Anda di halaman 1dari 55

PENGEMBANGAN INDIKATOR

GREEN CITY INDEX UNTUK


PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

BAYU SAKTI WICAKSANA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Indikator


Green City Index untuk Pembangunan Berkelanjutan adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2020

Bayu Sakti Wicaksana


NIM G24160073
ABSTRAK
BAYU SAKTI WICAKSANA. Pengembangan Indikator Green City Index untuk
Pembangunan Berkelanjutan. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan RESTI
SALMAYENTI.

Berkembangnya perekonomian suatu daerah akan memberikan dampak


terhadap kelestarian lingkungan. Green City Index merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk mengevaluasi kualitas lingkungan dari suatu daerah dengan
menggunakan tujuh indikator dalam perhitungannya, diantaranya emisi CO 2,
kualitas udara, penggunaan energi, konsumsi air, transportasi publik, pengelolaan
sampah, dan RTH. Penelitian ini menggunakan metode induktif dari beberapa
penelitian terdahulu. Perhitungan ini menghasilkan nilai Green City Index antara 2
hingga 3 dalam skala 1-5. Kota dengan nilai tertinggi adalah Kota Tidore
Kepulauan dengan nilai 4,6 sedangkan kota dengan nilai terendah adalah Kota
Cirebon dengan nilai 2,4. Nilai Green City Index ini kemudian digunakan untuk
melakukan analisis korelasi pearson sebagai variabel x dan PDRB/kapita digunakan
sebagai variabel y untuk menggambarkan pendapatan daerah dari suatu kota. Hasil
korelasi menunjukkan secara data, tidak terdapat hubungan antara Green City Index
dengan PDRB/kapita. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini tidak
dimasukkan indikator data yang bersifat kualitatif sehingga hasil yang didapatkan
belum representatif dan perlu dikaji ulang menggunakan indikator tambahan dan
metode analisis yang lain. Hasil korelasi yang baik dapat digunakan untuk
melakukan perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.

Kata kunci: Green City Index, pendapatan daerah, analisis korelasi, pembangunan
berkelanjutan
ABSTRACT
BAYU SAKTI WICAKSANA. Development of Green City Index Indicators for
Sustainable Development. Supervised by YON SUGIARTO and RESTI
SALMAYENTI.
The economic development of a region will have an impact on environmental
sustainability. Green City Index is one of the methods used to evaluate the
environmental quality of an area by using seven indicators in its calculation,
including CO2 emissions, air quality, energy use, water consumption, public
transportation, waste management, and green space. This study uses inductive
methods from several previous studies. This calculation produces a Green City
Index value between 2 and 3 on a scale of 1-5. The city with the highest score is
Kota Tidore Kepulauan with a value of 4.6 while the city with the lowest value is
Cirebon City with a value of 2.4. The Green City Index value is then used to analyze
Pearson correlation as the x variable and the GRDP / capita is used as the y variable
to describe the regional income of a city. The correlation results show that there is
no relationship between the Green City Index and the GRDP / capita. This is
because in this study qualitative data indicators were not included so the results
obtained were not representative and needed to be reviewed using additional
indicators and other analytical methods. Good correlation results can be used to
carry out sustainable development planning.
Keywords: Green City Index, regional income, correlation analysis, sustainable
development
PENGEMBANGAN INDIKATOR
GREEN CITY INDEX UNTUK
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
BAYU SAKTI2020
WICAKSANA
Judul Skripsi : Pengembangan Indikator Green City Index untuk Pembangunan
Berkelanjutan
Nama : Bayu Sakti Wicaksana
NIM : G24160073

Disetujui oleh

Yon Sugiarto, S.Si., M.Sc. Resti Salmayenti, S.Si., M.Sc.


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Rahmat Hidayat, M.Sc.


