Anda di halaman 1dari 92

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apotek memegang peranan penting terkait dalam usaha pelayanan kesehatan

di bidang obat, dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian dan pendistribusian

perbekalan farmasi kepada masyarakat secara merata. Pekerjaan kefarmasian yang

dimaksud, tertuang dalam PP Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

yaitu pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengadaan,

penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan

obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan

obat dan bahan tradisional.

Menurut PerMenKes Nomor 35 tahun 2014, apotek adalah sarana pelayanan

kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah

sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah

berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan

kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Apoteker di apotek harus senantiasa hadir

dan siap untuk melakukan tugas profesionalnya sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.

Peranan apoteker sebagai pengelola dan penanggung jawab apotek sangatlah besar

karena apotek menjalankan fungsi ganda, yaitu fungsi sosial yakni dengan ikut serta

dalam usaha peningkatan kualitas hidup masyarakat secara luas dengan cara

menyediakan obat dan perbekalan farmasi lainnya yang dibutuhkan masyarakat

1
dengan mengukur daya jangkau masyarakat serta menjalankan fungsi ekonomi karena

merupakan badan usaha yang harus dapat memberikan keuntungan (Depkes, 2014).

Tanggung jawab apoteker menurut KepMenKes Nomor 1027 tahun 2004 dalam

pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien

yang mengacu pada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang

semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan

yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk

meningkatkan kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agar dapat

melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain

adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat dan

mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik.

Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan obat

(medication error) dalam proses pelayanan (Depkes, 2004).

Menyadari pentingnya peran dan tanggung jawab dari seorang apoteker

tersebut, maka seorang apoteker harus memiliki bekal ilmu pengetahuan dan

ketrampilan yang cukup dibidang kefarmasian, baik dari teori maupun prakteknya.

Oleh karena itu, Program Studi Profesi Apoteker Universitas Wahid Hasyim

Semarang bekerjasama dengan beberapa apotek di kota Semarang dan kota-kota

lainnya di Jawa Tengah menyelenggarakan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker

(PKPA) bagi seluruh mahasiswa tingkat profesi, yang merupakan perwujudan kerja

2
nyata dari program pendidikan profesi. Salah satu lahan PKPA adalah diberbagai

Apotek Kimia Farma di kota Semarang. Tujuan dari kegiatan PKPA di apotek adalah

untuk mempersiapkan apoteker masa depan yang handal dan kompeten di bidangnya,

sehingga nantinya dapat berperan aktif dalam lingkungan masyarakat.

B. Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)

Tujuan dilaksanakan PKPA di apotek adalah sebagai berikut:

1. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan, ketrampilan,

dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek.

2. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi dan

tanggung jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek.

3. Mempelajari tata cara pengelolaan dan pelayanan apotek yang baik melalui

kegiatan pengamatan langsung yang dilakukan selama PKPA di apotek.

4. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga

farmasi yang profesional.

C. Manfaat Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)

Manfaat pelaksanaan PKPA di apotek bagi mahasiswa sebagai calon apoteker

adalah sebagai berikut :

1. Mendapatkan ketrampilan dan pengalaman praktis mengenai pekerjaan

kefarmasian di apotek.

3
2. Mengetahui, memahami tugas, dan tanggung jawab apoteker dalam mengelola

apotek.

3. Mendapatkan pengetahuan manajemen praktis di apotek.

4. Meningkatkan rasa percaya diri untuk menjadi apoteker yang profesional.

4
BAB II

TINJAUAN UMUM APOTEK

A. Aspek Legalitas Apotek dan Organisasi

1. Aspek Legalitas Apoteker

Menurut Permenkes Nomor 35 tahun 2014, apotek adalah sarana pelayanan

kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Apoteker

adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan

sumpah jabatan apoteker (Depkes, 2014). Menurut Permenkes Nomor 9 tahun

2012, menjelaskan tentang registrasi, izin praktik, dan izin kerja tenaga

kefarmasiaan, sebagai berikut:

a. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah

buktitertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah

diregistrasi.

b. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat

izinyang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan

praktikkefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.

c. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin

praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan

kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran.

d. Komite Farmasi Nasional, yang selanjutnya disingkat KFN adalah lembaga

yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk meningkatkan

5
mutu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan pekerjaan

kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.

e. Langkah-langkah untuk Memperoleh STRA,

1) Apoteker mengajukan permohonan kepada KFNdengan melampirkan

a) fotokopi ijazah Apoteker;

b) fotokopi surat sumpah/janji Apoteker;

c) fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku;

d) surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat

izin praktik;

e) surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika

profesi; dan

f) pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan

ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

2) Permohonan STRA dapat diajukan dengan menggunakan teknologi

informatika atau secara online melalui website KFN.KFN harus

menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak

suratpermohonan diterima dan dinyatakan lengkap.

f. Langkah-langkah untuk memperoleh SIPA atau SIKA,

1) Apoteker mengajukan permohonan kepadaKepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan.

2) Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:

a) fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN.

6
b) surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat

keterangan.

c) dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan

fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran.

d) surat rekomendasi dari organisasi profesi.

e) pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4

sebanyak 2 (dua) lembar.

3) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping

harus dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan

kefarmasianpertama, kedua, atau ketiga.

4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau

SIKApaling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan

diterima dan dinyatakan lengkap (Depkes, 2011).

2. Tata Cara Perizinan Pendirian Apotek

Menurut KepMenKes Nomor 1332 tahun 2002 tentang Surat Ijin Apotek

adalah surat ijin yang diberikan oleh menteri kepada apoteker atau apoteker yang

bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek di suatu

tempat tertentu.

Menteri melimpahkan wewenang pemberian ijin apotek kepada Kepala

Dinas Kabupaten atau Kota. Ijin apotek berlaku untuk seterusnya selama apotek

7
yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan dan APA dapat melaksanakan

pekerjaannya dan masih memenuhi persyaratannya.

Berdasarkan Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek pada pasal 7

dan pasal 9, menyebutkan bahwa tata cara pemberian ijin apotek adalah sebagai

berikut:

a. Permohonan Izin Apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten atau Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT1;

b. Dengan menggunakan Formulir APT-2, Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten atau Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah

menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai

POM untuk melakukan perneriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk

melakukan kegiatan;

c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota atau Kepala Balai POM

selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis

dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota melaporkan hasil

pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir APT-3;

d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3)

tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap

melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota

setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan

menggunakan contoh Formulir Model APT-4;

8
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan

hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3), atau pernyataan dimaksud

ayat (4), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota setempat

mengeluarkan Surat Izin Apotek dengan menggunakan contoh Formulir

Model APT- 5;

f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota

atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota setempat dalam waktu 12 (dua

belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh

Formulir Model APT-6;

g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6),

apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum

dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal

Surat Penundaan.

h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi

persyaratan APA atau persyaratan apotek atau lokasi apotek yang tidak sesuai

dengan permohonan, maka Kepala Dinkes Kabupaten atau Kota setempat

dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan

Surat Penolakan disertai alasan-alasannya (Form Apt-7)

(Depkes, 2002).

9
Gambar 1. Alur Permohonan Surat Izin Apotek

Setelah apotek berdiri, perlu diperhatikan segala peraturan perundang-

undangan tentang pekerjaan kefarmasian, antara lain seorang apoteker harus

berada di apotek selama apotek beroperasi. Apabila apoteker berhalangan hadir

ada kebijakan pemerintah yang mengatur pengalihan tanggung jawab pengelolaan

apotek kepada Apoteker Pendamping (Depkes, 2014c).

Pengalihan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek diatur dalam

KepMenKes Nomor 1332 tahun 2002 pasal 19 yang berisi:

a. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA

harus menunjuk Apoteker Pendamping.

10
b. Apabila APA dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan

melakukan tugasnya, APA menunjuk Apoteker Pengganti.

c. Penunjukan dimaksud dalam ayat 1 dan 2 harus dilaporkan kepada kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Dinas

Kesehatan Propinsi setempat.

d. Apoteker dan Apoteker Pendamping wajib memenuhi persyaratan yang

dimaksud pasal 5.

e. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus

menerus, SIA atas nama apotek bersangkutan akan dicabut.

Surat Ijin Apotek (SIA) dapat dicabut oleh Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten atau Kota apabila:

a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai APA.

b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban menyediakan, menyimpan, dan

menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan menjamin

keabsahannya.

c. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus-

menerus.

d. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan; pasal

31 Pelanggaran terhadap UU Obat Keras No. St 1937 No. 5419, UU No. 23

tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika,

11
UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, serta ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

e. Surat Ijin Kerja APA dicabut, atau

f. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-

undangan di bidang obat dan atau apotek tidak lagi memenuhi persyaratan

apotek (Depkes, 2002).

3. Studi Kelayakan

Studi kelayakan merupakan suatu kajian dalam perencanaan yang

dilakukan secara menyeluruh mengenai suatu usaha dalam mengambil keputusan

yang mengandung resiko yang belum jelas. Studi kelayakan pendirian apotek

hanya berfungsi sebagai landasan pelaksanaan pekerjaan karena dibuat

berdasarkan data-data dari berbagai sumber yang dianalisis dari sudut pandang

beberapa aspek. Tingkat keberhasilan dari studi kelayakan apotek tergantung dua

aspek penting, yakni kemampuan sumber daya internal (meliputi: kecakapan

manajemen, kualitas pelayanan, produk yang dijual serta kualitas karyawan) dan

lingkungan eksternal yang tidak dapat dipastikan meliputi: persaingan pasar,

pertumbuhan pemasok serta perubahan peraturan.

Proses pembuatan studi kelayakan, meliputi:

a. Penemuan Gagasan

Gagasan adalah sebuah pemikiran terhadap sesuatu hal yang ingin

sekali dilaksanakan. Kriteria yang harus dipenuhi sebelum sebuah gagasan

12
dilaksanakan, diantaranya sesuai dengan visi organisasi yang telah ditentukan,

menguntungkan, aman untuk jangka panjang, sesuai dengan kemampuan

sumber daya yang dimiliki dan tidak bertentangan dengan peraturan yang

berlaku.

b. Penelitian Lapangan

Gagasan yang telah disepakati bersama, kemudian

ditindaklanjutidengan penelitian di lapangan. Data yang diperlukan selama

penelitian lapangan, meliputi:

a) Data ilmiah

Data mengenai kondisi eksternal disekitar lokasi, seperti nilai strategis dari

lokasi, data kelas konsumen dan tingkat persaingan saat ini.

b) Data non ilmiah

Melalui intuisi yang diperoleh setelah melihat situasi.

c. Evaluasi

Evaluasi dilakukan setelah mendapatkan data hasil dari penelitian

lapangan dengan mempertimbangkan external factor (seperti: data di

lingkungan sekitar lokasi) serta internal factor (seperti: kemampuan sumber

daya yang dimiliki).

d. Perencanaan

Penetapan waktu untuk memulai pekerjaan dilakukan setelah usulan

proyek disetujui. Adapun skala prioritas dari tahap perencanaan, diantaranya

13
menyediakan dana investasi, mengurus izin, membangun gedung, menyiapkan

barang dagangan kemudian memulai opersional.

e. Pelaksanaan

Dalam tiap pelaksanaan jenis pekerjaan, maka hendaklah dibuat suatu

format yang berisi tentang jadwal pelaksaan tiap kegiatan, mencatat tiap

masalah atau penyimpangan yang terjadi dan membuat evaluasi serta solusi

penyelesaian (Umar, 2005).

