Anda di halaman 1dari 10

Nama : Natalia Westy

NIM : P01031217029
Mata Kuliah : PBAK
Prodi/ Semester : D-IV/VII A
TUGAS
Carilah masing-masing satu kasus dari tindak pidana korupsi pada tahun 2019-2020

1. Kasus Suap Menyuap


Mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy divonis 2 tahun penjara dan
denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim pada Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/1/2020). Vonis ini lebih rendah dari tuntutan
jaksa KPK, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.
Adapun Romy merupakan terdakwa kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan di
Kementerian Agama ( Kemenag) Jawa Timur. "Mengadili, satu, menyatakan terdakwa
Romahurmuziy telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri saat membaca amar putusan
di persidangan. Menurut hakim hal yang memberatkan adalah perbuatan Romy tidak
mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sementara hal yang
meringankan adalah terdakwa bersikap sopan di persidangan, belum pernah dihukum,
memiliki tanggungan keluarga, mengembalikan uang yang diterimanya sebesar Rp 250
juta. Hakim meyakini Romy terbukti menerima suap secara bertahap senilai Rp 255 juta
dari mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin. Hakim menuturkan,
meski Romy mengaku sudah mengembalikan uang Rp 250 juta ke Haris melalui salah
satu pengurus PPP Jawa Timur, Norman Zein Nahdi, namun alasan tersebut tidak bisa
dibenarkan.
Romy mengaku memilih mengembalikan uang tersebut dan tidak menyerahkannya
ke KPK demi menjaga perasaan Haris Hasanuddin dan mertuanya M Roziki.
"Seharusnya terdakwa berkewajiban untuk melaporkan penerimaan uang tersebut
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi," kata hakim. Meski demikian, lanjut hakim,
Norman telah menyerahkan uang tersebut ke KPK sehingga dianggap sebagai faktor
yang meringankan bagi Romy.
Kemudian, Romy juga dianggap terbukti menerima Rp 50 juta dari mantan Kepala
Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi. Namun, uang tersebut telah disita oleh KPK.
Terkait uang Rp 41,4 juta dari Muafaq, majelis berpendapat bahwa uang tersebut
diberikan tanpa sepengetahuan Romy. Selain itu, Romy juga tidak menikmati uang
tersebut. Sehingga majelis hakim tidak mewajibkan adanya pembayaran uang
pengganti. Hakim menyebutkan, pemberian dari Haris sebesar Rp 255 juta dan Muafaq
sebesar Rp 50 juta dimaksudkan agar Romy bisa memengaruhi proses seleksi jabatan
yang diikuti keduanya di lingkungan Kemenag. Haris saat itu mendaftar seleksi sebagai
Kakanwil Kemenag Jawa Timur namun terkendala karena pernah terkena sanksi
disiplin kepegawaian. Sementara, Muafaq ingin mendapatkan promosi jabatan sebagai
Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik.
Romy dianggap hakim terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP
juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Serta melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Baca
tentang

