Anda di halaman 1dari 4

Amirah Ichlasul Wibawati

17 MIPA 4 / 05

Bandung Dibakar Penduduknya

Tanggal 23 Maret 1946, telah terjadi peristiwa Bandung Lautan Api yang merupakan
peristiwa kebakaran besar yang terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat. Dalam waktu tujuh jam,
sekitar dua ratus ribu penduduk mengukir sejarah dengan rumah serta harta benda mereka
kemudian meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal
ini dilakukan untuk mencegah tentara sekutu dan tentara NICA Belanda agar tidak dapat
menggunakan Kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan
Indonesia.

Pasukan Inggris dibawah Brigade MacDonald tiba di Bandung tanggal 12 Oktober


1945. Pada saat itu, hubungan pasukan Inggris dengan pemerintah RI sudah tegang. Pasukan
Inggris menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk diserahkan kepada
mereka, kecuali Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi. Kondisi semakin memanas,
ketika orang – orang Belanda yang baru dibebaskan dari tawanan mulai melakukan tindakan
– tindakan yang menganggu keamanan. Akibatnya, terjadi bentrokan senjata antara Inggris
dan TKR yang mana tidak dapat dihindari.

Pada malam hari tanggal 24 November 1945, TKR dan badan – badan perjuangan
melancarkan serangan terhadap kedudukan – kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk
Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari
kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung
Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata. Akibat dari
ultimatum tersebut, sekutu membagi Kota Bandung menjadi dua, bagian utara untuk wilayah
kekuasaan sekutu dan bagian selatan untuk wilayah kekuasaan pemerintah Indonesia. Namun,
adanya ultimatum tersebut dijawab Indonesia dengan didirikannya pos – pos gerilya di
berbagai tempat.

Selama bulan Desember 1945, masyarakat Kota Bandung dibuat khawatir, pasalnya
terjadi pertempuran di berbagai tempat seperti Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasar Kaliki, dan
Viaduct. Selain itu, Sekutu juga berusaha merebut balai besar kereta api, namun gagal. Awal
tahun 1946, pertempuran semakin menjadi – jadi. Pertempuran dilakukan secara sporadis.
Serangan Sporadis Indonesia dan kegagalan sekutu mencari penyelesaian di tingkat daerah,
membuat posisi sekutu terdesak. Mereka melakukan pendekatan terhadap pihak petinggi
pemerintahan Indonesia.

Pada tanggal 23 Maret 1946, Sekutu menyampaikan ultimatum kepada Perdana


Menteri (PM) Sultan Syahrir. Mereka meminta paling lambat pukul 24.00 WIB tanggal 24
Maret 1946, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung sejauh 10 sampai 11 kilometer
dari pusat kota. Namun, tentara menolak ultimatum tersebut. Alasannya, mustahil
memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat. PM Sultan Syahrir mendesak Jenderal
Mayor Nasution yang menjabat sebagai Panglima Divisi III/Siliwangi untuk memenuhi
ultimatum tersebut dengan alasan menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI).

“Mengapa aku harus memenuhi ultimatum tersebut, Syahrir?” Tanya Nasution

“Karena TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu.” Kata Sultan
Syahrir pada Nasution.

Ultimatum agar TRI meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik “bumi
hangus”. Rakyat yang tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh, mengungsi ke arah
selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil
melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua
kekuatan perjuangan.

“Sesuai dengan hasil musyawarah, dengan ini saya perintahkan kepada seluruh rakyat
Bandung untuk meninggalkan Kota Bandung serta bersama – sama membumihanguskan
Kota Bandung agar tidak dijadikan markas militer Sekutu.” Ujar Kolonel Abdul Haris
Nasution saat mengumukan hasil musyawarah. Hari itu juga, rombongan besar penduduk
Bandung meninggalkan kota. Namun, ada beberapa warga yang kurang setuju dengan hasil
musyawarah tersebut. Lalu, Budi Syarifuddin memimpin warga yang kurang setuju untuk
bertanya dan meminta penjelasan langsung kepada A.H. Nasution.

“Jenderal Nasution, bagaimana jika kami tetap berada di tempat ini? Seluruh
pekerjaan dan rumah kami berada disini. Jika tempat ini dibakar, bagaimana cara kami
menghidupi keluarga kami.” Tanya Budi Syarifuddin pada A.H. Nasution
“Iya, Jenderal. Jika tempat ini dibakar, dimana kami bisa tinggal?” Pertanyaan demi
pertanyaan dilontarkan pada Jenderal Nasution.

“Tenanglah warga Bandung, Kita akan meninggalkan tempat ini kemudian


membakarnya agar tempat ini tidak dijadikan markas militer Sekutu. Setelah Sekutu pergi
dari tempat ini, Pemerintah dan seluruh warga Bandung akan kembali membangun Kota
Bandung dari nol yang lebih baik, aman, dan tentram.” Nasution mulai meyakinkan para
warga yang masih gelisah.

“Baiklah, Jenderal.” Putus seluruh warga sambil berharap bahwa setelah kejadian ini,
Kota Bandung akan bangkit kembali serta menjadi yang lebih baik.

Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan Rakyat. Hal ini bermaksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Kota Bandung sebagai markas militer kembali. Asap – asap hitam
mengepul, membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang
sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot,
sebelah selatan Bandung yang merupakan pabrik mesin milik Sekutu. TRI bermaksud
menghancurkan pabrik tersebut. Diutuslah pemuda bernama, Muhammad Toba dan Ramdan
yang berhasil meledakkan pabrik tersebut dengan granat tangan. Pabrik besar itu meledak dan
terbakar, namun naas, kedua pemuda itu ikut terbakar di dalamnya.

Staf pemerintah kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, namun
demi keselamatan maka pada pukul 21.00 juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, sekitar pukul
24.00 Bandung selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung
membakar kota serta Bandung pun berubah menjadi lautan api. Pembumihangusan Bandung
tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup
melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan
perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu “Halo-Halo
Bandung” yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.

Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa
pembakaran itu. Istilah ini berawal dari Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan
pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya
dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan
terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
“Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam
pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu
timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari
kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya
lautan air” ujar A.H. Nasution

Istilah Bandung Lautan Api muncul pada Surat Kabar Harian Suara Merdeka tanggal
26 Maret 1946. Seorang wartawan muda bernama Atje Bastaman, menyaksikan
pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pamerngpeuk,
Garut. Dari puncak itulah, Atje Bastaman meilihat Bandung yang memerah dari Cicadas
sampai Cimindi.Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera
menulis berita dan memberikannya judul “Bandoeng Djadi Laoetan Api”, namun karena
kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, sehingga diperpendek menjadi “Bandoeng Laoetan
Api.”

Anda mungkin juga menyukai