lambang yang ideal bagi
ajhalul jahiliyah, sebodoh-bodohnya kebodohan, yang mungkin tak
pernah diimaginasikan oleh para Rasul dan tak pernah disangka oleh
semua Nabi, sejak awal penciptaan hingga kelak Hari Kebangkitan yang
Engkau tentukan.
Ya Allah Engkau Maha Lembut untuk mengerti bahwa kalimat-kalimat kami
tentang Negeri kami itu bukanlah ungkapan hamba-hamba yang putus
harapan. Engkau Maha Santun untuk mengetahui bahwa yang kami
tegakkan adalah usaha kejujuran melihat diri kami sendiri serta upaya
keberanian untuk mengakui apapun saja keadaan yang kami timpakan
atas diri kami sendiri.
Ya Allah bagaimana mungkin kami akan pernah bisa berputus asa.
Sedangkan Engkau menganugerahi kami semua limpahan kasih sayang
yang tak Engkau berikan kepada hamba-hambaMu yang lain. Bagaimana
mungkin kami akan pernah bisa berputus asa, sedangkan Engkau limpahi
kami bangsa Nusantara ini dengan penggalan dari sorga-Mu sendiri,
hamparan pulau terindah, terkaya dan paling penuh rahasia cinta-Mu.
Ya Allah bagaimana mungkin kami akan pernah bisa putus harapan,
sedangkan Engkau letakkan kami untuk bersemayam di bagian yang
paling mutiara dari bumi. Engkau nikahkan bangsa tercinta yang penuh
bakat, kecerdasan rohani dan ketangguhan mental ini, dengan rahasia
tanah tersubur, tetanaman paling ragam, ilmu gunung-gunung berapi dan
samudera, yang masa depan seluruh dunia bagaikan sedang menjadi
janin di kandungan perut Nusantara.
Ya Allah betapa bersyukurnya kami semua, dan masyaAllah: bersama
mendiang Mas Heru Yuwono kami sedang berada di puncak rasa syukur
itu, dan sedang menyelami bumi ilmu, lautan penelitian serta cakrawala
kreativitas, demi cita-cita mewujudkan Negeri Nusantara ini menjadi

Negeri Rahmatan Lilalamin bagi kesejahteraan seluruh ummat manusia


hamba-hambaMu di muka bumi tatkala dengan tiba-tiba saja Engkau
memanggilnya ke rumah abadi-Mu.
Betapa terkejutnya kami. Namun insyaallah kami tahu karena Mas Heru
Yuwono adalah hamba-Mu yang terbaik di antara kami semua. Beliau
sudah Engkau pandang lulus sebagai Syeikh Kehidupan, sebagai Sarjana
Utama ilmu ajaran-Mu, serta sebagai Panembahan Mumpuni dari kearifanMu.
Sedangkan kami semua ini, entah apa akan pernah mencapai ketinggian
maqamat yang dicapai oleh mendiang kekasih-Mu itu jika suatu hari
Engkau memanggil kami. Namun sungguh kami berterima kasih bahwa
Engkau masih memberi luang waktu bagi kami semua, juga keluarga
beliau, untuk berjuang meningkatkan ilmu dan kasih sayang di dunia,
serta untuk menabung kedekatan kepada-Mu semampu-mampu kami.

Yogyakarta 14 Desember 2010


Muhammad Ainun Nadjib

Indonesia Jangan Sampai Besar

Indonesia adalah bangsa besar. Tanda kebesarannya antara lain adalah


lapang jiwanya, sangat suka mengalah, tidak lapar kemenangan dan
keunggulan atas bangsa lain, serta tidak tega melihat masyarakat lain
kalah tingkat kegembiraannya dibanding dirinya.
Dari lingkaran katulistiwa, Indonesia memiliki 12,5%, dan itu lebih dari
cukup untuk menguasai akses angkasa, satelit dan wilayah otoritas politik
maupun perekonomian informasi dan komunikasi. Kita adalah a Big
Boss industri teknologi informasi sedunia. Tapi kita sangat rendah hati dan
mengalah. Kita tidak tega kepada Negara Kecamatan yang bernama
Singapura, sehingga kekayaan kita itu kita shadaqahkan kepada tetangga
kecil itu.
Keluasan territorial dan kesuburan bumi maupun lautan, kekayaan perut
bumi, tambang-tambang karun, keunggulan bakat manusia-manusia
Indonesia, pelajar-pelajar kelas Olimpiade, kenekadan hidup tanpa
managemen, ideologi bonek, jumlah penduduk, kegilaan genetic dan
antropologisnya, dan berbagai macam kekayaan lain yang dimiliki oleh

penggalan sorga yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia


sungguh-sungguh merupakan potensialitas yang tak tertandingi oleh
Negara dan bangsa manapun di muka bumi.
Tetapi, sekali lagi, kita adalah bangsa yang lembut hati dan jauh dari
watak Raja Tega. Kekayaan-kekayaan itu kita persilahkan dikenduri oleh
industri multinasional dan orang-orang serakah: emas rojo brono diangkuti
tiap hari ke mancanegara. Dan itu bukan kekalahan, itu adalah kebesaran
jiwa. Kita bangsa yang kaya raya karena amat sangat disayang Tuhan,
sehingga kita pesta shadaqah dan infaq. Rakyat kebanyakan ikhlas
menderita karena memilih sorga, dan toleran kepada sejumlah minoritas
yang memang memilih neraka. Itu terkadang rakyat ikut rakus sedikitsedikit, dengan pertimbangan tak enak atau pekewuh kalau kita dari
dunia langsung masuk sorga tanpa menengok saudara-saudara kita yang
di neraka. Tak baik-lah itu. Apa salahnya kita mampir juga beberapa saat
di neraka, ngerumpi dengan handai tolan di sana .
Pada suatu hari TVRI, RRI, TNI, Polri dan berbagai mesin rumah tangga
negara kita sewakan atau jual kepada tetangga. Berikutnya kita bercitacita tak usah repot-repot menghabiskan ratusan milyar untuk pemilihan
Presiden. Kita bisa mengontrak tokoh managemen dunia untuk memimpin
negeri kita. Juga Menteri-menteri kita kontrak dari luar negeri,
sebagaimana para pemain sepakbola. Dan puncaknya kelak, MPR bisa
mengambil keputusan untuk bikin proposal memohon kepada Kerajaan
Belanda agar berkenan memimpin kita lagi.
Bangsa kita adalah bangsa filosof. Kalau Presiden kita kontrakan dan
Belanda atau terserah negeri maju manapun kita persilahkan memimpin,
itu tidak berarti kita berada di bawah mereka. Dalam teori demokrasi,
rakyat selalu tertinggi, Presiden dan Kabinet hanya orang yang kita upah
dan harus taat kepada kita. Jadi sesungguhnya bangsa Indonesia tetap di
atas. Sebagaimana seorang Imam shalat diangkat oleh makmumnya,
Imam pada hakekatnya harus taat kepada makmum. Yang memilih ditaati
oleh yang dipilih. Apalagi yang dipilih itu digaji. Makmum yang memilih
Imam, tidak ada Imam memilih makmum.
Sejak 200 tahun yang lalu kekuatan bangsa Indonesia membuat dunia
miris. Maka perlahan-perlahan, terdisain atau tak sengaja, terdapat
semacam perjanjian tak tertulis di kalangan kepemimpinan dunia di
berbagai bidang: Jangan sampai Indonesia menjadi bangsa yang besar,
jangan sampai Negara Indonesia menjadi Negara yang maju. Sebab
potensi alam dan manusia tak bisa dilawan oleh siapapun. Kalau diberi
peluang, masyarakat Setan dan Iblispun kalah unggul dibanding ummat
manusia Indonesia. Sedangkan orang Indonesia hidup iseng dan sambilan
saja dalam melakukan apapun: setan-setan sudah semakin terpinggirkan
dan kehilangan pekerjaan.
Dan kitapun sangat supportif kepada kehendak dunia untuk
mengkerdilkan bangsa kita. Kita membantu sepenuh hati upaya-upaya

untuk mengerkerdilkan diri kita sendiri. Sehari-hari, dalam pergaulan


maupun dalam urusan-urusan konstelatif stuktural, kita sangat rajin
menghancurkan siapapun saja yang menunjukkan perilaku menuju
kemungkinan mencapai kebesaran dan kemajuan bangsa Indonesia.
Setiap orang unggul tak kita akui keunggulannya. Setiap orang hebat kita
cari buruknya. Setiap orang berbakat kita kipasi agar bekerja di luar
negeri. Setiap orang baik takkan pernah kita percaya. Setiap orang tulus
kita siksa dengan kecurigaan. Setiap orang ikhlas kita bantai dengan
fitnah. Setiap akan muncul pemimpin sejati harus sesegera mungkin kita
bikin ranjau untuk menjebak dan menghancurkannya.
Kita benar-benar sudah hampir lulus menjadi bangsa yang besar. Dan
puncak kebesaran kita adalah kesediaan kita untuk menjadi kerdil.

Menundukkan Wajah Di hadapan Ali Audah


1.

Hari ini kita bersama-sama menundukkan wajah dan


membungkukkan badan di hadapan beliau Bapak Ali Audah.Saya
pribadi, kalau boleh jujur mempraktekkannya, tidak akan
menundukkan wajah, melainkan menutupi wajah, karena rasa malu
yang mendalam kepada beliau. Saya juga tidak akan membungkukkan
badan, melainkan melarikan diri dan bersembunyi, karena rasa tak
berharga di hadapan beliau.
Zaman pendudukan Jepang, awal era 1940an, bagi saya adalah masa
silam yang sangat jauh. Kemudian kemerdekaan tiba, lantas
berlangsung era Orde Lama yang sangat lama, tiga tahun sesudah era
itu berakhir, saya mulai menulis cerita pendek. Melewati era Orde Baru
yang lebih lama lagi dibanding Orde Lama, dan ketika orde itu
berakhir, saya sudah berhenti menulis. Sehingga hari ini saya merasa
pekerjaan menulis adalah masa silam yang sangat jauh.
Sedangkan beliau Bapak Ali Audah, sudah menulis cerita pendek pada
era Jepang masa silam saya yang jauh itu, dan terus menulis selama
Orla yang lama, terus menulis selama Orba yang lebih lama lagi, terus
menulis selama era Reformasi yang sangat memuakkan dan yang
paling memuakkan dibanding segala sesuatu yang memuakkan, terus
menulis dan terus menulis sampai hari ini.
Bagaimana mungkin saya sanggup tidak melarikan diri dari beliau.
Jangan-jangan andaikan Allah mengambil saya kemudian melahirkan
kembali sampai tiga kali: yang saya saksikan adalah beliau Bapak Ali
Audah tetap juga terus menulis dan menulis.

Maka hari ini, jika saya mengucapkan Asyhadu an-la ilaha ilallah, wa
asyhadu anna Muhammadan rasulullah, perkenankan saya
meneruskan wa asyhadu anna Ali Audah yamalu amalan shalihan
wa yamalu amalan shalihan wa yamalu amalan shalihan. Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah, dan aku bersaksi bahwa Ali Audah beramal
shaleh dan beramal shaleh dan beramal shaleh.
Sebab saya seorang Muslim, dan cukup sudah bekal Islam saya
dengan Al-Quran, kemudian Hadits, Sunnah dan Sirah Rasul yang
saya telusuri melalui Sejarah Hidup Nabi Muhammad karya Husain
Haekal yang diterjemahkan oleh beliau Bapak Ali Audah.
Saya membaca buku itu sejak remaja. Saya pikir itu adalah buku yang
diterjemahkan oleh penulis dari masa silam, kalau dilihat dari usia
generasi saya. Tapi yang saya tidak sangka adalah ternyata buku itu
diterjemahkan oleh seorang penulis masa depan, ketika saya lihat dari
kenyataan bahwa dunia penulisan sudah menjadi masa silam saya.
2.

Beliau Bapak Ali Audah adalah seorang pembelajar ototidak.Ia tidak


tamat Madrasah Ibtidaiyyah dan juga tidak pernah belajar di
pesantren. Tetapi ia mampu menerjemahkan karya-karya berbahasa
Arab dengan sangat baik. Bukan main-main, karya yang
diterjemahkannya adalah buku-buku yang berkualitas dan menjadi
acuan atau referensi utama.
Puluhan tahun saya juga berbangga bahwa saya seorang pembelajar
otodidak. Dan saya pura-pura tidak tahu kekalahan dan kepalsuan
saya. Beliau Bapak Ali Audah tidak tamat Madrasah, sedangkan saya
kurang murni otodidak, sebab saya sekolah sampai SMA meskipun
lulus paksa. Beliau Bapak Ali Audah tidak pernah nyantri di Pesantren,
sementara saya santri Gontor meskipun diusir di tengah jalan.
Kekalahan utama saya ada dua hal. Pertama, saya santri Gontor tapi
tidak mampu menterjemahkan karya apapun, jangankan dari bahasa
Arab ke bahasa Indonesia: dari bahasa Jawa bahasa Ibu saya
sendiripun tak ada sebiji karya terjemahan yang saya pernah hasilkan.
Kedua, kekalahan yang sangat memalukan. Masyarakat dan ummat
Islam tidak pernah menyebut Kiai Ali Audah, sementara Kiai Ainun
Nadjib ada dalam daftar dan ranking Kiai-Kiai di Indonesia. Padahal
yang menguasai bahasa AlQuran adalah Kiai yang tidak terdaftar itu.
Saya tidak kawatir akan merasa malu atas kenyataan itu di Indonesia,
karena Indonesia benar-benar semakin kehilangan parameter untuk
membedakan mana yang sungguh-sungguh Kiai dan mana yang
sekedar Ngiyai. Bahkan andaikanpun Indonesia masih punya
pengetahuan untuk mampu membedakan, insya allah tidak perduli
juga dan enteng-enteng saja untuk mengkiaikan yang bukan Kiai dan
mem-bukan-Kiaikan yang benar-benar Kiai.

Namun demikian saya berdoa dan meronta sejadi-jadinya agar para


Malaikat kelak di akhirat tak usahlah menggoda dan ngerjain saya soal
itu. Apalagi kalau itu disaksikan oleh beliau Bapak Ali Audah dari
sebuah jendela di sorga, sementara saya masih magang di antara
sorga dan neraka.
Lebih mempermalukan saya lagi kalau satu Malaikat ngerjain saya,
beberapa lainnya duduk-duduk di sekitarnya membaca Abu Bakar AsSidiq yang Lembut Hati, Umar Bin Khattab: Sebuah Telaah
Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu,
Usman bin Affan: antara Kekhalifahan dengan Kerajaan,
Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam.
Lebih celaka lagi kalau ejekan kepada saya itu ditambahi dengan
memanggil rekan-rekan sesama magang antara sorga dan neraka,
dikumpulkan, dikasih dan diperintahkan untuk membaca Malam
Bimbang, Hari Masih Panjang, Jalan Terbuka, Icih, bahkan
Peluru dan Asap, Saat Lonceng Berbunyi dll.
Ya Allah, please jangan permalukan hamba-Mu yang toh sudah penuh
malu ini.
3.

Beliau Bapak Ali Audah adalah seorang hamba Allah yang hidup
syahid.Orang yang hidup syahid bukanlah orang yang tidak perlu mati
untuk menjadi syahid. Sebab dua hal. Pertama, Allah sendiri
menyatakan secara lugas bahwa hamba-hambaNya yang syahid tidak
mati. Kedua, konteks syahid memang tidak terutama terkait dengan
hidup atau mati.
Syahid adalah orang yang menyaksikan keagungan Allah dengan
karya dan lelaku hidupnya, dengan perjuangannya, ketekunannya,
kesetiaannya, keikhlasannya, tentu saja yang dilandasi oleh akar
ketaqwaannya, totalitas kepasrahannya, tunai lillahi-taalanya, serta
tanpa reserve kepatuhan uluhiyahnya.
Apakah beliau Bapak Ali Audah seorang yang hebat? Jangan. Jangan
hebat. Jangan bawa dan tenteng-tenteng kehebatan kesana kemari
kepada sesama manusia karena sesungguhnya yang hebat bukan
engkau. Jangan persembahkan kehebatan ke hadirat Allah wahai laronlaron di permukaan matahari wahai debu di tengah ruang hampa jagat
raya.
Hebatilah dirimu sendiri 87 tahun. Hebatlah atas dirimu sendiri 87
tahun. Taklukkan dirimu sendiri 87 tahun. Kuraslah dirimu sampai
kosong dan Allah akan mengisinya dengan kehebatan-Nya. Allah akan
mengisikan diri-Nya padamu.
87 tahun tidak membangun kehebatan, melainkan ketekunan. 87
tahun tidak menegakkan kebesaran, melainkan kepatuhan. 87 tahun

tidak mengibarkan kegagahan, melainkan kesetiaan. 87 tahun tidak


memperjuangkan keunggulan, melainkan keikhlasan.
Manusia yang berdiri di muka bumi dengan kehebatan, kebesaran,
kegagahan dan keunggulan, yang diatas-namakan dirinya sendiri,
menjadi bahan tertawaan di kalangan masyarakat langit.
Beliau Bapak Ali Audah syahid atas hakekat itu, sehingga penuh
tawadlu hidupnya. Beliau Bapak Ali Audah bersyahadah atas sifat
sejati itu, sehingga selalu tenteram jiwanya.
4.

Kita mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada beliau


Bapak Ali Audah yang telah berkenan memberi peluang kepada kita
untuk menjalankan kewajiban yang sangat terlambat kami sadari,
yakni menghormati, menghargai dan menjunjung beliau.Bapak Ali
Audah tidaklah membutuhkan apa yang kita laksanakan hari ini, demi
Allah kitalah yang butuh menghormati, menghargai dan menjunjung
beliau.
Pun sesungguhnya, kata menghormati, menghargai dan menjunjung
tidaklah tepat mewakili apa yang kami maksudkan. Mungkin malah
bermakna terbalik.
Kita belum pernah matang benar menggunakan bahasa, atau Bahasa
Indonesia juga masih belum benar-benar teruji untuk mewakili kwalitas
nilai yang dimaksudkannya.
Menghormati bukanlah memberi kehormatan. Karena memberi
kehormatan haruslah kepada orang yang tidak punya kehormatan,
sehingga perlu diberi kehormatan. Menghargai bukanlah
menyampaikan harga kepada orang yang tidak berharga. Dan
menjunjung, adalah tindakan untuk menaikkan seseorang dari posisi
yang lebih rendah ke posisi yang lebih tinggi.
Maka dengan segala kerendahan hati kami mohon bimbingan kepada
beliau Bapak Ali Audah, agar sesudah ini kami mulai punya
kemampuan untuk menterjemahkan apa yang sebenarnya kami
maksudkan melalui atau menjadi kata, idiom dan susunan kalimat
yang lebih tepat dan aman.
Dengan kata lain, apa yang kita lakukan hari ini, bukanlah
kesombongan untuk menghargai, melainkan kerendahan hati untuk
belajar kepada Bapak Pendekar Penterjemahan Nasional. Inipun salah.
Seharusnya Bapak Pendekar Penterjemahan Internasional, sebab
pekerjaan perterjemahan pastilah berskala antara bahasa Nasional
dengan Bahasa Nasional lainnya, alias internasional.
Ya Allah, betapa rapuh dan lemahnya kesanggupan hamba-hambaMu
dalam menterjemahkan kehidupan. Sehingga terkutuklah manusia,

masyarakat, Pemerintah, Negara dan Bangsa yang buta matanya, tuli


telinganya dan bebal akalnya, di dalam memahami betapa pentingnya
seorang Penterjemah di dalam kehidupan, kebudayaan dan
peradaban.
Sungguh terkutuk, dan patut dilaknat kami semua ini. Oleh karena itu
jalannya tinggal satu ya Allah: ampunilah kami semua.
5.

Yang kita lakukan hari ini bukanlah peristiwa menjunjung beliau


Bapak Ali Audah, melainkan Bapak Ali Audah menjunjung kita
semua.Hampir satu abad beliau Bapak Ali Audah menjunjung dirinya
ke maqamat yang sangat tinggi, dan hari ini dari dataran yang rendah
kita melemparkan tali ke atas, tangan beliau Bapak Ali Audah
menyambut dan menggenggam tali itu, kemudian kita memanjat naik
ke maqamat beliau.Bahkan dengan tali itu beliau Bapak Ali Audah
menarik kita ke atas. Sebagaimana kalau kita mendekat kepada Allah
sehasta, Allah mendekat kepada kita sedepa. Kemudian kita lebih
mendekat kepada Allah sedepa, Allahpun langsung mendekat kepada
kita sepenggalah.
Maksud saya, seharusnya kita semua yang hadir di sini pergi beramairamai sowan ke rumah beliau Bapak Ali Audah untuk menyampaikan
rasa hormat dan hajat junjungan. Bukannya beliau yang kita minta
datang dan kita tunggu di rumah kita.
Tetapi demikianlah al-khalish wal-mukhlis beliau Bapak Ali Audah
sekarang berada di sini, dan bukannya kita yang berada di ruang tamu
rumah beliau menunjukkan secara sangat nyata bahwa beliau Bapak
Ali Audah bukan sekedar orang yang memang paling berhak menjadi
pancer cahaya acara ini, melainkan lebih dari itu: Allah telah memilih
beliau Bapak Ali Audah untuk menjadi penghantar hidayah agar
menumbuhkan kesadaran betapa kebanyakan dari kita telah abai dan
alpa terhadap betapa pentingnya jenis amal shaleh yang Allah
amanatkan kepada beliau Bapak Ali Audah.
Demi Allah, apapun kata yang saya ocehkan ini, juga apapun yang kita
semua lakukan dengan acara ini, tidaklah sedikitpun menambah
derajat kemuliaan hidup beliau Bapak Ali Audah. Sesungguhnya kitalah
yang sedang ditaburi cipratan kemuliaan oleh beliau Bapak Ali Audah.
Prinsip martabat dan logika moral sosial tidak mengizinkan kita
menghormati orang yang minta dan menunggu-nunggu untuk
dihormati. Tetapi tingginya derajat ilmu dan sucinya pengetahuan
sejati mewajibkan kita untuk menyampaikan rasa hormat kepada
orang yang tidak pernah menagih untuk dihormati.
Maka acara ini kita langsungkan semata-mata untuk kepentingan dan
keselamatan kita di hadapan Allah dan beliau Bapak Ali Audah. Acara

ini sama sekali tidaklah mengandung apapun yang beliau Bapak Ali
Audah berkepentingan atasnya.
Kalau kita menjunjung beliau, tidaklah membuat beliau menjadi
berderajat lebih tinggi, sebab bagaimana mungkin kerendahan
sanggup mempersembahkan ketinggian, apalagi kepada orang yang
ketinggiannya tidak terjangkau oleh kerendahan.
Kalau kita tidak menjunjung beliau, sama sekali tidaklah membuat
beliau menjadi lebih rendah dari ketinggiannya, sebab kerendahan itu
terletak di luar diri beliau Bapak Ali Audah tanpa pernah bisa
menyentuh ketinggian beliau.
6.

Itulah sebabnya saya bersyukur sampai hari ini di baju beliau Bapak
Ali Audah tidak tersemat tanda penghargaan atau penghormatan
apapun dari Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gadis yang berwajah cantik jangan berbangga dipuji kecantikannya
oleh pemuda yang buta matanya.Rumah Puisi mungkin tidak pasti
bukan pemuda yang buta matanya, tetapi hari ini ia membuktikan
kedalaman nuraninya, ketajaman akal sosial dan kearifan budayanya,
untuk menemukan kecantikan sejati gadis itu yang terdapat tidak
pada wajahnya, melainkan pada kandungan jiwanya serta bau keringat
kerja kerasnya.
Beliau Bapak Ali Audah telah benar dan dibenarkan oleh Allah memilih
wilayah amanah kehidupannya. Benar memilih nilai dan pekerjaan di
antara berbagai-bagai kemungkinan nilai dan pekerjaan manusia di
muka bumi. Kemudian beliau membangunnya dengan kesungguhan,
kesetiaan dan keikhlasan yang sukar dicari tandingannya.
Masing-masing kita yang hadir di sini mungkin juga orang yang
bersungguh-sungguh, setia dan ikhlas bekerja. Tetapi jangan pernah
pamerkan itu di hadapan orang yang bekerja sungguh-sungguh, setia
dan ikhlas selama 87 tahun. Tataplah wajah beliau, yang sama sekali
bukan wajah 87 tahun. Rasakanlah ketangguhan mental, kekhusyukan
hati dan keluasan jiwa beliau. Andaikan Allah tidak rikuh atau pekewuh
kepada kita yang jauh lebih muda tapi rapuh, mungkin akan
dipaparkan di depan kesombongan dan kekerdilan kita semua bahwa
sampai kelak 50 tahun lagi tetap secerah dan sebercahaya itu wajah
beliau Bapak Ali Audah.

Bukittinggi, 3 Desember 2011

Demokrasi Yatim Piatu

Demokrasi merupakan puncak pencapaian ilmu, ideologi dan wisdom hasil


karya ummat manusia abad 20-21. Demokrasi telah disepakati untuk
menjadi satu-satunya kiblat dalam urusan kehidupan bernegara dan
berbangsa. Hampir tidak ada ketidak-sepakatan terhadap demokrasi.
Semua orang menjunjung demokrasi. Semua orang merasa salah, bodoh
dan dekaden kalau ragu terhadap demokrasi. Tidak ada pidato Presiden,
bahkan Soeharto, apalagi sesudahnya, yang tak mengerek bendera
demokrasi. Tak ada pendapat dalam diskusi, perdebatan dalam talk-show,
seminar, disertasi dan tesis, pun pidato Pak Lurah dan Ketua RT, bahkan
ketika terbaring sendiri di bilik pribadi, kita bergumam-gumam sendiriI
love you democracy! dalam pikiran dan hati.
Itu tak lain karena saking sucinya demokrasi. Sayapun dipersilahkan oleh
demokrasi untuk mengabadikannya dalam tulisan, meskipun sungguh
sangat sulit. Orang kotor mustahil menggagas kesucian. Dan meskipun
tulisan ini berangkat dari niat menjunjung tinggi demokrasi,
sesungguhnya modal hidup kotor saya tidak menambah tingginya
kesucian demokrasi yang saya junjung. Kesucian tidak memerlukan
pengakuan dari kekotoran bahwa ia suci.
Mungkin kalimat-kalimat saya ini ibarat ungkapan Iblis yang mencoba
menjunjung Tuhan, karena pada dasarnya ia sangat takut kepada Tuhan
dan hanya mau menyungkurkan diri di hadapan Tuhan. Saya sangat
mencintai demokrasi, tetapi itu tidak berarti saya mampu menerapkan
demokrasi dalam perilaku hidup saya.
Demokrasi itu bak perawan, yang merdeka dan memerdekakan.
Watak utama demokrasi adalah mempersilahkan. Tidak punya konsep
menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua makhluk penghuni
kehidupan berhak hidup bersama si Perawan, bahkan berhak
memperkosanya: yang melarang memperkosa bukan si Perawan itu
sendiri, melainkan sahabatnya yang bernama Moral dan Hukum.
Si Perawan bisa ditunggangi oleh kaum kapitalis di Eropa untuk
menyingkirkan kekuasaan Gereja dan dulu Kerajaan-kerajaan. Dan
sesudah kapitalisme menguasai panggung bangsa dan masyarakat,
demokrasi tidak mengharuskan para kapitalis untuk bersikap demokratis,
karena demokrasi tidak memiliki karakter untuk mengharuskan.
Para Capres, Caleg, Cagub-Cawagub, Cabup-Cawabup, bisa mengendarai
Perawan untuk berhak menyerap dana dari siapapun demi menerapkan
strategi mencapai jabatan yang hendak diraihnya. Money politic tidak
dilirik atau diawas-awasi oleh si Perawan, karena yang bertugas untuk itu

adalah Undang-undang. Demokrasi bukan tak punya daya untuk


mengantisipasi korupsi dan penyelewengan, tetapi memang itu bukan
bagiannya. Demokrasi bahkan mempersilahkan siswa SD menenggak
narkoba, murid SMP nonton bareng video porno, lelaki berpoligami atau
bermonogami, suami-suami istri-istri bertukar teman tidur, warga ikut
nyoblos atau memilih golput, atau melakukan apapun dan tidak
melakukan apapun dalam kehidupan yang merdeka semerdekamerdekanya.
Yang mengurusi narkoba bukan demokrasi, tapi rekanan kerja
peradabannya yang bernama Ilmu Kesehatan. Yang mengantisipasi video
porno adalah Moral dan Keselamatan Hidup. Yang merespon pertukaran
suami istri adalah Keseimbangan Sosial. Yang mewaspadai pemilu dan
golput adalah pertandingan kekuasaan dan akses politik.
Demokrasi itu perawan suci yang yatim dan piatu. Tak punya Bapak Ibu,
nasabnya belum pernah diperjelas. Ia memerdekakan manusia sepenuhpenuhnya. Semua dan setiap manusia sangat membutuhkan kesucian
demokrasi, sebagian untuk tempat berlindung, dan sebagian lain untuk
melakukan eksploitasi dan subversi pengkhianatan nilai.
Hendaklah setiap manusia menikahi demokrasi, memperistri atau
mempersuami si Perawan, tetapi ajaklah ia tinggal di rumah Hukum, yang
berfundamen Ilmu, di lingkungan pertetanggaan Moral, dengan sirkulasi
udara Budaya, dengan menjaga pertatapan wajah dan sorot mata nurani,
serta pemeliharaan rahasia iman dan perhubungan sunyi Tuhan.
Demokrasi adalah makhluk terindah hasil karya ummat manusia selama
peradaban. Manusia Jawa meromantisirnya dengan sebutan Kiai Demos
dan Pangeran Kratos. Makhluk penjunjung demokrasi sangat meyakini
bahwa puncak pencapaian kecerdasan dan nurani mereka sejak
Renaissance ini belum pernah digapai oleh ummat manusia pada era
manapun sebelumnya: Atlantis dan Lemorian, Hastinapura, Inka dan
Maya, Hud iradzatimimad, ribuan tahun Dinasti Pharao, Jawa-Dwipa,
Medang Kamulan, atau kurun apapun, tidak juga pernah dicapai oleh
makhluk Laserta, Smarabhumi, Nyi Roro Kidul dan siapapun.
Peradaban modern hingga post-modernism hingga post-globalism bahkan
sangat mudah menemukan keunggulannya: yakni meyakini bahwa
apapun saja yang mereka belum tahu, apapun saja yang akal pikiran dan
penelitian ilmu mereka belum menjangkau itu berartiinexist, unbeing,
tiada. Yang ada dalam kehidupan ini hanyalah yang orang sekarang
mengetahuinya ada dan menganggapnya ada. Mengetahui dengan kasat
mata dan jasad telinga.
Kiai Demos dan Pangeran Kratos, yang melahirkan maha teknologi,
dari gedung-gedung sangat tinggi hingga se-debu chip yang dipasang di
jidat setiap orang, dunia maya yang memperkerdil jagat menjadi
segenggaman tangan, bozone dan fermione, nano technology,

persenjataan kimia rahasia, atau apapun sama sekali jangan


dibandingkan dengan teknologi lidi Lombok Pawang Hujan, helai rambut
santet, celak-Arab dan tanah kuburan Jin, Ilmu Katuranggan, takir Dewi
Sri, dan apapun yang dibangga-banggakan di masa silam.
Kekuasaan Tuhan dengan seluruh jajaran birokrasi-Nya, dari para Malaikat
Menteri hingga Datu Laut, Danyang gunung, Kepala Dinas Awan dan
Hujan dan ribuan PNS maupun Angkatan Bersenjata Nya sudah
digantikan oleh Kongres Amerika, 3 juta hadirin pelantikan Obama,
strategi Java Tel-Aviv, bursa modal di tangan anak turun Ismail ben
Ibrahim dan tata kelola jagat raya di genggaman turunan Ishaq ben
Ibrahim, dipembantu-umumi Bill Gates dan Steve Job. Bahkan perusahaan
penyelenggaraan haji internasional berada dalam kendali ben Laden.
Semua itu kini sedang mencapai puncak dan ujungnya. Jika sebentar lagi
tiba suatu hari di mana yang inexist tiba-tiba exist,
yang unbeing mendadak nongol being, yang nothingmencegatmu sebagai
a real true thing: si Perawan akan mulai belajar menjanda.

Puji Tuhan, Indonesia Kurang Diperhatikan

Sejumlah teman, yang untuk pertimbangan etik tidak saya sebut


namanya, melalui diskusi dunia maya, mengeluhkan kenapa Timur Tengah
kurang memperhatikan Indonesia. Universitas-universitas di Negaranegara Islam di sana tak satu pun yang memiliki jurusan Asia Tenggara,
apalagi tentang Islam Indonesia. Satu-satunya tempat yang bagus untuk
mempelajari itu justru Yerussalem, Israel.
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tapi
wilayah asal usul Islam tak menoleh untuk meminatinya. Padahal pusatpusat ilmu dan kebudayaan yang jauh dari Indonesia dan Islam, misalnya
Amerika Serikat, Canada, Nederlands, Jerman, Perancis atau Inggris, justru
memberikan atensi tinggi kepada Asia Tenggara, Indonesia dan Islamnya.
Anak-anak rakyat Indonesia bahkan di tempat-tempat itu banyak
menempuh S2-S3 untuk mempelajari dirinya sendiri.
Teman-teman merasa betapa Timteng agak kurang tahu diri, karena
berbagai perguruan tinggi seperti IAIN, UIN, dan bahkan UI, terdapat
jurusan dan bahkan pusat kajian tentang banyak aspek keagamaan,
pemikiran, kebudayaan, sastra Arab atau Timteng umumnya. Hitung saja
berapa banyak skripsi, tesis, dan disertasi tentang subjek-subjek yang
berkenaan dengan Dunia Arab dan Timteng. Masyarakat, terutama kaum

cendekiawan Indonesia jauh lebih tahun tentang Timteng dibanding orang


Timteng tahu tentang Indonesia.
Ketidakseimbangan pengetahuan itu menimbulkan hubungan yang agak
kurang enak: Islam Indonesia look up kepada Timteng, sementara
Timteng cenderung look down kepada Islam Indonesia.
Timteng tahunya Islam Indonesia tidak dibawa oleh Ulama, tapi oleh
pedagang. Itupun terlalu banyak kecampuran klenik, kebatinan, unsur
Hindu dan Budha. Tidak murni Islam. Jadi kalau ada orang Indonesia ke
Arab, setiap orang Arab harus berbaik hati dan rajin mengamati perilaku
tamu-tamunya, kemudian siap teriak Haram! Haram!, agar bangsa
klenik itu mulai belajar tentang ketidak-murnian Islamnya, sehingga
mereka tidak terlalu masuk neraka.
Orang Indonesia, terutama kaum Nahdhiyin yang budaya Islamnya dekat
dengan tradisi, masih agak selamat kalau ke Mesir, Yaman, Syria, Jordan
atau terutama Sudan. Pandangan dan perilaku keislaman mereka agak
mirip. Aplikasi 4-Madzhab di manapun masih tidak terlalu berbenturan
satu sama lain, tetapi di Saudi Arabia orang Islam Indonesia harus
merunduk-runduk jangan sampai terlalu ketahuan ketidak-murnian
Islamnya. Saudi bukan satu dari 4-Madzhab, dan tak usah disebut bahwa
anti-madzhab adalah juga suatu madzhab. Saudi tempat lahirnya Rasul
Muhammad, maka Islamnya paling murni. Di luar itu kurang murni,
terutama karena bukan Saudi.
Teman-teman itu sangat gelisah, karena pada saat yang sama: bagi
kalangan Muslim Indonesia, Islam Timteng penuh pesona; menjadi
panutan dalam berbagai hal, tidak hanya dalam pemikiran dan praktik
keagamaan, tetapi juga dalam berperilaku, bahkan dalam cara
berpakaian. Itulah Islam yang kaffah.
Maka direkomendasikan: hubungan Indonesia dan Timteng memerlukan
pemahaman timbal balik yang lebih baik. Bukan hanya dalam konteks
keagamaan, tetapi juga kebudayaan, ekonomi, dan politik. Ini akan
membuka kemungkinan hubungan politik dan ekonomi khususnya
menjadi dapat dikembangkan lebih jauh. Hubungan Indonesia dan
Timteng tidak cukup hanya bermuatan hubungan keagamaan. Diperlukan
hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak,
terutama ujungnya nanti di bidang kesejahteraan.
Kalau tidak, kata salah seorang teman yang berdiskusi itu, puncak
pengetahuan Timteng tentang Indonesia sebatas TKW. Indonesia adalah
TKW, manusia rendahan yang tak punya ketrampilan dan prestasi kecuali
ngepel, masak dan segala macam pekerjaan kasar. Sebagian dari TKW
itu disebut Siti Rahmah, bisa dipakai dengan khomsina (50) reyal.
Pasti di Indonesia belum ada gedung tinggi, belum punya pesawat, kulkas
dan handphone.

Saya tidak berani tampil turut berpendapat. Hanya berani membawa tema
itu ke forum bulanan saya di Jombang, Surabaya, Yogya, Semarang dan
Jakarta, di mana ribuan orang berkumpul dari pukul 20.00 hingga 03.00.
Saya tidak termasuk manusia Indonesia yang nge-fans sama Timteng,
berkata salah seorang, Sepengetahuan saya sangat sedikit orang
Indonesia yang beranggapan bahwa untuk mencapai Islam kaffah harus
berorientasi ke Timteng.
Yang lain berpendapat, Kita dipelajari habis oleh Belanda, khasanah
utama sejarah kita ada di Leiden, dan kita mengeluh. Sekarang bangsa
lain tidak mempelajari kita, kita juga mengeluh. Apakah kelak kalau
kampus-kampus Timteng menyelenggarakan studi Islam Indonesia,
sehingga mereka akan lebih mengerti kita dibanding kita sendiri, lantas
kita juga akan mengeluh.
Lainnya lagi menyatakan, Saya kok bersyukur mereka tidak
memperhatikan kita. Memang tak usahlah Timteng mempelajari
Indonesia, kita saja yang mempelajari Timteng. Kita pandai tentang
mereka, dan mereka bodoh tentang kita. Yang mempelajari pasti lebih
unggul, menang dan mulia dibanding yang dipelajari. Kita pelihara
anggapan Timteng bahwa Indonesia adalah TKW, sehingga duta utama
kita di sana ya TKW saja.

Emha Ainun Nadjib, 1 Januari 2009

Edaran Untuk Jamaah Maiyah

Kepada semua Khalifah Jamaah Maiyah Nusantara (KJMN)


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Dimulai bulannya Rasulullah SAW, terutama dalam jangka pendek
menyongsong bulan Maret dan Mei 2012, serta untuk seterusnya, saya
mohon kepada para KJMN untuk bersama-sama bahu membahu
menyangga Nusantara.
KJMN meneguhkan di dalam batinnya, fikiran:
1.

Selalu eling untuk menjaga kepenuhan Allah SWT dan Rasulullah


Muhammad SAW di hati, fikiran dan jiwa.

2.
3.

4.
5.
6.

7.

8.
9.

Selalu sadar dan peka untuk tidak berlaku menyakiti Allah SWT dan
membuat sedih hati Rasulullah Muhammad SAW.
Memohon kepada Allah SWT perlindungan dan keselamatan bagi
semua yang hidupnya menomersatukan Allah dan mensyukuri
kecukupan rahmat-Nya serta nikmat syafaat Rasul-Nya, yang berupa
wujud sunnah qudroh keduniaan apapun asalkan di dalam rohani cinta
kepada Beliau berdua.
Memohon perkenan Allah SWT untuk meneguhkan mandat khilafah
kepada kesungguhan perjuangan dan cita-cita rahmatan lilalamin
para KJMN.
Memohon peneguhan kuasa dan keadilan yang maujud atas semua
yang membelakangi Allah dan Rasul-Nya, yang merusak bumi dan
memperhinakan martabat manusia.
Memohon anugerah marifatul-jihad, hidayatul-jihad dan hifdhuljihad, sebatas hak kekhalifahan, agar menolong KJMN dalam
menyusun langkah-langkah Jihad Ilahiyah yang sudah dan sedang
dijalankan.
Memohon keluangan waktu atau kelonggaran kesempatan karena
menurut batas ilmu yang diselami oleh KJMN dari hamparan ilmu Allah,
diperlukan era-era yang tidak pendek untuk mewujudkan jihadulmaiyah.
Memohon tambahan ilmu, quwwah dan sulthan, memohon
tuntunan dan panduan, agar para KJMN diperjalankan oleh Allah SWT
di jalur yang tepat sebatas daya dan skala yang Allah perkenankan.
Memohon perlindungan bagi akar dan pohon Maiyah, bagi hutanhutan dan taman-taman Maiyah, dari segala marabahaya dari bumi
maupun angkasa.

KJMN meneguhkan di dalam lelaku:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Banyak melakukan puasa seikhlasnya dan sekuatnya.


Meningkatkan kesungguhan ibadah makhdloh serta memperdalam
kekhusyukannya.
Memperluas dan memperdalam manfaat di dalam setiap
persentuhan dan keterlibatan individu, keluarga maupun masyarakat.
Memperbanyak tadarrus Al-Quran serta shalawat pada setiap
kesempatan yang memungkinkan.
Secara khusus menyempatkan membaca semua atau yang mana
saja di antara Surah Yasin, Surah Al-Khasyr, Surah Muhammad, AlAhzab, Al-Hajj dan Al-Waqiah.
Bagi yang kemampuannya terbatas mohon banyak-banyak
membaca ayat-ayat terpenting dari Allah SWT yang menyangkut
kekuasaan, penjagaan dan keadilan-Nya, seperti Ayat Kursi, doa atau
firman yang berkaitan dengan Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim,
Nabi Yunus, Nabi Musa, serta doa-doa Rasulullah Muhammad SAW.

7.

Sebanyak mungkin membangun atmosfir rumah dan lingkungan


dengan lantunan qiroatul-Quran, shalawat-shalawat, serta suarasuara dari Sohibu Baiti.
8.
Tidak berpikir, berorientasi dan melangkah ke arah tujuan
kekuasaan dan kehebatan keduniaan, karena dua hal tersebut adalah
milik Allah, yang wajib diterima oleh para Khalifah jika Allah SWT
meminjamkannya, namun tidak boleh disentuh oleh para KJMN pada
posisi sebagai sesuatu yang diinginkan dan dikejarnya.
9.
Sehari-hari, membaca Al-Fatihah untuk Rasulullah Muhammad SAW,
untuk Syekh al Kurdi al-akbar Bahauddin Syah Naqsyaband, serta
untuk Syekh Nursamad Kamba, kemudian membaca 11 kali.

(Ya khafiyyal althaf adriknaa biluthfikal khafiy; Ya muhawwilal hawli


wal ahwal hawwil haalana ila ahsanil ahwal).
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Muhammad Ainun Nadjib
Kadipiro, 4.02.2012

Pengantar BangbangWetan Mei 2012


Empat Retakan Jiwa Bangsa Nusantara

Perahu Retak aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal 1980an
yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada awal abad 15. Inti
kandungannya adalah kegagalan Bangsa (yang pernah sangat besar)
Nusantara untuk menemukan kepribadian sosialnya sesudah punahnya
kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.
Kepribadian sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang lebih luas.
Misalnya, ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan
bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun
Kerajaan atau (sekarang) Negara, dengan segala perangkatnya, dari
konstitusi, hukum, persambungan sosial-budaya, strategi sejarah, sistem
perekonomian, hingga karakter kemanusiaan di dalam membangun atau
memelihara kebudayaan, serta yang lebih besar: peradaban.

Mungkin lebih jelas kalau cara pandangnya kita tujukan langsung pada
keadaan bangsa Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya,
kehilangan ukuran hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil.
Kehilangan dari kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan
pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun
manusia. Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya, kehilangan
pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan
rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak
apapun saja kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda, itupun
salah berat konsepnya tentang materi dan harta benda.
Embrio kemusnahan kepribadian sosial Bangsa Nusantara itu dimulai
secara substansial di akhir era Majapahit. Mulai retaknya kepribadian
Bangsa Nusantara itu yang disebut Perahu Retak, di mana lakon teater
ini berkisah tentang upaya Seorang Pengelana untuk menghindarkan
kemusnahan yang lebih total. Pengelana itu hadir di bumi sebagai Syekh
Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga
memerankan Smarabhumi di Tikungan Iblis dan Ruwat Sengkolo di
Nabi Darurat).
Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai
kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga
bermartabat. Dan pangkal pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih
Gadjah Mada.
Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau
ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk
memelihara martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian
Majapahit runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di
wilayah Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur
meskipun tidak ada manusia lain di luar Majapahit.
Tanpa semburan lumpurpun kebesaran Gadjah Mada akan meretakkan
psikologi rakyat Majapahit di era-era sesudahnya, karena semakin lama
semakin mengalami degradasi oleh tiadanya tokoh sekaliber Gadjah
Mada. Memelihara apa yang pernah diperjuangan dan kemudian
dipanggul oleh Gadjah Mada sajapun tak mampu. Raja Majapahit
terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat disebut Gubernur salah satu wilayah
Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena dianggap tidak
mampu membangkitkan kembali kebesaran Majapahit.
Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan
kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit benar-benar
mengalami Sirno Ilang Kertaning Bumi, kebesaran Gadjah Mada berubah
menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting psikologi sejarah
Bangsa Nusantara.
Hari ini, retakan itu sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia
bukan hanya tidak sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang

pernah mereka capai. Bahkan ummat manusia Republik Indonesia


sekarang ini tidak percaya bahwa nenek moyang mereka pernah
mencapai kebesaran sejarah di muka bumi. Anak-anak muda, bahkan
banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara berpikir Penguasa dan
Media Massa, malah mengejek setiap ucapan yang menyebut kebesaran
kita di masa silam.
Hari ini bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bangsa yang
hidup tenteram dengan ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri,
bahkan penuh kebanggaan untuk menghina dan merendahkan dirinya
sendiri.
Sunan Ampel dan seluruh Dewan Wali Sembilan sepakat mempercayakan
kepada Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga untuk berjuang merekatkan kembali
retakan-retakan yang terjadi pada Bangsa Nusantara.
Disain Kalijagan sangat dahsyat. Ia melakukan konsientisasi dan
persiapan kebangkitan langsung ke diri Prabu Brawijaya V sendiri beserta
keluarganya. Kemudian lapisan berikutnya: Angkatan Bersenjata
Majapahit dan para Dewan Sesepuh Kerajaan. Kanjeng Sunan Kalijaga
dengan tandas dan efektif serta dalam waktu yang relatif singkat
mengeksekusi transformasi Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan
Demak. Melakukan reformulasi kenegaraan dari Kerajaan Kesatuan ke
Persemakmuran Perdikan-Perdikan. Dengan langsung menyebar kaderkader utamanya, yakni sebagian besar dari 117 putra Prabu Brawijaya V
untuk menjadi Kepala-Kepala Tanah Perdikan di seantero Nusantara.
Sebagai contoh Harya Dewa Ketuk dijadikan Kepala Tanah Perdikan di Bali,
Harya Lembu Peteng di Madura, Harya Kuwik di Kalimantan, Retna Bintara
di Nusabarong, Jaka Prabangkara di Dataran Negeri Cina, serta berpuluhpuluh lain di berbagai Negara Bagian dan rata-rata menjadi legenda di
tempat masing-masing; Syekh Belabelu, Betoro Katong, Ki Ageng Mangir,
dlsb. Puncak dari semua adalah putra Brawijaya V ke-13 Raden Jaka Praba
atau Raden Patah diangkat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi penerus
Bapaknya dalam transformasi di Kasultanan Demak Bintoro.
Akan tetapi itu semua justru menunjukkan jenis retakan lain pada
kejiwaan Bangsa Nusantara. Kanjeng Sunan Kalijaga tidak pernah
menyangka hal itu, padahal beliau dianugerahi hidup dengan usia sangat
panjang, melalui empat zaman di mana beliau berperan langsung sebagai
Pemangku Sejarah.
Bangsa Nusantara tidak sanggup menanggung sekaligus empat tantangan
di dalam jiwa dan alam berpikirnya.
Tantangan pertama, trauma kebesaran Gadjah Mada.
Kedua, tantangan yang berupa datangnya bangsa Portugis yang
membayang-bayangi kedaulatan mereka, yang berkeliaran di lautan-

lautan Nusantara tanpa mereka memiliki kepemimpinan, kesatuan dan


peralatan sebagai di masa lalu tatkala Gadjah Mada memimpin.
Ketiga, datangnya alam pikiran baru, spiritualitas Bumi Langit baru yang
berupa Agama Islam.
Keempat, ketidak-siapan mereka untuk mandiri dan otonom, untuk hidup
dalam semacam Persemakmuran Kemandirian, dan bukan hidup menjadi
satu kesatuan tidak di bawah Raja Besar sebagaimana di jaman kejayaan
Majapahit.
Sirnanya kebesaran Majapahit membuat rakyatnya uring-uringan sendiri
dan bertengkar sehingga bermunculan faksi-faksi sosial atau
pengelompokan-pengelompokan yang bermacam-macam dengan tujuan
untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.
Datangnya kekuatan dari Eropa juga bukan mempersatukan mereka,
melainkan menambah koloni-koloni untuk menyelamatkan diri masingmasing berdasarkan satuan-satuan sosial seketemunya saat itu.
Kelemahan sejarah mereka antara lain adalah karena jenis ekspansi
kolonialisme yang dilakukan oleh Gadjah Mada bukan murni imperialism
dan penjajahan kekuasaan, melainkan bersemangat pemersatuan dengan
watak memangku semua wilayah yang dipersatukan. Sebab memang
demikian filosofi dasar Bangsa Jawa sejak ribuan tahun sebelumnya.
Seharusnya mereka lebih kejam, sehingga terlatih juga untuk
mempertahankan diri terhadap kekejaman yang datang.
Datangnya Islam juga menimbulkan pemecahan sosial dalam satuan yang
berbeda. Kekuatan dan kebijaksanaan yang diselenggarakan oleh Kanjeng
Sunan Kalijaga sangat mencukupi muatan nilai-nilainya untuk
mempersiapkan Bangsa Nusantara menjalankan transformasi, tetapi yang
tak bisa ditaklukkan oleh Kalijaga adalah hakekat waktu. Bahwa Bangsa
Nusantara memerlukan waktu yang panjang untuk menjadi Kaum
Muslimin yang matang dan berpengalaman mengantisipasi tantangantantangan.
Pada saat yang sama Raden Patah memimpin mereka tidak dengan
metoda dan kekuatan seperti Bapak dan kakek-kakeknya, karena beliau
adalah salah satu murid utama Sunan Kalijaga yang mendidiknya berfikir
secara rahmatan lilalamin. Raden Patah menawarkan rintisan
Demokrasi, otonomi daerah, peralihan cara berpikir dari kawulo ke
khalifatullah, persemakmuran yang saling berangkai, dan seterusnya.
Dan mantan rakyat Majapahit tidak siap.
Empat retakan atau berbagai ketidak-siapan itu melahirkan beragamragam perpecahan dan konflik. Ada konflik atas dasar hak kekuasaan, itu
berlangsung di kalangan keluarga Kerajaan yang cabang-cabang pohon
nasabnya sudah sangat besar dan lebar.

Ada konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang membuat
berbagai wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan
kemandirian dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme
kekuasaan di lokal-lokal.
Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah tafsir Agama. Antara
yang menolak Islam dengan yang menerima Islam. Antara yang menerima
Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang mengambil Islam
untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Antara yang
puritan menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang merancukan
Islam dengan tradisi budaya. Antara individu atau kelompok masyarakat
yang kadar penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda, bertingkattingkat.
Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke segala penjuru,
menciptakan polaritas-polaritas baru yang bersaling-silang. Kiai Kanjeng
Sunan Kalijaga merupakan semacam padatan Muhammad kecil bekerja
dan berjuang sangat keras dalam skema sosial yang penuh retakanretakan semacam itu.
Meskipun beliau merambah ke delapan penjuru angin, memasuki bilik-bilik
Kraton hingga mengurusi kaum tani di pelosok dan para gelandangan,
hanya berhasil menanam infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang
sangat Islami dan dahsyat, namun memerlukankontinyuasi dan akselerasi
perjuangan pada para pelaku di zaman berikutnya.
Perjuangan Sunan Kalijaga itu bahkan terganggu sangat serius oleh
keras dan meluasnya konflik-konflik pada Masyarakat Nusantara yang
semakin kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya
Kesultanan Demak sampai beberapa Sultan, dengan keadaan di mana
kepemimpinan Demak belum cukup matang untuk mensosialisasikan nilainilai Islam Kalijagan, dan pada saat yang sama rakyat Demak juga kurang
terdidik untuk menjadi pelaku yang sadar dan aktif dari
reformulasi Kalijagan.
Kiai Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal kesultanan Pajang yang
semakin mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas
Karebet, Sultan Hadiwijaya, Raja terakhir Pajang, menyerahkan
kontinyuasi kepemimpinannya kepada anak angkatnya, Sutawijaya,
dengan mendirikan Kerajaan (bukan Kesultanan) Mataram, maka saat
itulah lahir Indonesia.
Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sari-nya ad-Din), Pengelana yang
dikisahkan dalam Perahu Retak adalah cucu murid Kanjeng Sunan
Kalijaga melalui Sunan Kudus muridnya.
Ia memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan Kalijaga
yang saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan
recovery dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas

Kalong (kalong: pengelana), putra sulung Pangeran Benowo, seorang yang


seharusnya memegang kuasa untuk mengembalikan etos Demak di ujung
Pajang.
Pangeran Benowo pergi menyingkir dari Kesultanan karena tidak tahan
hati menyaksikan multi-konflik yang terus berlangsung dan makin parah.
Sehingga kekuasaan kemudian dipegang oleh tokoh yang tidak berada
pada garis nasab Majapahit (dan sempalan inilah yang kemudian menjadi
Kraton Pakubuwanan dan Hamengkubuwanan yang masih ada sampai hari
ini).
Syekh Jangkung mengajak Kalong berkeliling membangun Masyarakat
Nusantara Baru, berusaha menyelesaikan berbagai konflik dengan metoda
sebagaimana yang diajarkan secara sangat mendalam namun bijak oleh
Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangkung dan Kalong berusaha
memaiyahkan Masyarakat Nusantara, namun jatah waktu kehidupan
beliau tidak mencukupi, sebagaimana Sunan Kalijaga sendiri
seharusnya berusia tiga kali lipat dari 126 tahun.
Mataram adalah Indonesia kecil yang meresmikan retakan-retakan
mental dan cara berpikir Bangsa Nusantara. Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah Mataram besar yang memuncaki keretakan itu, sampai
pada tahap bagaikan tiada lagi Nusantara ini, dari berbagai sudut
pandang, cara pandang maupun jarak pandang.
Hari ini dan seterusnya, Anda semua para Jamaah Maiyah adalah
Jangkung-Jangkung Kalong-Kalong yang sedang ditantang oleh sejarah.

Muhammad Ainun Nadjib


Yogya 6 Mei 2012.

Antara Tiga Kota

di Yogya aku lelap tertidur


angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih

tetap hidup sambil mengantuk


kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga?

Jakarta menghardik nasibku


melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga

Surabaya seperti ditengahnya


tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
ika aku mendekatinya
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga?

Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,1997 (Dokumentasi


Progress)

(Kesunyian Manusia dalam Negara)


Titik Nadir Demokrasi

Yang sedang kita lalui sekarang ini adalah hari-hari yang sedang sangat
rawan-rawannya bagi kehidupan hati nurani, akal sehat dan kemanusiaan.
Hari-hari penghancur logika, penjungkir-balik rasionalitas dan peremuk
kejujuran. Hari-hari di mana pengetahuan dan ilmu manusia diselubungi
oleh kegelapan, atau sekurang-kurangnya keremangan. Hari-hari di mana
manusia, kelompok-kelompok masyarakat, lembaga dan birokrasi sejarah,
bukan saja tidak memiliki akurasi, kejernihan dan kejujuaran dalam
menatap hal-hal di dalam kegelapan tapi lebih dari itu bahkan tidak
semakin bisa mereka pilahkan beda antara cahaya dan kegelapan.
Inilah hari-hari di mana kebanyakan manusia bukan hanya kehilangan
alamat kemanusiaannya, alamat rohaninya, alamat moralnya, lebih dari
itu juga kehilangan alamat sosialnya, alamat politik, ekonomi dan
kebudayaannya. Inilah hari-hari di mana standar-standar pengetahuan
bersifat terlalu cair, di mana pilar-pilar ilmu dan pandangan kabur pada
dirinya sendiri, di mana kepastian hukum bersifat terlalu gampang
dilunakkan dan diubah bentuk maupun substansinya sehingga juga
sangat gampang kehilangan kepastiannya.
Inilah hari-hari di mana makhluk kekal yang bernama rakyat tidak
dipandang sebagai Ibu dari siapapun, melainkan lebih diperlakukan
sebagai anak-anak kecil, yang sangat banyak di antara mereka
diperhatikan hanya sebagai anak tiri yang hampir selalu dianggap
potensial untuk bodoh dan bersalah. Inilah hari-hari di mana makhluk
yang bernama politik tidak lagi mengenali dirinya sebagai anak dari
kedaulatan rakyat. Di mana para pelakunya melakukan perjalanan sejarah
yang berpangkal tidak di kepentingan rakyat dan berujung juga tidak di
kesejahteraan rakyat, tanpa kondisi itu disadari oleh subyek-subyeknya.
Para pelaku kedhaliman merasa tidak enak terhadap perasaannya sendiri,
sehingga mereka berusaha menutup-nutupinya bungkus kemuliaan dan
label keluruhan sampai pada akhirnya mereka kehilangan obyektivitas
dan benar-benar percaya bahwa yang mereka lakukan memang bukan
kedhaliman. Para pekerja kediktatoran bisa meminta bantuan kepada para
pekerja ilmu untuk meyakinkan diri mereka bahwa itu bukan kediktatoran.
Para penerap monopoli, oligopoly, subyektivisme kekuasaan dan
hedonism keduniaan, bisa dengan gampang membeli parfum-parfum
untuk mengubah kebusukan menjadi seakan-akan berbau harum, sampai
akhirnya mereka yakin bahwa yang terpancar dari diri mereka adalah
aroma-aroma harum.

Orang-orang yang paling tidak eling dengan mantap menganjurkan agar


orang lain eling. Orang-orang merasa menjalankan etos waspada, padahal
yang diwaspadainya adalah geliat dan kemungkinan gerak dari musuhmusuh yang mereka ciptakan sendiri: kewaspadaan bukan lagi kehatihatian berperilaku di hadapan mata pandang Tuhan, moralitas dan nurani
kemanusiaan. Adapun siapakah yang sesungguhnya gila, edan dan
sinting di zaman serba kabur dan rabun ini tatkala hampir setiap aku
dan kami telah sedemikian yakin bahwa dia, kalian dan mereka yang
edan? Sedangkan para dia, para kamu, para kalian dan mereka
adalah aku dan kami juga bagi diri mereka sendiri?
Inilah hari-hari di mana kejahatan memproduk kebodohan. Di mana
kebodohan, yang bekerja sama dengan suatu jenis kepandaian tertentu,
mendorong terciptanya kejahatan. Di mana kebodohan berdialektika
dengan kejahatan untuk memproses lahir dan berkembangnya destruksidestruksi sistemik dan structural atas bumi, nilai-nilai dan manusia.
Inilah hari-hari sarat penyakit. Hari-hari penuh penyakit di dalam diri
manusia. Penyakit dalam kalbu, yang meruak pikiran, kita suburkan,
bahkan kita agung-agungkan, sehingga Tuhan membengkak menjadi
gumpalan-gumpalan besar karena memang demikian sifat dan
kesukaanNya.
Penyakit-penyakit dengan omset ekonomi politik yang tinggi, dengan
mobolitas total di hampir seluruh wilayah penjaringan kekuasaan, dengan
penekanan-penekanan konstan agar institusi-institusi informasi dan
komunikasi menjadi kepanjangan tangan dari kedholiman, serta kemudian
dengan peraihan sejumlah kambing-hitam yang periodik, juga dengan
sejumlah sesaji zaman yang bukan hanya dilabuh melainkan juga dicacahcacah secara kolektif dalam atmosfir hukum rimba kebudayaan.
Jalanan zaman yang sedang kita lewati sekarang ini adalah jalanan yang
sedang licin-licinya, namun berserakan batu-batu terjal di sana-sini. Di
tempat-tempat tertentu yang semula tidak licin, hari-hari ini ia ditaburi
cairan-cairan penggelincir. Jalanan ini menggelincirkan manusia ke
berbagai arah, di mana sebagian itu dirancang, direkayasa, dengan
tingkat kecanggihan strategis dan taktis yang gelap di mata para pakar
namun seluruh dunia tak meragukannya.
Jalanan ini licin tidak hanya bagi siapapun saja yang mendambakan dan
mempertahankan tegaknya akal sehat, bagi kejujuran, bagi murninya
nurani dan teguhnya prinsip-prinsip nilai: ia juga licin bagi para
penguasanya. Para pelaku ketidakjujuran tergelincir untuk sedemikian
khusyuk meyakini bahwa yang mereka lakukan adalah kejujuran. Orangorang yang menghancurkan bangunan moral di dalam diri mereka sendiri,
tergelincir untuk percaya bahwa yang mereka kerjakan adalah kemuliaan
dan budi luhur. Orang-orang mengangkat penipu menjadi pahlawan,
orang-orang yang menguburkan para pecinta kebenartan di kubur busuk,
atau sekurangnya melemparinya dengan batu-batu kutukan, yang

kemudian disusul oleh ribuan penguntuk lainnya yang mengutuk tanpa


kegelisahan untuk bertanya apakah merteka benar-benar memahami apa
yang mereka lakukan atau tidak. Orang-orang mem-blow up kilatan emas
semu dan mentakhayulkannya habis-habisan dalam pesta hedonism sejati
hanya karena ia terbungkus oleh kekumuhan dan kebersahajaan.
Inilah hari-hari dimana kekuasaan mustahil untuk dilawan, juga oleh para
penyusun dan pelakunya sendiri. Inilah hari-hari di mana raksasa-raksasa
Cakil didoakan oleh berjuta orang agar bersegera menusuk perutnya
sendiri dan memuntahkan ususnya keluar. Inilah hari-hari di mana
Suyudana bukan hanya mengaku Yudhistira, melainkan yakin sepenuhnya
bahwa ia memang Yudhistira. Inilah hari-hari di mana para Dursasana
menatap wajah mereka sendiri di cermin dan yang tampak adalah Bima.
Inilah hari-hari di mana Aswatama yang pengecut mendandani dirinya
dengan kostum Arya Setyaki dan membusungkan dadanya karena
percaya bahwa mereka sesungguhnya gagah perkasa. Inilah hari-hari di
mana Karna-Karna kecil menginterpretasikan tradisi penjilatan sebagai
perwujudan hutang budi dan keabsahan nasionalisme. Inilah hari-hari di
mana Semar direformasikan dan direfungsionalisasikan dalam peranperan yang membuat roh Semar sendiri terpingsan-pingsan karena
kebinggungan.
Inilah hari-hari di mana manusia meletakkan dunia, capital, modal dan
segala sumber daya di tangan kanan, sementara Tuhan, para Nabi dan
Agama digenggam di tangan kiri. Tangan kanan itu mengendalikan dan
menjadi pelaku pergerakan-pergerakan utama dalam sejarah, menjadi
pusat Negara dan pembangunan kemudian hanya pada saat-saat
terpojok dan terancam saja genggaman tangan kiri dibuka, untuk
kemudian Tuhan didayagunakan simbiol-simbolNya untuk menyelematkan
diri.
Inilah hari-hari di mana manusia membangun kekuasaan dan kekayaan
untuk menindas orang lain, untuk kemudian menindas kemanusiaannya
sendiri. Karena kemanusiaan tidak hanya beremanyam pada rakyat, pada
wong cilik, pada bawahan-bawahan, melainkan juga bertempat tinggal di
badan siapapun saja meskipun ia menduduki singgasana-singgasana
sejarah yang tinggi dan mewah.
Inilah hari-hari di mana konteks yang mempolarisasikan antara yang
berkuasa dengan yang dikuasai sesungguihnya bersifat multi-dimensi,
sehingga pandangan yang memiliki emphasis perhatian terhadap
pemerintah dan rakyat atau militer dan sipil harus memperbaharui
dirinya dan memperluas cakrawalanya. Karena di dalam tatanan struktur
sosial dengan sistem kekuasaan politik yang sangat bersifat kulturistik:
keterkuasaan atau ketertindasan tidak terletak opposisional selama ini
sebagaimana yang menjadi isyu pokok setiap pemikiran opposisional
selama ini hanya pada makhluk sejarah yang bernama rakyat, wong
cilik, petani atau kaum buruh; melainkan bisa juga berlaku pada seorang

prajurit, petugas kepolisian, karyawan sebuah kantor pemerintah, atau


bahkanpun seorang Mayor Jendral.
Jadi inilah hari-hari di mana manusia terbumerangi oleh bangunan dan
sistem-sistem kekuasaan yang ia ciptakan sendiri. Jikapun seseorang atau
sekelompok orang mendiami dan menggenggam pusat kekuasaan itu
sama sekali tidak menjamin bahwa ia atau mereka berkuasa atas sistem
yang mereka rekayasa sendiri tersebut. Inilah yang Allah sendiri selalu
memperingatkan. Manusia menganiaya dirinya sendiri.
Atau bahkan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai bisa terdapat
pada sekaligus wilayah kaum penindas maupun daerah kaum tertindas.
Lebih dari itu, peta keterkuasaan dan ketertindasan sudah tidak hanya
beralamatkan pada geopolitik atau geoekonomi, melainkan juga yang
lebih intrinsic: geopsikologi. Di dalam ruang kemanusiaan setiap orang
terdapat potensi Negara, potensi militer, potensi keberkuasaan; sekaligus
potensi rakyat kecil, potensi sipil, potensi ketertindasan. Sebaliknya di
dalam kosmos Negara, kemanusiaan yang tertekan tidak hanya
kemanusiaannya wong cilik, tapi mungkin juga kemanusiaannya seorang
Jendral, seorang Bupati, dan lain sebagainya.
Inilah hari-hari kesunyian manusia dalam Negara. Manusia terasing di
dalam rumah sejarahnya sendiri. Manusia menciptakan penjara-penjara
politik yang pengap, penjara-penjara ekonomi yang menyesakkan dan
mencambuki punggung, serta penjara-penjara kebudayaan yang
wajahnya gemerlap namun membuat lubuk nuraninya lenyap ke ruangruang hampa. Manusia menciptakan penjara-penjara sampai akhirnya
rekayasa-rekayasa untuk mempertahankan eksistensi penjara-penjara itu
menjelma menjadi penjara tersendiri yang lebih dahsyat kungkungannya.
Sebagian manusia mengasingkan saudara-saudaranya sampai mereka
sendiri terasing dan kesepian, serta tidak kunjung bisa menjamin bahwa
jika ia melepaskan diri dari kesepian itu keadaan akan lebih baik bagi diri
mereka. Manusia terasing dari produk-produk peradabannya sendiri,
karena di dalam bangunan itu kemanusiaan tidak dinomersatukan, juga
kemanusiaan yang terkandung di dalam diri para penguasa itu sendiri.
Roda politik menggerakkan kereta sejarah ke cakrawala yang
sesungguhnya tidak dikenal oleh gagasan dan filosofi awal tatkjala ilmu
politik dilahirkan. Roda ekonomi dan teknologi menggulirkan zaman ke
benua-benua peradaban yang di setiap ujungnya membuat rohani
manusia-manusia pelakunya mereka kecele.
Sementara kebudayaan hanya sanggup menyediakan panggungpanggung joget bagi perasaan-perasaan picisan, bagi napsu-napsu
permukaan yang tidak pernah mempertanyakan dirinya, serta bagi upayaupaya katarsis kecil-kecilan dan temporal, atau kamuflase dan eskapisme
yang penuh berisi omong kosong yang dibangga-banggakan. Kebudayaan
kontemporer memasang gedung-gedung, panggung-panggung dan layar-

layar pertunjukan serta arena ajojing yang watak dan temanya satu
belaka: yakni proses pendangkalan kemanusiaan.
Inilah hari-hari di mana titik nadir demokrasi telah dicapai dengan amat
sukses, sehingga budaya otoritarianisme semakin tidak bisa dikontrol,
tidak saja oleh lembaga-lembaga kebenaran dan moral, tapi juga bahkan
tidak terkontrol oleh diri para penguasa itu sendiri. Inilah hari-hari di mana
terdapat kerjasama sejarah yang otomatik antara mereka yang berkuasa
dengan mereka yang tidak berkuasa untuk sampai batas tertentu
bersama-sama mentradisikan kepatuhan terhadap system kedhaliman
yang diciptakan oleh semua pihak secara dialektis.
Inilah hari-hari di mana kita bisa dengan gambling menyaksikan terputus
dan terbuntunya tugas kebenaran dunia ilmu dan kaum intelektual dari
realitas kekuasaan Negara. Sehingga kenyataan-kenyataan runtuhnya
akal sehat politik dan kebudayaan bukan saja semakin tidak bisa
diantisipasi, melainkan terkadang malah dikukuhkan oleh lembagalembaga ilmu. Karena para pekerja kebenaran ilmu, para pengembara
pengetahuan, beserta institusinya, sudah terlalu lama tidak berkeberatan
untuk bertempat tinggal di propinsi sejarah yang tidak memiliki otonomi
nilai dan independensi politik.
Inilah hari-hari di mana Agama semakin terasing dari para pelakunya. Di
mana agama tidak disikapi rendah hati oleh para pelakunya, melainkan
dijadikan alat untuk tidak dewasa dan pemarah. Di mana Agama tidak
dijadikan samudera ilmu, melainkan dijadikan jimat-jimat beku yang
disimpan, dielus-elus, namun tidak diperkenalkan kepada hakekat realitas
dan tidak diterjemahkan ke dalam syariat sosial sebagaimana Agama itu
sendiri menuntunnya. Di mana Agama tidak dijadikan sumur kearifan dan
kolam kedamaian, melainkan dipandei menjadi pisau tajam untuk
mengiris-iris ulu hati dan harga diri sebagian hamba Allah.
Inilah hari-hari di mana Agama tidak digali akurasi moral dan power
(akhlaq dan sulthan)nya demi mengontrol dan membimbing perilaku
kekuasaan, sehingga nilai-nilai Agama justru banyak tersisakan sisi
simboliknya belaka yang dipresentasikan justru pada fungsi legalisasi dan
legitimasinya terhadap perilaku kekuasaan belaka.
Inilah hari-hari semakin tidak berdayanya kaum seniman dan pekerja
kebudayaan terhadap proses dekulturasi budaya kekuasaan, sehingga
mereka sendiri mengalami stress kekaburan diri, degradasi integritas
sosial serta hanya terpukau pada khayal-khayal subyektif. Inilah hari-hari
ini di mana kantong-kantong kreativitas dan kemerdekaan mencipta tidak
memiliki geografi konkret, dan hanya terdapat di kandungan hati dan
mentalitas masing-masing seniman dan pekerja kebudayaan.
Inilah hari-hari di mana dua sayap tugas kaum seniman dan pejalan
kebudayaan tiba pada titik mutu terendahnya. Pertama tugas kreativitas
kesenian yang semakin tidak mengenali seberapa luas cakrawalanya,

seberapa tingkat eksplorasi tematik dan fungsi sosial yang semestinya


bisa dijangkau. Kedua tugas para seniman sebagai warga suatu system
Negara, untuk mengamankan propinsi kreativitasnya serta wilayah
kemerdekaan seluruh rakyat yang menjadi Ibu kebudayaannya melaui
jaringan perjuangan hukum dan politik dan bukan hanya melalui
himbauan serta tradisi mengemis kemerdekaan.
Inilah hari-hari semakin tidak jernihnya mata pandang lembaga-lembaga
informasi dan komunikasi. Para kuli tinta tidak sempat merenung dan
harus berlari cepat dalam keasyikan budaya oplag yang tidak cukup
sempat mengontrol diri dengan (karena semakin tipisnya) tradisi kejernian
ilmiah, serta oleh skala prioritas moral dalam politik keredaksiannya. Para
jurnalis tidak punya waktu, stamina mental dan kelapangan jiwa untuk
selalu mempersegar kembali standar-standar persepsinya terhadap
realitas hidup, terhadap ukuran-ukuran kualitas makhluk manusia,
terhadap skala moral dan kebenaran nilai-nilai.
Inilah hari-hari di mana jaringan para pelaku budaya tanding, di mana
network kekuatan-kekuatan opposisional dalam sejarah, di mana segmensegmen gerakan demokratisasi tidak kunjung sanggup menyembuhkan
penyakit atau mengurangi kelemahan di dalam diri mereka sendiri. Di
mana bukan saja tak kunjung tercapai jaringan kerjasama yang kondusif
dan komplementer simbiose mutualistic) untuk memproses perbaikanperbaikan sejarah, melainkan terkadang malah melarihkan langkahlangkah yang counter-productive. Di mana skala prioritas perjuangan tak
kunjung disepakati, di mana psikologisme dan egoism antar kelompok tak
kunjung bisa disirnakan, serta di mana langkah-langkah strategis dan
taktis tak kunjung dititik-temukan. Di mana pasukan demokratisasi
masih banyak dipenuhi oleh ideological inter prejudice, oleh lack of trust
serta oleh terpuruknya jaringan itu pada masalah-masalah yang
sesungguhnya tidak prinsipal.
Inilah hari-hari di mana Allah menganugerahimu kesunyian. Di mana Allah
mengujimu dengan hal-hal yang karena belum tersentuh sungguhsungguh oleh tangan kejuanganmu terasa sebagai duka dan kepiluan.
Inilah hari-hari di mana kegelapan mengepung demi memberimu ilham
tentang cahaya. Di mana keedanan memuncak untuk menawarkan
kepadamu kewarasan. Di mana kebuntuan-kebuntuan menabrakmu dan
mengundangmu untuk menjebolnya.

Yogyakarta, 21 april April 1995, 10.30 WIB


Pidato Kebudayaan Emha Ainun Nadjib, 21 April 1995, Benteng Vredeburg
Yogyakarta

Konsep Teologi Sepeda Hilang

Pada suatu pagi, sekitar 15 tahun yang lalu, sepeda pancal alias sepeda
onthel saya hilang dari rumah kontrakan saya. Tentu diambil oleh salah
seorang dari anak-anak muda sekitar sini. Banyak dari mereka
pengangguran, dan lagi rumah ini memang dekat dengan pasar.
Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten
dan tidak rasional. Rumah ini memang tak pernah dikunci. Setiap orang
gampang sekali membuka pintu yang sebelah manapun dan mengambil
apapun. Jadi, kalau sepeda hilang, itu logis dan realistis.
Tapi saya tak peduli. Saya ke depan rumah, berdiri bertolak pinggang
menghadap ke arah pasar, dan berteriak: Kalau sepeda saya tidak
kembali sampai nanti sore, saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang
pengkor satu kakinya, cekot sebelah tangannya, atau pethot mulutnya.
Orang-orang di sekitar kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera
masuk rumah dan tidur lagi.
Tak disangka tak dinyana, ketika siang belum sempurna, pintu depan
diketuk berulangkali. Saya nongol, seorang anak muda berpakaian butut
berdiri dengan wajah ketakutan dengan sepeda berdiri terjagang di
sebelahnya.
Ketika saya menatapnya, ia menunduk. Kenapa kamu? Saya bertanya.
Maaf, Cak ia menjawab tersendat, saya yang mencuri sepeda
Sampeyan. Saya minta maaf. Sekarang saya kembalikan.
Lho, kenapa kamu kembalikan? Saya bertanya lagi.
Saya dengar dari orang-orang bahwa Sampeyan marah..
Tapi kan kamu butuh sepeda? Saya kejar terus.
Iya, siih.
Untuk apa sepeda?
Tempat kerja saya jauh sekali. Kalau saya jalan kaki, kejauhan. Kalau
saya pakai angkutan, gaji saya jadi terlalu sedikit.
Jadi kamu butuh sepeda?

Ya, Cak
Ya sudah, kamu bawa saja sepeda ini, kata saya, sekarang sepeda ini
sudah halal kalau kamu bawa. Saya sudah ikhlas, kamu sudah tidak
berdosa. Dan, Insya Allah, kalau yang kamu pakai adalah barang halal,
rejekimu akan berkah. Kalau tadi, karena kamu mencuri, maka kamu
berdosa, dan saya kamu tindas. Kamu dikutuk Tuhan, saya tidak
mendapat apa-apa kecuali kemarahan. Sekarang semua sudah halal dan
baik. Silakan pakai, semoga Allah menambah rezekimu dan meringankan
hidupmu.
Dia bengong. Saya masuk rumah dan kembali tidur.
Dengan dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke
subyek yang sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai
kalkulasi ekonomi dunia, maka saya rugi kehilangan sepeda. Maka saya
pakai teologi manajemen dunia akhirat, sehingga beralihnya sepeda saya
ke tangan anak itu tidak membuat saya kehilangan. Malah saya laba
banyak, bukan hanya pahala di akhirat, tapi Allah juga menjanjikan rezeki
berlipat ganda, entah berupa apapun, terserah Dia saja. pokoknya la in
syakartum la azidannakum.
Saya ini hampir selalu dikeluarkan dari setiap sekolah yang pernah saya
masuki. Jadi saya ini bukan kaum terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan
Kitab Kuning, maupun di sektor persekolahan modern. Jadi saya tidak tahu
banyak mengenai banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu
saya haqqul yaqin dan ainul yaqin bahwa apa yang saya pahami, sikapi,
dan lakukan dalam hal sepeda itu adalah konsep teologi Islam.
Apapun saja yang saya lakukan di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi
berikutnya, ketika berada di timur atau barat, tatkala berjaga, atau
mengantuk, sebisa-bisa saya tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep
teologi yang segamblang-gamblangnya.
Kalau saya menjumpai sebatang kayu melintang, saya sisihkan ke pinggir
supaya tidak menyandungi orang lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai
ia untuk menyangga sesuatu atau untuk apapun yang bermanfaat.
Konsep teologi saya ada lah bahwa segala yang di depan saya itu
merupakan amanat Allah untuk saya Islamkan. Di-Islamkan artinya diubah
dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi kegunaan dan
kemashlahatan.
Ingatan, kesadaran, dan formula konsep teologi itu harus terus-menerus
saya cari, saya pahami, dan saya terapkan. Dan itu berlaku untuk
pekerjaan yang kecil maupun yang besar. Untuk soal rumput di halaman
rumah sampai soal pekerjaan sejarah besar yang menyangkut
kebudayaan masyarakat.

Saya menyuapi mulut saya dengan nasi tidak karena saya ingin makan,
melainkan karena saya wajib memelihara kesehatan badan yang
dimandatkan oleh Pencipta saya. Saya mencangkuli tanah dan menanam
sesuatu bukan sekadar karena saya menyukai keindahan, melainkan juga
karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada di dalam hidup ini yang
namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau ditaruh di situ lantas
tumbuh dengan penuh keajaiban.
Saya berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin
menikmatinya, tapi karena saya wajib bergabung ke dalam irama
sunnatullah yang menyangkut badan dan jiwa saya. Saya bersedia pulang
ke rumah hanya beberapa hari dalam sebulan dan selebihnya diatur orang
banyak untuk berada di berbagai tempat dan melaksanakan kemauan
mereka, bukan karena itu karir saya atau profesi saya, karena saya tidak
punya karir dan tidak peduli profesi.
Saya lakukan itu semua karena, pertama, saya ini aslinya tidak ada,
kemudian Allah mengadakan saya, ia satu-satunya yang berhak atas saya,
dan karena itu segala yang saya lakukan bergantung pada kemauan-Nya.
Saya diberi wewenang oleh-Nya untuk berkemauan, tapi saya tidak
pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri saya dan dunia ini akan
pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas diri saya dan dunia ini.
Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan apapun sampai yang
sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian pengetahuan
tentang apa yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung Allah SWT
itu.
Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan dengan amr-Nya.
Terkadang cocok, terkadang tidak. Terkadang benar, terkadang salah. Tapi,
apapun yang terjadi, iradah itu harus saya lakukan dengan
menggunakan qoul-Nya supaya produknya adalah kun fayakun. Saya
tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi hanya itulah yang
saya pahami sebagai konsep teologi.
Maka, sebab kedua, orang-orang yang memintaku untuk melakukan
segala macam pekerjaan itu
ya kesenian, ya keagamaan, ya politik, ya ekonomi, ya pengobatan, yak
onsultasi kejiwaan, ya segala macam jenis partisipasi dan sumbangan
sosial tidak bisa saya yakini bahwa kemauan mereka itu benar-benar
terlepas dari kemauan Tuhan. Saya harus berspekulasi dan bersangka baik
bahwa mereka adalah penyalur amanat Tuhan kepada saya.
Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin ABRI, tidak berhak dilakukan
oleh manusia yang memiliki hubungan vertikal total dengan Allah tanpa
memberangkatkannya dari ingatan, kesadaran, dan konsep teologi yang
jelas.
Dengan kata lain, tak perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru
berpikir tentang konsep teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin

Golkar, bikin negara, bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan
titik tuju teologisnya.
Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika berformalisme
Islam, ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam formal dipakai atau
disembunyikan, ketika Islam diletakkan di kultur thok, atau juga di politik
resmi, semua terikat pada penyikapan teologis. Apalagi yang namanya
Partai Islam, harus terutama dilihat secara substansial: bisa saja namanya
Partai Daun atau Partai Kambing, tapi yang kita lihat adalah apakah
substansi kerjanya Islam atau tidak. Hanya orang-orang yang tradisinya
berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam hanyalah partai
yang memakai nama dan kata Islam.
Kalau ada parpol yang pilar perjuangannya adalah amar makruf nahi
munkar dan akhlaqul karimah, maka secara substansial ia telah
bersyahadat Islam. Bahkan kalau ada parpol lain yang memperjuangkan
demokrasi, kemerataan kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghormatan
atas haq asasi manusia, secara substansial ia bisa kita sebut partai Islam.
Masalahnya, tinggal ditunggu proses aktualisasinya saja: konsisten atau
tidak, istiqamah atau tidak.
Kalau misalnya saya sibuk dan mencemaskan berdirinya partai Islam,
karena toh substansi partai-partai yang ada juga relatif sudah
substantially Islam, maka berarti saya berpikir simbolik. Juga berarti saya
tidak paham bahwa kalau ada anjuran tentang partai Islam formal, itu
sekadar upaya pembebasan dari tradisi simbolisme: agar tidak resmi
Islam ya boleh, resmi Islam ya boleh. Yang penting, substansinya Islam
atau tidak.
Tidak hanya ketika saya pakai peci saya maka saya terikat oleh teologi
Islam. Tatkala saya pakai kaos oblong dan menjadi gelandangan di tepi
jalan pun saya terikat oleh Allah.

Merindu Nasionalisasi Indonesia

Berangkat dari Jokowi ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan


gubernur, politik Indonesia, atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat.
Inilah kerinduan manusia Indonesia.
Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini
menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka
terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.

Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang


berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan,
menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya
politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakilwakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih
imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam
kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran
pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk
memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih
berganti.

Manusia Berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa
depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani
beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani
menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan
dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir
besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan
melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap
melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil
dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era
Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau
Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan
bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau
menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka
memilih Jokowi, tidakpeduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya
begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih
hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin siapa tahu dan kalau-kalau
menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua
Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan wi telah
menyekunderkan Joko. Wi itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa
Indonesia untuk menuansakan masa silam.

Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada


leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang
berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno,
Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak
cucu yang galau berkepanjangan.
Jokowi itu nama yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah
sangat berpengalaman untuk tidak berharap pada kenyataan karena mau
berharap pada sesama manusia terbukti puluhan kali kecele. Mau
bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi
dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe
birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu
nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam harus jelek
bahkan miskin, bodoh, dan pemarah. Ditambah Bowo pula.
Kalau Prabowo masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal
umum wong Jowo.
Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga
setiap tahun harus mudik ke Jawa. Jawa adalah entitas masa silam yang
sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol
kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh
atau pembantu.

Bukan Kendali Manusia


Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan
menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak
100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah
mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak liniei; meskipun kita menitinya melalui garis Tinier.
Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan
tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif
untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik,
demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semester dua
meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya
kita tidak mengerti apakah yang balk dan benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun
dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka balk
terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini
menjadi doa, besok menjelma fakta.

Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak
kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah
tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah
(bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat
dengan-Nya, menjadi Iblis?
Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada
Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi Ya, Allah
untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak
Bumi dan menumpahkan darah.

Mencari Asal
Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur sangkan
paran, bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada din
sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya,
sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin
rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu
atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah
dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia
Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari
Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka is yang dicari. Namun,
Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang
dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia
Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya
mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Se-mar,
Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, Sesungguhnya Aku
menciptakan khalifah di, Bumi. Manusia dan bangsa Indonesia mengakui
mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan
ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka
pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa bukan ini Indonesia.
Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.

Kompas, 22 September 2012, Kolom Opini

Allah, 2014

Sejak jauh sebelum hari Pilgub Jakarta, sejumlah teman saya tanya
lebih ok mana Foke-Nara atau Jokowi-Ahok? muncul labirin dan mosaik
jawaban.
Ada jawaban close-up : si FN bagusnya di sini, kacaunya di situ; si JA
hebatnya begini,memblenya begitu tentu saja semua dalam skema
nilai-nilai baku kebangsaan dan kenegaraan: kualitas kepemimpinan,
kematangan manajemennya, kreativitas pembangunannya, watak sosial
budayanya, juga kadar kasih sayang kerakyatannya.
Jawaban yang ini ada yang ambil dari konsep demokrasi modern, ada
yang dari filosofi dan budaya tradisi, ada yang dari Agama, tapi tentu saja
banyak yang common sense atau kata ini, menurut itu dan lain
sebagainya. Yang dari Agama misalnya menyebut pemimpin harus soleh.
Soleh maksudnya kebaikan yang dikerjakan dengan konsep, perencanaan
dan perhitungan komprehensif sedemikian rupa sehingga dipastikan
sangat minimal mudlaratnya.
Soleh itu baik pada formula yang demikian. Ada baik-baik yang lain
dalam bahasa Tuhan. Khoir itu kebaikan yang universal, cair, bahkan
Kristal, belum berbentuk, belum aplikatif. Maruf itu kebaikan yang
sudah melalui dialektika, diskusi, perundingan, pergesekan-pergesekan
antar manusia, sehingga kemudian disepakati sebaga aturan bersama.
Ihsan itu kebaikan yang lahir murni dari nurani manusia: orang berbuat
baik meskipun tidak disuruh, tidak diwajibkan, tidak diatur oleh hukum
atau etika. Ada lagi birr, yang menghasilkan istilah mabrur : itu
puncak pencapaian kebaikan dalam hubungan spesifik antara manusia
dengan Tuhan, pada posisi di mana dunia dipunggungi atau sekurangkurangnya dinomer-duakan secara total.
Kalau memakai close-up pemahaman yang ini, benar-benar tidak
gampang menilai mana yang lebih oke antara FN dengan JA. Begitu
luasnya kemungkinan dalam kehidupan, namun begitu jauh lebih luasnya
cakrawala probabilitas pada diri manusia. Kalaupun persepsi, analisis dan
kesimpulan kita tepat tentang JA dan FN, kebenarannya direlatifkan oleh
teori ilmu teater: Tidak ada aktor yang buruk. Yang ada adalah pemain
yang berada di tempat yang tepat atau tidak.
Jadi, soal casting. Hidung seindah dan semancung apapun menjadi
mengerikan kalau letaknya tergeser setengah sentimeter. Shalat menjadi
kebaikan kepada Tuhan hanya kalau dilaksanakan pada interval waktunya.

Berdzikir siang-siang itu buruk ketika berbarengan dengan istri bingung


tak punya beras. Bernyanyi dan bermusik dangdut itu sangat dilaknat
kalau dilaksanakan di halaman Masjid ketika orang sedang shalat Jumat
berjamaah.
Bahkan ada orang yang ketepatannya adalah memelihara kambing, bukan
ayam. Ada pejabat yang ketepatannya menjadi penjaga gudang. Ada
tentara yang ketepatannya berpangkat Kolonel, sehingga Pak Riamirzad
Ryacudu ketika menjadi KASAD pusing kepala karena ada temannya yang
mengajukan Surat Mohon Tidak Naik Pangkat. Orang macam saya ini
hampir sama sekali nir-tepat: jadi intelektual tidak tepat, jadi seniman,
kiai, aktivis, dukun, pengasuh Sekolah, pemikir, dan macam-macam lagi
belum pernah benar-benar berada pada koordinat ketepatan.
Kalau keruwetan hidup macam itu dituruti: bagaimana bisa punya presisi
pengetahuan bahwa JA tepat memimpin Jakarta? Apalagi terkadang, entah
berapa prosentasenya, justru yang diperlukan adalah ketidak-tepatan.
Striker sebuah kesebelasan nendang bola agak melenceng, sehingga
terkena kaki pemain belakang lawan, sehingga bola meleset dan masuk
gawang.
Nabi Muhammad SAW menyarankan mantan musuh utamanya sesudah
Kemenangan Mekah agar segera cari istri dan berumah tangga.
Dilaksanakan. Kelak putra beliau yang dikasih saran ini yang membunuh
cucu Nabi. Jengis Khan menghancur-leburkan peradaban Islam meluluhlantakkan perpustakaan besar Islam Bagdad, kemudian kelak cucunya
menjadi tokoh Muslim yang membangun kembali tradisi intelektual dan
kebudayaan Islam.
Dalam kasus itu di mana letak ketepatan dan di mana ketidak-tepatan?
Penguasa pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW itu menambah teks
khutbah Jumat dengan kalimat kutukan kepada Sayyidina Ali bin Abi
Thalib. Kelak cucunya menjadi Khalifah terbaik dalam sejarah Islam dan
dia yang menghapus kalimat kutukan itu. Karena itu dalam sebuah
peperangan, tatkala pasukan musuh keok dan tinggal dipenggal lehernya,
Nabi Muhammad SAW melarangnya: Jangan bunuh, saya sudah
mendoakan kebaikan Islam bagi cucu-cucu mereka.
Jadi JA dan FN berangkulan aja dari maqamnya masing-masing untuk
membangun kegembiraan rakyat Jakarta dengan kesungguhan hati dunia
akhirat terserah Jokowi bisa wudlu atau tidak, itu wilayah konflik dia
dengan Allah. Toh sudah sama-sama bisa makan berkecukupan, bisa beli
pakaian lebih dari tiga lembar, punya mobil, dan sudah sama-sama aqil
baligh.
Aqil artinya sudah memiliki kesanggupan untuk menggunakan akal. Dan
akal itu pasti sehat. Baligh artinya kemampuan untuk menyampaikan,
menerapkan, mengaplikasikan, mewujudkan, mengejawentahkan atau

mentransformasikan visi menjadi realitas, ilmu menjadi kenyataan, citacita dan cinta menjadi entitas kehidupan.
Mereka toh juga sama-sama Amirul Muminin, pemimpin proses menuju
aman, dengan landasan iman, membawa senjata amanah, dengan
ujung doa amin. Amirul Muminin membangun iman amin amanah
aman beras rakyatnya, aman sekolah anak-anaknya, aman pasarnya,
aman kesehatannya, aman keadilannya, aman hartanya, aman
kerjaannya, aman seluruhnya.
Jokowi dan Foke sama-sama Muslim dan Mumin. Kriteria, parameter atau
tanda-tandanya: kalau ada Jokowi dan Foke, kalau ada Muslim dan Mumin
di suatu lingkungan, maka terjamin amanlah harta semua orang, aman
martabat semua orang, dan aman nyawa semua orang.
Tetapi jaminan aman itu belum pernah benar-benar menjadi
pengalaman sejarah, sekurang-kurangnya belum dipercaya bahwa benar
demikian. Sehingga atas pertanyaan tentang JA-FN itu muncul jawaban
yang sangat lebih jauh mempercayai relativitas. Memang lebih luas
namun ada semacam tarik-ulur antara kemungkinan dengan kepastian.
Semacam jawaban agak bingung antara sangka baik dengan sangka
buruk, antara kewaspadaan dengan rasa kapok oleh suatu
keberlangsungan realitas yang mungkin mengecewakan, bahkan mungkin
menyiksa.
Kehidupan ini sedemikian tidak pastinya sehingga ada suatu momentum
pertandingan sepakbola di mana suatu kesebelasan lebih baik kalah dari
pada menang. Karena faktor mental, karakter, route hati dan bioritme,
situasi kebersamaan mereka, peta dan tahap turnamen membuat
kesebelasan itu lebih baik mengalami kalah dulu kali ini, demi
kebangunan yang lebih matang pada tahap berikutnya. Juga karena
kwalitas mental para pemain belum transenden dari situasi kalah atau
menang.
Jawaban yang ini berpandangan bahwa dalam hukum dialektika sejarah,
belum tentu kalau JA menang itu pasti baik bagi diri mereka atau rakyat
Jakarta. Juga kalau FN kalah belum tentu itu buruk bagi keduanya maupun
bagi rakyat. Juga tak bisa dipastikan sebaliknya. Tetapi karena
keterbatasan rasional, manusia harus mengambil ketetapan pandangan
bahwa yang baik adalah kalau JA menang dan yang celaka adalah kalau
FN menang. Sementara kalangan yang lain harus memastikan pendapat
sebaliknya: bahwa yang aman adalah kalau FN menang dan yang bahaya
adalah kalau JA menang.
Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing, sehingga yang terindah
dalam kehidupan adalah kita manusia menyediakan ruang seluas-luasnya
untuk apresiasi bahwa orang lain hidup dalam kebenarannya sendiri yang
bisa jadi berbeda atau bertentangan dengan kebenaran kita. Kebudayaan
dan peradaban dibangun oleh kesanggupan managemen, kerendah-

hatian, dinamika-kontinyu ilmu, kearifan dan kelenturan mental pada


manusia di antara perbedaan dan pertentangan itu.
Itulah sebabnya selama pertandingan dua petinju saling mengincar,
memukul dan menjatuhkan, kemudian selesai tanding mereka berpelukan,
saling mengangkat dan mengacungkan tangan lawannya. Sebab mereka
itu musuh selama pertandingan namun sahabat dalam kehidupan.
Partnership yang kompak dalam ideologi untuk sama-sama menghormati
sportivitas. Sportif itu bahasa moralnya: jujur. Bahasa hukumnya: adil.
Bahasa keseniannya: pas.
Jawaban yang paling parah berbunyi semacam distrust statement.
Suatu ungkapan pesimis yang ternyata optimistik. Misalnya: Jokowi atau
siapapun pasti bisa berbuat baik dan sedikit mengubah Jakarta, tapi tidak
akan berdaya menghadapi penyakit-penyakit Indonesia yang sudah terlalu
akut. Yang dicuri terlalu banyak, yang mencuri terlalu banyak, modus
pencuriannya, formulanya dan teknis strategi pencuriannya saling
mendukung dan saling menggelembungkan dengan mental dan budaya
kemunafikan yang hampir sempurna.
Semua itu muncul di semua lini dan segmen, di semua bidang dan
disiplin, di gedung pemerintahan, di sekolah, di lembaga-lembaga apapun,
di jalanan, di tempat-tempat ibadah. Teraplikasi pada manusianya dan
sistemnya, etika sosialnya dan hukumnya. Komplikasi penyakit
Pemerintahan Indonesia di era apapun sudah bukan hanya tidak bisa
diatasi, tapi bahkan semua bertengkar ketika mencoba merumuskannya.
Dengan pendekatan ilmu dari bumi, planet-planet maupun dari langit sap
tujuh.
Ini bangsa semakin tidak mengerti dirinya. Ini Negara salah lahirnya. Ini
rakyat menjalani 25 tahun Orde Lama untuk menyesalinya, menelusuri 32
tahun Orde Baru untuk mengutuknya, kemudian memanggul 14 tahun
Reformasi untuk muntah dan pecah kepalanya. Bawa ke sini Mahatma
Gandhi, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Firaun yang cacat teologi
namun ratusan tahun sejahtera rakyatnya, serta semua pemimpin dunia
yang terpuji dan emas catatan sejarahnya: gabungkan menjadi satu
orang, mari bertaruh kalau sampai dia bisa mengatasi masalah
Indonesia.
Jadi bagaimana pesismisme itu bisa bersifat optimistik? Teman itu
menjawab: Barang siapa tidak punya kemampuan untuk mengatasi
masalah, maka ia tidak berkewajiban untuk menyelesaikan masalah.
Barang berat yang mestinya dimuat oleh truk besar, tidak memberi
kewajiban kepada becak atau andong untuk mengangkutnya. Kita yang
becak lakukan terus darma perjuangan becak, yang andong aktif terus
menyelenggarakan pengabdian becak.
Setor-setor kerja keras dan kebaikan ke masa depan sesedikit apapun.
Rajin tanam padi terus, karena ada sahabat-sahabat dari pegawai

birokrasi alam semesta yang menjalankan kewajiban menumbuhkan padi


itu dan menyiapkan panen raya. Ada ratusan Kabinet dalam kehidupan,
termasuk yang meneteskan embun dari gigir daun-daun, yang
memelihara detak jantung, juga yang menjadwal jam berapa kita buang
air kecil pagi ini, siang nanti, sampai kelak kita mati atau datang kiamat
besar atau kecil, tanpa bergantung pada keputusan DPR dan Sidang Isbat
Depag.
Ya Allah, nanti 2014 iku Pemilu dong. Kalau Engkau berpartisipasi, jatah
suara-Mu tak satu, melainkan hidayah-Mu dengan mudah merasuki semua
mereka yang sedang bingung menentukan pilihan.

Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 47 XVIII 27 September 3 Oktober


2012

Presiden

Presiden kita berikutnya jangan asal Presiden. Pemimpin nasional kita


sebentar lagi jangan sembarang pemimpin. Lebih selamat kalau rakyat
mencari pemimpin, bukan menunggu orang-orang yang menyodorkan
dirinya untuk menjadi pemimpin. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan
kalau bisa mulai belajar untuk tidak meneruskan tradisi kelalaian
membiarkan dirinya dipimpin oleh pemimpin setoran dari perusahaanperusahaan politik. Apalagi kalau yang setor adalah parpol. Sebab Parpol
tidak punya keperluan terhadap pemimpin sejati. Ekspertasi parpol adalah
mencari laba, fokusnya dalam hal kepemimpinan adalah tawar menawar
dan mengambil mana yang paling menguntungkan perusahaannya.
Kalau konstitusi dan undang-undang tidak memungkinkan rakyat mencari
pemimpin sendiri, berarti undang-undangnya dibikin tidak berlandaskan
kejernihan ilmu, kejujuran demokrasi dan jiwa kasih sayang kepada
rakyat.
Saya tidak percaya bangsa Indonesia memang hobi masuk ranjau,
sehingga menjalani sejarah dengan gairah sakit jiwa mencari ranjauranjau baru. Mungkin karena penderitaan dan ketertindasan sudah
menjadi narkoba psikologi dan budaya mereka.
Usia rata-rata penduduk Indonesia adalah 27,5 tahun. Anak-anak muda
adalah penduduk mayoritas. Mereka sangat potensial untuk tidak
mempermudah jalan bagi siapapun untuk menjadi Presiden. Kriteria dan

syarat-rukunnya wajib dilipat-gandakan dibanding presiden-presiden


sebelumnya. Ini Negara besar dengan problema sangat besar. Ini bangsa
besar dengan ujian yang luar biasa besar. Ini tanah air kaya raya dengan
kesembronoan pengelolaan yang sangat melampaui batas. Ini kepulauan
raksasa dihuni oleh manusia-manusia spesifik, prolifik dan multi-talent,
namun sedang berada di titik nadir ketidakpercayaan diri. Ini Garuda,
sedang mabuk jadi Emprit.
Calon pemimpin tidak sekedar diuji integritas moralnya, kematangan
proffesionalnya, kredibilitas ekspertasinya, visi masa depannya,
akurasinya dalam menemukan segala sesuatu yang bermanfaat bagi
rakyatnya, keberaniannya mengambil resiko pribadi untuk keperluan
rakyatnya, serta berbagai parameter lainnya yang dikenal oleh pemikiran
kenegaraan modern.
Kalau pakai common-sense, Presiden dan Pemerintah memiliki mental
berani tidak makan sebelum rakyatnya kenyang. Ibarat kepala keluarga,
kalau ada kenduri, ia makan terakhir. Kalau ada kebakaran, semua
anggota keluarga ia upayakan keluar rumah duluan. Ibarat kantor,
Presiden adalah karyawan rakyat yang datang paling awal dan pulang
paling akhir. Presiden siap menjadi orang paling sedih dibanding semua
orang.
Atau ambil wacana dari Agama: Presiden adalah orang yang paling berat
hatinya melihat penderitaan rakyatnya, sementara ia tidak cengeng atas
penderitaannya sendiri. Hatinya tidak tegaan kepada nasib orang banyak.
Kalau Malaikat mendadak datang mencabut nyawanya, Presiden merintih:
Rakyatku rakyatku rakyatku, bukan Ibuistrikuanakku.
Adab sosial Bangsa Jawa menemukan idiom manunggaling kawula lan
Gusti. Menyatunya hamba dengan Tuhan.
Bukan hamba adalah rakyat, Presiden adalah Tuhan. Itu pemahaman
manipulatif untuk keperluan feodalisme budaya dan kekuasaan politik.
Manunggaling kawula lan Gusti bukan rakyat harus mematuhi dan
melaksanakan kehendak Presiden.
Presiden itu suatu idiom di dalam bingkai konsep kenegaraan modern
yang mengacu pada ideologi demokrasi. Demokrasi menetapkan suatu
kebenaran bahwa tanah air dan lembaga Negara adalah hak milik rakyat.
Seseorang diangkat menjadi Presiden pada posisi dimandati, dipinjami
atau diamanati sebagian kedaulatan dalam batas ruang dan selama waktu
tertentu. Maka tafsir feodal menyatunya hamba dengan Tuhan tidak
bisa dipinjam oleh pemikiran demokrasi untuk mengabsolutkan kekuasaan
Presiden.
Mungkin sebagian Raja di masa lalu memperdaya rakyatnya dengan
penafsiran yang disebarkan bahwa rakyat adalah kawula dan Raja
adalah Gusti. Tetapi sejak Sunan Kalijaga di abad 14-16 M

menginnovasikan penghadiran Semar di dalam peta kekuasaan Kerajaankerajaan yang dikenali masyarakat melalui Wayang, struktur hubungan
vertikal hamba-Gusti rakyat-Raja direlatifkan oleh adanya Semar.
Semar adalah rakyat biasa, Ki Lurah Semar Bodronoyo di sebuah dusun
bernama Karang Kedempel. Pada saat yang sama beliau adalah
Panembahan Ismaya. Dewa yang posisinya sangat tinggi, paling senior, di
atasnya Bathara Guru Presidennya Jagat Raya. Di atas Semar langsung
adalah Sang Hyang Widhi (istilah Arabnya Ilahi) atau Sang Hyang
Wenang(Robbi), yakni yang di segala zaman dikenal sebagai Tuhan itu
sendiri dengan sebutan bermacam-macam.
Dengan adanya Semar struktur kedaulatan vertikal dilengkungkan
menjadi bulatan. Kekuasaan itu siklikal. Semar ada di titik tertinggi di
bawah Tuhan, sekaligus di titik terendah bersama rakyat jelata. Dua titik
itu satu, sehingga garis lurus vertikal itu menjadi bulatan. Sangat indah
Sunan Kalijaga mendisain demokrasi.
Maka tafsir manunggaling kawula lan Gusti yang saya sebarkan
beberapa tahun belakangan ini adalah bahwa di dalam diri seorang
Presiden, kawula dengan Gusti itu manunggal. Di dalam entitas
tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan menyatu. Di dalam dada dan
kepala Presiden, rakyatnya dengan Tuhannya tidak bisa dipisahkan. Kalau
Presiden menindas rakyatnya, Tuhan sakit hati. Kalau Presiden
mengkhianati Tuhannya, rakyat turut tertimpa kehancuran karena
kemarahan Tuhan.
Isi kepala Presiden adalah kesibukan mesin penyejahteraan rakyat, isi
dadanya adalah rasa bersalah karena belum maksimal bekerja, rasa
malu karena belum berhasil seperti yang seharusnya, serta kerendahan
hati kepada Tuhan dan rakyatnya.
Maka sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri, memasang gambargambar wajahnya di sepanjang jalan, menyatakan aku yang baik
yang maknanya adalah selain aku tak ada yang baik. Kata tukangtukang becak di Yogya: bisa rumangsa, ora rumangsa bisa: sanggup
merasa tak mampu, bukan mampu merasa aku bisa. Toh nanti
rakyatnya akan memberi raport kepada setiap Presidennya ia bisa
ataukah ber-bisa. Orang yang bilang aku bisa adalah orang yang tak
percaya diri sehingga memompa-mompa dan membisa-bisakan diri.
Sebenarnya agak mengherankan bahwa, rakyat Jawa umpamanya, bisa
sedemikian serius kehilangan kearifan lokalnya, setelah mereka terseret
memasuki model aplikasi tipu-daya demokrasi untuk memilih pemimpin
mereka. Seluruh cara orang-orang yang mencalonkan diri menjadi
Presiden, Dewan Perwakilan, Gubernur, Bupati, Walikota hingga Lurah,
tanpa terkecuali seluruhnya sangat menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang yangrumangsa bisa. Nuansa budaya pencalonan dengan
modus rumangsa bisa itu dipastikan akan membuat semua orang lain

yang berkwalitas bisa rumangsa akan minggir dari lapangan politik.


Sehingga bisa dipastikan juga bahwa hampir mustahil rakyat akan
memperoleh pemimpin yang sebagaimana mereka dambakan dari antara
para pemamer wajah yang mutunya adalah rumangsa bisa.
Di Masjid dan Mushalla manapun tidak ada orang bodoh tak tahu diri yang
berteriak Ayo kalian berbaris makmum, saya yang paling pantas menjadi
Imam shalat kalian. Dalam kehidupan manusia yang berakal, pemimpin
lahir dari apresiasi rakyatnya dan rakyat pulalah yang mendaulatnya
menjadi pemimpin. Kiai dan Ustadz menjadi Kiai dan Ustadz karena
ummat menemukan kesalehan mereka dan mengangkat mereka menjadi
Ki Hajar, tempat semua orang merujukkan persoalan. Kiai dan ustadz
tidak lahir dari pemilik modal dan pengarah acara televisi.
Kalau pakai filosofi klasik, manusia ada empat: (1) orang yang mengerti
dan mengerti bahwa ia mengerti, (2) orang yang mengerti tapi tak
mengerti bahwa ia mengerti, (3) orang yang tak mengerti tapi ia mengerti
bahwa ia tidak mengerti, kemudian (4) orang yang tidak mengerti dan tak
mengerti bahwa ia tak mengerti maka Presiden kita adalah manusia
kategori pertama.
Kalau pakai peta akademis, (1) orang yang tahu sedikit tentang sedikit
hal, (2) orang yang tahu banyak tentang sedikit hal, (3) orang yang tahu
sedikit tentang banyak hal, kemudian (4) orang yang tahu banyak tentang
banyak hal maka Presiden kita adalah manusia keempat.
Atau pakai pakai pendekatan intel : (1) ada sesuatu yang seseorang
tahu dan masyarakat tahu, (2) ada sesuatu yang seseorang tahu tapi
masyarakat tidak atau belum tahu, (3) ada sesuatu yang masyarakat tahu
tapi seseorang itu tidak atau belum tahu, kemudian (4) ada sesuatu yang
seseorang maupun masyarakat tidak atau belum tahu maka yang
keempat inilah Presiden kita nanti.
Ia bukan hanya Presiden suatu Negara, tapi juga pemimpin suatu
masyarakat, guru suatu bangsa. Presiden berdiri sendirian memandang
sesuatu yang semua orang dan ia sendiri belum tahu. Tugasnya sebagai
Presiden adalah mencari tahu. Ia berdiri paling depan menembus
kegelapan, untuk menemukan cahaya.
Presiden menjadi Presiden karena ia punya kesanggupan akal, stamina
mental, keluasan hati, kesabaran rohani serta kekompakan frekwensi
dengan seluruh unsur jagat raya untuk membawa oleh-oleh kepada
rakyatnya sesuatu yang sebelumnya rakyat belum tahu sehingga belum
pernah merasakan. Salah satu hal yang Presiden perlu cari tahu adalah:
untuk Indonesia yang hancur lebur sekarang ini, ia wajib berani mati,
misalnya beberapa minggu atau bulan sesudah dilantik.
Presiden adalah orang yang paling berani bergerak meringsek masa
depan yang gelap. Ia melindungi rakyatnya yang tidak tahu, ia berperang

melawan ketidak-tahuannya, kemudian ia memenangkan peperangan itu


dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang baru sama sekali, yang
belum pernah ditemukan oleh siapapun sebelumnya. Presiden adalah
pengarep, perintis, pelopor, ujung tombak sejarah, yang siap sirna
ditelan resiko perjuangan dalam gelap mencari cahaya.
Presiden adalah pengambil keputusan pertama dan utama untuk
melangkahkan kaki menapaki kegelapan. Sebab manusia itu hidup dulu
baru mengerti, bukan mengerti dulu baru hidup.
Di bawah ubun-ubun kepala Presiden terdapat chips penerima dan
pengolah cahaya. Daya serap dan daya olah cahaya itu mensifati
pandangan matanya, pendengaran telinganya, struktur urat sarafnya,
modulasi kuda-kuda jasad dan ruhaninya dengan badan besar alam
semesta. Maka dari telapak tangannya memancar cahaya.
Dengan suluh cahaya telapak tangan ilmu itu ia menapaki kegelapan. Ya.
Masa depan itu gelap. Aku, kata Tuhan, memperjalankan hambahambaKu menembus kegelapan malam hari. Hidup adalah malam hari,
karena sekarang sesungguhnya tak ada. Tatkala engkau berada di se,
tiba-tiba sudah ka. Dan tatkala engkau tiba di ka, se sudah masa
silam yang tiada, sementara rang adalah masa depan yang engkau
tak tahu apa-apa.
Jika engkau melembut, waktu tampak olehmu. Jika engkau meregang
membesar, engkau paham kebesaran ruang, keluasan dan ketidakterbatasannya tak terjangkau olehmu. Maka kuda-kuda terbaik bagi setiap
makhluk, apalagi manusia, adalah kerendahan hati. Itulah kesadaran
debu.
Tak bisa kau tempuh gelapnya rang dengan modal merasa bisa. Hari
siangpun gelap. Sebab matahari bukan benar-benar bercahaya
sebagaimana yang ilmu memerlukan. Matahari hanya mengantarkan
kesadaran tentang cahaya. Orang menanam tak tahu panennya, orang
berjualan tak tahu berapa calon pembelinya. Orang lahir tak tahu
matinya. Pada interval antara diri mereka dengan titik ketidak-tahuan itu
terdapat bentangan nasib, mungkin ada sejumlah Malaikat berseliweran,
Dewa Nasib, makhluk distributor pulung, atau apapun namanya.
Mungkin itulah sebabnya Tuhan memberi tuntunan melalui salah satu
sifat-Nya sendiri: kalau mau jadi Presiden, pertama sekali kamu harus
mempelajari kegaiban, dan menyaksikannya. Alimul-ghaibi wassyahadah. Kognitif dan empiris. Kegaiban yang paling utama adalah
rahasia hati rakyatmu. Justru karena itu maka sesungguhnya cahaya itu
terletak di kandungan hati nurani rakyatmu.
Sebagai Presiden kau menggenggam suluh cahaya. Kau tak punya
kemungkinan lain pada posisi itu kecuali melimpah-limpahkan kasih
sayangmu kepada rakyatmu. Engkau menjadi kabel yang dilewati arus

listrik Rahman, cinta yang meluas, serta Rahim, cinta yang


mendalam, sampai 12 tingkat frekwensi perjuangan kepresidenanmu.
Atau sesekali tengok Ronggowarsito: pemimpinmu berikut ini
adalah Satria Pinandita Sinisihan Wahyu. Pendekar ilmu dan
managemen, yang hatinya sudah selesai dari nafsu keduniaan, dibimbing
pendaran-pendaran gelombang elektromagnetik hidayah Tuhan di ubunubunnya.