Terbukti Korupsi, Romahurmuziy Divonis 2 Tahun Penjara Halaman all - Kompas.com

2. Kasus Korupsi Kerugian Keuangan Negara


Mantan Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus dan mantan Ketua DPRD
Kepulauan Sula Zainal Mus akan menghadapi vonis hakim di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta, Senin (8/4/2019). Keduanya didakwa korupsi dalam
pengadaan lahan Bandara Bobong. Sebelumnya, Ahmad Hidayat dituntut 12 tahun
penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hidayat juga dituntut
membayar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Hidayat Mus juga dituntut
membayar uang pengganti Rp 2,4 miliar.
Sementara, Zainal Mus dituntut 8 tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta
subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Zainal juga dituntut membayar uang pengganti
Rp 294 juta. Zainal dan Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus dinilai memperkaya
diri dan orang lain dalam pengadaan lahan Bandara Bobong pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kepulauan Sula tahun 2009.
Menurut jaksa, keduanya diduga turut memperkaya pihak lainnya sebesar Rp 1 miliar.
Tindakan itu diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 3,4 miliar.
Dugaan korupsi ini bermula pada tahun 2009. Pada waktu itu dilakukan pengadaan
lahan untuk pembangunan Bandara Bobong di Kecamatan Bobong, Kabupaten
Kepulauan Sula. Pengadaan tanah tersebut masuk dalam mata belanja modal tanah
pada Sekretariat Daerah Kepulauan Sula Tahun Anggaran 2009 yang masuk pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kepulauan Sula 2009.
Jaksa memaparkan, pada tanggal 26 Juli 2009, ada pertemuan di rumah Hidayat di
Desa Mangon, Kecamatan Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula.
Pertemuan itu dihadiri Zainal Mus, Lukman Umasangadji, staf sekretaris Panitia
Pengadaan Tanah Djamin Kharie, Kadis Perhubungan La Musa Mansur, dan Plt Kepala
Bagian Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Sula Ema Sabar. Pada pertemuan
tersebut, Hidayat Mus menentukan harga tanah yang akan dijadikan lokasi Bandara
Bobong, di mana yang letaknya dekat pemukiman masyarakat dihargai Rp 8.500 per
meter persegi. Sedangkan yang agak jauh dari pemukiman dihargai Rp 4.260 per meter
persegi. Penentuan harga tanah tidak melibatkan pihak lain, termasuk Pina Mus dan
Rahman Mangawai selaku pemilik lahan.
Menurut jaksa, Hidayat diduga menginstruksikan pencairan uang Rp 1,5 miliar
terkait pembebasan lahan tahap I kepada Kepala Bank Pembagunan Daerah Maluku,
Hidayat Nahumrury. Selanjutnya, uang tersebut ditransfer ke rekening Zainal sebesar
Rp 650 juta atas instruksi Hidayat. Hidayat Nahumarury selanjutnya memerintahkan
Ona Latuconsina (kepala seksi pelayanan nasabah) untuk membawa uang tunai Rp
850 juta dan lalu menyerahkan kepada terdakwa.
Kemudian, lanjut jaksa, dalam pembebasan lahan tahap II senilai Rp 1,9 miliar,
Hidayat memerintahkan Zainal mengirimkan uang Rp 1 miliar ke sejumlah pihak.
Adapun rinciannya, uang Rp 500 juta melalui transfer ke rekening atas nama Andi
Arwati, uang Rp 100 juta lewat transfer ke rekening atas nama Azizah Hamid.
Sementara sisa uang Rp 294 juta diterima Zainal. Di sisi lain, uang sebesar Rp 1,053
miliar dibagikan Kabag Umum dan Perlengkapan Kabupaten Sula Ema Sabar kepada
pihak lain.
Adapun rinciannya, pada tanggal 9 September 2009, uang sebesar Rp 75 juta
diserahkan ke Kapolres Kepulauan Sula. Tanggal 10 September 2009 sebesar Rp 210
juta ke Kabag Kesra Pemkab Sula Rugaya Soleman. Sementara pada tanggal 11
September 2009, uang dengan total Rp 715 juta diduga diberikan kepada 15 orang
lainnya. Mereka terdiri dari beragam unsur, seperti pensiunan, anggota DPRD
Kepulauan Sula, Camat Bobong, Kepala Desa Bobong, jaksa, hingga asisten
Sekretariat Daerah.
Hidayat bersama-sama dengan Zainal Mus, Hidayat Nahumarury, Ema Sabar, dan
Majestisa diduga melakukan proses pengadaan lahan Bandara Bobong tidak sesuai
dengan ketentuan. Hidayat beberapa kali mencairkan dan menyalurkan anggaran
pembebasan tanah lokasi Bandara Bobong di luar peruntukannya. Zainal dan Hidayat
Mus dinilai melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 dan Pasal 64
ayat 1 KUHP.

