Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
PENDAHULUAN
1
tinggi, dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Ketiga
kombinasi ini dikenal sebagai "the triad of anesthesia" dan ada yang
memasukkan ventilasi kendali.1.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan
sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf otot. Maka
pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular.1.
SEJARAH
· Tahun 1932 d-tubokurarin digunakan untuk mengontrol spasme otot
pada tetanus
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin.
Sebagai contoh' suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang berikatan pada
kedua ujungnya Sebaliknya' obat-obat nondepolarisasi (misal pancuronium)
mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin
besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh
otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang memberi
muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik membuat
obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke sistem saraf
pusat.2
3
n.ulnaris.5
Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat
(mata' digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah
pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang
intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor
pollicis). Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring
mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan
dalam penutupan glottis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat ' di mana
m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi
reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan
jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot
tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor
pollicis semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi
pada otot-otot jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis.
Dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat '
periode paralisis otot laring adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek
maksimum pada m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah
dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade
diafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan
blokade yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring
m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek
(m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons
m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma. Oleh
karena itu' m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.adductor pollicis sebagai
indikator blokade otot laring.6
4
sawar membran lipid seperti sawar darah otak' epitel tubulus renal' epitel
gastrointestinal' atau plasenta. Oleh karena itu ' obat pelumpuh otot tidak dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat' reabsorpsinya di tubulus renal minimal'
absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak
mempengaruhi fetus. Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga
memainkan peran dalam farmakokinetik obat-obat ini.5,6
Klirens plasma' volume distribusi' dan waktu paruh eliminasi obat
pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia' anestesi volatil' dan penyakit hati
atau ginjal. Eliminasi renal dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat
yang besar karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga
mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah
reabsorpsi renal obat yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi
farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh
otot tidak terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya
bila ada perubahan ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang
signifikan pada eksresi ginjal obat pelumpuh otot. 6
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah
pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan
yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam
aliran darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi
volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil. 6
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein '
dehidrasi' atau perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan
konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu
paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja
obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena. 6
5
2.4 Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Transmisi rangsang saraf ke otot terjadi melalui hubungan saraf otot.
Hubungan ini terdiri atas bagian ujung saraf motor yang tidak berlapis myelin
dan membrane otot yang dipisah oleh celah sinap. Pada bagian ujung saraf motor
terdapat gudang persediaan kalsium, vesikel, atau gudang asetilkolin,
mitokondria, dan reticulum endoplasmik. Pada bagian membran otot terdapat
receptor asetilkolin. 7
Asetilkolin merupakan bahan perangsang saraf (neuro transmitter) yang
dibuat di dalam ujung serabut saraf motor melalui proses asetilasi kolin ekstra
sel dan koenzim A. Untuk itu diperlukan enzim asetiltransferase. Asetilkolin
disimpan dalam kantung atau gudang yang disebut vesikel. Ada 3 bentuk
asetilkolin, yaitu bentuk bebas, bentuk cadangan belum siap pakai dan bentuk
siap pakai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses sintesis dan atau
pelepasan asetilkolin, antara lain kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenisasi,
suhu, anelgetik local, dan antibiotic golongan aminoglikosida.2.
Potensial istirahat membran ujung saraf motor (resting mebran potensial)
terjadi karena membran lebih mudah ditembus ion kalium ekstrasel daripada
ion natrium. Potensial yang terukur umumnya sebesar 85-90mV. Pada saat
pelepasan asetilkolin, membrane tersebut sebaliknya akan lebih permiabel
terhadap ion natrium sehingga terjadi depolarisasi otot. Influks ion kalsium
memicu keluarnya asetilkolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan
menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik dan kolinergik di otot. Kalau
jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion terbuka.
Ion natrium dan kalsium masuk, sedangkan ion kalium keluar, terjadilah
kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-
esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup
kembali maka terjadilah repolarisasi. 5
6
Obat pelumpuh otot depolarisasi ini bekerja sebagai agonis ACh. Terjadi
hambatan penurunan kepekaan membrane ujung motor. Obat tersebut
menimbulkan depolarisasi persisten pada lempeng akhir saraf. Terjadi karena
serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi menetap sehingga akhirnya
kehilangan respons berkontraksi sehingga menimbulkan kelumpuhan. Ciri
kelumpuhan ditandai dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot sangat
bergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterasi. 2.
2. Ciri Kelumpuhan
a. Ada fasikulasi otot.
