Anda di halaman 1dari 477

E.

U T R E C H T

Mi ms'
PENGANTAR DALAM

HUKUM INDONESIA

*%

t je ia KAn k e se m b ila n

«VA,,

@
V
1BITAN DAN BALAI BUKU „ IC H TI A R ”
D JA K A R T A
I " ¡ O C T 1999 S
í âOCT ?W3 JV ¿4 (
j D tC 2004' íP ’ / ^ j f

15 HAY ?n w * ß - / • l
tP * ^
rrd5,
P E N G A N T A R DALAM
HUKUM INDONESIA
U tfn
L
oieh ' ? MEl / 5^ '

Dr E. UTRECHT, Sardjana Hukum


(Anggauta Dewan Pertimbangan » Agung, Anggauta Madjelis
Permusjawaratan Rakjat Sementara, Anggauta Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional)

P. T. PENE^BJT DAN BALAI BUKU


D jalaoji'M adjapahit 6
¿r 1

, T ar\qga\ — ¡»..JsL^i-nJ
No. Si\s'i\&h^..,„X^JLJsL,í^,Aímr«<(Ki ]
$ 4 o ■S ? 8

Tjetakan I 1953 (M alang)


Tjetakan II 1955 (Makassar)
Tjetakan III 1956 (Makassar)
Tjetakan IV 1957 (A m hoina)
Tjetakan V 1959 (Am ahusu)
Tjetakan \I 1961 (Bandung)
Tjetakan V II 1962 (Djakarta)
Tjetakan V III 1964 (D'jeniber)
Tjetakan IX 1966 (Djakarta)
FAK. HUKUM dan l>ENG. MASJ
Tanggal
No. Silsi!ah.\,... irfMnmrm
w o - s r s

Tjetakan I 1953 (M alang)


Tjetakan II 1955 (Makassar)
Tjetakan III 1956 (Makassar)
Tjetakan IV 1957 (A m b oin a )
Tjetakan V 1959 (Am ahnsu)
Tjetakan VI 1961 (Bandung)
Tjetakan V II 1962 (D jakarta)
Tjetakan V III 1964 (D jem ber)
Tjetakan IX 1966 (Djakarta)
K A T A PEN D AH U LU AN

P A D A T JE TA K A N K ESEM BILAN

Mulai tjetakan ke-enam, buku ini berangsur-angsur telah diku­


rangi isi maupun djumlah halamannja. Dalam Kata Pendahuluan
pada tjetakan kedelapan dikemukakan bahwa ’ ’Segala pengurangan
ini diadakan terpaksa. Harga buku ini telah m endjadi begitu tinggi
sehingga ham pir tidak terbeli lagi oleh para mahasiswa. Supaja
dapat menjesuaikan harga buku ini dengan daja beli mahasiswa
maka djalan satu-satunja jang dapat kami tempuh adalah mengu-
ranginja. Tetapi pengurangan-pengurangan tersebut tidak m engu­
rangi tugas utama' buku ini, jaitu m endjadi suatu penundjuk-
djalan dalam lapangan hukum positif Indonesia” .
Tetapi apa jang kami keluarkan berangsur-angsur dari buku
ini tidak hilang sebagai bahan peladjaran bagi para mahasiswa.
Filsafat hukum jang dikeluarkan dari Bab I, par. 9, 10 dan 11,
telah ditampung dalam sebuah buku jang diterbitkan tersendiri,
jaitu buku „Ringkasan tentang filsafat hukum” Apa jang di- '
keluarkan dari Bab V II tentang hukum tatanegara dapat dibatja
dalam buku kami „Pengantar hukum tatanegara Indonesia” 2 se­
dangkan apa jang dikeluarkan dari Bab X II dapat diketemukan
kem bali dalam buku kami ’’Ringkasan tentang hukiun internasio­
nal” 3. Buku-buku kami „H ukum Pidana I” dan „H uk um Pidana
II” 4 sudah tentu dikenal oleh para pem batja pada tingkatan pe­
ladjaran jang lebih landjut.
Mudah-mudahan buku ini djuga dalam bentuk jang sangat
disederhanakannja dapat m em enuhi keperluan mahasiswa.

Djakarta, 17 Maret 1966 E.U.

1 Penerbit jang sama, 1964.


2 Penerbit jang sama, 1965.
3 Penerbit jang sama, 1964.
4 P.T. ,,Penerbitan Universitas’1, 1960 dan 1965.

5
<■ i
BAB I

PERIH AL P E N G E R T I A N HUKUM

P a r. 1• I’ i d a k a cl a kemungkinan untuk m em -
b ei i (I e f i n i s j tentang „h n k u m ” .

A pa hukum itu ? Inilah pertanjaan pertama jang semestinja di-


kem ukakan oleh m ereka jang mulai m em peladjari hukum .
M enurut van A p eld oorn 1 tidak m ungkinlah m em beri
6iiatu definisi untuk „liu ku m ” . K am i dapat m enjetudjui anggapan
v an A p eld oorn itu 2. Dari apa jang akan dikem ukakan di
paragraf-paragraf jang berikut akan kita ketahui, bahwa hukum m e­
ngatur hubungan anggauta masjarakat jang seorang dengan jang
lain, begitu pula hubungan antara anggauta itu dengan masjarakat.
H ubungan itu berm atjam -m atjam . Dalam suatu masjarakat terdapat
hubungan orang jang satu dengan jang lain kedua-duanja sebagai ang­
gauta m asjarakat itu, antara orang dalam golongannja, antara orang
dalam keluarjranja, antara orang dengan kaum agamanja. P erkaw i­
nan, tem pat kediam an, keanggautaan organisasi, berm atjam -m atjam

1 „In leid in g lot de S t u d ie van het Nederlands«? recht,” 1 95 5, lial. I.


Lihatlah d juga L e m a i r e „H et recht in Indonesie (H u ku m In d o­
nesia) , 1955, hal. 7 : „D e veelzijdighcid en veelom vattendlieid van
het recht brengen niet alleen met zieh, dal liet on m ogelijk is in een
enkele definitie aan te geven wal recht is, ........................... ” (H u ku m
jan g banjak seginja dan m eliputi segala matjani hal itu nienjebabkan
tak m ungkin orang m em buat suatu definisi apa sebenarnja hukum
•tu ........................... )• Mr D r I. K i s c l i dalam karangan „Reclitsweten-
sehap” jan g dimuat dalam „Scien'lia” , II, hal. 313 : „D oord a t het
recht onwaarneem baar is ontstaat een m oeilijkheid bij het vinden van
een algem een b evred igen d e definitie” (O leh karena hukum itu tidak
dapat ditangkap oleh pantja indra, m aka sukarlah m em buat suatu
definisi tentang „h u k u m ’ ' jan g m em uaskan u m u m ). Oleh K i sc h
dikem ukakan bahwa dalam hukum itu ada suatu anasir „em otion eel
denken” . B anjak buk u pengantar 'ilmu hukum tidak m em beri definisi
apakah ,,hu ku m ” itu. M isalnja, buku G u s t a v R a d b r u c h „E in ­
führung in de Rechtswissenschaft” , 1 9 5 2 ; Walther Burck-
h a r d t „E in fü h ru n g in die Rechtswissenschaft” , 1948.
3 Terhadap pendapat ini ada kritik P rof. Mr M.M. D j o j o d i g o e n o
dalam m adjalah „G ad jah Mada” , tahun kesepuluh n om or 4 (D ju li
1 9 5 9 ), hal. 191-195, dan m adjalah „G am a” , 6 , V III, hal. 3-5 dan 16.

7
perdjandjian jang diadakan dalam lapangan perniagaan, dst. m e­
rupakan hubungan kemasjarakatan jang diatur oleh apa jang dina­
makan „hukum ” .
Hukum itu gedjala kemasjarakatan, gedjala sosial — lihatlah
par. 2 jang berikut. D jadi : agar ada hukum, maka perlu ada m a-
sjarakat orang. Bilamana tidak ada masjarakat orang, maka tentu
tidak ada hukum. Oleh sebab tidak dapat dikatakan terlebih dahulu
hubungan konkrit matjam apa jang terdapat dalam sesuatu m asjara­
kat dan tiap-tiap hubungan konkrit itu m em punjai segi-segi jan g
beraneka-warna, maka tidak dapat pula bagi seseorang m engatakan
hukum matjam apa jang mengatur hubungan konkrit tersebut. Se­
bab hubungan-hubungan jang diatur oleh hukum ada seribu satu
matjam, dan demikian djuga halnja dengan segi-segi hukum itu,
maka tak mungkin dibuat definisi jang m eliputinja dalam segala-
galanja.
Dalam paragraf-paragraf jang berikut akan kami tindjau b eb e­
rapa segi-segi dari hukum, misalnja, hukum sebagai gedjala sosiaL
hukum sebagai segi kebudajaan, hukum sebagai kaidah (n orm a ),
hukum sebagai alat Revolusi Indonesia, hukum sebagai alat penga-
jom an, dst.. Sesudah mendapat keterangan sedikit tentang segi-segi
hukum tersebut, maka orang akan insjaf akan luasnja benar-benar
lapangan hukum itu.

Par. 2: Hukum sebagai gedjala sosial.

Manusia, dari kelahiran sampai meninggal, hidup diantara m a­


nusia lain, jakni hidup didalam pergaulan dengan manusia lain.
Manusia adalah anggauta masjarakat. Hal ini telah pada djam aa
kuno dinjatakan oleh seorang ahli filsafat bangsa \unani jang b er­
nama A r i s t o t e l e s . Katanja manusia itu „z o o n politicon ” 3,

3 Lebih kuat kata Prof. P.J. B o u m a n „A lgem ene m aatschappijleer,”


1949, hal. 14 : „Manusia baru mendjadi manusia setelah ia h idnp
bersama dengan manusia lain” (tcrdjem ahan jang dibuat oleh S n -
j o n o „Ilm u masjarakat umum” , 1953, hal. 16) ; Mr M a h a d i
(„Sum ber-sum ber Hukum’ ’ , I, 1956, hal. 1 8 ) mem buat perintjian se­
bagai berikui : ,,Manusia modern dizaman sekarang benar-benar teng­
gelam didalam anjáman ikatan-ikatan. Pertama dia anggota dalam
masjarakat negara. Kedua, anggota masjarakat keluarganja, ke'iiga
anggota masjarakat perkumpulan politik. Seterusnja serikat sekerdja,
koperasi pegawai, perkumpulan sepak bola, persatuan pentjak, dart
sebagainja lagi, ...............................” ,

/
Masing-masing anggauta masjarakat itu berkepentingan (ber-
keperluan). Ada anggauta jang berkepentingan sama, tetapi a d a -
djuga anggauta jang m em punjai kepentingan jang bertentangan.
Misalnja, kepentingan pendjual dan kepentingan pem beli itu tidak
iama. Kepentingan pendjual itu menerima pem bajaran, kepenti­
ngan pem beli ialah penjerahan kepadanja barang jang dibeli.
Pertentangan antara kepentingan manusia itu dapat m enim ­
bulkan kekaljauan dalam masjarakat, jaitu bilamana dalam m a­
sjarakat tidak ada suatu kekuasaan — jakni suatu tatatertib —
jang dapat m enjeimbangkan (in evenwicht houden) usaha-usaha
jang dilakukan untuk memenuhi kepentingan jang bertentangan
tersebut.
Oleh sebab itu, 'supaja perdamaian — terutama perdamaian
ekonom is — dalam masjarakat tetap terpelihara, maka oleh ma­
nusia sendiri (jaitu golongan jang berkepentingan) dibuat petun-
djuk-liidup (levensvoorschriften). Supaja perdamaian dalam m asja­
rakat tetap ada, maka masjarakat memerlukan petundjuk-hidup itu,
dan petundjuk-hidup itu — jang biasanja diberi nama kaidah (norm )
— terdapat dalam hukum, kebiasaan, adat istiadat, agama dan kesu­
silaan. Oleh karena masjarakat djustru memerlukan petundjuk-hidup
itu, maka petundjuk-hidup itu m endjadi suatu gedjala sosia l4,

4 Bagi pandangan sosiologis murni, maka djuga agamapun lianja suatu


gedjala sosial (kem asjarakatan) sadja. Memang lainlah, anggapan
niereka jan g mendasarkan pandangan liidupnja — termasuk djuga
pandangan liidupnja tentang hukum — atas suatu kepertjajaan pada
suaiu kekuasaan jang ada dialas dunia ini. Misalnja, B e l l e f r o i d ,
„In lcid in g tot de rechtswelenschap i.n Nederland” , 1952, jan g beragama
K atolik R om a. Dem ikian djuga Dr J.J. D o r m e i e r „Pengantar
lim a H ukum ” , 1952 (d jilid I ) dan 1955 (d jilid I I ) . Batjalali Mr
W. Zevenbergen „F orm eele eneyelopaedie der rechtsweten-
schap’ % 1925. hal. 49-53, penting djuga hal. 55-64. Lihatlah djuga
van Apeldoorn tentang hukum dan kaidah-kaiduh eitika jang
lain. V an A p e l d o o r n (hal. 1 8 ) beranggapan bahwa agama,
moral, hukum dan kesusilaan itu bersama-sama m erupakan etika
(eth ica ). Agama dalam arti kata sempi't adalah ikatan antara Tuhan
dan manusia (hal 2 4 ). Pandangan van A p e l d o o r n mengenai
hukum ‘lidak didasarkan atas agama. Bagi kam i, jan g m endjadi dasar
pada um um nja segala penghidupan sosial ialah „d ie Produktionswei­
se des materiellen Lebens” , jang m enurut K a r l M a r x „bedingt
den rechtspolitischen u n d ' geistigen. Lebensprozess überhaupt” . Lihat­
lah n oot 54. Kam i dapat mengikuti anggapan M a r x itu, tetapi de­
ngan pembatasan bahwa ada djuga gedjala sosial jang tidak rasionil
ekonom is. Tetapi gedjala itupun buatan manusia sadja.

9
jakni suatu gedjala jang terdapat dalam m asjarakat. Sekali lagi
kam i njatakan bahwa hukum adalah suatu gedjala sosial, dan
tiada masjarakat jang tidak mengenal hukum 5.
Sebagai suatu gedjala sosial, maka hukum itu m em p u n ja i sua­
tu funksi — suatu tugas tertentu — dalam m asjarakat, ja ilu h u ­
kum itu berusaha membawa djam inan bagi seseorang, bahw a ke-
pentingannja diperhatikan oleh setiap orang lain. M isalnja, pasal-
pasal 1474 dan 1513 K.U.H. Perdata- Ketentuan pertama m em baw a
djam inan bagi pem beli, bahwa barang jang telah dib eli akan d i­
serahkan kepadanja. Ketentuan kedua membawa djam inan bagi
pendjual, bahwa ia akan menerima pem bajaran. O leh kedua k e­
tentuan tersebut maka dua kepentingan itu disetarakan.

5 V a n A p e l d o o r n , hal. 6 : „R ech t is er over de gehele wereld.


overal waar een samenleving van niensen is” (H u ku m terdapal di
seluruh dunia, di mana ada suatu masjarakat m anusia). A n gga p !*11
jang m od em ini belum lama diterima umum. Sebeluninja masih
diterima anggapan, bahwa hukum itu hanja terdapat dalam m asja-
rakat jang telah ,,beradab” (beschaafd) - (Tetapi dju ga pada waktu
sekarang masih ada pengarang jang mempertahankan anggapan ja n g
usang dan salah it u . Misalnja, N.S. T i m a s h e f f „A n I n t r o d u c t i o n
to the Sociology o f Law” , 1939, hal 273 (gan djiln ja ialah T i m a -
s li e f f tidak dapat membuktikan pendapatnja dengan m en jebu t
tjontoh !) . Lihatlah djuga utjapan W i I 1 i a m F. O g b u r n dan
M e y e r F. N i m k o f f jang agak gandjil, dalam buku niereka
,.A H andbook o f Sociology” , 1950, hal. 34 : „In civilised societies
the mores tend to take form o f Jaw” (kursif dari k a m i). A n g g a p a n
sematjam ini w enJjudi dasar pandangan II o b b e s, L o c k e dan
o u s s e a u, ketika mereka membuat teori-teori perdjandjiati (v cr-
dragstheorien) mereka. Lihailah Bab V II, par. 3 ).
Bahwasanja sekarang diterima umum anggapan : hukum itu terdapat
di seluruh dunia asal ada suatu masjarakat manusia, itulah terutama
oleh karena penjelidikan jang diadakan oleh antropologi budaja (cu !-
Imal anthropology) jang telah dapat m em pengaruhi ilm u -hukum
inodern. Antropologi budaja telah ntenginsjafkan kita bahwa hukum
*1“ seperti kesusilaan, moral dan agama — suatu kaidah sosia!
iasa. Jang jrneinbedakan kaidah hukum dari kaidah-kaidah lain,
itulah tidak lain dari pada hal hukum itu m endjadi kaidah jang' ter­
utama dipertahankan oleh suatu pemerintah (overh eid ) negara (M a -
1 i n o w s k y da,n T h u r n w a 1 d, lihatlah d ib aw a h ).
Definisi jang dibuat oleh dua ahli antropologi budaja :
Melville Jacobs dan B e r n h a r' d J. S t o r n „G en eral
A nthropology” , 1955, hal. 188 : „Law ^is the com plex o f rem em bered
or recorded cases, precedents, procedure, and decisions, the p e o p le ’ s
customs and mythology, and the social o r governm ental m achinery
which resorts to such sanctioned sources fo r solutions o f tension

10
situations within the com m unity. Every society possesses sucli a
heritage o f precedents, ideas and custom s, and a m achinery o f pro-
cedure which can be applied to new con flicts in sockil relationships.
In this sense law is not a special and systematized kind o f social
control which is developed only in com plexly organized societies, but
is universal like the fam ily, language, or art. H owever, the law
operates in different wavs in different social systems” (k u r s if dari
k a m i).
B ebeiapa pem batjaan lain m engenai Iiukum dalam pandangan ahli-
ahli antropologi budaja :
Masih tetap sualu „standaardwerk” adalah buku R. T h u r n w a 1 d
„D ie m enschliche Gesellschaft in ihren etlino-soziologischen Grund­
lagen , djilid V : „W erd en , W andel und Gestaltung des Rechts im
U chte der V üikerfcrschung’ % 1 93 4; „standaardwerk” jan g lebih
„fecen t : E. A d a ni s o n II o e b e 1” „T h e Law o f Primitive Man
1954, dan A.L. E p s t e i n „Ju ridical Techniques and the Judicial
Proi css, A Study in African Customary Luw” , 1 9 5 4 : pen ti'ig diper­
hatikan : karangan J u l i u s E. L i p s ,,Governm ent” , dalam buku
„G eneral A nthropology” , 1938, jang diterbitkan dibawali pim pinan
Franz Rous; R.H. L o w i c „T h e Origin o f the State” , 1 92 <,
dan „S ocial Organization” , 1948, liai. 1 5 6 - 1 7 5 ; K aj Birket-
S m i t h „G eschichte der K ultur’’ (tcrdjeniahan dari bahasa Denm ark :
„K u h u ren s V eje” , 1 9 4 1 -1 9 4 2 ). 1946, hal. 362-376 : „A n fä n g e des
R echtslebens’ ’ ; M.J. H e r s k o v i t s „M an and His W o rk ” , 1948,
bab m engenai „P olitical Systems : the Ordening o f Hum an Relations ’ ;
dalum bahasa Belanda : pidato dies P rof. Mr 15. T e r H a a r „H e l
adatrecht en de volkenkunde in wetenscliap, praktijk en onderwijs ,
Batavia (D jakarta) 1937, dan tjeramah P rof. Mr C. T j. B e r t l i n g
,,A nthropologie en rechtsstructuur” dalam madjalah ,,Indonésie” , V III,
2, bal 148 - 161 (dua pengarang bangsa Belanda ini sebetulnja bukan
ahli antropologi budaja, tetapi sardjana hukum adat In d on esia). Tidak
boleh dilupa : B. M a 1 i n o w s k y „C rim e and Custom in Savage
Society” , 1926 (1 9 6 0 ).
B uku-buku peladjaran antropologi budaja dalam bahasa kita :
Dr K o e n t j a r a n i n g r a t „M etode-m etode anthropologi dalam
penjelidikan-peiijelidikan masjarakat dan kebudajaan Indonesia (se­
buah iclviisar)” , disertasi Djakarta 1958 (tjetakan kedua 1 9 5 9 ), dan
„P engantar A n tropologi” , I, 1959. Penting pula prasaran Drs J .B.
A v6 „Lah'irnja antropologi sebagai ilm u dan perkem bangan selan-
d ju ln ja ” , 1959.
Di sam ping antropologi budaja itu, tetapi chusus untuk masjarakat
jan g barat, maka djuga sosiologi m endjadi penting bagi peladjaran
hukum . Mengenai pentingnja sosiologi bagi ilmu hukum lihatlah ter^
utama ringkasan historis dalam buku G. G ii r v i t c h „S ociolog y o
Law” , 1953, lud. 53 - 155 : Th e forerunners and problem s o f the
sociology o f law (dari buku G u r v i t c h ini ada terdjem ahan a-
lam bahasa Indonesia oleli Su m a n t r i M e r t o d i p u r o ( an
diperiksa oleh Drs M o h . R a d j a b ) „S o sio lo g i hukum ” , 1 9 6 3 ;-
B uku-buku peladjaran sosiologi ja n g ditulis dalam bahasa kita :
Drs J.B .A .F. Mayor Polak „S o sio lo g i” , 1959, jang men'J *
buku baku jan g pertama jang ditulis oleh seorang sardjana^ 19|g
k ita ; P ro f. M r M.M. D j o j o d i g o e n o „Asas-asas sosiologi ,

11
Par. 3: Hukum sebagai segi kebudajaan.

L o w i e membuat suatu definisi tentang kebudajaan sebagai


berikut: „In the scientific sense „„culture” ” .................... mean(s)
............................... the whole of social tradition. Il includes, as the
great anthropologist Tylor put it, „„capabilities and habits acquir­
ed by man as a member o f society.” ” Culture includes all these
capabilities and habits in contrast to these numerous traits ac­
quired otherwise, namely by biological heredity” 6. Teranglah, seba­
gai gedjala sosial, jaitu sebagai sebagian „w hole of social tradition’ ,
maka hukum itu mendjadi suatu aspek (aspect) dari kebudajaan *.
Seperti halnja dengan agama, kesusilaan, adat istiadat dan kebiasa­
an, jang masing-masing mendjadi anasir-anasir kebudajaan kita.
Sebagai anasir kebudajaan maka hukum itu djuga m em perlihat­
kan sifat dan tjorak kebudajaan jang bersangkutan. D engan kata-
kata lain : sifat dan tjorak, djuga isi, dari hukum ditentukan
oleh sifat dan tjorak kebudajaan jang bersangkutan.
suatu pengantar elementer, dan Drs K h o e S o e K h i a m „Sendi-
sendi sosiologi’ ’ 1963, suatu pengantar jang lebili luas dari pada
pengantar jang ditulis oleh D j o j o d i g o e n o .
Sebutan beberapa ahli hukum jang menegaskan bahwa hukum itu
gedjala sosial dan terdapat dalam masjarakal :
L o g em an n „O ver de theorie van een stellig staatsrecht” , 1948,
hal. 2 : „N u is m en liet eens, dat recht op de een o f andere
wijze op de menselijke samenleving is betrokken’’ (Um um telali di-
setudjui bahwa bagaimanapun djuga hukum itu m empunjai hubu- -
ngan dengan masjarakat). Pengarang ini meliliat hukum sebagai sema­
ta-mata suatu „sociaal-psychiscli gcbeiiren’ ’ .
Zevenbergen (hal. 28 d jb .) m em ohon perhatian untuk „p sy ­
chologische oorsprong” dan „psychologische grondslag” dari hukum .
Van- K a n ,.Inleiding tot de rechtswetenscliap” , 1956, lial. 9 :
„R echt is dus alleen denkbaar in de samenleving” (Dengan demikian
hukum lianja mungkin terdapat dalam masjarakat sadja).
R,M. M a c l v e r »The W eb o f Government” , 1952, lial. 61 : ,.A
system o f ordered relationships is a primary condition o f human life
at every level. More than anything else it is what society means. Even
an outlaw group, a pirate ship, a robber gang, a band o f brigands,
has its own code law, wi'thout which it could not exist. The picture
o f the „„lawless savage” ” (running wild in the woods, is wliollv ficti-
* * ' ^ ' ° i o del V e c c h i o „Lehrbuch der Rechtsphilosophie” ,
1951, .,al. 4 0 : „Zu allen Zeiten und bei allen Völkern findet sich
ein positives System des Rechts (d.h. eine Gesamtheit von Sätzen oder
S k ,e r J * " t * L.Cben deS Volkes mit d in g e n d e m Cha-
rakte gestalseivund regeln). Es gibt also eine vielgestaltige Reihe sol-
6 R H L o l T e gemAn In i ^ c h i e d e n h e i t der V ölker und der Zeiten” .
hal . 3 introduction to Cultural Anthropology” , 1952,
7 V a n A p e l d o o r n hal. 7 » Ti«,»
standpunt beschouwd, een stuk'vän de » / ? ? •" £ len“ haPPd }>k
ilmu m akii hukum 5t« cultuur (Ditindjau dan sudut
v e n b e r g e n hal 64 67 ” * u g,Un kebudai £la'0 •Batjalah W . Ze-
v e n h e r g e n , hal. 64-67 . „R echt en Cultuur” ; G u s t a v Rad-

12
Par. 4 : Hukum sebagai k a id a h (n o r m).

Sebagai kaidah (n orm ) hukum itu dapat dirumuskan sebagai


berikut :

Hukum adalah himpunan petundjuk-hidup (perintah-perintah 8


dan larangan-larangan) jang mengatur tatatertib dalam sesuatu ma­
sjarakat, dan seharusnja ditaati oleh anggauta masjarakat jang ber­
sangkutan, oleh karena pelanggaran petundjuk-hidup tersebut dapat
m enim bulkan tindakan dari filiak pemerintah masjarakat itu

1» r u c h „Einführung: in die Rechtswissenschaft” , 1932, lial, 1 5 :


„Rechtsgesetze als Kulturgesetze” ; Prof. Mr S o e t a n M o l i . S j a l i
„U ndang-undang adalah karva kebudajaan” , pidato pelantikan Maka­
sar 1959 (dim uat dalam madjalah „Universitas Hasanuddin” , I, 1
(M ei 1 9 6 0 ), hal. 16-23, dan 2 (D ju li 1960), hal. 1-6, dan W o n g -
s o n e g o r o , S.h., „K ebudajaan Indonesia dan realisasinja dalam hu­
kum ” , prasaran di muka Seminar Hukum Nasional di Djakarta 1963.
Chusus berhubung dengan hukum adat : B u s h a r M u h a m m a d ,
S.h., ..Pengantar hukum adat” , I, 1961, hal. 39-48.
K. T h u r n »■ a 1 d „W erden, Wandel und Gestaltung des Rechts
im Lichte der Völkerforsehung” , hal. 2 : „E s kommt darauf an, die
Rechte als Ausdruck einer Kulturhaltung aufzufassen, d.h. aus dem
Kultursvsteni die Rechtsordnung funktionell zu erfassen und zu ver­
stehen, die Rechtsordnungen auf Grund davon zueinander in Be­
ziehung zu setzen, und vor allem die Realität des Lebens und der
wirklichen H andhabung des Rechts mit den Forderungen der Rechts­
sätze und ihrer logischen Systematik und Abstimmung auf einander
zu untersuchen” . ___
(Supaja lengkap, maka perlu kami kemukakan bahwa T h u r n w a 1 d
termasuk golongan para funksionalis (functionalisten; dalam antro­
p ologi budaja — lihatlah R.H. L o w i e „T h e History o f Ethnologieal
Theory” , 1937, hal. 228-247. Aliran funksionalis terasa djuga didain
buku B. M a 1 i n o w s k v „C rim e and Custom in Savage Society” ,
1926 (1 9 6 0 ).
8 Lihatlah Schölten „Algem een Deel” , 1934 hal. 16 : „R eeds
daarin ligt, dat het eeti regel van behoren is, een bevel” (Disini-
pun sudah njata bahwa hukum i*u mendjadi suatu petundjuk
tentang apa jang lajak d'ikerdjakan apa jang tidak, demikian suatu
p erin tah ). L o g e m a n n, van A p e l d o o r n , B e 11 e f r o i d,
van K a n, L e m a i r e, K e l s e n , T h u r n w a l d, W a l t h e r
B u r ck hardt dan banjak pengarang lain. Apa sebabnja kami
m endefinisi hukum itu sebagai suatu him punan perintah-perintah dan
larangan-larangan mendjadi djelas bagi pembatja kalau ia mengata-
kui bahwa kami mengikuti leori keputusan (beslissingcn-leer) dari
1e r Haar dengan semua konsekwensinja. Mengenai teori t e r
H a a r lihailah Bab IV, par. 5.
9 Bandingkanlah definisi B e 11 e f r o i d, hal. 1 : „S leliig recht is een
ordening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde ge-
meenscliap geldt en op liaar gezag is vastgesteld” (Hukum jang ber­
laku di sesuatu masjarakat mengatur tatatertib masjarakat itu, ds-

13
Ternjata dari definisi jang kami sebut diatas, b u k u m b erm a k -
sud mengatur tatatertib masjarakat. D isilulah tam pak apa ja n g
mendjadi suatu tanda dari hukum , jaitu adanja perin ta h (atau
larangan) jang tiap orang s e h a r u s n j a m entaatinja. S ekalian ora n g
wadjib bertindak (berkelakuan) sedem ikian sehingga tatatertib da-
' lam masjarakat tetap terpelihara. H ukum itu m em buat b erm a tja m
matjam petundjuk jang menentukan sikap orang ja n g satu terha­
dap jang lain. Hukum itu terdiri atas kaidah-kaidah ja n g selia-
rusnja ditaati oleh anggauta masjarakat.
Hukum merupakan suatu him punan 10 k aida h -k a ida h , dan
kaidah-kaidah itu b e r m a tja m -m a tja m tetapi m erupakan kesatuan
pula : kamu tidak boleh m e n tju r i m ilik orang lain (ja itu k aida h
jang tersimpul dalam pasal-palal 362 dan jan g b erik u tn ja Iv.U.H.
Pidana, tetapi djuga dalam agama, dalam kesusilaan) ; d jik a kam u
membeli barang maka kamu harus m e m b a ja in ja (ja itu k aid.m ja n « ,

tersimpul dalam pasal-pasal 1513 dan jan g berik u tn ja K .U .H . P erd a ­


ta, tetapi djuga dalam kesusilaan).
A kan tetapi tidak sekalian orang tjenderung m entaati k aidah-
k a id a h itu. Agar sesuatu p e tu n d ju k -h id u p ditaati, ja itu m en d ja d i
kaidah, maka petundjuk-hidup itu harus dilengkapi dengan anasir
jang memaksa (d w a n g e le m e n t) n . K aidah adalah p e tu n d ju k -h id n p
jang memaksa.

i i i ■ ¡ n(y 'ifla. Diiilii m a s j a r a k a t ) . L ilir .ila h tljii|xa


dasarkan atas kekuasaan jan g a«la P* d ihual o le h b eb era p a sar-
perumusan-perumusan tentang I.ukun j ^ Mr S o e d i m u u

■ «- <» 5 ,5 7
10 Bans K e ls e n („ G e n e r a l T h e o r y o f L a w a n d S la t e ’ ’ , 1 9 4 9 , h a l 3 )
menegaskan „Law is not, as is sometimes sai , a 111 t a -e
o f rules having the kind o f unity we understand b y a system . ^
11 L* o g e m a n n , kal. i i 2 nn 2; v a n,, iv
K' n n««*.
hal. S? L e m a *i r Hal*
5 5 ; H a n s K e l s e n „General Th eory” , 1 94 9, hal. 18 : Law as a
coercive order; W. B u r c k h a r d t „E in fu h ru n g , ia - . ,, as
Recht muss erzwingbar sein” .
Anggapan dua orang ahli antropologi budaja :
A.R. R a d c l i f f . B r o w n „P rim itive Law” dalam „E n cy clo p a e d ia
o f the Social Sciences” , IX , 1933 (1 9 5 7 ), hal. 202 : „ T h e o b lig ­
ations imposed on individuals in societies where there are n o legal
sanctions will be regarded as matters o f custom and con v en tion but
not o f law . Anggapan ini sesuai dengan teori keputusan (b e slissin g en -
leer) dari t e r H a a r. Tetapi anggapan R a d c I i f f - B r o w n i
........................................ in this sense som e sim ple societies have n o
law” , itulah kelebihan jang salah.

14
Pada umumnja tidak ada kaidah jang didalam nja tidak me­
muat anasir jang memaksa. Demikian joeraturan hukum adalah
terutama peraturan jang memaksa orang berkelakuan seperti jang
dikehendaki oleh masjarakat, dengan demikian hukum merupakan
peraturan jang memaksa orang inentaati tatatertib masjarakat orang
itu : kamu wacljib taat pada tatatertib masjarakat. Hukum — seba­
gai kaidah — memuat suatu „w aarde-oordeel” jang memaksa, jaitu
suatu pendapat jang memaksa tentang apa jang lajak apa jang tidak
lajak, menurut apa jang diterima umum, jang seharusnja ditaati.

P a r. 5. : P e 11 g a r u h agama, k eb iasaan atau ad at


istiadat 12 d a 11 k e s 11 s i 1 a a n atas hukum i tu.

Sudah djelas sekarang hukum itu suatu himpunan berm atjam -


matjam kaidah jang bertudjuan mempertahankan tatatertib ma­
sjarakat. Tetapi kaidah jang bertudjuan mempertahankan tatater­
tib masjarakat itu terdapat djuga dalam agama, dalam kebiasaan,
dalam adat istiadat didalam masjarakat dan dalam kesusilaan. Jans:
kami maksud dengan „kesusilaan'” ialah semua kaidah jang ada

T I) u r n w a 1 d „W eid en , Wandel und Gestaltung des Rechts im


Lichte der VöikerforcImiis:"\ hal. 2 : „D ie Ordmnesqual'jJät des Rechts
bedingt logisch „„Z w a n g” ” . Mit ihm stellt die Ordnung in Korrelation.
Es köm m t daher nicht allein auf die Ordnung selbst an, sondern
darauf : 1. wie der Zwang organisiert ist durch autoritative Faktoren
(sakral-demokratisch, oder rationalistich-despotisch, um zwei Beispiele
herauszuheben); und 2. in welcher W eise die Zwang ausübenden Fak­
toren in der Lage und W illens sind, im konkreten Fall chirchzugreifcn.
Moment eines o r g a n i s i e r t e n Zwanges hebt die Rechtsordnung
heraus gegenüber Brauch und Sitte. Die Rechtsordnung fragt nur nach
H andlungen, nach Verhaltensweise'n, und hat fü r diese ein grobes
psychologisches Schema bei der Hand. Die Moral dagegen arbeitet
mit einem anderen Schema ohne geordnete Zw ingsandrohuug” (M enu­
rut pendapat kami : moralpun m empunjai „Zwangsandrohung” jang
teratur walaupun tidak dipertahankan oleh suatu organisasi sosial
seperti, misalnja, (pem erintah) negara).
Ada djuga pengarang — terutama diantara ahli sosiologi (m isalnja,
E u g e n E h r l i c h „Grundlegung der Soziologie des Rechts'” . 1 91 3;
N.S. T i n i a s h e f f „A n Introduction to the Sociology o f Law” ,
1 93 9) — jang tidak menganggap anasir jan g memaksa itu sebagai
suatu ana'ir iang perlu ada dalam hukum. Anggapan ini terdapat
djuga pada H a m a k e r (lihatlah dibawah par. 7 ) . Z e v e n b e r -
g e 11 (hal. 8 8-90 ) m enjinggung adanja suatu „psychische dwang” ,
tetapi „psychische dwang’ '’ 'ini bukan anasir esensiil dari hukum.
12 Ada perbedaan antara kebiasaan dan adat istiadat. Lihatlah Bab II
dibawah nanti.

15
y
didalam pergaulan kem asjarakatan jang tidak m eru pak an liu k u m ,
kebiasaan atau adat istiadat dan agama 13. P erlu kam i tegaskan d i-
sini bahwa pengertian „susila” ja n g kam i m ilik i tid a k m e m u a t
suatu penilaian (w aardering) tentang sesuatu, ja itu dalam a r li k a ­
m i tidak mengatakan sesuatu itu baik atau buruk. P en d a p a t ja n g
tidak berwarna ini perlu, supaja di negeri kita suku ja n g satu d a ­
pat menghargai kebudajaan suku jang lain, biarpu n d alam k e b u -
dajaan suku jang lain tersebut ada anasir-anasir ja n g tid a k d a p a t
diterim a oleh suku jang sa*u itu. M isalnja, di b eb era p a d a e ra h
tem pat tinggal orang jang beragam a Islam ja n g fanatik tid a k
mengenal toleransi) dansa (tjara m enari) Barat dian ggap lid a k
pantas, bahkan, tjabul, sedangkan di daerah-daerah M inahasa d a n
M aluku dansa Barat diterim a sebagai kebiasaan, ja n g d ila k u k a n
pada setiap pesla negeri !
A tjap kali pengaruh agama atas hukum ja n g b erla k u p a d a
sesuatu waktu dalam sesuatu m asjarakat, besar sekali a d a n ja 14.
D em ikian terdapatlah di Indonesia dalam beberapa pera tu ra n p e -

13 V a n A p e l d o o r n (h a l. 19 d ib .) m e n g a d a k a n p e r l.e d a a n a n t a r a
hukum , kebiasaan, agama, ^kesusilaan („z e d e a ta u „g e b r u ik ” ) dan
moral. M e n u r u t k a m i a n t a r a k e s u s i l a a n d a n m o r a l it u h a n j a a d a p e r -
b e d a a n n is b i ( g r a d u i l ) s a d ja . M aka d a r i it u apa ja n g o le h v a n
A p e l d o o r n d is e b u t m o r a l, kam i m a s u k k a n k e d a la n i h a l k e s u s U
la u n . L e m a i. e (h a l. 35 d j ! . . 'lm engadakan p erbedaan a n ta ra
hukum , kebiasaan, „ Rebru ik'\ m oral jan g b ersu m b erk a n b atin » , a -
„ « « * « ( g « i c c t e n * m o r a a I ) , moral p u blik a t a u m oral p o sitif d a n k e Ru.
silaan dalam arti kata sem pit (..fa t s o e n 1. M o r a ! p u b lik , k p s n s i]a a _
d a la m a rti k a ta s e m p it term a su k kesusilaan dalam arti k a ta l,^ „s
(„z e d e ’’ ).
H u k u m , a g a m a , k e s u s i l a a n , a d a t i s t i a d a t d t n k e b i a s a a n b e r s a m a sn
m e r u p a k a n kaidah-kaidah sosial ( s o c i a l e n o r m e n ) . K a i d a h - k a i d a h
s ia l a d a la h p e t u n d ju k - h i d u p j a n g m e n e n t u k a n s ik a p m a n u s i a d - i l S° '
p e r g a u la n n ja d e n g a n m a n u s ia -m a n u s .a la m . T e n t a n g k a i d a h ‘ 1 °!
lih a t la h u r a ia n b u k u P r o f . D r P . J . B o u m a n „ S o c . o l o g i e , B e „ r i“ * I a l
*m
lih aii<«ii
a tla h umr a- ia n d ______
u ^ 5 2 -5 5 . M enurut
T v r „ „ , RB oo ,i
u »v.
m a n, j a n e ^* r ,P Peen
'P P n
r i a T l . T h .i ’ lid a k ’ m engikuti pandangan »o Sio lo p i 8
kaitlah agam a bukan kaidah sosial. D juga 'L ,e m a , r e *WC
i l w a agama itu m enurut „ « .iv e r e esscnl.e (m l, m u n „ ) ;n j #
gedjala
cedjala sosial.
sosial, Tetapi
leiapi m enurut pendapat ‘ kam , i m aka ?fbagu m .;e r,
verbe*.,
o J kaidah
segala - _ - sosial
. » - -«ermasuk
_____ „.«L- rlinorn
d.,uga Icnirian
ka.dah airamn
aga.na ! __ dil^ j* -
oleh „die Produktionsweise des m a «r.e IIc n Leben* . Bukankah, ,
duktionsweise” tersebut „bedingt den rechtspohtischen und geist%^
Lebensprozess überhaupt” ?
14 L ih a t la h b e b e r a p a p id a t o d a n t je r a n ia h ja n g o le h I r o f . M r H a z a ; f .
d ia d a k a n a n t a r a t a h u n 1950 d a n t a h u n 1952 ( d i t e r b i t k a n o l e h n **
n e r b it „B u la n Bintang” ) : „H u k u m Islam dan Masjarakat” , , . p * r ^
la k a n , p e n j e s u a i a n a d a t k e p a d a H ukum Islam , „Indonesia s a t u Mes-
d jid ” . Penting d j u g a P ro f. Mr J. P r i n s „A d a t e n I s l a n i i c t i s c b e

16

>
m erin tah (overheid) jang sedang berlaku, beberapa kaidali jang
berasal dari agama Islam. Seperti umum diketahui, maka agama
Isla m ilu bukanlah lianja mengatur penghidupan m ukm in dalam
ugam anja, melainkan djuga penghidupan m ukm in dalam m asjara-
k at. Peraturan-peraturan jang mengatur penghidupan m ukm in da-
d alam niasjarakat terdapat dalam sjariah ( sjariut, sjarakj 15,
D i Indonesia sjariah itu tidak ditaati seluruhnja. D i D jawa,
m isaln ja, dalam hal warisan tidak berlaku Kur’ an dan sjariah. A pa
ja n g berlaku ialah hukum adat Djawa. Umumnja diantara pera­
turan-peraturan dari Kur’ an dan sjariah jang ditaati betul-betul,
ialah beberapa peraturan mengenai pribadi orang. Terutama jang
berhubungan dengan nikah dan perkawinan. Tetapi disinipun tam­
pak djuga anasir-anasir dari adat asli (jang telah ada sebelum ke­
datangan Islam ).
ITalnja : menurut sjariah maka untuk nikah orang tidak me­
m erlukan ijampur-tangan seorang pegawai pemerintah. Sahnja ni­
k ah ilu bergantung pada kemauan kedua belah fihak le . Biarpun
dem ik ian , di negeri Islam manapun tjampur-tangan pemerintah —
ja itu tjampur-tangan dari i’ihak jang berwenang — selalu dirasa perlu
adanja. Nikah itu dilakukan di muka seorang kadi, sedangkan ke­
du a belah fihak jang bersangkutan dibantu oleh seorang penasehat
ja n g dianggap ahli dalam hal sjariah. Tjara ini terdapat djuga di
D j awa : tak pernah orang melakukan nikah dengan tidak setahu
n aib, penghulu atau ketib.
Pada tahun 1895 tjara ini diatur oleh suatu peraturan perun-
(dang-undangan jang bernama „Huwelijksordonnantie voor Moslims
op Java en Madura” (Ordonansi mengenai nikah antara orang
Islam di D jawa dan di Madura), L.N.H-B. 1895 Nr 198 (dengan

plichtenleer i n Indonésie” , d i s . Leiden 1948, „Heilcmlaagse Indoite-


sische politiek en de toekonist van het Indonesische adatrecht” dalam
„B ijd ra g en toi de Taal-, Land- en Volkenkunde” , «Ij ilid 107 (B .K .L,
1 0 7 ), hal. 265-278, „K ondom de oude strijdvraag van Minangkabau”
dalam „In d on ésie” , V II, 4, hal. 320; Mr M u h a m m a d Y a m i n
„R e p o lu s i adat Minangkabau” dalam „M imbar Indonesia” , tertanggal
19 Mei 1 9 5 2 ; P rof. Mr M.M. D j o j o d i g o e n o „Asas-asas hukum
adai” , 1958, hal. 46 djb. („P erdjodoan ” ) ; Prof. H a z a i r i n „H en ­
dak kem ana H ukum Islam 1964.
15 D r T h . W . J u y n b o 11 „H andleiding tôt de kennis van de Moham-
m edaansehe W et” , 1952, hal. 3. Lihatlah par. 12 dibawah nanti.
16 D iam bil dari buku J u y n b o l l tersebut hal. 194 djb.

17
pendjelasan dalam „B ijb lad ” ]\r 5080) 17. Peraturan ini d iu b ah
pada tahun 1929 oleh suatu peraturan dalam L.N .H .B. 1929 N r 348.
Pada tahun 1946 ordonansi L.N.H.B. 1929 N r 348 diganti o le h
Lndang-undang R.I. tahun 1946 Nr 22. Peraturan ja n g baru ini
mulai berlaku di Djawa dan Madura pada tanggal lF e b ru a ri 1947
(Penetapan Menteri Agama tertanggal 21 D januari 1947), di Su-
matera pada tanggal 16 D juni 1949 (K etetapan Pem erintah D a ru ra t
R.I. tertanggal 14 D juni 1949 Nr l/P .D .R .I ./K .A .) , di daerah-daerah
lain dari wilajah R epublik Indonesia pada tanggal 2 N ov em b er
1954 (Undang-undang tahun 1954 Nr 32, L.N. 1954 N r 9 8 ). O leh
pasal 1 ajat 1 ditentukan bahwa nikah jang dilakukan m en u iu t
agama Islam, diawasi oleh pegawai Pentjatat N ikah ja n g diangkat
oleh Menteri Agama atau pegawai jang d itu n d ju k n ja (peraturan
Menteri Agama tahun 1955 Nr 1 tertanggal 23 D ju n i 1955 dan
penetapan Menteri Agama tahun 1955 Nr 14 tertanggal _3 D ji
1955 i s.
Sebuah tjontoh lain : telah m aklum dalam penjelesaian p e r­
soalan monogami atau poligam i di Indonesia pada waktu seki «. r-
sangat terasa pengaruh agama Islam m aupun agama IverLtei
D juga di dunia Barat adalah beberapa tjon toh . M enurut agam a
Katolik Roma maka perkawinan itu m e n d ja d i suatu sakram en sua­
tu lembaga sutji jang diadakan oleh T u h a n ), jang m em persatukan
suami dan isteri seumur hidup. Maka dari itu tidak m u n g.'
orang laki-laki bertjerai dari isterinja. D i Italia ja n g p en d u d u k n ja
betul-betul beragama K atolik Rom a, peraturan peraturan j ' r-
laku disitu tiada jang dapat mengakui pertjeiaian.
Oleh karena agama itu atjap kali m e n d ja d i dasar pai r-‘
hidup manusia, maka dengan sendirinja sering agama m en p c*-
ruhi djuga hukum, bahkan, m endjadi hukum •
Hukum itu dapat djuga dipengaruhi oleh kebiasaan atau <
jang ada didalam masjarakat. Biasanja sebagian kebiasaan dan
lama-kelamaan m endjadi hukum. Atau dengan kata lain . k ebia -a a
lama-kelamaan m endjadi hukum dan adat lam a-k elan iaan m enc ja

17 Masih penting A.H. v a n O p h u y s e n „D e h u w elijk sordon n an tie


en hare uitvoering” , dis. Leiden 1907.
18 Lihatlah Mr W i r j o n o P r o d j o d i k o r o „H u k u m perkaw inan
di Indonesia” , tjetakan kedua, hal. 38 d jb .; P rof. D j o j o d i g o e n o
„Asas-asas hukum adat” , 1958, hal. 46.

18
hukum adat, apabila telah ditjantumkan dalam keputusan pen,,!
niasjarakat. Terutania hagi Indonesia kebiasaan dan adat itu
djadi sangat-sangat penting untuk proses pembentukan hukum
( reclitsvorm in gl. H alnja dengan adat akan kami bitjarakan dibawah
nanti (B ab I I ). Sekaraii" kami memberi tjontoh mengenai ke
O
biasaan.
Suatu tjon toh mengenai hal ini jang dapat dikatakan kelasik
(klassiek) odalali suat u perselisihan tentang sewa rumah di ko.a
Amsterdam (N egeri B ela n d a )10. Menurut pasal 1393 K.U.H. er
data 20 sewa rum ah itu oleh penjewa harus dihajar pada alamat
dari jang m enjewakan rumah jang bersangkutan. Tetapi jang me
njewakan tidak bertindak demikian. Sewa rumah itu dipungut alas
namanja oleh seorang penerima (inner) pada alamat penjewa.
dakan itu m en djadi suatu kebiasaan tetap jang dilakukan
tahun lamanja. Pada sesuatu waktu, maka jang menjewakan i ^
menjewakan rum ahnja kepada seorang kawannja sedanr
tersebut masih ditempati oleh penjewa dan perutangan sewa (, ^
verbintenis) ilu masih belum dapat dialiiri. Tetapi janr 11 1 ’
kan menggunakan akal. Penerima tidak lagi disuruhnja ke a ^
penjewa untuk memungut sewa. Selandjutnja, bebeiapa wa ^
sudah itu, maka jang menjewakan berusaha memindahkan I j ^
dari rum ahnja dengan alasan bahwa sewa rumah oleh pen j
„tidak mau dihajar” . Pergelisihan ini dibawa ke muka hakim,
lam kepulusannja hakim mengatakan bahwa jang menjewakan
jang bersalah. W alaupun menurut pasal 1393 Iv.U.H. 1 erdata J
menjewakan tidak bersalah, menurut pendirian hakim masih c j
jang m enjewakan tidak boleh mengubah suatu aturan sendiii j r
sudah diterim a sebagai kebiasaan tetap dalam pergaulan den_
penjew anja, dengan tidak memberitahukan terlebih dahulu J .
m endjadi dasar keputusan hakim ialah kepertjajaan (goedei tro
jang telah ditim bulkan dalam pergaulan antara jang menje*
dengan penjewa.
Dari tjon toh ini ternjatalah suatu kebiasaan kadang kadai r
an srgap lebih kuat dari pada suatu kaidah jang tertjantum
suatu peraturan perundang-undangan.

19 Lihatlah S c h o 1 t c n, h«L i « - 142, ^ Logemann,


Menurut azas k o n k o r d a n t — tentang azas ini I.hatlah Bab 1 1;jk
pasal 1393 K.U.H. Perdata sama dengan isi pasal 14/V ,,» u s
W etboek ’ ’ di INcgeri Belanda. ^
19
Djuga menurut kesusilaan2! maka ja n g m en jew a k a n itu tidak
berwenang (bevoegd, gereclitigd) m erusakkan h a k -h a k p e n je w a d e ­
ngan tiada alasan dan tidak m em beritahukan te rle b ih d a h u lu ke-
hendaknja. Tjontoh kelasik ini m em perlihatkan pula b a h w a kesu
silaan itu dapat djuga memaksa orang m entaati ta tatertib m a sja-
rakat. Atjap kali kesusilaan itu djuga leb ih kuat da ri p a d a h u k u m .
Dengan kata lain : atjap kali akibat pelanggaran kesusilaan dirasa
oleh pelanggar lebih pedih dari pada akibat pela n ggaran h u k u m .
Rupanja, lama-kelamaan perkawinan dengan satu p e r e m p u a n di
Indonesia dianggap m endjadi kebiasaan tetap, w ala u p u n a g a m a
Islam mengakui poligami. Lam a-kelam aan m on og a m i d ia n g g a p k e ­
susilaan umum (bahkan, diperkuat oleh agam a ja n g d ib e r i suatu
interpretasi baru !). Di dunia Barat perkaw inan m o n o g a m i s u d a h
dimasukkan dalam peraturan perundang undangan (u n tu k I n d o n e ­
sia lihatlah pasal 27 K.U.H. P erdata). D i sa m pin g itu h id u p b e r ­
sama-sama jang tidak sah dengan seorang p erem p u a n , o le h m a sja-
rakat sudah dari d jaman kuno dianggap tidak pantas. A t ja p k ali
akibat perbuatan sematjam itu terasa oleh ora n g la k i-la k i Ja n ?
bersangkutan sebagai suatu rintangan untuk n a ik pan gk at ! Iva-
dang-kadang hukuman jang didjatuhkan oleh m asjarakat kepada
seorang jang bertindak kurang adjar leb ih berat rasanja d a ri pada
sesuatu hukuman jang didjatuhkan oleh seorang h a k im p a d a n ja .

P a r- 6 : Sanksi (s a n c t i e) atas pelan ggaran


kaidah.

Umunmja agama, kebiasaan dan kesusilaan, sobolu m p e n e r i-


maannja sebagai hukum, kekuasaannja tidak sama k u a tn ja den ga n
kekuasaan hukum. Arcakah jang m en djadi sebab p e rb e d a a n antara
kekuasaan bermatjam-maljam kaidah itu ? D jaw ah an : p e r b e d a a n
itu disebabkan oleh perbedaan legitimasi sanksi ( s a n clie )-n ja .
Jang dimaksud dengan „sanksi” ialah akibat sesuatu p e rb u a ta n
atau suatu reaksi dari lihak lain (manusia atau organisasi sosia l)
atas sesuatu perbuatan Misalnja, pengem udi A k u ra n g b e r h a l i- h a t i
sehingga m obilnja menabrak m obil B, jan g telah d ip a rk ir d i p in g -

21 Men«rcnai hukum dan kesusilaan lihailah p id ato i nanjLrurasi P r o f. M r


Dr H a z a i r i n „Kesusilaan dan H uk u m ” , D jak arta 13 S e p te m b e r
1952. Lihatlah djuga B u s h a r M u h a m m a d , S .li., „ l ’ e n g a n la f
hukum adat” , I, 1961, hal. 18-31.

20
gir djalan, dan, karena tabrakan itu m obil B rusak. Jang m endjadi
sanksi adalah, untuk selandjutnja, A dilihat oleh um um sebagai se­
orang pengem udi jang tidak tjakap, dan, dalam hal A seorang pe­
ngem udi taxi, ada kemungkinan banjak orang tidak mau memakai
taxm ja ! Bagi seorang ahli dan peladjar hukum timbul perta-
njaan : apakah pelanggar sesuatu kaidah sosial 23 dapat dihukum
atau tidak ?
Dalam hal perbuatan jang pentinsj baai hukum ada reaksi dari
fihak pem erintah (overlieid) jang bertugas mempertahankan tata-
tertib masjarakat. Jang dimaksud dengan „pem erintah” itu selalu
suatu organisasi (p olitik ) jang m endjadi pimpinan suatu negara,
dan jang (»eiin g lianja form il sadja) atas nama „rak jal
dikuasai sesuatu golongan dalam m a s j a r a k a t , jaitu golongan jang
diberi nama „ru lin g ” (lihatlah Bab V II, par. 2 ), dan jang diberi
lugas atau m em beri kepada dirinja tugas mem im pin masjarakat
ja n g teforganisasi dalam negara itu.
Dalam hal pelanggaran sesuatu peraturan hukum biasanja
jan g bertindak terhadap pelanggar ialah pemerintah 24. Dengan
perantaraan alat-alat paksanja ( dwangmiddelen) pemerintah da­
pat memaksa tiap-tiap orang berkelakuan menurut kaidah-kaidah
tatatertib masjarakat, terutama tatatertib hukum dalam masjarakat.
Dengan kata lain : dalam hal pelanggaran hukum biasanja jang
m endapat kerugian (oleh pelanggaran itu) diberi pertulungan oleh
pem erintah 25. Legitimasi (pengesahan) kekuasaan hukum ialah
pem erintah (seperti halnja dengan legistimasi kekuasaan agama
ialah T u h a n ). D em ikian pula halnja dengan sanksi jang bersangku­
tan.
Dalam hal pelanggaran kebiasaan (adat) atau agama (jang b e­
lum diterim a sebagai hukum ), reaksi dari fihak pemerintah d jarang
sekali ada (agama biasanja tidak berlegitimasi pada kekuasaan pe-
22 Lihatlah djawaban kami atas kritik P rof. D j o j o d i g o e n o (Lam ­
piran II tjelakan kelima buku in i; „Gudjali Mada” , X , 6 , dan „Gam a” ,
10, V I I I ).
23 Lihatlah n oot 13.
24 H a n s N a w i a s k y „A llgem eine Rechtslehre als System der recht­
lichen G ru ndbegriffe” , 1948, hal. 9, membedakan antara kaidah hu­
ku m dan kaidah-kaidah lain berdasarkan hal kaidah hukum diper­
tahankan dengan menggunakan paksaan dari luar (paksaan jang di­
lakukan oleh pem erintah) sedangkan kaidah-kaidah lain dipertahan­
k an oleh karena „ gesellschaftliche Missbilligung” , oleh karena ,,8 e'
sellschaftliche Tadel” , „in einem dadurch bestim m ten Verhalten der
M itm enschen” , oleli karena) ,,psychologischer Zwang” .
25 Reaksi pem erintah berarti sanksi hukum, sedangkan reaksi organisasi
kemasjarakatan lain berupa sanksi sosial 'jang bukan sanksi hukum.

21
liehe Zwangsm ittel zur V erfü gu n g, man denke etwa an den g e s e ll­
sch a ftlich en B oykott; und au ch das Recht entbehrt fü r viele seiner
V orsch riften der Erzwingbarkeit, es kann ja n ich t in unendlicher R eih e
hinter jedem Beamten ein anderer stehen, der ihn seinerseits zur
Erfüllung seiner Pflichten nötigte : Quis custodiet custodes ? E ben so
u n ta u g lich zur Grenzziehung zwischen Sitte und Recht erw eist sich
die Lehre, es sei der Sitte wesentlich von der unorganisierten V o lk s g e ­
meinschaft, der Gesellschaft, dem Rechte mdagegen eigentüm lich, v o n
einer Organisation, vorzugsweise den Staate, getragen zu sein; denn das
Gewohnheitsrecht w ird abseits vom Staate durch die G esellsch aft
erzeugt, und die Sitte anderseits ist der Festsetzung durch eine O r g a ­
n isa tion , z.B. im Sport, durchaus fähig. D er V ersuch, zw ischen R e ch t
und Sitte einen anderen als den blossen Massunterschied der h öh eren
oder geringeren Bedeutung für die O rdnung des Zusam m enlebens zu
finden, ist bisher nicht gelungen, und wäre eine scharfe U n tersch eid u n g
auch fü r die Rechtsanwendung notwendig, da grundsätzlich die
Gerichte einen nur auf Sitte, nicht auch auf Recht gegründeten A n sp ru ch
abzuweisen haben. D ie Gesetzgebung, insbesondere unser B ü rgerlich es
Gesetzbuch, trägt jedoch der grundsätzlichen U nunterscheidbarkeit v o n
Sitte und Recht dadurch Rechnung, dass sie in immer grösserem
Umfange auch dem bloss „„g e g e n die guten Sitten” ” verstossenden
Verhalten rechtliche W irkungen beilegt” ,

^ T - T\ u t u t b e b e r a p a o r a n g a h l i h u k u in

ma a u k um i tu bukanl ah suat u h i mp una n


kaidah-kaidah.

Sudah ternjata dari apa jang dikatakan diatas, hukum , itu suatu
himpunan kaidah-kaidah, jaitu himpunan jang terdiri atas berm a tja m -
matjam petundjuk-hidupjang m e m a k s a orang berkelakuan m enurut
tatatertib jang ada didalairijnasjarakat'iiV Tetapi tidak sekalian ahli
hukum setudju dengan anggapan itu. M enurut P rof. H a m a k e r s a ,
maka hukum itu suatu himpunan petundjuk-petundjuk jan g h an ja m e-
nundjuk setjara mana b aa s a n j a orang bertindak dalam p erg a u la n -
nja dengan orang lain didalam masjarakat. Pendapatnja : h u k u m itu
bukan suatu himpunan kaidah-kaidah, bukan suatu him punan peratu -

28 L o g e m a n n, B e 1 1e f r o i d, S c h ö l t e n , L e m a i r e v a n K a n,
B u r c k h a r d t („Einführung” ), K e l s e n („General Theory” ) , K o 1 1 e -
e,d van recht” , kuliah pembukaan Groningen 1936 ) , dll.
erhT
29 Prof. Mr H.J. H a m a k e r „H(et redit en de maatschappij” , 1888 .

22
ran-peraturan jang memaksa orang berkelakuan menurut tatatertib
»lasjarakat, tetapi suatu himpunan „peraturan-peraturan iang menudjuk
' e b i a s a a n orang dalam pergaulannja_ dengan orang lain didalam
masjarakat itu^ („regels die aangeven hoe mensen zich tegenover
elkaar p l e g e n te gedragen in de samenleving” ).
Teori ini diadjar djuga oleh seorang ahli hukum bangsa D jerm an
jang bernama G e o r g F r e n z e 1 30. Menurut F r e n z e 1 hukum
itu suatu himpunan ,,Rechtsgewohnheiten” .
Baik anggapan H a m a k e r maupun anggapan G e o r g Fren-
z e l, kami tidak dapat menjetudjuinja 31
Rupanja, djuga Prof. D j o j o d i g o e n o , berdasarkan alasan-
alasan lain, tidak mau melihat hukum itu sebagai suatu himpunan la­
rangan dan perintah ? 3i»_

P a r. 8: T udju an d a r i h u k u m.

• • i*1 Se^aranS boleh beitanja: apakah tudjuan hukum ?Pertanjaan


initidak mudah orang mendjawabnja.
Menurut v a n A p e 1 d o o r n, maka tudjuan hukum itu me­
ngatur tatatertib masjarakat setjara damai dan adil 33. Anggapan v a n
Apeldoorn itu boleh disebut suatu djalan tengah diantara dua
anggapan lain.
^•nggapan pertama ialah suatu anggapan semata-mata berdasarkan
etika (ethica). Menurut anggapan ini hukum bertugas hanja m em buat

30 „Recht und Rechtssatze” , 1892.


31 Prof. Mr D.G. R e n g e r s H o r a S i c c a m a „Het recht, naar gelang
van het standpunt van hetwelk men ziet” dalam madjalah „Themis” djilid
99 (1938), hal. 1 djb., dan v a n A p e l d o o r n , hal. 16, mengemukakan
bahwa benar tidaknja anggapan hukum bukan himpunan kaidah-kaidah, itu­
lah bergantung semata-mata pada hal dari sudut mana persoalan hukum itu
ditindjau ! Bagi sardjana hukum dalam praktek maka hukum itu larangan
atau perintah („verbod” atau „geb od ") (djadi : kaidah), bagi pembuat un­
dang-undang maka hukum itu senantiasai suatu perintah (bevel) kepada
warga-negara, bagi semua orang jang tidak tersangkut dalam pergaulan
hukum (rechtsverkeer) maka hukum itu memanglah suatu „Gewohnheit” .
Mengenai suatu „approach” baru, jaitu suatu sistimatik mengadjar jang
baru, jang membagi Pengantar Ilmu Hukum dalam dua bagian : Pengantar
Ilmu Hukum dalam arti sempit dan Pengantar Tatahukum Indonesia, lihat­
lah tjatatan-tjatatan Mr A.J. M a i n a k e dalam madjalah „Padjadjaran” ,
Nopember 1958, hal. 82-90.
32 Lihatlah kritiknja terhadap buku kami dalam madjalah „Gadjah Mada” ,
bulan Djuli 1959, hal. 191-195 dan dalam madjalah „Gama” , 6, VII; hal'
3-5 dan 16.
33 Hal. 13 : »,Het doel van het recht is dus : een vreedzame en rechtvaardige
ordening der samenleving” .

23
Maka dari itu sangat sukarlah dinjatakan suatu garis p e rb a ta ­
san tepat antara lapangan kaidah hukum dan lapangan k a id a h -k a i­
dah sosial lain- Kami mengahiri paragrap ini dengan m em in ta p e r ­
hatian pembatja untuk apa jang dikatakan oleh G u s t a v R a d
b r u c h 2s : „W o also liegt der Unterschied des R ech ts v o n d er
Sille ! Man hat gesagt: in der Zuläsfigkeit des. Zwanges. A b e r a u c h
der Sitte stehen oft sehr nachdrückliche Zw angsm ittel zu r V e r -
fs;£run°r
r? n”, man denke etwa an den g e s e l l s c h a f t l i c h e n B o y k o tt , u n d
auch das Recht entbehrt für viele seiner "Vorschriften d er E rzw in g -
barkeit, es kann ja nicht in unendlicher R eihe h in ter je d e m B e a m ­
ten ein anderer stehen, der ihn seinerseits zur E rfü llu n g seine«.
Pflichten nötigte. Quis custodiet custodes ? E benso u n ta u glich zu r
Grenzziehung zwischen Sitte und R echt erweist sich d ie L eh re, es
sei der Sitte wesentlich von der u n o r g a n i s i e r t e n "Volk sgem ein sclia ft,
der Gesellschaft, dem Rechte dagegen e ig e n tü m lich , von e in e r O r
ganisation, vorzugsweise den Staate, getragen zu sein ; d en n da»
Gewohnheitsrecht wird abseits vom Staate durch d ie G e se llsch a ft

erzeugt und die Srtte anderseits der Festsetzung du rch ein e O rga ­
nisation, z.B. im Sport, durchaus fähig. D er V ersu ch, zw isch en R echt,

und Sitte einen anderen als den blossen M assiin^ciachied dei h ö h


ren oder geringeren Bedeutung! für die O rdnung des Z u sa m m en leb e
zu finden, ist bisher nicht gelungen, und wäre eine sch a rfe U n ter­
scheidung auch für die Rechtsanwendung notw endig, da g r u n d s ä t z
lieh die Gedichte einen nur auf Sitte, n i c h t auch auf R e c h t g e g r ü n
delen Anspruch abzuweisen haben. Die G esetzgebung, i n s b e s o n d e r e
unser Bürgerliches Gesetzbuch, trägt j e d o c h der g r u n d s ä t z l i c h e n

28 „E inführung” , hal. 21-22. Bandingkanlah v a n A p e l d o o r n , h al.


25-29 : Recht en zeden. Pada hal. 28-29 : „V e rw e rp e lijk is d u s de
leer, dal het wezen van liel recht zou gelegen zijn in d e sanctie,
gesleld op de nietnaleving ervan” (D jadi, harus ditolak a n g g a p a n ja n g
mengatakan bahwa inti dari hukum itu terletak dalam sanksi ja n g
didjalankan atas pelanggaran). Demikian dju ga R a d b r u ch 0 1"
hallah dialas).
Anggapan kami : memang, sanksi jan g dapat d id ja tu lik a n atas p e ­
langgaran sesuatu kaidah hukum 'iidak m endjadi inti dari h u k u m itu.
Bagi kami tiap kaidah (dalam hal ini kaidah h u k u m , k aida h a ga m a ,
kaidah kesusilaan, kaidah kebiasaan atau kaidah adat istiadat tidak
berbeda) bersanksi. Tetapi kekuasaan (legitim a si) m a s i n g - m a s i n g
sanksi atas masing-masing kaidah itu m em bedakan k aid a h h u k u m
dari kaidah-kaidah lain. Pentinglah diperlialikan siapa ja n g m e n d ja -
lankan sanksi jang bersangkutan. Dalam hal h u k u m d ila n g g a r m a k a
jang mendjalankannja ialah pemerintah.

24
U nunterscheidbarkeit von Sitte und R echt dadurch Rechnung, dass
sie in im m er grösserem Umfange auch dem bloss „„g eg en die guten
Sitten” ” verstossenden Verhalten rechtliche W irkungen beilegt” .

Par. 7: Menurut beberapa orang ahli hukum


maka h u k u m itu bukanlah suatu himpunan
kaidah-kaidah.

Sudah tem ja ta dari apa jang dikatakan diatas, hukum itu suatu
him punan kaidah-kaidah, jaitu himpunan jang terdiri atas berina-
tjam -m atjam petundjuk-liidup jang memaksa orang berkelakuan m e­
nurut tatatertib jang ada didalam inasjarakat 29- Tetapi tidak seka­
lian ahli hukum setudju dengan anggapan itu. Menurut Prof. H a ■
m a k e r 30, maka hukum itu suatu himpunan petundjuk-petundjuk
jang hanja m enundjuk setjara mana biasanjci orang bertindak da­
lam pergaulannja dengan orang lain didalam masjarakat. Pendapat-
nja : hukum itu bukan suatu himpunan kaidah-kaidah, bukan suatu
him punan peraturan-peraturan jang memaksa orang berkelakuan
m enurut tatatertib masjarakat, tetapi suatu himpunan „peraturan-
peraturan jang m enundjuk kebiasaan orang dalam pergaulannja
dengan orang lain didalam masjarakat itu” („regels die aangeven
h oe mensen zieh tegenover elkaar plegen te gedragen in de samen*
leving ).
T eori ini diadjar djuga oleh seorang ahli hukum bangsa Djer-
man jan g bernam a G e o r g e F r e n z e l 31. Menurut F r e n z e l
hukum itu suatu him punan „Rechtsgewohnheiten” .
B aik anggapan H a m a k e r maupun anggapan G e o r g e
F r e n z e 1, kam i tidak dapat m enjetudjuinja 32.

29 L o g e m u n n, B e 11 e { r o i d, S c h ö l t e n , Lemaire, v a n
K u n, Burckhardt („E in fü h ru n g” ) , Kelsen („G eneral
T h eory” ) . K c 1 1e w i j n („Zekerh eid van recht” , kuliah pem bu­
kaan G roningen 1 9 3 6 ), dll.
30 P rof. Mr H. J. H a n i a k e r „H el recht en de maatschappij” , 1888.
31 „R e ch t und Rechtssätze” , 1892.
32 P ro f. Mr D.G. R e n g e r s Hora Siccama „H e l recht, naar
gelang van liet standpunt van hetwelk men ziet” dalam madjalah
„T h em is” , 99 (1 9 3 8 ), hal. 1 djb., dan v a n A p e l d o o r n , hal.
16, m engem ukakan baliwa benar tidaknja anggapan hukum bukan
him punan kaidah-kaidah, itulah bergantung semata-mata pada hal
dari sudut mana persoalan hukum itu ditindjau ! Bagi sardjana hu­
k u m dalam praktek maka hukum itu larangan atau perintah („v e r -
b o d ” atau „g e b o d ” ) (djadi : k aidah ), bagi pembuat undang-undang
m aka hukum itu senantiasa suatu perintah (bevel) kepada warga-

25
Rupanja, d juga Prof. D j o j o d i g o e n o berdasarkan alasan-
alasan lain, lidak mau melihat hukum itu sebagai suatu h im p u n a n la ­
rangan dan perintah ? 33.

P a r. 8 : T u d j u a n d a r i hukum. H u k u m s e b a g a i

a l a tp e 11 g a j o m a n d a n a l a t R e v o l u s i Indonesia.

Kita sekarang holeli bertanja : apakah tiuljuan h u k u m ? P erta-


njaan ini tidak mudah orang m endjaw abnja. T e rle b ih dah u lu kam i
sebut pendapat beberapa pengarang jang terkenal, terutam a m erek a
jang sendiri menulis buku jang mengantarkan mahasiswa dalam la ­
pangan dan ilmu hukum.
Menurut v a n A p e l d o o r n , maka tiuljuan h u k u m itu m e­
ngatur tatatertib masjarakat setjara damai dan adil 3 4 . A n g g a p a n
van A p e l d o o r n itu boleh disebut suatu d jalan tengah dian-
tara dua anggapan lain.
Anggapan pertama ialah suatu anggapan semata-m ata b e r d a s a r ­
kan etika (elhica). Menurut anggapan ini hukum bertugas lia n ja
membuat adanja keadilan 35. Jang mula-mula m em buat anggapan im
ialah A r i s t o t e l e s dalam buah fikirannja „E tliica N ico m a ch e ia
dan „Rhetorica” . Menurut orang filsuf ini maka liukuni m e n i p u n j a i
suatu tugas jang sutji, jaitu m em beri kepada tiap-tiap ora n g apa ia
berhak menerima. Tetapi anggapan sem atjam itu tid a k m u d a h d i ­
praktekkan. Maklum tidak mungkin orang m em buat peratu ran h u ­
kum sendiri bagi tiap-tiap manusia. Sebab apabila itu d ilak u k an
maka tentu lak akan habis-habisnja. Sebab itu pula, h u k u m harus
membuat peraturan umum. Kaidah hukum tidak diadak an u ntuk
menjelesaikan suatu perkara tertentu. K aidah h uk um tidak m en je-
bnt nama seorang tertentu. Kaidah hukum hanja m em buat suatu
kualifikasi tertentu. Kwalifikasi tertentu itu sesuatu ja n g abstrak.

negara, bagi semua orang jang tidak,tersangkut dalam p erga u la n h u ­


kum (rechtsverkeer) maka hukum itu menianglah suatu „G cv rolm h eit' .
Mengenai suatu „approacli’ ’ baru, jaitu suatu sistimatik m e n g a d ja r
jang baru, jang membagi Pengantar Ilm u H ukum dalam dua b agian :
Pengantar Ilm u Hukum dalam arti sempit dan Pengantar T a t a l i u k u m
Indonesia, lihatlah tjatatan-tjatatan A.J. M a i n a k e dalam nia-
dialah „Padjadjaran” , November 1958, hal. 8 2-90 .
33 Lihatlah kritiknja terhadap buku kami dalam m adjalah „G a d ja li m a ­
da” , bulan D juli 1959. hal. 191-195 dan dalam m adjalah „G a m a ’ ,
VIII, hal. 3-5 dan 16.
34 Hal. 13 : „H et doel van liet recht is dus : een vreedzam e e il rech t-
vaardige ordening der samenleving” .
35 Lihatlah Z e v e n b e r g e n , hal. 53-55.

26
Pertim bangan tentang hal-hal konkrit harus diserahkan kepada ha­
kim jan g m em bual kepulusan hukum bagi tiap-tiap hal konkrit itu-
Oleh karena itu, maka tiap-tiap peraturan hukum umum harus
disusun ssedem ikian seliingca hakim diberi kesempatan menggo­
longkan kedjad ian -kedjadian sebanjak-banjaknja didalam satu golo
ngan jakni golongan peraturan lnikum itu. Setiap peraturan hukum
adalah ahsirak dan hypotetis 36.
D em ikian hukum itu harus tetap berguna (doelm atig). Agar
tetap berguna, maka hukum itu harus sedikit mengorbankan ke­
adilan.
A nggapan jang kedua — diantaranja jang terkenal adalah ang­
gapan B e n t h a m — ialah suatu anggapan jang menudju kearah
barang apa jan g berguna (angcapan jang mengutamakan utilitet.
utiliteitstheorie). M enurut anggapan ini maka hukum berludjuan
m ew udjudkan semata-mata a p T ja n g berfaedah bagi orang. Karena
apa jang berfaedah bagi orang jang satu mungkin merugikan orang
jang lain, maka — menurut anggapan ini — tiuljuan hukum diru­
muskan sebagai berikut : hukum berludjuan m endjam in adanja
bahagia sebanjak-banjaknja pada orang sebanjak-banjaknja 3 ‘ . ^

36 H ukum m engatur hal-hal jan g hypotetis dan abstrak. S^bu" h ‘ ^ ¡ ° p a


la s a i 127 ajat l K.U .H . P id a n a menerangkan bahwa „baian*.- P
pada waktu perang m elakukan sesuatu perbuahan men *p u t a ^
menuhi keperluan jang berguna bagi angkatan laul alau an^ki .
rat, (liliukum pendjara sc>;inggi-tingg*nj a dua b e^as ta iu n . *-
mi ketentuan jan g abstrak jang memberi ukuran untuk menflJ
kau hukum an pada masa jang akan dalang bag. orang jang melaku
kan kedjahalan serupa. Dengan kala lam : apabda ada peljal P P
fangan dan ada orang jang pada masa perang itu melakukan keaj*
hatan tersebut, niakit berlakulah peraturan itu.
Jang m e n d j a l a n k a n n j a a d a l a h h a k i m . M ungkin d j u g a lak a k a n p
n a h p e r a t u r a n it u d i d j a l a n k a n , o l e h k a r e n a p a d a m a s a p e r a n g ♦
a d a k e d ja lia t a n s e m a t ja m itu . D «?n g a n d e m ik ia n p e r a t u r a n it u « « «
d j u k a n p a d a h a l - h a l j a n g m ungkin akan t e r d j a d i , j a i t u p a d a h a l
j a n g h ypotetis d a n abstrak. Apakah a k a n p e r n a h t e r d j a d i h a - *
J a n g d im a k s u d d e n g a n p e r a lu r a n itu , ta k d a p a t o r a n g k a ta k a n
le b ih d a h u lu d e n g a n p a s ti. . . . . ,,
Peraturan h u k u m i s e b a g a i k a id a h — d a la m su a tu „ p o s itiv ite il
a d a la h s e s u a t u j a n g a b s t r a k d a n liv p o t e lis , j a n g b e r l u d ju a n in c n fia ,
s e s u a 'J u h a l j a n g m u n g k i n t e r d j a d i p a d a s u a t u m a s a j a n g a k a n *
t a n g . P e n g k o n k r it a n ( c o n e r e t is e r in g ) p e r a tu r a n h u k u m t e r d ja d i *
k o n k r i t , j a i t u d a l a m s u a s a n a „ w e r k e l i j k l i e i d ” , setelah
lia l-h a l
sjarat ja n g disebut dalam peraturan liukum itu dipenuhi o e i p
tiMa-peri^nsa sosial tertentu (P ro f. M e y e r s ) .
37 R um us dari J e r c 111 y Bent b am (tb. 1748-tIi. 1332) J1
buku n ja „In trod u ction to the Principles o f Morals and Legislation
1 0 0 9 h t-._ . - . -r« .1 « 1 ____ t * .
n

pastian oleh karena hukum (zekerheid d oor het rech t) b agi in d iv id u


adalah tudjuan utama dari hukum.
Definisi B e n t h a m tidak m emuat tem pat u ntuk m e m p e r­
timbangkan seadil-adilnja hal-hal konkrit. D efin isi ini lia n ja m e m ­
perhatikan hal-hal jang berfaedah, dan oleh sebab itu b e r s i f a t
umum. Djuga anggapan ini sangat individualistis — siapakah
„orang sebanjak-banjaknja” itu ? — dan oleh sebab itu tida k m em ­
beri kepuasan pada perasaan-hukum kita.
Anggapan B e l l e f r o i d pun b oleh disebut suatu a n g g a p a n
jang merupakan suatu djalan tengah diantara dua anggapan ja n g
kami lukiskan diatas. Kata B e l l e f r o i d : isi h u k u m harus
ditentukan menurut dua azas, jaitu keadilan dan faedah.
V a n K a n 39 mengatakan bahwa hukum b ertu d ju u n m en d ja -
ga kepentingan tiap-tiap manusia supaja kepentingan itu tidak
dapat diganggu- Dalam anggapan itu terdapatlah hal ja n g b erik u t :
hukum mengandung suatu pertim bangan kepentingan m ana j ang
lebih besar dari pada jang lain (belangenafw eging, p e r t i m b a n g a n
kepentingan anggauta masjarakat jang satu terhadap ja n g la in , k e­
pentingan anggauta masjarakat terhadap kepentingan m a s j a r a k a t ) -
Sekelompok sardjana-sardjana hukum berpendapat bahw a h u ­
kum bertujgas utama m endjam in adanja kepastian-hukum (rech tze-
kerheid) dalam pergaulan manusia 4 o . B a g i m ereka h u k u m m e n d ja ­
min kepastian pada fihak jang satu terhadap fih a k ja n g lain- Se­
buah tjontoh tentang kepastian-hukum jang diadakan oleh karena
hukum ialah lembaga hukum (rechtsinstituut) m engenai liw at w aktu
(verjarin g):
Pasal (8 K.U.H. Pidana m enjebut beberapa d jan gk a w aktu
(termijn) jang menjebabkan hal hak pem erintah (d ja k sa ) untuk

38 Hal. 2.
39 Hal. 3-4.
40 Mengenai „kepastian-hukum” itu baljalah P rof. M r 1{.D. K o 1 I e -
P r o f ' W P l ' a il?'d Van rechl” , kuliah pem bukaan G ron in gen 1 9 3 6 ;
P rof' IVir c ' i ' V.** ° u w ' n g „Zekerheid om trent liet reclit” , 1 9 4 7 ;
,e V r. ° ° ‘ I' »E nige beschouwingen over d e co n flicte n
1Q4.7- P , szfJterj.,e,d en het levend recht” , p id alo inaugurasi L e i d e n
wet” ’ l o ^ o ' 'i P B r e g s t e i n „D e betrekkelijke waarde d er
vindinn-” l a - « 1*! P ° I a k ,,Theorie en practijk d er reclits-
rn u ° *lal* 60 djb.. Masih penting d ib a lju pidato P r o f. Mr
«Het recht der werkelijkheid” (p id a to inaugurasi
. . . Ja" g tidak menerima „k epastian -h u k u m ” s e p e r ti"
T. , • diatas tadi. J e r o m e F r a n k dalam b u k u n ja
V t " a" . ,e j’ Iodern Mind” , 1949, m e n o la k sama s e k a li , ^ k e p a s tia n -
lu u m itu. Katanja : „k e p a s t ia n -h u k u m ” 'iid a k d a p a t d i t ja p a i d a ti
djuga tidak perlu.

28
dapat m enuntut pidana, gugur (vervallen). D jadi, setelali suatu
'vak tu tertentu liwat maka pendjaliat — jang umpamanja berhasil j
lari keluar negeri — tidak lagi dapat dituntut !
T u g a s h u k u m itu m endjam in kepastian dalam h u b u n g a n - h u - >
bungan jan g kedapatan dalam pergaulan kemasjarakatan. Kepas­
tian ini kepastian jan g ditjapai oleh karena hukum 42. Dalam tugas
itu otom atis tersim pul dua tugas lain, jang kadang-kadang tidak
dapat disetarakan, jaitu hukum harus m endjam in keadilan mau­
pun hukum harus tetap berguna. A kibatnja kadang-kadang jang
adil terpaksa dikorbankan untuk jang berguna !
41 V,Re,chi,Ssichereit ford ert also die Geltung des positiven Rechts. Das
B edürfnis der Rechtssicherheit kann aber auch dazu fuhren, da.~
tatsächliche Zustände zu R e c h ts z u s tä n d e n werden, ja höchst para­
idoxerw
‘ eise dazu, dass aus Unrecht Ixectii
v U‘»«u, Recht iitr«
icirtV' (k u rsii dari kaniU.
kata G u s t a v R a d b r u c h „E in fü h ru n g” , hal. 40. Memang,
pendjaliat dibebaskan dari tuntutan, itulah tidak sesuai dengan M
adilan. T etapi setelah beberapa waktu liwat, maka kepast.an dalan
lubu ngan antara manusia itu harus diutamakan. Telah term ~ ,, t
m endjadi dalil G u s t a v Radbruch: „gesetzlich e Anrecht .
(„E in fü h r u n g ” , hal. 43 : „ I n der Regel aber wird die Rechtssicherli »
die das positive R echt gewährt, eben als eine mindere Form
^ r e c h lip k e it, d ie JG eltu n g au ch u n gerech ten positiven R c c h ti rec
tig en . le g is lu n tu n i interest u l ccrta sit ut absque hoe nee ju s a
poset ( B a c o n ) ” )
Pasal 1946 K.U.'h . Perdata berbunji : „D engan liwat waktu dapat
o ia n g peroleh sesuatu atau melepaskannja dari sesuatu perulangan
(.verbm tenis) sehabis masa jan g tertentu apabila sjarat-sjarat jan,.
4.<> i > i “ ' tcn,‘ u kan dalam undang-undang dipenuhi” . _ ,
“ Beberapa pengarang tentang hukum m em ohon perhatian untuk *
niat jam pengertian „kepastian-liukum ” , jaitu kepastian oleh Karen
hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Jang dilukiskan dia» -
tadi ialah kepastian oleh karena hukum. M e n d ja m in kepastian •
m cndjadi tugas dari hukum . H ukum jang berhasil mendjam in banja
kepastian dalam hubungan-hubungan kemasjarakatan adalah iu
[,c r K|"in . Kepastian dalam hukum tertjapai apabila hukum i u
ban jak-banjakn ja hukum undang-undang, dalam undang-undang
sebut tidak ada ketentuan-ketentuan jang bertentangan (undang- -
dang berdasarkan suatu sistim jan g logis dan pasti), undang-un _
itu dibuat berdasarkan „rechtswerkelijkheid” (kenjataan hukum )
dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah jang aP
ditafsirkan setjara berlain-lainan. Lihatlah a.i. v a n A p e l oo »
hal. 9 6-97 : „H et begrip rechtssekerheid heeft twee kanten. e
betekent in de eerste plaats bepaalbaarheid van het recht Iin. i OI\ %
gevallen ...................... Maar het betekent ook rechtsveihgheiA,
beveiliging van de partijen tegen rechterlijke willekeur. t Is V11 »
dat tussen deze beide geziclitspunten een zeer riauw verban
(pen gertian kepastian-hukum niem punjai dua muka. ^Pertain ’
ngertian itu berarti dalam hal-hal konkrit kedua fihak jang
d a p a t m e n e n t u k a n k e d u d u k a n m e r e k a ......................... T e ta p i P f 11, an
itu berarti pula keamanan-hukura, jakni mengandung perlin ^
bagi kedua fihak jan g berselisih terhadap tindakan hakim -
wenang-wenang. M em ang ternjata, antara dua muka tersebut 3
bungan ja n g erat sekali). Lihatlah djuga R a d b r u c li,
B r e g s t e i n (lihatlah n oot 4 0 ) mengartikan „reclitszekerhei
sebagai „kenbaarh eid” dan „berekenbaarlieid” dari hukum (hal. **)•

29
Disamping kedua tugas itu ada tugas ketiga. H u k u m bertugas
polisionii (politionele taak van het rech t). H u k u m in rn d ja g a sai-
paja dalam masjarakat tidak terdjadi „e ig e n rich tin g '’ t m en ga d ili
sendiri). Tiap perkara (hukum ) harus diselesaikan dengan p e r ­
antaraan hakim, jakni berdasarkan hukum .
Terang sekalilah, apabila salah satu diantara tiga lugas itu
sangat diutamakan, maka kedua tugas lainnja dapat m e n d ju d i ter­
desak. Hal ini dapat m enim bulkan ketegangan (sp a n n in g) antara
masing-masing tudjuan „huk um ” itu. Seperti ja n g dikatakan oleh ,
misalnja, G u s t a v Radbruch: „D ie Id e e d es R e c h ts stellt
sich dar als ein Spannungsverhältnis von drei G ru n dw erten : G e­
rechtigkeit, Zweckmässigkeit, R echtssicherheit” ,,So zeigt sich,
dass die drei W ertideen einander zur E rgänzung b e d ü rfe n , dass
die formale Natur der G erechtigkeit zu ihrer in h a ltlich en E rfü llu n g
den Zweckgedanken benötigt, w ie der Relativism us des Z w eck ge-
dankens Positivität und Sicherheit des Rechts verlangt. D ie drei
Wertideen fordern einander, aber zugleich w idersprech en sie ein a n ­
der.
„„Salus populi suprema lex e?to” ” heisst es auf d er ein en Seite,
allein auf die Zweckmässigkeit kom m e es an ; „„ju s titia fu n d a m en -
tum regnoruin” ” ist die Antwort darauf, G erech tigkeit sei d ie G ru n d ­
lage allen Rechts; von einer dritten Seite heisst es : „ „ F ia t justitia,
pereat mundus” ” , das positive Recht habe zu gelten a u f K osten
aller anderen Rechtswerte, während nach einer anderen M ein u n g
wiederum positives Recht seiner U nbedingtheit selbst zu U nrecht
werde, „„sum m um jus summa injuria” ” . So bestehen gegenseitige
Spannungen innerhalb der R ech tsidee” 44.
Ditindjau dari sudut politik perundang-undangan, m aka ke-
pastian-hukum —- jang m endjadi „rech tsw erk elijk h eid” l ken jataan
hukum) — dan hukum positif (hukum ja n g b erla k u — lih atla h
paragrap jang berikut) seharusnja identik (sa m a). K a m i m en g a ­
takan „seharusnja” , oleh sebab kami tetap in sja f akan „s p a n n in g ”
(ketegangan) jang senantiasa akan ada antara „p o s itiv ite it” (atau
„positieve gehling” ) dan „wTerkelijkheid” . Suatu „sp a n n in g ” ja n g
oleh L o g e m a n n digambarkan setjara „g en ia a l” : in de sfeer
der werkelijkheid is het recht uitsluitend beslissing, in de sfeer van
de stelligheid uitsluitend regel” (dalam suasana ken jataan , m aka
hukum semata-mata berupa keputusan, sedangkan d a lam suasana

43 „E inführung” hal. 36.


44 „Einführung” , hal. 41-42.

30
berlakunja ( positif i, maka hukum semata-mata peraturan) ^3. Dari
perumusan L o g e m a n n ini dapatlah ditarik kesim pulan bahwa
hanja keputusan (m enurut pendapat kam i termasuk djuga : ke-
putusan hakim ) dapat m em buat kepastian-liukum sepenuh-penuh-
nja. H ukum positif mengusahakannja (streeft er naar) ! Dalam
usaha ini maka hukum bersifat adat !, jaitu alat untuk m entjapai
kepastian (reclit als m iddel tot verkrijging van zek erheid). Se­
bagai alat, hukum itu merupakan suatu gedjala kekuatan (machts-
verscliijn sel); sebagai alat, liukum itu dipakai untuk mendapatkan
suatu kedudukan (status) tertentu atau untuk mempertahankan
suatu kedudukan (status) tertentu. Dalam hukum apapun ada buk-
tinja !
O leh sebab itu kita tidak boleh lupa hal sebagian hukum p o ­
sitif dengan sengadja dibuat untuk hanja m endjam in suatu ke­
pastian bagi sesuatu golongan sadja di masjarakat tempat hukum
itu berlaku, jak n i kepastian bagi golongan jang berkuasa, bagi
„ru lin g class” ! ( Lihatlah Bab 'VII, par. 2 ).
Dem ikianlah pendapat beberapa pengarang jang terkenal dan
kesimpulan jang dapat kam i buat sesudah m em batja pendapat
masing-masing p e n g a r a n g jang terkenal itu. Selandjutnja, perlu ka-
ini m ohon perhatian untuk konsepsi tentang funksi hukum In d o­
nesia dalam „alam P an tjasila/M an ipol/U sdek ” jang dibuat oleh
almarhum D r S a h a r d j o, S.h., pada masa h idu pn ja M enteri
K ehakim an R epublik Indonesia, dan jang dikem ukakannja dalam pi-
datonja pada upatjara penganugerahan gelar D octor H onoris Causa
dalam Ilm u H ukum oleh Universitas „Indon esia’ ’ di DjakarLa pada
tanggal 5 D ju li 1963 Ditegaskannja bahwa „K alau kita sudah
m enerim a Pantjasila sebagai dasar Negara dan M a n ipol/U sd ek se­
bagai haluan Negara, maka segala usaha disegala bidang jang ber- ^
sifat nasional harus melaksanakan atau m entjerm inkan Pantjasi­
la /M a n ip o l/U sd ek didalam nja.
Maka hukum , politik, sosial, kebudajaan, ekonom i haruslah
sesuai satu sama lain, karena semuanja adalah P a n tja sila /M a n ip ol/
Usdek dipelbagai b idan g; semuanja adalah satu dengan masjarakat

4i> Hal. 23-24* Perlu dikem ukakan disini, baliwa L o g e m a n n m em ­


beri suatu gambaran tentang „keputusan ” (beslissin g) jan g tidak
dapat kam i terima sehirulm ja. M enurut pendapat kam i maka L o g e -
m an n kurang m em perhatikan kadang-kadang adanja ,,norm ative
K raft des F a k t i s c h e n D juga „keputusan ” dapat m endjadi kaidah !
46 „ P o h o n beringin pengajom an hukum P antjasila/M anipol/U sdek” .

31
itu. Dasar hukum banjak aliran politik jang kemudian melahirkan suatu
repolusi nasional atau suatu repolusi sosial, dimuat dalam suatu konsepsi
hukum alam jang sematjam tadi. Kita ingat sadja akan peladjaran J e a n
Jacques Rousseau jang memberi banjak bahan kepada aliran-
aliran politik jang kemudian a.I. meletuskan Repolusi Perantjis (th .
1789-th. 1795).
Tetapi, sebaliknja, konsepsi hukum alam itu djuga dipakai untuk
membenarkan kedudukan sosial beberapa gelintir orang jang berhasil
merebut pemerintahan atas masjarakat dan jang mendjalankan p em e­
rintahan itersebut guna terutama Kepentingan mereka sendiri. Usaha
sematjam ini terdjadi, misalnja, pada waktu kontra-repolusionèr jan g
kemudian mengganti waktu Repolusi Perantjis. Bahkan, seorang p e ­
ngarang seperti F r i e d r i c h Julius Stahl (th. 1802 - th. 1861)
tidak segan untuk melegitimasi (mengesahkan) berlakunja hukum
p o s i t i f atas suatu surat kuasa (volmacht) dari Tuhan. Kedudukan
mereka jang berkuasa didalam masjarakat pada azasnja berdasarkan apa
jang digambarkan sebagai takdir Tuhan ! 4 7 . (Tentang peladjaran
Stahl lihatlah Bab VII, par. 4 ).
Umum diketahui bahwa sedjak dahulu perkembangan hukum in­
ternasional dilakukan dibawah asuhan hukum alam (lihatlah B ab X I I
par. 1 ). Bahkan, dalam lingkungan hukum internasional banjak lem baga
hukum alam dipositifkan (didjadikan hukum p ositif)
D juga mereka jang tidak mau menerima W u i , ’ • n n
alam, masih ^TimViar sesuatu ' Sualu m
• j , l3n8 mereka sebut „azas-azas hu-
/ • ■$ I M ,W éâtt jang mereka tjita-tjitakan sebagai dasar suatu
hukum internasionat positif padu kemudian hari (lihatlah pasal 38
. J « i - b c Piagam M W o n a h internasional „ ,h e g e n e r a l p r i n -
d p i es o f I a w recognised by civilised nations” ).
i ada waktu sekarang, mereka jang tetap pertjaja pada berlakunja
suatu hukum alam terpaksalah akan memperluas lingkungan hukum
alam itu djuga a ta s’ wilajah negara-negara Asia-Afrika jang telah men-
tjapai kemerdekaannja ! Sudah tentu mereka itu nanti akan m eogete-
mukan hal tiada suatu alasanpun jang dapat membenarkan masih ada-
nja pendjadjahan asing diatas tempat kediaman suatu rakjat Asia atau

47 Perlu kami tegaskan disini bahwa S t a h l (jang termasuk pengikut „H is ­


torische Rechtsschule sepem v o n S a v i g ’ny8 diin p u c l , t a ) menen­
tang berlakunja sua u hukum alam („E s gibt kein anderes Recht als das
positive ) Tetapi biarpun menolak berlakunja suatu hukum alam, masih
d/uga S t a h 1 Penjai» pada adanja „kaidah-kaidah umum dan m utlak” .
Legitimasi kaidah-kaidah tersebut didas-irl™., •
(,frohere Fügung"). 'a^ rk a n n ,a alas a.I. sualu takdir Tuhan

32
suatu rakjat Afrika ! Bagaimanakah pendapat „natuurrecht beoefenaars”
di kalangan sardjana hukum Belanda mengenai masih adanja pendjadja-
han atas rakjat kita di Irian Barat ?
Isi dan legitimasi berlakunja hukum alam itu, dari djaman dahulu
sampai dengan djaman sekarang, sangat beraneka-warna. S o p h o c l e s
dalam buah tjiptaan „A ntigone” , membajangkan suatu keadilan lain
jang berhadapan dengan keadilan jang tertjantum dalam hukum ter­
tulis (hukum positif). Keadilan jang lain ini adalah keadilan ke-Tuhanan
jang berlaku abadi dan di mana-mana sadja. Keadilan ke-Tuhanan ter­
sebut bersifat repolusioner 'terhadap hukum positif.
Kaum S o p h 'i s menolak berlakunja suatu hukum alam. Pangkal
pandangan mereka adalah keadaan sosial jang sungguh-sungguh. Ber­
lainan dengan alam jang di mana-mana sadja dan pada waktu apapun
d juga sama, maka keadaan sosial jang sungguh-sungguh selalu
berubah menurut djaman dan tempat. Hukum itu buatan manusia; ma­
nusialah jang menentukan apa jang baik dan apa jang buruk. Djadi,
di samping hukum jang berlaku tiada sesuatu hukum lain jang berlaku
diluar kehendak manusia. Hukum, sebagai buartan manusia, mengikut
keadaan sosial jang selalu berubah itu. Tiadalah suatu hukum umum
jang berlaku di mana-mana sadja pada waktu apapun djuga.
S o c r a t e s berpendapat lain. Jang mendjadi persoalan baginja
ialah perbuatan manusia jang bertentangan dengan undang-undang
Tuhan jang berlaku abadi dan di mana-mana sadja. Persoalan ini suatu
persoalan etis (ethisch vraagstuk). Berbuat sesuatu jang bertentangan
dengan hukum adalah djahat. Apalagi berbuat sesuatu jang bertenta­
ngan dengan undang-undang Tuhan. Bagaimanakah sanksinja? Menurut
S o c r a t e s maka sanksi itu telah termasuk d a l a m pelanggaran jang
( bersangkutan. Bukankah, pada kemudian hari, setelah melakukan per-
buatannja, pelanggar akan menjesal perbuatannja itu ? Karena ia
menjesal maka dengan sendirinja ia mendapat penderitaan.
A r i s t o t e 1 e s, dalam dua karangannja „Ethica Nicomacheia’ ’
dan „Rhetorica” , membedakan antara dua matjam keadilan, jaitu apa
jang mendjadi adil menurut undang-undang dan apa jang mendjadi
adil menurut alam. Undang-undang itu ditentukan oleh manusia dan
berubah menurut djaman dan tempat. Keadilan menurut alam adalah
suatu himpunan kaidah-kaidah jang tidak berubah menurut djaman dan
tempat __ berlaku abadi dan di mana-mana sadja sama *is. Ber-

48 Ethica Nicomachtia” , V, 10 : seperti api jang l^aik di Junani maupun di


Persia (Iran) menjala setjara jang sama !

33
sebagai suatu kebulatan jang hidup, suatu ja n g in teg ra l; ja n g tidak
mengenal kontroverse antara Tuhan, R akjat, N egara, H u k u m . R ak-
jat. ialah Rakjat bernegara berhukum dan bertuhan. S etiap orang
adalah machluk kemasjarakatan. A lam ja n g m em a n dan g sem ua un­
tuk semua, satu untuk semua, semua untuk satu, ja n g m em b en tu k
negara kebangsaan dan kesatuan tidak untuk suatu g olon g a n kuat
dan djuga tidak bersandar pada suatu golon gan ja n g kuat.
Alam gotong-rojong antara semua bagian daripada n eg a ra ; da­
lam melakukan kewadjiban, dalam m endjalan kan w ew en an g : be-
kerdjasama, pertjaja-m em pertjaja. A la m am an, a dil dan m akm ur
jang tidak mengenal penindasan, tidak m engenal pen gh isapan . A lam
musjawarat, mufakat dengan pim pinan sesepuh. A la m ja n g m en-
tjari kebenaran, dan tidak kem enangan; ja n g m enang karena benar.
Alam dimana Hukum tidak untuk ja n g m em egang kekuasaan, m e­
lainkan untuk semua; dim ana tidak ada g olon ga n -golon ga n k etjil-
Alam pengemban Am anat Penderitaan R ak jat. M im ip o l/U sd e k
r*>6ungguhnja adalah kebathinan dari U ndang-undang D asar 1945 •^
Pendeknja : dalam alam K epribadian N asional kita, Bangsa In d o ­
nesia, sendiri 53.
T e r a n g la h , sebagai alat pengajom an m aka h u k u m itu alat R e v o ­
lusi Indonesia jang masih belum selesai. B erbitja ra tentang „h u k u m
sebagai alat r e v o lu s i” , maka penting sekali diingat apa ja n g dik a ­
takan o le h K a r l M a r x tentang „hukum dalam m asjarak at k api-
talistis” . M e n u r u t M a r x maka „P roduk tionsw eise des m a teriel­
len L e b e n s ” dan „Produktionsverhältnisse” m e n d ja d i dasar suatu
„(ju ristisch e) Ueberbau (dalam bahasa Inggris d ite rd je m a h k a n se-

52 Pidato, hal. 8-9- _


53 Dalam Konverensi Dinas Direktorat Pem asjarakalan di B a n d u n g pada
«langgal 27 A p r.I 1964 sampa. dengan tanggal 9 Mei 1 9 6 4 p elu djaru n
almarhum D r S a h a r d j o S.h., tentang konsepsi „ P o h o n berin g in
pengajom an hukum ^antjasda/M an'po 1 / Usdek” d ip erd a la m dan d i­
terapkan pada lembaga kependjaraan sehingga le m b a g a in>
b e n a r -b e n a r m e -d ,« * ,u a lu le m b a ^ „ e , P „ f „ r a„ -

Ä a “ a .“ " i “ “ . k o n v c r e ,.,;
[«« I n d o n e s ia ; m im piilniiii m o n u d iu 1
d n h tn t
^
19M - U:„n Haiultulmi; IIX “ “I . ? T * “ f
m/isi tr-iLui-,.,” » »>* elaksaiiaan teeluus Pe_
p n w m J m a II» n a r d j o , S.li. „ T u g a s ke-
wmytnan WU/Of p£Mü8]äraktttän dalam alam p e n g a jo m a n ” — prasaran.
Sehutilt ringktiiiiitl dimuat dalam P elen gk ap (S u p p le m e n t) p ad a tje-
takitti ketiga buku kam i „H u ku m Pidana I I ” , 1 9 6 4 . Suatu ,,resea rc i
jang diadakan di Lembaga Pem asjarakalan K a liso so k (S u r a b a ja ) dan
«]i lem b a ga Pcmanjarakatan D jem ber : M .D . L o u p a t t y,
„Tim ljnuan fingkai tentang perkem bangan sangsi p id a n a k e h ila ­
ngan kemerdekaan- bergerak (chusus m en gen a i p en ia sja ra k a t-
« n ) ” , skripsi Djem ber 1965 (akan d ip u blik a si) .

34
bagai „superstructure” ) 54. „U eb erb a u ” itu „sozia le, p olitisch e u nd

54 Dasar peladjaran Marx, ja itu filsa fa t h istoris-m a teria lism e (m a


terialism e ja n g liistoris), diuraikan dalam kata-katanja ja n g tor-
m asjliur :
„ I n der gesellschaftlichen P rod u k tion ihres Lebens geh en die M en sch en
bestim m te, notw endige, von ihrem W ille n u n abh än gige V erhältnisse
ein, Produktionsverhältnisse, die ein er bestim m ten E n tw ick lu n gsstu fe
ihrer m ateriellen Produ ktivkräfte entsprechen. D ie Gesam theit dieser
Produktionsverhältnisse bildet die ök on o m isch e Struktur d er G esell­
schaft, die reale Basis, w orauf sich ein juristischer U eberbau erhebt,
und w elcher bestim m te gesellschaftliche B ew usstseinsform en entspre­
chen. D ie P roduktionsw eise des m ateriellen Lebens beding'i den sozia­
len, politischen un d geistigen L ebensprozess überh au pt. Es is n ich t das
Bewusstsein der M enschen, das ih r Sein, sondern um gek eh rt ihr gesell­
schaftliches Sein, das ihr Bewusstsein bestim m t. A u f einer gewissen
Stufe ihrer E ntw icklung geraten die m ateriellen P rodu k tivk rä fte der
Gesellschaft in W iderspru ch mit den vorhandenen P roduktionsverhält­
nissen od er, was nur ein juristischer A usdruck d a fü r ist, m it den
Eigentum sverhältnissen, innerhalb deren sie sich bisher bew egt hatten.
Aus E n tw icklu n gsform en der Produ ktivkräfte schlagen diese V erhält­
nisse in Fesseln derselben um . Es tritt dann eine E p och e sozialer
R evolu tion ein. M it der V eränderung d er ö k on im isch en G rundlage
wälzt sich der ganze ungeheure Ueberbau langsam er od er rascher
u m . In der B etrachtung solch er U m wälzungen m uss m an stets un ter­
scheiden zwischen der m ateriellen naturwissenschaftlich treu zu
konstatierenden U m wälzung in den ök on om isch en P rod u k tion sb ed in g­
ungen u n d den juristischen, politischen , religiösen,' künstlerischen
od er p hilosoph isch en , k urz, ideologisch en F orm en , w orin sich die
M enschen dieses K on flik ts bewusst werden und ausfeclitcn . So­
w enig m an das, was ein In dividu m ist, nach dem beurteilt, wras es
sich selbst dünkt, ebensow enig kann m an solche U m w älzungsepochc
aus ihrem Bewusstsein beurteilen, sondern m uss vielm ehr dies B e ­
wusstsein aus den W id ersp rü ch en des m ateriellen L ebens, aus dem
v o r lia n t lo n i-n K o n flik t zwischen gesellsch aftlich en P rodu k tivk räften
und Produktionsverhältnissen erklären. Eine G esellschaftsform ation
geht nie unter, b evor alle P rodu k tivk räfte entw ickelt sind, fü r die weit
gen ug ist, un d höh ere Produktionsverhältnisse treten nie die Stelle,
b evor die m ateriellen E xisten zbedin gu n gen derselben im Schoss der
alten Gesellschaft selbst ausgebriilet w orden sind. D ah er stellt sich
die M enschheit im m er n u r A u fg ab en , die sie lösen kan n , denn genauer
betrachtet wird sich stets fin d en , dass die A u fg ab e selbts nur en tsprin gt,
wo die m ateriellen B edin gu n gen ihrer L ösu n g schon vorh an den od er
weniKstens im Prozess ihres W erd en b e g riffe n sind. Im grossen
U m rissen k ön n en asiatische, antike, feu d a le un d m od ern bürgerlich e
P roduktionsw eisen als progressive E p och en der ök o n o m isch e n Gesell­
sch aftsform ation bezeichnet werden. D ie bü rgerlich en P rodu k tion s­
verhältnisse sind die letzte antagonistische F orm des gesellschaft­
lichen Produ ktion prozesses, antagonistisch nicht im Sinn von in ­
dividuellem A ntagonism us, sondern eines aus den gesellschaftlichen
Lebensbedingu n gen der Individuen hervorw achsenden Antagonism us,
aber die im Schoss der b ü rgerlich en Gesellschaft sich e n t w i c k e l n d e n
Produktivkrävte sch affen zu gleich die m ateriellen B edin gu n gen zur
L ösu ng dieses Antagonism us. M il dieser G esellsch aftsform ation schliessl
daher die V orgesch ichte der m ensch lichen G esellschaft ab” (K a r I
Marx dalam „Z u r K ritik der politischen O e k on om ie” , tjetakan
pada lahun 1951 oleh penerbit D ietz V e rla s di kota B erlin, hal.
1 3 -1 4 ).

35
geistige Lebensprozess” j ang berdasarkan „P roduktionsw eise” dan
„1 roduktionsverhaltnisse” tersebut (determ inism e ek on om is). N e­
gara dan hukum adalah „,U eberbau” . Pada pok okn ja „U eberbau”
itu merupakan berm atjam-matjam ideologi jan g dibajangkan m a­
nusia setelah manusia itu m em peroleh „Bewusstsein” (kesadaran)
tertentu tentang realitèt sosial. Sebagai suatu ideologi maka hukum
itu suatu bentuk tertentu dari „Bewusstsein” manusia tentang
realitet sosial.

Tetapi M a r x m em punjai suatu pendapat istimewa tentang


arti „id e o log i” . Jang dimaksud M a r x dengan „id eolog i” itu
bukanlah seperti biasa — suatu teori, „id e e ” atau tudjuan ter­
tentu tentang realitèt sosial. Sebagai suatu ideologi, hukum itu sua­
tu „Bewusstsein” jang palsu (salah) akan realitet sosial. Manusia
jang berideologi m em punjai suatu bajangan palsu tentang realitet
sosial. „Bewusstsein” manusia jan g berideologi adalah „Bewusstsein”
jan g tersesat.
Dalam masjarakat kapitalistis jang dikuasai oleh kaum burdjuis
(bourgeoisie) maka hukum itu ideologi kaum b ordju is tersebut- Da­
lam masjarakat kapitalistis maka hukum itu suatu tatatertib jang
tertentu jang m em beri kem ungkinan m elandjutkan pertentangan
antara golongan manusia jang menguasai alat-alat produksi — kaum
burdjuis — dengan golongan manusia ja n g tidak menguasai alat-alat
produksi itu — kaum proletar — (lihatlah tentang pertentangan
kelas atau perdjuangan kelas ini Bab, V II par. 2 ).
Di samping 'hukum sebagai ideologi ada pula hukum sebagai
realitet. Hukum sebagai realitèt adalah hukum ja n g seharusnja ber­
laku. Menurut M a r x maka hukum sebagai r e a lit è t itu lianja da­
pat dilahirkan dalam suatu masjarakat jang tidak m engenal p er­
tentangan kelas atau perdjuangan kelas (lihatlah Bab V II, par. 1).
Hukum sebagai realitèt adalah katja jang sungguh-sungguh dari
realitèt sosial, jaitu katja jang sungguh-sungguh dari „substructure”
îomis jang njata. Hukum, sebagai realitèt nientjerm inkan sung­
guh-sungguh bubungan-hubungan produksi ja n g ada didalam inasja-
smigguh-simgguh. Hukum sebagai realitèt bukanlah
i eo o 0i tetapi „A usdruck” (pernjataan, katja) benar dari realitèt
eos'al. Hukum sebagai realitèt adalah suatu „superstructure” roha-
n ’ a (geestelijk) jang setjara benar-benar m em beri ,»A u s d r u c k ” ten­
tang „substructure” ekonomis (materiil) jang njata.

36
Hu um se a0ai id eologi berm aksud d juga m em beri suatu „A us-
druek tenlane »substruclure” ekonom is ja n g njata, tetapi suatu
„A u sdru c j <m0 palsu. H ukum m en djadi id eolog i karena pem buat
hukum itu m <njangkanja sebagai „A u sd ru ck ” sesuatu azas (d a lil)
jang sebelum nja telah diterim a a p riori• D engan kala lain : sebe­
lum mem buat peraturan hukum jan g bersangkutan, m aka p e m --
buat peiaturan hukum itu sudah m em punjai suatu konsepsi a p rio ri
tentang bagaimana seharusnja peraturan hukum tersebut, dan pem ­
buat p eia lu ia n hukum itu berusaha merealisasi konsepsi tersebut,
bahkan, cljuga dalam hal kem udian konsepsi itu tidak dapat dise­
suaikan dengan hubungan-hubungan ekonom is jang sungguh-sung­
guh ( reil) ada dalam masjarakat. O leh karena tidak sesuai dengan
Im bungan-hubungan ekonom is jang sungguh-sungguh ada dalam m a­
sjarakat, maka sudah tentu peraturan hukum tadi bukanlah suatu
„A u sdru ck” benar dari realitet.

H ukum sebagai* realitet bukan suatu „A u sdru ck ” dari suatu


azas ( dalil) jang a p riori diterim a oleh pem buat hukum dan jang
kem udian ternjata tidak sesuai dengan realitet sosial. M elainkan,
hukum ilu seharusnja suatu „A usdruck” dari hubungan-hubungan
ekonom is jang telah ada sebagai takdiran sedjarah hubungan-hu­
bungan ekonom is tersebut (se b a b -a k ib a t historis, historische causa-
lit e it — berasal dari peladjaran H e g e l ) .

Hukum sebagai realitet adalah hukum jang berlaku di suatu m a­


sjarakat jang anggautanja tidak lagi berideologi. K eadaan sema-
tjam ini hanja terdapat dalam suatu masjarakat jang tidak lagi
mengenal pertentangan kelas atau perdjuangan kelas, jaitu suatu
masjarakat menurut „com m unistisch ideaal” . H ukum sebagai rea­
litet berlaku sesudah hukum sebagai ideologi dan id eologi-id eologi
lain (agama, negara, dsb.) lenjap dengan berangsur-angsur („w ith -
ercd away” ) (lihailah Bab V II, par. 1). Karena keperluan akan b er­
ideologi tidak ada lagi, maka hukum sebagai realitet dapat m endjadi
katja jang sungguh-sungguh dari „substructure” sosial jang njata.
Karena keperluan akan m em bohong tidak ada lagi, maka hukum
sebagai realitet dapat bernilai moral ! H ukum sebagai realitet ada­
lah hukum ideal, suatu „richtiges R echt” (ju si la w ), jang hanja ter­
dapat dalam suatu masjarakat ideal !
Bahan-bahan „richtiges R echt” terdapat dalam relitet sungguh-
sungguh, jaitu dalam „verborgen H intergrund” , jang tidak dikenal
atau tidak mau dikenal oleh kaum burdjuis, biarpun njata. „ V e r ­
borgen H intergrund, sebagai realitet sungguh-sungguh, m endjadi

37
kaidah, („S o llen ” ) benar bagi penghidupan manusia dalam masja-
rakatnja. K aidah benar ini hanja dapat diperhatikan sepenuh-pe-
n uhnja dalam suatu masjarakat ideal seperti jang dibajangkan oleh
M a r x.
Dalam alam fikiran Marxistin— dan djuga dalam alam fikiran
„M anifesto P olitik ” karena adjaran „M anifesto P olitik ” itu adjaran
M a r x jang disesuaikan dengan keadaan m asjarakat Indonesia
f lihatlah Bab II, par. 2) — hanja hukum sebagai realitet itu dapat
'didjadikan alat revolusi• Dalam masa transisi (peralihan) dari ma-
sjarakat kapitalistis ke masjarakat sosialistis, maka lem baga-lem ­
baga hukum jang m endjadi ,,Ausdruck” dari realitet sosial — liu-
kum sebagai realitet — harus mengganti lem baba-lem baga hukum
ja n g m endjadi „A u sdru ck ” jang palsu dari realitet sosial itu hu­
kum sebagai ideologi. Sebagai alat revolusi maka hukum itu ber­
tugas m endobrak dan m elenjapkan dari perm ukaan bum i segala
lem baga-lem baga kemasjarakatan jang kontra'r evolusi lem baga-
lem baga ini sebenarnja tidak dapat disebut lem baga „kem asjara-
katan” karena tidak dikehendaki oleh rakjat , jaitu lem baga-lem ­
baga dalam m asjarakat jang m endjadi halangan bagi revolusi jang
dilakukan oleh rakjat untuk m em bebaskan diri dari belenggu
penghisapan, selandjutnja m engganti tatatertib hukum jang telah
diadakan oleh kaum kontra-revolusi itu. Dalam masa transisi b er­
tumbuh hukum baru jang pada a h im ja m em bentuk m asjarakat
baru, jang sosialistis. Hukum baru ini, jang leb ih m entjerm inkan
kehendak rakjat, adalah hukum sebagai alat revolusi. D i Indonesia
hukum harus didjadikan alat untuk m enjelesaikan R evolusi kita,
jaitu untuk menegakkan di Indonesia suatu m asjarakat jan g adil
dan makmur.

Par. 9 : Hukum positif dan hukum a l a m.

Apabila kami m em bitjarakan hukum , maka jan g senantiasa


kami maksud ialah hukum pada saat ini atau pada hukum saat
jang tertentu ditempat jang tertentu. M isalnja, peraturan-peraturan
hukum dalam K.U.H* Pidana, peraturan-peraturan pem erintah dae­
rah jang sekarang (atau dahulu) berlaku, hukum ja n g sekarang
(atau dahulu) berlaku di desa walaupun tidak tertulis, dsb.. Hukum
ini diberi nama hujvuju^xosiul^ atau diberi nama liukum berlaku
(positief recht, geldend recht atau stellig rech t). Jang d ipeladjari
dalam buku ini ialah hukuni positif.
Sekarang! kita dapat bertanja : adakali hukum lain di samping
hukum positif itu? 55. D i dunia Barat pada masa jang lampau, ada
orang jang Beranggapan selain dari hukum jang berlaku didalam
masjarakat — jang m endjadi buatan manusia — masih ada hukum
di alam jang berasal dari Tuhan, jaitu aturan ja n g tertjipta oleh
1 ulian bersama-sama kodrat manusia. Hukum di alam itu lebih
sempurna sifatnja. Oleh sebab orang lekas maklum hukum jang
berlaku didalam masjarakat tidak dapat m em beri kepada setiap
orang apa jang m endjadi haknja, maka orang merasa keadilan itu
harus ditjari didalam suatu susunan hukum lain. Dengan sendirinja
susunan hukum lain itu lebih tinggi deradjatnja dan seharusnja
berlaku di suatu ketika. Hukum jang ditjari itu diberi nama hu­
kum alam '>o. Hukum alam pada hakekatnja hanjalali bajangan
belaka mengenai suatu keadilan abadi, sedangkan' hukum positif
itu hukum jang berlaku sungguh-sungguh. Diantara pengarang
jang menerima berlakunja suatu hukum alam ada jang berangga­
pan bahwa Iiukum alam itu berlaku dimana-mana sadja pada masa
apapun djuga dan tidak dapat diubah lagi (hukum alam bersifat
kekal). K epertjajaan pada berlakunja suatu hukum alam tidak ha-
nja terdapat didjam an kuno, djuga sekarang masih ada orang jang
pertjaja padanja. Mulai abad ke-15 sebagian penganut-pengjanut
adjaran hukum alam m endjadikan rasio manusia sumber satu-satu-

55 Sedjak dahulu diterima umum pem bagian : ius constitutum dan im


constituendum . Ins constitutum itu hukum jang berlaku (hu ku m p o ­
sitif), dan ius constituendum ialah hukum jang direntjanakan, hukum
jan g ditjita-tjitakan atau hukum jang diingini. Setelah diundangkan
maka ius constituendum mendjadi ius constitutum.
56 Tentang hukum alam lihatlah ringkasan dalam buku kam i „Ring^
kasiin lentang filsafat hukum ” , 1964, Bab II dan Bab I I I ; van
Apeldoorn, hal. 3 5 9 -4 0 1 ; Z e v e n b e r g e n, hal. 4 1 . 4 4 ;
K e l s e n „General Theory” , hal. 407 -4 18 ; J u l i u s S t o n e „T h t
Province and Function o f Law. Law as L ogic Justice and Social Con­
trol. A Study in Jurisprudenco” ^ 1950, Bab V III dan IX (hal. 2 2 a-
2 6 4 ) ; W . F r i e d m a n n „Legal Theory” , 1953, hal. 15 d jb .. Pem -
ba'ijaan lehih luas : A.P. d’ E n t r c v e s Natural Law , 1951 (1 9 5 2 ) ;
Johannes Messner „D as Naturrecht. H andbuch der Gesell­
schaf Isethik, Staatsethik und W irlschaf'isethik” , 150; Hans
T h i c ni e „D as Naturrecht und die europäische Privatrechtsgescliich-
te” , 1 94 7; J. K o s t e r s „D e leer van het natuurrecht in liet posi-
t'ieve recht in Frankrijk” dalam „M ed. K on. Ak. v. W oiensch” , 1 93 9;
H e 1 m u '1 C o i n g „D ie obersten Grundsätze des Rechts. Ein V er­
such zur Neubegrü.ndung des Naturrechts” , 1947, dan „G rundzüge der
Rechtsphilosophie” , 1 95 0; E. v o n Hippel „E in fü h ru n g in die
Rechtstheorie” , 1947. Dalam bahasa Indonesia: D r J.J. D o r m e i e r
..Pengantar Ilm u H ukum ” , I, 1952, hal. 2 4-30 : H ukum alam sebaga’i
hukum ke-Tulianan jang berlaku di mana-mana djuga pada waktu
apapun !

39
n ja hukum alam itu. Dengan dibualnja konsepsi hukum jang
rasionalistis maka konsepsi hukum alam ke-Tuhanan mereka ting­
galkan.
Tetapi biarpun suatu bajangan belaka jang dibuat manusia jang
m engedjar suatu konsepsi tentang suatu keadilan abadi, masih dju -
ga, dalam sedjarahnja, hukum alam ilu telah m em enuhi banjak-
banjak m atjam funksi 57. Ada orang jang sungguh sungguh perljaja
pada berlakunja suatu hukum alam guna kepentingan um um dan
jang dapat m em perbaiki 'kedudukan semua manusia. Tetapi ada
djuga orang jang mem buat suatu bajangan tentan^ suatu hukum
alam guna kepentingannja sendiri atau golongannja. Mereka jang
disebut terahir ini menggunakan suatu konsepsi îu um a am ter­
tentu — jang mereka gembar-gemborkan sebadai _uatu „ eadilan
jan g seharusnja” - untuk m enjelim uti keinginan mereka m em pe­
roleh kedudukan lebih baik dalam masjarakat. Ada orang jang m e­
makai konsepsi hukum alam itu dengan suatu tudjuan jang baik
dan murni imtuk m em perbaiki nasib manusia semuanja. i samping
orang ini ada djuga orang lain jang menggunakan konsepsi.hukum
alam itu dengan suatu tudjuan jang tidak dapat c ipuc ji. etapi
usaha kedua golongan orang tersebut didorong oleh satu ^eingman
jang sama, jaitu keinginan mengubah tatahukum jana se an g ci-
laku (hukum p ositif), jang dirasa tidak memuaskan atau kuiang
adil.
Tjita-tjita tentang suatu keadilan jang leb ih tinggi dan lebih
sempurna dari pada keadilan jang tertjantum dalam iu um jang
sedang berlaku, dalam sedjarah dunia sering m e n d j a d i dasar hukum
dari aliran-aliran politik jang amat besar dan tennasjhur Dalam
waktu masjarakat diperintah setjara autoritèr (a u to n la ir ), maka
suatu konsepsi hukum alam jang tertentu m endjadi tjita-tjita m e ­
reka jang kepentingannja ditindas oleh pem erintah autoriter ilu.
Dalam konsepsi hukum alam tertentu sem atjam ini, dengan sen-
dirinja dibajangkan suatu kedudukan sosial jang leb ih baik bagi
para individu, dan hukum alam tersebut m endjadi suatu liarapan
akan pembebasan dari pemerintah jang autoritèr itu. Dasar hukum
banjak aliran politik jang kemudian m elahirkan suatu i evolusi na­
sional atau suatu revolusi sosial, dimuat dalam suatu konsepsi h u ­
kum alam jang sematjam tadi. K ita ingat sadja akan peladjaran

57 Baljalali ringkasan W . F r i e d ni a n 11 tentang „tlie p rob lem o f nat­


ural Iaw” dalam bukunja „Legal Theory” , liai. 17-19.

40
J e a n J a c q u e s R o u s s e a u jang m em beri ban jak bahau k e­
pada aliran-aliran politik jang kem udian a.l. meletuskan. R evolusi
Perantjis (tli. 1789-th. 1795).
Tetapi, sebaliknja, konsepsi hukum alam itu djuga dipakai
untuk m em benarkan kedudukan sosial beberapa gelintir orang jang
berhasil m erebut pem erintahan atas masjarakat dan jang m en d ja -
lankan pem erintahan l^ersebut guna terutama kepentingan m ereka
sendiri. Usaha sematjam ini terdjadi, m isalnja, pada waktu kontra-
revolusionèr jang kem udian mengganti waktu Revolusi Perantjis.
Bahkan, seorang pengarang seperti F r i e d r i c h J u l i u s S t a h l
(th. 1802 - th- 1861) tidak segan untuk m elegitimasi (mengesahkan)
berlakunja hukum positif atas sua t u surat kuasa (volm acht) dari
Tuhan. K edudukan mereka jang berkuasa didalam m asjarakat pa­
da azasnja berdasarkan apa jang digam barkan sebagai takdir T u ­
han ! 58.
U m um diketahui bahwa sedjak dahulu perkem bangan hukum
internasional dilakukan dibaw ah asidian hukum alam (lihatlah
Bab X II , par. 1 ). Bahkan, dalam lingkungan hukum internasional
banjak lem baga hukum alam dipositifkan (didjadik an hukum p o ­
sitif). Lem baga-lem baga hukum alam jâng dipositifkan itu biasa-
nja azas-azas hukum Rom aw i, karena sering hukum alam itu d i­
samakan dengan hukum R om aw i, jang sampai dengan A b a d P er­
tengahan m en d ja di hukum positif di E ropah Barat dan kem udian
diresepsi ( — diterim a sebagai hukum asli) dalam sistim hukum
nasional ban jak negara 59.
D juga m ereka jang tidak mau m enerim a berlakunja suatu
hukum alam, m asih djuga m engedjar sesuatu jang m ereka sebut
„azas-azas hukum jang um um ” dan jang m ereka tjita-tjitakan se­
bagai dasar suatu hukum internasional positif pada kem udian hari
(lihatlah pasal 38 ajat 1 sub c Piagam M ahkam ah Internasional :
„th e general principles o f laiv recognised b y civilised nations” ).
P ada-w aktu sekarang, m ereka jang tetap pertjaja pada berla­
kunja suatu hukum alam terpaksalah akan m em perluas lingkungan
hukum alam itu djuga atas w ilajah negara-negara A sia -A frik a jang

58 P erlu kam i tegaskan disini bahwa S t a h l (ja n g term asuk pengikut


„H istorische Rechtsschule” ) , seper'ti v o n S a v i g n y dan P u c h t a
m enentang berlakunja suatu hukum alam („ E s gibt kein anderes
R echt als das positive” ) . Tetapi biarpun m en olak berlakunja suatu
hu ku m alam, masih djuga S t a h l p ertjaja pada adanja „k aid ah -
kaidah um u m dan mutlak” . Legitimasi kaidah-kaidah tersebut dida-
sarkannja atas a.l. suatu takdir Tuhan („h ö h e r e Fügung” ).
59 Lihatlah buk u kam i „R in gkasan tentang filsafat hu ku m ” , B ab II.
telah m entjapai kemerdekaannja ! Sudah tentu m ereka itu nanti
akan mengetemukan hal tiada satu alasanpun jang dapat m em ­
benarkan masih adanja pendjadjahan asing diatas tempat kediam an
suatu rakjat Asia atau suatu rakjat A frika !

P ar. 10: Apa sebab maka orang mentaati


hukum? Kekuatan dan kekuasaan.

Kita dapat bertanja : terlepas dari adanja sanksi dari fihak


pemerintah, apakah sebabnja maka hukum itu ditaati oleh ang-
gauta m asjarakat? Apakah sebabnja maka kita mentaati hukuni
dengan sukarela, bahkan, dalam hal hukum itu tidak sesuai dengan
perasaan-hukum kita ?
Ada bermatjam -m atjam sebab maka orang mentaati peraturan :
Sebagian menerim anja, oleh karena peraturan itu sungguh-
sungguh dirasanja sebagai hukum. Bagi mereka peraturan itu sung­
guh-sungguh merupakan peraturan hukum. M ereka berkepentingan
sungguh-sungguh akan berlakunja peraturan tersebut, sebagai pera­
turan hukum !
Setengah orang lairmja menerim a peraturan itu, oleh karena
mereka merasa harus m enerim anja supaja ada ketentraman dalam
masjarakat. Dengan demikian mereka menganggap peraturan itu
sebagai peraturan hukum- D jadi, disini ada suatu penerim aan ra-
sionil (rationele aanvaarding). Penerimaan rasionil itu terdjadi pu­
la sebagai akibat adanja sanksi hukum, dan orang m em ilih taat sa-
dja dari pada mendapat kesukaran akibat pelanggaran peraturan
hukum.
'Masjarakat itu anggautanja bagian terbesar tidak bertanja apa­
kah sesuatu m endjadi hukum atau bukan hukum. M ereka tak pernah
menghiraukannja. Mereka taat pada peraturan-peraturan itu, oleh
kaiena biasanja masjarakat m enghendakinja. K ebanjakan orang —
bukankah, kebanjakan orang itu buta-huruf dalam soal-soal hu k u m ?
— baru mau memikirkan hukum, apabila mereka telah melanggar
sesuatu peraturan dan akibat pelanggaran itu telah dirasanja. Atau
sesuatu peraturan membatasi luasnja lapangan kepentingannja.
A hirnja, dapat dikatakan bahwa sebagian kaidah-kaidah (sosial)
ditaati, oleh karena ada paksaan (sanksi) sosial M isalnja, orang
malu, orang takut nanti diedjek orang lain atau dituduh orang lain

42
sebagai suatu m aliluk jang a-sosial 60 , Sering dem ikian kuat rasa
malu itu sehingga seseorang mentaati djuga hukum , walaupun telah
merasa kepentingan ekonom isnja oleh hukum itu ditindas ! (B u ­
kankah, sebagian hukum itu tidak lain dari pada kehendak suatu
„ruling^ class” jang tidak mau memperhatikan kepentingan ek ono­
mis dari jang diperintahnja ?)• Biasanja paksaan ekonom is m e­
maksa.
Dari apa jang kami kemukakan diatas ini, maka ternjata bah­
wa bagi ilm u hukum, ada dua pengertian jang penting sekali. Dua
pengertian jan g penting itu „kekuasaan” (gezag, authority) dan „ k e ­
kuatan” (m acht, pow er). „Kekuasaan” itu pengertian hukum sedang­
kan „kekuatan” adalah pengertian politik.
Kekuatan adalah paksaan dari suatu badan jang lebih tinggi
kepada seseorang, biarpun orang itu belum tentu menerima paksaan
tersebut sebagai sesuatu jang sah ( = sebagai sebagian dari tatatertib
hukum jang positif) serta sesuai dengan perasaan-hukumnja. K e­
kuatan itu baru merupakan kekuasaan apabila diterima 61, oleh
karena dirasa sesuai dengan perasaan-hukum orang jang bersang­
kutan, atau oleh karena badan jang lebih tinggi itu diakui sebagai
penguasa (a u toriteit).
O leh sebab itu peraturan harus m em punjai kekuasaan, jaitu
kekuasaan hukum , agar dapat m endjadi peraturan hukum. Apabila
tidak dem ikian, maka peraturan itu berupa paksaan semata-mata.
D em ikian berupa kekuatan.

60 Suatu anggapan jan g agak sama dengan anggapan kam i, terdapat


dalam karangan Mr D r I. K i s c h dalam „Scienlia” , II, Iial. 317
( K i s c h m enggunakan istilah „rechtsgedweeheid” ( sukarela m enurut
perintah h u k u m ). Batjalah djuga G u s t a v Radbruch Ein­
fü h ru ng” , hal. 13. Penting djuga apa jang dikatakan W a l t h e r
B u r c k h a r d t „E in fü h ru n g” , hal. 202, 206-207 (kam i tidak me-
n jetu dju i anggapan Burckhardt, oleh karena kam i m enolak
anggapan legism e).
61 Lihatlah Kelsen „General Theory” , hal. 3 8 3 ; L o g e m a n n,
hal. 4. M engenai hubungan antara hukum dan kekuatan dapat dibatja
ringkasan Z e v e n b e r g e n , hal. 67 : R echt en macht, jan g „ in ­
teressant” . Pada hal. 69 : „N iettem in zijn beide, recht en macht, op
elkaar aangewezen” . Beberapa peladjaran bagus jan g „recen t” adalah
peladjaran R .F. B e e r l i n g „K ratos, studies over macht” , 1956
(B e e r 1 i n g merumuskan kekuatan itu sebagai kem am puan untuk
m elakukan p en garu h ), dan M r S o e l a e m a n S o e m a r d i , M.A.
„T jara-tjara pendekatan terhadap „„k ek u asaan ” ” sebagai suatu g c-
djala sosial” dalam „M edan Ilm u Pengetahuan” , III, I (Djanuart
1 9 6 2 ), hal. 359-370.

45
Penting dan benarlah apa jang dikem ukakan oleh V i n o g r a -
d o £ f 62 : has to be considered not m erely from the point
o f view o f its enforcem ent by the Courts : it depends ultim ately on
recognition. Such recognition is a distinctly legal fact, althougli the
enforcem ent o f a recognized rule may depend on m oral restraint,
the fear o f pnblic opinion, or, eventually, the fear o f popular
rising” .
Sebuah tjontoh jang kuat sekali : Pada waktu H india-B elanda
kaum nasionalis bangsa Indonesia inentaati peraturan-peraturan
pemerintah Hindia-Belanda, oleh karena kekuatannja. T idak oleh
karena kekuasaannja. Bagi kaum tersebut pem erintah H in dia -B e­
landa itu hanja m em punjai kekuatan (m acht, pow er) sadja !
Terang sekali bahwa baru dalam suasana „w erkelijklieid J ke-
njataan)-lah dua pengertian „k e k u asaan (gezag)^ dan „legalitet itu
m em punjai arti jang sungguh-sunggutinja^Supaja dapat berarti sung­
guh-sungguh, maka perlu „kekuasaan” m endjadi sesuatu jang d ite­
rima oleh jang bersangkutan. Anasir penerimaan (elem ent van aan-
y vaarding) ini barulah m untjul dalam suasana „w erkelijklieid . B a­
rulah di suasana „w erkelijklieid” ternjata apakah sualu peraturan,
jang ditudjukan untuk m endjadi suatu peraturan hukum atau dires­
mikan (diundangkan) sebagai suatu peraturan hukum , diterim a (d i­
taati) atau tidak diterima (tidak ditaati). Legal atau sah berarti :
sesuatu diterima sebagai sebagian dari tatahukum jang sedang b er­
laku (legaal o f geldig wil zeggen dat iets w ordt aanvaard als een on-
derdeel van de geldende rechtsorde). D jadi, sesuatu keputusan (b e-
slissing— lihatlah diatas pada par. 8 rumus L o g e m a n n) dianggap
sah, apabila keputusan itu njata diterima sebagai sebagian tatahu­
kum jang sedang berlaku. Terang djuga, bahwa pengertian legalitet”
dan pengertian „positivitet” adalah dua pengertian jang tidak id en ­
tik. Bukankah, sesuatu jang, bahkan, bertentangan dengan hukum
positif masih djuga dapat diterima sebagai sah, jaitu sebagai seba­
gian dari tatahukum jang berlaku ? T jon toh : pem erintah pusat m e­
legalisasi perdagangan barter jang telah lama dilakukan oleh jjen gu-
asa daerah dengan tiada idjin terlebih dahulu dari pem erintah pusat
tersebut ! Tetapi biasanja sesuatu jang sah adalah hukum positif
atau sesuatu jang sesuai dengan hukum positif. Djustru „legalitet”

62 Paul Vinogradoff „C onunon Sense in Law” , 1949, hal. 2 9-30 .

44
ini dapat m endjadikan sesuatu jang dilahirkan sebagai keputusan,
kemudian berupa kaidah. „Legalitet” (dalam bentuk aktifnja, ja-
itu legalisasi) dapat m endjadi suatu alat transformasi !
K am i mengaliiri paragrap ini dengan tidak lupa menguraikan
pengertian „perasaan-hukum ” jang telah kami sebut diatas tadi.
Jang dimaksud dengan „perasaan-hukum” seseorang itu „w aarde-
oordeel” (penghargaan, penentuan)-nja tentang adil tidaknja (la­
jak tidaknja) sesuatu hal, jang perlu tidaknja diberi sanksi oleh
pemerintah, dan membuat „w aarde-oordeel” itu dipengaruhi oleh
pendapat (perasaan) pem buatnja tentang kedudukan ekonom isnja
( M a r x : „Pro*duktionsverhältnisse” ) dalam masjarakat. ,,Waarde-
oordeel” ini dibuat baik dalam suasana ,,positivitet” („waar-oor-
deel’ jang abstrak dan mutlak) maupun dalam suasana „w erkelijk-
heid’ („w aarde-oordeel” jang konkrit dan aktif) 63. „A d il” itu —
jang penentuannja dipengaruhi oleh kedudukan ekonomis dari jang
bersangkutan — berarti : sesuai dengan kepentingan sendiri atau
dengan kepentingan anggauta sekaum, dsb. jang hendak diperha­
tikan (dilin d u n gi). Pengertian „perasaan-hukum” itu senantiasa
pengertian jang mengandung suatu anasir subjektif / Hal itu karena
sifat subjektif dari pengertian-pengertian „adil” dan „keadilan” !
Sualu pengertian „a d il” dan „keadilan” itu tidak lain dari pada
suatu „w aarde-oordeel” dari jang berkepentingan, baik sebagai
penonton m aupun sebagai peserta, dalam peristiwa konkrit jang
terdjadi dalam masjarakat ! 6'1.

Par. 11 : Pem bagian hukum dalam golongan-


g o l o n g a n n j a 65.

W alaupun tidak dapat dibuat suatu definisi tentang apa hukura


itu, karena segi-seginja banjak dan lapangannja luas sekali, masih
djnga dapat kam i m em baginja dalam beberapa golongan berdasarkan
beberapa ukuran (maatstaven).

a.
Oleh karena swmfoernja berm atjam-m atjam , maka hukum dapat
dibagi dalam : '

63 Lihatlah buku kanii „Ringkasan tentang filsafat hukum ” , Bab IX .


64 Lihatlah buku kam i „Ringkasan tentang filsafat hukum ” , Bab IX .
6o Lihailah Z e v e n b e r g c n , hal. 163-170, mengenai perbedaan an­
tara pem bagian dan 6istimatik.

45
1. hu ku m undang-undang (w ettenrecht), ja itu hukum j* n g ter-
tjantum dalam peraturan perundang-undangan.
2. hukum kebiasaan dan hukum adat (gew oon te- en a d u treclit),
jaitu hukum jang terletak dalam suatu peraturan kebiasaan atau
suatu p®raturan adat istiadat, dan ja n g m endapat perhatian
dari para penguasa masjarakat (perhatian itu ternjata dari
keputusan para penguasa masjarakat itu ).
3. hukum traktat (tractaten-recht), jaitu hukum ja n g ditetapkan
olëh negara-negara jan g bersama-sama m engadakan suatu per-
djandjian (traktat).
4- hukum jurisprudensi (ju rispru den tie-rech t), jaitu huk um ja n g
terbentuk karena keputusan hakim 66.
5. hukum ilmu (w e t e n s c h a p s r e c h t ), ja itu huk um sebetulnja
saran-saran — jang dibuat oleh ilm u 'hukum dan ja n g berkuasa
dalam pergaulan hukum . D ja d i, hukum ja n g terdapat dalam
pandangan-pandangan a h l i- a h l i hukum ja n g teikenal dan jan g
sangat berpengaruh.

Hukum undang-undang dan hukum traktat disebut djuga hu-


kum tertulis (gesch reven rech t). H ukum undang-undang itu huk um
tertulis nasional sedangkan hukum traktat adalah hukum tertulis in ­
ternasional. H ukum kebiasaan, h uk um adat, hukum jurisprudensi
dan hukum ilm u disebut djuga hukum tak tertulis (ongeschreven
recht). Sebagian dari hukum adat m en djadi hukum tertulis (lih atlah
Bab II, par. 3, sub B ). H ukum kebiasaan itu ada dua m atjam : h u ­
kum kebiasaan nasional dan hukum kebiasaan internasional.

66 Pengertian „jurisprudensi” jang kami anut disini adalah pengertian


„jurisprudensi” jang diterima dalam ilm u hukum di ham pir sem ua
negara-negara di kontinen Eropah Barat, seperti Negeri P erantjis,
Negeri Djerm an, Negri Belanda, Italia, jaitu „ju risp ru d en si” adalah
hukum jang dibuat dalam keputusan-keputusan pengadilan (lia k im ) ;
menurut ilm u hukum di Amerika Serikat, Negeri Inggeris dan sem ua
negara Anglo-Saks, negara-negara bekas-koloni Inggeris, seperti In d ia ,
Pakistan, Sailan : „case la w” . Di negara-negara jan g disebut 'ieraliir
ini, jakni Amerika Serikat, dlL, terkenal „ju risp ru d en ce” , ja n g m e n ­
djadi djauh lebih luas dari pada „ju risprudensi” , ja n g lianja m en ­
djadi „case law” sadja. „Jurisprudence” ini m eliputi seluruh p ela -
djaran hukum. Mengenai pengertian „ju risp ru d en ce” batjalah G e ­
o r g e 'W. K e e t o n „T h e Elementary Principles o f J u rispru den ­
ce” , 1949, hal. 3 -2 9 ; G.W. P a t o n „ A Text-B ook o f Jurispru dence” ,
1951, hal. 1-30 (pada hal. 30 : „jurisprudence is a fu n ction a l slu dy o f
the concepts which legal syslems develop, and o f the social interests
which law protects” ). Jang paling pertama membahas „ju ris p ru d e n ce ”
itu adalah T.E. <H o 11 a n d „T h e Elemen'is o f Jurisprudence” , 1880
(tjetakan ka-X : 1 9 0 6 ).

46
Sumber-sumber hukum itu akan kami bitjarakan dalam Bab II.

O leh karena kadang-kadang satu hukum berlaku di w aja *


berbagai negara, m aka d i samping hukum nasional, ja n „
berlaku di w ila ja h satu negara sadja, ada d juga hukum interna­
sional.
V a n V o 11 e n h o v e n G7 m em bagi lingkungan ke -uasaa^
(suasana b erlak u n ja, w ilajah berlakunja, geldingssfeer, ge n<^i;
gebied, geldingskring) suatu peraturan hukum dalam „gron o® 1
dan „p erson en geb ied ” . „G ron dgeb ied” dan »,personenge ie
terdapat dalam setiap persekutuan hukum (rechtsgemeensc i p
O leh L o g e m a n n 68 diadakan perluasan pela ^ r .^ ^ k i e d ” ,
( gebiedsleer) in i, sehingga ada pem bagian dalam . «ty
„ru im tegebied ” dan „personengebied” . .
K e 1 s e n G0 m em buat suatu pembagian jang paling ^
lajah b erlaku n ja suatu peraturan hukum dapat dibagi da am ^
„sph ere” , ja itu : sphere o f tim e (tem poral sphere,
sphere o f space (territorial sphere, ruuntegebi , r- /^akenve-
personal sphere (personengebied) dan material sp *ere ^
b i e d ). Berdasarkan pem bagian K e l s e n ini maka tentam,
berlakunja suatu peraturan hukum dapatlah dik ein u ta -
p^rtanjaan : peraturan hukum itu berlaku tei hadap siap ,
m engenai apa, pada tvaktu apokah ? . . , ,
„G ro n d g e b ied a ,a » „„.im te g e b ie d i.u dapa. dibag, « P ¿alam
„g ron d g eb ied (in enge z in )” (daratan), „zeege *e
„lu ch tg eb ied ” (udara) (lihatlah Bab VII? Par*

M cn m u t kekuatan sanksinja. maka hukum dapat di *


dua m atjam golongan, jakni ■.hukum ( jang bersifat) mema >,
hukum, Cjang bersifat) mengaturi ( d w i n g e n d - e n rege e . i i

~ H u ku m memaksa i,u hukum jang dalam keadaau t a t e • d *


dapat dikesam pingkan (disisikan) oleh perdjandjian ,
dibuat oleh kedua belah fihak sendiri.Dengan kata lain :

67 „Staatsreclit Overzec” , 1934, Bah IV d jUi?a „Staats-


68 Hal. 5 6-57 , lebih landjut pada hal. 117 d,b.. LdwllM i aju« -
recht van Ned. Indie” , 1947 pada
tia p bab; „ S t a a ts r e c lit van I n d o n e s .e (h e t f o m t e l e s js t e e m ; ,
hal. 94 d jb ., 121, 145 djb. dan 186-
„G en eral T h eory” , hal. 42 djb. dan 207 djb.

47
jang dalam keadaan bagaimanapun djuga liarus ditaati, hukum jang
mempunjai paksaan mutlak (absolut).
Sebuah tjontoh : Menurut pasal 147 K.U.H. Perdata, sjarat-
sjarat perkawinan (huwelijkse voorwaarden) harus dibuat dalam
euatu akte notariil ( = dibuat di muka seorang notaris). Peraturan
ini tidak dapat diganti oleh suatu perdjandjian jang tudjuaunja
berlainan. Peraturan ini tidak dapat dikesampingkan oleh suatu
perdjandjian jang bertentangan. Bilamana sjarat-sjarat perkawinan
itu tidak dibuat dalam suatu akte notariil, maka sjarat-sjarat itu
bagi hukum tidak ada.
Menurut pasal 1334 ajat 2 K.U.H. Perdata, seorang ahli waris
tidak dapat m enolak bagiannnja dari warisan jang akan diterim anja
sebelum warisan itu dibagi antara semua ahli waris. Bilam ana se­
orang ahli waris m enolak bagiannja dari warisan itu pada waktu
jang meninggalkannja masih hidup atau pada waktu sebelum pem ­
bagian warisan diadakan, maka penolakan tersebut tidak dapat d i­
akui sah
Undang-undang tidak memakai istilah „m em aksa” , ,,terpaksa”
atau „dengan paksaan” . Tetapi maksud undang-undang jang b e r­
sangkutan dapat diketahui dari susunan perkataannja. Misalnja» dari
perkataan „tidak dapat melepaskannja” („geen afstand doen ” ) (p a ­
sal 1334 ajat 2 K.U.H. Perdata) ; „undang-undang m engenai tata-
tertib um um (publik) atau mengenai kesusilaan, tidak dapat ditia­
dakan karena sesuatu perbuatan atau perdjandjian” (pasal 23 A . B . ) ;
„d jik a tidak demikian, maka batallah” („o p straffe van n ietiglieid” )
(pasal 147 K.U.H. Perdata).
Hukum mengatur ialah hukum jang dalam keadaan konkrit
dapat disampingkan oleh perdjandjian jang dibuat oleh kedua
belah fihak. Bilamana kedua belah fihak dapat m enjelesaikan soal
mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan, maka peraturan
hukum jang tertjantum dalam pasal jang bersangkutan, tidak perlu
didjalankan. Maka hukum mengatur ialah hukum jang biasanja d i-
djalankan, bilamana kedua belah fihak tidak m em buat sendiri suatu
peraturan atau .membuat sendiri suatu peraturan tetapi tidak len g­
kap. Hukum mengatur disebut djuga hukum m enam bah ( aanvullend
re ch t)70.

70 L e m a i r e, hal. 64.
Istilah „h u k um menambah” untuk m enjalakan hukum m engatur, itu­
lah sebetulnja kurang tepat. Hukum mengatur bukan hu ku m ja n g
Sebagai tjon toli, kam i kem ukakan perselisihan tentang sewa
jang telah kam i bitjarakan diatas (lihatlah par. 5 ). Bilamana (dalam
suasana „w erk elijk h eid ” ) kedua belah fihak telah m em ilih suatu
penjelesaian sendiri jan g memuaskan, maka tidak lagi perlu pasal
1393 K .U .H . Perdata didjalankannja.
H al ini tidak berarti sekarang pasal 1393 K.U.H. Perdata itu
dilanggar. Dalam hal ini kedua belah fihak telah memilih suatu
peraturan lain. T indakan m ereka sesuai dengan keadaan konkrit
(suasana „w e rk e lijk h e id ” ). M ereka tidak m em ilih peraturan jang
tertjantum dalam pasal tersebut. Tindakan mereka menjimpang
dari kaidah ja n g tertjantum dalam pasal itu. Tetapi walaupun me-
njim pang, m asih djuga tidak melanggar karena tidak dipaksa taat
pada kaidah tersebut. Seandainja ada suatu pelanggaran, maka „p e ­
langgaran” berarti : memutuskan perutangan (verbintenis) jang di­
tim bulkan oleh tindakan jang dipilih sendiri dengan tiada perse-
tudjuan dari pihak jang lain. Baik pasal 1393 K.U.H. Perdata mau­
pun peraturan sendiri tidak boleh dilanggar bilamana sudah dipilih
untuk m enjelesaikan soal antara kedua belah fihak. Perutangan jang
diadakan berdasarkan perdjandjian sendiri tidak boleh diputuskan
dengan tiada persetudjuan dari fihak jang lain bilamana sudah di­
pilih bersam a-sama (pasal 1338 K.U.H. Perdata).
O leh v a n A p e l d o o r n 71 dikemukakan hal istilah „hu
kum m emaksa” dan istilah „hukum mengatur” sebelulnja tidak
tepat, oleh karena tiap peraturan hukum berludjuan memaksa mau­
pun mengatur. Maka dari itu bilamana dikatauan „peraturan hu
kum m em aksa” , maka jang senantiasa dimaksud ialah suatu pera
turan hukum jang tidak dapat dikesampingkan oleh peraturan apa­
pun djuga. Peraturan hukum tersebut mempunjai paksaan mutlak
(absolut).
S eb a lik n ja , bila m an a dikatakan „peraturan hukum m engatur” ,
m aka ja n g senantiasa dim aksud ialah suatu peraturan huk um jang
tu d ju a n n ja tid a k lain dari pada m em beri suatu ped om an sadja.
K ed u a b e la h p ih a k tidak dipaksa m em akai ped om an itu. A p a b ila
m erek a suka m e m ilih peraturan (pen jelesaian) lain, m aka m ereka
dapat m en d ja la n k a n keh en dakn ja.

menam bah (u n dan g-u n dan g), tetapi hukum jang memberi kesem ­
patan supaja undang-undang ditambah.
71 Hal. 152-153.

49
Um um nja dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan h u k u m
jang tertjantum di K.U.H. Perdata dan K.U.H . Dagang bagian be-
sam ja hukum mengatur, sedangkan semua peraturan-peraturan h u ­
kum jang tertjantum dalam K.U.H. Pidana m en d ja d i h u k u m m e ­
maksa. Demikian d juga halnja dengan kaidah-kaidah h u k u m ja n g
sangat tersangkut dalam pembelaan kepentingan „ru lin g class” di
masjarakat. Itulah hukum jang memaksa !

d.

Menurut isinja 72 hukum itu biasanja dibagi dalam dua g o ­


longan, jaitu hukum pu blik dan hukum privat ( sip il). P e m ­
bagian ini berasal dari ilm u hukum R om aw i (R om ein se rechtw e-
tenschap) dan belum dikenal dalam ilm u hukum E rop ah B arat pada
waktu sebelum resepsi hukum Rom aw i.
Tentang sifat dan dasar pem bagian hukum dalam dua golon ga n
tersebut, telah ditim bulkan banjak perselisihan faham . R u p a n ja
sampai sekarang perkataan terahir dalam perselisihan fah am terse­
but belum diutjapkan.
Oleh B e l l e f r o i d 73 dibuat gambaran sebagai b erik u t :
Hukum publik mengatur tatanegara, jaitu m engatur tjara badan-
badan negara (staatsorganen) m endjalankan tugasnja dan m engatur
pula hubungan-hukum (reehtsbetrekking) jang diadakan antara n e ­
gara -sebagai pem erintah dengan para individu atau ja n g diadak an
antara masing-masing badan negara itu. H ukum privat m engatur
latatertib masjarakat mengenai fam ili (keluarga) dan m engenai
kekajaan para individu, dan mengatur pula hubungan-hukum ja n g
diadakan antara para individu jang satu dengan jang lain, antara
individu dengan badan negara, bilamana badan negara turut-serta
dalam pergaulan hukum sebagai ( = seolah-olah) individu •
Anggapan B e l l e f r o i d tersebut telah m en dja di suatu ang­
gapan kelasik, dan mendjadi pula suatu pegangan sederhana. T eta p i
— setelah kita membatja buku-buku peladjaran tentang h u k u m —

72 Menurut Prof. Mr J.H. C a r p e n t i e r A l t i n g „G ron d sla gen der


rechtsbedeeling in Nederlandsch-Indie” , 1926, hal. 19 : „N a a r de
soort van de door het reclit geregelde verhoudingen ................................. ”
(menurut djenis hubungan jang diatur oleh hukum ) ; P ro f. M r S u -
d i m a n K a r t o h a d i p r o d j o „Pengantar tata hukum di I n d o ­
nesia” , 1957, hal. 21 : „Tergantung pada faktor m anakah ja n g lebih
berpengaruh dalam suatu djenis hukum, ............................” . F ak tor ja n g
berpengaruh itu adalah kesadaran-hukum masjarakat dan p o litik h u­
kum negara.
73 Hal. 12CT.

50
ternjata hal sering pem bagian hukum dalam golongan hukum publik
dan golongan hukum privat tersebut tidak dapat diadakan begitu
sederhana seperti diatas ini.
Lama diterima anggapan, bahwa hukum privat m engatur h u ­
bungan antara individu sedangkan hukum publik m engatur h u bu ­
ngan antara negara dan wrarganja. D i N egeri Belanda anggapan
ini dibela oleh M r J.A. L o e f f 74. Jang m endjadi ukuran (maat-
staf) pendapat M r L o e f f ialah para subjek suatu hubungan-hu-
kum . T etapi anggapan tersebut tidak sesuai dengan „rechtswerke-
lijk h e id ” . Oleh negara sering dipakai suatu peraturan hukum privat
u n in k m enjelenggaran tugasnja. Misalnja, pemerintah m enjewa
sebuah rum ah dari seorang partikelir dengan maksud menggunakan
rum ah itu sebagai gedung kantor. Sewa tersebut diatur oleh pasal-
pasal 1548 d jb . K.U.H. Perdata. Dalam pergaulannja dengan orang
partikelir, pem erintah sering menggunakan peraturan-peraturan
ja n g sama sekali tidak berbeda dari peraturan-peraturan jang dipa­
kai oleh dua orang partikelir apabila mereka mengadakan suatu h u ­
bungan antara m ereka 75,
K enjataan tersebut telah tidak lagi disangkal oleh comm unis
op in io diantara ahli hukum. Hal iUl dit jatat dan cliakui oleh antara
lain seorang ahli hukum bangsa D jerm an jang bernama A.R. B i e r-
1 i n g 76. T etap i walaupun kenjataan tersebut diakuinja, masih -dj ti­
ga B i e r l i n g tidak mau meninggalkan anggapan jang lama dan
salah itu. B i e r l i n g membuat suatu fiksi. Apabila negara meng­
gunakan hukum privat, maka negara bertindak sebagai suatu „quasi
Staatsgenosse” ! L o e f f berpendapat bahwa praktek (jaitu „rechts-
w erk elijkh eid” ) bertentangan dengan „natuurlijk karakter” (sifat

74 J.A . L o e f f „P ub liek rech t tegenover privaatrecht” , disertasi Leiden


1 887.
75 K r a n e n b u r g „D e grondslagcn der rechtswetenschap” , 1952, hal.
73. T etapi boleh dikatakan bahwa badan-badan negara (pem erintah)
m engadakan perbuatan-perbuatan menurut hukum privat itu hanjalah
bilam ana m enjelenggarakan tugas „bestuur” (pem erintahan daiam
arti kata sem p it). Bilamana m enjelenggarakan tugas perundang-un-
dangan dan tugas m engadili, maka senantiasa badan-badan negara
m en ggun akan hukum publik belaka. Tentang ,,grensgevallen” lihatlah
D r L. v a n P r a a g „O p de grenzen van publiek- en privaatrecht” ,
1 92 3, dan M r F.G. S c h e l t e m a „H et grensterrein van publiek-
en privaatrecht” dalam m adjalah ,,Rechtsgeleerd Magazijn” , 1927, hal.
2 33 d jb .. Lihatlah djuga buku Mr D r H.J. R o m e i j n (dengan ban­
tuan M r J.M .C. R o m e i j n ) „Adm inistratiefreclit. Hand- en Leer-
b o e k ” , I, 1, 1 93 4, hal. djb., dan buku kam i , , Pengantar hukum
administrasi negara Indonesia” , 1965, Bab II, par. 1. .
76 D ik utip pada bukti K r a n e n b u r g tersebut pada hal. 73.

51
semestinja) pembagian hukum dalam publik dan hukum privat itu !
Oleh K r a n e n b u r g ditegaskan hal disini ada suatu dogmatik
jang didjalankan setjara kolot sungguh-sungguh, sehingga gamba­
ran jang ditimbulkan oleh dogmatik itu djauh sekali dari keadaan
jang benar-benar.
V a n A p e l d o o r n 77 berukuran pada kepentingpn ja n g
dilindungi oleh suatu peraturan hukum. Katanja : hukum publik
mengatur kepentingan un^um (publik) sedangkan hukum privat
mengatur kepentingan chusus (privat). Anggapan ini kurang tepat.
Baik suatu peraturan hukum publik maupun suatu peraturan h u ­
kum privat dapat mengatur suatu kepentingan umum. Misalnja,.
pemerintah menjewa sebuah rumah (pasal-pasal 1548 djb. K.U.H.
Perdata) dan rumah itu dipakai sebagai rumah sakit um um . Seba-
liknja, baik suatu peraturan hukum privat maupun suatu peraturan
hukum publik dapat mengatur suatu kepentingan chusus. M isalnja,
suatu undang-undang naturalisasi (pewarga-negaraan) (pasal 26 ajat
1 U.U.D.; pasal 5 ajat 2 undang-undang dasar sementara tahun 1950
dahulu; pasal 6 Undang-undang kewarga-negaraan R e p u b lik In d on e­
sia tahun 1958 Nr 62, L.N. 1958 Nr 133) m endjadi suatu peraturan
hukum p u b lik jang mengatur djuga suatu kepen tin gan chusus, jailu
kepentingan dari jang dinaturalisasi 78.

7i Hal. 143 djb. Anggapan v a n Apeldoorn telah dikeniukakan


oleh seorang ahli hukum bangsa Romawi jan g bernam a U 1 p • « •• u s.
Katanja : Publicum ius est, quod ad statuin rei rom anae spectat,
privatum quod ad singulorum utililatem ; sunt enim cjuaedam publice
utilia, quaedam privatim (H ukum publik adalah hukum ja n g m e­
ngatur kemakmuran negara Romawi, hukum privat adalah hukum
jang mengatur kepentingan orang tertentu (ch u su s) ; oleh karena
beberapa hal mengandung kepentingan um um , beberapa hal lain m e­
ngandung kepentingan chusus). Lihatlah djuga P ro f. M r B.H .D.
Hermesdorf „Schets der uitwendige geschiedenis van liet R o-
meinse recht” , 1946, hal. 17 djb.. Anggapan sematjam ini terdapat
djuga dalam buku G r o t i u s „In leid in g tot de H ollandsclie rechts-
geleertheyd” ; dalam buku Prof. C. W . O p z o o m e r „H et Bur-
gerlijk W etboek verklaard” ,. I, 1874, hal. 3 ; dalam buk u v a n K a n,
hal. 115 („belangen van de overheid” (kepentingan pem erintah) dan
„belangen van private personen” (kepentingan orang p a r tik e lir)).
78 K r a n e n b u r g „Grondslagen” , hal. 76 : „W a n t er zijn ook belang,
rijke stukken recht, die in het burgerlijk wetboek geregeld zijn, die
net algemeen belang raken; men zal deze echter m oeilijk tot de Met
rakende den Landstand kunnen rekenen. Als m en liet »»a lg e m e e n
belang” ’ ’ tegenover het „„privaat belang” ” als eriterium voor de o n -
derscheiding aanneemt, is het hek van dam ! Dan kan m en ten
eeuwigen dage vechten over de kwestie. o f de burgerlijke rechtsvor-
dering behoort tot het publiek- dan wel" tot het p riva a frech t; o f h et
internationaal privaatrecht is publici iuris dan wel, zoals zijn naam
aangeeft, tot het privaatrecht moet worden gerek en d ; ............................

52
A. T h o n79 membagi bukum dalam golongan hukum publik
dan golongan hukum privat berdasarkan tjara m empertahankan
hak-hak jang ditimbulkan oleh hukum itu. Jang mempertahankan
hak-hak tersebut adalah negara. Bilamana sesuatu hak dipertahan­
kan oleh pemerintah atas permintaan (inisiatif) dari jang dirugi-^.
kan oleh suatu pelanggaran hak itu (permintaan dari suatu indi­
vid u ), maka peraturan jang menimbulkan 'hak tersebut termasuk
golongan hukum privat.
Anggapan T h o n tersebut tidak benar. Anggapan itu, misal-
nja, bertentangan dengan hak inisiatif djaksa meminta pembatalan
suatu perkawinan jang tidak sesuai dengan azas jang tertjantum
dalam pasal 27 K.U.H. Perdata — lihatlah pasal 86 K.U.H. Perdata.
D isini ada perlindungan suatu hak privat jang diadakan atas ini­
siatif pemerintah (djaksa) seridiri. Bandingkanlah djuga pasal-pasal
310, 319a dan 434 K.U.H. Perdata. Apalagi ukuran jang dipakai
oleh T h o n tidak tepat pula, karena perbedaan tjara mem perta­
hankan hak itu tidak lain dari pada hanja akibat sadja dari pem ­
bagian hukum dalam hukum publik dan hukum privat.
S c h o 1 t e n 80 mengadakan suatu pembagian berukuran azas-
azas jang m endjadi dasar masing-masing peraturan hukum. Hukum
privat adalah hukum biasa (gemene recht), karena memuat azas-
azas biasa (u m um ). Djuga negara tunduk pada hukum umum (ge­
m ene recht) itu selama tidak diadakan. perketju alians i . Perke-
tjualian itu terdapat dalam hukum publik. Hukum publik m endjadi
h ukum istimewa (bijzonder rech t), karena memuat azas-azas isti-

dst.” (D i kitab undang-undang hukum perdata ada bagian-bagian


penting jan g m engenai kepentingan umum. Tetapi tidak mungkinlah
m en ggolon gkan bagian-bagian itu kedalam golongan hukum mengenai
tatanagara. D jika „kepentingan um um ” dan „kepentingan privat”
dipakai sebagai dasar pembagian hukum dalam hukum publik dan
hukum privat, maka katjaulah gambaran jan g kita peroleh tentang
pem bagian tersebut ! Sudah tentulah, tidak dapat diselesaikan per­
soalan apakah hukum atjara perdata termasuk hukum publik atau
termasuk hukum privat. Tidak dapat diselesaikan persoalan apakah
hukum privat internasional mendjadi hukum publik atan — seperti
m enurut nam anja — m endjadi hukum privat; ...................... jl s t .) .
79 B ukunja „R ech tsn orm und subjectives Recht” , 1878. D i Negeri Be­
landa anggapan ini dibela oleh Mr M.A.G. H a r t h o o r n „H et recht
en zijn liandhaving” , 1929.
80 „A lg em een D eel” , hal. 40 djb. S c l i o l t e n berpegangan pada ang­
gapan H a m a k e r „D e tegenstelling van publiek. en privaatrecht” ,
tjeram ah di m uka „K on in k l. Akademie van W etensch.” , tahun 1894.
81 Scholten „Zakenrecht” (dalam serie A s s e r ) , 1945, hal 27.
Lihatlah karangan Mr A. J. M ainak e dalam madjalah „P ad ja-
djaran” , I, 3, chusus hal. 96-98.

53
mewa- H ukum publik membatasi kekuasaan hukum privat tetapi
tidak melenjapkan hukum privat itu 82. Antara hukum privat dan
hukum negara ada suatu perbedaan azasi (p rin cip iëel), sedangkan
antara hukum privat dan hukum publik jang lain ada suatu p er­
bedaan seperti perbedaan antara hukum biasa dan hukum istim ewa.
Terang sekali bahwa bagi S c h o l t e n hanjalah perbedaan
antara hukum privat dan hukum negara — jaitu hukum p u b lik
dalam arti kata sem pit ( L o g e m a n n ) — jang m en d ja d i suatu
perbedaan azasi. Tetapi bagi pengarang-pengarang lain jang nam a-
n ja tadi kam i sebut — jak n i L o e f f , B i e r l i n g , v a n A p se 1 -
d o o r n, O p z o o m e r, T h o n dan H a r t h o o r n (terketju ali
B e l l e f r o i d ) — maka pem bagian hukum dalam hukum p u b lik
dan hukum privat itu suatu pem bagian azasi jang m eliputi hukum
p ublik seluruhnja.
Menurut beberapa pengarang lain, maka pem bagian h uk um
dalam hukum publik dan hukum privat itu bukan suatu pem bagian
azasi. Pengarang ini pengarang jang pengaruhnja sangat besar pula.
Mereka adalah Z e v e n b e r g e n 83, D u g u i t 81, I i r a n e n-
b u r g 85 B e l l e f r o i d 86, M e i j e r s 87. K am i' m em bitjara-
kan terutama anggapan K r a n e n b u r g , B e l l e f r o i d dan
Meijers.
K r a n e n b u r g beranggapan bahwa pem bagian tersebut ada­
lah akibat suatu sistimatik tertentu jang sedjak dahulu diadakan.
Sistimatik tertentu itu diadakan berhubungan dengan proses diferen ­
siasi jang sedjak dahulu berkem bang didalam ilm u hukum . Proses
diferensiasi tersebut belum berahir, melainkan proses itu senantiasa
akan dilandjutkan. Berhubungan dengan hal proses tersebut senan­
tiasa akan dilandjutkan maka senantiasa akan di d jadikan perubahan
dalam sistimatik jang telah m enim bulkan pem bagian hukum dalam
hukum publik dan hukum privat itu. R upanja pem bagian pada
waktu sekarang tidak sesuai lagi dengan keadaan sungguh-sungguh

82 Tentang hukum privat sebagai hukum biasa dan hukum adm inistr ’
(hukum tatausaha) negara sebagai hukum istimewa, lihatlah b u t f1
kami „Pengantar hukum administrasi negara Indonesia” , 1965 R h
I par. 3. ’
83 Z e v e r b e r g e n , hal. 191 djb.
84 Léon Duguit „T raité de droit constitutionnel” , I, 1920.
85 Kranenburg „G rondslagen der rechtswetenschap” , hal 7 7 —'
86 Hal. 120-121.
87 P rof. Mr E.M. M e i j e r s „A lgem en e Ieer van het hurgerlijk rerlit”
1948, hal. 20-22.

54
d i lapangan liukum «s (Tjatatan kami : disini ada sebuah tjon toh
m engenai „spanning” antara teori dan „reclitsw erkelijkheid ).
O leh Bellefroid dikemukakan bahwa walaupun pem ba­
gian tersebut bukan pem bagian azasi, masih djuga kita liarus me-
ngadakannja. Bukankah, u n d a n g -u n d a n g sendiri m em buatnja ? L i­
hatlah pasal-pasal 101 dan 108 u n d a n g - u n d a n g dasar sementara ta­
hun 1950 dahulu (lihatlah djuga pasal 102), pasal 2 R.O. („R ech ter-
lijk e Organisatie” , L.N.H.B. 1847 Nr 23 — lihatlah Bab III, par. 2)
(m asih berlaku berdasarkan pasal II Aturan Peralihan U.U.D. 89) ,
pasal 3 A .B .
Kata M e i j e r s : dalam suatu hubungan-hukum privat, m a­
ka jan g bersangkutan diberi kebebasan supaja setjara kemauan
sendiri m eiuljalankan wewenang (hak) jang diberi oleh hukum.
H ukum pu b lik la h jang membatasi kemerdekaan ini. D jawaban atas
pertanjaan apakah sesuatu peraturan hukum termasuk golongan
h ukum privat atau termasuk golongan hukum publik, itulah ber
gantung pada hal bagaimana peraturan hukum itu dapat ditafsir
kan. D engan kala lain : bergantung pada besarnja kepentingan jang
dilindungi ( diperhatikan) oleh peraturan itu 90- Kita mengadakan

88 K r a n e n b u r g, hal. 77. . „„Kur**


K on k lu si ja n g kira-kira sama dcnpnn konklusi r " . . . . r
auf der
posilivrechtlich en Gestaltung berulit. Er îst also °jn
notw endig. Das zeigt sicli ja auch f o n d e r deuthcli darm ^ «
den reclu lich cn G m n dbegriffen w.e .Rech^ 1? ^ ieJ ® fe g e n s a tz
s u b je k liv e s R ech t, R e c h ts v e r h a ltn is , R ech tssu j Ttii*
niclit in Erscheinung tritt. Das R echt kann also auc i o u ,.
feren zieru n g anskom m en , tcie historisch tdas germ anische un ^
das en glisch e R ech t betveisen” (k u rsif dari k a m i). K onklusi IN a -
w i a s k y adalah akibat peladjaran „Stufenbau des R echts nja.
Pentinglah dikem ukakan bahwa djuga hukum adat — ja n g tidak m e­
ngenal pem bagian liukum dalam hukum publik dan hukum
(lih ailah P rof. S u p o m o „B ab-bab tentang hukum adat , 1 9 6 2
(tjetak an k edu a ) hal. 2 2 ) — dapat m em buktikan bahwa pem bagian
tersebut tidak begitu perlu (lihatlah L e m a i r e, hal. 2 2 o ) .
89 Tentang pasal 2 R .O . lihatlah L o g e m a n n „H et statsrecbt van
Indon ésie (h et form ele systeem )” , 1954, hal. 136-142 dan buk u
kam i „P engan tar hukum administrasi negara Indonesia , B ab V
par. 1. -
90 P r o f. S u d i m a n K a r t o h a d i p r o d j o „P engantar tata hukum
In donesia” , 1957, hal. 21, membuat suatu pem bagian ja n g, menurut
pendapat kam i, walaupun tidak berbeda prinsipiil dari pendapat
P r o f. M e i j e r s ini, masih djuga dapat disebut originil : „H u k u m
perdata ( privaatrecht) ialah golongan liukum dim ana kesadaran h u ­
k u m ja n g lebih berpengaruh, sedang hukum p u b lik (p u b liek re ch t)
ialah golon gan hukum dimana dalam tum buh dan perkem bangannja
fa k tor politik hukum negara lebih berpengaruh” .

55
r

pembagian tersebut, karena tradisi 91.


Bagaimanakah anggapan kami sendiri ? K am i m enganggap diri
tergolong dalam golongan mereka jang m elihat pem bagian terse­
but bukan pembagian azasi. Sebabnja :
Pada hakekatnja tiap peraturan hukum bertudjuan baik m e­
ngatur maupun memaksa. Tetapi sebagian dari peraturan hukum ,
baru memaksa apabihi iihak-fihak jang bersangkutan (b etreffen de
partijen) tidak berhasil m enjelesaikan soal m ereka berdasarkan
suatu peraturan sendiri. Peraturan sem aljam itu m em beri kepada
fihak-fihak jang bersangkutan suatu kem erdekaan luas. F ihak-fihak
jang bersangkutan diberi kesempatan m enjelesaikan soal m ereka
menurut keinginan sendiri ( M e i j e r s : kebebasan m endjalankan
hak menurut kemauan sendiri). T etapi apabila m ereka tidak b e r­
hasil mengadakan penjelesaian sendiri, maka hal itu berarti m ereka
gagal mengadakan kepastian-hukum (rech tszek erh eid). A p a b ila f i ­
hak-fihak jang bersangkutan tidak m am pu m em buat suatu p e n je ­
lesaian sendiri, maka pem erintahlah jang m em buat penjelesaian itu.
Dengan kata lain : pem erintah (hakim ) memaksa fih ak-fih ak jang
bersangkutan m enjelesaikan soal mereka m enurut peraturan ja n g te­
lah diadakan oleh hukum jang bersangkutan. D alam hal dem ikian
hukum jang mula-mula bersifat pedom an sadja, sekarang memaksa.
Bagianf lain dari peraturan-peraturan hukum telah a p r io ii (te ­
lah dari pangkal, karena sudah m endjadi azas) tidak sanggup m em ­
beri kepada jang bersangkutan suatu kem erdekaan m em ilih pe­
njelesaian sendiri. Setjara langsunglah pem erintah d ib eri kekua­
saan menjelesaikan soal dari jang bersangkutan. Peraturan sema-
tjam ini m endjadi peraturan hukum publik. Peraturan hukum p u ­
blik ialah peraturan jang a priori memaksa 92.
Menurut pendapat kami, maka perbedaan antara hukum pu ­
blik dan hukum privat' tidak lainlah dari pada hukum p u b lik itu
telah a priori memaksa sedangkan hukum privat tidak a p riori
memaksa. Tetapi apabila para fihak (partijen) tidak m am pu m eng­

91 Lihatlah djuga L e m a i r c, hal. 212 dari tjetakan pertama ( 1 9 5 2 ).


92 Kami m em ohon perhatian untuk hal bagi hukum (p u b lik ) interna­
sional sifat a priori memaksa itu masih m erupakan suatu keinginan*
Disinilali ternjata perbedaan antara hukum publik nasional dan h u ­
kum publik internasional. Didalam pergaulan hukum internasional
belum ada suatu kekuasaan pusat, seperti jan g ada: didalam p er­
gaulan hukum nasional (jakni dalam pergaulan hukum nasional ada
suatu pemerintahan pusat).

56
gunakan kemerdekaan mereka supaja menjelesaikan soal mereka
berdasarkan suatu peraturan sendiri, maka hukum privatpun m e ­
maksa.
Baliwasanja pembuat undang-undang, kalau kriterium kami
ini dipakai, tidak atau kurang konsekwen dalam membagi beraneka
warna m al j am peraturan-peraturan hukum itu dalam kitab-kitab
undang-undang hukum jang dibuat sedjak tahun 1848, itulah ter-
njata dari hal djuga dalam K.U.H. Perdatapun termuat peraluran-
peraturan hukum publik, jang scharusnja tidak boleh dimuat. Be­
berapa tjontoh tentang hukum publik dalam K.U.H- Perdata: pa-
eal-pasal 27 (perkawinan berdasarkan m onogam i), 147, 938, 1603x
(dianggap lidak berlaku lagi).
Pem bagian hukum dalam hukum publik dan hukum privat jang
kami adakan, boleh dikatakan sedjalan (in overeenstemming) de­
ngan pem bagian hukum dalam hukum memaksa dan hukum m e­
ngatur 04. Terutama besarnja kepentingan ,,ruling class” — jang

93 Terhadap pendapat kami ini diadakan kritik oleli Mr H a n B i n g


S i o n g dalam „M adjalah Hukum dan Masjarakal” , Pebruari 1959,
hal. 10-11, janji memanggil sebagai saksi antara lain Prof. Mr W .F.
I* r i n s „In lcid in g in l-.cl adminislralief recht van Indonesie” , 1950,
hal. 1 0: „Dw ingend recht is nog geen publick recht"’ (hukum m e­
maksa bcluin lentu Imkern p ublik ).
94 Anggapan semaljani anggapan kami terdapat djuga dalam buku \T a 1 -
Ih e r B u r c k h a r d l „E inführung” , hal. 143 :

Verfahrens-, bezw. organisato' i. Verhaltung-,


sclies Recht (1. Satzung, 2. An­ bezw. materielles
wendung, 3. Vollstreckung) Recht

1. Privataiilonomie (Vertrags-
fähigkeil und Freiheit) Rechtsgeschäfte und
Privates nachgiebiges
2. Anwendung (Verbands- u.
Rech» Gesetzesrecht
Sclüedsgcrichtc !)
3. Vakat !

1. Gesetzgebung
2. Rechtssprechung und Ver­ Zwingendes
Oeffentliches
waltung Gesetzesrecht
Recht (ku rsif dari kam i)
3. Betreibung, Verwaltungs­
zwang, Strafvollzug.

Dulam luikura privat terdapat „privatautonom ic” alau otonom i fihak


(p a riij-a u ton om ic), jailu para fihak berotonom i (au ton oom ) menje-
lenggarakan kepentingan mereka menurut kehendak sendiri.
Ahrrnja, kami sangat mengandjurkan m embalja G u s t a v R ad-
b r u c h „E in fü h ru n g” , hal. 76-90. G u s t a v R a d b r u c h m em ­
buat sualu ichlisar' jang historis (historisch overzicht). Mengenai dja-
man sekarang dikeniukakannja suatu „spanningsvcrschijnsel” (gedja’ a

57
menguasai alat-alat negara jang membuat dan jang m em pertahankan
hukum — menentukan apakah sesuatu peraturau termasuk hukum
publik atau hukum privat !
A hirnja, pada djam an sekarang ada djuga pengarang jang
hendak meninggalkan sama sekali pem bagian hukum dalam h u ­
kum publik dan hukum privat itu. Diantara pengarang tersebut
adalah K e l s e n dengan „S tufentlieorie” nja. ‘J5. Semua kaidah di­
turunkan (afgeleid) dari satu „G ru n d n orm ” , jaitu dari satu kaidali
tertinggi. Baik badan-badan pem erintah m aupun orang partikelir
membuat pelundjuk-petun djuk (h id u p ) jang diturunkan dari kai­
dah tertimrgi jan<i sama itu. Maka dari pem bagian hukum dalam
hukum publik dan hukum privat adalah suatu pem bagian jang »e-
wenang-wenang ! v
Karena tradisi ( M e i j e r s , L e m a i r e ) dan praktek ( B e l ­
l e f r o i d, K r a n e n b u r g) m engadakan perbedaan antara hu
kum publik dengan hukum privat itu, maka kam i m engadakannja
djuga :
1. Hukum pu b lik terdiri atas : luikUm pu b lik dalam arti kata
sem pit (istilah L o g e m a n n (h u k u m n egfiia ), hukum utjara
administrasi, pidana dan privat; hukum perburuhan (m odern ) ;
hukum padjak dan hukum ( p u b lik ) internasional.
2. Hukum privat terdiri atas : hukum perdata dan hukum d a b a n 0 .
3. Hukum perselisihan ilG.

ketegangan) : „soviel Privalrecht wie m öglich , soviel ö f i R echt


wie nötig” (hal. 9 0 ). in ila h suatu gecljaSa ja n g nicnm» ke
so a la n besar dalam p r o s e s perubahan sifat dan ,ltU A. J.
arah su atu n e g a r a jan g le b ih sosialistis ! Lihatlah 95-98.
M a i n a k e dalam madjalah „P ad ja dja ra n ” , I, 3, chu* von ö ffe n t-
,,Inzwischen hat sich eine d ritte P eriode des V erliä ll,,!sse , sozialen
lic h c m Recht zum Privatrecht angebahnt; das Z e i t a l t e r y ffcn tli-
Rechts. Zv.ar wird an der Unterscheidung von p r i v a t e m u ’ * neue
c'tem Recht festgehalten, aber an Stelle ih r e r S c h e id u n g , e .v.prjpr
Rechtsecbiote. Arbeitsroclit und W irlschaftrecht, d ie als ,JnZ?.-
dem öffentlichen noch dem privaten R echt z u g e w i e s e n wei (
vielmehr ein Gemenge öffentlicher u n d privatrechtlicher _c ‘ - 1 y ‘
b ild e n ” (R u d k r u c h „V orschule der R e c h t s p h i l o s o p ue ■> ’
)* 99 ¥i 1 *VTTT
95 Lihatlah huku kami „Ringkasan tentang filsafat hukuni , a
96 Dalam tjetakan ke-4 buku ini Iiukum perselisihan itu Ijia sl 1 j*” *'-
lihat sebagai suatu bagian dari hukum piivat, seperti peni ^ ,.
m a i r e, hal. 191, dan pidato pelantikan sebagai i?url>, i _
Leiden „Kwesties bij de Studie van liet intergentiele recht , ■> ,
hal. 15. Kalau kila memhatja hat. 21 huku P ro f. M r - *•
K a r t o h a d i p r o d j o „Pengantar tata hukum di Indonesia , 1 Jo ,
maka timbul kesan bahwa djuga pengarang ini melihat hu ku m per-

53
4. H u ku m ekonom is.
5. H u ku m pidana sebagai hukum sanksi (sanctierecht).
6. H u ku m transitur (hukum antar w aktu).

K am i m em bitjarakan masing-masing m atjam hukum itu satu


per satu.
H ukum p u blik dalam arti kata sempit disebut djuga hukum
negara dalam- arti kata luas (istilah L o g e m a n n j hukum negara).
H ukum negara dalam arti kata iuas dibagi dalam : hukum negara
dalam arti kata sem pit (hukum tatanegara) dan hukum administrasi
negara (djuga disebut : hukum tatausaha negara).
H ukum negara dalam arti kata sempit (hukum tatanegara)
m em peladjari peraturan-peraturan hukum jang mengatur kewadji-
ban sosial dan Avewenang (bevoegdheid, competentie) sesuatu orga­
nisasi negara. Karena organisasi negara terdiri atas djabatan-djaba-
tan, jaitu m erupakan suatu pertambatan djabatan-djabatan, maka
orang dapat djuga mengatakan : hukum tatanegara m em peladjari
kew adjiban sosial dan wewenang peudjabat-pendjabat negara 97.
H ukum administrasi negara (hukum tatausaha negara) mengu-
d ji hubungan-liukum istimewa jang diadakan akan memungkinkan
para p en djabal negara melakukan lugas chusus mereka 9S.
H ukum atjara m em peladjari tjara mempertahankan peraturan-
peraturan jan g lertjantum dalam hukum materiil (hukum publik
m ateriil, hukum privat m ateriil dan hukum pidana materiil) (ten­
tang apakah hukum materiil itu lihatlah dibawali). Hukum atjara
administrasi m em peladjari tjara-tjara menjelesaikan perselisihan
adm inistratif (peradilan administrasi negara) (di Indonesia belum

selisihan itu sebagai suatu bagian hukum privat. Tetapi lihatlah djuga
perum usan-perum usan jang dibuai pengarang ini pada hal. 145 djb.
Perum usan-perum usan itu tidak membatasi hukum perselisihan ter­
subur ha-ija pada bidang hukum privat.
Pendapat ja n g lama ini kami tinggalkan. Baik uraian G o u w G i o k
S i o n g dalam bukunja „H u ku m antargolongan. Suatu pengantar” ,
(1 9 5 6 , hal. 34 d ib .) -m au p u n , kemudian, kritik Mr H a n Bing
Siong („M a djalah H ukum dan Masjarakat” , IV, 1, hal. 4 -8 ) me-
iakinkan kam i bahwa memang hukum perselisihan i’ u tidak terbatas
pada bidang hukum privat sadja. Kami berpendapat lebih baik m em ­
beri kepada hukum perselisihan itu suatu siutus tersendiri, jaitu bu ­
kan hukum privat dan bukan hukum publik, tetapi m elipuii kedua-
keduania.
97 D efin isi jan g dibuat oleh P rof. Dr J.H.A. L o g e m a n n „Staatsnccht
van Nederlands In dië” , 1947, hal. 5.
98 Sama dengan n oot 97.

59
ada 6ualu pengadilan administrasi negara telap 90). Hukum atjara
privat mempeladjari tjara-tjara menjelesaikan perkara keperdataan
dan perkara jang menjangkutkan hukum dagang di muka hakim .
Hukuni, atjara pidana m em peladjari tjara-tjara menjelesaikan per­
kara pidana di muka hakim, seperti tjara m endjatuhkan hukum an
jang tertjantum dalam suatu peraturan hukum pidana materiil, dsb.
Hukum perburuhan m em peladjari peraturan-peraturan hukum
jang mengatur kewadjiban dan wewenang buruh dan m adjikan ser­
ta peraturan-peraturan hukum jang mengatur tjara m enjelesaikan
perselisihan antara buruh dengan m adjikannja 10°.
Hukum padjak (belastingrecht) m em peladjari peraturan-pera­
turan jang mengatur hal-hal mengenai padjak (tjara memungut pa­
djak, dsb.) serta peraturan-peraturan hukum jang mengatur tjara
menjelesaikan perselisihan padjak (belastinggeschillen).
Hukum (publik) internasional m em peladjari segi-segi hukum
dari hubungan-hubungan antara negara-negara 10l dan antara m a­
nusia dengan pergaulan antar-negara itu.
Hukum perdata berludjuan m endjam in adanja kepastian dalam
hubungan antara orang jang satu dengan jang lain kedua-duanja
sebagai anggauta masjarakat. Tetapi djuga : m endjam in adanja ke­
pastian dalam hubungan antara seseorang dengan pem erintalm ja
(Lihatlah anggapan kami tentang perbeldaan antara hukum publik
dengan hukum privat jang dibitjarakan diatas tadi).
Hukum dagang bertudjuan m endjam in adanja kepastian dalam
hubungan privat ch u su s102 antara orang jang satu dengan jan g
lain kedua-duanja sebagai anggauta masjarakat. Tetapi djuga :

99 Lihatlah buku kami „Pengantar hukum administrasi negara In d on e­


sia” , Bab V par. 1.
100 Penjelesaian perselisihan perburuhan itu diadakan m enurut baik hu­
kum atjara privat, hukum atjara pidana m aupun peraturan-peraturan
sendiri, jaitu menurut peraturan-peraturan hukuni atjara perburuhan.
Apa jan g kami katakan tadi, mengenai djuga hukuni padjak (lih at­
lah dibawah).
101 R.M. M a c I v fe r ,,The Modern State” , 1926, hal. 282 : „In tern a ­
tional law is the system which orders tlie relations between States”
V i r ^ C* V e r m encr' ,na primat hukum internasional. Lihailah Bab
v. hakekatnja definisi ini kurang tepat. M anusiapun dapat
ujuga ^mendjadi subjek hukum internasional. Dalam tjelakan ke-1
sampai dengan tjetakan ke-5 buku, ini, kami masih mem akai istilah
„h u kum antar negara” , sesuai dengan definisi M a c 1 v e r tersebut
Karena istilah itu sempit, maka dalam tjetakan ke-6 kam i m ening-
galkannja dan memakai istilah „hu kum internasional” . Lihatlah A 1 f
7 ? Sf . Text-B ook o f International Law” , 1947, dan Bab X II n oot 1.
J02 Lihatlah djuga v a n K a n, hal. 30.

60
m endjam in aclanja kepastian dalam hubungan privat chusus antara
seseorang dengan pemerintalmja. Hubungan privat chusus itu m e­
ngenai : perniagaan, keperseroan (vennootschappen), w'èsel promès
dan chèque (tjèk keasuransian (pertanggungan, assurantiën, ver-
zekeringen), perniagaan laut dan segala sesuatu jang berhubungan
dengan itu, kepalitan (faillissement), hak pengarang dan keoktroian
( o ctro o ie n ). Jang diatur oleh hukum dagang itu seimia hal-hal jang
m asih belum dikenal oleli hukum privat orang Rom aw i (lihatlah
Bab X III, par. 1 dan 2).
Hukum perselisihan menerangkan peraturan apa jang m endjadi
peraturan hukum atau peraturan hukum mana berlaku mengenai
sesuatu hubungan (hukum) jang diadakan oleh karena suatu peris­
tiwa hukum 103 jang memuat anasir-anasir jang dapat menjangkut-
kan dua atau lebih tataliukum (sistim hukum) jang berlain-
lainan l04-
Menurut sifat nasional atau tidak nasional (internasional) -
iija 105 perselisihan jang bersangkutan, maka hukum perselisihan
itu dibagi dalam dua bagian *. hukum perselisihan nasional dan
h ukum perselisihan internasional. G o u w Giok S i o n g , (Jivug
m engikuti invensi Prof. 11 e s i n k) 10(> membagi hukum perselisihan
dalam hukum antar tata liukum intern (intern conflictenrecht)
dan hukum antar tata hukum (internasional) ekstern ( (internatio-
naal) extern conflictenrecht). Kami menjinggung terlebih dahu­
lu hukum perselisihan internasional, jailu hukum privat interna­
sional, jang biarpun perselisihan jang diselesaikan adalah suatu

103 Slia lu peristiwa hukum adalah tiap peristiwa sosial jang akibalnja
diatur oleh liukum . Lihatlah Bab VI, par. 2.
1 04 Lihatlah pandangan tentang hukum perselisihan pada umumuja dalam
buk u M r Dr G o u w G i o k S i o n g „H ukum antargolongan. Suatu
pengantar” , 1956, hal. 1-33 (Mi* G o u w memakai djuga istilah ^lvu-
ku m antar tata liukum ” ) ; kuliah umum di Makassur tertanggal 8
Septem ber 1956 dari Mr Moli. K o e s n o c „A rti, tempat, dan sifat
hu ku m intergentil” dalam „M adjalah Hukum dan Masjarakat” , April
1 95 7, hal. 1-23, ja n g m enitik.bcratkan perhatian pada hukum an­
tar golon ga n , tetapi memuat djuga beberapa keterangan jang pen­
ting bagi ilm u hukum perselisihan pada um um nja, dan lebih luas
tesisnja (Surabaja, 1 9 6 5 ) ; P rof. Mr S u d i m a n Kartohadi-
p r o d j o „P engantar tata liukum di Indonesia” , 1957, hal. 145-178.
105 Jang dim aksud dengan perselisihan internasional ini bukanlah suatu
perselisihan antara pem erintah-pem erintah berbagai negara-negara
letapi perselisihan antara tvarga-negara berbagai n-egara-negara itu.
Perselisihan antara pem erintah berbagai negara-negara, itulah dipela-
djari oleh dan diselesaikan menurut liukum (p u b lik ) internasional.
106 hal. 6.

