Anda di halaman 1dari 23

CASE REPORT

KOLIK ABDOMEN EC KOLESISTITIS AKUT EC INFEKSI CACING +


GASTRITIS KRONIS

Oleh

Ronny Saputra (1102010257)

Rosa Ismasari Hosni Puteri (1102010258)

Pembimbing
Dr. Henny K Koesna, Sp.PD
Dr. Seno M Kamil, Sp.PD
Dr. Dinny G. Prihadi, Sp.PD, M.kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANG

2014
Keterangan umum

Nama : Ny.R
Umur : 34 tahun
Alamat : Kec. Soreang, Kab. Bandung
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Pegawai Negeri
Tgl. Masuk RS : 9 Juni 2014

Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri epigastrium
Pasien datang dengan keluhan nyeri epigastrium + 1 minggu SMRS. Nyeri hilang timbul dan
dirasakan menjalar sampai ke bahu kanan atau subscapula dan nyeri dapat terjadi lebih dari 1
jam. Pasien merasakan nyeri setelah makan makanan berlemak. Pasien juga merasakan batuk
kering seminggu SMRS, sesak nafas (-) mual (+) panas badan (-).
Riwayat muntah 1 hari SMRS sebanyak 6 kali sehari berisi cairan dan makanan yang baru
saja dimakan. Darah (-).
Pasien mengaku tidak ada kelainan pada BAB dan BAK.
Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali oleh pasien. Pasien mengaku mempunyai
riwayat gastritis kronis sejak 6 tahun yang lalu. Pasien juga telah mengonsumsi obat-obatan
gastritis dan penurun demam dari warung namun pasien tidak mengingat nama ataupun
merek obat-obatan tersebut.
Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan keluarga pasien ataupun
pasien sendiri tidak ada yang mengeluh seperti ini sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum

 Keadaan Umum : compos mentis


 Kesan Sakit : tampak sakit berat
Tanda vital

 Tekanan darah :120/70 mmHg


 Nadi : 64 x/menit
Equal, regular, isi cukup
 Pernafasan : 20 x/menit
2
Thoraco-abdominal

 Suhu : 36°C

Kepala

 Rambut : distribusi rata, tekstur lembut, tidak mudah rontok.


 Tengkorak : simetris, deformitas (-), benjolan (-), nyeri (-)
 Wajah : simetris, gerakan involunter (-), edema (-), massa (-)
Mata

 Edema (-)
 Lesi pada kelopak mata (-)
 Konjungtiva : anemis (-/-)
 Sklera : tidak ikterik (-/-)
 Kornea : jernih
 Pupil : bulat isokor, diameter ODS 3mm, refleks cahaya (+/+)
 Gerak bola mata : baik ke segala arah
Telinga :simetris, benjolan (-), lesi (-), serumen (-), sekret (-)
Hidung : simetris, polip (-), sekret (-), PCH (-)
Mulut dan Faring

 Bibir : kering (-), sianosis (-), pecah-pecah (-)


 Gusi dan gigi : perdarahan gusi (-), hipertrofi gusi (-), gigi karies (-)
 Lidah : pergerakan simetris, permukaan tidak kotor, tremor (-), atrofi
papil (-) frenulum ikterik (-)
 Faring dan tonsil : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang
Leher
Inspeksi = kelenjar thyroid tidak tampak membesar, trakea di tengah
Palpasi =

 Kelenjar tiroid, tidak teraba membesar


 JVP : 5 - 2 cm H2O
 KGB : tidak teraba membesar
 Hepato jugular refleks: (-)
Thorax depan

 Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris, deformitas (-), spider nevy (-),
telengiektasis (-), sudut epigastrium <90°, sela iga kanan=kiri, diameter frontal <
sagital, iktus kordis tidak terlihat.

Pulmo

3
 Palpasi : VF kiri=kanan
 Perkusi : Sonor kiri = kanan
Batas paru hepar ICS V, peranjakan 1 ICS
 Auskultasi : VBS ki=ka
Rhonchi -/- Wheezing -/-

Cor
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V LMCS, kuat angkat, thrill (-)
 Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternalis dextra
Batas kiri ICS V LMCS
Batas pinggang jantung ICS 3 LPSS
 Auskultasi : BJ S1-S2 murni regular, murmur (-)
Thorax belakang

 Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris


 Palpasi : VF kanan=kiri
 Auskultasi : VR kanan=kiri, VBS kanan=kiri, rhonchi -/- wheezing-/-
Abdomen

 Inspeksi : datar soepel


 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Palpasi : sulit teraba karena pasien kesakitan
 Perkusi : sulit karena pasien kesakitan
Ekstremitas

 Inspeksi : palmar erythem (-), clubbing finger -/-, spoon nail -/-, edema
-/-, sianosis -/-
 Palpasi : akral hangat, CRT<2”
Sendi

 Kelainan bentuk : (-)


 Tanda radang : (-)
 Pergerakan : ROM dalam batas normal
Diagnosis
Colic Abdomen ec dd/ susp kolesistitis akut
susp pankreatitis akut
+ gastritis kronis

