U T R E C H T
Mi ms'
PENGANTAR DALAM
HUKUM INDONESIA
*%
t je ia KAn k e se m b ila n
«VA,,
@
V
1BITAN DAN BALAI BUKU „ IC H TI A R ”
D JA K A R T A
I " ¡ O C T 1999 S
í âOCT ?W3 JV ¿4 (
j D tC 2004' íP ’ / ^ j f
15 HAY ?n w * ß - / • l
tP * ^
rrd5,
P E N G A N T A R DALAM
HUKUM INDONESIA
U tfn
L
oieh ' ? MEl / 5^ '
, T ar\qga\ — ¡»..JsL^i-nJ
No. Si\s'i\&h^..,„X^JLJsL,í^,Aímr«<(Ki ]
$ 4 o ■S ? 8
P A D A T JE TA K A N K ESEM BILAN
5
<■ i
BAB I
PERIH AL P E N G E R T I A N HUKUM
P a r. 1• I’ i d a k a cl a kemungkinan untuk m em -
b ei i (I e f i n i s j tentang „h n k u m ” .
7
perdjandjian jang diadakan dalam lapangan perniagaan, dst. m e
rupakan hubungan kemasjarakatan jang diatur oleh apa jang dina
makan „hukum ” .
Hukum itu gedjala kemasjarakatan, gedjala sosial — lihatlah
par. 2 jang berikut. D jadi : agar ada hukum, maka perlu ada m a-
sjarakat orang. Bilamana tidak ada masjarakat orang, maka tentu
tidak ada hukum. Oleh sebab tidak dapat dikatakan terlebih dahulu
hubungan konkrit matjam apa jang terdapat dalam sesuatu m asjara
kat dan tiap-tiap hubungan konkrit itu m em punjai segi-segi jan g
beraneka-warna, maka tidak dapat pula bagi seseorang m engatakan
hukum matjam apa jang mengatur hubungan konkrit tersebut. Se
bab hubungan-hubungan jang diatur oleh hukum ada seribu satu
matjam, dan demikian djuga halnja dengan segi-segi hukum itu,
maka tak mungkin dibuat definisi jang m eliputinja dalam segala-
galanja.
Dalam paragraf-paragraf jang berikut akan kami tindjau b eb e
rapa segi-segi dari hukum, misalnja, hukum sebagai gedjala sosiaL
hukum sebagai segi kebudajaan, hukum sebagai kaidah (n orm a ),
hukum sebagai alat Revolusi Indonesia, hukum sebagai alat penga-
jom an, dst.. Sesudah mendapat keterangan sedikit tentang segi-segi
hukum tersebut, maka orang akan insjaf akan luasnja benar-benar
lapangan hukum itu.
/
Masing-masing anggauta masjarakat itu berkepentingan (ber-
keperluan). Ada anggauta jang berkepentingan sama, tetapi a d a -
djuga anggauta jang m em punjai kepentingan jang bertentangan.
Misalnja, kepentingan pendjual dan kepentingan pem beli itu tidak
iama. Kepentingan pendjual itu menerima pem bajaran, kepenti
ngan pem beli ialah penjerahan kepadanja barang jang dibeli.
Pertentangan antara kepentingan manusia itu dapat m enim
bulkan kekaljauan dalam masjarakat, jaitu bilamana dalam m a
sjarakat tidak ada suatu kekuasaan — jakni suatu tatatertib —
jang dapat m enjeimbangkan (in evenwicht houden) usaha-usaha
jang dilakukan untuk memenuhi kepentingan jang bertentangan
tersebut.
Oleh sebab itu, 'supaja perdamaian — terutama perdamaian
ekonom is — dalam masjarakat tetap terpelihara, maka oleh ma
nusia sendiri (jaitu golongan jang berkepentingan) dibuat petun-
djuk-liidup (levensvoorschriften). Supaja perdamaian dalam m asja
rakat tetap ada, maka masjarakat memerlukan petundjuk-hidup itu,
dan petundjuk-hidup itu — jang biasanja diberi nama kaidah (norm )
— terdapat dalam hukum, kebiasaan, adat istiadat, agama dan kesu
silaan. Oleh karena masjarakat djustru memerlukan petundjuk-hidup
itu, maka petundjuk-hidup itu m endjadi suatu gedjala sosia l4,
9
jakni suatu gedjala jang terdapat dalam m asjarakat. Sekali lagi
kam i njatakan bahwa hukum adalah suatu gedjala sosial, dan
tiada masjarakat jang tidak mengenal hukum 5.
Sebagai suatu gedjala sosial, maka hukum itu m em p u n ja i sua
tu funksi — suatu tugas tertentu — dalam m asjarakat, ja ilu h u
kum itu berusaha membawa djam inan bagi seseorang, bahw a ke-
pentingannja diperhatikan oleh setiap orang lain. M isalnja, pasal-
pasal 1474 dan 1513 K.U.H. Perdata- Ketentuan pertama m em baw a
djam inan bagi pem beli, bahwa barang jang telah dib eli akan d i
serahkan kepadanja. Ketentuan kedua membawa djam inan bagi
pendjual, bahwa ia akan menerima pem bajaran. O leh kedua k e
tentuan tersebut maka dua kepentingan itu disetarakan.
10
situations within the com m unity. Every society possesses sucli a
heritage o f precedents, ideas and custom s, and a m achinery o f pro-
cedure which can be applied to new con flicts in sockil relationships.
In this sense law is not a special and systematized kind o f social
control which is developed only in com plexly organized societies, but
is universal like the fam ily, language, or art. H owever, the law
operates in different wavs in different social systems” (k u r s if dari
k a m i).
B ebeiapa pem batjaan lain m engenai Iiukum dalam pandangan ahli-
ahli antropologi budaja :
Masih tetap sualu „standaardwerk” adalah buku R. T h u r n w a 1 d
„D ie m enschliche Gesellschaft in ihren etlino-soziologischen Grund
lagen , djilid V : „W erd en , W andel und Gestaltung des Rechts im
U chte der V üikerfcrschung’ % 1 93 4; „standaardwerk” jan g lebih
„fecen t : E. A d a ni s o n II o e b e 1” „T h e Law o f Primitive Man
1954, dan A.L. E p s t e i n „Ju ridical Techniques and the Judicial
Proi css, A Study in African Customary Luw” , 1 9 5 4 : pen ti'ig diper
hatikan : karangan J u l i u s E. L i p s ,,Governm ent” , dalam buku
„G eneral A nthropology” , 1938, jang diterbitkan dibawali pim pinan
Franz Rous; R.H. L o w i c „T h e Origin o f the State” , 1 92 <,
dan „S ocial Organization” , 1948, liai. 1 5 6 - 1 7 5 ; K aj Birket-
S m i t h „G eschichte der K ultur’’ (tcrdjeniahan dari bahasa Denm ark :
„K u h u ren s V eje” , 1 9 4 1 -1 9 4 2 ). 1946, hal. 362-376 : „A n fä n g e des
R echtslebens’ ’ ; M.J. H e r s k o v i t s „M an and His W o rk ” , 1948,
bab m engenai „P olitical Systems : the Ordening o f Hum an Relations ’ ;
dalum bahasa Belanda : pidato dies P rof. Mr 15. T e r H a a r „H e l
adatrecht en de volkenkunde in wetenscliap, praktijk en onderwijs ,
Batavia (D jakarta) 1937, dan tjeramah P rof. Mr C. T j. B e r t l i n g
,,A nthropologie en rechtsstructuur” dalam madjalah ,,Indonésie” , V III,
2, bal 148 - 161 (dua pengarang bangsa Belanda ini sebetulnja bukan
ahli antropologi budaja, tetapi sardjana hukum adat In d on esia). Tidak
boleh dilupa : B. M a 1 i n o w s k y „C rim e and Custom in Savage
Society” , 1926 (1 9 6 0 ).
B uku-buku peladjaran antropologi budaja dalam bahasa kita :
Dr K o e n t j a r a n i n g r a t „M etode-m etode anthropologi dalam
penjelidikan-peiijelidikan masjarakat dan kebudajaan Indonesia (se
buah iclviisar)” , disertasi Djakarta 1958 (tjetakan kedua 1 9 5 9 ), dan
„P engantar A n tropologi” , I, 1959. Penting pula prasaran Drs J .B.
A v6 „Lah'irnja antropologi sebagai ilm u dan perkem bangan selan-
d ju ln ja ” , 1959.
Di sam ping antropologi budaja itu, tetapi chusus untuk masjarakat
jan g barat, maka djuga sosiologi m endjadi penting bagi peladjaran
hukum . Mengenai pentingnja sosiologi bagi ilmu hukum lihatlah ter^
utama ringkasan historis dalam buku G. G ii r v i t c h „S ociolog y o
Law” , 1953, lud. 53 - 155 : Th e forerunners and problem s o f the
sociology o f law (dari buku G u r v i t c h ini ada terdjem ahan a-
lam bahasa Indonesia oleli Su m a n t r i M e r t o d i p u r o ( an
diperiksa oleh Drs M o h . R a d j a b ) „S o sio lo g i hukum ” , 1 9 6 3 ;-
B uku-buku peladjaran sosiologi ja n g ditulis dalam bahasa kita :
Drs J.B .A .F. Mayor Polak „S o sio lo g i” , 1959, jang men'J *
buku baku jan g pertama jang ditulis oleh seorang sardjana^ 19|g
k ita ; P ro f. M r M.M. D j o j o d i g o e n o „Asas-asas sosiologi ,
11
Par. 3: Hukum sebagai segi kebudajaan.
12
Par. 4 : Hukum sebagai k a id a h (n o r m).
13
Ternjata dari definisi jang kami sebut diatas, b u k u m b erm a k -
sud mengatur tatatertib masjarakat. D isilulah tam pak apa ja n g
mendjadi suatu tanda dari hukum , jaitu adanja perin ta h (atau
larangan) jang tiap orang s e h a r u s n j a m entaatinja. S ekalian ora n g
wadjib bertindak (berkelakuan) sedem ikian sehingga tatatertib da-
' lam masjarakat tetap terpelihara. H ukum itu m em buat b erm a tja m
matjam petundjuk jang menentukan sikap orang ja n g satu terha
dap jang lain. Hukum itu terdiri atas kaidah-kaidah ja n g selia-
rusnja ditaati oleh anggauta masjarakat.
Hukum merupakan suatu him punan 10 k aida h -k a ida h , dan
kaidah-kaidah itu b e r m a tja m -m a tja m tetapi m erupakan kesatuan
pula : kamu tidak boleh m e n tju r i m ilik orang lain (ja itu k aida h
jang tersimpul dalam pasal-palal 362 dan jan g b erik u tn ja Iv.U.H.
Pidana, tetapi djuga dalam agama, dalam kesusilaan) ; d jik a kam u
membeli barang maka kamu harus m e m b a ja in ja (ja itu k aid.m ja n « ,
■ «- <» 5 ,5 7
10 Bans K e ls e n („ G e n e r a l T h e o r y o f L a w a n d S la t e ’ ’ , 1 9 4 9 , h a l 3 )
menegaskan „Law is not, as is sometimes sai , a 111 t a -e
o f rules having the kind o f unity we understand b y a system . ^
11 L* o g e m a n n , kal. i i 2 nn 2; v a n,, iv
K' n n««*.
hal. S? L e m a *i r Hal*
5 5 ; H a n s K e l s e n „General Th eory” , 1 94 9, hal. 18 : Law as a
coercive order; W. B u r c k h a r d t „E in fu h ru n g , ia - . ,, as
Recht muss erzwingbar sein” .
Anggapan dua orang ahli antropologi budaja :
A.R. R a d c l i f f . B r o w n „P rim itive Law” dalam „E n cy clo p a e d ia
o f the Social Sciences” , IX , 1933 (1 9 5 7 ), hal. 202 : „ T h e o b lig
ations imposed on individuals in societies where there are n o legal
sanctions will be regarded as matters o f custom and con v en tion but
not o f law . Anggapan ini sesuai dengan teori keputusan (b e slissin g en -
leer) dari t e r H a a r. Tetapi anggapan R a d c I i f f - B r o w n i
........................................ in this sense som e sim ple societies have n o
law” , itulah kelebihan jang salah.
14
Pada umumnja tidak ada kaidah jang didalam nja tidak me
muat anasir jang memaksa. Demikian joeraturan hukum adalah
terutama peraturan jang memaksa orang berkelakuan seperti jang
dikehendaki oleh masjarakat, dengan demikian hukum merupakan
peraturan jang memaksa orang inentaati tatatertib masjarakat orang
itu : kamu wacljib taat pada tatatertib masjarakat. Hukum — seba
gai kaidah — memuat suatu „w aarde-oordeel” jang memaksa, jaitu
suatu pendapat jang memaksa tentang apa jang lajak apa jang tidak
lajak, menurut apa jang diterima umum, jang seharusnja ditaati.
15
y
didalam pergaulan kem asjarakatan jang tidak m eru pak an liu k u m ,
kebiasaan atau adat istiadat dan agama 13. P erlu kam i tegaskan d i-
sini bahwa pengertian „susila” ja n g kam i m ilik i tid a k m e m u a t
suatu penilaian (w aardering) tentang sesuatu, ja itu dalam a r li k a
m i tidak mengatakan sesuatu itu baik atau buruk. P en d a p a t ja n g
tidak berwarna ini perlu, supaja di negeri kita suku ja n g satu d a
pat menghargai kebudajaan suku jang lain, biarpu n d alam k e b u -
dajaan suku jang lain tersebut ada anasir-anasir ja n g tid a k d a p a t
diterim a oleh suku jang sa*u itu. M isalnja, di b eb era p a d a e ra h
tem pat tinggal orang jang beragam a Islam ja n g fanatik tid a k
mengenal toleransi) dansa (tjara m enari) Barat dian ggap lid a k
pantas, bahkan, tjabul, sedangkan di daerah-daerah M inahasa d a n
M aluku dansa Barat diterim a sebagai kebiasaan, ja n g d ila k u k a n
pada setiap pesla negeri !
A tjap kali pengaruh agama atas hukum ja n g b erla k u p a d a
sesuatu waktu dalam sesuatu m asjarakat, besar sekali a d a n ja 14.
D em ikian terdapatlah di Indonesia dalam beberapa pera tu ra n p e -
13 V a n A p e l d o o r n (h a l. 19 d ib .) m e n g a d a k a n p e r l.e d a a n a n t a r a
hukum , kebiasaan, agama, ^kesusilaan („z e d e a ta u „g e b r u ik ” ) dan
moral. M e n u r u t k a m i a n t a r a k e s u s i l a a n d a n m o r a l it u h a n j a a d a p e r -
b e d a a n n is b i ( g r a d u i l ) s a d ja . M aka d a r i it u apa ja n g o le h v a n
A p e l d o o r n d is e b u t m o r a l, kam i m a s u k k a n k e d a la n i h a l k e s u s U
la u n . L e m a i. e (h a l. 35 d j ! . . 'lm engadakan p erbedaan a n ta ra
hukum , kebiasaan, „ Rebru ik'\ m oral jan g b ersu m b erk a n b atin » , a -
„ « « * « ( g « i c c t e n * m o r a a I ) , moral p u blik a t a u m oral p o sitif d a n k e Ru.
silaan dalam arti kata sem pit (..fa t s o e n 1. M o r a ! p u b lik , k p s n s i]a a _
d a la m a rti k a ta s e m p it term a su k kesusilaan dalam arti k a ta l,^ „s
(„z e d e ’’ ).
H u k u m , a g a m a , k e s u s i l a a n , a d a t i s t i a d a t d t n k e b i a s a a n b e r s a m a sn
m e r u p a k a n kaidah-kaidah sosial ( s o c i a l e n o r m e n ) . K a i d a h - k a i d a h
s ia l a d a la h p e t u n d ju k - h i d u p j a n g m e n e n t u k a n s ik a p m a n u s i a d - i l S° '
p e r g a u la n n ja d e n g a n m a n u s ia -m a n u s .a la m . T e n t a n g k a i d a h ‘ 1 °!
lih a t la h u r a ia n b u k u P r o f . D r P . J . B o u m a n „ S o c . o l o g i e , B e „ r i“ * I a l
*m
lih aii<«ii
a tla h umr a- ia n d ______
u ^ 5 2 -5 5 . M enurut
T v r „ „ , RB oo ,i
u »v.
m a n, j a n e ^* r ,P Peen
'P P n
r i a T l . T h .i ’ lid a k ’ m engikuti pandangan »o Sio lo p i 8
kaitlah agam a bukan kaidah sosial. D juga 'L ,e m a , r e *WC
i l w a agama itu m enurut „ « .iv e r e esscnl.e (m l, m u n „ ) ;n j #
gedjala
cedjala sosial.
sosial, Tetapi
leiapi m enurut pendapat ‘ kam , i m aka ?fbagu m .;e r,
verbe*.,
o J kaidah
segala - _ - sosial
. » - -«ermasuk
_____ „.«L- rlinorn
d.,uga Icnirian
ka.dah airamn
aga.na ! __ dil^ j* -
oleh „die Produktionsweise des m a «r.e IIc n Leben* . Bukankah, ,
duktionsweise” tersebut „bedingt den rechtspohtischen und geist%^
Lebensprozess überhaupt” ?
14 L ih a t la h b e b e r a p a p id a t o d a n t je r a n ia h ja n g o le h I r o f . M r H a z a ; f .
d ia d a k a n a n t a r a t a h u n 1950 d a n t a h u n 1952 ( d i t e r b i t k a n o l e h n **
n e r b it „B u la n Bintang” ) : „H u k u m Islam dan Masjarakat” , , . p * r ^
la k a n , p e n j e s u a i a n a d a t k e p a d a H ukum Islam , „Indonesia s a t u Mes-
d jid ” . Penting d j u g a P ro f. Mr J. P r i n s „A d a t e n I s l a n i i c t i s c b e
16
>
m erin tah (overheid) jang sedang berlaku, beberapa kaidali jang
berasal dari agama Islam. Seperti umum diketahui, maka agama
Isla m ilu bukanlah lianja mengatur penghidupan m ukm in dalam
ugam anja, melainkan djuga penghidupan m ukm in dalam m asjara-
k at. Peraturan-peraturan jang mengatur penghidupan m ukm in da-
d alam niasjarakat terdapat dalam sjariah ( sjariut, sjarakj 15,
D i Indonesia sjariah itu tidak ditaati seluruhnja. D i D jawa,
m isaln ja, dalam hal warisan tidak berlaku Kur’ an dan sjariah. A pa
ja n g berlaku ialah hukum adat Djawa. Umumnja diantara pera
turan-peraturan dari Kur’ an dan sjariah jang ditaati betul-betul,
ialah beberapa peraturan mengenai pribadi orang. Terutama jang
berhubungan dengan nikah dan perkawinan. Tetapi disinipun tam
pak djuga anasir-anasir dari adat asli (jang telah ada sebelum ke
datangan Islam ).
ITalnja : menurut sjariah maka untuk nikah orang tidak me
m erlukan ijampur-tangan seorang pegawai pemerintah. Sahnja ni
k ah ilu bergantung pada kemauan kedua belah fihak le . Biarpun
dem ik ian , di negeri Islam manapun tjampur-tangan pemerintah —
ja itu tjampur-tangan dari i’ihak jang berwenang — selalu dirasa perlu
adanja. Nikah itu dilakukan di muka seorang kadi, sedangkan ke
du a belah fihak jang bersangkutan dibantu oleh seorang penasehat
ja n g dianggap ahli dalam hal sjariah. Tjara ini terdapat djuga di
D j awa : tak pernah orang melakukan nikah dengan tidak setahu
n aib, penghulu atau ketib.
Pada tahun 1895 tjara ini diatur oleh suatu peraturan perun-
(dang-undangan jang bernama „Huwelijksordonnantie voor Moslims
op Java en Madura” (Ordonansi mengenai nikah antara orang
Islam di D jawa dan di Madura), L.N.H-B. 1895 Nr 198 (dengan
17
pendjelasan dalam „B ijb lad ” ]\r 5080) 17. Peraturan ini d iu b ah
pada tahun 1929 oleh suatu peraturan dalam L.N .H .B. 1929 N r 348.
Pada tahun 1946 ordonansi L.N.H.B. 1929 N r 348 diganti o le h
Lndang-undang R.I. tahun 1946 Nr 22. Peraturan ja n g baru ini
mulai berlaku di Djawa dan Madura pada tanggal lF e b ru a ri 1947
(Penetapan Menteri Agama tertanggal 21 D januari 1947), di Su-
matera pada tanggal 16 D juni 1949 (K etetapan Pem erintah D a ru ra t
R.I. tertanggal 14 D juni 1949 Nr l/P .D .R .I ./K .A .) , di daerah-daerah
lain dari wilajah R epublik Indonesia pada tanggal 2 N ov em b er
1954 (Undang-undang tahun 1954 Nr 32, L.N. 1954 N r 9 8 ). O leh
pasal 1 ajat 1 ditentukan bahwa nikah jang dilakukan m en u iu t
agama Islam, diawasi oleh pegawai Pentjatat N ikah ja n g diangkat
oleh Menteri Agama atau pegawai jang d itu n d ju k n ja (peraturan
Menteri Agama tahun 1955 Nr 1 tertanggal 23 D ju n i 1955 dan
penetapan Menteri Agama tahun 1955 Nr 14 tertanggal _3 D ji
1955 i s.
Sebuah tjontoh lain : telah m aklum dalam penjelesaian p e r
soalan monogami atau poligam i di Indonesia pada waktu seki «. r-
sangat terasa pengaruh agama Islam m aupun agama IverLtei
D juga di dunia Barat adalah beberapa tjon toh . M enurut agam a
Katolik Roma maka perkawinan itu m e n d ja d i suatu sakram en sua
tu lembaga sutji jang diadakan oleh T u h a n ), jang m em persatukan
suami dan isteri seumur hidup. Maka dari itu tidak m u n g.'
orang laki-laki bertjerai dari isterinja. D i Italia ja n g p en d u d u k n ja
betul-betul beragama K atolik Rom a, peraturan peraturan j ' r-
laku disitu tiada jang dapat mengakui pertjeiaian.
Oleh karena agama itu atjap kali m e n d ja d i dasar pai r-‘
hidup manusia, maka dengan sendirinja sering agama m en p c*-
ruhi djuga hukum, bahkan, m endjadi hukum •
Hukum itu dapat djuga dipengaruhi oleh kebiasaan atau <
jang ada didalam masjarakat. Biasanja sebagian kebiasaan dan
lama-kelamaan m endjadi hukum. Atau dengan kata lain . k ebia -a a
lama-kelamaan m endjadi hukum dan adat lam a-k elan iaan m enc ja
18
hukum adat, apabila telah ditjantumkan dalam keputusan pen,,!
niasjarakat. Terutania hagi Indonesia kebiasaan dan adat itu
djadi sangat-sangat penting untuk proses pembentukan hukum
( reclitsvorm in gl. H alnja dengan adat akan kami bitjarakan dibawah
nanti (B ab I I ). Sekaraii" kami memberi tjontoh mengenai ke
O
biasaan.
Suatu tjon toh mengenai hal ini jang dapat dikatakan kelasik
(klassiek) odalali suat u perselisihan tentang sewa rumah di ko.a
Amsterdam (N egeri B ela n d a )10. Menurut pasal 1393 K.U.H. er
data 20 sewa rum ah itu oleh penjewa harus dihajar pada alamat
dari jang m enjewakan rumah jang bersangkutan. Tetapi jang me
njewakan tidak bertindak demikian. Sewa rumah itu dipungut alas
namanja oleh seorang penerima (inner) pada alamat penjewa.
dakan itu m en djadi suatu kebiasaan tetap jang dilakukan
tahun lamanja. Pada sesuatu waktu, maka jang menjewakan i ^
menjewakan rum ahnja kepada seorang kawannja sedanr
tersebut masih ditempati oleh penjewa dan perutangan sewa (, ^
verbintenis) ilu masih belum dapat dialiiri. Tetapi janr 11 1 ’
kan menggunakan akal. Penerima tidak lagi disuruhnja ke a ^
penjewa untuk memungut sewa. Selandjutnja, bebeiapa wa ^
sudah itu, maka jang menjewakan berusaha memindahkan I j ^
dari rum ahnja dengan alasan bahwa sewa rumah oleh pen j
„tidak mau dihajar” . Pergelisihan ini dibawa ke muka hakim,
lam kepulusannja hakim mengatakan bahwa jang menjewakan
jang bersalah. W alaupun menurut pasal 1393 Iv.U.H. 1 erdata J
menjewakan tidak bersalah, menurut pendirian hakim masih c j
jang m enjewakan tidak boleh mengubah suatu aturan sendiii j r
sudah diterim a sebagai kebiasaan tetap dalam pergaulan den_
penjew anja, dengan tidak memberitahukan terlebih dahulu J .
m endjadi dasar keputusan hakim ialah kepertjajaan (goedei tro
jang telah ditim bulkan dalam pergaulan antara jang menje*
dengan penjewa.
Dari tjon toh ini ternjatalah suatu kebiasaan kadang kadai r
an srgap lebih kuat dari pada suatu kaidah jang tertjantum
suatu peraturan perundang-undangan.
20
gir djalan, dan, karena tabrakan itu m obil B rusak. Jang m endjadi
sanksi adalah, untuk selandjutnja, A dilihat oleh um um sebagai se
orang pengem udi jang tidak tjakap, dan, dalam hal A seorang pe
ngem udi taxi, ada kemungkinan banjak orang tidak mau memakai
taxm ja ! Bagi seorang ahli dan peladjar hukum timbul perta-
njaan : apakah pelanggar sesuatu kaidah sosial 23 dapat dihukum
atau tidak ?
Dalam hal perbuatan jang pentinsj baai hukum ada reaksi dari
fihak pem erintah (overlieid) jang bertugas mempertahankan tata-
tertib masjarakat. Jang dimaksud dengan „pem erintah” itu selalu
suatu organisasi (p olitik ) jang m endjadi pimpinan suatu negara,
dan jang (»eiin g lianja form il sadja) atas nama „rak jal
dikuasai sesuatu golongan dalam m a s j a r a k a t , jaitu golongan jang
diberi nama „ru lin g ” (lihatlah Bab V II, par. 2 ), dan jang diberi
lugas atau m em beri kepada dirinja tugas mem im pin masjarakat
ja n g teforganisasi dalam negara itu.
Dalam hal pelanggaran sesuatu peraturan hukum biasanja
jan g bertindak terhadap pelanggar ialah pemerintah 24. Dengan
perantaraan alat-alat paksanja ( dwangmiddelen) pemerintah da
pat memaksa tiap-tiap orang berkelakuan menurut kaidah-kaidah
tatatertib masjarakat, terutama tatatertib hukum dalam masjarakat.
Dengan kata lain : dalam hal pelanggaran hukum biasanja jang
m endapat kerugian (oleh pelanggaran itu) diberi pertulungan oleh
pem erintah 25. Legitimasi (pengesahan) kekuasaan hukum ialah
pem erintah (seperti halnja dengan legistimasi kekuasaan agama
ialah T u h a n ). D em ikian pula halnja dengan sanksi jang bersangku
tan.
Dalam hal pelanggaran kebiasaan (adat) atau agama (jang b e
lum diterim a sebagai hukum ), reaksi dari fihak pemerintah d jarang
sekali ada (agama biasanja tidak berlegitimasi pada kekuasaan pe-
22 Lihatlah djawaban kami atas kritik P rof. D j o j o d i g o e n o (Lam
piran II tjelakan kelima buku in i; „Gudjali Mada” , X , 6 , dan „Gam a” ,
10, V I I I ).
23 Lihatlah n oot 13.
24 H a n s N a w i a s k y „A llgem eine Rechtslehre als System der recht
lichen G ru ndbegriffe” , 1948, hal. 9, membedakan antara kaidah hu
ku m dan kaidah-kaidah lain berdasarkan hal kaidah hukum diper
tahankan dengan menggunakan paksaan dari luar (paksaan jang di
lakukan oleh pem erintah) sedangkan kaidah-kaidah lain dipertahan
k an oleh karena „ gesellschaftliche Missbilligung” , oleh karena ,,8 e'
sellschaftliche Tadel” , „in einem dadurch bestim m ten Verhalten der
M itm enschen” , oleli karena) ,,psychologischer Zwang” .
25 Reaksi pem erintah berarti sanksi hukum, sedangkan reaksi organisasi
kemasjarakatan lain berupa sanksi sosial 'jang bukan sanksi hukum.
21
liehe Zwangsm ittel zur V erfü gu n g, man denke etwa an den g e s e ll
sch a ftlich en B oykott; und au ch das Recht entbehrt fü r viele seiner
V orsch riften der Erzwingbarkeit, es kann ja n ich t in unendlicher R eih e
hinter jedem Beamten ein anderer stehen, der ihn seinerseits zur
Erfüllung seiner Pflichten nötigte : Quis custodiet custodes ? E ben so
u n ta u g lich zur Grenzziehung zwischen Sitte und Recht erw eist sich
die Lehre, es sei der Sitte wesentlich von der unorganisierten V o lk s g e
meinschaft, der Gesellschaft, dem Rechte mdagegen eigentüm lich, v o n
einer Organisation, vorzugsweise den Staate, getragen zu sein; denn das
Gewohnheitsrecht w ird abseits vom Staate durch die G esellsch aft
erzeugt, und die Sitte anderseits ist der Festsetzung durch eine O r g a
n isa tion , z.B. im Sport, durchaus fähig. D er V ersuch, zw ischen R e ch t
und Sitte einen anderen als den blossen Massunterschied der h öh eren
oder geringeren Bedeutung für die O rdnung des Zusam m enlebens zu
finden, ist bisher nicht gelungen, und wäre eine scharfe U n tersch eid u n g
auch fü r die Rechtsanwendung notwendig, da grundsätzlich die
Gerichte einen nur auf Sitte, nicht auch auf Recht gegründeten A n sp ru ch
abzuweisen haben. D ie Gesetzgebung, insbesondere unser B ü rgerlich es
Gesetzbuch, trägt jedoch der grundsätzlichen U nunterscheidbarkeit v o n
Sitte und Recht dadurch Rechnung, dass sie in immer grösserem
Umfange auch dem bloss „„g e g e n die guten Sitten” ” verstossenden
Verhalten rechtliche W irkungen beilegt” ,
^ T - T\ u t u t b e b e r a p a o r a n g a h l i h u k u in
Sudah ternjata dari apa jang dikatakan diatas, hukum , itu suatu
himpunan kaidah-kaidah, jaitu himpunan jang terdiri atas berm a tja m -
matjam petundjuk-hidupjang m e m a k s a orang berkelakuan m enurut
tatatertib jang ada didalairijnasjarakat'iiV Tetapi tidak sekalian ahli
hukum setudju dengan anggapan itu. M enurut P rof. H a m a k e r s a ,
maka hukum itu suatu himpunan petundjuk-petundjuk jan g h an ja m e-
nundjuk setjara mana b aa s a n j a orang bertindak dalam p erg a u la n -
nja dengan orang lain didalam masjarakat. Pendapatnja : h u k u m itu
bukan suatu himpunan kaidah-kaidah, bukan suatu him punan peratu -
28 L o g e m a n n, B e 1 1e f r o i d, S c h ö l t e n , L e m a i r e v a n K a n,
B u r c k h a r d t („Einführung” ), K e l s e n („General Theory” ) , K o 1 1 e -
e,d van recht” , kuliah pembukaan Groningen 1936 ) , dll.
erhT
29 Prof. Mr H.J. H a m a k e r „H(et redit en de maatschappij” , 1888 .
22
ran-peraturan jang memaksa orang berkelakuan menurut tatatertib
»lasjarakat, tetapi suatu himpunan „peraturan-peraturan iang menudjuk
' e b i a s a a n orang dalam pergaulannja_ dengan orang lain didalam
masjarakat itu^ („regels die aangeven hoe mensen zich tegenover
elkaar p l e g e n te gedragen in de samenleving” ).
Teori ini diadjar djuga oleh seorang ahli hukum bangsa D jerm an
jang bernama G e o r g F r e n z e 1 30. Menurut F r e n z e 1 hukum
itu suatu himpunan ,,Rechtsgewohnheiten” .
Baik anggapan H a m a k e r maupun anggapan G e o r g Fren-
z e l, kami tidak dapat menjetudjuinja 31
Rupanja, djuga Prof. D j o j o d i g o e n o , berdasarkan alasan-
alasan lain, tidak mau melihat hukum itu sebagai suatu himpunan la
rangan dan perintah ? 3i»_
P a r. 8: T udju an d a r i h u k u m.
23
Maka dari itu sangat sukarlah dinjatakan suatu garis p e rb a ta
san tepat antara lapangan kaidah hukum dan lapangan k a id a h -k a i
dah sosial lain- Kami mengahiri paragrap ini dengan m em in ta p e r
hatian pembatja untuk apa jang dikatakan oleh G u s t a v R a d
b r u c h 2s : „W o also liegt der Unterschied des R ech ts v o n d er
Sille ! Man hat gesagt: in der Zuläsfigkeit des. Zwanges. A b e r a u c h
der Sitte stehen oft sehr nachdrückliche Zw angsm ittel zu r V e r -
fs;£run°r
r? n”, man denke etwa an den g e s e l l s c h a f t l i c h e n B o y k o tt , u n d
auch das Recht entbehrt für viele seiner "Vorschriften d er E rzw in g -
barkeit, es kann ja nicht in unendlicher R eihe h in ter je d e m B e a m
ten ein anderer stehen, der ihn seinerseits zur E rfü llu n g seine«.
Pflichten nötigte. Quis custodiet custodes ? E benso u n ta u glich zu r
Grenzziehung zwischen Sitte und R echt erweist sich d ie L eh re, es
sei der Sitte wesentlich von der u n o r g a n i s i e r t e n "Volk sgem ein sclia ft,
der Gesellschaft, dem Rechte dagegen e ig e n tü m lich , von e in e r O r
ganisation, vorzugsweise den Staate, getragen zu sein ; d en n da»
Gewohnheitsrecht wird abseits vom Staate durch d ie G e se llsch a ft
erzeugt und die Srtte anderseits der Festsetzung du rch ein e O rga
nisation, z.B. im Sport, durchaus fähig. D er V ersu ch, zw isch en R echt,
24
U nunterscheidbarkeit von Sitte und R echt dadurch Rechnung, dass
sie in im m er grösserem Umfange auch dem bloss „„g eg en die guten
Sitten” ” verstossenden Verhalten rechtliche W irkungen beilegt” .
Sudah tem ja ta dari apa jang dikatakan diatas, hukum itu suatu
him punan kaidah-kaidah, jaitu himpunan jang terdiri atas berina-
tjam -m atjam petundjuk-liidup jang memaksa orang berkelakuan m e
nurut tatatertib jang ada didalam inasjarakat 29- Tetapi tidak seka
lian ahli hukum setudju dengan anggapan itu. Menurut Prof. H a ■
m a k e r 30, maka hukum itu suatu himpunan petundjuk-petundjuk
jang hanja m enundjuk setjara mana biasanjci orang bertindak da
lam pergaulannja dengan orang lain didalam masjarakat. Pendapat-
nja : hukum itu bukan suatu himpunan kaidah-kaidah, bukan suatu
him punan peraturan-peraturan jang memaksa orang berkelakuan
m enurut tatatertib masjarakat, tetapi suatu himpunan „peraturan-
peraturan jang m enundjuk kebiasaan orang dalam pergaulannja
dengan orang lain didalam masjarakat itu” („regels die aangeven
h oe mensen zieh tegenover elkaar plegen te gedragen in de samen*
leving ).
T eori ini diadjar djuga oleh seorang ahli hukum bangsa Djer-
man jan g bernam a G e o r g e F r e n z e l 31. Menurut F r e n z e l
hukum itu suatu him punan „Rechtsgewohnheiten” .
B aik anggapan H a m a k e r maupun anggapan G e o r g e
F r e n z e 1, kam i tidak dapat m enjetudjuinja 32.
29 L o g e m u n n, B e 11 e { r o i d, S c h ö l t e n , Lemaire, v a n
K u n, Burckhardt („E in fü h ru n g” ) , Kelsen („G eneral
T h eory” ) . K c 1 1e w i j n („Zekerh eid van recht” , kuliah pem bu
kaan G roningen 1 9 3 6 ), dll.
30 P rof. Mr H. J. H a n i a k e r „H el recht en de maatschappij” , 1888.
31 „R e ch t und Rechtssätze” , 1892.
32 P ro f. Mr D.G. R e n g e r s Hora Siccama „H e l recht, naar
gelang van liet standpunt van hetwelk men ziet” dalam madjalah
„T h em is” , 99 (1 9 3 8 ), hal. 1 djb., dan v a n A p e l d o o r n , hal.
16, m engem ukakan baliwa benar tidaknja anggapan hukum bukan
him punan kaidah-kaidah, itulah bergantung semata-mata pada hal
dari sudut mana persoalan hukum itu ditindjau ! Bagi sardjana hu
k u m dalam praktek maka hukum itu larangan atau perintah („v e r -
b o d ” atau „g e b o d ” ) (djadi : k aidah ), bagi pembuat undang-undang
m aka hukum itu senantiasa suatu perintah (bevel) kepada warga-
25
Rupanja, d juga Prof. D j o j o d i g o e n o berdasarkan alasan-
alasan lain, lidak mau melihat hukum itu sebagai suatu h im p u n a n la
rangan dan perintah ? 33.
P a r. 8 : T u d j u a n d a r i hukum. H u k u m s e b a g a i
a l a tp e 11 g a j o m a n d a n a l a t R e v o l u s i Indonesia.
26
Pertim bangan tentang hal-hal konkrit harus diserahkan kepada ha
kim jan g m em bual kepulusan hukum bagi tiap-tiap hal konkrit itu-
Oleh karena itu, maka tiap-tiap peraturan hukum umum harus
disusun ssedem ikian seliingca hakim diberi kesempatan menggo
longkan kedjad ian -kedjadian sebanjak-banjaknja didalam satu golo
ngan jakni golongan peraturan lnikum itu. Setiap peraturan hukum
adalah ahsirak dan hypotetis 36.
D em ikian hukum itu harus tetap berguna (doelm atig). Agar
tetap berguna, maka hukum itu harus sedikit mengorbankan ke
adilan.
A nggapan jang kedua — diantaranja jang terkenal adalah ang
gapan B e n t h a m — ialah suatu anggapan jang menudju kearah
barang apa jan g berguna (angcapan jang mengutamakan utilitet.
utiliteitstheorie). M enurut anggapan ini maka hukum berludjuan
m ew udjudkan semata-mata a p T ja n g berfaedah bagi orang. Karena
apa jang berfaedah bagi orang jang satu mungkin merugikan orang
jang lain, maka — menurut anggapan ini — tiuljuan hukum diru
muskan sebagai berikut : hukum berludjuan m endjam in adanja
bahagia sebanjak-banjaknja pada orang sebanjak-banjaknja 3 ‘ . ^
38 Hal. 2.
39 Hal. 3-4.
40 Mengenai „kepastian-hukum” itu baljalah P rof. M r 1{.D. K o 1 I e -
P r o f ' W P l ' a il?'d Van rechl” , kuliah pem bukaan G ron in gen 1 9 3 6 ;
P rof' IVir c ' i ' V.** ° u w ' n g „Zekerheid om trent liet reclit” , 1 9 4 7 ;
,e V r. ° ° ‘ I' »E nige beschouwingen over d e co n flicte n
1Q4.7- P , szfJterj.,e,d en het levend recht” , p id alo inaugurasi L e i d e n
wet” ’ l o ^ o ' 'i P B r e g s t e i n „D e betrekkelijke waarde d er
vindinn-” l a - « 1*! P ° I a k ,,Theorie en practijk d er reclits-
rn u ° *lal* 60 djb.. Masih penting d ib a lju pidato P r o f. Mr
«Het recht der werkelijkheid” (p id a to inaugurasi
. . . Ja" g tidak menerima „k epastian -h u k u m ” s e p e r ti"
T. , • diatas tadi. J e r o m e F r a n k dalam b u k u n ja
V t " a" . ,e j’ Iodern Mind” , 1949, m e n o la k sama s e k a li , ^ k e p a s tia n -
lu u m itu. Katanja : „k e p a s t ia n -h u k u m ” 'iid a k d a p a t d i t ja p a i d a ti
djuga tidak perlu.
28
dapat m enuntut pidana, gugur (vervallen). D jadi, setelali suatu
'vak tu tertentu liwat maka pendjaliat — jang umpamanja berhasil j
lari keluar negeri — tidak lagi dapat dituntut !
T u g a s h u k u m itu m endjam in kepastian dalam h u b u n g a n - h u - >
bungan jan g kedapatan dalam pergaulan kemasjarakatan. Kepas
tian ini kepastian jan g ditjapai oleh karena hukum 42. Dalam tugas
itu otom atis tersim pul dua tugas lain, jang kadang-kadang tidak
dapat disetarakan, jaitu hukum harus m endjam in keadilan mau
pun hukum harus tetap berguna. A kibatnja kadang-kadang jang
adil terpaksa dikorbankan untuk jang berguna !
41 V,Re,chi,Ssichereit ford ert also die Geltung des positiven Rechts. Das
B edürfnis der Rechtssicherheit kann aber auch dazu fuhren, da.~
tatsächliche Zustände zu R e c h ts z u s tä n d e n werden, ja höchst para
idoxerw
‘ eise dazu, dass aus Unrecht Ixectii
v U‘»«u, Recht iitr«
icirtV' (k u rsii dari kaniU.
kata G u s t a v R a d b r u c h „E in fü h ru n g” , hal. 40. Memang,
pendjaliat dibebaskan dari tuntutan, itulah tidak sesuai dengan M
adilan. T etapi setelah beberapa waktu liwat, maka kepast.an dalan
lubu ngan antara manusia itu harus diutamakan. Telah term ~ ,, t
m endjadi dalil G u s t a v Radbruch: „gesetzlich e Anrecht .
(„E in fü h r u n g ” , hal. 43 : „ I n der Regel aber wird die Rechtssicherli »
die das positive R echt gewährt, eben als eine mindere Form
^ r e c h lip k e it, d ie JG eltu n g au ch u n gerech ten positiven R c c h ti rec
tig en . le g is lu n tu n i interest u l ccrta sit ut absque hoe nee ju s a
poset ( B a c o n ) ” )
Pasal 1946 K.U.'h . Perdata berbunji : „D engan liwat waktu dapat
o ia n g peroleh sesuatu atau melepaskannja dari sesuatu perulangan
(.verbm tenis) sehabis masa jan g tertentu apabila sjarat-sjarat jan,.
4.<> i > i “ ' tcn,‘ u kan dalam undang-undang dipenuhi” . _ ,
“ Beberapa pengarang tentang hukum m em ohon perhatian untuk *
niat jam pengertian „kepastian-liukum ” , jaitu kepastian oleh Karen
hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Jang dilukiskan dia» -
tadi ialah kepastian oleh karena hukum. M e n d ja m in kepastian •
m cndjadi tugas dari hukum . H ukum jang berhasil mendjam in banja
kepastian dalam hubungan-hubungan kemasjarakatan adalah iu
[,c r K|"in . Kepastian dalam hukum tertjapai apabila hukum i u
ban jak-banjakn ja hukum undang-undang, dalam undang-undang
sebut tidak ada ketentuan-ketentuan jang bertentangan (undang- -
dang berdasarkan suatu sistim jan g logis dan pasti), undang-un _
itu dibuat berdasarkan „rechtswerkelijkheid” (kenjataan hukum )
dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah jang aP
ditafsirkan setjara berlain-lainan. Lihatlah a.i. v a n A p e l oo »
hal. 9 6-97 : „H et begrip rechtssekerheid heeft twee kanten. e
betekent in de eerste plaats bepaalbaarheid van het recht Iin. i OI\ %
gevallen ...................... Maar het betekent ook rechtsveihgheiA,
beveiliging van de partijen tegen rechterlijke willekeur. t Is V11 »
dat tussen deze beide geziclitspunten een zeer riauw verban
(pen gertian kepastian-hukum niem punjai dua muka. ^Pertain ’
ngertian itu berarti dalam hal-hal konkrit kedua fihak jang
d a p a t m e n e n t u k a n k e d u d u k a n m e r e k a ......................... T e ta p i P f 11, an
itu berarti pula keamanan-hukura, jakni mengandung perlin ^
bagi kedua fihak jan g berselisih terhadap tindakan hakim -
wenang-wenang. M em ang ternjata, antara dua muka tersebut 3
bungan ja n g erat sekali). Lihatlah djuga R a d b r u c li,
B r e g s t e i n (lihatlah n oot 4 0 ) mengartikan „reclitszekerhei
sebagai „kenbaarh eid” dan „berekenbaarlieid” dari hukum (hal. **)•
29
Disamping kedua tugas itu ada tugas ketiga. H u k u m bertugas
polisionii (politionele taak van het rech t). H u k u m in rn d ja g a sai-
paja dalam masjarakat tidak terdjadi „e ig e n rich tin g '’ t m en ga d ili
sendiri). Tiap perkara (hukum ) harus diselesaikan dengan p e r
antaraan hakim, jakni berdasarkan hukum .
Terang sekalilah, apabila salah satu diantara tiga lugas itu
sangat diutamakan, maka kedua tugas lainnja dapat m e n d ju d i ter
desak. Hal ini dapat m enim bulkan ketegangan (sp a n n in g) antara
masing-masing tudjuan „huk um ” itu. Seperti ja n g dikatakan oleh ,
misalnja, G u s t a v Radbruch: „D ie Id e e d es R e c h ts stellt
sich dar als ein Spannungsverhältnis von drei G ru n dw erten : G e
rechtigkeit, Zweckmässigkeit, R echtssicherheit” ,,So zeigt sich,
dass die drei W ertideen einander zur E rgänzung b e d ü rfe n , dass
die formale Natur der G erechtigkeit zu ihrer in h a ltlich en E rfü llu n g
den Zweckgedanken benötigt, w ie der Relativism us des Z w eck ge-
dankens Positivität und Sicherheit des Rechts verlangt. D ie drei
Wertideen fordern einander, aber zugleich w idersprech en sie ein a n
der.
„„Salus populi suprema lex e?to” ” heisst es auf d er ein en Seite,
allein auf die Zweckmässigkeit kom m e es an ; „„ju s titia fu n d a m en -
tum regnoruin” ” ist die Antwort darauf, G erech tigkeit sei d ie G ru n d
lage allen Rechts; von einer dritten Seite heisst es : „ „ F ia t justitia,
pereat mundus” ” , das positive Recht habe zu gelten a u f K osten
aller anderen Rechtswerte, während nach einer anderen M ein u n g
wiederum positives Recht seiner U nbedingtheit selbst zu U nrecht
werde, „„sum m um jus summa injuria” ” . So bestehen gegenseitige
Spannungen innerhalb der R ech tsidee” 44.
Ditindjau dari sudut politik perundang-undangan, m aka ke-
pastian-hukum —- jang m endjadi „rech tsw erk elijk h eid” l ken jataan
hukum) — dan hukum positif (hukum ja n g b erla k u — lih atla h
paragrap jang berikut) seharusnja identik (sa m a). K a m i m en g a
takan „seharusnja” , oleh sebab kami tetap in sja f akan „s p a n n in g ”
(ketegangan) jang senantiasa akan ada antara „p o s itiv ite it” (atau
„positieve gehling” ) dan „wTerkelijkheid” . Suatu „sp a n n in g ” ja n g
oleh L o g e m a n n digambarkan setjara „g en ia a l” : in de sfeer
der werkelijkheid is het recht uitsluitend beslissing, in de sfeer van
de stelligheid uitsluitend regel” (dalam suasana ken jataan , m aka
hukum semata-mata berupa keputusan, sedangkan d a lam suasana
30
berlakunja ( positif i, maka hukum semata-mata peraturan) ^3. Dari
perumusan L o g e m a n n ini dapatlah ditarik kesim pulan bahwa
hanja keputusan (m enurut pendapat kam i termasuk djuga : ke-
putusan hakim ) dapat m em buat kepastian-liukum sepenuh-penuh-
nja. H ukum positif mengusahakannja (streeft er naar) ! Dalam
usaha ini maka hukum bersifat adat !, jaitu alat untuk m entjapai
kepastian (reclit als m iddel tot verkrijging van zek erheid). Se
bagai alat, hukum itu merupakan suatu gedjala kekuatan (machts-
verscliijn sel); sebagai alat, liukum itu dipakai untuk mendapatkan
suatu kedudukan (status) tertentu atau untuk mempertahankan
suatu kedudukan (status) tertentu. Dalam hukum apapun ada buk-
tinja !
O leh sebab itu kita tidak boleh lupa hal sebagian hukum p o
sitif dengan sengadja dibuat untuk hanja m endjam in suatu ke
pastian bagi sesuatu golongan sadja di masjarakat tempat hukum
itu berlaku, jak n i kepastian bagi golongan jang berkuasa, bagi
„ru lin g class” ! ( Lihatlah Bab 'VII, par. 2 ).
Dem ikianlah pendapat beberapa pengarang jang terkenal dan
kesimpulan jang dapat kam i buat sesudah m em batja pendapat
masing-masing p e n g a r a n g jang terkenal itu. Selandjutnja, perlu ka-
ini m ohon perhatian untuk konsepsi tentang funksi hukum In d o
nesia dalam „alam P an tjasila/M an ipol/U sdek ” jang dibuat oleh
almarhum D r S a h a r d j o, S.h., pada masa h idu pn ja M enteri
K ehakim an R epublik Indonesia, dan jang dikem ukakannja dalam pi-
datonja pada upatjara penganugerahan gelar D octor H onoris Causa
dalam Ilm u H ukum oleh Universitas „Indon esia’ ’ di DjakarLa pada
tanggal 5 D ju li 1963 Ditegaskannja bahwa „K alau kita sudah
m enerim a Pantjasila sebagai dasar Negara dan M a n ipol/U sd ek se
bagai haluan Negara, maka segala usaha disegala bidang jang ber- ^
sifat nasional harus melaksanakan atau m entjerm inkan Pantjasi
la /M a n ip o l/U sd ek didalam nja.
Maka hukum , politik, sosial, kebudajaan, ekonom i haruslah
sesuai satu sama lain, karena semuanja adalah P a n tja sila /M a n ip ol/
Usdek dipelbagai b idan g; semuanja adalah satu dengan masjarakat
31
itu. Dasar hukum banjak aliran politik jang kemudian melahirkan suatu
repolusi nasional atau suatu repolusi sosial, dimuat dalam suatu konsepsi
hukum alam jang sematjam tadi. Kita ingat sadja akan peladjaran J e a n
Jacques Rousseau jang memberi banjak bahan kepada aliran-
aliran politik jang kemudian a.I. meletuskan Repolusi Perantjis (th .
1789-th. 1795).
Tetapi, sebaliknja, konsepsi hukum alam itu djuga dipakai untuk
membenarkan kedudukan sosial beberapa gelintir orang jang berhasil
merebut pemerintahan atas masjarakat dan jang mendjalankan p em e
rintahan itersebut guna terutama Kepentingan mereka sendiri. Usaha
sematjam ini terdjadi, misalnja, pada waktu kontra-repolusionèr jan g
kemudian mengganti waktu Repolusi Perantjis. Bahkan, seorang p e
ngarang seperti F r i e d r i c h Julius Stahl (th. 1802 - th. 1861)
tidak segan untuk melegitimasi (mengesahkan) berlakunja hukum
p o s i t i f atas suatu surat kuasa (volmacht) dari Tuhan. Kedudukan
mereka jang berkuasa didalam masjarakat pada azasnja berdasarkan apa
jang digambarkan sebagai takdir Tuhan ! 4 7 . (Tentang peladjaran
Stahl lihatlah Bab VII, par. 4 ).
Umum diketahui bahwa sedjak dahulu perkembangan hukum in
ternasional dilakukan dibawah asuhan hukum alam (lihatlah B ab X I I
par. 1 ). Bahkan, dalam lingkungan hukum internasional banjak lem baga
hukum alam dipositifkan (didjadikan hukum p ositif)
D juga mereka jang tidak mau menerima W u i , ’ • n n
alam, masih ^TimViar sesuatu ' Sualu m
• j , l3n8 mereka sebut „azas-azas hu-
/ • ■$ I M ,W éâtt jang mereka tjita-tjitakan sebagai dasar suatu
hukum internasionat positif padu kemudian hari (lihatlah pasal 38
. J « i - b c Piagam M W o n a h internasional „ ,h e g e n e r a l p r i n -
d p i es o f I a w recognised by civilised nations” ).
i ada waktu sekarang, mereka jang tetap pertjaja pada berlakunja
suatu hukum alam terpaksalah akan memperluas lingkungan hukum
alam itu djuga a ta s’ wilajah negara-negara Asia-Afrika jang telah men-
tjapai kemerdekaannja ! Sudah tentu mereka itu nanti akan m eogete-
mukan hal tiada suatu alasanpun jang dapat membenarkan masih ada-
nja pendjadjahan asing diatas tempat kediaman suatu rakjat Asia atau
32
suatu rakjat Afrika ! Bagaimanakah pendapat „natuurrecht beoefenaars”
di kalangan sardjana hukum Belanda mengenai masih adanja pendjadja-
han atas rakjat kita di Irian Barat ?
Isi dan legitimasi berlakunja hukum alam itu, dari djaman dahulu
sampai dengan djaman sekarang, sangat beraneka-warna. S o p h o c l e s
dalam buah tjiptaan „A ntigone” , membajangkan suatu keadilan lain
jang berhadapan dengan keadilan jang tertjantum dalam hukum ter
tulis (hukum positif). Keadilan jang lain ini adalah keadilan ke-Tuhanan
jang berlaku abadi dan di mana-mana sadja. Keadilan ke-Tuhanan ter
sebut bersifat repolusioner 'terhadap hukum positif.
Kaum S o p h 'i s menolak berlakunja suatu hukum alam. Pangkal
pandangan mereka adalah keadaan sosial jang sungguh-sungguh. Ber
lainan dengan alam jang di mana-mana sadja dan pada waktu apapun
d juga sama, maka keadaan sosial jang sungguh-sungguh selalu
berubah menurut djaman dan tempat. Hukum itu buatan manusia; ma
nusialah jang menentukan apa jang baik dan apa jang buruk. Djadi,
di samping hukum jang berlaku tiada sesuatu hukum lain jang berlaku
diluar kehendak manusia. Hukum, sebagai buartan manusia, mengikut
keadaan sosial jang selalu berubah itu. Tiadalah suatu hukum umum
jang berlaku di mana-mana sadja pada waktu apapun djuga.
S o c r a t e s berpendapat lain. Jang mendjadi persoalan baginja
ialah perbuatan manusia jang bertentangan dengan undang-undang
Tuhan jang berlaku abadi dan di mana-mana sadja. Persoalan ini suatu
persoalan etis (ethisch vraagstuk). Berbuat sesuatu jang bertentangan
dengan hukum adalah djahat. Apalagi berbuat sesuatu jang bertenta
ngan dengan undang-undang Tuhan. Bagaimanakah sanksinja? Menurut
S o c r a t e s maka sanksi itu telah termasuk d a l a m pelanggaran jang
( bersangkutan. Bukankah, pada kemudian hari, setelah melakukan per-
buatannja, pelanggar akan menjesal perbuatannja itu ? Karena ia
menjesal maka dengan sendirinja ia mendapat penderitaan.
A r i s t o t e 1 e s, dalam dua karangannja „Ethica Nicomacheia’ ’
dan „Rhetorica” , membedakan antara dua matjam keadilan, jaitu apa
jang mendjadi adil menurut undang-undang dan apa jang mendjadi
adil menurut alam. Undang-undang itu ditentukan oleh manusia dan
berubah menurut djaman dan tempat. Keadilan menurut alam adalah
suatu himpunan kaidah-kaidah jang tidak berubah menurut djaman dan
tempat __ berlaku abadi dan di mana-mana sadja sama *is. Ber-
33
sebagai suatu kebulatan jang hidup, suatu ja n g in teg ra l; ja n g tidak
mengenal kontroverse antara Tuhan, R akjat, N egara, H u k u m . R ak-
jat. ialah Rakjat bernegara berhukum dan bertuhan. S etiap orang
adalah machluk kemasjarakatan. A lam ja n g m em a n dan g sem ua un
tuk semua, satu untuk semua, semua untuk satu, ja n g m em b en tu k
negara kebangsaan dan kesatuan tidak untuk suatu g olon g a n kuat
dan djuga tidak bersandar pada suatu golon gan ja n g kuat.
Alam gotong-rojong antara semua bagian daripada n eg a ra ; da
lam melakukan kewadjiban, dalam m endjalan kan w ew en an g : be-
kerdjasama, pertjaja-m em pertjaja. A la m am an, a dil dan m akm ur
jang tidak mengenal penindasan, tidak m engenal pen gh isapan . A lam
musjawarat, mufakat dengan pim pinan sesepuh. A la m ja n g m en-
tjari kebenaran, dan tidak kem enangan; ja n g m enang karena benar.
Alam dimana Hukum tidak untuk ja n g m em egang kekuasaan, m e
lainkan untuk semua; dim ana tidak ada g olon ga n -golon ga n k etjil-
Alam pengemban Am anat Penderitaan R ak jat. M im ip o l/U sd e k
r*>6ungguhnja adalah kebathinan dari U ndang-undang D asar 1945 •^
Pendeknja : dalam alam K epribadian N asional kita, Bangsa In d o
nesia, sendiri 53.
T e r a n g la h , sebagai alat pengajom an m aka h u k u m itu alat R e v o
lusi Indonesia jang masih belum selesai. B erbitja ra tentang „h u k u m
sebagai alat r e v o lu s i” , maka penting sekali diingat apa ja n g dik a
takan o le h K a r l M a r x tentang „hukum dalam m asjarak at k api-
talistis” . M e n u r u t M a r x maka „P roduk tionsw eise des m a teriel
len L e b e n s ” dan „Produktionsverhältnisse” m e n d ja d i dasar suatu
„(ju ristisch e) Ueberbau (dalam bahasa Inggris d ite rd je m a h k a n se-
Ä a “ a .“ " i “ “ . k o n v c r e ,.,;
[«« I n d o n e s ia ; m im piilniiii m o n u d iu 1
d n h tn t
^
19M - U:„n Haiultulmi; IIX “ “I . ? T * “ f
m/isi tr-iLui-,.,” » »>* elaksaiiaan teeluus Pe_
p n w m J m a II» n a r d j o , S.li. „ T u g a s ke-
wmytnan WU/Of p£Mü8]äraktttän dalam alam p e n g a jo m a n ” — prasaran.
Sehutilt ringktiiiiitl dimuat dalam P elen gk ap (S u p p le m e n t) p ad a tje-
takitti ketiga buku kam i „H u ku m Pidana I I ” , 1 9 6 4 . Suatu ,,resea rc i
jang diadakan di Lembaga Pem asjarakalan K a liso so k (S u r a b a ja ) dan
«]i lem b a ga Pcmanjarakatan D jem ber : M .D . L o u p a t t y,
„Tim ljnuan fingkai tentang perkem bangan sangsi p id a n a k e h ila
ngan kemerdekaan- bergerak (chusus m en gen a i p en ia sja ra k a t-
« n ) ” , skripsi Djem ber 1965 (akan d ip u blik a si) .
34
bagai „superstructure” ) 54. „U eb erb a u ” itu „sozia le, p olitisch e u nd
35
geistige Lebensprozess” j ang berdasarkan „P roduktionsw eise” dan
„1 roduktionsverhaltnisse” tersebut (determ inism e ek on om is). N e
gara dan hukum adalah „,U eberbau” . Pada pok okn ja „U eberbau”
itu merupakan berm atjam-matjam ideologi jan g dibajangkan m a
nusia setelah manusia itu m em peroleh „Bewusstsein” (kesadaran)
tertentu tentang realitèt sosial. Sebagai suatu ideologi maka hukum
itu suatu bentuk tertentu dari „Bewusstsein” manusia tentang
realitet sosial.
36
Hu um se a0ai id eologi berm aksud d juga m em beri suatu „A us-
druek tenlane »substruclure” ekonom is ja n g njata, tetapi suatu
„A u sdru c j <m0 palsu. H ukum m en djadi id eolog i karena pem buat
hukum itu m <njangkanja sebagai „A u sd ru ck ” sesuatu azas (d a lil)
jang sebelum nja telah diterim a a p riori• D engan kala lain : sebe
lum mem buat peraturan hukum jan g bersangkutan, m aka p e m --
buat peiaturan hukum itu sudah m em punjai suatu konsepsi a p rio ri
tentang bagaimana seharusnja peraturan hukum tersebut, dan pem
buat p eia lu ia n hukum itu berusaha merealisasi konsepsi tersebut,
bahkan, cljuga dalam hal kem udian konsepsi itu tidak dapat dise
suaikan dengan hubungan-hubungan ekonom is jang sungguh-sung
guh ( reil) ada dalam masjarakat. O leh karena tidak sesuai dengan
Im bungan-hubungan ekonom is jang sungguh-sungguh ada dalam m a
sjarakat, maka sudah tentu peraturan hukum tadi bukanlah suatu
„A u sdru ck” benar dari realitet.
37
kaidah, („S o llen ” ) benar bagi penghidupan manusia dalam masja-
rakatnja. K aidah benar ini hanja dapat diperhatikan sepenuh-pe-
n uhnja dalam suatu masjarakat ideal seperti jang dibajangkan oleh
M a r x.
Dalam alam fikiran Marxistin— dan djuga dalam alam fikiran
„M anifesto P olitik ” karena adjaran „M anifesto P olitik ” itu adjaran
M a r x jang disesuaikan dengan keadaan m asjarakat Indonesia
f lihatlah Bab II, par. 2) — hanja hukum sebagai realitet itu dapat
'didjadikan alat revolusi• Dalam masa transisi (peralihan) dari ma-
sjarakat kapitalistis ke masjarakat sosialistis, maka lem baga-lem
baga hukum jang m endjadi ,,Ausdruck” dari realitet sosial — liu-
kum sebagai realitet — harus mengganti lem baba-lem baga hukum
ja n g m endjadi „A u sdru ck ” jang palsu dari realitet sosial itu hu
kum sebagai ideologi. Sebagai alat revolusi maka hukum itu ber
tugas m endobrak dan m elenjapkan dari perm ukaan bum i segala
lem baga-lem baga kemasjarakatan jang kontra'r evolusi lem baga-
lem baga ini sebenarnja tidak dapat disebut lem baga „kem asjara-
katan” karena tidak dikehendaki oleh rakjat , jaitu lem baga-lem
baga dalam m asjarakat jang m endjadi halangan bagi revolusi jang
dilakukan oleh rakjat untuk m em bebaskan diri dari belenggu
penghisapan, selandjutnja m engganti tatatertib hukum jang telah
diadakan oleh kaum kontra-revolusi itu. Dalam masa transisi b er
tumbuh hukum baru jang pada a h im ja m em bentuk m asjarakat
baru, jang sosialistis. Hukum baru ini, jang leb ih m entjerm inkan
kehendak rakjat, adalah hukum sebagai alat revolusi. D i Indonesia
hukum harus didjadikan alat untuk m enjelesaikan R evolusi kita,
jaitu untuk menegakkan di Indonesia suatu m asjarakat jan g adil
dan makmur.
39
n ja hukum alam itu. Dengan dibualnja konsepsi hukum jang
rasionalistis maka konsepsi hukum alam ke-Tuhanan mereka ting
galkan.
Tetapi biarpun suatu bajangan belaka jang dibuat manusia jang
m engedjar suatu konsepsi tentang suatu keadilan abadi, masih dju -
ga, dalam sedjarahnja, hukum alam ilu telah m em enuhi banjak-
banjak m atjam funksi 57. Ada orang jang sungguh sungguh perljaja
pada berlakunja suatu hukum alam guna kepentingan um um dan
jang dapat m em perbaiki 'kedudukan semua manusia. Tetapi ada
djuga orang jang mem buat suatu bajangan tentan^ suatu hukum
alam guna kepentingannja sendiri atau golongannja. Mereka jang
disebut terahir ini menggunakan suatu konsepsi îu um a am ter
tentu — jang mereka gembar-gemborkan sebadai _uatu „ eadilan
jan g seharusnja” - untuk m enjelim uti keinginan mereka m em pe
roleh kedudukan lebih baik dalam masjarakat. Ada orang jang m e
makai konsepsi hukum alam itu dengan suatu tudjuan jang baik
dan murni imtuk m em perbaiki nasib manusia semuanja. i samping
orang ini ada djuga orang lain jang menggunakan konsepsi.hukum
alam itu dengan suatu tudjuan jang tidak dapat c ipuc ji. etapi
usaha kedua golongan orang tersebut didorong oleh satu ^eingman
jang sama, jaitu keinginan mengubah tatahukum jana se an g ci-
laku (hukum p ositif), jang dirasa tidak memuaskan atau kuiang
adil.
Tjita-tjita tentang suatu keadilan jang leb ih tinggi dan lebih
sempurna dari pada keadilan jang tertjantum dalam iu um jang
sedang berlaku, dalam sedjarah dunia sering m e n d j a d i dasar hukum
dari aliran-aliran politik jang amat besar dan tennasjhur Dalam
waktu masjarakat diperintah setjara autoritèr (a u to n la ir ), maka
suatu konsepsi hukum alam jang tertentu m endjadi tjita-tjita m e
reka jang kepentingannja ditindas oleh pem erintah autoriter ilu.
Dalam konsepsi hukum alam tertentu sem atjam ini, dengan sen-
dirinja dibajangkan suatu kedudukan sosial jang leb ih baik bagi
para individu, dan hukum alam tersebut m endjadi suatu liarapan
akan pembebasan dari pemerintah jang autoritèr itu. Dasar hukum
banjak aliran politik jang kemudian m elahirkan suatu i evolusi na
sional atau suatu revolusi sosial, dimuat dalam suatu konsepsi h u
kum alam jang sematjam tadi. K ita ingat sadja akan peladjaran
40
J e a n J a c q u e s R o u s s e a u jang m em beri ban jak bahau k e
pada aliran-aliran politik jang kem udian a.l. meletuskan. R evolusi
Perantjis (tli. 1789-th. 1795).
Tetapi, sebaliknja, konsepsi hukum alam itu djuga dipakai
untuk m em benarkan kedudukan sosial beberapa gelintir orang jang
berhasil m erebut pem erintahan atas masjarakat dan jang m en d ja -
lankan pem erintahan l^ersebut guna terutama kepentingan m ereka
sendiri. Usaha sematjam ini terdjadi, m isalnja, pada waktu kontra-
revolusionèr jang kem udian mengganti waktu Revolusi Perantjis.
Bahkan, seorang pengarang seperti F r i e d r i c h J u l i u s S t a h l
(th. 1802 - th- 1861) tidak segan untuk m elegitimasi (mengesahkan)
berlakunja hukum positif atas sua t u surat kuasa (volm acht) dari
Tuhan. K edudukan mereka jang berkuasa didalam m asjarakat pa
da azasnja berdasarkan apa jang digam barkan sebagai takdir T u
han ! 58.
U m um diketahui bahwa sedjak dahulu perkem bangan hukum
internasional dilakukan dibaw ah asidian hukum alam (lihatlah
Bab X II , par. 1 ). Bahkan, dalam lingkungan hukum internasional
banjak lem baga hukum alam dipositifkan (didjadik an hukum p o
sitif). Lem baga-lem baga hukum alam jâng dipositifkan itu biasa-
nja azas-azas hukum Rom aw i, karena sering hukum alam itu d i
samakan dengan hukum R om aw i, jang sampai dengan A b a d P er
tengahan m en d ja di hukum positif di E ropah Barat dan kem udian
diresepsi ( — diterim a sebagai hukum asli) dalam sistim hukum
nasional ban jak negara 59.
D juga m ereka jang tidak mau m enerim a berlakunja suatu
hukum alam, m asih djuga m engedjar sesuatu jang m ereka sebut
„azas-azas hukum jang um um ” dan jang m ereka tjita-tjitakan se
bagai dasar suatu hukum internasional positif pada kem udian hari
(lihatlah pasal 38 ajat 1 sub c Piagam M ahkam ah Internasional :
„th e general principles o f laiv recognised b y civilised nations” ).
P ada-w aktu sekarang, m ereka jang tetap pertjaja pada berla
kunja suatu hukum alam terpaksalah akan m em perluas lingkungan
hukum alam itu djuga atas w ilajah negara-negara A sia -A frik a jang
42
sebagai suatu m aliluk jang a-sosial 60 , Sering dem ikian kuat rasa
malu itu sehingga seseorang mentaati djuga hukum , walaupun telah
merasa kepentingan ekonom isnja oleh hukum itu ditindas ! (B u
kankah, sebagian hukum itu tidak lain dari pada kehendak suatu
„ruling^ class” jang tidak mau memperhatikan kepentingan ek ono
mis dari jang diperintahnja ?)• Biasanja paksaan ekonom is m e
maksa.
Dari apa jang kami kemukakan diatas ini, maka ternjata bah
wa bagi ilm u hukum, ada dua pengertian jang penting sekali. Dua
pengertian jan g penting itu „kekuasaan” (gezag, authority) dan „ k e
kuatan” (m acht, pow er). „Kekuasaan” itu pengertian hukum sedang
kan „kekuatan” adalah pengertian politik.
Kekuatan adalah paksaan dari suatu badan jang lebih tinggi
kepada seseorang, biarpun orang itu belum tentu menerima paksaan
tersebut sebagai sesuatu jang sah ( = sebagai sebagian dari tatatertib
hukum jang positif) serta sesuai dengan perasaan-hukumnja. K e
kuatan itu baru merupakan kekuasaan apabila diterima 61, oleh
karena dirasa sesuai dengan perasaan-hukum orang jang bersang
kutan, atau oleh karena badan jang lebih tinggi itu diakui sebagai
penguasa (a u toriteit).
O leh sebab itu peraturan harus m em punjai kekuasaan, jaitu
kekuasaan hukum , agar dapat m endjadi peraturan hukum. Apabila
tidak dem ikian, maka peraturan itu berupa paksaan semata-mata.
D em ikian berupa kekuatan.
45
Penting dan benarlah apa jang dikem ukakan oleh V i n o g r a -
d o £ f 62 : has to be considered not m erely from the point
o f view o f its enforcem ent by the Courts : it depends ultim ately on
recognition. Such recognition is a distinctly legal fact, althougli the
enforcem ent o f a recognized rule may depend on m oral restraint,
the fear o f pnblic opinion, or, eventually, the fear o f popular
rising” .
Sebuah tjontoh jang kuat sekali : Pada waktu H india-B elanda
kaum nasionalis bangsa Indonesia inentaati peraturan-peraturan
pemerintah Hindia-Belanda, oleh karena kekuatannja. T idak oleh
karena kekuasaannja. Bagi kaum tersebut pem erintah H in dia -B e
landa itu hanja m em punjai kekuatan (m acht, pow er) sadja !
Terang sekali bahwa baru dalam suasana „w erkelijklieid J ke-
njataan)-lah dua pengertian „k e k u asaan (gezag)^ dan „legalitet itu
m em punjai arti jang sungguh-sunggutinja^Supaja dapat berarti sung
guh-sungguh, maka perlu „kekuasaan” m endjadi sesuatu jang d ite
rima oleh jang bersangkutan. Anasir penerimaan (elem ent van aan-
y vaarding) ini barulah m untjul dalam suasana „w erkelijklieid . B a
rulah di suasana „w erkelijklieid” ternjata apakah sualu peraturan,
jang ditudjukan untuk m endjadi suatu peraturan hukum atau dires
mikan (diundangkan) sebagai suatu peraturan hukum , diterim a (d i
taati) atau tidak diterima (tidak ditaati). Legal atau sah berarti :
sesuatu diterima sebagai sebagian dari tatahukum jang sedang b er
laku (legaal o f geldig wil zeggen dat iets w ordt aanvaard als een on-
derdeel van de geldende rechtsorde). D jadi, sesuatu keputusan (b e-
slissing— lihatlah diatas pada par. 8 rumus L o g e m a n n) dianggap
sah, apabila keputusan itu njata diterima sebagai sebagian tatahu
kum jang sedang berlaku. Terang djuga, bahwa pengertian legalitet”
dan pengertian „positivitet” adalah dua pengertian jang tidak id en
tik. Bukankah, sesuatu jang, bahkan, bertentangan dengan hukum
positif masih djuga dapat diterima sebagai sah, jaitu sebagai seba
gian dari tatahukum jang berlaku ? T jon toh : pem erintah pusat m e
legalisasi perdagangan barter jang telah lama dilakukan oleh jjen gu-
asa daerah dengan tiada idjin terlebih dahulu dari pem erintah pusat
tersebut ! Tetapi biasanja sesuatu jang sah adalah hukum positif
atau sesuatu jang sesuai dengan hukum positif. Djustru „legalitet”
44
ini dapat m endjadikan sesuatu jang dilahirkan sebagai keputusan,
kemudian berupa kaidah. „Legalitet” (dalam bentuk aktifnja, ja-
itu legalisasi) dapat m endjadi suatu alat transformasi !
K am i mengaliiri paragrap ini dengan tidak lupa menguraikan
pengertian „perasaan-hukum ” jang telah kami sebut diatas tadi.
Jang dimaksud dengan „perasaan-hukum” seseorang itu „w aarde-
oordeel” (penghargaan, penentuan)-nja tentang adil tidaknja (la
jak tidaknja) sesuatu hal, jang perlu tidaknja diberi sanksi oleh
pemerintah, dan membuat „w aarde-oordeel” itu dipengaruhi oleh
pendapat (perasaan) pem buatnja tentang kedudukan ekonom isnja
( M a r x : „Pro*duktionsverhältnisse” ) dalam masjarakat. ,,Waarde-
oordeel” ini dibuat baik dalam suasana ,,positivitet” („waar-oor-
deel’ jang abstrak dan mutlak) maupun dalam suasana „w erkelijk-
heid’ („w aarde-oordeel” jang konkrit dan aktif) 63. „A d il” itu —
jang penentuannja dipengaruhi oleh kedudukan ekonomis dari jang
bersangkutan — berarti : sesuai dengan kepentingan sendiri atau
dengan kepentingan anggauta sekaum, dsb. jang hendak diperha
tikan (dilin d u n gi). Pengertian „perasaan-hukum” itu senantiasa
pengertian jang mengandung suatu anasir subjektif / Hal itu karena
sifat subjektif dari pengertian-pengertian „adil” dan „keadilan” !
Sualu pengertian „a d il” dan „keadilan” itu tidak lain dari pada
suatu „w aarde-oordeel” dari jang berkepentingan, baik sebagai
penonton m aupun sebagai peserta, dalam peristiwa konkrit jang
terdjadi dalam masjarakat ! 6'1.
a.
Oleh karena swmfoernja berm atjam-m atjam , maka hukum dapat
dibagi dalam : '
45
1. hu ku m undang-undang (w ettenrecht), ja itu hukum j* n g ter-
tjantum dalam peraturan perundang-undangan.
2. hukum kebiasaan dan hukum adat (gew oon te- en a d u treclit),
jaitu hukum jang terletak dalam suatu peraturan kebiasaan atau
suatu p®raturan adat istiadat, dan ja n g m endapat perhatian
dari para penguasa masjarakat (perhatian itu ternjata dari
keputusan para penguasa masjarakat itu ).
3. hukum traktat (tractaten-recht), jaitu hukum ja n g ditetapkan
olëh negara-negara jan g bersama-sama m engadakan suatu per-
djandjian (traktat).
4- hukum jurisprudensi (ju rispru den tie-rech t), jaitu huk um ja n g
terbentuk karena keputusan hakim 66.
5. hukum ilmu (w e t e n s c h a p s r e c h t ), ja itu huk um sebetulnja
saran-saran — jang dibuat oleh ilm u 'hukum dan ja n g berkuasa
dalam pergaulan hukum . D ja d i, hukum ja n g terdapat dalam
pandangan-pandangan a h l i- a h l i hukum ja n g teikenal dan jan g
sangat berpengaruh.
46
Sumber-sumber hukum itu akan kami bitjarakan dalam Bab II.
47
jang dalam keadaan bagaimanapun djuga liarus ditaati, hukum jang
mempunjai paksaan mutlak (absolut).
Sebuah tjontoh : Menurut pasal 147 K.U.H. Perdata, sjarat-
sjarat perkawinan (huwelijkse voorwaarden) harus dibuat dalam
euatu akte notariil ( = dibuat di muka seorang notaris). Peraturan
ini tidak dapat diganti oleh suatu perdjandjian jang tudjuaunja
berlainan. Peraturan ini tidak dapat dikesampingkan oleh suatu
perdjandjian jang bertentangan. Bilamana sjarat-sjarat perkawinan
itu tidak dibuat dalam suatu akte notariil, maka sjarat-sjarat itu
bagi hukum tidak ada.
Menurut pasal 1334 ajat 2 K.U.H. Perdata, seorang ahli waris
tidak dapat m enolak bagiannnja dari warisan jang akan diterim anja
sebelum warisan itu dibagi antara semua ahli waris. Bilam ana se
orang ahli waris m enolak bagiannja dari warisan itu pada waktu
jang meninggalkannja masih hidup atau pada waktu sebelum pem
bagian warisan diadakan, maka penolakan tersebut tidak dapat d i
akui sah
Undang-undang tidak memakai istilah „m em aksa” , ,,terpaksa”
atau „dengan paksaan” . Tetapi maksud undang-undang jang b e r
sangkutan dapat diketahui dari susunan perkataannja. Misalnja» dari
perkataan „tidak dapat melepaskannja” („geen afstand doen ” ) (p a
sal 1334 ajat 2 K.U.H. Perdata) ; „undang-undang m engenai tata-
tertib um um (publik) atau mengenai kesusilaan, tidak dapat ditia
dakan karena sesuatu perbuatan atau perdjandjian” (pasal 23 A . B . ) ;
„d jik a tidak demikian, maka batallah” („o p straffe van n ietiglieid” )
(pasal 147 K.U.H. Perdata).
Hukum mengatur ialah hukum jang dalam keadaan konkrit
dapat disampingkan oleh perdjandjian jang dibuat oleh kedua
belah fihak. Bilamana kedua belah fihak dapat m enjelesaikan soal
mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan, maka peraturan
hukum jang tertjantum dalam pasal jang bersangkutan, tidak perlu
didjalankan. Maka hukum mengatur ialah hukum jang biasanja d i-
djalankan, bilamana kedua belah fihak tidak m em buat sendiri suatu
peraturan atau .membuat sendiri suatu peraturan tetapi tidak len g
kap. Hukum mengatur disebut djuga hukum m enam bah ( aanvullend
re ch t)70.
70 L e m a i r e, hal. 64.
Istilah „h u k um menambah” untuk m enjalakan hukum m engatur, itu
lah sebetulnja kurang tepat. Hukum mengatur bukan hu ku m ja n g
Sebagai tjon toli, kam i kem ukakan perselisihan tentang sewa
jang telah kam i bitjarakan diatas (lihatlah par. 5 ). Bilamana (dalam
suasana „w erk elijk h eid ” ) kedua belah fihak telah m em ilih suatu
penjelesaian sendiri jan g memuaskan, maka tidak lagi perlu pasal
1393 K .U .H . Perdata didjalankannja.
H al ini tidak berarti sekarang pasal 1393 K.U.H. Perdata itu
dilanggar. Dalam hal ini kedua belah fihak telah memilih suatu
peraturan lain. T indakan m ereka sesuai dengan keadaan konkrit
(suasana „w e rk e lijk h e id ” ). M ereka tidak m em ilih peraturan jang
tertjantum dalam pasal tersebut. Tindakan mereka menjimpang
dari kaidah ja n g tertjantum dalam pasal itu. Tetapi walaupun me-
njim pang, m asih djuga tidak melanggar karena tidak dipaksa taat
pada kaidah tersebut. Seandainja ada suatu pelanggaran, maka „p e
langgaran” berarti : memutuskan perutangan (verbintenis) jang di
tim bulkan oleh tindakan jang dipilih sendiri dengan tiada perse-
tudjuan dari pihak jang lain. Baik pasal 1393 K.U.H. Perdata mau
pun peraturan sendiri tidak boleh dilanggar bilamana sudah dipilih
untuk m enjelesaikan soal antara kedua belah fihak. Perutangan jang
diadakan berdasarkan perdjandjian sendiri tidak boleh diputuskan
dengan tiada persetudjuan dari fihak jang lain bilamana sudah di
pilih bersam a-sama (pasal 1338 K.U.H. Perdata).
O leh v a n A p e l d o o r n 71 dikemukakan hal istilah „hu
kum m emaksa” dan istilah „hukum mengatur” sebelulnja tidak
tepat, oleh karena tiap peraturan hukum berludjuan memaksa mau
pun mengatur. Maka dari itu bilamana dikatauan „peraturan hu
kum m em aksa” , maka jang senantiasa dimaksud ialah suatu pera
turan hukum jang tidak dapat dikesampingkan oleh peraturan apa
pun djuga. Peraturan hukum tersebut mempunjai paksaan mutlak
(absolut).
S eb a lik n ja , bila m an a dikatakan „peraturan hukum m engatur” ,
m aka ja n g senantiasa dim aksud ialah suatu peraturan huk um jang
tu d ju a n n ja tid a k lain dari pada m em beri suatu ped om an sadja.
K ed u a b e la h p ih a k tidak dipaksa m em akai ped om an itu. A p a b ila
m erek a suka m e m ilih peraturan (pen jelesaian) lain, m aka m ereka
dapat m en d ja la n k a n keh en dakn ja.
menam bah (u n dan g-u n dan g), tetapi hukum jang memberi kesem
patan supaja undang-undang ditambah.
71 Hal. 152-153.
49
Um um nja dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan h u k u m
jang tertjantum di K.U.H. Perdata dan K.U.H . Dagang bagian be-
sam ja hukum mengatur, sedangkan semua peraturan-peraturan h u
kum jang tertjantum dalam K.U.H. Pidana m en d ja d i h u k u m m e
maksa. Demikian d juga halnja dengan kaidah-kaidah h u k u m ja n g
sangat tersangkut dalam pembelaan kepentingan „ru lin g class” di
masjarakat. Itulah hukum jang memaksa !
d.
50
ternjata hal sering pem bagian hukum dalam golongan hukum publik
dan golongan hukum privat tersebut tidak dapat diadakan begitu
sederhana seperti diatas ini.
Lama diterima anggapan, bahwa hukum privat m engatur h u
bungan antara individu sedangkan hukum publik m engatur h u bu
ngan antara negara dan wrarganja. D i N egeri Belanda anggapan
ini dibela oleh M r J.A. L o e f f 74. Jang m endjadi ukuran (maat-
staf) pendapat M r L o e f f ialah para subjek suatu hubungan-hu-
kum . T etapi anggapan tersebut tidak sesuai dengan „rechtswerke-
lijk h e id ” . Oleh negara sering dipakai suatu peraturan hukum privat
u n in k m enjelenggaran tugasnja. Misalnja, pemerintah m enjewa
sebuah rum ah dari seorang partikelir dengan maksud menggunakan
rum ah itu sebagai gedung kantor. Sewa tersebut diatur oleh pasal-
pasal 1548 d jb . K.U.H. Perdata. Dalam pergaulannja dengan orang
partikelir, pem erintah sering menggunakan peraturan-peraturan
ja n g sama sekali tidak berbeda dari peraturan-peraturan jang dipa
kai oleh dua orang partikelir apabila mereka mengadakan suatu h u
bungan antara m ereka 75,
K enjataan tersebut telah tidak lagi disangkal oleh comm unis
op in io diantara ahli hukum. Hal iUl dit jatat dan cliakui oleh antara
lain seorang ahli hukum bangsa D jerm an jang bernama A.R. B i e r-
1 i n g 76. T etap i walaupun kenjataan tersebut diakuinja, masih -dj ti
ga B i e r l i n g tidak mau meninggalkan anggapan jang lama dan
salah itu. B i e r l i n g membuat suatu fiksi. Apabila negara meng
gunakan hukum privat, maka negara bertindak sebagai suatu „quasi
Staatsgenosse” ! L o e f f berpendapat bahwa praktek (jaitu „rechts-
w erk elijkh eid” ) bertentangan dengan „natuurlijk karakter” (sifat
51
semestinja) pembagian hukum dalam publik dan hukum privat itu !
Oleh K r a n e n b u r g ditegaskan hal disini ada suatu dogmatik
jang didjalankan setjara kolot sungguh-sungguh, sehingga gamba
ran jang ditimbulkan oleh dogmatik itu djauh sekali dari keadaan
jang benar-benar.
V a n A p e l d o o r n 77 berukuran pada kepentingpn ja n g
dilindungi oleh suatu peraturan hukum. Katanja : hukum publik
mengatur kepentingan un^um (publik) sedangkan hukum privat
mengatur kepentingan chusus (privat). Anggapan ini kurang tepat.
Baik suatu peraturan hukum publik maupun suatu peraturan h u
kum privat dapat mengatur suatu kepentingan umum. Misalnja,.
pemerintah menjewa sebuah rumah (pasal-pasal 1548 djb. K.U.H.
Perdata) dan rumah itu dipakai sebagai rumah sakit um um . Seba-
liknja, baik suatu peraturan hukum privat maupun suatu peraturan
hukum publik dapat mengatur suatu kepentingan chusus. M isalnja,
suatu undang-undang naturalisasi (pewarga-negaraan) (pasal 26 ajat
1 U.U.D.; pasal 5 ajat 2 undang-undang dasar sementara tahun 1950
dahulu; pasal 6 Undang-undang kewarga-negaraan R e p u b lik In d on e
sia tahun 1958 Nr 62, L.N. 1958 Nr 133) m endjadi suatu peraturan
hukum p u b lik jang mengatur djuga suatu kepen tin gan chusus, jailu
kepentingan dari jang dinaturalisasi 78.
52
A. T h o n79 membagi bukum dalam golongan hukum publik
dan golongan hukum privat berdasarkan tjara m empertahankan
hak-hak jang ditimbulkan oleh hukum itu. Jang mempertahankan
hak-hak tersebut adalah negara. Bilamana sesuatu hak dipertahan
kan oleh pemerintah atas permintaan (inisiatif) dari jang dirugi-^.
kan oleh suatu pelanggaran hak itu (permintaan dari suatu indi
vid u ), maka peraturan jang menimbulkan 'hak tersebut termasuk
golongan hukum privat.
Anggapan T h o n tersebut tidak benar. Anggapan itu, misal-
nja, bertentangan dengan hak inisiatif djaksa meminta pembatalan
suatu perkawinan jang tidak sesuai dengan azas jang tertjantum
dalam pasal 27 K.U.H. Perdata — lihatlah pasal 86 K.U.H. Perdata.
D isini ada perlindungan suatu hak privat jang diadakan atas ini
siatif pemerintah (djaksa) seridiri. Bandingkanlah djuga pasal-pasal
310, 319a dan 434 K.U.H. Perdata. Apalagi ukuran jang dipakai
oleh T h o n tidak tepat pula, karena perbedaan tjara mem perta
hankan hak itu tidak lain dari pada hanja akibat sadja dari pem
bagian hukum dalam hukum publik dan hukum privat.
S c h o 1 t e n 80 mengadakan suatu pembagian berukuran azas-
azas jang m endjadi dasar masing-masing peraturan hukum. Hukum
privat adalah hukum biasa (gemene recht), karena memuat azas-
azas biasa (u m um ). Djuga negara tunduk pada hukum umum (ge
m ene recht) itu selama tidak diadakan. perketju alians i . Perke-
tjualian itu terdapat dalam hukum publik. Hukum publik m endjadi
h ukum istimewa (bijzonder rech t), karena memuat azas-azas isti-
53
mewa- H ukum publik membatasi kekuasaan hukum privat tetapi
tidak melenjapkan hukum privat itu 82. Antara hukum privat dan
hukum negara ada suatu perbedaan azasi (p rin cip iëel), sedangkan
antara hukum privat dan hukum publik jang lain ada suatu p er
bedaan seperti perbedaan antara hukum biasa dan hukum istim ewa.
Terang sekali bahwa bagi S c h o l t e n hanjalah perbedaan
antara hukum privat dan hukum negara — jaitu hukum p u b lik
dalam arti kata sem pit ( L o g e m a n n ) — jang m en d ja d i suatu
perbedaan azasi. Tetapi bagi pengarang-pengarang lain jang nam a-
n ja tadi kam i sebut — jak n i L o e f f , B i e r l i n g , v a n A p se 1 -
d o o r n, O p z o o m e r, T h o n dan H a r t h o o r n (terketju ali
B e l l e f r o i d ) — maka pem bagian hukum dalam hukum p u b lik
dan hukum privat itu suatu pem bagian azasi jang m eliputi hukum
p ublik seluruhnja.
Menurut beberapa pengarang lain, maka pem bagian h uk um
dalam hukum publik dan hukum privat itu bukan suatu pem bagian
azasi. Pengarang ini pengarang jang pengaruhnja sangat besar pula.
Mereka adalah Z e v e n b e r g e n 83, D u g u i t 81, I i r a n e n-
b u r g 85 B e l l e f r o i d 86, M e i j e r s 87. K am i' m em bitjara-
kan terutama anggapan K r a n e n b u r g , B e l l e f r o i d dan
Meijers.
K r a n e n b u r g beranggapan bahwa pem bagian tersebut ada
lah akibat suatu sistimatik tertentu jang sedjak dahulu diadakan.
Sistimatik tertentu itu diadakan berhubungan dengan proses diferen
siasi jang sedjak dahulu berkem bang didalam ilm u hukum . Proses
diferensiasi tersebut belum berahir, melainkan proses itu senantiasa
akan dilandjutkan. Berhubungan dengan hal proses tersebut senan
tiasa akan dilandjutkan maka senantiasa akan di d jadikan perubahan
dalam sistimatik jang telah m enim bulkan pem bagian hukum dalam
hukum publik dan hukum privat itu. R upanja pem bagian pada
waktu sekarang tidak sesuai lagi dengan keadaan sungguh-sungguh
82 Tentang hukum privat sebagai hukum biasa dan hukum adm inistr ’
(hukum tatausaha) negara sebagai hukum istimewa, lihatlah b u t f1
kami „Pengantar hukum administrasi negara Indonesia” , 1965 R h
I par. 3. ’
83 Z e v e r b e r g e n , hal. 191 djb.
84 Léon Duguit „T raité de droit constitutionnel” , I, 1920.
85 Kranenburg „G rondslagen der rechtswetenschap” , hal 7 7 —'
86 Hal. 120-121.
87 P rof. Mr E.M. M e i j e r s „A lgem en e Ieer van het hurgerlijk rerlit”
1948, hal. 20-22.
54
d i lapangan liukum «s (Tjatatan kami : disini ada sebuah tjon toh
m engenai „spanning” antara teori dan „reclitsw erkelijkheid ).
O leh Bellefroid dikemukakan bahwa walaupun pem ba
gian tersebut bukan pem bagian azasi, masih djuga kita liarus me-
ngadakannja. Bukankah, u n d a n g -u n d a n g sendiri m em buatnja ? L i
hatlah pasal-pasal 101 dan 108 u n d a n g - u n d a n g dasar sementara ta
hun 1950 dahulu (lihatlah djuga pasal 102), pasal 2 R.O. („R ech ter-
lijk e Organisatie” , L.N.H.B. 1847 Nr 23 — lihatlah Bab III, par. 2)
(m asih berlaku berdasarkan pasal II Aturan Peralihan U.U.D. 89) ,
pasal 3 A .B .
Kata M e i j e r s : dalam suatu hubungan-hukum privat, m a
ka jan g bersangkutan diberi kebebasan supaja setjara kemauan
sendiri m eiuljalankan wewenang (hak) jang diberi oleh hukum.
H ukum pu b lik la h jang membatasi kemerdekaan ini. D jawaban atas
pertanjaan apakah sesuatu peraturan hukum termasuk golongan
h ukum privat atau termasuk golongan hukum publik, itulah ber
gantung pada hal bagaimana peraturan hukum itu dapat ditafsir
kan. D engan kala lain : bergantung pada besarnja kepentingan jang
dilindungi ( diperhatikan) oleh peraturan itu 90- Kita mengadakan
55
r
56
gunakan kemerdekaan mereka supaja menjelesaikan soal mereka
berdasarkan suatu peraturan sendiri, maka hukum privatpun m e
maksa.
Baliwasanja pembuat undang-undang, kalau kriterium kami
ini dipakai, tidak atau kurang konsekwen dalam membagi beraneka
warna m al j am peraturan-peraturan hukum itu dalam kitab-kitab
undang-undang hukum jang dibuat sedjak tahun 1848, itulah ter-
njata dari hal djuga dalam K.U.H. Perdatapun termuat peraluran-
peraturan hukum publik, jang scharusnja tidak boleh dimuat. Be
berapa tjontoh tentang hukum publik dalam K.U.H- Perdata: pa-
eal-pasal 27 (perkawinan berdasarkan m onogam i), 147, 938, 1603x
(dianggap lidak berlaku lagi).
Pem bagian hukum dalam hukum publik dan hukum privat jang
kami adakan, boleh dikatakan sedjalan (in overeenstemming) de
ngan pem bagian hukum dalam hukum memaksa dan hukum m e
ngatur 04. Terutama besarnja kepentingan ,,ruling class” — jang
1. Privataiilonomie (Vertrags-
fähigkeil und Freiheit) Rechtsgeschäfte und
Privates nachgiebiges
2. Anwendung (Verbands- u.
Rech» Gesetzesrecht
Sclüedsgcrichtc !)
3. Vakat !
1. Gesetzgebung
2. Rechtssprechung und Ver Zwingendes
Oeffentliches
waltung Gesetzesrecht
Recht (ku rsif dari kam i)
3. Betreibung, Verwaltungs
zwang, Strafvollzug.
57
menguasai alat-alat negara jang membuat dan jang m em pertahankan
hukum — menentukan apakah sesuatu peraturau termasuk hukum
publik atau hukum privat !
A hirnja, pada djam an sekarang ada djuga pengarang jang
hendak meninggalkan sama sekali pem bagian hukum dalam h u
kum publik dan hukum privat itu. Diantara pengarang tersebut
adalah K e l s e n dengan „S tufentlieorie” nja. ‘J5. Semua kaidah di
turunkan (afgeleid) dari satu „G ru n d n orm ” , jaitu dari satu kaidali
tertinggi. Baik badan-badan pem erintah m aupun orang partikelir
membuat pelundjuk-petun djuk (h id u p ) jang diturunkan dari kai
dah tertimrgi jan<i sama itu. Maka dari pem bagian hukum dalam
hukum publik dan hukum privat adalah suatu pem bagian jang »e-
wenang-wenang ! v
Karena tradisi ( M e i j e r s , L e m a i r e ) dan praktek ( B e l
l e f r o i d, K r a n e n b u r g) m engadakan perbedaan antara hu
kum publik dengan hukum privat itu, maka kam i m engadakannja
djuga :
1. Hukum pu b lik terdiri atas : luikUm pu b lik dalam arti kata
sem pit (istilah L o g e m a n n (h u k u m n egfiia ), hukum utjara
administrasi, pidana dan privat; hukum perburuhan (m odern ) ;
hukum padjak dan hukum ( p u b lik ) internasional.
2. Hukum privat terdiri atas : hukum perdata dan hukum d a b a n 0 .
3. Hukum perselisihan ilG.
53
4. H u ku m ekonom is.
5. H u ku m pidana sebagai hukum sanksi (sanctierecht).
6. H u ku m transitur (hukum antar w aktu).
selisihan itu sebagai suatu bagian hukum privat. Tetapi lihatlah djuga
perum usan-perum usan jang dibuai pengarang ini pada hal. 145 djb.
Perum usan-perum usan itu tidak membatasi hukum perselisihan ter
subur ha-ija pada bidang hukum privat.
Pendapat ja n g lama ini kami tinggalkan. Baik uraian G o u w G i o k
S i o n g dalam bukunja „H u ku m antargolongan. Suatu pengantar” ,
(1 9 5 6 , hal. 34 d ib .) -m au p u n , kemudian, kritik Mr H a n Bing
Siong („M a djalah H ukum dan Masjarakat” , IV, 1, hal. 4 -8 ) me-
iakinkan kam i bahwa memang hukum perselisihan i’ u tidak terbatas
pada bidang hukum privat sadja. Kami berpendapat lebih baik m em
beri kepada hukum perselisihan itu suatu siutus tersendiri, jaitu bu
kan hukum privat dan bukan hukum publik, tetapi m elipuii kedua-
keduania.
97 D efin isi jan g dibuat oleh P rof. Dr J.H.A. L o g e m a n n „Staatsnccht
van Nederlands In dië” , 1947, hal. 5.
98 Sama dengan n oot 97.
59
ada 6ualu pengadilan administrasi negara telap 90). Hukum atjara
privat mempeladjari tjara-tjara menjelesaikan perkara keperdataan
dan perkara jang menjangkutkan hukum dagang di muka hakim .
Hukuni, atjara pidana m em peladjari tjara-tjara menjelesaikan per
kara pidana di muka hakim, seperti tjara m endjatuhkan hukum an
jang tertjantum dalam suatu peraturan hukum pidana materiil, dsb.
Hukum perburuhan m em peladjari peraturan-peraturan hukum
jang mengatur kewadjiban dan wewenang buruh dan m adjikan ser
ta peraturan-peraturan hukum jang mengatur tjara m enjelesaikan
perselisihan antara buruh dengan m adjikannja 10°.
Hukum padjak (belastingrecht) m em peladjari peraturan-pera
turan jang mengatur hal-hal mengenai padjak (tjara memungut pa
djak, dsb.) serta peraturan-peraturan hukum jang mengatur tjara
menjelesaikan perselisihan padjak (belastinggeschillen).
Hukum (publik) internasional m em peladjari segi-segi hukum
dari hubungan-hubungan antara negara-negara 10l dan antara m a
nusia dengan pergaulan antar-negara itu.
Hukum perdata berludjuan m endjam in adanja kepastian dalam
hubungan antara orang jang satu dengan jang lain kedua-duanja
sebagai anggauta masjarakat. Tetapi djuga : m endjam in adanja ke
pastian dalam hubungan antara seseorang dengan pem erintalm ja
(Lihatlah anggapan kami tentang perbeldaan antara hukum publik
dengan hukum privat jang dibitjarakan diatas tadi).
Hukum dagang bertudjuan m endjam in adanja kepastian dalam
hubungan privat ch u su s102 antara orang jang satu dengan jan g
lain kedua-duanja sebagai anggauta masjarakat. Tetapi djuga :
60
m endjam in aclanja kepastian dalam hubungan privat chusus antara
seseorang dengan pemerintalmja. Hubungan privat chusus itu m e
ngenai : perniagaan, keperseroan (vennootschappen), w'èsel promès
dan chèque (tjèk keasuransian (pertanggungan, assurantiën, ver-
zekeringen), perniagaan laut dan segala sesuatu jang berhubungan
dengan itu, kepalitan (faillissement), hak pengarang dan keoktroian
( o ctro o ie n ). Jang diatur oleh hukum dagang itu seimia hal-hal jang
m asih belum dikenal oleli hukum privat orang Rom aw i (lihatlah
Bab X III, par. 1 dan 2).