7
4. Tidak ada post tetanik fasilitasi
5. Hambatan bertambah dengan antikolinesterase
Blok fase I disertai fasikulasi karena depolarisasi membran post sinaps 5
KARAKTERISTIK BLOK FASE II
Respon mekanik blok fase II sama dengan yg ditimbulkan
pelumpuh otot non depolarisasi. blok fase II dapat direverse dengan
antikolisterase bila blokade bukan karena SCh. Dapat dicoba dengan
Endrofonium (antikolinesterase) 0,1-0,2mg/kgBB iv, bila terdapat perbaikan
transmisi blokade bukan karena SCh. 5
Kemasan : flakon berisi bubuk putih 100mg atau 500 mg. Pengenceran
dapat memakai garam fisiologik atau akuades steril 5ml atau 25ml sehingga
membentuk larutan 2%. 2
Indikasi : pelumpuh otot jangka pendek
Kegunaan : untuk mempermudah / fasilitas intubasi trakea, karena mula
kerja cepat dan lama kerja yang singkat. Juga dipakai untuk memelihara relaksasi
otot dengan cara pemberian kontinyu per infuse atau suntikan intermitten.2
Dosis : 1-2 mg / kg BB / IV
8
koroid
Untuk mengurangi fasikulasi dan nyeri otot sering diberi dulu dengan
1
obat pelumpuh otot non depolarisasi /4 dosis relaksasi otot, misalnya
pankuronium 1mg. Untuk pemakaian kontinyu per infuse, buat larutan dengan
konsentrasi 1 mg/ml (250mg dalam 250ml larutan). Dosis pemeliharaan
relaksasi otot adalah 1-2ml / menit. 2
9
kembali keluar dari tempat kerjanya.5.
Kontra indikasi absolut :
1. Hiperkalemia, > 5.5 meq/L, misal pada gagal ginjal.
2. Kelainan otot: malignant hyperthermia, myastenia gravis, muscular
distrophy
1. Trauma otot masive
2. Luka bakar, 7-60 hari
3. Luka tusuk orbita, karena meningkatkan tekanan intraokuler
4. Gangguan neurology: paraplegia, neurodegenerative disease. 5)
10
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi
menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek:
Dosis Awal Dosis Rumatan Durasi Efek Samping
(mg/kg) (mg/kg) (menit)
Non Depol Long Acting
1. D-tubokurarin 0.40 – 0.60 0.10 30 – 60 Hipotensi
2. Pankuronium 0.08 – 0.12 0.15 – 0.20 30 – 60 Vagolitik,takikardi
3. Metakurin 0.20 - 0.40 0.05 40 – 60 Hipotensi
4. Pipekuronium 0.05 – 0.12 0.01 – 0.015 40 – 60 Kardiovaskuler stabil
5. Doksakurium 0.02 – 0.08 0.005 – 0.010 45 – 60 Kardiovaskuler stabil
6. Alkurium 0.15 – 0.30 0.05 40 – 60 Vagolitik, takikardi
Non depol Intermediate
1. Gallamin 4–6 0.5 30 – 60 Hipotensi
2. Atrakurium 0.5 – 0.6 0.1 20 – 45 Aman untuk hepar
3. Vekuronium 0.1 – 0.2 0.015 – 0.02 25 – 45
4. Rokuronium 0.6 – 0.1 0.10 – 0.15 30 – 60
5. Cistacuronium 0.15 – 0.20 0.02 30 – 45
Non Depol Short Acting
1. Mivakurium 0.20 – 0.25 0.05 10 – 15
2. Ropacuronium 1.5 – 2.0 0.3 – 0.5 15 – 30
Depol Short Acting
1 3 – 10
1. Suksinilkolin
11
jika jumlah molekul obat yang menduduki reseptor asetilkolin telah berkurang,
antara lain terjadi karena proses eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan juga
dapat dibantu lebih cepat dengan memberikan obat antikolinesterase
(neostigmin) yang menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.2.
2. Hambatan depolarisasi atau blok depolarisasi
3. Hambatan lain
12
Pada dosis terapeutik menyebabkan kelumpuhan otot mulai dengan
ptosis, diplopia, otot muka, rahang, leher, dan ekstremitas. Paralisis otot dinding
abdomen dan diafragma terjadi palig akhir. Lama paralisis bervariasi antara 15-
50 menit
Sifat :
- Blokade ganglion simpatis, dilatasi kapiler, inotropik negatif. Terjadi
kumulatif.6
Kontra indikasi :
- Asma bronchial
- Renal disfungsi
- Myastenia gravis
- Diabetes melitus
- Hipotensi
Dosis : paralisis otot intraaabdominal : 10-15mg
intubasi trakea : 10-20mg.
