Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan penawar opioid,


maka penggunaan obat pelumpuh otot jadi semakin rutin. Anestesia tidak perlu
dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, anelgesi dapat diberikan opioid dosis
tinggi, dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Ketiga
kombinasi ini dikenal sebagai "the triad of anesthesia". Obat pelumpuh otot
sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua golongan besar berdasarkan
mekanisme kerjanya, yaitu golongan depolarisasi dan non-depolarisasi. Masing-
masing golongan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing karena
berbedanya cara kerja. 1
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2
kelompok obat yang sangat berbeda. Pertama' kelompok yang digunakan selama
prosedur pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek
paralisis pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan
kelompok lain yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah
kelainan neurologis (spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi
neuromuscular end-plate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini
sering digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk
memfasilitasi intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan
menimbulkan imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat. 1,2

Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia


umum inhalasi, melakukan blokade saraf regional, dan memberikan
pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi
jantung, blokade saraf terbatas penggunaannya. 1

Sebelum dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan pelumpuh


otot sangat terbatas. Tetapi sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan
penawar opioid, maka penggunaanya jadi semakin rutin. Anestesia tidak perlu
dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, anelgesi dapat diberikan opioid dosis

1
tinggi, dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Ketiga
kombinasi ini dikenal sebagai "the triad of anesthesia" dan ada yang
memasukkan ventilasi kendali.1.

Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan
sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf otot. Maka
pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular.1.

Walaupun obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestetik, tetapi


obat ini sangat membantu pelaksanaan anestesia umum, antara lain
memudahkan dan mengurangi cidera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea,
serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali.3

SEJARAH
· Tahun 1932 d-tubokurarin digunakan untuk mengontrol spasme otot
pada tetanus

· Tahun 1940 d-tubokurarin dipakai sebagai ajuvans pada terapi


elektroshock

· Tahun 1942 pertama kali d-tubokurarin digunakan untuk relaksasi


otot selama pembedahan
· Tahun 1906 penggunaan curare binatang pada percobaan untuk
menentukan parasimpatomimetik efek dari succinylcholine, efek
hambatan neuromuskuler succinylcholine tidak diketahui sampai tahun
1949. 4

2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Farmakologi Dasar Obat-Obat Pelumpuh Otot


Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-
obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi
(meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi
menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat
pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid.
Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi'
blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.2

Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin.
Sebagai contoh' suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang berikatan pada
kedua ujungnya Sebaliknya' obat-obat nondepolarisasi (misal pancuronium)
mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin
besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh
otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang memberi
muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik membuat
obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke sistem saraf
pusat.2

2.2 Farmakodinamik Obat-Obat Pelumpuh Otot

Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur


kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis' metode yang
umum dipakai untuk menentukan tipe' kecepatan onset' magnitudo' dan durasi
blokade saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal
yang ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer.
Paling sering dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi
m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal sampai / Hz) setelah stimulasi

3
n.ulnaris.5
Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat
(mata' digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah
pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang
intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor
pollicis). Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring
mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan
dalam penutupan glottis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat ' di mana
m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi
reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan
jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot
tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor
pollicis semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi
pada otot-otot jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis.
Dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat '
periode paralisis otot laring adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek
maksimum pada m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah
dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade
diafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan
blokade yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring
m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek
(m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons
m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma. Oleh
karena itu' m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.adductor pollicis sebagai
indikator blokade otot laring.6

2.3 Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot


Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang
merupakan senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis'
dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume distribusi obat-obat ini
terbatas dan sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg).
Sebagai tambahan' obat pelumpuh otot tidak dapat dengan mudah melewati

4
sawar membran lipid seperti sawar darah otak' epitel tubulus renal' epitel
gastrointestinal' atau plasenta. Oleh karena itu ' obat pelumpuh otot tidak dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat' reabsorpsinya di tubulus renal minimal'
absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak
mempengaruhi fetus. Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga
memainkan peran dalam farmakokinetik obat-obat ini.5,6
Klirens plasma' volume distribusi' dan waktu paruh eliminasi obat
pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia' anestesi volatil' dan penyakit hati
atau ginjal. Eliminasi renal dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat
yang besar karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga
mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah
reabsorpsi renal obat yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi
farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh
otot tidak terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya
bila ada perubahan ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang
signifikan pada eksresi ginjal obat pelumpuh otot. 6
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah
pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan
yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam
aliran darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi
volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil. 6
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein '
dehidrasi' atau perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan
konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu
paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja
obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena. 6