4. Struktur Organisasi Apotek

Struktur organisasi merupakan bagan yang menggambarkan tentang

kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan di antara masing-masing

fungsi, bagian, kedudukan, tugas, dan tanggung jawab yang berbeda dalam setiap

anggota organisasi. Pengelolaan sebuah apotek dapat berjalan dengan baik jika

didukung dengan sebuah organisasi yang solid dengan adanya wewenang dan

tanggung jawab yang jelas, saling mengisi, dan pembagian kerja yang

jelas(Hartini dan Sulasmono, 2006). Struktur organisasi apotek secara umum

digambarkan sebagai berikut :

14
Apoteker Pengelola Apotek (APA)

Apoteker Pendamping

Tata Usaha Tenaga Teknis Kefarmasian Petugas Gudang Bendahara

Karyawan Pembantu Juru Resep Kasir

Gambar 2. Struktur Organisasi Apotek

B. Aspek Bisnis

1. Permodalan

Pendirian apotek membutuhkan modal untuk membiayai segala kegiatan

operasional yang akan dijalankan.Modal dapat berasal dari perseorangan atau

pribadi, gabungan saham atau kerjasama dengan pihak lain, atau pinjaman.

Pinjaman dapat dibedakan menjadi pinjaman untuk investasi dan pinjaman untuk

modal kerja. Sedangkan pembayaran pinjaman dapat berbentuk flat atau menurun.

Modal terbagi menjadi dua yaitu :

a. Modal tetap

Modal tetap merupakan dana yang digunakan untuk membiayai semua

pengadaan kebutuhan apotek baik fisik maupun non fisik sebagai aset

apotekbaik yang mengalami penyusutan maupun tidak, misalkan tanah,

bangunan, dan inventaris apotek.

b. Modal operasional

15
Modal operasional digunakan untukpengadaan barang, upah pegawai, listrik,

air, dan lainnya (Anief, 2001a).

2. Perhitungan Break Event Point

Pengelolaan apotek seringkali dilibatkan pada keputusan yang melibatkan

prediksi titik impas, dimana terjadi keseimbangan antara hasil penjualan (total

revenue) atau laba yang diperoleh dengan biaya total atau dengan kata lain

menunjukkan suatu keadaan usaha yang tidak mengalami keuntungan ataupun

kerugian.

Break Event Point (BEP) adalah suatu teknik analisa yang menunjukkan

suatu keadaan usaha tidak mengalami keuntungan ataupun kerugian. Apotek

dikatakan BEP apabila jumlah biaya dan jumlah hasil penjualan dalam usahanya

adalah sama pada suatu periode.

Fungsi analisa break even point antara lain :

a. Digunakan untuk perencanaan laba (profit planning).

b. Sebagai alat pengendalian (controlling).

c. Sebagai alat pertimbangan dalam menentukan harga jual.

d. Sebagai alat pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Break Event Point berkaitan erat dengan biaya, harga jual, tingkat produksi

atau penjualan, dan laba atau rugi. Secara garis besar, biaya dapat dibagi menjadi

biaya tetap dan biaya variable yang dirumuskan sebagai berikut :

1
BEP= x FC
1−VC/TR

16
Ket : BEP : Break Event Point

FC : Fixed Cost (biaya tetap)

VC : Variable Cost (biaya variabel)

TR : Total Revenue (pendapatan total)

(Anief, 2001b)

3. Strategi Pengembangan Apotek

Pengembangan apotek ini bertujuan untuk mengatasi persaingan yang

semakin kompetitif dengan banyaknya apotek baru yang bermunculan.Semakin

banyaknya apotek menyebabkan pasien mulai membandingkan apotek satu

dengan apotek lain, sehingga peningkatan mutu pelayanan suatu apotek sangat

perlu diusahakan terus-menerus untuk mempertahankan eksistensinya.

Cara menentukan strategi pengembangan apotek salah satunya

menggunakan metode analisa SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, and

Threat) yang memiliki arti kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam

mengembangkan apotek.Pengembangan usaha yang dapat dilakukan di apotek

antara lain :

a. Membuka ruang praktek dokter umum maupun spesialis

b. Menyediakan makanan bayi dan alat-alat keperluan bayi

c. Menyediakan alat-alat laboratorium dan alat-alat kedokteran

d. Menyediakan produk-produk kosmetika, optik, dan alat bantu dengar

17
e. Melakukan kerjasama dengan instansi, kantor, supermarket, atau

perusahaan yang ada di kota setempat (Hanafi, 2004).

4. Perpajakan

Pajak merupakan iuran masyarakat kepada negara menurut peraturan yang

ditetapkan oleh pemerintah dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.

Masyarakat diberi kepercayaan menghitung dan membayar sendiri pajak yang

terhutang (self assessment) (Umar, 2011).

Undang-undang Perpajakan No. 17 tahun 2000, pajak yang dikenakan untuk

usaha apotek dibedakan menjadi:

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak

yang bersangkutan.

1) Pajak Penghasilan (PPh) Badan

Perhitungan PPh badan dilakukan dengan pembukuan yaitu dengan

membuat neraca rugi laba. Pengenaan pajak dihitung berdasarkan

keuntungan bersih dikalikan tarif pajak (tabel 1).

Tabel I. Tarif Pajak Badan

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10%
Di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00 15%
Di atas Rp 100.000.000,00 30%

18
2) Pajak Penghasilan (PPh) Pribadi

Perhitungan PPh pribadi ada dua cara yaitu dengan pembukuan (membuat

neraca rugi laba) dan menggunakan norma (dapat dilakukan bila omset

kurang dari Rp 600.000.000,00/tahun).

Tarif pajak PPh dapat dilihat pada tabel 2 (Depkeu, 2000).

Tabel II. Tarif Pajak Pribadi

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 25 juta 5%
>Rp 25 juta s/d Rp 50 juta 10%

>Rp 50 juta s/d Rp 100 juta 15%


>Rp 100 juta s/d Rp 200 juta 25%
Rp 200 juta 35%

Persentase berdasarkan norma dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1) Menurut wilayah :

a) Sepuluh ibukota propinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,

Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak)

terkena pajak sebesar 30%.

b) Ibukota propinsi lain terkena pajak sebesar 25%.

c) Daerah lainnya terkena pajak sebesar 20%.

2) Jenis usaha

19
Berdasarkan Dirjen Pajak, apotek termasuk dalam golongan pedagang

eceran barang-barang industri kimia, bahan bakar minyak dan pelumas,

farmasi dan kosmetika (kode 41128).

b. Pajak tak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dilimpahkan ke

pihak lain.

1) Biaya materai

2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN), merupakan pajak atas penyerahan barang

dan jasa. Pajak terhutang dihitung atas pertambahan nilai yang ada. Dalam

metode ini, PPN dihitung dari selisih pajak pengeluaran dan pajak

pemasukan. Pajak Pertambahan nilai dikenakan pada saat pembelian obat

dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) sebesar 10%. Setiap transaksi PBF

menyerahkan faktur pajak kepada apotek sebagai bukti bahwa apotek telah

membayar PPN.

c. Pajak bumi dan bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan setiap

tahun dan besarnya tergantung luas tanah dan bangunan serta lokasi.

d. Pajak reklame, yaitu pajak yang dikenakan pada pemasangan papan

nama. Besarnya tergantung lokasi apotek, besarnya papan nama, jalan

termasuk kelas I, II, atau III, lingkungan perumahan, pendidikan atau bisnis.

e. Pajak inventaris, pajak yang dikenakan terhadap barang-barang

inventaris milik apotek (Anief, 2001c).

5. Kewirausahaan

20
Kewirausahaan adalah sebuah usaha atau bisnis yang dihadapkan dengan

resiko dan ketidakpastian untuk memperoleh keuntungan dan mengembangkan

bisnis dengan cara mengenali kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang

diperlukan. Wirausaha adalah seorang pembuat keputusan yang membantu

terbentuknya sistem ekonomi perusahaan yang bebas. Para wirausaha mendorong

adanya perubahan, inovasi, dan kemajuan dalam bidang perekonomian (Helmi

dan Sutarmanto, 2004).

C. Aspek Pengelolaan Sumber Daya

1. Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Menurut PerMenKes Nomor 35 tahun 2014 tentang pengelolaan Sumber

Daya Manusia, bahwa Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh

Apoteker, dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau Tenaga Teknis

Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau Surat

Izin Kerja. Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi

kriteria:

1. Persyaratan administrasi

a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi

b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)

c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku

d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)

2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.

21
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional

Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang

berkesinambungan.

4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri,

baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau

mandiri.

5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan

perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar pendidikan,

standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.

Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus

menjalankan peran yaitu:

a. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan

pasien.Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan

kesehatan secara berkesinambungan.

b. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan

menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.

c. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi

kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien.Oleh karena itu harus

mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

22
d. Pemimpin

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi

pemimpin.Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil

keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan

dan mengelola hasil keputusan.

e. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan

informasi secara efektif.Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi

informasi dan bersedia berbagi informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang

berhubungan dengan Obat.

f. Pembelajar seumur hidup

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan

profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional

Development/CPD)

g. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam

mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan

memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan

Kefarmasian (Depkes, 2014d).

2. Sarana dan Prasarana

23
Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat.Sarana dan prasarana Apotek dapat

menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

serta kelancaran praktik Pelayanan Kefarmasian.

Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan Kefarmasian

di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:

1. Ruang penerimaan Resep

Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan

Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang

penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat

oleh pasien.

2. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)

Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas

meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan

sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air

minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat,

lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan Resep, etiket dan label

Obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang

cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).

3. Ruang penyerahan Obat

Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat yang dapat

digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.

4. Ruang konseling

24
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi

konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu

konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis

Habis Pakai

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,

kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan

keamanan petugas.Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari

Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan

khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan Obat khusus,

pengukur suhu dan kartu suhu.

6. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan

pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu (Depkes, 2014e).

3. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi

perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian,

pencatatan dan pelaporan.

A. Perencanaan

25
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,

dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola

konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

B. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan

Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

C. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi,

jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan

dengan kondisi fisik yang diterima.

