Anda di halaman 1dari 62

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo

Provinsi Jawa Tengah

1. Letak Geografis

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino

Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah yang terletak di Jalan Brigjend.

Sudiarto No. 347, Gemah, Pedurungan Kota Semarang. Rumah Sakit

Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah

merupakan rumah sakit tipe A yang merupakan rumah sakit rujukan

di Provinsi Jawa Tengah dibawah naungan Pemerintah Provinsi Jawa

Tengah. Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi

Jawa Tengah memiliki luas lahan 60.000m2.

2. Sejarah Berdiri

Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi

Jawa Tengah Dr. Amino Gondohutomo pertama kali berdiri pada

tahun 1814 di Jl. Sompok Semarang. Pada tahun 1814 Rumah Sakit

Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah menjadi

tempat penampungan bagi pasien psikotik akut (Doorgangshuizen).

Pada tahun 1912 Doorgangshuizen Sompok dipindah ke gedung

Kleedingmagazjin, yaitu sebuah gedung tua yang dibangun kurang


lebih pada tahun 1878 di Jl. Cenderawasih, Tawang dengan nama

Doorgangshuizen Tawang. Pada tanggal 21 Januari 1928

Doorgangshuizen Tawang berubah status menjadi Rumah Sakit Jiwa

Pusat Semarang (Kranzinnigenggestichten). Rumah Sakit Jiwa Daerah

Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah menerima perawatan

pasien-pasien psikotik sejak tanggal 2 Februari 1928. Tanggal tersebut

kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Rumah Sakit Jiwa Pusat

Semarang. Pada tanggal 4 Oktober 1986 seluruh kegiatan Rumah

Sakit Jiwa Pusat Semarang dipindahkan ke gedung baru di Jl. Brigjen

Sudiarto No. 347 Semarang. Tanggal 9 Oktober 2001 Rumah Sakit

Jiwa Pusat Semarang berubah nama menjadi Rumah Sakit Jiwa Pusat

dr. Amino Gondohutomo Semarang.

Nama Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Amino Gondohutomo

Provinsi Jawa Tengah diambil dari nama seorang psikiater yaitu dr.

Amino Gondohutomo yang merupakan psikiater pertama di Indonesia

yang dilahirkan di Surakarta, Jawa Tengah. Pada tanggal 1 Januari

2002 Rumah Sakit Jiwa Pusat dr. Amino Gondohutomo Semarang

berubah menjadi Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Amino Gondohutomo

Semarang Provinsi Jawa Tengah sesuai dengan SK Gubernur No

440/09/2002, bulan Februari tahun 2002.


3. Falsafah, Visi, Misi, Motto Dan Budaya Kerja

Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi

Jawa Tengah memiliki falsafah, visi, misi, dan motto sebagai berikut:

a. Falsafah

1) Pelayanan terbaik adalah budaya kami

2) Kepuasan pelanggan adalah tujuan utama

3) Bekerja adalah ibadah dan menjaga amanah

b. Visi

“Menjadi Pelayanan Kesehatan Jiwa Paripurna yang Bermutu”

c. Misi

1) Melaksanakan dan mengembangkan pelayanan kesehatan

jiwa paripurna,

2) Meningkatkan sarana, prasarana dan teknologi pelayanan,

3) Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia,

4) Meningkatkan peran serta masyarakat dibidang kesehatan

jiwa.

d. Motto

1) Aman

2) Professional

3) Inovatif

4) Kebersamaan
4. Sarana dan Prasarana

Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi

Jawa Tengah memiliki sarana prasarana sebagai berikut :

a. Terdapat satu buah masjid yang dilengkapi dengan alat ibadah

dan kegiatan bagi pegawai, mahasiswa, maupun pasien

b. Instalasi Rehabiitasi yang dilengkapi dengan perlengkapan untuk

melatih ketrampilan pasien, tersedia perpustakaan sebagai terapi

baca yang berisi tentang buku keagamaan dan pengetahuan umum

serta digunakan sebagai tempat pelatihan dan bimbingan agama.

Fasilitas yang ada di instalasi rehabilitasi selain bimbingan agama

diantaranya:

1) Day Care

2) Kegiatan menyulam, kristik, manik-manik

3) Kegiatan pertukangan

4) Kegiatan pertamanan/kebun

5) Kegiatan kerajinan kayu/triplek

6) Kegiatan lukis

7) Kegiatan kerajinan plastik, rafia, tali

8) Kegiatan kesenian

9) Kegiatan terapi rekreasi/rekreasi rehabilitan

10) Bangunan fisik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino

Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah meliputi 27 Gedung

yang terdiri dari Gedung Instalasi Gawat Darurat, Gedung


Administrasi, Gedung Auditorium, Gedung Pelayanan,

Gedung Pelayanan Komprehensif, Gedung Perawatan,

Gedung Rehabilitasi, Gedung Diklat, Gedung pemeriksaan

medis seperti, laboratorium, instalasi farmasi, gedung terapi

EEG, EKG dan ECT, instalasi gizi, instalasi pengelolaan air

limbah, instalasi laundry dan sterilisasi, Rumah dinas, dan

KamarxJenazah.Fasilitas Pelayanan

Fasilitas Pelayanan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino

Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah meliputi :

a. Instalasi Gawat Darurat Jiwa dan Umum 24 Jam Instalasi Gawat

Darurat (IGD) ditangani oleh psikiater, dokter dan perawat yang

kompeten Selain itu ditunjang pula oleh fasilitas dan peralatan

yang lengkap, laboratorium, radiologi, ruang observasi dan mobil

ambulance.

b. Instalasi Rawat Jalan dan Instalansi Pelayanan Komprehensif

Instalasi Rawat Jalan dan Instalansi Pelayanan Komprehensif

terdiri dari:

1) Poliklinik Spesialis Jiwa, meliputi: klinik anak dan remaja,

klinik dewasa, klinik psikogeriatri, klinik napza, klinik

psikoterapi, dan pelayanan KESWAMAS (Kesehatan Jiwa

Masyarakat)

2) Klinik Obstetri dan Ginekologi  (Kandungan)

3) Klinik Bedah Mulut


4) Klinik Fisioterapi

5) Klinik Gigi

6) Klinik Psikologi

c. Instalasi Rehabilitasi

d. Instalasi Laboratorium

e. Instalasi Farmasi

f. Instalasi Penunjang ECT, EEG dan EKG

g. Instalasi Pengelolaan Air Limbah

h. Instalasi Gizi

i. Instalasi Laundry dan Sterilisasi

5. Ruang Rawat Inap

Fasilitas ruang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.

Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah meliputi 2 Ruang VIP

yaitu ruang VIP A dan VIP B, kemudian Ruang Kelas I, Ruang Kelas

II dan Ruang kelas III.

6. Kegiatan Perawatan

Kegiatan perawatan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino

Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah menggunakan Model Praktik

Keperawatan Professional (MPKP).

Manajemen asuhan keperawatan yang diterapkan antara lain

terapi aktivitas kelompok, terapi bermain, terapi music, terapi gerak,

terapi Okupasi/kerja, relaksasi, family gathering, terapi rekreasi pasien

dan kegiatan pendidikan kesehatan pada pasien. asddasdasdasdasdasd


7. Unit Perencanaan Pendidikan Pelatihan Dan Pengembangan

Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi

Jawa Tengah sebagai:

a. Tempat pendidikan dan magang unuk profesi kedokteran,

psikologi, keperawatan, kesehatan, dan pendidikan lainnya

b. Tempat penelitian bagi profesi kedokteran,

psikologi, keperawatan, kesehatan dan pendidikan lainnya

c. Mengadakan kerjasama dengan berbagai instansi maupun

institusi pendidikan/pelayanan

d. Perencanaan dan pengembangan, monitoring dan evaluasi

Rumah Sakit.

Adapun fasilitas diklat yaitu tersedia berbagai ruang kelas ber AC,

tersedia Multimedia (Komputer, LCD), Internet/Wi-Fi area,

Perpustakaan, Laboratorium pendidikan dan pembimbing yang

kompeten dan professional.


8. Profil Tenaga Kesehatan

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan Spesialis Jiwa

Dewasa selama 6 hari. Jumlah total tenaga kesehatan yang bertugas di

Poliklinik Rawat Jalan Spesialis Jiwa berjumlah 18 tenaga kesehatan

yang meliputi

a. 4 Dokter

b. 10 Perawat

c. 1 Bidan

d. 3 Perawat Gigi

2) Sedangkan jumlah tenaga kesehatan khususnya tenaga

kesehatan perawat yang bertugas di Poliklinik Rawat Jalan

Spesialis Jiwa Dewasa berjumlah 3 orang dengan tingkat

pendidikan Ners Keperawatan sejumlah 2 tenaga kesehatan dan

1 tenaga kesehatan dengan tingkat pendidikan Diploma III

Keperawatan.

8
B. HASIL PENELITIAN

1. Karakteristik Responden Dengan Skizofrenia

a. Data Demografi

Hasil penelitian mengenai karakteristik responden dengan

Skizofrenia menurut data demografi disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

Dengan Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa

Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah (n=56)

Karakteristik Demografi Frekuensi Persen (%)


Usia
17-25 8 14,3
26-35 16 28,6
36-45 21 37,5
46-55 11 19,6
Jenis Kelamin
Laki-laki 33 58,9
Perempuan 23 41,1
Tingkat Pendidikan
SD 4 7,1
SMP 21 37,5
SMA 23 41,1
D1 1 1,8
D3 2 3,6
S1 4 7,1
S2 1 1,8
Pekerjaan
Tidak bekerja 23 41,1
Petani 2 3,6
Tukang 1 1,8
Guru 1 1,8
Swasta 15 26,8
Wiraswasta 14 25,0
Riwayat Perawatan Awal
Terlama 1991
Terbaru 2018
Rata-rata 2010
Total Responden Skizofrenia 56 100

9
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil penelitian dari 56 responden pasien

dengan skizofrenia dengan usia 17-25 tahun berjumlah 8 responden (14.3%),

responden dengan klasifikasi usia 26-35 tahun berjumlah 16 responden (28.6%),

responden dengan klasifikasi usia 36-45 tahun berjumlah 21 responden (37.5%)

dan responden dengan klasifikasi usia 46-55 tahun berjumlah 11 responden

(19.6%).

Sedangkan rata-rata usia responden adalah 36.82 tahun, usia

termuda responden adaah 19 tahun sedangkan usia tertua adalah usia

54 tahun.

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan

lebih banyak responden yang berjenis kelamin laki-laki yaitu

sebanyak 33 responden (58.9%) dan responden berjenis kelamin

perempuan sebanyak 23 responden (41.1%).

Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah

responden terbanyak memiliki tingkat pendidikan SMA yang

berjumlah 23 responden (41.1%) dan tingkat pendidikan SMP yaitu

berjumlah 21 responden (37.5%).

Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan menunjukkan

sebanyak 23 responden (41.1%) tidak memiliki pekerjaan sedangkan

responden yang paling sedikit bekerja sebagai Tukang dan Guru

masing-masing sebanyak 1 responden (1.8%).

10
e. Data Klinis

Hasil penelitian mengenai Karakteristik Responden Dengan

Skizofrenia berdasarkan data klinis dapat diihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Data Klinis Riwayat

Perawatan Awal Responden Dengan Skizofrenia di Instalasi

Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo

Provinsi Jawa Tengah (n=56)

Data Klinis Min Max Mean Std. Deviasi

Riwayat
1991 2018 2010
Perawatan Awal 7,220

Tabel 4.2 menunjukkan karakteristik Responden dengan

Skizofrenia berdasarkan data klinis terhadap 56 responden di

dapatkan hasil rata-rata riwayat perawatan awal responden pada

tahun 2010 dengan riwayat perawatan awal terlama sejak tahun

1991 dan riwayat perawatan awal terbaru pada tahun 2018.

C. Gambaran Spiritualitas dan Mekanisme Koping Responden dengan

Skizofrenia

1. Karakteristik Spiritualitas

a. Distribusi Frekuensi Karakterisitik Spiritualitas

Hasil penelitian tentang Karakteristik Spiritualitas pada

responden dengan diagnosa medis Skizofrenia dapat dilihat

pada tabel 4.3 sebagai berikut :

11
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi tentang Karakteristik

Spiritualitas pada responden dengan diagnosa medis

Skizofrenia (n=56)

Karakteristik Spiritualitas Jumlah Responden


f %
Rendah (Nilai 15 – 40) 10 17,9
Sedang (Nilai 41 – 65) 8 14,3
Tinggi (Nilai 66 – 90) 38 67,9
Total 56 100

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memiliki spiritualitas tinggi yaitu berjumlah 38 responden

(67.9%) dan jumlah terbesar kedua adalah responden dengan

spiritualitas rendah sebesar 10 responden (17.9%).

Nilai spiritualitas dikatakan rendah apabila nilai skor total

penjumlahan hsebesar 15-40, spiritualitas dikatakan sedang

apabila nilai skor total sebesar 41-55 dan spiritualitas

dikatakan tinggi apabila nilai skor total sebesar 66-90.

f. Gambaran distribusi frekuensi sebaran item pertanyaan spiritualitas

Hasil penelitian tentang gambaran spiritualitas pada

Skizofrenia dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut :

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Jawaban Per item pertanyaan

mengenai Spiritualitas Pada Skizofrenia.

Tidak Hanya Beberapa Hampir Setiap Sering


Pernah Sesekali Hari Setiap Hari Dalam
Daily Sekali Hari (skor Sehari

12
Spiritual
(skor 1) (skor 2) (skor 3) 4) (skor 5) (skor 6)
Experience
f (%) f (%) f (%) f (%) f (%) f (%)
Scale
Hubungan
dengan Tuhan
Percaya 2 7 3 3 34 7
keberada (3.57) (12.50) (5.36) (5.36) (60.71) (12.50)
an Tuhan
Merasakan
anugrah 3 6 4 5 34 4
Tuhan (5.36) (10.71) (7.14) (8.93) (60.71) (7.14)
dalam
kehidupan
Menemukan
kekuatan
dan 3 8 3 4 30 8
keteguhan (5.36) (14.29) (5.36) (7.14) (53.57) (14.29)
ketika dekat
dengan
Tuhan
Selalu
berdoa 1 9 4 4 33 5
kepada (1.79) (16.07) (7.14) (7.14) (58.93) (8.93)
Tuhan setiap
hari
Merasakan
bimbingan 3 8 4 4 31 6
dan petunjuk (5.36) (14.29) (7.14) (7.14) (55.36) (10.71)
Tuhan
dalam
kehidupan
Merasakan
berkah dan 2 9 3 5 31 6
kasih sayang (3.57) (16.07) (5.36) (8.93) (55.36) (10.71)
Tuhan
dalam
kehidupan
Merasakan
berkah dan
kasih sayang 1 10 5 4 31 5
Tuhan (1.79) (17.86) (8.93) (7.14) (55.36) (8.93)
melalui
kehadiran
orang lain

13
Merasakan
keagungan
Tuhan 3 11 6 6 27 3
melalui (5.36) (19.64) (10.71) (10.71) (48.21) (5.36)
keindahan
penciptaan-
Nya
Selalu ingin
dekat 2 7 3 4 29 11
dengan (3.57) (12.50) (5.36) (7.14) (51.79) (19.64)
Tuhan
dalam setiap
keadaan
Seberapa
dekat 12 31 13 0. 0 0
dengan (21.43) (55.36) (23.21) 0.00 0.00 0.00
Tuhan
Agama
dalam
Kehidupan
Merasakan 2 9 3 4 31 7
suatu (3.57) (16.07) (5.36) (7.14) (55.36) (12.50)
ketenangan
ketika
beribadah
Merasaka
n
kenikmata
3 8 3 5 30 7
n dan
(5.36) (14.29) (5.36) (8.93) (53.57) (12.50)
kenyaman
an dalam
beragama
Merasak
an
kedamai
an 3 6 5 6 30 6
dalam (5.36) (10.71) (8.93) (10.71) (53.57) (10.71)
kehidup
an
Apresiasi 1 6 4 5 33 7
dan rasa (1.79) (10.71) (7.14) (8.93) (58.93) (12.50)
syukur
Bersyukur
dengan

14
kehidupan

Hubungan
dengan
orang lain 1 7 3 5 31 9
Peduli (1.79) (12.50) (5.36) (8.93) (55.36) (16.07)
terhadap
orang lain,
tanpa
pamrih
Memaafkan
kesalahan
1 6 3 4 32 10
orang yang
(1.79) (10.71) (5.36) (7.14) (57.14) (17.86)
telah
menyakiti

Tabel 4.4 menunjukkan Gambaran sebaran item pertanyaan

spiritualitas pada 56 responden dengan diagnosa medis Skizofrenia.

Terdapat 16 pertanyaan dalam Kuesioner DSES yang mencakup 4

klasifikasi pertanyaan mengenai spiritualitas dalam kehidupan

sehari-hari. 4 klasifikasi pertanyaan tersebut antara lain Hubungan

dengan Tuhan, Agama dalam kehidupan, Apresiasi dan rasa syukur

serta Hubungan dengan orang lain.

Dalam klasifikasi pertanyaan mengenai Hubungan dengan

Tuhan, pada pertanyaan yang membahas mengenai kepercayaan

keberadaan Tuhan, sebanyak 34 responden (60.71%) percaya

keberadaan Tuhan setiap hari. Pada pertanyaan merasakan

anugerah Tuhan dalam kehidupan, sebanyak 34 responden

(60.71%) responden merasakan anugerah Tuhan dalam kehidupan

setiap hari. Pada pertanyaan menemukan kekuatan dan keteguhan

15
ketika dekat dengan Tuhan, sebanyak 30 responden (53.57%)

memilih menemukan kekuatan dan keteguhan ketika dekat dengan

Tuhan setiap hari, beberapa responden juga mengatakan bahwa

ketika frekuensi ibadah mereka meningkat, maka gejala-gejala

yang muncul dikarenakan proses penyakit seperti mudah marah

serta ingin melakukan perilaku kekerasan menjadi berkurang selain

itu mereka juga lebih tabah dalam menghadapi cobaan

diberikannya penyakit yang dialami.

Pada pertanyaan selalu berdoa kepada Tuhan setiap hari,

sebanyak 33 responden (59.93%) memilih berdoa kepada Tuhan

setiap hari, beberapa responden mengatakan bahwa dengan berdoa

dan beribadah hati mereka menjadi lebih tenang, beberapa

responden berdoa agar diberikan kesembuhan atas penyakitnya,

Pada pertanyaan merasakan bimbingan dan petunjuk Tuhan

dalam kehidupan, sebanyak 31 responden (55.36%) menyatakan

merasakan bimbingan Tuhan dalam kehidupan responden setiap

hari. Pada pertanyaan merasakan berkah dan kasih sayang Tuhan

dalam kehidupan, sebanyak 31 responden (55.36%) menyatakan

merasakan berkah dan kasih sayang Tuhan dalam kehidupan

responden setiap hari, beberapa responden mengatakan berkah

yang mereka rasakan diantaranya adalah diberikan keluarga yang

peduli dan juga diberikan rezeki yang cukup meskipun tidak

banyak. Pada pertanyaan merasakan keagungan Tuhan melalui

16
keindahan penciptaan-Nya, sebanyak 27 responden (48.21%)

menyatakan merasakan keagungan Tuhan melalui keindahan

penciptaan-Nya setiap hari.

Untuk menyederhanakan maksud dari pertanyaan, peneliti

menggunakan peristiwa yang ada disekitar responden yang biasa

terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga responden mudah

memahami. Pada pertanyaan merasakan berkah dan kasih sayang

Tuhan melalui kehadiran orang lain, sebanyak 31 responden

(55.36%) menyatakan merasakan berkah dan kasih sayang Tuhan

melalui kehadiran orang lain setiap hari, beberapa responden

mengatakan orang lain tersebut adalah istri, suami, orang tua, anak

dan keluarga mereka. Beberapa responden mengatakan merasa

sangat bersyukur memiliki keluarga yang peduli terhadap kondisi

kesehatan fisik maupun psikis responden.

Pada pertanyaan ingin dekat dengan Tuhan dalam setiap

keadaan, sebanyak 29 responden (51.79%) memilih pertanyaan

ingin dekat dengan Tuhan setiap hari, beberapa responden

mengatakan apabila mereka dekat dengan Tuhan, mereka yakin

Tuhan akan memberikan jalan keluar dari setiap ujian yang

menimpa, termasuk ujian sakit. Pada pertanyaan terakhir mengenai

Hubungan dengan Tuhan, pertanyaan seberapa dekatkah responden

dengan Tuhan, sebanyak 31 responden (55.36%) mengatakan

cukup dekat dengan Tuhan, pada pertanyaan ini beberapa

17
responden sedikit ragu untuk menilai kedekatan dirinya sendiri

dengan Tuhan.