61
perselisihan internasional, masih d juga merupakan hukum na­
sional (lihatlah Bab X IV , sub A ).
Hukum privat internasional menerangkan peraturan apa jang
mendjadi peraturan hukum atau peraturan hukum mana berlaku
mengenai sesuatu hubungan (hukum ) jang diadakan oleh karena
suatu peristiwa hukum jang memuat anasir-anasir jang dapat me-
njangkutkan dua atau lebih tatahukum privat nasional masing-ma-
singnja. Tjontoh : seorang saudagar warga-negara Indonesia (jang
tunduk pada hukum p riv a t nasional Indonesia) m endjual hasil
hutannja kepada seorang warga-negara D jerm an (jan g tim duk pada
hukum privat nasional D jerm an). P erdjandjian djual-beli jang d i­
adakan oleh kedua belah fihak tersebut jang kewarga-negaraannja
berlain-lainan dan jang tunduk pada dua tatahukum (sistim hukum )
privat nasional jang berlain-lainan, diatur oleh peraturan-peratu­
ran jang terdapat dalam hukum privat internasional itu.
Hukum perselisihan nasional berinatjam -m atjam : hukum inter-
gentil, hukum interlokal, hukum antar agama (interreligieus reclit)
dan, (pada d jam an k olonial) hukum interregional.
Hukum intergentil (jan g djuga disebut hukum antar golongan)
adalah him punan peraturan-peraturan jang mengatakan hukum
mana berlaku atau apa jang m endjadi hukum m engenai suatu hu
bungan (hukum ) jang diadakan oleh karena suatu peristiwa hukum
jang memuat anasir-anasir jang m enjangkutkan dua atau lebih .ata
hukum jang berlaku bagi masing-masing dua atau lebih golongan
liukum 107 jang berlain-lainan di w ilajah satu negara. I jo n lo li. se
orang warga-negara Indonesia keturunan Eropah m endjual sebuah
m obil kepada seorang warga-negara Indonesia asli. T jon toh lain
seorang warga-negara Indonesia keturunan T ionghoa menje\\a se
buah rumah dari seorang warga-negara Indonesia asli., T jon toh
lagi : di Indonesia seorang warga-negara Indonesia asli m enjew akan
sebuah sepeda kepada seorang turis ( toerist) warga-negara Inggeris
(orang Inggris tersebut termasuk golongan hukum E ropah lihat­
lah Bab III, noot 2).
Hukum interlokal (S u d i m a n K a r t o h a d i p r o d j o,
hal. 162,165, memakai istilah: hukum antar-daerah, G o u w G i o k
S i o n g, hal 5, memakai istilah : hukum antar tempat, hukum

107 Lihatlah Bali III, par. 1.

62
antar lingkungan hukum adat) mengatur hubungan (hukum ) an­
tara orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan hukum
adat (adatrechtskringen). T jontoh : seorang Minangkabau kawin
dengan seorang Djawa. T jontoh lain : seorang D ajak m endjual
hasil tanahnja kepada seorang Bugis.
Hukum antar agama mengatur antara lain perkawinan antara
dua orang jang agamanja berlainan dan akibat hukum perkawinan
itu. Misalnja, seorang Am bon jang beragama Iveristen kawin de­
ngan seorang Am bon jang beragama Islam.
Pada waktu kolonial penting adanja peraturan-peraturan jang
mengatur hubungan-hukum antara penduduk masing-masing bagian
K eradjaan Belanda. T jontoh : seorang mahasiswa Indonesia jang
beladjar di Negeri Belanda liendak kawin dengan seorang wanita
B elan d a disitu. T jontoh lain : seorang Belanda di Indonesia men­
dapat penjeleraian perkara oleh hakim di Negeri Belanda. Pera~-
luran-peraturan jang mengatur hubungan-hukum sematjam itu di­
b eri nama hukum interregional ( G o u w G i o k S i o n g : hukum
antarregio (hal. 7), S u d i m a n Iv a r t o h a d i p r o d j o : hu­
kum antar-ibagian (hal 162, 1 66 )). lihatlah pasal 16 kalimat kedua
A .B . dan pasal I.S.
Tentang hukum perselisihan itu lebih landjut Bab X IV .
H ukum ekonomis terdiri atas peraturan-peraturan — jang se­
bagian dapat digolongkan dalam peraturan-peraturan hukum privat
sebagian dalam peraturan-peraturan hukum p u b lik — jang mengatur
dan m em im pin segala aktivitet individu maupun pemerintah di se-
gala bidang perekonom ian. Karena dalam fase perkembangan eko­
nom is pada saat ini masih ada banjak peranan tisalia partikelir
(swasta) (terutama dalam sektor distribusi) — tetapi, sesuai dengan
ludjuan ekonom i terpim pin, bagian besar peranan usaha partikelir
itu nanti akan dialihkan kedalam sektor turut-sertanja pemerintah
dalam bidang perekonom ian („ekonom i terpimpin” sebagai dasar
suatu ,,demokrasi terpim pin” ) — , dan oleh sebab itu pada saat ini
di bidang perekonom ian masih berlaku banjak peraturan ln?kum
privat, maka hukum ekonom is itu — beiibeda dari, misalnja, hukum
padjak — pada saat ini masih belum „overwegend” hukum publik.
7'etapi hal ini akan berubah lama-kelamaan, mengikuti perkem ­
bangan ke arah suatu ekonom i terpimpin. Biarpun demikian fase
perkembangan hukum ekonomis itu pada saat ini, masih djuga ada
tjukup alasan untuk m em beri suatu kedudukan tersendiri kepada

63
luikuin ekonomis .ersebul. Sebuah , j „ n ,oJl .
‘,™S 14 i,eraIllraii pelaksana „Deklarasi E k o , ( DI " ' ■ •

i t f a; r ~ 26 « * « « ” .
keJjaha,m ‘a, " r j i r era‘'gkm Perb'm‘ an m!IIM i » " ? merupakan
< y - I .k a „ / 7 '‘ ' " “ “ ’ “ i ” ■ »* W C a p « di­
pidana biasanja di,elMt h , * “m , I“ ,a" Si!aM" H " 1“ ™
j em u Hukum pidana jang materiil.

elillat hvkumpidanaitusebagai hukl,m


pubuk^oTZ^Tm
begitu pentinJ J ngSa]>an lm behcraPa pelanggaran m en djadi
kepada nara i C,r SGi mgga penjelesaiannj a tid ^ dapat diserahkan
oleh p em erin A SC" d in - p enjelesaian tersebut harus dilakukan
mengenai ke 3 ' • 3 PU“ Sualu Pel™ eg™ an jan g tertentu hanja
- ^ “ k e p e n t i n g a n istimewa (kepentingan-kepen-
kepada ^ l'” , 8adj"a’ maSih fljUga PenJeIesaiaruija diserahkan
m _ . ’ a U a an Pei” erintah, karena pelanggaran itu dianggap
tur JaiU tatatertl15 umum. ICatanja : hukum pidana m enga­
i l ’ t M U 1U imga“ antara individu dengan pem erintah ( ja n g m en­
ja t u h k a n suatu hukum ). D jadi, hukum pidana itu termasuk hu-
hi k ^ m -i 'V a n hukum pidana*itu termasuk
P11 i k a r e n a m enjelenggarakan suatu kepentingan um um ).
rkah anggapan kelasik ini ! Memang, djik a kam i m em akai
( iterium) . hukum publik ialah him punan peraluraii-per-

liu k u iif tr,-i*ap.at. pac^a bagian l»esar p e n g a ra n g dan sard jan a


van h e i N e d e r i - , n h ^ 1>r° f ‘ M l W I > J ' P o m p c , „ H a n d b o .k
^emmelen P f t r h t ’’ 1953’ hal’ 9 ; P e o t- M r J M ’ v a "
boek van N i T W.F.C. v a n H a t t n m „H a n d - cn Icer-
7 dan 4 4 . ' p f m "Ji*se strilfrec,,t” » 1 ( v a n H a l t u m ) 1953, hal.
de sludio V ^ ™ H a z e w i n k e 1 - S u r i n g a ,,In leidin g lot
„T er effenilT ” leL ^ * derl- 8t,;a S eelit” , 1953, hal. 3 ; P ro f. M .P. V n j
Mr M.P V »_"u' ,ah pamitan Groningen 1947, dikutip dari ,,P rof.
1956, h'd Vo's ? IZaine*'"i? gesehriften strafrecht. en crlm in ologie” ,
Pengant' ' ¡, ’ A"ggapan ini terdapat dju ga pada para pengarang
d!bawal, ini) l hukun,„ terkeljuali v a n K a n (lihatlah noot 110
z e v e n b «>v. „ Un ,C m a i r e (libatlah n oot ja n g b e rik u t). Lihatlah
• e f r o i d, hai ° J i « i ' 2 1 6 ; v a n A p e I d o o r n, hal. 1 5 0 ; B e l .
A-J. M a i n „ i ~ ua pengarang tatahukum Indonesia (lihatlah

3 8 ). Mr H a n tjetakan pertam a buku ini (lial. 36 dan


,,optlrmgerig” („lem ak «? I , - , ,' ? n ,e dalam kritiknja, setjara agak
¡„ n ? ,nei akinkan k J „ ; i I,S*,lah » '¡d a k tepat” dan „salah ” !)
. (hhatlah „M adialali Tl a*lwa h u k u m p id a n a adalali h u k u m
d jb >- J ,j h H u k u ™ dan M asjarakat” , IV , 1, h al. 12

64
aturan jang a priori memaksa, maka sudah tentu hukum piilana
termasuk lnikum publik. Bukankah, peraturan-peraturan hukum
pidana itu a priori memaksa ? Tetapi walaupun demikian kesim-
pulannja, masih djuga kami beranggapan hukum pidana harus di­
lihat sebagai sua lu hukum jang mempunjai kedudukan tersendiri
dalam lapangan hukum 10f), karena djustru tugas lnikum pidana itu
berlainan dari tugas hukum publik. Berlainan dengan C baik tu°-as
C
hukum privat maupun tugas hukum publik itu, maka hukum pi­
dana sama sekali tidak bertugas membuat petundjuk-hidup. Hu­
kum pidana hanja membuat suatu sanksi lebih keras atas pelang­
garan beberapa petundjuk-hidup jang telah dibuat oleh hukum pri­
vat atau oleh hukum publik. Kami hendak melihat hukum pidana
itu sebagai suatu hukum sanksi istimewa (bijzonder sanctierecht).
Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa atas baik pelangga­
ran kaidah hukum privat maupun atas pelanggaran kaidah hukum
publik jang telah ada. Hukum pidana melindungi baik kepentingan
jang diselenggarakan oleh perturan-peraturan hukum privat mau­
pun kepentingan jang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan
hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua matjam kepenti­
ngan itu dengan membuat suatu sanksi istimewa. Sanksi istimewa
ini perlu, oleh karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pe­
merintah jang lebih keras *10.
109 Baik S c h o 1 t e n maupun L o g e m a n n melihat hukum pidana
sebagai hukum jang m empunjai kedudukan (status) jang tidak ter­
tentu dan tidak termasuk hukum publik. Kata S c l i o l t e n „A l-
gemeen Deel” , hal. 42 : „M cn leert tegenwoordig strafrecht is publiek
recht. Dit scliijnl mij een uitspraak zonder zin. Het strafrecht geeft
een bijzondere sanetie zoowel aan sommige normen van gemeen recht
als aan regels van administratiefreclitelijken aard” (Pada djaman
sekarang hukum pidana dianggap hukum publik. Tetapi menurut
anggapan kami kesimpulan ini tidak berinti. Hukum pidana itu m em ­
beri suatu sanksi istimewa atas pelanggaran beberapa kaidah hukum
biasa maupun pelanggaran kaidah hukum administrasi). L e m a i r e,
hal. 224 : hukum pidana bukan hukum publik m aupun hukum privat.
110 V a n K a n , hal. 54-55 : „H et strafrecht sebept in beginsel geen nieuwe
norm en, het roept geen nietbestaande plicliten in het leven. Op andere
gebieden van het recht bestaande normen worden gieliandhaafd met
strafbedreiging en strafoplegging. Elders bestaande plichten krijgen
een bijzonder seherp getekend dwingend karakter, zij het, dat deze
plichten dikwijls in dezelfd® tcets bepaling worden opgenom en als die,
welke de strafbedreiging inhoudt. Het strafrecht werkt met een diepin-
grijpende sanetie cn zet een ongem ene kraclit bij aan de leefregels
waarmee het zicli bemoeit. Maar zelf scliept ,het die leefregels niet.
H et strafrecht is. wezenlijk sanctierechC’ (k u rsif kalim at terahir dari
k am i) (H ukum pidana pada pokoknja tidak membuat kaidah barH.
Kewadjiban-kewadjiban jang telah ada ditegaskan dengan paksaan
jan g istimewa. Sering kewadjiban-kewadjiban itu disebut dalam ke-

65
Dalam ilm u hukum maupun dalam perundang-undangan d i­
terima/ azas lex posterior derogat legi anteriori. H ukum baru m eng­
ganti hukum lama. Tetapi keadaan jang ditim bulkan o le h hukum
lama itu, tidak dengan begitu sadja dapat diubah oleh hukum ja n g
baru. Kuat djuga azas bahwa hak-hak jang d ip eroleh karena hukum
lamd tidak dengan begitu sadja dapat dilenjapkan, bahw a, kadang-
kadang : tidak dapat dilenjapkan lagi !, karena djustru m elenjap-
kan hak-hak itu m enim bulkan suatu keadaan jan g tidak diingini,
jaitu suatu (ketidak-adilan, atau akibat sudah m en dja di kekal dan
abadi. D jadi, perlu diadakan suatu keadaan peralihan, jan g diatur
oleh suatu hukum ip eralihan atau hukum transitur (h u k u m antar­
waktu, intertemporaal recht) m .
Tugas hukum peralihan itu adalah m enjesuaikan keadaan jang
diakibatkan oleh peraturan-peraturan lama, jang telah ditjabut atau
diubah, dengan tatatertib hukum baru ja n g dikehendaki oleh hu
kum baru itu. M ereka jang hendak m elihat hukum peralihan itu
sebagai suatu hukum perselisihan 112, jaitu sebagai suatu hukum
antar waktu, maka dapat m em buat suatu perum usan tentang hukum
peralihan itu sebagai berikut : ,,Kesem uanja kaidah hukum ja n c
menentukan hukum manakah dan hukum apakah jan g berlaku apa

tentuan undang-undang ja n g djuga m em uat antjam an


bersangkutan. H ukum pidana m em buat sanksi ja n g lebih era
kum pidana m enjebabkan beberapa petu ndjuk-hidup dapat di & .
lebih keras. Tetapi hukum pidana sendiri tidak m em buat petun
hidup itu. H ukum pidana pada hakekatnja hukum san k si).
Kam i m enjetudjui pendapat van K an ini. Pendapat s e m a t ja m
ini, dengan variasi sedikit, terdapat pada P ro f. D r C. B i n d i n S ®
lam bukunja „D ie Normen und ihre Uebertretung” , I, 1 89 0, hal. 26
Menurut B i n d i n g , maka kitab undang-undang hu ku m pidana
itu tidak memuat kaidah, bukan norma agendi, tetapi h an ja m em ua
ketentuan hukuman, hanja memuat sanksi. K aidah itu tidak te.r '
muat dalam kitab undang-undang hukum pidana, tetapi ,le*? 7 nJa
diluar kitab undang-undang hukum pidana, jaitu terletak di bidang
hukum publik, chusus di bidang hukum p u blik ja n g tidak tertulis
sehingga beberapa delik merupakan pelanggaran satu kaidah ja n g
sama.
Mengenai persoalan apakah hukum pidana itu h u k u m p u b lik atau
m em punjai suatu kedudukan tersendiri, batjalah buk u kanii „H u k u m
pidana I” , 1960, hal. 59 djb.
111 Tentang hukum transitur ini batjalah ringkasan dalam b u k u G o’ U w
Giok Siong „H u ku m antargolongan. Suatu pengantar” , 1956,
hal. 12-17, jang djuga m enjebut pembatjaan (literatuur) ja n g terpen­
ting; salah satu studi chusus adalah disertasi Mr L.J. H i j m a n s
van den B e r g h „O peenvolgen van rechtsregels” , Utrecht 1 9 2 8 f
ringkasan S u d i m a n K a r t o h a d i p r o d j o , hal. 1 68-169.
112 Misalnja, G o u w G i o k S i o n g dan Sudiman K a r t o h a ­
diprodjo.

66
bila dalam suatu peristiwa hukum tersangkut dua hukum dalam su-
atu negarai jang b erla in a n 113 karena berlainan waktu berlaku
nja” 114.
T jon toh -tjon toh tentang hukum peralihan : pasal-pasal II dan
IV Aturan Peralihan U.U.D.; pasal-pasal 142, 143 dan 144 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu; pasal 1 ajat 2 K.U.H.
.'P id a n a . •
Sebetulnja, tiada suatu peraturan jang baik jang tidak memuat
ketentuan peralihan. Tidak dimuatnja ketentuan peralihan berarti
kekurangan dalam pekerdjaan pem buat peraturan jang bersang­
kutan.

Pem bagian hukum menurut isinja dapat kam i masukkan ke-


dalam rangka (schem a) jang berikut n 5 :

hukum publik dalam ar­ hukum negera dalam arti


ti kata sempit ( = hukum < kata sempit (hu ku m tata-
negara dalam arti kata negara)
luas) hukum administrasi negara
hukum ■hukum atjara administrasi
-hukum a tjara; - hukum atjara privat
publik
' hukum atjara pidana

Hukum hukum perburuhan


hukum padjak
hukum (p u b lik ) internasional

hukum perdata
hukum dagang
hukum intergentil (h u k u m
hukum perseli- . antar golon ga n )
sihan nasional hukum antar agama
hukum interlokal
hukum interregional
hukum perselisihan

hukum perselisihan internasional


hukum privat internasional

hukum ekonom is

hukum
pidana

hukum transitur (hukum peralihan, hukum antar'w ak tu )

67
Bagi mereka jang melihat hukum privat internasional itu se­
bagai suatu hukum internasional116 maka hukum privat interna­
sional tersebut bersama-sama dengan hukum (pidjlik ) internasional
merupakan hukum internasional (lihatlah sub b ).
113 Sehamsnja : „dua hukum jang berlainan dalam satu negara” !
114 Perumusan jang dibuat oleh S u tl i m a n K a r t o Ii a d i p r o d j o,
_ hal. 168.
115 Lihailah djuga rangka dalam buku P rof. S u d i m a n K a r t o h a -
d i p r o d j o, hal. 21 :
'"H u k u m di Indonesia'''
Hukum perdata: Hukum p u b lik :
1. Hukum perdala barat 1. H ukum tata negara (S taatsiech t,
a. Hukum sipil V erfassungsrecht) .
b. Hukum dagang 2. H ukum tata usaha negara C ‘
2. Hukum (perdata) adat nistratiefreclit; V e r w a l l u n g s r c t i
3. Hukum perdata perselisihan 3. H ukum pidana
a. Hukum antar-golongan .
b. Hukum antar-agama 4. H ukum atjara pi ana
c. Hukum antar-daerah , ,
d. Hukum antar-bagian 5. H ukum atjara per a a
e. Hukum perdata internasional
f. H ukum antar-waktu 6. H ukum antar negara

116 Tetapi bagian besar para pengarang herpcndapat bahwa j.u k u m ^


internasional itu bukan hukum internasional, ‘ etapi j. u k u n ,
untuk perkara-perkara internasional” (nat.onaal recht , o o r ^
tionale g ev a llcn ). Lihatlah a.l. P rof. Mr D r . * p rivaat-
„G rondslagen en beginselen van Nederlands internas.om.al p
recht” 1 9 5 3 ; C.C. C h e s l n r e „P rivale International L a w , i s ,
hal. 3-24 dan 8 2 -9 2 ; A.V. D i c e y (penerbitan baru oleh J-H- •
Morris) „ T h e C on flict o f Laws” , 1949, hal. 7 -8 ; L.M . G ° °
r i c h „H a n d b ook o f tlie Conflict o f Laws” , 1 9 4 9 hal. 1 4 ; N u s s -
b au m „P rin cip les o f Private International Law” , 1943, hal. 4 - .
K am i m engikuti pendapat ini, jaitu hukum privat internasional- ada­
lah hukum nasional untuk menjelesaikan perkara-perkara inter­
nasional. M r H a n B i n g S i o n g dalam kritiknja atas b u k u kann
ini („M a djalah H ukum dan Masjarakat” , IV , 1, hal. 8 -1 0 ) berusaha
keras sekeras-kerasnja m ejakinkan kam i bahwa hukum privat interna­
sional itu masih djuga hukum internasional. Kami m enganggap pen ­
dapat M r H a n ini bertentangan dengan realitet. B iarpun peraturan-
peraturan hukum jan g ditjantumkan dalam, m isalnja, „H aagse T rac-
taten” , Traktat Brussel, Traktat Bern, Traktat Warsawa, T rak ta f D je-
newa (Lihatlah Bab X IV , par. 6 ) boleh dianggap hukum internasional,
masih djuga belum dapat dikatakan bahwa hukum privat internasional
itu pada umumnja hukum internasional, karena hukum ja n g tertjantum
dalam traktat-traktat tersebut hanja merupakan suatu bagian k e ijil
hukum privat internasional itu. Apalagi tidak ada satupun diantara
Traktat-traktat Dei^ Haag itu oleh pemerintah Belanda dahulu did ja-
dikan berlaku djuga di Indonesia, atau dengan kata lain : Traktat-
traktat Den Haag tersebut tidak m em punjai kekuasaan m engikat di
Indonesia (J.H . W a g n e r ,,D e verhouding tussehen het N ederland-
sehe- en Nederlandsch-Indische privaatrecht” , disertasi Leiden 1932,
hal. 32 d jb .). Kedua : bukanlah, pendapat sematjam pendapat
M r H a n djustru bertentangan dengan kepentingan nasional negara

68
Tentang pembagian hukum dalam hukum publik dan hukum
privat ilu masih perlu dikemukakan satu hal. M enurut pendapat
kami, maka — tljuga pada djaman sekarangpiui — masih dapat
disangsikan apakah dalam kesadaran-hukum orang Indonesia asli,
jan g; tetap hidup di masjarakat adat, sudah ada suatu pem ­
bagian lnikum dalam hukum publik dan hukum privat seperti lial-
nja itu dalam hukum Eropah. Pembagian liukum itu menurut
isinja, dalam dua matjam golongan, jakni hukum publik dan hu­
kum privat, seperti jang telah kami kemukakan diatas tadi, adalah
akibat suatu fikiran sistimatis (menurut peladjaran) jang tertentu
jang terdapat dalam ilmu hukum Eropah dan jang berasal dari
ilm u lnikum Rom awi 117. Miaka dari itu bilamana dalam jurispru-
densi maupun ilm u hukum adat dikatakan hukum privat a d a t119
maka jang dimaksud ialah suatu himpunan peraturan-peraturan
adat jang menurut sistim hukum Eropah dapat merupakan suatu
him punan peraturan-peraturan liukum privat.
e.
Pada ahirnja, penting d juga pembagian 'hukum menurut funksi-
n j a, dnlnm hukum materiil dan hukum form il. H ukum m ateriil me-
j i frutu r isi hubungan antara kedua belah fihak atau menerangkan
C1
kiia ? Sudah tentulah, djika kila menerima pendapat a priori bahwa
hukum privat internasional adalah hukum internasional, djadi, d i­
sandarkan atas primal hukum internasional, maka dalam perkara-
perkara seperti, misalnja, perkara tembakau di B rem cn jang diper­
sidangkan di muka hakim Djerm an pada tahun 1959, kita kalah a
priori pula ! Lihatlah komentar G o u w G i o k S i o n g atas baik
pendapat kami maupun pendapat H a n B i n g S i o n g dalam bu­
ku ,,H ukum perdata internasional Indonesia” ,_ I, 1961, hal. 24-28.
117 P rof. S u p o m o „B ab-bab tentang liukum adat” , 1958, hal. 21 :
„Antara sislim hukum adat dan sistim hukum Barat, adalah terdapat
perbedaan fondam entil” , antara lain, hukum adat tidak mengenal
pembagian hak dalam hak kebendaan dan hak relatif, tidak mengenal
perbedaan antara hukum publik dan hukum privat (lial. 2 2 ) , tidak
mengenal suatu pem bagian perkara dalam perkara pidana dan perkara
perdala (hal. 2 2 ), dsb.. Lihatlah djuga Mr G. A n d r e de l a
P o r t e, P rof. Mr C. v a n V o l l e n h o v e n dan P rof. Mr E.M.
M e i j e r s „Bestaat er in liet adatreelit ondersclieid tussehen zakelijke
en persoonlijke rechten ?” dalam T. 122 hal. 1 -2 5 ; kata t e r H a a r
dalam bukunja „B eginselen en stelsel” , hal. 1 2 0 : „D e vraag ,i,j* s
een klapperboom naar adatreelit roerend o f onroerend” ” voorop te
stellen en daarop een algemeen antwoord te verlangen heeft mijns
inzicns geen redelijken zin” , membuktikan bahwa belum tentulah „klas-
sifikaties’ ’ (pen ggolon gan -pen ggolon gan), jan g dibuat dalam ilmu hu­
kum Eropah dapat djuga dipakai dalam ilm u hukum adat. Lihatlah
noot 88 diatas.
118 Misalnja, Mr R. S o e p o m o „H et Adat privaatrecht van West-Java” ,
1 9 3 3 ; Mr M.M. D j o j o d g o e n o dan Mr R. T i r t a w i n a t a
„H et Adatprivaatrecht van Middel-Java” , 1940 (k u rs if dari k a m i).

69
perbuatan-perbuatan mana jang dapat dihukum dan hukum an apa
jang dapat didjatuhkan. Misalnja, buruh w adjib m elakukan tugas-
nja, jang ditetapkan di perdjandjian-kerdjanja, dengan djalan se-
baik-baiknja sesuai dengan ketjakapannja (pasal 1603 baru K.U.H.
Perdata). „Barangsiapa membuat surat palsu atau mem alsukan su­
rat, jang dapat melahirkan sesuatu hak, sesuatu perutangan (ke-
wadjiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau jang b oleh diper­
gunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan m ak­
sud menggunakan atau m enjuruh orang lain m enggunakan surat-
surat itu seolah-olah surat-surat tersebut asli dan tidak dipalsukan,
dan hal mempergunakannja dapat mendatangkan suatu kerugian,
maka dihukum lantaran pemalsuan surat, dengan pendjara seting-
gi-tingginja enam tahun” (pasal 263 K.U.H. P idana).
Hnknm form il m enundjuk tjara m em pertahankan atau tjara
mendjalankan peraturan-peraturan tersebut. Dalam hal perselisihan,
maka hukum form il m enundjuk tjara m enjelesaikan perselisihan
itu dimuka hakim.
rD jadT ) hukum m ateriil menentukan isi sesuatu perdjandjian,
sesuatu perutangan (ikatan) atau sesuatu perbuatan, sedangkan h u ­
kum form il m enundjuk tjara bagaimana perdjandjian, perutangan
(ikatan) atau perbuatan itu dapat dilaksanakan dan dipertahankan.
H ukum form il itu dapat djuga disebut hukum \atjara.

Par. 12: Peraturan hukum tertulis jang


bukan hukum pemerintah.

Perlu dikemukakan, bahwa ilmu hukum pada um um nja m e­


ngutamakan peladjaran peraturan-peraturan hukum (tertulis) jang
ditetapkan oleh sesuatu organisasi masjarakat jang bertugas m em e­
rintah (regeren) umum. Organisasi sematjam ini ialah organisasi
seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah swatantra. D i sam ping
peraturan-peraturan hukum „um um ” ada djuga peraturan-peraturan
jang oleh sesuatu perhimpunan (perkum pulan) atau oleh sesuatu
badan perusahaan swasta ditetapkan bagi anggautanja. K ita ingat
akan perhimpunan mahasiswa, perhim punan bekas-pedjuang, k o o ­
perasi, kaum agama (Islam n » , Geredja K atolik R om a i 20, G eredja

119 Hukum Islam terdapat dalam al.fikh (sja ria h ). Dua buku ja n g terke-
«»1* A s a f A.A. F y s e e „O utlines o f M oham m edan Law” , 1 9 5 5 ;
D r Th. W . J u y n b o l l ,,Handleiding tot de kennis van de M oliam -
medaansche wet volgens de leer der S jafi’ itische scliool” 1 9 3 0 ; dalam
bahasa Indonesia telah ditulis beberapa buku m engenai hukum Islam.

70
P rotestan 121), partai politik. Peraturan-peraturan sematjam itu sta­
tuta (statuten) dan anggaran rumah tangga sesuatu perhim punan.
Peraturan-peraturan tersebut, jang ditetapkan oleh sesuatu perhim ­
punan atau oleh sesuatu kaum tertentu, hanja berlaku bagi ang-
gautanja sebagai anggauta. Kekuatan peraturan-peraturan itu b er­
dasarkan keanggautaan perhim punan dan keanggautaan kaum. P e ­
langgaran peraturan-peraturan tersebut dapat m engakibatkan p e­
ngusiran dari perhim punan atau dari kaum. Pelanggar tidak di­
perkenankan meneruskan keanggautaannja.
Baliwasanja peraturan-peraturan sematjam inipun m endjadi
hukum , itulah ternjata dari hal apabila peraturan-peraturan terse­
but dilanggar dan penjelesaian perkara jang bersangkutan dise­
rahkan kepada hakim umum, maka hakim umum memaksa pelang-
.gar supaja taat pada peraturan-peraturan ini, biarpun peraturan-
peraturan tersebut tidak dibuat oleh pemerintah. Apalagi sebelum
suatu perhim punan atau suatu badan perusahaan swasta m em ­
peroleh status badan hukum (rechtspersoon) (tentang badan hukum
lihatlah Bab V I, par. 2 ), maka terlebih dahulu statuta harus disetu-
dju i oleh Departemen Kehakiman. Tetapi apabila kita mengatakan
hukum ” maka jang senantiasa kita maksud bukanlah peraturan-
peraturan jang tertjantum dalam statuta dan anggaran rumah tang­
ga itu.
Par. 13: Ilmu hukum positif, politik hukum
d a n f i l s a f a t h u k u m 122.
Seperti halnja dengan semua gedjala lain di sekitar kita, maka
hukum pun dipeladjari oleh suatu ilmu. Ilm u hukum term'asuk ilm u
sosial (sociale wetenschap, social Science) 123.
Ilm u sosial jang m em peladjari hukum adalah ilmu hukum 124.
120 H ukum Geredja K atolik R om a — jang djuga disebut hukum, kanonik
— terdapat dalam „ C o d e x I u r i s C a n o n i c i” . Suatu ring­
kasan dapal dibalja dalam buku Z e v e n b e r g e n , hal. 185-191.
121 L.H. v a n L e n n e p ,,D c rechtskracht van de verordeningen der
kerk-genootscliappcn” , disertasi Leiden 1909.
122 Lihatlah buku kami „R ingkasaan tentang filsafat hukum ” , B ab I.
123 Biasanja ilmu dibagi dalam dua tjabang : ilmu alam dan ilmu sosial.
Suatu ringkasan tentang ilm u sosial dapat dibatja dalam ,,Eerste INe-
derl. Systematisch Ingerichte E ncycl.” (E .N .S .I.E ;), djilid III, hal: 1-14
(karangan P rof. Dr J.P. Kruyt).
124 Tentang ilmu hukum pada um um nja (algem ene rechtswetenschap)
lihatlah a.l. : P rof. Mr P .W . K a m p h u i s c n „B eschouw ingen over
rechtswetenschap” , 1 9 3 8 ; S c h o l t e n „,Structuur der rechtsweten-
scliap” dalam „M ededelingen der K oninkl. Nederl. Akadem ie van W e.
tenscliappen” , A fd . Letterkunde, Nieuwe Reeks, deel 8 nr 1; P ro f.
D r J.H.A. Logemann „W eg cn der rechtswetenschap” , pidato
Karena lianja hukum positif sadja jang mendapat perhatian kami,
jaitu kami tidak menaruh perhatian terhadap hukum jang ditjita-
tjitakan, maka jang penting bagi kam i hanja jang disebut ilinu
hukum positif (positieve rechtswetenschap) sadja. Apalagi per­
buatan mentjita-tjitakan hukum adalah suatu perbuatan politik
hukum (daad van rechtspolitiek), dan kami meragu-ragukan apa­
kah hukum jang ditjita-tjitakan itu m endjadi ob je k ilm u hukum ;
menurut pendapat kami hukum jang ditjita-tjitakan itu adalah oo-
jek ilmu politik (hukum ). _
Ilmu hukum positif berusaha m entjari kausalitet antara gc-
djala-gedjala hukum di sekitar kita, supaja dapat m enerangkan se-
djelas-djelasnja gedjala-gedjala hukum itu dan segala persoalannja.
Selalu ilmu hukum positif harus m engudji (toetsen) apakah pangkal
penindjauannja dan azas-azas (beginselen) jang diterim anja, sebagai
dasar sistim jang hendak dipakainja, m em ang benar dan sesuai de
ngan ,,rechtswerkelijkheid” .
Agar dapat m entjapai ludjuannja, maka ilm u hukum positif
jang, kalau kam i m engingat bahwa djuga hukum jang ditjita-tjita
kan diperjakinkan setjara ilm ijah, merupakan suatu tjabang dari
ilmu hukum pada um um nja — menggunakan hasil p e n j e l i d i k a n
beberapa tjabang lain dari ilm u hukum pada um um nja itu. T ja -
bang-tjabang tersebut b oleh dianggap ilmu mem bantu (hulp-weten-
sch a p ) bagi ilm u hukum positif. T jabang-tjabang itu :

A. Sedjarah hukum (rechtsgeschiedenis)


B. Sosiologi hukum (rechtssociologie)
C. Perbandingan hukum (rechtsvergelijking)
D. Peladjaran hukum umum (algemene reclitsleer).

Pada um umnja kebudajaan sesuatu rakjal tidak berubali de­


ngan sekonjong-konjong. Perubahan politik jang datang dengan
mendadak, itupun tidak dapat mengubah dengan sekonjong-ko-

inaugurasi Leiden 1947, dan beberapa kata dalam „O v e r de th eoiie


van een stellig staatsrecht” , hal. 26 d jb .; ringkasan pada Z e v e n -
b e r g e n , hal. 332-381; uraian dalam buku P rof. K r a n e n b u i S
„Grondslagen der rechtswetenschap” , 1952. Penting dibatja djuga
M.R. C o h e n „Law and Scientific M ethod” dalam ,,Law and tlie
Social Order” , 193 3; F.W. J e r u s a 1 e jn „K ritik der Reclitswis-
senschaft 1 94 8; H a n s K e l s e n „Rechtswetenschap en Gereclitig-
heid” , 1954. Tentang perkembangan ilm u hukum masih penting
P rof. Mr I.H. H i j m a n s „Geschiedenis der Rechtswetenschap” da­
lam „Geschiedenis. der Wetenscliappen” , II, hal. 150-187.

72
nj on S kebudajaan sesuatu rakjat ! Oleh sebab itu dalam ham pir
semua peraturan hukum baru — jang diadakan berdasarkan chu-
sns suaiu pei ubahan politik dan akibat perubahan politik ini b e­
lum meresap di semua segi kebiulaj aan — terdapat anasir-anasir
sesuatu peraturan hukum lama.

Jang m endjadi tugas sedjarah hukum ialali m enjelidiki per­


kem bangan hukum jang kontinu itu. Kita hanja mengerti benar-
benai sesuatu hukum pada waktu sekarang, apabila kita telah m e­
ngetahui pula perkembangannja di sedjarah. Kita hanja mengerti
benar-benar sesuatu hukum pada waktu sekarang, apabila kita telah
mengetahui pula anasir-anasirnja jang berasal dari sesuatu hukum
jang sekarang tidak berlaku lagi. Bukankah, dalam hukum tertulis
m odern di Indonesia masih ada banjak azas-azas jang berasal dari
hukum Belanda kuno maupun dari hukum Rom aw i ?
Bagi para ahli hukum, hukum itu suatu kumpulan kaidah-
kaidah sosial jaitu kaidah-kaidah dalam masjarakat — jang
m enentukan apa jang lajak dikerdjakan. Bagi para ahli hukum
maka hukum itu suatu gedjala sosial (sociaal verschijnsel) jang
terutama suatu „behorensorde” (tatatertib jang menentukan apa
jang lajak dikerdjakan). Tetapi apa jang sebenarnja m endjadi tugas
hukum di masjarakat, itulah tidak diselidiki chusus oleh ilm u hu­
kum positif, tetapi diselidiki cihusus oleh sosiologi hukum. Sosiologi
hukum m em peladjari „social reality” ( R o s c o e P o u n d ) , „so-
ciale w erkelijkheid (t e r H a a r) atau „totale w erkelijkheid”
(Sinzheimer) dari hukum. Oleh karena hukum itu suatu ge­
djala „reeel (reil) di masjarakat, maka kita harus mengerti „so-
ciale w erkelijkheid nja supaja dapat mengerti dasar-dasamja.
„B ehoren sorde” itu suatu „sociale w erkelijkheid” . Hukum hanja
gedjala sosial diantara gedjala-gedjala sosial lain.

Perbandingan hukum berusaha m entjari anasir-anasir jang m e­


ngandung kesamaan paritet kebudajaan (cultuur-pariteit) —
didalam hukum di masing-masing tempat dan berlaku pada bebe­
rapa djarnan. Berdasarkan hasil perbandingan hukum , maka kita
mengetahui anasir-anasir mana dalam sesuatu hukum nasional di­
am bil dari suatu hukum asing. Kita mengetahui pula dimana ada
kelem ahan dalam hukum nasional. Dem ikian djuga kita mengeta­
h ui anasir-anasir hukum asing mana jang dapat diinkorporasi ke-
dalam hukum nasional, apabila kita hendak m enjem purnakan hii-

73
kum nasional itu dengan m enggunakan azas-azas h u k u m asing —
tetapi azas-azas hukum asing ini terlebih dahulu harus disesuaikan
dengan „alam P an tjasila /M an ipol/U sdek ” . P en tin gn ja perbandingan
hukum besar pula bagi ilm u hukum internasional, o leh karena p er­
bandingan hukum itu m enundjuk kepada kita anasir-anasir ja n g
mengandung kesamaan didalam m asing-m asing h u k u m nasional, se-
landjutnja, dapat m endjadi azas-azas sesuatu hukum internasional
universil.

Peladjaran hukum um um — j ang terkenal d ju ga dengan nama


ilmu hukum sistimatis (system alische rechtsw etenschap) atau nama
ilmu hukum, dogmatis (dogm atische rechtsw etenschap) — berusaha
m em beri suatu lukisan sistimatis tentang huk um p ositif sebagai sua-
tu gedjala um um dalam m asjarakat. T etap i pela dja ra n liukum
um um tersebut tidak puas m elukis sadja. P eladjaran huk um um um
m entjari djuga kausalitet antara m asing-m asing gedjala hukum jan g
ditim bulkan dalam m asjarakat. P eladjaran hukum um um m entjari
azas-azas dasar (grondslagen) sesuatu tatatertib hukum positif. D a­
lam usaha m enganalisa tatatertib hukum positif itu, maka pela­
djaran hukum um um m em buat (m engadakan konstruksi) p en g er­
tian-pengertian hukum ( rechtsbegrippen) seperti „su b jek hukum ” ,
„ o b je k hukum ” , „h u k u m dan hak” , „peristiw a hukum ” , „perb u a tan "
hukum ” , dsb.. Pengertian-pengertian hukum tersebut adalah alat-
alat pem bantu ja n g tehnis (technische hulpm iddglcn) jang perlu
dibuat agar dapat m engerti sistim hukum jang positif m aupun h u ­
kum pada um um nja. P eladjaran hukum um um tidak hanja m e­
m ungkinkan kita m elihat sistim (m ateriil) jang m endjadi dasar
tatatertib hukum jang berlaku (geldende rechtsorde) tetapi djuga
m em ungkinkan kita m elihat dasar (sistim) hukum pada um um nja
(recht in het algem een).
H ukum m endjadi djuga objek politik, jaitu o b je k dari
p olitik hukum. P olitik hukum berusaha m em buat kaidah-kaidah
jang akan menentukan bagaimana seharusnia manusia bertindak.
P olitik hukum m enjelidiki perubahan-^rubahan apa jang harus
diadakan dalam hukum jang sekarang berlaku supaja m endjadi
sesuai dengan „sociale werkelijkheid” (kenjataan 'sosial). (T etapi
kadang-kadang djuga : untuk m endjauhkan tatahukum dari
,,sociale werkelijkheid” , jaitu dalam hal politik hukum m endjadi
alat dalam tangan suatu „ruling class” jang hendak m en djadjah
tanpa memperhatikan „sociale werkelijkheid” itu ). B oleh dikata-

74
kan : p olitik hukum meneruskan perkeiiiKangan hukum dengan
berusaha m elenjapkan sebanjak-banjaknja ketegangan antara „p o-
sitiviteit” dan „sociale w erkelijkheid” . P olitik hukum m ein-
buat suatu ius constituendum dan berusaha ius constituendum ini
pada kem udian hari berlaku sebagai ius constitwtum baru ( B e l -
1 e f r o i d ).

Filsafat hu kum m em beri djawaban atas pertanjaan-pertanjaan


sepeiti : apakah hukum itu sebenarnja ? (persoalan : adanja dan
lu d ju a n h u k u m ). A pakah sebabnja maka kita mentaati hukum ?
(persoalan : berlakunja huk um ). Apakah keadilan jang m endjadi
ukuran untuk baik-buruknja hukum itu ? (persoalan : keadilan hu­
k u m ).
Inilah perlanjaan-pertanjaan jang sebetulnja djuga didjaw ab
oleh ilm u hukum . Tetapi bagi orang banjak djawaban ilmu hu­
kum tidak memuaskan. Ilm u hukum — sebagai suatu ilmu empiris
•— hanja m elihat hukum sebagai suatu gedjala sadja, jaitu m ene­
rima hukum sebagai suatu ,,Gegebenheit” belaka. Filsafat hukum
hendak m elihat hukiun sebagai kaidah dalam arti kata „e t h i s c h
w aarde-oordeel” (j^egilaiaft- etis ). Filsafat hukum berusaha m em ­
buat „d u n ia etis jang m endjadi latar belakang jang tidak dapat di­
raba oleh pantja indra” dari hukum (positif) (de onziclitbare
ethische w ereld achter liet (positieve) recht) ! Kadang-kadang djuga
m em buat gambaran tentang hukum jang etis dapat dipertanggung-
djaw abkan dan jang seharusnja berlaku. Filsafat hukum m endjadi
suatu ilmu norm atif, seperti halnja dengan (ilm u) politik hukum.
Filsafat hukum berusaha m entjari suatu „rechtsideaal” jang dapat
m endjadi „dasar um um ” dan „etis (eth iscli)” bagi berlakunja sis-
lim hukum positif sesuatu masjarakat (seperti ,,Grundnorm ” jang
lelah digam barkan oleh sardjana hukum bangsa D jerm an jang
menganut aliran-aliran seperti Neo-Kantianisme, atau „Pantjasila”
k ita ). Filsafat nadn um um nia m entjari „ethische waarde” dan
«id e a lc—Igycnshouding?’ jang dapat m endjadi dasar tetap petun-
diuk-hidup kitn.

7S
BAB II

SUMBER-SUMBER HUKUM i.
Par. 1: Sumber-sumber hukum d itiu dj au
dari beberapa s 1 1 d u t.

Hukum bukan gedjala keinasjarakatan ja n g h a n ja dipela dja ri


oleh sardjana, atau mahasiswa hukum . M elainkan, h u k u m djuga
dipeladjari oleh tiap ahli atau mahasiswa jan g b erm inat terhadap
suatu ilm u sosial. Peladjaran hukum itu penting djuga bagi seorang
mahasiswa atau ahli sedjarah, bagi seorang ja n g m em p ela d ja ri so­
siologi dan antropologi budaja, bagi seorang ja n g m em pelad jari
ekonom i, bagi seorang filsuf, dll.. M aka dari itu s u m b e r - s u m b e r
(jang dimaksud sum ber-sum ber m a teriil) dari h u k u m dapat ditin
djau dari beberapa sudut, m isalnja, dari su d u t s e d jarah, d ai i sudut
sosiologi, dari sudut^_antropologi__budaja,"*c?ari sudut filsafat, dari
sudut ekonom i, dsb.

a.
A pa jang m endjadi sum ber hukum m enurut anggapan seorang
ahli sed jarah.
Bagi seorang ahli sedjarah penting sekali untuk m engetahui
bagaimana perkem bangan liukum itu dalam sedjarahnja. Untuk
m engetahui perkem bangan hukum tersebut, maka ia m enggunakan
dua djenis sum ber :
1. undang-undang serta sistim-sistim liukum tertulis dari sesuatu
masa — m isalnja, abad ke-18 — jang m ungkin oleh pem buat
undang-undang dari djam an sekarang dipergunakan ketika h u ­
kum untuk djam an sekarang ditetapkannja.
2. terketjuali apa jang disebut pada sub 1, harus djuga ia m em ­
pergunakan sekalian dokumen-dokumen, surat-surat dan kete-
rangan-keterangan jang lain dari masa itu pula dan jang m e­
mungkinkan ia mengetahui hukum jang sedang berlaku pada
masa tersebut.

1 Lihadah buku Mr M a h a d i „Sum ber-sum ber hukum ” , I (1 9 5 6 )


dan II (1 9 5 8 ), jang ditulis dengan maksud m em buat sualu ensiklo­
pedia tatahukum Indonesia (Pada tahun 1954 oleh pengarang ini
ditulis suatu buku „Beberapa sendi hukum di Indonesia” , I, jang
menurut katanja sendiri ditulis dengan maksud m em buat suatu p e ­
ngantar hukum Indonesia) dan buku P rof. M r K u s u m a d i P u -
djosewojo ,,Pedoman peladjaran tatahukum Indonesia” , 1961,
hal. 13-39.

76
^ _ _ S u m b e r jang kedua ini — disebut pada sub 2 — diberi nama
u k e n b r o n ^ 2, jaitu sumber untuk mengetahui („ k e n n e n ’) sesuatu.
Suriibcr-jang kedua ini bukanlah sumber hukum, karena resmi tidak
memuat hukum . Akan tetapi orang dapat menggunakannja djuga
untuk m engetahui hukum. Sumber jang pertama — disebut pada
sub 1 — m en djadi sumber hukum sungguh-sungguh.
Sedjarah hukum telah menjatakan hukum tiada putusnja. H u­
kum bersifat kontinu. Biarpun hukum dinamis, masih djuga beru­
bah dekit-dem i-dekit. Bagian jang terbesar perubahan itu sesuai
dengan perubahan sosial. Tetapi um um nja tidak sesuai dengan pe­
rubahan politik, oleh sebab perubahan politik itu lebih tjepat ter-
djadi dari pada perubahan segi-segi kemasjarakatan jang lain. Di
negeri kita dapat dikatakan : sampai kini pada umumnja baru
hukum negara c’ an hukum agraria jang sudah berubah (disamping-
nja ada pula hukum perburuhan dan hukum ekonom i baru), jaitu
sedjak tanggal Proklamasi Kemerdekaan, sedjak tanggal Pemulihan
Kedaulatan dan sedjak pengumuman Dekrit Presiden tertanggal 5
D ju li 1959 (kem bali kepada keadaan segera sesudah Proklamasi
K em erdek aan ). Pem buat Undang-undang Dasar kita memperhatikan
pula sifat kontinu dari hukum itu. Hal tersebut tertjantum dalam
Pasal-pasal II dan IV dari Aturan Peralihan U.U.D., pasal-pasal 142,
143 dan 144 undang-undang dasar sementara dari tahun 1950. Me­
ngenai hukum peralihan atau hukum transitur, jang memungkinkan
kontinuitet hukum , lihatlah Bab I par. 11 diatas tadi.

b.
Apa_ jang m endjadi sum ber hukum m enurut a n g g a pan^seo
filsuf 3^
Bagi seorang filsuf pertanjaan jang penting ada dua buah 4

2 L ih a tla h P r o f . M r S .J . F o c k e m a A n d r a e „ O v e r z ic h t v a n O u d -
N e d e r la n d s c h e r e c lits b r o n n e n ” , 1 9 2 3 . . .
W a l t h e r B u r c k l i a r d t „ E in f ü h r u n g ” , h a l. 2 0 4 : ,,I\ cben
sei b e m e r k t , d a s m a n als „ „ R e c h t s q u e l l e ” ” n ich t n u r d e n G r u n d d e r
V e r b i n d l i c h k e i t e in e s R e ch tss a tze s s o n d e r n a u c h d i e d o k u m e n t a r i s c h e n
Z e u g e n d e r g e lte n d e n R e ch tss ä tze u n d ih re s In h a lte s b e z e ic h n e t, n
d ie s e m z w e ite n S in n s in d R e c h ts q u e lle n 'd e s h e u t ig e s R e c h ts v ora
d ie G e s e tz e s s a m m lu n g , d i e a m tlic h e S a m m lu n g d e r U r t e ile , a so
a u th e n tis c h e U r k u n d e n , p r iv a te A u fz e ic h n u n g e n ü b e r d i e G e rich ts -
p r a x is , p r iv a te U r k u n d e n , In s c h r ifte n , C h r o n ik e n o d e r S a g e n ’ .
3 L ih a tla h d ju g a M r M a l i a d i „ S u m b e r -s u m b e r h u k u m ” , I , b a l.
4 0 d jb . : S u m b e r -h u k u m fa ls a fa h .
4 K u s u m a d i P u d j o s e w o j o „ P e d o m a n ” , h a l. 11 : ,,D s n se­
k a li m e m p e r s o a lk a n h a l-h a l d a ri ilm u h u k u m , d e k a tla h o r a n g k e p a d a

77
1. Ukuran apakah jang harus dipakai orang sebagai dasar benar-
benar sesuatu hal bersifat ^ a d il^ ? P ertanjaan : dapatkah kita
buat suatu „G rundnorm ” atau ,,TJrsprungsnorm ” (seperti jang
digambarkan oleh beberapa sardjana huk um bangsa D jerm a n )
jang naendjadi dasar etis bagi berlaku n ja sistim h uk um lorm il
kita ? Oleh para filsuf ¿k eadilan ” 'itu dipertim ban gkan dengan
hebat-hebat. Bukankah/~nrentjapai „k eadilan "’ itu m en d ja d i
makiiid terahir semua orang ja n g berusaha m em buat hukum ?
S«perti dikatakan R a d b r u c l i : „W ertm aszstab des positiven
Rechti, Ziel des Gesetzgebera i6t die G erech tigk eit”
2. Apa sebab maka kita taat pada hukum ? T entang hal in i lihat
lab Bab I, par 10.

c.
Apa jang m endjadi sum ber hu ku m m enurut anggapan seorang
ahli sosiologi dan seorang ahli antropologi^ biidaja.

Bagi seseorang ahli sosiologi dan seorang ahli antropolo,-


budaja maka jang m en d ja d i sum ber hukum nja ia lah m a s j a r a l c a
seluruhnja. Jang ditin djau adalah lem baga-lem baga sosial (socia
institut e sj” semuanja. Setelah m engaliiri penindjauan itu m aka de­
ngan sendirinja diketahuilah apa jang dirasa sebagai huk um ( —
kaidah jang diberi sanksi oleh 'para penguasa m asjarakat) dalam
berbagai-bagai lem baga sosial tersebut.

d.
A p a J an g mendjadi sum ber hukum m enurut anggapan seorang
ahli ekonom i.
Bagi seseorang ahli ekonom i maka jang m en d ja d i sum ber liu
kum nja ialah apa jang tampak di rapangan penghidupan_ekononiis-
Misalnja, sebelum pemerintah m em buat peraturan ja n g berlu
djuan membatasi persaingan di lapangan dagang ( = p e m e n
turut-aerta dalam lapangan dagang), maka ahli ek on om i harus me

p e r ta n ja a n 'p e r t a n ja a n sep erti : A p a k a li t u d ju a n d a ri h u k u m itu ? A p a


k a h sem u a a tu ra n -a lu ra n h u k u m itu b e t u l-b e t u l s u d a h liie m e n u 11
sja ra t k e a d ila n ? A p a k a h k e a d ila n it u ? B a g a im a n a k a h h u b u n g a n n j a
an ta ra h u k u m d a n k e a d ila n ? D e n g a n p e r t a n ja a n -p e r t a n ja a n d e m ik ia n
o r a n g su d a h m elew a ti b a ta s-ba ta s ilm u p e n g e t a h u a n h u k u m s e b a -
g a im a n a arti la z im n ja d a n m e n g in d ja k la p a n g a n fils a fa t h u h u m , s e ­
b a g ia n d a ri ilm u p e n g e ta h u a n filaafat” .
5 G u i ti t H a d b m c h „ Y o r e c h u le d e r R e c h t s p h il o s o p h i* ” , 1 9 4 7 ;
h a l. 2 3 .
nsietahui apa jan g dirasa pasti dan tidak dirasa pasti mengenai
persaingan itu. Dua anggapan :
Walther B u rc k h ardt m engem ukakan dengan djelas .
„ R ech t und W irtschaft sind nicht zwei v o n e in a n d e r unabhängige
G ebiete; das R ech t bedingt die W ir ts c h a ft im eigentlichen Sinne
des ( viel m issbrauchten) W ortes „„b ed in gen ” ” : ohne Recht gibt es
näm lich keine W irtschaft. Deshalb musste schon vorhin auf recht­
liche U nterschiede Bezug genommen werden” 6-
Tiada orang lain dari pada K a r l M a r x ja n g pernah me
ngem ukakan setjara sungguh-sungguh djelas pentingnja peng 1 u
pan ekonom is bagi pergaulan liukum, ja, bagi seluruh pergau an
nusia. D ikem ukakan oleh K a r l M a r x baliwa lianja stru
ekonom is dari masjarakat m endjadi „d ie reale Basis,
ein juristischer und politischer Ueberbau e rh e b t un ^
stimmte gesellschaftliche Bewusstseinformen entsprechen.
d u k tio n s w e is e des m a te r ie lle n L e b e n s b e d in g t d e n r e c it s p
i T i i *” 7 An^^apan im benar s
’ ind geistigen Lebensprozes überhaupt *• AUo» r .
'¡atifikan anpgapan B u r . k h a r J . - m em balikk.n pereo.laonja.
P rof. Mr W.MJE.
6 „ E i n f ü h r u n g ” , lia l. 6 5 . L ih a tla h h u b u n g a n a n ta ra
N o a c h „ E c o n o m i c c n stra fre c lit” , 1 9 5 4 , t pCn tin g b a g i P e '
e k o n o m i d a n h u k u m p id a n a . K a r a n g a n in i i - c t c n ) . M e n g e n a i d e lik -
la d ja r a n d e lik -d e lik e k o n o m is ( e c o n o m i s c l i e e i j j r jj_ J u s u f
d e li k e k o n o m is a . l . : M r L . T h . V e r v ° ® is ch e t] e l i c t e n in I n d o -
,.P e la n g g a r a n e k o n o m i d i I n d o n e s ia ( L c o n . ¡n „ en o v e r e c o n o -
n e s ie )” , 1 9 5 4 ; M r E. B o n n „E n ig e b esen I n d o n e s ia , % O k t o -
m is e h e d e lie te n ” d a la n i „ E k o n o m i d a n in d o n e s is c h e w et o p d e
b e r 1 9 5 4 , h a l. 6 5 8 - 6 6 8 , d a n „ D e n ,e “ w^ * K e u a n g a n I n d o n e s ia ” ,
e e o n o m is c h e d e lie te n ” d a la m „ E k o n o n u _ T in d a k p id a n a e k o n o m i
A g u s tu s 1 9 5 5 , h a l. 5 0 1 - 5 5 4 ; M r K a r n^i „ i ? Pq H u k u m p i.
( H e t e c o n o m is c lie d e l i c t ) ” , 1 9 5 6 ; M r p e m b a n g u n a n N a sio n a l” ,
d a n a e k o n o m i d it in d ja u d a la m r a n g a_ , karan gan „P e m -
d is e rta s i B a n d u n g 1 9 6 1 (tje ta k a n k e d u a : d a la m „ M a d ja la h
b a lia r u a n p e r u n d a n g .u n d a n g a n sosial-eK 1061) h a l. 2 3 - 2 8 ;
„ „ P a d j a d j a r a n ” ” , I , 1 ( D j u l i - A g u s m s - S e p t e m b e . J ^ ^ e k o n o m i”
Mr S a n t o s o P o e d j o s o e b r o t o „ h a l. 1 4 2 -
d a la m „ H u k u m da n M a sja ra k a t” , n o m o r d e lie te n d i N e g e r i
165. T e n t a n g k o m e n ta r atas W e t ° P d e e c o n 1 9 5 5 N r 2 7 lih a tla h
B e la n d a , ja n g r u p a n ja m e n d ja d i d m b jjjp L J ^
M r F . H o 1 1 a n d e r „ W c t o p d e e c o n o m is c lie

q u e ” , „R a p p o r t g en eral b a g i K on g gire „ d im u a t
t e r n a tio n a le d u D r o it P e n a l, 1 9 5 3 , 3 , h . i e»
d il-im P r o f M r M P . V rij v e r z a m e lin g u it z y n g e s c h n f t e n o p tiei
g S ’ f r ¡ t r ^ f r e l en c H m in o lo g ie ” , 1 9 5 8 , h a l 3 2 9 -3 4 5 . D a la m
b u k u k a m i „ H u k u m p id a n a I ” , 1 9 6 0 , h a l. 7 4 -7 6 , te r m u a t su atu
r in g k a s a n . .
7 L ih a tla h G u s t a v R a d b r n c h k aran gan „K la s s e n r e c h t und
R e c h t s id e e ” d a la m „ Z e it s c h r ift fü r s o z ia le s R e c h t ” , 1 9 2 9 .

79
Dengan makin lama makin banjak turut-sertanja pem erintah
dalam penghidupan ekonomis sebagai akibat dilaksanakannja p ro ­
gram Pemerintah mewudjudkan suatu ekonom i terpim pin, m aka m a­
kin perlu pula hukum itu dipeladjari lebih intensif oleh para ahli
ekonomi. Tetapi para ahli hukum djuga perlu m engetahui lebih
banjak tentang persoalan-persoalan ekonom i, supaja bersama-sama
dengan ahli-ahli ekonom i tersebut dapat m enentukan tindakan-tin­
dakan sebaik-baiknja dalam bidang ek on om i terpim pin itu dan
mentjiptakan suatu hukum ekonom is jang berm anfaat. '

A pa jang m endjadi sum ber hukum m t m u r u t Jingga nan seorrtng


ahlL.agama.

Bagi seseorang ahli agama (ulam a, th eoloog) (dan bagi para


mukmin pada um um nja) maka jang m endjadi dasar-dasar hukum
sungguh-sungguh ialah kitab-kitab su tj i (K u r’ a n, In d jil, d ll.),
tingkah-laku dan sikap nabi-nabi, dan dasar agamanja.

f.
A p a jang m e n d ja d i s u m b e r h u k u m m e n u r u t a n g g a p a n sa r d ja n a ^
hukum

Dari apa jang diuraikan dalam Bab I, par. 10, dapat kam i buat
kesim pulan bahwa penghargaan (penilaian) tentang suatu kaidah,
disini suatu kaidah jang hendak m em peroleh kwalifikasi kaidah
hukum , dibuat dalam perasaan (kejakinan) individu atau terdapat
dalam pendapat-umum (public opin ion ), kadang-kadang dalam arti:
pendapat kolektif, jang m endjadi resultante p e r a s a a n - p e r a s a a n jang
sama individu-individu. Dalam perasaan individu dan pendapat
umum itu diadakan suatu penghargaan terhadap peristiw a-peristi­
wa (feiten) jang tim bul dalam pergaulan kemasjarakatan jan g da­
pat mempengaruhi dan menentukan sikap manusia. Penghargaan
ittt bersifat menentukan petundjuk-hidup apa dan mana ja n g akan
diterima dan harus diberi perlindungan s e p e n u h - p e n u h n j a dari fi-
hak pemerintah. Penghargaan itu djuga menentukan isi dari petun­
djuk-hidup tersebut. Penghargaan jang menentukan petundju k-h i­
dup apa dan mana jang akan diberi perlindungan ( = sanksi) dari
fihak pemerintah adalah suatu sumber hukum (hukum = petun-

80
J dup jang diberi sanksi dari fihak pem erintah). Sumber hu-
lind m encntu^ an isi kaidah hukum (dalam hal konkrit =r
. n manu8|a ja n g je s n a i dengan apa jang dianggap seharasnja)
11Jen nama s m n b e r j u g ml

sebe]^^an tela^* se^e^um dapat berlaku umum di masjarakat, jaitu


n . lu ditaati djuga oleh mereka jang tidak (setjara sukarela) me-
ija, maka penghargaan juridis (juridisch waarde-oordeel)
i© suatu peristiwa sosial tertentu harus diberi sua tu bentuk
m) tertentu. Sebelum mendapat suatu beiituk tertentu, maka
1 "n^hargaan juridis tersebut hanja merupakan „suatu bajangan
^ am peiasaan-hukum atau dalam fikiran orang” sadja. Bentuklah
^ ^ m em un?km kan suatu kaidah (peraturan) mendjadi berlaku
^ im dan ditaati djuga oleh mereka jang tidak menerinianja, bah-
‘ n, jang nienentangnja. Bentuk itulah memungkinkan pemerintah
em pertahankan kaidah tersebul; sebagai suatu kaidah hukum.
Bentuk tersebul merupakan apa jang disebut sumber hukum
Jimg jform il (rechtsbron in form ele zin).. Sumber hukum jang form il
m enjebabkan (m endjadi causa cfficiens ) liukum berlaku. Karena
telah dimasukkan dalam sumber (bentuk) formil itu. maka kaidah
nm uk selandjutnja diperhatikan (diberi sanksi) oleh pemerintah,
se ungga sungguh-sungguh mendjadi hukum ( = ' kaidah jang ber­
sanksi pem erintah). Dalam sumber hukum form il maka penghar­
gaan-penghargaan juridis itu dipositifkan, didjadikan hukum positif.
Jang dipandang oleh sardjaua hukum jang praktis hanjalah
- um ber hukum jang form il. Sekali apabila perlu, baru ia mau mem­
perhatikan asal-usul liukum itu. Dengan kata lain : baru ia mem­
perhatikan sum ber materiil dari hukum, jaitu perasaan-hukum se-
orang atau pendapat orang banjak („pu b lic opinion” , kadang-kadang
dalam arti : pendapat kolektif). Apabila ia memperhatikan asal-
usul hukum itu (sum ber m ateriil), maka masuklah ia kedalam
apangan sosiologi dan antropologi budaja, filsafat, ekonom i, sedja-
rah, d s b .«

Dari apa jang disebut diatas ternjata bahwa perlu sekali orang
menggunakan hasil penjelidikan ilmu-ilmu sosial jang lain, agar
'a dapat m endjadi sardjana hukum jang sempurna.

8 M engenai fa k t o r -fa k t o r m a teriil ja n g m em buat hukum lih a tla h


' j». K « p e r t „ L e s fo r c e s cré a trice s d u d r o it” , 1 9 5 5 .

81
Ilmu-ilmu sosial seperti sedjarah, sosiologi dan anlrojiologi bu-
daja, ekonomi, teologi dan filsafat m endjadi ilm u-ilm u membantu
(hulpwetenschap) bagi ilmu hukum dan, sebaliknja, ilmu hukum
mendjadi ilmu membantu bagi ilmu-ilmu sosial tersebut. Pada ha-
kekatnja ilmu-ilmu pengetahuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan.
Ahirnja, kita tidak boleh lupa bahwa sebagian dari sumber-
sumber hukum m ateriil ( = dengan tidak m elihat bentuknja) m en­
djadi kehendak suatu „ruling class” jang menguasai masjarakat di
waktu tertentu.

P a r. 2: Manifesto Politik Republik Indonesia


s e b a g a i s u m b e r h u k u m j a n g m a t e r i i l
dan Pant jasila.
Sebagai suatu program jang merupakan pendapat umum rakjat
Indonesia, jang sedang berevolusi, untuk m enjelesaikan Revolusi
Indonesia, jang dinjatakan oleh rakjat itu melalui Pem im pin Be­
sar Revolusi Indonesia, jaitu Bung K a r n o, maka M anifesto
P olitik 9 — jang diutjapkan sebagai pidato Presiden R epublik In-

9 S e d ja k fa h irn ja M a n ife s t o P o lit ik , k ita telah in e m p u n ja i .su atu P er­


pustakaan M ani p o l : , L a h ir n ja P a n t ja -S ila ” , p id a to B u n g K a r n o
Pada ta n g g a l 1 D ju n i 1 9 4 5 d a la m B a d a n P e n je li d ik P e r s ia p a n
U saha-usaha K e m e r d e k a a n ; U n d a n g -u n d a n g D a s a r ta h u n 1 9 4 5 serta
»P e n d j.8la sa n ” n j a ; „ P e n e m u a n k e m b a li R e v o lu s i k ita ” — „ M a n if e s t o
P o litik R e p u b lik I n d o n e s ia ” — , p id a t o P r e s id e n p a d a H a r i P r o k I a :
niasi ta n g g a l 1 7 A g u stu s 1 9 5 9 serta P e r in t jia n ja n g d ib u a t o le h
„ D ia la n n ja R e v o lu s i k ita ” — „ D j a r e k ” — , p id a t o P r e s id e n
p a d a H a ri P r o k la m a s i ta n g g a l 1 7 A g u stu s 1 9 6 0 , serta P e r in t jia n ja n g
i u a i o le h D .P .A .; M e m b a n g u n D u n ia K e m b a li” — d ju d u l asli
aa ia m hal,asa In g g e r is : „ T o B u ild th e W o r ld A n e w ” — , p id a t o P r e -
1 S a ,a la n g g a l 3 0 S e p te m b e r 1 9 6 0 d a la m S id a n g U m u m P .B .R .,
eria K erin tjia n j a n g d ib u a t o le h D .P .A .; H . R o e s 1 a n A b d u l -
ti o- ono- "’ Ma n i P° I d a n U s d e k ” , r a n g k a ia n u r a ia n d i m u k a
5 O k to h JP ri^ ° P llhIik In d o n e s ia P u sa t di D ja k a r t a d a ri ta n g g a l
P r e sid e n 0*! s a m p a i. d e n g a n ta n g g a l 9 N o v e m b e r 1 9 6 0 ; „A m a n a t
P le n o D m Cnlan^ P e m b a n g u n a n S em esta B e r e n tjn n n ” , p a d a S id a n g
>ni
in i d imiitnuiiV
a t ^ iV ^
i tanRSal
' “ "k g a i 2¿ o8 A g u stu s 11 9 5 9 — se m u a d o k uunm; e n -d o k u m e n
diterb itk a n « / V * 1?» ,,T u d ju h b a h a n -b a h a n p o k o k iiin d o k tr in a s i’
ta n g M a n in ol^ tH l P e r ti,n b a n Siln A g u n g p a d a ta h u n 1 9 6 1 . T e n -
p a lin g nert-> i lb l,a t p e m b a h a s a n ilm ija h : s e b a g a i u sa h a ja n g
..H im punan K Í - . i aPH ,dÍSebut k apjl* M r U s e P R a n a w i d j a j a
ta h u n 1 9 6 1 M « * . a ^<UIn T a ta n eg a ra I n d o n e s ia ” , d it e r b itk a n p a d a
Jan g n ie ru p aj£a^1^e n a ' tes' s D r K a b u l l a h W i d j a j a a m i a r s a,
|a n g g u n g d ia w a b k -fUaiM u ?a*la JanS setja ra ilm ija h tid a k d a p a t d ip e r .
takan k e -7 b u k u . a K ata P e n g a n ta r d a n L a m p ir a n p a d a tje -
so-p im ” . T a h u « v '" , ' rnj a, m e n u ru t p e n d a p a t k a m i, m a k a „ R e -
lusi In d o n e s ia ” ! L ^ Cna" g a n ” ~ „ T a k e m ” , ,;G e n t a su ara R e v o -
dan „T a h u n B e rd ik a rP ’e S U r l %,T a ?U,n V 'v e r e p e r ic o lo s o ” — „ .T a v ip ” .
1„ T a k a r i , p id a lo -p id a io P r e s id e n p a d a H a r i-
82
donesia pada H ari Proklam asi 17 Agustus 1959 dengan djudul „P e­
nemuan k em bali R evolusi kita” — merupakan suatu sumber liukum
m ateriil, ja n g m en dja di determ inan materiil membentuk hukum
(m ateriele determ inant van de rechtsvorm ing), jaitu determinan
m ateriil m em bentuk ketertiban hukum jang btiru jang terlahir se-
sebagai hasil R evolusi Indonesia nanti 10.
M anifesto P olitik R ep u b lik Indonesia — disingkatkan Mani­
pol u serta P erin tjia n n ja jang dibuat oleh D.P.A. dalam Sidang
ke-II 1959 pada tanggal-tanggal 23, 24 dan 25 September 12, pada
tanggal 19 ¡November 1960 telah diterima oleh M.P.R.S. sebagai
„garis-garis besar dari pada haluan Negara” 13. Sebagai garis-garis
besar dari pada haluan negara, maka M anipol adalah pertanggung-
djaw aban pengeluaran D ekrit tancgal 5 D juli 1959 11 — lihatlah
Bab V II, par. 6 — , jang m engingini suatu struktur baru negara dan
hukum . O leh sebab itu, maka teranglah, sebagai garis-garis besar
dari pada haluan negara, M anipol itu merupakan suatu sumber
hukum jan g m ateriil, ja n g turut-membentuk hukum baru jang akan
herlaku dalam masjarakat baru jang diingini oleh Manipol itu.
M anipol m em uat lim a unsur-unsur. Karena Manipol menentu­
kan garis-garis besar dari pada haluan Republik Indonesia, jang
rakjatnja sedang berevolusi, maka Manipol itu mendjadi suatu
program untuk m enjelesaikan Revolusi kita dalam tingkat sosial
ekonom is. M an ipol merupakan suatu program untuk memenuhi
„A m anat Penderitaan R akjat” (disingkatkan : Am pera).

h a ri P r o k la m a s i ta n g g a l 1 7 A g u su s 1 9 6 1 , 1 9 6 2 , 1 9 6 3 , 1964-
d ju g a te r m a s u k P e r p u s ta k a a n M a n ip o l in i, b i a r p u n re ®” ’ 1 J en ^ a n
d ia d ik a n b a h a n p o k o k in d o k tr in a s i. D e m i k i a n d ju g a ■a.nj« >-
..D e k ! arasi E lro r .o m i^ — — „D ^ k o n ’ . t j
10 L ih a t la h P r o f . S u j o n o H a d i n o t o , S .h ., „ R e v o lu s i In d o n e w a
d a n m a n ife s t a s in ja d a la m h u k u m . M o tto : „ „ H o m o saera res i »
S e n e c a „ „ M a n u s i a a d a la h su tji b a g i- m a n u sia la in n ja , prasar-
k a Seminar H ukum N a sion a l di D ja k a rta 1 9 6 3 .
11 Roeslan A b d u l g an i „P e n d jo la s a n M a n ip o l d a n U s d e k , i-
h a tla li n o o t 9 .
12 K e p u t u s a n N r 3 / K p t s / S d / H V 5 9 . L ih atlah n o o t 9 .
13 K e t e t a p a n M .P .R .S . N r I terta n g g a l 19 N o v e m b e r 1 9 6 0 : Momper_ uu
-M a n ifesto P o li iik R e p u b lik In d o n e s ia seria p e r p e r in t jia n n ja ‘
g a r is -g a r is b e s a r d a ri p a d a h a lu a n N eg ara. K e te ta p a n M -1' “ -3 ; * „
in i m e n e t a p k a n p u la A m a n a t P r e sid e n p a d a S id a n g P le n o nwai '
r a n tja n g N a sio n a l ( D e p c r n a s ) m e n g e n a i P e m b a n g u n a n S em esta j «
B e r e n t ja n a p a d a ta n g g a l 2 8 A g u stu s 1 9 5 9 ja n g d iu tja p k a n d a n .
te r tu lis , m e n d ja d i gar>s-;aa>is b osa r p a d a h a lu a n p e m b a n g u n a n .
14 L ih a ila h R o e s l a n Aabdulgani dalam „Pendjelasan ManlP®
dan Usdek” (dikutip padu „T u d ju li balian.bahan pokok indoklrinasi ,
h a l. 3 5 6 ) .

83
Sebagai unsur kedua M anipol dapal. disebut : M anipol m em beri
gambaran — perspektif — tentang tudjuan R evolusi Indonesia
jang masih belum selesai, jaitu didirikannja suatu Masjarakat In ­
donesia jang S osia lis(tis), suatu Masjarakat Indonesia jan g A d i l
dan M a k m u r bagi setiap anggauta Masjarakat itu.
Supaja dapat mentjapai tudjuan Revolusi Indonesia tersebut,
maka unsur jang ketiga dari M anipol — oleh M anipol diserukan
suatu K on sen tra si sem u a tenaga-tenaga r e v o lu s io n e r 15. Harus ada
persatuan nasional, kerdja-sama atas dasar kekeluargaan antara Na-
sakom — lihatlah Bab V II, par. 7 — , antara N asakoin dengan go­
longan-golongan karja dan antara golongan-golongan karja masing-
masingnja. Konsentrasi semua tenaga-tenaga revolusioner itu adalah
sjarat mutlak untuk dapat m entjapai tudjuan R evolusi Indonesia itu.
Baru sesudah ada Konsentrasi semua tenaga-tenaga r e v o lu s io n e r ,
maka kita dapat berdjalan m enljapai tudjuan R evolusi Indonesia.
Berdjalannja kita itu atas lima landasan, lim a rel, jaitu U .S.D.E.K. .
1. dalam bidang ketatanegaraan dan hukum kita berdjalan atas
U.U.D. tahun 1945; 2. ideologi jang m endjiw ai semua tindakan-
tindakan kita adalah Sosialisme Indonesia 16; 3. dalam bidang p er
ekonom ian kita mevvudjudkan suatu E k on om i T erp im p in untuk
m elindungi jang ekonomis' lem ah terhadap pemerasan oleh jan^
ekonomis kuat; 4. E konom i T erpim pin itu, jang m e n g a k ib a t k a n
lebih banjak turut-sertanja pem erintah dalam bidang p e r e k o n o m ia n ,
menentukan sistim pemerintahan kita, jaitu D em okrasi T e r p in i-
pin 17; 5. Supaja kita dapat m em perteguh kepertjajaan pada k e­
mampuan kita sendiri dan dapat m enghindarkan pengaruh-penga­
ruh asing jang buruk, maka perlukah kita kem bali kepada
kepribadian kita, kepribadian In d on esia . U-S.D.E.K. ini adalah
unsur jang ke-empat dari M anipol, bahkan, merupakan intisarinja.

15 K o n s e n tra si sem u a te n a g a -te n a g a r e v o lu s io n e r , ja it u g o t o n g -r o jo M g


ja n g d in a m is , telah d ia n d ju r k a n d a la m p id a to B u n g K -a r n o
p a d a ta n g g a l 21 F e b r u a r i 1 9 5 7 , b a h k a n , m e r u p a k a n u n s u r te r p e n t in g
B u n S K a r i " > i" 1'
16 s o s ia lis m e I n d o n e s ia su d a h ten tu m e m u a t u n s u r -u n s u r 'u n iv e r s il S o ­
sia lism e, ja itu m e m in d a h k a n a la t.a la t p r o d u k s i k e d a la m ta n g a n k a u m
p e e r d ja , tetapi p e m in d a h a n te rse b u t d is a lu r k a n m e n u r u t le m b a g a -
. _ -f™ a ®a sosial I n d o n e s ia se n d ir i, s e p e r t i gotong-rojong.
Vq=-qm , *a w a b a n te rtu lis n ja k e p a d a D .P .R . p a d a ta n g g a l 2 5 M a r e t
, o le h P e m e r in ta h d ib u a t d e fin is i ja n g b e r ik u t te n ta n g p e n g e r t ia n
,, e m o k r a s i te r p im p in ” ( , , K e m b a li k e U n d a n g -u n d a n g D a s a r 1 9 4 5 ” ,
p e n e r itan K e m p e n 1 9 5 9 , h al. 6 0 -6 2 , d a n b u k u k a m i ,,P e n g a n t a r h u ­
k u m ta ta n eg a ra In d o n e s ia ” , 1 9 6 5 , B a g ia n I I , B a b I I ) .

iU
A h iru ja, sebagai unsur jang kelima dari Manipol, Manipol me-
njebut pula musuh-musuh Revolusi Indonesia, jaitu imperialisme,
kolonialism e dan feodalism e. Disebutnja m u su h -m u su h ini adai
penting, supaja lawan tidak didjadikan „kawan dan kawan tidak
didjadikan lawan.
M anipol telah diberi dua pedoman p e l a i t s a n a a n , 3a^ 1 P1 a*°
Presiden pada tanggal 17 Agustus 1960, jang berdjudul ,, ja annja
Revolusi Kita"’ — disingkatkan : D ja r e k , dan pidato Presi
dalam Sidang um um P.B.B. pada tanggal 30 September 1960, jan0
berdjudu l „ T o Build the W orld Anew” (Membangun Dunia Kem­
bali - disingkat M .D .K .). M.D.Iv. adalah pedoman pelaksanaan
politik luar negeri jang bebas dan aktif- Kedua pidaio terse ut o e
Ketetapan M .P.R.S. Nr I telah diteiima sebagai „pedom an pe
pelaksanaan M anifesto P olitik Republik Indonesia^. D juc a
so-pim ” , „T a k cm ” , „G esuri” , „T avip” dan ” ^ kar* . k
muat lima A zim at R evolusi : Nasakom, Pantjasila, - ampo ,
Trisakti T avip (Berdaulat dalam politik, beidiri atas __
dalam ekon om i, berkepribadian dalam k e b u d a ja a n ), Bei '
merupakan pedom an pelaksanaan Manipol sebagai sum
materiil.

M anipol m enghendaki supaja didirikannja suatu 1 ^


Indonesia ja n g sosialis (tis). Tetapi biarpun dalam pem ane
masjarakat Indonesia jang s o sia lis(tis) itu kita m en gik u ti
unsur universil Sosialism e1S, masih djuga kon d isi-h on isi
masjarakat Indonesia harus diperhatikan. Kondisi-kondisi ^
m asjarakat Indonesia itu telah setjara geniaal dipaparkan
Bung K arno dalam pidato ,,Lahirnja Pantja Sila
d ib a w a h ini — dan setjara geniaal pula d iru m u sk a n n ja dala
tja sila itu.
Pantjasila m endjadi azas-zas kenegaraan negara kita dan 0
perundang-undangan hukum Indonesia sebuah „Grundnorm
suatu kaidah dasar (p o k o k ). Pantjasila itu ditjantumkan da
P em bukaan U.U.D., jang m enjalakan bahwa kemerdekaan ^
disusun dalam „suatu Undng-undang Dasar Negara Indonesia j c
terbentuk dalam suatu susunan Negara R epublik Indonesia j a c
berkedaulatan rakjat berdasarkan kepada :

18 L ih a t la h noot 1 6 diataa tadi.

85
Ke-Tuhanan Jang Maha Esa,
Kemanusiaan jang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia,
dan Kerakjatan jang dipim pin oleh hikm at kebidjaksanaan dalam
Permusjawaratan-PerwakiJan serta dengan m ew u d ju d k a n suatu K e ­
adilan sosial bagi seluruh R akjat Indonesia”

Sebagai peristiwa lahirnja Pantjasila itu dapat disebut pidato


Ir Soekarno (Bung Karno) pada tanggal I D ju n i 1945
dalam Badan P enjelidik Persiapan Usaha-usaha K e m e rd e k a a n 20.

19 M e n u ru t p e n d a p a t k a m i m a k a P a n tja s ila itu le b ih d j e la s d ir u m u s k a n


d a la m m u k a d d im a h k o n s titu s i R .I .S . m a u p u n m u k a d d im a li u n d a n g -
u n d a n g d a sa r s e m e n ta r a ta h u n 1 9 5 0 d a h u lu : , , ................................ k a m i
in e n ju s u n k e m e r d e k a a n k a m i it u d a la m s u a tu p ia g a m N e g a r a ja n g
b e r b e n tu k r e p u b lik -k e s a t u a n , b e r d a s a r k a n p e n g a k u a n
ke-Tulianan Jang Maha Esa,
peri-kemanusiaan,
kebangsaan,
kerakjatan dan
keadilan sosial,
u n tu k m e w u d ju d k a n k e b a h a g ia a n , k e s e d ja h t e r a a n , p e r d a m a ia n d a n
k e m e r d e k a a n d a la m m a s ja r a k a t d a n N e g a r a -h u k u m I n d o n e s ia M e r d e k a
ja n g b e r d a u la t s e m p u r n a ” . •
20 ,,L a h ir n ja P a n t ja -S ila ” ( d it e r d je m a h k a n d a la m b a h a s a I n g g c r i s : „ T h e
B ir th o f P a n t ja S ila ” , 1 9 5 0 ) — lih a tla h n o o t 9 d ia ta s ta d i. B e b e r a p a
u t ja p a n la in B u n g K a r n o t e n ta n g P a n tja s ila : d a la m p e m b i-
tja r a a n m e n e n t u k a n r e d a k s i te r a h ir P e m b u k a a n U .U .D . ( 1 9 4 5 ) d a la m
P a n itia P e r s ia p a n K e m e r d e k a a n I n d o n e s ia p a d a p a d a t a n g g a l 1 8
A g u stu s 1 9 4 5 ; p id a t o p a d a w a k t u -p e m b u k a a n L a tih a n C h a n d r a d i m u k a
d i B a n d u n g p a d a ta n g g a l 2 9 S e p te m b e r 1 9 5 1 ; k u lia h u m u m d i U n i '
v ersita s I n d o n e s ia d i D ja k a r t a p a d a ta n g g a l 7 M e i 1 9 5 3 ; „ P a n t ja -
sila d a sa r fils a fa t N e g a ra ” , k u r s u s te n ta n g P a n tja s ila d i I s ta n a N e g a r a
d a ri ta n g g a l 2 6 M e i 1 9 5 8 sa m p a i d e n g a n ta n g g a l 3 S e p t e m b e r 1958.^
D ju g a te r k e n a l p e n d a p a t B u n g K a r n o j a n g d ib e r i n a m a teori
wadah : P a n tja s ila a d a la h su a tu w a d a h d a n d id a la in n ja t e r d a p a t s e ­
m u a id e o l o g i, te r h itu n g d ju g a id e o l o g i- i d e o lo g i a g a m a ! B u n g
K a r n o se r in g d is e b u t „ B a p a k P a n tja s ila ” . D is in ila h k ebesaran
B u n g K a r n o . T eta p i B u n g K a r n o s e n d ir i, d a la m k a ta
sa m b u ta n n ja atas d it e r im a n ja g e la r D o c t o r H o n o r is C a u s a d a r i U n i­
versitas G a d ja h M a d a , m e n g a ta k a n : „ D ja n g a n d ik a t a k a n s a ja in i
p e m b e n t u k a d ja r a n P a n tja S ila . S a ja h a n ja s e o r a n g p e n g g a li d a r i p a d a
l ^ an f ., aiJtja S ila itu ” . ,,B e n a r P a n tja S ila itu r e s m i m e n d ja d i d a .
j. r n ja j sa fa h N eg ara R e p u b lik In d o n e g ia s e b a g a i t e r tja n tu m d a la m
. U ‘ e „ *™a n U n d a n g -u n d a n g D a s a r n ja , te ta p i sa ja m e n g a n g g a p P a n -
ja i a ilu tela h la m a ter g u r a t p a d a d jiw a b a n g s a I n d o n e s ia . S a ja
m e n g a n g g a p P a n tja Sila itu tjo r a k d jiw a b a n g s a I n d o n e s ia ” ( d i s i n g ­
gun g^ P u la o le h P r o f . M r D r R . S o e r i p t o d a la m p id a t o in a u g u -
r a s in ja „ T e n t a n g k o lle k tiv is m e d a n in d iv id u a lis m e d a la m m a s ja r a k a t
I n d o n e s ia ( K e p r ib a d ia n b a n g sa I n d o n e s i a ) ” , p « d « ta n g g a l 1 8 S e p ­
te m b e r 1 9 5 8 d i S u r a b a j«.

36
Tetapi tanggal tersebut lianjalali tanggal la h irn ja Pantjasila ka­
rena Pantjasila itu telah lam a sebelum nja terkandung dalam tu­
buh bangsa In d on esia ja n g sedang m em perdjuangkan kemerdeKaan-
n j a 2 1 . M enurut B u n g K a r n o maka Pantjasila itu lim a dasar
filsafat d ari N eg a ra In d o n e s ia : „D asar, philosofische groiidslaj.,
atau suatu W eltan schauung diatas mana kita m endirikan negara In
donesia” . P antjasila, sebagai suatu „W eltanschauung , adalah apa
jang kam i sebut suatu p en g a k u a n k ep ertja ja a n ( g e l o o f sbeiijdenis ,
jakni k ep ertja ja a n pada ke-Tuhanan, pada Negara Indonesia jang
berdasarkan nasionalism e, pada nasionalism e jang berdada '
manusiaan. P antjasila itn pendorong dan dasar penghidupa
nusia sebagai warga dari Negara Indonesia.
Pantjasila itu suatu kesusilaan positif, suatu etika
jang m en d ja d i dasar dari negara nasional kita. P ro^ ^ ° , Neaara
m enjebut P antjasila itu ’ ’ S t a a t s f u n d a m e n t a l n o r m («I'-“ 1 “ 1 . .|a
jang fu n dam en til” ) 22. Tentang h u k u m b e r s u m b e r k a n an •- ^
jang bersifat p en g a jom a n telah kam i singgung dalam

f o r m i l 23.
P a r. 3 : Sumber-sumber li_u_kjUi!— j_a n „ "
" ' --i • •* npriwan-hukum (keja-
Sum ber-sum her hukum materiil, jaitu l inion) jang
kinan-hukum ) in d ivid u dan pendapat-umum (p u 1C iJ[icuU1]can isi
m endjadi determ inan m ateriil mem bentuk hukum, mendja-
dari hukum , sedangkan sumber-sumber hukum fornu ’ ^ ter^ninantcll
di determ inan fo rm il m em bentuk hukum ° rm . jlUjiUUi. Sum-
van de rech tsv orm in g), menentukan b e r la k u n ja c ari
ber-sum ber h u k u m jang form il adalah :
a. undang-undang keputusan dari
b. kebiasaan dan adat jang dipertahankan da .
jang berkuasa dalam masjarakat -
c. traktat
d. jurisprudensi .
e. pendapat ahli hukum jang terkenal ( t o '
M fn t in n a i Indonesia M e r d e k a ” ,
21 D a la m ris a la h B u n g K a r n o „ su atu d ja m b a t a n e m a s. ®
1933, d ik a t a k a n b a liw a k e m e r d e k a a n itu sem p u rn ak an
n gan m e n je b e r a n g d ja m b a ta n e m a s .tu d a p a t la li

m a s ja r a k a t k it a . P n n tin sila lih a tla h b u k u k a m i „ R in g k a s a n


22 M e n g e n a i lit e r a tu r t e n t a n g P a n tja s ila im a u a
te n ta n g f ils a f a t h u k u m ” . B » ■ , , Sum ber-sumber f o r n u •
23 B a t ja la h d ju g a M a h a d i , I , h a l. 5 5 d j b . ^ u m U er kaIm
24 M e n g e n a i h u k u m a d a t lih a tla h p e n d a p a t te r H a a r
u r a ik a n p a d a B a b Y , p « r 5 , b u k u in i.
87
Ahirnja, dapat djuga disebut sebagai sumber hukum jang for­
mil ialah agama (hukum agama). Di daerah-daerah di Indonesia
jang pandangan hidup penduduknja masih sangat terikat oleh aga­
ma, ^sumber hukum ini masih penting sekali 2o.

25 V a n A p e 1 d o o r n (hal. 6 4 ) hanja m enjebut tiga sum ber lmkuin


formil : undang-undang, kebiasaan uan !,a L‘‘ ' ,1-dam
52) menjebrn empat sumber hukum form , : undang-undang dalam
arti kata luas, kebiasaan, traktat dan perad.llan. Mcnaruit E <1 * a «■d
J e n k s („T h e New J u r i s p r u d e n c e ” , 1933, hal 88 d ,b .) dalam hukum
Inggeris ada i iga „form s o f law” : „otalutorv , „ ju d .c
„Iiterary” . G.W. K e e t o n ( „ T h e Elementary P r.nc.ples o f J“ ™ « " “ ,
dence” , 1949, hal. 7 3-75 ) riiembedakan antara „b m d .n g , sou „
Dersuasive sources” Binding sources” «tu terdir. atas : „custon . ,
’ l • i .• . • i- ’’ i ts” sedangkan „persuasive sources
Ieg.slat.on dan „ju d .c.a l P ^ e d e n s , se J ” Pdan fessional
terd iri a tas: pr.nc.ples o f m ora'.ly g .^ ,, „ 2 0 7 ) me-
o p m 'o n . W a 1 t h e r B u r c K n J r ( n ^ , , iu ris-
njebut tiga sumber hukum form il : undang-un ang, i einer
prudensi. Kalanja : „E s bleibt also dalbei ,lass nur der S
Maxime Reclitsverbindlichkeit v e r le ih e n kan n , se. es a ^
durch die Stimme des G e setz g eb ers, sei„ c * s l , S f
1 . ~„s u a i dengan
Praxis der rechtsanwendenden B e h ö r d e n . en apa in ltftvinding”
te r H a a r dalam „besliss.ngenleer nja ” Ca rp c n-
dalam hukum aJat. Lihatlah Bab V, par. a. • ■ jan(jgch-
t i e r A l t i n g („G ron dslagcn der rechtsbedeel.ng in N ^ e r l a n ^
Indie” , 1926, l,.l. 1 0 ) •>**»

„V olksbesluit” ini terkenal di, u m p a m a n j a ' ^ ^ 1 , haï


dimana terdapat referendum dan *“ « d da,am arli Iuas, 2. hukum
o 5 ) membuat perintjian : 1. undang u 6. dok-
adat, 3. hukum kebiasaan, 4. traktat, 5. jurispr ! ,j o e n o
Ä Ä S S ? Â 9 5 T Î . Ï " 8) ™ «.~ perinljian

h .k » m p c™ «— j«

i kekuasaan legislative (kekuasaan


1. peraturan, jaitu pernjataan KeK
p en g a tu f). „ pndiabal kekuasaan negara lain-Iainnja,
2. putusan P ^ J ^ t ' P ^ ^ ^ e k u a s a a n pelaksanaan) dan ke-
jaitu kekuasaan exekutiva (keK F T1._ :.rirllflentie ada-
kuasaan iudikaliva, k e k u a s a a n m engadil.. Jur.sprudeni
lah pernjataan kekuasaan iudikativa. . „iH
3. perdjandjian internasional dan pernjataan perang ,
segala tindakan untuk melaksanakan perang itu sen in .
( b ) pernjataan kekuasaan rakjat sendiri : « j
1. perbuatan rakjat sendiri dalam m enjelenggarakan an 1*lG"
laksanakan perhubungan-pam rihnja, jang m ungkin m ene a
mendjadi adat kebiasaan. . .
2; putusan rakjat dalam peragaan ja n g tertentu, m isalnja p u ­
tusan kamer van koophandcl, vereniging van assuradeuren,
rukun kampung, rukun tetangga, perhim punan kematian
(perhim punan sripah), dsb.
3. pemberontakan terhadap penguasa jàn g ada.
Hukum adat adalah hukum jang bersumberkan pada sum ber-sum ber
jang disebut pada sub (a ) 2 dan 3 dan sub ( b ) 1* 2 dan 3.

88
Ivila harus ingat akan hal undang-undang, traktat dan sebagian
dari adat ( ! ) adalah sumber hukum jang terdapat terutama dalam
suasana „positiviteit” sedangkan kebiasaan, bagian lain dari adat
dan jurisprudensi m endjadi sumber hukum dalam terutama suasana
„w erk elijkh eid” (kenjataan). Doktrina tidak selalu m em beri gam ­
baran tentang „w erkelijkheid” . D i samping tulisan-tulisan ja n "
menggam barkan „w erkelijkheid” ada d juga tulisan-tulisan n ian«’
D
m emuat ,,das Sollen” , jaitu : jang diingini.
A. U 11 d a n g - u 11 d a n g.

Pengertian „undang-undang'” 20 biasanja dibagi dalam :


if a. undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin)
jl b. undang-undang dalam arti form il (wet in forniele zin ).

Jang paling pertama mengadakan pembagian ini seorang ahli


hukum bangsa Djerm an jang bernama P a u l L a b a . n d 27. M e­
nurut L a b a n d maka didalam ilmu hukum pengertian „undang-
undang” itu m em punjai dua arti : pengertian „undang-undang” da­
lam arti m ateriil dan pengertian „undang-undang” dalam arti kata
form il.
Undang-undang dalam arti materiil ialah „d ie rechtsverbind-
lich e A norduung eines Rechtssatze” , jaitu penetapan kaidah hu­
kum dengan tegas, sehingga kaidah hukum itu menurut sifatnja
m en d jadi m engikat. Menurut Lahan d maka perlu ada dua
anasir supaja sesuatu kaidah (hukum ) m endjadi „undang-undang
dalam arti m ateriil” :
a. anasir jang disebutnja „Anordnung” , jakni penetapan pera­
turan (kaidah) hukum dengan tegas
b. anasir jang disebutnja „Rechtssatz” , jakni peraturan (kaidah)
hukum itu.
Sekalipun tiada „A nordnung” , ada djuga „Rechtssatz” . Tetapi
„Rechtssatz” jang ada itu masih merupakan bajangan semata-mata
tentang hukum didalam perasaan-hukum orang. „Rechtssatz” jang
tiada „A n ordn u n g” nja masih merupakan peraturan (kaidah) hukum

26 D r C. G r u y. s „D rieerlei wetsbegrip” , 1946.


27 Paul Lab and „D as Staatsrecht des deutsehes Reiches” , 1911
(tjetakan k e -5 ), par. 56 : „D e r B egriff und die Erfordnisse des Ge.
selzes” Mengenai „wet in materiele zin” dan ,,\vetin forniele zin”
ini lihailah djuga beberapa tjatatan Mr M a h a d i „Beberapa sendi
hukum di Indonesia” , I, 1954, hal. 50-55.

89
ri
i

kebiasaan sadja. ^Anordnung” itu penetapan resm i sesuatu (kaidah)


h u k u m - sehingga bersifat m engikat (anggapan ini sesuai dengan pe-

ladjaran legisme — lihatlah dibawah par. 3, sub A B ). „A nordnung”


dan „Rechtssatz” itu keduanja merupakan apa jan g diberi nama
„G esetzinhalt', jaitu isi undang-undang. Penetapan isi undang-un­
dang ini dilakukan oleh radja bersama-sama dengan dewan per­
wakilan rakjat (parlem en).
Tetapi agar berlaku di wilajah negara pada uinum nja, maka
undang-undang itu terlebih dahulu harus diperlengkapi dengan
suatu perintah undang-undang atau perintah pengundang-undangan
( „G esetzbefeh l” ) atau „eine Ausstatung m it rechtsverbindliche
Kraft” . Perintah undang-undang ini dibuat oleh radja. Dalam
pembuatan perintah undang-undang ini tersimpul pengesahan atau
persetudjuan (sanksi) radja.
Menurut L a b a n d maka hanja pem buatan perintah undang-
undang itu sadja — djadi, pengesahan atau persetudjuan radja
merupakan apa jang disebut perbuatan penetapan undang-undang
(perbuatan perundang-undangan) (daad van w etgevin g). D jadi, pe­
netapan isi undang-undang itu oleh, m isalnja, dewan perwakilan
rakjat, atau kepala negara (di negara jang mengenal sistim parle­
menter sebagai sistim pem erintahan : m enteri atau beberapa menteri
atau semua m enteri) bersama-sama dengan dewan perwakilan rakjat,
belum merupakan perbuatan tersebut. Anggapan jang disebut teraliir
ini — jang m endjadi akibat suatu adjaran legism e jang sangat
sempit — kam i tidak dapat m enerim anja. M enurut L a b a n d m a­
ka perbuatan penetapan undang-undang itu hanja memuat pem bua­
tan sanksi oleh kepala negara. Tetapi anggapan itu tidak benar.
Perbuatan penetapan undang-undang itu memuat djuga penetapan
isi undang-undang. Penetapan undang-undang itu dilakukan oleh
badan-badan negara jang diserahi kekuasaan (funksi) legislatif, jang
boleh dianggap mewakili kehendak bagian besar rakjat, seperti de­
wan perwakilan rakjat dengan atau tanpa kepala negara (atau m en­
teri). Di Indonesia pembuat undang-undang pusat (centrale wet-
gever) adalah Presiden (jang dapat dibantu oleh M enteri, P em e­
rintah) bersama-sama dengan Dewan Perwakilan R akjat (pasal-pasal
5 ajat 1 dan 20 ajat 1 U.U.D.) 28.

28 Menurut undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu : Pem e-


nnta i (Menteri jang bertanggungdjawab) bersama-sama dengan D e­
wan perwakilan R ak jat— pasal 86. Lihatlah djuga pasal 90 samnai
dengan pasal 95. p

90
Pendapat L a b a n d sangat berpengaruh, djuga diluar Negeri
Djerman. Di Negeri Belanda, jang mula-mula memasukkan keda-
lam ilm u hukum disitu pengertian „undang-undang dalam arti
m ateriil” ialah Prof. B u y s 29. Tetapi anggapan B u y s berlai­
nan dari pada anggapan L a b a n d. Menurut B u y s maka undang-
undang dalam arti m ateriil ialah setiap keputusan pemerintah (para
penguasa, overheid), jang menurut isinja (atau dengan kata lain :
menurut materi ( = isi)-n ja ), mengikat langsung terus setiap pen­
duduk ( sesuatu daerah). Anggaran tersebut terkenal dengan nama :
pengertian undang-undang dalam arti materiil menurut Buys
V _*begrip -we t in matriele zin volgens B u y s ).

Berdasarkan teori B u y s maka setiap keputusan pemerintah


jang, menurut bentuknja, bukan undang-undang — jakni bukan sua-
tu keputusan jang ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakjat — tetapi menurut isinja langsung terus
mengikat masing-masing penduduk sesuatu daerah, dapat (djuga)
diberi nama undang-undang (dalam arti m ateriil). Keputusan pe­
merintah sematjam itu berupa-rupa : penetapan Presiden (lihat­
lah dibawah nanti), peraturan Presiden (lihatlah dibawali nanti),
peraturan Pem erintah ( = keputusan jang ditetapkan oleh Presiden
*j anS dibantu oleh Menteri, Pemerintah) (pasal 5 ajat 2 U .U .D .)) 30,
peraturan dari pemerintah daerah swatantra. Walaupun peraturan
tersebut menurut bentuknja bukan undang-undang, menurut isinja
masih djuga ,,undang-undang” , jakni „undang-undang dalam arti
m ateriil” , karena mengikat langsung terus masing-masing pen­
duduk. „Undang-undang dalam arti materiil” itu djuga disebut
„peraturan” (dalam bahasa Belanda : „regeling” ). Bilamana kita
mengatakan bahwa sesuatu keputusan pemerintah adalah suatu per­
aturan ( = pengertian m ateriil), maka kita hanja melihat isi k e­
putusan jang bersangkutan. Bilamana keputusan ini mengikat lang­
sung terus semua penduduk, maka keputusan ini m endjadi suatu
peraturan. Dengan kata lain : keputusan ini m endjadi suatu „u n ­
dang-undang dalam arti materiil” .

29 P rof. Mr T.J. B u y s „D e Grondwel. Toelichting en Kritiek” , I, 1883,


Iial. 336.
30 Menurut undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu : kepu-
tusan jan g ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan seorang m en­
teri atau beberapa menteri atau semua menteri ( = Pem erintah) —
pasal 98 ajat 1.

91
Undang-undang dalam arti fon ïiil ialah setiap keputusan
pemerintah jang merupakan undang-undang, karena ijara terdjadi-
nja (wijze van totstandkoming). Menurut pasal-pasal 5 ajal 1 dan
20 ajat 1 U.U.D. maka di negara kita undang-undang ditetapkan
oleh Presiden (jang dibantu oleh Menteri, Pem erintah) bersama-sa­
ma dengan Dewan Perwakilan Rakjat 31. Maka dari itu : keputusan
pemerintah jang ditetapkan oleh Presidèn bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakjat merupakan undang-undang. Dengan kala
lain : hunja keputusan-keputusan pem erintah jang ditetapkan
Presidèn bersama-sama dengan Dewan Perwakilan R akjat m en d ja d i
undang-undang (dalam arti fo rm il). Penetapan Presidèn (lihat­
lah dibawah nanti), peraluran Presidèn (lihatlah dibawah nanti ,
peraturan Pemerintah (pasal 5 ajat 2 U .U .D .), p eia lu ia n
swatantra bukan undang-undang dalam arti jang form il
Biasanja undang-undang (pasal-pasal 5 ajat 1 dan 20 ajat 1
U.U.D.) 33 bersifat form il serta materiil. Baik karena bentuknja
maupun karena m engikat setiap penduduk sesuatu daeiah, n « '^
keputusan itu m endjadi undang-undang. M isalnja, Undan^. une a
Pem ilihan Umum, L.N. 1953 N r 29, m erupakan undang-undang
lam arti form il, karena, menurut undang-undang dasar seme
tahun 1.950 dahulu ( pasal 89), ditetapkan oleh Pem erintah bersam^
sama dengan Dewan Perw akilan R akjat? m aupun undan& ^
dalam arti m ateriil, karena m engikat setiap penduduk J
Indonesia (lebih tepat : setiap penduduk warga-negara Indon ^
Sebaliknja, undang-undang naturalisasi (pewarga-negaia«.
orang asing hanja merupakan undang-undang jang fo n n i J

31 Menurut undang-undang dasar sementara tahun Dewan


rintah (M enteri jan g bertanggungdjaw ab) bersama-sama dengan w
Perwakilan Rakjat — pasal 89. . , , , , 11 Etat” ,
32 Lihatlah djuga L é o n D u g u i t „L a theorie generale de
1923, II, hal. 140 djb. : , . . ' i„ 1’ organe
„A u point de vue form el, est loi toute décision em anee c t' re d’
qui, d’ après la constitution du pays considéré, a le carac
organc—li'gislatif. Au point de vue matériel, est loi toute ac e m
possède en soit le caractère intrinsèque de loi, et cela indepennanin
de 1’ individu ou du corps qui fait ' 1’ acte. C? est 1’ acte legisla i
d’ après sa nature propre, qui peut être en m êm e tem ps une loi io r-
melle, mais qui aussi peut ne pas 1’ être qui très souvent ne 1 es
p a s” . K e s im p u ln n n ja „ ......................... q u e la lo i c o n t ie n t u n e d is p o s it io n
qui no disparaît pas après son application â un cas prévu et déter­
miné d’ avance, mais qui survit â cette application, et q u i s’ appliquera,
tant qu’ elle ne sera pas abrogée â tous les cas identiques â celui
qu’ elle prévoit” .
33 Menurut undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu pasal 89.

92
W alaupun ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan R akjat (pasal 26 ajat 1 U.U.D., lihat nnluk natura­
lisasi pada saat undang-undang dasar sementara tahun 1950 masih
berlaku pasal 5 ajat 2 undang-undang dasar itu ), undang-undang
ini hanja mengikat jang berkepentingan, jaitu jang dinaturalisasi
(diberi kewarga-negaraan baru).
Suatu peraturan daerah swatantra ( = pengertian m ateriil) m e­
ngikat langsung terus setiap penduduk daerah jang bersangkutan
serta setiap penduduk Indonesia jang djuga tinggal di daerah itu.
Peraturan ini tidak merupakan suatu undang-undang form il, kare­
na tidak ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan Perwakilan
R akjat (pusat di D jakarta).
Diat as tadi telah kami singgyng pengertian „penetapan undang-
undang” atau „perundang-undangan” ( dalam bahasa Belanda : icel-
geving). Kam i harus membedakan antara dua pengertian „perun­
dang-undangan” jang herlainan, jakni antara suatu pengertian jang
juridis form il (form eel juridisch begrip) dan suatu pengertian jang
juridis sosiologis (sociologisch juridisch begrip) 3,i. „Perundang-
undangan” sebagai suatu pengertian juridis form il adalah setiap per­
buatan menetapkan dengan tegas suatu keputusan pemerintah
umum, jakni perbuatan membuat suatu undang-undang materiil.
„Perundang-undangan” sebagai suatu pengertian juridis sosiologis
ialah setiap perbuatan dengan sengadja mempertimbangkan kepen­
tingan sosial jang-bertentangan (opzeUeVvjke aiweging ' an te-~en
strijdige sociale belangen). M isalnja, peraturan (kaidah) j aU?
tertjantum dalam pasal 1457 K.U.H. Perdata adalah hasil suatu
pertim bangan kepentingan sosial jang bertentangan. Ketentuan ter
sebut m enerangkan bahwa pendjual harus m em beri kepada pem
beli barang jang dibeli, sedangkan pem beli w adjib m em bajai ba
rang itu. Dengan penetapan ini, pem buat K.U.H. Perdata sebagai
penonton „m aatscliappelijk gebeuren” ( L o g e m a n n ) ^ ■telah
m em pertim bangkan kepentingan kedua belah fihak itu. Dengan
d jalan demikian, kepentingan ke'dua belah fihak telah disetarakan.
Dasar segala pertimbangan kepentingan tersebut ialah tudjuan un

34 Pandangan tentang funksi sosial perundang-undangan itu dimuat da


lam buku P rof. D r H u g o S i n z h e i m e r -„Theorie der *
gebung” , 1 9 4 8 ; P rof. Mr S o e t a n M o h . S j a h „U n d a n g -u n d a n g
adalah karya kebudajaan” dalam „M adjalah Universitas Hasanu
Mei 1960, hal. 1 6-23 , dan D juli 1960, hal. 1-6. „
35 Lihatlah buku kam i „R ingkasan tentang filsafat hukum” ,

93
tuk mentjapai kepastian-hukum sebanjak-banjaknja, dan kepas-
tian-hukum sebanjak-banjaknja itu seharusnja m endjadi „rechts-
werkelijkheid” . Bukankah, tjita-tjita sesuatu pem buat peraturan
hukum, jang memperhatikan sebanjak-banjaknja semua kepen­
tingan, agar „positiviteit” m eliputi „rechtsw erkelijklieid” ?
Pekerdjaan dengan sengadja m em pertim bangkan kepentingan
sosial jang bertentangan itu tidak hanja diserahkan kepada badan
negara jang diberi tugas mem buat peraturan hukum. Tugas sema-
tjam itu djuga diserahkan kepada hakim dan administrasi (tata-
usaha) negara. Hakim — dalam suasana „w erk elijkh eid” — dengan
sengadja m empertimbangkan kepentingan penggugat dan kepen­
tingan tergugat dalam atjara di muka pengadilan. Selandjutnja,
menentukan — dengan mengingat, kepastian-hukuin jang diingini
— kepentingan mana jang leb ih besar.
Pekerdjaan pem buat peraturan (perundang-undangan), peker­
djaan administrasi negara ( — penjelenggaraan perundang-undangan
berdasarkan delegasi, pasal 5 ajat 2 U.U.D. 36) dan pekerdjaan ha­
kim (m engadili = m enjelesaikan perselisihan) bersama-sama m e­
rupakan apa ja n g terkenal dengan nama pem bentukan hukum, d e­
ngan sengadja (opzettelijke rechtsvorm ing) 37. Pem bentukan hukum
dengan sengadja itu tidak hanja dilakukan oleh badan-badan pe
m erintah seperti pem buat peraturan hukum (m isalnja, Presiden
bersama-sama dengan Dewan Perw akilan R a k ja t), adm inistrasi ne­
gara dan hakim, tetapi djuga — dalam suasana „w erk elijk h eid ’
oleh kedua belah fihak sesuatu perd jan d jian (contract, overeen-
komst) 3s. Misalnja, pem beli dan pendjual, ketika m em buat per­
djandjian djual-belinja, saling m enentukan hak dan kew adjiban m e­
reka berhubung dengan melaksanakan perd jan d jian d ju a l-b eli itu.
Bahwasanja perdjandjian djual-beli tadi m em uat hukum , itulah
ternjata dalam hal apabila perdjandjian tersebut tidak dilaksanakan

36 Menurut undang-undang dasar sementara tahun 1 95 0 dahulu, pasal-


pasal 98 dan 99.
37 W a l t h e r B u r c k h a r d t „E in fü h ru n g” , hal. 152. , , R echt setzen
heisst eine rechtsverbindliche P flicht statuieren, die vorher nicht
bestand” .
38 Maka dari itu ada djuga pengarang jan g m enjebut p erd ja n d jian (over-
eenkom st) itu sumber hukum form il, misalnja, P ro f. M r J.H . C a r -
pentier Alting ,,Crondslagen der rechtsbedeeling in Neder-
landsch-Indie” , 1926, hal. 13 (sebagai dasar pendapatnja, M r C a r -
pentier Alting memakai pasal-pasal 1338 dan 1340 K .U .H .
Perdata).

94
menurut semestinja, maka pemerintah (hukum ) m endjalankan
suatu sanksi (sebenarnja suatu tjontoh tentang apa jang dikemu-
kakan oleh J e 1 li n e k : „norm ative K raft des Faktischen” ).
Tetapi ada perbedaan antara pembentukan hukum dengan se­
ngadja jang dilakukan oleh badan-badan pemerintah dan pem ben­
tukan hukum dengan sengadja jang dilakukan oleh para fihak se­
suatu perdjandjian dalam membuat perdjandjian mereka itu. W a l ­
t h e r B u r c k h a r d t 39 mengatakan : „d e r öffentliche Gezetz-
geber soll sie ausiiben zur Verwirklichung der Rechtsidee, der G e­
rechtigkeit, zu sachlich richtigem Zw eck; der Private kann sie
ausiiben nach B elieben zur Verwirklichung seiner subjektiven
Zwecke. Der erste soll xliber sein W erk begründete Rechenschaft
geben können; der zweite ist niemand Rechenschaft schuldig; der
eine hat eine Aufgabe, der andere eine mera facultas” . Menurut pen­
dapat kami maka perbedaan tersebut tidak bersifat begitu mutlak
seperti dilukiskan W a l t li e r B u r c k l i a r d t . Bukankah, badan-
badan pem erintahpun „kann sie” djuga ,,ausiiben nach Belieben zur
V erw irklichung seiner subjektiven Zwecke” ? Apalagi apabila ba­
dan-badan pem erintah itu berfunksi sebagai alat suatu „ruling class
dalam masjarakat ! K am i, disini, lagi mengingatkan : salah satu
dasar hukum ialah kepastian-hukum. Setiap perbuatan dengan se­
ngadja m em buat hukum adalah suatu perbuatan politik Iiukujn
(daad van rech tsp olitiek ).
A da suatu perbedaan lagi : badan-badan pemerintah jang diberi
tugas m em buat peraturan m engadakan dengan sengadja pemben­
tukan hukum um um (algem ene rechtsvonning) dalam suasana „p o
sitiviteit hasil pekerdjaannja bersifat abstrak — sedangkan ba­
dan-badan m engadili, s.erta para fihak sesuatu perd jan d jian jang
m em buat perd jan djian m ereka itu mengadakan suatu pem bentukan
h uk u m dengan sengadja untuk m enjelesaikan suatu hal konkrit
(rechtsvonning voor het concrete geval) dalam suasana „w erkelijk-
h e id ” — hasil pekerdjaannja bersifat k o n k r it40.
D i samping pem bentukan hukum dengan sengadja ada djuga
pem bentukan hukum dengan tiada sengadja (onopzettelijke rechts-
vorm in g), jakni sebagai kebiasaan jang m endjadi sumber hukum
(kebiasaan) sesudah diaktii dan dipertahankan dalam keputusan

39 „E in fü h ru n g” , hal. 152.
40 Walt her Burckhardt „E in fü h ru n g” , hal. 152 -1 5o.

95
dari jan g berkuasa. T eori keputu«in t tj
*V , par. 5) dalam k o r n e l Haar (lih a tla h B ab
baran bahwa semua huk Sepenu,1'P em|b n ja , m einbuat gain-
t , di ,el„h «> ?* - « i « . » « * , sonfailj<1.
ja n g mempunj'ai berm atiam - ' SlncrU" " a‘l anja baclan-badan negara

dikatakan bahwa tatanegara L T m 7 ^ ' ' " " " " " ' J 3 ' ,a,’ at
negara-negara Barat hPr,l i b an jak negara, terutama
'* W » > jan g tertentu t k<"
(fu n k .i, kekuasaan) legislatif T " ? “ n " c " ;" a j “ 11? d ib e ri tugns
ra n — a<Ja h ^ ri a„ Jaitu k e k u a s a a n m e m b u a t p e r a tu -

kekuasaan m e I a k „ k a 7 p ^ C n - T “ '," i " " ,“ ekSekU‘ if - > * '"


tugas ju d ik a tif — j ajt „ k . 3 badan «ega ra ja n g diberi
selisihan). Setiap funksi 6 UaSaaU m engatlih ( = m enjelesaikan per-
azasnja (in beginsel) t e t r i s a r ^ i r ' 131 Iapa" gan Sendiri J‘an- Pada
kan undang-undang dan pengadilan 4 i " ™ 1tldang‘ Undan£an’ ineIak“ ‘

„m achtenverdelin^’Î S
/ ( ’^ UnCtleverdeIing” ^ pem bagian kekuasaan,
dah disesuaikan d'! * ~ ja n g tCrkenaI um u” dan i a" & ses“ ‘
ïah satu tiano- ( z a i l ^ St™ ktur sosiaI tertentu, m en d ja d i sa­
dari seoran - ahli ne P! m erintallan di ban jak negara — berasal
AT n n t ° • m i ir n e Sara bangsa P erantjis, ja n g bernam a

i7 5 s ) d »ia -
ncran m , - . dJaran M ontesquieu terkenal de-
nama t r T ” SeParation des Pouvoirs” atau leb ih p o p u le r m en djadi
nama trias p d m c a ” 42. T etapi sebelum M o n t e s q u i e u m em -

sia” , Bab I p a r^ T ” ' ” ^>enSawtar hukum adm inistrasi negara In d on c-


a.I. P rof. Mr P .J. ’ (? lengenal susitu penilaian untuk djnm an sekarang,
van de verscliiM^nJ«» U " 18e beschouw ingen over de verliouding
1952. overlieidsinachten” , pidato inaugurasi Rotterdam

sendiri tetani .**U *'dak berasal dari M ontesquieu


D r J .j! v ô n s ï l ? * - ,dari * ™ ™ « » u e I K an t (lihatlah P ro f.
(V .U .B .), J,a]_ o'în'i Jrr ’ ’ Ote denkers over staat en rech t” , 1948
K r a n e n b ur e T .e,i lang «trias politica” ini lihatlah a.I. P ro f.
inoap” ’ 1951, hal ¿U” de yergelijkende staatsrechtsweten.
1926, hal. 364-390- t , v M a c l v e r „T h e M odern State” ,
u Î ’ ha1, 152-158 f ° n h ° v e n .»Staatsrecht O verzee” ,
sebelumnja, dalam O n !. , g van m acht en bct regeeren overzee” ) ,
dis. Leiden 1898, hal 9Q i l " i" houd va« b et internationale reclit” ,
84 d it ‘’ r M a h a d i „S u m b er-su m ber hu-
Oleh van V olfl u
maupun teori M o n t e « n ? ■* ° ^*tegaskan bahwa teori Locke
negara m odern (lihatlah J: ’ C “ o l' dak daPat dipraktekkan di suatu
V a n . j ° 1 l e n l i o v e n i J“ |.a .-StaatSrechl Overzee” , hal. 1 1 0 -1 1 7 ).
»s windvoering” (pem erintah«« pada suatu pem bagian
dalam arti kata luas) dalam em pat
)6
buat teoriuja, seorang ahli filsafat negara bangsa Inggris jang ber­
warna J o h n L o c k e (th. 1932 - th. 1704) telah m em bentangkan
peladjaran sematjam ini 4 3 . Daïam lJukunja Twq Treaüses o f(n )
C ivil Government” (th. 1690), Locke m engemukakan s e b a g i
dasar tatanegara suatu pemisahan kekuasaan (m achtenscheiding)
ja n g terdiri atas : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan ke­
kuasaan fédératif ( L o c k e m enjebut kekuasaan itu „federative
p ow er o f the commonwealth” ). Dalam adjaran L o c k e , maka
funksi m engadili m endjadi sebagian dari lapangan pekerdjaan k e­
kuasaan eksekutif.
A d jaran Locke m endjadi ilham (inspirasi) bagi M on­
tesquieu, jang pernah mengundjungi Negeri Inggris. M o n ­
t e s q u i e u membuat suatu pemisahan kekuasaan pula, tetapi jan^
sedikit berlainan tjoraknja dari pada tjorak pemisahan kekuasaan
ja n g dibuat L o c k e . Dikatakan M o n t e s q u i e u, bahwa k e­
kuasaan negara harus terbagi dalam tiga kekuasaan lain : kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan judikatif. Jang mem-

bagian : bestuur (pemerintahan dalain arti kata sempit) , kepolisian,


ju d ika tif dan legislatif (legislatif sebagai kekuasaan jang paling sedi­
k it penting .') Jang m endjadi tugas kekuasaan eksekutif serta k e­
kuasaan kepolisian ialah segala sesuatu jn » s tidak telah ditugaskan
k e p a d a kekuasaan legislanf atau kekuasaan judikatif, jakni segala
sesuatu ja n g tidak merupakan membuat peraturan (regel-geven ).
H a s i l kekuasaan legislatif ialah peraturan um um (algem ene regel)
sedangkan hasil kekuasaan judikatif ialah „peraturan” untuk hal
konkrit (regel voor liet concrete geval) ( pasal 1917 K.U.H P e r d a t,?
Lapangan pekerdjaan kekuasaan kepolisian ialah m em p^tahankan
hukum setjara preventif (prevent,eve rechtshandhaving). Funks " k .
polisian ialah memaksa penduduk daerah taat pada neratur™ ?
Mengadakan pendjagaan (preven tif) supaja tatatert£ “ osfaT tetan
t e r p e l i h a r a . Pembagian funksi menurut va„ V o 11 e n U P
* ; dianut oleh van Apeldoorn (hal. 253-254'» h ° ve n
tenlángnn dan P ~ f - K r AJK. D . n - . r ‘Z\
¡Vederlands bestuursrecht 1953, hal. 7-8 — D o n n e r m enolak
’ trias política” sebagai suatu dasar sistimatik menganalisa pem erin
’tah an ), dan dibela oldh mur,d v a n \ o 11 e n h o v e n, jaitu D r j.R .
c r e l l i n g a ( Grondtrekken van het Nederlands administratiefrecht”
Ï9 5 1 h-1. 7 -1 4) . L e m a i r e (hal. 1 01 .10 3 ) berpegangan pada
„e m b a g ia n „bew .n d voen n g dalam lima bag,an : législatif, bestuur,
'judikatif, kepolisian dan ,bestuurssorg . Suatu pembagian dalam lim a
funksi diadakan djuga oleh W .F. W i l l o u g h b y („P rin cip les o f
P u b lic Administration’ , 1927) jang membagi „governm ent” dalam
„legislative” , „execu tive” , „ju d ic ia l” „administrative” dan „electoral” .
43 Jang sebcnarnja paling pertama membuat suatu pembagian funksi
sematjam •tadi ialah A r i s t o t e l e s , jang mengenal tiga matjam
funksi : deliberatif, eksekutif dan judikatif (dikutip dari buku Prof.
M r G.A. v a n Poelje „In leid in g tot het bestuursrecht” 1956*
hal. 4 n oot 1). ’ ’

97
punjai kekuasaan legislatif ialah dewan perw akilan rakjat, kekua­
saan eksekutif diserahkan kepada radja dan kekuasaan ju dik a tif
diberi kepada hakim. Masing-masing kekuasaan ini m einpunjai la­
pangan pekerdjaan sendiri. Masing-masing kekuasaan ini tidak boleh,
turut-serta dalam urusan hal-hal jang letaknja di suatu lapangan
lain.

Telah ternjata sekarang, bahwa teori M o n t e s q u i e u ini


tidak dapat didjalankan seluruhnja Í = dengan semua akibatnja)
di negara-negara m odern. Dua keberatan jang dapat dikem ukakan
terhadap teori M o n ¡ e s q u i e i H 4 ialah : «. pem isahan mutlak
antara tiga funksi itu m enim bulkan sualu tidak-adanja pengawasan
alas masing-masingnja, sehingga ada kem ungkinan bahwa badan-
badan negara jang diserahi funksi-funksi tersebul dapat bertindak
sewenang-wenang íbahaja ,,the encroaching nature o f pow er )■
b. Agar dapat m em peroleh suatu pem erintahan jan g berm anfaat
(efficient) maka sering perlu diadakan badan-badan negara jang
diserahi lebih dari pada satu funksi sadja. Keberatan-keberatan ini
m endjadi sebab maka teori M o n t e s q u i.e u tidak diterima
sepenuhnja di negara-negara piodern di E ropah Barat.
Rupanja di Amerileh 'Serikat teori M o n t e s q u i e « itu di­
praktekkan selurulinja -15. Presiden Amerilta Serikat sungguh-sung­
guh -tidak turut-serta dalam perundang-undangan. Jang m endjalan-
kau perundang-undangan ialah semata-mata Congress. T etapi P re­
siden Am erika Serikat m em punjai suatu hak veto m engenai m ela­
kukan tidaknja sualu keputusan Congress, dan sefjara ini dapatlah
Presiden m empengaruhi perundang-undangan. A hirn ja, djuga disitu
teori M o n t e s q u i e 11 dalam praktek telah m engalam i banjak
penjesuaian (dengan keadaan) karena harus mengatasi ban jak k e­
sukaran

Tanah Indonesia, jang pernah mengalami pengaruh fikirau-


fikiran tentang negara dan hukum jang dilahirkan di Eropah Barai,
memakai sebagian sistim tatanegaranja 47. p residen Indonesia lurut-

kami „Pengantar hukum administrasi negara In d o­


nesia , Bab I, par. 1.
46 R 1 a n e n b u r S „Vergelijkende staatsrechtswetenschap” , hal. 47.
erhubung dengan kesukaran ini di Am erika Serikat telah diper-
47 anSkan sistim „checks and balances” .
JJalam undang-undang dasar sementara taliun 1950 pengaruh tersebut
(pas 1 8*9) dengan diterimanja sistim pemerintahan perleinenter
Oleh Presiden S u k a r n o dalam upatjara m enerima hasil karja

98
tjam pur dalam lial legislatif (pasal-pasal 5 ajat 1 dan 20 ajat 1
U.U.D. 48). D isini kekuasaan legislatif diberi kepada P residen b er­
sama-sama dengan Dewan Perw akilan R akjat sedangkan P residen
m endjalankan djuga kekuasaan eksekutif 49.
U ndang-undang dalam arti kata m ateriil bertingkat-tingkat, ja-
itu m erupakan suatu hierarhi. H ierarlii itu, ja n g m engingatkan
kita pada ,.Stufenbau des Rechts” dari K e 1 s e n dan M e r k 1 50.
disinggung dalam dua surat Presiden kepada Ketua Dewan P erw a­
kilan R akjat tertanggal 20 Agustus 1959 N r 2 2 6 2 /H K /5 9 dan ter-
tanggal 22 Septem ber 1959 N r 2 7 7 /H K /5 9 . Surat-surat ini dibuat
sebelum dibentuknja M adjelis Permusjawaratan R akjat Sementara
(M .P .R .S .). M enurut pendapat kami, sesudah K etetapan M .P.R.S.
N r I dan Nr II, maka hierarhi itu adalah sebagai berikut :

'l. Undang-undang Dasar, ketetapan M .P.R.S. 51, penetapan P resi­


den jan g m engubah Undang-undang Dasar — pasal-pasal 2 ajat
1 dan 3 i U.U.D. — dan penetapan Presiden jang dibuat pada
waktu sebelum M.P.R.S. dibenluk — pasal-pasal 2 ajat 1 dan
IV Aturan Peralihan U.U.D.
2. penetapan Presiden jang dibuat berdasarkan pasal IV K ete­
tapan M .P.R.S. N r I.
3. undang-undang (dalam arti fo r m il), peraturan Pem erintah
pengganti undang-undang, peraturan Presiden untuk m elak­
sanakan penetapan Presiden.
4. peraturan Pem erintah dan peraturan Presiden berdasarkan pa­
sal 4 ajal 1 U.U.D.
5. peraturan m enteri.
6. peraturan daerah (swatantra dan sw apradja) („istim ew a )) 52. ° 3.

Dewan P eran ljang Nasional (D epern as) pada tanggal 13 Agustus 1960
dan dalam upatjara m elantik para A nggaula M .P .R S. pada tanggal
15 Septem ber 1960, „trias p olitica” itu dinjatakan telah usang dan
liarus ditinggalkan. Oleh M. Y a m i n („P em bah asan U ndang-undang
Dasar R ep u b lik Indonesia” , hal. 2 8 1 -2 8 2 ) diterangkan bahwa, balikan,
x U .U.D. 1945 ,,tidaklah m engenal adjaran-adjaran trias p olitica ” .
48 M enurut undang-undang dasar sementara tahun 1 9 5 0 : Pem erintah
(M enteri ja n g bertanggungdjaw ab) (pasal 8 9 ) .
49 Perhatikanlah pasal 103 undang-undang dasar sementara tahun 1950.
50 Lihatlah b uk u kam i „R in g k a san -ten tan g filsa fat h u ku m ” , B ab X I.
51 Pasal I K etetapan Nr I : ,,M em perkuat M anifesto P olitik R epu b lik
Indonesia serta perperintjiannja sebagai garis-garis besar daripada
haluan Negara” .

99

/
Oleh karena masih berlaku bagian besar peraturan-peraturan
organik pada undang-undang dasar sementara tahun 1950, dan dju-
ga masih banjak peraturan-peraturan Hindia-Belanda, maka baik
djuga diketahui hierarhi undang-undang dalam arti kata m ateriil
pada waktu sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 D ju li 1949 dan pada
waktu Hindia-Belanda dahulu. Hierarhi peraturan-peraturan pada
waktu Hindia-Belanda dahulu 54 :

1. undang-undang dasar K eradjaan Belanda


2. undang-undang Belanda (ditetapkan oleh pem erintah Beh
bersama-sama dengan dewan perwakilan rakjat disitu)
3. ordonansi (ditetapkan oleh Gubernur D jenderal bersai 1 ^
dengan „V olksraad” (dewan rakjat) pasal 82 „
Staatsregeling” (I.S.) 55 dan titah radja Belanda ^
Besluit” , disingkatkan : K .B .) jang m emuat suatu „ o
Maatregel van Bestuur” (A .M .v.B .)

52 Dalam hierarhi ini tidak dapat dim asukkan *~nggal 5 Djuli


tanggal 17 Agustus 1945 m aupun D ekrit Presi ; ketetapan
1959, karena kedua pernjataan ini bukan peraturan » an setjara
(besch ikk in g) dalam tingkatan tertinggi, se a£‘u P lialuan politik,
revolusioner suatu perubahan politik atau peru a ^ m endjadi
Kedua pernjataai\ ini bukan perbuatan hukum 1 0 4 5 __ tetapi
dasar lahirnja suatu peraturan hukum , jaitu U.U.U.
p e r b u a t a n politik. . Pedom an” ,
53 Lihatlah djuga K u su m ad, P u dj o sewo , o ,,r
hal. 2 5 ; buk u kam i „Pengantar hukum tatanegara In d ° n* ’ e m o
an III, Bab I ; Mr S o e d a r i s m a n Po er w ok H ukum
„D ek rit Presiden dan Ketetapan-ketetapan M .P.R.S. dalam 1 „
dan Masjarakat” , n om or K onggres, I, 1962, hal. 185-21 * neeara
p r a p t o S.h. „T in d jau a n tentang bentuk-bentuk pera u - » 1 , 1 1
sedjak Dekrit Presiden tanggal 5 D ju li 1959” dalam „
„„P a d ja d ja ra n ” ” , 1, 2, hal. 157-184. • N I . sedert
54 M r A. J a n s e n „P roblem en van algem eene wetgeving 'J u
1926” , disertasi Ballavia (D jakarta) 1931. Sedjarah : ‘ j , ■.
m a n n ,.O ver Indie’ s slaatsorde voor 1814” dalam e ®1
der K on . Aikad. v. "Wetensch.” , A fd . Letterkunde, deel 78, serie , n r .
55 „In d isch e Staatsregeling” (L.N .H .B. 1925 Nr 4 15 jo 5 7 7 ) m endjaai
, , undang-undang dasar” Hindia-Belanda. I.S. it u ditetapkan . _ ,e r f
sarkan pasal 63 ajat I undang-undang dasar K eradjaan Negeri B e an a
— oleh pemerintah Belanda bersama-sama dengan dewan perwa ^ an
rakjat disitu. I.S. adalah suatu undang-undang Belanda. Pcm batjaan
tentang hukum negara berdasarkan I.S. : a.l. I.A . N e e r 1>u r g 1
„D e Nieuwe Staatsinricliting van Nederlandsch-Indie (d o o rg e tro "en
h o o fd lijn e n )” , 1 9 2 7 ; B. M o r e s c o „T h e New C o n s t i t u t i o n o f
tlierlands Indies” dalam ,,Asiatic Review” , IV ( 1 9 2 7 ), 2 3, hal. 2 1 6 —
dan ringkasan dalam „Zeitschrift fü r ausländisches öffen tlich es R echt
und V ölkerrecht” , 1931, Band II, hal 4 8 4 -5 2 0 ; P rof. Mr Ph. K 1 e i n -
t j e s „Staafeinstellingen van Nederl. In die” , I, 1932, dan II, 1 9 3 3 ;
M r D r H . W e s t r a „D e Nederl. Ind. Staatsregeling” , 1 9 3 4 ; P ro f.

100
4. peraturan pemerintah („regeringsverordening” . Ditetapkan oleh
Gubernur Djenderal — pasal 81 I.S. — untuk menjelenggarakan
undang-undang Belanda, titah radja Belanda dan ordonansi).
5. peraturan daerah.

Berdasarkan hukum peralihan, maka undang-undang Belanda,


ordonansi dan titah radja Belanda („K .B .” ) jang masih berlaku
itu, kedudukannja dalam tatahukum sekarang disamakan dengan
kedudukan undang-undang.
Hierarhi peraturan-peraturan pada waktu masih berlakmjja un­
dang-undang dasar sementara tahun 1950 :
t
1. Undang-undang Dasar
2. undang-undang (dalam arti kata form il) dan undang-undang
darurat
3. peraturan Pemerintah
4. peraturan daerah.

Jang m endjadi dasar hierarhi tersebut ialah azas : peraturan


jang kedudukannja lebih rendah dari pada kedudukan auatu pera­
turan lain, tidak boleh bertentangan dengan peraturan lain itu.
Maka dari itu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang DasarT Bandingkanlah dengan „Stufenbau des
Rechts” dari M e r k 1 dan K e 1 s e n.
Tetapi bagaimanakah apabila ternjata undang-undang berten­
tangan dengan Undang-undang Dasar ? Dapatkah hakim atau ad­
ministrasi (tatausaha) negara m engudji (toetsen) undang-undang
itu pada tudjuan dan isi Undang-undang Dasar ? Apabila ternjata
bagi hakim atau bagi administrasi negara bahwa isi undang-undang
itu tidak sesuai dengan tudjuan dan isi Undang-undang Dasar, b o­
lehkah hakim atau administrasi negara tersebut mengesampingkan
undang-undang itu dengan begitu sadja !

Mr C. v a n V a l l e n h o v e n „Sts^tsrecht Overzee” , 1 9 3 4 ; Prof.


Mr J.J. S c h r i e k e ,,Inleiding in het staatsrecht van, Nederl. Indie” ,
1 94 0; P rof. D r J.H.A. L o g e m a n n ,,Staatsrecht van Nederl. Indie” ,
1947.
Pada jvaktu sesudah Perang Dunia II, oleh pemerintah Hindia-Belanda
dibuat suatu peraturan mengenai „Vervanging van de naarn „„N eder-
landsch Indie” ” d oor die van Indonesie” , L.N.H B. 1948, Nr 2 2 4 ,
pasal 1.

101
Pada waktu masih berlakunja undang-undang dasar sementara
tahun 1950, jang memberi djawabannja atas pertanjaan ini ia ah
pasal 95 ajat 2 : undang-undang itu tidak dapat diganggu g,u0at.
Ketentuan ini mengandung larangan bagi hakim maupun aa^i
administrasi negara. Sekalipun hakim atau administrasi negara j i
kin bahwa isi dan tudjuan sesuatu undang-undang bertentangan
ngan isi dan tudjuan Undang-undang Dasar, masih d ju 0a u e c
tidak berkuasa menjalakan tidak-berlakunja undanB unc ? . .
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa hakim maupun
trasi negara tidak boleh niengudji isi undang-undang itu pac
dang-undang Dasar.
Apabila hakim berpendapat bahwa isi sesuatu undan0
bertentangan dengan Undang-undang Dasar, maka ia nj e i ^ tau
pendapatnja dalam perlemen dengan perantaraan wa J ^
lebih lazim lagi ditulisnja sebuah karangan sehingga aki
lah Pemerintah sendiri atau beberapa anggauta D.P-R- me o
inisiatif akan menjesuaikan isi dan t u d ju a n u n d a n g unc °
bersangkutan d e n g a n azas-azas U n d a n g -u n d a n g Dasar.
Pasal ,95 ajat 2 jang disebut diatas tadi m em ual umlang
niengudji isi undang-undang (pada isi dan tu cju a “ d . . emoteril7
Dasar). Ketentuan ini m em uat suatu aranc an n o __
im aterieel toetsingsverbod). T etapi menurut pen cap +iara
ketentuan tersebut tidak memuat suatu larangan m engudj y
terdjadinja u n d a n g - u n d a n g . Dengan kata lain : pasal 95 aja
sebut tidak m em uat suatu larangan m engudji setjara jo im i
m eel toetsin gverb od).
W alaupun kepada hakim dan administrasi negara diberi suatu
larangan m engudji setjara materiil, masih djuga m ereka dap
n gu dji isi undang-undang pada kebenaran hal-hal konkrit jaiip ^
d ja d i alasan penibuatannja. Tetapi bilamana ternjata bahwa isi ^
tudjuan undang-undang jang bersangkutan tidak sesuai denBan
hal konkrit jang m endjadi sebab undang-undang itu dibuat, maki
hakim dan administrasi negara tidak berhak m em batalkannja. Me
reka hanja dapat menjatakan bahwa undang-undang itu tidak me
ngikat (niet-verbindend) perkara jang bersangkutan.
A h irn ja menurut undang-undang dasar sementara tahun 1950
dahulu, hakim dan administrasi negara berhak m en gu dji isi pera
turan Pem erintah dan isi peraturan daerah swatantra pada undang-
undang dan Undang-undang Dasar. Larangan m engudji setjara m a­

102
teriil jang tertjantum dalam pasal 95 ajat 2 tersebut tidak berlaku
terhadap peraturan-peraturan jang lebih rendah dari pada tindang-
undang.
„M aterieel toetsingsverbod” dalam pasal 95 ajat 2 dari undang-
undang dasar sementara tahun 1950 itu mungkin sekali diteruskan
sebagai hukum kebiasaan.
Undang-undang dan traktat adalah sumber hukum tertulis se­
dangkan kebiasaan, bagian terbesar adat, jurisprudensi dan doktrina
m endjadi sumber hukum jang tidak tertulis.

AA . Undang-undang d a s a r 56 dan peraturan


P e m e r i n t ah pengganti undang-undang.

56 Lihatlah beberapa tjatatan L o g e m a n n , Stellig staatsrecht” hal.


76 : v a n A p ' e l d o o r n , hal. 262 (ringkasan sangat singkat se­
tijarah pengertian „undang-undang dasar” )* Buku mengenai konstitusi
dan hukum konstitusi jang boleh dianggap „standaardwerk” : F. D a -
r e s t e „L es Constitution Modernes” , ,6 djilid, 1 92 8.1 9 34 ; R. P i n t o
,,Elements de Droit Constitutionnel” , 1952 ; G.C. H a i n e s „T h e
Revival o f Natural Law Concepts” , 1930 ; A.V. D i c e y „T h e Law
o f the Constitution” , 1939 (diterbitkan oleli E.C.S. W a d e ) ; C.F.
S t r o n g ,,M odern Political Constitutions” , 1 94 9; W .I. J e n n i n g s
„T h e Law and the Constitutions” , 194 9: C.H. M c l 1 w a i n „Constitu­
tionalism and the Changing W orld” , 1939, dan „Constitutionalism.
Ancient and Modern” , 1 9 4 0 ; K.C. W h e a r e „M odern Constitutions” ,
1951 ; C a r l Schmitt „Verfassungslehre” , 1928 (1 9 5 7 ) ; ka­
rangan jan g meletakkan dasar „Verfassungslehre” (ilm u konstitusi)
adalah karangan R. S m e n d ,,D ie politisclie Gewalt im Verfassungs-
staat und das Problem: der Staatsform” dalam „Festgabe fiilir Kalil” ,
1923, hal. 5 djb. ; suatu him punan konstitusi-konstitusi pada djaman
sesudah Perang Dunia II adalah buku Amos J. Peaslee
,,Constitutions o f Nations” , 3 djilid, 1956. Mengenai teks tiga undang-
undang dasar kita sedjak tahun 1945 lihatlah Mr A.K. P r i n g g o -
di gd o „ 3 Undang-undang Dasar” 1954. „Standaardwerk” jang
,,gedocum enteerd” tentang lahirnja U.U.D. sekarang dan sebuah
komentar U.U.D. sekarang : P rof. Mr H. 31 u h . Y a m i n „Naskah
persiapan Undang-undang Dasar 1945” , 3 djilid, 1959-61, dan ,,Pem­
bahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia” , 1960. Mengenai
undang-undang dasar sementara tahun 1950 dhhulu : Mr M. Y a m i n
,,Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia” , 1 95 2; P rof. Dr
R . S u p o ni o „Undang-undang Dasar Sementara R epublik Indone­
sia” , 1957 (sualu kom entar) ; sebuah ringkasan : Mr Mahadi „Sum ber-
sumber hukum ” , II, lia!. 74-81. Suatu naskah undang-undang dasar
baru pernah direntjanakan oleli P rof. Mr I w a K u s u m a S u m a n -
t r i „K earali perumusan konstitusi baru” , 1958 (dengan kata pengan­
tar Mr A c h m a d S u b a r d j o ) . Mengenai Konstituante R I. (th.
1956 - tli. 1 9 5 9 ) lihatlah Mr J.C.T. S i m o r a n g k i r dan Drs B.
Mang Reng S a y ,,Konstitusi dan Konstituante Indonesia” , I,
1958. Suatu studi perbandingan mengenai konstituante : P rof. Mr M.
Y a m i n ,,Konstituante Indonesia dalam gelanggang demokrasi” , 1956.

103
Suatu undang-undang dasar (atau konstitusi 57) pada hakekat-
nja suatu undang-undang, jaitu suatu undang-undang jang deradjat-
nja (dalam arti kata materiil) lebih tinggi dari pada deradjatnja
suatu undang-undang „biasa” ss. Perbedaan antara undang-undang
dasar dan undang-undang „biasa”, biasanja dapat dinjatakan se­
bagai berikut :

a. undang-undang dasar dibentuk menurut suatu tjara jang —


form il — ,,istimewa” . Tjara tersebut — form il — berlainan
dengan tjara pem bentukan undang-undang „biasa” . Misalnja,
pembentukan undang-undang dasar nasional tetap menurut
undang-undang dasar* sementara tahun 1950 dahulu, akan di­
lakukan oleh suatu badan kenegaraan jang „istim ew a” bersama-
sama dengan Pemerintah. Badan kenegaraan „istim ew a” itu,
jan g bersifat suatu dewan perwakilan rakjat „istim ew a” , diberi
nama sendiri, jaitu Konstituante. Konstituante jang disebut da­
lam undang-undang sementara tahun 1950 dipilih rakjat pada
tanggal 15 Desem ber 1955. Undang-undang dasar nasional jang
harus berlaku d i hari kemudian itu ditetapkan oleh K onsti­
tuante tersebut bersama-sama dengan Pem erintah (pasal 134).
Setelah -ditetapkan, maka hendaknja Pem erintah mengum um ­
kan undang-undang dasar jang baru itu dengan k e lu h u r a n (pa­
sal 137 ajat 3 ). Tetapi pada tanggal 2 D juni 1959 ternjata K onsti­
tuante tersebut gagal membuat undang-undang dasar jang di­
ingini itu, dan oleh sebab itu dirasa perlu m entjari suatu dja-
lan lain. Pada tanggal 5 D juli 1959 diumumkan D ekrit Presiden
jang m endjadikan berlaku kem bali U.U.D. tahun 1945 dan m em ­
bubarkan Konstituante tersebut. Tugas Konstituante dahulu
akan dilandjutkan oleh M adjelis Perniusjawaratan Rakjat

^ ^ ^° ° r n (hal. 2 6 6 ) mengadakan perbedaan antara


a d a la h "^ U™ dasar” dan „konstitusi” . „U n dan g-u n dan g dasar”
aturan tert 8 dapi konstitusi” . „K onstitusi” m em u ai baik per-
konaiihmi” 'j - mauP“ n Peraturan tidak tertulis. Lihat'Iah m engenai
hal 1 JUga K C W l « e * r e „M odern Constitutions” , 1951,
58
dahnluU<wlIi undang-undang dasar sementara tahun 1950
(Undanir nn«l UB anB'undang biasa jaitu suatu undang-undang R.I.S.
d iu ^ k a n " .3"^ ,ahun 1950 Nr 7, L.N.R.I.S. 1 95 0 Nr 5 6 ) ! Pernah
dan undi.men,Tn-u&aik.an perbedaan antara undang-undang dasar
C erl .L *.hatlah Praeadvies P ro f. K 1 e i n t j e s d i m uka
we, ’ __on en,'e,]eniSIn« tahun 1914 „B e h o o rt een verschil tusschen
wet en grondwet m stand te worden gehouden ? ”

104
(M .P.R .) (pasal-pasal 2, 3 dan 37 U .U.D.). Pada tanggal 15 Sep­
tem ber I960 telah dilantik suatu M adjelis Permusjawaratan
Rakjat Sementara (M .P.R.S.). Tetapi menurut beberapa pen­
dapat, M.P.R.S. ini tidak berwenang mengubah U.U.D. sekarang
atau membuat suatu undang-undang dasar baru, karena sifat
„seinentara” nja.

b. karena, antara lain, dibuat setjara „istimewa” itu, maka undang-


undang dasar dapat dianggap sebagai sesuatu jang „luhur” . Di-
tindjau dari sudut politis, dapat dikatakan bahwa undang-un­
dang dasar adalah suatu undang-undang jang| sifatnja „leb ih
sempurna dan lebih tinggi” . Undang-undang dasar adalah suatu
„piagam jang menjatakan tjita-tjita bangsa” . Undang-undang
dasar adalah dasar (tertinggi) organisasi kenegaraan suatu
bangsa („id e e ” ini berasal dari konsepsi „perdjandjian nega­
ra” 59 ). Dengan demikian undang-undang dasar m endjadi suatu
„fram e w ork o f the nation” 60.

c. undang-undang dasar memuat dalam garis besar dasar dan tu-


djuan negera, memuat kaidah-kaidah dasar (p o k o k ). Apa jang
ditetapkan dalam undang undang dasar untuk selandjutnja akan
diselenggarakan dengan undang-undang (nederuitgewerkt bij
w et). Undang-undang jang menjelenggarakan tugas konstitu-
sionil diberi nama undang-undang organik. Suatu peraturan
organik adalah suatu peraturan jang untuk selandjutnja m enje­
lenggarakan dasar-dasar jang tertjantum dalam dan jang men­
djadi tudjuan suatu peraturan jang deradjatnja lebih tinggi.
Lembaga undang-undang organik (instituut van de organieke
wet) mengingatkan kita pada „Stufenbau des Rechts” dari
K e 1 s e n dan M e r k 1.

Undang-undang dasar itu tidak dapat dianggap sebagai suatu


kodifikasi hukum negara. Hanja sebagian dari hukum tatanegara di­
tetapkan dalam undang-undang dasar. Suatu sumber jang sangat

o9 M engenai perkem bangan dari perdjandjian negara ke sualu undang-


undang dasar batjalah v o n S c h m i d „H et denken over staat en
recht in de negentiende eeuw” , hal. 40.
60 E.S. C o r w i n „T h e Constitution and What It Means Today” , 1948.
Undang-undang dasar bersifat sesuatu jang hidup (seperti jang dika­
takan P rof. H o w a r d L e e M e B a i n : „ a living constitution”
(,,T lie Living Constitution” , 1 9 2 7 ).

105
penting bagi hukum tatanegara adalah djuga kebiasaan. Untuk
tjontoh lihatlah Bab VII, par. 4 (azas atau sistiin parlem enter).
Di samping undang-undang „biasa” ada djuga peraturan Pem e­
rintah pengganti undang-undang (p.P.p.u.u.) 61. Suatu p.P.p.u.u. di­
buat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, P em erintah). Pasal
22 ajat 1 U.U.D. mengatakan bahwa „D alam hal ihwal kegentingan
jang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan Pemerintah
sebagai pengganti Undang-undang” (,,pem erintah” seharusnja „ I e-
merintah” , dengan huruf besar P ).
Oleh karena perdebatan dalam D.P.R. dapat memakai ^aktu
banjak — dan dengan demikian tidak dapat didjalankan suatu pe­
merintahan jang efisien (efficient) — , maka untuk mengatur &e!e
kas-lekasnja suatu keadaan jang genting, Presiden diberi kekuasaan
membuat sendiri — jaitu dengan tiada kerdja-sama (b a lja : penga
wasan preven tif dari fihak D .P.R .) — suatu peraturan jang berting-
katan undang-undang.
Sebetulnja lem baga hukum p.P.p.u.u. (rechtsinstituut van, de
noodw et) ini tidak sesuai dengan „trias politica” M o n t e 8 q u i e u.
Tetapi dalam suatu negara m odern - supaja ada pelaksanaan pem e­
rintahan jang efek tif — lem baga hukum p.P.p.u.u. itu perlu ada, dan
terutama di Indonesia pada djam an sekarang sangat perlu itu ka­
rena ada suatu masjarakat dalam proses pergolakan jang tjepat. Di-
atas pem buatan p.P.p.u.u., oleh D.P.R. dilakukan suatu p en g a w a sa n
' represif (respressief toezich t). Lihatlah pasal 22 ajat 2 dan ajat 3
U.U.D.

B. Kebiasaan dan adat.

Kebiasaan dan adat merupakan sumber kaidah. Bagi kita orang


Indonesia, kebiasaan („gew oonte” ) dan adat tidak sama 62. Maka

61 Ketika masih berlaku undang-undang dasar sementara tahun 19o0,


maka ada „undang-undang darurat” — pasal-pasal 96 dan 97, Lahat­
lah Mr E r m a n M u r i a n t o r o ,,Sekitar undang-undang darurat
dalam „ , H ukum ” , 1959, 3 /4 , hal. 16-42, 5 / 6 ; hal. 1-25.
62 B uku.buku dalam bahasa Belanda m engenai hukum dl Indonesia
biasanja mengatakan bahwa orang Indonesia asli tunduk pada suatu
hukum jan g bersumberkan adat istiadatnja. Orang Indonesia asli tun­
duk pada „adatrecht” , dalam bahasa Indonesia ' JiiifsiiTrt adat* Mi-
salnja, Mr J.H. Carpentier Alting ,,G rondslagen der
R echtsbedeeling in Nederlandsch Indie” , 1926, hal. 1 4 ; M r K l e i n -
t j e s „Staatsinstellingen van Nederlandsch In die” , II, 1933, hal. 235.

106
flari itu ada djuga perbedaan antara hukum kebiasaan dan
hukum a d a t . Jang akan kami bitjarakan terlebih dahulu ialah
adat dan hukum adat.

a. Hukum adat.

Hukum adat ialah bagian dari tatahukum Indonesia jang ber­


asal dari adat istiadat. Adat istiadat ialah himpunan kaidah-kaidah
sosial jang sedjak lama ada, merupakan tradisi, dalam masjarakat
bum iputera 63 dan jang bermaksud mengatur tatatertib masjarakat

Dalam buku.buku tersebut pada umumnja dimaksud dengan „hukum


adat” itu semua hukum asli. P rof. Mr C. v a n V o l l e n h o v e n „H et
Adatreclit van Nederlandscli Indie” , 1906-1918, I, hal. 8 : „Is er mis-
schien een ander inlandscli woord ( — 'hukum adat) om het recht (in
objectieve zin ) m ee aan te duiden ? Het scliijnt van n een” (Adakah
barangkali suatu istilah asli (Indonesia) lain untuk menjatakan liu-
kum (dalam arti kata ob jectif) ? Rupanja tidak ada). Hukum adat
itu tradisi.
Tetapi di samping hukum adat ada djuga hukum kebiasaan jang ditaati
oleh orang Indonesia asli. Hukum adat dan hukum kebiasaan itu
tidak sama. Hal ini belum dikeinukakan v a n V o 11 e n h o v e n,
karena pada waklu beliau mengarang bukunja maka kontak antara
dunia „T im u r” dan dunia „Barat” belum luas seperti sekarang. Banjak
jang sekarang merupakan ,,kebiasaan” diresepsi dari dunia „Barat”
sebagai hasil akullerasi „T im u r” dan „Barat” . Hukum kebiasaan bukan
tradisi.
K u s u m a d i P u d j o s e w o j o dalam „P edom an” , hal. 66-67, m e­
ngadakan perbedaan antara „h u k um adat” dan „adatrecht” : „H ukum
adat ialah hukum jang tak tertulis. Adatrecht djuga (p o k o k n ja ) hukum
jan g tak tertulis Tetapi jan g saja sebut hukum, adat ialah segala hu­
kum jan g tak tertulis. Sedangkan adatrecht untuk sebagian meliputi'
djuga hukum jang tertulis. Apakah bagian ini sekarang tidak boleh
dimasukkan dalam pengertian hukum adat ? Terhadap itu tiada ke-
beratannja. Dem i penghormatan terhadap naluri. Tetapi, asal itu sung­
guh-sungguh masih merupakan hukum jan g hidup” . Pada hal. 59 :
„„a da trech t” ” ialah keseluruli aturan tingkah laku bagi *,>,bum i-
putera” ” dan „ora n g timur asing” ” . Pada hal. 67 : „Didalam tata
hukum Indonesia adanja hanja : hukum perundang-undangan dan
hukum adat sebagai synonim daripada hukum jan g tak tertulis” . Ber­
lainan pendapat S u d i m a n K a r t o h a d i p r o d j o dalam bu ­
kunja „Pengantar tata hukum Indonesia” , I, 1957, hal. 110 : „Isti­
lah „„h u k u m adat” ” adalah terdjemahan dari perkataan Belanda
„„a d a trech t” ” . Kam i tidak dapat menjetudjui pendapat K u s u m a d i
P udjosew ojo sebab sangat sukarlah menjebut „gebruikelijke”
atau „bestendige bedingen” , jang diakui oleh K.U.H. Perdata, dan jang,
misalnja, karena pasal 29 L.N.H.B. 1917 Nr 12 jo Nr 528 djuga ber­
laku^ bagi orang Indonesia asli, hukum adat !
63 Jang kam i bitjarakan disini hanjalali hukum adat orang Indonesia
asli, jaitu hukum adat orang bumiputera. Mengenai hukum adat orang
Tim ur asing (B a b III, par. I ) lihatlah v a n V o l l e n h o v e n
„A datrecht” , II, hal. 3 djb.

107
bum iputera itu. Kaidah-kaidah tersebut ditaati oleh anggauta ber­
bagai-bagai persekutuan hukum (reclitsgem eenschappen) (}4 jang
ada di wilajah Indonesia. M isalnja, persekutuan-persekutuan hukum
orang Batak Karo, orang M andailing, orang D jaw a Tengah, <111-

64 Uraian singkat tentang „rechtsgem eenschap” dapat dibatja pada t e r


H a a r B z n „B eginselen en stelsel van het adatreclit” , 1950, B ab I :
V olksordening; D r S o e k a n t o ,,M enindjau hukum adat Indonesia” ,
1954, hal. 6 0 -8 0 ; P rof. D r R . v a n D i j k (diterdjcn iah kan oleh
Mr A. S o e h a r d i) „P engan tar hukum adat Indonesia” , 1954, hal.
1 5 .2 8 ; B u s h a r M u h a m m a d , S.li., ,,Pengantar hukum adat” ,
I, 1961, hal. 2 0 6 -2 1 7 ; P ro f. S u d i m a n K artohadiprodjo
,,Pengantar lata hukum Indonesia” , I, 1957, hal. 114-116 („T ia p -tia p
kesatuan oran g-oran g berarti organisasi dari orang-orang ja n g bersang­
kutan, bagaim ana masih sangat sederliananja organisasi tadi : pim-
pinannja sendiri ja n g m endjaga dan mem elihara tata tertib didalamnja
serta m engurus keselamatan kesatuan keseluruliannja. Dan kesatuan
bagaim anapun k etjiln ja , m em punjai kekajaan ja n g m ungkin berupa
benda ja n g berbentuk, atau tidak berbcn tu k; suatu kekajaan jang
m ungkin hanja m erupakan pusaka sadja. Kesatuan sematjam ini me- _
rupakan persekutuan hukum (rechtsgeniecnschap” ) P rof. S u p o m o
„B a b -b a b tentang hukum adat” , 1962, hal. 4 1.53 (den ga n mengikuti
P ro f, t e r H a a r, maka S u p o m o menulis „bahw a diseluruh ke-
pulauan Indonesia pada tingkatan rakjat djelata, terdapat pergaulan
h idup didalam golon gan-golon gan jang bertingkah laku sebagai k e ­
satuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. G olongan-golongan itu
m em pun jai tatasusunan jang tetap dan kekal, dan orang-orang se­
g olon ga n itu m asing-m asing mengalami kehidupannja dalam golongan
sebagai hal ja n g sewadjarnja, hal menurut kodrat alam. Tidak ada
seorangpun dari m ereka jan g m em punjai fikiran akan kem ungkinan
pem bubaran golon gan itu. Golongan manusia tersebut m em punjai
pula pengurus sendiri dan m em punjai liarta-benda, m ilik keduniaan
d air m ilik gaib. Golongan-golongan demikianlah ja n g bersifat perse­
kutuan huku m ” ) . Oleh' v a n V o l l e n h o v c n sangat ditegaskan
pentingnja struktur persekutuan hukum , jang m endjadi dasar per­
kem bangan hukum adat. Ikatan hukum adat pada struktur perseku­
tuan hukum , tempat berlakunja hukum adat itu, m enentukan sifat
dan tjorak hukum adat ( „ d e rechtgem eenschappen voorop , het geza-
m enlijk rechtspoduct daarachter). Pembahasan luas dan m endalam :
L. A d a m „D e autonom ie van het Indonesisclie d orp ” , disertasi
Leiden 1 9 2 4 ; B. J. H a g a ,,Indonesische en Indisch e dem ocratie ,
disertasi Leiden 1924, dan „N ota om trcnt de inlandsclie rechtsgem een-
sehappen in het gewest Tapanoeli” , 1 9 3 0 ; J.W . v a n R o y e n ,,De
palembangsehe marga en haar grond. en waterrechten” , disertasi
Leiden 1927, dan „N ota over de lam poengsche m erga’ s” , 1 9 3 0 ; F.A.E.
L a c e u 1 lc „Eindverslag over het desa-au!anom ie-onderzoek o p Java
en Madoera” , 1 9 2 9 ; P. W i n k „E rk en n in g en vorm ing van rechts-
gemeensehappen in het gewest Riouw en on derhorigheden” , 1 93 0;
P rof. D r J.H. B o e k e „D orp en desa” , 1 9 3 4 ; P rof. M r F.D . H o l -
1 e m a n ,,De com m une trek in het Indonesische rechtsleven” , pidato
inaugurasi Leiden 1 9 3 5 ; H a z a i r i n „D e R edjan g” disertasi Ba­
tavia 1936 (ada tindjauan buku dari Mr C. T j. B e r 1 1 i n g dalam
T . 145, hal. 2 6 8 -2 73 ) ; W .P. v a ,n D a m „In lan d sch e gem eente en
Indonesisch dorp” , disertasi Leiden 1 9 3 7 ; R. v a n D i j k „S am cn -
leving en adatrechtsvorming” , disertasi Leiden 1 9 4 8 ; lihatlah djuga
noot 76 s /d noot 79.

108
Setengah orang itu menganggap kaidah-kaidah tersebut kehendak
nenek-m ojangnja. Setengah orang lagi menganggap kaidah-kaidah
tersebut kehendak suatu Mahluk jang mengatur kedjadian-kedjadian
alam jang bersifat gaib dan tidak dapat orang biasa mengertinja
_ (het kosm ische gebeuren) <55. Ada djuga jang menganggapnja pera­
turan sopan-santun jang telah turun-temurun. Adat istiadat itu ka­
dang-kadang anggapan-anggapan keagamaan, biasanja sumber kai­
dah jang bersifat agak sakral ( = sesuatu jang sutji), umumnja m e­
rupakan tradisi.
i- Tetapi tidak semua kaidah adat istiadat merupakan hukum,
jaitu hukum positif. Adalah perbedaan antara hukum adat dan
adat. V a n V o 11 e n h o v e n mengatakan 66 : di samping adat
jang bersanksi ada djuga adat jang tidak bersanksi. Diatas telah
kami katakan : sanksi adalah reaksi masjarakat terhadap perbuatan
salah satu anggautanja. Adat jang m empunjai reaksi, jaitu adat jang
bersanksi, ialah hukum adat.
Supaja mengetahui apa sesuatu itu adat atau hukum adat —
jakni adat jang tidak bersanksi atau adat jang bersanksi — kita
m elihat keputusan-keputusan dari jang berkuasa (para penguasa,
gezagsdragers) dalam persekutuan hukum adat, jaitu keputusan pe­
nguasa adat mengenai soal-soal sosial jang terdjadi dalam perseku­
tuan hukum adat, jang diselesaikan oleh para penguasa adat itu 67.
H ukum adat ialah sekalian jang tertjantum dalam keputusan pe­
nguasa adat didalam berbagai-bagai persekutuan hukum adat, jaitu
keputusan-keputusan jang diadakan oleh rapat desa, kepala desa,
lurah, dll. Keputusan-keputusan itu dipertahankan oleh para pengua­
sa adat, karena mengandung anasir-anasir tata-tertib masjarakat adat.
Oleh karena keputusan penguasa adat, maka adat itu mendjadi hu­
kum adat. Maka dari itu tidak salah apabila kami katakan : di-
antara peraturan-peraturan hukum adat ada jang merupakan ke­
hendak penguasa adat, jaitu kehendak „ruling class” dalam perse­
kutuan hukum jang bersangkutan ! v.

65 S u p o m o „B ab-bab tentang hukum adat” , hal. 59 : „M enurut ke-


pertjajaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masjarakat diliputi oleh ke­
kuatan gaib, jang harus dipelihara agar supaja masjarakat itu tetap
berbahagia” . Lihatlah djuga B u s h a r M u h a m m a d „Pengantar
hukum adat” , I, hal. 43-45.
66 Adatrecht” , I, hal. 10 : adats met rechtsgevolgen en adats zonder
rechtsgevolgen.
67 Suatu uraian jan g .singkat tentang „sifa t pim pinan kepala-kepala rak-
jat” dapat dibatja dalam buku S u p o m o ,,Bab-bab tentang hukum
adat” , hal. 53-59.

109
r

Jang mula-mula mengemukakan dengan tegas anggapan, bahwa


hukum adat itu hukum jang bersumberkan keputusan penguasa
adat, ialah Prof, ter H a a r 68. Anggapan ter Haar ini
terkenal dengan nama teori keputusan (beslissingenleer). T eori ter­
sebut tidak diterima umum. Beberapa ahli hukum adat menentang-
nja. Polem ik tentang teori keputusan ini akan kami bitjarakan
nanti dalam Bab IV, par. 5. K am i dapat m enjetudjui anggapan
ter Haar itu sepenuh-penuhnja. Bagian terbesar dari hukum
adat adalah hukum jang tidak tertulis. Oleh sebab itu, jang hendak
mengetahui hukum adat haruslah m enggalikannja dalam ..sociale
werkelijkheid” , jang hanja dapat dirasa orang jang hidup di tengah
dan jang mem im pin pergaulan adat sehari-hari. Inilah al. m endjadi
djuga sebabnja maka kam i m enjetudjui anggapan : hukum adat
hanja dapat diketahui dari dan dipertahankan dalam keputusan-
keputusan para penguasa adat.
Banjak keputusan-keputusan itu oleh ilm u hukum adat dikum ­
pulkan' dalam him punan-him punan jurisprudensi adat (adat-juris-
pruderitie) 69 atau dibitjarakan dalam buku-buku dan karangan-ka-

68 „B eginselen en stelsel” , lial. 16, dan hal. 235 djb. Sebagai salah se­
orang pengikat t e r H a a r , malahan, menghaluskan teori te r
H a a r, dapat disebut P ro f. K u s u m a d i P u d j o s e w o j o „P e ­
dom an” , hal. 43-45 .
69 Jurisprudensi adat :
,,Adatrechtbundels” , 4 4 d jilid (th. 1911-th, 1 9 5 2 ).
„In d isch W eekblad van het R echt’ (th. 1864 . th. 1 9 1 4 ).
„In disch Tijdschrift van liet Recht” (th. 1849 - th. 1949, sebetulnja
setelah Peperangan Dunia II nama „In disch Tijdschrift van liet Recht”
diubah dan m endjadi ,,Tijdsthrift van liet R echt” ) .
„W e t en Adat” (th. 1896 - th. 1 9 8 8 ).
.,H ukum ” (th. 1947, th. 1 9 5 0 . th. 1 9 5 9 ).
,,H ukum dan Masjarakat” (th. 1960- ).
M r K.L.J. E n t h o v e n „H et adatrecht der inlanders in de juris-
prudentie” , disertasi Leiden 1912. H im punan M r Enthoven
diteruskan oleh Mr J.C. van d er Meulen (th . 1912 - th.
1 9 2 3 ), selandjutnja oleh D r E.A. B o e r e n b e k e r (th . 1923 - th.
1 9 3 3 ). Penting djuga untuk ilmu hukum adat jan g h idup ialah
„Pandecten van het Adatrecht” jang dilerbitkan oleh ,,K oIoniaal Insti-
tuut (sekarang „Instituut voor de T ropen ” ) di Amsterdam dibawah
P,FOf- v a ?* V ° I I e n h o v e n , 10 djilid, th. 1914 - th.
iy 3 6 (d jilid ke-10 diterbitkan setelah m eninggalnja v a n V o l l e n -
Penerbitannja diadakan dibawah pim pinan P rof. I d e m a.
JJjilid k e-10 uni memuat hukum pidana adat) d a n M r R. T i r t a w i -
n a a ^ an r W .A. M u 1I e r ,,Indonesische dorpsacten” , 1933.
e agai „herm euw de belangstelling” terhadap hukum adat pada ta.
min-tahun jang terachir dni !, lelah diterbitkanlah : „M adjalah Hu-
onlTn nliti R ' S u b e k t i dan J. T a m a r a „K u m -
P san Mahkamah Agung m engenai hukum adat” . Keduanja

110

I
rangan tentang adat (adat-literatuur) 70. Seperti buku-buku „stan-
daard” (buku-buku baku) jang terkenal, jang ditulis oleli v an
V o 1 1 e n h o v e n 71, ter H a a r 72, S o e p o m o 73, Dj oj o-
digoeno dan T i r t a w i n a t a 74, K o r n 7-5, Mallinck­
r o d t 76, V e r g o u w e n 1’ , K e u n i n g 78, dll. Pada tahun
1961 oleh B u s li a r M u h a m m a d telah diterbitkan sebuah
„Pengantar hukum adat” (djilid I ). Di samping tulisan-tulisan ahli-
ahli hukum adat itu djuga pentinglah tulisan-tulisan para sardjana

diterbitkan pada tahun 1961. Lihatlah Kata Pengantar kami dalam


buku B u s h a r M u h a m m a d „Pengantar hukum adat” , I,
' hal. 5.10.
70 Dalam buku t e r H a a r „Beginselen cn stelsel van het adatrecht”
dimuat suatu daftar pcinbatjaan hukum adat jang .bijgeliouden” sam­
pai tabun 1950 (hal. 241 -2 52 ).
71 Mr C. v a n Vollenhoven „H et Adatrecht van Nederlandsch
Indie” , 3 djilid, 1906-1933.
72 Mr B. t e r H a a r B z n „Beginselen en stelsel van het adatrecht” ,
1950 (1 9 3 9 ). Pada permulaan tahun 1962 diterbitkan tjetakan ke­
dua edisi dalam bahasa Inggris buku t e r H a a r ini : A. A r t h u r
S c h i l l e r dan E. A d a m s o n H o e b e l ,,Adat Law in Indone-
sia” oleh B. t e r H a a r . Masih tetap penting disertasi pengarang
ini : „H et adatproces der Inlanders” , Leiden 1915.
73 Mr R. S o e p o m o „Het Adatprivaatreclit van West-Jaya” , 1933.
Sebagai tambahan literatuur tentang Djawa Barat dapat disebuf :
A. K n o t t e n b e l t ,,Verpanding en zekerheidstelling in den Oost-
Preanger” , disertasi Batavia 1934. Sebagai karja jang terahir : „B ab-
bab tentang hukum adat” , 1962 (tjetakan pertama : 1958).
74 Mr M.M. D j o j o d i g o c n o dan Mr R. T i r t a w i n a t a „H et
Adatprivaatreclit van Middel-Java” , 1940. Buah tangan D j o j o d i -
g o e n o sendirian adalah „Asas-asas hukum adat” , 1958. D j o j o .
digo e n o adalah prom otor ,,Madjalali Hukum Adat” jang telah
kami sebut dalam noot 69.
75 Dr V.E. K o r n „H et Adatrecht van Bali” , 1932. Mengenai Bali lihat­
lah djuga „D e dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan” , 1933. Dalam
bahasa Inggris : M. C o v a r r u b i a s ,,Island o f Bali” , 1937 (1 9 5 6 ),
jan g djugn memuat keterangan-keterangan tentang hukum adat.
76 D r J. Mallinckrodt „H et Adatrecht van B om eo” , disertasi
Leiden 1928 2 djilid. '
77 J.C. V e r g o u w e n „H et reclitsleven der Toba-Bataks” , 1933. Pen­
ting djuga bagi daerah* Batak di sekitar danau Toba : W .K.H. Y p e s
,,Bijdrage tot de kennis van de stamverwantschap, de inlieemsche
rechtsgemcenschappen en het grondenrecht der Toba- en Dairi-bataks” ,
1932. Masih penting djuga M. J o u s t r a „Batakspiegel” , 1926.
78 D r J. K e u n i n g „Verwantscliapsrecht en volksordening; huwelijks-
recht en erfrecht in het koeriagebied van Tapanoeli” , disertasi Leiden
1948. Penting djuga T. D a u l a y „H et huwelijk bij de Bataks in
Zuid-A ngkola” dalam „Tijdschrift Bat. Genootschap” , djilid 81
(T .B .G ., 8 1 ) (1 9 4 1 ), hal. 553-593. Masih tetap penting J.B . N e u «
m a n n „H et Pane. en Bilastroomgebied op het eiland Sumatra; S tu ­
dien over Batahs en Batahse landen” dalam „T ijds. Kon. Ned. Aardr.
Genootschap” , 1885-1887, serie 2, djilid 2-4.

111
etnologi dan etnografi Indonesia 79, misalnja, tulisan-tulisan D u y -
v e n d a k 80, F i s c h e r 81, van W o u d e n 82, H e 1 d S3,
C h a b o t 84, J.P.B. de Josselin de J o n g 85, P.E. de
Josselin de J o n g 86. Suatu ichtisar metode-metode antro­
pologi budaja disusun oleh K o e n t j a r a n i n g r a t 87. Menge­
nai peranan jang dapat dilakukan oleh antropologi budaja sebagai

79 Dua pengantar etnologi Indonesia : P rof. Dr J. Ph. D u y v e n d a k


„Inleiding tol de ethnologie van de Indonesische A rchipel” (disadur
oleh Mr C. T j. Berlling), 1 95 5; P rof. D r H. Th. F i s c li e r
„In leidin g tol de culturele anthropologie van Indonésie” , 1 95 2; dalam
bahasa Indonesia : D r K o e n t j a r a n i n g r a t „Pengantar Anthro-
p ologi” , I, 1 95 9; mengenai pentingnja etnologi bagi peladjaran hu­
kum adai : t e r H a a r „H et adatrecht en de volkenkunde in wc-
tensehap, praktijk en onderwijs” , pidato diès Batavia 1937.
80 J. Ph. D u y v e n d a k „H et kakean genoolsehap van Seran” , diser­
tasi Leiden 1 9 2 6 ; lihatlah noot 79.
81 Lihatlah n oot 79.
82 F.A.E. v a n W o u d e n „Sociale structuur typen in de Groote Oost” ,
disertasi Leiden 1935, dua karangan „M ythen en maatschapij in
B oeol” dalam T.B .C ., 81 (1 9 4 1 ), hal 333-410, dan „L ocale groepen
en dubbele afstam m ing in K odi, West Sumba” dalam B .K .I., 112
( 1 9 5 6 ), hal. 204-246.
83 G.J. H e 1 d ,,P apoea’ s van W aropen” , 1947, „A p plied anlhropology
in governm ent’ : the Netherlands” dalam „A n lh ropology To-day” (d i­
terbitkan dibawali pim pinan A.L. K r o e b e r ) , 1953, bal 866-879,
„P endjelasan tentang usul penjelidikan kebudajaan atas perintah Pre­
siden Universitas Indonesia” , 1954.
84 D r H. T h . C h a b o t „Verwantschap, stand en sexe in Zuid-Celebes” ,
disertasi Djakarta 1950. Mengenai Sulawesi Selatan penting djuga :
H.J. F r i e d e r i c y „D e standen bij de Boegineezen en Makassaren” ,
disertasi Leiden 1933, dan „P onré, bijdrage tôt de kennis van adat en
adatrecht van Zuid-Celebes” dalam B.K.I., 89 (1 9 3 2 ), hal. 1 -3 4;
M r C. T j. B e r t l i n g „H uwelijk en huwelijksrecht in Zuid Celebes”
dalam T. 147 (1 9 3 8 ), hal. 122.210.
85 J.P.B . de J o s s e l i n de J o n g ,,De Maleise A rchipel als eth-
n ologtsc studieveld” ,, pidato inaugurasi Leiden 1935, „Studies in In-
donesian Culture” , I : „G irala, a Tim orese seulem ent o n Kisar” dalant
„V erh . K on. Nederl. Akad. W etensch” , A fd . Letterkunde, Nieuwe
Reeks, X X X IX (1 9 3 7 ), dan „Studies in Indonesian Culture” i II :
„T h e com m unity o f Erai (W eta r)” dalam „V erh . K on . Nederl. Akad.
W etensch.” , Afd. Letterkunde, Nieuwe Reeks, I, 2 (1 9 4 7 ).
86 P.E. d e J o s s e l i n d e J o n g „M inangkabau and Negeri Sem­
bilan, socio-political structure in Indonesia” , disertasi Leiden 1951,
„D e visie der participanten op hun cultuur” dalam B .K .I., 112 (1 9 5 6 ),
hal. 149.169.
87 Dr K o e n t j a r a n i n g r a t „M etode-m etode antliropologi dalam
penjelidikan-penjelidikan masjarakat dan kebudajaan di Indonesia (se­
buah ich tisar)” , disertasi Djakarta 1958 (tjetakan kedua 1 9 5 9 ).
Penting sekali karja paling „recent” K o e n t j a r a n i n g r a t , jan g
ditulisnja bersama dengan H a r s j a W . B a c h t i a r dan beberapa
sardjana lain lagi, tentang „P enduduk Irian Barat” , 1963.

112
ilm u dalam pembangunan negara, lihatlah karangan J.B. A v e 8S.
Tulisan-tulisan para sardjana etnologi.dan etnografi Indonesia terse­
but memuat banjak-banjak bahan-bahan bagi ilmu hukum adat.
Pengarang jang pertama menulis tentang filsafat hukum adat
adalah P rof. M r M. N asr o en dalam bukunja „Dasar filsafah
hukum adat Minangkabau” , jang ditulisnja pada tahun 1957.
A pabila sesuatu peraturan hukum adat telah diubah dan belum
dapat dibatja dalam buku-buku tentang adat atau dalam himpunan-
him punan jurisprudensi adat itu, maka jang ingin mengetahuinja
harus bertanja kepada jang berkuasa sendiri atau membatja ke-
putusan-keputusan baru. Djuga hukum adat bersifat d i n a m i s 89
— seperti lialnja dengan hukum Eropah — dan tidak statis seperti
pernah dikatakan orang 90. Ada dua djenis pembentukan hukum
adat (adatreclitsvorm ing), jaitu pembentukan baru (nieuiv vorming)
dan perubahan dari jang lama frer-vorm ing van het oude). Belum
ada penjelidikan setjara ilm ijali (wetenschappelijk onderzoek) jang
berarti m engenai pembentukan hukum adat baru dan perubahan-
perubahan jang dialami oleh hukum adat jang lama, sedjak pen­
dudukan D je p a n g 91. Apakah hasil penjelidikan sebelum tahun
1942 sekarang masih berharga ?

88 „L ah irn ja anthropologi budaja sebagai ilmu dan perkembangan selan-


djutnnja” , 1961.
89 V a n V o l l e n h o v e n „Adatrecht” , II, hal. 233 : hukum adat ilu
„ontw ikkelt zicli gestadig” , hal. 389 : „H et adatrecht groeit en vloeit,
adatvonnissen scheppen recht” Chukum adai berkembang, keputusan
adat m em buat h u k u m ). Hukum adat terdiri atas tiga bagian, jaitu
„h e t afstervende, het hedcndaagsclie en het wordende nieuwe” (,,Mis.
kenningen van liet adatrecht” , 1926, hal. 60-61). Pada tahun 1932,
van V o l i e u h o v e n menulis : „rechtsregels nopens padi die
onhoorbaar groeien zooals de padi zelf onhoorbaar groeit” (peraturan
hukum mengenai padi jang bertumbuh setjara tidak terdengar, se­
perti halnja dengan, padi sendiri, jang djuga bertumbuh setjara jang
tidak terdengar) („V erspreide Geschriften” , I, hal. 120) ! Lihatlah
dju ga te r H aar „H et adatprivaatrecht van IVederl. Indie in
wetensehap, praktijk en onderwijs” , pidato dies Batavia 1937. Me­
ngenai „d yn am ik dan plastik” hukum adat lihatlah pidato Prof. Mr
M.M. D j o j o d i g o e n o jang sangat originil, jaitu „M enjandra hu­
kum adat” , Jogjakartq 19 Desember 1950, dan prasarannja di muka
K onggres M .I.P.I. dikota Malang pada bulan Agustus 1958, jaitu
„R eorientasi hukum dan hukum adat” .
90 V a n V o l l e n h o v e n „Adatrecht” , II, hal. 389.
91 Karangan dalam bahasa Indonesia seperti dari Dr S o e k a n t o (li­
hatlah noot 6 4 ) dan P rof, v a n D i j k (sam a) tidak berdasarkan
penjelidikan baru : Lihatlah tjatatan Mr B u d i S e m b i r i n g „ I n ­
ventarisasi hukum benda perkawinan adat” dalam „Padjadjaran” , I,
— 4, hal 5-37, terutama hal. 5-7.

113
Bagian ketjil dari hukum adat ialah hukum tertulis P2 dalam :

1. bermatjam-matjam piagam radja ( = surat penge'sahan radja


atau kepala adat)
2. kitab-kitab hukum (rechtsboeken), misalnja, kilab-kitab hukum
jang dibuat oleh Kesunanan Mangkunegaran dan Pakualaman
dahulu „Angger-arubiru” fth. 1782). „N aw olo P ra d olo” (th.
1771. 1818), „Peraturan bekel” (th. 1884); di daerah Batak
„Ruhut Parsaoran ni Habatahon” dan „P atik D ohot Uhum ni
Halak Batak” 93; kitab hukum dagang laut orang W a d jo ; Un­
dang-undang Bandjarm asin; di Kutai „B aradja N anli” ; Un­
dang-undang Djam bi, dll.
3. peraturan persekutuan hukum adat jang dituliskan, seperti
„peranatan desa” , „agama desa” , „awig-awig” (peraturan subak
di pulau B a li); dll.

Tidak perlu dikemukakan disini bahwa bagian besar isi hukum


adat berlainan dari isi hukum Barat. Demikian lialnja dengan
sistim kedua hukum i n i 94. Setiap masjarakat m em punjai adat is-
tiadatnja sendiri, jang m em punjai isi sendiri, sistim sendiri, karena
m em punjai suatu filsafat — pandangan hidup jang mendukung
(dragende idee) — sendiri (kata v o n S a v i g n y : „Volksgeist” -

92 V an V o ll e n li o v c n „Adalrecht” , I, hal. 105; Mengenai hukum


radja lihatlah beberapa keterangan dalam Mr D r S o c r i p t o ,,Ont-
wikkelingsgang der Vorstenlandsche W etboeken” , disertasi Leiden
] 9 2 9 ; S o e p o m o „D e reorganiastie van het agrarisehe sil'elsel in
het gewest Soerakarta” , dis Leiden 1 92 7; R.A. K e r n ,,Javaansche
rcchlsbedeeling” , dalam B .K.I.. 83 (1 9 2 7 ), hal. 316 d jb .; P rof. Dr
Ph. S. v a n Ronkel ,,Het maleische adatwelboek van K oetai” ,
1 93 5; L J .J . C a r o n „H et Handels. en Zeerechil in de adat-
reehtsregelen van den rechtskring Zuid-Celebes” , disertasi Utreeht
1937 (ditindjau oleh t e r H a a r dalam T . 147, hal. 3 7 6 -3 8 2 );
Dr. J. N o o r d u y n ,,Een achttiendc eeuwse kroniek van W a d jo ” ,
dis. Leiden 1955. Mengenai pembentukan hukum adat rakjat! : P rof.
Dr V.E K o r n „D e wetgeving der Indonesische volksgem eenschap-
pen” . pidato inaugurasi Leiden 1940. Berbeda dari van V o 1-
1 e n h o v e n, maka D j o j o d i g o e n o melihat hukum ja n g Ter-
tjantum dalam peraturan-peraturan radja dan peraturan-peraturan
desa itu tidak sebagai hukum adat' tetapi sebagai ,-hukum peraturan”
(„Asas-asas hukum adat” , hal. 7 ).
93 Terdjemahan Vergouwen dalam „Adatrechtbundels” , X X X V ,
hal. 1 djb. Lihatlah djuga T.I. W i 11 e r „V erzam eling der Batahse
wetten en instellingen in Mandailing en Pertibie” dalam , Tijds N .I.” ,
1846, 2, hal. 145-424.
94 Mengenai sistim hukum adat : t e r H a a r „B eginselen en stelsel
van het adalrecht” , 1950; ringkasan dalam buku S u p o m o ,,Bab-
bab tentang hukum adat1” , 1958, hal. 21-28 : Sistim hukum adat.

114
t
nja sen diri). Maka ijorak hukum tiap-tiap masjarakat tidak sama.
Sering dikatakan djuga bahwa sifat hukum Eropah lebih individua­
listis dari pada sifat hukum adat. ,,Di Barat jang kuat ialah faktor
im lividuil. Disana manusia telah memperkembangkan dirinja se­
bagai individu dem ikian rupa, sehingga oleli karenanja unsur ke-
masjarakalan terdesak. Tapi individualisme jang memuntjak sudah
lewat w aklunja, oraag lelah meninggalkannja pula dan sekarang
perkem bangan kolektiviteit diberi kesempatan seluas-luasnja (li­
hailah Bab Y dari buku in i). Sebaliknja, di Indonesia kita melihat
suatu proses jang sebaliknja. Disini jang berkuasa ialah persekutuan
atau golongan, kemungkinan kemungkinan bagi individu untuk h i­
dup setjara individuil, terbatas oleh susunan pergaulan hidup. Itu­
lah sebabnja disini ada tjita-ljita jang kuat untuk membebaskan
individu !” . Dem ikianlah kata Prof. S o e p o m o 95.
Unsur-unsur kolektivisme dalam masjarakat adat masih kuai,
biarpun unsur-unsur individualisme makin lama makin b a n ja k . Da­
patkah unsur-unsur kolektivisme jang masih ada dalam masjarakat
adat dipakai sebagai landasan suatu Sosialisme Indonesia? Lihatlah
par. 2 diatas tadi dan Bab V.
Beberapa lem baga jang hanja terdapat dalam hukum adat
(„sp ecifiek voor liet adatrecht” ) :
A m em iliki rumah dan halaman. A mengidjinkan B menumpang
dengan tidak m em bajar sewa tetapi berkewadjiban menulungnja
(h u lp b e to o n ). Lembaga hukum adat ini terkenal dengan nama lin­
dung, indung, magersari (D ja w a ), numpang 96.
A m em iliki sebidang sawah. Karena sesuatu hal A tidak dapat
alau segan m engerdjakan sawah itu. Tetapi masih djuga A ine-
n gingini sawah itu dikerdjakan orang lain dan dapat memetik seba-

95 „H ubu n gan individu dan masjarakat dalam hukum adat” , Djakarta


1952, hal. 28. Karangan ini adalah penerbitan dalam bahasa Indo­
nesia dari pidato inaugurasi P rof. S o e p o m o „D e verhouding
van individu en gemeensehap in liel adatrcclit” , Batavia 1941 (dibi-
tjarakan oleh Mr C.T B e r t 1 i n g dalam ,-Koloniaal Tijdschrift” ,
1 941, hal. 4 7 0 -4 8 1 ). Mengenai kolektivisme (dan individualisme) da­
lam hukum adat batjalah antara lain : P rof. Mr F.D. H o ! 1 e m a n
„D e com m une trek in liet Indoncsische reclitsleven” , pidalo inaugurasi
Leiden 1 9 3 5 ; P rof. Mr Dr R.M S o e r i p t o „T entang kolektivisme
dan individualism e dalam masjarakat Indonesia (kepribadian bangsa
In d on esia )” , pidato inaugurasi 1958 Surabaja. Masih tetap penting
disertasi D r B.J. H a g a „Indonesische en Indisclie d^mocratie” . Lei-
den 1924. Lihatlah djuga keterangan-keterangan jang dapat dibatja
dalam Imku-lmku jang kami sebut pada noot 64 dialas tadi.
96 T e r H a a r „B eginselen” , hal. 115.

115
gian buahnja. Maka dari itu A mengadakan p erd jan d jian dengan
B, supaja B akan m engerdjakan sawah tersebut dan akan m e n je ­
rahkan sebagian hasilnja kepada A. P erdjan djian tersebut m enen­
tukan djuga fihak mana jang w adjib m enjediakan b ibit dan sapi
(kerbau). Lembaga hukum adat ipi terkenal dengan nama m aro,
mertelu (D jaw a), nengah, d jed ju ron (S unda), m em perduai (M i­
nangkabau), to jo (M inahasa), tesang (Sulawesi Selatan) 97 dan
diberi pengakuan m aupun perlindungan dalam U ndang-undang
tentang Bagi Hasil, L.N. 1960 N r 2.
Sebuah tjon toh tentang peraturan hukum adat jang berasal
dari agama Islam (jang telah diresepsi dalam hukum adat) ialah
lembaga hukum ivakap. W akap itu suatu perbuatan hukum adat,
jang m em iliki sesuatu benda (zaak) telah melepaskan haknja atas
benda itu guna kepentingan umum. Barang jang telah didjadikan
wakap itu kem udian m endjadi suatu jajasan menurut hukum adat
dengan aturan-aturan sendiri.
Benda jang dapat diwakapkan bermatjam-matjam. K adang-
kadang orang m em beri wakap untuk menulung fam ilinja (kebun,
empang, d sb .), kadang-kadang orang memberi wakap sebagai anu­
gerah kepada kaum mukmin, seperti mendirikan m esdjid (d i Pa-
sundan, misalnja, ada banjak m esdjid jang didirikan sebagai w a­
k ap). Dalam hukum adat eering orang membuat sesuatu m en dja di
wakap jang sebenarnja menurut sjariah tidak diperkenankan. D a­
lam sjariah wakap hanja untuk urusan agama sadja 98 sedangkan
dalam hukum adat wakap itu djuga untuk urusan sesuatu jan g
ada diluar agama, asal sadja tidak bertentangan dengan azas-azas
agama 99.
Hukum adat tidak hanja terdiri atas anasir-anasir asli, jaitu ti­
dak hanja terdiri atas anasir-anasir jang terdapat dalam kebudajaan
Indonesia sebelum adanja pengaruh kebudajaan H indu dan Islam.
Melainkan, hukum adat terdiri djuga atas anasir-anasir jang terda­
pat dalam kedua kebudajaan asing itu. Djuga lagi ada anasir-anasir
hukum Eropah jang lama-kelamaan diterima sebagai hukum adat.

97 T e r H a a r „Beginselen” , hal. 107. Lihatlah lebih lnndjut A.M .P.A.


Scheltema „Deelbouw in Nederlandsch-Indie” , disertai W a g en i-
ngen 1931.
98 P rof Dr A.J. W e n s i n c k dan Prof. Mr J.H. K r a m e r s »Hand­
wörterbuch des Islams” , 1941, hal. 788, ’
99 T er H aa r, hal. 136-138. Tentang wakap lihatlah lebih landjut
^_r ^.r K o e s o e m a h A t m a d j a „D e Mohammedaansclie vrom e
Stichlingen in Indie” , disertasi Leiden 1922.

116
Bahlt
atJat telah diresenrf lni km i b erdjalan hebat. Dalam hukum
k u *n Islam , a n a s ir -a n a ^ ^ a n a s ir hukum H indu, anasir-anasir hu-
‘ « d j a d i di dunia Barat u E r°.Pah ^ SePertilah dahulu
Gerniania. ’ "m resePs* hukum Rom aw i dalam hukum

hukum asin " ianir V ^ahwà bagian hukum adat jang merupakan

‘ akan bahw a m e n g e n ? ^ “^ 81311 Sadj a- Tetapi boleh dika'


Indonesia jan«- asli P » S 111 tur ^an isinja hukum adat itu hukum
hukum adat sebadai I 7 da,uilu Pernah mengidentifikasi
*>ila seseorang m em eluk 1$,am <te° ri receP tio in com plexu : apa-
ga seluruh hukum i ^ ses" atu agama maka dengan sendirinja dju-
B ab I V 3 p ar ac a agauia itu diterimanja — lihatlah
Islam diresepsi loi* 3 * Sa^ab‘ Hanja satu dua peraturan'hukum

1 en duduk w ila n li T.-, i


d «P dalam berbairai-1 - 1 ° neSla Jan£ asli <orang bumiputera) hi-
kutuan hukum ad t -a&31 p ersekutuan hukum adat dan setiap perse­
nan* struktur so ' samp b ig adanja anasir-anasir umum da-
heberapa a n a s ir ^ t’ SCmi,a Persekut«an hukum, mempunjai djuga
«le n ip u n ja i b e b e r ? " “ f " 3, ( chusus) dalam struktur sosialnja atau
itu m em p u n ia i l* ^ em a« a sos*al jang istimewa, dan oleh sebab
K arena adat isti aU.aS*r ^8t*mewa dalam adat istiadatnja sendiri,
anasir chusus ' ^ S0**aP Persekutuan hukum itu memuat anasir-
hukum terseb 't ^ lanJa terdapat dalam adat istiadat persekutuan
an tidak terdapat dalam adat istiadat persekutuan

100 V a n V o l i
deelen van h it* ï i V * ? ” Adalrechl’ % I, hal. 5 dan 14-38 : Bestand-
dienstig d cel van I t j ’ ” Adalrecht” , II hal. 126-230 : Gods-
durech t ?*r T C. L e k ’k e r k o r k e r „H in-
-A d a t cn IsIanuetUM ’ d ,.S.e f asi , L c,den 1 91 8; P rof. Mr J. P r i a s
1 9 4 8 (ja n g m enieK i.!1* P, ' le!? r 1,1 Indonésie” , disertasi Leiden
tjarakan M r C T i R SUa i*- ar Pem batjaan jan g penting) (dibi-
5 6 2 -5 6 5 ) (tjet .kn’n t V - j " 8 dalam „Indon ésie” , 1948-1949, hal.
m » n K a r l o | | ! , (|^ a h . r d.terbitkan pada .ahun 1954) ; S u d i -
hal. 1 2 4 -1 2 7 P r ° d J o „Pengantar tata hukum Indonesia” ,
p e rk o k o h hukum J 'T n Peri^ar"*' asing jan g merusak maupun mem-
„P e d o m a n ’ ’ 1, j|i rn*Ar Pr° f * K us« a d i Pudjosewojo
101 Lihatlah Pr’o f I 66 f.
6 6 : ............. ' u su m adi P u d jo s e w o jo ,,P ed om a n ” , hal.
m ana dan ............................... " .................... ....................... bahwa di-
keagam aan a tin ana SCr 3 samPai berapa luasnja pun unsur-unsur
"g a ru h i a?a,T m e r e ? UrT r r “ T ® J'ang buka" keagamaan n.empe-
dan besar d l i Z X Z n t Z namu» bagian jang pokok
o ra n g Indonesia dan hukum r-'ifc*- p ,,erdlri atas hukum asli bagi
Lihatlah, m isainja k e iu t u s ^ /M n '.t *»** ora" * Tim ur Asing” ,
h er 1 95 6, ,,H ukuAi” , 1957, 5, hal. *31 Agm iS tertanggal 7 Novem-

117
hukum, lain, maka hukum jang ada di tiap-tiap persekutuan hukum
m em punjai aspek chususnja (aspek sen diri). O leh sebab itu, b erd a ­
sarkan suatu klasifikasi tertentu, v a n V o 11 e 11 h o v e n 102 dapat,
membagi wilajah hukum adat Indonesia dalam 19 w ilajah hukum
adat jang diberi nama lingkungan hukum (rech tsk rin g ). L ingku­
ngan-lingkungan hukum adat itu 103 :

1. A tjeh (A tjeh Besar, A tjeh Barat, Singkel, Sim eulue)


2. W ilajah Gajo, Alas dan Batak :
A. Tanah G ajo (G a jo Lueus)
B. Tanah Alas
C. Tanah Batak (T apanu li) :

I. Tapanuli Utara :
a. Batak Pakpak (Barus atau Baros)
b. Batak K aro
c. Batak Simelungun
d. Batak T o b a ( S a m o s i r , Balige, L a g u b o ti, Lum ban D ju lu )

II. Tapanuli Selatan :


a. Padang Lawas (T ano Sapandjang)
b. A ngkola
c. M andailing (Sajurm atinggi)

2a. N ias (Nias Selatan)


3. W ilajah M inangkabau (Padang, Agam, Tanahdatar, L im apuluh
Kota, T anah Kam par, K orin tji)
3a. M entawai (orang Pagai)
4. Sumatera Selatan :
A. Bengkulu (Redjang)
B. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, G edongta-
taan, Tulung Bawang)
C. Palem bang (Anak-Lakitan, Djelm a Daja, K ubu, Paseniah,
Semen do)

102 „Adatrecht” , I, hal. 135. Mengenai metode menentukan lin gku n gan
Hukum itu batjalah tjatatan-tjutalan Dr K o e n f j a r a n i n g r a t
„Perbandingan faham „„rech tskrin g” ” dengan faham „„c u llu r e
area” ” , dalam madjalah „Padjadjaran” , I, 2, hal 34-42.
103 T e r H a a r, hal. 256-257. Lihatlah djuga ,,Daftar sementara suku-
bangsa-sukubanpsa di Indonesia berdasarkan klassifikasi letak pulau
atau kepulauan” , jang disusun oleh P rof. M. A. J a s p a n dan ja n g
dimuat dalam madjalah „Sosiografi Indonesia” , I, 1, hal. 75-90.

