Anda di halaman 1dari 10

PAPER

JEMBRANA DISEASE

Disusun oleh:

AFRIDA YANTI HARAHAP, S. KH

NIM : 1902101020060

Kelompok : 9

Gelombang : 17

LABORATORIUM PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

2020
A. Pendahuluan
Penyakit Jembrana (Jembrana Disease) merupakan penyakit ternak yang hanya
menyerang sapi Bali. Penyakit Jembrana belum pernah dilaporkan diluar negeri, penyakit
ini berasal dari Indonesia. Wabah penyakit ini muncul pertama kali pada tahun 1964 di
Desa Sangkaragung, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali Barat (Guntoro,
2002). Kerugian ekonomi diakibatkan penyakit ini cukup besar karena mempengaruhi
lalu lintas ternak dan hasil olahannya antar pulau (Direktorat Kesehatan Hewan, 2014).

B. Etiologi dan Morfologi


Penyakit Jembrana disebabkan oleh Retrovirus, dari anggota group lentivirus
yang unik dan disebut Jembrana Disease Virus (JDV).Virus ini berbentuk pleomorf,
beramplop dengan materi genetik tersusun atas single stranded Ribonucleic Acid (ss-
RNA), berukuran 80 - 120 nm. Virus memiliki enzim reverse transcriptase, berkembang
biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding. Virus Jembrana memiliki 4 protein
utama (p26, p16, p100 dan p38-42-45. Protein p26 berekasi silang dengan protein dari
bovine immunodefisiency virus (BIV). Virus Jembrana ini selain memiliki hubungan
antigenik dengan BIV, juga berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV), Simian immunodeficilency Virus (SIV), Feline Immoundeficiency Virus (FIV),
Maedi Visna Virus (MVV), Caprine Arthritis Encephalitis Virus (CAEV) dan Equine
Infectious Anemia Virus (EIAV) (Kementerian Kesehatan Hewan, 2014).
Penyakit Jembrana adalah penyakit yang menyerang sistim kekebalan tubuh,
maka patogenesis penyakit dimulai dari masuknya agen penyakit, masa inkubasi yang
ditandai oleh upaya virus memperbanyak diri dalam sel target, gejala klinis dan mati atau
kesembuhan. Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari yang diikuti dengan munculnya
demam hingga mencapai 41 oC- 42o C yang berlangsung hingga 5 -12 hari (rata-rata 7
hari). Pada masa demam akan terjadi penurunan limposit terutama sel limposit B dan
trombosit. Akibat penurunan trombosit maka terjadi perdarahan dihampir semua organ
tubuh dan bahkan dikulit yang luka akibat gigitan serangga pengisap darah potensial
seperti Tabanus sp. Sebaliknya penurunan sel limposit B yang merupakan sel dalam
sistim kekebalan tubuh akan menyebabkan berkembangnya bakteria pada organ-organ
tubuh yang berhubungan dengan udara luar seperti, paru-paru, ginjal dan saluran
pencernaan.
Infeksi sekuder ini menyebabkan terjadinya pneumonitis, nephritis dan enteritis.
Akibat peradangan ginjal tersebut maka ureum tidak bisa dibuang dalam urine dan
kembali masuk dalam peredaran darah. Kadar ureum yang tinggi (uremia) menyebabkan
sel epitel menjadi rapuh dan menyebakan erosi pada selaput lidah dan mukosa mulut.
Pada umumnya kematian akibat penyakit Jembrana disebabkan oleh kadar uremia yang
sangat tinggi dalam darah (Kementerian Kesehatan Hewan, 2015).
C. Gejala Klinis
Gejala umum ternak yang terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi,
lymphadenopathy (pembengkakan kelenjar getah bening), lymphopenia (penuruna
leukosit di dalam darah) mencret (diare) yang sering bercampur dengan darah (Siswanto
et al., 2018). Pada penyakit yang akut, khususnya terjadi pada wabah yang pertama, sapi
Bali yang terserang akan mati secara tiba-tiba tanpa terlihat adanya gejala klinis yang
dapat diamati. Kondisi tubuh sapi yang mati ini pada umumnya masih bagus.
Gejala lain berupa keluarnya air liur yang berlebih (hypersalivasi), leleran hidung
yang bening, erosi pada selaput lendir mulut dan bagian bawah lidah, bercak-bercak
darah pada kulit (keringat darah) di daerah punggung dan paha bagian dalam serta
kepucatan pada selaput lendir mulut, mata maupun alat kelamin (Kementerian Kesehatan
Hewan, 2015).
Erosi juga ditemukan pada selaput lendir vagina. Disamping itu konjungtiva
meradang (conjunctival vaso injection) kadang-kadang terdapat klot darah disudut mata
depan dan diikuti dengan keluarnya sekresi air mata (lakrimasi). Ternak yang bunting
ditandai dengan keguguran. Dilaporkan 49% ternak bunting yang terserang penyakit
Jembrana diakhiri dengan keguguran yang terjadi pada semua masa kebuntingan
(Kementerian Kesehatan Hewan, 2014).