Klasifikasi pertanyaan mengenai agama dalam kehidupan,

pada pertanyaan merasakan suatu ketenangan ketika beribadah,

sebanyak 31 responden (55.36 %) menyatakan merasakan suatu

ketenangan ketika beribadah setiap hari, beberapa responden

mengatakan mereka masih tetap menjalankan kewajiban beribadah

meskipun sedang sakit karena mereka percaya dengan taat

beribadah disetiap kondisi, pertolongan Tuhan akan semakin dekat.

Pada pertanyaan merasakan kenikmatan dan kenyamanan dalam

beragama, sebanyak 30 responden (53.57%) menyatakan

merasakan kenikmatan dan kenyamanan dalam beragama. Pada

pertanyaan merasakan kedamaian dalam kehidupan, sebanyak 30

responden (53.57%) menyatakan setiap hari merasakan kedamaian

dalam kehidupan, beberapa responden mengatakan kedamaian

tersebut berasal dari hati yang tenang sabar dan ikhlas menerima

setiap cobaan dalam hidup. Kedamaian hati diperoleh dari ibadah

yang dilakukan sehari-hari speerti sholat, pergi ke gereja, membaca

injil atau al-qur’an, mendengarkan siraman rohani.

Pada klasifikasi pertanyaan mengenai Apresiasi dan rasa

syukur, pada pertanyaan apakah responden bersyukur dengan

kehidupan responden saat ini, sebanyak 33 responden (58.93%)

menyatakan setiap hari merasa bersyukur dengan kehidupan

18
responden saat ini karena masih banyak hal yang dapat disyukuri

dari kehidupan responden seperti diberikan kesehatan fisik,

diberikan rejeki, diberikan keluarga dan keturunan dan juga banyak

berkah lain dari Tuhan.

Pada klasifikasi pertanyaan mengenai Hubungan dengan

orang lain, pertanyaan mengenai Apakah responden peduli

terhadap orang lain tanpa mengharapkan imbalan, sebanyak 31

responden (55,36%) menyatakan setiap hari responden peduli

terhadap orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Pada pertanyaan

memaafkan kesalahan orang yang telah menyakiti responden,

sebanyak 32 responden (57,14) menyatakan memaafkan kesalahan

orang yang telah menyakiti responden agar hatinya menjadi tenang

sehingga tidak ada beban pikiran.

9. Karakteristik Mekanisme Koping

a. Distribusi Frekuensi Karakteristik Mekanisme Koping

Hasil penelitian tentang Karakteristik Mekanisme Koping

pada responden dengan diagnosa medis Skizofrenia dapat dilihat

pada tabel 4.3 sebagai berikut :

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi tentang Karakteristik

Mekanisme Koping pada responden dengan diagnosa medis

Skizofrenia (n=56)

Klasifikasi Mekanisme Koping Jumlah Responden


F %
Maladaptif 26 46,4

19
Adaptif 30 53,6
Total 56 100

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memiliki mekanisme koping yang adaptif yaitu berjumlah 30

responden (53,6%) dan responden dengan mekanisme koping

maladaptif sebanyak 26 responden (46,4%).

g. Gambaran distribusi frekuensi sebaran item pertanyaan spiritualitas

Adapun hasil penelitian tentang gambaran mekanisme koping

pada Skizofrenia dapat dilihat pada tabel 4.6 sebagai

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Per item pertanyaan

mekanisme Koping Pada Skizofrenia.

Tidak Kadang- Hampir Sering Hampir


Item JCS Pernah Kadang Sering Selalu
(skor 1) (skor 2) (skor 3) (skor 4) (skor 5)
f(%) f(%) f(%) f(%) f(%)
Affective Oriented

Discanting
15 13 4 22 2
Menghilangkan
(26.79) (23.21) (7.14) (39.29) (3.57)
ketegangan dengan
aktivitas fisik atau
pergi ke tempat yang
disukai
Mencoba melupakan
1 10 5 24 16
masalah dan mencari
(1.79) (17.86) (8.93) (42.86) (28.57)
jalan keluar
Melepas ketegangan
pada situasi yang 6 16 2 30 2
kurang nyaman (10.71) (28.57) (3.57) (53.57) (3.57)
Meditasi dan 19 11 6 17 3
mencari ketenangan (33.93) (19.64) (10.71) (30.36) (5.36)
Positive reaprisial 1 13 4 13 25
Optimis dan (1.79) (23.21) (7.14) (23.21) (44.64)

20
memiliki harapan
yang baik terhadap
permasalahan
kehidupan
Bersikap obyektif
dan melihat 6 8 4 30 8
permasalahan dari (10.71) (14.29) (7.14) (53.57) (14.29)
berbagai sisi
Mencoba untuk
menemukan hikmah 3 6 1 16 30
dari setiap (5.36) (10.71) (1.79) (28.57) (53.57)
permasalahan
Berdoa dan berserah 2 8 0 14 32
diri kepada Tuhan (3.57) (14.29) 00.00 (25.00) (57.14)
Seeking Social
Support
Melibatkan orang 10 8 5 15 18
lain (17.86) (14.29) (8.93) (26.79) (32.14)

Membicarakan
masalah dengan
14 11 1 21 9
seseorang yang pernah
(25.00) (19.64) (1.79) (37.50) (16.07)
mengalami hal yang
sama
14
Mencari dukungan 8 10 3 21
(25.00)
dan bantuan orang (14.29) (17.86) (5.36) (37.50)
lain

Meminta pendapat 11 13 1 21 10
dari orang lain (19.64) (23.21) (1.79) (37.50) (17.86)

Self Control
Melakukan sesuatu
27 10 4 15 0
meskipun tidak
(48.21) (17.86) (7.14) (26.79) 00.00
menyukai hal
tersebut
Menyiapkan diri
untuk hal yang tidak 11 7 6 19 13
sesuai dengan (19.64) (12.50) (10.71) (33.93) (23.21)
harapan
Menerima keadaan 6 9 7 31 3

21
atau situasi yang
(10.71) (16.07) (12.50) (55.36) (5.36)
tidak disukai
Mencoba untuk 5 6 1 22 22
mengontrol situasi (8.93) (10.71) (1.79) (39.29) (39.29)
Meyakinkan diri
sendiri untuk tidak
khawatir tentang 4 10 2 16 24
masalah dan (7.14) (17.86) (3.57) (28.57) (42.86)
keadaan akan baik-
baik saja
Membayangkan hal-
hal terbaik yang 0 11 2 16 27
akan terjadi 00.00 (19.64) (3.57) (28.57) (48.21)

Planful problem
solving

Berpikir mencari 4 11 3 23 15
jalan lain untuk (7.14) (19.64) (5.36) (41.07) (26.79)
menyelesaikan
masalah atau
mengendalikan
situasi
Berusaha keras
4 15 2 28 7
untuk merubah
(7.14) (26.79) (3.57) (50.00) (12.50)
keadaan
Mencoba mencari
cara alternative
untuk menyelesaikan
masalah
12 5 5 26 8
Berusaha mengingat
(21.43) (8.93) (8.93) (46.43) (14.29)
pengalaman masa
lalu untuk
membantu
mengatasi masalah
Mencoba untuk
memecahkan
masalah menjadi 7 8 3 18 20
ringan sehingga (12.50) (14.29) (5.36) (32.14) (35.71)
dapat mengatasi
dengan lebih baik

22
Menetapkan tujuan
khusus utuk
15 7 2 20 12
membantu
(26.79) (12.50) (3.57) (35.71) (21.43)
mengatasi masalah

Jaloweic Coping Tidak Kadang- Hampir Sering Hampir


Scale Pernah kadang sering (Skor selalu
(Skor 1) (Skor 2) (Skor 3) 4) (Skor 5)
f(%) f(%) f(%) f(%) f(%)
Problem Oriented

Confrontatif
Coping
Mudah marah, suka 31 16 2 4 3
memaki dan (55.36) (28.57) (3.57) (7.14) (5.36)
mengutuk
Mudah menangis 24 21 2 8 1
dan merasa sedih (42.86) (37.50) (3.57) (14.29) (1.79)
Tidak pernah merasa
bahagia dan
membayangkan 39 8 1 7 1
keadaan akan (69.64) (14.29) (1.79) (12.50) (1.79)
semakin bertambah
buruk
Bersikap gugup dan
mudah tersinggung 33 19 0 3 1
(58.93) (33.93) 00.00 (5.36) (1.79)
Escape/Avoidance

Makan berlebihan 29 11 0 3 23
dan memiliki (51.79) (19.64) 00.00 (5.36) (23.21)
kebiasaan merokok
Memiliki kebiasaan
mengkonsumsi 49 6 0 0 1
alkhol (87.50) (10.71) 00.00 00.00 (1.79)
Mengkonsumsi obat
untuk mengurangi
ketegangan seperti 21 22 5 6 2
obat tidur atau obat (37.50) (39.29) (8.93) (10.71) (3.57)
penenang
Danial 9 24 1 22 0
(16.07) (42.86) (1.79) (39.29) 00.00
Mengkhawatirkan

23
masalah yang
berhubungan dengan
kondisi diri sendiri
Memiliki kebiasaan
25 20 1 5 5
melamun dan
berkhayal (44.64) (35.71) (1.79) (8.93) (8.93)
Menghindar dari
situasi yang tidak 15 20 1 15 5
disukai (26.79) (35.71) (1.79) (26.79) (8.93)
Menyalahkan orang
lain atas situasi yang 44 8 0 2 2
tidak disukainya (78.57) (14.29) 00.00 (2.57) (2.57)
Menghindar dari 30 17 0 7 2
masalah (53.57) (26.79) 00.00 (12.50) (2.57)
Acceptance

Menyerah pada
36 15 0 2 3
keadaan dan
beranggapan bahwa (64.29) (26.79 00.00 (2.57) (5.36)
tidak ada lagi
harapan
Tidak melakukan
apapun dan berharap
keadaan akan 39 10 0 2 5
membaik dan (69.64) (17.86) 00.00 (2.57) (8.93)
masalah akan hilang
dengan sendirinya
Menyerah pada
keadaan karena hal
itu merupakan takdir 34 11 3 5 5
sehingga tidak ada (60.71) (19.64) (5.36) (8.93) (8.93)
keinginan untuk
merubah keadaan
Tidur dengan tenang
dan membayangkan 2 9 2 25 18
sesuatu akan baik- (2.57) (16.07) (2.57) (44.64) (32.14)
baik saja

Tabel 4.6 menunjukkan Gambaran sebaran item pertanyaan

mekanisme koping pada 56 responden dengan diagnosa medis

Skizofrenia. Terdapat 40 pertanyaan dalam Kuesioner JCS yang

24
terdiri dari 15 item strategi pengendalian berorientasi masalah

(problem oriented) dan 25 item pengendalian berorientasi sikap

(affective oriented). Menurut Stuart & Laraia, (2005), Strategi

pengendalian masalah berorientasi sikap (affective oriented) terbagi

menjadi 4 aspek, yaitu Self-Control, Discanting, Positive

Reaprisial, dan Escape/Avoidance. Sedangkan strategi

pengendalian berorientasi masalah (problem oriented) terbagi

menjadi 5 aspek, yaitu Confontatif coping, Seeking Social Support,

Planful problem solving, Acceptance dan Danial/Avoidance.