Hukum perselisihan menerangkan peraturan apa jang m endjadi
peraturan hukum atau peraturan hukum mana berlaku mengenai
sesuatu hubungan (hukum) jang diadakan oleh karena suatu peris
tiwa hukum 103 jang memuat anasir-anasir jang dapat menjangkut-
kan dua atau lebih tataliukum (sistim hukum) jang berlain-
lainan l04-
Menurut sifat nasional atau tidak nasional (internasional) -
iija 105 perselisihan jang bersangkutan, maka hukum perselisihan
itu dibagi dalam dua bagian *. hukum perselisihan nasional dan
h ukum perselisihan internasional. G o u w Giok S i o n g , (Jivug
m engikuti invensi Prof. 11 e s i n k) 10(> membagi hukum perselisihan
dalam hukum antar tata liukum intern (intern conflictenrecht)
dan hukum antar tata hukum (internasional) ekstern ( (internatio-
naal) extern conflictenrecht). Kami menjinggung terlebih dahu
lu hukum perselisihan internasional, jailu hukum privat interna
sional, jang biarpun perselisihan jang diselesaikan adalah suatu
103 Slia lu peristiwa hukum adalah tiap peristiwa sosial jang akibalnja
diatur oleh liukum . Lihatlah Bab VI, par. 2.
1 04 Lihatlah pandangan tentang hukum perselisihan pada umumuja dalam
buk u M r Dr G o u w G i o k S i o n g „H ukum antargolongan. Suatu
pengantar” , 1956, hal. 1-33 (Mi* G o u w memakai djuga istilah ^lvu-
ku m antar tata liukum ” ) ; kuliah umum di Makassur tertanggal 8
Septem ber 1956 dari Mr Moli. K o e s n o c „A rti, tempat, dan sifat
hu ku m intergentil” dalam „M adjalah Hukum dan Masjarakat” , April
1 95 7, hal. 1-23, ja n g m enitik.bcratkan perhatian pada hukum an
tar golon ga n , tetapi memuat djuga beberapa keterangan jang pen
ting bagi ilm u hukum perselisihan pada um um nja, dan lebih luas
tesisnja (Surabaja, 1 9 6 5 ) ; P rof. Mr S u d i m a n Kartohadi-
p r o d j o „P engantar tata liukum di Indonesia” , 1957, hal. 145-178.
105 Jang dim aksud dengan perselisihan internasional ini bukanlah suatu
perselisihan antara pem erintah-pem erintah berbagai negara-negara
letapi perselisihan antara tvarga-negara berbagai n-egara-negara itu.
Perselisihan antara pem erintah berbagai negara-negara, itulah dipela-
djari oleh dan diselesaikan menurut liukum (p u b lik ) internasional.
106 hal. 6.
61
perselisihan internasional, masih d juga merupakan hukum na
sional (lihatlah Bab X IV , sub A ).
Hukum privat internasional menerangkan peraturan apa jang
mendjadi peraturan hukum atau peraturan hukum mana berlaku
mengenai sesuatu hubungan (hukum ) jang diadakan oleh karena
suatu peristiwa hukum jang memuat anasir-anasir jang dapat me-
njangkutkan dua atau lebih tatahukum privat nasional masing-ma-
singnja. Tjontoh : seorang saudagar warga-negara Indonesia (jang
tunduk pada hukum p riv a t nasional Indonesia) m endjual hasil
hutannja kepada seorang warga-negara D jerm an (jan g tim duk pada
hukum privat nasional D jerm an). P erdjandjian djual-beli jang d i
adakan oleh kedua belah fihak tersebut jang kewarga-negaraannja
berlain-lainan dan jang tunduk pada dua tatahukum (sistim hukum )
privat nasional jang berlain-lainan, diatur oleh peraturan-peratu
ran jang terdapat dalam hukum privat internasional itu.
Hukum perselisihan nasional berinatjam -m atjam : hukum inter-
gentil, hukum interlokal, hukum antar agama (interreligieus reclit)
dan, (pada d jam an k olonial) hukum interregional.
Hukum intergentil (jan g djuga disebut hukum antar golongan)
adalah him punan peraturan-peraturan jang mengatakan hukum
mana berlaku atau apa jang m endjadi hukum m engenai suatu hu
bungan (hukum ) jang diadakan oleh karena suatu peristiwa hukum
jang memuat anasir-anasir jang m enjangkutkan dua atau lebih .ata
hukum jang berlaku bagi masing-masing dua atau lebih golongan
liukum 107 jang berlain-lainan di w ilajah satu negara. I jo n lo li. se
orang warga-negara Indonesia keturunan Eropah m endjual sebuah
m obil kepada seorang warga-negara Indonesia asli. T jon toh lain
seorang warga-negara Indonesia keturunan T ionghoa menje\\a se
buah rumah dari seorang warga-negara Indonesia asli., T jon toh
lagi : di Indonesia seorang warga-negara Indonesia asli m enjew akan
sebuah sepeda kepada seorang turis ( toerist) warga-negara Inggeris
(orang Inggris tersebut termasuk golongan hukum E ropah lihat
lah Bab III, noot 2).
Hukum interlokal (S u d i m a n K a r t o h a d i p r o d j o,
hal. 162,165, memakai istilah: hukum antar-daerah, G o u w G i o k
S i o n g, hal 5, memakai istilah : hukum antar tempat, hukum
62
antar lingkungan hukum adat) mengatur hubungan (hukum ) an
tara orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan hukum
adat (adatrechtskringen). T jontoh : seorang Minangkabau kawin
dengan seorang Djawa. T jontoh lain : seorang D ajak m endjual
hasil tanahnja kepada seorang Bugis.
Hukum antar agama mengatur antara lain perkawinan antara
dua orang jang agamanja berlainan dan akibat hukum perkawinan
itu. Misalnja, seorang Am bon jang beragama Iveristen kawin de
ngan seorang Am bon jang beragama Islam.
Pada waktu kolonial penting adanja peraturan-peraturan jang
mengatur hubungan-hukum antara penduduk masing-masing bagian
K eradjaan Belanda. T jontoh : seorang mahasiswa Indonesia jang
beladjar di Negeri Belanda liendak kawin dengan seorang wanita
B elan d a disitu. T jontoh lain : seorang Belanda di Indonesia men
dapat penjeleraian perkara oleh hakim di Negeri Belanda. Pera~-
luran-peraturan jang mengatur hubungan-hukum sematjam itu di
b eri nama hukum interregional ( G o u w G i o k S i o n g : hukum
antarregio (hal. 7), S u d i m a n Iv a r t o h a d i p r o d j o : hu
kum antar-ibagian (hal 162, 1 66 )). lihatlah pasal 16 kalimat kedua
A .B . dan pasal I.S.
Tentang hukum perselisihan itu lebih landjut Bab X IV .
H ukum ekonomis terdiri atas peraturan-peraturan — jang se
bagian dapat digolongkan dalam peraturan-peraturan hukum privat
sebagian dalam peraturan-peraturan hukum p u b lik — jang mengatur
dan m em im pin segala aktivitet individu maupun pemerintah di se-
gala bidang perekonom ian. Karena dalam fase perkembangan eko
nom is pada saat ini masih ada banjak peranan tisalia partikelir
(swasta) (terutama dalam sektor distribusi) — tetapi, sesuai dengan
ludjuan ekonom i terpim pin, bagian besar peranan usaha partikelir
itu nanti akan dialihkan kedalam sektor turut-sertanja pemerintah
dalam bidang perekonom ian („ekonom i terpimpin” sebagai dasar
suatu ,,demokrasi terpim pin” ) — , dan oleh sebab itu pada saat ini
di bidang perekonom ian masih berlaku banjak peraturan ln?kum
privat, maka hukum ekonom is itu — beiibeda dari, misalnja, hukum
padjak — pada saat ini masih belum „overwegend” hukum publik.
7'etapi hal ini akan berubah lama-kelamaan, mengikuti perkem
bangan ke arah suatu ekonom i terpimpin. Biarpun demikian fase
perkembangan hukum ekonomis itu pada saat ini, masih djuga ada
tjukup alasan untuk m em beri suatu kedudukan tersendiri kepada
63
luikuin ekonomis .ersebul. Sebuah , j „ n ,oJl .
‘,™S 14 i,eraIllraii pelaksana „Deklarasi E k o , ( DI " ' ■ •
i t f a; r ~ 26 « * « « ” .
keJjaha,m ‘a, " r j i r era‘'gkm Perb'm‘ an m!IIM i » " ? merupakan
< y - I .k a „ / 7 '‘ ' " “ “ ’ “ i ” ■ »* W C a p « di
pidana biasanja di,elMt h , * “m , I“ ,a" Si!aM" H " 1“ ™
j em u Hukum pidana jang materiil.
64
aturan jang a priori memaksa, maka sudah tentu hukum piilana
termasuk lnikum publik. Bukankah, peraturan-peraturan hukum
pidana itu a priori memaksa ? Tetapi walaupun demikian kesim-
pulannja, masih djuga kami beranggapan hukum pidana harus di
lihat sebagai sua lu hukum jang mempunjai kedudukan tersendiri
dalam lapangan hukum 10f), karena djustru tugas lnikum pidana itu
berlainan dari tugas hukum publik. Berlainan dengan C baik tu°-as
C
hukum privat maupun tugas hukum publik itu, maka hukum pi
dana sama sekali tidak bertugas membuat petundjuk-hidup. Hu
kum pidana hanja membuat suatu sanksi lebih keras atas pelang
garan beberapa petundjuk-hidup jang telah dibuat oleh hukum pri
vat atau oleh hukum publik. Kami hendak melihat hukum pidana
itu sebagai suatu hukum sanksi istimewa (bijzonder sanctierecht).
Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa atas baik pelangga
ran kaidah hukum privat maupun atas pelanggaran kaidah hukum
publik jang telah ada. Hukum pidana melindungi baik kepentingan
jang diselenggarakan oleh perturan-peraturan hukum privat mau
pun kepentingan jang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan
hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua matjam kepenti
ngan itu dengan membuat suatu sanksi istimewa. Sanksi istimewa
ini perlu, oleh karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pe
merintah jang lebih keras *10.
109 Baik S c h o 1 t e n maupun L o g e m a n n melihat hukum pidana
sebagai hukum jang m empunjai kedudukan (status) jang tidak ter
tentu dan tidak termasuk hukum publik. Kata S c l i o l t e n „A l-
gemeen Deel” , hal. 42 : „M cn leert tegenwoordig strafrecht is publiek
recht. Dit scliijnl mij een uitspraak zonder zin. Het strafrecht geeft
een bijzondere sanetie zoowel aan sommige normen van gemeen recht
als aan regels van administratiefreclitelijken aard” (Pada djaman
sekarang hukum pidana dianggap hukum publik. Tetapi menurut
anggapan kami kesimpulan ini tidak berinti. Hukum pidana itu m em
beri suatu sanksi istimewa atas pelanggaran beberapa kaidah hukum
biasa maupun pelanggaran kaidah hukum administrasi). L e m a i r e,
hal. 224 : hukum pidana bukan hukum publik m aupun hukum privat.
110 V a n K a n , hal. 54-55 : „H et strafrecht sebept in beginsel geen nieuwe
norm en, het roept geen nietbestaande plicliten in het leven. Op andere
gebieden van het recht bestaande normen worden gieliandhaafd met
strafbedreiging en strafoplegging. Elders bestaande plichten krijgen
een bijzonder seherp getekend dwingend karakter, zij het, dat deze
plichten dikwijls in dezelfd® tcets bepaling worden opgenom en als die,
welke de strafbedreiging inhoudt. Het strafrecht werkt met een diepin-
grijpende sanetie cn zet een ongem ene kraclit bij aan de leefregels
waarmee het zicli bemoeit. Maar zelf scliept ,het die leefregels niet.
H et strafrecht is. wezenlijk sanctierechC’ (k u rsif kalim at terahir dari
k am i) (H ukum pidana pada pokoknja tidak membuat kaidah barH.
Kewadjiban-kewadjiban jang telah ada ditegaskan dengan paksaan
jan g istimewa. Sering kewadjiban-kewadjiban itu disebut dalam ke-
65
Dalam ilm u hukum maupun dalam perundang-undangan d i
terima/ azas lex posterior derogat legi anteriori. H ukum baru m eng
ganti hukum lama. Tetapi keadaan jang ditim bulkan o le h hukum
lama itu, tidak dengan begitu sadja dapat diubah oleh hukum ja n g
baru. Kuat djuga azas bahwa hak-hak jang d ip eroleh karena hukum
lamd tidak dengan begitu sadja dapat dilenjapkan, bahw a, kadang-
kadang : tidak dapat dilenjapkan lagi !, karena djustru m elenjap-
kan hak-hak itu m enim bulkan suatu keadaan jan g tidak diingini,
jaitu suatu (ketidak-adilan, atau akibat sudah m en dja di kekal dan
abadi. D jadi, perlu diadakan suatu keadaan peralihan, jan g diatur
oleh suatu hukum ip eralihan atau hukum transitur (h u k u m antar
waktu, intertemporaal recht) m .
Tugas hukum peralihan itu adalah m enjesuaikan keadaan jang
diakibatkan oleh peraturan-peraturan lama, jang telah ditjabut atau
diubah, dengan tatatertib hukum baru ja n g dikehendaki oleh hu
kum baru itu. M ereka jang hendak m elihat hukum peralihan itu
sebagai suatu hukum perselisihan 112, jaitu sebagai suatu hukum
antar waktu, maka dapat m em buat suatu perum usan tentang hukum
peralihan itu sebagai berikut : ,,Kesem uanja kaidah hukum ja n c
menentukan hukum manakah dan hukum apakah jan g berlaku apa
66
bila dalam suatu peristiwa hukum tersangkut dua hukum dalam su-
atu negarai jang b erla in a n 113 karena berlainan waktu berlaku
nja” 114.
T jon toh -tjon toh tentang hukum peralihan : pasal-pasal II dan
IV Aturan Peralihan U.U.D.; pasal-pasal 142, 143 dan 144 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu; pasal 1 ajat 2 K.U.H.
.'P id a n a . •
Sebetulnja, tiada suatu peraturan jang baik jang tidak memuat
ketentuan peralihan. Tidak dimuatnja ketentuan peralihan berarti
kekurangan dalam pekerdjaan pem buat peraturan jang bersang
kutan.
hukum perdata
hukum dagang
hukum intergentil (h u k u m
hukum perseli- . antar golon ga n )
sihan nasional hukum antar agama
hukum interlokal
hukum interregional
hukum perselisihan
hukum ekonom is
hukum
pidana
67
Bagi mereka jang melihat hukum privat internasional itu se
bagai suatu hukum internasional116 maka hukum privat interna
sional tersebut bersama-sama dengan hukum (pidjlik ) internasional
merupakan hukum internasional (lihatlah sub b ).
113 Sehamsnja : „dua hukum jang berlainan dalam satu negara” !
114 Perumusan jang dibuat oleh S u tl i m a n K a r t o Ii a d i p r o d j o,
_ hal. 168.
115 Lihailah djuga rangka dalam buku P rof. S u d i m a n K a r t o h a -
d i p r o d j o, hal. 21 :
'"H u k u m di Indonesia'''
Hukum perdata: Hukum p u b lik :
1. Hukum perdala barat 1. H ukum tata negara (S taatsiech t,
a. Hukum sipil V erfassungsrecht) .
b. Hukum dagang 2. H ukum tata usaha negara C ‘
2. Hukum (perdata) adat nistratiefreclit; V e r w a l l u n g s r c t i
3. Hukum perdata perselisihan 3. H ukum pidana
a. Hukum antar-golongan .
b. Hukum antar-agama 4. H ukum atjara pi ana
c. Hukum antar-daerah , ,
d. Hukum antar-bagian 5. H ukum atjara per a a
e. Hukum perdata internasional
f. H ukum antar-waktu 6. H ukum antar negara
68
Tentang pembagian hukum dalam hukum publik dan hukum
privat ilu masih perlu dikemukakan satu hal. M enurut pendapat
kami, maka — tljuga pada djaman sekarangpiui — masih dapat
disangsikan apakah dalam kesadaran-hukum orang Indonesia asli,
jan g; tetap hidup di masjarakat adat, sudah ada suatu pem
bagian lnikum dalam hukum publik dan hukum privat seperti lial-
nja itu dalam hukum Eropah. Pembagian liukum itu menurut
isinja, dalam dua matjam golongan, jakni hukum publik dan hu
kum privat, seperti jang telah kami kemukakan diatas tadi, adalah
akibat suatu fikiran sistimatis (menurut peladjaran) jang tertentu
jang terdapat dalam ilmu hukum Eropah dan jang berasal dari
ilm u lnikum Rom awi 117. Miaka dari itu bilamana dalam jurispru-
densi maupun ilm u hukum adat dikatakan hukum privat a d a t119
maka jang dimaksud ialah suatu himpunan peraturan-peraturan
adat jang menurut sistim hukum Eropah dapat merupakan suatu
him punan peraturan-peraturan liukum privat.
e.
Pada ahirnja, penting d juga pembagian 'hukum menurut funksi-
n j a, dnlnm hukum materiil dan hukum form il. H ukum m ateriil me-
j i frutu r isi hubungan antara kedua belah fihak atau menerangkan
C1
kiia ? Sudah tentulah, djika kila menerima pendapat a priori bahwa
hukum privat internasional adalah hukum internasional, djadi, d i
sandarkan atas primal hukum internasional, maka dalam perkara-
perkara seperti, misalnja, perkara tembakau di B rem cn jang diper
sidangkan di muka hakim Djerm an pada tahun 1959, kita kalah a
priori pula ! Lihatlah komentar G o u w G i o k S i o n g atas baik
pendapat kami maupun pendapat H a n B i n g S i o n g dalam bu
ku ,,H ukum perdata internasional Indonesia” ,_ I, 1961, hal. 24-28.
117 P rof. S u p o m o „B ab-bab tentang liukum adat” , 1958, hal. 21 :
„Antara sislim hukum adat dan sistim hukum Barat, adalah terdapat
perbedaan fondam entil” , antara lain, hukum adat tidak mengenal
pembagian hak dalam hak kebendaan dan hak relatif, tidak mengenal
perbedaan antara hukum publik dan hukum privat (lial. 2 2 ) , tidak
mengenal suatu pem bagian perkara dalam perkara pidana dan perkara
perdala (hal. 2 2 ), dsb.. Lihatlah djuga Mr G. A n d r e de l a
P o r t e, P rof. Mr C. v a n V o l l e n h o v e n dan P rof. Mr E.M.
M e i j e r s „Bestaat er in liet adatreelit ondersclieid tussehen zakelijke
en persoonlijke rechten ?” dalam T. 122 hal. 1 -2 5 ; kata t e r H a a r
dalam bukunja „B eginselen en stelsel” , hal. 1 2 0 : „D e vraag ,i,j* s
een klapperboom naar adatreelit roerend o f onroerend” ” voorop te
stellen en daarop een algemeen antwoord te verlangen heeft mijns
inzicns geen redelijken zin” , membuktikan bahwa belum tentulah „klas-
sifikaties’ ’ (pen ggolon gan -pen ggolon gan), jan g dibuat dalam ilmu hu
kum Eropah dapat djuga dipakai dalam ilm u hukum adat. Lihatlah
noot 88 diatas.
118 Misalnja, Mr R. S o e p o m o „H et Adat privaatrecht van West-Java” ,
1 9 3 3 ; Mr M.M. D j o j o d g o e n o dan Mr R. T i r t a w i n a t a
„H et Adatprivaatrecht van Middel-Java” , 1940 (k u rs if dari k a m i).
69
perbuatan-perbuatan mana jang dapat dihukum dan hukum an apa
jang dapat didjatuhkan. Misalnja, buruh w adjib m elakukan tugas-
nja, jang ditetapkan di perdjandjian-kerdjanja, dengan djalan se-
baik-baiknja sesuai dengan ketjakapannja (pasal 1603 baru K.U.H.
Perdata). „Barangsiapa membuat surat palsu atau mem alsukan su
rat, jang dapat melahirkan sesuatu hak, sesuatu perutangan (ke-
wadjiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau jang b oleh diper
gunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan m ak
sud menggunakan atau m enjuruh orang lain m enggunakan surat-
surat itu seolah-olah surat-surat tersebut asli dan tidak dipalsukan,
dan hal mempergunakannja dapat mendatangkan suatu kerugian,
maka dihukum lantaran pemalsuan surat, dengan pendjara seting-
gi-tingginja enam tahun” (pasal 263 K.U.H. P idana).
Hnknm form il m enundjuk tjara m em pertahankan atau tjara
mendjalankan peraturan-peraturan tersebut. Dalam hal perselisihan,
maka hukum form il m enundjuk tjara m enjelesaikan perselisihan
itu dimuka hakim.
rD jadT ) hukum m ateriil menentukan isi sesuatu perdjandjian,
sesuatu perutangan (ikatan) atau sesuatu perbuatan, sedangkan h u
kum form il m enundjuk tjara bagaimana perdjandjian, perutangan
(ikatan) atau perbuatan itu dapat dilaksanakan dan dipertahankan.
H ukum form il itu dapat djuga disebut hukum \atjara.
119 Hukum Islam terdapat dalam al.fikh (sja ria h ). Dua buku ja n g terke-
«»1* A s a f A.A. F y s e e „O utlines o f M oham m edan Law” , 1 9 5 5 ;
D r Th. W . J u y n b o l l ,,Handleiding tot de kennis van de M oliam -
medaansche wet volgens de leer der S jafi’ itische scliool” 1 9 3 0 ; dalam
bahasa Indonesia telah ditulis beberapa buku m engenai hukum Islam.
70
P rotestan 121), partai politik. Peraturan-peraturan sematjam itu sta
tuta (statuten) dan anggaran rumah tangga sesuatu perhim punan.
Peraturan-peraturan tersebut, jang ditetapkan oleh sesuatu perhim
punan atau oleh sesuatu kaum tertentu, hanja berlaku bagi ang-
gautanja sebagai anggauta. Kekuatan peraturan-peraturan itu b er
dasarkan keanggautaan perhim punan dan keanggautaan kaum. P e
langgaran peraturan-peraturan tersebut dapat m engakibatkan p e
ngusiran dari perhim punan atau dari kaum. Pelanggar tidak di
perkenankan meneruskan keanggautaannja.
Baliwasanja peraturan-peraturan sematjam inipun m endjadi
hukum , itulah ternjata dari hal apabila peraturan-peraturan terse
but dilanggar dan penjelesaian perkara jang bersangkutan dise
rahkan kepada hakim umum, maka hakim umum memaksa pelang-
.gar supaja taat pada peraturan-peraturan ini, biarpun peraturan-
peraturan tersebut tidak dibuat oleh pemerintah. Apalagi sebelum
suatu perhim punan atau suatu badan perusahaan swasta m em
peroleh status badan hukum (rechtspersoon) (tentang badan hukum
lihatlah Bab V I, par. 2 ), maka terlebih dahulu statuta harus disetu-
dju i oleh Departemen Kehakiman. Tetapi apabila kita mengatakan
hukum ” maka jang senantiasa kita maksud bukanlah peraturan-
peraturan jang tertjantum dalam statuta dan anggaran rumah tang
ga itu.
Par. 13: Ilmu hukum positif, politik hukum
d a n f i l s a f a t h u k u m 122.
Seperti halnja dengan semua gedjala lain di sekitar kita, maka
hukum pun dipeladjari oleh suatu ilmu. Ilm u hukum term'asuk ilm u
sosial (sociale wetenschap, social Science) 123.
Ilm u sosial jang m em peladjari hukum adalah ilmu hukum 124.
120 H ukum Geredja K atolik R om a — jang djuga disebut hukum, kanonik
— terdapat dalam „ C o d e x I u r i s C a n o n i c i” . Suatu ring
kasan dapal dibalja dalam buku Z e v e n b e r g e n , hal. 185-191.
121 L.H. v a n L e n n e p ,,D c rechtskracht van de verordeningen der
kerk-genootscliappcn” , disertasi Leiden 1909.
122 Lihatlah buku kami „R ingkasaan tentang filsafat hukum ” , B ab I.
123 Biasanja ilmu dibagi dalam dua tjabang : ilmu alam dan ilmu sosial.
Suatu ringkasan tentang ilm u sosial dapat dibatja dalam ,,Eerste INe-
derl. Systematisch Ingerichte E ncycl.” (E .N .S .I.E ;), djilid III, hal: 1-14
(karangan P rof. Dr J.P. Kruyt).
124 Tentang ilmu hukum pada um um nja (algem ene rechtswetenschap)
lihatlah a.l. : P rof. Mr P .W . K a m p h u i s c n „B eschouw ingen over
rechtswetenschap” , 1 9 3 8 ; S c h o l t e n „,Structuur der rechtsweten-
scliap” dalam „M ededelingen der K oninkl. Nederl. Akadem ie van W e.
tenscliappen” , A fd . Letterkunde, Nieuwe Reeks, deel 8 nr 1; P ro f.
D r J.H.A. Logemann „W eg cn der rechtswetenschap” , pidato
Karena lianja hukum positif sadja jang mendapat perhatian kami,
jaitu kami tidak menaruh perhatian terhadap hukum jang ditjita-
tjitakan, maka jang penting bagi kam i hanja jang disebut ilinu
hukum positif (positieve rechtswetenschap) sadja. Apalagi per
buatan mentjita-tjitakan hukum adalah suatu perbuatan politik
hukum (daad van rechtspolitiek), dan kami meragu-ragukan apa
kah hukum jang ditjita-tjitakan itu m endjadi ob je k ilm u hukum ;
menurut pendapat kami hukum jang ditjita-tjitakan itu adalah oo-
jek ilmu politik (hukum ). _
Ilmu hukum positif berusaha m entjari kausalitet antara gc-
djala-gedjala hukum di sekitar kita, supaja dapat m enerangkan se-
djelas-djelasnja gedjala-gedjala hukum itu dan segala persoalannja.
Selalu ilmu hukum positif harus m engudji (toetsen) apakah pangkal
penindjauannja dan azas-azas (beginselen) jang diterim anja, sebagai
dasar sistim jang hendak dipakainja, m em ang benar dan sesuai de
ngan ,,rechtswerkelijkheid” .
Agar dapat m entjapai ludjuannja, maka ilm u hukum positif
jang, kalau kam i m engingat bahwa djuga hukum jang ditjita-tjita
kan diperjakinkan setjara ilm ijah, merupakan suatu tjabang dari
ilmu hukum pada um um nja — menggunakan hasil p e n j e l i d i k a n
beberapa tjabang lain dari ilm u hukum pada um um nja itu. T ja -
bang-tjabang tersebut b oleh dianggap ilmu mem bantu (hulp-weten-
sch a p ) bagi ilm u hukum positif. T jabang-tjabang itu :
72
nj on S kebudajaan sesuatu rakjat ! Oleh sebab itu dalam ham pir
semua peraturan hukum baru — jang diadakan berdasarkan chu-
sns suaiu pei ubahan politik dan akibat perubahan politik ini b e
lum meresap di semua segi kebiulaj aan — terdapat anasir-anasir
sesuatu peraturan hukum lama.
73
kum nasional itu dengan m enggunakan azas-azas h u k u m asing —
tetapi azas-azas hukum asing ini terlebih dahulu harus disesuaikan
dengan „alam P an tjasila /M an ipol/U sdek ” . P en tin gn ja perbandingan
hukum besar pula bagi ilm u hukum internasional, o leh karena p er
bandingan hukum itu m enundjuk kepada kita anasir-anasir ja n g
mengandung kesamaan didalam m asing-m asing h u k u m nasional, se-
landjutnja, dapat m endjadi azas-azas sesuatu hukum internasional
universil.
74
kan : p olitik hukum meneruskan perkeiiiKangan hukum dengan
berusaha m elenjapkan sebanjak-banjaknja ketegangan antara „p o-
sitiviteit” dan „sociale w erkelijkheid” . P olitik hukum m ein-
buat suatu ius constituendum dan berusaha ius constituendum ini
pada kem udian hari berlaku sebagai ius constitwtum baru ( B e l -
1 e f r o i d ).
7S
BAB II
SUMBER-SUMBER HUKUM i.
Par. 1: Sumber-sumber hukum d itiu dj au
dari beberapa s 1 1 d u t.
a.
A pa jang m endjadi sum ber hukum m enurut anggapan seorang
ahli sed jarah.
Bagi seorang ahli sedjarah penting sekali untuk m engetahui
bagaimana perkem bangan liukum itu dalam sedjarahnja. Untuk
m engetahui perkem bangan hukum tersebut, maka ia m enggunakan
dua djenis sum ber :
1. undang-undang serta sistim-sistim liukum tertulis dari sesuatu
masa — m isalnja, abad ke-18 — jang m ungkin oleh pem buat
undang-undang dari djam an sekarang dipergunakan ketika h u
kum untuk djam an sekarang ditetapkannja.
2. terketjuali apa jang disebut pada sub 1, harus djuga ia m em
pergunakan sekalian dokumen-dokumen, surat-surat dan kete-
rangan-keterangan jang lain dari masa itu pula dan jang m e
mungkinkan ia mengetahui hukum jang sedang berlaku pada
masa tersebut.
76
^ _ _ S u m b e r jang kedua ini — disebut pada sub 2 — diberi nama
u k e n b r o n ^ 2, jaitu sumber untuk mengetahui („ k e n n e n ’) sesuatu.
Suriibcr-jang kedua ini bukanlah sumber hukum, karena resmi tidak
memuat hukum . Akan tetapi orang dapat menggunakannja djuga
untuk m engetahui hukum. Sumber jang pertama — disebut pada
sub 1 — m en djadi sumber hukum sungguh-sungguh.
Sedjarah hukum telah menjatakan hukum tiada putusnja. H u
kum bersifat kontinu. Biarpun hukum dinamis, masih djuga beru
bah dekit-dem i-dekit. Bagian jang terbesar perubahan itu sesuai
dengan perubahan sosial. Tetapi um um nja tidak sesuai dengan pe
rubahan politik, oleh sebab perubahan politik itu lebih tjepat ter-
djadi dari pada perubahan segi-segi kemasjarakatan jang lain. Di
negeri kita dapat dikatakan : sampai kini pada umumnja baru
hukum negara c’ an hukum agraria jang sudah berubah (disamping-
nja ada pula hukum perburuhan dan hukum ekonom i baru), jaitu
sedjak tanggal Proklamasi Kemerdekaan, sedjak tanggal Pemulihan
Kedaulatan dan sedjak pengumuman Dekrit Presiden tertanggal 5
D ju li 1959 (kem bali kepada keadaan segera sesudah Proklamasi
K em erdek aan ). Pem buat Undang-undang Dasar kita memperhatikan
pula sifat kontinu dari hukum itu. Hal tersebut tertjantum dalam
Pasal-pasal II dan IV dari Aturan Peralihan U.U.D., pasal-pasal 142,
143 dan 144 undang-undang dasar sementara dari tahun 1950. Me
ngenai hukum peralihan atau hukum transitur, jang memungkinkan
kontinuitet hukum , lihatlah Bab I par. 11 diatas tadi.
b.
Apa_ jang m endjadi sum ber hukum m enurut a n g g a pan^seo
filsuf 3^
Bagi seorang filsuf pertanjaan jang penting ada dua buah 4
2 L ih a tla h P r o f . M r S .J . F o c k e m a A n d r a e „ O v e r z ic h t v a n O u d -
N e d e r la n d s c h e r e c lits b r o n n e n ” , 1 9 2 3 . . .
W a l t h e r B u r c k l i a r d t „ E in f ü h r u n g ” , h a l. 2 0 4 : ,,I\ cben
sei b e m e r k t , d a s m a n als „ „ R e c h t s q u e l l e ” ” n ich t n u r d e n G r u n d d e r
V e r b i n d l i c h k e i t e in e s R e ch tss a tze s s o n d e r n a u c h d i e d o k u m e n t a r i s c h e n
Z e u g e n d e r g e lte n d e n R e ch tss ä tze u n d ih re s In h a lte s b e z e ic h n e t, n
d ie s e m z w e ite n S in n s in d R e c h ts q u e lle n 'd e s h e u t ig e s R e c h ts v ora
d ie G e s e tz e s s a m m lu n g , d i e a m tlic h e S a m m lu n g d e r U r t e ile , a so
a u th e n tis c h e U r k u n d e n , p r iv a te A u fz e ic h n u n g e n ü b e r d i e G e rich ts -
p r a x is , p r iv a te U r k u n d e n , In s c h r ifte n , C h r o n ik e n o d e r S a g e n ’ .
3 L ih a tla h d ju g a M r M a l i a d i „ S u m b e r -s u m b e r h u k u m ” , I , b a l.
4 0 d jb . : S u m b e r -h u k u m fa ls a fa h .
4 K u s u m a d i P u d j o s e w o j o „ P e d o m a n ” , h a l. 11 : ,,D s n se
k a li m e m p e r s o a lk a n h a l-h a l d a ri ilm u h u k u m , d e k a tla h o r a n g k e p a d a
77
1. Ukuran apakah jang harus dipakai orang sebagai dasar benar-
benar sesuatu hal bersifat ^ a d il^ ? P ertanjaan : dapatkah kita
buat suatu „G rundnorm ” atau ,,TJrsprungsnorm ” (seperti jang
digambarkan oleh beberapa sardjana huk um bangsa D jerm a n )
jang naendjadi dasar etis bagi berlaku n ja sistim h uk um lorm il
kita ? Oleh para filsuf ¿k eadilan ” 'itu dipertim ban gkan dengan
hebat-hebat. Bukankah/~nrentjapai „k eadilan "’ itu m en d ja d i
makiiid terahir semua orang ja n g berusaha m em buat hukum ?
S«perti dikatakan R a d b r u c l i : „W ertm aszstab des positiven
Rechti, Ziel des Gesetzgebera i6t die G erech tigk eit”
2. Apa sebab maka kita taat pada hukum ? T entang hal in i lihat
lab Bab I, par 10.
c.
Apa jang m endjadi sum ber hu ku m m enurut anggapan seorang
ahli sosiologi dan seorang ahli antropologi^ biidaja.
d.
A p a J an g mendjadi sum ber hukum m enurut anggapan seorang
ahli ekonom i.
Bagi seseorang ahli ekonom i maka jang m en d ja d i sum ber liu
kum nja ialah apa jang tampak di rapangan penghidupan_ekononiis-
Misalnja, sebelum pemerintah m em buat peraturan ja n g berlu
djuan membatasi persaingan di lapangan dagang ( = p e m e n
turut-aerta dalam lapangan dagang), maka ahli ek on om i harus me
q u e ” , „R a p p o r t g en eral b a g i K on g gire „ d im u a t
t e r n a tio n a le d u D r o it P e n a l, 1 9 5 3 , 3 , h . i e»
d il-im P r o f M r M P . V rij v e r z a m e lin g u it z y n g e s c h n f t e n o p tiei
g S ’ f r ¡ t r ^ f r e l en c H m in o lo g ie ” , 1 9 5 8 , h a l 3 2 9 -3 4 5 . D a la m
b u k u k a m i „ H u k u m p id a n a I ” , 1 9 6 0 , h a l. 7 4 -7 6 , te r m u a t su atu
r in g k a s a n . .
7 L ih a tla h G u s t a v R a d b r n c h k aran gan „K la s s e n r e c h t und
R e c h t s id e e ” d a la m „ Z e it s c h r ift fü r s o z ia le s R e c h t ” , 1 9 2 9 .
79
Dengan makin lama makin banjak turut-sertanja pem erintah
dalam penghidupan ekonomis sebagai akibat dilaksanakannja p ro
gram Pemerintah mewudjudkan suatu ekonom i terpim pin, m aka m a
kin perlu pula hukum itu dipeladjari lebih intensif oleh para ahli
ekonomi. Tetapi para ahli hukum djuga perlu m engetahui lebih
banjak tentang persoalan-persoalan ekonom i, supaja bersama-sama
dengan ahli-ahli ekonom i tersebut dapat m enentukan tindakan-tin
dakan sebaik-baiknja dalam bidang ek on om i terpim pin itu dan
mentjiptakan suatu hukum ekonom is jang berm anfaat. '
f.
A p a jang m e n d ja d i s u m b e r h u k u m m e n u r u t a n g g a p a n sa r d ja n a ^
hukum
Dari apa jang diuraikan dalam Bab I, par. 10, dapat kam i buat
kesim pulan bahwa penghargaan (penilaian) tentang suatu kaidah,
disini suatu kaidah jang hendak m em peroleh kwalifikasi kaidah
hukum , dibuat dalam perasaan (kejakinan) individu atau terdapat
dalam pendapat-umum (public opin ion ), kadang-kadang dalam arti:
pendapat kolektif, jang m endjadi resultante p e r a s a a n - p e r a s a a n jang
sama individu-individu. Dalam perasaan individu dan pendapat
umum itu diadakan suatu penghargaan terhadap peristiw a-peristi
wa (feiten) jang tim bul dalam pergaulan kemasjarakatan jan g da
pat mempengaruhi dan menentukan sikap manusia. Penghargaan
ittt bersifat menentukan petundjuk-hidup apa dan mana ja n g akan
diterima dan harus diberi perlindungan s e p e n u h - p e n u h n j a dari fi-
hak pemerintah. Penghargaan itu djuga menentukan isi dari petun
djuk-hidup tersebut. Penghargaan jang menentukan petundju k-h i
dup apa dan mana jang akan diberi perlindungan ( = sanksi) dari
fihak pemerintah adalah suatu sumber hukum (hukum = petun-
80
J dup jang diberi sanksi dari fihak pem erintah). Sumber hu-
lind m encntu^ an isi kaidah hukum (dalam hal konkrit =r
. n manu8|a ja n g je s n a i dengan apa jang dianggap seharasnja)
11Jen nama s m n b e r j u g ml
Dari apa jang disebut diatas ternjata bahwa perlu sekali orang
menggunakan hasil penjelidikan ilmu-ilmu sosial jang lain, agar
'a dapat m endjadi sardjana hukum jang sempurna.
81
Ilmu-ilmu sosial seperti sedjarah, sosiologi dan anlrojiologi bu-
daja, ekonomi, teologi dan filsafat m endjadi ilm u-ilm u membantu
(hulpwetenschap) bagi ilmu hukum dan, sebaliknja, ilmu hukum
mendjadi ilmu membantu bagi ilmu-ilmu sosial tersebut. Pada ha-
kekatnja ilmu-ilmu pengetahuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan.
Ahirnja, kita tidak boleh lupa bahwa sebagian dari sumber-
sumber hukum m ateriil ( = dengan tidak m elihat bentuknja) m en
djadi kehendak suatu „ruling class” jang menguasai masjarakat di
waktu tertentu.
h a ri P r o k la m a s i ta n g g a l 1 7 A g u su s 1 9 6 1 , 1 9 6 2 , 1 9 6 3 , 1964-
d ju g a te r m a s u k P e r p u s ta k a a n M a n ip o l in i, b i a r p u n re ®” ’ 1 J en ^ a n
d ia d ik a n b a h a n p o k o k in d o k tr in a s i. D e m i k i a n d ju g a ■a.nj« >-
..D e k ! arasi E lro r .o m i^ — — „D ^ k o n ’ . t j
10 L ih a t la h P r o f . S u j o n o H a d i n o t o , S .h ., „ R e v o lu s i In d o n e w a
d a n m a n ife s t a s in ja d a la m h u k u m . M o tto : „ „ H o m o saera res i »
S e n e c a „ „ M a n u s i a a d a la h su tji b a g i- m a n u sia la in n ja , prasar-
k a Seminar H ukum N a sion a l di D ja k a rta 1 9 6 3 .
11 Roeslan A b d u l g an i „P e n d jo la s a n M a n ip o l d a n U s d e k , i-
h a tla li n o o t 9 .
12 K e p u t u s a n N r 3 / K p t s / S d / H V 5 9 . L ih atlah n o o t 9 .
13 K e t e t a p a n M .P .R .S . N r I terta n g g a l 19 N o v e m b e r 1 9 6 0 : Momper_ uu
-M a n ifesto P o li iik R e p u b lik In d o n e s ia seria p e r p e r in t jia n n ja ‘
g a r is -g a r is b e s a r d a ri p a d a h a lu a n N eg ara. K e te ta p a n M -1' “ -3 ; * „
in i m e n e t a p k a n p u la A m a n a t P r e sid e n p a d a S id a n g P le n o nwai '
r a n tja n g N a sio n a l ( D e p c r n a s ) m e n g e n a i P e m b a n g u n a n S em esta j «
B e r e n t ja n a p a d a ta n g g a l 2 8 A g u stu s 1 9 5 9 ja n g d iu tja p k a n d a n .
te r tu lis , m e n d ja d i gar>s-;aa>is b osa r p a d a h a lu a n p e m b a n g u n a n .
14 L ih a ila h R o e s l a n Aabdulgani dalam „Pendjelasan ManlP®
dan Usdek” (dikutip padu „T u d ju li balian.bahan pokok indoklrinasi ,
h a l. 3 5 6 ) .
83
Sebagai unsur kedua M anipol dapal. disebut : M anipol m em beri
gambaran — perspektif — tentang tudjuan R evolusi Indonesia
jang masih belum selesai, jaitu didirikannja suatu Masjarakat In
donesia jang S osia lis(tis), suatu Masjarakat Indonesia jan g A d i l
dan M a k m u r bagi setiap anggauta Masjarakat itu.
Supaja dapat mentjapai tudjuan Revolusi Indonesia tersebut,
maka unsur jang ketiga dari M anipol — oleh M anipol diserukan
suatu K on sen tra si sem u a tenaga-tenaga r e v o lu s io n e r 15. Harus ada
persatuan nasional, kerdja-sama atas dasar kekeluargaan antara Na-
sakom — lihatlah Bab V II, par. 7 — , antara N asakoin dengan go
longan-golongan karja dan antara golongan-golongan karja masing-
masingnja. Konsentrasi semua tenaga-tenaga revolusioner itu adalah
sjarat mutlak untuk dapat m entjapai tudjuan R evolusi Indonesia itu.
Baru sesudah ada Konsentrasi semua tenaga-tenaga r e v o lu s io n e r ,
maka kita dapat berdjalan m enljapai tudjuan R evolusi Indonesia.
Berdjalannja kita itu atas lima landasan, lim a rel, jaitu U .S.D.E.K. .
1. dalam bidang ketatanegaraan dan hukum kita berdjalan atas
U.U.D. tahun 1945; 2. ideologi jang m endjiw ai semua tindakan-
tindakan kita adalah Sosialisme Indonesia 16; 3. dalam bidang p er
ekonom ian kita mevvudjudkan suatu E k on om i T erp im p in untuk
m elindungi jang ekonomis' lem ah terhadap pemerasan oleh jan^
ekonomis kuat; 4. E konom i T erpim pin itu, jang m e n g a k ib a t k a n
lebih banjak turut-sertanja pem erintah dalam bidang p e r e k o n o m ia n ,
menentukan sistim pemerintahan kita, jaitu D em okrasi T e r p in i-
pin 17; 5. Supaja kita dapat m em perteguh kepertjajaan pada k e
mampuan kita sendiri dan dapat m enghindarkan pengaruh-penga
ruh asing jang buruk, maka perlukah kita kem bali kepada
kepribadian kita, kepribadian In d on esia . U-S.D.E.K. ini adalah
unsur jang ke-empat dari M anipol, bahkan, merupakan intisarinja.
iU
A h iru ja, sebagai unsur jang kelima dari Manipol, Manipol me-
njebut pula musuh-musuh Revolusi Indonesia, jaitu imperialisme,
kolonialism e dan feodalism e. Disebutnja m u su h -m u su h ini adai
penting, supaja lawan tidak didjadikan „kawan dan kawan tidak
didjadikan lawan.
M anipol telah diberi dua pedoman p e l a i t s a n a a n , 3a^ 1 P1 a*°
Presiden pada tanggal 17 Agustus 1960, jang berdjudul ,, ja annja
Revolusi Kita"’ — disingkatkan : D ja r e k , dan pidato Presi
dalam Sidang um um P.B.B. pada tanggal 30 September 1960, jan0
berdjudu l „ T o Build the W orld Anew” (Membangun Dunia Kem
bali - disingkat M .D .K .). M.D.Iv. adalah pedoman pelaksanaan
politik luar negeri jang bebas dan aktif- Kedua pidaio terse ut o e
Ketetapan M .P.R.S. Nr I telah diteiima sebagai „pedom an pe
pelaksanaan M anifesto P olitik Republik Indonesia^. D juc a
so-pim ” , „T a k cm ” , „G esuri” , „T avip” dan ” ^ kar* . k
muat lima A zim at R evolusi : Nasakom, Pantjasila, - ampo ,
Trisakti T avip (Berdaulat dalam politik, beidiri atas __
dalam ekon om i, berkepribadian dalam k e b u d a ja a n ), Bei '
merupakan pedom an pelaksanaan Manipol sebagai sum
materiil.
85
Ke-Tuhanan Jang Maha Esa,
Kemanusiaan jang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia,
dan Kerakjatan jang dipim pin oleh hikm at kebidjaksanaan dalam
Permusjawaratan-PerwakiJan serta dengan m ew u d ju d k a n suatu K e
adilan sosial bagi seluruh R akjat Indonesia”
36
Tetapi tanggal tersebut lianjalali tanggal la h irn ja Pantjasila ka
rena Pantjasila itu telah lam a sebelum nja terkandung dalam tu
buh bangsa In d on esia ja n g sedang m em perdjuangkan kemerdeKaan-
n j a 2 1 . M enurut B u n g K a r n o maka Pantjasila itu lim a dasar
filsafat d ari N eg a ra In d o n e s ia : „D asar, philosofische groiidslaj.,
atau suatu W eltan schauung diatas mana kita m endirikan negara In
donesia” . P antjasila, sebagai suatu „W eltanschauung , adalah apa
jang kam i sebut suatu p en g a k u a n k ep ertja ja a n ( g e l o o f sbeiijdenis ,
jakni k ep ertja ja a n pada ke-Tuhanan, pada Negara Indonesia jang
berdasarkan nasionalism e, pada nasionalism e jang berdada '
manusiaan. P antjasila itn pendorong dan dasar penghidupa
nusia sebagai warga dari Negara Indonesia.
Pantjasila itu suatu kesusilaan positif, suatu etika
jang m en d ja d i dasar dari negara nasional kita. P ro^ ^ ° , Neaara
m enjebut P antjasila itu ’ ’ S t a a t s f u n d a m e n t a l n o r m («I'-“ 1 “ 1 . .|a
jang fu n dam en til” ) 22. Tentang h u k u m b e r s u m b e r k a n an •- ^
jang bersifat p en g a jom a n telah kam i singgung dalam
f o r m i l 23.
P a r. 3 : Sumber-sumber li_u_kjUi!— j_a n „ "
" ' --i • •* npriwan-hukum (keja-
Sum ber-sum her hukum materiil, jaitu l inion) jang
kinan-hukum ) in d ivid u dan pendapat-umum (p u 1C iJ[icuU1]can isi
m endjadi determ inan m ateriil mem bentuk hukum, mendja-
dari hukum , sedangkan sumber-sumber hukum fornu ’ ^ ter^ninantcll
di determ inan fo rm il m em bentuk hukum ° rm . jlUjiUUi. Sum-
van de rech tsv orm in g), menentukan b e r la k u n ja c ari
ber-sum ber h u k u m jang form il adalah :
a. undang-undang keputusan dari
b. kebiasaan dan adat jang dipertahankan da .
jang berkuasa dalam masjarakat -
c. traktat
d. jurisprudensi .
e. pendapat ahli hukum jang terkenal ( t o '
M fn t in n a i Indonesia M e r d e k a ” ,
21 D a la m ris a la h B u n g K a r n o „ su atu d ja m b a t a n e m a s. ®
1933, d ik a t a k a n b a liw a k e m e r d e k a a n itu sem p u rn ak an
n gan m e n je b e r a n g d ja m b a ta n e m a s .tu d a p a t la li
h .k » m p c™ «— j«
88
Ivila harus ingat akan hal undang-undang, traktat dan sebagian
dari adat ( ! ) adalah sumber hukum jang terdapat terutama dalam
suasana „positiviteit” sedangkan kebiasaan, bagian lain dari adat
dan jurisprudensi m endjadi sumber hukum dalam terutama suasana
„w erk elijkh eid” (kenjataan). Doktrina tidak selalu m em beri gam
baran tentang „w erkelijkheid” . D i samping tulisan-tulisan ja n "
menggam barkan „w erkelijkheid” ada d juga tulisan-tulisan n ian«’
D
m emuat ,,das Sollen” , jaitu : jang diingini.
A. U 11 d a n g - u 11 d a n g.
89
ri
i
90
Pendapat L a b a n d sangat berpengaruh, djuga diluar Negeri
Djerman. Di Negeri Belanda, jang mula-mula memasukkan keda-
lam ilm u hukum disitu pengertian „undang-undang dalam arti
m ateriil” ialah Prof. B u y s 29. Tetapi anggapan B u y s berlai
nan dari pada anggapan L a b a n d. Menurut B u y s maka undang-
undang dalam arti m ateriil ialah setiap keputusan pemerintah (para
penguasa, overheid), jang menurut isinja (atau dengan kata lain :
menurut materi ( = isi)-n ja ), mengikat langsung terus setiap pen
duduk ( sesuatu daerah). Anggaran tersebut terkenal dengan nama :
pengertian undang-undang dalam arti materiil menurut Buys
V _*begrip -we t in matriele zin volgens B u y s ).
91
Undang-undang dalam arti fon ïiil ialah setiap keputusan
pemerintah jang merupakan undang-undang, karena ijara terdjadi-
nja (wijze van totstandkoming). Menurut pasal-pasal 5 ajal 1 dan
20 ajat 1 U.U.D. maka di negara kita undang-undang ditetapkan
oleh Presiden (jang dibantu oleh Menteri, Pem erintah) bersama-sa
ma dengan Dewan Perwakilan Rakjat 31. Maka dari itu : keputusan
pemerintah jang ditetapkan oleh Presidèn bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakjat merupakan undang-undang. Dengan kala
lain : hunja keputusan-keputusan pem erintah jang ditetapkan
Presidèn bersama-sama dengan Dewan Perwakilan R akjat m en d ja d i
undang-undang (dalam arti fo rm il). Penetapan Presidèn (lihat
lah dibawah nanti), peraluran Presidèn (lihatlah dibawah nanti ,
peraturan Pemerintah (pasal 5 ajat 2 U .U .D .), p eia lu ia n
swatantra bukan undang-undang dalam arti jang form il
Biasanja undang-undang (pasal-pasal 5 ajat 1 dan 20 ajat 1
U.U.D.) 33 bersifat form il serta materiil. Baik karena bentuknja
maupun karena m engikat setiap penduduk sesuatu daeiah, n « '^
keputusan itu m endjadi undang-undang. M isalnja, Undan^. une a
Pem ilihan Umum, L.N. 1953 N r 29, m erupakan undang-undang
lam arti form il, karena, menurut undang-undang dasar seme
tahun 1.950 dahulu ( pasal 89), ditetapkan oleh Pem erintah bersam^
sama dengan Dewan Perw akilan R akjat? m aupun undan& ^
dalam arti m ateriil, karena m engikat setiap penduduk J
Indonesia (lebih tepat : setiap penduduk warga-negara Indon ^
Sebaliknja, undang-undang naturalisasi (pewarga-negaia«.
orang asing hanja merupakan undang-undang jang fo n n i J
92
W alaupun ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan R akjat (pasal 26 ajat 1 U.U.D., lihat nnluk natura
lisasi pada saat undang-undang dasar sementara tahun 1950 masih
berlaku pasal 5 ajat 2 undang-undang dasar itu ), undang-undang
ini hanja mengikat jang berkepentingan, jaitu jang dinaturalisasi
(diberi kewarga-negaraan baru).
Suatu peraturan daerah swatantra ( = pengertian m ateriil) m e
ngikat langsung terus setiap penduduk daerah jang bersangkutan
serta setiap penduduk Indonesia jang djuga tinggal di daerah itu.
Peraturan ini tidak merupakan suatu undang-undang form il, kare
na tidak ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan Perwakilan
R akjat (pusat di D jakarta).
Diat as tadi telah kami singgyng pengertian „penetapan undang-
undang” atau „perundang-undangan” ( dalam bahasa Belanda : icel-
geving). Kam i harus membedakan antara dua pengertian „perun
dang-undangan” jang herlainan, jakni antara suatu pengertian jang
juridis form il (form eel juridisch begrip) dan suatu pengertian jang
juridis sosiologis (sociologisch juridisch begrip) 3,i. „Perundang-
undangan” sebagai suatu pengertian juridis form il adalah setiap per
buatan menetapkan dengan tegas suatu keputusan pemerintah
umum, jakni perbuatan membuat suatu undang-undang materiil.
„Perundang-undangan” sebagai suatu pengertian juridis sosiologis
ialah setiap perbuatan dengan sengadja mempertimbangkan kepen
tingan sosial jang-bertentangan (opzeUeVvjke aiweging ' an te-~en
strijdige sociale belangen). M isalnja, peraturan (kaidah) j aU?
tertjantum dalam pasal 1457 K.U.H. Perdata adalah hasil suatu
pertim bangan kepentingan sosial jang bertentangan. Ketentuan ter
sebut m enerangkan bahwa pendjual harus m em beri kepada pem
beli barang jang dibeli, sedangkan pem beli w adjib m em bajai ba
rang itu. Dengan penetapan ini, pem buat K.U.H. Perdata sebagai
penonton „m aatscliappelijk gebeuren” ( L o g e m a n n ) ^ ■telah
m em pertim bangkan kepentingan kedua belah fihak itu. Dengan
d jalan demikian, kepentingan ke'dua belah fihak telah disetarakan.
Dasar segala pertimbangan kepentingan tersebut ialah tudjuan un
93
tuk mentjapai kepastian-hukum sebanjak-banjaknja, dan kepas-
tian-hukum sebanjak-banjaknja itu seharusnja m endjadi „rechts-
werkelijkheid” . Bukankah, tjita-tjita sesuatu pem buat peraturan
hukum, jang memperhatikan sebanjak-banjaknja semua kepen
tingan, agar „positiviteit” m eliputi „rechtsw erkelijklieid” ?
Pekerdjaan dengan sengadja m em pertim bangkan kepentingan
sosial jang bertentangan itu tidak hanja diserahkan kepada badan
negara jang diberi tugas mem buat peraturan hukum. Tugas sema-
tjam itu djuga diserahkan kepada hakim dan administrasi (tata-
usaha) negara. Hakim — dalam suasana „w erk elijkh eid” — dengan
sengadja m empertimbangkan kepentingan penggugat dan kepen
tingan tergugat dalam atjara di muka pengadilan. Selandjutnja,
menentukan — dengan mengingat, kepastian-hukuin jang diingini
— kepentingan mana jang leb ih besar.
Pekerdjaan pem buat peraturan (perundang-undangan), peker
djaan administrasi negara ( — penjelenggaraan perundang-undangan
berdasarkan delegasi, pasal 5 ajat 2 U.U.D. 36) dan pekerdjaan ha
kim (m engadili = m enjelesaikan perselisihan) bersama-sama m e
rupakan apa ja n g terkenal dengan nama pem bentukan hukum, d e
ngan sengadja (opzettelijke rechtsvorm ing) 37. Pem bentukan hukum
dengan sengadja itu tidak hanja dilakukan oleh badan-badan pe
m erintah seperti pem buat peraturan hukum (m isalnja, Presiden
bersama-sama dengan Dewan Perw akilan R a k ja t), adm inistrasi ne
gara dan hakim, tetapi djuga — dalam suasana „w erk elijk h eid ’
oleh kedua belah fihak sesuatu perd jan d jian (contract, overeen-
komst) 3s. Misalnja, pem beli dan pendjual, ketika m em buat per
djandjian djual-belinja, saling m enentukan hak dan kew adjiban m e
reka berhubung dengan melaksanakan perd jan d jian d ju a l-b eli itu.
Bahwasanja perdjandjian djual-beli tadi m em uat hukum , itulah
ternjata dalam hal apabila perdjandjian tersebut tidak dilaksanakan
94
menurut semestinja, maka pemerintah (hukum ) m endjalankan
suatu sanksi (sebenarnja suatu tjontoh tentang apa jang dikemu-
kakan oleh J e 1 li n e k : „norm ative K raft des Faktischen” ).
Tetapi ada perbedaan antara pembentukan hukum dengan se
ngadja jang dilakukan oleh badan-badan pemerintah dan pem ben
tukan hukum dengan sengadja jang dilakukan oleh para fihak se
suatu perdjandjian dalam membuat perdjandjian mereka itu. W a l
t h e r B u r c k h a r d t 39 mengatakan : „d e r öffentliche Gezetz-
geber soll sie ausiiben zur Verwirklichung der Rechtsidee, der G e
rechtigkeit, zu sachlich richtigem Zw eck; der Private kann sie
ausiiben nach B elieben zur Verwirklichung seiner subjektiven
Zwecke. Der erste soll xliber sein W erk begründete Rechenschaft
geben können; der zweite ist niemand Rechenschaft schuldig; der
eine hat eine Aufgabe, der andere eine mera facultas” . Menurut pen
dapat kami maka perbedaan tersebut tidak bersifat begitu mutlak
seperti dilukiskan W a l t li e r B u r c k l i a r d t . Bukankah, badan-
badan pem erintahpun „kann sie” djuga ,,ausiiben nach Belieben zur
V erw irklichung seiner subjektiven Zwecke” ? Apalagi apabila ba
dan-badan pem erintah itu berfunksi sebagai alat suatu „ruling class
dalam masjarakat ! K am i, disini, lagi mengingatkan : salah satu
dasar hukum ialah kepastian-hukum. Setiap perbuatan dengan se
ngadja m em buat hukum adalah suatu perbuatan politik Iiukujn
(daad van rech tsp olitiek ).
A da suatu perbedaan lagi : badan-badan pemerintah jang diberi
tugas m em buat peraturan m engadakan dengan sengadja pemben
tukan hukum um um (algem ene rechtsvonning) dalam suasana „p o
sitiviteit hasil pekerdjaannja bersifat abstrak — sedangkan ba
dan-badan m engadili, s.erta para fihak sesuatu perd jan d jian jang
m em buat perd jan djian m ereka itu mengadakan suatu pem bentukan
h uk u m dengan sengadja untuk m enjelesaikan suatu hal konkrit
(rechtsvonning voor het concrete geval) dalam suasana „w erkelijk-
h e id ” — hasil pekerdjaannja bersifat k o n k r it40.
D i samping pem bentukan hukum dengan sengadja ada djuga
pem bentukan hukum dengan tiada sengadja (onopzettelijke rechts-
vorm in g), jakni sebagai kebiasaan jang m endjadi sumber hukum
(kebiasaan) sesudah diaktii dan dipertahankan dalam keputusan
39 „E in fü h ru n g” , hal. 152.
40 Walt her Burckhardt „E in fü h ru n g” , hal. 152 -1 5o.
95
dari jan g berkuasa. T eori keputu«in t tj
*V , par. 5) dalam k o r n e l Haar (lih a tla h B ab
baran bahwa semua huk Sepenu,1'P em|b n ja , m einbuat gain-
t , di ,el„h «> ?* - « i « . » « * , sonfailj<1.
ja n g mempunj'ai berm atiam - ' SlncrU" " a‘l anja baclan-badan negara
dikatakan bahwa tatanegara L T m 7 ^ ' ' " " " " " ' J 3 ' ,a,’ at
negara-negara Barat hPr,l i b an jak negara, terutama
'* W » > jan g tertentu t k<"
(fu n k .i, kekuasaan) legislatif T " ? “ n " c " ;" a j “ 11? d ib e ri tugns
ra n — a<Ja h ^ ri a„ Jaitu k e k u a s a a n m e m b u a t p e r a tu -
„m achtenverdelin^’Î S
/ ( ’^ UnCtleverdeIing” ^ pem bagian kekuasaan,
dah disesuaikan d'! * ~ ja n g tCrkenaI um u” dan i a" & ses“ ‘
ïah satu tiano- ( z a i l ^ St™ ktur sosiaI tertentu, m en d ja d i sa
dari seoran - ahli ne P! m erintallan di ban jak negara — berasal
AT n n t ° • m i ir n e Sara bangsa P erantjis, ja n g bernam a
i7 5 s ) d »ia -
ncran m , - . dJaran M ontesquieu terkenal de-
nama t r T ” SeParation des Pouvoirs” atau leb ih p o p u le r m en djadi
nama trias p d m c a ” 42. T etapi sebelum M o n t e s q u i e u m em -
97
punjai kekuasaan legislatif ialah dewan perw akilan rakjat, kekua
saan eksekutif diserahkan kepada radja dan kekuasaan ju dik a tif
diberi kepada hakim. Masing-masing kekuasaan ini m einpunjai la
pangan pekerdjaan sendiri. Masing-masing kekuasaan ini tidak boleh,
turut-serta dalam urusan hal-hal jang letaknja di suatu lapangan
lain.
98
tjam pur dalam lial legislatif (pasal-pasal 5 ajat 1 dan 20 ajat 1
U.U.D. 48). D isini kekuasaan legislatif diberi kepada P residen b er
sama-sama dengan Dewan Perw akilan R akjat sedangkan P residen
m endjalankan djuga kekuasaan eksekutif 49.
U ndang-undang dalam arti kata m ateriil bertingkat-tingkat, ja-
itu m erupakan suatu hierarhi. H ierarlii itu, ja n g m engingatkan
kita pada ,.Stufenbau des Rechts” dari K e 1 s e n dan M e r k 1 50.
disinggung dalam dua surat Presiden kepada Ketua Dewan P erw a
kilan R akjat tertanggal 20 Agustus 1959 N r 2 2 6 2 /H K /5 9 dan ter-
tanggal 22 Septem ber 1959 N r 2 7 7 /H K /5 9 . Surat-surat ini dibuat
sebelum dibentuknja M adjelis Permusjawaratan R akjat Sementara
(M .P .R .S .). M enurut pendapat kami, sesudah K etetapan M .P.R.S.
N r I dan Nr II, maka hierarhi itu adalah sebagai berikut :
Dewan P eran ljang Nasional (D epern as) pada tanggal 13 Agustus 1960
dan dalam upatjara m elantik para A nggaula M .P .R S. pada tanggal
15 Septem ber 1960, „trias p olitica” itu dinjatakan telah usang dan
liarus ditinggalkan. Oleh M. Y a m i n („P em bah asan U ndang-undang
Dasar R ep u b lik Indonesia” , hal. 2 8 1 -2 8 2 ) diterangkan bahwa, balikan,
x U .U.D. 1945 ,,tidaklah m engenal adjaran-adjaran trias p olitica ” .
48 M enurut undang-undang dasar sementara tahun 1 9 5 0 : Pem erintah
(M enteri ja n g bertanggungdjaw ab) (pasal 8 9 ) .
49 Perhatikanlah pasal 103 undang-undang dasar sementara tahun 1950.
50 Lihatlah b uk u kam i „R in g k a san -ten tan g filsa fat h u ku m ” , B ab X I.
51 Pasal I K etetapan Nr I : ,,M em perkuat M anifesto P olitik R epu b lik
Indonesia serta perperintjiannja sebagai garis-garis besar daripada
haluan Negara” .
99
/
Oleh karena masih berlaku bagian besar peraturan-peraturan
organik pada undang-undang dasar sementara tahun 1950, dan dju-
ga masih banjak peraturan-peraturan Hindia-Belanda, maka baik
djuga diketahui hierarhi undang-undang dalam arti kata m ateriil
pada waktu sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 D ju li 1949 dan pada
waktu Hindia-Belanda dahulu. Hierarhi peraturan-peraturan pada
waktu Hindia-Belanda dahulu 54 :
100
4. peraturan pemerintah („regeringsverordening” . Ditetapkan oleh
Gubernur Djenderal — pasal 81 I.S. — untuk menjelenggarakan
undang-undang Belanda, titah radja Belanda dan ordonansi).
5. peraturan daerah.
101
Pada waktu masih berlakunja undang-undang dasar sementara
tahun 1950, jang memberi djawabannja atas pertanjaan ini ia ah
pasal 95 ajat 2 : undang-undang itu tidak dapat diganggu g,u0at.
Ketentuan ini mengandung larangan bagi hakim maupun aa^i
administrasi negara. Sekalipun hakim atau administrasi negara j i
kin bahwa isi dan tudjuan sesuatu undang-undang bertentangan
ngan isi dan tudjuan Undang-undang Dasar, masih d ju 0a u e c
tidak berkuasa menjalakan tidak-berlakunja undanB unc ? . .
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa hakim maupun
trasi negara tidak boleh niengudji isi undang-undang itu pac
dang-undang Dasar.
Apabila hakim berpendapat bahwa isi sesuatu undan0
bertentangan dengan Undang-undang Dasar, maka ia nj e i ^ tau
pendapatnja dalam perlemen dengan perantaraan wa J ^
lebih lazim lagi ditulisnja sebuah karangan sehingga aki
lah Pemerintah sendiri atau beberapa anggauta D.P-R- me o
inisiatif akan menjesuaikan isi dan t u d ju a n u n d a n g unc °
bersangkutan d e n g a n azas-azas U n d a n g -u n d a n g Dasar.
Pasal ,95 ajat 2 jang disebut diatas tadi m em ual umlang
niengudji isi undang-undang (pada isi dan tu cju a “ d . . emoteril7
Dasar). Ketentuan ini m em uat suatu aranc an n o __
im aterieel toetsingsverbod). T etapi menurut pen cap +iara
ketentuan tersebut tidak memuat suatu larangan m engudj y
terdjadinja u n d a n g - u n d a n g . Dengan kata lain : pasal 95 aja
sebut tidak m em uat suatu larangan m engudji setjara jo im i
m eel toetsin gverb od).
W alaupun kepada hakim dan administrasi negara diberi suatu
larangan m engudji setjara materiil, masih djuga m ereka dap
n gu dji isi undang-undang pada kebenaran hal-hal konkrit jaiip ^
d ja d i alasan penibuatannja. Tetapi bilamana ternjata bahwa isi ^
tudjuan undang-undang jang bersangkutan tidak sesuai denBan
hal konkrit jang m endjadi sebab undang-undang itu dibuat, maki
hakim dan administrasi negara tidak berhak m em batalkannja. Me
reka hanja dapat menjatakan bahwa undang-undang itu tidak me
ngikat (niet-verbindend) perkara jang bersangkutan.
A h irn ja menurut undang-undang dasar sementara tahun 1950
dahulu, hakim dan administrasi negara berhak m en gu dji isi pera
turan Pem erintah dan isi peraturan daerah swatantra pada undang-
undang dan Undang-undang Dasar. Larangan m engudji setjara m a
102
teriil jang tertjantum dalam pasal 95 ajat 2 tersebut tidak berlaku
terhadap peraturan-peraturan jang lebih rendah dari pada tindang-
undang.
„M aterieel toetsingsverbod” dalam pasal 95 ajat 2 dari undang-
undang dasar sementara tahun 1950 itu mungkin sekali diteruskan
sebagai hukum kebiasaan.
Undang-undang dan traktat adalah sumber hukum tertulis se
dangkan kebiasaan, bagian terbesar adat, jurisprudensi dan doktrina
m endjadi sumber hukum jang tidak tertulis.
103
Suatu undang-undang dasar (atau konstitusi 57) pada hakekat-
nja suatu undang-undang, jaitu suatu undang-undang jang deradjat-
nja (dalam arti kata materiil) lebih tinggi dari pada deradjatnja
suatu undang-undang „biasa” ss. Perbedaan antara undang-undang
dasar dan undang-undang „biasa”, biasanja dapat dinjatakan se
bagai berikut :
104
(M .P.R .) (pasal-pasal 2, 3 dan 37 U .U.D.). Pada tanggal 15 Sep
tem ber I960 telah dilantik suatu M adjelis Permusjawaratan
Rakjat Sementara (M .P.R.S.). Tetapi menurut beberapa pen
dapat, M.P.R.S. ini tidak berwenang mengubah U.U.D. sekarang
atau membuat suatu undang-undang dasar baru, karena sifat
„seinentara” nja.
105
penting bagi hukum tatanegara adalah djuga kebiasaan. Untuk
tjontoh lihatlah Bab VII, par. 4 (azas atau sistiin parlem enter).
Di samping undang-undang „biasa” ada djuga peraturan Pem e
rintah pengganti undang-undang (p.P.p.u.u.) 61. Suatu p.P.p.u.u. di
buat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, P em erintah). Pasal
22 ajat 1 U.U.D. mengatakan bahwa „D alam hal ihwal kegentingan
jang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan Pemerintah
sebagai pengganti Undang-undang” (,,pem erintah” seharusnja „ I e-
merintah” , dengan huruf besar P ).
Oleh karena perdebatan dalam D.P.R. dapat memakai ^aktu
banjak — dan dengan demikian tidak dapat didjalankan suatu pe
merintahan jang efisien (efficient) — , maka untuk mengatur &e!e
kas-lekasnja suatu keadaan jang genting, Presiden diberi kekuasaan
membuat sendiri — jaitu dengan tiada kerdja-sama (b a lja : penga
wasan preven tif dari fihak D .P.R .) — suatu peraturan jang berting-
katan undang-undang.
Sebetulnja lem baga hukum p.P.p.u.u. (rechtsinstituut van, de
noodw et) ini tidak sesuai dengan „trias politica” M o n t e 8 q u i e u.
Tetapi dalam suatu negara m odern - supaja ada pelaksanaan pem e
rintahan jang efek tif — lem baga hukum p.P.p.u.u. itu perlu ada, dan
terutama di Indonesia pada djam an sekarang sangat perlu itu ka
rena ada suatu masjarakat dalam proses pergolakan jang tjepat. Di-
atas pem buatan p.P.p.u.u., oleh D.P.R. dilakukan suatu p en g a w a sa n
' represif (respressief toezich t). Lihatlah pasal 22 ajat 2 dan ajat 3
U.U.D.
106
flari itu ada djuga perbedaan antara hukum kebiasaan dan
hukum a d a t . Jang akan kami bitjarakan terlebih dahulu ialah
adat dan hukum adat.
a. Hukum adat.
107
bum iputera itu. Kaidah-kaidah tersebut ditaati oleh anggauta ber
bagai-bagai persekutuan hukum (reclitsgem eenschappen) (}4 jang
ada di wilajah Indonesia. M isalnja, persekutuan-persekutuan hukum
orang Batak Karo, orang M andailing, orang D jaw a Tengah, <111-
108
Setengah orang itu menganggap kaidah-kaidah tersebut kehendak
nenek-m ojangnja. Setengah orang lagi menganggap kaidah-kaidah
tersebut kehendak suatu Mahluk jang mengatur kedjadian-kedjadian
alam jang bersifat gaib dan tidak dapat orang biasa mengertinja
_ (het kosm ische gebeuren) <55. Ada djuga jang menganggapnja pera
turan sopan-santun jang telah turun-temurun. Adat istiadat itu ka
dang-kadang anggapan-anggapan keagamaan, biasanja sumber kai
dah jang bersifat agak sakral ( = sesuatu jang sutji), umumnja m e
rupakan tradisi.
i- Tetapi tidak semua kaidah adat istiadat merupakan hukum,
jaitu hukum positif. Adalah perbedaan antara hukum adat dan
adat. V a n V o 11 e n h o v e n mengatakan 66 : di samping adat
jang bersanksi ada djuga adat jang tidak bersanksi. Diatas telah
kami katakan : sanksi adalah reaksi masjarakat terhadap perbuatan
salah satu anggautanja. Adat jang m empunjai reaksi, jaitu adat jang
bersanksi, ialah hukum adat.
Supaja mengetahui apa sesuatu itu adat atau hukum adat —
jakni adat jang tidak bersanksi atau adat jang bersanksi — kita
m elihat keputusan-keputusan dari jang berkuasa (para penguasa,
gezagsdragers) dalam persekutuan hukum adat, jaitu keputusan pe
nguasa adat mengenai soal-soal sosial jang terdjadi dalam perseku
tuan hukum adat, jang diselesaikan oleh para penguasa adat itu 67.
H ukum adat ialah sekalian jang tertjantum dalam keputusan pe
nguasa adat didalam berbagai-bagai persekutuan hukum adat, jaitu
keputusan-keputusan jang diadakan oleh rapat desa, kepala desa,
lurah, dll. Keputusan-keputusan itu dipertahankan oleh para pengua
sa adat, karena mengandung anasir-anasir tata-tertib masjarakat adat.
Oleh karena keputusan penguasa adat, maka adat itu mendjadi hu
kum adat. Maka dari itu tidak salah apabila kami katakan : di-
antara peraturan-peraturan hukum adat ada jang merupakan ke
hendak penguasa adat, jaitu kehendak „ruling class” dalam perse
kutuan hukum jang bersangkutan ! v.
109
r
68 „B eginselen en stelsel” , lial. 16, dan hal. 235 djb. Sebagai salah se
orang pengikat t e r H a a r , malahan, menghaluskan teori te r
H a a r, dapat disebut P ro f. K u s u m a d i P u d j o s e w o j o „P e
dom an” , hal. 43-45 .
69 Jurisprudensi adat :
,,Adatrechtbundels” , 4 4 d jilid (th. 1911-th, 1 9 5 2 ).
„In d isch W eekblad van het R echt’ (th. 1864 . th. 1 9 1 4 ).
„In disch Tijdschrift van liet Recht” (th. 1849 - th. 1949, sebetulnja
setelah Peperangan Dunia II nama „In disch Tijdschrift van liet Recht”
diubah dan m endjadi ,,Tijdsthrift van liet R echt” ) .
„W e t en Adat” (th. 1896 - th. 1 9 8 8 ).
.,H ukum ” (th. 1947, th. 1 9 5 0 . th. 1 9 5 9 ).
,,H ukum dan Masjarakat” (th. 1960- ).
M r K.L.J. E n t h o v e n „H et adatrecht der inlanders in de juris-
prudentie” , disertasi Leiden 1912. H im punan M r Enthoven
diteruskan oleh Mr J.C. van d er Meulen (th . 1912 - th.
1 9 2 3 ), selandjutnja oleh D r E.A. B o e r e n b e k e r (th . 1923 - th.
1 9 3 3 ). Penting djuga untuk ilmu hukum adat jan g h idup ialah
„Pandecten van het Adatrecht” jang dilerbitkan oleh ,,K oIoniaal Insti-
tuut (sekarang „Instituut voor de T ropen ” ) di Amsterdam dibawah
P,FOf- v a ?* V ° I I e n h o v e n , 10 djilid, th. 1914 - th.
iy 3 6 (d jilid ke-10 diterbitkan setelah m eninggalnja v a n V o l l e n -
Penerbitannja diadakan dibawah pim pinan P rof. I d e m a.
JJjilid k e-10 uni memuat hukum pidana adat) d a n M r R. T i r t a w i -
n a a ^ an r W .A. M u 1I e r ,,Indonesische dorpsacten” , 1933.
e agai „herm euw de belangstelling” terhadap hukum adat pada ta.
min-tahun jang terachir dni !, lelah diterbitkanlah : „M adjalah Hu-
onlTn nliti R ' S u b e k t i dan J. T a m a r a „K u m -
P san Mahkamah Agung m engenai hukum adat” . Keduanja
110
I
rangan tentang adat (adat-literatuur) 70. Seperti buku-buku „stan-
daard” (buku-buku baku) jang terkenal, jang ditulis oleli v an
V o 1 1 e n h o v e n 71, ter H a a r 72, S o e p o m o 73, Dj oj o-
digoeno dan T i r t a w i n a t a 74, K o r n 7-5, Mallinck
r o d t 76, V e r g o u w e n 1’ , K e u n i n g 78, dll. Pada tahun
1961 oleh B u s li a r M u h a m m a d telah diterbitkan sebuah
„Pengantar hukum adat” (djilid I ). Di samping tulisan-tulisan ahli-
ahli hukum adat itu djuga pentinglah tulisan-tulisan para sardjana
111
etnologi dan etnografi Indonesia 79, misalnja, tulisan-tulisan D u y -
v e n d a k 80, F i s c h e r 81, van W o u d e n 82, H e 1 d S3,
C h a b o t 84, J.P.B. de Josselin de J o n g 85, P.E. de
Josselin de J o n g 86. Suatu ichtisar metode-metode antro
pologi budaja disusun oleh K o e n t j a r a n i n g r a t 87. Menge
nai peranan jang dapat dilakukan oleh antropologi budaja sebagai
112
ilm u dalam pembangunan negara, lihatlah karangan J.B. A v e 8S.
Tulisan-tulisan para sardjana etnologi.dan etnografi Indonesia terse
but memuat banjak-banjak bahan-bahan bagi ilmu hukum adat.
Pengarang jang pertama menulis tentang filsafat hukum adat
adalah P rof. M r M. N asr o en dalam bukunja „Dasar filsafah
hukum adat Minangkabau” , jang ditulisnja pada tahun 1957.
A pabila sesuatu peraturan hukum adat telah diubah dan belum
dapat dibatja dalam buku-buku tentang adat atau dalam himpunan-
him punan jurisprudensi adat itu, maka jang ingin mengetahuinja
harus bertanja kepada jang berkuasa sendiri atau membatja ke-
putusan-keputusan baru. Djuga hukum adat bersifat d i n a m i s 89
— seperti lialnja dengan hukum Eropah — dan tidak statis seperti
pernah dikatakan orang 90. Ada dua djenis pembentukan hukum
adat (adatreclitsvorm ing), jaitu pembentukan baru (nieuiv vorming)
dan perubahan dari jang lama frer-vorm ing van het oude). Belum
ada penjelidikan setjara ilm ijali (wetenschappelijk onderzoek) jang
berarti m engenai pembentukan hukum adat baru dan perubahan-
perubahan jang dialami oleh hukum adat jang lama, sedjak pen
dudukan D je p a n g 91. Apakah hasil penjelidikan sebelum tahun
1942 sekarang masih berharga ?
113
Bagian ketjil dari hukum adat ialah hukum tertulis P2 dalam :
114
t
nja sen diri). Maka ijorak hukum tiap-tiap masjarakat tidak sama.
Sering dikatakan djuga bahwa sifat hukum Eropah lebih individua
listis dari pada sifat hukum adat. ,,Di Barat jang kuat ialah faktor
im lividuil. Disana manusia telah memperkembangkan dirinja se
bagai individu dem ikian rupa, sehingga oleli karenanja unsur ke-
masjarakalan terdesak. Tapi individualisme jang memuntjak sudah
lewat w aklunja, oraag lelah meninggalkannja pula dan sekarang
perkem bangan kolektiviteit diberi kesempatan seluas-luasnja (li
hailah Bab Y dari buku in i). Sebaliknja, di Indonesia kita melihat
suatu proses jang sebaliknja. Disini jang berkuasa ialah persekutuan
atau golongan, kemungkinan kemungkinan bagi individu untuk h i
dup setjara individuil, terbatas oleh susunan pergaulan hidup. Itu
lah sebabnja disini ada tjita-ljita jang kuat untuk membebaskan
individu !” . Dem ikianlah kata Prof. S o e p o m o 95.
Unsur-unsur kolektivisme dalam masjarakat adat masih kuai,
biarpun unsur-unsur individualisme makin lama makin b a n ja k . Da
patkah unsur-unsur kolektivisme jang masih ada dalam masjarakat
adat dipakai sebagai landasan suatu Sosialisme Indonesia? Lihatlah
par. 2 diatas tadi dan Bab V.
Beberapa lem baga jang hanja terdapat dalam hukum adat
(„sp ecifiek voor liet adatrecht” ) :
A m em iliki rumah dan halaman. A mengidjinkan B menumpang
dengan tidak m em bajar sewa tetapi berkewadjiban menulungnja
(h u lp b e to o n ). Lembaga hukum adat ini terkenal dengan nama lin
dung, indung, magersari (D ja w a ), numpang 96.
A m em iliki sebidang sawah. Karena sesuatu hal A tidak dapat
alau segan m engerdjakan sawah itu. Tetapi masih djuga A ine-
n gingini sawah itu dikerdjakan orang lain dan dapat memetik seba-
115
gian buahnja. Maka dari itu A mengadakan p erd jan d jian dengan
B, supaja B akan m engerdjakan sawah tersebut dan akan m e n je
rahkan sebagian hasilnja kepada A. P erdjan djian tersebut m enen
tukan djuga fihak mana jang w adjib m enjediakan b ibit dan sapi
(kerbau). Lembaga hukum adat ipi terkenal dengan nama m aro,
mertelu (D jaw a), nengah, d jed ju ron (S unda), m em perduai (M i
nangkabau), to jo (M inahasa), tesang (Sulawesi Selatan) 97 dan
diberi pengakuan m aupun perlindungan dalam U ndang-undang
tentang Bagi Hasil, L.N. 1960 N r 2.
Sebuah tjon toh tentang peraturan hukum adat jang berasal
dari agama Islam (jang telah diresepsi dalam hukum adat) ialah
lembaga hukum ivakap. W akap itu suatu perbuatan hukum adat,
jang m em iliki sesuatu benda (zaak) telah melepaskan haknja atas
benda itu guna kepentingan umum. Barang jang telah didjadikan
wakap itu kem udian m endjadi suatu jajasan menurut hukum adat
dengan aturan-aturan sendiri.
Benda jang dapat diwakapkan bermatjam-matjam. K adang-
kadang orang m em beri wakap untuk menulung fam ilinja (kebun,
empang, d sb .), kadang-kadang orang memberi wakap sebagai anu
gerah kepada kaum mukmin, seperti mendirikan m esdjid (d i Pa-
sundan, misalnja, ada banjak m esdjid jang didirikan sebagai w a
k ap). Dalam hukum adat eering orang membuat sesuatu m en dja di
wakap jang sebenarnja menurut sjariah tidak diperkenankan. D a
lam sjariah wakap hanja untuk urusan agama sadja 98 sedangkan
dalam hukum adat wakap itu djuga untuk urusan sesuatu jan g
ada diluar agama, asal sadja tidak bertentangan dengan azas-azas
agama 99.
Hukum adat tidak hanja terdiri atas anasir-anasir asli, jaitu ti
dak hanja terdiri atas anasir-anasir jang terdapat dalam kebudajaan
Indonesia sebelum adanja pengaruh kebudajaan H indu dan Islam.
Melainkan, hukum adat terdiri djuga atas anasir-anasir jang terda
pat dalam kedua kebudajaan asing itu. Djuga lagi ada anasir-anasir
hukum Eropah jang lama-kelamaan diterima sebagai hukum adat.
116
Bahlt
atJat telah diresenrf lni km i b erdjalan hebat. Dalam hukum
k u *n Islam , a n a s ir -a n a ^ ^ a n a s ir hukum H indu, anasir-anasir hu-
‘ « d j a d i di dunia Barat u E r°.Pah ^ SePertilah dahulu
Gerniania. ’ "m resePs* hukum Rom aw i dalam hukum
hukum asin " ianir V ^ahwà bagian hukum adat jang merupakan
100 V a n V o l i
deelen van h it* ï i V * ? ” Adalrechl’ % I, hal. 5 dan 14-38 : Bestand-
dienstig d cel van I t j ’ ” Adalrecht” , II hal. 126-230 : Gods-
durech t ?*r T C. L e k ’k e r k o r k e r „H in-
-A d a t cn IsIanuetUM ’ d ,.S.e f asi , L c,den 1 91 8; P rof. Mr J. P r i a s
1 9 4 8 (ja n g m enieK i.!1* P, ' le!? r 1,1 Indonésie” , disertasi Leiden
tjarakan M r C T i R SUa i*- ar Pem batjaan jan g penting) (dibi-
5 6 2 -5 6 5 ) (tjet .kn’n t V - j " 8 dalam „Indon ésie” , 1948-1949, hal.
m » n K a r l o | | ! , (|^ a h . r d.terbitkan pada .ahun 1954) ; S u d i -
hal. 1 2 4 -1 2 7 P r ° d J o „Pengantar tata hukum Indonesia” ,
p e rk o k o h hukum J 'T n Peri^ar"*' asing jan g merusak maupun mem-
„P e d o m a n ’ ’ 1, j|i rn*Ar Pr° f * K us« a d i Pudjosewojo
101 Lihatlah Pr’o f I 66 f.
6 6 : ............. ' u su m adi P u d jo s e w o jo ,,P ed om a n ” , hal.
m ana dan ............................... " .................... ....................... bahwa di-
keagam aan a tin ana SCr 3 samPai berapa luasnja pun unsur-unsur
"g a ru h i a?a,T m e r e ? UrT r r “ T ® J'ang buka" keagamaan n.empe-
dan besar d l i Z X Z n t Z namu» bagian jang pokok
o ra n g Indonesia dan hukum r-'ifc*- p ,,erdlri atas hukum asli bagi
Lihatlah, m isainja k e iu t u s ^ /M n '.t *»** ora" * Tim ur Asing” ,
h er 1 95 6, ,,H ukuAi” , 1957, 5, hal. *31 Agm iS tertanggal 7 Novem-
117
hukum, lain, maka hukum jang ada di tiap-tiap persekutuan hukum
m em punjai aspek chususnja (aspek sen diri). O leh sebab itu, b erd a
sarkan suatu klasifikasi tertentu, v a n V o 11 e 11 h o v e n 102 dapat,
membagi wilajah hukum adat Indonesia dalam 19 w ilajah hukum
adat jang diberi nama lingkungan hukum (rech tsk rin g ). L ingku
ngan-lingkungan hukum adat itu 103 :
I. Tapanuli Utara :
a. Batak Pakpak (Barus atau Baros)
b. Batak K aro
c. Batak Simelungun
d. Batak T o b a ( S a m o s i r , Balige, L a g u b o ti, Lum ban D ju lu )
102 „Adatrecht” , I, hal. 135. Mengenai metode menentukan lin gku n gan
Hukum itu batjalah tjatatan-tjutalan Dr K o e n f j a r a n i n g r a t
„Perbandingan faham „„rech tskrin g” ” dengan faham „„c u llu r e
area” ” , dalam madjalah „Padjadjaran” , I, 2, hal 34-42.
103 T e r H a a r, hal. 256-257. Lihatlah djuga ,,Daftar sementara suku-
bangsa-sukubanpsa di Indonesia berdasarkan klassifikasi letak pulau
atau kepulauan” , jang disusun oleh P rof. M. A. J a s p a n dan ja n g
dimuat dalam madjalah „Sosiografi Indonesia” , I, 1, hal. 75-90.
118
!
D. D ja m b i (pen d u du k daerah Batin dan Penghulu)
b. H u k u m kebiasaan.
Kebiasaan, m en d ja d i sum ber kaidah. H ukum kebiasaan ialah
h im p u n a n kaidah-kaidah jang — biarpun tidak ditentukan oleh
badan-badan perundang-undangan — dalam suasana „w erk elijk h eid "
ditaati djuga, karena orang sanggup m enerim a k aidah -k aidah itu
sebagai h u k u m dan telah tem jata kaidah-kaidah tersebut diperta
hankan oleh penguasa-penguasa masjarakat lain jang tidak termasuk
lingkungan badan-badan perundang-undangan i°5. D engan dem ikian
120
hukum kebiasaan itu kaidah jang, biarpun tidak tertulis dalam pe
raturan perundang-undangan, masih djuga kuatnja sama dengan
hukum tertulis. Apalagi, bilamana kaidah tersebut menerima perha
tian dari fihak pemerintah.
Kebiasaan tidak perlu senantiasa ditaati oleh semua penduduk
suatu wilajali negara. Ada djuga kebiasaan kedaercthan (lokal). K e
biasaan kedaerahan itu dilakukan oleh penduduk sesuatu daerah,
kota atau bagiannja. Bahkan, ada kebiasaan jang dilakukan oleh
beberapa orang sadja, misalnja, oleh fihak sesuatu perdjandjian
(verdragspartijen).
121
2. kejakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah
merupakan suatu kew adjiban (op in io necessitatis) 106.
122
mungkin terdjadi di kemudian hari, maka ada keragu-raguan apa
kah sesxiatu kaidah merupakan kebiasaan atau hulpm i kebiasaan
(bukanlah „besef vau behoren” ini lianja disertai oleh suatu hara
pan sadja bahwa pemerintah akan mendjalankau suatu sanksi da
lam hal pelanggaran ? ). Seperti halnja dengan hukum adat, maka ke-
putusan dari penguasa jang bersangkutan itu akan menentukan
(t e r H a a r ) . Maka dari itu kedua sjarat tersebut: perbuatan
tetap dan opinio necessitatis, walaupun dipenuhi, masih djuga
memerlukan pengakuan (erkenning) dan penguatan (bekrachtiging)
dari hakim, administrasi negara, atau suatu penguasa lain jang
tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan,
supaja sesuatu kebiasaan dapat mendjadi hukum kebiasaan.
123
passelijk-verklaring” , lihatlah Bab X III, par. 4 ), masih iljuga kita
tidak atau belum dapat menerima aturan-aturan itu sebagai adat !
Perbedaan antara hukum adat dan hukum kebiasaan dapat
dinjatakan sebagai berikut :
124
Maksud kodifikasi ialah mewudjudkan kepastian-liukum seba-
njak-banjaknja. Selama hukum berbentuk hukum kebiasaan, maka
hukum itu tidak dapat mendjamin penuh kepastian-liukum ter&ebut.
Oleh sebab itu harus ada kodifikasi, jang maksud utamanja ialah
meniadakan hukum diluar kitab-kitab undang-undang atau undang-
undang lain 110.
Akibat kodifikasi ialah peraturan-peraturan hukum m endjadi
tertjantum setjara resmi ( = dipertahankan oleh pemerintah) dalam
sualu sisi im tertentu. Mengenai isi hukum sesudah kodifikasi, dapat
dikatakan bahwa pada umunmja isi hukum sesudah kodifikasi tidak
banjak berbeda dari isi hukum sebelum kodifikasi. Tetapi biarpun
demikian, masih djuga ada suatu akibat besar kodifikasi, jang di
sebabkan sistim jang mendjadi dasar hukum sesudah kodifikasi m .
Boleh dikatakan bahwa setiap kodifikasi berusaha mendjadi
suatu perundang-undangan nasional, kalau bisa» jang satu-satunja
(u n ifik asi); setiap kodifikasi bermaksud mengikat semua penduduk
wilajah negara. Maksud kodifikasi supaja tidak ada hukum diluar
sistim resmi jang mendjadi tatahukum nasional.
Apakah sesudah kodifikasi itu, sama sekali tidak ada kemung
kinan akan lahirnja hukum kebiasaan jang baru ? Oleh M e i -
j e r s 112 dan, kemudian oleli v a n A p e l d o o r n dikemuka-
kan bahwa pada djaman sekarang, biarpun tidak ada lagi banjak
kemungkinan akan lahirnja hukum kebiasaan rakjat (hukum ke
biasaan um um ), masih djuga ditimbulkan dan ada perkembangan
suatu djenis baru hukum kebiasaan, jaitu hukum kebiasaan golo
ngan (groepsgewoonterecht), jang lapangannja tidak begitu luas se-
125
perti lapangan hukum kebiasaan rakjat sebelum kodifikasi tetapi ^
sangat beraneka warna (gevarieerd) dan terspesialisasi (gespeciali-
seerd). Dalam masjarakat sekarang ada beberapa golongan orang
tertentu (misalnja, kaum pedagang laut, kaum „middenstand” , kaum
industriil, kaum buruh) jang menerima kaidah-kaidah sosial sen
diri, agar dapat mempertahankan tatatertib dalam golongannja dan
dapat memperhatikan kepentingannja sebaik-baiknja ( lihatlah Bab
I. par. 12). Pada setiap djaman (periode) tertentu dalam perkemba
ngan masjarakat ditimbulkan golongan-golongan (kaum-kaum)
baru jang masing-masing memèrlukan suatu tatatertib sendiri, jakni
memerlukan hukum baru jang dapat membela kepentingannja. Su
dah tentu hukum baru itu dilahirkan diluar kodifikasi jang telah
ada. Kodifikasi jang telah ada tidak dapat menampung akibat ada-
'nja hukum baru itu. Dengan demikian kepastian-hukum mundur !
Bukankah, dari sedjarah hukum kita telah tahu baliwa un
dang-undang senantiasa terbelakang pada perkembangan kemasjara-
katan ? Suatu kodifikasi jang dibuat pada suatu djaman tertentu,
kemudian ternjata tidak lagi meliputi seluruh penghidupan sosial.
Makin lama makin hanjak kaidah-kaidah sosial jang penting atau
jang dianggap penting dilahirkan diluar kodifikasi. Apabila ke
mudian struktur masjarakat berubah maka kodifikasi, jang terlebih
dahulu telah dibuat, perlu diubah djuga. Ternjata baliwa hukum
privat Belanda telah begini banjak mengalami perubahan, karena
proses penjosialan ( versocialisering) sedjak tahun 1838 113, sehing
ga beberapa tahun jang lalu telah diundangkan suatu kodifikasi
hukum privat baru.
Perubahan struktur masjarakat, jang melahirkan suatu struktur
sosial baru, memerlukan perubahan dalam kodifikasi pula. Umum-
nja kodifikasi itu terutama keinginan dan ijiptaan suatu „ruling
class” dalam masjarakat. Setiap kodifikasi bertudjuan membawa ke-
paStian-hukum sebanjak-banjaknja, tetapi kepastian-hukum bagi
terutama suatu „ruling class” jang menguasai masjarakatnja. D e
ngan kelahiran Sosialisme dan perdjuangan kelas proletar di Eropah
Barat maka berubahlah dekit-demi-dekit struktur masjarakat Ero-
126
I
r
_ pah Barat. „R u ling class” lama sudah mulai diganti oleh suatu struk
tur sosial baru. Dengan sendirinja hukum lama — jang telah diko-
difikasi — perlu diganti. Hal tersebut adalah akibat penjosialan
masjarakat Eropah Barat sedjak tahun 1848. Di Eropah Tim ur
sedjak Revolusi tahun 1917, prosès penjosialan itu lebili m adju lagi,
dan disitu ham pir tidak ada lagi hukum lama. Kaidah-kaidah sosial
baru jang masih berstatus „hukum kebiasaan” sadja, perlu dikodi-
fikasi supaja tertjapai kepastian-liukum dalam struktur sosial jang
baru.
127
wet als enige rechtsbron). Anggapan ini terkenal pula dengan
nama positivisme perundang'undangan (wettelijk positivisme) atau
legisme.
Di Negeri Belanda anggapan legisme itu pernah dianut oleh
ilmu hukum maupun pembuat undang-undang, jaitu terutama
pada abad ke-19 ketika hukum privat dikodifakasi *15. Oleh s,ebab
itu pengaruh anggapan legisme tersebut terasa djuga dalam k odifi
kasi hukum privat‘ Indonesia dari tahun 1848 (berkat azas konkor-
dansi — lihatlah Bab III, par. 1 dan par. 2). Anggapan legisme
dapat dibatja dalam pasal 15 A.B. (jang resmi belum d itja b u t):
„Terketjuali peraturan-peraturan jang ada bagi orang Indo
nesia asli dan bagi mereka jang dipersamakan dengannja” — pera
turan-peraturan ini merupakan perketjualian — „maka kebiasaan
hanja dapat membentuk hukum apabila undang-undang m enjebut-
nja” . Dari azas itu diperketjualikan peraturan-peraturan hukum
adat. Djadi, dalam pasal 15 A.B. ini adat diakui m endjadi sumber
jang berdiri tersendiri dari hukum jang berlaku bagi orang Indone
sia asli dan mereka jang dipersamakan dengannja (pasal 8 A .B .).
Pasal 15 A.B. harus dibatja berhubung dengan pasal 11 A.B.
Djuga dalam K.U.H. Perdata ada beberapa ketentuan jang
memuat anggapan legisme — bukankah, K.U.H. Perdata Indonesia
mendjadi tiruan kodifikasi hukum perdata B elanda d?iri tahun 1838,
dan bukankah, pada waktu itu anggapan legisme (masih)» seperti
jang telah kami katakan diatas tadi, dianut umum di Negeri Be
landa ?
Pasal 1339 K.U.H. Perdata : „Jang mengikat kedua belah fihak
itu bukan hanja jang ditetapkan dengan tegas didalam perdjan-
djian mereka, tetapi djuga segala sesuatu jang tersangkut paut harus
dipeihatikan oleh mereka, karena itu berdasarkan keadilan, kebia
saan atau undang-undang” . Disini ada undang-undang jang m enjebut
kebiasaan (pasal 15 A .B.).
Pasal 1346 K.U.H. Perdata : „Jang dapat ditafsirkan dengan
tjara-tjara jang berlain-lainan ( dubbelzinnig) harus diterangkan
menurut segala sesuatu jang merupakan kebiasaan penduduk wilajah
negara atau tempat di mana perdjandjian itu diadakan” .
128
Pasal 1347 K.U.H. Perdata : „Aturan-aturan” — jang tidak ter
tulis — „ja n g umumnja lazim dipakai orang dalam hal mengadakan
suatu perdjandjian, dapat djuga dianggap termuat didalam perdjan-
djian itu, biarpun kedua belah fihak tidak m enjebut aturan-aturan
tersebut” .
Berdasarkan petundjuk-petundjuk perundang-undangan terse
but maka hukum kebiasaan atau kebiasaan m em punjai kekuasaan
jang sama kuat dengan kekuasaan undang-undang.
Pada bagian kedua abad ke-19 di beberapa negara anggapan
positivisme perundang-undangan, jaitu anggapan positivisme dalam
bentuk „extreem ” nja, mendapat tentangan besar, 3ehingga pada
djaman sekaran,g umumnja telah ditinggalkan 116.
Jang mula-mula di Negeri Belanda menentang legisme ialah
Prof. H a m a k e r 1175 kemudian Mr J.P. F o c k e m a A n -
d r a e 118, P rof. M e-i j e . r s 119, Prof. A n e m a i 20, Prof. Mr
K o s t e r s 121? Prof. H. K r a b b e 122, Prof. S c h o l t e n 123, dll.
Oleh M o 1 e n g r a a f f 124 dikemukakan, bahwa pengertian
perbuatan jang bertentangan dengan hukum” (onrechtmatige
daad ), seperti jang disebut dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata, tidak
lianja m eliputi perbuatan jang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang-undangan, melainkan, djuga meliputi perbuatan-per
129
buatan jang bertentangan dengan segala sesuatu jang ada diluar un
dang-undang jang memuat kaidah sosial (hal ini ditindjau lebih lan-
djut didalam Bab VI, par. 2 ).
130
hukum adat „asal sadja uudang-undang ini” — jaitu peraturan-
peraturan hukum adat — „tidak bertentangan dengan azas keadilan”
('.beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid” ) .