D. Penyimpanan

1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal

pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka

harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang

jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama Obat,

nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.

2. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai

sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

26
3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan

dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.

4. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan

FIFO (First In First Out).

E. Pemusnahan

a. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan

bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang

mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan

disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

b. Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh

Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat

izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita

acara pemusnahan.

c. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat

dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh

sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara

pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep,

dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.

F. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan

sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau

pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran.Hal ini bertujuan untuk

27
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,

kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian

persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau

elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama Obat, tanggal

kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

G. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,

faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan)

dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.Pelaporan internal

merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek,

meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.Pelaporan eksternal

merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika,

psikotropika dan pelaporan lainnya (Depkes, 2014).

D. Administrasi

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan

kegiatan administrasi yang meliputi:

a. Administrasi Umum.

28
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Administrasi Pelayanan : pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan

pasien,pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat (Depkes, 2004).

E. Aspek Asuhan Kefarmasiaan

1. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan

kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan

menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,

Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien

dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker

harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami

Obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:

a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal,

ibu hamil dan menyusui).

b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,

AIDS, epilepsi).

c. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan

kortikosteroid dengan tappering down/off).

29
d. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,

fenitoin, teofilin).

e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi

penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari

satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis

Obat.

f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

Tahap kegiatan konseling:

a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien

b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime

Questions, yaitu:

- Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?

- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?

- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda

menerima terapi Obat tersebut?

c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien

untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat

d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah

penggunaan Obat

30
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien Apoteker

mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai

bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling

(Depkes, 2014).

2. Pengobatan Sendiri (Self Medication)

Apoteker mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan

bantuan, nasehat dan petunjuk kepada masyarakat yang ingin melakukan

swamedikasi, agar dapat melakukannya secara bertanggung jawab. Apoteker

harus dapat menekankan kepada pasien, bahwa walaupun dapat diperoleh tanpa

resep dokter, namun penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas tetap dapat

menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki jika dipergunakan

secara tidak semestinya (Depkes, 2007a).

Berdasarkan Permenkes Nomor 919 tahun 1993 tentang resep, kriteria obat

yang dapat diserahkan tanpa resep antara lain yaitu :

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak

dibawah usia dua tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada

kelanjutan penyakit.

c. Penggunaanya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan

oleh tenaga kesehatan.

31
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

Indonesia.

e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri (Depkes, 1993a).

3. Pelayanan Residensial

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan

Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia

dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan

Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :

a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan

pengobatan

b. Identifikasi kepatuhan pasien

c. Pendampingan pengelolaan obat atau alat kesehatan di rumah, misalnya

cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin

d. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum

e. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat

berdasarkan catatan pengobatan pasien

f. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah

(Depkes,2014).

F. Aspek Pelayanan Kefarmasiaan

32
Menurut PerMenKes Nomor 35 tahun 2014, dalam pelayanan kefarmasiaan

meliputi :

1. Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan

pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi:

a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.

b. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf.

c. tanggal penulisan resep.

Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

a. bentuk dan kekuatan sediaan

b. stabilitas

c. kompatibilitas (ketercampuran obat).

Pertimbangan klinis meliputi:

a. ketepatan indikasi dan dosis obat

b. aturan, cara dan lama penggunaan obat

c. duplikasiatau polifarmasi

d. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi

klinis lain)

e. kontra indikasi

f. interaksi

33
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka

Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.

2. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat.

Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:

a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:

1) menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep

2) mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan

memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat

b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan

c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: - warna putih untuk obat

dalam atau oral

1) warna biru untuk obat luar dan suntik

2) menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau

emulsi

d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untukobat yang

berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah.

Setelah penyiapan obat, dilakukan hal sebagai berikut:

a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali

mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan

jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep).

b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.

34
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.

d. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.

e. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan

obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari,

kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain.

f. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik,

mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil.

g. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya.

h. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker

(apabila diperlukan).

i. Menyimpan resep pada tempatnya.

j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.

Apoteker di Apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan

swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang

memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat

bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,

dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek

penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau

masyarakat.Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.

35
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan

metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,

efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,

interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-

lain.

Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:

a. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan

b. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet,pemberdayaan masyarakat

(penyuluhan)

c. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien

d. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang

sedang praktik profesi

e. melakukan penelitian penggunaan Obat

f. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah

g. melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu

penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat, Hal-hal yang harus

diperhatikan dalam dokumentasi Pelayanan Informasi Obat :

a. Topik Pertanyaan

b. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan

c. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon)

36
d. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat

alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium)

e. Uraian pertanyaan

f. Jawaban pertanyaan

g. Referensi

h. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker

yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

4. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan

kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan

menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,

Apoteker menggunakan three prime questions.Apabila tingkat kepatuhan pasien

dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model.Apoteker

harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami

obat yang digunakan.

Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:

a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal,

ibu hamil dan menyusui)

b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,

AIDS, epilepsi)

37
c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan

kortikosteroid dengan tappering down/off)

d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,

fenitoin, teofilin)

e. Pasien dengan polifarmasi :pasien menerima beberapa obat untuk indikasi

penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari

satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis

obat.

f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah

Tahap kegiatan konseling:

a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien

b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui

c. ThreePrime Questions, yaitu:

1. Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?

2. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?

3. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan

setelahAnda menerima terapi obat tersebut?

d. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien

untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat

e. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah

penggunaan obat

f. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien

38
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan

pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam

konseling

5. Pelayanan Kefarmasiaan di Rumah

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan

Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk

kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker,

meliputi :

a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan

pengobatan

b. Identifikasi kepatuhan pasien

c. Pendampingan pengelolaan obat atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara

pemakaian obat asma, penyimpanan insulin

d. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum

e. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat

berdasarkan catatan pengobatan pasien

f. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah

6. Pemantuan Terapi Obat

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan

terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan

meminimalkan efek samping.

39
Kriteria pasien:

a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui

b. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis

c. Adanya multidiagnosis

d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati

e. Menerima obat dengan indeks terapi sempit

f. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang

merugikan.

Kegiatan Pemantauan Terapi Obat adalah :

a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.

b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang

terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi;

melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga

kesehatan lain

c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara

lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa

indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu

rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya

interaksi obat

d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan

menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi

40
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana

pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan

meminimalkan efek yang tidak dikehendaki

f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat

oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait

untuk mengoptimalkan tujuan terapi

g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang

merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan

pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi

fungsi fisiologis.

Kegiatan MESO meliputi :

a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami

efek samping obat.

b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional

Faktor yang perlu diperhatikan:

a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.

b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping obat (Depkes, 2014).

G. Pengelolaan Obat Wajib Apotek

41
Obat Wajib Apotek (OWA) tanpa menggunakan resep dokter, yang dilakukan

oleh APA atau Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti, sesuai dengan syarat

yang ditetapkan dalam KepMenKes Nomor 347 tahun 1990 :

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat perpasien yang disebutkan

dalam OWA yang bersangkutan.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi,

efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Sampai saat ini sudah ada 3 (tiga) daftar obat yang diperbolehkan diserahkan

tanpa resep dokter. Seperti telah kita ketahui bersama, peraturan mengenai Daftar

Obat Wajib Apotek tercantum dalam:

a. Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat

Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1

b. Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes /Per/X /1993 tentang Daftar

Obat Wajib Apotek No. 2

c. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar

Obat Wajib Apotek No. 3 (Depkes, 1990).

Adapun kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep menurut PerMenKes

Nomor 919 tahun 1993, yaitu:

42
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak

dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada

kelanjutan penyakit

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan

d. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri. Rasio khasiat keamanan

adalah perbandingan relatif dari keuntungan penggunaannya dengan

mempertimbangkan resiko bahaya penggunaannya (Depkes, 1993).

Tujuan diberikan OWA adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat

dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dirasa perlu

ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat,

aman, dan rasional. Oleh karena itu peran apoteker di apotik dalam pelayanan KIE

(Komunikasi Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu

ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri (Depkes, 1990).

H. Pengelolaan Obat Keras, Narkotika, dan Psikotropika

1. Pengelolaan Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran

43
merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam MefenamatGambar obat

keras dapat dilihat pada gambar 3 (Depkes, 2007).

Gambar 3. Logo Obat Keras

2. Pengelolaan Obat Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika (Depkes,

2009).Obat narkotika ditandai dengan simbol palang medali atau palang swastika

dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Lambang Penandaan Narkotika

Menurut UU Nomor 22 tahun 1997, narkotika di bagi menjadi 3 golongan

yaitu :

1) Narkotika Golongan I

Narkotika golongan ini dapat digunakan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penggunaan

44
selain dari kepentingan tersebut dilarang penggunaannya karena

mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk menimbulkan

ketergantungan. Papaver somniferum (kecuali biji), Erythroxylon coca

dan Cannabis sativa merupakan contoh narkotika golongan I.

2) Narkotika Golongan II

Narkotika golongan II digunakan dan berkhasiat sebagai pengobatan

dan banyak digunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi serta untuk

pengembangan ilmu pengetahuan. Narkotika jenis ini juga memiliki

potensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan

II adalah morfin dan petidin.

3) Narkotika Golongan III

Narkotika golongan III berkhasiat sebagai pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi serta untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Contohnya kodein yang memiliki potensi ringan menimbulkan

ketergantungan (Depkes, 1997).

Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis

bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada

45
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku.Lambang penandaan psikotropika dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lambang Penandaan Psikotropika

Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang

dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi

industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang

mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,

ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat.

A. Pengadaan

Kegiataan Pengadaan ini, dimulai dari Apotek melakukan pemesanan kepada

Pedagang Besar Farmasi (PBF) dilihat dari surat Pesanan Untuk Narkotika,

Psikotropika, dan Prekursor :

a. Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis

Narkotika.

b. Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan

untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi.

c. Surat pesanan harus terpisah dari pesanan barang lain.

Untuk pemesanan Narkotika Golongan I maupun dalam bentuk bahan baku,

hanya dapat dilakukan pemsanan melalui perusahaan PBF milik Negara yang

46
memiliki Izin Khusus Impor Narkotika yaitu PT. Kimia Farma. Sedangkan untuk

Psikotropika maupun Prekursor pemesanannya melalui PBF yang memiliki izin

sebagai IT Psikotropika maupun Prekursor.

Adapun Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang

dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus

dilengkapi dengan:

a. surat pesanan

b. faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:

a) nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi

b) bentuk sediaan, kekuatan

c) kemasan, jumlah, tanggal kadaluarsa dan nomor batch(Depkes, 2015a).