118

!
D. D ja m b i (pen d u du k daerah Batin dan Penghulu)

5. W ila ja h M alaju (Lingga-Riouw , Indragiri, Sumatera Timur,


orang B a n d ja r)

6. B angka dan B elitu n&


»■
7. K alim antan (D ajak, Kalim antan Barat, Kapuas-Hilir, Kaliman­
tan Tenggara, M ahakam -H ilir, Pasir, Dajak Kenja, Dajak Kle-
m anten, D ajak Landak dan D ajak Tajan, Dajak Lawangan,
L ep o-A lim , L epo-T im ai, Long Glatt, Dajak Maanjan-Patai, Da-
ja k M aanjan-Siung, Dajak N gadju, Dajak Ot-Danum, Dajak
P enjam bun g-P u nan)
8 M inahasa

9. G oron ta lo (B olaang, M ongondow , Boalem o)


10. W ila ja h T ora dja (Sulawesi Tengah, T oradja, Toradja Baree
(berbahasa B a ree), T oradja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toradja
Sadan, T o M ori, T o Lainang, Kepulauan Banggai)
11. Sulawesi Selatan (Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar,
M akasar, Salaiar, M una)

12. K epu la u a n T ern a te (Ternate, T idore, Halmalieira, Tobelo, Ke­


pulauan Sula)
13. M aluku A m b o n (A m b on , Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Sa-
parua, B uru, Seran, Kepulauan K ei, Kepulauan Aru, Kisar)
14. Iria n 104.
15. K ep u la u a n T im or (K epulauan Tim or, Tim or, Tim or Tengah,
M o llo , Sum ba, Sumba Tengah, Sumba Timur, K odi, Flores, Nga
da, R o ti, Savu, B im a)
16. B ali dan L o m b o k (B ali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Ka
rangasem , Buleleng, Djenibrana, Lom bok, Sumbawa)
17. D jaw a T en gah, D jaw a Tim ur serta Madura (Djawa Tengah, Ke
du, P u rw o re d jo , Tulungagung, Djawa Timur, S u r a b a j a , Madura)

13. W ila ja h K era d ja an (S olo, Jogjakarta)


19. D jaw a B arat (Priangan, Sunda, Djakarta, Banten).

104 L e m a i r e (h a l. 2 3 2 ) lianja m enjebut 18 lingkungan hukum adat.


L in gk u n gan h ukum adat Irian dikeluarkannja dari rangkaian *inS-
k u ngan h u k u m adat i t u ! • aa
Pembagian ini lianja untuk sem entara w aktu sadja. Dikem udian
hari, karena pergaulan antara anggauta b erb aga i-b a gai persekutuan
hukum adat itu makin lama m akin erat, m aka dengan sendirinja
perbedaan antara hukum berbagai-bagai persekutuan adat tersebut,
jang sekarang masih ada, akan dihapuskan atau d ip erk etjil. Faktor-
faktor lain ialah pengaruh kota-kota besar dan hal m akin lam a makin
meresap keinsjafan kewargaan satu kesatuan (n ega ra ) nasional. Dju-
ga resepsi hukum E ropali serta kein ginan untuk m engadakan uni­
fikasi hukum di Indonesia, m en d ja d i suatu fa k tor pen tin g guna le-
njapnja perHeclaan hukum adat tersebut di k em u d ia n hari. Lihat­
lah Bab III, par. 2.
Pem bagian ini djuga tidak berarti, bahw a bangsa Indonesia
terbagi dalam 19 „bangsa k e tjil” ja n g sekali-kali tidak m e m p u n ja i
hubungan antara jan g satu dengan ja n g lain, terk etju a li ikatan
kenegaraan (staatkundige b in d in g ) ja n g d ib eri nam a „R e p u b lik In­
donesia” . Ikatan kenegaraan
C kita ini m akin lam a m akin berisi ! #
P erbedaan h uk um adat tersebut bukanlah suatu perbedaan azasi
( p rin cipieel) .„ P erb edaa n hukum adat itu han ja perbedaan kedae-
rahan (lok a l) sadja. H al in i telah dibuktikan o le h P ro f, t e r H a a r
dalam bu k u n ja „B e g in s e le n en stelsel van het adatrecht , jaitu se
buah b u ku ja n g m e n d ja d i „m agistrale voortzetting” dari pekerdjaan
van Vollenhoven.

b. H u k u m kebiasaan.
Kebiasaan, m en d ja d i sum ber kaidah. H ukum kebiasaan ialah
h im p u n a n kaidah-kaidah jang — biarpun tidak ditentukan oleh
badan-badan perundang-undangan — dalam suasana „w erk elijk h eid "
ditaati djuga, karena orang sanggup m enerim a k aidah -k aidah itu
sebagai h u k u m dan telah tem jata kaidah-kaidah tersebut diperta­
hankan oleh penguasa-penguasa masjarakat lain jang tidak termasuk
lingkungan badan-badan perundang-undangan i°5. D engan dem ikian

105 Berbedalah definisi P. V i n o g r a d o f f dalam buk u n ja ,,C om m on


Sense in Law” , 1949, hal. 107 : „C ustom as a souroe o f law com p -
rises legal rules which liave neither been prom u lgatcd by legislators
n or form ulated by professionally trained judges, but arise fr o m p o p ­
ulär op in ion and are sanctioned by Iong usage” . Sedikit lain lagi
definisi Bellefroid, hal. 53. Mengenai h u ku m kebiasaan itu
lihatlah G. F. Puchta „D a s Gewohnheitsrecht” , 2 djilid, 1828,
1 8 3 7 ; v o n S a v i g n y „V o n B eru f unserer Zeit fü r Gesetzgebung
un d Rechtswissenschaft” , 1814, dan „System des heutigen röm ischen
Iiechts” , I, 1840 (kedua pengarang tersebut boleh dianggap „m erek a
ja n g m enge tem ukan hukum kebiasaan” (on tdek k ers van het («w o o n -

120
hukum kebiasaan itu kaidah jang, biarpun tidak tertulis dalam pe­
raturan perundang-undangan, masih djuga kuatnja sama dengan
hukum tertulis. Apalagi, bilamana kaidah tersebut menerima perha­
tian dari fihak pemerintah.
Kebiasaan tidak perlu senantiasa ditaati oleh semua penduduk
suatu wilajali negara. Ada djuga kebiasaan kedaercthan (lokal). K e­
biasaan kedaerahan itu dilakukan oleh penduduk sesuatu daerah,
kota atau bagiannja. Bahkan, ada kebiasaan jang dilakukan oleh
beberapa orang sadja, misalnja, oleh fihak sesuatu perdjandjian
(verdragspartijen).

U m um nja, para sardjana hukum, jang mengikuti suatu peladja-


ran kelasik, beranggapan, supaja hukum kebiasaan ditaati, maka
harus ada dua sjarat jang dipenuhi :

1. sesuatu perbuatan jang tetap dilakukan orang

terecht ! ) . L. D u g u i t „Traité de droit constitutionnel” , I, 1921,


liai. 72 d jb .; Mr J. K o s l e r s „D e plaats van gewoonte en volks-
overtuiging in liet privaatreelit” , 1912; Prof. A n e ni a „D e bronnen
van liet privaatrecht” , 1 9 1 3 ; F. G e n y „M etliode d'interprétation
et sources du droit privé positif” , I, 1919, Nr 109-137; Y von
G o u e t „L a coutum e en droit constitutionnel interne et en droit
constitutionnel international” , 1932, liai. 40 djb. (suatu peraturan
liukum kebiasaan adalaii suatu peraturan jang „se dégage comme
adoptée par la conscience sociale du groupe considéré, de la répétition
d’ un certain n om bre de faits” — liai. 26. Menurut pengarang ini,
sifat liukum sesuatu peraturan liukum positif berdasarkan kenjataan
peraturan hukum p ositif itu diterima sebagai kaidah dalam „la con­
science sociale du grou pe” — liai 40, 46. Undang-undang dan kebia­
saan lianja m erupakan „m od es d e constatation” . Constatation” îm
tidak m em beri kepada hukum „fo r c e obligatoire” nja, „constatation
ini hanja m em beri kepada hukum positivitètnja. Suatu peraturan jang
tidak tertjatat, masih djuga hukum , tetapi hanja „droit objectif5’ ,
belum „d r o it p ositif” . Peraturan tersebut mendjadi hukum positif
,,par 1’ intervention des procédés de constatation” . U n d a n g -u n d a n g dan
kebiasaan tidak m em buat liukum , tetapi hanja mentjatatnja. Hukum
dibentuk oleh „la conscience sociale du groupe” ) ; M. R u t h n a s -
w a m y „T h e M aking o f State” , 1923, Bab IV : Custom and Law
(h a ï. 1 2 0 -1 6 3 ) (suatu gambaran jang universil) ; Prof. Mr P * ^ '
K a m p li u i s e n ,,Gewoonterecht” , 1 93 5; Mr Dr H.J. R o m e i j n
(ja n g ditulis dengan bantuan Mr J M.C. R o m e i j n ) „Administra-
tiefrecht” , I, 1, 1934, hal. 54 d jb .; S c h o l t e n „Algem een Deel” ,
hal. 1 3 0 ; v a n D i j k „Sam enleving en adatrechtsvorming” , disertasi
Leiden 1 9 4 8 ; v a n A p e l d o o r n , hal. 9 2 ; v a n K a n, hal. 120;
G u s t a v R a d b r u c h „E in fü h ru n g” , hal. 47 ; W a l t h e r B u r c k -
h a r d t ,,E in fü hru n g” , hal. 204 ; Mr L i e n t T j i e n H w a t dalam
m adjalah „P ad ja d ja ra n ” , I, 2, hal. 92 (tindjauan atas buku Prof.
Subekti „Dasar-dasar H ukum dan Pengadilan” , 1957) ; Mr M a >■
h a d i „Su m ber-sum ber hukum ” , II, hal. 33-45, 58-60.

121
2. kejakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah
merupakan suatu kew adjiban (op in io necessitatis) 106.

Menurut peladjaran kelasik ini, maka hukum kebiasaan — le­


bih tepat : kaidah kebiasaan jang diberi sanksi hukum — terdjadi
karena suatu prosès seperti jang berikut ini : berbulan-bulan lama-
nja seorang pemungut sewa rumah, mem ungut uang sewa dari se­
buah rumah jang ada di suatu bagian (w ijk) dari kota pada alamat
penjewa. D jadi, setiap bulan ia datang ke rum ah jang uang sewanja
hendak dipungutnja itu. Kedua, belah fih a k jang berkepentingan
lama-kelamaan menganggap kebiasaan ini sebagai sesuatu jang sudah
diharuskan. Lama-kelamaan -kebiasaan ini dirasa oleh jang m enje-
wakan dan penjew a sebagai suatu kew adjiban, jaitu sebagai sesuatu
jang tidak dapat diubah dengan begitu sadja. A pabila kedua belah
fihak itu menganggap kebiasaan ini sebagai sualu perbuatan jang
tidak dapat diubah dengan begitu sadja, maka disinilah tim bul
hukum ikebiasaan) dan telah ada suatu kew adjiban-/m A w «.
Dengan kata lain : kebiasaan dirasa sebagai hukum kebiasaan.
Atau : kebiasaan dirasa sebagai suatu kaidah jang bersanksi hukum.
Gam baran tersebut perlu kam i tam bah. A pabila pada seseorang
telah ada kejakinan bahwa sesuatu perbuatan harus dilakukan ka­
rena sudah m erupakan kew adjiban dan perbuatan itu tidak dapat
diubah lagi dengan begitu sadja, maka pada orang tersebut adalah
suatu „b esef van behoren” (kejakinan akan suatu keharusan) 107,
dan „b e se f van behoren” ini disertai oleh harapan orang itu bahwa
pem erintah akan bertindak dalam hal pelanggaran. Selama masih
belum ada kepastian tentang sikap dan pentjirian pemerintah,
jaitu penguasa jang bersangkutan, dalam hal pelanggaran jang

106 K. a m p h u i s e n („G ew oontereclit” , hal. 8 6 ) m enam bah : kebiasaan


itu harus dapat dipertahankan s e t j a r a juridis (o p in io necessitatis
seu iuris, juridisch afdw ingbaar), djadi, sualu kewadjiban hukum .
G o u e t (hal. 6 7 ) m enjebut sebagai sjarat-sjarat : ,R épétition valable
d e faits concordant par les organes compétents, répétition présentant
une caractère d e généralité et de durée — voilà don c ce qui est né­
cessaire a la constatation d’ une règle oou ïu ni ¡ère*’ . Organes co m ­
pétents” itu hanja mentjatat hukum dan t'idak m em benfuknja. Li­
hatlah n oot 105 diatas ini.
107 Bandingkanlah L o g c m a n n (hal. 1 2 ) : kebiasaan itu bukan sum-
r’ kennelijke zin zijner handeling (is liiervoor beslis-
send) . Fada hal. 13 : „d a n is liet besef van Iiet behoren er lang
voor de géw oonte” (dalam hal demikian kesadaran 'tentang apa jan g
la ja k d ik e r d ja k a n a p a ja n g lid a k , su d a h a d a la m a s e b e lu m k e b ia s a ­
a n ).

122
mungkin terdjadi di kemudian hari, maka ada keragu-raguan apa­
kah sesxiatu kaidah merupakan kebiasaan atau hulpm i kebiasaan
(bukanlah „besef vau behoren” ini lianja disertai oleh suatu hara­
pan sadja bahwa pemerintah akan mendjalankau suatu sanksi da­
lam hal pelanggaran ? ). Seperti halnja dengan hukum adat, maka ke-
putusan dari penguasa jang bersangkutan itu akan menentukan
(t e r H a a r ) . Maka dari itu kedua sjarat tersebut: perbuatan
tetap dan opinio necessitatis, walaupun dipenuhi, masih djuga
memerlukan pengakuan (erkenning) dan penguatan (bekrachtiging)
dari hakim, administrasi negara, atau suatu penguasa lain jang
tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan,
supaja sesuatu kebiasaan dapat mendjadi hukum kebiasaan.

Diatas telah kami singgung adanja perbedaan antara hukum


kebiasaan dan hukum adat. Pada hakekatnja tidak ada suatu per­
bedaan strukturil antara kebiasaan dengan adat. Perbedaan antara
kebiasaan dan adat adalah suatu perbedaan asal. Jang dimaksud de­
ngan adat ialah sebagian dari kaidah-kaidah jang ada didalam ma-
sjarakat kita jang berasal dari suatu sumber (hukum) jang dianggap
agak sakral. Adat adalah kaidah-kaidah jang berhubungan dengan
tradisi rakjat Indonesia jang telah turun-temurun. Kebiasaan tidak
dem ikian halnja. Kebiasaan itu, jang wilajah berlakunja biasanja
terletak di kota, tidak atan belum merupakan tradisi rakjat. Belum
m erupakan sebagian dari kebudajaan asli. Bagian besar dari ke­
biasaan adalah hasil akulterasi „T im u r” dengan „Barat” jang belum
diresepsi sebagai tradisi.
Sebagian ketjil sadja dari kebiasaan Eropah telah kita terima
sebagai anasir-anasir kebudajaan asli (resepsi)? tetapi bagian ter­
besar anasir-anasir kebudajaan asing itu oleh kita tidak atau belum
diterim a sebagai anasir asli. Anasir-anasir itu „belum adat” ! Kami
disini ingat akan aturan-aturan tidak tertulis jang lazim dipakai
(„gebru ik elijke” atau „bestendige bedingen” ), apabila kedua belah
fihak m engadakan suatu perdjandjian menurut peraturan-peraturan
hukum m engenai perd jan d jian (contractenrecht) matjam Eropah,
m engenai asuransi (verzekeringsrecht), mengenai perdagangan (han-
delsrecht), dsb.. W alaupun aturan-aturan ini merupakan kebiasaan
jang ada di sam ping peraturan-peraturan hukum jang tertjantum
dalam K .U .H . Perdata dan K.U.H. Dagang dan jang sekarang lebih
sering dipakai dan ditaati djuga oleh orang Indonesia asli (misalnja,
karena pasal 29 L.N.H .B. 1917 N r 12 jo N r 528 — ,,Verkapte toe-

123
passelijk-verklaring” , lihatlah Bab X III, par. 4 ), masih iljuga kita
tidak atau belum dapat menerima aturan-aturan itu sebagai adat !
Perbedaan antara hukum adat dan hukum kebiasaan dapat
dinjatakan sebagai berikut :

1. Hukum adat asal-usulnja bersifat agak sakral. Hukum adat ber­


asal dari kehendak nenek-mojang, agama dan tradisi rakjat,
seperti jang dipertahankan dalam keputusan para penguasa
adat. '
Hukum kebiasaan, jang dipertahankan oleh para penguasa jang
tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan,
bagian besarnja berasal dari kontak antara „T im u r” dengan
„Barat’\ Tetapi kemudian hukum kebiasaan ini dapat diresepsi
dalam hukum Indonesia nasional sebagai sesuatu jang ,,asli” !
2. Hukum adat bagian besamja terdiri atas kaidah-kaidah jang
tidak tertulis, tetapi ada djuga hukum adat tertulis (misalnja,
jang ada dalam piagam radja, kitab-kitab hukum ).
Hukum kebiasaan semuanja terdiri atas kaidah jang tidak ter­
tulis.

AB. Undang-undang dan kebiasaan


(dan adat) 108.

Hubungan (verhouding) antara hukum kebiasaan dan undang-


undang telah mendjadi suatu persoalan lama. Mengenai Eropah
Barat, oleh v a n A p e l d o o r n 109 dikemukakan bahwa hukum
kebiasaan pada djaman sekarang tidak begitu penting lagi seperti
dahulu, jaitu seperti pada waktu sebelum diadakan kodifikasi. Pen-
tingnja hukum kebiasaan sangat diperketjil sedjak diadakannja k o­
difikasi. Bagian besar peraturan-peraturan hukum di Eropah Barat
pada djaman sekarang telah dimasukkan kedalam suatu kodifikasi
dan lapangan hukum kebiasaan telah mendjadi ketjil.

108 A.l. karangan Prof. Mr W.F. W e r t h e i m „D e verhouding van


het B.W. tot de gewoonte van 1838 tot lieden” dalani „G edcnkboek
B.W. 1838-1938” , hal. 97-128; P rof. Mr E.M. M e i j e r s „D e be-
teekenis der burgerlijke wet in de huidige samenleving” , pidato dies
Leiden 1927; Prof. Mr Ph. A.N. H o u w i n g „Zekerheid om trenl
het recht” , pidato inaugurasi Rotlferdam 1947; v a n A p e l d o o r n ,
hal. 9 3 ; chusus untuk Indonesia : K u s u m a d i P u d j o i e w o j o
„P edom an” , hal. 67-71.
109 Hal. 94-95.

124
Maksud kodifikasi ialah mewudjudkan kepastian-liukum seba-
njak-banjaknja. Selama hukum berbentuk hukum kebiasaan, maka
hukum itu tidak dapat mendjamin penuh kepastian-liukum ter&ebut.
Oleh sebab itu harus ada kodifikasi, jang maksud utamanja ialah
meniadakan hukum diluar kitab-kitab undang-undang atau undang-
undang lain 110.
Akibat kodifikasi ialah peraturan-peraturan hukum m endjadi
tertjantum setjara resmi ( = dipertahankan oleh pemerintah) dalam
sualu sisi im tertentu. Mengenai isi hukum sesudah kodifikasi, dapat
dikatakan bahwa pada umunmja isi hukum sesudah kodifikasi tidak
banjak berbeda dari isi hukum sebelum kodifikasi. Tetapi biarpun
demikian, masih djuga ada suatu akibat besar kodifikasi, jang di­
sebabkan sistim jang mendjadi dasar hukum sesudah kodifikasi m .
Boleh dikatakan bahwa setiap kodifikasi berusaha mendjadi
suatu perundang-undangan nasional, kalau bisa» jang satu-satunja
(u n ifik asi); setiap kodifikasi bermaksud mengikat semua penduduk
wilajah negara. Maksud kodifikasi supaja tidak ada hukum diluar
sistim resmi jang mendjadi tatahukum nasional.
Apakah sesudah kodifikasi itu, sama sekali tidak ada kemung­
kinan akan lahirnja hukum kebiasaan jang baru ? Oleh M e i -
j e r s 112 dan, kemudian oleli v a n A p e l d o o r n dikemuka-
kan bahwa pada djaman sekarang, biarpun tidak ada lagi banjak
kemungkinan akan lahirnja hukum kebiasaan rakjat (hukum ke­
biasaan um um ), masih djuga ditimbulkan dan ada perkembangan
suatu djenis baru hukum kebiasaan, jaitu hukum kebiasaan golo­
ngan (groepsgewoonterecht), jang lapangannja tidak begitu luas se-

110 S c h ö l t e n „Algem een Deel” , hal. 223.


111 B e l i e f r o i d , hal. 85 s „D oor de codificatie wordt liet recht, dat
in de wetboeken is opgenomen, wat de vorm betreff, geheel vernieuwd.
D e inhoud der wetboekcn is grotendeels aan het bestaande recht
ontleend, al dient ook te worden erkend, dat elke codificatie diep
ingrijpende wijzigingen in liet bestaande brengt” (O leli kodifikasi
itu maka hukum jang dimasukkan kcdalam kitab-kitab undang-undang
diberi bentuk baru. Isi kitab-kitab undang-undang itu bagian terbe-
sarnja berasal dari hukum jan telah berlaku, tetapi harus diakui
djuga hal tiap-tiap kodifikasi mengadakan perubahan penting dalam
hukum jang sudah berlaku itu).
Kodifikasi hukum sudah Icrdapat pada djaman purbakala. Salah satu
kodifikasi tertua ialah C o d e x H a m m u r a b i (Ha m m u r ab i
mendjadi radja Negeri Mesopotamia di sekitar tahun 1700 sebelum
Tahun Masehi).
112 „ D e beteekenis der burgerlijke wet in de huidige samenleving” , hal.

125
perti lapangan hukum kebiasaan rakjat sebelum kodifikasi tetapi ^
sangat beraneka warna (gevarieerd) dan terspesialisasi (gespeciali-
seerd). Dalam masjarakat sekarang ada beberapa golongan orang
tertentu (misalnja, kaum pedagang laut, kaum „middenstand” , kaum
industriil, kaum buruh) jang menerima kaidah-kaidah sosial sen­
diri, agar dapat mempertahankan tatatertib dalam golongannja dan
dapat memperhatikan kepentingannja sebaik-baiknja ( lihatlah Bab
I. par. 12). Pada setiap djaman (periode) tertentu dalam perkemba­
ngan masjarakat ditimbulkan golongan-golongan (kaum-kaum)
baru jang masing-masing memèrlukan suatu tatatertib sendiri, jakni
memerlukan hukum baru jang dapat membela kepentingannja. Su­
dah tentu hukum baru itu dilahirkan diluar kodifikasi jang telah
ada. Kodifikasi jang telah ada tidak dapat menampung akibat ada-
'nja hukum baru itu. Dengan demikian kepastian-hukum mundur !
Bukankah, dari sedjarah hukum kita telah tahu baliwa un­
dang-undang senantiasa terbelakang pada perkembangan kemasjara-
katan ? Suatu kodifikasi jang dibuat pada suatu djaman tertentu,
kemudian ternjata tidak lagi meliputi seluruh penghidupan sosial.
Makin lama makin hanjak kaidah-kaidah sosial jang penting atau
jang dianggap penting dilahirkan diluar kodifikasi. Apabila ke­
mudian struktur masjarakat berubah maka kodifikasi, jang terlebih
dahulu telah dibuat, perlu diubah djuga. Ternjata baliwa hukum
privat Belanda telah begini banjak mengalami perubahan, karena
proses penjosialan ( versocialisering) sedjak tahun 1838 113, sehing­
ga beberapa tahun jang lalu telah diundangkan suatu kodifikasi
hukum privat baru.
Perubahan struktur masjarakat, jang melahirkan suatu struktur
sosial baru, memerlukan perubahan dalam kodifikasi pula. Umum-
nja kodifikasi itu terutama keinginan dan ijiptaan suatu „ruling
class” dalam masjarakat. Setiap kodifikasi bertudjuan membawa ke-
paStian-hukum sebanjak-banjaknja, tetapi kepastian-hukum bagi
terutama suatu „ruling class” jang menguasai masjarakatnja. D e­
ngan kelahiran Sosialisme dan perdjuangan kelas proletar di Eropah
Barat maka berubahlah dekit-demi-dekit struktur masjarakat Ero-

113 J. V a l k l i o f „E en eeuw rechtsontwikkeling” , 1 94 9; P rof. Mr Ph.


A.N. H o u w i n g („Zekerheid omtrent het redit” ) mengemukakan
bahwa sekarang bagian terbesar hukum perdata ada diluar kodifikasi
tahun 1838. Untuk Negeri Inggeris : 'W. F r i e d m a n n „Law and
Social Change in Contemporary Britain” , 1951. Untuk Negeri Perantjis:
L. D u g u i t „Les transformations du droit privé depuis le Code
Napoléon” 1920.

126
I
r
_ pah Barat. „R u ling class” lama sudah mulai diganti oleh suatu struk­
tur sosial baru. Dengan sendirinja hukum lama — jang telah diko-
difikasi — perlu diganti. Hal tersebut adalah akibat penjosialan
masjarakat Eropah Barat sedjak tahun 1848. Di Eropah Tim ur
sedjak Revolusi tahun 1917, prosès penjosialan itu lebili m adju lagi,
dan disitu ham pir tidak ada lagi hukum lama. Kaidah-kaidah sosial
baru jang masih berstatus „hukum kebiasaan” sadja, perlu dikodi-
fikasi supaja tertjapai kepastian-liukum dalam struktur sosial jang
baru.

Tidak hanja prosès penjosialan dengan makin lama makin


banjak turut-sertanja pemerintah dalam kehidupan sosial — sebagai
prosès jang terpenting bagi kelas proletar — membawa keperluan
supaja diadakan kodifikasi baru, tetapi d juga prosès-prosès lain se­
perti prosès pengindustrian (industrialisasi) membawa keperluan
sema tj am itu. Oleh karena prosès ini, dilahirkan kaum pekerdja
baru, kaum m adjikan baru, jang masing-masing memerlukan kai­
dah-kaidah sosial baru dan lain, agar dapat memperhatikan dan
menjelenggarakan kepentingannja sebaik-baiknja. Djuga kaum-kaum
baru ini mengingini kepastian-liukum.

, Apa jang dikatakan diatas ini mengenai hukum dan kodifikasi


di Eropah Barat* dapat dikatakan pula — dalam garis besar — m e­
ngenai Indonesia. Bukankah, disini sekarang kita telah mengalami
prosès pénibahan masjarakat feodal dan kolonial, jang mempunjai
suatu struktur tertentu, antara lain sifat liberal dari bidang per­
ekonom ian jang ada hubungannja dengan perdagangan dunia, ke
arah suatu masjarakat Indonesia merdeka penuh, jang mempunjai
suatu struktur sendiri jang bersifat lain, antara lain memuat anasii-
anasir kolektivism e Indonesia ? Pemerintah telah mengumumkan
pendapalnja dan usahanja untuk melahirkan suatu masjarakat In­
donesia jang sosialistis !
Keinginan mendapat kepastian-liukum sebanjak-banjaknja bagi
ruling class'”, telah melahirkan beberapa t e o r i114: a.l. pendapat
baliwa undang-undang mend jadi sumber hukum satu-satunja (de

114 J u l u s S t! o n e „T h e Province and Function o f Law. Law as Logic,


Justice and Social Control. A Study in Jurisprudence” , 1950, bab X V :
The quest fo r certainty and security — analytical posifivism ; v a n
A p e l d o o r n , liai. 9 8 ; b u k u 'k a m i „Ringkasan tentang filsafat hu­
kum ” , Bab V.

127
wet als enige rechtsbron). Anggapan ini terkenal pula dengan
nama positivisme perundang'undangan (wettelijk positivisme) atau
legisme.
Di Negeri Belanda anggapan legisme itu pernah dianut oleh
ilmu hukum maupun pembuat undang-undang, jaitu terutama
pada abad ke-19 ketika hukum privat dikodifakasi *15. Oleh s,ebab
itu pengaruh anggapan legisme tersebut terasa djuga dalam k odifi­
kasi hukum privat‘ Indonesia dari tahun 1848 (berkat azas konkor-
dansi — lihatlah Bab III, par. 1 dan par. 2). Anggapan legisme
dapat dibatja dalam pasal 15 A.B. (jang resmi belum d itja b u t):
„Terketjuali peraturan-peraturan jang ada bagi orang Indo­
nesia asli dan bagi mereka jang dipersamakan dengannja” — pera­
turan-peraturan ini merupakan perketjualian — „maka kebiasaan
hanja dapat membentuk hukum apabila undang-undang m enjebut-
nja” . Dari azas itu diperketjualikan peraturan-peraturan hukum
adat. Djadi, dalam pasal 15 A.B. ini adat diakui m endjadi sumber
jang berdiri tersendiri dari hukum jang berlaku bagi orang Indone­
sia asli dan mereka jang dipersamakan dengannja (pasal 8 A .B .).
Pasal 15 A.B. harus dibatja berhubung dengan pasal 11 A.B.
Djuga dalam K.U.H. Perdata ada beberapa ketentuan jang
memuat anggapan legisme — bukankah, K.U.H. Perdata Indonesia
mendjadi tiruan kodifikasi hukum perdata B elanda d?iri tahun 1838,
dan bukankah, pada waktu itu anggapan legisme (masih)» seperti
jang telah kami katakan diatas tadi, dianut umum di Negeri Be­
landa ?
Pasal 1339 K.U.H. Perdata : „Jang mengikat kedua belah fihak
itu bukan hanja jang ditetapkan dengan tegas didalam perdjan-
djian mereka, tetapi djuga segala sesuatu jang tersangkut paut harus
dipeihatikan oleh mereka, karena itu berdasarkan keadilan, kebia­
saan atau undang-undang” . Disini ada undang-undang jang m enjebut
kebiasaan (pasal 15 A .B.).
Pasal 1346 K.U.H. Perdata : „Jang dapat ditafsirkan dengan
tjara-tjara jang berlain-lainan ( dubbelzinnig) harus diterangkan
menurut segala sesuatu jang merupakan kebiasaan penduduk wilajah
negara atau tempat di mana perdjandjian itu diadakan” .

115 Pengarang Belanda jang menganut anggapan legisme : Prof. Mr C. W .


Opzoomer „Aanlekeningen op de Wet houdende algemeene be-
palingen” , 1873, dan Prof. Mr G. D i e p h u i s „H et Nederlansch
burgerlijk regt” I, 1869, hal. 96. Pengaruh kedua pengarang tersebut
mendjadi sangat besar dalam pergaulan hukum pada abad ke-19.

128
Pasal 1347 K.U.H. Perdata : „Aturan-aturan” — jang tidak ter­
tulis — „ja n g umumnja lazim dipakai orang dalam hal mengadakan
suatu perdjandjian, dapat djuga dianggap termuat didalam perdjan-
djian itu, biarpun kedua belah fihak tidak m enjebut aturan-aturan
tersebut” .
Berdasarkan petundjuk-petundjuk perundang-undangan terse­
but maka hukum kebiasaan atau kebiasaan m em punjai kekuasaan
jang sama kuat dengan kekuasaan undang-undang.
Pada bagian kedua abad ke-19 di beberapa negara anggapan
positivisme perundang-undangan, jaitu anggapan positivisme dalam
bentuk „extreem ” nja, mendapat tentangan besar, 3ehingga pada
djaman sekaran,g umumnja telah ditinggalkan 116.
Jang mula-mula di Negeri Belanda menentang legisme ialah
Prof. H a m a k e r 1175 kemudian Mr J.P. F o c k e m a A n -
d r a e 118, P rof. M e-i j e . r s 119, Prof. A n e m a i 20, Prof. Mr
K o s t e r s 121? Prof. H. K r a b b e 122, Prof. S c h o l t e n 123, dll.
Oleh M o 1 e n g r a a f f 124 dikemukakan, bahwa pengertian
perbuatan jang bertentangan dengan hukum” (onrechtmatige
daad ), seperti jang disebut dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata, tidak
lianja m eliputi perbuatan jang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang-undangan, melainkan, djuga meliputi perbuatan-per­

116 Ringkasan pada W. F r i t d m a n n „Legal Theory” , hal. 137.


hatlah djuga P rof. Dr J.J. v o n S c W n i i d „D e rechtsgedachte van
de Historische School” dalam „Replitspliil. en sociol. studien” , hal. 131.
117 „H et recht en de maatscliappij” , 1888. Lihailah djuga karangannja da­
lam „V erspreide Gescliriften” , VII : „Wet' en rechter” (1 8 9 7 ), „H *t
reclitsbewustzijn en de rechtsfilosofie” (1 9 0 7 ), „Recli'H, wet en rechter”
(1 9 0 9 ).
118 „T ie n jaren rechtspraak van den H oogen Raad” , disertasi Leiden 1 90 4;
„M oderne preatuur 1907.
119 „D e taak der rechtswelenscliap tcn aanzien der vrije rechtspraak” ,
pidato inaugurasi Leiden J910.
120 „D e bronnen van het privaalreclit” , 1913.
121 „D e plaats van gewoonte en volksovertuiging in het privaalreclit” , 1912.
122 „D ie Lehre der Rechtssouveranitat” , 1906; „H et Rechtsgezag” , 1917.
123 „A lg. Deel” , hal. 86 : „G elijk wij ons losgemaakt hebben van ho»
denkbecld, dat , buiten de wet geen reclitsregel worden gevonden,
m oelen wij ook de gedaclite laten varen, dat al wat de wet' opneemt'
rechleregel is” (seperti halnja telah kita tinggalkan anggapan bahwa
diluar undang-undang tiada hukum, harus djuga kita tinggalkan ang­
gapan bahwa segala jang rertjantum dalam undang-undang ialah
h u k u m ).
124 Karangan dalam „Rechtggeleerd Magazijn” , 1887, hal>. 373.

129
buatan jang bertentangan dengan segala sesuatu jang ada diluar un­
dang-undang jang memuat kaidah sosial (hal ini ditindjau lebih lan-
djut didalam Bab VI, par. 2 ).

Oleh pemerintah Hindia-Belanda d juga hukum adatpun diberi


suatu. dasar perundang-undangan. Dasar perundang-undangan ini
mendjadi „de (wettelijke) inlijsting van het adatrecht” . Peraturan-
peraturan mengenai „inlijsting” tersebut dikumpulkan oleh v a n
Y o l l e n h o v e n dalam himpunan „Verordeningen inlandsch pri-
vaatrecht” , penerbitan terahir pada tahun 1934. Tetapi inlijsting
tadi tidak diberi karena semata-mata anggapan legisme. Terutama
diberi karena suatu politik hukum adat jang tertentu. Politik ini
telah didjalankan pada waktu Yerenigde Oost-Indische C o m p a g n i e
(V.O.C., Kompani Hindia Timur Serikat, th. 1602 - th. 1795
(1798)) 125.
Sedari djaman V.O.C., pada umumnja menurut kebidjaksanaan
praktis, jang didjalankan oleh pemerintah asing, dianggap lebih
baik kalau bagi orang Indonesia asli (dan mereka jang dipersama­
kan) berlaku hukum adat mereka (lihatlah Bab III, par. 2 ). Maka
dari itti 6edjak kedatangan orang Belanda di Indonesia, dua niatjam
hukum berlaku : di samping hukum jang ditetapkan oleh pem e­
rintah Barat ada djuga hukum jang berasal dari adat-istiadat orang
Indonesia asli. Mengenai suatu perkara hukum antara orang In d o­
nesia asli, maka pada umumnja hakim harus mempertahankan 'hu­
kum adat.

Petundjuk semat jam itu ditetapkan dalam antara lain pasal 2


dari peraturan Gubemur-Djenderal v a n d e r C a p e l l e n dari
tahun 1825 (L.N.H.B. 1825 Nr 42) 126. Hakim harus mendjalankan

125 Lihatlah Prof. Dr R. S u p o m o dan Prof. Mr D j o k o s u t o n o


„Sedjarah politik hukum adat” , I, 1951 dan II (dengan bantuan
N jonja Mr Ch. P i e t e r s - G i l l ) , 1954; beberapa keterangan dapat
djuga dibatja dalam Prof. Dr Mr R. S o e k a n t’ o „Peristiwa-peristi
wa sedjarah (termasuk Cultuurstelsel) dan hukum adat” , pidato p e­
lantikan di Makassar tanggal 19 April 1955.
126 Mr C. v a n V o l l e n h o v e n „Adatrecht” , II, hal. 3 8 3 ; Mr Ph.
K l e i n r c j e s „Staatsinstellingen van N.I.” , II, 1933, hal. 235.
Ketentuan semaljam itu dikeluarkan djuga oleh Lt Gubernur R a f f ­
l e s (pendudukan Inggeris ih. 1810 th. 1815) pada tanggal 10 Fe­
bruari 1814 : hakim „shall be guided in his decisions by existing
native laws, and ancient customs o f the Island; provided the same
b e not decidedly at variance with the universal and acknowledged
principles o f natural justice” ( v a n V o l l e n h o v e n „Adatrecht” ,
II, hal. 3 8 3 ).

130
hukum adat „asal sadja uudang-undang ini” — jaitu peraturan-
peraturan hukum adat — „tidak bertentangan dengan azas keadilan”
('.beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid” ) .
Sjarat tersebut ditetapkan d juga dalam pasal 11 A.B. (th. 1 8 4 8 ),
ketika pem buat undang-undang mengadakan kodifikasi hukum pri­
vat Eropah di Indonesia (th. 1847 - th. 1848). Selandjutnja, sjarat
sematjam itu ditetapkan dalam pasal 75 ajat 3 redaksi lama „R ege-
rings Reglement” (R .R .) dari tahun 1854 127. Dalam ajat 6 pasal

127 R .R . th. 1854, L.N.H.B. 1855 Nr 1 jo Nr 2, adalah undang-undang


Belanda jan g m endjadi „undang-undang dasar” daerah Hindia-Belan-
da, dari tanggal 1 Mai 1855 sampai tanggal Djanuari 1926. Pada
tanggal jan g Tersebut terahir ini R.R. itu diganti oleh I.S., L.N.H.B.
1925 Nr 415 jo Nr 577. Di daerali federal, I.S. berlaku sebagai „u n ­
dang-undang dasar” sampai tanggal 27 Desember 1949 (Pemulihan
K edaulatan). Pada tanggal itu I.S. diganti oleh undang-undang dasar
R .I.S. (pasal 197 ajat 1 Konstitusi R .I.S .) jang mendjadi undang-
undang dasar baru.
Tentang A.B. batjalah Marcella „Algem eene Bepalingen van
W etgeving voor Ned.-Indie” , disertasi Leiden 1913. Tentang hukum
negara jan g berlaku berdasarkan R.R. 1854 : Mr C.W. M a r g a d a n t
„H e t Regeeringsreglement van Ned. Indie” , 1894-1897, 3 d jilid ; Mr
G. J. G r a s h u i s „D e staatsinstellingen van N.I.” , 1898 (sebelum nja :
„D e Regeeringsreglementen van N.I.” , 1 8 9 3 ); Mr J. S l i n g e n b e r g
„D e staatsinrichting van N.I. vooral met het oo g op de agrarisclie-
en de arbeidswetgeving” , 1924; D r (M r) I.A. N e d e r b u r g h „E enige
h oofd lijn en van het N.I. ataatsrecht” , 1 92 3; K l e i n t j e s „Staatsin­
stellingen” , tjefakan-fjefakan sebelum tahun 1925; Mr P .A. v a n d e r
L i.t h dan J. S p a n j a a r d „D e slaatsinstellingen van N.I.” , 1 87 1;
M r J. d e L o u t e r „H andboek van liet staats- en administratief recht
van N.I.” , 1914 (tjelakan pertama : 1 8 7 5 ); Mr L.W.C. K e u c h e -
n i u s „H andelingen der Regeering'en der Staten Generaal betreffende
het Reglem ent o p het Beieid der Regeering van N.I.” , 3 djilid, 185< ;
M r W .J. v a n W e l d e r e n b a r o n Rengers „Sehets eener
parlementaire gesehiedenis van Nederland van 1849 taf 1891” , 1918,
dan M r H.A. I d e m a „Parlementaire gesehiedenis van N.I. 1891-
1918” , 1924. Tentang R .R . jang pertama (th. 1815) dapat dibatja :
P.J. P l a t e e l yjDe grondslagen der constitutie van Nederl.-Indie.
D e wording van liet Regeerings Reglement van 1815” , disertasi Utrecht
1936. M engenai R .R . 1827 dapat dibatja W . Ph. C o o l h a a s „H et
R egeeringsreglem ent van 1827” , dis. Utrecht 1936. Tentang digant'inja
R .R . 1854- oleh I.S. penting dibatja „P roeve van eene staatsregeling
voor N.I.” , 1922, dan „M em orie ter aanvulling” , 1923, jang keduanja
dibuat oleh suatu panitia jan g terdiri atas Prof. Mr1. J. O p p e n ­
h e i m , P rof. M r J.H. C i r p e n t i e r A l l i n g , P r o f. Mr Ph.
K l e i n t j e s , P rof. D r C. S n o u c k H u r g r o n j e , Prof.) Mr C.
v a n V o l l e n h o v e n dan Raden Mr O e r i p K a r t o d i r d j o ;
D r A .J.R . H e i n s u s dan Mr W .W . B r o u w e r ,,Handelingen
over de grondwelslierziening van 1922 betreffende de artikelen, welke
o p de overzeesche gebiedsdeelen betrekking hebben en over de wet
o p de staatsinrichting van N.I van 1925 (Indische staatsregeling)” ,
1 9 2 7 ; S. de G r a a f „Parlem entaire gesehiedenis van de W et op
de staatsinrichting van Nil. 1925 (Indische staatsregeling)” , 1928. Me­
ngenai hubungan antara R adja, Menteri dan Gub.'-Djen. : J. K i e r s

131
«

tersebut ditentukan bahwa bilamana hukum adat tidak m em beri


penjelesaian, maka hakim harus mendjalankan azas-azas hukum
privat Eropah 128.

Pada tahun 1919 redaksi (bunji) pasal 75 R.R. dari tahun 1854
diubah 129. Setelah diubah maka redaksi baru itu tidak lagi memuat
tugas bagi hakim (untuk mendjalankan hukum adat), tetapi memuat
tugas bagi pem buat ordonansi !30. Pembuat ordonansi diberi tugas
membuat peraturan-peraturan perundang-undangan mengenai hu­
kum adat (kodifikasi hukum adat) 131.
Bahwasanja hakim ( = jang dimaksud ialah hakim pemerintah
(gouvernementsrechter), lihatlah Bab X , par. 2) sampai hari ini
mendjalankan hukum adat bagi orang Indonesia asli, itulah dapat
dibatja dalam ajat 6 pasal 75 redaksi baru R.R. tahun 1854.
Pasal 75 redaksi baru R.R. tahun 1854, kemudian diteruskan
dengan tidak diubah (hanja perkataan „ordonnantie” m engganti
perkataan „algemeene veordeningen” ) kedalam pasal 131 I.S. dari
tahun 1925 (1926). Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan U.U.D.
maka ketentuan tersebut — jang m endjadi „inlijsting van het adat-
recht” — masih berlaku.

Pasal 131 I.S. (dan seluruh bab Y II I.S.) m endjadi dasar pera­
dilan pemerintah (governementsrechtspraak) dan tidak beriaku
bagi peradilan bumiputera (Inheemse rechtspraak) dan peradilan
swapradja (lihatlah Bab X , par. 2 ).
Lihatlah Bab IV , par. 5, mengenai penentuan mana jang m e­
rupakan hukum adat mana jang tidak (rechtsvinding in het adat-
rechtI.

„D e bevelen des Konings” , disertasi Utrechl 1938 (dengan „b o e k -


bespreking” dari L og e m a n n „W ederom de delegatieleer” dalam
T . 149, hal 4 85 -5 0 4 ).
128 W alaupun tidak ditjabut dengan fegas, sedjak faliun 1855 dapaf di­
katakan bahwa pasal 11 A.B. tidak berlaku lagi karena telah diganti
oleh pasal 75 (redaksi lam a) BIR. 1954. Lihatlah Mr C. v a n V o l -
l e n h o v e . n „Verordeningen Inlandsch Privaatrechl” , 1934, hal. 12
n oot 2 .
129 L.N.H.B. 1907 Nr 204, L.N.HLB. 1919 Nr 621 dan L.N .H .B . 1919
Nr 816.
160 Sebelum tahun 1926 dipakai istilah „algem ene verordeningen” .
131 M r G. A n d r e d e l a P o r t e „R ech t en rechtsbedeeling in Ne-
derlandsch-Indie” , 1933, hal. 4 7 ; Prof. R . S u p o m o „SisJim hukum
di Indonesia (sebelum Perang Dunia I I ) ” , 1954, hal. 84.

132
Kadang-kadang sesuatu peraturan perundang-undangan jang
belum ditjabut atau diubali — jaitu peraturan jang masih berlaku
resmi („positiviteit” ) — dikesampingkan oleh suatu peraturan ke­
biasaan (atau adat) jang isinja lain dari pada isi peraturan perun­
dang-undangan itu. Karena peraturan perundang-undangan itu ti­
dak sesuai lagi dengan kepentingan dan/atau perasaan-hukunrkedua
belah fihak (,,rechtswerkelijklieid” ) maka didjalankannja suatu
peraturan lain. Suatu peraturan kebiasaan (atau adat) jang berten­
tangan dengan suatu peraturan perundang-undangan dan jang me-
ngesampingkannja, diberi nama hukum kebiasaan jang derogatur
(derogatoir gewoonterecht). Chusus dalam lapangan hukum agraria
Indonesia sebelum dilaksanakannja Undang-undang Pokok Agraria
lertanggal 24 September 1960, L.N. 1960 Nr 104 (Undang-undang
lahun 1960 Nr 5 ), apalagi sesudah Aksi Am bilalih kepunjaan orang
Belanda pada tanggal 3 Desember 1957, ada banjak peraturan hu­
kum kebiasaan jang derogatur. Karena hukum agraria jang termuat
dalam peraturan-peraturan perundang-undangan positif sebelum di­
laksanakannja L.N. 1960 Nr 104, bagian besar berasal dari djaman
Hindia-Belanda dan bersifat kolonial (didasarkan atas „Agrarische
W et” th. 1870), maka di praktek bagian besar dari peraturan-pera­
turan agraria itu sering tidak diturut lagi dan instansi-instansi res­
m i sering mau-tak-mau harus menerima dan mengakui peraturan-
peraturan kebiasaan baru jang hidup dan jang dilahirkan pada dja-
man Djepang, pada djaman Revolusi th. 1945 - th. 1949 kita dan
pada waktu sesudah Aksi Am bilalih kepunjaan orang Belanda pada
tanggal 3 Desember 1957.
Adanja hukum kebiasaan derogatur itu membuktikan kuatnja
„norm ative Kraft des Faktischen” .
B ilam ana' peraturan kebiasaan menjelesaikan suatu soal jang
tidak atau belum diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka
peraturan kebiasaan itu mendjadi hukum kebiasaan jang menam­
bah (aanvullend gewoonterecht). Tjontohnja : dalam hukum Ero-
pah tiada peraturan perundang-undangan jang mengatur jajasan
(stichting). Hal jajasan diatur oleh hukum kebiasaan132.

132 Jajasan menurut liukum Indonesia dibitjarakan pada Vierde Juristen


Congres Batavia (Djakarta) tahun 1936. Lihatlah „praeadvies” Mr
A. B i i c h e n b a c h e r „D e stichting in Nederlandsch-Indie” dalam
„B ijla ge” T. 144 dan 145, lial1. 223 d jb., dan „praeadvies” Mr Th.
J.B. S t e e n s m a „D e stichting in het belastingrecht” dalam „B ijlage”
T . 144 dan 145, hal. 313 djb.

133
C. Traktat.

Traktat ialah perdjandjian (persetudjuan) jang diadakan an­


tara dua atau lebih dari dua negara. Bilamana traktat itu diadakan
antara hanja dua negara, maka perdjandjian adalah suatu perdjan­
djian bilateral (b i(s) — dua kali, latus = fihak (bahasa Latin) ) ;
bilamana traktat itu diadakan antara lebih dari dua negara, maka
perdjandjian adalah suatu perdjandjian multilateral (multus = ba-
njak (bahasa L a tin )). Bilamana suatu perdjandjian multilateral
mem beri kesempatan kepada negara-negara jang pada permulaan
tidak turut mengadakannja, kemudian djuga m endjadi filiaknja, ma­
ka perdjandjian adalah suatu perdjandjian kolektif (collectiefver-
drag) atau perdjandjian terbuka (open verdrag). Sebuah tjontoh
tentang suatu perdjandjian kolektif adalah Charter (Piagam ) P er­
serikatan Bangsa-bangsa jang diadakan di San Francisco pada ta­
hun 1945.
Traktat memuat hukum jang berlaku di wilajah fihaknja. Maka
dari itu untuk tatahukum nasional djuga traktatpun dapat m erupa­
kan suatu sumber hukum jang form il.
Karena negara kita suatu negara jang merdeka dan berdaulat^
maka salah satu organ (alat) dari pimpinan tertinggi negara kita
— sesuai dengan azas-azas hukum tatanegara maupun azas-azas h u ­
kum internasional — berkuasa mengadakan perdjandjian-perdjan-
djian dan persetudjuan-persetudjuan dengan negara-negara lain. Or­
gan mana ditetapkan dalam pasal 11 U.U.D., jang berbunji : „ P r e"
sidèn dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat menjatakan
perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan negara
lain ’ 133. Kekuasaan mengadakan perdjandjian dengan negara lain
— dengan pe/setu dju an D.P.R. — adalah dalam tangan P residen
(ja n g m em im pin suatu kabinet p resid èn siil).
Pendapat kelasik (klassieke opvating) mengenal dalam pem ­
buatan perdjandjian antar negara empat tingkatan (fase) jang
berturut-turut134 :

133 Bandingkalah redaksi pasal 11 U.U.D. ini dengan redaksi pasal 120
undang-undang dasar sementara taliun 1950. Redaksi pasal 120 un­
dang-undang dasar sementara tahun 1950 ini adalah telinis djauh
• lebih sempurna : Presiden mengadakan perdjandjian dan kemudian
mengesahkan (m eratifikasi)-nja atas kuasa undang-undang.
134 Lihatlah a.l. Mr J.P.A. François „H andboek van het volken-
rechi” , I, 1949, hal. 6 5 5 ; J e a n L’ H u i l l i e r „D r o if interna­
tional p u blic” , 1949, hal. 73-74. Untuk Indonesia lihatlah ringkasan
dalam buku P rof. L o g e m a n n „H et staatsrecht van Indonesië (het

134
1. penetapan (slu itin g )

2. persetudjuan masingrmasing dewan perwakilan rakjat dari filiak


ja n g bersangkutan.

3. ratifikasi atau penegasan oleh masing-masing kepala negara

4. pelantikan atau pengumum an (afkondiging).

Jang dim aksud dengan penetapan ialah penetapan isi perdjan-


djian oleh utusan atau delegasi fihak-fihak jang bersangkutan dalam
konverensinja. Hasil penetapan diberi nama traktat konsep atau
perdjandjian konsep (,,conceptverdrag” atau „conceptovereen-
komst” ) . D juga diberi nama „sluitingsoorkonde” .
Traktat konsep disampaikan oleh masing-masing delegasi di
Indonesia : Presiden — kepada dewan perwakilan rakjat negaranja.
Hal in i kalau di negara itu persetudjuan dari dewan perwakilan
rakjat diperlukan supaja kepala negara dapat diperkenankan me­
ratifikasi traktat konsep tersebut.
Sesudah dew an perw akilan rakjat m en jetu d ju in ja d i negara
kita p ersetu d ju a n dewan perw akilan rakjat m en djadi perlu karena
pasal 11 U .U .D . tersebut, dan dim asukkan kedalam suatu undang-
undang persetudjuan ( gocdkeuringswet) jang bersifat undane un
dang fo r m il sadja m aka p erd jan djian konsep itu disahkan oleh
kepala negara (d i Indonesia oleh Presiden 135). Pengesahan in i di-
beri nam a ratifikasi. K arena ratifikasi maka perd ja n d jia n itu b er­
laku d i w ila ja h negara. Traktat itu baru berlaku sesudah diratifikasi.
Traktat ja n g telah diratifikasi diundangkan (afgekon d igd) dalam

form ele systee.n)” , 1954, hal. 57-62; M f h a d ^


hukum ” , II, hal. 16-20; sebuah studi chusus djbuat o k h ^ M r R.
S o e m r a h „S oa l ratifikasi didalam k o n v e n s i Union Postale Uiu
verselle (U P U )” dalam niadjalali „ P a d j a d j a r a n , I, 4 (Septem ber
1 9 5 9 ), hal. 73-119. Sebagai perbandingan, maka penting djuga di-
batja Mr L. E r a d e s „ Waar volkenreclit en Nederlands staatsrecht
elkaar raken” , 1949.
135 Redaksi pasal 11 U.U.D., tidak dengan djelas mengatakan baliwa Pre­
siden djuga meratifikasi perdjandjian. Tetapi kam i menganggap bah­
wa kekuasaan Presiden untuk meratifikasi itu sudah otomatis ter­
masuk ,,membuat .......................... perdjandjian” .. Pasal 120 undang
undang dasar sementara tahun 1950 jang telinis lebih sempurna itu
m em beri dengan djelas dan tegas kekuasaan untuk meratifikasi ter­
sebut kepada Presiden.

135
Lem baran Negara. Tetapi pengundangan ini tidak m endjadi sjarat
berlaku tidaknja traktat 136.
Selandjutnja, fihak-fihak jang telah meratifikasi traktat konsep
■— traktat konsep itu telah m endjadi traktat — dalam suatu upatjara
saling m enjampaikan (menukarkan) piagam perdjandjian (verdrags-
oorkonde). Perbuatan ini diberi nama pengumuman atau pelantikan.
- Perbuatan pengumuman ini tidak boleh disamakan dengan per­
buatan pengundangan (afkondiging) dalam Lembaran Negara. Se­
perti undang-undang, traktatpun diundangkan dalam Lembaran N e­
gara. Tetapi — hal itu berlainan dengan hal undang-undang — trak­
tat sudah berlaku setelah ratifikasi. Pengundangan traktat hanjalah
perbuatan jang berarti formil.
Sesudah tingkatan ke-empat ini, maka dapat dikatakan bahwa
traktat telah terbentuk (totstandgekomen). >
Telah kami kemukakan diatas tadi bahwa tjara terdjadinja
traktat jang kami gambarkan diatas ini adalah tjara jang „kelasik” .
Hukum internasional jang paling modern telah mengenal beberapa
tjara jang disederhanakan^ (vereenvoudigde procedures).
Mengikatnja traktat dalam suasana nasional (verbindendheid
van het traetaat in de nationale sfeer) umunmja didasarkan atas dua
azas? jaitu azas paeta sunt servanda dan azas primat hukum interna­
sional. Deradjat hukum traktat terhadap hukum nasional akan kami
bitjarakan dalam Bab X II, par. 4.

D. Jurisprudensi.

Jurisprudensi itu merupakan suatu sumber hukum jang f ° r'


m i l 137. Apakah jang mendjadi dasar anggapan kami ?

136 Berbeda dari redaksi pasal 11 U.U.D., jang hanja m enggunakan isti-
lah „perdjandjian” , maka redaksi pasal 120 undang-undang dasar
sementara tahun 1950 mengadakan perbedaan antara „perdjan djian ”
dan „persetudjuan” lain. Perbedaan ini tidak m em punjai sualu arti
ju n d is (geen juridisehe betekenis). Hal ini ternjata darj ajat 1 ka­
limat kedua dan ajat 2. „P erdjandjian” mengenai hal-hal jang
sangat penting sedangkan „perseludjuan” lain mengenai hal-hal jang
pentingnja belum begitu besar ( ? ) . Lihatlah djuga M a h a d i „S u m ­
ber-sumber hukum” , II, hal. 16-18.
137 Mengenai pengertian „jurisprudensi” lihatlah djuga tjatalan kami da­
lam nooti 66 , Bab I, par. 1 1 .
Jang menerima jurisprudensi sebagai sumber hukum form il a.l. M a -
h a d i „Sum bensum ber hukum” , II, hal 2 1 -2 7 ; P rof. Dr R, S u -

136
Kadang-kadang hakim terpaksa memberi suatu keputusan jang
tidak langsung dapat didasarkan atas suatu peraturan hitkum ter­
tulis atau tidak tertulis, jang sudah ada. Dalam hal ini hakim harus
membuat suatu peraturan sendiri (eigen regeling). Tindakan hakim
semat jam tadi dapat didasarkan atas pasal 22 A.B. jang mengatakan:
„bilam ana seorang hakim menolak menjelesaikan sesuatu perkara
dengan alasan peraturan perundang-undangan jang bersangkutan
tidak m enjebutnja, tidak djelas atau tidak lengkap, maka ia dapat
dituntut karena penolakan mengadili” (De regter, die weigert regt
te spreken, onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid of on-
volledigheid der wet kan uit hoofde van regtsweigering vervolgd
w orden). Bilamana undang-undang atau kebiasaan tidak memberi
peraturan jang dapat dipakainja untuk menjelesaikan perkara, ma­
ka hakim harus membuat suatu peraturan sendiri 13S. Hal itu perlu

p o r n o „H ukuni atjara perdata Pengadilan Negeri” , 1958, hal. 125;


P rof. Mr L i e O e n H o k „Jurisprudensi sebagai sumber hukum” ,
pidato pelantikan Djakarta 1959 (mengikuti pendapat kami dalam
tjelakan ke-empat buku kami, telapi tidak menjebut sumber i i u ) ;
P rof. Mr O e y P e k H o n g „Peranan kodifikasi, jurisprudensi dan
ilmu pengetahuan dalam perkembangan hukum perdata” , pidato pe­
lantikan Surabaja 1959.
Pendapat van A p e l d o o r n adalah berlainan. Menurut van
A p e l d o o r n (lial. .1 3 3 ) jurisprudensi bukan-suatu sumber hukum
form il jan g berdiri tersendiri. Dikuljiknnnja biihwa „wanneer nu ecn
regel in rechterlijke vonnissen wordt gevolgd en dus blijkbaar een
deel der algemene reclitsovertuiging is geworden, wanneer m.a.w. zich
ten aanzien van een bepaalde reclitsvraag een vaste jurisprudentie
heefT" gevormd, dan wordt die regel objectief recht, niet krachtens
rechterlijk vonnis, maar krachtens gewoonte, d.w.z. krachtens de in
een vaste gedragslijn der rechters zich openbarende algemeene rechts-
overtuiging” (bilamana sesuatu peraturan jang tert'janfum dalam ke-
putusan hakim tetap diturut, djadi pada kenjataannja peraturan
itu telah mendjadi bagian dari kejakinan-hukum umum , jakni
apabila tentang soaT jang bersangkutau telah ditimbulkan suatu juris­
prudensi tetap, maka peraturan itu felah mendjadi hukum. Tetapi
tidak karena keputusan hakim. Peraturan itu mendjadi hukum ka­
rena kebiasaan, jakni karena hal itu berdasarkan kejakinan-hukum
dari hakim. Maka hakim tetap menurutnja karena biasa) V an
A p e l d o o r n menggunakan istilah „jurispriidentie-geiooonterechl” .
Lihatlah tentang jurisprudensi ini djuga apa jang dikemukakan oleh
Mr D r H.J. R o m e i j n (dengan bantuan Mr J.M.C. R o m e i j n )
„Adm inistratiefrecht” , I, 1, 1934, hal. '5 9 d jb .; P rof. Mr K u s u ­
ni a d i P u d j o s e w o j o „Pedom an” , hal. 26-33 (m engenai „rechts-
scliepping” oleh hakim dikatakan K u s u m a d i P u d j o s e w o j o
(hal. 2 7 ) : „liakini menentukan hukumanja i n c o n c r e t o . Pem­
bentuk undang-undang menentukan liukumnja i n a b s t r a e t o ” ;
M a h a d i „Sumber-sum ber” , II, hal. 21-27.
138 Prof. Mr M.H. B r e g s t e i n „D e betrekkelijke waarde der wet” ,
1952, hal. 19 : „D e rechter m oet op eigen oordeel terugvallen, want
anders kan hij uit h oofd e van rechtsweigering vervolgd worden” (H a

137
karena perkara jang telah dibawa ke muka hakim harus diselesai-
kannja. Bukankah, masjarakat tidak mengenal perdamaian selama
ada perkara jang tidak atau belum terselesai ?
Tjara membuat peraturan sendiri itu akan kami bitjarakan
nanti, apabila kami menindjau tjara-tjara penafsiran undang-undang
(wetsinterpretatie, interpretasi undang-undang) (lihatlah Bab TV,
par. 2).
Bilamana keputusan seseorang hakim, jang memuat sualu pera­
turan sendiri, mendjadi dasar keputusan seorang hakim lain, maka
keputusan jang disebut pertama itu m endjadi sumber hukum. K e ­
putusan tersebut adalah sumber hukum bagi terutama peradilan
(rechtspraak) dan administrasi negara (tatausaha negara), jaitu ber­
sifat kaidah bagi peradilan dan administrasi negara itu. A pabila ke­
mudian temjata bahwa keputusan jang disebut pertama itu djuga
mendapat perhatian dari pergaulan umum, maka lama-kelamaan
keputusan tersebut mendjadi sumber hukum bagi pergaulan
umum, jaitu sumber jang memuat suatu kaidah jang oleh um um
diterima sebagai hukum (mendjadi suatu „behorensorde” ) . Hukum
jang termuat dalam suatu keputusan hakim sematjam itu m endjadi
hukum jurisprudensi atau hukum keputusan. Djuga disebut hukum
hakim.
Adalah tiga sebab maka seorang hakim menurut keputusan
seorang hakim lain 139 :

1. Keputusan hakim mempunjai kekuasaan (gezag) 140. Terutama


apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh
Mahkamah Agung. M r W i r j o n o P r o d j o d i k o r o 141,

kim harus menentukan pendapatnja sendiri. Kalau tidak, maka ada


kemungkinan ia dituntut karena penolakan m engadili).
139 Gambaran sematjam jang kami buat tentang sebab-sebab hakim ba­
wahan mengikuti keputusan hakim atasan dapat djuga dibatja dalam
buku S u p o m o „H ukum atjara perdata Pengadilan Negeri” , 1958,
hal. 125 : „D i Indonesia, hakim tidak terikat oleh pufusan-pu.tusan
hakim jang telah ada, akan tetapi didalam praktek Pengadilan, se­
bagai djuga didalam praktek Pengadilan di negara-negara Eropah,
hakim bawahan sangat memperhatikan putusan-putusan hakim atasan
berhubung pula dengan adanja kemungkinan perm ohonan banding
dan kasasi. Berhubung dengan itu, jurisprudennsi dari hakim atasan
merupakan sumber penting untuk menemukan hukum ob jek tif jang
harus diselenggarakan oleh para hakim” .
140 S c h o l t e n »,Alg. Deel” , hal. 114-124 : „H et gezag der rechtspraak” .
141 „Azas-azas hukum Perdata” 1951, hal. 11-12; kata-kata M r V i r j o -
no ini djuga dikutip oleh L i e O e n H o k dalam pidato pelan-
tikannja pada hal. 24.

138
ketua M ahkamah Agung R.I., mengatakan : „M isalnja di Indo­
nesia M ahkamah Agung adalah Badan Pengadilan jang ter­
tinggi jang bersendi atas Undang-undang Dasar melakukan pe­
ngawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan Pengadilan-penga­
dilan jang lain. Dalam pengawasan ini dan lagi dalam peradilan
cassasi sudah seliarusnja Mahkamah Agung dengan putusan-pu-
tusannja mempengaruhi tjara berdjalannja peradilan diseluruh
Indonesia . Seorang hakim menurut keputusan seorang hakim
lain jang kedudukannja lebih tinggi — Pengadilan Tinggi atau
M ahkamah Agung — karena hakim jang disebut teraliir adalah
pengawas atas pekerdjaannja. Di samping itu sering djuga di-
horm atinja, karena djasa-djasanja (telah banjak pengalaman-
n ja ). Dapat dikatakan: karena suatu sebab jang psychologis,
maka seseorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain
jang kedudukannja lebih tinggi.
2- D i samping sebab jang psychologis itu ada djuga sebab praktis,
maka seseorang hakim menurut keputusan jang telah diberi
oleh seorang hakim jang kedudukannja lebih tinggi. Bilamana
seseorang hakim memberi keputusan jang isinja berlainan de­
ngan isi keputusan seorang hakim jang kedudukannja lebih
tinggi (jaitu seorang hakim jang mengawasi pekerdjaan liakim
jang disebut pertam a), maka sudah tentu fihak jang tidak me­
nerima keputusan itu akan meminta apel atau revisi (bandi­
ngan). Fihak jang tidak menerima keputusan tersebut akan me­
minta perkaranja dapat dibawa ke muka hakim itu jang ke­
dudukannja lebih tinggi dari pada kedudukan hakim jang telah
memutuskan perkaranja, dan jang pernah memberi keputusan
mengenai suatu perkara jang tjoraknja sama tetapi bunjinja
keputusan berlainan.
3- A hirnja, ada sebab : hakim menurut keputusan hakim lain, ka­
rena ia m enjetudjui isi keputusan hakim lain itu, jaitu sebab
persesuaian pendapat.

Keputusan seseorang hakim tidak hanja mempengaruhi kepu­


tusan seorang hakim lain, keputusan seseorang hakim itu dapat
djuga mempengaruhi administrasi negara dan pekerdjaan seorang
Pengatjara (advocaat) dan semua orang lain jang pekerdjaannja
bersangkutan dengan hukum. Telah kami kemukakan tadi : apa jang
termuat dalam keputusan hakim dapat m endjadi suatu „behorens-
orde” untuk pergaulan umum.

139
Kami bertanja : apakali anggapan kami tidak bertentangan de­
ngan apa jang tertjantum dalam pasal-pasal 20 dan 21 A.B. ? Menu­
rut pasal 20 A.B. hakim harus mengadili menurut undang-undang
dan ia tidak dapat menjelidiki bertentangan tidaknja isi undang-
undang itu dengan rasa keadilan („D e regter moet volgens de wet
regtspreken. Behoudens het bepaalde bij art. 11 mag hij in geen geval
de innerlijke waarde of billijkheid der wet beoordeelen” ) . Pasal 21
A.B. mengatakan bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan jang
akan berlaku sebagai peraturan umum (,,Geen regter mag, bij wege
van algemeene verordening, dispositie of règlement, uitspraak doen
in zaken, welke aan zijn beslissing zijn onderworpen” ) . Jang men-
djadi dasar pasal 20 A.B. itulah anggapan legisme : hapja undang-
undang memuat hukum. Dalam pasal 21 A.B. tertjantum larangan
bagi hakim membuat peraturan umum. Larangan ini diberi nama
larangan membuat „arrêts de règlement” . Jang dimaksud dengan
..arrêts de règlement” itu keputusan pengadilan Perantjis (jang ber­
nama ,5Parlement” ) di waktu sebelum Revolusi Perantjis (th. 1789-
th. 1795), jang biasanja berlaku sebagai peraturan umum. Karena
praktèk ini, maka hakim Perantjis — seperti radja Perantjis —
dapat membuat peraturan umum ! Praktèk tersebut kemudian men­
dapat tentangan hebat dari M o n t e s q u i e u . Kita telah tahu
dari apa jang diutarakan diatas tadi, bahwa menurut „trias politica”
M o n t e s q u i e u hanja badan legislatif dapat membuat peraturan
u m u m 142. Karena terpengaruh teori M o n t e s q u i e u , maka
pembuat A.B. menentukan dalam pasal 21 larangan membuat
„arrêts de règlement” tersebut, jang sesuai dengan legisme.
Diatas tadi telah kami kemukakan bahwa anggapan legisme itu
tidak dapat diterima lagi. Pendapat, bahwa seseorang hakim m em ­
buat peraturan umum apabila ia memberi suatu keputusan jang
kemudian diturut oleh seorang hakim lain, itupun merupakan sua­
tu kesalahan faham. Bilamana seseorang hakim menurut suatu
keputusan seorang hakim lain, maka hal ini tidak berarti bah­

142 M o n t e s q u i e u : hakim mendjadi „la bouche qui prononce les pa­


roles de la loi” .
143 Penentuan hukum jurisprudensi pada pokoknja berlainan dengan
penentuan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hasil sualu
perkembangan jang tidak diadakan dengan sengadja. Hukum kebiasa­
an pada pokoknja hasil penentuan hukum jang tidak dilakukan de­
ngan sengadja. Keputusan hakim menguatkan ( = m emberi kepas­
tian adanja), tidak membuat, hukum kebiasaan. Hal ini pada um um -
nja, karena ada djuga penentuan kebiasaan jan g dilakukan dengan
sengadja !

140
wa hakim jang disebut pertama setjara tegas mendapat suatu
perintah dari hakim jang lain itu untuk menurut keputusannja.
Oleh suatu sebab jang psychologis atau suatu sebab jang praktis
atau oleh karena kedua sebab tersebut,' maka seseorang hakim
menurut suatu keputusan seorang hakun lain. Seseorang hakim m e­
nurut suatu keputusan seorang hakim lain tidak karena suatu pe­
rintah jang oleh hakim lain itu diberi kepadanja. Apalagi menurut
pasal 1917 K.U.H. Perdata keputusan hakim lianja berlaku terha­
dap kedua belali fihak jang perkaranja diselesaikan oleh keputusan
itu. M enurut ketentuan tersebut keputusan hakim tidak berlaku
umum.
Telali ternjata dari apa jang diutarakan diatas ini, bahwa
jurisprudensi adalah suatu sumber hukum jang berdiri tersendiri
fzelfstandige rechtsbron). Hukum jurisprudensi adalah hasil suatu
penentuan dengan sengadja jang oleh hakim dilakukan mengenai
mana jang merupakan hukum mana jang tidak (opzettelijke rechts-
vinding door de rechter) !-i3. Keputusan h^kim* jang mendjadi
suatu „w aarde-oordeel” (konkrit) dalam suasana ,,werkelijkheid” ,
kemudian dapat diabstrakkan sehingga mendjadi suatu „beliorens-
orde” untuk pergaulan umum. Djuga hakim dengan peradilannja
m endjadi suatu „determ inant van de rechtsvorming” . Artinja reclits-
schepping” oleh hakim ini m e n d ja d i sangat besar dalam ha? masih
banjak berlaku hukum jang tidak tertulis — seperti berlakunja
hukum adat — atau dalam hal „wettenrecht” jang ada tidak lagi
m entjakupi semua aliran-aliran dalam masjarakat, sedangkan „wet-
gever” belum sanggup menggantikan atau menjesuaikan „wetten­
recht” lama itu dengan keadaan baru, seperti di Indonesia masih
banjak „wettenrecht” belum disesuaikan dengan alam Sosialisme
Indonesia. A rti besam ja „rechtsschepping” oleh 'hakim ini diperli­
hatkan oleh M r M a h a d i dalam bukunja „Beberapa sendi hu­
kum di Indonesia” , I 134.

141 Hal. 88 djb., 109 djb. (lihatlah djuga bukunja „Sumber-sum ber hu­
kum ” , II, hal. 2 4 -2 6 ). Demikian djuga Prof. Mr L i e O e n H o k
,,Jurisprudensi sebagai sumber hukum” , pidato pelantikan Djakarta
1959, dan P rof. Mr O e y P e k H o n g „Peraturan kodifikasi, juris­
prudensi dan ilmu pengetahuan dalam perkembangan hukum perda­
ta” , pidato pelantikan Surabaja 1959 („Sesudah proklamasi kem er­
dekaan dalam tahun 1945, bagian-bagian hukum perdata jang ber­
tentangan dengan kepentingan nasional dapat dikesampingkan dalam
keputusan-keputusan hakim, djika hal ini belum sempat diatur dalam
penggantian Undang-undang. •Penafsiran setjara evolutif dari U.U.
ja n g masih berlaku dapat dilakukan. Hakim dapat mentjiptakan hu­
kum jan g bertentangan dengan Undang-undang bilamana dan di-
Jang dimaksud dengan jurisprudensi ialah keputusan-keputusan
hakim. Ada dua matjam jurisprudensi, jakni jurisprudensi jang
tetap dan jurisprudensi jang tidak tetap. Jang tetap terdjadi ka­
rena suatu rentetan (rangkaian) keputusan-keputusan jang sama,
atau karena beberapa keputusan jang diberi nama „standaard-
arresten’ (keputusan baku). Dalam bahasa Indonesia : keputusan
iang merupakan dasar (bagi peradilan dan administrasi negara).
Dalam suatu „standaardarrest” maka hakim memberi setjara prin­
sipiil suatu penjelesaian tertentu tentang suatu hal jang telah lama
membangkitkan keragu-raguan didalam kalangan pengadilan? ad­
ministrasi negara dan mereka jang mempunjai pekerdjaan jang
bersangkutan dengan hukum. Suatu „standaardarrest” m endjadi sua­
tu keputusan prinsipiil. Oleh sebab itu maka „standaardarrest” m en­
djadi suatu pegangan teguh bagi kalangan pengadilan, administrasi
negara dan sardjana hukum. Bahkan, sering kali suatu pegangan
jang lebih teguh dari pada suatu undang-undang. Terutama apabila
isi dan tudjuan undang-undang jang bersangkutan tidak sesuai lagi
dengan keadaan sosial jang sungguh-sungguh pada waktu sekarang.
Sebuah tjontoh : dari tahun 1870 sampai tanggal 3 O ktober 1912
kalangan administrasi negara, pengadilan dan sardjana hukum di
Indonesia ragu-ragu apakah seorang jang tunduk pada hukum. E ro ­
pah dapat memiliki tanah jang tunduk pada hukum adat dan, se-
baliknja, apakah seorang jang tunduk pada hukum adat dapat m em ­
punjai tanah jang tunduk pada hukum Eropah (perceel, persil).
Pertanjaan ini didjawab oleh H oog Gerechtshof van Nederlands-
Indie (pengadilan jang tertinggi pada djaman kolonial) dalam ke-
putusannja pada tanggal 3 Oktober 1912 145. Menurut pengadilan
ini maka tanah jang sekali tunduk pada sesuatu hukum tetap
tunduk pada hukum itu siapapun djuga jang m endjadi pem ilikn ja
atau pemegangnja. Apabila tanah m ilik asli ( = m ilik m enurut
hukum adat) di sesuatu tempat, m iliknja pindah kepada orang
jang tunduk pada hukum Eropah, maka tanah itu tetap m ilik asli
dan tidak m endjadi tanah jang tunduk pada hukum Eropah. Maka

mana masjarakat membutuhkan perubahan-perubahan; terutama m e­


ngenai U.U.H.P. jang dinjatakan tetap berlaku untuk sementara wak­
tu, semata-mata lianja untuk menghindari rechfsvacuum , sebelum k o ­
difikasi baharu ditetapkan, hal ini dapat dipertanggung djaw abkan”
— hal. 19-20 — , „D alam pada itu, m enunggu selesainja pekerdjaaa
legislatip di Indonesia, Pengadilan dalam keputusan-keputusannja da­
pat mentjiptakan hukum jang disesuaikan dengan kebutuhan m asja­
rakat nasional” — hal. 2 2 ) .
145 T . 99, hal. 412 djb.

142
dari itu seorang jang tunduk pada hukum E ropah dapat mem iliki
tanah m ilik asli. Sebaliknja, apabila tanah jang tunduk pada hukum
E ropah di sesuatu tempat, kepunjaannja pindah kepada orang
jang tunduk pada hukum adat, maka tanah itu tetap tanah jang
tunduk pada hukum Eropah. Maka dari itu seorang jang tunduk
pada hukum adat dapat m em punjai tanah jang tunduk pada liu-
kuin Eropah.
Sam pai waktu berlakunja Undang-undang P okok Agraria, maka
keputusan H oog Gereclitsliof ini m endjadi dasar hukum inter-
gentil m engenai tanah (intergentiel grondenrecht). Lihatlah Bab
X IV .
Sebuah tjon toh dari jurisprudensi Belanda jang diturut djuga
di Indonesia (karena azas k on kordan si): pada tanggal 23 M ei 1921
H oge Raad der Nederlanden (pengadilan tertinggi di Negeri Be
landa) 14<5 memutuskan bahwa pentjurian tenaga alam, seperti te­
naga listrik, dapat djuga diliukiun menurut pasal 362 K.U.H. P i­
dana (pasal pentjurian), karena pentjurian tenaga alam termasuk
djuga m engam bil „sesuatu barang, jang sama sekali atau sebagian-
n ja termasuk kepunjaan (m ilik) orang lain, dengan maksud akan
m em iliki barang itu, dengan melawan hukum” .
Dari apa jang kami katakan diutas tadi ternjatalalikeputusan
hakim sering kuatnja sama dengan kuatnja suatuperubahan un­
dang-undang (vonnis van de recliter is net zo sterk als een wets-
w ijziging) !
Jurisprudensi penting ditempatkan dalam beberapa madjalah
hukum . Beberapa m adjalah hukum jang memuat jurisprudensi dan
pem batjaan tentang hukum — „rechtsliteratuur” — di Indonesia
adalah 147 :
„H u k u m ” (th. 1951 - th. 1959).
„M a d ja lah H ukum dan Masjarakat” (th. 1955-th. 1959).
„H ukum dan Masjarakat” (th. 1960).
„H u k u m dan Masjarakat” (th. 1960- ).
Pada djam an Belanda :
„In d isch „T ijd sch rift van het Recht” („T ijdschrift van het R echt” )
(th. 1849-th. 1949).
„Indisch, W eekblad van. het Recht” (th. 1864 - th. 1914).

146 „W eek b la d van liet Recht” (B elanda) Nr 10724, „N ed. Jurisprudentie” ,


1 921, hal 564.
147 lih a tla h dju ga P rof. K u s u m a d i P u d j o s e w o j o „P edom an” ,
hal. 30-31.

143
Penting djuga kumpulan dan pembahasan jurisprudensi jang
disusun oleh M r J. D u p a r c ,,Verzameling van Nederlandscli-
Indische rechtspraak en rechtsliteratuur, 1897-1907” , 1909, „1908-
1909” , 1(910, „1910-1919” (disadur oleh Mr A.S. H i r s c h ) , 1920,
dan „1920-1924” (disadur oleh Mr J o h. P a u l u s ) , 1925, dan
jang disusun oleh Mr J.H. A b e n d a n o n „D e Nederlandsch-In-
dische rechtspraak en rechtsliteratuur” , 1908-1930, 4 djilid, jang m e­
liputi jurisprudensi dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1030;
buku jurisprudensi hukum pidana jang disusun oleh P rof. M r H .A.
I d e m a „D e Indische wetboeken van strafrecht, 1848-1934” , 1934.
Untuk hukum adat : ,,Adatrechtsbundel” , „Pandecten van het
Adatrecht” , buku-buku E n t h o v e n , v a n d e r M e u l e n dan
B o e r e n b e k e r , Mr R. T i r t a w i n a t a dan M r W .A. M u 1 -
1 e r „Indonesische dorpsacten” ,, 1933.
Beberapa kumpulan jurisprudensi jang ,,recent” adalah kum ­
pulan jang disusun oleh M r R o e s l a n i Saleh „Keputusan-
keputusan tentang perkara pidana” , 1961 (tjetakan pertama : 1958),
kumpulan jang disusun oleh M r Dr G o u w Giok Siong
„Him punan keputusan-keputusan hukum antargolongan” , 1959,
kumpulan jang disusun oleh Prof. Mr R. S u b e k t i dan J. T a -
m a r a „Kum pulan putusan Mabkamali Agung mengenai hukum
adat” , 1961 (tjetakan kedua : 1965), kumpulan jang disusun oleh M r
L o a S u r y a d a r m a w a n „Him punan keputusan-keputusan dari
Mahkamah Agung” , I : Mengenai hukum atjara pidana, 1962, dan
kumpulan Mr Nj. M a r i a m D a r u s B a d a r u z z a m a n „K ep u ­
tusan-keputusan tentang perkara perdata” , 1962.
Bebarapa madjalali hukum, jang memuat atau membahas juris­
prudensi dan pembatjaan tentang hukum di Negeri Belanda (masih
penting untuk Indonesia karena azas konkordansi dahulu) adalah :
„W eekblad van het Recht” (th. 1839- )
„Nederlandse Jurisprudentie” (th. 1913- )
„W eekblad voor Privaatrecht, Notarisambt en Registratie” (dising­
katkan : W .P.N.R.) (th. 1870- ). «

E. A n g g a p a n ahli hukum ( d o k t r i n a) 148.

148 Oleh K u s u m a d i P u d j o s e w o j o dibiltjarakan dibawah „ k e ­


pustakaan” (hal. 3 3 ). Djuga M a h a d i „Sum ber-sum ber hukum ” ,
II, hal. 21-30, melihat doktrina sebagai sumber hukum form il, paling
sedikit sebagai sandaran jurisprudensi. Tetapi menurut v a n A p e l -
d o o r n ( h a l .-138) anggapan ahli hukum bukan suatu sum ber hu­
kum form il jan g berdiri tersendiri. Karena tidak ada suatu peratu-

144
A nggapan seorang ahli hukum m em punjai kekuasaan 1^9. M e­
reka jan g telah m em batja jurisprudensi, maka m engetahui bahwa
hakim itu sering berpegangan pada anggapan seorang sardjana
hukum atau beberapa sardjana hukum jang terkenal namanja. Da­
lam penetapan apa jang akan m endjadi dasar keputusan-keputusan
nja, m aka hakim itu sering m enjebul anggapan seorang ahli hu­
kum tentang soal jang liarus diselesaikannja. Apalagi kalau ahli hu­
kum itu m enentukan bagaimana seham snja (peladjaran hukum ti­
dak dapat dipisahkan dari politik hukum !). Anggapan itu m en­
djadi dasar keputusan tersebut 15°. T jon toh : kutipan kami ambil
dari ketetepan (beschikking Pengadilan Negeri (gaja lama) (Mr
v an Hattum) d i Indrainaju pada tanggal 2 Maret 1933 lo1 :
„ .................................. anggapan ini djuga terdapat pada semua
pengarang jan g berpengaruh tentang hal ini (lihatlah misalnja
K leintjes II tjetakan ke-5 hal. 457, A ndré de la Porte Tijdschrift
D jilid 89 liai. 46, de Louter Staats- en adm inistratiefrecht van Ne-
derlandsch Ind ië tjetakan ke-6 liai. 607 K ollew ijn de Stuw 1931
no. 3 hal. 6 petundjuk (n o o t), van Vollenlioven Adatrecht II liai.
657 Letterie dan de Iveizer Agrarische en daam iede verbandhouden-
de regelingen voor liet reclitsreeks bestuurd gebied der gewesten
buiten Java en M adura) (Belum tentu lianja Nolst Trenité In-
leiding tôt de{ Agrarische W etgeving 1920 hal. 52 petundjnk 2 dan
Handelingen N e d e r l a n d s c h Indische Juriste« praead-
vies 1916^ hal. 215, 221; tetapi djuga beranggapan seperti kami
hal. 2 2 2 )” .

ranpun ja n g m e n g i k a t hakim pada anggapan seorang ahli hukum


( Een d er-elijk vôorschrifl bestaat b.J ons met, en onze rechters
achten zich dan ook aan een commums o p .m o doetorum m et ge-
bon d en ” ) . Tetapi dalam praktek hampir senantiasa oleh hakim di­
turut anggapan para sardjana hukum terkenal. V a n A p e 1 d o o r n
sangat m engurangi kekuasaan ° 't r m a .
149 Tentang kekuasaan doktrina lihatlah S c h o 1 t e n „A lg . Deel , hal.
124-129 : „H et gezag der wetenscliap .
150 B e 11 e f r o i d, hal. 108-109 : „ D e recliter zoekt echter voorlichtiug
bij de wetenschap, wanneer liij de wct bij zijn vonnis uitlegt, gelijk
o o k de r e e h t s g e le e r d e bij de wetenschappelijke uilegging met de reeli-
terlijke beslissingen terdege rekening houdt” (H akim dalam membuat
keputusannja inentjari keterangan pada ilmu pada saat ia m enafsir­
kan undang-undang, sebaliknja, para sardjana hukum dalam m em ­
buat anggapan mereka senantiasa memperhatikan keputusan-keputu-
San para h ak im ).
Lihatlah djuga L e m a i r e (hal. X>-97) tentang „d e roeping van
de rechtswetenscliap” ; Prof. Mr W .F. W e r t h e i m „D e veihouding
tussclien reehtswetenschap en reclitspractijk” , pidato inaugurasi Djakar-
ta (Batavia) 1936*
151 T. 138, hal. 517 ljbd.

145
Terutama dalam pergaulan internasional anggapan para sardja-
na hukum (doktrina) m em punjai pengaruh jang sangat-sangat be­
sar. Hal ini tidak perlu mengherankan orang, apabila ia tahu bah­
wa suatu bagian penting hukum internasional masih terdiri atas
peraturan kebiasaan. Bagi hukum .internasional anggapan para sar-
djana hukum masih merupakan suatu sumber hukum jang sangat
penting. Bahkan, Mahkamah Internasional di kota Den Haag INe­
geri Belanda) pun (masih 'mengakui pentingnja djuga dalam Pia-
gaiunja (Statute of the International Court of Justice)10-. Lihatlah
pasal 38 ajat 1 Piagam itu :
„T h e court, whose function is to decide in accordance with
international law such disputes as are submitted to it, shall apply .

(a) International conventions, whether general or particular,


establishing rules expressly recognised by the contesting States;
(b ) International customs, as evidence of a general practice accepted
as law;
(c) The general principles o f law recognised by civilised nations;
(d) Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and
the teachings of the most highly qualified publicists o f the
various nations, as subsidiary means fo r the determ ination of
rules of law” .

Anggapan para sardjana hukum terkenal m em pengaiahi djuga


administrasi negara dan pembelaan jang dilakukan oleh para pe-
ngatjara (advokat) di muka pengadilan. Bagi pengadjaran di P er­
guruan Tinggi anggapan para sardjana hukum m endjadi salah, satu
dasamja !

1 5 2 Dalam a ja t 1 p a sal 3 8 Piagam M a h k a m a li I n te r n a s io n a l „ j u d i c i a l


d e c is io n s ” ( = p e r a d ila n ) serta a n g g a p a n p a ra a h li h u k u m fidafv
d is e b u t su m b e r h u k u m ( f o r m i l ) teta p i „s u b s id ia r y m e a n s f o r tn e d e ­
te r m in a tio n o f r u le s o f law ” . Hal in i m e m p e r lih a k a n s u a tu p e r k e m ­
b a n g a n terten tu . Karena d a la m d ja m a n m o d e r n in i la m a -k e la m a a n
perdjandjian (tra kta t) itu m e n d ja d i s u m b e r h u k u m 3n” S pertam a,
m a k a p e n tin g n ja k eb ia sa a n m a u p u n doktrina m u n d u r s e d ik it.
Pengakuan lim a su m h er hukum ja n g kami kemukakan dia ta s se b a g a i
s u m b e r h u k u m ja n g b e r d ir i te r se n d ir i te r d a p a tla h d a la m p a sa l I
„Schweizerisches Zivilgesetzbuch” d a ri ta h u n 1 9 0 8 ( lih a t la h Bab IV,
p a r. 1 ) . Ketentuan in i ja n g m e r u p a k a n su atu k e te n tu a n ja n g p a lin g
m o d e r n , m e n d ja d i b u a h fik ir a n s e o r a n g sa rd ja n a h u k u m i a " S *” '
m a s jh iir n a m a n ja , ja itu E u g e n H u b e r. M u d a h -m u d a h a n K.LJ.
Perdata Indonesia ja n g a k a n d ib u a t se b a g a i kodifikasi^ b a r u , a an
memuat su a tu „m e e s le r s t u k ” sep erti k e t e n t u a n te rse b u t' !

146
BAB III

A N EK A W ARN A HUKUM (RECHTSBE-


DELING) DI INDONESIA

Par. 1: Kata pengantar

Berdasarkan perbedaan kebudajaan jang untuk sementara wak­


tu masih njata (tetapi di kemudian hari nanti akan lenjap sebagai
salah satu hasil politik kebudajaan berdasarkan memperkukuh ke­
pribadian nasional jang bersatu), maka warga-negara Indonesia da­
pat dibagi dalam beberapa golongan rakjat (bevolkingsgroep). G o­
longan rakjat itu golongan rakjat Indonesia asli, golongan rakjat
Tim ur asing dan golongan rakjat Eropah 1- Oleh karena kebudajaan
masih berbeda, maka dengan sendirinja sebagian dari hukum jang
berlaku bagi masing-masing golongan rakjat itu masih belum sama.
Oleh sebab itu bagi bagian besar hukum privat — jaitu bagi hu­
kum perdata serta hukum dagang — ada tiga matjam golon-gan hu
kum (rech tsgroep )2

1. golongan hukum adat v


2. golongan hukum Eropah (Barat)
3. golongan hukum adat Tim ur asing.

L o lo n ia l. iniifir m c n d jo la n k a n . s u a t u p©-
1 Dalam d jam an pcm rasial (raciaal) dan mendiskriminasi
litik hukum onderdaan” (kau-
menurut ‘ d j beberapa golongan rakjat — djadi, diada-
la-negara B e l a n d a ) d o la™ £ Belanda - rupanja perbedaan
kan b e b e r a p a djem s Kau A U i n g „Grondslagen der Rechts-
kelurunan ( • • 94 . ?vDe onderscheiding naar ras” ; Mr Dr
bedeeling ’D c j\ie d e r la n d s c h -ln d ls c h e Staatsregeling” , 1934, hal.
H. w e st r „ .............. b e ru st o p liet v e rs ch il in ras en h e r k o m s t,
” ......... « . Mr Dr G o u w G i o k S i o n g „W arganegara dan
................. ' ' „ ’ i o s « hal 1 6 -1 7 ). Batjalah P rof. D r R. Supomo
° s t r , L aw k u m di lndonesia (sebelum Perang Dunia I I ) ” , 1954, hal.
S.sUm h u k u m d i belakang higloris batjalah W .E. v a n M a s -
d jb ., m g historische ontwikkeling van de staatsrechttelijke
indeeling der bevolking van N edcrW n die” , dis. Amsterdam 1934.
9 T .-1 u ■ • dari P rof. Dr J.H.A L o g e m a n n „H et staats-
r S C Im tone.i« (h c , iorm ele .y ..= C.n ) ” , 1954, h .l . 27. P .nger-
tian E o l o n s a n hukum ” tidak meliputi pengertian „golon gan rakjat
seluridinja dan sebaliknja ! Termasuk „golon ga n hukum ” djugalah
mereka jang hanja kebetulan sadja di Indonesia, misalnja, seorang
turis (toerist) warga-negara Inggeris. Lihatlah n oot jang berikuf.

147
/
Pasal 163 I.S., jang berasal dari djaman kolonial, m enjebut
siapa jang tergolong didalam masing-masing golongan hukum itu 3 ;

3 Pasal tersebut adalah penafsiran autentik (authenlieke interpreta-


tie — lihatlah L e m a i r e, hal. 24, dan Prof. Dr J. H.A. L o g e m a n n
„Staatsrecht van Nederlands Indie” , 1947, hal. 8 6 . Pembagian hukum
privat di Indonesia dalam beberapa golongan hukum itu tidak diada­
kan karena pasal 163 tersebut, tetapi diadakan karena beberapa pera­
turan lain. Pasal tersebut hanja mengatakan siapa jang tergolong
dalam masing-masing golongan hukum itu. L o g e m a n n : „H et
zegt alleen dat, in,dien ergens in het objectieve recht de woorden
europeaan, inlander o f vreemde oosflerling worden gebezigd, daarmede
bedoeld worden de mensen, die voldoen aan de in de leden 2, 3
o f 4 aangegeven person ele criteria” (Ketentuan itu hanja mengatakan
bahwa, djika hukum ob jek tif menggunakan istilah „oran g E ropah” ,
„ora n g Indonesia” , atau „oran g Tim ur astng” , jang dimaksud dengan
istilah-istilah tersebut ialah orang jang memenuhi kriterja (ukuran,
sjarat) personil jang termaksud dalam ajat-ajat 2, 3 atau 4 ) . Dari
pasal 163 I.S. (ja n g sampai sekarang belum diubah atau diganti oleli
peraturan lain) orang dapat menarik kesimpulan, bahwa pem bagian
hukum privat di Indonesia dalam beberapa golongan hukum itu, dju-
ga mengenai stalus hukum privat orang asing (bukan warga-negara
Indon esia). L e m a i r e : ,,................. dat art. 163 I.S. kwesties van
international privaatrecht, waarbij uiteraard rechtsonderscheid zicli
doet gelden, onaangeroerd liet. De bepaling liet met name onverkort
de werking van de (IVederlandse) nationaliteitsbepalingen; haar tech­
nische indelingeza betroffen nationalen en vreem delingen” ( ..................
(bahwa) pasal 163 I.S. tidak mengenai soal-soal tentang hukum privat
initernasional, walaupun untuk hukum itu sudah tentu perbedaan m a­
sing-masing hukum, adalah suatu soal penting. Ketentuan itu (pasal
163 I.S .) sekali-kali tidak membatasi lingkungan kekuasaan keten­
tuan-ketentuan (Belanda) mengenai kewarga-negaraan (nationaliteit) ;
pembatasan tehnis jang termaktub dalam ketentuan itu m engenai
baik orang warga-negara maupun orang asing)., Djuga P rof. Mr Ph.
K l e i n t j es „Staatsinstellingen van Nederlandsch Indie” , I, hal.
108. Maka dari itu seorang Inggeris jang, bahkan, kebetulan ( ! ) ada
di Indonesia masuk djuga golongan hukum Eropah. Tidak djelas
apa jang dimaksud dengan perkataan „berasal dari” („a fk o m s tig
van’ ). L o g e m a n n : „V aag is „ „ u it Europa afkom stig zijn” ” .
INaar geboorte, naar afstamming, naar nationaliteit o f welk ander
critermm r'” (Tidak djelas apa jang dimaksud dengan „berasal dari
Lropah . Apakah kriterium (ukuran)-nja kelahiran, keturunan, k e­
warga-negaraan atau sesuatu hal lain ? ) . .
lentan g pasal 163 I.S., pembagian golongan hukum dan pem bagian
golongan rakjat, batjalah djuga Prof. Mr J.H. C a r p e n t i e r A 1-
1 * n S j,GrondsIagen der Rechtsbedeeling” , 1926, hal« 94 d jb .; K l e i n -
t j e s, I, hal. 105 d jb .; Mr W .F. P r i,n s „D e bevolkingsgroepen in liet
Nederla»dsch-Indische recht” dalam „K olon iale Studien” , 17 (1 9 3 2 ),
ial. 652-658, dan „Nederlander o f inheemscli onderdaan niet.-IVederlan-
®r ■ dalam T. 147, hal. 741-753; Mr A. N e y t z e l l d e W i 1 d e
” e rechtsbedeeling der Indische bevolkingsgroepen in ontwikkeling
en verwikkeling” dalam „Indisch Genootschap” , sidang tertanggal 16
r 1 93 1; Mr I. C a s 8 u 11 o „Orienteerende beschouw ingcn
op het gebied van het recht in het algemeen en van recht en wet i,n
INederlansch-indie in het bijzonder” , 1933; P ro f. Mr G, A n d r e d e
l a P o r t e „R ech t en rechtsbedeeling in Nederlandsch-Indie” 1933,
hal. 37 d jb .; W .E. v a n M a s t e n b r o e k „D e historische ontw ikkeling

148
i. jan g tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat
ialah semua orang bum iputera (Indonesia asli), terketjuali
m ereka jan g telah masuk suatu golongan hukum lain. Tergo-
lon g djuga : mereka jang dahulu termasuk golongan lain tetapi
sedjak lama dianggap atau diterima sebagai orang-
H ukum adat djuga tidak berlaku bagi seor^n^-TndoHesia'^feli
ja n g beragam a Keristen dalam hal ordonansiviSlah
hukiun
lin l'im i lain.
la in // « i ' ; J*«'

2. jang tunduk pada peraturan-peraturan g^lofigan’ li


pah (Barat) ialah : '< \ W
"O 1 1 \ V v '• ; ‘. V~
a. orang Belanda ' ,^y ?V V
b. orang lain jang berasal dari Eropah (misalnja s e o ^ t l^ ^ e i^
rnan, seorang Inggeris)
e. orang D jepang dan orang lain jang tidak termasuk sub a
atau sub b,tetapi djuga tunduk pada suatu hukiun keluarga
jang azas-azasnja dalam garis besar seperti azas-azas hukum
keluarga jang terdapat dalam K.U.H. Perdata ( jaitu liukum
keluarga Belanda jang berdasarkan azas monogami) (mi-
salnja, seorans Am erika, seorang Australia),
d. m ereka jang lahir sebagai anak (sah) atau jang diakui sah
sebagai anak dari mereka jang disebut pada sub 2a, b dan c,
dan keturunan mereka.
3. jang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat
T im ur asing ialah orang Asia jang lain, misalnja orang T iong­
hoa, orang Arab? orang India, orang Paskistan (Voorindiers) •

van de staatsrechtelijke indeeling der bevolking van Nederl.-Indie” ;


Mr J J. S c h r i e k e „Inleiding in het staatsreclit van N.I.” , 1940,
hal 7 ; P rof Dr R. S u p o m o „Sistim hukum di Indonesia (sebelum
Perang Dunia I I ) ” , 1954, hal. 10,-20; Mr M a h a d i „Beberapa sendi
hukum di Indonesia” , 1954 hal. 56-57, Mr S u d in i a n K a r t o -
hadiprodjo „Pengantar tata hukum di Indonesia” , 1957, hal.
27-30, 100-101, 131| - 1 3 2 ; Prof. Mr M.M. D j o j o d i g o c n o „Asas-
azas hukum adat” , 1958, hal 11.-12; Mr Dr G o u w G i o k S i o n g
„W arganegara dan orang asing, 1958, hal- 16 dsb.. Untuk kemudian
hari : Mr Dr G o u w G i o k S i o n g „Pem bagian golongan-golongan
rakjat dan perubahan dalam masjarakat Indonesia” dalam „Madjnlali
H ukum dan Masjarakat” , April 1957, hal. 3,-9. Orang Djepang — de­
ngan tidak memperhatikan agamanja — termasuk golongan hukum
erang Eropah berdasarkan suatu traktat antara Keradjaan Belanda
dengan Keradjaan Djepang pada Siahun 1896. Lihatlah L.N.fl.B. 1898
Nr 49 (a.l. K 1 e i n t j e s, I, hal. 109; S u p >o m o „Sistim hukum” ,
hal. 1 2 ; Dr H.A.E. L i j n k a m p „D e „„Japannerw et” ” (onderzoek
naar de w ordin g)” , disertasi Utrecht 1 9 3 8 ). Orang Siam dimasukkan
djuga kedalam golongan hukum Eropah berdasarkan L.N.H.B. 1938 Nr
692 lihatlah Mr J.J. S c h r i e k e ,,Inleiding in liet staaatsreeht van
Nederl.-Indie” , 1940, hal 1 1 - 1 2 ).

149
• tid a k b erla k u b a g i seseoran g Timur
H u k u m a d a t T im u r /uii o rd o n a n s i

asing K
tukan hukum ain ^ Keri.ten
Ahim j« dapat d i k « » J | * » ^ Mseorani Timur asing ter-
„je b a b k a u » « e o r a u g letap , erma.uk golongan
masuk g o lo n g a n hukum EroP „ hukum T u»ur a .m 6
hukum I n d o n e s ia asi. ( « d a t l
(adat T im u r a .m g ) 4- s taka„ hukum pri«at m .n a b e rla k u
p a s a l 131 a ja t 2 • • , tersebut :
, .i mm aa sin
s i n g-m
g - m asin
a s in g
g g
goo lo
lo n
ngga
ann nu*u- -
bagi1 ma
mas g
& , (B aarat) hukum
ra t) berlaku h u k u m E ro-
ro -
B agi golongan h u k u m E r° P uan j ang disebut pada su b a
1.
ah : m enurut Perkataan, ut . h ukum jang b erlak u ia la h suatu
dari pasal serta ajat terse • igi h u k u m jang; W
h u k u m E rop a h jang » m j _ Belanda („ d e in N e d e rla n d
laku di N egeri B elanda diberi nama azas konkordansi
geldende wetten” )- hukuiri jang b erlak u b a g i g o lo -
(con cordan tiebegin seU , 3 disamakan ( — d ik o n k o rd a n si)
ngan huknm Eropahbetlak» di Negeri Belanda,
dengan hukum J« chusm di Indonesia memerlukan per.
T etap i bilam ana keaOW ^ konkordan9i itu, m aka p e m b u a t or-
k etju alian terhadap az? hukum la in . Suatu p e rk e tju a -
don an sidapat m ene^ ordansi dapat djuga d ia d a k a n a p a b ila
H a» terhadap azas Ko ggap perlu m enetapkan p era tu ra n
pem buat o r d o n a n s i m ^ g o ] o n g a n hukum E ro p a h m a u p u n
jang akan berlaku bagi ^ ^ bagian dari p a d a n ja p er-
a o lo n g a n -g o lo n g a n huK hukum bagi beberapa golongan
a tu ra n s e m a t ja m « “ m m e e n s c h a p p e h jk re ch t).

hukum b erta m n sa rn * £ ^ asli dan golon gan h u k u m T i-


B agi golongan hukum ^ ^ m ereka B ilam ana /ceper W
2. m ur asing berlaku m aka pem buat ord on a n si d a p a t

,osial « r e l > m^ ; e t , (ajat 2 “ b b >;


m en en tu k a n bagi ^ 13 dan 15 U m um .

gistim i% recht der Christen-Inlanders” , 1 93 5.


Lihatlah S u p ? ^ v e » Uasa Indonesia. Lihatlah L am p iran I,
van Vollen ho ^ „ba" rscbut a.l. S u p o m o Sistim hu-
Tekst diterdjeniah 2 I.S. u 0 m o dapat dibatja C a r p e n -
Tentang pasal i » n i eamp11^ C a s s u t o, An d r e d e la
kum ” , hal. 86 djb.. ^ j e i n t J * ’ cht van N.I. , Su d im an
tier A l t m g, ( » St? f ■„ 5 o d i g ° e n ° (»A sas-asas h u k u m
P o r t e , L o g e m a j o ^ 0 D j J jang tertjanUm-. dalam n o o t 3 ) .
Kartohadip pemb
adat” ) . Lihatlah dai

150
a. hu k um E ropah
b. hukum E ropah jang telah diubah (gew ijzigd Europees
r e c lit ).
c. hukum bagi b eberap a golongan bersama-sama ( gemeenschap-
pelijk re c h t), dan apabila kepentingan umum m emerlukan-
n ja :
d. hu k um baru (nieuw rech t), jakni hukum jang m erupakan
sintese” (synthese) antara hukum adat dengan hukum
E rop a h (B arat) („fantasierecht” ( v a n V o l l e n h o v e n ) 6
atau ,iam btenarenrecht” (van Idsinga).

A d a n ja aneka warna hukum di Indonesia itu sudah lama. Da­


pat dikatakan adanja itu m ulai pada waktu kedatangan orang B e­
landa di Indonesia, jakni pada tahun 1596. Sekarang aneka warna
h u k u m di Indonesia masih tetap dalam bagian besar hukum privat,
sedangkan hukum atjara (sedjak djam an D jepang) dan hukum
pidana (sedjak tahun 1915) — pada aza sn ja 1 (L.N. 1951 N r 9)
telah diunifikasi. D jadi, sekarang ada satu hukum atjara dan satu
hukum pidana bagi semua golongan hukum dan golongan rakjat
di Indonesia. K am i katakan bahwa aneka warna hukum di Indone­
s i a itu m asih terdapat dalam „bagian besar” hukum privat — djadi,
tidak dalam seluruh hukum privat itu — , karena proses unificasi,
jano- sesuai dengan alam negara kesatuan jang djnga mengingini
hu k um kesatuan, sekarang telah dim ulai dihidang hukum privat
T U n dan g-u n dan g tahun 1960 Nr 5 tentang peraturan dasar
p o k o k - p o k o k agraria, L.N. 1960 Nr 104, telah m entjabut Buku II

f, A d a t r e c l i t ” , I I , h a l. 5 3 5 .
7 K -u n i m e n g a ta k a n „ p a d a a z a sn ja ” , k a r e n a p a d a w a k tu in i d a la m p r a k ­
t e k u n ifik a s i h u k u m p id a n a d a n h u k u m a tja ra itu m a s ih h e lu m d i ­
a d a k a n d i se lu r u h w ila ja h n e g a ra k ita . P a d a u m u m n ja u n ifik a s i h u ­
k u m p id a n a K u h a n ja m e n g e n a i h u k u m p id a n a ja n g b e r la k u b a g i
p e n d u d u k d a e ra h ja n g d a h u lu la n g s u n g d ib a w a h p e r in ta h p e m e r in ta h
(p u s a t) H in d ia -B e la n d a ( „ d i r e c t ” - atau „ G o u v e r n e m e n t s g e b ie d ” )
( t e r k e t ju a li r a k ja t d a e ra h L .N .H .B . 1 9 3 2 N r 8 0 , p a s a l-p a s a l 1 d a n 3 ,
ja n g t u n d u k p a d a a p a ja n g te r k e n a l seb a g a i p e r a d ila n a d a t ( „ I n h e e m s e
r c c h t s p r a a k ” ) ) . D i s a m p in g d a era h te r se b u t a d a d ju g a d a e r a h sw a-
p r a d ja (¡«„zelfb estu u rs'V atau „ in d i r e c t g e b ie d ” ) ja n g tid a k la n g s u n g
d ib a w a h p e r in ta h p e m e r in ta h ( p u s a t ) H in d ia -B e la n d a . U n tu k r a k ja t
ja n g m e n d ja d i w a rg a b e b e r a p a d a e ra h sw a p ra d ja m a s ih b e r la k u h u ­
k u m p id a n a adat.- T e ta p i p e r k e t ju a lia n -p e r k e t ju a lia n te r s e b u t a k a n
d ile n ja p k a n b e r a n g s u r-a n g s u r, pasal 1 a ja t 2 L .N . 1 9 5 1 N r 9 (U n ­
d a n g -u n d a n g D a r u r a t 1 9 5 1 N r 1 ) . P e n tin g sek a li p a sa l 5 a ja t 3 su b
b p e r a t u r a n in i ja n g b e r s ifa t p e r a tu r a n p e r a lih a n . T e n t a n g h a l in i
le b h la n d ju t B a b X , p a r.
K .U .H . Perdala „sepandjang jang mengenai bumi, air serLa keka-
jaan alam jang terkandung didalamnja, ketjuali ketentuan-keten­
tuan mengenai hypotheek jang masih berlaku pada mulai berlaku-
nja undang-undang ini” . Peraturan-peraturan K.U.H. Perdata jang
tersebut dan jang bersangkutan, jang pada azasnja hanja berlaku
bagi golongan hukum Eropah, sekarang telah diganti oleh pera­
turan-peraturan L.N. 1960 104, jang berlaku bagi semua golongan
hukum („warga-negara Indonesia” dengan tidak membedakan an­
tara jang ,,asli’ dan jang „bukan-asli” ) 8. Lihatlah Bab V I dibawah
nanti. Surat edaran Mahkamah Agung 1963 Nr 3 menganggap be­
berapa pasal K.U.H. Perdata tidak berlaku lagi (lihatlah Bab X III,
par. 2 ).

8 Untuk komentar atas L.N. 1960 Nr 104 lihatlah P rof. Mr Dr G o u w


Giok Siong „Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria” , ] 960.
Lebih luas : Mr B o e d i H a r s o n o „Undang-undang P ok ok Agra­
ria. Sedjarah penjusunan, isi dan pelaksanaannja” , 1961.
9 Pembatjaan a.l. : Mr A.A. d e V r i e s „E en en ander over de In­
dische Rechterlijke Organisatie en rechtspraak in den tijd der OosL-
Indisehe Compagnie” dalam „K oloniaal Ti.jdschrift” , 1918, hal. 1426-
1441 dan 1543-1556; R.A. K e r n „Javaansche reehtsbedecling” ,
B .K .I., 83 (1 9 2 7 ), hal 316,-444; J. v a r» K a n „U it de geschie-
denis onzer codificatie” , 1927, „Uit de rechtsgeschiedenis der Compng-
nie” dalam T. 129, hal., 364,-381, 130, hal. 497-548, 8 37-862, 863-909
(lihatlah djuga „B u n del” jang berdjudul „Achttiende eeuw” . 1930,
dan „B undel” jang berdjudul „Rechtgeleerde hedrijf in de buiten-
com ptoiren” , 1 9 3 5 ), „D e teboekstelling van het procesreeht in dc
achttiende eeuw” dalam „Feestliundel Bat. Genootychap” , 1929, „D e
reclitsgeleerde boekenschat van Batavia tentijde der Com pagnie” dalam
„Verhandeling K on . Bat. Genootschap” , LX X II, bagian 4, 1935,
„D e rechtstitels der Compagnie” , 1942, dalam B .K .I., 102 (1 9 4 3 ),
hal. 4 52 -4 5 3 ; Mr H.A. I d e m a „Overzieht van de Indische Rechts- en
Staatkundige Geschiedenis van 1600-1854” dalam inadjalah „K olon ia le
Studien” , Desember 1928 dan Februari 1929; A.D.A. d e K a t A u ­
g e 1 i n o „Staatkundig Beieid en Bestuurszorg in Nederlandsch Indie”
II, 1930; Prof. L o g e m a n n „O ver Indie’ s staatsorde voor 1854”
dalam „Med., Koninkl. Akad. v. Wetenseh.” , Afd. Letlerk.-, 78, B,
Nr 5 ; J.W. d e K l e i n „H et preangerstelsel (1677.-1871) en zijn na-
werking” , dis. Leiden 1931; P rof. Mr Dr S.u p o m o dan P ro f. Mr
D j o k o s u t o n o „Sedjarah politik hukum adat (dari zaman K o m ­
peni sehingga tahun 1 8 4 8 )” , 1950, dan (dengan bantuan N jonja Mr
Chr. P i e t e r s - G i l l ) „Sedjarah politik hukum adat (masa 1848-
1 9 2 8 )” , 1954; Dr Mr S o e k a n t o „Peristiwa-peristiwa sedjarah (ter,
masuk Cultuurstelsel) dan hukum adat” , pidato pelantikan Makassar
pada tanggal 19 April 1955, dan „H ukum dan Pengadilan djam an da­
hulu di Djakarta” dalam madjalah „Penelitian Sedjarah” , I, 1 (S ep ­
tember 1 9 6 0 ), hal. 5-14; Mr T r e s n a „Peradilan di Indonesia dari
abad ke abad” , 1957. Sumber,-sumber historis untuk djam an V .O .C.
adalah himpunan „Nederlandsch-Indisch Plakaatboek” jan g dikum pul­
kan oleh Mr J.A., v a n d e r C h y s ; „Dagh-Register gehouden int
Castcel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Neder-
landts-India” , jang meliputi djangka waktu (p e rio d e ) 1624-1682, di-

152
Par. 2: Sedj arah kenjataan a nek- a warna
liukum di I n d o n e s i a 9.

,iW anneer in 1596 het eerste scliip met de driekleur aan den
mast m den Indischen archipel binnenvalt, is dat land staatsrech-
telijk geen ,,„w oest en ledig” ” land. Het is b oordevol instituten van
volks- en gezagsordening : bewind door en over stammen, dorpen,
bonden, republieken, vorstenrijken” (K etika pada tahun 1596 ka­
pal Belanda jang pertama tiba di Nusantara Indonesia, maka ter­
dapatlah suatu negeri jang — ditindjau dari sudut hukum negara
— bukan negeri ,,tandus dan kosong” . Negeri tersebut penuh-sesak
dengan lem baga tatanegara dan lembaga tatakuasa. Adalah kekua­
saan oleh dan atas suku, desa, perserikataan, republik, keradjaan),
dem ikian kala v a n V o 1 1 e n h o v e n 10. Memanglali, ketika
orang Belanda datang disini maka di Indonesia telah ada suatu tata-
hukum (rechtsorde) sendiri, jaitu tataliukum asli, j3ng memang
berlainan dari pada tataliukum Belanda. Tetapi orang Belanda
— jang m enduduki beberapa w ilajah di Indonesia — tidak meng­
hapuskan tatahukum asli itu, tidak menggantikannja dengan suatu
tataliukum Barat (B elanda). Tetapi djuga, orang Belanda tidak

terbitkan 1896-1931. Sumber-sumber historis untuk djaman Guberne-


men (sesudah djam an V..O.C.) adalah him punan Mr P. M i j e r „V er-
zam eling van instruetien, ordonnancien, en reglenienten voor de Re-
geering van Nederlandsch Indie” , L 848; dalam kom entar Mr G.J.
Grashuis „D e staatsinstellingen van N.I..” , Leiden 1 89 8; dalam
kom entar Mr C. W . M a r f a d a n t „R egeeringsreglem ent van N.I.” ,
3 djilid, 1894-1897, dan W» Ph. C o o l h a a s „H et Regeeringsre-
glem ent van 1827” , disertasi Utrecht 1936. Buku tentang sedjarali In ­
donesia sedjak tahun 1600 (djuga penting untuk pokok pem bitja-
raan Bab III in i) : Dr F. d e H a a n „Priangan” , 4 djilid, 1910-
1912, dan „Oud,-Batavia” , 3 djilid, 1 9 2 2-19 23 ; P rof. D r H .T. C o -
lenbrander „K olon ia le gescliiedenis” , 3 djilid, 1924-1926 (dan
„Jan Pietersz. Coen : Bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indie” , 6 d ji­
lid, 1934 ; Dr F.W . S t a p e l (ed itor) „Gescliiedenis van Nederlands-
In die” , 5 djilid, 1 9 3 8 ; E.S. de Klerck „H istory o f the Ne­
therlands Indies” 2 djilid, 1 9 3 8 ; D r J.C. d e H a a n „Nederlanders
over de zeeen” , 1942 (d e H a a n sebagai editor, sumbangan dari a.i.
D r J..C. v a n L e u r ) ; B e r n h a r d H.M. V l e l c k e „Nusantara,
a History o f Indonesia” , 1 9 5 9 ; J.S. F u r n-i v a i l „Netherlands India.
A Study o f Plural E conom y” , 1944 (untuk djam an setelah tahun 1800,
ditindjau dari terutama sudut ekonom i dan politik k olon ial) dan „C o ­
lonial Policy and Practice. A Comparative Study o f Burma and
Netherlands India” , 1 9 4 8 ; D.G.E. H a l l „A History o f South-East
Asia” , 1958 (lihailah djuga daftar pem batjaan jang tertjantum pada
lial. 763 djb. chusus mengenai „Indonesia” ) dan W.F., V e r t h e i m
„In don esian Society in Transition” , 1959 (untuk latar belakang sosial-
liistoris).
10 V a n V o l l e n h o v e n „Staatreclit Overzee” , 1934, hal. 1.

153
m enandukkan diri pada tatahukum Indonesia asli itu. Orang In­
donesia asli dan orang Belanda masing-masing hidup dibaw ah ta­
tahukum sendiri, jaitu orang Indonesia asli hidup dibawah kekua­
saan hukum adat dan orang Belanda hidup dibawah kekuasaan h u ­
k u m Belanda jang diim port disini. B oleh dikatakan bahwa sedjak
kedatangan orang Belanda di Indonesia, disini ada suatu dualisme 11
dalam tatahukum. D i samping suatu tatahukum jang bertjora k asli
(hukum adat) ada suatu tatahukum jang bertjorak asing (hukum
B elanda). Dengan kata lain : tatahukum Indonesia — jaitu d i dja-
man sekarang chusus tatahukum privat — beraneka warna.
Bagaimanakah sedjarah kenjataan aneka warna hukum di In ­
donesia tersebut, dari tahun 1596 sampai djam an sekarang ?
Hukum jang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang
V.O.C. 12 jang pertama-tama disini, ialah hukum jang didjalankan
di atas kapal-kapal V.O.C.. Hukum kapal tersebut terdiri atas dua
bagian : hukum Belanda jang kuno (oud-Nederlands- atau ou d -
vaderlands recht) ditambah dengan azas-azas hukum Rom aw i. B a­
gian terbesar hukum jang dipakai dikapal itu berupa „tuc'htrecht”
(hukum disiplin). Sedjak kedatangannja di Indonesia, maka jang
merupakan dasar tatahukum bagi orang Belanda ialah azas kon-
kordansi itu.
11 Sampai sekarang, masih tetap „dualism e” ini terdapat di ham pir se­
luruh lapangan kemasjarakatan di Indonesia, termasuk djuga tjara
berfikir sebagian pem im pin negara dan masjarakat ! Lihatlah P rof.
Dr J.H. B o e k e „E con om ie van Indonesia” , 1951 (sebelu m n ja da­
lam bahasa Inggris : „T h e Structure o f Netherlands Indian E con om y” ,
. 1 9 4 1 ), mengenai . „dualistische econom ie” di Indonesia (ketjam an
terhadap pendapat B o e k e dikemukakan oleh a.l. B e n j a m i n
H i g g i n s „T h e ’ Dualistie Theory’ o f Underdeveloped Areas” dalam
„E conom ie Development and Cultural Change” , Djanauri 1956, hal.
99,-115, dan Drs R. K o o l „Theoretische econ om ie en tropische ont-
wikkeling” dalam „Indon ésie” , IX, 6 (D esem ber 1 9 5 6 , hal. 4 87 -
5 09 ) ; Prof. Mr Dr H. W e s t r a „Dualistisch staatsrecht” , pidato
inaugurasi Utrecht 1931. „Dualism e” ini harus lenjap ! Hal itu di­
tegaskan dalam Manipol.
12 P i e t e r van Dam (diterbitkan oleh Dr F. W . S t a p e 1 „B e -
schrijvinge van de Oost-Indische Com pagnie” , 5 d jilid, 1 9 2 7-19 39 .
Mengenai lahirnja V.O.C. : Mr J.A. v a n d e r C h y s „G eschiedenis
der stichting van de Vereenigde O..I. Com pagnie” , 1857, beberapa
tjatatan terdapat pula dalam bukunja „D e vestiging van hel 1 Neder-
landsch gezag over de Bandaeilanden (1 5 99 ,-16 21 )” , 1886. V.O.C.
adalah terutama suatu badan dagang, jang hanja terpaksa mendaras­
kan suatu pemerintahan, pengadilan dan urusan hukum lain. Jang
memaksa ialah keinginan mempertahankan m on op oli dagang di In ­
donesia. Paling „recen t” adalah buku K r i s t o f f Glamann
„Dutch,-Asiatie Trade 1620-1740” , 1958, m engenai aktivitet V.O.C. di
lapangan perdagangan dan ekonom i. Terbatas : T . V o 1 k e r „P o rce -
lain and the Ducth East India Company” , 1954.

154
Lama-kelamaan dapat m enjelesaikan
semua perkara jang terdjadi di pusat-pusat dagang \ .0 .C .. Maka
perlu dibuat peraturan-peraturan jang dapat memenuhi keperluan-
keperluan istimewa jang tim bul di daerah-daerah jang dikuasai
oleh V.O .C. itu. Pada tahun 1609 Staten Generaal di Negeri Belanda
(Staten Generaal = badan federatif tertinggi dari negara-negara B e­
landa ( ja n g disebut „provincien” ), jang bersama-sama merupakan
suatu konfederasi jang bernama Republiek der Zeven Vereenigde
N ederlanden) m em beri kepada pengurus pusat V.O.C. di Banien
(G ubernur-D jenderal serta Raden van Indie) kekuasaan untuk mem­
buat sendiri p era tu ra n 13. Sebagai akibat penjerahan kekuasaan
tersebut, maka di daerah-daerah jang dikuasai oleh V.O.C. dibuat
beberapa peraturan jang bermaksud menjelesaikan perkara clvusus
dan m enjesuaikan keperluan hukum ( rechtsbehoeften) para pega­
wai V.O.C. dengan keadaan di masing-masing daerah jang diduduki
oleh V.O.C. itu. D i samping peraturan-peraturan jang ditentukan
oleh pengurus pusat V.O.C. di Banten — kemudian di Betawi (Ba­
tavia, kota ini sekarang m endjadi Djakarta) — berlaku djuga
peraturan-peraturan jang ditetapkan oleh direksi di Negeri Belanda.
Direksi itu bernam a „H eeren Zeventien” . P e r a t u r a n - p e r a t u r a n
V.O.C. dium um kan dalam plakat (plakaat). Pada abad ke-19 plakat-
plakal V.O.C. itu dikum pulkan oleh M r v a n d e r C h y s daiam
suatu him punan plakat-plakat jang diberi nama „Nederlandsch In -
disch Plakaatboek” (17 d jilid ).
Sedjak permulaan, oleh pegawai V.O.C. plakat-plakat itu tidak
disusun dan dikum pulkan dengan baik serta teramr-. Akibatnja :
kira-kira tahun 1635 ada kekatjauan besar. Orang tidak lagi me­
ngetahui plakat maiiii in^sl-h fc'eri.-iJcii dan plakat mana telah ditjabut
atau diubah. Maka dari itu Gubernur-Djenderal v a u D i e m e n
(th. 1636 - th. 1646) memberi perintah kepada M r J o a n M a-e t -
s u y c k e r, Pensionnaris pada H of van Justitie di Betawi, supaja
m enjusun dan mengumpulkan plakat-plakat itu didalam suatu h im ­
punan plakat-plakat. Pada tahun 1642 di Betawi him punan plakat-
plakat itu diumumkan dengan nama „Statuten van Batavia” (Statuta
B etaw i). Pada tahun 1650 himpunan itu mendapat pengesahan dari
„H eeren Zeventien” .

13 Mr G.. A n d r e d e l a P o r t e „R ech t en rechtsbedeeling” , hal. 3 1 ;


S u p '3 m o dan D j o k o s u t o n o „Sedjarah” , I, hal. 7.

155
Statuta Betawi tidak merupakan suatu kodifikasi seperti k o­
difikasi hukum Eropah di Indonesia jang diadakan pada tahun
1848 14. Tapi ada djuga pengarang jang beranggapan Statuta B e­
tawi itu suatu kodifikasi 15. Statuta Betawi dari tahun 1642 dapat
dipersamakan dengan himpunan kitab-kitab undang-undang In d o ­
nesia („D e Indische W etboeken” ) jang tersusun oleh M r W .A.
E n g e l b r e c l i t (tjetakan terahir : 1960) atau „K itab him punan
perundang-undangan negara Republik Indonesia” , I dan II, jang
disusun oleh K.H. H u s i n (dengan kata pengantar P rof. M r D r
H a z a i r i n) dan jang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan
R.I. mulai tahun 1957.
Hukum jang berlaku di daerah jang dikuasai oleh V.O.C. ada-
lah :

a. hukum statuta ( jang termasuk dalam Statuta Betawi tahun


1642)
b. hukum Belanda jang kuno
c. azas-azas hukum Romawi.

Dalam suatu plakat dari tahun 1625 16 ditetapkan dengan te-


gas bahwa hakim dan administrasi Y.O.C. harus m endjalankan
hukum Belanda jang kuno apabila hukum statuta tidak dapat me-
njelesaikan sesuatu soal 17. Azas-azas hukum Rom aw i didjalankan
a.l. sebagai hukum jang mengatur kedudukan hukum ( rechtsposi-
tie) dari budak (m endjadi hukum budak — slavenrecht).
Hukum jang berlaku bagi orang Indonesia asli di daerah jang
dikuasai oleh Y.O.C. pada umumnja ialah hukum adat, terketjuali
— jaitu pada azasnja (karena praktek berlainan) — di daerah se-

14 Mr G. A n d r é d e l a P o r t e , ha!.. 31 ; „E ncvclopaedie van N.I.” ,


IV, hal. 29 (karangan Mr L.S. L o u w e s („S trafrecht” ) ) .
15 A..1. Dr H.T. C o l e n b r a n d e r „K olon iale geschiedenis” , II, hal.
2 1 6 ; „Encvclopaedie van N.L” , III, hal. 561 ; S u p o m o dan D j o -
k o s u t o n ' o „Sedjarah” , I, hal. 12 : „C odificatie itu ditetapkan pa­
da tanggal 5 Juli 1642” .
16 V a n d e r C h y s „Plakaathoek” , I, hal.. 1 2 6 ; lihatlah djuga S u -
p o m o dna D j o k o s u t o n o „Sedjarah” , I, ha!. 30.
17 Hal ini ditjantumkan djuga dengan tegas dalam pasal penutup ( s l o t r
bepaling) Statuta Betawi. Lihatlah „E ncyclopaedie van N.I.” , IV , hal.
1 29 ; Mr, L e m a i r e „H et W etboek van Strafrecht -o o r Nederl.-
Indië vergeleken met het Nederl. W etboek van Strafrecht” , 1935, hal.
1 ; Mr A.S. H i r s c h „Geschiedenis van het W etboek van Strafrecht
voor Ned.-Indië” , 1919, hal. 5 ; S u p o r n o dan D j o k o s u t o n o
„Sedjarah” I, hal. 30.

156
kitar kota Belaw i. Daerah ini terkenal dengan nama „Bataviase
O m m elanden” . D i daerah tersebut orans Indonesia asli dan oranaO
T im u r lain djuga taat pada hukum statuta, hukum Belanda jang
kuno dan — apabila perlu — azas-azas hukum Rom aw i. Di „Bata­
viase O m m elanden” itu berlaku azas unifikasi (unificatiebegin-
sel) is. M enurut Statuta Belawi, hukum jang berlaku bagi orang
T im u r lain (terutama orang T ionghoa) diluar „Bataviase Om me­
landen” ialah ,,usantien en costuymen” ( = adat istiadat) mereka.
Orang Belanda inem punjai pengadilan sendiri. Pada permulaan
di bagian daerah Banten jang dikuasai oleh Y.O.C. dilakukan pera­
dilan oleh G ubernur-Djenderal bersama-sama dengan Raden van
ln d ie . Seorang Fiskaal m endjadi penuntut umum. D i daerah-daerah
lain, m isalnja, di A m bon, di Banda, dilakukan suatu peradilan di-
atas kapal-kapal Y.O.C. jang pada waktu-waktu tertentu singgah
disitu (pengadilan kapal jang berk eliling). Setelah djatuhnja ke-
radjaan Jacatra, maka oleh G ubernur-Djenderal C o e n didirikan
suatu pengadilan di „Casteel van Batavia” . Suatu instruksi dari tahun
1620 m enjebu t pengadilan itu ,,d’ ordinaris luyden van den G erichte
in ’ t Ca-steel” 19. Dalam pertjakapan sehari-hari pengadilan tersebut
terkenal dengan nama „ d e regtsluyden van ’ t fo r t” . Pada tahun 1626
d iberi lagi nama „ Ordinaris R a et van Justitie binne het Casteel Ba­
tavia” . K em udian pada tahun 1798 — setelah m endjadi pengawas
tertinggi seluruh pengadilan di daerah jang dikuasai oleh orang
Belanda —■ pengadilan tersebut m endjadi „H o o g e Raad van Jus­
titie” . „D e regtsluyden van ’ t fort” terdiri atas beberapa orang pe­
gawai V.O.C. dan diketuai oleh seorang Raad van lndie. Fiskaal
m en d ja d i penuntut umum. Jang termasuk kom petensi ialah segala
perkara antara para pegawai dan antara para petugas m iliter V.O.C.
baik diluar m aupun didalam Casteel” .* Termasuk kompetensi
djuga tiap perkara jang terdjadi diluar „Casteel” antara seorang
pegawai atau seorang petugas m iliter V.O.C. dengan seorang
prem an (burger) jang m endjadi penduduk kota Betawi. Pengadilan
tersebut djuga menjelesaikan perkara apel (appelzaken) dari „C ol-
lege van S chep enen".
„C ollege van Schepenen” ialali pengadilan di kota Betawi jang
m ula m ula terdiri atas dua pegawai V.O.C. sarta dua orang preman
penduduk kota Betawi. Dalam hal m engadili perakara jang salah

18 Supomo dan D j o k o s u t o n o „Sedjarali” , I, hal. 10-11 12


14, 2 8.
19 „P lakaatboek ” , I, hal. 63.

157

f
satu fihaknja seorang Tionghoa, maka pengadilan tersebut ditambah
dengan seorang Kapten Tionghoa (Kapitein der Chinezen). K em u­
dian terdiri atas tiga pegawai V.O.C., empat orang preman dan dua
orang Tionghoa. „College van Schepenen” m endjadi pengadilan
s e h a r i - h a r i bagi penduduk (orang asli maupun orang asing) kota

Betawi. Pada permnlaan diadili perkara perdata sadja sedangkan


perkara pidana diadili oleh pengadilan „Casteel'\ K em udian ,,C olle­
ge van Schepenen” resmi (formeel) berkuasa d juga mengadili perka­
ra pidana jang timbul antara p e n d u d u k (orang asli maupun orang
asing) seluruh daerah Priangan. Tetapi kekuasaan itu tinggal „res­
mi” sadja, oleh karena dalam praktek pengadilan di daerah Pria­
ngan didjalankan oleh „G ecom m iteerde tot en over zaken van de
Inlander” . Baljuw mendjadi penuntut umum pada „C ollege van
Schepenen” . Schepenen bersama-sama dengan Baljuw m endjadi pe­
merintah kota Betawi (djadi, mereka jang melakukan peradilan
mendjadi d juga pemerintah kota Betawi). „C ollege van Schepenen”
itu boleh dianggap sebagai ,,voorloper” (pelopor) R aad van
Justitie Betawi 20.
Kira-kira pada tahun 1700 didalam kumpulan plakat-plakat ada
kekatjauan lagi, oleh karena pegawai V.O.C. dalam m enjusun dan
meng” up-to-date” kan kumpulan plakat-plakat itu lalai untuk ke­
dua kalinja. Pada tahun 1715 oleh pengurus V.O.C. di kota Betawi
direntjanakan pembuatan suatu himpunan plakat-plakat baru. Sta­
tuta Betawi dari tahun 1642 akan diterbitkan lagi setelah diperbaiki
dan ditambah. Oleh karena beberapa hal jang menghalangi, maka
penjelesaian penerbitan baru tersebut terlambat. Pada tahun 1766
Opperkoopman (Saudagar Tinggi) C r a a n m enjelesaikannja dan
penerbitan baru itu dikeluarkan dengan nama „N ieuwe Bataviasclie
Statuten” (Statuta Betawi Baru). Tetapi „H eeren Zeventien” di N e­
geri Belanda tidak mau mengesahkan Statuta Betawi Baru itu.
Apa jang mendjadi sebabnja belum dapat diketahui. Statuta B e­
tawi Baru itu dimasukkan dalam „Plakaatboek” M r v a n d e r
C h y s, djilid IX. Walaupun tidak disahkan oleh direksi di Negeri
Belanda, Statuta Betawi Baru itu didjalankan dalam praktek seba­
gai himpunan peraturan-peraturan resmi.
Hampir semua peraturan jang dikeluarkan oleli V.O.C. berlaku
sampai tahun 1843. Bagian hukum! pidana berlaku sampai tanggal

20 Lihatlah „Plakaatboek” , I, hal 59, 62, 126, 4 7 5 ; II, hal., 4 1 2 ;. I I I ;


hal. 184; VIII, ha!. 116; Dr F. d e H a a n „P riangan” , III, hal-
354; IV, hal. 639.

J58
1 D januari 186 1 (m ulai berlakunja , ,Strafwetboek” bagi golongan
hukum E ropah ) dan sampai tanggal 1 Djanuari 1873 (m ulai ber­
lakunja „S trafw etboek bagi golongan hukum Indonesia asli dan
golongan hukum T im ur asiu<r)
C*' • v
D i sam ping Peraturan-peraturan hukum Eropah tersebut, un-
tak daerah-daerah jang dikuasai V.O.C. dibuat djuga beberapa
kitab hukum jang memuat hukum adat. Oleh M r H a s s e 1 a e r,
R esiden di T jire b o n (th. 1757-th. 1765), direntjanakan pem­
buatan suatu kitab hukum adat jang akan m endjadi „suatu pem im ­
pin hukum adat pada hakim -hakim di T j i r e b o n ” 2 1 . Penjelesaian
pem buatan kitab hukum tersebut terdjadi pada tahun 1768 diba-
w ah pim pinan pengganti M r H a s s e 1 a e r. Kitab hukum adat
Jan" b oleh dianggap m endjadi suatu ,,kodifikasi hukum
adat” — terkenal dengan nama P epakem T jireb on 2 2 .
Pada tahun 1760 telah dibuat ole'h V.O.C. suatu himpunan
peraturan-pei aturan hukum Islam mengenai warisan, nikah dan
talak (p ertjera ia n ), jang tem jata dapat bertahan ham pir satu-
eetengah abad ! H im punan itu disusun oleh F r e i j e r. Orang
m engenalnja dengan nama Compendium, F reijer 23. Beberapa ba­
gian dari Com pendium F reijer ini ditjabut dengan berangsur-
angsur pada abad ke-19. Bagian teralnr (mengenai warisan) pada
tahun 1913 24.

Bagi orang Indonesia asli di daerah V.O.C., tetapi diluar „Ba-


taviase Om m elanden , berlaku hukum adat. Dai am resolusi jang
dibuat untuk m elantik Landraad di Semarang (pengadilan negeri
bagi orang biunijm iera — bagi orang Eropah diadakan suatu

21 S u p o m o dan D j o k o s u t o n o „Sedjarah” , I, bal. 36.


22 Pada tahun 190;» Pepakem T jerb on itu dipublikasi lagi oleh Dr
H a z e u dalam „V erhandelingen Bat. Genootscliap” , LV, 2, hal. I-X ,
1.-187. Lihailah djuga d e H a a n „P riangan” , IV, hal. 613, 623,
6 83 -6 8 4 , 7 2 6 -7 2 7 ; Mr D r S o e r i p t o „Ontw ikkelingsgang der Vor-
stenlandsclie W etboeken” , disertasi Leiden 1 92 9; v a n V o l l e n h o ­
v e n „O n td ck k in g van het adatrecht” , 1928, hal. 1 0 ; R.A. K e r n
dalam B .K .I., 83, hal. 317,-344; S u p o m o dan D j o k o s u t o n o
,,Sedjarah ’ , I, lial. 3 6 -3 7 ; Mr R. T r e s n a ,,Peradilan di Indonesia
dari abad ke abad” , 1957, hal. 31-35.
23 V a n K a n ,,D e rechtsgeleerde boekenschat van Batavia tentijde der
Com pagnie” dalam „V erhand. K onink. Bal. Genootscliap” , LXXII, 4,
hal. 17. C om pendium F r e i j e r itu dikeluarkan dalam bahasa Be­
landa m aupun bahasa Malaju.
24- L.N.H.B. 1913 Nr 354. Lihatlah v a 11 K a n dalam B .K .I ., 102
( 1 9 4 3 ), hal. 453.

159
1. „A lgem eene Bepalingen van W etgeving voor Nederlandsch In-
die” (disingkatkan A.B. Indonesia) (Ketentuan-ketentuan
Um um mengenai Perundang-undangan di Indonesia), setelah
diterim a maka diundangkan (afgekondigd) dalam L.N.H.B.
1847 Nr 23
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (K.U.H . P erdata), L.N.­
H.B. 1847 Nr 23.
3. K itab Undang-undang Hukum Dagang (K.U.H . D agang), L.N.­
H.B. 1847 Nr 23.
4. „R eglem ent op de Rechterlijke Organisatie en het B eleid der
Justitie (disingkatkan R.O.) (Peraturan Susunan P engadi­
lan dan Kebidjaksanaan D justisi), L.N.H.B. 1847 N r 23.
5. „E nige Bepalingen betreffende de Misdrijven begaan ter ge-
legenheid van Faillissement en bij Kennelijk Onvermogen
mitsgaders bij Surseance van Betaling” (Beberapa Ketentuan
mengenai Kedjahatan jang dilakukan dalam Keadaan Palit
(Kepalitan) dan dalam Keadaan Njata-tidak-mampu m em bajar,
djuga dalam hal Surseansi Pem bajaran), tidak berlaku lagi.

Persiapan m endjadikan berlaku peraturan-peraturan tersebut


dikerdjakan oleh M r H.L. W i c h e r s, anggauta Raad van State
Belanda, jang diperbantukan pada G ubem ur-D jenderal. Tugas
Gubernur-Djenderal ialah mendjadikan berlaku peraturan-peratu­
ran tersebut.
Oleh W i c h e r s diadakan beberapa perubahan dalam R.O.
dan selandjutnja oleh W i c h e r s direntjanakan beberapa pera­
turan jang dirasa perlu sebagai penambahan apa jang telah di­
buat M r S c h o l t e n v a n O u d H a a r 1 e m. K em udian pera­
turan-peraturan jang dibuat M r W i c h e r s itu disahkan G uber­
nur-Djenderal. Peraturan itu :

6. „Reglem ent op de Strafvordering voor de Raden van Justitie op


Java en het H oog Gerechtshof” (Peraturan A tjara Pidana bagi
Raden van Justitie di tanah Djawa dan bagi H oog G e r e c h t s h o f ) ,
jang pada djam an sekarang masih didjalankan apabila hukum
m ateriil memerlukan m endjalankannja, L.N.H.B. 1847 Nr 40 jo
1849 Nr 63
7. „Reglem ent op de Rechtsvordering voor de Raden van Justitie
op Java en het H oog Gerechtshof” (Peraturan A tjara Perdata
bagi Raden van Justitie di tanah Djawa dan bagi H oog Ge*

162
rech tsh of), jang pada djam an sekarang m asih didjalankan apabi­
la hukum m ateriil memerlukan m endjalankannja, L.N.H.B.
1847 N r 52 jo 1849 Nr 63
8. „R èglem ent op de U itoefening van de P olitie, de B urgerlijke
Rechtspleging en de Strafvordering onder de Indonesiërs (g o ­
longan hukum Indonesia asli) en de Vreem de Oosterlingen (g o ­
longan hukum T im ur asing) op Java en M adoera” , L.N.H.B.
1848 N r 16 jo N r 57. Sekarang berlaku sebagai „R eglem èn
Indonesia jang diperbaharui (B a ru )” (disingkatkan „R .I.B .” )
(„H erziene Indonesisch Règlem ent” ) (disingkatkan „H .I.R .” )
9. „B ijzon d er Bepalingen ter Verzekering der regelm atige W er-
king van de Nieuwe W etgeving in de Bezittingen buiten Java
en M adoera” , tidak berlaku lagi.
10. „B epalingen tot Regeling van enige Onderwerpen van Strafwet-
geving, welke een dadelijke V oorziening vereisen” (terkenal de­
ngan nama „intérim aire strafbepalingen” ) , tidak berlaku lagi.

A hirn ja, M r W i c h e r s m erentjanakan suatu peraturan pen-


djalankan ( invoeringsverordening) jang bernama „B epalingen om ­
irent de Invoering van- en de Overgang tot de Nieuwe W etgeving” ,
L.N.H.B. 1848 N r ÎO , disingkatkan „Invoeringsbepalingen” („P e ra ­
turan Pendjalankan’ ,) atau „O vergangsbepalingen” („P eraturan
Peralihan” ). Oleh karena peraturan pendjalankan ini, maka k o d i­
fikasi hukum privat E ropah m endjadi berlaku pada tahun 1848.
Pasal I „Peraturan Peralihan” menerangkan bahwTa pada wak­
tu kodifikasi hukum E ropah m ulai berlaku, maka 'hukum Belanda
.ja n g kuno, hukum R om aw i dan semua statuta dan plakat dengan
sendirinja diganti dengan peraturan-peraturan baru itu. T ep ap i m e­
nurut pasal 2 hal tersebut tidak m engenai hukum pidana 31. Maka
hukum pidana V.O.C. masih berlaku. D alam pasal 8 L.N.H.B. 1847
Nr 23 G ubem ur-D jenderal diberi tugas mengusahakan persiapan
suatu rentjana kitab undang-undang hukum pidana untuk In d o­
nesia.
K odifikasi hukum pidana d i Indonesia dibuat pada tahun 1866
(L.N .H .B. 1866 Nr 55) bagi golongan hukum Eropah, selandjutnja,
pada tahun 1872 (L.N .H .B. 1872 N r 85) bagi golongan hukum In ­

31 Untuk sedjarah hukum pidana, chusus ¡hukum pidana ja n g diim port


dari Negeri Belanda, lihatlah ringkasan dalam buk u kam i „H u ku m
Pidana I ” , 1960, hal. 7-56, jan g m em uat suatu daftar pem batjaan
jan g menurut perasaan kami „com p leet” (le n g k a p ).

163

I
donesia asli dan bagi golongan hukum Timur asing 32. Sampai tang­
gal 1 Djanuari 1867 bagi golongan hukum Eropali berlaku suatu
hukum pidana jang dibuat Y.O.C., hukiim pidana Belanda jang
kuno, azas azas hukum pidana Romawi dan „intérimaire strafbe-
palingen” dari tahun 1848, sedangkan sampai tanggal 1 Djanuari
1873 bagi golongan hukum bukan-Eropah berlaku — resmi ( ! ) , ka­
rena praktèk berlainan — hukum pidana adat (pasal 25 ajat 3
A .B .).
„Strafwetboek” bagi golongan hukum Eropah dari tahun 1866
— berdasarkan azas konkordansi jang tertjantum dalam pasal 75
ajat 1 redaksi lama R.R. 1854 —Lmendjadi tiruan dari Code Pé­
nal Perantjis, jang sedjak taliun 1910 berlaku d juga di Negeri Be­
landa. „Strafwetboek” bagi golongan hukum bukan-Eropah dari
tahun 1872 mendjadi tiruan dari „Strafwetboek” dari tahun 1866
tersebut. Tetapi tiruan jang disebut terahir ini mengandung d juga
beberapa perketjualian.
Pada tahun 1915 dibuat kodifikasi hukum piduna Indonesia
jang baru. Kodifikasi itu pada azasnja bermaksud m ewudjudkan
suatu azas unifikasi, jakni satu hukum pidana, bagi semua golongan
rakjat dan golongan hukum di wilajah Indonesia. Setelah dileng­
kapi dengan suatu peraturan pendjalankan (invoeringsverordening)
maka kodifikasi hukum pidana jang baru itu mulai berlaku pada
tahun 1918, L.N.H.B. 1915 Nr 732 jis L.N.H.B. 1917 Nr 497 dan
Nr 645. „W etboek van Strafreclit” dari tahun 1915 ini adalah tiruan
kitab undang-undang hukum pidana Belanda dari tahun 1881 (lihat­
lah pasal 131 ajat 3 (I.S.).
Pada tahun 1946 di wilajah Republik Indonesia Proklamasi
,,'Welboek van Srafrecht” dari tahun 1915 disesuaikan sebanjak-
mungkin dengan keadaan jang seharusnja di suatu negara nasional.
Beberapa ketentuan jang tidak sesuai lagi dengan keadaan di negara
nasional Indonesia karena bersifat kolonial, ditjabut berdasarkan
Undang-undang R.I. tahun 1946 Nr 1, Berita R I. Tahun II N r 9
(15 Maret 1946). Lihatlah djuga Undang-undang R.I. tahun 1946

32 Mr W. d e G e l d e r „H et Strafrecht in N e d o r l a n d s c h - I n d i ë ” , 1886
(tjetakan k e -I ), 1897 (tjetakan ke-II, d is a d u r oleh Mr M.S. K o s -
t e r ) , 1914 (tjetakan ke.-III, disadur oleh Mr J.. D u p a r c ) ; Mr
C.W. M a r g a d a n t ,,VerkIaring van de Nederl. Ind. strafwet-
hoeken” , 1895; Mr G.A. v a n H a m e 1 d a la in m a d j a l a h „D e I n -
disehe Gids” , 1882, II, hal. 1 45; Mr A.C.H. G r a a f 1 a n d „Iets over
stra f we tgevi n g en strafreclitelijke hegrippen in den IN7ederî.-Ind. Ar­
c h i p e l ” , disertasi Amsterdam 1938.

164
N r 20 (m engenai sualu hukum an tutupan), Berita R .I. Tahun II
N r 24 (1 dan 15 N opem her 1946)33.
Karena „W etb oek van Strafrecht'’ jang berlaku di w ilajah R e ­
publik Indonesia Proklam asi jang diduduki oleh pem erintah Hin-
dia-Belanda tidak mengalami perubahan jang dimaksud oleh Un­
dang-undang R.I. tahun 1946 Nr 1 dan oleh Undang undang R.I.
tahun 1946 N r 20, maka m ulai tahun 1946 berlaku di Indonesia
dua kitab undang-undang hukum pidana, jakni di w ilajah R epublik
Indonesia Proklamasi jang kita kuasai (lebih tepat : di pulau-pulau
D j awa, M adura dan Sumatra), kem udian di w ilajah hekas-negara
bagian R epublik Indonesia dari bekas-Republik Indonesia Serikat
tahun 1950 serta w ilajah bekas-Daerah Pulihan, berlaku K.U.H.
Pidana tahun 1946, sedangkan di w ilajah R epublik Indonesia P ro ­
klamasi jang diduduki oleh pem erintah Hindia-Belanda, kem udian
di bagian wilajah R epublik Indonesia jang tidak termasuk wila j ah
hekas-negara bagian R epublik Indonesia dari bekas-Republik Indo-
sia Serikat tahun 1950 serta wilajah bekas-Daerali Pulihan, tetap
berlaku „W etb oek van Strafrecht” dari tahun 1915 itu 34. Dualisme
ini diahiri pada tanggal 29 September 1958 oleh Undang-undang
lahun 1958 N r 73, L.N. 1958 N r 127. Pasal I undang-undang ini
menentukan bahwa „Undang-undang No. 1 tahun 1946 R epu blik In ­
donesia tentang peraturan hukum pidana dinjatakan berlaku untuk
seluruh w ilajah R epublik Indonesia” . D jadi, sedjak tanggal 29 Sep-
iem ber 1958 di Indonesia berlaku lagi satu kitab undang-undang
hukum pidana, seperti halnja sebelum tahun 1946, jaitu K.U.H . P i­
dana 1946, jang pada azasnja adalah „W etb oek 'va n Strafrecht” dari
lahun 1915 jang direvisi pada tahun 1946.

33 Lihailah karangan Mr v a n M a a n e n „H et strafrecht in de R e-


puhliek” dalam T. lahun 1947, hal. 191 dan 240, dan tjatalan-tjata-
tan Mr J.D. v a n d e r M e u 1 e n ,,De oorspron g van de straf van
opsluiling” dalam „M ededelingcn van het Docum entatiebureau voor
overzees reeht” , 1953, hal. 103.
34 Mengenai persoalan ini dan akibalnja lihailah karangan „T erritoriale
vcrscheidenheid in het Indonesisclie wetboekenstrafrecht” dalam „M e-
dedelingen v.h„ Docum entatiebureau voor overzees reeht” , 1953, hal.
28, dan tjatataii-ljafafau Mr H a n B i n g S i o n g dalam „M adjalah
Hukum dan Masjarakat” , IV, 1, hal. 23,-28. Tjatatan-tjafafan ini oleh
Mr H a n diteruskan dalam m adjalah „H u k u m ” , 1959, 5 /6 , hal. 31-
4 4 (den gan tjatatan-ljafatan Mr O e m a r S e n o A d j i dan Mr
W irjono Prodjodikoro pada hal., 45,-54), dalam him punan
„B eberapa tindjauan ilmu liukum ” , 1959, hal. 3 -5 6, dalam madjalah
,,Hukum dan Masjarakat” , 1960, I, hal. 53-66, dalam m adjalah ,,Me­
dan Ilm u Pengetahuan” , I, 2, hal. 148-197, dan II, 2, hal. 103-156.
Ahirnja, seluruh persoalan ini oleh Mr H a n ditjakup dalam „A n -
Outline o f the Recent History o f Indonesian Criminal Law” , 1961.

165
Kodifikasi hukum jang diadakan pada tahun 1848 tidak me­
ngenai hukum adat. Tetapi walaupun demikian, masih djuga adanja
hukum adat itu diketahui. Lihatlah paenl-pasal 11 dan 25 ajat 3
A.B.. Di samping itu, Mr W i c h e r e diberi tugas m enjelidiki
kemungkinan hukum privat adat orang Indonesia asli dan hukum
privat adat orang Timur asing dapat diganti dengan suatu kodifikasi
jang didasarkan atas sistim hukum Eropah. Usaha ini terdorong
oleh tiga anggapan jang kuat pada waktu itu, jakni „baikpun ter­
hadap bangsa Timur-asing, maupun terhadap bangsa Indonesia,
adalah kepentingan perniagaan bangsa Eropah, jang mendorong
^ich ers untuk membentuk rentjana-undang-undang jang mengatur
diperlakukannja hukum Eropah (die de toepasselijk-verklaring van
het Europese recht regelt)” 3^, pentingnja suatu kodifikasi dinilai
lebih dari pada semestinja (aliran legisme) dan hukum adat dinilai
lebih rendah dari pada hukum Eropah 36.
Pada waktu setelah kodifikasi tahun 1848, timbul „d e strijd om
het adatrecht” (kata-kata v a n K a n). Mr W i c h e r s berpen­
dapat bahwa sebagian hukum Eropah harus didjadikan berlaku
djuga bagi orang bukan Eropah (gedeeltelijke toepasselijkverklaring
van Europees recht). Raad van Indie — pada permulaan — menje-
tudjui anggapan W i c h e r s itu. Tetapi Gubernur-D jenderal
R o c h u s s e n menentangnja dengan se'liebat-hebatnja. R o c h u s -
s e n sama sekali tidak mau mengubah status hukum privat orang
bukan-Eropah, djadi, bagi mereka tetap harus berlaku hukum adat
sepenuh-penuhnja 37. Kemudian, W i c h e r s mendapat seorang ka­
wan sependapat, jarig memangku suatu djabatan tinggi, jaitu Gu-

35 S u p o m o dan D j o k o s u t o n o „Sedjarah politik hukum adat ,


II, hal. 55.
36 V a n K a n „Uit de geschiedenis onzer Codificatie” , hal. 161. Di-
kemukakan v a n K a n bahwa pada waktu itu ,,liet adatrecht met
eene inbreuk' zonder weerga bedreigd was” (hidupnja hukum adat
diantjani setjara keras) (hal. 1 6 2 ). Lebih landjut S u p o r n o dan
Djokosutono „Sedjarah politik hukum adat” , II, 'hal. 40 djb.
* V an K a n, lial. 170-171. Boleh dikatakan bahwa di abad ke-19
banjak orang beranggapan bahwa orang Indonesia asli belum da­
pat ditundukkan pada hukum privat Eropah. Tetapi lainlah ang-
gapannja terhadap status hukum privat orang Tim ur asing. Buk-
tinja adalah L.N.H.B. 1855 Nr 79. Perlu djuga dikemukakan alasan
jang mendorong masih menolaknja hukum privat Eropah didjadikan
berlaku djuga bagi orang Indonesia asli : „baikpu n „„F a ctory” ” , mau­
pun Kochussen, tidak menolak berlakunja hukum Eropah, oleh ka­
rena terdorong oleh maksud untuk memperhatikan kepentingan bang­
sa Indonesia,akan tetapi lianjalah, oleh karena kepentingan pem e­
rintah Belanda memaksanja” (S u p o m o dan D j o k o s u t o n o
„Sedjarah” , II, hal. 6 8 ) .

166
bernur-Djen derai D u y m a e r v a n T w i s t. H upanja sekarang
hidupnja hukum adat sudah tentu akan dibabiskan. Tetapi dengan
sekonjong-konjong Raad van Indie menentang konsepsi m endjadi­
kan berlaku bagi orang Indoneaia asli sebagian hukum Eropah itu.
Konsepsi tersebut dibantahnja dengan sekeras-kerasnja dalam suatu
nasehat tertanggal 23 Desember 1853 Nr I V 88. Pada permulaan
tahun 1854 bantahan itu dapat mengalahkan Gubemur-D jenderal
D u y m a e r v a n. T w i s t. Akibatnja, hanja orang Tim ur asing
ditundukkan pada sebagian hukum Eropah. Hal ini terdjadi ber­
dasarkan L.N.H.B. 1855 Nr 79 39 (lihatlah dibawah nanti par. 3).
Dengan mendapat kekalahannja pada tahun 1854, M r W i -
c h e r s memperlihatkan tidak berhasilnja memberi djawaban atas
pertanjaan : bagi orang Indonesia asli hukum Eropah atau hukum
adatkah ? Pertanjaan ini terbuka sampai permulaan abad ke-20.
Hukum adat mendapat perhatian dalam pasal 11 A.B. Pasal ini
menerangkan bahwa : terketjuali dalam 'hal-hal orang Indonesia asli
dan orang jang dipersamakan dengan mereka (orang Tim ur asing,
pasal 8 A.B.) dengan sukarela mentaati (vrijwillige onderwerping)
peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum dagang jang berlaku
ba<ri colongan rakjat Eropah atau dalam hal-hal bahwa bagi m e­
reka berlaku peraturan-peraturan perundang-undangan sematjam
itu atau peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka hu-

38 V a n K a n, hal. 177-178.
39 Batjalah P rof. S u d i m a n K a r t t o d i p r o d j o „Pengantar tata
hukum di Indonesia” , 1957, hal. 133-136 : „U ntuk menjalurkan ba­
rang-barang jang dimasukkan kepem akainja dan untuk m em per­
oleh barang-barang jang dikeluarkan golongan Eropah memerlukan
penghubung pula. Dalam hal ini jang dipergunakan ialah golongan
Tim ur Asing, istimewa bagian Tionghoa jang m em ang dapat dika­
takan sudah lama memegang kedudukan ini” (hal. 1 3 3 ), „Karena
demikianlah, maka golongan Eropah dalam lapangan perdagangan
m empunjai hubungan erat dengan golongan Tim ur Asing” (hal. 1 3 4 ),
„K alau golongan Indonesia m empunjai hak untuk tetap takluk pada
hukumnja sendiri, tidak demikianlah, setidak-lidaknja kurang-kurang
hak itu pada golongan Tim ur Asing, karena mereka, seperti golongan
Eropah, orang asing, datang ke Indonesia itu hanja untuk mentjari
laba dan keuntungan sadja — menurut laporan Mr C. S a n d o n -
b u r g M a l t l i i e s e n tertanggal 15 Nopember 1855” (hal. 1 3 4 ),
„Peraturan ini” — L.N.H.B. 1855 ¡Nr 79 — „lahirnja, tidak karena
dibutuhkannja oleh golongan Tim ur Asing, tidak karena kesadaran
hukum golongan Tim ur Asing menghendakinja, akan tetapi atas de­
sakan dan karenanja untuk kepentingan golongan Eropah, istimewa
kaum dagang, djadi semata-mata berdasarkan politik hukum Belanda
dahulu. Kepentingan maka jang dinjatakan berlaku dalam peraturan
ini ialah apa jang dapat mendekati kepentingan golongan Eropah
dalam pengliubungannja dengan golongan Tim ur Asing, ......................”
(hal. 1 3 5 ).

167
ku m jang berlaku dan didjalankan oleh hakim -bagi mereka ialah
hukum adat mereka (disebut „godsdienstige wetten, volksinstellingen
en gebruiken” = undang-undang (hukum ) agama, lem baga kebu-
dajaan rakjat dan kebiasaan), asal sadja hukum adat itu tidak ber­
tentangan dengan azas-azas keadilan jang diakui (diterim a) umum.
Kesimpulan : bagi golongan hukum bukan-Eropah pada azasnja
berlaku hukum adat mereka. Ada perkeijualian apabila mereka :

a. dengan sukarela mentaati peraturan-peraturan hukum perdata


dan hukum dagang jang berlaku bagi golongan hukum Eropah
b. karena keperluan hukum mereka meinerlukannja, tunduk pada
hukum perdata dan hukum dagang bagi golongan hukum
Eropah.
c. karena keperluan hukum mereka meinerlukannja, tunduk
pada hukum lain.

Azas jang tertjantum dalam pasal 11 A.B. ini kemudian dim a­


sukkan kedalam pasal 75 ajat 3 lama R.R. 1854. Tetapi ada satu
perbedaan dengan pasal 11 A.B., karena dalam pasal 75 ajat 3
redaksi lama R.R. 1854 tersebut tidak diberi kemungk inan kepada
golongan nukum bukan-Eropah tunduk pada sualu hukum lain,
jakni suatu hukum lain jang berlaku bagi mereka, karena keper­
luan hukum mereka meinerlukannja (hukum jang diatas disebut
pada sub c).
Pada tahun 1919 pasal 75 redaksi lama R.R. 1854 mendapat
perubahan besar. Riwajat perubahan ini sangat menarik perhatian,
y' Pada permulaan abad ke-20, baik di Negeri Belanda maupun
di Indonesia, kuat lagi aliran-aliran jang m enljiptakan suatu k od i­
fikasi hukum adat 40. Oleh karena antara tahun 1870 dan tahun
1900 beberapa fihak telah mengemukakan bahwa golongan hukum
Indonesia asli, terutama orang Indonesia jang beragama K eristen,
memerlukan suatu kodifikasi dari hukum adatnja, jang lelah m en­

40 Van Vollenlioven „Adatreeht” , II, 819 djb., memberi sua-


sar historis tentang perubahan pasal 75 redaksi lama R.R*
ld o 4 sehingga mendjadi pasal 75 redaksi baru R .R . 1854. Iclilisar
i** i* i 1 . Sup omo dan D j o k o s u t o n o „Sedjarah” , II,
hal. 119 djb..; ichtisar ringkas dalam karangan P rof. Mr Dr R. S u -
p o mo „H ukum adat dikeniudian hari berhubung dengan pem bi­
naan negara Indonesia” dalam „H ukum ” 1952, 4 /5 , hal. 3 djb.,
(djuga dimuat dalam buku S u p o m o „B ab-bab tentang hukum
adat” , 1962, hal. 5 -2 0 ).

168
dekati hukum Eropah maka pada tahun 1900 menteri Belanda
untuk daerah koloni, C r e m e r, m em beri perintah kepada M r
Carpentier Alting memeriksa kemungkinan m engkodifi-
kasi hukum adat di daerah Minahasa. Maksud C r e m e r supaja
terlebih dahulu diadakan kodifikasi lokal (kedaerahan), kemudian
akan diadakan suatu kodifikasi hukum adat untuk seluruh wilajah
Indonesia.
Pada tahun 1902 Mr C a r p en ti e r Alting menjelesai-
kan penjelidikan dengan membuat suatu laporan. Laporan ini („R e-
geling van het privaatrecht voor de Inlandsche bevolking in de
Minahassadistricten der residentie Menado” ) mendapat bantahan
keras dari beberapa ahli hukum, jaitu Mr I.A. N e d e r b u r g h
dan M r F.C. H e k m e i j e r. Menurut bantahan itu, maka dapat
disangsikan apakah rentjana kodifikasi C a r p e t i e r Alting
dapat dipraktekkan setjara baik dan sungguh-sungguh sesuai dengan
keperluan hukum dari orang Minahasa, oleh karena bagian terbesar
dari rentjana tersebut didasarkan atas sistim hukum Eropah.
Laporan Carpentier Alting tidak diperdebatkan da­
lam dewan perwakilan rakjat Belanda, olah karena pada tahun
1901 m enteri C r e m e r telah diganti oleh seorang menteri lain.
Salah seorang menteri koloni setelah C r e m e r ialah I d e n -
b r g h. Menteri ini berpendapat lain, jaitu jang diperlukan di-
Indonesia ialah suatu unifikasi hukum, dan unifikasi itu pada aza&-
nja harus didasarkan atas sistim hukum Eropah. Anggapan I d e n -
b u r g h ini dimasukkannja dalam suatu usul-undang-tmdang jang
bermaksud mengubah redaksi (lama) pasal-pasal 1 5 dan 109 R.R.
1854. Usul-undang-undang tersebut disampaikan kepada dewan per­
wakilan rakjat Belanda pada tanggal 15 Nopember 1904. Perlu di-'
tjatat bahwa pentjipta aliran unifikasi jang diterima I d e n b u r g h
ini 6ebetulnja Prof. Mr L.W.C. v a n d e n B e r g, bekas-gurubesar
pada Lembaga Pendidikan Pegawai Pamong Pradja untuk Hindia-
Belanda di kota Delft 41. Usul-undang-undang tersebut boleh diang­
gap m endjadi buah fikirannja.
Unifikasi hukum berarti hukum adat akan didesak. Jang me­
nentang 8ehebat~liebatnja konsepsi unifikasi tersebut, karena 'hukum
adat akan terdesak („verdringing van het adatrechl” ), ialah v a n
V o l l e n h o v e n , jang pada waktu itu telah diangkat mahaguru

41 Su p o m o dan Djokosutono „Sedjarah” , II, hal., 139.

169

i
pada Universitas Leiden 42. y au y o 11 e n h o v e n Iah jang se­
nantiasa membela hukuni adat terhadap pendesakan dan keperko-
saan ari fihak pemerintah (administrasi negara) serta hakim. Li-
apa jang akan kami bitjarakan dalam Bab IV , pari 5.
^ T aile^a^an l1nifikasi dikemukakan djuga oleh M r N e d e r -
U r i o ^ akm P^datonja di muka „Indisch G enootschap” pada
tanggal 2 Desember 1905 43. Menurut N e d e r b u r g h, pada ha­
ri 'emu ian harus berlaku satu hukum privat bagi semua golongan
an golongan rakjat. Oleh N e d e r b u r g h dit jiplakan
suatu „algem een landrecht” (hukum negeri um um ). Hukum ter-
se ut a an mengganti hukum Eropah maupun hukum adat. Hukum
negeri umum itu nierupakan suatu sintese antara hukum
Eropah dan hukum adat 44 .

Usul-undang-undang jang disampaikan I d e n b u r g kepada


e%van perwakilan rakjat Belanda pada tahun 1904 itu baru diper-
re at an pada tahun 1906. Jang m em belanja dalam perdebatan
ialah menteri F o c k, j ang telah mengganti I d e n b u r g h pada
u an Nopember 1904 itu pula. Dalam perdebatan tersebut konsepsi
odifikasi maupun konsepsi unifikasi mendapat tentangan hebat
dari beberapa anggauta dewan perwakilan rakjat. A hirn ja, pada
tanggal 10-12 Oktober 1906 suatu amendemen jang diusulkan ang­
gauta v a n I d s i n g a diperdebatkan dalam dewan perwakilan
rakjat Belanda itu. Amendemen tersebut diterima oleh bagian besar-
nja. Berkat amendemen itu a n g ga p a n unifikasi dikeluarkan dari

^ l^aj31' « 3? v a n V o I I e n h o v e n „G ecn juristenrecht voor den In-


an, f* “ alam madjalah „D e XXste Eeuw” , 1905 (d ju g a dalam „A dat-
reci 2 2 ), „M iskenningen van liet adatrecht” , 1909, kara­
ngan ,, e strijd voor het adatrecht” dalam madjalah „D e Gids” , 1917,
reclit” ^aran^an Ia*n jang semuanja dihim punkan dalam „Adat-

43 T a ?jQ1j h ” ™ et en Adat” 1896, I, hal. 331-350, karangan dalam


r j in , keterar,gan pada Mr J.H., C a r p e n t i e r Alting
V g fo 11. S:r rechlsbedeeling in Nederl. Indie” , tjletakan pertam a
tT , " r ; Beberapa konsepsi lain : Mr J.H. C a r p e n t i e r A l ,
Mr” W A P F I f 1 n * j e s, Mr C. v a n V o I I e n h o v e n dan
, / • W mckcl „Vierentwintig onlwerpen over Indisch
1909- v i™ en Regeeringsreglement met uitw erking)” ,
en in o u** ^ I A - N e d e r b u r g h „ D e nieuwe artikelen 75
groeien zal” ” 1 ed,~*ndi*che Regeeringsreglement en wat er uit
u1“ ™ ” De In *sch e Gids", 1907, II, hal. 1493 djb.,
1906” . * omen,ar atas „Oudejaarswetten van 31 D ecem ber

^ dialah 3 ^ * H a^ ” ? annj a ^Codif icatie van adatrecht” dalam ma-


fadatrecht
d a t r L h f ’ , fcerste
Eersti bundel (Algemeen
1929’ ddan
e e l),buku »H oofdstukken over
1933.

170
usul-undang undang tersebut, tetapi anggapan kodifikasi diteruskan.
Redaksi amendemen v a n I d s i n g a ialah redaksi a ja t 2 sub b
dari pasal 113 I.S. sekaraug.
Pada tanggal 31 Desember 1906 usul undang-undang jang ber­
maksud mengubah redaksi lama pasal-pasal 75 dan 109 R.R. 1854
didjadikan undang-undang. Undang-undang ini terkenal dengan na-
ma „O udcjaarsicetten van 31 D ecem ber 1906” .
Tetapi undang-undang jang bara itu tidak berlaku dengan se­
gera. Masih diperlukan ketentuan peralihan dan ketentuan perali­
han tersebut baru sadja dibuat pada tahun 1915 ! Jang membualnja
ialah m enteri P 1 e y t e. Baru pada tahun 1919 lah pasal-pasal 75
dan 109 R.R. 1854 „resm i” mendapat redaksi jang baru itu.
Pada tahun 1925 dibuat I.S.. Pasal-pasal 75 redaksi baru dan
109 redaksi baru R.R. 1854 dimasukkan kedalam I.S. dengan me­
ngalami perubahan jang sangat-sangat ketjil sadja. Perkataan„al-
gemene verordeningen” (peraturan umum) diganti dengan perka­
taan „ordonnantie” . Mengenai lainnja, maka redaksi kedua keten­
tuan tersebut tidak mengalami perubahan. Pasal 75 redaksi baru
R-R. 1854 sekarang pasal 131 I.S., sedangkan pasal 109 redaksi baru
R-R. 1854 sekarang pasal 163 I.S. ~>
Antara redaksi lama pasal 75 R.R. 1854 dan pasal 131 I.S. ( —
redaksi baru pasal 75 R.R. 1854) ada beberapa perbedaan penting:

1- pasal 131 I.S. memuat suatu tugas bagi pem buat ordonansi se­
dangkan pasal 75 redaksi lama R.R. 1854 memuat suatu tugas
bagi hakim. Maka dari itu pasal 131 I.S. m endjadi pasal kodi­
fikasi (codifikatie-artikel) pada djaman Hindia-Belanda. A jat
1 m endjadi pasal kodifikasi hukum atjara serta hukum pidana,
ajat 2 sub a m endjadi pasal kodifikasi hukum privat Eropah
dan ajat 2 sub 2 b mendjadi pasal kodifikasi hukum privat adat.
2. pasal 131 ajat 2 sub a I.S. memberi kesempatan untuk menga­
dakan perketjualian terhadap azas konkordansi Pembuat or­
donansi dapat :

a. menetapkan hukum chusus jang menjesuaikan keperluan


hukum golongan hukum Eropah dengan keadaan chusus di
Indonesia.
b. menetapkan hukum jang berlaku bagi beberapa golongan
hukum bersama-sama.

171
Kemungkinan untuk mengadakan kedua perketjualian tersebut
tidak disebut dalam pasal 75 ajat I redaksi lama R .R . 1854. Da­
lam ketentuan ini azas kondordansi didjalankan penuh !
Beberapa perketjualian terhadap azas kondordansi ialah :

1. „Ordonnantie op de Overschrijving van de E igendom vaii


Vaste Goederen en het Inschrijven van H ypotheken op de-
zelve in Indonesie” (disingkatkan „O verschrijvingsordon-
nantie” ), L.N.H.B. 1834 Nr 27 45.
2. Peraturan „Oogstverband” , L.N.H.B. 1886 Nr 57.
3. Instruksi Balai Harta Peninggalan (Instructie Weeskamer)
(urusan perwakilan (voogdij) dan kurator (curator, penga­
w as)), L.N.H.B. 1872 1 6 6 ^6 .
pasal 131 I.S. menjebut empat kemungkinan bagi pem buat or­
donansi untuk m enjimpang dari hukum adat :

a. orang bukan-Eropah dapat ditundukkan pada hukum Ero-


pah.
b. orang bukan-Eropah dapat ditundukkan pada hukum Ero-
pah jang telah diubah.
c. orang bukan-Eropah dapat ditundukkan pada hukum ber­
sama-sama (gemeenschappelijk recht).
d. orang bukan-Eropah dapat ditundukkan pada hukum baru
(nieuw recht), sedangkan pasal 75 redaksi lama R.R. 1854
m enjebut kemungkinan bagi hakim menundukkan orang
bukan-Eropah hanja pada hukum Eropah sadja. K em ung­
kinan untuk menundukkan mereka pada suatu hukum lain
(lebih luaslah redaksi pasal 11 A.B. !) tidak ada.

restriksi jang tertjantum dalam pasal 75 ajat 3 redaksi lama R.R.


1854 (hukum adat tidak boleh bertentangan dengan „azas-azas

M engenai „O versch rijvin gsord on n an tie” ini, ja n g lid ak ada lagi per-
samaanja di Negeri B elanda, hatjalah B. O c k e r s „ I n - en o v e r­
schrijving in N ederland en N ederlandach-Indie” , disertasi L eid en 1 9 2 8 .
M engenai „w eesk am er” ini, ja n g lidak lagi dikenal di N egeri B elan da,
batjalah M r A.A. de V r i e s „ D e In disch e w eeskam ers in h et v o o g -
dijrecht” dalam „T h e m is ” , 7 7 ( 1 9 1 6 ) , hal. 2 8 3 , d an „H e t rechtskarak.-
ter d er Indische weeskam ers” dalam „T h e m is ” , 7 9 ( 1 9 1 8 ) , hal. 4 0 9 ;
M r R . v a n H i n l o o p e n L a b b e r t o n dan M r D r C.. S m i t dua
„p ra e-ad v ies” di m uka Nederl. Snd. Juristencongres tahun 193 1 „ D e
weeskam ers als faillissem entscuratrice” dalam T . 1 33, hal. 6 7 3 dan
hal., 705.
keadilan” ) dan kemungkinan untuk menambah hukum adat
dengan „azas-azas hukum privat Eropah” seperti jang tertjan-
tum dalam pasal 75 ajat 6 redaksi lama R.R. 1854, tidak dite­
ruskan dengan tegas (niet uitdrukkelijk) dalam pasal 131 I.S.
Libatlah apa jang akan kami katakan di par. 5 dari Bab IV.

K em ungkinan untuk mendjadikan berlaku (toepasselijk verkla-


reu, Djojodigo^no memakai istilah Djawa : penerapan)
hukum Eropah bagi golongan hukum bukan-Eropah diatur dalam
pasal 163 ajat 5 I.S.. “
Sampai sekarang belum diadakan suatu kodifikasi hukum adat.
Prof. L o g e m a n n mengatakan 47: „D e opdracht om 'het privaat-
recht voor de inlanders te codificeren is een ijdel woord gebleven”
(Tugas untuk m engodifikasi hukum privat jang berlaku bagi go­
longan hukum Indonesia asli telah mendjadi suatu djandji jang
tidak ditepati). Tetapi pada fihak tertentu pernah direntjanakan
suatu usaha. Pada tahun 1920, dan diumumkan pada tahun 1923,
oleh M r C o w a n dibuat suatu rentjana kodifikasi hukum perdata
jang didasarkan alas sistim hukum Eropah dan jang diharapkan
berlaku bagi semua golongan hukum dan golongan rakjat di Indo­
nesia (unifikasi hukum perdata Indonesia). Rentjana ini, jang ber­
nama „O ntw erp voor een op alle bevolkingsgroepen toepasselijk
Burgerlijk W elboek voor Nederlandsch-Indie” 4S, dibantah dengan
keras oleh v a n V o 1 1 e n h o v e n 49. Pengaruh v a n V o l l e n -
h o v e n menang dan usaha C o w a n tidak didjadikan undang-
undang (ordonansi).
Dalam undang undang dasar sementara tahiui 1950 dahidu ter­
muat suatu pasal kodifikasi, jaitu pasal 102 50 : „Hukum perdata
dan hukum dagang, hukum atjara perdata dan hukum atjara pida­
na, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-un­
dang dalam kitab-kitab hukum ketjuali djika pengundang-im-
dang menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam un­
dang undang tersendiri” . Pasal ini mengenai kodifikasi sem ua hu­
kum di Indonesia, dan akibatnja ialah di hari kemudian djuga

47 L o g e m a n n „Staatsrecht van NederL In d ie” , 1947, hal. 44.


48 1923.
49 K aran gan „J u rid iseh con fectiew erk ” dalam „K o lo n ia le Studien” , 1925,
3 d ju g a dalam „A d a trech t” , II, hal. 7 1 9 ).
50 D j o j o d i g o e n o „Asas-asas hukum adat” , 19 5 8 , hal., 14 : „A rtin ja
ialah bahwa sem ua benda hukum itu harus diatur dengan k od ifik a si.
Jan g d im aksu d dengan kitab-kitab huk u m -hu k u m ialah kitab-k itab
k o d ifik a s i” ; M r R., T r e s n a „P era d ila n ” , hal. 102.

173
hukum adat Indonesiapun akan m cndjadi hukum tertulis. Sebadai
akibat „eenheidsgedachte” (ideologi kesatuan), jang telah didjel-
makan dalam struktur negara kita — jaitu Negara Kesatuan tahun
1945 — , maka ada aliran-aliran politik jang mengingini suatu kodi­
fikasi hukum kesatuan (eodificatie van eenheidsrecht) di seluruh
bidang hukum. Aliran-aliran tersebut mengingini suatu kodifikasi
jang memuat satu hukum jang berlaku bagi semua warga-negara
Indonesia. Aliran-aliran tersebut mengingini
e’ “ suatu unifikasi. Aneka
warna hukum di Indonesia seharusnja lenjap.
Diantara sardjana-sardjana hukum ada jang masih belum m e­
lihat suatu kemungkinan akan lahirnja suatu unifikasi hukum di
Indonesia dalam waktu jang singkat. Misalnja, oleh Prof. S u p o -
m o 51 ditegaskan bahwa dalam pasal 102 tersebut hanja dilukis­
kan suatu kodifikasi hukum dan tidak dilukiskan disitu suatu uni­
fikasi hukum. Suatu unifikasi hukum jang dipaksakan kepada rak-
jat jang bersangkutan sudah tentu bertentangan dengan pasal 25
ajat 2 undang-undang dasar sementara tahun 1950 itu. Kata Prof.
S u p o m o : untuk sementara waktu masih perlu .,perbedaan-per­
bedaan dalam kebutuhan-kebutuhan sosial dan hukum” diperhati­
kan. Unifikasi hukum (hukum kesatuan) baru dapat didjalankan,
apabila telah ada „persamaan keadaan dan kebutuhan” 52.

51 K a ra n g a n „H u k u m adat dikem udian hari b e r h u b u n g d o n g a n pem ­


b in a a n n egara In d on esia dalam m a dja lah „ H u k u m ” , 1 9 5 2 , 4 / 5 ,
h al. 3 d jb . (d ju g a dim uat dalam „B a b -b a b le n ta n g h u k u m a d a t” ,
h al. 5 d j b . ; dalam bahasa I n g g r is : „ T h e F u lu re o f A d a i L a « m
the R e c o n str u clio n o f In don esia” dalam h ukn P h. T h a v e r ( e d i ­
t o r ) „ S o u t .i Easl Asian m ihe Corning W o r ld ” , 1 9 5 3 , hal.. 2 1 7 - 2 3 6 ) .
52 K a ra n g a n ja n g d ,se b u i pada n oot 51 pada hal. 1 1 . A g a k b e r la in a n
V 1° i ai" p !‘ ,a l° terta n g g al 17 M aret 1 947
(G a d ja h M a d a ) „K e d o e d o e k a n h oek oem adat d ik e m o e d ia n h a r i” . K o - -
m en ta r da nm T . jaargan* 1948, hal. 43 (M r B. v a n E y c k ) dan
Uum B -l»n H n ( 'ln!;un *iaPanBan k i,n ,i mRc.SC,isi lu.
?. (d -I-J " sedjarah dan pada ^ u -a n ^ d a i

K * iiii- ^ rech tsverniem


^ ving) di In d o n e s ia M a«ia
b e r b a g a i p en d a p a t : P r o f M P M . S J a ni e , „P r iv a a tr o c lite lijk e

i ‘ T M r T r aH ^ 7 ^ m ' y " ? ™ * ” Pid!" " ¡nauguruni D ja k a rta 1949;


TO” n I H t i ! ” u^ uni haru di In d o n e s ia ” , p id a to S a la tig a
I9o0, dan H u ku m kekelu argaan n asion a l” , 1962; k a ra n g a n S u p o -
V T ? l i".g ? ,n S d:,h,.m n o o ‘ 51 ; tjeram ah M r S o e „ a n d i „ S e k i ­
tar k o d ifik a s i h u k u m nasional di In d o n e s ia ” , D ja k a rta 1 9 5 5 ; S o e l a n
M a l i k o e l A d i l „P em b a h a ru a n h u k u m p erd a ta k ita ” , 1 9 5 5 ; M r
-.Jims ° u w I f >k S i o n g „P e m b a h a ru a n h u k u m di I n d o n e s ia ” ,
I 9 ara,1San ™ i »jH jikum pid a n a , k o le k tiv is m e k e m a s ja r a k a la n ,
p e m b a n g u n a n e k o n o m i dan p ers” da lam „M a d ja la h H u k u m dan
M asja ra k a t , A gustus 1 9 5 6 , hal. 2 -1 8 (c h u su s m e n g e n a i h u k u m p id a n a ;
k e m u d ia n , dirin gk a sk an dan d ip erb a h a ru i da la m k a r a n g a n „ B e b e r a p a

174
Pem buat undang undang telah mulai mengadakan unifikasi ba­
gian-bagian tertentu hukum jang diingini supaja berlaku. Pada
waktu masih berlakunja undang-undang dasar sementara tahun 1950,
sudah ada beberapa peraturan organik jang berusaha mentjapai
suatu unifikasi, misalnja, L.N. 1951 Nr 9 . Sesudah U.U.D. tahun
1945 berlaku kem bali maka diundangkan L.N. 1960 Nr 104, jang
m entjapai unifikasi dalam peraturan-peraturan hukum agraria. Uni-
fikasi jan g dilakukan oleh pembuat undang-undang ini masih m e­
rupakan „partiele unifieatie” , karena saat untuk mengadakan ,,al-
gehele unifieatie” rupanja belum tiba. Rupanja kata-kata S u p o -
o jan g disinggung diatas tadi masih merupakan realitet. Terse­
rah kepada p olitik kebudajaan dan politik sosial kita untuk mele-
njapkan keaneka-tvarnaan dalam „kebutuhan-kebutuhan sosial dan
hukum ” itu.
U.U.D. kita sekarang tidak mengenal suatu ketentuan seperti
pasal 1 0 2 tersebut.
Pada tahun 1961 dilantik Lembaga Pembinaan Hukum Nasio­
nal (Keputusan Presiden Nr 194 tanggal 6 Mai 1961), jang bertugas:
5,a. melaksanakan pembinaan hukum nasional jang dikehendaki oleh
M PRS b. m enjiapkan rantjangan perundang-undangan nasional
untuk menggantikan peraturan-peraturan jang tak sesuai dengan
tatahukum nasional, c. menjelenggarakan segala sesuatu untuk
m enjusun kealuran dalam keadaan perundang-undangan 53. Pada
bulan Maret 1963 oleh lembaga ini diadakan suatu Seminar Hukum
Nasional *>4. Pada taliun 1965 lembaga ini digajabarukan.
tjatatan tentang suatu h uk u m pidana ja n g lebihi k o le k tif” , dalam „P a -
d ja d ja ra n ” , T, ] , hal. 2 3 -3 3 ) ; P ro f. M r I w a K u s u m a S u m a n t r i
„K ev olu sion isa si huku m In d on esia” , pidato inaugurasi B andu n g 1 9 5 8
(d e n g a n tindjauan kam i dalam „P a d ja d ja ra n ” , I, 1, hal. 4 2 -4 5 ) ; M r
K o T j av S i n g „K o d ifik a s i dan u nifikasi liukuni perdata dan
d agan g” , ku liah p em bu k aan tahun kuliah 1 9 5 8 -1 9 5 9 S em aran g; P r o f.
M r M a h a d i „B e b e ra p a aspek ketertiban haru di In d on esia” , p id a to
d ies M edan 2 0 N op em b cr 1 9 5 8 ; P r o f. M r O e y P e k H o n g ,,Pera­
nan k o d ifik a si, ju rispru den si dan illm u pengetahuan dalam p e rk e m ­
ban g an h u k u m perdata” , pdato inaugaruasi Surabaja 1 9 5 9 ; Mr W i r -
j o n o P r o d j o d i k o r o „R a n tja n g a n U ndang-undang h uk u m per,-
d ja n d jia n ” dalam „H u k u m dan M asjarakat” , n om or K on g res I, hal. 1 05-
138.. Suatu pendapat ja n g m enerim a suatu k od ifik a si beran eka warna
m a u p u n suatu u n ifik a si, d im ilik i D j o j o d i g o e n o („Asas,-asas hu­
k u m adat” , hal. 1 4 ) , dan pendapat S u p o m o m endapat k ritik dari
filiak M r K o T j ay Si ng („K o d ifik a s i dan u n ifik a si huku m
perdata dan d ag a n g ” , hal. 1 6 -1 7 ).
53 Mr S o e s a n t o T irto p ro d j o „L e m b a g a P em bin a H ukum
N asion al” dalam „H u k u m dan M asjarakat” , n o m o r K o n g g re s I, Ival.
2 2 1 -2 2 6 .
54 L ih ailah prasaran-prasaran : P ro f. Su j o n o H a d i n o t o, S.li.
„R e v o lu s i In d on esia dan m anifestasinja dalam h u k u m ” , W o n g s o -
Ti
Sedjak tahun 1930, oleh pemerintah Hindia-Belanda dilakukan
su a tu politik hukum adat jang baru 55 . Hukum adat diselidiki lebih
aktif dan kemungkinan hukum adat di kem udian liari perlu diko-
difikaei tidak lagi disangkal, asal sadja tidak setjara m e n t a h - m e n t a h
didasarkan atas sistim 'hukum Eropah. Djuga v a n V o l l e n b ° -
v e n pada waktu seteluh tahun 1927 tidak lagi begitu anti-kodifi-
kasi hukum adat seperti pada waktu sebelum tahun 1927.
Selama pembuat undang-undang kita belum dapat membuat
suatu „algehele unificatie” hukum di Indonesia, maka masih tetap
berlaku ajat 2 (jang memuat dasar aneka warna hukum ) dan nj at.
6 ( jang memuat dasar perundang-undangan bagi hakim bah.va ia
dapat mendjalankan hukum adat) dari pasal 131 I.S.
Par, 3: Hukum privat jang berlaku bagi
golongan hukum T i o n g h o a dan bagi g o l o n g a n
hukum Timur asing j a. n g l a i n 50.
n e g o r o, S.ih. „K e b u d a ja a n Indonesia dan realisasinja dalam hu­
k u m ” , D r S u p r a p t o , S.h. „D a sa r-p o k o k , fu n g s i, s i f a l , -sifat an
bentuk huku m nasional” , P ro f. D r H a z a i r i n ,-S .h . „A za s-a za s ta a
h ukum nasional dalam bid an g h uk u m waris” , P rof., M .M . D J ° J ° r
d i g o e n o, S.h. „A zas-azas tata-hukum nasional dalam b id a n g h um
p erd jod oh a n ” , P ro f. Oemar Seno A d j i, S.h. Azas azas
tata-hukum nasional dalam bidan g h uk u m p id a n a ” .
55 Lihatlah dua karangan P ro f. M r B. t e r II a a r Bzn „E e n k eerp u n
■in de adatrecht p olitiek , T oek om stb esch ou w in gen ” d alam „K o lo n ia le
<* Studien” , 1928, 3, hal. 2 4 5 -2 7 1 , dan „H alverw ege de n ieu w e A datrecht-
politiek” dalam „K o lo n ia le Studien” , 1 9 3 9 , hal. 113 d jb .
56 P em batjaan ja n g terpenting m engenai h u k u m ja n g b erla k u b a gi ora n g
T im u r asing (terutam a orang T ion g h oa , b a ik m erek a ja n g warga-
negara Indonesia m aupun m ereka ja n g w arga-negara a s in g ),
dajaan dan kedudu kan sosial m ereka pada u m u m n ja : V a n V o 1 -
l e n h o v e n „A datrech t” , II h al. 3.-125; M r P.H . F r o jn b er r g « P e
nieuwe Chineezen wetgeving” , T.. 117, hal. 3 3 3 , k aran gan ini d ik u m ­
pulkan bersama-sama dengan karangan-karangan M r F r o m b e r g
jan g lain dalam „M r P.H . F rom b erg’ s verspreide g e sclirifte n ” (d ik u m
pu lkan oleh C h u n g H w a H w i, 1 9 2 6 ) ; N e d e r b u r g h dalam
„W e t en Adat” , 1 8 9 8 rl8 9 9 , dan T . 77 dan 8 0 ; M r M .H . L e m „ I n ­
terp reta re van S., 1 9 17-129 jo . S. 1 9 2 4 -5 5 7 ” dalam T . 1 2 2 , hal. 5 4 0 ;
H a n T i a u w T i o n g „D e C hineezen o p Java en het N ederl. on -
derdaanscliap” dalam „D e Indische Gids” , 1 9 1 9 ; M r C .T. B c r 1 1 i n S
„G elijk stellin g van Chineezen m et E u rop ean en ” dalam „ K o l o n i a l e
Studien” , 1 9 2 7 ; K o l l e w i j n dalam T . 1 3 2 , hal., 3 0 9 ( „ D e m o -
derne chínese k od ifik a tie” ) , T . 134, hal. 107 („ H e t m o d e m e C h ín e s e
fam ilierecht” ) , T. 1 35, hal. 9 („N ieu w e arresten van het H ooggerechts,-
h o f over Chinees faiViilierecht” ) , T . 1 41, hal. 3 4 3 (tjatatan pada
M r J.J. d e F l i n e s „C aveant cónsules ! H et o p Chincezen-Vreen\-
delingen toetepassen recht” ) ; t e r H a a r „V e rz a m e ld e G e s c l i r i f t e n ’ ,
I, hal. 4 5 0 , 452 d jb ., dan II, hal. 9 , 15, 2 2 , 1 3 3 ; P .J. V e t h „B or,-
n e o ’ s W esterafdeelin g” , I ( 1 8 5 4 ) , hal., 2 9 7 d jb .; E .A . Z o r a b
pu bliek rech telijk e toestand der Vreiemde O osterlingen in O ost In d ie ,
dis. L eiden 1 8 9 0 ; J .W . C or des „ D e privaatrech telijke toestand
der V reem d e O osterlingen o p Java en M adoera” , dis. L eid en 1 8 8 7 ;

176
Pada tahun 1855 bagian terbesar dari hukum privat jang ber­
laku bagi golongan hukum Tim ur asing diuba'h. Dari apa jang di-
bitjarakan dalam paragrap 2 diatas, kita telah tahu bahwa hukum
jang berlaku bagi golongan hukum tersebut pada azaenja hukum
adat. Hal ini tertjantum dalam pasal 11 A.B.. Oleh karena pada
abad ke-19 pergaulan dagang (liandelsverkeer) antara golongan hu­
kum T im ur asing dan golongan hukum (orang) Belanda makin lama
m akin erat, maka pemerintah Hindia-Belanda menganggap perlu
bagi golongan hukum Tim ur asing didjadikan berlaku pula hukum
kekajaan (Vermögensrecht) Eropali 57. Dari apa jang dibitjarakan
diatas tadi telah kita tahu bahwa pada tahun 1855 dibuat pera­
turan jang diundangkan (afgekondigd) dalam L.N.H.B. 1855 Nr 79.
Namanja „Bepalingen houdende Toepasselijkverklaring van de
Europese W etgeving op de met de Indonesische Gelijkgestelde Be-

M r G. v o n F a 1> e r „H e t fam ilie- en erfrecht der Chineezen in


N ed erl.-In d ie” , disertasi Utrecht 1 8 9 5 ; H a n S w i e T i a n „B ijdrage
tot de k en nis van hei fa m ilie- en erfrecht der Chineezen in Ned.-
In d ie ” , dis., U trecht 1 9 3 6 ; P ro f. D r J.J.M. d e G r o o t „H et kongsi-
w czen van B o rn e o ” , 1 8 8 5 ; m engenai kongsi djuga Controleur S.H.
Sc h aa n k „ D e k on g si’ s van M ontrado. Geschiedenis en toestand”
dalam T .B .G ., 1 8 9 3 , hal. 4 9 8 -6 1 2 , dan 1894, hal., 4 1 7 -4 1 8 ; Mr F.D.E.
v an O s s e n 1* r u g g e n „E th n ologiscli-juridisch e bescliouwingen
ov er cliin eesch e rfre ch t” dalam „D e Indische Gids” , 1904, I ;
M r F .J.H . C o w a n „ D e nieuwe regeling van den privaatreelitelijken
toestand en van den burgerlijken stand der Chineezen” dalam T., 112,
hal. 2 3 9 ; Notaris L e c 1 e r q „D e persoonlijke rechtstoestand der Chi,,
n eezen in In d ie, m i en in de loekom st” , W .P.N .R . 3 1 4 0 ; D j o j o d i -
g o e n o „A sas-asas hukuni adat” , hal. 19,-21; P rof. Mr S u d i m a n
K a r t o h a d i p r o d j o „P en gantar tata hukuni di Indonesia” , 1957,
h a l. 1 3 1 -1 4 4 ; P r o f M r D r G o u w G i o k S i o n g „W arganegara dan
« r a n g asing” , 1 9 5 8 , hal. 1 6 -1 2 0 ; P ro f. M r H.M. v a n d e r V a 1 k „D e
on tw ik k clin g van het heginsel der vrijheid van het huwelijk in China” ,
T . 1 4 6 , hal. 3 1 1 , 4 1 5 , „D e reclitsposilie der Chineezen in Nederl.
In d ie ” dalam „K o lo n ia le Studien” , 1936, 5 , hal. 13-14, „P rob lem en
der rech tsh ervorm iiig in t h in a ” (lalam „In d on esie” , V II; J e a n
Escarra ,,’Le droit ch in ois” , 1 9 3 6 ; D r M.J. M e i j e r „T h e In ­
trod u ction o f M od ern Crim inal La>v in China” , disertasi Djakarta 1 9 5 0 ;
Marcella „A lg e m e e n e B epalingen van W etgeving” , disertasi L ei­
d en 1 9 1 3 , ba b m engenai „C o n flicte n van wetgeving” (hal. 160 d jb .) ;
L i e m T w a n D j i e „ D e distribueerende tussclienhandel der Chi­
neezen o p Java” , 1 9 5 2 ; W .J. Cator „T h e e con om ic position o f
the C hinese in the Netherlands Indies” , disertasi L eiden 1 9 3 6 ; D r
O ng Eng D ie „C h in eezen in Nederlandscli-Indie. S ociografie
van een In don esisch e bevolkingsgrpep” , disertasi Am sterdam 1.943;
P ro f. D r W .F . Wertheim ,,Het rassenprobleem ” (1 9 4 9 ) dan
„In d o n e s ia n Society in T ransition” , 1 9 5 9 ; V. P u r c e l l „T h e Chi­
nese m Southeast Asia” , 1 9 5 2 ; D.E. W i l l m o t t „T h e status o f the
C hinese in In d on esia” , 1956 (C orn ell M odern Indonesia P roject, In ­
terim R ep orts S eries).
57 L ihatlah n o o t 3 9 diatas tadi.