Strategi pengendalian masalah berorientasi sikap (affective

oriented) terbagi menjadi beberapa aspek yaitu aspek pertama

adalah Discanting. Discanting dapat diartikan sebagai usaha

individu untuk tidak terlibat dalam permasalahan, menghindari

seolah-olah tidak terjadi permasalahan dan menciptakan pandangan

yang positif. Discanting mencakup 4 pernyataan diantaranya,

menghilangkan ketegangan dengan aktivitas fisik atau pergi ke

tempat yang disukai, sebanyak 22 responden (39.29%) menyatakan

sering berpergian, melakukan aktivitas fisik atau pergi ke tempat

yang disukai saat merasa bosan ataupun ketika merasa banyak

masalah dengan harapan fikiran menjadi sedikit rileks. Pada

pertanyaan melupakan masalah dan mencari jalan keluar, sebanyak

24 responden (42.86%) menyatakan ketika responden memiliki

permasalahan, mereka lebih sering memilih melupakan masalah

25
dan mencari jalan keluar.

Pada pertanyaan melepaskan ketegangan pada situasi yang

kurang nyaman, sebanyak 30 responden (53.57%) menyatakan

sering melepaskan ketegangan pada situasi yang kurang nyaman.

Pada pertanyaan meditasi untuk mencari ketenangan, sebanyak 19

responden (33.93%) menyatakan tidak pernah melakukan meditasi

untuk mencari ketenangan, beberapa responden lain mengatakan

bahwa mereka tidak melakukan meditasi secara khusus namun

tetap melakukan doa, dzikir dan membaca kitab setelah melakukan

ibadah seperti sholat maupun kebaktian rutin.

Aspek yang kedua adalah Positive Raprisial yang diartikan

sebagai usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan

berfokus pada pengembangan diri, biasanya bersifat religious.

Positive Raprisial mencakup 4 pertanyaan diantaranya Optimis dan

memiliki harapan yang baik terhadap pemasalahan kehidupan,

pada pertanyaan ini sebanyak 25 responden (44.64%) menyatakan

hampir selalu memiliki sikap optimis dan harapan yang baik

terhadap permasalahan kehidupan yang dialami. Pada pertanyaan

bersikap obyektif dan melihat permasalahan dari berbagai sisi,

sebanyak 30 responden (53.57%) sering memiliki sikap obyektif

dan melihat permasalahan dari berbagai sisi, menurut beberapa

responden melihat permaslaahan dari berbagai sisi merupakan hal

yang penting sebelum memutuskan sesuatu tepat dalam mengambil

26
keputusan.

Pada pertanyaan mencoba untuk menemukan hikmah dari

setiap permasalahan, sebanyak 30 responden (53.57%) menyatakan

hampir selalu berusaha untuk mengambil hikmah dari setiap

permasalahan yang terjadi dengan tujuan sebagai pembelajaran

dikemudian hari. Pada pertanyaan berdoa dan berserah kepada

tuhan, sebanyak 32 responden (57.14%) menyatakan hampir selalu

meyerahkan setiap permasalahan dalam kehidupan kepada Tuhan

serta terus berdoa agar diberikan yang terbaik.

27
Pada aspek ketiga yaitu Seeing Social Support yang dapat

diartikan sebagai usaha untuk mendapat kenyamanan emosional

dan bantuan informasi dari orang lain yang terdiri dari 4 pertanyaan

diantaranya melibatkan orang lain dalam menyelesaikan masalah

dan mengatasi situasi, sebanyak 18 responden (32.14%)

menyatakan hampir selalu melibatkan orang lain dalam

menyelesaikan masalah dan mengatasi situasi, beberapa responden

mengatakan mereka sangat membutuhkan bantuan orang lain

dalam menyelesaikan masalah khususnya dalam masalah yang

cukup serius dan memerlukan pendapat dari orang lain.

Pada pertanyaan membicarakan masalah dengan seseorang

yang mengalami situasi yang sama, sebanyak 21 responden

(37.50%) menyatakan sering membicarakan masalah dengan

seseorang yang mengalami situasi yang sama utamanya mengenai

penyakit yang dialami, beberapa responden mengatakan saat

mereka sedang kontrol bulanan untuk mengambil obat, mereka

akan berkenalan dengan pasien lain kemudian bertukar pengalaman

mengenai penyakit yang diderita, selain itu beberapa responden

mengatakan memiliki komunitas khusus penyintas skizofrenia yang

saling memberikan dukungan satu sama lain dan sering

berkomunikasi melalui whatsapp grup. Pada pertanyaan mencari

dukungan dan bantuan orang lain, sebanyak 21 responden (37.50%)

menyatakan hampir selalu mencari dukungan dan bantuan orang

28
lain ketika menghadapi kesulitan, beberapa responden mengatakan

keluarga mereka sering memberikan bantuan dan dukungan

terhadap responden. Pada pertanyaan berusaha mendapatkan

keterangan lebih banyak tentang masalah kepada orang yang

pernah mengalami hal yang sama, sebanyak 21 responden

(37.50%) menyatakan sering berbagi informasi tentang masalah

yang mereka hadapi kepada orang yang pernah mengalami hal

yang sama seperti saat menghadapi penyakit skizofrenia, beberapa

reponsen bergabung dengan komunitas yang berisikan penyintas

skizofrenia. Di dalam komunitas tersebut para penyintas

skizofrenia saling berbagi pengalaman dan saling mendukung satu

sama lain dalam menghadapi pengobatan.

Pada aspek ke empat yaitu Self control yang dapat diartikan

sebagai usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi

yang menekan. Self control terdiri dari 6 pertanyaan diantaranya,

apakah responden akan melakukan sesuatu meskipun tidak

menyukai hal tersebut, pada pertanyaan ini, sebanyak 27 responden

(48.21%) tidak pernah melakukan sesuatu meskipun tidak

menyukai hal tersebut, beberapa respoden mengatakan mereka

tidak akan melakukan hal yang tidak mereka sukai. Pada

pertanyaan menyiapkan diri untuk hal yang tidak sesuai dengan

harapan, sebanyak 19 responden (33.93%) menyatakan sering

menyiapkan diri untuk hal yang tidak sesuai dengan harapan,

29
beberapa responden mengatakan bahwa setiap orang perlu

menyiapkan diri untuk menghadapi setiap kondisi dalam

kehidupan. Pada pertanyaan menerima keadaan atau situasi yang

tidak disukai, sebanyak 31 responden (55.36%) menyatakan

menerima keadaan atau situasi yang tidak disukai, beberapa

responden mengungkapkan alasan melakukan hal tersebut

merupakan wujud dari sikap dewasa yang harus dilakukan setiap

orang.

Pada pertanyaan mencoba untuk mengontrol situasi,

sebanyak 22 responden (39.29%) mengatakan hampir selalu

mencoba untuk mengontrol situasi yang terjadi dalam kehidupan

mereka, meskipun situasi yang tidak disukai. Pada pertanyaan

meyakinkan diri sendiri untuk tidak khawatir tentang masalah dan

berfikir positif bahwa keadaan akan baik-baik saja, sebanyak 24

responden (42.86%) menyatakan hampir selalu meyakinkan diri

sendiri untuk tidak khwatir tentang masalah dan berfikir positif

bahwa keadaan akan baik-baik saja. Menurut beberapa responden,

berfikir positif memiliki banyak manfaat diantaranya responden

selalu memiliki sikap optimis dan tidak mudah menyerah.

Pada pertanyaan membayangkan hal-hal baik yang akan

terjadi, sebanyak 27 responden (48.21%) menyatakan hampir selalu

membayangkan hal-hal baik yang akan terjadi, beberapa responden

mengatakan fikiran positif juga berdampak positif pada kondisi

30
kesehatan mental mereka.

Pada aspek ke lima yaitu Planful problem solving yang dapat

diartikan sebagai usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap

menekan dengan cara hati-hati, bertahap dan analitis. Aspek ini

terdiri dari 6 pertanyaan diantaranya, apakah ketika menghadapi

masalah responden berpikir mencari jalan lain untuk

mengendalikan masalah atau mengendalikan situasi, sebanyak 23

responden (41.07%) menyatakan sering berpikir mencari jalan lain

untuk mengendalikan masalah atau mengendalikan situasi ketika

memiliki permasalahan.

Pada pertanyaan menganai berusaha keras untuk merubah

keadaan, sebanyak 28 responden (50.00%) menyatakan sering

melakukan usaha untuk merubah keadaan yang kurang nyaman.

Pada pertanyaan mencoba mencari alternative untuk melihat

pemecahan masalah mana yang lebih efektif, sebanyak 26

responden (46.43%) menyatakan sering mencari alternative untuk

melihat pemecahan masalah mana yang dianggap lebih efektif.

Beberapa responden mengatakan dalam mencari alternative

pemecahan masalah, mereka melibatkan orang lain untuk ikut

berpendapat. Pada pertanyaan berusaha mengingat pengalaman

masa lalu untuk membantu mengatasi masalah, sebanyak 15

responden (26.79%) menyatakan tidak pernah menjadikan

pengalaman masa lalu untuk menyelesaikan masalah yang

31
dihadapi. Pada pertanyaan mencoba untuk memecahkan masalah

menjadi ringan sehingga dapat mengatasi lebih baik, sebanyak 20

responden (35.71%) menyatakan hampir selalu berusaha mencoba

untuk memecahkan masalah sehingga masalah dapat teratasi. Pada

pertanyaan menganai apakah responden menetapkan tujuan khusus

untuk membantu mengatasi masalah, sebanyak 20 responden

(35.71%) menyatakan sering menetapkan tujuan untuk membantu

mengatasi masalah.

Pada strategi pengendalian berorientasi masalah (problem

oriented) terbagi menjadi 5 aspek. Aspek pertama yaitu

Confrontatif coping yang diartikan sebagai usaha dari individu

untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara

yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan

pengambilan resiko. Confrontatif coping terdiri dari 4 pertanyaan

diantaranya, mudah marah, suka memaki dan mengutuk, pada

pertanyaan ini, sebanyak 31 responden (55.36%) menyatakan tidak

pernah memilih strategi penyelesaian masalah dengan cara marah,

memaki dan mengutuk.