https://nasional.kompas.com/read/2019/04/08/10114701/mantan-bupati-dan-ketua-
dprd-sula-hadapi-vonis-hakim?page=all.
3. Kasus Gratifikasi
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan tujuh orang tersangka dari kegiatan
tangkap tangan yang dilakukan di Bengkayang dan Pontianak, Kalimantan Barat pada
Selasa (3/9). Kegiatan ini terkait dengan dugaan suap terkait proyek pekerjaan di
Pemerintah Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat tahun 2019. Setelah melakukan
pemeriksaan awal sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar
perkara, dalam batas waktu 24 jam maka disimpulkan adanya dugaan Tindak Pidana
Korupsi pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara dan atau yang
mewakilinya terkait terkait pembagian proyek pekerjaan di lingkungan pemerintah
Kabupaten Bengkayang tahun 2019.
KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan
tujuh orang sebagai tersangka. Sebagai pemberi, KPK menetapkan RD (swasta), YF
(swasta), NM (swasta), BF (swasta), dan PS (swasta). Sedangkan sebagai penerima,
KPK menetapkan SG (Bupati Kabupaten Bengkayang) dan AKS (Kepala Dinas PUPR
Kabupaten Bengkayang).
SG selaku Bupati Bengkayang meminta sejumlah dana kepada AKS dan YN
(Kepala DInas Pendidikan Bengkayang). Permintaan uang tersebut dilakukan SG atas
pemberian anggaran Penunjukan Langsung tambahan APBD-Perubahan 2019 kepada
Kepala Dinas PU sebesar Rp 7,5 miliar dan Kadisdik sebesar Rp 6 miliar. AKS dan YN
dihubungi oleh ajudan Bupati yang meminta mereka menghadap Bupati. SG diduga
meminta uang kepada AKS dan YN masing-masing sebesar Rp 300 juta. Uang tersebut
diduga diperlukan SG untuk menyelesaikan permasalahan pribadinya. Untuk dapat
memenuhi permintaan tersebut, AKS menghubungi beberapa rekanan untuk
menawarkan proyek pekerjaan penunjukan langsung dengan syarat memenuhi setoran
di awal. AKS menerima setoran tunai dari beberapa rekanan proyek yang menyepakati
fee sebagaimana disebut sebelumnya, terkait dengan paket pekerjaan penunjukan
langsung.
Atas perbuatannya, sebagai pihak yang diduga penerima, SG dan AKS
disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP. Sebagai pihak yang diduga pemberi: RD, YF, NM, BF dan PS disangkakan
melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1208-kpk-tetapkan-7-tersangka-kasus-
pemberian-hadiah-janji-terkait-proyek-pemerintah-di-bengkayang

4. Kasus penggelapan dalam jabatan


Kasus penipuan dalam jabatan dengan terdakwa Thomas Zachrias mantan Direktur
CV Mitra Sejahtera Abadi (MSA), warga Lembah Dieng, Kecamatan Dau, Kabupaten
Malang, memasuki sidang pembacaan vonis atau putusan hukuman (16/8/2019).
Dalam persidangan yang dipimpin Majelis Hakim Noor Ichwan Ichlas Ria Adha,
dikatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penggelapan
uang perusahaaan sebesar Rp 900 juta. "Terdakwa melanggar pasal 374 KUHP,
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penggelapan uang perusahaaan
dan diputus dengan hukuman dua tahun penjara dikurangi masa tahanan," bebernya.
Mengenai vonis atau putusan yang dibacakan Majelis Hakim, yang lebih ringan
dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang,
Dimas Adji Wibowo selama empat tahun, pihak JPU masih pikir-pikir mengenai putusan
tersebut.

