Anda di halaman 1dari 58

BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori Hipertensi

2.1.1 Definisi

Hipertensi adalah suatu keadaan ketika seseorang

mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal atau

peningkatan abnormal secara terus menerus lebih dari suatu

periode, dengan tekanan sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan

diastolik diatas 90mmHg. (Aspiani, 2014)

Hipertensi merupakan suatu kondisi tekanan darah

seseorang yang lebih dari 120/80 mmHg dimana tekanan darah

berada di atas angka normal. Yang dimaksud disini adalah apabila

tekanan darah sistoliknya mencapai nilai 120 mmHg atau lebih dan

tekanan darah diastoliknya mencapai nilai 80 mmHg atau lebih

(Susilo dan Wulandari, 2013)

Hipertensi primer atau hipertensi esensial disebut juga

hipertensi idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya (Aspiani,

2014).

2.1.2 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Hipertensi Primer (Essensial)

8
9

Hipertensi primer sering juga disebut hipertensi idiopatik

karena belum diketahui penyebabnya. Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi hipertensi primer antara lain : genetik,

lingkungan, hiperaktifitas saraf simpatis sistem renin,

angiotensin dan peningkatan Na + Ca intraseluler. Sedangkan

faktor-faktor yang meningkatkan resiko hipertensi primer

antara lain obesitas, merokok, alkohol serta polisitemia.

1) Genetik

Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan

hipertensi, beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini.

Faktor genetik ini tidak dapat dikendalikan, jika memiliki

riwayat keluarga yang memliki tekanan darah tinggi.

2) Jenis kelamin dan usia

Laki - laki berusia 35- 50 tahun dan wanita

menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi.

Jika usia bertambah maka tekanan darah meningkat faktor

ini tidak dapat dikendalikan serta jenis kelamin laki–laki

lebih tinggi dari pada perempuan.

3) Diet

Konsumsi diet tinggi garam secara langsung

berhubungan dengan berkembangnya hipertensi. Faktor ini

bisa dikendalikan oleh penderita dengan mengurangi

konsumsinya, jika garam yang dikonsumsi berlebihan,

ginjal yang bertugas untuk mengolah garam akan menahan


10

cairan lebih banyak dari pada yang seharusnya didalam

tubuh. Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan

peningkatan pada volume darah. Beban ekstra yang dibawa

oleh pembuluh darah inilah yang menyebabkan pembuluh

darah bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan

darah didalam dinding pembuluh darah dan menyebabkan

tekanan darah meningkat.

4) Berat badan

Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga

berat badan dalam keadaan normal atau ideal. Obesitas

(>25% diatas BB ideal) dikaitkan dengan berkembangnya

peningkatan tekanan darah atau hipertensi.

5) Gaya hidup

Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup

dengan pola hidup sehat dengan menghindari faktor pemicu

hipertensi yaitu merokok, dengan merokok berkaitan

dengan jumlah rokok yang dihisap dalam waktu sehari dan

dapat menghabiskan berapa putung rokok dan lama

merokok berpengaruh dengan tekanan darah pasien.

Konsumsi alkohol yang sering, atau berlebihan dan terus

menerus dapat meningkatkan tekanan darah pasien

sebaiknya jika memiliki tekanan darah tinggi pasien

diminta untuk menghindari alkohol agar tekanan darah


11

pasien dalam batas stabil dan pelihara gaya hidup sehat

penting agar terhindar dari komplikasi yang bisa terjadi.

b. Hipertensi Sekunder

Pada hipertensi sekunder bisa disebabkan karena adanya

penggunaan estrogen, penyakit ginjal sindrom cushing serta

hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan

(Preeklamsi/eklamsi) (Nurarif dan Kusuma, 2015).

Sedangkan menurut Buss dan Labus pada tahun 2013

hipertensi sekunder penyebabnya diketahui seperti adanya

kelainan pada pembuluh darah, hipertiroid,

hiperaldosteronisme dan penyakit parenkimal.

2.1.3 Klasifikasi Hipertensi

Menurut Palmer dalam Manuntung (2019) hipertensi dibagi dalam

2 jenis :

1) Hipertensi essensial (primer)

Hipertensi jenis ini terjadi pada sebagian besar kasus

hipertensi yang ditemukan. Sekitar 95% yang telah ditemukan

pada hipertensi tipe ini. Untuk penyebab dari hipertensi primer

sendiri belum diketahui.

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi medis lain

seperti penyakit ginjal serta reaksi obat-obatan tertentu seperti


12

pil KB. Menurut Smeltzer dalam Manuntung (2019) pada usia

lanjut hipertensi diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :

a) Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar

dari 140 mmHg dan tekanan sistolik sama atau lebih dari 90

mmHg.

b) Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih

tinggi dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah

dari 90 mmHg.

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah dewasa usia 18

tahun ke atas menurut The Joint National Commitee (JNC VII,

2008)

Tabel 2.1 Klasifikasi TD dewasa (JNC VII)


Kategori TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi 140-159 90-99
Tahap 1
Hipertensi ≥160 ≥100
Tahap 2
Sumber : (JNCVII, 2008)

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi menurut WHO


Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Optimal
Normal < 120 < 80
Normal-Tinggi < 130 < 85
130-139 85-89
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) 140-159 90-99
Sub-group: perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
(Isolated systolic hypertension)
Sub-group: perbatasan 140-149 <90
(Sumber: Sani, 2008)
13

2.1.4 Tanda dan Gejala Hipertensi

Sebagian besar orang yang menderita hipertensi tidak

menimbulkan tanda dan gejala, meskipun secara tidak sengaja

gejala yang timbul secara bersamaan dan dipercaya berhubungan

dengan hipertensi yang sesungguhnya tidak ada hubungannya sama

sekali. Tanda-tanda tersebut adalah dapat berupa sakit kepala,

perdarahan dari hidung, pusing, dan kelelahan yang mana tanda-

tanda tersebut sebernarnya dapat terjadi pada orang normal. Tetapi

pada orang dengan hipertensi kronis dan tidak ada pengobatan

tanda-tandanya dapat berupa sakit kepala, mual, muntah, kelelahan,

gelisah, pandangan kabur, serta dapat terjadi adanya penurunan

kesadaran bahkan koma pada hipertensi berat.

Secara klinis tanda dan gejala hipertensi dibedakan menjadi :

a. Tidak ada gejala

Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat berhubungan

dengan tekanan darah, selain adanya tekanan arteri. Jika

tekanan arteri tidak teratur maka hipertensi arterial tidak pernah

terdeteksi sebelumnya.

b. Gejala yang lazim

1) Terjadi kerusakan susunan saraf pusat yang menyebabkan

ayunan langkah tidak mantap.

2) Nyeri kepala oksipital yang terjadi saat bangun dipagi hari

karena adanya peningkatan tekanan intrakranial yang

disertai mual dan muntah.


14

3) Epistaksis

4) Sakit kepala, pusing dan keletihan disebabkan oleh

penurunan perfusi darah akibat vasokonstriksi pembuluh

darah.

5) Penglihatan kabur akibat kerusakan pada retina

6) Nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) akibat dari

peningkatan aliran darah ke ginjal dan peningkatan filtrasi

oleh glomerulus (Ardiansyah, 2012).

c. Tanda dan gejala utama hipertensi adalah (Aspiani, 2014)

menyebutkan gejala umum yang ditimbulkan akibat hipertensi

atau tekanan darah tinggi tidak sama pada setiap orang, bahkan

terkadang timbul tanpa tanda gejala. Secara umum gejala yang

dikeluhkan oleh penderita hipertensi sebagai berikut:

1) Sakit kepala

2) Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk

3) Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa ingin jatuh

4) Berdebar atau detak jantung terasa cepat

5) Telinga berdenging yang memerlukan penanganan segera

Menurut teori (Brunner dan Suddarth, 2014) klien

hipertensi mengalami nyeri kepala sampai tengkuk karena terjadi

penyempitan pembuluh darah akibat dari vasokonstriksi pembuluh

darah akan menyebabkan peningkatan tekanan vasculer cerebral,

keadaan tersebut akan menyebabkan nyeri kepala sampai tengkuk.