Cara pemberian : IV/ IM
Efek samping : hipotensi dan bradikardia
Reaksi samping utama:
1. Kardiovaskuler: Hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi
sinus.
2. Pulmoner: Hipoventilasi, apneu, bronkospasme, laringospasme, dispneu.
3. Muskuloskelet: apabila tidak adekuat, akan menyebabkan blok lama.
4. Dermatologik: Ruam, urtikaria.7
Ekskresi : ginjal, kadang-kadang hepar.
2.8 Doksakurium
13
bermakna.
Oleh anestetik volatil kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30%-40%)
dan lamanya blokade neuromuskular diperpanjang (hingga 25%). Paralisis
rekurens dengan kuinidin. Diantagonis oleh inhibitor antikolinesterase
(neostigmin, edrofonium, dan piridostigmin).7
Peningkatan tahanan atau reverse dari efek dengan penggunaan
karbamazepin dan fenitoin dan pada pasien dengan cedera bakar dan paresis,
tidak kompatibel dengan larutan basa dengan PH>8,5, seperti larutan barbiturat.
Dosis Intubasi: 0.05 – 0.08 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :
- Kardiovaskuler: Hipotensi, kemerah-merahan, fibrilasi ventrikel,
infark miokard.
- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme.
- SSP : Depresi.
- Anuria
- Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
- Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan blok yang
diperpanjang.7.
2.9 Pipekuronium
Obat penyekat neuromuskular nondepolarisasi beraksi panjang ini
merupakan turunan piperzinum. Waktu awitan dan lamanya serupa dengan
pankuronium bromida dengan dosis yang sebanding. Secara klinis tidak
mempunyai efek hemodinamik yang bermakna. Jarang terjadi pelepasan
histamin. 7
Dosis intubasi : 0,07-0,085 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :
- Kardiovaskuler : Hipotensi, hipertensi, bradikardi, infark miokard.
- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu.
- SSP : Depresi.
14
- Anuria
- Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
- Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan blok yang
diperpanjang.
- Metabolik : Hipoglikemia, Hiperkalemia, Peningkatan kreatinin.
Mula kerja terjadi pada menit 2-3 untuk selama 30-40menit. Berikatan
kuat dengan globulin plasma dan berikatan sedang dengan albumin.
Mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, karena itu dosis
pemeliharaan/rumatan harus dikurangi dan waktu pemberian harus
diperpanjang.2
Pankuronium menyebabkan sedikit pelepasan histamine dan hipertensi
karena memiliki efek inotropik positif serta takikardia karena efek vagolitik.
Sebanyak 15-40% pankuronium dalam tubuh mengalami metabolisme
deasetilasi. 2.
15
Dosis : relaksasi otot : 0,08mg / kg BB/ IV (dewasa)
16
mengalami kelumpuhan. Teknik seperti ini sering dipakai untuk
prosedur ginekologik.
c. Sebagai profilaksis bradikardia selama anesthesia umum, misalnya
pada pembedahan bola mata. 2.
Kontra indikasi :
a. Pasien dengan takikardia
b. Fungsi ginjal yang buruk atau ancaman gagal ginjal. 2.
Reaksi samping utama :
1. Kardiovaskuler : Takikardi, Aritmia, Hipotensi
2. Pulmoner : Hipoventilasi, Apneu
3. Muskuloskelet : Blok tidak adekuat, blok yang diperpanjang.7
17
Atracurium adalah kelompok kuartener' struktur benzylisoquinoline
membuat cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan
gabungan dari 10 stereoisomer. 7
Dosis
Dosis 0.5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 — 60 detik
untuk intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0.25 mg/kgBB'
kemudian dosis inkremental 0'.1 mg/kgBB setiap 10-20 menit. Infus 5-10
µg/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten secara efektif. Kebutuhan dosis
tidak bervariasi sesuai usia' namun atracurium dapat bekerja lebih singkat pada
anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa.
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL' yag sebaiknya disimpan
pada suhu 2-8°C karena potensinya akan berkurang 5 — 10% tiap bulan bila
terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus digunakan dalam waktu
18
14 hari untuk menjaga potensi.
19
1. Kardiovaskuler: Hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi
sinus.
2. Pulmoner: Hipoventilasi, apneu, bronkospasme, laringospasme,
dispneu.
3. Muskuloskelet: apabila tidak adekuat, akan menyebabkan blok
lama.