177
volking {Yreemde Oosterlingen)” . Berdasarkan peraturan tersebut
.maka bagi golongan hukum Timur asing didjadikan herlaku se­
mua peraturan hukum perdata dan hukum dagang Eropah, terke-
tjuali hukum keluarga dan hukum jang mengatur warisan karena
ada kematian (erfrecht bij versterf). Ordonansi tersebut hanja ber­
laku di pulau Djawa dan di pulau Madura.
Pada tahun 1919 golongan hukum Timur asing dibagi dalam :

a. golongan hukum Tionghoa.


b. golongan hukum Timur asin«-
C? lain ibukan-Tionghoa'l.
^

Pada tahun 1919 dilakukan suatu peraturan jang telah diun­


dangkan dalam L.N.H.B. 1017 Nr jis L.N.H.B. 1919 Nr 81, jang
menerangkan bahwa bagi golongan hukum Tionghoa berlaku djuga
hukum keluarga Eropah seperti jang tertjantum dalam K.U.H. Per-
ilata, terketjuali beberapa pasal dari Buku I K.U.H. Perdata me­
ngenai sjarat-sjarat jang harus dipenuhi sebelum perkawinan dapat
diadakan iiormaliteiten welke het huwelijk voorafgaan) -f- sual11
„Burgerlijke Stand” (Pentjatatan Sipil) sendiri. Peraturan-peraturan
tersebut ticlak berlaku bagi golongan hukum Timur asing jang lain.
Dapat dikatakan bahwa mulai tanggal 1 Mei 1919 bagi golongan
hukum Tionghoa di pulau Djawa dan di pulau Madura berlaku
hampir semua pasal K.U.H. Perdata es serta seluruh K.U.H. Dagang.
L.N.H.B. 1917 Nr 129 tersebut, di samping mendjadikan ber­
laku bagi golongan hukum Tionghoa hampir semua hukum perdata
dan seluruh hukum dagang Eropah (pasal 1), memuat djuga bebe­
rapa ketentuan istimewa (jang mengandung hukum jang tidak ter­
dapat dalam tatahukum jang herlaku bagi orang E ro p lh ). Keten­
tuan-ketentuan istimewa ini ialah : pasal-pasal 2 - 4 j anp mengenai
kongsi f aturan kongsi, kongsi-regeling) dan pasal-pasal 5 - 1 5 jang
mengenai pengangkatan anak (adopsi). Golongan hukum Eropah
tidak dapat mengangkat ^mengadopsi) anak sedjak tahun 1848.
Ketentuan-ketentuan istimewa ini akan kami bitjarakan dalam Bab
X i n mengenai hukum privat.
Mu*ari tahun 19^o maka peraturan-peraturan tersebut, jang ha-
nja berlaku bagi golongan hukum Tionghoa dan golongan hukum

58 Pada tahun 1927 di sam ping pasal-pasal 1601, 1602 dan 1 603 redaksi
lam a K.U.H . Perdata ditetapkan pasal-pasal 1601, 1 602 dan 160 3
redaksi baru K.U.H. Perdata. Pasal-pasal baru hanja b erlak u b a gi
g olon gan hukum Eropah sadja. Bagi golon gan huku m b u k an-E ropali
tetap berlaku pasal-pasal lama. Lihailah Bab X III bu ku ini.

17«
T im u r asing lain jang ada tli pulau-pulau Djawa dan Madura, di-
djadikan berlaku djuga bagi golongan liukum Tionghoa, dan golo­
ngan hukum T im ur asing lain jang ada di pulau-pulau luar Djawa
dan Madura. Atau dengan kala lain : peraturan dari taliun 1855
golongan hukum Tim ur asing lain) dan peraturan dari taliun 1917
(1919) (golongan hukum Tionghoa) berlaku djuga diluar Djawa
dan Madura sedjak taliun 1925. Hal ini karena L.N.H.B. 1924 Nr
556 dan L.N.H.B. 1924 N r 557 5S). Perlu ditjatat disini bahwa orang
Tionghoa di Kalimantan Barat tidak menerima azas monogami se­
bagai dasar perkawinan mereka. Mengenai hal ini peraturan dari
tahun 1917 (1919) di Kalimantan Barat mendjadi suatu „huruf
m ati” I !) dalam praktek.

Selandjutnja, lihatlah Bab X III buku ini.

59 L.N.H.B. 1925 Nr 92 mcnjatakan berlukunju L.N.H.B. 1924 Nr 557


tli seluruh wilajah Hindia-Belanda dahulu, terketjuali Kalimantan
Barat, mulai tanggal 1 Maret 1925. Di Kalimantan Barat L.N.H.B.
1924 Nr 557 itu mulai berlaku pada tanggal 1 September 1925 (li­
hatlah a.l. S u d i m a n K a r t o h a d i p r o d j o, lial. 1 37 ).

179
B A B IV
MENENTUKAN MANA JAPTG M ERU PAKAN
HUKUM MANA JANG TIDAK
(RECHTSVINDING)i.
P a r. 1: P e n a f s i r a n (interpretasi) peraturan
perundang-undangan sebagai kewadj ib an-
hukum dari h a k i m.

Dari apa jang dikemukakan dalam Bab II, telah ajelas bahwa
faktor-faktor (determinanten) form il jang m em bentuk hukum ialah
perundang-undangan (wetgeving), administrasi (tatausaha) negara,
peradilan (rechtspraak), tradisi (kebiasaan) dan ilmu (w elen scliap).
Sebagai faktor-faktor materiil jang membentuk hukum dapat dise­
but perasaan-hukum seseorang dan pendapat umum (publieke op i
nie). Dalam bab ini chusus kami bitjarakan m engadili (rechtspraak)
sebagai faktor (form il) jang membentuk hukum (form ele determ i
nant van de rechtsvorming).

1 Bahan-bahan untuk bal) ini kami ambil terutama (lari buku S <•b o 1•-
ten „Algemeen Dcel” , bagian I, dan disertasi M r J-M. Pola
„Tlieorie cn praktijk der rechtsviiuling” , Leiden 1953. Penting djuga
dibatja v a n K a n, hal. 172 djb. : het interpretatie vraagstuk; v a n
Apeldoorn, hal. 322 d jli.; B e 1 I e f r o i d, bal» IV ; I' e ‘
m a i r e, hal. 74 d jb .; Prof. Mr W. Z e v e n b e r g c n „F orm eele
encvclopaedie der rechtswetensehap” , 1925, hal. 294 d jb., dan hal.
3 0 5 : Mr J.P. F o c k e m a A n d r a e „D e m ethode van int«*rpretatie
van het B .'W. van 1838 tot heden” dalam „G eden kbock B.W . 1838-
1938” , hal. 65 djb., dan „D e woordcn der wet. Bijdrage tot de kennis
van de wetstoepassing in Nederland” , 1953; P rof. Mr H .R. H o e t i n k
„Rechtsregel en reehtsbeslissing” dalam T. 137, hal. 589, dan „H et
slandpunt van de reohter” ¿lalam T. 141, hal. 4 2 1 ; P rof. Mr R»
K r a n e n b u r g „D e grondslagen der rechtswetenschap” , 1951, hal.
32,-43; Pcof. Mr M.H. B r e g s t e i n „D e betrekkelijke waarde der
wet” , 1952; B a d b r u c h, hal. 150-175 dan 241,-259; Mr M a h a d i
„Beberapa sendi hukum di Indonesia” , I, 1954, hal. 2 65 -3 0 9 ;
Mr W i r j o n o P r o d j o d i k o r o „Hakim dan Masjarakat” dalam
„H ukum ” , 1955, 3, hal. 72 djb., dan „H akim dan H ukum ” dalam
„B uku Peringatan Dies Natalis ke-VII Senaat Mahasiswa Fak. Hukum
dan Pengetahuan Masj. Univ. Indon.” , 1957, hal. 22, 7 4-75 ; J. E s s e r
„Grundsatz und Norm in der richterliehen Fortbildung des Privat-
reclits” , 1956; Prof., Mr M.M. D j o j o d i g o e n o „Reorientasi
hukum dan hukum adat” , prasaran dalam Konggres T M .I.P.I. di
Malang bulan Agustus 1958; Prof. Mr L i e O e n H o e k „Juris-
prudensi sebagai sumber hukum” , pidato inaugurasi Djakarla 1 95 9;
P rof. Mr O e v P ek Hong „Peranan kodifikasi, iurisprudensi
dan ilmu pengetahuan dalam perkembangan hukum perdata” , pidato
inaugurasi Surabaja 1959; S.M. S j a h „Mahkamah Agung dan peng­
halusan hukum 9 dalam ,,Hukum dan Masjarakat” , 1960, 2, bal. 80.-86;
Mr M o h . D a l j o n o H a r d j o s o e d i r o „H ubungan baik antara
hakim, djaksa dan pengatjara” dalam „H ukum dan Masjarakat” , n o­
m or Konggres I, hal. 228-240.

180
Bahwasanja perkerdjaan hakim m endjadi suatu faktor mem­
bentuk liukuin, itulah diakui resmi oleh undang-undang sendiri.
Berdasarkan pasal 22 A.B. — jang mengatakan : bilamana seorang
hakim m enolak menjelesaikan suatu perkara dengan alasan peratu­
ran perundang-undangan jang bersangkutan tidak menjebutnja, ti­
dak djelas atau tidak lengkap, maka hakim itu dapat dituntut ka­
rena penolakan m engadili — hakim terpaksa turut-serta menen­
tukan mana jang merupakan hukum mana jang tidak. Bilamana
undang-undang tidak m enjebut suatu perkara, maka liakim harus
bertindak atas inisiatif sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pem­
bentuk hukum dalam hal undang undang diam sadja. Rasio ke­
tentuan jang terdapat dalam pasal 22 A.B. itu : masjarakat tidak
tertuluifg apabila ditinggalkan dengab perselisihan-perselisihan jang
tidak terselesai. Tugas hakim ialah menjelesaikan setiap perkara,
djugalah dalam hal undang-undang tinggal diam. Hakim wadjib
m em buat penjelesaian jang diingini itu. 'Pendapat bahwa hakim
tidak lain dari pada „la bouche qui prononce les paroles de la loi
telah tidak berlaku lagi.
Bahwasanja hakim m endjadi suatu faktor membentuk hukum
itulah diakui djuga oleh ilmu pada umumnja. Misalnja, menurut
v a n A p e 1 d o o r n 2, maka hakim harus a. menjesuaikan (dipa­
kai kata : waarderen) undang-undang dengan hal-hal konkrit jang
lerdjadi di masjarakat dan, selandjutnja, dibawa ke mukanja, b.
m enam bah ( aanvullen)3 undang-undang apabila perlu. Hakim ha­
rus m enjesuaikan undang-undang dengan hal-hal konkrit 4, karena
undang-undang tidak dapat meliputi segala kedjadian jang timbul
dimasjarakat. Bukankah, pembuat undang-undang hanja menetap^
kan suatu petundjuk-hidup umum sadja ? Pertimbangan mengenai^
hal-hal konkrit, jaitu menjesuaikan undang-undang dengan hal ha
konkrit, diserahkan kepada hakim. Bahkan, keputusan hakim dapat
memuat suatu hukum dalam suasana „werkelijkheid jang menjim
pang dari hukum dalam suasana „positiviteit” . Hakim menai a i
undang-undang, karena pembuat undang-undang senantiasa
lakang pada k e d j a d i a n - k e d j a d i a n (baru) jang timbul di masjarakat.
Bukankah, undang-undang itu sebetulnja suatu „momentopname
sadja, jaitu suatu „m o m e n to p n a m e ” dari keadaan di waktu pem

2 Hal. 329. ., , , , , . , . , •
3 M engenai penambahan undang-undang pidana oleh hakim (misalnja,
dalam sendi analogi) masih ada kesangsian besar dalam kalangan sar-
djana hukum pidana (lihatlah Bab IX , par., 4 .
4 V a n A p e l d o o r n , hal. 4.

181
buatannja. Sebab dua keujataan tadi maka dapat dikatakan bahwa
bakim pun turut-serta menentukan mana jang m erupakan hukum
mana jang tidak. Dengan kala lain: hakim m endjalankan „rechts-
vinding” Ipengetemukan hukum) 5. S c h o l t e n mengatakan bah­
wa lii'endjalanlian undang-undang itu selalu rechtsvinding h.
Tetap timbul pertanjaan : ajjakah hakim tidak duduk atas
kursi legislatif, apabila ia dalam menetapkan kepulusannja m enen­
tukan mana jang merupakan hukum mana jang tidak ? Apakah
hakim tidak melanggar pasal 21 A.B. jang mengatakan bahwa hakim
tidak dapat memberi keputnsan jang akan berlaku sebagai pera­
turan umum ? 7. Perbedaannja dengan pekerdjaan badan legislatif
ialah hakim tidak membuat peraturan umum jang diundangkan da­
lam Lembaran Negara. Melainkan, keputusan hakim hanja berlaku
terhadap kedua belah fihuk sadja. Hal ini diperintahkan oleh pasal
1917 ajat 1 K.U.H. Perdata jang mengatakan : kekuasaan keputusan
hakim hanja berlaku tentang hal-hal jang diputuskan dalam ke-
putusan itu („H et gezag van een gereglelijk gewijsde sterkt zich
niet verder uit dan tot het onderwerp van het vonnis” ). Hakim
membuat peraturan jang hanja mengikat kedua belah fihak jang
m endjadi peserta perselisihan, sedangkan pem buat undang-undang
membuat peraturan umum.
Akan tetapi walaupun demikian lialnja, masih djuga jurispru-
densi m endjadi sumber hukum form il. Hal itu tidak oleh karena
sebab sebab- jang terletak dalam undang-undang sendiri, tetapi oleh
karena sebab-sebab jang terletak diluar undang-iindang. Sebab-sebab
ini telah kami bitjarakan dalam Bab II, par. 3, D.
Selain dari itu pembuat undang-undang sendiri dengan sengadja
memakai istilah jang dapat diberi ~bermatjam,'matjam tafsiran.
Hal ini berarti pembuat undang-undang dengan sengadja m em beri
kesempatan kepada hakim untuk menjesuaikan undang-undang
dengan hal-hal konkrit. Dengan kata lain : hakim dengan
sengadja diberi kesempatan menambah undang-undang. Istilah se-
perti „kedjudjuran hati” (te goeder trouw) dan ».berakal buruk”
(te kwader trouw ), „bertentangan dengan kebiasaan baik dan k e­
susilaan , „bertentangan dengan kepentingan um um ” , dsb. m endjadi

5 Lihatlah definisi P o 1 a k „T heorie en praktijk” , hal. 13 dan 18.


6 „A lg . Deel” , hal. 14 : „H et rechl is er, doch het m oet gevonden woiv
d en; in de vondst zit het nieuwe” (H ukum telah ada, tetapi harus
diketemukan.i Mengetemukan hukum itulah jan g b aru n ja).
7 Lihatlah R a d b r u c h , hal. 158 djb..

182
istilah jang dapat ditafsirkan setjara jang berbeda-heda. Maka dari
itu istilah tersebut diberi nama istilah karet (caoutchouctermen).
jailu istilah jang arti dan ludjuannja dapat ditarik pandjang-pendek.
D jadi, tugas penting dari hakim ialah menjesuaikan iindang-
\uidang dengan hal-hal konkrit di masjarakat. Apabila undang-
undang tidak dapat didjalankannja memirut-kata, maka harus ia
menafsirkannja. Apabila undang-undang tidak djelas, maka ivadjib-
lah hakim menafsirkannja sehingga dapat membuat suatu keputu-
san jang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum,
jailu m eiiljapai kapasiian-hukr.m. Orang dapat mengatakan bahwa
penaisiran undang-undang adalah kewadpban- hukum dari hakim.
Tetapi menafsirkan, menambah, undang-undang itu tidak boleh
diadakan setjara sewenang-wenang. Ada beberapa pembatasan me­
ngenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu.
L o g e m a 11 n s mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada ke­
hendak pembuat undang-undang, jaitu kehendak pembuat undang-
undang seperti jang dapat diketahui terletak didalam peraturan-
peraturan perundang-undangan jang bersangkutan. Dalam hal ke­
hendak itu tidak dapat dibatja dengan begitu sadja dari kata-kata
undang-undang, maka hakim harus mentjarinja dalam sedjarah
kata-kata tersebut, dalam sistim undang-undang, atau dalam arti
kata-kata itu seperti jang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada
waktu sekarang. Hakim wadjib mentjari kehendak pembuat undang-
undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran jang tidak sesuai
dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran jang dibatasi
oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak b o­
leh m enafsirkan undang-undang setjara sewenang-wenang. „ ............
............ men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeu-
rig uitleggen, docli alleen de juiste uitleg mag gelden ’ (orang
tidak boleh menafsirkan setjara sewenang wenang kaidah jang me­
ngikat, hanja penafsiran jang sesuai dengan maksud pembuat un­
dang-undang m endjadi tafsiran jang tepat). ,.De plicht om aan de-
kennelijke bedoeling te gehoorzamen geldt voor burger, administratie
en rechter gelijkelijk” (kewadjiban tunduk pada maksud pembuat
undang-undang, jang logis dapat disimpulkan, berlaku bagi baik
penduduk, administrasi maupun hakim ). Apakah jang mendjadi
„m aksud” pembuat undang-undang ? Soal ini m endjadi penting apa­
bila maksud itu oleh pembuat undang-undang tidak dinjatakan der

8 „T h e o rie ” , hal. 35-36 dan 38-40.

183
ngan terang ! Jang m endjadi „m aksud” pem buat undang-undang
ialah segala sesuatu jang berdasarkan penafsiran jang baik, apat
diterima sebagai sesuatu jang logis dapat disim pulkan m endjadi
kehendak pembuat undang-undang. L o g e m a n n mengatakan
„kenn elijke bedoeiing” dan arti „k en n elijk ” itu apa jang (logis)
dapat disimpulkan.
Oleh P o 1 a k 9 dikem ukakan bahwa tjara m enafsirkan di­
tentukan oleh a. materi (rnaterie) peraturan-peraturan perundang-
undangan jang bersangkutan (m isalnja, peraturan-peraturan per-
undang-undangan mengenai d ju a l-b eli), b. tem pat dimana perkara
dilahirkan* dan c. djamunnja.
Apabila kita mengingat kata-kata t e r H a a r (lihatlah par. 5,
kutipan jang kami ambil dari buku t e-r H a a r ) , maka ada pem ­
batasan sebagai berikut: dalam menentukan mana jang merupakan
hukum mana jang tidak hakim senantiasa harus berhubungan de­
ngan masjarakat. Ia harus memberi keputusan jang sesuai dengan
keadaan sosial jang sungguh-sungguh (sociale w erk elijk h eid ).
Dalam menindjau pekerdjaan hakim, jaitu m enentukan mana
jang merupakan hukum mana jang tidak, maka haruslah kita insjaf
akan suatu persamaan jang tertentu antara pekerdjaan hakim dan
pekerdjaan pembuat undang-undang. Bukankah, perbuatan m enen­
tukan mana jang merupakan hukum mana jang tidak adalah suatu
perbuatan politik-hukum (daad van rechtspolitiek), jang didjalan-
kan oleh baik pembuat undang-undang, hakim, administrasi ne­
gara maupun kadang-kadang djuga ilmu ?
Hal ini mudah dimengerti apabila kita insjaf al^an bal hukum
itu — di samping kaidah — beraspek djuga alat, jaitu alat untuk
mentjapai kepastian-hukum (lihatlah Bab I, par. 8 : tudjuan dari
h u k u m ).
Dalam suatu kitab undang-undang (kodifikasi) jang dibuat pa­
da permulaan abad ke-20 di salah satu negeri di Eropah Barat, pe­
nafsiran undang-undang itu disebut dengan tegas. Term asjhur m en­
djadi pasal 1 „Schweizerisches Zivilgesetzbuch” tahun 1908 :
,Das Gesetz findet auf alle Rechtsfrage Anwendung, für die es
nach Wortlaut oder Auslegung eine Bestimmung enthält.

9 „T heorie en praklijk der rechtsvinding” , hal. 77., Lihatlah djuga P rof.


Mr E.M. M e i j e r s „Uitlegging e n . toepassing in Nederland van
- aan den Code Civil ontleende wetsvoorschriften” dalam „M ededee-
lingen Konink., Akademie v. Wetenschappen” , 74, B, Nr 5 (1 9 3 2 ).

184
Kann dem Gesetze keine V orschrift entnommen werden, so soll
der R ich ter nach Gewohnheitsrecht und, wo auch ein solches fehlt,
nach der R egel entscheide», die er als Gesetzgeber aufstellen würde.
Er folg t dabei bewährter Lehre und Ueberlieferang”
V O
10.
M enurut ketentuan ini, maka kadang-kadang hakim harus me-
njelesaikan perkara menurut peraturan „d ie er als Gesetzgeber
aufstellen iviircle” , jaitu menurut peraturan jang dibuatnja da­
lam hal a rtdain ja ia pem buat undang-undang. Ketentuan ini suatu
ketentuan jang m odern dan m enundjukkan kepada kita bahwa pa­
da waktu pem buatannja anggapan lagism'e tidak lagi diterima.
Agar dapat m entjapai kehendak pembuat undang-undang serta
dapat m endjalankan undang-undang sesuai dengan kenjataan sosial,
niaka hakim menggunakan beberapa tjara penafsiran (interpretatie-
m eth od en ).

P a r. 2 : T j a r a - t j a r a p e n a f s i r a n u n d a n g - u n d a n g .

a. M enafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah)


( taalkundige in terp reta tie)11.
Antara bahasa dengan hukum ada hubungan jang erat sekali.
Bahasa m erupakan alat satu-satunja jang dipakai pembuat undang-
undang untuk m enjatakan keliendaknja 12. Maka dari itu pembuat
undang-undang jang ingin melijatakan keliendaknja setjara djelas,
harus m em ilih kata-kata tepat. Kata-kata itu harus singkat, djelas
dan tidak bisa ditafsirkan setjara berlain-lainan. Tetapi pembuat
undang-undang tidak senantiasa mampu memakai kata-kata tepat i».

^0 Bat jalali keterangan-keterangan" S c h ö l t e n dalam karangannja


„H et nieuwe Zwitsersclie burgerlijk wetboek” dalam W.P.N.R. Nr 2023
djb., (d ju g a dimuat dalam „Verzamelde Geschritten’ , III, hal. 114
d jli.).
11 Penafsiran undang-undang menurut arti kata diberi djuga nama p e­
nafsiran gramatikal (grammaticale interpretatie). Nama (istilah) ini
m engandung kesalahan faham, karena jang ditjari disini bukan hanja
tata-bahasa (gram m atica) dari bahasa jang dipakai, tetapi djuga arti
seluas-luasnja dari kata-kata jang bersangkutan.
Tentang tjara penafsiran ini lihatlah Schölten, hal. 48 d jb .;
P o 1 a k, hal., 19 djb., dan B e l l e f r o i d , hal. 109-110.
12 Bahasa sebagai alat satu-satunja untuk menjatakan kehendak manusia
m endjadi ikatan jang terpenting dalam masjarakat. Lihatlah A.L.
K r o e b e r „A nthropology” , hal. 223 (Problems o f the relation of
language and enlture” ) . Menurut B e l l e f r o i d bahasa memung­
kinkan sardjana hukum memasuki lapangan hukum.
13 Di sam ping itu, kita harus memperhatikan adanja 'suatu „bahasa hu­
kum ” atau „bahasa perundang-undang” jang tersendiri, jang terdiri
atas kata-kata jang bukan bahasa sehari-iliari jang lazim kita pergu­
nakan., Lihatlah K n s « m a d i P u d j o s e w o j o „Pedom an” , hal.
38-39 (ja n g m enjinggung pendapat G u s t a v R a d b r u c h ) .

135
Dalam hal ini hakim w adjib m entjari arti kata itu ja n g lazim dipa­
kai dalam pertjakapan sehari-hari. Maka digunakannja kamus ba­
hasa atau dimintanja keterangan ahli bahasa. T jon toh n ja : sesuatu
peraturan perundang-undangan melarang orang m em berhentikan
kendaraannja di sesuatu tempat. Peraturan tersebut tidak menga­
takan apa jang dimaksud dengan kala „kendaraan” itu. Orang boleh
bertanja : apakah jang dimaksud dengan kala „kendaraan itu ?
Hanja kendaraan jang berm esinkah? Masuk d jugakah sepeda da.i
betja kedalamnja ?
Tetapi sering keterangan kamus bahasa atau keterangan ahli
bahasa belum tjukup. Hakim harus pula m em peladjari kala jang
bersangkutan dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannja
dengan peraturan-peraturan lain. Pada hakekatnja penafsiran un­
dang-undang menurut arti kata hanjalah tjara penafsiran jang per­
tama sadja dan penafsiran menurut arti kata itu dengan sendirinja
akan m em bim bing hakim ke arah tjara-tjara penafsiran lain 1-t.
Oleh karena bahasa merupakan alat satu-satunja jang dipakai pem ­
buat undang-undang untuk menjatakan kehendaknja, maka jang
mula-mula akan dihadapi hakim senantiasalah penafsiran menurut
arti kata. Apakah arti kata itu ? Setiap kata m em punjai sedjarahnja.
Pada waktu undang-undang ditentukan, maka pem buat undang-
undang, jang m endjadi pemakai jang paling pertama kata itu. mem­
punjai suatu maksud tertentu jang sesuai dengan aliran-aliran di
masjarakat pada waktu itu dan maksud itulah jang harus ditjari
hakim. Di samping sedjarahnja, maka sesuatu kata m em punjai
kedudukannja dalam sistim hukum. Sistim itulah jang harus ditjari
hakim.
Ahirnja. sebuah tjontoh dari jurisprudensi Belanda 15. Menu
rut pasal 1140 K.U.H. Perdata m a k a orang jang m e n j e w a k a n rumah

14 S c h o I t e n, hal. 50 : „D e uitleg naar taalgebruik wijst boven zich


zelf uit, zij voert vanzelf tot de svstematische. En ook tot de histo-
risehe. Immers er bestaat verband niet alleen met de andere gelijk-
tijdig neergeschre ven woorden doch ook met het geestelijk en inaat-
schappelijk leven van den tijd waarin zij werden genit” (Penafsiran
menurut arti kata membimbing ke arah tjara penafsiran lain, jaitu
dengan sendirinja membimbing ke penafsiran sistimatis. D juga ke
penafsiran menurut sedjarah. Bukan hanja antara kata-kata jan g satu
dengan jang lain jang ditulis sewaktu ada hubungan, tetapi ada djuga
hubungan antara kata-kata itu dengan a lira n -a lira n kedjiwaan dan
sosial di waktu kata-kata itu dibuat). Lihatlah djuga K r a n e n b u r g
„Grondslagen” , hal. 33r34 : perkara itu bersedjarah dan mempunjai
tempat dalam sistim hukum.
15 B e 1 1 e f r o i d, hal. 110. H oge Raad di Negeri Belanda tanggal 7
April 1938, W (Belanda). Nr 503«

186
clan tidak m enerim a uang sewa, m em punjai hak pendahuluan (voor-
recht) untuk m en d ju a l barang jang gunanja agar rumah itu dapat
didiam i oran g (stofferin g) „dengan tak memperdulikan apakah ba­
rang itu k ep u n ja an penjew a atau bukan” . Dari hasil pendjualan
dajpatlali ig. pungut uang sewa. Berdasarkan kata-kata „dengan tak
m em perdulikan ......................... dst.” , H oge Raad di Negeri Belanda
beranggapan bahw a jang m enjewakan dapat djuga mendjalankan
hak pendahuluannja, apabila di waktu perdjandjian sewa diadakan
ia telah m engetahui barang-barang jang dimasukkan kedalam rumah
itu bukan k epim jaan penjewa.

b. M enafsirkan undang undang menurut sedjarah fpenafsiran his­


toris, historisehe interpretatieJ16.
Setiap ketentuan perundang-undangan mempunjai sedjaralinja.
Dari sedjarah peraturan perundang-undangan hakim dapat menge­
tahui maksud pem buatnja.
Ada dua m atjam penafsiran historis, jaitu :

1- penafsiran m enurut sedjarah hukum ( rechtshistorische inter­


pretatie) (disingkatkan p.s.h.).
2- penafsiran m enurut sedjarah penetapan sesuatu ketentuan per­
undang-undangan (wetshistorische interpretatie) (disingkatkan
p.s.p.u.).

P-s.b. adalah suatu penafsiran jang luas, jaitu meliputi pula


P-s.p.u.. Penafsiran jang disebut terahir ini m endjadi penafsiran
sem pit jan g hanja m enjelidiki hal : dengan maksud apakah pembuat
peraturan itu m enetapkannja ? Maksud ini dapat diketahui dari la­
poran-laporan perdebatan dalam dewan perwakilan ra k ja t, dari/Su
rat-m enjurat antara menteri jang bersangkutan dengan komisi dewan
perwakilan rakjat jang bersangkutan („kenbron” ), dsb.. P.a-h. me
n jelidik i asal peraturan itu dari suatu sistim hukum jang dahulu
pernah berlaku (dan sekarang tidak berlaku lagi), atau asal pera
turan itu dari suatu si6tim hukum lain jang sekarang masih berl-ku
di sesuatu negara lain. Misalnja, Code Civil Perantjis. Banjak seka i
dari apa jang tertjantum didalam Code Civil Perantjis (pada
pendudukan Perantjis di Negeri Belanda lazim disebut „Code a-
p oleon ” ) diteruskan dalam undang-undang perdata Belanda (1838)

16 Scholten, hal. 103 d jb .; B e 11 f r o i d, hal. 110-112; P o 1 a k,


hal. 22-27.

187
dan kemudian (berdasarkan azas konkordansi) diteruskan dalam
K.U.H. Perdata Indonesia (lihatlah Bab X III mengenai hukum per­
data). Apabila p.s.p.u. telah menundjukkan kepada hakim bahwa
pembuat peraturan perundang-undangan itu mengambil azas-azas
peraturan jaitu ketika peraturan itu ditetapkannja — dari sualu
sislim hukum jang dahulu pernah berlaku, maka ditjarinja arti dan
tudjuan azas-azas itu didalam sistim hukum lain tersebut. D jadi,
bo^eh kami katakan bahwa hakim terlebih dahulu melakukan p.s.
p.u., selandjutnja jaitu setelah penafsiran tersebut m enundjukkan
kepadanja bahwa pembuat peraturan jang bersangkutan m engam bil
azas-azasnja dari suatu sistim hukum lain — diselidikinja arti dan
tudjuan azas-azas itu dalam sistim hukum lain tersebut. Dengan kata
lain : setelah p.s.p.u maka hakim melakukan p.s.h. Oleh hakim
diselidiki sedjarah peraturan (azas-azas) jang bersangkutan diwaktu
sebelum penetapannja dalam undang-undang jang sekarang berlaku.
Dalam hal demikian hakim mempeladjari sedjarah hukum. Apa-
*iila hakim hendak mengetahui arti beberapa pasal K.U.H. Perdata
tertentu sedalam-dalamnja, maka kadang-kadang harus ia m em pe­
ladjari hukum Peranljis kuno dan hukum Belanda kuno jang ber­
laku di daerah kedua negeri itu pada waktu sebelum Code Civil
Perantjis dibuat (pada tanggal 21 Maret 1804). Bukankah, hukum
itu tak ada putusnja, melainkan, hukum bersifat kontinu. Djuga
kodifikasi hukum tidak dapat mengubah hukum seluruhnja. M enge­
nai bagian besar hukum terkodifikasi dapat dikatakan bahwa per­
buatan mengkodifikasi jang bersangkutan hanja berarti pem berian
bentuk baru.
Menurut pendapat S c h o 1 1 e n 17, jang m endjadi penting bagi
hakim hanja p.s.u.p. sadja. Dikatakannja bahwa untuk menentukan
apakah maksud pembuat undang-undang, maka penjelidikan hukum
jang berlaku pada waktu sebelum peraturan jang bersangkutan
dibuat oleh pembuatnja, tidak penting. Walaupun pem buat sesuatu
peraturan meneruskan dalam peraturan itu suatu rumus (form ule)
jang dahulu dibuat oleh seorang sardjana di waktu jang sudah, m a­
sih djuga hal ini tidak berarti bahwa sudah tentu rumus itu diarti-
kannja sama dengan arti jang diberi kepada rumus tersebut oleh
sardjana dari waktu jang sudah itu. Bagi hakim maka artinja pe­
nafsiran historis itu berdasarkan keperluan praktek, dan p.s.h. ada

17 Hal. 104. Menurut P o 1 a k (hal. 2 7 ) djarang sekali Iiakim m eng-


gunakan alasan jang diperoleh berdasarkan p.s.h. (inilah p ra k le k ).

138
aitinja karena stu>iu i- , i. ,
atUran d i - ‘ Pc m »dja u a n tentang pekerdjaan pembuat per-
belaka Pad &UaUl Slulut lain, ja ilu dari suatu sudut jaug historis
m enaetahu' ' l! IUUinuj a j » « g mend.jadi penting bagi liakim ialah
ian<* h vsut p ern b u u t undang-undang pada waktu peraturan
« » 4 , « ” '; ^ '“ " " M ,k n dari i.u S c h o l . e n ber-
Perbedaan > a i" J' lm lu k praktek (h a k im ), tidak perlu diadilkan
sirin , 11 1 Pena^siian menurut sedjarah hukum dan penaf-
1 m enurut s e d ia n h ^ i ,
iiu JJUn Penetapan peraturan perundang-undangan

rin^T T <'*1^em u'ca^an °le b S c h o 1 t e n suatu ha! jang se-


^UP 1 • 1,,en" e,a^ ui maksud pembuat peraturan belum tju-
ludju>].r~l jKi^ '‘n unll|k menentukan artinja peraturan itu dalam
i’ah ]1;iT U' " un*n" an jang sekarang ada di masjarakat. Baik sedja-
niem ber' n i‘” 'P lln ^ d ja ra h penetapan peraturan itu tidak dapat
ru<s ,-v i .\ ^ eiU Je USan Penuh tentang artinja peraturan itu jang ha-

H uE , " hakim pa<h wakt"


Perke V ” *11 ,,ersifat dinamis dan perkembangan hukum mengikuti
t ik a i^ l 33n" an mas3arakat. Sering terdjadi hal — apabila diperha-
ran«-1 c]uan ^ lUn^ jau d ari sudut „werkelijkheid” — arti jang seka-
Posit f d’Pati kePada sesuatu peraturan perundang-undangan
Lem b 5 1>ei,iUllan dengan artinja pada waktu pengundangan dalam
s« a s / araU ^ CfIara‘ ^ engan kata lain : adalah ketegangan antara
at]a 1113 •'P°s i,lv iteit’ - dan suasana werkelijkheid” . Apalagi setelah
^-a ^ eiu a,lan »’ i'uling class” ! Maka dari itu dapat dikatakan bah-
suatuenafSlran menuni1 sedjarah pada hakekatnja hanja merupakan
h i s t o r i 1 0 ” ''” 5atl,a' M e»«ru t S c h o 11 e n 1S, maka penafsiran
s*ran " *'"H ^ell^£>n- sendirinja akan membimbing hakim ke penaf-
osiologis (sociologisclie interpretatie) 19.
llla li'?r'a Pan S c h o 1 t e n tentang penafsiran historis itu me-
e- •- u.ai dengan praktek hakim di Indonesia. Apabila kita

rUche° •' ‘ ° f, aK 11 °- B e 1 I e f r o i <1, hal. 112 : „D och de histo-


*hans m *ei pretatie kan ons geen zekerlieid geven, dat de rechtsregel
voorsol j’0 !*!1 IM (I< betekenis die de makers der wet aan hun
rechl •*” l 1 l°egekend, aangezicn de ontwikkeling van den
gj,... Sle^e‘ 11°S **a zijn ontstaan -\vordl voorj;ezet” (Telapi penaf-
bah\v- lnen.u ru* sedjarah tidak dapat memberi kepada kami djaminan
:* Va,. arl1 Pe,'aturan jang bersangkutan masih sama dengan artinja
let'.r» t,llenlukl' n Pembuat.,ja. Hal ini karena peraturan hukum itu
i n i i •i.i ^ ^ r u ® . j“ 1 Perkenibangaimja djuga pada waktu setelah pem-
35 •* f*Ju" a K r a n e n b u r g „Grondslagen” , hal.
"elHeii” ( Per Jedaan antara „historisehe waarheid” dan „juridisch
l u t i o i 0 { p ! f , a " g » le n u n d ju k k ep a d a b u k u P o 11 a r d „ T h e E v o -
H a l 144 ! Par!|a m e n t” , 1920, h al. 18 : T h e fic t io n o f th e P e e r a g e ).

189
m em batja jurisprudensi, maka djaranglah kita djum pai suatu ke-
putusan hakim jang didasarkan atas sedjarah hukum peraturan
perundang-undangan jang dipakai, misalnja, diselidiki sam pai ja ­
man V.O.C. atau djam an keradjaan Rom awi.

c M enafsirkan undang-undang m enurut sistim jang ada didalam


hukum ( system atische interpretatie, dogm atische in terpreta-
tie) 20

Antara peraturan-peraturan hukum itu ada hubungan Suatu


peraturan hukum tidak berdiri tersendiri. Tiap peraturan hukum
*m em punjai tempatnja
- dalam
i i i lapangan
onrrnn IVnkum.
hukum Tem
x pat
f itu m en d jia d i
tem pat ‘ertenm . Inilah akibat (consequent.e) . » t e r d .p e n d e n « an-
tara m a .in g -m a .in g gedjala sosial. B eberapa peratu ran -p eratu ran
hukum jang mengandung beberapa p e r s a m ^ - a„a,.r-a„as,r sama
j e C c „ P tll ob iek sama,m erupakan suatu
— atau bertudjuan m entjapai suatu o o je * , r
. ;*no tertentu, jang m engenal suatu
him punan peraturan-peraturan J * turan tersebut. H im -
„innerlijk. samenhang antara p e r a ^ J P , mengenal , „ atu

^iT n T rllk T sam en h rr it” mendjadi suatu lernbaga h u k u n (reebt,-


instituut) , , Misalnja, .embaga hukum S
lam h u k u m adat, da am h u k u m I ^ ^
4 dari Buku I (pasal-pasal 26-102) d ^ ?
lembaga hukum mengenai sew lembaga hukum m engenai
dari Buku III (pasal-pasal 1548-1600) j, ie » s
liw at waktu (verjaring) (K.U.H. P erdata titel 7 da n Buku I V (p a ­

sal-pasal 1946-1993), dsb- • hu ada hubungan pula. Lem -


Antara lembaga- em a0 d persamaan^ bersama-sama
baga-lembaga hukum jang (rechtsvel d ) . Dengan dem ikian
merupakan suatu lapangan bergama.sama merupakan satu la-
sem.ua lembaga hukum tertentu dan jang dib eri nam a ,
pangan hukum besar ) aIf h^ um adat Indonesia bersama-
hukum Eropah. e m u a j ang b e„ i t„ tertentu
sama merupakan satu tapdu0

P ]a k . l>al- 2 8 d jb .
20 Scholten, h a l. 5 9 d jb ., d a n r ® h ' ?ges le r e o t y p e e r d e c o o r d i n a -
21 L og em a n n , h a l. 4 , m e m a ai
tieschema” . „ s t e m a t i s e r in g v a n a r fik e le n ” d a la m
22 Kita tidak boleh melihat suatu „ J' se b a g a i „system atisering v a n
su a tu k it a b u n d a n g -u n d a n g (^ e t p j, 1 a k , h a l., 2 9 .
-«...u»” It.ila li «iitak id e n tik ! L ih a t *

190
dan ja n g d ib e r i nam a h u k u m adat Indonesia. Antara lapangan hu­
kum E ro p a h dan lapangan huk um adat Indonesia adalah perbeda­
an besar, ja itu p erb ed a a n sifat ja n g besar. Tetapi ada djuga per-
samaannja.
L em baga hukum berdasarkan azas-azas hukum (rechtsbe-
ginselen) tertentu. Azas-azas hukum inilali jang mengkwalifikasi
(k w a lifice re n ) b eb era p a peraturan-peraturan hukum sehingga pera-
Utran-peraturan itu bersam a-sama m erupakan satu lembaga hukum.
isalnja, peraturan-peraturan hukum (disini pasal-pasal undang-
«n d a n g ) ja n ? bersam a-sam a m engatur perkawinan Eropah itulah
berdasarkan suatu azas huk um p e n tin g jakni azas monogami. Me-
» « r u t pasal 27 K .U .H . Perdata seorang laki-laki hanja dapat kawin
engan satu ora n g perem pu an sa d ja , sebaliknja, seorang perempuan
Jan ja dapat k aw in dengan satu orang laki-lak i sadja. Azas ini men­
j a d i dasar b e b e r a p a pasal lain, jaitu 34, 60, 64, 86 K.U.H. Perdata
,la“ 279 K .U .H . P idana, jang bersam a-sam a merupakan lembaga
hnkiun perk aw in an E ropah. B e b era p a azas hukum lain : pengasi­
h a n (v erv reem d in g ) tidak dapat memutuskan perutangan
Uu azas ja n g m e n d ja d i salah satu dasar hukum perutangan ( '
Jenissenrecht) dan terdapat dalam K.U.H. Perdata sebagai
kaidah h u k u m ja n g tertjantum dalam pasal 1576(pembelian
dapat m em utuskan perutangan (s e w a )); tak ada
Hada kesalahan, ja itu azas jang m e n d ja d i salah satu as
Pidana.
O | 1 T llâ lc â /7.
Seperti h a ln ja dengan k a i d a h - k a i d a h hu 'um> ^«rbedaan
1Ukum itu peUmdjuk-hidup petundjuk-hidup. Tetapi aci al ah
a ^ s antara k aidah hukum dan azas hukum- K al“ a oeianggaran
p e tu n d ju k -h id u p ja n s d ib e r i sa n k si (p e m e r in ta i t \Aa k d ib e r i
'« ■ » » g k a » azas h n k » m ada.ah p e mndj u k . h i d u p , f „ ,
sanks! atas pelanggaran. Kaidah hukum a a *sanksi. Tetapi
«lu le rin g ) azas hukum , jaitu perumusan jang 1 mugan aza9 hu-
justru karena kaidah hukum m en d ja d i suatu pe hukum
kum ja n g m en d ja d i dasar kaidah hukum azas hukum
tersebut sering le b ih sempit (lebih kaku) ari
Jang m en d ja d i dasam ja. itu 23.
23 S c h o l t c n „R e c h ts b e g in s e le n ” « t a la m „ V e r z a :m e ld u it d r u k -
P a u l S c h o l t c n ’ ’ , I , 1 9 4 9 , h a l. 4 0 3 : toT g ep n st. M e t h et
k e n : d e r e g e l w o r d t d ir e c t, h et b e g m s e D e a u t o r it e it v a n d e n
b o g i n s o l i s n o o i t d e c o n c r e t e u i t s p r a a k S e S ® 'e l ** d i e h e t v o o r .-
r e ch ts re g e l stcu n t o p h et g e za g van b e p a a e per /^ c g in s e l kan
s c h r i f i a ïs w e t v e r k o n d ig e n , d e a u to r it e it v a n

191
Azas-azas hukum ini merupakan sislim materiil dari hukum
(het materiele systeem van het recht) (sistim = suatu „sanien-
han ^en de eenheid” mengenai sesuatu) 24. Kadang-kadang azas-azas
hukum itu disebut dengan djelas oleh undang-undang. Dalam hal
dem ik ian kaidah hukum dan azas hukum m cudjadi identik (sama).
Perum usan azas hukum i dalam kaidah hukum) meliputi azas hu­
kum selu ruh n ja, atau hampir meliputinja seluruhnja. M.isalnja,
pasal 27 K-U-H. Perdata dan pasal 279 K.U.H. Pidana. Tetapi lebih
sering azas-azas hukum itu tidak disebut dengan djelas (misalnja,
pasal 1576 K.U.H. Perdata). Dalam hal demikian identitet kaidah
hukum maupun azas hukum -tidak kelihatan. Perumusan azas hu­
kum tidak meliputinja seluruhnja, kadang-kadang sama sekali tidak
meliputinja. Akibat sering pembuat undang-undang tidak dapat me-
njebut azas-azas hukum setjara djelas, jaitu kaidah hukum dan azas
hukum tidak dapat diidentifikasi. Sering identifikasi azas hukum
dalam kaidah hukum itu tidak mungkin, oleh karena identifikasi
suat-u azas hukum mungkin dapat menimbulkan pertentangan dengan
identifikasi suatu azas hukum lain. Seperti adanja inkongruensi
(„incongruentie” , tidak sama) dalam inti berbagai perbuatan ma­
nusia, adanja djuga inkongruensi antara masing-masing azas-azas
hukum !
Apabila sistim (materiil) dari hukum tidak dinjatakan dengan .
djelas dalam undang-undang, maka hakim harus mentjari sistim
itu. Hakim harus mentjari sistim hukum jang dikehendaki oleh

nooit lot zulk persoonlijk gezag worden litrleid. W ei kan gezegd


worden, dai het beginsel is erkert.d door den welgever, liier en daar,
docli die erkenning kan sleehts sleun zijn voor wal al van elders
vastslaat : dat het beginsel zelf spreekt, tot liandelen in zekere richting
dwingt” (FlaT ini dapat djuga dinjatakan sebagai berikut : peraturan
didjalankan setjara langsung sedang azas didjalankan setjara lidak
langsung. Azas tak pernah memberi penjelesaian konkrit, Legitimasi
kekuasaan suatu peraturan hukum adalah kekuasaan beberapa orang
jang mengumumkan peraturan hukum jang bersangkutan sebagai
suatu undang-undang. Kekuasaan suatu azas tak pernah dapat dida­
sarkan atas kekuasaan orang semaljam (adi. Biarpun dapat dikatakan
orang bahwa, di sana-sini, azas jang bersangkutan diakui oleh pem ­
buat undang-undang, masih djuga pengakuan tersebut hanja
mendjadi sesuatu jang menguatkan kaidah-kaidah perundang-undangan
jang lelah ditentukan, supaja mendorong orang melakukan beberapa
matjam perbuatan tertenSu sesuai dengan azas jang bersangkutan itu
dan apa jang dikehendaki oleh kaidah-kaidah perundang-undangan
tersebut).
24 Hukum merupakan suatu sistim. Lihatlah Z e v e n b e r g e n , hal.
198 (jan g mengikuti S t a m m 1 e r „Theorie der Rechtswissensehaft” ,
1911, hal. 364 d jb .).

192
p em b u a t undang-undang. Sistim liukum itu dapat diketahui ha­
k im berdasarkan perbandingan, antara beberapa ketentuan perun­
dang-undangan jan g diduga mengandung persamaan dan berdasarkan
penafsiran m en uru t sedjarah penetapan undang-undang (p.s.p.u.).
P.s.p.u. ini perlu dilakukan supaja dapat m engetahui sistim
apa jan g d ik eh en d a k i pem buat undang-undang 25. Persamaan jang
d ik eh en d ak i pem buat undang-undang itulah azas hukum jang men-
d ja d i dasar peraturan perundang-undangan jang bersangkutan. M i-
salnja, berdasarkan perbandingan antara pasal-pasal 27, 34, 60, 64,
86 K .U .H . Perdata dan 279 K.U.H. Pidana dan berdasarkan penje-
lid ik a n sedjarah penetapan (kelahiran) pasal-pasal tersebut, maka
dapatlah diketahui hakim sistim m ateriil hukum perkawinan E ropah
ja n g dik eh en d ak i pem buat K.U.H. Perdata. Persamaan jang terdapat
dalam pasal-pasal tersebut dan jang rupanja djuga dikehendaki pem ­
bu at K .U .H . Perdata adalah azas m ateriil jang m endjadi dasar per­
kaw inan E ropah. Dasar perkawinan E ropah adalah azas m onogami.
O leh karena sistim hukum diketahui, maka hakim dapat m em beri
kepada sesuatu peraturan perundang-undangan tempatnja dalam
sistim hu k um itu.
Scliolten mengatakan bahwa sistim hukum — form il
m erupakan kesatuan : didalam sistim hukum tidak ada peraturan
ja n g bertentangan dengan peraturan-peraturan lain dari sistim itu 26.
Bukankah, setiap sistim merupakan suatu „samenliangende een-
h e id ” ? D itin d ja u dari sudut ..positieve samenhang” , jang dianggap
ada ( ! ) , m aka dapat dikatakan bahwa hukum ( positif) itu m eru­
pakan suatu sistim form il (het form ele systeem van het recht).

25 Lihailah P o 1 a k , hal. 28. Lihatlah djuga S c h o 1 t e n, hal. 60.


26 H al. 6 0. L o g e m a n n, hal., 47 s „ ................. dat m het stellig recht
geen elkaar lijnreclit tegensprekende norm en voorkom en (bahwa
dalam h ukum p ositif tidak terdapat kaidah-kaidah jan g sungguh-
sungguh bertentangan). Lihatlah apa jan g dikatakan P o 1 a k,
hal. 29.
Sudah tentu sistim materiil dari hukum tidak identik dengan sistim
fo rm il dari liukum . Apakah sebabnja ? Sistim materiil dari hukum
adalah sesuatu ja n g dinamis (azas-azas hukum senantiasa dalam sua­
tu proses perkem bangan, dan proses perkem bangan ini dilakukan
dalam suasana „rechtsw erkelijkheid” ) sedangkan sistim fo rm il dari
hu ku m adalah sesuatu jan g statis (ja n g ada dalam suasana „p ositi-
viteit” ) . Sering djuga sistim hukum jan g dikehendaki oleh pem buat
undang-undang (sistim dalam suasana „positiviteit” , sistim fo r m il)
sengadja dibuat tidak sesuai dengan sistim materiil dari hukum (sis­
tim dalam suasana „w erkelijkheid” ) . Apalagi kalau pem buat undang-
un dan g itu anggauta „ru lin g class” baru.

193
Sistim form il dari hukum m endjadi alat pem bantu (hulpm iddel)
bagi penafsiran sistimatis.
Sebuah tjontoh kelasik 27 : pasal 571 IC.U.H. Perdata menga-
takan bahwa didalam hak kepunjaan (eigendom ) tanah termasuk
djuga segala sesuatu jang ada diatas serta seeala sesuatu jang ada
didalam tanah itu. Menurut ketentuan ini maka jang m em punjai
tanah mempunjai djuga segala sesuatu jang ada diatas dan jang
ada didalam tanah itu. Lihatlah djuga pasal 601 IC.U.H. Perdata.
T etapi- menurut pasal 711 K.U.H. Perdata (m engenai hak opstal)
maka jang diberi hak opstal itu dapat m em punjai bangunan, hasil
usahanja jang lain atau tanaman» jang berdiri diatas tanah orang
lain. Melihat kedua ketentuan ini maka orang dapat bertanja : apa­
kah pasal 711 K.U.H. Perdata tidak mengandung suatu pertentangan
dengan azas hukum jang tertjantum dalam pasal-pasal 5 /1 dan 601
K.U.H. Perdata ? D jika kami menafsirkan pasal 711 K.U.H. Perdata
menurut sistim jang m endjadi dasar hukum benda, maka didalam
pasal 711 K.U.H. Perdata hanja pada rupanja („ogenschijnlijk , se­
olah-olah) ada pertentangan dengan azas hukum jang tertjantum
didalam pasal-pasal 571 dan 601 K.U.H. Perdata itu. Menurut* sistim
hukum benda — jang form il tidak mengenal pertentangan intern
— maka pasal 711 K.U.H. Perdata hanja merupakan suatu p erke-
tjualian sadja terhadap azas hukum jang tertjantum dalam pasal-
pasal 571 dan 601 K.U.H. Perdata. Dengan kata lain : berdasarkan
memakai hak opstal maka seorang, jang tidak m em punjai tanah,
dapat mendirikan sebuah bangunan diatas tanah kepunjaan orang
lain; dengan memakai hak opstal maka seorang, jang tidak m em ­
punjai tanah, dapat mengadakan suatu perketjualian terhadap apa
jang tertjantum dalam pasal-pasal 571 dan 601 K.U.H. Perdata. L i­
hatlah djuga pasal 588 K.U.H. Perdata. Perlu ditjatat disini pula
bahwa menurut jurispradensi Indonesia dahulu, maka pasal-pasal
571 dan 601 K.U.H. Perdata bukan hukum jang memaksa (ingatlah
akan „Bataviasche Grondhuur” dahulu) :
Bagaimanakah apabila ternjata bahwa kehendak pem buat un­
dang-undang tidak sama dengan redaksi undang-undang. Menurut

^ 5 e|>e“ arn^a’ tjontoh ini tidak lagi „ u p to date’ ’ karena pasal-pasal


K.U.H . Perdata jang bersangkutan tidak lagi berlaku, sebab ditjabut
berlakunja oleh L.N. 1960 Nr 104 (Undang-undang tahun 1960 Nr
5 tentang peraturan dasar pokok -pok ok agraria). Oleh sebab itu tjo n ­
toh „kelasik” !
pendapat kami maka penjelesaian perbedaan ini diadakan menurut
penafsiran sosiologis 2S.

d. M en a fsirk a n undang-undang setjara terten tu sehingga undang-


undang itu dapat didjalankan sesuai dengan keadaan ja n g se­
karang ada didalam m asjarakat (penafsiran sosiologis, p en a f­
siran teleo lo g is) 29.

Setiap penafsiran undang-undang — jang dimulai dengan penaf­


siran menurut bahasa — harus diahiri dengan penafsiran sosiologis.
Kalau tidak demikian, maka tidak terdjamin dibuatnja suatu kepu-
lusan hakim jang sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan jang
benar di masjarakat („maatschappelijke werkelijkheid” ). Dari Bab
I telah diketahui bahwa hukum itu suatu gedjala sosial. Maka setiap
peraturan hukum m empunjai suatu tudjuan sosial (jaitu membawa
kepastian-hukum dalam pergaulan antara anggauta masjarakat).
Tetapi tudjuan sosial sesuatu peraturan perundang-undangan ti­
dak senantiasa dapat diketahui dari kata-kata peraturan-peraturan
perundang-undangan itu. Dalam hal demikian hakim harus men-
tjarinja. Agar dapat mengetahui tudjuan sosial itu maka hakim
melakukan penafsiran. Tjara penafsiran jang terlebih dahulu dila-
kukannja ialah penafsiran menurut bahasa; selandjutnja, penafsiran
historis. Hakim terlebih daliulu mentjari maksud pembuat undang-
undang. Tetapi — sebagai telah dikatakan S c h o l t e n — sering
terdjadi hal mengetahui maksud pembuat undang-undang itulah
belum tjukup bagi hakim untuk mengetahui arti undang-undang
jang bersangkutan dalam hubungan-hubungan sosial di masjarakat

28 Oleh karena dalam peradilan pidana dan ilmu hukum pidana p er­
soalan analogi masih merupakan suatu keragu-raguan, maka penting
diingat keputusan H oge Raad Belanda tertanggal 12 November 1900,
W (B elan d a). Nr 7525 : kalau kala-kata undang-undang tjukup dje-
las, maka hakim tidak boleh m enjim pang dari kata-kata itu, walau­
pun kehendak sungguh-sungguh dari pembuat undang-undang itu
berlainan dengan maksud ( = arti) kata-kata tersebut. Lihailah djuga
keputusan H oge Raad tertanggal 21 Djanuari 1929, Ned.. Jur. 1929,
hal. 709.
29 Scholten, hal. 155 d jb .; P o l a k , hal. 41 djb., dan B e l l e , -
f r o i d , hal.. 112. Dalam membatja uraian tentang penafsiran sosiolo­
gis ini, maka kita tidak boleh lupa hal hukum positif tidak m eliputi
semua hukum legal (sa h ). Kenjataan ini telah kam i rumuskan se­
tjara berlainan : „positiviteit” tidak meliputi „w erkelijkheid” selu-
ruhnja. Ada peraturan-peraturan (hu ku m ) jan g bertentangan dengan
hukum positif, tetapi dianggap sah (Lihatlah djuga L o g e m a n n ,
hal. 3 4 -3 5 ). „Sali” berarti : diterima sebagai bagian tataliukum (da ­
lam suasana „werkelijkheid” ) dengan tidak perduli kekurangan apa­
pun djuga didalamnja.

195
pada waktu sekarang. Walaupun telah ditetapkan dalam suatu un­
dang-undang pada suatu waktu tertentu, masih djuga diliari kem u­
dian arti petundjuk-hidup-petundjuk-hidup jang bersangkutan dapat
berubah, karena pengaruh perubahan keadaan masjarakat.
-H al petundjuk-hidup, jaitu peraturan, telah ditetapkan dengan
tegas, tidak berarti bahwa tudjuan sosialnja tidak dapat berubah
lagi. Hukum bersifat dinamis dan perkembangannja mengikuti per­
kembangan masjarakat. Hal ini menjebabkan bahwa kemudian mak­
sud pembuat peraturan itu tidak lagi sama dengan tudjuan sosial
peraturannja. Tudjuan sosial peraturannja telah berubah dibawah
pengaruh perubahan masjarakat. Boleh dikatakan bahwa maksud
pembuat undang-undang itu anasir jang statis (suatu „m om entop-
name” ) sedangkan tudjuan sosial undang-undangnja m endjadi anasir
jang dinamis. Dalam hal demikian sistim form il dari hukum itu
-tidak lagi identik dengan azas-azasnja. Seperti jang telah sering
kali kami kemukakan : „positiviteit” tidak lagi m eliputi „werKe-
lijkheid” .
Hakim wadjih mentjari tudjuan sosial baru dari peraturan jang
bersangkutan. Apabila hakim mentjarinja, maka masuklah ia ke-
dalam lapangan peladjaran sosiologi (studieveld van de sociologie).
Sebetulnja, penafsiran sosiologis itu suatu alat untuk menjelesaikau
sebanjak-banjaknja perbedaan antara „rechtsposiliviteit” dan
„rechtswerkelijkheid” .
Sudah tentu penafsiran sosiologis mendjadi sangat penting, apa­
bila hakim wadjib mendjalankan iindang-undang jang ditetapkan
pada waktu jang mengenal aliran-aliran jang berlainan sekali de­
ngan faham-faham jang sekarang ada di masjarakat. Misalnja, di
Indonesia ada sedjumlah agak besar peraturan perundang-undangan
jang dibuat pada djaman kolonial dan sampai sekarang belum
ditjabut. Sebagian dari peraturan-peraturan itu tidak lagi dapat
disesuaikan dengan keadaan masjarakat sosialistis Indonesia. Ha­
kim tidak dapat menafsirkan peraturan-peraturan itu sesuai dengan
maksud pembuatnja pada djaman kolonial dahulu.
Terang sekalilah hal hakim — berdasarkan memakai penafsiran
sosiologis — dalam keputusannja dapat mewudjudkan hukum dalam
suasana ,,werkelijkheid” !

Penafsiran autentik f penafsiran resm i, a uth en tieke in terp reta tie a ta u .


officiële in terpreta tie).

196
K ad an g-kadang p e m b u a t u n d a n g -u n d a n g sendiri m em buat taf-
siran tentang arti beberapa kata-kata jang digunakannja didalam 30
peraturan ja n g dibuatnja. Tafsiran ini diberi nama tafsiran resm i
atau ta fsira n a u te n tik .
M aksud pem buat undang-undang supaja tafsiran itu diturut
u m u m . T afsiran itu berlaku um um seperti tiap peraturan umum.
M aka dari itu tafsiran autentik lianja dapat dibuat oleb pem bua
un dan g-u ndang dan tidak dapat dibuat oleh hakim , karena pada
azasnja tafsiran ja n g dibuat oleh hakim lianja berlaku bagi kedua
b e la h filia k perkara sadja. •Tafsiran autentik djuga tidak dapat di
bu at o le h seorang m enteri, bahkan, Presiden dalam su rat edaran
B eberapa tjo n to h tentang penafsiran autentik :
Pasal-pasal 512-518 K.U.H . Perdata : dalam pasal-pasal ini pem ­
bu at undang-undang menerangkan apa jang dim aksudnja dengan
kata-kata „b a ra n g jang. bergerak” , „barang-barang rumah tangga
(in b o e d e l), „perkakas rum ah” (m eubelen atau liuisraad),
ja n g gunanja agar rum ah dapat didiam i orang (stofferine
„su atu ru m ah dengan segala sesuatu jang ada didalam nja (een
m et al hetgeen zich daarin b e v in d t).
T ite l I X B uku I K.U.H. Pidana menerangkan „ a r t i n j a beberapa
sebutan dalam kitab-kitab undang-undang ini” (T etapi ta siran
autentik dalam titel I X Buku I K.U.H. Pidana tidak perlu berlaku
d ju ga m engenai kata-kata jang dipakai dalam peraturan pe ^
pidana ja n g ada diluar K.U.H. Pidana. Lihatlah pasal 103 lv.U. .
P id a n a ).

Par. 3: Memenuhi ruangan kosong jang ada


d i d a l a m s i s t i m u n d a n g - u n d a n g 32.

D alam par. 1 bab ini telah dikem ukakan dua aspek m engenai
p ek erd ja a n pem buat undang-undang.

30 D j adi, suatu pendjelasan atas undang-undang dalam Tam bahan L.N.


b u k a n tafsiran autcntiek. , . .
31 B e 11 e f r o i d, hal. 108. T elap. di Indonesia dalam praktek adm
nistrasi (tatausaha) negara suatu surat edaran m enteri m em punja
akibat ( e ff e c t ) ja n g sama dengan akibat suatu peraturan atau suatu
keputusan liakim (keterangan P r o f. Drs G.H.M. R i e k e r k ) .
32 Scholten, hal. 5 9 -1 0 3 ; v a n A p e l d o o r n , hal. 301 dJD.,
Bellefroid, hal. 1 14 -1 1 8 ; L e m a i r e, hal. 8 6 -9 1 ; P o 1 a k,
h al. 31 d jb .; D j o j o d i g o e n o „R eorien tasi” , hal. 8-9.

197
Pem buat undang-undang hanja menetapkan peraturan um um
sadja dan pertimbangan tentang hal-hal konkrit terpaksa diserahkan
kepada hakim.
Oleh karena pembuat undang-undang senantiasa terbelakang
pada kedjadian-kedjadian sosial (b a ru ), maka hakim sering harus
menambah undang-undang itu.
Dalam par. 2, ketika kam i bitjarakan tjara-tjara penafsiran
undang-undang, maka telah dikemukakan pula bahwa hukum p o ­
sitif itu merupakan suatu sistim form il. Oleh sebab itu orang dapat
mengatakan, bahwa, apabila hakim menambah peraturan perun-
dang-undangan, maka hal ini berarti hakim m em enuhi ruangan
kosong (leemten) dalam sistim form il dari hukum itu. Dengan m e­
menuhi ruangan kosong dalam sistim form il dari hukum itu, maka
hakim berusaha mengembalikan (herstellen) identitet antara sistim
form il dari hukum dan sistim materiil dari hukum.
Anggapan bahwa didalam sistim (form il) hukum ada ruangan
kosong jang dapat dipenuhi oleh hakim, belum lama diterim a umum.
Pada bagian kedua dari abad ke-19 bänjak ahli hukum — diantara-
nja seorang sardjana hukum jang bernama B r i n z 33 — berang­
gapan bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan jang tertutup
(kesatuan bulat-lengkap). Tatatertib hukum merupakan suatu „ lo ­
gische Geschlossenheit” (B r i n z). Anggapan ini a.l. akibat aliran
legisme jang telah kam i bitjarakan dalam Bab II : diluar undang-
undang tidak ada hukum. Hakim tidak boleh m endjalankan kaidah
jang tidak disebut dalam peraturan perundang-undaugan.
Anggapan bahwa hukum itu merupakan suatu ,,logische Ge­
schlossenheit ’ sekarang tidak lagi dapat diterima. S c h ö l t e n 34
mengatakan bahwa hukum itu merupakan suatu sistim jang ter­
buka (open systeem). Hal ini dapat dimengerti kalau kita insjaf
bahwa hukum itu dinamis, jang terus-menerus dalam suatu proses

33 i*"1 ” Z ' r Lehrl) 110,1 der Pandecten” I, 1884. T eori „logisch e


Geschlossenheit der Rechtsordnung” mendapat tentangan hebat dari
Iiukum” B a b 'v i ” ^lihatlal1 buku kami „R ingkasan tentang filsafat
34 Hal 100 djb.. Pendapat S c h ö l t e n bahwa hukum itu m erupakan
sua u sistim terbuka, dengan sendirinja membawa suatu konsekwensi
pen ing, jaitu hakim diundang, bahkan, diperintahkan menambah Iiu-
um, engan kala-kata lebih tepat : menambah undang-undang, tetapi
a a atasnja . „(k a n de rechter) niet willekeurig nieuwe dingen in het
leven roepen, maar moet aansluiting zoeken bij liet bestaande” (liakim
tidak- dapat menentukan setjara sewenang-wenang hal-lial jan g baru,
tetapi ia harus mentjari hubungan dengan apa jan g telali ada)
(hal. 103).,

i
perkem bangan. H al ini membawa konsekwensi, bahwa hakim dapat,
bahkan, harus m em enuhi ruangan kosong jang ada didalam sistim
hukum , asal sa dja p en a m b a h a n itu tidak m en gu bah sistim tersebu t
pada p o k o k n ja 35. Bahwa hakim dapat, balikan, harus menambah
undang-undang, itulah diterangkan dengan tegas dalam beberapa
kodifikasi hukum perdata (privat) jang modern, misalnja, pasal 1
kitab undang-undang hukum perdata Negeri Swis ( „ ............... so soli
der R ich ter ......................... nach der Regel entscheiden, die er als
G esetzgeber aufstellen wiirde” ) .
Sekarang kita dapat bertanja : andainja telah dibawa di muka
hakim suatu perkara, dan dalam peraturan perundang-undangan
jan g berlaku tidak ada ketentuan jang dapat didjalankan, walaupun
ditafsirkan m enurut bahasa, sedjarah, sistimatis dan sosiologis ?
Dalam hukum kebiasaan atau hukum adatpun tidak ada peraturan
jang dapat mem bawa penjelesaian jang diingini. Bagaimanakah ha­
kim dapat m enjelesaikan perkara itu ?
D alam hal dem ikian hakim memeriksa sekali lagi sistim (ma­
teriil) jang m endjadi dasar lembaga hukum jang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa ketentuan jang mengandung persamaan, ma­
ka hakim m em buat suatu pengertian h u k u m (rechtsbegrip) > dan
m enurut pendapatnja, pengertian hukum itu adalah azas hukun
jang m endjadi dasar lembaga hukum ja n g bersangkutan. M isa ln ja .
perbuatan m endjual, perbuatan memberi (menghadiahkan, „schen-
ken” ), perbuatan menukar dan perbuatan mewariskan setjara legat
(«legateren” , mem buat testamen), mengandung persamaan. Persam
an itu perbuatan jang bermaksud m engasingkan (vervreemden
dasarkan persamaan tersebut maka hakim membuat pengertian hu­
kum jang disebutnja pengfisingan (vervreem ding) . P en g a sin ga n itu
m eliputi pendjualan, pemberian, penukaran dan pewarisan setjara
legat. Pengasingan adalah suatu perbuatan hukum jang oleh jang
mel akukami j a "diarahkan ke penjerahan (pemindahan) sesuatu

36 Ada dua^is.Hah : „rechtsbegrip” (pengertian hukum ) dan ^ ech ts-


U ji» « !" j 1.UJ».;.). A ™ , dua pcag.rt.an
bcdaan azasi. Lihatlah Sc« , p , „ f m . Paul
„R eclitsbeginselen” dalam „Yerzame e esc iri j ]a|,
Scholten” 1949, hal. 395 djb. : membuat pengertian liukum adalah
mentjari azas hukum jang boleh diduga setjara logis mendjadi dasar
peraturan hukum jang bersangkutan. Lihatlah djuga B e l 1 e f r o i d,
hal 11 .l u, 14 ian " melihat perbedaan antara dua pengertian « u .
Perlu d j u i " d i,ib u . Prot. Mr J. W i a t d n „A ard o „ U l e k » . , , v a „
rechtsbeginselen, in zonderlieid de begmselen van goede t r o u w en
billijklicid, in ons positieve reclit” , pidato inaugurasi Groningen IV^W.,

199
benda. Anasir itu terdapat dalam baik pendjualan, pem berian, pe­
nukaran maupun perwarisan setjara legat. Membuat pengertian h u ­
kum itu — membuat pengertian hukum adalah suatu perbuatan
jan g bersifat m entjari azas hukum jang m endjadi dasar peraturan
hukum jang bersangkutan (lihatlah par. 2 sub c : penafsiran sis-
timatis) — terkenal dengan nama konstruksi ( pem buatan) 31. Azas
hukum atau pengertian hukum adalah konstruksi hukum- (rechts-
constructie).
Pasal 1576 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa pendjualan tidak
dapat memutuskan perutangan sewa sebelum djangka sewa itu dapat
diahiri. Berdasarkan persamaan jang ada didalam perbuatan m em ­
beri, perbuatan menukar, perbuatan mewariskan setjara legat dan
perbuatan inendjual itu — persamaan itu perbuatan jang berm ak­
sud mengasingkan sesuatu — * maka dapat hakim membuat suatu
pengertian : pengasingan tidak memutuskan sewa. D jadi, walaupun
didalam pasal 1576 K.U.H. Perdata lianja disebut kata „m cn d ju a l ,
masih djuga ketentuan ini dapat didjalankan pula dalam hal m em ­
beri, m enukar dan. mewariskan, setjara le^at. OAftVv
|j o n n ll lm k u n l5 y ^
i
Airi il a n />• ,
m g berlaku.

konstruksi
pengasingan

pendjualan tidak ? v
dapat memetjahkan penukaran pewarisan se-
sewa (pasal 1576 tjara Iega‘ ’
K.U.H. Perdata).
tidak dapat niem etjalikan sewa»

Dengan perantaraan konstruksi maka hakim dapat menautkan


(naar elkaar toetrekken) sistim form il dari hukum dengan sistiin
materiil dari hukum. Tetapi apabila sistiin form il dan sistim ma-

^ f ? ^ J iaj '_! »Constructie as classifieatie” (konstruksi ialah


Jtelasilikasi ( _ m enggolongkan) ) . D em ikian pula S c h o 1 t e n,
hal. oo.i Konstruksi memberi kwalifikasi atau kelasifikasi pada bebe­
rapa peraturan hukum tertentu (ja n g m engandung persam aan se­
hingga beberapa peraturan hukum itu m erupakan satu lem baga hu­
ku m (tertentu) (lihatlah par. 2 sub c : penafsiran sistim alis).

200
teriil telah berbeda azasi, maka menautkan itu tidak bisa lagi. Da­
lam hal ini hakim m enjalakan undang-undang tidak-mengikat (niet-
verb in den d ).
K onstruksi itu tidak boleh diadakan setjara sewenang-wenang.
S c h o l t e n 38 menegaskan bahwa konstruksi itu harus m eliputi
bahan-bahan jan g positif („constructie moet de positieve stof dek-
ken ). Jang dim aksud dengan „bahan-bahan positif” itu sistim ma­
teriil undang-undang jang sekarang berlaku. Konstruksi itu liarus
didasarkan atas pengertian-pengertian hukum jang ada dalam un­
dang-undang jang bersangkutan dan jang m endjadi dasar undang-
undang jang bersangkutan itu. Konstruksi itu tidak boleh didasarkan
atas anasir-anasir (elem enten) jang diluar sistim materiil positif.
A pabila hakim melakukan konstruksi, maka harus iá menggu­
nakan akalnja 39. Dalam sistim (form il) hukum tidak ada perten­
tangan, jak n i sistim hukum merupakan suatu kesatuan jang logis.
D alam sistim hukum tiada anasir jang merupakan pertentangan de­
ngan anasir-anasir lain dalam sistim itu. Apabila hakim memenuhi
suatu ruangan kosong dalam sistim hukum, maka tambahan itu ha­
rus berdasarkan suatu konstruksi jang, logis. Tambahan itu tidak
boleh bertentangan dengan pokok sistim hukum jang bersangkutan.
T am bahan itu tidak boleh mendjungkir-balikkan sistim hukum
jan g bersangkutan pada pokoknja. Sebab itu boleh dikatakan bah­
wa m elakukan konstruksi adalah pekerdjaan dengan akal.
T etapi dalam praktek pernah terdjadi hakim melakukan suatu
konstruksi jang m endjungkir-balikkan sistim hukum jang bersang­
kutan pada pokoknja. Konstruksi itu tidak didasarkan atas sistim
(m ateriil) jang sudah ada dalam perundang-undangan positif. K on ­
struksi itu didasarkan atas bermatjam-matjam arti jang oleh penaf­
sir diberi kepada suatu kata jang oleh pembuat peraturan telah di-
1iantum kan dalam peraturan jang bersangkutan. Dengan demikian -
konstruksi itu merupakan perbuatan permainan kata (w oordsp el).
Praktek jang buruk ini diberi nama „Begriffsjurisprudenz,,.
Jang mula-mula menggunakan istilah dan m engedjék praktek itu
ialah seorang sardjana hukum bangsa Djerm an R u d o l f von
J h e r i n g 40. Mereka jang mendjalankan ,,Begriffsjurisprudenz”

38 S c h o 1 1 e n, h a l. 6 5 .
39 S c h o lte n , h a l. 8 7 : „ H e t z o e k e n van h e t b e g in s e l is in le lle c lu e e l
w e rk ...............................
40 „ S c h e r z u n d E rn st in d e r J u r isp r u d e n z ” , 1 9 1 2 , h a l. 3 4 7 .
M e m a n g la li, h u k u m itu suatu g e d ja la sosia l d a n k e d u d u k a n ( p o s it ie )
ilm u h u k u m (r e ch ts d o g 'm a tie k ) tid a k b o le h dia ta s h im p u n a n p e r a -

201
tersebut memakai konstruksi tidak sebagai alat sadja, tetapi sebagai
tudjuan !
Walaupun didalam ilmu hukum oleh beberapa fihak dikemu-
kakan keberatan terhadap konstruksi (karena fihak tersebut m e­
ngingat antara lain akibat buruk seperti „B egriffsjurisprudenz” ),
masih djuga kami beranggapan bahwa hakim dapat m end jalankan*
n ja, asal sadja konstruksi itu „dekt de positieve (rechts) stof” dan
f bersifat logis 41.
Ada tiga sendi konstruksi (drie vormen van constructie), jaitu
analogi, menghaluskan hukum dan argumentum a contrario.

Analogi.

Konstruksi oleh hakim dilakukan dalam hal ia w adjib meii-


djalankan peraturan perundang-undangan antara lain setjara ana-
logi (analogische wetstoepassing). Kadang-kadang hakim harus m e-
njelesaikan suatu perkara jang pada permulaan tidak m ungkin lang­
sung dibawanja kedalam lingkungan suatu ketentuan. Tetapi dalam
perkara itu ada anasir jang mengandung persamaan dengan anasir
jang ada didalam suatu perkara jang langsung dapat dibawa ke­
dalam lingkungan ketentuan tersebut. Dalam hal dem ikian hakim
melakukan konstruksi. Atau dengan kata lain hakim m endjalankau
etentuan jang bersangkutan setjara analogi. W alaupun pasal 1576
•U.H. Perdata hanja menjebut kata „m endjual” , masih djuga ha-
apat mendjalankan ketentuan ini dalam hal m em beri, meivu-

I! ” m h u k u m l e ™ >an.a m e m b e r i p e n d j *
b u a t ) h u k u m Itulah K t ™ ai} . tld a k te ru ta m a m e n e n tu k a n (n ie m -
h atlali F . Geny m Ia L I » T p e r lf m ? d a ri ilm u h u k u m . l a -
p r iv é p o s itif” , I , 1 9 1 9 ^ a l 4 3 ^ jj^ n terP r e ta lio n e t S o u r c e s d e D r o i f

stru ksi p a d a h a k e k a ta ja ” ua” u f i k r i ’ ^ d j b , ) d ik a la k a n b a liw a


a d a , te ta p i m a sih d ju g a oram r t ’ .l a “ U, f su a tu *a n S s e b e tu ln ja fid a k
seh in g g a d a p a t m e n e r a n g k a n s e s u ^ u l ^ n T dalam ,
k a d a n g -k a d a n g m e m b u a t k o n stru k s i T e S n i k T , d i-
g u n a k a n n ja k o n stru k s i it u tid a k n erh , - T 8 " ada" g d j “ g , ;
a p a b ila p e n g g u n a a n n ja s u n g g u h - s u n ^ h ' T a? j a . Î , d jPa k “ '
g u n a a n terseb u t s u n g g u h - s u n ^ i b J ’ Jaltu aP a b lla
k a n p era tu ra n ja n g b e rsa n ck iu n r Î a p ? 1, nienlPermudaIi m en d ja la n .-
69 : „„ C o n s t r u c U e ” » 7 ^ - » ^ ^ S ch olten , h a l-
a rti d a ri fik s i lih a tla h d iu e a K m S a a n , m e lk a a r o v e r ” - M e n g e n a i
66-72: „ D e fic iie ” . p ad a h a l fi7 g, » G r o n d s la g e n ” lia i,
antara konstruksi dan fiksi. Pemin!» ®anSa* sukarlah diadakan batas
B e d e u tu n g d e r R e c h ts fik tio n e n ” , 1940,'d a n n o ^ t 1 b a b i n i . ""

202
kar dan mewariskan setjara legat. Hal-hal itu dapat dibawanja se-
tjara analogi kedalam lingkungan pasal 1576 IC.U.H. Perdata.
Kadang-kadang pembuat undang-undang sendiri menerangkan,
bahwa beberapa ketentuan perundang-imdangan dapat didjalankan
setjara analogi. Misalnja, pasal 1546 Iv.U.H. Perdata. Disitu oleh
pembuat imdang-undang diterangkan, bahwa semua peraturan me­
ngenai djual-beli jang ada didalam K.U.H. Perdata dapat djuga
didjalankan dalam hal tukar-menukar.
Sebaliknja, dalam undang-undang ada djuga ketentuan jang
tidak dapat didjalankan setjara analogi. Pada vunumnja dapat di­
katakan, bahwa peraturan-peraturan jang bersifat memaksa tidak
dapat didjalankan setjara analogi. Masih dipersoalkan analogi da­
lam hukum pidana. Lihat Bab IX, par. 4.

Menghaluskan hukum (rechtsverfijning).

Sebagai kebalikan analogi disebut suatu perbuatan jang


diberi nama menghaluskan hukum (rechtsverfijning) 42. Boleh
dikatakan, menurut tudjuannja maka hukum tidak boleh me-
njelesaikan sesuatu perkara setjara jang tidak adil atau tidak
sesuai dengan „werkelijkheid” sosial (inilah suatu konstruksi jang
lo g is). Kadang-kadang hakim tidak dapat mendjalankan suatu ke­
tentuan tertentu, walaupun ketentuan itu menjebut dengan djelas
Perkara jang harus diselesaikan oleh hakim. Djika ketentuan ter­
sebut didjalankan oleh hakim, maka perkara itu tidak dapat dise­
lesaikan setjara adil atau sesuai dengan „werkelijkheid sosia jaitu
d«lam hal „positiviteit” dan „werkelijkheid” sosial itu sangat-sangat
b erb ed a). Dalam hal demikian hakim terpaksa mengeluarkan per-
kar* jang bersangkutan dari lingkungan ketentuan itu, selandjutnja,
^ » je le s a ik a n n ja menurut suatu peraturan sendiri. Perbuatan me­
ngeluarkan ini diberi nama menghaluskan liukum,
, D engau demikian hakim menjempurnakan sistim ^
^ s a n g k u ta n . Perbuatan menghaluskan liukumpun
* r >.i 5M t„ ^ n k» 7 S
sistim undang-undang (sistim fo v-i
erma a

«nsial
&
"■«■M esaikan „ „ ¿ r a adil atau sesuai denganwerke'uU.e.d soS^ l
? ■ » » * Perkara jailg b e r s a n t a n , .»aka hal « berart. bahva
am sistim undang-undang tersebut ada ruangan kosong.

42 Schölten, hal. 80 d jb .; Polak, haL 47,48.


203
Argum entum a contrario.

Suatu konstruksi jang djuga bermaksud m em enuhi suatu rua­


ngan kosong dalam sislim undang-undang ialah perbuatan jang
diberi nama argumentum a contrario. S c h ol t e n 43 mengatakan
bahwa pada hakekatnja tidak ada perbedaan antara m endjalankan
undang-undang setjara analogi dan mendjalankan undang-undang
setjara argumentum a contrario. Hanja hasil dari kedua tjara m eu-
djalankan undang-undang itu berlain-lainan. Analogi membawa
hasil jang positif, sedangkan perbuatan m endjalankan undang-un­
dang setjara argumentum a contrario membawa hasil jang negatif.
Kedua tjara mendjalankan undang-undang itu berdasarkan kon­
struksi.
Tjontohnja : pasal 34 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa se­
orang perempuan tidak boleh kawin lagi sebelum liwat suatu djang­
ka waktu 300 hari sesudah pertjeraian dari suami pertama. Ber­
dasarkan suatu argumentum a contrario (kebalikan), maka dapat
dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang lelaki.
Menurut azas jang ada didalam hukum perkawinan E ropali, maka
seorang perempuan harus menunggu sampai djangka waktu 300
hari itu telah liwat (djangka waktu idah menurut hukum Islam ha­
nja 100 hari). Bukankah, dalam waktu itu ada kemungkinan ke­
lahiran suatu anak dari suami pertama ? Bilamana anak itu lahir
pada waktu setelah perempuan itu bersuami lagi, maka anak itu
dapat dianggap anak suami kedua. Azas tersebut m endjadi dasar
konstruksi : seorang lelaki tidak bisa hamil, d jadi, pasal 34 K.U.H-
Perdata tidak berlaku bagi seorang lelaki.

Dari apa jan,g kami kemukakan diatas tadi, telah ternjata


pengertian-pengertian hukum atau azas-azas hukum itu m endjadi
alat-alat pembantu (hulpmiddelen) bagi pekerdjaan hakim m e­
nentukan mana jang merupakan hukum mana jang tidak. Penger*
lian-pengertian hukum atau azas-azas hukum itu m endjadi a la t-a la t
pembantu jang berguna, karena dengan memakainja hakim dapat
menjelesaikan perkara jang sukar. Apabila hakim memakai pe*iger'
tian-pengertian hukumi atau azas-azas hukum — dengan kata lain '■
hakim mengadakan konstruksi — maka hakim tidak boleh lupa
dua aspek dari hukum. Dari Bab I telah kita ketahui bahwa hukum

43 HaL 92.

204
itu suatu kaidah. Djuga telah kita ketahui, bahwa kaicjah tersebut
m eiu lja d i kaidah keadilan dan/atau kaidah jang bermaksud men-
tja p a i sesuatu jang berguna (doelm atig). Sebagai kaidah jang ber­
m aksud m entjapai sesuatu jang berguna, maka hukum itu semata-
m ata beraspek alat. Dalam hal demikian pembuat konstruksi harus
berh ati-h ati supaja konstruksinja bukan konstruksi jang tidak logis!

Par, 4; Pengaruh pribadi seorang hakim atas


pekerdjaan mengadili.

P eradilan adalah buatan manusia. Tjara-tjara penafsiran jang


k am i sebut diatas tadi hanja djalan tehnis sadja untuk mentjapai
suatu penjelesaian perkara menurut hukum, dan te lin ik menentu­
kan m ana ja n g merupakan hukum mana jang tidak, itulah didja-
l a n k a n o le h seorang manusia ! Maka timbul pertanjaan, sampai di
m a n a k a h terasa pengaruh pribadi manusia itu — pribadi h a k im —
dalam peradilan ?
Jang m en d ja d i faktor penting (faktor materiil) dalam menen­
tukan m ana jan g merupakan hukum mana jang tidak, ialah djiwa
hakim ja n g bersangkutan. Setiap orang mempunjai suatu perasaan-
h uku m ja n g ditentukan oleh pengalamannja dalam pergaulannja
dengan orang lain. Setiap orang mempunjai perasaan sendiri ten­
tang apa ja n g baik apa jang tidak baik. Setiap orang mempunjai
6uatu „w aa rd e-oordeel” sendiri tentang dunia sosial di sekitamja.
W a la u p u n hakim w adjib m'empertimbangkan hal-hal setjara objek­
tif, tidak m ungkinlah ia dapat menghilangkan sama sekali perasaan
su b je k tifn ja 44.
D jiw a manusia itu m empunjai tiga funksi jang tidak dapat di­
pisah-pisah kan jang satu dari jang lain. Tiga funksi itu :

a. fu n k si ja n g logis
b. fu n k si ja n g berintuisi (intuitief)
c. fu n k si ja n g rasionil 45.

44 H o e t i n k (dalam T., 137, hal. 612) pernah menulis bahwa „D e


rech ter oord eelt nim m er in, vrijheid naar eigen gevoelen, maar naar
o b je c tie f geldende maatstaven” . Kami menganggap utjapan ini „das
S ollen ” ! Lihatlah djuga H o e t i n k „H et standpunt van de rechter”
dalam T . 1 41 , hal. 421, mengenai pendapat hakim pada umuninja.
45 P o l a k , hal. 13., K u s u m a d i P u d j o s e w o j o („Pedom an” , hal.
2 8 ) : „I n t i dari sesuatu perkara jang juridis, ja’ ni bagian jang dapat
d ia n gga p m em pu n jai sifat jang menentukan, disebut „„ra tio deci-
d en d i” ” . R atio decidendi ialah faktor-faktor jang sedjati („„m aterial
faets” ” ) , fak tor-fak tor jang „„essensiil” ” jang djustru mengakibat-

205
Tiga funksi tersebut masing-masing saling mempengaruhi. Tia­
da suatu uraian hakim (mengenai pokok dan penjelesaian perkara)
jang seratus prosèn logis atau seratus prosèn rasionil.
Suatu uraian hakim boleh dikatakan logis (menurut sistim
A r i s t o t e l e s ) , apabila dalam uraian itu ternjala didjalankan
hakim suatu peraturan (major) berhubung dengan suatu perkara
(minor) dan didjalankannja peraturan itu setjara demikian, sehing­
ga diperoleh suatu hasil (konklusi) jang memaksa. Konklusi syl­
logisme ini harus memaksa, jakni suatu konklusi lain tidak mung­
kin. Apabila ada suatu konklusi lain, maka tentu konklusi lain itu
dibuat berdasarkan suatu kesalahan memikir (djadi, tidak logis)46.
Tetapi suatu keputusan hakim jang seratus prosèn logis tidak
ada, oleh karena djiwa hakim (perasaan-hukumnja) tidak diten­
tukan oleh logika sadja. Dalam waktu rasionalisme masih djaja*
hal ini tidak diinsjafi. Maka dari itu banjak keputusan hakim
jang sebetulnja tidak logis, masih djuga ditjap logis.
Kemudian — ketika aliran rasionalisme belaka sudah mulai
ditinggalkan — timbul reaksi terhadap peradilan rasionalistis itu.
Intuisi (perasaan, sentimen) semata-mata mendjadi dasar peradilan
(Gefiihlsjurisprudenz). Tetapi djuga hal ini mendjadi suatu kele­
bihan. Memang, intuisi penting. Tetapi djuga tidak ada keputusan
hakim jang seratus prosèn dibuat berdasarkan intuisi. Pentingnja
intuisi ternjata dalam hal : tidak djarang seorang hakim telah mem-
punjai suatu pendapat tertentu — pendapat itu dibuat berdasarkan
kesan pertama (eerste indruk)— sebelum ia menjelesaikan penje-
lidikaimja. Djadi. sebelum ia membuat alasan-alasan rasionil jang
mendjadi dasar suatu keputusan.
Perasaan jang tidak rasionil itu dapat djuga berasal dari pe­
ngaruh pendapat-umum (publieke opinie). Tidak ketjillah djum lah

kan keputusan Begitu itu. Setjara ilmu pasti dapat dikatakan shb. :
suatu perkara mengandung faktor-faktor a, b, c. Dari faktor-faktor
i lu oleh hakim dipandang jang essensiil ialah faktor-faktor a dan b,
sedangkan faktor c merupakan penambah sadja. Berdasarkan ilu ha­
kim sampai kepada keputusan x. Maka ratio decidendi dari perkara
ini ialah a dan b (beserta x~). Djika kemudian terdjadi perkara
jan g mengandung faktor a dan b dan c dan d, sedangkan d itu
essensiil dalam perkara ini, maka keputusannja tidak m ungkin x ” .
Sebagai kebalikan „ratio decidendi” ilu disebut „o b ite r dictum ” (hal.
2 9 ) : „K ebalikan dari ratio decidendi ialah jan g disebut „ „ o b ite r dic~
tum . Ini merupakan suatu utjapan sambil lalu sadja, tidak mem -
punjai arli mengikat untuk perkara itu” .
46 Lihailah Z e v e n b e r g e n „F orm eele eneyelopaedie der rechtswe-
tensehap aïs inleiding tôt de rcchtswetenschap” , 1925, hal. 328-331.

206
hakim jang m em punjai pendapat jang tidak rasionil terhadap suatu
perkara, karena pengaruh dari diluar gedung pengadilan.
T etap i perasaan jang tidak rasionil ini sebanjak-banjaknja ha­
rus dipadam kan oleh faktor-faktor jang dapat menim bulkan suatu
perasaan jang rasionil. Bukankah, objektiviteit itu m endjadi suatu
sjarat m utlak dari keadilan ? Bukankah, hakim w adjib m em beri
suatu keputusan jang seadi-adilnja ( = seobjektif-objektifnja) ? 47.
Dalam hal dem ikian hakim harus berani menentang pendapat-
um um ! terutama kalau pendapat-umum itu tidak tepat dan ter­
salah bim b in g (m isleid).
F aktor-faktor jang pada um um nja mempengaruhi pendapat ha­
kim ialah agama, pendidikan, aliran politik dan perhitungan (bere-
k eu in g). Maka dari itu keputusan masing-masing hakim jang me­
ngenai satu perkara jang sama, biasa berlain-lainan. Jurisprudensi
M ahkam ah Agung jang sudah lama m endjadi tetap dapat diubah
dengan sekonjong-konjong, apabila anggautanja — atau beberapa
dari anggautanja — diganti.

Par. 5: Menentukan mana jang merupakan


h u k u m m a n a j a n g t i d a k d a 1 a 111 h u k u 111 a d a t
(rechtsvinding i n liet a d a t r e c h t ) .

H ukum adat Indonesia belum lama m endjadi ob jek peladjaran


ilmu, V a n V o l l e n h o v e n l a h jang pertama-tama memasukkan
peladjaran hukum adat kedalam rumah ilmu hukum 4S. Dalam bu-
„kunja ,,Het Adatrecht van Nederlandscli Indie” , jang terdiri atas
tiga d jilid tebal 49, dibentangkannja suatu sistim untuk mempela-

47 Polak, hal. 16.


48 Sebelum v a n V o l l c n l i o v e n telah ada orang jang m em punjai
perlialian terhadap hukum adat. Boleh dikatakan jang mendjadi p e­
lo p o r peladjaran hukum adat adalah Prof., Dr G. A. W i 1 k e n
(„V ersp reid e gescliriften” , 4 djilid, 1912, dikumpulkan oleli Mr F.D.E.
van O s s e n b r u g g e 11) . §eoratig Inggeris jang bernama W .
M a r s d e 11 mendjadi orang Eropali pertama jang menaruh perhatian
terhadap hukum adat itu., Lihatlah van Vollenhove n «D e
on tdekking van het adatrecht” , 1928, hal. 14r-19. Buku v a n V o i ­
l e 11 h o v e n ini penting diketahui untuk sedjarah minat terhadap
hukum adat.
49 1909 - 1931. Sampai sekarang buku ini masih merupakan dasar ilmu
hukum adat. T e r H a n r, hal., 241 : „M iddelpunt van de bibliografie
van het adatrecht — sluitsteen van het verleden, fundam ent van de
toek om st — zal altijd blijven het grote we rk van v a n V o l l e n ­
h o v e n, „„H e t Adatrecht van Nederlandscli Indie” ” , deel I 1906 r
1 9 1 8 ” (pusat biblilografi hukum adat — batu jang menutupi djaman
lam pau, dasar bagi kemudian liari — itulah tetap pekerdjaan
besar van Voile n hoven „H et Adatrecht van Nederlandscli

207
djari hukum adat, menurut metode-metode ilmu hukum. Maka dari
itu v a n V o l l e n h o v e n disebut orang : ahli hukum jang me-
ngetemukan hukum adat (ontdekker van het adatreclit). Pekerdjaan
v a n Y o l l e n h o v e n disempurnakan oleh t e r H a a r. Suatu
anak Indonesia jang mendjadi sungguh-sungguh ahli hukum adat
ialah S u p o m o 50. D j u g a D j o j o d i g o e n o dan H a z a i r i n
adalah „adat-rechtskeimers van formaat” . Sebelum v a n V o 11 e n ■
h o v e n mulai dengan peladjarannja, maka hukum adat itu ham­
pir tidak dikenal oleh hakim pemerintah ( gouvernementsrecht-
spraak) dan administrasi (tatausaha) negara.
Jang mula-mula memakai istilah „hukum adat” („adatreclit” )
dalam ilmu hukum ialah seorang ahli agama Islam bangsa Belanda
S n o u c k H u r g r o n j e 5l. Kemudian, karena v a n V o 11 e n -
h o v e n, istilah ini mendjadi istilah jang dipakai umum. Tetapi
dalam peraturan-peraturan perundang-undangan terpenting jang di­
buat pemerintah Belanda istilah „hukum adat” itu baru dipakai
pada tahun 1929 ketika pasal 134 I.S. diberi perubahan. Setelah
diubah maka redaksi ajat 2 dari pasal itu memuat kata „hukum

Indië” , djilid I 1906-1918). Selandjutnja : „ ..........................


zal het eerste deel van van Vollenhovens boek middelpunt der adat-
rechtbeschrijving en adatrechtbibliografie blijven hetcn, omdat de daar-
na beschreven literatuur in haar geheel op van Vollenhovens slelsel-
matige uiteenzetting berust; de nieuwe feiten en inzichten die worden
aangedragen, bouwcn het stelsel uit, vullen het aan; trekken hier
en daar iets recht; doch doen daaraan nergens 'ivezenlijke afbreuk”
(karena semua lukisan-lukisan mengenai hukum adat jang ditulis
setelah van Vollenhoven menerbitkan bukunja didasarkan atas sis-
timnja, maka buku van Vollenhoven itu tetap akan merupakan pusat
pelukisan hukum adat dan bibliografi hukum adat; keterangan-kete­
rangan serta pendapat-pendapat baru jang dikemukakan akan me-
njempurnakan sistimnja, akan menambahnja dan akan m emperbaiki-
” !T V tett Pi ketepangan-keterangan serta pendapat-pendapat baru ifu
tidak akan mengubah sistim itu pada p ok ok n ja ). Buku „m anum en-
»a van V o l l e n h o v e n ini sering disebut „legger” hukum
âQStt
Tentang riwajat hidup dan pekerdjaan v a n V o l l e n h o v e n ba-
1(MV. Beaufort „Cornelis van Vollenhoven, 1874-
iVSA , 1954. Mengenai lmku i„i ditulis suatu sambutan oleh Prof.
TtiQQ1 f P «Een mooie biografie, Cornelis van Vollenhoven 1874-
hal 9 0 9 1 ieUe L T - de Bea«fo rt” dalam „Indonésie” , April 1955,

50 Mengenai S u p o m o sebagai sardjana batjalah G.J. R e s i n k ,.In


Memoriam Supomo sebagai sardjana” dalam „Padjadjaran” , I, 2 (N o­
vember 1 95 8), hal. 6-10. ’
51 ? r f ' , S, " ° ® uTrTg r ° 11 J' e »D e Atjehers” , 1893-1894, 2 djilid,
I : hal. 16, 357, 386, II : hal. 304.

208
, „ . v. iano' dipakai untuk rae-
adat S eb elu m tahun 1929 maka “ tllal 3 ° ama> lembaga ke-
njatakan h u k u m adat ialah „u n d a n g -«» J welten, volksinstel-
h u dajaan ra k ja t dan kebiasaan” ^ ods^ Cn * turan.peratu ra n W -
hngen en geb ru ik en ) (pasal 11 A .B .) atau ^ et hunne gods.
kum m en gen a i agam a dan kebiasaan " ^ ^ ^ r e g e l e n ) (pasal 131
d ie n s te n . en g ew oon ten sam en h an gen de re

a3at 2 s u b b I .S .) . cfari hu!/tvaa ivtSat


M eu urut istilah tersebut bagian ter tyiatu kesalahan ialiam
la h h u k u m agama. Anggapan tuv iW^Tttrv
, tu s s c h c n M olia m m ed a n en ,
52 „E ven w el staan de burgerlijke rechtsza c Jjennisneniing van den
indien liun adatrecht dat medebreng ordonnantie anders is
god sdien sligen rcchter, voor zoover n ,e , u^ annja, maka perkara-per-
b ep a a ld ” (dalam hal hukum adat menie , m akan diselesaikan oleh
kara perdata ja n g timbul antara or.lin*’j onansi telah menentukan pe-
liakim agam a, terketjuali dalam hal or
n je le s a ia n s e t ja r a l a i n ) « , ¡ tu telah d ip a k a i da lam
S ebelum t a h u n 1929 is tila h „ h u k u m ada d ; Negeri B elan da
u n d a n g - u n d a n g Belanda m e n g e n a i P®1-®!1,.- {i an didalam A ca d em isc i
t a h u n 1 9 2 0 , L.N. Belanda 1920 ^ ^ a,-
Statuut. Lihatlah djuga L.N.H.B. i 9 H r ,^|r M. S l a m e t pada
L ih a t la h d u a „ p r a e a d v ie s ” Mr H. G u > 'p t e n ta n g « D e be=-
V ijfd e Juristcn Congres B a t a v i a 1939 ^ ‘ |n„ » . Penting djuga ka-
teek en is van de term adatrecht in de = C . u s t o m a r y La w ( c
rangun P r o f, d e J o s s e l i n d e 29 ( 1 9 4 8 )) - Prof-
In d iscli Instituut, N r L X X X , A fd. ° j ; lirkan istilah.-islilah,, m u m
de Josselin de J o n g K « m adi PV '
tertulis” dan „h u k u m tak ifertulis” . 'e m b e d a k a n antara ” 1U"\
sewo j o („P e d o m a n ” , h al. 6 6 -6 7 ), «em b ^ hukum « U t
a d a t” dan „a d a tre c h t” . „ .............................* S e d a n g k a *1 a d a tre c h ^
ialah segala hukum jan g tak tertu i - |ig Apakah bag1an ‘ "L ,“ ,,
sebagian m eliputi djuga hukum ja n » eertian hukum ada •
k aran g tidak boleh diimasukkan dalam P rinatan terhadap^ n
h adap itu tiada keberatannja. Demi Pe ^ierup akan hukum jang 1
T etap i, asal itu sungguh-sungguh masi i lljeia!,kan

N am un ada hal lain jan g k!ranjaM? " £ “ !BeIanda terhadap


sa ja . O le h p e n g u n d a n g -u n d a n g “ t e la h d ih a p u s k a n <j m erek a
go lo n g a n rakjat tertentu a^atrerf - 1 \sing karena terlia ap ,
k u m n ja , mis. terhadap orang Telapi disam p.n ghu k u m
diperlakukan hukum Perun‘lan" j.ja m bidang-bidang tat? , ‘

IS S »««,
2Z -
r u p a k a n s u a tu p e n g e r tia n t 1 , - 1 ,k a . B ia r p u n itu te p „ ..l - i m i a ,
la m ta t a h u k u m H n d ia -B e la n d a b a g i m A h a s a r d ja n a p e n g
tanda peringatan dan p e n g h o r n !^ ! ^ sedjarah hukum In
ja n g nam anja tak pernah akan dihapusk
donesia. . , • lianja : hukum perun * »
D idalam tatahukum Indonesia daripada hukum jang tak
dangan dan hukum adat sebagai sjn om m
tertulis” .
209
¡ „ g biasanja disebut k e m U la n id en lifik a si ( ; d e n t m c a , i e .f o u t ) M (,

7 ^ ' J t Z r ^ m ‘ hUkUm adat h “ « i “ te * e » a r n j a d iid e ,,.


tifikasi sebagai hukum agama ^ VanVnl.l» i i t •

z : “ kMa,a- k e ;a d a i ; i ; , : ; : : t „ r

Dalam hukum adat ada m acir „


„ ..„ t ..! i ■ , , agama, tetapi anasir ini tidak
m erupakan b a gta » besar d , ri lln k llm it„ Mafea £ v a n y „ 1-

d a h r f 'u T r ” hr 8T ” tahW a h a ru s d is e b u t le b ih
t d f 0“ f d " ” U“ i " r n d “ " “ 6“ » » % ¿J a d i, „ k e b ia s a a n d a n
undang-undang agama” . Oleh v a » V „ n i t
ri * van V o l l e n l i o v e n diiuisjffap
pajang bahwa pembuat I.S tirlnk »«<«* n 170
ketika nprit i ^masukkan istilah ,, hukum adat”
ket.ka peraturan perundang-undangan ini dibuatnja!
adat ¡ r r r . , er r ba' ,inl!m akih dalam praktek hukum
d toi I t r t ' Ji ” ° ' eh hafeim ? “ • k « m i b itja r a k a n
Y Zvene ? 7 jang «W * hakin, p e m e r in t a h
liL T ” > f ' ' r> « 5 I.S. dan 1 R.O. « e e h t e r -
hukum i " . ''“, ' ' , ' 1 a Va#" " ja ,la k i>" p e m e rin ta h m e .id ja la n k o n
I n d o !" , , ” r * 1“ * “ “ " p erk a ra a„ ,a r a d n a o r a n g
dat i „ ,T * «»<■ dapat mendjalanfean hukun,
c » n ‘ „1 ■“ T C“ ikan S" a“ » “ k” » i™ ? s a , L sa „ , fihakn.ia
kita ?T a “ Perkara ¡»«»g e n ta , lihatlah Bab X I V ) , itujah
n§eti|huinja dari pasal 131 ajat 6 I.S. =0.

Tentang ” eorM ™ " ,t l1 ,e ° r! '■r(:cr:P ,io i « c o m p le x u ",


-S e d jJ .l, ° W'“ ' S u p o m o dan D j o k o s u t o n o

"iiKljau Uukum a d „ k l 'i 'l “ f ’J } ' k ' ° ” M' '


?»Azas-azas hukum adat” , 1958 l’,,? o / c 51; D j o j o d i g o e n o
itu maka dalam ordonnantif dengan pendapat sesat
perkara-perkara pewarisan dan " f- Ff ad a" ama- S" 1882 No' 152’
jeraian) diantara orang-orinrr eF,dj ,ollan ('nclusiva perkara per-
makan dengan mereka diistimnw'L miputeri d“ 11 i an« dipersa-
Pada raad agama akan peradilannja : jang diserahkan
Dalam tahun 1937 orang b e ra iilV ‘ ‘ ,
aturan-peraturan feaih hanin ™ ag' konscPsin]a dan mengira per-
dJ«k, dan fasah sahadja dan olel,0"kuasai soal perdjodoan, talak ru-
perkara itu sadja jang masih d ic« ,,anja peradilan perkara-
Peradilan perkah L r L T ^ h " ^ 11 raad aSa"*a Sed»»S
........................ Pandangan i n i p u „ ” k?Pada Pengadilan n e g e r i.............
n garu h hukum feaih” ') Tenr! • ** terlalu melebih,-lebihkan pe-
Mr S. K e y s e r dan Prof. Mr L W rsaIaI‘ ini ditjiptakan oleh P rof,
djuga C a r p e n t i e r A 1 1 i n «•’ V 3 ” d c n B e r S- Lihatlah
54 „Adatreeht” , II, hal., 536. »«^ondslagen” , 1926, hal. 14-16.
55
i r "«» B u c e „ b n e I. e r
56
M .a ,.,h . X S n p o n , o , •P: ? S , mJ S ^ „ „ V S . “ . 4 ,í', ' 5 0 2 •

210
Menurut pasal 11 A.B. maka dalam menjelesaikan perkara an­
tara oiang bukan-Eropah hakim harus mendjalankan hukum adat,
asal sadja hukum itu „tidak bertentangan dengan azas-azas keadi­
lan . Ketentuan ini mengandung suatu pembatasan (restriksi) ter­
hadap hukum, adat5", jaltni hakim hanja boleh m endjalankan h u ­
kum adat, apabila hukum itu dapat disesuaikan dengan „azas-azas
keadilan . Kemudian restriksi ini dimasukkan kedalam pasal 75
ajat 3 redaksi lama R.R. 1854.
A pakah jang dimaksud dengan „azas-azas keadilan” itu ? Oleh
karena pada waktu sebehun Perang Dunia I ham pir semua hakim
pem erintah adalah orang Belanda, maka dengan sendirinja ^azas-
azas keadilan” itu dipersamakan dengan azas-azas hukum Eropah.
M a k a hukum adat itu tidak dapat didjalankan kalau bertentangan
dengan azas-azas hukum Eropah.
Tetapi, walaupun ada banjak perbedaan antara hukum adat
dan hukum Eropah, masih djuga dalam prakteknja restriksi ini
djarang didjalankan hakim pemerintah 5S. Sebaliknja, sangat sering
didjalankan kemungkinan untuk menambah hukum adat, ajat 6
pasal 75 R .R . redaksi lama59. Disertasi Mr Enthoven60 jang
m em bitjarakan jurispradensi hukum adat dari tahun 1848 sampai
tahun 1912, hanja menjebut empat hal hakim beranggapan hukum
adat itu bertentangan dengan „azas-azas keadilan” (ajat 3). Pada
um um nja restriksi ini hanja dipraktekkan dalam hal hakim harus
m enjelesaikan soal mengenai warisan menurut hukum Islam, jakni
dalam hal didjalankan hakim suatu peraturan hukum Islam jang
telah diresepsi dalam 'liukum adat.
A ja t 6 dari pasal 75 redaksi lama R.R. 1845 itu memuat suatu
kem ungkinan untuk menambah hukum adat. Apabila hukum adat
tidak dapat menjelesaikan sesuatu soal, maka hakim dapat menje-
lesaikannja menurut azas-azas hukum perdata Eropah. Bagaimana­
kah praktek hakim berhubung dengan kemungkinan ini ? Dalam
praktek sering terdjadi hal hakim — pada waktu itu bagian
terbesar h akim adalah orang Eropah — menggunakan kemungkinan

57 Restriksi ini telah terkenal pada waktu V.O.C. dan berasal dari Gu-
bernur-D jenderal v a n I m li o f (abad k e -1 8 ). Hukum adat dapat
didjalankan „v o o r so verre bij ons tollerabel zijn” .
58 S u p o m o dalam bukunja „Bab-bab tentang hukum adai” , menje­
but pada hal. 31 lima tjontoh.
59 Pada hal. 37-38 buku jang tersebut pada noot 56, S u p o m o me,-
njebu t beberapa tjontoh tentang penambahan liukum adat oleh hakim.
60 „H e t adatrecht der Inlanders in de jurisprudenlie 1849-1912” , dis., Lei-
den 1 91 2, hal. 49 djb.. Lihat djuga noot 58 diatas ini.,

211
tersebut setjara- jang tidak dapat disesuaikan dengan tudjuannja.
Oleh karena hakim segan mempeladjari hukum adat, maka sering
dikatakannja bahwa di Djawa dan di Madura orang tidak (lagi tun­
duk pada hukum adat ! Apa,lagi didjalankannja bukan azas-azas
hukum perdata Eropah, tetapi pasal-pasal K.U.H. Perdata ! M e­
mang, pasal 75 ajat 3 dan ajat 6 redaksi lama R.R. 1354 pada
hakekatnja mendjadi dua pintu belakang (veiliglieidsklep) bagi
seorang hakim jang malas ! Praktek buruk ini mendapat tentangan
dari Mr A b e n d a n o n 61.
Dalam Bab III par. 2 telah dilukiskan perubahan redaksi lama
pasal 75 R.R. 1854. Restriksi dan kemungkinan untuk menambah
hukum adat jang disebut dalam redaksi lama tidak dimasukkan ke-
dalam redaksi baru (djadi, djuga tidak terdapat dalam pasal 131
I-S. j ang sekarang masih berlaku karena Aturan Peralihan U.U.D.).
Timbul pertanjaan : apakah hakim sekarang masih djuga berw e­
nang mengudji (toetsen) hukum adat pada „azas-azas keadilan” ?
Apakah hakim sekarang masih dapat menambah hukum adat de­
ngan azas-azas hukum perdata Eropah ? Dapatkah hakim seka­
rang masih tetap melakukan dua wewenang istimewa jang t e r d a p a t
dalam redaksi lama pasal 75 R.R. 1854 itu ?
Sedjarah penetetapan perubahan redaksi lama pasal 75 R.R. 1854
tidak memberi djawaban atas pertanjaan itu.
Tetapi ada pengarang jang beranggapan kedua wewenang ter­
sebut masih dapat dilakukan oleh hakim 62 . Jang m endjadi alasan

61 V a n V o 11 e n h o v e,n „Adatrecln” , II, hal. 3 8 7 : „Leem ten in


net adatrecht werden door de Landraden zoo gemakkelijk aangcnomen,
v™ i fT 'if 0 EuroPeanen reeht gingen z66 liclit op artikelen
te c o n s t ^ T wetbo?,k « f1« :? , dat de regeering zelf in 1904 had
peesche reohtsk’n n 'i ° pvaIle” d b,j »»inlandsche rechtbanken met Euro-

selen zijne toevlucht te nemcn rf cIlt helichaamde begin-


toepassen” ” ' (bijlage 1904-1905 '" l a i " T Arall !f he " e,tei*
I „A „ .J J j iV . . , 3 1 2 1 ’ stuk 4 p a r. 1 1 ) ; A b e n d a n o n
p le ch ta n k e r van d e ' p ^ k t ^

l,Cngr , pasiJ?-Pasal K.U.H. PeUrdata"r°MakaS‘ pada


't ' V ln ! '•Pemer,n SCn.d ,r, dapa‘ dikemukakan bahwa „hakim
orang Eropah jang mengetuai suatu pengadilan Indonesia sangat
terang mendjalankan undang-undang Eropah apabila mereka tidak
niau mendjalankan undang-undang Arab” (lampiran 1904-1905 121,
bagian 4 pan 11) ; telab pada tahun 1896 dalam Ind., Genootschap
ajat 6 pasal 75 redaksi lama R.R. olel, Abendanon disebut „landasan
tetap dan praktek” (7 Djanuari 1896, hal. 9 9 ) ) .
62 Lihatlah S u p o m o „Sistim hukum” , hal., 92-93.

212
anggapan mereka ialah ajat 6 pasal 131 I.S., jang menerangkan, bah- ’
w a selama hukum perdata serta hukum dagang jang sekarang
i „thans” )berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan
hukum Timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi (pasal
131 ajat 2 sub b I.S.) maka hukum tersebut tetap berlaku bagi
kedua golongan hukum itu. Djadi, selama belum ada kodifikasi
bagi orang bukan-Eropali, maka tetap berlaku hukum adatnja. In i­
lah penafsiran kata „thans” (sekarang) menurut artinja dalam ba­
hasa. „Thans” berarti „pada waktu ini” , jaitu waktu mulai berlaku-
n j a perubahan redaksi lama pasal 75 R.R. 1854. Djadi, keadaan hu­
kum adat pada waktu mulai berlakunja perubahan redaksi lama
pasal 75 R.R. 1854 dengan sekaligus dimasukkan kedalam tataliu-
kum baru selama belum ada kodifikasi. Ajat 6 pasal 131 I.S. adalah
ketentuan peralihan jang meneruskan keadaan — da,lam arti kata
seluas-luasnja ! — selama itu belum diubah, jaitu selama belum
dibuat kodifikasi bagi orang bukan-Eropah. Oleh karena sampai
pada hari ini kodifikasi hukum adat jang diingini itu belum didja-
dikan 63, maka kedua wewenang istimewa hakim pemerintah m e­
ngenai hukum adat masih tetap dapat didjalankannja.
Menurut anggapan kami — jang setudju dengan anggapan tadi
__memang hakim berwenang mengudji dan menambah hukum
adat. Tetapi jang mendjadi ukuran bukanlah azas konkordansi da­
h u lu ; jang sekarang mendjadi ukuran bagi hakim ialah azus-azas
hukum jang harus dipertahankan dalam suatu negara hukum jang
m erdeka dan berdaulat serta berdasarkan azas-azas Sosialisme In­
donesia c4.
Para sardjana hukum jang beranggapan bahwa djuga setelah
tahun 1919 hakim berwenang m engudji dan menambah hukum
adat ialah C a r p e n t i e r A l t i n g 65, N e d erburgli 66, A n ­
d r é d e l à P o r t e 67 dan rupanja djuga D j o j o d i g o e n o ( ?) 68
63 L o g e m a n n „Staatsrecht van Ned. Indië” , hal. 44.
64 D j o j o d i g o e n o „Asas-'asas hukum adat” , 1958, hal. 24 : „M e­
nurut hemat kami jang terang ialah bahwa kita tidak dapat meng­
horm at hukum adat sekedar ia bertentangan dengan asas-asas pokok
negara kita, jang tertjantum dalam undang-undang dasar” . Utjapan
ini adalah revolusioner ! karena memberi kemungkinan melenjapkan
sisa-sisafeodalism e jang berlindung di belakang hukum adat.
65 M r J.H. C a r p e n t i e r A l t i n g „Grondslagen der reelitsbedee-
lin g” , 1926, hal. 207-208, 366.
66 M r I.A. N e d e r b u r g l i „H oofdstukken over adatreclit” , 1933, hal.
4 7 d jb. ^
67 M r G. A n d r é d e I a P o r t e „R ech t en reclitsbedeeling in Ned-
In d ië” , 1933, hal. 47 dan 51.,
68 „Asas-asas hukum adat” , 1958, hal. 16-17, 24, 25.,

213
Tetapi mereka ini mendapat tentangan dari banjak pengarang lain,
jaitu v a n V o l l e n h o v e n 69 t e r H a a r f o , K l e i n t j e s 71^
L o g e m a n n 72 S u p o m o 73.
Jang mendjadi alasan v a n V o l l e n h o v e n bahwa hakim
setelah tahun 1919 tidak lagi berwenang m engudji dan menam bah
hukum adat, itulah :
1. sedjarah penetapan perubahan pasal 75 redaksi lama R .R . 1854
tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan lidaknja dua
wewenang tersebut.
2. redaksi ajat 6 pasal 131 I.S. memuat tugas bagi baik hakim
maupun administrasi (tatausaha) negara. Oleh karena kepada
administrasi negara tidak diberi wewenang untuk m e n g u d ji
dan menambah hukum adat, maka tidak boleh dikatakan bah­
wa dengan sendirinja wewenang itu diberi kepada hakim.
3. sedjarah praktek wewenang itu telah m enundjukkan kepada
kita bahwa wewenang tersebut di djalankan oleh hakim setjara
jang tidak sesuai dengan tudjuannja. Sebab itu wewenang isti­
mewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu bagi hakim.
Kami mengahiri bab ini dengan pem bitjaraan tentang teori ke-
putusan (beslissingenleer) dari t e r H a a r. Pada tahun 1937 da­
lam 8u.atu pidato dies dikatakan - t e r H a a r bahwa hukum adat
bersumberkan keputusan-keputusan para penguasa masjarakat adat.
Tingkah laku anggauta masjarakat itu hanja menundjukkan adanja
kesadaran-hukum (rechtbewustzijn) pada anggauta tersebut. Jang
belum dimasukkan dalam keputusan penguasa hanjalah adat atau
kesusilaan adat dan belum mendjadi hukum, adat (jaitu adat jang
bersanksi). Apa jang telah diputuskan sadja m endjadi hukum
adat 47.
69 „Adatrecht” , II, hal. 530-532.
70 „Beginselen en stelsel” , hal. 12. Sebelumnja telah dalam T . 136,
hal. 231.
71 „Staatsinstellingen” , II, hal. 241.
72 „Staatsrecht van N.I.” , hal. 45.
73 „B ab-bab tentang hukum adat , hal. 32-33 : ,,Instruksi kepada hakim,
jang dimuat didalam pasal 75 (lam a) R.R. tidak terdapat didalam
pasal 131 Indische Staatsregeling., Ini tidak berarti, bahwa hakim
ndak boleh lagi mempersoalkan, apakah sesuatu peraturan liukum
adat bertentangan atau tidak dengan sjarat-sjarat kemanusiaan. Hakim
menurut funksinja, adalah berwenang, bahkan wadjib m em pertim ­
bangkan, apakah peraturan hukum adat jang telah ada jang m enge­
nai soal jang dihadapi, masih selaras atau sudah bertentangan dengan
kenjataan sosial (soeiale werkelijkheid) baru berhubung dengan p er­
tumbuhan situasi baru didalam masjarakat” .
74 „H et adatrecht en de volkenkunde i n wetenschap, praktijk en onder-
wijs” , pidato dies Djakarta 1937, dan djuga „Beginselen en stelsel” ,
hal. 235.

214
T e r H a a r mengikuti teori jang dikemukakan oleh seorang •
alili hukum bangsa Inggeris jang bernama J o h n C h i p m a n
G r a y . Dalam bukunja „T he Nature and the Sources o f Law” 75
G r a y mengatakan bahwa „T he Law of the State or o f any organi­
zed b o d y o f men is composed of the rules which the courts, that is,
the ju d icia l organs o f that body, lay down for the determinaton
o f legal rights and duties” 76. Maka dari itu „the body o f rules
that lay down is not the expression of preexisting law, but the
Law itself” 77. Kesimpulannja tentang kedudukan hakim : „th e fact
that courts apply rules is what makes them Law, that there is no
m ysterious entity ’ the Law’ apart from these rules, and that the
judges are rather the creators than the discoverers o f Law’ 7S. A ng­
gapan in i mengenai baik hukum jang tidak tertulis maupun hukum
ja n g tertulis. „It has been sometimes said that the law is com posed
o f two parts — legislative law and judge-made law, but in truth
all the Law is judge-made Law” 79.
T e o ry G r a y terkenal dengan nama teori dari „A ll the Law
is judge-m ade Law” . Sesuatu peraturan barulah m endjadi peraturan
h u ku m , apabila peraturan itu telah diniasukkan kedalam Keputu­
san hukum .
A nggapan G r a y ini berdasarkan suatu peradilan jang dila­
kukan d i N egeri Inggeris, di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan
dan ja n g bernama peradilan preseden (precedenten reclitspraak)so.
H akim ivadjib mengikuti keputusan hakim jang kedudukannja me­
nurut liierarh i lebih tinggi, wadjib mengikuti keputusan hakim lain
jang kedudukannja sederadjat tetapi telah terlebih dahtdu membuat
penjelesaian suatu perkara sematjam. bahkan, wadjib mengikuti
keputusan sendiri jang dibuatnja terlebih dahulu (stare decisis).
H ukum ja n g berasal dari peradilan preseden disebut „judge-made
law” atau „ju d icia ry law” . Terutama di Negeri Inggris sering „judge-
m ade la w ” itu dianggap lebih penting dari pada „statute law” (hu-
hum ja n g ada didalam peraturan perundang-undangan). Pentingnja
„ju d g e-m a d e law” itu diperbesar oleh G r a y dalam rumusnja :
all the Law is judge made Law.

75 J.C. G r a y ,,Tlie Nature and the Sources o f Law” , 1927.


76 G r a y , lial. 84.
77 G r a y , hal. 96«
78 G r a y , hal. 121.
79 G r a y , hal.. 125.
80 Lihatlah a.i. G.W . P a t o n ,,Text-B ook” , hal. 159 djb.,; G .W . K e e ­
ton „Ju rispru den ce” , hal„ 96 djb.

215
Mengenai persoalan apakah teori G r a y dapat diikuti di In­
donesia, dapat kami kemukakan, bahwa mengingat sistim peradilan
di negeri kita, maka pada umiminja kita tidak dapat menerima
teori G r a y tersebut. Kita mewarisi dari djaman kolonial suatu
sistim peradilan jang tidak mengenal preseden (keputusan jang di­
ambil terdahulu) sebagai dasar keputusan-keputusan kemudian. Ha­
kim Indonesia tidak terikat oleh keputusan-keputusan jang diambil
terdahulu, baik oleh hakim jang kedudukannja lebih tinggi maupun
jang kedudukannja sederadjat. Kita mewarisi sistim peradilan jang
diterima di kontinen Eropah Barat. Di samping itu teori jang ter­
dapat dalam rumus : all the Law is judge-made Law 81, tidak dapat
disesuaikan dengan diterimanja hukum tertulis (kodifikasi hukum)
di negeri kita. Tetapi mengenai hukum, adat — sebagai hukum Jan8
tak tertulis dan jang hanja dapat djumpai dalam suasana „wer-
kelijkheid” sosial — maka rasanja kita masih djuga dapat niene
rima teori G r a y , djustru untuk memperoleh s e b a n j a k - b a n j a k n j a
kepastian-hukum.
Apa sebab maka t e r H a a r memasukkan teori G r a y ke-
dalam ilmu hukum adat,dapat kita ketahui dari pidato diesnja pada
tahun 1930 „De rechtspraak van de Landraden naar ongeschreven
recht” 82. Didalam pidato itu oleh t e r H a a r dikatakan bahwa
6ering terdjadi penguasa masjarakat adat baru sadja dapat me
njebut suatu peraturan adat sebagai suatu peraturan hukum adat,
apabila peraturan jang bersangkutan telah dimasukkannja kedalam
6uatu keputusan jang dibuat atas pelanggaran peraturan itu. Jang
ditilik ter Haar dalam pergaulan hukum masjarakat adat adalah
sania dengan apa jang kami sendiri tilik dalam pergaulan tersebut.
Walaupun sesuatu perbuatan adat— jang belum terkenal dari k e­
putusan penguasa — oleh anggauta masjarakat adat telah dilakukan
berpuluh-puluh tahun dan rupanja sudah mendjadi perbuatan te­
tap, masih djuga belum tentulah ada sanksi terhahap pelanggaran
peraturan itu, apabila penguasa belum' pernah membuat keputusan-
Bilamana anggauta masjarakat adat ditanja tentang suatu peraturan
adat jang belum dimasukkan dalam rentetan keputusan penguasa
masjarakat adat itu, maka anggauta masjarakat adat tersebut men*

81 Kalau dimaksud dengan „hukum” hanjalah hukum dalam suasana


„werkelijkheid” , jaiu keputusan ( L o g e m a n n , hal. 2 3 -2 4 ), dan
bukan hukum dalam suasana „positiviteit” , jaitu peraturan, m a k a
teori keputusan t e r H a a r (G r a y) itu dapat diterima djuga !
82 Prof. Mr B. t e r H a a r Bzn „D e rchtspraak van de Landraden
naar ongeschreven recht” , pidato dies. Batavia 1930, hal. 11.

216
cljavvab : tentang perkara itu bejum pernah ada keputusan, maka
kami tidak mengerti 83.
A pabila hakim hendak menentukan mana jang merupakan
hukum adat mana jang lidak, maka terlebih dahulu harus diperik-
sanja apa jang pernah diputuskan. Peradilan hukum adat berdasar­
kan suatu rentetan keputusan-keputusan tetap. Bilamana perkara
jang bersangkutan dahulu belum pernah diputuskan oleh penguasa
atau hakim, maka hakim jang sekarang memutuskannja wadjib
membuat penjelesaian jang sesuai dengan keadaan sosial sungguh
sungguh pada waktu sekarang. Hakim djuga wadjib membuat pe­
njelesaian jang sesuai dengan keadaan sosial pada d jaman sekarang,
apabila keputusan jang lama itu tidak sesuai dengan keadaan sosial
jang baru. Hukum adat adalah hukum jang berlaku dan hanja
didjum pai da,lam suasana „werkelijklieid” sosial. Pentinglah diingat
kata-kata t e r H a a r : „K.ent de rechter geen vroegere beslissingen
in gevallen met gelijke relevante feiten of bleken die beslissingen
niet lioudbaar, dan m oet liij niettemin een beslissing nemen. welke
naar zijn beste weten als reclitsbeslissing en dus als rechtsregel te
gelden heeft in het millieu, waarin hij rechtspreekt. Om die belis-
sing te vinden mbet hij zich doordringen van het rechtsstelsel in
zijn geheel, moel hij de sociale iiverkelijkheid kennen en de eisen
der menselijkheid. De plicht naar adatrecht recht te spreken bete
kent dan : op voor het heden verantwoorde wijze vorm geven aan
hetgeen door die faktoren (rchtsstelsel, sociale werkelijklieid en
eisen der menselijkheid) als geddende rechtsbeslisssing (rechtsregel)
gevorderd w ordt; subjekiief uitgedrukt: vorm geven aan dat_e.ie
wat het rechtsbesef der bevoilking in wisseliverking met des rechters
eigen rechtsbesef als geldende reclitsbeslissing (rechtsregel)^
dert” 84. Dari kata-kata jang teraliir ini kelihatanlah pentingnja pe

83 Bandingkanlah „Beginselen en stelsel” , hal. 235-,236. K a d c 1 i f f


B r o w n „Prim itive Law” dalam „Encyclopaedin o f the socia cie
ces” , IX , 1933, hal. 202 : „the obligation imposed on mdividuals in
societies where there are no legal sanctions will be regarded as ma ^
ters o f custom and convention but not o f law” . Pendapat ini sesuai
dengan teori keputusan t e r H a a r.
84 Apabila hakim tidak mengenal keputusan-keputusan lama tentang
perkara-perkara jang tjoraknja sama dengan tjorak perkara jang se­
karang harus diselesaikannja, atau apabila pada djaman sekarang
keputusan-keputusan lama itu tidak dapat dipertahankan lagi, maka
liarus ia membuat keputusan sendiri jang menurut kejakinannja ada
lah suatu keputusan hukum jang dapat berlaku sebagai suatu pera­
turan jang sesuai dengan keadaan sosial tempat di mana keputusan-
nja dibuat. Agar dapat membuat keputusan dlu maka harus ia m-

217
ngaruh pribadi penguasa dan hakim adat terhadap pembentukan
hukum adat85. Ahirnja, dari kata-kata jang terahir ini kelihatan
pula hal para penguasa masjarakat adat m endjadi „ruling class
masjarakat adat itu !
Teori keputusan dari t e r H a a r — jang m enjimpang dan
pendapat v a n V o l l e n h o v e n se, jang dikemukakan terlebih
dahulu — mendapat kritik dari beberapa fihak 87 : H o 11 e m a n 8S,
L o g e m a n n 89 (hanja untuk sebagian sadja), v a n H a 1 1 u m
dan tarutama v a n D i j k dalam disertasinja91. L o g e m a n n

sjaf akan seluruh sistim hukum jang akan digunakannja, haru8 ™


mengetahui keadaan sosial sungguh-sungguh pada waktu sekar B
serta apa jang mendjadi dasar kemanusiaan. Dalam hal demi i
kewadjiban untuk mengadili menurut hukum adat berarti s ^ ’ cm
untuk djaman sekarang apa jang dapat dipertanggugdjawabkan
pada dan diwadjibkan oleh sistim hukum, keadaan sosial sun®v^L,-
sungguh dan azas-azas kemanusiaan, sebagai peraturan; atau >
muskan setjara subjektif : memberi bentuk kepada segala sesu
jang merupakan keputusan hukum (peraturan hukum ) karena ^
itu terkandung dalam kejakinan-hukum dari rakjat maupun keja
kinan-hukum dari hakim jang kedua-duanja saling mempengaruhi-
85 Lihatlah komentar Mr C. Tj. B e r t l i n g atas buku P rof, t e r H a ** r
dalam T. 150, hal.. 335-336. Untuk pendapat t e r H a a r i'” 1
liatlah djuga apa jang dikemukakan oleh Prof. K u s u i n a d i *
d j o s e w o j o „Pedoman” , hal. 43-45; jang „uitwerken” dan „ ve1,
fijnen” (menghaluskan) teori t e r H a a r .
86 „Adatreclit” , II, hal. 398 djb. Menurut v a n Vollenhoven,
maka semua peraturan-peraturan jang menentukan tingkah laku ang
gauta masjarakat adat, dan oleh anggauta tersebut dianggap patut,
mengikat, dan anggauta itu mempunjai kejakinan bahwa peraturan-
peraturan tersebut harus dipertahankan oleh penguasa adat, adalah
peraturan hukum adat.
87 Lihatlah S o e p o m o „Prof. Mr B. Ter Haar Bzn., H e r o r i e n t a t i e op
het gebied van adat rechtpolitiek” dalam „Gedenkboek R e c h t s w e t e n -
schappelijk Hoger Onderwijs in Indonesie 1924-1949” 1949, hal. 38
djb., dan dalam „Bab-bab tentang hukum adat” 1 9 5 8' lial. 33 djb..
88 Prof. Mr F.D. H o l l e m a n karangan dalam W .P N R Nr 3557 dan
karangan dalam T. 147, hal. 428-440, jang ditulis berhubung dengan
pidato dies t e r H a a r pada tahun 1937. Pendapat H o l l e m a «
kira-kira sama dengan pendapat v a n V o l l e n h o v e n (lihatlah
diatas tadi noot 8 6).
89 Hal 41-45, dan karangan „Om de taak van den rcchter” dalam T-
148, hal. 27 (dengan djawaban dari H o l l e m a n pada hal. 86)*
90 Mr W.C.F. v a n H a t t u m karangan dalam W .P.N.R. Nr 3587 de­
ngan djawaban dari H o l l e m a n dan karangan dalam T. 148,
hal. 201.
91 R. v a n D i j k „Samenleving en adatrechtsvorming” , disertasi Lei-
den 1948. Konklusi jang dibuat v a n D i j k , lial., 125.
„het adatreclit wordt gevormd e n onderliouden in de b e s l i s s i n g e n
en gedragingen der daartoe competente organen van gemeenscliap
en' maatsehap, in onderlinge binding, begrenzing en vervleclitinS
binnen de eenheid van de sociale- en rechtsorde waarin zij fungeren”
(Hukum adat dibuat dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan

213
ti ' apat menerima mutlak anggapan, bahwa adat itu baru me-
rupa au hukum adat, ajiabila telali dimasukkan kedalam keputusan
ia uh. Tetapi ia mengakui keputusan hakim sebagai faktor jang
v.a sangat penting dalam menentukan mana jang merupakan
hu 'u m adat mana jang tidak 92. V a n D i j k beranggapan bah
" a adat itu dapat diketahui dengan djelas dari tingkah laku
anggauta masjarakat adat pula.

dan tingkah laku mereka (orang dan badan hukum ) jang (a ) ber­
kuasa dalam suatu masjarakat jang mengenal suatu tatatertib sosial
dan tatatertib hukum, dan (b ) bertugas mempertahankan kedua tata*
*ei’l>b itu (terdjemahan b eb a s)).
92 Hal. 12-13 dan 23-24.

219
B A B Y

HUKUM DAN H AK

P a r. 1: H uh u n gan -h u k u m (r e c h t s b e t r e k k i n g^
d a n b a k. ^

Dari bab pertama buku ini telah diketahui bahwa hukum ltu
mengatur hubungan antara orang jang satu dengan jang lain, antara
orang dengan masjarakat, antara masjarakat jang satu dengan jang
lain. Djadi. antara orang jang satu dengan jang lain,dst. ada hu­
bungan jang diatur oleh hukum.
Barangsiapa jang berani mengganggu atau tidak m e n g i n d a h k a n
hubungan itu, maka dapat ia dipaksa m enghormatinja atau ia di
koreksi oleh hukum. Sebuah tjontoh tentang hubungan antara dua
orang jang diatur hukum, misalnja, perutangan (verbintenis) j an?
ditimbulkan oleh suatu perdjandjian (overeenkomst) djual-beli
(pasal 1457 K.U.H. Perdata). A mendjua'l sedjumlali sepatu kepada
B. Perdjandjian ini menimbulkan hubungan antara A dengan ®
dan hubungan itu diatur oleh hukum. A wadjib m enjerahkan se
patu tersebut kepada B tetapi ia berkuasa meminta p e m b a j a i a n
oleh B tersebut. Sebaliknja, B wadjib m em bajar harga sepatu se^
barijak itu, tetapi berkuasa meminta sepatu sebanjak t e r s e b u t dari
A. Apabila salah, satu filiak,atau kedua-duanja, tidak m e n g i n d a h ^
kan kewadjibannja, maka oleh hakim dapat didjatuhkan s u a t u
sanksi hukum. Hubungan antara A dengan B jang diatur oleh llU'
kum ini, diberi nama hubungan-hukum (rechtsbetrekking).
Setiap hubungan-hukum mempunjai dua segi: kekuasaan ( p e ­
wenang, „bevoegdheid” ) dengan tentangannja, jakni keivadjiban
(plicht) 1. Kekuasaan ini, jang oleh hukum diberi kepada s e s e o r a n g
( atau sesuatu badan hukum 2 ) karena hubungan-hukumnja d e n g a n
seorang lain (suatu badan hukum lain), biasanja diberi nama hak-
Djadi, hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan jang menga­
tur hubungan sosial, memberi kepada seseorang (sesuatu badan

1 Logemann, hal. 47 : da
berhak meminta prestasi — „prestatie subject” — dan ada fihak
jang wadjib melakukan prestasi — „plichtssubject” (prestasi = djasa)*
2 Jang dimaksud dengan suatu badan hukum (rchtspersoon) ialali
tiap pendukung hak jang bukan manusia. Lihatlah Bab VI par. 1
sub b.
y
220
liu u n i liak (= wewenang, kekuasaan) supaja berbuat sesuatu
atau menuntut sesuatu3. Tentangan dari hak seseorang (sesuatu
badan hukum) supaja berbuat atau menuntut sesuatu ialah kewa­
djiban orang lain (badan hukum lain) supaja ia (atau badan hu­
kum ) tunduk pada hak itu atau berbuat sesuatu jang diwadjibkan
oleh hak itu.
Marilah kami membitjarakan sekali lagi tjontoh diatas : A ber­
hak menuntut pembajaran dari B sedangkan B w adjib membajar
sepatu sebanjak itu. Sebaliknja, B berhak meminta sepatu sebanjak
itu dari A sedangkan A wadjib menjerahkan sepatu sebanjak ter­
sebut kepada B. Hak adalah kekuasaan (wewenang) jang oleh hu­
kum diberi kepada seseorang (atau sesuatu badan hukum) dan
jang m cndjadi tentangannja ialah kewadjiban orang lain (badan
hukum lain) untuk mengakui kekuasaan itu. Kekuasaan dan kewa­
d jib an itu terlaksanannja didjamin oleh hukum.
Dalam ilmu hukum benua (continent) Eropah dibuat perbeda­
an antara apa jang disebut hukum objektif dengan apa jang dise­
but hukum su b jek tif4. Jang dimaksud dengan hukum ob jek tif
adalah peraturan (kaidah, „de regel, „de uorm” ) jang mengatur
suatu hubungan sosial. Misallnja, K.U.H. Perdata jang terdiri atas
peraturan-peraturan hukum jang mengatur hubungan sosial antara
orang jang satu dengan jang lain (atau antara suatu badan hukum
dengan badan hukum lain, antara badan hukum dengan orang) di­
sebut hukum objektif, sedangkan jang disebut hukum subjektif
a d a la h „peraturan hukum jang dihubungkan dengan seseorang dan
oleh karena itu telah mendjadi kekuasaan-kewadjiban (v a n
A p e 1 d o o r n ) . Perbedaan antara liukum objektif dengan hukum
subjektif ini sedjalan dengan perbedaan antara hukum dengan
liuk dalam sistim hukum kita.
Karena bagi kedua pengertian „peraturan” dan kekuasaan”
tersebut dalam bahasa liukum (reclitstaal) kita ada dua istilah jang
berlain-lainan, maka dalam ilmu hukum kita tidak mungkin orang

3 M enurut L o g c m a n n (hal. 19) tidak setiap peraturan hukum mem ­


beri hak. Ada peraturan hukum jang tidak memberi hak., Tetapi
setiap peraturan hukum menimbulkan kewadjiban. Tidak ada peraturan
h ukum ja n g tidak menimbulkan kewadjiban. Demikian djuga K e l -
s e n.
Lainlah anggapan S c h o l t e n (hal. 17 djb.,). Kami djuga tidak
dapat m enjetudjui anggapan L o g e m a n n itu. Kalau ada kewa­
d jib a n maka sudah tentu ada hak, dan sebaliknja ! G. R a d b r u c h
„E in fiih ru n g ” , hal. 16.
4 • V a n A p e l d o o r n , hal. 34.

221
mengatjaukan kedua pengertian itu. Di benua Eropah kekatjauan
itu mudah dan pernah terdjadi. D i Negeri Inggeris dipakai djuga
dua istilah jang tidak sama untuk menjatakan kedua pengertian
tersebut, jaitu laiv (hukum) dan right (h a k ).
Hubungan-hukum itu ada dua matjam : hubungan-hukum jang
bersegi satu (eenzijdige rechtsbetrekkin,g) dan hubungan-hukum
jang bersegi dua (tweezijdige rechtsbetrekking).
Dalam hal hubungan-hukum jang bersegi satu lianja satu fihak
jang berkuasa (berwenang). Fihak lain hanja berkewadjiban. Da­
lam hubungan-hukum jang bersegi satu hanja satu fihak jang ber^
kewadjiban melakukan suatu djasa jang berupa berbuat s e s u a t u »
tidak berbuat sesuatu atau memberi sesuatu (pasal 1234 K.U-H.
Perdata).
Tjontoh tentang perdjandjian djual-beli jang kami sebut d i a t a s
tadi, adalah sebuah tjontoh tentang hubungan-hukum jang bersegi
dua. Kedua belah fihak masing-masing berkuasa meminta s e s u a t u
dari fihak lain. Tetapi djuga kedua belah fihak m a s i n g - m a s i n g
berkewadjiban memberi sesuatu kepada fihak lain.
Atjap kali ada hubungan antara seseorang (atau sesuatu badan
hukum) dengan orang lain semuanja dan badan hukum lain se
muanja). Hubungan-hukum, sematjam itu terdapat, misalnja, dalam
hak milik atau dalam hak kepunjaan (eigendomsrecht) m e n u r u t
pasal 570 K.U.H. Perdata. Jang mendjadi pem ilik sebidang tanali
berkuasa (berwenang) memungut segala kenikmatan (genot) dan
tanah itu — asal sadja pemungutan kenikmatan itu tidak dilakukan
setjara jang bertentangan dengan kepentingan umum — dan ber­
kuasa pula mengasingkan (mendjual, memberi, menukar atau ® e
wariskan setjara legat) tanah itu— asal sadja djuga p e n g a s i n g a n
kepunjaan itu tidak dilakukan setjara jang bertentangan dengan
kepentingan umum. Sebaliknja, orang lain semuanja berkewa­
djiban mengakui pemilik tanah sebagai tuannja.
H akitu kadang-kadang dapat djuga merupakan sumber— tetapi
jang tidak langsung — dari suatu hubungan-hukum lain. Misalnja,
A melompati pagar halaman B dan mengindjak halaman itu dengan
tidak diidjinkan oleh B . D a r i perbuatan jang bertentangan dengan
hukum (onrechtmatige daad) itu timbullah suatu l i u b u n g a n - h u k u m
antara A dan B . B b e r h a k meminta ganti-kerugian (schadevergoe"
ding) dari A sedangkan A berkewadjiban membajar ganti-kerugian
itu (lihatlah a.l. pasal 1365 K.U.H. Perdata).

222
Hak itu kadang-kadang merupakan suatu kumpulan kekuasaan-
kekuasaan (kumpulan wewenang-wewenang, „bundel van bevoegd-
h e d e n ’ ), misalnja, hak kepunjaan menurut pasal 570 K.U.H. Per­
data. Hak kepunjaan tersebut terdiri atas dua kekuasaan penting :
jang m em punjai (eigenaar) dapat memungut kenikmatan kepu-
njaannja dan jang mempunjai dapat djuga mengasingkan kepunja­
an itu. Dalam bahasa Belanda dipakai istilah „besehikken” . ,.Be-
sehikken ’ itu meliputi kekuasaan untuk mendjual, memberi, menu­
kar, mewariskan setjara legat. „Besehikken” meliputi segala kekua­
saan untuk memindahkan sesuatu dari tangan jang satu ke tangan
jang lain.
Bagi mereka jang melihat hukum itu sebagai chusus suatu ge-
djala kekuatan (mlaclitsverschijnsel), maka— sebagai suatu konse-
kwensi jang logis — melihat hukum itu sebagai suatu pembagian
kom petensi (competentie-verdeling) atau pembatasan kom petensi
(com'petentie-afbakening), misalnja, pasal 570K.U.H. Perdata dan
liak dilihat sebagai kompetensi jang dibagi atau kompetensi jang
dibatasi.

Par . 2: S i f a t d a r i h a k 5.

Tentang sifat dari hak (hukum subjektif) telah ditimbulkan


ban jak polem ik. Hanja pendapat terpentin,g jang kami bitjarakan.
Pada abad ke-19 di Negeri Djerman dikemukakan dua teori
tentang hak, jang sangat penting dan jang sangat besar pengaruhnja.
Dua teori itu : teori jang m;enganggap hak sebagai kepentingan jang
terlindung (belangentheorie) dan, sebagai teori jang menentangnja,
teori jan g menganggap hak sebagai kehendak jang diperlengkapi
dengan kekuatan (wilsmachtstheorie, wilsheerschappijtheorie).
R u d o l f v o n J h e r i n g 6, salah seorang pengikut teori
jang menganggap hak sebagai kepentingan jang terlindung, mem­
buat rumus : „das subjective Recht ist rechtlich geschütztes Inte­
resse” . Dalam, bahasa Indonesia: hak itu sesuatu jang penting bagi
jang bersangkutan, jang dilindungi oleh hukum, jakni hak itu suatu
kepentingan jang terlindung. Kam i tidak dapat menerima anggapan
v o n J h e r i n g . Boleh dikatakan, bahwa hak itu mempunjai tugas

5 Lahatlah Ph. A.N. H o u w i n g „Su bjectief recht, rechtssubject en


rerfitspersoon” , disertasi Leiden 1 93 9; J e a n Dabin „L e droit
su b jectif” , 1952.
6 R u d o l f v o n J h e r i n g „D er Zweck im Recht” , 1904 (tjetakan
k e -5 ) .

223
melindungi kepentingan dari jang berhak, tetapi orang tidak boleh
mengatjaukan hak dengan kepentingan. Lagi pula sering hukum itu
melindungi kepentingan dengan tidak m em beri hak kepada jang
bersangkutan. Misalnja, mengenai bantuan sosial kepada seorang
miskin dan anak-anak terlantar. Walaupun pasal 39 ajat 2 undang-
undang dasar sementara thun 1950 dahulu mengatakan bahwa
„fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara” ,
namun hal ini tidak berarti bahwa fakir-miskin dan anak-anak ter­
lantar itu berhak atas pemeliharaan oleh negara.
B e r n h a r d W i n s c h e i d 7, salah seorang pengikut teori
jang menganggap hak sebagai kehendak jang diperlengkapi dengan
kekuatan (m acht), mengatakan bahwa „das subjecktive R echt ist
eine von der Rechtsordnung verliehene W illensmaclit oder Willens-
herrschaft” . Dalam bahasa Indonesia : hak itu suatu k e h e n d a k
jang diperlengkapi dengan kekuatan dan jang diberi oleh tatatertib
hukum kepada jang bersangkutan. Berdasarkan kehendak itu maka
jang bersangkutan dapat m empunjai rumah, tanah, m obil, dsb. T eori
inipun kami tidak dapat menerimanja. Menurut teori ini maka se­
orang gila dan anak-anak ketjil tidak dapat diberi hak, karena m e­
reka tidak (atau belum) dapat menjatakan kehendaknja (atau be­
lum mempunjai suatu kehendak). Walaupun seorang gila dan anak-
anak ketjil ada dibawali pengawasan (curatele) atau perwalian
(voogdij) (lihatlah Bab X II I), masih d juga mereka dapat m em iliki
rumah, tanah, mempunjai m obil, dsb. (lihatlah pasal 7 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu dan pasal-pasal 1-3
K.U.H. Perdata : tidak ada manusia jang tidak m em punjai hak-
larig mendjalankan hak dari jang ada dibawah pengawasan atau
perwalian ialah pengawasnja atau walinja).
V a n A p e l d o o r n beranggapan bahwa hak adalah ,,suatu
kekuatan (macht) jang teratur oleh hukum” 8. Kekuatan itu —
menurut kata v a n A p e l d o o r n — berdasarkan kesusilaan ( ze'
delijkheid, m oraal), kekuatan itu bukan hanja kekuatan badan
(„physieke macht” kekuatan fisik ). Maka dari itu seorang pentjuri
jang mempunjai kekuatan atas barang jang telah ditjurinja, tidak

7 B e r n h a r d W i n s c h e i d „Lelirbucli des Pandektenrechts” , 1891.


(tjetakan ke-<7), hal« 88. Pendasar teori ini adalah v o n S a v i g n y -
8 Hal. 47 : „H el objectieve recht is een ordende macht, liet subjeclieve
recht is ecn door het objectieve recht geordende macht. Recht is
macht” (Hukum objektif adalah kekuatan jang mengatur, hukum
subjektif mendjadi kekuatan jang diatur oleh hukum objektif. H ukum
subjektif (h a k ) itu kekuatan).

224
111 -*ai apapun djuga atas barang iiu, karena kekuatannja
licla e*clasaikan kesusilaan dan keadilan. Kekuatan itu bukan ke­
kuasaan. jakni bukan liak (liliatlali Bab I, jiar. 10, mengenai dua
pengerlian „kekuatan” dan „kekuasaan” ).

Anggapan v a n A p e 1 d o o r n kami tidak dapat m enjutudjui-


-nja penub. Bagi kami, jang mengadakan suatu perbedaan prinsipiil
antara „kekuatan” dan „kekuasaan” („kekuasaan” adalah „k ek u ­
atan jang diterim a), maka hak itu kekuasaan dari jang berhak
ja n g dapat dinjatakannja — apabila perlu — dengan perantara­
an alat-alat paksa (dwangmiddelen) jang tertentu. V a n A p e l «
d o o r n mengatjaukan hak dengan alat-alat paksa jang dapat
digunakan oleh jang berhak untuk membela haknja. Apalagi hak
itu bukan kekuatan, biarpun hak itu mengandung sifat-sifat kekua­
tan pula; hak adalah salah satu djalan unuk memperoleh kekuatan,
letapi sendiri bukan kekuatan.

A da suatu keberatan lagi, jang menjinggung suatu persoalan


etis. Andaikata dapat dikatakan : hak adalah kekuatan, maka tim -
bu l perlunjuiin : <li lllillliifcn/i hatasnja ? Apakah -kekuatan jan g
berdasarkan kesusilaan” itu '• Apakah „kesusilaan itu ? M ereka
jang beranggapan hak itu kekuatan, YWAka melihat hukum itu se
mata-m ata sebagai alat (het reclit louler als nuddeV'. Memang, tidak
dapat disangkal bahwa sering hak itu bersifat kekuatan seperti
jang telah kam i kemukakan— , tetapi tidak semua hukum mendjadi
alat atau alat belaka (dari sesuatu „ruling dass’” ).

L e m a i r e 9 menganggap hak itu idjin. Hak adalah suatu idjin


bagi jan g bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Tetapi idjin itu
menurut katanja — bukanlah suatu idjin jang oleh hukum diberi
kepada jan g bersangkutan. Melainkan, hak adalah sesuatu jang ber­
diri sendiri sederadjat dengan— „nevengeschikt met hukum
dan bukan sesuatu jang diturunkan (afgeleid) dari hukum itu.
Hukum berupa perintah atau larangan, atau hukum berupa idjin.
Hak adalah hukum jang berupa idjin — ,Jiet recht in zijn veroor-
lovende gedaante” . Dalam hal demikian liukum tidak melarang
atau m em erintahkan jang bersangkutan berbuat sesuatu, tetapi
m em beri kepadanja suatu idjin : „kamu boleh” , „kamu dapat ,
dst. H ukum ada dua muka, jaitu muka jang memerintahkan (atau
melarang') dan muka jang mengidjinkan.

9 Hal« 60-63. Liliatlali djuga S c h o 11 e n, lial. 17-21.


Anggapan L e m a i r e baliwa hak itu seseualu jang tidak di­
turunkan dari hukum tetapi sesuatu jang berdiri tersendiri i sesuatu
jang berdiri di samping hukum itu), kami tidak dapat mengertinja.
Hak itu suatu idjin kami memakai istilah L e m a i r e — jang
oleh hukum diberi kepada jang bersangkutan. Anggapan L e m a i r e
— menurut pendapat kami — bertentangan dengan pengertian „per-
undang-undangan . Tatatertib hukumlah jang memberi idjin ke­
pada jang bersangkutan — kepada jang berhak— , idjin itu ada
karena tatalertib hukum telah memberinja kepada jang berhak.
Hak itu adalah „subordinated” (tertunduk, „ondergeschikt” ) pada
tatahukum dan tidak „nevengeschikt” .
Dalam Bab II, par. 3, AB, teiah kami gambarkan proses pe-
njosialan hukuin jang dilakukan sedjak bagian kedua abad jang
lampau. Prosès penjosialan hukum' ini mengubah sifat dan tudjuau
hukum dan dengan sendirinja mengubah pula sifat dan tudjuan
hak. Hak mengalami suatu prosès penjosialan, bahkan, sebagai suatu
pendapat jang paling ekstrim, oleh beberapa pengarang disangsi"
kan atau disangkal masih perlunja hak itu, chusus hak kepunjaa»
sebagai suatu wewenang peribadi. Diarilara pendapat-pendapat jang
paling ekstrim ini terdapat teori jang dibentangkan oleh seorang ahli
hukum bangsa Perantjis jang bernama L é o n D u g u i t 10 Me­
nurut. D u g u i t : tidak ada manusia seorangpun jang menipu njai
hak. Sebaliknja, didalam masjarakat bagi manusia hanja ada suat«
tugas sosial. Tatatertib hukum tidaklah didasarkan alas hak dan
kebebasan manusia. Melainkan, alas tugas-tugas sosial jang harus
didjalankan oleh anggauta masjarakat. Dalam teori ini— jan? d i '
sebut teori dari funksi sosial— maka pengertian „hak” itu d i g a n t i
dengan pengertian „funksi sosial” . Manusia hanja m e r u p a k a n „se­
buah roda ketjil dari mesin kemasjarakatan” . Jang d i d j a l a n k a n ma­
nusia hanjalah suatu tugas sosial.
Teori D u g u i t memuat banjak hal-hal jang benar, tetapi
menurut bagian terbesar sardjana hukum, terlalu berkelebihan

10 M ™ ” Traî,é de dro!t constitutionnel” djilid I ; 1927;


hal. 200 djb. Batjalah djuga buku-buku la i„ ahli hukum ini, seperti
S° , T ’, ,e r11 individuel la transformation de 1’ état” ,
1922, hal. 10 djb., „Les transformations générales du droit privé
depuis le Code Napoléon” , 1920., Perlu ditegaskan disini baliwa D u -
g u i t bukan seorang sosialis ! Oleh sebab itu, sebagai bahan per­
bandingan, perlu dibatja Dr K a r i R e n n e r „D e Rechtsinstitute
des Privatrechts in ihrer sozialen Funklion” , 1920. R e n n e r adalah
seorang sosialis.

226
(overdreven). Anggapan jang mengennikan hak itu sebagai suatu
kekuasaan lengkap jang oieb hukum diberi kepada jang bersang­
kutan, jaitu sebagai suatu kekuasaan individuil sepenuluija jang
°Ieh liukum dilindungi, berasal dari aliran individualisme pada
saat ahirnja Revolusi Perantjis. Pada waktu itu maka jang men-
djadi dasar liidup orang ialah azas „laissez faire, laissez aller” se-
]>erti jang terdapat dalam teori utilitet. jang kami singgung dalam
Bab I. par. 8. Pandangan 'hidup jang individualistis ini kami
djum pai dalam redaksi pasal 570 K.U.H. Perdata (hak kepunjaan)
jang sampai sekarang masih belum mendapat perubahan. Menurut
ketentuan tersebut , maka hak kepunjaan— sebagai hak (hukum
subjektif) jang sesempurna-sempurnanja — adalah kekuasaan jang
sesenipurna-sempurnanja dari jang berhak atas sesuatu benda (zaak)
jang dapat didjalankannja „ setjara jang tidak t e r b a t a s (op de vol-
sirekste wijze” ).
Konsepsi hak kepunjaan sematjam ini sekarang tidak lagi dapat
diterima. Sedjak kelahiran K.U.H. Perdata pada tahun 1848, maka
hubungan-hubungan sosial dimanapun telah mengalami perubahan
jang besar sekali. Fikiran tentang hukum berubah pula11. Di Ero-
pah Barai anggapan-anggapan hidup jang bertjorak lebih indivi-
. dualistis telah diganti oleh anggapan-anggapan hidup jang lebih
sosialistis. Bukan lagi individu jang diutamakan, melainkan, kolek-
livitel. Hak kepunjaan itu tidak lagi dapat didjalankan „setjara
jang tidak terbatas” . Hak kepunjaan harus didjalankan sesuai de­
ngan kepentingan masjarakat. Bukan hanja hak kepunjaan harus
didjalankan sesuai dengan kepentingan masjarakat, tetapi djiiga hak-
( bak lain.
Sesuai dengan kepentingan kolektivitet, maka pada waktu se­
karang perbuatan-perbuatan mendjalankan hak kepunjaan lebih
ditempatkan dibawah pengawasan pemerintah. Pada waktu sekarang
tanali tidak boleh dibiarkan tetap tinggal tanah tandus (onbebouwd,
braak). Tanah itu harus diusahakan. Apabila tanah itu tidak di­
usahakan, maka tanah tersebut ditjabut (onteigend) oleh peme­
rintah.

11 Batjalali buku Prof. Mr J. V a l k h o f „Een eeuw rechtsontwik-


keling” , 1949. Djuga karangan „Ontwikkeling van het eigcndomsrechl
in oorlogstijd” , 1945. Dua tulisan V a 1 k li o f tersebut djuga pen-
lin g untuk pengertian „b ak kepunjaan” di negeri kita pada sekarang !
Mengenai „dragende ideeen” lihatlah W . F r i e d m a n n „Legal
Theory” , hal. 241 (Soeialist thought on la w ).

227
Sebuah tjontoh jaug kuat sekali: jang memilik rumah jang
tinggal di hotel dan jang ingin menempati rumahnja, lidak dapat
menempatinja, apabila masili ditempati oleh orang lain jang sendiri
belum mendapat rumah. Perkara rumah telah mendjadi perkara di-
bawah pengawasan pemerintah kota, jakni suatu perkara um um !12
Tjontoh tentang peraturan perundang-undangan jang membatasi
tjara mendjalankan hak milik ialah ordonansi mengenai larangan
penggangguan, jaitu „Hinderordonnantie” , L.N.H.B. 1926 (batjalah
pasal 1), jang telah dibuat pada d jaman Hindia-Belanda. Peraturan
jang paling „recent” adalah Undang-undang tahun 1960 Nr 5 jang
memuat „Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria” , L.N. 1960 Nr 104
(batjalah pasal-pasal 5-15).
Penjosialan hukum telah menghapuskan atau mengurangi pcn-
tingnja beberapa azas-azas utama dalam hukum privat, jaitu azas-
azas jang pada abad jang lampau masili merupakan tiang-tiang
(zuilen) atau „corner-stones” hukum privat, jang bermaksud men-
dj amin dipertahankan dan dilandjutkan sifat individualistis dan
hak seperti jang dimuat dalam K.U.H. Perdata dan K.U.H. Dagang,
sebagai kodifikasi dan dasar perundang-undangan hukum privat
itu. Pentingnja azas-azas seperti „contractsvrijheid” (kemerdekaan
berkontrak) atau „partij-autonomie” , jang mendjadi tiang-tiang
hukum perutangan (Buku III K.U.H. Perdata, pasal 1333 Iv.U.H-
Perdata, dsb.) sekarang telah sangat dikurangi.
Penjosialan hukum adalah suatu gedjala jang terdapat diselu-
ridi dunia. Di beberapa bagian dunia proses penjosialan hukum ini
didjalankan sangat radikal, seperti di negara-negara komunis, di
beberapa bagian lain didjalankan moderat, seperti di bagian besar
negara,-negara Eropah Barat dan d i kontinen Amerika. Oleh R o s-
c o e P o u n d, seorang guru-besar di Amerika Serikat, diberi suatu
ichtisar mengenai ,, transformations” dalam hukum jang m e n d j a d i
„the roads to socialization of the actual law” 13, jaitu „ (1 ) Limit-
ations of the use of propertj ; (2) Limitations upon freedom o f con-

12 Betapa berbelit-belit (gecom pliceerd) sonl perumahan itu di Indone­


sia pada djaman sekarang ternjata dari buku ketjil Mr D r G o u w
n? 1 ? S , ’ ’Masa,al1 Perumahan” 1956. Batjalah djuga ka­
rangan Mr A.J.. M a i n a k e . „Merenungkan hubungan antara indi­
vidu dan negara berhubung dengan kedudukan (posisi) liukum pri­
vat pada waktu sekarang” dalam madjalali- „Padjadjaran,’ , I, 3 ; hal.
46 djb,
13 „T h e Spirit o f the Common Law” , 1921, hal. 185-192.,

223
tracts; 1,3) Limitations on the power disposing of property; (4)
Limitations upon the power of the creditor or injured party to
secure satisfaction; (5) Transformation of idea of liability in the
sense of a more objective base, (6) Judicial decisions in regard to
social interests, by limiting general ndes to profit of flexible stand­
ards and discretion; ( / ) Public funds should respond for injuries
to individuals by public agencies; (8) Reinforced protection of de­
pendent members of the household” !'1, ^
Bagaimanakah proses penjosialan hukum di Indonesia? Terlebih
dahulu, perlulah kita mengakui bahwa di negeri kita, jakni dalam
masjarakat bagiannja jang tidak atau belum mempunjai tjorak
Barat, tampaklah sekarang suatu perkembangan jang menudju ke
arah suatu pandangan hidup jang berdasarkan individualisme15.
Adanja kenjataan ini tidak dapat disangkal! Tetapi perkembangan
itu tidak akan meningkat sehingga hak milik— seperti pada waktu
berahirnja Revolusi Perantjis— dapat didjalankan „setjara jang
tidak terbalas” . Ahirnja, masjarakat Indonesia akan mendjadi sua­
tu masjarakat jang bertjorak lebih sosialistis, mewudjudkan suatu
masjarakat sosialistis Indonesia.
Hal hak itu pada djaman sekarang terikat sekali oleh berma-
tjam-matjam kekuatan-kekuatan sosial, tidaklah selalu berarti
bahwa lambat-laun hak tersebut dihapuskan sama sekali. Dalam
suatu masjarakat jang bertjorak sosialistispun manusa ada hak.
Hanja kebebasan mendjalankan hak itu dibatasi, jakni kebebasan
itu diikat oleh hanjak kekuatan sosial. Di Indonesia pada umumnja
belum ada keinginan untuk menjangkal sama sekali adanja hak
milik dan hak lain itu. Adanja hak milik, biarpun diikat oleh
bermatjam-maljam kekuatan-kekuatan sosial, diakui penuh dalam
Manipol— lihatlah Bab II— jang memuat konsepsi tentang diwu-
djudkan masjarakat sosialistis Indonesia itu.
Penjosialan hukum di Indonesia — sebagai tjita-tjit a— telah
dinjatakan dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 da­
hulu. Pasal 26 ajat: 3 undang-undang dasar sementara talnm 1950
dahulu mengatakan, bahwa .,hak milik itu adalah suatu fungsi so­
sial’” . Ketentuan ini tidak berarti lain dari pada: hak milik itu

14 Lihatlah R o s c o e P o u n d „Interpretation o f Legal History” , 1923.


15 Karangan Prof. Mr Dr R. S o e p o m o „Hubungan individu dan
masjarakat dalam hukum adat” , 1952, Iial. 28.

229
harus didjalankan oleh jang berhak setjara jang sesuai dengan tu-
djuaunja. Artinja: mendjalankan hak tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum. Perlu ditegaskan: ketentuan ini tidak
menolak adanja hak. Lihatlah ajat 1 dan ajat 2 pasal 26 tersebut.
Apabila ditafsirkan setjara ini, maka dapat kita terima anggapan
bahwa hak milik adalah suatu funksi sosial. Hak harus tlidjalankan
sesuai dengan kepentingan umum. Barangsiapa jang tidak m endja­
lankan kekuasaannja sesuai dengan kepentingan umum tidak nius-
lalul baginja haknja ditjabut oleh pemerintah i«.
Dalam U.U.D. sekarang tidak termuat ketentuan semaljam pasal
26 ajat 3 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu itu-
Oleh sebab itu baik sekalilah dalam undang-undang tentang pera­
turan dasar pokok-pokok agraria (Undang-undang P okok Agraria),
L.N. 1960 Nr 104, jang didjiwai oleh Manipol, dimuai suatu pasal
0, jang menetapkan bahwa „Semua hak atas tanah m e m p u n ja i
funksi sosial” .
A hirnja; perubahan atau penggantian ,.ru lin g elass” m e n g a k i­
batkan perubahan tjorak liukum, djadi, seperti jang lelah kami
legaskan diatas tadi, djuga mengakibatkan perubahan tjorak hak.
Hal lm terutama ternjata di Asia setelah pembebasan negara-negara
dari koIo» iali^ e , jaitu terutama di negara-negara Asia jang
pemermtalmja mendjadi pemerintah jang bertindak berdasarkan
sosialisme.

5X «S r£.,tfcS,i i¿'¡T"“”dir - k- n
Pemerintah (Perdana Menteri I l a t a n ^ ^ " kesalu d! sidang U i’ -K;
itu bukan suatu „macht” tetapi su-,i mengalakan baliwa „eigen dom
Djika orang jang mempunjai suatu h-.’l f 00' “,1? P,!clu ” -
nakan liak miliknja buat kepentingan mi*,k itu tidak m em pergu-
nja inenghendakinja, maka Pem eri/»11! 'V11“ 111’ meskipun masjarakat"
miliknja untuk keperluan umum. ° * rbak mempergunakan hak
Dalam djawaban pada babakan ,•
b erk ata, baliw a redaksi pasal 26 ■ *q • 8ldailS D .P .Ii. P e m e r in ta h
„ h a k m ilik m em punjai fu n k s i su,lla d e n g a n p e r k a ta a n :
Perumusan in i d ju g a diterinia ol t10« -'
tanggal 11 September 1958 t v* PIeno Konstituante pada
1945” , hal., 1 58 ). Pasal 6 L.N.1960*”^ i 6 Unt,an£-uuda,,S Dasar
— memuat perumusan sematjam nul • i — lihatlah dibawah ini
punjai funksi sosial” . a ' ” ll,a ^ak atas tanah mem-

230
P a r . 3 : IM e u d j a 1 a n k a n h a k s e t j. a r a j a n g t i da k
s e s u a i d e n g a n t u d j u a n n j a („m i s b r u i k v an
r e c h t” , „a b u s de d r o i t” ) .

Setiap peraturan hukum oleh pembuatnja diberi suatu tudjuan


tertentu. Demikian setiap hak jang oleh hukum diberi kepada jang
bei'sangkutan menipunjai suatu tudjuan tertentu. Boleli dikatakan
bahwa setiap hak diberi suatu tudjuan sosial. Hal ini berarti bahwa
hak itu tidak dapat melindungi suatu kep>entingan jang bertenta­
ngan dengan kepentingan umum. Hak tidak dapat melindungi suatu
kepentingan jang bersifat a-sosial17. Atau dengan kata lain: tidak
ada kekuasaan jang oleh hukum' diberi kepada seseorang untuk
dipakai dengan sengadja merugikan orang lain atau jang mungkin
dengan sengadja merugikan masjarakat. Mendjalankan hak tidak
sesuai dengan ludjuannja adalah menjimpang dari tudjuan hukum,
jaitu menjimpang dari mendjamin kepastian-hukum. Maka daii itu
jang bersangkutan harus mendjalankan haknja setjara jang sesuai
dengan tudjuan hak itu.
Dari pasal-pasal 26 ajal 3 undang-undang dasar sementara talnin
1950 dahulu dan 6 L.N. 1960 Nr 104, jang lelah kami singgung
dialas tadi,ternjala bahwa hak tidak dapat didjalankan setjara jang
tidak sesuai dengan tudjuan hak itu. Dalam beberapa kitab undane
undang hukum asing dilarang sama sekali m en d jala n k a n hak setjara
jang tidak sesuai dengan tudjuan sosialnja. Misalnja. dalam f,De
sclies bürgerliches Gesetzbuch” (kitab undang-undang hukum I e
dala Djernian ) par. 226: „Der Ausübung eines Rechtes ist unzu as-

17 L. C a ni p i o n „D e I’ exercice antisocial des droits


théorie de 1’ abus des droits” 1925; L. J o s s c r a n d „D e 1 espr t
- des droits et de leur relativité” , 1927;
onderzoek naar hei begrip misbruik van recht , t iser asi
1921; Prof. Z e y 1 e n. a k e r „Gebruik en misbruik van den rechts-
vorm, in liet hijzonder bij de N.V.’ \ pidato dies‘ a *VI^ 04.17 ,i:u
S e h e I t e m a „Misbruik van recht” dalam W.P.N.R. Nr 3417 d,b.
(1 9 3 5 ); E.M. M e i j e r s „Misbruik van recht en wetsontduiking
dalan. „Annalen voor rechtsgeleerdheid cn staatswetenschappen _; Prof.
Mr W.F. W e r t l i e i m „Rcchterlijke vrijhavens’ dalam 1. l a l , hal.
4 23 -4 59 ; Prof. Mr J. E g g e n s „H el „„m isbruik van recht en de
vrijheid” , pidato Batavia 1941 (1 9 4 9 ); C. K i p e r t „Les forces
créatrices du droit” , 1955, hal. 233 d jb .; Mr R. S o e w a n d i .i“ ' 1" '
djemahkan oleli Mr R a t m o k o ) „Pcnjalah-gunaan Hak (Misbruik
van R ech t)” , 1960; Mr S o e t a n M o h . S j a h „Pcnjalah-gunaan
hak atau penjalali gunaan hukum” dalam „Madjalah Universitas Ha­
sanuddin” , Djuli 1960, hal. 7-9.

231
sig, werni sie nur den Zweck haben, einem anderen Schade zuzu-
fiigen” .
Sebagai sebuah tjontoh jang dapat dikatakan kelasik dan ter-
niasjhur, boleh kami sebut disini kepulusan pengadilan tinggi di
Colmar (Negeri Perantjis) tertanggal 2 Mai 1855. A mendjadi te­
tangga B. Rumah A lebih tinggi dari pada rumah B. Di rumah
A ada djendela jang memberi pemandangan dengan melintasi atap
rumah B. Pada sesuatu waklu> maka B mendirikan sebuah pipa
asap (schoorsteen) diatas atap mmahnja di muka djendela rumah
A dengan maksud merusak pemandangan A. Pipa asap itu sekali-
kali tidak mempunjai hubungan dengan sesuatu tempat api (vuur-
haard). Pengadilan tinggi di Colmar dalam keputusannja meme­
rintah B untuk membongkar pipa asap itu. Hak B untuk m em etik
kenikmatan kepunjaan rumalinja: tidak dapat didjalankannja set jara
jang mengganggu orang lain dengan tidak beralasan baik (zonder
enig redelijk doel).
kenikmatan kepunjaan rumahnja tidak dapat didjalankannja setjara
tanggal 2 April 1937 („Nederl. ^Jurisp.” Nr 639) dan 13 Maret 1936
(„Nederl. Jurisp.'’ Nr 415) (perkara „Walertoren” ).
Perbuatan mendjalankan hak setjara jang tidak sesuai «lengan
ludjuannja biasanja diberi nama „ abus de droit” . Perbuatan „abus
de droit itu terdapat djuga dalam' lapangan administrasi (tala-
usaha) negara. Bilamana suatu djabatan pemerintah (overheids-
ambt) mendjalankan kekuasaannja setjara jang tidak sesuai dengan
tudjuan kekuasaan itu. maka perbuatan tersebut mendjadi „abus
de droit \ 5,Abus de droit” dalam lapangan administrasi negara di­
beri nama istimewa, jailu ..détournement de pouvoir” ls .

ringkasan dalam ba-


hukuni administrasi
gan Mr M a i n a k e

232
B A B VI

BEBERAPA PENGERTIAN IIUKUM

Pengertian-pengertian hukum jang kami bitjarakan dalam bab


1111 hanjalali pengertian-pengertian hukum jang dibuat untuk mene­
rangkan sistim hukum Eropah. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa
tidak dapat dibuat pengertian-pengertian hukum tersendiri dan
chusup untuk menerangkan sistim hukum adat. Karena hukum adat-
pun oleh ilmu hukum di Indonesia dipeladjari menurut tjara-tjara
penjelidikan jang terdapat didalam ilmu hukum Eropah, maka
kami menganggap sangat perlu, di sampingnja, telah tjukup
pula, untuk mengemukakan disini terutama pengertian-pengertian
hukum jang dibuat oleh ilmu hukum Eropah itu. Di samping itu,
djangan lupalah, bahwa membuat pengertian-pengertian hukum itu
hanja suatu alat (m iddcl) sadja untuk memberi suatu gambaran
sistinialis tentang lapangan hukum dan menjusun setjara sistimatis
hukum baru (politik hukum ). Mereka jang mengingini mengetahui
pengertian pengertian hukum adat dipersilahkan membatja buku
1 rof. Mr B. t e r H a a r Bzn „Beginselen en stclsel van het adat-
recht” . t
Perlu djuga dikemukakan disini, bahwa makin lama makin
kuat keinginan untuk mengganti dualisme dalam lapangan hukum
di Indonesia, jang sekarang masih ada, dengan suatu hukum kesa­
tuan jang didasarkan atas suatu sistimatik jang lebih sesuai dongan
„watak dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri^. Keinginan ini
dengan djelas sekali kelihatan dalam' Manipol. Tetapi andaikata
keinginan ini direalisasi penuh, masih djuga liukum jang baru itu
tidak bebas dari adanja terkandung pengertian-pengertian jang ber­
asal dari hukum Barat itu. Hal ini dengan djejas pula didemon­
strasi dalam Undang-undang "Pokok Agraria, L.N. 1960 Nr 104,
walavipun undang-undang itu telah mentjabut „Buku ke-II Kitab
Undang-undang Hukum' Perdata Indonesia sepandjang jang menge­
nai bumi, air serta kekajaan alam jang terkandung didalamnja” .

1 1950. Beberapa sketsa dan gambaran jang memperlihatkan sistim


hukum adat : Dr S u k a n t o „Menindjau hukum adat Indonesia” ,
195 4; Prof.. Dr R. v a n D i j k (diterdjeniahkan oleh Mr A. S o e -
hardi) „Pengantar hukum ndat Indonesia” , 1954. Lihatlah djuga
perbandingan dengan hukum Eropah jang dibuat oleh Prof. S u p o -
m ° : „Sistim hukum adat” dalam „Bab-bab tentang hukum adat” ,
1962, hal. 21 djb.

233
Bukankah hukum Barat itu memual banjak pengerlian-pengerlian
jang telah diterima universil oleh djaman modern?

P a r. I : Subjek h u k u m dan objek hukum

Bagi hukum ada dua pengertian jang sangat penting. Dua


pengertian itu :

A. pengertian „subjek hukum” .


B. pengertian „objek hukum” .

A. Subjek hukum (persoon).


Jang dimaksud dengan subjek hukum (persoon) ialah suatu.
pendukung hak, jailu manusia atau badan jang menurut hukuin
berkuasa (berwenang) mendjadi pendukung hak. Suatu subjek hu­
kum inempunjai kekuasaan untuk mendukung hak (reclitsvoegd-
heid).
Subjek hukum ada dua matjam.
manusia
badan hukum

Menurut hukuin modern setiap manusia— baik seorang warga-


negara maupun seorang asing (bandingkanlah pasal 3 A.B.) dan
tidak perduli apa jang mendjadi agama atau kebudajaannja— dari
saat lahirnja sehingga saat matinja^ adalah pendukung hak. Azas
ini pernah diterima sebagai suatu hak konstitusionil, jaitu diterima
dalam pasal 7 undang undang dasar sementara tahun 1950 dahulu,
dan diterima oleh Konstituante sebagai salah satu 'hak-hak azasi
manusia, dalam Sidang Pleno pada tanggal 11- September 1958 3.
Dalam U.U.D. azas sematjam ini hauja didjamin dengan tegas bagi
warga-negara sadja, pasal 27. Tetapi kita boleh memperluasnja se-
lnngga djuga meliputi kedudukan orang asing, asal sadja perlin­
dungan kedudukan orang asing itu tidak merugikan kedudukan
warga-negara. Mengenai hukum privat berlakulah pasal 1 K.U.H.

Lihailah apa jang disebut dalam pasal 2 . i vttu d i . .


anak jang maSih ada didalam kandnnran U • . F'. V ' .•
gap pendukung hak, kalau k e p e n t i n • M,a ‘ eI?h, ilapat d ' ang"
djuga ajat 2 pasal tersebut. nS»nnja memerlukannja. Batja
L ih atlah ^ K cm bn h k c Undanc«iinrlnn(v r» _
pen 1959 hal. 151 , „Setiap orang herhak’ atas t PenerL;ian Kem '
hidupan kemerdekaan dan keselam atan pribadL ^” ^ Pe" g "

234
ucum an tidak dapal merampas beberapa hak tertentu dari
jang d,kena, hukuman itu ( terketjuali dalam hal hukuman mati),
.a tal a 1 pasa 15 ajat 2 undang undang dasar sementara tahun 1950
l '* !) ' !!' U ain Sltla“ g P lci>o Konstituante tertanggal 11 September
chtenma perumusan: „Orang tidak boleh dilnikum dengan me-
o tkan kematian peidata atau kehilangan Hak Asasi Manusia/
arganegara U.U.D. tidak memuat ketentuan sematjam ini. Me­
ngenai hukum privat berlakulah pasal 3 K.U.H. Perdata, jang me-
entu an bahwa kematian perdata ( —kehilangan semua hak her-
dasarkan pribadi manusia) tidak mungkin.
1 asal 10 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu
nen atakan bahwa perbudakan orang, perdagangan budak dan per-
aan oiang dilarang. Berdasarkan azas jang tertjantum dalam
I sa 10 tersebut dapat dikatakan bahwa setiap manusia dapat me-
tulus atau berhak tidak meneruskan suatu hubungan jang didasar-
in atas hukum kekajaan (Vermögensrecht) sesudah waktu tertentu
iwat. Misalnja, pasal 1603u K.U.H. Perdata: buruh mempunjai
a memutus lnibungan-kerdja dengan madjikannja sesudah waktu
lina tahun liwat (Ketentuan ini dahulu hanja berlaku bagi golongan
nikum E iopah sadja). Azas sematjam ini djuga diterima oleh Sidang
Pleno Konstituante pada tanggal 11 September 1958 dalam peru­
musan: „T iada suatu ketentuan dalam bagian ini ditafsirkan dengan
pengeitian suatu penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak
dari padanja untuk mengusahakan sesuatu apa atau melakukan per-
l ualan berupa apapun jang bermaksud m enghapuskan sesuatu hak
atau kebebasan jang diterangkan dalnmnja” c. Efek (effect) keten­
tuan ini, jang djuga termuat dalam pasal 34 undang-undang dasar
sementara lahun 1950, adalah sama dengan efek -ketentuan dalam
pasal 10 tersebut. U.U.D. tidak memuat suatu ketentuan sematjam
ini.
Riatas tadi telah ditegaskan, bahwa seorang asingpun mendjadi
subjek hukum asal sadja perlindungan kedudukan orang asing itu
tidak merugikan kedudukan warga-negara. Djadi, seorang asing tidak
m empunjai senVua hak jang oleh hukum diberi kepada seorang war­
ga negara. Pasal 23 undang undang dasar sementara tahun 1950
dahulu, misalnja mengatakan hak mana jang hanja dapat diberi ke­
pada seorang warga-negara sadja. Lihatlah djuga pasal-pasal 24, 28

4 „K em bali ke Undang-undang Dasar 1945” , lial., 158.


„K em bali ke Undang-undang Daasr 1945” , hal. 157.

235
ajal 1 dan 30 ajat 1 undang undang dasar semeiilara lalmn 1950
itu. Pasal-pasal ini tidak berlaku bagi seorang asing.
Dj uga Konstituante dalam Sidang Plenonja pada tanggal 11
September 1958 m e n e r i m a beberapa bak (dan kewadjiban) jang
chusus bagi w a r g a - n e g a r a , dan azas-azas jang dimuat d a l a m keten
luan-ketentuan u n d a n g - u n d a n g dasar sementara tahun 1950 dahulu
ilu diteruskan dalam ketentuan-ketentuan dianlara ketentuan-
ketentuan jang d i t e r i m a oleh Sidang Pleno Konstituante pada
langgal 11 September 1958 tersebut«.
U.U.D. memuat pasal 27 (bandingkanlah dengan pasal 28 ajat 1
undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu itu).
Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan nc;kumpul, menge­
luarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainja ditetapkan
dengan undang undang” , Undang undang dasai sementara tabun
1950 dahulu memberi kemerdekaan untuk berserikat dan berkum
pul itu kepada setiap orang (pasal 29), demikian djuga halnja de­
ngan mengeluarkan fikiran (pasal 19: „Setia-p orang berhak atas
kebebasan mempunjai dan mengeluarkan pendapat” ), djadi, lebih
luas.
Ahirnja, U n d a n g undang Pokok Agraria, L.N. 1960 Nr 104, tidak
membedakan antara warga-negara Indonesia jang „asli” dan j allg
„bukan-asli” (djadi, L.N. 1960 Nr 104 ini adalah sesuai dengan ajat
l pasal 27 U.U.D. jang mengatakan bahwa „segala warga-negara ber­
samaan kedudukannja didalam hukum” ) dan menentukan bahwa
„Hanja warganegara Indonesia dapat mempunjai hubungan sepenuli-
nja dengan bumi, air dan ruang angkasa” (pasal 9 ajat 1).
Jang dimaksud dengan suatu badan hukum ialah setiap pendukung
hak jang tidak berdjiwa (lebih tepat: jang bukan manusia)7. Ba­
dan hukum — sebagai gedjala sosial — adalah suatu gedjala jang
6 „K e m b a li k e U n d an g -u n d an g Dasar 1 9 4 5 ” llaj 1 5 5 -1 5 6 .
7 Lihatlah Prof. Mr E. M, M e i j e r s „Algemene Ieer van het burger-
Iijk reeht , 1948, lial. 183 : „Onder rechtspersoon dient men der-
lialve nooit mecr te verstaan dan dutgenc wat suliject van recliten en
verplichtingen kan zijn” (Maka dari it„ pengertian badan hukum
hanja meliputi sesuatu jang dapal mendjadi pendukung Iink dan
kewadjiban). ^
Mengenai badan hukum batjalah uraian L o g e m a n n (hal. 50)
jang sangat penting dan jang menarik perhatian. Badan liukum, se­
bagai suatu „personificatie” , berarti suatu „bestendigheid” hak-ke-
wadjiban., Hukum organisasi (organisatiereeht) m e n e n t u k a n „inner^
lijke struktur” dari „personificatie” itu.
Mengenai badan lmkum pada umumnjn batjalah Mr. W o l f s b e r -
g b n „D e nationaht.eit der naamlooze vennootschap” , dis. Leiden
1926; Mr C.M.O., v a n N i s p e n t o t S e v e n a e r „D e rechts-

236
riil 8 (lalam pergaulan 'linkum, jaitu sesuatu jang dapat ditjatat da­
lam pergaulan hukum, biarpun tidak berwudjud manusia alau benda
jang dibuai dari besi, balu. dsb. Jang inendjadi penting bagi per­
gaulan bukuni ialah bal badan hukum itu fhempunjai sualu keka-
jaan (verm ögen) jang sama sekali terpisah dari kekajaan anggauta-
nja— jailu dalam hal badan hukum' inendjadi korporasi (lihatlah
dibawah). Hak-kewadjiban suatu badan hukum sama sekali terpisah
dari liak-Ivewadjiban anggautanja. Bagi lapangan perekonomian (ter­
utama lapangan perdagangan) gedjala ini sangat penting.
Ada lagi sualu keuntungan badan hukum itu. Badan hukum
mendjamin „con lin u iteil” (Logemann: ..beslendigheid” ) hak-
kewadjiban sesuatu pendjelmaan (korporasi atau jajasan), biarpun
pengurus pendjelmaan itu selalu diganti. Badan linkum, sebagai pen­
dukung hak-kewadjiban, lelap ada. sedangkan pengumsnja (jang
m endjadi wakil „continuitet” itu) dapat berganti-ganti.
Dalam pergaulan bukuni ada berniat jam mal jam badan hu­
kum:

1. perhimpunan (verenigingen) jang dibentuk dengan sengadja


dan dengan sukarela oleh orang jang bermaksud memperkuat
kedudukan ekonomis metoiva, memelihara kebudajaan, inengu-
rcis soal-soal sosial, dsb. Badan hukum sematjam itu berupa-
rupa, misalnja, perseroan-bertauggung-terbalas (P .l. „naamjoze
vennoolschap,, (N .V .). pasal-pasal 36 djb. K.U.IL Dagang), per­
himpunan jang didirikan berdasarkan peraturan L.N.H.B. 1939
Nr 717 (badan hukum Indonesia= „Inlands rechtspersoon” ),

persoon” , 1 9 3 6 ; Prof. Dr II. D o o y e w e c r d ” G™ndp™blemen


in de leer der rcelispersoonlijkheid” dalam „Tliemis , ( , ia
199 djl>. dan 367 d jb .; Ph. Ä.N. H o u w i 11 g „Subjeclief recht, rechts-
subject cn rechtspersoon” , diseriusi Leiden 1939; Prof. Mr . c 10
ten (dalam seri (e ) A s s e r „Vcrtcgenwoordiging cn rechtsper­
soon” (penerbitan baru oleh Prof. Mr M.II. B r e g s t c i n ) ; Mr U.K.
B Ö h t 1 i n g k „H et Icersluk der vcrtegemvoordigiiig cn zijn toepassing
op anibtsdragers in Ncderland cn in Indoncsie’ , dis. Lei cn J
(pengarang ini mengadakan suai« hubungan dengan pendapat L o g e -
m a n n ) ; djuga pidato inaugurasi Prof. Mr J- E g g e 11 s „lets o\cr
de ontwikkeling vun Iiet privaalreehtelijk denken in de laatste hal>e
eeuw” , Batavia (Djakarta) 1935.
8 B ü h 11 i n g k tidak melihat rcalitet sebagai dasar badan hukum.
Bagi B ö li t 1 i n g k badan liukum itu hanja „een juridiese voorstelling
van ecn niet nienselijke identiteit, die daden kan verrichten” . Menu­
rut pendapat kami badan hukum itu benar-benar suatu realitet jang
adanja dan akibatnja kita rasa sendiri.

237
perhimpunan jang didirikan berdasarkan peraturan L.N.II.B.
1870 Nr 64 (badan hukum Eropab), perusahaan negara (P .N .),J.
2. persekutuan orang (gemeensehap van mensen) jang ada karena
perkembangan faktor-faktor sosial dan .politik dalam sedjarah,
misalnja, negara, di negeri kita daerah swapradja, banjak kebu-
paten (sekarang daerah swautanlra tingkat II), banjak desa.
3. organisasi orang jang didirikan berdasarkan undang-undang te­
tapi bukan perhimpunan jang termasuk dalam sub 1.
4.' jajasan.
Biasanja matjam-matjam badan hukum jang kami sebut pada
sub 1, 2 dan 3 diberi nama korporasi (corporalie) 10. Badan hukum
pada umumnja dibagi dalam dua djenis golongan, jaitu korporasi
dan jajasan n .
Jang dimaksud dengan korporasi ialah suatu gabungan orang
jang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu
subjek hukum tersendiri (personifikasi). Korporasi adalah badan
hukum jang beranggauta, tetapi inempunjai hak-kewadjiban sendiri.
Jang dimaksud dengan jajasan ialah tiap kekajaan (vermögen)
jang tidak merupakan kekajaan orang atau kekajaan badan ilan
jang diberi tudjuan tertentu. Dalam' pergaulan hukum jajasan itu
bertindak sebagai pendukung hak-kewadjiban tersendiri. Misalnja,
Jajasan Lektur di Djakarta, jajasan-jajasan jang mendjadi'dasar
keuangan banjak pergaulan partikelir (swasta). Jajasan dalam hu­
kum Islam dan hukum adat terkenal dibawa'h nama wakap.
Jang merupakan perbedaan antara jajasan dan korporasi ialah
jajasan itu mendjadi badan hukum dengan tiada anggauta. Tetapi
jajasan mempunjai djuga pengurus (bestuur) jang mengurus ke­
kajaan dan menjelenggarakan tudjuannja.
V

9 Prof. Mr D. T i r t o d i n i n g r a t „Sekitar peraturan Pemerintah


pengganti undang-undang tahun 1960 No. 19 tentang perusahaan
Negara” , pidato pelantikan Surabaja tanggal 10 November 1960.
10 W a l t h e r B u r c k h a r d t „Einführung” , hal. 120 : „Körperschaft
nennt man eine juristische Person, die aus einer Mehrzahl von Per­
sonen (Mitgliedern) besteht, welche sieh selbst konstituiren und ver­
walten; Anstalt nennt inan die juristische Person, die nach einem
vorgeschriebenen Statut zu einem bestimmten Zweck verwaltet wird.
Im ersten Fall, sagt man, ist das „„Substrat” ” (die Unterlage) eine
Personenmehrheit, im zweiten eine Sachgesamtheit. Die Körperschaften
werden belebt durch den Willen ihrer Mitglieder .......................... die
Anstalt dagegen hat keine Mitglieder, ihr Statut ist der Ausdruck
eines fremden Willens (des Stifters, z,B) ..................... ” ,
11 R a d b r u c h „Einführung” , hal. 9 6; L o g e m a n n, hui. 52.