15

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hipertensi baik yang

dapat diubah maupun tidak dapat diubah

1) Faktor resiko yang dapat diubah

a) Lingkungan (stres)

Faktor lingkungan seperti stress juga memiliki

pengaruh terhadap hipertensi. Hubungan antara stress

dengan hipertensi adalah dengan melalui saraf simpatis,

dengan adanya peningkatan aktivitas saraf simpatis akan

meningkatkan tekanan darah secara intermitten (Triyanto,

2014).

b) Obesitas

Pada seorang penderita obesitas dengan hipertensi

memiliki daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah

yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penderita yang

memiliki berat badan normal (Triyanto,2014).

c) Rokok

Kandungan nikotin dalam rokok dapat menstimulus

pelepasan katekolamin. Katekolamin yang mengalami

peningkatan dapat menyebabkan peningkatan denyut

jantung, iritabilitas miokardial serta terjadi vasokontriksi

yang dapat meningkatkan tekanan darah (Ardiansyah,

2012).
16

2) Faktor resiko yang tidak dapat diubah

a) Usia

Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang

berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan

bertambahnya usia maka semakin tinggi pula resiko

hipertensi. Kejadian hipertensi yang meningkat seiring

dengan bertambahnya usia, hal ini disebabkan oleh

perubahan alamiah dalam tubuh yang mempengaruhi

pembuluh darah, hormon serta jantung (Triyanto, 2014).

b) Genetik

Apabila terdapat riwayat keluarga dengan hipertensi

maka akan semakin besar kemungkinan seseorang juga

menderita hipertensi (Triyanto,2014).

c) Ras

Seseorang dengan warna kulit yang lebih gelap

cenderung memiliki resiko yang lebih besar untuk

menderita hipertensi primer ketika kadar renin plasma yang

rendah. Rendahnya kadar renin plasma tersebut dapat

menyebabkan kemampuan ginjal untuk mensekresi natrium

yang berlebih menjadi berkurang (Kowalak dkk, 2011).


17

2.1.6 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi

pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak.

Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang

berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna

medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls

yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia

simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin,

yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh

darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan

konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor seperti kecemasan dan

ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah terhadap

rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat

sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan

jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis

merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi,

kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan

aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin,

yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi

kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons

vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang

mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan


18

rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang

kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor

kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh

korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air

oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra

vaskuler. Semua factor ini cenderung mencetuskan keadaan

hipertensi.

Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan

fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada

perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan

tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat

dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang

pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang

pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang

kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang

dipompa oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan

penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer

( Brunner & Suddarth, 2002 ).

Pusat vasomotor medulla otak merupakan bagian yang

mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah. Rangsangan

pusat vasomotor yang dihantarkan dalam bentuk impuls bergerak

menuju ganglia simpatis melalui saraf simpatis. Setelah itu saraf

simpatis melanjutkan impuls ke neuron preganglion untuk

melepaskan asetilkolin yang merangsang saraf pasca ganglion.


19

Saraf pasca ganglion bergerak menuju ke pembuluh darah untuk

melepaskan noreprineprin yang mengakibatkan terjadinya kontriksi

pembuluh darah. Mekanisme hormonal bekerja seperti mekanisme

saraf yang ikut mengatur tekanan pada pembuluh darah

(Smeltzer&Bare,2008). Mekanisme tersebut antara lain

a. Mekanisme vasokonstriktor norepineprin-epineprin

Adanya rangsangan pada susunan saraf simpatis yang

selain bisa menyebabkan peningkatam pembuluh darah juga

bisa menyebabkan adanya pelepasan noreprineprine dan

epineprin oleh medulla adrenal ke dalam darah. Keberadaan

noreprineprin dan epineprin di sirkulasi darah akan merangsang

vasokonstriksi pembuluh darah. Respon pembuluh darah

terhadap rangsang vasokonstriktor dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti kecemasan dan ketakutan (Saferi dan

Mariza, 2013).

b. Mekanisme vasokonstriktor renin-angiotensin

Ginjal melepaskan renin yang memecah plasma menjadi

substrat renin melepaskan angiotensin I, kemudian angiotensin

I dirubah menjadi angiotensin II yang merupakan

vasokonstriktor kuat. Selama hormon ini meteap dalam darah

maka peningkatan tekanan darah dapat mengalami peningkatan

(Guyton, 2012).

Pada lansia adanya perubahan struktural dan fungsional

pada sistem pembuluh darah perifer pada mempengaruhi


20

tekanan darah pada lansia. Perubahan struktural dan fungsional

meliputi aterosklerosis, jaringan ikat kehilangan elastisitasnya

serta penurunan kemampuan relaksasi otot polos pembuluh

darah. Penurunan kemampuan dari otot polos pembulih darah

tersebut bisa mengakibatkan penurunan distensi serta daya

renggang pembuluh darah, sehingga aorta dan arteri besar

mengalami penurunan kemampuan untuk mengakomodasi

volume darah yang dipompa jantung, sehingga curah jantung

mengalami penurunan lalu menyebabkan peningkatan tahanan

perifer (Saferi dan Mariza, 2013).


22

2.1.7 Pathway

Faktor Resiko HT Primer :


Umur, obesitar, pola hidup
yangb tidak sehat, ras, genetik, Hipertensi
stress

Perubahan struktur pembulu Kerusakan vaskuler pembulu


darah darah

Vasokontriksi Penyumbatan pembulu darah

Gangugguan Sirkulasi

Otak Ginjal Pembulu darah Retina

Resistensi Suplai O2
Vasokontriksi Spasme
pembulu darah ke otak
pembulu darah Sistemik Koroner arteriole
ke otak
ginjal

Vasokontriksi
Iskemik
miocard Diploplia
Nyeri kepala Sinkop Blood flow
menurun
Afterload
meningkat Nyeri dada
Respom Resiko
Nyeri akut Gangguang cidera
perfusi RAA
jaringan
Kesulitan untuk Penurunan Fatigue
Rangsangan
memulai tidur curah
Aldosteron
jantung
Ansietas Intoleransi
Gangguang aktifitas
Retensi RA
pola tidur
Edema
Gambar 2.1 pathway Hipertensi(Nanda, 2018)
22

2.1.8 Komplikasi

Menurut Triyanto (2014), komplikasi hipertensi meliputi :

1) Stroke

Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan darah

diotak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh darah

non otak yang terpejan tekanan darah tinggi. Stroke dapat

terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang

memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal,

sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya

berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis

dapat menjadi lemah, sehingga meningkatkan kemungkinan

terbentuknya aneurisma.

2) Infark miokard

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang

mengalami arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup

oksigen ke miokardium, bisa juga karena terbentuknya trombus

yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah

tersebut. Pada hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel

kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi

dan dapat menjadi iskemi jantung yang menyebabkan infark.

Demikian pula pada hipertropi ventrikel dapat menimbulkan

perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga

disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko

pembentukan bekuan (Corwin (2000) dalam Triyanto, 2014).


23

3) Gagal ginjal

Tekanan tinggi kapiler glomerulus ginjal akan

mengakibatkan kerusakan progresif sehingga gagal ginjal.

Kerusakan pada glomerulus menyebabkan aliran darah ke unit

fungsional juga ikut terganggu sehingga tekanan osmotik

menurun kemudian hilangnya kemampuan pemekatan urin

yang menimbulkan nokturia.

Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah kembali

ke jantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di

paru, kaki dan jaringan lain ayn gsering disebut dengan edema.

Cairan di dalam paru-paru menyababkan sesak nafas, timbunan

cairan ditungkai maupun kaki.

2.1.9 Penatalaksanaan Hipertensi

Penatalaksanaan hipertensi bertujuan untuk menc

komplikasi yang dapat disebabkan oleh hipertensi.

Penatalaksanaan pada hipertensi secara umum dibagi menjadi 2,

yaitu secara farmakologi dan juga non-farmakologi.