Usulan pemeriksaan

 DR
 Bilirubin total
 Alkali fosfatase

4
 SGOT/SGPT
 USG hepatobilier
 CT Scan abdomen
 Kolesistografi
 Kalsium
 GDS
 Amilase dan Lipase serum
 Gastroskopi
 Endoskopi
Treatment

 Umum
IVFD RL 20 gtt/menit

 Khusus
Ranitidin 2x1 amp (IV)
Metoclopramid 3x1 amp (IV)
Antasida 4xC1

Ketorolac 1 amp (extra)

Follow Up

Tanggal Subjektif dan Asessment Terapi


Objektif
10/06/14 Visite dr. Dinny, Colic abdomen ec - IVFD RL 20 gtt/m
TD: 120/80 SpPD dd/ susp kolesistitis - Ranitidin 2x1 amp
N: 86 x/m S: nyeri perut akut + gastritis (IV)
R: 28 x/m kanan atas menjalar kronis - Ketorolac 2x1 amp
S: 36,1°C sampai ke (IV)
punggung, rasa - Antasida 4xC1
terbakar di dada, - Metoclopramide
mual (+), muntah 2x1 amp (IV)
(-), demam (-), - USG hepatobilier
nyeri tidak berubah - Periksa DR,
dengan perubahan SGOT/SGPT, UR,
posisi, BAK dan kreatinin
BAB dbn
O: KU CM, tampak
sakit sedang
Mata= CA -/- SI -/-
Hidung= PCH (-)
Mulut= frenulum
ikterik (-)

5
Leher= KGB ttm,
JVP 5 – 2 cm
Thorax= B/G
simetris
Pulmo= VBS
ka=ki, rh -/- wh -/-
Cor= BJ I-II murni
reguler, S3 (-) S4
(-) murmur (-)
Abdomen= datar
soepel, NT (+) NL
(-)
PS (-)/PP (-)
Murphy’s sign (+)
Eks= akral hangat,
CRT <2”, tidak ada
edema
10/06/14 Hematologi Colic abdomen ec
Pukul 13.20 DR: kolesistitis akut +
Hb 13,4 (N=12-16) gastritis kronis
Ht 39 (N=37-43)
Lekosit 11.400
(N=4000-10.000)
Trombosit 259.000
(150.000-400.000)
Kimia Klinik
SGOT 38,6
(N=<31)
SGPT 35,0
(N=<34)
Ureum 27,7 (N=17-
43)
Kreatinin 1,25
(N=0,6-1,2)
11/06/14 Visite dr. Henny, Colic abdomen ec - IVFD RL 20 gtt/m
TD: 120/80 SpPD kolesistitis akut + - Ketorolac 2x1 amp
N:80x/m S: nyeri perut gastritis kronis (IV)
R: 22 x/m kanan atas yang - Cefotaxim 2x1 vial
S: 36°C menjalar ke (IV)
punggung, rasa - Ranitidin 2x1 g
terbakar di dada, amp (IV)
demam (-), batuk - Antasida 3xC1 (po)
(-), BAB dan BAK - Metoclopramide
dbn, riwayat 3x1 amp (IV)
gastritis (-)
Mata: CA -/- SI -/-
Hidung: PCH (-)
Mulut: Frenulum
ikterik (-)
Leher: KGB ttm,

6
JVP 5 – 2 cm
Thorax: B/G
simetris
Pulmo: VBS ka=ki
rh-/- wh –/-
Cor: BJ I II murni
reguler, S3 (-) S4
(-), murmur (-)
Abd: datar soepel,
NT (+) NTE (+),
murphy’s sign (+)
Eks: akral hangat,
CRT <2”, tidak ada
edema
11/06/14 USG: cacing dalam Colic abdomen ec
kantung empedu kolesistitis akut ec
(ascariasis?) infeksi cacing +
gastritis kronis
USG hepar, limpa,
dan pankreas saat
ini tak tampak
kelainan

Usulan Pemeriksaan

 Radiologi thoraks
 Pemeriksaan tinja
 ELISA

Usulan Terapi Tambahan

 Tirah baring
 Diet lunak
 Piperazin 3,5 gram sehari 2 hari berturut-turut
 Konsul bedah
Prognosis
Ad vitam: ad bonam
Ad functionam: ad bonam
Ad sanationam: ad bonam

7
KOLESISTITIS AKUT

2.1. Definisi

Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.2. Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis
akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu
dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah
dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu
(Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat
menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor
yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85


persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu
para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies

8
Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme –
organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan
fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu (Cullen JJ, et al, 2009)

Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut

(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)

9
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap
perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar
yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan
dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor
lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang
mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit
kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai
penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis,
aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat
nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu,
sehingga terjadi statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).

2.3. Tanda dan Gejala Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan
tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak
atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya
keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya
riwayat serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau


pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual.
Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume
vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir
selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung
empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta
kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

10
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri
secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi
abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan
peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada
perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra
hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala
yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al,
2009).

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan


kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda
– tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa
terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.4. Diagnosis Banding

Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan


peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien – pasien yang dirawat di
ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus dipertimbangkan bila
telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien.
(Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan
seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks
yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan
infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan
kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat
mengancam nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).