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2020 ini ialah
pembangunan berkelanjutan, dengan judul Pengembangan Indikator Green City
Index untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Yon Sugiarti S.Si M.Sc dan Ibu
Resti Salmayenti S.Si M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu selama pengumpulan, pengolahan, dan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2020

Bayu Sakti Wicaksana


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
METODE 5
Alat dan Bahan 5
Prosedur Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
SIMPULAN DAN SARAN 30
Simpulan 30
Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 43
DAFTAR TABEL
1 Ketersediaan data 5
2 Nilai faktor emisi sesuai jenis kendaraan 8
3 Skoring Indikator Green City 10
4 Atribut, indikator, dan bobot setiap indikator 10
5 Ratio transportasi per panjang jalan dan ratio per 10000 penduduk 21
6 Hasil analisis korelasi pearson 28

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram Alir Penelitian 6
2 Grafik Korelasi Dua Variabel Kontinu 12
3 Peta Wilayah Kajian 13
4 Rata-rata PDRB per kapita 204-2018 14
5 Emisi CO2 Respirasi dan Transportasi 15
6 Konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 16
7 Penggunaan Energi Listrik Industri 17
8 Penggunaan Energi Listri Rumah Tangga 18
9 Konsumsi Air Rumah Tangga 19
10 Konsumsi Air Industri 19
11 Konsumsi Air Individu 20
12 Jumlah Timbulan Sampah per Luas Wilayah 22
13 Pengelolaan Sampah 23
14 Presentase Luas RTH 24
15 Proporsi RTH Individu 24
16 Nilai Green City Index Seluruh Kelompok Kota 25
17 Rata-rata Nilai Green City Index Seluruh Kelompok Kota 27

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Metropolitan 34
2 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Besar 34
3 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Sedang 34
4 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Kecil 35
5 Emisi CO2 Kendaraan Kota Metropolitan 35
6 Emisi CO2 Kendaraan Kota Besar 36
7 Emisi CO2 Kendaraan Kota Sedang 36
8 Emisi CO2 Kendaraan Kota Kecil 36
9 Konsentrasi NO2, SO2, PM10 Kota Metropolitan 36
10 Konsentrasi NO2, SO2, PM10 Kota Besar 37
11 Konsentrasi NO2, SO2, PM10 Kota Sedang 38
12 Konsentrasi NO2, SO2, PM10 Kota Kecil 38
13 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Metropolitan 39
14 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Besar 39
15 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Sedang 39
16 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Kecil 39
17 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Metropolitan 40
18 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Besar 40
19 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Sedang 40
20 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Kecil 40
21 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Metropolitan 40
22 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Besar 41
23 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Sedang 41
24 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Kecil 41
25 Presentase dan Proporsi RTH Kota Metropolitan 42
26 Presentase dan Proporsi RTH Kota Besar 42
27 Presentase dan Proporsi RTH Kota Sedang 42
28 Presentase dan Proporsi RTH Kota Kecil 42
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang pesat terjadi di kota-kota besar dengan tingkat


kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini salah satunya menyebabkan alih fungsi
lahan yang digunakan sebagai pusat-pusat industri dan pemukiman penduduk
disekitarnya. Akibatnya daerah resapan air dan ruang terbuka hijau semakin
berkurang, dan muncul permasalahan-permasalahan lingkungan lainnya (Jenkins &
Bauman 2009).
Langkah antisipasi dalam mencegah dampak buruk dari permasalahan
lingkungan yang ada salah satunya adalah dengan menerapkan konsep Green City.
Green City didefinisikan sebagai kota yang ramah lingkungan dan memiliki
peranan penting dalam pembanguanan berkelanjutan. Langkah-langkah yang perlu
diambil untuk menerapkan Green City adalah dengan memulai penghijauan kota.
Penghijauan kota membutuhkan beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya
mempertimbangkan dampak kesehatan bagi masyarakat, mengurangi penggunaan
bahan kimia yang berbahaya, pembangunan kualitas lingkungan kota yang tinggi,
dan memastikan kemajuan terhadap konsumsi berkelanjutan (UNEP 2011). Green
City memiliki peran penting dalam mengurangi dampak buruk dari perubahan iklim.
Perubahan iklim salah satunya dipicu karena tingginya tingkat emisi gas rumah
kaca yang dihasilkan didaerah perkotaan, sehingga perlu dibangunnya ruang
terbuka hijau sebagai area resapan air dan pengurang emisi gas rumah kaca.
Menurut Kahn (2006), Green City dapat dijelaskan secara lengkap dengan
menggunakan tiga kata kunci yang telah diidentifikasi yaitu kualitas lingkungan,
kesejahteraan masyarakat, dan kebijakan pemerintah. Kualitas lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat dinilai menggunakan indikator kuantitatif, sementara
kebijakan pemerintah lebih sesuai menggunakan indikator kualitatif. Penelitian ini
akan menganalisis indikator kuantitatif yang menentukan Green City Index yaitu
kualitas lingkungan dan kaitannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi pada suatu
daerah. Komponen indikator kuantitatif terdiri dari emisi Karbon Dioksida (CO₂),
kualitas udara, penggunaan energi, konsumsi air, transportasi publik, pengelolaan
sampah dan ruang terbuka hijau (IASS 2016). Komponen tersebut akan menjadi
parameter untuk menentukan Green City Index. Sedangkan tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat besarnya Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) per kapita dari suatu daerah.
Pengembangan Green City ini dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah
dan pengambil kebijakan untuk lebih memahami tantangan daerah urban atau
perkotaan. Green City dalam penerapannya akan mengukur dan menentukan
kualitas lingkungan dari suatu wilayah sehingga kajian mengenai Green City Index
perlu dilakukan agar pemerintah dan pengambil kebijakan memiliki bahan
pertimbangan mengenai sektor-sektor mana yang akan lebih dikembangkan dengan
tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Menurut Brilhante dan Klaas (2018),
pengukuran kinerja dari Green City dapat dilakukan dengan menggunakan data
statistik daerah berdasarkan data ekologi, sosial, dan ekonomi.
2

Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah:


1. Indikator apa saja yang dibutuhkan untuk menentukan Green City Index dari
suatu daerah?
2. Berapa nilai Green City Index dari wilayah yang sedang dikaji?
3. Bagaimana hubungan atau korelasi antara Green City Index dengan tingkat
pendapatan pada suatu daerah?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tiga tujuan, yaitu:


1. Menentukan indikator-indikator yang dibutuhkan dalam perhitungan Green
City Index menggunakan data ekonomi, lingkungan, dan statistik daerah.
2. Menghitung besarnya Green City Index pada setiap wilayah yang dikaji.
3. Mengetahui hubungan atau korelasi antara Green City Index dengan tingkat
pendapatan daerah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar acuan rencana penilaian dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan di kota metropolitan, kota besar, kota sedang,
dan kota kecil di Indonesia dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Green City


Green City merupakan suatu konsep multidimensi yang melibatkan aspek
ekonomi, aspek lingkungan, dan aspek masyarakat dalam menentukan kualitas
lingkungan dari suatu kota (IASS 2016). Green City juga dapat didefinisikan
sebagai sebuah perpanjangan dari pembangunan berkelanjutan dengan tujuan untuk
meningkatkan respon terhadap dampak buruk dari perubahan iklim dan bencana
alam dengan menggunakan indikator-indikator yang sesuai dengan wilayah yang
dikaji. Kualitas suatu lingkungan juga salah satunya ditentukan oleh kebijakan
pemerintah yang dikeluarkan dan berkaitan langsung dengan pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan (Kahn 2006).

Produk Domestik Regional Bruto


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan nilai bersih barang
dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah setiap
periode (Sasana 2006). PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah
dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Besaran PDRB yang
dihasilkan oleh setiap daerah sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam
dan faktor produksi daerah tersebut. Adanya keterbatasan dalam penyediaan faktor-
faktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah.

Atribut Green City Index

Karbon Dioksida
Emisi karbon dioksida (CO2) adalah kontributor utama dari faktor
antropogenik yang mengakibatkan perubahan iklim. Emisi CO2 dapat dihitung dari
jumlah kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil, respirasi makhluk hidup,
alih fungsi lahan dan penggunaan energi. Menurut Friedlingstein et al. (2010),
emisi karbon dioksida secara global berkurang sekitar 1,3% di tahun 2009
disebabkan oleh keuangan global dan krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 2008,
hal ini menunjukkan bahwa besarnya emisi CO2 salah satunya dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi.