Yogya 10 Oktober 2012


Dimuat di Kolom Opini, Harian Kompas Edisi 13 Oktober 2012

Para Kekasih Iblis

Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini bergerak menuju Indonesia
harus terus hidup, tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara Indonesia
harus lemah, bangsa Indonesia harus kerdil.
Maka orasi seorang tokoh tua di sebuah rapat gelap ini mungkin justru
merupakan ungkapan cinta yang mendalam dan pembelaan kepada
Indonesia:
Kita bangsa Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum
Indonesia benar-benar total kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita
amandemen terus sampai berapa kalipun sampai kelak nasionalisme dan
kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis.
Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga
kenegaraan sebelah manapun, di tingkat paling atas sampai bawah,
sebaiknya dipastikan menuju proyek besar sejarah de-nasionalisasi
Indonesia hingga titik paling nadir.
Demikian juga policy dan penanganan segala bidang: perdagangan,
pertanian, perpajakan, pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara berpikir
dan selera makan, hendaknya jangan memanjakan ke-Indonesiaan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang dengan ketangguhannya
siap ditimpa dan memikul ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin
dipanggul oleh bangsa-bangsa lain.
Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme
Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang

memungkinkan ia lahir kembali. Kita memerlukan tempo yang lebih tinggi


untuk menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan kebusukan
bangsa kita amat sangat tahan derita, sanggup hidup nyaman dalam
kebusukan, bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu sendiri.
Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu habis. Kokohkan setiap
pemerintahan sebagai perusahaan yang memanipulasi dan
mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan tanah air dengan segala
kekayaannya harus dijadikan ideologi utama.
Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan anjuran sejarah. Itu jeritan orang
patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta, sistem bobrok dan
prinsip nilai jungkir-balik: yang terutama menangis adalah orang. Adalah
manusia. Adapun Negara, pemerintah, ssstem, nilai, tak bisa menangis,
tak bisa bersedih. Juga tak menanggung apa-apa. Yang menanggung duka
derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa dengan sesama manusia,
dengan derita hatinya, tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia, tidak mungkin dilakukan
tanpa menyapa juga pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian juga
IBlis, hulu derita ummat manusia.
Iblis berkata : Tahukan engkau, Muhammad, aku adalah asal usul dusta.
Aku adalah makhluk pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi
adalah sahabatku. Dan mereka yang bersumpah kemudian mendustakan
sumpah itu, mereka adalah kekasihku.
Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia sekarang ini di kalimat
Iblis itu? Kurang tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia, tradisi mental
banyak pejabatnya, pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya, juga
manipulasi kebijakan yang sangat tidak bijak pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen citra an, apakah gerangan ia kalau bukan dusta? Siapakah
yang memamerkan wajahnya, menyorong punggungnya, menyodorkan
dirinya untuk menjadi pemimpin, selain sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan karakter budaya, politik dan
pasar sejarah kita. Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin
menjauh dari kita, kecuali pas kita perlukan untuk memperoleh
keuntungan atau mentopengi muka.
Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan fakta. Ia hanya simbol.
Idiom. Icon. Hanya abastraksi untuk menuding kambing hitam. Atau
Tuhan kita perlukan untuk kapitalisasi karier, bisnis pendidikan, usaha

dagang sedekah dan industri zakat, kostum religi perbankan dan


bermacam-macam lagi dusta liberal penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi dongeng. Segera Ia akan masuk daftar dongeng
sesudah Malaikat dan dan Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu
pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis, Setan, Dajjal, sebagaimana
abstraksi kata Bajingan, Bangsat, Dancuk, Anjing. Sebab pada makian
Anjing! yang dimaksud bukan benar-benar anjing. Anjing adalah
binatang yang baik, tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat dan
tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan bahwa anjing masuk neraka.
Bahkan dalam faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu
Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan sumeleh, tidak bisa naik
ke langit yang lebih tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai fakta. Itupun wilayah
berlakunya simbolisasi Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis
diidentifikasi sebagai idiom untuk menyebut segala jenis keburukan dan
kejahatan manusia dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan
arupadatu di Borobudur pun fakta, tak hanya rupa datu yang tampak
oleh mata, yang tergolong Ilmu Katon: pemahaman tentang segala
sesuatu yang bisa dilihat dengan mata. Iblis sendiri tidak sepenuhnya
tinggal di wilayah arupadatu. Ia sangat faktual di rupadatu, sebab ia
berada pada syariat utama kehidupan manusia, yakni darah yang
mengalir di dalam tubuhnya.
Kamu Muhammad, kata Iblis suatu hari, tak akan bisa berbahagia
dengan ummatmu, karena aku bisa memasuki darah mereka tanpa
mereka bisa menemukanku. Iblis melanjutkan, aku minta kepada Allah
agar menganugerahiku kemampuan untuk mengalir di dalam darah
manusia, dan Allah menjawab Silahkan!.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke Muhammad adalah Tuhan
sendiri. Yang disuruh itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh
tidak pada tempatnya menyuruh musuh. Allah menginstruksikan agar Iblis
tidak berdusta kepada Muhammad, menjawab pertanyaan dengan jujur,
serta membuka semua rahasia tugasnya dari Allah di medan kehidupan
manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis Akulah makhluk pertama yang berdusta. Fakta
dusta Iblis yang pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada Adam.
Penolakan untuk menghormati manusia ini parallel dengan pernyataan
semua Malaikat kepada Tuhan: Kenapa Engkau ciptakan manusia, yang
kerjanya merusak bumi dan menumpahkan darah. Andai di-kalimat-kan,
Iblis meneruskan: Maka aku menolak bersujud kepada Adam.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta tangguh waktu sampai
hari Kiamat, untuk kelak membuktikan bahwa setelah menjalani sekian
peradaban, manusia terbukti tidak punya kelayakan untuk dihormati atau
disembah oleh Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini tersenyum-

senyum: tak perlu nunggu sampai Kiamat, datang saja ke Indonesia


tanggal berapa bulan apa saja untuk menemukan bahwa penolakan
bersujud oleh Iblis itu pada hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka: kita atau Iblis? Ketika
ada orang berbuat jahat, kita maki Dasar Iblis!, secara idiomatik makian
itu tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis berdebat, lantas salah satu
dari mereka memaki Dasar manusia!, itu bisa jadi itu malah benar dan
jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang paling serius adalah
memanipulasi Iblis. Padahal seluruh keburukan yang kita ludahkan itu
bukan bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita sendiri.
Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk menyesatkan manusia,
kata Iblis lagi kepada Muhammad, Aku hanya membisiki dan menggoda.
Kalau aku dikasih kuasa untuk menyesatkan manusia, maka tak akan
tersisa satu orangpun yang menjadi pengikutmu. Sebagaimana engkau
Muhammad, tak ada kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada
manusia. Engkau hanya berhak dan mampu menyampaikan, tetapi tak
bisa mengubah hati manusia. Sebab kalau kau dianugerahi kesanggupan
untuk memberi hidayah, tak akan ada satu orangpun yang menjadi
pengikutku.
Begitu banyak mengacu ke Borobudur fakta rupadatu pada
kehidupan manusia yang mata mereka tak melihatnya. Udara yang ia
hirup, suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu melihat mata, paling
jauh ia melihat bayangannya di cermin, tapi bukan diri mata itu sendiri.
Jangankan lagi dengan semakin canggihnya teknologi ultra-modern
sekarang: kita bingung siaran televisi itu berasal dari rupadatu,
diantarkan oleh arupadatu, ditangkap dan diekspressikan secara
rupadatu. Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain: software di
komputer, lalulalang Sms, Bbm, unduh ini unggah itu. Dulu saya
menyangka telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol lewat kabelkabel sepanjang jalan. Se-nyata dan se-faktual itulah Iblis dalam
kehidupan kita, bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di dalam
darah kita.
Maka sebagaimana formula casting Iblis, orasi tokoh tua kita di atas
tepatnya dipahami tidak dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin
dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral, mungkin siklikal. Kalimat
seniman kita Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat
kematian yang memungkinkan ia lahir kembali adalah sisipan cita-cita
mulia di tengah deretan pernyataan yang seolah-olah mendorong kita ke
kehancuran.
Muhammad bertanya, Siapa temanmu?

Iblis menjawab, Para pemakan riba. Sangat jelas mappingnya di


Indonesia.
Siapa tamumu?
Para pencuri. Sampai-sampai diperlukan KPK, yang kita doakan segera
bubar, yakni sesudah Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya
untuk menangani perilaku tamu-tamu Iblis.
Siapa utusanmu?
Tukang-tukang sihir. Sihir pemikiran, cara berpikir, peta manipulasi
wacana berpikir, di Sekolah, Kampus, semua media wadah pemikiran.
Siapa teman tidurmu?
Para pemabuk. Mabuk idolatri, mabuk tayangan-tayangan, mabuk artisartisan, Ustadz-ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian yang terbuat dari
plastik seperti mobil-mobilan untuk kanak-kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: Gosip dan adu-domba adalah hobiku.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi narasumber rembug nasional,
dengan syarat: Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh maupun
pintar, yang durjana atau yang salah, yang bisa membaca atau buta
huruf. Semuanya, kecuali orang ikhlas.

Yogya 25 September 2012


Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 49 XVIII 11 Oktober 17 Oktober
2012

Sembelihan Allah

Manusia selalu dirundung problem bahasa. Bahkanpun para penyair, yang


biasanya berada di dalam istana eksklusif yang jauh dari politik dan
masyarakat umum. Dewasa ini problematika budaya-bahasa dan politikbahasa berkembang dan membengkak sedemikian rupa, sehingga sangat
menyempitkan kemungkinan kekayaan komunikasi.

Dulu penyair kontemplatif Goenawan Muhamad kasih dalil: Musuh utama


penyair adalah salah cetak. Kalau binatang jalang salah cetak menjadi
binatang jalan, atau represi menjadi ekspresi, maka habislah
semuanya. Tak hanya penyair, semua penulispun mengalami tantangan
yang sama. Para pelukispun bulan-bulan ini harus hati-hati: sementara
singkirkan dulu cat hijau, kuning dan merah.
Saya bukan benar-benar seorang penyair, tapi sering disuruh bikin
kalimat-kalimat yang nanti orang menganggapnya puisi. Dan akhir-akhir
ini rasa takut saya membengkak setiap kali hendak memutuskan
menggunakan suatu kosa kata atau susunan kalimat. Ketakutan saya itu
karena pada dasarnya saya sangat menghormati ajaran para leluhur
bahwa dalam hidup ini kita harus lebih banyak mendengarkan orang
dibanding mengomongi orang.
Bahkan Allah sendiri sangat lebih menekankan fungsi sami (mendengar)
dibanding bashir(melihat). Jadi orang omong apa saja selalu saya anggap
penting, karena mereka sudah besar, sudah dewasa, sudah sangat
mampu berpikir dan memutuskan segala sesuatu yang hendak
diungkapkan. Kalau saya acuhkan dan abaikan, itu kekeliruan sosial.
Suatu saat saya bikin kalimat: Muhammadkan hamba ya Allah.
Seseorang menuduh sayasok suci. Manusia biasa yang banyak dosa kok
pengin jadi Nabi. Padahal yang dimaksud muhammadkan hamba adalah
upaya dan doa mohon perkenan Allah agar membantu kita memakai
wacana kepribadian Muhammad untuk bisa kita terapkan dalam diri kita.
Allah sendiri bahkan kabarnya menciptakan manusia dengan formula
seperti miniatur Dia sendiri. Itu berarti merupakan anjuran agar
kelengkapan dan komprehensi-dialektis asma Allah kita jadikan acuan.
Jadi, kita membina perilaku ini berdasarkan cakrawala karakter Allah
sendiri. Ia rahman rahim, penuh kasih sayang. Tapi Ia juga bikin neraka, Ia
juga qabidl (penahan rejeki), Ia juga syadid (penyiksa), Ia juga mutakabbir
(pentakabur) namun semua watak yang dalam pandangan kita seolah
negatif itu selalu berfungsi positif karena diterapkan pada tempat dan
konteksnya yang tepat.
Mentang-mentang kita menganut ajaran kasih sayang rahman
rahim maka lantas kita menolak bikin rumah penjara, mengampuni
koruptor, membatalkan pasal-pasal hukum mengenai perampokan,
penindasan atau kekejaman. Lembaga Pemasyarakatan itu bukan institusi
kekejaman. Nerakanya Allah adalah wujud dialektis dari kasih sayangNya
juga. Cara menyayangi anak yang bersalah adalah dengan
menghukumnya.
Tapi hal-hal semacam itu tidak selalu gampang dijelaskan kepada
manusia. Sehingga tatkala untuk Idul Adha saya mau bikin kalimat
Ismailkan hamba ya Rabbi. saya begitu kawatir orang akan salah
paham. Padahal maksud saya adalah kalau saya disembelih dalam

pengalaman sejarah, saya mohon kepada Allah agar kambing yang


tersembelih.
Gelar Nabi Ismail AS adalah dzabihullah. Sembelihan Allah. Saya ingin
sekali menggunakannya untuk judul suatu tulisan, namun dengan
perasaan was-was. Apakah Allah tukang sembelih? Apakah Allah itu Maha
Jagal, sebagaimana dalam konteks lain saya juga takut mengumumkan
idiom wallohu khoirul makirin, Allah itu Maha Pemakar?
Mungkin sudah ratusan kali kita mengkomunikasikan bahwa untuk urusan
tertentu peradaban kita ini pra-Ibrahim. Kalau Ibrahim AS. hidup sekarang
dan pada suatu pagi menyembelih anaknya, para tetangga segera akan
melaporkannya ke Polsek, atau mungkin langsung memukulinya sampai
meninggal. Di zaman ini kita tidak memiliki perangkat ilmu pengetahuan
dan tingkat legalitas hukum yang sanggup mengakomodasikan fenomena
(vertikal) Ibrahim dan Ismail.
Jangankan fenomena penyembelihan. Sedangkan kita suatu hari
nongkrong di dekat kandang kambing saja orang lantas menyimpulkan
kita adalah kambing. Saya berpapasan dengan angin pada suatu siang
dan omong-omong sejenak, orang di sekitar saya langsung menyangka
saya masuk angin. Orang sekarang gila label.
Kalau saya jumatan, saya memutuskan untuk berjamaah hanya dengan
kaum gelandangan. Kalau berjumatan dengan pedagang kaki lima, saya
kawatir ada yang modalnya dari Pak Carik sehingga nanti saya ikut
dituduh direkrut oleh Pak Carik. Kalau ada satpam dalam jamaah di mana
saya ikut, nanti saya dituduh orangnya pejabat ini atau pengusaha itu di
mana satpam itu bekerja. Susahnya yang nuduh saya itu bukannya para
gelandangan, melainkan orang yang memang benar-benar bekerja di
kekuasaan dan konglomerasi.
Bahkan terakhir saya mendengar label baru bahwa saya adalah intel
karena suka bergaul dengan gelandangan, yang sebagian dari mereka
adalah memang intel yang menyamar jadi gelandangan.
Demikianlah saya senantiasa bersetia mendengarkan orang lain. Dan
itulah sumber pengetahuan hidup saya. Tapi susahnya, orang sering tak
bisa diduga apa maunya. Pernyataan orang juga tidak selalu
mencerminkan sikap dan kemauannya. Kalau seseorang bilang Nun,
kamu sekarang bukan temanku lagi, lantas saya percaya, saya terapkan,
sehingga ketika bertemu di jalan saya tidak berani menegur dan tatkala
dia membutuhkan pertolongan saya tidak menolong ternyata reaksinya
begini: Kamu memang sombong! Kamu tidak berperikemanusiaan, tidak
peka terhadap kebutuhan orang lain.
Bahkan ketika saya butuh pertolongan namun tidak merasa berhak minta
tolong kepadanya, ia berkomentar: Dia memang sok kuat. Egosentris.

Tidak merasa bahwa orang hidup itu saling membutuhkan. Disangkanya


saya sedemikian lemahnya sehingga tidak bisa menolong dia!
Saya melihat itu semua adalah peristiwa cinta. Kalau kita tidak menimba,
orang yang kita cintai dan mencintai kita marah: Kok nggak mau
nimba sih?. Kalau kemudian kita menimba, ia tuding:
Terpaksa ya nimbanya!. Lantas kita hentikan menimba, ia bersungutsungut: Memang aslinya tidak mau menimba!.
Cinta itu terkadang over-sensitif. Kalau yang terlibat dalam percintaan
adalah orang besar, lebih susah lagi. Kalau bersikap biasa-biasa saja, ia
naik pitam: Nggak tahu siapa saya ya! Belajar menghormati dikit kek!
Kalau kemudian kita membungkuk menghormatinya, ia tuduh: Nyindir
ya! Saya tidak mau kau menghina dengan pura-pura menghormatiku!.
Kemudian kita kembali bersikap biasa, dan ia serbu kita: Dasar tak tahu
diri!
Lama-lama saya curiga, kayaknya doa saya dikabulkan oleh Allah.
Mudah-mudahan saya adalah the tiny Ismail yang sedang disembelih.

Hinalah Daku, Kau Kusayang

Ciptaan Allah paling awal, Nur Muhammad (cahaya yang terpuji), yang
kemudian membuat Allah berminat menciptakan jagat raya, salah satu
episode tugasnya adalah berlaku menjadi Muhammad bin Abdullah. Di
Mekah, selama 63 tahun, berpangkat Nabi dan menjabat sebagai Rasul
terakhir; salah satu profesi utamanya adalah dihina.
Tak ada perdebatan kenapa hanya 63 tahun, sementara pendahulunya,
misalnya Adam atau Nuh, ditugasi menjadi pelakon utama antara 900 sd
1300 tahun. Mungkin Allah ambil keputusan begini: Muhammad sebentar
aja, tetapi saya bawain buku panduan lengkap, Al-Quran, tinggal
disampaikan, terserah manusia memakainya atau tidak.
Para pendahulu dikasih ratusan tahun tapi ternyata tidak cukup untuk
meneliti dan menemukan jatidiri. Maka yang terakhir ini 63 tahun saja,
dengan buku manual yang terjaga kemurniannya secara absolut. Inna
nahnu nazzalnadz-dzikro wa inna lahu lahafidhun, Allah kasih buku
bimbingan, dan Ia berjanji menjaganya.
63 tahun dengan pencapaian sejarah yang membuat Michael Hart
meletakkannya sebagai tokoh nomer satu yang paling berpengaruh dalam
sejarah ini, terlalu revolusioner dan ekstra-fenomenal sehingga sangat

potensial untuk melahirkan rasa cemburu dan kedengkian di seluruh


muka bumi. Mungkin karena itu software manusia Muhammad juga
disiapkan oleh Allah untuk memiliki ekstra-resistensi terhadap berbagai
jenis pelecehan yang amat merendahkannya.
Sejak Muhammad mensosialisasikan tauhid di komunitas sekitar Kabah
Mekah, siang malam ia diejek, dihalangi, dirancang untuk dibunuh, atau
dilempari batu seperti ketika ia berimigrasi ke Ethiopia.
Tak hanya teologinya yang ditolak dan dianggap anarkis. Hak paten
Muhammad atas sumber air Zamzam karena ia adalah cucu penemunya,
yakni Mbah Abdul Muthalib: merupakan ancaman terhadap dominasi
konglomerat Abu Jahal atas perekonomian Mekah. Selama ini kita terlalu
berpikir polos, menyangka bahwa yang diberangus hanya tauhid, bahwa
yang dihancurkan adalah Islam - padahal faktor air zamzam, juga
tambang minyak, sebenarnya mungkin lebih primer.
Melihat wataknya, soal Agama tak penting-penting amat bagi Abu Jahal.
Tapi para anak buahnya terperdaya; mereka pikir Muhammad dan
Islam nya yang menjadi sasaran utama. Sehingga fokus mereka adalah
memukuli Muhammad, membuat karikatur untuk memperolokolokkannya, membikin film yang memperhinakannya, bikin macammacam games di internet untuk menyebarkan virus kebencian kepada
Muhammad.
Beberapa tahun yang lalu di banyak forum Maiyah di berbagai daerah,
saya pasang layar untuk menunjukkan gambar-gambar dan video
penghinaan itu. Dan saya bertanya kepada semua yang hadir; Kira-kira
kalau Rasulullah melihat tayangan-tayangan penghinaan ini, akan naik
pitam atau tersenyum?
100% hadirin di semua tempat menjawab: Tersenyum.
Apa yang kira-kira diucapkan oleh beliau?
Jamaah menjawab: Berdoa, ya Allah ampunilah mereka, karena mereka
tidak mengerti apa yang mereka lakukan.
Lha kita, tanya saya lebih lanjut, akan ikut tersenyum dan berdoa
seperti itu ataukah mengamuk, demo, membikin tayangan penghinaan
balasan, atau gimana?
Mengamukpun bisa dipahami, tersenyum juga oke. Demo juga wajar,
diam dalam kesabaran juga tidak aneh. Yang mungkin perlu disepakati
adalah jangan melakukan apapun yang memang dikehendaki oleh mereka
yang memasang ranjau melalui penghinaan itu. Jangan menjelma minyak,
karena yang mendatangimu adalah api.

Para penghina Nabi Muhammad itu berjasa besar kepada Ummat Islam,
karena repot-repot menciptakan momentum, konteks dan nuansa
kekhusyukan agar kita semua lebih rajin menyatakan cinta dan kesetiaan
kita kepada Allah dan Muhammad.
Bentuk pernyataan cinta itu bisa batiniah saja, bisa dengan pekikanpekikan dalam demo, bisa counter-informasi, atau apapun. Yang penting
tidak perlu GR seolah-olah Muhammad butuh pembelaan kita karena
beliau kita anggap lemah dan kita yang kuat. Jadi, pembelaan kita atas
Muhammad sasaran utamanya adalah integritas kita sendiri di hadapan
beliau dan Allah. Apalagi semarah-marah kita terhadap penghinaan itu,
masih jauh lebih murka Allah, sebab cinta kita kepada Muhammad tidak
ada sebutir debu dibanding cinta Allah kepada kekasih-Nya itu.
Kaum Muslimin juga diam-diam berterima kasih kepada para penghina
Muhammad karena kekejaman mereka adalah peluang sangat indah untuk
memaafkan mereka, sehingga derajat kita meningkat di mata Allah.
Penghinaan adalah rejeki kemuliaan bagi yang dihina. Ayo, hinalah daku,
kau kusayang.
Tahun 2008 bersama musik Kiai Kanjeng saya pentas di distrik dekat
rumah Geerd Wilders, Belanda, orang penting dalam kasus film
penghinaan atas Islam yang membuat Theo van Gogh dibunuh oleh
pemuda Muslim keturunan Maroko. Sebelum atau sesudah pentas kami
berniat bertamu ke rumah beliau, tapi tak jadi karena beliau pergi tak
jelas ke mana. Kami menyesal karena gagal menyampaikan ucapan
terimakasih atas penghinaannya, demi mengurangi dosa-dosa kami.

Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 51 XVIII 25 32 Oktober 2012

Membaca dan Selimut

Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang
diwisuda.
Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan
Barat. Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang
melebihi kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik
dari anjing kurap. Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam
kehidupan yang dipuja orang melebihi kebudayaan barat sehingga
terkadang ia melebihi Tuhan.

Ini kisah aneh apa lagi? bertanya sang cucu.


Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya
untuk memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan
kebudayaannya sendiri, si kakek melanjutkan, akan dipandanglah
kebudayaan barat itu oleh mereka dengan penuh rasa najis, serta
dipakailah barang-barang kebudayaan barat itu dengan penuh rasa
sayang dan kebanggan.
Lagi-lagi soal kemunafikan!
Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini, jawab Kiai
Sudrun,
Setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang
hendak aku ceritakan kepadamu adalah soal lain.
Sang cucu diam mendengarkan.
Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan
kebudayaan barat seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan
atau malaikat dengan setan. Padahal sampai batas tertentu, para pelaku
kebudayaan barat itu sendirilah yang dengan ketekunan amat tinggi
melaksanakan ajaran Islam.
Kakek sembrono, ah.
Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban Iqra,
meskipun kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya.
Tak ada yang melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu
dan mengungkap kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa
seluruh umat manusia memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka
mengantarkan manusia untuk mencapai jarak tertentu dalam waktu satu
jam sesudah pada abad sebelumnya mereka memerlukan perjalanan
berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan
mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung
saat itu juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia
untuk mengetahui yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali
lebih lembut dari debu.
Dimuliakan Allahlah mereka, sahut sang cucu.
Benar, jawab kakeknya, kalau saja mereka meletakkan hasil Iqra itu di
dalam kerangkabismi rabbikalladzi khalaq. Seandainya saja mereka
mempersembahkan ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup
yang menyembah Allah. Seandainya saja mereka merekayasa
kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam politik, pemerasan dalam
ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian kebuntuan dan
keterpencilan dalam peradaban.

Apa rupanya yang mereka lakukan?


Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka ketahui
sebagai berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak
mereka perlukan, pura-pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan
binatang.
Anjing kurap! teriak sang cucu.
Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi
kebanyakan dari mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan
yang mengarah kepada kebudayaan yang semacam itu.
Munafik! sang cucu berteriak lagi.
Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari
sekian cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja,
yakni kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian
karena tak ada sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan,
maka mereka pun pergi memencilkan diri; melarikan diri ke dalam hutan
sunyi, mendirikan kampung-kampung sendiri di pelosok belantara atau
di dalam relung kejiwaan mereka sendiri. Mereka menjadi bala tentara
yang lari terbirit-birit meninggalkan medan untuk menciptakan dunianya
sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil, tetapi sesungguhnya itu
masih lebih baik dibandingkan kebanyakan orang lain yang selalu
berteriak sinis Kalian sok suci! atau Kami tak mau munafik! sementara
yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah kekufuran perilaku dan
pilihan. Namun demikian tetaplah Allah Maha Besar dan Maha Adil, karena
tetap pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang
mencoba merintis perlawanan di tengah medan perang. Mereka menatap
ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka ber-iqra, membaca
keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
kesanggupan mengolah sejarah, sambil diletakkannya semua itu
dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba dengan kesadaran dan
ketakjuban Ilahiyah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata kebudayaan
yang bersujud kepada Allah.
Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim, berkata Kiai
Sudrun selanjutnya, Gerakan intelektual. Orang dari luar
menyebutnya intelektualisme-transendental atauintelektualisme-religius,
meskipun Kaum Muslim sendiri menyebutnya gerakan intelektual itu
saja sebab intelektualitas dan intelektualisme Islam pastilah religius
dan transendental.
Dongeng kakek menjadi kering. sahut sang cucu.
Itu iqra namanya. Gerakan iqra yang ketiga sesudah yang dilakukan
oleh Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui
menjadi sumber pengembangan kebudayaan barat.

Sang cucu tak memrotes lagi.


Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah kata Tuhan orangorang yang berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya
diselimuti oleh berbagai kekuatan takbismi rabbi dari luar dan dari dalam
diri mereka sendiri. Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan
tak leluasa, membuat kaki dan tangan mereka sukar bergerak, serta
membuat hidung mereka tak bisa bernafas dengan lega.
Sang cucu tersenyum.
Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah
berfirman qum! Berdirilah. Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari
ketergantungan dan ketertindihan. Untuk tiba ke tahap mandiri,
seseorang harus keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak akan bisa
berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya
serta terbungkam mulutnya.
Sang cucu tersenyum lebih lebar.
Firman berikutnya adalah fa-andzir! Berilah peringatan. Lontarkan kritik,
teguran, saran, anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol segala
sesuatu yang wajib dikontrol. Sampai di sini Kiai Sudrun tiba-tiba tertawa
cekikikan, Syarat untuk sanggup memberi peringatan ialah kemampuan
untuk mandiri. Syarat untuk mandiri ialah terlebih dahulu keluar dari
selimut. Namun pada masa itu, cucuku, betapa banyak nenek moyangmu
yang tak memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal
belum bisa berdiri tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih
terbungkus dalam selimut. Tertawa Kiai Sudrun makin menjadi-jadi.
Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, Kakek luar biasa!
katanya, Kakek memang cerdas luar biasa!
Apa maksudmu? bertanya Kiai Sudrun di tengah derai tawanya.
Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek
tadi malam dari buku-buku kuliahku.
Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.

1987 Emha Ainun Nadjib

Sayap-Sayap Kerbau

Di tengah padang yang terbuka luas, dua orang musafir berdebat tentang
sebuah titik hitam yang tampak nun jauh di depan. Yang seorang
menyatakan, titik itu tak lain seekor kerbau. Sementara lainnya sangat
meyakini, itu seekor banteng.
Riuh rendah mereka berdebat dengan argumentasinya. Karena tidak ada
titik temu, satu-satunya jalan yang mereka sepakati adalah bersegera
mendatangi titik itu ke tempatnya.
Maka, mereka pun berjalan menyusuri padang, sambil terus berdebat,
beradu wacana, mempertandingkan acuan, referensi dan pengalaman.
Sampai akhirnya mereka hampir tiba di titik yang dituju. Namun, sebelum
mereka melihat persis apa gerangan ia, titik itu tiba-tiba melesat, terbang
dari tempatnya, melayang-layang ke angkasa.
Burung! kata salah seorang, Apa saya bilang. Tidak bisa! sahut
lainnya.
Keduanya berlari mendekat, meskipun si benda terbang itu melesat makin
jauh dan tinggi. Akhirnya, mereka berhenti dengan sendirinya dengan
napas terengah-engah.
Kerbau! kata orang kedua.
Kerbau bagaimana? orang pertama membantah, Sudah jelas benda itu
bisa terbang, pasti burung!
Kerbau! orang kedua bersikeras, Pokoknya kerbau! Meskipun bisa
terbang, pokoknya kerbau!
Saya doakan dengan tulus ikhlas semoga Allah melindungi Anda dari
kemungkinan memiliki teman, saudara, istri, rekanan kerja, direktur,
bawahan, pemerintah, penguasa, pemimpin atau apa pun, yang wataknya
seperti si pengucap kerbau itu.
Kalau nyatanya Anda telanjur memiliki sahabat kehidupan yang habitat
mentalnya seperti itu, saya hanya bisa menganjurkan agar Anda
bersegera menyelenggarakan ruwatan bagi nasib Anda sendiri. Atau,
tempuhlah cara yang lebih relegius: puasa empat puluh hari, salat hajat
tiap malam, mencari wirid-wirid paling sakti yang memungkinkan Anda
terlindung oleh para malaikat Allah dari spesies manusia semacam itu.
Cobalah kata kerbau itu Anda ganti dengan kata lain. Umpamanya
reformasi. Kata terbang bisa Anda ganti dengan kata lain, yang relevan
terhadap reformasi. Ucapkan kata-kata semacam tokoh kita itu, Meskipun
saya mempertahankan agar segala sesuatunya harus tetap mapan, stabil
dan buntu, tapi yang penting pokoknya saya ini pendukung reformasi!

Meskipun saya bisa sampai ke wilayah yang serba menggiurkan ini, serta
duduk di kursi yang penuh wewangian ini berkat proses dan mekanisme
nepotisme dan feodalisme, tapi yang penting pokoknya saya
antinepotisme.
Meskipun terus terjadi ketertutupan, pembungkaman dan pemusnahan,
tapi pokoknya ini keterbukaan dan demokrasi.
Meskipun saya berbuat tidak adil, tapi pokoknya saya anjurkan agar
saudara-saudara berbuat adil.
Meskipun habis-habisan saya melanggar hukum, tapi pokoknya saya ini
penegak hukum.
Meskipun sebagai pihak yang diamanati oleh rakyat dan digaji oleh
rakyat, saya tidak pernah minta maaf kepada rakyat atas terjadinya
kebangkrutan negara dan krisis total, tapi yang penting pokoknya saya
bukan pemerintah yang buruk.
Meskipun kita kandas di landasan, tapi yang penting pokoknya ini adalah
tinggal landas.
Meskipun harga bukan hanya naik tapi lompat galah, yang penting
pokoknya ini bukan kenaikan melainkan penyesuaian.
Memang tidak ada makhluk Tuhan yang cakrawala kemungkinannya
melebihi manusia. Manusia adalah sepandai-pandainya makhluk, namun
ia bisa menjadi sedungu-dungunya hamba Tuhan. Ular saja mengerti
persis kapan ia harus makan, seberapa banyak yang sebaiknya ia makan,
serta kapan ia mesti berhenti makan. Sementara manusia makan kapan
saja, menangguk keuntungan tak terbatas sebanyak-banyaknya
seandainya ia tak dibatasi oleh maut.
Manusia itu paling lembut, tapi ia juga yang paling kasar. Manusia bisa
mencapai kemuliaan kepatuhan kepada Tuhan, namun ia juga mampu
melorot ke titik paling nadir untuk bandel, mokong, mbalela dan makar.
Untunglah, Allah itu sendiri adalah khoirul makirin: sebaik-baiknya pelaku
makar.
Manusialah mahluk Allah termulia. Ahsani taqwim. Tapi ia juga yang paling
hina dan paling rendah. Asfala safilin.
Doa kita hanya sekalimat: Ya Allah, makhlukMu yang asfala safilin, tolong
jangan izinkan punya kekuasaan dan memegang senjata. Amin.

Kaum Muda Masa Depan Bangsa

Negara Indonesia disangga oleh lima pilar, bangsa Indonesia memiliki


alam takdir, watak khas kemanusiaan dan kekayaan budaya yang
merupakan bahan sangat menggiurkan untuk membangun peradaban
penerang dunia di masa depan. Arab Spring yang kini sedang
dilangsungkan oleh sekutu penguasa bumi meletakkan Indonesia
sebagai sampel atau rujukan utama untuk membangun demokrasi di
Negeri mayoritas Muslim. Di antara enam nominator, Indonesia yang
utama, sementara Iran Turki urutan terbawah.
Sebenarnya terserah masing-masing untuk mengambil sisi yang mana
dalam menilai bangsa Indonesia. Boleh pilih hipotesis bahwa bangsa ini
sengaja dikubur kenyataan sejarah masa silamnya, sehingga penduduk
bumi hanya mengenal Yunani Kuno, Mesir Kuno, Mesopotamia, atau Inka
Maya. Statemen Santos Brazil bahwa Negeri Atlantis tak lain adalah nenek
moyang Nusantara tidak boleh dilegalisir secara ilmiah.
Yang punya duit dan yang mengolah duit di abad ini adalah keturunan dua
kakak beradik, yakni Ismail dan Ishaq, putra Mbah Ibrahim. Sementara di
bawah tanah sedang mulai diyakini bahwa Ibrahim adalah anak turun
Bangsa Nusantara yang lahir oleh salah seorang putra Nuh. Salah satu
pendekatan ilmu menduga Adam adalah produk hibrida makhluk abu-abu,
sementara manusia Nusantara adalah hibrida yang lebih gawat;
blasteran antara ekstrem densitas positif dengan ekstrem densitas
negatif.
Maka manusia Nusantara memiliki kenekadan hidup melebihi manusia
bangsa manapun di muka bumi. Kata nekad tidak ada padanan
bahasanya. berani merundingkan rencana korupsi ketika air wudlu belum
kering. Tolong yang 10% dikasih para Kiai, yang 10% dihibahkan ke
Pesantren, jelasnya nanti kita tahlilan di Hotel X tanggal sekian jam
sekian.. Yang dimaksud para Kiai adalah anggota DPR tertentu yang
terkait dengan proyek yang sedang akan disunat. Pesantren adalah
pejabat Kementerian yang merupakan jalur proyek itu. Tahlilan
maksudnya adalah meeting untuk pembagian apel Malang, apel
Washington dst yang kemudian diubah idiomnya dengan kata-kata dari
tradisi budaya Islam.
Bangsa nekad berani kawin tanpa punya kerjaan. Berani kredit motor
ketika hutang yang dari kemarin masih bertumpuk. Berani naik menara
tinggi pakai sandal jepit sambil merokok tanpa tali pengaman. Berani naik
atap kereta api ratusan orang sekaligus tanpa berpegangan apa-apa.
Kalau sudah tertangkap korupsi langsung pakai peci atau kerudung dan
jilbab, begitu duduk di kursi pengadilan sudah nenteng tasbih di jarijemarinya. Bangsa yang tidak kunjung hancur oleh krisis-krisis
perekonomian, tetap menang kontes tertawa dan tersenyum sedunia,

industri kuliner melonjak ekstrem, kampung-kampung dan jalanan tetap


memancarkan kehangatan hidup.
Ada ratusan lainnya contoh ketangguhan manusia Nusantara.
Ketangguhan, keanehan dan kegilaan. Tidak sekedar memiliki
kesanggupan untuk mengalihkan area hujan cukup dengan sapi lidi dan
cabe merah, atau memakelari peluang cium Hajar Aswad di tengah jejalan
ratusan ribu orang berthawaf mengelilingi Kabah. Akan tetapi sisi itu
boleh dianggap isapan jempol dan khayalan untuk menghibur-hibur diri
dari kebrengsekan kehidupan bernegara yang tak kunjung usai. Setiap
orang berhak ambil sisi lain: Bangsa Nusantara adalah Garuda yang
sangat jinak dan berkekuatan Emprit: bisa dijajah ratusan tahun oleh
beberapa peleton Satpam sebuah perusahaan Negeri Belanda.
Ada yang berpikir kontekstual: ayam tak mungkin melakukan pekerjaan
burung, tapi burung juga jangan melakukan kebangkitan ayam. Kalau
bangsa Indonesia adalah Garuda, kebangkitannya harus bervisi Garuda.
Kalau bangsa Indonesia tidak tahu siapa dirinya, bagaimana mendisain
kebangkitannya.
Tetapi ada juga yang berpikir universal dan esensial: terserah siapa kita
dan siapa nenek moyang kita, pokoknya hari ini kamu punya potensi apa,
kembangkan secara maksimal dengan kerja keras dan ketekunan.
Kita kembali close-up menatap diri. Bangunan NKRI disangga oleh lima
pilar. Pilar pertama, yakni yang utama, sangat besar, tinggi dan berada di
tengah bangunan, adalah rakyat.
Empat pilar lainnya, yakni kedua: Kaum Intelektual. Untuk konteks Negara
modern disebut Kelas Menengah. Wilayah perannya: Legislatif, Eksekutif,
Yudikatif, dan Pers.
Pilar ketiga, Tentara Rakyat. Sekarang TNI dan Polri. Pilar keempat, Kratonkraton dan kekuatan kebudayaan. Pilar kelima, intitusi Agama-agama dan
bangunan spiritualisme.
Pada era awal kemerdekaan hingga menjelang akhir 1950an, terdapat
keseimbangan yang lumayan di antara lima pilar itu. Kemudian
mengerucut ke Aku Sukarno, lantas pada 1965 dijebol oleh strategi
anak petani Suharto yang mempersiapkan kekuasaan sejauh tujuh
tahun lebih sebelumnya. Untuk kemudian mendayagunakan Pilar Ketiga,
dengan membonekakan Pilar Kedua dan mengebiri Pilar-pilar lainnya.
Suharto dengan Pelita 55 tahun, pupus di tengah jalan, sesudah ia
menggeser landasan kekuatannya dari merah putih ke hijau, dari ABRI
merah putih Ali Murtopo Beny Murdani ke ABRI hijau Hartono, dari Merah
Putih Golkar ke embrio politik hijau melalui persemaian ICMI. Kekuasaan
global yang menguasai bumi punya pasal: Indonesia silahkan maju dan

jaya perekonomiannya, bahkan boleh berkibar Tri-Sakti (politik, ekonomi


dan kebudayaan)nya, asal jangan pakai peci.
Karena pergeseran warna Suharto dari merah putih ke hijau, dari Suharto
abangan ke Haji Muhammad Suharto, dari Islam Jawa ke Jawa Islam,
ditambah sejumlah variable lain, maka Reformasi direkayasa untuk
menjatuhkannya. Mahasiswa dan Kelas Menengah intelektual dibusungkan
dadanya di-casting jadi pahlawan yang mampu menggulingkan Suharto,
serta dibikin tidak ingat bahwa mereka tidak mampu menggulingkan Gus
Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sambil disibukkan dengan
sensasi budaya tawur dan euforia peradaban busa-busa intertainment.
Suharto lengser, tenang-tenang menyiram kembang di Cendana dan
merokok klobot, tidak minta suaka ke luar negeri, tidak di demo di RTRWnya, senyum-senyum melihat Reformasi, perih hatinya melihat anakanaknya, menyesali Ilmu Pranatamangsa dan Ilmu Katuranggan yang
sanggup ia terapkan dalam menguasai Indonesia selama 32 tahun, namun
tidak sedikitpun ia mampu mengaplikasikan di keluarga kecil Cendananya.
Suharto benar-benar ora petheken selama tidak menjadi Presiden di sisa
hidupnya. 16 bom di 8 pom bensin dan 8 titik jalan tol seputar Jakarta
Kota dia acuhkan, padahal siap mengamankan Istana dan kekuasaannya
kalau ia kasih kode dalam pertemuan 19 Mei 1998 di Istana Negara.
Bahkan Suharto membuka dada dan tangannya dengan 4 Sumpah:
Pertama, saya, Suharto, mantan Presiden RI, bersumpah kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan rakyat Indonesia bahwa saya tidak akan melakukan
apapun untuk menjadi Presiden lagi. Kedua, untuk turut campur dalam
pemilihan Presiden. Ketiga, siap diadili oleh Pengadilan Negara untuk
mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahan saya selama menjadi
Presiden. Keempat, siap mengembalikan harta rakyat berdasarkan
putusan Pengadilan Negara.
Ia tahu tak akan pernah diadili. Hanya dikutuk, dibenci dan dirasani.
Sebab kebanyakan orang Indonesia ingin menjadi dia, calon-calon
penguasa bukan anti-Suharto, melainkan ingin menggantikan dan
memperoleh laba, keenakan dan kenikmatan yang ia peroleh 32 tahun.
Maka ia tidak lari ke mana-mana, jangankan ke luar negeri, pindah RT-pun
tidak. Ia tenang sembahyang, secara resmi mengangkat seorang Imam
untuk memandunya berwirid husnul khatimah.
Akhirnya ia dipanggil Tuhan, meninggalkan rakyat Indonesia yang makin
kebingungan menentukan Sukarno itu baik atau buruk, Suharto itu benar
atau salah, sebenarnya mana rujukan masa depan kita: Orde Lama, Orde
Baru ataukah Reformasi. Bahkan para penganut substansialisme hampir
pecah kepalanya tak bisa menjawab SBY ini beneran Presiden atau
Presiden-presidenan terbuat dari plastik. Sambil bersedih hatinya: dulu
kita muak pada Bung Karno, tapi tetap bangga kepadanya. Dulu kita benci
Suharto, tapi tidak sampai berani melecehkan bahkan menghinanya,

sebagaimana sekarang orang melakukan pelecehan dan penghinaan itu di


berbagai media bebas maupun di jalanan-jalanan.
Apalagi kalau melihat lebih spesifik dan detail misalnya atas
pertimbangan keguru-bangsaan apa Bung Karno membubarkan HMI dan
begitu dekat dengan PKI. Atas pertimbangan masa depan yang
bagaimana Pak Harto menyimpan sejumlah rahasia 1998, termasuk
sampai wafatnya tidak mengizinkan buku Lalu lintas Keuangan Cendana
diterbitkan. Sebagaimana HB-IX juga sampai wafat beliau menolak
membuka rahasia tentang fakta Perjuangan 1 Maret 1949, tentang peran
Suharto yang sebenarnya.
Kita bangsa Indonesia tidak mau disiksa terus menerus oleh kebingungan,
sehingga yang penting sekarang di tempat masing-masing kita sibuk cari
untung. Kita manusia Indonesia memfokuskan diri pada tema-tema kecil,
sekunder dan parsial. Karena yang besar-besar hampir mustahil
diidentifikasi dan dielaborasi, serta tak mencukupi bahan-bahan
sejarahnya. Juga tidak akan populer.
Akan tetapi kita jangan mati dengan melepas anak-anak kita buta tak
tahu belakang dan tak mengerti depan. Sebenarnya saya gembira dan
optimis hampir tiap malam di berbagai wilayah saya berjumpa dengan
ribuan anak-anak muda yang berjuang menyembuhkan kebutaan
hidupnya. Penduduk Indonesia sekarang rata-rata usianya adalah 27,5
tahun. Dan yang saya jumpai sejauh saya berkeliling ke pelosok-pelosok
sejak hari kedua Suharto jatuh, adalah para pemuda usia tersebut dengan
sorot mata yang aneh.
Aneh karena muatan orisinalitasnya. Mereka tidak hancur oleh ketidakmenentuan keadaan Negaranya. Mereka tidak semena-mena bisa dicuci
otak dan mentalnya oleh industri disinformasi dan peradaban hiburan
kekonyolan. Anak-anak muda Nusantara sedang mempersiapkan
kebangkitannya. Ada gerakan 1 juta petani muda, ada eksperimentasieksperimentasi keIndonesiaan di segala bidang. Pelan-pelan tapi pasti
akan lahir kaum muda visioner dan expert, dengan atau tanpa
profesionalisme kependidikan. Nutrisinya meningkat, daya akuntansinya
makin tajam, militerisme atas diri sendiri atau kedisiplinan dan
kesungguhannya lahir serius, di dunia maya mereka juga sangat
mengincar supremasi. Bahkan sejarah hari esok Indonesia tidak bisa
mengelak dari pemikiran-pemikiran baru kaum muda untuk
mentransformasikan ketatanegaraan NKRI dan men-saleh-kan konstitusi
dan hukumnya.
Saleh adalah kebaikan yang dihitung dan disimulasikan sedemikian rupa
sampai manfaatnya maksimal dan mudaratnya minimal.

Telah dimuat Kolom Opini, Harian Kompas, Sabtu, 17 November 2012

Untuk pelepasan Drs. Ahmad Fuad Effendy, Dra. Maslihah dan


Drs. M. Dahlan Ridlwan ke medan juang
Min Adab-idDunya ilaa Fuad-ilJannah
Al-Quran Tidak Ikut Pensiun
Alkisah, Allah serius menciptakan Nur Muhammad, sehingga
melanjutkannya dengan bikin jagat raya alam semesta beserta
penghuninya. Selama puluhan juta tahun dibiarkan liar, alamiah, liberal.
Kemudian di ujungnya, sekitar 10.000 tahun terakhir, Allah menata
kepemimpinan Bumi dengan menghadirkan Khalifah.
Pada bagian-bagian akhir dari ujung zaman itu Allah pasang Nabi Rasul
pamungkas yang dipegangi buku manual bernama al-Quran. Penduduk
Bumi tak usah terlalu repot mencari Allah sebagaimana sebelumnya:
cukup baca Kitab itu dengan kecerdasan dan kenikmatan, tidak ragu,
patuh dan setia kepada kandungannya.
Penduduk Bumi pada era pasca Khotamal-Anbiya sekarang ini tentu tetap
berkemungkinan untuk merusak bumi dan menumpahkan darah. Tetapi
ada modal lain yang membuat saya yakin bahwa ujungnya tetap
keselamatan fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah: Allah sendiri
yang pasang Khalifah, Allah sendiri yang tancapkan tonggak syafaat
dengan menghadirkan Muhammad, Allah sendiri yang membekalinya alQuran, dan Allah sendiri yang berjanji menjaganya inna lahu
lahafidhun.
Maka penduduk Bumi sedang menyongsong keselamatan masa depan,
meskipun tetap dipersyarati oleh yughoyyiru ma bianfusihim. Dan kita
semua yang ada di ruangan ini pagi ini, adalah pekerja-pekerja kesetiaan
kepada al-Quran, yang terus berjuang mengubah diri dan dunia. Apa yang
lebih indah dan membahagiakan dibanding maqam berjuang
menyebarkan bahasa al-Quran untuk menaburkan dan menyemaikan
kandungan nilainya? Apalagi ditambahi dengan kemuliaan untuk bersikap
toleran kepada suatu cara berpikir dan sistem kekuasaan yang menyebut
kita sedang memasuki masa pensiun?
Insyaallah ampunan Allah melimpahi mereka yang membuat dan
menandatangani Surat Keputusan Pensiun, karena pasti yang mereka
maksudkan bukanlah mempensiunkan perjuangan intisyaru-lughatilQuran.

Dari Ruang Pembelajaran Menuju Medan Juang


Dan kalau kita yakin kepada Allah, mencintai Rasulullah, nikmat
mentadabburi al-Quran dan mentafakkuri alam semesta, serta
beristiqamah sebagai aktivis Bahasa Arab: maka kita berada pada
koordinat yang paling dekat terhadap kepastian keselamatan dan
kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Kalau terhadap kalimat itu muncul respon di benak kita Ah, belum
tentu., maka kalimat di atas bertambah juga: Kalau kita belum tentu
yakin kepada Allah, belum tentu mencintai Rasulullah. dst, silahkan
dielaborasi sendiri di dalam kehidupan masing-masing.
Kemudian karena keselamatan kita juga terkait dengan keselamatan Bumi
dan keselamatan Indonesia, maka probabilitas masa depan kita terletak
pada posisi timbangan antara tingkat kerusakan dunia sekarang ini
dengan kadar iman kita kepada Allah, cinta kita kepada Rasulullah,
intensitas tadabbur dan tafakkur kita kepada al-Quran dan alam, serta
intensitas dan kesetiaan kita sebagai aktivis bahasa al-Quran.
Saya pribadi memiliki ketidakyakinan yang tidak kecil atas logika itu
karena sangat dahsyatnya kerusakan manusia dan kehidupan yang kini
sedang berlangsung. Tetapi belum pernah saya menemukan dan
mengalami manfaat apapun dari ketidakyakinan, sehingga saya ambil
keputusan untuk yakin saja sepenuhnya. Dan kalau sampai naza oleh
maut nanti tidak atau belum saya jumpai bukti atas keyakinan itu, saya
akan tetap merasa lega dan tenang, sebab toh saya akan mati membawa
keyakinan dan husnuzhzhan kepada Allah. Berikutnya insyaallah sesudah
menapaki kematian, Allah dan para Malaikat-Nya tidak mempertanyakan
tanggungjawab saya atas keselamatan Bumi dan Indonesia, kecuali
sebatas yang terkait dengan amal perilaku saya selama menjalani
penugasan hidup.
Keyakinan itu menerbitkan ketenangan. Ketenangan itu membuat saya
enteng dan bahagia. Kebahagiaan itulah tulang punggung kejiwaan saya
untuk tegak berdiri di sini, turut merayakan dan mensyukuri upacara
peneguhan kembali tugas tiga aktivis Bahasa al-Quran yang sedang
mencapai puncak kematangannya. Dan hari ini mereka memperoleh
kemerdekaan untuk memperluas dan memperdalam aktivitas mereka di
masyarakat luas, tanpa tersendat-sendat langkahnya oleh sejumlah hal
yang tidak berkonteks al-Quran yang biasa merepotkannya. Kemarin
mereka terpenjara di ruang-ruang pembelajaran, hari ini masuk ke medan
juang yang nyata.

Dari Embun Menetes Hingga Tujuh Langit


Salah seorang dari tiga Pengantin kita hari ini oleh Allah ditakdirkan
menjadi Saudara Sulung saya dalam urutan 15 bersaudara. Dan mohon
maaf meskipun paparan ini seakan bersifat individual dan terfokus kepada
saudara sulung saya: namun itu hanya pintu untuk memasuki wilayahwilayah konteks dan nuansa yang di dalamnya terdapat semua beliau
bertiga.
Sebab perjalanan sejarah bahasa Arab dan bahasa al-Quran Saudara
Sulung berada di sungai pengalaman yang sama dengan beliau berdua.
Dra. Maslihah, teman dekat Saudara Sulung sejak di Jogja, terutama
dalam komunitas pecinta sastra Arab dan komunitas penggemar lagu-lagu
Umi Kultsum di Jogjakarta. Dosen yang tekun dalam tugasnya, dikenang
oleh mahasiswa sebagai pembaca puisi Arab yang tidak ada duanya, tapi
juga tidak bisa lepas dari tugas dakwah di tengah masyarakatnya, di
samping mengorbankan waktu, tenaga, dan dananya untuk menghidupi
lembaga pendidikan (TK-SD) yang diasuhnya, sampai tidak terpikir untuk
studi lanjut (S-2) sampai pensiun.
Kemudian jangan tanyakan kedekatan Saudara Sulung dengan Drs. M.
Dahlan Ridlwan. Beliau memiliki keterkaitan pengalaman dan perjuangan
dengan Saudara Sulung yang bahkan belum tentu dimiliki oleh adikadiknya Saudara Sulung sendiri. Pernah di Gontor sampai kelas 5 dan
sama-sama dari Jombang. Aktivitasnya sebagai Dai yang sangat sibuk
melayani masyarakat membuatnya tidak sempat memberi kelegaan
kepada para pengurus studi pasca sarjana. Beliau dikenal juga sebagai
pecinta seni, pelantun lagu-lagu melayu lama, dan pemandu barzanji dan
diba yang sulit dicari gantinya.
Pada upacara yang orang menyangka ini adalah Resepsi Akad Pensiun,
saya menyampaikan empati kepada beliau bertiga atas sejumlah hal yang
menyedihkan dan mengharukan, juga menyampaikan rasa syukur untuk
sejumlah hal lain yang memerdekakan dan menggembirakan.
Sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai warganegara, dan
utamanya sebagai bagian dari rombongan pengikut Nabiyullah dan
Rasulullah Muhammad saw, saya ingin merayakan kebahagiaan bahwa
Allah menugasi Saudara Sulung sebagai selah seorangwaliyyu amri
lughotil-Quran bersama beliau berdua.
Sebagai bagian dari bahasa-bahasa ummat manusia di Bumi, kita
menyebutnya Bahasa Arab. Tapi sebagai bahasa pilihan Allah untuk
merumuskan informasi dan bimbingan-Nya kepada perjalanan peradaban
ummat manusia, kita menyebutnya Bahasa al-Quran.
Tidak kita sebut Bahasa Allah, karena seluruh realitas jagat raya adalah
juga bahasa Allah. Segala kenyataan sunnatullah yang secara manipulatif
kita sebut hukum alam, memuat bahasa komunikasi Allah. Dari embun

yang menetes hingga tujuh langit yang tak terjangkau, adalah bahasa
yang dipenuhi oleh kehendak dan penyampaian Allah. Juga Bahasa alQuran dan Bahasa Arab tidak kita sebut Bahasa Komunikasi Allah, sebab
kita tidak berani menyimpulkan bahwa Allah tidak pernah menyampaikan
sesuatu menggunakan bahasa Jawa, bahasa Perancis. bahasa Swahili,
atau bahasa-bahasa nir-kata dan berbagai macam alat komunikasi
lainnya.

