Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH


Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus pada zaman Rasululloh saw  yang tidak ada
ketetuan dalam al-quran, para ulama usul fiqih menyimpulkan bahwa ada isyarat Rasulullah saw,
Beliau menetapkannya melalaui ijtihad. Hasil ijtihad Rasulullah inilah yang secara otomatis
menjadai sunnah, sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat islam. Tokoh mujtahid yamg
termasyhur dikalangan sahabat ialah umar ibn khatab, ali ibn abi talib, dan abdullah bin masud.

Dalam berijtihad umar ibn kathab sering kali mempertimbangkan kemaslahatan umat,
dibandingkan sekedar menerapkan nash secara zahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Ali
ibn abi thalib melakukan ijtihad  juga menggunakan qiyas.

Selelah itu muncul para imam mujtahid yang 4. Yang masing-masing imam merumuskan metode
ushul fiqih sendiri. Sehingga terlihat dengan jelas perbedaan antara satu imam dengan imam
yang lain dalam mengistimbatkan hukum dari al-quran dan sunnah. Imam mazhab yan empat
tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh imam syafii yaitu, al-quran, sunnah,
ijma,, dan qiyas. Namun masing-masing mazhab menambahkan metode istimbat hukum lainnya.
Perbedaan pandangan tersebut para peneliti usul fiqih menyatakan bahwa pada keempat imam
mazhab tersebut ushul fiqih menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi
berikutnya cenderung menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada
zamannya masing-masing.

1.RUMUSAN MASALAH
Apa yang dimaksud dengan Ijtihad dan Bagaimana Ruang Lingkup Ijtihad?

2. TUJUAN MASALAH
Untuk mengetahui tentang Ijtihad dan Ruang lingkup Ijtihad
  BAB II

PEMBAHASAN

1. 1.      Pengertian ijtihad

“Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu yang berarti bersungguh-sungguh
dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran. “(Ali sadiqin, Fiqih, dan usul fiqih)”

“Menurut kamus dalam ilmu mawaris ijtihat adalah, menggunakan seluruh kemampuan berfikir
untuk menetapkan suatu hukum syari’at”. (Fartchur rahman dalam ilmu waris)”

“Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbat. Istinbat barasal dari
kata nabath (air yang mula-mula memancar  dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut
bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari
persembunyian”

“Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap kesanggupan (secara
maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum
syari’at.”

“Ijtihad adalah suatu usaha darurat di dalam sejarah perkembangan syariat, karena ijtihad jalan
untuk mengistimbathkan hukum dari dalil, baik yang naqli maupun yang aqli.”

Orang yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas
dasar fardlu kifayah. Ada ulama yang berkata : kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin
terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar ketika terjadi hal-hal itu hukum telah ada. Inilah jalan
yang ditempuh oleh fuqaha akhir ra’yi dan golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada
masalah-masalah yang telah terjadi ijma’.
Menurut istilah, ijtihad berarti pengarahan segenap kemampuan untuk menemukan hukum
syarak melalui dalil-dalil yang yang rinci dengan metode tertentu. Definisi ijtihad menurut para
ulama adalah sebagai brikut :

1. Menurut imam ghazali ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang


fiqih(mujtahid) dalam rangka menghasilkan hukum syarak.
2. Menurut abdul wahab khalaf ijtihad adalah pengerahan kemampuan untuk menghasilkan
hukum syara’ dri dalil-dalil yang rinci yang bersumber dari dalil-dalil syara’.
Menurut Muhammad Khudhari Bek ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk
mengistimbatkan hukum syara’ dari apa yang dipandang pembuat syara’ sebagai dalil, yaitu
kitabullah dan sunnah nabi-Nya.

Dengan demikian dapat dapat dinamakan ijtihad apabila memenuhi 3 unsur yaitu : usaha yang
bersungguh-sungguh, menemukan atau mengistimbatkan hukum islam, dan menggunakan dalil-
dalil yang rinci. Pertama, tidak dinamakan ijtihad apa bila usaha yang dilakukan tdak bersunguh-
sungguh. Persyaratan ini sekaligus membatasi pelaksanaan ijtihad, yaitu hanya kepada mereka
yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan masalah yang di ijtihadi.
Kedua, tujuan ijtihad adalah untuk menemukan atau merumuskan ketetapan hukum islam, yang
belum ada kepastian hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadits. Ketiga, menggunakan dalil-dalil
yang rinci yaitu dalil yang bersumber dari nash al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, penguasa
terhadap metode istimbat hukum menjdi sangat pentina dalam pelasanaan ijtihad. Karena metode
inilah yang akan menghasilkan ketetapan hum yang dihasilkan dengan nash al-quran dan hadits
yang menjadi dasar hukumnya. Ketika unsur diatas adalah satu kesatuan, jadi jika salah stunya
ada yang tidak terpenuhi maka usaha tersebut tidak disebut ijtihad.