5
2.4 Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Transmisi rangsang saraf ke otot terjadi melalui hubungan saraf otot.
Hubungan ini terdiri atas bagian ujung saraf motor yang tidak berlapis myelin
dan membrane otot yang dipisah oleh celah sinap. Pada bagian ujung saraf motor
terdapat gudang persediaan kalsium, vesikel, atau gudang asetilkolin,
mitokondria, dan reticulum endoplasmik. Pada bagian membran otot terdapat
receptor asetilkolin. 7
Asetilkolin merupakan bahan perangsang saraf (neuro transmitter) yang
dibuat di dalam ujung serabut saraf motor melalui proses asetilasi kolin ekstra
sel dan koenzim A. Untuk itu diperlukan enzim asetiltransferase. Asetilkolin
disimpan dalam kantung atau gudang yang disebut vesikel. Ada 3 bentuk
asetilkolin, yaitu bentuk bebas, bentuk cadangan belum siap pakai dan bentuk
siap pakai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses sintesis dan atau
pelepasan asetilkolin, antara lain kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenisasi,
suhu, anelgetik local, dan antibiotic golongan aminoglikosida.2.
Potensial istirahat membran ujung saraf motor (resting mebran potensial)
terjadi karena membran lebih mudah ditembus ion kalium ekstrasel daripada
ion natrium. Potensial yang terukur umumnya sebesar 85-90mV. Pada saat
pelepasan asetilkolin, membrane tersebut sebaliknya akan lebih permiabel
terhadap ion natrium sehingga terjadi depolarisasi otot. Influks ion kalsium
memicu keluarnya asetilkolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan
menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik dan kolinergik di otot. Kalau
jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion terbuka.
Ion natrium dan kalsium masuk, sedangkan ion kalium keluar, terjadilah
kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-
esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup
kembali maka terjadilah repolarisasi. 5

2.5 Penggolongan Muscle Relaxant


A. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
1. Cara Kerja

6
Obat pelumpuh otot depolarisasi ini bekerja sebagai agonis ACh. Terjadi
hambatan penurunan kepekaan membrane ujung motor. Obat tersebut
menimbulkan depolarisasi persisten pada lempeng akhir saraf. Terjadi karena
serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi menetap sehingga akhirnya
kehilangan respons berkontraksi sehingga menimbulkan kelumpuhan. Ciri
kelumpuhan ditandai dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot sangat
bergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterasi. 2.

2. Ciri Kelumpuhan
a. Ada fasikulasi otot.

b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.

c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat


pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis.
a. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada
perangsangan tunggal maupun tetanik.
b. Belum diatasi dengan obat spesifik

SCh menempatkan reseptor kolinergik nikotinik sub unit alfa dan


bekerja seperti asetikolin (mendepolarisasi membran post jungtion).
Hambatan neuromuskuler terjadi membran post sinaps tidak dapat
memberikan respons pada pelepasan asetilkolin berikutnya yang disebut juga
hambatan fase I. SCh menyebabkan keluarnya kalium dari sel yang akan
meningkatkan K plasma 0,5 meq/L

SCh dosis tunggal besar(>2mg/kgBB), dosis ulangan atau infus


kontinyu lama akan menyebabkan membran post sinap kehilangan respon normal
pada asetilkolin menyebabkan blok fase II. 5

KARAKTERISTIK BLOK FASE I


1. Penurunan respon kontraksi pd stimulus twitch tunggal
2. Penurunan amplitudo tapi responnya lama pada rangsang kontinyu
3. Rasio TOF > 0,7

7
4. Tidak ada post tetanik fasilitasi
5. Hambatan bertambah dengan antikolinesterase
Blok fase I disertai fasikulasi karena depolarisasi membran post sinaps 5
KARAKTERISTIK BLOK FASE II
Respon mekanik blok fase II sama dengan yg ditimbulkan
pelumpuh otot non depolarisasi. blok fase II dapat direverse dengan
antikolisterase bila blokade bukan karena SCh. Dapat dicoba dengan
Endrofonium (antikolinesterase) 0,1-0,2mg/kgBB iv, bila terdapat perbaikan
transmisi blokade bukan karena SCh. 5