Pada pertanyaan mudah menangis dan merasa sedih,

sebanyak 24 responden (42.86%) menyatakan tidak pernah

memilih strategi penyelesaian masalah dengan cara menangis dan

merasa sedih dalam kurun waktu yang lama. Pada pertanyaan

Tidak pernah merasa bahagia dan membayangkan keadaan akan

32
semakin bertambah buruk, sebanyak 39 responden (69.64%)

menyatakan tidak pernah memiliki perasaan tidak merasa bahagia

dan memiliki pikiran negatif bahwa keadaan akan semakin

bertambah buruk ketika menghadapi suatu masalah. Pada

pertanyaan bersikap gugup dan mudah teringgung, sebanyak 33

responden (58.93%) menyatakan tidak pernah bersikap gugup dan

mudah tersinggung dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam

strategi penyelesaian masalah yang dialami.

Aspek kedua strategi pengendalian berorientasi masalah

(problem oriented), yaitu aspek Escape/Avoidance yang diartikan

sebagai usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari

situasi tersebut dan menghindarinya dengan beralih pada hal lain

seperti makan, minum, merokok, dan minum-minuman. Aspek

Escape/Avoidance terdiri dari 3 pertanyaan. Pada pertanyaan

makan berlebihan dan memiliki kebiasaan merokok, sebanyak 29

responden (51.79%) menyatakan tidak pernah melakukan

kebiasaan makan berlebihan dan merokok sebagai strategi

penyelesaian masalah, beberapa responden yang merokok

mengatakan bahwa kebiasaan merokok mereka disebabkan karena

kegemaran yang sudah dilakukan bertahun-tahun.

Pada pertanyaan memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol

sebagai strategi penyelesaian masalah, sebanyak 49 responden

(87.50%) menyatakan tidak pernah memiliki kebiasaan

33
mengkonsumsi alkhol. Pada pertanyaan mengkonsumsi obat untuk

mengurangi ketegangan seperti obat tidur maupun obat penenang,

sebanyak 22 responden (39.29%) menyatakan kadang-kadang

mengkonsumsi obat tidur maupun obat penenang agar mereka

dapat beristirahat. Beberapa responden mengatakan mereka tidak

dapat beristirahat apabila tidak mengkonsumsi obat dari dokter.

Aspek ketiga strategi pengendalian berorientasi masalah

(problem oriented), yaitu aspek Danial (avoidance) yang diartikan

sebagai pengingkaran dimana individu dengan berusaha

menyanggah dan mengingkari dan melupakan masalah-masalah

yang ada pada dirinya. Aspek ini terdiri dari 5 pertanyaan

diantaranya, pertanyaan mengenai apakah responden

mengkhawatirkan masalah yang berhubungan dengan kondisi diri

sendiri.

Pada pertanyaan ini, sebanyak 24 responden (42.86%)

menyatakan kadang-kadang responden mengkhawatirkan masalah

yang berhubungan dengan kondisi diri sendiri. Sebagian besar

kekhawatiran yang dirasakan responden disebabkan karena mereka

khawatir apabila penyakit yang di deritanya saat ini akan

berdampak buruk bagi kehidupan mereka dan keluarga di masa

depan. Pada pertanyaan memiliki kebiasaan melamun dan

berkhayal, sebanyak 25 responden (44.64%) menyatakan tidak

pernah melamun dan berkhayal. Beberapa responden mengatakan

34
mereka lebih memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti

menonton tv atau tidur. Pada pertanyaan mengenai apakah

responden menghindar dari situasi yang tidak disukai, sebanyak 20

responden (35.71%) menyatakan kadang-kadang menghindar dari

situasi yang tidak mereka sukai. Beberapa responden mengatakan

kurang nyaman berada di situasi yang tidak disukai.

Pada pertanyaan mengenai apakah responden menyalahkan

orang lain ketika dalam situasi yang tidak disukainya, sebanyak 44

responden (78.57%) menyatakan tidak pernah menyalahkan orang

lain apabila dihadapkan pada situasi yang tidak disukainya.

Beberapa responden mengatakan lebih memilih untuk menghindari

situasi tersebut sejak awal. Pada pertanyaan mengenai apakah

responden sering menghindar dari masalah, sebanyak 30 responden

(53.58%) menyatakan tidak pernah menghindar dari masalah,

beberapa responden mengatakan mereka memilih menghadapi

masalah dengan bantuan orang lain dibandingkan menghindar dari

masalah.

Aspek keempat strategi pengendalian berorientasi masalah

(problem oriented), yaitu aspek  Acceptance yang dapat diartikan

sebagai kondisi dimana individu memilih berserah diri, dan

menerima apa yang terjadi padanya atau pasrah, karena dia sudah

beranggapan tiada hal yang bisa dilakukannya lagi untuk

memecahkan masalahnya. Aspek Acceptance terdiri dari 4

35
pertanyaan sebagai berikut, apakah responden sering menyerah

pada keadaan dan beranggapan bahwa tidak ada lagi harapan,

sebanyak 36 responden (64.29%) menyatakan tidak menyerah pada

keadaan dan mereka yakin masih terdapat harapan. Beberapa

responden mengatakan, peran keluarga sangat penting dalam

mendukung mereka khususnya dalam masa perawatan dan

pengobatan.

Pada pertanyaan tidak melakukan apapun dan berharap

keadaan akan membaik dan masalah akan hilang dengan

sendirinya, sebanyak 39 responden (69.64%) menyatakan bahwa

mereka selalu berusaha dan tidakpernah menyerah dengan keadaan

dan berpasrah masalah akan hilang dengan sendirinya. Beberapa

responden mengatakan, masalah tidak akan selesai tanpa adanya

usaha, untuk itu responden terus berusaha memperbaiki keadaan

khususnya yang berkaitan dengan masalah kesehatan responden

karena responden percaya bahwa setiap proses perawatan dan

pengobatan akan membuahkan hasil.

Pada pertanyaan menyerah pada keadaan karena hal itu

merupakan takdir sehingga tidak ada keinginan untuk merubah

keadaan, sebanyak 34 responden (60.71%) menyatakan tidak

pernah menyerah pada keadaan karena responden percaya bahwa

takdir dapat diubah dengan usaha. Pada pertanyaan mengenai

apakah ketika terjadi permasalahan responden tetap dapat tidur

36
dengan tenang dan membayangkan keadaan akan baik-baik saja,

sebanyak 25 responden (44.64%) menyatakan sering menjadikan

tidur sebagai strategi pengendalian saat responden menghadapi

suatu masalah. Menurut beberapa responden, tidur dapat

mengistirahatkan beban pikiran mereka ketika terjadi masalah.

D. Uji Normlitas Data

Hasil uji normalitas data pada responden dengan diagnosa

medis Skizofrenia dapat dilihat pada tabel 4.7 sebagai berikut :

Tabel 4.7 Uji normalitas data pada responden dengan

diagnosa medis Skizofrenia (n=56)

Shapiro-Wilk
Variabel Statistic
Df Sig
Nilai
,835 56 ,000
Spiritualitas
Nilai
Mekanisme ,911 56 ,001
Koping

Basarkan tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa data skala spiritualitas

terdistribusi tidak normal dengan nilai significant ,000. Sedangkan data

skala mekanisme koping terdistribusi tidak normal dengan nilai significan

sebesar 001. Dikatakan tidak normal apabila <0,05 dan dikatakan normal

apabila nilai >0,05. Dari kedua hasil tersebut maka dilakukan Uji Kolerasi

Spearman disebabkan kedua data tidak berdistribusi normal. Uji Kolerasi

Spearman dapat dilakukan apabila data tidak berdistribusi normal dan dan

data diukur dalam skala Ordinal.

37
E. Uji Kolerasi Spiritualitas Dengan Mekanisme Koping

Hasil uji kolerasi spearman spiritualitas dengan mekanisme koping

pada responden dengan diagnosa medis Skizofrenia dapat dilihat pada

tabel 4.8 sebagai berikut :

Tabel 4.8 Uji uji kolerasi spearman spiritualitas dengan mekanisme

koping pada responden dengan diagnosa medis Skizofrenia (n=56)

Koefisien
Variabel Significant N
Kolerasi
Nilai
Uji Kolerasi
Spiritualitas 1,000 ,000 56
Spearman
Nilai
Mekanisme
,625 ,000 56
Koping

Hasil Uji Kolerasi Spearman menunjukkan menunjukkan bahwa nilai

coefficient colleration spiritualitas sebesar 1,000 dan nilai coefficient

colleration mekanisme koping sebesar ,619** dan nilai p adalah 0,000.

Nilai p sebesar 0,000 menunjukkan bahwa kolerasi antara skor spiritual

dan skor mekanisme koping bermakna. Nilai kolerasi Spearman sebesar

0,619 yang menunjukkan bahwa kolerasi positif dan kekuatan kolerasi

yang kuat.

Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat antara

Spiritualitas dengan Mekanisme Koping

38
BAB V

PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai hasil penelitian yang telah diuraikan pada

BAB IV. Adapun pembahasan dalam BAB V meliputi karakteristik

responden dengan Skizofrenia yang mencakup data demografi dan data klinis

serta Hubungan Spiritualitas Pada Skizofrenia Dengan Mekanisme Koping.

A. Karakteristik Responden Dengan Skizofrenia

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan jumlah antara

responden dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Responden

laki-laki berjumlah 33 responden (58.9%) dan perempuan berjumlah

23 responden (41.1%).

Hal ini sesuai hal ini teori Adamo (2016) yang menyebutkan jenis

kelamin laki-laki memiliki kecenderungan menunjukkan risiko tinggi

mengalami skizofrenia sebab laki-laki cenderung memiliki produksi

hormon stres yang berlebihan. Sejalan dengan penelitian Thorup

(2017) di Denmark pada populasi dengan rentang usia 17-40 tahun

menemukan bahwa angka insidensi laki-laki lebih besar (1.95%)

daripada perempuan (1.17%). Begitupula penelitian oleh Erlina (2015)

skizofrenia terbanyak dialami oleh laki-laki dengan proporsi 72%

dimana laki-laki memiliki risiko 2.37 kali lebih besar mengalami

skizofrenia (nilai p=0,01).

39
Hal ini juga sesuai dengan penelitian Cordosa (2016) yang

menyimpulkan bahwa laki-laki lebih berisiko 2,48% untuk menderita

skizofrenia dibandingkan perempuan. Cordosa (2016) menjelaskan

bahwa perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa

dibandingkan laki-laki dikarenakan perempuan lebih bisa menerima

situasi kehidupan dibanding kan dengan laki-laki. Pria lebih mudah

terkena gangguan jiwa dikarenakan Pria yang menjadi penompang

utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup.

