Terjadi perdarahan
disemua organ dan di kulit
Lanjutan…
• Keringat berdarah (blood sweating) merupakan
patognomonik dari Jembrana, keringat berdarah
terjadi karena JDV mengakibatkan
thrombositopenia yaitu jumlah trombosit
dibawah normal, dimana fungsi trombosit ini
berperan untuk menghentikan perdarahan pada
saat terjadi luka, seperti gigitan serangga
penghisap darah Tabanus sp. (Wilcox, 1997).
Gejala Klinis
• demam tinggi (41oC- 42o C ),
• Lymphadenopathy (pembengkakan kelenjar getah bening)
• Lymphopenia (penurunan leukosit di dalam darah)
• mencret (diare) yang sering bercampur dengan darah
• hypersalivasi
• leleran hidung yang bening,
• erosi pada selaput lendir mulut dan bagian bawah lidah,
• bercak-bercak darah pada kulit (keringat darah) di daerah
punggung dan paha bagian dalam serta kepucatan pada
selaput lendir mulut, mata maupun alat kelamin
Patologi Anatomi
1. Perubahan patologis anatomis yang dominan ialah
perubahan sistem limforetikuler yang ditandai oleh
pembengkakan semua kelenjar limfe (limfadenopati
umum), kelenjar haemolymphe dan pembengkakan
limpa (spleenomegali).
Lanjutan…
2. Pada permukaan tubuh ditemukan bercak darah yang meluas yang
disebut keringat darah. Biasanya terjadi pada stadium demam dan
tetap ada selama 2-3 hari. Konjungtiva kongesti dan okular
berdarah kadang-kadang terdapat klot darah di dalam lekuk mata
depan, jaringan di bawah kulit tampak pucat, kering dan kadang-
kadang berdarah.
Adanya blood
klot darah di dalam lekuk
sweating
mata depan
Lanjutan …
3. Pada sistem pernapasan
▫ Ditemukan adanya perubahan berupa selaput lendir
▫ Celah dan corong hidung tampak kongesti
▫ Selaput lendir saluran pernafasan mengalami erosi,
kadang ditemukan pula perdarahan
▫ Lesi lesi di dalam paru tidak pernah tetap
▫ Beberapa lobus paru-paru warnanya tampak coklat
kegelapan dan densitasnya meningkat
▫ Zona atelektasis dan bronckopneumonia focal
kadang-kadang juga ditemukan
Lanjutan…
4. Hati sedikit membengkak warnanya kekuningan
dengan tepi yang tumpul
5. Kantong empedu umumnya mengalami dilatasi dan
mengandung cairan empedu yang kental berwarna hijau
gelap, cairan jernih atau gelap
6. Pada fase akut sering terlihat perdarahan berupa
petekie dan ekimose pada berbagai organ terutama
saluran pencernaan, limpa, jantung dan ginjal, foci putih
keabuan sering juga terlihat pada korteks ginjal dan
jantung
Histopatologi
• Pemeriksaan histopatologi menunjukkan 3 fase perkembangan penyakit Jembrana
yaitu :
▫ Fase inkubasi yang terjadi pada minggu pertama infeksi, ditandai dengan reaksi
limforetikuler umum yang meliputi kompartemen folikuler dan non-folikuler
organ-organ limfoid.
▫ Fase akut yang terjadi pada hari ke 8 – 21 PI. Fase ini ditandai dengan
proliferasi hebat sel-sel limforetikuler pada kompartemen organ-organ limfoid
dan terjadi infiltrasi dan proliferasi sel-sel limforetikuler pada organ-organ
parenkim seperti ginjal, medula adrenal, hati dan paru-paru. Pada fase ini
kematian biasanya terjadi akibat uremia karena infeksi sekunder pada ginjal dan
juga pada paru-paru yang ditandai dengan adanya nephritis dan atau
pneummonia.
▫ Fase tiga yang merupakan fase kesembuhan. Fase ini dimulai pada minggu ke 5
PI, ditandai dengan reaksi folikuler pada organ-organ limfoid dan munculnya
kembali sel-sel plasma (plasmasitosis) pada ’’medullary cords’’ kelenjar limfe
dan kompartemen non-folikuler limpa
Lanjutan…
• Pada pewarnaan H & E Di dalam limpa, hampir semua folikel
folikel menghilang/kabur dan germinal centre nya hilang Daerah
marginal (light zone) dan daerah sekitar periarterioral lymphoid
sheath di penuhi oleh populasi sel bundar pleomorpik (Gambar A).
• Banyak sel sel bundar pleomorpik menginfiltrasi daerah sel sel T
(pulpa merah), bergerombol di sekitar arteri penicilliary dan
tersebar di daerah pulpa merah. Jumlah sel sel pleomorpik dengan
derajat ringan juga ditemukan dengan warna sitoplasma berwarna
merah dengan kromatin yang besar menyerupai sel sel cetroblast
(Gambar C).
• Juga ditemukan banyak badan badan apoptotik dan sel sel mitotik.
Daerah marginal (parafollicular zone) dibatasi oleh lingkaran
sejumlah sel sel netropil.
A B
Septicaemia Epizootica (SE) konjungtivitis, lakrimasi, dyspnoea odema pada daerah kepala
Surra demam tinggi, eksudat mata dan kahexia dan ikterus membran
hidung, hipersalivasi, mukosa
pembengkakan limfoglandula
superfisial
Bovine Immodefisiency Virus Lhymphadenopathy (pembengkakan Lympocytosis (kondisi limfosit di
(BIV) kelenjar sistem imun karena adanya dalam darah tinggi), lesi sistem
infeksi (bakteri atau virus) saraf pusat, kelemahann progresif
dan kekurusan
Antraks Demam tinggi, lesi pada kulit, feses Rangsang meningeal dan gejala
bercampur darah pembegkakan di kenaikan tekanan intracranial
kelenjar limfe, seperti sakit kepala progressif, kaku
duduk,delirium, kejang-kejang.
Terjadi meningitis hemorhagik
disertai edema hebat pada
leptomeningen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Daerah Tujuan :
- 1 bulan setelah vaksinasi dilakukan booster
- 1 bulan setelah booster dilakukan uji ELISA
- Vaksinasi tiap 6 bulan selama 3 tahun
References
• Berata, I.K. 2010. Studi Patogenesis Penyakit Jembrana Sapi Bali Berdasarkan
Karakteristik Sel Terinfeksi pada Jaringan Limfoid da Darah Tepi. Jurnal Buletin
Veteriner Udayana. 2(1): 35-44.
• Kementerian Kesehatan Hewan, 2015. Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Jembrana. Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
• Kementerian Kesehatan Hewan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Kementrian
Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
• Putra, A.A.G.2001. Kajian Epidemiologi dan Strategi Penaggulangan Penyakit
Jembrana di Indonesia. In: Hartaningsih, N. and Putra, A.A.G..Editor. Tiga Puluh
Tahun Menaklukan Penyakit Jembrana. Prosiding Seminar Nasional Penyakit
Jembrana. Denpasar 9 Okt.2001.p.30-50.
• Siswanto, J., Yulianti, E. dan Guntoro, T. 2018. Investigasi Outbreak Penyakit
Jembrana di Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyu Asin. Proc. of the 20th
FAVA CONGRESS & The 15th KIVNAS PDHI, Bali Nov 1-3.
• Tenaya, I.W.M. 2011. Gambaran Spesifik Histologi dan Immunohistokimia Penyakit
Jembrana pada Sapi Bali. Jurnal Buletin Veteriner. XXIII(79).