Suksametonium (succvnil choline)

Kemasan : flakon berisi bubuk putih 100mg atau 500 mg. Pengenceran
dapat memakai garam fisiologik atau akuades steril 5ml atau 25ml sehingga
membentuk larutan 2%. 2
Indikasi : pelumpuh otot jangka pendek
Kegunaan : untuk mempermudah / fasilitas intubasi trakea, karena mula
kerja cepat dan lama kerja yang singkat. Juga dipakai untuk memelihara relaksasi
otot dengan cara pemberian kontinyu per infuse atau suntikan intermitten.2
Dosis : 1-2 mg / kg BB / IV

Mula kerja: 1-2 menit dengan lama 3-5 menit.


Cara pemberian : IV / IM / Intra lingual / Intra bukal
Efek samping
1. Nyeri otot pasca pemberian :
Dapat dikurangi dengan pemberian pelumpuh otot non depolarisasi
dosis kecil sebelumnya. Mialgia terjadi sampai 90%, selain itu
dapat terjadi mioglobunnuira.
1. Peningkatan tekanan intra ocular :
Meningkatkan TIO maksimum 2 — 4 menit setelah pemberian dan
akan berlangsung selama 5 — 10 menit mekanismenya blm jelas tetapi
diperkirakan karena kontraksi tonik miofibril atau dilatasi transien pemda

8
koroid

2. Peningkatan tekanan intracranial.


3. Peningkatan intragastrik.
4. Peningkatan kadar kalium plasma.
5. Aritmia jantung
Berupa bradikardia atau "ventricular premature beat" terutama
pada pemberian berulang atau terlalu cepat pada anak.
7. Lama kerja yang memanjang.
Terutama pada penyakit hati parenkimal, kaheksia dan anemia
(hipoproteinemia).

Untuk mengurangi fasikulasi dan nyeri otot sering diberi dulu dengan
1
obat pelumpuh otot non depolarisasi /4 dosis relaksasi otot, misalnya
pankuronium 1mg. Untuk pemakaian kontinyu per infuse, buat larutan dengan
konsentrasi 1 mg/ml (250mg dalam 250ml larutan). Dosis pemeliharaan
relaksasi otot adalah 1-2ml / menit. 2

Di dalam vena, suksinilkolin dimetabolisir oleh kolin—esterase plasma,


pseudo kolin esterase menjadi suksinil-monokolin. Succinylcholine mengalami
hidrolisis secara cepat oleh plasma cholinesterase menjadi succinylmonocholine,
yang mempunyai efek blok sangat lemah ( + 1/20 efek succicylcholine ) dan
selanjutnya dalam waktu yang lebih lama menjadi asam suksinil dan kolin, waktu
paruhnya sekitar 2-4 menit. Obat anti kolinesterase dikontraindikasikan, karena
menghambat kerja pseudokolinesterase.2
Yang perlu dicatat adalah peningkatan ataupun penurunan aktifitas dari
plasma cholinesterase tidak mempengaruhi mula kerja dan lama kerja dari
obat ini secara bermakna. Sering kali timbul anggapan bahwa metabolisme
dari obat inilah yang mengakhiri efek blok otot skeletal, pada kenyataannya
tidaklah demikian. Metabolisme yang terjadi di plasma hanya menentukan
jumlah obat yang dapat mencapai tempat kerja, dan di tempat kerjanya obat ini
akan menimbulkan blok yang akan terus berlangsung sampai obat tersebut

9
kembali keluar dari tempat kerjanya.5.
Kontra indikasi absolut :
1. Hiperkalemia, > 5.5 meq/L, misal pada gagal ginjal.
2. Kelainan otot: malignant hyperthermia, myastenia gravis, muscular
distrophy
1. Trauma otot masive
2. Luka bakar, 7-60 hari
3. Luka tusuk orbita, karena meningkatkan tekanan intraokuler
4. Gangguan neurology: paraplegia, neurodegenerative disease. 5)

B. PELUMPUH OTOT NON DEPOLARISASI


Manfaat obat ini di bidang anestesiologi antara lain untuk : 2.
1. Memudahkan dan mengurangi cidera tindakan laringoskopi dan
intubasi trakea.
2. Membuat relaksasi tindakan selama pembedahan.
3. Menghilangkan spasme laring dan reflex jalan napas atas
selama anesthesia.
4. Memudahkan pernapasan kendali selama anesthesia.
5. Mencegah terjadinya fasikulasi otot karena obat pelumpuh otot
depolarisasi.
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. 1.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi:

1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,


doksakurium, mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.

