Anda di halaman 1dari 22

Jembrana Disease

AFRIDA YANTI HARAHAP


NIM : 1902101020060
Kelompok : 9
Gelombang : 17
Dosen : Prof. Dr. drh. Ummu Balqis, M. Si
Pendahuluan
• Hanya menyerang sapi Bali
• Penyakit Jembrana belum pernah dilaporkan
diluar negeri, penyakit ini berasal dari Indonesia
• pertama kali pada tahun 1964 di Desa
Sangkaragung, Kecamatan Negara, Kabupaten
Jembrana, Bali Barat
• Kerugian ekonomi diakibatkan penyakit ini
cukup besar karena mempengaruhi lalu lintas
ternak dan hasil olahannya antar pulau
Etiologi & Patogenesa
• Penyakit Jembrana disebabkan oleh Retrovirus,
dari anggota group lentivirus dan disebut
Jembrana Disease Virus
• Virus ini berbentuk pleomorf, beramplop dengan
materi genetik tersusun atas single stranded
Ribonucleic Acid (ss-RNA)
• Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari yang
diikuti dengan munculnya demam hingga
mencapai 41oC- 42o C yang berlangsung hingga 5
-12 hari
demam hingga
mencapai 41oC-
42o C

Terjadi perdarahan
disemua organ dan di kulit
Lanjutan…
• Keringat berdarah (blood sweating) merupakan
patognomonik dari Jembrana, keringat berdarah
terjadi karena JDV mengakibatkan
thrombositopenia yaitu jumlah trombosit
dibawah normal, dimana fungsi trombosit ini
berperan untuk menghentikan perdarahan pada
saat terjadi luka, seperti gigitan serangga
penghisap darah Tabanus sp. (Wilcox, 1997).
Gejala Klinis
• demam tinggi (41oC- 42o C ),
• Lymphadenopathy (pembengkakan kelenjar getah bening)
• Lymphopenia (penurunan leukosit di dalam darah)
• mencret (diare) yang sering bercampur dengan darah
• hypersalivasi
• leleran hidung yang bening,
• erosi pada selaput lendir mulut dan bagian bawah lidah,
• bercak-bercak darah pada kulit (keringat darah) di daerah
punggung dan paha bagian dalam serta kepucatan pada
selaput lendir mulut, mata maupun alat kelamin
Patologi Anatomi
1. Perubahan patologis anatomis yang dominan ialah
perubahan sistem limforetikuler yang ditandai oleh
pembengkakan semua kelenjar limfe (limfadenopati
umum), kelenjar haemolymphe dan pembengkakan
limpa (spleenomegali).
Lanjutan…
2. Pada permukaan tubuh ditemukan bercak darah yang meluas yang
disebut keringat darah. Biasanya terjadi pada stadium demam dan
tetap ada selama 2-3 hari. Konjungtiva kongesti dan okular
berdarah kadang-kadang terdapat klot darah di dalam lekuk mata
depan, jaringan di bawah kulit tampak pucat, kering dan kadang-
kadang berdarah.

Adanya blood
klot darah di dalam lekuk
sweating
mata depan
Lanjutan …
3. Pada sistem pernapasan
▫ Ditemukan adanya perubahan berupa selaput lendir
▫ Celah dan corong hidung tampak kongesti
▫ Selaput lendir saluran pernafasan mengalami erosi,
kadang ditemukan pula perdarahan
▫ Lesi lesi di dalam paru tidak pernah tetap
▫ Beberapa lobus paru-paru warnanya tampak coklat
kegelapan dan densitasnya meningkat
▫ Zona atelektasis dan bronckopneumonia focal
kadang-kadang juga ditemukan
Lanjutan…
4. Hati sedikit membengkak warnanya kekuningan
dengan tepi yang tumpul
5. Kantong empedu umumnya mengalami dilatasi dan
mengandung cairan empedu yang kental berwarna hijau
gelap, cairan jernih atau gelap
6. Pada fase akut sering terlihat perdarahan berupa
petekie dan ekimose pada berbagai organ terutama
saluran pencernaan, limpa, jantung dan ginjal, foci putih
keabuan sering juga terlihat pada korteks ginjal dan
jantung
Histopatologi
• Pemeriksaan histopatologi menunjukkan 3 fase perkembangan penyakit Jembrana
yaitu :
▫ Fase inkubasi yang terjadi pada minggu pertama infeksi, ditandai dengan reaksi
limforetikuler umum yang meliputi kompartemen folikuler dan non-folikuler
organ-organ limfoid.
▫ Fase akut yang terjadi pada hari ke 8 – 21 PI. Fase ini ditandai dengan
proliferasi hebat sel-sel limforetikuler pada kompartemen organ-organ limfoid
dan terjadi infiltrasi dan proliferasi sel-sel limforetikuler pada organ-organ
parenkim seperti ginjal, medula adrenal, hati dan paru-paru. Pada fase ini
kematian biasanya terjadi akibat uremia karena infeksi sekunder pada ginjal dan
juga pada paru-paru yang ditandai dengan adanya nephritis dan atau
pneummonia.
▫ Fase tiga yang merupakan fase kesembuhan. Fase ini dimulai pada minggu ke 5
PI, ditandai dengan reaksi folikuler pada organ-organ limfoid dan munculnya
kembali sel-sel plasma (plasmasitosis) pada ’’medullary cords’’ kelenjar limfe
dan kompartemen non-folikuler limpa
Lanjutan…
• Pada pewarnaan H & E Di dalam limpa, hampir semua folikel
folikel menghilang/kabur dan germinal centre nya hilang Daerah
marginal (light zone) dan daerah sekitar periarterioral lymphoid
sheath di penuhi oleh populasi sel bundar pleomorpik (Gambar A).
• Banyak sel sel bundar pleomorpik menginfiltrasi daerah sel sel T
(pulpa merah), bergerombol di sekitar arteri penicilliary dan
tersebar di daerah pulpa merah. Jumlah sel sel pleomorpik dengan
derajat ringan juga ditemukan dengan warna sitoplasma berwarna
merah dengan kromatin yang besar menyerupai sel sel cetroblast
(Gambar C).
• Juga ditemukan banyak badan badan apoptotik dan sel sel mitotik.
Daerah marginal (parafollicular zone) dibatasi oleh lingkaran
sejumlah sel sel netropil.
A B