Tanggungjawab Allah
Mungkin kurang syari, atau kurang absah menurut syariat Islam, tapi
kami sekeluarga merasa aman dunia akhirat karena Saudara Sulung kami
adalah agen penyalur dan penyebar salah satu bahasa terpenting Allah
kepada ummat manusia. Saudara Sulung itu salah seorang pegawai
Allah yang utama, karena bekerja sebagai wali urusan bahasa al-Quran
yang antara lain menggunakan bahasa Arab.
Karena pegawai penting, maka Allah pasti bertanggung jawab untuk
menganugerahkan fasilitas-fasilitas, perlindungan dan kesejahteraan
kepada pegawainya itu selama bertugas. Dengan sendirinya kami
sekeluarga akan memperoleh cipratan dan limpahan dari beliau. Allah
pasti juga mencintai dan menyayangi pegawainya yang setia, dengan
demikian asalkan kami bersikap tazhim dan patuh kepada Saudara
Sulung, tidak logis kalau tidak lantas Allah juga mencintai dan
menyayangi kami semua.
Kami sekeluarga bersepakat bahwa yang penting sering-sering meniru
mengucapkan kata dan kalimat dari al-Quran yang sering Saudara Sulung
ucapkan. Apa boleh buat kalau ada orang yang menyangka kami sepintar
Saudara Sulung dalam ber-al-Quran, pokoknya cas-cis-cus kefasihan
Saudara Sulung kami buntuti dan lakukan. Mudah-mudahan masyarakat
berlaku seperti Rasulullah Muhammad saw: pada orang seburuk apapun
beliau mencari kebaikannya, bukan pada orang sebaik apapun kita
mencari keburukannya.

Imaginasi Romantik
Hari ini saya menemukan dan menyadari kemungkinan kenapa Allah swt
tidak memperkenankan saya melanjutkan belajar di Pondok Modern
Gontor Ponorogo, sehingga Ia menciptakan suatu peristiwa dan
memerintahkan pengurus Pondok untuk mengusir saya pada bulan Maret
1968, sehingga saya kabur kanginan sampai hari ini. Padahal setengah
mati Saudara Sulung membimbing saya sejak akhir SD agar bisa dan
pantas masuk Gontor.

Kemungkinan alasan kenapa saya diusir dari Gontor adalah pada


pembagian tugas kewajiban hidup di dunia dalam lingkup keluarga saya:
khusus untuk urusan Bahasa al-Quran dan Bahasa Arab, dilimpahkan
sepenuhnya kepada kakak sulung saya, Ahmad Fuad Effendy.
Kalau, dalam suatu imaginasi romantik saya, di alam kubur atau barzakh
Malaikat bertanya kepada saya:
Kenapa kamu tega membuat Allah tersinggung perasaan-Nya?
Tentu saja saya agak bingung apa maksudnya menyinggung perasaan
Allah, sehingga saya menanyakan itu dan Malaikat meneruskan
kalimatnya:
Kan di dalam berkomunikasi dengan hamba-hambaNya dan
menginformasikan sangat banyak hal yang para hamba tidak mungkin
mengetahuinya tanpa Allah menginformasikannya Allah memilih
bahasa Arab. Kenapa kamu tidak beneran belajar bahasa Arab? Kamu
tidak tertarik pada muatan informasi Allah? Kamu tidak jatuh cinta dan
tidak ingin merasakan muatan cinta Allah melalui bahasa dan ekspressi
yang Ia pilih? Kamu letakkan Allah sebagai factor yang sekunder dan
remeh di dalam tata nilai hidupmu?
Saya tidak kuat hati mendengar lebih panjang kalimat-kalimat Malaikat
itu, sehingga saya menjawab dengan memotongnya: Mohon izin di dalam
keluarga saya ada kesepakatan untuk berbagi tugas. Dan khusus untuk
Bahasa Arab atau Bahasa al-Quran, itu kewajiban Saudara Sulung kami.
Ternyata makin disalahkan oleh Malaikat. Kamu pikir pengadilan akhirat
itu terdakwanya rombongan sekeluarga? Kamu pikir kalau Romo Magnis
Suseno kepada Malaikat di akhirat nanti menyatakan Saya nderek Gus
Dur, terus Gus Dur sendiri nderek siapa? Pengadilan akhirat itu bukan
urusan mobil mogok yang perlu diderek-derek. Akhirat itu
urusan shirthal mustaqm, bukan Jalan Tol.
Saya menjawab dengan sangat ketakutan, Ini masalah darurat. Ketika itu
keluarga kami jatuh miskin habis-habisan, yang bisa tamat kuliah hanya
Saudara Sulung. Yang lain tidak punya biaya untuk meneruskan sekolah.
Sekian tahun kemudian baru ada yang pelan-pelan bisa sekolah. Tapi
zaman sudah berubah, dan kami akhirnya menjumpai bahwa yang punya
kapasitas dan kesanggupan untuk menyangga Bahasa Arab dan Bahasa
al-Quran hanya Saudara Sulung. Adik-adiknya menyebar ke tempattempat sebatas yang mereka mampu. Untunglah ayat-ayat Allah tidak
hanya di al-Quran, tapi bahkan lebih luas hamparannya fil-fqi wa fanfusikum.
Malaikat semakin keras membentak saya, Kamu ngustadzin saya ya!
Kamu ini alumnus Pesantren Metro-TV atau TV-One?

Langsung saya pingsan, sehingga tidak ingat bagaimana adegan


selanjutnya.

Loket baitul-Quran
Alhasil 14 adik-adiknya dibebani kewajiban di bidang dan wilayah-wilayah
lain yang berbeda-beda, namun kami semua menyepakati bahwa beliau
saudara sulunglah rujukan utama segala wacana dan ilmu. Sebab apapun
yang kami kerjakan, profesi apapun, bidang pekerjaan apapun, tidak
berada di luar lingkup bimbingan nilai-nilai Al-Quran, dan Saudara Sulung
adalah loketnya.
Ada Saudara kami yang urusannya adalah pertanian,
membangun ghirrah dan kepercayaan diri para petani: sabbaha lillhi m
fis-samwti wam fil-ardh, mana mungkin ada tanah, sawah, tanaman,
dedaunan, musim, benih, bakteri, wabah, warna hijau atau kuning, atau
rasa syukur tatkala panen, yang terletak di luar Allah dan al-Quran.
Saudara-saudara kami yang lain ada yang berdagang kecil-kecilan. Ada
yang ajegmemelihara proses kependidikan dan menyirami dinamika
pesuburan ilmu, ijtihad dan kreativitas. Ada yang berkeliling menemani
hati dan pikiran masyarakat. Serta berbagai macam ragam tugas yang
lain.
Semua itu tak bisa tuntas dan legal atau hallan thayyiban kalau tidak
pada saat-saat yang mendasar berdiri antre di depan loket baitulQuran yang dijaga dengan sangat setia dan penuh ketekunan oleh
Saudara Sulung.

Aib Saudara Sulung


Ada manusia yang tahu sedikit tentang sedikit hal. Ada yang tahu
banyak tentang sedikit hal. Ada yang tahu sedikit tentang banyak hal.
Serta ada yang tahu banyak tentang banyak hal. Manusia yang dalam
hidupnya menemukan kenikmatan hidup bersama al-Quran (nikmat
secara rohaniyah, nikmat secara intelektual, nikmat secara estetik, dst) ia
akan dengan sendirinya terseret untuk menjadi manusia yang tahu
banyak tentang banyak hal. Minimal ia tahu sedikit tentang banyak hal,
tetapi pada perkara tertentu ia pasti tahu banyak tentang sedikit hal.
Tahu itu bisa dikembangkan menjadi mengerti, sadar, bisa,
mampu, sanggup, bahkan bisa diperkaya dimensinya ke mendalam,
meluas, meninggi. Karena kapasitas individu-individu di keluarga kami
tidak mungkin mencapai kesempurnaan untuk memenuhi skema dan
terminologi itu, maka kami menyusun semacam formasi. Kami

bekerjasama secara simultan: bertemu sebulan sekali di kampung


halaman, Menturo. Secara tentatif juga bertemu di Surabaya, Yogya,
Semarang, Jakarta dan sejumlah tempat lain. Saling mengisi, saling
mengkontribusikan hasil pencarian dan penemuan, mempetakan
perbedaan dan persamaan, menata dan mengelola mapping kekayaan
ilmu Allah itu untuk diproduksi menjadi manfaat sosial.
Seluruh anggota keluarga kami canggung dan malu berkarier, tak ada
satupun yang berjuang mencapai puncak kejayaan di dunia. Kami hanya
berupaya turut mengantarkan banyak orang, yang di antara mereka
memang berjuang mencapai apa yang mereka yakini atau mereka sangka
sebagai fid-duny hasanah: menjadi Presiden, Menteri, Ulul-amr,
pengusaha sukses, Ulama besar atau apapun. Sementara kami 15
bersaudara tetap hanya Guru SD sampai udzur usia. Kami sekeluarga,
termasuk saya sendiri, baru tahu bahwa Saudara Sulung ternyata pernah
menjadi Dekan, sesudah beliau tak lagi menjadi Dekan. Sekian tahun
Saudara Sulung berusaha sangat ketat untuk menyembunyikan aibnya
itu.
Kami juga tidak bisa memahami kalau Saudara Sulung lantas berjuang
meningkatkan aibnya. Karena dua sebab. Yang pertama, kami tidak
punya jenis gen seperti itu dan atmosfir budaya keluarga kami tidak
menyuburkan kecenderungan semacam itu. Saya ragu apakah
almarhumah Ibu kami yang dipanggil Allah beberapa bulan yang lalu
dalam hidupnya sempat mendengar tentang aib putra sulungnya.

Se7 Tauhd Ilallh


Yang kedua, Saudara Sulung sangat menikmati angka 7. Hari bulan
tahun kelahirannya, berbagai peristiwa dalam hidupnya, membuatnya
ikhlas, bangga dan menikmati level 7. Allah juga nggodain Saudara
Sulung dengan Ummul Kitab yang ayatnya berjumlah 7, belum lagi saba
samwt dan berbagai gejala-7 lain dalam kehidupan. Tentu saja tidak
ada klenik-7. Angka 7 hanya pintu apresiasi dan cinta. Orang boleh
menyayangi Gajah karena awal mulanya tertarik pada belalainya. Angka 7
bukan Allah, angka 7 hanya jalan yang indah menuju Allah. Dan jalan
cinta kepada Allah boleh 7, boleh 12345689, boleh cacing, boleh ekor
burung merak, boleh notasi lagu, boleh cangkul dan linggis. Silahkan pilih
atau tak pilih madzhab, silahkan masuk Muhammadiyah atau NU, silahkan
mau Sunni, mau Syiah, Si-B, Si-C, asalkan 7annya adalah tauhd ilallh.
Tapi biarlah Saudara Sulung sendiri yang menguraikan hal-hal mengenai
7 itu. Kalau saya yang menjelaskan, bisa bocor dan bias, nanti semua
pada pusing kepala, sehingga terpaksa beli Bintang-7. Puncak kedamaian
dan kemashlahatan dalam kehidupan adalah perse7an semua manusia
atas haqqullh. Kalau yang terjadi adalah perse8an atau per9an, menjadi

berlebihan, l tusrif, maka menimbulkan kemudharatan. 7 itu


sedengan, khairul umri ausathuha, ummatan wasathan.
Semakin banyak yang tidak se7, semakin banyak bentrok, tawur dan
perang. Indonesia adalah mentalitas dan rasa percaya diri melorot jauh ke
bawah 7, tapi nafsunya jauh melampaui 7, bahkan banyak yang 10 pun
tak cukup: korupsi tidak 10-20%, kalau bisa minimal 70-90%. Syukursyukur sebelum diprosentase, dari hasil seratus sekian BUMN, sudah bisa
diambil 300-400% dihitung dari jumlah yang nanti dianggarkan, sisanya
baru masuk APBN.
Saudara Sulung, rumahnya, seluruh kekayaannya, berada pada level 7
dibanding rata-rata Dosen, dan bisa seper-7 bahkan seper-70 dibanding
penghasilan seorang perwira rendah Polisi tertentu.

Mikul Dhuwur, Mendhem Jero


Dan hari ini, Saudara Sulung, menurut bahasa resmi: dilepas dari
tugasnya karena memasuki masa pensiun. Ini hari yang sangat seru, dan
pasti diperhatikan secara khusus oleh Tuhan seru sekalian alam. Tuhan
suruh manusia mencari ilmu sepanjang hidupnya, dan ketika si Loket
Ilmu mencapai puncak kematangan ilmunya, malah Saudara Sulung
ditutup loketnya.
Di dalam peradaban dan sistem kapitalisme, semakin tua usia tenaga
kerja, semakin rendah ketrampilan dan daya produktifnya. Maka ada saat
di mana produktivitas seseorang melorot hingga ke titik nadir, ia dikasih
pesangon dan dipersilahkan hidup enak di rumahnya sendiri atau oleh
anak-anaknya dipindah ke rumah jompo. Peradaban Kapitalisme tidak
mengenal mikul dhuwur mendhem jero. Karena kapitalisme hanya kenal
kapital, tidak kenal manusia. Tetapi insyaallah para pengajar yang lain
dan sahabat-sahabat kemanusiaan Si Pensiun menjunjung dan
menerapkan filosofi tinggi dan mulia mikul dhuwur mendhem jero, tapi
Universitas tidak punya formula untuk itu.
Indonesia mungkin adalah sebuah perusahaan kapitalisme raksasa, dan
UM adalah sub-company kecil yang tidak bisa mengelak untuk wajib
memberhentikan salah seorang buruhnya dari tugas menyalurkan ilmu
Allah, justru ketika yang bersangkutan berada pada usia yang makin
matang untuk tugas keilmuan. Ahmad Fuad Effendy adalah mantan
pengajar materi Bahasa Arab. Yang didistribusikan oleh Universitas
adalah materi, kapital. Filosofi dan ideologi yang dipilih dan
diselenggarakan adalah materialisme, maka unsurnya selalu disebut
materi. Itu resmi. Dengan pertimbangan filosofis dan epistemologis
yang sangat disadari, bukan sekedar istilah.

Materi Diskusi Kita Apa? Tuhan


Dr. Nursamad Kamba, alumnus Universitas Al-Azhar Cairo, sahabat ilmu
Saudara Sulung, pernah menuturkan kepada saya tentang lima tingkatan
nilai-nilai peradaban: Aqlul haws, Aqlul hifzh, Aqlul khayl, Aqlul fikr
dan Aqlul fal. Kita permudah saja idiomatik itu dengan urutan: 1. Materi.
2. Memori. 3. Imaginasi. 4. Pemikiran. 5. Pekerja. Yang terakhir ini
mestinya mengacu pada Falul-lim yurd: Allah Maha Pekerja atas
apapun yang Ia kehendaki.
Peradaban ummat manusia abad 20-21 menyeret empat level hifzh,
khayal, fikr dan faal ke level peradaban Aqlul hawas. Peradaban Ilmu
Katon, yang sejak nenek moyang kita hal itu dianggap sepele, gampang
dan rendah. Semua kesibukan software dan rohani manusia diabdikan ke
materialism, kapitalisme. Sekarang dengan watak Liberalisme, bahkan
Neo-Liberalisme, segera memasuki Ultra-Liberalisme. Puncak substansi
nilainya terletak pada pandangan bahwa Tuhan adalah materi, sehingga
semua unsur dan limpahan dari Tuhan dimaterikan, dikapitalisasikan.
Seluruh dan kemenyeluruhan alarsy alazhm yang agung, utuh, dahsyat,
berdimensi-dimensi, dan bahkan hakekat kenyataan hidup ini sedemikian
dekatnya dengan laisa kamitslihi syaiun dikerdilkan, disempitkan,
didangkalkan, disepelekan menjadi hanya materi. Apa materi diskusi
kita hari ini? Tuhan.
Perusahaan Universitas menimpakan kepada dirinya masalah besar dan
konflik yang sangat serius dengan Tuhan. Tuhan mengajari manusia
merohanikan materi, universitas yakid kaida bahkan wa
makar dengan pendidikan mematerikan rohani. Tuhan bikin manusia
agar menempuh shirthal mustaqm melalui dunia, Universitas
menyeret manusia untuk mencapai Dunia, karena puncak sukses adalah
pencapaian keduniaan. Terbalik waslah dan ghyah menurut Tuhan
dengan menurut Universitas.
Tapi tak masalah, karena toh Rektor, Dekan, Dosen, Mahasiswa dan
Karyawan: rajin bikin pengajian. Juga karena sebenarnya kalau para
intelektual dan akademisi menyebut kata materi, maksudnya adalah a
thing atau something, sesuatu. Hanya saja beliau-beliau kurang
menjaga denotasinya. Materi yang dimaksudkan sebenarnya bersifat
cair, tapi akhirnya menjadi padatan. Dan tidak ada kewaspadaan
intelektual tatkala kata materi melembaga ke materialisme yang
bersifat sangat ideologis dan menjajah.
Sekolah dan Universitas mempersiapkan siswa dan mahasiswanya untuk
memiliki sudut pandang, sisi pandang, dan jarak pandang terhadap
materi. Tidak dipersiapkan untuk mereka metodologi untuk memandang
yang non-materi, bahkan secara akademis yang non-materi itu
disimpulkan sebagai tidak ada, unbeing. Tidak ada keperluan substansial
untuk bekerja sama dengan murid (arda, yurdu), orang yang
menghendaki dan memburu ilmu. Masyarakat mengirim anak-anaknya ke

PT Universitas dengan biaya mahal agar menjadi Peserta Didik, menjadi


konsumen jual beli materi ilmu.
Universitas adalah Toko Grosir. Adalah pusat kulakan materi-materi yang
berupa kumpulan kata dan kalimat yang disangka ilmu. Salah satu
gunanya adalah untuk melegalisir status bahwa masyarakat lebih bodoh
dari mereka, lebih rendah derajat sosialnya, serta harus patuh kepada
pasal-pasal dusta yang mereka karang melalui gengsi Kelas Menengah
dan kekuasaan bernegara. Sejarah masyarakat dan bapak-ibu mereka
tidak mengandung kebenaran apapun, karena posisi mereka adalah untuk
dikursus dan ditimpa kebenaran putra-putrinya yang telah menjadi agen
penguasa ilmu dunia global. Putra-putri masyarakat itu dihibur hatinya
dengan pemberian gelar Sarjana, S-2 lebih primer daripada naik Haji, S-3
adalah sorga yang membuat pelakunya tidak perlu berpikir apa-apa lagi.
Padahal Universitas tidak ada. Yang adalah Paguyuban Fakultas-Fakultas,
yang mencetak Sarjana-Sarjana fakultatif. Bukan Sarjana Universal.

Matahari Terbit dari Barat


Di Universitas mereka diajari bahwa matahari terbit dari Barat. Asal usul
seluruh ilmu, pengetahuan, penemuan, teknologi dan peradaban, adalah
Barat. Semua yang di Timur itu bodoh, melarat, kumuh, kampungan,
bloon, bego, tidak percaya pada dirinya sendiri. Maka penduduk Timur
harus diberadabkan, harus dijajah untuk dijadikan civilized, diajari
pakaikancut, celana, jas, dasi, dengan busa mulut yang bermuatan
bahasa Barat meskipun sepotong-sepotong. 300 tahun sudah penduduk
Timur dicuci otaknya, disirnakan kepribadiannya, dipendam sejarah masa
silamnya, diperbudak trilogi politik perekonomian dan kebudayaannya.
Bangsa Indonesia Jawa yang untuk satu peristiwa kecil punya
sebutan tibo, rutuh, njungkel, nggeblag, nylorot, njengkang, kesosor,
njungkir, nyungsep dst merasa lebih bodoh dan tertinggal dari bangsa
yang hanya punya satu kata falling down untuk peristiwa yang sama.
Bangsa yang peradabannya sudah mencapai detail pari, gabah, beras,
sego, memperbudak dirinya kepada bangsa yang hanya punya rice.
Bangsa Indonesia tiba-tiba bikin Negara dan Republik, karena tidak berani
mencari dan menjadi dirinya sendiri. Kaum intelektual berpikir bahwa
Kerajaan itu kuno, otoriter dan diktator. Seakan-akan bisa diselenggarakan
kehidupan bersama tanpa otoritas dan diktat hukum.
Otoritarianisme dan diktatorisme adalah suatu tata kehidupan di mana
rakyat tidak memiliki daya tawar atas kedaulatannya. Hari ini rakyat
Indonesia tidak punya bargaining power terhadap wakil-wakilnya sendiri,
terhadap Presiden dan seluruh jajaran pemerintahannya. Kalau yang
otoriter-diktator hanya satu Raja dan sejumlah Ponggawa, agak sederhana
caranya melawan. Tapi kalau yang diktator adalah Presiden dengan sekian
premannya, sekian Menteri dengan ratusan dan ribuan pegawai

jajarannya, Dewan Perwakilan yang berlapis-lapis sampai ke strata bawah,


dst sangat ruwet dan butuh ekstra energi untuk memberontakinya.
Kalau dalam Kerajaan, diktatornya sendirian. Kalau dalam Republik
Demokrasi, diktatornya rombongan.

Menuju, Menjadi, Memperoleh Hati Sorga


Tentu saja saya pribadi, Saudara Sulung dan kami semua tidak ada
masalah dengan Republik atau Kerajaan, Persemakmuran atau Federasi,
atau apapun. Kami diam-diam mempelajari transformasi formula
kenegaraan dari Majapahit ke Demak, Pajang, Mataram hingga Indonesia
hari ini, serta segala kemungkinan yang kami gali dari sebanyak mungkin
sumber-sumber nilai dan bahan-bahan sejarah.
Itu bukan karena kami tergolong Negarawan, Guru Bangsa atau
Pemerintah. Tetapi karena aktivisme bahasa al-Quran Saudara Sulung
harus sampai pada tahap memverifikasi secara qurani hal-hal terpenting
yang menyangkut kehidupan orang banyak, khususnya Ummat Islam dan
bangsa Indonesia.
Dalam skala sekecil apapun Saudara Sulung memimpin kami semua untuk
menyelenggarakan proses transformasi atas setiap kemungkinan
peradaban yang berlangsung agar bergerak menuju atau menjadi atau
memperoleh hati sorga. Min adab-id Dunya ila Fuad-ilJannah.

Bahasa Kaum Yang Menang


Kalau soal bahasa komunikasi internasional, bahasa apa yang paling
popular dan dipakai, itu soal kemenangan dalam pertarungan supremasi
sejarah. Bahasa Internasional adalah bahasa jaringan bangsa yang
menang, di samping pada level-level yang tidak primer tentu saja ada
pertimbangan pragmatisme kebahasaan. Seandainya Hitler menang,
supremasi kebangsaan dan kebahasaan di Amerika Serikat dan Eropa
tidak seperti yang kita alami sekarang. Bahkan seluruh muatan pemikiran,
ideologi, cara beragama, rasa kebudayaan dan jenis teknologi, juga tidak
sebagaimana yang kita kenyam sekarang.
Kalau pada suatu hari Allah mengizinkan masyarakat Amerika dan Eropa
memasuki dan mengikhlasi logika tauhid; tidak bisa lagi mengelak dari
fakta kebenaran al-Quran; beribadah kepada Tuhan tidak mengarang
sendiri karena sudah punya terminologi tentangibadah
mahdlah dan ibadah muamalah; hasad-nya kepada kebesaran
Muhammad SAW mengkonversi jadi cinta dan kekaguman; memperoleh
pemahaman yang obyektif dan proporsional (empan papan) tentang

konteks jihad, syahid, qitl, Allahu Akbar; mau belajar membedakan posisi
yang tidak sama antara agama, syariat, madzhab, fiqih, aliran, ormas,
golongan, sekte, termasuk antara Quran dengan hadits, antara hadits
dengan hadits-haditsan, dst maka roaitannsa yadkhulna f dnillhi
afwja, termasuk di dalamnya penduduk Bumi berduyun-duyun
menikmati bahasa al-Quran.
Saudara Sulung adalah pemimpin kami semua untuk menikmati
kepemimpinan Allah, Rasulullah dan al-Quran di hari esok di muka Bumi
yang Allah meletakkan Khalifatullah padanya. Akan tetapi kalau
kenikmatan itu belum menjadi kenyataan hingga hari terakhir jatah hidup
kita, tak masalah, karena kita sudah menjadi bagian yang aktif dari iradah
Allah, cinta Rasulullah dan pekerjaan suci al-Quran. Otoritas dan fakta
inn nahnu nazzalnadz-dzikr wa inna lah lahfizhn adalah otoritas,
kekuatan dan fakta yang tak bisa dilawan oleh siapapun dan apapun.
Berada dalam keyakinan itu saja sudah merupakan kebahagiaan yang
tiada tara.

Yogya 15 Nopember 2012


Muhammad Ainun Nadjib

Fragmen Manunggal

RUWAT SENGKOLO
Dari Sabang sampai Ternate. Berjajar pulau-pulau.

KI JANGGAN
Apa itu, apa itu, kok gitu. Coba ulang, ulang.

RUWAT SENGKOLO
Dari Sabang sampai Ternate. Berjajar. Maaf Guru.

KI JANGGAN
Kok Ternate?

RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru, saya mendengar Irian Jaya sedang terancam. Kalau kita
nggak serius menjaga Negara, dia bisa lepas dari tangan kita seperti
Timor Timur dulu.

KI JANGGAN
Justru karena itu lirik lagunya harus tetap Dari Sabang sampai Merauke.
Kamu sebagai generasi penerus harus meneguhkan nasionalisme.

RUWAT SENGKOLO
Siap Guru! Hidup matiku untuk NPKRI!

KI JANGGAN
Lho kok NPKRI?

RUWAT SENGKOLO
Negara Persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia, Guru

Itulah sebabnya Guru, sila pertama adalah Tuhan Yang Maha Tunggal. Foto
oleh Adin (Progress)
KI JANGGAN
NKRI!

RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru. Selama ini Guru mengajariku berpikir utuh. Persatuan dan
Kesatuan tidak bisa dipisahkan. Pidato semua pemimpin kita tidak pernah
menyebut persatuan dan kesatuan secara terpisah. Persatuan harus
kesatuan, kesatuan harus persatuan.

KI JANGGAN
Ya ya ya. Kamu berpikir utuh dan logis, tapi tidak lazim, tidak umum.
Yang lazim dan konstitusional itu NKRI. Negara kesatuan dari beragamragam suku dan golongan.

RUWAT SENGKOLO

Siap Guru! Bhinneka Manunggal Ika.

KI JANGGAN
Bhinneka Tunggal Ika!

RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru, yang Tunggal itu hanya Tuhan. Kalau manusia itu
Manunggal, menyatu,nyawiji kata orang Jawa.

KI JANGGAN
Sudah terlanjur Tunggal Ika, jangan macam-macam.

RUWAT SENGKOLO
Tunggal itu satu-satunya, the only. Tuhan Yang Maha Tunggal. Bukan
Tuhan yang Maha Esa. Kalau Esa itu bisa diteruskan ke Dua, Tiga.
seperti bahasa Tagalog: Esa, Dalawa, Tatlu, Apat, Lima, Anip, Pitu, Wolu,
Sanga, Sampoh. Kalau Tunggal, tidak ada Dua-nya, tidak ada Tiga-nya.

GASPOL
Saya Gaspol. Saya petugas kepolisian.
Saya penjaga konstitusi dan penegak hukum.
NKRI itu harga mati. Yang menentang NKRI, harganya: mati!
Sudah jelas cetho welo-welo, kata NKRI itu disebut secara tegas dalam
Teks Proklamasi 1945 dan UUD-45.
Barang siapa melawan, berhadapan dengan: Gaspol!

Hukum itu tidak pandang bulu, hukum itu buta kulit, buta warna, bahkan
kalau perlu buta huruf. Foto oleh Adin (Progress)
RUWAT SENGKOLO
Itulah sebabnya, Guru, sila pertama adalah Tuhan yang Maha Tunggal.
KI JANGGAN
Apa-apaan kamu. Sila pertama itu Ketuhanan Yang Maha Esa.

RUWAT SENGKOLO
Ampun, ampun. Guru mengajarkan kepadaku berpikir jernih.
Ketuhanan itu sifat. Tuhan itu subyek, maha subyek. Yang disembah oleh
seluruh bangsa kita bukan hanya sifat Tuhan, tapi Tuhan itu sendiri.

KI JANGGAN
Ruwaaat! Pikiranmu berbahaya dan semakin sesat.

RUWAT SENGKOLO
Kita menyembah Tuhan, bukan ketuhanan. Bendera kita Merah Putih,
bukan kemerahan dan keputihan.
Terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh.
Pak Jangkep entrance. Tertatih-tatih pakai tongkat.

PAK JANGKEP
Keputihan. Keputihan. Sembelit.

KI JANGGAN
Mohon maaf Pak Jangkep, saya merasa salah telah menjadikan Ruwat
seperti anak yang salah didik.

PAK JANGKEP
Salah asuhan. Saya juga salah dalam mengasuh anak saya ini.

KI JANGGAN
Saya tidak pernah mengajarkan semua yang dia omongkan tadi.

PAK JANGKEP
Kalau mikirmu seperti itu, lama-lama kamu bisa jadi Teroris, Ruwat.

RUWAT SENGKOLO
Guru pernah mengajarkan bahwa pikiran kita memerlukan terror, supaya
dinamis dan kreatif.

PAK JANGKEP
Maksudku bukan terror pikiran, tapi terror. Yaaa terornya teroris itu lho!

KI JANGGAN
Pak Jangkep bapakmu ini was-was, Ruwat, jangan sampai kamu
melanggar hukum. Negara kita ini Negara Supremasi Hukum.

RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru. Hukum itu mutlak penting, tapi letaknya paling bawah.
Kalau kita tidak menolong orang yang menderita, tidak dipersalahkan oleh
hukum. Koruptor harus dihukum, tetapi kalau petugas hukum tidak
menghukum koruptor, atau pura-pura tidak tahu bahwa atasannya terlibat
tipikor, petugas itu tidak dihukum oleh hukum.

PAK JANGKEP
Kamu ini sekolah kebatinan kok ngomong hukum.

KI JANGGAN
Kamu ini sedang menuduh ada petinggi yang korupsi tapi bebas
hukuman, begitu?

RUWAT SENGKOLO
Bukan, Guru. Yang saya bicarakan ini soal supremasi. Yang berpikir
Supremasi Hukum itu petugas Negara. Kalau rakyat dan wakil-wakilnya
berpikir supremasi keadilan. Kalau masyarakat dan guru-guru bangsa
berpikir supremasi moral. Atau kalau bangsa dan negara kita mau
dewasa, ya semua warganegara berpikir 3 supremasi itu sekaligus.
Soalnya, hukum itu cuma salah satu anaknya keadilan saja. Anak lainnya
masih banyak.

PAK JANGKEP

Oalah Ruwaaat Ruwat. Kamu ini penganggur, makan saja sering masih
minta-minta, kok sempat-sempatnya mikir hukum.

KI JANGGAN
Justru karena ndak punya kerjaan maka murid saya ini
pikirannya ngomyang ke mana-mana, Pak Jangkep.

RUWAT SENGKOLO
Bahkan, seharusnya, Jaksa jangan hanya pandai mencari kesalahan: Jaksa
juga harus pinter mencari kebenaran.

PAK JANGKEP
.Jaksa kok disuruh cari kebenaran. Terus isi tuntutannya apa.

KI JANGGAN
Mungkin maksudnya Ruwat, Jaksa ke Pengadilan tidak hanya menyeret
terdakwa kejahatan, tapi bisa juga terdakwa kebaikan. Kalau terbukti
jahat, Hakim menghukum. Kalau terbukti baik, Hakim memerintahkan
kepada pemerintah agar memberinya hadiah.

RUWAT SENGKOLO
Aslinya memang begitu. Hakim di Pengadilan, modal utamanya bukan
pasal-pasal hukum, melainkan rasa keadilan dan keteguhan moral. Sangat
mungkin manusia melakukan kesalahan yang belum ada pasal hukumnya.
Buah catur saja yang jumlahnya hanya 32, punya 114 juta kemungkinan
langkah. Lha kalau buah caturnya sebanyak penduduk Indonesia, 235
juta, berapa trilyun probabilitas pelanggaran hukumnya? Maka Hakim
harus selalu siap menciptakan pasal-pasal baru berdasarkan kejujuran
nuraninya, rasa keadilan dan keteguhan moralnya.
GASPOL
Ini Negara Supremasi Hukum. Jangan ditambah-tambah dengan
supremasi-supremasi macam-macam lainnya. Hukum thok saja sudah
repot!

Saya anggap, semua yang di luar Supremasi Hukum adalah pelanggaran


hukum.
Dan saya akan bertindak tegas.
Hukum itu tidak pandang bulu, hukum itu buta kulit, buta warna, bahkan
kalau perlu buta huruf.
Tidak perduli apakah Syiah, Si-B, Si-C, Silalahi, Sikeas kalau diduga
melanggar hukum, akan saya panggil, saya periksa.
Siapa kere-kere ini? Ati-ati. Jaga kelakuannya. Nanti saya sortir siapa yang
cocok dituduh sebagai teroris di antara kalian.

Nyicil Simpati Kepada Setan

Tulisan ini saya bikin dengan mencuri waktu di sela-sela forum,


menyelinap beberapa momentum untuk bisa menulis. Kerja saya seperti
Setan: berupaya pandai menggali peluang untuk memasukkan partikel
energi dan nilainya ke pori-pori kejiwaan manusia.
Dan untuk manusia di jaman ini, hal yang dilakukan Setan semacam itu
bukan pekerjaan sulit, karena manusia sudah hampir tidak memiliki
pertahanan apapun terhadap penetrasi Setan.
Juga karena manusia sudah semakin tidak mengenali dirinya sendiri,
apalagi mengenali Setan, sehingga tidak pernah secara sadar atau
instinktif mengetahui apakah ia sedang dipengaruhi oleh Setan, apakah
sedang berjalan didorong dan dimotivasi oleh Setan, apakah ia sedang
menyelenggarakan sesuatu yang pengambil keputusan sebenarnya
adalah Setan di dalam dirinya.
Tentu saja Setan tidak bisa kita pandang dengan terminologi materi atau
jasadiyah. Ia lebih merupakan enerji, atau gelombang. Sedemikian rupa
manusia harus mempelajari dirinya sendiri: dari wujud materiilnya, psichenya, roh atau rohaninya.
Kita sedang meyakini bahwa kita adalah manusia, adalah makhluk sosial,
adalah warganegara Indonesia, adalah bagian dari masyarakat dunia,
adalah kaum profesional, adalah Ulama, anggota Parlemen, pejabat,
aktivis Ornop, golongan intelektual atau apapun. Tetapi itu semua adalah
termin-termin yang sangat materiil, baku dan elementer. Sesungguhnya

kita tidak benar-benar mengenali diri kita pada atau sebagai dimensidimensi yang lebih substansial.
Kita, pada konteks tertentu, dan itu sangtat serius dan merupakan
mainstream: mungkin sekali adalah boneka-bonekanya Setan. Kita hanya
robot yang diremot oleh kehendak Setan. Kita hanya instrumen dari
kemauan-kemauan Setan.
Anda mungkin menganggap saya main-main retorika. Tidak. Ini sungguhsungguh. Jangan mengandalkan ilmu pengetahuan baku dari sekolahan
dan universitas, sebab penelitian-penelitian di wilayah itu tidak akan
sampai pada hipotesis, identifikasi atau invensi tentang Tuhan, Malaikat,
Iblis, Jin dlsb yang sesungguhnya merupakan wujud nyata sehari-hari
kehidupan kita.
Kita sedang menghabiskan waktu untuk bermain-main menunggu
kematian tiba. Mainan kita namanya Negara, demokrasi, Pemilu, clean
governance, pengajian, tausiyah, mauidhah hasanah, band dan lagu-lagu,
tayangan dan sinetron. Semua itu tidak benar-benar kita pahami bahwa
bukanlah kita subyek utamanya.
Tentu ini semua harus sangat panjang ditelusuri, dianalisis, dipaparkan
dan disosialisasikan. Tulisan ini sekedar membukakan pintu agar manusia
mulai mempelajari Setan, sebagai salah satu metoda paling pragmatis
dan efektif untuk mengenali dirinya. Sebab hanya dengan benar-benar
mengenali dirinya maka manusia akan bisa berpartisipasi untuk turut
menjamin keselamatan dirinya, keluarganya, anak cucunya, lewat Negara,
sistem sosial atau apapun.
Anda semua semua sedang menjadi korban tipu daya dari segala sesuatu
yang Anda sangka kemajuan, kesejahteraan, pembangunan, segala yang
indah-indah di layar teve, di halaman koran, di kantor-kantor
pemerintahan dan perusahaan, bahkan di pasar, di panggung, di gardu
dan di manapun.
Tolong jangan membantah dulu sebelum mempelajari Setan, dalam segala
wilayah, konteks dan skala. Pelajari setan untuk individumu, untuk
keluargamu, untuk keselamatan anak-anakmu tahun-tahun yang akan
datang, untuk masyarakat dan bangsamu. Tuhan bilangMereka
melakukan tipu daya, dan Aku juga. Aku kasih waktu sejenak kepada
mereka.
Jatah untuk menyembuhkan diri bagi bangsa kita sudah berlalu. Ramadlan
dan Idul Fitri sudah kita lalui tanpa makna apa-apa. Metabolisme zaman
sudah tiba di putaran di mana kita memerlukan jangka waktu yang akan
jauh lebih lama lagi untuk bisa menyembuhkan dan menyelamatkan kita
semua sebagai bangsa. Segala sesuatu sudah kita jalani, kita junjung,
tanpa melahirkan paradigma baru apapun di bidang apapun. Indonesia
sudah mati. Tahun 2008-2015 akan semakin terpecah, semakin tertipu

daya, semakin lapar dan panas, semakin stress dan deppressed, karena
kita sendiri sudah terbiasa menipu daya diri kita sendiri.
Semua sisi kehidupan kita sudah palsu. Setan bilang kepada saya: Tidak
ada tantangan lagi. Manusia bukan tandingan Setan sama sekali. Manusia
sangat mudah kami kendalikan. Sangat tidak memiliki kepegasan dan
ketahanan untuk mempertahankan kemanusiaannya. Sungguh sudah
tidak menarik lagi bertugas sebagai Setan.
Di dalam Kitab Suci ada disebutkan: Dan ketika dikatakan kepada
Malaikat: Bersujudlah kepada Adam, maka bersujudlah mereka, kecuali
Iblis, karena sombong dan lalai
Diam-diam dibisikkan kepada saya oleh Setan: Kami sengaja tidak
bersujud kepada Adam, kami minta satu periode zaman saja kepada
Tuhan untuk membuktikan argumentasi kenapa kami tidak bersujud
kepada Adam. Hari ini saya nyatakan: Tidak relevan Iblis bersujud kepada
Adam, karena anak turun Adam sekarang terbukti sangat beramai-ramai
dan kompak menyembah Iblis.

Kafir Politis

Kalau menjelaskan pada jemaah-jemaah kecil kaum muslimin yang awam


tentang kufur atau kafir, biasanya saya memakai entry point soal bersih
atau kebersihan.
Misalnya begini: sepanjang seseorang masih mandi dan makan tiap hari,
maka ia tak bisa disebut sebagai kafir dalam arti total. Orang
mandi, ightisal alias membersihkan diri sendiri, berarti melaksanakan
amanat atau perintah Allah untuk menjaga kebersihan badan. Bahwa di
luar itu otaknya, perilakunya, perusahaan atau jabatannya, belum dighusl atau belum dibersihkan di situlah barangkali letak fungsi
kufurnya. Tetapi tindakan memandikan badan sendiri itu adalah pekerjaan
kemusliman.
Demikian juga sepanjang orang masih makan dan minum, maka ia masih
memiliki eksistensi kemusliman, karena makan dan minum adalah
memenuhi kehendak Tuhan agar hamba-hamba-Nya bersetia kepada
kehidupan, antara lain dengan menjaga kesehatan.
Jadi menurut cara berpikir ini, hampir tak ada orang yang seratus persen
dikategorikan sebagai orang kafir. Apalagi orang yang meskipun tidak
bersyahadat, tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan haji; biasanya

masih berbuat baik kepada anak istrinya, mencintai mereka, mencarikan


nafkah, dan sebagainya.
Maka tidak bisa saya bayangkan bahwa ada orang yang sehari-harinya
masih mandi, makan, menafkahi keluarganya, bertetangga baik-baik dan
santun kepada orang banyak bisa pada suatu sore kita tuding sebagai
kafir, lantas kita halalkan darahnya, atau minimal kitapersonanongratakan dan kita kucilkan.
Dalam konteks keilahian dan keagamaan saja pun tak bisa saya
bayangkan terjadi pengkafiran semacam itu. Apalagi dalam konteks yang
lebih duniawi dan pada tataran yang lebih lemah dan relatif kriteria nilainilainya umpamanya dunia politik.
Kalau mulut kekuasaan politik di suatu Negara menuding seseorang
Kamu tidak bersih lingkungan, di kepala saya muncul berjilid-jilid buku
yang menguraikan beribu-ribu pertanyaan dan kegelisahan. Dari
pertanyaan dan kegelisahan yang berkonteks politik praktis, keanehan
budaya kekuasaan, sampai yang berkonteks filosofis, etimologis, atau
bahkan ideologis dan teologis.
Di dalam perspektif nilai akidah dan hukum agama saja pun term kafir,
musyrik, munafik, muslim atau mukmin, tetap terbatasnya
maknanya oleh konteks-konteks dalam ruang dan waktu, di mana suatu
peristiwa dan perilaku berlangsung. Kalau ada pedagang agama Isalam
menipu pembeli beragama Budha, tidak bisa kita katakana orang muslim
menipu orang kafir. Perbuatan menipu itu adalah kekufuran, sehingga
tidak bisa membuat kita mengatakan bahwa dalam kasus penipuan itu si
penipu adalah muslim. Kalau seseorang menipu, maka dalam dunia ruang
dan waktu penipuan itu si penipu adalah kafir.
Maka sesungguhnya kalau kita berpikir jujur, di dalam kehidupan sosial
masyarakat kita, kata kafir, muslim, munafik, musyrik, dan
seterusnya itu selama berabad-abad mengalami pengorbananpengorbanan yang sungguh-sungguh tidak kecil dan tidak sepele.
Mengalami distorsi, pembiasan, pembelokan, bahkan pembalikan arti. Dan
kalau pembangkangan makna sebiji kata itu berada di genggaman tangan
seseorang atau sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan tak
terbatas memiliki ribuan senapan dan prajurit maka peristiwaperistiwa besar sejarah yang tragis berlangsung berdasarkan sulutan yang
sebenarnya amat sepele.
Ratusan ribu orang bisa tertumpas nyawanya berkat satu kata yang
dipelesetkan maknanya. Puluhan ribu orang terpuruk nasibnya ke dalam
kegelapan ekonomi dan politik, hanya oleh pembiasan kata
pembangunan misalnya. Jutaan lainnya bisa kehilangan tanah,
kehilangan sawah, kehilangan nafkah, kehilangan kios jualan, kehlangan
pekerjaan, kehilangan lingkungan pergaulan, atau bahkan meringkuk di
dalam sel-sel sempit berdinding batu tebal dingin hanya oleh

pembangkangan sekelompok manusia terhadap perjanjian murni arti


sebuah kata.
Jika pemelesetan makna kata itu sekadar merupakan kasus kebodohan,
maka kita hanya bersedih dan menangis. Tetapi kalau pemelesetan itu
justru disadari bahkan didayagunakan untuk rekayasa-rekayasa
kekuasaan maka mungkin seseorang akan hanya menghadapi dua
kemungkinan. Pertama, diam, menyerah, dan hancur. Kedua, berang,
marah, melawan, dan mati.
Jadi, secara keseluruhan kita sedang berhadapan dengan tiga masalah
besar. Pertama, siapakah atau pihak manakah di dalam sejarah, yang
disepakati sebagai berwenang untuk menentukan makna sebuah kata?
Kedua, dalam sebuah sistem politik yang berlaku, adalah institusi hukum
atau lembaga kebudayaan yang memiliki otoritas dan kewibawaan untuk
mengontrol subyektivisme kekuasaan yang seringkali memaknakan kata
bersih, PKI,balela, subversif, dan seterusnya seenaknya sendiri
dari sudut kepentingan kelompoknya yang apalagi dibungkus di dalam
jargon kepentingan umum? Ketiga, berapa dekade sejarah diperlukan
untuk menyembuhkan situasi di mana setidaknya sebagian
kekuasaan yang melakukan pembangkangan kata itu justru secara
mantab dan kusyuk merasa bahwa yang dilakukannya itulah paling
benar?
Ataukah pertanyaan-pertanyaan semacam yang saya ajukan ini justru
dianggap sebagai cacat politik atau bahkan kafir politis?

Untuk Umbu
Presiden Malioboro
Malioboro
Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan
Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai
Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis
kebudayaan 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti
bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia
masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung
kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.
Kemudian sebagai jebolan Universitas Malioboro, hampir setengah abad
saya lalui jalan sesat, dan kini saya terjebak di kurungan peradaban di
mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan

kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan,


serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka
sangka keunggulan.
Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan
sastra di Mingguan Pelopor Yogya yang berkantor di ujung utara Jl
Malioboro Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar nulis
puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam Persada Studi Klub.
Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat
menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah
penulisan puisi, melainkan Kehidupan Puisi demikian menurut idiom
Umbu sendiri.
Antara Tugu hingga Kraton, terdapat empat (4) jalan.
Pertama, Margoutomo. Terusannya, sesudah rel KA, bernama Malioboro.
Jalan lanjutannya adalah Margomulyo. Kemudian dari Kantor Pos hingga
Kraton adalah Jalan Pangurakan. Sekarang jalan itu bernama Jl.
Mangkubumi dan Jl. Jendral Ahmad Yani: wacananya, filosofinya,
kesadaran sejarahnya, sudah mengalami perubahan dan penyempitan,
dari falsafah karakter manusia ke catatan romantisme sejarah. Hari ini
bahkan Malioboro adalah pariwisata, kapitalisme dan hedonism pop.

Wali Pengembara
Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap
manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh jalan utama. Tafsir
atas jalan utama sangat banyak. Bisa pengutamaan akal dan budi,
bukan menomersatukan pencapaian kekuasaan, kesejahteraan ekonomi
atau eksistensialisme ngelmu katon alias kemasyhuran yang pop dan
industrial. Bisa juga jalan utama adalah berbadan sehat, berbudi tinggi,
berpengetahuan luas, berpikiran bebas, atau apapun yang intinya
memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi rahmat bagi seluruh
alam semesta.
Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka Malio-boro. Malio
artinya jadilah Wali, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan
untuk memperindah dunia, mamayu hayuning bawana. Malioboro
artinya jadilah Wali yang mengembara (boro): mengeksplorasi potensipotensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif,
berkelana di langit ruhani. Nanti akan tiba di jalan kemuliaan (Margomulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham (inspirasi)
dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), maunah (keistimewaan) dan
karomah (kemuliaan).
Di ujung jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah
urakan (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970an?):
sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, ya dunya ghurri

ghoiri, laqat thalaqtuka tsalatsatan: wahai dunia, rayulah yang selain aku
saja, sebab kamu sudah kutalak-tiga. Bahkan diri sendiri sudah ditalak,
karena diri sejati adalah kesediaannya untuk berbagi, kerelaannya
untuk menomersatukan orang banyak. Parameter manusia bukanlah
siapa dia, melainkan seberapa pengabdiannya kepada sesama.
Memilih Presiden 2014 sangat mudah: pandangi wajahnya dan pelajari
perilaku hidupnya, apakah penempuh jalan Margoutomo, Malioboro dan
Margomulyo. Raja-raja sejati nenek moyang kita mengakhiri hidupnya
dengan merohanikan diri, menjadi Begawan, Pandita, Panembahan. Raja
yang sibuk mengatur agar penguasa berikutnya adalah sanak familinya,
tidak punya kwalitas memasuki jiwa Pangurakan, karena memang tidak
pernah memilih jalan utama, mewali-pengembara sehinga lolos masuk
jalan mulia.

Kekasih Umbu
Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali
saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.
Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kost
saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap,
berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir
tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan
Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang,
ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki. Atau duduk saja di
trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat
sekolah.
Umbu mengajak saya mlaku, bukan mlaku-mlaku. Jalan, bukan
jalan-jalan. Ada beda sangat besar antara ngepit dengan pit-pitan,
antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira. Sangat
beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang dengan iseng-iseng,
antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan kaki sunggugan
dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu menghayati,
lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu
merenungi, lainnya memenggal.
Harian lokal Yogya pernah memuat foto sangat besar almarhum Prof. Dr.
Umar Kayam di halaman depan sedang naik sepeda, menempuh jarak 150
meter dari Bulaksumur B-12 ke kantornya di E-12. Pak Bon kantor
menyongsong juragannya, menyodorkan koran itu dan nyeletuk: Bapak
ampuh tenan. Baru mulai kemarin naik sepeda ke kantor sudah keluar di
koran. Kok saya sudah 30 tahun lebih naik sepeda 30-an km tiap hari
pulang pergi dari Gunung Kidul ke kantor, kok ndak masuk koran ya
Pak.. Maklumlah Pak Bon tidak mengerti apa-apa tentang jurnalisme.

Sambil jalan kaki dengan Umbu saya tersenyum-senyum sendiri kalau


ingat protesnya Pak Bon.
Malam itu Umbu menerobos Keraton Yogya bagian tengah dari arah barat,
menempuh sekitar 3 km, Umbu mengajak berhenti di warung kecil
seberang THR. Duduk. Pesan tehnasgithel, berjam-jam tidak bicara
sepatah katapun, ah-uh-ah-uh sendiri-sendiri, hingga pukul empat fajar
hari. Beberapa kali dengan dua jari Umbu mengambil batangan rokok di
kedalaman sakunya tanpa menoleh ke saya jangankan mengeluarkan
bungkusnya dan menawarkan agar saya juga menikmatinya.
Ketika jam empat tiba, Umbu bergumam lirih, Coba lihat keluar, Em..
Saya bertanya, Lihat apa, Mas?, dia menjawab, Perhatikan nanti ada
Bis Malam dari Malang masuk Yogya.. Saya melompat keluar, berdiri,
berjaga-jaga di tepi jalan. Sebab saya mengerti, Bus nya tidak penting,
tapi kota Malang itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih
hatinya.
Umbu sedang sangat jatuh cinta kepada seorang pelukis mahasiswi ASRI
(Akademi Seni Rupa Indonesia) asal Malang, gadis hitam manis, kurus,
bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai
tenaga outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program
cintanya.Job description saya mengamati rumah tempat ia kost, posisi
kamarnya, arah pintunya, route kegiatannya, dan yang terpenting
meneliti apakah si gadis pernah memakai rok. Sebab rata-rata pelukis
wanita berpakaian lelaki. Kalau sempat melihatnya pakai rok, harus didata
apakah maksi, midi ataukah mini. Ketika pada suatu malam Minggu saya
diperintahkan untuk bertamu ke rumah gadis itu sebagai Duta Cinta,
jauh malam sesudahnya saya diinterogasi: Apakah dia nemuin Emha
pakai rok? Bagaimana bentuk kakinya?
Ketika mendadak Bis Malam AA meluncur dari arah selatan, saya kaget.
Langsung saya teriak dan berlari memberitahu Umbu. Tapi dia tidak
menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh cinta dan rela berjam-jam
menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap menundukkan
wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya. Justru ketika
suara bis menderu, wajahnya makin menunduk.
Semula saya pikir si kekasih akan turun di depan THR karena kencan
dengan Umbu. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa si kekasih bukan
sedang naik bis dari Malang ke Yogya. Umbu hanya menikmati nuansa
bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang
dialaminya. Ia cukup mendengar suara bus itu lewat, cukup baginya untuk
menghadirkan kekhusyukan cintanya. Begitu bus sudah lewat, Umbu
mengajak saya pulang, dia ke ujung Malioboro utara, saya balik ke barat
Keraton.
Beberapa hari kemudian Umbu memerintahkan agar saya beli tiket bus
malam Yogya-Malang pp. Saya mengantarkannya sampai bus berangkat.

Dia melaju. Subuh tiba di Malang, Umbu turun sebelum Tugu masuk pusat
kota Malang. Jalan kaki masuk ke wilayah timur. Melintasi Jl Diponegoro, di
situ rumah sang kekasih. Berjalan cepat, menundukan wajah, tidak
sesekonpun berani menoleh ke rumah si gadis pujaan. Kemudian berputar
balik ke jalan besar, mencegat bis menuju Surabaya, terus ke Yogya.
Sorenya sudah datang lagi ke tempat kost saya: duduk, ah-uh-ah-uh,
mengambil batang demi batang rokok dari sakunya dengan jepitan dua
jari-jarinya. Tak ada kata tak ada huruf hingga pagi.

Kehidupan Puisi
Beberapa tahun kemudian Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si
kekasih rohaninya, diperistri oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan
memanggilnya ketika bermain surfing di pantai, sebagaimana Umbu
sepanjang hidupnya surfing di atas gelombang demi gelombang, tanpa
pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.
Siapapun pasti menyebut percintaan Umbu itu platonik, pengkhayal,
hidup tidak di dunia nyata. Dunia yang gegap gempita ini memang tidak
nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah memburu wanita itu untuk
disentuh dan diperistrikannya. Sampai hari ini Umbu mengayomi anakanak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi
sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh
Majalah Horizon elite media sastra di era 1970an: Umbu diam-diam
masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya
sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga
kepada kemasyhuran dan popularitas.
Sejak 50 tahun silam meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya
sebagai Pangeran di Sumba. Di pinggiran Denpasar ia menempati
rumah tepi hutan karena ia menghormati temannya yang membikinkan
rumah itu. Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang
semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh
keputusannya itu dengan idiom kehidupan puisi. Saya mengenalinya
sebagai zuhud: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia
meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran dan menyimpan
uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.
Saya bukan siapa-siapa di dunia, tetapi kapan ada yang tanya siapa Guru
saya, baru nama Umbu yang pernah saya sebut. Puluhan tahun saya
berkeliling berjumpa dengan jutaan orang. Rata-rata mereka adalah orang
memperlakukan saya sebagai keranjang sampah untuk mengeluhkan
dunia, membuang kesedihan dan frustrasi, menumpahkan kebingungan
dan rasa tertekan oleh keadaan-keadaan dunia yang menindas mereka.
Kecuali Umbu: ia bahagia dan khusyu dalam kesunyian dan
ketiadaannya.