B. Penyimpanan

Berdasarkan Permenkes Nomor 35 tahun 2009 tentang penyimpanan

narkotika, apotek harus memiliki lemari tempat khusus untuk penyimpanan

narkotika yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat

b. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi

c. mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda

d. kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker

yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan

47
e. tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung

jawab/Apoteker yang ditunjuk (Depkes, 2009b).

Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di

fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus

mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan

Prekursor Farmasi.Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Farmasi dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus. Tempat

penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain

Narkotika.

C. Pendistribusian

Apotek hanya boleh melayani resep narkotika dari resep asli atau salinan

resep yang dibuat oleh apotek itu sendiri yang belum diambil sama sekali atau

baru diambil sebagian. Apotek tidak melayani pembelian obat narkotika tanpa

resep atau pengulangan resep yang ditulis oleh apotek lain. Resep narkotika yang

masuk dipisahkan dari resep lainnya dan diberi garis merah di bawah obat

narkotik. Setiap obat narkotik yang masuk maupun keluar dicatat dalam kartu

stokdan diisi sisa stoknya. Tiap jenis narkotika dilakukan pencatatan sendiri.

Resep obat yang terdapat obat narkotika bila tidak terdapat alamat pasien harus

ditanyakan alamatnya terlebih dahulu, meskipun dalam aturan sebenarnya semua

resep harus memuat alamat pasien.

D. Pemusnahan

48
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya

dilakukan dalam hal :

a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlakudan/atau

tidak dapat diolah kembali

b. telah kadaluarsa

c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan

kesehatandan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa

penggunaan

d. dibatalkan izin edarnya

e. berhubungan dengan tindak pidana.

Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat:

a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.

b. Tempat pemusnahan.

c. Nama penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian.

d. Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain

badan/sarana tersebut.

e. Nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi

yang dimusnahkan.

f. Cara pemusnahan dan tanda tangan penanggung jawab.

E. Pelaporan

Apotek berkewajiban membuat, menyimpan dan menyampaikan laporan

pemasukan dan penggunaan narkotika setiap bulan kepada Kepala Dinas

49
Kesehatan Kabupaten/Kota (DKK) dengan tembusan Kepala Balai POM

setempat dan untuk arsip apotek. Paling lambat pelaporan adalah tanggal 10.

Pelaporan narkotika memuat :

a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau

Prekursor Farmasi

b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan, tanggal, nomor dokumen, dan

sumber penerimaan

c. jumlah yang diterima tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran

jumlah yang disalurkan

d. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan

persediaan awal dan akhir (Depkes, 2015).

I. Pengelolaan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Tradisional, Kosmetik,

Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Lainnya

1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli

tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah

lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.

50
Gambar 6. Logo Obat Bebas

Contoh : Parasetamol

2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai

dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas

terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.

Gambar 7. Logo Obat Bebas Terbatas

Contoh : CTM

Berdasarkan Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas

yang ditetapkan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen

Kesehatan tahun 2007. Pada kemasan obat bebas terbatas selalu tercantum

tanda peringatan sebagai berikut :

a. P. No. 1 : Awas obat keras! Bacalah aturan pakainya.

b. P. No. 2 : Awas obat keras! Hanya untuk kumur, jangan ditelan.

c. P. No. 3 : Awas obat keras! Hanya untuk bagian luar dari badan.

d. P. No. 4 : Awas obat keras! Hanya untuk ditelan.

e. P. No. 5 : Awas obat keras! Tidak boleh ditelan.

51
f. P. No. 6 : Awas obat keras! Obat wasir, jangan ditelan.

Contoh obat bebas terbatas adalah obat yang mempunyai aktivitas

farmakologi sebagai obat batuk, obat pilek, krim antiseptik dan lain-lain

(Depkes, 2007b).

3. Obat Tradisional, Kosmetik, Alat Kesehatan dan Perbekalan

Kesehatan Lainnya

Selain menyediakan obat-obatan sintetis, apotek juga menyediakan obat

tradisional, kosmetik dan alat kesehatan. Pengelolaan obat tradisional,

kosmetik dan alat kesehatan sama dengan pengelolaan obat-obatan sintetis,

dan diletakkan di depan.

J. Pengelolaan Obat Rusak, Kadaluarsa, Pemusnahan Obat dan Resep

Pengelolaan obat rusak, kadaluarsa, pemusnahan obat dan resep diatur

menurut KepMenKes Nomor 1332 tahun 2002 pasal 12 ayat 2 menyebutkan

bahwa sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau

dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau

dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (Depkes, 2002c).

Menurut PerMenKes Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan

kefarmasian di apotek bahwa obat kadaluarsa atau rusak harus dimusnahkan

sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluarsa atau rusak

yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan

52
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota, sedangkan untuk obat

selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh

tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.

Resep yang telah disimpan selama lebih dari 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan.

Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya

petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang lebih

memadai, selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kabupaten atau Kota (Depkes,

2014j).

K. Evaluasi Mutu Pelayanan

Menurut PerMenKes Nomor 35 Tahun 2014 bahwa evaluasi mutu di

Apotek dilakukan terhadap:

1. Mutu Manajerial

a. Metode Evaluasi

1). Audit

Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas

pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan

pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar

yang dikehendaki.Oleh karena itu, audit merupakan alat untuk

menilai, mengevaluasi, menyempurnakan Pelayanan Kefarmasian

secara sistematis.

53
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring

terhadap proses dan hasil pengelolaan.

Contoh:

a) Audit Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Pakai lainnya (stock opname)

b) Audit kesesuaian SPO

c) Audit keuangan (cash flow, neraca, laporan rugi laba)

2). Review

Review yaitu tinjauan/kajian terhadap pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian

tanpa dibandingkan dengan standar.

Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap

pengelolaan Sediaan Farmasi dan seluruh sumber daya yang digunakan.

Contoh:

a) Pengkajian terhadap obat fast/slow moving

b) Perbandingan harga obat

3). Observasi

Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring

terhadap seluruh proses pengelolaan Sediaan Farmasi.

Contoh :

a) observasi terhadap penyimpanan obat

b) proses transaksi dengan distributor

c) ketertiban dokumentasi

54
4). Indikator Evaluasi Mutu

a) kesesuaian proses terhadap standar

b) efektifitas dan efisiensi

B. Mutu Pelayanan Farmasi Klinik

1. Metode Evaluasi Mutu

a) Audit

Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap proses

dan hasil pelayanan farmasi klinik.

Contoh :

1) audit penyerahan Obat kepada pasien oleh Apoteker

2) audit waktu pelayanan

b) Review

Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap

pelayanan farmasi klinik dan seluruh sumber daya yang digunakan.

Contoh: review terhadap kejadian medication error

c) Survei

Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Survei

dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap mutu

pelayanan dengan menggunakan angket/kuesioner atau wawancara langsung

Contoh: tingkat kepuasan pasien

55
d) Observasi

Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan

menggunakan cek list atau perekaman. Observasi dilakukan oleh berdasarkan

hasil monitoring terhadap seluruh proses pelayanan farmasi klinik.

Contoh : observasi pelaksanaan SPO pelayanan

2. Indikator Evaluasi Mutu

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah :

a. Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari medication error

b. Standar Prosedur Operasional (SPO): untuk menjamin mutu pelayanan

sesuai dengan standar yang telah ditetapkan

c. Lama waktu pelayanan Resep antara 15-30 menit

d. Keluaran Pelayanan Kefarmasian secara klinik berupa kesembuhan penyakit

pasien, pengurangan atau hilangnya gejala penyakit, pencegahan terhadap

penyakit atau gejala, memperlambat perkembangan penyakit (Depkes,

2014k).

56
BAB III

PEMBAHASAN

Perubahan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pasien (patient oriented)


menuntut apoteker untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilannya dalam
pemilihan terapi obat yang tepat pada pasien sehingga dapat mencegah terjadinya
drug related problem (DRP). Apoteker sebagai ahli obat (drug expert) senantiasa
memiliki pengetahuan lebih di bidang obat-obatan dalam hal pemenuhan kebutuhan
obat pasien sehingga tercapainya pengobatan yang rasional. Peningkatan pengetahuan
dan keterampilan apoteker di bidang obat-obatan dapat dilakukan melalui pendidikan
formal dan pelatihan tertentu seperti seminar. Praktek kerja profesi apoteker disingkat

57
PKPA merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk memperkenalkan kepada
calon apoteker muda tentang kondisi nyata tempat dilakukannya pekerjaan
kefarmasian yang menjadi profesinya khususnya apotek. Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi “Yayasan Pharmasi” Semarang mengadakan kegiatan praktek kerja profesi
apoteker di apotek bekerja sama dengan PT. Kimia Farma Tbk. yaitu Apotek Kimia
Farma 71 Sutomo. Kegiatan PKPA di apotek dilakukan selama satu bulan mulai
tanggal 1 sampai 31 Maret 2016. Berikut rincian hasil kegiatan PKPA di apotek
Kimia Farma Bisnis Manager (BM) Semarang.

A. Hasil Kegiatan PKPA di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo


1. Lokasi Apotek Kimia Farma 71 Sutomo
Apotek Kimia Farma 71 Sutomo merupakan salah satu apotek milik
PT. Kimia Farma yang berada dibawah tanggung jawab Bisnis Manager (BM)
Semarang. Apotek ini terletak di jalan Dr. Sutomo No. 3 Semarang. Lokasi
yang strategis dan mudah dijangkau menjadi salah satu faktor untuk
didirikannya sebuah apotek. Hal ini dikarenakan Apotek Kimia Farma 71
Sutomo berada perkotaan dan di dekat Rumah Sakit Dr. Kariyadi dan Rumah
Sakit Wira Bhakti Tamtama dengan tempat parkir memadai ditepi jalan raya
yang banyak dilalui oleh kendaraan umum maupun pribadi, dekat dengan
pemukiman penduduk, pusat perbelanjaan, instansi pemerintah, sekolah, tempat
peribadahan, bank, dan perkantoran. Selain itu bangunan Apotek Kimia Farma
71 juga dilengkapi dengan plang yang jelas sehingga lebih memudahkan dalam
pencarian Apotek Kimia Farma 71. Kondisi ini sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/2004 menyebutkan bahwa apotek
berlokasi pada daerah yang mudah dikenal dan dapat dengan mudah diakses
oleh masyarakat. Bangunan Apotek Kimia Farma 71 Sutomo sudah cukup baik
dalam melakukan pelayanan kefarmasian. Penataan ruangan yang terpisah
antara ruang tunggu pasien, penerimaan resep, penyerahan obat, penyimpanan

58
obat, ruang racikan yang disertai dengan tempat pencucian alat, ruang apoteker,
swalayan, gudang, dan toilet. Ruangan yang ada di apotek dilengkapi dengan
televisi, pendingin ruangan, dan penerangan yang baik sehingga memberikan
kenyamanan tersendiri bagi petugas apotek maupun pasien. Ruang racik obat
dilengkapi dengan timbangan, blender, lumpang& alu, alat pembagi puyer,
wadah kapsul, wadah salep,dan krim. Apotek Kimia Farma 71 juga
menyediakanalat ukur tekanan darah, alat pengukur gula darah, asam urat, dan
kolesterol untuk pasien.