Jaringan limpa dari seekor sapi Bali terinfeksi JDV pada


demam hari ke 2 (A) dan sapi kontrol negatif, BIV (B). Folikel
mengalami deplesi dan germinal center menjadi kolap/kabur.
Germinar center yang normal dan yang mengalami deplesi
ditunjukkan dengan tanda panah. Diwarnai H&E, pembesaran
10X. (Tenaya, 2011)
C D

Daerah parakortec jaringan limpa yang di infeksi JDV pada


demam hari ke 2 (C) dan sapi kontrol negatif, BIV (D). Ada banyak
sel sel pleomorphic centroblast-like pada jaringan yang terinfeksi
JDV, bercampur dengan sedikit sel sel limposit kecil. Tanda panah
panjang menunjukan contoh sel sel pleomorphic centroblastlike dan
tanda panah pendek menunjukan sel sel limposit kecil. Di warnai
H&E, pembesaran 100X.
Sel limfosit terinfeksi JDV pada jaringan limfoid dan darah tepi sapi
bali. Limfosit terinfeksi JDV ditandai dengan adanya warna coklat
pada sitoplasma sel limfosit. A). Sel limfosit terinfeksi JDV dalam
limpa ditandai dengan adanya klon sel multifokal dan setiap klon
terdiri atas banyak sel terinfeksi JDV (10×5). B). Sel limfosit yang
terinfeksi JDV pada darah tepi mempunyai ukuran yang bervariasi,
tetapi kebanyakan lebih besar dari pada limfosit normal (10×10)
(Berata, 2010).
Lanjutan…
• Selama fase akut terjadi limfosit abnormal. Beberapa tipe sel
ditemukan pada preprat ulas darah, yaitu sel dengan inti dan
sitoplasma yang besar, limfosit medium berinti ganda, mitosis limfosit,
limfosit besar dengan sitoplasma yang mengalami vakuolisasi berisi
inti eosinofilik (Kementrian Pertanian, 2014). Pada pembuatan
preparat histologi jaringan limfoid jaringan difiksasi dengan aseton
yang mengandung H2O2 3%, dimana H2O2 3%, bersifat asam dan
eosinofilik merupakan kepekaan terhadap zat yang bersifat asam.
• Hal tersebut membuat sitoplasma berwarna kecoklatan. Tetapi
berdasarkan intensitas warna coklat yang menunjukkan adanya variasi
kualitas sel terinfeksi JDV. Hal ini berkaitan dengan patogenesis
penyakit Jembrana port d’entry virus melalui gigitan lalat penghisap
darah (Putra, 2001).
Penularan Penyakit
• Penularan terjadi secara horisontal yaitu kontak langsung
antara sapi sakit dengan yang sehat dan tidak terjadi secara
vertikal
• Telah diduga sebelumnya bahwa penyakit Jembrana
merupakan insect born disease, yaitu penularan penyakit
lewat vektor insekta, seperti Culicoides sp dan nyamuk.
Tabanus rubidus memiliki potensi sebagai penular virus JD
di lapangan secara mekanis
• Disamping penularan secara mekanis, penularan melalui
kontak antara penderita dengan hewan sehat juga terjadi
secara eksperimental, penyakit Jembrana dapat ditularkan
melalui oral, lubang hidung, konjungtiva mata dan semen
Diagnosa Laboratorium
• Penyakit Jembrana didiagnosa berdasarkan data
epidemiologi, gejala klinis, patologis, serologis
dan uji deteksi antigen/virus
• Pengujian antibodi dapat dideteksi dengan
enzime linked immunosorbent assay (ELISA).
Pada sapi yang terinfeksi, antibodi tidak dapat
dideteksi sampai 11-33 minggu pasca infeksi dan
tetap dapat dideteksi sampai dengan 59 minggu
pasca infeksi
Diagnosa Banding
Diagnosa Persamaann Perbedaan
Malignant Catarrhal Fever demam tinggi, diare, eksudat Secara histopatologis ditemukan
(MCF) mukopurulen, dari mata dan hidung, vaskulitis pada MCF
lesi mukosal dan pembengkakann
limfoglandula superfisial