Penatalaksanaan secara farmakologi dilakukan melalui berbagai

macam obat yang masing-masing cara kerjanya berbeda tapi semua

bertujuan untuk menurunkan tekanan darah. Sedangkan

penatalaksanaan secara non-farmakologi menurunkan tekanan

darah dengan berbagai modivikasi pola hidup maupun pola makan.


24

1) Penatalaksanaan Hipertensi Secara Umum

a) Penatalaksanaan Secara Non-Farmakologi

Pada penatalaksanaan nonfarmakologi pada pasien

dengan hipertensi adalah dengan cara memodifikasi faktor

resiko. Faktor resiko tersebut diantaranya

1. Relaksasi Otot Progesif

2. Memepertahankan berat badan ideal

Berat badan ideal yang sesuai dengan Body Mass

Index adalah pada rentang 18,5 – 24,9. Obesitas pada

seseorang dapat diatasi dengan diet rendah kolesterol

dan mengkonsumsi makanan yang tinggi protein dan

serat. Penurunan berat badan 2,5 – 5 kg dapat

menurunkan tekanan diastolik sebanyak 5 mmHg

(Dalimanta dalam Kamila, 2017).

3. Mengurangi asupan natrium

Mengurangi asupan sodium dilakukan dengan

melakukan diet rendah garam yaitu tidak lebih dari 100

mmol/hari (kira-kira 6gr NaCl atau 2,4 gr garam/hari),

atau dengan mengurangikonsumsi garam sampai

dengan 2300 mg setara dengan satu sendok teh setiap

harinya. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 5

mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 2,5 mmHg

dapat dilakukan dengan cara mengurangi asupan garam


25

menjadi ½ sendok teh/hari (Dalimanta dalam Kamila,

2017).

4. Membatasi konsumsi alkohol

Mengonsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari

pada pria atau lebih dari 1 gelas per hari pada wanita

dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga membatasi

atau menghentikan konsumsi alkohol dapat membantu

dalam penurunan tekanan darah (PERKI dalam Kamila,

2017).

5. Mengindari rokok

Merokok dapat meningkatkan resiko komplikasi

pada seseorang dengan hipertensi seperti penyakit

jantung dan stroke. Pada rokok terdapat nikotin yang

membuat jantung bekerja lebih keras karena

mempersempit pembuluh darah dan meningkatkan

frekuensi denyut jantung serta tekanan darah.

6. Menghindari stress

Menghindari stress pada penderita hipertensi dapat

dilakukan dengan cara relaksasi seperti relaksasi otot,

yoga atau meditasi yang dapat mengontrol sistem saraf

sehingga menurunkan tekanan darah yang tinggi

7. Makan K dan Ca yang cukup dari diet

Kalium menurunkan tekanan darah dengan cara

meningkatkan jumlah natrium yang terbuang bersamaan


26

dengan urin. Konsumsi buah-buahan setidaknya

sebanyak 3-5 kali dalam sehari dapat membuat asupan

potassium menjadi cukup. Cara mempertahankan

asupan diet potasium (>90 mmol setara 3500 mg/hari)

adalah dengan konsumsi diet tinggi buah dan sayur.

8. Aromaterapi (relaksasi)

Penggunaan aroma terapi dapat membantu tubuh

menjadi rileks sehingga menurunkan aktifitas

vasokonstriksi pembuluh darah, aliran darah menjadi

lancar dan tekanan darah menurunkan.

9. Terapi masase (pijat)

Pijat dapat memperlancar energi dalam tubuh

sehingga dapat meminimalisir hipertensi beserta

komplikasi yang dapat terjadi karena hipertensi.

b) Penatalaksanaan Secara Farmakologi

Menurut saferi dan Mariza (2013) penatalaksanaan

dengan farmakologi diantaranya adalah

1. Diuretik (Hidroklorotiazid)

Diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan

berlebih dalam tubuh sehingga daya pompa jantung

menjadi lebih ringan.

2. Penghambat simpatetik (Metildopa, Klonidin, Reserpin)

Obat-obatan jenis ini berfungsi menghambaat aktifitas

dari saraf simpatis


27

3. Betabloker (Metoprolol, Propanolol, Atenolol)

Fungsi dari obat jenis ini adalah menurunkan daya

pompa jantung. Kontraindikasi dari obat jenis ini adalah

pada penderita yang mengalami gangguan pernafasan

seperti asma bronchial.

4. Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)

Fungsi obat ini merelaksasi otot polos pembuluh darah

5. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor

Salah satu contoh obat jenis ini adalah Captopril.

Fungsi dari obat golongan ini adalah dengan

menghambat pembentukan angiotensin II. Efek

samping dari penggunaan obat jenis ini adalah penderita

dapat mengalami batuk kering, pusing, sakit kepala dan

juga lemas.

6. Penghambat Reseptor Angiotensin II (Valsartan)

Fungsi dari obat ini adalah menghalangi

penempelan angiotensin II pada reseptor sehingga daya

pompa jantung menjadi lebih ringan.

7. Antagonis Kalsium (Diltiasem dan Verapamil)

Obat jenis ini berkerja dengan menghambat kalsium

yamg dibutuhkan untuk kontraksi otot ke dalam otot

jantung serta dinding pembuluh darah, denyut jantung

akan melambat dan pembuluh darah akan melebar.

Karena hal tersebut akan berakibat tekanan darah


28

menurum, kestabilan denyut jantung terkontrol dan

meredakan nyeri dada.

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang Hipertensi

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk pasien

hipertensi menurut

Amin & Hardhi (2015) adalah sebagai berikut:

a) Pemeriksaan laboratorium

1) Hb/ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap

volume cairan (viskositasi) dan dapat mengindikasikan

faktor resiko seperti: hipokoagulasi, anemia.

2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang

perfusi/fungsi ginjal.

3) Glukosa: hiperglekemi (DM adalah pencetus hipertensi)

dapat diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin

4) Urinalisasi: darah, protein, glukosa, mengisyaratkan

disfungsi ginjal dan ada DM.

5) CTS can: mengkaji adanya tumor cerebral, enselopati

6) EKG: dapat menunjukan pola regangan, dimana luas,

peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini

penyakit jantung hipertensi

7) IUP: mengindikasikan penyebab hipertensi seperti: batu

ginjal, perbaikan ginjal

8) Photo dada: menurunkan ditruksi klasifikasi pada area

katup,pembesaran jantung.
29

b) Pemeriksaan fisik

Menggunakan Tensinometer yang mengindikasi hasil

sebebsar diats 130/70 mmHg.

2.2 Konsep Relaksasi Otot Progesif

2.2.1 Pengertian

Soewondo (2012), relaksasi otot progresif merupakan suatu

keterampilan yang dapat dipelajari dan digunakan untuk

mengurangi atau menghilangkan ketegangan sehingga

menimbulkan rasa nyaman tanpa tergantung pada hal/subjek di luar

dirinya. Relaksasi progresif dipandang cukup praktis dan ekonomis

karena tidak memerlukan imajinasi yang rumit, tidak ada efek

samping, mudah dilakukan, serta dapat membuat tubuh dan pikiran

menjadi tenang, rileks dan lebih mudah untuk tidur. Teknik

relaksasi dibedakan menjadi lima jenis, yaitu relaksasi otot

progresif, pernafasan diafragma, imagery training, biofeedback,

dan hypnosis. Dalam pelaksanaannya terdapat kesamaan prinsip

antara relaksasi otot progresif, imagery training, dan Hypnosis;

yaitu terapis barryak menggttnakan instruksi verbal untuk

mengarahkan klien sementara klien berkonsentrasi mengikuti

instruksi.

Teknik relaksasi otot progresif adalah memusatkan

perhatian pada suatu aktivitas otot, dengan mengidentifikasikan

otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan


30

melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks

(Purwanto, 2013). Respon relaksasi merupakan bagian dari

penurunan umum kognitif, fisiologis, dan stimulasi perilaku.

