Oleh
Pembimbing
Dr. Henny K Koesna, Sp.PD
Dr. Seno M Kamil, Sp.PD
Dr. Dinny G. Prihadi, Sp.PD, M.kes
2014
Keterangan umum
Nama : Ny.R
Umur : 34 tahun
Alamat : Kec. Soreang, Kab. Bandung
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Pegawai Negeri
Tgl. Masuk RS : 9 Juni 2014
Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri epigastrium
Pasien datang dengan keluhan nyeri epigastrium + 1 minggu SMRS. Nyeri hilang timbul dan
dirasakan menjalar sampai ke bahu kanan atau subscapula dan nyeri dapat terjadi lebih dari 1
jam. Pasien merasakan nyeri setelah makan makanan berlemak. Pasien juga merasakan batuk
kering seminggu SMRS, sesak nafas (-) mual (+) panas badan (-).
Riwayat muntah 1 hari SMRS sebanyak 6 kali sehari berisi cairan dan makanan yang baru
saja dimakan. Darah (-).
Pasien mengaku tidak ada kelainan pada BAB dan BAK.
Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali oleh pasien. Pasien mengaku mempunyai
riwayat gastritis kronis sejak 6 tahun yang lalu. Pasien juga telah mengonsumsi obat-obatan
gastritis dan penurun demam dari warung namun pasien tidak mengingat nama ataupun
merek obat-obatan tersebut.
Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan keluarga pasien ataupun
pasien sendiri tidak ada yang mengeluh seperti ini sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum
Suhu : 36°C
Kepala
Edema (-)
Lesi pada kelopak mata (-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : tidak ikterik (-/-)
Kornea : jernih
Pupil : bulat isokor, diameter ODS 3mm, refleks cahaya (+/+)
Gerak bola mata : baik ke segala arah
Telinga :simetris, benjolan (-), lesi (-), serumen (-), sekret (-)
Hidung : simetris, polip (-), sekret (-), PCH (-)
Mulut dan Faring
Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris, deformitas (-), spider nevy (-),
telengiektasis (-), sudut epigastrium <90°, sela iga kanan=kiri, diameter frontal <
sagital, iktus kordis tidak terlihat.
Pulmo
3
Palpasi : VF kiri=kanan
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Batas paru hepar ICS V, peranjakan 1 ICS
Auskultasi : VBS ki=ka
Rhonchi -/- Wheezing -/-
Cor
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V LMCS, kuat angkat, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternalis dextra
Batas kiri ICS V LMCS
Batas pinggang jantung ICS 3 LPSS
Auskultasi : BJ S1-S2 murni regular, murmur (-)
Thorax belakang
Inspeksi : palmar erythem (-), clubbing finger -/-, spoon nail -/-, edema
-/-, sianosis -/-
Palpasi : akral hangat, CRT<2”
Sendi
Usulan pemeriksaan
DR
Bilirubin total
Alkali fosfatase
4
SGOT/SGPT
USG hepatobilier
CT Scan abdomen
Kolesistografi
Kalsium
GDS
Amilase dan Lipase serum
Gastroskopi
Endoskopi
Treatment
Umum
IVFD RL 20 gtt/menit
Khusus
Ranitidin 2x1 amp (IV)
Metoclopramid 3x1 amp (IV)
Antasida 4xC1
Follow Up
5
Leher= KGB ttm,
JVP 5 – 2 cm
Thorax= B/G
simetris
Pulmo= VBS
ka=ki, rh -/- wh -/-
Cor= BJ I-II murni
reguler, S3 (-) S4
(-) murmur (-)
Abdomen= datar
soepel, NT (+) NL
(-)
PS (-)/PP (-)
Murphy’s sign (+)
Eks= akral hangat,
CRT <2”, tidak ada
edema
10/06/14 Hematologi Colic abdomen ec
Pukul 13.20 DR: kolesistitis akut +
Hb 13,4 (N=12-16) gastritis kronis
Ht 39 (N=37-43)
Lekosit 11.400
(N=4000-10.000)
Trombosit 259.000
(150.000-400.000)
Kimia Klinik
SGOT 38,6
(N=<31)
SGPT 35,0
(N=<34)
Ureum 27,7 (N=17-
43)
Kreatinin 1,25
(N=0,6-1,2)
11/06/14 Visite dr. Henny, Colic abdomen ec - IVFD RL 20 gtt/m
TD: 120/80 SpPD kolesistitis akut + - Ketorolac 2x1 amp
N:80x/m S: nyeri perut gastritis kronis (IV)
R: 22 x/m kanan atas yang - Cefotaxim 2x1 vial
S: 36°C menjalar ke (IV)
punggung, rasa - Ranitidin 2x1 g
terbakar di dada, amp (IV)
demam (-), batuk - Antasida 3xC1 (po)
(-), BAB dan BAK - Metoclopramide
dbn, riwayat 3x1 amp (IV)
gastritis (-)
Mata: CA -/- SI -/-
Hidung: PCH (-)
Mulut: Frenulum
ikterik (-)
Leher: KGB ttm,
6
JVP 5 – 2 cm
Thorax: B/G
simetris
Pulmo: VBS ka=ki
rh-/- wh –/-
Cor: BJ I II murni
reguler, S3 (-) S4
(-), murmur (-)
Abd: datar soepel,
NT (+) NTE (+),
murphy’s sign (+)
Eks: akral hangat,
CRT <2”, tidak ada
edema
11/06/14 USG: cacing dalam Colic abdomen ec
kantung empedu kolesistitis akut ec
(ascariasis?) infeksi cacing +
gastritis kronis
USG hepar, limpa,
dan pankreas saat
ini tak tampak
kelainan
Usulan Pemeriksaan
Radiologi thoraks
Pemeriksaan tinja
ELISA
Tirah baring
Diet lunak
Piperazin 3,5 gram sehari 2 hari berturut-turut
Konsul bedah
Prognosis
Ad vitam: ad bonam
Ad functionam: ad bonam
Ad sanationam: ad bonam
7
KOLESISTITIS AKUT
2.1. Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis
akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu
dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah
dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu
(Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat
menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor
yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).
8
Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme –
organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan
fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu (Cullen JJ, et al, 2009)
(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)
9
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap
perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar
yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan
dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor
lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang
mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit
kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai
penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis,
aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat
nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu,
sehingga terjadi statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan
tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak
atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya
keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya
riwayat serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
10
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri
secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi
abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan
peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada
perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra
hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala
yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al,
2009).
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan
seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks
yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan
infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan
kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat
mengancam nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).
11
2.5. Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai
dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum
sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 %
pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya
pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh
karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini
tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung
empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu
(Towfigh S, et al, 2010)
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%.
Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya
batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).
12
Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu
berukuran kecil
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
13
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih
besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites,
gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat
pada pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).
Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan penebalan dinding
kandung empedu.
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak
14
mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan
duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran
duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit.
Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
15
komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV,
et al, 2009).
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan.
Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana
terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat
gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada
kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).
2.6. Tatalaksana
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,
pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti
petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin,
sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih
dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
16
obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti
diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai
seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
17
komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien
kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi
dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat
dilakukan pada lain waktu (Mutignani M, et al, 2009)
18
mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis
berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi
menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ, et al,
2009).
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan
duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung
empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau
cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada
pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol
dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering
tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi.
Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi atau
gangren (Gruber PJ, et al, 2009).
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan
oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu
yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi
dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi
dan drainase abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%,
Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran kanan atas
karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda
peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).
19
2.7.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu
mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum
sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau duodenum,
dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis
terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang
menjalani kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh
lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki
duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu
empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal
berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus
biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi kecenderungan
pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian
diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-
kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau
menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus
kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi
usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu
lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
20
2.7.4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya,
pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-enterik
dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber
intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu,
bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi
dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
21
tunggal (stump) duktus sistikus (4) stenosis atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis
atau diare akibat garam empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Tanpa batu yang tampak secara kolangiografik, gejala kelainan mirip kolik biliaris
atau kolestitis pada pasien pascakolesistektomi ini sering diperkirakan disebabkan oleh
gangguan pada sisa duktus sistikus yang panjang (>1 cm) (sindroma tunggal duktus sistikus).
Namun, penelitian yang cermat memperlihatkan bahwa keluhan pascakolesistektomi pada
hampir semua pasien yang kompleks gejalanya semula diduga timbul akibat adanya tunggal
duktus sistikus yang panjang juga dapat disebabkan oleh sebab lain. Dengan demikian, perlu
dilakukan pemeriksaan cermat mengenai faktor lain yang menyebabkan gejala
pascakolesistektomi sebelum menyatakannya sebagai sindroma tunggal duktus sistikus
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.9. Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat dalam 1
– 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan didapatkan pada 85%
kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan
tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang – kadang
kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi,
22
angka kematian dapat mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka
mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai
prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.
(McPhee SJ, et al, 2009).
23