238
Berdasarkan aneka warna hukum maka badan-badan hukum di
Indonesia ada liga maljam:
1. badan hukum menurut hukum Eropab
2. badan hukum menurut hukum bukan-Eropah jang tertulis, se-
karang badan hukum menurut hukum Indonesia
3. badan lu.kum adat:
Badan hukum jang disebut pada sub 1 ialah badan hukum jang
diatur menurut hukum jang dikonkordansi dengan hukum jang
berlaku di Negeri Belanda. Badan hukum jang disebut pada sub 2
terkenal dibawali nama „badan hukum Indonesia” (Inlands rechls-
persoon” ), jailu badan hukum menurut hukum undang-undang (or­
donansi) jang dibuat dengan mengingat pasid 131 ajal 2 sub b I.S.:
bilamana keperluan um'mn atau keperluan sosial orang bukan-Ero­
pah mcmerlukannja— ,,bijzondere beliocften” (badan hukum me­
nurut „fantasierccht” ) . Badan hukum adat adalah badan hukum
menurut hukum' bumi-iputera (jang pada umumnja tidak tertulis).
Berdasarkan pembagian hukum dalam hukum publik dan hu­
kum prival maka badan hukum ilu dapat dibagi dalam dua matjam
lagi: badan hukum publik dan badan hukum privat. j
Terdapal banjak teori tentang dasar jurinis dari badan hukum12. j
Jang paling terkenal antara leori-teori itu. * j
a. anggapan v o 11 S a v i g n y l3. Menurut v o n S a v i g n y ba­
dan hukum itu semata-mata buatan negara sadja. Terketjuali
negara, badan hukum itu lianja suatu fiksi sadja, jakni sesuatu
jang sesunggulinja tidak ada tetapi orang menghidupkannja
dalam bajangannja untuk dapat menerangkan sesuatu hal.
Teori v o n S a v i g n y terkenal dengan nama teori fiksi^

12 Dulam W.P.N.R. Nr 3285 s/d Nr 3287 („D e bcleekcnis van het pro-
blcein der rechlspersoonlijkheid voor de praktijk” ) Prof. M e i j e r s
nieniohuii perhatian kila uiiluk arti ketjilnja teori-lteori tentang dasar
juridis dari badan hukum ilu bagi praktek. B £ h 11 i n g k (hal.
2 5 ) mengemukakan suatu pendapat jang radikal: „ ............... . dat
invocring van het begrip reclilspersoon mittig kan zijn, doch nooit
noodwendig is : de jurist zou liet in zijn begrippenwereld kunnen !
missen” (diterimanja pengertian tentang badan hukum itu ada nian-
faatnja, tetapi tidak perlu : seorang sardjana hukum tidak memerlu- j
kannja mutlak) !
13 F r i e d r i c h C a r l v o n S a v i g n y „System des heutigen röm i­
schen Rechts” , II, 1866, par. 85 djb.„ Sebagai pengikut teori v o n
S a v i g n y dapat disebut H o u w i n g dalam disertasinja (Leiden
1939) „S u bjcclief recht, rechtssubject en reehtspersoon” .

239
b. anggapa B r i n z14. Menurut anggapan ini maka lianja ma­
nusia sadja dapat mendjadi subjek liukum. Tetapi «Ijuga tidak
dapat disangkal adanja hak-hak atas sesuatu kekajaan sedang­
kan tiada manusiapiui jang inendjadi pendukung hak-hak
itu. Djadi, ada hak-hak dengan tiada subjeknja. Kekajaan jang
dianggap milik sesuatu badan hukum sebenarnja milik sesuatu
tudjuan. Adjaran ini terkenal sebagai adjaran „Zweckvcnno-
gen” atau dalam bahasa Indonesia: teori kekajaan tudjuan.
Teori B r i n z hanja dapat menerangkan dasar juridis dari
jajasan.
c. anggapan O 1 1 o v o n G i e r k e 15. Menurut pengarang ini
badan hukum itu—seperti manusia— suatu djelma jang sung­
guh-sungguh ada didalam pergaulan hukum (.,eine leiblich-
geislige Lebenseinheit” ). Badan hukum itu mendjadi suatu
„Verbandpersonlichkeit” , jaitu suatu badan jang membentuk
kemauannja dengan perantaraan alat-alat (orgauen) jang ada
padanja (miealnja, pengurusnja) seperti manusia. Pèndèknja,
berfunksinja badan hukum dipersamakan dengan berfunksinja
manusia. Teori ini disebut teori orgaan.
d. anggapan P 1 a n i o 1 dan M o l e n g r a a f fie. Menurut teori
ini. jang biasanja disebut teori „ propriété collective” , maka
hak-kewadjiban badan hukum itu pada hakekatnja hak-kewa-
djiban anggaula bersama-sama. Maka dari itu badan hukum

14 A ', » r Kn l , » Ii h,r,Juch der P a n d cctcn ” , I I I , 1 8 8 3 . P en g ik u t teori ini


a ., r o l. M r E-J-J- v a n der H e y d e n „H e t sc h ijn b e c ld van
de rech tspersoon ” dalam W .P .N .R . Nr 3 1 9 1 dan Nr 3 1 9 2 . K ritik
terhadap teor. Brinz ini dik em u k a k a,, oleh a.l. P r o f. M r D .G .
^ 5* 5 ^ r S i ° ir J !! j' 111 a »D e g e e s t e l ij k e en k e r k e lijk e
rrrh A . J ,1Ct 7 ™ 1.!0 , , , c k e ' h e l g e r e f o r m e e r d e e n I .e t n e u t r a l e
’. A ;U S le r(,;,m 1 9 0 o , h a l . 1 4 4 d j b . M e n u r u t B r i n z , h a n ja
K r J I l l | T W i SUbjek h u k u m - O leh sebab itu ba dan h u k u m
Î k ^ nÎ I f r .da? U ,k h a k dib eri
15 O , , o v ô nS kr a n ! 'ak d en « a« •'ada s u b je k h u k u m n ja .
■ I a j s p „ n «r. ( r . D asdeulsche G cn ossen sch aftsrech t” , II, 1873
liai. 47 5„ r e n g ik u t a.l. Mr L.C P n 1 •> - A i> ■ . i*’i i •j ,.**l
vereen ig in g en ” , dis. Leiden , 1 9 1 0 „ R c e h .s p e r s o o n h jk h e .d van
16 M a r c e I P 1a n i o 1 (bersaiim-isama drn ^ 'm r r? ■TVnitn
elem entaire de droit civil” , 19 28 , „ r 3 0 6 3 d jb . ; P r o f! W X .P .A .” M o -
B reft l " u a” \ ” h oek ,)cslJreki>ig” disertasi L .C . P o 1 a H o
l ', 'Spe1r„S° r ,Ii,k ,e ,d van v ereen ig in g en ” dalam „R e c h ts g e le c r d M a-
V rr i 102ft I ' I d jb ., p ra e d vies di m u k a N ederl. Ju risten
V er. tahun 19 2 0 , L cidraad bij d e b e o e fe n in g van het N ed erla n dse
hundelM eclit , 1 9 4 8 , I, par. 2 3 . Sebagai p e n g ik u t u n tu k seb a g ia n
dapat disebu t v a n A p e I d o o r (h a l. 16 3 ^ 1 6 4 ) dan S c h o 1 t e n
(„V e r t e g c n w o o r d .g .n g en recl.tsp ersoon ” ) : ba dan hukum a d a la h
kon stru k si ju rid is. Lihatlah d ju g a p eru m u san B o h 11i n - k ja n g
k an ji s in g g u n g p a d a n o o t 8 diatas tadi. ”

240
adalah suatu konstruksi juridis sadja.. Pada hakekatnja badan
hukum itu sesuatu jang abstrak. Boleh dikatakan bahwa teori
ini tidak dapat menerangkan dasar juridis dari jajasan sebagai
suatu badan hukum dan merupakan suatu kebalikan dari teori
B r i n 'i. ~
e. anggapan D u g u i t 17. Diatas telah dikatakan, bahwa D u -
g u i t tidak mengakui hak jang oleh hukum diberi kepada
subjek hukum tetapi lianja funksi-funksi sosial jang harus dila­
kukan oleh subjek hukum itu Di samping itu oleh D u g u i t
ditegaskan pula bahwa lianja manusia dapat mendjadi subjek
hukum. Lain dari pada manusia tiada subjek hukum- Tetapi
manusia ilu subjek hukum tanpa mendjadi pendukung hak !
Oleh karena D 11 g u i t hanja menerima manusia sebagai sub­
jek hukum, maka baginja djuga hanja manusia mendjadi
subjek hukum internasional (lihatlah Bab X II).
Kami agak tjenderung memilih sebagian teori v o n G i e r k e,
,]aitu hanja mengenai konsepsi „orgaan” sadja. Kami, berlainan de­
ngan v o 11 G i e r k e, tidak sanggup menjamakau badan hukum itu
dengan manusia. „Orgaan” , sebagai suativ ,,personificatie” bebe­
rapa hak dan kewadjiban jang tersendiri, adalah— sebagai realitèt
— seorang atau beberapa orang tergabung jang mendjalankan suatu
funksi tertentu— direktur, pengurus, komisaris, dsb.— dalam ling­
kungan badan hukum dan, karena mendjalankan funksi itu, men­
djadi salah satu esensialia (essentialia) organisasi badan hukum itu.
Kami mengatakan ,,sebagai realitèt” , karena, tidak bisa lain, dalam
pergaulan dengan subjek liukum lain „orgaan” itu — agar dapat
mentjapai tudjuannja— diwakili oleh manusia atau gabungan ma­
nusia i«. Bukankah, pada hakekatnja manusialah, jang sungguh-
sungguh bertindak bagi badan hukum? Sebetulnja pengertian ,,badan
hukum” itu suatu ,,fixatie” hukum (bukan fiksi!) jang menerang­
kan sesuatu jang mendjadi gedjala riil 19.
B. O bjek hukum (rcchtsobject).
Jang dimaksud dengan objek hukum ialah segala sesuatu jang
berguna bagi subjek hukum (mauusia atau badan hukum) 20 dan.

17 L é o n D u g u i t „Traite de droit constitutionnel” , 1927, I, liai. 319.


18 Lihatlah L o g c 111 a 1 1 1 1 , hal. 51.
19 Mengenai subjek 1Miku 111 dalam hukum adat lihatlah t e r H a a r,
hal. 136-140.
20 Menurut B e l l e f r o i d (hal. 165) maka objek hukum adalah se­
gula sesuatu jang berguna bagi subjek hukum danoleh karena liai

241
jang dapat mendjadi pokok (objek) suatu hubungan-Iiiikum (dapat
djuga disebut. hak), kaiena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek
h u k u m -1. Pertanjaan apakah sesuatu merupakan objek liukum
atau bergantung kepada hukum (hukum objektif).
Tjontolmja. A memindjamkan sebuah buku kepada B. jang
mendjadi obje#hukum dalam hubungan-hukum antara A dan B
ialah buku itu serta kekuasaan(hak) A untuk meminta kembalinja
dari B. Buku mendjadi objek hukum dari hak kepunjaan A.
Jang mendjadi objek hukum dalam suatu hubungan-hukum
menurut hukum publik, misalnja, menurut hukum padjak ialah
djumlah uang jang dapat dipungut dari jang wadjib membajar
padjak. Jang mendjadi objek hukum dalam suatu hubungan-hukum
menurut hukum pidana ialah hukuman (pidana) jang dapat didja-
tuhi pada pelanggar.
Biasanja objek hukum itu disebut benda (zaak). Berdasarkan
hukum Eropali jang berlaku di negara kita maka benda itu dapat
dibagi dalam dua matjam (pasal 503 K.U.H. P erdata):
Benda jang berwudjud (lichamelijke zaken), jaitu segala sesuatu
jang dapat diraba oleh pantja indra. Tanah, rumah, buku, dsb.
Benda jang tidak berwudjud (onlicliamelijke zaken), jailu se­
gala hak) 22 .
Penting sekali dikemukakan disini bahwa karena ada benda
jang tidak berwudjud (=liak) maka ada d juga benda jang meru­
pakan benda ( = objek) suatu hak lain.

itu diperhatikan oleh liukum (objektif)., Definisi ini tidak tepat ka­
rena menurut definisi ini matahari, bulan dan bintangpun dapat djuga
mendjadi pokok sesuatu hubungan-hukum. Lihatlah noot jang berikut.
21 V a n A p e 1 d o o r n, hal. 17 : „De hoedanigheid van zaak is, evcnals
die van persoon, een hoedanigheid, welke door het objectieve reeht
wordt verleend. Het objectieve recht is daarbij echter in zoverre ge-
bonden, dat het deze hoedanigheid niet kan verlenen aan datgene
wat niet aan menselijke heerschappij onderworpen kan zijn. Dc zon,
maan en de sterren zijn dus nooit zaken ¡n juridisehc zin” (Seperti
halnja dengan subjek hukum maka sesuatu mendjadi benda oleh
karena hukum objektif menjebutnja., Tetapi hukum objektif tidak
dapat menjebut sebagai objek hukum sesuatu jang tidak dapat di­
tempatkan dibawah kekuasaan manusia. Maka dari itu matahari, bu­
lan dan bintang-bintang tak pernah akan mendjadi benda dalam arti
kata juridis).
22 Oleh B e 1 1 e f t o i d (hal. 165) dikemukakan bahwa hak kepunjaan
tidak termasuk golongan benda jang berwudjud, karena K.U.H., Per­
data menjamakan hak itu dengan objeknja : tanah, rumah, dsb. Lebih
luas S c h o 1 t e n „Zakenrecln” , 1945, hal. 7 - 8 .

242
Di samping pembagian benda dalam benda jang berwudjud dan
benda jang tidak berwudjud ada pembagian lagi, jaitu benda dapat
dibagi pula dalam (pasal 504 K.U.H. P erdata): benda jang berge­
rak (roerende zaken) dan benda jang tidak bergerak (onroerende
zaken). *
Sesuatu barang (atau bak, pasal 508 K.U.H. Perdata) termasuk
golongan benda jang tidak bergerak, apabila a. sifatnja sendiri
menggolongkannja kedalam golongan itu (pasal 506 K.U.H. Perda­
ta), b. tiidjuannja menggolongkannja kedalam golongan itu (pasal
507 K.U.H. Perdata), atau c. undang;undang menggolongkannja ke­
dalam golongan itu (pasal 508 K.U.H. Perdata).
■ Jang termasuk golongan benda jang tidak bergerak karena si-
fatrija sendiri menggolongkannja kedalam golongan itu, ialah tanah
serta segala sesuatu jang tetap ada disitu sehingga inendjadi kesa­
tuan dengan tanah tersebut (lihatlah djuga pasal-pasal 500, 571,
588 dan 601 K.U.H. Perdata). Misalnja: bangunan, tanaman-
tanaman (veldgewassen), pohon-pohonan, kekajaan alam jang ada
didalam kandungan bumi dan barang-barang lain jang belum ter­
pisah dari tanah itu.
Jang termasuk golongan benda jang tidak bergerak karena tiidju­
annja menggolongkannja kedalam golongan itu, ialah segala barang
jang senantiasa digunakan oleh jang mempunjai dan jang mendjadi
alat tetap pada sesuatu benda jang tidak bergerak, walaupun me­
nurut sifatnja barang jang digunakan itu dapat digolongkan keda­
lam golongan benda jang bergerak. Misalnja: penggilingan (molens)
jang ditempatkan dalam gedung perusahaan menggiling beras,
alat pertjetakan jang ditempatkan dalam gedung pertjetakan, ember
(kuipen ), dsb.
Jang termasuk golongan benda jang tidak bergerak karena
undang-undang menggolongkannja kedalam golongan itu, ialah
segala hak alas benda jang tidak bergerak (terketjuali hak kepu-
ujaan jang oleli undang-undang disamakan dengan objeknja. B e 1-
1 c f r o i d „ libatlah noot 22).
Sesuatu barang (atau hak, pasal 511 K.U.H. Perdata) termasuk
golongan benda jang bergerak, apabila a. sifatnja sendiri menggo­
longkannja kedalam golongan itu (pasal 509 K.U.H. Perdata) atau
b. undang-undang menggolongkannja kedalam golongan itu (pasal
511 K.U.H. Perdata).
Jang termasuk golongan benda jang bergerak karena sifatnja
sendiri menggolongkannja kedalam golongan itu, ialah segala

243
barang jang dapat dipindahkan dari tempat satu ke tempat lain—
terketjuali barang jang disebut dalam pasal 507 K.U.H. Perdata—
atau dapat memindahkan dirinja dari tempat satu ke tempat lain.
Misalnja: mobil, medja, buku, dsb.
Jang tennasuk golongan benda jang bergerak karena undang-
undang nienggolongkannja kedalam golongan itu, ialah segala hak
atau benda jang bergerak (terketjuali hak kepunjaan jang oleh un­
dang undang disamakan dengan objeknja. B e l l e f r o i d , lihailah
lioot 22).
Di samping dua pembagian jang telah kami sebut diatas tadi ada
lagi pembagian» jaitu benda mlateriil dan benda tidak materiil
( tjiptaan orang).
Hukum modern memberi perlindungan kepada tjiptaan orang.
Misalnja, fikiran orang jang dituliskan dalam sebuah buku, gamba­
ran jang diperlundjukkan didalam suatu film, pendapatan-
pendapatan baru dalam lapangan tehnik, dsb.' -’ 3

P a r. 2: P er i stiwa-h u k um (k e d j a d i a n - h u k u m,
r e c h t s f e i t).

Dalam pergaulan kemasjarakatan pada tiap-tiap 'hari terdjadi


peristiwa peristiwa jang membawa akibat jang diatur oleh hukum.
1 idak tiap peristiwa kemasjarakatan m'embawa akibat jang diatur
oleh hukum. Ilanja peristiwa tertentu disebut oleh hukum24. Per­
istiwa kemasjarakatan jang membawa akibat jang diatur oleh
hukum diberi nama peristiwa hukum (kedjadian-hukum. r e c l i t s -
feit).
T jontohn ja : A dan B mengadakan suatu perdjandjiaii d jual beli
jang bermaksud menjerahkan barang dari tangan A ke tangan B.
Perdjandjian ini adalah suatu peristiwa kemasjarakatan jang aki-
batnja diatur oleh hukum (pasal 1457 K.U.H. Perdata): A wadjib
menjerahkan barang itu kepada B sedangkan B wadjib membajar-
nja. 3' ihak jang tidak melakukan kewadjibannja dapat digugat oleh
fihak jang dirugikan dimuka hakim.

23 Untuk liukuiu adat lihatlah t e r H a a r hal 117-120.


24 B e 11 e f j ’ o i d, lial. 1 5 0 : „Een maatsehappelijk feit kau cvenwcl
met °p zich zclf een rechtsgevolg teweegbrengen. Dit is slechts mo-
gclijk, wanneer dat feit door de rechtsregel tot rechlsfeh is gestem-
peld ’ (Tetapi^ peristiwa sosial tidak dengan begitu sadja dapat me­
nimbulkan akibat hukum. Hal ini hanja mungkin apabila peristiwa
itu oleh peraturan hukum didjadikan perisliwa-hukum).

244
r

Oleh M c i j e r s dikcmukakan bahwa sesuatu peraturan hu­


kum baru dapat didjalankan, apabila sjarat-sjarat jang disebut
dalam peraLuran hukum itu telah dipenuhi. Peristiwa-peristiwa
jang memenuhi sjarat-sjarat itu dapat disebut peris.tiwa-hukiim.
Pcngkonkretan (concretisering) suatu peraturan hukum tcrdjadi
oleh karena peristiwa-hukum.
V a n A p e l d o o r n 2(i merumuskan peristiwa hukum itu se­
bagai sualu peristiwa jang — berdasarkan hukum — menimbulkan
atau menghapuskan hak.
Peristiwa-hukum ada dua injatjam - 7. \
Perbuatan subjek hukum (pereoon) (manusia atau badan hukum
sebagai pendukung hak-kewadjiban) dan peristiwa lain jang bukan
perbuatan subjek hukum.
Perbuatan subjek hukum ada dua matjam: perbuatan hukum dan
perbuatan lain jang bukan perbuatan hukum.
Suatu perbuatan hukum adalah setiap perbuatan jang akibatnja
diatur oleh hukum, karena akibat itu boleh dianggap - 8 mendjadi
kehendak dari jang melakukan perbuatan itu 29.
Apabila akibat sesuatu perbuatan tidak dikehendaki oleh jang
melakukannja atau salah satu dari jang melakukannja, maka per­
buatan itu bukan suatu perbuatan hukum. Maka dari itu dapat di­
katakan, bahwa kehendak dari jang melakukan perbuatan itu men­
djadi suatu anasir esensiil (essentieel) dari perbuatan tersebut.
Suatu perbuatan jang akibatnja tidak dikehendaki oleli jang m'ela-
kukannja bukan suatu perbuatan hukum.
Perbuatan liukum ada dua matjam: perbuatan hukum jang
bersegi satu (eenzijdig) dan perbuatan hukum jang bersegi dua
(tweezijdig).

25 Prof. Mr E..M. M c i j c r s „Algemcne leer” , hal. 207. Lihatlah djuga


hal. 287-308 : „Classificnlie der rechtsfeitcn” .
26 Hal. 179.
27 V a n A p e l d o o r n , hal. 169 djb.. V a n A p e l d o o r n menga­
dakan perbedaan antara perbuatan manusia (menselijke liandelingen)
dan peristiwa lain (jang bukan perbuatan manusia). Sebutan „m en
selijke liandelingen” ini kurang tepat, karena djuga suatu badan hu­
kum dapat melakukan perbuatan liukum. Kami andjurkan istilah
„persoonshandelingen” .
28 Van A peldoorn, hal. 180 noot 1.
29 Lihatlah djuga L o g e m a n n, hal« 5 4 : „R cchtsliandelingen zijn
liandelingen, die beogen liet doen ontstaan van rechtsplichtcn (c.q .
het doen tenietgaan o f verän deren)” (perbuatan hukum itu perbuatan
jan g berm aksud m enim bulkan kewadjiban hukum (atau m elenjapkan
atau m engubah kewadjiban liu k u n i)). Lihatlah pengertian „reclits-
regiem ” pada halaman itu.

245
Suatu perbuatan hukum jang bersegi satu adalah setiap perbu­
atan Jian"'
C5
akibat hukumnja (rechtsgevolg) ditimbulkan oleh kehen-
dak dari satu subjek hukum (=satu fihak) sadja (jang melakukan
perbuatan itu). Misalnja, perbuatan hukum jang disebut dalam
pasal 132 K.U.H. Perdata (hak isteri untuk melepaskan liaknja
atas barang-barang jang merupakan kepunjaan suami-isteri berdua
setelah mereka kawin, benda perkawinan), perbuatan hukum jang
disebut dalam pasal 875 K.U.H. Perdata (perbuatan mengadakan
testamen adalah suatu perbuatan hukum jang bersegi satu), per­
buatan hukum jang mendirikan jajasan (stichtingshandeling.
Suatu perbuatan hukum jang bersegi dua adalah setiap perbuatan
jang akibat hukumnja ditimbulkan oleh kehendak dari dua subjek
hukum ( =dua fihak) atau lebih. Setiap perbuatan hukum jang
bersegi dua adalah suatu perdjandjian (overeenkomst). Pasal 1313
K.U.H. Perdata: „Perdjandjian itu suatu perbuatan jang menje-
habkan satu orang (jaitu subjek hukum) atau lebih mengikat diri-
nja pada seorang (jaitu subjek hukum) lain atau lebih” .
Perbuatan lain jang bukan perbuatan hukum ada dua niat jam:
1- perbuatan jang akibatnja diatur oleh hukum, walaupun bagi
hukum tidak perlu akibat terscbiy dikehendaki oleh .jang mela­
kukan perbuatan itu.
Djadi, akibat jang tidak dikehendaki oleh jang melakukan per­
buatan itu, diatur oleh hukum. Tetapi perbuatan jang bersang­
kutan tidak merupakan perbuatan hukum. Apakah akibat itu
dikehendaki atau tidak, itulah tidak penting— irrelevant—
bagi hukum jang mengaturnja. Kehendak itu bukan sjarat agar
akibat tersebut diatur oleh hukum.
2. Perbuatan jang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige
daad).
Ad. 1 :
Tjontohnja: perbuatan memperhatikan kepentingan orang de­
ngan tidak diminta oleh orang itu untuk memperhatikan kepen-
tinganja ( zaakwaarneming), pasal 1354 K.U.H. Perdata. A tidak
dapat memperhatikan kepentingannja, karena ia sakit. Apabila se­
orang lain memperhatikan kepentingan A walaupun tidak diminta
oleh A supaja memperhatikan kepentingannja, maka orang itu mau
tak mau—menurut hukum— wadjib meneruskan perhatian ter­
sebut sampai A sembuh dan dapat lagi meinperliaLikan sendiri ke­
pentingannja.

246
A d. 2:
Akibat suai« perbuatan jang bertentangan dengan liukum diatur
djuga oleh hukum, walaupun akibat itu memang tidak dikehendaki
oleh jang melakukan pefbuatan tersebut. Sia,pa jang melakukan
perbuatan jang bertentangan dengan hukum harus mengganti ke­
rugian jang diderita oleh jang dirugikan karena perbuatan itu.
Djadi, karena sualu perbuatan jang bertentangan dengan hukum
timbullah suatu perutangan (verbintenis) untuk mengganti kerugi­
an jang diderita oleh jang dirugikan.
Azas tersebut terdapat dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata jang
berbunji: „Setiap perbuatan jang bertentangan dengan hukum,
jang merugikan orang, mewadjibkan jang merugikan (jang melaku­
kan itu) mengganti kerugian jang diderita oleh jang dirugikan” .
Penafsiran pasal 1365 K.U.H. Perdata dalam jurispriulensi Belan­
da (jurisprudensi Indonesia mengikuti jurisprudensi Berlanda) ada
sedjarahnja 30. Dalam abad ke-19, ketika aliran legisme masih kuat,
jang mendjadi „perbuatan jang bertentangan dengan hukum” lia-
njalah suatu perbuatan jang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang-iindaiigan sadja. Pelanggaran sesuatu peraturan hukum
kebisaan tidak dianggap suatu perbuatan jang bertentangan dengan
hukum. Djadi, sesuai dengan aliran legisme: diluar undang-undang
tiada lnikum. Inilah suatu penafsiran jang sempit.
Dari Bab II lelah diketahui bahwa pada aliir abad ke-19 anggapan
legisme itu mendapat tentangan dari beberapa fihak. Kita telah
mengalaliui djuga bahwa M o 1 e n g r a a f f lah jang mula-mula
mengatakan bahwa penafsiran jang sempit itu tidak lagi dapat di­
pertahankan dan diteruskan. Dalam sebuah karangan jang di­
tempatkan di madjalali „Rechtsgeleerd Magazijn” (tahun 1887)
oleh M o l e n g r a a f f dikemukakan bahwa pengertian mengenai
perbuatan jang bertentangan dengan hukum, seperti jang disebut
dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata, tidak hanja meliputi suatu per­
buatan jang bertentangan dengan suatu peraturan penmdang-
undangan, melainkan djuga meliputi perbuatan-perbuatan'jang
bertentangan dengan segala sesuatu jang ada diluar undang-
undang jang memuat kaidah sosial.

30 Mr A. W o l f s b e r g e n „Onreclitnintige dand” , 1947; dalam baliasa


Indonesia Mr W i r j o n o P r o d j o d i k o r o „Perbuatan melang­
gar hukum dipandang dari sudut hukum perdata” , 1953..

247
Tetapi anggapan ilmu hukum ini baru ililerima clalam juris-
prudensi pada tahun 191931. Masih pada tahun 1910 lloge Raad
di Negeri Belanda mendasarkan suatu keputusan tentang perbuatan
jang bertentangan dengan hukum atas penafsiran sempit itu °-.
Pada tahun 1913 disampaikan kepada dewan perwakilan rakjat
Belanda (bagian T%veede Kamer) suatu usul-undang undang untuk
mengubah redaksi pasal 1365 K.U.H. Perdata. Menurut usul terse­
but, n:'aka suatu perbuatan jang bertentangan dengan hukum ialah
„menibuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu (melalaikan sesuatu)

jang : (a) melanggar hak orang lain, (b) bertentangan dengan ke-
wadjiban hukum dari jang melakukan perbuatan itu, (c) berten­
tangan dengan baik kesusilaan maupun azas azas pergaulan kema-
sjarakatan mengenai penghormatan orang lain atau barang dari
orang lain” 33.
Usul tersebut tidak didjadikan undang undang. Tetapi pada
tahun 1919 oleh Hoge Raad dibuat suatu keputusan berdasarkan
penafsiran jang luas itu 34. Keputusan tahun 1919 itu telah m e n d ja d i

suatu ),standaardarrest” (keputusan baku jang m endjadi suatu


pegangan teguh) jang memberi kepada hakim suatu kesempatan
sangat luas menentukan perbuatan mana jang merupakan per­
buatan bertentangan dengan hukum 35.

31 Tetapi lihntlnVi keputusan Hoge Raad di Negeri Belanda tertanggal


4 Mai 1900 dalam W (Belanda). Nr 7448.
32 Keputusan pada tanggal 10 Djuni 1910 dalam W (B elanda). Nr 9038
(„Arrest Zutphense juffrouw” ).
33 Een handelen o f nalaten, dat o f inbrcuk inaakt op eens anders reclit,
o f instrijd is met des daders rechtsplicht, o f indruisl, lietzij tegen de
goede zeden, hetzij tegen de zorgvuldigheid, welke in liet maatseliap-
pclijk verkeer betaamt ten aanzien van eens anders persoon o f goed.
34 Prof.. M e i j e r s („Algem ene leer” , hal. 305) mengenal dua matjam
perbuatan jang bertentangan dengan hukum : a. perbuatan jang ber­
tentangan dengan hukum jang dilakukan oleh suatu subjek hukum
jang bersalah, dan b. perbuatan jang bertentangan dengan hukum
jang dilakukan oleh suatu subjek hukum jang tidak bersalah ( quasi-
onrechtmatigc daad).
35 Keputusan tertanggal 31 Djanuari 1919, „Nederl. Jurisp.” , 1919, lial..
161 („Drukkersarrest” ). Lihatlah djuga keputusan 11 November 1937,
„Nederl. Jurisp.” , 1937; Nr 1096 („Kolynosarrest” )., Untuk hukum
adat lihatlah t e r H a a r, hal. 218 : bab XI mengenai „delikten-
recht” .

248
Beberapa tjontoh tentang suatu peristiwa lain jang bnkan per­
buatan hukum : kelahiran, kematian, liwat waktu.
Kelahiran menimbulkan langsung hak dari anak untuk menda­
pat pemeliharaan oleh orang tuanja (pasal 293 ajat 2 K.U.H. Per­
data 3(J.
Tentang kematian lihatlah pasal-pasal 830, 833 K.U.H. Perdata.
Perketjualian dalam pasal-pasal 807 sub 1°, 818 K.U.H. Perdata
Liwat waktu ada dua matjam : liwat waktu akuisitif dan liwat
waktu ekstinktif.
Berdasarkan liwat waktu akuisitif dapat orang peroleh sesuatu
hak sehabis masa tertentu dan sjarat-sjarat jang telah ditentukan
dalam undang-undang dipenuhi. Liwat waktu akuisitif dapat dise­
but liwat tvaktu jang mengakibatkan memperoleh sesuatu (verkrij-
gende verjaring). Maka dari itu liwat waktu akuisitif mendjadi
suatu tjara mendapat hak milik, (lihatlah pasal 584 KU.H. Per­
data)..
Berdasarkan liwat waktu ekstinktif dapat orang dibebaskan
dari sesuatu tanggungdjawab („Haftung” ) sehabis'masa tertentu dan
apabila sjarat-sjarat jang telah ditentukan dalam undang-undang
dipenuhi.
Lembaga hukum liwat waktu itu penting bagi baik perkara-
perkara perdata maupun perkara-perkara pidana. Hak pemerintah
(overheid) untuk menuntut (tuntutan dilakukan oleh djaksa) atau
untuk mendjalankan hukuman jang telah diputuskan hakim, gu­
gur sehabis masa tertentu dan apabila sjarat-sjarat jang telali di­
tentukan dalam undang-undang dipenuhi. Lembaga hukum liwat
waktu bertudjuan mendjamin adanja kepastian-lmkum (rechts-
zekerlieid) (lihatlah Bab I, par. 8). ,
Liwat waktu dalam hukum Eropah positif diatur dalam pasal-
pasal 1946-1962 K.U.H. Perdata (azas-azas nmum), pasal-pasal 1963-
1966 K.U.H. Perdata (peraturan mengenai liwat waktu akuisitif),
pasal-pasal 1967-1977 37 K.U.H. Perdata (peraturan mengenai liwat

36 Untuk Iiukum adat lihailah t c r H a a r, hal. 146, 147.


37 Pasal 1977 ajat 2 K.U.H. Perdata mengakibatkan mendapat sesuatu
benda jang bergerak. Maka temputnja dalnm Ruku IV K.(U.H. Perdata
tidak tepai.

249
waktu ekstinktif). pasal-pasal 73 dan 84 IC.U.H. Pidana Hiwat waktu
dalam hukum pidana) s«.
Kami mengahiri paragrap ini dengan sebuah rangka (schema)
tentang peristiwa-hukum 39 .-

perbuatan . perbuatan hukum


hukum jang bersegi satu

" perbuatan hukum


perbuatan jang bersegi dua
subjek hukum (perdjandjian)
/
perbuatan jang . perbuatan seperti
peristiwa- / ' bukan perbuatan „zaakwaarneniing”
hukum s hukum
perbuatan jang
tjonlohnja : bertentangan de­
peristiwa ngan hukum (pa­
jang bukan kematian sal 1365 K.U.H.
perbuatan kelahiran Perdata)
hukum liwat waktu

P a r. 3: Berbagai-bagai hak 4(1

Peristiwa-hukum m enjebahkan hukum (hukum o b je k tif) ber-


' 1^' ^ arena Per*st’ ' va"Iiiikum maka hukum m em beri kepada sub-
,iek hukum liaknja (atau m entjabut h a k n ja). Peristiw a-hukum
menimbulkan hak i atau m elenjapkan h ak ).

38 n ^ V i X d adat ‘ ‘ ‘- f 13,1 ,c r H “ »r, hal. 2 2 6 : bab .X II me-


39 ■ , Van ‘ ‘jd s 'e r lo o p ” .
52-55 : Per7s1iwa-huir.,'*an| 'i“ *a.ng fIil,u.at olel‘ L o g e m a n n, hal.
im bennatjam-matjam (dapat dibagi dalain) :
a. keadaan jang psyehis
1 . keadaan

2 . perisliwa (jaitu kedja-


dian jang tidak terdjadi
I ” b, keadaan hukuin (rechtssitua-
ties)
“ e. keadaan lain
a. perisliwa seperti kelahiran, ke-

3.
oleh karena perbuatan
manusia)

perbuatan (jang dike­


I —
matian („m enselijke” )

b. peristiwa lain (liwat waktu)


hendaki oleii manusia) i*, perbuatan hukum
o b., perbuatan jang tidak dapat di­
sesuaikan dengan hukum
40 (ongeoorloofd)
aCl perbuatan lain
Untuk „hak” dalam hukum adat lihatlah te rH ia r I I ■
bab II mengenai „reciUen op grond” h il 117 • i u ■
„schuldenreeht” , hal. 143 • bab VIII ■' mengenai
dan hal. 197 : bab X ” V~ lSc!‘ ^ - e c h t ” ,
250
Hak itu bermatjam-matjam. Biasanja hak itu dibagi dalam dua
golongan besar: I. hak mutlak (absolute rechten. onpersoonlijke
rechten) dan II. hak relatif (nisbi) (relatieve rechten, prsoonlijke
rechten).
Jang dimaksud dengan suatu hak mutlak ialah setiap kekuasaan
mutlak jang oleh hukum diberi kepada subjek hukum untuk ber­
bual sesuatu atau bertindak akan memperhatikan kcpentingannja.
Kekuasaan ini diberi nama hak mutlak karena berlakunja terha­
dap setiap subjek'hukum lain. Jang mendjadi tentangan dari kekua­
saan ini ialah kewadjiban subjek hukum lain semuanja untuk
menghormati kekuasaan tersebut. Tjontohnja : hak milik jang ber­
laku terhadap setiap subjek hukum lain. Subjek hukum jang men­
dukung liak mutlak dapat bertindak sendiri.
jan g dimaksud dengan suatu hak relatif ialah setiap kekuasaan
jang oleh hukum diberi kepada subjek hukum lain tertentu supaja
ia berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu atau meihberi sesuatu.
T jontohnja: A memindjamkan uang kepada B. Dalam perdjandji-
iin pindjam ditetapkan, bahwa B harus membajar kembali uang itu
setelah tiga bulan. Kekuasaan A untuk meminta kembali uang jang
dipindjamkan itu setelah iiga bulan, hanja berlaku terhadap B
sajja. Dellgll kjlln lain: hanja berlaku terhadap suatu subjek hu­
kum tertentu. Maka dari ilu kekuasium ini disebut hak relatif,
jakni ljak jang hanja dapat dilakukan terhadap suatu subjek hu­
kum tertentu.

1. H ak mutlak (absolut).

Hak absolut dapat dibagi dalam liga golongan : hak pokok


(dasar) manusia, hak publik absolut dan sebagian dari hak piivat.
Hak pokok (dasar) manusia — jang pada hakekatnja merupa­
kan bagian dari golongan 'hak jang disebut hak publik (publieke
rechten) 44 — terdapat dalam pasal-pasal 7-34 undang-undang dasar
sementara hukum 1|950 dahulu. Oleh Sidang Pleno Konstituante
pada langgal 11 September 1958 diterima beberapa perumusan
„hak-hak asasi manusia” 42. Djuga U.U.D. menerima beberapa hak

41 B e 11 e f r o i d, hal. 168.
42 Lihatlah ,Kembali ke Undang-undang Dasar 1945” , hal. 151-154 dan
157-158.

251
pokok manusia, letapi terbatas pada warga-negara (pasal-pasal 26
d jb .). Hak pokok manusia mendjadi bak jang oleb hukum diberi
kepada manusia, jang disebabkan bal — berdasarkan hukum —
kelahirannja setjara langsung menimbulkan hak-hak i lu.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa hak-hak itu oleh hukum
tidak lagi dapat ditjabut dari manusia. Melainkan, apabila kepen­
tingan un:um memerlukan, maka hak-hak itu oleh hukum — tidak
oleh suatu kekuasaan atau kekuatan lain, sesuai dengan konsepsi
negara hukum” ! — dapat diambil atau dapat dibatasi.
Pada abad fikiran rasionalistis, ketika anggapan tentang hu­
kum alam masih diterima umum, maka hak-hak pokok manusia itu
dianggap sebagai hak-hak jang oleh hukum alam, jang universil
dan abadi (tidak lagi dapat diubah), diberi kepada manusia
dan karena itulah tidak lagi dapat ditjabut dari manusia tersebut
( L o c k e ) . Hak pokok manusia ialah hak „inviolable e t sacre .
Menurut hukum modern, maka hak-hak pokok manusia adalah
hak jang oleh hukum diberi kepada manusia, tetapi — lial ini men­
djadi suatu sjarat ! — apabila hak-hak tersebut bertentangan de­
ngan kepentingan umum, maka hak-hak itu oleh hukum dapat di­
ambil kembali. Djaman jang bertjorak seratus prosen individualis­
tis, telah liwat. Pada djaman sekarang lebih diutamakan kepen­
tingan umum !
Terang dari apa jang diuraikan dialas ini, maka kami me-
nganggap ,,Universal Declaration of Human Riglits” , jang dipro-
klamasi oleh Sidang Umum (General Assembly) Perserikatan Bang­
sa-bangsa (P.B.B.) pada tanggal 10 Desember 1948, Iianja sebagai
suatu pernjataan azas-azas (beginselenverklaring) sadja. Sebagian
azas-azas jang disebut dalam „Declaration” itu dimasukkan kedalam
undang-iindang dasar sementara tahun 1950 dahulu, dan oleh Sidang
Pleno Konstituante dimasukkan dalam beberapa perumusan jans
dibuatnja pada tanggal 11 September 1958

43 Tentang „hunian righls” batjalah a.I. H. L a u t e r p a c h t „Inter­


national Law and Hunian Righls” , 19oQ; karangan Prof. L o g e -
m a n n „Mensenrechlen” dalam „Gedenkbock Reehtswetenschap-
pelijk Hogcr Onderwijs in Iiulonesie 1924-1949” , 1949, hal. 171 djb.,
dan dalam madjalah „Orientatie” , Mai 1950, hal. 5-20; Prof. Dr
P.N. D r o s t „Hunian Riglits as Legal Riglits” , 1951; Mr S u n a r -
j o „Hak-hak manusia internasional” , 1951; Mr S o e w a n d i „H ak-
hak dasar dalam konstitusi-konstitusi demokrasi modern” , 1957;
K u s u m a d 'i P u d j o s e w o j o „Pedoman” , lial.i 91-93 (bersama
dengan Prof. Mr I. G o n d o w a r d o j o ) (hal. 9 4 :
sekalipun sudah ditenlukan didalam UUD, hak itu belum dapat di­
lakukan. Untuk ilu masih perlu dikonkritkan lebih Iandjut dalam un-

252
•V

Walaupun kami beranggapan hak-hak pokok ilu bukan hak


jang sudah dimiliki oleh manusia karena kelahirannja (bukan
„aangeboren rechten” ) dan jang tidak dapat ditjabut darinja, ma­
sih djuga hal ini tidak berarti bahwa menurut pendapat kami ne­
gara boleh mengesampingkan azas-azas tersebut setjara begitu sadja
(setjara sewenang-wenang). Negara harus menghormati pribadi ma­
nusia dan bertindak setjara legal (memperhatikan legalitet).
Hal publik absolut, misalnja, hak bangsa kita atas kemerde­
kaan dan kedaulatan (¡pasal 1 ajat 2 U.U.D. 44).
Sebagian dari hak privat itu terdiri atas45 :
1. hak pribadi manusia (persoonlijkheidsreehten)
2. hak keluarga mutlak (absolute familierechten)
3. sebagian dari hak atas kekajaan (rechten op vermogen),
jang terdiri atas :
a. hak kebendaan (zakelijke rechten),
b. hak atas benda imateriil (tidak materiil, barang tjiptaan
orang) (rechten op immateriele goederen).
Sekalian hak ini mendjadi kekuasaan mutlak jang oleh liukum
diberi kepada subjek hukum.

1.
Hak pribadi manusia adalah hak atas dirinja sendiri jang oleh
hukum diberi kepada manusia. Hak-hak ini tidak dapat diasing­
kan atau diserahkan kepada sesuatu subjek hukum lain (onver-
vreenidbaar aan een ander reclitssubject). Tjontohnja :
pasal 1370 K.U.H. Perdata: barang siapa membunuh orang
dengan sengadja atau karena kurang berhati-hati, wadjib meng­
ganti kerugian kepada jang ditinggalkan oleh jang dibunuh (nabe-
slaanden).
pasal 1371 K.U.H. Perdata: barang siapa jang membunuh orang
dengan sengadja atau karena kurang berhati-hati, wadjib menggan­
ti kerugian kepada jang dilukai.

dang-undang (atau dalam keputusan hakim )” ) ; R a g h u I» i r


C h k r a v a t i „Human Rights and the United Nations” , 1958; Mr
K u n t j o r o P u r b o p r a n o t o „Sedikit tentang sistem pemerin­
tahan demokrasi” , 1960. Lihatlah djuga himpunan jang disusun oleh
Prof., v a n A s b e c k „T he Universal Declaration o f Human Rights
and its Predeeessors (1679-.1948)” , 1949. Djuinlah karang an tentang
„hum an rights” besar sekali, makin bertambah, dan dalam banjak
bahasa.
44 Sebelumnja : pasal 1 aiat 2 undang-undang dasar sementara tahun
1950.
45 V a n A p e 1 d o o r n, hal. 169.

253
pasal 1372 K.U.H. Perdata : barangsiapa jang menistakan nama
baik, dsb. seseorang, wadjib mengganti kemgian kepada jang dinis-
takannja namanja.

2.
Hak keluarga adalah hak jang ditimbulkan karena hubungan
antara anggauta keluarga jang satu dengan jang lain. Hak keluar­
ga itu dua matjam, hak keluarga absolut dan hak keluarga re-
tatij.
Beberapa hak keluarga absolut : hak marilal dari suami (pa­
sal-pasal 105 djb. K.U.H. Perdata), hak suami untuk menguasai
barang kepunjaan suami-isteri berdua setelah mereka kawin (be-
heersrecht over de goederen der gemeenschap (pasal-pasal 124 dan
*25 K.U.H. Perdata)46, kekuasaan orang tua (ouderlijke m achl)
(pasal-pasal 293 djb. K.U.H. Perdata).
Hak-hak itu oleh hukum tidak diberi kepada jang bersangku­
tan demi kepentingan sendiri, tetapi demi kepentingan dari jang
'dikenai oleh hak-hak itu. Misalnja, hak-hak itu tidak diberi kepada
orang tua demi kepentingannja, tetapi diberi demi kepentingan
anaknja. Hak-hak tersebut tidak dapat dihargai dengan uang mau­
pun tidak dapat diasingkan atau diserahkan kepada subjek hukum
lain. . -

3.
Hak atas kekajaan adalah hak jang dapat dihargai dengan
uang (op gehl waardeerbare rechten).

3a.
Hak kebendaan adalah kekuasaan absolut jang oleh liukuni
diberi kepada subjek hukum snpaja dengan langsung menguasai
wiatu benda didalam tangan siapapun djuga benda itu tinggal *7-

46 Mengenai kedudukan wanita jang telah kawin (isteri) dalam h u k u m


adat lihatlah S.R. B o o m g a a r d „D e reehtstoestand van de getroUW"
io o ^ °T W
„ ^ adatr^l>t van Nederl.-Imlie” , disertasi Leiden
t ., VnA-rV “J ’ . ‘J a a 1 e n »D e indonesische bruidschat” , disertasi
Leiden 1927; E. A. B o e r e n b e k e r „D e vrouw in het indonesische
adatrecht , disertasi Leiden 1931; M.H. N a s o e I i o n gelar S o e -
t a n O l o a n „D e plants van dc vrouw i „ de Batakse maatscliappij” ,
disertasi Utrecht 1943. Mengenai kedudukan wanita Indonesia dalam
masjarakat Indonesia pada umumnja pada waktu sekarang lihailah
Mr N a n i S o e w o n d o - S o e r a s n o „Keduduka wanita In d o­
nesia dalam liukuni dan niasjarakat” 1955,
47 Lihatlah karangan Prof. Mr H.F.W.D. F i s c h e r „Zakelijke en
i “ alam wiadjalah „Nederlands Juristenblad” tahun
1949, hal.. 553 djb., dan hal. 585 djb.

254
Anasir-anasir jang ésénsiil adalah :
(a) kekuasaan absolut
(b ) dengan langsung menguasai (onm iddelijke lieerschappij)
(c) didalam tangan siapapun benda ilu tinggal. ,
Hak kebendaan itu kekuasaan absolut, karena liak tersebut
berlaku terhadap tiap subjek hukum lain. Subjek hukum lain se-
nmanja w adjib menghormati hak milik A atas, misalnja, tanahnja.
A sebagai jang memiliki tanah ilu dapat setjara langsung m e'
nguasi tanah tersebut, oleh karena kekuasaan (heerschappij) jang
didjalankan ilu tidak berdasarkan sesuatu hubungan-hukum de­
ngan subjek hukum lain. A tidak ■menguasai tanah tersebut ber­
dasarkan suatu hubungan-hukum dengan seorang lain seperti dalam
hal, misalnja, suatu perdjandjian sewa dengan umpamanja B.
Oleh karena hak kebendaan ilu, maka timbullah suatu hubu­
ngan langsung antara jang berhak dengan bendanja. Hubungan
(langsung) ilu, oleli hukum' diadakan, supaja jang berhak diberi
kemiungkinan mendjalankan kekuasaannja setjara langsung. Tetapi
dalam hal A mendiami sebuah rumah berdasarkan suatu perdjan­
djian sewa dengan B (dalam hal ini hubungan antara A dan ru­
mah itu tidak langsung), maka A memiliki hak jang lianja berlaku
terhadap B dan tidak berlaku terhadap semua subjek hukum lain
dari pada B tersebut. Dalam hal demikian A m emiliki suatu liak
relatif. A m em iliki suatu hak jang hanja dapat didjalankan ter­
hadap B. Hak A itu hanja dapat didjalankan terhadap suatu sub­
je k hukum tertentu.
Tetapi oleh v a 11 A p e 1 d o o r 11 48 dikemukakan, bahwa an-
lara hak absolut dan hak relatif tiada pemisaihan müt,lak. Andainja,
B, sebelum masa perdjandjian sewa dengan A habis, mendjual ru­
mah 11 j a kepada C. Pertanjaan: dapatkah A sekarang masih tetap
m endjalankan haknja atas mendiami rumali tersebut sampai waktu
masa perdjandjian sewa jang dahulu diadakannja dengan B telah
habis? Menurut sifat suatu hak relatif maka pertanjaan ini harus
didjaw ab dengan suatu tidak, tetapi menurut pasal 1576 K.U.H.
Perdata maka pertanjaan ini harus didjawab dengan suatu ja !
D ari tjontoh ini tem jatalah hal 'hak jang oleh hukum per­
data menurut K.U.H. Perdata diberi kepada penjewa adalah suatu
hak jang memuat anasir-anasir kebendaan (zakelijke elementen).

48 V a n A p e l d 0 0 r 11, hal. 170., Sebelum v a n A p e l d o o r n , ma­


ka 'hal itu telah dikemukakan oleli A.L.M. v a n B e r c k e l „Reehts-
karakter der huur” , disertasi Amsterdam 1932.

255
A dapat memljalaiikaa liaknja jang ditimbulkan oleh perdjandjian
sewa itu terhadap tiap subjek hukum lain. Maka dari itu dapat
dikatakan, bahwa pemisahan antara hak absolut dan hak relatif
bukan pemisahan mutlak.
Oleh jang berhak, maka hak kebendaan itu tetap dapat didja-
lankan didalam tangan siapapun djuga bendanja tinggal. Kadang-
kadang benda itu oleh karena sesuatu sebab dikeluarkan dari ke­
kuatan njata (feitelijke heerschappij) dari jang berhak dan se-
landjutnja dipindahkan kedalam kekuatan (tangan) orang lain atau
badan hukum lain. Tjontolmja: A mempunjai (pasal 570 K.U.H.
Perdata) sebuah radio. Pada tahun 1950 ia pergi ke Amerika Se­
rikat. Sebelum ia berangkat, maka radio itu dipindjamkan kepada
B. Pada tahun 1952 A kembali di Indonesia. Sebelum tibanja di-
sini, oleh karena sesuatu sebab, radio tersebut telah dipindahkan
kedalam tangan C. Pemindahan itu tidak dilakukan dengan idjin
A. Tetapi setelah kembali di Indonesia, maka A dapat menggugat
radio tersebut dari tangan C. Pasal-pasal 574 dan 1977 ajat 2
K.U.H. Perdata.
Dapat dikatakan, bahwa hak kebendaan mengikuti benda jang
bersangkutan kedalam tangan siapapun djuga benda itu dipindah­
kan. Hak kebendaan terlekat pada bendanja. D alam ilmu hu­
kum dikatakan, bahwa hak k eben daan itu m eru p a k a n suatu
„droit de suite , atau dikatakan, bahwa hak kebendaan itu mem­
bawa akibat kebendaan (zaaksgevolg). Berdasarkan hak kebenda-
annja, maka jang berhak mempunjai kekuasaan untuk menggugat
bendanja dari tangan siapapun djuga. Oleh karena hak kebendaan
mendjadi suatu hak absolut, maka dengan sendirinja hak kebenda­
an adailah suatu „,droit de suite” 49.
Tetapi kekuasaan dari jang berhak untuk menuntut bendanja
dari tangan suatu subjek hukum jang tidak berhak atas benda itu,
mendapat pembatasan dari hukum sendiri. Pembatasan tersebut
terdapat dalam lembaga hukum mengenai liwat waktu, pasal-pasal
1963 dan 19 1 i ajat 2 K.U.H. Perdata. Liwat waktu jang disebut
dalam pasal 1963 K.U.H. Perdata mengenai liwat waktu hak atas
benda jang tidak bergerak, sedangkan pasal 1977 ajat 2 K.U.H.
Perdata mengenai liwat waktu hak atas benda jang bergerak
jang ditjuri dari jang berhak atau jang ditinggalkannja sehingga
hilang.

49 Prof* M e i j e r s „Algemene leer” , hal. 269.

256
Tentang pasal 1963 K.U.H. Perclata lihatlah diatas tadi. Kami
menerangkan pasal 19/7 ajat 2 K.U.H. Perdata 50 dengan meiijebut
sebuah tjontoh: andaikan A membeli sebuah buku dari B. Buku
itu dahulu oleh B ditjuri dari C. Teapi A tidak mengetahui pen-
tjurian itu. Maka A berdjudjur hati (te goeder trouw) (pasal 531
K .U.H. Perdata). Selama waktu liga tahun, C sebagai jang mem-
punjai buku itu, dapat menggugatnja dari A. Tetapi setelah waktu
tiga tahun itu habis, maka buku tersebut oleh C tidak lagi dapat
digugat kembali. Setelah waktu tiga tahun, maka buku itu mendjadi
kepunjaan A. Hanja dalam hal A berakal buruk (te kwader trouw)
(pasal 532 K.U.H. Perdata), jakni A mengetahui pentjurian itu,
maka buku tersebut oleh C masih dapat digugat kembali.
Sekarang ada pertanjaan : siapakah jang harus membajar ke­
rugian jang diderita oleh A ? (jakni dalam hal buku tersebut di­
gugat kembali sebelum waktu tiga tahun itu liwat).
Djawaban: B.. Tetapi andainja buku itu oleh A dibeli di suatu
pekan tahunan (jaarmarkt) atau di pasar, di suatu lelang atau dari
seorang jang terkenal sebagai pendjual buku jang telah dipakai
(tweede hands), maka jang harus membajar kerugian jang diderita
oleh A ialah C, jakni jang mempunjai buku tersebut. Lihatlah pasal
582 K.U.H. Perdata.
Pasal 528 K.U.H. Perdata menjebut hak mana merupakan hak
kebendaan 51. Dalam daftar tersebut— jaitu menurut anggapan kami
— ada dua kesalahan faham :
Besit (pasal 529 K.U.H. Perdata) bukan hak, tetapi suatu ke­
kuatan njata (feitelijke heerschappij) atas sesuatu benda dan ke­
kuatan njala itu dilindungi oleh hukum (lihatlah dibawali ini).
Hak keahli-warisan (erfgenaamschap) bukan hak absolut, tetapi
djuga hak relatif, misalnja, utang (perulangan jang belum dibajar
(dilunasi, dipenuhi) oleh jang meninggalkan warisan itu).
Disamping dua kesalahan faham tersebut ada suaUi keragu-
raguan, jaitu diragu-ragukan apakah hak mengenjam hasil (vruclit-
genot) ilu suatu hak kebendaan atau suatu perutangan.

50 Ajat 2 pasal 1977 K.U.H. Perdata adalali perketjualian terhadap ajat


1 pasal itu. Menurut ketentuan jang disebut terahir ini, maka besit
sama kuatnja dengan hak kepunjaan selama jang sungguh-sungguh
mempunjai benda jang bersangkutan, belum muntjul. Hal ini menge­
nai benda jang bergerak.
51 Sangat terkenallah karangan Prof. Mr E.M. M e i j e r s «Art. 584
B .'W. en de zakelijke rechten” dalam „Rechtsgeleerd Magazijn” , tahun
1907, hal. 271 djb. (djuga dimuat dalam „Verzamelde privatreclitelijke
opstellen” , II, 1955, hal., 8 d jb .).

257
Daftar tersebut tidak lengkap (tidak lim itatif), karena tidak
disebut dalam daftar itu hak-liak kebendaan jang berikut: hak op-
sial (reeht van opstal), hak pengusahaan tanah (erfjJaeht), hak
padjak tanah (grondrente), liak penggunaan hasil (vruchtgebruik)
dan hak penggunaan dan pendiaman (gebruik en bew oning), jang
semuanja diatur djuga dalam K.U.H. Perdata 5~.
Sesudah Undang-undang Pokok Agraria, L.N. 1960 Nr 104,
mentjabut ,,Buku ke-II Kilab Undang-undang Hukum Perdatf
Indonesia sepandjang jang mengenai bumi, air serta kekajaan alam
jang terkandung didalamnja, ketjuali kelentuan-ketentuan menge­
nai hypotlicek jang masih berlaku pada mulai berlakiuija undang-
undang ini” , maka tidak lengkapnja pasal 528 K.U.H. Perdata itu
bukan soal lagi, karena hak opstal, „erfpacht” , „vruchtgebruik’ dan
„gebruik en bewoning” itu tidak lagi merupakan hak-hak atas ta­
nah jang diatur oleh hukum positif di Indonesia.
Sebagai penggantinja hak-hak atas tanah jang diatur dalam
Buku II K.U.H. Perdata itu dan jang telah dinjatakan tidak lagi
dapat dipakai, Undang-undang Pokok Agraria tersebut m en en tu k an
8 hak-hak baru atas tanah, menurut sistim hukum atas tanah se­
bagai berikut :

52 Daftar lengkap hak-hak kebendaan (menurut sistimatik liukum Ero


pali) pada waktu sebelum berlakuja Undang-undang Pokok Agraria
adalah :
1. hak kepunjaan (pasal 570 K.U.H. Perdata)
2. hak servitut (pasal 674 K.U.H. Perdata)
3. hak opstal (pasal 711 K.U.H. Perdata)
4. hak pengusahaan tanah (pasal 720 K.U.H. Perdata, L.N .H :B.
1913 Nr 699, L.N.H.B. 1914 Nr 367)
5. hak padjak tanah (pasal 737 K.U.H. Perdata)
6 . liak penggunaan hasil (pasal 756 K.U.H. Perdata)
7. hak penggunaan dan'pendiaman (pasal 818 K.U.H. Perdata)
8 . hak pand (pasal 1150 K.U.H. Perdata)
9. hak hipotik (pasal 1162 K.U.H. Perdata)
10. „agrarisch eigendomsreelit” (L.N.H.B. 1872 Nr 117)
11. hak „oogstverband” (L.N.H.B., 1886 Nr 57)
12. hak „credielverband” (L.N.H.B. 1908 Nr 542 jo 1909 Nr 586
dan L.N.H.B. 1909 Nr 584)
13. hak berdasarkan „conversie-beschikking” (L.N.H.B. 1915 Nr 474)
konsesi tambang (mijnconcessie) (L.N.H.B. 1899 Nr 214 dan L.N;
H.B. 1938 Nr 3 8 ).
15. „Ianderijenbezitrecht” paSal 3 L.N.H.B. 1913 Nr 7 0 2 ).
Sebelum tanggal 1 April 1948 masih ada lagi satu hak kebendaan,
jaitu hak berdasarkan L.N.H.B. 1918 Nr 21 jo Nr 22 (Verklaring
van het recht van den landbouwondernemer in de gewesten Surakarta
en Jogjakarta tot zakelijk recht). Hak ini dihapuskan pada tanggal
tersebut.

258
Pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria menentukan dalam ajat'
1 dan ajat 2 :
„1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ajat (3) Undang-undang
Dasar dan lial-hal sebagai jang dimaksud dalam pasal 1, bu­
mi, air dan ruang angkasa, termasuk kekajaan alam jang ter­
kandung didalamnja itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakjat.
2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ajat (1) pasal
ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menjelanggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang ankasa
tersebut ;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum an­
tara orang-orang dengari bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum an­
tara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum jang me­
ngenai bumi, air dan ruang angkasa” .
Pasal 4 Undang undang pokok Agraria menentukan-dalam'ajat
1 :
„Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai jang dimaksud
dalam pasal 2 ditentukan adanja matjam-matjam hak atas permu­
kaan bumi, jang disebut tanah, jang dapat diberikan kepada dan
dipunjai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama de­
ngan orang-orang lain serta badan-badan hukum” .
Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria menentukan dalam
ajat 1 :
„1. Hak-hak atas tanah sebagai jang dimaksud dalam pasal 4 ajat
(1) ialah :
a. hak milik,
b. hak gunausalia,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanali,
g. hak memungut hasil hutan,
h. hak-hak lain jang tidak termasuk dalam liak-hak tersebut di-
atas jang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak
jang sifalnja sementara sebagai jang disebutkan dalam pasal
53” .

259
Dari apa jang dikemukakan diatas ini, kelihatanlah lial me­
ngenai hak hak atas tanah (benda jang tidak bergerak) sedjak ber-
lakunja Undang undang Pokok Agraria telah terljapai unifikasi,
jaitu segala hak-hak atas tanah itu diatur oleh salu hukum Indo­
nesia. Tetapi mengenai hak-hak (kebendaan) atas benda jang ber­
gerak masih tetap ada dualisme, jaitu hak-hak menurut hukum Ero-
pah di samping hak-hak menurut 'hukum adat.
Menurut anggapan ilmu hukum modern, maka tiada hak ke­
bendaan lain dari pada jang disebut dalam peraturan perundang-
undangan. Maka dari itu dapat dikatakan, bahwa hak kebendaan
itu merupakan suatu sistim tertutup (gesloten systeem). Sistim ter-
tutupnja hak kebendaan ini perlu unLuk melindungi kepentingan
fihak ketiga, karena daja pengaruh hak kebendaan itu, sebagai su-
alu „droit de suite” , adalah sangat besar.
Hak kepunjaan 53 menurut K.U.H. Perdata (benda jang bergerak5*-
Menurut pasal 570 K.U.H. Perdata, maka hak kepunjaan ada­
lah hak untuk mengenjam kenikmatan seluas-luasnja dari sesuatu
benda dan mempergunakan (besehikken)-nja setjara jang tidak
terbalas (= apabila perlu maka benda jang merupakan kepunjaan
itu dapat diasingkan), asal sadja penggunaan itu lidak bertenta­
ngan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum j allS
dibuat oleh suatu kekuasaan jang berhak membualnja dan asal sa­
dja penggunaan itu tidak mengganggu hak orang lain; tetapi hak
kepunjaan itu dapat ditjabut untuk kepentingan umum dengan
mengingat sjarat, bahwa pentjabulan itu akan diadakan dengan
mengganti kerugian dan berdasarkan suatu peraturan perundang-
undangan.
D an apa jang dikemukakan diatas tadi, teranglah sekarang
pasal 5<0 K.U.H. Perdata hanja berlaku mengenai benda jang ber­
gerak.
Perumusan tentang hak kepunjaan ini masih sangal liberalis-
tis, dan harus diubah. Sifat (sosial) dari hak kepunjaan pada
d jaman sekarang telah kami bitjarakan dalam Bab V, par. 1 dan
par. 2, diatas tadi.
53 Jang dimaksud dengan ,,kepunjaan” ialah milik menurut hukum
Eropali ^ pasal 570 K.U.H. Perdata — sedangkan jang dimaksud
dengan „m ilik” ialah milik menurut hukum adat dan menurut Undang-
undang Pokok Agraria, L.N. 1960 Nr 104, pasal 16 ajat 1 sub a jo
pasal 4 ajat 1.
54 Mengenai hak milik dalam hukum adat Indonesia lihatlah Prof. Mr B.
t e r H a a r Bzn dan Prof. Dr J.H..A. L o g e m a n n ,,Het besehik-
kingsreeht der Indonesische rechtsgenieenschappen” dalam T. 125. hal.
347, dan T. 128, hal« 107 dan 329.

260
Padu hakekalnja hak kepunjaan itu hak kebendaan jang se-
sem'purna-seinpurnanja. Hak kepunjaan lebih sempurna dari pada
hak-hak kebendaan lain. Hal ilu karena dua sebab :
a. hak kepunjaan adalah hak atas benda seiidiri (reclit op eigen
zaak), jakni benda itu kepunjaan dari jang berhak. Hak-liak
kebendaan lain mendjadi hak atas benda orang lain (subjek
h u k u m la in ) ( r e c l i t o p e e n a n d e r s z a a k ) 55.
b. hak kepunjaan memberi kepada jang berhak dua kekuasaan :
1. kekuasaan untuk memungut kenikmatan bendanja, jakni
untuk memungut „genot” .
2. kekuasaan untuk mengasingkan (mendjual, memberi, me­
nukar, mewariskan setjara legat) bendanja, jakni jang m m -
punjai diberi „besehikking” .
Hak kebendaan lain hanja memberi „genot” (hak servitut, hak
opslal, hak pengusahaan tanah, hak padjak tanah, hak peng­
gunaan hasil, hak penggunaan dan pendiaman, hak berdasar­
kan „conversie-beschikking” dan konsesi tambang—lihatlah
noot 52) atau „besehikking” (hak pand, hak hypotik, hak
„credietverband” dan hak „oogstverband” — lihatlah noot 52)
(tetapi hanja kekuasaan untuk mendjual).
Hak kepunjaan adalah hak kebendaan satu-satunja jang mem­
beri kepada jang berhak baik „genot” maupun „besehikking” 5C.
Perbedaan jang disebut pada sub b adalah akibat dari perbe­
daan jang disebut pada sub a. Sebuah tjontoh (dari waktu sebe­
lum berlakunja Undang-undang Pokok Agraria) : hak servitut mem­
beri kepada subjek hukum kekuasaan supaja ia dapat mendjalani
sebidang halaman — jakni benda — suatu subjek hukum lain se­
hingga ia dapat mentjapai halaman sendiri. Hak servitut diperlukan
oleh subjek hukum, karena halaman subjek hukum' lain itu letaknja
diantara halamannja sendiri dan djalan umum. A,gar dapat mentja­
pai halaman sendiri itu maka subjek hukum tersebut terpaksa
mendjalani halaman suatu subjek hukum lain. Sudah tentu, jang
diberi kekuasaan berdasarkan hak servitut itu tidak dapat menga­
singkan halaman — jakni benda — subjek hukum lain tersebut

55 Besit dapat didjalankan atas benda sendiri maupun benda subjek


hukum lain (lihatlah dibawali in i).
56 Besit memberi kepada jang mendjalankannjn hanja „genot” (jaitu
besit jang didjalankan seljara berdjudjur hati. Kenikmatan besit jang
didjalankan setjara berakal buruk, kemudian harus dikembalikan ke­
pada jang mempunjai benda jang bersangkutan setelah ia im intjul).

261
jang dibebani (diberati) dengan suatu servitut djaian (erfdieustbaar-
lieid van w eg), karena halaman jang disebut terahir bukan kepu-
njaannja. Hanja subjek hukum lain itu jang dapat lriengasingkan-
nja. Jang diberi kekuasaan berdasarkan hak servitut hanja dapat
mengenjam kenikmatan mendjalani halaman (benda) jang dibebani
hak servitut itu.
Maka dari itu dapat dikatakan, bahwa hak-hak kebendaan lain
hanja membatasi tjara mendjalankan hak kepunjaan seseorang, dan
tidak mengesampingkannja. Apabila hak kebendaan atas kepunjaan
subjek hukum lain sama sekali dihapuskan, maka baru hak kepu­
njaan itu dapat didjalankan setjara seluas-luasnja.
Tetapi hak kepunjaan itu tidak boleh didjalankan setjara jang
tidak terbatas. Hak kepunjaan harus didjalankan sesuai dengan
kepentingan umum. Dari apa jang dikem'ukakan dalam Bab V di-
atas tadi, teranglah bahwa hak kepunjaan itu mempunjai suatu
funksi sosial 57.
Hak-hak kebendaan lain (hal ini telah dikatakan tadi) dan
hak-hak relatif, jang kedua-duanja dalam tangan subjek hukum lain,
dapat membatasi tjara mendjalankan hak kepunjaan. Misalnja, oleh
karena halaman A dibebani dengan suatu servitut supaja B dapat
mentjapai halaman sendiri dengan mendjalani halaman jang dibe­
bani itu (kewadjiban untuk mengidjinkan dan menanggung B da­
pat mendjalani halaman jang dibebani itu diberi nama „duld-
plicht” ) ; oleh karena A telah menjewakan rumalinja kepada B
untuk delapan bulan, maka selama delapan bulan itu A tidak dapat
berbuat sesuatu jang mungkin bertentangan dengan isi perdjandji-
an sewa jang sudah diadakannja dengan B terlebih dahulu (lihat­
lah pasal 1550 K.U.H. Perdata).
. Pasal 584 K.U.H. Perdata menjebut tjara-tjara mendapat hak
kepunjaan.

57 Pasal 27 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu. Oleh


Sidang Pleno Konstituante pada tanggal 11 September 1958 diterima
suatu perumusan jang isinja sama dengan isi pasal 27 undang-undang
dasar sementara tahun 1950 itu (Lihatlah „Kem bali ke Undang-un­
dang Dasar 1945” , hal. 1 5 3 ). U.U.D. tidak memuat suatu pasal se-
niatjam pasal 27 tersebut.. Tetapi pasal 33 U.U.D. dapat dipakai se­
bagai suatu landasan perkembangan ke arah itu. Hal ini telah keli­
hatan dalam pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria. Biarpun hanja
disebut „h ak atas tanah” , masih djuga ketentuan ini ada „strekking”
umum.

262
Hak milik m cnund Undang-undang P okok Agraria (benda jang
tidak bergerak) 5S.
Dibandingkan dengan hak kepunjaan jang diuraikan diatas
tadi, maka dapat, dibuat kesimpulan bahwa hak milik menurut
Uudang-undang Pokok Agraria itu lebih diikat sosial (sociaa.1 ge-
bonden).
Hal ini kelihatan dari beberapa ketentuan jang bersangkutan.
Pertama-tama, hak milik tersebut didasarkan atas hukum adat,
dengan kata-kata lain: lebih mendekati m ilik menurut hukum
adat G9. Pasal 5 Undang-undang Pokok Agraria m'engatakan bahwa
„Hukum agraria jang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
adalah hukum adat, sepandjang tidak bertentangan dengan kepen­
tingan nasional dan Negara, jang berdasarkan atas persatuan bang­
sa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan jang ter-
tjantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perunda­
ngan lainnja, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur jang
bersandar pada hukum agama” . Dalani ketentuan ini ditentukan
bahwa hukum adat mendjadi inti hukum jang mengatur keadaan
hukum dari tanah. Tetapi hukum adat jang mengatur keadaan
hukum dari tanah itu, bukanlah hukum adat dalam keadaan aslinja.
Ditegaskan pula bahwa hukum adat jang mengatur keadaan hukum
dari tanah itu tidak boleh bertentangan dengan ,,kepentingan na­
sional dan Negara, jang berdasarkan atas persattian bangsa” , „sosi­
alisme Indonesia” , ketentuan-ketentuan Undang-undang Pokok
Agraria dan peraturan-peraturan perundang undangan lainnja
dalam bidang agraria, dan segala sesatu itu harus .,mengindahkan
unsur-unsur jang bersandar pada, hukum agama” .
Selandjutnja, segala mendjalankan hak milik itu dikuasai oleh
pemeritah. Ajat 2 dari pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria itu
menentukan bahwa wewenang pemerintah dalam ,,menguasai” itu
adalah : „a. mengatur dan menjelenggarakan peruntukkan, peng­
gunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
........... ; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa” 60. Terang­
lah hal „menguasai” itu meliputi wewenang pemerintah untuk me­
ngadakan perluran-peraturan dalam bidang agraria dan mendjalan-

58 Prof. Mr D r G o u w G i o k S i o n g „Tnfsiran Undang-undang P o­


kok Agraria” , 1960.
59 Lihatlah noot 54,
60 Objek „menguasai” itu ditentukan dalam pasal-pasal 6-19.

263
kan tindakan-tindakan hukum mengenai bumi, air dan ruang angka­
sa, tetapi „menguasai” itu tidak berarti bahwa negara mendjadi
pemilik bumi, air dan ruang angkasa itu. Hak milik perseorangan
(individuil) atas benda-benda jang tidak bergerak tetap diakui—
lihatlah apa telah kami kemukakan dalam Bab V diatas tadi—■,
tetapi mendjalankan hak milik itu dibawah pengftivnsan teliti dari
fihak pemerintah.
Pengakuan penuh hak milik itu, sebagai sualu hak perseora­
ngan (individuil) terdapat dalam pasal 20 Undang-undang Pokok
Agraria. Ajat 1 menentukan bahwa „Hak milik adalah hak turun-
temurun, terkuat dan terpenuh jang dapat didjumpai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6” . Jang mendjadi
inti hak milik itu adalah „turun-temurun” — jang berhubungan
dengan ajat 2— , „terkuat” dan „terpenuh” . Kata-kata ini mengi­
ngat kita pada hak kepunjaan menurut pasal 570 K.U.H. Perdata,
tetapi kata-kata tersebut tidak boleh diartikan sedemikian, berhu­
bung dengan pembatasan dalam' kata-kata „dengan mengingat ke­
tentuan dalam pasal 6” , Oleh sebab itu ,,terkuat” dan „terpenuh”
tidak boleh diartikan sebagai „tidak terbatas” ’, seperti Iialnja de­
ngan hak kepunjaan dalam pasal 570 K.U.H. Perdata — lihatlah
diatas tadi.
Sifat keadaan dari hak milik ini kelihatan djuga dalam pasal
22 ajat 1, jang menentukan bahwa „Terdjadinja hak milik menu­
rut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah” .

Besit. ' i .
Pasal 529 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa „jang dimaksud
dengan besit ialah menguasai (houden) atau mengenjam kenikma­
tan sesuatu benda jang langsung atau dengan perantaraan orang
lain ditempatkan dibawah kekuatan njata (macht, feitelijke heer-
schappij) seseorang seolah-olah benda itu k e p u n j a a n n j a ” .
Tjontohnja : A menempati sebuah rumah. Di rumah itu ter­
dapat sebuah lemari. Oleh jang mendiami rumah itu pada waktu
sebelum A datang dikatakan, bahwa lemari tersebut bukan kepu­
njaannja. Walaupun A telah beberapa kali memasang iklan dalam
harian (surat kabar), masi'h djuga tiada seorangpun jang datang
ke rumahnja dan mengatakan lemari itu kepunjaannja. Pendeknja :
lemari tersebut ditempatkan dibawah kekuatan njata (feitelijke
heerschappij) dari A dengan tidak berdasarkan suatu hak kepunja-

264
an atau suatu perdjandjian simpan. Kekuatan njala inilali dilin­
dungi oleh hukum.
Jang m'end jalankan besit ialah subjek hukum jang pada ke-
njataannja mempunjai hak kuasa (djadi, suatu kekuatan njata)
alas sesuatu benda seolah-olah benda itu kepunjaannja sungguh-
sungguh. Bahkan, sekalipun jang mendjalankan besit tidak berhak
alas menempatkan benda itu dibawah kekuatannja, masih d juga
ia harus dianggap sebagai jang mempunjai sungguli-sungguh, se­
mentara benda tersebut tidak atau belum diminta kem bali oleh
jang sungguh-sungguh berhak, dengan perantaraan hakim. Maka
itu dapat dikatakan, bahwa besit mendjadi suatu perlindungan se­
suatu kekuasaan njata atas suatu benda (beseherming van een fei-
lelijke lieerschappij over een zaak) dengan tidak berdasarkan suatu
hak kepunjaan atau suatu perdjandjian dengan suatu subjek hu­
kum lain. Per.lindungan ini diberhentikan, apabila jang berhak
meminta kem bali kepunjaan dengan perantaraan hakim.
Djika besit itu didjalankan oleh subjek hukum berdasarkan
suatu hak kepunjaan, maka subjek hukum jang bersangkutan m e­
nguasai bendanja sebagai jang mempunjai sungguh-sungguh.
Djika besit itu didjalankan oleh subjek hukum berdasarkan per­
djandjian dengan suatu subjek hukum lain, maka subjek hukum
jang .kami sebut pertama menguasai benda jang bersangkutan ka­
rena detensi (detentie, houderscliap), jakni benda tersebut dikua­
sai oleh subjek hukum karena suatu hubungan-hukum (rechtsbe-
trekking) dengan suatu subjek hukum lain.
Walaupun besit dalam pasal 528 K.U.H. Perdata disebut: hak
atas sesuatu benda, masih djuga menurut pendapat kami besit itu
bukan hak, tetapi perlindungan suatu kekuatan njata (beseherming
van een feitelijke lieerschappij) 61 j ang oleh hukum diberi atas se­
suatu benda dan perlindungan itu tidak berdasarkan hak kepunjaan
maupun perdjandjian (overeenkom st). Perlindungan tersebut oleh
hukum diperlukan supaja subjek hukum lain tidak dapat dengan
begitu sadja menjerang kekuatan njata atas benda itu. Perlindungan
tersebut perlu supaja dapat ditjegah mengadili sendiri (eigen-
richting). Perlindungan tersebut djuga diteruskan, bilamana ben­
da jang bersangkutan, oleh karena sesuatu sebab, telah dikeluarkan
dari kekuatan njata dari jang mendjalankan besit itu setjara jang

61 Boleh dikatakan bahwa besit itu suntu peristiw aiinkum (rechtsfeit),


jakni suatu peristiwa jang menimbulkan hak. Lihatlah pasal-pasal 548
djli. K.U.H. Perdata.

265
b erten ta n gan dengan keliendaknja (lihailah pasal-pasal 550 dan 563
K.U.H. Perdata). Disini kelihatanlah lugas polisionil dari hukum.
Anggapan jang terdapat dalam sistim "K.U.H. Perdata menge­
nai besit berasal dari hukuni Romawi dengan perubahan dari v o 11
S a v i g n y dan v o n J h e r i n g. Buku kami ini tidak memberi
kesempatan untuk mendalami soal besit itu.
Besit dapat didjalankan setjara berdjudjur hati (te goeder
trouw), tetapi djuga setjara berakal buruk (te kwader trouw)
(pasal 530 K.U.H. Perdata). Besit jang didjalankan setjara berdju­
djur hati dapat membawa kepunjaan (eigendom) setelah liwatnja
suatu waku serta sjarat-sjarat jang ditetapkan oleh undang-undang
dipenuhi (pasal 1963 K.U.H. Perdata).
Hak-hak kebendaan lain jang disebut dalam K.U.H. Perdata
jang masih dapat dipakai sesudah berlakunja Undang-undang Po­
kok Agraria, adalah:

Hak pand (gadai).


Jang dimaksud dengan pand ialah suatu hak jang diperoleh
penagih atas suatu benda jang bergerak jang diserahkan oleh jang
berutang kepadanja sebagai tanggungan pembajaran utang itu. P e­
nagih berhak menagih (menggugat) pembajaran utang itu didahu­
lukan pada utang-utang lain (pasal 1150 K.U.H. Perdata) ü2.
Tjontoh: Karena A memerlukan uang maka ia m'emindjam
nang dari B pada tanggal 1 Djanuari 1953. Dalam perdjandjiau
pindjam ditentukan, bahwa uang itu akan dikembalikan kepada B
setelah tiga bulan, jaitu pada tanggal 1 April 1953, dan selama
utang belum dibajar maka B memegang arlodji A jang akan di­

62 Pand membawa kesukaran besar, apabila barang jang diperlukan se­


bagai alat produksi harus diserahkan kepada penagih. Dalam hal
demikian jang berulang tidak diberi kemungkinan memperoleh peng­
hasilan supaja dapat membajar utangnja. Agar dapat mengatasi ke­
sulitan tersebut, maka dalam praktek telah diperkembangkan suatu
lembaga hukum jang terkenal dengan nama fiduciaire eigendoms­
overdracht” . Lembaga hukum tersebut diterima oleh baik ilmu mau­
pun jurisprudensi.
Di samping „handboeken” mengenai hukuni perdata, lihatlah djuga :
J. J a r o l i m e k „Eigendom tôt zekerlieid” , dis. Utrecht 1956; Dr A.
Veenhoven „Eigendomsoverdracht tôt zekerlieid” , 1956; untuk
Indonesia : H. K a h r e 1 „Verruimd pandbegrip” disertasi Batavia
1926; P.E. K ü h 1 e r „Pandrechtsverruiming in Nederlandsch Indië” ,
disertasi Amsterdam 1938 ; karangan Mr T e n g T j i n g L e n g ,,„F i-
duciare eigendomsoverdracht” ” dari bangunan-bangunan dilapangan
hukum antar golongan” dalam madjalah „Hukum” , 1953, 4 /5 ,
hal. 12-17.

266
serahkan kepada B. Perbuatan penjerahan (levering — „terliand
stellen” ) arlodji tersebut kepada B menimbulkan suatu hak keben­
daan (dari B) alas arlodji itu. Hak ini disebut (hak) pand.
Andaikan pada tanggal 1 April 1953 utang itu tidak dibajar
oleh A. Setelah B memberitahukan kepada A bahwa utang itu be­
lum dibajar walaupun djangka pelunasan (aflossingstermijn) telah
liwat (pasal 1155 K.U.H. P erdata: „na eene sommatie tot voldoe-
ning” ), maka dapat ia mendjual arlodji itu dan dari d jumlah uang
jang diterima dari pembeli dapat diambilnja uang jang dahulu di-
pindjamkannja kepada A.
Dikatakan „B dapat mendjual arlodji itu” , karena B tidak
boleh m emilikinja (pasal 1154 K.U.H. Perdata). Andainja arlodji
itu harga Rp. 1000,— dan uang jang dipindjamkan kepada A lianja
Rp. 500,— besarnja, maka dalam hal demikian B wadjib menje­
rahkan sisanja ( = Rp. 500,— ) kepada A.
B harus mendjual arlodji itu di suatu tempat umum dan se-
tjara kebiasaan kedaerahan (in het openbaar naar plaatselijke ge-
woonten) (pasal 1155 K.U.H. Perdata).
Terketjuali kalau dalam perdjandjian pindjam ditentukan sja-
rat-sjarat lain, maka B dapat mendjual arlodji itu dengan tidak perlu
terlebih dahulu meminta idjin dari liakim. Dalam hal demikian
B m em punjai kekuasaan eksekusi langsung (parate executie) (pasal
1155 K.U.H. Perdata).
II ak hipotik.
Jang dimaksud dengan hipotik ialah hak kebendaan jang d i­
peroleh penagih (créditeur) atas sesuatu benda jang tidak bergerak
sebagai tanggungan untuk uang jang tlipindjamkannja kepada jang
m emilik (eigenaar) (pasal 1168 K.U.H. Perdata) benda itu. Penagih
berhak menagih (menggugat) pembajaran uang itu didahulukan
dari pada utang-utang orang lain (pasal 1162 K.U.H. Perdata; de­
finisi jang disebut dalam ketentuan ini tidak lengkap).
Pasal 1164 K.U.H. Perdata menjebut benda mana jang dapat
m endjadi objek suatu hak hipotik. Daftar ini tidak dapat diper­
luas (lim itatif). Di samping benda jang disebut dalam pasal 1164
K.U.H. Perdata ada djuga benda lain jang apat mendjadi objek
hipotik, karena undang-undang m'enjebutnja : kapal (pasal 314
K.UH. Dagang, pasal 510 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa ka­
pal m endjadi barang jang bergerak) dan, sebelum berlakunja Un-
dang-undang Pokok Agraria, tanah jang tunduk pada hukum kepu-
njaan agraria (agrarisclie eigendom).

267
Antara panci dan hipotik ada perbedaan sebagai berikut :
1. pand mengenai benda jang bergerak sedangkan liipotik me-
nenai benda jang tidak bergerak.
2. dalam hal pand benda itu dalam tangan penagih (créditeur)
sedangkan dalam hal liipotik benda itu dalam tangan dari jang
berutang ( debiteur).
3. dalam hal pand penagih dapat diberi kekuasaan eksekusi lang­
sung (parate executie) sedangkan dalam hal hipotik penagih ha­
rus terlebih dahulu meminta idjin hakim bilamana ia hendak
mendjual (pasal 1173 ajat 1 K.U.H. Perdata) benda jang di­
berati dengan hipotik itu (pasal 1173 ajat 2 K.U.H Perdata
memberi kepada penagih kemungkinan diberi kekuasaan ekse­
kusi langsung dengan sjarat kekuasaan itu ditegaskan dalam
daftar liipotik).
Baik pand maupun hipotik kedua-dnanja adalah hak kebenda-
an jang bertudjuan memberi kepada penagih tanggungan supaja
uang jang dipindjamkan akan dikembalikan oleh jang berutang.
Maka dari itu pand dan liipotik diberi nama h ah hcbemlaan jang
menanggung (hak kebendaan jang memberi tanggungan) (zakelijk
zekerheidsrecht).
Baik pand maupun hipotik tidak berdiri tersendiri (zelfstan-
dig). Sesudah uang jang dipindjam oleh jang berutang dikem bali­
kan, maka dengan sendirinja pand atau hipotik jang bersangkutan
dihapuskan. Pand dan hipotik mendjadi hak jang hanja ditim bul­
kan karena suatu hak lain telah ada. -Hak lain tersebut adalah hak
penagih untuk menagih (menggugat) uang jang dipindjanlkannja
itu dari tangan jang berutang. Hak pand dan hak hipotik men­
djadi (hak jang memberi) tanggungan bagi penagih supaja uang
jang dipindjamkannja akan dikembalikan oleh jang berutang. B i­
lamana uang itu telah dikembalikan, maka dengan sendirinja tidak
perlu lagi adanja tanggungan, jaitu dengan sendirinja hak pand
dan hak hipotik dihapuskan, karena hak menagih dari penagih
tidak ada lagi. Maka dari itu pand dan hipotik diberi nama Jiah
asèsor (accessoire rechten), jakni hak jang terletak pada suatu hak
lain. Sesudah hak lain itu tidak lagi maka dengan sendirinja hak
asèsor lenjap djuga.
Apabila jang berutang djatuh kedalam keadaan palit (kepali-
tan), maka baik jang memegang pand maupun jang memegang h i­
potik dapat menagih (menggugat) pembajaran uang jang dipin-

268
djamkannja didahulukan dari pada utang utang orang lain (pasal
56 ajat 1 Peraturan Kepalitan (Faillissenientsverordering), L.N.H.B.
1905 ]\a 217 jo 1906 Nr 348) 63.
Dialas ladi lelah kami ijatal bahwa menurut konsiderans Uu
dang undang Pokok Agraria, maka sesudah berlakunja Undang-
undang Pokok Agraria, ketentuan ketentuan dalam K.U.II. Perdata
nu'iig'.-nai hipotik lelap berlaku. Hal ini ditegaskan lagi dalam
pasal 57 Undang undang Pokok Agraria, jang mengatakan bahwa
„Selama undang undang mengenai hak tanggungan lersebut dalam
pasal 51"’ — pasal 51 ini berbunji : „Hak tanggungan jang dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangu­
nan ............... diatur dengan undang-undang” — ,belum terbenluk,
maka jang berlaku ialah ketentuan ketentuan mengenai hypotheek
tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai jang telah
diubah dengan S. 1937-190” .

Hak „credietverband” 6‘i.


Pasal 1 jo pasal 3 L.N.H.B. 1908 Nr 542 mengatakan apa jang
dimaksud dengan, serta mendjadi objek „credietverband . Hak
„credietverband” itu — seperti pand, hipotik dan „oogstverband
— m endjadi (a) hak asesor, (b) hak jang menanggung, (e) hak
jang memberi kepada penagih kekuasaan untuk menggugat pem-
bajaran uang jang dipindjamkannja, didahulukan dari pada utang
utang orang lain (belum disebut dalam pasal 56 Peraturan Kepa­
litan) .
Peraturan „credietverband” itu hukum ordonansi bagi orang
Indonesia .asli (pasal 131 ajat 2b I.S.). Djadi, „credietverband se-
belulnja bukan hukum Eropah : „credietverband” adalah hukum
tertulis jang bukan-Eropah. „Credietverband” tersebut terkenal
d juga dengan nama „Inlandse hypotheek” (hipotik Indonesia).
63 Mengenai g a d a i t n n a li menurut hukum adat li h a t l a h t e r H a a r,
h a l . 93 djl). Peinbat ju a n c h i i s u s : S o e b r o t o „ I n d o n e s i s c h e sa -
w a h v e r p a n d i i i g ” , d i s . Leidcn 1925; Mr H. G u y t „ G r o n d v e r p a n d i n g i n
Minangkabau” , d is . Batavia 1936; Mr A. K n o 11 e 11 b e 1 1 „Ver-
p a n d i n g e n z e k e r h e i d s s t e l l i n g in d e n Oost-Prcanger” , dis. Batavia 1937.
64 Advies Inlandsche Hypotheek Commissie dalam „Koloniale Studien” ,
1934, hal. 9 8; keputusan Landraad Salatiga 14 Oktober 1936, T.
150 hal 682, dengan tjalatan Prof. W e r t h e i m ; Mr J.E.A.M. B u f -
f a r t „Failli ssement cn credietverband” , dalam T. 151 hal 694, de­
ngan „nasehrift” Prof. Mr W.F. W e r t h e i m ; Prof. Mr J. v a n
K a n „V oorrang bij credietverband” dalam T. 122 hal. 527; G o u w
G i o k S i o n g „Hukum agraria antargolongan” , 1959, hal. 112-120.

269
U n d a n g -u n d a n g Pokok Agraria tidak mcnjinggung tentang ber­
laku atau tidak berlakunja peraturan mengenai „oogstverband”
jang djuga mendjadi suatu hak kebendaan jang menanggung dan
penggantinja — jaitu kalau diperlukan suatu pengganti (lihatlah
pasal 51 U ndang undang Pokok Agraria) — belum ditentukan. Apa­
kah hak „oogstverband” itu untuk sementara waktu masih dapat
dipakai ?

Hak „oogstverband 6o.


Pasal 1 L.N.H.B. 1836 Nr 57 mengatakan apa jang dimaksud
deno-an serta mendjadi objek „oogstverband” . „Oogstverband”
adalah hak kebendaan atas hasil-hasil pertanian jang mentah, baik
jung belum dipotong maupun jang sudah dipotong, dan atas alat-
alat perusahaan jang dipakai untuk mengusahakan liasil-hasil per­
tanian jaug mentah itu, supaja mendjadi tanggungan bagi subjek
hukum jang telah menindjamkan uang, bahwa uang jang dipin-
djamkan itu dibajar kembali. Dalam hal jang berutang tidak da­
pat melunaskan utangnja, maka hasil-liasil pertanian serta alat-alat
perusahaan tersebut diserahkan kepada penagih daii penagih akan
mendjual benda benda itu setjara komisi (verkoop in commissie).
Dari hasil peudjualan dapatlah penagih mengambil'uang jang da­
hulu dipindjamkannja. Hak „oogstverband” itu — seperti pand dan
hipotik — mendjadi (a) hak asesor, (b) hak jang menanggung,
(c) hak jang memberi kepada penagih kekuasaan untuk menggugat
pembajaran uang jang dipindjamkan, didahulukan dari pada
ulang utang orang lain (pasal 56 ajat 3 Peraturan Kepalitan).
Hak-hak kebendaan lain jang tertjantum dalam Undang-un­
dang Pokok Agraria adalah 66 :

65 Bapak djiwa (geestelijke vader) „oogstverband” ialah Prof. Mr J.P.


M o 1 t z c r,
Pembatjaan : Prof. Mr J.P. M o 1 1 z e r „Nederl. Ind. Landbouwcre-
diet” , 1886; Handelingen Nederl., Juristen Ver. tahun 1887 (anggapan
Prof. M o 1 1 z e r, Mr J.A. L e v y dan Mr F.B. C o n i n c k L i e f ­
s t i n g ) ; Mr WUV. d e L a a l d e K a n t e r „Oogstverband” , di­
sertasi Leiden 1889; Mr H. d e V i s s e r „Oogstverband en land-
bouwcrediet” , disertasi Groningen 1893; J.F. W i j e r s „H et oogst­
verband” dalam mac\jalah „D e Handel” tahun 1915, hal. 151; G o u w
G i o k Si o n g „Hukum agraria antargolongan” , 1959, hal. 103-112.
66 Prof. Mr Dr G o u w G i o k Siong „Tafsiran Undang-undang
Pokok Agraria” , 1960.

270
Hak guna-usaha.
Pasal 28 ajat 1 mengatakan bahwa „H ak guna usaha adalah
hak untuk mengusahakan tanah jang dikuasai langsung oleh Nega­
ra, dalam djangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,
guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan” . Pasal 29
tersebut menentukan djangka djangka waktu (termijnen) berlaku-
nja hak guna-usalia itu.
Karena tanah jang hendak dibebani dengan hak guna-usaha itu
dikuasai langsung oleh negara, maka djuga pemerintahlah jang
m emberi hak guna-usalia tersebut. Pemberian liak guna-usaha itu
hanja diadakan untuk suatu tudjuan tertentu: untuk mendjalankan
„perusahaan pertanian, perikanan dan pertenakan” , dan hanja atas
tanah jang luasnja paling sedikit 5 liektar (ajat 2 pasal 28).
Perlu diperhatikan bahwa orang asing tidak dapat memper­
oleh hak guna-usaha itu, dan badan-ibadan hukum jang bermodal
asing hanja dapat memperolehnja dalam lial „diperlukan oleh
undaug-undang jang mengatur pembangunan nasional semesta”
(ajal. 2 pasal 55).
Pasal 33 menentukan bahwa „Hak guna usalia dapat didjadi-
kan djaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan” .
Boleh dikatakan bahwa hak guna-usalia ini mengandung banjak
persamaan dengan „erfpacht” dahulu.

Hak guna-bangunan.
Pasal 35 ajat 1 mengatakan bahwa „Hak guna-bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan meiiipunjai bangunan-bangunan atas
tanah jang bukan miliknja sendiri, dengan djangka waktu paling
lama 30 tahun” .
Hak ini mengandung banjak persamaan dengan hak opstal
dahulu 67.

67 Di Indonesia dalinlu di sumping hak opstal itu, terkenal djuga suatu


maljani istim.nva pemisahan horisontal kepuujaan dalam dua bagian,
jaitu lembaga hukum jang terkenal dengan nama Bataviase grond-
h u u r Menurut lembaga hukum ini penjewa dapat mempunjai (e i­
gendom ) sebuah rumah diatas tanah dari ja.ng menjewakan, berda­
sarkan perdjandjian sewa dan tidak berdasarkan opstal. „Bat.. grondh.”
ini telah mendjadi suatu lembaga hukum historis, karena pada waktu
sekarang tiada kemungkinan lagi mengadakannja. Selandjutnja, „Bat.
grondhT” ini bukan hak kebendaan tetapi suatu hak relatif dengan
anasir-anasir kebendaan (zakelijke elementen), „Bat.. grondli.” diberi
perlindungan dalam „W oonerfordonnanlie” , L.N.H.B. 1918 Nr 287
(pasal 1).. Lihatlah djuga dua „explieatie-verordeningen” dalam L.N.
H.B. 1834 Nr 41 dan L.N.H.B; 1836 Nr 46.

271
Djangka waktu paling lama 30 tahun itu dapat diperpandjang
dengan ajangka waktu paling lama 20 tahun (ajat 2 pasal 35).
Berlainan dengan hak guna-usaha maka tanah jang dibebani
-dengan hak guna-bangunan itu bukanlah tanah jang dipakai untuk
melakukan usaha pertanian, perikanan atau peternakan. Oleh sebab
itu hak guna bangunan itu dapat diberi atas tanah jang langsung
dikuasai oleh negara maupun tanah jang mendjadi milik seorang
partikelir (lihatlah pasal 37).
Pasal 39 menentukan bahwa „Hak guna-bangunan dapat didja­
dikan djaminan liutang dengan dibebani hak tanggungan” .

Hak pakai.
Pasal 41 ajat 1 merumuskan hak pakai itu sebagai berikut :
„Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau m e m u n g u t
hasil dari tanah jang dikuasai langsung oleh Negara atau tanali-
milik orang lain, jang memberi wewenang dan kewadjiban jang
ditentukan dalam keputusan pemberiannja oleh pedjabat jang ber­
wenang meinberikannja atau dalam perdjaudjian dengan pemilik
tanahnja, jang bukan perdjandjian sewa-menjewa atau perdjandji-
an pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
d jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini” . Dari definisi
ini terang bahwa hak pakai ilu adalah hak untuk menggunakan
dan memungut hasil tanah jang mendjadi milik orang lain atau
tanah jang dik-uasai langsung oleh negara.

Pembatjaan : dua prae-advies untuk Nedcrl.. Ind. Juristcn Congrcs


tahun 1933 dari Mr C. S t a r N a u t a C a r s t e n dan Mr J.
V e r w e r „D e horizontale scheiding van den eigendom naar Nedcr-
landsch-Indisch Europeesch recht” dalam T. 138 hal. 189 dan
2 39; „Handelingen” Congres dalam T. 138 hal.. 1065; disertasi
(Batavia 1934) Mr J. V e r w e r „D e Bataviasche Grondhuur” ; Mr
C. S t a r N a u t a C a r s t e n „Bataviasche grondhuur cn huurover-
dracht” dalam T. 139 hal. 3 2; Mr A., J a n s e n „Bataviasche grond­
huur op Ternate” dalam T. 139 hal. 575-'590; Mr L c r a a i r c „E cn
opmerking betreffende de woonervcnordonnantie” (dengan djawaban
Mr C. S t a r N a u t a C a r s t e n ) dalam T., 141 hal. 449 dan 462,
dan T. 14-2 hal. 1 dan 7. „Bat. grondh.” mengingat kita pada moger-
sari atau numpang dalam hukum adat. Lihatlah t e r H a a r, hal.
115. G o u w G i o k Siong („M asa(a)lah agraria” , 1960, hal.
57) : Kita dapat pula mengatakan bahwa dalam hukum adat seolah-
olah lebih tegas prinsip daripada pembatasan hak milik setjara hori-
zonlaI ..................... Pemilikan daripada tanah tidak dengan sendirinja
harus membawa pula pemilikan daripada apa jang dibangunkan atau
ditanam diatas tanah itu” . Lihatlah djuga G o u w G i o k Siong
„H ukum agraria anlargolangan” , 1959, hal. 12, 42, 115.

272
Batas djangka waktu dilakukannja liak itu tidak ditentukan
(ajat 2 pasal 41).
Bedanja dengan hak gunausalia adalah liak pakai itu tidak
hanja diheri untuk melakukan perusahaan pertanian, perikanan
dan peternakan sadja. Perbedaan jang kedua adalah hak pakai
ini djuga dapat diberi atas tanah jang lebih ketjil dari pada 5
hektar.

Iluh sewa untuk bangunan.


Pasal 44 ajat 1 mengatakan bahwa „Seseorang atau suatu ba­
dan hukum m'empunjai hak sewa atas tanah, apa bila ia berhak
mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan
dengan membajar kepada pemiliknja sedjumlah uang sebagai sewa” .
Kelihatan dari definisi hak sewa untuk bangunan ini bahwa
hak sewa untuk bangunan adalah sematjain hak pakai jang chusus
jang mengingatkan kita pada „Bataviase grondliuur” daliulu 6S.

Hak membuka-tanah dan memungut hasil hutan.


Hak ini akan diatur lebih landjut dengan peraturan Pemerin­
tah (pasal 46 ajat 1).
Pasal 4 ajat 3 menentukan bahwa „selain liak-hak atas tanah
.................... ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa .
Hak-liak atas air dan ruang angkasa itu disebut dalam ajat 2 pasal
16, jaitu :

Hak guna-air.
Menurut ajat 1 pasal 47 hak guna-air itu adalah „hak mem­
peroleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu
di atas tanah orang lain” .
Hak ini mengingatkan kita pada hak servitut dahulu.

Ha k-pemeliharaan dan penangkapan ikan.


A jat 2 pasal 47 menentukan bahwa „Hak guna-air serta peme­
liharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerin­
tah” .

63 Lihatlah noot 67,

273
Hak guna-ruang angkasa.
Menurut ajat 1 pasal 48 hak guna-ruang angkasa itu „m em beri
wewenang unluk mempergunakan tenaga tlan unsur unsur dalam
ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembang­
kan kesuburan bumi, serta kekajaan alam jang terkandung dida-
lamnja dan lial-hal lainnja jang bersangkutan dengan itu” .
Menurut ajat 2, maka hak ini akan diatur lebih landjut de­
ngan peraturan Pemerintah. ,
Perlu kami kemukakan bahwa ternjata bagian besar dari hak-
hak atas tanah jang tersebut dalam Undang undang Pokok Agraria
adalah hak-hak jang mengandung banjak unsur-unsur hak keben­
daan Barat.
Undang-undang Pokok Agraria tidak mentjabut berlakunja
L.N.H.B. 1899 Nr 214 („Indische Mijnwet” , mulai berlaku pada
tanggal 1 Mai 1907) dan L.N.H.B. 1930 Nr 38 („M ijnordonnantie
1930” ) 6!>. Tetapi telah dibuat beberapa peraturan baru dengan
maksud mengganti konsesi lambang menurut „Indische Mijnwet ’
itu dengan suatu hak baru — kuasa pertambangan — jang ada dalam
tangan pemerintah (peraturan Pemerintah pengganti undang-un­
dang ih. 1960 Nr 37, L;N. 1960 Nr 119, dan peraturan Pemerintah
pengganti undang undang th. 1960 Nr 44, L.N. 1960 Nr 133) ™.

69 Mengenai konsesi tambang menurut „Indische Mijnwet” lihatlah ring­


kasan dalam buku K l e i n t j e s „Slaatsinstclluigcn” , II, hal. 489-
498,
70 Sedikit tentang beberapa Iiak hak atas tanah jang lidak lagi dipakai :
Biarpun liuk berdasarkan ,,c o n v e r s ie b e s c lu k k in g 5 (L .I V .H .B . 1 9 1 8 INr
21 jo Nr 22 (vcrklaring van het reclit van den landbouwondernemer
in de gewesten Soerakarta en Djokjakarta tot zakelijk reclit) dan
„landerijen bezitrecht” (L.N.H.B. 1913 Nr 702) tidak lagi dipakai,
masih djuga __ ditindjau dari sudut sedjarah hukum — adalah baik
sekali untuk menjebut pembaljaan tentang hak-hak itu.. „Conversie-
besehikking” mengadakan suatu gedjala hukum (rechtsversehijnsel,
rechtsfiguur) istimewa : suatu hak kebendaan menurut hukum Eropah
jang berupa „erfpaclit” diatas suatu hak bumiputera (hak „doinein”
dari daerah swapradja jang bersifat hak adat) ! Pembatjaan mengenai
„grantreclit” jang tidak di„convcrsie” kan maupun jang di„conversie” -
kan („grantreclit” dan „landbouwconcessie” ini ada jang di„conver-
sie” kan dan ada jang tidak di„eonversie” kan) : Mr K. v a 11 II i 11 -
I o o p e n L a b b e r t o n „D e Indische Landbouwconcessie” dalam „D e
Indische Gids” , 1903, II, hal. 1281 djb., 1640 djb., 1819 djb.,; Mr H.J.
B o o 1 „D e landbouwconcessies in de residentie Oostkust van Sumatra” ,
1903; Mr Ph. K l e i n t j e s „Over ecn wettelijk fragment van het inter-
gentiel reclit” dalam „Rechtsgelcerd Magazijn” , 1919, hal., 51 d jb .;
bantahan dari Mr C.A., W i e n e c k e „Zakelijke rcchtcn op Zelfbe-
stuursgronden ? ” dalam „Rechtsgeleerd Magazijn” , 1920, hal. 316,
lihatlah djuga karangan Mr W i e n e c k e dalam „Sumatra Post”
tertanggal 2 Maret 1917; G. J a n s e n „D e grantrechten in Deli” ,
1925; „Encyl. van Ned, Indie” , VI (supplem ent). Pada tahun 1920

274
3b
Perlindungan barang tjiptaan orang diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan :
timbul keraguan apakah „grantrecht” jang tidak di„conversie” kan
dapat mcndjadi objek tanggungan kredit. Berhubung dengan lial ini
lihatlah keputusan Raad van Justitie Medan tertanggal 28 Desember
1923, T. 126, hal. 1 djb., dan keputusan Hoog Gerechtshof tertanggal
28 April 1927, T.. 126, hal. 17 djb. (dengan tjatatan Prof. K o l l e -
w i j n ) . Lihatlah djuga keputusan Hoog Geresclitshof tertanggal 16
Februari 1933, T. 137, hal. 396, dan „Noodordonnantie” (ordonnansi
darurat), L.N.H.B. 1927-Nr 522. Ahirnja, sebagai penibatjaan umum
tentang „conccssie” dan „erfpacht” dapat djuga disebut disertasi
Dr J.C.W. L e k k e r k c r k e r „Concessies en erfpachten voor land-
bouwondcrnemingen in dc buitengewesten” , Amsterdam 1928.
Jurisprudensi sesudah Perang Dunia II : keputusan Mahkamah Agung
tertanggal 6 Djuli 1955 dalam „Hukum” , 5 /6 , hal. 19-22; kepu­
tusan Mahkamah Agung tertanggal 7 Agustus 1956 dalam „Hukum
1957, 3 /4 , hal. 2 4 ; beberapa tulisan jang paling aliir : G o u w
G i o k S i o n g „Beberapa tjatatan sekitar perubahan-perubahan
hukum tanah antargolongan,, dalam „Hukum” , 1957, 7 /8 , ehusus
hal. 14-17, dan „H ukum agraria antargolongan” , 1959, hal. 24, 29-
3 7 ; Mr S.A. A m i n „Sedikit tentang „„H ak grant” ” dalam , , Hu­
kum ” , 1958, 1 / 2 ; hal. 15-20; M o c n t o h a „Hak-hak „„grant” ”
di Sumalcra Tim ur” dalam madjalah „Agraria” , I, 1 (Maret 1958).
Penibatjaan mengenai agraria di daerah Surakarta dan Jogjakarta
(berhubung dengan hak berdasarkan L.N.II.B. 1918 Nr 21 jo Nr 22) :
P. d e R o o d e l a F a i l l e „W aarom 'dc Vorstcnlandsche agra-
risehe toestanden op Java dienden te worden hervormd” dalam
»T ijdsclirift voor Economische Geographie” , 14 (1 9 2 3 ), hal. 3 -5
d jb .; „T oclichtin g der nieuwe regeling omtrent de verkrijging 'a n
gronden voor Iandbouwdoeleindcn in de residenlien Soerakarta en
D jok jak an a ” , 1925; Mr J.H. H e s l i n g a „Schets van de agrarisehe
wetgeving in de Javnanschc vorstenlanden” dalam „D e Indische Gids ,
1926, I, hal. 131 d jb .; K. S o e p o m o „D e rcorganisatie van het
agrarisclie stelsel in het gewest Soerakarta” , disertasi Leiden 1927,
dan „H et grondenrecht ter hoofdplaats Jogja na de reorganisaUe
dalam T., 128, hal. 1 djb. Mengenai pentjabutan hak ini sesudah Pe­
rang Dunia II : karangan „D e opheffing van de Vorstenlandse^con-
vcrsiereehten” dalam „Mededelingen Doc. burcau overzees recht’ , II,
5 (M ei 1 9 5 9 ); G o u w G i o k S i o n g „Beberapa tjatatan sekitar
perubahan-perubahan hukum tanah antargolongun” dalam madjalah
„H u ku m ” , 1958, 1 /2 , ehusus hal. 32-33, dan „M asa(a)lah agraria” ,
1959, hal. 35-38.
Tentang sifat hukum (rechtskaraktcr) „laiiderijenbezitreeht” lihatlah
tjatatan dibawah keputusan Hoog Gerechtshof tertanggal 7 Maret 1940
dalam T. 153, hal. 561. Dari tjatatan itu ternjata bahwa Prof. W e r t -
h e i m menganggap „landerijen-bezitrecht” itu suatu hak menurut
hukum Indonesia dan bukan hak menurut hukum Eropah, sedangkan
Mr E.A. Z o r a b masih djuga melihatnja sebagai suatu hak me­
nurut hukum Eropah jang mengandung perketjualian-perketjua-
lan jang bersifat hukum adat» Hoog Gerechtshof melihat „landcrijen-
bezitrecht” itu sebagai suatu hak menurut hukum Indonesia jang
harus didjual sesuai dengan peraturan-peraturan hukum adat lokal.
Lihatlah G o u w G i o k S i o n g „Beberapa tjatatan” dalam ma-
djalah „H u ku m ” , 1957, 7 /8 , ehusus hal. 17-19; „Hukum agraria
antargolongan” , 1959, hal. 22, 47-51.

275
1
j. (Hak) Pengarang tahun 1912, L.N.H.B. 1912
U n d a n g-u n da n g

Nr 600 71. Peraturan ini mencljadi pelaksanaan nasional suatu


traktat jang bernama Konvensi Bern (dari tahun 1886, pada
tahun 1908 Konvensi tersebut diperbarui di kota Berlin, pada
tahun 1928 diperbarui lagi di kota Roma). Menurut H a r j o ­
to J u d o a t m o d j o (SekertarisD jenderal Departemen
Penerangan), dalam karangannja „Hak Tjipla dalam Teori dan
Praktek” jang ditempatkan dalam „buku Peringatan Dies Na-
talis ke-VII Senaat Mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengeta­
huan Masjarakat Universitas Indonesia” , 1957, hal. 39, 87-92
(chusus hal. 90), niaka Indonesia tidak terikat oleh Konvensi
Bern ini ! Hukuman atas pelanggaran hak pengarang disebut
dalam bab II dari undang-undang tahun 1912 itu dan dalam
pasal 380 K.U.H. Pidana.
2. Undang-undang (Hak) Oktroi tahun 1910., L.N.H.B. 1922 Nr
54 : mendjadi berlaku di Indonesia setelah diperbarui di Ne­
geri Belanda 72. Peraturan in didasarkan atas suatu traktat,
71 Mr J.C,T. S i m o'r a n g k i r „H ak tjipla atas semua hasil tjiptaan” ,
1961.
72 Menurut pendapat pemerintah — dan pendapat ini logis dan konse-
kwen __ maka Undang-undang Oktroi tidak berlaku lagi di Indonesia
sedjak Pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian djuga tidak berkuasa
Dewan Oktroi di Negeri Belanda (Nederlandsche Octrooiraad). Li­
hatlah L e m a i r e hal. 144 noot 2.
Tetapi bagaimanapun djuga hak oktroi tetap dilindungi oleli pasal
1365 K.U.H. Perdata, jaitu apabila oktroi terdaftar disini. Perlindu­
ngan hak oktroi itu perlu, karena Uni Paris (L.N. Belanda 1948 (I )
Nr 83 jo Nr 539) — djuga telah pada djaman kolonial — mengikat
Indonesia. Pemerintah sekarang sedang membuat suatu undang-undang
oktroi dan kemungkinan untuk permohonan sementara pendaftaran
oktroi ada pada Departemen Kehakiman di Djakarta (Pengumuman
Menteri Kehakiman tertanggal 12 Agustus 1953 Nr J.S. 5 /4 1 /4 , Be­
rita Negara 1953 Nr 69) (Prof. S o e k a r d o n o dalam kata pe­
ngantar bukunja „Hukum dagang Indonesia” , 1958, I, 1, hal. 3 :
„Hanja sajung amat hingga sekarang (16 Agustus 1958, ketika saja
mendengarnja dengan tilpon dari Kepala Kantor Milik Perindustrian
dan Oktroi sendiri) belum sadja diadjukan Bcntjana baru mengenai
Undang-undang Oktroi oleh Pemerintah kepada D.P.R., ................ ” )
I’ embatjaan mengenai oktroi, hak merek dan (hak) nama perniagaan:
Prof. Mr B.M. T e 1 d e r s dan Mr C. C r o o n „Nederl. Octrooireelit” ,
1946; Mr W.H. D r u c k e r (disadur oleh Mr G.H,C. B o d e n -
Ii a u s e n ) „K ort begrip van het recht betreffende den industriclen
eigendom” , 1954; Mr S o n j a B o e k m a n „D e handelsnaamwet” ,
1956; Mr A. N e y t z e l d c W i l d e „Handelsregister en handels-
naam” , T. 112, bal. 1-16; Prof. K o l l e w i j n „Reglement Indus-
trieele Eigendom Kolonien” dalam T. 124 hal. 357 djb., dan „M ei-
kenrecht. Gelijksoortigheid van waren” dalam T. 130, hal. 550 d jb.;
pidalo diés Prof. Mr J. Z e y l e m a k e r J z n „D e beseherming van
merk en octrooi onder de huidige commerciele verhoudingen” , Ba­
tavia (Djakarta) 1938 („bespreking” Mr W.F.C, v a n II a t t u m

276
jailu Uni Paris (dari tahun 1883, diperbarui di kota Brussel
pada tahun 1900, diperbarui di kota Washington pada tahun
1911, diperbarui di kota ’s Gravenhage pada tahun 1925, diper­
barui di kota London pada tahun 1934). Berlaku d juga „Re-
glement Industrieele Eigendom Kolonien, L.N.H.B. 1912 Nr 545
jo 1913 Nr 214 dan ,.Ordonnantie buitengewone voorzieningen
industrieele eigendom 1948” , L.N.H.B. 1948 Nr 55.
3. Perlindungan hak merek ( tjap) diatur dalam Undang undang
Nr 21 tahun 1961 tentang „Merek Perusahaan dan Merek Per­
niagaan” , L.N. 1961 Nr 290. Undang-undang ini lelah mengganti
peraturan tentang merek dalam „Reglement Industrieele Eigen­
dom K olonien” dan „Ordonnantie buitengewone voorzieningen
industrieele eigendom 1948” 7S.

K arena barang tjiptaan seseorang merupakan bagian kekajaan-


nja, maka hak atas barang tjiptaan orang dapat dimasukkan djuga
kedalam golongan hak alas kekajaan.

II- H a k relatif (nisbiJ.

Hak relatif dapat dibagi dalam 3 golongan : hak publik relatif,


hak keluarga relatif dan hak kekajaan relatif.
H a k p u b lik rela tif, m isa ln ja, h ak dari negara u n tu k m en gh u k u m
p e la n g g a r m en u ru t un dan g-u n d an g p id a n a 74, h a k dari negara
u n tu k m em u n gu t p a d ja k , bea dan tju k a i (pasal 23 ajat 2 U .U .D .;
rasai 117 u n d a n g u n d a n g dasar sem entara tahun 1950 dah u lu le b ih
lu a s ). H a k -h a k tersebut m e n d ja d i h ak rela tif karena h a n ja d ap at
d id ja la n k a n terh a d ap seoran g (su b je k h u k u m ) tertentu, ja k n i te r­

dalam T. 150, hal. 6 8-71 ). Penting d ju g a : Mr E.O. baron v a n


Boetselaer „Eenige opmerkingen naar aanlciding van liet nieu-
Hc ontwerpverdrag lot beseherming van den wetcnscliappelijken ei­
gendom ” dalam T. 132, hal. 342, dan Mr A. B i i c l i e n b a c h e r
„D e strafrechtelijke bestrijding der oneerlijke mededinging” dalam
T. 138, hal. 313 djb. Bahasa Indonesia : Ph. H. E v e r s dan Mr
R.M. P o c s p o n e g o r o „Ilm u Hukum Oktroi” , 1954; Mr R., S o e -
kardono „H ukum dagang Indonesia” , 1958, I, 1, hal. 100 djb.
^3 Untuk keadaan sebelum berlakunja „Undang-undang Merek tahun
1961” lihatlah lebih landjut Prof. S o e k a r d o n o , hal., 113-115,
bukunja jang disebut pada noot 72 tadi; uraian sedikit tentang „U n ­
dang-undang Merek tahun 1961” ini dapat dibatja dalam So e-
gondo Soemodiredjo, S.li., „M erek perusahaan dan per­
niagaan” , 1963.
74 V a n A p e l d o o r n , hal. 175.
Lihatlah Bab I, par. 11, mengenai pembagian hukum dalam hukum
publik dan hukum privat.

277
hadap pelanggar (orang), terhadap jang wadjib membajar padjak,
bea atau tjukai.
Hak keluarga relatif, misalnja, hak jang disebut dalam pasal-
pasal 103 dan 104 K.U.H. Perdata.
Hak kekajaan relatif adalah semua hak kekajaan jang bukan
hak kebendaan atau hak barang tjiptaan manusia
Perlu dikemukakan disini perbedaan penting antara hak ke­
kajaan absolut dan hak kekajaan relatif : hak kekajaan absolut da­
pat didjalankan terhadap tiap orang lian (merupakan suatu „droit
de suite” ) dan merupakan sistim tertutup, sedangkan hak kekajaan
relatif lianja dapat didjalankan terhadap orang tertentu (bukan
„droit de suite” ) dan bukan sistim tertutup.
Dalam ilmu hukum hak kekajaan relatif biasanja disebut peru-
tangan (verbintenis). Oleh H o f m a n n - v a n O p s t a 1 7(i peru-
tangan itu dirumuskan sebagai „suatu pertalian menurut hukum ke­
kajaan antara dua fihak jang memberi kekuasaan (wewenang) ke­
pada fihak jang satu (jang disebut penagih) supaja menagih (meng­
gugat) fihak jang lain (jang disebut jang berutang) berbuat sesuatu,
tidak berbuat sesuatu atau memberi sesuatu (supaja berdjasa), se­
dangkan fihak jang lain tersebut oleh karena hubungan tersebut
wadjib melakukan apa jang dapat ditagih (digugat) oleh jang
berhak menagih (menggugat) itu dan biasanja bertanggungdjawab
atas segalanja” ( „ .................. een vermogensrechtelijke band tussen
twee partijen, kraehtens welke de een (schuldeiser of crediteur)
tot een prestatie gerechtigd is, en op grond waarvan de ander
(schuldenaar of debiteur) tot die prestatie verplicht is en in de
regel ervoor aansprakelijk is” .
Hukum benda (zakenrecht) (jang mengatur hak kebendaan)
serta hukum perutangan (verbintenissenrecht) (jang mengatur per-
utangan) bersama-sama merupakan hukum kekajaan (Vermögens­
recht), jaitu hukum jang mengatur status kekajaan subjek hukum.
Tjontoh tentang perutangan : A mendjual sebuah buku kepada
B. Dari perdjandjian djual-beli itu timbul dua perutangan :
a. perutangan jang memberi kepada A hak menagih (menggugat)
pembajaran dan mewadjibkan B membajar buku itu.
b. perutangan jang memberi kepada B hak menagih (menggugat)

75 V a n A p e l d o o r n , lial. 175.
76 Dr L. C. H o f m a n n - M r S.N. v a n O p s t a 1 „H et Nederlands
verhintenissenrecht” , I, 1948, hal. 3.

278
supaja buku itu diserahkan kepadanja dan mewadjibkan A me­
njerahkan buku itu kepada B.

Dari tjontoh ini ternjata bahwa perulangan bersumberkan per-


djandjian. Perdjandjian adalah sumber perutangan.
Tetapi menurut sistim IC.U.H. Perdata sumber perutangan itu
bukan hanja perdjandjian sadja.
Perutangan dapat timbul dari perdjandjian atau dari undang-
undang (pasal 1233 K.U.H. Perdata).
Perutangan jang timbul dari undang undang ada dua matjain
(pasal 1352 K.U.H. Perdata):

a. perutangan jang langsung timbul dari undang undang („uit


de wet alleen” )
b. perutangan jang timbul dari undang-undang karena perbuatan
manusia („uit de wet tengevolge van ’s menschens toedoen” ).

Tjontoh tentang perutangan jang langsung timbul dari undang-


undang dapat dibatja dalam pasal-pasal 321 djb. K.U.H. Perdata
(peraturan-peraturan mengenai alimentasi).
Perutangan jang timbul dari undang-undang karena perbua­
tan manusia dapat dibagi dalam (pasal 1353 K.U.H. Perdata):

a. perutangan jang timbul dari suatu perbuatan jang lajak („uit


eene regtniatige daad” )
b. perutangan jang timbul dari suatu perbuatan jang bertenta­
ngan dengan azas-azas hukum („uit eene onregtmatige daad” ).
Tjontoh tentang suatu perutangan jang timbul dari suatu per­
buatan jang lajak dapat dibatja dalam pasal 1354 K.U.H. Perdata
(zaakwaarneming, lihatlah diatas). Sebuah tjontoh lain : pasal 1359
ajat 1 K.U.H. Perdata : perutangan jang timbul dari suatu perbua­
tan jang dilakukan, walaupun jang melakukannja tidak wadjib
mendjalankan perbuatan itu (verbintenis uit onverscliuldigde be-
taling). A berutang kepada B. Pada tanggal 1 Djanuari 1953 A
niembajar utangnja dengan mengirim suatu wesel pos. Karena ia
lupa utangnja telah dilunasinja, maka pada tanggal 1 Mei 1953
mengirim lagi suatu wesel pos. Pembajaran 'jang kedua ini tidak
perlu dilakukan (bukan pembajaran dalam arti kata sungguh sung­
guh), nVaka dari itu A dapat meminta kembali uang jang dibajarnja
pada tanggal 1 Mei itu. Atau dengan kata lain : perbuatan pem-

279
bajaran-jang-tidak perlu — karena tidak ada kewadjiban menim
bulkan suatu perutangan jung menguasakan (memberi wewenang
kepada) jang bersangkutan (jang melakukannja) menagih kembali
apa jang diberinja karena perbuatan itu.
Perutangan itu dapat dimasukkan kedalam suatu rangka (sclie-
ma) buatan H o f m a n n - O p s t a l 71.

perutangan dapat timbul


(pasal 1233)
________________________!________________________

dari perdjandjian dari undang-undang


(pasal-pasal 1313 (pasal 1352)
djb.) ^

i
langsung dari undang-undang
i ,
dari undag-undang
(misalnja, pasal-pasal 321 karena perbuatan ma-
djb.) nusia (pasal 1353)
__ _______________________________ I
I
dari perbuatan lajak
I
dari perbuatan jang
(misalnja, pasal-pasal bertentangan dengan
1354, 1359 ajat 1) azas-azas hukum
(pasal 1365)
Keterangan ; pasal-pasal jang disebut adalah pasal-pasal K.U.II. Perdata.

Dalam buku-buku tentang hukum perutangan dikemukakan


bahwa perutangan itu mempunjai dua segi, jaitu segi aktif dan
segi pasif (actieve en passieve zijde der verbintenis). Jang merupa­
kan segi aktif ialah kekuasaan (wewenang) penagih untuk me­
nagih (menggugat) supaja jang berutang berbuat sesuatu, tidak
berbuat sesuatu atau memberi sesuatu. Hak penagih tersebut di­
beri nama hak menagih (vorderingsrecht). Jang mendjadi anasir
segi pasif ada dua buah 78 :
a. keivadjiban (utang, „Sehuld” ) dari jang berutang untuk mela­
kukan djasa („Leistensollen” ).
b. tanggungdjawab juridis (juridisehe aansprakelijkheid) dari
jang berutang atas kewadjiban tersebut.

77 Buku „H et Nederlands verbintenissenrecht” , I, 1948, hal. 23.


78 Dr L.C. H o f m a n n -M r S.N. v a n O p s t a l , buku sama, hal. 1.

280
Jang dimaksud dengan tanggungdjawab juridis itu hal apabila
jang berutang lidak memenuhi kewadjibannja, maka penagih —
dengan perantaraan hakim — dapat membeslah (beslag leggen op)
kekajaan dari jang berutang. Tanggungdjawab juridis ini biasanja
disebut „Haftung” 79.
Agar dapat memaksa jang berutang memenuhi „Schuld” -nja,
maka perlu ada „Haftung” . Kalau tiada „Haftung” , maka penagih
tidak dapat memaksa jang berutang melakukan suatu djasa (pres-
tatie) jang mendjadi kewadjiban dari jang berutang.
Djika tidak ada „Schuld” , maka tidak ada „Haftung” . Tetapi
„Schuld” tidak perlu senantiasa disertai „Haftung” . Adalah
„Schuld” tanpa „Haftung” . Adalah jang berutang jang berkewadji-
ban melakukan suatu djasa, walaupun tiada paksaan supaja ia me­
lakukan djasa itu. Dalam hal demikian penagih tidak mempunjai
suatu hak menagih. Penagih tidak mempunjai aksi (schuldeiser
zonder actie). Disini adalah suatu kewadjiban (dari jang berutang)
jang tidak disertai oleh suatu hak menagih (dari penagih) (schuld
zonder vorderingsrecht). Disebut djuga „kewadjiban tanpa peruta-
ngan” (schuld zonder verbintenis) atau „natuurlijke verbin-
tenis” so si.
Tjontoh tentang suatu „Schuld” tanpa „Haftung” terdapat da­
lam pasal 1783 K.U.H. Perdata. Menurut pasal tersebut, maka oleh
undang-undang tidak diberi suatu hak menagih kepada penagih
jang hendak menggugat peinbajaran utang jang disebabkan oleh

79 Mp A. P i t l o „Het verbintcnisscnrccht naar het Nederlands Burger-


lijk Wetboek” , 1952, hal. 18 : „Haftung wil zeggen, dat iemand het
moet gedogen, dat, wanneer liij niet aan zijn verplicliting voldoct, zijn
zaken daarvoor gorden uitgewonnen” (Haftung berarti bahwa apabila
sesuatu fihak tidak memenuhi kewadjibannja, maka ia wadjib me-
ngidjinkan fihak lain inembeslali kekajaan, sehingga kewadjiban ter­
sebut masih djuga dapat dipenuhi).
80 Lihatlah Mr P. A J . L o s e c a a t V e r m e e r „Verbintenissenreclit”
dalam serie A s s e r, Eerste Stuk, 1939, hal. 26. Tentang sifat „n a ­
tuurlijke verbintenis” ada dua anggapan. Kami tidak dapat menjetu-
djui anggapan L o s e c a a t V e r m e e r . Pembatjaan clvusus ten­
tang „natuurlijke verbintenis” : J-E. S c h o 1 t e n s „D e geschiedenis
der natuurlijke verbintenis sinds het Romeinsclie reclit” , dis. Amster­
dam 1931.
81 Menurut Hoge Raad di Negeri Belanda (keputusan tertanggal 12 Maret
1926, „Nederl. Jurisp.” 1926, hal. 777 (Bouwmeester G ou d a)),
maka „natuurlijke verbintenis” itu „eene verplicliting jegens een
ander, welke slechts berust op de voorscliriften van moraal o f het
fatsocii” (suatu kewadjiban terhadap seorang lain jang lianja ber­
dasarkan peraturan-peraturan kesusilaan) I Suatu perumusan luas
jang kemudian dibatasi (H oge Raad tertanggal 18 Febr.. 1938, „Ned.
Jur.” Nr 3 2 3 ).

281
perdjandjian main djudi dan taruhan. Kewadjiban dari jang ber­
utang dalam hal utang itu timbul dari suatu perdjandjian main djudi
dan taruhan, tidak diakui oleh hukum setjara memberi kepada
penagih suatu hak menagih.
A main bakarat dengan B. B kalah Rp. 2000,— . Djika B lidak
mau membajar, maka A tidak dapat memaksanja dengan peranta­
raan hakim. Apabila B dengan sukarela membajar, tetapi kemudi­
an — karena menjesal — mau menagih kembali uang itu, maka
uang tersebut tidak dapat ditagihnja kembali karena ia oleh hu­
kum tidak diberi kekuasaan untuk menagih (pasal 1791 Iv.U.H.
Perdata jo pasal 1359 ajat 2 K.U.H. Perdata).
Lihatlah pasal 1948 K.U.H. Perdata: liwat waktu dapat meng­
hapuskan „Haftung” , tetapi tidak dapat menghapuskan .,Scliuld” .
Lihatlah djuga pasal 155 Peraturan Kepalitan.

P a r. 4: Perdjandjian (p e r s e t u d j u a n ).

Dalam par. 2 dari bab ini telah dikatakan bahwa setiap per­
buatan hukum jang bersegi dua adalah suatu perdjandjian (pasal
1313 K.U.H. Perdata). Perdjandjian itu diadakan oleh kehendak
dua atau lebih fihak. Perdjandjian dapat dibagi dalam:

I. perdjandjian menurut hukum keluarga. Misalnja, perdjandjian


kawin (lihailah pasal 28 K.U.H. Perdala) jang menimbulkan
ikatan perkawinan antara seorang lelaki (suami) dengan se-
orang perempuan (isteri).
II. perdjandjian obligatur atau perdjandjian jang menimbulkan
perulangan. Perdjandjian obligatur adalah perdjandjian jang
menimbulkan suatu perutangan menurut hukum kekajaan.
Perdjandjian obligatur dapat dibagi dalam :

1. perdjandjian jang bersegi satu (eenzijdige overeenkomst)


2. perdjandjian jang bersegi dua (tweezijdige overeenkomst).

Suatu perdjandjian jang bersegi dua adalah suatu perdjandjian


jang menimbulkan kewadjiban untuk satu fihak sadja untuk
melakukan suatu djasa. Misalnja: pasal 1666 K.U.H. Perdata
mengenai pemberian (schenking). Pemberi hadiah wadjib
menjerahkan barang jang dihadiahkannja kepada jang dianu­
gerahi, tetapi jang dianugerahi tidak wadjib memberi uang atau
suatu bendi' lain kepada jang memberi hadiah itu, Djadi, jang

282
dianugerahi tidak wadjib melakukan suatu „contraprestatie” S2.
Suatu perdjandjian jang bersegi dua adalah suatu perdjandjian
jang menimbulkan kewadjiban untuk filiak jang satu maupun
jang lain untuk melakukan suatu djasa. Djadi, disini ada
„prestatie” dan „contraprestatie” . Tjoritolinja: pasal 1457 K.U.H.
Perdata mengenai djual-beli.
Pendjual wadjib menjerahkan barang jang didjualnja kepada
pem beli sedangkan pembeli wadjib membajar barang itu.
III. perdjandjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Suatu per­
djandjian kebendaan adalah suatu perdjandjian jang menim­
bulkan suatu hak kebendaan atau berdasarkan suatu perdjan­
djian kebendaan, maka fihak jang satu menjerahkan (leveren)
suatu hak kepada fihak jang lain.
Misalnja: perdjandjian penjerahan (leveringsovereenkomst,
tradisio. traditie). A m'endjual rumahnja kepada B. Perdjan­
djian djual-beli itu (jang merupakan suatu perdjandjian obli-
gatur) menimbulkan suatu kewadjiban bagi A untuk menje­
rahkan rumah jang telah dibeli itu kepada B. Dengan kata
lain: perdjandjian obligatur djual-beli itu membawa kewadji­
ban untuk kedua belah fihak supaja diadakan suatu perdjan­
djian kebendaan jang bermaksud menjerahkan benda jang
telah dibeli tersebut. Berdasarkan perdjandjian jang kedua ini,
nVaka hak kepunjaan A — jaitu rumahnja— diserahkan kepada
B. B m endjadi jang inempunjainja jang baru (nieuwe eigenaar).
Perdjandjian obligatur itu belum tjukup untuk menimbulkan
atau menjerahkan suatu hak kebendaan. Baru djika perdjan­
djian kebendaan— jang menjusul perdjandjian obligatur itu—
diadakan, maka baru hak kebendaan jang bersangkutan ditim­
bulkan atau diserahkan. Penjerahan itu merupakan suatu per­
djandjian, karena perlulah fihak jang menerima terlebih dahulu
m enjetudjui penerimaan dari apa jang akan diserahkan kepada-
nja oleh fihak jang lain. Penjerahan benda jang tidak bergerak
diatur dalam „Overschrijvingsordonnantie” , L.N.H.B. 1834 Nr
27. Karena „Overschrijvingsordonnantie” ini maka pasal-pasal
616-620, 696, 713, 720 ajat 2, 737 ajat 2, 760, 1171 ajat 1 dan
1172 K.U.H. Perdata jang mengenai penjerahan benda jang
tidak bergerak, tidak pernah didjadikan berlaku. Lihatlah
pasal-pasal 24 dan 48 „Overgangsbepalingen” (Peraturan

82 Pemberian itu perbuatan hukum jang bersegi dua (jan g dianugerahi


harus m enerim a), tetapi suatu perdjandjian jang bersegi satu.

283
Peralihan), L.N.II.B. 1848 Nr 10 (lihatlah Bah III, par. 2).
Karena „Overschrijvingsordonnantie” , maka , di Indonesia
— dalam hukum Eropah — masih berlaku tjara menjerahkan
benda jang tidak bergerak menurut hukum Belanda kuno
jang dilakukan pada waktu V.O.C. S3.
Sedjak tahun 1947 „Overschrijvingsambtenaar” adalah Kepala
Kantor Kadaster (Pendaftaran barang jang tidak bergerak).
Penting pula dikemukakan disini bahwa pada tahun 1952 di­
undangkan suatu peraturan istimewa mengenai penjerahan dan
pemakaian barang jang tidak bergerak, jaitu undang-undang
darurat tahun 1952 Nr 1, L.N. 1952 Nr 1 „tentang pemindahan
dan pemakaian tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnja
jang meinpunjai titel menurut hukum Eropah” . Pada tahun
1954 undang-undang darurat ini didjadikan undang-undang
biasa (L.N. 1954 Nr 78, jang mulai berlaku pada tanggal 2
Agustus 1954). Menurut pasal tunggal ajat 1, maka „setiap se­
rah pakai buat lebih dari setahun dan perbuatan jang berwu-
djud pemindahan hak, mengenai tanah-tanah dan barang-barang
tetap jang lainnja, jang mempunjai titel menurut hukum Ero­
pah hanja dapat dilakukan selelah mendapat idjin Menteri K e­
hakiman” 84 Lihatlah djuga pendjelasan dalam Tambahan L.N.
Nr 182. Pada tanggal 17 Desembr 1957 (L.N. 1957 Nr 163 —
jang memuat undang-undang th. 1957 Nr 76) L.N. L952 Nr 1 jo
L.N. 1954 Nr 78 ini mengalami perubahan. Pasal 1 peraturan
jang mengubah itu menetapkan bahwa „Perkataan „„M enteri
Kehakiman” ” dalam pasal tunggal ajat 1 dan ajat 3 Undang-
undang tentang Penetapan Undang-undang Darurat tentang Pe­
mindahan Hak Tanah-tanah dan Barang-barang tetap lainnja,

83 Mr A. N e y t z e l l d e W a I d e „W elke is de bewijskracht der


ingevolge art. 1 der Overschrijvingsordonnantie (Stb., 1834 - 2 7 ) op-
gemaakte eigendomsbewijzen praeadvies 1916; S. J a a r s m a
„Bewijsmiddelen van recht op grond” , disertasi Leiden 1918;
B. O c k e r s „In en overschrijving in Nederland en Nedcrlandscli-
Indie” , disertasi Leiden 1928.
84 Puda permulaan, kekuasaan untuk memberi idjin ini oleh Menteri
Kehakiman didelegasi kepada Djaksa pada Pengadilan Negeri, m e­
nurut surat kepulusan Menteri Kehakiman tertanggal 7 Djanuari 1952
Nr I.S. 5 /1 /1 9 . Kemudian, pada tanggal 1 November 1954 delegasi
kepada Djaksa ini diljabut kembali; jang memutuskan diberinja
idjin itu Menteri Kehakiman sendiri. Dari Djaksa hanja diminta ,fat­
wa” sadja. Lihatlah keputusan Menteri Kehakiman tertanggal 16
September 1954 Nr J.A. 1 0 /4 4 /1 4 . „Fatwa” Djaksa itu masih tetap
diminta pada saat sekarang.

284
jang bertakluk kepada Hukum Eropali sebagai undang-undang
(Undang-undang No. 24 tahun 1954) dan dalam pasal 1 ajat
1 serta pasal 2 ajat 3 Undang-undang tentang Pengawasan Ter­
hadap Pemindahan Hak atas Tanah-tanah Perkebunan (Undang-
undang No. 23 tahun 1956) diganti dengan perkataan „„M en­
teri Agraria” ” . Djadi, kekuasaan memberi idjin itu dipindah­
kan kedalam tangan Menteri Agraria, jang memutuskan sesu­
dah mendengar „fatwa” Djaksa 8 5 .
Bagaimanakah keadaannja sesudah berlakunja Undang-undang
Pokok Agraria? Menurut pasal 27 peraturan Menteri Agraria
1960 Nr 2 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-
Undang Pokok Agraria, maka „Sebelum ada peraturan penggan-
tinja maka berdasar atas ketentuan dalam pasal 58 Ketentuan-
ketentuan Peralihan Undang-undang no. 24 tahun 1954 (L.N.
1954-78) dan Undang-undang no. 28 tahun 1956 (L.N. 1956-73)
berserta peraturan-peraturan pelaksanaannja masih tetap berla­
ku terhadap hak milik, hak guna-bangunan dan hak guna-usaha
jang berasal dari konversi hak eigendom, hak opstal dan liak
erfpacht” .
Pasal-pasal 612 dan 613 K.U.H. Perdata meujebut tjara menje­
rahkan benda bergerak jang benvudjud dan tjara menjerahkan
perutangan serta benda jang tidak berwudjud jang lain.
IV. perdjandjian jang menghapuskan perdjandjian atau membe­
baskan subjek hukum dari suatu kewadjiban hukum (perdjan­
djian liberatur (liberatoir)). Misalnja: pembajaran, pasal-pasal
1382 djb. K.U.H. Perdata. Oleh karena pembajaran maka jang
berutang dibebaskan dari kewadjibannja untuk membajar
utangnja. Pembajaran adalah memenuhi kewadjiban 86.
85 Lihatlah karangan Mr W.H. G a l l a s dalam W.P.N.R. Nr 4260; ka­
rangan „D e noodwet bctreffende overdracht van door Europeanen-
reeln beheerst onroerend goed” dalam „Mededelingen v.h. Docunien-
tutieburcau voor overzees reclit” , 1952, hal. 3 3 ; „Verdere aante-
keningen bij de Noodwet 1952 No. 1 betreffende de overdracht en
het gebruik van grondstukken en andere onroerende goederen welke
beheerst worden door Europeanenrecht” (dengan tjatatan Mr G a l ­
las) dalam „M ed. v.h. Doc. bureau v, overzees reclit” , 1953,
hal« ■1 ; Prof. Mr R.D. K o 11 e w i j n „Is verguni'ng in de zin
van noodwet 1952 no. 1 vereist voor overdracht van grant-rechten ?”
dalam „M ed. v.h. Doc. bureau v., overzees recht” , 1952, hal. 79;
Gouw Giok S i o n g dalam madjalah „Hukum ” , 1957, 7 /8 ,
hal. 10-11 dan „M asa(a)lah agraria” , 1959, hal., 9-18; „Undang-un­
dang no. 24 tahun 1954” dalam madjalah „Agraria” , I, 1 (Maret
1 9 5 8 ), hal. 21 djb..
86 Lihatlah djuga Prof. M e i j e r s „Algemene leer van het burgerlijke
recht” , 1948, hal. 309 : „Classificatie der overeenkomsten” .
Pasal 1320 K.U.H. Perdata menjebut sjarat-sjarat jang harus
dipenuhi agar sesuatu perdjandjian dapat berlakxi sebagai sualu
perdjandjian sah.

Par . 5: Kekuasaan untuk mendukung hak dan


ketjakapan untuk b e r b u a t 87.

Setiap manusia berkuasa mendukung segala hak (de mens heeft


een onbeperkte rechtsbevoegdheid). Badan huktun hanja berkuasa
mendukung beberapa hak tertentu (de rechtspersoon heeft beperkte
rechtsbevoegdlieid), jaitu hak-hak jang terdapat dalain liukum keka-
jaan (Vermögensrecht) sadja.
Di samping pengertian „kekuasaan untuk mendukung hak”
ada pengertian lain jang tidak boleh dikatjaukan dengan pengertian
„kekuasaan untuk mendukung hak” tersebut. Pengertian lain itu
pengertian „ketjakapan untuk membuat” (handelingsbekwaamlieid).
Subjek hukum jang ,.tjakap untuk membuat” adalah tjakap m e­
laksanakan suatu perbuatan hukum. .
Walaupun berkuasa untuk mendukung segala hak, masih djuga
ada manusia jang tidak tjakap untuk melakukan beberapa hak
atau semua hak. Misalnja, manusia jang belum tjukup umur (belum
dewasa, minderjarig, pasal 330 K.U.H. Perdata dan L.N.H.B. 1931
Nr 54 88) tidak dianggap tjakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Jang memperhatikan kepentingannja ialah walinja (voogd).
Demikian djuga halnja dengan isteri (wanita jang telah kaw in).
Lihatlah pasal 108 K.U.H. Perdata. Perketjualiannja disebut dalam
pasal 109 K.U.H. Perdata. Penting djuga pasal-pasal 110-118 K.U.H.
Perdata.
Demikian djuga halnja dengan objek hukum jang telah ditem­
patkan dibawah pengawasan (curatele).

Par . 6: Tjara perolehan hak (rechts-


verkrijging).
Ada dua tjara memperoleh hak: (a) tjara langsung („d irecte” -
atau „ originaire rechtsverkrijging” ) dan (b ) tjara tidak langsung
( „indirecte” - atau „derivatieve rechtsverkrijging” ).
Apabila oleh karena suatu peristiwa hukum timbul suatu hak
baru — jaitu hak jang baru ada setelah peristiwa hukum itu ter-
djadi — maka jang memperoleh hak itu mendapatnja setjara latig-
87 Unluk hukum adat lihatlah t e r H a a r , hal. 140 djb.
88 Lihatlah himpunan undang-undang dari E n g e l b r e c h t , hal. 234.

286
sung. Hak itu — oleh karena suatu peristiwa hukum — tidak di­
serahkan kepadanja oleh sualu objek hukum lain. Misalnja: hak-
hak jang disebut dalam pasal-pasal 585 dan 586 K.U.H. Perdata,
dalam lial ditimbulkan suatu hak pan d, suatu hak hipotik.
A pabila jang memperoleh suatu hak mendapatnja dari tangan
suatu subjek hukum lain — jaitu disini adalah suatu hak jang telah
ada sebelum terdjadinja peristiwa hukum jang bersangkutan —
maka perolehan hak ini adalah suatu perolelian jang tidak langsung.
Dalam hal ini hak itu diserahkan kepada suatu subjek hukum lain
(tradisio, „levering” ; peralihan, „overgang” ) atau suatu subjek hu­
kum lain meneruskan hak itu sebagai liaknja sendiri (penerusan,
„op volgin g” ; warisan, „erfenis” — pasal-pasal 833 dan 955 K.U.H.
Perdata S9).

P a r. 7 : A zas n em o plus juris.

Dari hukum Romawi berasal azas „nemo plus juris ad alium


transfere potes quam ipse haberet” — tiada seorangpun jang dapat
m enjerahkan hak lebih dari pada d jumlah hak jang ada padanja.
Perkeljualian terhadap azas ini terdapat dalam pasal 1977 ajat
2 K.U.H. Perdata (lihatlah diatas). Karena peraturan jang disebtit
dalam ketentuan ini, maka sesuatu subjek hukum dapat memper­
oleh suatu hak dari suatu subjek hukum lain, walaupun subjek
hukum jang disebut terahir ini tidak berhak alas hak itu.

89 Di Indonesia daliulu ada suatu tjara istimewa untuk memperoleh suatu


„eigcndom stitel” sali. Tjara jang istimewa itu tjara jang tertjantum
dalam pasal-pasal 621-623 K.U.H. Perdata dan jang terkenal dengan
nama „eigendomsuitwijzing” . Berdasarkan „eigcndomsuitwijzing” itu,
maka dapatlah jang mendjalankan besit diatas benda jang tidak ber­
gerak mengadjukan permintaan kepada hakim supaja hakim mene­
tapkan dan menundjuk ia sebagai „eigenaar” (sebagai jang mem-
punjai benda itu) („uilw ijzcn van de eigendom” ) . Lihatlah djuga
pasal-pasal 800 djb. dari „Reclitsvordering” .
Peraturan mengenai „eigendomsuitwijzing” tersebut berasal dari Mr
S c h ö l t e n v a n O u d H a a r l e m ( v a n K a n „Gescliiedenis
C odificatie” , lial. 98 : „D e eigendomsuitwijzing was Scholten’ s gees-
telijk troetelkind” (Pcnundjukan liak kepunjaan itu anak djiwa einas
dari S ch ö lte n )). Pembatjaan : Mr J.H. C a r p e n t i e r A l t i n g
karangan „Eigendomsuitwijzing” dalam T. (daliulu „R echt in Ned.-
Indie” ) 69, lial. 361-386, dan karangan Prof. K o l l e w i j n „H et
H ooggereehtshof van Nederlands-Indie en het intergentiel recht” da­
lam „Feestbundei Bataviaasch Genootschap” , 1929, hal.. 334-341 (dju ­
ga dimuat dalam „Intergentiel recht, verzamelde opstellen over in­
tergentiel privaatrecht van Mr R.D. Kollewijn” , 1955, hal. 6 6-72 ).
Jurisprudensi : Mahkamah Agung tertanggal 6 Agustus 1957 dalam
„H u k u m ” , 1958, 3 /4 , hal. 88 ..

287
BAB VII

HUKUM TATANEGARA

P a r . 1: Beberapa pendapat tentang „n e g a r* a” l 2.

Hukum tatanegara adalah hukum mengenai susunan negara.


Kami terlebih dahulu perlu menguraikan pengertian „negara” .

1 Di Indonesia kala ,,negara” telah terkenal pada djaman purbakala.


Dalam bahasa Djawa Kuno kala „negara” itu sama artinju dengan
„keradjaan” , „kraton” atau djuga „rakjat” . Istilah ,,negara” jang
sekarang dipakai sebetulnja memuat sualu pengertian jang berasal
dari dunia Barat.. „Negara” di dunia Barat, sebenarnja Eropah Barat,
baru lahir pada abad ke-16.
2 Pada djaman modern, negara itu, sebagai sualu getljala sosial dan
politik, di negara-negara jang rakjatnja berbahasa Inggris dipeladjari
oleh suatu tjabang ilmu sosial jang diberi nama „ political science' >
sedangkan di negara-negara jang rakjatnja berbahasa Djerniun negara
itu mcndjadi objek suatu ilmu jang diberi nama „A llgem ein e Staats-
lehre” (di Negeri Belanda „algem en e staatsleer” ) . Pembatjaan terpen­
ting tentang „political science” dan „Allgem eine Staatslehre” („a lg e ­
mene staatsleer” ) : dalam bahasa Indonesia : buku penuntun F. I s j -
w a r a, S.li. „Pengantar ilmu politik” , 1964 (dengan „D aftar Kepusta­
kaan” pada liai. 198-204) ; ringkasan Prof.. Mr M. N a s r o e n „Asal-
îvaila negara” , 1957 (dengan tindjauan buku dari A. J. M a i n a k e
dalam inadjalah „Padjadjaran” , I, 1, hal. 53-56) ; sualu peladjaran
chusus P rof, M r K u n t j o r o P u r b o p r a n o t o „Sedikit tentang
sistim pemerintahan demokrasi” , 1960; orientasi pertama M i r i a m
S. B u d i a r d j o ,,Ilmu politik dan artinja bagi Indonesia” dalam
„B u k u peringatan Diës Natalis ke-YI Senaat Mahasiswa Fakultas Hukum
dan Pengetahuan Masjarakat Universitas Indonesia” , 1956, hal. 50
dan 107-108, dan Dr H. R o e s l a n A b d u l g a n i ,,Politik dan il"
mu” , diutjapkan pada waktu menerima gelar doctor honoris causa da­
lam ilmu politik di Bandung pada tanggal 31 Djuli 1961 : dalam bahasa
Inggris : G.W , S a b i n e „ A History o f Political Tlieory” , 1956 (tjeta-
kan pertama : 1937) ; H.J. L a s k i „A n Introduction to Politics” ,
1951 (dari buku ini ada terdjemahan dari L. M., S i t o r u s ) , „A
Grammer o f Politics” , 1925, dan „T h e Modern State in Theory and
Practice” , 1 93 5; R.M. M a c l v e r „T h e Modern State” , 1926 (dari
buku ini sudah ada terdjemahan dalam bahasa Indonesia), dan „T h e
W eb o f Government” , 1952; L e s l i e L i p s o n „T h e Great Issues
o f Politics” , 1954; dalam bahasa Djerman : H. K e l s e n „A llgem ei-
ne Staatslehre” , 1925 (lebih modern : „General Theory o f Law and
State” , 1 9 4 9 ); H e r m a n H e l l e r „Slaatslehre” , 1 9 3 4 ; dalam
bahasa Perantjis : M a u r i c e D u v e r g e r „Les régimes politiques” ,
1948 (lerdjem ahan dalam bahasa Indonesia oleh S u w i r j a d i ) ,
dan „L es parties politiqeus” 1951 (edisi dalam bahasa Inggris : „T h e
Political Parties’ , 1955) ; dalam bahasa Belanda : P rof- Mr R. K r a -
n e n b u r g „Algemene staatsleer” , 1955 (terdjemahan dalam baha­
sa Indonesia oleh Tk. B. S a b a r o e d i n ) ; P rof. Dr J. B a r e n t s
„D e wetensehap der politiek” , 1950 (terdjemahan dalam bahasa In ­
donesia oleh L.M. S i t o r u s ) .
Pada saat sekarang dapatlah dan perlulah kita membangun suatu iIniu
politik Indonesia jang sosialistis berdasarkan Perpustakaan Manipol
jang telah kami singgung dalam Bab II noot 9 dialas tadi.,

238
L o g e m a n n 3 merumuskan „negara” itu sebagai „suatn orga­
nisasi keniasjarakatan (=pertam batan-kerdja/werkverband) jang
bertudjuan dengan kekuasaannja mengatur serta menjelenggarakan
sesuatu masjarakat. Organisasi itu suatu pertambatan djabatan-dja-
hatan (am bt, funksi) atau lapangan-lapangan kerdja (werkkring)
tetap” .
A p a k a h dalam suatu definisi tentang negara harus dikatakan
h alw a negara itu adalah „berdaulat” ? V a n A p e l d o o r n 4 me­
ngatakan bahwa sebagai „tanda” untuk menundjukkan „negara” ,
pengertian „kedaulatan” sebetulnja tidak dapat dipakai karena
pengertian tersebut tidak tentu dan sifatnja senantiasa berubah. Di
sedjarahnja pengertian „kedaulatan” itu telah beberapa kali berubah
sifat dan lagi pula pada djaman sekarang tentang pertgertian terse­
but ada banjak perselisihan faham. K r a n e n b u r g S berpendapat
bahwa dengan kata „kedaulatan” itu dapat dibuktikan segala sesua­
tu. D jadi, sebetulnja dengan kata tersebut tidak dapat dibuktikan
sesuatupun! Hal itu karena isi kata tersebut telah berubah beberapa
kali dan masih akan berubah di hari kemudian.
Bagi kami, jang beranggapan negara itu suatu organisasi sosial,
jaitu organisasi sosial jang mempunjai kekuasaan’ (wewenang) ter­
tinggi, maka tidak perlu dihiraukan apa negara berdaulat atau
tidak. Suatu daerah kolonialpun dapat merupakan negara djuga,
biarpun belum mem peroleh kemerdekaan politik dan berdaulat.
Djuga daerah demikian diatur dan dikuasai oleh suatu organisasi
jang dilengkapi dengan suatu kekuasaan tertinggi, walaupun ke­
kuasaan iu bukan kekuasaan asli (nasional) tetapi suatu kekuasaan
asing 6. Apabila kami mengatakan negara berdaulat, maka jang di­
maksud ialah suatu negara jang tidak ditempatkan dibawali suatu

3 „Staatsreclit van Ned. Indie” , 1947, hal. 5.


4 Hal. 248,
5 P rof. Mr R. K r a n e n b u r g „Algem cne staatsleer” , 1955, hal. 147-
148.
6 B c 1 1 c f r o i d, hal. 39. Dikatakannja baliva biasanja dalam pem-
batjaan tentang hukum negara, maka semua negara itu disebut negara
jang berdaulat. Jang dimaksud dengan „kedaulatan” ini ialah suatu
kekuasaan tertinggi negara jang ada dalam lingkungan kompetensi-
kom petensi negara itu. Maka dari itu menurut pengertian „kedaulatan”
jan g disebut tadi, maka tidak hanja suatu negara jang tidak didjadjah
oleh suatu negara lain mendjadi suatu negara berdaulat, tetapi djuga
suatu negara jan g hanja berkuasa mengatur soal-soal intern sadja
sedangkan hubungan dengan luar negeri diselenggarakan oleh suatu
negara asing., Hal ini, misalnja, terdjadi apabila negara mendjadi ang-
gauta atau bagian suatu gabungan negara-negara» Mengenai „kedaulat­
an” dalam hukum internasional lihatlah Bab XII, par. 3.

289
kekuasaan tertinggi asing ( = kekuasaan tertinggi suatu negara na-
6,'onal lain), jakni negara merdeka (dalam arti kata politik dan
kenegaraan (staatkundig) ).
Bagi hukum, maka negara itu badan hukum jang m em punjai
hak-kewadjiban. Negara adalah korporasi (corporatie). Seperti hal*
nja dengan m.anusia sebagai „natuurlijk persoon” , maka negara
dapat mendjual (tanah), membeli barang, mewakili, dsb. 7.
Ahirnja, perlulah kita menindjau beberapa pendapat tentang
„negara” jang telah mendjadi terkenal internasional. Pentingnja
pendapat-pendapat ini, temjatalah dari adanja beberapa pemerintah
negara jang mendasarkan alasan dan tudjuan pemerintahannja
atas salah satu pendapat tersebut. Misalnja, pemerintah Rusia Sovjet
mendasarkan alasan dan tudjuan pemerintahannja sebanjak mungkin
alas peladjaran negara jang dibentangkan oleh M a r x, E n g e l.s d~
I e n i n. Kami memohon perhatian bagi:
Anggapan G.W.F. H e g e l : dalam bukunja „G rundlinien der
Philosophie des Rechts” (1821) oleh H e g e l dibuat suatu filsafat
negara jang idealistis. Menurut H e g e l , maka negara itu suatu
organisme berdadarkan kesusilaan dan hanja negaralah jang mem­
beri kepada manusia kemerdekaan dan ,„persoonlijkheid” nja. Ne­
gara adalah „die W irklichkeit der sittlichen Idee, — der sittliche
Geist, als der offenbare, sich selbst deutlich, substantielle W ille, der
sicht denkt und weiss und das was er'weiss, und insofern er esweiss,
vollführt” . Tudjuan benar dari negara itu menjelenggarakan kepen­
tingan umum.
Diatas negàra tidak ada kekuasaan lain. Negara adalah kekuatan
tertinggi dan mempunjai kekuasaan tertinggi di dunia. Negara ada­
lah suatu „irdische Gottheit” . Negara mendjadi sintese antara ke­
merdekaan universil (universeel) dan kemerdekaan individuil.
Pendewaan negara ini — suatu „étatisme” jang berkelebihan —
kemudian dianut oleh peladjaran negara facistis di Ita lia 8 dan

7 K e l s e n „General Theory o f Law and State” , 1949, hal. 181. Bagi


K e 1 s e n „negara” dan „hukum ” adalah identik (s a m a )M e n u r u t
van A p e l d o o r n (hal. 246-247) maka sebagai badan hukum
negara itu bukan realitèt tetapi konstruksi sadja. Kita tidak perlu
heran mendengar ini, sesudah tahu, bahwa v a n A p e l d o o r n da­
lam beberapa segi pendapatnja adalah seorang penganut teori P 1 a -
n i o 1 dan M o l e n g r a a f f (teori „propriété collective” — Bab VI»
pav. 1 ) .
8 A 1 f r e d o R o c c o „D e staatstheorie van liet fascisme” , 1928 (ter-
djemahan dari bahasa Ita lia ); S. P a n u n z i o „Allgem eine Theo-
rie des fascistischen Staates” , 1934.

290
dianut oleh peladjaran negara nasional-sosialistis di Negeri Djer-
man 9.
Peladjaran negara jang organis (organische staatsleer). Anggapan
bahwa negara itu suatu organisme àlam (natuurlijk organisme) —
seperti jang telah dikemukakan oleh H e g e l tetapi tidak „uit-
gewerkt” (diperdalam dengan segala konsekwensi diterima) — men-
djadi aliran kuat di Negeri Djerman dan Negeri Swis selama abad
ke-19 sampai permujaan abad sekarang. Menurut suatu aliran ter­
tentu, bahkan, negara itu disamakan dengan manusia, jaitu suatu
mahluk jang sungguh-sungguh hidup, sedangkan sifat dan tjorak
negara itu seperti sifat manusia. Ahli-ahli jang mengemukakan teori
tersebut a.l. O t t o v o n G i e r k e , dalam bukunja „D ie Genos­
senschaftstheorie” (1887), dan P a u l L a b a n d 10. Teori ini ti­
dak dapat diterima dalam segala konsekwensinja. Bahwasanja negara
suatu realitèt, itulah benar, tetapi hal menjamakan negara sepenuh-
penuhnja dengan manusia, itulah membawa konsekwensi jang tidak
dapat dipertahankan. Djasa teori negara jang organis adalah dike-
mukakannja konsepsi „orgaan” , jang sampai sekarang masih dipa­
kai dan telah banjak mendjelaskan tentang „negara” itu dan funksi-
funksinja. Lihatlah Bab VI, par. 1. *
Pelanggaran negara m-enurut M a r x - E n g e l s - L e n i n . Pela-
djaran ini dibentangkan oleh M a r x bersama-sama dengan
E n g e l s dalam’ „Manifesto Komunis” (th. 1848), M a r x dalam
„Z u r Kritik der politischen Oekonomie” (th. 1858) dan „Das Ka­
pital” (th. 1867-1885-1884), F r i e d r i c h E n g e l s dalam „Der
Ursprung der Familie, des Privateigentums und des Staats” (th.
1884) dan W.I. L e n i n dalam „T he State and Revolution” (th.
1917, penerbitan dalam bahasa Inggris th. 1919). Di Rusia, pela­
djaran tersebut diinterpretasi (disesuaikan dengan keadaan) dan di-

9 R. B o n n a r d ,,Le droit et 1’ état dans la doctrine nationale-socialis-


te” , 1936; Prof. Dr C a r 1 S c h ni i t t „Staat, Bewegung, Volk” , 1933;
P rof. Dr O t t o K o e l r e u t t e r „Grundrisz der Allgemeine Staats­
lehre” , 1933 (pembela konsepsi „Führer-Staat” ) ; E. T a t a r i n -
T a r n h e j ' d e n „Werdendes Staatsrecht” , 1934; E.R. H u b e r „D ie
Gestalt des deutschen Sozialismus” , 1934, dan „D ie deutsche Staats-
(wissenschaft” dalam ,,Zeitschrift fiir die gesamte Staatswissenseliaft” ,
95 (1 9 3 3 ), liai. 1-63 (melibat negara sebagai „die Gestalt des politi­
schen Volkes” ) ..
10 Beberapa penganut: Mr J. O p p e n h e i m „D e volksregeering in
het constitutioneel stelsel” , pidato Groningen 1885, dan „D e theorie
van den organischen S taat en bare waarde voor onzen tijd” , pidato
Leiden 1893; R u d o l f Kjellen „D er Staat als Lebensform” ,
1917.

291
praktekkan oleli J.V. S t a l i n (meninggal tahun 1953). Interpre­
tasi baru dari dan praktek baru peladjaran negara M a r x i s di­
lakukan dibawah pimpiuan N.S. K r u t s j o f. Interpretasi dapat
diketahui dari buku H. M a r c u s e „Soviet Marxism. A Critical
Analysis” , 1958, dan buku „Fundamentals of Marxisni-Lenism. Ma­
nual” , e d i t o r adalah C l e m e n s D u t t (tanpa tanggal), sedang­
kan praktek dapat diketahui dari buku A n d r e i Y. V y s h i n s -
k y „The Law of the Soviet ijtate” (penerbitan dalam bahasa Ing­
gris th. 1948) dan buku A. D e n i s o v dan N. K i r i c h e n k o
„Soviet State Law” , I960. Di Asia, peladjaran negara M a r x i s
diinterpretasi (disesuaikan dengan keadaan) dan dipraktekkan di
Republik Rakjat Tiongkok, Republik Demokrasi Rakjat Korea (K o ­
rea Utara) dan Republik Demokrasi Rakjat Vietnam (Vietnam
Utara). Dasar peladjaran negara M a r x i s adalah filsafat historis-
materialisme n .
Dalam masjarakat jang sederhana dan komunis tidak ada ke­
mungkinan untuk diadakan dan diperkembangkan golongan-golo­
ngan orang jang mendapat penghasilan (inkomen) dengan tidak be-
kerdja. Kemungkinan untuk memperoleh penghasilan jang diram­
pas (uitbuiting) dari golpngan-golongan orang lain didalam masja­
rakat itu belum' ada. Oleh karena dalam mfasjarakat jang sederhana
dan komunis alat-alat untuk memproduksi masih sangat sederhana,
maka dengan sendirinja belum ada kepunjaan (m ilik) privat' (pri-
vaateigendom). Djuga belum ada kepunjaan tanah jang privat.
Semua tanah dimiliki bersama-sama ( gezamenlijke eigendom. Tanah
mendjadi milik bersama-sama dari suku (clan).
Djadi, didalam' masjarakat jang sederhana dan komunis belum
ada negara. Negara itu baru dilahirkan setelah adanja kepunjaan
privat dan pembagian masjarakat dalam kelas (golongan sosial,
class). Jang mendjadi kelas ialah golongan-golongan orang jang
berbeda jang satu dari jang lain menurut (a) tempat jang mereka
duduki dalam eisfini produksi sosial jang ditentukan oleh dan diper­
kembangkan dalam sedjarah dan (b ) hubungan mereka dengan alat-

^ Lihailah Bab I noot 54. Mengenai asal hisloris-materialisnie lihatlah


W a I t e r S u l z b a c h „D ie Anfänge" der materialistische Geschichts­
auffassung , 1911; E. H a m m a c h e r „Das philosophisch-ökono­
mische System des Marxismus” , 1909. Mengenai filsafat negara dan
politik dan filsafat- pada umumnja di Uni Sovjet lihatlah G u s t a v ’
A., W e t t e r „Dialectical Materialism. A Historical and Syslematic
Survev o f Philosoph» in the Soviet Union” (diterdjeniahkan dari ba­
hasa Djerman oleh P e t e r H e a t h ) , 1958.

292
alat produksi (hubungan i lu dirumuskan dan ditetapkan dalam
undang-undang). Hubungan tersebut-ditentukan oleh (1) kedudu­
kan mereka dalam organisasi tenaga (arbeid) dalam masjarakat, (2)
tjara-tjara jang mereka lakukan untuk memperoleh sebagian dari
kekajaan sosial dan (3) besarnja bagian dari kekajaan sosial jang
dapat mereka peroleh. Maka dari itu kelas adalali golongan orang
tertentu jang m em iliki tenaga ( arbeid) suatu golongan orang lain,
karena perbedaan kedudukan didalam suatu tatatertib ekonomis-
sosial. Misalnja, kelas pemilik tanah jang sudah memiliki (m e­
rebut) semua tanah. Apabila golongan orang tertentu memili­
ki semua tempat perindustrian (pabrik-pabrik, bengkel-bengkel, dsb.)
sedangkan suatu golongan orang lain terpaksa bekerdja didalam
tempat perindustrian tersebut, maka disitulah ada dua kelas : kaum
kapitalis dan kaum proletar f proletariat.) 12. Kaum kapitalis men-
d jadi pem ilik alat-alat produksi, dan selama alat-alat produksi itu
dalam tangan kaum proletar maka adanja pertentangan kelas (klas-
sentrijd).
Agar dapat mempertahankan kedudukan jang lumajap dan enak
itu, maka oleh kaum kanitalis dibuat suatu organisasi. Organisasi itu
negara. D jadi, negara itu suatu organisasi politik dari kelas terkuat
ekonomis dalam masjarakat. Dengan sendirinja organisasi tersebut
dipakainja untuk mendjadjah kaum proletar. Bilamana kaum pro­
letar telah menguasai (merebut kembali) seluruh alat-alat produksi
dan di masjarakat milik privat sudah lenjap, maka dengan sendiri­
nja negara itu akan „mati dengan berangsur-angsur” (geleidelijk
afsterven van de S t a a t ) 1 3 .
Oleh L e n i n dikemukakan bahwa „mati dengan berangsur-
angsur” dari negara itu, baru terdjadi pada fase perkembangan jang
paling aliir. Sesudah „the destruction of the bougeois State by thé
proletarian révolution” jang terdjadi dengan mendadak (negara bur-

12 Bagi M a r x kaum buruli adalali golongan satu-satunja jang niilitan(t)


untuk melawan kapitalisme pada abad ke-19. Mengenai kaum tam
sebagai ‘ suatu golongan militan jàng melawan feodalisme di Eropah
Barat pada taliun 1525 batjalab buku E n g e l s „Bauernkrieg in
Deutschland” jang ditulis pada taliun 1850.
13 Ramalan bahwa negara itu akan „mati dengan berangsur-angsur” per-
tama-tama dikemukakan oleh E n g e l s dalam bukunja „Herren
Eugen Düluings Umwälzung der Wissenschaft (Anti-Düliring)” , 1877.
Kemudian doktrina ini „uitgewerkt” oleli V,I. L e n i n „T he State
and Revolution” (penerbitan Foreign Languages Publishing House,
M oscow ), Iuil. 133 : „T he economic basis o f the withering awav o f
the state” .

293
djuis di„put away” , djadi, tidak „m ati dengan berangsur-angsur” ),
maka perlu diadakan suatu negara proletar, jaitu suatu diktat ut-
kaum proletar (jang mengganti negara burdjuis jang telah dilenjap-
kan oleh revolusi proletar setjara mendadak), supaja dapat meni-
basmi bekas-bekas sistim kapitalis dan supaja melindungi niasjarakat
komunis jang baru terlahir itu terhadap serangan-serangan dari
fihak kaum anti-revolusioner. Kalau nanti bekas-bekas sistim kapita­
lis sudah dibasmi dan bahaja-bahaja lain sudah tiada lagi, maka
diktalur tersebut,' jaitu negara proletar, dengan sendirinja akan
„mati dengan berangsur-angsur” .
Terhadap pendapat tadi kami merasa perlu mengemukakan
dua koreksi. Pertama : oleh antropologi budaja 11 telah dibuktikan
bahwa dalam suatu masjarakat jang paling sederhanapun ada djuga
kemungkinan memperoleh milik privat. Tetapi penguasa — . atas
nama masjarakatnja -— dapat membatasi tjara mend jalankan
milik privat itu. Misalnja, di Indonesia : dalam masjarakat-masja-
rakat jang sangat sederhana (di Kalimantan, di Nusa Tenggara,
misalnja) ada milik tanah jang sungguh-sungguh m endjadi m ilik
privat seseorang anggauta masjarakat itu, jaitu tanah milik (erfelijk
individueel bezit). Tetapi tjara mendjalankan hak atas tanah ter­
sebut demikian erat diikat oleh 'hak patuanan („beschikkingsrecht’ ,
hak ulajat) masjarakat (desa) sehingga seolah-olah semua tanah
dalam wilajah desa mendjadi milik bersama-sama anggauta desa
itu 15. E n g e l s — jang mengemukakan pendapat jang kurang tepat
*tu — mengadakan suatu kesalahan faham tentang milik tanah di
masjarakat sederhana sematjam jang diadakan oleh pemerintah ko­
lonial di Indonesia dahulu sebelum penjelidikan v a n V o l l e n -
h o v e n . Djuga dalam masjarakat jang paling sederhana — di sam­
ping milik bersama-sama dari suku — ada kemungkinan memperoleh
milik tanah privat.
Kedua : apakah benar negara lenjap, apabila kaum proletar su­
dah memiliki alat-alat produksi dan apabila sudah lenjap milik pri­
vat ? Menurut pendapat kami maka suatu organisasi seperti negara,

14 Tontang negara dalam fase perkenibahgan jang paling pertama dan


paling sederhana lihatlah a.I. R.H.. L o w i e „T h e Orisrin o f the State” ,
1927. Keterangan-keterangan penting dapat djuga dibatja pada K.A.
W i t t f o g e 1 „Oriental Despotism” , 1957. Suatu peladjaran jang
paling ahir mengenai milik dalam masjarakat arhais (p rim itif) dan
perkembangan milik : W . N i p p o 1 d „D ie Anfänge des Eigentums
bei den Naturvölkern und die Entstehung 'des Privateigentums” , 1954.
15 Mengenai funksi patuanan lihallali t e r H a a r , hal.. 56 djb.

294
tetap perlu diadakan dalam setiap masjarakat jang tidak sederhana
lagi. Bukankah, bagaimanapun djuga, suatu masjarakat jang agak
berkompleks memerlukan suatu organisasi tertinggi ? Bukankah,
djuga suatu masjarakat proletar belaka memerlukan suatu organisasi
tertinggi ? Mungkin organisasi tertinggi itu akan diberi nama lain,
tetapi sifatnja tetap negara ! Djuga di Rusia Sovjet sampai kini
belum terdjadi peristiwa kematian negara. Hal ini belum mungkin,
kata S t a l i n . Negara belum dapat-„mati dengan berangsur-angsur” ,
melainkan :
W ill' the state be preserved among us likewise during the pe­
riod o f Communism as well ? Yes, it will be preserved unles capi­
talist encirclement shall have been liquidated and the danger of
military attacks from without eliminated; of course the form's of
our state will change once again with a change of the internal and
\ external setting. No, it will not be preserved and will wither away if
capitalist encirclement shall have been liquidated and replaced by
Socialist encirclement” 16.
Peladjaran negara menurut O p p e n h e i m e r 17. Suatu ang­
gapan tentang nasib negara jang kira-kira sama dengan anggapan
kaum komunis terdapat pada Prof. O p p e n h e i m e r. Tetapi
pengarang bukan orang komunis. Dikatakannja : setelah pengha-

16 Pidato J.V. S t a l i n di muka kongres ke-18 Partai Komunis U.S.


tahun 1939. Batjalali karangan C a l v i n B, H o o v e r „The Sovjet
State Fails to Wither” dalam „Foreign Affairs” , Oktober 1952, hal« 144
djb. Teori S t a l i n ini terkenal dengan nama teori „encirclement”
(om singelingstheorie). Lihatlah H. M a r c u s e „Soviet Marxism” ,
1958, hal. 101 : ,5In contrast to Engel’ s formula o f the „„withering
away” ” o f the state, which is valid for the victory o f socialism in all
or in a m ajority o f countries, the socialist state must assume new
decisive functions under the conditions o f „„socialism in one country
and „„capitalist encirclement” ” ., These functions change in accordance,
with the internal development and the international situation. In fhe
first phase o f the development (from the October-revolution to the
„„elim in ation o f the exploiting classes” ” ) , the functions o f the state
were : (a ) „ „ t o suppress the overthrown classes inside the country ” 1'
( l’ ) ,„,to defend the country from foreign attack” ” , and (c ) ,,,,econ­
om ic organization and cultural education” ” . In the second phase
(fro m the „„elim ination o f the capitalist elements in town and count­
ry” ” to the „„com p lete victory o f the socialist system and the adoption
o f the new constitution” ” ) function (a ) ceased and was supplanted
by that o f „„protectin g socialist property” ” ; functions (b ) and (c )
„ „ fu lly remained” ” . Moreover, the state is to continue also in the
period o f Communism „„unless the capitalist encirclement” ” is liquid­
ated, and „„u n less the danger o f foreign military attack has disap­
peared” ” — only then will it „„atrophy” ” .
17 Prof« F r a n z O p p e n h e i m e r „D er Staat” , 1909.

295
pusan milik tanah Inas (grootgrondeigendom) dan penghapusan
padjak tanah, jang kedua-duanja diadakan setjara berangsur-angsur
maka negara itu sebagai organisasi pendjadjahan — lama-kela­
maan lenjap dan ditimbulkan suatu „Freibürgerscliaft”
77 C
.
„Verbandseinheit” dari G e o r g e J e l l i n e k . Peladjaran
negara jang organis dari v o n G i e r k e jang telah kami singgung
diatas tadi, menegaskan perlunja penggabungan dan persatuan ma­
nusia untuk dapat mentjapai tudjuan bersama. Konsepsi ini djuga
mendjadi dasar peladjaran jang melihat negara sebagai suatu „Ver­
bandseinheit (persatuan penggabungan) manusia. Jang. paling dje-
las mengemukakan peladjaran ini ialah J e l l i n e k 1®. Menurut
pengarang ini, maka landasan (substraat) negara itu terdiri atas dua
golongan orang, jaitu suatu golongan orang jang memerintah dan
suatu golongan orang jang diperintah. Negara itu tidak lain dari
pada pendjelmaan perintah-perintah, jaitu kehendak, jang dikeluar­
kan oleh jang memerintah itu dan jang dipersatu, jaitu mendjadi
suatu keseluruhan kehendak, untuk dapat mentjapai beberapa tu­
djuan tertentu. Dengan demikian, negara, sebagai suatu persatuan
teleologis, merupakan suatu „Verbandseinheit” . Di sam'ping ini,
maka hubungan antara jang memerintah dan jang diperintah, jang
bersifat : jang diperintah menurut kehendak dari jang memerin­
tah, adalah suatu hubungan kekuatan ( mnc/iis-verhouding), dan ke­
hendak dari jang memerintah tersebut boleh dianggap kehendak
kolektivitet jang mengalahkan semua kehendak lain. Dengan de­
mikian, negara itu boleh dilihat sebagai „die mit ursprünglicher
He.rrschermacht augerüstete Verbandseinheit sesshafter Men­
schen”
„ Reine Rechtslehre” dari H a n s K e l s e n mengenai negara.
Biarpun 3 e l l i n e k berliasil menerangkan bubungan antara per-
lunja suatu organisasi kekuatan tertinggi (hoogste gezagsorgani-
satie) dengan usaha mentjapai beberapa tudjuan bersama, m'asih
(ljuga, menurut suatu fihak tertentu, teorinja kurang memuaskan,
karena tidak memberi suatu tempat bagi hukum. K e l s e n , jang
mentjoba menjelesaikan persoalan ini, mengemukakan anggapan
bahwa negara itu suatu keterliban kaidah inormen-ordening). K e ­
tertiban negara, (slaatsorde) adalah personifikasi dari keterliban
hukum (rechtsorde). Oleh sebab itu, maka negara” dan ,.hukumv

18 „Allgemeine Staatslehre” , 1914 (tjetakan k e-3).


19 „Allgemeine Staatslehre” , hal. 180 djb.

296

I
adalah dua pengertian jang sama (identik) 20. Terhadap teori K e l ­
s e n ini telah dikenmkakan beberapa ket jaman 21.
Peladjaran negara menurut R. S m e n d. Oleh karena K e l s e n
mempersamakan „negara” dengan „hukum ” , dan „hukum ” itu dili-
hatnja sebagai suatu „S ollen ” juridis belaka jang sama sekali ter­
pisah dari „S ein ” sosial ~2, maka dengan sendirinja „negara” itu
diganibarkannja sebagai suatu „Sollen” juridis belaka pula, jang
sama sekali terpisah dari „S ein” sosial. Tidak perlu dikemukakan
bahwa suatu pendapat tentang „negara” sematjam ini tidak realis-
tls ■ Bukankah, mengeluarkan negara dari dunia „Sein” sosial dan
luem asukkannja kedalam dunia „Sollen” jang abstrak dan hypotetis
itu, djustru sesuatu jang bertentangan dengan realitet ? Anggapan
K e l s e n ini m endapat tentangan dari R. S m e n d 23. Menurut
pengarang ini, maka kita tidak boleh melihat negara terpisah dari
perkem bangan masjarakat. Bagian terpenting penghidupan so­
sial negara selalu dalam suatu proses pembaharuan sosial, jaitu „in
dem fortw ährenden Neuerfassen und Zusammenfassen seiner Ange­
hörigen . Negara itu bukan suatu „ruhendes Ganzes” . Negara selalu
sebagian proses sosial. „E r lebt und ist da nur in diesem Prozess
beständiger Erneurung, dauernden Neuerlebtwerdens” , jang terdapat
dalam masjarakat.
Peredapat M a c I v e r. Oleh Prof. M a c l v e r 24 dikemlukakan
pendapat, bahwa negara itu, sebagai, suatu „political Organisation” ,
harus dibedakan dari J,masjarakat” . Negara itu suatu organisasi po­
litik jang ada didalam masjarakat, tetapi negara itu bukan bentuk
dari masjarakat. Negara itu organisasi dalam masjarakat, jaitu
suatu „organisatie-kapstok” . Demikian djugalah anggapan kami 2o.

Sebelum kam i menutup par. 2 ini, maka perlu kami kemu­


kakan beberapa kata tentang geopolitik. Menurut F. R a t z e l 26,

20 K e l s e n „G eneral Theory o f Law and State” , luil. 192 : „A n ’ organ


o f the State’ is tantaniount to an ’ organ o f tlie law’ ” .
21 A.l. H.L.M . v a n Schalk „Beschouwingen naar aanleiding van
Kelsens gelykstelling van Staat en recht” , 1930; R. S m e n d (lihat­
lah n oot 23 dibawah).
22 K e l s e n : „d as Sollen” dan „das Sein” .
23 „V erfassu n g und Verfassungsrecht” , 1928.
24 „T h e M odern State” , 1926.
25 Logemann „T h eorie” hal. 69. Lihatlah djuga B a r e n t s „D e
wetenschap der politiek” 1950, mengenai „organisatie-kapstokken”
dalam masjarakat.
26 „P o litisch e Geographie” , 1923 (tjetakan pertama 1 8 9 7 ); K. H a u s ­
hofer „G eop olitik des Pazifischen Ozeans” , 1938; R.H. F i t z -

297
jang boleh disebut bapak geopolitik, maka negara itu merupakan
suatu organisme jang hidup, dan supaja dapat hidup subur dan
mendjadi kuat, maka negara itu memerlukan „Lebensraum'” (rua­
ngan untuk hidup). Kemudian, peladjaran tentang „Lebensraum”
ini mendapat sambutan hangat didalam kalangan penganut m iliter­
isme dan penganut sosialisme nasional di Negeri Djerman, jang
menghendaki ekspansi wilajah Negeri Djerman. Dengan demikian,
lama-kelamaan pengetahuan tentang geopolitik disalah-gunakan un­
tuk berekspansi dengan memakai kekuatan militer. Diadakan suatu
lembaga penjelidikan geopolitik dibawah pimpinan seorang perwira
tentara Djerman, jaitu H a u s h o f e r , jang telah pada tahun 1924
menerbitkan „Zeitschrift für Geopolitik” .
. freberapa lindjauan m engenai „negara Indonesia jan g so­
sialistis’1, jang m endjadi tudjuan dilaksanakannja M anipol, lihatlah
Bab II, par. 2 diatas tadi dan par. 7 dibawah nanti.
v

Par . 2 : „Ruling c l a s s ” 27.

Sifat dan bentuk negara ditentukan oleh hubungan politik ( =


ungan kekuatan, machtsverhouding) antara mereka jang meme­
rintah dengan mereka jang diperintah. Kata seor'ang ahli politik
jang bernama G a e t a n o M o s c a dalam bukunja „Elem enti di
cienza Politica . „Among the constant facts and tendencies that
are to be found in all political organisms, one is so obvous that it
is apparent to the most casual eye. In all societies - from societies
that are „(eagerly developed and have barely attained dawnings -of
civilization, down to the most advanced and powerful s o c i e t i e s
- «wo classes of people appear _ a class that m le, and a class .hat
is ruled. The f.rst class, always the less numerous, performs all po­
litical functions, monopolies power and enjoys the advantages that
g i b b o n „Global Politics” , 1944
27 Persoalan „ruling class” atau s u n „ '
( — persoalan mengenai hubunean *)erso an sematjam „ruling class
diperintah) ini terutama dikeinulcnlf" ? Jang memer!ntah dan i ang
sialistis (misalnja, L a s k i ) . p oleh Pengarang-pengarang so-
buku mengenai ilmu negara dan In.L * eiUU l a dalam buku-
landa persoalan „ruling class” ini tirTl* ta,anegara dalam bahasa Be-
nja. Buku-buku dari K r a n e n b u r InendaPat Perhatian semesti-
sama sekali tidak menjinggung persoah. ,C.r . ° *’ "J'.®3,1" 18’
bahwa alirah sosialisme belum kual fÄ ®“ i* 1IU mc,nundJ“ kJ kan
Belanda l “ alam ilmu negara dan sosiologi

28 i)j l L di r ai ! i an/ ' a,Iam- bA


ahara. Inggris olel‘ H a n a h D. K a h n
1939fhaI.’ 5 0 . 1On L,vingstone) „T h e Ruling d a s s ” ,

298
pow er brings, whereas the second, the m ore numerous class, is di­
rected and controlled t>y the first, in a manner that is now more
or less legal, now m ore or less arbitrary and violent, and supplies
the first, in appearance at least, with material means o f subsistence
and w ith the instrumentalities that are essential to the vitality of
the p olitica l organism” . Hubungan antara dua kelas tersebut menen­
tukan sifat dan bentuk negara.
M o s c a bukanlah seorang M a r x i s, ia tetap berpegangan pa­
da liberalism e abad ke-19. Bahkan, dalam suatu masjarakat jang
benar-benar dem okratispun terdapat djuga kenjataan „the Many
are ruled by the Few ” . D jadi, ia tidak menerim'a konsepsi masja­
rakat tanpa kelas. Berdasarkan kenjataan ini, maka M o s c a mem­
buat kesinnpulan bahwa baik demokrasi maupun Sosialisme tidak
dapat kita terim a ! Kesim pulan M o s c a ini tidak dapat kami se-
tudjui, biarpun kam i sependapat dengan M o s c a bahwa sangat
sukar dibajangkan suatu masjarakat tanpa kelas. Di Uni Sovjet,
m isalnja, Partai K om unis, sebagai partai politik jang tunggal, tetap
m erupakan „é lite ” atau „ruling class” Rusia ! Tetapi kenjataan ini
tidak m em benarkan dibuatnja suatu mitos tentang „ruling class”
atau „ é lit e ” itu ! 2 9 .
Bagainianakah menurut pendapat kami hubungan antara „rul­
ing class” dan negara ? Kam i tidak dapat menjetudjui anggapan
bahwa negara itu semata-mata alat dalam tangan „ruling class” (kaum
b u rd ju is ), dan dengan lenjapnja „ruling class” tersebut, maka dengan
sendirinja — dengan berangsur-angsur — negara lenjap djuga 30.
Negara itu suatu organisasi sosial jang perlu adanja itu tidak hanja
dirasa oleh „ruling- class” , tetapi jang perlu adanja tersebut dirasa
djuga o le h semua warganja jang lain. Kata v a n K a n 31 : kalau
pada sesuatu saat tertentu kesadaran kemasjarakatan dan kekuasaan
keinasjarakatan telah m endjadi tjukup kuat, maka disitulah ada ne-
gara, ja itu masjarakat orang jang hidup mendjadi masjarakat ne­
gara. K am i dapat m enjetudjui anggapan ini, asal sadja orang tidak
lupa bahwa pada „saat tertentu” itu pimpinan negara telah di­
reb u t oleh suatu golongan tertentu. Maka dari itu kita boleh irie-
ugatakan bahwa negara itu suatu alat (organisasi) jang dikuasai

29 K rilik atas teori M o s c a dàpat dibatja dalam buku J a m e s H.


M e i s e I „T h e Myth o f the Ruling Class” , 1958.
30 Lihatlah H a n s K e l s e n „T h e Communist Theory o f Law” 1955,
hal. 32.
31 Hal- 68.

299
( tidak dim iliki) oleh „ruling class” . Misalnja, di Indonesia negara
kita~ dikuasai oleh kaum burdjurs (djuga boleh dikatakan : suatu
„élite” baru), tetapi negara kita itu dirasa oleh seluruh bangsa In­
donesia sebagai miliknja. Kita semua merasa perlu adanja negara
itu, tetapi masih sangat sajang negara kita dikuasai oleh kaum bur-
djuis. Tetapi djuga : apakah mungkin di kemudian hari akan ter­
lahir suatu masjarakat Indonesia tanpa „élite” ?
Persoalan tentang sifat dan bentuk negara adalah persoalan ten»
tang siapa jang menguasainja.

Par . 4: Anasir-anasir pengertian „ n e g a r a” .

Boleh dikatakan bah'wa „negara” itu menundjukkan tiga kenja-


taan : 1
a. kekuasaan tertinggi
b. wilajah ( = lingkungan kekuasaan).
c. warga-negara (nationalen, Staatsbürgers) atau bangsa-negara
(staatsvolk) 32.

Ad a. Kekuasaan tertinggi dan legitimasi kekuasaan tertinggi.

Tentang kekuasaan tertinggi dan legitimasi kekuasaan tertinggi


itu telah dibuat banjak-banjak pendapat. K am i hanja menjinggung
pendapat jang terkenal dan jang dibuat oleh pudjangga-pudjangga
di dunia Barat. Memiang, ada djuga pendajpat jang dibuat oleh
pudjangga-pudjangga kita sendiri di Indonesia, tetapi pendapat pu-
djangga-pudjangga kita sendiri tersebut masih kurang diselidiki dan
kurang dikenal oleh ilmu politik di Indonesia. Disirii ada suatu
lapangan „research” bagi ahli sedjarah, ahli antropologi budaja
dan ahli ilmu politik !
Di dunia Barat, telah pada masa kuno (purbakala) (pada
waktu berpuntjaknja kebudajaan Junani kuno — kira-kira pada
abad ke-4 dan k e '3 sebelum Tahun Masehi) orang mempersoalkan

32 P em*kian diu£a a l - Prof- Mr C .w . v a n d e r P o t „H andboek van


het Nederlandse staatsrecht” , 1950, hal. 32 djb. : Elementen van liet
staatsbegrip. Prof. Mr M. Y a m i n dalam pidatonia pada tanggal 5
Djuli 1958 di Djakarta („Sistéma-filsafah Pantja Sila” , hal. 24-25)
mengenal „Em pat unzur negara Indonesia” , jaitu : „kem akm uran
Rakjat” sebagai kenjataan („u nzu r” ) jang ke-empat. Pendapat ini
dikemukakannja pula dalam bukunja „Pembahasan Undang-undang
Dasar Républik Indonesia” , 1960, hal., 71-81 dan 274-277 („tu dju an -
negara” ) . .

300
sifat dan legitimasi kekuasaan negara (staatsgezag). Mula-mula ke­
kuasaan negara didasarkan (berlegitimasi) atas kehendak Tuban.
Teori-teori jang mendasarkan (melegitimasi) kekuasaan negara dan
kekuasaan radja atas agama disebut teori teokrasi.
D i Indonesia teori teokrasi terdapat pada mereka jang bertjita-
tjita akan kelahiran suatu negara Islam. Menurut agama Islam tidak
mungkin diadakan pemisahan antara negara dan agam'a. Negara
kaum Islam adalah negara teokrasi 33.
D juga pada djam an sekarang ada orang jang mendasarkan ke­
kuasaan negara atas agama. Para penganut teori teokrasi modern
mentjari bukti untuk anggapan mereka dalam sedjarah, jaitu me­
reka m enundjuk kepada suatu peristiwa dalam sedjarah jang, me­
nurut penafsiran mereka, memperlihatkan turut-tjampurnja Tuhan
dalam' nasib bangsa dan negara. Terkenallah teori teokrasi modern
jang dibuat oleh F r i e d r i c h J u l i u s S t a h l (th. 1802-th.
1861).
Pada djam an Renaissance jang mendjadi dasar fikiran manusia
ialah rasio (akal)-nja. Termasuk teori pertama tentang kekuasaan
negara berdasarkan fikiran-fikiran rasionalistis ialah teori seorang
bangsa Italia jang bernama N i c c o l o M a c h i a v e l l i (th. 1469-
th. 1527) 34. Dalam bukunja „ I I Principe” (radja) dikemukakannja
anggapan bahwa negara itu organisasi kekuatan belaka-, (louter
machtsorganisatie). Maksud negara (staatsdoel) tidak lain dari pada
mempertahankan dan mendjajankan kekuatan. Jang diutamakan
hanjalah kepentingan negara sebagai organisasi kekuatan. Apa­
bila perlu, maka negara dapat menindas kepentingan individu guna
kepentingan negara. Anggapan jang mengutamakan kepentingan ne-

33 E l - A h k a m E s - S o u l l a n i y „Traité de droit public musulman


d’ al-iMawerdi” , diterdjemahkan oleh L. O s t r o b o r o g , 1901 ; H a 1 -
dar Baniate „V isages.de 1’ Islam” , 1947; L o u i s M i l l i o t
„Introduction â 1’ étude du droit musulman” , 1953.. Tentang sedjarah
perluasan wilajah Islam dapat dibatja ringkasan dalam buku Drs
S o e b a r d i , Drs H a r s o j o dan M. J u n u s „Pengantar sedjarah
dan adjaran Islam” , 1958, liai. 7-66. Oleli para pembela konsepsi
negara Islam selalu dikemukakan bahwa agama Islam adalah agama
jang paling lengkap, karena meliputi djuga ketatanegaraan.
34 Machiavelli boleh dianggap sebagai p e n g a r a n g pertama jang
membuat suatu teori negara jang „m odern” (political science). Politik
adalah gcdjala kekuatan (maclitschijnsel). Lihatlah ringkasan °
bert B. D o w n s „Anatom v o f Power Politics” dalam bukunja
„B ook s tliat Changed tlie W orld” , 1956, hal. 17-27; C h a r l e s B e -
n o i s t ,,Le Machiavélisme avant Machiavel” , 1907, „Le Macliiave isme
de 1’ Antimachiavel” , 1915, „Le Machiavélisme II, M a ch ia v elli , >
dan „Machiavélisme après Machiavelli” , 1934.