Kualitas Udara
Kualitas udara merupakan salah satu atribut yang sangat penting untuk
keberlangsungan Green City. Kualitas udara dapat ditentukan dengan menghitung
kadar polutan udara yang disebabkan oleh pencemaran dari senyawa dan partikel
yang berbahaya. Permasalahan kualitas udara juga dapat dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah. Beberapa kota di Asia dengan pendapatan daerah yang tinggi
memiliki kadar emisi sulphur dioksida yang rendah, namun pada kadar emisi
nitrogen dioksida tidak menunjukkan korelasi yang sama (Siemens 2011).

Penggunaan Energi
Kategori energi yang dapat dijadikan indikator dalam penghitungan Green
City Index diantaranya konsumsi energi total, intensitas energi, konsumsi energi
terbaharukan, dan variasi penggunaan energi listrik (EIU 2012). Input energi listrik
yang dominan di Indonesia adalah dengan menggunakan bahan bakar fosil. Tercatat
4

produksi listrik Indonesia tahun 2011 didominasi oleh tiga input bebahan bakar fosil
yang prosesnya melalui pembakaran yaitu gas alam, batubara, dan minyak sebesar
90,33% (Basyiran 2014). Kondisi ini menyebabkan emisi gas rumah kaca,
berwujud emisi kabon dioksida, yang dihasilkan oleh pembangkit listrik di
Indonesia cenderung terus meningkat. Pertambahan intensitas emisi gas rumah kaca
dapat disebabkan oleh adanya konsumsi listrik yang didominasi bahan bakar fosil.

Konsumsi Air
Kebutuhan penggunaan air menjadi salah satu indikator dalam menentukan
Green City Index pada suatu kota. Kebutuhan pada air yang meningkat dengan pesat
dan kelangkaan pasokan air menjadi salah satu permasalahan utama di dunia
(UNEP 2007). Hal ini disebabkan oleh kurangnya manajemen pengelolaan air dan
infrastuktur yang dimiliki oleh suatu kota. Pola konsumsi air dari suatu kota akan
mempengaruhi bidang-bidang lain seperti kesehatan masyarakat, pelayanan
ekosistem, kelangkaan dan kualitas air, dan water footprint (Leeuwen et al. 2012).

Transportasi Publik
Transportasi memiliki pengertian sebagai usaha memindahkan,
menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu benda dari satu tempat ke
tempat lain dimana di tempat lain ini objek tersebut lebih bermanfaat atau dapat
berguna untuk tujuan-tujuan tertentu (Miro 2002). Transportasi merupakan hal
yang penting dalam suatu sistem karena tanpa transportasi hubungan antara satu
tempat dengan tempat lain tidak terwujud dengan baik. Hurst (1974)
mengemukakan bahwa interaksi antar wilayah tercermin pada kondisi fasilitas
transportasi serta aliran manusia, barang, maupun jasa. Penerapan transportasi
publik sebagai indikator dalam menentukan Green City Index dapat dilihat pada
ketersediaan transportasi publik yang ada di suatu kota pada rentang waktu tertentu.

Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah pada suatu kota dapat dijadikan salah satu indikator
dalam menentukan Green City Index. Pengelolaan sampah menunjukkan seberapa
baiknya sistem pembuangan sampah dan besarnya limbah yang dihasilkan dari
konsumsi masyarakat pada berbagai sektor. Menurut UNEP (2007), kota yang
ramah lingkungan akan lebih mempertimbangkan sistem pengelolaan sampah yang
baik dengan cara menyediakan sarana dan prasana yang diperlukan untuk
menunjang sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan.

Ruang Terbuka Hijau


Ruang terbuka hijau dalam penentuan Green City Index menggunakan satu
indikator dalam penggunaan lahan melalui Soil Sealing dan proses-proses yang lain.
Ruang terbuka hijau merepresentasikan dampak dari lingkungan perkotaan dengan
menerapkan sistem informasi dan teknologi geospasial yang memiliki estimasi
akurasi yang tinggi (Choi et al. 2016). Beberapa kategori dalam penentuan indikator
ruang terbuka hijau diantaranya penggunaan lahan pada daerah perkotaan, jumlah
total area hijau didalam dan disekitar pusat perkotaan, dan jumlah total area
biodiversitas di area perkotaan tersebut (Meijering et al. 2014).
5

METODE

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Microsoft Office, Minitab
18, dan ArcMap 10.3. Bahan yang digunakan diantaranya data-data mengenai
indikator Green City Index dan pendapatan bruto disetiap kota. Data diperoleh dari
instansi terkait sesuai dengan yang terlampir pada tabel 1.