Sjarat tersebut ditetapkan d juga dalam pasal 11 A.B. (th. 1 8 4 8 ),
ketika pem buat undang-undang mengadakan kodifikasi hukum pri
vat Eropah di Indonesia (th. 1847 - th. 1848). Selandjutnja, sjarat
sematjam itu ditetapkan dalam pasal 75 ajat 3 redaksi lama „R ege-
rings Reglement” (R .R .) dari tahun 1854 127. Dalam ajat 6 pasal
131
«
Pada tahun 1919 redaksi (bunji) pasal 75 R.R. dari tahun 1854
diubah 129. Setelah diubah maka redaksi baru itu tidak lagi memuat
tugas bagi hakim (untuk mendjalankan hukum adat), tetapi memuat
tugas bagi pem buat ordonansi !30. Pembuat ordonansi diberi tugas
membuat peraturan-peraturan perundang-undangan mengenai hu
kum adat (kodifikasi hukum adat) 131.
Bahwasanja hakim ( = jang dimaksud ialah hakim pemerintah
(gouvernementsrechter), lihatlah Bab X , par. 2) sampai hari ini
mendjalankan hukum adat bagi orang Indonesia asli, itulah dapat
dibatja dalam ajat 6 pasal 75 redaksi baru R.R. tahun 1854.
Pasal 75 redaksi baru R.R. tahun 1854, kemudian diteruskan
dengan tidak diubah (hanja perkataan „ordonnantie” m engganti
perkataan „algemeene veordeningen” ) kedalam pasal 131 I.S. dari
tahun 1925 (1926). Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan U.U.D.
maka ketentuan tersebut — jang m endjadi „inlijsting van het adat-
recht” — masih berlaku.
Pasal 131 I.S. (dan seluruh bab Y II I.S.) m endjadi dasar pera
dilan pemerintah (governementsrechtspraak) dan tidak beriaku
bagi peradilan bumiputera (Inheemse rechtspraak) dan peradilan
swapradja (lihatlah Bab X , par. 2 ).
Lihatlah Bab IV , par. 5, mengenai penentuan mana jang m e
rupakan hukum adat mana jang tidak (rechtsvinding in het adat-
rechtI.
132
Kadang-kadang sesuatu peraturan perundang-undangan jang
belum ditjabut atau diubali — jaitu peraturan jang masih berlaku
resmi („positiviteit” ) — dikesampingkan oleh suatu peraturan ke
biasaan (atau adat) jang isinja lain dari pada isi peraturan perun
dang-undangan itu. Karena peraturan perundang-undangan itu ti
dak sesuai lagi dengan kepentingan dan/atau perasaan-hukunrkedua
belah fihak (,,rechtswerkelijklieid” ) maka didjalankannja suatu
peraturan lain. Suatu peraturan kebiasaan (atau adat) jang berten
tangan dengan suatu peraturan perundang-undangan dan jang me-
ngesampingkannja, diberi nama hukum kebiasaan jang derogatur
(derogatoir gewoonterecht). Chusus dalam lapangan hukum agraria
Indonesia sebelum dilaksanakannja Undang-undang Pokok Agraria
lertanggal 24 September 1960, L.N. 1960 Nr 104 (Undang-undang
lahun 1960 Nr 5 ), apalagi sesudah Aksi Am bilalih kepunjaan orang
Belanda pada tanggal 3 Desember 1957, ada banjak peraturan hu
kum kebiasaan jang derogatur. Karena hukum agraria jang termuat
dalam peraturan-peraturan perundang-undangan positif sebelum di
laksanakannja L.N. 1960 Nr 104, bagian besar berasal dari djaman
Hindia-Belanda dan bersifat kolonial (didasarkan atas „Agrarische
W et” th. 1870), maka di praktek bagian besar dari peraturan-pera
turan agraria itu sering tidak diturut lagi dan instansi-instansi res
m i sering mau-tak-mau harus menerima dan mengakui peraturan-
peraturan kebiasaan baru jang hidup dan jang dilahirkan pada dja-
man Djepang, pada djaman Revolusi th. 1945 - th. 1949 kita dan
pada waktu sesudah Aksi Am bilalih kepunjaan orang Belanda pada
tanggal 3 Desember 1957.
Adanja hukum kebiasaan derogatur itu membuktikan kuatnja
„norm ative Kraft des Faktischen” .
B ilam ana' peraturan kebiasaan menjelesaikan suatu soal jang
tidak atau belum diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka
peraturan kebiasaan itu mendjadi hukum kebiasaan jang menam
bah (aanvullend gewoonterecht). Tjontohnja : dalam hukum Ero-
pah tiada peraturan perundang-undangan jang mengatur jajasan
(stichting). Hal jajasan diatur oleh hukum kebiasaan132.
133
C. Traktat.
133 Bandingkalah redaksi pasal 11 U.U.D. ini dengan redaksi pasal 120
undang-undang dasar sementara taliun 1950. Redaksi pasal 120 un
dang-undang dasar sementara tahun 1950 ini adalah telinis djauh
• lebih sempurna : Presiden mengadakan perdjandjian dan kemudian
mengesahkan (m eratifikasi)-nja atas kuasa undang-undang.
134 Lihatlah a.l. Mr J.P.A. François „H andboek van het volken-
rechi” , I, 1949, hal. 6 5 5 ; J e a n L’ H u i l l i e r „D r o if interna
tional p u blic” , 1949, hal. 73-74. Untuk Indonesia lihatlah ringkasan
dalam buku P rof. L o g e m a n n „H et staatsrecht van Indonesië (het
134
1. penetapan (slu itin g )
135
Lem baran Negara. Tetapi pengundangan ini tidak m endjadi sjarat
berlaku tidaknja traktat 136.
Selandjutnja, fihak-fihak jang telah meratifikasi traktat konsep
■— traktat konsep itu telah m endjadi traktat — dalam suatu upatjara
saling m enjampaikan (menukarkan) piagam perdjandjian (verdrags-
oorkonde). Perbuatan ini diberi nama pengumuman atau pelantikan.
- Perbuatan pengumuman ini tidak boleh disamakan dengan per
buatan pengundangan (afkondiging) dalam Lembaran Negara. Se
perti undang-undang, traktatpun diundangkan dalam Lembaran N e
gara. Tetapi — hal itu berlainan dengan hal undang-undang — trak
tat sudah berlaku setelah ratifikasi. Pengundangan traktat hanjalah
perbuatan jang berarti formil.
Sesudah tingkatan ke-empat ini, maka dapat dikatakan bahwa
traktat telah terbentuk (totstandgekomen). >
Telah kami kemukakan diatas tadi bahwa tjara terdjadinja
traktat jang kami gambarkan diatas ini adalah tjara jang „kelasik” .
Hukum internasional jang paling modern telah mengenal beberapa
tjara jang disederhanakan^ (vereenvoudigde procedures).
Mengikatnja traktat dalam suasana nasional (verbindendheid
van het traetaat in de nationale sfeer) umunmja didasarkan atas dua
azas? jaitu azas paeta sunt servanda dan azas primat hukum interna
sional. Deradjat hukum traktat terhadap hukum nasional akan kami
bitjarakan dalam Bab X II, par. 4.
D. Jurisprudensi.
136 Berbeda dari redaksi pasal 11 U.U.D., jang hanja m enggunakan isti-
lah „perdjandjian” , maka redaksi pasal 120 undang-undang dasar
sementara tahun 1950 mengadakan perbedaan antara „perdjan djian ”
dan „persetudjuan” lain. Perbedaan ini tidak m em punjai sualu arti
ju n d is (geen juridisehe betekenis). Hal ini ternjata darj ajat 1 ka
limat kedua dan ajat 2. „P erdjandjian” mengenai hal-hal jang
sangat penting sedangkan „perseludjuan” lain mengenai hal-hal jang
pentingnja belum begitu besar ( ? ) . Lihatlah djuga M a h a d i „S u m
ber-sumber hukum” , II, hal. 16-18.
137 Mengenai pengertian „jurisprudensi” lihatlah djuga tjatalan kami da
lam nooti 66 , Bab I, par. 1 1 .
Jang menerima jurisprudensi sebagai sumber hukum form il a.l. M a -
h a d i „Sum bensum ber hukum” , II, hal 2 1 -2 7 ; P rof. Dr R, S u -
136
Kadang-kadang hakim terpaksa memberi suatu keputusan jang
tidak langsung dapat didasarkan atas suatu peraturan hitkum ter
tulis atau tidak tertulis, jang sudah ada. Dalam hal ini hakim harus
membuat suatu peraturan sendiri (eigen regeling). Tindakan hakim
semat jam tadi dapat didasarkan atas pasal 22 A.B. jang mengatakan:
„bilam ana seorang hakim menolak menjelesaikan sesuatu perkara
dengan alasan peraturan perundang-undangan jang bersangkutan
tidak m enjebutnja, tidak djelas atau tidak lengkap, maka ia dapat
dituntut karena penolakan mengadili” (De regter, die weigert regt
te spreken, onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid of on-
volledigheid der wet kan uit hoofde van regtsweigering vervolgd
w orden). Bilamana undang-undang atau kebiasaan tidak memberi
peraturan jang dapat dipakainja untuk menjelesaikan perkara, ma
ka hakim harus membuat suatu peraturan sendiri 13S. Hal itu perlu
137
karena perkara jang telah dibawa ke muka hakim harus diselesai-
kannja. Bukankah, masjarakat tidak mengenal perdamaian selama
ada perkara jang tidak atau belum terselesai ?
Tjara membuat peraturan sendiri itu akan kami bitjarakan
nanti, apabila kami menindjau tjara-tjara penafsiran undang-undang
(wetsinterpretatie, interpretasi undang-undang) (lihatlah Bab TV,
par. 2).
Bilamana keputusan seseorang hakim, jang memuat sualu pera
turan sendiri, mendjadi dasar keputusan seorang hakim lain, maka
keputusan jang disebut pertama itu m endjadi sumber hukum. K e
putusan tersebut adalah sumber hukum bagi terutama peradilan
(rechtspraak) dan administrasi negara (tatausaha negara), jaitu ber
sifat kaidah bagi peradilan dan administrasi negara itu. A pabila ke
mudian temjata bahwa keputusan jang disebut pertama itu djuga
mendapat perhatian dari pergaulan umum, maka lama-kelamaan
keputusan tersebut mendjadi sumber hukum bagi pergaulan
umum, jaitu sumber jang memuat suatu kaidah jang oleh um um
diterima sebagai hukum (mendjadi suatu „behorensorde” ) . Hukum
jang termuat dalam suatu keputusan hakim sematjam itu m endjadi
hukum jurisprudensi atau hukum keputusan. Djuga disebut hukum
hakim.
Adalah tiga sebab maka seorang hakim menurut keputusan
seorang hakim lain 139 :
138
ketua M ahkamah Agung R.I., mengatakan : „M isalnja di Indo
nesia M ahkamah Agung adalah Badan Pengadilan jang ter
tinggi jang bersendi atas Undang-undang Dasar melakukan pe
ngawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan Pengadilan-penga
dilan jang lain. Dalam pengawasan ini dan lagi dalam peradilan
cassasi sudah seliarusnja Mahkamah Agung dengan putusan-pu-
tusannja mempengaruhi tjara berdjalannja peradilan diseluruh
Indonesia . Seorang hakim menurut keputusan seorang hakim
lain jang kedudukannja lebih tinggi — Pengadilan Tinggi atau
M ahkamah Agung — karena hakim jang disebut teraliir adalah
pengawas atas pekerdjaannja. Di samping itu sering djuga di-
horm atinja, karena djasa-djasanja (telah banjak pengalaman-
n ja ). Dapat dikatakan: karena suatu sebab jang psychologis,
maka seseorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain
jang kedudukannja lebih tinggi.
2- D i samping sebab jang psychologis itu ada djuga sebab praktis,
maka seseorang hakim menurut keputusan jang telah diberi
oleh seorang hakim jang kedudukannja lebih tinggi. Bilamana
seseorang hakim memberi keputusan jang isinja berlainan de
ngan isi keputusan seorang hakim jang kedudukannja lebih
tinggi (jaitu seorang hakim jang mengawasi pekerdjaan liakim
jang disebut pertam a), maka sudah tentu fihak jang tidak me
nerima keputusan itu akan meminta apel atau revisi (bandi
ngan). Fihak jang tidak menerima keputusan tersebut akan me
minta perkaranja dapat dibawa ke muka hakim itu jang ke
dudukannja lebih tinggi dari pada kedudukan hakim jang telah
memutuskan perkaranja, dan jang pernah memberi keputusan
mengenai suatu perkara jang tjoraknja sama tetapi bunjinja
keputusan berlainan.
3- A hirnja, ada sebab : hakim menurut keputusan hakim lain, ka
rena ia m enjetudjui isi keputusan hakim lain itu, jaitu sebab
persesuaian pendapat.
139
Kami bertanja : apakali anggapan kami tidak bertentangan de
ngan apa jang tertjantum dalam pasal-pasal 20 dan 21 A.B. ? Menu
rut pasal 20 A.B. hakim harus mengadili menurut undang-undang
dan ia tidak dapat menjelidiki bertentangan tidaknja isi undang-
undang itu dengan rasa keadilan („D e regter moet volgens de wet
regtspreken. Behoudens het bepaalde bij art. 11 mag hij in geen geval
de innerlijke waarde of billijkheid der wet beoordeelen” ) . Pasal 21
A.B. mengatakan bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan jang
akan berlaku sebagai peraturan umum (,,Geen regter mag, bij wege
van algemeene verordening, dispositie of règlement, uitspraak doen
in zaken, welke aan zijn beslissing zijn onderworpen” ) . Jang men-
djadi dasar pasal 20 A.B. itulah anggapan legisme : hapja undang-
undang memuat hukum. Dalam pasal 21 A.B. tertjantum larangan
bagi hakim membuat peraturan umum. Larangan ini diberi nama
larangan membuat „arrêts de règlement” . Jang dimaksud dengan
..arrêts de règlement” itu keputusan pengadilan Perantjis (jang ber
nama ,5Parlement” ) di waktu sebelum Revolusi Perantjis (th. 1789-
th. 1795), jang biasanja berlaku sebagai peraturan umum. Karena
praktèk ini, maka hakim Perantjis — seperti radja Perantjis —
dapat membuat peraturan umum ! Praktèk tersebut kemudian men
dapat tentangan hebat dari M o n t e s q u i e u . Kita telah tahu
dari apa jang diutarakan diatas tadi, bahwa menurut „trias politica”
M o n t e s q u i e u hanja badan legislatif dapat membuat peraturan
u m u m 142. Karena terpengaruh teori M o n t e s q u i e u , maka
pembuat A.B. menentukan dalam pasal 21 larangan membuat
„arrêts de règlement” tersebut, jang sesuai dengan legisme.
Diatas tadi telah kami kemukakan bahwa anggapan legisme itu
tidak dapat diterima lagi. Pendapat, bahwa seseorang hakim m em
buat peraturan umum apabila ia memberi suatu keputusan jang
kemudian diturut oleh seorang hakim lain, itupun merupakan sua
tu kesalahan faham. Bilamana seseorang hakim menurut suatu
keputusan seorang hakim lain, maka hal ini tidak berarti bah
140
wa hakim jang disebut pertama setjara tegas mendapat suatu
perintah dari hakim jang lain itu untuk menurut keputusannja.
Oleh suatu sebab jang psychologis atau suatu sebab jang praktis
atau oleh karena kedua sebab tersebut,' maka seseorang hakim
menurut suatu keputusan seorang hakun lain. Seseorang hakim m e
nurut suatu keputusan seorang hakim lain tidak karena suatu pe
rintah jang oleh hakim lain itu diberi kepadanja. Apalagi menurut
pasal 1917 K.U.H. Perdata keputusan hakim lianja berlaku terha
dap kedua belali fihak jang perkaranja diselesaikan oleh keputusan
itu. M enurut ketentuan tersebut keputusan hakim tidak berlaku
umum.
Telali ternjata dari apa jang diutarakan diatas ini, bahwa
jurisprudensi adalah suatu sumber hukum jang berdiri tersendiri
fzelfstandige rechtsbron). Hukum jurisprudensi adalah hasil suatu
penentuan dengan sengadja jang oleh hakim dilakukan mengenai
mana jang merupakan hukum mana jang tidak (opzettelijke rechts-
vinding door de rechter) !-i3. Keputusan h^kim* jang mendjadi
suatu „w aarde-oordeel” (konkrit) dalam suasana ,,werkelijkheid” ,
kemudian dapat diabstrakkan sehingga mendjadi suatu „beliorens-
orde” untuk pergaulan umum. Djuga hakim dengan peradilannja
m endjadi suatu „determ inant van de rechtsvorming” . Artinja reclits-
schepping” oleh hakim ini m e n d ja d i sangat besar dalam ha? masih
banjak berlaku hukum jang tidak tertulis — seperti berlakunja
hukum adat — atau dalam hal „wettenrecht” jang ada tidak lagi
m entjakupi semua aliran-aliran dalam masjarakat, sedangkan „wet-
gever” belum sanggup menggantikan atau menjesuaikan „wetten
recht” lama itu dengan keadaan baru, seperti di Indonesia masih
banjak „wettenrecht” belum disesuaikan dengan alam Sosialisme
Indonesia. A rti besam ja „rechtsschepping” oleh 'hakim ini diperli
hatkan oleh M r M a h a d i dalam bukunja „Beberapa sendi hu
kum di Indonesia” , I 134.
141 Hal. 88 djb., 109 djb. (lihatlah djuga bukunja „Sumber-sum ber hu
kum ” , II, hal. 2 4 -2 6 ). Demikian djuga Prof. Mr L i e O e n H o k
,,Jurisprudensi sebagai sumber hukum” , pidato pelantikan Djakarta
1959, dan P rof. Mr O e y P e k H o n g „Peraturan kodifikasi, juris
prudensi dan ilmu pengetahuan dalam perkembangan hukum perda
ta” , pidato pelantikan Surabaja 1959 („Sesudah proklamasi kem er
dekaan dalam tahun 1945, bagian-bagian hukum perdata jang ber
tentangan dengan kepentingan nasional dapat dikesampingkan dalam
keputusan-keputusan hakim, djika hal ini belum sempat diatur dalam
penggantian Undang-undang. •Penafsiran setjara evolutif dari U.U.
ja n g masih berlaku dapat dilakukan. Hakim dapat mentjiptakan hu
kum jan g bertentangan dengan Undang-undang bilamana dan di-
Jang dimaksud dengan jurisprudensi ialah keputusan-keputusan
hakim. Ada dua matjam jurisprudensi, jakni jurisprudensi jang
tetap dan jurisprudensi jang tidak tetap. Jang tetap terdjadi ka
rena suatu rentetan (rangkaian) keputusan-keputusan jang sama,
atau karena beberapa keputusan jang diberi nama „standaard-
arresten’ (keputusan baku). Dalam bahasa Indonesia : keputusan
iang merupakan dasar (bagi peradilan dan administrasi negara).
Dalam suatu „standaardarrest” maka hakim memberi setjara prin
sipiil suatu penjelesaian tertentu tentang suatu hal jang telah lama
membangkitkan keragu-raguan didalam kalangan pengadilan? ad
ministrasi negara dan mereka jang mempunjai pekerdjaan jang
bersangkutan dengan hukum. Suatu „standaardarrest” m endjadi sua
tu keputusan prinsipiil. Oleh sebab itu maka „standaardarrest” m en
djadi suatu pegangan teguh bagi kalangan pengadilan, administrasi
negara dan sardjana hukum. Bahkan, sering kali suatu pegangan
jang lebih teguh dari pada suatu undang-undang. Terutama apabila
isi dan tudjuan undang-undang jang bersangkutan tidak sesuai lagi
dengan keadaan sosial jang sungguh-sungguh pada waktu sekarang.
Sebuah tjontoh : dari tahun 1870 sampai tanggal 3 O ktober 1912
kalangan administrasi negara, pengadilan dan sardjana hukum di
Indonesia ragu-ragu apakah seorang jang tunduk pada hukum. E ro
pah dapat memiliki tanah jang tunduk pada hukum adat dan, se-
baliknja, apakah seorang jang tunduk pada hukum adat dapat m em
punjai tanah jang tunduk pada hukum Eropah (perceel, persil).
Pertanjaan ini didjawab oleh H oog Gerechtshof van Nederlands-
Indie (pengadilan jang tertinggi pada djaman kolonial) dalam ke-
putusannja pada tanggal 3 Oktober 1912 145. Menurut pengadilan
ini maka tanah jang sekali tunduk pada sesuatu hukum tetap
tunduk pada hukum itu siapapun djuga jang m endjadi pem ilikn ja
atau pemegangnja. Apabila tanah m ilik asli ( = m ilik m enurut
hukum adat) di sesuatu tempat, m iliknja pindah kepada orang
jang tunduk pada hukum Eropah, maka tanah itu tetap m ilik asli
dan tidak m endjadi tanah jang tunduk pada hukum Eropah. Maka
142
dari itu seorang jang tunduk pada hukum E ropah dapat mem iliki
tanah m ilik asli. Sebaliknja, apabila tanah jang tunduk pada hukum
E ropah di sesuatu tempat, kepunjaannja pindah kepada orang
jang tunduk pada hukum adat, maka tanah itu tetap tanah jang
tunduk pada hukum Eropah. Maka dari itu seorang jang tunduk
pada hukum adat dapat m em punjai tanah jang tunduk pada liu-
kuin Eropah.
Sam pai waktu berlakunja Undang-undang P okok Agraria, maka
keputusan H oog Gereclitsliof ini m endjadi dasar hukum inter-
gentil m engenai tanah (intergentiel grondenrecht). Lihatlah Bab
X IV .
Sebuah tjon toh dari jurisprudensi Belanda jang diturut djuga
di Indonesia (karena azas k on kordan si): pada tanggal 23 M ei 1921
H oge Raad der Nederlanden (pengadilan tertinggi di Negeri Be
landa) 14<5 memutuskan bahwa pentjurian tenaga alam, seperti te
naga listrik, dapat djuga diliukiun menurut pasal 362 K.U.H. P i
dana (pasal pentjurian), karena pentjurian tenaga alam termasuk
djuga m engam bil „sesuatu barang, jang sama sekali atau sebagian-
n ja termasuk kepunjaan (m ilik) orang lain, dengan maksud akan
m em iliki barang itu, dengan melawan hukum” .
Dari apa jang kami katakan diutas tadi ternjatalalikeputusan
hakim sering kuatnja sama dengan kuatnja suatuperubahan un
dang-undang (vonnis van de recliter is net zo sterk als een wets-
w ijziging) !
Jurisprudensi penting ditempatkan dalam beberapa madjalah
hukum . Beberapa m adjalah hukum jang memuat jurisprudensi dan
pem batjaan tentang hukum — „rechtsliteratuur” — di Indonesia
adalah 147 :
„H u k u m ” (th. 1951 - th. 1959).
„M a d ja lah H ukum dan Masjarakat” (th. 1955-th. 1959).
„H ukum dan Masjarakat” (th. 1960).
„H u k u m dan Masjarakat” (th. 1960- ).
Pada djam an Belanda :
„In d isch „T ijd sch rift van het Recht” („T ijdschrift van het R echt” )
(th. 1849-th. 1949).
„Indisch, W eekblad van. het Recht” (th. 1864 - th. 1914).
143
Penting djuga kumpulan dan pembahasan jurisprudensi jang
disusun oleh M r J. D u p a r c ,,Verzameling van Nederlandscli-
Indische rechtspraak en rechtsliteratuur, 1897-1907” , 1909, „1908-
1909” , 1(910, „1910-1919” (disadur oleh Mr A.S. H i r s c h ) , 1920,
dan „1920-1924” (disadur oleh Mr J o h. P a u l u s ) , 1925, dan
jang disusun oleh Mr J.H. A b e n d a n o n „D e Nederlandsch-In-
dische rechtspraak en rechtsliteratuur” , 1908-1930, 4 djilid, jang m e
liputi jurisprudensi dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1030;
buku jurisprudensi hukum pidana jang disusun oleh P rof. M r H .A.
I d e m a „D e Indische wetboeken van strafrecht, 1848-1934” , 1934.
Untuk hukum adat : ,,Adatrechtsbundel” , „Pandecten van het
Adatrecht” , buku-buku E n t h o v e n , v a n d e r M e u l e n dan
B o e r e n b e k e r , Mr R. T i r t a w i n a t a dan M r W .A. M u 1 -
1 e r „Indonesische dorpsacten” ,, 1933.
Beberapa kumpulan jurisprudensi jang ,,recent” adalah kum
pulan jang disusun oleh M r R o e s l a n i Saleh „Keputusan-
keputusan tentang perkara pidana” , 1961 (tjetakan pertama : 1958),
kumpulan jang disusun oleh M r Dr G o u w Giok Siong
„Him punan keputusan-keputusan hukum antargolongan” , 1959,
kumpulan jang disusun oleh Prof. Mr R. S u b e k t i dan J. T a -
m a r a „Kum pulan putusan Mabkamali Agung mengenai hukum
adat” , 1961 (tjetakan kedua : 1965), kumpulan jang disusun oleh M r
L o a S u r y a d a r m a w a n „Him punan keputusan-keputusan dari
Mahkamah Agung” , I : Mengenai hukum atjara pidana, 1962, dan
kumpulan Mr Nj. M a r i a m D a r u s B a d a r u z z a m a n „K ep u
tusan-keputusan tentang perkara perdata” , 1962.
Bebarapa madjalali hukum, jang memuat atau membahas juris
prudensi dan pembatjaan tentang hukum di Negeri Belanda (masih
penting untuk Indonesia karena azas konkordansi dahulu) adalah :
„W eekblad van het Recht” (th. 1839- )
„Nederlandse Jurisprudentie” (th. 1913- )
„W eekblad voor Privaatrecht, Notarisambt en Registratie” (dising
katkan : W .P.N.R.) (th. 1870- ). «
144
A nggapan seorang ahli hukum m em punjai kekuasaan 1^9. M e
reka jan g telah m em batja jurisprudensi, maka m engetahui bahwa
hakim itu sering berpegangan pada anggapan seorang sardjana
hukum atau beberapa sardjana hukum jang terkenal namanja. Da
lam penetapan apa jang akan m endjadi dasar keputusan-keputusan
nja, m aka hakim itu sering m enjebul anggapan seorang ahli hu
kum tentang soal jang liarus diselesaikannja. Apalagi kalau ahli hu
kum itu m enentukan bagaimana seham snja (peladjaran hukum ti
dak dapat dipisahkan dari politik hukum !). Anggapan itu m en
djadi dasar keputusan tersebut 15°. T jon toh : kutipan kami ambil
dari ketetepan (beschikking Pengadilan Negeri (gaja lama) (Mr
v an Hattum) d i Indrainaju pada tanggal 2 Maret 1933 lo1 :
„ .................................. anggapan ini djuga terdapat pada semua
pengarang jan g berpengaruh tentang hal ini (lihatlah misalnja
K leintjes II tjetakan ke-5 hal. 457, A ndré de la Porte Tijdschrift
D jilid 89 liai. 46, de Louter Staats- en adm inistratiefrecht van Ne-
derlandsch Ind ië tjetakan ke-6 liai. 607 K ollew ijn de Stuw 1931
no. 3 hal. 6 petundjuk (n o o t), van Vollenlioven Adatrecht II liai.
657 Letterie dan de Iveizer Agrarische en daam iede verbandhouden-
de regelingen voor liet reclitsreeks bestuurd gebied der gewesten
buiten Java en M adura) (Belum tentu lianja Nolst Trenité In-
leiding tôt de{ Agrarische W etgeving 1920 hal. 52 petundjnk 2 dan
Handelingen N e d e r l a n d s c h Indische Juriste« praead-
vies 1916^ hal. 215, 221; tetapi djuga beranggapan seperti kami
hal. 2 2 2 )” .
145
Terutama dalam pergaulan internasional anggapan para sardja-
na hukum (doktrina) m em punjai pengaruh jang sangat-sangat be
sar. Hal ini tidak perlu mengherankan orang, apabila ia tahu bah
wa suatu bagian penting hukum internasional masih terdiri atas
peraturan kebiasaan. Bagi hukum .internasional anggapan para sar-
djana hukum masih merupakan suatu sumber hukum jang sangat
penting. Bahkan, Mahkamah Internasional di kota Den Haag INe
geri Belanda) pun (masih 'mengakui pentingnja djuga dalam Pia-
gaiunja (Statute of the International Court of Justice)10-. Lihatlah
pasal 38 ajat 1 Piagam itu :
„T h e court, whose function is to decide in accordance with
international law such disputes as are submitted to it, shall apply .
146
BAB III
L o lo n ia l. iniifir m c n d jo la n k a n . s u a t u p©-
1 Dalam d jam an pcm rasial (raciaal) dan mendiskriminasi
litik hukum onderdaan” (kau-
menurut ‘ d j beberapa golongan rakjat — djadi, diada-
la-negara B e l a n d a ) d o la™ £ Belanda - rupanja perbedaan
kan b e b e r a p a djem s Kau A U i n g „Grondslagen der Rechts-
kelurunan ( • • 94 . ?vDe onderscheiding naar ras” ; Mr Dr
bedeeling ’D c j\ie d e r la n d s c h -ln d ls c h e Staatsregeling” , 1934, hal.
H. w e st r „ .............. b e ru st o p liet v e rs ch il in ras en h e r k o m s t,
” ......... « . Mr Dr G o u w G i o k S i o n g „W arganegara dan
................. ' ' „ ’ i o s « hal 1 6 -1 7 ). Batjalah P rof. D r R. Supomo
° s t r , L aw k u m di lndonesia (sebelum Perang Dunia I I ) ” , 1954, hal.
S.sUm h u k u m d i belakang higloris batjalah W .E. v a n M a s -
d jb ., m g historische ontwikkeling van de staatsrechttelijke
indeeling der bevolking van N edcrW n die” , dis. Amsterdam 1934.
9 T .-1 u ■ • dari P rof. Dr J.H.A L o g e m a n n „H et staats-
r S C Im tone.i« (h c , iorm ele .y ..= C.n ) ” , 1954, h .l . 27. P .nger-
tian E o l o n s a n hukum ” tidak meliputi pengertian „golon gan rakjat
seluridinja dan sebaliknja ! Termasuk „golon ga n hukum ” djugalah
mereka jang hanja kebetulan sadja di Indonesia, misalnja, seorang
turis (toerist) warga-negara Inggeris. Lihatlah n oot jang berikuf.
147
/
Pasal 163 I.S., jang berasal dari djaman kolonial, m enjebut
siapa jang tergolong didalam masing-masing golongan hukum itu 3 ;
148
i. jan g tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat
ialah semua orang bum iputera (Indonesia asli), terketjuali
m ereka jan g telah masuk suatu golongan hukum lain. Tergo-
lon g djuga : mereka jang dahulu termasuk golongan lain tetapi
sedjak lama dianggap atau diterima sebagai orang-
H ukum adat djuga tidak berlaku bagi seor^n^-TndoHesia'^feli
ja n g beragam a Keristen dalam hal ordonansiviSlah
hukiun
lin l'im i lain.
la in // « i ' ; J*«'
149
• tid a k b erla k u b a g i seseoran g Timur
H u k u m a d a t T im u r /uii o rd o n a n s i
asing K
tukan hukum ain ^ Keri.ten
Ahim j« dapat d i k « » J | * » ^ Mseorani Timur asing ter-
„je b a b k a u » « e o r a u g letap , erma.uk golongan
masuk g o lo n g a n hukum EroP „ hukum T u»ur a .m 6
hukum I n d o n e s ia asi. ( « d a t l
(adat T im u r a .m g ) 4- s taka„ hukum pri«at m .n a b e rla k u
p a s a l 131 a ja t 2 • • , tersebut :
, .i mm aa sin
s i n g-m
g - m asin
a s in g
g g
goo lo
lo n
ngga
ann nu*u- -
bagi1 ma
mas g
& , (B aarat) hukum
ra t) berlaku h u k u m E ro-
ro -
B agi golongan h u k u m E r° P uan j ang disebut pada su b a
1.
ah : m enurut Perkataan, ut . h ukum jang b erlak u ia la h suatu
dari pasal serta ajat terse • igi h u k u m jang; W
h u k u m E rop a h jang » m j _ Belanda („ d e in N e d e rla n d
laku di N egeri B elanda diberi nama azas konkordansi
geldende wetten” )- hukuiri jang b erlak u b a g i g o lo -
(con cordan tiebegin seU , 3 disamakan ( — d ik o n k o rd a n si)
ngan huknm Eropahbetlak» di Negeri Belanda,
dengan hukum J« chusm di Indonesia memerlukan per.
T etap i bilam ana keaOW ^ konkordan9i itu, m aka p e m b u a t or-
k etju alian terhadap az? hukum la in . Suatu p e rk e tju a -
don an sidapat m ene^ ordansi dapat djuga d ia d a k a n a p a b ila
H a» terhadap azas Ko ggap perlu m enetapkan p era tu ra n
pem buat o r d o n a n s i m ^ g o ] o n g a n hukum E ro p a h m a u p u n
jang akan berlaku bagi ^ ^ bagian dari p a d a n ja p er-
a o lo n g a n -g o lo n g a n huK hukum bagi beberapa golongan
a tu ra n s e m a t ja m « “ m m e e n s c h a p p e h jk re ch t).
150
a. hu k um E ropah
b. hukum E ropah jang telah diubah (gew ijzigd Europees
r e c lit ).
c. hukum bagi b eberap a golongan bersama-sama ( gemeenschap-
pelijk re c h t), dan apabila kepentingan umum m emerlukan-
n ja :
d. hu k um baru (nieuw rech t), jakni hukum jang m erupakan
sintese” (synthese) antara hukum adat dengan hukum
E rop a h (B arat) („fantasierecht” ( v a n V o l l e n h o v e n ) 6
atau ,iam btenarenrecht” (van Idsinga).
f, A d a t r e c l i t ” , I I , h a l. 5 3 5 .
7 K -u n i m e n g a ta k a n „ p a d a a z a sn ja ” , k a r e n a p a d a w a k tu in i d a la m p r a k
t e k u n ifik a s i h u k u m p id a n a d a n h u k u m a tja ra itu m a s ih h e lu m d i
a d a k a n d i se lu r u h w ila ja h n e g a ra k ita . P a d a u m u m n ja u n ifik a s i h u
k u m p id a n a K u h a n ja m e n g e n a i h u k u m p id a n a ja n g b e r la k u b a g i
p e n d u d u k d a e ra h ja n g d a h u lu la n g s u n g d ib a w a h p e r in ta h p e m e r in ta h
(p u s a t) H in d ia -B e la n d a ( „ d i r e c t ” - atau „ G o u v e r n e m e n t s g e b ie d ” )
( t e r k e t ju a li r a k ja t d a e ra h L .N .H .B . 1 9 3 2 N r 8 0 , p a s a l-p a s a l 1 d a n 3 ,
ja n g t u n d u k p a d a a p a ja n g te r k e n a l seb a g a i p e r a d ila n a d a t ( „ I n h e e m s e
r c c h t s p r a a k ” ) ) . D i s a m p in g d a era h te r se b u t a d a d ju g a d a e r a h sw a-
p r a d ja (¡«„zelfb estu u rs'V atau „ in d i r e c t g e b ie d ” ) ja n g tid a k la n g s u n g
d ib a w a h p e r in ta h p e m e r in ta h ( p u s a t ) H in d ia -B e la n d a . U n tu k r a k ja t
ja n g m e n d ja d i w a rg a b e b e r a p a d a e ra h sw a p ra d ja m a s ih b e r la k u h u
k u m p id a n a adat.- T e ta p i p e r k e t ju a lia n -p e r k e t ju a lia n te r s e b u t a k a n
d ile n ja p k a n b e r a n g s u r-a n g s u r, pasal 1 a ja t 2 L .N . 1 9 5 1 N r 9 (U n
d a n g -u n d a n g D a r u r a t 1 9 5 1 N r 1 ) . P e n tin g sek a li p a sa l 5 a ja t 3 su b
b p e r a t u r a n in i ja n g b e r s ifa t p e r a tu r a n p e r a lih a n . T e n t a n g h a l in i
le b h la n d ju t B a b X , p a r.
K .U .H . Perdala „sepandjang jang mengenai bumi, air serLa keka-
jaan alam jang terkandung didalamnja, ketjuali ketentuan-keten
tuan mengenai hypotheek jang masih berlaku pada mulai berlaku-
nja undang-undang ini” . Peraturan-peraturan K.U.H. Perdata jang
tersebut dan jang bersangkutan, jang pada azasnja hanja berlaku
bagi golongan hukum Eropah, sekarang telah diganti oleh pera
turan-peraturan L.N. 1960 104, jang berlaku bagi semua golongan
hukum („warga-negara Indonesia” dengan tidak membedakan an
tara jang ,,asli’ dan jang „bukan-asli” ) 8. Lihatlah Bab V I dibawah
nanti. Surat edaran Mahkamah Agung 1963 Nr 3 menganggap be
berapa pasal K.U.H. Perdata tidak berlaku lagi (lihatlah Bab X III,
par. 2 ).
152
Par. 2: Sedj arah kenjataan a nek- a warna
liukum di I n d o n e s i a 9.
,iW anneer in 1596 het eerste scliip met de driekleur aan den
mast m den Indischen archipel binnenvalt, is dat land staatsrech-
telijk geen ,,„w oest en ledig” ” land. Het is b oordevol instituten van
volks- en gezagsordening : bewind door en over stammen, dorpen,
bonden, republieken, vorstenrijken” (K etika pada tahun 1596 ka
pal Belanda jang pertama tiba di Nusantara Indonesia, maka ter
dapatlah suatu negeri jang — ditindjau dari sudut hukum negara
— bukan negeri ,,tandus dan kosong” . Negeri tersebut penuh-sesak
dengan lem baga tatanegara dan lembaga tatakuasa. Adalah kekua
saan oleh dan atas suku, desa, perserikataan, republik, keradjaan),
dem ikian kala v a n V o 1 1 e n h o v e n 10. Memanglali, ketika
orang Belanda datang disini maka di Indonesia telah ada suatu tata-
hukum (rechtsorde) sendiri, jaitu tataliukum asli, j3ng memang
berlainan dari pada tataliukum Belanda. Tetapi orang Belanda
— jang m enduduki beberapa w ilajah di Indonesia — tidak meng
hapuskan tatahukum asli itu, tidak menggantikannja dengan suatu
tataliukum Barat (B elanda). Tetapi djuga, orang Belanda tidak
153
m enandukkan diri pada tatahukum Indonesia asli itu. Orang In
donesia asli dan orang Belanda masing-masing hidup dibaw ah ta
tahukum sendiri, jaitu orang Indonesia asli hidup dibawah kekua
saan hukum adat dan orang Belanda hidup dibawah kekuasaan h u
k u m Belanda jang diim port disini. B oleh dikatakan bahwa sedjak
kedatangan orang Belanda di Indonesia, disini ada suatu dualisme 11
dalam tatahukum. D i samping suatu tatahukum jang bertjora k asli
(hukum adat) ada suatu tatahukum jang bertjorak asing (hukum
B elanda). Dengan kata lain : tatahukum Indonesia — jaitu d i dja-
man sekarang chusus tatahukum privat — beraneka warna.
Bagaimanakah sedjarah kenjataan aneka warna hukum di In
donesia tersebut, dari tahun 1596 sampai djam an sekarang ?
Hukum jang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang
V.O.C. 12 jang pertama-tama disini, ialah hukum jang didjalankan
di atas kapal-kapal V.O.C.. Hukum kapal tersebut terdiri atas dua
bagian : hukum Belanda jang kuno (oud-Nederlands- atau ou d -
vaderlands recht) ditambah dengan azas-azas hukum Rom aw i. B a
gian terbesar hukum jang dipakai dikapal itu berupa „tuc'htrecht”
(hukum disiplin). Sedjak kedatangannja di Indonesia, maka jang
merupakan dasar tatahukum bagi orang Belanda ialah azas kon-
kordansi itu.
11 Sampai sekarang, masih tetap „dualism e” ini terdapat di ham pir se
luruh lapangan kemasjarakatan di Indonesia, termasuk djuga tjara
berfikir sebagian pem im pin negara dan masjarakat ! Lihatlah P rof.
Dr J.H. B o e k e „E con om ie van Indonesia” , 1951 (sebelu m n ja da
lam bahasa Inggris : „T h e Structure o f Netherlands Indian E con om y” ,
. 1 9 4 1 ), mengenai . „dualistische econom ie” di Indonesia (ketjam an
terhadap pendapat B o e k e dikemukakan oleh a.l. B e n j a m i n
H i g g i n s „T h e ’ Dualistie Theory’ o f Underdeveloped Areas” dalam
„E conom ie Development and Cultural Change” , Djanauri 1956, hal.
99,-115, dan Drs R. K o o l „Theoretische econ om ie en tropische ont-
wikkeling” dalam „Indon ésie” , IX, 6 (D esem ber 1 9 5 6 , hal. 4 87 -
5 09 ) ; Prof. Mr Dr H. W e s t r a „Dualistisch staatsrecht” , pidato
inaugurasi Utrecht 1931. „Dualism e” ini harus lenjap ! Hal itu di
tegaskan dalam Manipol.
12 P i e t e r van Dam (diterbitkan oleh Dr F. W . S t a p e 1 „B e -
schrijvinge van de Oost-Indische Com pagnie” , 5 d jilid, 1 9 2 7-19 39 .
Mengenai lahirnja V.O.C. : Mr J.A. v a n d e r C h y s „G eschiedenis
der stichting van de Vereenigde O..I. Com pagnie” , 1857, beberapa
tjatatan terdapat pula dalam bukunja „D e vestiging van hel 1 Neder-
landsch gezag over de Bandaeilanden (1 5 99 ,-16 21 )” , 1886. V.O.C.
adalah terutama suatu badan dagang, jang hanja terpaksa mendaras
kan suatu pemerintahan, pengadilan dan urusan hukum lain. Jang
memaksa ialah keinginan mempertahankan m on op oli dagang di In
donesia. Paling „recen t” adalah buku K r i s t o f f Glamann
„Dutch,-Asiatie Trade 1620-1740” , 1958, m engenai aktivitet V.O.C. di
lapangan perdagangan dan ekonom i. Terbatas : T . V o 1 k e r „P o rce -
lain and the Ducth East India Company” , 1954.
154
Lama-kelamaan dapat m enjelesaikan
semua perkara jang terdjadi di pusat-pusat dagang \ .0 .C .. Maka
perlu dibuat peraturan-peraturan jang dapat memenuhi keperluan-
keperluan istimewa jang tim bul di daerah-daerah jang dikuasai
oleh V.O .C. itu. Pada tahun 1609 Staten Generaal di Negeri Belanda
(Staten Generaal = badan federatif tertinggi dari negara-negara B e
landa ( ja n g disebut „provincien” ), jang bersama-sama merupakan
suatu konfederasi jang bernama Republiek der Zeven Vereenigde
N ederlanden) m em beri kepada pengurus pusat V.O.C. di Banien
(G ubernur-D jenderal serta Raden van Indie) kekuasaan untuk mem
buat sendiri p era tu ra n 13. Sebagai akibat penjerahan kekuasaan
tersebut, maka di daerah-daerah jang dikuasai oleh V.O.C. dibuat
beberapa peraturan jang bermaksud menjelesaikan perkara clvusus
dan m enjesuaikan keperluan hukum ( rechtsbehoeften) para pega
wai V.O.C. dengan keadaan di masing-masing daerah jang diduduki
oleh V.O.C. itu. D i samping peraturan-peraturan jang ditentukan
oleh pengurus pusat V.O.C. di Banten — kemudian di Betawi (Ba
tavia, kota ini sekarang m endjadi Djakarta) — berlaku djuga
peraturan-peraturan jang ditetapkan oleh direksi di Negeri Belanda.
Direksi itu bernam a „H eeren Zeventien” . P e r a t u r a n - p e r a t u r a n
V.O.C. dium um kan dalam plakat (plakaat). Pada abad ke-19 plakat-
plakal V.O.C. itu dikum pulkan oleh M r v a n d e r C h y s daiam
suatu him punan plakat-plakat jang diberi nama „Nederlandsch In -
disch Plakaatboek” (17 d jilid ).
Sedjak permulaan, oleh pegawai V.O.C. plakat-plakat itu tidak
disusun dan dikum pulkan dengan baik serta teramr-. Akibatnja :
kira-kira tahun 1635 ada kekatjauan besar. Orang tidak lagi me
ngetahui plakat maiiii in^sl-h fc'eri.-iJcii dan plakat mana telah ditjabut
atau diubah. Maka dari itu Gubernur-Djenderal v a u D i e m e n
(th. 1636 - th. 1646) memberi perintah kepada M r J o a n M a-e t -
s u y c k e r, Pensionnaris pada H of van Justitie di Betawi, supaja
m enjusun dan mengumpulkan plakat-plakat itu didalam suatu h im
punan plakat-plakat. Pada tahun 1642 di Betawi him punan plakat-
plakat itu diumumkan dengan nama „Statuten van Batavia” (Statuta
B etaw i). Pada tahun 1650 himpunan itu mendapat pengesahan dari
„H eeren Zeventien” .
155
Statuta Betawi tidak merupakan suatu kodifikasi seperti k o
difikasi hukum Eropah di Indonesia jang diadakan pada tahun
1848 14. Tapi ada djuga pengarang jang beranggapan Statuta B e
tawi itu suatu kodifikasi 15. Statuta Betawi dari tahun 1642 dapat
dipersamakan dengan himpunan kitab-kitab undang-undang In d o
nesia („D e Indische W etboeken” ) jang tersusun oleh M r W .A.
E n g e l b r e c l i t (tjetakan terahir : 1960) atau „K itab him punan
perundang-undangan negara Republik Indonesia” , I dan II, jang
disusun oleh K.H. H u s i n (dengan kata pengantar P rof. M r D r
H a z a i r i n) dan jang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan
R.I. mulai tahun 1957.
Hukum jang berlaku di daerah jang dikuasai oleh V.O.C. ada-
lah :
156
kitar kota Belaw i. Daerah ini terkenal dengan nama „Bataviase
O m m elanden” . D i daerah tersebut orans Indonesia asli dan oranaO
T im u r lain djuga taat pada hukum statuta, hukum Belanda jang
kuno dan — apabila perlu — azas-azas hukum Rom aw i. Di „Bata
viase O m m elanden” itu berlaku azas unifikasi (unificatiebegin-
sel) is. M enurut Statuta Belawi, hukum jang berlaku bagi orang
T im u r lain (terutama orang T ionghoa) diluar „Bataviase Om me
landen” ialah ,,usantien en costuymen” ( = adat istiadat) mereka.
Orang Belanda inem punjai pengadilan sendiri. Pada permulaan
di bagian daerah Banten jang dikuasai oleh Y.O.C. dilakukan pera
dilan oleh G ubernur-Djenderal bersama-sama dengan Raden van
ln d ie . Seorang Fiskaal m endjadi penuntut umum. D i daerah-daerah
lain, m isalnja, di A m bon, di Banda, dilakukan suatu peradilan di-
atas kapal-kapal Y.O.C. jang pada waktu-waktu tertentu singgah
disitu (pengadilan kapal jang berk eliling). Setelah djatuhnja ke-
radjaan Jacatra, maka oleh G ubernur-Djenderal C o e n didirikan
suatu pengadilan di „Casteel van Batavia” . Suatu instruksi dari tahun
1620 m enjebu t pengadilan itu ,,d’ ordinaris luyden van den G erichte
in ’ t Ca-steel” 19. Dalam pertjakapan sehari-hari pengadilan tersebut
terkenal dengan nama „ d e regtsluyden van ’ t fo r t” . Pada tahun 1626
d iberi lagi nama „ Ordinaris R a et van Justitie binne het Casteel Ba
tavia” . K em udian pada tahun 1798 — setelah m endjadi pengawas
tertinggi seluruh pengadilan di daerah jang dikuasai oleh orang
Belanda —■ pengadilan tersebut m endjadi „H o o g e Raad van Jus
titie” . „D e regtsluyden van ’ t fort” terdiri atas beberapa orang pe
gawai V.O.C. dan diketuai oleh seorang Raad van lndie. Fiskaal
m en d ja d i penuntut umum. Jang termasuk kom petensi ialah segala
perkara antara para pegawai dan antara para petugas m iliter V.O.C.
baik diluar m aupun didalam Casteel” .* Termasuk kompetensi
djuga tiap perkara jang terdjadi diluar „Casteel” antara seorang
pegawai atau seorang petugas m iliter V.O.C. dengan seorang
prem an (burger) jang m endjadi penduduk kota Betawi. Pengadilan
tersebut djuga menjelesaikan perkara apel (appelzaken) dari „C ol-
lege van S chep enen".
„C ollege van Schepenen” ialali pengadilan di kota Betawi jang
m ula m ula terdiri atas dua pegawai V.O.C. sarta dua orang preman
penduduk kota Betawi. Dalam hal m engadili perakara jang salah
157
f
satu fihaknja seorang Tionghoa, maka pengadilan tersebut ditambah
dengan seorang Kapten Tionghoa (Kapitein der Chinezen). K em u
dian terdiri atas tiga pegawai V.O.C., empat orang preman dan dua
orang Tionghoa. „College van Schepenen” m endjadi pengadilan
s e h a r i - h a r i bagi penduduk (orang asli maupun orang asing) kota
J58
1 D januari 186 1 (m ulai berlakunja , ,Strafwetboek” bagi golongan
hukum E ropah ) dan sampai tanggal 1 Djanuari 1873 (m ulai ber
lakunja „S trafw etboek bagi golongan hukum Indonesia asli dan
golongan hukum T im ur asiu<r)
C*' • v
D i sam ping Peraturan-peraturan hukum Eropah tersebut, un-
tak daerah-daerah jang dikuasai V.O.C. dibuat djuga beberapa
kitab hukum jang memuat hukum adat. Oleh M r H a s s e 1 a e r,
R esiden di T jire b o n (th. 1757-th. 1765), direntjanakan pem
buatan suatu kitab hukum adat jang akan m endjadi „suatu pem im
pin hukum adat pada hakim -hakim di T j i r e b o n ” 2 1 . Penjelesaian
pem buatan kitab hukum tersebut terdjadi pada tahun 1768 diba-
w ah pim pinan pengganti M r H a s s e 1 a e r. Kitab hukum adat
Jan" b oleh dianggap m endjadi suatu ,,kodifikasi hukum
adat” — terkenal dengan nama P epakem T jireb on 2 2 .
Pada tahun 1760 telah dibuat ole'h V.O.C. suatu himpunan
peraturan-pei aturan hukum Islam mengenai warisan, nikah dan
talak (p ertjera ia n ), jang tem jata dapat bertahan ham pir satu-
eetengah abad ! H im punan itu disusun oleh F r e i j e r. Orang
m engenalnja dengan nama Compendium, F reijer 23. Beberapa ba
gian dari Com pendium F reijer ini ditjabut dengan berangsur-
angsur pada abad ke-19. Bagian teralnr (mengenai warisan) pada
tahun 1913 24.
159
1. „A lgem eene Bepalingen van W etgeving voor Nederlandsch In-
die” (disingkatkan A.B. Indonesia) (Ketentuan-ketentuan
Um um mengenai Perundang-undangan di Indonesia), setelah
diterim a maka diundangkan (afgekondigd) dalam L.N.H.B.
1847 Nr 23
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (K.U.H . P erdata), L.N.
H.B. 1847 Nr 23.
3. K itab Undang-undang Hukum Dagang (K.U.H . D agang), L.N.
H.B. 1847 Nr 23.
4. „R eglem ent op de Rechterlijke Organisatie en het B eleid der
Justitie (disingkatkan R.O.) (Peraturan Susunan P engadi
lan dan Kebidjaksanaan D justisi), L.N.H.B. 1847 N r 23.
5. „E nige Bepalingen betreffende de Misdrijven begaan ter ge-
legenheid van Faillissement en bij Kennelijk Onvermogen
mitsgaders bij Surseance van Betaling” (Beberapa Ketentuan
mengenai Kedjahatan jang dilakukan dalam Keadaan Palit
(Kepalitan) dan dalam Keadaan Njata-tidak-mampu m em bajar,
djuga dalam hal Surseansi Pem bajaran), tidak berlaku lagi.
162
rech tsh of), jang pada djam an sekarang m asih didjalankan apabi
la hukum m ateriil memerlukan m endjalankannja, L.N.H.B.
1847 N r 52 jo 1849 Nr 63
8. „R èglem ent op de U itoefening van de P olitie, de B urgerlijke
Rechtspleging en de Strafvordering onder de Indonesiërs (g o
longan hukum Indonesia asli) en de Vreem de Oosterlingen (g o
longan hukum T im ur asing) op Java en M adoera” , L.N.H.B.
1848 N r 16 jo N r 57. Sekarang berlaku sebagai „R eglem èn
Indonesia jang diperbaharui (B a ru )” (disingkatkan „R .I.B .” )
(„H erziene Indonesisch Règlem ent” ) (disingkatkan „H .I.R .” )
9. „B ijzon d er Bepalingen ter Verzekering der regelm atige W er-
king van de Nieuwe W etgeving in de Bezittingen buiten Java
en M adoera” , tidak berlaku lagi.
10. „B epalingen tot Regeling van enige Onderwerpen van Strafwet-
geving, welke een dadelijke V oorziening vereisen” (terkenal de
ngan nama „intérim aire strafbepalingen” ) , tidak berlaku lagi.
163
I
donesia asli dan bagi golongan hukum Timur asing 32. Sampai tang
gal 1 Djanuari 1867 bagi golongan hukum Eropali berlaku suatu
hukum pidana jang dibuat Y.O.C., hukiim pidana Belanda jang
kuno, azas azas hukum pidana Romawi dan „intérimaire strafbe-
palingen” dari tahun 1848, sedangkan sampai tanggal 1 Djanuari
1873 bagi golongan hukum bukan-Eropah berlaku — resmi ( ! ) , ka
rena praktèk berlainan — hukum pidana adat (pasal 25 ajat 3
A .B .).
„Strafwetboek” bagi golongan hukum Eropah dari tahun 1866
— berdasarkan azas konkordansi jang tertjantum dalam pasal 75
ajat 1 redaksi lama R.R. 1854 —Lmendjadi tiruan dari Code Pé
nal Perantjis, jang sedjak taliun 1910 berlaku d juga di Negeri Be
landa. „Strafwetboek” bagi golongan hukum bukan-Eropah dari
tahun 1872 mendjadi tiruan dari „Strafwetboek” dari tahun 1866
tersebut. Tetapi tiruan jang disebut terahir ini mengandung d juga
beberapa perketjualian.
Pada tahun 1915 dibuat kodifikasi hukum piduna Indonesia
jang baru. Kodifikasi itu pada azasnja bermaksud m ewudjudkan
suatu azas unifikasi, jakni satu hukum pidana, bagi semua golongan
rakjat dan golongan hukum di wilajah Indonesia. Setelah dileng
kapi dengan suatu peraturan pendjalankan (invoeringsverordening)
maka kodifikasi hukum pidana jang baru itu mulai berlaku pada
tahun 1918, L.N.H.B. 1915 Nr 732 jis L.N.H.B. 1917 Nr 497 dan
Nr 645. „W etboek van Strafreclit” dari tahun 1915 ini adalah tiruan
kitab undang-undang hukum pidana Belanda dari tahun 1881 (lihat
lah pasal 131 ajat 3 (I.S.).
Pada tahun 1946 di wilajah Republik Indonesia Proklamasi
,,'Welboek van Srafrecht” dari tahun 1915 disesuaikan sebanjak-
mungkin dengan keadaan jang seharusnja di suatu negara nasional.
Beberapa ketentuan jang tidak sesuai lagi dengan keadaan di negara
nasional Indonesia karena bersifat kolonial, ditjabut berdasarkan
Undang-undang R.I. tahun 1946 Nr 1, Berita R I. Tahun II N r 9
(15 Maret 1946). Lihatlah djuga Undang-undang R.I. tahun 1946
32 Mr W. d e G e l d e r „H et Strafrecht in N e d o r l a n d s c h - I n d i ë ” , 1886
(tjetakan k e -I ), 1897 (tjetakan ke-II, d is a d u r oleh Mr M.S. K o s -
t e r ) , 1914 (tjetakan ke.-III, disadur oleh Mr J.. D u p a r c ) ; Mr
C.W. M a r g a d a n t ,,VerkIaring van de Nederl. Ind. strafwet-
hoeken” , 1895; Mr G.A. v a n H a m e 1 d a la in m a d j a l a h „D e I n -
disehe Gids” , 1882, II, hal. 1 45; Mr A.C.H. G r a a f 1 a n d „Iets over
stra f we tgevi n g en strafreclitelijke hegrippen in den IN7ederî.-Ind. Ar
c h i p e l ” , disertasi Amsterdam 1938.
164
N r 20 (m engenai sualu hukum an tutupan), Berita R .I. Tahun II
N r 24 (1 dan 15 N opem her 1946)33.
Karena „W etb oek van Strafrecht'’ jang berlaku di w ilajah R e
publik Indonesia Proklam asi jang diduduki oleh pem erintah Hin-
dia-Belanda tidak mengalami perubahan jang dimaksud oleh Un
dang-undang R.I. tahun 1946 Nr 1 dan oleh Undang undang R.I.
tahun 1946 N r 20, maka m ulai tahun 1946 berlaku di Indonesia
dua kitab undang-undang hukum pidana, jakni di w ilajah R epublik
Indonesia Proklamasi jang kita kuasai (lebih tepat : di pulau-pulau
D j awa, M adura dan Sumatra), kem udian di w ilajah hekas-negara
bagian R epublik Indonesia dari bekas-Republik Indonesia Serikat
tahun 1950 serta w ilajah bekas-Daerah Pulihan, berlaku K.U.H.
Pidana tahun 1946, sedangkan di w ilajah R epublik Indonesia P ro
klamasi jang diduduki oleh pem erintah Hindia-Belanda, kem udian
di bagian wilajah R epublik Indonesia jang tidak termasuk wila j ah
hekas-negara bagian R epublik Indonesia dari bekas-Republik Indo-
sia Serikat tahun 1950 serta wilajah bekas-Daerali Pulihan, tetap
berlaku „W etb oek van Strafrecht” dari tahun 1915 itu 34. Dualisme
ini diahiri pada tanggal 29 September 1958 oleh Undang-undang
lahun 1958 N r 73, L.N. 1958 N r 127. Pasal I undang-undang ini
menentukan bahwa „Undang-undang No. 1 tahun 1946 R epu blik In
donesia tentang peraturan hukum pidana dinjatakan berlaku untuk
seluruh w ilajah R epublik Indonesia” . D jadi, sedjak tanggal 29 Sep-
iem ber 1958 di Indonesia berlaku lagi satu kitab undang-undang
hukum pidana, seperti halnja sebelum tahun 1946, jaitu K.U.H . P i
dana 1946, jang pada azasnja adalah „W etb oek 'va n Strafrecht” dari
lahun 1915 jang direvisi pada tahun 1946.
165
Kodifikasi hukum jang diadakan pada tahun 1848 tidak me
ngenai hukum adat. Tetapi walaupun demikian, masih djuga adanja
hukum adat itu diketahui. Lihatlah paenl-pasal 11 dan 25 ajat 3
A.B.. Di samping itu, Mr W i c h e r e diberi tugas m enjelidiki
kemungkinan hukum privat adat orang Indonesia asli dan hukum
privat adat orang Timur asing dapat diganti dengan suatu kodifikasi
jang didasarkan atas sistim hukum Eropah. Usaha ini terdorong
oleh tiga anggapan jang kuat pada waktu itu, jakni „baikpun ter
hadap bangsa Timur-asing, maupun terhadap bangsa Indonesia,
adalah kepentingan perniagaan bangsa Eropah, jang mendorong
^ich ers untuk membentuk rentjana-undang-undang jang mengatur
diperlakukannja hukum Eropah (die de toepasselijk-verklaring van
het Europese recht regelt)” 3^, pentingnja suatu kodifikasi dinilai
lebih dari pada semestinja (aliran legisme) dan hukum adat dinilai
lebih rendah dari pada hukum Eropah 36.
Pada waktu setelah kodifikasi tahun 1848, timbul „d e strijd om
het adatrecht” (kata-kata v a n K a n). Mr W i c h e r s berpen
dapat bahwa sebagian hukum Eropah harus didjadikan berlaku
djuga bagi orang bukan Eropah (gedeeltelijke toepasselijkverklaring
van Europees recht). Raad van Indie — pada permulaan — menje-
tudjui anggapan W i c h e r s itu. Tetapi Gubernur-D jenderal
R o c h u s s e n menentangnja dengan se'liebat-hebatnja. R o c h u s -
s e n sama sekali tidak mau mengubah status hukum privat orang
bukan-Eropah, djadi, bagi mereka tetap harus berlaku hukum adat
sepenuh-penuhnja 37. Kemudian, W i c h e r s mendapat seorang ka
wan sependapat, jarig memangku suatu djabatan tinggi, jaitu Gu-
166
bernur-Djen derai D u y m a e r v a n T w i s t. H upanja sekarang
hidupnja hukum adat sudah tentu akan dibabiskan. Tetapi dengan
sekonjong-konjong Raad van Indie menentang konsepsi m endjadi
kan berlaku bagi orang Indoneaia asli sebagian hukum Eropah itu.
Konsepsi tersebut dibantahnja dengan sekeras-kerasnja dalam suatu
nasehat tertanggal 23 Desember 1853 Nr I V 88. Pada permulaan
tahun 1854 bantahan itu dapat mengalahkan Gubemur-D jenderal
D u y m a e r v a n. T w i s t. Akibatnja, hanja orang Tim ur asing
ditundukkan pada sebagian hukum Eropah. Hal ini terdjadi ber
dasarkan L.N.H.B. 1855 Nr 79 39 (lihatlah dibawah nanti par. 3).
Dengan mendapat kekalahannja pada tahun 1854, M r W i -
c h e r s memperlihatkan tidak berhasilnja memberi djawaban atas
pertanjaan : bagi orang Indonesia asli hukum Eropah atau hukum
adatkah ? Pertanjaan ini terbuka sampai permulaan abad ke-20.
Hukum adat mendapat perhatian dalam pasal 11 A.B. Pasal ini
menerangkan bahwa : terketjuali dalam 'hal-hal orang Indonesia asli
dan orang jang dipersamakan dengan mereka (orang Tim ur asing,
pasal 8 A.B.) dengan sukarela mentaati (vrijwillige onderwerping)
peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum dagang jang berlaku
ba<ri colongan rakjat Eropah atau dalam hal-hal bahwa bagi m e
reka berlaku peraturan-peraturan perundang-undangan sematjam
itu atau peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka hu-
38 V a n K a n, hal. 177-178.
39 Batjalah P rof. S u d i m a n K a r t t o d i p r o d j o „Pengantar tata
hukum di Indonesia” , 1957, hal. 133-136 : „U ntuk menjalurkan ba
rang-barang jang dimasukkan kepem akainja dan untuk m em per
oleh barang-barang jang dikeluarkan golongan Eropah memerlukan
penghubung pula. Dalam hal ini jang dipergunakan ialah golongan
Tim ur Asing, istimewa bagian Tionghoa jang m em ang dapat dika
takan sudah lama memegang kedudukan ini” (hal. 1 3 3 ), „Karena
demikianlah, maka golongan Eropah dalam lapangan perdagangan
m empunjai hubungan erat dengan golongan Tim ur Asing” (hal. 1 3 4 ),
„K alau golongan Indonesia m empunjai hak untuk tetap takluk pada
hukumnja sendiri, tidak demikianlah, setidak-lidaknja kurang-kurang
hak itu pada golongan Tim ur Asing, karena mereka, seperti golongan
Eropah, orang asing, datang ke Indonesia itu hanja untuk mentjari
laba dan keuntungan sadja — menurut laporan Mr C. S a n d o n -
b u r g M a l t l i i e s e n tertanggal 15 Nopember 1855” (hal. 1 3 4 ),
„Peraturan ini” — L.N.H.B. 1855 ¡Nr 79 — „lahirnja, tidak karena
dibutuhkannja oleh golongan Tim ur Asing, tidak karena kesadaran
hukum golongan Tim ur Asing menghendakinja, akan tetapi atas de
sakan dan karenanja untuk kepentingan golongan Eropah, istimewa
kaum dagang, djadi semata-mata berdasarkan politik hukum Belanda
dahulu. Kepentingan maka jang dinjatakan berlaku dalam peraturan
ini ialah apa jang dapat mendekati kepentingan golongan Eropah
dalam pengliubungannja dengan golongan Tim ur Asing, ......................”
(hal. 1 3 5 ).
167
ku m jang berlaku dan didjalankan oleh hakim -bagi mereka ialah
hukum adat mereka (disebut „godsdienstige wetten, volksinstellingen
en gebruiken” = undang-undang (hukum ) agama, lem baga kebu-
dajaan rakjat dan kebiasaan), asal sadja hukum adat itu tidak ber
tentangan dengan azas-azas keadilan jang diakui (diterim a) umum.
Kesimpulan : bagi golongan hukum bukan-Eropah pada azasnja
berlaku hukum adat mereka. Ada perkeijualian apabila mereka :
168
dekati hukum Eropah maka pada tahun 1900 menteri Belanda
untuk daerah koloni, C r e m e r, m em beri perintah kepada M r
Carpentier Alting memeriksa kemungkinan m engkodifi-
kasi hukum adat di daerah Minahasa. Maksud C r e m e r supaja
terlebih dahulu diadakan kodifikasi lokal (kedaerahan), kemudian
akan diadakan suatu kodifikasi hukum adat untuk seluruh wilajah
Indonesia.
Pada tahun 1902 Mr C a r p en ti e r Alting menjelesai-
kan penjelidikan dengan membuat suatu laporan. Laporan ini („R e-
geling van het privaatrecht voor de Inlandsche bevolking in de
Minahassadistricten der residentie Menado” ) mendapat bantahan
keras dari beberapa ahli hukum, jaitu Mr I.A. N e d e r b u r g h
dan M r F.C. H e k m e i j e r. Menurut bantahan itu, maka dapat
disangsikan apakah rentjana kodifikasi C a r p e t i e r Alting
dapat dipraktekkan setjara baik dan sungguh-sungguh sesuai dengan
keperluan hukum dari orang Minahasa, oleh karena bagian terbesar
dari rentjana tersebut didasarkan atas sistim hukum Eropah.
Laporan Carpentier Alting tidak diperdebatkan da
lam dewan perwakilan rakjat Belanda, olah karena pada tahun
1901 m enteri C r e m e r telah diganti oleh seorang menteri lain.
Salah seorang menteri koloni setelah C r e m e r ialah I d e n -
b r g h. Menteri ini berpendapat lain, jaitu jang diperlukan di-
Indonesia ialah suatu unifikasi hukum, dan unifikasi itu pada aza&-
nja harus didasarkan atas sistim hukum Eropah. Anggapan I d e n -
b u r g h ini dimasukkannja dalam suatu usul-undang-tmdang jang
bermaksud mengubah redaksi (lama) pasal-pasal 1 5 dan 109 R.R.
1854. Usul-undang-undang tersebut disampaikan kepada dewan per
wakilan rakjat Belanda pada tanggal 15 Nopember 1904. Perlu di-'
tjatat bahwa pentjipta aliran unifikasi jang diterima I d e n b u r g h
ini 6ebetulnja Prof. Mr L.W.C. v a n d e n B e r g, bekas-gurubesar
pada Lembaga Pendidikan Pegawai Pamong Pradja untuk Hindia-
Belanda di kota Delft 41. Usul-undang-undang tersebut boleh diang
gap m endjadi buah fikirannja.
Unifikasi hukum berarti hukum adat akan didesak. Jang me
nentang 8ehebat~liebatnja konsepsi unifikasi tersebut, karena 'hukum
adat akan terdesak („verdringing van het adatrechl” ), ialah v a n
V o l l e n h o v e n , jang pada waktu itu telah diangkat mahaguru
169
i
pada Universitas Leiden 42. y au y o 11 e n h o v e n Iah jang se
nantiasa membela hukuni adat terhadap pendesakan dan keperko-
saan ari fihak pemerintah (administrasi negara) serta hakim. Li-
apa jang akan kami bitjarakan dalam Bab IV , pari 5.
^ T aile^a^an l1nifikasi dikemukakan djuga oleh M r N e d e r -
U r i o ^ akm P^datonja di muka „Indisch G enootschap” pada
tanggal 2 Desember 1905 43. Menurut N e d e r b u r g h, pada ha
ri 'emu ian harus berlaku satu hukum privat bagi semua golongan
an golongan rakjat. Oleh N e d e r b u r g h dit jiplakan
suatu „algem een landrecht” (hukum negeri um um ). Hukum ter-
se ut a an mengganti hukum Eropah maupun hukum adat. Hukum
negeri umum itu nierupakan suatu sintese antara hukum
Eropah dan hukum adat 44 .
170
usul-undang undang tersebut, tetapi anggapan kodifikasi diteruskan.
Redaksi amendemen v a n I d s i n g a ialah redaksi a ja t 2 sub b
dari pasal 113 I.S. sekaraug.
Pada tanggal 31 Desember 1906 usul undang-undang jang ber
maksud mengubah redaksi lama pasal-pasal 75 dan 109 R.R. 1854
didjadikan undang-undang. Undang-undang ini terkenal dengan na-
ma „O udcjaarsicetten van 31 D ecem ber 1906” .
Tetapi undang-undang jang bara itu tidak berlaku dengan se
gera. Masih diperlukan ketentuan peralihan dan ketentuan perali
han tersebut baru sadja dibuat pada tahun 1915 ! Jang membualnja
ialah m enteri P 1 e y t e. Baru pada tahun 1919 lah pasal-pasal 75
dan 109 R.R. 1854 „resm i” mendapat redaksi jang baru itu.
Pada tahun 1925 dibuat I.S.. Pasal-pasal 75 redaksi baru dan
109 redaksi baru R.R. 1854 dimasukkan kedalam I.S. dengan me
ngalami perubahan jang sangat-sangat ketjil sadja. Perkataan„al-
gemene verordeningen” (peraturan umum) diganti dengan perka
taan „ordonnantie” . Mengenai lainnja, maka redaksi kedua keten
tuan tersebut tidak mengalami perubahan. Pasal 75 redaksi baru
R-R. 1854 sekarang pasal 131 I.S., sedangkan pasal 109 redaksi baru
R-R. 1854 sekarang pasal 163 I.S. ~>
Antara redaksi lama pasal 75 R.R. 1854 dan pasal 131 I.S. ( —
redaksi baru pasal 75 R.R. 1854) ada beberapa perbedaan penting:
1- pasal 131 I.S. memuat suatu tugas bagi pem buat ordonansi se
dangkan pasal 75 redaksi lama R.R. 1854 memuat suatu tugas
bagi hakim. Maka dari itu pasal 131 I.S. m endjadi pasal kodi
fikasi (codifikatie-artikel) pada djaman Hindia-Belanda. A jat
1 m endjadi pasal kodifikasi hukum atjara serta hukum pidana,
ajat 2 sub a m endjadi pasal kodifikasi hukum privat Eropah
dan ajat 2 sub 2 b mendjadi pasal kodifikasi hukum privat adat.
2. pasal 131 ajat 2 sub a I.S. memberi kesempatan untuk menga
dakan perketjualian terhadap azas konkordansi Pembuat or
donansi dapat :
171
Kemungkinan untuk mengadakan kedua perketjualian tersebut
tidak disebut dalam pasal 75 ajat I redaksi lama R .R . 1854. Da
lam ketentuan ini azas kondordansi didjalankan penuh !
Beberapa perketjualian terhadap azas kondordansi ialah :
M engenai „O versch rijvin gsord on n an tie” ini, ja n g lid ak ada lagi per-
samaanja di Negeri B elanda, hatjalah B. O c k e r s „ I n - en o v e r
schrijving in N ederland en N ederlandach-Indie” , disertasi L eid en 1 9 2 8 .
M engenai „w eesk am er” ini, ja n g lidak lagi dikenal di N egeri B elan da,
batjalah M r A.A. de V r i e s „ D e In disch e w eeskam ers in h et v o o g -
dijrecht” dalam „T h e m is ” , 7 7 ( 1 9 1 6 ) , hal. 2 8 3 , d an „H e t rechtskarak.-
ter d er Indische weeskam ers” dalam „T h e m is ” , 7 9 ( 1 9 1 8 ) , hal. 4 0 9 ;
M r R . v a n H i n l o o p e n L a b b e r t o n dan M r D r C.. S m i t dua
„p ra e-ad v ies” di m uka Nederl. Snd. Juristencongres tahun 193 1 „ D e
weeskam ers als faillissem entscuratrice” dalam T . 1 33, hal. 6 7 3 dan
hal., 705.
keadilan” ) dan kemungkinan untuk menambah hukum adat
dengan „azas-azas hukum privat Eropah” seperti jang tertjan-
tum dalam pasal 75 ajat 6 redaksi lama R.R. 1854, tidak dite
ruskan dengan tegas (niet uitdrukkelijk) dalam pasal 131 I.S.
Libatlah apa jang akan kami katakan di par. 5 dari Bab IV.
173
hukum adat Indonesiapun akan m cndjadi hukum tertulis. Sebadai
akibat „eenheidsgedachte” (ideologi kesatuan), jang telah didjel-
makan dalam struktur negara kita — jaitu Negara Kesatuan tahun
1945 — , maka ada aliran-aliran politik jang mengingini suatu kodi
fikasi hukum kesatuan (eodificatie van eenheidsrecht) di seluruh
bidang hukum. Aliran-aliran tersebut mengingini suatu kodifikasi
jang memuat satu hukum jang berlaku bagi semua warga-negara
Indonesia. Aliran-aliran tersebut mengingini
e’ “ suatu unifikasi. Aneka
warna hukum di Indonesia seharusnja lenjap.
Diantara sardjana-sardjana hukum ada jang masih belum m e
lihat suatu kemungkinan akan lahirnja suatu unifikasi hukum di
Indonesia dalam waktu jang singkat. Misalnja, oleh Prof. S u p o -
m o 51 ditegaskan bahwa dalam pasal 102 tersebut hanja dilukis
kan suatu kodifikasi hukum dan tidak dilukiskan disitu suatu uni
fikasi hukum. Suatu unifikasi hukum jang dipaksakan kepada rak-
jat jang bersangkutan sudah tentu bertentangan dengan pasal 25
ajat 2 undang-undang dasar sementara tahun 1950 itu. Kata Prof.
S u p o m o : untuk sementara waktu masih perlu .,perbedaan-per
bedaan dalam kebutuhan-kebutuhan sosial dan hukum” diperhati
kan. Unifikasi hukum (hukum kesatuan) baru dapat didjalankan,
apabila telah ada „persamaan keadaan dan kebutuhan” 52.
174
Pem buat undang undang telah mulai mengadakan unifikasi ba
gian-bagian tertentu hukum jang diingini supaja berlaku. Pada
waktu masih berlakunja undang-undang dasar sementara tahun 1950,
sudah ada beberapa peraturan organik jang berusaha mentjapai
suatu unifikasi, misalnja, L.N. 1951 Nr 9 . Sesudah U.U.D. tahun
1945 berlaku kem bali maka diundangkan L.N. 1960 Nr 104, jang
m entjapai unifikasi dalam peraturan-peraturan hukum agraria. Uni-
fikasi jan g dilakukan oleh pembuat undang-undang ini masih m e
rupakan „partiele unifieatie” , karena saat untuk mengadakan ,,al-
gehele unifieatie” rupanja belum tiba. Rupanja kata-kata S u p o -
o jan g disinggung diatas tadi masih merupakan realitet. Terse
rah kepada p olitik kebudajaan dan politik sosial kita untuk mele-
njapkan keaneka-tvarnaan dalam „kebutuhan-kebutuhan sosial dan
hukum ” itu.
U.U.D. kita sekarang tidak mengenal suatu ketentuan seperti
pasal 1 0 2 tersebut.
Pada tahun 1961 dilantik Lembaga Pembinaan Hukum Nasio
nal (Keputusan Presiden Nr 194 tanggal 6 Mai 1961), jang bertugas:
5,a. melaksanakan pembinaan hukum nasional jang dikehendaki oleh
M PRS b. m enjiapkan rantjangan perundang-undangan nasional
untuk menggantikan peraturan-peraturan jang tak sesuai dengan
tatahukum nasional, c. menjelenggarakan segala sesuatu untuk
m enjusun kealuran dalam keadaan perundang-undangan 53. Pada
bulan Maret 1963 oleh lembaga ini diadakan suatu Seminar Hukum
Nasional *>4. Pada taliun 1965 lembaga ini digajabarukan.
tjatatan tentang suatu h uk u m pidana ja n g lebihi k o le k tif” , dalam „P a -
d ja d ja ra n ” , T, ] , hal. 2 3 -3 3 ) ; P ro f. M r I w a K u s u m a S u m a n t r i
„K ev olu sion isa si huku m In d on esia” , pidato inaugurasi B andu n g 1 9 5 8
(d e n g a n tindjauan kam i dalam „P a d ja d ja ra n ” , I, 1, hal. 4 2 -4 5 ) ; M r
K o T j av S i n g „K o d ifik a s i dan u nifikasi liukuni perdata dan
d agan g” , ku liah p em bu k aan tahun kuliah 1 9 5 8 -1 9 5 9 S em aran g; P r o f.
M r M a h a d i „B e b e ra p a aspek ketertiban haru di In d on esia” , p id a to
d ies M edan 2 0 N op em b cr 1 9 5 8 ; P r o f. M r O e y P e k H o n g ,,Pera
nan k o d ifik a si, ju rispru den si dan illm u pengetahuan dalam p e rk e m
ban g an h u k u m perdata” , pdato inaugaruasi Surabaja 1 9 5 9 ; Mr W i r -
j o n o P r o d j o d i k o r o „R a n tja n g a n U ndang-undang h uk u m per,-
d ja n d jia n ” dalam „H u k u m dan M asjarakat” , n om or K on g res I, hal. 1 05-
138.. Suatu pendapat ja n g m enerim a suatu k od ifik a si beran eka warna
m a u p u n suatu u n ifik a si, d im ilik i D j o j o d i g o e n o („Asas,-asas hu
k u m adat” , hal. 1 4 ) , dan pendapat S u p o m o m endapat k ritik dari
filiak M r K o T j ay Si ng („K o d ifik a s i dan u n ifik a si huku m
perdata dan d ag a n g ” , hal. 1 6 -1 7 ).
53 Mr S o e s a n t o T irto p ro d j o „L e m b a g a P em bin a H ukum
N asion al” dalam „H u k u m dan M asjarakat” , n o m o r K o n g g re s I, Ival.
2 2 1 -2 2 6 .
54 L ih ailah prasaran-prasaran : P ro f. Su j o n o H a d i n o t o, S.li.
„R e v o lu s i In d on esia dan m anifestasinja dalam h u k u m ” , W o n g s o -
Ti
Sedjak tahun 1930, oleh pemerintah Hindia-Belanda dilakukan
su a tu politik hukum adat jang baru 55 . Hukum adat diselidiki lebih
aktif dan kemungkinan hukum adat di kem udian liari perlu diko-
difikaei tidak lagi disangkal, asal sadja tidak setjara m e n t a h - m e n t a h
didasarkan atas sistim 'hukum Eropah. Djuga v a n V o l l e n b ° -
v e n pada waktu seteluh tahun 1927 tidak lagi begitu anti-kodifi-
kasi hukum adat seperti pada waktu sebelum tahun 1927.
Selama pembuat undang-undang kita belum dapat membuat
suatu „algehele unificatie” hukum di Indonesia, maka masih tetap
berlaku ajat 2 (jang memuat dasar aneka warna hukum ) dan nj at.
6 ( jang memuat dasar perundang-undangan bagi hakim bah.va ia
dapat mendjalankan hukum adat) dari pasal 131 I.S.
Par, 3: Hukum privat jang berlaku bagi
golongan hukum T i o n g h o a dan bagi g o l o n g a n
hukum Timur asing j a. n g l a i n 50.
n e g o r o, S.ih. „K e b u d a ja a n Indonesia dan realisasinja dalam hu
k u m ” , D r S u p r a p t o , S.h. „D a sa r-p o k o k , fu n g s i, s i f a l , -sifat an
bentuk huku m nasional” , P ro f. D r H a z a i r i n ,-S .h . „A za s-a za s ta a
h ukum nasional dalam bid an g h uk u m waris” , P rof., M .M . D J ° J ° r
d i g o e n o, S.h. „A zas-azas tata-hukum nasional dalam b id a n g h um
p erd jod oh a n ” , P ro f. Oemar Seno A d j i, S.h. Azas azas
tata-hukum nasional dalam bidan g h uk u m p id a n a ” .
55 Lihatlah dua karangan P ro f. M r B. t e r II a a r Bzn „E e n k eerp u n
■in de adatrecht p olitiek , T oek om stb esch ou w in gen ” d alam „K o lo n ia le
<* Studien” , 1928, 3, hal. 2 4 5 -2 7 1 , dan „H alverw ege de n ieu w e A datrecht-
politiek” dalam „K o lo n ia le Studien” , 1 9 3 9 , hal. 113 d jb .
56 P em batjaan ja n g terpenting m engenai h u k u m ja n g b erla k u b a gi ora n g
T im u r asing (terutam a orang T ion g h oa , b a ik m erek a ja n g warga-
negara Indonesia m aupun m ereka ja n g w arga-negara a s in g ),
dajaan dan kedudu kan sosial m ereka pada u m u m n ja : V a n V o 1 -
l e n h o v e n „A datrech t” , II h al. 3.-125; M r P.H . F r o jn b er r g « P e
nieuwe Chineezen wetgeving” , T.. 117, hal. 3 3 3 , k aran gan ini d ik u m
pulkan bersama-sama dengan karangan-karangan M r F r o m b e r g
jan g lain dalam „M r P.H . F rom b erg’ s verspreide g e sclirifte n ” (d ik u m
pu lkan oleh C h u n g H w a H w i, 1 9 2 6 ) ; N e d e r b u r g h dalam
„W e t en Adat” , 1 8 9 8 rl8 9 9 , dan T . 77 dan 8 0 ; M r M .H . L e m „ I n
terp reta re van S., 1 9 17-129 jo . S. 1 9 2 4 -5 5 7 ” dalam T . 1 2 2 , hal. 5 4 0 ;
H a n T i a u w T i o n g „D e C hineezen o p Java en het N ederl. on -
derdaanscliap” dalam „D e Indische Gids” , 1 9 1 9 ; M r C .T. B c r 1 1 i n S
„G elijk stellin g van Chineezen m et E u rop ean en ” dalam „ K o l o n i a l e
Studien” , 1 9 2 7 ; K o l l e w i j n dalam T . 1 3 2 , hal., 3 0 9 ( „ D e m o -
derne chínese k od ifik a tie” ) , T . 134, hal. 107 („ H e t m o d e m e C h ín e s e
fam ilierecht” ) , T. 1 35, hal. 9 („N ieu w e arresten van het H ooggerechts,-
h o f over Chinees faiViilierecht” ) , T . 1 41, hal. 3 4 3 (tjatatan pada
M r J.J. d e F l i n e s „C aveant cónsules ! H et o p Chincezen-Vreen\-
delingen toetepassen recht” ) ; t e r H a a r „V e rz a m e ld e G e s c l i r i f t e n ’ ,
I, hal. 4 5 0 , 452 d jb ., dan II, hal. 9 , 15, 2 2 , 1 3 3 ; P .J. V e t h „B or,-
n e o ’ s W esterafdeelin g” , I ( 1 8 5 4 ) , hal., 2 9 7 d jb .; E .A . Z o r a b
pu bliek rech telijk e toestand der Vreiemde O osterlingen in O ost In d ie ,
dis. L eiden 1 8 9 0 ; J .W . C or des „ D e privaatrech telijke toestand
der V reem d e O osterlingen o p Java en M adoera” , dis. L eid en 1 8 8 7 ;
176
Pada tahun 1855 bagian terbesar dari hukum privat jang ber
laku bagi golongan hukum Tim ur asing diuba'h. Dari apa jang di-
bitjarakan dalam paragrap 2 diatas, kita telah tahu bahwa hukum
jang berlaku bagi golongan hukum tersebut pada azaenja hukum
adat. Hal ini tertjantum dalam pasal 11 A.B.. Oleh karena pada
abad ke-19 pergaulan dagang (liandelsverkeer) antara golongan hu
kum T im ur asing dan golongan hukum (orang) Belanda makin lama
m akin erat, maka pemerintah Hindia-Belanda menganggap perlu
bagi golongan hukum Tim ur asing didjadikan berlaku pula hukum
kekajaan (Vermögensrecht) Eropali 57. Dari apa jang dibitjarakan
diatas tadi telah kita tahu bahwa pada tahun 1855 dibuat pera
turan jang diundangkan (afgekondigd) dalam L.N.H.B. 1855 Nr 79.
Namanja „Bepalingen houdende Toepasselijkverklaring van de
Europese W etgeving op de met de Indonesische Gelijkgestelde Be-
177
volking {Yreemde Oosterlingen)” . Berdasarkan peraturan tersebut
.maka bagi golongan hukum Timur asing didjadikan herlaku se
mua peraturan hukum perdata dan hukum dagang Eropah, terke-
tjuali hukum keluarga dan hukum jang mengatur warisan karena
ada kematian (erfrecht bij versterf). Ordonansi tersebut hanja ber
laku di pulau Djawa dan di pulau Madura.
Pada tahun 1919 golongan hukum Timur asing dibagi dalam :
58 Pada tahun 1927 di sam ping pasal-pasal 1601, 1602 dan 1 603 redaksi
lam a K.U.H . Perdata ditetapkan pasal-pasal 1601, 1 602 dan 160 3
redaksi baru K.U.H. Perdata. Pasal-pasal baru hanja b erlak u b a gi
g olon gan hukum Eropah sadja. Bagi golon gan huku m b u k an-E ropali
tetap berlaku pasal-pasal lama. Lihailah Bab X III bu ku ini.
17«
T im u r asing lain jang ada tli pulau-pulau Djawa dan Madura, di-
djadikan berlaku djuga bagi golongan liukum Tionghoa, dan golo
ngan hukum T im ur asing lain jang ada di pulau-pulau luar Djawa
dan Madura. Atau dengan kala lain : peraturan dari taliun 1855
golongan hukum Tim ur asing lain) dan peraturan dari taliun 1917
(1919) (golongan hukum Tionghoa) berlaku djuga diluar Djawa
dan Madura sedjak taliun 1925. Hal ini karena L.N.H.B. 1924 Nr
556 dan L.N.H.B. 1924 N r 557 5S). Perlu ditjatat disini bahwa orang
Tionghoa di Kalimantan Barat tidak menerima azas monogami se
bagai dasar perkawinan mereka. Mengenai hal ini peraturan dari
tahun 1917 (1919) di Kalimantan Barat mendjadi suatu „huruf
m ati” I !) dalam praktek.
179
B A B IV
MENENTUKAN MANA JAPTG M ERU PAKAN
HUKUM MANA JANG TIDAK
(RECHTSVINDING)i.
P a r. 1: P e n a f s i r a n (interpretasi) peraturan
perundang-undangan sebagai kewadj ib an-
hukum dari h a k i m.
Dari apa jang dikemukakan dalam Bab II, telah ajelas bahwa
faktor-faktor (determinanten) form il jang m em bentuk hukum ialah
perundang-undangan (wetgeving), administrasi (tatausaha) negara,
peradilan (rechtspraak), tradisi (kebiasaan) dan ilmu (w elen scliap).
Sebagai faktor-faktor materiil jang membentuk hukum dapat dise
but perasaan-hukum seseorang dan pendapat umum (publieke op i
nie). Dalam bab ini chusus kami bitjarakan m engadili (rechtspraak)
sebagai faktor (form il) jang membentuk hukum (form ele determ i
nant van de rechtsvorming).
1 Bahan-bahan untuk bal) ini kami ambil terutama (lari buku S <•b o 1•-
ten „Algemeen Dcel” , bagian I, dan disertasi M r J-M. Pola
„Tlieorie cn praktijk der rechtsviiuling” , Leiden 1953. Penting djuga
dibatja v a n K a n, hal. 172 djb. : het interpretatie vraagstuk; v a n
Apeldoorn, hal. 322 d jli.; B e 1 I e f r o i d, bal» IV ; I' e ‘
m a i r e, hal. 74 d jb .; Prof. Mr W. Z e v e n b e r g c n „F orm eele
encvclopaedie der rechtswetensehap” , 1925, hal. 294 d jb., dan hal.
3 0 5 : Mr J.P. F o c k e m a A n d r a e „D e m ethode van int«*rpretatie
van het B .'W. van 1838 tot heden” dalam „G eden kbock B.W . 1838-
1938” , hal. 65 djb., dan „D e woordcn der wet. Bijdrage tot de kennis
van de wetstoepassing in Nederland” , 1953; P rof. Mr H .R. H o e t i n k
„Rechtsregel en reehtsbeslissing” dalam T. 137, hal. 589, dan „H et
slandpunt van de reohter” ¿lalam T. 141, hal. 4 2 1 ; P rof. Mr R»
K r a n e n b u r g „D e grondslagen der rechtswetenschap” , 1951, hal.
32,-43; Pcof. Mr M.H. B r e g s t e i n „D e betrekkelijke waarde der
wet” , 1952; B a d b r u c h, hal. 150-175 dan 241,-259; Mr M a h a d i
„Beberapa sendi hukum di Indonesia” , I, 1954, hal. 2 65 -3 0 9 ;
Mr W i r j o n o P r o d j o d i k o r o „Hakim dan Masjarakat” dalam
„H ukum ” , 1955, 3, hal. 72 djb., dan „H akim dan H ukum ” dalam
„B uku Peringatan Dies Natalis ke-VII Senaat Mahasiswa Fak. Hukum
dan Pengetahuan Masj. Univ. Indon.” , 1957, hal. 22, 7 4-75 ; J. E s s e r
„Grundsatz und Norm in der richterliehen Fortbildung des Privat-
reclits” , 1956; Prof., Mr M.M. D j o j o d i g o e n o „Reorientasi
hukum dan hukum adat” , prasaran dalam Konggres T M .I.P.I. di
Malang bulan Agustus 1958; Prof. Mr L i e O e n H o e k „Juris-
prudensi sebagai sumber hukum” , pidato inaugurasi Djakarla 1 95 9;
P rof. Mr O e v P ek Hong „Peranan kodifikasi, iurisprudensi
dan ilmu pengetahuan dalam perkembangan hukum perdata” , pidato
inaugurasi Surabaja 1959; S.M. S j a h „Mahkamah Agung dan peng
halusan hukum 9 dalam ,,Hukum dan Masjarakat” , 1960, 2, bal. 80.-86;
Mr M o h . D a l j o n o H a r d j o s o e d i r o „H ubungan baik antara
hakim, djaksa dan pengatjara” dalam „H ukum dan Masjarakat” , n o
m or Konggres I, hal. 228-240.
180
Bahwasanja perkerdjaan hakim m endjadi suatu faktor mem
bentuk liukuin, itulah diakui resmi oleh undang-undang sendiri.
Berdasarkan pasal 22 A.B. — jang mengatakan : bilamana seorang
hakim m enolak menjelesaikan suatu perkara dengan alasan peratu
ran perundang-undangan jang bersangkutan tidak menjebutnja, ti
dak djelas atau tidak lengkap, maka hakim itu dapat dituntut ka
rena penolakan m engadili — hakim terpaksa turut-serta menen
tukan mana jang merupakan hukum mana jang tidak. Bilamana
undang-undang tidak m enjebut suatu perkara, maka liakim harus
bertindak atas inisiatif sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pem
bentuk hukum dalam hal undang undang diam sadja. Rasio ke
tentuan jang terdapat dalam pasal 22 A.B. itu : masjarakat tidak
tertuluifg apabila ditinggalkan dengab perselisihan-perselisihan jang
tidak terselesai. Tugas hakim ialah menjelesaikan setiap perkara,
djugalah dalam hal undang-undang tinggal diam. Hakim wadjib
m em buat penjelesaian jang diingini itu. 'Pendapat bahwa hakim
tidak lain dari pada „la bouche qui prononce les paroles de la loi
telah tidak berlaku lagi.
Bahwasanja hakim m endjadi suatu faktor membentuk hukum
itulah diakui djuga oleh ilmu pada umumnja. Misalnja, menurut
v a n A p e 1 d o o r n 2, maka hakim harus a. menjesuaikan (dipa
kai kata : waarderen) undang-undang dengan hal-hal konkrit jang
lerdjadi di masjarakat dan, selandjutnja, dibawa ke mukanja, b.
m enam bah ( aanvullen)3 undang-undang apabila perlu. Hakim ha
rus m enjesuaikan undang-undang dengan hal-hal konkrit 4, karena
undang-undang tidak dapat meliputi segala kedjadian jang timbul
dimasjarakat. Bukankah, pembuat undang-undang hanja menetap^
kan suatu petundjuk-hidup umum sadja ? Pertimbangan mengenai^
hal-hal konkrit, jaitu menjesuaikan undang-undang dengan hal ha
konkrit, diserahkan kepada hakim. Bahkan, keputusan hakim dapat
memuat suatu hukum dalam suasana „werkelijkheid jang menjim
pang dari hukum dalam suasana „positiviteit” . Hakim menai a i
undang-undang, karena pembuat undang-undang senantiasa
lakang pada k e d j a d i a n - k e d j a d i a n (baru) jang timbul di masjarakat.
Bukankah, undang-undang itu sebetulnja suatu „momentopname
sadja, jaitu suatu „m o m e n to p n a m e ” dari keadaan di waktu pem
2 Hal. 329. ., , , , , . , . , •
3 M engenai penambahan undang-undang pidana oleh hakim (misalnja,
dalam sendi analogi) masih ada kesangsian besar dalam kalangan sar-
djana hukum pidana (lihatlah Bab IX , par., 4 .
4 V a n A p e l d o o r n , hal. 4.
181
buatannja. Sebab dua keujataan tadi maka dapat dikatakan bahwa
bakim pun turut-serta menentukan mana jang m erupakan hukum
mana jang tidak. Dengan kala lain: hakim m endjalankan „rechts-
vinding” Ipengetemukan hukum) 5. S c h o l t e n mengatakan bah
wa lii'endjalanlian undang-undang itu selalu rechtsvinding h.
Tetap timbul pertanjaan : ajjakah hakim tidak duduk atas
kursi legislatif, apabila ia dalam menetapkan kepulusannja m enen
tukan mana jang merupakan hukum mana jang tidak ? Apakah
hakim tidak melanggar pasal 21 A.B. jang mengatakan bahwa hakim
tidak dapat memberi keputnsan jang akan berlaku sebagai pera
turan umum ? 7. Perbedaannja dengan pekerdjaan badan legislatif
ialah hakim tidak membuat peraturan umum jang diundangkan da
lam Lembaran Negara. Melainkan, keputusan hakim hanja berlaku
terhadap kedua belah fihuk sadja. Hal ini diperintahkan oleh pasal
1917 ajat 1 K.U.H. Perdata jang mengatakan : kekuasaan keputusan
hakim hanja berlaku tentang hal-hal jang diputuskan dalam ke-
putusan itu („H et gezag van een gereglelijk gewijsde sterkt zich
niet verder uit dan tot het onderwerp van het vonnis” ). Hakim
membuat peraturan jang hanja mengikat kedua belah fihak jang
m endjadi peserta perselisihan, sedangkan pem buat undang-undang
membuat peraturan umum.
Akan tetapi walaupun demikian lialnja, masih djuga jurispru-
densi m endjadi sumber hukum form il. Hal itu tidak oleh karena
sebab sebab- jang terletak dalam undang-undang sendiri, tetapi oleh
karena sebab-sebab jang terletak diluar undang-iindang. Sebab-sebab
ini telah kami bitjarakan dalam Bab II, par. 3, D.
Selain dari itu pembuat undang-undang sendiri dengan sengadja
memakai istilah jang dapat diberi ~bermatjam,'matjam tafsiran.
Hal ini berarti pembuat undang-undang dengan sengadja m em beri
kesempatan kepada hakim untuk menjesuaikan undang-undang
dengan hal-hal konkrit. Dengan kata lain : hakim dengan
sengadja diberi kesempatan menambah undang-undang. Istilah se-
perti „kedjudjuran hati” (te goeder trouw) dan ».berakal buruk”
(te kwader trouw ), „bertentangan dengan kebiasaan baik dan k e
susilaan , „bertentangan dengan kepentingan um um ” , dsb. m endjadi
182
istilah jang dapat ditafsirkan setjara jang berbeda-heda. Maka dari
itu istilah tersebut diberi nama istilah karet (caoutchouctermen).
jailu istilah jang arti dan ludjuannja dapat ditarik pandjang-pendek.
D jadi, tugas penting dari hakim ialah menjesuaikan iindang-
\uidang dengan hal-hal konkrit di masjarakat. Apabila undang-
undang tidak dapat didjalankannja memirut-kata, maka harus ia
menafsirkannja. Apabila undang-undang tidak djelas, maka ivadjib-
lah hakim menafsirkannja sehingga dapat membuat suatu keputu-
san jang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum,
jailu m eiiljapai kapasiian-hukr.m. Orang dapat mengatakan bahwa
penaisiran undang-undang adalah kewadpban- hukum dari hakim.
Tetapi menafsirkan, menambah, undang-undang itu tidak boleh
diadakan setjara sewenang-wenang. Ada beberapa pembatasan me
ngenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu.
L o g e m a 11 n s mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada ke
hendak pembuat undang-undang, jaitu kehendak pembuat undang-
undang seperti jang dapat diketahui terletak didalam peraturan-
peraturan perundang-undangan jang bersangkutan. Dalam hal ke
hendak itu tidak dapat dibatja dengan begitu sadja dari kata-kata
undang-undang, maka hakim harus mentjarinja dalam sedjarah
kata-kata tersebut, dalam sistim undang-undang, atau dalam arti
kata-kata itu seperti jang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada
waktu sekarang. Hakim wadjib mentjari kehendak pembuat undang-
undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran jang tidak sesuai
dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran jang dibatasi
oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak b o
leh m enafsirkan undang-undang setjara sewenang-wenang. „ ............
............ men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeu-
rig uitleggen, docli alleen de juiste uitleg mag gelden ’ (orang
tidak boleh menafsirkan setjara sewenang wenang kaidah jang me
ngikat, hanja penafsiran jang sesuai dengan maksud pembuat un
dang-undang m endjadi tafsiran jang tepat). ,.De plicht om aan de-
kennelijke bedoeling te gehoorzamen geldt voor burger, administratie
en rechter gelijkelijk” (kewadjiban tunduk pada maksud pembuat
undang-undang, jang logis dapat disimpulkan, berlaku bagi baik
penduduk, administrasi maupun hakim ). Apakah jang mendjadi
„m aksud” pembuat undang-undang ? Soal ini m endjadi penting apa
bila maksud itu oleh pembuat undang-undang tidak dinjatakan der
183
ngan terang ! Jang m endjadi „m aksud” pem buat undang-undang
ialah segala sesuatu jang berdasarkan penafsiran jang baik, apat
diterima sebagai sesuatu jang logis dapat disim pulkan m endjadi
kehendak pembuat undang-undang. L o g e m a n n mengatakan
„kenn elijke bedoeiing” dan arti „k en n elijk ” itu apa jang (logis)
dapat disimpulkan.