301
gara ini terkenal dengan nama peladjaran raison d' état 35. Dalam
peladjaran tersebut, pemerintah sering dilihat sebagai lianja suatu
tehnik untuk memperoleh kekuatan, memakai dan menjalah-guna-
kan kekuatan.
Kemudian, oleh T h o m a s H o b b e s ith. 1588-tli. 1679),
- J o h n L o c k e (th. 1632-th. 1704) dan J e a n J a c q u e s R o u s ­
s e a u (th. 1712-th. 1778) kekuasaan negara didasarkan atas suatu
perdjandjian jang diadakan antara para anggauta masjarakat. Ang-
gauta-anggauta masjarakat itu taat pada kekuasaan negara (atau
hukum) karena sebelumnja mereka telah berdjandji akan mentaati-
nja — teori-teori perdjandjian.
Walaupun tak berlainan masing-masing H o b b e s , J o h n
L o c k e dan R o u s s e a u mempunjai anggapan tentang pemben­
tukan dan adanja negara itu, jakni m,enurut anggapan ketiga ahli
tersebut pembentukan dan adanja negara itu didasarkan atas suatu
perdjandjian sosial („contrat social” , menurut kata R o u s s e a u ) ,
kesimpulan-kesimpulan jang mereka tarik tentang sifat negara sangat
berlain-lainan. Menurut H o b b e s negara itu bersifat totaliter. Ne­
gara itu diberi kekuatan tidak terbatas. Menurut L o c k e negara
itu selajaknja bersifat keradjaan konstitusionil jang memberi dja-
minan mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan pokok manusia.
Kepentingan negara dibatasi o.leh kepentingan individu. R o u s s e a u
beranggapan bahwa negara bersifat suatu wakil rakjat — kedaulatan
rakjat (volkssouvereiniteit). Negara itu selajaknja negara demo­
krasi langsung.
Peladjaran kedaulatan rakjat R o u s s e a u mendjadi dasar
beberapa aliran politik revolusioner, jang pada ahim ja mengadakan
Revolusi Perantjis dari tahun 1789 sampai tahun 1795. Selama Re­
volusi Perantjis, maka jang berkuasa ialah beberapa organisasi
rakjat. Radja, anggauta keluarganja ,Un bagian besar golongan
bangsawan (adel) diserang oleh rakjat dan dibunuh. Tetapi sesudah
Revolusi Perantjis, jaitu pada djaman kontra-revolusionèr dan

35 Anggapan semat jam ini terdapat djuga dalam salah satu aliran dalani
fdsafat negara (staasfdosof,e) jang kelasik i kuno) di Negeri Tiong­
kok dahulu Lihatlah J.J.L. D u y v e n d a k „T he Book o f Lord
Shang., A CIassic of the Chmese School o f Law” , disertasi Leiden 1928
(dibitjarakan dalam „Algemcne staatsleer” dari K r a n e n b u r g ,
hal 49 d jb.). Kemudian peladjaran „raison d’ état” ini dikemukakan
P , 1., h o b b e s (lihatlah dibawah ini) dan, dalani satu benluk jang
idealistis, oleh H e g e l (lihatlah diatas tadi). Selandjutnja, pela­
djaran „raison d etat ini dikemukakan oleh pengarang jang mem­
bela suatu negara fascistis dan suatu negara jang nasional-sosialistis.

302
„Restauratie” , m aka kekuatan politik tertinggi kembali-lagi keda-
lam tangan golongan bangsawan. T e p a t: golongan. „feodal baru
jan g terdiri atas anggauta golongan bangsawan dari djam'an sebelum
Revolusi Perantjis serta anggauta-anggauta lapisan pertengahan
(m iddenstand) jang kaja. Lebih tepat lagi : kaum burdjuis. Me­
reka itu sangat m em bentji kedaulatan rakjat -karena telah merasa
kepahitan revolusi. Mereka beranggapan bahwa kedaidatan rakjat
itu sudah pasti lianja akan m em bim bing kearah anarhi (kekatjauan)
•sadja.
Pada waktu setelah Revolusi Perantjis, beberapa ahli liukum
negara, jang m em perlihatkan suatu reaksi menolak tarhadap Revo­
lusi P erantjis itu, m entjari suatu dasar baru untuk legitimasi ke­
kuasaan negara, supaja memperkuat kedudukan pemerintahan kaum
burdjuis. A h li hukum negara itu chusus orang Perantjis dan orang
D jerm an. A nggapan tentang suatu perdjandjian negara jang diada­
kan dengan sukarela oleh anggauta lnasjarakat memang tidak dapat
diterim a. U ndang-undang dasar (konstitusi) birkan buatan rakjat
sendiri. M elainkan, merupakan suatu anugerah radja kepada rakjat-
nj a‘ Undang-undang dasar merupakan suatu „Charte octroyee” 3r'-
A pabila radja m cnganggapnja perlu, maka undang-undang dasar
oleh diam biln ja kem bali. Menurut teori-teori negara jang diben­
tangkan oleh ahli-ahli pada waktu sesudah Revolusi Perantjis
sebagai reaksi terhadap Revolusi Perantjis itu — maka jang ber­
daulat bukan rakjat, djuga bukan radja (kaum burdjuis), tetapi
H- gar a 7 teori-teori kedaulatan negara ( s t a a t s s o u v e r e i u i t e i t ) .
T eori-teori kedaulatan negara jang paling pertama dibuat, jaitu
teori-teori kedaulatan negara jang dibuat pada w’aktu paling pertama
elah R evolu si Perantjis, adalah teori-teori jang chusus dibuat un­
tuk m em pertahankan kedudukan kaum' burdjuis terhadap serangan-
ran„an dari aliran-aliran jang sosialis tis-revolusioner (jang dihi­
dupkan olah pengarang sosialistis dan pedjuang Sosialisme jang per­
tama jan g m akin lama m akin kuat). Teori-teori kedaulatan negara
36
M engenai perkem bangan perdjandjian sosial (m a a t s c l.a p p e lijk verdrag)
m endjadi undang-undang dasar (perlam a) lihailah v o n S c h m ' d
»H et denken over staat en rechl in de negentiende eeuw , 194»,
n al. 40. M engenai undang-undang dasar sebagai suatu „Charte oc-
troyee chusus hal. 4 5 .
a h w a s a n ja o le h k a u m b u r d ju is d itu n d ju k n egara sebagai ja n g b er-
a u a l, it u la h tid a k p e r lu m e n g h e r a n k a n ora n g . B u kan kah , barang
siapa ja n g m e n g u a s a i n e g a ra seb a g a i alat m em erin tah itu dengan
sen d .n n ja dju ga berdaulat ? ! Bukankah, jang menguasai negara itu
c i u s u s „r u lin g elass” , d ja d i,' kaum burdjuis ?

303
jang dibuat kemudian (pada bagian kedua abad jang lampau) ada­
lah. teori-teori jang ditjiptakan oleh chusus aliran positivism e abad
ke-19 38. Chusus teori-teori kedaulatan negara jang kedua ini —
jang mem'peladjari negara dari sudut positivisme-hukum — mendja-
di sangat terkenal. Harus disebut dua pengarang bangsa Djerman,
jaitu G e o r g e J e l l i n e k dan P a u l L a b a n d 39. Terkenal
perumusan J e l l i n e k 40, bahwa negara itu „d ie mit ursprüng­
licher Herrschermacht ausgerüstete Verbandseinheit sesshafter Men­
schen” . Djadi, negara itu gabungan manusia terorganisasi di suatu
daerah tertentu jang dilengkapi dengan suatu kekuasaan asli akan
memerintah. Apakah jang dimaksud' dengan „kekuatan asli” itu ?
Djawabannja : suatu kekuatan jang tidak diturunkan dari sesuatu ke­
kuatan atau kekuasaan lain jang deradjatnja lebih tinggi. „Kekuatan
asli” itu kekuatan tertinggi. Diatas „kekuatan a sli’ itu tidak ada
kekuatan atau kekuasaan lain. Hukum ada karena negara menghen-
dakinja. Setiap aksi pem erintah'm erupakan kehendak negara dan
apabila negara beraksi maka aksinja pada dasarnja tidak dibatasi
oleh hukum ! Bukankah, hukum itu buatan negara sendiri dan tidak
mungkinlah negara harus tunduk ipada buatannja sendiri ?
Sekitar tahun 1900 teori kedaulatan negara ini m endapat ten­
tangan dari beberapa ahli hukum jang namanja sangat terkenal.
Diantara mereka harus disebut C r u e t (Negeri Parantjis) 41,
D ü g u i t (Negeri Perantjis), K r a b b e (Negeri Belanda). Teru­
tama teori K r a b b e , jang terkenal dengan nama teori kedaulatan
hukum, m endjadi terkenal di Indonesia pula. Mengenai hukum di­
katakan K r a b b e : „aldus moet ook van het recht de heerschappij
gezöcht worden in de reactie van het rechtsgevoel, en Jigt dus zijn
gezag niet buiten maar in den mensch” (demikian djuga halnja
dengan kekuasaan hukum jang harus kami tjari dalam reaksi pe-
rasaan-hukum. Djadi, kekuasaan hukum itu tidak ter,letak diluar
manusia tetapi terletak didalam manusia). Bahkan, hukum' itu tidak
bergantung pada kehendak manusia, jaitu hukum adalah sesuatu de­
ngan kekuatan memerintah jang terdapat dalam perasaan-hukum
manusia, jang sering memaksa manusia bertindak djuga bertentangan
dengan kehendaknja sendiri atau bertentangan dengan suatu ke-

38 V o n S c h m i d „H et denken over Staat en recht in de negentiende


eeuw” , hal. 185 djb.
39 „D as Staatsrecht des deutschen Reiches” , tjetakan pertama 1876.
40 Lihatlah noot 19 diatas tadi.
41 „La vie du droit et l’ impuissance des lois” , 1908.

304
tjeuderungan tertentu padanja. Bukau hanja manusia dibawali pe­
rintah hukum , neganapun dibawali perintah hukum itu. Hukum
berdaulat, ja itu diatas segala sesuatu, terniasuk negara 42.
Jang dibentangkan oleh K r a b b e adalah (konsepsi) „negara
hukum ” 43, jaitu, menurut pendapat kami, negara berdasarkan :

1. azas legalitèt
2. azas perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia semua
orang jang •ada di wilajah negara, dalam hal kebebasan dan
hak ini sesuai dengan kesedjahteraan umum.

Jang dim aksud dengan azas .legalitèt ialah azas, bahwa semua
tindakan alat-alat negara (staatsorganen) harus didasarkan atas dan
dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Jang mempunjai ke-
kuasaan tertinggi dailam negara ialah undang-undang dasar jang
terdiri atas peraturan-peraturan hukum dan azas-azas hukum (azas-
azas hukum ini m em beri sedikit keleluasaan kepada mendjalankan
azas legalitèt ! ). Badan-badan ¡pemerintah tidak dapat melakukan
tindakan jang bertentangan dengan inti undang-undang dasar (atau

^ D juga m urid K r a b b e , jaitu K r a n e n b u r g , mengatakan : ne­


gara tunduk pada kaidah hukum (lihatlah „Algemene stuatsleer” ,
hal. 145 : ,,dè verhouding van staat en recht is niet deze, dat het
recht is een product van den staatswil, nocli is het recht identiek
m et den staat, maar er bestaat deze betrekking, dat de regelen van
J>ct reelu o ok gelding Ii'ebben voor de organen van den staat” ). »
"*r P-W . K a m p h u i s e n „D e rechtstaat” dalam „Handelingen van
de V ereeniging voor de Wijsbegeerte des Rechts” , XXVII, 1 (tahun
1 9 3 9 ) ; „V erzam elde geschriften van Prof. Mr P. Seholten” , ‘ I,
1949, hal. 92 djb. ; Prof., Mr E.M. M e i j e r s „D e rechtspraak van
de H oge Raad om irent de orireehtmatige overheidsdaad sinds 1940”
dalam W .P.N .K . nr 4 1 4 4 /4 5 (1 9 5 0 ) ; Prof. Mr R, K r a n e n b u r g
„D e ontw ikkeling der rechtspraak betreffende de sta a tsa a n sp ra k elijk -
heid” dalam „Studiën over recht en staat” , 1953, hal. 325-357; Prof.
W .F. P r i n s „Rechtsstaat en administratief recht” dalam „Gedenk- .
b oek reclitswetenschappelijk liogeronderwijs in Indonésie 1942-1949” ,
hal., 186 d jb., dan „M ens en staat” , pidato inaugurasi Utrecht 19o4;
Mr S o c d i m a n K a r t o h a d i p r o d j o „Negara Republik Indo­
nesia negara hukum ” , pidato inaugurasi Djakarta 1953; J a c q u e s
M a r i t a i n „ L ’ hom m e et l’ état” , 1953 ; R o b e r t B. P o l o u x
„L e citoyen devant l’ état” , 1955; M rD r G o u w G i o k S i o n g „Pe­
ngertian tentang negiira liukum” , 1956; Mr R. T r e s n a dan Ir
F.L.H . D e s s a u v a g i e „Sendi-sendi ngara hukum jang demo­
kratis” , 1 9 5 6 ; karangan Mr A.J., M a i n a k e „Merenungkan hubu­
ngan antara individu dan negara berhubung* dengan kedudukan
(p osisi) hukum privat pada waktu sekarang” dalam madjalah „Padja-
djaran” , I, 3 (A pril 1 9 5 9 ), hal. 46-98. Sebuah tindjauan dari sudut
kem asjarakatan dan kebudajaan adalah C.A.O. v a n N i e w e n h u y .
z e „M ens en vrijheid in Indonesië” , 1949.

305
jang bertentangan dengan inti peraturan perundang-undangan lain)
atau tindakan jang ada diluar batas undang-undang dasar itu (atau
jang ada diluar batas peraturan-peraturan perundang-undangan la in ).
Kebalikan negara hukum ialah negara kekuatan ( machtsstaat)
atau negara polisi (politiestaat). Apabila perfu maka badan-badan
pemerintahan suatu negara polisi dapat bertindak diluar batas
undang-undang.
Apakah negara kita merupakan suatu negara hukum ? Dja-
waban dapat dibatja dari beberapa peraturan perundang-undangan.
Misalnja, dari U.U.D. sendiri (berbeda dari, pasal 1 ajat 1 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu maka pasal 1 ajat 1
maupun ajat 2 U.U.D. tidak memuat istilah „negara hukum” ; sifat
negara hukum itu dapat diketahui dari „Pendjelasan” atas U.U.D.),
dari pasal 1 ajat 1 K.U.H. Pidana (lihatlah Bab IX par. 1).
Para pengarang jang M a r x i s dengan sendirinja menolak kon­
sepsi negara hukum, karena sebetulnja tidak ada tatahukum umum
tetapi hanja suatu tatahukum tertentu. Jang sebetu,lnja ada hanjalah
tatahukum „ruling clàss” dalam m'asjarakat.

Ad b : wilqjah.

Kekuasaan tertinggi negara dilakukan atas suatu wilajah ter­


tentu, jaitu wilajah negara. Wilajah itu lingkungan-kerdja (werkings-
sféer) dari kekuasaan tertinggi tersebut, jakni tempat dimana kekua­
saan tertinggi itu dapat didjalankan setjara èfèktij 44. Jang terma­
suk lingkungan-kerdja dari kekuasaan tertinggi sesuatu negara tidak
hanja tanahnja — jaitu daerah dalam arti kata sempit — tetapi
djuga laut sekitar tanah itu, udara diatas tanah dan diatas laut
tersebut, kapal perang dan kapal dagang milik sendiri jang ada
didalam laut tersebut dan jang ada dilaut terbuka (open zee,
di tengah laut, volle zee), kapal perang walaupun di pelabuan asing,
kapal dagang asing didalam laut tersebut 45. Lingkungan kekuasaan
sesuatu negara biasanja disebut teritur (territoir) negara itu, laut
jang termasuk lingkungan kekuasaan itu disebut laut teriturial (ter­
ritoriale zee) dan udara jang termasuk lingkungan kekuasaan di-

_44 A.I. v a n d e r P o t „Handboek van het Nederlandse staatsrecht” ,


hal. 33.
45 A.M. S t u y t „T he General Principles o f Latv as applicd by Inter­
national Tribunals to Disputes on Attribution and Exercise o f State
Jnrisdiction” , 1946, hal. 124 djb.

306
sebut udara teriturial ( territoriale luclit). Batas-batas tanah teritur
sesuatu negar’a biasanja ditentukan dalam perdjandjian dengan ne­
gara-negara tetangga. Ada djuga batas jang ditentukan oleh alam (na-
tuurlijke grenzen). Batas-batas laut teriturial ditentukan oleh ma­
sing-masing negara sendiri dengan memperhatikan sebanjak-banjak-
nja azas-azas hukum internasional apabila p e rlu 46. Biasanja sebagai
lebarnja laut teriturial masih diterima djarak 3 mil laut (zeemijl).
Norwegia dan Swedia menentukan djarak 4 mil laut, negara Espa-
n jol menentukan 6 mil laut. Pada saat ini oleh banjak negara, ter­
masuk negara kita sendiri diperdjuangkan pengakuan batas 12 mil
laut dari laut teriturial itu. Teluk (baai) dan tasik (binnenzee)
ketjil merupakan teritur negara. Demikian djuga kuala (riviermond)
jang lebar. Lebarnja laut teriturial diukur dari „laagwaterlijn” (ba­
tas pasang surut). Dalam suatu perdjandjian internasional (traktat)
jang diadakan pada tahun 1919 di kota Paris ditentukan bahwa
udara diatas teritur suatu negara termasuk teritur negara itu pula
(pasal 1 : „L es Hautes Parties contractantes reconnaissent que
chaque Puissance a la souveraineté complète et exclusive sur 1’ espace
atmosphérique au-dessus de territoire” . Lihatlah djuga pasal 1 Trak­
tat Chicago tertanggal 7 Desember 1944) 47.
Dalam hukum internasional, sedjak abad ke-164S, diakui perke-
tjualian terhadap azas, bahwa setiap orang jang ada didalani teritur
sesuatu negara ada dibawah kekuasaan tertinggi negara itu. Perke-
tjualian ini diakui untuk kepala negara asing, duta besar, duta,
wakil-wakil lain dan pegawai-pegawai perwakilan asing dengan ke­
luarga mereka (lihatlah pasal 105 Piagam P.B.B. dan. pasal 19 Pia-
^ gam Mahkamah Internasional). Mereka itu tidak ada dibawah ke­
kuasaan tertinggi negara di mana mereka ditempatkan. Peike-

46 Peniljatjaan umum O p p e n h e i m - L a u l e r p a c h t „International


Law” , 1955, I, hal. 486 d jb.: „Maritime belt” . Penibatjaan cliusus : Dr
Moehtar Kusumaatmadja „Masalah lebar laut teritorial
pada Konperensi-Jvonperensi Hukum Laut di Djenewa 1962. Suatu
„classic” adalah C. v a n B i j n k e r s h o e k „D e dominio maris
disserlatio” , 1702.
47 P rof. Mr D. G o e d h u i s „Handboek voor het luchtrecht” , 1943.
Penting djuga dibatja „praeadvies” Prof. G o e d h u i s ,,The Limita­
tion o f Air Sovereigiity” jang diutjapkan dalam konverensi ke-47
International Law Association jang diadakan dikota Dubrovnik dari
tanggal 26 Agustus hingga 2 September 1956. Oppenheim-
L a u t e r p a c h t I, hal. 516 djb» memberi suatu ringkasan.
18 E.R. A d a i r „T h e Exterritoriality o f Ambassadors in the Si.vtccnth
and Sevenleenlh Centuries” , 1929. '

307
tjualian. ini disebut eksteriturialitet (exterritorialiteit). Mereka ter­
sebut dianggap ada diluar teritur negara 49.
Garis perbatasan wilajah negara kita ditentukan oleh beberapa
perdjandjian internasional jang dahulu diadakan oleh pemerintah
Belanda dengan beberapa negara lain. Berdasarkan pasa,l 5 Persetu-
djuan perpindahan jang ditetapkan pada K.M.B., maka perdjan-
djian-perdjandjian internasional itu sekarang berlaku djuga untuk
Republik Indonesia. Perdjandjian-perdjandjian itu Konvensi London
tahun 1814 (Ntegeri Inggris menjerahkan kembali Hindia-Belanda
kepada Negeri Belanda), Traktat London tertanggal 17 Maret 1824,
Traktat ’s Gravenhage tertanggal 2 November 1871, Traktat London
tertanggal 21 Djuni 1891, Protokol London tahun 1915, Traktat
’s Gravenhage tertanggal 26 Maret 1923, Traktat ’s. Gravenhage ter-
tanggal 16 Mai 1895, Traktat Lissabon (Lisboa) tertanggal 20 April
1859, Traktat Lissabon tertanggal 10 Djuni 1893 dan Traktat ’s Gra­
venhage tertanggal 1904. Pulau Palmas (Miangas) termasuk wilajah
Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) berdasarkan keputusan arbi-
trasi internasional (arbiternja seorang Swis, jaitu Prof. Dr M a s
H u b_e r) antara Negeri Belanda dengan Amerika Serikat („arbi- r
tragecompromis” dari tahun 1925) dari tahun 1 9 2 8 50.
W ilajah Indonesia adalah 51 :

1. seluruh daerah (tanah) bekas Hindia-Belanda, terniasuk djiiga


Irian Barat jang administrasinja telah diserahkan kepada pe­
merintah kita oleh P.B.B. pada tanggal 1 Mai 1963 5 2 .

49 u 'i' co° j , F r a n s o i s „Handboek van het volkenrecht” , -1949, I, -


hal. 58 d jb.; O p p e n h e i m - L a u t e r p a c h t , I, hal. 757 djb..
Lebih luas Mr J.L.F. v a n Essen „Ontwikkeling en codificatie
van de diplomatieke voorrechten” , disertasi Utrecht 1928.
50 G.A. v a n H a m e l „De^internationale arbitrages van Nederland van
1813 tot heden” , disertasi Amsterdam 1938.
51 Lihatlah K I e i n t j e s „Staatsinstellingcn” , I, 1932, hal. 35 djb.,
jang menjebut pembatjaan (literatuur) jang terpenting; M. Y a -
m i n „Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia” , lial.
391-427.
52 Oleh Konstituante R.I., diterima perumusan (keputusan No. 4 7 /K /
1957) : „W ilajah Negeri Indonesia sesuai dengan jang dimaksudkan
pada widetu proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945 meliputi seluruh bekas wilajah Hindia Belanda menurut keadaan
pada saat petjahnja perang Pacific tanggal 7 Desember 1941” . Dalam
buku „Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia” (hal.
4 7 7 -4 8 3 ), oleh M. Y a m i n - diuraikan „Dasar juridis perdjuangan
memerdekakan Irian-Barat menurut Proklamasi dan Konstitusi 1945” .,

308
2. pasal 1 ajat p.P.u.u. (pePerpu) tentang perairan Indonesia,
L.N. 1960 Nr 22, menerima suatu laut teriturial sampai 12 mil
laut terhitung dari garis air rendah. L.N. 1960 Nr 22 ini men-
tjabut pasal 1 ajat 1 angka 1 sampai angka 4 dari „Territoriale
zee en maritieme kringen ordonnantie 1939” , L.N.H.B. 1939 Nr
422 (jang mengenal suatu laut teriturial pang lebamja lianja 3
m il laut sadja). v
Pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Kabinet Karya (Perdana
Menteri Ir H. D j u a n d a) dibuat suatu Pengumuman Peme­
rintah mengenai wilajah perairan Negara Republik Indonesia,
jang m'enjatakan bahwa „segala perairan disekitar, diantara
dan jang menghubungkan pulau-pulau jang termasuk Negara
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebamja adalah
bagian-bagian jang wadjar daripada wilajah daratan Negara
v Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pe­
dalaman atau Nasional jang berada dibawah kedaulatan mutlak
Negara Indonesia. Lalu lintas jang damai diperairan pedalaman
ini bagi kapal-kapal asing didjamin selama dan sekedar tidak
bertentangan dengan/mengganggu kedaulaltan dan keselamatan
Negara Indonesia” . Dalil jang dipertahankan dalam pengumu­
man ini terkenali dengan nama jyrinsip nusantara (archipelago
iprinciple), jang wadjar kita pertahankan.
3. ruangan udara diatas tanah dan laut berdasarkan Traktat Paris
tahun 1919 jang telah kami sebut.

-dd c : Warga-negara.
Warga-negara adalah m'ereka jang mempunjai keanggautaan
juridis dari negara. Siapa jang tidak termasuk warga-negara adalah
orang asing (vreemdeling) 53.
D i samping pengertian „warga-negara” ada dua pengertian lain,
jaitu „rakjat” (volk) dan „bangsa” (natie). Pengertian-pengertian
tersebut tidak sama dan tidak boleh dikatjaukan jang satu dengan
jang lain. Definisi kami tentang „rakjat” dan „bangsa” jang berikut
dibawah ini didasarkan atas terutama apa jang dikatakan L o g e -
m ann dalam bukunja „Over de tlieorie van een stellig staats-
recht” 54.
53 Mengenai kedudukan orang asing di Indonesia lihatlah ProL, Dr
G o u w G i o k S i o n g , S.h. „T he Legal Status o f Foreigners in In­
donesia” , 1963. , i„
54 Hal. 66-69. Lihatlah djuga L o g e m a n n „H et staptsrecht van In ­
d on esia” , 1954, hal« 95-98.

309
„Rakjat” adalah suatu pengertian sosiologis. Rakjat adalah
suatu golongan manusia jang (bersama-sama) mempunjai suatu kebu-
dajaan sama tertentu. Misalnja, persamaan bahasa — walaupun da­
lam bahasa itu ada perbedaan lokal — , persamaan adat. Jang terma­
suk rakjat Indonesia (dalam arti kata sosiologis) tidak hanja warga-
negara (asli) Republik Indonesia, tetapi djuga orang Indonesia
jang m'eiripunjai kewarga-negaraan Kalimantan Utara, kewarga-ne-
garaan Singapura, kewarga-negaraan Federasi Malaja, kewarga-nega­
raan Portugis (Timor Portugis), kewarga-negaraan Tiongkok Na­
sionalis (Taiwan) dan kewarga-negaraan Filipina !55.
„Bangsa” mendjadi suatu pengertian politik (dan historis).
Bangsa adalah suatu golongan manusia jang bersama-sama sadar
akan suatu kesatuan politik (dan historis) jang telah ada diantara
mereka dan mereka itu mempunjai kehendak meneruskan dan mem­
pertahankan kesatuan politik tersebut. Pada tahun 1945 sebagian
dan rakjat Indonesia — jaitu bagian besar mereka jang ada didalam
wilajah bekas-koloni Hindia-Belanda — sadar akan dan mempunjai
kehendak teguh meneruskan dan memjpertahankan kesatuan politik
sendiri jang telah ada, atau sedang berkembang, diantara mereka.
Kami mengingatkan para pembatja pada djawaban E r n e s t
R e n a n atas pertanjaan „Q u’ est-ce qu’ nation ? ” : „ ........................
avoir fait de grandes choses ensemble, vouloir en faire encore” 56.
Agar dapat menentukan siapa jang termasuk warga-negara siapa
jang tidak >>7 maka dapat digunakan sebagai dasar penentuan itu dua
55 Mengenai „Indonesia” lihatlah pidato inaugurasi Prof, d e J o s s e l i n
d e J o n g „D e Maleise Archipel als ethnologisch studieveld” , Leiden

1935.
56 Pidato di kota Paris pada tahun 1882. Ada terdjemalian oleh Mr .S u -
narjo.
57 Pembatjaan umum maupun pembatjaan chusus tentang kewarga-ne-
garaan pada umumnja : Di samping buku Mr Dr K o S w a n S i k
(lihatlah noot 58) dapat dibatja karangan A.N. M a k a r o v „R ègles
générales du droit de la nationalité” dalam „R ecu eil des cours
de I’ Académie de Droit International” , ,75 (1949, I ) liai. 269 d jb .;
i_S t -U y t ” Tlle General Principles o f Law” , 1946 (lihatlah noot
4 5 ) ; bagian pertama karangan Mr M o c h t a r K u s u m a A t m a -
,.J T nafionality and international law” dalam madjalah „P a -
ja jaran , I, 4,. bal., 38-72. Ringkasan singkat dalam O p p e n h e i m -
Lauterpacht I, haï. 636 d jb .; M. K o e s s l e r dalam „Y ale
n . W»i i? 1"]«10 c . (1 9 4 6 /4 7 ), haï. 58-76. Untuk chusus Indonesia
\ f, a, . r. „ ° ® J ° n ° H a d i d j o j o „Kewarganegaraan Indone-
613 ’ skrlpsi Gad>ah Mada 1954; G o u w G i o k S i o n g „W arga-
negara an orang asing (berikut Peraturan-peraturan dan Tjontoh-
ï , n .° ^jang niemuat suatu daftar pembatjaan terpenting),
„Soal-soal aktu.l tentang kewarganegaraan” , 1958, dan karangan ,,Atja-

310
ukuran : ius sanguinis atau/dan ius soli.
D alam hal ius sanguinis dipakai sebagai dasar penentuan siapa
warga-negara siapa tidak maka seseorang mendjadi warga-negara
karena keturunan. M isalnja, anak warga-negara Indonesia jang la­
hir di m anapun djuga dengan sendirinja mendjadi warga-negara
Indonesia pula.
D alam hal ius soli dipakai sebagai dasar penentuan siapa warga-
negara siapa tidak, maka seseorang mendjadi warga-negara karena
kelahiran di w ilajah suatu negara tertentu atau karena ia sudah
beberapa waktu lam anja penduduk suatu negara te r te n tu . Misalnja,
seorang Indonesia jang lahir di Negeri Inggris mempunjai hak
m en dja di warga-negara Inggris („B ritish subject” ).
Sering terd jad i seseorang m empunjai dua kewarga-negaraan uS.
Seorang ja n g m em punjai dua kewarga-negaraan itu diberi nama
bipatride. T erkenal perdjandjian Soenarjo-Cho.il En Lai
jan g dibu at pada tanggal 22 A pril 1955 setelah penghabisan Kon-
verensi A sia-A frika d i Bandung. Perdjandjian ini, jang sudah dise-
tu djui oleh D .P .R . (Undang-undang tahun 1958 Nr 2), sekarang
m en d jadi dasar induk untuk menjelesaikan persoalan dwi-kewarga-
negaraan R .I.-R .R .T .
Seorang ja n g oleh karena sesuatu hal tidak mempunjai kewar­
ga-negaraan d ib eri nama apatride (statenloos).

ra Naturalisasi Dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik In­


donesia D ibandingkan dengan Negara-negara lain” dalam „Medan
Ilm u Pengetahuan” , I, 1, lial. 2 8-76 ; „Undang-undang Kewarganega-
raan In d on esia ” dikum pulkan dan disusun oleh L.M. S i a n i p a r
dan S .R . L u b i s , 1 9 5 8 ; Mr Dr K o S w a n S i k „ S o a l kewarga-
negaraan dan pem buktiannja” dalam nom or istimewa „Star Weekly ,
X III, 6 33 (1 5 Februari 1 9 5 8 ), lial. 2-4 dan 1 8; Mr Z.A., K u su m a h
A t m a d j a „K ed u d u k a n Isteri dalam Perkawinan Tjanipuran” dalam
„S ta r W eek ly ” , X III, 640 (5 April 1 95 8), hal. 6-7, dan 641 (12
A pril 1 9 5 8 ) , h al.' 1 9 -2 0 ; L o g e m a n n „H et staatsreclu van Indone­
sia” , 1 9 5 4 , hal. 9 6 -9 8 ; M. Y a m i n „Pembahasan Undang-undang
Dasar R ep u b lik Indonesia” , hal., 383-387.
58 M engenai „n ieervou d ige nationaliteit” lihatlah Dr L. d e G r o o t „Het
Personeel StatuUt van Apatridcn en Bipatriden volgens Nederlandsch
Internationaal Privaatreclit” , 1 93 8; Mr D r Ko S w a n Si k ,.De
n ieervou d ige nationaliteit” , disertasi Leiden 1957; karangan Mr
Mochtar Kusuma Atmadja jang disebut dalam n o o t 57
diatas in i; M r Nj. L i e m Tjing Hien-Klio „Perdjandjian
dwikewarganegaraan R .I. — R.R..T. dan pelaksanaannja” , 1961. Buku
Dr K o m erupakan suatu „standaardwerk” mengenai „kewargane-
garaan” .

311
Kewarga-negaraan Republik Indonesia pada saat ini diatur da­
lam Undang-undang tahun 1958' Nr 62 tentang Kewarga-negaraan
Republik Indonesia, L.N. 1958 N r 113 (Pendjelasan dalam Tambah­
an L.N. Nr 1647).

Par. 4: Bentuk pemerintah (regerings-


v o r m e n ).

Pimpinan negara terletak dalam tangan suatu organisasi tehius.


Organisasi tehnis itu m emimpin suatu pertambatan djabatan-dja-
batan (verband van am bten). Organisasi tehnis itu biasanja disebut
pemerintah 59.

^ istilah „pemerintah” itu meliputi tiga pengertian jan g tidak sama !


1 . „pemerintah” mendjadi gabungan semua badan kenegaraan jang
berkuasa memerintah dalam arti kata luas.
Djadi, termasuk semua badan kenegaraan jan g bertugas menyeleng­
garakan kesedjahteraan umum : badan-badan kenegaraan jang
bertugas membuat peraturan, badan-bàdan kenegaraan ja n g ber-
î UgaS ” ien^ enS6 arakan dan mempertahankan peraturan ja n g di-
— buat oleh badan-badan jang disebut pertama, badan-badan kene­
garaan jang bertugas mengadili.
Pengertian „pemerintah” ini dalam bahasa Belanda dinjatakan
dengan istilah „overheid” , het Indische ,,gouvernem ent” , dalam
bahasa Inggris „governm ent” atau „th e authorities” (bahasa Be­
landa : „d e autoriteiten” ) .
Dalam bahasa Indonesia pernah dipakai istilah „ penguasa” , lihat­
lah pasal-pasal 35, 22, 30, 31, 32, 34, 36, 37, 4 0 , 4 1 , 4 2 , 43
undang-undang d a s a r sementara tahun 1950 dahulu. U..U.D. m eng­
gunakan istilah „pemerintah” dalam pasal-pasal 31 ajat 2 dan 32
(tetapi „pemerintah” ini dapat djuga berarti : P r e s i d e n dibantu
oleh Menteri-menteri Negara, lihatlah sub 3 dibawah in i). P e n g e r -
tian „pemerintah” in i adalah pengertian jan g paling luas.
2. „Pemerintah mendjadi gabungan badan-badan kenegaraan ter ■
tinggi atau^ (satu) badan kenegaraan tertinggi jan g berkuasa m e -1
mercntah di wilajah sesuatu negara. Misalnja, radja, presiden, ba­
dan Sovjet tertinggi. Jang dimaksud dalam paragrap ini ialah pe-
ngertian „pem erintah” ini.
3. Dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu „P e ­
merintah” (dengan huruf besar P ) mendjadi Presidèn bersama-
sama dengan seorang menteri, beberapa orang m enteri atau semua
menteri (K a b in et), lihatlah pasal-pasal 1 3 46 65. 6 8 , 82, 8 3 ,
89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 9 6 , 9 7 , 9 8 , 9 9 : ÎOOÎ 1 0 9 , 1 1 4 , 118,
89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 9 7 , 9 8 , 9 9 , 1 0 0 , 1 0 9 , 1 1 4 , 1 1 8 ,
( S u e r m o n d t — dalam madjalah „E kon om i dan Keuangan In ­
donesia” , VI, 8 , hal. 474-475 — berpendapat bahwa „P em erintah”
dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 m erupakan
Presidèn bersama-sama dengan semua menteri, sedangkan „P e r-
sidèn” — terketjuali dalam ketentuan-ketentuan jang m engenai
Presidèn pribadi („Président in persoon” ) (m isalnja, ajat 1 pasal
8 3 ) dan pasal-pasal 45 ajat 4 dan 51 ajat 4 — m erupakan Pre-

312

\
N egara karena bentuk tertentu pemerintahnja ’— merupa-
f' 7**ona‘- h i atai1 repu blik. Apabila djabatan kepala negara diivaris-
, ”epaila keturunan kepala negara lama, maka negara itu meru-
di t _ Sl*a lu m on a rh i, sedangkan apabila djabatan kepala negara
/ ■i | p a ti k a ie n a *pilih an langsung \uicn
(oleh rakjat) UldU
atau tidak langsun t?
lliidK iangsi
ATSUalU kenegaraan), maka negara itu suatu republik 60,
o n a rh i u u dapat digolongkan dalam tiga type dasar :
«• m o n a rk i absolu t (m u tla k )
n o n a rh i k onstitusionil (berdasarkan undang-undang dasar)
c- m o n a rh i p a rlem en ter

i k ^ P ak ila seluruli kekuasaan negara ada didalam tangan radja,


ia a negara itu suatu m onarhi absolut. Radja mempunjai kekuasaan
an k ek u a ta n ja n g tidak terbatas, jaitu mutlak. Kehendak negara
adalah k e h e n d a k radja.
k Suatu negara karena bentuk pemerintahnja mendjadi monarhi
"tusion il, apabila kekuasaan radjanja dibatasi oleh suatu 1111 -
s. nc u n d a n g dasar atau konstitusi. Dalam suatu monarhi konstitu-
k ekuasaan radja dibatasi ofleh kekuasaan jang oleh undang*
i , anc- ^ asar d ib eri kepada badan-badan kenegaraan lain terutama
da Ul ! Saian kekUaSaaU JlUlg tliberi kePatla dewan perwakilan rakjat
, l . an P e,1" a<iilan. Tetaipi titik-berat kekuasaan-tertinggi masih
letak p a d a tangan 'radja.

k u la n ,p ô ^ ,in ' :l' Sa-n -' Î T ‘1n menteri atau menteri jang bersang-
dalam" , n a d f l T l,dak di«crin,a oleh B o h t l i n g k -
5 5 1 -5 5 2 J . ah ’ >Ekonom. dan Keuangan Indonesia” , VII, 8 , hal.
i ,u m e r u ^ k V n en i, Pertu hankan P ^ a p a t balnva „Pemerintah”
b eb era p a P01.a "g
pasal und'iTiP- ht i i ‘ semua nienleri, karena semua pasal-
k « .a ,,P e n 1 e r in tô Î""KW a “ Î jang nienuiat
P a d a hal. 5 52 : ' M et^ R ™ » -ari !io " sli,«si R.I.S., tanpa diubah,
steeds : Président” met l™?8 1 , ' de grondwet dus nog
( s ) ” ) . D alam TJ TT T» t> e,rokken verantwoordeliike jninister
~ -4 M » ^ m a n tu

p « , '.. 5 " f r n “ d“' ' "■ “ m r k“ ;: r : „


I T tu r V n i ’ , raV ' a ' P ««al-pa8al 16 ajnt 2, 23 a,a, 1,
„ P e m e r i n t a h ” Jn“ " 5 T V ' j \‘ P ' P-'s^-pasal 31 ajn« 2 dan 3 2 ).
a m b t). * i a a a i suatu djabatan gabungan (samengesteld
^ A tilai’a lain L é o n D u £r 11 i t 'F -
1 9 2 3 , II, hal. 6 0 7 • T -> ^ ^Traiic de Droit Coiislitiitionnel” *
dans laquelle il v i Vin rli<if” fornie de gouvernement
où il „ V a pas de ch ef ï E , ^
hérf di'°™ i I« -public,.,c celle
n’ est pas héréditaire” . Kelctanan M.P R s ¡y ,“ * ,c,Ic le f ct J
1 r 11 o m en d jad i Presidèn R.I. SCuniur' £ ' J " menetapkan B u n g

313
Menurut demokrasi Eropali Barat, maka suatu negara karena
bentuk pemerintahnja adalah suatu monarhi parlementer, apabila
pertanggungdjawaban pemerintah negara sepenuh-penuhnja terletak
dalam tangan menteri jang sepenuh-penuhnja bertanggungdjawab
terhadap dewan perwakilan rakjat. Kekuasaan tertinggi sepenuh-
pènuhnja terletak dalam tangan,parlemèn. Suatu bentuk pemerintah
jang bersifat monarhi parlementèr (parlementaire regeringsvorni)
berdasarkan dua azas :

1. radja tidak dapat diganggu-gugat, jang bertanggungdjaivab atas


seluruh kebidjaksanaan pemerintah ialah menteri baik bersama-
sama untuk seluruhnja maupun masing-masing untuk bagian-
nja sendiri.

2. bilamana bagian terbesar dari dewan perwakilan rakjat tidak


dapat menjetudjui kebidjaksanaan politik seseorang menteri,
maka menteri itu harus meletakkan djabatannja.

Ad 1:

■/ Azas ini dikenal djuga dalam hukum tatanegara Republik Indo­


nesia pada saat undang-undang dasar sementara tahun 1950 masih
berlaku. Lihatlah pasal 83 ajat 2 dari undang-undang dasar tersebut.
Agar menundjukkan pertanggungdjawabannja maka menteri atau
menteri-menteri jang bersangkutan turut-serta menanda-tangani
tiap keputusan (titah) radja. Sebab itu tiap keputusan (titah) radja
harus disahkan dengan dua tanda-tangan : satunja dari radja 'dan
lainnja dari menteri-menteri jang bersangkutan („contraseign” men­
teri; untuk hukum tatanegara Indonesia pada saat undang-undang
dasar sementara tahun 1950 masih berlaku, lihatlah pasal 85). Jang
bertanggungdjawab atas isi keputusan (titah) radja ialah menteri
atau menteri-menteri jang bersangkutan, dan bukan radja. Demikian
ajuga halnja dengan pengesahan undang-undang buatan Pemerintah
(lihatlah dibawah) bersama-sama dengan dewan perwakilan rakjat.
Azas ini terkenal dengan nama sistim tanggungdjaiwab menteri (m i-
nisteriële verantwoordelijkheid). Berdasarkan azas tersebut, maka
jang merujjakan Pemerintah ialah radja bersama-sama dengan se­
orang menleri atau beberapa orang menteri atati semua menteri.
Ad 2 :

Azas ini disebut sistim parlem entèr. (parlementair stelsel).


Bilamana radja hendak berbuat sesuatu, maka jang diperlukannja

314
ialah tanda-tangan menterinja (sistim. tanggungdjawab menteri) dan
apabila kebidjaksanaan politik menteri tersebut (menterilah jang
bertanggungdjawab terhadap parlemèn) tidak dapat disetudjui oleh
bagian besar dewan perwakilan rakjat, miaka menteri itu harus me­
letakkan djabatannja (sistim parlementer). Maka dari itu dapat
dikatakan, bahwa kekuasaan radja oleh kedua sistim tersebut telah
dipindahkan kedalam tangan parlemèn. Titik-berat kekuasaan ter­
tinggi negara terletak dalam tangan parlemèn. Inilah jang dimaksud
dengan monarlii parlementèr.
Dari tanggal 14 November 1945 sampai tanggal 5 Djuli 1959,
terketjuali dalam tiga kali keadaan darurat — tanggal 28 Djuni
1946-tanggal 2 Oktober 1946, tanggal 27 Djuni 1947-tanggal 3 Djuli
1947 dan tanggal 15 September 1945-15 Desember 1948 (semua
kekuasaan negara kembali dalam tangan Presiden) — dan pada saat
konstitusi R.I.S. berlaku, maka sistim parlementèr diterima positif
dalam hukum tatanegara Indonesia 61, tetapi sebagai suatu peraturan
hukum kebiasaan (convention) 62.

61 Dalam Pengumuman Badan Pekerdja K.N.I.P Nr 5 tertanggal 11 No­


vember M)45 (lihatlah berila R.I., I, hal. 4 ) diberitahukan bahwa
„Presiden menerima baik usul Badan Pekerdja, hingga dengan per-
setudjuan tadi dimulai adanja pertanggung-djawab para Menteri ke­
pada Badan Perwakilan Rakjat dalam susunan Pemerintahan Negara
R epublik Indone"sia” . Dalam Piagam-Persëtudjuan Pemerintah R.I.S.
dan Pemerintah R.I. ditentukan dalam pasal 3 huruf f : „Dewan
menteri harus bersifat Kabinet parlementair” , S u p o m o „Undang-
undang Dasar Sementara Republik Indonesia” , 1957 hal. 78
lam Djawaban Pemerintah R.I.S. atas Laporan Panitia Pelopor V.F.K.
tertanggal 3 Agustus 1950 adalah diterangkan, bahwa pasal-pasa
ajat 2 tidak menentukan, bahwa Kabinet itu harus bersifat parlemen
ter, melainkan pasal tersebut menetapkan, bahwa Kabinet harus er
tanggung djawab kepada Parlemen. Kabinet jang bertanggung jawa
itu dapat bersifat parlementer, dapal pula bersifat extra-parlementer,
afau zaken-kabinet, akan fefapi tidak dapat bersifat kabinet preftulenUl
jang tidak bertanggung djawab” . Bahwasanja pada saat R.I.S.
tidak ada suatu Pemerintah jang herlangguiig-djawab kepada J'“ **1“
parlemèn, itulah dapat dibatja dengan tegas dalam konstitusi R.I.S.
sendiri, jaitu dalam pasal 122, jang mengatakan „D.P.R. tidak dapat
memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri meletakkan djabatan-
nja” . Ketentuan sematjam itu tidak terdapat dalam undang-undang
dasar sementara tahun 1950. Memang, karena bertentangan dengan
kalimat pertama pasal 35 undang-undang dasar sementara tahun 1950
itu dan mcndjadi suatu ketentuan chusus bagi federasi.
62 B ô h 1 1 i n g k dalam karangan ¿De verhouding tussen regering en
volksvertcgenwoordiging in Indonésie sederl 1945 en in de tookonist' ,
„Indonésie” , Djuli 1953, hal. 64-79 (terutama hal. 7 5 ), beranggapan
bahwa sistim parlementèr jang pernah diterimp itu suatu peraturan
hukum kebiasaan dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950,
karena termasuk (inipliciet) pasal 83 (sistim tanggung-djawab men-

315
Seperti jnonarhi maka republik itu dapat digolongkan dalam
type-type dasar :

a. republik mutlak
h. irepublik konstilusionil
c. republik parlementer.
S
Republik kita adalah suatu republik konstitusionil — lihatlah
„Pendjelasan” atas U.U.D. : „Pemerintahan berdasarkan alas sistim
Konstitusionil (hukum dasar, tidak bersifat absolutisme (kekuasaan
jang tidak terbatas))” . Seperti jang kami katakan diatas tadi, maka
dari tanggal 14 November 1945 sampai tanggal 5 Djuli 1959, terke-
tjuali dalam tiga kali keadaan darurat dan ketika konstitusi R.I.S.
berlaku 63, negara kita pernah menerima sistim parlementer.

Dengan kenibalinja ke U.U.D. 1945 dan ditegaskannja manfaat


suatu kabinet presidensiil seperti jang diterima dalam U.U.D. 1945
itu (sesuai dengan konsepsi dan pelaksana konsepsi d em okra si ter­
p im p in ), makâ pada tanggal 5 Djuli 1959 sistim parlemtér di­
tinggalkan la g i64.

teri). Alasannja ialah tafsiran luas kata „bertanggung-d jawab” dalam


Pendjelasan (Tambahan L.N. Nr 37 hal. 9 ). Prof. Mr A.G. P r i n g -
Ko d i g d o („Perubahan kabinet presidensiil mendjadi kabinet par­
lementer” , 1954) berpendapat bahwa „perubahan jang terdapat di-
dalam hukum tatanegara Republik Indonesia pada bulan November
1945 itu bukan oleh karena Convention, tetapi perubahan hukum
jang disengadja ..............................” (hal. 6 7 ), Disinggung pula dalam
K u s u m a d i P u d j o s e w o j o (disusun bersama dengan I. G o n -
d o w a r d o j o ) „Pedoman” , 1959, bal. 115. Berbeda dari pendapat
Pringgodigdo adalah pendapat Dr I s m a i l S u n y, S.h.,
M.C.L. „Pergeseran kekuasaan eksekutif” , 1965, bal 29-30.
63 Lihatlah nootrnoot 61 dan 62.
Mengenai talanegara Negeri Belanda, jang pernah mendjadi tjontoli
bagi kita, Prof. K r a n e n b u r g „H el Nederl. staatsrecht” , 1951, hal.
164 djb., berpendapat bahwa sistim parlementer itu suatu peraturan
hukum kebiasaan, sedangkan Prof. Mr B u v s „D e Grondwet, Toe-
ichting en Kritiek” , 1883, I, hal.. 378, beranggapan bahwa sistim par- •
lementer mendjadi suatu sistim politik, suatu perbandingan kekuatan
mae its\erhouding). Pendapat kami — jang menolak pendapat senia-
jaih „reine Reclitslehre” — maka sistim parlementer itu baik pera-
uran m um maupun sistim politik (djangan lupa akan aspek alat
dan hukum !) . Lihatlah djuga noot 62 diatas tadi.
nialiltlr t,Uj U u ? m 1 n ^Pembahasan Undan#-umlaiiir Dasar Ré-
P0 j - 11 o ^ s ia ^ diberi suatu ichtisar tentang „Pelaksanaan U.U.D.
sesu a i Djuli 1959 dalam membentuk Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah” (hal. 137-367).

316
P ar. 5: B c u tu k . negara.

I. N egara kesatuan jang didesentralisasi ( gedecentraliseerde een-


heidsstaat).
II. Gabungan negara-negara (statenverbindingen) :

' a. protektorat
b. koloni .
c. konfederasi
d. federasi ^ondsstaat)
e. „Com m onwealth of Nations”
f. uni :

1. uni reil (reele unie)


2 . uni personil (personele unie).
\

I. N egara kesatuan jang didesentralisasi.


Jang dimaksud dengan suatu negara kesatuan ialah suatu negara
jang tidak terdiri atas beberapa daerah jang berstatus negara bagian
(deelstaat) (dengan undang-undang dasar sendiri, biasanja djuga
dengan kepala negara sendiri dan menteri-menteri sendiri), serta
merdeka dan berdaulat. Sedjak mulai berdirinja sampai sekarang,
terketjuali pada waktu berdirinja Republik Indonesia Serikat
(R .I .S.), negara kita merupakan suatu negara kesatuan jang dide­
sentralisasi (pasal-ipasal 1 ajat 1 dan 18 U.U.l). dan J ?
undang-undang dasar sementara tahun 1950, L.N.R.I-S. 1950 3Nr 56
(Undang-undang 1950 Nr 7 )).
W ilajah negara kesatuan jang didesentralisasi terdiri atas daerah-
daerah — jang tidak diberi suatu pouvoir constituant (kekuasaan
membuat undang-undang dasar) sendiri seperti jang diberi kepada
pemerintah 'suatu negara bagian (lihatlah dibawah) rumah
tangga daerah-daerah itu, tidak diatur oleh pusat, tetapi oleh pe­
merintah daerah-daerah tersebut. Kekuasaan iiii disebut kekuasaan
(hak) o to n o m i (autonom ie), atau dengan suatu istilah asli : kekua­
saan sivatantra.

II. Gabungan negara-negara.

a. P rotek tora t.
Suatu protektorat adalah suatu negara jang „dilindungi” (kata
„protektorat” berasal dari „to protect” (bahasa Inggris) = melin-

317
dungi) oleh suatu negara lain jang lebih kuat. Negara jang disebut
terahir ini mendjadi pelindungnja 65.

b. Koloni.
Suatu koloni adalah suatu daerah jang didjadjah oleh suatu
negara lain jang biasanja disebut „negara (negeri) ibu . KoloH*
biasanja merupakan bagian dari wilajah dari „negeri ibu” tetap1
ada djuga banjak koloni jang mempunjai teritur sendiri.
Hampir semua soal-soal penting koloni diatur oleh pemerinta
„negara ibu” .. Hanja soal-soal jang tidak penting diserahkan kepad®
pemerintah koloni jang bersifat wakil pemerintah „negeri ibu •

c. Konfederasi ( serikat negara-negara, statenbond) 66-

Suatu konfederasi (serikat negara-negara, statenbond) pada ha


kekatnja bukan negara, tetapi suatu serikat jang terdiri atas bebe
rapa negara, dan setiap negara itu merdeka dan berdaulat sepenuh'
penuhnja. Atau dengan kata lain : suatu konfederasi adalah suatu
serikat negara-negara jang masing-masing merdeka dan berdaulat
sepenuhnja. Serikat itu hanja „ikatan tertentu” jang diadakan anta'
ra negara-negara jang bersangkutan, karena beberapa kepentingaU
bersama-sama tertentu atau karena perkembangan historis. Pada
hakekatnja ikatan itu bukan lagi suatu ikatan menurut hukum
tatanegara, tetapi belum djuga suatu ikatan'menurut hukum inter*
nasional sepenuhnja (sedangkan anggauta serikat negara itu masing'
masing subjek sepenuhnja hukum internasional).
Kepada serikat biasanja diserahkan sebagian istimewa dari
urusan hubungan luar negeri, sehingga kepentingan masing-masing
anggauta serikat dalam hal-hal itu terhadap negara-negara lain
dapat diselenggarakan dan dipertahankan setjara kolektif (bersama-
sama) . Penjerahan urusan Kal-hal tersebut kepada serikat itu dida­
sarkan atas suatu persetudjuan — jang bersifat suatu traktat
antara anggauta-anggauta serikat.

65 G. S c e l l e „Cours de droit international public” , 1948, liai. 197


d jb; F r a n ç o i s „Handboek van het volkenrecht” , 1949, I ; v a n
A s b e c k „Onderzoek naar dén juridischen wereldbomv” , dis. L e id e n
1916 liai. 4-5, nienjebut tiga pengertian „protektorat .
66 Lihatlah H a n s K e l s e n „General Theory o f Law and State” , ha .
316 : Forms o f Organization. Federal State and Confederacy.

318

!
\
<1 . Federasi (negara serikat, bondsstaat) 67.

Suatu federasi (negara serikat, bondsstaat) adalah suatu negara


jan g terdiri atas beberapa negara, bagian (deelstaten) jang masing-
masing sendiri tidak berdaulat. Jang berdaulat ialah gabungan ne­
gara-negara bagian itu.
Suatu negara serikat memipunjai badan-badan pusat jang — ber-
i dasarkan suatu undang-undang dasar negara serikat — deradjatnja
lebih tinggi dari pada deradjat badan-badan negara bagian. Maka
dari itu keputusan badan serikat mengikat langsung penduduk dae­
rah negara-negara bagian (jang djuga mendjadi penduduk wilajah
negara serikat tersebut).
T iap-tiap negara bagian diberi kekuasaan jang bernama pouvoir
constituant. Karena kekuasaan itu, maka negara bagian mempu-
n ja i undang-undang dasar sendiri jang menguasakan pemerintahnja
m enetapkan peraturan-peraturan organisasi sendiri dan jang me­
ngusahakan pem erintahnja menjelesaikan soal-soal jang oleh serikat
diserahkan kepada negara bagian.

e- 55Com m onw ealth o f Nations” 6S.

Jang dimaksud dengan „Com m onwealth o f Nations, itu suatu


gabungan negara-negara jang terdiri atas ;
K eradjaan Inggris Serikat (United K ingdom ), Australia, Ka­
nada, Zeelandia Baru, India, Pakistan, Sailan, Ghana (bekas-koloni

67 Lihatlah ringkasan penting di buku G u s t a v R a d b r u c h „E in-


fiih ru n g” , hal.. 54-85 ; lebih luas K.C. W h e a r e „Federal Govern­
m ent” , 1947. Chusus buku W h e a r e ini dapat dianggap suatu
„standaardwerk” .,
68 Pem batjaan terpenting : Kuliah J.J. C h e v a l i e r di muka Académie
de D roit International di ’ s Gravenhage „L a Société des Nations bri­
tannique” dalam „R ecu eil des Cours” , 64 (1 9 3 8 ), bal. 237 djb. ;
A.B., K e i t h „D om inions as Sovereign States” , 1938; K.C. W h e a r e
„Statute o f Westminster and Dom inion Status” , 1938, dan „T h e Con­
stitutional Structure o f the Commonwealth” , 1960; P rof. Mr W .F.
Prins „Constitutionele liervormingen in liet buitenland sedert het
uitbreken van de tweede wereldoorlog” dalam T . 1948, hal., 49 d jb .;
P ro f. Mr R. K r a n e n b u r g , „Algem ene staatsleer” 1955, hal. 163
djb. ; S.D., B a i l e y (e d .) „Parliamentary Government in the Com­
m onwealth” , 1951 ; C.H. C u r r e y „T h e British Commonwealth
since 1815” 2 djilid, 1950-1951; W .R . B r o c k „Britain and the D o­
m inions” , 1 9 5 2 ; C. H o o d P h i l l i p s „T h e Constitutional Law
o f Great Britain and the Commonwealth” , 1 95 2; Sir I v o r Jen­
n i n g s „T h e Britisch Commonwealth o f Nations” , 1 95 6; K e n n e t h
Bradley (e d .) „T h e Living Commonwealth” , 1961.

319
Gold Coast), Federasi Nigeria, Cyprus, Sierra Leone, Kenya, Rho­
desia, Tanzania dan Federasi Malaja 69.
Anggauta „Commonwealth” adalah negara jang berdaulat-dan
xaerdeka s e p e n u h - p e n u h n j a . Ikatan „Commonwealth” itu hanja ika­
tan politik dan tidak merupakan ikatan hukum. Jang mendjadi da­
sar ikatan „Commonwealth” ialah azas kerdja-sama antara anggauta
•dalam lapangan ekonomi, perdagangan dan keuangan. Kerdja-sama
itu berdasarkan kesukarelaan anggauta „Commonwealth” , dan oleh
para peserta „Imperial Conference” tahun 1926 dirumuskan seba-
Jbagai berikut :
„They (dominions itu) are autonomous communities within the
British Empire, equal in status, in no way subordinate one to
another in any aspect o f their domestic or external affairs, through
united by a common allegiance to the Crown, and freely associated
as members of the British Commonwealth of Nations” (ramus dari
Laporan-B a I f o u r) 70.

_ ,i. Uni.
Suatu uni ada, apabila dua (atau lebih) negara merdeka dan
berdaulat mempunjai satu kepala negara sama; jakni dua negara
dikepalai oleh satu kepala negara. Kepala negara dari negara jang
satu mendjadi djuga (serentak) kepala negara dari negara jang lain.
Uni itu ada matjam :

1. uni reil (reele unie)



2. uni personil (personele unie).

Bilamana negara-negara jang tergabung dalam satu uni mengu­


rus hubungan mereka dengan negara-negara lain dengan perantaraan
beberapa badan jang bersama-sama, maka uni itu suatu uni reil
{jakni suatu uni sungguh-sungguh). Tetapi bilamana negara-negara
ja n g tergabung dalam satu uni setjara tersendiri (afzonderlijk) m e­
ngurus semua hal, baik hubungan dengan luar negeri maupun soal-
soal dalam negeri, maka uni itu hanja suatu uni personil sadja.

69 Bekas-koloni Inggris Birma tidak masuk „Commonwealth” , tetapi m a­


suk „Sterling Area” . Uni Afrika Selatan, sesudah mendjadi sebuah
Republik pada tanggal 31 Mai 1961, telah mengundurkan diri dari
„Commonwealth” ,
70 W.J.M. v a n E y s i n g a „D e Imperial Conference van 1926” dalam
„Mededelingen der Kon. Akadcniie van wetenscliappen” , Afd. Letter-
kunde, deel 64, serie B, nr 1.

320
Par. 6: R i n g k a s a n sangat singkat dari se d j a ­
r a h n e g a r a k i t a d a r i t a n g g a l 17 A g u s t u s 1 9 4 5
s a m p a i t a n g g a l 5 'D j uli 1959 (Dekri t P re s i de n
jang m end jadikan berlaku kembali U. U. D.
1 9 4 5 ) -i ' '

71 Pembatjaan mengenai perkembangan politik, kenegaraan dan sosial


di Indonesia sesudah lahun 1942 sampai tanggal 5 Djuli 1959 :
Dokumenter : „Konperensi Medja Bundar, kenjataan-kenjataan dan
dokumen-dokumen” , 1949, dan Prof. Mr H. M u h. Y a m i n „Nas­
kah persiapan Undang-undang Dasar 1945” , 3 djilid, 1960. Uraian dan,
pembahasan : F.C. J o n e s ,;Japan’ s New Order in East Asia. Its
Rise and Fall 1937-1945” , 1954; W i l l a r d H. E l s b r e e „Japan’ s
Role in Southeast Asian Nationalist Movements 1940 to 1945” , 1953;
M.A. A z i z „Japan’ s Colonialism and Indonesia” , 1955; H a r r y
J. B e n d a „T h e .Beginnings o f the Japanese Occupation o f Java”
dalam „F ar Eastern Quarterly” , 15 (Agustus 1956), hal. 541-560, dan
,,The Crescent and the Rising Sun : Indonesian Islam under the Jap­
anese Occupation” , 1958; R.M. G a n d a s u b r a t a „A n Account
o f the Japanese Occupation o f Banjumas Residency, Java, March 1942
to August 1945” , 1953; A.J. P i e k a a r „Atjeh en de oorlog met
Japan” , 1949; B e n e d i c t R.Ö.G. A n d e r s o n „Some Aspects
o f Indonesian Politics under the Japanese Occupation : 1944-1945” ,
1 96 1; A.K. P r i n g g o d i g d o „Sedjarah Pergerakan Rakjat Indo­
nesia” , 1950 (tjetakan ke-empat : 1 96 0); Dr B e r n h a r d D a h m
„Sukarno’ s K am pf um Indonesiens Unabhängigkeit” , tesis Kiel 1965;
C i n d y A d a m s „Sukarno —— An Autobiography as Told to Cindv
Adams” , 1965; B e r m a \v i S a i d „Tilldjauan KcvoJum’ I n d o n e s i a " ,
195 0; Kol. (sekarang Djenderal) A.H. N a s u t i o n ,,Pokok-pokok
gerilja” , 1953; Major Djenderal T.B. S i n i a t u p a n g „Laporan
dari Banaran. Kisah pengalaman seorang pradiurit selama Perang
Kemerdekaan” , 1960; Prof. Mr Dr S u p o m o ,,Soal Negara Indo­
nesia Serikat dan Uni Belanda-Indonesia” , 1948; Mr Dr C. S m i t
„D e Indonesische Questie” , 1952 (dengan daftar pembatjaan pada hal.
2 8 3 -2 8 5 ); G e o r g e M c T u r n a n K a h i n „Nationalism and
Revolution in Indonesia” , 1952, „The Asian-African Conference, Ban­
dung Indonesia, April 1955” , 1956, dan „Indonesia” dalam G e o r g e
M c T. K a h i n (ed ) „M ajor Govermnients o f Asia” , 1958, hal.
4-71-592 (dengan daftar pembatjaan pada hal« 583-592) ; S. S j a h r i r
„Perdjuangan kita” , 1946 (dalam bahasa Belanda „Onze strijd” , 1946) ;
„Indonesie in den Veiligheidsraad van de Verenigde Naties” . I s/d VI,
1947-1950; W.F.. W e r t h e i m „Linggardjati” dalam „D e Nieuwe
Stem” , 1947, 1, dan „Indonesian Society in Transition” , 1956 (tje­
takan kedua : 1 9 5 9 ); W i l l i a m Henderson „Pacific Settle­
ment o f Disputes : The Indonesian Question 1946-1949” , 1954;
I.N. D j a j a d i n i n g r a t „T he Beginnings o f tl\e Indonesian-Dutch "
Negotations and the Hoge Veluwe Talks” , 1958; G W . O v e r d i j -
k ink „H et Indonesische probleem” , I : „D e feiten” , 1946, II :
„N ieuwe feiten” , 1948; J. d e K a d t „D e Indonesische tragedie.
Het treurspel der gennste kiuisen , 1949; H.J. > a n M o o k „In ­
donesie, Nederland en de wereld” , 1949, dan „The Stakes o f De­
m ocracy in South East Asia” , 1950; Mr A. S t e m p e l s „D e par-
lcmcntaire geschiedenis van het Indonesische vraagstuk” , 1950;
O. v a n N i s p e n t o t S e v e n a e r „D e Ronde-Tafelconferentie
in zake de overdracllt der souvereiniteit aan Indonesie” , 1950;

321

\
G-A.M.J. R u y s d e B e e r e n b r o u c k „Souvereiniteitsoverdrach 1
aan Indonésie” , 1950; P.S. G e r b r a n d y „Indonesia” , 1950;
David Wehl „T he Birth o f Indonesia” , 1948; Charles
Wolf Jr „T he Indonesian Story” , 1948; A li Sa si r o a m * '
d j o j o dan R o b e r t D e l s o n „T h e Status o f the Republic o f
Indonesia in International Law” dalam „Colum bia Law Review” , 49
(M aret^l949), hal. 344-361 ; M o h . H a t t a „Kum pulan karangan” »
19o4, Bab XIII : Sambutan tudjuh belas Agustus; R u p e r 1
Emerson „Representative Government in Southeast Asia” , 1955,
dan „From Empire to Nation. The Rise to Self-Assertion o f Asian a n d
African Peoples” , 1960; W.. M a c M a h o n B a l l „Nationalism and
Communism inE ast Asia” , 1956; D. W o o d m a n „T h e Republic o f
Indonesia” , 1956; S o e d j a t m o k o „T h e Role o f Political Par­
ties in Indonesia” dalam P.W. T h a y e r (e d .) „Nationalism and
Progress in Free Asia” , 1956, hal. 128 140; H e r b e r t F e i t h „T he
Indonesian Elections o f 1955” , 1957, „T he W ilopo Cabinet 1952-1953:
Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia” , 1958, „Indonesia’
G e o r g e M e T. K a l i i n (ed .) „Governments and Politics
o f South Asia” , 1959, liai. 153-238 dan „T h e Decline o f Constitutional
History in Indonesia” , 1962; L o u i s Fischer „T h e Story o f
Indonesia” , 1959; J a m e s Mossman „R ebels in Paradise.
Indonesia’ s Civil War” , R u t h T. Me V e v „T h e Soviet V ie*
o f the Indonesian Revolution” , 1962, dan (se’bagai editor) „In d o ­
nesia , 1963; A r n o l d C. B r a c k m a n „ I n d o n e s ia n Communism*
A-History” , 1963; D o n a l d Hindley „T h e Communist Party
o f Indonesia, 1951-1963” , 1964, dan pidato-pidato Presiden S o e ;
k a rn o tiap-tiap tahun pada tanggal 17 Agustus, jang memberi
gambaran tentang dan reaksi atas keadaan dan perkembangan politik*
Pembatjaan mengenai perkembangan hukum sampai tanggal 5 Djul»
1959 : Dokumentèr : Prof. Mr H. M u h., Y a m i n „Naskah p e r s ia p a n
ndang-undang Dasar 1945” , 3 djilid, 1960. Uraian dan pembahasan •
p i” Uf, 1 » Hukum Tata Negara Republik Indonesia Dalam Masa
reralihan , I, tjetakan kedua ; P r o f . Mr A.G, P r i n g g o d i g d o
V ^ ‘ anegara .di Djawa pada waktu pendudukan Djepang” , tjeraniah
t i di Jogjakarta; Mr R. S a s t r a n e g a r a „H ukum talanegara
Indonesia sedjak perang dunia ke-II” , 1953; Mr A.A. Z o r a b „D e
Japanse bezetting van Indonésie en haar volkenrechtelijke zijde” , dis*
i en 1955; Mr M. Y a m i n „Proklamasi dan Konstitusi Republik
n onesia , 19o2, dan ,,Pembahasan Undang-undang Dasar Républik
n onesia , 1960; Pengurus Senat dan Senat Univ. „Gadjah Mada”
,, em aliasan ilmiah mengenai susunan pemerintahan Negara Republik
Indonesia» i 959; Prof Mr R D . K o 1 1 e w i j n dan Dr R., v a n
1 «Staatsrecht en Rechterlijk organisatie van Indonésie in over-
gaugstyd’ , 1949, dengan supplement 1950; Mr F.R. B o Ii t 1 i n g k
,, taatsrecht in Indonésie 1942-1951, samengesteld uit materiaal van
he Documentatiebureau voor Overzees Redit te Leiden” , 1951, dan
” ^ 'erhouding tussen regering en v o lk sv erteg en w oord ig in g in I n d o ­
nésie sedert 1945 en in de toek om st” dalam „Indonésie” , VII, liai.
64-79; A. A r t h u r S c h i l l e r „T he Formation o f Federal Indo­
nesia, 1945-1949” , 1955; D e n i s L e v y „L a constitution de la
République de 1’ Indonésie” dalam „Revue Intern, de Droit Comparée” ,
IV, 9 (April-Djuni 1952), hal 268-280; Prof. J.H.A. L o g e m a n n
„H et staatsrecht van Indonésie” , 1954; Mr A.K.. P r i n g g o d i g d o
„Kedudukan Presiden menurut tiga Undang-undang Dasar dalam teori
dan praktek” , 1956; karangan-karangan dalam „Mededelingen van
het Documentatiebureau voor overzees recht” ; K a h i n dalam „M a­
jor Governments o f Asia” _(lihatlah diatas) ; J.D. L e g g'e „Central

322
Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hinida-Belanda di tanah
Indonesia berahir de facto karena pendudukan tentara Djepang.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Negeri Djepang kalah, selandjutnja,
pada tanggal 17 Agustus 1945 maka Indonesia memproklamasi ke-
m erdekaannja 72.
Dalam Persetudjuan Linggardjati tertanggal 25 Maret 1947 jang
diadakan antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik

Authority and Regional Autononiy in Indonesia : A Study in LocaI


Administration' 1950-1960” , 1961, dan I s m a i l S u n y, S.h., M.C.L.
„Pergeseran kekuasaan eksekutif” , tesis Djakarta (U .I.) 1961 (dengan
daftar penibatjaan pada hal. 202 -2 1 0 ) .
72 Pada tanggal 28 Mai 1945 dilantik Badan Penjelidikan Persiapan Usa­
ha-usaha Kemerdekaan Indonesia dibawah pimpinan Dr R a d j i m a n
W e d i o d i n i n g r a t , jang bertugas merentjanakan sualu konstitusi.
Pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, jang pada tanggal 18 Agustus 1945, sesudah pada tanggal
17 Agustus Republik Indonesia diproklamasi oleh Ir S u k a r n o dan
Drs (sekarang D r) M o h . H a t t a , menerima rantjangan Undang-
undang Dasar (1 9 4 5 ) dan memilih Ir S u k a r n o dan Drs H a t t a
sebagai Presiden dan Wakil-Presiden Republik Indonesia. Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia ini djuga membentuk Komite Na­
sional Indonesia. Tentang lahirnja Republik Indonesia dan dibuatnja
U.U.D. (1 9 4 5 ) batjalah : M u h a m m a d Dimyati „Sedjarah
perdjuangan Indonesia” , 1950; gambaran jang dibuat D i m y a t i
pada lial. 90 bukunja dikritik keras oleli M o h . H a t t a dalam
karangannja ,,Legende dan realitet sekitar Proklamasi 17 Agustus”
dimuat dalam ,,Mohammad Hnlla. Kumpulan karangan” , IV, 1954,
bal. 2 7 9 -2 8 6 ; G e o r g e M c T., K a h i n „Nationalism and RevoI-
ution in Indonesia” , 1952; Prof. Mr A.G. P r i n g g o d i g d o „S e­
djarah pembuatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1954” dalam „M adjalah Hukum dan Masjarakat” , III 2 (Mai 1958),
hal. 3-26, dan beberapa tjatatan dalam „Perubahan kabinet presidensiil
m endjadi kabinet parlementer” , „Sedjarah singkat berdirinja Negara
R epu blik Indonesia” dalam madjalah „Swatantra” , II (1 9 5 8 ), Nr 8 ,
9 dan 1 0 ; Prof., Mr Drs N o t o n a g o r o „Pemboekaan Oendang-
oendang Dasar 1945 (P okok kaidah fundamentil Negara Indonesia)” ,
pidato dies Surabnja 1955; Pengurus Senat dan Senat Univ., „Gadjah
Mada” „Pembahasan ilmiah mengenai, susunan pemerintahan Negara
R epublik Indonesia” , 1959; A d a m M a l i k „Riwajat dan perdjua­
ngan sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945” ,
1956 (dalam karangan ini A d a m M a l i k mendjelaskan peranan
besar C l i a e r u l S a l e h dan S u k a r n i dalam persiapan dan
pentjetusan Proklamasi 17 Agustus 1945) ; S i d i k Kertapati
„Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945” , 1957; H.J. d e G r a a f „T h e
Indonesian Declaration o f Independence” , R .K .I., 115 (1959, bal.
3 0 5 -3 2 7 ; „Lahirnja Pantjasila” , pidato B u n g K a r n o dalam Ba­
dan Penjelidik Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 1 Djuni 1945; sebagai penerbitan terahir, karja dokumenter
dari P rof. Mr M u h„ Y a m i n jang disebut pada noot 72 diatas ini;
Mr A l i B a s j a L o e b i s „Undang-undang Dasar R.I. 1945” , 1963.
Dalam madjalah „Penelitian Sedjarah” dibuat suatu rangkaian (serie)
karangan-karangan jang mengisahkan peristiwa-peristiwa sekitar Prok­
lamasi <lan dalam Revolusi (Perdjuangan) Kemerdekaan tli. 1945-
th„ 1949.

323
Indonesia, maka pemerintah Republik Indonesia diakui de facto
(pasal 1) didaerah Djawa, Madura dan Suniatera jang tidak di­
duduki oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemerintah ini telah
kembali di Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945.
Oleh karena Persetudjuan Linggardjati oleh kedua belah fihak
ditafsirkan setjara jang berlain-lainan dan agar dapat memaksa taf-
siran mereka diterima oleh pimpinan Republik Indonesia kita, maka
fihak Belanda dua kali melakukan agrèsi, jaitu aksi militèr jang
pertama (21 Djuli-4 Agustus 1947) — jang mengakibatkan perseli­
sihan Indonesia-Belanda dibawa kedalam Dewan Keamanan P.B.B.
(31 D ju li)73—- dan aksi militèr jang kedua (18 malam-19 D e­
sember 1948) — jang membawa perselisihan Indonesia-Belanda un­
tuk kali keduanja dalam Dewan Keamanan P.B.B. 7'i .
Pada tanggal 7 Mai 1949 dikeluarkan „V an Royen-Roem Sta-
tement” sebagai hasil perundingan antara suatu delegasi Belanda
dibawah pimpinan Dr J.H. v a n Royen dan suatu delegasi
Republik Indonesia dibawah pimpinan Mr M o e li a m m a d R o e m
dibawa'h pengawasan U.N.C.I. (United Nations Commission fo r In­
donesia) . Perundingan tersebut diadakan untuk melaksanakan „ru-
ling” Dewan Keamanan P.B.B. tertanggal 23 Maret 1949 dan mela­
pangkan djalan ke Konverensi Medja Bundar (KJVI.B.), jang ke­
mudian diadakan di kota ’s Gravenliage (Negeri Belanda) dari tang­
gal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2 November 1949. /

Sedari saat kenibalinja di Indonesia, maka oleh pemerintah


Belanda, dengan maksud jang sebenamja memetjah-belah kekuatan
persatuan bangsa Indonesia, diadakan persiapan pembentukan suatu
negara federasi jang akan bernama „Negara Indonesia Serikat jang
merdeka dan berdaulat” 75. Berturut-turut diadakan beberapa ne-

^ ini!«1*3*1- ^ 'r» ^ ^ n „P“c'fic Seulement of Disputes: The


Indones'au Quesho" „Yearbook of ,he United Nations” ,
i ■i ’ j « am bahasa Belanda : „Indonésie in de Veilig-
iieidsraad van de Veren.gde Naties” , enam djilid; dalam bahasa Indo­
nesia : a.l. Dr Mr T.S.C. M u l i a „Perserikatan Bangsa-bangsa., Buku
penuntun” ; 19 d2, hal. 160 djb. (Bab X II : Imlonesia dalam Dewan
Keamanan), lebih singkat : H a z i l „Kearah satu dunia” , 1951, hal.
68-71.
74 „Indon. in de Veiliglieidsraad v.d„ Ver. Naties” , V (Novem ber 1948-
Djanuari 1 94 9), hal. 32-141; M u l i a „Perserikatan Bangsa-bangsa” ,
hal. 197 djb.
75 Prof. Mr R. D. K o l l e w i j n dan Dr R. v a n D i j k „Staatsreclit
en Rechterlijke Organisatie van Indonésie i n overgangstijd” , 1949,
dengan supplément, 1950; Mr R. S a s t r a n e g a r a ,,Hukum tata-
negara Indonesia sedjak perang dunia ke-II” , 1953; A.A. S c h i l l e r
„T h e Formation o f Federal Indonesia, 1945-1949” , 1955; P rof. Mr

324
gara bagian : Negara Indonesia Timur (N.I.T.) (L.N.H.B. 1946
Nr 143), Negara Sumatera Timur (N.S.T.) L.N.H.B. 1947 Nr 176
dan Nr 217), Negara Pasundan (L.N.H.B. 1948 Nr 52 dan Nr 95),
Negara Madura (L.N.H.B. 1948 Nr 42), Negara Sumatera Selatan
(L.N .H .B. 1948 Nr 204 dan Nr 326) dan Negara Djawa Tinmr
(L.N .H .B. 1948 Nr 303 dan L.N.H.B. 1949 Nr 250), dan persiapan
pembentukan negara-negara bagian di beberapa daerah lain : Ka­
limantan, Djawa Tengah, sedangkan berdasarkan L.N.H.B. 1948 Nr
178 dan L.N.H.B. 1949 Nr 62 dilakukan persiapan pembentukan
euatu daerah ibu kota federal Djakarta.

Pada tanggal 23 Agustus 1949 K.M.B. dibuka. Delegasi Repu­


blik Indonesia dipimpin oleh Drs H a t t a, delegasi Negeri Belanda
dipim pin oleh Mr v a n M a a r s e v e e n dan delegasi B.F.O.
(„Bijeeiikom st voor Federaal Overleg” , jang mewakili negara-negara
bagian jang telah dibentuk) dipimpin oleh Sultan H a m i d II dari
Pontianak. Perdana menteri Belanda Dr W. Drees dipilih men-
djadi ketua K.M.B. Hasil K.M.B. dipermaklumkan nada persida­
ngan penutup umum tertanggal 2 November 1949 76.
Pemulihan kedaulatan Indonesia atas seluruh wilajah bekas-
Hindia-Belanda, terketiuali Irian ,Barat, dilakukan di ibu kota
Negeri B ela n d a ’f Amsterdam) pada tanggal 27 Desember 1949 77.
Mulai dari waktu itu dunia internasional mengakui de jure Republik
Indonesia Serikat sebagai suatu negara jang merdeka dan berdau-

W .G. V e g t i n g ..Federale staatsbouw in Indonesie” dalam „B f-


stuurswetenschappen” , 1949, hal., 4-43; Dr L.G.M. J a c q u e t „In ­
donesie op de .^veg naar de Democratie” dalam „Bestuursvraagstukken
(Soal-soal pem erintah)” , April 1949, hal. 157 djb.; R. S u m a r -
so no „D e Hedendaagse Staatkundige Hervormingon” dalam „Be-
stuursvraagstukken” tersebut nomor Djuli 1949, hal. 307 djb.; Mr J.W.
L e v y „T w ee jaar Oost-Indonesie” dalam madjalah „Indonesie” ,
1948-1949, hal. 4 2 9 ; Mr R. V e n e m a „Ontwikkeling van federaal
staatsrecht in Indonesie” dalalm madjalah „Indonesie” , 1948-1949,
hal 163..
76 Lihatlah L.N .R .IS 1950 Nr 2 . Hasil K.M .B* adalah suatu nerdjan-
djian internasional jang diatur menurut hukum internasional. Batialah
I karangan P rof. Mr G?J. R e s i n k „Contouren van het Unie-Statuut”
dalam ,',Orientatie” , April 1950, lial. 32 djb..
77 Oleh karena pemulihan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, .
maka bagian pertama (1945^1949) perselisihan Indonesia-Belanda di-
ahiri.. Bagian kedua perselisihan ini, jaitu soal Irian Barat, baru di­
selesaikan pada tanggal 1 Mai 1963..

325
lat 78. Pada tanggal 28 September 1950 Republik Indonesia (negara
kesatuan) mendjadi anggauta ke-60 dari Perserikatan Bangsa-
bangsa (P.B.B.).
Pada tanggal 27 Desember 1949 mulai berlaku „Konstitusi
R.I.S.” sebagai_undang-undang dasar Republik Indonesia Serikat.
Undang-undang Dasar 1945 tetap berlaku sebagai undang-undang
dasar negara bagian Republik Indonesia.
Struktur federal negara kita tidak diterima oleh bagian besar
aliran-aliran politik jang sedjak tahun 1945 m empunjai tjita-tjita
akan lahirnja suatu negara kesatuan Indonesia. Pada ahirnja aliran-
aliran unitaristis itu dapat mengalahkan aliran-aliran jang hendak
meneruskan struktur federal (aliran-aliran federalistis). Struktur
feHeral dibongkar dan diganti oleh suatu struktur unitaristis. Indo­
nesia mendjadi suatu negara kesatuan.
Antara bulan Maret 1950 dan April 1950 beberapa negara ba­
gian dan daerah-daerah lain („daerah pulihan” ) dengan sukarela
menjatukan diri dengan negara bagian Republik Indonesia. Dari
kedjadian-kedjadian itu telah ternjata sudah tentu struktur federal,
jang mendjadi tjiptaan pemerintah Belanda untuk danat memetjah-
belah persatuan Indonesia dan mendapat djaminan lebih besar akan
dilandjutkan pengaruhnja di wilajah Indonesia (pengaruh „neko-
lim ” ), tidak lagi dapat diteruskan. Sudah tentu struktur negara kita
akan berubah struktur unitaristis, jang telah mendjadi tjiptaan kita
sendiri sedjak tanggal 28 Oktober 1928 (Konggrès Indonesia Muda)-
Pada tanggal 17 Agustus 1950 undang-undang dasar sementara,
jang berlaku sampai tanggal 5 Djuli 1950, mengganti konstitusi
R.I.S., karena — seperti jang disebut dalam konsiderans — „Negara
jang berbentuk republik-kesatuan ini sesungguh-sunggulinja tidak
lain dari pada Negara Indonesia jang kemerdekaannja oleh Rakjat
diproklamasikan pada hari 17 Agustus 1945, jang semula berbentuk
republik-kesatuan dan kemudian mendjadi republik-fedeçasi” 79.

78 Pengakuan de facto dan pengakuan de jure adalah dua pengertian


hukum internasional. Apabila sesuatu pemerintah mengakui de facto
suatu pemerintah lain, maka hal ini berarti bahwa pemerintah jang
mengakui hendak mengadakan hubungan terbatas diplomatik dan
konsuler dengan pemerintah jang diakui. Bilamana hubungan d en g a n
luar negeri didjalankan setjara biasa,- maka pemerintah jang ber­
sangkutan telah diakui de jure (lihatlah a.l. F r a n ç o i s „H andboek
van liet volkénrechl” I, hal. 181).
79 L.N.R.I.S. 1950 Nr 56 (Undang-undang 1950 Nr 7 ) .

326
Hasil-liasil K.M.B. dan. Uni Indonesia-Belanda, jang mendjadi
salah satu hasil-hasil K.M.B. itu, tidak dapat hidup lama Pada
tanggal 10 Agustus 1945 ditandatangani suatu Protokol Pembubaran
U ni (persetudjuan S o e n a r j o - L u n s ) , dan selandjutnja, Protokol
itu disampaikan kepada dewan perwakilan rakjat masing-masing
peserta supaja disetudjui. Tetapi ratifikasi Protokol tersebut tidak
dapat ditjapai, karena D.P.R. tidak diberi kesempatan menjetudjui-
nja. Hal ini disebabkan oleh oposisi kabinet Mr A li S a t r o a m i -
d j o j o - A r i f i n, jang meniboycot sidang D.P.R. sehingga bidang
iu tidak dapat mentjapai quorumnja jang perlu untuk danat mem­
buat suatu keputusan.
Selandjulnja, pada permulaan bulan Februari 1956 Pemerintah
Indonesia menghapuskan setjara „eenzijdig” seluruh hasil-hasil
K .M .B .. Pada bulan April 1956 Pembatalan K.M.B. dan Uni Indone­
sia-Belanda disetudjui oleh D.P.R. (jang teroilih dalam pemilihan
um um pada tanggal 29 September 1955). Lihatlah Undang-undang
tahun 1956 Nr 13 tentang Pembatalan K.M.B., L.N. 1956 Nr 27.
Undang-undang ini memuat suatu daftar perdjandjian-perdjandjian
K .M .B. jan g oleh pemerintah kita dianggap batal untuk hari kemu­
dian.
W alaupun Pembatalan K.M.B. ini merupakan suatu pukulan
besar terhadap kenentingan ekonomis Belanda di Indonesia, masih
d juga Pembatalan K.M.B. ini tidak mengalriri semua kepentingan
Belanda itu. Proses dekolonisasi ekonomi Belanda (Proses mem­
bebaskan diri dari kolonialisme ekonomis Belanda) diteruskan.
A h irn ja , diteruskannja pendjadjalian Belanda jang tidak sah (
tidak dengan persetudjuan pemerinta'h “kita) atas wilajah provinsi
Irian Barat dan sikap terus menolaknja pemerintah Belanda untuk
berunding dengan pemerintah kita tentang status wilajah Irian Barat
di kem udian hari berdasarkan konsepsi penjerahan wilajah Irian
Barat kepada R epublik Indonesia, jaitu persengket-an antara Re­
pu blik Indonesia dan Negeri Belanda tentang wilajah Irian Barat,
m en d ja d i suatu alasan tjukup kuat untuk menasionalisasi semua ke-
punjaan Belanda di Indonesia. Sesudah usaha-usaha pemerintah kita,
m elalui Sidang Umum (General Assembly) P.B.B pada bulan No­
vem ber, 1957 80 memaksa pemerintah Belanda berunding dengan

80 M engenai perdjuangan Irian Barat dalam P.B.B. batjalali „T he Ques­


tion o f West Irian in the United Nations, 1954-1957” , diterbitkan
oleli Kem enterian Luar Negeri R .I.

327
pem erintah kita tentang status wilajah Irian Barat, gagal, maka pa­
da tanggal 3 Desember 1957 dilakukan Aksi Irian Barat, jang m e­
ngakibatkan semua kepunjaan Belanda di Indonesia diam bilalihkan
oleh pemerintah kita. Pengambilalihan kepunjaan Belanda ini di­
susul olefh nasionalisasi kepunjaan Belanda berdasarkan Undang-,
undang tahun 1958 Nr 86, L.N. 1958 Nr 162 (M em ori Pendjelasan
dalam Tambahan L.N. Nr 1690; pelaksanaan dalam peraturan P e­
merintah tahun 1959 Nr 2, L.N.1959 Nr, 5, Badan Nasionalisasi
Perusahaan Belanda dibentuk berdasarkan peraturan Pemerintah
tahun 1959 Nr 3, L.N. 1959 Nr 6). Peraturan Pemerintah tahun
1959 Nr 9, L.N. 1959 Nr 16, mengatur tugas-kewadjiban Panitia
Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan-perusahaan M ilik Belanda
jang dikenakan Nasionalisasi dan tjara mengadjukan permintaan
ganti kerugian.
Karena lama-kelamaan ternjata bahwa ekonom i liberal dan de­
mokrasi liberal tidak dapat membawa penjelesaian persoalan-persoa­
lan pembangunan masjarakat kita sehingga m endjadi suatu masjara-
kat jang adil dan makmur, maka pada tanggal 19 Februari 1959
Pemerintah (K abinet Djuanda) mengumumkan konsepsi
„pelaksanaan demokrasi terpimpin -dalam rangka kembali Undang-
undang Dasar 1945” 81. Pada tanggal 22 A pril 1959 konsepsi
Pemerintah tertanggal 19 Februari 1959, jaitu „pelaksanaan dem o­
krasi terpim pin dalam rangka kem bali ke Undang-undang Dasar
1945” , dengan amanat Presiden jang bernama „R es publica ! Sekali
lagi Res Publica !” , disampaikan kepada sidang pleno Konstituante
R-I. di kota Bandung, supaja Undang-undang Dasar tahun 1945 oleh
Konstituante tersebut ditetapkan sebagai Undang-undang Dasar R e­
publik Indonesia sekarang dan mengganti undang-undang dasar
sementara tahun 1950 dahulu. Perdjuangan „kem bali ke U.U.D.
tahun 194,:> dalam Konstituante gagal sesudah diadakan pemungutan
suara pada tanggal-tanggal 30 M ai, 1 D iuni dan 2 D juni 1959.
Karena Konstituante tidak berhasil menetapkan U.U.D. taliun
1945 sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia sekarang
karena „berhubung dengan pernjataan sebasian besar Anggota-

81 Lihatlah djuga keterangan Pemerintah mengenai pelaksanaan d em o­


krasi terpimpin dalam rangka kembali ke U.U.D. tahun 1945 pada
tanggal 2 Maret 1959 dalam „K em bali ke Undang-undang Dasar
1945” , hal. 37 djb..; karangan Mr A.J. M a i n a k e dalam madjalali
„P adjadjaran” , I, 3, hal. 60-63. Keputusan Pemerintah te r t a n g g a l 19
Februari 1959 dapat dibatja dalam „K em bali ke Undang-undang Da­
sar 1945” , hal. 5-10.

328
anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak meng­
hadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin Jagi menjelesaikan
tugas jang dipertjajakan oleh Rakjat kepadanja” , karena „h al ja n g '
dem ikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan jang m em bahaja-
kan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mentjapai masjarakat jang
adil dan makmur” , maka tidak ada djalan lain bagi Presiden untuk
mengeluarkan Dekrit tertanggal 5 D juli 1959.
Pengeluaran Dekrit tersebut dipertanggungdjawabkan dalam
„M anifesto Politik Republik Indonesia” (M anipol).
Pada tanggal 19 Desember 1961 konfrontasi fisik terhadap Ne­
geri Belanda diperhebat dengan ditjetuskannja „T rikora” („T r i K o ­
m ando Rakjat” ). Hasil „T rikora” adalah pada tanggal 1 Mai 1963
w'ilajah Irian Barat oleh P.B.B diserahkan kepada Republik Indo­
nesia dan dengan demikian persengketaan antara Republik Indo­
nesia dengan Negeri Belanda tentang Irian Barat, telah diselesaikan
dengan baik.

Par. 7: P e m b u k a a n U. U. D., Pantjasila dan


_ A z a s - A z a s Dasar- R e p u b l i k I n d o n e s i a .

Apakah jang m endjadi sebab dan dasar lahirnja negara kita


dan apakah jang merupakan azas-azas dasar negara kita ? Hal itu
'dapat dibatja setjara sin,gkat dalam Pembukaan U.U.D.
Ketiga kalimat jang pertama dari Pembukaan mengatakan apa
jang m endjadi alasan untuk lahirnja negara kita, jaitu :
„Bahw a sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka peiuljadjahau tliatas dunia harus diha­
puskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perike-
adilan.
Dan perdjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa m e­
ngantarkan Rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indo­
nesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Tuhan Jang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan Luhur, supaja berkehidupan kebang-
saan jang bebas, maka Rakjat Indonesia menjatakan dengan ini
kemerdekaanrija, jang berbahagia dan luhur” .
Kalim at tera'hir dalam Pembukaan m enjebut azas-azas kenega­
raan negara kita, termasuk d juga tjita-tjita bangsa Indonesia. Jang
m endjadi azas-azas kenegaraan negara kita dan tjita-tjita bangsa

329
adalah Pantjasila (L im a Azas atau L im a D asar). Pantjasila sebagai
p en gob jek tifan kondisi-kondisi masjarakat Indonesia, ja n g d id ja d i-
lcan tjita-tjita bangsa Indonesia, telah, kam i bahas dalam B ab II ,
par. 2, diatas tadi.
Praktek Pantjasila dalam tahun-tahun ja n g sudah, telah m em ­
buktikan bahwa Pantjasila itu tetap m endjadi id eolog i kenegaraan
satu-satunja ja n g dapat mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia.
O leh sebab itu Pantjasila harus dipertahankan sebagai dasar struk­
tur negara kita baik sekarang m aupun di kem udian hari !
A p a jang telah dikatakan dengan singkat dalam Pem bukaan
m engenai Pantjaslia, diuraikan leb ih luas dalam pasal-pasal
U.U.D. 82. Pasal-pasal tersebut dibagi dalam tiga bagian :

I. pasal-pasal 28 dan 29 ajat 2 jang m engenai hak-hak dan k eb e­


basan-kebebasan dasar manusia pada um um nja.
II. pasal-pasal 26, 27, 30 dan 31 ajat 1 m engenai hak-hak dan ke-
w adjiban-kew adjiban warga-negara.
IH . pasal-pasal 1, 29 ajat 1, 31 ajat 2, 32, 33 dan 34 jan g m enge­
nai azas-azas dasar negara kita.

Karena kami mem bitjarakan hak-hak dan kebebasan-kebebasan


dasar manusia pada um umnja, telah beberapa kali diatas tadi (li­
hatlah Bab V I ), maka kami menganggap tidak lagi perlu m engu-
raikannja disini 83.

82 Menurut „Pendjelasan” (ja n g dapat dibatja dalam „K e m b a li ke Un­


dang-undang Dasar 1945” , hal. 1 5 ) : ,,Undang-undang Dasar m en tjip -
takan p okok -pok ok pikiran ja n g terkandung dalam „„p e m b u k a a n
dalam pasal-pasalnja” .
83 Pembatjaan jan g disebut dalam Bab V I noot 43 ditam bah dengan
a.l. Mr K o e n t j o r o Poerbopranoto „H ak -h ak dasar m a­
nusia, pantjasila dan damai” , „H u ku m ” , ' ' 1953, 2 -3 , hal. 3, „H a k
bebas fik ir dan bebas ibadat” , „H u ku m ” , 1954, 2-3, hal. 3, dan „H a k
bebas-diri dan dasar-dasar kemasjarakatan” , „H u k u m ” , 1955, 1-2,
hal. 7 d j b.,; Mr O e m a r S e n o A d j i „D jak sa dan Pers” , « H u ­
kum ” , 1954, 2-3, hal. 14, „K em erdekaan pers di Indonesia” , «»Hu­
kum ” , 1955, 4-5, hal. 99 d jb., dan „H u k u m ” , 1956, 1-2 5 ^
djb., dan „„P ersbreid el” ” dan Penguasa Militer” , „H u k u m ” , 1 9 5 8 ,
1-2, hal. 1-14, 3-4, hal., 1-16, dan 5-6, hal. 1 -1 1 ; R .M . H a r j o -
- 1 o J o e d o a t m o d j o „H ak Djawab didalam Pers” dalam „B u k u
_Peringatan Dies Natalis ke-VI Senaat Mahasiswa Fakultas H ukum dan
Pengetahuan Masjarakat Universitas Indonesia” , 1956, hal., 4 3, 99-
103, dan „H ak Tjipta dalam Teori dan Praktijk” dalam „B u k u P e r­
ingatan Dies Natalis ke-VII ...................... dsb.” , 1957, hal. 3 9, 8 7 -9 2 ;
Mr P.W., B l o g g „Kebebasan pers. Peraturan KSAD no. P K M /0 0 1 /
9 /1 9 5 6 dan Undang-undang Dasar” dalam „M adjalah H ukum dan M a­
sjarakat” , Aprl 1957, hal. 4 0 -4 4 ; P rof. Mr MJME. D j o j o d i g o e n o
Pasal 7 Undang-undang Dasar Sementara” dalam „H u k u m ” 1 9 o7 ,
1-2, hal. 45 d jb.

330
Azas-azas dasar negara merupakan fikiran-fikiran jang men­
dukung hukum tatanegara positif (dragende gedacliten van het
positieve staatsrecht) 84. Azas-azas dasar negara ini mendjadi sis-
tim materiil hukum positif negara kita. Sebagian sistim materiil
itu dinjatakan dengan terang dalam pasal-pasal U.U.D..
Pasal 1 ajat U.U.D. merumuskan bentuk form il negara kita :
„Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, jang berbentuk R epu­
blik” . Negara kita adalah suatu negara unitaristis, jaitu bukan
federasi, dan suatu republik.
Menurut ajat 2 pasal 1 U.U.D. itu, maka negara kita mendjadi
pula suatu negara jang didasarkan atas azas demokrasi, jaitu „K e­
daulatan adalah ditangan Rakjat, dan dilakukan sepenuhnja oleh
Madjelis Permusjawaratan Rakjat” 85. Dari rumus ini kelihatan
bahwa negara kita didasarkan atas suatu demokrasi politik 86.

84 Buku Prof., Dr J.H.A. L o g e m a n n „H et staatsrecht van Indonésie


(het form ele systeem)” , 1954, — jang sampai sekarang masih men­
djadi „leidraad” satu-satunja untuk mempeladjari hukum tatanegara
positif di Indonesia ( ! ) — hanja melukiskan sistim formil hukum
tatanegara kita. „Dragende gedacliten” tidak dilukiskan. Tentang
„dragende gedacliten” hukum tatanegara kita — terutama jang ter-
tjantum dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 — dapat
dibatja buku Prof. M r M . Y a m i n „Proklamasi dan Konstitusi R e ­
publik Indonesia” , 1952, dan „Pembahasan Undang-undang Dasar
Képublik Indonesia” , 1960; Prof., Mr S o e n a r k o „Susunan Negara
kita” , 4 djilid, 1951 djb., „Pembahasan ilmiah mengenai susunan pe­
merintahan Negara Republik Indonesia” , diterbitkan oleh Pengurus
Senat Universitas Gadjah Mada, 1959; Ir F.L.H. D e s s a u v a g i e
dan Mr R. T r e s n a „Sendi-sendi negara hukum jang demokratis” ,
1 95 6; P rof. Drs G.J. W o 1 h o f f „Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Republik Indonesia” , 1953 (tjetakan kedua : 1960) ; Mr U s e p
R a n a w i d j a j a „Himpunan kuliali liukum tatarnegara Indonesia”
1961 ; K u s u m a d i P u d j o s e w o j o (ditulis bersama dengan
I. G o n d o w a r d o j o ) ,,Pedoman” , 1961, hal., 83 djb. (kedua buku
jan g disebut teraliir ini lebih memperhatikan U.U.D.)*
85 Pasal 1 ajat undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu
menambah perumusan ini dengan kata-kata : „suatu negara-hukum
ja n g demokratis” . Diatas tadi — par. 3 bab ini — telah kami ke­
mukakan bahwa, berbeda dengan undang-undang dasar sementara
tahun 1950 dahulu, U.U.D. sendiri tidak memuat suatu pasal jang
mengatakan bahwa negara kita adalah suatu negara hukum. Tetapi
bahwasanja negara kita masih djuga suatu negara hukum, itulah
dapat dibatja dalam „Pendjelasan” atas U.U.D. : „Negara In­
donesia berdasarkan atas Hukum (R echtstaat), tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka (M achtstaat)” (kem bali ke Undang-undang
Dasar 1945” , hal. 1 6 ).
86 Lihatlah L e m a i r e, liai. 114 : Demokrasi dalam arti kata umum
ialah suatu azas jang kreatif (creatief beginsel; azas jang mentjipta-
kan ) jang terdapat djuga diluar lingkungan negara, misalnja, dalam
perindustrian, perhimpunan.

331
Dengan diberinja kedaulatan rakjat kepada M adjelis Perm usja­
waratan Rakjat (M .P.R.S.) jang mendjadi suatu kongres ra k ja t87,
maka sistirn pemerintahan jang kita terima termasuk sistim pem e­
rintahan jang terkenal dengan nama p eop le’s assem bly-governm enl
(pemerintahan berdasarkan suatu konggres rakjat) ss, jang didja-
lankan di banjak negara-negara sosialistis (negara-negara demokrasi
rakjat), antara lain, Republik Rakjat Tion,gkok 89, dan jang agak
mendekati sistim pemerintahan jang ditjiptakan o le h -R o u s s e a u,
jaitu direct governm ent by all the p eop le 90.
M.P.R., sebagai pemegang kedaulatan rakjat satu-satunja,
m endjadi alat perlengkapan negara jang paling tinggi. „P en djela-
san” atas U.U.D. menegaskan hal ini : „Kekuasaan negara jang
tertinggi ditangan Madjelis Permusjawaratan Rakjat (die gesamte
Staatsgewalt liegt allein bei der M adjelis). Kedaulatan rakjat dipe­
gang oleh suatu Badan, bernama „„M adjelis Permusjawaratan R ak­
jat” ” , sebagai penctjelmaan seluruh Rakjat Indonesia (Yertretungs-
organ des Willens des Staatsvolkes). Madjelis inilah jang m em e­
gang kekuasaan negara jang tertinggi .....................................” • Dengan
ditempatkannja suatu konggres rakjat, M .P.R., dipuntjak hierarhi
alat-alat perlengkapan negara — Presiden maupun Dewan Perwa­
kilan Rakjat (D.P.R.) m endjadi „untergeordnet” (dibaw ah) M.P.R-
(lihatlah dibawah nanti) — in'aka kedaulatan rakjat itu m endjadi
lebih realitet. f

87 Lihatlah L o g e m a n n „H et staatsrecht van Indonesie. Het f o r m e le


systeem” , 1954, hal., 33.
88 Lihatlah M a i n a k e dalam madjalah „Padjadjaran” , I, 3 (A pril
1 9 5 9 ), hal. 61, tekst maupun noot 42.
89 Sama dengan noot 88 diatas ini. Lihatlah H a r o l d C. H i n. t o n
„China” dalam „M ajor Governments o f Asia” (diterbitkan diba­
wah pimpinan G. M c T. K a li i n ), 1958, hal. 80 djb..
90 Kami mengatakan „agak mendekati” sistim pemerintahan ja n g d itjip ­
takan oleh R o u s s e a u , karena M .P.R.pun tidak lain dari pada
suatu dewan pencakilan rakjat, djadi, unsur „direct (govern m en t)’
tidak ada atau tidak ada sepenuhnja. Jang sebenarnja ada itulah un-
s j i r „representative (governm ent)” , jaitu pemerintahan b e r d a s a r k a n
pertvakilan. Unsur „direct (governm ent)” ini kurang lagi dalam sistim
pemerintahan jang diterima dalam undang-undang dasar Sementara
tahun 1950 dahulu. Periksalah pasal 1 ajat 2 . Unsur „representative
(governm ent)” dalam undang-undang dasar ini kelihatan dalam pasal
23 ajat 1, permulaan kalimat pasal 35 (kata-kata „K em auan Rakjat
adalah dasar kekuasaan pengusaha” merupakan suatu „e c h o ” pela-
djaran R o u s s e a u (lihatlah M a i n ak e dalam madjalah „ P a“
djadjaran” , I, 3, l i a l . 48-49 ; b u k u kami „Pengantar H ukum Adm ini­
strasi Negara Indonesia” , 1962, hal. 1 7 ) ) dan pasal 56..

332
Wewenang M.P.R., sebagai badan kenegaraan jang tertinggi
dan paling berkuasa, adalah : 1. menetapkan Undang-undang Dasar
Negara (pasal 3 U.U.D.), 2. menetapkan garis-garis besar haluan
negara (pasal 3 ), 3. mem ilih Presiden dan W akil-Presiden (pasal
6 ajat 2 ), dan 4, mengubah Undang-undang Dasar (pasal 37) 91.
Tetapi pasal IV dari Aturan Peralihan menentukan bahwa „Sebe­
lum M adjelis Permusjawaratan Rakjat ................................ dibentuk
menurut' Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannja didjalan-
kan oleh Presiden, dengan bantuan sebuah K om ite Nasional” . K a­
rena K om ite Nasional jang dimaksud oleh pasal IV Aturan Per­
alihan ini tidak ada, maka — selama belum dibentuknja M.P.R.
S(einentara) — Presiden mendjadi pemegang satu-satunja kekuasa­
an M .P.R., djadi, — pada waktu belum dibentuknja M.P.R.S. —
Presiden m endjadi kekuasaan tertinggi di Indonesia.
P eriode tidak ada M.P.R. itu tidak lama. Pada tanggal 15
September 1960 telah dilantik M .P .R .S.92. Sesudah M.P.R.S. di­
bentuk, maka kekuasaan Presiden bukan lagi suatu kekuasaan jang
mahakuasa. Diatas tadi telah kami kemukakan bahwa Presiden
i
maupun D.P.R. m endjadi „untergeordnet” (dibawah) M .P.R..
„U nterge 9 rdnet” nja Presiden itu ternjata dari pasal 6 ajat 2 (M.P.R.
m em ilih Presiden dan W akil-Presiden). Presiden bertanggungdja­
wab terhadap M.P.R. jang dapat memberhentikannja dan memilih
seorang lain sebagai Presiden.
T etapi menurut Ketetapan Nr I M.P.R.S., jang dibuat dalam
masa sidang jang pertama M.P.R.S. (10 November-7 Desember
1960), Presiden? sebagai Pem impin Besar Revolusi Indonesia, telah
diangkat m endjadi Mandataris penuh dari M.P.R.S., sehingga pada
saat ini de facto kekuasaan tertinggi negara ada dalam tangan Pre­
siden. Tjum a, ada suatu perbedaan penting dan prinsipiil : pada
waktu sekarang ada suatu badan kenegaraan, jaitu M.P.R.S., jang
dapat mengambil kembali dari tangan Presiden kekuasaan terting­
gi itu ( = menarik kembali mandat) sedangkan pada periode belum
terbentuknja M.P.R.S., badan kenegaraan jang mempunjai wewe­
nang sematjam , tidak ada !
Pada 4 ajat 1 menentukan bahwa „P residen1R epublik In d o­
nesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-undang
t
91 Mr A.K. P r i n g g o d i g d o „Kedudukan Presiden” , hal.
92 Dasar pembentukan M.P.R.S. : penetapan Presiden tahun 1959 Nr 2
L.N. 1959 Nr 77 (Pendjelasan dalam Tambahan L.N.. Nr 1 8 1 6 ).

333
Dasar” , jaitu memegang semua kekuasaan jang bukan membuat
peraturan (legislatif) dan bukan m engadili (ju dik atif) — lihatlah
Bab II buku ini. Dalam mendjalankan tugasnja itu maka Presidèn
dapat meminta nasehat Dewan Pertimbangan Agung (pasal 16) 93
dan dibantu oleh Menteri-menteri Negara (pasal 17 ajat 1 ). K e ­
dudukan Menteri menurut U.U.D. berlainan sekali dari pada kedu­
dukan Menteri menurut undang-undang dasar sementara tahun 1950
dahulu. Dalam sistim pemerintahan menurut U.U.D. iriaka M enteri-
menteri itu bukan lagi — seperti dahulu dalam sistim undang-
undang dasar sementara tahun 1950 — „political décision makers” ,
tetapi — sesuai den,gan kedudukan seorang menteri dalam suatu
kabinet presidènsiil — hanja pem im pin tertinggi administrasi ne­
gara jang bagian-bagianuja dibagi-bagikan antara Departem en-de­
partemen jang masing-masing dipim pin oleh seorang Mlenteri. P er­
dana Menteri adalah Presidèn sendiri.
Pasal-pasal 10 sampai dengan 15 memuat wewenang-wewenang
Presidèn dalam bidang pemerintahan (eksekutif). Pasal-pasal 5 ajat
1 dan 20 ajat 1 mem beri wewenang membuat undang-undang (legis­
latif) kepada Presidèn bersama-sama dengan D.P.R.. D jadi U.U.D. —
berbeda dari undang-undang dasar Am erika Serikat — tidak setjara
konsekwèn menganut pembagian funksi (functie-verdeling) jang di-
adjarkan M o n t e s q u i e u (lihatlah Bab I I ) . Dalam hal ini U.U.D.
mengikuti suatu type sistim pemerintahan jang diterima di bagian
besar negara-negara Eropah Barat, tetapi dengan perbedaan b ah ­
wa Pemerintah bukan kabinet parlementer, tetapi suatu kabinet pre­
sidènsiil. Dalam hal perundang-undangan Presidèn dan D .P.R. diha­
ruskan kerdja-sama, tetapi apabila D.P.R. tidak m enjetudjui kebi-
djaksaan Presidèn m a k a — berbeda dari halnja dalam sistim pem e­
rintahan berdasarkan undang-undang dasar sementara tahun 1950 da­
hulu (lihatlah par. 4 diatas tadi) — D .P.R. tidak dapat m e m a k s a
Pemerintah meletakkan djabatannja •— djustru hal ini m e n d j a d i
dorongan jang terkuat Kabinet Karja memutuskan u n t u k kem bali
ke U.U.D. tahun 1945 (lihatlah diatas tadi) — tetani, djuga — b e r­
beda dari halnja dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950
dahulu — Presidèn tidak dapat membubarkan D.P.R.. D juga dalam
periode Presidèn masih memegang kekuasaan M .P.R. (nasal IV
Aturan Peralihan), jaitu dalam periode belum 'dibentuknja M .P.R.S.,
maka Presidèn tidak m em punjai wewenang untuk m e m b u b a r k a n
93 D.P.A. djuga „berhak m emadjukan usul kepada Pem erintah” (pasal
16 ajat 2 ) .

334
D .P .R ., karena suatu wewenang sematjam itu tidak dim iliki oleh
M .P.R..
Tetapi pada aliir bulan Februari-permulaan bulan Maret 1960
tim bullah suatu perselisihan besar antara Pemerintah dengan D.P.R.
(pilih a n rakjat tahun 1955) mengenai Anggaran Belandja tahun
1960, sehingga Pemerintah merasa segala aktivitet Pemerintah akan
terhalang oleh oposisi dalam D.P.R. (oposisi pada saat itu. berpusat
pada bekas-partai-partai politik Masjumi dan P.S.I., tetapi tiga par­
tai-partai politik besar jang lain, jaitu P.N.I., N.U. dan P.K.I. turut-
serta m engoposisi). Mengingat hal Pemerintah belum diberi suatu
kesempatan jang „redelijk” — Kabinet K erdja pada saat itu baru
berum ur 7 bulan — untuk melaksanakan program Sandang-Pangan-
jan g-tju k u p-d a n -m u ra h dan, memang, ada kesan seolah-olah D.P.R.
hendak „m<yidjatuhkan Pemerintah” ( ! ) tanpa sebelumnja Pem e­
rin ta h diberi kesempatan „redelijk” untuk bekerdja itu, maka Pre­
siden, jang melihat adanja suatu keadaan jang membahajakan, pada
ta n d a i 5 Maret 1960 menon-aktifkan D.P.R. 94. Tindakan Presiden
^^ CD
ini dapat dikonstruksi sebagai suatu tindakan berdasarkan hukum
negara darurat (noodstaatsrecht).
Tindakan Presiden tertanggal 5 Maret 1960 merupakan de facto
suatu pem bubaran D.P.R.. Hal ini temjata dari dibentuknja peng­
ganti D.P.R. jang telah dinon-aktifkan, jaitu dibentuknja Dewan
P erw a k ila n Rakjat-Gotong R ojong (D.P.R.-G.R.) (penetapan Pre-
siden tahun 1960 Nr 4, L.N. 1960 Nr 78, pendjelasan dalam Tam ­
bahan L.N. N r 2015) jang dilantik pada tanggal 25 Djuni 1960.
Susunan D.P.R.-G.R. ini, jang merupakan suatu dewan perwakilan
rakjat jan g diangkat dan tidak dipilih, menarik perhatian, jaitu
sebagian anggauta-anggauta adalah wakil partai-partai politik (jang
m endjelm akan tiga aliran politik dalam masjarakat : Nasionalisme,
Agam a dan Komunisme, N ASAKOM ) sedangkan bagian lain ang-
gauta adalah golongan karja. Dengan demikian susunan D.P.R.-G.R.
m irip pada susunan M.P.R.S. dan merupakan realisasi Konsepsi
B u n g K a r n o tertanggal 21 Februari 1957 (idee pemerintahan
setjara g oton g -rojon g).
Ternjata bahwa tindakan Presiden tertanggal 5 Maret 1960 ada­
lah suatu tindakan luur biasa. Biasanja, apabila dalam perundang-
undangan dari fi'liak D.P.R. tidak ada kerdja-sama (pasal 20 ajat 1 ),

94 Penetapan Presiden tahun 1960 Nr 3 tentang pembaharuan susunan


Dewan Perwakilan Rakjat, L.N. 1960 Nr 24 (Pendjelasan dalam
Tam bahan L.N. Nr 1 9 5 4 ).

335
V.
maka Presiden masih dapat m enempuh suatu djalan lain, jaitu
m em buat suatu peraturan Pemerintah pengganti undang-undang
(pasal 22) (pada waktu undang-undang dasar sementara tahun 1950
masih berlaku : undang-undang darurat, pasal-pasal 96 d.an 97).
Tetapi, sebaliknja, D.P.R. tidak diberi suatu djalan pintu belakang
sematjam ini.
Supaja demokrasi sungguh-sungguh dapat didjalankan dalam
lingkungan D.P.R. maka U.U.D. memberi beberapa hak kepada ang-
gauta, jaitu hak turut-serta dalam perundang-undangan — pasal-
pasal 5 ajat 1 dan 20 ajat 1 — , hak inisiatif — pasal 21 ajat 1 — ?
hak mengenai pengawasan pengurusan keuangan — pasal 23 (p er­
hatikanlah kalimat kedua dari ajat 1 : „A pabila Dewan Perwakilan
Rakjat tidak m enjetudjui anggaran jang diusulkan Pem erintah,
maka Pemerintah mendjalankan anggaran tahun jang lalu” ) —>
hak mengenai pengawasan pengurusan hubungan luar negeri —
pasal 11 — , hak memberi persetudjuan kepada Presidèn m enja-
takan perang dan membuat perdamaian — pasal 11 — dan hak
turut-serta dalam menentukan sjarat-sjarat dan akibat keadaan
bahaja — pasal 12. Hak-hak interpelasi, menanja, enquête dan
amendemèn tidak disinggung oleh U.U.D., tetapi hak-hak itu dapat
diterima sebagai konvensi-konvensi parlementer dan dapat diatur
dalam peraturan tatatertib D.P.R.. Peraturan Tata T ertib D.P-R-"
G.R. dapat dibatja" dalam L.N. 1960 N r 176 (Peraturan Presidèn
tahun 1960 Nr 28).
Beberapa azas-azas dasar negara jang djuga diatur dajam
U.U.D. : pasa^pasal 24 dan 25 : memuat azas dasar pengadilan o b ­
jek tif; pasal 27 ajat 2 : memuat azas dasar djam inan (keadilan) so­
sial (lihatlah djuga pasal 3 4 ); pasal 29 : memuat azas dasar agam a;
pasal 30; memuat azas dasar pertahanan negara; pasal 31 : memuat
' azas dasar pendidikan dan pengadjaran; pasal 32 : m em uat azas
dâsar kebudajaan nasional Indonesia; pasal 33 : memuat azas dasar
perekonomian.
A jat 1 pasal 33 memuat azas dasar k olektivitèt p erek on om ia n
kita : „Perekonom ian disusun sebagai usaha bersama berdasar azas
kekeluargaan” . Perekonom ian disusun setjara kooperatif. Untuk m e-
wudju'dkan azas dasar kooperatif perekonom ian kita, maka telah
dibuat dua peraturan penting, jaitu Undang-undang tahun 1958
Nr 79, L.N. 1958 Nr 139, tentang perkum pulan kooperasi, dan pera­
turan Pemerintah tahun 1959 No 60, L.N. 1959 Nr 138, tentang

336
perkembangan gerakan kooperasi Republik Indonesia. Ajat-ajat 2
dan 3 memuat unsur terpimpin dalam perekonomian kita (ekonomi
terpim pin ) ; „Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara
dan jang menguasai liadjat 'hidup orang banjak dikuasai oleh negara”
dan „B u m i dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemak­
muran rakjat” .
Pada tanggal 28 Maret 1963 oleh Presiden S o e k a r n o , se­
laku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Indonesia, diumumkan
„D eklarasi Ekonom i” („D ekon” ) jang mendjadi pedoman (pelaksa­
naan jang terpenting di bidang perekonomian dari Manipol. „D ekon”
ini memuat „basic strategy” dari ekonomi terpimpin jang hendak
kita lakukan di negara kita 95.
Pada tanggal 19 November 1960 M.P.R.S. telah menerima Ma­
nipol, jang telah kami bitjarakan dalam Bab II, par. 2, diatas tadi
sebagai „garis besar dari pada haluan Negara” — Ketetapan M.P.
R.S. N r I.
Ketetapan M.P.R.S. Nr II telah menerima dengan beberapa
amendemen Rentjana Pembangunan Nasional Semesta Berentjana
Tahapan Pertama jang dibuat oleh Dewan Perantjang Nasional (De-
pem as) 9G.

Par. 8 : P e r u n d a n g - u n d a n g a n d a n d e l e g a s i ke-
kuasaan peru n d an g-u n d angan (delegatie v an
w et g ev en d e b e v o e g d lv e i d ) .

Diatas beberapa kali telah dikemukakan bahwa perundang-un-


dangau pusat (centrale wetgeving) dilakukan oleh suatu badan ke­
kuasaan — jaitu badan legislatif — jang terdiri atas Presiden ber­
sama-sama dengan D.P.R. (pasal-pasal 5 ajat 1 dan 20 ajat 1).
Prosedure perundang-undangan tertjantum dalam Peraturan
Tatatertib D.P.R.-G.R.. Inisiatif membuat uitdang-undang ada pada
fihak Pem erintah maupun pada filiak D.P.R.-G.R.. Kedua fihak
masing-masing berhak menolak usul undang-undang jang diadjukan
oleh fihak jang lain. D.P.R.-G.R. dapat mengadakan suatu amen-

95 D j. L. A r o e a n, S.li. „Deklarasi Ekonomi dengan peraturan-peraluran


pelaksanaannja dan peraturan-peraturan ekononri Irian Barat” , 1963
96 Dasar liukum penibentukan Depernas adalah t.N . 1958 Nr 144. De-
pernas dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959 dan berhasil menjele-
saikan tugas pertanianja dalam waktu lianja satu tahun sadja.
/
dem en (jan g bermaksud mengubah) atas usul undang-undang jang
telah disampaikan kepada D.P.R.-G.R. dengan amanat Presiden.
Setiap keputusan D.P.R.-G.R. tentang diterima atau ditolaknja usul
undang-undang harus diambil setjara musjaivarah, ja itu tanpa di­
pungut suara. Sesudah diperoleh persetudj uan D.P.R.*G.R. maka
usul undang-ndang itu disampaikan kepada Pem erintah untuk di­
sahkan, dan, selandjutnja, setelah disahkan oleh Pem erintah maka
undang-undang jang baru itu diundangkan (afgekondigd) 97 oleh
Menteri Kehakiman dalam Lembaran Negara. Undang-undang jang
baru itu mulai berlaku pada hari ke-30 sesudah pengundangan, ter-
ketjuali dalam hal undang-undang itu m enjebut suatu tanggal lain
atau mengatakan bahwa waktu mulai berlakunja akan diundang­
kan kemudian (lihatlah pasal 13 L.N.R.I.S. 1950 N r 32). Dalam
Lembaran Negara diundangkan undang-undang, peraturan P em erin­
tah, peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, penetapan
Presiden, peraturan Presiden untuk melaksanakan penetapan P re­
siden, peraturan Presiden berdasarkan pasal 4 ajat 1 U.U.D. dan
peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) dahulu. Lihatlah
pasal-pasal 3 dan 10 L.N.R.S. 1950 Nr 32.
EHsamping Lembaran Negara ada djuga suatu Berita Negara
L.N.R.I.S. 1950 Nr 32. Lembaran negara adalah tem pat pengun­
dangan (plaats van afkondiging) sedangkan Berita Negara adalah
tempat maklumat atau tempat pem beritahuan (plaats van publicatie
atau plaats van bekendm aking). Dalam Berita Negara diperm ak­
lumkan peraturan-peraturan mengenai pokok-pokok tertentu jang
oleh undang-undang atau peraturan Pemerintah diperintahkan k e­
pada alat-alat perlengkapan negara lain untuk diatur „selandjutnja”
(pasal 99 undang-undang dasar sementara tahun 1950) dan semua
peraturan lain jang tidak merupakan undang-undang, peraturan
Pemerintah atau peraturan Pemerintah pengganti undang-undang
(undang-undang darurat) serta „surat-surat lain jang harus atau­
pun dianggap perlu atau berguna disiarkan dalam Berita Negara” .
Lihatlah pasal 3 L.N.R.I.S. 1950 Nr 32.

97 Pafal 142 ajat konstitusi R.I.S. menggunakan istilah „pen gu m u m an ”


Istilah ini diganti oleh istilah „pengundangan” sebagai istilah lebih
tepat, ^ o e p o m o „Undang-undang Dasar Sementara R epublik In ­
donesia , hal. 88 Lihatlah djuga uraian "dalam buku P rof. K u s u -
madi Pudjosewojo „Pedom an pcladjaran tata hukum In d o­
nesia” , 1961, hal. 16-19.

338
Pendjelasan tentang hal-hal jang ditetapkan dalam undang-
undang, peraturan Pemerintah atau peraturan Pemerintah pengganti
undang-undang dapat dibatja dalam suatu Tam bahan Lembaran
Negara. A da djuga suatu Tambahan Berita Negara, jang mengenai
bagian terbesar muatannja adalah publikasi Perusahaan Negara
m aupun P .T . swasta, firma, organisasi-organisasi swasta jang lain.
Sebagai azas umum dalam U.U.D. berlaku hal kekuasaan le­
gislatif ada didalam tangan M.P.R., sebagai badan kenegaraan,
jan g tertinggi, dan dalam tangan Presiden (dibantu oleh Menteri,
Pem erintah) bersama-sama dengan D ew an Perwakilan Rakjat. T e­
tapi sebagian dari kekuasaan legislatif itu daj>at diserahkan fdide-
legasi) kepada alat-alat pemerintahan lain. A.l. dari badan legislatif
' sehari-hari, jaitu Presiden bersama-sama dengan D.P.R., kepada
P residen, jaitu menurut pasal 5 ajat 2 U.U.D.. Pasal 98 ajat 1 un-
dang-undang dasar sementara tahun 1950- dahulu mengatakan bah­
wa Pem erintah dapat menetapkan „peraturan-peraturan penjeleng-
gara undang-undang” (istilah „menjelenggarakan” ini adalah lebih
tepaT da ri pad a istilah „m en djala n k an ......................... sebagaimana
m estinja” dalam pasal 5 a ja t.2 U.U.D.), jaitu Pemerintah dapat
m em buat peraturan (pengertian materiil, lihatlah Bab II, par. 3,
sub A ) untuk m cnjelcn gga raka n (tetapi tidak boleh menambah pada
p o k o k n ja ) undang-undang.
Berdasarkan penafsiran menurut arti dalam bahasa dari kata
„penjeleuggaraan” (dalam bahasa Belanda : „uitvoering ), maka
dapat dibuat kesimpulan bahwa Pemerintah hanja mempunjai ke­
kuasaan legislatif (kekuasaan perundang-undangan) mengenai po­
k ok -pok ok (onderwerpen) jang oleh undang-undang telah didele-
gasi. kepadanja 9S. Hal ini djuga sesuai dengan dasar-dasar „dele-_
gasi” ! Delegasi tidak memuat inisiatif membuat, peraturan menge-
ngenai pok ok -pok ok jang baru, inisiatif untuk membuat peraturan
mengenai pok ok-pokok semaljam tadi tetap dalam tangan dari jang
m endelegasi; delegasi, jaitu „menjelenggarakan” , tidak lain dari
pada m engatur untuk selandjut-nja.

98 Oleli B o h 1 1 i n g k ( .,Ekonom ! dan Keuangan Indonesia” , Agustus


1954, hal. 5 5 2 ) dikemukakan bahwa „Vast staat, dat voor uitvocrinti
gcen uitdrukkelijke opdraobt nodig is; ook een uit cigori initiatief vast-
gestelde regeling kan univoering. van een n ood ) wet zijn” (Sudah
tentu, untuk penjeleuggaraan itu tidak perlu adanja suatu tugas jang
tegas (dalam undang-undang jang mendjadi dasar penjeleuggaraan
te rse b u t); djuga suatu peraturan jang dibuat atas inisiatif sendiri
dapat m endjadi suatu penjeleuggaraan . undang-undang (d a ru ra t)).

339
Penting sekali dikemukakan disini bahwa pengertian „p era ­
turan Pemerintah” itu suatu pengertian peruiidang-undangan jang
materiil (materieel verordeningsbegrip). Setiap peraturan P em erin­
tah adalah undang-undang dalam arti kata m ateriil, ja itu suatu ke-
putusan pemerintah (penguasa) (overheidsbesluit) jan g m engikat
semua penduduk sesuatu daerah (dalam Bab II par. 3, sub A telah
kita djum pai peraturan Pem erintah itu sebagai undang-undang da­
lam arti kata m ateriil).
Dalam praktek administrasi negara, delegasi tersebut tidak ha-
nja disampaikan kepada kepala-kepala departem en (m enteri-m en­
teri), tetapi didelegasi terus (oleh m enteri) kepada kepala-kepala
djawatan (diensthoofden) dan'kepala-kepala bagian (afdelingslioof-
den). Sebagian dari apa jang disebut oleh teori-teori hukum tata-
negara „kekuasaan menjelenggarakan” , „kekuasaan m elakukan
atau kekuasaan „mengatur-selandjutnja” (pasal 99 ajat 1 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu) (dalam bahasa B elan­
da : „uitvoering” ) ialah suatu kekuasaan perundang-undangan jang
oleh undang-undang didelegasi kepada administrasi negara dibaw ah
pim pinan kepala-kepala departemen..
Dapat dikatakan bahwa delegasi kekuasaan p e ru n d a n g -u n d a ­

ngan itu penting sekali untuk m enjerahkan kepada administrasi ne­


gara kekuasaan membuat peraturan (kekuasaan untuk m en eta p k a n
undang-undang dalam arti kata materiil, jaitu kekuasaan untuk
menetapkan keputusan-keputusan jang mengikat langsung semua
penduduk daerah, materiele w etgevingsbevoegdheid). M aka penger­
tian „delegasi kekuasaan perundang-undangan” adalah pengertian
„perundang-undangan jang materiil” .
Kekuasaan membuat peraturan terdapat djuga dalam m ene­
tapkan peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (pasal 22)
(dahulu undang-undang darurat — pasal-pasal 96 dan 97 undang-
undang dasar sementara tahun 1^50 dahulu). T etapi disini inisiatif
pada Pemerintah sendiri, djadi bukan delegasi.
Kekuasaan legislatif jang ada didalam tangan M .P.R.S. dapat
diserahltan (didelegasi) kepada Presiden bersama-sama dengan
D .P.R., jaitu dalani hal ketetapan M .P.R. diselenggarakan leb ih
landjut oleh undang-undang (dálam hal „garis-garis besar dari pa­
da haluan Negara” — pasal 3 U.U.D. — diselenggarakan oleh un­
dang-undang), sedangkan Ketetapan M.P.R.S. Nr I m enundjuk
Mandataris chusus untuk melaksanakan keputusan-keputusan

340 l
M.P.R.S., jaitu Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Re­
volusi. Berdasarkan mandat ini, maka Presiden dapat membuat
„penetapan Presiden” , jaitu penetapan Presiden „stijl baru” , jang
lebili tinggi deradjatnja dari ipada undang-undang.
Praktek perundang-undangan pada waktu sesudah' Dekrit
Presiden tertanggal 5 Djuli 1959 sampai saat terbentuknja
M.P.R.S. telah mengenal penetapan Presiden „stijl lama” , jaitu suatu
hasil kekuasaan legislatif jang dibuat oleh Presiden berdasarkan
pasal 3 jo pasal IV Peralihan U.U.D..
Penetapan Presiden „stijl lama” itu dapat diselenggarakan oleh
undang-undang atau oleh peraturan Presiden. Disamping peraturan
Presiden ini masih ada peraturan Presiden jang dibuat berdasar­
kan pasal 4 ajat 1 U.U.D.. Kekuasaan jang disebut terahir ini ada­
lah delegasi perundang-undangan pula,"jang berasal dari undang-
undang.
Ahiruja, kekuasaan perundang-undangan — sebagian berdasar­
kan inisiatif sendiri (otonom i), bagian lain berdasarkan delegasi
(„m edebew ind” ) — diberi djuga kepada daerah-daerah swatantra
(o to n o m i), supaja pemerintah daerah-daerah itu dapat mengatur
sendiri rumah tangga sesuai dengan hak otonomi jang diberi ke­
pada daerah-daerah itu berdasarkan pasal-pasal 131-133 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu, sekarang pasal 18
U.U.D.. Menjerahkan kekuasaan perundang-undangan kepada pe­
m erintah daerah swatantra disebut.desentralisasi, sedangkan dele­
gasi kekuasaan perundang-undangan jang diberi £epada alat-alat ad­
ministrasi negara pusat jang lebih bawah, disebut dekonsentrasi 99.

99 Jang dimaksud dengan dekonsentrasi ialah penjeralian sebagian pe­


kerdjaan pemerintahan dari badan-*badan jang lebih tinggi dalam suatu
persekutuan kenegaraan (staatkundige gemeensehap) tertentu — ne­
gara, daerah swatantra tingkat I, daerah swatantra tingkat II atau
daerah swatantra tingkat III — kepada badan-badan jang lebih ren­
dah dalam persekutuan kenegaraan tertentu itu. Tjonolinja : kepala
daerah swatantra tingkat I Djawa Barat menjerahkan kekuasaan mem ­
buat peraturan kooperasi kepada kepala bagian kooperasi pada kantor
kepala daerah swatantra tingkat I Djawa Barat. Bilamana sebagian
i pekerdjaan pemerintahan dari pemerintah negara (pemerintah pusat)
diserahkan kepada suatu persekutuan kenegaraan jang lebili rendah
dan jan g — berdasarkan hak otonom inja — memerintah sendiri
daerahnja, misalnja, daerah swatantra tingkat I Djawa Tim ur, maka
penjeralian pekerdjaan ini diberi nama desentralisasi. Tjontolm ja :
K otapradja Surabaja diberi kekuasaan mengatur padjak speda (L i­
hatlah L o g e m a n n „Staatrecht van Nederlands Indie, hal. 114
n oot 2 ; van P o e 1 j e „Inleiding tot het bestuursrecht” , 1956,
hal. 2 7 djb.,': dekonsentrasi sebagai suatu bentuk sentralisasi).

341
P ar. 9: Desentralisasi.

Dalam par. 6 sub I bab ini telah, dikatakan baliw a negara kita
sedjak tanggal 17 Agustus 1950 m erupakan suatu negara kesatuan
jang didesentralisasi. "
Desentralisasi — jang dimaksud desentralisasi teriturial di
wudjudkan -dengan diadakannja pem erintahan sen diri d i daerah-
daerah tertentu jang dapat mengurus rum ah tangganja berdasark an

azas swatantra (oton om i); Daerah semat jam itu disebut daerah
swatantra (daerah otonom i).
Dasar konstitusionil pem bentukan daerah swatantra ialah pasal-
pasal 131-133 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu
dan pasal 18 U.U.D. sekarang. Undang-undang dasar sem en ta ra ta
hun 1950 mengenai dua matjam daerah jang d ib eri „a u ton om i
seluas-luasnja untuk mengurus rumah tangganja sendiri” (ajat
2 pasal 131), jaitu :

1. daerah swatantra „biasa” — jaitu daerah swatantra tingkat I


(termasuk Kotapradja Djakarta R a ja ), .daerah sw a ta n tra ting­
kat II (termasuk kotapradja), daerah swatantra tingkat II I
(pasal 131 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dan
pasal 2 ajat 1 Undang-undang 1957 N r 1, L.N. 1957 N r 6 ).

2. daerah swapradja (pasal 132 undang-undang dasar sem en ta ra

tahun 1950). Menurut pasal 2 ajat 2 Undang-undang 1957 Nr


1, L.N. 1957 Nr 6, maka „D aerah Swapradja m enurut penting'
nja dan perkembangan masjarakat dewasa ini, dapat ditetapkan,
sebagai Daerah Istimewa ke-I, II atau III, atau Daerah S w a ta n tra

tingkat ke-I, II atau III, jang berhak mengurus rum ah-tangga'


nja sendiri” .

Peraturan organik jang mengatur desentralisasi adalah Undang-


undang tentang P okok-pokok Pemerintah Daerah 1956, Undang-
undang 1957 Nr 1, L.N. 1957 Nr 6. Penetapan Presiden tahun 1959
N r 6, L.N. 1*959 Nr 94, m enjesuaikan sistim pem erintahan daerah
swatantra dengan sistim pemerintahan jang tertjantum dalam U.U.D.
tahun 1945 dan dalam Demokrasi Terpim pin, jaitu sistim pem erin-

342
tahan pusat — kabinet presidensiil — diadakan diuaa ..u.
. .
ania jang
di daerah swatantra, a.l. Kepala Daerah dan anggauta Bu j aitu
merintahan Harian (B.P.H.) tidak dipilih tetapi diangkat 10°.

100 Pcm batjaan tentang desentralisasi: Drs T h e L i a n g G i e „P e­


merintah daerah di Indonesia” , 1958 (dengan tindjauan buku dari •
Saleh Adiwinata dalam madjalah „Padjadjaran” , I, 2, hal.
9 5 -9 9 ) ; S u n a r j o D i p o d i n i n g r a t „Undang-undang tentang
p ok ok -p ok ok pemerintahan daerah” , 1957; karangan-karangan dalam
m adjalah „Swatantra” (lihatlah noot 176 diatas) (terutama karangan-
karangan Mr R. T r e s n a , Soetardjo Kartohadikoe-
s o e m o dan Mr S.M., A m i n ) ; Mr U s e p R a n a w i d j a „P e-
mantjaran Kekuasaan. Negara dan Pemeliharaan Kepentingan Hidup
R akjat” , prasaran di muka Konggres I I.S.H.I. di Djakarta tanggal
15-19 September 1957, dipublikasi dalam „M adjalah Hukum dan Ma-
sjarakat” , II, 3 dan 4, hal. 3 8-56 ; S u n a r k o . S.h. „Beberapa tja-
tatan m engenai peraturan-peraturan dasar tentang kedudukan pem e­
rintah' daerah, ditindjau dari pelaksanaan demokrasi terpimpin” ,
skripsi D jem ber 1 9 6 3 ; J. W a j o n g „Peraturan penjelenggaraan
keuangan daerah” , tjetakan kedua. J.D., L e g g e „Central Authority
and R egional Autonom y in Indonesia : A Study in Local Administration.
1 95 0-19 60 ” , 1961 — dengan sebuah daftar pembatjaan jang lengkap
pada hal. 2 79 -2 84 — memberi suatu ichtisar dari tahun 1950 sampai
] dengan tahun 1960.

' ' 343


BAB VIII

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (HUKUM


TATAU SA H A NEGARA, HUKUM PEM ERIN -
- T A H A N !). ,

Par. 1: Objek hukum administrasi 1 1 e g,a r a

D ari B ab I par. 11 telah kita ketahui bahw a hukum adm in i­


strasi negara itu m engudji hubungan-hukum istimewa jan g diada­
kan akan m em ungkinkan para pendjabat (am btsdragers) — ja k n i
administrasi negara — melakukan tugas istimewa m ereka (defin isi
Logemann).
Apakah „adm inistrasi negara” itu ? Jang dim aksud dengan
„adm inistrasi negara” ialah gabungan djabatan-djabatan (com p lex
van am bten)jang dibawah pim pinan Pem erintah melaksanakan
bagian tertentu dari pekerdjaan pem erintah (overheidstaak), jak n i
bagian dari pekerdjaan pem erintah jang tidak ditugaskan kepada
badan-badan pengadilan, badan legislatif (pusat) dan badan-badan
pem erintahan dari persekutuan-hukum-persekutuan-hukum. (rechts,-
gem eenschappen) jang lebih rendah dari pada negara (sebagai
persekutuan hukum tertinggi) dan jang diberi kekuasaan untuk —
berdasarkan inisiatif sendiri (swatantia) atau berdasarkan suatu
perintah dari pem erintah pusat („m edeb ew in d” ) — m em erintah
sendiri daerahnja (daerah swatantra tingkat I, II, I I I). Perlu d i­
beritahukan bahwa kalau dalam buku-buku tentang hukum admi-

' ^ Dalam baliasa Belanda dipakai istilah „adm inistratieve recht” atau
„adm inistratief recht” . Ada pengarang bangsa Belanda ja n g m eng­
gunakan istilah „bestuursrecht” , jang terdjem ahannja dalam bahasa
Indonesia adalah „h u k um pemerintahan” . (a .i. P ro f. Mr G., v a n
Poelje „In leid in g tot het bestuursrecht” , 1956, hal. 1).. D i Uni-
/ versitas Negeri „G adjah Mada” dipakai istilah „h u k u m tatapeinerin-
tahan” . Tetapi jan g m en jolok adalah hal seorang gurubcsar Universi­
tas Negeri „G adjah Mada” , jaitu K u s u m a d i Pudjosewojo
„P ed om a n ” , memakai istilah „h u k u m tatausalia” (hal. 133 d jb .).,
Mengenai istilah „pem erintahan” dapat dikatakan : adalah dua p e ­
ngertian, jaitu „pem erintahan dalam arti kata luas” dan „p e m e rin ­
tahan dalam arti kata sempit” . „Pem erintahan dalam arti kata luas”
m eliputi m em buat peraturan (peru ndang-u n dan gan ), „pem erintahan
dalam arti kata sempit” (dalam bahasa. Belanda : bestuur) serta
mengadili (m enjelesaikan perselisihan h u k u m ). „Pem erintahan dalam
arti kata luas” disebut djuga — dalam bahasa Belanda — „bew in d-
voeren” ( v a n V o l l e n h o v e n „Staatsrecht Overzee” )., Lihatlah^
djuga Bab II, par. 3, sub A. •|
2 Lihatlah lebih luas buku kami „Pengantar hukum administrasi negara
Indonesia” , Bab I, par. I«

344
nistrasi negara dipakai istilah „administrasi” , maka biasania jang
dimaksud dengan „administrasi” ialah administrasi negara, jaitu
administrasi „pusat” .
Dari definis tersebut ternjata adanja liubungan-hukum „isti­
mewa” jang memungkinkan para pendjabat (administrasi negara)
melakukan tugas „istimewa” mereka. Dengan kata lain : hukum
administrasi negara itu terdiri atas peraturan-peraturan hukum
„istimewa” . Apakah jang dimaksud dengan kata „istimewa” itu? 3.
Administrasi negara diberi tugas mengatur kepentingan umum
— nasal 82 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu
memakai kata-kata „menjelenggarakan kesedjahteraan Indonesia”
— misalnja : kesehatan rakjat, pengadjaran, pengurusan keuangan
negara, memperhatikan soal-soal perburuhan, mengurus pengairan
(sangat penting bagi’ suatu negara jang masih agraris), memperhati­
kan lalu-lintas (terutama lalu-lintas interinsuler). Jang diserahkan
kepada administrasi negara ialah „bestuurszorg” , jakni penjeleng-
garaan kepentingan umum 4. Sedjak negara turut-serta setjara aktif
dalam nergaulan kemasjarakatan („W elfare State” ) maka lapangan
hukum administrasi negara, jang meliputi „bestuurszorg” •itu, se­
ring disebut „verlengstuk” (sambungan) dari hukum negara — jakni
hukum tatanegara plus hukum administrasi negara — , jaitu him ­
punan peraturan-peraturan hukum jang ditimbulkan sedjak negara
m e n g a m b ila lih k a n (mengoperkan) sebagian inisiatif para individu
__sebagai anggauta masjarakat — terutama dalam lapangan ekonomi.
Dimana ternjata individu merugikan kepentingan umum karena
hanja mau memperhatikan kepentingan sendiri, maka negara m e­
njelenggarakan dan memenuhi apa jang mendjadi kekurangan itu
bagi masjarakat umum. Negara modern bertugas memperhatikan
kepentingan semua orang di wilajahnja ! 5.

3 Lihailah buku kami „Pengantar hukum administrasi negara Indone­


sia” , Bab I, par. 4.
4 L e ni a i r e, hal. 104 105.
5 P rof. Dr F.J.H.M. v a n d e r V e n „Inleiding tot het arbeidsrecht” ,
1946, lial. 11 : „In tweede helft van de vorige eeuw bleek reeds,
dat de eis van staatsonthouding op maatschappeliik gebied niet vol-
gehouden kon worden. Het ingewikkelder worden van de economische
verhoudingen braclit met zich inee, dat de. staatsoverheid zich op menig
ni«uw levensgebied moest gaan bewegen, wilde zi.i althans liaar taak
met betrekking tot een door het recht geordend gemecnschapsleven
kunnen vervullen. Naast het uitvaardigen en handhaven van regels,
die rechten en belangen afhakenden, trad in steeds omvangriiker mate
de staatswerkzaamheid, die voorzieningen ten belioeve van bepaalde
belangen had te treffen. De taak van het besturennd apparaat, de ad-
Ternjata dari apa jang dikatakan diatas ini, administrasi ne­
gara m em punjai suatu tugas jang lianja terletak padanja, jakni
suatu tugas jang tidak diserahkan kepacla manusia orang „parti­
kelir” atan kenada badan-badan hukum jang tidak termasuk ka­
langan administrasi negara (terket juali dalam instansi „parti­
kelir” dengan sukarela dan atas inisiatif sendiri melakukan peker­
djaan sosial, misalnja, sekolah Muhammadijah, sekolah Katolik,
perguruan jang dilakukan oleh suatu jajasan swasta, dsb.). Maka
dari itu dapat dikatakan bahwa administrasi negara itu m em punjai
suatu tugas istimewa — jang diberi nama „bestuurszorg” , jakni
suatu tugas jang hanja diserahkan (terletak) pada administrasi ne­
gara. Suatu tugas jang tidak diserahkan kepada manusia „partikelir”
atau badan hukum swasta.
Pada azasnja semua badan kenegaraan — seperti semua subjek
hukum lain — tunduk djuga pada hukum privat. Tetapi agar dapat
melakukan sebaik-baiknja tugas istimewanja, maka administrasi
negara memerlukan peraturan-peraturan jang istimewa, jang lebih
memaksa dan jang memberi wewenang istimewa, karena tidak setiap
orang tjenderung setjara sukarela mentaati perintah administrasi
negara, apabila perintah tersebut dikeluarkan berdasarkan hukum
privat. Hukum privat, kurang memaksa, maka dari itu diperlukan
peraturan-peraturan jang lebih memaksa, sunaja pcnjelenggaraan
kepentingan umum lebih terdjamin. Peraturan-peraturan jang isti­
mewa itu merupakan hukum administrasi negara. D jadi, djikalau

niinisralie, groeide en daarmee ook weer de taak van den wetgever.


Zo zien we sinds de laatste decennia van de 19 de eeuw het admini-
tratief recht belangrijk groeien als verlengstuk van het stalasrecht.
Dat verlengstuk ligl voor een groot deel op inaatscliappelijk terrein
(o .a , onderwijs, volksgezondlieid, woningbouw, armenzor.g)” (Pada
bagian kedua abad jang lampau telah ternjata, bahwa azas : negara
tidak boleh turut-serta dalam lapangan kemasjarakatan, tidak dapat
dipertahankan lagi. Oleh karena hubungan ekonom is makin lama m a­
kin berbelit-belit, maka pemerintahan negara jang bertugas mengatur
tatatertib hukum dalam masjarakat dan hendak m endjalankan tugas
itu setjara baik, terpaksa masuk kedalam suatu lapangan sosial baru.
Di samping pekerdjaan biasa, jaitu membuat dan mengeluarkan p e­
raturan jang mempertimbangkan dan membatasi hak dan kepentingan
orang jang satu terhadap jang lain, maka pemerintah mengadakan
djuga penjellesaian keperluan-keperluan sosial lain jang tertentu. Pe­
kerdjaan pemerintah, jaitu pekerdjaan administrasi negara, makin
lama makin luas., Demikian djuga halnja dengan pekerdjaan pembuat
undang-undang. Pada alur abadi ke-19 lapangan hukum negara diberi
sambungan penting, jaitu lapangan hukum administrasi negara. Bagian
terbesar sambungan itu terletak di lapangan kesosialan (a.l. penga-
djaran, kesehatan rakjat, pembangunan rumah, pemeliharaan orang
m is k in )).

346
dibandingkan dengan sifat liukum privat, maka dapat dikatakan
bahwa hukum administrasi negara itu hukum istimewa.
Tentang pembagian hukum negara dalam arti kata luas dalam
dua bagian, jaitu bagian hukum negara dalam arti kata sempit
(hukum tatanegara) dan bagian hukum administrasi negara, dalam
kalangan ahli hukum timbul banjak perselisihan fa h a m 6. Dalam
perselisihan faham ini maka kami tjenderung memilih fihak Prof.
L o g e m a n n. Oleh L o g e m a n n dikemukakan bahwa hukum
negara dalam arti kata sempit atau hukum tatanegara itu suatu
peladjaran tentang kompetensi (competentie-leer) sedangkan hu­
kum administrasi negara dapat dikemukakan sebagai suatu pela­
djaran tentang hubungan-hukum istimewa (leer van de bijzondere
rechtsbetrekking).

Par. 2: Beberapa bagian dari hukum


administrasi negara.

Hukum administrasi negara mengurus bagian-bagian (sectoren)


dari pergaulan kemasjarakatan jang diperhatikan oleh hukum pu­
blik. Ada dua bagian jang menurut pendapat kami perlu disinggung,
k aren a sangat penting. Dua bagian itu bagian administrasi
negara di lapangan agraria,. atau administrasi agraria, dan bagian
a d m i n i s t r a s i negara di lapangan keuangan negara, atau administrasi

k e u a n g a n negara. Ada pengarang jang melihat bagian administrasi

agraria begitu penting dan berdiri tersendiri, sehingga mereka mem-


bitjarakan soal-soal agraria seljara ilmu hukum jang berdiri tersen­
diri (zelfstandige rechtswetenschap), jaitu ilmu hukum agraria (il­
m u hukum tanah). Menurut pendapat kami maka hukum agraria
itu m asih merupakan suatu bagian hukum administrasi negara.

a H ukum agraria ( hukum tanah)


H ukum agraria m endjadi bagian hukum administrasi negara
jang m en gudji hubungan-hukum istimewa jang diadakan akan me­
m ungkinkan para pendjabat jang bertugas mengurus soal-soal ten­
tang agraria, melakukan tugas mereka itu. Bagi negara kita, jang
m asih b ertjorak negara agraria, penting sekali hal-hal agraria diurus
setjara baik.
Pada waktu Hindia-Belanda azas-azas hukum agraria itu diatui
dalam pasal 51 I.S., Undang-undang Agraria tahun 1870, L.N.H.B.

6 Lihatlah buku kam i ,,Pengantar hukum administrasi negara Indone­


sia” , Bab I, par. 5.

347
1870 N r 55, „A grarisch Besluit'’ tahun 1870, L.N .H .B. 1870 3Nr 118,
„A grarisch eigendom srecht” , L.N.H.B. 1872 Nr 117, beberapa pera­
turan m engenai „erfpach t” , L.N.H.B. 1913 Nr 699 dan L.N.H.B. 1914
Nr 367, „V ervreem dingsverbod” , L.N.H.B. 1875 Nr 179 dan „G ron d -
huur-ordonnantie” , L.N.H.B. Nr 88 7.

7 Mr C.C.J. Ma a s s e n dan Mr A .P.G . H e n s „A grarische regelingen


voor hel gouvernem entsgebied van Java en M adoera” , 1 9 3 4 ; M r G.J.
Nolst Trenité „In leid in g lot de agrarische wetgeving van het
rechtstreeks hestuurd gebied in N ederlandsch-Indië” , 1 9 4 2 ; masih sa­
ngat penting : M r C., v a n V o l l e n h o v e n „ D c Indonesiër en zijn
grond” 1919, dan ringkasan dalam buku K l e i n t j e s „Staatsinstel-
lingen” , II', hal. 4 2 3 dib.. Dalam bahasa Indonesia : R. W i r a d i p u -
t r a „A graria, hukum tanah seperti jang masih berlaku sampai
sekarang” , 1 9 5 1 ; D i r m a n „Perundang-undangan agraria diseluruh
Indonesia” 1 9 5 3 ; Mr Dr G o u w G i o k S i o n g „M a s a (a )la li agra­
ria” , 1957, dan dalam madialah „H u k u m ” , 1957, 7-8, hal. H d jb.
(„agrarische eigendom ” ) , 1958, 1-2, hal. 2 3-24 („e rfp a ch tsre ch t” sesu­
dah Pembatalan K .M .B .) dan haL 29-32 („g ro n d h u u r” ) ; Mr S.1VL
A m i n „Sedikit tentang „„H a k grant” ” , dalam m adjalah j,H ukum ,
1958, 1-2, hal. 15-20.. Mengenai hukum agraria di kota : Mr I. S a n i -
k a 1 d e n „N aar een stedelijk grondenrecht” dalam T . 151, hal.
2 8 3 -2 9 9 ; P rof. L o g e m a n n dalam „T ech n isclie M eded eelin gen ”
dari V ereeniging voor Locale Belangen, Jrg 1936, 2, dan dalam T.
145, hal. 3 6 3 -3 9 0 ; P rof. Mr R.D . K o l l e w i j n „K e b a jo ra n .
Privaatrechtelijke beschouw ingen” dalam „M ededelin gen v.h. D o -
cumentatiebureau voor overzees recht” , 1953, hal. 4 5 -5 2 . Un­
tuk hukum agraria pada waktu sesudah adanja R epu blik Indonesia
dan beberapa ramalan atau spekulasi tentang sifat dan sistim hukum
agraria jang m ungkin ditetapkan pada masadepan batjalah M r H .W .J.
Sonius ,,Het toekom stig grondenrecht van In don ésie” , 1949 ;■
' S i n g g i h P r a p t o d i h a r d j o „Sendi-sendi hukum tanah di In ­
donesia” , tjetakan pertama pada tahun 1 9 5 2 ; Drs B. I. T h e m a n s
„K earali hukum agraria baru di Indonesia” dalam „E k o n o m i dan K e ­
uangan Indonesia” , bulan Agustus 1945, hal., 5 2 4 -5 3 9 ; „ D e grond-
huurpolitiek o p Java en Madura’ * dalam „M ededelingen v.h. D ocu -
mentatiebureau voor overzees recht” , 1953, hal. 3 ; „ D e a fsclia ffin g
van de particulière landerijen” dalam „M ededelingen v.h.. D ocu m en -
tatiebureau v. overzees recht” , 1953, hal. 5 9 ; Mr Dr G o u w G i o k
Siong „Pem baharuan hukum di Indonesia” , 1956. Tentang „d o -
meinverklaring” jang dimuat dalam pasal 1 „A grarisch Besluit” ba­
tjalah : v a n Vollenhoven „D e Indonesiër en zijn gron d ’
1949, dan „A datrecht” , I, hal-hal., 764, „A dvies v.d. agrarische com -
missie ingested bij het gouvern. besluit van 16 Mei 1928 Nr 17” ,
1930. Oleh panitia itu diusulkan supaja m eninggalkan „d o m . verkla-
ring” dan m enggantikannja dengan pengakuan hak pertuanan Indo­
nesia (In d on . bescliikkingsreclit, hak patuanan Indonesia, hak ulajat
Indonesia).. „A dvies” tersebut dibantah oleh suatu panitia ja n g di-
bentuk oleh V ereeniging Indië-Nederland dan ja n g diberi tugas m em -
peladjari „advies” itu. Mengenai bantahan ini lihatlah „K o lo n ia a l T ijd-
sehrift” tahun 1932, hal. 529^546 („K a ntteeken in gen ” ) dan tahun
1933, hal 2 7 -3 8 ; bantahan Mr J.C. K i e l s t r a „K o lo n ia a l T ijd .”
tahun 1932, hal. 2 2 5 -2 6 3 ; bantahan N o l s t Trenité „V erslag
Ind. Genootschap” tahun 1930, hal., 84. Anggapan N o l s t T r e n i t é
mendapat tentangan dari L o g e m a n n „V erslag Ind. G enoot-

348
„Grondenregiem (hukum tanah) Hindia-Belanda ini telah di­
hapuskan dan diganti oleh „grondenregiem” kita sendiri berdasar­
kan Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960s. Hak-hak atas
tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 ini telah
kami tindjau dalam Bab VI, par. 3 diatas tadi.

b. Hukum administrasi perbendaharaan ( hukum administrasi k e­


uangan, comptabele administratie-recht) 9.
Hukum administrasi perbendaharaan atau hukum administrasi
negara di lapangan perbendaharaan adalah bagian dari hukum ad­
ministrasi negara jang mengudji hubungan-hukum jang diadakan
akan memungkinkan para pendjabat jang bertugas melakukan ad-

schap” , tahun 1930, hal. 95. Lihailah djuga T.. 125, hal. 347
(L o g e m a n n dan t e r H a a r „Het beschikkingsreclit der Indon.
rechtsgemeenschappen” ) , T. 128, hal. 107 dan 329. Ahirnja, t e r
I l a a r dalam „D e Gids” , April 1932, hal. 77 (pcndjelasan „advies”
J930 — t e r H a a r mendjadi anggauta „Commissie (1928)*’ ) .
„D om . verkl.” mendjadi lagi pokok polemik pada waktu setelah P e­
perangan Dunia II : E. H, 's J a c o b „Landsdomein en Adatrecht” ,
dis. Utrecht 1945, jang membela „dom . verkl.” , dan Prof. Dr V.E.
K o r n dan K. v a n D i i k „Adatgrondenrecht en dom einficlie” ,
1946, jang menolaknja. A h irnja: Mr H.W.J. S o n i u s „H et toe-
k om sti? grondenrecht van Indonesie” , 1949, dan G o u w G i o k
S i o n g „M asa(a)lah agraria” , 1957.
Vervreemdingsverbod’’ dibilj irakan pada Vierde Juristen Congres ta­
hun 1936. Lihatlah „Bijlagen” (lampiran) T . 144 dan 145 („praead-
vies” S u p o m o dan v a n H a t t u m „H et vervreemdingsverbod
van Inlandsche gronden"’ (hal. 85-145 dan hal. 1 4 6 -2 2 0 )).
8 L ih a tla h ta fsira n (k o m e n ta r ) Prof.. M r Dr G o u w G i o k Siong
d a n buku Mr B o e d i II a l' s o n o „Um\un<;Ain<\uns; p a k o k agraria.
S e d ja r a h iJ en ju su n an , isi dan p ela k sa n a a n n ja ” , 19 61 .
9 Lihailah Mr L. v a n B e v e r v o o r d e n t o t O 1 d e m e u 1 e „B ij-
drage tot de geschiedenis der Ncderlandsch-Indische financien” , 1900;
A J a n s e n „Vaststelling en verantwoording van de Indische be-
groolin g 1814-1932” , dis. Leiden 1932; Prof. Mr Ph. K 1 e i 111 j e s
.Staatsinslellingcn v. ¡Ned.-Indie’ , II, 1933, hal. 307; A.P.. v a n
G o g h (diterdjemahkan o!eh Rd„ S. S o e 111 i n t a r d j a) „Perben-
■ daharaan Negara Indonesia” , 1953; A.P. v a n G o g h dan Rd. S.
S o e 111' i 11 t a r d j a „Undang-undang Bendaharaan jang terpenting
dan peraturan-peraturan Iainnja dari Negara Indonesia” , 1953; Ben-
daharawan-bcndaharawan pengurus perbendaharaan; pengawas-pe-
ngawas pengurus itu, perlanggungdjnwaban para bendaharawan dan
ikut-sertanja para pengawas dalam pertanggungdjawaban” , Nota ter­
susun oleh Dewan Pengawas Keuangan di Bogor menurut petundjuk-
petundjuk perbendaharaan jang sekarang ada, 1951. Pada hal. 13
oleh Nota ini dikatakan bahwa „Perbendaharaan” itu „featu himpunan
peraturan-peraturan jang mengendalikan baik asas-asas maupun p e­
laksanaannja hal pengurusan, pertanggungdjawaban dan pengawasan
keuangan Negeri” (definisi jang dibuat oleh Dewan Pengawas Ke- ^
uangan) ; A.J. W i s s e „D e begroling van de Republik Indonesia” ,
1 9 5 3 ; M. l i a d i dan M. S o e n li a d j i „Stclsel TaUiU.ahn K e­
uangan Indonesia” , 1957.,

349
ministrasi keuangan negara (administrasi negara di lapangan ke­
uangan), mend jalankan tugas mereka itu.
Bagi negara, administrasi keuangan jang baik sangat penting,
karena kemakmuran negara bergantung djuga pada suatu adm ini­
strasi keuangan jang teratur. Maka dari itu undang-undang dasar
sementara tabun 1950 dahulu memuat beberapa pasal mengenai
pengurusan keuangan : pasal-pasal 44 (huruf e ), 80, 81, Bab III
Bagian ke-IV. Pasal 111 m endjadi dasar konstitusionil dari peratu­
ran-peraturan perundang-undangan mengenai administrasi keuangan
negara. Dasar konstitusionil sekarang adalah pasal 23 U.U.D..
Dasar perundang-undangan administrasi perbendaharaan In d o ­
nesia sampai sekarang masih tetap „Indische Com ptabiliteitsw et”
(Undang-undang Perbendaharaan Indonesia) (disingkatkan I.C.W .)
tahun 1864 (L.N.H.B. 1864 N r 106, L.N.H.B. 1941 N r 30, diubah
untuk penghabisannja pada tahun 1955, Undang-undang 1955 N r 12,
L.N. 1955 N r 49). „Keuangan Negeri diurus dan dipertanggung-
djawabkan menurut aturan-aturan termasuk dalam undang-undang
ini (pasal 1 ajat 3 -I.C .W .). Di samping I.C.W . penting djuga „ I n ­
dische Bedrijvenwet” (I.B .W .) (L.N .H .B. 1927 N r 419, L.N.H.B.
1936 Nr 445, L.N. 1954 Nr 6 dan 1955 Nr 49) io.

Jang dibitjarakan diatas tadi m endjadi bagian-bagian penting


dari hukum administrasi negara. A da djuga bagian lapangan adm i­
nistrasi negara jang pada djam an sekarang telah dipeladjari oleh
suatu ilmu hukum jang berdiri tersendiri. M isalnja, bagian m e­
ngenai perburuhan dan bagian mengenai urusan padjak. B aik Hu­
kum padjak maupun hukum jang mengatur sebagian lapangan p e r ­
buruhan, pada permu]aannja merupakan bagian dari hukum adm i­
nistrasi negara. Tetapi lama-kelamaan lapangan peladjarannja men-
djadi sangat luas sehingga m endjadi suatu lapangan peladjaran jang
berdiri tersendiri. Pada djaman sekarang kita mengenal h u k u m
padjak dan hukum perburuhan sebagai dua ilm u hukum ja n g ber-

10 R apport yan de com missie tol het ontwerpen v a „ cen Indische Be-
rijvenwel , , 'arangan S o e l i n g dalam „E k o n o m i dan K e ­
uangan Indonesia” , Agustus 1954, hal. 540 d jb .; G.F. v a n den
u r S h » n e e opm erkingen over de Indonesisclie Bedrij venwel”
dalam „E k on om i dan Keuangan Indonesia” , O ktober 1954, hal.

350
diri tersendiri. Dua ilmu liukum ini — di samping metode 11
penjelidikan umum — mempunjai metode-metode penjelidik 'ah-
sus, dari persoalan chusus. Ci* „
Hukum perburuhan akan kami bitjarakan pada Bab X I 1 1

11 Pembatjaan mengenai hukum padjak : Mr Th. J.B. S t e e n sjn n


stichting in het belastingrecht” , „praeadvies” Vierde TurU«r>n™ ”
1936 dalam „Bijlage” T. 144 dan 145, hal. 313 d jb .; Prof. Mr "W i ? 8
P r i n s „Belastingrecht van Indonesie” , 1951; ringkasan L*e
hal. 140-142; A.J. V i s s e „Keuangan Negara” , 1951; R 8 * lr. e’
m at S o e m itr o „Dasar-dasar Hukum Padjak dan P aH ;,t d
ralihan (Overgangsbelasting)” ' 1951, Drs R o c h m a t S o e m i i °
S.b. „Padjak upah, penuntun teori dan praktek” , 1959 j r °’
hukum padjak dan padjak pendapatan 1944” , 1963, dan Penu T '11
perseroan terbatas dengan Undang-undang Padjak Perseroan” 1964."
Publikasi tentang padjak Indonesia jang diterbitkan oleh N.V /l’
GCT. v a n D o r p & C o; himpunan peraturan-peraturan padjak jang
disusun oleh Drs R o c h m a t S o e m i t r o, S.li„ dan Drs. B, U s m a n
„Perundang-undangan padjak di Indonesia” , 1962; Mr R. S a n t o s o
B r o t o d i h a r d j o „Pengantar Ilmu Hukum Padjak” , 1958; ring­
kasan K u s u m a d i Pndjosewjo „Pedoman” , hal. 164-176•
P rof. Mr S.I. D j a j a d i n i n g r a t „Hukum padjak dan keadilan” '
pidato inaugurasi Djakarta 1960, dan „Retribusi” , pidato dies Per­
guruan Tinggi Dinas Administrasi Negara 1962; A b d u l Murad-
A s t r a w i n a l a , S.h. dan Drs. R o c h m a t S o e m i t r o , S.b.
„P adjak pendjualan” , 1962; Dr S o e p a r m a n Soemamiliar-
d j a „P adjak berlandaskan azas gotong rojong” , tesis Bandung 1964-
R. S o e d a r g o , S.h. „Padjak-daerah dan retribusi-daerah” , 1964•
Dr T o b i a s Soebekti „Som e Facets o f the Income Tax Ad­
ministration in Indonesia, with reference to those in the United States” ,
tesis Indiana University 1964; Dr R o c h m a t S o e m i t r o , S.h.
„M asalah peradilan administrasi dalam hukum padjak di Indonesia” ,
tesis Bandung 1964. Karena sistim padjak di Indonesia mendjadi tiruan
sistim padjak Belanda, maka tidak salah apabila disebut pembatjaan
mengenai hukum padjak Belanda : Dr P.J.A. A d r i a n i „H et be­
lastingrecht. Zijn grondslagen en ontwikkeling” , 1948-1951 (3 djilid) ;
Mr W .P. v a n Sikkelerus „Inleiding tot het Nederlands be­
lastingrecht” , 1953; Mr J.H.R. S i n n i n g h e D a m s t e „Inleiding
tot het Nederlandsch belastingrecht” , 1940.

351
BAB IX

HUKUM PIDANA

Par. 1: Dasar hukum pidana jang materiil.

Bilamana orang mengatakan hukum pidana, maka pada umutn-


nja jang dimaksud ialah hukum pidana materiil. Di samping hukum
pidana m ateriil ada hukum pidana form il. Hukum pidana form il
_akan kami bitjarakan dalam bab jang berikut.

Jang m endjadi suatu „hoeksteen” (poros di udjung) i hukum


pidana materiil itu pasal 1 ajat 1 K.U.H. Pidana, jang berbunji :
„Sesuatu perbuatan tidak boleh' dihukum, melainkan atas kekuatan
aturan hukuman dalam undang-undang jang diadakan lebih dahulu
dari pada perbuatan itu” -. Hanja perbuatan jang disebut tegas
oleh peraturan perundang-undangan sebagai kedjaliatan atau p e ­
langgaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila terlebih da­
hulu tidak diadakan peraturan perundang-undangan jang m emuat
hukum an jang dapat didjatuhi atas pelanggar, maka perbuatan jarig
bersangkutan bukan perbuatan jang dikenai hukuman. „N ullum
delictum . lr u U a poena sine praevia lego pocnali” 3. Liliat djuga
pasal 26 A.B ., pasal 143 I.S., dan bagi hakim adat penting L.N.H.B.
1932 Nr 80 pasal 26 ajat 3. Untuk djaman undang-undang dasar
sementara tahun 1950 masih berlaku sangat penting pasal 14 ajat 2 4.

1 Prof« Mr J.E. J o n k e r s „H andhoek van het Nederlandsch-Indisehe


strafrecht” , 1946, hal. 37. Azas jang tertjanlum dalam pasal 1 ajat 1
K.U.H., Pidana itu bukanlah suatu azas jan g cliusus (ba gi liukum
pidana sadja). Azas tersebut tertjantum dalam pasal 2 A.B., jan g b er­
laku sebagai suatu kaidah hukum umum. Oleh sebab itu, J o n k e r s
dapat mengatakan bahwa andainja K.U.H. Pidana tidak m em uat k e ­
tentuan dalam pasal 1 ajat 1 , masih djuga azas tersebut berlaku
karena pasal 2 A,B.
2 Mr. W .F.L. B u s c h k e n s (diterdjemahkan oleh R . S u s i 1 o ) „ K i ­
tab Undang-undang Hukum Pidana (K.U .H .P..)” , dengan kom entar,
1950, hal. 1.
3 Batjalah tentang azas ini : karangan Mr W .A . v a n der Do n k
„R on d om den regel nulla poena sine lege, nulla poena s in e 'crim in e ,
nullem crimen sine poena legali” dalam „T ijd sch rift voor Strafrecht” ,
45, hal, 337 djb.,; Mr W.F.C. v a n H a t t u m „V rijh eid en gebon -
denheid van den strafrechter” , pidato pelantikan Batavia 1 9 4 1 ; buk u
kami „ H u k u m Pidana” , I, 1960, hal. 193 djb.
4 Oleh Mr. H a n B i n g S i o n g („M adjalah H ukum dan M asjarakat” ,
IV, 1, hal., 2 9 ) dikemukakan bahwa dalam tjetakan ke IV buk u k a ­
mi „k u ran g dikemukakan setjara perintji, bahwa” pasal 1 ajat 1

352
Ada pengarang hukum pidana 5 jang membuat gambaran bah­
wa asal usul rumus nullum delictum, nulla poëna sine praevia Iege
poenali terdapat dalam peladjaran M o n t e s q u i e u , dalam buku-
n ja „L ’ Esprit des Lois” (tahun 1748).
Kita telah mengetahui bahwa maksud peladjaran „trias poli-
tica” M o n t e s q u i e u ialah melindungi kemerdekaan (pribadi)
individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari fihak negara.
Azas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali itu
m em puujai suatu tudjuan jang sama, jaitu melindtmgi individu
terhadap perlakuan sewenang-wenang dari fihak peradilan arbitrèr,
ja n g pada djaman sebelum Revolusi Perantjis (th. 1789-tli. 1795)
m cndjadi suatu kenjataan jang agak umum di Eropah Barat. Kita
mengetahui d juga bahwa M o n t e s q u i e u l a l i jang melakukan
tentangan seliebat-hebatnja terhadap peradilan arbitrer itu. Hakim
tidak dapat menghukum dalam hal tiada peraturan pidana sebe-
lumnja.
Azas ini kemudian dimasukkan kedalam pasal 8 dari „Déclara­
tion du droit de 1’ homme et du,, citoyen” tertanggal 26 Agustus
1789, selandjutnja, dalam pasal 4 Code Pénal („N ulle contravention,
nul délit, nul crime, ne peuvent être punis de peines qui n’ étaient
pas prononcées par la loi avant qu’ ils fussent commis” ) 6.
Tetapi, walaupun' sesuai dengan makna peladjaran „trias po-
litica” , masih djuga pendapat bahwa rumus nullum delictum, nulla
poena isne praevia lege poenali tersebut berasal dari Montes­
quieu — atau berasal dari hukum Rom awi karena bahasa Latin-
n ja — itulah kesalahan fa h a m 7. Paling banjak dapat dikatakan
bahwa baik peladjaran M o n t e s q u i e u maupun — kemudian —
peladjaran R o u s s e a u (peladjaran „volonté générale” ) mem­
persiapkan (voorbereiden) penerimaan umum azas nullum delictum,
m dla poena sine praevia lege poenali s. D jadi, azas tersebut telah

K.U.H. -Pidana „m engandung, suatu peraturan liukum antara waktu”


dan „H an ja sebagai ketentuan hukum antara waktu fatsal 1 ajat 1
dapat dibandingkan dengan fatsal 26 Algemeene Bepalingen van Wetge-
ving voor Indonésie, fatsal 26 ajat 3 Staatsblad 1932 No. 80 dan de­
ngan fatsal 14 ajat 2 Undang-undang Dasar Sementara kita” ..
5 A.l. K a r n i, hal. 19.
<5 Lihatlah karangan v a n d e r D o n k, T.v.S., 45, hal. 364-371, me­
ngenai diterimanja azas nullum delictum itu dalam banjak kitab
undang-undang hukum pidana asing. Lihatlah djuga K a r n i, hal. 20.
7 V a n d e r D o n k, T.v.S., 45, hal. 361 ;H a z e w i n k e l - S u r i -
n g a, hal. 274.
S V a n d e r D o n k, T.v.S., 45, hal. 361.

353
terdapat dalam peladjarau Montesquieu maupun dalam pe-
ladjaran R o u s s e a u , tetapi rumus jang m enjatakan azas itu tidak
terdapat dalam peladjaran kedua ahli tersebut.
Rumus nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali
berasal dari A n s e l m v o n F e u e r b a c l i (tli. 1775-tli. 1833)
dalam bukunja „L ehrbuch des peinlichen Rechts” (th. 1801) 9.
Tetapi ada perbedaan antara maksud teori M o n t e s q u i e u dan
maksud teori v o n F e u e r b a c l i . Maksud teori M o n t e s ­
q u i e u adalah melindungi manusia terhadap tindakan hakim jang
sewenang-wenang, jaitu melindungi kemerdekaan (priba di) individu
terhadap suatu tuntutan pidana jang dilakukan s e w e n a n g - w e n a n g .
Maksud v o n F e u e r b a ^ h 10 ialah membatasi hasrat manusia
untuk membuat kedjahatan. Y o n Feuerbacli beranggapan
bahwa suatu antjaman hukuman (strafbedreiging) akan menahan
manusia melakukan suatu kedjahatan, jakni antjaman hukuman
itu bersifat preventif. Apabila orang terlebih dahulu m engetahui
bahwa ia akan mendapat hukuman, maka takut ia melakukan suatu
perbuatan jang merupakan pelanggaran kaidah sosial. T eori v o n
F e u e r b a c h diberi nama teori dari prevensi um um („leer van
de generale preventie” , teori pendjagaan um um ) atau nama teori
dari „ psychologische Zivang’ (paksaan psychologis, tekanan kedji*
waan) (lihatlah par. 3 dibawah nanti).
Baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia pada djaman
kolonial, azas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali
itu bukan suatu azas konstitusionil (grondwettelijk béginsel) 1:L*
Maka dari itu azas tersebut djuga boleh dikesampingkan dengan
suatu undang-undang biasa, seperti jang telah terdjadi di Indonesia
berdasarkan „Besluit Buitengewoon Strafreclit” dan Ordonansi hu
kum pidana kedjahatan perang, L.N.H.B. 1946 Nr 45 12.
. Tetapi dalam tatahiikum kita pada djam an u n d a n g - u n d a n g
dasar sementara tahun 1950 masih berlaku, azas nullum delictum,
nulla poena sine praevia lege poenali 4tu pernah didjadikan suatu
azas konstitusionil. Pasal 14 ajat 2 mengatakan : „T iad a seorang

9 V an der D on k, T.v.S., 45, liai. 361 ; H a z e w i n k e l - S u -


r i n g a, hal. 274.
10 V an d e r D o n k, T.v.S., 45, hal., 363.
11 Jonker „H andhoek v.li. Nederl, Ind., slrafrecht, 1946, hal. 37.
12 -Karangan J o n k e r s „D e Indisclie strafwetgeving inzake oorlogsm is-
drijven” dalam niadjalali „Indon esië” , 1947-1948, hal. 62-81 dan.
117-129.

354
djuapun boleh dituntut untuk dihukum atau didjatulii hukuman,
ketjuali karena suatu aturan hukum jang sudah ada dan berlaku
terhadapnja” .
Walaupun bukan kewadjibannja, masih djuga, dalam praktek
biasanja hakim swapradja dan hakim adatpun (hakim adat = ha­
kim menurut L.N.H.B. 1932 Nr 80) m endjatuhkan huktunan b er­
dasarkan K.U.H. Pidana 13. Kemungkinan bagi hakim adat djuga
m endjatulikan hukuman menurut K.U.H. Pidana tertjantum dalam
pasal 27 L.N.H.B. 1,932 Nr 80 (ketentuan ini m enundjuk pada pasal
10 huruf a K.U.H. Pidana). Penting djuga diingat akan pasal 5
ajat 3 sub b L.N. 1951 Nr 9 (lihatlah Bab X ). Ketentuan in i —
untuk sementara waktu — masih mempertahankan peradilan pidana
adat pada suatu Pengadilan Negeri jang m endjadi pengganti suatu
bekas-Pengadilan Adat atau suatu bekas-Pengadilan Swapradja ber­
dasarkan pasal 1 ajat 2 L.N. 1951 Nr 9.

Par. 2: Peristiwa pi da na (delik) dan pembuat


( d a d e r) 14.

Apakah seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua


hal : harus ada suatu kelakuan jang bertentangan dengan hukum —
anasir o b jek tif — dan seorang pem buat (dader) jang bertanggung-
djawab atas kelakuan jang bertentangan dengan hukum itu —
anasir subjektif.
t

13 T er Haar „Beginselen en slelsel” , hal. 224., Tentang pengaruh


hukum adat terhadap, hukum pidana tertulis lihatlah Mr A. B ii -
chenbaclier „D e gouvern. strafrechter en liet adatprivaatrecht” ,
T. 146, hal., 703 djb. Lihatlah djuga dua karangan kami mengenai
„S epuluh tahun jurisprudensi hukum pidana di Indonesia (1 9 4 5 -1 9 5 5 )
seperti jang dapat diketahui dari keputusan-keputusan pengadilan jang
dipublikasikan’ ’ dalam madjalaK „H u ku m dan Masjarakat” , 2 (b a ­
gian „«Igem ene leerstukken” ) dan 3 (bagian „bijzondere delicten” )
dari 1955-1956. Mengenai kedudukan hukum adat di kemudian
hari lihatlah karangan kami „H ukum pidana jang tidak tertulis
( (ongesehreven strafreclit)” dalam „M adjalah Hukum dan Masjarakat”
Djanuari 1957, hal. 19-26.
14 Pem batjaan dalam bahasa Indonesia : buku kami „H u ku m Pidana I ” ,
1960, hal. 252 d jb .; Mr Drs H .I. v a n Schravendijk „B u k u
peladjaran tentang liukum pidana Indonesia” , 1956, hal. 87 d jb .;
K a r n i, hal. 41 d jb .; Prof«. Mr M u 1 j a t n o „Perbuatan pidana dan
pertanggungan-djawab dalam hukum pidana” , pidato dies Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 19 Desember 1 9 5 5 ; Mr R d e s l a n S a ­
l e h „Perbuatan pidana dan dipidananja pem buat” dalam „M adjalah
H ukum dan Masjarakat” , III, 1 (Pebruari 1 9 5 8 ), hal« 3-9, dan „S ifa t
melawan hukum daripada perbuatan pidana” , 1959.

355
Semua perbuatan jang bertentangan dengan azas-azas liukum
m endjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, sualu pelang­
garan hukum disebut perbuatan melawan hukum (wederrechtelijke
-lia n d e lin g ). Dengau kata la in : pelanggaran hukum itu, untuk hu­
kum pidana, memuat anasir melawan hukum ( elem ent van weder-
rech telijkh eid ). Diantara pelanggaran hukum itu ada beberapa jang
diantjam dengan hukum (pidana), jailu diantjam dengan suatu
sanksi istimewa. Pelanggaran hukum „semat jam inilah jang oleh
K.U.H. Pidana dikwalifikasi peristiwa pidana (strafbaar fe it).
Tetapi kadang-kadang dilakukan sesuatu perbuatan jang kon-
krit tidak dipandang sebagai suatu perbuatan jang melawan hukum,
walaupun K.U.H. Pidana m enjebutnja sebagai peristiwa pidana.
Perbuatan itu tidak dapat dikenai hukuman, karena suatu sebab
jang dapat menghapuskan anasir melawan 'hukum itu. Disini ada
alasan jang menghapuskan anasir melaivan hukum ( rechtvaardigings-
grond). Karena alasan ini maka perbuatan tersebut tidak dapat
dikenai hukuman, jaitu perbuatan konkrit itu bukan peristiwa p i­
dana. Tjontohnja : pasal 49 ajat 1 K.U.H. Pidana. Disini ada „p em ­
belaan darurat” 15, jang m endjadi alasan jang menghapuskan ana­
sir melawan hukum sehingga jang mengadakannja tidak melakukan
suatu peristiwa pidana, djadi, tidak dapat dihukum. T jon toh lain
adalah pasal 51 ajat 1 K.U.H. Pidana. Pefintali djabatan itu
m endjadi alasan jang menghapuskan anasir melawan hukum sehing­
ga jang mengadakan perbuatan jang bersangkutan tidak melakukan
suatu peristiwa pidana, djadi, tidak dkpat dihukum.
Pem buat harus bersalah (schuldhebben) („s^lah” dalam arti
kata luas). Dapat dikatakan orang, bahwa pem buat b erta n g g u n g -
djawab atas perbuatannja. Apabila pembuat tidak bersalah, maka
ia tidak dapat dihukum. Dalam hukuman pidana berlaku azas : tiada
hukuman dengan tiada kesalahan (geen straf zonder schuld) 16-
Kadang-kadang tidak dapat dikatakan orang, bahwa pembuat
bertanggungdjawab atas sesuatu perbuatan jang dilakukannja. W a­
laupun K.U.H. Pidana menjebut perbuatan itu sebagai suatu peris­

15 „N oodweer” (B elan da), „Notwehr” (D jern ia n ), „legitim e defence”


(P eran tjis), „private defence” (In gen a i). Mengenai istilah-istilah
hukum pidana jang mungkin dapat dipakai dalam, kodifikasi nasional
hukum pidana nanti lihatlah karangan P rof. Mr M o e l j a t n o „U sul
tentang naskah kitab undang-undang hukum pidana dalam bahasa
Indonesia” dalam „H ukum ” , 1954, 1, hal. 3 djb..
16 Keputusan H oge Raad di Negeri Belanda tertanggal 14 Pebruari 1916
W (Belanda)., Nr 9958 (M elk cn water arrest).

356 ,
tiwa pidana, dan perbuatan jang korikrit adalah suatu kelakuan
jang bertentangan dengan hukum, masih djuga pem buat tidak dapat
dihukum karena suatu sebab jang menghapuskan kesalaliannja.
Karena suatu alasan jaiig menghapuskan kesalahan ( schuld-uitslui-
tingsgrond), maka pembual tidak dapat dihukum.
Bilamanakah dapat dikatakan orang bahwa pembuat tidak ber-
tanggungdjawab atas perbuatannja ? Djawaban : misalnja, pem buat
melakukan suatu perbuatan jang tidak dapat dipertanggungdjawab-
kan kepadanja, karena kurang sempurna fikirnja atau karena sakit
berubah fikirnja ( toerekeningsvatbaarheid) — pasal 44 ajat 1 K.U.H.
Pidana. Apabila terdjadi suatu hal sematjam itu, maka hakim tidak
boleh mendjatuhkan hukuman. Hakim dapat memerintah m enem ­
patkan jang bersangkutan di rumah orang sakit fikir (rumah orang
gila) selama-lamanja satu tahun agar diperiksa (diobservasi) —
pasal 44 ajat 2 K.U.H. Pidana.
Dari apa jang dibitjarakan diatas ini, ternjatalah kadang-ka­
dang hakim tidak dapat mendjatuhkan hukuman, walaupun K.U.H.
Pidana m enjebut perbuatan jang berasngkutan sebagai suatu peris­
tiwa pidana. Karena suatu alasan jang menghapuskan hukuman
( sl rafiiitslui t i ngsrond), maka jang membuat tindakan jang m e­
langgar hukum tidak dapat dihukum. Ternjata djuga bahwa alasan
jang menghapuskan hukuman itu ada dua matjam :
i
a. alasan, jang menghapuskan anasir melawan hukum (weder-
reelif e lijk h eid ), jaitu kelakuan jang konkrit bukan kelakuan
jang melawan hukum. __
b. alasan jang menghapuskan kesalahan, jaitu alasan jang meng­
hapuskan perlanggungdjawaban (verantwoordelijkheid) pem ­
buat.

Jang pada um umnja dimaksud dengan „kesalahan” pembuat


itu kesalahan dalam, arti kata luas (scliuld in ruime zin) (P o m p e,
V o s, J o n k e r s), jakni pertanggungdjawaban pidana. Kesalahan
dalam arti kdta luas itu terdiri'atas tiga anasir :

1. „ toerekeningsvatbaarheidl” dari pembuat.


2. kesalahan dalam arti kata sem pit (schuld in enge zin ), kechi-
lafan (kealpaan, culpa), atau sengadja ( opzet, dolus).
3. perbuatan dapat dipertanggungdjaivabkan kepada pem buat
( toerekenbaarheid) .

357
Orang dapat mengatakah bahwa pelanggar hukum melakukan
peristiwa pidana jang bersangkutan dengan sengadja, apabila akibat
perbuatannja dikehendakinja. Apabila akibat perbuatannja tidak
dikehendakinja tetapi masih djugad apat dipertanggungdjawabkan
kepadanja, maka dapat dikatakan bahwa pem buat berkechilafan
(berkealpaan, bersalah dalam arti kata sem pit). A kibat terdjadi
karena ia lalai (nalatig) atau kurang berhati-liati17.
Berdasarkan perbedaan ini maka peristiwa pidana (delik) dapat
dibagi dalam delik dolus (delik jang dilakukan dengan sengadja)
dan delik culpose (delik karena k ech ilafan ).
Ahirnja, ada tiga teori tentang kesalahan (schuldleer) (kesa­
lahan dalam arti kata luas) :

Teori determ inisme (Bonger, Kranenburg, Ferd.


S a s s'e n, L e o P o 1 a k) berpendapat baliwa manusia sama se­
kali tidak menentukan kehendaknja setjara merdeka. Kehendak
manusia untuk membuat sesuatu itu terlebih dahulu ditentukan
oleh beberapa faktor. Jang m endjadi faktor-faktor terpenting ialah
m ilieu ( = suasana di, mana orang hidup) dan kepribadiannja. Da­
lam menentukan kehendaknja, maka manusia tunduk pada hukum
kausalitet (wet van de causaliteit) ls , jaitu beberapa hal jang sebe-
lum nja telali terdjadi karena beberapa faktor jang tidak dapat d i­
kuasai manusia, menentukan kehendaknja. Maka dari itu beberapa
pengarang jang menganut teori ini tidak mau mengakui „kesalahan
dan „hukum an” (hukuman dalam arti „ verdiend leed” , jaitu pen­
deritaan jang dialami oleh pembuat karena salahnja sendiri —
„id ee” pembalasan). Manusia — karena beberapa faktor jang tidak
dapat dikuasainja — terpaksa (terdorong) melakukan suatu per­
buatan tertentu. Manusia tidak dapat „bersalah” dan tidak dapat
„dihukum ” , karena tidak mempunjai kemerdekaan menentukan ke-
liendaknja. Kelakuan orang telah ditentukan dan ditakdirkan oleh
m ilieunja. Hakim tidak mendjatuhkan hukuman tetapi m engambil
tindakan (maatregel) jang memaksa pelanggar hukum tunduk pada

17 Lihatlah pendjelasan dalam buku kami „H ukum Pidana I” 1960, hal.


300 djb..
18 Mengenai kausalitet (peristiwa-akibat) dalam liukum pidana itu dapat
difoatja Prof. Mr J.M.J. S c h e p p e r „H et causaliteitsprobleem in
het strafrccht” , pidato Batavia (Djakarta) 1 9 2 6 ; D. v a n E c k „C a u ­
saliteit en aansprakelijkheid voor gevolgen in het strafrecht” , dis»
Nijmegen 194 7; ringkasan dalam buku kami „H u ku m Pidana I ” ,
1960, hal. 383 djb.

358
tatalertib hukum. Menurut anggapan beberapa ahli h u k um -jang
menganut teori determinisme itu, maka hukum pidana seharusnja
suatu „liukum pertahanan sosial” („soeiaal verdedigingsrecht” ,
F e r d . S a s s e n 19).
T eori indeterminisme (T a v e r n e, C a r i B i n d i n g ) b er­
pendapat bahwa manusia menentukan kehendaknja setjara merdeka,
walaupun masih djuga — hal ini diakui oleh .Mereka jang menganut
teori indeterminisme ini — ada beberapa faktor, seperti m ilieu
dan kepribadian manusia, jang mempengaruhi penentuan kehen­
daknja itu.
T eori m odern hendak menempuh suatu djalan tengah. Teori
ini berpegangan pada suatu determinisme — mengakui dalam ba-
njak hal kehendak manusia ditentukan oleh beberapa faktor seperti
m ilieu dan kepribadiannja (faktor-faktor jang tidak dapat dikuasai
oleh manusia) — tetapi menerima „kesalahan” sebagai dasar hukum
pidana 2°. ' —

P a r. 3 : Si st im h u k u m a n 21 d a n sifat h u k u m a n.

Hukum pidana m enjebut perbuatan apa 'jang dapat dikenai


-hukuman dan matjam-matjam hukuman jang dapat didjatuhkan.
Maka Iv.U.H. Pidana menjebut peristiwa pidana maupun hukuman.
K.U.H. Pidana m embagi hukuman dalam (pasal 10) :
\

a. hukuman utama (hoofdstraffen)


b. hukum an tambahan (bijkom ende straffen).

19- „Praeadvies” jang berdjudul „Itecht on elhiek” tahun 1926 dalam


V creniging tot het bevorderen v.d. beoefening der wetenscliap onder de
Katholieken in Nederland.
2 0 Dalam kuliah pamitannja (afscheidscollege) pada tanggal 25 Oktober
1947 di kota Groningen, jang berkepala „T er-effen in g. Het subsociale
^ als het derde clem cnt van het delict” , Prof. Mr M.P. V r i j m enge­
mukakan „h et subsociale” sebagai anasir (unsur) ketiga dari „peris­
tiwa pidana” , di samping anasir-anasir „melawan hukum” (weder-
rechtelijkheid) dan „kesalahan” ., Lihatlah lebih landjut buku kami
„H u k u m Pidana I ” , 1960, hal. 340-343.
21 P ro f. Mr J .M J . S c h e p p e r „H et Nederlandsch Indisclie strafst^l-
sel” dalam T . 152 hal. 4 8-79 ; P rof. Mr J.E. J o n k e r s „H et Ne-
derl Ind. Strafstelsel” , 1941, dan dalam „H andboek v.li. Nederl. Ind.
strafrecht” 1946, hal. 176 djb.. Hukum mengenai sistim hukuman
diberi nama hukum penitensier (penitentiair reclit)„ Lihatlah H a -
z e w i n k e 1 - S u r i n g a, hal. 358 djb.. Bagian krim inologi jang
m em peladjari hal hukuman diberi nama poenologi. Sangat penting
dibatja H e r m a n n Mannheim „T h e Dilemma o f Penal Re-
fo rm ” , 1939.,

359
Hukuman tambalian didjatuhkan berhubung dengan hukuman
utama. Baru apabila telah didjatuhkan hukuman utama maka da­
pat didjatuhkan hukuman tambahan. Hukuman utama ada lima
mat jam . hukuman mati, hukuman pendjara, hukuman kurungan,
hukuman denda dan hukuman tutupan.

Hukuman pidana di banjak negeri tidak lagi mengenal hukum an


nati , a.l. di Negeri Belanda. Mereka jang mengemukakan kebe­
ratan terhadap hukuman mati mengatakan bahwa hukum an mati
bertentangan dengan agama dan etika,,dan apalagi dalam hal bila­
mana kemudian ternjata bahwa hakim ketika m endjatuhkan huku- '
man mati itu tersesat (rechterlijke dwaling), maka hukuman tidak
iagi dapat diubah atau dibatalkan karena jang dihukum telah mati J
Tetapi di daerah koloninja oleh orang Belanda hukum an mati itu
dipertahankan karena „keadaan istimewa” di daerah-daerah kolo­
ni 23.