https://malangtimes.com/baca/42871/20190816/151000/kasus-penggelapan-
dalam-jabatan-mantan-dirut-cv-msa-divonis-dua-tahun-penjara
5. Kasus Benturan Kepentingan
Kasus dugaan korupsi Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Desa Siniu Kabupaten
Parimo Provinsi Sulawesi Tengah memasuki babak baru. “Baru empat orang yang
dihadirkan sebagai saksi. Yakni dua dari Pemda Parimo dan dua lagi dari warga
penerima manfaat,” ungkap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Parimo, Andi Ichlazul
Amal, SH, di Pengadilan Palu, Jumat 23 Oktober 2020.
Perkara korupsi pemotongan BLT Dana Desa Siniu dengan pemotongan
sebesar Rp 50 Ribu setiap bulannya oleh aparat desa memasuki babak baru. Perkara
ini telah berada pada tahap pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor Palu. Dimana
perkara program dana BLT itu diperuntukkan pada masa pandemi akibat wabah Covid-
19 melibatkan Kepala Desa Siniu, Gufran Ali. Kini Kepala Desa Siniu Gufran Ali
ditetapkan sebagai terdakwa perkara Tipikor dengan nomor 36/Pidsus-TPK/2020/PN
Palu. “Kadis PMD Parimo, Fit Dewana menjadi saksi dari Pemda dan Ibu Lianna M
Odjobolo selaku bendahara bantuan pada BPKAD Parimo,” jelasnya. Andi Ichlazul pria
asal Sulawesi Selatan itu menjelaskan sesuai dakwaan pada sidang sebelumnya
terdakwa Gufran Ali selaku kepala desa Siniu dimulai tanggal 11 Oktober 2020.
Pengadilan Negeri Palu ditunjuk sebagai pengadilan tindak pidana korupsi
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan
kekuasaanya. “Dalam dakwaan, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu atau
menerima pembayaran dari penerima program BLT (Bantuan Langsung Tunai) melalui
dana desa 2020 sebesar Rp 50 Ribu setiap bulannya,” urainya. Ia mengatakan, dengan
pemotongan itu untuk mengerjakan bagi dirinya sendiri. Hal itu bertentangan dengan
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Tranmigrasi, nomor 6
tahun 2020.
Menurutnya, terdakwa selaku Kepala desa memanfaatkan program penyaluran
BLT- Dana Desa untuk menguntungkan dirinya. Caraya, dengan memerintahkan secara
lisan kepada aparat desa Siniu, Saksi dari penyalahgunaan kekuasaan ini diantaranya
saksi Rian Febrianto selaku kepala dusun I, saksi saiful selaku kepala dusun II, saksi
Husen selaku kepala dusun III, dan saksi Marsin Ssi, selaku sekretaris Desa Siniu.
Alasan pemotongan, untuk melakukan pemotongan dana yang diterima penerima BLT
Dana Desa sebesar Rp 50 Ribu perbulannya dengan alasan untuk biaya
administrasi.Sebelumnya, satu orang jadi tersangka dugaan kasus korupsi dana
Bantuan Langsung Tunai atau BLT Desa Siniu Kabupaten Parimo Sulteng. “Penetapan
tersangka terkait kasus dugaan korupsi pada penyaluran dana BLT untuk penanganan
wabah virus corona dari Dana Desa TA 2020 di Desa Siniu Kecamatan Siniu Parimo,”
ungkap Kepala Kejari Parimo Muhamat Fahrorozi saat menggelar konfrensi pers,
bersama Kasi Pidsus Muhammad Tang dan Kasi Intel Muhammad Rifaizal, Selasa 1
September 2020. Ia mengatakan, satu orang berinisial GB jadi tersangka pada kasus
dugaan penyimpangan penyaluran dana BLT di Desa Siniu Kecamatan Siniu.
Berkas perkara terkait kasus itu kata dia, adalah limpahan dari penyidik Tipikor
Polres Parimo dan telah dalam tahap penelitian. “Antara pihak Kejaksaan dan
Kepolisian bersepakat memandang perkara ini bukan dari besar atau kecilnya, namun
menilai pada kerugian yang diakibatkan,” urainya. Ia menekankan, lebih kepada sikap
beban dan kebutuhan warga yang terkenda dampak pandemi covid-19 saat ini.
Tindakan hukum atas oknum dimaksudkan juga kata dia, sebagai pembelajaran kepada
pihak lain yang melakukan kegiatan serupa. “Pasal yang disangkakan yaitu Pasal 12
huruf e UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU NO.31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindakan kasus korupsi,” jelasnya.