Di mana-mana sajapun orang riuh rendah mengejar dunia, tetapi di manamanapun saja orang ribut curhat tentang dunia. Ke manapun saya pergi,
ke delapan penjuru angin, dari bawah sampai atas, pada segmen dan
level sosial yang manapun, yang terutama saya dengar dan disampaikan
kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan, kesulitan
mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.
Terkadang saya balik tanya, dengan terminologi Agama: Lha kamu hidup
ini mencari dunia atau akhirat?. Kalau ia menjawab mencari dunia,
saya tuding salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan. Kalau
jawabannya mencari akhirat, saya katakan kalau kamu mencari akhirat
kenapa mengeluhkan dunia. Kan sudah jelas sejak dahulu kala
bahwa urip ming mampir ngombe, hidup hanya mampir minum.
Namanya juga mampir, singgah sejenak, bukan bertempat tinggal. Sudah
jelas dunia hanya tempat persinggahan sementara di tengah perjalanan,
kok disangka kampung halaman.
Sayangnya Tuhan menyatakan dan mungkin memang sengaja
menskenario demikian kebanyakan manusia tidak mau berpikir, atau
minimal banyak di antara manusia yang tidak menggunakan akal.
Karena kemalasan mengolah logika dan sistem ratio, orang menyangka
dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak dan bahkan
bertentangan. Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira
kalau mencari akhirat maka tak mendapatkan dunia. Orang mengira kalau
tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.
Mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah. Bekerja
keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap
persinggahannya untuk diolah. Orang yang fokusnya bekerja keras
memperoleh lebih banyak uang dibanding orang yang fokusnya adalah
mengejar uang. Orang yang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan
dunia, mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat
akhirat dan pasti memperoleh dunia.
Begitu kumuh dan joroknya situasi ummat manusia berebut dunia. Dan
begitu indah dan bercahayanya kehidupan puisi Umbu. Suatu hari saya
mohon izin untuk membuktikan bahwa keindahan sesungguhnya adalah
puncak kebenaran dan kebaikan. Peradaban manusia sampai hari ini
menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.

Persemakmuran Nusantara

Persemakmuran Nusantara bukan kata atau bahasa konstitusi. Juga


bukan draft formula kenegaraan. Ia lebih merupakan istilah romantik
kebudayaan. Kepala mau pecah mikirin Indonesia, bolehlah iseng
memimpikan kebersamaan namun dengan membuka kemungkinan tafsir
baru, sepanjang bersetia kepada moral kebangsaan dan kesatuan hati
seluruh manusia Indonesia.
Persemakmuran Nusantara bukan Persemakmuran Indonesia. NKRI
kabarnya sudah harga mati. Sudah padat. Sedangkan Persemakmuran
Nusantara itu cair. Ia ruh, gairah, semangat, impian, cita-cita. Bukan
pula berassosiasi ke Negara Federasi atau commonwealth. Ibarat
menggembalakan kambing, patok kayu penyimpul tali yang mengikat
leher kambing-kambingnya adalah NKRI. Tetapi tali antara patok itu
dengan leher kambing adalah kemerdekaan berpikir, romantisme cita-cita,
dinamika cinta bagi kita kambing-kambing untuk sejauh mungkin mencari
rumput-rumput masa depannya. Kita ulur tali itu sepanjang-panjangnya,
tetapi patok NKRI menjaga batas seberapa panjang tali itu.
Kemerdekaan manusia, masyarakat dan bangsa, adalah kemerdekaan
untuk menemukan batas. Ketepatan batas itu berpedoman pada titik
akurat dari kesejahteraannya, kesehatan dan keselamatannya. Terlalu
membatasi atau tidak terbatas sama-sama mengandung ranjau atas
kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan. Kemerdekaan adalah punya
pilihan baju sebanyak-banyaknya tetapi membeli hanya beberapa helai.
Berdirinya NKRI menapaki kemerdekaan nya dengan mempersyaratkan
perdamaian abadi, menuju keadilan sosial. Punya pakaian sebanyakbanyaknya atau tidak punya pakaian sama sekali: sama-sama tidak adil.
Terlalu kenyang itu tidak adil, sebagaimana tidak makan juga tidak adil.
Apakah para pendahulu kita di zaman silam pernah bikin Persemakmuran
Nusantara? Dulu saya menyangka Kesultanan Demak yang merintis itu.
Tapi kemudian saya memperoleh wacana bahwa Persemakmuran
Nusantara sudah diselenggarakan oleh Gadjah Mada, Perdana Menteri
Majapahit, yang disempurnakan justru dengan Sumpah Palapa.
Sumpah Palapa 1336 yang diucapkan oleh putra Lamongan itu bukan ikrar
penjajahan, tekad kolonisasi dan imperialisasi. Negeri-negeri yang
dimobilisasi tidak dirampok alam dan hartanya, tidak dijadikan Provinsi
atau bawahannya. Secara berkala para pimpinan wilayah berkumpul di
Trowulan untuk minum air kendi emas bersama, dalam posisi melingkar
dan sejajar.
Tentu hal itu harus diuji dengan penelitian yang mendalam untuk lebih
memastikan apakah kepemimpinan Majapahit ketika itu memenuhi
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apakah ia
menerapkan otoritarianisme-diktatorisme ataukah semacam demokrasi.
Apakah selama Majapahit memerintah, rakyatnya berada dalam keadaan
adil dan makmur. Atau, Sumpah Palapa itu sendiri sesungguhnya lahir

dari semangat Persatuan dan Kesatuan, ataukah penguasaan yang


kolonialistik dan imperialistik.
Jendela sejarah perlu dibuka lebih lebar. Apakah bangsa kita pernah
mengalami, misalnya, simulasi transformasi dari sistem kekuasaan
tumpengan menjadi ambengan. Tumpeng itu nasi dibentuk bulatan
kerucut, monolitik. Ambeng itu nasi ditaburkan secara merata di
tampah, sehingga mendekati apa yang dimaksud Persemakmuran
Nusantara. Atau pertanyaan mendasarnya begini: NKRI sekarang
ini tumpeng ataukah ambeng? Demokrasi itu
cenderung tumpeng ataukah ambeng
Yang pasti tradisi masyarakat dan Pemerintah kita sampai hari ini adalah
tumpengan, dalam berbagai jenis hajatan. Sisa kesetiaan ambeng justru
bisa dijumpai di Tondano, terutama di kalangan masyarakat Jaton, JawaTondano, anak turun deputinya Pangeran Diponegoro, yakni Sentot
Alibasyah dan Kiai Mojo.
Sebelum mendengar wacana tentang Air Kendi Emas Majapahit, saya
menyangkaambengan Persemakmuran Nusantara adalah gagasan Sunan
Kalijaga. Saya berpikir begini: Negara Kesatuan Majapahit
ditransformasikan menjadi Negara Persemakmuran Demak. Atas
perundingan antara Sunan Kalijaga dibantu Sunan Kudus, dengan Prabu
BrawijayaV Raja Majapahit terakhir disepakati mengangkat Raden
Patah menjadi Sultan Persemakmuran Demak. Puluhan putra-putri
Brawijaya yang lain membantu sistem persemakmuran ini dengan
mendirikan Perdikan-Perdikan dari NTT, NTB, sepanjang Pulau Jawa,
Sulawesi, Kalimantan, Sumatra dll.
Putra ke-17 Brawijaya raja terakhir Majapahit memegang pucuk pimpinan
pemerintahan Demak terusannya Majapahit. Cucu beliau (Raden Timbal,
Adipati Terung) dari anak pertama (Aryo Damar, Joko Dilah), menjadi
Pangab Demak, sesudah menjadi Pangab Majapahit. Putra-putra
Brawijaya yang lain (semuanya 117 putra-putri) ambengan memimpin
Tanah-Tanah Perdikan: Haryo Jaran Panoleh Adipati Sumenep, Ki Ageng
Pengging, Jaka Peteng di Madura tengah, Raden Jaka Maya di Bali, Haryo
Sumanggang di Gagelang, Haryo Tanuraba di Makasar, Haryo Kuwik di
Kalimantan, Jaka Suralegawa di Blambangan, Retno Bintara di
Nusabarong, Retno Kedaton di Pengging, Ayu Adipati di Jipang, Retno
Marlangen di Lowanu, Retno Setaman di Gawang, Haryo Bangah di Kedu,
Joko Piturun alias Batara Katong di Ponorogo, Raden Gugur di wilayah
Gunung Lawu, Retno Keniten di Madura barat, Jaka Dandun di Parangtritis,
Joko Dubruk di Purworejo, Joko Balud di Mangiran, Joko Maluda di Gunung
Kidul, Raden Lacung di Bagelen, Joko Semprung di Brosot, Joko Lambare
di Ngawen, Joko Balado di Pedan, Joko Jenggring di Banjarnegara, Joko
Krendha di Gombong, Joko Delog di Klaten, dst.
Perdikan-Perdikan itu tidak berposisi bawahan yang wajib lapor atau
kasih upeti ke pusat. Sebagai contoh Ki Ageng Mangir di Yogya selatan

sampai menantunya yakni Ki Ageng Mangir Wonoboyo I, bahkan sampai


cucu beliau Ki Ageng Mangir Wonoboyo III, sejak mendirikan Tanah
Perdikan Mangir di akhir Majapahit, tidak pernah berhubungan secara
resmi dengan Kesultanan Demak maupun Pajang. Sampai kemudian
terjadi peristiwa sejarah mengerikan di awal Kerajaan Mataram: Ki Ageng
Mangir Wanabaya III alias Ki Ageng Mangir IV yang terlanjur menikahi
Retno Pembayun, berkunjung ke mertuanya, yakni Panembahan Senopati
Raja Mataram kemudian terjadilah tragedi yang semua orang Yogya
dan tlatah Mataram tahu namun saya tidak tega menuliskannya di sini.
Terbunuhnya Wonoboyo III pada logika saya kemarin adalah karena
semangat Mataram adalah meneruskan kesatuan Majapahit dan
menolak Persemakmuran Nusantara Demak. Ketika gunung Merapi
meletus tahun 2010, menjelang puncak erupsinya tersebar mitos di
kalangan rakyat Yogya yang ketakutan. Bahwa Gunung Merapi akan
memuncaki letusannya, mengirim lahar sejauh 30 km sehingga akan
menghancurkan Kraton Yogya. Banyak orang percaya bahwa 500 tahun
sesudah kehancuran Majapahit sudah tiba, makaSabdo Palon Noyo
Genggong balas dendam karena tidak rela atas sirna ilang kertaning
bhumi, yakni hancurnya Majapahit.
Sabdo Palon dan Noyo Genggong adalah faksi anti Demak yang
bersumpah akan membalas dendam. Tetapi ada dua faktor yang bisa
menegasikan balas dendam lewat letusan Merapi itu. Pertama, 500 tahun
sesudah sirnanya Majapahit adalah sekitar 1978, jadi erupsi Merapi itu
sudah lewat 32 tahun. Kedua, Sabdo Palon Noyo Genggong tidak akan
menjadikan Kraton Yogya sebagai sasaran balas dendam, karena Kraton
Hamengkubuwanan Yogya maupun Pakubuwanan Solo
adalah metamorphosis dari kerajaan Mataram, yang secara aspirasi dan
ideologi merupakan penerus Majapahit.
Perhatikan, Majapahit menggelari rajanya dengan Prabu. Demak dan
Pajang dengan Sultan. Sultan dari kata Sulthon (kekuatan khusus dari
Allah). Kalau ini kita identifikasi sebagai perbedaan antara aspirasi
kesatuan dengan persemakmuran, tumpeng dan ambeng, maka raja
Mataram tidak memakai keduanya. Danang Sutawijaya menggelari dirinya
Panembahan. Dalam khasanah budaya dan filosofi Jawa, Panembahan
adalah orang yang sudah menyingkir dari kekuasaan politik menuju
pendalaman spiritual dan kematangan kebudayaan. Jadi gelar
Panembahan Senopati itu tidak lazim. Bisa jadi karena beliau sendiri
sudah memeluk Islam sebagai murid Sunan Kalijaga (bersama Bapaknya
Ki Gede Pemanahan), namun mempercayakan pertimbangan politiknya
kepada Ki Juru Martani atau Ki Mondoroko yang beraliran Kejawen.
Di sisi lain, kekuatan Mataram tidak sesolid Majapahit, sehingga gelar
Prabu juga tidak tepat. Tapi pakai Sultan juga tidak mau, karena visi
missinya berbeda. Keprabon (ke-Prabu-an) Majapahit melandasi
kekuatannya pada penyatuan Hindu-Budha, ke-Sultan-an Demak
merujukkan nilainya pada Walisongo. Kedua alternatif itu tak mungkin

diambil oleh Panembahan Senopati. Mungkin karena itu kemudian muncul


kreativitas baru, yakni mitologi Nyai Roro Kidul, yang relatif masih
belum benar-benar ditinggalkan sampai hari ini.
Saya berharap itu semua tidak benar, dan saya bergembira mendengar
Gadjah Mada pun sudah menggelar Persemakmuran Nusantara.
Memang mungkin tidak terlalu salah bahwa wajah sosiologi politik
Indonesia modern hari ini sebenarnya dimulai sejak Panembahan
Senopati. Konstelasi sosial keagamaan yang tercermin pada peta
kekuatan politik Indonesia modern sudah dimulai sejak berdirinya
Mataram: kalau Anda salami sejak itu muncul PPP, Golkar dan PDI kalau
seakan-akan ada banyak sekali parpol, pada substansinya hanya variablevariabel dalam bingkai pemetaan yang sama.
Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati mencoba
men-Sultan-kan kembali, tapi kemudian ambigu dan kabur pada anak dan
cucunya. Pencarian bangsa Indonesia menjadi makin tak kunjung ketemu
ketika kemudian hadir VOC, yang semakin memecah belah pemikiran dan
aliran politik bangsa kita.
Tetapi sesungguhnya itu semua bisa tidak penting bagi kita sekarang.
Mungkin tak perlu mempertentangkan antara kesatuan dengan
persemakmuran. Kita universalkan saja: biarinini Negara atau Kerajaan
atau Kesultanan, EGP presidennya siapa saja: yang penting seluruh rakyat
Indonesia sama-sama makmur secara berkeadilan. Pakai bahasa sastra
saja: persemakmuran harus mempersatukan, kesatuan harus
mensemakmurkan.

Gundul Pacul, Fooling Around, Cengengesan

Siapa tahu ada manfaatnya kisah tentang Gundul Pacul ini bagi Anda.
Ketika grup musik KK(Kiai Kanjeng, red) pentas keliling lima kota Mesir
Cairo, Alexandria, El-Fayoum, Tanta dan Ismailia nomer-nomer lagu
Ummi Kultsum panitia mempersoalkan kenapa saya tidak selalu tampil
pentas, padahal nama saya sudah terlanjur diumumkan di setiap
pemberitaan, spanduk dan katalog, terbata-bata saya menjawab: Karena
saya lebih lancar berbicara bahasa Inggris dibanding bahasa Arab. Dan
ketika KK pentas di Australia, Melbourne, Canberra, Sydney dan Adelaide,
pertanyaan yang sama nongol lagi dan saya menjawab: karena saya lebih
lancar berbahasa Arab dibanding bahasa Inggris.

Sebagai penganggur saya sering dolan ke toko komputer atau mobilephone (HP) untuk iseng-iseng belajar ikut nyervis. Itu kebiasaan saya
sudah hampir 20 tahun. Selama berada di tempat servis itu saya berkata
atau setidaknya saya ciptakan kesan kepada setiap teman di sana dan
diam-diam kepada diri saya sendiri : Saya sangat sibuk, acara saya
sangat padat dan semua urusan besar, sehingga kalau ada luang waktu
saya pergi ke sini agar hidup saya ada variasi. Juga tak baik selalu
mengurusi masalah nasional, ada segarnya jika diselingi mengurusi
masalah lokal. Nanti kalau saya sudah berada di rumah, saya tipu diri
saya sendiri dengan memaksanya percaya bahwa: Hari ini saya sudah
sangat sibuk melakukan kegiatan yang kelihatannya kecil dan remeh,
namun sesungguhnya itu fenomenologis, avant gard dan sekian langkah
lebih kontemporer dibanding kebanyakan orang. Wakil Presiden atau
anggota DPR saja kesana kemari bawacommunicator tapi ngertinya paling
pol cuma menelpon, kirim SMS dan menggunakanWord. Saya adalah
penghuni utama era peradaban informasi dan komunikasi. Saya rekannya
Bill Gate dan komunitas perkebunan Nokia.
Alasan yang sesungguhnya jelas: kalau berteman dengan orang komputer
dan HP, kalau beli dikasih murah. Alasan yang nyata dari kenapa saya
tidak tampil dengan KK di Mesir dan Aussie sudah dimafhumi semua
orang bahwa saya memang tidak becus bermusik, tak bisa nyanyi, apalagi
memetik gitar atau sekedar memukul saronpun. Tetapi toh saya cukup
pandai untuk berlagak: setiap kali KK mendapatkan a long standing
ovation, tepuk tangan panjang sambil berdiri dan meminta persembahan
dilanjutkan saya sigap berlari ke panggung dan ikut berbaris dengan
KK.
Orang yang tak punya peran harus pintar-pintar caper (cari perhatian).
Kalau artis atau Menteri diwawancarai di tengah keramaian, Anda harus
segera menerobos untuk menongolkan wajah Anda di kiri-kanan Menteri
agar tampak di kamera. Setelah itu kalau ada wartawan terjebak jalan
sesat dengan mewawancarai Anda, perlu Anda susun kalimat-kalimat
yang menimbulkan kesan bahwa seluruh prestasi itu bermula dari tangan
jenius Anda. Hindarkan kejaran cerdas wartawan yang mau bukti, terus
cocor saja image self building diri dikau. Kita sedang hidup di tengah
masyarakat kesan, di tengah bangsa kayaknya, The Image Society,
bukan masyarakat realitas. Kita memilih presiden berdasarkan kesan,
bukan pemahaman tentang kenyataan. Kita juga bisa membunuh orang
lain yang tak pernah berususan dengan kita cukup dengan membangun
kesan tentang dia dalam hati kita sepanjang hidup. Mampuslah dia.
Dan di toko-toko komputer dan mobile-phone itu realitas yang sebenarnya
adalah bahwa saya seorang penganggur, dan terus tetap penganggur
sampai usia lewat setengah abad sekarang ini. Tetapi penganggur jangan
berpuas diri sebagai penganggur. Penganggur harus punya lagak. Rugi
kalau Anda menganggur lantas tampil rendah diri. Bodoh kalau Anda
miskin lantas hati bersedih dan kalau berjalan tidak tegak dan wajah tidak
menunjukkan kepercayaan diri. Sudahlah miskin, minder dan merasa

sengsara pula. Yang terbaik bagi orang miskin yang penganggur adalah
fenomena sikap gemlelengan, atau bahasa jalanannya cengengesan.
Jadi, sampailah kita pada Gundul Pacul.
Gundul itu botak. Pacul itu cangkul. Tak ada kaitan literer antara gundul
dengan pacul dalam idiom Jawa gundul pacul. Itu peng-enak-an bunyi
belaka. Tak perlu ditafsirkan bahwa kepala kita menjadi botak sesudah
dicangkuli oleh tetangga. Paralel dengan istilah uuwakehe suwidak
jaran, banyaknya sampai 60 kuda. Tak usah dihitung berdasar angka 60.
Atau malam seribu bulan, belum tentu pas kalau Lailatul Qodar Anda
hitung melalui jumlah hari, jam, menit dan detik dalam seribu bulan. Idiom
Allah itu lebih bersifat kualitatif: kara seribu menggambarkan hampir tak
terbatasnya peluang pemaknaan di balik idiom itu. Juga bersifat dinamis,
bergantung pada pola pergerakan hubungan antara Tuhan dengan
hamba-Nya.
Gundul Pacul mungkin menggambarkan karakterisasi anak, pemuda, atau
manusia tertentu memalui mata pandang dan rasa budaya Jawa.
Gundul pacul adalah anak yang nakal pol,mblunat, mbethik, mbeling,
susah diatur, berlaku seenaknya sendiri. Main sana main sini, teriak sana
teriak sini, ambil makanan siapa saja di meja senafsu-nafsu dia, pergi ke
sungai dan mandi bluron sampai kulitnya bersisik, lomba lari mengejar
layang-layang putus sambil mengusap ingus. Intinya: punya bakat dan
naluri anarkisme yang serius.
Di Arab jaman dahulu ada seorang pemuda bernama Nuaim yang heboh
benar gundul paculnya. Tak ada kata Ibu Bapaknya kecuali ia bantah. Tak
ada larangan orangtuanya kecuali ia langgar. Tak ada perintah mereka
berdua atau bahkan siapapun kecuali ia tabrak. Pada suatu hari Bapaknya
melihat Nuaim berjalan jauh ke tengah padang pasir. Bapaknya yang
sangat berpengalaman tahu persis anaknya sedang ditunggu bahaya
besar. Kalau Nuaim teruskan berjalan karah itu, ia akan ditipu oleh
fatamorgana sehingga beberapa langkah kemudian ia akan terjerumus
masuk pasir bergelombang dan ditelan bumi tanpa bekas.
Betapa gundul paculpun putranya, sang Bapak tetaplah mencintainya.
Maka Bapaknya berteriak: Nuaiiiim! Teruuuuus! Teruuuus!. Itu adalah
sebuah metode empirikal berdasarkan pengalaman atas watak anaknya.
Kalau dibilang Stop, maka ia akan terus, sehingga agar ia stop harus
dibilang Teruuuus!. Akan tetapi subhanallah Nuaim siang itu mendapat
hidayah dari Allah swt. Tiba-tiba ia bergumam dalam hati: Ya Allah
ampunilah kenakalanku yang selalu membantah dan menyakiti hati orang
tuaku. Setidaknya satu kali ini perkenankan aku mematuhi perintah
Bapakku.
Anda tidak memerlukan keterangan lebih lanjut untuk mengetahui apa
yang kemudian terjadi pada Nuaim. Dendangkanlah saja lagu kuno itu:
Gundul gundul pacul cul, gemelelengan.. Nakal tapi sok benar. Tak
mau belajar tapi sok pandai. Kelakuannya seenaknya tapi sok suci. Tak

punya apa-apa tapi gemelelengan, berlagak, petentang-petenteng. Tak


becus menjadi pemerintah tapi tak punya rasa malu. Tak mampu berbuat
apa-apa, bahkan menyusun kalimat sajapun tak lancar, tapi wajahnya
tegak dan malah merasa bangga itu persis saya yang tidak ikut pentas
tapi nyerobot ikut menyongsongstanding ovation di panggung
pertunjukan.
Sudah terbukti tak punya kemampuan managerial mengurusi ummat, tapi
merasa pantas dicium tangannnya. Sudah jelas kerjanya hanya
berkonsentrasi menghimpun sogokan-sogokan uang, tapi tetap meyakini
bahwa dirinya ada wakil rakyat. Sudah jelas bahwa pejabat itu buruhnya
rakyat, malah berperilaku seakan-akan ia boss-nya rakyat. Sudah
dilalapnya gaji dari uang rakyat, ditambah uang curian ribuan kali lipat
gajinya, tetap saja tidak mau tahu bahwa yang menggaji adalah boss,
yang digaji adalah buruh. Sudah jelas rakyat mau berkorban membiayai
triyunan rupiah untuk institusi yang kerjanya adalah menghimpun
kekayaan pribadi dan memecah belah rakyat, tetap saja mereka tidak
pernah mengakui bahwa hidupnya telah salah niat dan berpikiran sesat.
Yang seharusnya butuh belajar, malas belajar. Yang rajin belajar, keliru
memilih apa yang dipelajari. Yang tak salah menemukan sesuatu yang
dipelajari, salah caranya mempelajari. Yang jelas-jelas maling puluhan
tahun dijunjung-junjung, dibukakan akses dan ekspose. Yang tak ikut apaapa, yang mencari makan sendiri di liang-liang tikus di hutan rimba,
malah dipentaskan sebagai maling nasional, dan itu diumumkan setiap
siang dan malam, minimal di ruang-ruang dalam hati masing-masing.
Sungguh ada perbedaan sangat serius, mendalam dan ideologis antara
Indonesia Karangan alias Indonesia Kesan, dengan Indonesia Kenyataan.
Memilih lagu yang sehat saja kita tak becus, bagaimana memilih Presiden.
Yang tak benar-benar mengerti Agama, sangat canggih
memperdagangkan Agama. Yang mengerti Agama malah bersedia
menjadi budak dari pedagang Agama. Yang pelawak dan penyinden yakin
bahwa merekalah presenter utama pekerjaan dakwah, sementara yang
kiai dan ulama bersedia menjadi pekatiknya pelawak dan penyinden di
lapangan dakwah. Yang baik moralnya, bodoh otaknya. Yang pandai
akalnya, jahat hatinya. Yang intelektual, tak mampu bekerja. Yang
sanggup bekerja, tidak pernah mau belajar. Yang berhasil menjadi
manusia baik dan pandai, pengecut mentalnya. Reformasi berlangsung
sampai busuk sebusuk-busuknya sampai tak terhitung jauhnya
melampaui kebusukan-kebusukan yang pernah dicapai oleh sejarah
bangsa ini, tapi tak seorangpun siap ambil oper menanggung malu moral,
malu mental, malu intelektual, apalagi malu spiritual.
Dasar gemelelengan!Cengengesan!
Anda mengerti kalimat berikutnya dari lagu kuno itu: Nyunggi nyunggi
wakul kul, gemelelengan.. Nyunggi adalah membawa sesuatu dengan
meletakkannya di atas kepala. Yang di-sunggi adalah wakul. Bakul tempat
nasi. Nasi adalah amanat kesejahteraan rakyat, kepercayaan sangat

mahal untuk menciptakan masyarakat adil makmur. Bakul adalah otoritas,


legalitas dan legitimasi kepemerintahan, yang ditempuh dan
dipersembahkan oleh rakyat dengan biaya yang sangat mahal: uang
raksasa jumlahnya, perpecahaan massa, nyawa-nyawa melayang,
kebodohan berkepanjangan dan ketidak-sungguhan hidup bernegara dan
berbangsa yang bertele-tele.
Bakul tempat nasi itu tak sekedar ditenteng dengan tangan, apalagi
ditaruh dalam rangsel di belakang punggung. Amanat itu sedemikian
tinggi dan sakral maknanya sehingga diletakkan diatas kepala. Ditaruh di
lapisan harkat yang lebih tinggi dari kepala individu kita sendiri.
Diposisikan pada derajat yang lebih mulia dibanding kepentingan diri
sendiri, golongan dan apapun saja dalam skala kehidupan berbangsa dan
bernagara. Nyunggi wakulitu pekerjaan paling mulia. Dan dalam
pekerjaan nyunggi wakul itu tetap saja kita bertindak gemelelengan. Tetap
saja kita berlagak-lagak. Tidak sungguh-sungguh. Akting sana akting sini.
Palsu luar, palsu dalam. Fooling around. Berbodoh-bodoh berdungu-dungu
beriseng-iseng dulu, kemarin, hari ini dan besok. Politik kita permainkan.
Kesakralan kata rakyat kita manipulasikan. Moral dan nurani kita
remehkan. Agama kita akali. Tuhan kita tipu.
Akhirnya Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar.. Bakul amanat
kesejahteraan rakyat itu terjatuh dari kepala kita, tercampak di tanah,
nasinya tumpah dan berceceran di halaman negeri indah ini. Seharusnya
padi ditumbuh-kembangkan, nasi didistribusikan dalam keadilan. Tapi ini
tumpah dan berceceran.
Tampaknya langkah kita sekarang adalah berteriak kepada Nuaim yang
berjalan menuju jurang: Teruuuuus! Teruuus!. Tapi mungkin ternyata
Nuaim itu adalah kita sendiri yang gundul pacul, fooling around,
cengengesan.

Allah dan Slang-slang AC

Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah


mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di
perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undanganundangan baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku,
maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diamdiamngedumel di dalam hati mereka maka terkadang aku diinapkan di
hotel-hotel.

Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan.


Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati
karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugeltugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu
merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di
rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan
rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal,
menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak.
Kemudian kami harus dayoh-dayoh-anpenuh sopan santun dan wajib
penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur dan
inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu
sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur.
Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan
lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang
dan kasur, sebab aku mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat
mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul
intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal
kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku
tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan
budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu
keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari.
Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk
mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal
kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang
mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia
hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar.
Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam
kebudayaan. Ia alamiah.
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah
kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah itu merupakan sesuatu yang
engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan
ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa wattkah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah SWT?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada
suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah
hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng
menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel
tersebut.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami
melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di
mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri,
tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.

Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang


bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan.
Ya Allah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan
di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi
rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau
tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting
dariperformance hotel ini. Ketika para arsitek membangun tempat ini, tak
ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu
ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla.
RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai
sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang
beragama Islam. Ya Allah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku
tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla
ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di
bagian manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa
Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak
ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di
muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai
untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan
siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan
kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu.
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari
telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku
katakan: Malam ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang
akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan
segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim
besok pagi.
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya
aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah
memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga
bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan
kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir
selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab AlQuran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula
berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu
mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan
ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya
sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel
berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok,
di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita
shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga
terasa Allah sebegitu dimarginalisir kuanjurkan engkau tetap bersyukur.

Karenahikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala


macam tempat.
Jumat kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang
namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawankaryawannya juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat
jumatannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit,
sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah
campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci,
kujumpai Bible, dan aku bergumam: Kalau memang yang dimaksud
kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak
biaya untuk juga membeli Quran, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur,
Taurat dan Injil.

Fragmen Kaum Fundamentalis

Tempat pertemuan itu dikepung satuan-satuan Polisi dan Tentara yang


jumlahnya seperti sedang ada perang. Di sebuah halaman luas di tepi
sebuah jalan besar. Remang-remang. Lampu-lampu tidak mencukupi
untuk luasnya halaman. Saya tidak tahu apakah keremangan ini disengaja
untuk menggambarkan suasana hati mereka, ataukah memang
fasilitasnya tidak mencukupi.
Sekitar 400 orang duduk bersila, berpakaian sangat melambangkan model
dan warna Islam. Suasana sepi dan tegang. Penuh duka dan keperihan.
Tidak ada senyuman, apalagi suara tertawa. Mereka sedang tegang
menghitung jam demi jam sampai besok pagi mereka mendengar apa
keputusan hakim atas Ustadz mereka.
Saya diundang untuk berbicara dan ditugasi untuk meredakan amarah
orang-orang itu. Meneduhkan hati mereka, menawarkan kepada mereka
langkah-langkah yang tingkat kemudharatan politiknya ditekan serendah
mungkin tanpa kehilangan prinsip dan militansi.
Sebagaimana lazimnya orang Islam berpidato, saya memulai dengan
salam, shalawat kepada Nabi Muhammad dan mengutip satu dua firman
Allah. Kemudian saya memberanikan diri memulai dialog:
Apakah kesunyian suasana di forum ini disebabkan karena Anda semua
merasa tidak punya teman dalam perjuangan Anda?
Seseorang spontan menjawab: Allahu Akbar!. Kemudian disusul
serempak mereka semua meneriakkan: Allahu Akbar!

Saya tahu Allahu Akbar dalam nuansa itu berarti Ya.


Berarti Anda Muslim sejati, kata saya, Rasulullah Muhammad SAW
mengatakan Islam dimulai dari keterasingan dan akan kembali dan
kembali lagi ke keterasingan. Maka beruntunglah orang-orang yang
terasing dan kesepian, karena itu pertanda Tuhan dekat di sisi mereka
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Saya meneruskan pertanyaan: Apakah Anda semua berwajah tegang
karena Anda sedang menemukan diri Anda berada di bawah tekanan dan
penindasan?
Allahu Akbar!
Di bawah suatu kekuasaan yang lalim?
Allahu Akbar!
Yang memperlakukan Anda secara sangat tidak adil?
Allahu Akbar!
Penuh kebohongan dan manipulasi?
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Kemudian sengaja saya diam sejenak, suasana saya biarkan tanpa suara.
Sampai kemudian tatkala saya merasa sudah saatnya harus diberi suara
lagi, sayapun meneruskan:
Demi Allah perkenankanlah saya memberi saran kepada Anda semua,
hendaklah Anda mencintai orang-orang yang menindas Anda, yang
melalimi Anda, yang berbuat tidak adil kepada Anda.
Sampai di sini tidak saya dengar Allahu Akbar. Saya teruskan:
Saudara-saudaraku, hanya orang yang lemah yang merasa perlu
menindas orang lain, karena mereka butuh kepercayaan diri bahwa ia
kuat. Hanya orang yang merasa dirinya tidak aman yang berbuat lalim
kepada orang lain, karena ia meyakini bahwa orang yang berhasil
dilaliminya pastilah tidak mampu membuatnya tidak aman. Demi Allah
cintailah dan kasihanilah orang-orang semacam ini, karena hanya itu cara
untuk menunjukkan bahwa Anda semua berjiwa besar.
Terdengar Allahu Akbar!, kemudian bersusul-susulan Allahu Akbar!
Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Terus terang saya merasa lega dengan jawaban itu.

Saya coba meneruskan: Orang yang berjiwa besar tidak akan


membiarkan dirinya ditekan oleh kesedihan, ketegangan atau rasa
frustrasi. Bukankah benar demikian, saudara-saudaraku?
Allahu Akbar!
Saudara-saudaraku tegakkan kepala karena Allah menganugerahi kalian
jiwa besar!
Astaga meskipun tidak serempak, mereka benar-benar menegakkan
kepala.
Acungkan tangan ke atas untuk menunjukkan kegembiraan dan rasa
syukur saudara-saudaraku kepada Allah yang menganugerahi kalian
kebesaran jiwa!
Allahu Akbar, sekarang saya yang bilang Allahu Akbar mereka benarbenar mengacungkan tangan mereka ke atas,
Farhan! teriak saya selanjutnya.
Farhaaaan!, semua menirukannya.
Farhan artinya gembira bahagia.
Saya terus mengejar: Besok Ustadz Anda divonis oleh Pengadilan Negara.
Apakah Anda menyongsongnya dengan menundukkan kepala ataukah
menegakkan kepala?
Allahu Akbar!, serempak mereka sambil menegakkan kepala.
Dengan rasa frustrasi atau semangat juang?
Allahu Akbar!
Saya menyambungnya: Allahu Akbar! Allahu Akbar!.. kemudian
saya fade in ke Allahu Akbar yang dilagukan, yang rata-rata mereka hapal
lagu itu.
Allahu Akbar, betapa gembira wajah mereka.
Setelah lagu usai, saya meneruskan: Saudara-saudaraku, apakah Anda
ingin Ustadz dihukum ataukah dibebaskan?
Bebas! untuk pertama kalinya terdengar kata yang bukan Allahu
Akbar.
Kekuasaan yang mengadili Ustadz ini kekuasaan yang prinsip nilainya
sama dengan prinsip nilai Anda atau tidak?

Tidak sama! terdengar suara serempak.


Bertentangan! seseorang menyambung.
Jadi Anda minta kepada penguasa yang tidak seprinsip dengan Anda itu
agar Ustadz dibebaskan?
Allahu Akbar!
Anda meminta kebebasan kepada musuh Anda?
Tidak ada jawaban.
Anda meminta-minta kepada musuh Anda?
Tetap diam.
Mana yang lebih membanggakan dan bermartabat: dibunuh dalam
kegagahan oleh lawan, ataukah Anda minta agar tak dibunuh oleh
lawan?
Semakin diam.
Bisakah pikiran sehat Anda membayangkan bahwa kekuasaan yang
bertentangan prinsipnya dengan prinsip Anda akan membebaskan
beliau?
Teruuus diam.
Mana yang Anda pilih: martabat atas prinsip ataukah keselamatan hidup
tanpa prinsip?
Tetap tak ada sahutan.
Kita memilih hidup hina atau mati mulia? Saudara-saudaraku, demi Allah
harus saya katakan bahwa Ustadz sendiri tidak sedikitpun bermimpi,
berpikir atau apalagi meminta untuk dibebaskan. Ketika beliau ditangkap
di Rumah Sakit, beliau berteriak-teriak: Tembak saya! Tembak saya!
Apakah para muridnya akan mengucapkan kata yang bertentangan
dengan itu: Bebaskan saya! Bebaskan saya!?
Saya terus memberanikan diri meneruskan: Ustadz menyatakan kepada
saya bahwa kalau ia dipenjarakan, berarti cuti atau liburan. Kalau beliau
dibuang ke pulau terpencil yang jauh, berarti piknik. Kalau beliau
ditembak mati, berarti syahid. Beliau beserta semua anggota keluarganya
sudah ikhlas dengan kemungkinan-kemungkinan itu. Kenapa saudarasaudaraku di sini tidak ikhlas?

Sampailah saya ke ujung pembicaraan: Dan demi Allah perkenankan


saya mengatakan kepada saudara-saudaraku di sini bahwa selama berada
dalam tahanan, Ustadz tidak pernah satu detikpun tampak kesedihan di
wajahnya. Beliau bergembira. Beliau bangga dengan apa yang
dialaminya. Keyakinan dan perjuangan selalu sangat luas dan agung,
seluas alam semesta dan seagung Penciptanya. Sedangkan kematian
hanyalah kerikil kecil yang kaki kita nanti terantuk olehnya. Beliau
bergembira! Beliau bangga!
Kemudian saya bernyanyi lagi. Dengan lambaian tangan saya mengajak
mereka semua bernyanyi. Meskipun pelan-pelan, akhirnya semua turut
bernyanyi, bertepuk tangan.

Ketogogan Tolol/Ketololan Togog

Togog selalu salah posisi sejarahnya, karena Tuannya tidak pernah


mengakui dirinya raksasa, melainkan merasa yakin dirinya adalah satria
halus luhur budi.
Togog telah membayarkan hampir seluruh hidup dan nasibnya,
waktu, pikiran dan hartanya kepada proses kebenaran dan keadilan,
namun di mata Tuannya maupun di anggapan banyak wong cilik temantemannya sendiri ia adalah pencopet yang harus selalu diwaspadai.
Togog dilupakan oleh Tuan dan rekan-rekannya bahwa ia
sesungguhnya adalah Dewa yang bisa dan berhak memiliki sangat banyak
hal, yang toh hanya ia ambil sangat sedikit dari itu semua. Togog
diwajibkan menjadi pengemis compang camping. Kebersahajaan Togog
dianggap sebagai kewajiban, padahal itu adalah kemurahan hatinya.
Kemelaratan dan kesengsaraan Togog melegakan hati mereka.
Togog ada tidak ada bedanya dengan Togog tidak ada, demikian
pada pandangan Tuan dan rekan-rekannya. Bagi Togog itu adalah
kegagalan diri. Ada yang tidak ada bagi Togog adalah dosa, maka ia
berupaya untuk tidak ada yang semoga ada.
Togog berjongkok, orang memandang pantatnya dan merasa yakin
bahwa itu adalah wajahnya. Orang mengintip Togog dari lubang di antara
dua jari jemarinya, dan orang itu yakin bahwa Togog lebih kecil dibanding
lubang di antara dua jari jemarinya. Perut Togog menutupi pandangan
orang terhadap rembulan, dan orang yakin bahwa badan Togog lebih
besar dari rembulan.
Togog bilang daun, yang didengar orang adalah waru: maka Togog
dipersalahkan. Togog bilang sinar, yang didengar orang adalah lampu:
maka Togog dibodoh-bodohkan. Togog omong tembakau, orang
melaporkan yang diomongkan Togog adalah cengkeh karena orang lebih
menyukai cengkeh dibanding tembakau: maka Togog dihardik.

Togog semalaman tertidur di tepi kuburan, paginya tersiar berita


bahwa semalam suntuk Togog menelusuri kebun, memanjat kelapa,
mencuri mangga dan tapa kungkum di telaga, karena kabar yang
semacam ini yang lebih terasa manis di telinga.
Togog adalah gerobak pengangkut palawija yang dipetiknya dari
sawah antah berantah. Palawija itu sangat dibutuhkan oleh orang
sekampung, tapi mereka lebih tertarik mengerubungi gerobaknya yang
kusam dan peyot, sehingga Togog melemparkan kembali tumpukan
palawija itu ke sawah si empunya.
Togog bermurah hati menyediakan makan gratis bagi sejumlah fakir
di depan rumahnya tiap pagi dan sore. Pada suatu hari Togog sibuk
mengobati sakitnya rombongan fakir yang lain di kampung sebelah
sehingga lupa menyediakan makanan: maka Togog didemonstrasi dan
dituduh penipu.
Togog disuruh oleh orang seantero pasar untuk hampir tiap hari
berkeliling pasar sehingga orang sepasar mengenalnya: disimpulkan
Togog berupaya agar dikenal oleh orang sepasar dengan cara berkeliling
pasar.
Togog diperah susunya siang malam dan ia dilarang makan maupun
minum. Togog diperintahkan untuk mengangkut barang-barang dan ia
dilarang memelihara kesehatan. Togog dituntut menjadi tanaman padi di
sawah di mana orang beramai-ramai menuai, dan Togog dilarang
menanam padi.
Togog diwajibkan kerja di sebuah pulau sepanjang pagi, sepanjang
siang harus kerja lagi di pulau lain, juga sepanjang sore dan malamnya
harus bekerja di pulau demi pulau yang lain. Untuk berpindah dari pulau
ke pulau lain Togog harus merangkak dan berenang.
Togog adalah sepiring nasi. Seribu orang meminta masing-masing
sepiring nasi dari Togog. Seratus orang menggugat kenapa minta nasi kok
tidak diberi roti, seratus lainnya mengancam: awas kalau Togog ikut-ikut
makan!
Itu edisi pertama ketogogan Tolol, eh ketololan Togog, yang menjadi
sempurna justru sesudah ia membungkam mulutnya sendiri. Barangkali
ada volunteer yang berkenan memborgol kaki dan tangannya yang masih
bebas itu?

Konspirasi Semesta

Anis Matta Presiden baru PKS menolong bangsa Indonesia dengan


menyatakan bahwa ada konspirasi global yang mengancam nasib seluruh
bangsa Indonesia, menghalangi kebangkitannya dan merancang secara
sistematis kehancurannya. Sebagai seorang warganegara NKRI saya

mengucapkan terima kasih yang mendalam atas petunjuk beliau,


terutama karena yang menjadi fokus keprihatinan saya adalah nasib anak
cucu saya dan kita semua.
Sebab konspirasi global pasti urusannya bukan satu dua tahun, satu dua
dekade atau era, melainkan minimal satu dua abad, mungkin malah
sudah berlangsung dua millenium lebih sedikit. Dan anak-anak saya kalau
sudah dewasa akan ditimpa puncak sukses rekayasa global itu untuk
menjadi budak dari suatu pemerintahan global yang melakukan kontrol
absolut memasang micro-chip di jidat mereka.
Sesungguhnya sangat indah dan patriotik andaikan wacana tentang
Konspirasi Global itu menjadi salah satu alasan mendasar berdirinya PKS
dulu. Kenapa sih mas Anis kok baru omong sekarang. Kenapa menunggu
Pak Luthfi dijaring KPK. Kenapa setelah PKS dikepung badai baru mas Anis
membukakan pengetahuan tentang Konspirasi Semesta Raya itu.
Padahal kan yang menjadi korban seluruh bangsa Indonesia sampai para
generasi penerus kita kelak. Apa tega saya menyimpulkan bahwa PKS
hanya memikirkan dirinya sendiri saja, sehingga setelah beliau-beliau
sendiri terkena sabet konspirasi, baru muncul kepentingan untuk
melawannya. Kan Konspirasi Global itu musuh kita bersama.
Sebelum ini banyak terdakwa yang membuat pernyataan yang sama
tentang konspirasi besar. Ada terdakwa video porno, pelecehan seks dll
yang juga bilang sedang mengalami character assassination oleh suatu
konspirasi besar. Ketika muncul isyu di kalangan masyarakat tertentu
bahwa saya punya tiga istri, seorang teman juga memberitahukan bahwa
ada konspirasi global yang sedang memproses penghancuran citra saya.
Untunglah saya tidak punya citra, sehingga penghancuran itu tidak ada
sasarannya. Bahkan saya berterima kasih kepada para penyebar rumor
itu, sebab langsung fungsional menjadi pengontrol atas diri saya agar
tetap bertahan dengan satu istri saja.
Mas Johan Budi jubir KPK aneh juga pernyataannya: KPK jangan dikaitkaitkan dengan politik. Pasti yang beliau pakai adalah bahasa publik yang
kontekstual dan konotatif. Sebab denotasinya KPK itu lahir dari keputusan
politik, dan seluruh pekerjaannya juga sangat bersubstansi politik. Makna
dan tujuan seluruh penyelenggaraan politik nasional kenegaraan adalah
untuk mengamankan hak-hak seluruh rakyat, harta bendanya, martabat
dan nyawanya, dari setiap kemungkinan pencurian, pelecehan dan
penghancuran. KPK adalah salah satu ujung tombak kuratif dari proses
pengamanan nasional atas hak-hak rakyat itu.
Saya punya saran yang mungkin kelabu secara moral, hitam secara
hukum Indonesia, tapi putih secara akal sehat manusia. Di luar
kedudukan masing-masing di PKS dan KPK, mas Johan mengajak mas Anis
taruhan saja untuk membuktikan salah tidaknya mantan Presiden PKS.
Dengan pengawasan berdua atas kebersihan proses peradilannya, kalau

beliau divonis bersalah: mas Anis mencabut pernyataan tentang


konspirasi. Kalau beliau bebas, mas Johan datang ke rumah mas Anis
untuk minta maaf secara pribadi sambil membawa kue-kue, bebuahan
dan souvenir.
Taruhan ini saya sarankan karena dalam ushulul-fiqh atau filsafat
hukum Islam ada asas bahwa kemudharatan kecil boleh dilakukan dalam
rangka menghindarkan kemudharatan besar. Kalau jutaan kader PKS dan
rakyat Indonesia dibiarkan bingung oleh soal konspirasi besar yang mas
Anis sengaja tidak mau menyebutnya, bisa menjadi mudharat besar.
Jadi kayaknya bolehlah beliau berdua taruhan saja, kalaupun berdosa ya
insyaallah bobot dosanya lebih kecil dibanding kadar manfaat yang
dihasilkannya.
Umpamanya ada orang yang bertanya, Sudahlah, nggak usah ngobrol
soal konspirasi, nyatakan saja: mencuri atau tidak?, rasanya kurang
elite atau nggak level untuk terseret menjawabnya. Termasuk kalau
ada yang menjelaskan: kalau KPK memastikan seseorang menjadi
terdakwa, itu berbeda dengan apabila dakwaan itu berasal dari Kejaksaan.
KPK tidak punya wewenang untuk menerbitkan SP3, sehingga tingkat
soliditas yuridisnya sangat tinggi untuk menterdakwakan seseorang.
Oleh karena itu kalau memang saran untuk taruhan ini syubhat atau
bahkan haram, opsi saya berikutnya adalah mas Anis sebagai Presiden
PKS bikin konferensi pers lagi, membawa Al-Quran, kemudian bersumpah
di bawah Kitab Suci kepada Allah swt dan seluruh bangsa Indonesia
bahwa beliau Pak Luthfi Hasan tidak melakukan korupsi.
Lebih afdhal jika acara sumpah itu diawali dan diakhiri dengan pembacaan
statemen Tuhan: Apakah kalian mengira bahwa Aku menciptakan kalian
semua itu untuk main-main? Dan apakah kalian menyangka bahwa hidup
dan segala urusan kalian ini akan bisa menghindar untuk kembali kepadaKu?
Kalau saran kedua itu kurang produktif juga secara KPK, PKS atau keIndonesia-an, opsi berikutnya adalah mengambil kejadian ini sebagai
momentum heroisme nasional mas Anis Matta dan PKS. Tentu saja
karakter PKS jauh dari kecenderungan riya dan takabbur untuk
mempahlawan-pahlawankan dirinya. Tetapi maksud saya adalah bahwa ini
momentum sangat bagus bagi PKS untuk menolong seluruh bangsa
Indonesia dan mengamankan masa depan kita semua.
PKS tidak melihat kasus mantan Presidennya bukan sekedar kasus korupsi
dan urusan hukum. Melainkan jauh lebih besar dari itu. KPK hanyalah
urusan sejengkal waktu. PKS melakukan kebangkitan besar untuk urusan
yang juga sangat besar. PKS menjadi KPK untuk menterdakwakan
pelaku-pelaku Konspirasi Global demi nasionalisme dan kemerdekaan
ummat manusia di seluruh muka bumi. Mas Anis Matta memimpin suatu
pergerakan nasional dan dunia, menjadikan momentum ini sebagai trigger

sejarah: membuka cakrawala peradilan sejarah dunia, menguakkan


rahasia tipudaya sejarah yang berlangsung sejak Nabi Isa lahir yang
berhasil memfitnah beliau dan merekayasa hingga ke kayu salib
terlepas dari versi kontra versi tentang fakta penyaliban itu.
Tahap berikut tipudaya itu yang dirundingkan 37 tahun sesudah
penyaliban, yang buah-buah keberhasilannya tidak saya sebutkan di
tulisan ini. Kemudian pembaharuan strategi dan modifikasi aplikasinya
sesudah Renaissance, pengkayaan-pengkayaan sesuai dengan tonggaktonggak perubahan sejarah, abad 17, 18, 19. 20, hingga hari ini, yang
berlangsung sangat panjang dan detail, melalui pasal-pasal Takkim,
Shadda, Parokim, Libarim, Babill, Onan, Protokol, Gorgah, Plotisme,
Qornun, menelusup ke dunia pendidikan, media massa, ruang-ruang
sidang parlemen, lembar-lembar informasi jenis apapun saja, bahkan
menggerogoti berita-berita firman Tuhan.
Indonesia yang kaya raya adalah janda muda yang cantik jelita bahenol
sexy yang semua jawara dunia tergiur ingin menguasainya, dengan
metoda penaklukan dan penjajahan yang terus diperbaharui. PKS
berkesempatan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa zaman VOC
bukanlah satu-satunya era penjajahan yang kita alami. Dari yang
transparan eksplisit penjajahan teritorial hingga yang implisit kultural,
intelektual, spiritual, institusional, sistemik-struktural, taktis-strategis,
serta semua yang samar-samar lainnya yang tak mungkin tampak di mata
awam.
Dan karena ghirrah menentang penjajahan itulah maka PKS lahir.
Statemen Allah swt bisa dikutip oleh PKS yang memang masyhur dekat
dengan-Nya: Apa yang tidak kalian sukai ini bisa jadi membawa kebaikan
bagi kalian, dan apa yang kalian sukai malahan bisa membawa keburukan
bagi kalian. PKS bisa menguraikan ilmu dan pengetahuan kepada rakyat
Indonesia untuk melakukan reidentifikasi nilai-nilai. Apa yang mereka
junjung selama ini, mungkin justru yang seharusnya mereka tinggalkan.
Apa-apa dan siapa-siapa yang mereka idolakan, mereka berhalakan,
mereka tuhankan, mungkin saja sebenarnya harus mereka hindarkan.
Sebaliknya, yang selama ini mereka remehkan, buang dan singkirkan: itu
sesungguhnya yang menyimpan kemashlahatan dan harapan.
Akan tetapi kalau itu semua terlalu ruwet dan merepotkan waktu mas Anis
yang sangat sibuk siang malam di banyak tempat, mungkin cukup lakukan
satu hal saja: kumpulkan kader-kader PKS di berbagai tempat seluruh
Nusantara, misalnya bikin Muhasabah wa Mubahalah di hadapan Allah swt
dan Rasulullah Muhammad saw, yakinkan mereka dengan sumpah bahwa
mantan Presiden mereka bukan maling.
Kolom Majalah Tempo: Edisi 10 Februari 2013

Martin Luther King dan Gus Dur

Peta berpikir Amerika Serikat meletakkan almarhum Gusdur setataran dan


sewilayah jihad dengan Martin Luther King Jr. Consulate General of the
United States of America di Surabaya memproklamasikan itu dalam
acara Tribute to Gusdur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism
Diversity and Democracy.
Penyelenggara menerapkan kearifan nilai yang perlu diteladani, dengan
meletakkan saya yang ber-track-record di wilayah perjuangan kedamaian,
pluralisme dan demokrasi justru sebagai pendamping pembicara utama,
yakni Alissa, putrinya Gusdur sendiri.
Martin Luther terkenal dengan ungkapannya I have a dream, Gusdur
termasyhur dengan statement Gitu saja kok repot yang njangkungi
Indonesia, dunia dan kehidupan.
Jangkung artinya tinggi. Njangkungi atau menjangkungi artinya
mengatasi, membereskan, mengungguli, mrantasi. Sebesar-besar
masalah, setinggi-tinggi persoalan, dijangkungi oleh Gusdur. Martin
Luther King masih berposisi Aku mendambakan, Gusdur sudah
mencapai. Gusdur berbaring sambil senyum-senyum dan nyeletuk Gitu
saja kok repot.
Wakil dari komunitas Konghucu menangis-nangis terharu oleh kasih
sayang Gusdur yang membuat mereka memperoleh ruang dan
kemerdekaan menjadi dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa tokoh HMI
dan Muhammadiyah, yang bernasab Masyumi, mendatangi saya di
pojok ketika istirahat ngopi: Cak, Konghucu bagian enak. Kami ini yang
dapat asem kecut. Gusdur tidak pernah bersikap enak kepada semua
yang indikatif Masyumi. ICMI belum berdiri saja sudah dimarah-marahin
oleh Gusdur
Saya menjawab, itu justru karena Gusdur meyakini kalian sudah sangat
mandiri dan kuat, sehingga tidak perlu disantuni, malah dikasih
tantangan, kecaman dan sinisme, supaya bangkit harga diri kalian.
Peta politik, perekonomian, kebudayaan dan apapun, sangat dikendalikan
oleh konstelasi kedengkian kelompok, kepentingan sepihak dan
kebodohan publik, yang menciptakan mapping gang-gang dan jejaring
inter-manipulasi subyektif golongan. Atas dasar psiko-budaya politik
semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan dirumuskan. Barang
siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal konstitusional:
kaum independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.

Maka kepada teman-teman yang mengeluh itu saya berfilsafat: Kalau


Anda kain putih, kotoran sedebu akan direwelin orang. Kalau ada gombal
bosok, kotor seperti apapun tidak dianggap kotoran. Tinggal Anda mau
milih jadi kain putih atau gombal.