Gambar 1. Hypersalivasi
leleran hidung yang
bening

D. Patologi Anatomi
1. Perubahan patologis anatomis yang dominan ialah perubahan sistem limforetikuler
yang ditandai oleh pembengkakan semua kelenjar limfe (limfadenopati umum),
kelenjar haemolymphe dan pembengkakan limpa (spleenomegali).

Gambar 2. Adanya
pembengkakan pada
limfoglandula

2. Pada permukaan tubuh ditemukan bercak darah yang meluas yang disebut keringat
darah. Biasanya terjadi pada stadium demam dan tetap ada selama 2-3 hari. Gejala ini
adalah patogomonik dari Jembrana. Virus Jembrana dapat menyebabkan terjadinya
thrombositopenia yaitu jumlah trombosit dibawah normal, dimana fungsi trombosit
ini berperan untuk menghentikan perdarahan pada saat terjadi luka, seperti gigitan
serangga penghisap darah Tabanus sp. (Wilcox, 1997).

Gambar 3. Adanya blood sweating


(keringat darah) pada permukaa tubuh sapi

3. Konjungtiva kongesti dan okular berdarah kadang-kadang terdapat klot darah di


dalam lekuk mata depan, jaringan di bawah kulit tampak pucat, kering dan kadang-
kadang berdarah.

Gambar 4. klot darah di dalam


lekuk mata depan,

4. Pada sistem pernafasan ditemukan adanya perubahan berupa selaput lendir celah dan
corong hidung tampak kongesti dan selaput lendir saluran pernafasan mengalami
erosi, kadang ditemukan pula perdarahan. Lesi lesi di dalam paru tidak pernah tetap.
Beberapa lobus paru-paru warnanya tampak coklat kegelapan dan densitasnya
meningkat. Daerah hepatisasi merah kelabu ini berukuran kira- kira 1-4 cm, kadang-
kadang dapat terjadi pada semua lobus. Zona atelektasis dan bronckopneumonia focal
kadang-kadang juga ditemukan.

Gambar 5. Terdapat lesi di


dalam paru-paru

5. Hati sedikit membengkak warnanya kekuningan dengan tepi yang tumpul.


Pembengkakan hati ini terjadi pada hari ke 10 dan 15 pasca infeksi. Kantong empedu
umumnya mengalami dilatasi dan mengandung cairan empedu yang kental berwarna
hijau gelap, cairan jernih atau gelap. Pada selaput lendirnya ditemukan perdarahan
ptekie, ekimose atau perdarahan “paint brush”. Kadang pankreas mengalami
perubahan berupa edem dan Perdarahan Sepanjang lekuk otak terlihat mengalami
kongesti dan edema.
Gambar 6. Hati membengkak

6. Pada potongan otak warnanya pucat dan basah. Perubahan patologi dari sistem
genitalis hanya ditemukan pada preputium yang terlihat mengalami ulserasi,
perdarahan dan erosi pada vagina (Kementerian Kesehata Hewan, 2014).
7. Disamping itu terjadi perubahan vaskuler yang ditandai dengan eksudasi dan
perdarahan ringan. Pada fase akut sering terlihat perdarahan berupa petekie dan
ekimose pada berbagai organ terutama saluran pencernaan, limpa, jantung dan ginjal,
foci putih keabuan sering juga terlihat pada korteks ginjal dan jantung (Kementerian
Kesehatan Hewan, 2015).