2.2.2 Manfaat relaksasi otot progresif

Relaksasi otot progresif telah digunakan dalam berbagai

penelitian didalam dan diluar negeri dan telah terbukti bermanfaat

pada berbagai kondisi subyek penelitian. Saat ini latihan relaksasi

relaksasi otot progresif semakin berkembang dan semakin sering

dilakukan karena terbukti efektif mengatasi ketegangan,

kecemasan, stres dan depresi, membantu orang yang mengalami

insomnia, hingga meningkatkan kualitas hidup pasien pasca

operasi CABG, menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi

esensial (Tri Murti, 201l), meredakan keluhan sakit kepala dan

meningkatkan kualitas hidup (Azizi & Mashhady,2012).

2.2.3 Fisiologi

lryani (2010) Kontraksi dan Relaksasi Latihan relaksasi

otot progresif melibatkan sembilan kelompok otot yang

ditegangkan dan dilemaskan, yaitu kelompok otot tangan, kaki,

dahi, mata, otot-otot bibir, lidah, rahang, dada dan leher. Pada

anggota gerak bagian atas terdapat sekumpulan otot yang terlibat

dalam kontraksi dan relaksasi yaitu musculus latissimus dorsi,

musculus deltoideus, musculus trapezius, musculus biceps brachii,

musculus triceps brachii, musculus extensor carpi radialis,

musculus extensor carpi ulnsris, musculuspronator teres, musculus


31

palmaris ulnaris, dan musculus feksor digitorunt profundus. Pada

anggota gerak bagian bawah jenis otot yang terlibat pada kontraksi

dan relaksasi meliputi musculus illiopsoas, musculus tensor

fasialata, musculus rechus femoris, musculus vestus, musculus

peroneus, musculus tibialis, musculus ekstensor digitorum

komunis, musculus pehinus, musculus gracillis, musculus saleus,

musculus adductor magnus musculus gluteus maksimus, musculus

biceps femoris, dan musculus plantaris.

Pada bagian kepala, wajah, dan mulut otot-otot yang

terlibat pada saat kontraksi dan relaksasi meliputi musculus

frontalis, musculus okcipitalis, musculus ohligeus oculi, musculus

orbicularis oculi, musculus levator palpebra, musculus triangularis,

musculus orbicularis oris, musculus quadrates labii, musculus

bucsinator, musculus zigomaticus, musculus maseter, musculus

temporalis, musculus pterigoid, musculus genioglosus, dan

musculus stiloglosus. Pada bagian leher dan bahu, jenis otot yang

terlibat meliputi musculus platisma, musculus sternoHeido

mastoid, musculus longisimus capitis, musculus deltoid, musculus

sub scapularis, musculus supraspinatus, musculus supra

infraspinatus, dan musculus teres.

Sedangpada bagian dada otot yang terlibat adalah musculus

pectoralis major, musculus pectoralis minor, musculus sub

clavicula, dan musculus seratus anterior. Selain itu pada saat

melakukan pemafasan dalam juga melibatkan otot-otot bagian


32

perut yang meliputi musculus abdominalis internal, musculus

abdominalis eksternal, musculus obliqus abdominalis, dan

musculus trensversus abdominalis. kontraksi dan relaksasi otot

dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui serabut syaraf

motoriknya, tempat lekat cabang-cabang syaraf motorik adalah

neuromuscular junction yang merupakan penghantar kimiawi

(neuro transmitter) asetil kholin maupun adrenalin untuk eksitasi

serabut otot.

Impuls syaraf yang tiba pada sebuah neuromuscular akan

dihantar langsung kepada tiap-tiap sarkomer oleh sistem tubura

transversar yang mengelilingi miofibril. Semua sarkomer pada otot

akan menerima sinyal untuk berkontraksi sehingga otot dapat

berkontraksi sebagai satu kesatuan yang utuh. Sinyal elektrik itu

dihantar menuju retikulum sarkoplasmik, yaitu suatu sistem dari

vesicles yang bersifat membran dan berasal dari retikulum

endoplasma yang membungkus miofibril., menjelaskan bahwa

pada keadaan relaksasi, ujung-ujung filamen aktin yang berasal

dari dua membran yang berurutan satu sama lain hampir tidak

tumpang tindih, sedangkan pada saat yang sama filamen miosin

mengadakan tumpang tindih secara sempuma, sebaliknya pada

keadaan kontraksi filamenfilamen aktin ini tertarik kedalam

diantara filamen miosin sehingga satu sama lain saling tumpang

tindih. Filamen aktin dapat ditarik demikian kuatnya sehingga

ujung-ujung filamen miosin melengkung ketika kontraksi.


33

Molekul miosin terdiri dari dua bagian, yaitu meromiosin

ringan dan meromiosin berat. Meromiosin ringan tersusun dari dua

utas peptida yang satu sama lainnya saling melilit dalam satu

heliks. Meromiosin berat terdiri dari dua bagian, yaitu heliks

kembar yang sarna dengan yang terdapat pada meromiosin ringan

dan bagian kepala yang terretak pada ujung heliks kembar. Badan

filamen terdiri dari utas meromiosin ringan yang sejajar. Bagian

meromiosin berat dari molekul miosin terdapat penonjoran yang

membentuk jembatan penyeberang. Batang penyeberang bertindak

sebagai lengan yang memungkinkan kepala meluas jauh keluar dari

badan filamen miosin atau terletak dekat dengan badan. sistem

kontrol desending adalah suatu sistem serabut berasal dari dalam

otak bagian bawah dan bagian tengah dan berakhir pada serabut

interneuronal dalam kornu dorsalis dari medula spinalis.

Relaksasi otot progresif dilakukan dengan cara

menegangkan kelompok otot tertentu kemudian melepaskan

ketegangan tersebut. Pada saat otot sedang ditegangkan memang

menimbulkan rasa tidak nyaman, tetapi ketika ketegangan

dilepaskan maka saat itulah akan merasakan sensasi rasa nyaman.

Dalam hal ini, orang yang melakukan latihan relaksasi otot

memang diminta untuk berkonsentrasi membedakan sensasi rasa

nyaman yang timbul ketika ketegangan dilepaskan. Ketegangan

otot merupakan hasil dari kontraksi serabut otot, sedang relaksasi

merupakan perpanjangan serabut otot.


34

Hingga saat ini belum ada alat untuk mengukur tingkat

ketegangan dan relaksasi otot. Sehingga ukuran otot yang tegang

dan rileks menjadi tidak standar dan lebih dominan bersifat

subyektif. Untuk ketegangan otot, secara obyektif sebenamya bisa

dilihat dan dirasakan. Pergerakan otot yang terjadi akibat makin

membesar dan memanjangnya serabut otot bisa dilihat secara kasat

mata. Konsistensi atau kekerasan bisa menjadi salah satu indikator

ketegangan karena semakin tegang suatu otot maka akan semakin

keras konsistensinya. Selain itu, usaha menegangkan otot harus

dilakukan dengan menahan nafas. Keras dan lemahnya getaran atau

guncangan saat menegan gkan mengindikasikan tingkat

ketegangan otot.

Menegangkan otot harus dilakukan dengan menahan nafas;

sehingga keadaan rileks terjadi ketika ia melepaskan ketegangan

dan melakukan pemafasan dalam yang teratur. Jika dilakukan

perabaan nadi akan didapatkan nadi teraba lebih pelan dan teratur

dibandingkan sebelumnya. Secara subyektif hal tersebut

ditunjukkan dengan pernyataan akan keadaan yang tenang,

nyaman, dan rileks. Sayangnya hingga saat ini belum ada alat

untuk mengukur tingkat ketegangan dan relaksasi otot.

2.2.4 Prosedur Relaksasi

Individu belajar Latihan relaksasi otot progresif bagaimana

menegangkan sekelompok otot kemudian melepaskan ketegangan

itu. Inti dari latihan tersebut terletak pada kemampuan individu


35

mengelola ketegangan fisik dan atau mental dengan memahami

perbedaan sensasi antara otot yang tegang dan rileks. Soewondo

(2012), mendeskripsikan prosedur relaksasi progresif sebagai

berikut:

1) Pertama duduk bersandar pada kursi secara nyaman dan

tenang.

2) Bila mengenakan kaca mata dan atau sepatu agar dilepas.

3) Menegangkan sekumpulan otot tertentu dan melemaskannya.