Apotek Kimia Farma 71 memberikan pelayanan prima yang dilakukan


oleh semua karyawan mulai dari menyapa pasienyang datang dengan salam
pembuka “Selamat datang di Kimia Farma, ada yang bisa dibantu” hingga
pasien selesai membeli obat kemudian diakhiri dengan salam penutup “Terima
kasih Semoga sehat selalu”. Hal ini dilakukan agar pasien merasa puas dengan
pelayanan apotek.

Apotek Kimia Farma 71 Sutomo terdapat praktek dokter yang meliputi


praktek dokter umum, praktek dokter spesialis kandungan, praktek dokter
spesialis penyakit dalam dan praktek dokter gigi.Selain itu, Apotek Kimia
Farma 71 juga melakukan pelayanan resep kredit dengan dokter BPJS dan
dokter dari PT. PLN. Hal ini memudahkan pasien untuk memperoleh fasilitas
kesehatan dengan baik untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan
menebus obat dalam satu tempat. Apotek Kimia Farma 71 Sutomo memberikan
pelayanan yang maksimal dengan menyediakan obat dengan lengkap sehingga
kebutuhan pasien terhadap obat dapat terpenuhi. Apabila ada obat yang tidak
tersedia di apotek, maka pasien diberi solusi untuk mengganti obat dengan
komposisi yang sama dalam resep atau memesan obatnya dahulu kemudian
pihak apotek mencarikan obatnya terlebih dahulu dengan sistem kitir kepada

59
Apotek Kimia Farma terdekat atau memesan langsung kepada BM. Selanjutnya
pasien bisa menunggunya apabila obatnya sudah tersedia dan apabila obatnya
belum tersedia maka obatnya bisa dikirim kerumah, jika rumahnya luar kota
bisa dikirim melalui pos semua ini untuk memberikan kenyamanan kepada
pasien.

2. Sumber Daya Kefarmasian


a. Sumber Daya Manusia
Apotek Kimia Farma 71Sutomo dikelola oleh seorang Apoteker
Pengelola Apotek (APA) yang didampingi satu Apoteker Pendamping
(Aping) dan dibantu tujuh Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Apoteker
Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan pekerjaan
kefarmasian di apotek didasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat
yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan
persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan. Hal ini dibuktikan dengan
kehadiran apoteker di apotek yang bekerja full timedan buka 24 jam,
berdasarkan pembagian shift kerja mulai dari shift pertama dimulai pukul
06.00-13.00 WIB, shift kedua dimulai pukul 13.00-20.00 WIB, shift ketiga
dimulai pukul 15.00-22.00 WIB dan pukul 16.00-23.00, dan shift keempat
dimulai pukul 23.00-06.00 WIB. Tenaga kefarmasian di Apotek Kimia Farma
71 Sutomo memenuhi kulifikasi dan standar profesi seperti ketetapan dalam
Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Salah satu bukti seperti yang tercantum pada pasal 39 bahwa setiap tenaga
kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi. Surat tanda registrasi yang dimaksud adalah
STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) bagi apoteker dan STRTTK (Surat

60
Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian) bagi Tenaga Teknis
Kefarmasian (TTK). Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) yang dimiliki
Apoteker Pengelola Apotek (APA) danApoteker Pendamping (Aping) serta
Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK) untuk Asisten
Apoteker (AA) di apotek ini menjadi salah satu landasan hukum legal dalam
melakukan pekerjaan kefarmasian. Struktur organisasi apotek Kimia Farma 71
Sutomo dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.

Apoteker Pengelola Apotek


Heru Sudomo, S.Farm., Apt

Apoteker Pendamping
Revanov Eko Hardanu, S.Farm., Apt

Koordinator TTK
Mareta Gestarini

Asisten Apoteker Asisten Apoteker Asisten Apoteker Asisten Apoteker


Mis Hani Era Lestari M. Nur Ikhsan Insyiroh Nur
Hidayati

Tenaga Non Kefarmasian

Anna Idayati
Edy Suprobo
Anida Prihatini

61
Gambar 8. Struktur Organisasi Apotek Kimia Farma 71 Sutomo
b. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana Apotek Kimia Farma 71 Sutomo memenuhi
standar persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.
35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Sarana
dan prasarana apotek dapat menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai serta kelancaran praktek pelayanan
kefarmasian. Semua sarana dan prasarana mulai dari ruang penerimaan
resep, pelayanan resep dan peracikan, penyerahan obat, konseling, praktek
dokter, penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai serta ruang arsip tertata rapi dan sistematis sehingga mempermudah
alur melakukan pekerjaan kefarmasian. Adanya swalayan farmasi yang
menyediakan produk-produk seperti obat bebas (OTC), obat tradisional, alat-
alat kesehatan, kosmetika, multivitamin, makanan dan minuman menjadi
nilai tersendiri yang membedakan dengan apotek lainnya. Konsep
merchandising yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, maupun pengaturan
dan penempatan produk serta promosi produk sekaligus evaluasi produk
yang dijual di apotek merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
menentukan keunggulan bersaing dari retailer. Pelaksanaan merchandising
secara efektif dan efisien mampu menjadi daya tarik bagi pelanggan.
Sistematika penataan sarana dan prasarana Apotek Kimia Farma 71 Sutomo
dapat dilihat pada gambar 4 denah ruangan dibawah ini. Penulis hanya
menampilkan denah lantai satu yang menjadi pusat pelaksanaan pekerjaan
kefarmasian.

62
Gambar 9. Denah Penataan Sarana dan Prasarana Apotek Kimia Farma 71 Sutomo

Sarana dan prasarana penunjang lain seperti tempat pencucian, kamar


mandi (WC), tempat ibadah sederhana juga tersedia dengan kebersihan yang
memadai. Ventilasi, sanitasi, sumber air, dan penerangan memenuhi
persyaratan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.278 tahun
1981 pasal 4 dan 5. Apotek dilengkapi oleh buku-buku kesehatan (MIMS, ISO,
Jurnal Ilmiah, Farmakope Indonesia edisi terbaru), komputer, AC (Air

63
Conditioner), telepon, telegram, dan jaringan internet untuk meningkatkan
mutu pelayanan pekerjaan kefarmasian serta pengetahuan tenaga kefarmasian
seiring perkembangan dunia kesehatan khususnya bidang obat-obatan.

3. Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kimia Farma 71


Sutomo
Penulis mengelompokkan hasil kegiatan PKPA tentang pelayanan
kefarmasian di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 35 tahun 2014 meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan,dan bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinik sebagai
berikut.

a. Pengelolaan Sediaan Farmasi


1) Perencanaan
Sistem perenanaan pegadaan barang yang digunakan untuk Apotek Kimia
Farma 71 Sutomo berdasarkan :

a. Sistem Super Pareto


Sistem super pareto merupakan perencanaan obat yang mempunyai
nilai diatas nilai obat pareto atau dengan mengkombinasikan nilai
jumlah barang atau kuantitas barang dan frekuensi barang.
b. Sistem Pareto
Sistem pareto merupakan suatu sistem pengadaan barang yang
dilakukan dengan cara menjumlah kebutuhan barang selama beberapa
bulan. Ada tiga macam sitem pareto yaitu pareto A untuk obat yang
menghasilkan omset 60-90% dengan jumlah item obat 15-20%, pareto
B untuk obat yang menghasilkan omset 10-30% dengan jumlah item
obat 30-4%, dan pareto C untuk obat yang menghasilkan omset 5-20%

64
dengan jumlah item 40-60%. Keuntungan menggunakan analisis
pareto adalah perputaran barang lebih cepat sehingga modal dan
keuntungan tidak terlalu lama berwujud barang namun dapat segera
berwujud uang sehingga mengurangi resiko penumpukan barang serta
obat kadaluarsa, mencegah terjadinya kekosongan barang yang bersifat
fast moving dan meminimalisir penolakan resep. Analisis pareto harus
selalu dibandingkan dengan kondisi fisik obat yang ada pada saat
defecta dibuat setiap minggu karena terkadang kurang sesuai dengan
keadaan yang sesungguhnya pada saat akan merencanakan pembelian
barang. Hal ini dikarenakan permintaan pasar yang selalu berubah baik
dari jenis obat maupun jumlah obat dari pareto yang telah dibuat
sebagai pembanding atau acuan.

c. Metode Konsumsi
Metode konsumsi merupakan metode perencanaan obat berdasarkan
tingkat kebutuhan atau konsumsi tahun-tahun sebelumnya.
d. Metode Epidemiologi
Metode ini merupakan metode perencanaan obat berdasarkan pola
penyakit yang sedang terjadi disuatu wilayah dimana apotek tersebut
didirikan.
e. Buku Defecta
Perencanaan melalui buku defecta dilakukan dengan memeriksa stock
atau persediaan barang yang tersisa, apabila tingkat persediaan dinilai
menipis maka dilakukan pemesanan obat ke BM Kimia Farma.
f. Pesanan Pasien (TA atau Tinggal Ambil)
TA dilakukan apabila pasien memesan obat namun obat tidak tersedia
di apotek sehingga perlu dilakukan pemesanan ke BM. Biasanya TA
dilakukan dengan menggunakan BPBA (Bon Permintaan Barang
Apotek) cito (segera).

65
g. Obat Baru
Perencanaan ini dilakukan berdasarkan obat baru yang sering dibeli
pasien.
Sistem perencanaan persediaan farmasi poin 1 dan 2 diatas sering
dilakukan oleh gudang Apotek Kimia Farma Binis Manager Semarang
yang mengatur pengadaan barang melalui satu pintu untuk seluruh apotek
pelayanan di wilayah Semarang.

2) Pengadaan
Pengadaan dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah disusun.
Pengadaan dilakukan melalui pemesanan pada Pedagang Besar Farmasi (PBF)
yang menjalin Ikatan Kerja Sama (IKS) dengan apotek Kimia Farma. Kriteria
pemilihan PBF adalah legalitas, kecepatan pengiriman barang, jangka waktu
pembayaran, harga yang ditawarkan, dan diskon yang diberikan. Tata cara
pengadaan di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo adalah dengan membuat BPBA
yang terbagi menjadi tiga macam sebagai berikut.

a. BPBA rutin (besar)


BPBA rutin dilakukan seminggu sekali merupakan permintaan yang
direnanakan untuk memenuhi persediaan barang di Apotek yang berada
dibawah stock minimal dengan metode DC ( distributo Care). Sistem
komputerisasi BM akan menarik kebutuhan yang digunakan apotek selama 2
minggu kedepan.

b. BPBA cito (Tinggal Ambil)


BPBA cito merupakan BPBA yang bersifat mendesak dan dapat dilakukan
setiap hari tetapi hanya sekali dalam sehari. BPBA ini tidak terlayani di gudang
sehingga dapat dilakukan permintaan kepada APP (Apotek Penyelenggara
Pelayanan) lain. Proses ini selanjutnya disebut sebagai kitir.

c. BPBA non-rutin

66
BPBA ini dilakukan dengan mempertimbangkan omset yang dihasilkan oleh
masing-masing apotek. Pengadaan dilakukan menggunakan skala prioritas
karena terdapat batasan item obat yang dipesan.