Sama halnya dengan pendapat Messias, Chen, & Eaton (2017) yang

menyatakan bahwa laki-laki memiliki tingkat kejadian tinggi

dibandingkan wanita dengan perbandingan 1,4 banding 1.

Ketua Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis

Kedokteran Jiwa Indonesia dan Kepala Departemen Psikiatri di RS

Cipto Mangunkusumo, dr. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ (K)

bahwa wanita memiliki hormon estrogen melindungi wanita dari

sejumlah penyakit termasuk skizofrenia. Hormon eatrogen dapat

melindungi perempuan dari risiko skizofrenia termasuk ketika

mengidap skizofrenia usia skizofrenia pada perempuan lebih banyak

terjadi pada usia 20 tahun keatas. Tetapi pada laki-laki, penyakit ini

bisa menyerang di usia 17-18 tahun hal ini menyebabkan laki-laki

kehilangan masa produktifnya.

40
10. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Karakteristik Responden Berdasarkan Usia menunjukkan rata-rata

usia responden adalah 36,82 tahun, usia paling muda responden

adalah 19 tahun sedangkan paling tertua adalah usia 54 tahun.

Penelitian ini sejalan oleh penelitian Neligh (2012), yang

mengatakan bahwa gangguan skizofrenia sering mengenai usia remaja

dan usia 26-35 antara 15-25 tahun. Usia puncak onset (serangan) pada

laki-laki adalah 15-40 tahun, dan wanita usia puncak adalah 25-30

tahun.

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling banyak

dialami oleh beberapa orang dibandingkan penderita gangguan jiwa

lainnya yang umumnya menyerang pada usia produktif dan

merupakan penyebab utama disabilitas kelompok usia 15-44 tahun

(Davison, 2015).

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki

tingkat pendidikan menunjukkan menunjukkan tingkat pendidikan

responden terbanyak adalah tingkat pendidikan SMA sebanyak 23

responden (41,1%) dan SMP yaitu sebanyak 21 responden (37,5%).

Responden skizofrenia dengan riwayat re-hospitalisasi memiliki

karakteristik pendidikan SMA, memiliki pekerjaan dengan sebagian

besar berpenghasilan rendah. Amarita dalam Lesmanawati (2016)

menyatakan bahwa pasien yang memiliki pendidikan rendah

41
cenderung kurang memerhatikan kualitas hidup sehat yang dapat

mempengaruhi terapi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

responden skizofrenia yang berpendidikan rendah memiliki tingkat

kurang dalam memerhatikan kualitas kesehatan, sehingga mereka

tidak melaksanakan terapi sesuai intruksi untuk menangani masalah

skizofrenia yang menyebabkan gejala muncul kembali dan parah,

sehingga re-hospitalisasi terjadi.

Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan

Fakhari (2015) dengan hasil ada hubungan yang bermakna anatara

pendidikan rendah atau tidak tamat SD dengan timbulnya gangguan

jiwa (p<0,001).

Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya pasien yang terpaksa

tidak melanjutkan sekolah karena menderita skizofrenia. Adapun

tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pengetahuan

pasien tentang skizofrenia menjadi rendah pula sehingga akan menjadi

hambatan dalam berinteraksi sosial maupun dalam mendapatkan

informasi tentang skizofrenia. Akibatnya keluarga maupun

masyarakat masih memiliki pandangan yang buruk terhadap orang

yang menderita skizofrenia, sehingga banyak penderita skizofrenia

telat untuk dibawa ke pelayanan kesehatan jiwa. Kejadian ini

mengakibatkan banyak pasien skizofrenia menjadi sukar untuk

disembuhkan.

42
11. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan menunjukkan sebanyak 23

responden (41,1%) tidak memiliki pekerjaan sedangkan responden

yang paling sedikit bekerja sebagai Tukang dan Guru masing-masing

sebanyak 1 responden (1,8%).

Menurut Van Den (2011) orang yang tidak bekerja akan lebih

menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar hormon stres

(hormon cathecholamine) dan mengakibatkan ketidakberdayaan.

(Kessler, 2015) menambahkan orang yang bekerja memliki optimis

terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang lebih

besar dibandingkan yang tidak bekerja. Menurut (Smet, 2013) setiap

kerja memiliki stress agents yang potensial, tetapi masing-masing

bervariasi dalam tingkatan pengalaman stresnya. Yang biasa terjadi

adalah kombinasi dari faktor stres yang kemudian menjadi tidak sehat

(Erlina, 2010).

Orang yang tidak memiliki pekerjaan tentu memiliki pendapatan

yang rendah yang berdampak pada rendahnya sttaus ekonomi yang

dapat menjadi stressor bagi individu.

43
Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan

seseorang. Beberaapa ahli tidak mempertimbangkan kemiskinan

(status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang

menyertai bertanggungjawab atas timbulnya gangguan kesehatan.

Menurut Graham (2014), keluarga adalah faktor perantara yang paling

penting. Ketika kehidupan keluarga dipengaruhi oleh penyebab

lingkungan (rumah yang kecil, tidak adanya waktu dan rasa aman)

maka hal ini merupakan beban bagi orang tua yang akibatnya akan

mempengaruhi kesehatan anak. Kemiskinan ditandai dengan

sedikitnya dukungan, keselamatan, tidak adanya ruang sehingga

terlalu sesak, tidak adanya kebebasan pribadi, ketidakpastian dalam

masalah ekonomi yang akhirnya mungkin menimbulkan risiko

kesehatan bagi keluarga (Erlina, 2016).

Hal ini juga sejalan dengan penelitian Lesmanawati (2016) yang

mengatakan bahwa pasien yang memiliki pekerjaan cenderung akan

lebih memperhatikan kualitas kesehatannya dibandingkan pasien

yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga pasien melaksanakan terapi

atau pengobatan yang telah ditentukan oleh tim kesehatan.

Menurut Heslin & Weiss (2016) bahwa sebagian besar responden

memiliki penghasilan paling rendah yaitu kurang dari Rp. 500.000.

Hasil yang sama juga ditemukan dari data Healthcare Cost and

Utilization Project (HCUP) Statistical Brief yang menyatakan bahwa

pasien skizofrenia yang memiliki penghasilan yang paling rendah

44
memiliki jumlah re-hospitalisasi yang tinggi dibandingkan dengan

pasien skizofrenia yang berpenghasilan tinggi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Erlina (2016) yang menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara

skizofrenia dan non skizofrenia berdasar adanya status ekonomi

(OR=6,00: 95% CI: 2,52-14,60, p=0,000). Status ekonomi rendah

mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami gangguan jiwa

skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Hal ini didukung

pendapat Jean dan Canto (2015) yaitu ada beberapa faktor psikososial

yang mempengaruhi gangguan jiwa skizofrenia, yaitu sosial ekonomi

rendah dan stres lingkungan. Mallet (2015) menambhakan bahwa

kehilangan orangtua dan pengangguran merupakan faktor psikososial

yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa skizofrenia. Hasil

penelitian Mallet (2016) yang menyatakan ada hubungan yang

bermakna antara status pekerjaan dengan timbulnya skizofrenia

(OR=5,5 (95%CI 2,59-11,68), p=0,000).

Namun penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian

Sastroasmoro, 2011 yang mengatakan orang yang tidak bekerja bukan

merupakan faktor risiko terjadinya skizofrenia (Sastroasmoro, 2011).

Penelitian sejalan dengan penelitian Junaidi (2008) menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara status bekerja dengan kejadian

gangguan jiwa.

45
Pada umumnya, responden mengatakan aktivitas pekerjaannya

terganggu karena sering mengantuk dan lebih banyak tidur semenjak

mengkonsumsi obat, sehingga responden mengurangi dosis obat atau

frekuensi obat yang dikonsumsi agar efek samping obat yang

dirasakan berkurang.

Terjadinya skizofrenia pada orang yang tidak bekerja bukan

hanya dipengaruhi oleh faktor itu saja. Akan tetapi dapat pula

dipengaruhi oleh faktor lain seperti adanya faktor keturunan, adanya

stresor psikososial masalah hubungan interpersonal maupun faktor

keluarga yang mendukung terjadinya stres seseorang yang berstatus

tidak bekerja. Hal ini sejalan dengan teori Gordon (2015) bahwa

lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental atau

jiwa seseorang. Interaksi ini akan terus berjalan dan saling

mempengaruhi seperti roda yang berputar

12. Karakteristik Responden Bedasarkan Riwayat Perawatan

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata riwayat perawatan awal

responden pada tahun 2010 dengan riwayat perawatan awal terlama

sejak tahun 1991 dan riwayat perawatan awal terbaru pada tahun 2018

dan mengalami re-hospitalisasi setelah perawatan awal.

Hal ini sejalan dengan Heslin dan Weiss (2015) menemukan

bahwa re-hospitalisasi lebih banyak terjadi pada pasien skizofrenia

yang berada pada tahap dewasa dari pada yang tahap anak-anak,

remaja atau lansia. Usia memiliki nilai prediksi yang tinggi dalam

46
tingkat kejadian re-hospitalisasi dan memiliki hubungan yang

signifikan (Hoffman, 2014).

Karakteristik klinikal pada pasien skizofrenia dengan riwayat re-

hospitalisasi meliputi lama mengidap penyakit 11–15 tahun;

mengalami efek samping obat, jenis anti-psikotik yang diberikan

masih ada mix (campuran) antara tipikal dengan atipikal dan frekuensi

minum obat dua kali sehari. Untuk karakteristik lamanya menderita

skizofrenia, sebagain besar responden menderita skizofrenia selama

11–15 tahun. Responden mengatakan bahwa mereka jenuh minum

obat sedangkan penyakit tidak sembuh, sehingga pasien berhenti

mengkonsumsi obat. Selain itu, pada skilus skizofrenia terdapat

periode kekambuhan yang merupakan periode terakhir dari empat

periode (Moller, 2005). Ada variasi tahun ke berapa periode relaps

dapat terjadi. Hal ini tergantung lamanya durasi periode penyakit akut,

stabil dan pemeliharaan dan pemulihan dari setiap pasien.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Takeuchi,

Suzuki, Uchida Watanabe dan Mimura (2012) yang menemukan data

bahwa pasien skizofrenia tidak melanjutkan konsumsi obat setelah

satu sampai dua tahun dari episode pertama, sehingga menyebabkan

kekambuhan. Selain itu Emsley, Chiliza, Asmal dan Harvey (2013)

menemukan data dari review literature bahwa kekambuhan tinggi

terjadi akibat tidak mengkonsumsi obat setelah periode pertama,

namun tidak memicu kekambuhan yang parah bila obat tidak

47
dikonsumsi setelah melakukanpengobatan dalam jangka waktu yang

lama.