Oleh P o 1 a k 9 dikem ukakan bahwa tjara m enafsirkan di
tentukan oleh a. materi (rnaterie) peraturan-peraturan perundang-
undangan jang bersangkutan (m isalnja, peraturan-peraturan per-
undang-undangan mengenai d ju a l-b eli), b. tem pat dimana perkara
dilahirkan* dan c. djamunnja.
Apabila kita mengingat kata-kata t e r H a a r (lihatlah par. 5,
kutipan jang kami ambil dari buku t e-r H a a r ) , maka ada pem
batasan sebagai berikut: dalam menentukan mana jang merupakan
hukum mana jang tidak hakim senantiasa harus berhubungan de
ngan masjarakat. Ia harus memberi keputusan jang sesuai dengan
keadaan sosial jang sungguh-sungguh (sociale w erk elijk h eid ).
Dalam menindjau pekerdjaan hakim, jaitu m enentukan mana
jang merupakan hukum mana jang tidak, maka haruslah kita insjaf
akan suatu persamaan jang tertentu antara pekerdjaan hakim dan
pekerdjaan pembuat undang-undang. Bukankah, perbuatan m enen
tukan mana jang merupakan hukum mana jang tidak adalah suatu
perbuatan politik-hukum (daad van rechtspolitiek), jang didjalan-
kan oleh baik pembuat undang-undang, hakim, administrasi ne
gara maupun kadang-kadang djuga ilmu ?
Hal ini mudah dimengerti apabila kita insjaf al^an bal hukum
itu — di samping kaidah — beraspek djuga alat, jaitu alat untuk
mentjapai kepastian-hukum (lihatlah Bab I, par. 8 : tudjuan dari
h u k u m ).
Dalam suatu kitab undang-undang (kodifikasi) jang dibuat pa
da permulaan abad ke-20 di salah satu negeri di Eropah Barat, pe
nafsiran undang-undang itu disebut dengan tegas. Term asjhur m en
djadi pasal 1 „Schweizerisches Zivilgesetzbuch” tahun 1908 :
,Das Gesetz findet auf alle Rechtsfrage Anwendung, für die es
nach Wortlaut oder Auslegung eine Bestimmung enthält.
184
Kann dem Gesetze keine V orschrift entnommen werden, so soll
der R ich ter nach Gewohnheitsrecht und, wo auch ein solches fehlt,
nach der R egel entscheide», die er als Gesetzgeber aufstellen würde.
Er folg t dabei bewährter Lehre und Ueberlieferang”
V O
10.
M enurut ketentuan ini, maka kadang-kadang hakim harus me-
njelesaikan perkara menurut peraturan „d ie er als Gesetzgeber
aufstellen iviircle” , jaitu menurut peraturan jang dibuatnja da
lam hal a rtdain ja ia pem buat undang-undang. Ketentuan ini suatu
ketentuan jang m odern dan m enundjukkan kepada kita bahwa pa
da waktu pem buatannja anggapan lagism'e tidak lagi diterima.
Agar dapat m entjapai kehendak pembuat undang-undang serta
dapat m endjalankan undang-undang sesuai dengan kenjataan sosial,
niaka hakim menggunakan beberapa tjara penafsiran (interpretatie-
m eth od en ).
P a r. 2 : T j a r a - t j a r a p e n a f s i r a n u n d a n g - u n d a n g .
135
Dalam hal ini hakim w adjib m entjari arti kata itu ja n g lazim dipa
kai dalam pertjakapan sehari-hari. Maka digunakannja kamus ba
hasa atau dimintanja keterangan ahli bahasa. T jon toh n ja : sesuatu
peraturan perundang-undangan melarang orang m em berhentikan
kendaraannja di sesuatu tempat. Peraturan tersebut tidak menga
takan apa jang dimaksud dengan kala „kendaraan” itu. Orang boleh
bertanja : apakah jang dimaksud dengan kala „kendaraan itu ?
Hanja kendaraan jang berm esinkah? Masuk d jugakah sepeda da.i
betja kedalamnja ?
Tetapi sering keterangan kamus bahasa atau keterangan ahli
bahasa belum tjukup. Hakim harus pula m em peladjari kala jang
bersangkutan dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannja
dengan peraturan-peraturan lain. Pada hakekatnja penafsiran un
dang-undang menurut arti kata hanjalah tjara penafsiran jang per
tama sadja dan penafsiran menurut arti kata itu dengan sendirinja
akan m em bim bing hakim ke arah tjara-tjara penafsiran lain 1-t.
Oleh karena bahasa merupakan alat satu-satunja jang dipakai pem
buat undang-undang untuk menjatakan kehendaknja, maka jang
mula-mula akan dihadapi hakim senantiasalah penafsiran menurut
arti kata. Apakah arti kata itu ? Setiap kata m em punjai sedjarahnja.
Pada waktu undang-undang ditentukan, maka pem buat undang-
undang, jang m endjadi pemakai jang paling pertama kata itu. mem
punjai suatu maksud tertentu jang sesuai dengan aliran-aliran di
masjarakat pada waktu itu dan maksud itulah jang harus ditjari
hakim. Di samping sedjarahnja, maka sesuatu kata m em punjai
kedudukannja dalam sistim hukum. Sistim itulah jang harus ditjari
hakim.
Ahirnja. sebuah tjontoh dari jurisprudensi Belanda 15. Menu
rut pasal 1140 K.U.H. Perdata m a k a orang jang m e n j e w a k a n rumah
186
clan tidak m enerim a uang sewa, m em punjai hak pendahuluan (voor-
recht) untuk m en d ju a l barang jang gunanja agar rumah itu dapat
didiam i oran g (stofferin g) „dengan tak memperdulikan apakah ba
rang itu k ep u n ja an penjew a atau bukan” . Dari hasil pendjualan
dajpatlali ig. pungut uang sewa. Berdasarkan kata-kata „dengan tak
m em perdulikan ......................... dst.” , H oge Raad di Negeri Belanda
beranggapan bahw a jang m enjewakan dapat djuga mendjalankan
hak pendahuluannja, apabila di waktu perdjandjian sewa diadakan
ia telah m engetahui barang-barang jang dimasukkan kedalam rumah
itu bukan k epim jaan penjewa.
187
dan kemudian (berdasarkan azas konkordansi) diteruskan dalam
K.U.H. Perdata Indonesia (lihatlah Bab X III mengenai hukum per
data). Apabila p.s.p.u. telah menundjukkan kepada hakim bahwa
pembuat peraturan perundang-undangan itu mengambil azas-azas
peraturan jaitu ketika peraturan itu ditetapkannja — dari sualu
sislim hukum jang dahulu pernah berlaku, maka ditjarinja arti dan
tudjuan azas-azas itu didalam sistim hukum lain tersebut. D jadi,
bo^eh kami katakan bahwa hakim terlebih dahulu melakukan p.s.
p.u., selandjutnja jaitu setelah penafsiran tersebut m enundjukkan
kepadanja bahwa pembuat peraturan jang bersangkutan m engam bil
azas-azasnja dari suatu sistim hukum lain — diselidikinja arti dan
tudjuan azas-azas itu dalam sistim hukum lain tersebut. Dengan kata
lain : setelah p.s.p.u maka hakim melakukan p.s.h. Oleh hakim
diselidiki sedjarah peraturan (azas-azas) jang bersangkutan diwaktu
sebelum penetapannja dalam undang-undang jang sekarang berlaku.
Dalam hal demikian hakim mempeladjari sedjarah hukum. Apa-
*iila hakim hendak mengetahui arti beberapa pasal K.U.H. Perdata
tertentu sedalam-dalamnja, maka kadang-kadang harus ia m em pe
ladjari hukum Peranljis kuno dan hukum Belanda kuno jang ber
laku di daerah kedua negeri itu pada waktu sebelum Code Civil
Perantjis dibuat (pada tanggal 21 Maret 1804). Bukankah, hukum
itu tak ada putusnja, melainkan, hukum bersifat kontinu. Djuga
kodifikasi hukum tidak dapat mengubah hukum seluruhnja. M enge
nai bagian besar hukum terkodifikasi dapat dikatakan bahwa per
buatan mengkodifikasi jang bersangkutan hanja berarti pem berian
bentuk baru.
Menurut pendapat S c h o 1 1 e n 17, jang m endjadi penting bagi
hakim hanja p.s.u.p. sadja. Dikatakannja bahwa untuk menentukan
apakah maksud pembuat undang-undang, maka penjelidikan hukum
jang berlaku pada waktu sebelum peraturan jang bersangkutan
dibuat oleh pembuatnja, tidak penting. Walaupun pem buat sesuatu
peraturan meneruskan dalam peraturan itu suatu rumus (form ule)
jang dahulu dibuat oleh seorang sardjana di waktu jang sudah, m a
sih djuga hal ini tidak berarti bahwa sudah tentu rumus itu diarti-
kannja sama dengan arti jang diberi kepada rumus tersebut oleh
sardjana dari waktu jang sudah itu. Bagi hakim maka artinja pe
nafsiran historis itu berdasarkan keperluan praktek, dan p.s.h. ada
138
aitinja karena stu>iu i- , i. ,
atUran d i - ‘ Pc m »dja u a n tentang pekerdjaan pembuat per-
belaka Pad &UaUl Slulut lain, ja ilu dari suatu sudut jaug historis
m enaetahu' ' l! IUUinuj a j » « g mend.jadi penting bagi liakim ialah
ian<* h vsut p ern b u u t undang-undang pada waktu peraturan
« » 4 , « ” '; ^ '“ " " M ,k n dari i.u S c h o l . e n ber-
Perbedaan > a i" J' lm lu k praktek (h a k im ), tidak perlu diadilkan
sirin , 11 1 Pena^siian menurut sedjarah hukum dan penaf-
1 m enurut s e d ia n h ^ i ,
iiu JJUn Penetapan peraturan perundang-undangan
189
m em batja jurisprudensi, maka djaranglah kita djum pai suatu ke-
putusan hakim jang didasarkan atas sedjarah hukum peraturan
perundang-undangan jang dipakai, misalnja, diselidiki sam pai ja
man V.O.C. atau djam an keradjaan Rom awi.
P ]a k . l>al- 2 8 d jb .
20 Scholten, h a l. 5 9 d jb ., d a n r ® h ' ?ges le r e o t y p e e r d e c o o r d i n a -
21 L og em a n n , h a l. 4 , m e m a ai
tieschema” . „ s t e m a t i s e r in g v a n a r fik e le n ” d a la m
22 Kita tidak boleh melihat suatu „ J' se b a g a i „system atisering v a n
su a tu k it a b u n d a n g -u n d a n g (^ e t p j, 1 a k , h a l., 2 9 .
-«...u»” It.ila li «iitak id e n tik ! L ih a t *
190
dan ja n g d ib e r i nam a h u k u m adat Indonesia. Antara lapangan hu
kum E ro p a h dan lapangan huk um adat Indonesia adalah perbeda
an besar, ja itu p erb ed a a n sifat ja n g besar. Tetapi ada djuga per-
samaannja.
L em baga hukum berdasarkan azas-azas hukum (rechtsbe-
ginselen) tertentu. Azas-azas hukum inilali jang mengkwalifikasi
(k w a lifice re n ) b eb era p a peraturan-peraturan hukum sehingga pera-
Utran-peraturan itu bersam a-sama m erupakan satu lembaga hukum.
isalnja, peraturan-peraturan hukum (disini pasal-pasal undang-
«n d a n g ) ja n ? bersam a-sam a m engatur perkawinan Eropah itulah
berdasarkan suatu azas huk um p e n tin g jakni azas monogami. Me-
» « r u t pasal 27 K .U .H . Perdata seorang laki-laki hanja dapat kawin
engan satu ora n g perem pu an sa d ja , sebaliknja, seorang perempuan
Jan ja dapat k aw in dengan satu orang laki-lak i sadja. Azas ini men
j a d i dasar b e b e r a p a pasal lain, jaitu 34, 60, 64, 86 K.U.H. Perdata
,la“ 279 K .U .H . P idana, jang bersam a-sam a merupakan lembaga
hnkiun perk aw in an E ropah. B e b era p a azas hukum lain : pengasi
h a n (v erv reem d in g ) tidak dapat memutuskan perutangan
Uu azas ja n g m e n d ja d i salah satu dasar hukum perutangan ( '
Jenissenrecht) dan terdapat dalam K.U.H. Perdata sebagai
kaidah h u k u m ja n g tertjantum dalam pasal 1576(pembelian
dapat m em utuskan perutangan (s e w a )); tak ada
Hada kesalahan, ja itu azas jang m e n d ja d i salah satu as
Pidana.
O | 1 T llâ lc â /7.
Seperti h a ln ja dengan k a i d a h - k a i d a h hu 'um> ^«rbedaan
1Ukum itu peUmdjuk-hidup petundjuk-hidup. Tetapi aci al ah
a ^ s antara k aidah hukum dan azas hukum- K al“ a oeianggaran
p e tu n d ju k -h id u p ja n s d ib e r i sa n k si (p e m e r in ta i t \Aa k d ib e r i
'« ■ » » g k a » azas h n k » m ada.ah p e mndj u k . h i d u p , f „ ,
sanks! atas pelanggaran. Kaidah hukum a a *sanksi. Tetapi
«lu le rin g ) azas hukum , jaitu perumusan jang 1 mugan aza9 hu-
justru karena kaidah hukum m en d ja d i suatu pe hukum
kum ja n g m en d ja d i dasar kaidah hukum azas hukum
tersebut sering le b ih sempit (lebih kaku) ari
Jang m en d ja d i dasam ja. itu 23.
23 S c h o l t c n „R e c h ts b e g in s e le n ” « t a la m „ V e r z a :m e ld u it d r u k -
P a u l S c h o l t c n ’ ’ , I , 1 9 4 9 , h a l. 4 0 3 : toT g ep n st. M e t h et
k e n : d e r e g e l w o r d t d ir e c t, h et b e g m s e D e a u t o r it e it v a n d e n
b o g i n s o l i s n o o i t d e c o n c r e t e u i t s p r a a k S e S ® 'e l ** d i e h e t v o o r .-
r e ch ts re g e l stcu n t o p h et g e za g van b e p a a e per /^ c g in s e l kan
s c h r i f i a ïs w e t v e r k o n d ig e n , d e a u to r it e it v a n
191
Azas-azas hukum ini merupakan sislim materiil dari hukum
(het materiele systeem van het recht) (sistim = suatu „sanien-
han ^en de eenheid” mengenai sesuatu) 24. Kadang-kadang azas-azas
hukum itu disebut dengan djelas oleh undang-undang. Dalam hal
dem ik ian kaidah hukum dan azas hukum m cudjadi identik (sama).
Perum usan azas hukum i dalam kaidah hukum) meliputi azas hu
kum selu ruh n ja, atau hampir meliputinja seluruhnja. M.isalnja,
pasal 27 K-U-H. Perdata dan pasal 279 K.U.H. Pidana. Tetapi lebih
sering azas-azas hukum itu tidak disebut dengan djelas (misalnja,
pasal 1576 K.U.H. Perdata). Dalam hal demikian identitet kaidah
hukum maupun azas hukum -tidak kelihatan. Perumusan azas hu
kum tidak meliputinja seluruhnja, kadang-kadang sama sekali tidak
meliputinja. Akibat sering pembuat undang-undang tidak dapat me-
njebut azas-azas hukum setjara djelas, jaitu kaidah hukum dan azas
hukum tidak dapat diidentifikasi. Sering identifikasi azas hukum
dalam kaidah hukum itu tidak mungkin, oleh karena identifikasi
suat-u azas hukum mungkin dapat menimbulkan pertentangan dengan
identifikasi suatu azas hukum lain. Seperti adanja inkongruensi
(„incongruentie” , tidak sama) dalam inti berbagai perbuatan ma
nusia, adanja djuga inkongruensi antara masing-masing azas-azas
hukum !
Apabila sistim (materiil) dari hukum tidak dinjatakan dengan .
djelas dalam undang-undang, maka hakim harus mentjari sistim
itu. Hakim harus mentjari sistim hukum jang dikehendaki oleh
192
p em b u a t undang-undang. Sistim liukum itu dapat diketahui ha
k im berdasarkan perbandingan, antara beberapa ketentuan perun
dang-undangan jan g diduga mengandung persamaan dan berdasarkan
penafsiran m en uru t sedjarah penetapan undang-undang (p.s.p.u.).
P.s.p.u. ini perlu dilakukan supaja dapat m engetahui sistim
apa jan g d ik eh en d a k i pem buat undang-undang 25. Persamaan jang
d ik eh en d ak i pem buat undang-undang itulah azas hukum jang men-
d ja d i dasar peraturan perundang-undangan jang bersangkutan. M i-
salnja, berdasarkan perbandingan antara pasal-pasal 27, 34, 60, 64,
86 K .U .H . Perdata dan 279 K.U.H. Pidana dan berdasarkan penje-
lid ik a n sedjarah penetapan (kelahiran) pasal-pasal tersebut, maka
dapatlah diketahui hakim sistim m ateriil hukum perkawinan E ropah
ja n g dik eh en d ak i pem buat K.U.H. Perdata. Persamaan jang terdapat
dalam pasal-pasal tersebut dan jang rupanja djuga dikehendaki pem
bu at K .U .H . Perdata adalah azas m ateriil jang m endjadi dasar per
kaw inan E ropah. Dasar perkawinan E ropah adalah azas m onogami.
O leh karena sistim hukum diketahui, maka hakim dapat m em beri
kepada sesuatu peraturan perundang-undangan tempatnja dalam
sistim hu k um itu.
Scliolten mengatakan bahwa sistim hukum — form il
m erupakan kesatuan : didalam sistim hukum tidak ada peraturan
ja n g bertentangan dengan peraturan-peraturan lain dari sistim itu 26.
Bukankah, setiap sistim merupakan suatu „samenliangende een-
h e id ” ? D itin d ja u dari sudut ..positieve samenhang” , jang dianggap
ada ( ! ) , m aka dapat dikatakan bahwa hukum ( positif) itu m eru
pakan suatu sistim form il (het form ele systeem van het recht).
193
Sistim form il dari hukum m endjadi alat pem bantu (hulpm iddel)
bagi penafsiran sistimatis.
Sebuah tjontoh kelasik 27 : pasal 571 IC.U.H. Perdata menga-
takan bahwa didalam hak kepunjaan (eigendom ) tanah termasuk
djuga segala sesuatu jang ada diatas serta seeala sesuatu jang ada
didalam tanah itu. Menurut ketentuan ini maka jang m em punjai
tanah mempunjai djuga segala sesuatu jang ada diatas dan jang
ada didalam tanah itu. Lihatlah djuga pasal 601 IC.U.H. Perdata.
T etapi- menurut pasal 711 K.U.H. Perdata (m engenai hak opstal)
maka jang diberi hak opstal itu dapat m em punjai bangunan, hasil
usahanja jang lain atau tanaman» jang berdiri diatas tanah orang
lain. Melihat kedua ketentuan ini maka orang dapat bertanja : apa
kah pasal 711 K.U.H. Perdata tidak mengandung suatu pertentangan
dengan azas hukum jang tertjantum dalam pasal-pasal 5 /1 dan 601
K.U.H. Perdata ? D jika kami menafsirkan pasal 711 K.U.H. Perdata
menurut sistim jang m endjadi dasar hukum benda, maka didalam
pasal 711 K.U.H. Perdata hanja pada rupanja („ogenschijnlijk , se
olah-olah) ada pertentangan dengan azas hukum jang tertjantum
didalam pasal-pasal 571 dan 601 K.U.H. Perdata itu. Menurut* sistim
hukum benda — jang form il tidak mengenal pertentangan intern
— maka pasal 711 K.U.H. Perdata hanja merupakan suatu p erke-
tjualian sadja terhadap azas hukum jang tertjantum dalam pasal-
pasal 571 dan 601 K.U.H. Perdata. Dengan kata lain : berdasarkan
memakai hak opstal maka seorang, jang tidak m em punjai tanah,
dapat mendirikan sebuah bangunan diatas tanah kepunjaan orang
lain; dengan memakai hak opstal maka seorang, jang tidak m em
punjai tanah, dapat mengadakan suatu perketjualian terhadap apa
jang tertjantum dalam pasal-pasal 571 dan 601 K.U.H. Perdata. L i
hatlah djuga pasal 588 K.U.H. Perdata. Perlu ditjatat disini pula
bahwa menurut jurispradensi Indonesia dahulu, maka pasal-pasal
571 dan 601 K.U.H. Perdata bukan hukum jang memaksa (ingatlah
akan „Bataviasche Grondhuur” dahulu) :
Bagaimanakah apabila ternjata bahwa kehendak pem buat un
dang-undang tidak sama dengan redaksi undang-undang. Menurut
28 Oleh karena dalam peradilan pidana dan ilmu hukum pidana p er
soalan analogi masih merupakan suatu keragu-raguan, maka penting
diingat keputusan H oge Raad Belanda tertanggal 12 November 1900,
W (B elan d a). Nr 7525 : kalau kala-kata undang-undang tjukup dje-
las, maka hakim tidak boleh m enjim pang dari kata-kata itu, walau
pun kehendak sungguh-sungguh dari pembuat undang-undang itu
berlainan dengan maksud ( = arti) kata-kata tersebut. Lihailah djuga
keputusan H oge Raad tertanggal 21 Djanuari 1929, Ned.. Jur. 1929,
hal. 709.
29 Scholten, hal. 155 d jb .; P o l a k , hal. 41 djb., dan B e l l e , -
f r o i d , hal.. 112. Dalam membatja uraian tentang penafsiran sosiolo
gis ini, maka kita tidak boleh lupa hal hukum positif tidak m eliputi
semua hukum legal (sa h ). Kenjataan ini telah kam i rumuskan se
tjara berlainan : „positiviteit” tidak meliputi „w erkelijkheid” selu-
ruhnja. Ada peraturan-peraturan (hu ku m ) jan g bertentangan dengan
hukum positif, tetapi dianggap sah (Lihatlah djuga L o g e m a n n ,
hal. 3 4 -3 5 ). „Sali” berarti : diterima sebagai bagian tataliukum (da
lam suasana „werkelijkheid” ) dengan tidak perduli kekurangan apa
pun djuga didalamnja.
195
pada waktu sekarang. Walaupun telah ditetapkan dalam suatu un
dang-undang pada suatu waktu tertentu, masih djuga diliari kem u
dian arti petundjuk-hidup-petundjuk-hidup jang bersangkutan dapat
berubah, karena pengaruh perubahan keadaan masjarakat.
-H al petundjuk-hidup, jaitu peraturan, telah ditetapkan dengan
tegas, tidak berarti bahwa tudjuan sosialnja tidak dapat berubah
lagi. Hukum bersifat dinamis dan perkembangannja mengikuti per
kembangan masjarakat. Hal ini menjebabkan bahwa kemudian mak
sud pembuat peraturan itu tidak lagi sama dengan tudjuan sosial
peraturannja. Tudjuan sosial peraturannja telah berubah dibawah
pengaruh perubahan masjarakat. Boleh dikatakan bahwa maksud
pembuat undang-undang itu anasir jang statis (suatu „m om entop-
name” ) sedangkan tudjuan sosial undang-undangnja m endjadi anasir
jang dinamis. Dalam hal demikian sistim form il dari hukum itu
-tidak lagi identik dengan azas-azasnja. Seperti jang telah sering
kali kami kemukakan : „positiviteit” tidak lagi m eliputi „werKe-
lijkheid” .
Hakim wadjih mentjari tudjuan sosial baru dari peraturan jang
bersangkutan. Apabila hakim mentjarinja, maka masuklah ia ke-
dalam lapangan peladjaran sosiologi (studieveld van de sociologie).
Sebetulnja, penafsiran sosiologis itu suatu alat untuk menjelesaikau
sebanjak-banjaknja perbedaan antara „rechtsposiliviteit” dan
„rechtswerkelijkheid” .
Sudah tentu penafsiran sosiologis mendjadi sangat penting, apa
bila hakim wadjib mendjalankan iindang-undang jang ditetapkan
pada waktu jang mengenal aliran-aliran jang berlainan sekali de
ngan faham-faham jang sekarang ada di masjarakat. Misalnja, di
Indonesia ada sedjumlah agak besar peraturan perundang-undangan
jang dibuat pada djaman kolonial dan sampai sekarang belum
ditjabut. Sebagian dari peraturan-peraturan itu tidak lagi dapat
disesuaikan dengan keadaan masjarakat sosialistis Indonesia. Ha
kim tidak dapat menafsirkan peraturan-peraturan itu sesuai dengan
maksud pembuatnja pada djaman kolonial dahulu.
Terang sekalilah hal hakim — berdasarkan memakai penafsiran
sosiologis — dalam keputusannja dapat mewudjudkan hukum dalam
suasana ,,werkelijkheid” !
196
K ad an g-kadang p e m b u a t u n d a n g -u n d a n g sendiri m em buat taf-
siran tentang arti beberapa kata-kata jang digunakannja didalam 30
peraturan ja n g dibuatnja. Tafsiran ini diberi nama tafsiran resm i
atau ta fsira n a u te n tik .
M aksud pem buat undang-undang supaja tafsiran itu diturut
u m u m . T afsiran itu berlaku um um seperti tiap peraturan umum.
M aka dari itu tafsiran autentik lianja dapat dibuat oleb pem bua
un dan g-u ndang dan tidak dapat dibuat oleh hakim , karena pada
azasnja tafsiran ja n g dibuat oleh hakim lianja berlaku bagi kedua
b e la h filia k perkara sadja. •Tafsiran autentik djuga tidak dapat di
bu at o le h seorang m enteri, bahkan, Presiden dalam su rat edaran
B eberapa tjo n to h tentang penafsiran autentik :
Pasal-pasal 512-518 K.U.H . Perdata : dalam pasal-pasal ini pem
bu at undang-undang menerangkan apa jang dim aksudnja dengan
kata-kata „b a ra n g jang. bergerak” , „barang-barang rumah tangga
(in b o e d e l), „perkakas rum ah” (m eubelen atau liuisraad),
ja n g gunanja agar rum ah dapat didiam i orang (stofferine
„su atu ru m ah dengan segala sesuatu jang ada didalam nja (een
m et al hetgeen zich daarin b e v in d t).
T ite l I X B uku I K.U.H. Pidana menerangkan „ a r t i n j a beberapa
sebutan dalam kitab-kitab undang-undang ini” (T etapi ta siran
autentik dalam titel I X Buku I K.U.H. Pidana tidak perlu berlaku
d ju ga m engenai kata-kata jang dipakai dalam peraturan pe ^
pidana ja n g ada diluar K.U.H. Pidana. Lihatlah pasal 103 lv.U. .
P id a n a ).
D alam par. 1 bab ini telah dikem ukakan dua aspek m engenai
p ek erd ja a n pem buat undang-undang.
197
Pem buat undang-undang hanja menetapkan peraturan um um
sadja dan pertimbangan tentang hal-hal konkrit terpaksa diserahkan
kepada hakim.
Oleh karena pembuat undang-undang senantiasa terbelakang
pada kedjadian-kedjadian sosial (b a ru ), maka hakim sering harus
menambah undang-undang itu.
Dalam par. 2, ketika kam i bitjarakan tjara-tjara penafsiran
undang-undang, maka telah dikemukakan pula bahwa hukum p o
sitif itu merupakan suatu sistim form il. Oleh sebab itu orang dapat
mengatakan, bahwa, apabila hakim menambah peraturan perun-
dang-undangan, maka hal ini berarti hakim m em enuhi ruangan
kosong (leemten) dalam sistim form il dari hukum itu. Dengan m e
menuhi ruangan kosong dalam sistim form il dari hukum itu, maka
hakim berusaha mengembalikan (herstellen) identitet antara sistim
form il dari hukum dan sistim materiil dari hukum.
Anggapan bahwa didalam sistim (form il) hukum ada ruangan
kosong jang dapat dipenuhi oleh hakim, belum lama diterim a umum.
Pada bagian kedua dari abad ke-19 bänjak ahli hukum — diantara-
nja seorang sardjana hukum jang bernama B r i n z 33 — berang
gapan bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan jang tertutup
(kesatuan bulat-lengkap). Tatatertib hukum merupakan suatu „ lo
gische Geschlossenheit” (B r i n z). Anggapan ini a.l. akibat aliran
legisme jang telah kam i bitjarakan dalam Bab II : diluar undang-
undang tidak ada hukum. Hakim tidak boleh m endjalankan kaidah
jang tidak disebut dalam peraturan perundang-undaugan.
Anggapan bahwa hukum itu merupakan suatu ,,logische Ge
schlossenheit ’ sekarang tidak lagi dapat diterima. S c h ö l t e n 34
mengatakan bahwa hukum itu merupakan suatu sistim jang ter
buka (open systeem). Hal ini dapat dimengerti kalau kita insjaf
bahwa hukum itu dinamis, jang terus-menerus dalam suatu proses
i
perkem bangan. H al ini membawa konsekwensi, bahwa hakim dapat,
bahkan, harus m em enuhi ruangan kosong jang ada didalam sistim
hukum , asal sa dja p en a m b a h a n itu tidak m en gu bah sistim tersebu t
pada p o k o k n ja 35. Bahwa hakim dapat, balikan, harus menambah
undang-undang, itulah diterangkan dengan tegas dalam beberapa
kodifikasi hukum perdata (privat) jang modern, misalnja, pasal 1
kitab undang-undang hukum perdata Negeri Swis ( „ ............... so soli
der R ich ter ......................... nach der Regel entscheiden, die er als
G esetzgeber aufstellen wiirde” ) .
Sekarang kita dapat bertanja : andainja telah dibawa di muka
hakim suatu perkara, dan dalam peraturan perundang-undangan
jan g berlaku tidak ada ketentuan jang dapat didjalankan, walaupun
ditafsirkan m enurut bahasa, sedjarah, sistimatis dan sosiologis ?
Dalam hukum kebiasaan atau hukum adatpun tidak ada peraturan
jang dapat mem bawa penjelesaian jang diingini. Bagaimanakah ha
kim dapat m enjelesaikan perkara itu ?
D alam hal dem ikian hakim memeriksa sekali lagi sistim (ma
teriil) jang m endjadi dasar lembaga hukum jang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa ketentuan jang mengandung persamaan, ma
ka hakim m em buat suatu pengertian h u k u m (rechtsbegrip) > dan
m enurut pendapatnja, pengertian hukum itu adalah azas hukun
jang m endjadi dasar lembaga hukum ja n g bersangkutan. M isa ln ja .
perbuatan m endjual, perbuatan memberi (menghadiahkan, „schen-
ken” ), perbuatan menukar dan perbuatan mewariskan setjara legat
(«legateren” , mem buat testamen), mengandung persamaan. Persam
an itu perbuatan jang bermaksud m engasingkan (vervreemden
dasarkan persamaan tersebut maka hakim membuat pengertian hu
kum jang disebutnja pengfisingan (vervreem ding) . P en g a sin ga n itu
m eliputi pendjualan, pemberian, penukaran dan pewarisan setjara
legat. Pengasingan adalah suatu perbuatan hukum jang oleh jang
mel akukami j a "diarahkan ke penjerahan (pemindahan) sesuatu
199
benda. Anasir itu terdapat dalam baik pendjualan, pem berian, pe
nukaran maupun perwarisan setjara legat. Membuat pengertian h u
kum itu — membuat pengertian hukum adalah suatu perbuatan
jan g bersifat m entjari azas hukum jang m endjadi dasar peraturan
hukum jang bersangkutan (lihatlah par. 2 sub c : penafsiran sis-
timatis) — terkenal dengan nama konstruksi ( pem buatan) 31. Azas
hukum atau pengertian hukum adalah konstruksi hukum- (rechts-
constructie).
Pasal 1576 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa pendjualan tidak
dapat memutuskan perutangan sewa sebelum djangka sewa itu dapat
diahiri. Berdasarkan persamaan jang ada didalam perbuatan m em
beri, perbuatan menukar, perbuatan mewariskan setjara legat dan
perbuatan inendjual itu — persamaan itu perbuatan jang berm ak
sud mengasingkan sesuatu — * maka dapat hakim membuat suatu
pengertian : pengasingan tidak memutuskan sewa. D jadi, walaupun
didalam pasal 1576 K.U.H. Perdata lianja disebut kata „m cn d ju a l ,
masih djuga ketentuan ini dapat didjalankan pula dalam hal m em
beri, m enukar dan. mewariskan, setjara le^at. OAftVv
|j o n n ll lm k u n l5 y ^
i
Airi il a n />• ,
m g berlaku.
konstruksi
pengasingan
pendjualan tidak ? v
dapat memetjahkan penukaran pewarisan se-
sewa (pasal 1576 tjara Iega‘ ’
K.U.H. Perdata).
tidak dapat niem etjalikan sewa»
200
teriil telah berbeda azasi, maka menautkan itu tidak bisa lagi. Da
lam hal ini hakim m enjalakan undang-undang tidak-mengikat (niet-
verb in den d ).
K onstruksi itu tidak boleh diadakan setjara sewenang-wenang.
S c h o l t e n 38 menegaskan bahwa konstruksi itu harus m eliputi
bahan-bahan jan g positif („constructie moet de positieve stof dek-
ken ). Jang dim aksud dengan „bahan-bahan positif” itu sistim ma
teriil undang-undang jang sekarang berlaku. Konstruksi itu liarus
didasarkan atas pengertian-pengertian hukum jang ada dalam un
dang-undang jang bersangkutan dan jang m endjadi dasar undang-
undang jang bersangkutan itu. Konstruksi itu tidak boleh didasarkan
atas anasir-anasir (elem enten) jang diluar sistim materiil positif.
A pabila hakim melakukan konstruksi, maka harus iá menggu
nakan akalnja 39. Dalam sistim (form il) hukum tidak ada perten
tangan, jak n i sistim hukum merupakan suatu kesatuan jang logis.
D alam sistim hukum tiada anasir jang merupakan pertentangan de
ngan anasir-anasir lain dalam sistim itu. Apabila hakim memenuhi
suatu ruangan kosong dalam sistim hukum, maka tambahan itu ha
rus berdasarkan suatu konstruksi jang, logis. Tambahan itu tidak
boleh bertentangan dengan pokok sistim hukum jang bersangkutan.
T am bahan itu tidak boleh mendjungkir-balikkan sistim hukum
jan g bersangkutan pada pokoknja. Sebab itu boleh dikatakan bah
wa m elakukan konstruksi adalah pekerdjaan dengan akal.
T etapi dalam praktek pernah terdjadi hakim melakukan suatu
konstruksi jang m endjungkir-balikkan sistim hukum jang bersang
kutan pada pokoknja. Konstruksi itu tidak didasarkan atas sistim
(m ateriil) jang sudah ada dalam perundang-undangan positif. K on
struksi itu didasarkan atas bermatjam-matjam arti jang oleh penaf
sir diberi kepada suatu kata jang oleh pembuat peraturan telah di-
1iantum kan dalam peraturan jang bersangkutan. Dengan demikian -
konstruksi itu merupakan perbuatan permainan kata (w oordsp el).
Praktek jang buruk ini diberi nama „Begriffsjurisprudenz,,.
Jang mula-mula menggunakan istilah dan m engedjék praktek itu
ialah seorang sardjana hukum bangsa Djerm an R u d o l f von
J h e r i n g 40. Mereka jang mendjalankan ,,Begriffsjurisprudenz”
38 S c h o 1 1 e n, h a l. 6 5 .
39 S c h o lte n , h a l. 8 7 : „ H e t z o e k e n van h e t b e g in s e l is in le lle c lu e e l
w e rk ...............................
40 „ S c h e r z u n d E rn st in d e r J u r isp r u d e n z ” , 1 9 1 2 , h a l. 3 4 7 .
M e m a n g la li, h u k u m itu suatu g e d ja la sosia l d a n k e d u d u k a n ( p o s it ie )
ilm u h u k u m (r e ch ts d o g 'm a tie k ) tid a k b o le h dia ta s h im p u n a n p e r a -
201
tersebut memakai konstruksi tidak sebagai alat sadja, tetapi sebagai
tudjuan !
Walaupun didalam ilmu hukum oleh beberapa fihak dikemu-
kakan keberatan terhadap konstruksi (karena fihak tersebut m e
ngingat antara lain akibat buruk seperti „B egriffsjurisprudenz” ),
masih djuga kami beranggapan bahwa hakim dapat m end jalankan*
n ja, asal sadja konstruksi itu „dekt de positieve (rechts) stof” dan
f bersifat logis 41.
Ada tiga sendi konstruksi (drie vormen van constructie), jaitu
analogi, menghaluskan hukum dan argumentum a contrario.
Analogi.
I! ” m h u k u m l e ™ >an.a m e m b e r i p e n d j *
b u a t ) h u k u m Itulah K t ™ ai} . tld a k te ru ta m a m e n e n tu k a n (n ie m -
h atlali F . Geny m Ia L I » T p e r lf m ? d a ri ilm u h u k u m . l a -
p r iv é p o s itif” , I , 1 9 1 9 ^ a l 4 3 ^ jj^ n terP r e ta lio n e t S o u r c e s d e D r o i f
202
kar dan mewariskan setjara legat. Hal-hal itu dapat dibawanja se-
tjara analogi kedalam lingkungan pasal 1576 IC.U.H. Perdata.
Kadang-kadang pembuat undang-undang sendiri menerangkan,
bahwa beberapa ketentuan perundang-imdangan dapat didjalankan
setjara analogi. Misalnja, pasal 1546 Iv.U.H. Perdata. Disitu oleh
pembuat imdang-undang diterangkan, bahwa semua peraturan me
ngenai djual-beli jang ada didalam K.U.H. Perdata dapat djuga
didjalankan dalam hal tukar-menukar.
Sebaliknja, dalam undang-undang ada djuga ketentuan jang
tidak dapat didjalankan setjara analogi. Pada vunumnja dapat di
katakan, bahwa peraturan-peraturan jang bersifat memaksa tidak
dapat didjalankan setjara analogi. Masih dipersoalkan analogi da
lam hukum pidana. Lihat Bab IX, par. 4.
«nsial
&
"■«■M esaikan „ „ ¿ r a adil atau sesuai denganwerke'uU.e.d soS^ l
? ■ » » * Perkara jailg b e r s a n t a n , .»aka hal « berart. bahva
am sistim undang-undang tersebut ada ruangan kosong.
43 HaL 92.
204
itu suatu kaidah. Djuga telah kita ketahui, bahwa kaicjah tersebut
m eiu lja d i kaidah keadilan dan/atau kaidah jang bermaksud men-
tja p a i sesuatu jang berguna (doelm atig). Sebagai kaidah jang ber
m aksud m entjapai sesuatu jang berguna, maka hukum itu semata-
m ata beraspek alat. Dalam hal demikian pembuat konstruksi harus
berh ati-h ati supaja konstruksinja bukan konstruksi jang tidak logis!
a. fu n k si ja n g logis
b. fu n k si ja n g berintuisi (intuitief)
c. fu n k si ja n g rasionil 45.
205
Tiga funksi tersebut masing-masing saling mempengaruhi. Tia
da suatu uraian hakim (mengenai pokok dan penjelesaian perkara)
jang seratus prosèn logis atau seratus prosèn rasionil.
Suatu uraian hakim boleh dikatakan logis (menurut sistim
A r i s t o t e l e s ) , apabila dalam uraian itu ternjala didjalankan
hakim suatu peraturan (major) berhubung dengan suatu perkara
(minor) dan didjalankannja peraturan itu setjara demikian, sehing
ga diperoleh suatu hasil (konklusi) jang memaksa. Konklusi syl
logisme ini harus memaksa, jakni suatu konklusi lain tidak mung
kin. Apabila ada suatu konklusi lain, maka tentu konklusi lain itu
dibuat berdasarkan suatu kesalahan memikir (djadi, tidak logis)46.
Tetapi suatu keputusan hakim jang seratus prosèn logis tidak
ada, oleh karena djiwa hakim (perasaan-hukumnja) tidak diten
tukan oleh logika sadja. Dalam waktu rasionalisme masih djaja*
hal ini tidak diinsjafi. Maka dari itu banjak keputusan hakim
jang sebetulnja tidak logis, masih djuga ditjap logis.
Kemudian — ketika aliran rasionalisme belaka sudah mulai
ditinggalkan — timbul reaksi terhadap peradilan rasionalistis itu.
Intuisi (perasaan, sentimen) semata-mata mendjadi dasar peradilan
(Gefiihlsjurisprudenz). Tetapi djuga hal ini mendjadi suatu kele
bihan. Memang, intuisi penting. Tetapi djuga tidak ada keputusan
hakim jang seratus prosèn dibuat berdasarkan intuisi. Pentingnja
intuisi ternjata dalam hal : tidak djarang seorang hakim telah mem-
punjai suatu pendapat tertentu — pendapat itu dibuat berdasarkan
kesan pertama (eerste indruk)— sebelum ia menjelesaikan penje-
lidikaimja. Djadi. sebelum ia membuat alasan-alasan rasionil jang
mendjadi dasar suatu keputusan.
Perasaan jang tidak rasionil itu dapat djuga berasal dari pe
ngaruh pendapat-umum (publieke opinie). Tidak ketjillah djum lah
kan keputusan Begitu itu. Setjara ilmu pasti dapat dikatakan shb. :
suatu perkara mengandung faktor-faktor a, b, c. Dari faktor-faktor
i lu oleh hakim dipandang jang essensiil ialah faktor-faktor a dan b,
sedangkan faktor c merupakan penambah sadja. Berdasarkan ilu ha
kim sampai kepada keputusan x. Maka ratio decidendi dari perkara
ini ialah a dan b (beserta x~). Djika kemudian terdjadi perkara
jan g mengandung faktor a dan b dan c dan d, sedangkan d itu
essensiil dalam perkara ini, maka keputusannja tidak m ungkin x ” .
Sebagai kebalikan „ratio decidendi” ilu disebut „o b ite r dictum ” (hal.
2 9 ) : „K ebalikan dari ratio decidendi ialah jan g disebut „ „ o b ite r dic~
tum . Ini merupakan suatu utjapan sambil lalu sadja, tidak mem -
punjai arli mengikat untuk perkara itu” .
46 Lihailah Z e v e n b e r g e n „F orm eele eneyelopaedie der rechtswe-
tensehap aïs inleiding tôt de rcchtswetenschap” , 1925, hal. 328-331.
206
hakim jang m em punjai pendapat jang tidak rasionil terhadap suatu
perkara, karena pengaruh dari diluar gedung pengadilan.
T etap i perasaan jang tidak rasionil ini sebanjak-banjaknja ha
rus dipadam kan oleh faktor-faktor jang dapat menim bulkan suatu
perasaan jang rasionil. Bukankah, objektiviteit itu m endjadi suatu
sjarat m utlak dari keadilan ? Bukankah, hakim w adjib m em beri
suatu keputusan jang seadi-adilnja ( = seobjektif-objektifnja) ? 47.
Dalam hal dem ikian hakim harus berani menentang pendapat-
um um ! terutama kalau pendapat-umum itu tidak tepat dan ter
salah bim b in g (m isleid).
F aktor-faktor jang pada um um nja mempengaruhi pendapat ha
kim ialah agama, pendidikan, aliran politik dan perhitungan (bere-
k eu in g). Maka dari itu keputusan masing-masing hakim jang me
ngenai satu perkara jang sama, biasa berlain-lainan. Jurisprudensi
M ahkam ah Agung jang sudah lama m endjadi tetap dapat diubah
dengan sekonjong-konjong, apabila anggautanja — atau beberapa
dari anggautanja — diganti.
207
djari hukum adat, menurut metode-metode ilmu hukum. Maka dari
itu v a n V o l l e n h o v e n disebut orang : ahli hukum jang me-
ngetemukan hukum adat (ontdekker van het adatreclit). Pekerdjaan
v a n Y o l l e n h o v e n disempurnakan oleh t e r H a a r. Suatu
anak Indonesia jang mendjadi sungguh-sungguh ahli hukum adat
ialah S u p o m o 50. D j u g a D j o j o d i g o e n o dan H a z a i r i n
adalah „adat-rechtskeimers van formaat” . Sebelum v a n V o 11 e n ■
h o v e n mulai dengan peladjarannja, maka hukum adat itu ham
pir tidak dikenal oleh hakim pemerintah ( gouvernementsrecht-
spraak) dan administrasi (tatausaha) negara.
Jang mula-mula memakai istilah „hukum adat” („adatreclit” )
dalam ilmu hukum ialah seorang ahli agama Islam bangsa Belanda
S n o u c k H u r g r o n j e 5l. Kemudian, karena v a n V o 11 e n -
h o v e n, istilah ini mendjadi istilah jang dipakai umum. Tetapi
dalam peraturan-peraturan perundang-undangan terpenting jang di
buat pemerintah Belanda istilah „hukum adat” itu baru dipakai
pada tahun 1929 ketika pasal 134 I.S. diberi perubahan. Setelah
diubah maka redaksi ajat 2 dari pasal itu memuat kata „hukum
208
, „ . v. iano' dipakai untuk rae-
adat S eb elu m tahun 1929 maka “ tllal 3 ° ama> lembaga ke-
njatakan h u k u m adat ialah „u n d a n g -«» J welten, volksinstel-
h u dajaan ra k ja t dan kebiasaan” ^ ods^ Cn * turan.peratu ra n W -
hngen en geb ru ik en ) (pasal 11 A .B .) atau ^ et hunne gods.
kum m en gen a i agam a dan kebiasaan " ^ ^ ^ r e g e l e n ) (pasal 131
d ie n s te n . en g ew oon ten sam en h an gen de re
IS S »««,
2Z -
r u p a k a n s u a tu p e n g e r tia n t 1 , - 1 ,k a . B ia r p u n itu te p „ ..l - i m i a ,
la m ta t a h u k u m H n d ia -B e la n d a b a g i m A h a s a r d ja n a p e n g
tanda peringatan dan p e n g h o r n !^ ! ^ sedjarah hukum In
ja n g nam anja tak pernah akan dihapusk
donesia. . , • lianja : hukum perun * »
D idalam tatahukum Indonesia daripada hukum jang tak
dangan dan hukum adat sebagai sjn om m
tertulis” .
209
¡ „ g biasanja disebut k e m U la n id en lifik a si ( ; d e n t m c a , i e .f o u t ) M (,
z : “ kMa,a- k e ;a d a i ; i ; , : ; : : t „ r
d a h r f 'u T r ” hr 8T ” tahW a h a ru s d is e b u t le b ih
t d f 0“ f d " ” U“ i " r n d “ " “ 6“ » » % ¿J a d i, „ k e b ia s a a n d a n
undang-undang agama” . Oleh v a » V „ n i t
ri * van V o l l e n l i o v e n diiuisjffap
pajang bahwa pembuat I.S tirlnk »«<«* n 170
ketika nprit i ^masukkan istilah ,, hukum adat”
ket.ka peraturan perundang-undangan ini dibuatnja!
adat ¡ r r r . , er r ba' ,inl!m akih dalam praktek hukum
d toi I t r t ' Ji ” ° ' eh hafeim ? “ • k « m i b itja r a k a n
Y Zvene ? 7 jang «W * hakin, p e m e r in t a h
liL T ” > f ' ' r> « 5 I.S. dan 1 R.O. « e e h t e r -
hukum i " . ''“, ' ' , ' 1 a Va#" " ja ,la k i>" p e m e rin ta h m e .id ja la n k o n
I n d o !" , , ” r * 1“ * “ “ " p erk a ra a„ ,a r a d n a o r a n g
dat i „ ,T * «»<■ dapat mendjalanfean hukun,
c » n ‘ „1 ■“ T C“ ikan S" a“ » “ k” » i™ ? s a , L sa „ , fihakn.ia
kita ?T a “ Perkara ¡»«»g e n ta , lihatlah Bab X I V ) , itujah
n§eti|huinja dari pasal 131 ajat 6 I.S. =0.
210
Menurut pasal 11 A.B. maka dalam menjelesaikan perkara an
tara oiang bukan-Eropah hakim harus mendjalankan hukum adat,
asal sadja hukum itu „tidak bertentangan dengan azas-azas keadi
lan . Ketentuan ini mengandung suatu pembatasan (restriksi) ter
hadap hukum, adat5", jaltni hakim hanja boleh m endjalankan h u
kum adat, apabila hukum itu dapat disesuaikan dengan „azas-azas
keadilan . Kemudian restriksi ini dimasukkan kedalam pasal 75
ajat 3 redaksi lama R.R. 1854.
A pakah jang dimaksud dengan „azas-azas keadilan” itu ? Oleh
karena pada waktu sebehun Perang Dunia I ham pir semua hakim
pem erintah adalah orang Belanda, maka dengan sendirinja ^azas-
azas keadilan” itu dipersamakan dengan azas-azas hukum Eropah.
M a k a hukum adat itu tidak dapat didjalankan kalau bertentangan
dengan azas-azas hukum Eropah.
Tetapi, walaupun ada banjak perbedaan antara hukum adat
dan hukum Eropah, masih djuga dalam prakteknja restriksi ini
djarang didjalankan hakim pemerintah 5S. Sebaliknja, sangat sering
didjalankan kemungkinan untuk menambah hukum adat, ajat 6
pasal 75 R .R . redaksi lama59. Disertasi Mr Enthoven60 jang
m em bitjarakan jurispradensi hukum adat dari tahun 1848 sampai
tahun 1912, hanja menjebut empat hal hakim beranggapan hukum
adat itu bertentangan dengan „azas-azas keadilan” (ajat 3). Pada
um um nja restriksi ini hanja dipraktekkan dalam hal hakim harus
m enjelesaikan soal mengenai warisan menurut hukum Islam, jakni
dalam hal didjalankan hakim suatu peraturan hukum Islam jang
telah diresepsi dalam 'liukum adat.
A ja t 6 dari pasal 75 redaksi lama R.R. 1845 itu memuat suatu
kem ungkinan untuk menambah hukum adat. Apabila hukum adat
tidak dapat menjelesaikan sesuatu soal, maka hakim dapat menje-
lesaikannja menurut azas-azas hukum perdata Eropah. Bagaimana
kah praktek hakim berhubung dengan kemungkinan ini ? Dalam
praktek sering terdjadi hal hakim — pada waktu itu bagian
terbesar h akim adalah orang Eropah — menggunakan kemungkinan
57 Restriksi ini telah terkenal pada waktu V.O.C. dan berasal dari Gu-
bernur-D jenderal v a n I m li o f (abad k e -1 8 ). Hukum adat dapat
didjalankan „v o o r so verre bij ons tollerabel zijn” .
58 S u p o m o dalam bukunja „Bab-bab tentang hukum adai” , menje
but pada hal. 31 lima tjontoh.
59 Pada hal. 37-38 buku jang tersebut pada noot 56, S u p o m o me,-
njebu t beberapa tjontoh tentang penambahan liukum adat oleh hakim.
60 „H e t adatrecht der Inlanders in de jurisprudenlie 1849-1912” , dis., Lei-
den 1 91 2, hal. 49 djb.. Lihat djuga noot 58 diatas ini.,
211
tersebut setjara- jang tidak dapat disesuaikan dengan tudjuannja.
Oleh karena hakim segan mempeladjari hukum adat, maka sering
dikatakannja bahwa di Djawa dan di Madura orang tidak (lagi tun
duk pada hukum adat ! Apa,lagi didjalankannja bukan azas-azas
hukum perdata Eropah, tetapi pasal-pasal K.U.H. Perdata ! M e
mang, pasal 75 ajat 3 dan ajat 6 redaksi lama R.R. 1354 pada
hakekatnja mendjadi dua pintu belakang (veiliglieidsklep) bagi
seorang hakim jang malas ! Praktek buruk ini mendapat tentangan
dari Mr A b e n d a n o n 61.
Dalam Bab III par. 2 telah dilukiskan perubahan redaksi lama
pasal 75 R.R. 1854. Restriksi dan kemungkinan untuk menambah
hukum adat jang disebut dalam redaksi lama tidak dimasukkan ke-
dalam redaksi baru (djadi, djuga tidak terdapat dalam pasal 131
I-S. j ang sekarang masih berlaku karena Aturan Peralihan U.U.D.).
Timbul pertanjaan : apakah hakim sekarang masih djuga berw e
nang mengudji (toetsen) hukum adat pada „azas-azas keadilan” ?
Apakah hakim sekarang masih dapat menambah hukum adat de
ngan azas-azas hukum perdata Eropah ? Dapatkah hakim seka
rang masih tetap melakukan dua wewenang istimewa jang t e r d a p a t
dalam redaksi lama pasal 75 R.R. 1854 itu ?
Sedjarah penetetapan perubahan redaksi lama pasal 75 R.R. 1854
tidak memberi djawaban atas pertanjaan itu.
Tetapi ada pengarang jang beranggapan kedua wewenang ter
sebut masih dapat dilakukan oleh hakim 62 . Jang m endjadi alasan
212
anggapan mereka ialah ajat 6 pasal 131 I.S., jang menerangkan, bah- ’
w a selama hukum perdata serta hukum dagang jang sekarang
i „thans” )berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan
hukum Timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi (pasal
131 ajat 2 sub b I.S.) maka hukum tersebut tetap berlaku bagi
kedua golongan hukum itu. Djadi, selama belum ada kodifikasi
bagi orang bukan-Eropali, maka tetap berlaku hukum adatnja. In i
lah penafsiran kata „thans” (sekarang) menurut artinja dalam ba
hasa. „Thans” berarti „pada waktu ini” , jaitu waktu mulai berlaku-
n j a perubahan redaksi lama pasal 75 R.R. 1854. Djadi, keadaan hu
kum adat pada waktu mulai berlakunja perubahan redaksi lama
pasal 75 R.R. 1854 dengan sekaligus dimasukkan kedalam tataliu-
kum baru selama belum ada kodifikasi. Ajat 6 pasal 131 I.S. adalah
ketentuan peralihan jang meneruskan keadaan — da,lam arti kata
seluas-luasnja ! — selama itu belum diubah, jaitu selama belum
dibuat kodifikasi bagi orang bukan-Eropah. Oleh karena sampai
pada hari ini kodifikasi hukum adat jang diingini itu belum didja-
dikan 63, maka kedua wewenang istimewa hakim pemerintah m e
ngenai hukum adat masih tetap dapat didjalankannja.
Menurut anggapan kami — jang setudju dengan anggapan tadi
__memang hakim berwenang mengudji dan menambah hukum
adat. Tetapi jang mendjadi ukuran bukanlah azas konkordansi da
h u lu ; jang sekarang mendjadi ukuran bagi hakim ialah azus-azas
hukum jang harus dipertahankan dalam suatu negara hukum jang
m erdeka dan berdaulat serta berdasarkan azas-azas Sosialisme In
donesia c4.
Para sardjana hukum jang beranggapan bahwa djuga setelah
tahun 1919 hakim berwenang m engudji dan menambah hukum
adat ialah C a r p e n t i e r A l t i n g 65, N e d erburgli 66, A n
d r é d e l à P o r t e 67 dan rupanja djuga D j o j o d i g o e n o ( ?) 68
63 L o g e m a n n „Staatsrecht van Ned. Indië” , hal. 44.
64 D j o j o d i g o e n o „Asas-'asas hukum adat” , 1958, hal. 24 : „M e
nurut hemat kami jang terang ialah bahwa kita tidak dapat meng
horm at hukum adat sekedar ia bertentangan dengan asas-asas pokok
negara kita, jang tertjantum dalam undang-undang dasar” . Utjapan
ini adalah revolusioner ! karena memberi kemungkinan melenjapkan
sisa-sisafeodalism e jang berlindung di belakang hukum adat.
65 M r J.H. C a r p e n t i e r A l t i n g „Grondslagen der reelitsbedee-
lin g” , 1926, hal. 207-208, 366.
66 M r I.A. N e d e r b u r g l i „H oofdstukken over adatreclit” , 1933, hal.
4 7 d jb. ^
67 M r G. A n d r é d e I a P o r t e „R ech t en reclitsbedeeling in Ned-
In d ië” , 1933, hal. 47 dan 51.,
68 „Asas-asas hukum adat” , 1958, hal. 16-17, 24, 25.,
213
Tetapi mereka ini mendapat tentangan dari banjak pengarang lain,
jaitu v a n V o l l e n h o v e n 69 t e r H a a r f o , K l e i n t j e s 71^
L o g e m a n n 72 S u p o m o 73.
Jang mendjadi alasan v a n V o l l e n h o v e n bahwa hakim
setelah tahun 1919 tidak lagi berwenang m engudji dan menam bah
hukum adat, itulah :
1. sedjarah penetapan perubahan pasal 75 redaksi lama R .R . 1854
tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan lidaknja dua
wewenang tersebut.
2. redaksi ajat 6 pasal 131 I.S. memuat tugas bagi baik hakim
maupun administrasi (tatausaha) negara. Oleh karena kepada
administrasi negara tidak diberi wewenang untuk m e n g u d ji
dan menambah hukum adat, maka tidak boleh dikatakan bah
wa dengan sendirinja wewenang itu diberi kepada hakim.
3. sedjarah praktek wewenang itu telah m enundjukkan kepada
kita bahwa wewenang tersebut di djalankan oleh hakim setjara
jang tidak sesuai dengan tudjuannja. Sebab itu wewenang isti
mewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu bagi hakim.
Kami mengahiri bab ini dengan pem bitjaraan tentang teori ke-
putusan (beslissingenleer) dari t e r H a a r. Pada tahun 1937 da
lam 8u.atu pidato dies dikatakan - t e r H a a r bahwa hukum adat
bersumberkan keputusan-keputusan para penguasa masjarakat adat.
Tingkah laku anggauta masjarakat itu hanja menundjukkan adanja
kesadaran-hukum (rechtbewustzijn) pada anggauta tersebut. Jang
belum dimasukkan dalam keputusan penguasa hanjalah adat atau
kesusilaan adat dan belum mendjadi hukum, adat (jaitu adat jang
bersanksi). Apa jang telah diputuskan sadja m endjadi hukum
adat 47.
69 „Adatrecht” , II, hal. 530-532.
70 „Beginselen en stelsel” , hal. 12. Sebelumnja telah dalam T . 136,
hal. 231.
71 „Staatsinstellingen” , II, hal. 241.
72 „Staatsrecht van N.I.” , hal. 45.
73 „B ab-bab tentang hukum adat , hal. 32-33 : ,,Instruksi kepada hakim,
jang dimuat didalam pasal 75 (lam a) R.R. tidak terdapat didalam
pasal 131 Indische Staatsregeling., Ini tidak berarti, bahwa hakim
ndak boleh lagi mempersoalkan, apakah sesuatu peraturan liukum
adat bertentangan atau tidak dengan sjarat-sjarat kemanusiaan. Hakim
menurut funksinja, adalah berwenang, bahkan wadjib m em pertim
bangkan, apakah peraturan hukum adat jang telah ada jang m enge
nai soal jang dihadapi, masih selaras atau sudah bertentangan dengan
kenjataan sosial (soeiale werkelijkheid) baru berhubung dengan p er
tumbuhan situasi baru didalam masjarakat” .
74 „H et adatrecht en de volkenkunde i n wetenschap, praktijk en onder-
wijs” , pidato dies Djakarta 1937, dan djuga „Beginselen en stelsel” ,
hal. 235.
214
T e r H a a r mengikuti teori jang dikemukakan oleh seorang •
alili hukum bangsa Inggeris jang bernama J o h n C h i p m a n
G r a y . Dalam bukunja „T he Nature and the Sources o f Law” 75
G r a y mengatakan bahwa „T he Law of the State or o f any organi
zed b o d y o f men is composed of the rules which the courts, that is,
the ju d icia l organs o f that body, lay down for the determinaton
o f legal rights and duties” 76. Maka dari itu „the body o f rules
that lay down is not the expression of preexisting law, but the
Law itself” 77. Kesimpulannja tentang kedudukan hakim : „th e fact
that courts apply rules is what makes them Law, that there is no
m ysterious entity ’ the Law’ apart from these rules, and that the
judges are rather the creators than the discoverers o f Law’ 7S. A ng
gapan in i mengenai baik hukum jang tidak tertulis maupun hukum
ja n g tertulis. „It has been sometimes said that the law is com posed
o f two parts — legislative law and judge-made law, but in truth
all the Law is judge-made Law” 79.
T e o ry G r a y terkenal dengan nama teori dari „A ll the Law
is judge-m ade Law” . Sesuatu peraturan barulah m endjadi peraturan
h u ku m , apabila peraturan itu telah diniasukkan kedalam Keputu
san hukum .
A nggapan G r a y ini berdasarkan suatu peradilan jang dila
kukan d i N egeri Inggeris, di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan
dan ja n g bernama peradilan preseden (precedenten reclitspraak)so.
H akim ivadjib mengikuti keputusan hakim jang kedudukannja me
nurut liierarh i lebih tinggi, wadjib mengikuti keputusan hakim lain
jang kedudukannja sederadjat tetapi telah terlebih dahtdu membuat
penjelesaian suatu perkara sematjam. bahkan, wadjib mengikuti
keputusan sendiri jang dibuatnja terlebih dahulu (stare decisis).
H ukum ja n g berasal dari peradilan preseden disebut „judge-made
law” atau „ju d icia ry law” . Terutama di Negeri Inggris sering „judge-
m ade la w ” itu dianggap lebih penting dari pada „statute law” (hu-
hum ja n g ada didalam peraturan perundang-undangan). Pentingnja
„ju d g e-m a d e law” itu diperbesar oleh G r a y dalam rumusnja :
all the Law is judge made Law.
215
Mengenai persoalan apakah teori G r a y dapat diikuti di In
donesia, dapat kami kemukakan, bahwa mengingat sistim peradilan
di negeri kita, maka pada umiminja kita tidak dapat menerima
teori G r a y tersebut. Kita mewarisi dari djaman kolonial suatu
sistim peradilan jang tidak mengenal preseden (keputusan jang di
ambil terdahulu) sebagai dasar keputusan-keputusan kemudian. Ha
kim Indonesia tidak terikat oleh keputusan-keputusan jang diambil
terdahulu, baik oleh hakim jang kedudukannja lebih tinggi maupun
jang kedudukannja sederadjat. Kita mewarisi sistim peradilan jang
diterima di kontinen Eropah Barat. Di samping itu teori jang ter
dapat dalam rumus : all the Law is judge-made Law 81, tidak dapat
disesuaikan dengan diterimanja hukum tertulis (kodifikasi hukum)
di negeri kita. Tetapi mengenai hukum, adat — sebagai hukum Jan8
tak tertulis dan jang hanja dapat djumpai dalam suasana „wer-
kelijkheid” sosial — maka rasanja kita masih djuga dapat niene
rima teori G r a y , djustru untuk memperoleh s e b a n j a k - b a n j a k n j a
kepastian-hukum.
Apa sebab maka t e r H a a r memasukkan teori G r a y ke-
dalam ilmu hukum adat,dapat kita ketahui dari pidato diesnja pada
tahun 1930 „De rechtspraak van de Landraden naar ongeschreven
recht” 82. Didalam pidato itu oleh t e r H a a r dikatakan bahwa
6ering terdjadi penguasa masjarakat adat baru sadja dapat me
njebut suatu peraturan adat sebagai suatu peraturan hukum adat,
apabila peraturan jang bersangkutan telah dimasukkannja kedalam
6uatu keputusan jang dibuat atas pelanggaran peraturan itu. Jang
ditilik ter Haar dalam pergaulan hukum masjarakat adat adalah
sania dengan apa jang kami sendiri tilik dalam pergaulan tersebut.
Walaupun sesuatu perbuatan adat— jang belum terkenal dari k e
putusan penguasa — oleh anggauta masjarakat adat telah dilakukan
berpuluh-puluh tahun dan rupanja sudah mendjadi perbuatan te
tap, masih djuga belum tentulah ada sanksi terhahap pelanggaran
peraturan itu, apabila penguasa belum' pernah membuat keputusan-
Bilamana anggauta masjarakat adat ditanja tentang suatu peraturan
adat jang belum dimasukkan dalam rentetan keputusan penguasa
masjarakat adat itu, maka anggauta masjarakat adat tersebut men*
216
cljavvab : tentang perkara itu bejum pernah ada keputusan, maka
kami tidak mengerti 83.
A pabila hakim hendak menentukan mana jang merupakan
hukum adat mana jang lidak, maka terlebih dahulu harus diperik-
sanja apa jang pernah diputuskan. Peradilan hukum adat berdasar
kan suatu rentetan keputusan-keputusan tetap. Bilamana perkara
jang bersangkutan dahulu belum pernah diputuskan oleh penguasa
atau hakim, maka hakim jang sekarang memutuskannja wadjib
membuat penjelesaian jang sesuai dengan keadaan sosial sungguh
sungguh pada waktu sekarang. Hakim djuga wadjib membuat pe
njelesaian jang sesuai dengan keadaan sosial pada d jaman sekarang,
apabila keputusan jang lama itu tidak sesuai dengan keadaan sosial
jang baru. Hukum adat adalah hukum jang berlaku dan hanja
didjum pai da,lam suasana „werkelijklieid” sosial. Pentinglah diingat
kata-kata t e r H a a r : „K.ent de rechter geen vroegere beslissingen
in gevallen met gelijke relevante feiten of bleken die beslissingen
niet lioudbaar, dan m oet liij niettemin een beslissing nemen. welke
naar zijn beste weten als reclitsbeslissing en dus als rechtsregel te
gelden heeft in het millieu, waarin hij rechtspreekt. Om die belis-
sing te vinden mbet hij zich doordringen van het rechtsstelsel in
zijn geheel, moel hij de sociale iiverkelijkheid kennen en de eisen
der menselijkheid. De plicht naar adatrecht recht te spreken bete
kent dan : op voor het heden verantwoorde wijze vorm geven aan
hetgeen door die faktoren (rchtsstelsel, sociale werkelijklieid en
eisen der menselijkheid) als geddende rechtsbeslisssing (rechtsregel)
gevorderd w ordt; subjekiief uitgedrukt: vorm geven aan dat_e.ie
wat het rechtsbesef der bevoilking in wisseliverking met des rechters
eigen rechtsbesef als geldende reclitsbeslissing (rechtsregel)^
dert” 84. Dari kata-kata jang teraliir ini kelihatanlah pentingnja pe
217
ngaruh pribadi penguasa dan hakim adat terhadap pembentukan
hukum adat85. Ahirnja, dari kata-kata jang terahir ini kelihatan
pula hal para penguasa masjarakat adat m endjadi „ruling class
masjarakat adat itu !
Teori keputusan dari t e r H a a r — jang m enjimpang dan
pendapat v a n V o l l e n h o v e n se, jang dikemukakan terlebih
dahulu — mendapat kritik dari beberapa fihak 87 : H o 11 e m a n 8S,
L o g e m a n n 89 (hanja untuk sebagian sadja), v a n H a 1 1 u m
dan tarutama v a n D i j k dalam disertasinja91. L o g e m a n n
213
ti ' apat menerima mutlak anggapan, bahwa adat itu baru me-
rupa au hukum adat, ajiabila telali dimasukkan kedalam keputusan
ia uh. Tetapi ia mengakui keputusan hakim sebagai faktor jang
v.a sangat penting dalam menentukan mana jang merupakan
hu 'u m adat mana jang tidak 92. V a n D i j k beranggapan bah
" a adat itu dapat diketahui dengan djelas dari tingkah laku
anggauta masjarakat adat pula.
dan tingkah laku mereka (orang dan badan hukum ) jang (a ) ber
kuasa dalam suatu masjarakat jang mengenal suatu tatatertib sosial
dan tatatertib hukum, dan (b ) bertugas mempertahankan kedua tata*
*ei’l>b itu (terdjemahan b eb a s)).
92 Hal. 12-13 dan 23-24.
219
B A B Y
HUKUM DAN H AK
P a r. 1: H uh u n gan -h u k u m (r e c h t s b e t r e k k i n g^
d a n b a k. ^
Dari bab pertama buku ini telah diketahui bahwa hukum ltu
mengatur hubungan antara orang jang satu dengan jang lain, antara
orang dengan masjarakat, antara masjarakat jang satu dengan jang
lain. Djadi. antara orang jang satu dengan jang lain,dst. ada hu
bungan jang diatur oleh hukum.
Barangsiapa jang berani mengganggu atau tidak m e n g i n d a h k a n
hubungan itu, maka dapat ia dipaksa m enghormatinja atau ia di
koreksi oleh hukum. Sebuah tjontoh tentang hubungan antara dua
orang jang diatur hukum, misalnja, perutangan (verbintenis) j an?
ditimbulkan oleh suatu perdjandjian (overeenkomst) djual-beli
(pasal 1457 K.U.H. Perdata). A mendjua'l sedjumlali sepatu kepada
B. Perdjandjian ini menimbulkan hubungan antara A dengan ®
dan hubungan itu diatur oleh hukum. A wadjib m enjerahkan se
patu tersebut kepada B tetapi ia berkuasa meminta p e m b a j a i a n
oleh B tersebut. Sebaliknja, B wadjib m em bajar harga sepatu se^
barijak itu, tetapi berkuasa meminta sepatu sebanjak t e r s e b u t dari
A. Apabila salah, satu filiak,atau kedua-duanja, tidak m e n g i n d a h ^
kan kewadjibannja, maka oleh hakim dapat didjatuhkan s u a t u
sanksi hukum. Hubungan antara A dengan B jang diatur oleh llU'
kum ini, diberi nama hubungan-hukum (rechtsbetrekking).
Setiap hubungan-hukum mempunjai dua segi: kekuasaan ( p e
wenang, „bevoegdheid” ) dengan tentangannja, jakni keivadjiban
(plicht) 1. Kekuasaan ini, jang oleh hukum diberi kepada s e s e o r a n g
( atau sesuatu badan hukum 2 ) karena hubungan-hukumnja d e n g a n
seorang lain (suatu badan hukum lain), biasanja diberi nama hak-
Djadi, hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan jang menga
tur hubungan sosial, memberi kepada seseorang (sesuatu badan
1 Logemann, hal. 47 : da
berhak meminta prestasi — „prestatie subject” — dan ada fihak
jang wadjib melakukan prestasi — „plichtssubject” (prestasi = djasa)*
2 Jang dimaksud dengan suatu badan hukum (rchtspersoon) ialali
tiap pendukung hak jang bukan manusia. Lihatlah Bab VI par. 1
sub b.
y
220
liu u n i liak (= wewenang, kekuasaan) supaja berbuat sesuatu
atau menuntut sesuatu3. Tentangan dari hak seseorang (sesuatu
badan hukum) supaja berbuat atau menuntut sesuatu ialah kewa
djiban orang lain (badan hukum lain) supaja ia (atau badan hu
kum ) tunduk pada hak itu atau berbuat sesuatu jang diwadjibkan
oleh hak itu.
Marilah kami membitjarakan sekali lagi tjontoh diatas : A ber
hak menuntut pembajaran dari B sedangkan B w adjib membajar
sepatu sebanjak itu. Sebaliknja, B berhak meminta sepatu sebanjak
itu dari A sedangkan A wadjib menjerahkan sepatu sebanjak ter
sebut kepada B. Hak adalah kekuasaan (wewenang) jang oleh hu
kum diberi kepada seseorang (atau sesuatu badan hukum) dan
jang m cndjadi tentangannja ialah kewadjiban orang lain (badan
hukum lain) untuk mengakui kekuasaan itu. Kekuasaan dan kewa
d jib an itu terlaksanannja didjamin oleh hukum.
Dalam ilmu hukum benua (continent) Eropah dibuat perbeda
an antara apa jang disebut hukum objektif dengan apa jang dise
but hukum su b jek tif4. Jang dimaksud dengan hukum ob jek tif
adalah peraturan (kaidah, „de regel, „de uorm” ) jang mengatur
suatu hubungan sosial. Misallnja, K.U.H. Perdata jang terdiri atas
peraturan-peraturan hukum jang mengatur hubungan sosial antara
orang jang satu dengan jang lain (atau antara suatu badan hukum
dengan badan hukum lain, antara badan hukum dengan orang) di
sebut hukum objektif, sedangkan jang disebut hukum subjektif
a d a la h „peraturan hukum jang dihubungkan dengan seseorang dan
oleh karena itu telah mendjadi kekuasaan-kewadjiban (v a n
A p e 1 d o o r n ) . Perbedaan antara liukum objektif dengan hukum
subjektif ini sedjalan dengan perbedaan antara hukum dengan
liuk dalam sistim hukum kita.
Karena bagi kedua pengertian „peraturan” dan kekuasaan”
tersebut dalam bahasa liukum (reclitstaal) kita ada dua istilah jang
berlain-lainan, maka dalam ilmu hukum kita tidak mungkin orang
221
mengatjaukan kedua pengertian itu. Di benua Eropah kekatjauan
itu mudah dan pernah terdjadi. D i Negeri Inggeris dipakai djuga
dua istilah jang tidak sama untuk menjatakan kedua pengertian
tersebut, jaitu laiv (hukum) dan right (h a k ).
Hubungan-hukum itu ada dua matjam : hubungan-hukum jang
bersegi satu (eenzijdige rechtsbetrekkin,g) dan hubungan-hukum
jang bersegi dua (tweezijdige rechtsbetrekking).
Dalam hal hubungan-hukum jang bersegi satu lianja satu fihak
jang berkuasa (berwenang). Fihak lain hanja berkewadjiban. Da
lam hubungan-hukum jang bersegi satu hanja satu fihak jang ber^
kewadjiban melakukan suatu djasa jang berupa berbuat s e s u a t u »
tidak berbuat sesuatu atau memberi sesuatu (pasal 1234 K.U-H.
Perdata).
Tjontoh tentang perdjandjian djual-beli jang kami sebut d i a t a s
tadi, adalah sebuah tjontoh tentang hubungan-hukum jang bersegi
dua. Kedua belah fihak masing-masing berkuasa meminta s e s u a t u
dari fihak lain. Tetapi djuga kedua belah fihak m a s i n g - m a s i n g
berkewadjiban memberi sesuatu kepada fihak lain.
Atjap kali ada hubungan antara seseorang (atau sesuatu badan
hukum) dengan orang lain semuanja dan badan hukum lain se
muanja). Hubungan-hukum, sematjam itu terdapat, misalnja, dalam
hak milik atau dalam hak kepunjaan (eigendomsrecht) m e n u r u t
pasal 570 K.U.H. Perdata. Jang mendjadi pem ilik sebidang tanali
berkuasa (berwenang) memungut segala kenikmatan (genot) dan
tanah itu — asal sadja pemungutan kenikmatan itu tidak dilakukan
setjara jang bertentangan dengan kepentingan umum — dan ber
kuasa pula mengasingkan (mendjual, memberi, menukar atau ® e
wariskan setjara legat) tanah itu— asal sadja djuga p e n g a s i n g a n
kepunjaan itu tidak dilakukan setjara jang bertentangan dengan
kepentingan umum. Sebaliknja, orang lain semuanja berkewa
djiban mengakui pemilik tanah sebagai tuannja.
H akitu kadang-kadang dapat djuga merupakan sumber— tetapi
jang tidak langsung — dari suatu hubungan-hukum lain. Misalnja,
A melompati pagar halaman B dan mengindjak halaman itu dengan
tidak diidjinkan oleh B . D a r i perbuatan jang bertentangan dengan
hukum (onrechtmatige daad) itu timbullah suatu l i u b u n g a n - h u k u m
antara A dan B . B b e r h a k meminta ganti-kerugian (schadevergoe"
ding) dari A sedangkan A berkewadjiban membajar ganti-kerugian
itu (lihatlah a.l. pasal 1365 K.U.H. Perdata).
222
Hak itu kadang-kadang merupakan suatu kumpulan kekuasaan-
kekuasaan (kumpulan wewenang-wewenang, „bundel van bevoegd-
h e d e n ’ ), misalnja, hak kepunjaan menurut pasal 570 K.U.H. Per
data. Hak kepunjaan tersebut terdiri atas dua kekuasaan penting :
jang m em punjai (eigenaar) dapat memungut kenikmatan kepu-
njaannja dan jang mempunjai dapat djuga mengasingkan kepunja
an itu. Dalam bahasa Belanda dipakai istilah „besehikken” . ,.Be-
sehikken ’ itu meliputi kekuasaan untuk mendjual, memberi, menu
kar, mewariskan setjara legat. „Besehikken” meliputi segala kekua
saan untuk memindahkan sesuatu dari tangan jang satu ke tangan
jang lain.
Bagi mereka jang melihat hukum itu sebagai chusus suatu ge-
djala kekuatan (mlaclitsverschijnsel), maka— sebagai suatu konse-
kwensi jang logis — melihat hukum itu sebagai suatu pembagian
kom petensi (competentie-verdeling) atau pembatasan kom petensi
(com'petentie-afbakening), misalnja, pasal 570K.U.H. Perdata dan
liak dilihat sebagai kompetensi jang dibagi atau kompetensi jang
dibatasi.
Par . 2: S i f a t d a r i h a k 5.
223
melindungi kepentingan dari jang berhak, tetapi orang tidak boleh
mengatjaukan hak dengan kepentingan. Lagi pula sering hukum itu
melindungi kepentingan dengan tidak m em beri hak kepada jang
bersangkutan. Misalnja, mengenai bantuan sosial kepada seorang
miskin dan anak-anak terlantar. Walaupun pasal 39 ajat 2 undang-
undang dasar sementara thun 1950 dahulu mengatakan bahwa
„fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara” ,
namun hal ini tidak berarti bahwa fakir-miskin dan anak-anak ter
lantar itu berhak atas pemeliharaan oleh negara.
B e r n h a r d W i n s c h e i d 7, salah seorang pengikut teori
jang menganggap hak sebagai kehendak jang diperlengkapi dengan
kekuatan (m acht), mengatakan bahwa „das subjecktive R echt ist
eine von der Rechtsordnung verliehene W illensmaclit oder Willens-
herrschaft” . Dalam bahasa Indonesia : hak itu suatu k e h e n d a k
jang diperlengkapi dengan kekuatan dan jang diberi oleh tatatertib
hukum kepada jang bersangkutan. Berdasarkan kehendak itu maka
jang bersangkutan dapat m empunjai rumah, tanah, m obil, dsb. T eori
inipun kami tidak dapat menerimanja. Menurut teori ini maka se
orang gila dan anak-anak ketjil tidak dapat diberi hak, karena m e
reka tidak (atau belum) dapat menjatakan kehendaknja (atau be
lum mempunjai suatu kehendak). Walaupun seorang gila dan anak-
anak ketjil ada dibawali pengawasan (curatele) atau perwalian
(voogdij) (lihatlah Bab X II I), masih d juga mereka dapat m em iliki
rumah, tanah, mempunjai m obil, dsb. (lihatlah pasal 7 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu dan pasal-pasal 1-3
K.U.H. Perdata : tidak ada manusia jang tidak m em punjai hak-
larig mendjalankan hak dari jang ada dibawah pengawasan atau
perwalian ialah pengawasnja atau walinja).
V a n A p e l d o o r n beranggapan bahwa hak adalah ,,suatu
kekuatan (macht) jang teratur oleh hukum” 8. Kekuatan itu —
menurut kata v a n A p e l d o o r n — berdasarkan kesusilaan ( ze'
delijkheid, m oraal), kekuatan itu bukan hanja kekuatan badan
(„physieke macht” kekuatan fisik ). Maka dari itu seorang pentjuri
jang mempunjai kekuatan atas barang jang telah ditjurinja, tidak
224
111 -*ai apapun djuga atas barang iiu, karena kekuatannja
licla e*clasaikan kesusilaan dan keadilan. Kekuatan itu bukan ke
kuasaan. jakni bukan liak (liliatlali Bab I, jiar. 10, mengenai dua
pengerlian „kekuatan” dan „kekuasaan” ).
226
(overdreven). Anggapan jang mengennikan hak itu sebagai suatu
kekuasaan lengkap jang oieb hukum diberi kepada jang bersang
kutan, jaitu sebagai suatu kekuasaan individuil sepenuluija jang
°Ieh liukum dilindungi, berasal dari aliran individualisme pada
saat ahirnja Revolusi Perantjis. Pada waktu itu maka jang men-
djadi dasar liidup orang ialah azas „laissez faire, laissez aller” se-
]>erti jang terdapat dalam teori utilitet. jang kami singgung dalam
Bab I. par. 8. Pandangan 'hidup jang individualistis ini kami
djum pai dalam redaksi pasal 570 K.U.H. Perdata (hak kepunjaan)
jang sampai sekarang masih belum mendapat perubahan. Menurut
ketentuan tersebut , maka hak kepunjaan— sebagai hak (hukum
subjektif) jang sesempurna-sempurnanja — adalah kekuasaan jang
sesenipurna-sempurnanja dari jang berhak atas sesuatu benda (zaak)
jang dapat didjalankannja „ setjara jang tidak t e r b a t a s (op de vol-
sirekste wijze” ).
Konsepsi hak kepunjaan sematjam ini sekarang tidak lagi dapat
diterima. Sedjak kelahiran K.U.H. Perdata pada tahun 1848, maka
hubungan-hubungan sosial dimanapun telah mengalami perubahan
jang besar sekali. Fikiran tentang hukum berubah pula11. Di Ero-
pah Barai anggapan-anggapan hidup jang bertjorak lebih indivi-
. dualistis telah diganti oleh anggapan-anggapan hidup jang lebih
sosialistis. Bukan lagi individu jang diutamakan, melainkan, kolek-
livitel. Hak kepunjaan itu tidak lagi dapat didjalankan „setjara
jang tidak terbatas” . Hak kepunjaan harus didjalankan sesuai de
ngan kepentingan masjarakat. Bukan hanja hak kepunjaan harus
didjalankan sesuai dengan kepentingan masjarakat, tetapi djiiga hak-
( bak lain.
Sesuai dengan kepentingan kolektivitet, maka pada waktu se
karang perbuatan-perbuatan mendjalankan hak kepunjaan lebih
ditempatkan dibawah pengawasan pemerintah. Pada waktu sekarang
tanali tidak boleh dibiarkan tetap tinggal tanah tandus (onbebouwd,
braak). Tanah itu harus diusahakan. Apabila tanah itu tidak di
usahakan, maka tanah tersebut ditjabut (onteigend) oleh peme
rintah.
227
Sebuah tjontoh jaug kuat sekali: jang memilik rumah jang
tinggal di hotel dan jang ingin menempati rumahnja, lidak dapat
menempatinja, apabila masili ditempati oleh orang lain jang sendiri
belum mendapat rumah. Perkara rumah telah mendjadi perkara di-
bawah pengawasan pemerintah kota, jakni suatu perkara um um !12
Tjontoh tentang peraturan perundang-undangan jang membatasi
tjara mendjalankan hak milik ialah ordonansi mengenai larangan
penggangguan, jaitu „Hinderordonnantie” , L.N.H.B. 1926 (batjalah
pasal 1), jang telah dibuat pada d jaman Hindia-Belanda. Peraturan
jang paling „recent” adalah Undang-undang tahun 1960 Nr 5 jang
memuat „Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria” , L.N. 1960 Nr 104
(batjalah pasal-pasal 5-15).
Penjosialan hukum telah menghapuskan atau mengurangi pcn-
tingnja beberapa azas-azas utama dalam hukum privat, jaitu azas-
azas jang pada abad jang lampau masili merupakan tiang-tiang
(zuilen) atau „corner-stones” hukum privat, jang bermaksud men-
dj amin dipertahankan dan dilandjutkan sifat individualistis dan
hak seperti jang dimuat dalam K.U.H. Perdata dan K.U.H. Dagang,
sebagai kodifikasi dan dasar perundang-undangan hukum privat
itu. Pentingnja azas-azas seperti „contractsvrijheid” (kemerdekaan
berkontrak) atau „partij-autonomie” , jang mendjadi tiang-tiang
hukum perutangan (Buku III K.U.H. Perdata, pasal 1333 Iv.U.H-
Perdata, dsb.) sekarang telah sangat dikurangi.
Penjosialan hukum adalah suatu gedjala jang terdapat diselu-
ridi dunia. Di beberapa bagian dunia proses penjosialan hukum ini
didjalankan sangat radikal, seperti di negara-negara komunis, di
beberapa bagian lain didjalankan moderat, seperti di bagian besar
negara,-negara Eropah Barat dan d i kontinen Amerika. Oleh R o s-
c o e P o u n d, seorang guru-besar di Amerika Serikat, diberi suatu
ichtisar mengenai ,, transformations” dalam hukum jang m e n d j a d i
„the roads to socialization of the actual law” 13, jaitu „ (1 ) Limit-
ations of the use of propertj ; (2) Limitations upon freedom o f con-
223
tracts; 1,3) Limitations on the power disposing of property; (4)
Limitations upon the power of the creditor or injured party to
secure satisfaction; (5) Transformation of idea of liability in the
sense of a more objective base, (6) Judicial decisions in regard to
social interests, by limiting general ndes to profit of flexible stand
ards and discretion; ( / ) Public funds should respond for injuries
to individuals by public agencies; (8) Reinforced protection of de
pendent members of the household” !'1, ^
Bagaimanakah proses penjosialan hukum di Indonesia? Terlebih
dahulu, perlulah kita mengakui bahwa di negeri kita, jakni dalam
masjarakat bagiannja jang tidak atau belum mempunjai tjorak
Barat, tampaklah sekarang suatu perkembangan jang menudju ke
arah suatu pandangan hidup jang berdasarkan individualisme15.
Adanja kenjataan ini tidak dapat disangkal! Tetapi perkembangan
itu tidak akan meningkat sehingga hak milik— seperti pada waktu
berahirnja Revolusi Perantjis— dapat didjalankan „setjara jang
tidak terbalas” . Ahirnja, masjarakat Indonesia akan mendjadi sua
tu masjarakat jang bertjorak lebih sosialistis, mewudjudkan suatu
masjarakat sosialistis Indonesia.
Hal hak itu pada djaman sekarang terikat sekali oleh berma-
tjam-matjam kekuatan-kekuatan sosial, tidaklah selalu berarti
bahwa lambat-laun hak tersebut dihapuskan sama sekali. Dalam
suatu masjarakat jang bertjorak sosialistispun manusa ada hak.
Hanja kebebasan mendjalankan hak itu dibatasi, jakni kebebasan
itu diikat oleh hanjak kekuatan sosial. Di Indonesia pada umumnja
belum ada keinginan untuk menjangkal sama sekali adanja hak
milik dan hak lain itu. Adanja hak milik, biarpun diikat oleh
bermatjam-maljam kekuatan-kekuatan sosial, diakui penuh dalam
Manipol— lihatlah Bab II— jang memuat konsepsi tentang diwu-
djudkan masjarakat sosialistis Indonesia itu.
Penjosialan hukum di Indonesia — sebagai tjita-tjit a— telah
dinjatakan dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 da
hulu. Pasal 26 ajat: 3 undang-undang dasar sementara talnm 1950
dahulu mengatakan, bahwa .,hak milik itu adalah suatu fungsi so
sial’” . Ketentuan ini tidak berarti lain dari pada: hak milik itu
229
harus didjalankan oleh jang berhak setjara jang sesuai dengan tu-
djuaunja. Artinja: mendjalankan hak tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum. Perlu ditegaskan: ketentuan ini tidak
menolak adanja hak. Lihatlah ajat 1 dan ajat 2 pasal 26 tersebut.
Apabila ditafsirkan setjara ini, maka dapat kita terima anggapan
bahwa hak milik adalah suatu funksi sosial. Hak harus tlidjalankan
sesuai dengan kepentingan umum. Barangsiapa jang tidak m endja
lankan kekuasaannja sesuai dengan kepentingan umum tidak nius-
lalul baginja haknja ditjabut oleh pemerintah i«.
Dalam U.U.D. sekarang tidak termuat ketentuan semaljam pasal
26 ajat 3 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu itu-
Oleh sebab itu baik sekalilah dalam undang-undang tentang pera
turan dasar pokok-pokok agraria (Undang-undang P okok Agraria),
L.N. 1960 Nr 104, jang didjiwai oleh Manipol, dimuai suatu pasal
0, jang menetapkan bahwa „Semua hak atas tanah m e m p u n ja i
funksi sosial” .
A hirnja; perubahan atau penggantian ,.ru lin g elass” m e n g a k i
batkan perubahan tjorak liukum, djadi, seperti jang lelah kami
legaskan diatas tadi, djuga mengakibatkan perubahan tjorak hak.
Hal lm terutama ternjata di Asia setelah pembebasan negara-negara
dari koIo» iali^ e , jaitu terutama di negara-negara Asia jang
pemermtalmja mendjadi pemerintah jang bertindak berdasarkan
sosialisme.
5X «S r£.,tfcS,i i¿'¡T"“”dir - k- n
Pemerintah (Perdana Menteri I l a t a n ^ ^ " kesalu d! sidang U i’ -K;
itu bukan suatu „macht” tetapi su-,i mengalakan baliwa „eigen dom
Djika orang jang mempunjai suatu h-.’l f 00' “,1? P,!clu ” -
nakan liak miliknja buat kepentingan mi*,k itu tidak m em pergu-
nja inenghendakinja, maka Pem eri/»11! 'V11“ 111’ meskipun masjarakat"
miliknja untuk keperluan umum. ° * rbak mempergunakan hak
Dalam djawaban pada babakan ,•
b erk ata, baliw a redaksi pasal 26 ■ *q • 8ldailS D .P .Ii. P e m e r in ta h
„ h a k m ilik m em punjai fu n k s i su,lla d e n g a n p e r k a ta a n :
Perumusan in i d ju g a diterinia ol t10« -'
tanggal 11 September 1958 t v* PIeno Konstituante pada
1945” , hal., 1 58 ). Pasal 6 L.N.1960*”^ i 6 Unt,an£-uuda,,S Dasar
— memuat perumusan sematjam nul • i — lihatlah dibawah ini
punjai funksi sosial” . a ' ” ll,a ^ak atas tanah mem-
230
P a r . 3 : IM e u d j a 1 a n k a n h a k s e t j. a r a j a n g t i da k
s e s u a i d e n g a n t u d j u a n n j a („m i s b r u i k v an
r e c h t” , „a b u s de d r o i t” ) .
231
sig, werni sie nur den Zweck haben, einem anderen Schade zuzu-
fiigen” .
Sebagai sebuah tjontoh jang dapat dikatakan kelasik dan ter-
niasjhur, boleh kami sebut disini kepulusan pengadilan tinggi di
Colmar (Negeri Perantjis) tertanggal 2 Mai 1855. A mendjadi te
tangga B. Rumah A lebih tinggi dari pada rumah B. Di rumah
A ada djendela jang memberi pemandangan dengan melintasi atap
rumah B. Pada sesuatu waklu> maka B mendirikan sebuah pipa
asap (schoorsteen) diatas atap mmahnja di muka djendela rumah
A dengan maksud merusak pemandangan A. Pipa asap itu sekali-
kali tidak mempunjai hubungan dengan sesuatu tempat api (vuur-
haard). Pengadilan tinggi di Colmar dalam keputusannja meme
rintah B untuk membongkar pipa asap itu. Hak B untuk m em etik
kenikmatan kepunjaan rumalinja: tidak dapat didjalankannja set jara
jang mengganggu orang lain dengan tidak beralasan baik (zonder
enig redelijk doel).
kenikmatan kepunjaan rumahnja tidak dapat didjalankannja setjara
tanggal 2 April 1937 („Nederl. ^Jurisp.” Nr 639) dan 13 Maret 1936
(„Nederl. Jurisp.'’ Nr 415) (perkara „Walertoren” ).
Perbuatan mendjalankan hak setjara jang tidak sesuai «lengan
ludjuannja biasanja diberi nama „ abus de droit” . Perbuatan „abus
de droit itu terdapat djuga dalam' lapangan administrasi (tala-
usaha) negara. Bilamana suatu djabatan pemerintah (overheids-
ambt) mendjalankan kekuasaannja setjara jang tidak sesuai dengan
tudjuan kekuasaan itu. maka perbuatan tersebut mendjadi „abus
de droit \ 5,Abus de droit” dalam lapangan administrasi negara di
beri nama istimewa, jailu ..détournement de pouvoir” ls .
232
B A B VI
233
Bukankah hukum Barat itu memual banjak pengerlian-pengerlian
jang telah diterima universil oleh djaman modern?
234
ucum an tidak dapal merampas beberapa hak tertentu dari
jang d,kena, hukuman itu ( terketjuali dalam hal hukuman mati),
.a tal a 1 pasa 15 ajat 2 undang undang dasar sementara tahun 1950
l '* !) ' !!' U ain Sltla“ g P lci>o Konstituante tertanggal 11 September
chtenma perumusan: „Orang tidak boleh dilnikum dengan me-
o tkan kematian peidata atau kehilangan Hak Asasi Manusia/
arganegara U.U.D. tidak memuat ketentuan sematjam ini. Me
ngenai hukum privat berlakulah pasal 3 K.U.H. Perdata, jang me-
entu an bahwa kematian perdata ( —kehilangan semua hak her-
dasarkan pribadi manusia) tidak mungkin.
1 asal 10 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu
nen atakan bahwa perbudakan orang, perdagangan budak dan per-
aan oiang dilarang. Berdasarkan azas jang tertjantum dalam
I sa 10 tersebut dapat dikatakan bahwa setiap manusia dapat me-
tulus atau berhak tidak meneruskan suatu hubungan jang didasar-
in atas hukum kekajaan (Vermögensrecht) sesudah waktu tertentu
iwat. Misalnja, pasal 1603u K.U.H. Perdata: buruh mempunjai
a memutus lnibungan-kerdja dengan madjikannja sesudah waktu
lina tahun liwat (Ketentuan ini dahulu hanja berlaku bagi golongan
nikum E iopah sadja). Azas sematjam ini djuga diterima oleh Sidang
Pleno Konstituante pada tanggal 11 September 1958 dalam peru
musan: „T iada suatu ketentuan dalam bagian ini ditafsirkan dengan
pengeitian suatu penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak
dari padanja untuk mengusahakan sesuatu apa atau melakukan per-
l ualan berupa apapun jang bermaksud m enghapuskan sesuatu hak
atau kebebasan jang diterangkan dalnmnja” c. Efek (effect) keten
tuan ini, jang djuga termuat dalam pasal 34 undang-undang dasar
sementara lahun 1950, adalah sama dengan efek -ketentuan dalam
pasal 10 tersebut. U.U.D. tidak memuat suatu ketentuan sematjam
ini.
Riatas tadi telah ditegaskan, bahwa seorang asingpun mendjadi
subjek hukum asal sadja perlindungan kedudukan orang asing itu
tidak merugikan kedudukan warga-negara. Djadi, seorang asing tidak
m empunjai senVua hak jang oleh hukum diberi kepada seorang war
ga negara. Pasal 23 undang undang dasar sementara tahun 1950
dahulu, misalnja mengatakan hak mana jang hanja dapat diberi ke
pada seorang warga-negara sadja. Lihatlah djuga pasal-pasal 24, 28
235
ajal 1 dan 30 ajat 1 undang undang dasar semeiilara lalmn 1950
itu. Pasal-pasal ini tidak berlaku bagi seorang asing.
Dj uga Konstituante dalam Sidang Plenonja pada tanggal 11
September 1958 m e n e r i m a beberapa bak (dan kewadjiban) jang
chusus bagi w a r g a - n e g a r a , dan azas-azas jang dimuat d a l a m keten
luan-ketentuan u n d a n g - u n d a n g dasar sementara tahun 1950 dahulu
ilu diteruskan dalam ketentuan-ketentuan dianlara ketentuan-
ketentuan jang d i t e r i m a oleh Sidang Pleno Konstituante pada
langgal 11 September 1958 tersebut«.
U.U.D. memuat pasal 27 (bandingkanlah dengan pasal 28 ajat 1
undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu itu).
Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan nc;kumpul, menge
luarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainja ditetapkan
dengan undang undang” , Undang undang dasai sementara tabun
1950 dahulu memberi kemerdekaan untuk berserikat dan berkum
pul itu kepada setiap orang (pasal 29), demikian djuga halnja de
ngan mengeluarkan fikiran (pasal 19: „Setia-p orang berhak atas
kebebasan mempunjai dan mengeluarkan pendapat” ), djadi, lebih
luas.
Ahirnja, U n d a n g undang Pokok Agraria, L.N. 1960 Nr 104, tidak
membedakan antara warga-negara Indonesia jang „asli” dan j allg
„bukan-asli” (djadi, L.N. 1960 Nr 104 ini adalah sesuai dengan ajat
l pasal 27 U.U.D. jang mengatakan bahwa „segala warga-negara ber
samaan kedudukannja didalam hukum” ) dan menentukan bahwa
„Hanja warganegara Indonesia dapat mempunjai hubungan sepenuli-
nja dengan bumi, air dan ruang angkasa” (pasal 9 ajat 1).
Jang dimaksud dengan suatu badan hukum ialah setiap pendukung
hak jang tidak berdjiwa (lebih tepat: jang bukan manusia)7. Ba
dan hukum — sebagai gedjala sosial — adalah suatu gedjala jang
6 „K e m b a li k e U n d an g -u n d an g Dasar 1 9 4 5 ” llaj 1 5 5 -1 5 6 .
7 Lihatlah Prof. Mr E. M, M e i j e r s „Algemene Ieer van het burger-
Iijk reeht , 1948, lial. 183 : „Onder rechtspersoon dient men der-
lialve nooit mecr te verstaan dan dutgenc wat suliject van recliten en
verplichtingen kan zijn” (Maka dari it„ pengertian badan hukum
hanja meliputi sesuatu jang dapal mendjadi pendukung Iink dan
kewadjiban). ^
Mengenai badan hukum batjalah uraian L o g e m a n n (hal. 50)
jang sangat penting dan jang menarik perhatian. Badan liukum, se
bagai suatu „personificatie” , berarti suatu „bestendigheid” hak-ke-
wadjiban., Hukum organisasi (organisatiereeht) m e n e n t u k a n „inner^
lijke struktur” dari „personificatie” itu.
Mengenai badan lmkum pada umumnjn batjalah Mr. W o l f s b e r -
g b n „D e nationaht.eit der naamlooze vennootschap” , dis. Leiden
1926; Mr C.M.O., v a n N i s p e n t o t S e v e n a e r „D e rechts-
236
riil 8 (lalam pergaulan 'linkum, jaitu sesuatu jang dapat ditjatat da
lam pergaulan hukum, biarpun tidak berwudjud manusia alau benda
jang dibuai dari besi, balu. dsb. Jang inendjadi penting bagi per
gaulan bukuni ialah bal badan hukum itu fhempunjai sualu keka-
jaan (verm ögen) jang sama sekali terpisah dari kekajaan anggauta-
nja— jailu dalam hal badan hukum' inendjadi korporasi (lihatlah
dibawah). Hak-kewadjiban suatu badan hukum sama sekali terpisah
dari liak-Ivewadjiban anggautanja. Bagi lapangan perekonomian (ter
utama lapangan perdagangan) gedjala ini sangat penting.