Pengiriman BPBA dilakukan secara otomatis dengan menggunakan progam


Kimia Farma Information System atau yang dikenal dengan KIS. BPBA harus
divalidasi oleh APA kemudian dilakukan export data kepada BM. BM kemudian
melakukan import data pemesanan. Gudang akan melakukan dropping barang
secara otomatis bila barang yang dipesan tersedia. Bagian gudang akan
menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan BPBA yang dibuat. Barang yang
dipesan dimasukkan dalam keranjang sesuai dengan nama apotek pemesan. Alur
pengadaan barang di apotek bisa dilihat pada gambar dibawah.

Apotek Kimia
Farma 71
Sutomo

Dropping
Barang BPBA

BM / Gudang

Barang dan
Surat
faktur
Pemesanan
(SP)

Distributor

Gambar 10. Skema Alur Pengadan Barang Apotek

67
Keterangan :

BPBA : Bon Permintaan Barang Apotek

Pemesanan obat narkotika, psikotropika, dan prekursor harus disertai dengan


SP yang harus ditanda tangani oleh APA disertai nomor SIK APA dan stempel
apotek.

Pemesanan narkotik hanya dilakukan kepada satu PBF yaitu PT. Kimia
Farma Trading & Distribution. Surat pemesanan narkotika ditulis dan ditanda
tangani oleh apoteker pengelola apotek dengan formulir pemesanan yang dibeli di
KFTD. SP narkotika terdiri dari empat rangkap yang nantinya di serahkan untuk
Badan POM RI, Balai Besar POM Semarang, Dinkes Jateng, dan arsip apotek.
Setiap satu Surat Pemesanan narkotika hanya berisi satu item obat narkotik saja.
Surat pesanan tersebut akan di kirim langsung oleh karyawan apotek ke PBF
Kimia Farma tanpa melalui gudang BM, PBF Kimia Farmas langsung
mengirimkan barang ke apotek dengan faktur rangkap tiga yang satu buat arsip
apotek dan yang dua dibawa oleh PBF Kimia Farma lagi. Selanjutnya pelaporan
ke Balai POM setiap satu bulan sekali secara online melali SIPNAP (Aplikasi
Pelaporan Narkotika dan Psikotropik) hanya kirim file saja. Berikut alur
pengadaan narkotika di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo.

Apotek Kimia Farma 71


Sutomo

Membuat surat pemesanan Narkotika


Surat ditanda tangain oleh Apoteker Pengelola Apotik
PBF Kimia Farma Surat pesanan hanya untuk satu sedian dan satu item
langsung kirim ke obat narkotika
Apotek & Faktur Dikirim langsung oleh karyawan ke PBF Kimia Farma
rangkap 3 tanpa melalui gudang BM

68
PBF Kimia Farma
Gambar 11. Skema Alur Pengadan Obat Narkotika di Apotek

Pemesanan obat psikotropik dengan membuat SP khusus psikotropik terdiri


dari empat rangkap yang tiga akan di serahkan ke BM dan satu sebagai arsip
apotek.pelaporan ke Balai POM setiap satu bulan sekali secara online melali
SIPNAP (Aplikasi Pelaporan Narkotika dan Psikotropik) hanya kirim file saja.
Berikut alur pengadaan psikotropik di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo.

Apotek Kimia Farma 71


Sutomo

- Membuat surat pemesanan


Psikotropik
BM langsung kirim
- Surat ditanda tangain oleh Apoteker
ke Apotek & Faktur
rangkap 3 Pengelola Apotik
- Dikirim langsung oleh karyawan ke
gudang BM

Gudang BM

Gambar 12. Skema Alur Pengadan Obat Psikotropik di Apotek

Pemesanan obat prekusor membuat SP khusus prekusor terdiri dari empat


rangkap yang tiga akan di serahkan ke BM dan satu sebagai arsip apotek. Pada obat

69
prekusor ini tidak ada pelaporan ke Badan POM. Berikut alur pengadaan obat
prekusor di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo.

Apotek Kimia Farma 71


Sutomo

- Membuat surat pemesanan Psikotropik


BM langsung kirim - Surat ditanda tangain oleh Apoteker
ke Apotek & Faktur Pengelola Apotik
rangkap 3
- Dikirim langsung oleh karyawan ke
gudang BM

Gudang BM

Gambar 13. Skema Alur Pengadan Obat Prekursor Apotek

3) Penerimaan
Perbekalan farmasi yang dikirim dari BM / Gudang ke Apotek Kimia
Farma 71 akan disertai bukti dropping sedangkan perbekalan farmasi yang
dikirim dari distributor ke apotek kimia farma 71 Sutomo akan disertai dengan
bukti faktur. Selanjutnya dilakukan pengeekan kesesuaian jumlah barang dengan
faktur, kondisi barang, dan tanggal kadaluarsa. Apabila barang yang diterima
sesuai dengan faktur, kondisi masih bagus dan kadaluarsa masih lama, maka
barang akan di catat dalam kartu stok dan komputer dalam bentuk saldo dan
faktur akan ditanda tangani dan diberi stempel oleh karyawan yang menerima
faktur. Apabila barang tidak sesuai dengan faktur, maka pihak apotek akan
melakukan konfirmasi ketidaksesuaian barang paling lambat 1 hari setelah
barang datanng dan selanjutnya BM akan melakukan feedbak paling lambat 1
hari setelah dilakukan konfimasi.

70
Penerimaan Narkotika, Psikotropik dan obat prekusor yang menerima
harus Apoteker Pengelola Apotek.

4) Penyimpanan
Perbekalan farmasi yang telah diterima ditata rapi sesuai tempat yang
disediakan berdasarkan pembagian kelas terapi, alfabetis, bentuk sediaan,
generik, paten, dan suhu penyimpanan maupun produk dari Kimia Farma itu
sendiri. Sistem penyimpanan obat di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo
menggunakan campuran sistem FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First
In First Out). Sistem FEFO maupun FIFO bertujuan agar obat yang sudah
mendekati tanggal kadaluwarsanya maupun barang yang datang pertama kali
akan terjual terlebih dahulu sehingga menghindari adanya obat kadaluwarsa di
apotek. Penyimpanan obat yang baik dan benar akan menjamin kestabilan obat
sehingga mutu obat dapat terjaga hingga ke tangan pasien.

Obat-obat yang memperlukan tempat penyimpanan khusus seperti


supositoria dan pen insulin disimpan di almari pendingin (cooler) yang
dilengkapi dengan termometer pengontrol suhu. Obat narkotika, psikotropika,
dan prekursor disimpan dalam tempat tersediri terpisah dari obat lainnya. Lemari
penyimpanan obat narkotika dan psikotropika memenuhi syarat yang ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 03/MenKes/Per/2005 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Framasi. Obat bebas atau OTC (Over The Counter), obat herbal,
produk makanan dan minuman, suplemen makanan, kosmetika, alat kesehatan
maupun perbekalan kesehatan lainnya tertata rapi di rak-rak swalayan farmasi
seperti pada gambar 4 diatas.

Perbekalan farmasi yang tidak dapat ditata di rak akan disimpan dalam
gudang di apotek. Gudang tersebut terletak diatas dan di bawah rak almari putar
penyimpanan obat. Setiap jenis obat memiliki kartu stock untuk mencatat obat

71
yang masuk dan keluar sehingga kan mempermudah dalam pengendalian jumlah
obat di apotek. Format kartu stock.

5) Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaaan,
penyimpanan, dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stock baik secara manual atau elektronik. Hal ini juga dilakukan oleh apotek Kimia
Farma 71 Sutomo dalam mengendalikan barang atau persediaan farmasi lainnya
dengan melihat kartu stock manual dan stock barang yang berada di komputer.
Selain itu Apotek Kimia Farma 71 juga menggunakan buku sampling untuk
melakukan pengendalian yang dilakukan setiap bulannya agar tidak terjadi selisih
dengan jumlah barang dengan jumlah yang ada data komputer.

6) Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pencatatan stock merupakan
inti dari sistem manajemen persediaan yang menjadi petunjuk berapa jumlah obat
yang akan dipesan. Pencatatan ini dilakukan terhadap barang yang masuk dari
pembelian dan barang yang keluar dari hasil penjualan. Pencatatan dilakukan pada
kartu stock manual. Setiap barang masuk dan keluar dicatat pada kartu stock
sehingga akan diketahui sisa stock dari barang tersebut. Pencatatan ini berguna
untuk mempermudah pengawasan terhadap persediaan barang dan kebutuhan

72
masing-masing obat. Sistem komputrisasi Apotek Kimia Farma 71 Sutomo
mempermudah pengawasan persediaan barang karena setiap ada penambahan dan
pengeluaran obat secara otomatis akan menambah atau mengurangi jumlah stock
obat pada komputer.

Barang tidak laku dan kurang laku (TLKL) juga dilakukan pencatatan
tersendiri. Umumnya barang yang termasuk barang TLKL akan semakin
mendekati masa kadaluarsanya sehingga apabila barang tidak dapat terjual dapat
menjadi kerugian bagi apotek. Oleh karena itu perlu dilakukan pencatatan barang
TLKL yang nantinya akan menjadi prioritas penawaran pada saat pelayanan UPDS
(Usaha Pengobatan Diri Sendiri) sehingga apotek tidak akan mengalami kerugian.

Stock opname adalah proses pengecekan antara stock yang tercatat di kartu
stock / buku stock dengan stock fisik yang ada dan untuk mengetahui berapa besar
investasi didalam apotek. Apotek Kimia Farma 71 Sutomo melakukan stock
opname setiap tiga bulan sekali pada akhir bulan. Tahap pertama yang dilakukan
adalah stock opname fisik dengan cara menghitung sisa fisik barang yang ada pada
saat berakhirnya periode stock opname. Stock opname fisik dilakukan terhadap
semua barang dagangan dan dilakukan pemisahan terhadap barang yang rusak atau
lewat tanggal kadaluarsa serta dilakukan penandaan pada kotak obat apabila
tanggal kadaluarsa tahun berjalan (merah), tahun depan (kuning), dan lebih dari 2
tahun (hijau). Pencatatan nilai stock dengan cara menulis jumlah stock pada kartu
stock, dan berikutnya data diisikan pada blanko stock opname (sesuai class).
Setelah stock opname fisik barang, dilakukan pengentrian hasil stock opname dan
penghitungan nilai stock. Hasil dari stock opname diperiksa oleh APA. Jika hasil
stock opnamesesuai maka dapat disetujui jika tidak sesuai maka diperiksa kembali
dimana letak ketidaksamaannya. Hasil dari stock opname yang telah disetujui akan
dikirim ke Bisnis Manager (BM).