4) Menyadarkan klien akan perbedaan sensasi otot tegang dan

rileks.

5) Jumlah kumpulan otot yang perlu ditegangkan dan dilemaskan

tiap kali hendaknya berkurang.

6) Klien diharapkan dapat mengelola ketegangan dengan

menginstruksikan diri sendiri untuk rileks kapan dan dimana

saja.

Meskipun latihan relaksasi otot progresif tidak menimbulkan

efek samping yang berbahaya tetapi beberapa hal berikut ini perlu

diperhatikan ketika memberikan latihan (Davis & McKay.2001),

yaitu :

1) Menegangkan otot dalam waktu kurang lebih tujuh detik;

disarankantidak lebih dari sepuluh detik.

2) Merilekskan otot membutuhkan waktu sekitar 3040 detik.

3) Lebih nyaman dilakukan dengan mata tertutup.

4) Menegangkan kelompok otot dengan dua kali tegangan.


36

5) Menegangkan bagian tubuh sisi kanan terlebih dahulu

kemudian sisi kiri.

6) Memeriksa apakah klien benar-benar rileks atau tidak.

7) Terus menerus memberi instruksi.

8) Memberi instruksi tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.

Teknik relaksasi otot progresif merupakan yang paling sesuai

pada tahap awal pelatihan relaksasi. Bilamana telah terampil

dapat langsung diinstruksikan untuk rileks. Peserta diminta

untuk menjadikan perasaan rileks sebagai sebuah sugesti yang

dapat dihadirkan ketika diperlukan.

2.2.5 Langkah – Langkah Relaksasi Otot Progesif.

Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif Menurut Setyoadi dan

Kushariyadi (2011) persiapan untukmelakukan teknik ini yaitu:

a) Persiapan Persiapan alat dan lingkungan : kursi, bantal, serta

lingkunganyang tenang dan sunyi.

1) Pahami tujuan, manfaat, prosedur.

2) Posisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring

denganmata tertutup menggunakan bantal di bawah kepala

danlutut atau duduk di kursi dengan kepala ditopang,

hindariposisi berdiri.

3) Lepaskan asesoris yang digunakan seperti

kacamata,jam, dan sepatu.

4) Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal

lainsifatnya mengikat.
37

b) Prosedur

1) Gerakan 1 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan.

a. Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.

b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan

sensasiketegangan yang terjadi.

c. Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan

relaksasiselama 10 detik.

d. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua

kalisehingga dapat membedakan perbedaan antara

ketegangan otot dan keadaan relaks yang dialami.

e. Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.

2) Gerakan 2 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan

bagianbelakang.

a. Tekuk kedua lengan ke belakang pada

peregalangantangan sehingga otot di tangan bagian

belakang danlengan bawah menegang.

b. Jari-jari menghadap ke langit-langit.

Gambar gerakan 2.1 1 dan 2


38

3) Gerakan 3 : Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot

besar padabagian atas pangkal lengan).

a. Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.

b. Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak

sehingga ototbiseps akan menjadi tegang.

4) Gerakan 4 : Ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya

mengendur.

a. Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan

hinggamenyentuh kedua telinga.

b. Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak ketegangan

yangterjadi di bahu punggung atas, dan leher.

Gambar 2.2 gerakan 3 dan 4


39

5) Gerakan 5 dan 6: ditunjukan untuk melemaskan otot-otot

wajah (seperti dahi, mata, rahang dan mulut).

a. Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan

dahi dan alissampai otot terasa kulitnya keriput.

b. Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan

ketegangandi sekitar mata dan otot-otot yang

mengendalikan gerakanmata.

6) Gerakan 7 : Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan

yang dialamioleh otot rahang. Katupkan rahang,

diikuti dengan menggigit gigisehingga terjadi

ketegangan di sekitar otot rahang.

7) Gerakan 8 : Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot di

sekitar mulut.Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya

sehingga akan dirasakanketegangan di sekitar mulut.

Gambar 2.3 Gerakan 5, 6, 7 dan 8


40

8) Gerakan 9 : Ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian

depan maupun belakang.

a. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang

baru kemudian otot leherbagian depan.

b. Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.

c. Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi

sedemikian rupa sehinggadapat merasakan

ketegangan di bagian belakang leher dan punggung

atas.

9) Gerakan 10 : Ditujukan untuk melatih otot leher bagian

depan.

a. Gerakan membawa kepala ke muka.

b. Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan

ketegangan di daerahleher bagian muka.

10) Gerakan 11 : Ditujukan untuk melatih otot punggung


41

a. Angkat tubuh dari sandaran kursi.

b. Punggung dilengkungkan

c. Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik,

kemudian relaks.

d. Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil

membiarkan otot menjadilurus.

11) Gerakan 12 : Ditujukan untuk melemaskan otot dada.

a. Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru

dengan udara sebanyak-banyaknya.

b. Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan

ketegangan di bagian dadasampai turun ke perut,

kemudian dilepas.

c. Saat tegangan dilepas, lakukan napas normal dengan

lega.

d. Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan

perbedaan antara kondisitegang dan relaks

Gambar 2.4 Gerakan 9,10,11,12


42

12) Gerakan 13 : Ditujukan untuk melatih otot perut

a. Tarik dengan kuat perut ke dalam.

b. Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10

detik, lalu dilepaskanbebas.

c. Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut.

13) Gerakan 14-15 : Ditujukan untuk melatih otot-otot kaki

(seperti paha dan betis).

a) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa

tegang.

b) Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian

rupa sehingga keteganganpindah ke otot betis.

c) Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.

d) Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.

Gambar 2.5 Gerakan 13,14


43

2.3 Konsep Penurunan Curah Jantung

2.3.1 Definisi Penurunan Curah Jantung

Ketidakadekuatan jantung memompa darah untuk

memenuhi kebutuhan metabolism tubuh. Penurunan curah jantung

merupakan suatu keadaan dimana ketidakadekuatan jantung

memopa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh

( Dinarti, Aryani, R. 2013).

2.3.2 Etiologi

a) Penyebab Perubahan irama jantung

b) Perubahan frekuensi jantung

c) Perubahan kontraktilitas

d) Perubahan preload

e) Perubahan afterload
44

2.3.3 Manifestasi

a) Perubahan irama jantung Pasien mengeluh mengalami palpitasi

(jantung berdebar), bradikardia/takikardia dan terlihat

gambaran aritmia pada pemeriksaan EKG.

b) Perubahan preload Pasien mengeluh lelah, terdapat edema,

distensi vena jugularis dan pembersaran organ hati.

c) Perubahan afterload Pasien mengalami dyspnea (sesak nafas),

tekanan darah menurun, capillary refill time > 3 detik, produksi

urine berkurang (oliguria) dan sianosis.

d) Perubahan kontraktilitas Pasien mengalami paroxysmal

nocturnal dyspnea (PND), kesulitan bernafas dalam posisi

telentang (ortopnea), batuk, terdengar suara jantung (S3 dan S4)

dan fraksi ejeksi menurun.

1) Gejala dan Tanda Mayor

a) Subjektif

Perubahan irama jantung, Palpitasi, Perubahan

preload, Lelah, Perubahan afterloadm Dipsneam Perubahan

kontraktilitasm Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND),

Ortopnea, Batuk

b) Objektif

Perubahan irama jantung, Bradikardia/takikardi,

Gambaran EKG aritmia, Perubahan preload, Edem,

Distensi vena jugularis, Central venous pressure (CVP)

meningkat/menurun, Hepatomegali, Perubahan afterload,


45

Tekanan darah meningkat/menurun, Nadi perifer teraba

lemah, Capillary refill time >3 detik, Oliguria, Warna kulit

pucat dan/atau sianosis, Perubahan kontraktilitas,

Terdengar suara jantung S3 dan/atau S4, Ejaction fraction

(EF) menurun

2) Gejala dan Tanda Minor

a) Subjektif

Perilaku emosional, Cemas, Gelisah, Objektif,

Perubahan preload, Murmur jantung, Berat badan

bertambah, Pulmonary arteri wedge pressure (PAWP),

Perubahan afterload, Pulmonary vascular resistence (PVR)

meningkat/ menurun, Systemic vascular resistence (SVR)

meningkat/ menurun, Perubahan kontraktilitas, Cardiac

index (CI) menurun, Left ventricular strok work index

(LVSWI) menurun, Stroke volume index (SVI) menurun,

Kondisi klinis terkait Gagal jantung kongestif, Sindrom

koroner akut, Stenosis mitral, Regurgitasi mitral, Stenosis

aorta, Regurgitasi aorta, Stenosis trikuspitalm Regurgitasi

trikuspidal, Stenosis pulmonal, Regurgitasi pulmonal,

Aritmiam Penyakit jantung bawaan (SDKI, 2017, pp. 34-

35)
46

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.3 Pengkajian

Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan

membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan

penderita, mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita

yang dapat diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik dan

riwayat psikososial.