10
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi
menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek:
Dosis Awal Dosis Rumatan Durasi Efek Samping
(mg/kg) (mg/kg) (menit)
Non Depol Long Acting
1. D-tubokurarin 0.40 – 0.60 0.10 30 – 60 Hipotensi
2. Pankuronium 0.08 – 0.12 0.15 – 0.20 30 – 60 Vagolitik,takikardi
3. Metakurin 0.20 - 0.40 0.05 40 – 60 Hipotensi
4. Pipekuronium 0.05 – 0.12 0.01 – 0.015 40 – 60 Kardiovaskuler stabil
5. Doksakurium 0.02 – 0.08 0.005 – 0.010 45 – 60 Kardiovaskuler stabil
6. Alkurium 0.15 – 0.30 0.05 40 – 60 Vagolitik, takikardi
Non depol Intermediate
1. Gallamin 4–6 0.5 30 – 60 Hipotensi
2. Atrakurium 0.5 – 0.6 0.1 20 – 45 Aman untuk hepar
3. Vekuronium 0.1 – 0.2 0.015 – 0.02 25 – 45
4. Rokuronium 0.6 – 0.1 0.10 – 0.15 30 – 60
5. Cistacuronium 0.15 – 0.20 0.02 30 – 45
Non Depol Short Acting
1. Mivakurium 0.20 – 0.25 0.05 10 – 15
2. Ropacuronium 1.5 – 2.0 0.3 – 0.5 15 – 30
Depol Short Acting
1 3 – 10
1. Suksinilkolin

2.6 MEKANISME HAMBATAN (BLOK) SARAF OTOT


1. Hambatan kompetisi atau blok non depolarisasi
Hambatan gabungan asetilkolin dengan reseptor di membrane ujung
motor, ini terjadi karena pemberian tubokurarin, galamin, alkuronium, dan
sebagainya. Karena reseptor asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul obat
pelumpuh otot non depolarisasi, sehingga proses depolarisasi membran otot tidak
terjadi dan otot menjadi lumpuh. Pemulihan fungsi saraf otot terjadi kembali

11
jika jumlah molekul obat yang menduduki reseptor asetilkolin telah berkurang,
antara lain terjadi karena proses eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan juga
dapat dibantu lebih cepat dengan memberikan obat antikolinesterase
(neostigmin) yang menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.2.
2. Hambatan depolarisasi atau blok depolarisasi

3. Hambatan lain

a. Hambatan fase II atau blok desensitisasi / bifasik (blok ganda)


Disebabkan karena pemberian obat pelumpuh otot depolarisasi
yang berulang-ulang sehingga fase I (depolarisasi) membrane berubah
menjadi fase II (non depolarisasi). Mekanisme perubahan ini belum
diketahui.
Pemberian suksinil kolin hingga dosis 500mg dikatakan dapat
menyebabkan hambatan fase II. Hambatan seperti ini tidak dapat diatasi
oleh pemberian obat anti kolinesterase.
b. Hambatan campuran
Terjadi karena penyuntikan obat pelumpuh otot depolarisasi dan
non depolarisasi dilakukan secara simultan.2.

CIRI KELUMPUHAN OTOT


1. Non Depolarisasi

a. Tidak ada fasikulasi otot.


b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik
inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik.
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

2.7 Tubokurarin Klorida (Kurarin)

Merupakan alkaloid kuartener, suatu derivat isoquinolin yang berasal dari


tanaman tropis Chondronderon tomentosum.2.