Tabel 1 Ketersediaan Data


No Nama Data Sumber Data Tahun
1 Jumlah penduduk Badan Pusat Statistik 2014-2018
2 Luas wilayah Badan Pusat Statistik 2014-2018
3 Jumlah kendaraan Badan Pusat Statistik 2014-2018
publik tahunan
4 Jumlah kendaraan Badan Pusat Statistik 2014-2018
pribadi tahunan
5 Panjang jalan Badan Pusat Statistik 2014-2018
kabupaten/kota
6 Konsumsi air Kementrian 2014-2018
tahunan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
7 Penjualan energi Badan Pusat Statistik 2014-2018
dan jumlah
pelanggan listrik
8 Produk Domestik Badan Pusat Statistik 2013-2017
Regional Bruto
Kota di Indonesia
9 Luas Ruang Kementrian 2014-2018
Terbuka Hijau Lingkungan Hidup dan
(RTH) Kehutanan
10 Kualitas udara Kementrian 2016-2018
ambien (konsentrasi Lingkungan Hidup dan
SO2, NO2, O3) Kehutanan
11 Volume produksi Kementrian 2016-2018
sampah Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
12 Jumlah Tempat Kementrian 2016-2018
Pembuangan Lingkungan Hidup dan
Sampah (TPS) Kehutanan
6

Prosedur Analisis Data

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian


7

Identifikasi Wilayah Kajian


Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasikan dua hal utama yaitu
besarnya pendapatan daerah dan Green City Index dari setiap kota yang dikaji.
Penelitian ini dilakukan di enam kota metropolitan, 7 kota besar,7 kota sedang, dan
5 kota kecil yang ada di Indonesia. Kota Surabaya, Bandung, Jakarta Pusat,
Semarang, Palembang, dan Makassar tergolong sebagai kota metropolitan.
Sedangkan yang termasuk kota besar adalah Kota Bogor, Pekanbaru, Padang,
Denpasar, Pontianak, Malang, dan Yogyakarta. Kota Tanjungpinang, Cirebon,
Pekalongan, Probolinggo, Tarakan, Mataram, dan Ambon termasuk kota sedang.
Sedangkan Kota Langsa, Kotamobagu, Prabumulih, Solok, dan Tidore Kepulauan
termasuk kota kecil. Setelah pendapatan daerah dan nilai Green City Index
didapatkan, kemudian mencari besarnya korelasi antara keduanya dengan
menggunakan analisis korelasi secara kuantitatif.

Identifikasi Pendapatan Daerah


Pendapatan dari kabupaten/kota dapat ditentukan dengan melihat besarnya
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari kabupaten/kota yang dikaji. PDRB
dapat mewakili pendapatan bruto dari suatu daerah karena dalam perhitungannya
memasukkan 17 lapangan usaha dari masing-masing kabupaten/kota. Data yang
digunakan berupa data PDRB tahunan selama 5 tahun dengan besaran per-tahun
menyentuh angka miliar rupiah dan mengacu pada PDRB provinsi atas dasar harga
berlaku menurut kota.

Identifikasi atribut dalam penentuan Green City Index


Atribut yang digunakan untuk menentukan Green City Index berdasarkan
(IASS 2016) dengan menggunakan metode induksi adalah emisi karbon dioksida,
kualitas udara, penggunaan energi, konsumsi air, tranportasi, pengelolaan sampah,
dan ruang terbuka hijau. Atribut ini telah disesuaikan dengan perhitungan
kuantitatif yang sesuai dengan kota yang dikaji serta menyesuaikan dengan
ketersediaan data dari instansi-instansi terkait, sehingga dapat di terapkan di
Indonesia.