E. Histopatologi
1. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan 3 fase perkembangan penyakit Jembrana.
Fase inkubasi yang terjadi pada minggu pertama infeksi, ditandai dengan reaksi
limforetikuler umum yang meliputi kompartemen folikuler dan non-folikuler organ-
organ limfoid.
2. Fase inkubasi dilanjutkan dengan fase akut yang terjadi pada hari ke 8 – 21 PI. Fase
ini ditandai dengan proliferasi hebat sel-sel limforetikuler pada kompartemen organ-
organ limfoid dan bersama dengan itu terjadi infiltrasi dan proliferasi sel-sel
limforetikuler pada organ-organ parenkim seperti ginjal, medula adrenal, hati dan
paru-paru. Perubahan mencolok pada fase ini adalah atro_ folikel dari organ limfoid,
yang mengindikasikan terjadinya imunosupresi. Pada fase ini kematian biasanya
terjadi akibat uremia karena infeksi sekunder pada ginjal dan juga pada paru-paru
yang ditandai dengan adanya nephritis dan atau pneummonia.
3. Jika tidak terjadi kematian pada fase akut ini, maka infeksi akan berlanjut ke fase tiga
yang merupakan fase kesembuhan. Fase ini dimulai pada minggu ke 5 PI, ditandai
dengan reaksi folikuler pada organ-organ limfoid dan munculnya kembali sel-sel
plasma (plasmasitosis) pada ’’medullary cords’’ kelenjar limfe dan kompartemen
non-folikuler limpa (Kementerian Kesehatan Hewan, 2014).
Pada pewarnaan H & E Di dalam limpa, hampir semua folikel folikel
menghilang/kabur dan germinal centre nya hilang Daerah marginal (light zone) dan
daerah sekitar periarterioral lymphoid sheath di penuhi oleh populasi sel bundar
pleomorpik (Gambar A). Banyak sel sel bundar pleomorpik menginfiltrasi daerah sel sel
T (pulpa merah), bergerombol di sekitar arteri penicilliary dan tersebar di daerah pulpa
merah. Jumlah sel sel pleomorpik dengan derajat ringan juga ditemukan dengan warna
sitoplasma berwarna merah dengan kromatin yang besar menyerupai sel sel cetroblast
(Gambar C). Juga ditemukan banyak badan badan apoptotik dan sel sel mitotik. Daerah
marginal (parafollicular zone) dibatasi oleh lingkaran sejumlah sel sel netropil.

Gambar 7. Jaringan limpa dari seekor sapi Bali terinfeksi JDV pada demam
hari ke 2 (A) dan sapi kontrol negatif, BIV (B). Folikel mengalami
deplesi dan germinar center menjadi kolap/kabur. Germinar center
yang normal dan yang mengalami deplesi ditunjukkan dengan tanda
panah. Diwarnai H&E, pembesaran 10X. (Tenaya, 2011)

C
D

Gambar 8. Daerah parakortec jaringan limpa yang di infeksi JDV pada


demam hari ke 2 (A) dan sapi kontrol negatif, BIV (B). Ada banyak
sel sel pleomorphic centroblast-like pada jaringan yang terinfeksi
JDV, bercampur dengan sedikit sel sel limposit kecil. Tanda panah
panjang menunjukan contoh sel sel pleomorphic centroblastlike dan
tanda panah pendek menunjukan sel sel limposit kecil. Di warnai
H&E, pembesaran 100X.