HAM
Di samping HAM, ada WAM: wajib asasi manusia, tapi tidak saya tulis di
sini. Yang pasti Martin Luther King adalah Mbahnya semangat HAM,
Gusdur penikmat HAM. Martin Luther berjuang memerdekakan manusia,
Gusdur adalah manusia paling merdeka. Kalau pakai idiom Islamnya
Gusdur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap dawah bilisanil qoul
(menganjutkan dengan kata-kata), sedangkan Gusdur amal bililasil-hal
(melakukan dan menteladani dengan perilaku).
Andaikan yang didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin
Luther King tetap begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan
memperjuangkan hak-hak kaum hitam di Amerika, melainkan menempuh
perjalanan menuju keadilan universal bagi seluruh dan setiap ummat
manusia. Bukan hitamnya yang dibela, melainkan hak
kemanusiaannya. Bukan kulitnya, tapi manusianya.
Atas aspirasi pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gusdur, Pasukan
Banser selalu siap siaga menjaga Gereja-gereja setiap Natal atau hari
penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara
Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat
kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah
pelatihan-pelatihan iman, uji militansi dan ketahanan juang. Kaum
Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh
keyakinannya.
Gusdur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya,
namun sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri,
dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya
Jombang, agar supaya anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu
diancup-ancupno ndik jeding (kepalanya dibenam-benamkan ke air
kamar mandi), dibatek ilate (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak
bisa omong), atau disambleki mbarek sabuk lulang (dicambuki pakai
ikat pinggang kulit).

Diskriminasi
Kehidupan ummat manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin
memang selamanya demikian, selalu hiruk pikuk oleh silang sengkarut
diskriminasi, berbagai-bagai jenis, konteks dan modus diskriminasi. Ada

diskriminasi rasial, diskriminasi kultural, diskriminasi eksistensial,


diskriminasi primordial, bahkan diskriminasi teologis dan natural. Peristiwa
diskriminasi penuh ambiguitas, melingkar-lingkar, berlipat-lipat, letaknya
bersama keadilan universial seringkali berdampingan, bahkan teramu
menjadi sebuah kesatuan.
Mungkin sekali diskriminasi dijelaskan dengan terpaksa menerapkan
diskriminasi di sana sini. Diskriminasi adalah aplikasi ketidakadilan pada
konteks-konteks yang berkaitan dengan identitas, eksistensi, letak
keberadaan atau posisi dalam peta kehidupan. Sedangkan keadilan dan
ketidakadilan adalah puncak ilmu dan misteri yang mungkin saja tak
pernah benar-benar bisa dijangkau oleh managemen logika manusia. Oleh
karena itu kita tak boleh pernah berhenti mencari dan
memperjuangkannya.
Sampai hari ini yang kita capai baru sorga seseorang adalah neraka bagi
lainnya. Orang Jawa bingung tidak ada kata asli Jawa untuk adil. Yang
ada pas (akurat, tepat), empan papan (proporsional). Peradaban Jawa
sangat beraksentuasi ke kebudayaan estetika atau keindahan,
sementara kebenaran dan kebaikan adalah bagian dari rangkaian
peradaban keindahan Jawa, yang puncaknya adalah mamayu hayuning
bawana: memperindah keindahan jagat raya.
Sehingga dalam praksis budaya masyarakat Jawa muncul etos
jangan mo-limo, nggak enak sama tetangga, silahkan maling, tapi
jangan di sini. Jadi akar masalahnya bukan pada hakekat kebenaran dan
kebaikan, melainkan pada upaya untuk tampak indah. Yang disepakati
adalah norma kolektif untuk tampak indah, bukan substansi nilai
kebenarannya. Maka politik pencitraan sangat diterima dengan tenteram
oleh jenis kebudayaan ini, meskipun jelas pencitraan adalah penipuan dan
pemalsuan.
Kalau dua anak kita belikan baju dengan warna yang sama, itu
diskriminatif terhadap hak estetika mereka. Kalau kita bebaskan mereka
memilih selera masing-masing, nanti perbedaan harga antara dua baju itu
mengandung diskriminasi. Kita bikin kurungan kecil untuk burung dara
dan kandang sangat besar untuk gajah: terjadi diskriminasi pada yang
satu dapat gede, lainnya kecil. Puluhan Parpol tidak lolos-KPU karena
parameter teknis-kwantitatif, sehingga anggota Parpol yang tidak lulus
memperoleh dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan aspirasi
orisinalnya dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya
sendiri dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan
dengannya. Kalau yang independen, sekali lagi: tiada.
Diskriminasi eksistensial bercampur aduk dengan konteks diskriminasi
kultural, teologis dan berbagai-bagai lainnya. Diskriminasi terjadi ketika
kerbau diperlakukan sebagai kambing. Ketika Pemerintah disamakan
dengan Negara. Ketika rakyat malah melayani Pemerintah. Ketika manusia
diberhalakan, ketika Tuhan dikategorikan sebagai dongeng, atau ketika

dongeng dituhankan. Ketika sapi kita potong buntutnya doang karena


warung kita jualan sop buntut. Ketika manusia melintas di depan kamera
yang dipotret hanya borok di bokongnya. Ketika bungkus gula di warung
tidak ditulisi Gula dapat menyebabkan sakit gula.
Bahasa jelasnya, sejarah bukan tidak mungkin mencatat tokoh yang
banyak melakukan tindakan diskriminasi justru sebagai tokoh antidiskriminasi.
Bangsa Amerika sudah melewati kurun waktu lebih panjang untuk lebih
bisa meletakkan Luther King pada makam sejarahnya, sementara Bangsa
Indonesia memerlukan waktu lebih panjang untuk memastikan posisi
Gusdur, apalagi kita sedang mengalami era abu-abu di mana
masyarakat mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh
kebangsaan mereka. Kita mengalami ambiguitas pandangan yang sangat
serius kepada Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya
termasuk M. Natsir, Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka,
juga Gusdur. Di Jombang semula akan diresmikan Jalan Presiden
Abdurahman Wahid, sekarang kabarnya kata Presidennya dihilangkan.
Utamanya kaum Nahdliyin (ummat NU) perlu menggiatkan upaya-upaya
ilmiah obyektif, penelitian yang seksama dan detail mengenai sejarah
sosial Gusdur. Secara keseluruhan Ummat Islam perlu membuktikan
kejernihan intelektual dan keadilan sejarah untuk membuka wacanawacana adil kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang. Pameo
sejarah itu milik mereka yang menang perlu ditakar prosentasenya pada
peta pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.
Para pecinta Gusdur juga perlu segera mengeksplorasi upaya penelitian
sejarahnya, untuk mendapatkan ketegasan persepsi tentang Gusdur. Perlu
ada semacam Buku Besar Gusdur tentang benar-salahnya beliau selama
kepresidenannya dan impeachment atas kedudukan beliau. Dipertegas
data-data sejarah dan fakta-fakta sosial di mana dan kapan saja Gusdur
memperjuangkan keadilan, mendamaikan bangsa, dan mempertahankan
kejujuran kemanusiaan. Dibuktikan secara faktual dan detail bahwa
Gusdur adalah pluralis pemersatu: Pada peristiwa apa, kapan, di mana,
Gusdur mendamaikan dan mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan
faktual untuk tegas menjawab pertanyaan sinis: Sebutkan apa saja yang
tidak pecah setelah Gusdur hadir.
Terkadang ada niat saya bertanya langsung kepada Gusdur di alam
barzakh soal ini, tapi kwatir dijawab Gitu aja kok repot!. Di samping itu
saya kawatir juga karena di alam sana Marthin Luther King tinggal
sewilayah dengan Gusdur, maka orang-orang memanggilnya Gus
Martin.

Tulisan ini dimuat Opini Kompas, Senin, 25 Februari 2013

Merayakan Kehidupan Sejati Boedi Ismanto SA

Kebanyakan manusia berjuang mengada-adakan dirinya, menonjolnonjolkan dirinya, bahkan untuk itu mereka meniada-niadakan orang dan
makhluk lainnya, bahkan meniadakan Tuhan.
Itulah kematian.
Manusia Tauhid adalah orang yg terus berjuang untuk tidak mempercayai
adanya, karena yg sejati ada hanyalah Maha Penciptanya, serta hanya
Dia-lah yg sejatinya berkarya.
Di maqam kesadaran itulah persemayaman makrifat Budi Ismanto SA:
Saya lahir tidak ingin menjadi penyair, tapi ingin menjadi manusia, itu
kalimat akhir yang diucapkan alm. boedi ismanto kepada temannya saat
ketemu di tegal sebelum meninggal kemarin.
Ia juga berkata ibarat gajah, mati tak meninggalkan gading ketika
seorang Presiden memasang gambarnya di tepi jalan merayakan panen
raya, padahal para petani yang berjuang menanam padi.
Manusia yang mengenal hakekat Tuhannya adalah yg menemukan
belumnya selama menjalani sudah puluhan tahun lamanya.
Boedi sudah menemukan hakekat ada dalam tiada, mentiada sehingga
ada.
Itulah kehidupan.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Itulah statemen paling mendasar dari
Allah, yang kita ucapkan untuk merayakan kehidupan sejati Boedi
Ismanto.

11 Maret 2013

Jazz 7 Langit

1
Apa benar Jazz itu suatu aliran musik? Alangkah sempitnya kalau ia hanya
sebuah aliran, berjajar atau berderet dengan aliran-aliran yang lain.
Aku tak mau Jazz sekedar sebuah sungai yang mengalir, betapapun
indahnya sungai itu. Bahkan pun andai ia sungai si sorga.
Aku mau Jazz itu pengembaraan di jagat raya.
Aku mau Jazz itu petualangan kemerdekaan menyusuri seluruh wilayah,
bidang, garis, titik-titik, ketinggian dan kedalaman, cakrawala yang
menantang atau jiwa rebah di bumi, kemudian terbang kembali se segala
penjuru langit tujuh.
Tujuh Langit, di luar maupun di dalam diri kita.

2
Tentu saja Jazz itu suatu aliran. Tetapi aku benci kata aliran dirampok
oleh epistemologi, disempitkan oleh kebudayaan, didangkalkan oleh
bahasa, dan dikerdilkan oleh politik dan institusi Agama.
Jangan katakan Jazz itu aliran. Nyanyikan: Jazz itu mengalir.
Jazz itu berlompatan, berhembus, terbang melayang, menelusup dan
menyelam.
Jazz menyapa setiap kemungkinan, Jazz menyentuh segala probabilitas.
Jazz memandang horizon nun jauh, Jazz mendekap cakrawala di rahim
rahasia dirinya.
Jazz itu cahaya yang meledak dari Al-Ahad, Sang Entitas Tunggal,
memecah diri-Nya menjadi dan mencapai A-Wahid, menyebar, menabur,
menjagat mensemesta, meruang tanpa sisa, mewaktu, bertualang di
Fana, menembus Baqa.
Jazz itu semangat iradah cinta dan hak absolut kemerdekaan Allah atas
diri-Nya dan apapun saja yang diciptakan oleh-Nya. Allah menyamar
menjadi alam semesta, menjadi ummat manusia, menjadi bunyi dan
warna, menjadi kata dan makna.
Allah menggemerecakkan nyanyian pada gitar, Allah berdendang pada
trombone, terompet dan saksopon, Allah melampiaskan rindu pada
tabuhan drum, Allah menyatakan cinta dari belakang punggung para
pengrawit, Allah bermanja dan pura-pura mengeluh di snar biola, Allah

melantunkan lagu, meneriakkan janji kasih sayang, memekikkan rasa


menyatu, sambil bersembunyi di dalam leher penyanyi hamba-Nya.

3
Jazz itu penerimaan seluruh muatan ruang dan waktu, bahkan kesetiaan
mengetuk semua pintu.
Jazz tidak membuang siapa-siapa, Jazz tidak mengharamkan apa-apa, Jazz
memanggul ilmu, kecerdasan dan kepekaan untuk meletakkan sesuatu
pada tempatnya.
Haram adalah disharmoni, sesuatu yang dijodohkan padahal bukan
jodohnya, sesuatu yang dipadukan padahal bukan paduannya.
Maka Jazz tidak mengenal fals, karena pelakunya mengerti untuk tidak
mempertemukan dua hal yang semestinya bersemayam di tempat yang
berbeda.
Jazz itu puncak kesadaran Mizan, keseimbangan, harmoni. Harmoni
adalah kejujuran atas diri, letaknya dan lelakunya. Kejujuran adalah
keikhlasan menjadi diri tempat Tuhan menjelma, serta kerelaan berada
di maqam atau wilayah yang telah disusun ditata oleh sunnah-Nya.
Orang yang belum mempelajari harmoni, belum meneliti peta iradah dan
tata sunnah, terkurung di dalam kebutaan dan kebodohan untuk
membuang-buang yang ia tak pahami, menghardik-hardik yang ia belum
mengerti, mensesat-sesatkan yang ia belum dalami.
Orang mengharam-haramkan saudaranya dan mengusir-usir mereka dari
hakekat cinta, karena belum mengetahui bahwa tidak ada sejengkal
ruangpun di luar jagat kasih sayang-Nya.

4
Hai.
Apakah Jazz itu musik?
Dan musik adalah bagian dari kehidupan?
Jadi, apakah Jazz itu bagian dari bagian kehidupan?

Jangan-jangan Jazz itu cara menjalani kehidupan. Jangan-jangan Jazz itu


sikap mental, bahkan sikap hidup. Jangan-jangan Jazz itu cara pandang,
cara memandang, cara memperlakukan kehidupan.
Jangan-jangan Jazz itu metoda bersyukur dan teknologi kejiwaan untuk
bergembira oleh dan atas indahnya ciptaan-ciptaan.
Jangan-jangan Jazz itu syariat, yang orang mengawali pembelajarannya
dengan shalat, dengan modal rasa berhutang.
Jangan-jangan Jazz itu thariqat, yang orang mengawali pelatihannya
dengan puasa, dengan bekal rasa tiada.
Jangan-jangan Jazz itu haqiqat, yang orang mengawali kesetiaannya
dengan zakat, berbekal rasa tak berpunya.
Jangan-jangan Jazz itu marifat, yang menyampaikan pelakunya pada
qiblah (kiblat) di pusat kalbunya.
Jangan-jangan Jazz itu mesranya dan indahnya percintaan dengan Tuhan,
yang tak kentara dan tak disangka oleh kebanyakan manusia, bahkan
mungkin juga oleh para pelaku Jazz sendiri.

5
Maka jangan tanya apa definisi Jazz, karena dua alasan.
Pertama, begitu Jazz didefinisikan, berakhirlah sejarah eksplorasinya.
Kedua, karena definisi itu membelenggu, sedangkan Jazz itu
memerdekakan.
Pun jangan salahkan aku yang lancang menulis sesuatu dengan
menyebut-nyebut kata Jazz, yang semua orang menyepakati bahwa itu
bukan milikku, bukan hakku, apalagi ekspertasiku. Tak ada pengetahuanku
tentang Jazz. Aku lebih dari awam. Bahkan tak ada satu alat musik yang
sesederhana apapun yang aku mampu memainkannya. Berkunjunglah ke
Planet Musik, musik apapun: tak kan kau temukan jari jemari dan
wajahku.
Akan tetapi tak ada hak padamu atau pada siapapun saja untuk
mempersalahkan cintaku. Karena Jazz sudah terlanjur memasuki telingaku
dan menyentuh jiwaku, maka kudekap ia menjadi bagian dari cintaku.
Jazz adalah kuda tunggangan cintaku.
Jazz adalah burung-burung terbang kerinduanku.

Jazz adalah cara darahku mengalir.


Jazz adalah irama perjalananku.
Jazz adalah metode mensyukuri kehidupanku.
Jazz adalah isyq ijtihadku, keasyikan pencarian cintaku.
Jazz adalah riuh rendah perjuangan dan sunyi pisowanan tauhidku.

6
Hai.
Kehidupan dituntut memahami Jazz, ataukah Jazz memahami kehidupan?
Manusia memahami Jazz ataukah Jazz memahami manusia?
Kehidupan mangandung Jazz, ataukah Jazz hamil kehidupan?
Manusia dialiri Jazz, ataukah Jazz dialiri manusia?
Haha.
Itu pertanyaan sebelum Jazz.
Itu deskripsi yang tanggal di depan gerbang Jazz.
Itu pertanyaan orang yang berjarak dari kehidupan.
Itu pertanyaan yang berhitung-hitung sehingga cinta menjauhinya.
Jangan dijawab kedua-duanya.
Jazz adalah penerimaan bunyi oleh bunyi, keridhaan nada atas nada,
keikhlasan nuansa dengan nuansa, ketulusan cinta bersama cinta.
Jadi kenapa langit dihitung-hitung tujuh?
Hahaha.
Terserah-serah Yang Punya. Tuhan yang menggagas hak, Ia juga yang
punya ide tentang kewajiban. Semau-mau Ia juga akan mengikatkan diri
pada aturan-Nya ataukah melanggarnya.
Kenapa doremifasollasi? Kenapa qiraah-sabah? Kenapa satuan tujuh
dijadikan patokan hampir semua kejadian-kejadian besar dalam sejarah?
Kenapa 3,5 abad bersama VOC dan 3,5 tahun bersama Nippon? Kenapa

tujuh saja, jangan sampai 5 jangan pula berlebihan hingga 10? Tak perlu
8-9 amat, meskipun kalau bisa jangan sampai 5-6. Tujuh adalah presisi
nuansa kebersahajaan. Sebagaimana Jazz menyederhanakan peta
keindahan yang sebelumnya dianggap mewah. Sebagaimana Jazz
mencairkan, meng-udara-kan, meng-gelombang-kan padatan-padatan
bunyi.
Hahaha.
Tuhan bermesraan denganmu. Menjebakmu di antara 1 dengan 7, di
antara 7 ke tak terhingga. Di senja hidupmu engkau lelah oleh hitunganhitungan kehidupan, sehingga rebah di pangkuan-Nya.
Kecuali engkau yang menudingkan jari-jarimu ke atas untuk menunjuk
langit. Padahal langit bersemayam di dalam jiwamu.
Bumi dalam langit. Langit dalam bumi. Keduanya dalam engkau.
Bumi langit mikro-kosmos. Engkau makro-kosmos. Karena Ia bertajalli
padamu.

7
Apakah Jazz adalah Duke Ellington, Louis Armstrong, Buby Chen, Bing
Slamet, atau Balawan dan Beben?
Habibuna Maulana Khidlir AS adalah profesor segala profesor Jazz
kehidupan, gurubesar segala gurubesar pengembaraan men-tauhid.
Yai Sudrun ngiler menetes air dari sudut bibirnya sepanjang zaman.
Wajahnya buruk seburuk-buruk wajah. Pakaiannya dikenakan untuk
menyamar agar disangka manusia sebagaimana yang menyangka. Tak
pakai alas kaki ke manapun, tak cuci kaki naik dan masuk Masjid.
Membuka sarungnya dan kencing di lantai Masjid. Tapi tak bisa kau
salahlah dia karena tak ada cairan kencing Sudrun di lantai Masjid.
Seribu orang menabuh rebana. Sudrun bosan dengan regulasi nada dan
irama rebana. Ia merebut satu rebana, memukulnya sekali, padam
ratusan lampu petromak. Kemudian ia lempar rebana itu, berlari dan
tertawa-tawa, mentertawakan dunia dan kedunguan penghuninya.
Sudrun tidur telentang di tengah jalan raya. Semua kendaraan stop. Macet
tak bergerak. Kedua kakinya dilempar-lempar ke atas seperti bayi.
Wajahnya menangis seperti bayi. Mulutnya menangiskan tangis bayi. Para
petugas menghampirinya dengan takut-takut:
Yai Sudrun kenapa nangis di tengah jalan. Ayo kita ke warung saja. Kita

cerita-cerita di sana. Supaya jalan bisa dipakai oleh ratusan pengendara


yang lalulalang menuju keperluannya masing-masing
Yai Sudrun meningkatkan tangisnya, memuncakinya dengan kemarahan:
Sejak pagi tadi Kanjeng Nabi Muhammad datang mengunjungi kita di
sini. Kalian semua tak ada yang menyambutnya. Tak ada yang perduli
kepada beliau. Kalian semua sibuk mengejar uang dan hal-hal rendah
lainnya.
Para petugas menjawab:
Lhoo Yai, kami tidak tahu bahwa Kanjeng Nabi hadir ke sini
Memang.
Jazz melihat yang tak terlihat oleh lainnya.

Yogyakarta, 9 April 2013

Menangis

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang


diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman,
Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat
malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki
kalimat iyyakanabudu.. Abah Latif biasanya lantas menangis tersedusedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata
itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan wa
iyyaka nastain.
Banyak di antara jamaah yang bahkan terkadang ada satu dua yang
lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus
berakar, berkata Abah Latif seusai wirid bersama, Mengucapkan katakata itu dalam Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata
dalam kehidupan. Harus di situ titik beratnya bukan sebagai aturan,

melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa


berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu.
Astaghfimllah, astaghfirullah, geremang turut menangis mulut
parasantri.
Jadi, anak-anakku, beliau melanjutkan, apa akar dan pijakan kita dalam
rnengucapkan kepada Allah iyyaka nabudu?
Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan
merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah? bertanya seorang santri.
Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan.
Belum jelas benar bagiku, Abah.
Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan
mengucapkan kenyataan. Astaghfirullah, astaghfirullah, geremang
mulut para santri terhenti ucapannya. Dan Abah Latif meneruskan,
Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka nabudu.
Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki
suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami
menyembah, nabudu.
Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian
sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika
sampai di kalimat nabudu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari
abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh
kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana
penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan.
Mengucapkan iyyakanabudu dalam shalat mustilah memiliki akar dan
pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah
tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan
lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa
mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata
tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?
Astaghfirullah, astaghfirullah, geremang mulut para santri.
Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi
khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan
sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa
iyyaka nastain, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita
berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan
bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam
sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan,
kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah.

Astaghfirullah, astaghfirullah, gemeremang para santri.


Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung
dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku
kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap
bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita
hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu:
airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya!

Politik Lemah Syahwat

Kebanyakan orang yang pergi berobat ke dukun penyembuhan lemah


syahwat, sekeluarnya dari sana biasanya punya kecenderungan psikologis
untuk memberi kesan kepada orang lain bahwa ia telah sukses
menegakkan kembali syahwatnya meskipun pada kenyataannya tak
ada yang berubah pada syahwatnya.
Pertimbangannya minimal ada dua. Pertama, ia merasa akan turun
martabatnya kalau di pandangan orang lain ia masih lemah syahwat.
Watak kelekakiannya mendorong terciptanya citra bahwa ia gagah
perkasa. Kedua, kalau ternyata pengobatan yang ia alami tidak mengubah
apa-apa, maka ia tidak mau sendirian tertipu. Ia mau setiap orang
menjadi korban yang sama seperti dia.
Manusia hidup dalam citra, tidak harus dalam kenyataan. Orang
memilih bertempat tinggal dalam kesan, bukan realitas. Yang penting
orang lain terkesan bahwa ia hebat, tidak penting apakah ia hebat betul
atau tidak. Yang penting Anda menampilkan indikator-indikator kasat mata
yang membuat orang lain menyangka Anda orang baik, dermawan, jujur,
atau citra baik apa saja.
Toh kebanyakan masyarakat juga memiliki kemalasan yang sangat serius
untuk menelusuri atau menyelami realitas, mereka umumnya pasrah pada
kesan tentang seseorang. Yang penting Pak Itu menyumbang sangat
banyak untuk pembangunan Masjid: bahwa uangnya dari diperoleh dari
korupsi atau hasil mbekingi perjudian, semua jamaah sepakat diamdiam untuk pura-pura tidak tahu.
Yang penting Megawati itu putrinya Bung Karno dan sejak awal hidupnya
sudah nyantol dengan sejarah kebangsaan. Tidak penting apakah
Megawati mengerti persoalan negara dan rakyat atau tidak, apakah

memiliki kapabilitas managemen untuk menjadi kepala Negara atau tidak.


Tidak penting apakah kalau menjawab wawancara wartawan selalu
menggelikan dan selalu juga berikutnya Laksamana Sukardi
menambahinya dengan substansi yang sering berbalikan dengan apa
yang terlanjur dikemukakan oleh Megawati.
Kalau Bu Mega terlanjur bilang A, padahal yang benar adalah B, maka
pendamping beliau kemudian mengatakan: Maksud Bu Mega itu B
sebenarnya, dan kita kaum wartawan harus menulis B, sebagai
penjelasan dari A. Padahal jelas A dan B bertentangan satu sama
lain. Kalau saya bilang Setan, pendamping saya bilang Maksudnya Cak
Nun itu Malaikat maka seluruh Indonesia dan dunia akan diberi
informasi tentang malaikat, padahal sesungguhnya yang nyata adalah
setan.
Kenyataan setan bisa ditutupi dengan citra atau kesan malaikat. Atau
sebaliknya. Itulah atmosfir wacana yang sampai ke masyarakat selama
ini, sehingga sesungguhnya rakyat Indonesia tidak pernah mengerti apaapa. Saya menampung anak yatim sejak kecil dan saya posisikan sebagai
anak saya sendiri sampai selesai saya sekolahkan. Sesudah tamat, ia
dibisiki seseorang yang mengatakan bahwa sebenarnya Cak Nun itu orang
yang culas dan kejam si yatim itu langsung percaya dan mengambil
keputusan untuk meninggalkan dan memusuhi saya.
Seorang teman saya membantu seorang Kiai buta mencari biaya untuk
membangun gedung demi gedung pesantren, selalu memberikan
pembiayaan untuk operasional pesantren, serta membantu si Kiai dalam
berbagai bentuk. Nanti ketika santri dan ummat berkumpul bersama Kiai
dalam suatu acara khol, mereka ditanya siapa idola mereka, siapa
pemimpin yang mereka anut?
Mereka menjawab: Gus Dur!
Berapa kali Gus Dur nyambangi pesantren Panjenengan?
Mereka menjawab: Belum pernah.
Apakah Gus Dur pernah memberi bantuan kepada pesantren
Penjenengan?
Belum pernah.
Apakah ada di antara Panjenengan yang kenal Gus Dur?
Tidak ada.
Apakah Gus Dur kenal Panjenengan?
Tidak.

Tetapi Gus Dur adalah idola mereka, panutan mereka, pemimpin mereka,
pilihan presiden mereka.
Orang hidup dalam citra, tidak dalam kenyataan. Kenyataan senyata
apapun kalah oleh citra. Saya tidak pernah masuk Parpol, tidak pernah
menjadi anggota DPR, tidak pernah menjadi pejabat serendah apapun,
tidak pernah punya perusahaan, tidak pernah berususan dengan proyekproyek dan konglomerat, dan sampai hari ini saya menunggu orang
membuktikan dan mengumumkan besar-besaran bahwa saya pernah
dikasih uang oleh Suharto atau siapapun kroninya dan tak kunjung
datang pengumuman itu tetapi sebagian orang tetap mencitrakan saya
sebagai orangnya Suharto. Sementara mereka mengangkat Akbar
Tanjung yang dulu Menterinya Suharto menjadi calon presiden reformasi.
Juga menjunjung Nurkhalis Madjid yang dulu anggota MPR di jaman
Suharto.
Manusia hidup dalam citra.
Citra itulah yang dipertahankan mati-matian oleh Amrozi. Amrozi marah
besar dan serius kalau dikatakan bukan dia yang melakukan pengeboman
di Bali 12 Oktober itu. TNI bikin demo bom di Bogor untuk membuktikan
bahwa TNI tidak punya kemampuan untuk melakukan pemboman jenis
Dimona Micro Nuclear yang aksesnya hanya dimiliki oleh 5 negara besar
di luar Indonesia, yang menghasilkan lubang besar di tanag dan jamur
raksasa di angkasa, yang dalam radius 20 meter sekelilingnya tak ada
benda yang tersisa kecuali jadi abu. Jadi kemampan Amrozi jauh di atas
TNI.
Kalau Anda membuktikan bahwa bom yang dipasang oleh Amrozi di Bali
namun tidak meledak karena dirancang untuk didahului beberapa
menit oleh meledaknya Dimona Micro Nuclear hanyalah bom ringan
dan sekedar di atas molotov atau Sinso (Bensin Rinso) dan di bawah
TNT atau C4: Amrozi akan menjawab: Hasil ledakan itu jauh melebihi
kapasitas bom aslinya berkat kekuasaan Allah, sebagaimana lemparan
pasir Mujahidin di Afganistan bisa menghancurkan tank-tank.
Amrozi tidak terima kalau dia dituduh bukan dia pelaku bom Bali. Dia ingin
hidup dalam citra, bukan dalam kenyataan tentang dirinya. Maka jangan
heran dia bergembira ria dihukum mati, karena vonnis itu mengukuhkan
citranya. Maka ia juga selalu bertanya kepada setiap Polisi yang
mengawalnya: Pak, kapan sih saya ditembak? Amrozi sangat
merindukan mati, dalam konsep yang dia pahami sebagai syahid.
Amrozi tidak mau dituduh lemah syahwat. Dia butuh citra kejantanan
tentang dirinya. Itulah sebabnya seorang pakar psikiatri dari Unair
meminta Amrozi diperiksa secara psikiatris, dan bukan diperiksa oleh
psikolog seperti yang dilakukan oleh Polri. Sebab kalau pemeriksaan klinispsikiatris dilakukan pada Amrozi, secara yuridis ia akan bebas itu itu
merugikan Polri maupun Amrozi sendiri.

6 Oktober 2003

Kekasihku Orang Gila

Tadi malam Allah menganugerahi saya rejeki yang luar biasa, yang
membuat aliran darah saya menghangat, hati penuh kegembiraan dan
kebanggaan, dan seandainya ketika itu saya sakit saya yakin langsung
menjadi sembuh.
Di Taman Ismail Marzuki Jakarta setiap orang kenal orang yang
mengantarkan rejeki Allah ini. Seorang pemuda berusia sekitar 35 tahun,
kumuh, berpenampilan gelandangan, tidur di sembarang tempat di
komplek itu, sorot matanya menusuk ke dalam nurani. Setiap orang
mengenalnya sebagai orang yang tidak lengkap, agak miring, minimal
setiap orang normal cenderung tidak menganggapnya sebagai manusia
sesama orang normal.
Dulu tatkala sebulan sekali saya beracara Kenduri Cinta di parkiran TIM,
beliaunya ini selalu hadir. Di akhir acara selalu menemui saya dan dengan
sangat menakutkan ia mencium tangan saya. Saya meletakkannya di
tempat yang khusus di lubuk hati saya. Kemudian acara bulanan saya di
Jakarta itu tidak menetap lagi di TIM melainkan keliling ke kampungkampung Jakarta.
Ya Allah, beliau ini tiba-tiba menelpon saya. Saya tidak pernah
membayangkan bahwa ia kenal telpon. Tentu ia ternyata tahu wartel juga.
Ya Allah, dia bercerita tentang demo di DPR dan situasi mutakhir di
Jakarta. Ya Allah aku bangga menerima telpon dari seseorang yang setiap
orang tidak menganggapnya sebagai sesama manusia dalam kehidupan
yang wajar.
Tentu saja tidak bisa saya berkata begini: Saya ditelpon oleh Menteri,
oleh Presiden, oleh Sekjen PBB, tidak punya perasaan apa-apa dan tidak
bangga sedikitpun. Tetapi saya ditelpon oleh beliau ini, ya Allah, hati saya
berbinar-binar penuh kegembiraan dan kebanggaan. Tidak
bisa, wong memang tidak ada Menteri yang gila untuk repot-repot
menelpon saya. Apalagi Presiden dan Sekjen PBB.
Kalimat seperti itu pernah juga muncul di hati saya ketika saya kenal
kekasih gila yang lain. Kalau Anda pergi ke Jogja, jalanlah ke perempatan
dekat jembatan rel kereta di sebelah barat kantor Samsat. Sekitar siang

atau sore, insyaallah Anda akan berjumpa dengan kekasih Allah: pemuda
kurus, hitam, menari-nari, melemparkan wajah penuh kegembiraan,
melambaikan tangan kepada siapa saja yang lewat. Adakah orang bisa
berpikir bahwa ada orang yang sehat jiwanya menari-nari di perempatan
jalan?
Tetapi apakah kekasihku itu benar tidak sehat jiwanya? Apakah ia pernah
korupsi? Apakah ia pernah menyakiti hati orang? Apakah ia pernah
mencuri, mencopet atau menjambret? Bukankah berjam-jam ia berjogetjoget di jalan dengan penuh suka cita itu sesungguhnya berkata kepada
orang-orang yang lewat yang kebetulan punya akal pikiran: Kenapa
engkau cemberut, uring-uringan dan berwajah duka? Kau punya mobil
kan? Punya rumah kan? Lihatlah aku, tak punya apa-apa, tak punya
rumah, tak punya pekerjaan, tak pernah sekolah, tak tahu apa-apa
mengenai negara dan masyarakat, tak mendapat gaji, tidak akan kawin
seumur hidup, tak punya harapan dan karier apa-apa di muka bumi ini
tetapi aku selalu bergembira.
Pada suatu sore di sebuah sanggar beliau muncul dan bersalaman dengan
setiap orang yang ada di situ termasuk saya. Pimpinan sanggar bertanya
kepadanya: Kamu salaman-salaman begitu apa tahu dengan siapa kamu
salaman?
Beliau tertawa nyengir, mendekat dan memegang sebelah tangan saya
dan menjawab dengan suara kecil lirih lucu: Cak Nunnn! Ya Allah,
bangganya saya dikenal oleh beliau. Siapa yang ngasih tahu dia tentang
saya? Koran? Saya sudah beberapa tahun tidak laku di koran, bahkan
koran lokalpun sudah tidak kenal saya. Ah, kuajak beliau naik panggung
nanti 17 Agustus malam di Boulevard UGM. Di situ kita akan
bercengkerama bersama komunitas Sarkem (Dolly), pimpinan
paguyuban tukang becak Jogja, mandataris buruh-buruh gendong Pasar
Beringharjo, para Dauri (sapaan persahabatan di antara para preman,
korak atau gali) dari Buto Mati sampai Buto Kempung. Tentu saja, juga
dengan yang kita junjung tinggi para intelektual, dosen-dosen, aktivis
mahasiswa, bahkan Pak Rektor. Kalau Ngarsodalem HB X pengayom wong
cilik berkenan hadir, tentu teman-teman kita itu akan sangat gembira.
Seandainya beliau tak hadir, insyaallah beliau tetap mengayomi, di
manapun beliau berada malam itu.
Ya Allah, syukur kepadaMu akhir-akhir ini Engkau pertemukan aku dengan
kekasih-kekasih sejati. Yang tidak menyalami tanganku dengan
kepentingan. Yang tidak cemburu dan dengki kepadaku. Yang tidak
menuduh-nuduh aku atas dasar kabar burung dan obrolan warung. Yang
tidak meminta apa-apa dariku, bahkan memberiku ilmu dan hikmah yang
tidak aku peroleh dari kaum cerdik pandai, dari para penguasa dan kaum
penyebar isyu. Yang tidak mengancamku. Yang tidak mencurigaiku
berdasarkan keperluan subyektifnya. Yang tidak menyantet atau
menenungku demi melindungi ambisinya. Yang tidak bersaing denganku
kecuali dalam mencari ridhallah.

Dulu waktu ulang tahun Kartolo dengan Kiai Kanjeng datang kekasihMu,
ibu-ibu setengah baya, pakai kaos oblong dan rok pendek, beteriak-teriak
sehingga Satpam dan Polisi akan mengusirnya. Aku loncat turun dari
panggung, kurebut ibu-ibu ini dari Polisi, saya gandeng naik panggung,
duduk di samping kiri saya, saya bisiki dan alhamdulillah ia bersedia
duduk manis di situ sampai acara usai lewat tengah malam.
Di Alun-alun Magetan itu, begitu kami naik panggung, ibu-Ibu tua
mendahului berdiri dan berpidato teriak-teriak. Saya datangi, saya
nyatakan cinta, saya bimbing duduk di samping saya. Ia patuh manis
sampai akhir acara, meskipun berulang kali ia mencubit punggung atau
paha saya seakan-akan ia adalah pacar saya yang sebentar lagi saya
nikahi.
Berikutnya di Magetan itu datang lelaki muda gagah besar, pakai celana
pendek, membawa tali dadung panjang, berjalan sambil menari
menyaingi Sardono W. Kusumo, membelah hadirin menuju panggung.
Terus ada lagi di belakang hadirin: laki-laki juga, berbaring mengomel
dan kayal-kayal seperti bayi persis seperti nasib rakyat Indonesia.
Dan itu ya Allah, lelaki kurus pucat, pakai hanya celana pendek, langsung
masuk ke rumah, bersila, menyembah saya dan berkata: Lapor! Saya
dulu anaknya orang kaya. Saya merantau sekolah di Jogja. Kemudian
orang tua saya bangkrut. Saya tidak bisa melanjutkan kuliah. Untuk bisa
makan saya akhirnya jualan darah. Tetapi karena darah yang saya
keluarkan tidak sebanding dengan makanan yang masuk, maka akhirnya
saya gila. Laporan selesai! Kemudian ia nyelonong pergi.
Yang lain datang dan juga langsung masuk rumah. Bahkan tidur di depan
pintu tengah. Saya biarkan berjam-jam, sampai akhirnya saya bertanya:
Kok tidur di sini sih, Mas?. Ia menjawab dengan tegas: Ini adalah bumi
Tuhan, makhluknya bebas tidur di mana saja!
Menjelang maghrib saya hampiri dia dan saya omong dengan lembut:
Boleh saya menolong Sampeyan untuk saya carikan bumi Tuhan yang
lain yang bukan ini?

Ki Sunan dan Ki Juru

Sejak berabad-abad yang lalu hingga barangkali berabad-abad yang


akan datang, salah satu sumber tegangan sosial atau konflik peradaban
dalam masyarakat dan Negara manusia, adalah perbenturan antara
otoritas Negara dengan otoritas agama. Segala jenis pertentangan, pada

skala kehidupan sehari-hari maupun yang lebih luas dan lebih sistemik,
sesungguhnya disumberi oleh pertentangan dasar tersebut.
Sesudah Abad Pertengahan, peradaban masyarakat Eropa mengalami
kebangkitan rasionalisme yang mencerahkan sejumlah kegelapan nilai
dasar manusia. Salah satu hasilnya adalah filosofi sekularisme yang
secara tegas memilahkan otoritas Negara dari otoritas agama.
Sejak itu wilayah agama menjadi sangat terbatas pada
lingkar privacy setiap orang. Agama tidak boleh seenaknya mengatur
kehidupan manusia dari dapur, kamar mandi, gardu hingga istana Negara.
Ia hanya punya kapling yang hanya menyangkut komunikasi antara
individu dengan Tuhan. Lalulintas di jalan raya, juga lalulintas uang dan
birokrasi, bukan Agama yang berhak mengaturnya. Teokrasi adalah
momok dari masa silam yang tak boleh bangkit kembali dari kuburnya.
Dalam sejarah pra-Indonesia, konflik semacam itu sesungguhnya telah
ada, setidaknya secara embrional.
Raja-raja Majapahit memang memeluk ramuan unuk antara Hindu dengan
Budha, tetapi konsep kerajaan dan kepemerintahan yang berlaku sama
sekali berada di tangan Raja dan lingkarannya. Secara natural, otoritas
negara ketika itu telah mengatasi kekuasaan Agama.
Tatkala Brawijaya terakhir bersedia memangkas rambut-nya atas
fetakompli Raden Patah, kemudiaan Nyoo Lay Wa Gubernur Majapahit
ketika Demak telah membawahinya dibunuh beramai-ramai oleh sisa
rakyat Majapahit non-muslim: seolah-olah teokrasi Islam sedang didirikan.
Pemerintahan Demak dilatari oleh kewibawaan dan otoritas politik para
Wali. Islam pesisir memberi format pada pelaksanaan pemerintahan
kesultanan dan kehidupan rakyatnya. Meskipun ketika itu telah ada
perbedaan approach politik dan kultural antara para Wali bang-wetan di
Surabaya dan Gresik dengan Wali pesisir utara Kudus Semarang, di mana
Sunan Kudus telah menerapkan suatu model persuasi Islam terhadap
idiom-idiom kebudayaan Jawa tetapi dominasi otoritas Agama atas
kerajaan tetap sangat menonjol.
Sampai akhirnya Sunan Kalijaga menegaskan pendekatan kultural itu
secara lebih masuk ke dalam rempelo ati kebudayaan Jawa. Sampai
akhirnya ia mendorong transformasi untuk menseimbangkan antara dua
orotitas itu dan melatarbelakangi pola kekuasaan Sultan Hadiwijaya di
Pajang. Dan akhirnya Arya Penangsang mbrodol ususnya oleh tombak
Jebeng Sutawijaya.
Barangkali memang menarik posisi Pajang: tidak terlalu pesisir, tidak
terlalu pedalaman. Seolah-olah letak geografis Pajang mewakili peletakan
strategi penyeimbangan otoritas itu.

Tetapi yang terjadi adalah Panembahan Senopati menggantikan legitimasi


Wali dengan Nyai Roro Kidul, yang sebenarnya sekedar merupakan
perlambang dari otoritas kekuasaan Jawa. Negara dalam terminology
Panembahan Senopati atas konsep yang disusun oleh Ki Mondoroko
Juru Martani jumbuh dengan kebudayaan Jawa itu sendiri.
Strategi Ki Juru adalah merangkul Agama dalam batas formalism politik,
tapi menghambatnya secara kultural. Ketika cucu Sultan Agung kemudian
tak mampu lagi mempertahankan moderasi strategi ini, yang terjhadi
adalah ekstremitas kekuasaan Negara di mana ribuan Kyai dibantai habis.
Itulah Abad Pertengahan dalam sejarah Jawa.
Otoritas Agama kemudian terkebiri. Mereka termarjinalisir. Lari ke
Pinggiran. Sembunyi di semak-semak belukar. Mendirikan pesantrenpesantren yang memisahkan diri dari dunia.
Ketika kemudian kekuasaan Negara Mataram berkembang makin
canggih dengan peralatan birokrasi dan militer yang mampu menjangkau
helai rambut di ketiak para penyembunyi itu: kemungkinan yang terjadi
hanya dua. Pertama, mereka gampang mengamuk. Kedua, mereka
gampang menggantungkan diri justru pada kekuasaan Negara.
Keadaan seperti itu berlangsung sampai hari ini.
Tulisan ini bukanlah mendambakan bangkitnya kembali otoritas Agama
untuk mengatur Negara. Melainkan sekedar secara rasional dan dengan
kerinduan demokrasi: memimpikan penyeimbangan yang dewasa serta
kemungkinan kerjasama anatara dua macam otoritas itu.
Saya tidak bahagia menyaksikan Ki Sunan berperang tanding melawan Ki
Juru. Kita memerlukan formula kerjasama. Kooperasi dan interdependensi.
Bukan dependensi salah satu pihak.

Arsip dan Dokumentasi Progress

Rupiah dan Dajjaliyah

Tulisan ini tidak mengupas soal gejolak rupiah. Saya belum gendheng.
Bukan saja karena bukan ahli ekonomi. Bahkan benar-benar saya tidak

mengerti ekonomi. Pahamnya saya kasih duit dua ribu rupiah, dapat
sebungkus rokok.
Yang saya lakukan justru menyodorkan sejumlah paket kepada sampeyan,
koen, peno, ndiko, riko, panjenenganipun maupun awakmu, untuk
dirasani, digunjing-gunjingkan di warung, didiskusikan, kalau sempat.
Kalau tidak ya biarkan saja, wong diskusi sampeyan-sampeyan ini tidak
akan memperkuat atau memperlemah kekuatan bargain rupiah terhadap
dolar maupun terhadap mata uang kerajaan Ratu Bulkis sekalipun.
Meskipun sampeyan diskusi sampai mblenek dan bengok-bengok sampai
tenggorokan mencolot, rupiah akan tetap dengan iramanya sendiri, di
mana kaitannya dengan sampeyan hanyalah bahwa sampeyan ini terkena
akibatnya. Di negeri dan di dunia ini sampeyan bukan subjek, melainkan
objek. Sampeyan jadi subjek hanya dalam menentukan hal-hal remehremeh, serta dalam kosmos mimpi sampeyan sendiri.
Hanya saja saya jamin rupiah tidak akan sampai ke posisi mata uangnya
Ashabul Kahfi, yang tertidur selama 309 tahun sehingga ditertawakan
orang di seluruh pasar dunia tatkala hendak dipakai untuk menjadi nilai
tukar.

***

Paket yang saya sodorkan itu misalnya begini.


Pertama, kalau mau tanya soal grafik harga diri rupiah di tengah dunia
persilatan ekonomi global jangan hanya temui Pak Saleh Afif, Pak Marie
Muhammad, Pak Sudradjad Djiwandono. Jangan pula malah menanyakan
ke Majlis Ulama atau Lajnah Ilai Darrojati Rubiah organisasi Islam
manapun.
Tanyakan juga kepada Kepala Negara Dajjal yang batas kekuasaannya
tidak dihalangi oleh garis perbatasan geografis dan politis apa pun.
Dajjal bukan dunia fantasi. Bukan science fiction. Bukan mitologi. Bukan
klenik. Bukan metafora bahasa agama meskipun memang sampeyan
perlu shalat kasyful hijab dua rakaat untuk memohon berjumpa dengan
Baginda Sulaiman alaihissalam untuk mendapatkan informasi dan
wacana mengenai tugas-tugas dan strategi global Dajjal di bumi.

***

Lebih jelasnya, kedua, terbanglah juga ke kantor-kantor rahasia negeri


dan millennium israiliyat, yang berpusat justru tidak di Timur Tengah yang
ribut melulu di dunia maupun akhirat. Melainkan di balik meja-meja dan di
bawah taplak-taplak kantor pemerintahan negara adikuasa, semi
adikuasa, maupun yang rela ataupun tak rela menjadi pekatik-pekatikdari
keadikuasaan mereka.
Anda tidak cukup hanya berpikir ada spekulan, ada petualang, ada
kecurangan-kecurangan tersembunyi di mana negeri-negeri Asia Tenggara
di-plekotho kali ini, sehingga Bung Mahathir yang berani gagah itu
menantangnya. Harus diperjelas piranti lunak dan piranti keras daulah
mereka di muka bumi ini, yang tidak pernah disebut-sebut oleh koran dan
segala macam media massa.

***

Ketiga, kita digangguin dan dirongrong dari luar, tapi kita juga
mengganggu dan merongrong diri kita sendiri.
Kita ikut mengizinkan konglomerasi sampai ke titik sangat optimum, yang
hampir sama sekali tidak memungkinkan penataan kesejahteraan
nasional yang adil dan maksimal. Kemudian di-kemplang dengan tak bisa
dielakkannya milik-milik mereka ke mancanegara.
Untung Tuhan bikin alam negeri ini kaya-raya, termasuk kearifan kultur
kemiskinannya di antara rakyat sedemikian rupa sehingga masih bisa
dihindarkan situasi collapse nasional.
Itu pun sesungguhnya kita masih memiliki sangat-sangat banyak warisan
harta dari tokoh nasionalis zuhud yang menjadi kekasih pertama bangsa
Indonesia. Tanyakan kepada tetanggamu hal-hal mengenai Dana Ampera
(jangan dijerumuskan oleh istilah Dana Revolusi yang memang dipasang
untuk mengelabui pengetahuan dan perhatian Anda).
Sekurang-kurangnya cari tahu siapa itu yang rampal untune di sebuah
kota kecil di tengah-tengah sana gara-gara bersumpah seperti Bilal di
depan Umayyah tidak akan bersedia melepaskan warisan yang
(sebagian) diamanatkan ke genggaman tangannya untuk dibagi 60%
untuk penodong resmi-nya dan hanya 40% untuk rakyat kecil.

***

Panjang kalau saya teruskan. Sekarang sudah jam 22.45. Hampir


deadline. Tulisan ini saya persingkat.
Paketnya saya tambahi satu lagi saja: bagi orang-orang yang tidak begitu
punya rupiah seperti sampeyan dan saya, naik turunnya maqam rupiah
sebenarnya akan berakibat mirip-mirip saja. Rupiah naik kita yang
menderita. Rupiah turun ya menderita.
Pokoke bekupon omahe doro, melok Kliwon tambah sengsoro.

Arsip dan Dokumentasi Progress.


Tulisan ini dipubilkasikan di Harian Jawa Pos, 24 Agustus 1997, dengan
tajuk: Analisis Moneter Ashabul Kahfi Emha Ainun Nadjib.

Gagah Perkasa Pakde Busan Mengendarai Kuda Cahaya

Pakde Busan Allahu yarhamhu adalah satu di antara beberapa sahabat


yang paling saya perlukan ada bersama saya yang dipanggil oleh Allah
dalam dua tahun terakhir.
Hidup saya sangat mudah kalau melihat jalan sejati kembali ke Allah di
wilayah yang disebut akhirat. Tapi kalau dilihat dari tata
ruang jasadiyah dan pola nilai keduniaan, hidup saya hampir mustail: saya
tidak boleh melakukan, menjadi dan memperoleh apa yang semua orang
rata-rata melakukannya.
Saya tidak diperbolehkan secara sosial dan kultural menempatkan diri
saya di tempat-tempat yang semua orang berhak menempati dan
mendapatkannya: jabatan, pangkat, kekuasaan, kekayaan, serta segala
yang disebut kejayaan dalam kehidupan di dunia.
Yang diperbolehkan untuk saya lakukan adalah menampung,
menemani, ndandani dan membangkitkan siapa saja dan apa saja
sesudah dirusak dan dihancurkan oleh dunia dan kekuasaan manusia.
Pada posisi seperti hanya beberapa sahabat yang punya keluasan hati,
ketajaman berpikir serta kesantuan kultural untuk menjadi sahabat saya:
dan Pakde Busan adalah salah satunya. Dan beliau, bersama beberapa

lainnya, misalnya Pakde Haye, Pakde Nuri Yogya, dll, malah disuruh Allah
untuk cepat-cepat meninggalkan dunia yang penuh laknat dan kebusukan
ini.
Saya menjadi minder di depan para Almarhum itu, saya merasa malu di
depan Rasulullah Muhammad saw serta merasa hancur di hadapan Allah
swt sebab sepertinya yang cepat dipanggil adalah mereka yang tulus
dan lulus sedangkan saya yang lebih tua sepertinya masih berkutat
dengan kebusukan dan akal bulus sehingga masih diberi peluang untuk
memperbaiki diri di muka bumi.
Pakde Busan diluluskan oleh Allah untuk berpindah ke dimensi kehidupan
berikutnya yang lebih berkwalitas dan rohaniah. Sementara saya masih
terlalu kotor untuk diperkenankan berhijrah ke alam kesejatian.
Pakde Busan adalah sahabat saya kesekian yang paling tulus, paling
lembut hatinya, pemurah, pecinta manusia, sangat menghormati
kebaikan dan kebenaran, serta sangat tidak bisa melewatkan menit-menit
dalam kehidupan yang dijalaninya dengan membolehkan dirinya tidak
bersentuhan dengan Allah swt serta kekasih-Nya Muhammad saw. Di
dalam mobil yang dikendarainya hampir selalu terdengar bunyi musik
yang bermuatan bisikan, lantunan, keluhan, ungkapan kekaguman, pujapuji serta kerinduan kepada Allah dan Rasulullah.
Allahu Akbar, beliau mendadak datang, kemudian mendadak pergi.
Beberapa tahun silam Pakde Busan tiba-tiba saja masuk ke dalam
kehidupan saya. Ketika kemudian saya selesai membenah-benahi dan
membersihkan ruang di dalam hidup saya untuk beliau tempati dalam
jangka waktu yang saya bayangkan akan cukup panjang, ternyata setelah
sejenak-duajenak belaka beliau bersemayam di dalamnya: tiba-tiba pergi
tanpa pamit.
Pakde Busan menempati ruang cinta bersebelahan dengan ruang cintanya
Pakde Haye (Heru Yuwono) serta beberapa sahabat sejati lainnya di lubuk
kalbu hidup saya.
Allah swt yarham Pakde Busan dan para pahlawan kelembutan hati
lainnya yang menyandera cinta kemanusiaan saya. Allah swt mendekap
beliau berdua dengan tiupan cinta yang sama dengan yang Allah
dekapkan kepada kekasih-Nya Muhammad saw serta siapapun yang
mencinta-Nya dan mencintainya.
Saya tidak pernah sempat benar-benar mengenalnya, karena setiap
pertemuan dengan beliau saya dipenuhi oleh rasa gugup ditimpa oleh
ketulusan hatinya, kemurahan langkah-langkahnya, kasih sayang
kemanusiaannya yang menabur ke manapun kakinya melangkah.

Juga kesantunan dan kelembutan perilakunya, yang memperlakukan


seolah-olah saya sedemikian penting bagi beliau dan banyak orang.
Kemudian ketika saya sedikit mulai mengenalinya, ia meninggalkan saya.
Di group BBM Maiyah kami, saya menulis: Hai Pakde Busan ke mana
gerangan ia pergi, mengendarai kuda putih, terbang menuju cahaya, di
ufuk jauh cakrawala.
Kalimat utama status (maqam) kwalitas hidup Pakde Busan di BB
komunikasi sosialnya adalah Khosyi ind-Allah: senantiasa membangun
jiwanya untuk berposisi khusyu kepada Allah. Khusyu itu fokus, madhep
mantep, tanpa reserve, komitmen total. Khusyu itu keindahan. Keindahan
bukan hanya menemani kebenaran dan kebaikan, tetapi bahkan
memuncaki keduanya.
Bahkan tatkala ratusan kali Pakde Busa mengeluh kepada saya tentang
Negara, politik, Pemerintah, para pejabat, akhlaqus-sayyiah, korupsi,
manipulasi, kemunafikan dan segala macam kebusukan yang lain
beliau melakukannya juga dalam kekhusyukan. Kemudian kami saling
menghibur: Rasanya mustahil Allah akan tidak menolong rakyat
Indonesia yang ndemenakke, meskipun Bapak-Bapak Bangsanya dulu
belum mampu bikin Negara tapi sudah terlanjur mendirikannya, kemudian
para penguasa sesudahnya dari era ke era tidak sungguh-sungguh punya
niat untuk mengabdi kepada rakyatnya namun sudah terlanjur mantap
menawar-nawarkan dirinya menjadi pemimpin. Dan rakyat yang tulus dan
kurang berpengetahuan, begitu tabah ditipu dan diperdaya dari period
eke periode.
Masyaallah la quwwata illa billah. Kehidupan menyebarkan kegelapan,
kematian memancarkan cahaya. Kehidupan menyiksa dan mengepung
kita dalam keburukan dan kebusukan, sedangkan kematian mengantarkan
kepada kita kebaikan dan keindahan.
Kehidupan seringkali sangat mencemaskan akan tiba-tiba menusuk kita
dari belakang dengan kesedihan, derita dan malapetaka. Tetapi tidak
demikian Pakde Busan. Selama kami bersentuhan, bergaul, bersilaturahmi
dan bekerja sama: Pakde Busan hanya mengantarkan kepada saya
kegembiraan, kesegaran, optimisme, rasa aman dan ketenteraman.
Ketika kemudian beliau meninggalkan kita, semua kesegaran itu beliau
semayamkan di dalam hati saya, ditemani oleh rasa rindu yang mendalam
dan akan abadi, sampai kelak Allah mengizinkan kami bersaudara dan
bersahabat langsung di dalam jatah kehidupan berikutnya.
Pakde Busan jangan ucapkan Selamat tinggal kepada kami semua, dan
kami semua tak juga akan mengucapkan Selamat jalan, karena kita
tidak benar-benar berpisah dan Panjengan tetap ada bersama kami
semua.