12
Pada dosis terapeutik menyebabkan kelumpuhan otot mulai dengan
ptosis, diplopia, otot muka, rahang, leher, dan ekstremitas. Paralisis otot dinding
abdomen dan diafragma terjadi palig akhir. Lama paralisis bervariasi antara 15-
50 menit
Sifat :
- Blokade ganglion simpatis, dilatasi kapiler, inotropik negatif. Terjadi
kumulatif.6
Kontra indikasi :
- Asma bronchial
- Renal disfungsi
- Myastenia gravis
- Diabetes melitus
- Hipotensi
Dosis : paralisis otot intraaabdominal : 10-15mg
intubasi trakea : 10-20mg.
Cara pemberian : IV/ IM
Efek samping : hipotensi dan bradikardia
Reaksi samping utama:
1. Kardiovaskuler: Hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi
sinus.
2. Pulmoner: Hipoventilasi, apneu, bronkospasme, laringospasme, dispneu.
3. Muskuloskelet: apabila tidak adekuat, akan menyebabkan blok lama.
4. Dermatologik: Ruam, urtikaria.7
Ekskresi : ginjal, kadang-kadang hepar.

2.8 Doksakurium

Obat penyekat neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama. Bersifat


mengantagonis aksi asetilkolin, sehingga menimbulkan blok dari transmisi
neuromuskuler. Doksakurium 2,5 hingga 3 kali lebih poten daripada
pankuronium. Obat ini tidak mempunyai efek hemodinamik yang secara klinis

13
bermakna.
Oleh anestetik volatil kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30%-40%)
dan lamanya blokade neuromuskular diperpanjang (hingga 25%). Paralisis
rekurens dengan kuinidin. Diantagonis oleh inhibitor antikolinesterase
(neostigmin, edrofonium, dan piridostigmin).7
Peningkatan tahanan atau reverse dari efek dengan penggunaan
karbamazepin dan fenitoin dan pada pasien dengan cedera bakar dan paresis,
tidak kompatibel dengan larutan basa dengan PH>8,5, seperti larutan barbiturat.
Dosis Intubasi: 0.05 – 0.08 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :
- Kardiovaskuler: Hipotensi, kemerah-merahan, fibrilasi ventrikel,
infark miokard.
- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme.
- SSP : Depresi.

- Anuria
- Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
- Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan blok yang
diperpanjang.7.

2.9 Pipekuronium
Obat penyekat neuromuskular nondepolarisasi beraksi panjang ini
merupakan turunan piperzinum. Waktu awitan dan lamanya serupa dengan
pankuronium bromida dengan dosis yang sebanding. Secara klinis tidak
mempunyai efek hemodinamik yang bermakna. Jarang terjadi pelepasan
histamin. 7
Dosis intubasi : 0,07-0,085 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :
- Kardiovaskuler : Hipotensi, hipertensi, bradikardi, infark miokard.
- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu.
- SSP : Depresi.

14
- Anuria
- Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
- Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan blok yang
diperpanjang.
- Metabolik : Hipoglikemia, Hiperkalemia, Peningkatan kreatinin.

Potensinya meningkat dan durasi memendek pada bayi dibanding pada


anak dan dewasa. 7

2.10 Pankuronium Bromida (Pavulon)

Merupakan steroid sintesis adalah obat pelumpuh otot non depolarisasi


yang paling banyak dipakai di Indonesia.

Mula kerja terjadi pada menit 2-3 untuk selama 30-40menit. Berikatan
kuat dengan globulin plasma dan berikatan sedang dengan albumin.
Mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, karena itu dosis
pemeliharaan/rumatan harus dikurangi dan waktu pemberian harus
diperpanjang.2
Pankuronium menyebabkan sedikit pelepasan histamine dan hipertensi
karena memiliki efek inotropik positif serta takikardia karena efek vagolitik.
Sebanyak 15-40% pankuronium dalam tubuh mengalami metabolisme
deasetilasi. 2.

Ekskresi : ginjal (60-80%) dan sebagian lagi empedu (20-40%)

15
Dosis : relaksasi otot : 0,08mg / kg BB/ IV (dewasa)

rumatan : 1/2 dosis awal.

intubasi trakea : 0,15mg /kg BB/ IV


Kontra indikasi :
- Hipertensi

- Kelainan otot : malignant hyperthermia


- Miastenia gravis
- Muscular distrophy.
Reaksi samping utama :
- Kardiovaskular : Takikardia, hipertensi
- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme.