https://gemasulawesi.com/korupsi-blt-desa-siniu/

6. Kasus Perbuatan Curang


Koordinator Lapangan Aksi Halalbihalal dan Tahlil Akbar 226, Abdullah Hehamahua
meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan untuk melakukan audit
terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut dia, KPU telah melakukan
perbuatan curang terkait dengan penambahan daftar pemilih tetap (DPT) di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Perbuatan curang, menurut Abdullah, merupakan salah satu
golongan dari tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, mantan penasihat KPK ini
meminta lembaga antirasuah tersebut turun tangan untuk mengaudit kecurangan yang
dilakukan KPU. Dia melanjutkan, KPK memiliki kewenangan mengaudit jika berkaca
pada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Sesuai jadwal
rangkaian sidang, Mahkamah Konstitusi sedianya mengumumkan hasil putusan
sengketa Pilpres pada 28 Juni. Namun demikian, Juru Bicara MK, Fajar Laksono
memastikan pengumuman putusan sidang maju sehari, atau pada 27 Juni 2019.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190626141525-12-406602/koorlap-tahlil-
266-sindir-kecurangan-pemilu-bagian-korupsi

7. Kasus Pemerasan
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, tiga jaksa
yang menjadi tersangka dalam kasus pemerasan terhadap 63 kepala sekolah
menengah pertama se-Kabupaten Inhu, Riau, diduga menerima uang senilai Rp 650
juta. Ketiga tersangka tersebut yaitu, Kepala Kejari Inhu HS, Kepala Seksi Tindak
Pidana Khusus Kejari Inhu OAP, serta Kasubsi Barang Rampasan Pada Seksi
Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan Kejari Inhu RFR.
Dugaan pemerasan yang terjadi terkait pengelolaan dana bantuan operasional
sekolah (BOS) tahun 2019. Menurut Hari, masing-masing sekolah mendapatkan dana
BOS sebesar Rp 65 juta saat pencairan pertama. Masing-masing kepala sekolah,
katanya, diduga memberikan Rp 10 juta atau Rp 15 juta kepada oknum jaksa tersebut.
HS, OAP, dan RFR, disangkakan Pasal 12 huruf e atau Pasal 11 atau Pasal 5 ayat
2 jo ayat 1 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Para tersangka pun langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung untuk 20
hari. Sebagaimana diberitakan, 63 (sebelumnya ditulis 64) kepala sekolah SMP negeri
se-Kabupaten Inhu, Riau, mengundurkan diri pada Selasa (14/7/2020). Mereka
mengundurkan diri karena tidak tahan akibat mendapat tekanan dalam mengelola dana
BOS.
Bahkan, para kepala sekolah mengaku diperas oknum dari Kejari Inhu yang bekerja
sama dengan LSM. Oknum tersebut diduga meminta sejumlah uang, jika kepala
sekolah tidak mau diganggu dalam penggunaan dana BOS itu. Karena sudah tidak
nyaman, seluruh kepala SMP tersebut kompak dan sepakat mengundurkan diri. Surat
pengunduran diri diberikan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Inhu.

https://nasional.kompas.com/read/2020/08/18/18545361/3-jaksa-tersangka-kasus-
pemerasan-63-kepsek-diduga-terima-rp-650-juta?page=all

Anda mungkin juga menyukai