Tentang batas-batas hukuman maka sistim hukuman Indonesia


mengenal suatu minimum umum (algemeen m inim um ). Batas m i­
nimum mengenai hukuman atas kemerdekaan adalah satu hari dan
mengenai hukuman denda m endjadi dua puluh lim a sen. Dalam
pen Pres 1965 Nr 20 tertanggal 25 Agustus 1965 perihal anggauta
A.B.R.I. jang melakukan tindak pidana dengan sendjata, hukum an
minimum didjadikan dua tahun. Tetapi tidak ada maksimum
(m axim um ) umum. Un.uk tiap delik ditetapkan suatu m aksimum
sendiri (chusus). Maka sistim hukuman Indonesia mengenal sistim
maksimum istimewa (bijzonder maximum)
Hukuman tambahan ada tiga matjam : pentjabutan liak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu <lan pengumuman ke-
.putusan hakim.
Di samping mendjalulikan hukum.,,, maka'hakim
membuat tmdakan (maalregel). Misalnja, pasal 44 ajal 2, pasal 45,
pasal 46. Hak,m dapa, djuga me„dja,„hka„ hukuman dengan per-
djandjian ivo„rwaar,Iel,jke veroordeling) (pa.al-p'.sal 14a djb., djt,-

22 L ih a tla h a .l. d a fta r ja n g d in n m i , „ ,


Saleh „ M a s ’ alah p id an a m a ti” i lJerai^ ah M r R o e s I a ir
23 Jonkers, ha!.. 1 7 8 dari H a n d h « I » ' “ " 88® ? 1958'
ti d i In d o n e s ia pa da diain-m” t ’ n.)a - P e r s o a la n h u k u m a n n m -
Mr RoeslanPSaleirXlam r "8 “?a,k oleh
7 S e p te m b e r 1 9 5 8 . M r R 0 e 11 T ^ i ” ^ “ S^ P ,d
n e rim a , b a h k a n m e n o la k ad a n ia >• ' t ¿ ’" t . dapa.1
m aupun p e la k s a n a a n n ja ” (lia l! 3 ? ) ’ sebagai a n tja m a n *

360
ga L.N.H.B. 1926 Nr 4 8 /). Pasal 15 mengenal pelepasan dengan ,
perdjandjian ( voorwahrdelijke invrijheidstelling). Lihatlah dju°-a
L.N.H.B. 1917 N r 749 24. c
' Undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu memuat
beberapa ketentuan konstitusionil mengenai, sistim hukuman, jang
dapat didjadikan pegangan bagi peradilan pidana. Lihatlah pasal-
pasal 11 dan 15.
Sifat dan tjorak hukum pidana di Indonesia adalah begitu
rupa sehingga dapat dikatakan, bahwa hukum pidana di Indonesia
itu adalah suatu hukum pidana bagi orang dewasa. Di Indonesia
belum ada hukum pidana jang chusus bagi mereka jang belum
, dewasa. Belum ada „kinderstrafrechl” . D jadi, hukum pidana jang
menurut sifat dan tjoraknja adalah suatu hukum pidana bagi orang
dewasa, djugalah dipakai untuk menghukum anak !
Dapat dikatakan bahwa pembagian hukuman-hukuman seperti
jang diadakan dalam K.U.H. Pidana itu pada umumnja sedjalan
dengan pem bagian delik-delik dalam matjam delik jang merupakan
hec\jahatan (m isdrijf) dan matjam delik jang merupakan pelang­
garan (overtreding). Hukuman jang didjatuhkan dalam hal „ke-
djahatan” pada umumnja lebih berat dari pada hukuman jang di­
djatuhkan dalam hal „pelanggaran” . Supaja menghukum „kedja-
hatan” maka biasanja — „biasanja” , karena dapat djuga didjatuh­
kan hukum an kurungan dan hukuman denda — didjatuhkan liu-

24 Mengenai hukuman dengan perdjandjian (sjarat) batjalah „prae-


advies” P orf. J.M.J. S c h e p p e r „Voorwaardelijke veroordeeling” ,
T . 129 (1 9 3 0 ), hal. 247 („prae-advies” di muka Ned. Ind., Juristen-
congres tahun 1 9 2 9 ). Prof« S c l i e p p e r djuga menulis beberapa
karangan jang sangat penting tentang pelepasan dengan perdjandjian.
Lihatlah T . 127 hal. 378.. Selandjulnja, Prof. S c h e p p e r sangat
berdjasa dalam mengadakan di Indonesia suatu „reclassering”
pembawaan kembali dari jang terhukum kedalam pergaulan sosial
setelah ia lepas dari suatu hukuman atas kemerdekaan) jang baik
dan jan g meningkat ke arah suatu reclassering jang agak modern.
Lihatlah karangannja „Volwassenenreclassering in Ned. Indie 1927-
1937” dalam T . 147 hal. 559-584.
Sekarang reclassering ini, jang harus bersifat pengayoman (lihatlah
Bab I, par 8 ) , bagi pemerintah kita mendjadi suatu persoalan jang
sangat berbelit-belit, karena bidang reclassering pada djaman seka­
rang sangat luas. Reclassering pada djaman sekarang tidak lianja me-.
ngenai pembawaan kembali dari jang terhukum kedalam masjarakat-
nja tetapi djuga mengenai pembawaan kembali bekas-anggauta ge­
rom bolan ilegal dan para bekas-pemberontak (D .I., T .I.I., P . R . R . I . /
Permesta, „Gestapu” atau „G estok” , dsb.) kedalam suatu masjarakat
teratur ! Beberapa persoalan reclassering dapat dibatja dalam skripsi
Mr G a r t i n a D e n d a d i . p u r a „Reklasering” , Gadjali Mada 1954.

361
kuman pen d ja ra 25, sedangkan supaja menghukum „pelanggaran” '
maka didjatuhkan hukuman kurungan atau hukuman denda.
Menurut anggapan „M em orie van T oelichting” usul-kilah un­
dang-undang hukum pidana Belanda 26, maka perbedaan antara
„kedjahatan” dan „pelanggaran” itu berdasarkan perbedaan antara
delik'hukum (rechtsdelicten) dan dellik undang-undang (w etsdelic-
ten). Suatu perbuatan merupakan delik hukum djika perbuatan
itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif jang ada dalam
kesadaran-hukum rakjat. Maka termasuk dalam azas-azas hukum
itu djuga azas-azas hukum jang tidak tertjantum setjara tegas dalam
undang-undang, jaitu perbuatan-perbuatan jang sehnrusnja dikenai
hukuman (straf >waardig), walaupun undang-undang tidak m enje
butnja sebagai delik. Jang dimaksud dengan delik untiang-undang
itu perbuatan jang bertentangan dengan apa jang tertjantum setjara
tegas dalam undang-undang, karena perbuatan undang-undang m e­
nganggap perlu menetapkannja supaja tatatertib masjarakat letap
terpelihara, tetapi tidak karena itu sungguh-sungguh berasal dan
kesadaran-hukum rakjat. \
Agar membawa kepastian apakah suatu perbuatan merupakan
„kedjahatan” atau „pelanggaran” — karena dengan m udah dapat
ditim bulkan keragu-raguan tentang batas antara „kedjahatan dan
„pelanggaran” — , maka undang-undang sendiri mengatakan setjara
djelas perbuatan apa mendjadi „kedjahatan” dan perbuatan apa
m endjadi „pelanggaran” . K.U.H. Pidana m engum pulkan semua de­
lik „kedjahatan” dalam Buku II („K edjahatan” ) sedangkan semua
delik „pelanggaran” dimasukkan kedalam Buku III („P elan g­
garan” ) 27. K.U.H. Pidana terdiri atas tiga Buku : B uku I jang
mengenai „Ketentuan-ketentuan Umum” ; Buku II jang m engenai
„K edjahatan” , dan Buku III jang mengenai „Pelanggaran” . T itel I
sampai dengan titel V III Buku I mengenai peladjaran-peladjaran

25 Hukuman mali djarang didjatuhkan.


26 Pendjelasan ini mengenai djuga K.U.H. Pidana Indonesia.. Dalam Bab
H I par. 2 telah diterangkan bahwa K.U.H. Pidana Indonesia, jang
boleh disebut W elboek van Strafrecht tahun 1915 jang direvisi pada
tahun 1946, merupakan tiruan (azas konkordansi) dari kitab undang-
undang hukum pidana Belanda (1 8 8 1 ). Mengenai perbandingan li­
hatlah L e m a i r e „H et W etboek van slrafrecht voor IVederlandsch-
Indie vergeleken met het Nederlandsche W etboek van strafrecht” ,
1935 (dengan kala pengantar P rof. S c h e p p e r ) .
27 Mengenai pembagian detik (peristiwa pidana) dalam „k ed jah a la n ”
dan „pelanggaran"’ batjalali uraian lebih luas dalam buku kam i „ H u ­
kum Pidana I” , 1960, hal. 83 djb.

362
um um (algemene leerstukken). Pasal 103 (aturan penghabisan)
mengatakan bahwa „ketentuan dari kedelapan titel jang pertama
dari Buku ini (jailu Buku I) berlaku djuga terhadap perbuatan
jang boleh dihukum menurut peraturan undang-undang lain, ter-
ketjuali kalau ada undang-undang, peraturan pemerintali atau or­
donansi jang menentukan aturan lain” . Titel IX memuat suatu
tafsiran autentik tentang arti beberapa sebutan dalam K.U.H. P i­
dana.
Hukum pidana jang tertjantum dalam K.U.H. Pidana hanja
m endjatuhkan hukuman individuil (individuele straffen). Sifat
hukum pidana jang tertjantum dalam K.U.H. Pidana adalah in­
dividualistis; K.U.H. Pidana bersifat individualistis (individualis-
tisch karakter van het W etboek van Strafrecht). Maka dari itu
hukum pidana jang tertjantum dalam K.U.H. Pidana tidak menge­
nal hukuman bagi badan hukum (rechtspersoon) 2S dan tidak m e­
ngenal hukuman k olek tif( collectieve straffen). Jang dihukum ialah
anggaittanja atau anggauta pengurus orangnja satu per satu (lihat­
lah pasal 59 K.U.H. Pidana) 29.
Sedjak tahun 1955, berdasarkan suatu peraturan „istimewa” ,
dapatlah dihukum badan hukum, jaitu korporasi dan jajasan ! 30
Peraturan „istim ewa” itu pasal 15 Undang-undang darurat tentang
pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak-pidana ekonomi, L.N.
1955 Nr 27 (pendjelasan dalam Tambahan L.N. Nr 801). Badan
hukum dapat diakui sebagai pembuat delik dan oleh sebab itu da­
pat djuga dikenai hukuman menurut hukum pidana.

28 Lihailah kcputusan H oog Gerechtsliof tertanggal 5 Agustus 1925, T«


127 lial. 16-1. Mengenai perlunja hukuman bagi badan hukum batjalali
„praeadvies” Mr J.B.. A k k e r m a n „Strafrechtelijke aansprakelijk-
heid van reclitspersonen” di muka Ned. Ind. Juristencongres tahun
^ 1931, jan g dimuat dalam T., 133 hal. 745 d jb .; Mr M.A; R i j n v a n
A I k e m a d e „Strafrechtelijke aanpraklijkheid voor feiten gepleegd
door corporaties” dalam T.v.S., 50, hal. 189 d jb .; Prof. Mr D. v a n
E c lc „D e strafbaarheid van reclitspersonen en corporaties riiet-reclits-
personen naar Nederlands recht” , .„praeadvies” untuk Ver. v.d. vergel.
studio v.h. recht v., Belgie en Nederland, 1951; Prof, Mr B-V-A. R*>-
1 i 11 g „D e strafbaarheid van de rechtspersoon” dalam T.v.S., 66
(1 9 5 7 ), hal. 1-30*
29 Lihatlah J o n k e r s „H andhock” , hal. 177.
30 Sebcnarnja, peraturan pertama-tama jang memberi kemungkinan un­
tuk m endjatuhkan liukuman menurut hukum pidana terhadap badan
hukum adalah undang-undang jang diundangkan dalam L.IN. 1951
Nr 90 jo L.N., 1953 Nr 4 (Undang-undang Penimbunan Barang-barang
— „Hamsterwet” ) (pasal 1 2 ),

363
Adanja L.N. 1955 Nr 27 itu memperlihatkan makin lama makin
besarnja perhatian terhadap delik-delik ek o n o m is 31. Berhubung
dengan usaha diadakan suatu ekonom i terpim pin, jang melahirkan
suatu burokrasi ekonomis, maka perhatian terhadap delik-delik
ekonomis itu sangat wadjar. Untuk dapat memberantas korupsi
setjara lebih efisien (efficient) maka dalam Peraturan Penguasa
M iliter tertanggal 9 April 1957 Nr P rt/P M /0 6 /1 9 5 7 32 untuk kali
jang pertama, diperkenalkan suatu djenis baru delik jang diberi
nama „korupsi” (pasal 2). Menurut pasal 1, maka „korupsi”
itu „a. Tiap perbuatan jang dilakukan oleh siapapun djuga, baik
untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan suatu badan
jang langsung atau tidak langsung menjebabkan kerugian bagi
keuangan atau perekonomian negara; b. Tiap perbuatan jang dila­
kukan oleh seorang pendjabat jang menerima gadji atau upah dari
keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan jang m e­
nerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, jang dengan
mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan jang
diberikan kepadanja oleh djabatan, langsung atau tidak langsung
membawa keuntungan materiil baginja” . Sekarang pemberantasan
korupsi dilakukan berdasarkan pePerpu 1960 N r 24, L.N. 1960
N r 72 33.
Tentang apa sifat hukuman telah ditimbulkan banjak faham.
Pengertian form il „hukuman” ^adalah suatu penderitaan istimewa
(bijzonder leed) 34 35. Agar tatatertib masjarakat tetap terpelihara,

31 L ih a tla h ten ta n g litera tu r m en g en a i h u k u m a n atas d e lik e k o n o m is


B a b I I n o o t 6.
32 D ib itja ra k a n o le h M r K.. S o e p a r t 0 „ K o r u p s i d a n p e m b e r a n ta s a n -
l O i H 'i In V **.u k u m d a n M a s j a r a k a t ” , III, 1 ( F e b r u a r i
i * ’ Ja n £ d j u g a m e m b e r i s u a t u g a m b a r a n u m u m t e n ­
ta n g „korupsi « b
33 R. Santoso P o e d j o s o e b r o t o, S.H. „P e m b e ra n ta sa n sub-
versi, k oru psi dan P ™ erl«ban sewa m enjew a r u m a h ", 1 9 6 4 .
r. *,n g 1 ° n S? („M adjalah Hukum dan M a s i a r a k a t ” , IV,
¿ '.,haV 3y]'
Kn,ga,J menu" dJ«k kepada V o s , mengusulkan „ada
ba.knja ditambah dengan kata ,,„b e o 0gd” ” untuk dapat m e m b e d a -
bedakan hukuman dan tindakan-tindakan lain” .
35 V a n K a n, hal. 5 4 . „ D e r e ch ts n o r m e n z ijn d w in g e n d e n d e b e -
v o e g d h e d e n , w elk e de r e ch ts g c n o tcn aan d ie n o r m e n o n t le n e n ( « e
h ie r v o o r blz., 4 4 ) , m o e te n d o o r a n d eren w o rd e n g e e e r b ie d ig d , d e s n o o d s
met toepassing van dwang. Wanneer de norm en niet worden nageleefd
o f de rechten der enkelingen niet worden geeerbiedigd, dan dwingt
de rechtsorde tot nakoming, tot eerbiediging. M a a r de rechtsorde doet
so ms meer. E r zijn normen, zo gewichtig, die zulke vitale' belangen
der 1 mensen in samenleving beveilingen, dat de rechtsorde er niet in
berusten kan tot nakoming te dwingen o f het aangerichte on h e il'g o e d
te maken nä de overtreding van de norm o f na de sehending van

364
maka pemerintali (overheid) kadang-kadang terpaksa menggunakan
alat-alat paksa jang lebih keras. Kadang-kadang pemerintah terpaksa
m endjalankan sanksi jang lebih keras dari pada sanksi „biasa”
(seperti jang ada dalam hukum privat), misalnja, dengan peranta­
raan hakim , menghukum pelanggar setjara meinasukkannja keda-
lani pendjara, jaitu merampas kemerdekaan pelanggar. Pelanggar
diberi penderitaan „istimewa” .
Tetapi sanksi keras ini belum membawa kepastian-hukum bagi
jang mendapat kerugian (oleh pelanggaran). Maka dari itu di
samping menderita, misalnja hukuman pendjara, pelanggar dipak­
sa djuga mengganti kerugian kepada jang dirugikan — dalam hal
jang disebut teraliir ini pemerintah mendjalankan sanksi „biasa” .
Disamping sanksi hukum pidana (strafrechtelijke sanctie) oleh
hakim didjalankan djuga sanksi hukum privat (civielrechtelijke
sanctie). M isalnja, barangsiapa jang menipu orang lain dapat di-

het recht. De norm en „ „ g ij zult niet stelen, gij zult niet doden” ” ,
als norm en van privaatrechl gehandhaafd, leiden tot teruggave van
het gestolene o f schadeloosstelling van de bestolene en lot uitkering
van schadevergoeding aan de familie van de overledene. Die hand-
liaving is ecliter verre van afdoende. Ook zelfs tol de genoemde prijs
kunnen diefstal cn doodslag niet worden geduld. Doartoe is eerbiedi-
ging van het verbod van diefslal en doodslag van te grool gewicht
en voor de rechtsorde en voor de eventuele slachtoffers, wier hoogsle
belangen op bel spel staan. De rechtsorde grijpt- dan naar scherpere
m iddelen. Zii. bedreigt de overtreding met een biizonder leed en doet
de overlreder dai bijzondere leed aan.. Zii dreigt mel slraf en straft.
'Zierdaar de taak van liel strafreclit” (Kaidah-kaidah hukum itu me­
maksa, alau dengan kata lain : apabila perlu maka kekuasaan jang
oleh kaidah-kaidah ilu diberi kepada jang bersangkutan dapal di­
pertahankan dengan menggunakan paksaan — lihailah hal. 44 — .
Apabila kaidah-kaidah itu tidak ditaati alau hak-hak orang tidak di­
horm ati, maka tatatertib hukum memaksa pelanggar. Antara kaidah-
kaidah itu ada jan g sangat-sangat penting, karena melindungi kepen­
tingan nokok manusia. Bilamana kaidah-kaidah 'jang disebut terahir
ini tidak dihorm ati, maka di samping sanksi biasa — jang memaksa
pelanggar tunduk alau mengganti kerugian — oleh tatatertib hukum
dianggap perin mendjalankan djuga sanksi lebih keras. Kaidah-kaidah
„k am u tidak boleh ihentjuri, kamu tidak boleh membunuh” diperta­
hankan hukum privat dengan memaksa pelanggar mengembalikan
barang jang ditjurinja atau mengganti kerugian, memaksa pelangear
m em beri pengganti-kerugian kepada keluarga dari jang dibunuh. T e­
tapi sanksi ini kurang keras., Sanksi ini tidak dapat dianggap sebagai
penjelesaain penuh, karena pelanggaran-pelanggaran itu sangat mem-
bahajakan masjarakat. Maka dari itu hukum »lenggunakan sanksi
istimewa. Pelanggaran diantjam dengan suatu penderitaan istimewa.
Pelanggar didiatuhi penderitaan istimewa. Dalam hal demikian hukum
m engantjam dengan hukuman dan menghukum. Itulah lugas hukum
p id a n a ). Bal ialah diuga P rof. Mr J.M.J. S c h e p p e r „Strafrecht
en wereldbeschouwing” , 1935.

365
hukum pendjara (kemerdekaannja dirampas) berdasarkan pasal
378 K.U.H. Pidana serta dipaksa mengganti kerugian kepada jang
dirugikan itu berdasarkan pasal-pasal 1328 dan 1365 K.U.H. Perdata.
Ahirnja, kadang-kadang penderitaan istimewa jang termuat da­
lam hukum pidana positif tidak sesuai dengan „keadilan” . Teruta­
ma dalam hal hukum pidana m endjadi alat pendjadjahan semata-
m ata-dalam tangan suatu „ruling class” jang sama sekali tidak
didukung oleh jang diperintahnja ! Djuga kita tidak boleh lupa
akan hubungan antara hukuman dan faktor-faktor e k on om is36.
Tentang sifat hukuman dalam ilmu hukum pidana telah di-
huat beberapa teori-teori hukum pidana (strafrechtstheorien). Teori-
teori ini a.l. mentjari alasan „a d il” bagi hak pem erintah untuk
menghukum, mentjari dasar-dasar hukuman — pengertian materiil
hukuman. Ada tiga golongan teori-teori hukum pidana : teori-teori
absolut atau, teori-teori pembalasan (vergeldingstheorien), teori-
teori relatif atau teori-teori tudjuan (d oelllieorien ), dan teori-teori
Tnenggabuhgkah („verenigingstheorieri” atau „gem engde theorien” ).
Menurut teori pembalasan maka hukuman itu bersifat pem ba­
lasan (vergelding). Hukuman didjatuhkan karena ada dosa (quia
peecatum est). Seperti jang dikatakan I m m a n u e 1 I v a n t :
„W en n sich die bürgerliche Gesellschaft mit aller G lieder Einstim ­
mung auflöste .................................... müszte der letzte in Gefängnis
befindliche M örder vorher hingerechtet werden, damit jederm ann
das wiederfahre wras seine Taten wert sind” 3".
Teori-teori tudjuan menitik beratkan tudjuan hukuman. An-
tjaman hukuman dan hukuman perlu supaja manusia tidak berdosa
(n e peccetu r), supaja manusia tidak melanggar. Dalam golongan
_ teori-teori tudjuan, jang mendjadi penting ialah teori menakutkan
( afschrikkingstheorie) jang dibuat v o n F e u e r b a c h . M enurut
teori ini maka tudjuan hukuman ialah menakutkan manusia' m ela­
kukan pelanggaran, -jaitu pada antjaman- hukuman ada pengaruh
menakutkan orang melakukan pelanggaran. Pengaruh penakutan
itu terhadap semua anggauta masjarakat (prevensi um um ) — ka­
rena antjaman hukuman bersifat umum — , supaja ia tidak mengu-
. langi perbuatannja. Beberapa teori tudjuan jang lain mengatakan
bahwa hukuman itu bertudjuan m em perbaiki manusia — hukum an

36 Liliatlah Bab II, par. 1. Penting djuga Dr H e r m a n n Mannheim


„T h e Dilemma o f Penal Reform ” , 1939.
37 Kutipan pada v a n A p e l d o o r n , bal. 278.

366
ditudjukan kepada pembuat (dader) (prevensi chusus) —-, hukuman
itu bertudjuan mendidik munusia, supaja ia oleh masjarakat dapat
diterim a lagi sebagai auggauta jang baik.
T eori-teori tudjuan modern menganggap hukuman itu perlu
supaja masjarakat dilindungi terhadap perbuatan-perbuatan kedja-
hatan dan supaja talatertib masjarakat tetap terpelihara.
T eori-teori menggabungkan adalah teori-teori hukum pidana
jang termodern. Teori-teori ini hendak menggabungkan fikiran-
fikiran dasar dalam teori-teori pembalasan dan teori-teori tudjuan.
H ukum an didjaluhkan baik karena ada dosa maupun karena hu­
kum an itu bertudjuan memperbaiki manusia dan meiuljaga sehingga
masjarakat aman.
A liirnja, hukuman dapat djuga didjatulikan supaja kedudukan
„ru lin g class” tidak terganggu ! 3S.

Par. 4 : Penafsiran u n d a n g -un d a n g pidana.

Pasal 1 ajat 1 K.U.H. Pidana menimbulkan persoalan penting


bagi hukum pidana. Persoalan itu : sampai batas manakah undang-
undang pidana dapat didjalankan sehingga azas nullum delictum,
nulla pcena sine praevia lege poenali tidak dilanggar ?
H akim pidana sudah umum diperbolehkan djuga menafsirkan
undang-undang pidaiia menurut tjara-tjara penafsiran biasa jang
telah dipakai hakim perdata, jaitu penafsiran menurut bahasa,
penafsiran historis, penafsiran sistimatis dan penafsiran sosiologis 39.
Peladjaran Montesquieu bahwa hakim hanja mendjadi „la
bou ch e qui prononce les paroles de la loi” sadja, itulah djuga tidak
dapat diterim a lagi dalam liukum pidanapun.
Tetapi dalam hukum pidana masih tetap dipersoalkan — be­
lum diutjapkan kata teraliir ! -— apakah undang-undang pidana

38 Mengenai teori-teori hukum pidana ini lihatlah uraian lebih luas dalam
buku kam i „H u ku m Pidana I” , 1960, hal. 150-192.
39 Keputusan Ilog e Ruad di Negeri Beland^ tertanggal 21 Djanuari 1929 __
„N ederl. Jurisp” , 1929, hal., 709 : tjara-tjara interpretasi jang dila­
kukan m engenai perdjandjian dan pernjataan kehendak teraliir (tes­
tam en) seperti jang termaktub dalam K.U.H. Perdata, dapat djuga
dipakai dalam hukum pidana. Penting diketahui djuga keputusan
H oge Raad di Negeri Belandu tertanggal 12 Nopember 1900, W (B e­
lan d a)« Nr 7i>2t> : kalau kata-kata undang-undang tjukup djelas maka
hakim tidak boleh m enjim pang dari kata-kata itu walaupun kehendak
sungguh-sungguh dari pembuat undang-undang berlainan dengan arti
kata-kata itu.

367
dapat didjalankao eeyara analogi ala,, , ; <Jak 1 0 . Persoalan ini ,„ e „ -
djadi hanga« „edjak keputU6an IisWk (electricileitsa
Raad di Negeri Beland* tertanggal 23 Mai 1 9 9 1 4 1 rr
Raad tidak menjebut kata „analogi” maunu \ T ””
\ ° niaupun kata „penafsiran eks-
.ensiP (extensieve " < M , masih d)uga p „ f „ r „ j ’, ,
- jang „ e ,„ b u ,, ano.as, d,bawah k ep „,„sa„ .ersebut - b e r p e n d ',«
bahwa Hoge Raad dengan diam-diam i i ■ »
/a,n A u to « P i* « « . Kemudian b J T ^
Hoge Raad belum mau mengakuiJ P“ ? 3« “ « S «H *r bahwa
tetapi telah mengakui penafsiran eks^ » H lT p” T ” 1 pulana’
ten« dikemukakan bahwa nada ! “ f , ^ SchoI‘
antara penafsiran ekstensif dan analn ! ? 31,3 perbedaan
membuat konstruksi, membuat (mei f* 31” & U3 ,lal ltu Iiakim
jang lebih tinggi. H akim membuat V Z” .3,1" pen" ertian hukum
boleh dianggap dasar beberapa ket U3tU 1 leblh tin8?i JanS
maan. Seperti dalam keputusan , . 6n*^an Jan" mengandung kesa-
pengertian lebih tinggi «mengambil”^ ’ H ° gf , R a a r I dibuat
jang bermaksud memindah sesuat we£nemen) ’ j a*tu perbuatan
"kedalam tangan jang lain. H ania U 6n<^a dar* tanSan i a*ig satu
metode analogi berlain-lainan Dai Qtt^ e Penafsiran ekstensif dan
perkara jang harus diselesaikan k sf l^ ana^°"* hakim membawa
lebih tinggi itu sedangkan dalam Fi l” Um ^ n^ un%an Kaidah jang
nerluas lingkungan kaidah jang Ze/TA Penafsiran ek *tensif ia mem-
kara jang bersangkutan dinea tersebut sehingga p er-
fa ,,, Jonkers, pada h a T k lt„ 7 ^ d id ° h ™ * - Maka <lari i.o
pada tahun 1921 — setjara diam-d1 6 ^ Negeri Belanda
dalam hukum pidana 43. , lam telah menerima analogi

Mengenai dapat tidaknfa dite ’


na, para pengarang dibagi dalam d ^ 3 3na*°gl da^am hukum pida-
nerima analogi dalam hukum n i j U3 g°*on£an- Satu golongan me-
Jang menolaknja ialah semu ^ ^°^°n^an ^a*n m enoIaknja.
M rD ., S i m o n s 44 p rof a Pengarang kelasik, seperti Prof.
t ‘ " H a ^ e l 4 5 , P rof. Z e v e n b e r -
Pembatjaan tentang analogi f|nl

41 Nederl.r “Jurisp.” l 92l ’ hal


™? r ’’ 196° hJf 2 0 l S dJ*»-
{i U“ Pidana : buku kami ”Hu’
42 „Algemeen Deel” , hal.’ 9 3 . ”
43 Lainlah anggapan v a n B p m ™ .
noot 3. B l n e l e n - v a n H a t t u m , hal. 73
44 „Leerboek v.h. Nederl. strafreoht” ✓ •
1937, I hal. 99. 1 -Penerbitan baru oleh P 0 r a p e ) ,
45 „In i. t.d. slHdie v.h.. Nederl «i t l
J.V. v a n D y c k ) , 1 9 2 7 , hal!" 130 (penerbitan baru o le h P r o f.

368
g e n 46, pada djaman sekarang Prof, van B e r a m 'e l e n 47,
Prof, v a n H a 11 u m 48 (pada djaman „Rechtshogescliool” di Dja-
karta (Batavia) djuga Prof. S c l i e p p e r ) , Dr L e m a i r e 19
Mr V o s 50 dan P rof. L a n g e m e i j e r 51. Di Indonesia paling
ahir : H a n B i n g S i o n g , T r e s n a . Antara pelbagai alasan
menolak analogi dalam hukum pidana, ada dua jang menarik per­
hatian kam i, jaitu alasan L a n g e m e i j e r dan alasan L e m a i r e,
karena mengenai inti persoalan. Kedua penolakan ini adalah pe­
nolakan prinsipiil.
W alaupun ia tidak menjangkal bahwa hakim pidana telah men-
djalankan suatu m atjam interpretasi jang pada hakekatnja analogi,
masih djuga L a n g e m e i j e r tidak sanggup menerima analogi
dalam hukum pidana, karena tiada seorangpun diantara pegawai
pengadilan, pegawai kedjaksaan dan pegawai polisi jang sempurna
dan tidak ada kekurangan. Dapatkah kita pertjaja lCO^o akan ke-
djndjuran semua pegawai pengadilan, pegawai kedjaksaan dan pe
gawai polisi ?
Oleh L e m a i r e dikemukakan bahwa undang-undang pidana
tidak boleh ditafsirkan fcetjara analogi, karena pengadilan pidana
berwenang membuat keputusan hukum (rechtsbeslissiiig) jang sung
guh-sungguh membatasi hak-hak pokok manusia (seperti hukuman
mati, hukuman pendjara). Membuat keputusan sematjam itu —
apalagi dalam hal analogi — tidak boleh diadakan menurut kehen
dak hakim bejaka. L e m a i r e mengewatirkan ada kemungkinan
/ diadakan suatu tindakan hakim jang s e w e n a n g . - w e n a n g , apabila ke­
pada hakim itu diberi wewenang untuk mendjalankan undang-
undang setjara analogi.
Mereka jang menerima analogi dalam hukum pidana a.
T a v e r n e S2, R ¿i 1 i n g 53, P o m p e 54, J o n k e r s 55.

„L eerb oek v.h. Nederl. slrafrecht” , I, 19e4, >>«1. 29-30..


47 T.v.S. 48, pada debat Ver, voor Strafr.tahun 19;J7.
48 V an B e m m e l e n - v a n Hattum, I, hal. 74-7o.
49 Hal. 94-95.
50 „L eerboek v., Nederl. Strafrecht ’ , 1950, hal. 46.
51 Sama dengan noot 46.

53~ T*v! s !’ 48,’ h a llV d jb . (dalam Ver. v. Strafr. 1937) dan W (B elan d a).
Nr 12960’
54 „H an d boek ” , hal. 49. . „
55 „H an d boek ” , hal. 42. Lihatlah djuga „D e weg van liet strafrecht ,
pidato inaugurasi Leideri 1946.

369
T a v e r n e berpendapat bahwa peradilan pidana modern —
jang bidangnja telah sangat luas.dalam suatu masjarakat jang ber­
belit-belit — tidak dapat menolak analogi. Praktis hakim pidana
sudah lama mendjalankan analogi.
Roling menganggap analogi itu tidak lain dari pada suatu
sendi interpretasi. Apalagi, bukankah, hakim pidana telah diper­
bolehkan mendjalankan interpretasi ? Kita haras membedakan an­
tara : redaksi (susunan dan bunji kata) undang-undang pidana dan
tudjuan (strekking) undang-undang pidana. Jang harus diutamakan
ialah tudjuan undang-undang pidana, dan redaksi hanja m endjadi
sesuatu jang kedua (sekunder) sadja. Apabila njata bahwa anasir-
anasir sesuatu perkara, walaupun tidak sesuai dengan redaksi pera­
turan perundang-undangan jang bersangkutan tetapi sesuai dengan
tudjuan peraturan perundang-undangan jang bersangkutan itu, ma­
ka hakim dapat mendjatuhkan hukuman.
Pompe hendak menerima suatu analogi terbatas. Menurut
Pompe maka analogi dapat didjalankan, asal sadja tetap ber­
dasar pada kaidah jang tersimpul (djadi, kaidah itu tidak perlu
dinjatakan setjara tegas) dalam ketentuan perundang-undangan jang
bersangkutan, dan dalam penjelesaian hal-hal jang oleh pembuat
undang-undang dilupa („vergeten gevallen” ) atau hal-hal baru
(„nieuwe gevallen” , jaitu hal-hal jang oleh pembuat undang-undang
tidak dapat diketahui ketika ia membuat undang-undang jang ber­
sangkutan) .

P a r. 5 : I l m u k e d j a li a t a n (kriminologi)
s e b a g a i i 1m u - j a n g - m e m b a n t u ( h u 1 p w e t e n s c li a p)
bagi hukum pidana positif.

Ilmu hukum pidana chusus mempeladjari pelanggaran kaidah-


kaidah hukum ( rechts normen) jang mengatur tindakan-tindakan
manusia dalam pergaulan dengan manusia lain. Tetapi penglihatan
delik itu sebagai semata-mata suatu pelanggaran hukum itulah
tidak tjukup bagi suatu peradilan pidana jang modern. D elik itu
suatu perbuatan dari manusia dalam pertentangan (con flict) de­
ngan beberapa kaidah, jaitu petundjuk-liidup, jang ditentukan oleh
masjarakat di tengahnja manusia itu hidup (kaidah-kaidah sosial).

370
Delik adalah suatu gedjala sosial (kemasjarakatau). Jang mempe-
ladjari delik sebagai suatu- perbuatan manusia dan suatu gedjala
sosial adalah kriminologi atau ilmu kedjahatan. Pada waktu seka­
rang krim inologi sudah men d j adi suatu ilmu jang berdiri tersendiri
(zelfstandige wetenschap) jang mempeladjari manusia dalam per­
tentangan dengan kaidah-kaidah sosial tertentu. Perbedaan antara
ob jek krim inologi ( = manusia dalam pertentangan dengan kaidah-
kaidah sosial) dan objek (ilm u) hukum pidana ( = pelanggaran
ketertiban hukum ) dengan sendirinja menimbulkan d juga perbe­
daan antara pengertian „kedjahatan” (misdaadBegrip) menurut kri­
m inologi dan pengertian „kedjahatan” menurut (ilmu) hukum pi­
dana 56.
K rim inologi itu suatu gabungan (complex) ilmu-ilmu lain, jang
dapat disebut ilmu-6agiare (d eel-wetenschap) dari krim inologi57.
K rim inologi, sebagai suatu ilmu jang mempeladjari kompleks pem ­
bual-perbuatan (dader-daad) dalam segala seginja, mempergunakan
dan membahas hasil-hasil penjelidikan banjak ilmu lain, seperti
psyehologi, psycliiateri, fisiologi, antropologi, statistik, ilmu hu-
hum, ekonom i, sosiologi, (untuk Indonesia penting) antropologi
budaja, d ll.'B oleh dikatakan bahwa kriminologi itu suatu ilmu-jang
m eliputi segala segi manusia dalam pertentangan dengan beberapa
kaidah-kaidah sosial tertentu. Dengan memindjam kata-kata B a a n
krim inologi adalah „de overkoepelende wetenschap van de mens
in conflict met bepaalde sociale normen” oS. Tetapi kriminologi
itu, biarpun mentjakup banjak dari ilmu-ilmu lain, masih djuga
m em punjai persoalan-persoalan sendiri dan tjara-tjara penjelidikan
sendiri untuk menjelesaikan persoalan-persoalan tersebut. K rim i­
nologi adalah suatu ilmu-tentang-manusia (menswetensehap) jang
berdiri tersendiri, jaitu suatu ilmu-tentang-manusia jang cliusus
m em peladjari manusia dalam konflik (disinilah terletak perbedaan
dengan, misalnja, psyehologi, jang djuga mendjadi suatu ilmu-ten-
tang-manusia tetapi objeknja bukan-chusus manusia dalam konflik).

56 Prof., Mr J.M. v a n B e m m e 1 e 11 „Crim inologie. Leerboek der


misdaadkunde” , 1952, hal. 25 djb. _
57 P ro f. Mr W .A. B O n g e r (disadur oleh P rof. Dr G. Th. K e m p e)
„In leid in g ^ot de crim inologie” , 19o4, hal. 9 djb.
58 Dr B a a n „H et overkoepelend denken (in liet grensgebied van psy-
chialrie en rech t)” , kuliah umum Utrecht 1947, dan „D e psyhiater
in fo ro (Het overkoepelend denken I I ) ” , 1952.

371
Pentingnja kriminologi bagi hukum pidana positif dan pera-
dilan pidana ditentukan oleh sikap sardjana hukum pidana jang
bersangkutan terhadap tjara mendjalankan hukum pidana positif
dan peradilan pidana. Barangsiapa jang tidak begitu memperhatikan
azas bahwa „iedere misdadiger die therapie krijge, die bij behoeft”
(tiap pendjahat harus diberi tjara penjembuhan jang sesuai) 59,
maka dengan sendirinja tidak begitu merasa pentingnja krim inologi
bagi mendjalankan hukum pidana positif dan peradilan pidana.
Tetapi barangsiapa jang hendak mendjundjung tinggi azas bahwa
„iedere misdadiger die therapie krijge, die hij hehoeft” maka su­
dah tentu berpendirian bahwa tidak mungkinlah mem peladjari atau
mendjalankan hukum pidana positif atau mendjalankan sualu
peradilan pidana jùng baik tanpa pengetahuan elem enter tentang
kriminologi ! Di samping itu, pengetahuan kriminologis (crim ino-
logische kennis) itu djuga sangat penting dalam usaha mentjiptakan
ius constituendum pidana 60.

59 H a z e w i n k e l - S u r i n g a , hal. 19 jang melihat pendjahat itu se­


bagai seorang jang, ditindiau dari sudut hubungan sosialnja, menderita
suatu penakit sosial (sociaal zieke).
60 Di Indonesia sampai sekarang belum ada sualu perpustakaan
kriminologi jang berarti. Baru ada dua karangan, jaitu dalam bahasa
Indonesia dari Mr P a u l Moedikdo M o e l j o n o „Lem baga
Krim inologi” dalam „Madjalah Hukum dan Masjarakat” , III, 3 (Agus­
tus 195 8), liai. 33-53 (djuga dimuat dalam madjalah „Fadjadjaran” ,
I. 1 (Agustus 1 95 8), hal. 6-22) dan dalam bahasa Belanda dari P rof.
Mr W.M.E. N o a c h „Twee jaar criminaliteit in Djakarta (1 9 4 9 en
1 9 5 0 )” , T.v.S., 61, hal. 26 d_ib„ Dari buku P rof. B o u g e r (disadur
Prof. G. Th. Kem per) „Inleiding tôt de crim inologie” , 1954, ada
suatu terdjemahan dalam bahasa Indonesia oleh R.A. K o e s n o e n
(„Pengantar Tentang Krim inologi” ) . Dalam buku kami „H u ku m P i­
dana I” , 1960, pada hal. 137-149 terdapat suatu ringkasan dengan
• suatu daftar pembatjaan jang pertama.
Dalam bahasa Inggeris :
H. v o n Hentig „Grime, Causes and Conditions” , 1 9 4 7 ; H.E.
B a r n e s dan N.K. T c e t e r s ,,New Horizons in Crim inology” ,
1955; E.H. S u t lie r l a n d (disadur oleh D.R. C r e s s e y ) „P rin-
ciples o f Criminology” , 1955; D o n a l d R. T a f t „C rim inology” ,
1956; D o n a l d R. C r e s s y (ed .) „T he Prison., Studies in Insti-
tutional Organization and Change” , 1961 ; M.E. W o l f g a n g ,
L. S a v i t z dan N. J o h n s t o n (e d .) „T h e Sociology o f Crime
and Delinquency” , 1962.
Dalam bahasa Perantjis :
Prof. E. d e G r e e f f „Introduction à la crim inologie” .. 1 9 4 6 ; M.
L a i g n e l - L a v a s t i n e dan V.V. S t a n c i u „Précis de crim ino­
logie” , 1950.
Dalam bahasa Djerman :
Paul Reiwald „D ie Gesellschaft und ihre Verbrecher” , 1948
(ada terdjemahan dalam bahasa Inggris) ; F r a n s E x n e r „K ri-

372
■ perkara
\ kami

m in ologie” , 1 94 9; S a u e r „K rim inologie” 1950; S e e l i g „Lehr.


buch der Krim inologie” , 1951.
Dalam bahasa Belanda :
Buku P rof. B o n g e r jang telah kami singgung dialas ladi; Prof.
M r W.M.E,, N o a c h „Crim inologie” , 1954 (memuat djuga ketera­
ngan-keterangan tentang Indonesia); Prof. Mr J.M. v a n B e m m e -
I e n „C rim inologie. Leerboek der misdaadkunde aan de hand van
JVederl. gegevens en onderzoekingen” , 1952; Prof. Mr M.P. V r i j
,,Enige kanten van het object der crminologie” , T.v.S., 55 (1 9 4 7 ),
liai. 149 djb. (dengan beberapa karangan lain Prof. V r i j, djuga
dimuat dalam „Prof., Mr M.P. Vrij, verzameling uit zijn gesehriften
o p gebied van strafrecbt en crim inologie” , 1956) ; Dr G., Th. K e m p e
„M isdaad en wangedrag voor, tijdens en na den oorlog, opstellen over
crim inologie” , 1947, „Schuldig zijn” , pidato inaugurasi Utreclit 1950,
„C rim inologie in existentialistische doorlicliting” , T.v.S., 61 bal. 116
djb. dan „Sociale aspekten van het probleem der seksuele misdadig-
lieid” , 196 2; C.J.B.J. T r i m b o s „Misdaad zonder slrai 1962.;
Nagel „H et strafrecht en de oilmens'’ , pidulo inaugürasi Leiden
1 9 5 6 ; B i a n c li i „W aar en waarom misdaad” , kuliah umum Am­
sterdam 1958. Pada tahun 1956 Bianchi membuat suatu di­
sertasi (Amsterdam, Vrije Univcrsiteit) tentang „Position and Subject-
matter o f Criminology” . Dalam tulisan ini B i a n c h i melihat k ri­
m inologi itu sebagai suatu „meta-science” terhadap hukum pidana.
Pada hal. 110-111 dapat dibatja definisi sebagai berikut : „Crime is
a sinful, ethically blameworthy, defiant and erroneous act, eventually
prohibited by penal law, at any. rate deserving to be followed by
conscious counteraction on the part o f society, which in its behaviour-
aspecls is the evidence o f a failure o f reciprocal socio-psychical adjust­
ment o f societ. and the individual, being, a ’ deficient’ m ode o f ex­
pression hy which man runs counter to his own self. Dari definisi
Bianchi ini terlihat bahwa kedjahatan itu djuga pertentangan
dengan kepribadian (tvesen ) atau djiwa manusia pendjahat sendiri !
Aliirnja, oleh para sardjana kriminologi, psyehologi, psycliiateri dan
b iologi telah diperkenalkan „U ne nouvelle école de science crim i­
nelle 1’ Ecole d’ Utrecht” (Collection dirigée par R. V o u i n et
J. L ié a u t é, présentée par J a c q u e s L é a u t é, 1959 — him ­
punan karangan-karangan A d o l p h e P o r t m a n n , F.J. B u y -
t e n d i j k , ' P o m p e , K e m p e dan B a a n, jang memperkenal­
kan suatu aliran baru dalam kriminologi seperti jang diperjakinkan
dalam kalangan Universitas Utrecht d} Negeri Belanda).

373
f
BAB X

HUKUM ATJARA

P a r. 1 : Kata Pengantar.

Dari Bab I, par. 11, telah diketahui bahwa hukum atjara atau
hukum form il itu menuncljuk tjara~bagaimana neraturan-pcraturan
hukum materiil dipertahankan dan didjalankan. Hukum atjara
inenurfdjuk tjara bagaimana perkara diselesaikan di muka hakim
atau suatu alat negara lain jang diberi tugas menjelesaikan perse­
lisihan hukum (misalnja, alat-alat negara jang bertugas m enjele­
saikan perselisihan administratif) 1.

1 V a n K a n, hal. 45 : „Het foriueel- o f procesrecln heeft daarom


slechts afgeleide betekcnis, het dient alleen om aan dc beslaandc
materiele normcn hare nakoming te verzekeren, o f anders gezegd, om
de bevoegheden, dc daaruit voorlvloeien, te beschermen o f voor haar
krenking ecn genoegdoening te verschaffen. Het zijn nict, gelijk de
materieelrechtelijke voorschriften, levensnormen, d!e des mensen doen
en laten beheersen en zijn levcn richten. Ieder inens koopt en heeft
bezittingen, geeft en neemt in bewaring, beslast zich o f anderen
met opdrachten, is crediteur en debiteur, is kind o f pupil en de mees-
ten zijn ouder en echtgenoot. Zo wordt ieders leven met een net van
rechtsvoorschriften en -pliehlcn omspannen, vindt ieder in de rechts-
voorscliriften het dagelijkse richtsnoer voor zijn gedragingen.. Die bete-
kenis missen de processuele voorschriften. Men kan door het leven gaan
en met hen weinig o f in Iiet geheel niet in aanraking komen. Zij vin-
den slechts onder bepaalde omstandgheden toepassing en dan alleen
tot instandhouding van de materiele voorschriften o f bevoegdheden,
die daaruit voorvloeien. Levenspicliten leggen zij in het geheel niet o p ”
(ku rsif dari k am i). (Maka dari itu pentingnja hukum form il atau hu­
kum atjara bergantung pada adanja serta pentingnja hukum materiil.
Tugas hukum form il hanja mendjamin hukiiYn materiil ditaati. Kata
lain : melindungi wewenang jang oleh hukum materiil diberi kepada
jang berhak atau -memaksa pelanggar mengganti kerugian ataU m e­
ngembalikan benda jang diambilnja dengan tiada persetudjuan fihak
lain., Hukum materiil terdiri atas kaidah-kaidah jang menentukan isi
hidupnja manusia. Setiap manusia memberi dan m empunjai benda, m e­
nerima dan mendjalankan tugas atau menjuruh orang lain mendjalan-
kan tugas, mendjadi kreditur dan debitur, anak atau wali, dan bagiarj.
besar orang itu orang tua atau suami-isteri. Dengan demikian hidup
setiap orang dilingkungi himpunan peraturan dan. kewadjiban liukuin.
Dalam himpunan itu setiap orang mendapat pedom an hidupnja se-
hari-hari. Hukum atjara tidak terdiri atas pedoman hidup. Melainkan,
orang jang senantiasa berkelakuan baik sekali-kali lidak akan bertemu
dengan liukum atjara itu. Hukum atjara hanja didjalankan dalam
keadaan istimewa, jaitu dalam hal hukum materiil atau wewenang
jang oleh hukum materiil diberi kepada jang berhak perlu dipertahan­
kan. Hukum atjara tidak memuat kewadjiban sosial jang ada dalam
penghidupan tiap manusia).,

374
Dalam bab ini kami bitjarakan chusus tiara bagaimana perkara
diselesaikan di muka hakim. Setjara singkat terlebih dahulu kami
bitjarakau susunan pengadilan di Indonesia pada djaman sekarang.

Par. 2 : S 11 s u 11 a n pengadilan di I n d o n e s i a 2.

Badan jiengadilan jang tertinggi di negara kita adalah Mahka­


mah Agung jang telah didirikan pada djaman Republilk Indonesia

2 Untuk susunan pengadilan sebelum Perang Dunia jang lerahir batjalnh


P rof. Dr R, S u p o m o „Sistim hukum di Indonesia (sebelum perang
dunia I I ) ” , 1953; Mr R. T r e s n a „Peradilan di Indonesia dari ubad
ke abad” , 1957; untuk susunan pengadilan sesudah Perang Dunia jang
terahir : L e 111 a i r e „H el recht in Indonésie (Hukum Indonesia)” ,
1 953; P rof. Dr J.H.A. L o g e m a 11 n „H el staatsrecht van Indonésie
(het form ele systeem)” , 1954, hal. 135 d jb .; untuk susunan pengadilan
pada djaman Djepang : diktat Prof. Mr R.D. K o 1 I c w i j n dan Dr R.
v a 11 D i j k ,,Staatsrecht en Rechterlijke Organisatie van Indonésie in
overgangstijd” , 1949, hal. 22-25 ; Mr O e r i p K a r t o d i r d j o „D e
rechtspraak op Java en Madoeni tijdcns de Japanse bezetting 1942-
1945” dalam T. jaargang 1947, nomor April, liai. 8-21; mengenai latar-
belakang kenegaraan : Prof. Mr A.G. P r i n g g o d i-g d o „Tatanegara
di Djatva pada waktu pendudukan Djepang” tjeramah Jogjakarta 1952;
Mr R. T r e s n a „Peradilan di Indonesia dari abad ke abad” , 1958,
hal. 78-81. Untuk diketahui latarbelakang politik beberapa tindakan-
tindakan pemerintahan tentara Djepang itu pentinglah djuga dibatja
disertasi Leideu 1954 jang dibuat Mr A.A. Z o r a b „D e Japanse be-
zetting van Indonésie en haar volkenrechtelijk-e zijde” ; untuk susunan
[tCngluHIllll (Invilajali Republik Indonesia 1945 (Josjakartx) : diktat
K o 1 1 e w i j 11 - v a 11 1) » j k, hal. 26-27; Mr A. v a n J f a a n e n
„H e l sliafrecht in de Republiek” dalam T . Jaargang 1947, hal. 191,
197 dan 2 4 0 ; Prof. K o 11 e w i j n dalam „Ned. Jur. Blad” , 1946, liat.
681-686, dan himpunan pcarturan-peraturan R.I. lahun 194» jang di-
susun oleh K o e s n o d i p r o d j o ; untuk susunan pengadilan i >vi
lajah R epublik Indonesia jang diduduki pemerintah Hindia-Belanda :
lihatlah diktat K o 11 e w i j 11 - v a 11 D i j k, hal. 28-36 tweede ver-
volg. Pada hal.. 38 tweede vervolg itu disebul pembatjaan, a.l.'. Ur
H.K.J. C o w a n „Indische Rechtsbedeeding na de bevrjjdmg da-
lain „Indon ésie” , 1948-1949, hal. 64 d jb.; Mr E n t h o v e n a am
„N ed. Jur., Blad” , 1946, hal. 5 52 ; Mr A.P. F u n k e djuga da­
lam madialah itu pada hal. 7 04 ; Mr A.C. v a n E m p e l (mengenai
kasasi L.N.H.B.. 1947 Nr 20) dalam „Ned. Jur. Blad” , 1 9 4 7 hal
357. Lihatlah djuga ringkasan dalam buku Mr T r e s n a ,„Peradilan ,
hal. 82 djb.
Ahirnia, disini tidak dibitjarakan peradilan militer. Tentang peradilan
militer dapat dibatja Mr E r 111 a n „Atjara sumir di lingkungan per­
adilan ketentaraan” dalam ,,Hukum” , 1953, 2-3, hal. 19 djb. dan »K e ­
pentingan ketentaraan dalam peradilan ketentaraan” dalam „H ukum ” ,
1953, 2-3, hal.. 33 djb. Lihatlah ringkasan dalam buku L e m a i r e,
hal. 273-280.
3 Pembatjaan chusus tentang Mahkamah Agung: Mr W i r j o n o P r o -
d j o d i k o r o „Kedudukan Mahkamah Agung dalam Ketatanegaraan
Indonesia” dalam „B uku Peringatan Diës Natalis ke-VI Senaat Malia-

375
Serikat (R .I.S .)4.
Berdasarkan pasal 118 konstitusi R.I.S. dibuat suatu Undang-
undang Mahkamah Agung (Undang-undang tahun 1950 Nr 1, di­
singkatkan U.U.M.A.), L.N.R.I.S. 1950 Nr 30. Peraturan ini, jang
sekarang masih berlaku karena pasal 142 undang-undang dasar se­
mentara tahun 1950 dan pasal II Aturan Peradilan U.U.D. — lianja
ketentuan-ketentuan-jang bertentangan dengan undang-undang dasar
sementara tahun 1950 dan U.U.D. Negara Kesatuan tidak lagi ber­
laku — , mengatur susunan dan wewenang Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung memutuskan dengan tiga orang hakim (pasal
3 ajat 1 U.U.M.A.). Wewénang Mahkamah Agung adalah : mela­
kukan pengawasan tertinggi atas semua pengadilan (pasal 12), me­
mutuskan dalam tingkatan pertama dan terahir semua perselisihan
tentang kekuasaan mengadili antara semua badan-badan pengadilan
jang lebih bawah dari semua perselisihan jang ditimbulkan dari
perampasan kapal, kapal udara dan muatannja oleh kapal iperang
(pasal 14), memutuskan dalam tingkatan kedua (apèl) atas kepu-
tusan-keputusan wasit (arbitrale vonnissen) jang ternjata mengenai
nilai harga Rp. 25.000,— atau lebih (pasal 15), melakukan kasasi5,
jaitu „pembatalan atas putusan pengadilan-pengadilan lain dalam
tingkatan peradilan jang terahir dan penetapan dan perbuatan pe­
ngadilan-pengadilan lain dan para Hakim jang bertentangan dengan
hukum, ketjuali putusan pengadilan dalam perkara pidana jang
mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuntutan” (pasal 16),

siswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masjarakat Universitas In­


donesia” , 1956, hal. 20, 81-83 ; Mr R. T r e s n a „Peradilan” , 1958,
hal. 90-97; Mr J.J. d e J o n g h „H et nieuwe cassatie-instituut van
Indonésie” , dis. Djakarta 1951. I
4 Pada djaman Republik Indonesia 1945 (Jogjakarta) telah didirikan
Mahkamah Agung berdasarkan pasal 24 U.U.D. 1945 (Undang-undang
R.I. tahun 1947 Nr 7 ).
5 Lihatlah L e m a i r e pada hal. 264 tentang asal-usul kasasi (kasasi
berasal dari peradilan di Negeri Perantjis).
Kasasi mendjadi alat Mahkamah Agung supaja dapat mengawasi pe-
kerdjaan pengadilan-pengadilan lebih rendah, memeriksa apakah pe­
ngadilan lebih rendah tidak melanggar hukum („rechtm atigheidscon-
trole” dari Mahkamah A gung).
Pembatjaan : Mr J.J. d e J o n g h „H et nieuwe cassatie-instituut van
Indonésie” , disertasi Djakarta 1951; P rof. Mr J.E. J o n k e r s
„K orte aantekeningen op de Cassatieregeling in de „„W e t op de H oge
Raad van Indonésie” , „Mededelingen v.h. Documentatiebureau voor
overzees recht” , Jaargang 1^ 3 (November 1 9 5 1 ), hal. 30-44.

376
pengawasan tertinggi atas jiara notaris dan para pengatjara .(pasal
133), m enjuruh salah seorang anggauta Mahkamah Agung supaja
mengadakan i>emeriksaan dalam rumah pendjara di seluruh Indo­
nesia (pasal 134), grasi, amnesti dan abolisi hanja dilakukan atas
nasehat Mahkamah Agung (lihatlah pasal 107 undang-undang dasar
sementara tahun 1950 dahulu; U.U.D. menjinggung grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitas sebagai suatu wewenang Presiden). v>

Alasan-alasan kasasi adalah dua. niat jam (pasal 18), jaitu :

a. apabila peraturan hukum- tidak dilaksanakan atau ada kesa­


lahan pada melaksanakan
b. apabila tidak dilaksanakan tjara melakukan peradilan jang ha­
rus diturut menurut undang-undang. -- ■-

Xflng dimaksud dengan „tjara” pada sub b ialah tjara jang


merupakan esensialia atjara („essentiele vormen van liet proces” ).
Ivewadjiban Mahkamah Agung adalah memberi laporan atau
pertimbangan tentang soal-soal jang berhubungan dengan liukum,
apabila hal ilu diminta oleh Pemerintah (pasal 132).
Suatu ketentuan jang dafrat membawa akibat penting terdapat
dalam pasal 131, jaitu bila dalam atjara'pengadilan ada soal jang
tidak diafwr dalam Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat
menentukan sendiri setjara bagaimana soal itu harus diselesaikan ! 6
Hukum atjara jang didjalankan pada Mahkamah Agung dite­
tapkan dalam Undang-undang Mahkamah Agung.
Pada tanggal 14 Djanuari 1951 dibuat Undang-undang Darurat
tahun 1951 Nr 1, L.N. 1951 Nr 9 (dengan pendjelasan dalam Tam ­
bahan L.N. (1951) Nr 81), jang pokokuja sesuai dengan apa jang
terlebih dahulu telah ditetapkan dalam Undang-undang R I. tahun
1948 Nr 19 ( jaitu sesuai dengan djiwa Proklamasi 17 Agustus 1945
dan negara R.I. jang diproklamasi ketika itu)-7. Berdasarkan Un­
dang-undang
“ P Darurat tahun 1951 Nr 1 dan'berdasarkan U.U.M.A.,

6 Menurut Mr K. S o e p a r t o „Kesesalan hakim” , kuliali liukum


Surabaja 1961, maka berdasarkan pasal 131 U.U.M.A., ini dapat di­
lahirkan suatu aljara,'jaitu pcnindjau kembali keputusan hakim jang
telah mcm punjai kekuatan liukum, untuk menghilangkan kesesatan
hakim (rechterlijke dwaling) jang didjadikan dasar keputusan hakim
itu. .
7 L e m a i r e, 247-250. .

377
maka susunan pengadilan di seluruh wilajah negara kita pada dja-
man sekarang 8 adalah (seharusnja) :

a. Pengadilan Negeri (di tiap-tiap daerah swatantra tingkat II)


h. Pengadilan Tinggi
•c. Mahkamah Agung.

Lihatlah pasal-pasal 1 ajat 1, 2 dan 3 L.N. 1951 Nr 9. Penga­


dilan Negeri m endjadi pengadilan sehari-hari bagi semua orang
jang ada di wilajah negara kita, baik mengenai perkara privat mau­
pun mengenai perkara pidana — pasal 5 ajat 3 sub a. Pengadilan
Negeri mengadili dalam tingkatan pertama. Mengenai organisasi
Pengadilan Negeri batjalah apsal 5 ajat 1. Untuk Pengadilan Negeri
" Djakarta dibuat suatu peraturan organisasi istimewa, jaitu Undang-
undang Darurat jang diundangkan dalam L.N.R.I.S. 1950 Nr 27 (jo
pasal 5 ajat 2 L.N. 1951 Nr 9) (dengan pendjelasan dalam Tambahan
L.N.R.I.S. 1950 Nr 14). Dari pasal 3 ternjata bahwa Pengadilan
Negeri Djakarta adalah suat'u landjutan Landgerecht Batavia dahulu,
demikian pula Pengadilan Tinggi adalah suatu landjutan Appelraad
Batavia dahulu 9. -
Perkara di muka Pengadilan Negeri diadili oleh satu orang
hakim sadja, terketjuali dalam Jial Ketua Pengadilan Tinggi m em e­
rintah suatu pengadilan dengan tiga orang hakim.
Hukum atjara jang -didjalankan pada Pengadilan Negeri ada­
lah peraturan-peraturan R.I.B. (Reglemen Indonesia Baru, „H er-
ziene Indonesisch Reglement” , H.I.R.) jang „seberapa mungkin harus
diambil sebagai pedoman tentang atjara perkara pidana sipil ( =
bukan perkara pidana m iliter)” io — pasal 6 ajat 1 — dengan
memperhatikan perubahan dan tambahan jang disebut dalam Un­
dang-undang Darurat' tahun 1951 Nr 1 itu. Hukum atjara privat
terdapat dalam R.I.B. (pulau Djawa dan Madura) dan dalam R b
(Rechtsreglement Buitengewesten, L.N.H.B. 1927 Nr 227) (daerah-
daerah luar pulau Djawa dan Madura) — pasal 5 ajat-ajat 1 dan

8 Pembatjaan tentang peradilan sedjak waktu berlakunja undang-un­


dang sementara tabun 1950 dahulu, a.l., karangan „Beginselen van
Landsrechlspraak in Indonesie” dalam „M ededelingen v.li. Docum en-
tatieburcau. voor overzees recht” , Jrg 1951, hal. 46, dan Jrg 1952,
hal. 1 .
'9 Landgerecht dan Appelraad didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda
sesudah Dunia jang terahir.
10 Lihatlah penafsiran 'sempit kata-kata itu jang dibuat Pengadilan T in ggj ■
Djakarta, „H ukum ” , 1952, 1, hal. 43-45, dengan tjatatan Mr W i r j o -
noProdjodikor'o.

373
2 — dan berlakunja berdasarkan hukum peralihan jang terdapat
dalam pasal-pasal II Aturan Peralihan U.U.D., 142 undang-undan"
dasar sementara tahun 1950, 192 konstitusi R.I.S., proklamasi Pre­
siden S o e k a r n o tertanggal 10 Oktober 1945 Nr 2. Mengenai
pemeriksaan ulangan (bandingan, revisi dan apel) (pada Pengadilan
Tinggi) lihallali pasal 6 ajat 2 L.N. 1951 Nr 9, Undang-undang
R I . tahun 1947 Nr 20 (pulau Djawa dan Madtira) dan pasal 46
R b (daerah-daerah luar pulau Djawa dan Madoera).
Hukum materiil jang mendjadi dasar keputusan Pengadilan
Negeri adalah semua peraturan-peraturan jang telah ada — pasal
II Aturan Peralihan U.U.D. — , peraturan-peraturan baru dan hukum
adat (privat) jang materiil untuk golongan hukum bukan-Eropah
t terketjuali mereka jang tunduk pada hukum Eropah).
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan jang mengadili dalam
tingkatan apel (jierkara privat) dan dalam tingkatan revisi (perkara
pidana). Peradilan Indonesia disusun setjara dua tingkatan : per­
adilan dalam tingkatan pertama (hakim sehari-hari) dan peradilan
dalam tingkatan kedua (bandingan : apel atau revisi). Azas ini pen­
tinglah agar mondjamin objektivitet dalam peradilan. Atas keputusan
•Pengadilan Tinggi tidak ada bandingan lagi. Atas keputusan
Pengadilan Tinggi hanja ada kemungkinan diadakan kasasi oleh.
Mahkamah Agung. Peradilan Mahkamah Agung bukan peradilan
dalam „tingkatan ketiga” ! D i samping mengadili dalam tingkatan
bandingan (kedua), maka Pengadilan Tinggi menjelesaikan djuga
perlelisihan jurisdiksi antara pengadilan-pengadilan jang ada di-
bawahnja.
Susunan, wewenang, atjara dan tugas Pengadilan Tinggi ber­
dasarkan pasal 3 L.N. 1951 Nr 9. Untuk Pengadilan Tinggi Djakarta
dibuat suatu peraturan organisasi istimewa dalam L.N. R.I.S. 1950
N r 27 (jo pasal 3 ajat 2 L.N. 1951 Nr 9) (dengan pendjelasan
dalam Tambahan L.N.R.I.S. 1950 Nr 14). Lihatlah diatas tadi.
Hukum atjara privat jang didjalankan pada Pengadilan Tinggi
tertjantum dalam Undang-undang tahun 1947 Nr 20 (pasal-pasal
6-15) dan ditambah dengan azas-azas R.I.B. (pulau Djawa dan
Madura) dan dalam R b dan Rv (Reglement op de Rechtsvordering)
(pasal-pasal 119-205) (daerah-daerah luar pulau Djawa dan Madu­
ra) — pasal 5 ajat-ajat 1 dan 2, dan berlakunja berdasarkan hu­
kum peralihan jang terdapat dalam pasal-pasal II Aturan Peralihan
U.U.D., 142 undang-undang dasar sementara tahun 1950, 192 kon­
(
stitusi R.I.S., proklamasi Presiden S o e k a r n o tertanggal 10 Ok­
tober 1945 Nr 2._ Hukum atjara pidana terdapat dalam Undang-
undang Darurat tahun 1951 Nr 1 pasal-pasal 7 sampai dengan 20
(R.I.B. tidak memuat hukum atjara pidana mengenai revisi, maka
dari itu ketentuan dalam pasal 6 ajat 1 Undang-undang tahun 1951
Nr 1 sebenarnja tidak perlu bagi Pengadilan Tinggi !). D jadi, ban­
dingan jang berupa apel (perkara perdata) . terijantum dalam Un­
dang-undang tahun 1947 Nr 20 (pulau Djawa dan Madura) dan
pasal 46 Rb (daerah diluar pulau Djawa dan M adura), dan ban­
dingan jang'berupa revisi (perkara pidana) tert jantum dalam L.N.
1951 Nr 9 (pasal 6 ajat 2).
Hukum materiil jang m ehdjadi dasar keputusan Pengadilan
Tinggi adalah semua peraturan jang telah ada — pasal II Aturan
peralihan U.U.D. — , peraturan-peraturan baru dan hukum adat
(privat) bagi golongan hukum bukan-Eropah (terketjuali mereka
jang tunduk pada hukum Eropah).
Pengadilan Tinggi diadakan di Djakarla, di Surabaja, di Medan,
di Makasar, dr Semarang, di Palembang, di Sukarnopura dan di
Denpasar. Untuk daerah kekuasaan (daerah liukum = reclitsgehied)
masing-masing Pengadilan Tinggi lihatlah pasal 4.
Perkara dimuka Pengadilan Tinggi diadili oleh tiga orang hakim
(untuk perkara pidana lihatlah pasal 11 L.N. 1951 Nr 9 dan unluk
perkara perdata lihatlah pasal 15 Undang-undang R J. 1947 Nr 20),
tetapi dalam beberapa hal tertentu perkara dapat diadili oleh
satu orang hakim sadja (lihatlah L.N. 1955 Nr 35 (Undang-undang
Darurat tahun 1955 Nr 11)).
Pada Pengadilan Negeri dapat diadakan suatu Pengadilan E k o­
nomi (pasal 35 L.N. 1955 Nr 27) dan pada Pengadilan Tinggi da­
pat diadakan suatu Pengadilan Tinggi Ekonom i (pasal 47 L.N. 1955
Nr 27). Dua matjam baru pengadilan ini mengadili delik-delik eko­
nomis. Pasal 4 / L.N. 1955 Nr 27 mengatur permohonan kasasi pada ~
Mahkamah Agung. Pada saat ini aktivitet Pengadilan Ekonom i
sangat besar dan telah mcndjadi lebih besar lagi sesudah berdjalan-
nja proses menegakkan ekonomi terpimpin di Indonesia.
Berdasarkan pasal f) pen Pres 1963 Nr 11, L.N. 1963 Nr 101
dapat diadakan suatu Pengadilan Subversif pada Pengadilan N e­
geri n . ,
11 Mengenai susunannja lihatlah surat edaran Mahkamah Agung 1963
Nr 4. Literatur : R. S a n t o s o P o e d j o s o e b r o t o , S.li., ,,Pem ­
berantasan subversi, korupsi dan penertiban sewa menjewa rumah” ,
1964.

380
Pasal 1 ajat 2 Undang-undang Darurat tahun 1951 Nr 1 mene­
rangkan b a lw a „pada saat jang berangsur-angsur akan ditentukan
oleh M entari Kehakiman, dihapuskan :

a. segala Pengadilan Swapradja.. (Zelfbestuursrechtspraak) dalam


Negara Sumatera Tim ur da h u lu 12, Keresidenan Kalimantan
Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, ketjuali
peradilan Agama djika peradilan itu menurut hukum jang
hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swa-
pradja.
t- segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in reclitstreeks
bestuurd gebied), ketjuali peradilan Agama djika peradilan
itu menurut ITukum jang hidup merupakan satu bagian ter­
sendiri dari peradilan Adat” 13.

Tetapi peradilan desa (berdasarkan pasal 3a R.O.) tetap dilan-


djutkan — pasal 1 ajat 3.
Untuk Pengadilan Negeri jang telah mengganti pengadilan swa-
pradja dan pengadilan adat (berdasarkan L.N.H.B. 1932 Nr 80),
mengenai hukum materiil — terutama hukum pidana materiil —
pentinglah ketentuan jang ditjantumkan dalam pasal 5 ajat 3
sub b 14. Ketentuan ini — untuk sementara ivaktu — masih mem­

12 Setelnli Poran^ Dunia II tidak ada lagi. Lihatlah Undanst-undansr R.I.


tahun 1947 Nr 23.
13 Pengadilan-pengadilan jang disinggung dalam ketentuan ini adalah '
djenis-djenis pengadilan jang didirikan oleh hukum tatanegara adat
kita sendiri dan oleh pemerintah Belanda diperbolehkan hidup terus.
Maksud pembuat undang-undang'sekarang adalah menghapuskannja !
14 Tentang ketentuan ini batjalali L e m a i r e, hal. 272-273. Redaksi
pasal 5 ajal 3 sub b L.N. 1951 Nr 9 : „H ukum materiil sipil dan
untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil jang sampai
kini berlaku u n tu k ’ kaula-kaula daerah Swapradja dan orang-orang
jang dahulu diadili oleh Pengadian Adat, ada tetap berlaku untuk
kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :
bahwa sualu perbuatan jang menurut hukum jang hidup harus di­
anggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnja dalam Kitab
H ukum Pidana Sipil, maka dianggap diantjam dengan hukuman jang
tidak lebih dari tiga bulan pendjara dan/atau denda lima ratus ru­
piah, jaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat jang
didjatulikan tidak diikuti oleli pihak jang terhukum dan penggantian
jan g dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan
jang terhukum :
bahwa, bilamana hukuman adat jang didjatulikan itu menurut fi-
kiran Hakim melampaui padanja dengan hukuman kurungan atau
denda jang dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat di-

i
381
pertahankan peradilan pidana adat pada suatu Pengadilan Negeri
jang m endjadi pengganti suatu bekas-Pengadilan Adat atau suatu
bekas-Pengadilan Swapradja, tetapi dengan beberapa pembatasan.
Sifat „sementara waktu” itu ternjata dari Pendjelasan atas L.N.
1951 Nr 9. Oleh karena ketentuan ini maka unifikasi hukum pidana
jang materiil belum direalisasi sungguh-sungguh di seluruh wilajali
Indonesia. Djadi, di beberapa bagian wilajah Indonesia sekarang
masih tetap berlaku hukum pidana adat jang materil karena per-
djandjian pandjang dan „Zelfbestuursregelen” tahun 1938 (lihat­
lah djuga L.N.H.B. 1946 Nr 17, Nr 18 dan Nr 19) dan karena
L.N.H.B. 1932 Nr 80 pasal 3 jo tabel B dan C — ex pasal II Aturan
Peralihan U.U.D., pasal 142 undang-undang dasar sementara laliun
1950 dan pasal 192 konstitusi R.I.S.. Untuk daerah dimana pengadilan
swapradja dan pengadilan adat telah dihapuskan lihatlah Tam ­
bahan L.N. Nr 231 (pengadilan swapradja di B a li), N r 276 (penga­
dilan swapradja dan pengadilan adat di,Sulaw esi), Nr 462 (penga-
. dilan adat di L om bok ), Nr 603 (pengadilan swapradja di Sumbawa,
Sumba, T im or dan Flores) dan Nr 641 jo Nr 642 (pengadilan swa­
pradja dan pengadilan adat di seluruh K alim antan), hal ini ex
pasal 1 ajat 2 15.
Peradilan agama di wilajah negara kita djuga disusun setjara
dua tingkatan : di pulau Djawa dan Madura ada Pengadilan Agama.
Sebagai pengadilan bandingan diadakan Mahkamah Islam di kota
Surakarta (Solo) ^6. J)j pulau Kalimantan ada Pengadilan K adi, dan
Mahkamah Kadi di kota Bandjarmasin. Peraturan Pem erintah 1957
Nr 45, L.N. 1957 Nr 99 mengatur dibentuknja Pengadilan Agama
dati Mahkamah Sjar’ ija'h diluar pulau Djawa dan Madura.

kenakan hukuniannja pengganti setinggi 10 tahun pcndjani dcngnn


pengertian bahwa hukuman udut jang menurut fa ha m Hakim tidak
selaras lagi dengan zaman senantiasa ‘mesti diganti seperti tersebut
diatan, dan
bahwa suatu perbuatan jang menurut hukum jan g hidup harUS
dianggap perbuatan pidana dan jang ada bandingnja dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diantjam dengan hukum an jang ,
sama dengan hukuman bandingnja jang paling m irip dengan per­
buatan pidana itu” .
1® M a l i k u l A d i l „Penghapusan peradilan asli, terutama mengenai
Keresidenan Bangkahulu dan Palembang” dalam „H u ku m ” 1957, 3-4
hal. 5-18.,
16 Karangan „D e godsdienstige rechlspraak op Java en Madura” dalain
„M ededelillgen v.h. Documentatiebureau voor overzees reclil” , Jrg 1953
hal. 1 3 ; P rof. Mr Notosusanto „Peradilan Agama Islam di Djawa dan
Madura” , 1953 (tjetakan kedua jang diperluas : „Organisasi dan ju -
risprudensi peradilan agama di Indonesia” , 1 9 6 3 ). Peradilan agama

382
D jika ada peradilan agama jang tidak diatur berdasarkan iin-
dang-uiulang, maka jang mengaturnja ialah hukum tatanega.ra adat
(adatslaatsrecht). Pentinglah dibatja pasal 5 ajat 3 sub c Undang-
undang Darurat tahun 1951 Nr 1. Peraturan-peraturan perundang-
undangan jang lain jang penting : L.N.H.B. 1882 Nr 152 jang ke­
mudian diubah dan ditambah oleh L.N.H.B. 1937 Nr 116 dan Nr
650 dan oleh L.N.H.B. 1937 Nr 638 dan pasal 3 R.O. jo pasal 2 Rb_

1 ai . 3. A z as-az as peradilan Indonesia^".

Pasal-pasal 101-108 undang-undang dasar sementara tahun 1950


dahulu memuat beberapa dasar konstitusionil peradilan Indonesia.
Pasal 101 ajat 1 undang-undang dasar sementara tahun 1950
mengatakan bahwa pengadilan privat (undang-undang dasar semen­
tara tahun 19o0 mengatakan „perdata ) dan pengadilan pidana baik

— di waktu Hindia-Beanda — jang dihubungkan dengan peradilan


pemerintah* disahkan menurut dasar dalam pasal 143 ajat 2 I.S..
Pada tahun 1929 pasal 134 I.S. diberi redaksi baru. Kekuasaan (kom ­
petensi) pengadilan agama (terkenal dengan nama Indonesia „Raad
Agama” dan dengan nama Belanda „Priesterraad” — nama Belanda
salah ktircna Islam tidak mengenal „priester” ) jang dihubungkan
dengan pengadilan pemerintah di pulau Djawa dan Madura, ditentu­
kan dalam pasal 2a peraturan (K .B . = Koninklijk Besluit) L.N.H.B.
1882 Nr 152 jo Nr 153. Pasal 2a ini baru dimasukkan kedalam
peraturan taliun 1882 itu pada tahun 1937, L.NJH.B. 1937 Nr 116.
Sebelum tahun 1937 kompetensi hakim agama jang dihubungkan de­
ngan pengadilan pemerintah ditentukan oleh praktefi, karena ketika
peraturan taliun 1882 itu dibuai maka pembuatnja belum mengetahui
kompetensi hakim agama ! Suatu peraturan jang diundangkan
dalam L.N.H.B., 1931 Nr 53, jang lebih baik, tidak dilaksanakan
karena kekurangan keuangan.
Sebagai instansi bandingan diatas pengadilan agama („R aad Agama” }
itu diadakan suatu Mahkamah Islam Tinggi (dengan nama Belanda
„ I l o f voor Iuluiiiielisclic-Zakcn” ) di Betawi (Djaknrta). Lihatlah pa­
sal-pasal 7c-7n. L.N.H.B. 1882 Nr 152 jo Nr 153 jo L.NtH.B. 1937
Nr 610.
L.N.H.B. 1937 Nr 638 mengatur peradilan agama di Kalimantan
, (Pengadilan K a d i).
17 Mr R. T r e s n a „Peradilan” , ha^l. 101 djb.. Mengenai perubahan jang,
dianggap perlu diadakan di kemudian hari batjalali karangan Dr J.
L e y s e r „S on ic thoughts on courts and law reform in Indonesia”
dalam „M adjalah Hukum dan Masjarakat” , Djanuari 19o7, lia l. lrf-18;
Mr S o e m a r n o P. W i r j a n t o „Apakah hukum atjara pidana
H .I.R. dapat bertahan kalau diudji dengan batu udjian kebutuhan-
kebutuhan hukum daripada negara hukum” , p r a s a r a n di muka Kong-
gres I I.S.H.I. di Djakarta dari tanggal 15-19 Sept. 19o7, „Madjalah
Hukum dan M a sja ra k a t” , II, 3 dan 4, hal. 57-68. Tentang tugas
hakim Mr W i r j o n o P r o d j o d i k o r o „H akim dan Masjarakat ,
„H ukum ” , 1955, 3, hal. 72 djb.

383
sipil ( = bukan militer) maupun militèr semata-mata dilakukan oleh
badan jang diserahi kekuasaan kehakiman. Pengadilan tidak boleh
dilakukan oleh badan-badan jang diserahi kekuasaan lain dari pada
kekuasaan kehakiman itu (jakni kekuasaan legislatif atau kekua­
saan eksekutif)'. Maka dari itu pasal 103 undang-undang dasar se­
mentara tahun 1950 mengatakan bahwa „segala tjampur tangan
dalam urusan pengadilan oleh alat-alat perlengkapan jang bukan
perlengkapan pengadilan dilarang ke tjuali djika diidzinkan oleh
undang-undang” . T jontoh Lentang perketjualian ini terdapat dalam
pasal 107 undang-undang dasar sementara tahun 1950, jang m ene­
rangkan bahwa Presidèn (sebagai kepala eksekutif) berhak m em ­
beri grasi dari hukuman-hukuman jang didjatulikan oleh keputusan
pengadilan (ajat 1).
Di Bab II, par. 3, sub A, buku ini telah dikatakan bahwa ke­
kuasaan (funksi) kehakiman adalah kekuasaan jang berdiri tersen­
diri (onafhankelijk) dan jang mempunjai lapangannja sendiri. Ma­
sing-masing kekuasaan tidak boleh turut-serta dalam jirusan hal-hal
jang letaknja di lapangan kekuasaan lain (Montesquieu).
Bahwasanja kekuasaan kehakiman itu pada azasnja su n g g u h -s u n g g u h

berdiri tersendiri, pada waktu undang-undang dasar sementara tahun


1950 masih berlaku hal tersebut ditjantumkan dalam selain pasal
103 tersebut diatas ini, beberapa ketentuan konstitusionil : pasal-
pasal 13 ajat ^ 101 ajat 2 dan Ï04.
Bagaimanakah pembagian kompetensi antara hakim privat biasa
dan hakim administrasi negara ( administratieve rechter) ? 1S- Hal
ini pernah diatur oleh pasal-pasal 134 I.S. dan 2 R.O.. Kedua ke­
tentuan tersebut dikonkordansi dengan pasal-pasal 160 undang-
undang dasar Keradjaan Belanda dan 2 R.O. Belanda.

18 Buku-buku terkenal tentang hukum tatanegara, seperti buku v a n d_e r


P o t ,- K r a n e n b u r g , L o g e m a n n („Staatsrecht v. Ned. Indië” ,
1947, hal. 36-38, dan „H et staatsrecht van Indonésie (het fórm ele
/sy steem )” , 1954, hal« 1 3 6 -1 4 2 ); v a n Vollenhoven „Staats­
recht Overzpe” , hal. 304 dan 3 8 8 ; K l e i n t j e s „Staatsinslellingen” ,
II, hal. 28Í6 dan 2 9 0 ; buku-buku terkenal mengenai liukiini admini­
strasi negara al. K r a n e n b u r g - V e g t i n g v a n P r a a g („A l-
gemeen Nederlands Administratief Recht” , 1950, Bab IX ) ; P r i n s
(„In leid in g” , hal. 93-94) ; Mr H. W e s t r a „H et vraagstuk der admi-
nistratieve rechtspraak in Nederl. Ind.” dalam T. 129 hal.. 341 („p ra e -
advies” untuk Ind. Jur. Congres tahun 1929) ; Mr W i r j o n o P r o -
djodikoro „Peradilan dalam tata-usaha pemerintahan” dalam
„H u ku m ” , 1952, 1, hal. 5 djb. ; Mr A.J. Mainake dalam „P adjadjaran” ,
I, 3 (A pril 1 9 5 9 ), hal. 94-95.

384
Bagaimanakah keadaan dibawah kekuasaan undang-undan°- da­
sar sementara tahun 1950 ? Bukankah, dalam undang-undan<* dasar
sementara tahun 1950 terdapat pasal-pasal 101 (ajat 1) dan 108
jang menjinggung persoalan itu ? Pasal 101 ajat 1 mengandung azas
utama (hoofdbeginsel), bahwa „perkara perdata, perkara pidana
sipil dan perkara pidana militer semata-mata ( kursif dari kami)
masuk perkara jang diadili oleh pengadilan-pengadilan jang di­
adakan atau diakui dengan undang-undang atau atas kuasa undang-
undang” . Berdasarkan kata-kata „perkara perdata” dalam pasal 101
ajat 1 — jang menurut pendapat kami harus dibatja „perkara me­
ngenai hak perdata” — dapat kami duga, bahwa pembuat undang-
undang dasar sementara tahun 1950 menerima sistim jang diben­
tangkan oleh B u y s 19. Menurut Prof. B u y s maka ukuran jang
harus dipakai dalam menentukan berkuasa tidaknja hakim admi­
nistrasi negara ialah pokok dalam perselisihan atau objectum litis.
Bilamana jang bersangkutan mendapat kerugian dalam hak privat-
nja (geschaad in zijn subjectief burgerlijk recht), dan oleh karena
itu meminta keganti-rugian (schadeloosstelling) (biasanja menurut
pasal 1365 K.U.H. Perdata), djadi, objectum litis adalah suatu hak
privat (jang tertindis), maka perkara jang bersangkutan harus di­
selesaikan oleh hakim biasa.
Pendapat B u y s ini sekarang diterima u m u m 20. Achirnja, ex
pasal II Aturan Peralihan U.U.D. dan pasal 142 undang-undang
dasar sementara tahun 1950, maka pasal-pasal 134 I.S. dan 2 R.O.,
menurut penafsiran B u y s, masih berlaku !
U.U.D. memuat pasal 24 ajat 1 jang berbunji „Kekuasaan ke­
hakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan lain-lain
badan Kehakiman menurut Undang-undang” . Apakah U.U.D. tidak
mengenal peradilan administrasi negara dalam tangan badan-badan
jang biasanja diserahi kekuasaan eksekutif? Adanja Undang-undang
R.I. tahun 1948 Nr 19 dahulu memperlihatkan bahwa pembuat
U.U.D., ketika membuat U.U.D,, tidak mengingat adanja persoalan
peradilan administrasi negara itu.

19 Tetapi bagi kami hal ini belum pasti, karena kata-kata „sengketa jang
mengenai hukum tatausalia” dalam pasal 108, djustru menimbulkan
kesan seolah-olah pembuat undang-undang dasar sementara 1950 mene.
rima sistim jang dibentangkan oleh T h o r b e c k e , jang menerima
fundamentum. petendi (pokok-sengketa) sebagai ukuran.
20 Logemann, Kranenburg, „perkara Yap” dalam „Hukum” ,
1953, 1, hal. 21.

385
Pada saat ini sedang disusun hukum atjara baru, jang lebih
m em enuhi keperluan kita dibidang peradilan sekarang.

Par. 4: Azas-azas atjara pidana (beginselen


v a n li e t s t r a f p r o c e s) 21.

Kam i m enjetudjui apa jang dikatakan L e m a i r e 22: „H et 'v


strafprocesrecht heeft een dienende functie ten opzichle van het
strafrecht. Naar de realisering van die functie kan het worden be-
oordeeld; een bepaald strafprocesrecht is goed, indien daardoor het
strafrecht goed tot gelding wordt gebracht” (H ukum atjara pidana

21 Mr J. L i o n „D e Ncderlandsche-Indische slrafvordering voor Euro-


peancn” , 1886; Mr I.A. N e d e r b u r g l i „H oofd stu kk cn over Straf-
vordering” , I : „D e Tenlastelegging” , 1908, dan II : „H et Bewijs” ,
1 9 1 2 ; P rof. Mr J.M.Jf. S c li e p p e r „D e waarde van het vonnis in
de Nederlandsch-Indisch slrafrechtspraak” dalam T.. 132, Iial. 441-
4 8 5 ; Mr W .A.P.F.L. W i n c k e 1 „R echlsbedeeling onder de Inlanders
en daarmede gelijkgestelde personen in N ed.-Indie” , 1 92 0; Prof.. Mr
H.A. I d e m a „Leerboek van het Landraad strafprocesrecht in zaken
van m isdrijf” , 1 93 8; Mr J.E. J o n k e r s „H et vooronderzoek en de
tenlastelegging in het landraadstrafproces” , 1 9 4 0 ; Mr W .F.C. v a n
H a 11 u m „H et getuigenis van „„H oren -zeggen ” ” dalam T. jrg 1950,
bal. 3 d jb .; Mr M.H. T i r t a a d m i d j a j a „K edudukan hakim
dan djaksa” , 1954; Mr W i r j o n o Prodjodikoro „H ukum
atjara pidana di’ Indonesia” , 1 9 5 6 ; Mr R., T r e s n a „K om entar atas
Reglemen Hukum Atjara didalam pemeriksaan dimuka Pengadilan
Negeri atau H .I.R .” , 1 95 6; „Aantekeningen betreffende het straf­
procesrecht bij de Pengadilan Negeri” dalam „M ededelingen v.h.
Documentatiebureau v. overzees recht” , 1953, lial.. 3 7 ; Mr S.M. A m i n
„H ukum atjara Pengadilan Negeri” , 1957, hal. 2 3 -1 6 5 ; Mr E. B o n n
dan Mr ( ? ) R.H .K. S o s r o d a n u k u s u m o „Tuntutan-pidana,
Reglem en Indonesia jang dibaharui dari hal mendjalankan Polisi serta
mengusut kedjaliatan/pelanggaran” , 1 9 5 8 ; Mr S o e m a r n o P.
W i r j a n t o „A pakah liu k u m atjara pidana H.I.R., dapat berlahan
kalau diudji dengan batu udjian kebutuhan-kebutuhan hukum dari­
pada negara hukum ” dalam „M adjalali Hukum dan Masjarakat” ,
II, 3 dan 4, hal. 5 7 - 6 8 ; Mr M. M a s m o e i n „K em erdekaan Pribadi
dan H .I.R .” . dalam ,,Madjalali H. dan M.” , ILI, 2, bal. 2 7 -3 3 ; M a -
l i k u l ‘A d i l „T entang pembebasan, pembebasan tidak sebenarnja
dan pelepasan dari tuntutan jang bersifat” dalam „H u ku m ” , 1956,
5-6, lial. 6 -1 0 ; Nj. Dra H.A. d e V r i e s - T r o o s t w i j k dan T j a n
H a n T j o n g „Saksi-saksi dalam Atjara Pidana” dalam „B u k u Per­
ingatan Dies Natalis ke-V II Senaat Mahasiswa Fakultas Hukuiii dan
Pengetahuan Masjarakat Universitas Indonesia” , 19^,7, bal. 50, 9 6 -9 8 ;
Prof. D r S u t o m o T j o k r o n e g o r o „B eberapa soal p okok ten­
tang rahasia Djabatan dan sumpah Dokter” dalam „M adjalali H. dan
M.” , III, 1, bal. 10;-2 0 ; H a n B i n g S i o n g, S.h. „Sedikit tentang '
pemeriksaan-ahli dalam hukum atjara pida'na kita” , „Suara Persadja” ,
1961, 1, lial.. 1 djb., dan „B eberapa persoalan pokok sekitar atjara-
ringkas dalam perkara-perkara pidana” , „M edan Ilmu P engetahuan’ ,
III, 3-4 (D juli-O klober 1 9 6 2 ), hal.-5 56-609; Mr K w e e O e n G o a n
„Saksi dan bukti-bukti” , tanpa tanggal.
22 Hal. 155. * v

386
bertugas m engabdi pada liukum pidana (m ateziil). Tjara m endja-
lankan tugas tersebut adalah ukuran apakah sesuatu hukum atjara
pidana baik atau tidak baik. Sesuatu hukum atjara pidana adalah
baik, apabila hukum atjara pidana itu m endjadi sebab maka hu­
kum pidana (m ateriil) di d jalankan setjara b aik ). Karena hukum
atjara pidana bertugas mempertahankan dan mendjalankan pera­
turan-peraturan hukum pidana materiil, maka dapat dikatakan bah­
wa hukum atjara pidana itu hanja dapat memenuhi sjarat-sjarat
pada suatu hukum atjara pidana jang baik, apabila hukum pidana
m ateriil tersebut dipertahankan dan didjalankan sebaik-baiknja 23.
Penjelesaian perkara pidana itu dilakukan dengan melalui be­
berapa tingkatan. Hal itu mulai dengan pemeriksaan permulaan
(vooron derzoek) 2 i. Dalam pemeriksaan ini dikumpulkan bahan-
bahan jang m ungkin dapat m endjadi bukti. Djum lah dan sifat
bahan-bahan ini menentukan apakah jang dituduh (jang disangka,
verdachte) akan dituntut atau tidak. Maka pemeriksaan permulaan
dapat diahiri dengan, penuntutan pidana 25. Pasal 83i R.I.B. menga­
takan bahwa apabila menurut pendapat djaksa „perkara itu sudah
tjukup diperiksa dan masuk pemeriksaan pengadilan negeri, maka
segala surat-surat diserahkannja kepada ketua pengadilan negeri
jan g dianggapnja berhak 26, dan d.Vlam hal itu dituntut supaja per­

23 M r H a n B i n g S i o n g mengemukakan pendapat bahwa hukum


atjara pidana „terutam a bertugas mengatur tjara mentjari dan mene­
m ukan kebenaran” („M adjalah H. dan M.” , IV, 1, hal. 3 3 ). Mr H a n
m engikuti pendapat v a n B e m m e I e n „Strafvordering” , 1957,
hal. 5 dan 67. Pendapat v a 11 B e m 111 e 1 e n ini d juga diikuti
oleh dua pengarang jang telah kami sebut pada noot 21 diatas tadi,
jaitu M a s 111 o e i n dan K w e e O e n G o a n.
24 P ro f. Mr M o e 1 j a t n o „P im pinan pemeriksaan permulaan dalam
perkara pidana jang m endjadi kekuasaan Pengadilan Negeri dan p e­
nahanan sementara” dalam „H u kum ” , 1952, 2, hal. 3. Dalam karangan
ini digam barkan keadaan sebelum berlakunja Undang-undang Pokok
Kedjaksaan.
25 L e m a i r e, hal. 155 : „D it eerste stadium eindigt dus met de straf-
, vervolging, d.i. de rechtshandeling waardoor de strafzaak aan de ken-
nisnem m g van de bevoegde rechter wordt onderworpen” (Tingkatan
pertama ini diahiri dengan penuntutan pidana, jaitu perbuatan liukum
ja n g m enjerahkan perkara pidana kepada hakim jang berwenang).
2 6 Agar dapat\menentukan hakim ( pengadilan) mana berwenang (=jfc mc-
njelesaikan perselisihan jurisdiksi, perselisihan kekuasaan, antara dua
atau lebih p engadilan), maka perlu kita memperhatikan tiga penger­
tian „k om p eten si” . Dalam hukum talanegara bagian jang m enundjuk
hakim mana berkompetensi terdapat tiga pengertian, jaitu :
a. atribusi (altributie)
b. kom petensi mutlak (absolute com petentie)
c. kom petensi relatif (n isbi) (relatieve com petentie).

387
kara itu diperiksa dipengadilan;' dalam tuntutan itu hendaklah
dengan sesaksama-saksamanja diterangkannja atau ditundjukkannja
perbuatan-perbuatan jang diminta supaja dituntut” . Dapat dikata­
kan bahwa atjara pidana dimuka hakim — tingkatan kedua —
mulai dengan penuntutan supaja perkara diserahkan ke sidang
pengadilan (vordering tot verwijzing naar de terechtzitting) 27. Pen­
dakwaan (tenlaslegging) termuat dalam surat tuntutan jang di­
buat oleh ketua pengadilan (acte van verwijzing). Penjerahan per­
kara kepada persidangan (sidang) dilakukan oleh ketua (pasal 246
ajat 1 R .I.B .).

(Lihatlah a.l. L e m a i r e , hal. 259, noot 2 ) . Jang dimaksud dengan


„atribusi” ialah kekuasaan sesuatu pengadilan di suatu suasana p er­
adilan tertentu (misalnja, peradilan „pem erintah” ) terhadap kekua­
saan sesuatu pengadilan di suatu suasana peradilan lain (m isalnja,
peradilan „bum iputera” ) . Djadi, atribusi itu mem beri d jawaban atas
pertanjaan : hakim „pem erintah” ataukah hakim „bum iputera” jang
berwenang (mengadili perkara dengan memperhatikan golongan hu­
kum dari para fih ak) ? „Kom petensi mutlak” memberi djawaban atas
pertanjaan : hakim maljam. mana disuatu suasana peradilan tertentu
jang berwenang : Pengadilan N egeri ataukah Pengadilan 'Tinggi ? (ke-
dua-duanja pengadilan „pem erintah” tetapi kom petensinja tidak sa­
m a ). „Kom petensi relatif” memberi djawaban atas pertanjaan : antara
hakim sematjam, jang mana (di suatu suasana peradilan tertentu)
jan g berwenang ? Pengadilan Negeri Surabaja ataukah Pengadilan Ne­
geri Malang ? Disini ada perselisihan kompetensi antara dua penga­
dilan sama.
27 Mr H a n B i n g S i o n g („M adjalah H ukum dan Masjarakat” , IV,
1, hal« 33-34) menganggap pendapat kami ini „tidak benar” ! „Jan g
dimaksud dengan atjara pidana dimuka hakim tentu sadja atjara p i­
dana disidang pengadilan, dan sidang itu baru mulai sesudah hakim
membuka sidang. Ini baru m ungkin sesudah perkara diserahkan ke-
sidang pengadilan dengan.suatu penetapan hakim, akan tetapi sebelum
menjerahkan kesidang pengadilan, hakim berwenang misalnja untuk
memerintahkan suatu pemeriksaan tambahan djika pemeriksaan di­
anggap belum tjukup (fatsal 249 H .I.R .). Atau hakim dapat m enolak
penuntun djaksa untuk menjerahkan perkara kesidang, oleh karena
menurut pertim bangannja perbuatan bukan kedjahatan atau pelang­
garan atau oleh karena tidak ada tjukup alasan untuk mengadakan
penuntutan (fatsal 250 ajat 3 H .I.R .). Lebih dapat dipertanggung
djawabkan apabila orang mengatakan bahwa atjara pidana disidang
pengadilan mulai dengan penjerahan perkara kesidang tsb, Penuntutan
pidana m em ang dimulai dengan penuntutan djaksa supaja perkara
diserahkan kesidang pengadilan, akan tetapi selandjutnja terdiri dari
penjerahan tsb.” . Pendapat kami, jang oleh Mr H a n disebut „tidak
benar” , adalah 6uatu pendapat jang lain jang menganggap „atjara
pidana dimuka hakim.” adalah tingkatan perkembangan atjara pidana:
hakim telah dihubungkan dengan atau disangkutkan dalam perkara.
„A tjara pidana dimuka hakim” mulai dengan menjangkutkan (in -
schakelen) hakim dalam atjara pidana, dan hal ini djustru terdjadi
dengan dilaksanakannja apa jang ditjantumkan dalam pasal 83i R .I.B .
(H .I.R .). Demikian djuga pendapat praktek, jang rupanja belum ter­
masuk penglihatan Mr H a n !

388
A tjara dimuka hakim Cgerechtelijk onderzoek) diberi nama-
pem eriksaan terahir (eindonderzoek). Dalam pemeriksaan terahir
ini jang diluduli (disangka) mendjadi jang didakwa (terdakwa,
„beklaagde” ) . Atjara dimuka hakim ini diahiri dengan penghu­
kum an (veroordeling) 2S jang dimuat dalam suatu keputusan ha­
kim. Penghukum an ini berdasarkan apa jang diperiksa ddlam atjara
dim uka hakim. Hal pemeriksaan permulaan tidak boleh mendjadi
dasar keputusan hakim 29.
Tingkatan jang kedua ini disusul oleh pelaksanaan (ten uit-
voerlegging) keputusan haikm — jaitu dalam hal didjatuhkan hu-
kumiin atau diam bil tindakan (maatregel). Inilah tingkatan jang
ketiga. Jang dihukum (veroordeelde) dimasukkan kedalam pendja-
ra, kedalam kurungan, kedalam rumah tutupan atau harus mem-
bajar denda. Dalam hal didjatuhkan hukuman mati maka jang
dihukum ditem bak mati.
A pa jan g dikemukakan diatas ini adalah' atjara pidana dalam
arti kata luas. Atjara dimuka hakim — tingkatan kedua — atjara
pidana dalam arti kata sempit. Mengenai sifat atjara pidana di
Indonesia dapat dikatakan bahwa pemeriksaan permulaan bersifat
inkuisitur (inquisitoir), jaitu dalam pemeriksaan permulaan maka
jang dituduh tidak m empunjai hak sederadjat dengan hak dari
jang melakukan pemeriksaan permulaan itu. Jang dituduh adalah
o b je k pem eriksaan permulaan. Atjara di muka hakim — jaitu pe­
meriksaan terahir — bersifat akusatur (accusatoir), jaitu dalam
pemeriksaan terahir kedudukan dari jang didakwa sama dengan
kedudukan Kedjaksaan. Sebelum hakim membuat keputusannja
maka oleh Kedjaksaan diadakan rekuisitur (requisitoir)-nja jang
memuat permintaan hukuman (strafeis) (atau pembebasan dari
tuntutan atau hukum an). Rekuisitur ini disusul oleh pembelaan

28 „K eputusan hakim djuga dapat berupa pembebasan dari tuntutan


(Vrijspraak, fatsal 313 H .I.R .), atau „„on tslag van reclitsvervolging
(fatsal 314 H .I.R .), untuk menjebutkan keputusan-keputusan jang
ada m enurut H .I.R . sedang dalam praktek masih ada keputusan-ke­
putusan lain” — Mr H a n B i n g S i o n g („M adjalah Hukum dan
Masjarakat” , IV , 1, hal.. 3 4 ).
29 ' Mengenai atjara pidana dalam tingkatan pertama dan tingkatan kedua,
masih penting dibatja prof. Mr A.H. I d e m a „Leerboek van het
Landraad strafprocesrecht in zaken van misdrijf” , 1938 : mengenai
atjara pidana dimuka hakim lihatlah hal. 168 djb.

389
terdakwa. Pembelaan tersebut didjalankannja sendiri atau oleh
pem belanja. Djadi, terdakwa mem punjai „kata teraliir” („laatste
w oord” ) .
K edjaksaan tidak w a d jib m enuntut perkara. A p a b ila m enurut
pertim bangan K edjaksaan, kesukaran jan g a k a n (d itim bu lk an k are­
na hal perkara itu diad ili akan m en d ja d i le b ih besar dari pada
guna (m anfaat) keputusan hakim , m aka K edjaksaan berh ak m e-
n jim p a n ( deponeren atau seponeren) perkara ja n g bersangkutan.
Penuntutan berdasarkan azas oportunitet ( opportuniteitsbegin-
s'el) 30. K edjaksaan tidak w a d jib m enuntut. D i bebei-apa negara
asing, m isalnja, di N egeri D jerm an , berlaku azas legalitet (legaliteits-
beginsel). K edjaksaan ivadjib m enuntut.
Dalam pemeriksaan permulaan, apabila perlu, jang dituduh
dapat ditahan sementara (penahanan sementara, „v oorlop ige” - atau
„p reven tieve hechtenis” ) . Penahanan semenatra ini harus didasarkan
atas undangTundang; pasal 12 undang-undang dasar sementara ta­
hun 1950 dalnilu mengatakan bahwa „tiada seorang djuapun boleh
ditangkap atau ditahan, selain atas perintah untuk itu oleh kekua­
saan jang sah menurut aturan-aturan undang-undang dalam hal-
hal dan menurut tjara jang diterangkan dalam nja” . R.I-B. m enje-
but sjarat-sjarat penahanan sementara: pasal-pasal 62 ajat 2, 75, 83c.
Perkara pidana jang diadili oleh Pengadilan Negeri adalah
tiga matjam :
a. perkara rol (rol-zaken)
b. perkara sumir
c. perkara jang dikem ukakan dengan surat tuntutan.

Perkara rol itu semua perkara jang ditimbulkan karena pelang­


garan dan perkara jang ditjantum kan dalam pasal 116 novies R.O.
(kedjahatan ringan) ■S1. Perkara-perkara ini diadili oleh Pengadilan
Negeri dengan tidak dihadiri oleh D jaksa. Pemberitaan pemeriksaan
(procesverbaal) polisi dibatja dalam sidang.

30 Mr G. V o n k „H et opporlunileitsbeginsel” dalam T., 125, hal. 493


djb. Perlu dikemukakan disini bahwa dalam hukum atja'ra pidana
Indonesia azas oporlunileit itu berlaku sebagai suatu hukum kebiasaan
(lihatlah a.I. L e m a i r e, hal. 1 5 7 ).
31 Menurut M r H a n B i n g S i o n g („M adjalah Ilukum dan Masjara-
k a t ., IV, 1, hal.. 34-), maka „peraturan-peraturan B.O, jan g bersang­
kutan sudah harus dianggap sebagai tidak berlaku lagi,, berhubung,
dengan ketentuan-ketentuan jang ada dalam fatsal 6 ajat 1 bab if
sampai e Undang-undang Darurat ISo. 1 1951 jang mengatur Iial jan g
sama” . . .

390

>
Perkara sumir 32 ialah perkara kedjahatan jang bersaliadja ten­
tang m em beri bukti dan mendjalankan peraturan, dan djaksa tidak
dapat m enuntut hukuman pendjaravlebih dari pada satu tahun. Per­
kara sumir diadili dengan tidak terlebih dahulu diadakan surat
tuntutan terhadap jang disangka (kemudian jang didakwa). Lihat­
lah pasal pasal 83f, 334-337 R.I.B.
Perkara jang disebut pada sub c adalah perkara jang dibawa
ke m uka hakim berdasarkan suatu penuntutan supaja perkara di­
serahkan ke sidang pengadilaln. Lihatlah apa jang- dibitjarakan di­
alas tadi.

K edjaksaan (Penuntutan Umum, Parket) 33.


Ketika kami membitjarakan sifat hukuman (lihatlah Bab IX ,
par. 3) maka kam i telah mengemukakan bahwa pelanggaran pidana
dianggap pelanggaran tatatertib masjarakat. Maka dari itu inisiatif
m elakukan atjara pidana adalah pada fihak pemerintah (over-
heid) 34. W alaupun sering jang dirugikanlali jang melaporkan pe­
langgaran kepada pemerintah, tetapi jang melakukan penuntutan
supaja pelanggar dihukum ialah pemerintah dan bukan jang dirugi­
kan itu. Badan kenegaraan jang bertugas melakukan penuntutan
pidana adalah Kedjaksaan (Penuntut Umum, Parket). Menurut pa­
sal 2 Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok K edjak­
saan R epublik Indonesia („Undang-undang Pokok Kedjaksaan” ),
L.N. 1961 N r 254, maka Kedjaksaan bertugas:

,,(1 ) a. mengadakan penuntutan dalam'" perkara-perkara pidana


pada Pengadilan jang berwenang.

32 H a n li i n g S i o n g, S.h. Beberapa persoalan pokok sekitar atjara-


ringkas dalam perkara-perkara pidana” dalam „M edan Ilmu Penge­
tahuan” , III, 3-4 (D juli-O ktober 1 9 6 2 ), hal. 556-609.
33 Agar m endalam i pengetahuan tenlang praktek Kedjaksaan pada Pe­
ngadilan Negeri — tetapi mengenai keadaan sebelum berlakunja Un­
dang-undang P ok ok Kedjaksaan — dipudji niembatja karangan P rof,
M r M o e l j a t n o „P im pinan pemeriksaan permulaan dalam perkara
pidana ja n g m cndjadi kekuasaan Pengadilan Negeri dan penahanan
sementara” dalam „H u ku m ” , 1952, 2, hal. 3. Mengenai keadaan sesjidah
diundangkannja Undang-undang Pokok K edjaksaan: S o e d a r t o,
S.h. „P eranan Kedjaksaan dalam penjidikan, penuntutan dan pem erik­
saan p e r lta ra pidana dalam sidang Pengadilan Negeri” dalam „Varia
Peradilan” , II (1 9 6 3 ), 5-6, hal. 4-'?, 15, dan 7-8, hal. 9-11 (pidato
dies Semarang 1962).. Masih penting : S e n o S o e h a r j *o „K ed u ­
dukan djaksa-agung Sebagai H oofd der Regtsnolilie” d ilam „Madjalah
H ukum dan Masjarakat” , I, 3, hal. 42 d>b. (kedudukan Djaksa Agung
sebelum berlakunja Undang-undang Pokok Kedjaksaan).
34 V a n A p e 1 d o o r n, hal. 282.

391
b. mendjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana.
(2) mengadjukan penjidikan landjutan terhadap kedjahatan dan
pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-
alat penjidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-
undang Hukum Atjara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.
(3) mengawasi aliran-aliran kepertjajaan jang dapat membaha-
jakan masjarakat dan Negara.
(4) melaksanakan tugas-tugas chusus lain jang diberikan kepada-
nja oleh suatu peraturan Negara” .

Unsur pokok tugas adalah Kedjaksaan itu merupakan suatu ba­


dan kenegaraan „penegak hukum jang terutama bertugas sebagai
penuntut umum” (pasal 1 ajat 1 ), dan dalam melakukan tugasnja
itu Kedjaksaan harus „selalu m endjundjung tinggi hak-hak azasi
rakjat dan hukum Negara” (pasal 1 ajat 2).
Menurut L e m a i r e 35, maka Kedjaksaan adalah suatu „hier-
archisch opgebouwd ondeelbaar corps met de Djaksa Agung aan
het h oofd ” (badan jang bertingkat-tingkat, badan jang tidak dapat
dibagi dalam bagian-bagian jang masing-masing dapat dibawa ke-
dalam kekuasaan badan-badan lain, badan jang merupakan kesatuan
dibawah pimpinan Djaksa A gung). Prinsip ini dinjatakan pula da­
lam pasal 3 ajat 1 Undang-undang P okok Kedjaksaan, jang ber-
bunji : „Kedjaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan” .
Prinsip ini dinjatakan setjara terperintji dalam pasal 7. Dalam
ketentuan ini setjara djelas Kedjaksaan itu disusun sebagai suatu
„hierarchisch opgebouw d ondeelbaar corps met de Djaksa Agung
aan het h oofd ” . Sebagai Menteri, Djaksa Agung adalah pembantu
Presiden, djadi, Djaksa Agung adalah bertanggungdjawab kepada
Presiden jang dapat menetapkan kebidjaksanaan Djaksa Agung.
Administrasi Kedjaksaan diurus oleh suatu Departemen K edja k ­
saan dibawah pim pinan Menteri Djaksa Agung (pasal 5 ajat la ) .
Dalam mendjalankan wewenang praktis (pasal 13), djaksa da­
pat mem ohon bantuan dari Kepolisian Negara, jang djuga diberi
wewenang penjidikan perkara — lihatlah pasal-pasal 2 ajat 2, 11
ajat 1, 12 dan 13 Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan p ok ok
Kepolisian Negara („Undang-undang P okok Kepolisian Negara” ),
L.N. 1961 Nr 245. Mengenai pembagian tugas antara Kepolisian

35 Hal. 157.

392
Negara itu dan Kedjaksaan, maka perlu ditegaskan bahwa penun­
tutan perkara diserahkan semata-mata kepada Kedjaksaan, dengan
pengertian bahwa dalam hal-hal tertentu, menurut dan seperti jang
ditetapkan dalam hukum atjara pidana dan peraturan-peraturan
perundang-undangan jang lain, Polisi Negara berwenang mengadju-
kan suatu perkara pidana langsung kepada pengadilan. Berhubung
dengan hal bahwa Kedjaksaan berwenang melakukan penjidikan
landjutan, maka perlu adanja ketentuan-ketentuan jang mengatur
kerdja-Bama antara Kedjaksaan- dan Kepolisian Negara dalam pe­
njidik an landjutan. Ketentuan-ketentuan jang dimaksud itu diatur
tersendiri antara instansi-instansi jang bersangkutan.
Selandjutnja, berhubung dengan penjidikan perkara, perlu di-
tjatat bahwa dalam praktek Kepolisian (menurut hukum jang tak
tertulis) fihak K epolisian Negara berdasarkan kepentingan umum
dapat m enjam pingkan suatu perkara jang serba ringan, sehingga
perkara itu tidak sampai pada tingkat penuntutan oleh djaksa.
Praktek jang dimaksud itu dapat berlangsung terus.
B erhubung dengan penuntutan perkara jang mendiadi tugas
semata-mata dari Kedjaksaan ditambah wewenang Djaksa Agung
untuk m enjam pingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan
um um — azas onortunitet (lihatlah diatas tadi) — perlu ditjatat
bahwa m engenai penjam pingan perkara berlaku dan tetap berlaku
prosedur, bahwa Kenolisian Negara diadjak berunding sebelum di­
am bil tindakan penjam pingan oleh Djaksa Agung, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kedjaksaan36.
' Djaksa A gung sebagai „Penuntut Umum Tertinggi ’ adalah Pe­
nuntut U m um pada Mahkamah Agung. Dalam mendjalankan tugas-
hja itu Djaksa Agung dibantu oleh „beberapa orang Djaksa Agung

36 „P end jelasan ” pada Undang-undaiig Pokok Kepolisian seperli jang di­


muat dalam Tambahan L.N. N r 2289. __
M enurut pasal 1 ajat I Undang-undang Pokok Kepolisian, maka
„K ep olisia n Negara R epublik Indonesia, selandjutnja disebut K epo­
lisian Negara, ialah alat Negara penegak hukum jang terutama ber­
tugas memelihara keamanan didalam negeri” . Perintjian mengenai
tugas tersebut terdapat dalam pasal 2 . Wewenang praktis dan ke>va-
djiban ditentukan dalam pasal-pasal 11-15.
M engenai kedudukan Kepolisian Negara sebelum diundangkannja Un­
dang-undang P ok ok Kepolisian Negara batjalah karangan Mr U s e p
Ranawidjaja „H ukum jang berlaku mengenai kekuasaan ke­
polisian dinegara kita” dalam „H ukum dan Masjarakat” , September
1955, hal. 37-46.

" 393
Muda” (pasal 5 ajat 2 sub b Undang-undang P okok K edjaksaan;
lihatlah djuga pasal 2 ajat 3 U.U.M .A.). Pada Pengadilan Negeri
Djaksa Agung diwakili — „diw akili” karena Kedjaksaan m erupa­
kan suatu badan kesatuan — oleh seorang djaksa (K epala K ed ja k ­
saan). Djaksa (Kepala Kedjaksaan) ini adalah Penuntut Umum
pada Pengadilan Negeri (pasal 6 ajat 2 Undang-undang P okok
Kedjaksaan : „D i samping tiap-tiap Pengadilan Negeri ada satu K e ­
djaksaan Negeri dengan daerah hukum jang susunannja diatur de­
ngan undang-undang” ; liahtlah pasal 46 R .I.B .). Pasal 6 ajat 1 m e­
nentukan bahwa „Disam ping tiap-tiap Pengadilan Tinggi ada satu
Kedjaksaan Tinggi dengan daerah hukum jang sama, jang susunan­
nja diatur dengan Undang-undang” . Undang-undang jang'dim aksud
dalam pasal 6 ajat 1 Undang-undang P okok Kedjaksaan ini adalah
Undang-undang tentang Pembentukan Kedjaksaan Tinggi, L.N. 1961
i Nr 255. Pasal-pasal 5-8 undang-undang jang tersebut terahir ini
menentukan wewenang dan kewadjiban Djaksa Tinggi dan Djaksa
Tinggi Pengganti. Pasal 7 menentukan bahwa „D jaksa T inggi/D jaksa
Tinggi Pengganti menjam paikan laporannja dan m engadjukan tun­
tutan kepada Pengadilan Tinggi mengenai perkara perlawanan (re-
quisitoir verzet) terhadap penetapan Pengadilan Negeri jang di-
adjukan oleh. Djaksa .
Dalam atjara pidana Kedjakasan disebut magistratur jang b er­
diri (staande magistratuur) jang bertugas menuntut, meminta dan
kem udian menjelenggarakan hukuman atau tindakan, sedangkan
para hakim disebut magistratur jang duduk (zittende magistratuur)
jang bertugas mengadili.
A tjara pidana dapat dipengaruhi oleh aliran-aliran politik dan
pendapat um um (publieke opinie) jang ada dalam m asjarakat. D i -
atas telah dikatakan bahwa K edjaksaan m endjalankan azas oportu-
nitet apabila, menurut pertimbangannja, kesusahan jang ditim bulkan
oleh karena hal perkara itu diadili akan mendjadi lebih besar dari
pada m a n fa a t keputusan hakim. Kadang-kadang dalam m enentukan
k e p u tu s a n n ja m aka hakim p u la dipengaruhi oleh pendapat um um !
D ari B ab IV , par. 4 kam i telah mengetahui bahwa perasaan-hukum
hakim adalah faktor penting dalam menentukan mana jang m eru­
pakan hukum mana jang tidak. Pendapat umum tidak djarang m en­
djadi suatu determinant materiil pembentukan hukum.

394
Par. 5: Azas-azas atjara privat (beginselen
van het burgerlijk p r o c e s ) 37. v

Bilam ana kedua belah fihak sesuatu perdjandjian menurut hu­


kum privat tidak setudju tentang tjara penjelenggaraan perdjan­
djian, maka perselisihan ini diadili oleh suatu badan jang dapat
dianggap ob jek tif. Badan ini adalah hakim. Semua perselisihan —
seperti halnja dengan semua pelanggaran (pidana) — diadili oleh
suatu badan jan g dapat dianggap objektif dan tidak boleh diserah
kan kepada pengadilan salah satu fihak — atau pengadilan jang
dilakukan oleh jang dirugikan. Dalam suatu masjarakat jang teratur
(georden de m aatschappij) mengadili sendiri (eigenrichting) tidak
diperbolehkan.
Jang m erupakan perbedaan azasi antara atjara privat dan atjara
pidana ialah hal bahwa ada tidaknja sesuatu atjara privat bergan-
tung pad a kemauan fihak jang berkepentingan. Inisiatif melakukan
atjara privat diserahkan kepada fihak jang berkepentingan dan tidak
kepada fih a k pem erintah seperti halnja dengan atjara pidana. Per­
bedaan ini berdasarkan hal paksaan privat tidak membatasi kemer­
dekaan manusia sekeras seperti suatu hukuman membatasinja. Hu­
kum an adalah sanksi terhadap pelanggaran tatatertib masjarakat
(tatatertib u m u m ). Dengan kata lain : pada umumnja, atjara privat
adalah pengadilan dalam perselisihan antara kepentingan-kepen­
tingan istimewa (Ijatjalali: kepentingan partikelir), sedangkan atjara
pidana adalah pengadilan jang diadakan karena suatu kepentingan
ujnum dibajiajakan ( v a n . A p e l d o o r n ) 38. '
\

37 Mr W i r j o n o Prodjodikoro „Hukum atjara perdata di In­


donesia” , 1 9 5 1 ; Mr R . T r e s n a, „Kom entar atas Reglemen Hukum
Atjara didalam pemeriksaan dimuka Pengadilan Negeri atau H.I.R.” ,
1 9 5 6 ; Mr S.M. A m i n „H ukum atjara Pengadilan Negeri” , 1957, hal.
1 6 6 -2 7 9 ; P ro f. D r R., S u p o m o „H ukum atjara perdata Pengadilan
N egeri” , 1 9 5 8 ; M a l i k o e l A d i l „Beberapa tjatatan tentang pem ­
baharuan liukum form el kita” dalam „H ukum ” , 1951, 1, hall. 9-17.
Masih penting dibatja Mr G. W i j e r s „H et gezag van gewijsde in
burgerlijke landraad zaken” , disertasi Leiden 1931, „In hoeverre be-
h oeft het procesrecht ten aanzien van de rechtspleging voor de land-
raden in burgelijke zaken worden gewijzigd” dalam T , 138, hal. 143
(„p ra ea d vies” untuk Ned. Ind. Juristencongres 1933 — lihatlah djuga
„H an d elin gen Congres” dalam T. 138, hal. 1042) ; Prof. Mr Jb. Z e y -
1 e m a k e r Jzn „H ervorm ing van het burgerlijk procesrecht” dalam
T . 140, hal. 295 dan haL 408.
l >
38 Lihatlah van Apeldoorn (hal. 282-285) tentang perbedaan
antara sifat atjara privat dan sifat atjara pidana.

395
Sebagai perbedaan jang kedua dapat dikemukakan bahwa da­
lam atjara privat semua pemeriksaan dilakukan dalam persidangan
(atjara dimuka hakim ). Atjara privat tidak mengenal pengusutan
(opsporing) dan penjelidikan permulaan (v ooron d erzoek ).
D i Negeri Belanda dan di Indonesia pada waktu sebelum P e ­
tang Dunia II dalam atjara dimuka Raad van Justitie (pengadilan
untuk golongan hukum Eropah dan jang disamakan dengan orang
Eropah), dapat disebut satu perbedaan'lagi. Dalam atjara pidana
hakim bertindak memimpin (leidend) sedangkan dalam atjara p ri­
vat hakim menunggu sadja (lijdelijk ). Tetapi di Indonesia sekarang,
dan dahulu telah pada Landraad (pengadilan untuk golongan hukum
Indonesia asli dan jang dipersamakan dengan orang Indonesia asli),
perbedaan ini antara kedua atjara peradilan tersebut, tidak ada.
Oleh karena pengaruh hukum adat, jang mengenal atjara rukun
(rukun nrocedure) jang memaksa hakim bertindak m em im pin,
maka ketua Landraad djam an dahulu, djuga dalam atjara privat,
bertindak memimpin. Ketua Landraad berwenang m em beri nasehat
dan pertulungan kepada penggugat atau kepada w akilnja tentang
hal memasukkan surat gugatannja (pasal 119 „Inlands Reglem ent” ).
Kekuasaan ini diberi djuga kepada Ketua Pengadilan N egeri —
pasal 119 R.I.B. dan 143 Rb. Pasal 132 „Inlands Reglem ent” m e­
ngatakan bahwa Ketua Landraad pada waktu memeriksa perkara
m em beri ¡ p e n e r a n g a n kepada kedua belah fihak dan akan menun-
djukkan hukum dan keterangan jang dapat mereka pergunakan
apabila ia menganggap perlu, supaja perkara berdjalan baik dan
teratur. Kekuasaan inipun diberi djuga kepada Ketua Pengadilan
Negeri — pasal 132 R .I.B . dan 156 Rb.
Atjara privat dimuka Pengadilan Negeri diatur dalam pasal-
pasal 118-245 R.I.B.. Pasal 118 ajat 1 R.I.B. mengatakan bahwa
suatu atjara perdata dimulai dimuka hakim dengan dimasukkan
surat permintaan, jang ditandatangani oleh jang menggugat atau
oleh w a k i l n j a menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negesri.
Atjara privat dimuka Pengadilan Negeri tidak mengenal „v e rp lid ite
procureurstelling” (atjara privat dimuka Raad van Justitie dahulu
mengenal „verplichte procureurstelling” itu) 39.

Prorogasi. Apabila suatu perkara karena sifatnja dapat (lang­


sung) diadili dalam tingkatan apel (voor hoger beroep vatbare za-

39 Lihat So epo mo („H uk un i atjara perdata” , hal. 2 0 ).

396
k e n ), m aka kedua belah fihak jang bersetudju tentang hal itu, dapat
m em baw a perkara tersebut langsung ( = tidak dengan melalui Pe­
ngadilan N egeri) ke muka Pengadilan Tinggi. Prorogasi itu hanja
dilakukan m engenai perkara privat. Lihatlah pasal-pasal 128 ajat 2
R .O . dan 85 R b 40.

Peradilan arbitrasi. Pasal-pasal 615 „Reglement op de Rechts-


vorderin g” , 377 „Inlands Reglement” (kemudian 377 R J. B.) dan
705 R b m em beri kesempatan kepada kedua belah fihak membawa
perselisihan m ereka ke muka suatu arbiter atau para arbiter. Dalam
hal ini perselisihan diselesaikan diluar lingkungan badan kehakiman.
T eta p i berdasarkan Undang-undang Darurat tahun 1951 Nr 1 maka
pasal-pasal 377 R .I.B . dan 705 R b tidak berlaku lagi, djadi, rupanja
sekarang tidak ada kemungkinan perundang-undangan (wettelijke
m ogelijk h eid ) untuk mengadakan arbitrasi seperti diatur dalam
R .I.B . dan R b d a h u lu 41.

Par. 6: Jurisdiksi kontensius (sungguh-


sungguh) dan jurisdiksi volunter.

Pengadilan jan g disebut diatas adalah pengadilan jang terke­


nal dengan nam a jurisdiksi kontensius atau jurisdiksi sungguh-
sungguh („con tentieuze” - atau „eigenlijke rechtspraak” ), karena
m erupakan pengadilan perselisihan. Djadi, pengadilan sungguh-
sungguh. T etapi kadang-kadang oleh hakim, di samping mengadili,
dilakukan perbuatan jang pertandaan dan pokoknja bukan menga­
dili, jaitu penjelesaian bukan-perselisihan, walaupun perbuatan ini
dib eri d juga nama „jurisdiksi” , jaitu jurisdiksi volunter (voluntaire
ju r is d ic tie ). M isalnja, dalam hal hakim mengangkat wali (benoe-
m en van een voogd — lihatlah pasal 331a K.U.H. Perdata). Pe­

40 D jad i, kom petensi Pengadilan Tinggi adalah mengadili dalam ting- -


katan bandingan (ap el dan revisi), mengadili dalara prorogasi dan
m engadili dalam perselisihan jurisdiksi antara pengadilan-pengadilan
ja n g dibawahnja-
41 M r J.H . S c h e e r s, Mr W.F.M.' d e n H a r t o g dan W i s m a r
Sidabutar „Susunan Pengadilan dalam Republik Indonesia” ,
1 95 2, hal. 334., Tetapi Mr T r e s n a dalam „Komentar” -nja berpen­
dapat lain (hal.' 2 7 8 ,2 8 0 ). Sebagai alasan a.l. disebutnja paSal 15
dari U ndang-undang Mahkamah Agung („Selain daripada kekuasaan
m engadili dalam tingkatan peradilan kedua, maka Mahkamah Agung
dju ga m em utus pada tingkatan peradilan kedua atas putusan-putusan
wasit ja n g ternjata m engenai nilai harga 25.000 rupiah atau lebih ) .

397
ngangkatan wali adalah perbuatan pemerintahan dalam arti kata
sempit (daad van bestuur) dan bukan perbuatan pengadilan. Sudah
tentu jurisdiksi volunter tersebut pada hakim tidak sesuai dengan
adjaran „trias polica” . Jurisdiksi volunter menghasilkan suatu ke-"
tetapan (beschikking) sedangkan jurisdiksi kontensius m enghasil­
kan suatu keputusan (ponis, vonuis) 42.

42 Carpentier Alting „Grondslagen” , hal. 37.


BAB X I.

HUKUM PERBU RUH AN

Par. 1: Objek peladjaran hukum p erburuhan


H u k u m perbu ru h an adalah him punan peraturan-peraturan h u ­
k u m ja n g m engatur hubungan k erd ja (arbeidsbetrekking) antara
p e k e rd ja — b u ru h — dengan pem beri pekerdjaan — m a d jik a n __-
dan ja n g m engatur penjelesaiim perselisihan antara pekerdja dan
m a d jik a n n ja . H ubungan k erd ja ini berdasarkan azas bahwa peker­
d ja d ib e ri pem b ajaran upah untuk ipekerdjaan jang dilakukannja
bagi m a d jik a n n ja . D ja d i, p o k o k perburuhan ialah „Ioondienstver-
h ou d in g ” (h u bu n gan k erd ja jan g berdasarkan pem bajaran u p a h ).
B elu m beberap a lama berselang, peraturan-peraturan jang m e­
ngenai perbu ru h an belu m m erupakan suatu bagian sistimatis jan<*
b e rd ir i tersendiri dari lapangan hukum *. Sebagian dari peraturan-

1 Tentang perkembangan dan beberapa persoalan hukum perburuhan


batjalali a.I. iclitisar dalam buku Mr S. M o k „Arbeidsrecht” , 1936;
mengenai tem p a t'd a n sifat hukum perburuhaln: Prof. Dr W .H. N o -
I e n s „Beteekenis en omvang van de arbeidswetgeving” , pidato inau­
gurasi Amsterdam 1909 (dibahasa Indonesiakan oleh S r i D a d i,
1 9 5 6 ), P rof. Dr H. S i n z h e i m e r „D e achtergrond van het ar­
beidsrecht” , pidato inaugurasi Amsterdam 1936; Mr M.G. L e v e n -
b a c h „Arbeidsrecht als deel van het recht” , 1926; suatu pengantar
adalah buku P rof. Dr F.J.H.M. v a n d e r V e n „Inleiding tot het
arbeidsrecht” , 1946 (ada terdjemahan dalam bahasa Indonesia dari
S r i D a d i dengan kata pengantar Prof., Mr S o e h a r d i, 1956) ;
ringkasan dalam E.N.S.I.E. (Eerste Nederlandse Systematisch Ingerichte
E n cyclopaedie), III (1 9 4 7 ), hal. 476-483; suatu „standaardwerk” ada­
lah buku P rof. Mr A.N. M o 1 e n a a r „Arbeidsrecht” , I, 1953; bebe­
rapa bagian chusus dan aspek chusus : Prof. Mr E.M. M e i j e r s
„D e arbeidsovereenkoinst” , 1924; Dr L - G . ' ' K o r t e n l i o r s t dan Mr
M a c M.J. v a n R o o y „D e collectieve arbeidsovereenkomst” , 1939;
Mr N.E.H. v a n E s v e l d „D e-on tp looin g van het individu in het
arbeidsrecht” , 1950; kumpulan karangan-karangan; Mr S. M o k
„Arbeidsreclitelijk opstellen” , 1950; Prof. Mr M.G. L e v e n b a c h
„Arbeidsrecht. Een bundel opstellen” , 1 95 1; hukum perburuhan isti-
•mewa : Mr W.C.L., v a n d e r G r i n t e n dan Mr A.J. H a a k m a n
,,Buitengewoon arbeidsrecht” 1 95 0; dalam bahasa Djerman : P rof.
D r H . S i n z h e i m e r „Grundziige des Arbcitsrecht” , 1 92 7; A. N i -
k isc h „Arbeitsrecht” , 195 1; dalam bahasa Inggris : N e i 1 W.
C h a m b e r l a i n ,,Gollective Bargaining” , 1951; S.H. T o r f f „C ol-
lective Bargaining” , 1953. Batjalah djuga buku-buku mengenai aliran-
aliran sosial jan g menghidupkan antara lain perdjuangan kaum buruh,
mengenai perdjuangan kaum buruh, partai buruh dan serikat sekerdja
buruh di seluruh dunia, diantaranja, Mr S. M o k „D e Vakbeweging” ,
1947; Dr Wi B a n n i n g „Hedendaagse sociale bewegingen” , 1950
(suatu pandangan luas mengenai aliran-aliran sosial di kontinen
Eropah Barat maupun T im u r ); V.L. Al 1 e n „P ow er in Trade

399
„ jang
peraturan iane mengenai
s> perburuhan masih merupakan
i
bagian
& dari
hukum privat, bagian lamnja masih merupakan bagian dari hukum
administrasi negara. Pada djaman ekonomi liberal memuntjak (ba-
oian pertama abad ke-19) hubungan kerdja antara buruh dengan
madjikannja semata-mata diatur dengan perdjandjian bebas (vrije
o v e r e e n k o m s t) menurut hukum privat. Kedua belah fihak menen­
tukan isi perdjandjian kerdja dengan tidak perlu memperhati­
kan pembatasan-pembatasan perundang-undangan (wettelijke begren-
zingen) jang melindungi kepentingari buruh atau kepentingan ma-
djifcan Pem batasan-pem batasan itu pada waktu tersebut tidak ada.
Karena pada umumnja kedudukan ekonomis dari madjikan lebih
kuat dari nada kedudukan ekonomis dari buruh, maka perdjandjian
kerdja dapat melahirkan suatu pendjadjahan ekonomis dan sosial
terhadap kaum buruh dan hal itu biasanja terdjadi pada waktu eko­
nomi liberal masih memuntjak.
Pada bagian kedua abad ke-19, aliran-aliran sosialis di Ero-
pah Barat menimbulkan apa jang terkenal dengan nama soal sosial
(sociale kwestie). Kedudukan ekonomis dan sosial kaum buruh jang
telah mendjadi buruk karena perbudakan ekonomis jang dilakukan
oleh madjikannja — sebagai akibat revolusi perindustrian jang
diadakan pada bagian pertama abad ke-19 — , tidak boleh diterus­
kan, karena itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan keadilan
sosial. Bahkan, menurut adjaran K a r l M a r x dan F r i e d r i c h
Engels maka historis perbudakan tersebiit tidak dapat diterus­
kan.
Nasib kaum buruh tidak dapat (ekonomis) dan tidak boleh
(etis) tetap bergantung pada kehendak madjikannja. Kaum buruh
jang berorganisasi dalam partai-partai politik (partai-partai buruh)
dan serikat-serikat sekerdja memperdjuangkan hak-liak dan kebe­
basan-kebebasan jang sedikit-dikitnja sederadjat dengan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan madjikannja. Hal ini berarti bahwa wewenang
'm adjikannja dikurangi (dibatasi) sedangkan kewadjibannja diper­
luas, bahkan, di negara-negara komunis tidak ada lagi madjikan. -
Disitu (menurut adjaran) buruh sendiri mendjadi madjikannja.

Unions” , 1954 (suatu analisa mengenai organisasi „trade union” di


Negeri In g g ris); A s m a r a H a d i „Serikat buruli. Membangunnja
dan tugasnja” , 1952; f . B a r r e t „Perburuhan Dari Masa Kema-
sa” , 1 95 5; A. M a d j i d S i r e g a r „Perkem bangan Serikat Buruh
di Beberapa Negara” , 1953 S a n d r a „Sedjarah pergerakan buruh
Indonesia” . 1961.

400
i
Soal sosial itu memaksa pemerintah negara memperhatikan hu­
bungan k erdja antara buruh dan madjikannja. Di mana perlu, maka
wewenang m adjikan dibatasinja dan perselisihan jang ditimbulkan
antara kaum buruh dengan m adjikannja diselesaikannja. Djadi, la­
pangan administrasi negara diperluasf Makin kuat pengaruh kaum
proletariat dalam dewan perwakilan rakjat makin kuat kedudukan
kaum buruh dalam perdjuangan sosialnja jang dilakukannja terha­
dap m adjikannja. M akin kuat kedudukan ekonomis dan sosial kaum
buruh m akin menambali peraturan-peraturan ad m in istrasi negara
.m engenai perburuhan.
Dapat dikatakan bahwa d i'd u n ia Barat dan di bagian dunia
T im ur jan g telah dimerdekakan dari imperialisme Barat (penger­
tian ek on om is), pada waktu sekarang di lapangan politik kedudukan
kaum buruh agak sederadjat dan seimbang dengan kedudukan kaum
m adjikan. Bahkan, di sana-sini kedudukan kaum buruh melebihi
kedudukan kaum madjikan. Madjikan sekarang berkewadjiban
m em beri d jam inan untuk kesehatan buruh, untuk hari tuanja (ou-
derdom svoorziening), kalau buruh djatuh sakit dan hal itu tidak
karena kesalahannja maka madjikan berkewadjiban membajar upali-
nja selama buruh sakit. Semua hal ini dilakukan dibawah pimpinan
dan pengawasan administrasi negara, .
Karena lapangan hukum perburuhan sekarang telah mendjadi
sangat luas — makin luas perdjuangan ekonomis dan sosial kaum
buruh m akin luas lapangan hukum perburuhan — , maka hukum
perburuhan itu m endjadi objek suatu peladjaran jang berdin ter­
sendiri ( zelfstandige studie). Segi liukum dari lapangan perburuhan
m en d jadi o b je k suatu ilmu hukum iang berdiri sendiri.
A cliirn ja : perkembangan hukum perburuhan mempengaruhi
djuga perkem bangan hukum privat modern, jaitu mengakibatkan
penjosialan (versocialisering) hukum privat (lihatlah Bab V ).

V P a r. 2: Hukum perburuhan di I n d o n e s i a 2.

2 Lihatlah karangan Mr K.J. B o e y i n g a „Arbeidswetgeving in Ne-


d erla n d schIndie” , disertasi Leiden 1926; D. F o c k „T h e Labour
Problem in the Dutch East Indian Arcliipelago” dalam „Asiatic Ke-
view” , IV , 23 (1 9 2 7 ), hal. 625-635; A.D.A. d e K a i A n g e l i n o
„Staatkundig beleid en bestuurszorg in Nederlandsch-Indie” , II, 1930,
hal. 554-679 (dengan suatu daftar lengkap pembatjaan mengenai
perburuhan dan hukum perburuhan sampai tahun 1930, untuk dja-
man sesudah tahun 1930 lihatlah daftar jang dibuat dalam buku
S a n d r a ja n g telah disebut dalam noot 1 diatas in i) ; H. C o h e n
d e B o e r „L abour Legislation for Europeans in the Netherlands In-
dies” dalam „Asiatic Review” , IV, 32 (1 9 3 6 ), hal. 620-628; T.F.

401
Sampai hari ini di Indonesia belum ada undang-undang umum
perburuhan jang semestinja. Tetapi pada saat ini, sesuai dengan
usaha ditegakkannja Sosialisme Indonesia jang akan memperkuat
kedudukan sosial kaum buruh dan memberi djaminan sosial lebih
besar bagi kaum buruh, undang-undang jang sangat diperlukan itu
sedang dibuat. Pada djaman Hindia-Belanda waktu berlakunja eko­
nomi liberal, peraturan-peraturan perundang-undangan mengenai
perburuhan masih sedikit.
Antara peraturan-peraturan mengenai perburuhan jang dibuat
oleh pemerintah Hindia-Belanda jang dapat disebut sebagai pera-
turan-pçraturan terpenting ialah :
Pasal-pasal T601-1603 redaksi lama K.U.H Perdata (didjadikan
berlaku bagi golongan hukum bukan-Eropa menurut L.N.H.B. 1879
Nr 256) serta pasal-pasal 1601-1603 redaksi baru K.U.H. Perdata
(jang hanja berlaku bagi golongan hukum Eropah dan jang memuat
kepastian hukum lebih besar (karena lebih m o d e m )). Berdasarkan
azas konkordansi — jakni dikonkordansi dengan pasal-pasal 1637-
1639 redaksi baru kitab undang-undang hukum perdata Belanda —
maka kétentuan-ketentuan jang baru ini dimasukkan kedalam K.U.
H. Perdata Indonesia nada tahun 1927 (L.N.H.B. 1926 Nr 335 jis
458, Nr 565 dan L.N.H.B. 1927 Nr 108). Pasal-pasal baru Belanda
tersebut berasal dari „W et or» de Arbeidsovereenkomst” dari tahun
1907. „W et op de Arbeidsovereenkomst” itu buatan P rof. M r H.L.
D r u c k e r, seorang mahaguru Universitas Leiden, jang selama hi-
dupnja memperdjuangkan hak-hak pekerdja. Lihatlah pasal 1603x
K.U.H. Perdata mengenai hal diadakan perdjandjian kerdja antara
dua fihak jang satunja tunduk pada hukum Eropah dan jang lain-

T j o e n g „Arbeidstoestanden en arbeidsbescherming in Indonésie” ,


1947; Mr E.C. S o li n s „Enige aspectcn van Indonesische arbeids-
wetgeving” dalam „Mededelingen v.li. Documenlatiebureau v. over-
zees recht” , 1952, hal. 19; Mr R. H a d i Moentoro „P olitik
hukum perburuhan pada waktu sekarang” dalam „M adjalah Hukum
dan Masjarakat” , Djanuari 1957, hal. 3 -1 2 ;,Mr I m a n S o e p o m o
„Hakekat dan Sifat, Hukum Perburuhan” dalam „B u k u 1 Peringatan
Diës Natalis ke-VII Senaat Mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengeta­
huan Masjarakat Universitas Indonesia” , 1957, hal., 33, 79-80, „P e r­
djandjian kerdja” , 1951 ; I s k a n d a r Tedjasukmana „T h e
Political Character o f the Indonesia Trade Union Movement” , 1 95 9;
W . P a n d j a i t a n „Petundjuk tentang masaalah perburuhan” ,
1963; . K h o L i o k S w a n , S.h. „Perlindungan buruh terhadap
sakit-penjakit dan ketjelakaan jang disebabkan karena hubungan
pekerdjaannja” , skripsi Universitas „Brawidjaja” Tjabang D jem ber
1964 (akan dipublikasi).
nja untuk pada hukum bukan-Eropah. Penting djuga pasal 1603z
K.U.H . Perdata 3.

„A an vullende Plantersregeling” (L.N.H.B. 1938 Nr 98 jo 136


(peraturan in i suatu K oninlijk Besluit tertanggal 17 Djanuari 1938,
L.N. Belanda 1938 Nr 940 !)4.
„O ngevallen-Besluit” (L.N.H.B. 1939 Nr 255 jo Nr 292), „Onge-
vallen-Regeling 1939” (L.N.H.B. 1939 N r 256 jo 292) (untuk me-
njelenggarakan Traktat Geneva tertanggal 24 D juni 1925).

Lihatlah kom entar tentang pasal-pasal 1601-1603 redaksi baru itu pada
buku M r A.G. V r e e d e „D e Indische regeling van de arbeidsoverseen-
kom st , 2 djilid, 1927 dan 1933. Penting djuga karangan Prof. Mr
R .D . K o 11 e w i j n „H et op de arbeidsovercenkomsten toe te passen
reclit” dalam T . 139, hal. 19, dan „E en voorstel tot verbetering van de
arbeidsovereenkom st der niet-Eropeaan” dalam T. 139, hal. 189; Mr
C. S t a r N a u t a C a r s t e n „V erlofsrecht en arbeidscontract” da­
lam T . 141, hal. 2 9 7 ; Mr P. T h . J. v a n T e t e r i n g „D e gewij-
zigde regeling van het ontslagrecht” dalam T. 151, hal. 460 djb., dan
„D e arbeidsovereenkomst met werknemers, behorende tot de bevol-
k ingsgroep der Inlandcrs en Vreemde Oosterlingen” dalam T., 154, hal.
4 39 d jb .; Mr T a n S i o n g K o e n „D jam inan untuk buruh pada
pem utusan hubungan kerdja” dalam „M adjalah Hukum dan Masja-
rakat” , Djanuari 1957, hal. 2 7-31 ; H. S o e j a n a t a m i h a r d j a
„Segi-segi perdjandjian kerdja dalamXpraktek” , 1959.
4 Sebeluntf „Aanvullende Plantersregeling” tersebut dibuat, di Indonesia
berlaku suatu peraturan dari tabun 1922 jang bernama „Assistenten-
regeling” . Tentang peraturan ini batjalah a.l.. „Commentaar op de
assistentenregeling en de op de assislenten-contracJen toepasselijke
arikelen van de algenieene regeling van het arbeidscontract” , diterbit­
kan oleh A. V.R.O.S..; Mr K.J. B o e y i n g a „Arbeidswetgeving in
Nederlandsch Indie” , disertasi Leiden 1926; A.D. A., d e K a t A n g e -
1i n o „Staatkundig beleid en bestuurszorg in Nederlandsch IndiiT’ ,
II, 1 9 3 0 ; „Jurisprudentieverzameling over de z.g. Assistentenregeling
S.’ 1921-334” , dihimpunkan oleh Nona Mr E.H. A n d r i e s e n da­
lam T. 138, hal. 778 d jb -; Mr G.H.C. H a r t - G.A. L a m s f e 1 1 „H et
' K on inklijk Besluit tot wettelijke regeling van het arbeidscontract in
Nederlandsch-Indie” , 1935.
Pem batjaan mengenai ,,Aanvullende Plantersregeling” tersebut, a.l. tuli­
san Mr G.H.C. H a r t - G.A. L a n i s f e f t tersebut; Mr W J . H a i s m a
R a h d e r „Com m entaar op de Aanvullende Plantersregeling en de
algenieene regeling van liet arbeidscontract, voor zoover toepasselijk
op de arbeidsverlioudingen door de Aanvullende Plantersregeling be-
lieerscht” , 1938 dibitjarakan oleh Mr A.P. F u n k e dalam T. 148,
hal. 9 1 ) ; karangan „D e Aanvullende Plantersregeling” dalam T. 148,
hal. 9 2 1 -9 2 6 ; Mr' F.H„ M a r i j n dan Mr P. Tli. J. v a n T e t e ­
r i n g „D e Aanvullende Plantersregeling” , 1935; v a n T e t e r i n g
, „D e Aanvullende Plantersregeling” dan dalam T. 148, hal 5 75-589; ka­
rangan „D e R egeling der vrije dagen van den arbeider in het Bur-
gelijk W etboek en de Aanvullende Plantersregeling” dalam T. 148,
hal. 6 8 7 -7 0 4 ; karangan „D e terugzendingregeling arbeiders 1939”
dalam T . 151, hal. 300 djb. \

403
„Arbeidsregeling Nijverheidsbedrijven” , L.N.H.B. 1941 Nr 647 jo
L.N.H.B. 1948 Nr 163 (dibuat sebelum Perang Dunia II tetapi baru
berlaku setelahnja).
Pada waktu sebelum Perang Dunia II, di daerah-daerah luar
pulau Djawa dan Madura ada buruh perkebunan jang bekerdja
dibawah suatu sistim jang terkenal dengan nama „arbeid onder
werkovereenkomsten met poenale sanctie” (pekerdjaan berdasarkan
perdjandjian kerdja dengan sanksi punai), lihatlah „K oeli-ordonnan-
tie” , L.N.H.B. 1931 Nr 94 jo L.N.H.B. 1936 Nr 545. „K oeli-ordonnan-
tie” itu telah dari tahun 1868, L.N.H.B. 1868 Nr 8 5. Oleh karena
paksaan ekonomis dari luar — terutama dari fihak Amerika Serikat
— maka pemerintah Hindia-Belanda menghapuskan sistim tersebut
pada tahun 1941 dan tahun 1942 (lihatlah L.N.H.B. 1941 Nr 514) 6 7.
Republik Indonesia tahun 1945 merasa perlu mengeluarkan sua­
tu undang-undang perburuhan. Dibuatnja Undang-undang R.I. tahun
1948 Nr 12 („Undang-undang K erdja tahun 1948” ). Berdasarkan
Undang-undang tahun 1951 Nr 1 (L.N. 1951 Nr 2) maka beberapa
bagian Undang-undang R.I. 1948 Nr 12 didjadikan berlaku di se­
luruh wilajah Negara Kesatuan jang didirikan pada tahun 1950.
Dapat dikatakan bahwa peraturan ini, jang belum meliputi lapangan
perburuhan dalam segala aspeknja, berlaku untuk sementara waktu
sadja, jaitu selama belum dibuat undang-undang perburuhan jang»
lebih sempurna. Pemerintah pada waktu sekarang sedang membuat
suatu undang-undang perburuhan jang lengkap (lihatlah diatas).
Oleh Republik Indonesia tahun 1945 dibuat djuga suatu undang-
undang ketjelakaan, jaitu Undang-undang R.I. tahun 1947 N r 33
mengenai pembajaran ganti kerugian kepada buruh jang mendapat
ketjelakaan berhubimg dengan kerdja, jang terkenal dibawah nama
„Undang-undang Ketjelakaan tahun 1947” . Lihatlah L.N. 1951 N r 3
(Undang-undang tahun 1951 Nr 2), jang menjatakan berlakunja
„Undang-undang Ketjelakaan tahun 1947” itu. Berlaku djuga (lihat­
lah L.N. 1951 Nr 4 — Undang-undang tahun 1951 Nr 3) „Undan
undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948” (N r 23).

5 Prof. Dr J.H. B o c k e „Economie van Indonesie” , 1951, lla|


djb.; d e K a t A n g e l i n o pada noot 4 ; C.H. v « n D e 1 d
. „B ijdrage tot arbeidswetgeving in Nederlandseh-Indie” , 1895 6”
6 Mengenai pengaruh asing, atas hukum perburuhan kolonial lihat] I
dis. S o l i n s jang kami sebut pada noot 12 dibawah ini. 31
7 Himpunan peraturan-peraturan perburuhan jang dikeluarkan oleh
pemerintah Hindia-Belanda dahulu : „Arbeidswetgeving en enige an-
dere regelinigen op sociaal gebied in Indonesie” , tanpa tanggal.

404
S edjak pem u lihan kedaulatan kepada negara kita s, maka sering
diadakan pem ogok an jang bermaksud memaksa kaum madjikan (te­
rutam a bangsa asing) m em pertinggi d jaminan sosial bagi buruh. Hak
m og ok diaku i dalam pasal 21 undang-undang dasar sementara tahun
1950 dahulu. Karena sering terdjadi pem ogokan jang tidak beralasan
tepat, m aka pem erintah merasa perlu membuat suatu peraturan jang
m enjelesaikan perselisihan antara buruh dengan madjikan se­
tjara dam ai dan semestinja. Peraturan ini Undang-undang Darurat
tentang penjelesaian Perselisihan Perburuhan tahun 1951 Nr 16,
L.N. 1951 N r 88 9.
K em udian ternjata bahwa Undang-undang tahun 1951 Nr 16
tidak tju k u p m em bela dan memperhatikan kepentingan kaum 'bu­
ruh. Oleli fihak kaum buruh dikemukakan bahwa peraturan itu
bertentangan dengan hak m ogok buruh jang telah diterima sebagai
stiatu hak konstftusionil. Selandjutnja, Pemerintah dipaksa menin-
djau kem bali Undang-undang Darurat tahun 1951 Nr 16 tersebut.
Pada tahun 1957 Pem erintah mengganti Undang-undang Darurat ta­
hun 1951 N r 16 oleh Undang-undang tahun 1957 Nr 22, L.N. 1957
N r 42, jan g m en djadi suatu peraturan jang djuga disetudjui oleh
Dewan Perw akilan Rakjat (maka dari itu suatu undang-undang bia­
sa). M em ori Pendjelasan dalam Tambahan L.N. Nr 1227 10.
M enurut pasal 1, maka buruh ialah barangsiapa jang bekerdja
pada m adjikan dengan menerima upah; madjikan ialah orang atau
badan hukum jang mempekerdjalcan buruh: perselisihan perbu­
ruhan ialah pertentangan antara m adjikan atau perkumpulan ma­
djik an dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh dengan
tidak adanja persesuaian paham mengenai hubungan kerdja d an /
atau keadalan perburuhan■ Cliusus kata-kata „keadaan perburuhan
m engandung suatu pengertian jang sangat luas !

8 K em enterian Perburuhan „H im punan peraturan-peraturan perburuhan


1 9 4 5 fl9 5 5 ” , 1955, dan „H im punan peraturan-peraturan dan keputu-
san-keputusan Menteri Perburuhan tahun 1958” , 1959; P a n d j a i -
t a n, lihatlah noot 2 diatas tadi; publikasi-publikasi penerbit v a n
Dorp.
9 R „ S o e j o n o ,,Penjelesaian perselisihan perburuhan. Beslecliten van
Arbeidsgeschillen” 1953., Suatu himpunan jurisprudensi disusun oleh
M a r s i d i „Putusan-putusan P4-Pusat” , 1960. Mengenai tawar-mena­
war setjara k olek tif lihatlah Mr S o e d j o n o H a r d j o s o e d i r o
„B eru n d in g tawar-menawar setjara kolektip” , 1958.
10 M engenai procedure penjelesaian perselisihan perburuhan lihatlah
S o e d a r w o dan B« R o c h m a t S o e m i t r o „Bagaimana tjara-
nja m enjelesaikan Perselisihan Perburuhan” , 1958.

405
Di daerah akan didirikan suatu Panitia Penjelesaian Perse­
lisihan Perburuhan Daerah (disingkatkan : Panitia Daerah, dalam
pergaulan sehari-hari terkenal dengan nama : P4D) jang bertugas
memberi perantaraan dalam menjelesaikan perselisihan-perselisihan
perburuhan jang ditimbulkan di daerah. Djika perselisihan perbu­
ruhan tidak dapat diselesaikan di daerah maka perselisihan tersebut
akan diserahkan kepada Panitia Penjelesaian Perselisihan P erbu­
ruhan Pusat (disingkat : Panitia Pusat, dalam pergaulan sehari-
hari terkenal dengan nama : P 4P ). Lihatlah pasal-pasal 5 djb. (m e­
ngenai Panitia Daerah) dan 12 djb. (mengenai Panitia Pusat) H .
Perlu djuga disinggung Unadng-undang tentang kewadjiban m e­
laporkan perusahaan dari tahun 1953 Nr 23, L.N. 1953 Nr 70 (jang
mengganti „Regeling meldmgsplicht bedrijven” , L.N.H.B. 1949 N r
4 « > . dan r „g P ^ n ^ — ~
serikat buruh dan madjikan d a n tanun
Nr 69. ,
Boleh dikatakan bahwa pada wak.a .ekarang peraturan-pera­
turan perburuhan (jang telah ada) «n g a , djauh dar. pada m eluas­
kan. Hal ini tidak perlu mengherankan dj.ka ,n g „ akan a d .n ,,
, » A* waktu sekarang jang belum sanggup mem-
suatu „ruling cla» p .i * ^ Kh> ma6iil meng.
buat r cra.Ura,.-I.eraiuran J j Permulaan iu\ toWv dan
hadapi permulaan suatu revolusi
jak kepvmjaan Belanda pada tang­
gal 3 Desember 1957, letflpi Ijarang jang diambilalilikan itu masih
belum dalam tangan buruh. Tetapi di samping itu, bagian terbesar
peraturan-peraturan perburuhan dari djaman kolonial sekarang ti­
dak lagi berlaku. Inilah suatu langkah lagi keperbaikan situasi
bagi kaum buruh.

11 Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 9 Djuni 1952 dalam „H u k u m ” ,


1952 3 hal. 27-28 : «Dari suatu penetapan Ketua Pengadilan
Negeri Djakarta, jang mengatakan ibahwa putusan dari Panitya P en je­
lesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P 4 P ) dapat didjalankan, tidak
dapat dimohon kasasi, oleh karena penetapan tersebut tidak diam bil
dalam lingkungan peradilan biasa, melainkan dilapangan' hukum chu-
- sus, jang dalam peraturannja tidak menegaskan, bahwa perm ohonan
kasasi dimungkinkan (undang-undang Darurat Nr 16 tahun 1951 ten­
tang Penjelesaian Perselisihan Perburuhan)” . Lihatlah karangan
Mr T a n - S i o n g K o e n „D jam inan untuk buruh pada pemutusan
hubungan kerdja” dalam „M adjalah Hukum dan Masjarakat” , Djanuari
1957, hal. 27-31 (chusus hal. 3 0 -3 1 ).

406

1
Par. 3. International Labour O r g a n i s a t i *.ka
(I. L. 0 .)

Soal sosial dan soal perburuhan telah m endjadi suatu soal du- '
nia ! P erkem bangan ini tidak dapat dielakkan lagi. Pada K onpe-
rensi P erdam aian di kota Paris pada tahun 1919 diadakan suatu
International L abour Organization. Indonesia m endjadi Anggauta
I .L .0 .1 2 .

12 B atjalah E.C. S o l i n s „Arbeidsrecht, arbeidsconventies en de sanien-


gestelde staatsvorm, de ontwikkeling van Nederlands- Indië tôt de Vere-
n ig d e Staaten van Indonésie en de betrekkingen met de internationale
arbeidsorganisatie” , disertasi Leiden 1 95 0; E., M a h a i m „T h e His-
itorical and Social Im portance o f International Labour Legislation :
T h e O rgins o f the International Labour Organisation” . 1943. Pem-
batjaan tentang I.L .O . disebut dalam ham pir semua buku-buku penting
m engenai hukum internasional. Dokum enter adalah publikasi-publikasi
International Labour O ffice di Geneva (Negeri Swiss).
i
407
BAB X II

•HUKUM INTERNATIONAL!

Par. 1: Kata pengantar.

Istilah jang paling tua adalah, istilah „ius gentium” 2, jang k e ­


m udian terdapat dalam terdjemahan-terdjem ahan : „V ölk errech t”
(bahasa D jerm an ), „d roit de gens” (bahasa P erantjis), „volken rech t”
(bahasa B elanda).
Hukum alam itu m endjadi dasar perkem bangan hukum inter­
nasional di Eropah dari Djam an Pertengahan (ja n g berlangsung
sampai abad ke-15) sampai dengan abad ke-19. Bahkan, pada djam an
sekarang perkembangan bukum internasional di terutama kontinen
Eropah Barat belum merdeka penuh dari pengaruh kèpertjajaan
pada suatu hukum alam ! 3. Bahwasanja berabad-abad lamanja hu-

1 Dalam 'tjetakan kelim a buku ini dipakai istilah „h u k u m antar negara” .


Istilah „h u k um antar negara” ini dapat didjadikan terdjem ahan dari
istilah „tussenstaats recht” jang dipakai oleh P rof. K r a n e n b u r g
(„ D e grondslagen der rechtswetenschap” , hal. ,137). Dari istilah „ h u ­
kum antar negara” alau „tussenstaats recht” kita boleh .menarik k e­
simpulan bahwa hanja negaralah jang m endjadi subjek hukum inter­
nasional (volkenrechtssubject). Pendapat ini sangat sempit, karena
djuga manusia dapat m endjadi subjek hukum internasional, seperti
jang akan kami uraikan dalam par. 3 dari bab ini. Untuk dapat
m enjesuaikan perselisihan (term in ologie) pada perkem bangan terahir
hukum internasional, terutama perluasan lingkungan subjek hukum
internasional, mdEâ oleh Ph.. C. J e s s u p dalam bukunja „Transna­
tional Law” , 1956 (ada tindjauan oleh Mr M o c h t a r K o e s o e m a
A t m a d j a dalam madjalah „P adjadjaran” , I, 1, hal. 4 9 -5 2 ) diper­
kenalkan suatu.istilah dan pengertian baru, jaitu „transnational law” .
Oleh J e s s u p dikemukakan bahwa istilah „international law” m e­
nimbulkan kesan seolah-olah hukum ini hanja mengatur hubungan
antara negara (atau bangsa) dengan negara (atau ban gsa). Hal ini
terlalu sempit, karena, memang, padà saat ini „international law”
djuga mengatur persoalan-persoalan individu, korporasi, perhim punan,
dsb.. Istilah „transnational law” ini, jan g menjatakan sua*u hukum
jang melintasi garis-garis perbatasan negara nasional, adalah lebih
tepat dan luas. Lihatlah djuga tjaitatan Mr L i e m T j i e n H w a f
daam madjalah „Padjadjaran” , II, 1. hal., 12 noot 28.
2 Tetapi „V ölkerrecht” dan „iu s gentium” itu tidak sama artinja. Da­
lam hukum Romawi istilah „iu s gentium” itu digunakan untuk m e­
njalakan dua pengertian jang berlain-lainan :
a. „iu s gentium” itu hukum jang mengatur hubungan antara orang
warga kota Rom a dengan orang asing, jaitu orang bukan warga
kota Roma
b. „iu s gentium” adalah hukum jan g diturunkan dari tata/tertib alam
jan g mengatur masjarakat segala bangsa, jaitu hukum alam
3 Batjalah U l r i c h S c h e u n e n „Naturrechtliche Strömungen im
heutigen Völkerrecht” dalam „Zeitschrift fü r ausländisches öffentliches
Recht und Völkerrecht” , X III (1 9 5 1 ), hal. 556-)614. '

408
kuin alam itu — sebetulnja, azas-azas hukum (¡privat) Romawi, ka­
rena hukum alam itu disamakan dengan azas-azas hukum Romawi
— mendjacli dasar perkembangan hukum internasional, dapatlah
dilihat dari kedjadian àdanja banjak lembaga hukum privat dalam
lapangan hukum internasional. Misalnja, servitut internasional (vol-
kenreclitelijke erfdienstbaarheden), „erfpacht” internasional'
Ilm u hukum internasional mempeladjari dan menindjau dari
sudut hukum, segala kedjadian dalam sedjarah politik dan hubungan
internasional, supaja dapat mengetahui bagaimana perkembangan
hukum internasional dari djaman dahulu sampai hari ini, dan se­
gala kedjadian politik dan hubungan internasional pada djaman
sekarang. Perlu dikemukakan bahwa sampai hari ini oleh ilmu hu­
kum internasional pada umumnja hanja diperhatikan perkembangan
hukum internasional di dunia Barat, jaitu di Eropah Barat dan,
m ulai permulaan abad ke-20 ini, di kontinen Am erika4. Bahkan,
lebih terbatas lagi, pada umumnja dalam kalangan perguruan tinggi
dan dalam kalangan ahli-ahli hukum internasional sampai sekarang
peladjaran hukum internasional masih sangat dititik-beratkan pada
dipeladjarinja hukum internasional Eropah Barat (W est-Europees
volkenrecht), jaitu hukum internasional jang dilahirkan dan diper­
kembangkan didalam lingkungan hukum Eropah Barat (binnen de
West-Europese rechtskring). Hukum internasional jang diperkem­
bangkan dan jang telah ada diluar lingkungan liukum Eropah Barat
(b u iten de West-Europese rechtskring) belum mendapat perhatian
tjukup perguruan tinggi dan ahli-ahli hukum internasional pada
um um nja, terketjuali dalam kalangan perguruan tinggi dan ahli-ahli
hukum internasional di kontinen Amerika, dimana dengan sendirinja
ada perhatian besar pula untuk perkembangan hukum internasional
A m erika, dan di Uni Sovjet dan negara-negara didalam wilajah

4 Tentang perkembangan liukum internasional di terutama Eropah Ba­


rat, jan g djuga dianggap perkembangan liukum internasional pada
um um nja ( ! ) , dari djaman dahulu sampai sekarang batjalah a.l. E.
N ys „L es origines du droit international” , 1894; T.A. W a l k e r
„ A H islory o f the Law o f Nations” , 1899; R. R e d s l o b „Histoire
des grands principes du droit des gens depuis 1’ antiquité jusqu’ à la
veille de la grande guerre” , 1923; Sir G e o f f e r y B u t l e r dan
S. M a c c o b y „T h e Development o f International Law” , 1928;
A r t h u r N u s s b a u m „A Concise Historv o f the Law o f Nations” ,
1947 ( 1 9 6 1 ) ; penting d ju g a : Prof, v a n V o l l e n h o v e n „D u
droit de paix” , 1932; J.. v a n K a n „R ègles générales du droit de
la paix. L’ Idée de 1’ organization internationale dans ses grandes
phases” dalam „R ecueil des Cours de 1’ Académie de Droit Interna­
tional” , 66 (1 9 3 8 , bagian IV ), hal. 2 djb.

409
pengaruhnja, diinana perhatian dititik-beratkan pada hukum in­
ternasional Mtirxis. Djuga di Asia dan di Afrika, dimana pengaruh
hukum Eropali Barat, sebagai warisan kolonial, masih besar, baik
pengadjaran dan peladjaran maupun praktek hukum internasional
masih dititik-beratkan pada dogma-dogma dan praktek liukum in­
ternasional Eropah Barat 5.
Tetapi hal itu telah mulai berubah, karena bangsa-bangsa Asia
dan Afrika makin lama makin keras berusaha mengetemukan ke­
pribadian sendiri, djtiga dalam hubungan internasional mereka. A hli
hukum internasional jang telah memperhatikan hukum internasio­
nal dari luar lingkungan hukum Eroplah (Barat) (buitcn-W est-
Europees volkenrecht) djumlahnja makin bertambah. Mengenai
hukum internasional dalam lingkungan hukum Indonesia (lin g­
kungan Nusantara kita), jang m endjadi pelopor m em peladjarinja
ialah Prof, v a n A s b e c k dan muridnja, jaitu Prof. R e s i n k. f
Studi jang paling recent adalah tesis kami 6.
- Peladjaran hukum internasional dari luar lingkungan hukum
Eropah' adalah sangat penting, karena peladjaran itu memungkinkan
kita mengetemukan azas-azas (beginselen) tertentu dalam hukum
internasional dari luar lingkungan hukum Eropah itu, jang dapat
didjadikan bahan-bahan mei^ibangun (bouwstenen) bagi suatu per­
kembangan hukum internasional sekarang ke arah dilahirkannja
suatu hukum internasional umum ( universil) di kemudian hari. Di-
bangunnja suatu hukum internasional jang universil, suatu „com -
mon law of mankind” 7, hanja dapat diadakan dengan memakai

3 Mengenai pengadjaran dan peladjaran Iiukum / internasional di In d on e


sia. penitik-|beratan pada h uk u m internasional Barat itu dengan djelas
didem onlrasi dalam buk u-buk u Prof. Dr C.N. F i 1 i p o v i t c h, g u ru
besar pada Universitas' „Gadjah Mada” . Universitas „A irla n g g a ” d in
Akademi Dinas Luar Negeri ( ! ) , „Elcm ents o f Modern International
Law” , 1958, dan „Sedjarab bubungan internasional” , i9 5 5 , ja n g h a m ­
p ir tidak m en jiriggu ng adanja hukum - internasional dan b u b u n ga n in ­
ternasional dalam lingkungan hukum Indonesia, baik dalam sedjarab
m aupun pada djam an sekarang. Hal dem ikian dapat dikatakan pula
tentang bu ku (Lt„ D jen .) G.P.H. D j a t i k u s u m o „H u k u m In ter­
nasional” , 2 bagian („D am ai” dan „Perang” ) , 1956.. Tetapi m e n g e ­
nai praktek liukum internasional kita telah m en tjob a m erintis suatu
djalan sendiri dem i kepentingan bangsa Indonesia : Pem batalan
K.M.B , Aksi Irian Barat dan pen gam bilalih an k epun jaan B elanda
/ dsb., seniuanja usaha kita d a la m 'ra n g k a dekolonisasi ek on om is.
6 Mengenai peladjaran hukum internasional diluar Eropah Barat lihatlah
buku kami „Ringkasan tentang hukum internasional” , 1964. Bab III.
7 C. W i 1 f r e d J e n k s „T h e Comijion Law o f Mankind” , 1958,
jang menaruh perhatian besar terhadap hukum internasional diluar
lingkungan hukum Eropah.. 1

410
pula bahan-bahan jang tersedia dalam hukum internasional di Asia
dan A frika. D i samping itu peranan Asia dan Afrika dalam usaha
untuk m entjapai suatu perdamaian dunia — hanja suatu hukum
internasional jang memperhatikan sistim dan pendapat hukum di
seluruh bagian dunia, jang m endjadi suatu hukum internasional
jang universil, dapat m endjadi dasar hukum kuat perdamaian dunia
itu — telah ternjata sangat besar ! Kita ingat sadja akan Konverensi
A sia-A frika jang diadakan di kota Bandung pada bulan April
1955 s.
A liirn ja, ditindjau dari sudut sosiologi dan politik, tidak salah
d jik a kam i katakan bahwa dalam sebagian hukum internasional
adalah aspek (aspect) jang menjatakan (memperlihatkan) bahwa
sebagian hukum internasional itu hukum dari sesuatu „ruling class”
internasional. Terutama pada Djaman Pertengahan aspek tersebut
sungguh-sungguh terang ternjata. Bukankah, pada Djaman Perte­
ngahan hubungan antara negara-negara — lebih tepat : hubungan
i antara radia-radja — dikuasai oleh kaum Geredja Katolik Roma ?
Bukankah, suatu faktor penting — mungkin faktor terpenting' —
jan g m em buat hukum internasional itu „pow er poli t ies among
N ations” ? „P ow er polilics among Nalions” itu dikuasai oleh suatu
„ru lin g class” internasional, jakni „ruling class” di masing-masing
negara jang membuat „powrer polilics among Nations” itu

P a r. 2 : Sumber, jang formil dari buku m


internasional.
\

M ereka jang ingin mengetahui sumber-sumber jang form il


dari hukum internasional dipersilakan membatja pasal 38 ajat
1 Piagam Mahkamah Internasional di kota Den Haag jang tekstnja
telah kaini muat pada ah i r Bab II, par. 3, "sub E. Tentang ketentuan
k

8 Mr M u h a m m a d Y a m i n \„Kebudajaan Asia-Afrika’ ’, 1 95 5; G.
M c T . K a li i n „T h e Asian-African Confercnce B a n d u n g , . Indonesia,
April 1955” . 1 95 6; E. Z l i u k p v „T h e Bandung Confercnce o f
Africnn and Asian Couiitries and lis Historie Significance’ ^dalnm „In -
ternalional A ffairs” , 1955, 5, hal. 18-32; Dr H. l i o e s l a n Ab­
d u l g a n i „T h e Bandung Spiril” , 1964.
9 Mengenai „p ow er polilics among Nalions” batialah a-l. George
S c h w a r z e n b e r g e r „P ow er Polilics, a Study o f Inlernational
Sociely” , 1 9 5 1 ; F r c d e r i c k L. S c h u m a n „International Pol-
ities” . 1 9 5 8 ; F.H. H a r t m a n n „Readings in International Rela-
tions” , 1952, dan H a n s J.. M o r g e n t h a u „P olilics among Na­
lions” , 1 9 6 1 ; P rof. Dr C.N. F i I i p o v i t c h (bahasa Indonesia oleh
S’ j a u k a t . D j a j a d i n i n g r a t ) „Sed jarah hubungan internasio­
nal” , 1955. )

411
in i J.L. B r i e r 1 y pernah mengatakan bahwa „this is a text o f the
highest authority, and we m ay fairly assume that it expresses the
duty o f any tribunal w hich is called upon administer law ” 10.
Sebagai sumber form il dari hukum internasional dapat kam i
anggap =

1. traktat (perdjandjian internasional)


2. kebiasaan internasional
3. „general principles o f law” (azas-azas hukum um um ) jang d i­
akui oleh „civilized nations”
4. jurisprudensi internasional (peradilan internasional)
5. anggapan-anggapan para ahli hukum internasional.

Kelim a sumber hukum form il ini sangat dipengaruhi oleh „ p o ­


wer politics am ong nations” jang m endjadi sumber hukum jang
materiil dari hukum internasional itu.

Par. 3: Struktur hukum internasional dan


aliran-aliran baru "dalam hukum inter­
nasional.

Antara tatatertib hukum nasional dengan tatatertib hukum inter­


nasional ada perbedaan azasi : tatatertib hukum internasional tidak
mengenal suatu kekuasaan pusat. Dalam pergaulan antara negara-
negara belum ada suatu kekuasaan pusat jang, dengan melalui djalan
hukum — djadi, tidak melalui, misalnja, agresi atau djalan-djalan.
kekerasan jang lain — , setjara efektif dapat memaksa anggama_
anggauta pergaulan itu mentaati tatatertibnja atau membawa per­
selisihan mereka ke muka suatu pengadilan atau arbitrasi supaja
dapat diselesaikan setjara pengadilan hukum, dalam hal ango^uta-
anggauta itu — karena kepentingan sendiri m endorong mereka
melanggar traktat atau berbuat sesuatu lain jang tidak dapat dise­
suaikan dengan azas-azas hukum internasional. Dalam pergaulan
internasional belum ada suatu kekuasaan eksekutif (internasional)
jang, dengan memakai saluran hukum, dapat memaksa anggauta-
anggauta pergaulan internasional itu mentaati peraturan-peraturan
hukum internasional, bahkan, mentaati peraturan-peraturan hukum
internasional jang oleh anggauta-angauta tersebut sendiri dibuat,

10 „T h e Law o f Nations, an Introduction to the Internafional Law o f


Peace” , 1949, hal. 58.

412
I

misalnja, dalam Sidang Umum P.B.B.. Dalam pergaulan interna­


sional belum ada suatu kekuasaan eksekutif pusat jang dapat men-
djalankan suatu sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran jang
dilakukan oleh anggauta manapun djuga, tanpa memandang bulu.
Seperti halnja dengan Liga Bangsa-bangsa, maka P.B.B.pun bukan
suatu negara atasan (superstaat). Pentaatan pada hukum interna­
sional bergantung pada kuat tidaknja status sesuatu negara dalam
„p o w e r politics among nations” !
Sebetulnja, sampai sekarang sedjarah hukum internasional ha-
nja mengenal satu peristiwa sadja bahwa pergaulan (dunia) interna­
sional mendjalankan suatu aksi jang terorganisasi terhadap pelang­
gar azas-azas hukum internasional, jaitu terhadap suatu agresor
(agressor). Peristiwa ini aksi bersama-sama jang dilakukan para
anggauta P.B.B. terhadap Korea Utara setelah negara tersebut, me­
nurut pendapat bagian besar anggauta P.B.B. pada waktu itu, men­
djalankan serangan (agrèsi) terhadap Korea Selatan pada tanggal
25 D jun i 1950. Tetapi oleh negara-negara komunis ditolak pendapat
bahwa K orea Utara itu m endjadi agrèsor. Djadi, mengingat pendapat
negara-negara komunis itu, belum tentu suatu tjontoh tentang agrèsi
jang diterima umum ! Disamping itu, P.B.B. dapat mendjalankan
aksi ini, karena kebetulan sedjak beberapa bulan Uni Sovjet tidak
mau m enghadiri Sidang Dewan Keamanan, dan oleh sebab itu tidak
dapat mengeluarkan vetonja (pasal 27 ajat 3 Piagam P.B.B.).
Mengingat kenjataan bahwa pergaulan internasional tidak me­
ngenal suatu kekuasaan pusat, maka tidak mengherankan hal pernah
dikatakan oleli beberapa ahli hukum, a.l. J o h n A u s t i n dalam
bukunja „Lectures on Jurisprudence” n , bahwa peraturan-peraturan
jang mengatur pergaulan antara negara-negara bukan peraturan-
peraturan hukum tetapi hanja kesusilaan internasional jang positif.
Para ahli hukum jang menentang anggapan A u s t i n mengatakan
bahwa anggapan itu akibat anggapan positivisme perundang-un-
dangan (legisme) dari abad ke-19 (lihatlah Bab II) jang sekarang
tidak lagi dapat diterima 12. Tetapi bagaimanapun djuga anggapan
Austin tersebut masih sangat penting supaja diperhatikan !
Apa sebabnja maka sampai sekarang pergaulan antara negara-
negara belum mengenal suatu kekuasaan internasional pusàt ? Dja-

11 J« A u s t i n „Lectures on Jurisprudence” , 1873, hal. djb.


'1 2 V a n A p e l d o o r n , hal. 299 : „W ie liieruit besluit dat liel volken-
recht geen reclit is, vergeet evenwel, dai recht en wet nief identiek
zijn (Siapa jang menarik kesimpulan bahwa hukum internasional itu
bukan hukum, lupa akan hal hukum dan undang-undang tidak sama).

413
waban : karena masih ada kedaulatan negara-negara (souvereini-
teit der staten), jang oleh negara-negara itu dipakai sebagai suatu
sendjata unluk m em bela kepentingannja sendiri tiap-tiap kali dirasa
kepentingan itu terantjam ! Berabad-abad lamanja, ja n g 'm e n e n tu ­
kan sifat tatatertib hukum internasional itu anggapan-anggapan ten ­
tang „kedaulatan” („souvereiniteit” ) 13 14.
Pada D jam an Pertengahan dalam pergaulan antara bangsa-
bangsa di dunia Barat terdapat suatu kekuasaan pusat, jaitu kekua­
saan G eredja K atolik Rom a dibawah pim pinan Paus (Bapak: S utji)
V a n A s b e c k mengemukakan bahwa pergaulan antara bangsa-
bangsa di dunia Barat pada Djam an Pertengahan itu dilakukan da­
lam rangka suatu federasi kegeredjaan 15.
Kekuasaan Geredja Katolik Rom a itu kuat, karena berdasarkan
feodalisme. Pada ahir Djam an Pertengahan feodalism e itu telah
m endjadi lapuk (in verval geraakt) dan sebagai reaksi terhadap
feodalism e jang telah m endjadi lapuk itu dan jang telah m em bawa
masjarakat dalam keadaan peperangan antara golongan-golongan
jang berkepentingan, timbul keinginan mengadakan suatu kekua­
saan pusat jang kuat supaja tatatertib hukum masjarakat tetap ter­
pelihara. A hir Djaman Pertengahan m endjadi waktu peralihan jang
mengenal ^^persiapan-persiapan” kelahiran negara m odern (de m o ­
derne staat), jang sebagai sifat chususnja, dilengkapi dengan suatu
kekuasaan pusat jang kuat. Sedjak Perdamaian W estphalia tahun
1648, jang umum disebut saat lahirnj^ negara m odern itu, maka n e­
gara berkembang m endjadi suatu kesatuan politik jang m cm puuj aj
kekuasaan pusat jang absolut (absoluut centraal gezag) ! Negara
m odern itu, jang dilengkapi dengan suatu kekuasaan pusat jan<r
absolut, dengaA sendirinja tidak lagi mau tunduk pada kekuasaan
Geredja Katolik Roma. Apalagi di dunia Barat pada ahir 'Djaman
Pertengahan — karena Renaissance — ada aliran-aliran jang tidak
didasarkan atas agama ini. Maka pergaulan internasional bukan la ­
gi suatu federasi kegeredjaan, tetapi suatu pergaulan antara kesa-
tuan-politik-kesatuan-politik jang tidak mau mengakui suatu ke-

13 Penting dibatja P rof. Dr H. D o o y e w e e r d „D e strijd oin het sou


vereiniteitsbegrip in de m oderne rechts- en staatsleer” , 1950,,
14 Mengenai perkembangan pengertian „kedaulatan” dalam hukum in­
ternasional lihailah uraian singkat dalam buku kami „R ingkasan
tentang hukum internasional” , 1964, Bab II.
15 Berhubung dengan aspèk ini penting dibatja Prof., Mr J. v a n K a n
„D e Vredesgedachte der Middeleeutvcn” , pidato inaugurasi Bal-ivi-i
1925.

414
kuasaan jnng le b ih tinggi dari pada kekuasaannja sendiri. Dengan
kata lain : pergaulan internasional m endjadi suatu pergaulan
antara negara-negara jan g berdaulat p en u h , jaitu suatu pergaulan
ja n g terdiri atas negara-negara jan g berpendapat m em punjai k e­
daulatan absolut (kedaulatan sepenuhnja, volledige souvereiniteit)^
K einginan akan m engadakan siiftfu kekuasaan pusat jang kuat
dan utuh in i diperkuat d juga oleh akibat buruk dari banjak pepe­
rangan agama jan g diadakan di E ropali Barat antara mereka jang
hen da k m erebut kem bali kekuasaan dan kekuatan Geredja Katolik
R om a dengan m ereka ja n g telah m em isahkan dirinja dari Geredja
ini.
Adjaran-adjaran jang terkenal dan paling berpengaruh tentang
suatu kedaulatan absolut negara adalah adjaran-adjaran J e a n
B o d i n th. 1530-th. 1596), T l i o m u s Hobbes (lihatlah
Bab V II, par{ 3 — negara bersifat totaliter), E m m e r i c h dr
V attel (th. 1714-th. 1767) dan H e g e l (lihatlah Bab VII,
par. 1). B o d i n masih menerima suatu kedaulatan jang dibatasi
oleh hak-hak pokok manusia dan oleh hukum jang berlaku dalam
pergaulan antara negara-negara (liukum internasional).
Walaupun negara berdaulat sepenuhnja^ masih djuga negara
tidak boleh merugikan kepentingan negara-negara lain dengan
tiada alasan, jaitu dengan begitu sadja. Negara tidak boleh mela­
kukan agresi. Inilah jang dikemukakan G r o t i u s ( H u g o d e
G r o o t ) th. 1583-th. 1645) dalam bukunia jang sangat terniasjhur
,.De iure belli ac paeis” (th. 1625) 1G. G r o t i u s-la ii jang mula-
mula mengemukakan bahwa negara jang melakukan agresi terha­
dap suatu negara lain harus dihukum. Jang sangat perlu diadakan
ialah suatu liukum pidana untuk negara-negara jang melanggar ta-
tatertib hukum internasional dengan tiada alasan. Negara jang

16 Unmninja dikatakan bah wa perkembangan ilmu liukum internasional


jan g modern dimulai dengan buku G r o t i u s. Bahkan, oleh banjak
pengarang G r o t i u s dianggap pendasar liukum internasional m o­
dern. Tetapi kita tidak boleh lupa karya penting V i t o r i a , , S u a -
r e z dan G e n t i 1 i (N u s s 'l i a u m „A Coneise Historv o f the
Law o f Nations” , 1954, hal. 79-84. 84-91 dan 9 4-10 1). B r i e r l y
tidak menjetudjui anggapan umum bahwa G r o t i u s adalali „penda­
sar” hukum internasional m odem . Walaupun diakuinja penuh pen-
tingnja buku - G r o t i u s, * masih djuga dianggapnja hal ini tidak
berarti bahwa G r o t i u s adalah „pendasar” hukum internasional
modern., Arti pekerdjaan Q r o t i u s tidak boleh dibesarkan sede­
m ikian sehingga G r o t i u s dapat dianggap sebagai „pendasar” hu-
3 2 ™4 ) ,nlernas,onal niodcrn (lihatlah „Law o f Nations” , hal 28,

415
melakukan agresi terhadap -suatu negara lain harus dihukum oleh
negara-negara lain semuanja. Maka dapat dikatakan bahwa Gro -
t i u s jang mula-mula mengemukakan penghapusan dan penghu­
kuman agresi setiara kolektif (bersama-sama) (collective bestrij-
ding en bestraffing van agressie). Negara-negara itu w adjib saling
menghormati kepentingan mereka. Negara-negara itu w adjib m enje-
lesaikan perselisihan mereka setjara damai dan menurut djalan pe­
ngadilan.
Tetapi teori G ro ti us baru sadja didjadikan suatu instilut
(lembaga) hukum internasional setelah Perang Dunia I, iaitu pada
waktu Mahkamah Internasional tahun 1920 didirikan. Maka dari itu
v a n V o l l e n h o v e n menjebut waktu kelahiran Mahkamah In ­
ternasional tahun 1920 „het uur van G r o t i u s” !
Dibandingkan dengan pendapat G r o t i u s, maka pendapat de
V a 11 e 1 umum dianggap suatu „Setback” dalam perkembangan
hukum internasional. Menurut de Y a t t e l negara itu m em punjai
kekuasaan jang sungguh-sungguh tidak terbatas. Negara m em punjai
suatu kedaulatan absolut (absolute souvereiniteit). Dalam pergaulan
antara negara-negara tidak ada kekuasaan jang lebih tinggi dari
pada kedaulatan negara. Tidak ada kekuasaan apapun djuga jang
berhak mempertimbangkan apakah agresi jang dilakukan sesuatu
negara itu adil atau tidak, lajak atau tidak. Bahkan, negara jang
diserang tidak berhak melakukan pertimbangan semaljam itu !
Tidak ada kekuasaan apapun djuga jang dapat mengadili perbuatan
negara-agresor ! Sampai tahun 1919 praktek pergaulan antara ne­
gara-negara pada umumnja sesuai dengan teori d e V a 11 e 1 !
H e g e l 17 berpegangan pada suatu kedaulatan negara jang
maha-kuasa (oppermachtige staatssouvereiniteit), jaitu suatu kedau­
latan negara iang sama sekali tidak terbatas. Diatas kekuasaan ne­
gara jang tertinggi tidak ada suatu kekuasaan lain. Menurut H e­
g e l negara itu pendukung satu-satunja moral negara (staatsmoraal)
jang tertinggi, keadilan jang tertinggi dan tjita-tjita bangsa jang ter­
tinggi. Maka dari itu negara adalah suatu „absolute Macht auf Er-
de” , bahkan, suatu „irdische Gottheit” ! Hanja kepentingan negara

17 Tentang arti teori H e g e l bagi perkembangan hukum internasional


modern batjalah disertasi Prof. Mr B.M. T e I d e r s „Staat cn vol-
kenrecht” , Leiden 1927»

416
adalah pedom an p olitik negara. Maka hukum internasional itu ha-
nja m erupakan suatu „äuszeres Staatsrecht” sadja jang ada tidaknja
bergantung pada kehendak negara (teori kedaulatan negara, posi­
tivism e) 1 8 .
T idak perlu dikatakan luas disini bahwa kedaulatan negara jang
absolut itu m erupakan halangan besar untuk suatu kerdja-sama erat
antara negara-negara apabila kerdja-sama itu, oleh karena beberapa
hal, sangat diperlukan.
T etapi pada djam an sekarang, terutama dalam pergaulan antara
negara-negara Barat non-komunis, anggapan tentang suatu kedaula­
tan negara jang absolut itu telah dengan berangsur-angsur mulai
dihapuskan. H al ini karena adanja interdependensi (interdependen-
tle) i ano besar antara negara-negara Barat non-komunis itu pada
djam an sekarang. M akin lama makin erat hubungan antara negara-
negara tersebut, ja n g pada djaman sekarang, oleh karena beberapa
terutama hal-hal jang terletak dalam lapangan perekonomi-
an ’ terpaksa m em perhatikan banjak kepentingan mereka setjara
kolek tif. Negara-negara tersebut terpaksa mengadakan organisasi-
organisasi internasional, dan masuknja suatu organisasi interna­
sional berarti bahwa sebagian dari „kedaulatan” negara harus
diserahkan kepada organisasi itu. Dapat dikatakan bahwa pada
djam an sekarang struktur pergaulan internasional antara teru­
tama negara-negara Barat non-kom uni» lama kelamaan kembali
lagi ke arah suatu federasi dunia, suatu federasi modern. Federalis­
m e internasional pada djaman sekarang berdasarkan kepentingan
ek on om is k olek tif (m isalnja, Organisasi Eropah tentang Batu Bara-
B e si), m eliputi persoalan mengenai penggunaan dan pengawakan atas
penggunaan tenaga, atom jang,, demi kepentingan perdamaian du­
nia, memaksa diadakannia kerdjasama internasional. Djadi, suatu
federalism e internasional jang mempunjai dasar jang formil lebih

18 T eori kedaulatan negara jang absolut terdapat djuga dalam buku


Jellinek „A llgem eine Staatslehre” . Menurut J e l l i n e k maka
negara dalam pergaulan dengaii negara-negara lain membuat hukum
internasional tetapi setelah itu hanja „bin det sieh freitvillig an das
Gewollte” (ja n g dikehendaki oleh negara itu ). Teori Jellinek
ini terkenal dengan nama teori i,Selbstverpflichtung*' atau teori
„S elbstbindung” . IVfenurut teori ini maka negara jang m empunjai
kedaulatan absolut (ja n g mempunjai suatu „uneingeschränkte Herr­
schersgewalt” ) hanja tunduk setjara sukarela („freiw illig” ) sadja
pada suatu hukum — jakni hukum internasional — jang deradjatnja
lebih tinggi dari pada hukum tatanegara. Tetapi apabila hukum jang
deradjatnja lebih tinggi itu memuat anasir-anasir jang bertentangan
dengan kepentingan negara, maka negara dengan sendirinia dapat
m enganggap tidak terikat lagi oleh hukum itu !

417
materialistis tetapi djuga lebih djudjur (tidak berseinbunji di be­
lakang „agama” ). '

D i samping aliran-aliran baru jang diarahkan ke suatu federasi


internasional, dalam pergaulan antara negara-negara ada djuga bebe-
- rapa aliran baru jang lain, baik dalam ilmu hukum internasional
maupun dalam praktek hukum internasional itu.
Dalam hukum internasional positif, oleh banjak fihak masih
diterima anggapan bahwa manusia tidak dapat m endjadi subjek
hukum internasional. Anggapan ini — jang sesuai dengan anggapan
tentang suatu kedaulatan negara jang absolut — terdapat dalam,
misalnja, Piagam P.B.B. — hanja negara dapat m endjadi anggauta
P.B.B. — dan dalam buku beberapa ahli hukum internasional jang
terkenal, a.l. S c h w a r z e n b e r g e r 19, O p p e n h e i m - L a u -
p a c h t 20. Tetapi sedjak tahun 1844 anggapan jang kelasik ini
mendapat tentangan dari beberapa fihak. A h li hukum seperti
H e f f t e r 21, D u g u i t 2 2 , K r a b b e 2 3 , N i c o l a s P o l i t i s 2 4 ,
S c e 11 e 255 F r a n ç o i s 26 J e s s u p 27 v a n A s b e c k 28, J e a n
L’ H u i l l i e r 29, J.G. J.G. S t a r k e 30, telah mengemukakan
bahwa di samping negara, manusia dapat djuga m endjadi subjek
hukum-internasional. Bahkan, menurut D u g u i t , K r a b b e , P o ­
l i t i s dan S c e l l e hanja manusia sadja jang m endjadi subjek
hukum internasional dan negara itu hanja wakilnja ! Dalam lapang-
. an hukum internasional terdapat peraturan-peraturan jang setjara

19 „Manual o f International Law” , 1952 hal. 38. Lihatlah djuga definisi


pada hal., 1. Tetapi pendapat pengarang ini telah berubah dalam tje-
takan terahir (ke-|empat) bukunja tersebut. Lihatlah djilid I, 1960,
hal. 73-74.
20 „International Law” , I, liai. I, hal., 19, 636, 639 Tetapi lihatlah
hal. 21 .
21 Keterangan dari Prof. v a n A s b e c k , noot .^ 8 ; A.W . H e ff
„Das europäische Völkerrecht der Gegenwart auf den bisherigen Grund­
lagen” , 1844.,
22 L é o n D u g u i t „Traité de droit constitutionnel” , I.
23 Prof. Mr H., K r a b b e „D e moderne Staatsidee” , 1915, hal. 273.
24. „Les nouvelles tendances du droit international” , 1927, hal. 91 : hu­
kum internasional sekarang „dans une période de transition : s’ il n’
est plus exclusivement le droit - des Etats, il n’ est pas encore com ­
plètement celui des hommes” .
25 G e o r g e s Scelle „Précis de droit des gens” , 1932, hal. 8 .'
26 „H andboek van het volkenrecht” , I, 1949, hal. 444.
27 P h i l l i p S. J e s s u p „A M odem Law o f Nations” , 1948.
28 „D e mens in het volkenrecht” dalam „Gedenkboek Rechtswet. H oger
Onderwijs in Indonesië 1924-1949” , 1949, hal. 58 djb.
29 „D roit International Public” , 1949, hal„ 57-63.
30 „A n Introduction to International Law” , 1950, liai. 3.

418
langsung m engikat manusia dan setjara langsung memberi hak ke­
pada manusia. M isalnja, peraturaniperaturan mengenai hukum ke-
djahatan peperangan (oorlogsmisdrijven) setjara langsung meletak­
kan beberapa kew adjiban internasional pada manVisia, a.i. „Charter
o f L o n d o n ” tertanggal 8 Agustus 1945. Menurut keputusan Tribunal
(M ahkam ah) N eurenberg maka „the very essence o f the Charter is
that individuals have international duties ivhich transcend the na­
tional obligations o f obedience im posed by the individual state !

P ada um um nja masih diterima anggapan bahwa memerintah


suatu daerah kolon ial adalah suatu hal jang sepenuli-penuhnja ter­
m asuk „d om estic ju rid iction ” 31 dari negara jang menguasai daerah
k o lo n ia l itu. Hubungan kolonial semata-mata termasuk kompetensi
negara ja n g menguasai daerah kolonial.
Sebagai akibat sistim mandat dari Liga Bangsa-bangsa, "maka
sed ja k tahun 1920 pengaruh hukum internasional atas hubungan
k olon ia l m akin lama besar 32, Beberapa negara — paling pertama
negara-negara Am erika Selatan — pernah mengandjurkan dalam
Liga Bangsa-bangsa supaja semua daerah kolonial akan ditempatkan
dibaw ah pengawasan Liga Bangsa-bangsa. Djuga diantara anggauta
P .B .B . ada banjak negara jang pernah mengandjurkan supaja semua
daerah k olon ial jang sekarang masih ada, akan ditempatkan diba­
w ah pengawasan P.B.B.