Ada lagi sualu keuntungan badan hukum itu. Badan hukum
mendjamin „con lin u iteil” (Logemann: ..beslendigheid” ) hak-
kewadjiban sesuatu pendjelmaan (korporasi atau jajasan), biarpun
pengurus pendjelmaan itu selalu diganti. Badan linkum, sebagai pen
dukung hak-kewadjiban, lelap ada. sedangkan pengumsnja (jang
m endjadi wakil „continuitet” itu) dapat berganti-ganti.
Dalam pergaulan bukuni ada berniat jam mal jam badan hu
kum:
237
perhimpunan jang didirikan berdasarkan peraturan L.N.II.B.
1870 Nr 64 (badan hukum Eropab), perusahaan negara (P .N .),J.
2. persekutuan orang (gemeensehap van mensen) jang ada karena
perkembangan faktor-faktor sosial dan .politik dalam sedjarah,
misalnja, negara, di negeri kita daerah swapradja, banjak kebu-
paten (sekarang daerah swautanlra tingkat II), banjak desa.
3. organisasi orang jang didirikan berdasarkan undang-undang te
tapi bukan perhimpunan jang termasuk dalam sub 1.
4.' jajasan.
Biasanja matjam-matjam badan hukum jang kami sebut pada
sub 1, 2 dan 3 diberi nama korporasi (corporalie) 10. Badan hukum
pada umumnja dibagi dalam dua djenis golongan, jaitu korporasi
dan jajasan n .
Jang dimaksud dengan korporasi ialah suatu gabungan orang
jang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu
subjek hukum tersendiri (personifikasi). Korporasi adalah badan
hukum jang beranggauta, tetapi inempunjai hak-kewadjiban sendiri.
Jang dimaksud dengan jajasan ialah tiap kekajaan (vermögen)
jang tidak merupakan kekajaan orang atau kekajaan badan ilan
jang diberi tudjuan tertentu. Dalam' pergaulan hukum jajasan itu
bertindak sebagai pendukung hak-kewadjiban tersendiri. Misalnja,
Jajasan Lektur di Djakarta, jajasan-jajasan jang mendjadi'dasar
keuangan banjak pergaulan partikelir (swasta). Jajasan dalam hu
kum Islam dan hukum adat terkenal dibawa'h nama wakap.
Jang merupakan perbedaan antara jajasan dan korporasi ialah
jajasan itu mendjadi badan hukum dengan tiada anggauta. Tetapi
jajasan mempunjai djuga pengurus (bestuur) jang mengurus ke
kajaan dan menjelenggarakan tudjuannja.
V
238
Berdasarkan aneka warna hukum maka badan-badan hukum di
Indonesia ada liga maljam:
1. badan hukum menurut hukum Eropab
2. badan hukum menurut hukum bukan-Eropah jang tertulis, se-
karang badan hukum menurut hukum Indonesia
3. badan lu.kum adat:
Badan hukum jang disebut pada sub 1 ialah badan hukum jang
diatur menurut hukum jang dikonkordansi dengan hukum jang
berlaku di Negeri Belanda. Badan hukum jang disebut pada sub 2
terkenal dibawali nama „badan hukum Indonesia” (Inlands rechls-
persoon” ), jailu badan hukum menurut hukum undang-undang (or
donansi) jang dibuat dengan mengingat pasid 131 ajal 2 sub b I.S.:
bilamana keperluan um'mn atau keperluan sosial orang bukan-Ero
pah mcmerlukannja— ,,bijzondere beliocften” (badan hukum me
nurut „fantasierccht” ) . Badan hukum adat adalah badan hukum
menurut hukum' bumi-iputera (jang pada umumnja tidak tertulis).
Berdasarkan pembagian hukum dalam hukum publik dan hu
kum prival maka badan hukum ilu dapat dibagi dalam dua matjam
lagi: badan hukum publik dan badan hukum privat. j
Terdapal banjak teori tentang dasar jurinis dari badan hukum12. j
Jang paling terkenal antara leori-teori itu. * j
a. anggapan v o 11 S a v i g n y l3. Menurut v o n S a v i g n y ba
dan hukum itu semata-mata buatan negara sadja. Terketjuali
negara, badan hukum itu lianja suatu fiksi sadja, jakni sesuatu
jang sesunggulinja tidak ada tetapi orang menghidupkannja
dalam bajangannja untuk dapat menerangkan sesuatu hal.
Teori v o n S a v i g n y terkenal dengan nama teori fiksi^
12 Dulam W.P.N.R. Nr 3285 s/d Nr 3287 („D e bcleekcnis van het pro-
blcein der rechlspersoonlijkheid voor de praktijk” ) Prof. M e i j e r s
nieniohuii perhatian kila uiiluk arti ketjilnja teori-lteori tentang dasar
juridis dari badan hukum ilu bagi praktek. B £ h 11 i n g k (hal.
2 5 ) mengemukakan suatu pendapat jang radikal: „ ............... . dat
invocring van het begrip reclilspersoon mittig kan zijn, doch nooit
noodwendig is : de jurist zou liet in zijn begrippenwereld kunnen !
missen” (diterimanja pengertian tentang badan hukum itu ada nian-
faatnja, tetapi tidak perlu : seorang sardjana hukum tidak memerlu- j
kannja mutlak) !
13 F r i e d r i c h C a r l v o n S a v i g n y „System des heutigen röm i
schen Rechts” , II, 1866, par. 85 djb.„ Sebagai pengikut teori v o n
S a v i g n y dapat disebut H o u w i n g dalam disertasinja (Leiden
1939) „S u bjcclief recht, rechtssubject en reehtspersoon” .
239
b. anggapa B r i n z14. Menurut anggapan ini maka lianja ma
nusia sadja dapat mendjadi subjek liukum. Tetapi «Ijuga tidak
dapat disangkal adanja hak-hak atas sesuatu kekajaan sedang
kan tiada manusiapiui jang inendjadi pendukung hak-hak
itu. Djadi, ada hak-hak dengan tiada subjeknja. Kekajaan jang
dianggap milik sesuatu badan hukum sebenarnja milik sesuatu
tudjuan. Adjaran ini terkenal sebagai adjaran „Zweckvcnno-
gen” atau dalam bahasa Indonesia: teori kekajaan tudjuan.
Teori B r i n z hanja dapat menerangkan dasar juridis dari
jajasan.
c. anggapan O 1 1 o v o n G i e r k e 15. Menurut pengarang ini
badan hukum itu—seperti manusia— suatu djelma jang sung
guh-sungguh ada didalam pergaulan hukum (.,eine leiblich-
geislige Lebenseinheit” ). Badan hukum itu mendjadi suatu
„Verbandpersonlichkeit” , jaitu suatu badan jang membentuk
kemauannja dengan perantaraan alat-alat (orgauen) jang ada
padanja (miealnja, pengurusnja) seperti manusia. Pèndèknja,
berfunksinja badan hukum dipersamakan dengan berfunksinja
manusia. Teori ini disebut teori orgaan.
d. anggapan P 1 a n i o 1 dan M o l e n g r a a f fie. Menurut teori
ini. jang biasanja disebut teori „ propriété collective” , maka
hak-kewadjiban badan hukum itu pada hakekatnja hak-kewa-
djiban anggaula bersama-sama. Maka dari itu badan hukum
240
adalah suatu konstruksi juridis sadja.. Pada hakekatnja badan
hukum itu sesuatu jang abstrak. Boleh dikatakan bahwa teori
ini tidak dapat menerangkan dasar juridis dari jajasan sebagai
suatu badan hukum dan merupakan suatu kebalikan dari teori
B r i n 'i. ~
e. anggapan D u g u i t 17. Diatas telah dikatakan, bahwa D u -
g u i t tidak mengakui hak jang oleh hukum diberi kepada
subjek hukum tetapi lianja funksi-funksi sosial jang harus dila
kukan oleh subjek hukum itu Di samping itu oleh D u g u i t
ditegaskan pula bahwa lianja manusia dapat mendjadi subjek
hukum. Lain dari pada manusia tiada subjek hukum- Tetapi
manusia ilu subjek hukum tanpa mendjadi pendukung hak !
Oleh karena D 11 g u i t hanja menerima manusia sebagai sub
jek hukum, maka baginja djuga hanja manusia mendjadi
subjek hukum internasional (lihatlah Bab X II).
Kami agak tjenderung memilih sebagian teori v o n G i e r k e,
,]aitu hanja mengenai konsepsi „orgaan” sadja. Kami, berlainan de
ngan v o 11 G i e r k e, tidak sanggup menjamakau badan hukum itu
dengan manusia. „Orgaan” , sebagai suativ ,,personificatie” bebe
rapa hak dan kewadjiban jang tersendiri, adalah— sebagai realitèt
— seorang atau beberapa orang tergabung jang mendjalankan suatu
funksi tertentu— direktur, pengurus, komisaris, dsb.— dalam ling
kungan badan hukum dan, karena mendjalankan funksi itu, men
djadi salah satu esensialia (essentialia) organisasi badan hukum itu.
Kami mengatakan ,,sebagai realitèt” , karena, tidak bisa lain, dalam
pergaulan dengan subjek liukum lain „orgaan” itu — agar dapat
mentjapai tudjuannja— diwakili oleh manusia atau gabungan ma
nusia i«. Bukankah, pada hakekatnja manusialah, jang sungguh-
sungguh bertindak bagi badan hukum? Sebetulnja pengertian ,,badan
hukum” itu suatu ,,fixatie” hukum (bukan fiksi!) jang menerang
kan sesuatu jang mendjadi gedjala riil 19.
B. O bjek hukum (rcchtsobject).
Jang dimaksud dengan objek hukum ialah segala sesuatu jang
berguna bagi subjek hukum (mauusia atau badan hukum) 20 dan.
241
jang dapat mendjadi pokok (objek) suatu hubungan-Iiiikum (dapat
djuga disebut. hak), kaiena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek
h u k u m -1. Pertanjaan apakah sesuatu merupakan objek liukum
atau bergantung kepada hukum (hukum objektif).
Tjontolmja. A memindjamkan sebuah buku kepada B. jang
mendjadi obje#hukum dalam hubungan-hukum antara A dan B
ialah buku itu serta kekuasaan(hak) A untuk meminta kembalinja
dari B. Buku mendjadi objek hukum dari hak kepunjaan A.
Jang mendjadi objek hukum dalam suatu hubungan-hukum
menurut hukum publik, misalnja, menurut hukum padjak ialah
djumlah uang jang dapat dipungut dari jang wadjib membajar
padjak. Jang mendjadi objek hukum dalam suatu hubungan-hukum
menurut hukum pidana ialah hukuman (pidana) jang dapat didja-
tuhi pada pelanggar.
Biasanja objek hukum itu disebut benda (zaak). Berdasarkan
hukum Eropali jang berlaku di negara kita maka benda itu dapat
dibagi dalam dua matjam (pasal 503 K.U.H. P erdata):
Benda jang berwudjud (lichamelijke zaken), jaitu segala sesuatu
jang dapat diraba oleh pantja indra. Tanah, rumah, buku, dsb.
Benda jang tidak berwudjud (onlicliamelijke zaken), jailu se
gala hak) 22 .
Penting sekali dikemukakan disini bahwa karena ada benda
jang tidak berwudjud (=liak) maka ada d juga benda jang meru
pakan benda ( = objek) suatu hak lain.
itu diperhatikan oleh liukum (objektif)., Definisi ini tidak tepat ka
rena menurut definisi ini matahari, bulan dan bintangpun dapat djuga
mendjadi pokok sesuatu hubungan-hukum. Lihatlah noot jang berikut.
21 V a n A p e 1 d o o r n, hal. 17 : „De hoedanigheid van zaak is, evcnals
die van persoon, een hoedanigheid, welke door het objectieve reeht
wordt verleend. Het objectieve recht is daarbij echter in zoverre ge-
bonden, dat het deze hoedanigheid niet kan verlenen aan datgene
wat niet aan menselijke heerschappij onderworpen kan zijn. Dc zon,
maan en de sterren zijn dus nooit zaken ¡n juridisehc zin” (Seperti
halnja dengan subjek hukum maka sesuatu mendjadi benda oleh
karena hukum objektif menjebutnja., Tetapi hukum objektif tidak
dapat menjebut sebagai objek hukum sesuatu jang tidak dapat di
tempatkan dibawah kekuasaan manusia. Maka dari itu matahari, bu
lan dan bintang-bintang tak pernah akan mendjadi benda dalam arti
kata juridis).
22 Oleh B e 1 1 e f t o i d (hal. 165) dikemukakan bahwa hak kepunjaan
tidak termasuk golongan benda jang berwudjud, karena K.U.H., Per
data menjamakan hak itu dengan objeknja : tanah, rumah, dsb. Lebih
luas S c h o 1 t e n „Zakenrecln” , 1945, hal. 7 - 8 .
242
Di samping pembagian benda dalam benda jang berwudjud dan
benda jang tidak berwudjud ada pembagian lagi, jaitu benda dapat
dibagi pula dalam (pasal 504 K.U.H. P erdata): benda jang berge
rak (roerende zaken) dan benda jang tidak bergerak (onroerende
zaken). *
Sesuatu barang (atau bak, pasal 508 K.U.H. Perdata) termasuk
golongan benda jang tidak bergerak, apabila a. sifatnja sendiri
menggolongkannja kedalam golongan itu (pasal 506 K.U.H. Perda
ta), b. tiidjuannja menggolongkannja kedalam golongan itu (pasal
507 K.U.H. Perdata), atau c. undang;undang menggolongkannja ke
dalam golongan itu (pasal 508 K.U.H. Perdata).
■ Jang termasuk golongan benda jang tidak bergerak karena si-
fatrija sendiri menggolongkannja kedalam golongan itu, ialah tanah
serta segala sesuatu jang tetap ada disitu sehingga inendjadi kesa
tuan dengan tanah tersebut (lihatlah djuga pasal-pasal 500, 571,
588 dan 601 K.U.H. Perdata). Misalnja: bangunan, tanaman-
tanaman (veldgewassen), pohon-pohonan, kekajaan alam jang ada
didalam kandungan bumi dan barang-barang lain jang belum ter
pisah dari tanah itu.
Jang termasuk golongan benda jang tidak bergerak karena tiidju
annja menggolongkannja kedalam golongan itu, ialah segala barang
jang senantiasa digunakan oleh jang mempunjai dan jang mendjadi
alat tetap pada sesuatu benda jang tidak bergerak, walaupun me
nurut sifatnja barang jang digunakan itu dapat digolongkan keda
lam golongan benda jang bergerak. Misalnja: penggilingan (molens)
jang ditempatkan dalam gedung perusahaan menggiling beras,
alat pertjetakan jang ditempatkan dalam gedung pertjetakan, ember
(kuipen ), dsb.
Jang termasuk golongan benda jang tidak bergerak karena
undang-undang menggolongkannja kedalam golongan itu, ialah
segala hak alas benda jang tidak bergerak (terketjuali hak kepu-
ujaan jang oleli undang-undang disamakan dengan objeknja. B e 1-
1 c f r o i d „ libatlah noot 22).
Sesuatu barang (atau hak, pasal 511 K.U.H. Perdata) termasuk
golongan benda jang bergerak, apabila a. sifatnja sendiri menggo
longkannja kedalam golongan itu (pasal 509 K.U.H. Perdata) atau
b. undang-undang menggolongkannja kedalam golongan itu (pasal
511 K.U.H. Perdata).
Jang termasuk golongan benda jang bergerak karena sifatnja
sendiri menggolongkannja kedalam golongan itu, ialah segala
243
barang jang dapat dipindahkan dari tempat satu ke tempat lain—
terketjuali barang jang disebut dalam pasal 507 K.U.H. Perdata—
atau dapat memindahkan dirinja dari tempat satu ke tempat lain.
Misalnja: mobil, medja, buku, dsb.
Jang tennasuk golongan benda jang bergerak karena undang-
undang nienggolongkannja kedalam golongan itu, ialah segala hak
atau benda jang bergerak (terketjuali hak kepunjaan jang oleh un
dang undang disamakan dengan objeknja. B e l l e f r o i d , lihailah
lioot 22).
Di samping dua pembagian jang telah kami sebut diatas tadi ada
lagi pembagian» jaitu benda mlateriil dan benda tidak materiil
( tjiptaan orang).
Hukum modern memberi perlindungan kepada tjiptaan orang.
Misalnja, fikiran orang jang dituliskan dalam sebuah buku, gamba
ran jang diperlundjukkan didalam suatu film, pendapatan-
pendapatan baru dalam lapangan tehnik, dsb.' -’ 3
P a r. 2: P er i stiwa-h u k um (k e d j a d i a n - h u k u m,
r e c h t s f e i t).
244
r
245
Suatu perbuatan hukum jang bersegi satu adalah setiap perbu
atan Jian"'
C5
akibat hukumnja (rechtsgevolg) ditimbulkan oleh kehen-
dak dari satu subjek hukum (=satu fihak) sadja (jang melakukan
perbuatan itu). Misalnja, perbuatan hukum jang disebut dalam
pasal 132 K.U.H. Perdata (hak isteri untuk melepaskan liaknja
atas barang-barang jang merupakan kepunjaan suami-isteri berdua
setelah mereka kawin, benda perkawinan), perbuatan hukum jang
disebut dalam pasal 875 K.U.H. Perdata (perbuatan mengadakan
testamen adalah suatu perbuatan hukum jang bersegi satu), per
buatan hukum jang mendirikan jajasan (stichtingshandeling.
Suatu perbuatan hukum jang bersegi dua adalah setiap perbuatan
jang akibat hukumnja ditimbulkan oleh kehendak dari dua subjek
hukum ( =dua fihak) atau lebih. Setiap perbuatan hukum jang
bersegi dua adalah suatu perdjandjian (overeenkomst). Pasal 1313
K.U.H. Perdata: „Perdjandjian itu suatu perbuatan jang menje-
habkan satu orang (jaitu subjek hukum) atau lebih mengikat diri-
nja pada seorang (jaitu subjek hukum) lain atau lebih” .
Perbuatan lain jang bukan perbuatan hukum ada dua niat jam:
1- perbuatan jang akibatnja diatur oleh hukum, walaupun bagi
hukum tidak perlu akibat terscbiy dikehendaki oleh .jang mela
kukan perbuatan itu.
Djadi, akibat jang tidak dikehendaki oleh jang melakukan per
buatan itu, diatur oleh hukum. Tetapi perbuatan jang bersang
kutan tidak merupakan perbuatan hukum. Apakah akibat itu
dikehendaki atau tidak, itulah tidak penting— irrelevant—
bagi hukum jang mengaturnja. Kehendak itu bukan sjarat agar
akibat tersebut diatur oleh hukum.
2. Perbuatan jang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige
daad).
Ad. 1 :
Tjontohnja: perbuatan memperhatikan kepentingan orang de
ngan tidak diminta oleh orang itu untuk memperhatikan kepen-
tinganja ( zaakwaarneming), pasal 1354 K.U.H. Perdata. A tidak
dapat memperhatikan kepentingannja, karena ia sakit. Apabila se
orang lain memperhatikan kepentingan A walaupun tidak diminta
oleh A supaja memperhatikan kepentingannja, maka orang itu mau
tak mau—menurut hukum— wadjib meneruskan perhatian ter
sebut sampai A sembuh dan dapat lagi meinperliaLikan sendiri ke
pentingannja.
246
A d. 2:
Akibat suai« perbuatan jang bertentangan dengan liukum diatur
djuga oleh hukum, walaupun akibat itu memang tidak dikehendaki
oleh jang melakukan pefbuatan tersebut. Sia,pa jang melakukan
perbuatan jang bertentangan dengan hukum harus mengganti ke
rugian jang diderita oleh jang dirugikan karena perbuatan itu.
Djadi, karena sualu perbuatan jang bertentangan dengan hukum
timbullah suatu perutangan (verbintenis) untuk mengganti kerugi
an jang diderita oleh jang dirugikan.
Azas tersebut terdapat dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata jang
berbunji: „Setiap perbuatan jang bertentangan dengan hukum,
jang merugikan orang, mewadjibkan jang merugikan (jang melaku
kan itu) mengganti kerugian jang diderita oleh jang dirugikan” .
Penafsiran pasal 1365 K.U.H. Perdata dalam jurispriulensi Belan
da (jurisprudensi Indonesia mengikuti jurisprudensi Berlanda) ada
sedjarahnja 30. Dalam abad ke-19, ketika aliran legisme masih kuat,
jang mendjadi „perbuatan jang bertentangan dengan hukum” lia-
njalah suatu perbuatan jang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang-iindaiigan sadja. Pelanggaran sesuatu peraturan hukum
kebisaan tidak dianggap suatu perbuatan jang bertentangan dengan
hukum. Djadi, sesuai dengan aliran legisme: diluar undang-undang
tiada lnikum. Inilah suatu penafsiran jang sempit.
Dari Bab II lelah diketahui bahwa pada aliir abad ke-19 anggapan
legisme itu mendapat tentangan dari beberapa fihak. Kita telah
mengalaliui djuga bahwa M o 1 e n g r a a f f lah jang mula-mula
mengatakan bahwa penafsiran jang sempit itu tidak lagi dapat di
pertahankan dan diteruskan. Dalam sebuah karangan jang di
tempatkan di madjalali „Rechtsgeleerd Magazijn” (tahun 1887)
oleh M o l e n g r a a f f dikemukakan bahwa pengertian mengenai
perbuatan jang bertentangan dengan hukum, seperti jang disebut
dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata, tidak hanja meliputi suatu per
buatan jang bertentangan dengan suatu peraturan penmdang-
undangan, melainkan djuga meliputi perbuatan-perbuatan'jang
bertentangan dengan segala sesuatu jang ada diluar undang-
undang jang memuat kaidah sosial.
247
Tetapi anggapan ilmu hukum ini baru ililerima clalam juris-
prudensi pada tahun 191931. Masih pada tahun 1910 lloge Raad
di Negeri Belanda mendasarkan suatu keputusan tentang perbuatan
jang bertentangan dengan hukum atas penafsiran sempit itu °-.
Pada tahun 1913 disampaikan kepada dewan perwakilan rakjat
Belanda (bagian T%veede Kamer) suatu usul-undang undang untuk
mengubah redaksi pasal 1365 K.U.H. Perdata. Menurut usul terse
but, n:'aka suatu perbuatan jang bertentangan dengan hukum ialah
„menibuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu (melalaikan sesuatu)
jang : (a) melanggar hak orang lain, (b) bertentangan dengan ke-
wadjiban hukum dari jang melakukan perbuatan itu, (c) berten
tangan dengan baik kesusilaan maupun azas azas pergaulan kema-
sjarakatan mengenai penghormatan orang lain atau barang dari
orang lain” 33.
Usul tersebut tidak didjadikan undang undang. Tetapi pada
tahun 1919 oleh Hoge Raad dibuat suatu keputusan berdasarkan
penafsiran jang luas itu 34. Keputusan tahun 1919 itu telah m e n d ja d i
248
Beberapa tjontoh tentang suatu peristiwa lain jang bnkan per
buatan hukum : kelahiran, kematian, liwat waktu.
Kelahiran menimbulkan langsung hak dari anak untuk menda
pat pemeliharaan oleh orang tuanja (pasal 293 ajat 2 K.U.H. Per
data 3(J.
Tentang kematian lihatlah pasal-pasal 830, 833 K.U.H. Perdata.
Perketjualian dalam pasal-pasal 807 sub 1°, 818 K.U.H. Perdata
Liwat waktu ada dua matjam : liwat waktu akuisitif dan liwat
waktu ekstinktif.
Berdasarkan liwat waktu akuisitif dapat orang peroleh sesuatu
hak sehabis masa tertentu dan sjarat-sjarat jang telah ditentukan
dalam undang-undang dipenuhi. Liwat waktu akuisitif dapat dise
but liwat tvaktu jang mengakibatkan memperoleh sesuatu (verkrij-
gende verjaring). Maka dari itu liwat waktu akuisitif mendjadi
suatu tjara mendapat hak milik, (lihatlah pasal 584 KU.H. Per
data)..
Berdasarkan liwat waktu ekstinktif dapat orang dibebaskan
dari sesuatu tanggungdjawab („Haftung” ) sehabis'masa tertentu dan
apabila sjarat-sjarat jang telah ditentukan dalam undang-undang
dipenuhi.
Lembaga hukum liwat waktu itu penting bagi baik perkara-
perkara perdata maupun perkara-perkara pidana. Hak pemerintah
(overheid) untuk menuntut (tuntutan dilakukan oleh djaksa) atau
untuk mendjalankan hukuman jang telah diputuskan hakim, gu
gur sehabis masa tertentu dan apabila sjarat-sjarat jang telali di
tentukan dalam undang-undang dipenuhi. Lembaga hukum liwat
waktu bertudjuan mendjamin adanja kepastian-lmkum (rechts-
zekerlieid) (lihatlah Bab I, par. 8). ,
Liwat waktu dalam hukum Eropah positif diatur dalam pasal-
pasal 1946-1962 K.U.H. Perdata (azas-azas nmum), pasal-pasal 1963-
1966 K.U.H. Perdata (peraturan mengenai liwat waktu akuisitif),
pasal-pasal 1967-1977 37 K.U.H. Perdata (peraturan mengenai liwat
249
waktu ekstinktif). pasal-pasal 73 dan 84 IC.U.H. Pidana Hiwat waktu
dalam hukum pidana) s«.
Kami mengahiri paragrap ini dengan sebuah rangka (schema)
tentang peristiwa-hukum 39 .-
3.
oleh karena perbuatan
manusia)
1. H ak mutlak (absolut).
41 B e 11 e f r o i d, hal. 168.
42 Lihatlah ,Kembali ke Undang-undang Dasar 1945” , hal. 151-154 dan
157-158.
251
pokok manusia, letapi terbatas pada warga-negara (pasal-pasal 26
d jb .). Hak pokok manusia mendjadi bak jang oleb hukum diberi
kepada manusia, jang disebabkan bal — berdasarkan hukum —
kelahirannja setjara langsung menimbulkan hak-hak i lu.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa hak-hak itu oleh hukum
tidak lagi dapat ditjabut dari manusia. Melainkan, apabila kepen
tingan un:um memerlukan, maka hak-hak itu oleh hukum — tidak
oleh suatu kekuasaan atau kekuatan lain, sesuai dengan konsepsi
negara hukum” ! — dapat diambil atau dapat dibatasi.
Pada abad fikiran rasionalistis, ketika anggapan tentang hu
kum alam masih diterima umum, maka hak-hak pokok manusia itu
dianggap sebagai hak-hak jang oleh hukum alam, jang universil
dan abadi (tidak lagi dapat diubah), diberi kepada manusia
dan karena itulah tidak lagi dapat ditjabut dari manusia tersebut
( L o c k e ) . Hak pokok manusia ialah hak „inviolable e t sacre .
Menurut hukum modern, maka hak-hak pokok manusia adalah
hak jang oleh hukum diberi kepada manusia, tetapi — lial ini men
djadi suatu sjarat ! — apabila hak-hak tersebut bertentangan de
ngan kepentingan umum, maka hak-hak itu oleh hukum dapat di
ambil kembali. Djaman jang bertjorak seratus prosen individualis
tis, telah liwat. Pada djaman sekarang lebih diutamakan kepen
tingan umum !
Terang dari apa jang diuraikan dialas ini, maka kami me-
nganggap ,,Universal Declaration of Human Riglits” , jang dipro-
klamasi oleh Sidang Umum (General Assembly) Perserikatan Bang
sa-bangsa (P.B.B.) pada tanggal 10 Desember 1948, Iianja sebagai
suatu pernjataan azas-azas (beginselenverklaring) sadja. Sebagian
azas-azas jang disebut dalam „Declaration” itu dimasukkan kedalam
undang-iindang dasar sementara tahun 1950 dahulu, dan oleh Sidang
Pleno Konstituante dimasukkan dalam beberapa perumusan jans
dibuatnja pada tanggal 11 September 1958
252
•V
1.
Hak pribadi manusia adalah hak atas dirinja sendiri jang oleh
hukum diberi kepada manusia. Hak-hak ini tidak dapat diasing
kan atau diserahkan kepada sesuatu subjek hukum lain (onver-
vreenidbaar aan een ander reclitssubject). Tjontohnja :
pasal 1370 K.U.H. Perdata: barang siapa membunuh orang
dengan sengadja atau karena kurang berhati-hati, wadjib meng
ganti kerugian kepada jang ditinggalkan oleh jang dibunuh (nabe-
slaanden).
pasal 1371 K.U.H. Perdata: barang siapa jang membunuh orang
dengan sengadja atau karena kurang berhati-hati, wadjib menggan
ti kerugian kepada jang dilukai.
253
pasal 1372 K.U.H. Perdata : barangsiapa jang menistakan nama
baik, dsb. seseorang, wadjib mengganti kemgian kepada jang dinis-
takannja namanja.
2.
Hak keluarga adalah hak jang ditimbulkan karena hubungan
antara anggauta keluarga jang satu dengan jang lain. Hak keluar
ga itu dua matjam, hak keluarga absolut dan hak keluarga re-
tatij.
Beberapa hak keluarga absolut : hak marilal dari suami (pa
sal-pasal 105 djb. K.U.H. Perdata), hak suami untuk menguasai
barang kepunjaan suami-isteri berdua setelah mereka kawin (be-
heersrecht over de goederen der gemeenschap (pasal-pasal 124 dan
*25 K.U.H. Perdata)46, kekuasaan orang tua (ouderlijke m achl)
(pasal-pasal 293 djb. K.U.H. Perdata).
Hak-hak itu oleh hukum tidak diberi kepada jang bersangku
tan demi kepentingan sendiri, tetapi demi kepentingan dari jang
'dikenai oleh hak-hak itu. Misalnja, hak-hak itu tidak diberi kepada
orang tua demi kepentingannja, tetapi diberi demi kepentingan
anaknja. Hak-hak tersebut tidak dapat dihargai dengan uang mau
pun tidak dapat diasingkan atau diserahkan kepada subjek hukum
lain. . -
3.
Hak atas kekajaan adalah hak jang dapat dihargai dengan
uang (op gehl waardeerbare rechten).
3a.
Hak kebendaan adalah kekuasaan absolut jang oleh liukuni
diberi kepada subjek hukum snpaja dengan langsung menguasai
wiatu benda didalam tangan siapapun djuga benda itu tinggal *7-
254
Anasir-anasir jang ésénsiil adalah :
(a) kekuasaan absolut
(b ) dengan langsung menguasai (onm iddelijke lieerschappij)
(c) didalam tangan siapapun benda ilu tinggal. ,
Hak kebendaan itu kekuasaan absolut, karena liak tersebut
berlaku terhadap tiap subjek hukum lain. Subjek hukum lain se-
nmanja w adjib menghormati hak milik A atas, misalnja, tanahnja.
A sebagai jang memiliki tanah ilu dapat setjara langsung m e'
nguasi tanah tersebut, oleh karena kekuasaan (heerschappij) jang
didjalankan ilu tidak berdasarkan sesuatu hubungan-hukum de
ngan subjek hukum lain. A tidak ■menguasai tanah tersebut ber
dasarkan suatu hubungan-hukum dengan seorang lain seperti dalam
hal, misalnja, suatu perdjandjian sewa dengan umpamanja B.
Oleh karena hak kebendaan ilu, maka timbullah suatu hubu
ngan langsung antara jang berhak dengan bendanja. Hubungan
(langsung) ilu, oleli hukum' diadakan, supaja jang berhak diberi
kemiungkinan mendjalankan kekuasaannja setjara langsung. Tetapi
dalam hal A mendiami sebuah rumah berdasarkan suatu perdjan
djian sewa dengan B (dalam hal ini hubungan antara A dan ru
mah itu tidak langsung), maka A memiliki hak jang lianja berlaku
terhadap B dan tidak berlaku terhadap semua subjek hukum lain
dari pada B tersebut. Dalam hal demikian A m emiliki suatu liak
relatif. A m em iliki suatu hak jang hanja dapat didjalankan ter
hadap B. Hak A itu hanja dapat didjalankan terhadap suatu sub
je k hukum tertentu.
Tetapi oleh v a 11 A p e 1 d o o r 11 48 dikemukakan, bahwa an-
lara hak absolut dan hak relatif tiada pemisaihan müt,lak. Andainja,
B, sebelum masa perdjandjian sewa dengan A habis, mendjual ru
mah 11 j a kepada C. Pertanjaan: dapatkah A sekarang masih tetap
m endjalankan haknja atas mendiami rumali tersebut sampai waktu
masa perdjandjian sewa jang dahulu diadakannja dengan B telah
habis? Menurut sifat suatu hak relatif maka pertanjaan ini harus
didjaw ab dengan suatu tidak, tetapi menurut pasal 1576 K.U.H.
Perdata maka pertanjaan ini harus didjawab dengan suatu ja !
D ari tjontoh ini tem jatalah hal 'hak jang oleh hukum per
data menurut K.U.H. Perdata diberi kepada penjewa adalah suatu
hak jang memuat anasir-anasir kebendaan (zakelijke elementen).
255
A dapat memljalaiikaa liaknja jang ditimbulkan oleh perdjandjian
sewa itu terhadap tiap subjek hukum lain. Maka dari itu dapat
dikatakan, bahwa pemisahan antara hak absolut dan hak relatif
bukan pemisahan mutlak.
Oleh jang berhak, maka hak kebendaan itu tetap dapat didja-
lankan didalam tangan siapapun djuga bendanja tinggal. Kadang-
kadang benda itu oleh karena sesuatu sebab dikeluarkan dari ke
kuatan njata (feitelijke heerschappij) dari jang berhak dan se-
landjutnja dipindahkan kedalam kekuatan (tangan) orang lain atau
badan hukum lain. Tjontolmja: A mempunjai (pasal 570 K.U.H.
Perdata) sebuah radio. Pada tahun 1950 ia pergi ke Amerika Se
rikat. Sebelum ia berangkat, maka radio itu dipindjamkan kepada
B. Pada tahun 1952 A kembali di Indonesia. Sebelum tibanja di-
sini, oleh karena sesuatu sebab, radio tersebut telah dipindahkan
kedalam tangan C. Pemindahan itu tidak dilakukan dengan idjin
A. Tetapi setelah kembali di Indonesia, maka A dapat menggugat
radio tersebut dari tangan C. Pasal-pasal 574 dan 1977 ajat 2
K.U.H. Perdata.
Dapat dikatakan, bahwa hak kebendaan mengikuti benda jang
bersangkutan kedalam tangan siapapun djuga benda itu dipindah
kan. Hak kebendaan terlekat pada bendanja. D alam ilmu hu
kum dikatakan, bahwa hak k eben daan itu m eru p a k a n suatu
„droit de suite , atau dikatakan, bahwa hak kebendaan itu mem
bawa akibat kebendaan (zaaksgevolg). Berdasarkan hak kebenda-
annja, maka jang berhak mempunjai kekuasaan untuk menggugat
bendanja dari tangan siapapun djuga. Oleh karena hak kebendaan
mendjadi suatu hak absolut, maka dengan sendirinja hak kebenda
an adailah suatu „,droit de suite” 49.
Tetapi kekuasaan dari jang berhak untuk menuntut bendanja
dari tangan suatu subjek hukum jang tidak berhak atas benda itu,
mendapat pembatasan dari hukum sendiri. Pembatasan tersebut
terdapat dalam lembaga hukum mengenai liwat waktu, pasal-pasal
1963 dan 19 1 i ajat 2 K.U.H. Perdata. Liwat waktu jang disebut
dalam pasal 1963 K.U.H. Perdata mengenai liwat waktu hak atas
benda jang tidak bergerak, sedangkan pasal 1977 ajat 2 K.U.H.
Perdata mengenai liwat waktu hak atas benda jang bergerak
jang ditjuri dari jang berhak atau jang ditinggalkannja sehingga
hilang.
256
Tentang pasal 1963 K.U.H. Perclata lihatlah diatas tadi. Kami
menerangkan pasal 19/7 ajat 2 K.U.H. Perdata 50 dengan meiijebut
sebuah tjontoh: andaikan A membeli sebuah buku dari B. Buku
itu dahulu oleh B ditjuri dari C. Teapi A tidak mengetahui pen-
tjurian itu. Maka A berdjudjur hati (te goeder trouw) (pasal 531
K .U.H. Perdata). Selama waktu liga tahun, C sebagai jang mem-
punjai buku itu, dapat menggugatnja dari A. Tetapi setelah waktu
tiga tahun itu habis, maka buku tersebut oleh C tidak lagi dapat
digugat kembali. Setelah waktu tiga tahun, maka buku itu mendjadi
kepunjaan A. Hanja dalam hal A berakal buruk (te kwader trouw)
(pasal 532 K.U.H. Perdata), jakni A mengetahui pentjurian itu,
maka buku tersebut oleh C masih dapat digugat kembali.
Sekarang ada pertanjaan : siapakah jang harus membajar ke
rugian jang diderita oleh A ? (jakni dalam hal buku tersebut di
gugat kembali sebelum waktu tiga tahun itu liwat).
Djawaban: B.. Tetapi andainja buku itu oleh A dibeli di suatu
pekan tahunan (jaarmarkt) atau di pasar, di suatu lelang atau dari
seorang jang terkenal sebagai pendjual buku jang telah dipakai
(tweede hands), maka jang harus membajar kerugian jang diderita
oleh A ialah C, jakni jang mempunjai buku tersebut. Lihatlah pasal
582 K.U.H. Perdata.
Pasal 528 K.U.H. Perdata menjebut hak mana merupakan hak
kebendaan 51. Dalam daftar tersebut— jaitu menurut anggapan kami
— ada dua kesalahan faham :
Besit (pasal 529 K.U.H. Perdata) bukan hak, tetapi suatu ke
kuatan njata (feitelijke heerschappij) atas sesuatu benda dan ke
kuatan njala itu dilindungi oleh hukum (lihatlah dibawali ini).
Hak keahli-warisan (erfgenaamschap) bukan hak absolut, tetapi
djuga hak relatif, misalnja, utang (perulangan jang belum dibajar
(dilunasi, dipenuhi) oleh jang meninggalkan warisan itu).
Disamping dua kesalahan faham tersebut ada suaUi keragu-
raguan, jaitu diragu-ragukan apakah hak mengenjam hasil (vruclit-
genot) ilu suatu hak kebendaan atau suatu perutangan.
257
Daftar tersebut tidak lengkap (tidak lim itatif), karena tidak
disebut dalam daftar itu hak-liak kebendaan jang berikut: hak op-
sial (reeht van opstal), hak pengusahaan tanah (erfjJaeht), hak
padjak tanah (grondrente), liak penggunaan hasil (vruchtgebruik)
dan hak penggunaan dan pendiaman (gebruik en bew oning), jang
semuanja diatur djuga dalam K.U.H. Perdata 5~.
Sesudah Undang-undang Pokok Agraria, L.N. 1960 Nr 104,
mentjabut ,,Buku ke-II Kilab Undang-undang Hukum Perdatf
Indonesia sepandjang jang mengenai bumi, air serta kekajaan alam
jang terkandung didalamnja, ketjuali kelentuan-ketentuan menge
nai hypotlicek jang masih berlaku pada mulai berlakiuija undang-
undang ini” , maka tidak lengkapnja pasal 528 K.U.H. Perdata itu
bukan soal lagi, karena hak opstal, „erfpacht” , „vruchtgebruik’ dan
„gebruik en bewoning” itu tidak lagi merupakan hak-hak atas ta
nah jang diatur oleh hukum positif di Indonesia.
Sebagai penggantinja hak-hak atas tanah jang diatur dalam
Buku II K.U.H. Perdata itu dan jang telah dinjatakan tidak lagi
dapat dipakai, Undang-undang Pokok Agraria tersebut m en en tu k an
8 hak-hak baru atas tanah, menurut sistim hukum atas tanah se
bagai berikut :
258
Pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria menentukan dalam ajat'
1 dan ajat 2 :
„1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ajat (3) Undang-undang
Dasar dan lial-hal sebagai jang dimaksud dalam pasal 1, bu
mi, air dan ruang angkasa, termasuk kekajaan alam jang ter
kandung didalamnja itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakjat.
2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ajat (1) pasal
ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menjelanggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang ankasa
tersebut ;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum an
tara orang-orang dengari bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum an
tara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum jang me
ngenai bumi, air dan ruang angkasa” .
Pasal 4 Undang undang pokok Agraria menentukan-dalam'ajat
1 :
„Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai jang dimaksud
dalam pasal 2 ditentukan adanja matjam-matjam hak atas permu
kaan bumi, jang disebut tanah, jang dapat diberikan kepada dan
dipunjai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama de
ngan orang-orang lain serta badan-badan hukum” .
Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria menentukan dalam
ajat 1 :
„1. Hak-hak atas tanah sebagai jang dimaksud dalam pasal 4 ajat
(1) ialah :
a. hak milik,
b. hak gunausalia,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanali,
g. hak memungut hasil hutan,
h. hak-hak lain jang tidak termasuk dalam liak-hak tersebut di-
atas jang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak
jang sifalnja sementara sebagai jang disebutkan dalam pasal
53” .
259
Dari apa jang dikemukakan diatas ini, kelihatanlah lial me
ngenai hak hak atas tanah (benda jang tidak bergerak) sedjak ber-
lakunja Undang undang Pokok Agraria telah terljapai unifikasi,
jaitu segala hak-hak atas tanah itu diatur oleh salu hukum Indo
nesia. Tetapi mengenai hak-hak (kebendaan) atas benda jang ber
gerak masih tetap ada dualisme, jaitu hak-hak menurut hukum Ero-
pah di samping hak-hak menurut 'hukum adat.
Menurut anggapan ilmu hukum modern, maka tiada hak ke
bendaan lain dari pada jang disebut dalam peraturan perundang-
undangan. Maka dari itu dapat dikatakan, bahwa hak kebendaan
itu merupakan suatu sistim tertutup (gesloten systeem). Sistim ter-
tutupnja hak kebendaan ini perlu unLuk melindungi kepentingan
fihak ketiga, karena daja pengaruh hak kebendaan itu, sebagai su-
alu „droit de suite” , adalah sangat besar.
Hak kepunjaan 53 menurut K.U.H. Perdata (benda jang bergerak5*-
Menurut pasal 570 K.U.H. Perdata, maka hak kepunjaan ada
lah hak untuk mengenjam kenikmatan seluas-luasnja dari sesuatu
benda dan mempergunakan (besehikken)-nja setjara jang tidak
terbalas (= apabila perlu maka benda jang merupakan kepunjaan
itu dapat diasingkan), asal sadja penggunaan itu lidak bertenta
ngan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum j allS
dibuat oleh suatu kekuasaan jang berhak membualnja dan asal sa
dja penggunaan itu tidak mengganggu hak orang lain; tetapi hak
kepunjaan itu dapat ditjabut untuk kepentingan umum dengan
mengingat sjarat, bahwa pentjabulan itu akan diadakan dengan
mengganti kerugian dan berdasarkan suatu peraturan perundang-
undangan.
D an apa jang dikemukakan diatas tadi, teranglah sekarang
pasal 5<0 K.U.H. Perdata hanja berlaku mengenai benda jang ber
gerak.
Perumusan tentang hak kepunjaan ini masih sangal liberalis-
tis, dan harus diubah. Sifat (sosial) dari hak kepunjaan pada
d jaman sekarang telah kami bitjarakan dalam Bab V, par. 1 dan
par. 2, diatas tadi.
53 Jang dimaksud dengan ,,kepunjaan” ialah milik menurut hukum
Eropali ^ pasal 570 K.U.H. Perdata — sedangkan jang dimaksud
dengan „m ilik” ialah milik menurut hukum adat dan menurut Undang-
undang Pokok Agraria, L.N. 1960 Nr 104, pasal 16 ajat 1 sub a jo
pasal 4 ajat 1.
54 Mengenai hak milik dalam hukum adat Indonesia lihatlah Prof. Mr B.
t e r H a a r Bzn dan Prof. Dr J.H..A. L o g e m a n n ,,Het besehik-
kingsreeht der Indonesische rechtsgenieenschappen” dalam T. 125. hal.
347, dan T. 128, hal« 107 dan 329.
260
Padu hakekalnja hak kepunjaan itu hak kebendaan jang se-
sem'purna-seinpurnanja. Hak kepunjaan lebih sempurna dari pada
hak-hak kebendaan lain. Hal ilu karena dua sebab :
a. hak kepunjaan adalah hak atas benda seiidiri (reclit op eigen
zaak), jakni benda itu kepunjaan dari jang berhak. Hak-liak
kebendaan lain mendjadi hak atas benda orang lain (subjek
h u k u m la in ) ( r e c l i t o p e e n a n d e r s z a a k ) 55.
b. hak kepunjaan memberi kepada jang berhak dua kekuasaan :
1. kekuasaan untuk memungut kenikmatan bendanja, jakni
untuk memungut „genot” .
2. kekuasaan untuk mengasingkan (mendjual, memberi, me
nukar, mewariskan setjara legat) bendanja, jakni jang m m -
punjai diberi „besehikking” .
Hak kebendaan lain hanja memberi „genot” (hak servitut, hak
opslal, hak pengusahaan tanah, hak padjak tanah, hak peng
gunaan hasil, hak penggunaan dan pendiaman, hak berdasar
kan „conversie-beschikking” dan konsesi tambang—lihatlah
noot 52) atau „besehikking” (hak pand, hak hypotik, hak
„credietverband” dan hak „oogstverband” — lihatlah noot 52)
(tetapi hanja kekuasaan untuk mendjual).
Hak kepunjaan adalah hak kebendaan satu-satunja jang mem
beri kepada jang berhak baik „genot” maupun „besehikking” 5C.
Perbedaan jang disebut pada sub b adalah akibat dari perbe
daan jang disebut pada sub a. Sebuah tjontoh (dari waktu sebe
lum berlakunja Undang-undang Pokok Agraria) : hak servitut mem
beri kepada subjek hukum kekuasaan supaja ia dapat mendjalani
sebidang halaman — jakni benda — suatu subjek hukum lain se
hingga ia dapat mentjapai halaman sendiri. Hak servitut diperlukan
oleh subjek hukum, karena halaman subjek hukum' lain itu letaknja
diantara halamannja sendiri dan djalan umum. A,gar dapat mentja
pai halaman sendiri itu maka subjek hukum tersebut terpaksa
mendjalani halaman suatu subjek hukum lain. Sudah tentu, jang
diberi kekuasaan berdasarkan hak servitut itu tidak dapat menga
singkan halaman — jakni benda — subjek hukum lain tersebut
261
jang dibebani (diberati) dengan suatu servitut djaian (erfdieustbaar-
lieid van w eg), karena halaman jang disebut terahir bukan kepu-
njaannja. Hanja subjek hukum lain itu jang dapat lriengasingkan-
nja. Jang diberi kekuasaan berdasarkan hak servitut hanja dapat
mengenjam kenikmatan mendjalani halaman (benda) jang dibebani
hak servitut itu.
Maka dari itu dapat dikatakan, bahwa hak-hak kebendaan lain
hanja membatasi tjara mendjalankan hak kepunjaan seseorang, dan
tidak mengesampingkannja. Apabila hak kebendaan atas kepunjaan
subjek hukum lain sama sekali dihapuskan, maka baru hak kepu
njaan itu dapat didjalankan setjara seluas-luasnja.
Tetapi hak kepunjaan itu tidak boleh didjalankan setjara jang
tidak terbatas. Hak kepunjaan harus didjalankan sesuai dengan
kepentingan umum. Dari apa jang dikem'ukakan dalam Bab V di-
atas tadi, teranglah bahwa hak kepunjaan itu mempunjai suatu
funksi sosial 57.
Hak-hak kebendaan lain (hal ini telah dikatakan tadi) dan
hak-hak relatif, jang kedua-duanja dalam tangan subjek hukum lain,
dapat membatasi tjara mendjalankan hak kepunjaan. Misalnja, oleh
karena halaman A dibebani dengan suatu servitut supaja B dapat
mentjapai halaman sendiri dengan mendjalani halaman jang dibe
bani itu (kewadjiban untuk mengidjinkan dan menanggung B da
pat mendjalani halaman jang dibebani itu diberi nama „duld-
plicht” ) ; oleh karena A telah menjewakan rumalinja kepada B
untuk delapan bulan, maka selama delapan bulan itu A tidak dapat
berbuat sesuatu jang mungkin bertentangan dengan isi perdjandji-
an sewa jang sudah diadakannja dengan B terlebih dahulu (lihat
lah pasal 1550 K.U.H. Perdata).
. Pasal 584 K.U.H. Perdata menjebut tjara-tjara mendapat hak
kepunjaan.
262
Hak milik m cnund Undang-undang P okok Agraria (benda jang
tidak bergerak) 5S.
Dibandingkan dengan hak kepunjaan jang diuraikan diatas
tadi, maka dapat, dibuat kesimpulan bahwa hak milik menurut
Uudang-undang Pokok Agraria itu lebih diikat sosial (sociaa.1 ge-
bonden).
Hal ini kelihatan dari beberapa ketentuan jang bersangkutan.
Pertama-tama, hak milik tersebut didasarkan atas hukum adat,
dengan kata-kata lain: lebih mendekati m ilik menurut hukum
adat G9. Pasal 5 Undang-undang Pokok Agraria m'engatakan bahwa
„Hukum agraria jang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
adalah hukum adat, sepandjang tidak bertentangan dengan kepen
tingan nasional dan Negara, jang berdasarkan atas persatuan bang
sa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan jang ter-
tjantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perunda
ngan lainnja, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur jang
bersandar pada hukum agama” . Dalani ketentuan ini ditentukan
bahwa hukum adat mendjadi inti hukum jang mengatur keadaan
hukum dari tanah. Tetapi hukum adat jang mengatur keadaan
hukum dari tanah itu, bukanlah hukum adat dalam keadaan aslinja.
Ditegaskan pula bahwa hukum adat jang mengatur keadaan hukum
dari tanah itu tidak boleh bertentangan dengan ,,kepentingan na
sional dan Negara, jang berdasarkan atas persattian bangsa” , „sosi
alisme Indonesia” , ketentuan-ketentuan Undang-undang Pokok
Agraria dan peraturan-peraturan perundang undangan lainnja
dalam bidang agraria, dan segala sesatu itu harus .,mengindahkan
unsur-unsur jang bersandar pada, hukum agama” .
Selandjutnja, segala mendjalankan hak milik itu dikuasai oleh
pemeritah. Ajat 2 dari pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria itu
menentukan bahwa wewenang pemerintah dalam ,,menguasai” itu
adalah : „a. mengatur dan menjelenggarakan peruntukkan, peng
gunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
........... ; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa” 60. Terang
lah hal „menguasai” itu meliputi wewenang pemerintah untuk me
ngadakan perluran-peraturan dalam bidang agraria dan mendjalan-
263
kan tindakan-tindakan hukum mengenai bumi, air dan ruang angka
sa, tetapi „menguasai” itu tidak berarti bahwa negara mendjadi
pemilik bumi, air dan ruang angkasa itu. Hak milik perseorangan
(individuil) atas benda-benda jang tidak bergerak tetap diakui—
lihatlah apa telah kami kemukakan dalam Bab V diatas tadi—■,
tetapi mendjalankan hak milik itu dibawah pengftivnsan teliti dari
fihak pemerintah.
Pengakuan penuh hak milik itu, sebagai sualu hak perseora
ngan (individuil) terdapat dalam pasal 20 Undang-undang Pokok
Agraria. Ajat 1 menentukan bahwa „Hak milik adalah hak turun-
temurun, terkuat dan terpenuh jang dapat didjumpai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6” . Jang mendjadi
inti hak milik itu adalah „turun-temurun” — jang berhubungan
dengan ajat 2— , „terkuat” dan „terpenuh” . Kata-kata ini mengi
ngat kita pada hak kepunjaan menurut pasal 570 K.U.H. Perdata,
tetapi kata-kata tersebut tidak boleh diartikan sedemikian, berhu
bung dengan pembatasan dalam' kata-kata „dengan mengingat ke
tentuan dalam pasal 6” , Oleh sebab itu ,,terkuat” dan „terpenuh”
tidak boleh diartikan sebagai „tidak terbatas” ’, seperti Iialnja de
ngan hak kepunjaan dalam pasal 570 K.U.H. Perdata — lihatlah
diatas tadi.
Sifat keadaan dari hak milik ini kelihatan djuga dalam pasal
22 ajat 1, jang menentukan bahwa „Terdjadinja hak milik menu
rut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah” .
Besit. ' i .
Pasal 529 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa „jang dimaksud
dengan besit ialah menguasai (houden) atau mengenjam kenikma
tan sesuatu benda jang langsung atau dengan perantaraan orang
lain ditempatkan dibawah kekuatan njata (macht, feitelijke heer-
schappij) seseorang seolah-olah benda itu k e p u n j a a n n j a ” .
Tjontohnja : A menempati sebuah rumah. Di rumah itu ter
dapat sebuah lemari. Oleh jang mendiami rumah itu pada waktu
sebelum A datang dikatakan, bahwa lemari tersebut bukan kepu
njaannja. Walaupun A telah beberapa kali memasang iklan dalam
harian (surat kabar), masi'h djuga tiada seorangpun jang datang
ke rumahnja dan mengatakan lemari itu kepunjaannja. Pendeknja :
lemari tersebut ditempatkan dibawah kekuatan njata (feitelijke
heerschappij) dari A dengan tidak berdasarkan suatu hak kepunja-
264
an atau suatu perdjandjian simpan. Kekuatan njala inilali dilin
dungi oleh hukum.
Jang m'end jalankan besit ialah subjek hukum jang pada ke-
njataannja mempunjai hak kuasa (djadi, suatu kekuatan njata)
alas sesuatu benda seolah-olah benda itu kepunjaannja sungguh-
sungguh. Bahkan, sekalipun jang mendjalankan besit tidak berhak
alas menempatkan benda itu dibawah kekuatannja, masih d juga
ia harus dianggap sebagai jang mempunjai sungguli-sungguh, se
mentara benda tersebut tidak atau belum diminta kem bali oleh
jang sungguh-sungguh berhak, dengan perantaraan hakim. Maka
itu dapat dikatakan, bahwa besit mendjadi suatu perlindungan se
suatu kekuasaan njata atas suatu benda (beseherming van een fei-
lelijke lieerschappij over een zaak) dengan tidak berdasarkan suatu
hak kepunjaan atau suatu perdjandjian dengan suatu subjek hu
kum lain. Per.lindungan ini diberhentikan, apabila jang berhak
meminta kem bali kepunjaan dengan perantaraan hakim.
Djika besit itu didjalankan oleh subjek hukum berdasarkan
suatu hak kepunjaan, maka subjek hukum jang bersangkutan m e
nguasai bendanja sebagai jang mempunjai sungguh-sungguh.
Djika besit itu didjalankan oleh subjek hukum berdasarkan per
djandjian dengan suatu subjek hukum lain, maka subjek hukum
jang .kami sebut pertama menguasai benda jang bersangkutan ka
rena detensi (detentie, houderscliap), jakni benda tersebut dikua
sai oleh subjek hukum karena suatu hubungan-hukum (rechtsbe-
trekking) dengan suatu subjek hukum lain.
Walaupun besit dalam pasal 528 K.U.H. Perdata disebut: hak
atas sesuatu benda, masih djuga menurut pendapat kami besit itu
bukan hak, tetapi perlindungan suatu kekuatan njata (beseherming
van een feitelijke lieerschappij) 61 j ang oleh hukum diberi atas se
suatu benda dan perlindungan itu tidak berdasarkan hak kepunjaan
maupun perdjandjian (overeenkom st). Perlindungan tersebut oleh
hukum diperlukan supaja subjek hukum lain tidak dapat dengan
begitu sadja menjerang kekuatan njata atas benda itu. Perlindungan
tersebut perlu supaja dapat ditjegah mengadili sendiri (eigen-
richting). Perlindungan tersebut djuga diteruskan, bilamana ben
da jang bersangkutan, oleh karena sesuatu sebab, telah dikeluarkan
dari kekuatan njata dari jang mendjalankan besit itu setjara jang
265
b erten ta n gan dengan keliendaknja (lihailah pasal-pasal 550 dan 563
K.U.H. Perdata). Disini kelihatanlah lugas polisionil dari hukum.
Anggapan jang terdapat dalam sistim "K.U.H. Perdata menge
nai besit berasal dari hukuni Romawi dengan perubahan dari v o 11
S a v i g n y dan v o n J h e r i n g. Buku kami ini tidak memberi
kesempatan untuk mendalami soal besit itu.
Besit dapat didjalankan setjara berdjudjur hati (te goeder
trouw), tetapi djuga setjara berakal buruk (te kwader trouw)
(pasal 530 K.U.H. Perdata). Besit jang didjalankan setjara berdju
djur hati dapat membawa kepunjaan (eigendom) setelah liwatnja
suatu waku serta sjarat-sjarat jang ditetapkan oleh undang-undang
dipenuhi (pasal 1963 K.U.H. Perdata).
Hak-hak kebendaan lain jang disebut dalam K.U.H. Perdata
jang masih dapat dipakai sesudah berlakunja Undang-undang Po
kok Agraria, adalah:
266
serahkan kepada B. Perbuatan penjerahan (levering — „terliand
stellen” ) arlodji tersebut kepada B menimbulkan suatu hak keben
daan (dari B) alas arlodji itu. Hak ini disebut (hak) pand.
Andaikan pada tanggal 1 April 1953 utang itu tidak dibajar
oleh A. Setelah B memberitahukan kepada A bahwa utang itu be
lum dibajar walaupun djangka pelunasan (aflossingstermijn) telah
liwat (pasal 1155 K.U.H. P erdata: „na eene sommatie tot voldoe-
ning” ), maka dapat ia mendjual arlodji itu dan dari d jumlah uang
jang diterima dari pembeli dapat diambilnja uang jang dahulu di-
pindjamkannja kepada A.
Dikatakan „B dapat mendjual arlodji itu” , karena B tidak
boleh m emilikinja (pasal 1154 K.U.H. Perdata). Andainja arlodji
itu harga Rp. 1000,— dan uang jang dipindjamkan kepada A lianja
Rp. 500,— besarnja, maka dalam hal demikian B wadjib menje
rahkan sisanja ( = Rp. 500,— ) kepada A.
B harus mendjual arlodji itu di suatu tempat umum dan se-
tjara kebiasaan kedaerahan (in het openbaar naar plaatselijke ge-
woonten) (pasal 1155 K.U.H. Perdata).
Terketjuali kalau dalam perdjandjian pindjam ditentukan sja-
rat-sjarat lain, maka B dapat mendjual arlodji itu dengan tidak perlu
terlebih dahulu meminta idjin dari liakim. Dalam hal demikian
B m em punjai kekuasaan eksekusi langsung (parate executie) (pasal
1155 K.U.H. Perdata).
II ak hipotik.
Jang dimaksud dengan hipotik ialah hak kebendaan jang d i
peroleh penagih (créditeur) atas sesuatu benda jang tidak bergerak
sebagai tanggungan untuk uang jang tlipindjamkannja kepada jang
m emilik (eigenaar) (pasal 1168 K.U.H. Perdata) benda itu. Penagih
berhak menagih (menggugat) pembajaran uang itu didahulukan
dari pada utang-utang orang lain (pasal 1162 K.U.H. Perdata; de
finisi jang disebut dalam ketentuan ini tidak lengkap).
Pasal 1164 K.U.H. Perdata menjebut benda mana jang dapat
m endjadi objek suatu hak hipotik. Daftar ini tidak dapat diper
luas (lim itatif). Di samping benda jang disebut dalam pasal 1164
K.U.H. Perdata ada djuga benda lain jang apat mendjadi objek
hipotik, karena undang-undang m'enjebutnja : kapal (pasal 314
K.UH. Dagang, pasal 510 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa ka
pal m endjadi barang jang bergerak) dan, sebelum berlakunja Un-
dang-undang Pokok Agraria, tanah jang tunduk pada hukum kepu-
njaan agraria (agrarisclie eigendom).
267
Antara panci dan hipotik ada perbedaan sebagai berikut :
1. pand mengenai benda jang bergerak sedangkan liipotik me-
nenai benda jang tidak bergerak.
2. dalam hal pand benda itu dalam tangan penagih (créditeur)
sedangkan dalam hal liipotik benda itu dalam tangan dari jang
berutang ( debiteur).
3. dalam hal pand penagih dapat diberi kekuasaan eksekusi lang
sung (parate executie) sedangkan dalam hal hipotik penagih ha
rus terlebih dahulu meminta idjin hakim bilamana ia hendak
mendjual (pasal 1173 ajat 1 K.U.H. Perdata) benda jang di
berati dengan hipotik itu (pasal 1173 ajat 2 K.U.H Perdata
memberi kepada penagih kemungkinan diberi kekuasaan ekse
kusi langsung dengan sjarat kekuasaan itu ditegaskan dalam
daftar liipotik).
Baik pand maupun hipotik kedua-dnanja adalah hak kebenda-
an jang bertudjuan memberi kepada penagih tanggungan supaja
uang jang dipindjamkan akan dikembalikan oleh jang berutang.
Maka dari itu pand dan liipotik diberi nama h ah hcbemlaan jang
menanggung (hak kebendaan jang memberi tanggungan) (zakelijk
zekerheidsrecht).
Baik pand maupun hipotik tidak berdiri tersendiri (zelfstan-
dig). Sesudah uang jang dipindjam oleh jang berutang dikem bali
kan, maka dengan sendirinja pand atau hipotik jang bersangkutan
dihapuskan. Pand dan hipotik mendjadi hak jang hanja ditim bul
kan karena suatu hak lain telah ada. -Hak lain tersebut adalah hak
penagih untuk menagih (menggugat) uang jang dipindjanlkannja
itu dari tangan jang berutang. Hak pand dan hak hipotik men
djadi (hak jang memberi) tanggungan bagi penagih supaja uang
jang dipindjamkannja akan dikembalikan oleh jang berutang. B i
lamana uang itu telah dikembalikan, maka dengan sendirinja tidak
perlu lagi adanja tanggungan, jaitu dengan sendirinja hak pand
dan hak hipotik dihapuskan, karena hak menagih dari penagih
tidak ada lagi. Maka dari itu pand dan hipotik diberi nama Jiah
asèsor (accessoire rechten), jakni hak jang terletak pada suatu hak
lain. Sesudah hak lain itu tidak lagi maka dengan sendirinja hak
asèsor lenjap djuga.
Apabila jang berutang djatuh kedalam keadaan palit (kepali-
tan), maka baik jang memegang pand maupun jang memegang h i
potik dapat menagih (menggugat) pembajaran uang jang dipin-
268
djamkannja didahulukan dari pada utang utang orang lain (pasal
56 ajat 1 Peraturan Kepalitan (Faillissenientsverordering), L.N.H.B.
1905 ]\a 217 jo 1906 Nr 348) 63.
Dialas ladi lelah kami ijatal bahwa menurut konsiderans Uu
dang undang Pokok Agraria, maka sesudah berlakunja Undang-
undang Pokok Agraria, ketentuan ketentuan dalam K.U.II. Perdata
nu'iig'.-nai hipotik lelap berlaku. Hal ini ditegaskan lagi dalam
pasal 57 Undang undang Pokok Agraria, jang mengatakan bahwa
„Selama undang undang mengenai hak tanggungan lersebut dalam
pasal 51"’ — pasal 51 ini berbunji : „Hak tanggungan jang dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangu
nan ............... diatur dengan undang-undang” — ,belum terbenluk,
maka jang berlaku ialah ketentuan ketentuan mengenai hypotheek
tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai jang telah
diubah dengan S. 1937-190” .
269
U n d a n g -u n d a n g Pokok Agraria tidak mcnjinggung tentang ber
laku atau tidak berlakunja peraturan mengenai „oogstverband”
jang djuga mendjadi suatu hak kebendaan jang menanggung dan
penggantinja — jaitu kalau diperlukan suatu pengganti (lihatlah
pasal 51 U ndang undang Pokok Agraria) — belum ditentukan. Apa
kah hak „oogstverband” itu untuk sementara waktu masih dapat
dipakai ?
270
Hak guna-usaha.
Pasal 28 ajat 1 mengatakan bahwa „H ak guna usaha adalah
hak untuk mengusahakan tanah jang dikuasai langsung oleh Nega
ra, dalam djangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,
guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan” . Pasal 29
tersebut menentukan djangka djangka waktu (termijnen) berlaku-
nja hak guna-usalia itu.
Karena tanah jang hendak dibebani dengan hak guna-usaha itu
dikuasai langsung oleh negara, maka djuga pemerintahlah jang
m emberi hak guna-usalia tersebut. Pemberian liak guna-usaha itu
hanja diadakan untuk suatu tudjuan tertentu: untuk mendjalankan
„perusahaan pertanian, perikanan dan pertenakan” , dan hanja atas
tanah jang luasnja paling sedikit 5 liektar (ajat 2 pasal 28).
Perlu diperhatikan bahwa orang asing tidak dapat memper
oleh hak guna-usaha itu, dan badan-ibadan hukum jang bermodal
asing hanja dapat memperolehnja dalam lial „diperlukan oleh
undaug-undang jang mengatur pembangunan nasional semesta”
(ajal. 2 pasal 55).
Pasal 33 menentukan bahwa „Hak guna usalia dapat didjadi-
kan djaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan” .
Boleh dikatakan bahwa hak guna-usalia ini mengandung banjak
persamaan dengan „erfpacht” dahulu.
Hak guna-bangunan.
Pasal 35 ajat 1 mengatakan bahwa „Hak guna-bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan meiiipunjai bangunan-bangunan atas
tanah jang bukan miliknja sendiri, dengan djangka waktu paling
lama 30 tahun” .
Hak ini mengandung banjak persamaan dengan hak opstal
dahulu 67.
271
Djangka waktu paling lama 30 tahun itu dapat diperpandjang
dengan ajangka waktu paling lama 20 tahun (ajat 2 pasal 35).
Berlainan dengan hak guna-usaha maka tanah jang dibebani
-dengan hak guna-bangunan itu bukanlah tanah jang dipakai untuk
melakukan usaha pertanian, perikanan atau peternakan. Oleh sebab
itu hak guna bangunan itu dapat diberi atas tanah jang langsung
dikuasai oleh negara maupun tanah jang mendjadi milik seorang
partikelir (lihatlah pasal 37).
Pasal 39 menentukan bahwa „Hak guna-bangunan dapat didja
dikan djaminan liutang dengan dibebani hak tanggungan” .
Hak pakai.
Pasal 41 ajat 1 merumuskan hak pakai itu sebagai berikut :
„Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau m e m u n g u t
hasil dari tanah jang dikuasai langsung oleh Negara atau tanali-
milik orang lain, jang memberi wewenang dan kewadjiban jang
ditentukan dalam keputusan pemberiannja oleh pedjabat jang ber
wenang meinberikannja atau dalam perdjaudjian dengan pemilik
tanahnja, jang bukan perdjandjian sewa-menjewa atau perdjandji-
an pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
d jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini” . Dari definisi
ini terang bahwa hak pakai ilu adalah hak untuk menggunakan
dan memungut hasil tanah jang mendjadi milik orang lain atau
tanah jang dik-uasai langsung oleh negara.
272
Batas djangka waktu dilakukannja liak itu tidak ditentukan
(ajat 2 pasal 41).
Bedanja dengan hak gunausalia adalah liak pakai itu tidak
hanja diheri untuk melakukan perusahaan pertanian, perikanan
dan peternakan sadja. Perbedaan jang kedua adalah hak pakai
ini djuga dapat diberi atas tanah jang lebih ketjil dari pada 5
hektar.
Hak guna-air.
Menurut ajat 1 pasal 47 hak guna-air itu adalah „hak mem
peroleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu
di atas tanah orang lain” .
Hak ini mengingatkan kita pada hak servitut dahulu.
273
Hak guna-ruang angkasa.
Menurut ajat 1 pasal 48 hak guna-ruang angkasa itu „m em beri
wewenang unluk mempergunakan tenaga tlan unsur unsur dalam
ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembang
kan kesuburan bumi, serta kekajaan alam jang terkandung dida-
lamnja dan lial-hal lainnja jang bersangkutan dengan itu” .
Menurut ajat 2, maka hak ini akan diatur lebih landjut de
ngan peraturan Pemerintah. ,
Perlu kami kemukakan bahwa ternjata bagian besar dari hak-
hak atas tanah jang tersebut dalam Undang undang Pokok Agraria
adalah hak-hak jang mengandung banjak unsur-unsur hak keben
daan Barat.
Undang-undang Pokok Agraria tidak mentjabut berlakunja
L.N.H.B. 1899 Nr 214 („Indische Mijnwet” , mulai berlaku pada
tanggal 1 Mai 1907) dan L.N.H.B. 1930 Nr 38 („M ijnordonnantie
1930” ) 6!>. Tetapi telah dibuat beberapa peraturan baru dengan
maksud mengganti konsesi lambang menurut „Indische Mijnwet ’
itu dengan suatu hak baru — kuasa pertambangan — jang ada dalam
tangan pemerintah (peraturan Pemerintah pengganti undang-un
dang ih. 1960 Nr 37, L;N. 1960 Nr 119, dan peraturan Pemerintah
pengganti undang undang th. 1960 Nr 44, L.N. 1960 Nr 133) ™.
274
3b
Perlindungan barang tjiptaan orang diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan :
timbul keraguan apakah „grantrecht” jang tidak di„conversie” kan
dapat mcndjadi objek tanggungan kredit. Berhubung dengan lial ini
lihatlah keputusan Raad van Justitie Medan tertanggal 28 Desember
1923, T. 126, hal. 1 djb., dan keputusan Hoog Gerechtshof tertanggal
28 April 1927, T.. 126, hal. 17 djb. (dengan tjatatan Prof. K o l l e -
w i j n ) . Lihatlah djuga keputusan Hoog Geresclitshof tertanggal 16
Februari 1933, T. 137, hal. 396, dan „Noodordonnantie” (ordonnansi
darurat), L.N.H.B. 1927-Nr 522. Ahirnja, sebagai penibatjaan umum
tentang „conccssie” dan „erfpacht” dapat djuga disebut disertasi
Dr J.C.W. L e k k e r k c r k e r „Concessies en erfpachten voor land-
bouwondcrnemingen in dc buitengewesten” , Amsterdam 1928.
Jurisprudensi sesudah Perang Dunia II : keputusan Mahkamah Agung
tertanggal 6 Djuli 1955 dalam „Hukum” , 5 /6 , hal. 19-22; kepu
tusan Mahkamah Agung tertanggal 7 Agustus 1956 dalam „Hukum
1957, 3 /4 , hal. 2 4 ; beberapa tulisan jang paling aliir : G o u w
G i o k S i o n g „Beberapa tjatatan sekitar perubahan-perubahan
hukum tanah antargolongan,, dalam „Hukum” , 1957, 7 /8 , ehusus
hal. 14-17, dan „H ukum agraria antargolongan” , 1959, hal. 24, 29-
3 7 ; Mr S.A. A m i n „Sedikit tentang „„H ak grant” ” dalam , , Hu
kum ” , 1958, 1 / 2 ; hal. 15-20; M o c n t o h a „Hak-hak „„grant” ”
di Sumalcra Tim ur” dalam madjalah „Agraria” , I, 1 (Maret 1958).
Penibatjaan mengenai agraria di daerah Surakarta dan Jogjakarta
(berhubung dengan hak berdasarkan L.N.II.B. 1918 Nr 21 jo Nr 22) :
P. d e R o o d e l a F a i l l e „W aarom 'dc Vorstcnlandsche agra-
risehe toestanden op Java dienden te worden hervormd” dalam
»T ijdsclirift voor Economische Geographie” , 14 (1 9 2 3 ), hal. 3 -5
d jb .; „T oclichtin g der nieuwe regeling omtrent de verkrijging 'a n
gronden voor Iandbouwdoeleindcn in de residenlien Soerakarta en
D jok jak an a ” , 1925; Mr J.H. H e s l i n g a „Schets van de agrarisehe
wetgeving in de Javnanschc vorstenlanden” dalam „D e Indische Gids ,
1926, I, hal. 131 d jb .; K. S o e p o m o „D e rcorganisatie van het
agrarisclie stelsel in het gewest Soerakarta” , disertasi Leiden 1927,
dan „H et grondenrecht ter hoofdplaats Jogja na de reorganisaUe
dalam T., 128, hal. 1 djb. Mengenai pentjabutan hak ini sesudah Pe
rang Dunia II : karangan „D e opheffing van de Vorstenlandse^con-
vcrsiereehten” dalam „Mededelingen Doc. burcau overzees recht’ , II,
5 (M ei 1 9 5 9 ); G o u w G i o k S i o n g „Beberapa tjatatan sekitar
perubahan-perubahan hukum tanah antargolongun” dalam madjalah
„H u ku m ” , 1958, 1 /2 , ehusus hal. 32-33, dan „M asa(a)lah agraria” ,
1959, hal. 35-38.
Tentang sifat hukum (rechtskaraktcr) „laiiderijenbezitreeht” lihatlah
tjatatan dibawah keputusan Hoog Gerechtshof tertanggal 7 Maret 1940
dalam T. 153, hal. 561. Dari tjatatan itu ternjata bahwa Prof. W e r t -
h e i m menganggap „landerijen-bezitrecht” itu suatu hak menurut
hukum Indonesia dan bukan hak menurut hukum Eropah, sedangkan
Mr E.A. Z o r a b masih djuga melihatnja sebagai suatu hak me
nurut hukum Eropah jang mengandung perketjualian-perketjua-
lan jang bersifat hukum adat» Hoog Gerechtshof melihat „landcrijen-
bezitrecht” itu sebagai suatu hak menurut hukum Indonesia jang
harus didjual sesuai dengan peraturan-peraturan hukum adat lokal.
Lihatlah G o u w G i o k S i o n g „Beberapa tjatatan” dalam ma-
djalah „H u ku m ” , 1957, 7 /8 , ehusus hal. 17-19; „Hukum agraria
antargolongan” , 1959, hal. 22, 47-51.
275
1
j. (Hak) Pengarang tahun 1912, L.N.H.B. 1912
U n d a n g-u n da n g
276
jailu Uni Paris (dari tahun 1883, diperbarui di kota Brussel
pada tahun 1900, diperbarui di kota Washington pada tahun
1911, diperbarui di kota ’s Gravenhage pada tahun 1925, diper
barui di kota London pada tahun 1934). Berlaku d juga „Re-
glement Industrieele Eigendom Kolonien, L.N.H.B. 1912 Nr 545
jo 1913 Nr 214 dan ,.Ordonnantie buitengewone voorzieningen
industrieele eigendom 1948” , L.N.H.B. 1948 Nr 55.
3. Perlindungan hak merek ( tjap) diatur dalam Undang undang
Nr 21 tahun 1961 tentang „Merek Perusahaan dan Merek Per
niagaan” , L.N. 1961 Nr 290. Undang-undang ini lelah mengganti
peraturan tentang merek dalam „Reglement Industrieele Eigen
dom K olonien” dan „Ordonnantie buitengewone voorzieningen
industrieele eigendom 1948” 7S.
277
hadap pelanggar (orang), terhadap jang wadjib membajar padjak,
bea atau tjukai.
Hak keluarga relatif, misalnja, hak jang disebut dalam pasal-
pasal 103 dan 104 K.U.H. Perdata.
Hak kekajaan relatif adalah semua hak kekajaan jang bukan
hak kebendaan atau hak barang tjiptaan manusia
Perlu dikemukakan disini perbedaan penting antara hak ke
kajaan absolut dan hak kekajaan relatif : hak kekajaan absolut da
pat didjalankan terhadap tiap orang lian (merupakan suatu „droit
de suite” ) dan merupakan sistim tertutup, sedangkan hak kekajaan
relatif lianja dapat didjalankan terhadap orang tertentu (bukan
„droit de suite” ) dan bukan sistim tertutup.
Dalam ilmu hukum hak kekajaan relatif biasanja disebut peru-
tangan (verbintenis). Oleh H o f m a n n - v a n O p s t a 1 7(i peru-
tangan itu dirumuskan sebagai „suatu pertalian menurut hukum ke
kajaan antara dua fihak jang memberi kekuasaan (wewenang) ke
pada fihak jang satu (jang disebut penagih) supaja menagih (meng
gugat) fihak jang lain (jang disebut jang berutang) berbuat sesuatu,
tidak berbuat sesuatu atau memberi sesuatu (supaja berdjasa), se
dangkan fihak jang lain tersebut oleh karena hubungan tersebut
wadjib melakukan apa jang dapat ditagih (digugat) oleh jang
berhak menagih (menggugat) itu dan biasanja bertanggungdjawab
atas segalanja” ( „ .................. een vermogensrechtelijke band tussen
twee partijen, kraehtens welke de een (schuldeiser of crediteur)
tot een prestatie gerechtigd is, en op grond waarvan de ander
(schuldenaar of debiteur) tot die prestatie verplicht is en in de
regel ervoor aansprakelijk is” .
Hukum benda (zakenrecht) (jang mengatur hak kebendaan)
serta hukum perutangan (verbintenissenrecht) (jang mengatur per-
utangan) bersama-sama merupakan hukum kekajaan (Vermögens
recht), jaitu hukum jang mengatur status kekajaan subjek hukum.
Tjontoh tentang perutangan : A mendjual sebuah buku kepada
B. Dari perdjandjian djual-beli itu timbul dua perutangan :
a. perutangan jang memberi kepada A hak menagih (menggugat)
pembajaran dan mewadjibkan B membajar buku itu.
b. perutangan jang memberi kepada B hak menagih (menggugat)
75 V a n A p e l d o o r n , lial. 175.
76 Dr L. C. H o f m a n n - M r S.N. v a n O p s t a 1 „H et Nederlands
verhintenissenrecht” , I, 1948, hal. 3.
278
supaja buku itu diserahkan kepadanja dan mewadjibkan A me
njerahkan buku itu kepada B.
279
bajaran-jang-tidak perlu — karena tidak ada kewadjiban menim
bulkan suatu perutangan jung menguasakan (memberi wewenang
kepada) jang bersangkutan (jang melakukannja) menagih kembali
apa jang diberinja karena perbuatan itu.
Perutangan itu dapat dimasukkan kedalam suatu rangka (sclie-
ma) buatan H o f m a n n - O p s t a l 71.
i
langsung dari undang-undang
i ,
dari undag-undang
(misalnja, pasal-pasal 321 karena perbuatan ma-
djb.) nusia (pasal 1353)
__ _______________________________ I
I
dari perbuatan lajak
I
dari perbuatan jang
(misalnja, pasal-pasal bertentangan dengan
1354, 1359 ajat 1) azas-azas hukum
(pasal 1365)
Keterangan ; pasal-pasal jang disebut adalah pasal-pasal K.U.II. Perdata.
280
Jang dimaksud dengan tanggungdjawab juridis itu hal apabila
jang berutang lidak memenuhi kewadjibannja, maka penagih —
dengan perantaraan hakim — dapat membeslah (beslag leggen op)
kekajaan dari jang berutang. Tanggungdjawab juridis ini biasanja
disebut „Haftung” 79.
Agar dapat memaksa jang berutang memenuhi „Schuld” -nja,
maka perlu ada „Haftung” . Kalau tiada „Haftung” , maka penagih
tidak dapat memaksa jang berutang melakukan suatu djasa (pres-
tatie) jang mendjadi kewadjiban dari jang berutang.
Djika tidak ada „Schuld” , maka tidak ada „Haftung” . Tetapi
„Schuld” tidak perlu senantiasa disertai „Haftung” . Adalah
„Schuld” tanpa „Haftung” . Adalah jang berutang jang berkewadji-
ban melakukan suatu djasa, walaupun tiada paksaan supaja ia me
lakukan djasa itu. Dalam hal demikian penagih tidak mempunjai
suatu hak menagih. Penagih tidak mempunjai aksi (schuldeiser
zonder actie). Disini adalah suatu kewadjiban (dari jang berutang)
jang tidak disertai oleh suatu hak menagih (dari penagih) (schuld
zonder vorderingsrecht). Disebut djuga „kewadjiban tanpa peruta-
ngan” (schuld zonder verbintenis) atau „natuurlijke verbin-
tenis” so si.
Tjontoh tentang suatu „Schuld” tanpa „Haftung” terdapat da
lam pasal 1783 K.U.H. Perdata. Menurut pasal tersebut, maka oleh
undang-undang tidak diberi suatu hak menagih kepada penagih
jang hendak menggugat peinbajaran utang jang disebabkan oleh
281
perdjandjian main djudi dan taruhan. Kewadjiban dari jang ber
utang dalam hal utang itu timbul dari suatu perdjandjian main djudi
dan taruhan, tidak diakui oleh hukum setjara memberi kepada
penagih suatu hak menagih.
A main bakarat dengan B. B kalah Rp. 2000,— . Djika B lidak
mau membajar, maka A tidak dapat memaksanja dengan peranta
raan hakim. Apabila B dengan sukarela membajar, tetapi kemudi
an — karena menjesal — mau menagih kembali uang itu, maka
uang tersebut tidak dapat ditagihnja kembali karena ia oleh hu
kum tidak diberi kekuasaan untuk menagih (pasal 1791 Iv.U.H.
Perdata jo pasal 1359 ajat 2 K.U.H. Perdata).
Lihatlah pasal 1948 K.U.H. Perdata: liwat waktu dapat meng
hapuskan „Haftung” , tetapi tidak dapat menghapuskan .,Scliuld” .
Lihatlah djuga pasal 155 Peraturan Kepalitan.
P a r. 4: Perdjandjian (p e r s e t u d j u a n ).
Dalam par. 2 dari bab ini telah dikatakan bahwa setiap per
buatan hukum jang bersegi dua adalah suatu perdjandjian (pasal
1313 K.U.H. Perdata). Perdjandjian itu diadakan oleh kehendak
dua atau lebih fihak. Perdjandjian dapat dibagi dalam:
282
dianugerahi tidak wadjib melakukan suatu „contraprestatie” S2.
Suatu perdjandjian jang bersegi dua adalah suatu perdjandjian
jang menimbulkan kewadjiban untuk filiak jang satu maupun
jang lain untuk melakukan suatu djasa. Djadi, disini ada
„prestatie” dan „contraprestatie” . Tjoritolinja: pasal 1457 K.U.H.
Perdata mengenai djual-beli.
Pendjual wadjib menjerahkan barang jang didjualnja kepada
pem beli sedangkan pembeli wadjib membajar barang itu.
III. perdjandjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Suatu per
djandjian kebendaan adalah suatu perdjandjian jang menim
bulkan suatu hak kebendaan atau berdasarkan suatu perdjan
djian kebendaan, maka fihak jang satu menjerahkan (leveren)
suatu hak kepada fihak jang lain.
Misalnja: perdjandjian penjerahan (leveringsovereenkomst,
tradisio. traditie). A m'endjual rumahnja kepada B. Perdjan
djian djual-beli itu (jang merupakan suatu perdjandjian obli-
gatur) menimbulkan suatu kewadjiban bagi A untuk menje
rahkan rumah jang telah dibeli itu kepada B. Dengan kata
lain: perdjandjian obligatur djual-beli itu membawa kewadji
ban untuk kedua belah fihak supaja diadakan suatu perdjan
djian kebendaan jang bermaksud menjerahkan benda jang
telah dibeli tersebut. Berdasarkan perdjandjian jang kedua ini,
nVaka hak kepunjaan A — jaitu rumahnja— diserahkan kepada
B. B m endjadi jang inempunjainja jang baru (nieuwe eigenaar).
Perdjandjian obligatur itu belum tjukup untuk menimbulkan
atau menjerahkan suatu hak kebendaan. Baru djika perdjan
djian kebendaan— jang menjusul perdjandjian obligatur itu—
diadakan, maka baru hak kebendaan jang bersangkutan ditim
bulkan atau diserahkan. Penjerahan itu merupakan suatu per
djandjian, karena perlulah fihak jang menerima terlebih dahulu
m enjetudjui penerimaan dari apa jang akan diserahkan kepada-
nja oleh fihak jang lain. Penjerahan benda jang tidak bergerak
diatur dalam „Overschrijvingsordonnantie” , L.N.H.B. 1834 Nr
27. Karena „Overschrijvingsordonnantie” ini maka pasal-pasal
616-620, 696, 713, 720 ajat 2, 737 ajat 2, 760, 1171 ajat 1 dan
1172 K.U.H. Perdata jang mengenai penjerahan benda jang
tidak bergerak, tidak pernah didjadikan berlaku. Lihatlah
pasal-pasal 24 dan 48 „Overgangsbepalingen” (Peraturan
283
Peralihan), L.N.II.B. 1848 Nr 10 (lihatlah Bah III, par. 2).
Karena „Overschrijvingsordonnantie” , maka , di Indonesia
— dalam hukum Eropah — masih berlaku tjara menjerahkan
benda jang tidak bergerak menurut hukum Belanda kuno
jang dilakukan pada waktu V.O.C. S3.
Sedjak tahun 1947 „Overschrijvingsambtenaar” adalah Kepala
Kantor Kadaster (Pendaftaran barang jang tidak bergerak).
Penting pula dikemukakan disini bahwa pada tahun 1952 di
undangkan suatu peraturan istimewa mengenai penjerahan dan
pemakaian barang jang tidak bergerak, jaitu undang-undang
darurat tahun 1952 Nr 1, L.N. 1952 Nr 1 „tentang pemindahan
dan pemakaian tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnja
jang meinpunjai titel menurut hukum Eropah” . Pada tahun
1954 undang-undang darurat ini didjadikan undang-undang
biasa (L.N. 1954 Nr 78, jang mulai berlaku pada tanggal 2
Agustus 1954). Menurut pasal tunggal ajat 1, maka „setiap se
rah pakai buat lebih dari setahun dan perbuatan jang berwu-
djud pemindahan hak, mengenai tanah-tanah dan barang-barang
tetap jang lainnja, jang mempunjai titel menurut hukum Ero
pah hanja dapat dilakukan selelah mendapat idjin Menteri K e
hakiman” 84 Lihatlah djuga pendjelasan dalam Tambahan L.N.
Nr 182. Pada tanggal 17 Desembr 1957 (L.N. 1957 Nr 163 —
jang memuat undang-undang th. 1957 Nr 76) L.N. L952 Nr 1 jo
L.N. 1954 Nr 78 ini mengalami perubahan. Pasal 1 peraturan
jang mengubah itu menetapkan bahwa „Perkataan „„M enteri
Kehakiman” ” dalam pasal tunggal ajat 1 dan ajat 3 Undang-
undang tentang Penetapan Undang-undang Darurat tentang Pe
mindahan Hak Tanah-tanah dan Barang-barang tetap lainnja,
284
jang bertakluk kepada Hukum Eropali sebagai undang-undang
(Undang-undang No. 24 tahun 1954) dan dalam pasal 1 ajat
1 serta pasal 2 ajat 3 Undang-undang tentang Pengawasan Ter
hadap Pemindahan Hak atas Tanah-tanah Perkebunan (Undang-
undang No. 23 tahun 1956) diganti dengan perkataan „„M en
teri Agraria” ” . Djadi, kekuasaan memberi idjin itu dipindah
kan kedalam tangan Menteri Agraria, jang memutuskan sesu
dah mendengar „fatwa” Djaksa 8 5 .
Bagaimanakah keadaannja sesudah berlakunja Undang-undang
Pokok Agraria? Menurut pasal 27 peraturan Menteri Agraria
1960 Nr 2 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-
Undang Pokok Agraria, maka „Sebelum ada peraturan penggan-
tinja maka berdasar atas ketentuan dalam pasal 58 Ketentuan-
ketentuan Peralihan Undang-undang no. 24 tahun 1954 (L.N.
1954-78) dan Undang-undang no. 28 tahun 1956 (L.N. 1956-73)
berserta peraturan-peraturan pelaksanaannja masih tetap berla
ku terhadap hak milik, hak guna-bangunan dan hak guna-usaha
jang berasal dari konversi hak eigendom, hak opstal dan liak
erfpacht” .
Pasal-pasal 612 dan 613 K.U.H. Perdata meujebut tjara menje
rahkan benda bergerak jang benvudjud dan tjara menjerahkan
perutangan serta benda jang tidak berwudjud jang lain.
IV. perdjandjian jang menghapuskan perdjandjian atau membe
baskan subjek hukum dari suatu kewadjiban hukum (perdjan
djian liberatur (liberatoir)). Misalnja: pembajaran, pasal-pasal
1382 djb. K.U.H. Perdata. Oleh karena pembajaran maka jang
berutang dibebaskan dari kewadjibannja untuk membajar
utangnja. Pembajaran adalah memenuhi kewadjiban 86.
85 Lihatlah karangan Mr W.H. G a l l a s dalam W.P.N.R. Nr 4260; ka
rangan „D e noodwet bctreffende overdracht van door Europeanen-
reeln beheerst onroerend goed” dalam „Mededelingen v.h. Docunien-
tutieburcau voor overzees reclit” , 1952, hal. 3 3 ; „Verdere aante-
keningen bij de Noodwet 1952 No. 1 betreffende de overdracht en
het gebruik van grondstukken en andere onroerende goederen welke
beheerst worden door Europeanenrecht” (dengan tjatatan Mr G a l
las) dalam „M ed. v.h. Doc. bureau v, overzees reclit” , 1953,
hal« ■1 ; Prof. Mr R.D. K o 11 e w i j n „Is verguni'ng in de zin
van noodwet 1952 no. 1 vereist voor overdracht van grant-rechten ?”
dalam „M ed. v.h. Doc. bureau v., overzees recht” , 1952, hal. 79;
Gouw Giok S i o n g dalam madjalah „Hukum ” , 1957, 7 /8 ,
hal. 10-11 dan „M asa(a)lah agraria” , 1959, hal., 9-18; „Undang-un
dang no. 24 tahun 1954” dalam madjalah „Agraria” , I, 1 (Maret
1 9 5 8 ), hal. 21 djb..
86 Lihatlah djuga Prof. M e i j e r s „Algemene leer van het burgerlijke
recht” , 1948, hal. 309 : „Classificatie der overeenkomsten” .
Pasal 1320 K.U.H. Perdata menjebut sjarat-sjarat jang harus
dipenuhi agar sesuatu perdjandjian dapat berlakxi sebagai sualu
perdjandjian sah.
286
sung. Hak itu — oleh karena suatu peristiwa hukum — tidak di
serahkan kepadanja oleh sualu objek hukum lain. Misalnja: hak-
hak jang disebut dalam pasal-pasal 585 dan 586 K.U.H. Perdata,
dalam lial ditimbulkan suatu hak pan d, suatu hak hipotik.
A pabila jang memperoleh suatu hak mendapatnja dari tangan
suatu subjek hukum lain — jaitu disini adalah suatu hak jang telah
ada sebelum terdjadinja peristiwa hukum jang bersangkutan —
maka perolehan hak ini adalah suatu perolelian jang tidak langsung.
Dalam hal ini hak itu diserahkan kepada suatu subjek hukum lain
(tradisio, „levering” ; peralihan, „overgang” ) atau suatu subjek hu
kum lain meneruskan hak itu sebagai liaknja sendiri (penerusan,
„op volgin g” ; warisan, „erfenis” — pasal-pasal 833 dan 955 K.U.H.
Perdata S9).
287
BAB VII
HUKUM TATANEGARA
238
L o g e m a n n 3 merumuskan „negara” itu sebagai „suatn orga
nisasi keniasjarakatan (=pertam batan-kerdja/werkverband) jang
bertudjuan dengan kekuasaannja mengatur serta menjelenggarakan
sesuatu masjarakat. Organisasi itu suatu pertambatan djabatan-dja-
hatan (am bt, funksi) atau lapangan-lapangan kerdja (werkkring)
tetap” .
A p a k a h dalam suatu definisi tentang negara harus dikatakan
h alw a negara itu adalah „berdaulat” ? V a n A p e l d o o r n 4 me
ngatakan bahwa sebagai „tanda” untuk menundjukkan „negara” ,
pengertian „kedaulatan” sebetulnja tidak dapat dipakai karena
pengertian tersebut tidak tentu dan sifatnja senantiasa berubah. Di
sedjarahnja pengertian „kedaulatan” itu telah beberapa kali berubah
sifat dan lagi pula pada djaman sekarang tentang pertgertian terse
but ada banjak perselisihan faham. K r a n e n b u r g S berpendapat
bahwa dengan kata „kedaulatan” itu dapat dibuktikan segala sesua
tu. D jadi, sebetulnja dengan kata tersebut tidak dapat dibuktikan
sesuatupun! Hal itu karena isi kata tersebut telah berubah beberapa
kali dan masih akan berubah di hari kemudian.
Bagi kami, jang beranggapan negara itu suatu organisasi sosial,
jaitu organisasi sosial jang mempunjai kekuasaan’ (wewenang) ter
tinggi, maka tidak perlu dihiraukan apa negara berdaulat atau
tidak. Suatu daerah kolonialpun dapat merupakan negara djuga,
biarpun belum mem peroleh kemerdekaan politik dan berdaulat.
Djuga daerah demikian diatur dan dikuasai oleh suatu organisasi
jang dilengkapi dengan suatu kekuasaan tertinggi, walaupun ke
kuasaan iu bukan kekuasaan asli (nasional) tetapi suatu kekuasaan
asing 6. Apabila kami mengatakan negara berdaulat, maka jang di
maksud ialah suatu negara jang tidak ditempatkan dibawali suatu
289
kekuasaan tertinggi asing ( = kekuasaan tertinggi suatu negara na-
6,'onal lain), jakni negara merdeka (dalam arti kata politik dan
kenegaraan (staatkundig) ).
Bagi hukum, maka negara itu badan hukum jang m em punjai
hak-kewadjiban. Negara adalah korporasi (corporatie). Seperti hal*
nja dengan m.anusia sebagai „natuurlijk persoon” , maka negara
dapat mendjual (tanah), membeli barang, mewakili, dsb. 7.
Ahirnja, perlulah kita menindjau beberapa pendapat tentang
„negara” jang telah mendjadi terkenal internasional. Pentingnja
pendapat-pendapat ini, temjatalah dari adanja beberapa pemerintah
negara jang mendasarkan alasan dan tudjuan pemerintahannja
atas salah satu pendapat tersebut. Misalnja, pemerintah Rusia Sovjet
mendasarkan alasan dan tudjuan pemerintahannja sebanjak mungkin
alas peladjaran negara jang dibentangkan oleh M a r x, E n g e l.s d~
I e n i n. Kami memohon perhatian bagi:
Anggapan G.W.F. H e g e l : dalam bukunja „G rundlinien der
Philosophie des Rechts” (1821) oleh H e g e l dibuat suatu filsafat
negara jang idealistis. Menurut H e g e l , maka negara itu suatu
organisme berdadarkan kesusilaan dan hanja negaralah jang mem
beri kepada manusia kemerdekaan dan ,„persoonlijkheid” nja. Ne
gara adalah „die W irklichkeit der sittlichen Idee, — der sittliche
Geist, als der offenbare, sich selbst deutlich, substantielle W ille, der
sicht denkt und weiss und das was er'weiss, und insofern er esweiss,
vollführt” . Tudjuan benar dari negara itu menjelenggarakan kepen
tingan umum.
Diatas negàra tidak ada kekuasaan lain. Negara adalah kekuatan
tertinggi dan mempunjai kekuasaan tertinggi di dunia. Negara ada
lah suatu „irdische Gottheit” . Negara mendjadi sintese antara ke
merdekaan universil (universeel) dan kemerdekaan individuil.
Pendewaan negara ini — suatu „étatisme” jang berkelebihan —
kemudian dianut oleh peladjaran negara facistis di Ita lia 8 dan
290
dianut oleh peladjaran negara nasional-sosialistis di Negeri Djer-
man 9.
Peladjaran negara jang organis (organische staatsleer). Anggapan
bahwa negara itu suatu organisme àlam (natuurlijk organisme) —
seperti jang telah dikemukakan oleh H e g e l tetapi tidak „uit-
gewerkt” (diperdalam dengan segala konsekwensi diterima) — men-
djadi aliran kuat di Negeri Djerman dan Negeri Swis selama abad
ke-19 sampai permujaan abad sekarang. Menurut suatu aliran ter
tentu, bahkan, negara itu disamakan dengan manusia, jaitu suatu
mahluk jang sungguh-sungguh hidup, sedangkan sifat dan tjorak
negara itu seperti sifat manusia. Ahli-ahli jang mengemukakan teori
tersebut a.l. O t t o v o n G i e r k e , dalam bukunja „D ie Genos
senschaftstheorie” (1887), dan P a u l L a b a n d 10. Teori ini ti
dak dapat diterima dalam segala konsekwensinja. Bahwasanja negara
suatu realitèt, itulah benar, tetapi hal menjamakan negara sepenuh-
penuhnja dengan manusia, itulah membawa konsekwensi jang tidak
dapat dipertahankan. Djasa teori negara jang organis adalah dike-
mukakannja konsepsi „orgaan” , jang sampai sekarang masih dipa
kai dan telah banjak mendjelaskan tentang „negara” itu dan funksi-
funksinja. Lihatlah Bab VI, par. 1. *
Pelanggaran negara m-enurut M a r x - E n g e l s - L e n i n . Pela-
djaran ini dibentangkan oleh M a r x bersama-sama dengan
E n g e l s dalam’ „Manifesto Komunis” (th. 1848), M a r x dalam
„Z u r Kritik der politischen Oekonomie” (th. 1858) dan „Das Ka
pital” (th. 1867-1885-1884), F r i e d r i c h E n g e l s dalam „Der
Ursprung der Familie, des Privateigentums und des Staats” (th.
1884) dan W.I. L e n i n dalam „T he State and Revolution” (th.
1917, penerbitan dalam bahasa Inggris th. 1919). Di Rusia, pela
djaran tersebut diinterpretasi (disesuaikan dengan keadaan) dan di-
291
praktekkan oleli J.V. S t a l i n (meninggal tahun 1953). Interpre
tasi baru dari dan praktek baru peladjaran negara M a r x i s di
lakukan dibawah pimpiuan N.S. K r u t s j o f. Interpretasi dapat
diketahui dari buku H. M a r c u s e „Soviet Marxism. A Critical
Analysis” , 1958, dan buku „Fundamentals of Marxisni-Lenism. Ma
nual” , e d i t o r adalah C l e m e n s D u t t (tanpa tanggal), sedang
kan praktek dapat diketahui dari buku A n d r e i Y. V y s h i n s -
k y „The Law of the Soviet ijtate” (penerbitan dalam bahasa Ing
gris th. 1948) dan buku A. D e n i s o v dan N. K i r i c h e n k o
„Soviet State Law” , I960. Di Asia, peladjaran negara M a r x i s
diinterpretasi (disesuaikan dengan keadaan) dan dipraktekkan di
Republik Rakjat Tiongkok, Republik Demokrasi Rakjat Korea (K o
rea Utara) dan Republik Demokrasi Rakjat Vietnam (Vietnam
Utara). Dasar peladjaran negara M a r x i s adalah filsafat historis-
materialisme n .