1. 2.      Fungsi dan kedudukan ijtihad


Fungsi utama ijtihad adalah mengistimbatkan hukum (mencari, menggali, dan menemukan)
hukum syara’. Ijtihad merupakan alat ilmiah dan pandangan yang diperlukan untuk menghampiri
berbagai segi kehidupan baru dari segi ajaran islam. Melalui ijtihad, hukum islam akan selalu up
to date dan fungsional dalamkehidupan pribadi dan sosial. Dalam kajian fiqih dan ushul fiqih
ijtihad menjadi sumber hukum yang ketiga setelah al-quran dan hadits.meskipun menjadi sumber
hukum yang ketiga, tetapi kedudukan ijtihad sangat penting karena nash tidak dapat menjelaskan
dirinya sendiri tanpa bantuan akal manusia. Dasar hukum berlakunya ijtihad adalah :

1. Al-qur’an, yaitu surat an-nisaa’ ayat 105 :


Yang Artinya :

1. Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
Karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
[347]  ayat Ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang
dilakukan menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu’mah tidak
mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal
Ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada nabi s.a.w. dan mereka meminta agar nabi
membela Thu’mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang
mencuri barang itu ialah Thu’mah, nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah
dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi. ( Ali sodiqin : 102)

Tentang kebenaran hasil ijtihad, ulama terbelah dalam 2 pendapat, yaitu kelompok musawwibat
dan kelompok mukhatti’at. Kelompok musawwibat berpndapat bahwa : mujtahid berfungsi
sebagai penemu dan pembuat hukum (munsy al-hukmi). Kedudukannya sama dengan Allah swt.
Sehngga al-qur’an dan hadits dapat sebagai sumber hukum. Kelompok mkhatti’at berpendapat
lain, bahwa fungsi mujtahid adalah pengungkap hukum (kasy al-hukmi), bukan pembuat hukum.
Hasil ijtihadnya relatif, bisa benar bisa juga salah. Ijtihad berkedudukan sebagai metode bukan
sumber hukum.

1. 3.      Macam-macam ijtihad
a)      Dengan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang
dhanni dalalahnya. Dalam hal ini kita berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan
sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad dan jalannya sampai kepada kita.
b)      Dengan segala kesungguhan berupaya memperoleh suatu hukum yang tidak ada nash
qoth’i, nash dhnny dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu denagn
berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’ seperti qiyas
dan istihsan. Inilah yang disebut dengan ijtihad birra’yi.

c)      Dengan segala kesungguhan berupaya memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan
menerapkan kaidah-kaidah kulliah. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin diambildari
kaidah dan nash-nash kulliah, tidak adanya suatu nash tertentu, tidak ada pula ijma’ dan tidak
pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan.

Hal ini sebenarnya untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai
dengan kaidah-kaidah syara.

Dari segi pelaku atau siapa yang terlibat langsung dalam pelaksanaannya, ijtihad dibagi menjadi
dua, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jama’i. Ijtihad fardi yaitu ijtihad yang dilakukan oleh satu
orang saja. Ulama yang melakukan ijtihad fardi adalah mereka yang sudah menguasai ilmu
keagamaan dan ilmu-ilmu lain yang terkait dengan masalah yang diijtihadi. Ijtihad ijma’i yaitu
ijtihad yang dilakukan beberapa orang secara bersama-sama atau kelompok untuk meyelesaikan
suatu persoalan.

Dari segi pelaksanaannya, ijtihad dibagi menjadi dua yaitu ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i.
Ijtihad intiqa’i yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapt
yang ada. Contoh ijtihad model ini adalah dalam hal penetapan hukum amenikahi wanita hamil.
Sedangkan ijtihad insya’i yaitu mengambil konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan
yang belum ada ketetapan hukumnya. Contohnya dalam penetapan bayi tabung, yang merupakan
persoalan baru yang belum pernah ada ketetapan hukum sebelumnya.