11
2.5. Diagnosis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai
dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum
sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 %
pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan


konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu tanpa
visualisasi kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya
pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh
karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini
tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung
empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu
(Towfigh S, et al, 2010)

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%.
Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya
batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).

12
Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu

berukuran kecil

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

13
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih
besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites,
gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat
pada pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).

Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan penebalan dinding
kandung empedu.

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak

14
mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan
duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran
duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit.
Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk


melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di duktus biliaris

15
komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV,
et al, 2009).

Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan.
Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana
terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat
gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada
kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).

2.6. Tatalaksana

2.6.1. Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,
pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti
petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin,
sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih
dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis


3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1
gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat
diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti
– emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu
merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut.
Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda

16
obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti
diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai
seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.6.2. Terapi bedah

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah


sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi
konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik
tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan
komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah
sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan,
operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi
lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi
(Wilson E, et al, 2010).

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada


pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya
empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut
nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan
perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini
dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada
pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.
Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi
medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien
yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E, et al, 2010).

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien


kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi
darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini
mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi
meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya

17
komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien
kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi
dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat
dilakukan pada lain waktu (Mutignani M, et al, 2009)

Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada


awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah digestif. Di luar
negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke
tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus,
terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan
luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai
pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu.
Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif
mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka
kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan
mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008). Pada wanita hamil, laparaskopi
kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester (Cox MR, et al, 2008)

Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya adalah:

 Resiko tinggi terhadap anastesi umum


 Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan peritonitis
 Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
 Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan
darah (Wilson E, et al, 2010).

2.7. Komplikasi kolesistitis

2.7.1.Empiema dan hidrops

Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut


dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat
tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada pasien laki - laki
dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis

18
mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis
berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi
menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ, et al,
2009).

Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan
duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung
empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau
cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada
pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol
dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering
tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi.
Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi atau
gangren (Gruber PJ, et al, 2009).

2.7.2. Gangren dan perforasi

Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan


bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan kandung
empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan oklusi arteri.
Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga
dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu
HH, et al, 2009).

Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan
oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu
yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi
dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi
dan drainase abses (Chiu HH, et al, 2009).

Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%,
Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran kanan atas
karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda
peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).

19
2.7.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu

Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu
mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum
sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau duodenum,
dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis
terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang
menjalani kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan temuan gas


dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau
endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin memperlihatkan fistula, tetapi
kolesistografi oral akan hampir tidak pernah menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu
atau saluran fistula. Terapi pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi,
eksplorasi duktus koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh
lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki
duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu
empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal
berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus
biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi kecenderungan
pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian
diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-
kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau
menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus
kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi
usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu
lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

20
2.7.4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.

Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam


konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi empedu
yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang
disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak berbahaya, tetapi
kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada kandung empedu yang
hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam
dinding kandung empedu yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto
polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu
porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan perkembangan
karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.8. Komplikasi pascakolesistektomi

2.8.1. Komplikasi dini

Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya,
pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-enterik
dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber
intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu,
bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi
dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang


menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75 sampai 90
persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi yang menetap adalah
adanya gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus
peptikum, sindrom pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada
sebagian kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang
menyebabkan gejala persisten. Apa yang disebut sebagai sindroma pascakolesistektomi
mungkin disebabkan oleh (1) striktura biliaris, (2) batu empedu yang tertahan (3) sindroma

21
tunggal (stump) duktus sistikus (4) stenosis atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis
atau diare akibat garam empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.8.2. Sindroma tunggal duktus sistikus

Tanpa batu yang tampak secara kolangiografik, gejala kelainan mirip kolik biliaris
atau kolestitis pada pasien pascakolesistektomi ini sering diperkirakan disebabkan oleh
gangguan pada sisa duktus sistikus yang panjang (>1 cm) (sindroma tunggal duktus sistikus).
Namun, penelitian yang cermat memperlihatkan bahwa keluhan pascakolesistektomi pada
hampir semua pasien yang kompleks gejalanya semula diduga timbul akibat adanya tunggal
duktus sistikus yang panjang juga dapat disebabkan oleh sebab lain. Dengan demikian, perlu
dilakukan pemeriksaan cermat mengenai faktor lain yang menyebabkan gejala
pascakolesistektomi sebelum menyatakannya sebagai sindroma tunggal duktus sistikus
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.8.3. Katarsis dan gastritis akibat garam empedu

Pasien pascakolesistektomi mungkin mempunyai gejala dan tanda gastritis, yang


dihubungkan dengan refluks empedu duodenogastrik. Namun, data kuat yang
menghubungkan peningkatan insidensi gastritis empedu dengan pembedahan penyingkiran
kandung empedu tidak cukup. Demikian pula, kejadian diare responsif – kolestiramin pada
sejumlah kecil pasien yang menyertai kolesistektomi dihubungkan dengan perubahan
sirkulasi kandung empedu enterohepatik (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.9. Prognosis

Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat dalam 1
– 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan didapatkan pada 85%
kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan
tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang – kadang
kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi,

22
angka kematian dapat mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka
mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai
prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.
(McPhee SJ, et al, 2009).

23

Anda mungkin juga menyukai