Menurut Padila, (2017) pengakajian keperawatan dapat

melipiti anamnesa (identitas, keluhan utama, riwayat penyakit,

riwayat psikosial, pengkajian fisik).

1) Anamnesa

a) Identitas klien

Meliputi nama, suku/bangsa, agama, pendidikan,

pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor

register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai

identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan

selanjutnya.

b) Jenis kelamin : Hipertensi berkaitan dengan jenis kelamin

laki-laki dan usia. Namun, pada usia tua, risiko hipertensi

meningkat tajam pada perempuan dibandingkan laki-laki.

Laki-laki obesitas lebih mempunyai risiko hipertensi lebih

besar dibandingkan dengan perempuan obesitas dengan

berat badan sama. Di Kamerun utara, pravelensi hipertensi

pada perempuan (51,7%) lebih tinggi dibandingkan laki-


47

laki (48,7%). Hormone seks berkontribusi terhadap

perbedaan gender dalam control tekanan darah. 55%

perempuan hipertensi berusia >40 tahun. Hipertensi berat

sebanyak 88,5%. Usia.(Pikir dkk, 2015, p. 5)

c) Usia : Jumlah penduduk berusia diatas 65 tahun meningkat

secara cepat, pada kurang dari 30 tahun, satu dari 5 orang di

Amerika Serikat akan berusia diatas 65 tahun (Spillman dan

Lubizt, 2000). Tekanan darah sistolik meningkat progresif

sesuai usia dan orang lanjut usia dengan hipertensi

merupakan risiko besar untuk penyakit kardiovaskuler.

(Pikir dkk, 2015, p. 5)

d) Ras : orang Amerika Seriat kulit hitam cenderung

mempunyai tekanan darah lebih tinggi bila dibandingkan

bukan dengan kulit hitam (Lloyd-Jones dkk, 2009) dan

keseluruhan angka mortalitas terkait hipertensi lebih tinggi

dari pada kulit hitam. Pada multiple risk factor intervention

trial, yang melibatkan lebih dari 23.000 laki-laki kulit hitam

dan 325.000 laki-laki kulit putting yang dipantau selama 10

tahun, didapatkan suatu perbedaan rasial yang menarik:

anggota mortalitas penyakit jantung koroner lebih rendah

pada laki-lak kulit hitam dengan tekanan diastolic melebihi

90 mmHg dibandingkan pada laki-laki kulit putih.(Pikir

dkk, 2015, p. 6)
48

e) Status kesehatan saat ini

1. Keluhan Utama

Fatingue, lemah, dan sulit bernapas. Temuan fisik

meliputi peningkatan frekuensi denyut jantung,

disritmia, dan takipnea. (Udjianti, 2013, hal. 108)

2. Alasan masuk rumah sakit

Alasan masuk rumah sakit dikarenakan pasien

memiliki keluhan lemah, sulit bernapas, dan kesadaran

menurun. (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 103)

f) Riwayat penyakit sekarang

Pada umumnya, beberapa hal yang harus

diungkapkan pada setiap gejala yaitu sakit kepala,

kelelahan, selah, susah nafas, mual, gelisah, kesadaran men

urun, pengelihatan menjadi kabur, tinnitus (telinga

berdenging), palpitasi (berdebar-debar), kaku kuduk,

tekanan darah diatas normal, gampang marah. (Nurarif &

Kusuma, 2015, p. 103)

g) Riwayat kesehatan terdahulu

1) Riwayat penyakit sebelumnya

Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit

yang pernah dialami sebelumnya.Misalnya : klien

pernah memiliki riwayat penyakit gagal ginjal dan klien

mengalami sakit yang sangat berat. (Haryanto & Rini,

2015, p. 41)
49

2) Riwayat penyakit keluarga

Hipertensi pada orang yang memiliki riwayat

hipertensi dalam keluarga sekitar 15-35%.Suatu

penelitian pada orang kembar, hipertensi terjadi 60%

laki-laki dan 30-40% perempuan. Hipertensi usia

dibawah 55 tahun terjadi 3,8 kali lebih sering pada

orang dengan riwayat hipertensi keluarga (Pikir dkk,

2015, p. 6)

h) Riwayat pengobatan

Ada beberapa obat yang harus diminum oleh

penderita penyakit hipertensi yaitu Pengobatan anti

hipertensi :

Diuretic : semua deuretik menurunkan tekanan darah

dengan meningkatkan ekskresi natrium urin dan dengan

mengurangi volume plasma, volume cairan ekstraseluler,

dan curah jantung. Mereka dapat menurunkan tekanan

darah dengan mengurangi volume vascular, seperti

ditunjukkan dalam sebuah studi oleh Gifford dan kawan-

kawan dari 25 pasien.

Angiotensin : angiotensin II bekerja secara langsung pada

dinding pembuluh dara, menyebabkan hipotrofi medial,

menstimulasi pertumbuhan jaringan ikat, dan meruksak

endotel yang berujung pada aterosklerosis(Pikir dkk, 2015,

p. 219)
50

i) Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

a. Kesadaran

Seorang pasien yang terkena hipertensi

kesadarannya adalah sadar dan juga dapat

mengalami penurunan kesadaran (Nurarif &

Kusuma, 2015, p. 103)

b. Tanda-tanda vital

1. Tekanan darah

Saat melakukan pemeriksaan tanda-tanda

vital pada khasus hipertensi tekanan darah yang

dimiliki oleh penderita hipertensi systole diatas

140 mmHg dan tekanan diastole diatas 90

mmHg (Haryanto & Rini, 2015, p. 37)

2. Nadi

Meningkat pada arteri karotis, jugularis,

pulsasi radialis; perbedaan denyut nadi atau

tidak ada denyut nadi pada beberapa area seperti

arteri popliteal, posterior tibia. (Udjianti, 2013,

p. 108)

2) Body system

a. Sistem pernafasan

Mengeluh sesak nafas saat aktivitas,

takipnea, orthopnea (gangguan pernafasan pada saat


51

berbaring ), PND, batuk dengan atau tanpa sputum,

riwayat merokok. Temuan fisik meliputi sianosis,

pengunaan otot bantu pernapasan, terdengar suara

napas tambahan (ronkhi rales, wheezing) (Udjianti,

2013, p. 109)

b. Sistem kardiovaskuler

Inspeksi : gerakan dinding abnormal

Palpasi : denyut apical kuat

Perkusi :denyut apical bergeser dan/ atau kuat

angkat

Auskultasi : denyut jantung takikardia dan disritmia,

bunyi jantung S2 mengeras S3 (gejala CHF dini).

Murmur dapat terdengar jika stenosis atau

insufisiensi katup. (Udjianti, 2013, p. 108)

c. Sistem persarafan

Melaporkan serangan pusing/ pening, sakit

kepala berdenyut di suboksipital, episode mati-rasa,

atau kelumpuhan salah satu sisi nadan. Gangguan

visual (diplopia- pandangan ganda atau pandangan

kabur) dan episode epistaksis (Udjianti, 2013, p.