13. Karakteristik Spiritualitas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memiliki spiritualitas tinggi yaitu berjumlah 38 responden (67,9%)

dan jumlah terbesar kedua adalah responden dengan spiritualitas

rendah sebesar 10 responden (17,9%) Sedang responden yang

memiliki spiritualitas sedang sebanyak 8 responden (14,3%).

Hasil ini merupakan kesimpulan dari 16 pertanyaan mengenai

spiritualitas dalam Kuesioner Daily Spiritualitas Experience Scale

yang diberikan pada 56 responden dengan diagnosa medis

Skizofrenia. Kuesioner DSES yang mencakup empat klasifikasi

pertanyaan mengenai spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.

Empat klasifikasi pertanyaan tersebut antara lain, Hubungan

dengan Tuhan, Agama dalam kehidupan, Apresiasi dan rasa syukur

serta Hubungan dengan orang lain.

Dalam pelaksanaanya, peneliti menemukan beberapa

hambatan dalam penelitian diantaranya adalah responden kurang

memahami pertanyaan dalam kuesioner sehingga peneliti

membantu untuk menerjemahkan maksud dari pertanyaan tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dipahami oleh responden

diantaranya pertanyaan dalam klasifikasi Hubungan dengan Tuhan.

Pada pertanyaan merasakan anugerah Tuhan dalam kehidupan,

48
sebanyak 34 responden (60.71%) responden merasakan anugerah

Tuhan dalam kehidupan setiap hari. Pada pertanyaan ini, beberapa

responden sedikit kesulitan untuk memahami maksud dari

pertanyaan tersebut, untuk itu peneliti membantu untuk

menerjemahkan dalam bahasa yang mudah dipahami yaitu

menggunkan bahasa jawa seperti “Ngeten Pak, Bu Dados ingkan

dipunmaksudaken rahmat utawi anugerah niku kayata diparingi

sehat, dipun lindungi kalih gusti Allah, diparingi rejeki, diparingi

keselametan, niku sedoyo namine rahmat saking gusti Allah..”.

Pertanyaan kedua yang sulit dipahami oleh responden adalah

pada pertanyaan merasakan keagungan Tuhan melalui keindahan

penciptaan-Nya, sebanyak 27 responden (48.21%) menyatakan

merasakan keagungan Tuhan melalui keindahan penciptaan-Nya

setiap hari. Pertanyaan ini cukup sulit untuk dipahami responden,

untuk itu peneliti menerjemahkan dalam bahasa yang mudah

dipahami responden seperti “Contohipun nggih, jenengan kesah

plesir dateng air terjun utawi gunung ingkang sae sanget

pemandangane, jenengan merasa takjub kalih air terjun uga alam

ingkang sampun dipun Tuhan ciptaaken ing dunya niki, lajeng

jenengan memuji kuosone Tuhan ingkang sampun nyiptaaken alam

sak isine...”.

Untuk menyederhanakan maksud dari pertanyaan, peneliti

menggunakan peristiwa yang ada disekitar responden yang biasa

49
terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga responden mudah

memahami.

Kemudian pertanyaan ketiga yang sulit dipahami oleh

responden teradapat dalam klasifikasi pertanyaan mengenai agama

dalam kehidupan. Pada pertanyaan merasakan kenikmatan dan

kenyamanan dalam beragama, sebanyak 30 responden (53.57%)

menyatakan merasakan kenikmatan dan kenyamanan dalam

beragama. Beberapa responden sedikit kesulitan menerjemahkan

maksud dari pertanyaan tersebut, untuk itu peneliti membantu

untuk menerjemahkan maksud dari pertanyaan tersebut seperti

“Jenengan kan bergama islam nggih, selama nindaaken kewajiban

ing agama islam kayata sholat, dzikir, jenengan ngeraosake

kenyamanan nopo mboten? Misale bibar ngaji sholat,atine dados

tentrem ayem nopo podo mawon sakwektu jenengan ninggalaken

kewajiban kayata mboten sholat?”. Pertanyaan kedua yang sulit

dipahami oleh responden pada pertanyaan meditasi untuk mencari

ketenangan, sebanyak 19 responden (33.93%) menyatakan tidak pernah

melakukan meditasi untuk mencari ketenangan, beberapa responden

sedikit kesulitan memahami maksud dari kata meditasi, kemudian

peneliti membantu untuk menerjemahkan dengan bahasa yang mudah

dipahami seperti “Meditasi niku seperti dzikir, doa, membaca kitab,

tujuane kagem mencari ketenangan batin”.

Kesembuhan dari penyakit jiwa (recovery) tergambar dari

berkurangnya gejala-gejala dari penyakit jiwa seperti berkurangnya

50
gejala paranoid. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

Manami, Tuchman dan Duarte (2016) bahwa bentuk positif dari

spiritual dapat bermanfaat bagi individu dengan penyakit jiwa

termasuk skizofrenia khususnya dapat mengurangi gejala dan

berkontribusi dalam kualitas hidup dari segi psikologis

(psychological well being). Dalam penelitian ini tergambar bahwa

kesembuhan menurut partisipan adalah gejala yang berkurang atau

tidak ada, yang masih berfokus pada kesembuhan fisik.

Selain itu, pasien skizofrenia mengungkapkan bahwa spiritual

dan atau agama penting bagi penderita gangguan jiwa. Hal yang

sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Rosmarinet al. (2015), bahwa dari 47 responden yang diteliti,

mayoritas (29 responden) menyatakan bahwa agama penting bagi

mereka. Umumnya pasien skizofrenia mengetahui bahwa faktor

yang mempengaruhi kesembuhan mereka tidak hanya dengan

minum obat saja tetapi juga berkaitan dengan faktor lain seperti

spiritual dan juga sosialisasi dengan orang lain. Hal ini sama

dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa pengalaman spiritual

membantu individu untuk meningkatkan hubungan sosial (Mamani,

Tuchman dan Duarte, 2015).

14. Karakteristik Mekanisme Koping

Hasil penelitian menunjukkan dari 56 responden sebanyak 30

responden (53.6%) memiliki mekanisme koping adaptif dan 26

51
responden (46.4%) memiliki mekanisme koping maladaptif. Pada

gambaran hasil penelitian dalam sebaran item pertanyaan,

sebanyak 53.6 % responden memilih affective oriented sebagai

strategi penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil ini merupakan kesimpulan dari 40 pertanyaan dalam

Kuesioner JCS yang terdiri dari 15 item strategi pengendalian

berorientasi masalah (problem oriented) dan 25 item pengendalian

berorientasi sikap (affective oriented). Menurut Stuart & Laraia,

(2005), Strategi pengendalian masalah berorientasi sikap (affective

oriented) terbagi menjadi 4 aspek, yaitu Self-Control, Discanting,

Positive Reaprisial, dan Escape/Avoidance. Sedangkan strategi

pengendalian berorientasi masalah (problem oriented) terbagi

menjadi 5 aspek, yaitu Confontatif coping, Seeking Social Support,

Planful problem solving, Acceptance dan Danial/Avoidance.

Dalam pelaksanaanya, peneliti menemukan beberapa

hambatan dalam penelitian diantaranya adalah responden kurang

memahami pertanyaan dalam kuesioner sehingga peneliti

membantu untuk menerjemahkan maksud dari pertanyaan tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dipahami oleh responden

diantaranya pertanyaan mengenai strategi pengendalian masalah

berorientasi sikap (affective oriented) yang terbagi menjadi

beberapa aspek yaitu aspek pertama adalah Discanting. Dalam

aspek Discanting pada pertanyaan melepaskan ketegangan pada

52
situasi yang kurang nyaman, sebanyak 30 responden (53.57%)

menyatakan sering melepaskan ketegangan pada situasi yang

kurang nyaman, beberapa responden kesulitan untuk memahami

maksud dari pertanyaan tersebut, untuk itu peneliti berusaha

menerjemahkan dalam bahasa yang mudah dipahami yaitu

menggunakan bahasa jawa seperti “Misal nggih Pak, njenengan

menghadapi situasi ingkang serius, jenengan ngeraosake mboten

nyaman, misale jenengan angsal kabar ingkang kurang sae,

biasane jenengan nindaake nopo? Contohe, istighfar tarik nafas

kersane atine tenang, mboten tegang, nopo pripun?”.

Kemudian pertanyaan kedua yang sulit dipahami oleh

responden adalah pertanyaan mengenai meditasi untuk mencari

ketenangan. Pada pertanyaan meditasi untuk mencari ketenangan,

sebanyak 19 responden (33.93%) menyatakan tidak pernah

melakukan meditasi untuk mencari ketenangan, beberapa

responden kesulitan untuk memahami arti dari kata meditasi.

Kemudian peneliti membantu menerjemakan dengan bahasa yang

mudah dipahami seperti “Meditasi niku kayata dzikir, doa, kagem

tiyang ingkan agaminpun islam. Menawi kristen kayata maos

kitab, mirengke siraman rohani, tujuanipun meditasi niku kagem

madosi ketenangan batin”.

Kemudian pertanyaan ketiga yang sulit dipahami oleh

responden yaitu pertanyaan dalam aspek Planful problem solving

53
pada pertanyaan menganai apakah responden menetapkan tujuan

khusus untuk membantu mengatasi masalah, sebanyak 20

responden (35.71%) menyatakan sering menetapkan tujuan untuk

membantu mengatasi masalah. Beberapa responden kesulitan untuk

memahami maksud dari pertanyaan tersebut, untuk itu peneliti

membantu menerjemahkan dalam bahasa yang mudah dipahami

oleh responden yaitu bahasa jawa seperti “Misale jenengan kan

wonten masalah, sakderenge berusaha ngrampungke masalah

niku, biasane jenengan niku mpun ngertos tujuane jenengan niku

ngrampungke masalah nopo angger ngrampungke mawon tanpo

mikir tujuan lan maksud e njenengan nindakke niku? Misale kan

jenengan butuh arto nggih,lajeng jenengan ngampil artho bank,

nah jenengan sakderenge ngampil artho, mpun ngertos dereng

tujuane ngampil artho kedah nopo, nopo kedah ngrampungke

masalah nopo kedah atine tenan, nopo pripun? Intine jenengan

ngertos tujuane njenengan ngerampungke masalah niku”.