- Alergik : kemerahan, syok anafilaktik 7

2.11 Galamin (flaxedil)


Obat pelumpuh otot non depolarisasi sintetik. Lama kerja obat Berkisar
15-20 menit. Mula kerja sangat berhubungan dengan aliran darah otot.
Mempunyai efek yang lemah pada ganglion saraf dan tidak menyebabkan
pelepasan histamine. Memiliki sifat seperti atropine yaitu menyebabkan
takikardia walaupun pada dosis kecil (20mg). Karena itu galamin cukup
baik dipakai bersama anestetik halotan. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi,
tetapi ringan. Galamin dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi tidak sampai
mempengaruhi kontraksi uterus. 2.
Ekskresi : ginjal dan sebagian kecil empedu.
Penggunaan klinik :

a. Memudahkan intubasi trakea. Dosis : 80-100mg IV ditunggu selama


2-3menit.
a. Relaksasi pembedahan. Dosis : 2mg / kg BB / IV. Pada dosis sebesar
40mg jarang sampai menimbulkan paralisis diafragma dan pasien
dapat tetap bernapas spontan walaupun sebagian otot rangka

16
mengalami kelumpuhan. Teknik seperti ini sering dipakai untuk
prosedur ginekologik.
c. Sebagai profilaksis bradikardia selama anesthesia umum, misalnya
pada pembedahan bola mata. 2.
Kontra indikasi :
a. Pasien dengan takikardia
b. Fungsi ginjal yang buruk atau ancaman gagal ginjal. 2.
Reaksi samping utama :
1. Kardiovaskuler : Takikardi, Aritmia, Hipotensi
2. Pulmoner : Hipoventilasi, Apneu
3. Muskuloskelet : Blok tidak adekuat, blok yang diperpanjang.7

2.12 Alkuronium Klorida (alloferine)


Merupakan sintetik toksiferin, suatu alkaloid dari tanaman Strychnos
toksifera.
Kemasan : ampul 2ml yang mengandung 10mg Alkuronium klorida.
Larutan tidak dapat dicampur thiopental.
Mula kerja terjadi pada menit ke 3 untuk selama 15-20menit. Tidak
bersifat pelepas histamine jaringan, tetapi dapat menghambat ganglion simpatik
sehingga dapat menyebabkan hipotensi terutama pada pasien dengan penyakit
jantung. Dapat berpotesiensi ringan dengan N20-tiopental-narkotik. 2.
Dosis relaksasi pembedahan : 0,15mg / kg BB / IV dewasa
0,125-0,2 mg / kg BB / IV anak-anak.
Dosis intubasi trakea : 0,3 mg/ kg BB / IV
Ekskresi : ginjal (70%) dalam bentuk utuh dan sebagian kecil melalui empedu.

2.13 Atrakurium Besilat (tracrium)

17
Atracurium adalah kelompok kuartener' struktur benzylisoquinoline
membuat cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan
gabungan dari 10 stereoisomer. 7

Metabolisme dan Ekskresi


Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga faramkokinetiknya
tidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar 10% dari obat ini diekskresi
tanpa dimetabolisme melalui ginjal dan empedu. Dua proses terpisah berperan
dalam metabolisme. Pertama' hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase
nonspesifik' bukan oleh asetilkolinesterase atau pseudokolinesterase. Kedua '
melalui eliminasi Hoffmann di mana penghancuran kimia nonenzimatik spontan
terjadi pada pH dan suhu fisiologis.7

Dosis
Dosis 0.5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 — 60 detik
untuk intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0.25 mg/kgBB'
kemudian dosis inkremental 0'.1 mg/kgBB setiap 10-20 menit. Infus 5-10
µg/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten secara efektif. Kebutuhan dosis
tidak bervariasi sesuai usia' namun atracurium dapat bekerja lebih singkat pada
anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa.
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL' yag sebaiknya disimpan
pada suhu 2-8°C karena potensinya akan berkurang 5 — 10% tiap bulan bila
terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus digunakan dalam waktu

18
14 hari untuk menjaga potensi.

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis


Atracurium dapat mencetuskan pelepasan histamin yang bergantung pada
dosis terutama pada dosis di atas 0.5 mg/kgBB.
Hipotensi dan Takikardia
Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi 0.5
mg/kg diberikan. Atracurium juga dapat menimbulkan penurunan transien
resistensi vaskuler sistemik dan peningkatan indeks kardiak yang tidak
terpengaruh oleh pelepasan histamin. Injeksi lambat meminimalkan efek ini.