Gambar 9. Sel limfosit terinfeksi JDV pada jaringan limfoid dan darah tepi sapi bali. Limfosit
terinfeksi JDV ditandai dengan adanya warna coklat pada sitoplasma sel limfosit.
A).Sel limfosit terinfeksi JDV dalam limpa ditandai dengan adanya klon sel
multifokal dan setiap klon terdiri atas banyak sel terinfeksi JDV (10×5). B). Sel
limfosit yang terinfeksi JDV pada darah tepi mempunyai ukuran yang bervariasi,
tetapi kebanyakan lebih besar dari pada limfosit normal (10×10) (Berata, 2010).

Selama fase akut terjadi limfosit abnormal. Beberapa tipe sel ditemukan pada
preprat ulas darah, yaitu sel dengan inti dan sitoplasma yang besar, limfosit medium
berinti ganda, mitosis limfosit, limfosit besar dengan sitoplasma yang mengalami
vakuolisasi berisi inti eosinofilik (Kementrian Pertanian, 2014). Pada pembuatan preparat
histologi jaringan limfoid jaringan difiksasi dengan aseton yang mengandung H2O2 3%,
dimana H2O2 3%, bersifat asam dan eosinofilik merupakan kepekaan terhadap zat yang
bersifat asam. Hal tersebut membuat sitoplasma berwarna kecoklatan. Tetapi berdasarkan
intensitas warna coklat yang menunjukkan adanya variasi kualitas sel terinfeksi JDV. Hal
ini berkaitan dengan patogenesis penyakit Jembrana port d’entry virus melalui gigitan
lalat penghisap darah (Putra, 2001).
F. Penularan Penyakit
Penularan terjadi secara horisontal yaitu kontak langsung antara sapi sakit dengan
yang sehat dan tidak terjadi secara vertikal, oleh karena dari hewan karier melahirkan
pedet yang normal. Pada stadium akut titer virus JD dalam plasma darah adalah tinggi
(10 8 ID50/ml) dan sapi yang sembuh dari penyakit akut sangat potensial sebagai
sumber infeksi karena terjadi viremia yang persisten dan berlangsung selama 60 hari dan
titer virus 101 ID50,/ml . Telah diduga sebelumnya bahwa penyakit Jembrana merupakan
insect born disease, yaitu penularan penyakit lewat vektor insekta, seperti Culicoides sp
dan nyamuk. Tabanus rubidus memiliki potensi sebagai penular virus JD di lapangan
secara mekanis (Kementrian Kesehatan Hewan, 2015).
Disamping penularan secara mekanis, penularan melalui kontak antara penderita
dengan hewan sehat juga terjadi secara eksperimental, penyakit Jembrana dapat
ditularkan melalui oral, lubang hidung, konjungtiva mata dan semen (Kemeeterian
Kesehatan Hewan, 2015).

G. Diagnosa Laboratorium
Penyakit Jembrana didiagnosa berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis,
patologis, serologis dan uji deteksi antigen/virus. Genom RNA virus JD dalam jaringan
yang telah diblok dengan parafin dapat dideteksi dengan teknik in situ hybridization.
Pengujian antibodi dapat dideteksi dengan enzime linked immunosorbent assay (ELISA).
Pada sapi yang terinfeksi, antibodi tidak dapat dideteksi sampai 11-33 minggu pasca
infeksi dan tetap dapat dideteksi sampai dengan 59 minggu pasca infeksi. Teknik yang
lebih spesifi k seperti Western immunoblotting yang dapat mendeteksi protein 26K virus
JD dalam serum. Protein ini secara konstan dapat dideteksi pada minggu ke-6 pasca
infeksi. Hal ini sesuai dengan munculnya plasmasitosis dan meningkatnya jumlah IgG
(Kementerian Kesehatan Hewan, 2015).