Septicaemia Epizootica (SE) konjungtivitis, lakrimasi, dyspnoea odema pada daerah kepala

Surra demam tinggi, eksudat mata dan kahexia dan ikterus membran
hidung, hipersalivasi, mukosa
pembengkakan limfoglandula
superfisial
Bovine Immodefisiency Virus Lhymphadenopathy (pembengkakan Lympocytosis (kondisi limfosit di
(BIV) kelenjar sistem imun karena adanya dalam darah tinggi), lesi sistem
infeksi (bakteri atau virus) saraf pusat, kelemahann progresif
dan kekurusan

Antraks Demam tinggi, lesi pada kulit, feses Rangsang meningeal dan gejala
bercampur darah pembegkakan di kenaikan tekanan intracranial
kelenjar limfe, seperti sakit kepala progressif, kaku
duduk,delirium, kejang-kejang.
Terjadi meningitis hemorhagik
disertai edema hebat pada
leptomeningen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

• Strategi utama yang harus dilakukan adalah


dengan vaksinasi dan pengawasan lalu lintas
▫ Pelaksanaan vaksin
Sapi bali asal daerah bebas yang akan didistribusikan
ke daerah endemis harus divaksinasi 3 hari sebelum
diberangkatkan dan 3-4 minggu sesudah vaksinasi
pertama dan dilakukan di daerah tujuan. Vaksinasi
selanjutnya mengikuti program vaksinasi di daerah
endemis. Di daerah endemis, pengendalian dilakukan
dengan vaksinasi secara rutin 3 tahun berturut-turut
(pada sapi yang sama). Setiap tahun dilakukan 2 kali
vaksinasi dengan interval 1 bulan.
Lanjutan…
▫ Pengawasan lalu lintas
Persyaratan Teknik Lalu Lintas Sapi Bali Bibit dan Peralakuan yang Diperlukan
Lalu Lintas Perlakuan
Dari daerah tidak ada kasus menuju daerah tidak ada - Tidak perlu vaksin
kasus - Tidak perlu uji laboratorium
Daerah ada kasus menuju daerah tidak ada kasus Dilarang

Daerah ada kasus menuju daerah ada kasus Daerah Asal :


- Uji ELISA (prevaksinasi)
- Vaksinasi 1 dilakukan maksimal dilakukann
1 bula sebelum hewan dilalu lintaskann
- Vaksinasi tetap dilakukan di daerah tujuan

Daerah Tujuan :
- 1 bulan setelah vaksinasi dilakukan booster
- 1 bulan setelah booster dilakukan uji ELISA
- Vaksinasi tiap 6 bulan selama 3 tahun
References
• Berata, I.K. 2010. Studi Patogenesis Penyakit Jembrana Sapi Bali Berdasarkan
Karakteristik Sel Terinfeksi pada Jaringan Limfoid da Darah Tepi. Jurnal Buletin
Veteriner Udayana. 2(1): 35-44.
• Kementerian Kesehatan Hewan, 2015. Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Jembrana. Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
• Kementerian Kesehatan Hewan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Kementrian
Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
• Putra, A.A.G.2001. Kajian Epidemiologi dan Strategi Penaggulangan Penyakit
Jembrana di Indonesia. In: Hartaningsih, N. and Putra, A.A.G..Editor. Tiga Puluh
Tahun Menaklukan Penyakit Jembrana. Prosiding Seminar Nasional Penyakit
Jembrana. Denpasar 9 Okt.2001.p.30-50.
• Siswanto, J., Yulianti, E. dan Guntoro, T. 2018. Investigasi Outbreak Penyakit
Jembrana di Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyu Asin. Proc. of the 20th
FAVA CONGRESS & The 15th KIVNAS PDHI, Bali Nov 1-3.
• Tenaya, I.W.M. 2011. Gambaran Spesifik Histologi dan Immunohistokimia Penyakit
Jembrana pada Sapi Bali. Jurnal Buletin Veteriner. XXIII(79).

Anda mungkin juga menyukai