Keunggulan atrakurium dibanding obat terdahulu :

a. Metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui


suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hoffman. Reaksi
ini tidak tergantung dari fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan kardiobaskuler yang bermakna.2.
Kemasan : ampul 5ml mengandung 50mg atrakurium besilat.
Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan pada suhu dingin dan
perlindungan terhadap penyinaran. Mula dan lama kerja atrakurium bergantung
pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mula kerja atrakurium pada dosis
intubasi adalah 2-3menit. Sedangkan lama kerja dengan dosis relaksasi adalah 15-
35menit.
Dosis : intubasi : 0,5-0,6mg / kg BB/ IV
relaksasi otot : 0,5-0,6 mg / kg BB / IV
pemeliharaan : 0,1-0,2 mg / kg BB / IV
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama
kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian anti kolinesterase.
Atrakurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi terpilih untuk
pasien geriatric atau dengan kelainan jantung, hati, dan ginjal yang berat.

Reaksi samping utama:

19
1. Kardiovaskuler: Hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi
sinus.
2. Pulmoner: Hipoventilasi, apneu, bronkospasme, laringospasme,
dispneu.
3. Muskuloskelet: apabila tidak adekuat, akan menyebabkan blok
lama.
4. Dermatologik: Ruam, urtikaria.

2.14 Vekuronium (nocuron)

Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener


(pelumpuh otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek
samping menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi. 2
Metabolisme dan Ekskresi
Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini
sangat bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal.
Vecuronium adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal '
durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja
vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang lebih
pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium. Pemberian
vecuronium jangka panjang pada pasien yang dirawat dalam perawatan intensif
menyebabkan perpanjangan blokade (sampai beberapa hari)' yang mungkin
disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi ' perubahan klirens obat'
atau perkembangan dari polineuropati. Faktor risikonya antara lain jenis

20
kelamin wanita' gagal ginjal' terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis
tinggi' dan sepsis. Oleh karena itu' pasienpasien ini harus dimonitor dengan ketat
dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian pelumpuh otot
jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor
nikotinik postsinaptik yang lama' dapat menimbulkan keadaan yang mirip
denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium
memanjang pada pasien dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot
nondepolarisasi juga dapat terjadi setelah pemakaian lama. 2,4
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya
adalah 0.08 — 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0.04 mg/kg diikuti dengan dosis
tambahan 0.01 mg/kg setiap 15 — 20 menit membantu relaksasi intraoperatif.
Sebagai alternatif' infus 1 — 2 µg/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi
yang baik. 2
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial' meskipun dosis
tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap
vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan
tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang (ditemukan
juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari sensitivitas ini
mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa lemak dan otot ' ikatan
protein' volume distribusi atau aktivitas metabolic. 2

2.15 Mivacurium
Mivacurium' seperti suksinilkolin' dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh kolinesterase
asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang pada pasien dengan
kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen pseudokolinesterase.
Kenyataannya' pasien yang heterozigot untuk gen atipikal akan mengalami blok 2
kali lebih lama dari durasi normal' di mana homozigot atipikal akan tetap
terparalisis selama berjamjam. Homozigot atipikal tidak dapat memetabolisme
mivacurium sehingga blokade saraf-otot dapat berlangsung selama 3 — 4 jam.
Antagonisme farmakologis dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat

21
pembalikan blokade mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf
menjadi nyata. Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif
dibanding neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase
plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung pada
ginjal atau hati' durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan gagal ginjal
atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat dari kadar
kolinesterase plasma yang menurun.4
Dosis intubasi mivacurium adalah 0.15 — 0.2 mg/kg. Infus menetap untuk
relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase tapi dapat
diinisiasi 4 — 10µg/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih
tinggi dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat badan'
namun tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh. Mivacurium
dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu ruangan.2,4

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis


Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak dengan
atracurium. Efek samping kardiovaskuler dapat diminimalkan dengan injeksi
lambat selama 1 menit. Namun ' pasien dengan penyakit jantung dapat
mengalami penurunan tekanan darah signifikan yang meskipun jarang dapat
terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 0.15 mg/kg dengan suntikan
lambat. Waktu onset mivacurium sama dengan atracurium (2-3 menit).
Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang singkat (20 — 30 menit)'
yang masih 2 hingga 3 kali lebih lama dibanding blok fase I suksinilkolin'
namun setengah dari durasi atracurium' vecuronium' atau rocuronium. Pada
anak-anak onset lebih cepat dan durasi kerja lebih singkat. Meskipun
pemulihannya cepat' dalam pemberian mivacurium semua pasien harus
dimonitor untuk menentukan apakah pembalikan farmakologis diperlukan.
Durasi kerja mivacurium yang pendek cukup nyata memanjang dengan
pemberian pancuronium.2,4