Dalam masjarakat jang sederhana dan komunis tidak ada ke
mungkinan untuk diadakan dan diperkembangkan golongan-golo
ngan orang jang mendapat penghasilan (inkomen) dengan tidak be-
kerdja. Kemungkinan untuk memperoleh penghasilan jang diram
pas (uitbuiting) dari golpngan-golongan orang lain didalam masja
rakat itu belum' ada. Oleh karena dalam mfasjarakat jang sederhana
dan komunis alat-alat untuk memproduksi masih sangat sederhana,
maka dengan sendirinja belum ada kepunjaan (m ilik) privat' (pri-
vaateigendom). Djuga belum ada kepunjaan tanah jang privat.
Semua tanah dimiliki bersama-sama ( gezamenlijke eigendom. Tanah
mendjadi milik bersama-sama dari suku (clan).
Djadi, didalam' masjarakat jang sederhana dan komunis belum
ada negara. Negara itu baru dilahirkan setelah adanja kepunjaan
privat dan pembagian masjarakat dalam kelas (golongan sosial,
class). Jang mendjadi kelas ialah golongan-golongan orang jang
berbeda jang satu dari jang lain menurut (a) tempat jang mereka
duduki dalam eisfini produksi sosial jang ditentukan oleh dan diper
kembangkan dalam sedjarah dan (b ) hubungan mereka dengan alat-
292
alat produksi (hubungan i lu dirumuskan dan ditetapkan dalam
undang-undang). Hubungan tersebut-ditentukan oleh (1) kedudu
kan mereka dalam organisasi tenaga (arbeid) dalam masjarakat, (2)
tjara-tjara jang mereka lakukan untuk memperoleh sebagian dari
kekajaan sosial dan (3) besarnja bagian dari kekajaan sosial jang
dapat mereka peroleh. Maka dari itu kelas adalali golongan orang
tertentu jang m em iliki tenaga ( arbeid) suatu golongan orang lain,
karena perbedaan kedudukan didalam suatu tatatertib ekonomis-
sosial. Misalnja, kelas pemilik tanah jang sudah memiliki (m e
rebut) semua tanah. Apabila golongan orang tertentu memili
ki semua tempat perindustrian (pabrik-pabrik, bengkel-bengkel, dsb.)
sedangkan suatu golongan orang lain terpaksa bekerdja didalam
tempat perindustrian tersebut, maka disitulah ada dua kelas : kaum
kapitalis dan kaum proletar f proletariat.) 12. Kaum kapitalis men-
d jadi pem ilik alat-alat produksi, dan selama alat-alat produksi itu
dalam tangan kaum proletar maka adanja pertentangan kelas (klas-
sentrijd).
Agar dapat mempertahankan kedudukan jang lumajap dan enak
itu, maka oleh kaum kanitalis dibuat suatu organisasi. Organisasi itu
negara. D jadi, negara itu suatu organisasi politik dari kelas terkuat
ekonomis dalam masjarakat. Dengan sendirinja organisasi tersebut
dipakainja untuk mendjadjah kaum proletar. Bilamana kaum pro
letar telah menguasai (merebut kembali) seluruh alat-alat produksi
dan di masjarakat milik privat sudah lenjap, maka dengan sendiri
nja negara itu akan „mati dengan berangsur-angsur” (geleidelijk
afsterven van de S t a a t ) 1 3 .
Oleh L e n i n dikemukakan bahwa „mati dengan berangsur-
angsur” dari negara itu, baru terdjadi pada fase perkembangan jang
paling aliir. Sesudah „the destruction of the bougeois State by thé
proletarian révolution” jang terdjadi dengan mendadak (negara bur-
293
djuis di„put away” , djadi, tidak „m ati dengan berangsur-angsur” ),
maka perlu diadakan suatu negara proletar, jaitu suatu diktat ut-
kaum proletar (jang mengganti negara burdjuis jang telah dilenjap-
kan oleh revolusi proletar setjara mendadak), supaja dapat meni-
basmi bekas-bekas sistim kapitalis dan supaja melindungi niasjarakat
komunis jang baru terlahir itu terhadap serangan-serangan dari
fihak kaum anti-revolusioner. Kalau nanti bekas-bekas sistim kapita
lis sudah dibasmi dan bahaja-bahaja lain sudah tiada lagi, maka
diktalur tersebut,' jaitu negara proletar, dengan sendirinja akan
„mati dengan berangsur-angsur” .
Terhadap pendapat tadi kami merasa perlu mengemukakan
dua koreksi. Pertama : oleh antropologi budaja 11 telah dibuktikan
bahwa dalam suatu masjarakat jang paling sederhanapun ada djuga
kemungkinan memperoleh milik privat. Tetapi penguasa — . atas
nama masjarakatnja -— dapat membatasi tjara mend jalankan
milik privat itu. Misalnja, di Indonesia : dalam masjarakat-masja-
rakat jang sangat sederhana (di Kalimantan, di Nusa Tenggara,
misalnja) ada milik tanah jang sungguh-sungguh m endjadi m ilik
privat seseorang anggauta masjarakat itu, jaitu tanah milik (erfelijk
individueel bezit). Tetapi tjara mendjalankan hak atas tanah ter
sebut demikian erat diikat oleh 'hak patuanan („beschikkingsrecht’ ,
hak ulajat) masjarakat (desa) sehingga seolah-olah semua tanah
dalam wilajah desa mendjadi milik bersama-sama anggauta desa
itu 15. E n g e l s — jang mengemukakan pendapat jang kurang tepat
*tu — mengadakan suatu kesalahan faham tentang milik tanah di
masjarakat sederhana sematjam jang diadakan oleh pemerintah ko
lonial di Indonesia dahulu sebelum penjelidikan v a n V o l l e n -
h o v e n . Djuga dalam masjarakat jang paling sederhana — di sam
ping milik bersama-sama dari suku — ada kemungkinan memperoleh
milik tanah privat.
Kedua : apakah benar negara lenjap, apabila kaum proletar su
dah memiliki alat-alat produksi dan apabila sudah lenjap milik pri
vat ? Menurut pendapat kami maka suatu organisasi seperti negara,
294
tetap perlu diadakan dalam setiap masjarakat jang tidak sederhana
lagi. Bukankah, bagaimanapun djuga, suatu masjarakat jang agak
berkompleks memerlukan suatu organisasi tertinggi ? Bukankah,
djuga suatu masjarakat proletar belaka memerlukan suatu organisasi
tertinggi ? Mungkin organisasi tertinggi itu akan diberi nama lain,
tetapi sifatnja tetap negara ! Djuga di Rusia Sovjet sampai kini
belum terdjadi peristiwa kematian negara. Hal ini belum mungkin,
kata S t a l i n . Negara belum dapat-„mati dengan berangsur-angsur” ,
melainkan :
W ill' the state be preserved among us likewise during the pe
riod o f Communism as well ? Yes, it will be preserved unles capi
talist encirclement shall have been liquidated and the danger of
military attacks from without eliminated; of course the form's of
our state will change once again with a change of the internal and
\ external setting. No, it will not be preserved and will wither away if
capitalist encirclement shall have been liquidated and replaced by
Socialist encirclement” 16.
Peladjaran negara menurut O p p e n h e i m e r 17. Suatu ang
gapan tentang nasib negara jang kira-kira sama dengan anggapan
kaum komunis terdapat pada Prof. O p p e n h e i m e r. Tetapi
pengarang bukan orang komunis. Dikatakannja : setelah pengha-
295
pusan milik tanah Inas (grootgrondeigendom) dan penghapusan
padjak tanah, jang kedua-duanja diadakan setjara berangsur-angsur
maka negara itu sebagai organisasi pendjadjahan — lama-kela
maan lenjap dan ditimbulkan suatu „Freibürgerscliaft”
77 C
.
„Verbandseinheit” dari G e o r g e J e l l i n e k . Peladjaran
negara jang organis dari v o n G i e r k e jang telah kami singgung
diatas tadi, menegaskan perlunja penggabungan dan persatuan ma
nusia untuk dapat mentjapai tudjuan bersama. Konsepsi ini djuga
mendjadi dasar peladjaran jang melihat negara sebagai suatu „Ver
bandseinheit (persatuan penggabungan) manusia. Jang. paling dje-
las mengemukakan peladjaran ini ialah J e l l i n e k 1®. Menurut
pengarang ini, maka landasan (substraat) negara itu terdiri atas dua
golongan orang, jaitu suatu golongan orang jang memerintah dan
suatu golongan orang jang diperintah. Negara itu tidak lain dari
pada pendjelmaan perintah-perintah, jaitu kehendak, jang dikeluar
kan oleh jang memerintah itu dan jang dipersatu, jaitu mendjadi
suatu keseluruhan kehendak, untuk dapat mentjapai beberapa tu
djuan tertentu. Dengan demikian, negara, sebagai suatu persatuan
teleologis, merupakan suatu „Verbandseinheit” . Di sam'ping ini,
maka hubungan antara jang memerintah dan jang diperintah, jang
bersifat : jang diperintah menurut kehendak dari jang memerin
tah, adalah suatu hubungan kekuatan ( mnc/iis-verhouding), dan ke
hendak dari jang memerintah tersebut boleh dianggap kehendak
kolektivitet jang mengalahkan semua kehendak lain. Dengan de
mikian, negara itu boleh dilihat sebagai „die mit ursprünglicher
He.rrschermacht augerüstete Verbandseinheit sesshafter Men
schen”
„ Reine Rechtslehre” dari H a n s K e l s e n mengenai negara.
Biarpun 3 e l l i n e k berliasil menerangkan bubungan antara per-
lunja suatu organisasi kekuatan tertinggi (hoogste gezagsorgani-
satie) dengan usaha mentjapai beberapa tudjuan bersama, m'asih
(ljuga, menurut suatu fihak tertentu, teorinja kurang memuaskan,
karena tidak memberi suatu tempat bagi hukum. K e l s e n , jang
mentjoba menjelesaikan persoalan ini, mengemukakan anggapan
bahwa negara itu suatu keterliban kaidah inormen-ordening). K e
tertiban negara, (slaatsorde) adalah personifikasi dari keterliban
hukum (rechtsorde). Oleh sebab itu, maka negara” dan ,.hukumv
296
I
adalah dua pengertian jang sama (identik) 20. Terhadap teori K e l
s e n ini telah dikenmkakan beberapa ket jaman 21.
Peladjaran negara menurut R. S m e n d. Oleh karena K e l s e n
mempersamakan „negara” dengan „hukum ” , dan „hukum ” itu dili-
hatnja sebagai suatu „S ollen ” juridis belaka jang sama sekali ter
pisah dari „S ein ” sosial ~2, maka dengan sendirinja „negara” itu
diganibarkannja sebagai suatu „Sollen” juridis belaka pula, jang
sama sekali terpisah dari „S ein” sosial. Tidak perlu dikemukakan
bahwa suatu pendapat tentang „negara” sematjam ini tidak realis-
tls ■ Bukankah, mengeluarkan negara dari dunia „Sein” sosial dan
luem asukkannja kedalam dunia „Sollen” jang abstrak dan hypotetis
itu, djustru sesuatu jang bertentangan dengan realitet ? Anggapan
K e l s e n ini m endapat tentangan dari R. S m e n d 23. Menurut
pengarang ini, maka kita tidak boleh melihat negara terpisah dari
perkem bangan masjarakat. Bagian terpenting penghidupan so
sial negara selalu dalam suatu proses pembaharuan sosial, jaitu „in
dem fortw ährenden Neuerfassen und Zusammenfassen seiner Ange
hörigen . Negara itu bukan suatu „ruhendes Ganzes” . Negara selalu
sebagian proses sosial. „E r lebt und ist da nur in diesem Prozess
beständiger Erneurung, dauernden Neuerlebtwerdens” , jang terdapat
dalam masjarakat.
Peredapat M a c I v e r. Oleh Prof. M a c l v e r 24 dikemlukakan
pendapat, bahwa negara itu, sebagai, suatu „political Organisation” ,
harus dibedakan dari J,masjarakat” . Negara itu suatu organisasi po
litik jang ada didalam masjarakat, tetapi negara itu bukan bentuk
dari masjarakat. Negara itu organisasi dalam masjarakat, jaitu
suatu „organisatie-kapstok” . Demikian djugalah anggapan kami 2o.
297
jang boleh disebut bapak geopolitik, maka negara itu merupakan
suatu organisme jang hidup, dan supaja dapat hidup subur dan
mendjadi kuat, maka negara itu memerlukan „Lebensraum'” (rua
ngan untuk hidup). Kemudian, peladjaran tentang „Lebensraum”
ini mendapat sambutan hangat didalam kalangan penganut m iliter
isme dan penganut sosialisme nasional di Negeri Djerman, jang
menghendaki ekspansi wilajah Negeri Djerman. Dengan demikian,
lama-kelamaan pengetahuan tentang geopolitik disalah-gunakan un
tuk berekspansi dengan memakai kekuatan militer. Diadakan suatu
lembaga penjelidikan geopolitik dibawah pimpinan seorang perwira
tentara Djerman, jaitu H a u s h o f e r , jang telah pada tahun 1924
menerbitkan „Zeitschrift für Geopolitik” .
. freberapa lindjauan m engenai „negara Indonesia jan g so
sialistis’1, jang m endjadi tudjuan dilaksanakannja M anipol, lihatlah
Bab II, par. 2 diatas tadi dan par. 7 dibawah nanti.
v
298
pow er brings, whereas the second, the m ore numerous class, is di
rected and controlled t>y the first, in a manner that is now more
or less legal, now m ore or less arbitrary and violent, and supplies
the first, in appearance at least, with material means o f subsistence
and w ith the instrumentalities that are essential to the vitality of
the p olitica l organism” . Hubungan antara dua kelas tersebut menen
tukan sifat dan bentuk negara.
M o s c a bukanlah seorang M a r x i s, ia tetap berpegangan pa
da liberalism e abad ke-19. Bahkan, dalam suatu masjarakat jang
benar-benar dem okratispun terdapat djuga kenjataan „the Many
are ruled by the Few ” . D jadi, ia tidak menerim'a konsepsi masja
rakat tanpa kelas. Berdasarkan kenjataan ini, maka M o s c a mem
buat kesinnpulan bahwa baik demokrasi maupun Sosialisme tidak
dapat kita terim a ! Kesim pulan M o s c a ini tidak dapat kami se-
tudjui, biarpun kam i sependapat dengan M o s c a bahwa sangat
sukar dibajangkan suatu masjarakat tanpa kelas. Di Uni Sovjet,
m isalnja, Partai K om unis, sebagai partai politik jang tunggal, tetap
m erupakan „é lite ” atau „ruling class” Rusia ! Tetapi kenjataan ini
tidak m em benarkan dibuatnja suatu mitos tentang „ruling class”
atau „ é lit e ” itu ! 2 9 .
Bagainianakah menurut pendapat kami hubungan antara „rul
ing class” dan negara ? Kam i tidak dapat menjetudjui anggapan
bahwa negara itu semata-mata alat dalam tangan „ruling class” (kaum
b u rd ju is ), dan dengan lenjapnja „ruling class” tersebut, maka dengan
sendirinja — dengan berangsur-angsur — negara lenjap djuga 30.
Negara itu suatu organisasi sosial jang perlu adanja itu tidak hanja
dirasa oleh „ruling- class” , tetapi jang perlu adanja tersebut dirasa
djuga o le h semua warganja jang lain. Kata v a n K a n 31 : kalau
pada sesuatu saat tertentu kesadaran kemasjarakatan dan kekuasaan
keinasjarakatan telah m endjadi tjukup kuat, maka disitulah ada ne-
gara, ja itu masjarakat orang jang hidup mendjadi masjarakat ne
gara. K am i dapat m enjetudjui anggapan ini, asal sadja orang tidak
lupa bahwa pada „saat tertentu” itu pimpinan negara telah di
reb u t oleh suatu golongan tertentu. Maka dari itu kita boleh irie-
ugatakan bahwa negara itu suatu alat (organisasi) jang dikuasai
299
( tidak dim iliki) oleh „ruling class” . Misalnja, di Indonesia negara
kita~ dikuasai oleh kaum burdjurs (djuga boleh dikatakan : suatu
„élite” baru), tetapi negara kita itu dirasa oleh seluruh bangsa In
donesia sebagai miliknja. Kita semua merasa perlu adanja negara
itu, tetapi masih sangat sajang negara kita dikuasai oleh kaum bur-
djuis. Tetapi djuga : apakah mungkin di kemudian hari akan ter
lahir suatu masjarakat Indonesia tanpa „élite” ?
Persoalan tentang sifat dan bentuk negara adalah persoalan ten»
tang siapa jang menguasainja.
300
sifat dan legitimasi kekuasaan negara (staatsgezag). Mula-mula ke
kuasaan negara didasarkan (berlegitimasi) atas kehendak Tuban.
Teori-teori jang mendasarkan (melegitimasi) kekuasaan negara dan
kekuasaan radja atas agama disebut teori teokrasi.
D i Indonesia teori teokrasi terdapat pada mereka jang bertjita-
tjita akan kelahiran suatu negara Islam. Menurut agama Islam tidak
mungkin diadakan pemisahan antara negara dan agam'a. Negara
kaum Islam adalah negara teokrasi 33.
D juga pada djam an sekarang ada orang jang mendasarkan ke
kuasaan negara atas agama. Para penganut teori teokrasi modern
mentjari bukti untuk anggapan mereka dalam sedjarah, jaitu me
reka m enundjuk kepada suatu peristiwa dalam sedjarah jang, me
nurut penafsiran mereka, memperlihatkan turut-tjampurnja Tuhan
dalam' nasib bangsa dan negara. Terkenallah teori teokrasi modern
jang dibuat oleh F r i e d r i c h J u l i u s S t a h l (th. 1802-th.
1861).
Pada djam an Renaissance jang mendjadi dasar fikiran manusia
ialah rasio (akal)-nja. Termasuk teori pertama tentang kekuasaan
negara berdasarkan fikiran-fikiran rasionalistis ialah teori seorang
bangsa Italia jang bernama N i c c o l o M a c h i a v e l l i (th. 1469-
th. 1527) 34. Dalam bukunja „ I I Principe” (radja) dikemukakannja
anggapan bahwa negara itu organisasi kekuatan belaka-, (louter
machtsorganisatie). Maksud negara (staatsdoel) tidak lain dari pada
mempertahankan dan mendjajankan kekuatan. Jang diutamakan
hanjalah kepentingan negara sebagai organisasi kekuatan. Apa
bila perlu, maka negara dapat menindas kepentingan individu guna
kepentingan negara. Anggapan jang mengutamakan kepentingan ne-
301
gara ini terkenal dengan nama peladjaran raison d' état 35. Dalam
peladjaran tersebut, pemerintah sering dilihat sebagai lianja suatu
tehnik untuk memperoleh kekuatan, memakai dan menjalah-guna-
kan kekuatan.
Kemudian, oleh T h o m a s H o b b e s ith. 1588-tli. 1679),
- J o h n L o c k e (th. 1632-th. 1704) dan J e a n J a c q u e s R o u s
s e a u (th. 1712-th. 1778) kekuasaan negara didasarkan atas suatu
perdjandjian jang diadakan antara para anggauta masjarakat. Ang-
gauta-anggauta masjarakat itu taat pada kekuasaan negara (atau
hukum) karena sebelumnja mereka telah berdjandji akan mentaati-
nja — teori-teori perdjandjian.
Walaupun tak berlainan masing-masing H o b b e s , J o h n
L o c k e dan R o u s s e a u mempunjai anggapan tentang pemben
tukan dan adanja negara itu, jakni m,enurut anggapan ketiga ahli
tersebut pembentukan dan adanja negara itu didasarkan atas suatu
perdjandjian sosial („contrat social” , menurut kata R o u s s e a u ) ,
kesimpulan-kesimpulan jang mereka tarik tentang sifat negara sangat
berlain-lainan. Menurut H o b b e s negara itu bersifat totaliter. Ne
gara itu diberi kekuatan tidak terbatas. Menurut L o c k e negara
itu selajaknja bersifat keradjaan konstitusionil jang memberi dja-
minan mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan pokok manusia.
Kepentingan negara dibatasi o.leh kepentingan individu. R o u s s e a u
beranggapan bahwa negara bersifat suatu wakil rakjat — kedaulatan
rakjat (volkssouvereiniteit). Negara itu selajaknja negara demo
krasi langsung.
Peladjaran kedaulatan rakjat R o u s s e a u mendjadi dasar
beberapa aliran politik revolusioner, jang pada ahim ja mengadakan
Revolusi Perantjis dari tahun 1789 sampai tahun 1795. Selama Re
volusi Perantjis, maka jang berkuasa ialah beberapa organisasi
rakjat. Radja, anggauta keluarganja ,Un bagian besar golongan
bangsawan (adel) diserang oleh rakjat dan dibunuh. Tetapi sesudah
Revolusi Perantjis, jaitu pada djaman kontra-revolusionèr dan
35 Anggapan semat jam ini terdapat djuga dalam salah satu aliran dalani
fdsafat negara (staasfdosof,e) jang kelasik i kuno) di Negeri Tiong
kok dahulu Lihatlah J.J.L. D u y v e n d a k „T he Book o f Lord
Shang., A CIassic of the Chmese School o f Law” , disertasi Leiden 1928
(dibitjarakan dalam „Algemcne staatsleer” dari K r a n e n b u r g ,
hal 49 d jb.). Kemudian peladjaran „raison d’ état” ini dikemukakan
P , 1., h o b b e s (lihatlah dibawah ini) dan, dalani satu benluk jang
idealistis, oleh H e g e l (lihatlah diatas tadi). Selandjutnja, pela
djaran „raison d etat ini dikemukakan oleh pengarang jang mem
bela suatu negara fascistis dan suatu negara jang nasional-sosialistis.
302
„Restauratie” , m aka kekuatan politik tertinggi kembali-lagi keda-
lam tangan golongan bangsawan. T e p a t: golongan. „feodal baru
jan g terdiri atas anggauta golongan bangsawan dari djam'an sebelum
Revolusi Perantjis serta anggauta-anggauta lapisan pertengahan
(m iddenstand) jang kaja. Lebih tepat lagi : kaum burdjuis. Me
reka itu sangat m em bentji kedaulatan rakjat -karena telah merasa
kepahitan revolusi. Mereka beranggapan bahwa kedaidatan rakjat
itu sudah pasti lianja akan m em bim bing kearah anarhi (kekatjauan)
•sadja.
Pada waktu setelah Revolusi Perantjis, beberapa ahli liukum
negara, jang m em perlihatkan suatu reaksi menolak tarhadap Revo
lusi P erantjis itu, m entjari suatu dasar baru untuk legitimasi ke
kuasaan negara, supaja memperkuat kedudukan pemerintahan kaum
burdjuis. A h li hukum negara itu chusus orang Perantjis dan orang
D jerm an. A nggapan tentang suatu perdjandjian negara jang diada
kan dengan sukarela oleh anggauta lnasjarakat memang tidak dapat
diterim a. U ndang-undang dasar (konstitusi) birkan buatan rakjat
sendiri. M elainkan, merupakan suatu anugerah radja kepada rakjat-
nj a‘ Undang-undang dasar merupakan suatu „Charte octroyee” 3r'-
A pabila radja m cnganggapnja perlu, maka undang-undang dasar
oleh diam biln ja kem bali. Menurut teori-teori negara jang diben
tangkan oleh ahli-ahli pada waktu sesudah Revolusi Perantjis
sebagai reaksi terhadap Revolusi Perantjis itu — maka jang ber
daulat bukan rakjat, djuga bukan radja (kaum burdjuis), tetapi
H- gar a 7 teori-teori kedaulatan negara ( s t a a t s s o u v e r e i u i t e i t ) .
T eori-teori kedaulatan negara jang paling pertama dibuat, jaitu
teori-teori kedaulatan negara jang dibuat pada w’aktu paling pertama
elah R evolu si Perantjis, adalah teori-teori jang chusus dibuat un
tuk m em pertahankan kedudukan kaum' burdjuis terhadap serangan-
ran„an dari aliran-aliran jang sosialis tis-revolusioner (jang dihi
dupkan olah pengarang sosialistis dan pedjuang Sosialisme jang per
tama jan g m akin lama m akin kuat). Teori-teori kedaulatan negara
36
M engenai perkem bangan perdjandjian sosial (m a a t s c l.a p p e lijk verdrag)
m endjadi undang-undang dasar (perlam a) lihailah v o n S c h m ' d
»H et denken over staat en rechl in de negentiende eeuw , 194»,
n al. 40. M engenai undang-undang dasar sebagai suatu „Charte oc-
troyee chusus hal. 4 5 .
a h w a s a n ja o le h k a u m b u r d ju is d itu n d ju k n egara sebagai ja n g b er-
a u a l, it u la h tid a k p e r lu m e n g h e r a n k a n ora n g . B u kan kah , barang
siapa ja n g m e n g u a s a i n e g a ra seb a g a i alat m em erin tah itu dengan
sen d .n n ja dju ga berdaulat ? ! Bukankah, jang menguasai negara itu
c i u s u s „r u lin g elass” , d ja d i,' kaum burdjuis ?
303
jang dibuat kemudian (pada bagian kedua abad jang lampau) ada
lah. teori-teori jang ditjiptakan oleh chusus aliran positivism e abad
ke-19 38. Chusus teori-teori kedaulatan negara jang kedua ini —
jang mem'peladjari negara dari sudut positivisme-hukum — mendja-
di sangat terkenal. Harus disebut dua pengarang bangsa Djerman,
jaitu G e o r g e J e l l i n e k dan P a u l L a b a n d 39. Terkenal
perumusan J e l l i n e k 40, bahwa negara itu „d ie mit ursprüng
licher Herrschermacht ausgerüstete Verbandseinheit sesshafter Men
schen” . Djadi, negara itu gabungan manusia terorganisasi di suatu
daerah tertentu jang dilengkapi dengan suatu kekuasaan asli akan
memerintah. Apakah jang dimaksud' dengan „kekuatan asli” itu ?
Djawabannja : suatu kekuatan jang tidak diturunkan dari sesuatu ke
kuatan atau kekuasaan lain jang deradjatnja lebih tinggi. „Kekuatan
asli” itu kekuatan tertinggi. Diatas „kekuatan a sli’ itu tidak ada
kekuatan atau kekuasaan lain. Hukum ada karena negara menghen-
dakinja. Setiap aksi pem erintah'm erupakan kehendak negara dan
apabila negara beraksi maka aksinja pada dasarnja tidak dibatasi
oleh hukum ! Bukankah, hukum itu buatan negara sendiri dan tidak
mungkinlah negara harus tunduk ipada buatannja sendiri ?
Sekitar tahun 1900 teori kedaulatan negara ini m endapat ten
tangan dari beberapa ahli hukum jang namanja sangat terkenal.
Diantara mereka harus disebut C r u e t (Negeri Parantjis) 41,
D ü g u i t (Negeri Perantjis), K r a b b e (Negeri Belanda). Teru
tama teori K r a b b e , jang terkenal dengan nama teori kedaulatan
hukum, m endjadi terkenal di Indonesia pula. Mengenai hukum di
katakan K r a b b e : „aldus moet ook van het recht de heerschappij
gezöcht worden in de reactie van het rechtsgevoel, en Jigt dus zijn
gezag niet buiten maar in den mensch” (demikian djuga halnja
dengan kekuasaan hukum jang harus kami tjari dalam reaksi pe-
rasaan-hukum. Djadi, kekuasaan hukum itu tidak ter,letak diluar
manusia tetapi terletak didalam manusia). Bahkan, hukum' itu tidak
bergantung pada kehendak manusia, jaitu hukum adalah sesuatu de
ngan kekuatan memerintah jang terdapat dalam perasaan-hukum
manusia, jang sering memaksa manusia bertindak djuga bertentangan
dengan kehendaknja sendiri atau bertentangan dengan suatu ke-
304
tjeuderungan tertentu padanja. Bukau hanja manusia dibawali pe
rintah hukum , neganapun dibawali perintah hukum itu. Hukum
berdaulat, ja itu diatas segala sesuatu, terniasuk negara 42.
Jang dibentangkan oleh K r a b b e adalah (konsepsi) „negara
hukum ” 43, jaitu, menurut pendapat kami, negara berdasarkan :
1. azas legalitèt
2. azas perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia semua
orang jang •ada di wilajah negara, dalam hal kebebasan dan
hak ini sesuai dengan kesedjahteraan umum.
Jang dim aksud dengan azas .legalitèt ialah azas, bahwa semua
tindakan alat-alat negara (staatsorganen) harus didasarkan atas dan
dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Jang mempunjai ke-
kuasaan tertinggi dailam negara ialah undang-undang dasar jang
terdiri atas peraturan-peraturan hukum dan azas-azas hukum (azas-
azas hukum ini m em beri sedikit keleluasaan kepada mendjalankan
azas legalitèt ! ). Badan-badan ¡pemerintah tidak dapat melakukan
tindakan jang bertentangan dengan inti undang-undang dasar (atau
305
jang bertentangan dengan inti peraturan perundang-undangan lain)
atau tindakan jang ada diluar batas undang-undang dasar itu (atau
jang ada diluar batas peraturan-peraturan perundang-undangan la in ).
Kebalikan negara hukum ialah negara kekuatan ( machtsstaat)
atau negara polisi (politiestaat). Apabila perfu maka badan-badan
pemerintahan suatu negara polisi dapat bertindak diluar batas
undang-undang.
Apakah negara kita merupakan suatu negara hukum ? Dja-
waban dapat dibatja dari beberapa peraturan perundang-undangan.
Misalnja, dari U.U.D. sendiri (berbeda dari, pasal 1 ajat 1 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu maka pasal 1 ajat 1
maupun ajat 2 U.U.D. tidak memuat istilah „negara hukum” ; sifat
negara hukum itu dapat diketahui dari „Pendjelasan” atas U.U.D.),
dari pasal 1 ajat 1 K.U.H. Pidana (lihatlah Bab IX par. 1).
Para pengarang jang M a r x i s dengan sendirinja menolak kon
sepsi negara hukum, karena sebetulnja tidak ada tatahukum umum
tetapi hanja suatu tatahukum tertentu. Jang sebetu,lnja ada hanjalah
tatahukum „ruling clàss” dalam m'asjarakat.
Ad b : wilqjah.
306
sebut udara teriturial ( territoriale luclit). Batas-batas tanah teritur
sesuatu negar’a biasanja ditentukan dalam perdjandjian dengan ne
gara-negara tetangga. Ada djuga batas jang ditentukan oleh alam (na-
tuurlijke grenzen). Batas-batas laut teriturial ditentukan oleh ma
sing-masing negara sendiri dengan memperhatikan sebanjak-banjak-
nja azas-azas hukum internasional apabila p e rlu 46. Biasanja sebagai
lebarnja laut teriturial masih diterima djarak 3 mil laut (zeemijl).
Norwegia dan Swedia menentukan djarak 4 mil laut, negara Espa-
n jol menentukan 6 mil laut. Pada saat ini oleh banjak negara, ter
masuk negara kita sendiri diperdjuangkan pengakuan batas 12 mil
laut dari laut teriturial itu. Teluk (baai) dan tasik (binnenzee)
ketjil merupakan teritur negara. Demikian djuga kuala (riviermond)
jang lebar. Lebarnja laut teriturial diukur dari „laagwaterlijn” (ba
tas pasang surut). Dalam suatu perdjandjian internasional (traktat)
jang diadakan pada tahun 1919 di kota Paris ditentukan bahwa
udara diatas teritur suatu negara termasuk teritur negara itu pula
(pasal 1 : „L es Hautes Parties contractantes reconnaissent que
chaque Puissance a la souveraineté complète et exclusive sur 1’ espace
atmosphérique au-dessus de territoire” . Lihatlah djuga pasal 1 Trak
tat Chicago tertanggal 7 Desember 1944) 47.
Dalam hukum internasional, sedjak abad ke-164S, diakui perke-
tjualian terhadap azas, bahwa setiap orang jang ada didalani teritur
sesuatu negara ada dibawah kekuasaan tertinggi negara itu. Perke-
tjualian ini diakui untuk kepala negara asing, duta besar, duta,
wakil-wakil lain dan pegawai-pegawai perwakilan asing dengan ke
luarga mereka (lihatlah pasal 105 Piagam P.B.B. dan. pasal 19 Pia-
^ gam Mahkamah Internasional). Mereka itu tidak ada dibawah ke
kuasaan tertinggi negara di mana mereka ditempatkan. Peike-
307
tjualian. ini disebut eksteriturialitet (exterritorialiteit). Mereka ter
sebut dianggap ada diluar teritur negara 49.
Garis perbatasan wilajah negara kita ditentukan oleh beberapa
perdjandjian internasional jang dahulu diadakan oleh pemerintah
Belanda dengan beberapa negara lain. Berdasarkan pasa,l 5 Persetu-
djuan perpindahan jang ditetapkan pada K.M.B., maka perdjan-
djian-perdjandjian internasional itu sekarang berlaku djuga untuk
Republik Indonesia. Perdjandjian-perdjandjian itu Konvensi London
tahun 1814 (Ntegeri Inggris menjerahkan kembali Hindia-Belanda
kepada Negeri Belanda), Traktat London tertanggal 17 Maret 1824,
Traktat ’s Gravenhage tertanggal 2 November 1871, Traktat London
tertanggal 21 Djuni 1891, Protokol London tahun 1915, Traktat
’s Gravenhage tertanggal 26 Maret 1923, Traktat ’s. Gravenhage ter-
tanggal 16 Mai 1895, Traktat Lissabon (Lisboa) tertanggal 20 April
1859, Traktat Lissabon tertanggal 10 Djuni 1893 dan Traktat ’s Gra
venhage tertanggal 1904. Pulau Palmas (Miangas) termasuk wilajah
Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) berdasarkan keputusan arbi-
trasi internasional (arbiternja seorang Swis, jaitu Prof. Dr M a s
H u b_e r) antara Negeri Belanda dengan Amerika Serikat („arbi- r
tragecompromis” dari tahun 1925) dari tahun 1 9 2 8 50.
W ilajah Indonesia adalah 51 :
308
2. pasal 1 ajat p.P.u.u. (pePerpu) tentang perairan Indonesia,
L.N. 1960 Nr 22, menerima suatu laut teriturial sampai 12 mil
laut terhitung dari garis air rendah. L.N. 1960 Nr 22 ini men-
tjabut pasal 1 ajat 1 angka 1 sampai angka 4 dari „Territoriale
zee en maritieme kringen ordonnantie 1939” , L.N.H.B. 1939 Nr
422 (jang mengenal suatu laut teriturial pang lebamja lianja 3
m il laut sadja). v
Pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Kabinet Karya (Perdana
Menteri Ir H. D j u a n d a) dibuat suatu Pengumuman Peme
rintah mengenai wilajah perairan Negara Republik Indonesia,
jang m'enjatakan bahwa „segala perairan disekitar, diantara
dan jang menghubungkan pulau-pulau jang termasuk Negara
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebamja adalah
bagian-bagian jang wadjar daripada wilajah daratan Negara
v Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pe
dalaman atau Nasional jang berada dibawah kedaulatan mutlak
Negara Indonesia. Lalu lintas jang damai diperairan pedalaman
ini bagi kapal-kapal asing didjamin selama dan sekedar tidak
bertentangan dengan/mengganggu kedaulaltan dan keselamatan
Negara Indonesia” . Dalil jang dipertahankan dalam pengumu
man ini terkenali dengan nama jyrinsip nusantara (archipelago
iprinciple), jang wadjar kita pertahankan.
3. ruangan udara diatas tanah dan laut berdasarkan Traktat Paris
tahun 1919 jang telah kami sebut.
-dd c : Warga-negara.
Warga-negara adalah m'ereka jang mempunjai keanggautaan
juridis dari negara. Siapa jang tidak termasuk warga-negara adalah
orang asing (vreemdeling) 53.
D i samping pengertian „warga-negara” ada dua pengertian lain,
jaitu „rakjat” (volk) dan „bangsa” (natie). Pengertian-pengertian
tersebut tidak sama dan tidak boleh dikatjaukan jang satu dengan
jang lain. Definisi kami tentang „rakjat” dan „bangsa” jang berikut
dibawah ini didasarkan atas terutama apa jang dikatakan L o g e -
m ann dalam bukunja „Over de tlieorie van een stellig staats-
recht” 54.
53 Mengenai kedudukan orang asing di Indonesia lihatlah ProL, Dr
G o u w G i o k S i o n g , S.h. „T he Legal Status o f Foreigners in In
donesia” , 1963. , i„
54 Hal. 66-69. Lihatlah djuga L o g e m a n n „H et staptsrecht van In
d on esia” , 1954, hal« 95-98.
309
„Rakjat” adalah suatu pengertian sosiologis. Rakjat adalah
suatu golongan manusia jang (bersama-sama) mempunjai suatu kebu-
dajaan sama tertentu. Misalnja, persamaan bahasa — walaupun da
lam bahasa itu ada perbedaan lokal — , persamaan adat. Jang terma
suk rakjat Indonesia (dalam arti kata sosiologis) tidak hanja warga-
negara (asli) Republik Indonesia, tetapi djuga orang Indonesia
jang m'eiripunjai kewarga-negaraan Kalimantan Utara, kewarga-ne-
garaan Singapura, kewarga-negaraan Federasi Malaja, kewarga-nega
raan Portugis (Timor Portugis), kewarga-negaraan Tiongkok Na
sionalis (Taiwan) dan kewarga-negaraan Filipina !55.
„Bangsa” mendjadi suatu pengertian politik (dan historis).
Bangsa adalah suatu golongan manusia jang bersama-sama sadar
akan suatu kesatuan politik (dan historis) jang telah ada diantara
mereka dan mereka itu mempunjai kehendak meneruskan dan mem
pertahankan kesatuan politik tersebut. Pada tahun 1945 sebagian
dan rakjat Indonesia — jaitu bagian besar mereka jang ada didalam
wilajah bekas-koloni Hindia-Belanda — sadar akan dan mempunjai
kehendak teguh meneruskan dan memjpertahankan kesatuan politik
sendiri jang telah ada, atau sedang berkembang, diantara mereka.
Kami mengingatkan para pembatja pada djawaban E r n e s t
R e n a n atas pertanjaan „Q u’ est-ce qu’ nation ? ” : „ ........................
avoir fait de grandes choses ensemble, vouloir en faire encore” 56.
Agar dapat menentukan siapa jang termasuk warga-negara siapa
jang tidak >>7 maka dapat digunakan sebagai dasar penentuan itu dua
55 Mengenai „Indonesia” lihatlah pidato inaugurasi Prof, d e J o s s e l i n
d e J o n g „D e Maleise Archipel als ethnologisch studieveld” , Leiden
1935.
56 Pidato di kota Paris pada tahun 1882. Ada terdjemalian oleh Mr .S u -
narjo.
57 Pembatjaan umum maupun pembatjaan chusus tentang kewarga-ne-
garaan pada umumnja : Di samping buku Mr Dr K o S w a n S i k
(lihatlah noot 58) dapat dibatja karangan A.N. M a k a r o v „R ègles
générales du droit de la nationalité” dalam „R ecu eil des cours
de I’ Académie de Droit International” , ,75 (1949, I ) liai. 269 d jb .;
i_S t -U y t ” Tlle General Principles o f Law” , 1946 (lihatlah noot
4 5 ) ; bagian pertama karangan Mr M o c h t a r K u s u m a A t m a -
,.J T nafionality and international law” dalam madjalah „P a -
ja jaran , I, 4,. bal., 38-72. Ringkasan singkat dalam O p p e n h e i m -
Lauterpacht I, haï. 636 d jb .; M. K o e s s l e r dalam „Y ale
n . W»i i? 1"]«10 c . (1 9 4 6 /4 7 ), haï. 58-76. Untuk chusus Indonesia
\ f, a, . r. „ ° ® J ° n ° H a d i d j o j o „Kewarganegaraan Indone-
613 ’ skrlpsi Gad>ah Mada 1954; G o u w G i o k S i o n g „W arga-
negara an orang asing (berikut Peraturan-peraturan dan Tjontoh-
ï , n .° ^jang niemuat suatu daftar pembatjaan terpenting),
„Soal-soal aktu.l tentang kewarganegaraan” , 1958, dan karangan ,,Atja-
310
ukuran : ius sanguinis atau/dan ius soli.
D alam hal ius sanguinis dipakai sebagai dasar penentuan siapa
warga-negara siapa tidak maka seseorang mendjadi warga-negara
karena keturunan. M isalnja, anak warga-negara Indonesia jang la
hir di m anapun djuga dengan sendirinja mendjadi warga-negara
Indonesia pula.
D alam hal ius soli dipakai sebagai dasar penentuan siapa warga-
negara siapa tidak, maka seseorang mendjadi warga-negara karena
kelahiran di w ilajah suatu negara tertentu atau karena ia sudah
beberapa waktu lam anja penduduk suatu negara te r te n tu . Misalnja,
seorang Indonesia jang lahir di Negeri Inggris mempunjai hak
m en dja di warga-negara Inggris („B ritish subject” ).
Sering terd jad i seseorang m empunjai dua kewarga-negaraan uS.
Seorang ja n g m em punjai dua kewarga-negaraan itu diberi nama
bipatride. T erkenal perdjandjian Soenarjo-Cho.il En Lai
jan g dibu at pada tanggal 22 A pril 1955 setelah penghabisan Kon-
verensi A sia-A frika d i Bandung. Perdjandjian ini, jang sudah dise-
tu djui oleh D .P .R . (Undang-undang tahun 1958 Nr 2), sekarang
m en d jadi dasar induk untuk menjelesaikan persoalan dwi-kewarga-
negaraan R .I.-R .R .T .
Seorang ja n g oleh karena sesuatu hal tidak mempunjai kewar
ga-negaraan d ib eri nama apatride (statenloos).
311
Kewarga-negaraan Republik Indonesia pada saat ini diatur da
lam Undang-undang tahun 1958' Nr 62 tentang Kewarga-negaraan
Republik Indonesia, L.N. 1958 N r 113 (Pendjelasan dalam Tambah
an L.N. Nr 1647).
312
\
N egara karena bentuk tertentu pemerintahnja ’— merupa-
f' 7**ona‘- h i atai1 repu blik. Apabila djabatan kepala negara diivaris-
, ”epaila keturunan kepala negara lama, maka negara itu meru-
di t _ Sl*a lu m on a rh i, sedangkan apabila djabatan kepala negara
/ ■i | p a ti k a ie n a *pilih an langsung \uicn
(oleh rakjat) UldU
atau tidak langsun t?
lliidK iangsi
ATSUalU kenegaraan), maka negara itu suatu republik 60,
o n a rh i u u dapat digolongkan dalam tiga type dasar :
«• m o n a rk i absolu t (m u tla k )
n o n a rh i k onstitusionil (berdasarkan undang-undang dasar)
c- m o n a rh i p a rlem en ter
k u la n ,p ô ^ ,in ' :l' Sa-n -' Î T ‘1n menteri atau menteri jang bersang-
dalam" , n a d f l T l,dak di«crin,a oleh B o h t l i n g k -
5 5 1 -5 5 2 J . ah ’ >Ekonom. dan Keuangan Indonesia” , VII, 8 , hal.
i ,u m e r u ^ k V n en i, Pertu hankan P ^ a p a t balnva „Pemerintah”
b eb era p a P01.a "g
pasal und'iTiP- ht i i ‘ semua nienleri, karena semua pasal-
k « .a ,,P e n 1 e r in tô Î""KW a “ Î jang nienuiat
P a d a hal. 5 52 : ' M et^ R ™ » -ari !io " sli,«si R.I.S., tanpa diubah,
steeds : Président” met l™?8 1 , ' de grondwet dus nog
( s ) ” ) . D alam TJ TT T» t> e,rokken verantwoordeliike jninister
~ -4 M » ^ m a n tu
313
Menurut demokrasi Eropali Barat, maka suatu negara karena
bentuk pemerintahnja adalah suatu monarhi parlementer, apabila
pertanggungdjawaban pemerintah negara sepenuh-penuhnja terletak
dalam tangan menteri jang sepenuh-penuhnja bertanggungdjawab
terhadap dewan perwakilan rakjat. Kekuasaan tertinggi sepenuh-
pènuhnja terletak dalam tangan,parlemèn. Suatu bentuk pemerintah
jang bersifat monarhi parlementèr (parlementaire regeringsvorni)
berdasarkan dua azas :
Ad 1:
314
ialah tanda-tangan menterinja (sistim. tanggungdjawab menteri) dan
apabila kebidjaksanaan politik menteri tersebut (menterilah jang
bertanggungdjawab terhadap parlemèn) tidak dapat disetudjui oleh
bagian besar dewan perwakilan rakjat, miaka menteri itu harus me
letakkan djabatannja (sistim parlementer). Maka dari itu dapat
dikatakan, bahwa kekuasaan radja oleh kedua sistim tersebut telah
dipindahkan kedalam tangan parlemèn. Titik-berat kekuasaan ter
tinggi negara terletak dalam tangan parlemèn. Inilah jang dimaksud
dengan monarlii parlementèr.
Dari tanggal 14 November 1945 sampai tanggal 5 Djuli 1959,
terketjuali dalam tiga kali keadaan darurat — tanggal 28 Djuni
1946-tanggal 2 Oktober 1946, tanggal 27 Djuni 1947-tanggal 3 Djuli
1947 dan tanggal 15 September 1945-15 Desember 1948 (semua
kekuasaan negara kembali dalam tangan Presiden) — dan pada saat
konstitusi R.I.S. berlaku, maka sistim parlementèr diterima positif
dalam hukum tatanegara Indonesia 61, tetapi sebagai suatu peraturan
hukum kebiasaan (convention) 62.
315
Seperti jnonarhi maka republik itu dapat digolongkan dalam
type-type dasar :
a. republik mutlak
h. irepublik konstilusionil
c. republik parlementer.
S
Republik kita adalah suatu republik konstitusionil — lihatlah
„Pendjelasan” atas U.U.D. : „Pemerintahan berdasarkan alas sistim
Konstitusionil (hukum dasar, tidak bersifat absolutisme (kekuasaan
jang tidak terbatas))” . Seperti jang kami katakan diatas tadi, maka
dari tanggal 14 November 1945 sampai tanggal 5 Djuli 1959, terke-
tjuali dalam tiga kali keadaan darurat dan ketika konstitusi R.I.S.
berlaku 63, negara kita pernah menerima sistim parlementer.
316
P ar. 5: B c u tu k . negara.
' a. protektorat
b. koloni .
c. konfederasi
d. federasi ^ondsstaat)
e. „Com m onwealth of Nations”
f. uni :
a. P rotek tora t.
Suatu protektorat adalah suatu negara jang „dilindungi” (kata
„protektorat” berasal dari „to protect” (bahasa Inggris) = melin-
317
dungi) oleh suatu negara lain jang lebih kuat. Negara jang disebut
terahir ini mendjadi pelindungnja 65.
b. Koloni.
Suatu koloni adalah suatu daerah jang didjadjah oleh suatu
negara lain jang biasanja disebut „negara (negeri) ibu . KoloH*
biasanja merupakan bagian dari wilajah dari „negeri ibu” tetap1
ada djuga banjak koloni jang mempunjai teritur sendiri.
Hampir semua soal-soal penting koloni diatur oleh pemerinta
„negara ibu” .. Hanja soal-soal jang tidak penting diserahkan kepad®
pemerintah koloni jang bersifat wakil pemerintah „negeri ibu •
318
!
\
<1 . Federasi (negara serikat, bondsstaat) 67.
319
Gold Coast), Federasi Nigeria, Cyprus, Sierra Leone, Kenya, Rho
desia, Tanzania dan Federasi Malaja 69.
Anggauta „Commonwealth” adalah negara jang berdaulat-dan
xaerdeka s e p e n u h - p e n u h n j a . Ikatan „Commonwealth” itu hanja ika
tan politik dan tidak merupakan ikatan hukum. Jang mendjadi da
sar ikatan „Commonwealth” ialah azas kerdja-sama antara anggauta
•dalam lapangan ekonomi, perdagangan dan keuangan. Kerdja-sama
itu berdasarkan kesukarelaan anggauta „Commonwealth” , dan oleh
para peserta „Imperial Conference” tahun 1926 dirumuskan seba-
Jbagai berikut :
„They (dominions itu) are autonomous communities within the
British Empire, equal in status, in no way subordinate one to
another in any aspect o f their domestic or external affairs, through
united by a common allegiance to the Crown, and freely associated
as members of the British Commonwealth of Nations” (ramus dari
Laporan-B a I f o u r) 70.
_ ,i. Uni.
Suatu uni ada, apabila dua (atau lebih) negara merdeka dan
berdaulat mempunjai satu kepala negara sama; jakni dua negara
dikepalai oleh satu kepala negara. Kepala negara dari negara jang
satu mendjadi djuga (serentak) kepala negara dari negara jang lain.
Uni itu ada matjam :
320
Par. 6: R i n g k a s a n sangat singkat dari se d j a
r a h n e g a r a k i t a d a r i t a n g g a l 17 A g u s t u s 1 9 4 5
s a m p a i t a n g g a l 5 'D j uli 1959 (Dekri t P re s i de n
jang m end jadikan berlaku kembali U. U. D.
1 9 4 5 ) -i ' '
321
\
G-A.M.J. R u y s d e B e e r e n b r o u c k „Souvereiniteitsoverdrach 1
aan Indonésie” , 1950; P.S. G e r b r a n d y „Indonesia” , 1950;
David Wehl „T he Birth o f Indonesia” , 1948; Charles
Wolf Jr „T he Indonesian Story” , 1948; A li Sa si r o a m * '
d j o j o dan R o b e r t D e l s o n „T h e Status o f the Republic o f
Indonesia in International Law” dalam „Colum bia Law Review” , 49
(M aret^l949), hal. 344-361 ; M o h . H a t t a „Kum pulan karangan” »
19o4, Bab XIII : Sambutan tudjuh belas Agustus; R u p e r 1
Emerson „Representative Government in Southeast Asia” , 1955,
dan „From Empire to Nation. The Rise to Self-Assertion o f Asian a n d
African Peoples” , 1960; W.. M a c M a h o n B a l l „Nationalism and
Communism inE ast Asia” , 1956; D. W o o d m a n „T h e Republic o f
Indonesia” , 1956; S o e d j a t m o k o „T h e Role o f Political Par
ties in Indonesia” dalam P.W. T h a y e r (e d .) „Nationalism and
Progress in Free Asia” , 1956, hal. 128 140; H e r b e r t F e i t h „T he
Indonesian Elections o f 1955” , 1957, „T he W ilopo Cabinet 1952-1953:
Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia” , 1958, „Indonesia’
G e o r g e M e T. K a l i i n (ed .) „Governments and Politics
o f South Asia” , 1959, liai. 153-238 dan „T h e Decline o f Constitutional
History in Indonesia” , 1962; L o u i s Fischer „T h e Story o f
Indonesia” , 1959; J a m e s Mossman „R ebels in Paradise.
Indonesia’ s Civil War” , R u t h T. Me V e v „T h e Soviet V ie*
o f the Indonesian Revolution” , 1962, dan (se’bagai editor) „In d o
nesia , 1963; A r n o l d C. B r a c k m a n „ I n d o n e s ia n Communism*
A-History” , 1963; D o n a l d Hindley „T h e Communist Party
o f Indonesia, 1951-1963” , 1964, dan pidato-pidato Presiden S o e ;
k a rn o tiap-tiap tahun pada tanggal 17 Agustus, jang memberi
gambaran tentang dan reaksi atas keadaan dan perkembangan politik*
Pembatjaan mengenai perkembangan hukum sampai tanggal 5 Djul»
1959 : Dokumentèr : Prof. Mr H. M u h., Y a m i n „Naskah p e r s ia p a n
ndang-undang Dasar 1945” , 3 djilid, 1960. Uraian dan pembahasan •
p i” Uf, 1 » Hukum Tata Negara Republik Indonesia Dalam Masa
reralihan , I, tjetakan kedua ; P r o f . Mr A.G, P r i n g g o d i g d o
V ^ ‘ anegara .di Djawa pada waktu pendudukan Djepang” , tjeraniah
t i di Jogjakarta; Mr R. S a s t r a n e g a r a „H ukum talanegara
Indonesia sedjak perang dunia ke-II” , 1953; Mr A.A. Z o r a b „D e
Japanse bezetting van Indonésie en haar volkenrechtelijke zijde” , dis*
i en 1955; Mr M. Y a m i n „Proklamasi dan Konstitusi Republik
n onesia , 19o2, dan ,,Pembahasan Undang-undang Dasar Républik
n onesia , 1960; Pengurus Senat dan Senat Univ. „Gadjah Mada”
,, em aliasan ilmiah mengenai susunan pemerintahan Negara Republik
Indonesia» i 959; Prof Mr R D . K o 1 1 e w i j n dan Dr R., v a n
1 «Staatsrecht en Rechterlijk organisatie van Indonésie in over-
gaugstyd’ , 1949, dengan supplement 1950; Mr F.R. B o Ii t 1 i n g k
,, taatsrecht in Indonésie 1942-1951, samengesteld uit materiaal van
he Documentatiebureau voor Overzees Redit te Leiden” , 1951, dan
” ^ 'erhouding tussen regering en v o lk sv erteg en w oord ig in g in I n d o
nésie sedert 1945 en in de toek om st” dalam „Indonésie” , VII, liai.
64-79; A. A r t h u r S c h i l l e r „T he Formation o f Federal Indo
nesia, 1945-1949” , 1955; D e n i s L e v y „L a constitution de la
République de 1’ Indonésie” dalam „Revue Intern, de Droit Comparée” ,
IV, 9 (April-Djuni 1952), hal 268-280; Prof. J.H.A. L o g e m a n n
„H et staatsrecht van Indonésie” , 1954; Mr A.K.. P r i n g g o d i g d o
„Kedudukan Presiden menurut tiga Undang-undang Dasar dalam teori
dan praktek” , 1956; karangan-karangan dalam „Mededelingen van
het Documentatiebureau voor overzees recht” ; K a h i n dalam „M a
jor Governments o f Asia” _(lihatlah diatas) ; J.D. L e g g'e „Central
322
Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hinida-Belanda di tanah
Indonesia berahir de facto karena pendudukan tentara Djepang.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Negeri Djepang kalah, selandjutnja,
pada tanggal 17 Agustus 1945 maka Indonesia memproklamasi ke-
m erdekaannja 72.
Dalam Persetudjuan Linggardjati tertanggal 25 Maret 1947 jang
diadakan antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik
323
Indonesia, maka pemerintah Republik Indonesia diakui de facto
(pasal 1) didaerah Djawa, Madura dan Suniatera jang tidak di
duduki oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemerintah ini telah
kembali di Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945.
Oleh karena Persetudjuan Linggardjati oleh kedua belah fihak
ditafsirkan setjara jang berlain-lainan dan agar dapat memaksa taf-
siran mereka diterima oleh pimpinan Republik Indonesia kita, maka
fihak Belanda dua kali melakukan agrèsi, jaitu aksi militèr jang
pertama (21 Djuli-4 Agustus 1947) — jang mengakibatkan perseli
sihan Indonesia-Belanda dibawa kedalam Dewan Keamanan P.B.B.
(31 D ju li)73—- dan aksi militèr jang kedua (18 malam-19 D e
sember 1948) — jang membawa perselisihan Indonesia-Belanda un
tuk kali keduanja dalam Dewan Keamanan P.B.B. 7'i .
Pada tanggal 7 Mai 1949 dikeluarkan „V an Royen-Roem Sta-
tement” sebagai hasil perundingan antara suatu delegasi Belanda
dibawah pimpinan Dr J.H. v a n Royen dan suatu delegasi
Republik Indonesia dibawah pimpinan Mr M o e li a m m a d R o e m
dibawa'h pengawasan U.N.C.I. (United Nations Commission fo r In
donesia) . Perundingan tersebut diadakan untuk melaksanakan „ru-
ling” Dewan Keamanan P.B.B. tertanggal 23 Maret 1949 dan mela
pangkan djalan ke Konverensi Medja Bundar (KJVI.B.), jang ke
mudian diadakan di kota ’s Gravenliage (Negeri Belanda) dari tang
gal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2 November 1949. /
324
gara bagian : Negara Indonesia Timur (N.I.T.) (L.N.H.B. 1946
Nr 143), Negara Sumatera Timur (N.S.T.) L.N.H.B. 1947 Nr 176
dan Nr 217), Negara Pasundan (L.N.H.B. 1948 Nr 52 dan Nr 95),
Negara Madura (L.N.H.B. 1948 Nr 42), Negara Sumatera Selatan
(L.N .H .B. 1948 Nr 204 dan Nr 326) dan Negara Djawa Tinmr
(L.N .H .B. 1948 Nr 303 dan L.N.H.B. 1949 Nr 250), dan persiapan
pembentukan negara-negara bagian di beberapa daerah lain : Ka
limantan, Djawa Tengah, sedangkan berdasarkan L.N.H.B. 1948 Nr
178 dan L.N.H.B. 1949 Nr 62 dilakukan persiapan pembentukan
euatu daerah ibu kota federal Djakarta.
325
lat 78. Pada tanggal 28 September 1950 Republik Indonesia (negara
kesatuan) mendjadi anggauta ke-60 dari Perserikatan Bangsa-
bangsa (P.B.B.).
Pada tanggal 27 Desember 1949 mulai berlaku „Konstitusi
R.I.S.” sebagai_undang-undang dasar Republik Indonesia Serikat.
Undang-undang Dasar 1945 tetap berlaku sebagai undang-undang
dasar negara bagian Republik Indonesia.
Struktur federal negara kita tidak diterima oleh bagian besar
aliran-aliran politik jang sedjak tahun 1945 m empunjai tjita-tjita
akan lahirnja suatu negara kesatuan Indonesia. Pada ahirnja aliran-
aliran unitaristis itu dapat mengalahkan aliran-aliran jang hendak
meneruskan struktur federal (aliran-aliran federalistis). Struktur
feHeral dibongkar dan diganti oleh suatu struktur unitaristis. Indo
nesia mendjadi suatu negara kesatuan.
Antara bulan Maret 1950 dan April 1950 beberapa negara ba
gian dan daerah-daerah lain („daerah pulihan” ) dengan sukarela
menjatukan diri dengan negara bagian Republik Indonesia. Dari
kedjadian-kedjadian itu telah ternjata sudah tentu struktur federal,
jang mendjadi tjiptaan pemerintah Belanda untuk danat memetjah-
belah persatuan Indonesia dan mendapat djaminan lebih besar akan
dilandjutkan pengaruhnja di wilajah Indonesia (pengaruh „neko-
lim ” ), tidak lagi dapat diteruskan. Sudah tentu struktur negara kita
akan berubah struktur unitaristis, jang telah mendjadi tjiptaan kita
sendiri sedjak tanggal 28 Oktober 1928 (Konggrès Indonesia Muda)-
Pada tanggal 17 Agustus 1950 undang-undang dasar sementara,
jang berlaku sampai tanggal 5 Djuli 1950, mengganti konstitusi
R.I.S., karena — seperti jang disebut dalam konsiderans — „Negara
jang berbentuk republik-kesatuan ini sesungguh-sunggulinja tidak
lain dari pada Negara Indonesia jang kemerdekaannja oleh Rakjat
diproklamasikan pada hari 17 Agustus 1945, jang semula berbentuk
republik-kesatuan dan kemudian mendjadi republik-fedeçasi” 79.
326
Hasil-liasil K.M.B. dan. Uni Indonesia-Belanda, jang mendjadi
salah satu hasil-hasil K.M.B. itu, tidak dapat hidup lama Pada
tanggal 10 Agustus 1945 ditandatangani suatu Protokol Pembubaran
U ni (persetudjuan S o e n a r j o - L u n s ) , dan selandjutnja, Protokol
itu disampaikan kepada dewan perwakilan rakjat masing-masing
peserta supaja disetudjui. Tetapi ratifikasi Protokol tersebut tidak
dapat ditjapai, karena D.P.R. tidak diberi kesempatan menjetudjui-
nja. Hal ini disebabkan oleh oposisi kabinet Mr A li S a t r o a m i -
d j o j o - A r i f i n, jang meniboycot sidang D.P.R. sehingga bidang
iu tidak dapat mentjapai quorumnja jang perlu untuk danat mem
buat suatu keputusan.
Selandjulnja, pada permulaan bulan Februari 1956 Pemerintah
Indonesia menghapuskan setjara „eenzijdig” seluruh hasil-hasil
K .M .B .. Pada bulan April 1956 Pembatalan K.M.B. dan Uni Indone
sia-Belanda disetudjui oleh D.P.R. (jang teroilih dalam pemilihan
um um pada tanggal 29 September 1955). Lihatlah Undang-undang
tahun 1956 Nr 13 tentang Pembatalan K.M.B., L.N. 1956 Nr 27.
Undang-undang ini memuat suatu daftar perdjandjian-perdjandjian
K .M .B. jan g oleh pemerintah kita dianggap batal untuk hari kemu
dian.
W alaupun Pembatalan K.M.B. ini merupakan suatu pukulan
besar terhadap kenentingan ekonomis Belanda di Indonesia, masih
d juga Pembatalan K.M.B. ini tidak mengalriri semua kepentingan
Belanda itu. Proses dekolonisasi ekonomi Belanda (Proses mem
bebaskan diri dari kolonialisme ekonomis Belanda) diteruskan.
A h irn ja , diteruskannja pendjadjalian Belanda jang tidak sah (
tidak dengan persetudjuan pemerinta'h “kita) atas wilajah provinsi
Irian Barat dan sikap terus menolaknja pemerintah Belanda untuk
berunding dengan pemerintah kita tentang status wilajah Irian Barat
di kem udian hari berdasarkan konsepsi penjerahan wilajah Irian
Barat kepada R epublik Indonesia, jaitu persengket-an antara Re
pu blik Indonesia dan Negeri Belanda tentang wilajah Irian Barat,
m en d ja d i suatu alasan tjukup kuat untuk menasionalisasi semua ke-
punjaan Belanda di Indonesia. Sesudah usaha-usaha pemerintah kita,
m elalui Sidang Umum (General Assembly) P.B.B pada bulan No
vem ber, 1957 80 memaksa pemerintah Belanda berunding dengan
327
pem erintah kita tentang status wilajah Irian Barat, gagal, maka pa
da tanggal 3 Desember 1957 dilakukan Aksi Irian Barat, jang m e
ngakibatkan semua kepunjaan Belanda di Indonesia diam bilalihkan
oleh pemerintah kita. Pengambilalihan kepunjaan Belanda ini di
susul olefh nasionalisasi kepunjaan Belanda berdasarkan Undang-,
undang tahun 1958 Nr 86, L.N. 1958 Nr 162 (M em ori Pendjelasan
dalam Tambahan L.N. Nr 1690; pelaksanaan dalam peraturan P e
merintah tahun 1959 Nr 2, L.N.1959 Nr, 5, Badan Nasionalisasi
Perusahaan Belanda dibentuk berdasarkan peraturan Pemerintah
tahun 1959 Nr 3, L.N. 1959 Nr 6). Peraturan Pemerintah tahun
1959 Nr 9, L.N. 1959 Nr 16, mengatur tugas-kewadjiban Panitia
Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan-perusahaan M ilik Belanda
jang dikenakan Nasionalisasi dan tjara mengadjukan permintaan
ganti kerugian.
Karena lama-kelamaan ternjata bahwa ekonom i liberal dan de
mokrasi liberal tidak dapat membawa penjelesaian persoalan-persoa
lan pembangunan masjarakat kita sehingga m endjadi suatu masjara-
kat jang adil dan makmur, maka pada tanggal 19 Februari 1959
Pemerintah (K abinet Djuanda) mengumumkan konsepsi
„pelaksanaan demokrasi terpimpin -dalam rangka kembali Undang-
undang Dasar 1945” 81. Pada tanggal 22 A pril 1959 konsepsi
Pemerintah tertanggal 19 Februari 1959, jaitu „pelaksanaan dem o
krasi terpim pin dalam rangka kem bali ke Undang-undang Dasar
1945” , dengan amanat Presiden jang bernama „R es publica ! Sekali
lagi Res Publica !” , disampaikan kepada sidang pleno Konstituante
R-I. di kota Bandung, supaja Undang-undang Dasar tahun 1945 oleh
Konstituante tersebut ditetapkan sebagai Undang-undang Dasar R e
publik Indonesia sekarang dan mengganti undang-undang dasar
sementara tahun 1950 dahulu. Perdjuangan „kem bali ke U.U.D.
tahun 194,:> dalam Konstituante gagal sesudah diadakan pemungutan
suara pada tanggal-tanggal 30 M ai, 1 D iuni dan 2 D juni 1959.
Karena Konstituante tidak berhasil menetapkan U.U.D. taliun
1945 sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia sekarang
karena „berhubung dengan pernjataan sebasian besar Anggota-
328
anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak meng
hadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin Jagi menjelesaikan
tugas jang dipertjajakan oleh Rakjat kepadanja” , karena „h al ja n g '
dem ikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan jang m em bahaja-
kan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mentjapai masjarakat jang
adil dan makmur” , maka tidak ada djalan lain bagi Presiden untuk
mengeluarkan Dekrit tertanggal 5 D juli 1959.
Pengeluaran Dekrit tersebut dipertanggungdjawabkan dalam
„M anifesto Politik Republik Indonesia” (M anipol).
Pada tanggal 19 Desember 1961 konfrontasi fisik terhadap Ne
geri Belanda diperhebat dengan ditjetuskannja „T rikora” („T r i K o
m ando Rakjat” ). Hasil „T rikora” adalah pada tanggal 1 Mai 1963
w'ilajah Irian Barat oleh P.B.B diserahkan kepada Republik Indo
nesia dan dengan demikian persengketaan antara Republik Indo
nesia dengan Negeri Belanda tentang Irian Barat, telah diselesaikan
dengan baik.
329
adalah Pantjasila (L im a Azas atau L im a D asar). Pantjasila sebagai
p en gob jek tifan kondisi-kondisi masjarakat Indonesia, ja n g d id ja d i-
lcan tjita-tjita bangsa Indonesia, telah, kam i bahas dalam B ab II ,
par. 2, diatas tadi.
Praktek Pantjasila dalam tahun-tahun ja n g sudah, telah m em
buktikan bahwa Pantjasila itu tetap m endjadi id eolog i kenegaraan
satu-satunja ja n g dapat mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia.
O leh sebab itu Pantjasila harus dipertahankan sebagai dasar struk
tur negara kita baik sekarang m aupun di kem udian hari !
A p a jang telah dikatakan dengan singkat dalam Pem bukaan
m engenai Pantjaslia, diuraikan leb ih luas dalam pasal-pasal
U.U.D. 82. Pasal-pasal tersebut dibagi dalam tiga bagian :
330
Azas-azas dasar negara merupakan fikiran-fikiran jang men
dukung hukum tatanegara positif (dragende gedacliten van het
positieve staatsrecht) 84. Azas-azas dasar negara ini mendjadi sis-
tim materiil hukum positif negara kita. Sebagian sistim materiil
itu dinjatakan dengan terang dalam pasal-pasal U.U.D..
Pasal 1 ajat U.U.D. merumuskan bentuk form il negara kita :
„Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, jang berbentuk R epu
blik” . Negara kita adalah suatu negara unitaristis, jaitu bukan
federasi, dan suatu republik.
Menurut ajat 2 pasal 1 U.U.D. itu, maka negara kita mendjadi
pula suatu negara jang didasarkan atas azas demokrasi, jaitu „K e
daulatan adalah ditangan Rakjat, dan dilakukan sepenuhnja oleh
Madjelis Permusjawaratan Rakjat” 85. Dari rumus ini kelihatan
bahwa negara kita didasarkan atas suatu demokrasi politik 86.
331
Dengan diberinja kedaulatan rakjat kepada M adjelis Perm usja
waratan Rakjat (M .P.R.S.) jang mendjadi suatu kongres ra k ja t87,
maka sistirn pemerintahan jang kita terima termasuk sistim pem e
rintahan jang terkenal dengan nama p eop le’s assem bly-governm enl
(pemerintahan berdasarkan suatu konggres rakjat) ss, jang didja-
lankan di banjak negara-negara sosialistis (negara-negara demokrasi
rakjat), antara lain, Republik Rakjat Tion,gkok 89, dan jang agak
mendekati sistim pemerintahan jang ditjiptakan o le h -R o u s s e a u,
jaitu direct governm ent by all the p eop le 90.
M.P.R., sebagai pemegang kedaulatan rakjat satu-satunja,
m endjadi alat perlengkapan negara jang paling tinggi. „P en djela-
san” atas U.U.D. menegaskan hal ini : „Kekuasaan negara jang
tertinggi ditangan Madjelis Permusjawaratan Rakjat (die gesamte
Staatsgewalt liegt allein bei der M adjelis). Kedaulatan rakjat dipe
gang oleh suatu Badan, bernama „„M adjelis Permusjawaratan R ak
jat” ” , sebagai penctjelmaan seluruh Rakjat Indonesia (Yertretungs-
organ des Willens des Staatsvolkes). Madjelis inilah jang m em e
gang kekuasaan negara jang tertinggi .....................................” • Dengan
ditempatkannja suatu konggres rakjat, M .P.R., dipuntjak hierarhi
alat-alat perlengkapan negara — Presiden maupun Dewan Perwa
kilan Rakjat (D.P.R.) m endjadi „untergeordnet” (dibaw ah) M.P.R-
(lihatlah dibawah nanti) — in'aka kedaulatan rakjat itu m endjadi
lebih realitet. f
332
Wewenang M.P.R., sebagai badan kenegaraan jang tertinggi
dan paling berkuasa, adalah : 1. menetapkan Undang-undang Dasar
Negara (pasal 3 U.U.D.), 2. menetapkan garis-garis besar haluan
negara (pasal 3 ), 3. mem ilih Presiden dan W akil-Presiden (pasal
6 ajat 2 ), dan 4, mengubah Undang-undang Dasar (pasal 37) 91.
Tetapi pasal IV dari Aturan Peralihan menentukan bahwa „Sebe
lum M adjelis Permusjawaratan Rakjat ................................ dibentuk
menurut' Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannja didjalan-
kan oleh Presiden, dengan bantuan sebuah K om ite Nasional” . K a
rena K om ite Nasional jang dimaksud oleh pasal IV Aturan Per
alihan ini tidak ada, maka — selama belum dibentuknja M.P.R.
S(einentara) — Presiden mendjadi pemegang satu-satunja kekuasa
an M .P.R., djadi, — pada waktu belum dibentuknja M.P.R.S. —
Presiden m endjadi kekuasaan tertinggi di Indonesia.
P eriode tidak ada M.P.R. itu tidak lama. Pada tanggal 15
September 1960 telah dilantik M .P .R .S.92. Sesudah M.P.R.S. di
bentuk, maka kekuasaan Presiden bukan lagi suatu kekuasaan jang
mahakuasa. Diatas tadi telah kami kemukakan bahwa Presiden
i
maupun D.P.R. m endjadi „untergeordnet” (dibawah) M .P.R..
„U nterge 9 rdnet” nja Presiden itu ternjata dari pasal 6 ajat 2 (M.P.R.
m em ilih Presiden dan W akil-Presiden). Presiden bertanggungdja
wab terhadap M.P.R. jang dapat memberhentikannja dan memilih
seorang lain sebagai Presiden.
T etapi menurut Ketetapan Nr I M.P.R.S., jang dibuat dalam
masa sidang jang pertama M.P.R.S. (10 November-7 Desember
1960), Presiden? sebagai Pem impin Besar Revolusi Indonesia, telah
diangkat m endjadi Mandataris penuh dari M.P.R.S., sehingga pada
saat ini de facto kekuasaan tertinggi negara ada dalam tangan Pre
siden. Tjum a, ada suatu perbedaan penting dan prinsipiil : pada
waktu sekarang ada suatu badan kenegaraan, jaitu M.P.R.S., jang
dapat mengambil kembali dari tangan Presiden kekuasaan terting
gi itu ( = menarik kembali mandat) sedangkan pada periode belum
terbentuknja M.P.R.S., badan kenegaraan jang mempunjai wewe
nang sematjam , tidak ada !
Pada 4 ajat 1 menentukan bahwa „P residen1R epublik In d o
nesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-undang
t
91 Mr A.K. P r i n g g o d i g d o „Kedudukan Presiden” , hal.
92 Dasar pembentukan M.P.R.S. : penetapan Presiden tahun 1959 Nr 2
L.N. 1959 Nr 77 (Pendjelasan dalam Tambahan L.N.. Nr 1 8 1 6 ).
333
Dasar” , jaitu memegang semua kekuasaan jang bukan membuat
peraturan (legislatif) dan bukan m engadili (ju dik atif) — lihatlah
Bab II buku ini. Dalam mendjalankan tugasnja itu maka Presidèn
dapat meminta nasehat Dewan Pertimbangan Agung (pasal 16) 93
dan dibantu oleh Menteri-menteri Negara (pasal 17 ajat 1 ). K e
dudukan Menteri menurut U.U.D. berlainan sekali dari pada kedu
dukan Menteri menurut undang-undang dasar sementara tahun 1950
dahulu. Dalam sistim pemerintahan menurut U.U.D. iriaka M enteri-
menteri itu bukan lagi — seperti dahulu dalam sistim undang-
undang dasar sementara tahun 1950 — „political décision makers” ,
tetapi — sesuai den,gan kedudukan seorang menteri dalam suatu
kabinet presidènsiil — hanja pem im pin tertinggi administrasi ne
gara jang bagian-bagianuja dibagi-bagikan antara Departem en-de
partemen jang masing-masing dipim pin oleh seorang Mlenteri. P er
dana Menteri adalah Presidèn sendiri.
Pasal-pasal 10 sampai dengan 15 memuat wewenang-wewenang
Presidèn dalam bidang pemerintahan (eksekutif). Pasal-pasal 5 ajat
1 dan 20 ajat 1 mem beri wewenang membuat undang-undang (legis
latif) kepada Presidèn bersama-sama dengan D.P.R.. D jadi U.U.D. —
berbeda dari undang-undang dasar Am erika Serikat — tidak setjara
konsekwèn menganut pembagian funksi (functie-verdeling) jang di-
adjarkan M o n t e s q u i e u (lihatlah Bab I I ) . Dalam hal ini U.U.D.
mengikuti suatu type sistim pemerintahan jang diterima di bagian
besar negara-negara Eropah Barat, tetapi dengan perbedaan b ah
wa Pemerintah bukan kabinet parlementer, tetapi suatu kabinet pre
sidènsiil. Dalam hal perundang-undangan Presidèn dan D .P.R. diha
ruskan kerdja-sama, tetapi apabila D.P.R. tidak m enjetudjui kebi-
djaksaan Presidèn m a k a — berbeda dari halnja dalam sistim pem e
rintahan berdasarkan undang-undang dasar sementara tahun 1950 da
hulu (lihatlah par. 4 diatas tadi) — D .P.R. tidak dapat m e m a k s a
Pemerintah meletakkan djabatannja •— djustru hal ini m e n d j a d i
dorongan jang terkuat Kabinet Karja memutuskan u n t u k kem bali
ke U.U.D. tahun 1945 (lihatlah diatas tadi) — tetani, djuga — b e r
beda dari halnja dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950
dahulu — Presidèn tidak dapat membubarkan D.P.R.. D juga dalam
periode Presidèn masih memegang kekuasaan M .P.R. (nasal IV
Aturan Peralihan), jaitu dalam periode belum 'dibentuknja M .P.R.S.,
maka Presidèn tidak m em punjai wewenang untuk m e m b u b a r k a n
93 D.P.A. djuga „berhak m emadjukan usul kepada Pem erintah” (pasal
16 ajat 2 ) .
334
D .P .R ., karena suatu wewenang sematjam itu tidak dim iliki oleh
M .P.R..
Tetapi pada aliir bulan Februari-permulaan bulan Maret 1960
tim bullah suatu perselisihan besar antara Pemerintah dengan D.P.R.
(pilih a n rakjat tahun 1955) mengenai Anggaran Belandja tahun
1960, sehingga Pemerintah merasa segala aktivitet Pemerintah akan
terhalang oleh oposisi dalam D.P.R. (oposisi pada saat itu. berpusat
pada bekas-partai-partai politik Masjumi dan P.S.I., tetapi tiga par
tai-partai politik besar jang lain, jaitu P.N.I., N.U. dan P.K.I. turut-
serta m engoposisi). Mengingat hal Pemerintah belum diberi suatu
kesempatan jang „redelijk” — Kabinet K erdja pada saat itu baru
berum ur 7 bulan — untuk melaksanakan program Sandang-Pangan-
jan g-tju k u p-d a n -m u ra h dan, memang, ada kesan seolah-olah D.P.R.
hendak „m<yidjatuhkan Pemerintah” ( ! ) tanpa sebelumnja Pem e
rin ta h diberi kesempatan „redelijk” untuk bekerdja itu, maka Pre
siden, jang melihat adanja suatu keadaan jang membahajakan, pada
ta n d a i 5 Maret 1960 menon-aktifkan D.P.R. 94. Tindakan Presiden
^^ CD
ini dapat dikonstruksi sebagai suatu tindakan berdasarkan hukum
negara darurat (noodstaatsrecht).
Tindakan Presiden tertanggal 5 Maret 1960 merupakan de facto
suatu pem bubaran D.P.R.. Hal ini temjata dari dibentuknja peng
ganti D.P.R. jang telah dinon-aktifkan, jaitu dibentuknja Dewan
P erw a k ila n Rakjat-Gotong R ojong (D.P.R.-G.R.) (penetapan Pre-
siden tahun 1960 Nr 4, L.N. 1960 Nr 78, pendjelasan dalam Tam
bahan L.N. N r 2015) jang dilantik pada tanggal 25 Djuni 1960.
Susunan D.P.R.-G.R. ini, jang merupakan suatu dewan perwakilan
rakjat jan g diangkat dan tidak dipilih, menarik perhatian, jaitu
sebagian anggauta-anggauta adalah wakil partai-partai politik (jang
m endjelm akan tiga aliran politik dalam masjarakat : Nasionalisme,
Agam a dan Komunisme, N ASAKOM ) sedangkan bagian lain ang-
gauta adalah golongan karja. Dengan demikian susunan D.P.R.-G.R.
m irip pada susunan M.P.R.S. dan merupakan realisasi Konsepsi
B u n g K a r n o tertanggal 21 Februari 1957 (idee pemerintahan
setjara g oton g -rojon g).
Ternjata bahwa tindakan Presiden tertanggal 5 Maret 1960 ada
lah suatu tindakan luur biasa. Biasanja, apabila dalam perundang-
undangan dari fi'liak D.P.R. tidak ada kerdja-sama (pasal 20 ajat 1 ),
335
V.
maka Presiden masih dapat m enempuh suatu djalan lain, jaitu
m em buat suatu peraturan Pemerintah pengganti undang-undang
(pasal 22) (pada waktu undang-undang dasar sementara tahun 1950
masih berlaku : undang-undang darurat, pasal-pasal 96 d.an 97).
Tetapi, sebaliknja, D.P.R. tidak diberi suatu djalan pintu belakang
sematjam ini.
Supaja demokrasi sungguh-sungguh dapat didjalankan dalam
lingkungan D.P.R. maka U.U.D. memberi beberapa hak kepada ang-
gauta, jaitu hak turut-serta dalam perundang-undangan — pasal-
pasal 5 ajat 1 dan 20 ajat 1 — , hak inisiatif — pasal 21 ajat 1 — ?
hak mengenai pengawasan pengurusan keuangan — pasal 23 (p er
hatikanlah kalimat kedua dari ajat 1 : „A pabila Dewan Perwakilan
Rakjat tidak m enjetudjui anggaran jang diusulkan Pem erintah,
maka Pemerintah mendjalankan anggaran tahun jang lalu” ) —>
hak mengenai pengawasan pengurusan hubungan luar negeri —
pasal 11 — , hak memberi persetudjuan kepada Presidèn m enja-
takan perang dan membuat perdamaian — pasal 11 — dan hak
turut-serta dalam menentukan sjarat-sjarat dan akibat keadaan
bahaja — pasal 12. Hak-hak interpelasi, menanja, enquête dan
amendemèn tidak disinggung oleh U.U.D., tetapi hak-hak itu dapat
diterima sebagai konvensi-konvensi parlementer dan dapat diatur
dalam peraturan tatatertib D.P.R.. Peraturan Tata T ertib D.P-R-"
G.R. dapat dibatja" dalam L.N. 1960 N r 176 (Peraturan Presidèn
tahun 1960 Nr 28).
Beberapa azas-azas dasar negara jang djuga diatur dajam
U.U.D. : pasa^pasal 24 dan 25 : memuat azas dasar pengadilan o b
jek tif; pasal 27 ajat 2 : memuat azas dasar djam inan (keadilan) so
sial (lihatlah djuga pasal 3 4 ); pasal 29 : memuat azas dasar agam a;
pasal 30; memuat azas dasar pertahanan negara; pasal 31 : memuat
' azas dasar pendidikan dan pengadjaran; pasal 32 : m em uat azas
dâsar kebudajaan nasional Indonesia; pasal 33 : memuat azas dasar
perekonomian.
A jat 1 pasal 33 memuat azas dasar k olektivitèt p erek on om ia n
kita : „Perekonom ian disusun sebagai usaha bersama berdasar azas
kekeluargaan” . Perekonom ian disusun setjara kooperatif. Untuk m e-
wudju'dkan azas dasar kooperatif perekonom ian kita, maka telah
dibuat dua peraturan penting, jaitu Undang-undang tahun 1958
Nr 79, L.N. 1958 Nr 139, tentang perkum pulan kooperasi, dan pera
turan Pemerintah tahun 1959 No 60, L.N. 1959 Nr 138, tentang
336
perkembangan gerakan kooperasi Republik Indonesia. Ajat-ajat 2
dan 3 memuat unsur terpimpin dalam perekonomian kita (ekonomi
terpim pin ) ; „Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara
dan jang menguasai liadjat 'hidup orang banjak dikuasai oleh negara”
dan „B u m i dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemak
muran rakjat” .
Pada tanggal 28 Maret 1963 oleh Presiden S o e k a r n o , se
laku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Indonesia, diumumkan
„D eklarasi Ekonom i” („D ekon” ) jang mendjadi pedoman (pelaksa
naan jang terpenting di bidang perekonomian dari Manipol. „D ekon”
ini memuat „basic strategy” dari ekonomi terpimpin jang hendak
kita lakukan di negara kita 95.
Pada tanggal 19 November 1960 M.P.R.S. telah menerima Ma
nipol, jang telah kami bitjarakan dalam Bab II, par. 2, diatas tadi
sebagai „garis besar dari pada haluan Negara” — Ketetapan M.P.
R.S. N r I.
Ketetapan M.P.R.S. Nr II telah menerima dengan beberapa
amendemen Rentjana Pembangunan Nasional Semesta Berentjana
Tahapan Pertama jang dibuat oleh Dewan Perantjang Nasional (De-
pem as) 9G.
Par. 8 : P e r u n d a n g - u n d a n g a n d a n d e l e g a s i ke-
kuasaan peru n d an g-u n d angan (delegatie v an
w et g ev en d e b e v o e g d lv e i d ) .
338
Pendjelasan tentang hal-hal jang ditetapkan dalam undang-
undang, peraturan Pemerintah atau peraturan Pemerintah pengganti
undang-undang dapat dibatja dalam suatu Tam bahan Lembaran
Negara. A da djuga suatu Tambahan Berita Negara, jang mengenai
bagian terbesar muatannja adalah publikasi Perusahaan Negara
m aupun P .T . swasta, firma, organisasi-organisasi swasta jang lain.
Sebagai azas umum dalam U.U.D. berlaku hal kekuasaan le
gislatif ada didalam tangan M.P.R., sebagai badan kenegaraan,
jan g tertinggi, dan dalam tangan Presiden (dibantu oleh Menteri,
Pem erintah) bersama-sama dengan D ew an Perwakilan Rakjat. T e
tapi sebagian dari kekuasaan legislatif itu daj>at diserahkan fdide-
legasi) kepada alat-alat pemerintahan lain. A.l. dari badan legislatif
' sehari-hari, jaitu Presiden bersama-sama dengan D.P.R., kepada
P residen, jaitu menurut pasal 5 ajat 2 U.U.D.. Pasal 98 ajat 1 un-
dang-undang dasar sementara tahun 1950- dahulu mengatakan bah
wa Pem erintah dapat menetapkan „peraturan-peraturan penjeleng-
gara undang-undang” (istilah „menjelenggarakan” ini adalah lebih
tepaT da ri pad a istilah „m en djala n k an ......................... sebagaimana
m estinja” dalam pasal 5 a ja t.2 U.U.D.), jaitu Pemerintah dapat
m em buat peraturan (pengertian materiil, lihatlah Bab II, par. 3,
sub A ) untuk m cnjelcn gga raka n (tetapi tidak boleh menambah pada
p o k o k n ja ) undang-undang.
Berdasarkan penafsiran menurut arti dalam bahasa dari kata
„penjeleuggaraan” (dalam bahasa Belanda : „uitvoering ), maka
dapat dibuat kesimpulan bahwa Pemerintah hanja mempunjai ke
kuasaan legislatif (kekuasaan perundang-undangan) mengenai po
k ok -pok ok (onderwerpen) jang oleh undang-undang telah didele-
gasi. kepadanja 9S. Hal ini djuga sesuai dengan dasar-dasar „dele-_
gasi” ! Delegasi tidak memuat inisiatif membuat, peraturan menge-
ngenai pok ok -pok ok jang baru, inisiatif untuk membuat peraturan
mengenai pok ok-pokok semaljam tadi tetap dalam tangan dari jang
m endelegasi; delegasi, jaitu „menjelenggarakan” , tidak lain dari
pada m engatur untuk selandjut-nja.
339
Penting sekali dikemukakan disini bahwa pengertian „p era
turan Pemerintah” itu suatu pengertian peruiidang-undangan jang
materiil (materieel verordeningsbegrip). Setiap peraturan P em erin
tah adalah undang-undang dalam arti kata m ateriil, ja itu suatu ke-
putusan pemerintah (penguasa) (overheidsbesluit) jan g m engikat
semua penduduk sesuatu daerah (dalam Bab II par. 3, sub A telah
kita djum pai peraturan Pem erintah itu sebagai undang-undang da
lam arti kata m ateriil).
Dalam praktek administrasi negara, delegasi tersebut tidak ha-
nja disampaikan kepada kepala-kepala departem en (m enteri-m en
teri), tetapi didelegasi terus (oleh m enteri) kepada kepala-kepala
djawatan (diensthoofden) dan'kepala-kepala bagian (afdelingslioof-
den). Sebagian dari apa jang disebut oleh teori-teori hukum tata-
negara „kekuasaan menjelenggarakan” , „kekuasaan m elakukan
atau kekuasaan „mengatur-selandjutnja” (pasal 99 ajat 1 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu) (dalam bahasa B elan
da : „uitvoering” ) ialah suatu kekuasaan perundang-undangan jang
oleh undang-undang didelegasi kepada administrasi negara dibaw ah
pim pinan kepala-kepala departemen..
Dapat dikatakan bahwa delegasi kekuasaan p e ru n d a n g -u n d a
340 l
M.P.R.S., jaitu Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Re
volusi. Berdasarkan mandat ini, maka Presiden dapat membuat
„penetapan Presiden” , jaitu penetapan Presiden „stijl baru” , jang
lebili tinggi deradjatnja dari ipada undang-undang.
Praktek perundang-undangan pada waktu sesudah' Dekrit
Presiden tertanggal 5 Djuli 1959 sampai saat terbentuknja
M.P.R.S. telah mengenal penetapan Presiden „stijl lama” , jaitu suatu
hasil kekuasaan legislatif jang dibuat oleh Presiden berdasarkan
pasal 3 jo pasal IV Peralihan U.U.D..
Penetapan Presiden „stijl lama” itu dapat diselenggarakan oleh
undang-undang atau oleh peraturan Presiden. Disamping peraturan
Presiden ini masih ada peraturan Presiden jang dibuat berdasar
kan pasal 4 ajat 1 U.U.D.. Kekuasaan jang disebut terahir ini ada
lah delegasi perundang-undangan pula,"jang berasal dari undang-
undang.
Ahiruja, kekuasaan perundang-undangan — sebagian berdasar
kan inisiatif sendiri (otonom i), bagian lain berdasarkan delegasi
(„m edebew ind” ) — diberi djuga kepada daerah-daerah swatantra
(o to n o m i), supaja pemerintah daerah-daerah itu dapat mengatur
sendiri rumah tangga sesuai dengan hak otonomi jang diberi ke
pada daerah-daerah itu berdasarkan pasal-pasal 131-133 undang-
undang dasar sementara tahun 1950 dahulu, sekarang pasal 18
U.U.D.. Menjerahkan kekuasaan perundang-undangan kepada pe
m erintah daerah swatantra disebut.desentralisasi, sedangkan dele
gasi kekuasaan perundang-undangan jang diberi £epada alat-alat ad
ministrasi negara pusat jang lebih bawah, disebut dekonsentrasi 99.
341
P ar. 9: Desentralisasi.
Dalam par. 6 sub I bab ini telah, dikatakan baliw a negara kita
sedjak tanggal 17 Agustus 1950 m erupakan suatu negara kesatuan
jang didesentralisasi. "
Desentralisasi — jang dimaksud desentralisasi teriturial di
wudjudkan -dengan diadakannja pem erintahan sen diri d i daerah-
daerah tertentu jang dapat mengurus rum ah tangganja berdasark an
azas swatantra (oton om i); Daerah semat jam itu disebut daerah
swatantra (daerah otonom i).
Dasar konstitusionil pem bentukan daerah swatantra ialah pasal-
pasal 131-133 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu
dan pasal 18 U.U.D. sekarang. Undang-undang dasar sem en ta ra ta
hun 1950 mengenai dua matjam daerah jang d ib eri „a u ton om i
seluas-luasnja untuk mengurus rumah tangganja sendiri” (ajat
2 pasal 131), jaitu :
342
tahan pusat — kabinet presidensiil — diadakan diuaa ..u.
. .
ania jang
di daerah swatantra, a.l. Kepala Daerah dan anggauta Bu j aitu
merintahan Harian (B.P.H.) tidak dipilih tetapi diangkat 10°.
' ^ Dalam baliasa Belanda dipakai istilah „adm inistratieve recht” atau
„adm inistratief recht” . Ada pengarang bangsa Belanda ja n g m eng
gunakan istilah „bestuursrecht” , jang terdjem ahannja dalam bahasa
Indonesia adalah „h u k um pemerintahan” . (a .i. P ro f. Mr G., v a n
Poelje „In leid in g tot het bestuursrecht” , 1956, hal. 1).. D i Uni-
/ versitas Negeri „G adjah Mada” dipakai istilah „h u k u m tatapeinerin-
tahan” . Tetapi jan g m en jolok adalah hal seorang gurubcsar Universi
tas Negeri „G adjah Mada” , jaitu K u s u m a d i Pudjosewojo
„P ed om a n ” , memakai istilah „h u k u m tatausalia” (hal. 133 d jb .).,
Mengenai istilah „pem erintahan” dapat dikatakan : adalah dua p e
ngertian, jaitu „pem erintahan dalam arti kata luas” dan „p e m e rin
tahan dalam arti kata sempit” . „Pem erintahan dalam arti kata luas”
m eliputi m em buat peraturan (peru ndang-u n dan gan ), „pem erintahan
dalam arti kata sempit” (dalam bahasa. Belanda : bestuur) serta
mengadili (m enjelesaikan perselisihan h u k u m ). „Pem erintahan dalam
arti kata luas” disebut djuga — dalam bahasa Belanda — „bew in d-
voeren” ( v a n V o l l e n h o v e n „Staatsrecht Overzee” )., Lihatlah^
djuga Bab II, par. 3, sub A. •|
2 Lihatlah lebih luas buku kami „Pengantar hukum administrasi negara
Indonesia” , Bab I, par. I«
344
nistrasi negara dipakai istilah „administrasi” , maka biasania jang
dimaksud dengan „administrasi” ialah administrasi negara, jaitu
administrasi „pusat” .
Dari definis tersebut ternjata adanja liubungan-hukum „isti
mewa” jang memungkinkan para pendjabat (administrasi negara)
melakukan tugas „istimewa” mereka. Dengan kata lain : hukum
administrasi negara itu terdiri atas peraturan-peraturan hukum
„istimewa” . Apakah jang dimaksud dengan kata „istimewa” itu? 3.
Administrasi negara diberi tugas mengatur kepentingan umum
— nasal 82 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu
memakai kata-kata „menjelenggarakan kesedjahteraan Indonesia”
— misalnja : kesehatan rakjat, pengadjaran, pengurusan keuangan
negara, memperhatikan soal-soal perburuhan, mengurus pengairan
(sangat penting bagi’ suatu negara jang masih agraris), memperhati
kan lalu-lintas (terutama lalu-lintas interinsuler). Jang diserahkan
kepada administrasi negara ialah „bestuurszorg” , jakni penjeleng-
garaan kepentingan umum 4. Sedjak negara turut-serta setjara aktif
dalam nergaulan kemasjarakatan („W elfare State” ) maka lapangan
hukum administrasi negara, jang meliputi „bestuurszorg” •itu, se
ring disebut „verlengstuk” (sambungan) dari hukum negara — jakni
hukum tatanegara plus hukum administrasi negara — , jaitu him
punan peraturan-peraturan hukum jang ditimbulkan sedjak negara
m e n g a m b ila lih k a n (mengoperkan) sebagian inisiatif para individu
__sebagai anggauta masjarakat — terutama dalam lapangan ekonomi.
Dimana ternjata individu merugikan kepentingan umum karena
hanja mau memperhatikan kepentingan sendiri, maka negara m e
njelenggarakan dan memenuhi apa jang mendjadi kekurangan itu
bagi masjarakat umum. Negara modern bertugas memperhatikan
kepentingan semua orang di wilajahnja ! 5.
346
dibandingkan dengan sifat liukum privat, maka dapat dikatakan
bahwa hukum administrasi negara itu hukum istimewa.
Tentang pembagian hukum negara dalam arti kata luas dalam
dua bagian, jaitu bagian hukum negara dalam arti kata sempit
(hukum tatanegara) dan bagian hukum administrasi negara, dalam
kalangan ahli hukum timbul banjak perselisihan fa h a m 6. Dalam
perselisihan faham ini maka kami tjenderung memilih fihak Prof.
L o g e m a n n. Oleh L o g e m a n n dikemukakan bahwa hukum
negara dalam arti kata sempit atau hukum tatanegara itu suatu
peladjaran tentang kompetensi (competentie-leer) sedangkan hu
kum administrasi negara dapat dikemukakan sebagai suatu pela
djaran tentang hubungan-hukum istimewa (leer van de bijzondere
rechtsbetrekking).
347
1870 N r 55, „A grarisch Besluit'’ tahun 1870, L.N .H .B. 1870 3Nr 118,
„A grarisch eigendom srecht” , L.N.H.B. 1872 Nr 117, beberapa pera
turan m engenai „erfpach t” , L.N.H.B. 1913 Nr 699 dan L.N.H.B. 1914
Nr 367, „V ervreem dingsverbod” , L.N.H.B. 1875 Nr 179 dan „G ron d -
huur-ordonnantie” , L.N.H.B. Nr 88 7.
348
„Grondenregiem (hukum tanah) Hindia-Belanda ini telah di
hapuskan dan diganti oleh „grondenregiem” kita sendiri berdasar
kan Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960s. Hak-hak atas
tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 ini telah
kami tindjau dalam Bab VI, par. 3 diatas tadi.
schap” , tahun 1930, hal. 95. Lihailah djuga T.. 125, hal. 347
(L o g e m a n n dan t e r H a a r „Het beschikkingsreclit der Indon.
rechtsgemeenschappen” ) , T. 128, hal. 107 dan 329. Ahirnja, t e r
I l a a r dalam „D e Gids” , April 1932, hal. 77 (pcndjelasan „advies”
J930 — t e r H a a r mendjadi anggauta „Commissie (1928)*’ ) .
„D om . verkl.” mendjadi lagi pokok polemik pada waktu setelah P e
perangan Dunia II : E. H, 's J a c o b „Landsdomein en Adatrecht” ,
dis. Utrecht 1945, jang membela „dom . verkl.” , dan Prof. Dr V.E.
K o r n dan K. v a n D i i k „Adatgrondenrecht en dom einficlie” ,
1946, jang menolaknja. A h irnja: Mr H.W.J. S o n i u s „H et toe-
k om sti? grondenrecht van Indonesie” , 1949, dan G o u w G i o k
S i o n g „M asa(a)lah agraria” , 1957.
Vervreemdingsverbod’’ dibilj irakan pada Vierde Juristen Congres ta
hun 1936. Lihatlah „Bijlagen” (lampiran) T . 144 dan 145 („praead-
vies” S u p o m o dan v a n H a t t u m „H et vervreemdingsverbod
van Inlandsche gronden"’ (hal. 85-145 dan hal. 1 4 6 -2 2 0 )).
8 L ih a tla h ta fsira n (k o m e n ta r ) Prof.. M r Dr G o u w G i o k Siong
d a n buku Mr B o e d i II a l' s o n o „Um\un<;Ain<\uns; p a k o k agraria.
S e d ja r a h iJ en ju su n an , isi dan p ela k sa n a a n n ja ” , 19 61 .
9 Lihailah Mr L. v a n B e v e r v o o r d e n t o t O 1 d e m e u 1 e „B ij-
drage tot de geschiedenis der Ncderlandsch-Indische financien” , 1900;
A J a n s e n „Vaststelling en verantwoording van de Indische be-
groolin g 1814-1932” , dis. Leiden 1932; Prof. Mr Ph. K 1 e i 111 j e s
.Staatsinslellingcn v. ¡Ned.-Indie’ , II, 1933, hal. 307; A.P.. v a n
G o g h (diterdjemahkan o!eh Rd„ S. S o e 111 i n t a r d j a) „Perben-
■ daharaan Negara Indonesia” , 1953; A.P. v a n G o g h dan Rd. S.
S o e 111' i 11 t a r d j a „Undang-undang Bendaharaan jang terpenting
dan peraturan-peraturan Iainnja dari Negara Indonesia” , 1953; Ben-
daharawan-bcndaharawan pengurus perbendaharaan; pengawas-pe-
ngawas pengurus itu, perlanggungdjnwaban para bendaharawan dan
ikut-sertanja para pengawas dalam pertanggungdjawaban” , Nota ter
susun oleh Dewan Pengawas Keuangan di Bogor menurut petundjuk-
petundjuk perbendaharaan jang sekarang ada, 1951. Pada hal. 13
oleh Nota ini dikatakan bahwa „Perbendaharaan” itu „featu himpunan
peraturan-peraturan jang mengendalikan baik asas-asas maupun p e
laksanaannja hal pengurusan, pertanggungdjawaban dan pengawasan
keuangan Negeri” (definisi jang dibuat oleh Dewan Pengawas Ke- ^
uangan) ; A.J. W i s s e „D e begroling van de Republik Indonesia” ,
1 9 5 3 ; M. l i a d i dan M. S o e n li a d j i „Stclsel TaUiU.ahn K e
uangan Indonesia” , 1957.,
349
ministrasi keuangan negara (administrasi negara di lapangan ke
uangan), mend jalankan tugas mereka itu.