4. Dermatologik: Ruam, urtikaria.
20
kelamin wanita' gagal ginjal' terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis
tinggi' dan sepsis. Oleh karena itu' pasienpasien ini harus dimonitor dengan ketat
dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian pelumpuh otot
jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor
nikotinik postsinaptik yang lama' dapat menimbulkan keadaan yang mirip
denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium
memanjang pada pasien dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot
nondepolarisasi juga dapat terjadi setelah pemakaian lama. 2,4
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya
adalah 0.08 — 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0.04 mg/kg diikuti dengan dosis
tambahan 0.01 mg/kg setiap 15 — 20 menit membantu relaksasi intraoperatif.
Sebagai alternatif' infus 1 — 2 µg/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi
yang baik. 2
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial' meskipun dosis
tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap
vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan
tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang (ditemukan
juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari sensitivitas ini
mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa lemak dan otot ' ikatan
protein' volume distribusi atau aktivitas metabolic. 2
2.15 Mivacurium
Mivacurium' seperti suksinilkolin' dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh kolinesterase
asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang pada pasien dengan
kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen pseudokolinesterase.
Kenyataannya' pasien yang heterozigot untuk gen atipikal akan mengalami blok 2
kali lebih lama dari durasi normal' di mana homozigot atipikal akan tetap
terparalisis selama berjamjam. Homozigot atipikal tidak dapat memetabolisme
mivacurium sehingga blokade saraf-otot dapat berlangsung selama 3 — 4 jam.
Antagonisme farmakologis dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat
21
pembalikan blokade mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf
menjadi nyata. Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif
dibanding neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase
plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung pada
ginjal atau hati' durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan gagal ginjal
atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat dari kadar
kolinesterase plasma yang menurun.4
Dosis intubasi mivacurium adalah 0.15 — 0.2 mg/kg. Infus menetap untuk
relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase tapi dapat
diinisiasi 4 — 10µg/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih
tinggi dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat badan'
namun tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh. Mivacurium
dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu ruangan.2,4
22
2.16 PILIHAN PELUMPUH OTOT
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset
kerja' durasi kerja' dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat
karena kerja obat pada tempat lain selain NM,. Efek samping yang tidak
diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan histamin yang
dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi benzylisoquinolinium.
Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan oleh
suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat
saat intubasi trakea merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot.
Rocuronium adalah satu-satunya obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang
onset kerjanya singkat menyerupai suksinilkolin' tapi dengan durasi kerja
yang lebih panjang. Jika diperlukan blokade saraf- otot yang dipertahankan
dalam periode tertentu maka obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah obat
pilihan untuk dosis intermiten atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan
onset cepat blokade saraf-otot' relaksasi otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat
dipilih obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dapat menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang
signifikan akibat pelepasan yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila
terdapat keadaan seperti hipovolemia' penyakit arteri koroner' atau penyakit
katup jantung. Sebaliknya' bradikardi yang dicetuskan oleh anestetik opioid
yang ditutupi sampai batas tertentu oleh efek peningkatan denyut jantung oleh
pancuronium dan tidak dapat ditutupi oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi
yang tidak memiliki efek sirkulasi (vecuronium' rocuronium' cisatracurium'
doxacurium' pipecuronium). 2,4,7
Secara umum,pemilihan obat pelumpuh otot berdasarkan hal berikut:
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
23
2.17 TANDA-TANDA KEKURANGAN PELUMPUH OTOT
1. Cegukan (hiccup)
24
BAB III
KESIMPULAN
Obat pelumpuh otot sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua
golongan besar berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu golongan depolarisasi
dan non-depolarisasi. Masingmasing golongan mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing karena berbedanya cara kerja dan juga cara
perlakuannya oleh tubuh.
Dapat juga ditambahkan disini bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi farmakokinetik obat, khususnya obat pelumpuh otot yang
umumnya diberikan secara intravena, antara lain adalah fungsi ginjal, fungsi hati
dan sistem bilier, umur, hipotermia, pemakaian obat anestesi umum dan besarnya
dosis awal yang diberikan.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Pelumpuh Otot. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 3: 66-70
2. Rachmat L, Sunatrio S. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; Jakarta; 2004; 15: 81-86
3. Harsono, Wibowo A, Santy A, Caesar GE, Kurnia R, Udayaningtyas U.
Obat pelumpuh neuromuskular. Jakarta; 2007
4. Bevan DR, Donati F. Muscle relaxants and clinical monitoring. A
Practice of Anaeshtesia. London; 1994; 147-71
5. Calvey TN, Williams NE. Principles and practice of pharmacology for
anaesthetists. London; Blackwell Scientific Publications; 1982; 159-84
6. Lunn JN. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah
Anestesi Edisi 4. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004; 4: 86-
93
7. Setio M. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. Edisi 2 Jakarta; Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2004
26