31 „D om estic jurisdiction” = kompetensi rumah tangga, jakni kompetensi


rum ah tangga negara nasional. Sesuatu hal termasuk „dom estic juris­
d iction ” negara nasional berarti b a h w a h a l iru hanja dapat diurus oleh
negara nasional itu, jakni mengurus hal îtu sama sekali tidak termasuk
kom peten si badan internasional manapun djuga. Maka dari itu dnlam
bahasa Perantjis „dom estic jurisdiction” disebut pula „com petence
exclusive” atau „dom aine reservé” (istilah P o l i t i s ) . Azas „c o m ­
p étence exclusive” itu masih sepenuh-penuhnja sesuai dengan pela-
d jaran kedaulatan negara jang absolut. Pembatjaan : „M.S. R a j a n
„U n ited Nations and Domestic Jurisdiction” , 1959.
32 Chusus v a n A s b e c k „Internationale invloed in koloniaal bewind” ,
orasi (p id a to ) Leiden 1939, dan „International Law and Colonial Ad­
m inistration” dalam „Transactions o f the Grotius Society” , 39, 1953
( 1 9 5 4 ) , hal. 4-37 (lihatlah pembahasan dalam tesis kami, hal.'49-j51).
C. W i l f r e d Jenks „T h e Common Law o f Mankind” , _1958,
hal 2 42 : ............................. that there now exists a substantial volume
o f international law relating to colonial policy, some o f it o f highly
respectable antiquity and authority, consisting partly o f rules o f cus­
tom ary law and partly o f the provisions o f widely or generally accept­
ed law -m aking treaties which have becom e in recent times increasingly
com prehensive in character” . Batjalah dari buku J e n k s ini hal.
2 3 1 -2 5 4 tentang „International law and colonial policy” »

419
Dari uraian tadi telah ternjata bagaimana struktur dari hukum
dan pergaulan internasional. Masih tetap „kedaulatan” itu didjalan-
kan sebagai alat membela kepentingan masing-masing anggauta per­
gaulan internasional, walaupun peladjaran tentang „kedaulatan” itu
tidak lagi dipraktekkan setjara mutlak dan isi „kedaulatan” tersebut
sudah berubah. Pengertian teoretis (theoretisch begrip) „kedau­
latan” pada djaman sekarang sama sekali berlainan dongan penger­
tian „kedaulatan” pada abad ke-18 dan pada abad ke-19. Pada ha-
kekatnja „kedaulatan” itu sekarang telah m endjadi suatu penger­
tian jang isinja tidak lain dari pada „kekuasaan jang tertinggi da­
lam lingkungan kekuasaan negara dan diatas kekuasaan ini tidak
ada kekuasaan suatu negara hain” . Kata v a n . A p e l d o o r n 3 3 :
„H et begrip is alleen nog bruikbaar, als men het opvat in den ne­
gativen betrekkelijken zin van onafhankelijkheid (niet-onderwor-
penheid aan de macht van een ander) binnen een bepaalde sfeer”
(Pengertian itu hanja dapat dipakai apabila pada pengertian itu
diberi arti negatif dan nisbi, jakni dalam lingkungan kekuasaan
tertentu negara jang bersangkutan tiada kekuasaan lain dari pada
kekuasaan negara jang bersangkutan itu). Djadi, diatas kekuasaan
negara (nasional) telah mulai diakui kekuasaan pergaulan interna­
sional.
Sesuai dengan keinginan kita diatas tadi akan lahirnja suatu
hukum internasional universil jang mengenal manusia sebagai sub-
jeknja, adalah definisi tentang hukum, internasional jang dibuat
G e o r g e s S c e l i e 3 4 : „L e Droit international, au sens le plus

33 Hal. 251. J a c q u e s M a f i t a i n dalam karangannja „T h e concept


o f sovereignty” dalam „T h e American Political Science Review” . 46
(1 9 5 0 ), telah menolak sama sekali peladjaran tentang „kedaulatan”
(souvereiniteitsdogma) itu (dikutip pada D o o y e w e e r d, hal. 2 ;
lihatlah dibawah). Sebaliknja. H e r m a n H e l l e r dalam buah tjip-
taannja „D ie Souveränität” (19 27 ) membuat suatu „p leidooi (guga­
tan) unuk mengembalikan sepènuh-penuhnja pengertian „kedau­
latan” seperti jang diterima pada abad jang lampau. „P leidooi” se-
matjam ini diadakan djuga oleh A l f r e d V e r d r o s s , jan g se-
belumnja menolak sekeras-kerasnja peladjaran tentang „kedaulatan”
itu, pada tahun 1937 dalam bukunja „Völkerrecht” (dikutip pada
D o o y e w e e r d . hal., 2 ). Menurut D o o y e w e e r d „D e slrijd om
het souvereiniteitsbegrip in de moderne rechts-r, en staatsleer” , 1950,
maka terdjadilah suatu penggeseran persoalan „kedaulatan” itu dari
hukum tatanegara ke hukum internasional. Di samping kenjataan
ini ada kenjataan bahwa chusus di negara-negara jang mendjadi bekas-
koloni (seperti India, Indonesia) dan jang belum merasa bebas sung­
guh-sungguh dari pengaruh suatu pemerintah asing atau pemerintah
internasional, dihebatkan kembali persbalan „kedaulatan” tersebut.
34 ..Cours de droit international public” , 1948, hal. 4.

420
com preh en sif du terme, est 1’ Ordre juridique de la Communauté
des peuples ou Société universelle des hommes. C’ est un Ordre ju
rid iq u e de superposition, 1’ Ordre juridique terminal, dont les normes
prévalent sur celles de tous autres systèmes de Droit sousjacents, y
com pris les ordres nationaux, impériaux ou fédéraux” . Inilah gamba
ran tentang garis-garis besar suatu hukum internasional jang kita
semua ingini dan jang seharusnja berlaku !

Par. 4: Traktat atau undang-undang? Primat


hukum i n t e r n a s i o n a l 35.

B erhubung dengan anggapan jang sekarang mulai diterima


um um bahwa diatas kekuasaan negara nasional — seharusnja — ada
suatu kekuasaan jang lebih tinggi — jaitu kekuasaan hukum inter­
nasional — maka timbullah beberapa pertanjaan :

1. D apatkah traktat setjara langsung mengikat semua penduduk


w ilajah nasional ?
P ertanjaan ini sudah lama dipersoalkan. L a b a n d beranggapan
bahw a traktat itu tidak dapat setjara langsung mengikat penduduk
w ila ja h negara nasional. Traktat adalah semata-mata suatu perdjan-
d jia n antara negara-negara jang mengadakannja, harija negara —
dan tidak manusia — merupakan fihak traktat. Traktat hanja me­
ngikat penduduk wilajah nasional, aipabila undang-undang negara
nasional mengatakannja. Traktat tidak mengikat langsung.
Anggapan L a b a n d — jang m endjadi akibat teori kedaulatan
negara jan g dianutnja — dimasukkan kedalam ilmu hukum publik
B elanda oleh M r J.A. L e v y 3«*. Antara ahli hukum Belanda jang
djuga beranggapan bahw a. traktat tidak mengikat langsung, dapat
disebut P rof. M r B.M. T e 1 d e r s 37. Menurut T e 1 d e r s, maka
! dalam lapangan hukum ada dua suasana (bagian atau lingkungan)
ja n g terpisah : suasana hukum nasional dan suasana hukum inter­
nasional („nationaalrechtelijke” - dan „volkenreclitelijke sfeer ).

35 J e II i n e k „D ie rechtliche Natur der Slaatenverträge” , 1 88 0; H.


T r i e p e 1 „V ölkerrecht und Landesrecht” , 1899,' liai. 27-90 : Mr L.
E r a d e s „W aa r volkenrecht en Nederlands staatsrecht elkaar raken” ,
194-9; Mr J.W . v a n d e r Z a n d e n „Verdrag gaal voor wet, ook
in nationale rechlsbetrekkingen” , dis. Leiden 1952.
36 M r J.A . L e v y „W et o f tractaat” , 1880.
37 Lihatlali „H andelingen der Nederlandsche Juristenvereeniging” , „prae-
advies” tahun 1937.

421
Hakim nasional hanja terikat oleh suasana hukum nasional. Maka
traktat itu hanja dapat mengikat hakim nasional, apabila isi traktat
jang bersangkutan telah dimasukkan kedalam suatu undang-undang
nasional. Dengan kata lain : traktat itu baru dapat mengikat hakim
nasional, djika telah diinkorporasi kedalam suatu undang-undang
nasional. Traktat terlebih dahulu harus diinkorporasi kedalam sua­
sana hukum nasional. Inkorporasi ini terdjadi pada pengundangan
(afkondiging) traktat dalam Lembaran Negara. Teori T e l d e r s
ini terkenal dengan nama teori inkorporasi (incorporatieleer).
Teori jang beranggapan bahwa traktat tidak langsung mengikat,
mendapat tentangan dari beberapa ahli hukum. Misalnja, H a m a -
k e r 38, v a n E i j s i n g a 39, v a n Y o 11 e n h o v e n 40, V e r -
z i j 1 41. Para ahli hukum tersebut beranggapan bahwa traktat m e­
ngikat langsung penduduk wilajali nasional. Anggapan ini diterima
djuga oleh Hoge Raad di Negeri Belanda pada tahun 1906 42. Teori
jang kedua hti mengakui primat hukum internasional, jaitu menga­
kui hukum internasional lebih tinggi deradjatnja dari pada deradjat
hukum nasional.

2. Dapatkah suatu traktat haru mengesampingkan suatu undang-


undang nasional lama ?
Telah umum diterima anggapan bahwa traktat baru menge­
sampingkan undang-undang nasional lama jaitu berdasar azas „le x
posterior derogat priori (leg i)” . Traktat serendah-rendahnja (op
zijn minst) -sederadjat dengan undang-undang nasional.

3. Dapatkah suatu undang-undang nasional baru mengesampingkan


suatu traktat lama ?

38 W.P.N.R. Nr 1724.
39 W.J.M. v a n E i j s i n g a „Proeve eener inleiding tot het Neder-
landsch Tractatenrecht” , dis Leiden 1906. Jang mendjadi .keistime­
waan buku ini adalah pengarangnja mengandjurkan supaja dibuat
suatu „tractaten-tractaat” (hal. 182-188). Usaha mengodifikasi hukum
traktat telah diadakan beberapa kali : di Havana pada tahun 1928
(„P an American Convention on Treaties” ) ; „Law o f Treaties 1935” ,
„Harvard Research in International Law” , III; „R eports” dari Inter­
national Law Commission dari P.B.B. pada tahun-tahun 1953, 1954
dan 1956.
40 „Omtrek en inhoud van het internationale recht” , disertasi Leiden
1898.
41 „Handelingen der Nederlandsche Juristenvereeniging” , „praeadvies” ,
th. 1937. i
42 Keputusan Hoge Raad di Negeri Belanda tertanggal 25 Mei 1906 da­
lam W (B elanda). Nr 8383. Lihatlah djuga keputusan tertanggal 6
Nopemher 1919 dalam „Ned. Jur.” 1919, hal. 1178.

422
p en u lin 'a & m enérima primat hukum internasional sepoinili-
iiasional 1 **" Y e r z * J ^ berauggapan bahwa suatu unàang-vmàasi^.
dapat 1 ,aru Jang bertentangan dengan suatu traktat lama tidak
. engesam pingkan traktat lama ita. Anggapan in i montUapat
tentangan a.I. dari T e l d e r , , v a n A p e l d o o r n « .
rin ta h 3^** nien^em u^a^an pertanjaan : apakah di Indonesia peme-
. JuSa niengakui prim at hukum internasional ? Kami mengi-
^ ^ para pem hatja pada apa jang dikatakan Perdana Menteri
jiertj rs ^ a 1 1 a dalam pidatonja pada tangsal 11 Agustus 1950 :
tani aSar^ an an8 " aPan anggapan jang diterima dalam pergaulan an-
‘ negaira-negara, maka traktat itu lebih tinggi dari pada undang-
undancr ? n- i i ~ . .
niend h 1 Ju? a dalam praktek ternjata hal pemerintah kita
Perd ' ^ ^ k an (m em beri prioritèt kepada) traktat, misalnja, dahulu
walau lf ^ an f>erc^jandjian K.M.B. dilaksanakan menurut hurufnja,
. ^ n Pert^jandjian-perdjandjian itu bertentangan dengan ke-
•j. ° ar^ rakjat Indonesia ! Bahwasanja pada ahirnja perdjandjian-
Jan jia n K .M .B. itu kita putuskan itulah karena akibat sikap
nt akan tindakan pemerintah Belanda sendiri, jang terus-me­
nerus m erugikan kepentingan kita.
Berdasarkan prim at hukum internasional, maka traktat-traktat -
n »^ a^ u ^u diadakan antara pemerintah Belanda dengan negara-
j y 3n dJu? a mengenai wilajah Indonesia ( = wilajah
( ia elanda dahulu), setelah pemulihan kedaulatan masih tetap
m engikat Indonesia 44.

Iietgcennv r o »Un : daarentegen ecn wct af van


s e k o m cn ; ^er J ,ractnal m ci ecn o f m e e r mogendheden overeen-
t io m l» ° n ,snal v” or don Nederlandsen rechter de nieuwe na-
r „.,i , j . . ' en ondere Iraclam. I)it v»>ipf uit <?o positie van dien
, , ’ d ,e immers staatsambtenaar is en dus orgaan van de nationale,
rce i spfenieenschap” . Telapi lainlah anggapan v a n A p e l d o o r n
oaijim tjelaknn lalimi 1954, hal. 116-117. Disini anggapannja dise­
m a ik a n dengan pendapat baru duluiil piTuImlinn undang-undang dasar
eradjaan Belanda jang terahir jang niengakui primat hukimi illlcr-
44 p S' ? na! sepenuhnja.
lO 1; 1;- 11» 3® '^ UnliUnl J C o n n e 1 1 „T h e La w o f State Succession”
Reffnrrl .* t .e u. r n ^ 1 »T he Problem o f State Succession with
Indnn •° y ’0411' 08” » dis.. Utrecht 1954. Pembatjaan mengenai chusus
L u i kTn ! keterangan dapat dibatja dalam buku Mr H.F..W.
rechtsbrw .8 n • », ,*nst van Scheepvaart in Indonésie. Werking en
s ^ f o T d e ^ Diakar,a 1954; H R P a - H u y s „La
Pavs-Ba<s n . n®?,e a“ x hcords internationaux conclus par les
tijdschrift vnô • iudependence de 1’ Indonésie” dalam „Nederl.
T e r v o r e n ''U®1' " 3 '* rec'u - D januari 195 6 , haï. 55 d jb .; D r E.P.M .
In d o n é s ie ” 1 9 ^ 7 i/îI t R ° *!" de f «nanciële verplichtingen van
p erd ja n d ii-iii ■!,» '" v - " ' ^ “ « s k a n lebih dari 500 (lim a ralus'l
J ‘ ,U antara Nc^ rl C ela»d a (a ,a u m engenai bekas daerah k o -

423
Jang m endjadi pokok perselisihan juridis dalam persoalan apa
jang dinamakan „Federation of Malaysia” adalah tidak dilaksanakan-
nja pasal 4 Manila Joint Statement tanggal 5 Agustus 1963 jo pasal-
pasal 10 dan 11 Manilla Accord tanggal 11 Djuni 1963, oleh baik
pendiri apa jang dinamakan „Federation of Malaysia” maupun
P.B.B.. Kedua-duanja telah tidak tunduk pada primat hukum in­
ternasional.

Par . 5: Subjek-subjek hukum internasional.

Subjek hukum internasional bermatjam-matjam :


1. negara : 1
Jang diakui sebagai subjek hukum internasional han jalah negara
jang berdaulat dan merdeka sadja, jaitu negara jang tidak m eru­
pakan bagian dari suatu negara lain (misalnja, koloni) 45.

2. gabungan negara-negara :
Gabungan negara-negara ini bertindak dalam pergaulan antara ne­
gara-negara sebagai suatu kesatuan, seperti dahulu Republik der
Zeven Vereenigde Nederlanden, Bon Djerman (Duitse B on d). Seka­
rang Republik Persatuan Arab (R .P .A .).

3. organisasi-organisasi internasional :
Misalnja, Liga Bangsa-bangsa, P.B.B.

4. Kursi Sutji (Heilige StoelJ :


Jang dimaksud dengan Kursi Sutji itu Geredja K atolik Roma
sebagai organisasi politik jang diwakili oleh Paus. Walaupun
bukan negara dalam arti kata sungguh-sungguh, Kursi Sutji djuga
subjek hukum internasional.

5. manusia:
Belum diterima umum anggapan bahwa, di samping negara, maka
manusiapun dapat mendjadi subjek hukum internasional. Tetapi
pendapat ipi makin lama makin diterima umum.*

loninja) dengan negara-pegara lain. Sebetulnja, kita tidak mengetahui


dengan tepat perdjand.an mana masih berlaku dan perdjandjian
mana tidak lagi berlaku. Akibat Pembatalan K.M.B. : p e r d ja n d jia n
dengan Negeri Belanda dibata kan, perdjandjian jang menjangkutkan
negara ketiga masih tetap berlaku.
Lihatlah lebih landjut buku , kami „Ringkasan tentang hukum in-
tern asion a l” , 1 9 6 4 , B a b IV *r
45 Tentang negara dan bentuk-bentuk negara (staatsvormen) jang men-
djadi pendukung hak menurut hukum internasional (volkcnrechts-
subjecten) masih penting dibatja Mr F.M.. barón van Asbeck
„Onderzoek naar den juridischcn wereldbouw” , disertasi Leiden 1916.

424
Par. 6= O r g a n i s a s i internasional sebagai
i n s t i t u t h u k u m i n t e r n a s i o m a l 46-

Sedjak tahun 192047 pemerintah masing-masing negara jakin


bahw a hanja organisasi internasionallah jang dapat mendjamin ada
n ja suatu perdam aian dunia. Maka dari itu pada tahun 1920 diada
kan suatu organisasi dunia (tjiptaan Presiden Amerika Serikat W i 1
s o n ) . Organisasi ini Liga Bangsa-bangsa 4S. D i samping Liga Bang
sa-bangsa itu diadakan djuga beberapa organisasi internasional lain
dan semua organisasi ini bertudjuan m endjamin adanja perdamaian
(tetap i ada djuga organisasi jang hanja bertudjuan mendjamin ke
du du kan suatu „ru lin g class” internasional dan organisasi ini me
run tjin gkan perselisihan antara masing-masing kelas (klasse) so
sial di tingkatan internasional (internationale vlak) !)• Apalagi or­
ganisasi-organisasi internasional pada djaman sekarang tidak hanja
bertu d ju an m endjam in tidak akan timbulnja perselisihan-perseli-
sihan p olitik , tetapi djuga bertudjuan mengurus hal-hal mengenai
kesosialan (Sosialisme Dunia !), misalnja, pemberantasan penjakit-
penjak it rakjat diseluruh dunia, pemberantasan kelaparan di selu­
ruh dunia, m em perbaiki dan mempertinggi pendidikan dan penga-
djaran.
Organisasi internasional itu suatu landjutan perkembangan
(sistim ) konggrès-konggrès perdamaian sedjak tahan 36-48 (Kong-
grès Perdam aian W estphalia). Kemudian, pada abad ke-19, setelah
konggrès-konggrès itu tidak hanja diadakan dengan maksud me
njelesaikan peperangan jang telah petjali tetapi djuga untuk men
djaga supaja perdamaian dunia tidak terganggu, maka sistim kong
grès itu, jang pada permulaan bersifat „occationeel , mendjadi
i
46 Sebagai pem batjaan umum : P i t m a n B. P o r t e r ,;An Introduction
to the Study o f International Organization” , 1949; Prof. Mr A.JJP.
T am m es „H oofdstukken van internationale organisatie” , 1951 ;
G é r a r d J. M a n g o n e „A Short History o f International Organ­
ization” , 1 9 5 5 ; C. W i l f r e d J e n k s „T h e Common Law o f Man-
k in d ” , 1958, hal. 173 djb., Mengenai organisasi internasional jang
regional lihatlah R u t h C. L a w s o n (e d .) „International Regional
Organization. Constitutional Foundations” , 1962, jang memuat suatu
bib liogra fi. v
47 Tentan g sedjarali perkembangan organisasi internasional sebagai in­
stitut hukum internasional lihatlah buku kami „Ringkasan tentang
hukum , internasional” . Bab V.
48 D r W a l t l i e r S c h i i c k i n g dan Dr H a n s W e h b e r g „D ie
Satzung der Völkerbundes” , I, 1931 ; J e a n R a y „Commentaire du
Pacte de la Société des Nations” , 1930-1935 ; F.P. W a l t e r s „A
H istory o f the League o f Nations” , 2 djilid, 1951.

425
suatu institut hukum, jaitu m endjadi organisasi jang mengenal
Bidang-sidang paripurna (dan umum) jang diadakan pada waktu-
waktu jang tertentu (periodik) dan menurut atjara tetap (vaste
procédure).

Perserikatan Bangsa-bangsa.
Pada tanggal 26 D juni 1945 di kota San Francisco (Am erika
Serikat) diadakan suatu konverensi dengan maksud melahirkan
suatu organisasi dunia jang baru. Organisasi ini mengganti Liga
Bangsa-bangsa dari tahun 1920. Nama organisasi baru tersebut P er­
serikatan Bangsa-bangsa (P .B .B .). A pa sebabnja maka negara-negara
mengganti Liga Bangsa-bangsa dengan suatu organisasi baru ? K a­
rena Liga Bangsa-bangsa tidak berhasil mentjegah letusnja Perang
Dunia II, jaitu tidak berhasil mendjamin adanja perdamaian dunia,
tidak memenuhi harapan49. Tudjuan P.B.B. dapat dibatja dalam
Mukaddimah Piagamnja 50.

49 L e l a n d M. G o o d r i c h dan E d w a r d H a m b r o „Charter
o f the United Nations, commentary and documents” . 1949, hal. 3-4.
Buku penting mengenai Piagam P.B.B. : H a n s K e l s e n „T h e Law
o f the United Nations, Analysis o f its Fundamental Problem s” , 1950.
Pandangan umum dapat dibatja pada A m r y V a n d e n b o s c ji
„T h e United Nations. Background, Organizations, Activitjes” , 1 95 5;
„T h e United Nations. Ten Years’ Legal Progress/L cs Nations Unies,
Quélques problèmes juridiques” , 1956 ; D a v i d C u s h m a n C o y l e
„T h e United Nations and How It W orks” , 1958 (M entor B o o k ) ; L i n ­
c o l n P. B l o o m f i e l d „T h e U.N. and the Problem o f Peaceful
Territorial Change. Evolution or Révolution ?” , 1957 ; E r n e s t
A. G r o s s ‘ „T h e United Nations : Structure fo r Peace” , 1 9 6 2 ; P rof.
Dr T.S.G. M u 1 i a „Perserikatan Bangsa-Bangsa” , 1952.,
50 „K am i, ra’ jat dari Perserikatan Bangsa-bangsa, bermaksud —
untuk mcnjelamatkan keturunan kami dari siksaan perang jang telah
dua kali dalam seumur manusia menimbulkan kesengsaraan jan g ta’
ada hingganja bagi manusia, serta
untuk meneguhkan lagi kejakinan akan hak-hak dasar manusia, k e­
muliaan dan deradjat tinggi manusia, hak-hak jang sama bagi baik
lelaki maupun wanita dan segala bangsa baik jang besar maupun jang
ketjil, serta
untuk mengadakan suasana didalam mana keadaan dan penghargaan
terhadap kewadjiban-Jcewadjiban jang timbul dari perdjandjian-per-
djandjian internasional (traktat) dan lain-lain sumbcr-hukuin inter­
nasional dapat dipelihara, serta
untuk memadjukan masjarakat dan mempertinggi tingkat hidup jang
baik dalam suasana kemerdekaan jang lebih luas,
dan untuk melaksanakan tjita-tjita itu —
untuk mendjadikan kesabaran dan hidup bersama-sama sebagai terang­
ga baik dalam keadaan damai dan ter,djamin, serta
untuk mempersatukan kekuatan kami supaja perdamaian dan k e ­
amanan internasional tetap terpelihara, serta
untuk mendjamin, dengan mengakui azas-jazas jajng tertentu serta
melakukan tjara-tjara jang tertentu, agar supaja kekuatan sendjafa

426
W alaupun P.B.B. merupakan organisasi dunia jang tertinggi,
m asih djuga P.B.B. itu — seperti halnja dengan Liga Bangsa-bangsa
— bukan negara atasan (superstaat).
P .B .B . bertindak dalam pergaulan internasional dengan peran­
taraan enam alat perlengkapan utamanja : Sidang Umum (General
A ssem bly), Dewan Keamanan (Security Council), Dewan Ekonomi
dan Sosial (E con om ic and Social Council), Mahkamah Internasional
(International Court o f Justice), Dewan Perwalian (Trusteeship
C ou n cil) dan Sekertariat (Secretary) — pasal 7. Di samping enam
alat perlengkapan utama ini ada komisi-komisi si, sub-komisi-sub-
k om isi („com m issions” , „sub-commissions” ) dan „specialised agen­
cies” (badan-badan istimewa) jang melakukan pekerdjaan didalam
lingkungan P.B.B.. „Specialised agencies” itu bukan badan perleng­
kapan P .P .B .; „specialised agencies” itu badan-badan pemerintah
internasional jang dihubungkan dengan P.B.B. berdasarkan suatu
ikatan istimewa 52 — pasal 57.
Sidang Umum jang terdiri atas semua anggauta P.B.B. (djum-
la h n ja 100 leb ih — lihatlah pasal 9 — merupakan badan tertinggi
P .B .B . itu. Sidang Umum adalah badan legislatif P.B.B..

tidak akan digunakan, terketjuali untuk keperluan bersama-sama,


serta
untuk menggunakan nlnt-al.it internasional untuk menjelenggarakan
k em adjuan ekonom is dan sosial sekaliun bangsa»
telah menentukan mempersatukan sekalian tenaga kami untuk' ter-
tjapain ja maksud tersebut. _
O leh karena itu, maka pemerintah kami masing-masing dengan per­
antaraan wakil-vakilnja jang ternjata telah mendapat surat kuasa jang
sepenulinja jan g sah, telah bermus jawara t di kota San Francisco, serta
m en jetu dju i Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa jang sekarang ini,
dan kem udian membentuk badan internasional jang akan dikenal de­
n gan nama Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations)” .
51 T jo p to h tentang komisi P.B.B. : Econom ic Commission for Asia and
the Far East (E .C .A .F .E .), Econom ic Commission for Europe (E..C.A.),
E con om ic Commission fo r Latin America (E.C.L.A.).
52 „A greem ents between the United Nations and the Specialised Agencies” ,
United Nations 1 95 2; „Inter-Agency Agreements and Agreements be­
tween Specialised Agencies and other International Organisations” ,
1953.
„S pecialised agencies” adalah Food and Agriculture Organization
(F .A .O .), International Bank fo r Reconstruction and Development
(W o r ld B a n k ), International Monetary Fund (I.M .F .), International
L abou r Organization (I.L .O .), International Trade Organization
(I.T .O ..), International Civil Aviation Organization (I.C .A .O .), Inter­
governm ental Maritime Consultative Organization (I.M .C .O .), Inter­
national Telecom m unications Union (I.T>U.), Universal Postal Union
(U .P .U .), W orld Meteorological Organization (W .M .O .), International
R efu g ee Organization (I.R .Q .), W orld Health Organization (W .H .O .)
dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(U n e s co ).

427
Dewan Keamanan diserahi pertanggungdjawaban atas pendja-
gaan perdamaian dan keamanan internasional 53 — pasal 24. Sebe-
tulnja, Dewan Keamanan adalah alat perlengkapan politik P.B.B.
jang dikuasi oleh „B ig Five” , jakni mereka jang mem punjai hak
vetonja — pasal 27 ajat 3. Kedudukan istimewa dari lima anggauta
tetap itu akibat adanja sisa-sisa teori kedaulatan negara jang abso­
lut jang telah kami bitjarakan diatas tadi. Hal ini m enundjukkan
kepada kita bahwa teori kedaulatan negara jang absolut itu belum
dihapuskan sama sekali sebagai, dasar politik luar negeri negara-
negara pada djaman sekarang. Melainkan, „pow er politics among
Nations” masih tetap dasar penting perkembangan hukum interna­
sional !
Karena Uni Sovjet menggunakan hak vetonja diluar balasnja
sehingga P.B.B. tidak dapat bertindak seharusnja, maka dika-
langan bagian terbesar anggauta-anggauta P.B.B. ditjari akal untuk
menetralisasi (neutraliseren) hak veto „B ig Five” . Dua djalan telah
ditjoba :
pertama : Pada sidangnja tertanggal 13 Nopember 1947 Sidang
Umum mengadakan suatu „Little Assembly” 54 jang terdiri atas
_masing-masing satu orang wakil anggauta-anggauta P.B.B. Maksud
„Little Assembly” ini pada permulaan ialah mengadakan landjutan
pekerdjaan P.B.B. selama djangka waktu antara saat berahir Si­
dang Umum biasa jang kedua (tahun 1947) dan saat permulaan
Sidang Umum jang ketiga (tahun 1948). Tetapi kemudian „Little
Assembly” ini. mend jadi suatu sidang tetap. Tidak perlu dikatakan
disini bahwa pembentukan „Little Assembly” ini mendapat ten­
tangan keras dari Uni Sovjet.
kedua : Penerimaan resolusi „United Action for Peace” 55.

53 A. M a r t i n „Collective Security. A Progress Report” , Unesco 1952 ;


„Répertoire o f the Practice o f the Security Council 1946-1951” U.N.
1954, dengan „Supplement 1952-1955” G o o d r i c h dan S i m o n s
„T h e United Nations and the Maintenance o f International Peace and
Security” 1955; L i n c o l n P. B l o o m f i e l d — lihatlah noot 49
diatas tadi; E r n e s t A . G r o s s — lihatlah noot 49 diatas fadi.. Me­
ngenai definisi agrèsi lihatlah Dr U s m a n S a s t r o a m i d j o j o
„D efinition o f agression” dalam „Madjalah Hukum dan Masjarakat” ,
April 1957 'hal. 33-39. >
54 G o o d r i c h and H a m b r o. hal. 194-198..
55 Resolusi ini, jang dibuat pada tiinggal 3 November 1950, mengatakan
bahwa „ i f the Security Council, because o f lack o f unanimity o f the
permanent, members, fails to exercise its primary responsibility fo r
the maintenance o f international peace and security in any case
where there appears to be a threat to peace, breach o f the peace,
or act o f aggression, the General Assembly shall consider the matter

428
D e w a n E k o n o m i d a n Sosial ini diadakan, karena anggauta-
e o au^a P .B .B . jak in bahwa adanja perdam aian d u n is itu lianja
apat d id ja m in apabila manusia s u n g g u h - s u n g g u h hidup tenteram
dalam keadaan kemakmuran.
» T r u s te e s h ip ” (perwalian) itu didjalankan atas daerah-daerah
Jang pada waktu sebelum Perang Dunia I dan Perang Dunia II
inerupakan suatu daerah kolonial negara-negara jang dikalahkan
alam kedua peperangan tersebut.
S e k e r ta r ia t P.B.B. terdiri atas seorang Sekertaris Djenderal
Sta^nj a’ Sekertaris Djenderal mendjadi kepala administrasi
P .B .B . — p asai 97.

lurul ^n tcrna sio m d 56 merupakan pengadilan tertinggi se-

M ahk mUf anSgauta P.B.B. adalah ipso fiacto fihak Piagam


m en a * ^nt6rnas*ona^ lih a tla h pasal 93 ajat 1. Ajat 2 pasal ini
i ^ 3 bahwa „negara jang bukan anggauta Perserikatan Bang-
m e n ° Sa m endjadi fihak Piagam Mahkamah Intemasipnal
t rrU^ sjarat-sjarat jang ditetapkan tiap-tiap kali oleh Sidang
bahM 3Sar^an andjuran Dewan Keamanan” . Hal ini' berarti
p er I" ‘I 3 amab Internasional mengadili djuga dalam perselisihan-
gauta P TiTi ^ ^ imbulkan antara negara-negara jang bukan ang-
perselis‘1 ^ a b k a m a h Internasional mengadili dalam dua matjam

a.
perselisihan kepentingan (belangen geschillen).
b.
perselisihan hukum (rechtsgeschillen).

to v' cw *° .making appropriate recommendations


of the „ I , co,,ccta" ' " " " « t s i»<-l„din s i „ the case o f a breach
p eace or acts o f aggression il.e n t armcJ
necessary, to maintain or restore international peace a n d s c v u r it ? .
n ot in session at the time, the General Assembly may meet in
em ergen cy special session within twenty-four hours o f the request
th erefore. Such emergency special session may be called if requested
y the Security Council on the vQte o f any seven members, or by a
**le members o f llie United Nations” („Docum ents” Nr
« . » . . * P<?mbatjaan : L.G.C.A.M. Schneider „Collectieve
V eiligh eid, een studie over liet Handvest der Verenigde Naties, de
resolutie ’ Uniting to Peace’ en het Noord Atlantiscli Pncf” , fesis
iNijmegen 1954.
56 G. F i t z m a u r i c « „T h e la v and procedure o f the International
V°,“ rl ° i J Justice, 1951-54 : general principles and sources o f Law”
L i sT "” sh Year B ook o f Int.. Law” , 1954 hal. 1-70; O l i v e r !
„T ,.e
C ° u i , o 'f • £«,”■ l’ » . by the International
Pasal 36 ajat 2 Piagam Mahkamah Internasional mengatakan
apakah jang dapat mendjadi pokok perselisihan hukum.

Par. 7 : Peradilan Internasional.

Negara-negara tidak dapat diwadjibkan membawa perselisihan


mereka ke muka suatu pengadilan, terketjuali dalam hal negara-
negara menanda-tangani „optional clause” jang disebut dalam pasal
36 ajat 2 Piagam Mahkamah Internasional. Indonesia belum me-
nanda-tangani „optional clause” .
Mahkamah Internasional harus mendasarkan keputusannja atas
hukum, terketjuali dalam hal kedua belah fihak terlebih dahulu
telah setudju menerima suatu keputusan ex aequo et bono. M ah­
kamah Internasional adalah pengadilan internasional tetap jang
satu-satunja, jaitu pengadilan jang terdiri atas hakim-hakim tetap.
Di samping peradilan jang dilakukan oleh Mahkamah Inter­
nasional ada djuga peradilan arbitrasi internasional 57. Sedjak ta­
hun 1899 (Konverensi Perdamaian pertama di kota Den Haag)
maka dunia internasional mengenal suatu Mahkamah Arbitrasi di
kota Den Haag. Sebetulnja, Mahkamah Arbitrasi itu bukan „m ah­
kamah” tetapi hanja daftar para arbiter jang dapat dipilih oleh
negara-negara jang berselisih. Arbitrasi internasional bukan arbi­
trasi wadjib (verplichte arbitrage).
Arbitrasi itu hanja untuk perselisihan hukum, tetapi para arbiter
tidak perlu mendasarkan keputusan.mereka atas peraturan-peratu­
ran hukum sadja. Arbitrasi modern jang pertamà adalah arbitrasi
jang didasarkan atas „Jaytreaty” jang diadakan antara Amerika
Serikat dengan Negeri Inggris pada tanggal 19 November 1794 5S. >

57 Lihatlah „standaardwerk” mengenai arbitrasi : J o h n 'B a s s e t t


M o o r e „International Adjudications Ancient and Modern” 1929-
1933 ( 6 d jlid ).
58 Ringkasan mengenai perkembangan arbitrasi dalam sedjarah pergaulan
internasional dibuat Prof. J.P.A. F r a n ç o i s „H andboek van het
Volkenrecht” , 1950, djilid II, hal. 135 djb.. Banjak sekali tjontoh-tjon-
toh tentang arbitrasi terdapat djuga dalam sedjarah pergaulan hukum
internasional di Indonesia. Lihatlah L.W. A 1 d e r s „Interna­
tionale rechtspraak tussen Indonesische rijken en de V.O.C. "tôt 1700” ,
dis. Nijmegcn 1955. Ada djuga keterangan dalam karangan Prof.. R e -
s i n k „Nederlandse internationale arbitrages waarhij de Oost Indische
Compagnie betrokken is geweest” dalam T. jrg 1948, hal. 2 7 2 ; dising­
gung oleh E.O. v a n B o e t z e l a e r „Nederlandsche internationale
arbitrages tusschen 1581 en 1794” , dis., Leiden 1929 dan oleli G.A.
v a n H a m e l „D e internationale arbitrages van IVederland van 1813
tôt heden” , dis. Amsterdam 1938.

430
j. " mping peradilan dan arbitrasi internasional'?1*1! chusus —
io n ) R m euJe^esaikan perselisihan, jaitn konsiliasi ^ ° e k a r -
i , 6r asarkan resolusi Sidang Umum tertanggal 28 ApriUhara
terd iri 3n SUatU ” Panel for Inquiry and Conciliation” 59. Panel iu.
iann- I- a® P ara hukum jang berkuasa (gezag hebbend) dan
q£ ^ . an ltundjuk oleh anggauta-anggauta P.B.B. jang „b y reason
to , 61r trainingi experience, character and standing, are seemed
ell fitted to member o f commission of inquiry or of concil-
n . K onsiliasi mengenai penjelesaian 'kepentingan. Dalam pen-
pat sardjana-sardjana hukum internasional modern konsiliasi itu
m ak m lama makin dilihat sebagai peradilan.

59
Lihatlah karangan Prof., v a n A s t e o l i n
n dalam »Gedenkboek Rechlswelen^l in het vo,ken-
1 92 4 -1 9 4 9 ” , 1949, hal. 58 djb.. appelijk Hoger Onderwijs

431
BAB XIII

HUKUM PRIVAT

Par. 1 : Pembagian hukum privat dalam hukum


p erd ata dan h u k u m dag an g
«.

Hukum privat di negeri-negeri Eropah Barat biasanja dibagi


dalam hukum perdata dan hukum dagang. Di Indonesia pembagian
itu terkenal djuga dalam hukum privat jang berlaku bagi golongan
hukum Eropah, jaitu dalam hukum privat jang tertulis; Hukum
perdata ditetapkan dalam K.U.H. Perdata dan hukum dagang di­
tetapkan dalam K.U.H. Dagang.
Pembagian hukum privat dalam hukum perdata dan hukum
dagang bukan pembagian azasi, pembagian ini berdasarkan sedjarah
hukum dagang. Biarpun sedjarah hukum dagang akan kami bitja-
rakan dibawah nanti, masih djuga disini penindjauan sepintas lalu
atas pasal 1 K.U.H. Dagang telah memperlihatkan bahwa pem ba­
gian hukum privat dalam hukum perdata dan hukum dagang itu
bukan suatu pembagian azasi. Menurut pasal itu, maka peraturan-
- peraturan K.U.H. Perdata dapat djuga didjalankan dalam penjele-
saian soal-soal jang disinggung dalam K.U.H. Dagang, terketjuali
dalam penjelesaian soal-soal jang semata-mata diadakan oleh K.U.H:
Dagang itu. Beberapa kenjataan lain jang menjatakan bahwa pem ­
bagian itu bukan pembagian azasi : perdjandjian djual-beli jang
uiendjadi perdjandjian terpenting dalam lapangan perniagaan tidak
ditetapkan dalam K.U.H. Dagang tetapi ditetapkan dalam K.U.H.
Perdata- perdjandjian asuransi (pertanggungan) jang sangat pen-
ting djuga bagi soal-soal perdata ditetapkan dalam K.U.H. Dagang;
perdjandjian perserikatan (maatschapsovereenkomst) (pasal 1618
K.U.H. Perdata) jang penting bagi lapangan perniagaan tidak di­
tetapkan dalam K.U.H. Dagang. V a n A p e l d o o r n 1 mengang­
gap hukum dagang suatu bagian istimewa dari lapangan hukum
perutangan (verbintenisrecht), jang tidak dapat ditetapkan dalam
Buku III K.U.H. Perdata. V a n K a n 2 beranggapan bahwa hu­
kum dagang adalah suatu tambahan hukum perdata, jaitu suatu
tambahan jang mengatur hal-hal jang chusus. K.U.H. Perdata me­
muat hukum privat dalam arti kata jang sempit sedangkan K.U.H.

1 H al. 201 djb.


2 Hal. 30.

432
Dagang memuat penambahan — jang mengatur hal-hal chusus —
hukum privat dalam arti kata jang sempit itu. Prof. So ek ar -
d o n o 3 mengatakan bahwa pasal 1 K.U.H. Dagang „memèlihara
kesatuan antara hukum perdata dengan hukum dagang ...................
sekadar K.U.H.D. itu tidak chusus menjirhpang dari K.U.H. Perd.” .
Pem bagian hukum privat dalam hukum perdata dan hukum
dagang tersebut tidak dikenal dalam lapangan hukum privat adat.

Par. 2: A s a l - m u la hukum perdata E r o p a h.

H ukum perdata Eropah bagian terbesar berasal dari hukum


perdata Perantjis jang dikodifikasi pada tanggal 21 Maret 1804.
Sebelum kodifikasi tersebut, di Negeri Perantjis tidak ada kesatuan
hukum (éénheid van recht). W ilajah Negeri Perantjis terbagi dalam
dua bagian, jaitu bagian utara dan tengah jang merupakan daerah
hukum lokal (pays de droit coutum ier) dan bagian selatan jang
m erupakan daerah hukum Romawi (pays de droit écrit). Hukum
ja n g berlaku di bagian utara dan tengah itu terutama hukum kebia­
saan Perantjis kuno jang tumbuh sebagai hukum lokal dan berasal
dari hukum Germania jang berlaku di wilajah negeri-negeri Ger-
m ania Perantjis'pada waktu sebelum resepsi hukum Romawi disitu.
T etap i di samping hukum kebiasaan Perantjis jang kuno itu, jang
tum buh sebagai liukum lokal, berlaku djuga liukum Romawi jang
berpengaruh besar. Hukum jang berlaku di L a g i a n s o i a f a n i a ? a ? i
terutam a hukum Romawi jang telah mengalami kodifikasi dalam
„Corpus l u ris Civilis” dari J u s t i n i a n u s 4. Tetapi
h uk um R om aw i ini tidak berhasil melenjapkan hukuni lokal. Me-

3 „H u k u m dagang Indonesia” , I (bagian pertama). 1958, hal. 7.


4 Sekitar permulaan tahun Masehi, maka kota Roma mentjapai puntjak
masa djajan ja. Baik dalam lapangan politik maupun dalam lapangan
kebudajaan. Beberapa orang ahli hukum, seperti G a i u s dan
UIpianus. memberi suatu sistim pada hukum negerinja. Sedjak
itu m aka hukum Romawi tidak lagi merupakan hukum jang tidak
tertulis melainkan, suatu hukum jang tertulis setjara suafu sistim.
Perauran-peraturan hukum Romawi kemudian, jakni dalam abad ke -6
d ik u m pulk an dan didjadikan suatu kodifikasi di sebuah kitab undang-
u n dan g ja n g bernama „C orpus Iuris Civilis” -. Jang niemberi perintah
untuk m engodifikasi hukum Romawi ialah kaisar Romawi jang ber­
nam a „Justinianus (th. 527-th. 5 6 5 ).
D en ga n m eluasnja keradjaan Romawi ke seluruh Eropah bagian Barat
dan bagian Tenggara maka hukum Romawi itu dikenal orang sampai
d jau h diluar batas ¿eradjaan Romawi.

433
ngenai perkawinan, maka di seluruh w ilajah N egeri P erantjis ber-
laku hukum kanonik, jaitu hukum jang ditetapkan oleh G eredja
K atolik R om a dalam „ C o d e x I u r i s Canonici” (lihatlah
B ab I, par. 12). D i samping berm atjam -m atjam peraturan hukum
itu berlaku djuga peraturan-peraturan jang dibuat oleh pengadilan
Perantjis („arrêts de règlem ent” ) (lihatlah Bab I I ).
Pada bagian kedua abad ke^l?, di N egeri Perantjis telah tim bul
aliran-aliran jang inentjiptakan suatu kodifikasi hukum ja n g akan
berlaku disitu agar diperoleh kesatuan dalam hukum Perantjis.
Pada ahir abad ke-17 dan pada bagian pertama abad ke-18 dibuat
oleh radja Perantjis beberapa peraturan perundang-undangan um um
jang memuat kodifikasi beberapa bagian hukum Perantjis pada
waktu itu. Antara peraturan-peraturan tersebut ada tiga ja n g m en-
djadi penting sebagai sumber hukum historis untuk m em peladjari
sedjarah hukum perdata Eropah : „O rdonnance sur les donations”
(tahun 1731) jang mengatur soal-soal m engenai pem berian (schen-
king) ; ^Ordonnance sur les testaments” (tahun 1735) jang m enga­
tur soal-soal mengenai testamèn; „O rdonnance sur les substitutions
fideicommissaires” (tahun 1747) 5. Tiga ordonansi ini terkenal d e­
ngan nama ordonansi-ordonansi D a g u e s s a u (kanselir radja
L o u i s X V ) 6.
K odifikasi hukum perdata Perantjis baru didjadikan pada w ak­
tu sesudah Revolusi Perantjis. Pada tanggal 12 Agustus,. 1800 oleh
N a p o l é o n dibentuk suatu panitia jan g diserahi tugas m em buat
rentjana kodifikasi. Panitia itu terdiri atas empat anggauta, jaitu
Portalis, T r o n c h e t, B i g o t de Préameneu dan
M a 11 e v i l l e . Jang m endjadi sumber kodifikasi hukum itu : h u ­
kum Rom aw i menurut peradilan Perantjis dan menurut tafsiran
jang dibuat oleh P o t h i e r dan D o m a t, hukum kebiasaan dae­
rah Paris („Coutum e de Paris” ), peraturan-peraturan perundang-un­
dangan jang telah kami sebut („O rdonnances” ) dan hukum jan g di-

5 Terkenal djuga „'Ordonnance civile touchant ’ la réform ation de Ia-


^justice” (tahun 1 66 7) jang mengatur soal-soal atjara privat.
6 Hukum Perantjis dari waktu sebelum- kodifikasi dapat djuga dik e­
tahui dari buku-fcuku dan karangan-karangan beberapa ahli hukum
Perantjis jang namanja mendjadi sangat termasjhur, jaitu C h a r l e s
Dumoulin (th. 1500-th. 1 5 6 6 ), d’ A r g e n t r é (th., 1519 th.
1 5 9 0 ), J e a n D o m a t (th. 1625-th. 1 6 9 6 ) dan R o b e r t J o ­
seph P o t h i e r (th. 1699-tli. 1772)., Pembuat kodifikasi hukum
perdata kemudian memakai buku P o t h i e r sébagai pedom an
dalam m engodifikasi hukum perutangan. Djuga buku-buku penga­
rang jan g lain mendjadi pedom an pembuatan kodifikasi itu.

434
huat pada waktu Revolusi Perantjis (hukum intermedièr atau hu­
kum sementara waktu). Seperti telah dikatakan diatas, maka kodi­
fikasi hukum perdata itu dibuat pada tanggal 21 Maret 1804. Pada
tahun 1807. maka kodifikasi hukum perdata itu — jang bernama
„C o d e Civil des Français” — diundangkan lagi dengan nama „Code
ISapoléon” . „C ode Napoléon” itu sekarang masih berlaku di Negeri
Perantjis, jaitu Code Civil Perantjis. Pada tahun 1807 djuga diada­
kan kodifikasi hukum dagang dan hukum pidana.
Dari tahun 1811 sampai tahun 1838 „Code Napoléon” ini, seperti
„ C o d e ” Perantjis lain, berlaku djuga di Negeri Belanda sebagai kitab
undang-undang hukum resmi.
Setelah aliirnja pendudukan Perantjis di Negeri Belanda pada
tahun 1813, maka berdasarkan pasal kodifikasi undang-undang
O D dasar
N egeri Belanda dari tahun 1814 (ipasal 100) dibentuk suatu panitia
.ja n g bertugas membuat rentjana kodifikasi hukum Belanda (kodi­
fikasi hukum nasional). Panitya ini diketuai oleh Mr J.M. K e m -
p e r (th. 1776-th. 1824). Jang mendjadi sumber kodifikasi hukum
perdata Belanda ialah : untuk bagian terbesamja „Code Napoléon’ ’
dan untuk bagian ketjilnja hukum Belanda jang kuno.
Pada tahun 1816 oleh K e m p e r disampaikan kepada radja
B elanda suatu rentjana kodifikasi hukum perdata. Tetapi rentjana
tersebut tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia — pada
waktu itu Negeri Belanda dan Belgia dipersatu sehingga mendjadi
satu negara — karena rentjana itu olèh K e m p e r didasarkan atas
hukum Belanda jang kuno, sedangkan ipara ahli lnikum bangsj lid -
gia hendak menurut „C ode Napoléon” . Setelah mendapat perubahan
sedikit, maka rentjana itu disampaikan kepada parlemen Belanda
pada tanggal 22 Nopember 1820. Rentjana tersebut terkenal dengan
nam a „O n tw erp-K em per” („R entjana Kem per” ). Kami mengatakan
„setelah mendapat perubahan sedikit” , karena bagian terbesar dari
rentjana itu masih tetap didasarkan atas hukum Belanda jang ku­
n o 7. '
Dalam perdebatan dalam parlemen Belanda „Ontwerp-Kemper”
itu m endapat tentangan keras dari anggauta-anggauta bangsa Belgia
ja n g dipim p in oleh presiden (ketua) pengadilan tinggi di kota Luik
(B elgia ) P. Th. N i c o l a i (th. 1768-th. 1836). Setelah K e m p e r

7 Perlu djuga dikemukakan bahwa „Rentjana K e m p c r” itu mem­


buka pintu bagi peladjaran-peladjaran hukum alam. Hal ini tidak
perlu m engherankan kalau kita mengingat baliwa. K e m p e r adalah
gurubesar hukum alain di Universitas Leiden. ,

485
meninggal dunia pada tahun 1824, maka pembuatan kodifikasi hu­
kum perdata itu dipim pin oleh N i c o 1 a i. Karena N i c o 1 a i lahr
maka bagian terbesar kodifikasi hukum perdata Belanda didasarkan
atas „C ode Napoléon” . Hanja beberapa bagian dari kodifikasi ter­
sebut didasarkan atas hukum Belanda jang kuno. Maka dari itu
orang dapat mengatakan bahwa kodifikasi hukum perdata Belanda
adalah suatu tiruan kodifikasi hukum perdata Perantjis dengan be­
berapa perubahan jang ketjil-ketjil jang berasal dari hukum Be­
landa jang kuno; ............................. h^t nieuwe burgerlijk wetboek
was ten slotte slechts een herziene en verbeterde C o d e N a p o ­
léon geworden, waarin enkele oudvaderlandse rechtsintellingen
zijn ingevoegd en enkele Franse rechtsinstellingen overeenkomstig
oud-vaderlandse rechtsbeginselen gewijzigd zijn” ( B e l l e f r o i d 8).
Karena peperangan jang mengakibatkan pemisahan antara Ne­
geri Belanda dan Belgia (th. 1830-th. 1839), maka kodifikasi hukum
perdata Belanda itu baru dapat diresmikan pada-tahun 1838. Pada
tahun itu diadakan beberapa kitab undang-undang hukum Belanda
lain, jaitu di samping Kitab undang-undang hukum perdata Belanda,
diadakan djuga Kitab undang-undang hukum dagang Belanda, Pera­
turan susunan pengadilan Belanda (R .O .), Kitab undang-undang
hukum atjara privat Belanda, „Algemene Bepalingen van Wetge-
ving” Belanda (A.B. Belanda).
Berdasarkan azas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata
Belanda mendjadi tjontoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropah
di Indonesia. Hukum perdata Eropah di Indonesia terdiri atas ana­
sir-anasir jang berasal dari : hukum Romawi, hukum Perantjis jang
kuno, hukum Belanda jang kuno 9.
Prosès penjosialan hukum, jang berdjalan sedjak bagian kedua
abad jang lampau, meliputi hukum perdata pula 10, sehingga be-

8 Hal., 92. Terdjemahan : ahirnja kitab undang-undang hukum perdata


jang baru ini hanja suatu Code Napoléon jang diperbaiki dan diberi
tambahan, beberapa lembaga hukum Belanda kuno dimasukkan dan
beberapa lembaga hukum Perantjis diubah sesuai dengan sifat bebe­
rapa azas-jazas hukum Belanda kuno.
9 Mr O e r i p K a r t o d i r d j o „Een eeuw wetboekwetgeving (1 Mei
1848 — 1 Mei 1 9 4 8 )” dalam T. jaargang 1948, hal. 212-220.
10 Mr A. v a n O v e n dalam pidato pelantikannja sebagai gurubesar
di Leiden pada tanggal 13 Djanuari 1956 „Aere perennius over de
onvergankelijkheid van het privaatrecht (ditindjau oleh Mr St., M o h.
S j a h dalam „Hukum ” , 1958, 1-2, hal. 34-j36). menindjau persoalan
apakali hukum privat tidak akan lenjap sebagai akibat penjosialan
hukum itu, atau konkrit : apakah hukum privat itu tidak akan dite­
lan oleh hukum administrasi negara ? Menurut v a n O v e n , m e­
mang, lapangan hukum privat itu akan diperketjil, tetapi djustru ka-

436
fcerapa „corner-stones” hukum perdata, jang dahulu bermaksud
m em pertahankan dan melandjutkan sifat individualistis hak seperti
ja n g dim uat dalam K.U.H. Perdata, pada saat ini bukan lagi „co r­
ner-stones” . Pem akai K.U.H. Perdata pada djaman sekarang harus
sebanjak -ban jak nja menafsirkannja setjara sosiologis (lihatlah Bab
I V , par. 2 ), sesuai dengan pandangan jang lebih kolektivistis.
P ada tahun 1960, sebagai akibat proses penjosialan hukum itu,
m aka Undang-undang P okok Agraria, L.N. 1960 Nr 104, telah men-
tjabu t „B u k u ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
sep a n d ja n g jan g mengenai bumi, air serta kekajaan alam jang ter­
k an du ng didalam nja, ketjuali ketentuan-ketentuan mengenai hy-
p oth eek ja n g masih berlaku pada mulai berlakunja undang-undang
in i” — lihatlah Bab V I, par. 3, diatas tadi.
T iga tahun kemudian, sebagai akibat proses penjosialan hukum
m aupun m enghapuskan dualisme dalam tatahukum jang berasal
d jam an H india-Belanda dahulu, Mahkamah Agung telah menge­
luarkan surat edaran tertanggal 5 September lp63 Nr 3/1963. Dalam
surat edaran tersebut badan pengadilan jang tertinggi kita ini „m e­
nganggap tidak berlaku lagi antara pasal-pasal berikut dari Burger-
lijk W etb oek ” 11, jaitu pasal-pasal 108, 110, 284 ajat 3, 1238, 1460,
1579, 1603x ajat-ajat 1 dan 2, dan 1682.

Par. 3 : Susuna^ K. U. H. Perdata.

Sistim (form il) hukum perdata Ero|>;ih tl.ihmi ¿r.-tris Iw'sarnja


dapat diketahui dari susunan K.U.H. Perdata jan^ terdiri atas
em pat buku, jaitu :

Buku I : jang terdiri atas peraturan-peraturan mengenai subjek


hukum (Van personen)
Buku II : jang^ terdiri atas peraturan-peraturan mengenai benda
(V an zaken)

rena itu hukum privat akan mendapat suatu pengakuan lebih besar !
H u k u m privat tidak dapat dilenjapkan. Mr M a i n a k e dalpm ka-
rangannja dalam madjalali „Padjadjaran” , I, 3_ hal. 46-98, jang sajang
sekali tidak m enjebut pidato v a n O v e n , tidak sanggup memberi
suatu djawaban positif atas pertanjaan-pertanjaan tadi. Pembatjaan
lain : P r o f. Mr J., E g g e n s „Iets over de ontwikkeling van het
privaatrechtelijk denken in de laatste halve eeuw” , pidato inaugurasi
Batavia (D jakarta) 1 93 5; Prof. Mr W.C.L. v a n d e r G r i n t e n
„C ollectiverin g in het privaatrecht” , pidato inaugurasi Nijmegen 1957.
11 Konsiderans dari surat edaran Mahkamah Agung tertanggal 5 Septem­
b e r 1963 Nr 3 /1 9 6 3 berbunji :
„M en gin gat kenjataan, bahwa Burgerlyk W etboek oleh pendjadjah
B elanda sengadja disusun sebagai tiruan belaka dari Burgerlijk Wet-

437
Buku III : jang terdiri atas peraturan-peraturan mengenai pera -
tangan (Van verbintenissen)
Buku IV : jang terdiri atas peraturan-peraturan mengenai pem buk­
tian dan lewat waktu (Van bewijs en verjaring) l2 .

boek di Negeri Belanda dan lagi untuk pertama-tama diperlakukan


bagi orang-jorang Belanda jang ada di Indonesia, maka timbul per-
tanjaan, apakah dalam suasana Indonesia Merdeka jang melepaskan,
diri dari belenggu pendjadjah Belanda itu_ masih pada tempatnja
untuk memandang Burgerlijk W etboek ini sedjadjar dengan suatu
undang-undang jang setjara resmi berlaku di Indonesia.
Dengan lain perkataan : apakah Burgerlijk Wetboek jang bersifat k o ­
lonial ini, masili pantas harus setjara resmi ditjabut dulu untuk,
menghentikan berlakunja di Indonesia sebagai undang-undang.
Berhubung dengan ini, timbul suatu gagasan jang menganggap Bur­
gerlijk W etboek tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai sua­
tu dokumen jang hanja menggambarkan suatu klom pokan hukum tak
tertulis.
Gagasan baru ini diadjukan oleh Menteri Kehakiman, SAHARDJO SH,.
pada suatu sidang Badan Perantjang dari Lembaga Pembina H ukum
Nasional pada bulan M e i 1962.
Gagasan ini sangat menarik hati, oleh karena dengan demikian para
Penguasa, terutama para Hakim, lebih leluasa untuk m ejam pingkan
beberapa pasal dari Burgerlijk W etboek jan g tidak sesuai dengan za­
man kemerdekaan Indonesia.
Gagasan ini oleh Ketua Mahkamah Agung dalam bulan* Oktober 1962.
ditawarkan kepada chalajak ramai dalam Seksi Hukum dari Kongres
Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia atau M .I.P.I., dan disitu m en­
dapat persetudjuan bulat dari para peserta.
Kemudian terdengar banjak sekali, suara-suara dari para sardjana hu­
kum di Indonesia, jang menjetudjui djuga gagasan ini.
Sebagai konsekwensi dari gagasan ini, maka Mahkamah Agung m e­
nganggap tidak berlaku lagi antara pasal-pasal berikut dari B urgerlijk
Wetboek
12 Sistim hukum perdata jang terdapat dalam K.U.H. Perdata, tersusun
dalam empat buku tersebut, ternjata tidak sesuai dengan sistim hukum
perdata menurut ilmu hukum pada djaman sekarang.. Buku II. jang
mengenai benda, memuat djuga peraturan-peraturan mengenai wa­
risan (pasal-pasal 8 30 -1 13 0). Karena hukum warisan itu mengatur
keadaan hukum dari kekajaan (verm ögen) manusia setelah ia m e­
ninggal dunia, maka menurut v a n Apeldoorn (hal. 1 87 )
hukum warisan itu, pada hakekatnja termasuk djuga him punan pera­
turan-peraturan hukum jang mengatur kekajaan subjek hukum (h u ­
kum kekajaan, „Verm ögensrecht” ) (Buku II dan Buku III K.U.H .
Perdata). Tetapi ada djuga hubungan jang erat sekali antara hukum
warisan dengan hukum keluarga (familierecht).. Djadi, hukum wa­
risan itu dapat djuga dianggap sebagai suatu bagian dari peraturan-
peraturan hukum jang mengatur kekajaan keluarga (familie-jvermo-
gensrecht). Karena hukum warisan itu mempunjai hubungan jan g
erat dengan hukum kekajaan subjek hukum (jan g diatur dalam hu­
kum benda dan dalam hukum perutangan) maupun dengan hukum
keluarga, maka orang dapat mengatakan bahwa hukum warisan itu
merupakan suatu bagian terseftdiri dalam lapangan hukum privat.
Dalam kitab undang-undang hukum perdata Negeri Swis („S ch w ei­
zerisches Zivilgesetzbuch” ) dari tahun 1908. hukum warisan itu telah
dimasukkan kedalam buku tersendiri (Kitab undang 7undang hukum
perdata Negeri Swis terdiri atas lima buku : I mengenai subjek hu-

438
B u k u I jang — menurut namanja („"Van personen ) ter ^
atas peraturan-peraturan jang mengenai subjek hukum (persoon ,
m em uat djuga ¡peraturan-peraturan mengenai hubungan keluarBa,
ja itu peraturan-peraturan m engenai: perkawinan dan hak 'ewa
d jib a n suami-isteri, kekajaan perkawinan (huwelijksvermogens
r e c h t), kekuasaan orang tua (bapak dan ibu, bapak atau i u
(ou d erlijk e m acht) dan perwalian (voogdij) dan p e n g a w a k a n
(cu ratele) karena belum tjukup umur, gila dan p e m b o r o s a n .
M enurut ilm u hukum pada djaman sekarang, maka hukum e
luarga itu dapat dipisahkan dari peraturan-peraturan mengenai su
je k hukum . Dalam kitab undang-undang hukum perdata Negeri vis
dan dalam kitab undang-undang hukum perdata Djerman, h um
keluarga itu dimasukkan kedalam buku tersendiri.
D alam Buku I K.U.H. Perdata hanja diatur nwrvusia sebagai
su b jek hukum dan tidak diatur disitu badan hukum s e b a g a i s u b j e k
h ukum 13. H al ini oleh karena pada waktu K.U.H. Perdata dibuat,
m aka peinbuatnja belum mempunjai gambaran djelas tentang „
dan h uk u m ” 14. Peraturan jang pertama-tama mengatur „rechtsper
soon lijk h eid ” sesuatu badan ialah L.N.H.B. 1870 Nr 64 „Rechtsper
soon lijk h eid van verenigingen” (jang m endjadi tjontoh bagi pera
turan in i ialah L.N. Belanda 1855 Nr 32). Terlebih dahulu, Buku
I I I titel 9 („V a n zedelijke lichamen” ) telah m e n j i n g g u n g setjara
samar-samar sesuatu tentang „rechtspersoonlijkheid” dari apa jang
disebut „badan-badan susila” (zedelijke lichamen).
Bagian terbesar Buku IV memuat p e r a t u r a n - p e r a t u r a n hukum
atjara privat, karena peraturan-peraturan jang m engenai pemb.uk

kurn, II m engenai hukum keluarga, III mengenai »arisan,


nai hukuum benda .dan V mengenai hukum perutangan}. [Vegeri
d ju ga halnja dengan kitab undang-undang liukuiji P “ . nnn (K i-
D jerm a n („D eutsches bürgerliches Gesetzbuch” ) dari tahun ^ ];ma
tab undang-undang hukum perdata Negeri Djernian terdiri a
b u k u : I merupakan bagian umum, II mengenai hukum peru äng ,
III m engenai hukum benda, IV mengenai hukum keluarga an
m engenai hukum warisan. Menurut Code Civil Perantjis w a a iu um
warisan adalah suatu tjara untuk mendapat hak kepunjaan (pasa
pasal 711 djb. C ode C ivil). Oleh karena itulah, maka pembuat K.U.H.
Perdata memasukkan hukum warisan itu kedalam Buku I I ).
13 Lihatlah P r o f Mr A. P i 1 1 o „H e t personenrecht naar het Nederl.
B .W .” , 1953, 'hal. 454.
14 M r D r H.F.A. V ö 11 m a r „Inleiding tot de studie van het Nederlands
b u rgcrlijk recht” , 1955, hal« 21 : „D it gemis moet aldus verklaard
w orden dat de rechtspersoonlijkheid een vraagstuk is waarmcde men
zieh eerst na de totstandkoming der codificatie meer intensief is gaan
b ezigh ou den ” (Kekurangan ini disebabkan oleli hal orang baru m em ­
perhatikan „badan hukum” itu setelah kodifikasi diadakan).

439
tian dan lewat waktu adalah peraturan-peraturan hukum atjara
materiil (materieel procesrecht). Hukum atjara materiil itu
j an g kadang-kadang dinamakan pula huku m aksi (actienrecht) ■ —
ialah hukum jang mengatur hubungan-hukum jang diadakan ka-
rena — jakni : sebagai akibat dari---- penjelesaian perkara privat
dimuka hakim. Hukum aksi itu terdiri atas peraturan-peraturan
mengenai terbit dan hapusnja (ontstaan en tenietgaan) aksi jang
dilakukan di muka hakim, peraturan-peraturan mengenai beberapa
matjam pembuktian jang dapat dikemukakan oleh kedua belah fihak
dalam atjara dimuka hakim, dan peraturan-peraturan mengenai pe­
ngaruh aksi jang dimadjukan dimuka hakim dan pengaruh kepu-
tusan hakim terhadap hak-kewadjiban kedua belah fihak, misalnja,
pasal-pasal 1917 (lihatlah Bab IV, p a r .-l), 1978, 1980, 1981, 1982,
1983 dan 1984.
Tetapi Buku IV tidak memuat hukum aksi seluruhnja. Jang
diatur disitu hanjalah hal pembuktian dan hal liwat waktu ekstink-
tif (lihatlah Bab VI, par. 2 ). Karena liwat waktu akuisitif pada
hakekatnja bukan peraturan hukum* atjara tetapi suatu tjara untuk
memperoleh hak kepunjaan, maka tempatnja dalam Buku IV itu
tidak benar. Menurut ilmu hukum pada djaman sekarang, maka
liwat waktu akuisitif itu termasuk peraturan-peraturan mengenai
benda, jakni termasuk dalam Buku II. Lihatlah pasal S84.
Sistim susunan K.U.H. Perdata oleh pembuatnja tidak didasar­
kan atas sistim susunan Code Civil Perantjis („C od e N apoléon” )»
tetapi didasarkan atas sistim jang terdapat didalam „ I n 8 t i t u -
t i o n e s J u s t i n i a n a e” („Institut-institut (hukum ) J u s t i -
n i a n u s” ) 15. Code Civil Perantjis itu terdiri atas tiga buku sadja 16.

.15 „ C o r p u s I u r i s C i v i l i s ” dari J u s t i n i a n u s terbagi dalam


empat bagian :
1. „Intitutiones” jang merupakan sebuah buku peladjaran lembaga-
lembaga hukum Romawi dan berlaku sebagai himpunan undang-
undang.
2 . „Pandecta” adalah himpunan karangan-karangan jang memuat
anggapan-anggapan ahli hukum Romawi jang namanja s a n g a t
terkenal dan jang pengaruhnja sangat besar (ilm u merupakan
sumber liukum) !
3. „C odex” adalah kodifikasi hukum jang ditetapkan oleh kaisar
Romawi.
4« „Novelles” adalah himpunan tambahan dan pendjelasan pada
„C odex” itu.
16 Buku I : „Des personnes” , jang terdiri atas peraturan-peraturan
• mengenai subjek hukum dan mengenai hubungan k e­
luarga.

440
W alaupun dapat dikatakan bahwa K.U.H. Perdata mengenai
bagian terbesarnja adalah tiruan Code Civil Perantjis („C ode Napo­
lé o n ” ) , susunannja dalam empat buku itu tidak berasal dari Code
Civil tetapi diam bil oleh pembuatnja dari sistim hukum lain. Tetapi
hal in i tidak mengakibatkan suatu perbedaan besar, karena banjak
ja n g ada didalam Code Civil Perantjis berasal djuga dari hukum
R om a w i. Jang merupakan perbedaan penting antara Code Civil
P erantjis dengan K.U.H. Perdata ialah hal hukum perutangan Pe­
rantjis termasuk dalam himpunan peraturan-peraturan jang menga
tur tjara untuk m em peroleh hak kepunjaan (Buku III Code Civil).
Jang m en d jad i sebab peraturan-peraturan hukum perutangan Pe
rantjis dianggap sebagai suatu tjara untuk memperoleh hak kepu­
n jaan , ialah azas dalam sistim hukum perdata Perantjis bahwa beh
da ja n g telah dibeli, tetapi belum diserahkan kepada pembeli, sudah
m en d ja d i kepunjaannja. Djadi, oleh karena perdjandjian djual-beli,
m aka p em beli telah m endjadi jang mempunjai. Menurut sistim hu­
ku m perdata Eropah di Indonesia, maka pembeli itu baru mendjadi
ja n g m em pun jai setelah benda jang bersangkutan (jaug dibeli)
diserahkan kepadanja (Lihatlah Bab VI, par. 4).
Buku-buku K.U.H. Perdata dibagi dalam titel-titel. Biasanja
setiap lem baga hukum privat jang tertentu merupakan satu titel, mi-
salnja, titel mengenai perkawinan,' titel mengenai hak kepunjaan,
titel m engenai hak opstal. Titel itu dibagi dalam bagian (afdeling)
dan bagian ini terdiri nt:is jiasnl pasal.

Par. 4 : H u k u m pr iv a t jang berlaku b agi c °


l o n g a n h u k u m I n d o n e s i a asli dan k e m u n g
bagi orang Indonesia asli (dan o r a n g imur
asing) untuk dengan sukarela mentaati hukupi
privat Eropah.

D i sam ping berlakunja hukum privat adatnja, pernah didjadi-


kan berlaku djuga bàgi golongan hukum Indonesia'asli beberapa
ketentuan dari K.U.H. Perdata. Pasal 131 ajat 2 sub b I.S. memuat

B u ku II : „D es biens et des différentes modifications de la p ro­


priété” , jang terdiri atas peraturamperaluran mengenai
benda
B uku III : „D es différentes maniérés dont on acquiert la propriété” ,
jang terdiri atas peraturan-peraturan mengenai Warisan,
perutangan, pembuktian, kekajaan perkawinan, pemak-
\ saan badan (lijfsdw ang), pand, livpotik, hak pendahu­
luan. eksekusi barang jang berutang dan liwat waktu.

441
kemungkinan bagi pembuat ordonansi (undang-undang) untuk
mendjadikan berlakunja. (toepasselijk verklären) djuga bagi golo­
ngan hukum bukan-Eropah beberapa ketentuan tertentu jang b er­
laku bagi golongan hukum Eropah. Tetapi artinja m endjadikan ber­
lakunja ini telah banjak dikurangi oleh surat edaran Mahkamah
Agung tertanggal 5 September 1963 Nr 3/1963.
Ketentuan-ketentuan K.U.H. Perdata jang telah didjadikan
berlaku itu s
pasal-pasal 1601-1603 redaksi lama mengenai perdjandjian ker-
dja antara madjikan dengan pelajan (rumah tangga) („liu u r van
dienstboden” ) dan buruh („werkliedeu” ) jang telah kami bitja-
rakan dengan singkat dalam Bab X I (hukum perburuhan) 17.
pasal-pasal 1788-1791 mengenai kewadjiban jang ditimbulkan
dari main djudi dan taruhan (spel en weddenschap) (lihatlah Bab
VI, par. 3). Pasal-pasal ini didjadikan berlaku djuga bagi golongan
hukum Indonesia asli berdasarkan L.N.H.B. 1907 Nr 306.
Pasal 29 L.N.H.B. 1917 Nr 12 dapat niendjadikan berlaku se-
tjara diam-diam hukum wesel dan tjek djuga bagi seseorang Indone­
sia asli.
Ahirnja, beberapa ketentuan Buku II K.U.H. Dagang (hukum
laut) berdasarkan L.NJI.B. 1933 Nr 49 jo L.N.H.B. 1938 Nr 2.
Peraturan perundang-undangan jang berlaku bagi semua g olo­
ngan bangsa di Indonesia ( gem eenschappelijk recht, lihatlah Bab
m par. 1) : Ordonansi mengenai pemberantasan riba (woekeror-
donnantie, ordonansi melarang bunga uang jang terlampau ban jak ),
L.N.H.B. 1938 Nr 524 (Ordonansi ini dapat dibatja dalam himpunan
kitab-kitab undang-undang hukum jang tersusun oleh M r W .A.
Engelbrecht dibawah pasal 1456 K.U.H. Perdata) 18; „A an-

17 M6” 13” 8 O rdonan.si m e n g e n a i p em b era n ta sa n r ib a lih a tla h disertasi


M r D r T a n K i a n L o k ,,D e w o e k e r o r d o n n a n tie ” L e id e n 1 9 4 9 5
lih atlah d ju g a k a ra n g a n M r S a l e l i A d iw in a ta '„L e m b a g a k o n ­
trak id jo n d itin d ja u d a ri su du t h u k u m ” d a la m „ P a d ja d ja r a n ” , I I , I ,
hal. 21^50.
B e b e ra p a p era tu ra n ja n g b e rla k u b a g i semua g o lo n g a n h u k u m teta p i
b u k a n „ g e m e e n s c h a p p e lijk re ch t” : „A u te u rsw e t 1 9 1 2 ” , L .N B e la n d a
1 9 1 2 N r 3 0 8 ; „M ijn o r d o n n a n t ie 1 9 3 0 ” , L .N .H .B . 1 9 3 0 N r 3 8 ; „ L u c lit -
v e rv o e ro r d o n n a n tie ” , L .N .H .B . 1 9 3 9 Nr 1 0 0 , d a n p e ra tu ra n d a la m
L .N .H .B . N r 2 5 5 , 2 5 6 , 6 3 9 dan 7 2 2 .
18 P e r d ja n d jia n k e rd ja ja n g d ia tu r o le h k e te n tu a n -k e te n tu a n in i m e n g e ­
nai p e k e r d ja a n ja n g b ersa h a d ja sa d ja , ja itu p e k e r d ja a n b e r s a h a d ja
u n tu k ru m a h ta n g g a o r a n g -p a r tik e lir atau p e k e r d ja a n b e r s a h a d ja ja n g
d ila k u k a n o le h p ela ja n -fp elaja n ja n g tidak berstatu s p e g a w a i n e g e r i
d i b a d a n -b a d a n (in sta n si-in sta n si) p e m e rin ta h . P a sa l-p a sa l terseb u t
d d ja d ik a n b e rla k u d ju g a (to e p a s s e lijk v e rk la a r d ) b a g i g o lo n g a n h u -

442
vullende Plantersregeling” , L.N.H.B. 1938 Nr 98; „Geldschieters
ordon n an tie” , L.N.H.B. 1938 Nr 523; „Ongevallen besluit” , L.N.H.B.
1939 N r 255 jo Nr 292, dan „Ongevallen regeling 1939” , L.N.H.B.
1939 N r 256 jo 292.
B eberapa peraturan jang pada azasnja hanja berlaku bagi go­
longan hukum Eropah, berlaku djuga bagi seorang Indonesia -asli,
apabila oleh karena sesuatu hal ia telah masuk ke dalam lingku­
ngan peraturan-peraturan ini : ■-
Peraturan dalam L.N.H.B. 1904 Nr 272 jang menerangkan
bahw a hak-kew adjiban orang Indonesia asli jang mendjadi anggauta
suatu perhim punan (persatuan) atau jan,g mendjadi anggauta pengu­
rus suatu perhim punan jang telah diakui sebagai badan hukum
berdasarkan peraturan dalam L.N.H.B. 1870 Nr 64, akan diatur oleh
ketentuan-ketentuan jang bersangkutan dalam K.U.H. Perdata.
Peraturan dalam L.N.H.B. 1882 Nr 280, jang mengatur djangka
liw at waktu penagihan padjak, berlaku bagi semua golongan hukum
di Indonesia. Peraturan-peraturan hukum perdata Eropah jang ber­
sangkutan dengan peraturan ini, berlaku djuga bagi semua golo­
ngan hukum di Indonesia, terketjuali pasal 1950 K.U.H. Perdata
(ja n g h an ja berlaku bagi golongan hukum Eropah).
B eberapa peraturan perundang-undangan („ordonnantie recht” )
ja n g hanja berlaku bagi golongan, hukum Indonesia asli (hukum
b a ru ) :
O rdonnansi mengenai perhimpunan Indonesia (badan hukum

H .B . 1939 N r 570 jo 1939 Nr 717.


Ind on esia) (Ordonnantie op de Indonesische Vereenigingen), L.N.

O rdonansi mengenai perseroan-bertanggung-terbatas IudoncSUt


(bad an hukum Indonesia — Indon. rechtspersoon) („Indonesische
m aatschappij op aandelen” , „maskapai andil Indonesia” ), L.N.H.B.
1939 N r 569 jo 1939 Nr 717.
Suatu peraturan perundang-undangan istimewa jang hanja ber­
laku bagi golongan „ istimewa” antara orang Indonesia asli ialah :
peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran „Burgerlijke,
Stand” ( Pentjatatan Sipil) orang Indonesia asli di pulau Djawa dan

k u m I n d o n e s ia asli b e rd a sa rk a n L.N .H .B .. 1 8 7 9 N r 2 5 6 . P asal-pasal


1 6 0 1 - 1 6 0 3 r e d a k s i b a ru ja n g d im a su k k a n k e d a la m K .U .H . P erd a ta
p a d a ta h u n 1 9 2 7 , tid a k p ern a h d id ja d ik a n b e r la k u b a g i g olon gan
h u k u m I n d o n e s ia asli d a n b a g i g o lo n g a n liu k u m T im u r a sin g (lih a t
K t \ h SP V L “ ' B ' , 1 9 2 6 Nr « S ) . T e ta p i lih a tla h p a sal 1603x
i v .u . H . t e r d a t a ( j a n g d ia n g g a p tid a k b e r la k u l a g i ) .

443
Madura, L.N.H.B. 1920 Nr 751 jo L.N.H.B. 1927 Nr 564 (m endjadi
berlaku pada tanggal 1 Djanuari 1928) 19.
Untuk golongan hukum Indonesia asli jang beragama K risten
berlaku dua peraturan perundang-undangan jang istimewa, jaitu :
Peranturan mengenai pendaftaran „Burgerlijke Stand” orang In ­
donesia asli jang beragama Kristen, L.N.H.B. 1933 Nr 75 jo L.N.
H.B. 1936 Nr 607. Peraturan ini hanja berlaku di pulau Djawa daD
Madura, di daerah Minahasa dan Maluku.
Ordonansi perkawinan antara orang Indonesia asli jang ber-
agama Kristen, L.N.H.B. 1*933 Nr 74 jo L.N.H.B. 1936 Nr 607. P e­
raturan ini hanja berlaku di pulau Djawa dan Madura, di daerah
Minahasa dan Maluku 20.
Ahirnja, dapat diingatkan disini beberapa peraturan, baik ter­
tulis maupun tidak tertulis, jang berasal dari hukum Islam (jang
belum diresepsi dalam hukum adat) jang berlaku di daerah-daerah
jang penduduknja dalam penghidupan sosialnja masih sangat ber­
pegangan pada agama Islam.
Kemungkinan bagi orang Indonesia asli supaja dengan sukarela
mentaati hukum privat Eropah (vrijwillige onderwerping aan Euro-
pees privaatrecht) 2 1 . telah diberi dalam pasal 11 A.B. K ini ke­
mungkinan tersebut terdapat dalam pasal 131 ajat 4 I.S. jang mem­
beri tugas kepada pembuat ordonansi untuk membuat suatu peraturan
organik jang menjelenggarakan kemungkinan itu 22. Peraturan or­
ganik tersebut terdapat dalam L.N.H.B. 1917 Nr 12. Peraturan ini
diberi nama „Regelin,g nopens de vrijwillige onderwerping aan het
Europeesch privaatrecht’ (Peraturan mengenai pentaatan dengan
sukarela pada hukum privat Eropah).

Pasal I ajat 1 peraturan perundang-undangan itu menerangkan bagi


siapa peraturan itu berlaku.
0 Lihatlah J. Ph. v a n Hasselt „D e botsingsbepalingen van de
nuwelijksordonnantie voor Christen-Indonesiers” , dis. Leiden 1952.
embatjaan : A.C. T o b i „D e v rijw illig e o n d e r w e r p in g aan het E u r o ­
peesch privaatrecht” , disertasi Leiden 1927; „praeadvies” K o l l e -
wij n (lihatlah noot 24) dan karangan „Vrijwillige onderwerping
aan het Europeesche recht en waarmerking van onderhandse geschrif-
ten dalam T. 132 hal., 3 40 ; Lemaire „Gedceltelijke onderwerping aan
het Europeesche burgerlijk. en liandelsrecht en faillisement” dalam
T. 140, hal. 6 41; D j o j o d i g o e n o „Asas-asas hukum adat” , 1958,
hal. 23-24. ’
22 Ketentuan ini memuat pentaatan dengan sukarela pada seluruh hu­
kum Eropah atau hanja untuk suatu perbuatan hukum Eropah ter­
tentu sadja.

444
_ -Peraturan ini memuat empat kemungkinanj jaitu :
a. pasal-pasal 1-17 jang memberi kemungkinan kepada seorang
bukan-E ropah untuk dengan sukarela mentaati hukum privat Eropah
untuk seluruhnja (algebele onderwerping).
b. pasal-pasal 18-25 jang memberi kemungkinan kepada seorang
bukan-E ropah untuk dengan sukarela mentaati hukum privat Ero­
pah untuk sebagian sadja (gedeeltelijke onderwerping) 23-
c. pasal-pasal 26-29 jang memberi kemungkinan kepada seorang
Indonesia asli untuk dengan sukarela mentaati hukum privat Ero­
pah untuk suatu perbuatan hukum jang tertentu (onderwerping
v o o r een bepaalde rechtshandeling) 2■*.
d. pasal-pasal 30-31 jang memberi kemungkinan kepada suatu
badan hukum Indonesia (Indonesisch rechtspersoon) jang berke­
diam an di pulau Djawa dan Madura untuk dengan sukarela men­
taati hukum privat Eropah untuk sebagian sadja. Kemungkinan ini
tidak dibuat untuk suatu badan hukum menurut hukuin jang tidak
tertulis (hukum adat). Kemungkinan ini untuk, misalnja, „maskapai
andil Indonesia” , jang badan hukum jang diatur hukum Indonesia
( — hukum jang bukan hukum Eropah) iane tertulis („ordonnan-
tiereclit” ).
Selandjutnja, kami m ohon perhatian untuk nentaatan dengan
sukarela pada hukum privat Eropah dengan diam-diam (stilzwijgen-
de atau veronderstelde onderwerping aan Europees privaat-
recht) Pasal 29 L.N.H.B. 191/ Nr 12 menerangkan baliwa
kali orang Indonesia asli melakukan sesuatu perbuatan hukum jang
diatur oleh hukum perdata dan hukuin dagang golongan Eropah
dan jan g tidak diatur dalam hukum jang berlaku baginja, maka
dianggaplah ia telah mentaati dengan sukarela peraturan-peraturan
jan,g bersangkutan, dan jang tidak berlaku baginja, dari hukum
perdata dan hukum dagang golongan Eropah” . v

23 D j o j o d i g o e n o „A sa s-a sa s liu k u m ad at’ \ 1 9 5 8 , hal.. 2 4 : „ P e m e ­


r in t a h H in d ia B e la n d a d a h u lu m e n g ira , bahw a ora n g b u m ip u tera ja n g
te la h m e m p e r o le h d id ik a n ba ra t m e m e rlu k a n p e n u n d u k a n k e p a d a
h u k u m k o d ifik a s i seb a g a i terseb u t su b a dan. b . N ja ta n ja k e m u n g k in a n
it u b a n ja k d is a la h g u n a k a n u n tu k suatu tu d ju a n ch u su s sa d ja , m is a ln ja :
d is a la h g u n a k a n o le h o r a n g ja n g k e b a n ja k a n u ta n g d a n in g in d ja tu li
fa ilit a u n t u k m e n je le s a ik a n n ja ; d isa la h gu n a k a n o le h o r a n g la k i-la k i
ja n g in g in b e r d jo d o h a n d e n g a n o r a n g p e re m p A a n g o lo n g a n E u r o p a ,
j a n g se g a n b e r n ik a h m e n u ru t tja ra p e rn ik a h a n o r a n g b u m ip u te ra ( k e ­
m u n g k in a n s u b a ) ” .
24 P r o f . M r R .D . K o 1 1 e w i j n „ D e o n d e rw e r p in g v o o r e e n b e p a a ld e
r e c h t s h a n d e lin g ” .d a la m T . 1 2 9 ( 1 9 3 0 ) h aL 2 4 7 („ P r a e a d v ie s ” d i
nr- J1? . " I , l d is ch e J u r iste n c o n g r e s p a d a ta n g g a l 8 -1 2 D iu li 1929~>
25 L ih a t la h ,,p r a e a d v ie s ” K o 11 e w i j n . ,

>
’ 445
Dalam lapangan perniagaan atjap kali tercljadi hal seorang Iu-
donesia asli menanda-tangani suatu wèsel (wissel), prom ès atau
chèque (tjèk) dan bertanggungdjawab atas segala akibat penanda­
tanganan itu. Pada waktu wèsel itu ditanda tangani maka dianggap­
lah. serentak (tegelijkertijd) djuga ia telah mentaati dengan sukarela
semua peraturan-peraturan mengenai hukum wèsel (pasal-pasal 100
djb. K.U.H. Dagang) serta peraturan-peraturan lain jang bersang­
kutan, misalnja, semua pasal-pasal K.U.H. Perdata jang m engenai
lewat waktu penagihan, terketjuali jang bertentangan dengan pasal-
pasal 169 dan 170 K.U.H. Dagang (pasal 168a K.U.H. Dagang)-
Walaupun tidak diterangkan dengan tegas, dengan sendirinja penan­
datanganan itu berarti adanja pentaatan dengan sukarela pada hu­
kum wèsel jang terdapat dalam hukum dagang Eropah.
Dari sedjarah penetapan L.N.H.B. 1917 Nr 12 dapat diketahui
bahwa pasal 29 itu dibuat untuk memenuhi keperluan-keperluan
jang tertentu dalam lapangan perniagaan. A tjapkali dikatakan bah­
wa pasal 29 itu „pasal wésel, promès dan chèque” . O leh P rof. K o 1 -
l e w i j n dikatakan bahwa pentaatan dengan diam-diam (stilzwy-
gend) (dan dengan sukarela) pada suatu perbuatan hukum privat
Eropah jang tertentu itu pada hakekatnja suatu keterangan (d a n
pemerintah) bahwa sebagian tertentu dari hukum privat Eropah
berlaku djuga bagi orang Indonesia asli jang bersangkutan 26 !
Pasal 29 menjebut „suatu perbuatan hukum jang tidak diatur
oleh hukum jang berlaku baginja” . Maka perbuatan hukum jang
tertentu itu siiatu perbuatan (hukum Eropah) jang tidak terkenal
dalam hukum adat jang berlaku bagi orang Indonesia asli. Karena
hukum adat mengenai bagian terbesarnja terdiri atas peraturan-
peraturan jang tidak tertulis, maka sangat sukarlah supaja ditentu­
kan apakah perbuatan hukum jang bersangkutan telah diketahui
atau tidak dalam liukum adat. Oleh Raad van Justitie di Semarang
pernah dikatakan bahwa perbuatan penanda-tanganan wèsel terseb u t
telah diresepsi dalam hukum adat27.
26 P r o f. K o l l e w i j n m e n je b u t p en ta ata n se m a tja m itu su atu „ v e r -
m o m d e toep a sselijk v erk la rin g ” , L e m a i r e, hal., 2 6 7 n o o t 2 , b e r -
b itja ra ten ta n g „v e r k a p te to e p a ss e lijk -v e rk la rin g ” .
27 D j o j o d i g o e n o „A sa s-a sa s h u k u m adat” , h a l. 2 4 :
„ K e b a n ja k a n o r a n g ja n g m e n g e lu a rk a n „ „ w is s e l” ” , , ; :a c c e p t a t ie ” ”
atau „ „ o r d e r b r ie fje ” ” itu sa m a -sek ali tid a k m e n g e r ti w erd i p e r b u a t"
a n n ja , m e la in k a n m e n g ira itu ad ala h ta n d a p e n g a k u a n u ta n g ja n g
tid a k b o le h d isa n gk a l. P u n tid a k ada n iat p a d a k e d u a -b e la h p ih a k
u n tu k m e n g a d a k a n p e r h u b u n g a n ja n g la zim d ia n ta ra p e n a n d a tangan,
surat w issel ds itu d en g a n o r a n g m en erim a n ja ., D ja d i p e n d e k n ja p e ­
la k sa n a a n p e n u n d u k a n itu k e b a n ja k a n m e r u p a k a n p e n ja la h g u n a a n
sa h a d ja ” .

446
J ang paling pertama mentjiptakan kemungkinan bagi "orang
bu kan-E ropah untuk dengan sukarela mentaati hukum privat Eropah
ialali M r S c h o l t e n v a n O u d - H a a r l e m 28. Apa sebabnja
maka M r S c h o l t e n v a n O u d - H a a r l e m mentjiptakan ke­
m ungkinan tersebut ialah keperluan pedagang Eropah untuk dapat
m em aksa pedagang bukan-Eropah melakukan tepat pembajaran
utang-utang m ereka jang ditimbulkan karena perniagaan antara
kedua golongan hukum itu. Kemungkinan itu ditetapkan oleh Mr
S c h o l t e n v a n O u d - H a a r l e m dalam pasal 11 A.B.. Ber
dasarkan penafsiran undang-undang menurut sedjarah p e n e t a p a n n j a
(wetshistorische interpretatie) oleh Prof. K o l l e w i j n dibuktikan
bahw a kem ungkinan tersebut, jang dimasukkan oleh Mr S c h o l ­
t e n v a n O u d - H a a r l e m kedalam pasal 11 A.B., berasal dari
pasal 119 sub 3 rentjana-„Rechterlijke Organisatie” (R -0 .) j an& di
bu atn ja pada waktu kodifikasi hukum tahun 1848. Ketentuan jang
disebut terahir in i mem buktikan bahwa jang dimaksud dengan ^Per
buatan hukum jang tertentu” itu (lihatlah djenis pentaatan dengan
sukarela sub c diatas tadi) suatu perbuatan hukum kekajaan (ver
m ogensrechtelijke handeling), atau suatu perbuatan hukum jang
dilakukan oleh kediw belah fihak (partijhandeling).
D alam sebuah karangan dalam „W eekblad van het Recht (Be­
landa) N r 11779, dikeinukakaii bahwa poiitaatnu tlcnzan *ukartls
pada suatu perbuatan liukum privat Eropah tertentu sering dimohon
o leh seorang bukan-Eropah dengan maksud membebaskan diri dan
penahanan („gijzeling” ) karena tidak dapat (atau tidak mau) mem-
b a ja r utang. Hal ini karena lembaga hukum kepalitan itu tidak
terkenal dalam hukum privat adat 29 30.
Pada saat sekarang arti dari lembaga hukum pentaatan dengan
sukarela pada hukum privat Eropah itu sangat dikurangi oleh ada-
n ja suara edaran Mahkamah Agung tertanggal 5 September 1963
N r 3/1963.

28 Lihatlah disertasi" T o b i dan „praeadvies” K o l l e w i j n tersebut.


'29 Lihatlah n oot 23.
30 D j o j o d i g o e n o „Asas-\asas hukum adat” , 1958, hal. 24 : „Penun­
dukan sub c pun banjak disalahgunakan oleh orang golongan Europa
dan tim ur.asing untuk melepaskan orang bumiputera, jang mengikat­
kan diri kepada m ereka, daripada hukumnja sendiri.-Antara lain untuk
m em aksa orang bum iputera itu m e m ilih domicilie, jang memungkin­
kan lawannja menuntut ia depan hakim jang ia sukai dan ‘djauh ke-
dudukannja daripada tempat tinggal orang jang mengikatkan diri,
sehingga banjak dikurangkan kemungkinannja untuk mempertahan­
kan diri” .

447
P a r. 5: A d o p s i - 31

Dari Bab III, par. 3, kita tahu bahwa, berdasarkan L.N.H.B.


1917 Nr 129, kepada orang Tionghoa diberi kemungkinan untuk
mengadopsi (mengangkat) anak. Adopsi ini tidak terkenal dalam
hukum privat Eropah. Adopsi ini hanja terkenal dalam hukum adat
orang Indonesia asli maupun orang Tim ur asing 32.
Lembaga hukum adopsi untuk golongan hukum T ionghoa b er­
hubungan dengan lembaga sosial penghormatan nenek-m ojang (voor-
ouderverering). Jang w adjib melakukan penghormatan n en ek -m o­
jang ialah putera (berdasarkan sistim clan jang patrilineal) 33. Dja-
di, bilamana seorang Tionghoa tidak m em punjai putera, maka ia
dapat mengangkat anak lelaki m endjadi puteranja. Hal ini diberi
dasar hukum dalam pasal-pasal 5-15 L.N.H.B. 1917 N r 129.
Adopsi hanja dapat didjalankan oleh seorang lelaki — baik,
jang beristeri maupun jang pernah beristeri — j ang tidak m em pu­
njai putera atau belum mempunjai putera adoptif (pasal 5 ajat 1).
Jang dapat diangkat anak adoptif ialah orang lelaki sadja (pasal 6).
Bilamana jang mengangkat anak itu beristeri, maka pengangkatan
anak ini harus didjalankan bersama-sama (pasal 5 ajat 2 ). D janda
jang belum bersuami lagi dapat djuga mengadopsi anak lelaki, asal
sadja hal ini tidak dilarang dalam testamen suaminja jang telah
meninggal dunia. ✓
Jang diadopsi tidak boleh beristeri, tidak boleh m em punjai
anak, tidak boleh telah diadopsi oleh orang lain (pasal 6) dan
umurnja dengan umur dari jang mengadopsinja harus berbeda se-
dikit-dikitnja 18 tahun (kalau mengadopsinja ialah orang lelaki)
atau 15 tahun (kalau jang mengadopsinja ialah djanda) (pasal 7 ).
Putera adoptif dianggap putera jang lahir dalam perkawinan
jang mengadopsinja suami dan isteri bersama-sama. Bilamana jang
mengadopsi ialah djanda, maka jang diadopsi dianggap putera dja n ­
da dengan suaminja jang telah meninggal dimia, jaitu putera suami

31 Mengenai adopsi dalam bukum adat jang berlaku bagi golongan liu-
kum adat Indonesia asli lihatlah t e r H a a r „Beginselen en stelsel” ,
hal. 153 d jb .; Mr N.S. B I o m „Gegevens uit een adoptiegeschil in
de Minahasa” dalam T. 131, hal. 1 46; Mr G J . R e s i n k „Verwaar-
lozing van adoptic naar adatrecht in het ambtenarenrecht” dalam
T. 152, hal. 2-19.
32 Code Civil Perantjis mengenal adopsi.. Adopsi itu djuga terkenal dalam
hukum perdata pada djaman V.O.C.
33 Lihatlah tentang hukum adat orang Tim ur asing dan orang Tionghoa
a.l. buku Prof. Mr C. v a n V o l l e n h o v e n „Adatrecht van Nfeder-
landsch Indie” , II.

448
ilan isleri bersama-sama ^pasal 12). Jang diadopsi diberi nama clan-
dari ja n g mengadopsinja (pasal 11). Hubungan-liukum privat se:
m ula antara jang diadopsi dengan orang tuanja sendiri dan keluarga
lain, diputuskan sama sekali, terketjuali dalam beberapa hal (pasal
14). x <j
A d o p si harus didjalankan dengan suatu akta notariil (pasal 10).

P a r. 6: Se d j a r a h hukum dagang E r o p a h.

D apat dikatakan bahwa hukum dagang adalah bagian hukum


privat ja n g tidak berasal dari hukum Romawi. Mulainja perkem­
bangan hukum dagang, kira-kira dari tahun 1000 sampai tahun 1500,
dapat dihubungkan dengan laliirnja kota di Eropah Barat (opkomst
Van de WesL-Europese stad), jakui — terutama di Italia dau di ISe-
geri P erantjis bagian Selatan — laliir kota itu sebagai pusat per­
niagaan. Lekas ternjata bahwa hukum Romawi tidak dapat mem­
beri penjelesaian untuk perkara-perkara jang ditimbulkan oleh ka­
rena perniagaan. Maka dari itu di kota-kota Eropah Barat dibuat
peraturan-peraturan hukum baru jang lama-kelamaan m endjadi him­
punan peraturan-peraturan hukum jang berdiri tersendiri di sam-
ping h u k u m Rom awi, jaitu hukum bagi golongan pedagang (sau­
dagar) : h u k u m pedagang (koopmansrecht). Harus dikemukakan
disini bahw a sampai letusnja Revolusi Perantjis golongan pedagang
tersebut m erupakan suatu kelas jang tertutup, jaitu suatu „gilde’ »
jan g m em on op oli perniagaan.
Perkem bangan hukum dagang ini dilakukan dengan tjepat se­
kali. P ada abad ke-16 dan abad ke-17 di banjak kota Perantjis
diadakan pengadilan isiimott-.i, J.iitu „pengadilan saudagar” , untuk
m enjelesaikan perkara-perkara jang ditimbulkan d;ihim
D engan dem ikian hukum dagang itu sungguh-sungguh m e n d j a d i
kum istim ewa, jaitu hukum pedagang.
P ada perm ulaan, maka dalam hukum pedagang ini belum tu a
kesatuan; hukum pedagang ini masih merupakan hukum lokal
ja n g berbeda. Tetapi karena hubungan dalam lapangan perniagaan
m akin lam a m akin erat, maka lama kelamaan diadakan djuga ke­
satuan dalam lapangan hukum pedagang ini. Pada tahun 16 <3 di
N egeri P eran tjis oleh menteri C o 1 b e r t dibuat „Ordonnance du
com m erce” , jang mempersatukan hukum dagang sebagai hukum un­
tuk suatu golongan jang tertentu, jakni golongan pedagang. Pada
tahun 1631 diadakan „Ordonnance de la marine” jang mengatur
h uk um perniagaan laut (recht van de zeehandel). Perniagaan laut

449
itu dilakukan antara pedagang-pedagang di kota-kota pelabuhan dan
dilakukan dengan menggunakan kapal laul sebagai alal pengangkut­
an barang perniagaan.
Dalam Revolusi Perantjis „g ild e ” itu dihapuskan dan oleh rakjat
diproklamasi kebebasan orang m entjari pek erdjaan ja n g disukainja
(vrijheid van b e ro e p ), sehingga tidak ada lagi alasan untuk m e m i­
sahkan dari hukum privat um um , ja n g berlaku bagi tiap pen du du k
daerah Negeri Perantjis, suatu hukum jang istimewa jang hanja
berlaku bagi para pedagang. A palagi lam a-kelamaan ban jak p e r­
aturan-peraturan hukum dagang itu digunakan djuga oleh orang
bukan-saudagar.
Tetapi walaupun ada perkem bangan dem ikian, masili djuga
diteruskan perbedaan antara hukum perdata dengan hukum dagang
itu. Pada tahun 1807, di samping „C o d e Civil des Fran^ais” ja n g
mengatur hukum perdata Perantjis, dibuat suatu kitab undang-
undang hukum dagang tersendiri, jaitu „C od e de C om m erce” . Jang
didjadikan dasar „C od e de C om m erce” itu adalah hukum ja n g d i­
tim bulkan dalam lapangan perniagaan sedjak D jam an Pertengahan.
D ari par. 2 kita tahu bahwa pada tahun 1811 k odifikasi hukum
Perantjis tahun 1807 didjadikan berlaku di N egeri Belanda
sampai tahun 1838. W alaupun di N egeri Belanda pada waktu se­
belum tahun 1811 — jaitu pada waktu di N egeri Belanda berlaku
hukum Belanda jan g kuno — belum pernah ada suatu hukum da­
gang jan g terpisah dari hukum privat um um ja n g berlaku bagi se­
tiap penduduk daerah N egeri Belanda, m asih djuga pasal 100 un­
dang-undang dasar Negeri Belanda dari tahun 1814 (ketentuan k o ­
difikasi) mengatakan bahwa, di samping sebuah kitab undang-
undang hukum perdata, akan diadakan djuga sebuah kitab undang-
undang hukum dagang. Tetapi dalam usul-kitab undang-undang
hukum dagang Belanda dari tahun 1819 tidak diakui lagi peradilan
istimewa untuk m enjelesaikan perkara-perkara jang ditim bulkan
karena perniagaan. Perkarii-perkara dagang harus diselesaikan di
muka pengadilan biasa. Usul-kitab undang-undang hukum dagang
Belanda ini m endjadi kitab undang-undang hukum dagang Belanda
tahun 1838. Berdasarkan azas konkordansi, maka kitab ini kem udian
m endjadi tjontoli bagi pem buat K.U.H. Dagang Indonesia tahun
1848.
W alaupun sedjak Revolusi Perantjis tidak ada lagi alasan untuk
mengadakan suatu hukum istimewa bagi para pedagang, masih
djuga kedalam kitab undang-undang hukum dagang Belanda tahun

450
1338 — demikian djuga dalam K.U.H. Dagang Indonesia tahun
1843 __ dimasukkan ketentuan-ketentuan jang hanja berlaku bagi
para pedagang (walaupun mereka tidak lagi merupakan suatu
„g ild e” ). Misalnja, suatu firma (perseroan-firma, vennootschap on-
der firm a) atau suatu perseroan komanditer (commanditaire-.ven­
nootschap) hanja dapat didirikan oleh para pedagang, hanja para
pedagang dapat didjatuhkan kedalam keadaan palit (kepalitan),
hanja para pedagang dapat dipaksa melakukan pembukuan (aanleg-
gen van een boekliouding). Pendeknja, K.U.H. Dagang itu masih
merupakan himpunan peraturan-peraturan untuk para pedagang.
Pasal 2 mengatakan apakah „koopman” („Pedagang” ) itu, pasal-
pasal 3-5 mengatakan apakah „handelsdaden” („perbuatan dagang” )
dan „handelzaken” ( = hubungan-hukum jang ditimbulkan karena
perbuatan dagang dan peristiwa hukum lain dalam lapangan per­
niagaan) itu.
Tetapi pada bagian kedua abad ke-19 dalam praktek telah ter-
njata bahwa tiada lagi alasan untuk mengadakan suatu .hukum da­
gang jang hanja berlaku bagi para pedagang sadja. Telah ternjata
bahwa djuga seorang bukan-pedagang mendjual dan membeli ba­
rang, bahwa kepalitan itu djuga diperlukan untuk dapat memaksa
mereka jang bukan-pedagang jang tidak mau atau tidak dapat lagi
m em bajar utang mereka. Untuk mereka jang disebut terahir ini ha­
nja ada kemungkinan unllik didjatuhkan kedalam suatu „keadaan
jan g pada kenjataannja tidak dapat membajar lagi” („staat van
kennelijk onvermogen” ), jaitu suatu lembaga hukum jang tidak
dapat memberi djaminan penuh kepadu ponapili. Apalagi dnlam
hukum Belanda jang kuno mengenai kepalitan tidak pernali diada­
kan perbedaan diantara pedagang dengan bukan-pedagang. Sistim
hukum semula tidak mengenal perbedaan sematjam itu, lebih baik
kem bali kepada sistim semula ini dan menghapuskan sistim jang
berasal dari „C ode de Commerce” Perantjis ! Inilah pendapat jang
m akin lama makin kuat.
Pada tahun 1893 rentjana Prof. W.L.P.A. M o l e n g r a a f f
untuk mengganti buku III kitab undang-undang hukum dagang B e­
landa („Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden” )
didjadikan undang-undang pada taliun 1893, jaitu Undang-undang
Kepalitan (L/N. Belanda 1893 Nr 140) jang mendjadi berlaku pada
tanggal 1 September 1896. Berdasarkan azas konkordansi, maka
pada tahun 1906 .perubahan ini diadakan djuga di Indonesia, jaitu

451
Buku II I dari K.U.H. Dagang itu diganti dengan Peraturan Tve-
palitan (F aillisem eiitsverordening), L.N .H .B. 1905 N r 217 jo L-N-
II.B. 1906 N r 348, jang b erd iri tersendiri 31. Sedjak tuliun 1906
maka K.U.H . Dagang hanja terdiri alas dua buku sadja, ja ilu :
Buku I : „V a n den k ooph an del in liet algem een” (T en la n g p e r­
niagaan pada um um nja) dan B uku I I : „V a n de reglen en verp lig '
tingen uit scheepvaart voortspruitende” (tenlang hak dan k e w a d jib -
an jang ditim bulkan oleh karena perkapalan).
K em udian, m ulai tahun 1935 (d i Indonesia sedjak lahun 1938)
hukum dagang itu tidak lagi m erupakan suatu hukum istimewa
jang, m enurut m aksudnja dari tahun 1811 (d i Indonesia laluin 1848),
hanja berlaku bagi para pedagang. Pada tahun 1934 di N egeri 13e;
landa — berdasarkan sualu rentjana P rof. M r M o l e n g r a a f f
pula — dibuat suatu undang-undang jang m engubah kitab undang-
undang hukum dagang Belanda pada p ok ok n ja, ja k n i m enghapus­
kan perbedaan antara „pedagang” dengan „bukan-pedagang” , antara
„handelszaken” dengan „burgerlijk e zaken” . Pengertian „liandels-
daad” , jang sedjak taliuu 1838 m erupakan dasar kitab undang-undang
hukum dagang Belanda (dem ikian djuga halnja dengan K.U.H*
Dagang In d onesia), diganti dengan pengertian „b ed rijfsd a a d ” („ p e r ­
buatan perusahaan” ). Dengan „bedrijfsdaad” itu dim aksud suatu
perbuatan jang dilakukan dalam m endjalankan perusahaan. P en ger­
tian „k oopm an ” diganti dengan pengertian „liij die een b ed rijf u iloe-
fent” („barangsiapa jang m endjalankan perusahaan” ). T id a k perlu
dikatakan pandjang lebar bahw a pengertian „liij d ic een b e d rijf
uitoefent” itu suatu pengertian jang leb ih lnas dari pada pengertian
„k oopm an ” . Tetapi apakah jang dimaksud dengan „perusahaan'”
itu tidak dikatakan oleh undang-undang jang bersangkutan. H al itu
dapat diketahui dari „M em orie van T oelich tin g” (P endjelasan) u n ­
dang-undang Belanda tahun 1934 tersebut, jang mengatakan bahw a
jang m endjalankan sesuatu „perusahaan” ialah tiap orang jang m e ­
lakukan perbuatan-perbuatan jang tertentu („ in zekere hoedanig-
h eid” ), jang tetap („regelm atig” ) , jang kelihatan oleh semua orang
lain karena resmi („op en lijk ” ) dan dengan maksud m em peroleh laba
untuk kepentingan sendiri („m et het doel voor zich zelf winst te
behalen” ).
Perubahan jang sangat penting ini m ulai berlaku pada tanggal
1 D januari 1935. Berdasarkan azas konkordansi maka perubahan ini

34 D j o j o d i g o e n o „Asas-asas Imkum adat” _ 1958, hal. 23 : „F a illi-


sement tidak kita kenal dalam hukum adat” .

452
d id ja d ik a n berlaku djuga di Indonesia, jaitu pada taliun 1938. L i­
hatlah L.N .II.B . 193» N r 276.
P ada tanggal 1 A p ril 1938 — berdasarkan azas k onkordansi
diadak an lagi perubahan dalam B uku II dari K .U .H . Dagang. L ih at­
lah L .N .II.B . 1933 Nr 47 jo L.N .II.B. 1938 N r 1 dau N r 2. S edja k
tanggal 1 A p ril 1938 m aka di Indonesia berlaku sualu liukum laut
ja n g baru (niem v zeerech t). Pada tahun 1962 diundangkan suatu
peraturan penting, jaitu peraturan P em erintah 1962 N r 12 len la n g
„P e ra tu ra n perusahaan muatan kapal laut 1962” , L .N .H .B 1962
N r 47 (dengan „P en d jela san ” dalam T am bahan L .N . N r 2474).
S ed ja k tanggal 1 djanuari 1938 di Indonesia berlaku sualu liu ­
kum wèsel dan chèque baru (nieuw wissel- en ch èq u ereclit) (pasal-
pasal 100 d jb . K .U .H . D agan g). H ukum baru in i disesuaikan dengan
dua traktat jan g diadakan di kota Geneva (N egeri S w is), ja itu Irak ­
tat w èsel pada tanggal 7 D ju n i 1930 dan traktat ch èq u e pada ta n g­
gal 19 M aret 1931. K edua traktat ini b erlaku dju ga di In d on esia
berdasarkan L.N. Belanda 1935 N r 224 dan N r 490 j o P ersetu dju a n
P e r p in d a h a n K .M .B. pasal 5 ajat 1 35.

35 P cm batjaan terpenting liukuin privat.


A. H u k u m perdata :
P r o f. Mr E.M . M c i j e r s „A lg em en e leer vau liet b u rgerlijk recrlit” ,
1 , 19-18; M r C. A s s e r „H a n d leid in g lo t de b e o e fe n in g van liet N e-
derlandscli burgerlijk recht” , ja n g terdiri atas beberapa d jilid : P r o f.
M r P. S c h ö l t e 11 „A lg cm e e n D eel” , 1 9 3 4 , dan „P e rso n e n re clit”
ja n g terdiri atas dua bagian : „F ain iliereclit” , 194 7 (d isa d u r ole h
M r J. W i a r d a dan M r G.J. S c h ö l t e n ) dan „V e rte g e m v o o r-
d ig in g cn rcclitspersoon ” , 1954 (disa d ur oleh P r o f. M r M .H . B r e g -
h t e i /i ) . V roi. Mr I\ S c Jj u I I e n „Z a k e n r c c h l” , 1945 (ditu lis bor-
sama-|sama dengan M r G.J., S c h ö l t e n ) , P r o f. M r H v a n G o u
d o e v e r „V erbin ten issen reclit” , 1 91 3, P r o f. M r P .A .J. L o « c
c aat Vermeer „V erbin ten issen reclit” , 1 9 3 9 -1 9 4 8 (b a gia n p e r­
tam a „a lg e m cn e leer verbintenissen” ) , P r o f. M r L.E .H Kulten
„ D e overeenkonist en de verbintenis uit de w el” , 1 9 5 4 , P r o f. M r
P .W . K a m p l i u i s e n „B ijz o n d e re ovcreen k oin sten ” , 1 95 0, P r o f
M r E .M . M e i j e r s (disad ur oleh M r P .W . v a n der P loc»)
„E r fr e c h t” , 1 95 6, P r o f. M r A n n e A n e m a (bersam a-sam a dengan
M r P.J. V e r d a m ) „V a n Bewijs” . 1 9 5 3 ; P r o f. M r A. P i t 1 o , lim a
d jilid : 1 ersonenreclit” (bersama-*sama dengan G. M e i j 1 i n g )
,,H et Zakenreclit , ,,H et V erbintenissenrechl” ; ,,B cw ijs en V erjarin g”
dan „E rfre c h t” , naar het Nederlands B u rgerlijk W e tb o e k ” 1 95 5, 1951
1 9 5 4 , 1 95 3 dan 1951 ; M r D r H .F .A . V ö 1 1 m a r „N ederlan ds burger!
lijk recht’ , 3 d jilid (,,Inleidin g_ p erson en . en fam ilierech t” ; „Z a k e n -
cn erfrech t van „V erbin ten issen reclit” ) , 1 95 1, 1951 dan 1952 (V ö I 1
m a r b e s.n ) — ringkasan terdapat dalam b u k u ,,ïn le id in g tot de
S tu d ie van liet N ederlands b u rgerlijk rech t” , 195 5 ( V ö l l m a r k e-
t jil) 5 P r o f. Mr J. Ph. S u y 1 i n g ,,In leid in g tot het burgerlijk recht” ,
ja n g terdiri atas : I, 1 „A lg e m e n e beginselen” , 1 94 8, 2 „A ctiën - en
bew ijsrecht” , 1948* II, 1 „V erbintenissenreclit” , 1 9 3 4 ; 2 „V e rb in -

453
lenissenrecht” 1936. V „Zakenrech t” , 1940, V I , „E rfre ch t’ j l 9 i l
(bersaina-<jania dengan Mr H !F.K . D u b o i s ) dun „H u w ely k sgoed e-
renreclit” , 1 9 4 3 ; Mr J.G. K l a u s e n „H uw elijksgoederen- en e r f­
recht” (disadur oleh P rof. Mr J. E g g e n s bcrsania-fsaina dengan
Mr J.M. P o l a k ) , 1 9 5 6 ; P rof. Dr L.C. H o f m a n 11 - P ro f. Mr
S.N. v a n O p s l a 1 „H et Ncderlandsch V erbintenissenrechl” , I („*^e
algem cne leer der verbintenissen” ) , 1948? P rof. D r L C . II o i n u n n
„I ie i Nederlandsch Verbintenissenrecht” , II, ( „ D e bijzon dere contrae-
len” ) , 1912. dan „H ct Nederlandsch Zakenreclit” , 1 9 4 4 ; P r o f. Mr
F.G. S e h e t t e m a „N ederlandsch Bewijsrecht” , 1 9 3 4 -1 9 4 0 ; P ro f.
Mr S, v a n Urakci „L ecrb oek van liet Nederlandse verbintenis-
scnrecht” . 1 (1 9 4 9 ) dun l l (1 9 5 0 ) ; Mr J.H. B a s t „H e l ontw erp-
Meijers voor een nieuwe B .W . vergeleken met het besluunde B.W .'%
1 95 6; P rof. Mr J. E g g e n s „Verzunielde privaatrechtelijke opstel-
lcn ” , 1938 (tjetukan kedua 1 9 5 8 ); „V erzunielde geschrif len van
Paul Schölten” . 4 d jilid ; Prof.. Mr E.M. M i j e r s „V erzain elde pri-
vaatrechlelijke opstellen” , 3 djilid.
B. H ukum dagang :
P rof. Mr W .L.P.A. M o l e n g r a u f f „L eidraad bij de b eoefon in g
van hei Nederlands handeisrecht” , I, 1947 dan II, 1 9 4 8 ; P r o f. Mr
T.J. D o r l i o u t M e e s „K o r t begrip van het Nederlands Handels­
recht’ ’ , 1 95 6; Prof., Mr E.J.J. v a n der H e i j d e n „Ila n d b o e k
voor de naamloze vennootschap naar Nederlands recht” , 1950 (disu-\
dur oleh Mr W .C.L. v a n d e r G r i n t e n ) ; P rof. M r 1*’.G. S c h e i ­
t e r n » „NVisseli en chequerecht” . 1950 (disadur oleh Mr j . W i a r -
d a ) ; P rol. Mr K.P. C l e v e r i n g a Jzn „H e i nieuwe zcerech t” ,
1 9 4 6 ; Mr Dr H.F.A., V ö 1 1 m a r, liga d jil i d : „H e t Nederlands
Handelsrecht” , 1953, „Z e e . en Binnenvaartrccht” , 1 9 5 2 , clan „D e
Faillissementswel” , 1953.
C. Uagi Indonesia :
Komentar A.E. P r o s e e „H et Iiurgerlijk W etbock van Nederlandsch
lnd ie” , 1 93 8; Mr S.D. E m a n u e 1 s „V oogd ijvoorzien in g na eclit-
scheiding en voorziening in de ouderlijke lnuclil na scliciding van tafel
en bed (artl. 229 lid 1 en 246 lid 2 B .W .)” dalam T . 151, hal. 1 -4 0 ;
Mr Dr J.F.A.M, B u f f a r l „H et nieuwe Indische zeereclit” . 1 9 4 1 ;
karangan-karangan terpenting P rof. Z e y l e m a k e r : u.l „Ä cc o o rd
buiten faillissement’ ’ dalam T . 129, hal. 1, „G ebru ik cn niisbruik van
den rechtsvorm, in het bijzonder bij de N.V.” , pidato dies Batavia
1934, „H ct Iiurgerlijk W etboek in Nederl. In d ic” dalam „G ed en k b oek
B .W . 1838-1938” , „H an d elsk oop ” , 1 9 3 8 , „K eorganisatie van insolvente
vennootschappen’ ' dalam T . 149, lial.. 613-j654, ,;Het keeren van inis-
bruiken in de onderlingc verliouding van V erb ü n d en naam loze ven n oot­
schappen” dalam T . 142, „Inlandsche rechtspersonen” dalam ,,K o lo ­
niale Studien” , 23 (1 9 3 9 ), hal, 207-227_ dan „D e structuur van de
vennootschap onder een firm a” dalam ‘ „G ed en k boek Rechtsweten-
schappelijk H oger Onderwijs in Indonesie 1 92 4-19 49 ” . hal. 3 1 5 ; P ro f.
Mr R .D . K o l l e w i j n ,,Eilige opm erkingen over de geldin g van
hct Indonesische \^etboek van K oophandel na de souvereiniteitover-
dracht” , „R echtsgeleerd Magazijn” , 1952 („C leverin ga •nummer” ) ,
hal. 617-;627; Mr Dr B. S a b a r o e d i n i,Enige gangbare vervoers-
en bevrachlingsbedingen” . dis. Leiden 1955 (dibitjarakan olch
A. D i r k z w a g e r dalam „H u k u m ” , 1956, Nr 5-6, hal. 17-,18).
D. Dalam bahasa Indonesia :
Terdjem ahan K.U.H . Perdata oleli Mr R. S u b e k t i dan T j i t r o -
s u d i b i u „K ita b U ndang-undang H ukum Perdata” , 1 9 5 7 ; M r W i r .
jono P r o d j o d i k o r o „Azas-azas hukum perdata” , tjetakan II,
„P erbuatan m elanggar hukum ” , tjetakan III, „H u ku m perdata tentung
hak-hak atas benda” , 1955, „Azas-’azas liukum perdjandjian ” , tje-

454
lukuti IV , „H u k u m tierdatu tentang persetudjuaii-persfeUuljv
tc n iu ” , tjelukun 111, „H u k u m perkaw inan di In donesia , tj*.
111, „H u k u m warisan di In don esia” , tjelak a n 11, „H u k u m laut \
In d on esia ” , ijela k an 11, „H u k u m wesel, tjek dan aksep di ln d o l,
sia” , tjclak an 1, „H u k u m asuransi di In d on esia” , tjelakan 11 (1 9 6 1 )y
„U sah a m em perbaiki hukum perkaw inan di Im lon esia ” , prasaran clj v
m u k a K on gg res 1 1.S .Il.I. pada tanggal 15-V19 S eptem ber L95<,
„M a d ja la h liu k u m dan M asjarakal” , 11, 3 dan *1 , hal, 1 5 - 2 j ,
„U sah a m em perbaik i hu kum warisan di In d on esia ” , prasaran
diin uk a K on ggres 11 1.S.11.1.. pada tanggal 16-19 Septem ber 195 9
„H u k u m dan M asjarakal” , 1 96 0, 1, hal. 13*32 (keistim ew aan k a rja
M r W i r j o n o ialah pengaran g dalam b u k u n ja selalu m e m b a n d in g ­
k an h u ku m E ropali dengan hu ku m adat, dan dengan d jala n ini telah
m em persiapk an akan dilahirkan nanli suatu h u k u m kesatu an) ; M r
L i e O e n 11 o k „P eraturan-peratu ran tjatatan sipil di In d on esia ” ,
1 9 5 4 (d iterd jem a h k an dalam bahasa T io n g h o a o le h D rs L i e T j w a n
S i o c Y in ni m in shih seng clii tiao lie ” )^ (tje la k a n 111 1 9 6 1 ) ;
M r S u b e k t i „P o k o k -p o k o k dari H u k u m Perdata ja n g term uat
dalam B .W . dan W ..v.K.” , 1 95 5, „K ek u a sa a n h akim u n tu k m en lja n i-
l»uri u- .i i u p erd ja n d jia n ” dalam „B e b e ra p a tin djau an h u k u m ” , 195V ,
hal. 5 7 -6 4 ; Mr^M.H. T i r l a a d m i d j a j a „ P o k o k -p o k o k h u k u m
perniagaan” , 1 9 5 6 ; P r o f. M r K. S o e k a r d o n o „H u k u m D a ga n g
In d on esia ” , 1, bagian pertam a, 1958, I, bagian k edu a, 1 9 6 4 , I I , bagian
pertunia, 1 96 1, „ le n t a n g charter-iiarlij dan k o g u o se m e n ” dalam „ B e b e ­
rapa tindjauan ilm u h u k u m ” , 195 9, hal. 9 3 -1 2 3 ; M r S.A. H a k i m
„P erseora n g a n dibawah firm a, perseroan k om a n d it dan perseroan
terbalas” , 1 9 5 8 ; M r M a l i a d i „S o a l dewasa” ,, tanpa ta n gga l; Mr
S o e n a w a r S o e k o w a t i „S e la ja n g p an d an g h u k u m p erta n g­
gu n ga n ” dalam „M a d ja la h H uk u m dan M asjarakat” , 111, 1 , hal.
2 1 -2 9 ; J.E . K. a i h a t u ,,Asuransi p en gan gk u ta n ” , 1959; li.
lt o c h m a l S o e m i r o „P en u n tu n perseroan terbalas (n a a m loze
v e n n ootsclia p ) dengan U ndang-undang P a d jak P erseroan” , 1 9 5 9 ;
W .H . M a k a 1 i w i e „B eb era p a tindjauan sekitar p erseroan lerbatas”
dalam „E k o n o m i dan keuangan In d on esia ” , 1 96 1, 1-fi, hal. 3 -1 4 ; M r
S u m ur d i M a n g u n k u s u m o „H o o fd e lijk h e id en O ndeelbaar-
lieid ” dalam „H u k u m dan M asjarakat” , 1 96 0, 2 , hal. 6 9 -7 9 ; M r E.
S u li e r m a n „T a n g g u n g djaw ab p engan gk u t dalam liu ku m udara
In d on esia ” , 1 9 6 2 ; M . H u s s c y 11 U jn a r, S.H . „P era tu ra n p e ru ­
sahaan m uatan k apal laut 196 2 ” , 1962.

455
B A B X IV

IIU K U M P E R S E L I S III A N

Dalam Bab I par. 11 telah dikatakan bahwa hukum perselisihan


(con flicten recht) itu dapat dibagi dalam hukum perselisihan nasio­
nal dan hukum perselisihan internasional. Ilu k u m perselisihan in ­
ternasional, jang dikenal lebih dahulu, diberi djuga nama hukum
privat internasional.

A. Ilu ku m privat internasional ( h .p .i.).


Dalam Bab I par. I I telah dibuat suatu difinisi apa h.p.i itu.
Dari definisi h.p.i. dapat diketahui bahwa peraturan-peraturan
h.p.i. itu terdiri atas dua m atjam golongan : peraturan-peraturan
petundjuk (vcrwijzings regels) („peraturan hukum mana” ) dan
peraturan-peraturan asli atau peraturan-peraturan sendiri ( eigen
regels) („peraturan apa” ) . Jang dimaksud dengan peraturan p e ­
tundjuk ialah peraturan jang m enundjuk hukum nasional mana akan
mengatur hubungan jang bersangkutan — hukum Indonesia ataukah
hukum D jerm an? Peraturan sematjam itu mengatakan bahwa dalam
sesuatu hubungan antara dua fihak jang, m isalnja, kewarganegaraan-
nja berlain-lainan, akan diturut, m isalnja, hukum D jerm an dan
tidak akan diturut hukum Indonesia. Bilamana sesuatu hubungan
antara dua fihak jang, m isalnja, kewarga-negaraannja tidak sa­
ma, diatur oleh suatu peraturan hukum nasional jang ditundjuk oleh
peraturan petundjuk, maka dalam hal ini adalah suatu perkara in ­
ternasional (karena kewarga-negaraan kedua fihak tidak sama) jang
diatur oleh hukum nasional. Karena dalam lapangan li.p.i. bagian
terbesar peraturan-peraturan adalah peraturan petundju k, jaitu
peraturan jang m enundjuk hukum nasional mana akan m engatur,
dan oleh karena kenjaatan tersebut, dalam m engadili perkara-
perkara jang ditim bulkan dalam pergaulan antara subjek-subjek
hukum jang kewarga-negaraannja tidak sama, oleh hakim (nasio­
nal) didjalankan hukum nasional, jaitu baik hukum nasional sen­
diri maupun hukum nasional asing, maka pada um um nja dapat
dikatakan bahwa h.p.i. adalah hukum nasional untuk m en je-
lesaikan perkara-perkara internasional i.

1 Hal ini telali kami biljarakan dalam noot 16 dari Bab I (p a r. 1 1 ).


Kam i m enam bah dengan pendapat L e m a i r e (hal, 1 7 9 ) ; E r is
niet een internationaal privaatrecht dat over de gehele wereld van

456
Sumber-sumber peraturan petundjuk atlalali :
a. undang-undang
C 17
nasional dan kebiasaan nasional.
b. traktat dan kebiasaan internasional.
c. jurisprudensi internasional m aupun nasional.
d. doktrin a internasional m aupun nasional.

Peraturan petu ndju k dalam perundang-undangan Indonesia a.l.


pasal 16 A .B. : „K etentuan-ketentuan perundang-undangan jan g
m engenai stalus dan wewenang subjek liukum tetap berlaku bagi
warga negara Indonesia (tekst dalam baliasa B elanda : „N ed erla n d -
sclie on d erd an en ” ) jang tinggal diluar negeri” (k alim at p er ta m a )2.
«
kraoht is, maar hot internationaal privaatreeht is nationaal r c c lil; h e f
is iulcrnationaal onulal Iiet voor in tcm a tion a lc gevallen voorzien.ingen
g e e ft” (T iada satu h.p.i., ja n g berlaku di sem ua bagian dunia in i,
li.p .i. itu adalali hukum n asional; hu ku m tersebut diberi nam a ..in ­
ternasional” karena hukum tersebut m em uat p enjelesaian bagi perkara-
perknrn in tern asion al).
2 I’ asnl-pasal 16. 17 dan 18 A.B. berasal dari liu k u m staluta Italia m e ­
ngenai perkara-perkara privat ja n g pada bagian k edu a D jam an P e r­
tengahan ditim bulkan dalam pergaulan antara pen d u d u k k o la -k o la
Italia __ pergaulan tersebut dilakukan dalam lapangan perniagaan
dan kita m engetahui bahwa di Italialah ja n g pertam a-tam a ditim bril-
kan pergaulan perniagaan m od ern ---- serta berasal dari teori slaluta
(statuten le c r ) m engenai penjelesaian perkara-perkara privat ja n g
d itim bulk an dalam pergaulan tersebut jan g dibentangkan oleh ahli
h u k u m term asihur l i a r t o l u s d e S a x o f e r r a t o (ih . 1 3 1 3 -
tlu 1 3 5 7 ) (J.L .J. v a n d e K a m p „B a rtolu s de S a xoferra to” , d i­
sertasi Am sterdam 1 9 3 6 ). M asing-m asing kota di Italia m em pu n jai
h u k u m sendiri, jaitu masingHmasing kota itu m em p u n jai (h u k u m )
statuta sendiri. Di sam ping slaluta k ota berlaku din ga h ukum R o ­
mawi sebagai hukum um u m .
D ian fara statuta-statula suafu k o ta ada sfat'.ufa ja n g m en u n d ju k ( liu ­
k u m ) statuta kota mana (k ota la in ) akan m en gatu r suatu h u bu n gan
privat antara penduduk kota itu dengan p en d u d u k kota lain. T*ada
p erm u laa n statuta ja n g disebut teraliir d ianggap h u k u m kalisi
( c o llis ie r c c h t), jaitu h ukum ja n g m en jelesaikan pertentangan antara
statuta-statuta (peratu ran -peratu ran h u k u m ) m asing-m asing kota
( collisio sta tu loriiim ) seljara m en u n d ju k statuta k o ta m ana akan
m en gatu r hubungan ja n g bersangkutan.. T etapi pada ban ja k p e n g a ­
ran g m od ern ditim bulkan pertanjaan : apakah sungguh-sungguh ada
„p erten ta n ga n ” antara stamta-statuta m asing-m asing k ota ? D jaw aban.
n ja : scbetu ln ja tidak ada. M aka dari itu dalam ilm u li.p.i. padu waktu
sekaran g dikem ukakan anggapan baliwa peraturan p etu n d ju k itu b u ­
k an - „h u k u m k olisi” , jaitu liuknm jang m enjelesaikan „perten tan gan ”
antara h u ku m nasional, tetapi liukum ja n g m en u n dju k tjara b aga i­
m ana p en jelesa ian hubungan antara kedua belah fih ak jan g, misal-
n ja , kew arga-negaraannja tidak sama. Jang boleh dikatakan ialah :
ada penjelesaian perselisihan antara k ep en tin g a n kedua belah fihak
m asing-m asing. Pengarang ja n g pada waktu ini masih m enganegap
h p.i- itu hukum ja n g m enjelesaikan „perten tan gan ” antara liukum
privat nasional ialah a.l. E. Z i l t e l m a n n („In tern ationales Pri-

457
D jadi, sebagian hukum Indonesia m engikuti w arga-negara In d o
nesia keluar negeri. Pasal 16 A.B. menerangkan b e r l a k u n ia lex
originis atau statuta personil. Dalam hal hakim asing (d ilu a r n e­
geri) tidak mau m endjalankan hukum Indonesia dalam p e n j e le
saian perkara mengenai status dan wewenang — h u k u m tu b jek
hukum dan hukum keluarga (uersonen en f a m i l i e r e c h l ) w a rg a
negara Indonesia f diluar negeri), maka hakim Indonesia dapat m em
batalkan keputusan hakim asing itu serta akibat k e p u l usan te r s e b u t ,
apabila jang bersangkutan hendak m endialankan di w ila ja h h u k u m
(rechtsgebied) negara Indonesia hak-hak ja n g d ip erolelin ia dari
keputusan hakim asing itu. Sebaliknja, walaupun dalam pasal 16
A.B. hanja,.di sebut „warga-negara Indonesia” , m enurut ju r is p r u
densi maupun doktrina, hakim Indonesia dapat m e n d ja l a n k a n azas
lex originis ini dalam penjelesaian perkara m engenai status dan we
wenang orang asing (di Indonesia). Oleh hakim Indonesia dapat
didjalankan hukum asing, misalnja, hukum D jerm an m engenai sta
tus dan wewenang seorang warga-negara D jerm an jan g ada di In.
donesia. Ada tatahukum negara asing — m isalnja, dari N egeri Ing
gris dan dari Amerika Serikat — jang m enerangkan b e r i akun ia Zc.r
domicili, jaitu jang berlaku bukanlah hukum orang asing tetapi
hukum tempat di mana orang asing tinggal.

vatrecht” , 1 9 1 2 ). Balikan, pertentangan ilu oleh Z i t t c n 11 ‘J'


liliat sebagai „pertentangan anlara kedaulatan ( s m i v c r < M n i l c i t t i r * » n t i i c -
te n )” . Tang m enolak anggapan lama itu a.i. v a n B r a k c 1.
Perlu dikemukakan diuga bahwa eliusus para pengarung dalam baliasa
Inggris masih tetap memakai istilah hukum jterselifiihian ( „r.o n f ic
o f laws” ) ilu. Apakah terminologi (pengistilahan) In ggris tersebut
masih tetap mempengaruhi hal djuga di Indonesia pada waktu seka­
rang digunakan istilah „hukum perselisihan” („c o n flic te n r e c h t ) .
biarpun pada hakekatnia tiada perselisihan atau pertentangan antarn
peraturan h u k u m ? Lihatlah mengenai istilah-istilah M r D r G o u w
O i o k S i o n g ..Hukum antar golongan. Suatu pengantar” , lial. 1 *jjb.
Tentang perkembangan (sedjarah) lin .i. dan perkem ban gan (scd.tn-
rah) ilmu Ii.p.i. batialali a.l- Mr J.. K o s t e r s „H e t internationaal
burgerlijk rerht in Nederland” . 1917 (m asih tetan standaardw erk) ,
P rof. Mr E.M. M e i j e r s „L ’ histoire des principes fo n d a m en teu *
du droit international prive a partir du m oven-age” dalam ..Rec.jicil des
C-ours de 1’ Academie de Droit International ” tahun 194-3; P r o f. Mr
R.T). K o i l c w i j n „Geschiedenis van de Nederlandse wetenseliap
van bet internationaal privaatrecht tot 1830” , 1 9 3 7 ; J .M .B , S c h ° ^ "
t e n ,.IIet begrip eomitas in liet internationaal privajitreehf van de
Hollandse juristenschool der .zeventiende eeuw” , disertasi N ijm egen
1949.
Ahirnja, tentang pasiil-pasal 16, 17 dan 18 A.B. perlu diperhatikan
Mr H. M a r c e l l a „Algempene Bepalingen van W etgev in g” , di­
sertasi Leiden 1913,

458
P asal 17 A .B . ..M engenai benda jang tidak bergerak berlaku
u n d a n g -tm d a n g negara atau tempat di mana lienda itu tei letak
T jo n t o lm ja : seorang w argan egara I n d o n e s ia m em punjai rumali
di N e g e ri "Belanda. H ukum jang berlaku m e n g e n a i rum ah itu liu
ku m B e la n d a . D alam hal ini jang ditundjuk ialah hukum B elanda,
ja itu liu k u in nasional tempat di mana rumali itu terletak. Pasal 17
A .B . m en era n gk an berlakunja lex rei sitae atau statuta rv.il, jak n i
ja n g b e rla k u ialah hukum tempat di mana benda itu terletak.
P asa l 1P> A .B . : „B en tu k tiap perbuatan ( = tjara m endjalun-
kan perbuatan^ ditentukan oleh undang-undang negeri atau tem pat
dim an a p erb u a tan itu diadakan” . Seubali tjou toli : seorang w arga-
negara In d o n e sia m en d ju a l benda jang bergerak kepada seorang
w arga -n ega ra In d on esia lain di kota Paris. Jang dapat m enentukan
isi p e r d ja n d jia n d ju a l-b e li ini ialah hukum Indonesia, tetapi jang
m e n en tu k a n tjara m engadakan p erd ja n d jia n d ju a l-b eli tersebut ia ­
lah h u k u m P eran tjis. Pasal 18 A .B . m enerangkan berlakunja statuta
m ixta .
T ra k ta t ja n g m em uat peraturan petundju k adalah a.l. him punan
traktat-traktat ja n g hiasan ja disebut Traktat-traktat D en H aag (ITaag
se T ra cta te n ) : traktat tertanggal 12 D ju n i 1902 m engenai p erk a ­
w in an , traktat tertanggal 17 D ju li 1905 m engenai kekajaan perka- (
w in an (h m velijk se v erm ö g e n ), traktat tertanggal 12 D ju n v 1902
m e n g e n a i p e rtje ra ia n dan „p ertjera ia n dari m ed ja dan tem pat
tid u r” , traktat tertanggal 12 D ju n i 1902 m engenai perw alian atas
ja n g b e lu m b e rtju k u p um ur dan traktat tertanggal 17 D ju li 1905
m en g en a i k u ra tele (pengaw asan, cúratele) 3.
T e ta p i w alau p u n h u k u m nasional asing pada u m um nja diakni
dapat d ju g a b erla k u sebagai h u k u m jan g inenjelesaikan perkara p ri-

3 T e r m a s u k T raktat-traktat D en H aag itu d ju p i sua t u traktat tertan g-


tial 1 7 D ju li 1 9 0 5 m en genai hukum atjara privat. Traktat-traktat D en
H a a g itu hasil b eberap a k onverensi h u k u m internasional ians; diada­
k a n d ik ota D en H aag atas andju ran M r T o b i a s M C. A s s e r -
M a k su d k o n fe r e n si tersebut ialah m endapat kesatuan dalam lapnn^an
li.p .i. J a n g m u la-m u la m elak u k an p ertjoh a an m endapat kesatuan ter­
sebu t ialah seora n g ahli h u k u m bangsa Italia P a g q u a l e Man-
c i n I. S ed ia k tahun 1 9 0 0 telah diadakan ban iak konverensi dengan
nu iksud m em bu at traktat-traktat ja n g m em u a f h u k u m bersam a-sam a.
J m sia tifn ja d u la k u k an oleh baik organ isasi-organ isasi internasional
an tar p em erin tah (m isa ln ja , Liga B an gsa-ban gsa) m aupun organisasi-
organ isa si p a rtik elir internasional.
P e r lu d ju g a d ik em u k ak a n bahwa tidak ada satupun d ia n ta r a Traktat-
traktat ü c n H aag itu oleh pem erin tah B elanda dahulu didjadikan
b e rla k u d ju g a di In d on esia. R ja d i, Traktat-traktat D en H aag tersebut
tid a k m e m p u n ja i kekuasaan m engikat di In donesia Lihatlah n oot 116
dari B ab I (p a r . 1 1 ) ,

459
t
vat ja n g d itim b u lk a n d a la m w ila ja li n ega ra n a s io n a l s e n d ir i, m a sih
d ju g a k a d a n g -k a d a n g b e b e r a p a p era tu ra n terten tu d a r i h u k u m na­
sion a l asin g tersebu t tid a k d a p a t d iterim a sebagai h u k u m ja n g d a p a t
m en ga tu r. H u k u m n asion al asing lia n ja dapat d id ja la n k a n d jik a la u
tid a k b e rte n ta n g a n d en ga n ta ta tertib u m u m n a sion a l ■*. S e b u a h t jo n -
to h : w a la u p u n h a k im B e la n d a 'm e n g a k u i statuta p e r s o n il se o ra n g
w arga n egara R .P .A . alau seora n g b era g a m a Isla m ja n g la in (p a sa l
6 A .B . B e la n d a ), m a sih d ju g a tid a k d a p a t d ite r im a h a l o r a n g w a rg a -
negara R .P .A . atau ora n g b era gam a Isla m ja n g la in terseb u t k a w in
den gan le b ih dari pada satu ora n g p e re m p u a n W 'arga-negara B e la ijd a

atMU o ra n g p e re m p u a n bera gam a ICerislen la in , k a re n a d i N e g e r i


B ela n d a ja n g m e n d ja d i tatatertib u m u m n a sion a l ia la h azas m o n o ­
gam i. Jang m e n en tu k a n tatatertib u m u m n a sion a l ia la h h u k u m n a ­
sion al sen d iri. T e ta p i m e n o la k h u k u m asin gc? b e rd a sa rk a n ta ta te rtib
u m u m n a sion al itu tid a k b o le h d ila k u k a n k a re n a s e n tim e n b e la k a
te rh a d a p h u k u m asing tersebut.

J an g d im a k su d den ga n p era tu ra n asli ia la h p e ra tu ra n ja n g


m e m b e ri sen diri p en jelesa ia n . P era tu ra n asli itu tid a k m e m m d j u k
h u k u m n a sion al m ana akan m en g a tu r, tetapi m e n g a tu r s e n d ir i. M i-
sa ln ja : T ra k ta t B russel tertan ggal 23 S e p te m b e r 1910 m e n g e n a i t a b r a ­
k an antara k a p a l (a a n v a rin g ) serta a k ib a t ta b ra k a n itu 5, T r a k ta t
B e rn terta n gga l 23 O k to b e r 1924 m en g en a i p e n g a n g k u ta n b a ­
ran g dan o ra n g den ga n k ereta a p i « , T ra k ta t W a rsa w a (W a r s c lia u )
tertanggal 12 O k to b e r 1929 m en g en a i p en g a n g k u ta n iid a ra 7, T r a k ­
tat G en eva terta n gga l 7 D j u n i 1930 m e n g e n a i w esel da n T r a k ta t

4 T e n ta n g „ ( n a t i o n a l e ) o p e n b a r e o rd e ” b a tja la li R .D . K o 1 1 e w i j n
„ H e t h eg in sel d e r o p e n b a r e o r d e in het in te rn a tio n a a l p r i v a a t r e c h t ” ,
disertasi A m sterd a m 1 9 1 7 . „O p e n b a r e o r d e -” ini m e n d ja d i h a l a n g a n
b esa r u n tu k m en g a d a k a n k esatu an d alam la p a n g a n Ii.p .i.. J a n g d i­
m a k su d d e n g a n „ o p e n b a r e o r d e ” dalam h .p .i. b u k a n la h „ o p e n b a r e
o r d e ” dari p asal 2 3 A .B .. „O p e n b a r e o r d e ” dari pasal 2 3 A ,13. a d a la h
„in te r n e o p e n b a r e o r d e ” (ta ta tertib u m u m in t e r n ).
3 O le h p em erin ta h B ela n d a d a h u lu Iraktat ini tida k d id ja d ik a n b e r la k u
di In d o n e sia .
6 T ra k la t ini oleli p em erin ta h B ela n da d a h u lu tida k d a p a t d id ja d ik a n
b e rla k u di In d o n e sia k aren a traktat ini h a n ja d ia d a k a n u n lu k w ila ja h
E ro p a h .
7 O le h p em erin ta h B ela n d a d a h u lu d id ja d ik a n b e rla k u : E u e h lv a a rtb e -
slu it 1 9 3 2 , E .N .H .B . 1 9 3 3 Nr 11& (u n tu k m e la k sa n a k a n T r a k ta t P a ris
1 9 1 9 ) dan L u c litv a a rtord on n a n tie 1 9 3 4 , E .N .H .B . 1 9 3 4 N r 2 0 5 . P e ­
n g a n g k u ta n u da ra sek a ra n g d id ja d ik a n sesuai d e n g a n O r d o n a n s i P e ­
n g a n g k u ta n U dara (E u e h tv e r v o e r -o r d o n n a m ie ), I...N .H .B. 1 9 3 9 N r 1 0 0

460
Goneva tertanggal 19 Maret 1931 mengenai chèques.

Di sa m p in g k em ungkinan m enggunakan peraturan petu n dju k


dan- k e m u n g k in a n m en ggu n a k an 'p era tu ra n asli, ada kem ungkinan
k e tig a : k ed u a b elah fih a k m engadakan pilihan hukum (reclitskeu-
z c ) , ja i l u m erek a bersetiuljuan bahw a hubungan m ereka akan d i­
atu r o le li h u k u m ja n g d ip ilih n ja sendiri. M isalnja, seorang p ed a ­
gan g w a rg a -n cg a ra Indonesia dan seorang pedagang warga-negara
D je r n ia n b e rse lu d ju a n bahw a p erd ja n d jia n d ju a l-b eli m ereka akan
d ia tu r o le h h u k um Jnggris. Tentang jiililian hukum ini lihatlah
k a r a n g a n P r o f. 11.D. K o l l e w i j n dalam „R ech lsg elcerd e O p-
s te lle n ” ja n g disam paikan kepada P rof. S c h o 1 1 e n !). v

J a n g m e n d ja d i sebab m aka ditim bulkan suatu hubungan h.p.i.


dan ja n g m en d ju d i sebab muka siuUu \\mVVVVAW VWVUWW
te rte n tu atau suatu peraturan h.p.i. (a sli) nioiigaturnja arIalah ,,aan.
fcnopirigs]>itnti‘n (h a l-lial ja n g m eiigh n bu n gkan ) dalam ilua alan
le b ih ta ta b u k u m nasional, m isalnja, hukum I n d o n e s i a dan hukum
P e r a n t jis dalam hal diadakan suatu p e rd ja n d jia n d ju a l-b eli antara
s e o ra n g w arga-negara Indonesia dan seorang w a r g a - n e g a r a Perantjis
di D ja k a r ta . „A d n k n o p in g sp u n le n ” itu kewarga-negaraan kedua be-
lali fih a k dan tem pat di mana p erd ja n d jia n tersebut diadakan. K e-
w a rg a -n e g a ra a n boleh dianggap „aanknopingspunt” prim er (perta­
m a ) d a n tem pat b o le h dianggap „aanknopingspunt” sekunder (k e ­
d u a ). „A a n k n o p in g s p u n t” prim air itu m enim bulkan suatu h u bu ­
ngan h .p .i- sedangkan „aan k n opin gspu n t” seku n d er m endjadi fa k tor.
p en g a rn h (b e iu v lo e d in g s fa e to i) penting ja n g menentukan hukum
m ana akan m engatur. Dalam ijoiiloh k.Ulli : llill piM(ljrtndjian
d j ual b e h diadakan di D jakarta — „aanknopingspunt” sekunder —
m e m b e sa rk a n kem ungkinan baliwa perd jan d jian itu akan diatur
o le li h u k u m Indonesia. Suatu „aanknopingspunt” sekunder tidak
m e n im b u lk a n suatu hubungan h.p.i.. „A anknopingspunt” sekunder
itu h a n ja m em pen garu h i penentuan atau pem ilihan liukum nasional
ja n g a k a n m engatur.

8 K eclu a Traktat Geneva m engikut djuga Induncsiu berdasarkan L.N. Be­


la n d a 1 90 5 Nr 2 2 4 dan 4 9 0 jo Persetudjuun Perpindahan K . M . B .
p a sa l 5 ajat 1 .
9 „K c c lits k e u z e , e«.n Nederlands Indie.se rechtsspiegel aan het interna-
tio n a a l privaatreoht voorgoh ou den ” dalam „Rechtsgeleerde Opstellcn”
k e p a d a P r o f, M r P a u î S <•h o I t e n, hal 279 djb.

461
T etapi dalam suatu hubungan intern (interne verliouding)
pilihan hukum (rechtskeuze) itu m endjadi „aanknopin&spunt” p ri­
mer. T jon toh = dua orang warga-negara Inggris bersetudjuan bahwa
perdjandjian djual-beli mereka akan diatur oleh hukum D jen n a n
sedangkan mereka kedua itu bertem pat tinggal di L oudou 10. t

B. H ukum perselisihan nasional.

1. H ukum intergentil ( hukum antar golongan).


Kita telah mengetahui bahwa hukum privat di Indonesia b e r­
aneka warna. Bagi hukum privat di Indonesia ada liga golongan h u ­
kum : golongan hukum adat, golongan hukum E ropali dan golongan
hukum adat Tim ur asing (orang T ionghoa termasuk golongan ,
hukum E ropah). Seorang Indonesia asli m endjual hasil tanah n ja
kepada seorang keturunan Eropah. Fihak Indonesia asli tunduk pada
hukum adat sedangkan fihak lain tunduk pada hukum E ropah. Per-

10 Pembatjaan „standaard” : Mr W i r j o n o P r o d j o d i k o r o „A zas-


azas hukum perdata internasional” , 1961 ; P rof. Mr D r G o u w G i o k
S i o n R „H ukum perdata internasional Indonesia” , I ( 1 9 6 1 ), II,
I (1 9 6 2 ), II, 2 (1 9 6 3 ), II, 3 (1 9 6 4 ). Pem batjaan m engenai h.p.i.
di Indonesia : D r H.J. L e v e 1 t „G czag en tcnuitvoerlegging van
door vreemde recliters gcwezcn vonnissen” , T . 124, hal. 7 3 ; M r H.
Ficvez de Malines van Ginkel „C od ificatie van liet
internationale recht” , T . 123, hal. 72. dan T . 124. hal : 256., „ I n -
ternationaal verkeersreclit” , T . 124, hal. 332 dan 4 3 3 ; P ro f. M r R .D .
Kollewijn „D e ontwerp-verdragen van de volkenbond b e tre ffe n ­
de het dom icilie” , T. 129. hal. 2 8 ; Mr W .L.G. L e m a i r e „D e
terugverwijzing in het Nederlandsch-Indische internationaal privaat-
reclit” dalam T . 148. hal. 1-26. H .p.i. diluar negeri : di sam ping
karja v a n B r a k e l dan K o s t e r s djuga penting diketahui ■
D r A.C.J. M u l d e r „In leid in g tot het Nederlandsch Internationaal
Privaatrcclit” , 1947 ; P ro f. Mr I. H. H i j m a n s „A lgem een e P r o ­
blemen van internationaal privaatrecht” , 1937 (ja n g memakai suatu
„soeiologische m éthode” ) ; L. R a a p e „Internationales Privatrecht” ,
1 95 0; P. A r m i n j o n „ Précis de droit international privé” , 1947-
1 95 2; J.P. N i b o y e t ,,Traite de droit international privé” , I-TII,
1947-1951, IV, 1947, V, 1 9 4 8 , V I, 1 949-1950; A .V . D i c e y „T h e
Conflict o f Laws” , 1949 (diusahakan penerbitan baru oleh J.H.C.
M o r r i s) ; G.C. C h e s h i r e ,,Private International Law” , 1952 ;
A. N u s s b a u m „G rundzüge des Internat. Privatrechls unter bes­
onderer Berücksichtigung des amerikanisches Rechts” , 1 9 5 2 ; M a r ­
t i n W o l f „Private International Law” , 1 95 2; ringkasan dan p em ­
batjaan chusus : P rof. Mr R .D . K o l l e w i j n „O ntaarding van het
nationaliteitsbeginsel in het m oderne internationale privaatrecht” ,
pidato Batavia 1929, dan „M eijers en het internat, priv. recht” dalam
„R echtsgeleerd Magazijn Them is” — „M eijers n om m er” , 1950, liai.
213-232 (suatu ringkasan tentang h..p.i. pada djam an sekarang) ;
penting djuga pandangan K e l s e n „General Th eory” , hal. 2 43 :
Conflict o f Laws.

462
tanjaan : hukum mana atan hukum apa akan m engatur perd jand jian
d ju a l-b e li ini ? A da tiga kem ungkinan : perd jandjian dju a l-b eli
itu diatur oleli liukum adat, oleh liukum E ropali alau oleh hukum
janji bu kan hukum adat m aupun bukan liukum lirop a h . P en jele-
sian perkara-perkara sem aljam ini dipeladjari oleh hukum inter-
gentil f=r liukum antar golongan liukum ) 1X.

11 Pem bataan : Mr D r G o m w Giok Siong „H u k u m A ntargo-


lon g a n . Sualu pengantar” , 1956 (b u k u ini m endiadi „h a n d b o o k ”
u n lu k d j a n i a n sek a ra n g), „B eberap a lialalan sekitar perubalian-
Ticrubaban hukum lanali antargolongan” «lalain ..H u k u m ” , 1 9 5 7 , 7-8,
lial. 1-19, dan „H u k u m ” , 1 95 8, 1 -2 ; hal. 2 1 -3 3 . „H u k u m antar-
g olon g a n . liukum jan g h idu p” , pidato inaugurasi Diakarta 1 9 5 8 ;
Mr A n d r ó «lo la Porlc „B escliom vin gen over nuasi intor-
nation aal privaatrecht” dalam T . 91 th 1 9 0 8 ), lial. 1. 1 67 dan 2 3 9 ;
P r o f. M r C. v a n V o 1 1 c n li o v e n „A d atrech t” . II, hal. 6 5 3 -6 6 7 ;
P r o f. M r R D. K o I 1c w i j n „In tergen tiel privaatrecht” dalani
T . 131 hal. 517 dib. (terdiem ahan dari karangan „In lerra cia l Lavr”
dalam kum pulan karangan-karangan i a n " diterbitkan dibawali p im ­
pinan R. S r h r i e k c jan g bernam a ..T he E ffcc t o f W estern In -
flu cn c e on Native Civilization in the M alav Archipelas'n” , 1 9 2 9 ) ,
..C on flit colon ial el intcrracial private law . R e p o n te á M r H e n r v
S o 1 u s” dalam T . 132. hal. 309 (diaw ahan ata« knrnnran P»-of. TT.
S «» 1 u s ..C on flit colonial e' interracial nrival law” dalam T . 1 3 1 ,
hal. 5 54 dan T . 132. hal. 3 1 6 ). .,H el H ocfggcrcch tsh of van N ed.-
1 ndie en liet intergentiel reclil” dalam „F eeslb n n d el Rataviaaseli Ge-
n ootsclian ” , 1929. T, karangan ..Intergentiel R echt in IVedorlamlscli
In d ic dalam T . 151, hal. 5 5 1 -5 5 7 . „E n ie e op m erk in g en over de gel-
d in g van liet Indonesisclie W etboek van K o op lia n d el na de sou vcrein i-
teilsoverdrach l” dalam „R ech tsgeleerd M agaziiu” ---- ..Cleverinsra
n u m n ier” . 1 95 2. bal. 6 1 7 -6 2 7 . dan „In tergen tiel recht in A lgerije”
dalam „M ed ed olin gen K on . Ned. Akad.. van W etcn sclia p n en ” . Á fd .
L ctlork u n d e, 1 9 5 3 , 16, 9 ( sangat pen tin g bagi „rech tsvercelijk in g” ) ,
sem ua karangan penting P ro f. K o 1 1 e w i i n d ik u m pulk an dalam
k u m p u la n karangan. „In tergen tiel R ech t” . 1 9 5 5 ; M r L o m a i r c
„O v e rg a n g van godsdienst ais nrohleem van inlergen tiel privaatrecht” ,
disertasi Batavia 1 93 2, „Tntorlocaal en intergentiel privaalrecliteliike
hosch ou w in gen naar aanleidinrr van liet nieuw e huw eliiksreclit d er
Cliri.ston-Tnlanders” dalam T . 1 38 , hal. 6 5 5 , ringkasan dalam „H e t
recht i n In d on esio (H u k u m In d o n e s ia )” , b a l. 1 9 1 -2 0 0 , dan „K w esties
lili de studic van het intergentiel recht” , pidato inaugurasi Leidon 1 9 5 6
(d 'b itia ra k a n oleh Z a i n a 1 H a 1 i m dalam „H u k u m ” . 1 9 5 8 , 1-2
hal. 1 4 7 ) : .T.J.W. K l e i n „B iid ra g e tot de studie van het intergentiel
privaatrecht” , disertasi Loiden 1933 (d en ga n boek h esp rek m g K o l l e -
wijn. T . 141 hal. 1 1 2 -1 1 7 ); ,,In tergentiel n u m m er” . T.. 1 5 1 , h al. v
5 5 0 d ib ; W e r t li e i m „R eclitcliik e vrijhavens” , T . 1 51 , hal. 4 2 3
d jb .; A. A r t h u r S e li i 1 1 e r ..C on flict o f I-.aws <n In donesia” d a­
lam „T h e Fa r Eastern Q uarlerlv” , N ovem ber 1 9 4 2 : M r M o h. K o e s .
n o e n „A rti, tem pat dan sifat hukum ¡n tergen liel” . dalam „M adjalah
H u k u m dan M asjarakat” , April 1 95 7, hal. 1 0-23 , „M aksud para
p ih ak didalam perh u bu ngan hu ku m intern golon gan dan didalam
liu k u m antar g olon ga n ” , kuliah um um Surabaja tanggal 26 D iu n i
1 9 6 1 , dan ,,Perkem bangan dari pem ikiran dan tjara-tjara n en jelc-
saian h u k u m antargolon gan di Indonesia” , tesis Surabaja 1 9 6 5 : Mr.
W irjono P ro d jn d ik o ro „H u k u m antar-golongan di In d o-

463
Seperti halnja dengan hukum privat internasional 12 m aka h u ­
kum intergentil terdiri atas peraturan p etu n d ju k dan peraturan asli
atau peraturan sendiri.
Peraturan petundjuk itu mengatakan hukum dari golongan
hukum mana akan mengatur : hukum adat, hukum adat T im u r
asing atau hukum Eropah. M isalnja, pasal 6 ajat 1 dan pasal 7 ajat
1 L.N.H.B. 1893 Nr 153 (K oninkl. Besluit tertanggal 29 D esem ber
1396 (N r 2 3 )) Peraturan Perkawinan T jam puran (R egelin g op de
Gem engde Huwelijkeu) 13, pasal 2 ajat 1 L.N .H .B. 1913 N r 33 O r­
donansi Persewaan tanah (G rondliuurordoiinantie).
Beberapa peraturan petundjuk jang diterim a oleh jurispru-
densi : warisan diatur oleh hukum warisan (erfreclit) dari jang
meninggalkan warisan itu, hukum jang mengatur pengakuan (er-
kenning) anak jang lahir diluar perkawinan (buitenechtelijk k in d)
ialah hukum ajahnja 14.
Peraturan asli adalah peraturan jang tidak m enundjuk hukum
dari golongan hukum mana akan m engatur, tetapi m em beri sendiri
penjelesaian. Misalnja : pasal 2 pasal 6 ajat 1 (a liir ), 2 dan 3
Peraturan Perkawinan T jam puran, Larangan Pengasingan tahun
1375 (L.N.H.B. 1375 Nr 179) (tidak berlaku la g i), Pasal 275 sub 2

nesia” , 1 9 5 6 : P rof. Mr G.J. K c s i n k „C oiiflietenreeht van <lc


INederlauds-Indisehe staat in internationaal-reelileliike ¡sotting” dalam
B .K .I., 115, hal. 1 -3 9 ; Mr I l a r t o n o S o e r j o p o e t r o „H u k u m
antargolongan, hukum jan g merana” , skripsi D jem ber 1962 (tidak
dipublikasi) ; Mr N. T i r l a a m i d j a j a „T iga laraf p erk em ban g­
an ilmu hukum anlar-golongan di Indonesia” , „M edan Ilm u P en g e­
tahuan” , I. 2, hal. 199-210. Oleh Mr D r G o u w G i o k S i o n g
telah diterbitkan suatu him punan keputusan-keputusan hakim m e­
ngenai hukum intergentil (1 9 5 9 ),
12 Pada permulaan, ilmu liukum dan praktek m enganggap hukum in-
tergenlil itu suutu „quasi internationaal privaatrecht” (a .l. A n d r e
d e l a P o r t e ) , jailu, menurut pendapat ini, maka suatu perkara
intergentil dapat diselesaikan berdasarkan peraturan-peraturan li.p i.
jan g didjalankan setjara analogi. K o l l c w i j n l a h jan g m en gem u ­
kakan bahwa anggapan tersebut adalah suatu kesalahan fahatn. H ukum
intergentil itu liukum jang meinpunjai ob jek sendiri. K o 1 I c w i j n -
lah jang mendjadi petulasar ilniu hukum intergentil m odern.
13 Gouw Giok S i o n g „Segi-segi hukum peraturan perkawinan
tjam puran” , disertasi Djakarta 1955. Penting diketahui djuga K o l -
I c w i j n „G em engde liuwelijken tussen Europese m eisjes en M oliam -
medaanse Indonesiers” dalam madjalah „D e Stuw” , n om or 10 jaargnng
I (hal- 4 -9 ) (1 Agustus 1 9 3 0 ); Mr J« v a n II o e v e ,, G em engde
liuwelijken” dalam T. 135, hal. 451.
14 Keietanan Hoojr Gerechtshof tertanggal 18 Maret 1926, T . 124, hal.
122.. Lihailah karangan K o l l c w i j n dalam „F eeslbu n del Bat.
Genootscliap” , I, 1929, hal. 362.
15 Pasal 11 dari „O vergangsbepalingen” tidak berlaku lagi karena P era­
turan Perkawinan Tjam puran ini.
K .U .H . P erdata, pasal 284 ajat 3 Iv.U.H. Perdata 16 (dianggap tidak
b erla k u la g i), pasal-pasal 16 dan 17 L.N .H .B. 1917 N r 12 (P era tu ­
ran P entaatan dengan sukarela pada hukum privat E rop ah ) (tidak
ada a rtin ja la g i), pasal l603x K .U .H . P e r d a ta 17) (d i anggap tidak
b erla k u la g i).
P eraturan asli ja n g diterim a oleli jurisprudensi : tanah ja n g
sekali tunduk pada sesuatu hukum — jaitu huk um E rop a h atau
h ukiun adat teta]) tunduk padu huk um lerlenlu itu siapapun
(!i uSa » le n d ja d i p em ilik n ja atau pem egangnja 1S (tid a k ada a rti­
n ja la g i).
S ep erti halnja dengan hukum privat internasional, m aka d ju ga
dalam h u k u m intergentil hubungan-liukum antara anggauta m asing-
m asing golongan hukum diiadakan karena „aan k n opin gspu n t” p r i­
m er, serta ja n g penting untuk m enentukan h uk um dari golongan
h u k u m m ana atau peraturan sendiri akan berlaku ialah „a a n k n o ­
p in gsp u n t” sekunder „A an k n opin gspu n t” p rim er adalah mamtsia
(s u b je k h u k u m ) — ja n g golongan ln iku m n ja tidak sama — dan
tanah. B erbed a dengan hukum privat internasional, m aka dalam

16 Pasal-pasal 275 sub 2 dan 2 8 4 ajat 3 K .U H P erd-u » nrinioi


d en g a n fik iran seperti dari M r L.W .C . v a „ d e n B e r ~ Í
waktu ilu O h. 1 8 9 6 ) nuisili san ta i b crp cn c-iru h d m imi*’ pa
n gn n ggn p hukum E ropah lebih « n ggi d£rl pad” hu ku m ada™(fHiaUalV
„p ra oa d v ies” Mr K.W .C. v a n d e n B e r g dan M r H Balet
d«* w -Ijfviiir hclrcrfondn liiiwelijken Umvhvn personen h,*
h o o re n d e lot de beide staalkum lliie «••il.v.v, ,1 . v >1 i i i i
d isclie b ev olk in g (d ic der E uropoan-m ™ . N‘ .<}0 ,ll‘ ,ulsoU
«lie d er Inlan ders en met hen gelnktrcmol J iIosle^ e n , e;i
h e h o e fle ? Z o o n ccn , welke w i l i n i n ! ' ' 0 T " * -« ,
lin g e n d er N ed.-Indisehe Juristcnver 1 8 8 7 ,l,° f.lerfl ” ’ „H a n d e -
( 1 8 8 7 ) . B atjalah tjelaan P r o f K o 1 1 o w 5 * ’ . V*®, JaarSa» e ) 1,
ajat 3 K .U .H . Perdata itu „H e t J , „ L n „ J T V le ^h.at,«P Pasal 2 8 4
gen tiel reclit (A rt„ 2 8 4 , lid 3 van het °R R ?-P.?n 111 liet ' n ter-
m a djalali „ D e Stuw” n o m o r 2 d-m H i u rSerlijk W e tb o e k )” dalam
nuari dan 1 F ebruari 1 93 1, hal* 1 - 5 ■*i,a rS^,,g H , tertanggal 15 D ja -
17 P eratu ran p erun dang-u ndanean
d alam titel IV L .N .H .B . 1 93 3 N r 7 a ,n te,r g,en “ l teri jan tu m d ju g a
In d o n e s ie r s ), L .N .H .B . 1 9 0 4 Nr i uwe‘ yk sord on n an tie C hristcn
1 0 1 . Lihatlah J. P h . v a n H a .fe ít " u * .L N ; H B '. 1941 Nr
d e Iiuw elijksordonnantie v oor Ph •.:.*» r V b o ,s ,n 8 8»,ePaIingen van
1952. ^ nr,s|en-In don esiers’ ?, disertasi L eiden
18 T . 9 9 , hal. 4 1 2 , k epu iu sa n H ooí* r « t. .
1 9 1 2 ini dasar dari h u k u m in t e r a m r i »ertanggal 3 O k tob er
g r o n d e n r e ch t). Lihatlah d ju g a k e m .i.J n^ u g e n a i tanah (in tergen tiel
2 5 O k to b e r 1 93 4, ja n g m engikuti n? n i g G ereclitsh of tertanggal
T . 1 2 6 , hal. 1 00 d jb .. D i r i n g i n « o lrf í ? Pat K o , l c w i i n dalam
Inm m adjalah „H u k u m ” , 195 7 7 8 1 ” u w G i o k S i o n g da-
g en til m engen ai tanah ini telah di.l l- , Ri'vni at hukum inter-
d a n g-u n d a n g P o k o k A graria ja n g “ an n lu ,ai dialiiri oleli Un-

465
hukum intergentil tempat (piaats) itu tidak m erupakan „aauktlU-
pingspunt” prim er. Inilah suatu perbedaan azasi antara hukum p r i­
vat internasional dan hukum intergentil. A da lagi perbedaan azasi
untuk hukum intergentil tidak ada azas „tatatertib um um nasional
(beginsel van „nationale onenbare orde” ) , karena kedudukan dari
masing-masing m atjam hukum privat itu jang satu terhadap jang
lain sederadjat. Salah satu dasar hukum intergentil ialah „g elijk -
waardigheidsbeginsel” (azas kedudukan sederadjat masing-masing
m atjam hukum privat jang satu terhadap jang la in ). H ukum E ro-
pah berkedudukan sederadjat dengan hukum adat. H ukum E ropah
sama sekali tidak „m eerwaardig” dari pada hukum adat.
Sebagai „aanknopingspunt” sekunder dapat disebut a.l. : suasa­
na (m ilieu ), pilihan hukum, (rechtskeuze), bentuk perbuatan h u ­
kum. (vorm van de reclitshandeling, jaitu tjara perbuatan hukum
jang bersangkutan dilakukan) 1<J.
T jon toh tentang suasana sebagai „aanknopingpunt” sekun­
der 20 : seorang Indonesia asli m endjual kidit kepada seorang T io n g ­
hoa di rum ahnja di desa. Suasana (desa) m endjadi sebab maka per-
djandjian djuai-beli ini diatur hukum adat.
Pilihan hukum didjalankan apabila kedua belah fihak (dengan
sukarela) bersetudjuan bahwa hubungan (hukum ) m ereka akan
diatur oleh suatu hukum tertentu jang bersama-sama d ip ililin ja sen­
diri (akibat „partij-autonom ie” dalam hukum p riv a t)21, m isa lu ja ““1,
kedua belah fihak bersetudjuan bahwa hubungan m ereka akan d i­
atur oleh hukum Eropah.

19 Lihatlah karangan K o l l e w i j n dalam T . 131, hal. 517.


20 Keputusan ltaad van Justitie Surabaja tahun 1919, T., 113, lial. 3 8,
keputusan Landraad Batavia 8 April 1938, T . 148, hal. 8 3 , k e p u ­
tusan Ilaad van Justitie Surabaja 2 N opem bcr 1938, T . 151, hal. 6 1 1 ,
ketetapan H oog Gerechtshof tertanggal 18 Maret 1926, libatlah lio o l
14.
Keputusan H oog Gerechtshof 5 Desember 1940, T . 153, hal* 4 7 6
(dengan tjatatan P rof. W e r t h e i m ) . Inilah beberapa tjon toh ,
21 Batjalah karangan K o l l e w i j n dalam „R echtsgeleerde O p slellen ”
kepada P rof. S c h o 1 1 e n jang telah kami sebut pada n oot 9.
Dalam suatu liubungan-liukum jang intern, maka pilihan liukum itu
„aanknopingspunt” prim er. Dua orang Indonesia asli (k ed u an ja tun­
duk pada hukum adat) bersetudjuan bahwa hukum E ropah akan m e ­
ngatur perdjandjian djual-beli mereka. Pilihan liukum ini suatu „a a n ­
knopingspunt” prim er (pasal 26 L.N.H.B. 1917 Nr 12 m em beri k e ­
m ungkinan sematjam in i).
I’ entaatan dengan sukarela pada hukum privat E ropah (B a b X III,
par. 5 ) itu pada liakekatnja suatu pilihan hukum . Tetapi ada p er­
bedaan antara kedua matjam pilihan hukum itu. Perbedaannja :

466
A p a b ila kita m engatakan Lukum intergentil m aka ja n g senan­
tiasa dim aksu d ialah hukum privat intergentil. H u k u m intergentil
tid a k m e lip u ti hukum pidana, karena h uk um pidana Indonesia
k am i tidak m engingat akan m asih adanja peradilan bu m ipu tera dan
pera d ila n sw apradja, ja n g telah direntjanakan akan hapus setjara
berangsur-angsur <L.N. 1951 N r 9 ), dan untuk sem entara w aktu
m asih p e rlu b erlaku n ja pasal 5 ajat 3 sub b L.N. 1951 N r 9 —
telah diu n iiikasi.
A Jiirnja, perlu dikem ukakan bahw a pada saat sekarang la ­
pangan h u k u m intergentil ilu m akin berkurang — U ndang-undang
P o k o k A graria, surat edaran M ahkam ah A gu n g tertanggal 5 S ep ­
tem ber 1903 — , sehingga Lepat sekali dalil M r H a r t o n o S o e r -
j o p o e tr o bahw a hukum intergentil adalah „h u k u m ja n g
m era n a ” - a.

P ilih an h u k u m — penlaatan tlen gan sukarela


fiadu azasnja dapat dipilili liu- — pentaatan ( = p ilih a n ) pada bu-
Kum tiap g olon ga n hukum Kuin privat Eritpuh ( — h u ku m
p ililia u o leh k ed u a jitiak her- ja n g tertentu sad ja )
sam a-sam a
p ilih a n hiasanja dalam ---- penlaatan dapat dilaku kan oleh
liu liu n gan intergentil sulit oran g sadja.
p erbu atan pilihan huku m tidak ---- tidak p erlu dalam h u bu n gan inter-
terikat oleli suatu bentuk ter- gentil
tentu — penlaatan harus (luljalankan de­
ngan suatu ukle notariil.
22 B eberap a tjon toh : k eputusan Landraud Padang 31 M ai 1931 T . 132
hal.. 4 5 1 . k eputusan ttesidentiereehter P adan g 9 M ai 193 0 * X i^ v*
hal. 4 1 7 . k eputusan Kaad van Justitie (k a m a r a d a t) 1 2 M ai 193 9 ’
t ' 15-' ’ i i r ? Plî lUr*V1 i^ a a *1 ,van Justitie (k a m a r adat) 16 Pe-
bruari 1 J 4 0 , 1. o l , h al. 6 (h>. Ada beberapa peraturan p e ru n d a n «-
u u d a n ga n intergentil ja n g tidak m em beri k em u n gk in a n u n tu k nie
ngu dakan p ilih an h u ku m a.l. pasal 1 6 0 3 x K .U .H . Perdata
23 L ih ailah s k n p sm ja ja n g disebut dalam n o o t 1 1 diatas tadi. B erh ..
' ^ CnSa" Î n,U UK’ |m n 'lerg en til, di sam ping „a m a pendasar
(g r o n d le g g e r ) «Imu itu Prof.. M r K .D . K o 1 1 e w i j n (lih atlah n o o t
12 ) , harus dju gu disebut nam a m u rid n ja, P r o f M r G.J. K e s i n k
ja n g berdasarkan „resea rch , telah m en getem uk an (o n td e k k e n ) n ieu ’
w c h is to n s ch c gegeven s om iren t de in te r n a tio n a a lr e c h te l^ a’ ch te ^
« r o n d e n van en ige instituten van intergen liel rech t” riih atl«h I'
In lu id in g padu b „ k „ M r U r G „ „ „
g o lo n g a n , huatu pengan tar” , 195 6 __ t-,.-*;* i • i i»* AIKar

d ïïK * -! “" 4 -i1


in In d on ésie tussen 1 8 5 0 en 1 9 1 0 ” dalam I rt** ?
2 6 5 d jb ., „C on flicten reeh t van de N e d e r l a n a ; ^ 01^ 8’ 0 , ’ } '■ huL
n ation aa lrcch telijk e zetlin g” dalam B .K I 115 l^ lu d V d i b ” ¡ v ' ^
« ■
»n « v pada
tergentd 1" i k waktu
‘ t . " setelah Perang dunia
’ ■‘“ " ¿l i».'i “ “ -«»n

467
2. H ukum interlokal.

Hubungan-hukum antara orang Indonesia asli dari m asing-m a­


sing lingkungan hukum adat (adatreclitskringen) diatur oleh hukum
interlokal (hukum antar lingkungan hukum adat, inlerlocaal rech t).
Seorang M inangkabau kawin dengan seorang Djawa, seorang D ajak
m endjual hasil tanahnja kepada seorang Sunda, seorang Batak m em -
punjai rumah di desa Djawa.
Seperti lialnja dalam hukum intergentil, maka hukum in terlo­
kal ini terdiri alas peraturan pelundjuk dan peraturan asli. B e b e ­
rapa m atjam „aanknopingspunten” m enim bulkan hubungan-hukum
(jaitu „aanknopingspunten” prim er) dan m enentukan hukum dari
golongan adat mana, mengatur (jaitu „aanknopingspunten” sekun­
der) .
A hirnja, perlu ditegaskan bahwa „interlocaal” tidak berarti
„interterritoriaal” .

3. H ukum antar agama.

Hukum antar agama mengatur hubungan antara orang jan g


satu dengan jang lain jang berlainan agama m asing-"»asingnja, cliu-
sus apabila berlainan agama itu m enim bulkan tersangkutnja dua
sistim hukum privat jang berlainan. M isalnja, seorang D jaw a jan g
beragama Keristen kawin dengan seorang D jaw a jang beragam a
Islam. Sistim hukum perkawinan manakah akan m engatur p erk a ­
winan ini ? Seperti lialnja dengan hukum intergentil, m aka djuga
hukum antar agama terdiri alas peraturan petundjuk dan peraturan
asli. Dem ikian djuga adalah „aanknopingspunt” prim er dan „a an -
knopingspunt” sekunder.

4. H ukum interregional.

Pada waktu kolonial penting adanja peraturan-peraturan ja n g


mengatur hubungan-hukum antara penduduk masing-masing bagian
Keradjaan Belanda. Status orang Indonesia warga-negara Belanda
jang bertem pat tinggal di Negeri Belanda, seorang Belanda di In ­
donesia mendapat penjelesaian perkara oleh hakim di N egeri B e ­
landa, adalah persoalan-persoalan menurut hukum interregional. P e ­
raturan-peraturan jang mengatur hubungan-hukum sem atjam ini
disebut hukum interregional (interregionaal rech t). H ukum interre-

468
gional itu siul ah m en dja di sedjarah, karena negara kita lidak lagi
m eru p a k an bagian dari K eradjaan Belanda. U ntuk keadaan p e r ­
alihan lih aila h P erselm ljuan P erpindahan jang dibuat pada K .M .B .
Seperti h alnja dengan hukum intergentih maka h u k u m interregional
dah u lu terdiri djuga alas peraturan petu n dju k (pasal 16 A .B . k a li­
mat k edu a) dan peraturan asli l pasal 159. IS - 1 ) , dan adauja
„a a n k u o p in g sp u n l” prim er dan „a an k n op in gsp u n t" sekunder -M.

24 M «l.k «n „ah A su n g 30 M arc. 1955, „H u k u m ” , 1 95 6 3-1 hal. 2 0 :


”tah-pcrintah
1,S o idari
lr i H fc'
H akim ' «1
r■,lv k a ,,’ ! ,,ahwa » ‘ ■ i"■ -«»-¿ui-lu
¡Vejiei-i i-san
i idan pi-eri,,-
i
, : __ „ k . i :i • . B <»Hun«a dapat d id ja ta n k a n di ln -
don es.a, dan sebal.knja putusan-pm usan dan perintah-perintah «lari
Iak; n' |' ,,, ,, T ; ,a <,a':;U. J'.'Ualankan di i\eSeri lielan da, hanjalal,
lepat (ldldiu j ubuii^aii kolon ial anlara Negeri B elanda dan H india
M c id c k V ’ film bcrl#ku laSi scdjak In don esia m ondjadi
Negara Mei deka (don ga n anotasi M r W i r j o n o P ro dj o di -
25 P em ba tja an m engenai dan sekitar I m l,.,,, • . • i ht ht at
M e c r i e n s dan P ro f. Mr J. v a n K interrégional Mr H M .
lan d sch -In d ië u itgesproken faillielvcrkl ii i n V ’ r,. ’ i , f e" C ^ C<i "
Ia n d " dalan. T . 1 25 , b a l. 2 5 4 ; J H w K rcrf'*ssevoIgen m ÏSedcr-
tusschcn bet N ederlandsehe en het Nederl , l W r,- £ ,vcrh ou ‘J,*»K
disertasi Leidcn 1932 („hoekbesnreL -' ï'" P.r:vaa' r‘' < ' 1 ,
T 137 liai 115 M r w i r UcsPi<iking Kollewiin dalani
60 dan’ Mr H. J c l g c S t V j " f J *' 6 df ? m K ' 33f 9/
h a ï. H 3 d jb .) ; P ro f. M r R .D K ,> l\ V C.n. s dal am ” l l !o m ,s, ’ 1 9 3 3 >
ternalion aal Privaatrechl” nid-,ln : " ' ' " „ïn le rro g io n a a l en In-
gion aal Privaatrechl in de’ T&derHndlJïr,g y pas, Lcu,on 1 9 3 8 > »U niere-
d en k b oek R c c h t s w t e n s e h a p p e li jk H o -Î ’ n * " Î ” U ',iC” dalam
1 9 4 9 ” , liai. 150 d ib TT»;«. ■ Onderwijs in In don ésie 1925-
Juristenblad” , 1 95 0, haï.” 753 d f b ° " t* V” ost,ij ” dalam „N ederlands
rovau m e des Pavs-Bas” dalani i s ’i , , 11 « '» « ‘rrégional prive du
n alion a al reelil” , 1 9 5 3 -1 9 5 4 h a ï 2 (!q ‘>“o 4 T ijd sch rift voor m ter-
h e i m „R ecJiterlijke vrijhavcns” ' r7 1 ™ P ro f. M r W.F. W e r t -
T.D. C a r r i è r e „E e n in è w c Bi n Î . • T ' 1 51 ’ ,' al- 4 2 3 ■d j^ „ : M r
ja a r g a n « 1 94 8, haL 3 8 4 ; M , M I Pp" ’« « ‘ ™ * t e lijk e * ■ * • * »£ . T .

!» ïr !B L J 3 r ^ T Ê S
en igin g v o „
’L Ss
469
ia
11 *\.li.
A .d . :
Keljuali dalam' hal-hal oran~ Indonesi-.
«.m akan dengan orang Indonesia'ilu den~an l ,,,CPCJ“ * ,al,ff dl'
ncraiuran hukum nerd-iM i t-.1"5 sukarela m entaati peratu ran -
h ,« i mereka b"™aku p e ^ t a n " * " ? 'OPa,,• alau dals,n' I,a,llaI hah™
•1« alau peraturan-peraturan perune'ana un ,nC,'untlanr ‘ " n(,ani:an sematjam
borlaku dan iang dilakukan olol. 1 L 1( J1^an lain. maka hukum jang
ialah nndang-undan" a^am i nitrll- i'™ Indonesia ( 1 ) bagi mereka ilu
dan kebiasaan, asal°sadia ner-itni' *’ C a" a'*.cnlhaga kebudajaan rakjat
ngan azas-azas keadilan jang diakui’ ' S J ' " " l! li‘ ,ak h« r>«»la..gaii d c'

75 redaksi lama fi.IL 11(54 ( 2 ) :


M engenai golon gan oran^ F r o i.il, i
perdata dan dagang serta n erkara-nerk-ir-I"',V ,p c n " i"r,iI« » perk a ra -p erk a ra
peraturan um um jang seb-ini-.L- * , P“ ' -ina berdasarkan p cra lu ra n -
undang jan g berlaku di Negeri Rel'and-, ” t,,scsuai*can «lengan u n d a n g-
Oleh Gubernur D iendpr'J
Tndie dap-ii didjadikan berlaku Ivi"' peri"ellu*iuan R aad van N ederlandsch -
bagian golongan ora n g ini ‘ per-iiiirVn K° o n ^an ora n g In d on esia alau se-
an oran g E ropah, ja n g dapat d i s o ^ i k 'U,ra i 1,,rIak" 1,a" ‘ g o lo n g -
golongan oran g Indonesia itu* * i*n J^en San* k e p e rlu a n -k e p e rlu a n
K elju ali dalam bal-bal C l ' ’T ,Iapal d ' ,,b a h -
laku hagi golon gan oran g ^Jent*Cri*l telali m en era n gk a n b or-
atau dalam bal-bal orang Indnnpo'! ,ir rallu'a l,'P e ra ,uran liukMin E rop a h
nerdata dan dagang iang b e rlik u 't . n " a'1 sukarela m entaali h u k u m
liikun Indonesia m endjalanknn h w *Jfi' fr,0 0 " Ka" o ra n g E ro p a h , m aka
]cn,baf!a_,enib a g a kehudaia™ i •Undan" ' ,Im ,an iI agam a m c -
n ak berlenlangan dengan a /a s -'in « i *1 lsaan-kel>iasaan, asal sadja
H akim E ropah m en d ial ani-.,„ j - ° a< 1 j *111?1 diak u i u m u m ,
k ebudajaan dan k e b ia s a a n -k e b ia s a -in ^ l” ' ,lan" - ' !I1dan!:, lem baga-lem basra
nerkara-perkara oran g-oran g kep d " , • V ° ,ia ‘ 3 > «lalan. m en g a d ili
kom petensi hakim E ropah il „ dan dal! lSJarakat ^ « n e s i a ja n g term asuk
iZT\ W?) "* !rkar»-oerk ara h n k u „ mCnf dili dalam «¡nBk a la n k ed u a
diputuskan oleh hakim J n d on c“ia ' S •W 81“ da" ‘ >agang ia n g lelah
nada bu k u m E ropah maka hakim b d a ia? * »“ ^ a T tg k n .a n Tunduk
' lU- „ t ,0 p a h m en *Ijalankan h u k u m E rop a h
m lam ana dalalm suatu n„ x .
gugat seorang Indonesia, niak-i I, 'l' ■* p£ r<lata dan dagan«- fih-ik ian<* «l'-

M ® aSa kebudaiaan dan k t . ,1,C,T


np,erl'alika,. „ndang-undanP-
'■''•v- K i t r r « « » t w ™ *
F r o m l i «T..I. i i « T J ,a l ^ — alau rl». E r o p a h k a r e n a p e r n ja la a n
‘ ^ am ia l- ia l ja n g d iten tu k a n ,su karelsi m e n ta a li liu k u n i
Dalam mengadili perkara-perkara ,,m1a"S-nndang.
but dalam a,at-ajat 3 dan 4 pasal l ° T g Indo” esia, seperti jang dise-

k e t -n lli T Kan^ asania’ ’ «'-Iwsa-leml " f ^ 'o n c a n orang Eropah


kebiasaan tersebut (ajal 3) ,idak ‘ 5 g\ kcI,U(1,'iaan dan kebiasaan-
memberi penjelesaian.
d ) Jang dimaksud ialah T„ln, i
mengadili P ^ fc-ra -p e rk a ra ^ * “ ^ * " ’ ’ = hakim pemerintah jang
(-2) Perubahan oleh undang-undang , Ukan E roPah.
J R *'■ jo undang-undang1, ter^f'**1 31i ^ esen,lj«'1' 1906, L.N.H.B.
1919 Nr 621 JO L.N,H.B. 1919 Nr 816 D juni 1 9 1 9 L N-H B -
I.J1 1.3. {O)
(L ) Huku 111 perdata dan dagang, hukum pidana, Iiukuni aljara sipil
dan hukum atjara pidana akan diatur dengan ordon an si; hukum pidana
dapat djugu diatur oleli badan kenegaraan lain jan g berdasarkan peratur­
an ini diserahi kekuasaan membuat peraturan-peraturan pidana atau ba­
dan kenegaraan lain jan g disebut dalam undang-undang ini sebagai sualu
badan kenegaraan jan g berkuasa membuat peraturan-peraturan pidana.
Mem asukkan Iiukum tersebut dalam ordonansi dapat diadakan baik bagi
semua atau beberapa golongan orang atau daerah-daerah bersama-sama
maupun bagi hanja satu atau beberapa golongan orang atau bagian dari
golon gan-golon gan sadja.

( 2 ) Dalam mengadakan ordonansi-ordonansi jan g memuat hukum


perdata dan dagang pembuat ordonansi akan m em perhatikan hal bahwa :

a. bagi golongan orang Kropah berlaku hukum jan g sama dengan


hukum jan g termasuk dalam undang-undang jan g berlaku bagi mereka
di Negeri licla n d a ; tetapi bilamana keadaan istimewa di H iudia-B elanda
m em erlukannja atau bilamana pem buat ordonansi m enganggap perlu m e­
ngadakan peraturan-peraturan jan g akan berlaku bagi beberapa golongan-
golongan orang bersama-sama, atau bagi bagian-bagian dari pada golongan-
golongan orang ilu bersama-sama, maka dapat diadakan perketjualian
terhadap hukum jan g termasuk dalam undang-undang tersebut.

b. bagi golongan orang Indonesia (a s li), golon gan orang Tim ur


asing dan bagian-bagian dari golon ga n-golon ga n orang tersebut berlaku
peraturan-peraturan hukum ja n g didasarkan atas agam a-agama dan kebia­
saan-kebiasaan m ereka; tetapi dapat diadakan perketjualian terhadap per-
aturan-peraturau hukum tersebut dalam hal kepentingan um um atau k e­
perluan sosial m ereka m em erlukan perketjualian itu. Dalam hal k ep er­
luan sosial m ereka m em erlukannja maka dapat ditetapkan bagi mereka
baik hukum Eropali — djika perlu diubah — maupun hukum jan g ber-
liik.ii bugi mereka dan golongan orang Eropali bersama-sama.

( 3 ) Dalam m engadakan ordonansi-ordonansi jan g memuat hukum


pidana, hukum atjara sipil dan hukum aljara pidana jan g hanja berlaku
bagi golongan orang E ropali, pembuat ordonansi akan m em perhatikan hal
bahwa hukum tersebut adalah hukum jan g sama dengan hukum jan g ter-
jnasuk dalam undang-undang jan g berlaku di Negeri Belanda, tetapi da­
lam hal keadaan istimewa di H india-Belanda m em erlukan perketjualian
- **>aka itu dapat diadakannja. Dalam hal ordonansi-ordonansi itu didjadi-
kan berlaku djuga bagi golon gan-golon gan orang lain atau bagian- bagian
«a ri pada m ereka atau dalam hal ordonansi-ordonansi itu berlaku djuga
!,gi golon gan-golon gan orang lain atau bagian-bagian dari pada mereka
p a s a r k a n peraturan-peraturan bersama-sama, maka ordonansi-ordonansi
u hanja didjalankan sesuai dengan hal-hal tersebut.

' Dalam hal bagi golon gan orang Indonesia (a sli) dan bagi golongan
tang l im u r asing tidak berlaku hukum jan g berlaku bagi golongan orang
ropah, maka m ereka berkuasa untuk mentaati dengan sukarela peraturan-
r‘Uuran hukum perdata dan dagang Eropali ilu jan g tidak berlaku a^i

^ tahun 1919 redaksi pasal ini dim asukkan kedalam


1854. sebagai redaksi baru pasal 75. Pada tahun 1925 rcda.k** •
Pasal 75 lt.I{. tabun 1854 dim asukkan kedalam I.S. se jagai
Pasal 131, hanja perkataan „algem en e v e r o r d e n i n g e n ( iga
Perkataan „ord on n a n tie” dan lainnja tidak diubah.

471
mereka, u »lu k selurubnja atau mengenai sualu perbuatan h u k u m sadja.
I entaulan dengan sukarela ini dan akibal-akibal.ija akan diatur dengan
ordonansi.

< ») Ordonunsi-ordonansi j » „ s ditetapkan berdasarkan pasal ini I>er-


luku d.bagian daerah H.ncl.a-llelanda di mana rakjat Indonesia (asli) tun­
duk pada pengadilan send.ri (bu m ip u tera), hanja bilam ana sesuai .lengan
pengadilan sendiri llu.

( 6 ) H u k u m peid.Uu d a n d a g a n g ja n g s e k a r a n g b e r la k u b a g i g o l o n g a n
■ ! / " > ,H ° ,1CS,J Cah *) dan bagi golongan orang T im u r asing tetap berlaku
i'inc, 1|'erCL** ' iu^un' Ilu hehim diganti oleli ord onansi-ordonansi
jang dimaksud dalam ajat 2 sub b.

' 472
DAFTAR SINGKATAN JANG PALING SERING DIPAKAI.

V a ii A p e ld o o rn P rof. M r L. J .. v a n A peldoorn
„In lcid in g tot de Studie van lict Nederlandse
recht” , 1955.
U c llc fr o id M r J.P.H . B e l l c f r o i d „In le id in g tot de
rechtswetenschap in Nederland” , 195 2.
B u rck h a rd t = W alther Burckliardt „E in fü h ru n g
in die Rechtswissenschaft” , 1950.
V an K a n — P r o f. M r J. v a n K a n - P r o f. M r J .H.,
Bcckliuis „In le id in g lot de reclitsweten-
schap” , 1956.
J, e m a i r e — D r W .L-G . L e m a i r e „H e t rech t in I n d o ­
nésie (H u k u m In d o n e sia )” , 1955.
Loge m an n — D r J.H .A. L o g e m a n n „O v e r de tlieorie
van .c c n stellig staatsrecht” , 1 94 8.
R adliruc h — G u s t a v R a d b r u c l i „E in fü h ru n g in die
Rechtswissenschaft” , 1953..
S ch ö lte n — P r o f. M r P a u l Schölten „A lg e m e cn
deel” dalam M r C. A s s e r „H a n d le id in g tot
de b eo e fe n in g van lict N ederlandscli B u rger-
lijk R ech t” , 1934.
.^ |3 . ==: A lgem eene B epa lin gen van W etgevin g v o o r In -
donesië (K eten tu an-keten tu an U m um m e n g e ­
nai Peru n dan g-un dan gan di In d o n e sia ), L.N.
H .B . 1 81 7 Nr 23.
T o ^ In disch e Staatsregeling L.N .H .B . 1 9 2 5 Nr 4 1 5
jo 5 77 .
v TT K D agang — K itab U ndang-undang H u k u m D agang, L.N .
K U W' H .B . 1 84 7 Nr 2 3.
„ tiu P erdata — K itab U ndang-u ndan g H u k u m Perdata, L.N .
K,U . 'H.B., 1847 Nr 23.
K,U.II. Pidana — K.ilab Undang-undang Ilukuin Pidana, jail u
W etb oa k van Strafreclit tahun 191 5 ja n g d i­
u bah o le h U nd ang-u n d an g R .I. tahun 1946
N r 14 B erita R .I. T a h u n II Nr 9 ( 1 5 Maret
1 9 4 6 ).
j N. c = L em baga Negara R ep u b lik In d on esia 17 A g u s­
tus 1950«
j n .H .B . c = L em baran Negara H in d ia-B elan d a.
= L em baga Negara R e p u b lik In d on esia S erikat.
p iß . *= Reglemen Indonesia B aru (H erzien e Indone-
' siscli Reglement), L.N .H .B . 1941 Nr 44.,
R R (d a r i taliun 1 8 5 4 ) e= R eg cerin g s R eglem en t dari tahun 1 8 5 4 , L ]\
B elanda 1 8 5 4 Nr 2 , L.N .H .B . 1 8 5 5 Nr 1 ; *
Nr 2 . / J
T a m b a h a n L .N . c= T a m b ah a n L em ba ra n N egara.
U .U .D . ' <!== U n d ang-u n d an g Dasar.
„H u k u m ” ^ M adjalah „H u k u m ” ja n g diterbitkan o le lv
P erh im p u n an A h li H u k u m In d on esia.
X. (In d is c h ) T ijd sclirift van het R ech t, îu a d ja .
lalv ja n g d iterbitk an oleh N ederlan dsch -Iu .
d isch e Juristen V ereen igîn g .

473
SUM UR BANDUNO
Perpustakaan uil
0-05013671

Anda mungkin juga menyukai