Pada masa sekarang ini , bentuk-bentuk ijtihad yang dapat dilaksanakan, dapat berupa
penyusunan undang-undang, fatwa, maupun melakukan penelitian ilmiah, ketiga hal tersebut
termasuk dalam kategori ijtihad karena, dalam pelaksanaannya penuh dengan kesungguhan,
dilakukan oleh orang-orang yang ahli, dan ketetapan atau pendapat yang dihasilkan sesuai
dengan ajaran atau ketentuan hukum syara’.

1. 4.      Ruang lingkup ijtihad


Secara garisbesar ruang lingkup ijtihad daat dibagi menjadi 2 bagian :

  Peristiwa yang ketetapan hukumnya masih dzanny. Tugas utama para mujtahid dalam masalah
ini adalah menafsirkan kandungan nash kemudian menetapkan hukum-hukum yang termuat
didalamnya. Contohnya adalah bersentuhan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan
muhrimnya baik disengaja ataupun tidak apakah itu membatalkan wudhu atau tidak, kewajiban
suami istri, dan lain-lain.

  Peristiwa yang beum ada nash nya sama sekali. Tugas utama para mujtahid dalam masalah ini
adalah merumuskan hukum baru ats peristiwa tersebut dengan menggunakan kekuatan ra’yi.
Contoh masalah ini adalah : hukum bayi tabung,transplantasi organ tubuh,keluarga berencana,
dan lain-lain.

Dengan demikian, ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap persoalan hukum syara yamg sudah
qat’i dalalah, atau memiliki kepastian hukum dari nash. Contoh dalam hal ini adalah tentang
kewajibansalat lima waktu. Salat lima waktu wajib hukumnya secara qot’i, berdasarkan perintah
didalam al-quran dan hadits, serta ijma ulama. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan lagi
menafsirkan atau berijtihad dalam masalah kewajiban salat lima waktu.

1. 5.      Syarat-syarat ijihad
Syarat umum :

 Baliqh
 Berakalsehat
 Beriman
b. Syarat-syaratkhusus:
 Mengetahui sunnah nabi yang berhubunagn dengan yang dianalisis.
 Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam.
 Mengetahui kaidah kulliah yaitu kaidah fiqih.
 Mengetahui kaidah bahasa arab
 Mengetahui ilmu mantiq

Syarat-syarat tambahan:

  Mengetahui bahwa tidak ada dalil qat’i yang berkaitan dengan masalah yang akan di tetapkan
hukumnya.

  Mengetahui masalah yang diperselisihkan oleh ulama dan yang akan mereka sepakati.

Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.

PENUTUP

Dalam berijtihad umar ibn kathab sering kali mempertimbangkan kemaslahatan umat,
dibandingkan sekedar menerapkan nash secara zahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Ali
ibn abi tholib melakukan ijtihad  juga menggunakan qiyas.

Selelah itu muncul para imam mujtahid yang empat. Yang masing-masing imam merumuskan
metode ushul fiqih sendiri. Sehingga terlihat dengan jelas perbedaan antara satu imam dengan
imam yang lain dalam mengistimbatkan hukum dari al-quraan dan sunah. Imam mazhab yan
empat tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh imam syafii yaitu, al-quran,
sunah, ijma,, dan qiyas. Namun masing-masing mazhab menambahkan metode istimbat hukum
lainnya. Perbedaan pandangan tersebut para peneliti ushul fiqih menyatakan bahwapada keempat
imam mazhab tersebut ushul fiqih menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi
berikutnya cenderung menggunakan metode yang sesuai denga kasus yang mereka hadapi pada
zamannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi. 1999. Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang : Pustaka Rizki Putra.

Ali Sodiqin. 2021. Fiqih Ushul Fiqih. Yogyakarta : Beranda Publishing.

Ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki


Putra, 1997.

Uman Chairul, dkk. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia.

Fatchur Rahman. 1975. Ilmu Waris. Jakarta: Almavaris.

Hunain,dkk. 2012. Kumpulan materi dan soal latihan ujian nasional taahun pelajaran
2010/2012. Makalah disampaikan dalam menghadapi ujian nasional.

Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel
Press, 2004

Hasan, M.Ali, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995

 Ash-Shiddieqy,  Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Anda mungkin juga menyukai