109)

d. Sistem perkemihan

Temuan fisik produksi urine <50 ml/jam

atau oliguri (Udjianti, 2013, p. 108)


52

e. Sistem pencernaan

Melaporkan mual, muntah, perubahan berat

badan, dan riwayat pemakaian deuretik.Temuan

fisik fisik meliputi berat badan normal atau obesitas,

edema, kongesti vena, distensi vena jugularis, dan

glikosuria. (Udjianti, 2013, p. 109)

f. Sistem integument

Suhu kulit dingin, warna kulit pucat,

pengisian kapiler lambat (>2 detik), sianosis,

diaphoresis, atau flusing (Udjianti, 2013, p. 108)

g. Sistem musculoskeletal

Terjadi kaku kuduk pada area leheer

(Haryanto & Rini, 2015, p. 40)

h. Sistem endokrin

Pada pasien dengan hipertensi biasanya

tidak ditemukan adanya kelainan pada sistem

endokrin (Udjianti, 2013, p. 109)

i. Sistem reproduksi

Pada klien hipertensi terjadi peningkatan

TIK (tekanan intra cranial) pada saat melakukan

hubungan seksual dan terjadi gangguan reproduksi

pada ibu hamil yang memiliki hipertensi (Nurarif &

Kusuma, 2015, hal. 106)


53

j. Sistem penginderaan

Pemeriksaan retina dapat ditemukan

penyempitan atau sklerosis arteri edema atau

papiledema (eksudat atau hemoragi) tergantung

derajat lamanya hipertensi (Udjianti, 2013, p. 109)

k. Sistem imun

Pada pasien hipertensi mengalami

penurunan sistem kekebalan tubuh (Manurung,

2016, p. 103)

3) Pemeriksaan penunjang

a) Hitung darah lengkap : pemeriksaan hemoglobin,

hematokrit untuk menilai viskositas dan indicator

faktpr risiko seperti hiperkoagulabilitas,

anemia(Udjianti, 2013, p. 109)

b) Kimia darah (Udjianti, 2013, p. 109)

1. BUN, kreatinin: peningkatan kadar menandakan

perununan perfusi atau faal renal

2. Serum glukosa : hiperglisemia (diabetes mellitus

adalah presipitator hipertensi) akibat dari

peningkatan kadar katekolamin

3. Kadar kolsterol atau trigliserida : peningkatan

kadar mengindikasikan predisposisi

pembentukan plaque atheromatus.


54

4. Kadar serum aldesteron : menilai adanya

aldosteronisme primer

5. Studi tiroid (T3 dan T4) : menilai adanya

hipertiroidisme yang berkontribusi terhadap

vasokontriksi dan hipertensi

6. Asam urat : hiperuricemia merupakan implikasi

faktor risiko hipertensi

c) Elektrolit (Udjianti, 2013, p. 109)

1. Serum potassium atau kalium (hipokalemia

mengindikasikan adanya aldosteronisme atau

efek samping terapi deuretik)

2. Serum kalsium bila meningkat berkontribusi

terhadap hipertensi

d) Urine(Udjianti, 2013, p. 109)

Analisis urine adanya darah, protein,

glukosa dalam urine mengidentifikasikan difusi

renal atau diabetes

1. Urine VMA : peningkatan kadar

mengindikasikan adanya pheochromacytoma

2. Steroid urine : peningkatan kadar

mengindikasikan hyper adrenalisme,

pheochromacytoma, atau disfungsi pituitary,

Sindrom Cushing’s kadar rennin juga meningkat


55

e) Radiologi (Udjianti, 2013, p. 110)

Intra Venous Pyelografi (IVP)

mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti renal

pharenchymal disease urolithiasis, benign prostate

hyperplasia (BPH)

1. Rontgen toraks : menilai adanya klasifikasi

obstruktif katup jantung, deposit kalsium pada

aorta, dan pembesaran jantung

2. EKG : menilai adanya hipertrofi miokard, pola

stain, gangguan konduksi atau

disritmia(Udjianti, 2013, p. 110)

f) Pemeriksaan Laboratorium (Haryanto & Rini, 2015,

p. 104)

1. Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel

terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat

mengidentifikasikan faktor risiko seperti :

Hipokoagubilitas, anemia.

2. BUN/ keratinin : memberikan informasi tentang

perfusi/ fungsi ginjal

3. Urinalisa : darah, protein, glukosa,

mengisaratkan disfungsi ginjal danada DM

4. CT Scan : mengkaji adanya tumor cerebral,

encelopati
56

5. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi

seperti : Batu ginjal, perbaikan ginjal

6. Photo dada: menunjukkan destruksi klasifikasi

pada area katup, pembesaran jantung.

2.4.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan yang biasa muncul dari pasien Hipertensi adalah

sebagai berikut :

1) Penurunan Curah Jantung berhungan dengan perubahan afterload

ditandai dengan dengan peningkatan tekanan darah

2) Nyeri Akut berhungan dengan agen cedera fisiologis ditandai dengan

meringis, mengeluh nyeri peningkatan td.

3) Ansietas berhubugan dengan tingkat pengetahuan dan proses

penyakit.

4) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan, ketidakseimbangan suplai dan

kebutuhan oksigen.

5) Ketidaefektifan perfusi jaringan otak.

6) Resiko cidera.

7) Gangangguan Pola Tidur


2.4.3 Intervensi Keperawatan

Tabel 2.3 Intervensi NIC-NOC


Diagnos Keperawatan Intervensi
No. Rasional
(Tujuan, Kriteria Hasil) NIC

1. Penurunan Curah Jantung 1. Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, 1. Untuk mengetahui status kesehatan
adanya sianosis, status pernapasan, dan status dasar klien
Definisi : mental 2. Melihat ada tidaknya komplikasi yang
Ketidakadekuatan jantung memompa 2. Pantau tanda kelebihan cairan (mis. Edema terjadi
darah untuk memenuhi kebutuhan dependen, kenaikan berat badan) 3. Untuk mengetahui adanya gangguan
metabolism tubuh. 3. Kaji toleransi aktifitas pasien dengan pada jantung yang lebuh spesifif
memerhatikan adanya awitan napas pendek, 4. Untuk kecukupan oksigen dalam tubuh
Batasan Karakteristik: nyeri, palpitasi, atau limbung 5. Mengetahi terhambat atau tidaknya
a. Tekanan Darah Meningkat 4. Evaluasi respon pasien terhadap terapi fungsi kognitif klien karena penyakit
b. Lelah oksigen 6. Untuk menurunkan TD
c. Nadi teraba lemah 5. Kaji kerusakan kognitif 7. Untuk mengobati kenaikan tekanan
6. Ajarkan teknik relaksasi otot progesif untuk darah yang lebih efektif
Tujuan : menurunkan tekanan darah
7. Kolaborisakan dengan dokter menyangkut
Setelah dilakukan tindakan keperawatan parameter pemberian atau penghentian obat
3x24 jam diharapkan masalah tekanan darah
keperawatan dapat teratasi.

Kriteria Hasil NOC:


1. Mempunyai indeks jantung dan
fraksi ejeksi dalam batas normal
2. Mempunyai haluaran urine, berat
jenis urine, blood urea nitrogen
(BUN) dan keratin plasma dalam
batas normal
3. Mempunyai warna kulit yang

57
normal
4. Menunjukkan peningkatan toleransi
terhadap aktivitas fisik (mis. Tidak
mengalami dispnea, nyeri dada,
atau sinkopep
5. Menjelaskan diet, obat, aktivitas,
dan batasan yang diperlukan (mis.
Untuk penyakit jantung)
6. Mengidentifikasi tanda dan gejala
perburukan kondisi yang dapat
dilaporkan
2. Nyeri Akut 1. Bina hubungan saling percaya 1. Kepercayaan dari klien akan
memudahkan dalam intervensi
Definisi : 2. Lakukan pengkajian nyeri secara selanjutnya.
Pengalaman sensorik atau emosional komprehensif yang meliputi lokasi,
yang berkaitan dengan kerusakan karakteristik, onset/durasi, frekuensi, 2. Membantu dalam menentukan
jaringan actual atau fungsional, dengan kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri, dan kebutuhan manajemen nyeri dan
onset mendadak atau lambat dan faktor pencetus. keefektifan program.
berintensitas ringan hingga berat
berlangsung kurang dari 3 bulan. 3. Terjalin hubungan yang baik dan saling
3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik percaya antara perawat dengan klien.
Tujuan : setelah di lakukan tindakan untuk mengetahui pengalaman nyeri dan
keperawatan selama 3 x 24 jam di sampaikan penerimaan klien terhadap nyeri. 4. Membantu dalam menentukan
harapkan nyeri klien berkurang atau kebutuhan manajemen nyeri dan
tidak ada nyeri. keefektifan program.
4. Gali bersama klien faktor-faktor yang dapat
menurunkan/ memperberat nyeri. 5. Penggunaan teknik non farmakologi
NOC :Pain management (menejemen relaksasi dan distraksi dapat mengurangi
nyeri) nyeri.
a. Memperlihatkan tekhnik relaksasi 5. Ajarkan penggunaan teknik non
secara individual yang efektif. farmakologi. 6. Mengetahui perkembangan status
b. Melaporkan kesejahteraan fisik dan kesehatan klien dan mencegah
psikososial komplikasi lanjutan.
c. Melaporkan nyeri kepada 6. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan
7. Memberikan edukasi untuk mengatasi