73
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal
merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan managemen Apotek Kimia
Farma 71 Sutomo meliputi keuangan, barang, dan laporan lainnya. Salah satu
contoh laporan keuangan di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo adalah laporan
keuangan berupa setoran kas apotek yang berisi jumlah penerimaan uang yang
berasal dari penjualan obat dengan resep dokter dan tanpa resep dokter, penjualan
alat kesehatan dan dari bagian swalayan. Jumlah uang yang diterima disetorkan ke
bagian administrasi keuangan untuk dimasukan ke bank yang ditunjuk disertai
dengan buku setoran kasir apotek. Penyetoran uang dilakukan setiap hari pada pagi
hari yang merupakan gabungan hasil penjualan shift pagi dan shift siang hari
sebelumnya.

Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi


kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi
narkotika, psikotropika, dan pelaporan lainnya. Pelaporan penggunaan narkotika di
Apotek Kimia Farma dibuat setiap bulan yang meliputi laporan penggunaan
sediaan jadi narkotika dan laporan penggunaan bahan baku narkotika. Laporan
dibuat rangkap tiga dan ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama
jelas, alamat apotek, dan stempel apotek yang kemudian dikirimkan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang), dengan tembusan kepada:

a. Kadit Was Narkoba


Dit.Jen.POM. Dep. Kes. RI Jakarta.
b. Ka. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
c. Ka. Balai Besar POM Semarang.
d. Penanggung Jawab Narkotik PT. Kimia Farma Jakarta.
e. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Unit Logistik Sentral-Jakarta.
f. Arsip Apotek.

74
b. Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan
kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Apotek Kimia Farma 71 melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan
falsafah pelayanan yaitu I CARE yang merupakan singkatan dari Inovative
(mempunyai budaya berpikir out of the box yang artinya berpikir diluar “kotak”
dengan menghasilkan inovasi-inovasi terbaru khususnya dalam hal menaikkan
omset apotek). Customer First (mengutamakan pelangan sebagai mitra atau
rekan, yaitu selalu mengutamakan pelanggan dan kebutuhan pasien),
Accountability (bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan oleh
perusahaan), Responsibility ( mempunyai tanggung jawab pribadi untuk bekerja
sesuai prosi masing-masing), Eco-Friendly (menciptakan dan menyiapkan
produk maupun jasa layanan yang ramah lingkungan). Pelayanan farmasi klinik
meliputi pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO),
konseling, pelayanan kefarmasian dirumah (home pharmacy care) pemantauan
terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (MESO). Pelayanan
farmasi klinik di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo adalah sebagai berikut.

1) Pengkajian Resep
Setiap resep yang datang selalu dilakukan pengkajian oleh apoteker
maupun asisten apoteker seperti yang telah di persyaratkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Setiap petugas yang menerima resep dari dokter umum, dokter
spesialis dan dokter gigi yang pertama kali dilakukan adalah skrining resep
meliputi adminitrasi resep (kelengkapan Nama, SIP dan alamat dokter,
Tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter, identitas pasien, cara

75
pemakaian yang jelas/ signa), kesesuaian farmasetis (bentuk sediaan, dosis,
stabilitas, inkompatibilitas, pemberian dan lama pemberian) dan pertimbangan
efek klinis (alergi, efek samping, interaksi, frekuensi dan jumlah obat).
Pengkajian resep meliputi Hal ini bertujuan untuk memastikan kerasionalan
penggunaan obat dalam resep sehingga mencegah terjadinya masalah-masalah
yang ditimbulkannya seperti polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan,
dan lainnya serta menjamin legalitas dari resep tersebut. Apoteker dan asisiten
apoteker menghubungi dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam
penulisan resep seperti dosis, aturan pemakaian, usia pasien, dan nama obat
serta bentuk sediaannya. Apoteker juga berdiskusi dengan dokter mengenai
solusi-solusi tertentu dalam penggunaan obat apabila ada penggunaan obat
yang tidak rasional. Pengambilan keputusan oleh apoteker dalam kebijakan ini
selalu didasarkan atas izin dokter penulis resep dan pasien yang bersangkutan.

2) Dispensing
Dispensing merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap
validasi, interpretasi, menyiapkan/meracik obat, memberikan label atau etiket,
penyerahan obat dengan memberikan informasi obat yang memadai disertai
sistem dokumentasi. Kegiatan dispensing di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo
memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Peratuan Menteri Kesehatan RI
No. 35 tahun 2014. Dispensing yang dilakukan tidak hanya terbatas untuk
obat resep tetapi apoteker maupun asisten apoteker juga melayani obat non
resep atau pelayanan swamedikasi (Upaya Pengobatan Diri Sendiri / UPDS).
Apoteker maupun asisten apoteker memberikan edukasi kepada pasien yang
memperlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat
bebas atau bebas terbatas yang sesuai. Berikut adalah pelayanan obat maupun
perbekalan farmasi lainnya yang dilakukan di Apotek Kimia Farma 71
Sutomo.

76
1. Pelayanan Obat Tunai dengan
Resep Dokter
Pelayanan atau penjualan obat dengan resep tunai dilakukan terhadap
pasien yang langsung datang ke apotek untuk menebus obat dengan
menggunakan resep dokter. Alur pelayanan resep tunai di Apotek Kimia
Farma 71 Sutomo dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.

Gambar 14. Alur Pelayanan Obat Tunai dengan Resep Dokter Apotek Kimia Farma 71
Sutomo

2. Pelayanan Obat Kredit dengan


Resep Dokter
Alur pelayanan yang dilakukan hampir sama dengan pelayanan obat
dengan resep tunai hanya saja pada pelayanan ini tidak terdapat perincian harga

77
obat dan penyerahan uang tunai dari pasien kepada apotek Kimia Farma. Oleh
karena itu pencatatan terhadap pelayanan obat dengan resep dokter secara kredit
ini dipisahkan dengan pelayanan obat dengan resep dokter secara tunai. Struk
resep kredit dan surat penagihan diserahkan ke BM yang selanjutnya akan
dilakukan penagihan kepada perusahaan atau instansi yang bersangkutan.

Pelayanan resep kredit ini hanya diberikan kepada pasien yang


merupakan karyawan atau anggota instansi yang membuat kesepakatan kerja
sama dengan apotek Kimia Farma. Instansi yang bekerjasama dengan Apotek
Kimia Farma untuk pelayanan resep kredit diantaranya yaitu :

a. BPJS Kesehatan
b. Pos Indonesia
c. PLN
1) PLN Distribusi
2) PLN Cabang
d. Bank Indonesia
e. Pertamina
f.PT. indosat
g. Dokter praktek bersama
di apotek Kimia Farma

78
Gambar 15. Alur Pelayanan Obat Kredit dengan Resep Dokter
Apotek Kimia Farma 71 Sutomo

3. Pelayanan Obat Bebas / HV (Hand Verkoop)


Pelayanan obat bebas yaitu pasien datang dan dilayani langsung oleh petugas
pelayanan serta konsultasi pemilihan obat dilayani dengan baik oleh AA maupun
apoteker sedangkan dalam pengambilan barang atau obat HV dibantu SPG (Seles
Promotion Girl) yang secara langsung berada di Apotek Kimia Farma.

79
Gambar 16. Alur Pelayanan Obat Bebas / HV Apotek Kimia Farma 71 Sutomo

4. Pelayanan Obat UPDS (Upaya Pengobatan Diri Sendiri) atau Swamedikasi


Pelayanan obat UPDS dilakukan atas permintaan langsung dari pasien.
Biasanya terdiri dari obat-obat wajib apotek (OWA) yang dapat diberikan tanpa resep
dokter. Apoteker atau AA terlebih dahulu bertanya kepada pasien mengenai keluhan
yang dirasakan kemudian memberikan beberapa pilihan obat yang biasa digunakan.
Setelah pasien setuju dan menyelesaikan pembayarannya kemudian obat disiapkan
dan disertai dengan PIO serta konseling oleh apoteker. Gambar 10 adalah gambar alur
pelayanan obat UPDS.

80
Gambar 17. Alur Pelayanan Obat UPDS Apotek Kimia Farma 71 Sutomo

5. Pelayanan Resep Narkotika dan Psikotropika


Pelayanan resep narkotika dan psikotropika yang dilakukan di Apotek Kimia
Farma 71 Sutomo hanya untuk resep narkotika dan psikotropika dari resep asli atau
untuk salinan resep yang dibuat oleh Apotek Kimia Farma sendiri yang belum
diambil sama sekali atau baru diambil sebagian. Apotek tidak melayani pembelian
obat narkotika tanpa resep atau pengulangan resep yang ditulis oleh apotek lain.
Pelayanan obat-obat narkotika berlaku untuk resep dari wilayah setempat atau resep
dokter setempat. Resep yang mengandung narkotika harus dicantumkan tanggal,
nama obat, yang digaris bawah merah, jumlah obat, nama dan alamat praktek dokter
serta pasien. Semua resep yang mengandung narkotika dan psikotropika dilakukan
pemeriksaan resep dengan teliti sesuai yang dipersyaratkan dalam petunjuk teknik
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

81
Resep-resep untuk obat narkotika dan psikotropika dikumpulkan terpisah. Obat-
obat narkotika dan psikotropika yang telah dikeluarkan setiap harinya dicatat dalam
laporan harian narkotika dan psikotropika, untuk kemudian dilaporkan dalam laporan
penggunaan narkotika dan psikotropika setiap bulan.

6. Pelayanan Swalayan Farmasi


Pelayanan swalayan farmasi meliputi penjualan obat dan perbekalan farmasi
lainnya yang dapat dibeli tanpa resep dari dokter seperti obat OTC (over the counter)
baik obat bebas maupun bebas terbatas. Barang-barang yang dijual seperti suplemen,
vitamin, susu, perawatan kulit, perawatan rambut, kosmetik, herbal health care, dan
alat-alat kesehatan. Pelayanan swalayan farmasi dapat dilayani langsung oleh petugas
pelayanan baik oleh SPG, AA maupun apoteker secara langsung dalam konsultasi
pemilihan produk.