Yogya, 20 Agustus 2013

Gus Dur di Rumah Sakit

Saya doakan semoga Allah berkenan meningkatkan rasa sayangnya


kepada bangsa Indonesia, sehingga selama masa kampanye dan pemilu
ini korban nyawa, harta, tenaga, pikiran, biaya dan ati kepangan tidak
usah membengkak ke tingkat yang terlalu sia-sia.
Umat manusia di negeri zamrut wa yakutkatulistiwa ini sedang kungkum
dan bergelut dalam kotak-kotak kecil sempit berisi cairan tiga warna. Saya
memilih bagian yang mendoakan tetap hidupnya ukhuwah kemanusiaan,
tetap terawatnya nasionalisme, akal sehat kebangsaan, serta nurani dasar
sebagai makhluk ciptaan Allah.
Nanti kira-kira tiga hari sebelum masa kampanye habis, kalau Allah
memperkenankan semoga mampu saya utarakan pendapat transparan
saya sebagai warga negara Indonesia tercinta mengenai bagaimana
sebaiknya orang kecil atau rakyat umum ngringkes wawasan dan
membersahajakan gagasan agar menemukan pilihan yang terbaik di
antara semua yang belum tentu baik.
Tapi hari-hari ini saya berdoa saja, meskipun tidak bisa dijamin bahwa doa
saya lebih maqbul dibanding teman-teman lain yang hidupnya lebih
sengsara dibanding saya, misalnya, kawan-kawan tukang angkut barang,
kuli, pemulung, serta yang lain-lain.

***

Saya merasa sedang disuruh mengantarkan barang yang banyak orang


semakin tidak membutuhkannya, padahal gratis.
Barang itu adalah kepercayaan terhadap doa, manajemen barokah,
produk la-azidannakum yang tak tersangka-sangka dari setiap kejujuran
hati kita, keadilan pikiran kita, serta kemurnian sikap dan perilaku kita.
Juga sebaliknya: produk inna adzabi lasyadid yang juga tak terduga-duga

dari kecurangan pikiran, kotornya kalbu, atau adigang adigung adigunanya sikap kita kepada sesama manusia.
Di atas semua itu, benar-benar semoga Allah jangan sampai memaparkan
di langit ayat wallahu khoirul makirin, gara-gara kita makar terhadap
kebenaran, kefitrian, ketulusan, dan kejujuran hidup.
Demikianlah pengajian ndeso seorang mudin tiban dan darurat.
Seminggu lebih saya menunda kepulangan dari Jakarta ke Yogya garagara mendapatkan tugas-tugas mendadak menjadi mudin. Awalnya,
Galang rambu Anarki, putra sulung Iwan Fals, dipanggil Allah. Besoknya,
pada dini hari, menurut keluarga Iwan, datang tiga lelaki dari Jombang tak
dikenal, tapi wajah-wajah mereka mirip saya semua. Datang entah pakai
kendaran apa di rumah yang begitu keslempit dan susah dicari. Datang
jauh-jauh dari Jawa Timur untuk mendoakan Galang dan menenangkan
hati keluarganya.
Muncul sangkaan yang aneh-aneh, sehingga besoknya saya datang untuk
tahlilan. Tapi, kedatangan saya yang juga tak mereka sangka-sangka itu
malah menyempurnakan sangkaan mereka, padahal tiga lelaki itu sekadar
mirip saya.
Sudahlah, yang penting saya ikut bertahlil. Pada tujuh harinya saya
datang tahlilan lagi. Dan ternyata, tiap malam tugas saya di sekitar itu:
tahlilan, yasinan, taziyah. Kemudian diajak merintis terbangan.
Kemudian ngaji al-Hasyr untuk nyonya sutradara sinetron yang
kandungannya sudah lewat hampir tiga minggu, tapi bayinya belum turun
juga. Esok malamnya dimasukkan ke acara nyleneh: shalawatan barengbareng pakai keyboard. Esok malamnya lagi saya rampok Gus Mustafa
Bisri agar mengimami sebuah jamaah badan usaha, agar perusahaannya
bermanajemen horizontal-vertikal alias kalkukasi dunia akhirat.
Lantas, kalau siang berjam-jam di rumah sakit. Ada kawan lama yang
enak-enak melangkah ke luar pintu rumahnya mendadak ada colt
nyelonong. Ia terlempar, ambruk, kepala retak, darah mengucur
alhamdulillah cuma gegar otak ringan dan selama dalam keadaan
koma terus memanggil-manggil saya. Ya Allah, segala puji bagimu, ada
juga orang yang mengasihi saya, meskipun hal itu baru mereka sadari
kalau sudah tak berdaya.
Kawan yang sakit ini berhari-hari belum sadar. Tapi, syukur bawah
sadarnya bisa saya ajak bercanda. Kemurnian isi hati dan pikirannya saya
tampung dengan kelakar-kelakar yang menggembirakan. Ia mengigau
Pancasila Yes! Pancasalah No!
Saya tanya, apa itu pancasalah?

Ia menjawab Keuangan yang mahaesa, kemanusiaan yang serakah dan


tidak beradab, perseteruan Indonesia.

***

Ketika saya asyik bercanda dengan sang pasien, tiba-tiba seorang sahabat
masuk dan lapor: Cak, Gus Dur ingin ketemu!
Lho Gus Dur?
Ya! Beliau ngamar di sebelah sana! Dia harus disuplai darah terus, dan
sekarang sedang kesulitan cari darah.
Saya langsung cium pasien sahabat kita itu dan loncat berlari. Sampai di
kamar yang dimaksud, ternyata memang bertuliskan Abdurrahman
Wahid. Saya masuk. Puluhan orang ngumpul dalam suasana penuh
keprihatinan.
Ketika saya lihat ke ranjang, saya menghela napas panjang. Tapi saya
tidak mau banyak cincong. Langsung saya cium kedua pipi dan kening
beliau, kemudian mengangkat tangan, ber-washilah doa. Saya bukan
siapa-siapa, saya hanyalah salah satu debu hasil ciptaan-Nya, yang
sekecil apa pun diberi hak oleh-Nya untuk Ia dengarkan dan siapa tahu Ia
kabulkan.
Saya berdoa panjang. Tangis meledak. Kemudian sampai lama saya tidak
tega meninggalkan ruangan itu, meskipun Abdurrahman Wahid yang
terbaring di situ bukan yang ketua PBNU, melainkan seorang kiai kecil asal
Gresik yang sudah 18 tahun di Jakarta.
Teman saya si pelapor itu benar-benar prima aktingnya.

Arsip dan dokumentasi Progress. Tulisan pernah dimuat di Harian Jawa


Pos, 8 Mei 1997.

Haji: Peristiwa Agama dan Peristiwa Budaya

Haji Beneran dan Rasa Haji


Ini adalah tulisan tentang haji dari seorang yang belum pernah naik haji,
bahkan belum pernah sekedar mendapat oleh-oleh air zamzam. Oleh
karenanya, penulis memohon maaf atas kelemahan mendasar dari tulisan
ini.
Taraf saya masih semacam Haji Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng ada
di Sulawesi. Pada musim haji, sejumlah orang Islam mendatanginya dan
melakukan sejumlah ritus seolah-olah mereka sedang benar-benar
menjalankan ibadah haji.
Tentu saja secara syari, yuridis formal, mereka tak bisa dianggap telah
berhaji. Tapi sekurang-kurangnya mereka memperoleh kemungkinan
ekonomi untuk sungguh-sungguh berangkat ke Tanah Suci yang asli.
Alhamdulillah, Islam punya kecenderungan besar untuk memudahkan
pemeluk-pemeluknya. Kalau tak sanggup berdiri dalam menjalankan
shalat, boleh duduk. Kalau tak bisa duduk, silahkan berbaring. Begitu juga
haji.
Sementara ini pangkat saya barulah penggembira, ikut bahagia ada
fenomena peribadatan bernama haji. Ikut senang banyak orang
berbahagia naik haji. Ikut bergembira dan menginternalisasikan secara
platonis ide-ide, gagasan, metode, tarikan, modus, serta
pengembaraan rohaniah yang sedemikian total mewahidkan tiga dimensi
esensial kehidupan manusia: kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Haji adalah atau kita sebut: semestinya puncak totalitas penyatuan
antara tiga dimensi itu, yang diperjuangkan oleh kehidupan manusia. Haji
lebih dari sekedar efek dari kesanggupan ekonomi seseorang untuk
berangkat ke Arab Saudi: juga lebih dari sekedar romantisme
pengembaraan kultural. Bukan aksesori keperluan politik, status dan
kebanggaan sosial.
Adapun saya, tergolong di antara ratusan juta ummat Islam yang belum
atau tidak pernah naik haji, sehingga hanya bisa menabuh beduk dari
kejauhan: Betapa benar mauatan inisiatif-Mu ya Allah. Betapa baik
kandungan anjuran-Mu, ya Allah. Labbaika allahumma labbaik!
Nyayian cinta, lagu-lagu rindu, yang dilantunkan oleh jutaan hamba-Mu di
tanah suci pada hari-hari haji, ditampung oleh ribuan malaikat dan
diangkut ke langit, diserahkan kepada-Mu dengan deraian air mata syukur.
Adapun Engkau abaikan kami-kami yang belum atau tidak sanggup
berangkat ke rumah-Mu?
Padahal rasa rindu kami terlebih-lebih dari berlipat-lipat karena jarak
ketidakmampuan kami. Padahal kalau saudara-saudara kami di tanah

suci-Mu meneriakkan nama-Mu, kami memekikkannya. Di dalam kejauhan


jarak ini tangis kami adalah hujan sunyi yang hanya Engkau belaka yang
sanggup mendengarkannya. Jadi bolehlah kiranya dari rumah melarat di
kampung kami sendiri, kami mendendangkan lagu Labbaika allahumma
labbaik! Labbaika allhumma labbaik! Labbaika la syarika laka labbaik!

Haji Dan Tarian Sunnatullah


Haji adalah sebuah kemewahan ekonomi, bagi kita yang bertempat
tinggal jauh dari Tanah Suci. Tatkala para penempuh haji berpakaian
ihram, mereka melompat naik ke taraf transendensi budaya:
menanggalkan status sosial, kedudukan, tingkat-tingkat jabatan dan
profesi. Metode itu membawa manusia kembali ke kefitrian, ke otentisitas
dan kesejatian dirinya.
Pada pengalaman berhaji, mungkin seseorang menjadi mengerti bahwa
jati diri bukanlah to be pada tataran-tataran sosial-budaya, sebab itu
semua hanyalah cara atau jalan menjadi seseorang, sesuatu atau aku
yang lebih sejati, lebih kualitatif, atau lebih berorientasi ke universalitas
nilai Aku primer manusia bukan aku pedagang, aku partai, aku status
sosial: sebab puncak dari semua jenis aku tersebut pada akhirnya
adalah aku manusia.
Di dalam Islam, aku manusia meningkatkan dirinya menjadi aku
Abdullah atau aku hamba Allah kemudian aku khalifatullah atau aku
hamba Allah kemudian aku khalifatullah atau aku wakil Allah,
kemudian meningkat atau lebih menginti lagi.
Ketika mereka berputar mengelilingi Kabah, yang mereka lakukan seolaholah adalah tarian sunnatullah: gerakan pada inti atom atau sel, atau
koreografi bintang-bintang, planet dan satelit; yang pada perspektif
kesadaran local manusia hal itu menciptakan ikhtilafillaili wannahar,
pergantian siang dan malam.

Haji dan Esensialisasi Diri


Dan tatkala para hamba Allah itu bersujud, yang mereka sembah
bukanlah Kabah, melainkan merupakan simbolisasi ahad dan wahid. Ahad
itu satu-Nya Allah, dan wahid itu penyatuan semua kuantitas indidividu
manusia dan keummatan manusia, serta semua sistem kualitas nilai
dirinya, pada satu mata air, yang menjadi sumber dan sekaligus muara
segala sistem eksistensi.
Proses penegakan ahad dan penempuhan wahid itu disebut tauhid.
Proses penyatuan. Menyatukan diri dengan Allah. Proses penyatuan diri

dengan Allah itu ditempuh melalui metode transdimensi: status sosial,


kedudukan budaya, bahkan pada akhirnya unsur biologis manusia harus
ditanggalkan, karena ia bersifat sangat relatif dan temporer.
Barangsiapa mendambakan kesatuan dengan-Ku, hendaklah ia berbuat
baik., dalam pergaulan sehari-hari, melalui lembaga, partai, birokrasi
dan apapun, meski dalam bentuk yang seolah-olah non-agama. Artinya,
pertemuan dengan Allah tidak dalam keadaan biologis dan budayawi,
melainkan ketika kita telah menjadi cahaya rohani, yakni telah menjadi
inti perbuatan baik itu sendiri.
Ibadah shalat, puasa dan haji, juga landasan syahadat kesadaran dan
ikrar eksistensi manusia adalah juga metode pengatmosfiran diri
menuju kesadaran ahad dan keberadaan wahid. Namun peristiwa haji
adalah kemewahan, adalah puncak dari segala kemungkinan semacam
itu.
Dengan itu semua saya membayangkan bahwa menjalankan ibadah haji
adalah kesempatan mencicipi peristiwa pencintaan langsung dengan
Allah, melalui sejumlah tahapan sublimasi, kristalisasi dan universalisasi
dan esensialisasi diri.
Bermilyar-milyar kekasih Allah adalah penari-penari dan Allah adalah
pusat tarian agung di mana Ia berkata Kalian kekasihku, semua kalian
kekasihku, mendekatlah, mendekatlah kemari, berkerumunlah di
seputarku. Akan kutaburi wajah kalian dengan cahaya sehingga seluruh
keberadaan kalian akan bergelimang cahayaku. Dan nanti akan
kubukakan wajahku, agar kalian melihat betapa indahnya Aku.
Dengan demikian mestinya haji adalah produk dari proses kualifikasi diri
seeorang muslim yang ditempuh melalui rutinitas intens peribadatanperibadatan yang lain, seperti shalat, zakat, puasa, dan tentu saja
pada mulanya ikrar syahadatain.
Syahadat memfokuskan diafragma idealisme hidup. Shalat mencahayai
kejernihan. Obyektivitas akal, keseimbangan mental, ketulusan hati dan
ketenteraman jiwa. Zakat melatih kesadaran bahwa susu kambing harus
diperah untuk anak-anaknya atau makhluk lain, karena dalam harta yang
kita miliki terdapat milik orang lain. Puasa membuat manusia jadi
pendekar kehidupan. Dan haji adalah madu dari semuanya.
Madu bukan makanan bukan minuman: di antara keduanya. Haji pun
adalah titik sublim dari seluruh proses peribadatan dan tradisi baik
manusia. Maka apakah haji seseorang mabrur atau tidak, jawaban
pastinya ada di tangan Allah, karena dia yang punya otoritas tunggal
untuk menerima atau menolak.
Tapi gejala kemabruran haji seseorang, bayangannya, pantulannya,
barangkali bisa dijumpai pada output sosial seorang haji. Pertanyaan itu

sederhana: apakah sesudah haji, ia adalah madu bagi tetanggatetangganya, bagi orang lain, bagi masyarakat, bangsa dan negara?
Menjadi madu itu punya kemanfaatan sosial, produktif dan kreatif bagi
kemaslahatan umum. Dalam hal ini saya tidak bersedia ngrasani tentang
kualitas madu haji-haji kita. Kaum haji adalah tingkat manusia yang
semestinya paling pandai bercermin diri.

Haji dan Kesusahan


Tetapi dengan perspektif itu kita masing-masing bisa kembali
mengevaluasi. Misalnya seberapa jauh atau seberapa dalam pengalaman
haji seorang merupakan peristiwa agama. Dan seberapa jauh ia hanya
merupakan peristiwa sosial.
Kalau seorang gugup menaruh gelar haji di depan namanya, ia sematamata kasus sosial, bukan kasus agama. Apalagi kalau berhaji
diinstrumentalisasikan untuk kepentingan politik pribadi, untuk aksesoris
kultural, atau untuk menambah peci reputasi.
Kita yang naik haji dengan fasilitas mewah, tentu identitas dan ragam
pengalaman batin kita akan kalah dengan dibanding nenek moyang kita
yang berhaji berbulan-bulan dengan kapal. Penderitaan dalam
perjalanan haji secara psikologis bias merupakan asset dari kualitas
penghayatan ibadah haji, meskipun agama tidak menganjurkan agar Anda
hidup untuk mencari penderitaan.
Tetapi saya tidak tahu apakah kalau penderitaan para jamaah haji itu
disengaja oleh berbagai keputusan birokrasi resmi perjalanan haji dari
standar harganya yang makin tidak meringankan hingga jenis-jenis
korupsi kecil-kecilan yang besar yang lain akan membuat para birokrat
kita memperoleh pahala. Hanya karena tindakan mereka bisa
memungkinkan intensifikasi penghayatan kehajian para jamaah.
Tetapi saya memang pernah mendengar isi pidato birokrat haji: Kalau
saudara-saudara mengalami kesusahan-kesusahan selama proses akan
naik haji, ambillah hikmahnya, karena di Tanah Suci nanti akan ada
kesulitan yang lebih besar dan serius.

Haji dan Kiai


Kadar peristiwa haji sebagai pengalaman agama dan pengalaman sosial
biasa, mungkin bisa kita cari indikatornya juga dari makna sosiologi haji
dengan kiai.

Ada ratusan ribu haji dan kita bisa melupakannya, sementara ada tidak
banyak kiai namun kita tak bisa melupakannya. Secara kultural kiai lebih
berwibawa dan lebih menjanjikan kualitas hidup dibanding haji. Padahal
haji adalah produk agama, sementara kiai adalah produk masyarakat.
Kalau seseorang disebut haji, itu hanya menginformasikan bahwa ia
pernah melakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Tapi kalau seseorang disebut
kiai, ada berbagai dimensi yang dikandungnya: kesalehan, kepandaian,
kealiman, kepribadian, dan mungkin juga kepemimpinan atau kapasitaskapasitas fungsi dan reputasi sosial tertentu, yang mungkin sama sekali
tak terasosiasikan ketika seseorang disebut haji.
Kenapa secara sosiologis haji kalah wibawa dibanding kiai? Kenapa
syarat dan konvensi keulamaan seseorang lebih diwakili idiom kiai
dibanding haji? Kalau disebut H. Bur, tak begitu terdengar di telinga. Tapi
kalau ditambah menjadi KH. Bur, baru orang mendongak. Kenapa?
Mungkin karena pada umumnya pengalaman haji berposisi diskontinyu
dan mungkin irrelevan dengan tahapan-tahapan peningkatan kualitas
kepribadian seseorang melalui proses Islamisasi diri dalam kehidupan
nyata. Mungkin.

Arsip dan dokumentasi Progress. Pernah dimuat di Majalah MATRA No 71,


Juni 1992, halaman 68-69.

Gerakan Indonesia Main-main


Istilah Masyarakat Madani sejak beberapa lama ini diucapkan oleh
semua orang, dari Presiden sampai Ketua RT, dari veteran sampai ABG,
dari sarjana sampai tukang becak. Itu persis sebagaimana kaum terpelajar
dulu membohongi rakyat dengan istilah Tinggal Landas, Era
Globalisasi dan lain-lain, yang ditahayulkan dan menguap di angkasa
waktu.
Masyarakat Madani bersumber dari Masyarakat Maddaniyah (baca:
dengan demikian bukan Masyarakat Masihiyah) yang dibangun oleh
Rasulullah Muhammad saw. sesudah beliau dengan pengikutnya berhijrah
dari Mekah untuk bertempat tinggal di Madinah. Ketika itu belum ada
state dengan konstitusinya, sehingga kedatangan masyarakat
penghijrah yang disebut Kaum Muhajirin tidak mengalami resiko
konstitusional ketika kemudian harus memasuki negara lain dan hidup
bersama tuan rumahnya yang disebut Kaum Anshor. Sekurang-kurang nya
ada tiga substansi clanperistiwa Hijrah itu.
Pertama, momentum hijrah itulah yang dipakai untuk menandai satuan
waktu, awal tahun dan abad Islam, Ilmunya di sini terletak pada
kenyataan bahwa bukan hari atau tahun kelahiran Muhammad saw. yang

dipakai sebagai patokan awal abad Islam, sebab fokus ajaran Islam tidak
pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah yang dititipkan melalui ia.
Islam tidak bersikap feodal dan veded-interest dengan memonumenkan
Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih
sayang Allah yang dibawanya untuk seluruh ummat manusia. Muhammad
bukan founding father of Islam. Agama tidak didirikan oleh Nabi, Rasul
atau manusia. Agama bukan bikinan atau ciptaan yang selain Allah.
Otoritas atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah,
dan para Nabi hanya menyampaikannya. Bagi tradisi sifat Allah, Nabi dan
Rasul boleh tidak ada. Allah berhak tidak menciptakan Muhammad, tidak
memilihnya sebagai kekasih, atau melakukan apapun. Jadi, sekali lagi,
yang penting adalah hijrahnya, bukan Muhammadnya meskipun
karena etika historis dan logika cinta: Muhammad kita sayangi sesayangsayangnya sebagaimana Allah menyayanginya melebihi sayangNya
kepada apapun dan siapapun saja.
Kedua, hijrah sebagai acuan pokok ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam.
Anda jualan bakso itu menghijrahkan bakso ke pembeli dan si pembeli
menghijrahkan uang kepada Anda. Anda buang air besar itu
menghijrahkan sampah biologis ke lubang WC. Anda nikah dan bikin anak
itu menghijrahkan sperma ke ovum istri. Anda juga menghijrahkan
Suharto ke rumahnya, menghijrahkan Habibie ke Binagraha dan
seterusnya. Anda menghijrahkan uang Anda ke brangkas bank. Anda
menghijrahkan diri Anda ke rumah Allah. Hidup adalah hijrah dariNya
menuju keharibaanNya. Hidup hanya berlangsung dalam konsep dan
mekanisme hijrah. Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau apapun saja
dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah.
Yang menjadi masalah dan pilihan manusia adalah pengakuan dari mana
ia berhijrah, ke mana ia sedang dan akan menghijrahkan dirinya, dengan
cara apa ia melakukan hijrah. Anda menghijrahkan uang dari kas kantor
ke kas keluarga: pertanyaannya terletak pada bagaimana konteks dan
nilai (akidah, akhlak, hukum) hijrahnya uang itu. Yang disebut Era
Reformasi, jatuhnya Suharto, kerusuhan Ambon, pekikan Aceh, kasus
Bank Bali, tempe-delenya perilaku politisi, sidang MPR dan apapun
diikat oleh bagaimana nilai seseorang menghijrahkan dirinya, aspirasinya,
political will-nya. Di situ terdapat langit nilai baik buruk, benar salah,
indah dan jorok; serta terdapat acuan formal: legal atau illegal, sah atau
tidak sah, halal atau makruh atau haram atau malah wajib, dan
seterusnya.
Menjadi jelas bahwa empasis nilai Islam tidak pada Muhammad,
melainkan pada nilai Hijrah. Muhammad wajib patuh kepada nilai hijrah,
terikat untuk menjadi uswatun hasanah atau teladan, dan tidak boleh
melanggar kasih sayang Allah yang sudah la rumuskan dalam AI-Quran,
serta yang juga dicipratkan melalui subbah-nya atas Muhammad sendiri.
Ketiga, metodologi dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh
Rasulullah saw. begitu tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum
Muhajirin dengan Kaum Anshor. Mempersaudarakan ini sangat luas
maknanya: mempersaudarakan dalam konteks transaksi kultural,
sosiologis, politis dan lain sebagainya. Negara Indonesia kecolongan
kerusuhan di Ambon, Timor Timur dan Aceh dan lain-lain. Karena konsep

persaudaraan mereka tidak digali, diterjemahkan dan dirumuskan ke


dalam konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan yang jelas.
Ketidakjelasan konsep itu membuahkan ketidakmenentuan komunikasi,
etika pergaulan antar kelompok, kecurangan politik, dan menjadi lebih
parah lagi karena kepemimpinan ilmu kenegaraan Indonesia tidak
bersedia mensyukuri ilmu dan ajaran Allah yang mendialektikakan
konteks-konteks horisontal dengan vertikal. Kalau tidak karena
perlindungan dan kasih sayang Allah kepada rakyat kecil, negara
Indonesia tidak akan sanggup menyelamatkan dirinya sendiri.
Akan tetapi sangat tidak mengagetkan kalau Indonesia tidak kunjung
berhenti cengengesan alias main-main. Artinya, tidak bersikap serius
terhadap dirinya sendiri, terhadap pilihan nilainya sendiri, bahkan juga
tidak serius terhadap pilihan ideologi dan partai politiknya sendiri. Gus
Dur menjadi Presiden bukanlah hasil wajar dari Pemilu yang gegap
gempita. Warga parpol-parpol bertengkar satu sama lain, bahkan sampai
bakar-bakaran dan bunuh-bunuhan, juga antar sesama warga parpol
Islam. Tetapi ketika memilih presiden, pada jam-jam terakhir: tak ada lagi
PPP, PKB, atau apapun. Semua tidak berpikir konstitusional, melainkan
pragmatis: Sudahlah, supaya tidak bentrok, kita orang Islam bersatu saja
milih Gus Dur. Dari sudut husnudh-dhon, itu bagus: orang Islam mau
bersatu asal kepepet. Tapi kenapa nggak dulu-dulu? Kenapa ketika tiga
tahun yang lalu. saya anjurkan bikin Partai Islam Nasional mereka marahmarah? Kalau toh di ujung-ujungnya mereka berpikir secara partai Islam
juga, sesudah pengorbanan Pemilu yang begitu banyak? Juga, ingat:
untuk apa Pak Amin Rais mengutuk-ngutuk Golkar sebagai partai mampus
dan lain-lain. Kalau pada akhirnya ia menjadi Ketua MPR atas dukungan
suara Golkar? Sekarang ini MPR kita reformis atau status quo? DPR kita
reformis atau status quo? Kabinet kita reformis atau status quo?
Dan contoh paling aktual lainnya yang menjadi tema kita kali ini
adalah overlapping konsep Masyarakat Madani di satu pihak dengan
pemahaman Millenium-III di lain pihak.
Masyarakat Madani bukan hanya secara teknis waktu dimulai pada
momentum hijrahnya Rasulullah saw, tapi juga substansi nilai yang
dibawanya sangat berbeda dengan Masyarakat Masehi. Pandangan
hidupnya berbeda, jam kerjanya berbeda, konsep budayanya berbeda,
aspirasi politiknya berbeda, konsumsi seninya berbeda, hati dan akalnya
berbeda. Artinya bukan sekedar pengikut konsep Masyarakat Madani kini
baru berada di pertengahan Millenium-II, dan masih sekitar 10 generasi
lagi baru akan memasuki Millenium-III tapi juga secara ideologis
Masyarakat Madani memperjuangkan nilai yang sama sekali berbeda
dengan kenyataan Peradaban Masehi yang sekarang sedang berlangsung.
Tapi karena kita memang cengengesan, kita bisa menegakkan bendera
Masyarakat Madani sekaligus menyanyi-nyanyikan tahayul Millenium-III.
Dasar Teori Tentang Majnun
Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya
Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong

sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana
yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan
jelas-jelas waras.
Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan
bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang
berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko
Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai
Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu manajemen sejarah dan
strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.
Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas,
tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan.
Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan
karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara
tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan
bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan
mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di
langit.
Jangan sok kamu Din! saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. Bersyukur ya bersyukur,
tapi kalau saya, juga berprihatin.
Kenapa? tanya saya.
Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang
majnun!
Gila?
Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!
Majnun gimana?
Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi
saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak.
Gitu itu gimana yang kamu maksud?
Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat.
Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya
kepada-Mu aku memohon pertolongan., tiba-tiba tertawanya meledak
lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian.
Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah.Wong jelas tiap hari dia
menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati.
Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak
tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak
menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor
satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal
dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu
namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan
dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi.
Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi.
Saya melengos. Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia
punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna.
Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap.
Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada
akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan
bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!

Kesal betul saya.


Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima depan
kebelakang. Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung,
kalau kedelai ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak.
Gampang saja kan? Kalau seorang Imam terlanjur mengungkapkan
statemen kepada Tuhan hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya
kepada-Mu kami memohon pertolongan maka ia harus bertanggung
jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji kepada
Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan
jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah
kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya.
Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik
di telinganya: Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai
saja!
Lho!, Saridin terhenyak, Justru karena ini untuk (buku) humor, maka
saya pilihkan tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya
omongkan ini kan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang
yang menyatakan sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang-orang
yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin dipikirnya Tuhan itu butuh
dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!
Saya jadi agak takut-takut. Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan
omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!
Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan
mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya!
Orang beribadah kok melawak! saya membantah lagi.
Lho, gimana sih, ia menjawab, Orang tiap hari bersembahyang dan
mengajukan permintaan kepada Tuhan Ya Allah anugerahilah aku jalan
yang lurus! Dan Tuhan sudah selalu menganugerahkan apa yang orang
minta. Orang itu tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya
lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti keseldong.
Husysy!!! saya membentak.
Husysy bagaimana!
Emangnya kamu Tuhan?
Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!
Emangnya Tuhan bisa kesel?
Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal
maka menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk
mendustai Dia, untuk berbuat gila?
Wong gitu saja kok gila tho Din!
Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lha kok minta kopi lagi,
saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh sesak oleh gelasgelas kopi, tapi lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta
lagi. Gila namanya kan?
Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya.
Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis,
itu penyakit junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian
mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun
yang menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap
hari menata ketimpangan, itu majnun. Orang bilang semua perjuangan ini

untuk rakyat, padahal prakteknya tidak itu namanya virus junun, lebih
parah dari HIV.
Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!
Juara Itu Tak Ada
Sesungguhnya yang disebut juara, atau eksistensi sebuah kemenangan
itu hakekatnya tidak berlaku begitu sebuah pertandingan berakhir dan
tanda kejuaraan disematkan kepada sang juara.
Sebuah tim olah raga atau seorang atlet memenangkan pertarungan
melawan tim lainnya sehingga sesudah pertandingan ia dijunjung sebagai
juara. Kalau sesudah penobatan gelar juara diselenggarakan lagi
pertandingan antara kedua tim itu, maka tidak seorang pun bisa
memastikan bahwa sang juara akan pasti menang lagi.
Di Manila tahun 1974 Joe Fraizer tidak sanggup bangkit dari kursinya
untuk memasuki ronde ke-15 pertarungannya melawan Muhammad Ali,
sehingga petinju Philadelphia ini dinyatakan kalah TKO dari Ali.
Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa Muhammad Ali memiliki siasat
dan kecerdasan yang Frazier tak punya. Keduanya sudah bertarung habishabisan selama 14 ronde. Besoknya Frazier memuji Saya sudah
timpakan kepada Ali ratusan pukulan saya yang biasanya merobohkan
dinding, tetapi Ali tetap tegak. sehingga secara fisik maupun mental
Frazier tidak lagi sanggup berdiri pada ronde ke-15.
Tetapi Ali masih punya sisa ruang berpikir. Secara fisik ia juga
sudah lungkrah, bahkan mungkin lebih kecapekan dibanding Frazier. Tapi
Ali punya kenakalan intelektual sehingga ia berkata kepada Tuhan: Wahai
Tuhan, tolong pinjamkan kepadaku sedikit saja tenaga yang Engkau
jatahkan kepadaku untuk besok pagi, supaya aku bisa tampil di ronde
terakhir ini dan besok aku tidur sepanjang hari.
Maka ketika bel ronde ke-15 berdentang, Ali menggagah-gagahkan diri
untuk berdiri dan berlagak seakan-akan ia fit dan siap berkelahi lagi
sementara Frazier terduduk lunglai dan tidak sanggup berdiri. Ali menang,
tapi sesuai dengan janjinya pinjam tenaga kepada Allah maka sesudah
duel itu Ali terbaring di rumah sakit, sementara Frazier nyanyi-nyanyi dan
berjoget di diskotek.
Jadi, kemenangan Ali itu relatif. Kalau sepuluh menit sesudah kemenangan
Ali itu mereka diduelkan lagi, belum tentu Ali bisa menang. Kalau di piala
dunia empat tahun lalu sepuluh menit sesudah Perancis menjadi juara
lantas mereka dipertandingkan lagi, maka tak ada jaminan bahwa
Perancis akan menang.
Lebih tidak bisa dijamin lagi jika waktu kemudian berlalu ke bulan dan
tahun. Kemarin Anda menyaksikan meskipun Zidane dipaksakan main
padahal masih belum OK benar keadaannya terbukti kesebelasan
Perancis hanya mampu tampil di ronde awal dan itu pun secara sangat
memalukan.
Jadi, sesungguhnya juara itu tidak ada.
Coba Anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau kesebelasan produser
total football Belanda tidak bisa ikut piala dunia sementara Arab Saudi

saja bisa masuk meskipun dihajar Jerman dengan gol seperti pertandingan
sepakbola kampung. Terus kesebelasan Italia? Betapa tidak konsistennya
kekuatan dan kekuasan dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.
Maka ketika kaya, sadarilah miskinmu. Tatkala menang, sadarilah
kalahmu. Di waktu jaya, renungilah keterpurukanmu. Pada saat engkau
hebat, ingat-ingatlah kemungkinan konyolmu.
Balbalan Jawa Pos 12 Juni 2002
Al-muallim Syarwan
BISMILLAH, kutuliskan kandungan hatiku, bahwa aku berguru kepada
siapa saja. Dari para kuli sampai presiden. Dari rumput kering sampai jin,
malaikat dan Allah. Dan sekali ini, dengan segala kerendahan hati: kepada
Mayor Jenderal Syarwan Hamid, Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI, yang
karena itu aku panggil beliau Al-muallim.
Segala hal yang Al-muallim kemukakan mengenai cekal di GATRA
mungkin sebagian ditujukan kepadaku, mungkin juga tidak sama sekali.
Namun karena aku berguru maka kuterapkan kalimat-kalimat Al-muallim
itu kepadaku, atau mengandaikan bahwa yang beliau maksud adalah aku.
Sikap ini kuambil karena aku membutuhkan kandungan hikmahnya.
Kupelajari setiap butiran kata-kata beliau, meskipun yang kutuliskan di
sini tentu tak bisa semua.
Aku membayangkan bahwa Al-muallim sedang memuji dan sedikit
memarahiku sehingga aku berkewajiban untuk menjawab dan
mempertanggungjawabkan. Dari beliau ingin kucari ilmu bagaimana
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 pada taraf yang paling dangkal
dan verbal seperti yang aku lakukan selama ini agar bisa tak terlalu
mendapat halangan dari abdi negara yang ternyata juga ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Ini semua mungkin tak penting bagi
negara dan bangsa karena ada dan tidaknya aku tidaklah ada bedanya.
Tapi justru karena itu perkenankanlah aku belajar.
Al-muallim berkata: Kebebasan berbicara mesti diatur, jangan sampai
menjadi counter productive bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muridmu menjawab: Bagaimana kalau dikumpulkan para ahli yang secara komprehensif dan jujur bisa menilai setiap kasus, seminar, diskusi,
dan isi pembicaraan. Untuk memilah-milah mana yang produktif dan
yang counter-productive bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi
kepentingan kekuasaan, bagi proses pencerdasan bangsa, bagi
peningkatan kualitas SDM manusia Indonesia, bagi tradisi dialog dan
demokratisasi, dan seterusnya agar supaya pembicaraan AI-muallim
tak berhenti abstrak dan generalistik. Sebab selama ini, menurut
pendapat muridmu, pelarangan-pelarangan itu justru counter
productive bukan saja bagi Pancasila dan proses demokratisasi, bahkan
juga bagi kepentingan politik pemerintah sendiri serta bagi investasi
kelanggengan kekuasaan.
Al-muallim berkata: Kebebasan bisa dipakai untuk menghasut.
Kebebasan bisa disalahgunakan, di samping bisa dimanfaatkan untuk hal

yang positif. Kalau kebebasan tak diatur, yang muncul tentunya akan
bebas sebebas-bebasnya.
Muridmu menjawab: Apakah kuningisisasi ala Pak Harmoko itu
menghasut proses marjinalisasi Merah Putih? Apakah Muhammad SAW
menghasut kaum Jahiliyah untuk bertauhid? Mengemukakan kebenaran
disebut menghasut hanya oleh mereka yang tidak menghendaki
kebenaran. Ya, Muallimku, kalau ayam itu mati, bukan karena kubunuh,
melainkan karena kusembelih. Ada beda sangat prinsipil antara
penyembelih ayam dan pembunuh. Ya, Muallimku, kalau dokter
mengoperasi, itu bukan menyakiti pasien, melainkan berusaha
menyembuhkannya.
Menghasut itu kata yang tak bisa berdiri sendiri: ia membutuhkan
konteks. lklan-iklan di televisi itu menghasut atau tidak, ya Muallimku?
Tidakkah setiap pidato, setiap khotbah, bahkan setiap kata, termasuk
yang diucapkan oleh Al-muallim, bisa juga disebut menghasut? Juga kata
disalahgunakan, positif dan seterusnya tak bisa berdiri sendiri. Apa
beda antara menghasut, berdakwah, mengiklankan, mempromosikan,
menasihati, membimbing, dan memberi petunjuk? Bergantung dari sudut
pandang mana, dari kepentingan pihak mana. Dalam hal ini, Al-muallim
Insya Allah tak akan menjumpaiku di pihak mana pun kecuali di kosmos
nilai, bukan di kelompok, partai, atau apa pun, tidak di pemerintah, tidak
di rakyat. Alamatku adalah di ruang keyakinan nilaiku sendiri.
Kemudian soal bebas sebebas-bebasnya, ya, Muallimku, kesadaran utama hidupku bukanlah mengenai kebebasan, melainkan mengenai keterbatasan dan keterikatan. Jika aku punya kepandaian maka aku lebih pandai
untuk mengerti batas dibandingkan dengan pandai untuk bebas. Aku tak
mimpi untuk bebas, ya, Muallimku, sebab aku lahir juga bukan karena aku
bebas untuk lahir, melainkan karena aku diikat oleh Tuhan untuk harus
mau lahir.
Dalam menjawab pertanyaan, Mengapa pembicara yang nakal tak dihadapkan dengan pembicara orang pemerintah yang ahli, agar ada dialog,
Al-muallim berkata: Kalau bicaranya terakhir mana bisa? Banyak terjadi
mereka sengaja bicara yang terakhir. Kalau sudah demikian, bagaimana
meng-counter-nya.
Muridmu menjawab: Ya, Muallimku, kalau melarang acara saja bisa, apa
susahnya bagi aparat untuk mengatur agenda acara panitia? Ya,
Muallimku, pembicara manakah yang punya kekuasaan untuk mengatur
panitia agar ia diletakkan sebagai pembicara terakhir? Setahu muridmu
ini, seseorang diletakkan sebagai pembicara terakhir karena khawatir
kalau ia bicara awal lantas hadirin pada pulang karena yang sesudahnya
dianggap tak menarik. Ada pembicara saron, gndr, gambang, ada juga
pembicara gong. Percayalah, akan dua hal, ya, Muallimku. Pertama, tak
ada saron atau gong yang berinisiatif datang sendiri untuk berbunyi.
Kedua, sungguh tak enak jadi gamelan: dipukuli terus, nanti kalau sudah
tak kungbunyinya pasti segera dicampakkan.
Al-muallim berkata: Ada forum akademis diisi oleh pembicaraan yang
tidak ilmiah.
Muridmu menjawab: Aku inferior dalam soal ini, ya Muallimku. Aku
berhenti belajar seusai sekolah menengah atas. Kemudian diperintahkan

oleh orang banyak untuk melakukan tugas-tugas yang semestinya


dilakukan oleh kaum intelektual, seniman, ulama, atau tokoh pergerakan.
Tak pernah aku percaya diri bahwa aku bisa bicara ilmiah: Jadi, tolonglah
muridmu ini dari mereka yang menyeret-nyeret ke kampus. Mereka
menyuruhku bicara; tapi sebenarnya institusi keilmuan mereka tak pernah
mempercayai kapasitas keilmuwananku. Sebab ketika saya iseng-iseng
melamar jadi dosen saja sekalian daripada ceramah-ceramah
melulu,haqqul yaqin tak ada kampus yang bersedia menerirnaku. Jadi,
yang sesungguhnya mengundangku itu bukanlah pihak yang berkapasitas
sebagai ilmuwan, melainkan pribadi-pribadi yang kebetulan berkomunitas
di kampus. Institusi ilmu di universitas tidaklah percaya kepadaku.
Jadi, ya, Muallimku, daripada aku terkutuk pada posisi bicara tak ilmiah
dan ini membahayakan dunia perguruan tinggi ataupun aturan
pemerintah, tolong hasut baliklah panitia-panitia itu dan berikanlah
rekomendasi ilmiah agar mereka tak lagi mengundangku. Sebab di
samping aku malu dan tak bangga pada posisi sebagai pembicara, juga
aku sungguh memerlukan proses dan peluang untuk bertahan sebagai
orang awam biasa. Ya Allah, bebaskan aku dari tirani kata-kata itu:
ilmuwan, seniman, budayawan, karier, public figure, man makes news
mandikan aku sehingga yang tersisa dan yang utama adalah manusiaku.
Ya Allah, aku rela saudara-saudaraku sendiri tak percaya kepada doaku
karena doaku memang kupanjatkan tidak kepada mereka, melainkan
kepadaMu.
Al-muallim berkata: Saya juga mengingatkan kepada petugas di daerah
agar jangan apriori.
Muridmu menjawab: Bisakah Muallimku tak hanya mengingatkan,
melainkan memerintahkan dan mengecek pertanggungjawaban mereka
atas perintah itu?
AI-muallim berkata: Kritik pun kalau sehat saya kira akan diberi tempat.
Muridmu menjawab: Alangkah leganya muridmu sebagai orang kecil
seandainya Muallimku tak menggunakan kata saya kira, melainkan pasti atau dijamin. Lebih bersyukur lagi kalau terdapat kejelasan juga
tentang apa yang Muallimku maksud dengan sehat di situ.
Al-muallim menjawab pertanyaan, pencekalan melanggar asas praduga
tak bersalah. Belum terjadi apa-apa kok sudah dilarang, dengau
pernyataan: Kalau berpikir begitu, namanya kita bekerja menunggu
rumah kebakaran dulu baru bertindak.
Muridmu menjawab: Tentu yang Muallimku maksudkan bukan
kebakaran melainkan dibakar. Siapakah gerangan tukang bakar itu?
Alangkah dungunya muridmu jika untuk membakar ia menunggu
kerepotan panitia yang hanya meugumpulkan beberapa ratus orang.
Bukan itu aset untuk pembakaran, ya Muallimku, seandainya muridmu
memang mau itu. Seberapa tingkat bakar yang dimaksud? Taraf makar,
mengajak memberontak, mengajak orang banyak memikirkan pcrsoalan
bersama, mendinamisasikan proses berpikir, atau tingkat yang mana?
Ilmu dan etika apa yang kita pakai untuk mengukur sesuatu itu bersifat
bakar atau tidak? Di antara siapa sajakah soal bakar ini boleh didiskusikan? Petugas dari Polsek? Bakorinda? Ditsospol? Bupati? Camat?

Bersediakah mereka berdiskusi tentang setiap unsur materi untuk menilai


ia berpotensi bakar atau tidak?
Ya, Muallimku, kata bakar itu abstrak, sedangkan yang muridmu
butuhkan adalah patokan denotatif. Syukur jika Muallimku mengajarkan
ilmu nuansa bahwa kalau seorang ibu mengecilkan kompor itu supaya
nasinya tak gosong, sedangkan kalau ia membesarkan nyala api itu agar
nasinya tak nglethis. Ya, Muallimku, bukankah mengasyikkan untuk
berkumpul dan bercengkerama di antara kita semua: pemerintah, ABRI,
mahasiswa, seniman, ulama, rakyat, dan lain sebagainya untuk
menganyam akal sehat dan mendemonstrasikan kearifan kolektif dalam
rangka menghindarkan kemungkinan bangsa besar kita ini menjadi
bangsa yang gosong maupun bangsa yang nglethis?
Al-muallim menyatakan: Ada yang sengaja nakal. Terus kalau dicekal
malah senang. Lantas kirim release ke mana-mana; menyatakan bahwa
pemerintah represif?
Muridmu menjawab, Ya, Muallimku, selama bertahun-tahun belakangan
ini cita-citaku adalah tidur dan makan normal, syukur boleh berumah
tangga dan tak harus 80% waktu diwajibkan keliling ke sana kemari
sehingga yayasan-yayasan sosialku hanya kukerjakan sebagai sambilan.
Aku sudah berusaha lari dari panitia-panitia, tapi terpojok terus, karena
memang ada realitas kelaparan, kehausan, keterasingan, dan kesepian
dalam berbagai arti dan nuansa dalam kehidupan bangsa kita. Dan
yang mereka perintahkan kepadaku adalah upaya pencerdasan rakyat,
penumbuhan kekuatan masyarakat, sebagaimana pemerintah sendiri
menganjurkan.
Akhirnya, aku datang, lantas dicekal, lantas dimuat koran, lantas dibilang
malah senang dilarang dan sengaja mencari popularitas, lantas dianalisis
dan diasumsikan sebagai combe pemerintah yang disuruh pura-pura
berjuang demi rakyat. Ya, Muallimku, traktirlah aku di sebuah restoran
agak mewah supaya tuduhan itu benar dan penuduhnya terbebas dari
dosa. Atau bukalah rahasia bahwa aku adalah agen kekuasaan, yang
untuk menangkap penjudi aku disuruh menyamar menjadi penjudi
karena, siapa tahu karena pikun, aku sendiri belum tahu fungsiku itu.
Ya, Muallimku, kalau aku diam saja atas pelarangan itu, sahabat-sahabatku memprotes, Mengapa kau diam saja? Mengapa kau tak mendidik
rakyat dalam hal mempertahankan kebenaran? Lantas kalau aku
laporkan nasib hak asasi ini, sahabatku yang lain menuding, Seneng ya
dicekal? Promosi kan? Ya, Muallimku, ajarilah aku ilmu yang lebih tinggi
dan lebih arif untuk menghadapi itu semua.
Ya, Muallimku, perkenankan aku berkata, He bangsa Indonesia. Kalian
sudah pinter-pinter, sudah pada sarjana, sudah pada intelektual, sudah
pada jenderal, sudah pada doktor. Kalian sudah gedhe-gedhe, sudah tahu
mana baik mana benar mana salah. Qad tabayyana-rusydu minal-ghayyi.
Berjalanlah ke cakrawala. Aku mau tidur. Mongso bodhoa.
Ya, Muallimku, di dalam tidur itu aku menari, berdansa, berdendang:
Kalau aku makan, bukan karena aku ingin makan, melainkan karena harus
menjaga kesehatan. Kalau aku bicara dan menggerakkan tangan, bukan
karena aku menginginkan, melainkan karena orang tidur harus
dibangunkan. Adapun apa keinginanku? Indonesia santun politiknya, adil

ekonominya, tegak hukumnya, indah kebudayaannya sehingga berhak


tidur sambil beranak-pinak.
Adapun kalau ada saat-saat aku diam, ya, Muallimku, itu karena dalam
kegelapan, kebenaran tak punya alamat. Dan kalau kebenaran hanya
diperdebatkan oleh kepentingan melawan kepentingan, ia tak akan
sungguh-sungguh bersedia untuk ditemukan.
Dan akhirnya, ya, Muallimku, besar rasa terimakasihku kepada pelajaran
dan hikmah dari Muallimku, yang mengingatkanku bahwa dalam
kehidupan ini; di samping ada negara, kekuasaan, birokrasi, ada juga
manusia; ada hati kecil, firman Allah, dan lain sebagainya.
Pernah dimuat di Majalah Gatra, 1 Juli 1995
Ketika Kita Berselisih Faham
Kita semua, Saudaraku, seaqidah. Selalu bersatu dalam tauhidillah dan
tak sebuah macam makhluk pun yang mampu memisahkan kesatuan kita
itu kecuali kekeruhan rokhani kita sendiri: marodhun fii quluubina.
Tapi mungkin kita tak sefaham. Tak sepengertian pemikiran. Tak
sependapat. Tak seanutan. Saudaraku menganut ini dan aku menganut
itu, sementara saudara kita yang lain barangkali suatu unikum tertentu
dari kepribadiannya berdasarkan kodrat kelahiran dan mungkin latar
belakang kebudayaannya. Kita kemudian saling bisa bermusyawarah, dan
hasil musyawarah itu sebagian bisa kita putuskan menjadi suatu
kesepakatan tunggal, tetapi sebagian yang lain mungkin harus kita
biarkan berbeda-beda. Kita juga bisa saling menilai, saling mengkritik,
bahkan saling menghakimi: tetapi yang terpenting harus kita ingat ialah
tindak penghakiman itu selayaknyalah dilandasi oleh keinsyafan kita akan
keterbatasan dan relativitas kemampuan kemakhlukan kita. Selebihnya
keyakinan yang tak bisa ditawar-tawar bahwa Allah-lah yang Maha Kuasa
dan Maha Mampu untuk menyelenggarakan penilaian yang sehakikihakikinya.
Demikianlah, Saudaraku, bahwa mungkin saja kita tak sefaham, hal itu
tidaklah perlu dirisaukan benar. Pertama, kata Pak Guru: seribu kepala
punya seribu pendapat. Ketika Allah berfirman wa jaalnaakum syuuuban
wa qobaa-ila, litaaarofuu., kukira yang dimaksud, Insya Allah, bukan
sekedar perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku saja, melainkan
lengkap dengan analoginya, dan konotasinya. Yakni bahwa disamping
bangsa-bangsa dan suku-suku selalu memiliki unikum-unikum tersendiri
yang membedakan alam hidup mereka, cara berpikir mereka atau
kebiasaan psikologis tertentu mereka; juga tentulah ada pengertian yang
lebih meluas, ada syuuub dan qobaa-il pemikiran yang mencerminkan
tipologi internalisasi keagamaan yang berbeda-beda. Dan diantara yang
berbeda-beda itu dianjurkan untuk taaarofu, saling kenal-mengenal,
saling mengerti, saling memberi ruang, saling toleran, sepanjang tak
sampai menyangkut perbedaan prinsipil tentang aqidah. Sebagian dari
perbedaan itu bisa kita runding untuk membawa kita ke kondisi
sepengertian, tapi sebagian yang lain mungkin tidak. Kemudian kalau

toh tetap juga timbul keruwetan dari proporsi yang demikian, toh kita
masing-masing tetap bisa berserah diri kepadaNya, kaanal-ilahu bi-kulli
syai-in aliimaa. Ini sebab kedua kenapa perbedaan-perbedaan faham
diantara kita tak selalu harus kita risaukan. Berulangkali aku mengatakan
kepada saudaraku bahwa kita memang harus berusaha agar perbedaan
diantara kita bisa menjadi seperti yang dikehendaki Allah, yakni menjadi
rahmat, bukan malapetaka.
Bukan Musyawarah, tapi Konsensus
Namun betapa susahnya hal itu kita capai, Saudaraku, kita telah
mengalami bersama.
Kita ini bukan masyarakat musyawarah, tapi masyarakat konsensus.
Bukan masyarakat diskusi, tapi masyarakat kompromi. Tentu saja tidak
sepenuhnya demikian, tapi itulah frekuensi terbesar dari praktek
komunikasi sosial kita. Kalau kita bermusyawarah, kita telorkan
kebijaksanaan itu seringkali berarti tahu sama tahu yang tak jarang
disifati kemungkaran-kemungkaran tertentu. Kita suka damai, tapi itu
acapkali berarti kita mengkompromikan, atau menganggap klop apa yang
sesungguhnya bertentangan. Kita menyogok dengan sejumlah uang untuk
kelancaran suatu urusan, dan kita sebut itu perdamaian. Kita putuskan
sesuatu yang tak bijaksana untuk rakyat banyak dan kita sebut
ketidakbijaksanaan itu sebagai kebijaksanaan. Kita bisa menganggap
kekejaman-kekejaman tertentu sebagai tindakan luhur yang menegakkan
hukum dan harkat kemanusiaan. Kita membiasakan diri untuk sedemikian
luwes dan retoris untuk mendorong diri beranggapan, bahwa sesuatu hal
itu maruf, bukan mungkar. Dalam praktek urusan kenegaraan dan
kemasyarakatan seringkali kita menjumpai kenyataan seperti itu.
Kita tak membiasakan diri untuk melihat dan memahami perbedaan
dalam proporsi yang wajar. Sistim politik negeri kita jelas mendorong
suatu keadaan untuk tunggal seperti kehendak Pemerintah. Mafhumlah
kita terhadap perilaku kaum establishment itu. Namun lebih menyedihkan
hati jika dalam praktek kehidupan beragama kita juga menjumpai
kecenderungan sikap otoriter yang secara sadar atau tak sadar cenderung
memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Ummat sukar akan
berangkat dewasa dalam iklim seperti itu. Tentulah Saudaraku tak usah
memintaku untuk menyebut-nyebut contoh kongkrit itu, sebab kita sudah
sama-sama mengetahui dan mangalami.
Aku meyakini sepenuhnya bahwa kecenderungan itu tidak muncul dari
niatan sengaja untuk bersikap otoriter. Paling jauh itu adalah ungkapan
naluri manusia untuk senantiasa mempertahankan diri. Diri harus selalu
dipertahankan, termasuk semua keyakinan dan pengertian-pengertian
pikirannya, sebab seseorang tak bisa hidup jika tidak dengan keyakinan
dan pengertian pikirannya sendiri. Namun persoalannya bahwa ia tak
harus menyuruh semua orang untuk berpendapat seperti ia, dan
hendaknya ia yakin juga bahwa tanpa seorang pun yang lain yang
sependapat dengannya: ia tetap syah untuk menghidupi keyakinan dan
pengertiannya. Saudaraku mengalami, terkadang ada saudara kita
merasa gugur gara-gara orang lain tak sependapat dengannya, lantas
gugur dirinya itu memanifestasi liwat kata-katanya bahwa yang gugur

seakan-akan adalah kebenaran Islam. Ia hanya bisa hidup dengan


mengidentifikasikan dirinya dengan kebenaran Islam, sehingga siapa saja
yang tak sependapat dengan dia, maka ia anggap melanggar Islam. Ia
memperlakukan seolah-olah agama Islam hanyalah sebuah benda mati
bagaikan seonggok batu yang verbal dan miskin. Ia tidak menyediakan
ruang dan tenaga untuk membayangkan bahwa pribadi-pribadi manusia
yang berbeda-beda, kondisi kehidupan yang berbeda-beda, jika
ditumbuhkan dengan Islam, maka ia akan memunculkan mozaik
kekayaan-kekayaan yang tiada batasnya, bagaikan percikan dari
kekayaan Allah yang tak bisa diperkirakan. Ia juga tak bersiap, karena itu,
untuk bersikap tawadldlu, rendah hati, sadar akan keterbatasan kita
bersama, ditengah mozaik yang hanya sedikit saja mampu kita lihat dan
rumuskan itu.
Kukira, Saudaraku, hakekat dari kesemuanya itu ialah kesadaran kita
bersama, bahwa hidup kita ialah bergerak mengidentifikasi diri dengan
kebenaran Islam. Akan tetapi sosok tubuh kebenaran diri kita tidaklah
identik dengan sosok tubuh kebenaran kita. Sebab kebenaran Islam
sangat luas dan besar, seluas alam semesta yang Ia ciptakan, dan kita
sekedarbergabung kepadanya. Ya, kita yang amat kecil ini, hanya
bergabung kepadanya. Mengolah pribadi kemusliman tidaklah berarti
membangkitkan egosentrisisme dimana seseorang menyerap seluruh
Islam dan ia menganggap diri persis dengan kebenaran Islam itu
sepenuhnya. Itu suatu takabbur. Padahal kita tidak lebih berarti dari
dzarrah: jika kita dilahirkan untuk menjadi khalifah dimuka bumi, maka
kekhalifahan itu mustilah dengan penuh tawadldlu; kesadaran akan
kefaqiran dihadapan Allah.
Hal ini, Saudaraku, persis dengan kenyataan bahwa tak seorangpun
mampu menguasai Al Quran. Paling jauh ia hanya menguasai
penguasaaanya sendiri atas Al Quran. Cakrawala Al Quran tak akan
selesai ditempuh, jalah lurusnya tak bakal habis dikembarai. Segala yang
mampu diucapkan oleh pikiran dan hati kita dari dan tentang Al Quran,
hanyalah sebatas relativitas pengetahuan dan pengalaman pribadi kita,
dan Al Quran tak bisa engkau hitung berapa kali lipat kekayaannya
dibanding kekecilan kita yang sering sombong ini. Maka tak ada pilihan
lain kecuali tawadldlu. Dan memang itu yang terbaik.
Cepat Berburuk Sangka
Saudaraku, kita tak jarang mengalami betapa kita terjebak untuk bersikap
mutlak-mutlakan ditengah perbedaan pendapat. Ini karena kita amat
possesif terhadap pemilikan kita atas pengertian-pengertian kita sendiri.
Bagai seorang perawan yang tak mau secuil pun lelaki pujaannya dijelekjelekkan oleh orang lain. Kita begitu romatik, karena memang pada
dasarnya kita begitu mencintai dan bahagia dengan Islam kita. Begitu
rupa romantiknya sehingga dalam beberapa hal kita menjadi buta. Kita
jadi cepat tersinggung, cepat mangkel, cepat berang dan naik pitam jika
sedikit saja hal tentang pacar kita itu disentuh orang. Secara rasional
kita menjadi tidak objektif. Dan secara spiritual-psikologis kita menjadi
tidak dewasa, tidak rendah hati. Keduanya bergabung dan menghasilkan

suatu sikap yang tak menyiapkan untuk membuka diri dan menerima
kemungkinan-kemungkinan kebenaran baru atas diri kita.
Dalam keadaan begitu kita tanpa sadar, sering melangkahi peringatan
Allah, ijtanibuu katsiiron minazh zhonni, inna badhodh zhonni istmun,
walaa tajassasuu walaa yaghtab badhukum badhoo. Kita sering cepat
berburuk sangka, cepat cenderung mencari hanya kesalahan-kesalahan
saudara kita ynag lain. Bahkan ada prototype mentalitas kita yang kurang
biasa berbeda dalam berhadapan ini, mendorong kita mengungkapkan
perbedaan itu dengan cara yaghtab badhukum badhoo. Dengan begitu
akan gampang terjerumus pula kita untuk tergolong dalam kata-kata
Allah yashkor qoumun minqoumin, sedangkan bisa-bisa saja kaum yang
dicerca itu yakuunuu khoiron minhum.
Lebih lucu lagi, Saudaraku, didalam saling mencerca itu, masing-masing
kita merasa benar, dan sungguh-sungguh dengan khusyu menyandarkan
kebenaran masing-masing itu ke hadirat Allah, sehingga masing-masing
meras innalloha maanna. Tidakkah, Saudaraku, engkau pernah
menangkap dan merasakan getaran keadaan yang seperti itu ditengah
perselisihan faham diantara kita semua? Bahkan ada Saudara kita yang
dalam keadaan itu lantas saling mengemukakan kata-kata seperti yang
diungkapkan Al Quran: imaluu alaa makaanatikum innii aamil,
wantadhiru inni muntazhirun, atau lanaa amalunaa wa lakum
amaalukum, salamun alaikum laa nabtaghil-jaahilin atau fanistakbaruu
fal-ladziina inda robbika yusabbihuuna bil lili wan-nahaari wa hum laa
yas-amuun, bahkan idz jaalalladziina kafaruu fii qulubihimulhamiyyata hamiyyatal-jaahiliyati fa-anzalallahu sakinatahu alaa rosuulihi
wa alal mukminina wa alzamahum kalimatat-taqwa.
Tentu saja, Saudaraku, itu benar. Dan mungkin saja memang diantara
beribu pikiran kita atau diantara sikap-sikap hidup kita terdapat unsur
kekufuran tertentu (seperti juga silau mata kita yang berlebihan terhadap
keduniawian dewasa ini bisa dianggap meng-ilah-kan yang selain Allah);
akan tetapi, tentu akan lebih afdhol, apabila kita mengusahakan suatu
keterbukaan dan kedewasaan komunikasi, justru untuk membuka kedok
kemungkina kekufuran pribadi kita masing-masing dan melenyapkannya.
Saudaraku mungkin pernah mendengar aku beberapa kali mengalami
berbagai perselisihan faham dengan berbagai kalangan Muslim
dalam pentas-pentas atau pembicaraan-pembicaraanku di berbagai
tempat, dan aku gagal menemui keinginanku akan keterbukaan dan
kedewasaan komunikasi seperti itu. Aku sering berkata kepada saudarasaudara kita: Jika Saudaraku melihat aku sesat, dan bersedia mengishlah
membawaku kepada jalan yang benar, maka alangkah besar rasa
syukurku. Namun, aku justru sering menghadapi berbagai sikap tertutup
seperti kuungkapkan diatas: sikap tertutup itu bukan karena Islam, tetapi
karena faktor mentalitas, keterbatasan-keterbatasan psikologis. Sampai
pada suatu saat aku berkata kepada diriku sendiri: Kalau saja aku ini
seorang muallaf, maka dengan menghadapi sikap jumud seperti itu, tak
mustahil aku terlempar kembali ke luar Islam. Namun, Alhamdulillah,
justru karena itu maka Allah berkenan menganugerahiku tenaga untuk
makin mencintai-Nya serta lebih dalam meyelami samudera nilai Islam
yang demikian luas dan dalam.