Bagi negara, administrasi keuangan jang baik sangat penting,
karena kemakmuran negara bergantung djuga pada suatu adm ini
strasi keuangan jang teratur. Maka dari itu undang-undang dasar
sementara tabun 1950 dahulu memuat beberapa pasal mengenai
pengurusan keuangan : pasal-pasal 44 (huruf e ), 80, 81, Bab III
Bagian ke-IV. Pasal 111 m endjadi dasar konstitusionil dari peratu
ran-peraturan perundang-undangan mengenai administrasi keuangan
negara. Dasar konstitusionil sekarang adalah pasal 23 U.U.D..
Dasar perundang-undangan administrasi perbendaharaan In d o
nesia sampai sekarang masih tetap „Indische Com ptabiliteitsw et”
(Undang-undang Perbendaharaan Indonesia) (disingkatkan I.C.W .)
tahun 1864 (L.N.H.B. 1864 N r 106, L.N.H.B. 1941 N r 30, diubah
untuk penghabisannja pada tahun 1955, Undang-undang 1955 N r 12,
L.N. 1955 N r 49). „Keuangan Negeri diurus dan dipertanggung-
djawabkan menurut aturan-aturan termasuk dalam undang-undang
ini (pasal 1 ajat 3 -I.C .W .). Di samping I.C.W . penting djuga „ I n
dische Bedrijvenwet” (I.B .W .) (L.N .H .B. 1927 N r 419, L.N.H.B.
1936 Nr 445, L.N. 1954 Nr 6 dan 1955 Nr 49) io.
10 R apport yan de com missie tol het ontwerpen v a „ cen Indische Be-
rijvenwel , , 'arangan S o e l i n g dalam „E k o n o m i dan K e
uangan Indonesia” , Agustus 1954, hal. 540 d jb .; G.F. v a n den
u r S h » n e e opm erkingen over de Indonesisclie Bedrij venwel”
dalam „E k on om i dan Keuangan Indonesia” , O ktober 1954, hal.
350
diri tersendiri. Dua ilmu liukum ini — di samping metode 11
penjelidikan umum — mempunjai metode-metode penjelidik 'ah-
sus, dari persoalan chusus. Ci* „
Hukum perburuhan akan kami bitjarakan pada Bab X I 1 1
351
BAB IX
HUKUM PIDANA
352
Ada pengarang hukum pidana 5 jang membuat gambaran bah
wa asal usul rumus nullum delictum, nulla poëna sine praevia Iege
poenali terdapat dalam peladjaran M o n t e s q u i e u , dalam buku-
n ja „L ’ Esprit des Lois” (tahun 1748).
Kita telah mengetahui bahwa maksud peladjaran „trias poli-
tica” M o n t e s q u i e u ialah melindungi kemerdekaan (pribadi)
individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari fihak negara.
Azas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali itu
m em puujai suatu tudjuan jang sama, jaitu melindtmgi individu
terhadap perlakuan sewenang-wenang dari fihak peradilan arbitrèr,
ja n g pada djaman sebelum Revolusi Perantjis (th. 1789-tli. 1795)
m cndjadi suatu kenjataan jang agak umum di Eropah Barat. Kita
mengetahui d juga bahwa M o n t e s q u i e u l a l i jang melakukan
tentangan seliebat-hebatnja terhadap peradilan arbitrer itu. Hakim
tidak dapat menghukum dalam hal tiada peraturan pidana sebe-
lumnja.
Azas ini kemudian dimasukkan kedalam pasal 8 dari „Déclara
tion du droit de 1’ homme et du,, citoyen” tertanggal 26 Agustus
1789, selandjutnja, dalam pasal 4 Code Pénal („N ulle contravention,
nul délit, nul crime, ne peuvent être punis de peines qui n’ étaient
pas prononcées par la loi avant qu’ ils fussent commis” ) 6.
Tetapi, walaupun' sesuai dengan makna peladjaran „trias po-
litica” , masih djuga pendapat bahwa rumus nullum delictum, nulla
poena isne praevia lege poenali tersebut berasal dari Montes
quieu — atau berasal dari hukum Rom awi karena bahasa Latin-
n ja — itulah kesalahan fa h a m 7. Paling banjak dapat dikatakan
bahwa baik peladjaran M o n t e s q u i e u maupun — kemudian —
peladjaran R o u s s e a u (peladjaran „volonté générale” ) mem
persiapkan (voorbereiden) penerimaan umum azas nullum delictum,
m dla poena sine praevia lege poenali s. D jadi, azas tersebut telah
353
terdapat dalam peladjarau Montesquieu maupun dalam pe-
ladjaran R o u s s e a u , tetapi rumus jang m enjatakan azas itu tidak
terdapat dalam peladjaran kedua ahli tersebut.
Rumus nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali
berasal dari A n s e l m v o n F e u e r b a c l i (tli. 1775-tli. 1833)
dalam bukunja „L ehrbuch des peinlichen Rechts” (th. 1801) 9.
Tetapi ada perbedaan antara maksud teori M o n t e s q u i e u dan
maksud teori v o n F e u e r b a c l i . Maksud teori M o n t e s
q u i e u adalah melindungi manusia terhadap tindakan hakim jang
sewenang-wenang, jaitu melindungi kemerdekaan (priba di) individu
terhadap suatu tuntutan pidana jang dilakukan s e w e n a n g - w e n a n g .
Maksud v o n F e u e r b a ^ h 10 ialah membatasi hasrat manusia
untuk membuat kedjahatan. Y o n Feuerbacli beranggapan
bahwa suatu antjaman hukuman (strafbedreiging) akan menahan
manusia melakukan suatu kedjahatan, jakni antjaman hukuman
itu bersifat preventif. Apabila orang terlebih dahulu m engetahui
bahwa ia akan mendapat hukuman, maka takut ia melakukan suatu
perbuatan jang merupakan pelanggaran kaidah sosial. T eori v o n
F e u e r b a c h diberi nama teori dari prevensi um um („leer van
de generale preventie” , teori pendjagaan um um ) atau nama teori
dari „ psychologische Zivang’ (paksaan psychologis, tekanan kedji*
waan) (lihatlah par. 3 dibawah nanti).
Baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia pada djaman
kolonial, azas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali
itu bukan suatu azas konstitusionil (grondwettelijk béginsel) 1:L*
Maka dari itu azas tersebut djuga boleh dikesampingkan dengan
suatu undang-undang biasa, seperti jang telah terdjadi di Indonesia
berdasarkan „Besluit Buitengewoon Strafreclit” dan Ordonansi hu
kum pidana kedjahatan perang, L.N.H.B. 1946 Nr 45 12.
. Tetapi dalam tatahiikum kita pada djam an u n d a n g - u n d a n g
dasar sementara tahun 1950 masih berlaku, azas nullum delictum,
nulla poena sine praevia lege poenali 4tu pernah didjadikan suatu
azas konstitusionil. Pasal 14 ajat 2 mengatakan : „T iad a seorang
354
djuapun boleh dituntut untuk dihukum atau didjatulii hukuman,
ketjuali karena suatu aturan hukum jang sudah ada dan berlaku
terhadapnja” .
Walaupun bukan kewadjibannja, masih djuga, dalam praktek
biasanja hakim swapradja dan hakim adatpun (hakim adat = ha
kim menurut L.N.H.B. 1932 Nr 80) m endjatuhkan huktunan b er
dasarkan K.U.H. Pidana 13. Kemungkinan bagi hakim adat djuga
m endjatulikan hukuman menurut K.U.H. Pidana tertjantum dalam
pasal 27 L.N.H.B. 1,932 Nr 80 (ketentuan ini m enundjuk pada pasal
10 huruf a K.U.H. Pidana). Penting djuga diingat akan pasal 5
ajat 3 sub b L.N. 1951 Nr 9 (lihatlah Bab X ). Ketentuan in i —
untuk sementara waktu — masih mempertahankan peradilan pidana
adat pada suatu Pengadilan Negeri jang m endjadi pengganti suatu
bekas-Pengadilan Adat atau suatu bekas-Pengadilan Swapradja ber
dasarkan pasal 1 ajat 2 L.N. 1951 Nr 9.
355
Semua perbuatan jang bertentangan dengan azas-azas liukum
m endjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, sualu pelang
garan hukum disebut perbuatan melawan hukum (wederrechtelijke
-lia n d e lin g ). Dengau kata la in : pelanggaran hukum itu, untuk hu
kum pidana, memuat anasir melawan hukum ( elem ent van weder-
rech telijkh eid ). Diantara pelanggaran hukum itu ada beberapa jang
diantjam dengan hukum (pidana), jailu diantjam dengan suatu
sanksi istimewa. Pelanggaran hukum „semat jam inilah jang oleh
K.U.H. Pidana dikwalifikasi peristiwa pidana (strafbaar fe it).
Tetapi kadang-kadang dilakukan sesuatu perbuatan jang kon-
krit tidak dipandang sebagai suatu perbuatan jang melawan hukum,
walaupun K.U.H. Pidana m enjebutnja sebagai peristiwa pidana.
Perbuatan itu tidak dapat dikenai hukuman, karena suatu sebab
jang dapat menghapuskan anasir melawan 'hukum itu. Disini ada
alasan jang menghapuskan anasir melaivan hukum ( rechtvaardigings-
grond). Karena alasan ini maka perbuatan tersebut tidak dapat
dikenai hukuman, jaitu perbuatan konkrit itu bukan peristiwa p i
dana. Tjontohnja : pasal 49 ajat 1 K.U.H. Pidana. Disini ada „p em
belaan darurat” 15, jang m endjadi alasan jang menghapuskan ana
sir melawan hukum sehingga jang mengadakannja tidak melakukan
suatu peristiwa pidana, djadi, tidak dapat dihukum. T jon toh lain
adalah pasal 51 ajat 1 K.U.H. Pidana. Pefintali djabatan itu
m endjadi alasan jang menghapuskan anasir melawan hukum sehing
ga jang mengadakan perbuatan jang bersangkutan tidak melakukan
suatu peristiwa pidana, djadi, tidak dkpat dihukum.
Pem buat harus bersalah (schuldhebben) („s^lah” dalam arti
kata luas). Dapat dikatakan orang, bahwa pem buat b erta n g g u n g -
djawab atas perbuatannja. Apabila pembuat tidak bersalah, maka
ia tidak dapat dihukum. Dalam hukuman pidana berlaku azas : tiada
hukuman dengan tiada kesalahan (geen straf zonder schuld) 16-
Kadang-kadang tidak dapat dikatakan orang, bahwa pembuat
bertanggungdjawab atas sesuatu perbuatan jang dilakukannja. W a
laupun K.U.H. Pidana menjebut perbuatan itu sebagai suatu peris
356 ,
tiwa pidana, dan perbuatan jang korikrit adalah suatu kelakuan
jang bertentangan dengan hukum, masih djuga pem buat tidak dapat
dihukum karena suatu sebab jang menghapuskan kesalaliannja.
Karena suatu alasan jaiig menghapuskan kesalahan ( schuld-uitslui-
tingsgrond), maka pembual tidak dapat dihukum.
Bilamanakah dapat dikatakan orang bahwa pembuat tidak ber-
tanggungdjawab atas perbuatannja ? Djawaban : misalnja, pem buat
melakukan suatu perbuatan jang tidak dapat dipertanggungdjawab-
kan kepadanja, karena kurang sempurna fikirnja atau karena sakit
berubah fikirnja ( toerekeningsvatbaarheid) — pasal 44 ajat 1 K.U.H.
Pidana. Apabila terdjadi suatu hal sematjam itu, maka hakim tidak
boleh mendjatuhkan hukuman. Hakim dapat memerintah m enem
patkan jang bersangkutan di rumah orang sakit fikir (rumah orang
gila) selama-lamanja satu tahun agar diperiksa (diobservasi) —
pasal 44 ajat 2 K.U.H. Pidana.
Dari apa jang dibitjarakan diatas ini, ternjatalah kadang-ka
dang hakim tidak dapat mendjatuhkan hukuman, walaupun K.U.H.
Pidana m enjebut perbuatan jang berasngkutan sebagai suatu peris
tiwa pidana. Karena suatu alasan jang menghapuskan hukuman
( sl rafiiitslui t i ngsrond), maka jang membuat tindakan jang m e
langgar hukum tidak dapat dihukum. Ternjata djuga bahwa alasan
jang menghapuskan hukuman itu ada dua matjam :
i
a. alasan, jang menghapuskan anasir melawan hukum (weder-
reelif e lijk h eid ), jaitu kelakuan jang konkrit bukan kelakuan
jang melawan hukum. __
b. alasan jang menghapuskan kesalahan, jaitu alasan jang meng
hapuskan perlanggungdjawaban (verantwoordelijkheid) pem
buat.
357
Orang dapat mengatakah bahwa pelanggar hukum melakukan
peristiwa pidana jang bersangkutan dengan sengadja, apabila akibat
perbuatannja dikehendakinja. Apabila akibat perbuatannja tidak
dikehendakinja tetapi masih djugad apat dipertanggungdjawabkan
kepadanja, maka dapat dikatakan bahwa pem buat berkechilafan
(berkealpaan, bersalah dalam arti kata sem pit). A kibat terdjadi
karena ia lalai (nalatig) atau kurang berhati-liati17.
Berdasarkan perbedaan ini maka peristiwa pidana (delik) dapat
dibagi dalam delik dolus (delik jang dilakukan dengan sengadja)
dan delik culpose (delik karena k ech ilafan ).
Ahirnja, ada tiga teori tentang kesalahan (schuldleer) (kesa
lahan dalam arti kata luas) :
358
tatalertib hukum. Menurut anggapan beberapa ahli h u k um -jang
menganut teori determinisme itu, maka hukum pidana seharusnja
suatu „liukum pertahanan sosial” („soeiaal verdedigingsrecht” ,
F e r d . S a s s e n 19).
T eori indeterminisme (T a v e r n e, C a r i B i n d i n g ) b er
pendapat bahwa manusia menentukan kehendaknja setjara merdeka,
walaupun masih djuga — hal ini diakui oleh .Mereka jang menganut
teori indeterminisme ini — ada beberapa faktor, seperti m ilieu
dan kepribadian manusia, jang mempengaruhi penentuan kehen
daknja itu.
T eori m odern hendak menempuh suatu djalan tengah. Teori
ini berpegangan pada suatu determinisme — mengakui dalam ba-
njak hal kehendak manusia ditentukan oleh beberapa faktor seperti
m ilieu dan kepribadiannja (faktor-faktor jang tidak dapat dikuasai
oleh manusia) — tetapi menerima „kesalahan” sebagai dasar hukum
pidana 2°. ' —
P a r. 3 : Si st im h u k u m a n 21 d a n sifat h u k u m a n.
359
Hukuman tambalian didjatuhkan berhubung dengan hukuman
utama. Baru apabila telah didjatuhkan hukuman utama maka da
pat didjatuhkan hukuman tambahan. Hukuman utama ada lima
mat jam . hukuman mati, hukuman pendjara, hukuman kurungan,
hukuman denda dan hukuman tutupan.
360
ga L.N.H.B. 1926 Nr 4 8 /). Pasal 15 mengenal pelepasan dengan ,
perdjandjian ( voorwahrdelijke invrijheidstelling). Lihatlah dju°-a
L.N.H.B. 1917 N r 749 24. c
' Undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu memuat
beberapa ketentuan konstitusionil mengenai, sistim hukuman, jang
dapat didjadikan pegangan bagi peradilan pidana. Lihatlah pasal-
pasal 11 dan 15.
Sifat dan tjorak hukum pidana di Indonesia adalah begitu
rupa sehingga dapat dikatakan, bahwa hukum pidana di Indonesia
itu adalah suatu hukum pidana bagi orang dewasa. Di Indonesia
belum ada hukum pidana jang chusus bagi mereka jang belum
, dewasa. Belum ada „kinderstrafrechl” . D jadi, hukum pidana jang
menurut sifat dan tjoraknja adalah suatu hukum pidana bagi orang
dewasa, djugalah dipakai untuk menghukum anak !
Dapat dikatakan bahwa pembagian hukuman-hukuman seperti
jang diadakan dalam K.U.H. Pidana itu pada umumnja sedjalan
dengan pem bagian delik-delik dalam matjam delik jang merupakan
hec\jahatan (m isdrijf) dan matjam delik jang merupakan pelang
garan (overtreding). Hukuman jang didjatuhkan dalam hal „ke-
djahatan” pada umumnja lebih berat dari pada hukuman jang di
djatuhkan dalam hal „pelanggaran” . Supaja menghukum „kedja-
hatan” maka biasanja — „biasanja” , karena dapat djuga didjatuh
kan hukum an kurungan dan hukuman denda — didjatuhkan liu-
361
kuman pen d ja ra 25, sedangkan supaja menghukum „pelanggaran” '
maka didjatuhkan hukuman kurungan atau hukuman denda.
Menurut anggapan „M em orie van T oelichting” usul-kilah un
dang-undang hukum pidana Belanda 26, maka perbedaan antara
„kedjahatan” dan „pelanggaran” itu berdasarkan perbedaan antara
delik'hukum (rechtsdelicten) dan dellik undang-undang (w etsdelic-
ten). Suatu perbuatan merupakan delik hukum djika perbuatan
itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif jang ada dalam
kesadaran-hukum rakjat. Maka termasuk dalam azas-azas hukum
itu djuga azas-azas hukum jang tidak tertjantum setjara tegas dalam
undang-undang, jaitu perbuatan-perbuatan jang sehnrusnja dikenai
hukuman (straf >waardig), walaupun undang-undang tidak m enje
butnja sebagai delik. Jang dimaksud dengan delik untiang-undang
itu perbuatan jang bertentangan dengan apa jang tertjantum setjara
tegas dalam undang-undang, karena perbuatan undang-undang m e
nganggap perlu menetapkannja supaja tatatertib masjarakat letap
terpelihara, tetapi tidak karena itu sungguh-sungguh berasal dan
kesadaran-hukum rakjat. \
Agar membawa kepastian apakah suatu perbuatan merupakan
„kedjahatan” atau „pelanggaran” — karena dengan m udah dapat
ditim bulkan keragu-raguan tentang batas antara „kedjahatan dan
„pelanggaran” — , maka undang-undang sendiri mengatakan setjara
djelas perbuatan apa mendjadi „kedjahatan” dan perbuatan apa
m endjadi „pelanggaran” . K.U.H. Pidana m engum pulkan semua de
lik „kedjahatan” dalam Buku II („K edjahatan” ) sedangkan semua
delik „pelanggaran” dimasukkan kedalam Buku III („P elan g
garan” ) 27. K.U.H. Pidana terdiri atas tiga Buku : B uku I jang
mengenai „Ketentuan-ketentuan Umum” ; Buku II jang m engenai
„K edjahatan” , dan Buku III jang mengenai „Pelanggaran” . T itel I
sampai dengan titel V III Buku I mengenai peladjaran-peladjaran
362
um um (algemene leerstukken). Pasal 103 (aturan penghabisan)
mengatakan bahwa „ketentuan dari kedelapan titel jang pertama
dari Buku ini (jailu Buku I) berlaku djuga terhadap perbuatan
jang boleh dihukum menurut peraturan undang-undang lain, ter-
ketjuali kalau ada undang-undang, peraturan pemerintali atau or
donansi jang menentukan aturan lain” . Titel IX memuat suatu
tafsiran autentik tentang arti beberapa sebutan dalam K.U.H. P i
dana.
Hukum pidana jang tertjantum dalam K.U.H. Pidana hanja
m endjatuhkan hukuman individuil (individuele straffen). Sifat
hukum pidana jang tertjantum dalam K.U.H. Pidana adalah in
dividualistis; K.U.H. Pidana bersifat individualistis (individualis-
tisch karakter van het W etboek van Strafrecht). Maka dari itu
hukum pidana jang tertjantum dalam K.U.H. Pidana tidak menge
nal hukuman bagi badan hukum (rechtspersoon) 2S dan tidak m e
ngenal hukuman k olek tif( collectieve straffen). Jang dihukum ialah
anggaittanja atau anggauta pengurus orangnja satu per satu (lihat
lah pasal 59 K.U.H. Pidana) 29.
Sedjak tahun 1955, berdasarkan suatu peraturan „istimewa” ,
dapatlah dihukum badan hukum, jaitu korporasi dan jajasan ! 30
Peraturan „istim ewa” itu pasal 15 Undang-undang darurat tentang
pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak-pidana ekonomi, L.N.
1955 Nr 27 (pendjelasan dalam Tambahan L.N. Nr 801). Badan
hukum dapat diakui sebagai pembuat delik dan oleh sebab itu da
pat djuga dikenai hukuman menurut hukum pidana.
363
Adanja L.N. 1955 Nr 27 itu memperlihatkan makin lama makin
besarnja perhatian terhadap delik-delik ek o n o m is 31. Berhubung
dengan usaha diadakan suatu ekonom i terpim pin, jang melahirkan
suatu burokrasi ekonomis, maka perhatian terhadap delik-delik
ekonomis itu sangat wadjar. Untuk dapat memberantas korupsi
setjara lebih efisien (efficient) maka dalam Peraturan Penguasa
M iliter tertanggal 9 April 1957 Nr P rt/P M /0 6 /1 9 5 7 32 untuk kali
jang pertama, diperkenalkan suatu djenis baru delik jang diberi
nama „korupsi” (pasal 2). Menurut pasal 1, maka „korupsi”
itu „a. Tiap perbuatan jang dilakukan oleh siapapun djuga, baik
untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan suatu badan
jang langsung atau tidak langsung menjebabkan kerugian bagi
keuangan atau perekonomian negara; b. Tiap perbuatan jang dila
kukan oleh seorang pendjabat jang menerima gadji atau upah dari
keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan jang m e
nerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, jang dengan
mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan jang
diberikan kepadanja oleh djabatan, langsung atau tidak langsung
membawa keuntungan materiil baginja” . Sekarang pemberantasan
korupsi dilakukan berdasarkan pePerpu 1960 N r 24, L.N. 1960
N r 72 33.
Tentang apa sifat hukuman telah ditimbulkan banjak faham.
Pengertian form il „hukuman” ^adalah suatu penderitaan istimewa
(bijzonder leed) 34 35. Agar tatatertib masjarakat tetap terpelihara,
364
maka pemerintali (overheid) kadang-kadang terpaksa menggunakan
alat-alat paksa jang lebih keras. Kadang-kadang pemerintah terpaksa
m endjalankan sanksi jang lebih keras dari pada sanksi „biasa”
(seperti jang ada dalam hukum privat), misalnja, dengan peranta
raan hakim , menghukum pelanggar setjara meinasukkannja keda-
lani pendjara, jaitu merampas kemerdekaan pelanggar. Pelanggar
diberi penderitaan „istimewa” .
Tetapi sanksi keras ini belum membawa kepastian-hukum bagi
jang mendapat kerugian (oleh pelanggaran). Maka dari itu di
samping menderita, misalnja hukuman pendjara, pelanggar dipak
sa djuga mengganti kerugian kepada jang dirugikan — dalam hal
jang disebut teraliir ini pemerintah mendjalankan sanksi „biasa” .
Disamping sanksi hukum pidana (strafrechtelijke sanctie) oleh
hakim didjalankan djuga sanksi hukum privat (civielrechtelijke
sanctie). M isalnja, barangsiapa jang menipu orang lain dapat di-
het recht. De norm en „ „ g ij zult niet stelen, gij zult niet doden” ” ,
als norm en van privaatrechl gehandhaafd, leiden tot teruggave van
het gestolene o f schadeloosstelling van de bestolene en lot uitkering
van schadevergoeding aan de familie van de overledene. Die hand-
liaving is ecliter verre van afdoende. Ook zelfs tol de genoemde prijs
kunnen diefstal cn doodslag niet worden geduld. Doartoe is eerbiedi-
ging van het verbod van diefslal en doodslag van te grool gewicht
en voor de rechtsorde en voor de eventuele slachtoffers, wier hoogsle
belangen op bel spel staan. De rechtsorde grijpt- dan naar scherpere
m iddelen. Zii. bedreigt de overtreding met een biizonder leed en doet
de overlreder dai bijzondere leed aan.. Zii dreigt mel slraf en straft.
'Zierdaar de taak van liel strafreclit” (Kaidah-kaidah hukum itu me
maksa, alau dengan kata lain : apabila perlu maka kekuasaan jang
oleh kaidah-kaidah ilu diberi kepada jang bersangkutan dapal di
pertahankan dengan menggunakan paksaan — lihailah hal. 44 — .
Apabila kaidah-kaidah itu tidak ditaati alau hak-hak orang tidak di
horm ati, maka tatatertib hukum memaksa pelanggar. Antara kaidah-
kaidah itu ada jan g sangat-sangat penting, karena melindungi kepen
tingan nokok manusia. Bilamana kaidah-kaidah 'jang disebut terahir
ini tidak dihorm ati, maka di samping sanksi biasa — jang memaksa
pelanggar tunduk alau mengganti kerugian — oleh tatatertib hukum
dianggap perin mendjalankan djuga sanksi lebih keras. Kaidah-kaidah
„k am u tidak boleh ihentjuri, kamu tidak boleh membunuh” diperta
hankan hukum privat dengan memaksa pelanggar mengembalikan
barang jang ditjurinja atau mengganti kerugian, memaksa pelangear
m em beri pengganti-kerugian kepada keluarga dari jang dibunuh. T e
tapi sanksi ini kurang keras., Sanksi ini tidak dapat dianggap sebagai
penjelesaain penuh, karena pelanggaran-pelanggaran itu sangat mem-
bahajakan masjarakat. Maka dari itu hukum »lenggunakan sanksi
istimewa. Pelanggaran diantjam dengan suatu penderitaan istimewa.
Pelanggar didiatuhi penderitaan istimewa. Dalam hal demikian hukum
m engantjam dengan hukuman dan menghukum. Itulah lugas hukum
p id a n a ). Bal ialah diuga P rof. Mr J.M.J. S c h e p p e r „Strafrecht
en wereldbeschouwing” , 1935.
365
hukum pendjara (kemerdekaannja dirampas) berdasarkan pasal
378 K.U.H. Pidana serta dipaksa mengganti kerugian kepada jang
dirugikan itu berdasarkan pasal-pasal 1328 dan 1365 K.U.H. Perdata.
Ahirnja, kadang-kadang penderitaan istimewa jang termuat da
lam hukum pidana positif tidak sesuai dengan „keadilan” . Teruta
ma dalam hal hukum pidana m endjadi alat pendjadjahan semata-
m ata-dalam tangan suatu „ruling class” jang sama sekali tidak
didukung oleh jang diperintahnja ! Djuga kita tidak boleh lupa
akan hubungan antara hukuman dan faktor-faktor e k on om is36.
Tentang sifat hukuman dalam ilmu hukum pidana telah di-
huat beberapa teori-teori hukum pidana (strafrechtstheorien). Teori-
teori ini a.l. mentjari alasan „a d il” bagi hak pem erintah untuk
menghukum, mentjari dasar-dasar hukuman — pengertian materiil
hukuman. Ada tiga golongan teori-teori hukum pidana : teori-teori
absolut atau, teori-teori pembalasan (vergeldingstheorien), teori-
teori relatif atau teori-teori tudjuan (d oelllieorien ), dan teori-teori
Tnenggabuhgkah („verenigingstheorieri” atau „gem engde theorien” ).
Menurut teori pembalasan maka hukuman itu bersifat pem ba
lasan (vergelding). Hukuman didjatuhkan karena ada dosa (quia
peecatum est). Seperti jang dikatakan I m m a n u e 1 I v a n t :
„W en n sich die bürgerliche Gesellschaft mit aller G lieder Einstim
mung auflöste .................................... müszte der letzte in Gefängnis
befindliche M örder vorher hingerechtet werden, damit jederm ann
das wiederfahre wras seine Taten wert sind” 3".
Teori-teori tudjuan menitik beratkan tudjuan hukuman. An-
tjaman hukuman dan hukuman perlu supaja manusia tidak berdosa
(n e peccetu r), supaja manusia tidak melanggar. Dalam golongan
_ teori-teori tudjuan, jang mendjadi penting ialah teori menakutkan
( afschrikkingstheorie) jang dibuat v o n F e u e r b a c h . M enurut
teori ini maka tudjuan hukuman ialah menakutkan manusia' m ela
kukan pelanggaran, -jaitu pada antjaman- hukuman ada pengaruh
menakutkan orang melakukan pelanggaran. Pengaruh penakutan
itu terhadap semua anggauta masjarakat (prevensi um um ) — ka
rena antjaman hukuman bersifat umum — , supaja ia tidak mengu-
. langi perbuatannja. Beberapa teori tudjuan jang lain mengatakan
bahwa hukuman itu bertudjuan m em perbaiki manusia — hukum an
366
ditudjukan kepada pembuat (dader) (prevensi chusus) —-, hukuman
itu bertudjuan mendidik munusia, supaja ia oleh masjarakat dapat
diterim a lagi sebagai auggauta jang baik.
T eori-teori tudjuan modern menganggap hukuman itu perlu
supaja masjarakat dilindungi terhadap perbuatan-perbuatan kedja-
hatan dan supaja talatertib masjarakat tetap terpelihara.
T eori-teori menggabungkan adalah teori-teori hukum pidana
jang termodern. Teori-teori ini hendak menggabungkan fikiran-
fikiran dasar dalam teori-teori pembalasan dan teori-teori tudjuan.
H ukum an didjaluhkan baik karena ada dosa maupun karena hu
kum an itu bertudjuan memperbaiki manusia dan meiuljaga sehingga
masjarakat aman.
A liirnja, hukuman dapat djuga didjatulikan supaja kedudukan
„ru lin g class” tidak terganggu ! 3S.
38 Mengenai teori-teori hukum pidana ini lihatlah uraian lebih luas dalam
buku kam i „H u ku m Pidana I” , 1960, hal. 150-192.
39 Keputusan Ilog e Ruad di Negeri Beland^ tertanggal 21 Djanuari 1929 __
„N ederl. Jurisp” , 1929, hal., 709 : tjara-tjara interpretasi jang dila
kukan m engenai perdjandjian dan pernjataan kehendak teraliir (tes
tam en) seperti jang termaktub dalam K.U.H. Perdata, dapat djuga
dipakai dalam hukum pidana. Penting diketahui djuga keputusan
H oge Raad di Negeri Belandu tertanggal 12 Nopember 1900, W (B e
lan d a)« Nr 7i>2t> : kalau kata-kata undang-undang tjukup djelas maka
hakim tidak boleh m enjim pang dari kata-kata itu walaupun kehendak
sungguh-sungguh dari pembuat undang-undang berlainan dengan arti
kata-kata itu.
367
dapat didjalankao eeyara analogi ala,, , ; <Jak 1 0 . Persoalan ini ,„ e „ -
djadi hanga« „edjak keputU6an IisWk (electricileitsa
Raad di Negeri Beland* tertanggal 23 Mai 1 9 9 1 4 1 rr
Raad tidak menjebut kata „analogi” maunu \ T ””
\ ° niaupun kata „penafsiran eks-
.ensiP (extensieve " < M , masih d)uga p „ f „ r „ j ’, ,
- jang „ e ,„ b u ,, ano.as, d,bawah k ep „,„sa„ .ersebut - b e r p e n d ',«
bahwa Hoge Raad dengan diam-diam i i ■ »
/a,n A u to « P i* « « . Kemudian b J T ^
Hoge Raad belum mau mengakuiJ P“ ? 3« “ « S «H *r bahwa
tetapi telah mengakui penafsiran eks^ » H lT p” T ” 1 pulana’
ten« dikemukakan bahwa nada ! “ f , ^ SchoI‘
antara penafsiran ekstensif dan analn ! ? 31,3 perbedaan
membuat konstruksi, membuat (mei f* 31” & U3 ,lal ltu Iiakim
jang lebih tinggi. H akim membuat V Z” .3,1" pen" ertian hukum
boleh dianggap dasar beberapa ket U3tU 1 leblh tin8?i JanS
maan. Seperti dalam keputusan , . 6n*^an Jan" mengandung kesa-
pengertian lebih tinggi «mengambil”^ ’ H ° gf , R a a r I dibuat
jang bermaksud memindah sesuat we£nemen) ’ j a*tu perbuatan
"kedalam tangan jang lain. H ania U 6n<^a dar* tanSan i a*ig satu
metode analogi berlain-lainan Dai Qtt^ e Penafsiran ekstensif dan
perkara jang harus diselesaikan k sf l^ ana^°"* hakim membawa
lebih tinggi itu sedangkan dalam Fi l” Um ^ n^ un%an Kaidah jang
nerluas lingkungan kaidah jang Ze/TA Penafsiran ek *tensif ia mem-
kara jang bersangkutan dinea tersebut sehingga p er-
fa ,,, Jonkers, pada h a T k lt„ 7 ^ d id ° h ™ * - Maka <lari i.o
pada tahun 1921 — setjara diam-d1 6 ^ Negeri Belanda
dalam hukum pidana 43. , lam telah menerima analogi
368
g e n 46, pada djaman sekarang Prof, van B e r a m 'e l e n 47,
Prof, v a n H a 11 u m 48 (pada djaman „Rechtshogescliool” di Dja-
karta (Batavia) djuga Prof. S c l i e p p e r ) , Dr L e m a i r e 19
Mr V o s 50 dan P rof. L a n g e m e i j e r 51. Di Indonesia paling
ahir : H a n B i n g S i o n g , T r e s n a . Antara pelbagai alasan
menolak analogi dalam hukum pidana, ada dua jang menarik per
hatian kam i, jaitu alasan L a n g e m e i j e r dan alasan L e m a i r e,
karena mengenai inti persoalan. Kedua penolakan ini adalah pe
nolakan prinsipiil.
W alaupun ia tidak menjangkal bahwa hakim pidana telah men-
djalankan suatu m atjam interpretasi jang pada hakekatnja analogi,
masih djuga L a n g e m e i j e r tidak sanggup menerima analogi
dalam hukum pidana, karena tiada seorangpun diantara pegawai
pengadilan, pegawai kedjaksaan dan pegawai polisi jang sempurna
dan tidak ada kekurangan. Dapatkah kita pertjaja lCO^o akan ke-
djndjuran semua pegawai pengadilan, pegawai kedjaksaan dan pe
gawai polisi ?
Oleh L e m a i r e dikemukakan bahwa undang-undang pidana
tidak boleh ditafsirkan fcetjara analogi, karena pengadilan pidana
berwenang membuat keputusan hukum (rechtsbeslissiiig) jang sung
guh-sungguh membatasi hak-hak pokok manusia (seperti hukuman
mati, hukuman pendjara). Membuat keputusan sematjam itu —
apalagi dalam hal analogi — tidak boleh diadakan menurut kehen
dak hakim bejaka. L e m a i r e mengewatirkan ada kemungkinan
/ diadakan suatu tindakan hakim jang s e w e n a n g . - w e n a n g , apabila ke
pada hakim itu diberi wewenang untuk mendjalankan undang-
undang setjara analogi.
Mereka jang menerima analogi dalam hukum pidana a.
T a v e r n e S2, R ¿i 1 i n g 53, P o m p e 54, J o n k e r s 55.
53~ T*v! s !’ 48,’ h a llV d jb . (dalam Ver. v. Strafr. 1937) dan W (B elan d a).
Nr 12960’
54 „H an d boek ” , hal. 49. . „
55 „H an d boek ” , hal. 42. Lihatlah djuga „D e weg van liet strafrecht ,
pidato inaugurasi Leideri 1946.
369
T a v e r n e berpendapat bahwa peradilan pidana modern —
jang bidangnja telah sangat luas.dalam suatu masjarakat jang ber
belit-belit — tidak dapat menolak analogi. Praktis hakim pidana
sudah lama mendjalankan analogi.
Roling menganggap analogi itu tidak lain dari pada suatu
sendi interpretasi. Apalagi, bukankah, hakim pidana telah diper
bolehkan mendjalankan interpretasi ? Kita haras membedakan an
tara : redaksi (susunan dan bunji kata) undang-undang pidana dan
tudjuan (strekking) undang-undang pidana. Jang harus diutamakan
ialah tudjuan undang-undang pidana, dan redaksi hanja m endjadi
sesuatu jang kedua (sekunder) sadja. Apabila njata bahwa anasir-
anasir sesuatu perkara, walaupun tidak sesuai dengan redaksi pera
turan perundang-undangan jang bersangkutan tetapi sesuai dengan
tudjuan peraturan perundang-undangan jang bersangkutan itu, ma
ka hakim dapat mendjatuhkan hukuman.
Pompe hendak menerima suatu analogi terbatas. Menurut
Pompe maka analogi dapat didjalankan, asal sadja tetap ber
dasar pada kaidah jang tersimpul (djadi, kaidah itu tidak perlu
dinjatakan setjara tegas) dalam ketentuan perundang-undangan jang
bersangkutan, dan dalam penjelesaian hal-hal jang oleh pembuat
undang-undang dilupa („vergeten gevallen” ) atau hal-hal baru
(„nieuwe gevallen” , jaitu hal-hal jang oleh pembuat undang-undang
tidak dapat diketahui ketika ia membuat undang-undang jang ber
sangkutan) .
P a r. 5 : I l m u k e d j a li a t a n (kriminologi)
s e b a g a i i 1m u - j a n g - m e m b a n t u ( h u 1 p w e t e n s c li a p)
bagi hukum pidana positif.
370
Delik adalah suatu gedjala sosial (kemasjarakatau). Jang mempe-
ladjari delik sebagai suatu- perbuatan manusia dan suatu gedjala
sosial adalah kriminologi atau ilmu kedjahatan. Pada waktu seka
rang krim inologi sudah men d j adi suatu ilmu jang berdiri tersendiri
(zelfstandige wetenschap) jang mempeladjari manusia dalam per
tentangan dengan kaidah-kaidah sosial tertentu. Perbedaan antara
ob jek krim inologi ( = manusia dalam pertentangan dengan kaidah-
kaidah sosial) dan objek (ilm u) hukum pidana ( = pelanggaran
ketertiban hukum ) dengan sendirinja menimbulkan d juga perbe
daan antara pengertian „kedjahatan” (misdaadBegrip) menurut kri
m inologi dan pengertian „kedjahatan” menurut (ilmu) hukum pi
dana 56.
K rim inologi itu suatu gabungan (complex) ilmu-ilmu lain, jang
dapat disebut ilmu-6agiare (d eel-wetenschap) dari krim inologi57.
K rim inologi, sebagai suatu ilmu jang mempeladjari kompleks pem
bual-perbuatan (dader-daad) dalam segala seginja, mempergunakan
dan membahas hasil-hasil penjelidikan banjak ilmu lain, seperti
psyehologi, psycliiateri, fisiologi, antropologi, statistik, ilmu hu-
hum, ekonom i, sosiologi, (untuk Indonesia penting) antropologi
budaja, d ll.'B oleh dikatakan bahwa kriminologi itu suatu ilmu-jang
m eliputi segala segi manusia dalam pertentangan dengan beberapa
kaidah-kaidah sosial tertentu. Dengan memindjam kata-kata B a a n
krim inologi adalah „de overkoepelende wetenschap van de mens
in conflict met bepaalde sociale normen” oS. Tetapi kriminologi
itu, biarpun mentjakup banjak dari ilmu-ilmu lain, masih djuga
m em punjai persoalan-persoalan sendiri dan tjara-tjara penjelidikan
sendiri untuk menjelesaikan persoalan-persoalan tersebut. K rim i
nologi adalah suatu ilmu-tentang-manusia (menswetensehap) jang
berdiri tersendiri, jaitu suatu ilmu-tentang-manusia jang cliusus
m em peladjari manusia dalam konflik (disinilah terletak perbedaan
dengan, misalnja, psyehologi, jang djuga mendjadi suatu ilmu-ten-
tang-manusia tetapi objeknja bukan-chusus manusia dalam konflik).
371
Pentingnja kriminologi bagi hukum pidana positif dan pera-
dilan pidana ditentukan oleh sikap sardjana hukum pidana jang
bersangkutan terhadap tjara mendjalankan hukum pidana positif
dan peradilan pidana. Barangsiapa jang tidak begitu memperhatikan
azas bahwa „iedere misdadiger die therapie krijge, die bij behoeft”
(tiap pendjahat harus diberi tjara penjembuhan jang sesuai) 59,
maka dengan sendirinja tidak begitu merasa pentingnja krim inologi
bagi mendjalankan hukum pidana positif dan peradilan pidana.
Tetapi barangsiapa jang hendak mendjundjung tinggi azas bahwa
„iedere misdadiger die therapie krijge, die hij hehoeft” maka su
dah tentu berpendirian bahwa tidak mungkinlah mem peladjari atau
mendjalankan hukum pidana positif atau mendjalankan sualu
peradilan pidana jùng baik tanpa pengetahuan elem enter tentang
kriminologi ! Di samping itu, pengetahuan kriminologis (crim ino-
logische kennis) itu djuga sangat penting dalam usaha mentjiptakan
ius constituendum pidana 60.
372
■ perkara
\ kami
373
f
BAB X
HUKUM ATJARA
P a r. 1 : Kata Pengantar.
Dari Bab I, par. 11, telah diketahui bahwa hukum atjara atau
hukum form il itu menuncljuk tjara~bagaimana neraturan-pcraturan
hukum materiil dipertahankan dan didjalankan. Hukum atjara
inenurfdjuk tjara bagaimana perkara diselesaikan di muka hakim
atau suatu alat negara lain jang diberi tugas menjelesaikan perse
lisihan hukum (misalnja, alat-alat negara jang bertugas m enjele
saikan perselisihan administratif) 1.
374
Dalam bab ini kami bitjarakan chusus tiara bagaimana perkara
diselesaikan di muka hakim. Setjara singkat terlebih dahulu kami
bitjarakau susunan pengadilan di Indonesia pada djaman sekarang.
Par. 2 : S 11 s u 11 a n pengadilan di I n d o n e s i a 2.
375
Serikat (R .I.S .)4.
Berdasarkan pasal 118 konstitusi R.I.S. dibuat suatu Undang-
undang Mahkamah Agung (Undang-undang tahun 1950 Nr 1, di
singkatkan U.U.M.A.), L.N.R.I.S. 1950 Nr 30. Peraturan ini, jang
sekarang masih berlaku karena pasal 142 undang-undang dasar se
mentara tahun 1950 dan pasal II Aturan Peradilan U.U.D. — lianja
ketentuan-ketentuan-jang bertentangan dengan undang-undang dasar
sementara tahun 1950 dan U.U.D. Negara Kesatuan tidak lagi ber
laku — , mengatur susunan dan wewenang Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung memutuskan dengan tiga orang hakim (pasal
3 ajat 1 U.U.M.A.). Wewénang Mahkamah Agung adalah : mela
kukan pengawasan tertinggi atas semua pengadilan (pasal 12), me
mutuskan dalam tingkatan pertama dan terahir semua perselisihan
tentang kekuasaan mengadili antara semua badan-badan pengadilan
jang lebih bawah dari semua perselisihan jang ditimbulkan dari
perampasan kapal, kapal udara dan muatannja oleh kapal iperang
(pasal 14), memutuskan dalam tingkatan kedua (apèl) atas kepu-
tusan-keputusan wasit (arbitrale vonnissen) jang ternjata mengenai
nilai harga Rp. 25.000,— atau lebih (pasal 15), melakukan kasasi5,
jaitu „pembatalan atas putusan pengadilan-pengadilan lain dalam
tingkatan peradilan jang terahir dan penetapan dan perbuatan pe
ngadilan-pengadilan lain dan para Hakim jang bertentangan dengan
hukum, ketjuali putusan pengadilan dalam perkara pidana jang
mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuntutan” (pasal 16),
376
pengawasan tertinggi atas jiara notaris dan para pengatjara .(pasal
133), m enjuruh salah seorang anggauta Mahkamah Agung supaja
mengadakan i>emeriksaan dalam rumah pendjara di seluruh Indo
nesia (pasal 134), grasi, amnesti dan abolisi hanja dilakukan atas
nasehat Mahkamah Agung (lihatlah pasal 107 undang-undang dasar
sementara tahun 1950 dahulu; U.U.D. menjinggung grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitas sebagai suatu wewenang Presiden). v>
377
maka susunan pengadilan di seluruh wilajah negara kita pada dja-
man sekarang 8 adalah (seharusnja) :
373
2 — dan berlakunja berdasarkan hukum peralihan jang terdapat
dalam pasal-pasal II Aturan Peralihan U.U.D., 142 undang-undan"
dasar sementara tahun 1950, 192 konstitusi R.I.S., proklamasi Pre
siden S o e k a r n o tertanggal 10 Oktober 1945 Nr 2. Mengenai
pemeriksaan ulangan (bandingan, revisi dan apel) (pada Pengadilan
Tinggi) lihallali pasal 6 ajat 2 L.N. 1951 Nr 9, Undang-undang
R I . tahun 1947 Nr 20 (pulau Djawa dan Madtira) dan pasal 46
R b (daerah-daerah luar pulau Djawa dan Madoera).
Hukum materiil jang mendjadi dasar keputusan Pengadilan
Negeri adalah semua peraturan-peraturan jang telah ada — pasal
II Aturan Peralihan U.U.D. — , peraturan-peraturan baru dan hukum
adat (privat) jang materiil untuk golongan hukum bukan-Eropah
t terketjuali mereka jang tunduk pada hukum Eropah).
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan jang mengadili dalam
tingkatan apel (jierkara privat) dan dalam tingkatan revisi (perkara
pidana). Peradilan Indonesia disusun setjara dua tingkatan : per
adilan dalam tingkatan pertama (hakim sehari-hari) dan peradilan
dalam tingkatan kedua (bandingan : apel atau revisi). Azas ini pen
tinglah agar mondjamin objektivitet dalam peradilan. Atas keputusan
•Pengadilan Tinggi tidak ada bandingan lagi. Atas keputusan
Pengadilan Tinggi hanja ada kemungkinan diadakan kasasi oleh.
Mahkamah Agung. Peradilan Mahkamah Agung bukan peradilan
dalam „tingkatan ketiga” ! D i samping mengadili dalam tingkatan
bandingan (kedua), maka Pengadilan Tinggi menjelesaikan djuga
perlelisihan jurisdiksi antara pengadilan-pengadilan jang ada di-
bawahnja.
Susunan, wewenang, atjara dan tugas Pengadilan Tinggi ber
dasarkan pasal 3 L.N. 1951 Nr 9. Untuk Pengadilan Tinggi Djakarta
dibuat suatu peraturan organisasi istimewa dalam L.N. R.I.S. 1950
N r 27 (jo pasal 3 ajat 2 L.N. 1951 Nr 9) (dengan pendjelasan
dalam Tambahan L.N.R.I.S. 1950 Nr 14). Lihatlah diatas tadi.
Hukum atjara privat jang didjalankan pada Pengadilan Tinggi
tertjantum dalam Undang-undang tahun 1947 Nr 20 (pasal-pasal
6-15) dan ditambah dengan azas-azas R.I.B. (pulau Djawa dan
Madura) dan dalam R b dan Rv (Reglement op de Rechtsvordering)
(pasal-pasal 119-205) (daerah-daerah luar pulau Djawa dan Madu
ra) — pasal 5 ajat-ajat 1 dan 2, dan berlakunja berdasarkan hu
kum peralihan jang terdapat dalam pasal-pasal II Aturan Peralihan
U.U.D., 142 undang-undang dasar sementara tahun 1950, 192 kon
(
stitusi R.I.S., proklamasi Presiden S o e k a r n o tertanggal 10 Ok
tober 1945 Nr 2._ Hukum atjara pidana terdapat dalam Undang-
undang Darurat tahun 1951 Nr 1 pasal-pasal 7 sampai dengan 20
(R.I.B. tidak memuat hukum atjara pidana mengenai revisi, maka
dari itu ketentuan dalam pasal 6 ajat 1 Undang-undang tahun 1951
Nr 1 sebenarnja tidak perlu bagi Pengadilan Tinggi !). D jadi, ban
dingan jang berupa apel (perkara perdata) . terijantum dalam Un
dang-undang tahun 1947 Nr 20 (pulau Djawa dan Madura) dan
pasal 46 Rb (daerah diluar pulau Djawa dan M adura), dan ban
dingan jang'berupa revisi (perkara pidana) tert jantum dalam L.N.
1951 Nr 9 (pasal 6 ajat 2).
Hukum materiil jang m ehdjadi dasar keputusan Pengadilan
Tinggi adalah semua peraturan jang telah ada — pasal II Aturan
peralihan U.U.D. — , peraturan-peraturan baru dan hukum adat
(privat) bagi golongan hukum bukan-Eropah (terketjuali mereka
jang tunduk pada hukum Eropah).
Pengadilan Tinggi diadakan di Djakarla, di Surabaja, di Medan,
di Makasar, dr Semarang, di Palembang, di Sukarnopura dan di
Denpasar. Untuk daerah kekuasaan (daerah liukum = reclitsgehied)
masing-masing Pengadilan Tinggi lihatlah pasal 4.
Perkara dimuka Pengadilan Tinggi diadili oleh tiga orang hakim
(untuk perkara pidana lihatlah pasal 11 L.N. 1951 Nr 9 dan unluk
perkara perdata lihatlah pasal 15 Undang-undang R J. 1947 Nr 20),
tetapi dalam beberapa hal tertentu perkara dapat diadili oleh
satu orang hakim sadja (lihatlah L.N. 1955 Nr 35 (Undang-undang
Darurat tahun 1955 Nr 11)).
Pada Pengadilan Negeri dapat diadakan suatu Pengadilan E k o
nomi (pasal 35 L.N. 1955 Nr 27) dan pada Pengadilan Tinggi da
pat diadakan suatu Pengadilan Tinggi Ekonom i (pasal 47 L.N. 1955
Nr 27). Dua matjam baru pengadilan ini mengadili delik-delik eko
nomis. Pasal 4 / L.N. 1955 Nr 27 mengatur permohonan kasasi pada ~
Mahkamah Agung. Pada saat ini aktivitet Pengadilan Ekonom i
sangat besar dan telah mcndjadi lebih besar lagi sesudah berdjalan-
nja proses menegakkan ekonomi terpimpin di Indonesia.
Berdasarkan pasal f) pen Pres 1963 Nr 11, L.N. 1963 Nr 101
dapat diadakan suatu Pengadilan Subversif pada Pengadilan N e
geri n . ,
11 Mengenai susunannja lihatlah surat edaran Mahkamah Agung 1963
Nr 4. Literatur : R. S a n t o s o P o e d j o s o e b r o t o , S.li., ,,Pem
berantasan subversi, korupsi dan penertiban sewa menjewa rumah” ,
1964.
380
Pasal 1 ajat 2 Undang-undang Darurat tahun 1951 Nr 1 mene
rangkan b a lw a „pada saat jang berangsur-angsur akan ditentukan
oleh M entari Kehakiman, dihapuskan :
i
381
pertahankan peradilan pidana adat pada suatu Pengadilan Negeri
jang m endjadi pengganti suatu bekas-Pengadilan Adat atau suatu
bekas-Pengadilan Swapradja, tetapi dengan beberapa pembatasan.
Sifat „sementara waktu” itu ternjata dari Pendjelasan atas L.N.
1951 Nr 9. Oleh karena ketentuan ini maka unifikasi hukum pidana
jang materiil belum direalisasi sungguh-sungguh di seluruh wilajali
Indonesia. Djadi, di beberapa bagian wilajah Indonesia sekarang
masih tetap berlaku hukum pidana adat jang materil karena per-
djandjian pandjang dan „Zelfbestuursregelen” tahun 1938 (lihat
lah djuga L.N.H.B. 1946 Nr 17, Nr 18 dan Nr 19) dan karena
L.N.H.B. 1932 Nr 80 pasal 3 jo tabel B dan C — ex pasal II Aturan
Peralihan U.U.D., pasal 142 undang-undang dasar sementara laliun
1950 dan pasal 192 konstitusi R.I.S.. Untuk daerah dimana pengadilan
swapradja dan pengadilan adat telah dihapuskan lihatlah Tam
bahan L.N. Nr 231 (pengadilan swapradja di B a li), N r 276 (penga
dilan swapradja dan pengadilan adat di,Sulaw esi), Nr 462 (penga-
. dilan adat di L om bok ), Nr 603 (pengadilan swapradja di Sumbawa,
Sumba, T im or dan Flores) dan Nr 641 jo Nr 642 (pengadilan swa
pradja dan pengadilan adat di seluruh K alim antan), hal ini ex
pasal 1 ajat 2 15.
Peradilan agama di wilajah negara kita djuga disusun setjara
dua tingkatan : di pulau Djawa dan Madura ada Pengadilan Agama.
Sebagai pengadilan bandingan diadakan Mahkamah Islam di kota
Surakarta (Solo) ^6. J)j pulau Kalimantan ada Pengadilan K adi, dan
Mahkamah Kadi di kota Bandjarmasin. Peraturan Pem erintah 1957
Nr 45, L.N. 1957 Nr 99 mengatur dibentuknja Pengadilan Agama
dati Mahkamah Sjar’ ija'h diluar pulau Djawa dan Madura.
382
D jika ada peradilan agama jang tidak diatur berdasarkan iin-
dang-uiulang, maka jang mengaturnja ialah hukum tatanega.ra adat
(adatslaatsrecht). Pentinglah dibatja pasal 5 ajat 3 sub c Undang-
undang Darurat tahun 1951 Nr 1. Peraturan-peraturan perundang-
undangan jang lain jang penting : L.N.H.B. 1882 Nr 152 jang ke
mudian diubah dan ditambah oleh L.N.H.B. 1937 Nr 116 dan Nr
650 dan oleh L.N.H.B. 1937 Nr 638 dan pasal 3 R.O. jo pasal 2 Rb_
383
sipil ( = bukan militer) maupun militèr semata-mata dilakukan oleh
badan jang diserahi kekuasaan kehakiman. Pengadilan tidak boleh
dilakukan oleh badan-badan jang diserahi kekuasaan lain dari pada
kekuasaan kehakiman itu (jakni kekuasaan legislatif atau kekua
saan eksekutif)'. Maka dari itu pasal 103 undang-undang dasar se
mentara tahun 1950 mengatakan bahwa „segala tjampur tangan
dalam urusan pengadilan oleh alat-alat perlengkapan jang bukan
perlengkapan pengadilan dilarang ke tjuali djika diidzinkan oleh
undang-undang” . T jontoh Lentang perketjualian ini terdapat dalam
pasal 107 undang-undang dasar sementara tahun 1950, jang m ene
rangkan bahwa Presidèn (sebagai kepala eksekutif) berhak m em
beri grasi dari hukuman-hukuman jang didjatulikan oleh keputusan
pengadilan (ajat 1).
Di Bab II, par. 3, sub A, buku ini telah dikatakan bahwa ke
kuasaan (funksi) kehakiman adalah kekuasaan jang berdiri tersen
diri (onafhankelijk) dan jang mempunjai lapangannja sendiri. Ma
sing-masing kekuasaan tidak boleh turut-serta dalam jirusan hal-hal
jang letaknja di lapangan kekuasaan lain (Montesquieu).
Bahwasanja kekuasaan kehakiman itu pada azasnja su n g g u h -s u n g g u h
384
Bagaimanakah keadaan dibawah kekuasaan undang-undan°- da
sar sementara tahun 1950 ? Bukankah, dalam undang-undan<* dasar
sementara tahun 1950 terdapat pasal-pasal 101 (ajat 1) dan 108
jang menjinggung persoalan itu ? Pasal 101 ajat 1 mengandung azas
utama (hoofdbeginsel), bahwa „perkara perdata, perkara pidana
sipil dan perkara pidana militer semata-mata ( kursif dari kami)
masuk perkara jang diadili oleh pengadilan-pengadilan jang di
adakan atau diakui dengan undang-undang atau atas kuasa undang-
undang” . Berdasarkan kata-kata „perkara perdata” dalam pasal 101
ajat 1 — jang menurut pendapat kami harus dibatja „perkara me
ngenai hak perdata” — dapat kami duga, bahwa pembuat undang-
undang dasar sementara tahun 1950 menerima sistim jang diben
tangkan oleh B u y s 19. Menurut Prof. B u y s maka ukuran jang
harus dipakai dalam menentukan berkuasa tidaknja hakim admi
nistrasi negara ialah pokok dalam perselisihan atau objectum litis.
Bilamana jang bersangkutan mendapat kerugian dalam hak privat-
nja (geschaad in zijn subjectief burgerlijk recht), dan oleh karena
itu meminta keganti-rugian (schadeloosstelling) (biasanja menurut
pasal 1365 K.U.H. Perdata), djadi, objectum litis adalah suatu hak
privat (jang tertindis), maka perkara jang bersangkutan harus di
selesaikan oleh hakim biasa.
Pendapat B u y s ini sekarang diterima u m u m 20. Achirnja, ex
pasal II Aturan Peralihan U.U.D. dan pasal 142 undang-undang
dasar sementara tahun 1950, maka pasal-pasal 134 I.S. dan 2 R.O.,
menurut penafsiran B u y s, masih berlaku !
U.U.D. memuat pasal 24 ajat 1 jang berbunji „Kekuasaan ke
hakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan lain-lain
badan Kehakiman menurut Undang-undang” . Apakah U.U.D. tidak
mengenal peradilan administrasi negara dalam tangan badan-badan
jang biasanja diserahi kekuasaan eksekutif? Adanja Undang-undang
R.I. tahun 1948 Nr 19 dahulu memperlihatkan bahwa pembuat
U.U.D., ketika membuat U.U.D,, tidak mengingat adanja persoalan
peradilan administrasi negara itu.
19 Tetapi bagi kami hal ini belum pasti, karena kata-kata „sengketa jang
mengenai hukum tatausalia” dalam pasal 108, djustru menimbulkan
kesan seolah-olah pembuat undang-undang dasar sementara 1950 mene.
rima sistim jang dibentangkan oleh T h o r b e c k e , jang menerima
fundamentum. petendi (pokok-sengketa) sebagai ukuran.
20 Logemann, Kranenburg, „perkara Yap” dalam „Hukum” ,
1953, 1, hal. 21.
385
Pada saat ini sedang disusun hukum atjara baru, jang lebih
m em enuhi keperluan kita dibidang peradilan sekarang.
386
bertugas m engabdi pada liukum pidana (m ateziil). Tjara m endja-
lankan tugas tersebut adalah ukuran apakah sesuatu hukum atjara
pidana baik atau tidak baik. Sesuatu hukum atjara pidana adalah
baik, apabila hukum atjara pidana itu m endjadi sebab maka hu
kum pidana (m ateriil) di d jalankan setjara b aik ). Karena hukum
atjara pidana bertugas mempertahankan dan mendjalankan pera
turan-peraturan hukum pidana materiil, maka dapat dikatakan bah
wa hukum atjara pidana itu hanja dapat memenuhi sjarat-sjarat
pada suatu hukum atjara pidana jang baik, apabila hukum pidana
m ateriil tersebut dipertahankan dan didjalankan sebaik-baiknja 23.
Penjelesaian perkara pidana itu dilakukan dengan melalui be
berapa tingkatan. Hal itu mulai dengan pemeriksaan permulaan
(vooron derzoek) 2 i. Dalam pemeriksaan ini dikumpulkan bahan-
bahan jang m ungkin dapat m endjadi bukti. Djum lah dan sifat
bahan-bahan ini menentukan apakah jang dituduh (jang disangka,
verdachte) akan dituntut atau tidak. Maka pemeriksaan permulaan
dapat diahiri dengan, penuntutan pidana 25. Pasal 83i R.I.B. menga
takan bahwa apabila menurut pendapat djaksa „perkara itu sudah
tjukup diperiksa dan masuk pemeriksaan pengadilan negeri, maka
segala surat-surat diserahkannja kepada ketua pengadilan negeri
jan g dianggapnja berhak 26, dan d.Vlam hal itu dituntut supaja per
387
kara itu diperiksa dipengadilan;' dalam tuntutan itu hendaklah
dengan sesaksama-saksamanja diterangkannja atau ditundjukkannja
perbuatan-perbuatan jang diminta supaja dituntut” . Dapat dikata
kan bahwa atjara pidana dimuka hakim — tingkatan kedua —
mulai dengan penuntutan supaja perkara diserahkan ke sidang
pengadilan (vordering tot verwijzing naar de terechtzitting) 27. Pen
dakwaan (tenlaslegging) termuat dalam surat tuntutan jang di
buat oleh ketua pengadilan (acte van verwijzing). Penjerahan per
kara kepada persidangan (sidang) dilakukan oleh ketua (pasal 246
ajat 1 R .I.B .).
388
A tjara dimuka hakim Cgerechtelijk onderzoek) diberi nama-
pem eriksaan terahir (eindonderzoek). Dalam pemeriksaan terahir
ini jang diluduli (disangka) mendjadi jang didakwa (terdakwa,
„beklaagde” ) . Atjara dimuka hakim ini diahiri dengan penghu
kum an (veroordeling) 2S jang dimuat dalam suatu keputusan ha
kim. Penghukum an ini berdasarkan apa jang diperiksa ddlam atjara
dim uka hakim. Hal pemeriksaan permulaan tidak boleh mendjadi
dasar keputusan hakim 29.
Tingkatan jang kedua ini disusul oleh pelaksanaan (ten uit-
voerlegging) keputusan haikm — jaitu dalam hal didjatuhkan hu-
kumiin atau diam bil tindakan (maatregel). Inilah tingkatan jang
ketiga. Jang dihukum (veroordeelde) dimasukkan kedalam pendja-
ra, kedalam kurungan, kedalam rumah tutupan atau harus mem-
bajar denda. Dalam hal didjatuhkan hukuman mati maka jang
dihukum ditem bak mati.
A pa jan g dikemukakan diatas ini adalah' atjara pidana dalam
arti kata luas. Atjara dimuka hakim — tingkatan kedua — atjara
pidana dalam arti kata sempit. Mengenai sifat atjara pidana di
Indonesia dapat dikatakan bahwa pemeriksaan permulaan bersifat
inkuisitur (inquisitoir), jaitu dalam pemeriksaan permulaan maka
jang dituduh tidak m empunjai hak sederadjat dengan hak dari
jang melakukan pemeriksaan permulaan itu. Jang dituduh adalah
o b je k pem eriksaan permulaan. Atjara di muka hakim — jaitu pe
meriksaan terahir — bersifat akusatur (accusatoir), jaitu dalam
pemeriksaan terahir kedudukan dari jang didakwa sama dengan
kedudukan Kedjaksaan. Sebelum hakim membuat keputusannja
maka oleh Kedjaksaan diadakan rekuisitur (requisitoir)-nja jang
memuat permintaan hukuman (strafeis) (atau pembebasan dari
tuntutan atau hukum an). Rekuisitur ini disusul oleh pembelaan
389
terdakwa. Pembelaan tersebut didjalankannja sendiri atau oleh
pem belanja. Djadi, terdakwa mem punjai „kata teraliir” („laatste
w oord” ) .
K edjaksaan tidak w a d jib m enuntut perkara. A p a b ila m enurut
pertim bangan K edjaksaan, kesukaran jan g a k a n (d itim bu lk an k are
na hal perkara itu diad ili akan m en d ja d i le b ih besar dari pada
guna (m anfaat) keputusan hakim , m aka K edjaksaan berh ak m e-
n jim p a n ( deponeren atau seponeren) perkara ja n g bersangkutan.
Penuntutan berdasarkan azas oportunitet ( opportuniteitsbegin-
s'el) 30. K edjaksaan tidak w a d jib m enuntut. D i bebei-apa negara
asing, m isalnja, di N egeri D jerm an , berlaku azas legalitet (legaliteits-
beginsel). K edjaksaan ivadjib m enuntut.
Dalam pemeriksaan permulaan, apabila perlu, jang dituduh
dapat ditahan sementara (penahanan sementara, „v oorlop ige” - atau
„p reven tieve hechtenis” ) . Penahanan semenatra ini harus didasarkan
atas undangTundang; pasal 12 undang-undang dasar sementara ta
hun 1950 dalnilu mengatakan bahwa „tiada seorang djuapun boleh
ditangkap atau ditahan, selain atas perintah untuk itu oleh kekua
saan jang sah menurut aturan-aturan undang-undang dalam hal-
hal dan menurut tjara jang diterangkan dalam nja” . R.I-B. m enje-
but sjarat-sjarat penahanan sementara: pasal-pasal 62 ajat 2, 75, 83c.
Perkara pidana jang diadili oleh Pengadilan Negeri adalah
tiga matjam :
a. perkara rol (rol-zaken)
b. perkara sumir
c. perkara jang dikem ukakan dengan surat tuntutan.
390
>
Perkara sumir 32 ialah perkara kedjahatan jang bersaliadja ten
tang m em beri bukti dan mendjalankan peraturan, dan djaksa tidak
dapat m enuntut hukuman pendjaravlebih dari pada satu tahun. Per
kara sumir diadili dengan tidak terlebih dahulu diadakan surat
tuntutan terhadap jang disangka (kemudian jang didakwa). Lihat
lah pasal pasal 83f, 334-337 R.I.B.
Perkara jang disebut pada sub c adalah perkara jang dibawa
ke m uka hakim berdasarkan suatu penuntutan supaja perkara di
serahkan ke sidang pengadilaln. Lihatlah apa jang- dibitjarakan di
alas tadi.
391
b. mendjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana.
(2) mengadjukan penjidikan landjutan terhadap kedjahatan dan
pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-
alat penjidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-
undang Hukum Atjara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.
(3) mengawasi aliran-aliran kepertjajaan jang dapat membaha-
jakan masjarakat dan Negara.
(4) melaksanakan tugas-tugas chusus lain jang diberikan kepada-
nja oleh suatu peraturan Negara” .
35 Hal. 157.
392
Negara itu dan Kedjaksaan, maka perlu ditegaskan bahwa penun
tutan perkara diserahkan semata-mata kepada Kedjaksaan, dengan
pengertian bahwa dalam hal-hal tertentu, menurut dan seperti jang
ditetapkan dalam hukum atjara pidana dan peraturan-peraturan
perundang-undangan jang lain, Polisi Negara berwenang mengadju-
kan suatu perkara pidana langsung kepada pengadilan. Berhubung
dengan hal bahwa Kedjaksaan berwenang melakukan penjidikan
landjutan, maka perlu adanja ketentuan-ketentuan jang mengatur
kerdja-Bama antara Kedjaksaan- dan Kepolisian Negara dalam pe
njidik an landjutan. Ketentuan-ketentuan jang dimaksud itu diatur
tersendiri antara instansi-instansi jang bersangkutan.
Selandjutnja, berhubung dengan penjidikan perkara, perlu di-
tjatat bahwa dalam praktek Kepolisian (menurut hukum jang tak
tertulis) fihak K epolisian Negara berdasarkan kepentingan umum
dapat m enjam pingkan suatu perkara jang serba ringan, sehingga
perkara itu tidak sampai pada tingkat penuntutan oleh djaksa.
Praktek jang dimaksud itu dapat berlangsung terus.
B erhubung dengan penuntutan perkara jang mendiadi tugas
semata-mata dari Kedjaksaan ditambah wewenang Djaksa Agung
untuk m enjam pingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan
um um — azas onortunitet (lihatlah diatas tadi) — perlu ditjatat
bahwa m engenai penjam pingan perkara berlaku dan tetap berlaku
prosedur, bahwa Kenolisian Negara diadjak berunding sebelum di
am bil tindakan penjam pingan oleh Djaksa Agung, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kedjaksaan36.
' Djaksa A gung sebagai „Penuntut Umum Tertinggi ’ adalah Pe
nuntut U m um pada Mahkamah Agung. Dalam mendjalankan tugas-
hja itu Djaksa Agung dibantu oleh „beberapa orang Djaksa Agung
" 393
Muda” (pasal 5 ajat 2 sub b Undang-undang P okok K edjaksaan;
lihatlah djuga pasal 2 ajat 3 U.U.M .A.). Pada Pengadilan Negeri
Djaksa Agung diwakili — „diw akili” karena Kedjaksaan m erupa
kan suatu badan kesatuan — oleh seorang djaksa (K epala K ed ja k
saan). Djaksa (Kepala Kedjaksaan) ini adalah Penuntut Umum
pada Pengadilan Negeri (pasal 6 ajat 2 Undang-undang P okok
Kedjaksaan : „D i samping tiap-tiap Pengadilan Negeri ada satu K e
djaksaan Negeri dengan daerah hukum jang susunannja diatur de
ngan undang-undang” ; liahtlah pasal 46 R .I.B .). Pasal 6 ajat 1 m e
nentukan bahwa „Disam ping tiap-tiap Pengadilan Tinggi ada satu
Kedjaksaan Tinggi dengan daerah hukum jang sama, jang susunan
nja diatur dengan Undang-undang” . Undang-undang jang'dim aksud
dalam pasal 6 ajat 1 Undang-undang P okok Kedjaksaan ini adalah
Undang-undang tentang Pembentukan Kedjaksaan Tinggi, L.N. 1961
i Nr 255. Pasal-pasal 5-8 undang-undang jang tersebut terahir ini
menentukan wewenang dan kewadjiban Djaksa Tinggi dan Djaksa
Tinggi Pengganti. Pasal 7 menentukan bahwa „D jaksa T inggi/D jaksa
Tinggi Pengganti menjam paikan laporannja dan m engadjukan tun
tutan kepada Pengadilan Tinggi mengenai perkara perlawanan (re-
quisitoir verzet) terhadap penetapan Pengadilan Negeri jang di-
adjukan oleh. Djaksa .
Dalam atjara pidana Kedjakasan disebut magistratur jang b er
diri (staande magistratuur) jang bertugas menuntut, meminta dan
kem udian menjelenggarakan hukuman atau tindakan, sedangkan
para hakim disebut magistratur jang duduk (zittende magistratuur)
jang bertugas mengadili.
A tjara pidana dapat dipengaruhi oleh aliran-aliran politik dan
pendapat um um (publieke opinie) jang ada dalam m asjarakat. D i -
atas telah dikatakan bahwa K edjaksaan m endjalankan azas oportu-
nitet apabila, menurut pertimbangannja, kesusahan jang ditim bulkan
oleh karena hal perkara itu diadili akan mendjadi lebih besar dari
pada m a n fa a t keputusan hakim. Kadang-kadang dalam m enentukan
k e p u tu s a n n ja m aka hakim p u la dipengaruhi oleh pendapat um um !
D ari B ab IV , par. 4 kam i telah mengetahui bahwa perasaan-hukum
hakim adalah faktor penting dalam menentukan mana jang m eru
pakan hukum mana jang tidak. Pendapat umum tidak djarang m en
djadi suatu determinant materiil pembentukan hukum.
394
Par. 5: Azas-azas atjara privat (beginselen
van het burgerlijk p r o c e s ) 37. v
395
Sebagai perbedaan jang kedua dapat dikemukakan bahwa da
lam atjara privat semua pemeriksaan dilakukan dalam persidangan
(atjara dimuka hakim ). Atjara privat tidak mengenal pengusutan
(opsporing) dan penjelidikan permulaan (v ooron d erzoek ).
D i Negeri Belanda dan di Indonesia pada waktu sebelum P e
tang Dunia II dalam atjara dimuka Raad van Justitie (pengadilan
untuk golongan hukum Eropah dan jang disamakan dengan orang
Eropah), dapat disebut satu perbedaan'lagi. Dalam atjara pidana
hakim bertindak memimpin (leidend) sedangkan dalam atjara p ri
vat hakim menunggu sadja (lijdelijk ). Tetapi di Indonesia sekarang,
dan dahulu telah pada Landraad (pengadilan untuk golongan hukum
Indonesia asli dan jang dipersamakan dengan orang Indonesia asli),
perbedaan ini antara kedua atjara peradilan tersebut, tidak ada.
Oleh karena pengaruh hukum adat, jang mengenal atjara rukun
(rukun nrocedure) jang memaksa hakim bertindak m em im pin,
maka ketua Landraad djam an dahulu, djuga dalam atjara privat,
bertindak memimpin. Ketua Landraad berwenang m em beri nasehat
dan pertulungan kepada penggugat atau kepada w akilnja tentang
hal memasukkan surat gugatannja (pasal 119 „Inlands Reglem ent” ).
Kekuasaan ini diberi djuga kepada Ketua Pengadilan N egeri —
pasal 119 R.I.B. dan 143 Rb. Pasal 132 „Inlands Reglem ent” m e
ngatakan bahwa Ketua Landraad pada waktu memeriksa perkara
m em beri ¡ p e n e r a n g a n kepada kedua belah fihak dan akan menun-
djukkan hukum dan keterangan jang dapat mereka pergunakan
apabila ia menganggap perlu, supaja perkara berdjalan baik dan
teratur. Kekuasaan inipun diberi djuga kepada Ketua Pengadilan
Negeri — pasal 132 R .I.B . dan 156 Rb.
Atjara privat dimuka Pengadilan Negeri diatur dalam pasal-
pasal 118-245 R.I.B.. Pasal 118 ajat 1 R.I.B. mengatakan bahwa
suatu atjara perdata dimulai dimuka hakim dengan dimasukkan
surat permintaan, jang ditandatangani oleh jang menggugat atau
oleh w a k i l n j a menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negesri.
Atjara privat dimuka Pengadilan Negeri tidak mengenal „v e rp lid ite
procureurstelling” (atjara privat dimuka Raad van Justitie dahulu
mengenal „verplichte procureurstelling” itu) 39.
396
k e n ), m aka kedua belah fihak jang bersetudju tentang hal itu, dapat
m em baw a perkara tersebut langsung ( = tidak dengan melalui Pe
ngadilan N egeri) ke muka Pengadilan Tinggi. Prorogasi itu hanja
dilakukan m engenai perkara privat. Lihatlah pasal-pasal 128 ajat 2
R .O . dan 85 R b 40.
397
ngangkatan wali adalah perbuatan pemerintahan dalam arti kata
sempit (daad van bestuur) dan bukan perbuatan pengadilan. Sudah
tentu jurisdiksi volunter tersebut pada hakim tidak sesuai dengan
adjaran „trias polica” . Jurisdiksi volunter menghasilkan suatu ke-"
tetapan (beschikking) sedangkan jurisdiksi kontensius m enghasil
kan suatu keputusan (ponis, vonuis) 42.
399
„ jang
peraturan iane mengenai
s> perburuhan masih merupakan
i
bagian
& dari
hukum privat, bagian lamnja masih merupakan bagian dari hukum
administrasi negara. Pada djaman ekonomi liberal memuntjak (ba-
oian pertama abad ke-19) hubungan kerdja antara buruh dengan
madjikannja semata-mata diatur dengan perdjandjian bebas (vrije
o v e r e e n k o m s t) menurut hukum privat. Kedua belah fihak menen
tukan isi perdjandjian kerdja dengan tidak perlu memperhati
kan pembatasan-pembatasan perundang-undangan (wettelijke begren-
zingen) jang melindungi kepentingari buruh atau kepentingan ma-
djifcan Pem batasan-pem batasan itu pada waktu tersebut tidak ada.
Karena pada umumnja kedudukan ekonomis dari madjikan lebih
kuat dari nada kedudukan ekonomis dari buruh, maka perdjandjian
kerdja dapat melahirkan suatu pendjadjahan ekonomis dan sosial
terhadap kaum buruh dan hal itu biasanja terdjadi pada waktu eko
nomi liberal masih memuntjak.
Pada bagian kedua abad ke-19, aliran-aliran sosialis di Ero-
pah Barat menimbulkan apa jang terkenal dengan nama soal sosial
(sociale kwestie). Kedudukan ekonomis dan sosial kaum buruh jang
telah mendjadi buruk karena perbudakan ekonomis jang dilakukan
oleh madjikannja — sebagai akibat revolusi perindustrian jang
diadakan pada bagian pertama abad ke-19 — , tidak boleh diterus
kan, karena itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan keadilan
sosial. Bahkan, menurut adjaran K a r l M a r x dan F r i e d r i c h
Engels maka historis perbudakan tersebiit tidak dapat diterus
kan.
Nasib kaum buruh tidak dapat (ekonomis) dan tidak boleh
(etis) tetap bergantung pada kehendak madjikannja. Kaum buruh
jang berorganisasi dalam partai-partai politik (partai-partai buruh)
dan serikat-serikat sekerdja memperdjuangkan hak-liak dan kebe
basan-kebebasan jang sedikit-dikitnja sederadjat dengan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan madjikannja. Hal ini berarti bahwa wewenang
'm adjikannja dikurangi (dibatasi) sedangkan kewadjibannja diper
luas, bahkan, di negara-negara komunis tidak ada lagi madjikan. -
Disitu (menurut adjaran) buruh sendiri mendjadi madjikannja.
400
i
Soal sosial itu memaksa pemerintah negara memperhatikan hu
bungan k erdja antara buruh dan madjikannja. Di mana perlu, maka
wewenang m adjikan dibatasinja dan perselisihan jang ditimbulkan
antara kaum buruh dengan m adjikannja diselesaikannja. Djadi, la
pangan administrasi negara diperluasf Makin kuat pengaruh kaum
proletariat dalam dewan perwakilan rakjat makin kuat kedudukan
kaum buruh dalam perdjuangan sosialnja jang dilakukannja terha
dap m adjikannja. M akin kuat kedudukan ekonomis dan sosial kaum
buruh m akin menambali peraturan-peraturan ad m in istrasi negara
.m engenai perburuhan.
Dapat dikatakan bahwa d i'd u n ia Barat dan di bagian dunia
T im ur jan g telah dimerdekakan dari imperialisme Barat (penger
tian ek on om is), pada waktu sekarang di lapangan politik kedudukan
kaum buruh agak sederadjat dan seimbang dengan kedudukan kaum
m adjikan. Bahkan, di sana-sini kedudukan kaum buruh melebihi
kedudukan kaum madjikan. Madjikan sekarang berkewadjiban
m em beri d jam inan untuk kesehatan buruh, untuk hari tuanja (ou-
derdom svoorziening), kalau buruh djatuh sakit dan hal itu tidak
karena kesalahannja maka madjikan berkewadjiban membajar upali-
nja selama buruh sakit. Semua hal ini dilakukan dibawah pimpinan
dan pengawasan administrasi negara, .
Karena lapangan hukum perburuhan sekarang telah mendjadi
sangat luas — makin luas perdjuangan ekonomis dan sosial kaum
buruh m akin luas lapangan hukum perburuhan — , maka hukum
perburuhan itu m endjadi objek suatu peladjaran jang berdin ter
sendiri ( zelfstandige studie). Segi liukum dari lapangan perburuhan
m en d jadi o b je k suatu ilmu hukum iang berdiri sendiri.
A cliirn ja : perkembangan hukum perburuhan mempengaruhi
djuga perkem bangan hukum privat modern, jaitu mengakibatkan
penjosialan (versocialisering) hukum privat (lihatlah Bab V ).
V P a r. 2: Hukum perburuhan di I n d o n e s i a 2.
401
Sampai hari ini di Indonesia belum ada undang-undang umum
perburuhan jang semestinja. Tetapi pada saat ini, sesuai dengan
usaha ditegakkannja Sosialisme Indonesia jang akan memperkuat
kedudukan sosial kaum buruh dan memberi djaminan sosial lebih
besar bagi kaum buruh, undang-undang jang sangat diperlukan itu
sedang dibuat. Pada djaman Hindia-Belanda waktu berlakunja eko
nomi liberal, peraturan-peraturan perundang-undangan mengenai
perburuhan masih sedikit.
Antara peraturan-peraturan mengenai perburuhan jang dibuat
oleh pemerintah Hindia-Belanda jang dapat disebut sebagai pera-
turan-pçraturan terpenting ialah :
Pasal-pasal T601-1603 redaksi lama K.U.H Perdata (didjadikan
berlaku bagi golongan hukum bukan-Eropa menurut L.N.H.B. 1879
Nr 256) serta pasal-pasal 1601-1603 redaksi baru K.U.H. Perdata
(jang hanja berlaku bagi golongan hukum Eropah dan jang memuat
kepastian hukum lebih besar (karena lebih m o d e m )). Berdasarkan
azas konkordansi — jakni dikonkordansi dengan pasal-pasal 1637-
1639 redaksi baru kitab undang-undang hukum perdata Belanda —
maka kétentuan-ketentuan jang baru ini dimasukkan kedalam K.U.
H. Perdata Indonesia nada tahun 1927 (L.N.H.B. 1926 Nr 335 jis
458, Nr 565 dan L.N.H.B. 1927 Nr 108). Pasal-pasal baru Belanda
tersebut berasal dari „W et or» de Arbeidsovereenkomst” dari tahun
1907. „W et op de Arbeidsovereenkomst” itu buatan P rof. M r H.L.
D r u c k e r, seorang mahaguru Universitas Leiden, jang selama hi-
dupnja memperdjuangkan hak-hak pekerdja. Lihatlah pasal 1603x
K.U.H. Perdata mengenai hal diadakan perdjandjian kerdja antara
dua fihak jang satunja tunduk pada hukum Eropah dan jang lain-
Lihatlah kom entar tentang pasal-pasal 1601-1603 redaksi baru itu pada
buku M r A.G. V r e e d e „D e Indische regeling van de arbeidsoverseen-
kom st , 2 djilid, 1927 dan 1933. Penting djuga karangan Prof. Mr
R .D . K o 11 e w i j n „H et op de arbeidsovercenkomsten toe te passen
reclit” dalam T . 139, hal. 19, dan „E en voorstel tot verbetering van de
arbeidsovereenkom st der niet-Eropeaan” dalam T. 139, hal. 189; Mr
C. S t a r N a u t a C a r s t e n „V erlofsrecht en arbeidscontract” da
lam T . 141, hal. 2 9 7 ; Mr P. T h . J. v a n T e t e r i n g „D e gewij-
zigde regeling van het ontslagrecht” dalam T. 151, hal. 460 djb., dan
„D e arbeidsovereenkomst met werknemers, behorende tot de bevol-
k ingsgroep der Inlandcrs en Vreemde Oosterlingen” dalam T., 154, hal.
4 39 d jb .; Mr T a n S i o n g K o e n „D jam inan untuk buruh pada
pem utusan hubungan kerdja” dalam „M adjalah Hukum dan Masja-
rakat” , Djanuari 1957, hal. 2 7-31 ; H. S o e j a n a t a m i h a r d j a
„Segi-segi perdjandjian kerdja dalamXpraktek” , 1959.
4 Sebeluntf „Aanvullende Plantersregeling” tersebut dibuat, di Indonesia
berlaku suatu peraturan dari tabun 1922 jang bernama „Assistenten-
regeling” . Tentang peraturan ini batjalah a.l.. „Commentaar op de
assistentenregeling en de op de assislenten-contracJen toepasselijke
arikelen van de algenieene regeling van het arbeidscontract” , diterbit
kan oleh A. V.R.O.S..; Mr K.J. B o e y i n g a „Arbeidswetgeving in
Nederlandsch Indie” , disertasi Leiden 1926; A.D. A., d e K a t A n g e -
1i n o „Staatkundig beleid en bestuurszorg in Nederlandsch IndiiT’ ,
II, 1 9 3 0 ; „Jurisprudentieverzameling over de z.g. Assistentenregeling
S.’ 1921-334” , dihimpunkan oleh Nona Mr E.H. A n d r i e s e n da
lam T. 138, hal. 778 d jb -; Mr G.H.C. H a r t - G.A. L a m s f e 1 1 „H et
' K on inklijk Besluit tot wettelijke regeling van het arbeidscontract in
Nederlandsch-Indie” , 1935.
Pem batjaan mengenai ,,Aanvullende Plantersregeling” tersebut, a.l. tuli
san Mr G.H.C. H a r t - G.A. L a n i s f e f t tersebut; Mr W J . H a i s m a
R a h d e r „Com m entaar op de Aanvullende Plantersregeling en de
algenieene regeling van liet arbeidscontract, voor zoover toepasselijk
op de arbeidsverlioudingen door de Aanvullende Plantersregeling be-
lieerscht” , 1938 dibitjarakan oleh Mr A.P. F u n k e dalam T. 148,
hal. 9 1 ) ; karangan „D e Aanvullende Plantersregeling” dalam T. 148,
hal. 9 2 1 -9 2 6 ; Mr' F.H„ M a r i j n dan Mr P. Tli. J. v a n T e t e
r i n g „D e Aanvullende Plantersregeling” , 1935; v a n T e t e r i n g
, „D e Aanvullende Plantersregeling” dan dalam T. 148, hal 5 75-589; ka
rangan „D e R egeling der vrije dagen van den arbeider in het Bur-
gelijk W etboek en de Aanvullende Plantersregeling” dalam T. 148,
hal. 6 8 7 -7 0 4 ; karangan „D e terugzendingregeling arbeiders 1939”
dalam T . 151, hal. 300 djb. \
403
„Arbeidsregeling Nijverheidsbedrijven” , L.N.H.B. 1941 Nr 647 jo
L.N.H.B. 1948 Nr 163 (dibuat sebelum Perang Dunia II tetapi baru
berlaku setelahnja).
Pada waktu sebelum Perang Dunia II, di daerah-daerah luar
pulau Djawa dan Madura ada buruh perkebunan jang bekerdja
dibawah suatu sistim jang terkenal dengan nama „arbeid onder
werkovereenkomsten met poenale sanctie” (pekerdjaan berdasarkan
perdjandjian kerdja dengan sanksi punai), lihatlah „K oeli-ordonnan-
tie” , L.N.H.B. 1931 Nr 94 jo L.N.H.B. 1936 Nr 545. „K oeli-ordonnan-
tie” itu telah dari tahun 1868, L.N.H.B. 1868 Nr 8 5. Oleh karena
paksaan ekonomis dari luar — terutama dari fihak Amerika Serikat
— maka pemerintah Hindia-Belanda menghapuskan sistim tersebut
pada tahun 1941 dan tahun 1942 (lihatlah L.N.H.B. 1941 Nr 514) 6 7.
Republik Indonesia tahun 1945 merasa perlu mengeluarkan sua
tu undang-undang perburuhan. Dibuatnja Undang-undang R.I. tahun
1948 Nr 12 („Undang-undang K erdja tahun 1948” ). Berdasarkan
Undang-undang tahun 1951 Nr 1 (L.N. 1951 Nr 2) maka beberapa
bagian Undang-undang R.I. 1948 Nr 12 didjadikan berlaku di se
luruh wilajah Negara Kesatuan jang didirikan pada tahun 1950.
Dapat dikatakan bahwa peraturan ini, jang belum meliputi lapangan
perburuhan dalam segala aspeknja, berlaku untuk sementara waktu
sadja, jaitu selama belum dibuat undang-undang perburuhan jang»
lebih sempurna. Pemerintah pada waktu sekarang sedang membuat
suatu undang-undang perburuhan jang lengkap (lihatlah diatas).
Oleh Republik Indonesia tahun 1945 dibuat djuga suatu undang-
undang ketjelakaan, jaitu Undang-undang R.I. tahun 1947 N r 33
mengenai pembajaran ganti kerugian kepada buruh jang mendapat
ketjelakaan berhubimg dengan kerdja, jang terkenal dibawah nama
„Undang-undang Ketjelakaan tahun 1947” . Lihatlah L.N. 1951 N r 3
(Undang-undang tahun 1951 Nr 2), jang menjatakan berlakunja
„Undang-undang Ketjelakaan tahun 1947” itu. Berlaku djuga (lihat
lah L.N. 1951 Nr 4 — Undang-undang tahun 1951 Nr 3) „Undan
undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948” (N r 23).
404
S edjak pem u lihan kedaulatan kepada negara kita s, maka sering
diadakan pem ogok an jang bermaksud memaksa kaum madjikan (te
rutam a bangsa asing) m em pertinggi d jaminan sosial bagi buruh. Hak
m og ok diaku i dalam pasal 21 undang-undang dasar sementara tahun
1950 dahulu. Karena sering terdjadi pem ogokan jang tidak beralasan
tepat, m aka pem erintah merasa perlu membuat suatu peraturan jang
m enjelesaikan perselisihan antara buruh dengan madjikan se
tjara dam ai dan semestinja. Peraturan ini Undang-undang Darurat
tentang penjelesaian Perselisihan Perburuhan tahun 1951 Nr 16,
L.N. 1951 N r 88 9.
K em udian ternjata bahwa Undang-undang tahun 1951 Nr 16
tidak tju k u p m em bela dan memperhatikan kepentingan kaum 'bu
ruh. Oleli fihak kaum buruh dikemukakan bahwa peraturan itu
bertentangan dengan hak m ogok buruh jang telah diterima sebagai
stiatu hak konstftusionil. Selandjutnja, Pemerintah dipaksa menin-
djau kem bali Undang-undang Darurat tahun 1951 Nr 16 tersebut.
Pada tahun 1957 Pem erintah mengganti Undang-undang Darurat ta
hun 1951 N r 16 oleh Undang-undang tahun 1957 Nr 22, L.N. 1957
N r 42, jan g m en djadi suatu peraturan jang djuga disetudjui oleh
Dewan Perw akilan Rakjat (maka dari itu suatu undang-undang bia
sa). M em ori Pendjelasan dalam Tambahan L.N. Nr 1227 10.
M enurut pasal 1, maka buruh ialah barangsiapa jang bekerdja
pada m adjikan dengan menerima upah; madjikan ialah orang atau
badan hukum jang mempekerdjalcan buruh: perselisihan perbu
ruhan ialah pertentangan antara m adjikan atau perkumpulan ma
djik an dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh dengan
tidak adanja persesuaian paham mengenai hubungan kerdja d an /
atau keadalan perburuhan■ Cliusus kata-kata „keadaan perburuhan
m engandung suatu pengertian jang sangat luas !
405
Di daerah akan didirikan suatu Panitia Penjelesaian Perse
lisihan Perburuhan Daerah (disingkatkan : Panitia Daerah, dalam
pergaulan sehari-hari terkenal dengan nama : P4D) jang bertugas
memberi perantaraan dalam menjelesaikan perselisihan-perselisihan
perburuhan jang ditimbulkan di daerah. Djika perselisihan perbu
ruhan tidak dapat diselesaikan di daerah maka perselisihan tersebut
akan diserahkan kepada Panitia Penjelesaian Perselisihan P erbu
ruhan Pusat (disingkat : Panitia Pusat, dalam pergaulan sehari-
hari terkenal dengan nama : P 4P ). Lihatlah pasal-pasal 5 djb. (m e
ngenai Panitia Daerah) dan 12 djb. (mengenai Panitia Pusat) H .
Perlu djuga disinggung Unadng-undang tentang kewadjiban m e
laporkan perusahaan dari tahun 1953 Nr 23, L.N. 1953 Nr 70 (jang
mengganti „Regeling meldmgsplicht bedrijven” , L.N.H.B. 1949 N r
4 « > . dan r „g P ^ n ^ — ~
serikat buruh dan madjikan d a n tanun
Nr 69. ,
Boleh dikatakan bahwa pada wak.a .ekarang peraturan-pera
turan perburuhan (jang telah ada) «n g a , djauh dar. pada m eluas
kan. Hal ini tidak perlu mengherankan dj.ka ,n g „ akan a d .n ,,
, » A* waktu sekarang jang belum sanggup mem-
suatu „ruling cla» p .i * ^ Kh> ma6iil meng.
buat r cra.Ura,.-I.eraiuran J j Permulaan iu\ toWv dan
hadapi permulaan suatu revolusi
jak kepvmjaan Belanda pada tang
gal 3 Desember 1957, letflpi Ijarang jang diambilalilikan itu masih
belum dalam tangan buruh. Tetapi di samping itu, bagian terbesar
peraturan-peraturan perburuhan dari djaman kolonial sekarang ti
dak lagi berlaku. Inilah suatu langkah lagi keperbaikan situasi
bagi kaum buruh.
406
1
Par. 3. International Labour O r g a n i s a t i *.ka
(I. L. 0 .)
Soal sosial dan soal perburuhan telah m endjadi suatu soal du- '
nia ! P erkem bangan ini tidak dapat dielakkan lagi. Pada K onpe-
rensi P erdam aian di kota Paris pada tahun 1919 diadakan suatu
International L abour Organization. Indonesia m endjadi Anggauta
I .L .0 .1 2 .
•HUKUM INTERNATIONAL!
408
kuin alam itu — sebetulnja, azas-azas hukum (¡privat) Romawi, ka
rena hukum alam itu disamakan dengan azas-azas hukum Romawi
— mendjacli dasar perkembangan hukum internasional, dapatlah
dilihat dari kedjadian àdanja banjak lembaga hukum privat dalam
lapangan hukum internasional. Misalnja, servitut internasional (vol-
kenreclitelijke erfdienstbaarheden), „erfpacht” internasional'
Ilm u hukum internasional mempeladjari dan menindjau dari
sudut hukum, segala kedjadian dalam sedjarah politik dan hubungan
internasional, supaja dapat mengetahui bagaimana perkembangan
hukum internasional dari djaman dahulu sampai hari ini, dan se
gala kedjadian politik dan hubungan internasional pada djaman
sekarang. Perlu dikemukakan bahwa sampai hari ini oleh ilmu hu
kum internasional pada umumnja hanja diperhatikan perkembangan
hukum internasional di dunia Barat, jaitu di Eropah Barat dan,
m ulai permulaan abad ke-20 ini, di kontinen Am erika4. Bahkan,
lebih terbatas lagi, pada umumnja dalam kalangan perguruan tinggi
dan dalam kalangan ahli-ahli hukum internasional sampai sekarang
peladjaran hukum internasional masih sangat dititik-beratkan pada
dipeladjarinja hukum internasional Eropah Barat (W est-Europees
volkenrecht), jaitu hukum internasional jang dilahirkan dan diper
kembangkan didalam lingkungan hukum Eropah Barat (binnen de
West-Europese rechtskring). Hukum internasional jang diperkem
bangkan dan jang telah ada diluar lingkungan liukum Eropah Barat
(b u iten de West-Europese rechtskring) belum mendapat perhatian
tjukup perguruan tinggi dan ahli-ahli hukum internasional pada
um um nja, terketjuali dalam kalangan perguruan tinggi dan ahli-ahli
hukum internasional di kontinen Amerika, dimana dengan sendirinja
ada perhatian besar pula untuk perkembangan hukum internasional
A m erika, dan di Uni Sovjet dan negara-negara didalam wilajah
409
pengaruhnja, diinana perhatian dititik-beratkan pada hukum in
ternasional Mtirxis. Djuga di Asia dan di Afrika, dimana pengaruh
hukum Eropali Barat, sebagai warisan kolonial, masih besar, baik
pengadjaran dan peladjaran maupun praktek hukum internasional
masih dititik-beratkan pada dogma-dogma dan praktek liukum in
ternasional Eropah Barat 5.
Tetapi hal itu telah mulai berubah, karena bangsa-bangsa Asia
dan Afrika makin lama makin keras berusaha mengetemukan ke
pribadian sendiri, djtiga dalam hubungan internasional mereka. A hli
hukum internasional jang telah memperhatikan hukum internasio
nal dari luar lingkungan hukum Eroplah (Barat) (buitcn-W est-
Europees volkenrecht) djumlahnja makin bertambah. Mengenai
hukum internasional dalam lingkungan hukum Indonesia (lin g
kungan Nusantara kita), jang m endjadi pelopor m em peladjarinja
ialah Prof, v a n A s b e c k dan muridnja, jaitu Prof. R e s i n k. f
Studi jang paling recent adalah tesis kami 6.
- Peladjaran hukum internasional dari luar lingkungan hukum
Eropah' adalah sangat penting, karena peladjaran itu memungkinkan
kita mengetemukan azas-azas (beginselen) tertentu dalam hukum
internasional dari luar lingkungan hukum Eropah itu, jang dapat
didjadikan bahan-bahan mei^ibangun (bouwstenen) bagi suatu per
kembangan hukum internasional sekarang ke arah dilahirkannja
suatu hukum internasional umum ( universil) di kemudian hari. Di-
bangunnja suatu hukum internasional jang universil, suatu „com -
mon law of mankind” 7, hanja dapat diadakan dengan memakai
410
pula bahan-bahan jang tersedia dalam hukum internasional di Asia
dan A frika. D i samping itu peranan Asia dan Afrika dalam usaha
untuk m entjapai suatu perdamaian dunia — hanja suatu hukum
internasional jang memperhatikan sistim dan pendapat hukum di
seluruh bagian dunia, jang m endjadi suatu hukum internasional
jang universil, dapat m endjadi dasar hukum kuat perdamaian dunia
itu — telah ternjata sangat besar ! Kita ingat sadja akan Konverensi
A sia-A frika jang diadakan di kota Bandung pada bulan April
1955 s.
A liirn ja, ditindjau dari sudut sosiologi dan politik, tidak salah
d jik a kam i katakan bahwa dalam sebagian hukum internasional
adalah aspek (aspect) jang menjatakan (memperlihatkan) bahwa
sebagian hukum internasional itu hukum dari sesuatu „ruling class”
internasional. Terutama pada Djaman Pertengahan aspek tersebut
sungguh-sungguh terang ternjata. Bukankah, pada Djaman Perte
ngahan hubungan antara negara-negara — lebih tepat : hubungan
i antara radia-radja — dikuasai oleh kaum Geredja Katolik Roma ?
Bukankah, suatu faktor penting — mungkin faktor terpenting' —
jan g m em buat hukum internasional itu „pow er poli t ies among
N ations” ? „P ow er polilics among Nalions” itu dikuasai oleh suatu
„ru lin g class” internasional, jakni „ruling class” di masing-masing
negara jang membuat „powrer polilics among Nations” itu
8 Mr M u h a m m a d Y a m i n \„Kebudajaan Asia-Afrika’ ’, 1 95 5; G.
M c T . K a li i n „T h e Asian-African Confercnce B a n d u n g , . Indonesia,
April 1955” . 1 95 6; E. Z l i u k p v „T h e Bandung Confercnce o f
Africnn and Asian Couiitries and lis Historie Significance’ ^dalnm „In -
ternalional A ffairs” , 1955, 5, hal. 18-32; Dr H. l i o e s l a n Ab
d u l g a n i „T h e Bandung Spiril” , 1964.
9 Mengenai „p ow er polilics among Nalions” batialah a-l. George
S c h w a r z e n b e r g e r „P ow er Polilics, a Study o f Inlernational
Sociely” , 1 9 5 1 ; F r c d e r i c k L. S c h u m a n „International Pol-
ities” . 1 9 5 8 ; F.H. H a r t m a n n „Readings in International Rela-
tions” , 1952, dan H a n s J.. M o r g e n t h a u „P olilics among Na
lions” , 1 9 6 1 ; P rof. Dr C.N. F i I i p o v i t c h (bahasa Indonesia oleh
S’ j a u k a t . D j a j a d i n i n g r a t ) „Sed jarah hubungan internasio
nal” , 1955. )
411
in i J.L. B r i e r 1 y pernah mengatakan bahwa „this is a text o f the
highest authority, and we m ay fairly assume that it expresses the
duty o f any tribunal w hich is called upon administer law ” 10.
Sebagai sumber form il dari hukum internasional dapat kam i
anggap =
412
I
413
waban : karena masih ada kedaulatan negara-negara (souvereini-
teit der staten), jang oleh negara-negara itu dipakai sebagai suatu
sendjata unluk m em bela kepentingannja sendiri tiap-tiap kali dirasa
kepentingan itu terantjam ! Berabad-abad lamanja, ja n g 'm e n e n tu
kan sifat tatatertib hukum internasional itu anggapan-anggapan ten
tang „kedaulatan” („souvereiniteit” ) 13 14.