H. Diagnosa Banding
Diagnosa Persamaann Perbedaan

Malignant Catarrhal Fever demam tinggi, diare, eksudat Secara histopatologis


(MCF) mukopurulen, dari mata dan ditemukan vaskulitis pada
hidung, lesi mukosal dan MCF
pembengkakann
limfoglandula superfisial
Septicaemia Epizootica konjungtivitis, lakrimasi, odema pada daerah kepala
(SE) dyspnoea
Surra demam tinggi, eksudat mata kahexia dan ikterus
dan hidung, hipersalivasi, membran mukosa
pembengkakan
limfoglandula superfisial
Bovine Immodefisiency Lhymphadenopathy Lympocytosis (kondisi
Virus (BIV) (pembengkakan kelenjar limfosit di dalam darah
sistem imun karena adanya tinggi), lesi sistem saraf
infeksi (bakteri atau virus) pusat, kelemahann progresif
dan kekurusan

Antraks Demam tinggi, lesi pada Rangsang meningeal dan


kulit, feses bercampur darah gejala kenaikan tekanan
pembegkakan di kelenjar intracranial seperti sakit
limfe, kepala progressif, kaku
duduk,delirium, kejang-
kejang. Terjadi meningitis
hemorhagik disertai edema
hebat pada leptomeningen

I. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Strategi utama yang harus dilakukan adalah dengan vaksinasi dan pengawasan lalu lintas.
a. Pelaksanaan vaksin
Sapi bali asal daerah bebas yang akan didistribusikan ke daerah endemis
harus divaksinasi 3 hari sebelum diberangkatkan dan 3-4 minggu sesudah
vaksinasi pertama dan dilakukan di daerah tujuan. Vaksinasi selanjutnya
mengikuti program vaksinasi di daerah endemis. Di daerah endemis,
pengendalian dilakukan dengan vaksinasi secara rutin 3 tahun berturut-turut (pada
sapi yang sama). Setiap tahun dilakukan 2 kali vaksinasi dengan interval 1 bulan.
b. Pengawasan lalu lintas
Persyaratan Teknik Lalu Lintas Sapi Bali Bibit dan Peralakuan yang Diperlukan
Lalu Lintas Perlakuan
Dari daerah tidak ada kasus menuju - Tidak perlu vaksin
daerah tidak ada kasus - Tidak perlu uji laboratorium
Daerah ada kasus menuju daerah tidak Dilarang
ada kasus
Daerah ada kasus menuju daerah ada Daerah Asal :
kasus - Uji ELISA (prevaksinasi)
- Vaksinasi 1 dilakukan
maksimal dilakukann 1 bula
sebelum hewan dilalu
lintaskann
- Vaksinasi tetap dilakukan di
daerah tujuan
Daerah Tujuan :
- 1 bulan setelah vaksinasi
dilakukan booster
- 1 bulan setelah booster
dilakukan uji ELISA
- Vaksinasi tiap 6 bulan
selama 3 tahun

REFERENCES

1. Berata, I.K. 2010. Studi Patogenesis Penyakit Jembrana Sapi Bali Berdasarkan
Karakteristik Sel Terinfeksi pada Jaringan Limfoid da Darah Tepi. Jurnal Buletin
Veteriner Udayana. 2(1): 35-44.
2. Kementerian Kesehatan Hewan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia.
Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
3. Kementerian Kesehatan Hewan, 2015. Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Jembrana. Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
4. Putra, A.A.G.2001. Kajian Epidemiologi dan Strategi Penaggulangan Penyakit
Jembrana di Indonesia. In: Hartaningsih, N. and Putra, A.A.G..Editor. Tiga Puluh
Tahun Menaklukan Penyakit Jembrana. Prosiding Seminar Nasional Penyakit
Jembrana. Denpasar 9 Okt.2001.p.30-50.
5. Siswanto, J., Yulianti, E. dan Guntoro, T. 2018. Investigasi Outbreak Penyakit
Jembrana di Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyu Asin. Proc. of the
20th FAVA CONGRESS & The 15th KIVNAS PDHI, Bali Nov 1-3.
6. Tenaya, I.W.M. 2011. Gambaran Spesifik Histologi dan Immunohistokimia Penyakit
Jem brana pada Sapi Bali. Jurnal Buletin Veteriner. XXIII(79).
7. Wilcox, G.E., 1997. Jembrana Disease. Australian Veterinary Journal. Vol. 97.p.492-
497.

Anda mungkin juga menyukai