Saudaraku tahu mungkin kemusliman kita ini belum apa-apa dan sungguh
masih amat jauh dari yang dikehendaki Allah, karena itu betapa kita
semua harus senantiasa siap terbuka atas nilai-nilai kebenaran Islam yang
mungkin saja kemarin masih belum kita insyafi. Banyak hal kita ketahui,
namun jauh lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Allah telah
memaparkan segalanya, tapi barangkali mata kita masih cukup buta dan
telinga kita masih agak tuli. Segala yang kita kuasai itu pastilah
sedzurroh saja dibanding realitas dan nilai yang sesungguhnya yang
disediakan oleh Allah Yang Maha Kaya.
Kita semua adalah khalifah fil-ardh, tetapi engkau atau aku bukanlah satusatunya khalifah. Dan aku kira tidak benarlah apabila kita mempunyai
sikap seperti itu: seakan-akan kita adalah langsung mewakili Allah dimana
setiap orang musti sependapat dengan kita, betapapun secara subjektif
kita amat meyakini dan menganggap luhur keyakinan serta kebenaran
pikiran kita sendiri itu. Saudaraku Insya Allah sudah membaca
buku Dialog Sunnah Syiah: surat-menyurat antara Kyai Sunnah asySyaikh al-Bisri al-maliki dengan Ulama Jumhur as-Sayyid Syarafuddin alMusawi al-Amili itu amat memberi informasi berharga kepada kita
tentang percaturan faham yang berbeda antara Sunnah yang mayoritas
dan Syiah yang minoritas. Akan tetapi yang tak kalah bermaknanya
dibanding informasi itu ialah bagamana cara dan watak mereka didalam
berdialog. Bagaimana keterbukaan sikap pribadi mereka, seberapa
kematangan dan kedewasaan yang menjadi ruh komunikasi antara
mereka, betapa tawadhu dan rendah hati mereka, serta betapa besar
gairah murni untuk sungguh-sungguh mencari kebenaran: tanpa sikap
defensif dalam arti emosional, tanpa menonjolkan gengsi atau harga
diri pada proporsi yang tak wajar, atau tanpa etos mempertahankan
pendapat secara membabi- buta seperti yang sering menjadi watak dari
dialog-dialog moderen dewasa ini, yang acapkali terkotak pada dimensi
intelektual belaka. Semua perwatakan dialog itu tentu saja merupakan
dimensi tersembunyi dibalik formalitas informasi yang dipaparkan oleh
buku tersebut.
Demikianlah, Saudaraku, kita yang masih faqir ini semoga dibimbing oleh
Allah untuk menumbuhkan kekayaan-kekayaan seperti itu. Kita Kaum
Muslimin Insya Allah akan menyongsong kemenangan, tetapi itu tak bisa
tidak harus dimulai dari kesediaan kita semua untuk memerangi
berbagai marodhun didalam diri kita sendiri. In dholaltu fainnamaa adhillu
alaa nafsii, wa-inihtadaitu fabimaa yuuniya ilayya robbil innahu samiiun
qorlib.
Menturo Jombang, Agustus 1983.
Bukan Pahlawan Orang Hitam
NELSON MANDELA bukan pahlawan orang hitam, karena sebutan macam
itu meletakkan orang kulit putih atau kulit cokelat dan merah sebagai
musuh. Mandela tidak punya musuh manusia. Musuh Mandela adalah

politik apartheid, diskriminasi sosial, atau pembeda-bedaan primordial


yang mencabik-cabik kesamaan dan keutuhan kemanusiaan.
The smart and elegant Mandela, jika pada suatu hari menghadapinya,
akan juga melawan bebagai macam pembedaan manusia atas dasar apa
pun: kelas ekonomi, status budaya, beda agama, serta dasar apapun juga
apabila pembedaan itu digunakan sebagai landasan untuk menerapkan
ketidakadilan.
Nelson Mandela menerima semua manusia sebagai saudara-saudaranya
yang sejajar di muka bumi ini. Mandela menentang pemerintahan kulit
putih Afrika Selatan, tetapi itu tak berarti ia dan seluruh gerombolan kaum
hitam akan menumpas dan membunuhi semua orang kulit putih. Yang
dilawan Mandela adalah ideologi mereka, ketidakadilan sikap mereka,
keangkuhan; dan keserakahan mereka. Mandela tidak memperjuangkan
proses bagaimana memusnahkan atau meniadakan orang kulit putih,
sebab kaum putih adalah sedulur yang ia terima makan dengan piring
yang sama dan minum dengan gelas yang sama.
Tentu saja manusia berbeda-beda. Ada tukang becak dan ada menteri,
ada penjual martabak dan ulama atau ada pemburu kodok dan ada
pengusaha. Tetapi Allah menyuruh mereka bersembahyang dengan rakaat
yang sama, menghitung baik buruk perilaku mereka dengan kriteria yang
sama, serta mempersyaratkan sorga dan neraka dengan rukun-rukun
yang sama.
Kulit putih, hitam, dan kulit cokelat, ulama, tukang becak, pencari kodok
atau pengusaha, hanyalah terbedakan secara fungsional dan terminologis.
Tetapi mereka adalah manusia yang sama dan memiliki hak dan
kewajiban yang sama terhadap kebahagiaan, kesejahteraan, hak politik
serta kewajiban untuk patuh terhadap aturan main.
Dan Negara Afrika Selatan, yang memenjarakan Mandela selama lebih
dari 30 tahun, adalah negeri iblis yang merupakan ironi dan penghinaan
yang terlalu dahsyat terhadap modernitas, terhadap alam pikiran sehat,
terhadap gagasan-gagasan kemuliaan yang telah dihimpun oleh umat
manusia berabad-abad lamanya. Pemerintahan kulit putih yang
menguasainya memperlakukan mayoritas penduduk kulit hitam sebagai
alas kakus kesejahteraan kaum putih. Rasisme yang diterapkan tidak
saja dalam prespektif kultural pisikologis seperti yang sampai hari ini
masih juga terjadi di Amerika Serikat namun, bahkan diundangundangkan secara formal. Afrika Selatan adalah Kerajaan Kulit Putih di
mana iblis dilembagakan.
Sayang sekali dunia belum sungguh-sungguh global: kekuatan-kekuatan
demokrasi kemanusiaan tidak dengan sendirinya merasuk ke segenap
pelosok bumi, meskipun ia diperkuat oleh keadidayaan militer, ekonomi,
dan politik. Inggris, umpamanya, dalam jangka waktu yang lama sekali
bersikap gojag gajeg (ragu-ragu) dalam mengantisipasi keiblisan Afrika
Selatan hanya karena Kerajaan Elizabeth itu amat memerlukan impor batu
bara darinya. Kita melihat persis betapa jargon jargon demokrasi dan
kesamaan derajat yang digembar-gemborkan oleh Negara-negara yang
merasa diri pelopor di bidang itu menjadi tereliminasi hanya oleh koalisikoalisi perut. Eliminasi dari relativitas yang sama terhadap hak asasi

kemanusiaan juga terjadi dalam kasus sikap dunia terhadap Israel,


meskipun aksentuasinya agak berbeda.
Dunia, Negara-negara besar maupun kecil, dengan omong besarnya
tentang demokrasi dan kemanusiaan, belum sungguh-sungguh
menerapkan fatwa-nya itu dalam proses politik, ekonomi dan hukum.
Anda bisa menelitinya lewat kasus-kasus di Teluk dewasa ini, sisa-sisa di
Amerika Latin, dan yang masih tersembunyi di Arika Selatan atau peta
Utara-Selatan. Namun, kita kita tetap saja bisa memaafkan-nya dengan
menganggap bahwa memang demikian isi dunia. Di dalam filosofi Jawa,
kita memaafkannya dengan etos urip iki mek sakdermo mampir ngombe.
Ngombe banyu saksegoro ngombe lengo sak Arab royokan
(Hidup ini sekadar mampir minum. Minum air sesamudra, minum minyak
se-Arab, ramai-ramai). Dengan berbagai alasan yang dihebat-hebatkan, di
mulia-muliakan.
Dan Mandela melawan itu semua dengan keyakinan total terhadap
kedamaian. Ia merelakan diri habis usianya dalam penjara, membuang
segala kemanjaan dan hedonismenya sebagai manusia biasa. Kalau kita
yang mengalaminya, kita akan segera angkat clurit. Kalau kita
dipenjarakan sampai setahun, kita susah percaya bahwa keterpenjaraan
kita akan merupakan jalan ke luar bagi pembebasan atas sesuatu yang
kita perjuangkan. Apalagi, kalau kita dipenjarakan sampai 30 tahun
lebih.
Tetapi, perkembangan awal globalisasi perpolitikan dunia telah
sedemikian rupa menjadi virus ke dalam tubuh Afrika Selatan, sehingga
jalan bagi Mandela sedikit terbuka.
Dulu, di zaman sebelum kemerdekaan Indonesia, kalau Anda tidak
mengangkat bambu runcing, kalau tidak ada tentara darurat, kalau tak
ada anak-anak muda yang nekat saya percaya bahwa hari ini Anda tidak
bisa ke luar rumah mengendarai Twin Cam nonton Yurike di gedung
bioskop.
21 Oktober 1990
Kemarahan Global dan Ngamuk Lokal
Seorang pakar mengemukakan pendapat dan harapan yang dilandasi oleh
budi lembut dan kemuliaan sosial: Kenaikan harga BBM jangan
membebani rakyat. Inilah yang mengasyikkan di negeri kita. Meskipun
dari jaman purba, sepanjang ilmu dan peradaban dunia hingga kehidupan
akherat kelak 4 x 4 pasti = 16, kita masih optimistik dan berkata: Kita
berharap 4 x 4 tidak = 16.
Kalimat berikutnya dari pakar kita itu adalah, karena pada hakekatnya
kenaikan harga BBM akan diikuti oleh harga barang-barang yang lain.
Dua kalimat itu terkait satu sama lain, bersifat kausalitif, oleh kata
karena yang menyambungnya. Dua kalimat itu berada dalam satu frame
logika. Sehingga kita sangat kagum kepada diri kita sendiri yang sanggup
mendamaikan dua fenomena yang dari A sampai Z haqqul yaqin ainul
yaqin benar-benar bertentangan.

Seandainya tak ada kata karena kita mungkin bersifat berpikir lokal.
Pagi dan di sini berpikir 4 x 4 = 16. Sore nanti di sana kita berpikir: bisa
saja tidak = 16. Kita sangat percaya kepada keajaiban, doa, tahayul.
Ketika di sekolah kita diberi logika dan keyakinan bahwa kalau harga
minyak naik, maka rakyat tambah beban kesengsaraannya. Sesudah
tamat universitas kita memahami suatu kosmos pasca logika bahwa
belum tentu kenaikan harga minyak akan membebani rakyat, sehingga
logis kalau kita berharap demikian.
Kondisi dan tradisi persepsi seperti ini yang sering memenuhi kepala kita.
Indonesia adalah negeri surrealistik. Kita sangat mendamaikan dan
mempersatukan apa saja. Kebenaran dan ketidakbenaran bisa berjalan
seiring. Yang berbuat tidak adil bisa mempidatokan keadilan. Iblis
dikerjasamakan dengan malaikat. Orang punya hutang, karena tak bisa
bayar, maka demi mempertahankan hatinya sendiri ia menuduh orang
yang menghutangi itu yang terhutang. Orang berbuat baik membantu
orang lain, bisa malah kehilangan uang sekaligus kehilangan
persaudaraan dengan orang yang dibantunya. Bahkan juga kehilangan
kehormatan di wilayah tertentu karena orang beramal bisa tertuduh
pencuri, sementara pencuri bisa diumumkan sebagai orang beramal. Dan
kita jamin bahwa kita tetap damai-damai saja dengan itu semua.
Itu adalah kasus keputusasaan.
Penduduk dua desa di Kabupaten Jepara kita doakan jangan sampai jadi
melaksanakan perang suku sesudah tiga orang itu terbunuh. Yang satu
desa membela korban, yang lain desa membela martabat kelompok
penduduk desanya.
Kita sudah tiba kepada tingkat keputusasaan dan kemarahan global yang
sangat serius. Namun kita tidak memiliki efektivitas untuk menyentuh
pihak yang sebenarnya berkewajiban atas keputusasaan dan kemarahan
kita. Energi kemarahan dua desa itu berasal dari situasi-situasi global
yang tidak adil dan mengepung mereka. Namun karena mereka tak
mampu berbuat apa-apa atas kekuatan global itu, maka potensialitas
psikologis kemarahannya itu mengendap, menggumpal di bawah sadar
kemudian sewaktu-waktu akan muncrat dan yang ditimpa adalah sedulursedulurnya sendiri, semua orang tertekan dan menderita.
Selama setahun belakangan ini telah kita alami potensi dan kemarahan
global, namun diekspresikan dalam amukan-amukan lokal. Tidak hanya
kerusuhan di suatu kota, tapi juga kengawuran-kengawuran dalam
pergaulan, perdagangan serta dalam menjalankan berbagai tugas hidup
lainnya. Kita juga tak bisa jamin bahwa muncrat-muncratan lokal itu
sudah usai.
Salah satu bentuk keputusan itu antara lain menimpa saya: Tidak
diizinkan berbicara di Pekalongan dan Kudus karena ada asumsi bahwa
saya turut menyulut kerusuhan di tempat itu beberapa waktu yang lalu.[]
Tulisan diambil dari buku Kyai Kocar Kacir (Zaituna, Yogyakarta, 1999, hal.
104-106).
Peringatan dan Amarah

Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga.
Jumlahnya bertambah terus. Soalnya tidak ada mantan-Guru. Yang ada
adalah yang sedang menjadi Guru dan yang akan menjadi Guru. Tak
ada seseorang atau sesuatu pun yang pernah mengajari saya lantas tidak
lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin
mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya
berguru kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena
mereka sangat telaten untuk marah kepada saya. Bukankah murid
memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh
Gurunya supaya tidak terlalumblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin
saya ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan
keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalahpahami, bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha
menjadi murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa
syukur.
Ketika saya masuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk
pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita
menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha
menjadi menantu seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah
sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena
lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. Kamu
mau jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syuara yang berkisah tentang
penyair-penyair pengingkar Allah?
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya
tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai
sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan
mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: Kenapa kamu hanya sibuk
dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah
kamu mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?. Tetapi ketika
kemudian saya mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam,
saya dimarahi lagi: Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur
adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: Sastra Islami saja tidak
cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu
tidak bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan
politik, kemelaratan ummat dan lain sebagainya!.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat.
Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu
dengan lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani
anak-anak muda protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di
mana idealisme nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah
dalam Islam bisa saya terapkan.

Saya mendapat teguran lagi: Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah
ada yang ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja,
jangan macam-macam!.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: Golput ya? Itu
tidak bertanggungjawab!. Dan ketika besoknya saya tampil membantu
salah satu OPP, saya diperingatkan: Kamu kehilangan independensi!.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: Perjuangan itu
memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!. Tatkala saya didaftar di
pengurus pusat ICMI, saya ditatar: Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap
anggota pasukan berada dalam barisan!. Dan akhirnya tatkala karena
suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan:
Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya
diingatkan: Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah
kamu budak ilmuwan barat?. Dan sesudah saya mengungkapkan segala
tema dari sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja
dengan acuan Quran dan Hadits, saya dikecam habis-habisan: Kamu ini
mufassir liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran
dan Hadits! Berbahaya!.
Ketika saya menulis tentang sesuatu yang makro dan suprastruktural,
saya dijewer: Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?. Dan
ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat
kecil saya ditabok: Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam
menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: Kamu tidak
rasional!. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: Kamu
komersial!.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: Kulu
wasyrabuu! Makan dan minumlah. Ketika saya sesekali berpikir mencari
rejeki, saya ditonyo: Kamu menuhankan uang dan harta benda!.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu
saya sungguh-sungguh tidak paham: Sungguh hebat perjuanganmu.
Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk
mendapatkannya.kau tak punya!.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel
ngomong ngunu!.
*****
Dokumentasi Progress

Hal Tajdid: Dari Bedug sampai Anjing

Seorang Muballigh muda Muhammadiyah pernah datang ke desaku untuk


tampil secara mengagumkan dan mempesona dalam suatu pengajian.

Dengan nada keras, penuh semangat dan kefasihan, ia menyodorkan


kejutan-kejutan.
Diuraikan tentang keharusan membawa kembali Islam seperti aslinya
ajaran Muhammad Shallallahualaihi wasallam. Khurafat, tahayul, bidah,
musti dibuang jauh-jauh. Dan lagi, memeluk agama itu mustilah dengan
menggunakan akal, tak asal taqlid membabi buta saja, sebab akallah yang
membedakan kita dari segenap binatang.
Pasal pertama yang dibenahi ialah arah menghadap ketika salat. Bikinlah
garis shaf dalam masjid kira-kira 24 derajat condong ke utara, agar kita
salat menghadap ke Kabah, bukan ke negeri Somalia. Kemudian soal
bedug: untuk apa itu? Sekarang ini setiap hidung punya jam, katanya.
Lantas, soal puji-pujian musikal antara adzan dan iqomah. Lantas soal
koor wirid sehabis salat jamaah. Kemudian sekian hal lagi yang
menyangkut perilaku keagamaan sehari-hari.
Terkejutlah sekalian penduduk desa, dan merasa begitu kotor karena
ternyata selama ini melakukan hal-hal yang mungkin tak diridhai Allah.
Memang, tajdid pasal pertama Muballigh kita ini, tidak ilmiah; ia tak bawa
kompas, sehingga tak tahu bahwa posisi desaku memang sudah persis
terarah agak miring ke utara, jadi persis menghadap Kabah, juga
masjidnya. Ini tentulah kekhilafan kecil: Muballigh kita terlalu bergantung
pada common-sense, lupa pada keperluan formal-survey yang ilmiah.
Namun percayalah, bahwa kata-kata ilmiah atau rasional merupakan
bayang-bayang baur di benak orang-orang desaku, sehingga kegagalan
pasal pertama itu tak berarti gagalnya usaha tajdid yang ia lakukan. Sejak
itu, perlahan-lahan bedug dicopot, dipakai kayu bakar dan kulitnya
dimasak. Puji-pujian stop dan koor wirid lenyap. Orang-orang tua berwirid
sendiri-sendiri, sementara anak-anak muda dan anak-anak kecil
menyelenggarakan tradisi lamcing: habis salam, plencing pergi.

Tak Bisa Berpicing Mata


Sayang sekali Muballigh kita itu cukup sekali saja datang ke desa untuk
membawa SK Tajdid dari Pusat itu. Hampir tak ada proses internalisasi
lebih lanjut yang melibatkan para penduduk perihal pemurnian Islam,
menggasak bidah, khurafat, tahayul dan seterusnya, dalam arti suatu
internalisasi di mana mereka diajak untuk aktif rasional.
Apa yang kemudian terjadi, adalah situasi yaskhor qoumun min
qoumin dalam suatu iklim yang politis. Pertarungan bendera antara
Muhammadiyah dengan NU berlangsung dengan lucu, naif, jumud dan
memalukan, sehingga biarlah terkubur di gundukan-gundukan tanah masa
silam. Yang mungkin agak kurang menyedihkan untuk dikisahkan ialah
terjadinya reuni sekian tahun kemudian. Karena sakit oleh berbagai

kebodohan bersama, tak krasan oleh banyak retak-sosial yang begitu


kampungan dan menyangkut hal-hal amat sepele, maka bendera-bendera
itu pun diturunkan. Sampai kini, penduduk desaku hidup dalam Islam
yang tanpa embel-embel lain: meskipun tetap selalu ada beda faham di
sana-sini, tapi tak sampai terjebak oleh formalisme-formalisme aliran,
yang bukannya salah, tetapi penduduk desaku belum siap meng-hadapi
keorganisasian madzhab yang ketika sampai di desa telah tinggal
kerangka.
Kabarnya, hantu kerangka itu muncul; karena mekanisme tajdid yang
dibawa oleh organisasi-organisasi pembaharu itu kurang diterapkan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis-kultural masyarakat
yang berbeda-beda. Faktor itu yang menunjukkan kepada kita bagaimana
persuasi yang diperlukan untuk mereduksi sesuatu hal dari lingkaran
tradisi suatu komunitas; bahkan seberapa benar sesuatu itu perlu
direduksi atau tidak. Sebab, untuk menilai terjadi tidaknya bidah atau
tahayul umpamanya, kita tak bisa menilainya dengan berpicing mata.
Apalagi kita tahu persis bahwa proses internalisasi keagamaan dalam
masyarakat tradisional seperti di desaku, mengandung susunan-susunan
saling berkait antara berbagai unsur kompleks dalam hidup mereka. Kita
harus menatapnya dengan jeli, agar tak terjebak oleh term berpikir yang
sering kita anggap ilmiah: membedakan sisi kehidupan agama dari
kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. Padahal, agama
bukanlah sektor, melainkan pedoman nilai dari Allah yang memberi
watak, sifat dan arah tujuan semua kegiatan hidup kita, ya politik, ya
ekonomi, ya sosial budaya.
Kerangka di atas juga muncul, disebabkan karena dalam tubuh suatu
organisasi, biasanya ada berlaku hukum pelunturan nilai. Artinya ada
distorsi kualitatif yang terjadi antara pucuk dengan lapisan atau sendisendi di bawahnya. Hal ini merupakan akibat yang khas dari aksentuasi
sikap kita untuk menjadi tabiiin atau taabiit-taabiiin belaka dan
kurang mengaktivisir keharusan-keharusan lain, umpamanya untuk biasa
berpikir sendiri, menimbang-nimbang sendiri dan seterusnya dalam
menginternalisasi Islam. Ada begitu banyak afalaa taqiluun, afalaa
fatadabbaruun, afalaa tatafakkaruun, namun marifat kita belum terbuka
benar. Bukan terutama karena Allah belum berkenan membukanya, tapi
kita umumnya memang kurang berminat sungguh-sungguh untuk
membuka mata. Walaqad yassarnal Qurana lidz-dzkri fa hal minmuddakir. Oleh sebab itu, kita tak boleh terkejut apabila menjumpai
tak sedikit agents of innovation dari suatu organisasi pembaharu
ternyata juga hanya penganut-penganut, yang meskipun tak buta betul,
tapi setidaknya tiga perempat buta. Kalau kita mau jujur dan rendah hati:
dalam kondisi seperti itu tak mustahil di tengah percaturan pemikiran
tajdid, kita terjebak oleh suatu isyarat Allah yang secara verbal
sesungguhnya dimaksudkan untuk orang-orang kafir: innalladzina
yujaadiluuna fii aayaatillaahi bighairi sulfhaanin ataahum in fii
shuduurihim illaa kibrun maa humbibaalighiihi. Sebab, kita mafhum ayat
Allah bukan hanya yang tertera verbal dalam AI-Quran sanuriyahum

aayaatina fil aafaaqi wa fii anfusihim. benarkah tak mungkin kita


termasuk dalam golongan orang yang dimaksud oleh Allah itu? Misalnya,
karena tanpa kita sadari, bahwa kita telah terlibat dalam suatu kufuran
intelektual, tertentu? Yang jelas, kita mesti siap untuk suatu hari
menyaksikan kenyataan bahwa yang perlu ditajdid itulah yang jadid, dan
ternyata yang mujaddid itulah justru perlu ditajdid.
Semoga, hal ini tidak terjadi, namun, baiklah kita berwaspada, sebab
segala sesuatu bisa masuk ke dalam diri kita, juga setan dan pengaruhpengaruh apa pun.
Di desaku pun sangat mungkin terjadi hal semacam itu. Atau barangkali
kita sekaligus mengandung kedua-duanya: yakni hal yang perlu ditajdid
serta hal yang mendorong kita untuk melakukan tajdid. Jadi agaknya
masyarakat pertama yang mesti ditajdid ialah diri kita sendiri, sementara
semangat tajdid juga pertama-tama mesti diri kita sendiri yang memiliki.

Kiai Beli Anjing


Ada satu tajdid yang lucu di desaku, yang menyadarkanku bahwa ternyata
kekentalan hubunganku dengan penduduk desa masih amat kurang .
Tersebutlah seorang Kiai yang haus akan tajdid, sehingga selalu sibuklah
ia mengembarai berbagai lapangan faham Islam. Sayang sekali, landasan
kehausan tajdidnya bukan suatu sikap mandiri yang mementingkan
penggunaan akal sehat dan kebersihan hati serta keluasan wawasan.
Dalam pengembaraanya itu, ia selalu hanya terseret-seret belaka oleh
satu faham ke faham lain. Begitu terjadi berulang-ulang, dan hasil
pengembaraannya itu biasanya langsung diungkapkan lewat khutbahkhutbah Jumat atau pada kuliah subuh kesempatan satu-satunya ia
bersedia bertatap muka dengan khalayak.
Pertama menjadi bingunglah para jamaah karena diombang-ambingkan.
Tapi lama kelamaan hal itu menjadi komedi. Orang jadi hapal lagak lagu
sang Kiai dan tak begitu gampang terpengaruh. Menjelang salat Jumat,
bahkan orang-orang saling bercengkerama dan meramal apa kira-kira
yang akan diomongkan oleh sang Kiai. Hal yang digasak adalah hal yang
biasanya kemarin didukung. Apa yang hari ini di gembar-gemborkan,
bulan depan mungkin akan digasaknya kembali. Dari satu sudut: itulah
potret dari semangat pembaharuan yang dinamik, penuh gelombang dan
kontinyu. Tapi dari sisi lain, itulah gambaran dari sebuah pribadi yang
mengembara di atas udara, tanpa pijakan, tanpa akar dan tanpa aktivitas
akal sehat dan kematangan kejiwaan.
Memang jamaah tak begitu terpengaruh, tapi untuk hal-hal yang
menyangkut gengsi modern, orang desa amat gampang terseret.
Merangsang mereka untuk mengkonsumsi identitas-identitas
kemodernan, semudah makan kacang bakar. Jadi ketika berkat suatu

usaha tajdid, sang Kiai membeli dan memelihara anjing, maka segera
inovasi ini diikuti oleh puluhan orang. Hari ini di satu jalur jalan saja ada
kira-kira 40 anjing. Memelihara anjing itu betul-betul kenikmatan
baru: Kayak yang di tv! Ini suatu ironi besar, karena dulu penduduk desa
adalah pembenci, bahkan pembunuh anjing. Ada seekor saja nongol di
desa, mampuslah ia.
Aku sendiri belum memberi tanggapan cukup jauh terhadap hal ini, karena
harus ditemukan persuasi yang tepat untuk membereskan sesuatu di
desa. Aku tidak anti anjing, tapi ada konteks yang tak beres dengan tajdid
peternakan anjing itu.
Suatu hari, aku mengobrol saja dengan salah seorang penduduk. Hakim
paling kuat untuk Muslim desaku ini ialah ukuran halal-haram. Kata Pak
Kiai memelihara anjing itu tidak haram, ungkapnya. Jadi itulah
sumbernya.
Kucoba kemukakan kepadanya: memelihara anak yatim itu bukan hanya
tak haram, bahkan penuh pahala dan keluhuran. Padahal biayanya tak
lebih mahal dari memelihara seekor anjing, sementara seorang anak
yatim bisa memberi kita manfaat dan kekayaan spiritual yang tak bisa
kita peroleh dari buih mulut anjing. Memelihara anjing memang bolehboleh saja, seperti juga kita boleh siang hari bolong merangkak dari gardu
sini sampai ke depan rumah Pak Lurah di ujung sana. Tapi, agama bukan
sekedar soal boleh dan tak boleh. Halal-haram itu garis batas, yang tidak
kita injak atau harus kita hindari. Seperti main sepakbola, ada garis
pinggir, ada garis untuk penalty dan offside, juga tangan kita termasuk
daerah haram untuk bola.
Tapi, masalah sepakbola yang paling utama ialah bagaimana bermain bola
secara baik, bukan bagaimana tak memegang bola atau berlari menginjak
garis pinggir. Garis batas itu menjadi wilayah permainan kita, namun yang
penting ialah bagaimana mengolah suatu permainan yang baik. Engkau
tidak diharamkan main sepak bola sambil pakai peci atau sambil makan
ketela, tetapi kita punya akal yang mengukur manfaat dan mudharat.
Untuk itu, maka kita bermain pakai celana pendek dan bukan sarung.
Memahami mana garis batas dan liku-liku peraturan main bola tidak
sukar, dan yang terutama kita usahakan bagaimana mentalitas bermain,
bagaimana teknik dribbling pribadi serta metode kerjasama sosial,
bagaimana menemukan taqarrub terhadap gawang secara baik
sehingga kita menang dan gol kita ciptakan dengan menggetarkan jaringjaring surga. Itulah sepakbola hidup.
la kemudian mengemukakan anjing itu nanti bisa dijual kembali dengan
harga yang lebih mahal. Jadi pertimbangan ekonomi. Maka kuingatkan
bahwa kita dulu punya tradisi ternak kambing kerbau sapi. Sekarang
ini, kambing atau sapi lebih menguntungkan dibanding anjing. Dan lagi,
apakah penduduk desa kita ini akan menjadi pendorong pertumbuhan
manusia-manusia pemakan anjing? Baiklah teruskan dan kelak orang di

sana berkata: Di mana cari anjing untuk pesta kita? O, di Mentoro


pusatnya!
Tapi ia kemudian mengemukakan soal segi keamanan. Anjing cepat
memberitahu kita kalau ada pencuri. Apakah engkau melatihnya untuk
itu? Tidak. Dan orang-orang lain? Tidak juga. Kukemukakan kepadanya
bahwa seorang Muslim yang Islamnya baik Insya Allah terhindar dari
bahaya seperti itu. Setiap saat, nafas dan detak darah kita bisa kita
biasakan memohon kepada Allah, Bismillahi laa yadhurru ma asmihii
syaiun fil-ardhi walaa fissamaa-i wahuwassamii ul-aliim. Tirulah Ayyub
yang berkata, Innii masanidha-dhurru wa-anta arhamurroohimiin. Semoga Allah pun berkehendak fastajabnaa lahuu,
fakasyafnaa maa bihii mindhurrin. Atau, kenapa tak kita lingkari
lingkungan hidup kita dengan ayat Kursi atau banyak sekali ayat lainnya?
Kita sudah baca shalawat untuk Nabi tiap hari, bukan? Nah, kita
perbanyak jumlahnya dan kita perdalam kekhusyukannya. Semoga Nabi
pun mengirim salam kepada kita karena beliau adalah .rasuulunminanfusikum aziizun alaihi anittum hariitsun alaikum bilmuminiina
rauufur-rahiim. Atau dengan begitu banyak lainnya Ayatullah yang
maha sakti, yang apabila ia dibacakan maka .suyyiratbihil-jibaalu au
quthiatbihil-ardhu au kullima bihilmautaa.
Tidak percayakah Saudaraku akan kesaktian mukjizat AI-Ouran? la tidak
hanya sakti segi kesastraannya saja, tapi juga sakti dan maha benar
segala dimensinya. la adalah karya Allah, sehingga segala yang
difirmankanNya laa raiba fiihi. Bahkan api tak membakar Ibrahim, bahkan
hujan diperkenankan turun oleh Istisqa kita bersama. Tak ada yang
mustahil bagi-Nya. Kalau ia mau: .maa amarnaa illaa waah idafun
kalahmin bil-bashor.
Cuma, kita bukan makhluk manja. Kita bukan pengemis yang tak punya
otak atau rasa malu. Untuk urusan kacang goreng atau masalah
masalah rasional kecil lainnya tentulah kita bereskan sendiri secara
manusia.
Kita tidak lantas meminta agar segala urusan kita Allah yang
mengurusnya. Kita bukan anak sekolah yang kurang belajar maksimal dan
hanya mengandalkan doa dan sesudah terkabul lantas lupa bersyukur.
Dan lagi, segala sesuatu ada syaratnya. Kita tidak bisa hanya mentamengi
diri dengan mukjizat AI-Quran apabila secara keseluruhan AI-Quran tak
kita laksanakan nilainya. Tanpa mematuhi AI-Quran berarti AI-Quran
enggan menyatu dengan kita, atau kita tak cukup bersih untuk
menyatukan diri dengan AI-Quran, dan dengan demikian kita juga tak
bisa menghayati kesaktian ijaznya. Kesaktian magis puncak ayat AIQuran itu ibarat genteng yang melindungi seisi rumah kita dari hujan.
Artinya, kita tahu bahwa genteng tak bisa kita taruh di udara. Mesti kita
bangun fundamen, dinding, kayu penyangga genteng itu, serta tiang
pusat. Nah, kukemukakan kepada Saudaraku di desa itu bahwa umumnya

kita di desa ini sudah cukup membangun fundamen, tiang pun sudah
cukup berdiri, tinggal kita sempurnakan kekuatannya semua, sehingga
bisa kita taruh genteng untuk melindungi kita dari hujan. Jika demikian,
maka Insya Allah kita bukan saja terhindar dari pencuri ayam, tapi juga
segala pencuri yang lebih bermutu, bahkan dari sihir dan fitnah. Kenapa
tidak? Allah Maha Benar bahwa Dia Maha Melindungi. Cuma barangkali
saja di dalam diri kita ayat-ayat Allah itu masih berupa tumpukan genteng
yang mubazir, karena kita tak menggunakan hikmahnya.
Saudaraku itu termangu-mangu. Ketika itu Ashar segera tiba dan kami
beranjak sama-sama ke surau.

Pernah dimuat di Panji Masyarakat No. 415 Tahun 1983

Hancurkan Kebinatanganku
Pada setiap rakaat sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda
memerlukan tahap transisiruku dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi
kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung
tanpa ruku.
Ini acuan pertama.
Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa
karakter atau sifat Allah Swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda
ucapkan selama melakukan shalat.
Pertama, tentu saja Allah yang Akbar. Lantas ia sebagai Rabbun.
Selanjutnya, Rahmandan Rahim. Kemudian hakekat kedudukannya
sebagai Malik. Dan akhirnya Allah yang Adhim dan Ala.
Kedudukan Allah sebagai Akbar atau Yang Maha Lebih Besar (Ia
senantiasa terasa lebih besar, dinamis, tak terhingga, seiring dengan
pemuaian kesadaran dan penemuan kita) kita ucapkan untuk
mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap
berikutnya dalam shalat.
Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam
penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya.
Si Maha Lebih Besar yang dahsyat itu bukannya mengancam dengan
kebesaran-Nya, melainkan mengasuh kita melalui fungsi-Nya
sebagai Robbun.
Sebagai Yang Maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh
sayang. Rahman danRahim. Penuh cinta dalam konteks hubungan
individual Ia dengan Anda, maupun dalam konteks hubungan yang lebih
heterogen antara Ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan
dan alam semesta.
Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja. Ia Malik, hakim agung di hari
perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha
Yudikatif.

Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh


kedudukan itu hanya dengan diri-Nya yang Sendiri, tanpa kita khawatirkan
terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran yang pada budaya kekuasaan
antarmanusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan
sistem trias politica.
Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai Adhim dan Ala. Yang
Mahabesar (horizontal) dan Mahatinggi (vertikal).
Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadariNya sebagai Ala, Yang Mahatinggi itu, tatkala dalam shalat kita berposisi
dan bersikap sebagai binatang. Artinya, kalau kita menyadari
kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita
menelungkup bak binatang berkaki empat.
Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku bagaikan monyet
yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi
sekaligus sebagai kaki yang kita sadari adalah Allah sebagai Adhim.
Dan ketika kita berdiri (qiyam), Allah yang kita hadapi adalah
Allah Rahman, Rahim, danMalik. Binatang yang ruku dan sujud tidak
memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat
dalam urusan dengan Maliki Yaumiddin. Raja Hakim hari perhitungan.
Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk
sorga atau neraka.
Ketika kita menjadi binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri
saat sujud dan ruku, kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka
kita ucapkan subhana robiiya. bukan subhana robbina.
Subyek aku, dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme,
dst lebih dekat ke kebinatangan, dan itu yang harus kita sujudkan ke
hadapan Allah Swt.
Adapun ketika kita berdiri, qiyam, kita menjadi manusia kembali. Dan
subyek kita ketika itu bukan lagi aku melainkan kami. Artinya, tandatanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya,
kebersamaannya, integritas kanan-kirinya. Kalau binatang, secara
naluriah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah mereka tidak dituntut atau
ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah
yang membedakan antara binatang dan manusia. Itu pulalah yang
menghinakan manusia, atau justru memuliakannya.
Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ihram dan
berdiri sebagai manusia, Allah menyuruh kita untuk berlebih dahulu
menyadari kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku. Nanti
sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai
manusia.
Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang
kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia ada baiknya semua
pihak memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir.
Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis,
yang menolak sujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, dan
takabbur.
Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan. []

Dimuat di Harian Republika, 31 Maret 1996, dan terhimpun dalam buku


Keranjang Sampah (Emha Ainun Nadjib, Zaituna, 1998).
Saya vs Anjing
Pagi kemarin saya bermain bola dengan seekor anjing besar berwarna
hitam putih, di halaman belakang rumah seorang teman, di pelosok,
sekitar 40 km dari kota Melbourne, Australia. Hampir tiga jam,
melebihi running time pertandingan Piala Dunia. Satu lawan satu, berbeda
dengan 11 lawan 11. Tentu saja saya ngosngosan, tetapi gejala
flu meler saya menjadi sembuh maklumlah dibanding Sydney kemarin,
cuaca dan suhu udara di Melbourne relatif lebih dingin. Tidak sedingin
Canberra kota yang berpretasi membuat saya tidak mandi 4 hari tetapi
Melbourne tidak stabil, sehingga terkadang lebih menyegat dibanding
ibukota Australia.
Bagaimana saya bisa tersandera di sini, sendirian di rumah, bermain sama
anjing yang lincah bukan main mengingatkan ketika saya masih muda
bermain bola dengan tujuan adu gares atau slongketankaki. Pengalaman
kesunyian saya kali ini sungguh berbeda dengan tradisi sunyi hidup saya
selama ini.
Oh, anjing! I love you anjing! Tentu saja saya bermain bola dengan pakai
sepatu di kaki, berusaha tidak menyentuhkan kulit saya dengan bola yang
digigit dikulum anjing terus menerus.
Saya tidak akan menyebut anjing makhluk yang rendah. Ia adalah
makhluk Tuhan yang sekedar berbeda dengan saya. Sebagaimana kalau
bikin kopi jangan dicampur dengan garam atau apalagi sambal. Bukan
karena sambal lebih rendah derajatnya dari kopi, tetapi estetika tidak
menghendaki mereka berdua diaduk jadi satu. Sayapun tidak menyambal
dannguleg diri saya dengan air liur anjing. Saya bermain, bekerjasama,
bermesraan dari suatu jarak yang menjaga kehalalan.
Oh, anjing! Pendawa mengalami ribuan nasib dengan seratus saudaranya
Kurawa: saling cemburu, mempertarungkan rasa hak milik, kalah judi,
menjadi gelandangan di hutan, kemudian memasuki sampyuh Bharata
Yudha perdebatan moral dan kebimbangan teologis yang panjang,
memasuki pemikiran-pemikiran sangat mendalam terutama dalam dialog
Kresna dan Arjuna. Di puncak riwayatnya, mereka berlima menang. Tetapi
ketikalorolopo menuju sorga, satu persatu dari lima bersaudara Pandawa
ini tak kuat tak tahan uji. Sampai akhirnya hanya Puntadewa alias Prabu
Darmakusumah yang menapaki tanah di depan pintu nirwana. Namun ia
yang berdarah putih ini pun gugur, dan tinggal anjingnya memasuki
sorga.
Tak berani aku meremehkan anjing. Puncak keberanianku hanyalah
meremehkan diriku sendiri. Bukankah orang di jalanan yang menjumpai
seekor anjing kehausan dan memberinya minum dijauhkan ia dari api
neraka? Bukankah tidak menolong tidak memberi makan kepada anak
anjing yang kelaparan saja kita diancam dijilat api neraka?
Siapa tahu aku ini anjing. Jadi kalau ada orang memakiku Anjing! aku
tidak boleh marah. Atau mungkin malah berterima kasih karena dengan

disebut anjing sesungguhnya aku dijunjung kehormatanku padahal


aslinya aku tidak akan pernah mampu sesetia dan sejujur anjing.
Saya bermain oper-operan bola dengan Penny si betina yang besar,
sambil Wolly yang cowok menyaksikan di sisi pagar. Tak pernah saya
punya pengalaman apapun dengan anjing. Tak punya habitat pergaulan
dengan anjing. Tapi Penny sepertinya jatuh cinta kepada saya. Ia terus
menerus mendatangi saya dengan menyodorkan bola yang ia kulumkulum dan ia sodorkan ke tangan saya.
Saya coba berbicara kepadanya dan memintanya untuk meletakkan bola
di depan kaki saya. Ternyata ia mau. Maka kami bermain-main
bermesraan sesama makhluk Allah. Aku yang menendang bola, ia menjadi
kiper. Babak pertama saya kalah, capek duluan dan terdudukmenggehmenggeh. Ronde berikutnya saya balas Penny yang ngos-ngosan,
bersimpuh sambil menjulur-julurkan lidahnya.
Jalaludin Rumi memberi makan kepada tiga ekor anjing yang kelaparan.
Orang yang lewat bertanya kepadanya: Siapa anjing yang kau beri
makan itu? Rumi menjawab: Itu adalah aku.
Mbok Nggak Usah Ada Neraka
Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, di test dulu bagaimana ia
membaca kalimat syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan caranya
sendiri dalam bersyahadat. Suatu cara yang Gus Dur saja pasti tidak
berani melakukannya, minimal karena badan Gus Dur terlalu subur
sementara Saridin adalah lelaki yang atletis dan seorang pendekar silat
yang mumpuni.
Tapi sebelum hal itu diceritakan, karena Saridin khawatir Anda kaget
lantas darah tinggi Anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa
hal mendasar yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun perlahan-lahan
secara rasional memutuskan untuk melihat dan memperlakukan
kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh
namun ia menjalaninya dengan urat saraf yang santai dan dengan
kesiapan humor yang setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin bahwa
Tuhan sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor.
Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk menyebut
bahwa Tuhan itu Maha (Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan
watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalnya di satu
pihak Tuhan itu Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau
di satu sisi Ia Maha Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di
satu dimensi Ia Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus pada dimensi lain Ia
Maha Penahan Rejeki terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu
suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala kita tidak pusing.
Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau menyiksa
hamba-hambaNya menurut konteks dan posisi nilai yang memang relevan
untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka mbalelo
kepadaNya: Tuhan tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak

menyembunyikan matahari dari para perampok, Tuhan tidak menghapus


ilmu dari otak para koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepadaNya. Tuhan
tidak mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepadaNya.
Kalau Tuhan menahan rejeki orang yang taat kepadaNya, maka
penahanan rejeki itu mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang
merupakan metoda agar orang tersebut menghayatinya dan memperoleh
nilai yang lebih tinggi. Atau kalau seseorang yang baik kepada Tuhan tapi
lantas diberi kemiskinan atau penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu
di antara tiga kemungkinan.
Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau Tuhan berkenan
mengkritik kita. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik.
Kedua, itu ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan
kenaikan pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini
lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan
pembersihan diri, memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia, ide-ide
penciptaan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak
sekali mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai humor.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya yang
membuat Saridin berpikir: Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha
pencipta humor, atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah
Entertainer Agung bagi jiwa dahaga manusia.
Soalnya kelakuan monyet kan mirip-mirip Anda.
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya hal-hal yang lucu di muka
bumi ini, bahkan juga mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat sering
tertawa riang atau tertawa kecut kalau melihat atau mengalami
kehendak-kehendak Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam tinggal di
sorga, Tuhan sengaja bikin pohon Khuldi, tapi dilarangnya Adam
menyentuh. Tapi pada saat yang sama, Ia ciptakan Iblis untuk menggoda
agar Adam melanggar larangan itu dan akhirnya terjadi benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka bumi, dan kita semua
terpaksa menjumpai diri kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.
Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh konsep adanya negara.
Oleh adanya organisasi pemerintahan yang kerjanya memerintah dan
melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih memang berhak seratus persen
memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan kita dan
semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin
hidup manusia.
Tapi pemerintah kan nyuruh kita cari makan sendiri-sendiri. Kalau kita
kelaparan atau dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada
pemerintah.
Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa kita sebuah berada di
bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan
lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu. Semakin
banyak di antara kita yang mati, secara tidak langsung program KB akan
semakin sukses.
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia. Kalau di negara sosialis
dulu, rakyat dijamin kesejahteraannya meskipun minimal, namun sama

rata sama rasa dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak boleh
membantah, alias tidak ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap
orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan berserikat tapi dengan
syarat harus cari makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani
bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang mengharmonisasikan
dua keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda tidak
usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu protes-protes, karena
toh makan dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin sendiri.
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI, PCPP,
YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda
beserta keluarga akan tidak sampai kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa
kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara
psikologis seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari
yang Maha Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja
kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya
Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok ya
langsung saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini
ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga
bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam,
lantas di dalam perkembangan dunia maupun pembangunan kebudayaan
nasional Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk
menjadi idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme perekonomian
dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan
asasi manusia dan lain sebagainya Setan banyak menjadi wacana
utama. Para penguasa tertentu dan pemegang modal besar tertentu,
banyak memperlakukan Iblis sebagai mitra-kerja, dengan alasan:
Alah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis kok.
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk
bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang
membuktikan bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan
Saridin bahkan membuktikan bahwa ia tidak takut mati. Saridin
membuktikan bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian.
Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna, 1997)

Raja, Ratu dan Buto

Adakah di antara Anda yang merasakan, menyadari atau setidaknya


mengasumsikan bahwa banyak hal yang sedang menjadi pengalaman

kolektif masyarakat kita dewasa ini diam-diam ada kaitannya dengan


idiom-idiom raja, ratu dan buto?
Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta
segala spektrum keilmuan Anda untuk menjawab pertanyaan: apakah
di penghujung abad 20 ini masih ada raja, ratu, atau buto?
Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir
substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga
adalah buto.
Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di
lingkungan kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurangkurangnya kita secara alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi
pengalaman sosial) memiliki potensialitas untuk cenderung menjadi raja,
yang sadar atau tak sadar, kita terapkan di setiap kosmos keterlibatan
sosial kita.
Kita cenderung merajai rumahtangga kita, merajai lingkungan pergaulan
kita, merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh
suatu lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat
feodalistik di mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di
atas, menginjak; kalau di bawah, menjilat atau mengemis.
Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri.
Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang
demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja
yang diktator atas segala keburukan diri kita.
Tetapi apa beda antara raja dengan ratu sesungguhnya? Sehingga
tulisan ini berjudul demikian? Kalau membedakan antara raja dan ratu
dengan buto, masih relatif agak gampang.
Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian
manapun dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah
personifikasi dari salah satu watak gelap manusia yang berpotensi
antikemanusiaan, antikebaikan, antikehalusan.
Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia
lambang kejahatan. Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka,
Rahwana bisa menjadi pahlawan yang ganteng. Justru Prabu Rama itu
imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih tepat untuk digambarkan berwajah
buto.
Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui
gambaran Menakjinggo yang oleh sejarah versi Majapahit digambarkan
sebagai buto yang buruk wajah maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru
raja-raja Majapahit yang raksasa, yang menindas, yang menampakkan
kehendak.

Adapun Menakjinggo adalah pahlawan, nasionalis Blambangan sejati,


pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian Blambangan atas
imperialisme Majapahit.
Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran
fisik dengan watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan
Bagong adalah seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut
performa. Tapi nurani mereka, moral mereka, kasih sayang kemanusiaan
mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak ada yang menandingi.
Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak
kita sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan
seseorang, kostum seseorang, identik dengan realitas per moralnya?
Masihkah kita boleh terjebak oleh surban, oleh performan kepriyayian,
oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh status kehajian seseorang?
Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak
menjamin moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan
performa yang lain: bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti
yang tidak bersurban dan tak bergelar kiai. Mentang-mentang banyak
penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita anggap yang pakai sendal dan
kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif dan sanggup
menemukan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur
harus diterapkan pada semua gejala lambang.
Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk
menyebut kelompok beragama, kita tidak lantas memastikan bahwa
produk perilaku kelompok ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu
bermoral dan selalu berada di pihak yang benar. Sebab bisa saja dari
kaum hijau justru muncul rekayasa dan perilaku ala buto atau raksasa
yang menabrak apa saja dengan kasar, yang meringkus apa saja dengan
brutal, yang melegalisir kudeta ini dan itu, mendongkel dadap dan waru,
yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan. Artinya, dalam
hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat
mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.
Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena
antitesis yang juga kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya
bahwa kita langsung menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang
benar, yang sopan, yang bermoral, yang pro-demokrasi.
Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan
jiwa yang selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu
yang hari-hari ini kita baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita
dengar di radio maupun di warung-warung.
Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang
benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses
informasi yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto.

Kepada raja dikatakan Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi
sangat dibutuhkan pergantian. Dan kepada mereka dikatakan:
He anak-anak, Paduka sudah tidak berkenan lagi sama si Waru, jadi
segera bikin kumpul untuk penggantian.
Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa
merupakan makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai,
atau apapun, yang penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan
khusyu bisa pada momentum tertentu terpaksa menjadi buto, untuk
kepentingan tertentu yang harus dilaksanakan secepat-cepatnya.
Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan
bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dhawuhnya,
perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun
dan penuh wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang
berlangsung di seluruh negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas
senyum sang Ratu. Kalau interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau
interpretasi berdasar kepentingan para buto, susahlah semua rakyat.

Anda mungkin juga menyukai