Pada D jam an Pertengahan dalam pergaulan antara bangsa-
bangsa di dunia Barat terdapat suatu kekuasaan pusat, jaitu kekua
saan G eredja K atolik Rom a dibawah pim pinan Paus (Bapak: S utji)
V a n A s b e c k mengemukakan bahwa pergaulan antara bangsa-
bangsa di dunia Barat pada Djam an Pertengahan itu dilakukan da
lam rangka suatu federasi kegeredjaan 15.
Kekuasaan Geredja Katolik Rom a itu kuat, karena berdasarkan
feodalisme. Pada ahir Djam an Pertengahan feodalism e itu telah
m endjadi lapuk (in verval geraakt) dan sebagai reaksi terhadap
feodalism e jang telah m endjadi lapuk itu dan jang telah m em bawa
masjarakat dalam keadaan peperangan antara golongan-golongan
jang berkepentingan, timbul keinginan mengadakan suatu kekua
saan pusat jang kuat supaja tatatertib hukum masjarakat tetap ter
pelihara. A hir Djaman Pertengahan m endjadi waktu peralihan jang
mengenal ^^persiapan-persiapan” kelahiran negara m odern (de m o
derne staat), jang sebagai sifat chususnja, dilengkapi dengan suatu
kekuasaan pusat jang kuat. Sedjak Perdamaian W estphalia tahun
1648, jang umum disebut saat lahirnj^ negara m odern itu, maka n e
gara berkembang m endjadi suatu kesatuan politik jang m cm puuj aj
kekuasaan pusat jang absolut (absoluut centraal gezag) ! Negara
m odern itu, jang dilengkapi dengan suatu kekuasaan pusat jan<r
absolut, dengaA sendirinja tidak lagi mau tunduk pada kekuasaan
Geredja Katolik Roma. Apalagi di dunia Barat pada ahir 'Djaman
Pertengahan — karena Renaissance — ada aliran-aliran jang tidak
didasarkan atas agama ini. Maka pergaulan internasional bukan la
gi suatu federasi kegeredjaan, tetapi suatu pergaulan antara kesa-
tuan-politik-kesatuan-politik jang tidak mau mengakui suatu ke-
414
kuasaan jnng le b ih tinggi dari pada kekuasaannja sendiri. Dengan
kata lain : pergaulan internasional m endjadi suatu pergaulan
antara negara-negara jan g berdaulat p en u h , jaitu suatu pergaulan
ja n g terdiri atas negara-negara jan g berpendapat m em punjai k e
daulatan absolut (kedaulatan sepenuhnja, volledige souvereiniteit)^
K einginan akan m engadakan siiftfu kekuasaan pusat jang kuat
dan utuh in i diperkuat d juga oleh akibat buruk dari banjak pepe
rangan agama jan g diadakan di E ropali Barat antara mereka jang
hen da k m erebut kem bali kekuasaan dan kekuatan Geredja Katolik
R om a dengan m ereka ja n g telah m em isahkan dirinja dari Geredja
ini.
Adjaran-adjaran jang terkenal dan paling berpengaruh tentang
suatu kedaulatan absolut negara adalah adjaran-adjaran J e a n
B o d i n th. 1530-th. 1596), T l i o m u s Hobbes (lihatlah
Bab V II, par{ 3 — negara bersifat totaliter), E m m e r i c h dr
V attel (th. 1714-th. 1767) dan H e g e l (lihatlah Bab VII,
par. 1). B o d i n masih menerima suatu kedaulatan jang dibatasi
oleh hak-hak pokok manusia dan oleh hukum jang berlaku dalam
pergaulan antara negara-negara (liukum internasional).
Walaupun negara berdaulat sepenuhnja^ masih djuga negara
tidak boleh merugikan kepentingan negara-negara lain dengan
tiada alasan, jaitu dengan begitu sadja. Negara tidak boleh mela
kukan agresi. Inilah jang dikemukakan G r o t i u s ( H u g o d e
G r o o t ) th. 1583-th. 1645) dalam bukunia jang sangat terniasjhur
,.De iure belli ac paeis” (th. 1625) 1G. G r o t i u s-la ii jang mula-
mula mengemukakan bahwa negara jang melakukan agresi terha
dap suatu negara lain harus dihukum. Jang sangat perlu diadakan
ialah suatu liukum pidana untuk negara-negara jang melanggar ta-
tatertib hukum internasional dengan tiada alasan. Negara jang
415
melakukan agresi terhadap -suatu negara lain harus dihukum oleh
negara-negara lain semuanja. Maka dapat dikatakan bahwa Gro -
t i u s jang mula-mula mengemukakan penghapusan dan penghu
kuman agresi setiara kolektif (bersama-sama) (collective bestrij-
ding en bestraffing van agressie). Negara-negara itu w adjib saling
menghormati kepentingan mereka. Negara-negara itu w adjib m enje-
lesaikan perselisihan mereka setjara damai dan menurut djalan pe
ngadilan.
Tetapi teori G ro ti us baru sadja didjadikan suatu instilut
(lembaga) hukum internasional setelah Perang Dunia I, iaitu pada
waktu Mahkamah Internasional tahun 1920 didirikan. Maka dari itu
v a n V o l l e n h o v e n menjebut waktu kelahiran Mahkamah In
ternasional tahun 1920 „het uur van G r o t i u s” !
Dibandingkan dengan pendapat G r o t i u s, maka pendapat de
V a 11 e 1 umum dianggap suatu „Setback” dalam perkembangan
hukum internasional. Menurut de Y a t t e l negara itu m em punjai
kekuasaan jang sungguh-sungguh tidak terbatas. Negara m em punjai
suatu kedaulatan absolut (absolute souvereiniteit). Dalam pergaulan
antara negara-negara tidak ada kekuasaan jang lebih tinggi dari
pada kedaulatan negara. Tidak ada kekuasaan apapun djuga jang
berhak mempertimbangkan apakah agresi jang dilakukan sesuatu
negara itu adil atau tidak, lajak atau tidak. Bahkan, negara jang
diserang tidak berhak melakukan pertimbangan semaljam itu !
Tidak ada kekuasaan apapun djuga jang dapat mengadili perbuatan
negara-agresor ! Sampai tahun 1919 praktek pergaulan antara ne
gara-negara pada umumnja sesuai dengan teori d e V a 11 e 1 !
H e g e l 17 berpegangan pada suatu kedaulatan negara jang
maha-kuasa (oppermachtige staatssouvereiniteit), jaitu suatu kedau
latan negara iang sama sekali tidak terbatas. Diatas kekuasaan ne
gara jang tertinggi tidak ada suatu kekuasaan lain. Menurut H e
g e l negara itu pendukung satu-satunja moral negara (staatsmoraal)
jang tertinggi, keadilan jang tertinggi dan tjita-tjita bangsa jang ter
tinggi. Maka dari itu negara adalah suatu „absolute Macht auf Er-
de” , bahkan, suatu „irdische Gottheit” ! Hanja kepentingan negara
416
adalah pedom an p olitik negara. Maka hukum internasional itu ha-
nja m erupakan suatu „äuszeres Staatsrecht” sadja jang ada tidaknja
bergantung pada kehendak negara (teori kedaulatan negara, posi
tivism e) 1 8 .
T idak perlu dikatakan luas disini bahwa kedaulatan negara jang
absolut itu m erupakan halangan besar untuk suatu kerdja-sama erat
antara negara-negara apabila kerdja-sama itu, oleh karena beberapa
hal, sangat diperlukan.
T etapi pada djam an sekarang, terutama dalam pergaulan antara
negara-negara Barat non-komunis, anggapan tentang suatu kedaula
tan negara jang absolut itu telah dengan berangsur-angsur mulai
dihapuskan. H al ini karena adanja interdependensi (interdependen-
tle) i ano besar antara negara-negara Barat non-komunis itu pada
djam an sekarang. M akin lama makin erat hubungan antara negara-
negara tersebut, ja n g pada djaman sekarang, oleh karena beberapa
terutama hal-hal jang terletak dalam lapangan perekonomi-
an ’ terpaksa m em perhatikan banjak kepentingan mereka setjara
kolek tif. Negara-negara tersebut terpaksa mengadakan organisasi-
organisasi internasional, dan masuknja suatu organisasi interna
sional berarti bahwa sebagian dari „kedaulatan” negara harus
diserahkan kepada organisasi itu. Dapat dikatakan bahwa pada
djam an sekarang struktur pergaulan internasional antara teru
tama negara-negara Barat non-kom uni» lama kelamaan kembali
lagi ke arah suatu federasi dunia, suatu federasi modern. Federalis
m e internasional pada djaman sekarang berdasarkan kepentingan
ek on om is k olek tif (m isalnja, Organisasi Eropah tentang Batu Bara-
B e si), m eliputi persoalan mengenai penggunaan dan pengawakan atas
penggunaan tenaga, atom jang,, demi kepentingan perdamaian du
nia, memaksa diadakannia kerdjasama internasional. Djadi, suatu
federalism e internasional jang mempunjai dasar jang formil lebih
417
materialistis tetapi djuga lebih djudjur (tidak berseinbunji di be
lakang „agama” ). '
418
langsung m engikat manusia dan setjara langsung memberi hak ke
pada manusia. M isalnja, peraturaniperaturan mengenai hukum ke-
djahatan peperangan (oorlogsmisdrijven) setjara langsung meletak
kan beberapa kew adjiban internasional pada manVisia, a.i. „Charter
o f L o n d o n ” tertanggal 8 Agustus 1945. Menurut keputusan Tribunal
(M ahkam ah) N eurenberg maka „the very essence o f the Charter is
that individuals have international duties ivhich transcend the na
tional obligations o f obedience im posed by the individual state !
419
Dari uraian tadi telah ternjata bagaimana struktur dari hukum
dan pergaulan internasional. Masih tetap „kedaulatan” itu didjalan-
kan sebagai alat membela kepentingan masing-masing anggauta per
gaulan internasional, walaupun peladjaran tentang „kedaulatan” itu
tidak lagi dipraktekkan setjara mutlak dan isi „kedaulatan” tersebut
sudah berubah. Pengertian teoretis (theoretisch begrip) „kedau
latan” pada djaman sekarang sama sekali berlainan dongan penger
tian „kedaulatan” pada abad ke-18 dan pada abad ke-19. Pada ha-
kekatnja „kedaulatan” itu sekarang telah m endjadi suatu penger
tian jang isinja tidak lain dari pada „kekuasaan jang tertinggi da
lam lingkungan kekuasaan negara dan diatas kekuasaan ini tidak
ada kekuasaan suatu negara hain” . Kata v a n . A p e l d o o r n 3 3 :
„H et begrip is alleen nog bruikbaar, als men het opvat in den ne
gativen betrekkelijken zin van onafhankelijkheid (niet-onderwor-
penheid aan de macht van een ander) binnen een bepaalde sfeer”
(Pengertian itu hanja dapat dipakai apabila pada pengertian itu
diberi arti negatif dan nisbi, jakni dalam lingkungan kekuasaan
tertentu negara jang bersangkutan tiada kekuasaan lain dari pada
kekuasaan negara jang bersangkutan itu). Djadi, diatas kekuasaan
negara (nasional) telah mulai diakui kekuasaan pergaulan interna
sional.
Sesuai dengan keinginan kita diatas tadi akan lahirnja suatu
hukum internasional universil jang mengenal manusia sebagai sub-
jeknja, adalah definisi tentang hukum, internasional jang dibuat
G e o r g e s S c e l i e 3 4 : „L e Droit international, au sens le plus
420
com preh en sif du terme, est 1’ Ordre juridique de la Communauté
des peuples ou Société universelle des hommes. C’ est un Ordre ju
rid iq u e de superposition, 1’ Ordre juridique terminal, dont les normes
prévalent sur celles de tous autres systèmes de Droit sousjacents, y
com pris les ordres nationaux, impériaux ou fédéraux” . Inilah gamba
ran tentang garis-garis besar suatu hukum internasional jang kita
semua ingini dan jang seharusnja berlaku !
421
Hakim nasional hanja terikat oleh suasana hukum nasional. Maka
traktat itu hanja dapat mengikat hakim nasional, apabila isi traktat
jang bersangkutan telah dimasukkan kedalam suatu undang-undang
nasional. Dengan kata lain : traktat itu baru dapat mengikat hakim
nasional, djika telah diinkorporasi kedalam suatu undang-undang
nasional. Traktat terlebih dahulu harus diinkorporasi kedalam sua
sana hukum nasional. Inkorporasi ini terdjadi pada pengundangan
(afkondiging) traktat dalam Lembaran Negara. Teori T e l d e r s
ini terkenal dengan nama teori inkorporasi (incorporatieleer).
Teori jang beranggapan bahwa traktat tidak langsung mengikat,
mendapat tentangan dari beberapa ahli hukum. Misalnja, H a m a -
k e r 38, v a n E i j s i n g a 39, v a n Y o 11 e n h o v e n 40, V e r -
z i j 1 41. Para ahli hukum tersebut beranggapan bahwa traktat m e
ngikat langsung penduduk wilajali nasional. Anggapan ini diterima
djuga oleh Hoge Raad di Negeri Belanda pada tahun 1906 42. Teori
jang kedua hti mengakui primat hukum internasional, jaitu menga
kui hukum internasional lebih tinggi deradjatnja dari pada deradjat
hukum nasional.
38 W.P.N.R. Nr 1724.
39 W.J.M. v a n E i j s i n g a „Proeve eener inleiding tot het Neder-
landsch Tractatenrecht” , dis Leiden 1906. Jang mendjadi .keistime
waan buku ini adalah pengarangnja mengandjurkan supaja dibuat
suatu „tractaten-tractaat” (hal. 182-188). Usaha mengodifikasi hukum
traktat telah diadakan beberapa kali : di Havana pada tahun 1928
(„P an American Convention on Treaties” ) ; „Law o f Treaties 1935” ,
„Harvard Research in International Law” , III; „R eports” dari Inter
national Law Commission dari P.B.B. pada tahun-tahun 1953, 1954
dan 1956.
40 „Omtrek en inhoud van het internationale recht” , disertasi Leiden
1898.
41 „Handelingen der Nederlandsche Juristenvereeniging” , „praeadvies” ,
th. 1937. i
42 Keputusan Hoge Raad di Negeri Belanda tertanggal 25 Mei 1906 da
lam W (B elanda). Nr 8383. Lihatlah djuga keputusan tertanggal 6
Nopemher 1919 dalam „Ned. Jur.” 1919, hal. 1178.
422
p en u lin 'a & m enérima primat hukum internasional sepoinili-
iiasional 1 **" Y e r z * J ^ berauggapan bahwa suatu unàang-vmàasi^.
dapat 1 ,aru Jang bertentangan dengan suatu traktat lama tidak
. engesam pingkan traktat lama ita. Anggapan in i montUapat
tentangan a.I. dari T e l d e r , , v a n A p e l d o o r n « .
rin ta h 3^** nien^em u^a^an pertanjaan : apakah di Indonesia peme-
. JuSa niengakui prim at hukum internasional ? Kami mengi-
^ ^ para pem hatja pada apa jang dikatakan Perdana Menteri
jiertj rs ^ a 1 1 a dalam pidatonja pada tangsal 11 Agustus 1950 :
tani aSar^ an an8 " aPan anggapan jang diterima dalam pergaulan an-
‘ negaira-negara, maka traktat itu lebih tinggi dari pada undang-
undancr ? n- i i ~ . .
niend h 1 Ju? a dalam praktek ternjata hal pemerintah kita
Perd ' ^ ^ k an (m em beri prioritèt kepada) traktat, misalnja, dahulu
walau lf ^ an f>erc^jandjian K.M.B. dilaksanakan menurut hurufnja,
. ^ n Pert^jandjian-perdjandjian itu bertentangan dengan ke-
•j. ° ar^ rakjat Indonesia ! Bahwasanja pada ahirnja perdjandjian-
Jan jia n K .M .B. itu kita putuskan itulah karena akibat sikap
nt akan tindakan pemerintah Belanda sendiri, jang terus-me
nerus m erugikan kepentingan kita.
Berdasarkan prim at hukum internasional, maka traktat-traktat -
n »^ a^ u ^u diadakan antara pemerintah Belanda dengan negara-
j y 3n dJu? a mengenai wilajah Indonesia ( = wilajah
( ia elanda dahulu), setelah pemulihan kedaulatan masih tetap
m engikat Indonesia 44.
423
Jang m endjadi pokok perselisihan juridis dalam persoalan apa
jang dinamakan „Federation of Malaysia” adalah tidak dilaksanakan-
nja pasal 4 Manila Joint Statement tanggal 5 Agustus 1963 jo pasal-
pasal 10 dan 11 Manilla Accord tanggal 11 Djuni 1963, oleh baik
pendiri apa jang dinamakan „Federation of Malaysia” maupun
P.B.B.. Kedua-duanja telah tidak tunduk pada primat hukum in
ternasional.
2. gabungan negara-negara :
Gabungan negara-negara ini bertindak dalam pergaulan antara ne
gara-negara sebagai suatu kesatuan, seperti dahulu Republik der
Zeven Vereenigde Nederlanden, Bon Djerman (Duitse B on d). Seka
rang Republik Persatuan Arab (R .P .A .).
3. organisasi-organisasi internasional :
Misalnja, Liga Bangsa-bangsa, P.B.B.
5. manusia:
Belum diterima umum anggapan bahwa, di samping negara, maka
manusiapun dapat mendjadi subjek hukum internasional. Tetapi
pendapat ipi makin lama makin diterima umum.*
424
Par. 6= O r g a n i s a s i internasional sebagai
i n s t i t u t h u k u m i n t e r n a s i o m a l 46-
425
suatu institut hukum, jaitu m endjadi organisasi jang mengenal
Bidang-sidang paripurna (dan umum) jang diadakan pada waktu-
waktu jang tertentu (periodik) dan menurut atjara tetap (vaste
procédure).
Perserikatan Bangsa-bangsa.
Pada tanggal 26 D juni 1945 di kota San Francisco (Am erika
Serikat) diadakan suatu konverensi dengan maksud melahirkan
suatu organisasi dunia jang baru. Organisasi ini mengganti Liga
Bangsa-bangsa dari tahun 1920. Nama organisasi baru tersebut P er
serikatan Bangsa-bangsa (P .B .B .). A pa sebabnja maka negara-negara
mengganti Liga Bangsa-bangsa dengan suatu organisasi baru ? K a
rena Liga Bangsa-bangsa tidak berhasil mentjegah letusnja Perang
Dunia II, jaitu tidak berhasil mendjamin adanja perdamaian dunia,
tidak memenuhi harapan49. Tudjuan P.B.B. dapat dibatja dalam
Mukaddimah Piagamnja 50.
49 L e l a n d M. G o o d r i c h dan E d w a r d H a m b r o „Charter
o f the United Nations, commentary and documents” . 1949, hal. 3-4.
Buku penting mengenai Piagam P.B.B. : H a n s K e l s e n „T h e Law
o f the United Nations, Analysis o f its Fundamental Problem s” , 1950.
Pandangan umum dapat dibatja pada A m r y V a n d e n b o s c ji
„T h e United Nations. Background, Organizations, Activitjes” , 1 95 5;
„T h e United Nations. Ten Years’ Legal Progress/L cs Nations Unies,
Quélques problèmes juridiques” , 1956 ; D a v i d C u s h m a n C o y l e
„T h e United Nations and How It W orks” , 1958 (M entor B o o k ) ; L i n
c o l n P. B l o o m f i e l d „T h e U.N. and the Problem o f Peaceful
Territorial Change. Evolution or Révolution ?” , 1957 ; E r n e s t
A. G r o s s ‘ „T h e United Nations : Structure fo r Peace” , 1 9 6 2 ; P rof.
Dr T.S.G. M u 1 i a „Perserikatan Bangsa-Bangsa” , 1952.,
50 „K am i, ra’ jat dari Perserikatan Bangsa-bangsa, bermaksud —
untuk mcnjelamatkan keturunan kami dari siksaan perang jang telah
dua kali dalam seumur manusia menimbulkan kesengsaraan jan g ta’
ada hingganja bagi manusia, serta
untuk meneguhkan lagi kejakinan akan hak-hak dasar manusia, k e
muliaan dan deradjat tinggi manusia, hak-hak jang sama bagi baik
lelaki maupun wanita dan segala bangsa baik jang besar maupun jang
ketjil, serta
untuk mengadakan suasana didalam mana keadaan dan penghargaan
terhadap kewadjiban-Jcewadjiban jang timbul dari perdjandjian-per-
djandjian internasional (traktat) dan lain-lain sumbcr-hukuin inter
nasional dapat dipelihara, serta
untuk memadjukan masjarakat dan mempertinggi tingkat hidup jang
baik dalam suasana kemerdekaan jang lebih luas,
dan untuk melaksanakan tjita-tjita itu —
untuk mendjadikan kesabaran dan hidup bersama-sama sebagai terang
ga baik dalam keadaan damai dan ter,djamin, serta
untuk mempersatukan kekuatan kami supaja perdamaian dan k e
amanan internasional tetap terpelihara, serta
untuk mendjamin, dengan mengakui azas-jazas jajng tertentu serta
melakukan tjara-tjara jang tertentu, agar supaja kekuatan sendjafa
426
W alaupun P.B.B. merupakan organisasi dunia jang tertinggi,
m asih djuga P.B.B. itu — seperti halnja dengan Liga Bangsa-bangsa
— bukan negara atasan (superstaat).
P .B .B . bertindak dalam pergaulan internasional dengan peran
taraan enam alat perlengkapan utamanja : Sidang Umum (General
A ssem bly), Dewan Keamanan (Security Council), Dewan Ekonomi
dan Sosial (E con om ic and Social Council), Mahkamah Internasional
(International Court o f Justice), Dewan Perwalian (Trusteeship
C ou n cil) dan Sekertariat (Secretary) — pasal 7. Di samping enam
alat perlengkapan utama ini ada komisi-komisi si, sub-komisi-sub-
k om isi („com m issions” , „sub-commissions” ) dan „specialised agen
cies” (badan-badan istimewa) jang melakukan pekerdjaan didalam
lingkungan P.B.B.. „Specialised agencies” itu bukan badan perleng
kapan P .P .B .; „specialised agencies” itu badan-badan pemerintah
internasional jang dihubungkan dengan P.B.B. berdasarkan suatu
ikatan istimewa 52 — pasal 57.
Sidang Umum jang terdiri atas semua anggauta P.B.B. (djum-
la h n ja 100 leb ih — lihatlah pasal 9 — merupakan badan tertinggi
P .B .B . itu. Sidang Umum adalah badan legislatif P.B.B..
427
Dewan Keamanan diserahi pertanggungdjawaban atas pendja-
gaan perdamaian dan keamanan internasional 53 — pasal 24. Sebe-
tulnja, Dewan Keamanan adalah alat perlengkapan politik P.B.B.
jang dikuasi oleh „B ig Five” , jakni mereka jang mem punjai hak
vetonja — pasal 27 ajat 3. Kedudukan istimewa dari lima anggauta
tetap itu akibat adanja sisa-sisa teori kedaulatan negara jang abso
lut jang telah kami bitjarakan diatas tadi. Hal ini m enundjukkan
kepada kita bahwa teori kedaulatan negara jang absolut itu belum
dihapuskan sama sekali sebagai, dasar politik luar negeri negara-
negara pada djaman sekarang. Melainkan, „pow er politics among
Nations” masih tetap dasar penting perkembangan hukum interna
sional !
Karena Uni Sovjet menggunakan hak vetonja diluar balasnja
sehingga P.B.B. tidak dapat bertindak seharusnja, maka dika-
langan bagian terbesar anggauta-anggauta P.B.B. ditjari akal untuk
menetralisasi (neutraliseren) hak veto „B ig Five” . Dua djalan telah
ditjoba :
pertama : Pada sidangnja tertanggal 13 Nopember 1947 Sidang
Umum mengadakan suatu „Little Assembly” 54 jang terdiri atas
_masing-masing satu orang wakil anggauta-anggauta P.B.B. Maksud
„Little Assembly” ini pada permulaan ialah mengadakan landjutan
pekerdjaan P.B.B. selama djangka waktu antara saat berahir Si
dang Umum biasa jang kedua (tahun 1947) dan saat permulaan
Sidang Umum jang ketiga (tahun 1948). Tetapi kemudian „Little
Assembly” ini. mend jadi suatu sidang tetap. Tidak perlu dikatakan
disini bahwa pembentukan „Little Assembly” ini mendapat ten
tangan keras dari Uni Sovjet.
kedua : Penerimaan resolusi „United Action for Peace” 55.
428
D e w a n E k o n o m i d a n Sosial ini diadakan, karena anggauta-
e o au^a P .B .B . jak in bahwa adanja perdam aian d u n is itu lianja
apat d id ja m in apabila manusia s u n g g u h - s u n g g u h hidup tenteram
dalam keadaan kemakmuran.
» T r u s te e s h ip ” (perwalian) itu didjalankan atas daerah-daerah
Jang pada waktu sebelum Perang Dunia I dan Perang Dunia II
inerupakan suatu daerah kolonial negara-negara jang dikalahkan
alam kedua peperangan tersebut.
S e k e r ta r ia t P.B.B. terdiri atas seorang Sekertaris Djenderal
Sta^nj a’ Sekertaris Djenderal mendjadi kepala administrasi
P .B .B . — p asai 97.
a.
perselisihan kepentingan (belangen geschillen).
b.
perselisihan hukum (rechtsgeschillen).
430
j. " mping peradilan dan arbitrasi internasional'?1*1! chusus —
io n ) R m euJe^esaikan perselisihan, jaitn konsiliasi ^ ° e k a r -
i , 6r asarkan resolusi Sidang Umum tertanggal 28 ApriUhara
terd iri 3n SUatU ” Panel for Inquiry and Conciliation” 59. Panel iu.
iann- I- a® P ara hukum jang berkuasa (gezag hebbend) dan
q£ ^ . an ltundjuk oleh anggauta-anggauta P.B.B. jang „b y reason
to , 61r trainingi experience, character and standing, are seemed
ell fitted to member o f commission of inquiry or of concil-
n . K onsiliasi mengenai penjelesaian 'kepentingan. Dalam pen-
pat sardjana-sardjana hukum internasional modern konsiliasi itu
m ak m lama makin dilihat sebagai peradilan.
59
Lihatlah karangan Prof., v a n A s t e o l i n
n dalam »Gedenkboek Rechlswelen^l in het vo,ken-
1 92 4 -1 9 4 9 ” , 1949, hal. 58 djb.. appelijk Hoger Onderwijs
431
BAB XIII
HUKUM PRIVAT
432
Dagang memuat penambahan — jang mengatur hal-hal chusus —
hukum privat dalam arti kata jang sempit itu. Prof. So ek ar -
d o n o 3 mengatakan bahwa pasal 1 K.U.H. Dagang „memèlihara
kesatuan antara hukum perdata dengan hukum dagang ...................
sekadar K.U.H.D. itu tidak chusus menjirhpang dari K.U.H. Perd.” .
Pem bagian hukum privat dalam hukum perdata dan hukum
dagang tersebut tidak dikenal dalam lapangan hukum privat adat.
433
ngenai perkawinan, maka di seluruh w ilajah N egeri P erantjis ber-
laku hukum kanonik, jaitu hukum jang ditetapkan oleh G eredja
K atolik R om a dalam „ C o d e x I u r i s Canonici” (lihatlah
B ab I, par. 12). D i samping berm atjam -m atjam peraturan hukum
itu berlaku djuga peraturan-peraturan jang dibuat oleh pengadilan
Perantjis („arrêts de règlem ent” ) (lihatlah Bab I I ).
Pada bagian kedua abad ke^l?, di N egeri Perantjis telah tim bul
aliran-aliran jang inentjiptakan suatu kodifikasi hukum ja n g akan
berlaku disitu agar diperoleh kesatuan dalam hukum Perantjis.
Pada ahir abad ke-17 dan pada bagian pertama abad ke-18 dibuat
oleh radja Perantjis beberapa peraturan perundang-undangan um um
jang memuat kodifikasi beberapa bagian hukum Perantjis pada
waktu itu. Antara peraturan-peraturan tersebut ada tiga ja n g m en-
djadi penting sebagai sumber hukum historis untuk m em peladjari
sedjarah hukum perdata Eropah : „O rdonnance sur les donations”
(tahun 1731) jang mengatur soal-soal m engenai pem berian (schen-
king) ; ^Ordonnance sur les testaments” (tahun 1735) jang m enga
tur soal-soal mengenai testamèn; „O rdonnance sur les substitutions
fideicommissaires” (tahun 1747) 5. Tiga ordonansi ini terkenal d e
ngan nama ordonansi-ordonansi D a g u e s s a u (kanselir radja
L o u i s X V ) 6.
K odifikasi hukum perdata Perantjis baru didjadikan pada w ak
tu sesudah Revolusi Perantjis. Pada tanggal 12 Agustus,. 1800 oleh
N a p o l é o n dibentuk suatu panitia jan g diserahi tugas m em buat
rentjana kodifikasi. Panitia itu terdiri atas empat anggauta, jaitu
Portalis, T r o n c h e t, B i g o t de Préameneu dan
M a 11 e v i l l e . Jang m endjadi sumber kodifikasi hukum itu : h u
kum Rom aw i menurut peradilan Perantjis dan menurut tafsiran
jang dibuat oleh P o t h i e r dan D o m a t, hukum kebiasaan dae
rah Paris („Coutum e de Paris” ), peraturan-peraturan perundang-un
dangan jang telah kami sebut („O rdonnances” ) dan hukum jan g di-
434
huat pada waktu Revolusi Perantjis (hukum intermedièr atau hu
kum sementara waktu). Seperti telah dikatakan diatas, maka kodi
fikasi hukum perdata itu dibuat pada tanggal 21 Maret 1804. Pada
tahun 1807. maka kodifikasi hukum perdata itu — jang bernama
„C o d e Civil des Français” — diundangkan lagi dengan nama „Code
ISapoléon” . „C ode Napoléon” itu sekarang masih berlaku di Negeri
Perantjis, jaitu Code Civil Perantjis. Pada tahun 1807 djuga diada
kan kodifikasi hukum dagang dan hukum pidana.
Dari tahun 1811 sampai tahun 1838 „Code Napoléon” ini, seperti
„ C o d e ” Perantjis lain, berlaku djuga di Negeri Belanda sebagai kitab
undang-undang hukum resmi.
Setelah aliirnja pendudukan Perantjis di Negeri Belanda pada
tahun 1813, maka berdasarkan pasal kodifikasi undang-undang
O D dasar
N egeri Belanda dari tahun 1814 (ipasal 100) dibentuk suatu panitia
.ja n g bertugas membuat rentjana kodifikasi hukum Belanda (kodi
fikasi hukum nasional). Panitya ini diketuai oleh Mr J.M. K e m -
p e r (th. 1776-th. 1824). Jang mendjadi sumber kodifikasi hukum
perdata Belanda ialah : untuk bagian terbesamja „Code Napoléon’ ’
dan untuk bagian ketjilnja hukum Belanda jang kuno.
Pada tahun 1816 oleh K e m p e r disampaikan kepada radja
B elanda suatu rentjana kodifikasi hukum perdata. Tetapi rentjana
tersebut tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia — pada
waktu itu Negeri Belanda dan Belgia dipersatu sehingga mendjadi
satu negara — karena rentjana itu olèh K e m p e r didasarkan atas
hukum Belanda jang kuno, sedangkan ipara ahli lnikum bangsj lid -
gia hendak menurut „C ode Napoléon” . Setelah mendapat perubahan
sedikit, maka rentjana itu disampaikan kepada parlemen Belanda
pada tanggal 22 Nopember 1820. Rentjana tersebut terkenal dengan
nam a „O n tw erp-K em per” („R entjana Kem per” ). Kami mengatakan
„setelah mendapat perubahan sedikit” , karena bagian terbesar dari
rentjana itu masih tetap didasarkan atas hukum Belanda jang ku
n o 7. '
Dalam perdebatan dalam parlemen Belanda „Ontwerp-Kemper”
itu m endapat tentangan keras dari anggauta-anggauta bangsa Belgia
ja n g dipim p in oleh presiden (ketua) pengadilan tinggi di kota Luik
(B elgia ) P. Th. N i c o l a i (th. 1768-th. 1836). Setelah K e m p e r
485
meninggal dunia pada tahun 1824, maka pembuatan kodifikasi hu
kum perdata itu dipim pin oleh N i c o 1 a i. Karena N i c o 1 a i lahr
maka bagian terbesar kodifikasi hukum perdata Belanda didasarkan
atas „C ode Napoléon” . Hanja beberapa bagian dari kodifikasi ter
sebut didasarkan atas hukum Belanda jang kuno. Maka dari itu
orang dapat mengatakan bahwa kodifikasi hukum perdata Belanda
adalah suatu tiruan kodifikasi hukum perdata Perantjis dengan be
berapa perubahan jang ketjil-ketjil jang berasal dari hukum Be
landa jang kuno; ............................. h^t nieuwe burgerlijk wetboek
was ten slotte slechts een herziene en verbeterde C o d e N a p o
léon geworden, waarin enkele oudvaderlandse rechtsintellingen
zijn ingevoegd en enkele Franse rechtsinstellingen overeenkomstig
oud-vaderlandse rechtsbeginselen gewijzigd zijn” ( B e l l e f r o i d 8).
Karena peperangan jang mengakibatkan pemisahan antara Ne
geri Belanda dan Belgia (th. 1830-th. 1839), maka kodifikasi hukum
perdata Belanda itu baru dapat diresmikan pada-tahun 1838. Pada
tahun itu diadakan beberapa kitab undang-undang hukum Belanda
lain, jaitu di samping Kitab undang-undang hukum perdata Belanda,
diadakan djuga Kitab undang-undang hukum dagang Belanda, Pera
turan susunan pengadilan Belanda (R .O .), Kitab undang-undang
hukum atjara privat Belanda, „Algemene Bepalingen van Wetge-
ving” Belanda (A.B. Belanda).
Berdasarkan azas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata
Belanda mendjadi tjontoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropah
di Indonesia. Hukum perdata Eropah di Indonesia terdiri atas ana
sir-anasir jang berasal dari : hukum Romawi, hukum Perantjis jang
kuno, hukum Belanda jang kuno 9.
Prosès penjosialan hukum, jang berdjalan sedjak bagian kedua
abad jang lampau, meliputi hukum perdata pula 10, sehingga be-
436
fcerapa „corner-stones” hukum perdata, jang dahulu bermaksud
m em pertahankan dan melandjutkan sifat individualistis hak seperti
ja n g dim uat dalam K.U.H. Perdata, pada saat ini bukan lagi „co r
ner-stones” . Pem akai K.U.H. Perdata pada djaman sekarang harus
sebanjak -ban jak nja menafsirkannja setjara sosiologis (lihatlah Bab
I V , par. 2 ), sesuai dengan pandangan jang lebih kolektivistis.
P ada tahun 1960, sebagai akibat proses penjosialan hukum itu,
m aka Undang-undang P okok Agraria, L.N. 1960 Nr 104, telah men-
tjabu t „B u k u ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
sep a n d ja n g jan g mengenai bumi, air serta kekajaan alam jang ter
k an du ng didalam nja, ketjuali ketentuan-ketentuan mengenai hy-
p oth eek ja n g masih berlaku pada mulai berlakunja undang-undang
in i” — lihatlah Bab V I, par. 3, diatas tadi.
T iga tahun kemudian, sebagai akibat proses penjosialan hukum
m aupun m enghapuskan dualisme dalam tatahukum jang berasal
d jam an H india-Belanda dahulu, Mahkamah Agung telah menge
luarkan surat edaran tertanggal 5 September lp63 Nr 3/1963. Dalam
surat edaran tersebut badan pengadilan jang tertinggi kita ini „m e
nganggap tidak berlaku lagi antara pasal-pasal berikut dari Burger-
lijk W etb oek ” 11, jaitu pasal-pasal 108, 110, 284 ajat 3, 1238, 1460,
1579, 1603x ajat-ajat 1 dan 2, dan 1682.
rena itu hukum privat akan mendapat suatu pengakuan lebih besar !
H u k u m privat tidak dapat dilenjapkan. Mr M a i n a k e dalpm ka-
rangannja dalam madjalali „Padjadjaran” , I, 3_ hal. 46-98, jang sajang
sekali tidak m enjebut pidato v a n O v e n , tidak sanggup memberi
suatu djawaban positif atas pertanjaan-pertanjaan tadi. Pembatjaan
lain : P r o f. Mr J., E g g e n s „Iets over de ontwikkeling van het
privaatrechtelijk denken in de laatste halve eeuw” , pidato inaugurasi
Batavia (D jakarta) 1 93 5; Prof. Mr W.C.L. v a n d e r G r i n t e n
„C ollectiverin g in het privaatrecht” , pidato inaugurasi Nijmegen 1957.
11 Konsiderans dari surat edaran Mahkamah Agung tertanggal 5 Septem
b e r 1963 Nr 3 /1 9 6 3 berbunji :
„M en gin gat kenjataan, bahwa Burgerlyk W etboek oleh pendjadjah
B elanda sengadja disusun sebagai tiruan belaka dari Burgerlijk Wet-
437
Buku III : jang terdiri atas peraturan-peraturan mengenai pera -
tangan (Van verbintenissen)
Buku IV : jang terdiri atas peraturan-peraturan mengenai pem buk
tian dan lewat waktu (Van bewijs en verjaring) l2 .
438
B u k u I jang — menurut namanja („"Van personen ) ter ^
atas peraturan-peraturan jang mengenai subjek hukum (persoon ,
m em uat djuga ¡peraturan-peraturan mengenai hubungan keluarBa,
ja itu peraturan-peraturan m engenai: perkawinan dan hak 'ewa
d jib a n suami-isteri, kekajaan perkawinan (huwelijksvermogens
r e c h t), kekuasaan orang tua (bapak dan ibu, bapak atau i u
(ou d erlijk e m acht) dan perwalian (voogdij) dan p e n g a w a k a n
(cu ratele) karena belum tjukup umur, gila dan p e m b o r o s a n .
M enurut ilm u hukum pada djaman sekarang, maka hukum e
luarga itu dapat dipisahkan dari peraturan-peraturan mengenai su
je k hukum . Dalam kitab undang-undang hukum perdata Negeri vis
dan dalam kitab undang-undang hukum perdata Djerman, h um
keluarga itu dimasukkan kedalam buku tersendiri.
D alam Buku I K.U.H. Perdata hanja diatur nwrvusia sebagai
su b jek hukum dan tidak diatur disitu badan hukum s e b a g a i s u b j e k
h ukum 13. H al ini oleh karena pada waktu K.U.H. Perdata dibuat,
m aka peinbuatnja belum mempunjai gambaran djelas tentang „
dan h uk u m ” 14. Peraturan jang pertama-tama mengatur „rechtsper
soon lijk h eid ” sesuatu badan ialah L.N.H.B. 1870 Nr 64 „Rechtsper
soon lijk h eid van verenigingen” (jang m endjadi tjontoh bagi pera
turan in i ialah L.N. Belanda 1855 Nr 32). Terlebih dahulu, Buku
I I I titel 9 („V a n zedelijke lichamen” ) telah m e n j i n g g u n g setjara
samar-samar sesuatu tentang „rechtspersoonlijkheid” dari apa jang
disebut „badan-badan susila” (zedelijke lichamen).
Bagian terbesar Buku IV memuat p e r a t u r a n - p e r a t u r a n hukum
atjara privat, karena peraturan-peraturan jang m engenai pemb.uk
439
tian dan lewat waktu adalah peraturan-peraturan hukum atjara
materiil (materieel procesrecht). Hukum atjara materiil itu
j an g kadang-kadang dinamakan pula huku m aksi (actienrecht) ■ —
ialah hukum jang mengatur hubungan-hukum jang diadakan ka-
rena — jakni : sebagai akibat dari---- penjelesaian perkara privat
dimuka hakim. Hukum aksi itu terdiri atas peraturan-peraturan
mengenai terbit dan hapusnja (ontstaan en tenietgaan) aksi jang
dilakukan di muka hakim, peraturan-peraturan mengenai beberapa
matjam pembuktian jang dapat dikemukakan oleh kedua belah fihak
dalam atjara dimuka hakim, dan peraturan-peraturan mengenai pe
ngaruh aksi jang dimadjukan dimuka hakim dan pengaruh kepu-
tusan hakim terhadap hak-kewadjiban kedua belah fihak, misalnja,
pasal-pasal 1917 (lihatlah Bab IV, p a r .-l), 1978, 1980, 1981, 1982,
1983 dan 1984.
Tetapi Buku IV tidak memuat hukum aksi seluruhnja. Jang
diatur disitu hanjalah hal pembuktian dan hal liwat waktu ekstink-
tif (lihatlah Bab VI, par. 2 ). Karena liwat waktu akuisitif pada
hakekatnja bukan peraturan hukum* atjara tetapi suatu tjara untuk
memperoleh hak kepunjaan, maka tempatnja dalam Buku IV itu
tidak benar. Menurut ilmu hukum pada djaman sekarang, maka
liwat waktu akuisitif itu termasuk peraturan-peraturan mengenai
benda, jakni termasuk dalam Buku II. Lihatlah pasal S84.
Sistim susunan K.U.H. Perdata oleh pembuatnja tidak didasar
kan atas sistim susunan Code Civil Perantjis („C od e N apoléon” )»
tetapi didasarkan atas sistim jang terdapat didalam „ I n 8 t i t u -
t i o n e s J u s t i n i a n a e” („Institut-institut (hukum ) J u s t i -
n i a n u s” ) 15. Code Civil Perantjis itu terdiri atas tiga buku sadja 16.
440
W alaupun dapat dikatakan bahwa K.U.H. Perdata mengenai
bagian terbesarnja adalah tiruan Code Civil Perantjis („C ode Napo
lé o n ” ) , susunannja dalam empat buku itu tidak berasal dari Code
Civil tetapi diam bil oleh pembuatnja dari sistim hukum lain. Tetapi
hal in i tidak mengakibatkan suatu perbedaan besar, karena banjak
ja n g ada didalam Code Civil Perantjis berasal djuga dari hukum
R om a w i. Jang merupakan perbedaan penting antara Code Civil
P erantjis dengan K.U.H. Perdata ialah hal hukum perutangan Pe
rantjis termasuk dalam himpunan peraturan-peraturan jang menga
tur tjara untuk m em peroleh hak kepunjaan (Buku III Code Civil).
Jang m en d jad i sebab peraturan-peraturan hukum perutangan Pe
rantjis dianggap sebagai suatu tjara untuk memperoleh hak kepu
n jaan , ialah azas dalam sistim hukum perdata Perantjis bahwa beh
da ja n g telah dibeli, tetapi belum diserahkan kepada pembeli, sudah
m en d ja d i kepunjaannja. Djadi, oleh karena perdjandjian djual-beli,
m aka p em beli telah m endjadi jang mempunjai. Menurut sistim hu
ku m perdata Eropah di Indonesia, maka pembeli itu baru mendjadi
ja n g m em pun jai setelah benda jang bersangkutan (jaug dibeli)
diserahkan kepadanja (Lihatlah Bab VI, par. 4).
Buku-buku K.U.H. Perdata dibagi dalam titel-titel. Biasanja
setiap lem baga hukum privat jang tertentu merupakan satu titel, mi-
salnja, titel mengenai perkawinan,' titel mengenai hak kepunjaan,
titel m engenai hak opstal. Titel itu dibagi dalam bagian (afdeling)
dan bagian ini terdiri nt:is jiasnl pasal.
441
kemungkinan bagi pembuat ordonansi (undang-undang) untuk
mendjadikan berlakunja. (toepasselijk verklären) djuga bagi golo
ngan hukum bukan-Eropah beberapa ketentuan tertentu jang b er
laku bagi golongan hukum Eropah. Tetapi artinja m endjadikan ber
lakunja ini telah banjak dikurangi oleh surat edaran Mahkamah
Agung tertanggal 5 September 1963 Nr 3/1963.
Ketentuan-ketentuan K.U.H. Perdata jang telah didjadikan
berlaku itu s
pasal-pasal 1601-1603 redaksi lama mengenai perdjandjian ker-
dja antara madjikan dengan pelajan (rumah tangga) („liu u r van
dienstboden” ) dan buruh („werkliedeu” ) jang telah kami bitja-
rakan dengan singkat dalam Bab X I (hukum perburuhan) 17.
pasal-pasal 1788-1791 mengenai kewadjiban jang ditimbulkan
dari main djudi dan taruhan (spel en weddenschap) (lihatlah Bab
VI, par. 3). Pasal-pasal ini didjadikan berlaku djuga bagi golongan
hukum Indonesia asli berdasarkan L.N.H.B. 1907 Nr 306.
Pasal 29 L.N.H.B. 1917 Nr 12 dapat niendjadikan berlaku se-
tjara diam-diam hukum wesel dan tjek djuga bagi seseorang Indone
sia asli.
Ahirnja, beberapa ketentuan Buku II K.U.H. Dagang (hukum
laut) berdasarkan L.NJI.B. 1933 Nr 49 jo L.N.H.B. 1938 Nr 2.
Peraturan perundang-undangan jang berlaku bagi semua g olo
ngan bangsa di Indonesia ( gem eenschappelijk recht, lihatlah Bab
m par. 1) : Ordonansi mengenai pemberantasan riba (woekeror-
donnantie, ordonansi melarang bunga uang jang terlampau ban jak ),
L.N.H.B. 1938 Nr 524 (Ordonansi ini dapat dibatja dalam himpunan
kitab-kitab undang-undang hukum jang tersusun oleh M r W .A.
Engelbrecht dibawah pasal 1456 K.U.H. Perdata) 18; „A an-
442
vullende Plantersregeling” , L.N.H.B. 1938 Nr 98; „Geldschieters
ordon n an tie” , L.N.H.B. 1938 Nr 523; „Ongevallen besluit” , L.N.H.B.
1939 N r 255 jo Nr 292, dan „Ongevallen regeling 1939” , L.N.H.B.
1939 N r 256 jo 292.
B eberapa peraturan jang pada azasnja hanja berlaku bagi go
longan hukum Eropah, berlaku djuga bagi seorang Indonesia -asli,
apabila oleh karena sesuatu hal ia telah masuk ke dalam lingku
ngan peraturan-peraturan ini : ■-
Peraturan dalam L.N.H.B. 1904 Nr 272 jang menerangkan
bahw a hak-kew adjiban orang Indonesia asli jang mendjadi anggauta
suatu perhim punan (persatuan) atau jan,g mendjadi anggauta pengu
rus suatu perhim punan jang telah diakui sebagai badan hukum
berdasarkan peraturan dalam L.N.H.B. 1870 Nr 64, akan diatur oleh
ketentuan-ketentuan jang bersangkutan dalam K.U.H. Perdata.
Peraturan dalam L.N.H.B. 1882 Nr 280, jang mengatur djangka
liw at waktu penagihan padjak, berlaku bagi semua golongan hukum
di Indonesia. Peraturan-peraturan hukum perdata Eropah jang ber
sangkutan dengan peraturan ini, berlaku djuga bagi semua golo
ngan hukum di Indonesia, terketjuali pasal 1950 K.U.H. Perdata
(ja n g h an ja berlaku bagi golongan hukum Eropah).
B eberapa peraturan perundang-undangan („ordonnantie recht” )
ja n g hanja berlaku bagi golongan, hukum Indonesia asli (hukum
b a ru ) :
O rdonnansi mengenai perhimpunan Indonesia (badan hukum
443
Madura, L.N.H.B. 1920 Nr 751 jo L.N.H.B. 1927 Nr 564 (m endjadi
berlaku pada tanggal 1 Djanuari 1928) 19.
Untuk golongan hukum Indonesia asli jang beragama K risten
berlaku dua peraturan perundang-undangan jang istimewa, jaitu :
Peranturan mengenai pendaftaran „Burgerlijke Stand” orang In
donesia asli jang beragama Kristen, L.N.H.B. 1933 Nr 75 jo L.N.
H.B. 1936 Nr 607. Peraturan ini hanja berlaku di pulau Djawa daD
Madura, di daerah Minahasa dan Maluku.
Ordonansi perkawinan antara orang Indonesia asli jang ber-
agama Kristen, L.N.H.B. 1*933 Nr 74 jo L.N.H.B. 1936 Nr 607. P e
raturan ini hanja berlaku di pulau Djawa dan Madura, di daerah
Minahasa dan Maluku 20.
Ahirnja, dapat diingatkan disini beberapa peraturan, baik ter
tulis maupun tidak tertulis, jang berasal dari hukum Islam (jang
belum diresepsi dalam hukum adat) jang berlaku di daerah-daerah
jang penduduknja dalam penghidupan sosialnja masih sangat ber
pegangan pada agama Islam.
Kemungkinan bagi orang Indonesia asli supaja dengan sukarela
mentaati hukum privat Eropah (vrijwillige onderwerping aan Euro-
pees privaatrecht) 2 1 . telah diberi dalam pasal 11 A.B. K ini ke
mungkinan tersebut terdapat dalam pasal 131 ajat 4 I.S. jang mem
beri tugas kepada pembuat ordonansi untuk membuat suatu peraturan
organik jang menjelenggarakan kemungkinan itu 22. Peraturan or
ganik tersebut terdapat dalam L.N.H.B. 1917 Nr 12. Peraturan ini
diberi nama „Regelin,g nopens de vrijwillige onderwerping aan het
Europeesch privaatrecht’ (Peraturan mengenai pentaatan dengan
sukarela pada hukum privat Eropah).
444
_ -Peraturan ini memuat empat kemungkinanj jaitu :
a. pasal-pasal 1-17 jang memberi kemungkinan kepada seorang
bukan-E ropah untuk dengan sukarela mentaati hukum privat Eropah
untuk seluruhnja (algebele onderwerping).
b. pasal-pasal 18-25 jang memberi kemungkinan kepada seorang
bukan-E ropah untuk dengan sukarela mentaati hukum privat Ero
pah untuk sebagian sadja (gedeeltelijke onderwerping) 23-
c. pasal-pasal 26-29 jang memberi kemungkinan kepada seorang
Indonesia asli untuk dengan sukarela mentaati hukum privat Ero
pah untuk suatu perbuatan hukum jang tertentu (onderwerping
v o o r een bepaalde rechtshandeling) 2■*.
d. pasal-pasal 30-31 jang memberi kemungkinan kepada suatu
badan hukum Indonesia (Indonesisch rechtspersoon) jang berke
diam an di pulau Djawa dan Madura untuk dengan sukarela men
taati hukum privat Eropah untuk sebagian sadja. Kemungkinan ini
tidak dibuat untuk suatu badan hukum menurut hukuin jang tidak
tertulis (hukum adat). Kemungkinan ini untuk, misalnja, „maskapai
andil Indonesia” , jang badan hukum jang diatur hukum Indonesia
( — hukum jang bukan hukum Eropah) iane tertulis („ordonnan-
tiereclit” ).
Selandjutnja, kami m ohon perhatian untuk nentaatan dengan
sukarela pada hukum privat Eropah dengan diam-diam (stilzwijgen-
de atau veronderstelde onderwerping aan Europees privaat-
recht) Pasal 29 L.N.H.B. 191/ Nr 12 menerangkan baliwa
kali orang Indonesia asli melakukan sesuatu perbuatan hukum jang
diatur oleh hukum perdata dan hukuin dagang golongan Eropah
dan jan g tidak diatur dalam hukum jang berlaku baginja, maka
dianggaplah ia telah mentaati dengan sukarela peraturan-peraturan
jan,g bersangkutan, dan jang tidak berlaku baginja, dari hukum
perdata dan hukum dagang golongan Eropah” . v
>
’ 445
Dalam lapangan perniagaan atjap kali tercljadi hal seorang Iu-
donesia asli menanda-tangani suatu wèsel (wissel), prom ès atau
chèque (tjèk) dan bertanggungdjawab atas segala akibat penanda
tanganan itu. Pada waktu wèsel itu ditanda tangani maka dianggap
lah. serentak (tegelijkertijd) djuga ia telah mentaati dengan sukarela
semua peraturan-peraturan mengenai hukum wèsel (pasal-pasal 100
djb. K.U.H. Dagang) serta peraturan-peraturan lain jang bersang
kutan, misalnja, semua pasal-pasal K.U.H. Perdata jang m engenai
lewat waktu penagihan, terketjuali jang bertentangan dengan pasal-
pasal 169 dan 170 K.U.H. Dagang (pasal 168a K.U.H. Dagang)-
Walaupun tidak diterangkan dengan tegas, dengan sendirinja penan
datanganan itu berarti adanja pentaatan dengan sukarela pada hu
kum wèsel jang terdapat dalam hukum dagang Eropah.
Dari sedjarah penetapan L.N.H.B. 1917 Nr 12 dapat diketahui
bahwa pasal 29 itu dibuat untuk memenuhi keperluan-keperluan
jang tertentu dalam lapangan perniagaan. A tjapkali dikatakan bah
wa pasal 29 itu „pasal wésel, promès dan chèque” . O leh P rof. K o 1 -
l e w i j n dikatakan bahwa pentaatan dengan diam-diam (stilzwy-
gend) (dan dengan sukarela) pada suatu perbuatan hukum privat
Eropah jang tertentu itu pada hakekatnja suatu keterangan (d a n
pemerintah) bahwa sebagian tertentu dari hukum privat Eropah
berlaku djuga bagi orang Indonesia asli jang bersangkutan 26 !
Pasal 29 menjebut „suatu perbuatan hukum jang tidak diatur
oleh hukum jang berlaku baginja” . Maka perbuatan hukum jang
tertentu itu siiatu perbuatan (hukum Eropah) jang tidak terkenal
dalam hukum adat jang berlaku bagi orang Indonesia asli. Karena
hukum adat mengenai bagian terbesarnja terdiri atas peraturan-
peraturan jang tidak tertulis, maka sangat sukarlah supaja ditentu
kan apakah perbuatan hukum jang bersangkutan telah diketahui
atau tidak dalam liukum adat. Oleh Raad van Justitie di Semarang
pernah dikatakan bahwa perbuatan penanda-tanganan wèsel terseb u t
telah diresepsi dalam hukum adat27.
26 P r o f. K o l l e w i j n m e n je b u t p en ta ata n se m a tja m itu su atu „ v e r -
m o m d e toep a sselijk v erk la rin g ” , L e m a i r e, hal., 2 6 7 n o o t 2 , b e r -
b itja ra ten ta n g „v e r k a p te to e p a ss e lijk -v e rk la rin g ” .
27 D j o j o d i g o e n o „A sa s-a sa s h u k u m adat” , h a l. 2 4 :
„ K e b a n ja k a n o r a n g ja n g m e n g e lu a rk a n „ „ w is s e l” ” , , ; :a c c e p t a t ie ” ”
atau „ „ o r d e r b r ie fje ” ” itu sa m a -sek ali tid a k m e n g e r ti w erd i p e r b u a t"
a n n ja , m e la in k a n m e n g ira itu ad ala h ta n d a p e n g a k u a n u ta n g ja n g
tid a k b o le h d isa n gk a l. P u n tid a k ada n iat p a d a k e d u a -b e la h p ih a k
u n tu k m e n g a d a k a n p e r h u b u n g a n ja n g la zim d ia n ta ra p e n a n d a tangan,
surat w issel ds itu d en g a n o r a n g m en erim a n ja ., D ja d i p e n d e k n ja p e
la k sa n a a n p e n u n d u k a n itu k e b a n ja k a n m e r u p a k a n p e n ja la h g u n a a n
sa h a d ja ” .
446
J ang paling pertama mentjiptakan kemungkinan bagi "orang
bu kan-E ropah untuk dengan sukarela mentaati hukum privat Eropah
ialali M r S c h o l t e n v a n O u d - H a a r l e m 28. Apa sebabnja
maka M r S c h o l t e n v a n O u d - H a a r l e m mentjiptakan ke
m ungkinan tersebut ialah keperluan pedagang Eropah untuk dapat
m em aksa pedagang bukan-Eropah melakukan tepat pembajaran
utang-utang m ereka jang ditimbulkan karena perniagaan antara
kedua golongan hukum itu. Kemungkinan itu ditetapkan oleh Mr
S c h o l t e n v a n O u d - H a a r l e m dalam pasal 11 A.B.. Ber
dasarkan penafsiran undang-undang menurut sedjarah p e n e t a p a n n j a
(wetshistorische interpretatie) oleh Prof. K o l l e w i j n dibuktikan
bahw a kem ungkinan tersebut, jang dimasukkan oleh Mr S c h o l
t e n v a n O u d - H a a r l e m kedalam pasal 11 A.B., berasal dari
pasal 119 sub 3 rentjana-„Rechterlijke Organisatie” (R -0 .) j an& di
bu atn ja pada waktu kodifikasi hukum tahun 1848. Ketentuan jang
disebut terahir in i mem buktikan bahwa jang dimaksud dengan ^Per
buatan hukum jang tertentu” itu (lihatlah djenis pentaatan dengan
sukarela sub c diatas tadi) suatu perbuatan hukum kekajaan (ver
m ogensrechtelijke handeling), atau suatu perbuatan hukum jang
dilakukan oleh kediw belah fihak (partijhandeling).
D alam sebuah karangan dalam „W eekblad van het Recht (Be
landa) N r 11779, dikeinukakaii bahwa poiitaatnu tlcnzan *ukartls
pada suatu perbuatan liukum privat Eropah tertentu sering dimohon
o leh seorang bukan-Eropah dengan maksud membebaskan diri dan
penahanan („gijzeling” ) karena tidak dapat (atau tidak mau) mem-
b a ja r utang. Hal ini karena lembaga hukum kepalitan itu tidak
terkenal dalam hukum privat adat 29 30.
Pada saat sekarang arti dari lembaga hukum pentaatan dengan
sukarela pada hukum privat Eropah itu sangat dikurangi oleh ada-
n ja suara edaran Mahkamah Agung tertanggal 5 September 1963
N r 3/1963.
447
P a r. 5: A d o p s i - 31
31 Mengenai adopsi dalam bukum adat jang berlaku bagi golongan liu-
kum adat Indonesia asli lihatlah t e r H a a r „Beginselen en stelsel” ,
hal. 153 d jb .; Mr N.S. B I o m „Gegevens uit een adoptiegeschil in
de Minahasa” dalam T. 131, hal. 1 46; Mr G J . R e s i n k „Verwaar-
lozing van adoptic naar adatrecht in het ambtenarenrecht” dalam
T. 152, hal. 2-19.
32 Code Civil Perantjis mengenal adopsi.. Adopsi itu djuga terkenal dalam
hukum perdata pada djaman V.O.C.
33 Lihatlah tentang hukum adat orang Tim ur asing dan orang Tionghoa
a.l. buku Prof. Mr C. v a n V o l l e n h o v e n „Adatrecht van Nfeder-
landsch Indie” , II.
448
ilan isleri bersama-sama ^pasal 12). Jang diadopsi diberi nama clan-
dari ja n g mengadopsinja (pasal 11). Hubungan-liukum privat se:
m ula antara jang diadopsi dengan orang tuanja sendiri dan keluarga
lain, diputuskan sama sekali, terketjuali dalam beberapa hal (pasal
14). x <j
A d o p si harus didjalankan dengan suatu akta notariil (pasal 10).
P a r. 6: Se d j a r a h hukum dagang E r o p a h.
449
itu dilakukan antara pedagang-pedagang di kota-kota pelabuhan dan
dilakukan dengan menggunakan kapal laul sebagai alal pengangkut
an barang perniagaan.
Dalam Revolusi Perantjis „g ild e ” itu dihapuskan dan oleh rakjat
diproklamasi kebebasan orang m entjari pek erdjaan ja n g disukainja
(vrijheid van b e ro e p ), sehingga tidak ada lagi alasan untuk m e m i
sahkan dari hukum privat um um , ja n g berlaku bagi tiap pen du du k
daerah Negeri Perantjis, suatu hukum jang istimewa jang hanja
berlaku bagi para pedagang. A palagi lam a-kelamaan ban jak p e r
aturan-peraturan hukum dagang itu digunakan djuga oleh orang
bukan-saudagar.
Tetapi walaupun ada perkem bangan dem ikian, masili djuga
diteruskan perbedaan antara hukum perdata dengan hukum dagang
itu. Pada tahun 1807, di samping „C o d e Civil des Fran^ais” ja n g
mengatur hukum perdata Perantjis, dibuat suatu kitab undang-
undang hukum dagang tersendiri, jaitu „C od e de C om m erce” . Jang
didjadikan dasar „C od e de C om m erce” itu adalah hukum ja n g d i
tim bulkan dalam lapangan perniagaan sedjak D jam an Pertengahan.
D ari par. 2 kita tahu bahwa pada tahun 1811 k odifikasi hukum
Perantjis tahun 1807 didjadikan berlaku di N egeri Belanda
sampai tahun 1838. W alaupun di N egeri Belanda pada waktu se
belum tahun 1811 — jaitu pada waktu di N egeri Belanda berlaku
hukum Belanda jan g kuno — belum pernah ada suatu hukum da
gang jan g terpisah dari hukum privat um um ja n g berlaku bagi se
tiap penduduk daerah N egeri Belanda, m asih djuga pasal 100 un
dang-undang dasar Negeri Belanda dari tahun 1814 (ketentuan k o
difikasi) mengatakan bahwa, di samping sebuah kitab undang-
undang hukum perdata, akan diadakan djuga sebuah kitab undang-
undang hukum dagang. Tetapi dalam usul-kitab undang-undang
hukum dagang Belanda dari tahun 1819 tidak diakui lagi peradilan
istimewa untuk m enjelesaikan perkara-perkara jang ditim bulkan
karena perniagaan. Perkarii-perkara dagang harus diselesaikan di
muka pengadilan biasa. Usul-kitab undang-undang hukum dagang
Belanda ini m endjadi kitab undang-undang hukum dagang Belanda
tahun 1838. Berdasarkan azas konkordansi, maka kitab ini kem udian
m endjadi tjontoli bagi pem buat K.U.H. Dagang Indonesia tahun
1848.
W alaupun sedjak Revolusi Perantjis tidak ada lagi alasan untuk
mengadakan suatu hukum istimewa bagi para pedagang, masih
djuga kedalam kitab undang-undang hukum dagang Belanda tahun
450
1338 — demikian djuga dalam K.U.H. Dagang Indonesia tahun
1843 __ dimasukkan ketentuan-ketentuan jang hanja berlaku bagi
para pedagang (walaupun mereka tidak lagi merupakan suatu
„g ild e” ). Misalnja, suatu firma (perseroan-firma, vennootschap on-
der firm a) atau suatu perseroan komanditer (commanditaire-.ven
nootschap) hanja dapat didirikan oleh para pedagang, hanja para
pedagang dapat didjatuhkan kedalam keadaan palit (kepalitan),
hanja para pedagang dapat dipaksa melakukan pembukuan (aanleg-
gen van een boekliouding). Pendeknja, K.U.H. Dagang itu masih
merupakan himpunan peraturan-peraturan untuk para pedagang.
Pasal 2 mengatakan apakah „koopman” („Pedagang” ) itu, pasal-
pasal 3-5 mengatakan apakah „handelsdaden” („perbuatan dagang” )
dan „handelzaken” ( = hubungan-hukum jang ditimbulkan karena
perbuatan dagang dan peristiwa hukum lain dalam lapangan per
niagaan) itu.
Tetapi pada bagian kedua abad ke-19 dalam praktek telah ter-
njata bahwa tiada lagi alasan untuk mengadakan suatu .hukum da
gang jang hanja berlaku bagi para pedagang sadja. Telah ternjata
bahwa djuga seorang bukan-pedagang mendjual dan membeli ba
rang, bahwa kepalitan itu djuga diperlukan untuk dapat memaksa
mereka jang bukan-pedagang jang tidak mau atau tidak dapat lagi
m em bajar utang mereka. Untuk mereka jang disebut terahir ini ha
nja ada kemungkinan unllik didjatuhkan kedalam suatu „keadaan
jan g pada kenjataannja tidak dapat membajar lagi” („staat van
kennelijk onvermogen” ), jaitu suatu lembaga hukum jang tidak
dapat memberi djaminan penuh kepadu ponapili. Apalagi dnlam
hukum Belanda jang kuno mengenai kepalitan tidak pernali diada
kan perbedaan diantara pedagang dengan bukan-pedagang. Sistim
hukum semula tidak mengenal perbedaan sematjam itu, lebih baik
kem bali kepada sistim semula ini dan menghapuskan sistim jang
berasal dari „C ode de Commerce” Perantjis ! Inilah pendapat jang
m akin lama makin kuat.
Pada tahun 1893 rentjana Prof. W.L.P.A. M o l e n g r a a f f
untuk mengganti buku III kitab undang-undang hukum dagang B e
landa („Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden” )
didjadikan undang-undang pada taliun 1893, jaitu Undang-undang
Kepalitan (L/N. Belanda 1893 Nr 140) jang mendjadi berlaku pada
tanggal 1 September 1896. Berdasarkan azas konkordansi, maka
pada tahun 1906 .perubahan ini diadakan djuga di Indonesia, jaitu
451
Buku II I dari K.U.H. Dagang itu diganti dengan Peraturan Tve-
palitan (F aillisem eiitsverordening), L.N .H .B. 1905 N r 217 jo L-N-
II.B. 1906 N r 348, jang b erd iri tersendiri 31. Sedjak tuliun 1906
maka K.U.H . Dagang hanja terdiri alas dua buku sadja, ja ilu :
Buku I : „V a n den k ooph an del in liet algem een” (T en la n g p e r
niagaan pada um um nja) dan B uku I I : „V a n de reglen en verp lig '
tingen uit scheepvaart voortspruitende” (tenlang hak dan k e w a d jib -
an jang ditim bulkan oleh karena perkapalan).
K em udian, m ulai tahun 1935 (d i Indonesia sedjak lahun 1938)
hukum dagang itu tidak lagi m erupakan suatu hukum istimewa
jang, m enurut m aksudnja dari tahun 1811 (d i Indonesia laluin 1848),
hanja berlaku bagi para pedagang. Pada tahun 1934 di N egeri 13e;
landa — berdasarkan sualu rentjana P rof. M r M o l e n g r a a f f
pula — dibuat suatu undang-undang jang m engubah kitab undang-
undang hukum dagang Belanda pada p ok ok n ja, ja k n i m enghapus
kan perbedaan antara „pedagang” dengan „bukan-pedagang” , antara
„handelszaken” dengan „burgerlijk e zaken” . Pengertian „liandels-
daad” , jang sedjak taliuu 1838 m erupakan dasar kitab undang-undang
hukum dagang Belanda (dem ikian djuga halnja dengan K.U.H*
Dagang In d onesia), diganti dengan pengertian „b ed rijfsd a a d ” („ p e r
buatan perusahaan” ). Dengan „bedrijfsdaad” itu dim aksud suatu
perbuatan jang dilakukan dalam m endjalankan perusahaan. P en ger
tian „k oopm an ” diganti dengan pengertian „liij die een b ed rijf u iloe-
fent” („barangsiapa jang m endjalankan perusahaan” ). T id a k perlu
dikatakan pandjang lebar bahw a pengertian „liij d ic een b e d rijf
uitoefent” itu suatu pengertian jang leb ih lnas dari pada pengertian
„k oopm an ” . Tetapi apakah jang dimaksud dengan „perusahaan'”
itu tidak dikatakan oleh undang-undang jang bersangkutan. H al itu
dapat diketahui dari „M em orie van T oelich tin g” (P endjelasan) u n
dang-undang Belanda tahun 1934 tersebut, jang mengatakan bahw a
jang m endjalankan sesuatu „perusahaan” ialah tiap orang jang m e
lakukan perbuatan-perbuatan jang tertentu („ in zekere hoedanig-
h eid” ), jang tetap („regelm atig” ) , jang kelihatan oleh semua orang
lain karena resmi („op en lijk ” ) dan dengan maksud m em peroleh laba
untuk kepentingan sendiri („m et het doel voor zich zelf winst te
behalen” ).
Perubahan jang sangat penting ini m ulai berlaku pada tanggal
1 D januari 1935. Berdasarkan azas konkordansi maka perubahan ini
452
d id ja d ik a n berlaku djuga di Indonesia, jaitu pada taliun 1938. L i
hatlah L.N .II.B . 193» N r 276.
P ada tanggal 1 A p ril 1938 — berdasarkan azas k onkordansi
diadak an lagi perubahan dalam B uku II dari K .U .H . Dagang. L ih at
lah L .N .II.B . 1933 Nr 47 jo L.N .II.B. 1938 N r 1 dau N r 2. S edja k
tanggal 1 A p ril 1938 m aka di Indonesia berlaku sualu liukum laut
ja n g baru (niem v zeerech t). Pada tahun 1962 diundangkan suatu
peraturan penting, jaitu peraturan P em erintah 1962 N r 12 len la n g
„P e ra tu ra n perusahaan muatan kapal laut 1962” , L .N .H .B 1962
N r 47 (dengan „P en d jela san ” dalam T am bahan L .N . N r 2474).
S ed ja k tanggal 1 djanuari 1938 di Indonesia berlaku sualu liu
kum wèsel dan chèque baru (nieuw wissel- en ch èq u ereclit) (pasal-
pasal 100 d jb . K .U .H . D agan g). H ukum baru in i disesuaikan dengan
dua traktat jan g diadakan di kota Geneva (N egeri S w is), ja itu Irak
tat w èsel pada tanggal 7 D ju n i 1930 dan traktat ch èq u e pada ta n g
gal 19 M aret 1931. K edua traktat ini b erlaku dju ga di In d on esia
berdasarkan L.N. Belanda 1935 N r 224 dan N r 490 j o P ersetu dju a n
P e r p in d a h a n K .M .B. pasal 5 ajat 1 35.
453
lenissenrecht” 1936. V „Zakenrech t” , 1940, V I , „E rfre ch t’ j l 9 i l
(bersaina-<jania dengan Mr H !F.K . D u b o i s ) dun „H u w ely k sgoed e-
renreclit” , 1 9 4 3 ; Mr J.G. K l a u s e n „H uw elijksgoederen- en e r f
recht” (disadur oleh P rof. Mr J. E g g e n s bcrsania-fsaina dengan
Mr J.M. P o l a k ) , 1 9 5 6 ; P rof. Dr L.C. H o f m a n 11 - P ro f. Mr
S.N. v a n O p s l a 1 „H et Ncderlandsch V erbintenissenrechl” , I („*^e
algem cne leer der verbintenissen” ) , 1948? P rof. D r L C . II o i n u n n
„I ie i Nederlandsch Verbintenissenrecht” , II, ( „ D e bijzon dere contrae-
len” ) , 1912. dan „H ct Nederlandsch Zakenreclit” , 1 9 4 4 ; P r o f. Mr
F.G. S e h e t t e m a „N ederlandsch Bewijsrecht” , 1 9 3 4 -1 9 4 0 ; P ro f.
Mr S, v a n Urakci „L ecrb oek van liet Nederlandse verbintenis-
scnrecht” . 1 (1 9 4 9 ) dun l l (1 9 5 0 ) ; Mr J.H. B a s t „H e l ontw erp-
Meijers voor een nieuwe B .W . vergeleken met het besluunde B.W .'%
1 95 6; P rof. Mr J. E g g e n s „Verzunielde privaatrechtelijke opstel-
lcn ” , 1938 (tjetukan kedua 1 9 5 8 ); „V erzunielde geschrif len van
Paul Schölten” . 4 d jilid ; Prof.. Mr E.M. M i j e r s „V erzain elde pri-
vaatrechlelijke opstellen” , 3 djilid.
B. H ukum dagang :
P rof. Mr W .L.P.A. M o l e n g r a u f f „L eidraad bij de b eoefon in g
van hei Nederlands handeisrecht” , I, 1947 dan II, 1 9 4 8 ; P r o f. Mr
T.J. D o r l i o u t M e e s „K o r t begrip van het Nederlands Handels
recht’ ’ , 1 95 6; Prof., Mr E.J.J. v a n der H e i j d e n „Ila n d b o e k
voor de naamloze vennootschap naar Nederlands recht” , 1950 (disu-\
dur oleh Mr W .C.L. v a n d e r G r i n t e n ) ; P rof. M r 1*’.G. S c h e i
t e r n » „NVisseli en chequerecht” . 1950 (disadur oleh Mr j . W i a r -
d a ) ; P rol. Mr K.P. C l e v e r i n g a Jzn „H e i nieuwe zcerech t” ,
1 9 4 6 ; Mr Dr H.F.A., V ö 1 1 m a r, liga d jil i d : „H e t Nederlands
Handelsrecht” , 1953, „Z e e . en Binnenvaartrccht” , 1 9 5 2 , clan „D e
Faillissementswel” , 1953.
C. Uagi Indonesia :
Komentar A.E. P r o s e e „H et Iiurgerlijk W etbock van Nederlandsch
lnd ie” , 1 93 8; Mr S.D. E m a n u e 1 s „V oogd ijvoorzien in g na eclit-
scheiding en voorziening in de ouderlijke lnuclil na scliciding van tafel
en bed (artl. 229 lid 1 en 246 lid 2 B .W .)” dalam T . 151, hal. 1 -4 0 ;
Mr Dr J.F.A.M, B u f f a r l „H et nieuwe Indische zeereclit” . 1 9 4 1 ;
karangan-karangan terpenting P rof. Z e y l e m a k e r : u.l „Ä cc o o rd
buiten faillissement’ ’ dalam T . 129, hal. 1, „G ebru ik cn niisbruik van
den rechtsvorm, in het bijzonder bij de N.V.” , pidato dies Batavia
1934, „H ct Iiurgerlijk W etboek in Nederl. In d ic” dalam „G ed en k b oek
B .W . 1838-1938” , „H an d elsk oop ” , 1 9 3 8 , „K eorganisatie van insolvente
vennootschappen’ ' dalam T . 149, lial.. 613-j654, ,;Het keeren van inis-
bruiken in de onderlingc verliouding van V erb ü n d en naam loze ven n oot
schappen” dalam T . 142, „Inlandsche rechtspersonen” dalam ,,K o lo
niale Studien” , 23 (1 9 3 9 ), hal, 207-227_ dan „D e structuur van de
vennootschap onder een firm a” dalam ‘ „G ed en k boek Rechtsweten-
schappelijk H oger Onderwijs in Indonesie 1 92 4-19 49 ” . hal. 3 1 5 ; P ro f.
Mr R .D . K o l l e w i j n ,,Eilige opm erkingen over de geldin g van
hct Indonesische \^etboek van K oophandel na de souvereiniteitover-
dracht” , „R echtsgeleerd Magazijn” , 1952 („C leverin ga •nummer” ) ,
hal. 617-;627; Mr Dr B. S a b a r o e d i n i,Enige gangbare vervoers-
en bevrachlingsbedingen” . dis. Leiden 1955 (dibitjarakan olch
A. D i r k z w a g e r dalam „H u k u m ” , 1956, Nr 5-6, hal. 17-,18).
D. Dalam bahasa Indonesia :
Terdjem ahan K.U.H . Perdata oleli Mr R. S u b e k t i dan T j i t r o -
s u d i b i u „K ita b U ndang-undang H ukum Perdata” , 1 9 5 7 ; M r W i r .
jono P r o d j o d i k o r o „Azas-azas hukum perdata” , tjetakan II,
„P erbuatan m elanggar hukum ” , tjetakan III, „H u ku m perdata tentung
hak-hak atas benda” , 1955, „Azas-’azas liukum perdjandjian ” , tje-
454
lukuti IV , „H u k u m tierdatu tentang persetudjuaii-persfeUuljv
tc n iu ” , tjelukun 111, „H u k u m perkaw inan di In donesia , tj*.
111, „H u k u m warisan di In don esia” , tjelak a n 11, „H u k u m laut \
In d on esia ” , ijela k an 11, „H u k u m wesel, tjek dan aksep di ln d o l,
sia” , tjclak an 1, „H u k u m asuransi di In d on esia” , tjelakan 11 (1 9 6 1 )y
„U sah a m em perbaiki hukum perkaw inan di Im lon esia ” , prasaran clj v
m u k a K on gg res 1 1.S .Il.I. pada tanggal 15-V19 S eptem ber L95<,
„M a d ja la h liu k u m dan M asjarakal” , 11, 3 dan *1 , hal, 1 5 - 2 j ,
„U sah a m em perbaik i hu kum warisan di In d on esia ” , prasaran
diin uk a K on ggres 11 1.S.11.1.. pada tanggal 16-19 Septem ber 195 9
„H u k u m dan M asjarakal” , 1 96 0, 1, hal. 13*32 (keistim ew aan k a rja
M r W i r j o n o ialah pengaran g dalam b u k u n ja selalu m e m b a n d in g
k an h u ku m E ropali dengan hu ku m adat, dan dengan d jala n ini telah
m em persiapk an akan dilahirkan nanli suatu h u k u m kesatu an) ; M r
L i e O e n 11 o k „P eraturan-peratu ran tjatatan sipil di In d on esia ” ,
1 9 5 4 (d iterd jem a h k an dalam bahasa T io n g h o a o le h D rs L i e T j w a n
S i o c Y in ni m in shih seng clii tiao lie ” )^ (tje la k a n 111 1 9 6 1 ) ;
M r S u b e k t i „P o k o k -p o k o k dari H u k u m Perdata ja n g term uat
dalam B .W . dan W ..v.K.” , 1 95 5, „K ek u a sa a n h akim u n tu k m en lja n i-
l»uri u- .i i u p erd ja n d jia n ” dalam „B e b e ra p a tin djau an h u k u m ” , 195V ,
hal. 5 7 -6 4 ; Mr^M.H. T i r l a a d m i d j a j a „ P o k o k -p o k o k h u k u m
perniagaan” , 1 9 5 6 ; P r o f. M r K. S o e k a r d o n o „H u k u m D a ga n g
In d on esia ” , 1, bagian pertam a, 1958, I, bagian k edu a, 1 9 6 4 , I I , bagian
pertunia, 1 96 1, „ le n t a n g charter-iiarlij dan k o g u o se m e n ” dalam „ B e b e
rapa tindjauan ilm u h u k u m ” , 195 9, hal. 9 3 -1 2 3 ; M r S.A. H a k i m
„P erseora n g a n dibawah firm a, perseroan k om a n d it dan perseroan
terbalas” , 1 9 5 8 ; M r M a l i a d i „S o a l dewasa” ,, tanpa ta n gga l; Mr
S o e n a w a r S o e k o w a t i „S e la ja n g p an d an g h u k u m p erta n g
gu n ga n ” dalam „M a d ja la h H uk u m dan M asjarakat” , 111, 1 , hal.
2 1 -2 9 ; J.E . K. a i h a t u ,,Asuransi p en gan gk u ta n ” , 1959; li.
lt o c h m a l S o e m i r o „P en u n tu n perseroan terbalas (n a a m loze
v e n n ootsclia p ) dengan U ndang-undang P a d jak P erseroan” , 1 9 5 9 ;
W .H . M a k a 1 i w i e „B eb era p a tindjauan sekitar p erseroan lerbatas”
dalam „E k o n o m i dan keuangan In d on esia ” , 1 96 1, 1-fi, hal. 3 -1 4 ; M r
S u m ur d i M a n g u n k u s u m o „H o o fd e lijk h e id en O ndeelbaar-
lieid ” dalam „H u k u m dan M asjarakat” , 1 96 0, 2 , hal. 6 9 -7 9 ; M r E.
S u li e r m a n „T a n g g u n g djaw ab p engan gk u t dalam liu ku m udara
In d on esia ” , 1 9 6 2 ; M . H u s s c y 11 U jn a r, S.H . „P era tu ra n p e ru
sahaan m uatan k apal laut 196 2 ” , 1962.
455
B A B X IV
IIU K U M P E R S E L I S III A N
456
Sumber-sumber peraturan petundjuk atlalali :
a. undang-undang
C 17
nasional dan kebiasaan nasional.
b. traktat dan kebiasaan internasional.
c. jurisprudensi internasional m aupun nasional.
d. doktrin a internasional m aupun nasional.
457
D jadi, sebagian hukum Indonesia m engikuti w arga-negara In d o
nesia keluar negeri. Pasal 16 A.B. menerangkan b e r l a k u n ia lex
originis atau statuta personil. Dalam hal hakim asing (d ilu a r n e
geri) tidak mau m endjalankan hukum Indonesia dalam p e n j e le
saian perkara mengenai status dan wewenang — h u k u m tu b jek
hukum dan hukum keluarga (uersonen en f a m i l i e r e c h l ) w a rg a
negara Indonesia f diluar negeri), maka hakim Indonesia dapat m em
batalkan keputusan hakim asing itu serta akibat k e p u l usan te r s e b u t ,
apabila jang bersangkutan hendak m endialankan di w ila ja h h u k u m
(rechtsgebied) negara Indonesia hak-hak ja n g d ip erolelin ia dari
keputusan hakim asing itu. Sebaliknja, walaupun dalam pasal 16
A.B. hanja,.di sebut „warga-negara Indonesia” , m enurut ju r is p r u
densi maupun doktrina, hakim Indonesia dapat m e n d ja l a n k a n azas
lex originis ini dalam penjelesaian perkara m engenai status dan we
wenang orang asing (di Indonesia). Oleh hakim Indonesia dapat
didjalankan hukum asing, misalnja, hukum D jerm an m engenai sta
tus dan wewenang seorang warga-negara D jerm an jan g ada di In.
donesia. Ada tatahukum negara asing — m isalnja, dari N egeri Ing
gris dan dari Amerika Serikat — jang m enerangkan b e r i akun ia Zc.r
domicili, jaitu jang berlaku bukanlah hukum orang asing tetapi
hukum tempat di mana orang asing tinggal.
458
P asal 17 A .B . ..M engenai benda jang tidak bergerak berlaku
u n d a n g -tm d a n g negara atau tempat di mana lienda itu tei letak
T jo n t o lm ja : seorang w argan egara I n d o n e s ia m em punjai rumali
di N e g e ri "Belanda. H ukum jang berlaku m e n g e n a i rum ah itu liu
ku m B e la n d a . D alam hal ini jang ditundjuk ialah hukum B elanda,
ja itu liu k u in nasional tempat di mana rumali itu terletak. Pasal 17
A .B . m en era n gk an berlakunja lex rei sitae atau statuta rv.il, jak n i
ja n g b e rla k u ialah hukum tempat di mana benda itu terletak.
P asa l 1P> A .B . : „B en tu k tiap perbuatan ( = tjara m endjalun-
kan perbuatan^ ditentukan oleh undang-undang negeri atau tem pat
dim an a p erb u a tan itu diadakan” . Seubali tjou toli : seorang w arga-
negara In d o n e sia m en d ju a l benda jang bergerak kepada seorang
w arga -n ega ra In d on esia lain di kota Paris. Jang dapat m enentukan
isi p e r d ja n d jia n d ju a l-b e li ini ialah hukum Indonesia, tetapi jang
m e n en tu k a n tjara m engadakan p erd ja n d jia n d ju a l-b eli tersebut ia
lah h u k u m P eran tjis. Pasal 18 A .B . m enerangkan berlakunja statuta
m ixta .
T ra k ta t ja n g m em uat peraturan petundju k adalah a.l. him punan
traktat-traktat ja n g hiasan ja disebut Traktat-traktat D en H aag (ITaag
se T ra cta te n ) : traktat tertanggal 12 D ju n i 1902 m engenai p erk a
w in an , traktat tertanggal 17 D ju li 1905 m engenai kekajaan perka- (
w in an (h m velijk se v erm ö g e n ), traktat tertanggal 12 D ju n v 1902
m e n g e n a i p e rtje ra ia n dan „p ertjera ia n dari m ed ja dan tem pat
tid u r” , traktat tertanggal 12 D ju n i 1902 m engenai perw alian atas
ja n g b e lu m b e rtju k u p um ur dan traktat tertanggal 17 D ju li 1905
m en g en a i k u ra tele (pengaw asan, cúratele) 3.
T e ta p i w alau p u n h u k u m nasional asing pada u m um nja diakni
dapat d ju g a b erla k u sebagai h u k u m jan g inenjelesaikan perkara p ri-
459
t
vat ja n g d itim b u lk a n d a la m w ila ja li n ega ra n a s io n a l s e n d ir i, m a sih
d ju g a k a d a n g -k a d a n g b e b e r a p a p era tu ra n terten tu d a r i h u k u m na
sion a l asin g tersebu t tid a k d a p a t d iterim a sebagai h u k u m ja n g d a p a t
m en ga tu r. H u k u m n asion al asing lia n ja dapat d id ja la n k a n d jik a la u
tid a k b e rte n ta n g a n d en ga n ta ta tertib u m u m n a sion a l ■*. S e b u a h t jo n -
to h : w a la u p u n h a k im B e la n d a 'm e n g a k u i statuta p e r s o n il se o ra n g
w arga n egara R .P .A . alau seora n g b era g a m a Isla m ja n g la in (p a sa l
6 A .B . B e la n d a ), m a sih d ju g a tid a k d a p a t d ite r im a h a l o r a n g w a rg a -
negara R .P .A . atau ora n g b era gam a Isla m ja n g la in terseb u t k a w in
den gan le b ih dari pada satu ora n g p e re m p u a n W 'arga-negara B e la ijd a
4 T e n ta n g „ ( n a t i o n a l e ) o p e n b a r e o rd e ” b a tja la li R .D . K o 1 1 e w i j n
„ H e t h eg in sel d e r o p e n b a r e o r d e in het in te rn a tio n a a l p r i v a a t r e c h t ” ,
disertasi A m sterd a m 1 9 1 7 . „O p e n b a r e o r d e -” ini m e n d ja d i h a l a n g a n
b esa r u n tu k m en g a d a k a n k esatu an d alam la p a n g a n Ii.p .i.. J a n g d i
m a k su d d e n g a n „ o p e n b a r e o r d e ” dalam h .p .i. b u k a n la h „ o p e n b a r e
o r d e ” dari p asal 2 3 A .B .. „O p e n b a r e o r d e ” dari pasal 2 3 A ,13. a d a la h
„in te r n e o p e n b a r e o r d e ” (ta ta tertib u m u m in t e r n ).
3 O le h p em erin ta h B ela n d a d a h u lu Iraktat ini tida k d id ja d ik a n b e r la k u
di In d o n e sia .
6 T ra k la t ini oleli p em erin ta h B ela n da d a h u lu tida k d a p a t d id ja d ik a n
b e rla k u di In d o n e sia k aren a traktat ini h a n ja d ia d a k a n u n lu k w ila ja h
E ro p a h .
7 O le h p em erin ta h B ela n d a d a h u lu d id ja d ik a n b e rla k u : E u e h lv a a rtb e -
slu it 1 9 3 2 , E .N .H .B . 1 9 3 3 Nr 11& (u n tu k m e la k sa n a k a n T r a k ta t P a ris
1 9 1 9 ) dan L u c litv a a rtord on n a n tie 1 9 3 4 , E .N .H .B . 1 9 3 4 N r 2 0 5 . P e
n g a n g k u ta n u da ra sek a ra n g d id ja d ik a n sesuai d e n g a n O r d o n a n s i P e
n g a n g k u ta n U dara (E u e h tv e r v o e r -o r d o n n a m ie ), I...N .H .B. 1 9 3 9 N r 1 0 0
460
Goneva tertanggal 19 Maret 1931 mengenai chèques.
461
T etapi dalam suatu hubungan intern (interne verliouding)
pilihan hukum (rechtskeuze) itu m endjadi „aanknopin&spunt” p ri
mer. T jon toh = dua orang warga-negara Inggris bersetudjuan bahwa
perdjandjian djual-beli mereka akan diatur oleh hukum D jen n a n
sedangkan mereka kedua itu bertem pat tinggal di L oudou 10. t
462
tanjaan : hukum mana atan hukum apa akan m engatur perd jand jian
d ju a l-b e li ini ? A da tiga kem ungkinan : perd jandjian dju a l-b eli
itu diatur oleli liukum adat, oleh liukum E ropali alau oleh hukum
janji bu kan hukum adat m aupun bukan liukum lirop a h . P en jele-
sian perkara-perkara sem aljam ini dipeladjari oleh hukum inter-
gentil f=r liukum antar golongan liukum ) 1X.
463
Seperti halnja dengan hukum privat internasional 12 m aka h u
kum intergentil terdiri atas peraturan p etu n d ju k dan peraturan asli
atau peraturan sendiri.
Peraturan petundjuk itu mengatakan hukum dari golongan
hukum mana akan mengatur : hukum adat, hukum adat T im u r
asing atau hukum Eropah. M isalnja, pasal 6 ajat 1 dan pasal 7 ajat
1 L.N.H.B. 1893 Nr 153 (K oninkl. Besluit tertanggal 29 D esem ber
1396 (N r 2 3 )) Peraturan Perkawinan T jam puran (R egelin g op de
Gem engde Huwelijkeu) 13, pasal 2 ajat 1 L.N .H .B. 1913 N r 33 O r
donansi Persewaan tanah (G rondliuurordoiinantie).
Beberapa peraturan petundjuk jang diterim a oleh jurispru-
densi : warisan diatur oleh hukum warisan (erfreclit) dari jang
meninggalkan warisan itu, hukum jang mengatur pengakuan (er-
kenning) anak jang lahir diluar perkawinan (buitenechtelijk k in d)
ialah hukum ajahnja 14.
Peraturan asli adalah peraturan jang tidak m enundjuk hukum
dari golongan hukum mana akan m engatur, tetapi m em beri sendiri
penjelesaian. Misalnja : pasal 2 pasal 6 ajat 1 (a liir ), 2 dan 3
Peraturan Perkawinan T jam puran, Larangan Pengasingan tahun
1375 (L.N.H.B. 1375 Nr 179) (tidak berlaku la g i), Pasal 275 sub 2
465
hukum intergentil tempat (piaats) itu tidak m erupakan „aauktlU-
pingspunt” prim er. Inilah suatu perbedaan azasi antara hukum p r i
vat internasional dan hukum intergentil. A da lagi perbedaan azasi
untuk hukum intergentil tidak ada azas „tatatertib um um nasional
(beginsel van „nationale onenbare orde” ) , karena kedudukan dari
masing-masing m atjam hukum privat itu jang satu terhadap jang
lain sederadjat. Salah satu dasar hukum intergentil ialah „g elijk -
waardigheidsbeginsel” (azas kedudukan sederadjat masing-masing
m atjam hukum privat jang satu terhadap jang la in ). H ukum E ro-
pah berkedudukan sederadjat dengan hukum adat. H ukum E ropah
sama sekali tidak „m eerwaardig” dari pada hukum adat.
Sebagai „aanknopingspunt” sekunder dapat disebut a.l. : suasa
na (m ilieu ), pilihan hukum, (rechtskeuze), bentuk perbuatan h u
kum. (vorm van de reclitshandeling, jaitu tjara perbuatan hukum
jang bersangkutan dilakukan) 1<J.
T jon toh tentang suasana sebagai „aanknopingpunt” sekun
der 20 : seorang Indonesia asli m endjual kidit kepada seorang T io n g
hoa di rum ahnja di desa. Suasana (desa) m endjadi sebab maka per-
djandjian djuai-beli ini diatur hukum adat.
Pilihan hukum didjalankan apabila kedua belah fihak (dengan
sukarela) bersetudjuan bahwa hubungan (hukum ) m ereka akan
diatur oleh suatu hukum tertentu jang bersama-sama d ip ililin ja sen
diri (akibat „partij-autonom ie” dalam hukum p riv a t)21, m isa lu ja ““1,
kedua belah fihak bersetudjuan bahwa hubungan m ereka akan d i
atur oleh hukum Eropah.
466
A p a b ila kita m engatakan Lukum intergentil m aka ja n g senan
tiasa dim aksu d ialah hukum privat intergentil. H u k u m intergentil
tid a k m e lip u ti hukum pidana, karena h uk um pidana Indonesia
k am i tidak m engingat akan m asih adanja peradilan bu m ipu tera dan
pera d ila n sw apradja, ja n g telah direntjanakan akan hapus setjara
berangsur-angsur <L.N. 1951 N r 9 ), dan untuk sem entara w aktu
m asih p e rlu b erlaku n ja pasal 5 ajat 3 sub b L.N. 1951 N r 9 —
telah diu n iiikasi.
A Jiirnja, perlu dikem ukakan bahw a pada saat sekarang la
pangan h u k u m intergentil ilu m akin berkurang — U ndang-undang
P o k o k A graria, surat edaran M ahkam ah A gu n g tertanggal 5 S ep
tem ber 1903 — , sehingga Lepat sekali dalil M r H a r t o n o S o e r -
j o p o e tr o bahw a hukum intergentil adalah „h u k u m ja n g
m era n a ” - a.
467
2. H ukum interlokal.
4. H ukum interregional.
468
gional itu siul ah m en dja di sedjarah, karena negara kita lidak lagi
m eru p a k an bagian dari K eradjaan Belanda. U ntuk keadaan p e r
alihan lih aila h P erselm ljuan P erpindahan jang dibuat pada K .M .B .
Seperti h alnja dengan hukum intergentih maka h u k u m interregional
dah u lu terdiri djuga alas peraturan petu n dju k (pasal 16 A .B . k a li
mat k edu a) dan peraturan asli l pasal 159. IS - 1 ) , dan adauja
„a a n k u o p in g sp u n l” prim er dan „a an k n op in gsp u n t" sekunder -M.
!» ïr !B L J 3 r ^ T Ê S
en igin g v o „
’L Ss
469
ia
11 *\.li.
A .d . :
Keljuali dalam' hal-hal oran~ Indonesi-.
«.m akan dengan orang Indonesia'ilu den~an l ,,,CPCJ“ * ,al,ff dl'
ncraiuran hukum nerd-iM i t-.1"5 sukarela m entaati peratu ran -
h ,« i mereka b"™aku p e ^ t a n " * " ? 'OPa,,• alau dals,n' I,a,llaI hah™
•1« alau peraturan-peraturan perune'ana un ,nC,'untlanr ‘ " n(,ani:an sematjam
borlaku dan iang dilakukan olol. 1 L 1( J1^an lain. maka hukum jang
ialah nndang-undan" a^am i nitrll- i'™ Indonesia ( 1 ) bagi mereka ilu
dan kebiasaan, asal°sadia ner-itni' *’ C a" a'*.cnlhaga kebudajaan rakjat
ngan azas-azas keadilan jang diakui’ ' S J ' " " l! li‘ ,ak h« r>«»la..gaii d c'
' Dalam hal bagi golon gan orang Indonesia (a sli) dan bagi golongan
tang l im u r asing tidak berlaku hukum jan g berlaku bagi golongan orang
ropah, maka m ereka berkuasa untuk mentaati dengan sukarela peraturan-
r‘Uuran hukum perdata dan dagang Eropali ilu jan g tidak berlaku a^i
471
mereka, u »lu k selurubnja atau mengenai sualu perbuatan h u k u m sadja.
I entaulan dengan sukarela ini dan akibal-akibal.ija akan diatur dengan
ordonansi.
( 6 ) H u k u m peid.Uu d a n d a g a n g ja n g s e k a r a n g b e r la k u b a g i g o l o n g a n
■ ! / " > ,H ° ,1CS,J Cah *) dan bagi golongan orang T im u r asing tetap berlaku
i'inc, 1|'erCL** ' iu^un' Ilu hehim diganti oleli ord onansi-ordonansi
jang dimaksud dalam ajat 2 sub b.
' 472
DAFTAR SINGKATAN JANG PALING SERING DIPAKAI.
V a ii A p e ld o o rn P rof. M r L. J .. v a n A peldoorn
„In lcid in g tot de Studie van lict Nederlandse
recht” , 1955.
U c llc fr o id M r J.P.H . B e l l c f r o i d „In le id in g tot de
rechtswetenschap in Nederland” , 195 2.
B u rck h a rd t = W alther Burckliardt „E in fü h ru n g
in die Rechtswissenschaft” , 1950.
V an K a n — P r o f. M r J. v a n K a n - P r o f. M r J .H.,
Bcckliuis „In le id in g lot de reclitsweten-
schap” , 1956.
J, e m a i r e — D r W .L-G . L e m a i r e „H e t rech t in I n d o
nésie (H u k u m In d o n e sia )” , 1955.
Loge m an n — D r J.H .A. L o g e m a n n „O v e r de tlieorie
van .c c n stellig staatsrecht” , 1 94 8.
R adliruc h — G u s t a v R a d b r u c l i „E in fü h ru n g in die
Rechtswissenschaft” , 1953..
S ch ö lte n — P r o f. M r P a u l Schölten „A lg e m e cn
deel” dalam M r C. A s s e r „H a n d le id in g tot
de b eo e fe n in g van lict N ederlandscli B u rger-
lijk R ech t” , 1934.
.^ |3 . ==: A lgem eene B epa lin gen van W etgevin g v o o r In -
donesië (K eten tu an-keten tu an U m um m e n g e
nai Peru n dan g-un dan gan di In d o n e sia ), L.N.
H .B . 1 81 7 Nr 23.
T o ^ In disch e Staatsregeling L.N .H .B . 1 9 2 5 Nr 4 1 5
jo 5 77 .
v TT K D agang — K itab U ndang-undang H u k u m D agang, L.N .
K U W' H .B . 1 84 7 Nr 2 3.
„ tiu P erdata — K itab U ndang-u ndan g H u k u m Perdata, L.N .
K,U . 'H.B., 1847 Nr 23.
K,U.II. Pidana — K.ilab Undang-undang Ilukuin Pidana, jail u
W etb oa k van Strafreclit tahun 191 5 ja n g d i
u bah o le h U nd ang-u n d an g R .I. tahun 1946
N r 14 B erita R .I. T a h u n II Nr 9 ( 1 5 Maret
1 9 4 6 ).
j N. c = L em baga Negara R ep u b lik In d on esia 17 A g u s
tus 1950«
j n .H .B . c = L em baran Negara H in d ia-B elan d a.
= L em baga Negara R e p u b lik In d on esia S erikat.
p iß . *= Reglemen Indonesia B aru (H erzien e Indone-
' siscli Reglement), L.N .H .B . 1941 Nr 44.,
R R (d a r i taliun 1 8 5 4 ) e= R eg cerin g s R eglem en t dari tahun 1 8 5 4 , L ]\
B elanda 1 8 5 4 Nr 2 , L.N .H .B . 1 8 5 5 Nr 1 ; *
Nr 2 . / J
T a m b a h a n L .N . c= T a m b ah a n L em ba ra n N egara.
U .U .D . ' <!== U n d ang-u n d an g Dasar.
„H u k u m ” ^ M adjalah „H u k u m ” ja n g diterbitkan o le lv
P erh im p u n an A h li H u k u m In d on esia.
X. (In d is c h ) T ijd sclirift van het R ech t, îu a d ja .
lalv ja n g d iterbitk an oleh N ederlan dsch -Iu .
d isch e Juristen V ereen igîn g .
473
SUM UR BANDUNO
Perpustakaan uil
0-05013671