Hasil penelitian yang menunjukkan lebih banyak responden

yang memiliki mekanisme koping adaptif yaitu sebanyak 30

responden (53.6%) dan 26 responden (46.4%) memiliki

mekanisme koping maladaptif selaras dengan penelitian menurut

Lazarus dan Folkman, (2014). Koping adalah bagaimana reaksi

seseorang ketika menghadapi stres atau tekanan. Menurut Lazarus

dan Folkman (2014), strategi koping sendiri didefinisikan sebagai

54
suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha dalam

rangka merubah domain kognitif dan atau perilaku secara konstan

untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal

maupun internal yang diprediksi akan dapat membebani dan

melampaui kemampuan dan ketahanan individu yang

bersangkutan. Pada pasien skizofrenia, ketidakmampuan dalam

menangani dan mengendalikan stres dipercaya sebagai penyebab

utama akan terjadinya kekambuhan dan menurunkan kualitas

hidupnya. Penderita skizofrenia memiliki gangguan dalam kognitif

dan tingkah laku, sehingga mengalami kesulitan dalam menentukan

koping yang sesuai.

Ahyar (2015) menyebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi strategi koping, yaitu : kesehatan fisik, keyakinan

atau pandangan positif, keterampilan memecahkan maslaah,

keterampialan sosial, dukungan sosial, dan materi. Sedangkan

menurut Stuart dan Laraia, ada 4 (empat) faktor yang

mempengaruhi strategi koping, yaitu kemampuan individu

(personal ability), finansial dan pelayanan kesehatan (material

assets), keyakinan positif (positive believe) dan dukungan sosial

(social support).

Strategi koping yang positif dapat memberikan manfaat agar

individu mampu melanjutkan kehidupan walaupun ia memiliki

masalah. Manfaatnya yaitu untuk mempertahankan keseimbangan

55
emosi, mempertahankan citra diri (self image) yang positif,

mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap hal-

hal yang negatif dari hubungan yang mencemaskan terhadap orang

lain. Pearlin dan Scroler menambahkan bahwa koping berkaitan

dengan bentuk-bentuk usaha yang dilakukan individu untuk

melindungi dari tekanan-tekanan psikologis yang ditimbulkan pula

oleh pengalaman sosial. Sehingga secara psikologis koping

memberikan efek pada kekuatan (perasaan tentang konsep diri dan

kehidupan), reaksi emosi, tingkat depresi atau kecemasan serta

keseimbangan antara perasaan negatif dan positif.

F. Hubungan Spiritualitas dengan Mekanisme Koping

Hasil uji Spearman menunjukkan nilai p adalah 0,000 yang

menunjukkan bahwa kolerasi anatara skor spiritual dan skor mekanisme

koping bermakna.

Nilai kolerasi Spearman sebesar 0,619 yang menunjukkan bahwa

kolerasi positif dan kekuatan kolerasi yang kuat.

Hal ini sesuai dengan Penelitian yang dilakukan Koenig (2017 ) yang

menyebutkan bahwa spiritual dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan

sehari-hari sebagai metode koping yang memberi pengaruh positif,

semangat harapan dan kepuasan hidup yang lebih besar. Keterlibatan

spiritual dan keagamaan berkontribusi terhadap kualitas hidup pasien

Skizofrenia.

56
Selain itu penelitian oleh Shah (2014) menunjukkan bahwa

“religious practices” dan kepercayaan personal merupakan predictor

dari kualitas hidup pasien skizofrenia. Penelitian menunjukkan bahwa

selain manajemen farmakologis dan non farmakologis, perlunya

tenaga kesehatan professional untuk meningkatkan praktek religious

dan kepercayaan personal dari pasien. Dengan demikian, tidaklah

mengherankan bahwa banyak orang dengan penyakit mental

menggunakan agama sebagai alat untuk mengatasi kondisi akibat

penyakit mereka. Spiritualitas dapat memegang peranan kunci dalam

pemulihan psikologis dari gangguan mental berat seperti skizofrenia.

Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Mohr, Brandt, Borras,

Gillieron, dan Huguelet (2016) Gangguan pada skizofrenia dapat

dicegah dengan pendekatan spiritualitas, penggunaan koping yang

konstruktif, dan menghindari kesendirian.

Pada pasien dengan skizofrenia mengalami perubahan koping

maladaptif yaitu sebuah koping yang bereaksi secara emosional.

Penggunaan koping maladaptif berdampak ketidakpuasan dalam spirut

yang berakibat kepasifan dalam beragama. Keyakinan spiritual pada

pasien dengan skizofrenia dikaitkan dengan beberapa hal diantaranya

penurunan tingkat merokok, peningkatan kualitas hidup, dan

prognosis yang lebih baik. Keyakinan spiritual dapat menurunkan

risiko bunuh diri, dan mengurangi risiko penggunaan narkoba pada

pasien skizofrenia.

57
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pasien orang dengan

skizofrenia sangat berdampak bagi peningkatan kualitas hidup

mereka. Hasil penelitian Syahidah (2016) mengenai hubungan antara

tingkat spiritualitas dengan kualitas hidup pada pasien dengan

skizofrenia menunjukkan semakin tinggi tingkat spiritualitas, maka

semakin tinggi kualitas hidup pasien dengan skizofrenia. Kebutuhan

spiritual merupakan salah satu bentuk asuhan non farmakologi yang

dapat diberikan kepada penderita skizofrenia, karena spiritual

berhubungan dengan ketenangan batin yang dapat meningkatan

kualitas hidup. Jika ketenangan batin tidak terpenuhi maka kualitas

hidup secara keseluruhan juga akan terganggu. Kebutuhan spiritual

adalah hal yang unik bagi setiap individu. Pada individu sakit, tingkat

spiritualitas dapat semakin meningkat maupun sebaliknya, tergantung

pada mekanisme koping individu dalam mengatasinya. Mekanisme

koping yang adapatif dan penerapan spiritualitas menjadi kolaborasi

yang baik untuk meningkatkan ketenangan batin dan peingkatan

kualitas hidup pada pasien dengan skizofrenia.

Pentingnya kegiatan psikoreligius berguna untuk mengurangi

stres pasien akibat konflik antar pribadi ini, sehingga dapat

mengurangi rasa depresi, permusuhan, penyakit hati dan sebagainya.

Ritual keagamaan seperti sholat, dzikir, membaca Al-Qur’an untuk

umat muslim dan bagi umat non-muslim dapat membaca kajian Kitab

sangat bermanfaat untuk mengurangi stres tersebut (Hawari, 2014)

58
Penelitian yang dilakukan oleh Shah (2011) menunjukkan

bahwa “religious practices” dan kepercayaan personal merupakan

predictor dari kualitas hidup pasien skizofrenia.

G. Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dan kelemahan

penelitian sehinga diharapkan dapat diperbaiki pada penelitian selanjutnya.

1. Kekuatan Penelitian ini yaitu:

a. Untuk mengurangi faktor pengganggu dalam penelitian ini saya

memilih responden dengan kriteria inklusi yang sama antar

responden satu dengan lainnya. Selain itu untuk menghindari

kesalah pahaman dalam pengartian kata-kata pada kuesioner, saya

membantu responden memaknai arti dari kata-kata yang terdapat

dalam kuesioner.

b. Tidak memilih responden dengan diagnosa medis yang tidak

sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak memilih responden yang

termasuk dalam kriteria eksklusi.

15. Kelemahan Penelitian ini yaitu:

a. Penelitian hanya dilakukan di satu RS sehingga tidak dapat di

tarik kesimpulan secara singkat sebab tidak ada perbandingan.

b. Penghitungan sebaran item pertanyaan pada kuesioner masih

menggunakan penghitungan manual sehingga dibutuhkan

ketelitian agar tidak terjadi kesalahan jumlah dalam

penghitungan.

59
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan

Januari 2019 sampai Februari 2019, tentang Hubungan Spiritualitas Pada

Pasien Skizofrenia Dengan Mekanisme Koping di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Jumlah responden adalah 56 responden, dengan rincian 33 responden

berjenis kelamin laki-laki dan 23 responden berjenis kelamin

perempuan.

2. Responden didominasi oleh jenis kelamin laki-laki sebanyak 33

reponden (58,9%) rata-rata usia responden adalah 37 tahun dengan

pendidikan terbanyak adalah SMA (41,1%) dan sebagian besar

responden tidak bekerja dengan jumlah (41,1%) dengan riwayat

perawatan terlama sejak tahun 1991 dan riwayat perawatan terbaru

pada tahun 2018.

3. Pada uji Spearman menunjukan adanya hubungan yang kuat dan

bermakna antara Spiritualitas dengan Mekanisme Koping Pada

Pasien Skizofrenia ditunjukkan dengan hasil uji kolerasi spearman

dengan Nilai p sebesar 0,000 000 menunjukkan bahwa kolerasi

antara skor spiritual dan skor mekanisme koping bermakna. Nilai

60
kolerasi Spearman sebesar 0,619 yang menunjukkan bahwa kolerasi

positif dan kekuatan kolerasi yang kuat.

H. SARAN

1. Bagi Responden dengan Skizofrenia

Hasil penelitian di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino

Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah ini menunjukkan adanya

hubungan spiritualitas pada responden Skizofrenia dengan

mekanisme koping, sehingga diharapkan responden dapat

menerapkan nilai-nilai spiritualitas dan memiliki koping yang baik

yang dapat diterapkan sehari-hari sehingga dampak dari penerapan

spiritualitas dan mekanisme koping yang baik dapat meningkatkan

kualitas hidup responden dengan Skizofrenia.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara Spiritualitas

Dengan Mekanisme Koping Pada Responden dengan Skizofrenia.

Sehingga diharapkan dalam proses asuhan keperawatan pada pasien

Skizofrenia, perawat dapat menerapkan terapi mengenai spiritualitas

erat memberikan perhatian lebih terhadap aspek spiritual pasien

skizofrenia yang diharapkan dapat berpengaruh pada mekanisme

koping pasien sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien

skizofrenia serta mengurangi risiko kambuhan.

61
3. Bagi peneliti selanjutnya

a. Diharapkan dapat melanjutkan penelitian dengan jumlah

responden yang lebih banyak.

b. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengembangkan

penelitian mengenai spiritualitas dan mekanisme koping pada

responden dengan skizofrenia secara lebih luas dan melakukan

inovasi- inovasi asuhan keperawatan dalam sisi spiritual pada

responden dengan skizofrenia

c. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian di

minimal 2 Rumah Sakit untuk dijadikan perbandingan agar hasil

penelitian dapat digeneralisasikan dan simpulkan.

62

Anda mungkin juga menyukai