Obat dan perbekalan farmasi lainnya di swalayan Apotek Kimia Farma 71


Sutomo tersusun rapi di gondola swalayan yang terjaga kebersihannya sesuai dengan
standar display produk dan bentuk kerjasama dengan supplier (konsinyasi, listing fee,
sewa gondola, sewa duratrans). Suatu kegiatan perencanaan, pelaksanaan, maupun
pengaturan dan penempatan produk serta promosi produk sekaligus evaluasi produk
yang dijual di dalam store dikenal dengan istilah merchandising. Merchandising ini
akan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keunggulan
bersaing dari retailer.

3) Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker
dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak dievaluasi dengan
kritis dan disertai bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep,
obat bebas, dan herbal. Pelayanan informasi obat dapat melalui media seperti poster,
leaflet atau brosur. Pelayanan informasi obat sangat diperlukan untuk menunjang

82
keberhasilan terapi terutama bagi pasien dengan penyakit kronik dan degeneratif
memerlukan terapi seumur hidup selain perubahan pola hidup. Terapi seumur hidup
dengan menggunakan obat akan meningkatkan resiko adanya efek samping obat dan
interaksi dengan obat penyakit lain atau obat bebas yang mungkin digunakan. Peran
apoteker untuk memberi konsultasi informasi obat dan edukasi kepada pasien sangat
penting.

Informasi mengenai obat dilakukan pada saat penyerahan obat kepada pasien.
Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker dan minimal oleh asisten apoteker. Tahapan
dalam pelayanan informasi obat untuk pasien dengan resep dokter antara lain
apoteker menganalisis resep dan menyiapkan obat, memanggil pasien, menanyakan
informasi yang diberikan dokter, apoteker memberikan informasi yang diperlukan
pasien mengenai obat dan meminta pasien untuk mengulangi kembali.

Menanyakan informasi yang diberikan oleh dokter mengenai penyakit yang


diderita pasien merupakan hal yang penting dalam pemberian informasi obat agar
terjadi kesesuaian antara diagnosa dokter dengan informasi yang akan disampaikan
oleh apoteker mengenai obat yang diresepkan. Hal ini terutama dalam
menginformasikan kegunaan atau tujuan diberikannya obat tersebut dalam hasil
diagnosis suatu penyakit, apakah untuk mengatasi penyakit yang bersangkutan, untuk
mencegah reaksi alergi tertentu, untuk mencegah komplikasi yang mungkin terjadi
atau untuk mengatasi efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat lainnya pada
terapi dengan kombinasi obat.

Informasi yang diberikan oleh apoteker meliputi:

1. Nama obat
2. Kegunaan atau khasiat obat
3. Cara pemakaian dan interval pemakaian obat
4. Efek samping yang mungkin terjadi
5. Makanan, minuman atau aktivitas yang harus dihindari

83
6. Cara penyimpanan obat
7. Interaksi obat (bila ada)
8. Informasi mengenai obat dengan cara pemberian khusus.
Misalnya penggunaan inhaler/obat semprot untuk obat asma, suppositoria
dimasukkan melalui anus, ovula, dan sebagainya.

Sedangkan tahapan dalam pelayanan informasi obat untuk pasien tanpa resep
dokter (UPDS) adalah apoteker menggali informasi selengkap-lengkapnya mengenai
siapa pengguna obat, gejala apa yang dirasakan, berapa lama gejala tersebut dirasakan
pasien, tindakan apa yang telah dilakukan utnuk mengatasi gejala tersebut, dan obat
apa yang telah dikonsumsi untuk mengatasi gejala tersebut. Apoteker memilihkan dan
menginformasikan obat yang dibutuhkan sesuai dengan keluhan pasien. Informasi
obat yang diberikan apoteker sama dengan informasi obat untuk pasien dengan resep
dokter.

Pelayanan informasi obat tidak hanya bersifat lisan dan tatap muka langsung
dengan pasien. Pelayanan informasi juga dapat dilakukan melalui poster atau leaflet.
Apotek Kimia Farma 71 Sutomo juga melakukan pelayanan obat melalui telepon.
Pasien dapat bertanya apabila ada kesulitan atau keraguan dalam menggunakan suatu
produk obat. Apotek Kimia Farma memiliki layanan call centersehingga para
konsumen dapat untuk menanyakan informasi yang berkaitan dengan apotek
misalnya alamat apotek, nomor telefon, info praktek dokter hingga handling
complain. Layanan blackberry massenger juga tersedia di tiap APP untuk
mempermudah pasien memperoleh informasi obat di apotek yang bersangkutan
hingga memesan obat dengan delivery system juga terlayani lewat layanan BBM.

4) Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga
untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan sehingga

84
terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi pasien. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.35 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu
diberi konseling adalah pasien dengan kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan
fungsi hati atau ginjal, ibu hamil, dan menyusui), pasien dengan terapi jangka panjang
(DM (Diabetus Militus), AIDS (Acquiride Immune Deficiency Syndrome), epilepsi),
pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit, pasien yang
menggunakan obat dengan instruksi khusus, pasien dengan polifarmasi, dan pasien
dengan tingkat kepatuhan rendah. Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian apotek
Kimia Farma 71 Sutomo melakukan konseling pada saat penyerahan obat baik HV,
UPDS ataupun resep. Konseling pribadi empat mata (antara apoteker dan pasien)
jarang dilakukan meskipun sudah disediakan tempat. Hal ini dikarenakan waktu yang
tidak memungkinkan baik dari pihak pasien ataupun apoteker. Pasien yang datang
membeli obat di apotek biasanya sudah mengetahui tentang obat yang dikonsumsinya
sehingga apoteker tidak memberikan konseling secara detail kepada pasien.
Konseling yang diberikan terbatas pada nama obat, bentuk sediaan, dosis, aturan
pemakaian, dan penyimpanan. Kesibukan apoteker dalam melakukan pekerjaan
kefarmasiannya juga menjadi salah satu penyebab mengapa konseling yang dilakukan
hanya sebatas yang dijelaskan diatas. Meskipun demikian apoteker apotek Kimia
Farma 71 Sutomo tidak menutup diri untuk melakukan konseling secara detail kepada
pasien yang dinilai memperlukannya dan siap menjawab semua pertanyaan mengenai
obat dari pasien. Bagaimanapun bentuk konseling yang diberikan poin pentingnya
adalah tujuan dari konseling itu sendiri bisa tercapai.

85
5) Home care
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan
pasien dengan pengobatan penyakit kronis. untuk aktivitas ini, apoteker harus
membuat catatan berupa medication record (Depkes RI, 2004)

86
BAB IV

A. Kesimpulan

1. Apotek Kimia Farma berada pada lokasi yang sangat strategis.


2. Apotek Kimia Farma telah dapat melaksanakan fungsi sosial dan fungsi
ekonomis apotek dengan baik.
3. Peranan Apoteker Pengelola Apotek di Apotek KImia Farma telah terlaksana
secara maksimal, baik dalam mengkoordinasi karyawan untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian di apotek maupun dalam memberikan informasi engenai
obat yang diperlukan oleh pasien sehingga pasien dapat menggunakan obat
secara tepat, aman dan rasional.

B. Saran
Bardasarkan pengamatan selama PKPA yang dilaksanakan di Apotek Kimia Farma
71 Sutomo, saran yang diberikan adalah:

1. Sebaiknya di Apotek Kimia Farma 71 Sutomo diadakan konseling untuk


meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dan diberikan ruangan khusus
konseling untuk Apoteker dan pasien yang dilengkapi dengan meja an kursi serta
lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien, sehingga dengan leluasa dapat
memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
2. Sebaiknya petugas peracikan obat dihimbau untuk mengenakan alat pelindung
diri (masker) dan mencuci tangan terlebih dahulu ketika akan melaksankan
tugasnya yang ertujuan untuk menjaga higenitas sediaan obat dan untuk
meningkatkan keselamatan kerja pegawai apotek.
3. Diperlukannya ruang peracikan yang cukup luas agar pelaksanaan peracikan
lebih mudah dan lebih cepat, karena jika pada waktu yang bersamaan terdapat
dua atau tiga resep racikan, dikhawatirkan terjadinya penundaan peracikan.

87
4. Untuk mempermudah pelayanan bagi pembeli atau pasien dan mengefesienkan
waktu pelayanan, maka perlu dilakukan penulisan atau penandaan harga di
gondola pada produk farasi maupun non farmasi sehingga pasien sudah tahu
hargproduk yang aka dibeli.

88
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 2001a, Manajemen Farmasi, Edisi III, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 3-4.

Anief, M., 2001b, Manajemen Farmasi, Edisi III, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 3-4.

Anief, M., 2001c, Manajemen Farmasi, Edisi III, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 3-4.

Depkes RI, 1990a, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1900


tentang Obat Wajib Apotek, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 1990b, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1900


tentang Obat Wajib Apotek, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 1992, Undang-Undang tentang Kesehatan, Nomor : 23 Tahun 1992,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 1993a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotik No. 2,Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 1993b, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.922 tahun 1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Departemen Kesehatan
RI,Jakarta.

Depkes RI,1997a, Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 1997b, Undang-undang RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 1999, Kepmenkes No. 1176/Menkes/SK/X/1999 Tentang Daftar Obat


Wajib Apotek No. 3, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

89
Depkes RI, 2002a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotik, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2002b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1332/Menkes/SK/X/2002tentang Surat Izin Apotik, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Depkes RI, 2002c, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002tentang Surat Izin Apotik, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Depkes RI, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2004b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor


1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2007a, Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2007b, Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2009a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tentang


Narkotika, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2009b, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tentang


Narkotika, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.889/MenKes/Per/V/2011


tentang Registrasi Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014a,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di


Apotek, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

90
Depkes RI,2014b,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014c,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014d,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014e,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014f,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014g,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014h,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014i,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014j,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI,2014k,Undang-Undang Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2015a, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.31 tahun 2015 tentang
Peredaran Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2015b, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.31 tahun 2015 tentang
Peredaran Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkeu RI , 2000, Tentang Pajak Penghasilan No 17, Departemen Keuangan RI,


Jakarta.

91
Hanafi, M.M., 2004, Manajemen, Cetakan kedua, Akademi Manajemen Perusahaan,
Yogyakarta, 245-262.

Hartini, Y.S.,dan Sulasmono, 2006, Apotek: Ulasan Beserta Naskah Peraturan


Perundang – undang Terkait Apotek Termasuk Naskah Ulasan Permenkes
Tentang Apotek Rakyat, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Helmi, A.F., Sutarmanto, H., 2004, Kewirausahaan dan Inovasi, Edisi Revisi II,
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 49-54.

Presiden Republik Indonesia, 1997,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang


Psikotropika, Jakarta.

Umar, M., 2005, Manajemen Apotek Praktis, CV. Ar-rahman, Solo.

Umar, M., 2011, Manajemen Apotek Praktis, Edisi IV, Wira Putra Kencana, Jakarta.

92

Anda mungkin juga menyukai