22
2.16 PILIHAN PELUMPUH OTOT
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset
kerja' durasi kerja' dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat
karena kerja obat pada tempat lain selain NM,. Efek samping yang tidak
diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan histamin yang
dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi benzylisoquinolinium.
Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan oleh
suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat
saat intubasi trakea merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot.
Rocuronium adalah satu-satunya obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang
onset kerjanya singkat menyerupai suksinilkolin' tapi dengan durasi kerja
yang lebih panjang. Jika diperlukan blokade saraf- otot yang dipertahankan
dalam periode tertentu maka obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah obat
pilihan untuk dosis intermiten atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan
onset cepat blokade saraf-otot' relaksasi otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat
dipilih obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dapat menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang
signifikan akibat pelepasan yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila
terdapat keadaan seperti hipovolemia' penyakit arteri koroner' atau penyakit
katup jantung. Sebaliknya' bradikardi yang dicetuskan oleh anestetik opioid
yang ditutupi sampai batas tertentu oleh efek peningkatan denyut jantung oleh
pancuronium dan tidak dapat ditutupi oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi
yang tidak memiliki efek sirkulasi (vecuronium' rocuronium' cisatracurium'
doxacurium' pipecuronium). 2,4,7
Secara umum,pemilihan obat pelumpuh otot berdasarkan hal berikut:
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium

2. Gangguan faal hati : atrakurium

3. Miastenia gravis: dosis 1/10 atrakurium

4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium

5. Kasus obstetric : semua dapat digunakan kecuali galamin.

23
2.17 TANDA-TANDA KEKURANGAN PELUMPUH OTOT
1. Cegukan (hiccup)

2. Dinding perut kaku.

3. Ada tahanan pada inflasi paru. 7

2.18 PENAWAR PELUMPUH OTOT


Anti kolinesterase yang dapat mencegah hidrolisis dan menimbulkan
akumulasi asetilkolin. Obat ini mengalami metabolisme terutama oleh
kolinesterase serum.
Dosis : 0,5mg bertahap sampai 5mg.
Bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia,
kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur. Sehingga
pemberiannya harus disertai dengan obat vagolitik seperti atropine dosis 1-
1,5mg. 1
Ekskresi terutama di ginjal.

24
BAB III
KESIMPULAN

Walaupun obat-obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestetik,


tetapi penggunaannya dalam klinik sangat membantu pelaksanaan tindakan
anestesia dan pembedahan. Karena masing-masing obat mempunyai efek
farmakologik yang tidak sama maka setiap penggunaan obat pelumpuh otot
harus dibekali pengetahuan yang memadai terutama keterampilan meniali residu
pelumpuh otot pasca bedah.

Obat pelumpuh otot sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua
golongan besar berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu golongan depolarisasi
dan non-depolarisasi. Masingmasing golongan mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing karena berbedanya cara kerja dan juga cara
perlakuannya oleh tubuh.
Dapat juga ditambahkan disini bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi farmakokinetik obat, khususnya obat pelumpuh otot yang
umumnya diberikan secara intravena, antara lain adalah fungsi ginjal, fungsi hati
dan sistem bilier, umur, hipotermia, pemakaian obat anestesi umum dan besarnya
dosis awal yang diberikan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Pelumpuh Otot. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 3: 66-70
2. Rachmat L, Sunatrio S. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; Jakarta; 2004; 15: 81-86
3. Harsono, Wibowo A, Santy A, Caesar GE, Kurnia R, Udayaningtyas U.
Obat pelumpuh neuromuskular. Jakarta; 2007
4. Bevan DR, Donati F. Muscle relaxants and clinical monitoring. A
Practice of Anaeshtesia. London; 1994; 147-71
5. Calvey TN, Williams NE. Principles and practice of pharmacology for
anaesthetists. London; Blackwell Scientific Publications; 1982; 159-84
6. Lunn JN. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah
Anestesi Edisi 4. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004; 4: 86-
93
7. Setio M. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. Edisi 2 Jakarta; Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2004

26

Anda mungkin juga menyukai