58
pelayanan kesehatan respirasi dengan tepat masalah nyeri yang dirasakan.
d. Mengenali faktor penyebab dan
menggunakan tindakan untuk 8. Mengurangi rasa nyeri
memodifikasi faktor tersebut. 7. Tentukan akibat dari pengalaman nyeri
terhadap kualitas hidup pasien( tidur, nafsu
makan, perasaan klien)

8. Kolaborasi dalam pemberian terapi


analgesik.

3. Anisetas berhubungan dengan perubahan 1. Bina hubungan saling percaya 1. Kepercayaan dari klien akan
besar ( takut terjadi fraktur) memudahkan dalam intervensi
ditandai dengan gelisah, ketakutan, 2. Monitor tanda-tanda vital selanjutnya
mengekspresikan kekhawatiran,
menyadari gejala fisiologis. . 2. Mengetahui perkembangan status
3. Monitor kemampuan perawatan diri secara kesehatan klien dan mencegah
Tujuan : Setelah dilakukan Tinadakan mandiri komplikasi lanjutan
Keperawatan 1 x 24 jam diharapkan
cemas yang dirasakan klien dapat
betrkurang atau tidak terjadi kecemasan 4. Dengarkan dengan cermat apa yang 3. Sebagai tolak ukur bantuan yang akan
dikatakan klien tentang penyakit dan diberikan
NOC: tindakannya
a. Klien tidak menampakkan tanda- 4. Mendengar memungkinkan deteksi dan
tanda gelisah koreksi mengenai kesalah pahaman dan
b. Klien terlihat tenang 5. Berikan penjelasan tentang luka, proses kesalahan informasi.
penyembuhan luka dan tindak lanjut
perawatan 5. Pengetahuan tentang diagnosa dan
tindakan keperawatan meningkatkan
kepatuhan
6. Berikan kesempatan pada klien untuk
bertanya dan berdiskusi
6. Pertanyaan klien menandakan masalah
yang perlu diklarifikasi

59
Sumber : NANDA NIC NOC (2018)

60
61

2.4.3 Implementasi

Implementasi atau pelaksanaan adalah realita dari tindakan

yang telah ditentukan dan diuraikan sesuai dengan prioritas

masalah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, sumber

daya, fasilitas yang ada pada saat dilakukan tindakan keperawatan

(Setiadi, 2012).

2.4.4 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses

keperawatan sebagai pengukuran dari keberhasilan rencana

tindakan keperawatan. Penilaian hasil menentukan seberapa jauh

keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Evaluasi

dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya

dalam perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan

yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari

tahap pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan. (Mubarak, dkk.,

2011), Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana:

S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara

subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi

keperawatan.

O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat

menggunakan pengamatan yang objektif.


62

A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan

objektif.

P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

(Suprajitno dalam Wardani, 2013).


2.4.5 Picot

Tabel 2.4 Jurnal Penerapan Relaksasi Ototo Progesif untuk Hipertensi Esensial
Time / Lama
no. Pupulation Intervensi Comparation Outcome Jurnal
Penelitian

1. 22 responden. Relaksasi Otot Progesif Dan hasil analisis latihan 30 april – 08 Pengaruh Relaksasi Otot
Responden hari keempat relaksasi otot juli 2018 Progresif Terhadap Stres
dengan Hipertensi progresif didapatkan tekanan dan Tekanan Darah Pada
dipuskesmas darah sistolik sebelum dan Klien Hipertensi
langsa jawa timur sesudah latihan, 17
responden (77,27%)
memperoleh nilai positif,
dengan nilai mean rank test
9,00, hasil uji Z, dimana Z
hitung -3,695 < dari Z table
0,0002, dengan nilai (p value
=0,000), tekanan darah
diastolik sebelum dan
sesudah latihan didapatkan,
15 responden (68,18%)
memperoleh nilai positif,
dengan nilai mean rank test
8,00, hasil uji Z dimana Z
hitung -3,873 < dari Z table
0,0002, dengan
nilai (p value = 0,000).
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh
relaksasi otot progresif
terhadap stres dan tekanan
darah klien hipertensi di

63
Kota Langsa.

2. 2 pasien Di Relaksasi Otot Progesif diperoleh hasil bahwa 23-26 Penerapan Relaksasi
RSUD dr penerapan relaksasi otot Januari Otot Progresif untuk
Soedirman. progresif dapat 2019 Menurunkan Tekanan
memberikan pengaruh baik Darah pada Pasien
dalam menurunkan nilai Hipertensi di IGD
tekanan darah yaitu 20-30 RSUD Dr.Soedirman
mmHg pada tekanan Kebumen
sistolik dan 13-17 mmHg
pada tekanan diastolik.

3. sebanyak 37 Pemberian Relaksasi Otot tekanan darah sistolik dan 5 april 2018 Pengaruh Teknik
responden Progesif diastolik diperoleh nilai Relaksasi Otot Progresif
hipertensi di 0,000 (<0,05), yang berarti terhadap Tekanan Darah
Puskesmas ada pengaruh Teknik Lansia dengan
Bojong Soang Relaksasi Otot Progresif Hipertensi
terhadap Tekanan Darah

4. 30 pasien di Panti Progressive Muscle ansia yang mendapatkan 26 mei 2018 Pengaruh Progressive
Sosial Tresna Relaxation (PMR) intervensi kondisi Muscle Relaxation
Wherda sistolik menurun secara (PMR) terhadap
Palembang bermakna (p value < Penurunan Tekanan
0,05) dari 159,3 mmHg Darah pada Lansia
menjadi 130,6 mmHg Hipertensi di Panti
masuk dalam kategori Sosial Tresna Wherda
prehipertensi. Sedangkan Palembang
pada kelompok kontrol Provinsi Sumatera
tekanan darah sistolik Selatan Tahun 2018
tidak mengalami penurunan
yang signifikan (p
value > 0,05) dari 160,6

64
mmHg menjadi 155,3
dan masuk dalam hipertensi
derajat 1

5. sebanyak 30 Relaksasi Otot Progresif skor sistolik 134 mmHg, Juni sampai Relaksasi Otot Progresif
responden di nilai maximum 220 mmHg dari Juli Terhadap Tekanan
Puskesmas Pancur dan mean 157,77 mmHg, 2018 DarahPada Pasien
Batu Kabupaten serta skor sistolik Dari Hipertensi Dengan
Deli Serdang. pengukuran tekanan darah Waktu Yang Cepat
sistolik pada pre intervensi
dan post intervensi 1
menunjukkan penurunan
tekanan darah baik pada skor
minimum, skor maximum
dan juga pada skor
mean. Hasil penelitian
menunjukkan skor diastolik
post 1 memiliki skor
minimum 60 mmHg, skor
maximum 130 mmHg
dan skor mean 90,20 mmHg,
dari pengukuran tekanan
darah diastolik pada pre
intervensi dan post
intervensi 1 mengalami
penurunan tekanan darah
baik pada skor minimum,
skor maximum dan pada
mean.

65

Anda mungkin juga menyukai