Identifikasi indikator dari setiap atribut


Dari masing-masing atribut kemudian ditentukan indikator kuantitatif yang
dapat mewakili setiap atribut. Penjelasan dari setiap indikator adalah sebagai
berikut:
1) Emisi CO2
Emisi CO2 dapat dihitung dari respirasi yang dilakukan oleh
manusia dan jumlah total kendaraan dengan konsumsi bahan bakar yang ada
di kota yang dikaji.
Emisi CO2 dari respirasi dapat ditentukan dari jumlah penduduk
pada wilayah dikaji di kali dengan faktor emisi CO2 hasil respirasi. Menurut
Rushayati (2012), faktor emisi CO2 dari respirasi manusia sebesar 0,365
ton/orang/tahun. Emisi CO2 dapat dihitung dengan persamaan (Nur & Herry
2015):
Emisi CO2 = JP × FE
(Keterangan: FE = faktor emisi CO2 dari respirasi; JP = jumlah penduduk)
8

Emisi CO2 dari transportasi dapat dihitung dari faktor emisi, nilai
kalor, dan jumlah bahan bakar total yang digunakan. Setiap jenis kendaraan
memiliki faktor emisi, nilai kalor, dan jumlah bahan bakar yang berbeda-
beda. Menurut Boer et al. (2012), faktor emisi, nilai kalor, dan jumlah bahan
bakar untuk beberapa jenis kendaraan yang umum ada di Indonesia
diantaranya:

Tabel 2 Nilai faktor emisi sesuai jenis kendaraan


Jenis Kendaraan Jumlah Bahan Bakar Faktor Emisi Nilai Kalor
(liter/tahun/unit) (Kg/TJ) (TJ/liter)
Sepeda motor 550,8 69300 33×10⁻⁶
Mobil berbahan 1813,2 69300 33×10⁻⁶
bakar bensin
Mobil berbahan 2320,7 74100 34×10⁻⁶
bakar solar
Bis 4263,6 74100 34×10⁻⁶

Emisi CO2 dari kendaraan dapat dihitung dengan persamaan:

Emisi CO2 = ∑ (JK × JB × FE × NK)


(Keterangan: JK = jumlah kendaraan pribadi dan umum; JB = jumlah bahan
bakar; FE = faktor emisi CO2 kendaraan; NK = nilai kalor)

2) Kualitas Udara
Kualitas udara dapat ditentukan dengan indikator berupa konsentrasi
dari senyawa sulphur dioksida (SO₂), nitrogen dioksida NO₂, dan
Particulate Matter 10 (PM10) (Siemens 2011). Masing-masing senyawa
tersebut menyebabkan udara ambien tidak dapat dihirup oleh manusia
karena kandungan zat-zat berbahaya yang masuk ke saluran pernafasan.

3) Penggunaan Energi
Penggunaan energi dapat dihitung dari besarnya total penggunaan
listrik dari setiap industri dan rumah tangga yang ada di kota yang dikaji
dengan satuan kilo watt per jam (KWh). Penggunaan energi listrik dari
industri dan rumah tangga dapat di hitung dengan persamaan (Hidayati
2018):

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑖𝑎𝑛 𝑙𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑘 𝑖𝑛𝑑𝑢𝑠𝑡𝑟𝑖 (𝐾𝑊ℎ)


Energi listrik industri = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑑𝑢𝑠𝑡𝑟𝑖

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑖𝑎𝑛 𝑙𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑘 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 (𝐾𝑊ℎ)


Energi listrik rumah tangga = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎

4) Konsumsi Air
Konsumsi air dapat ditentukan dengan melihat penggunaan air oleh
industri maupun rumah tangga. EIU (2012) dalam perhitungan European
Green City Index menggunakan satuan m3/individu untuk konsumsi rumah
tangga dan m3/industri untuk konsumsi air industri. Besarnya konsumsi air
rumah tangga dan industri dapat dihitung dengan persamaan:
9

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑎𝑖𝑟 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 (m3)


Konsumsi air individu = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑎𝑖𝑟 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 (𝑚3)


Konsumsi air rumah tangga = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑎𝑖𝑟 𝑖𝑛𝑑𝑢𝑠𝑡𝑟𝑖 (𝑚3)


Konsumsi air industri = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑢𝑠𝑡𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟

5) Transportasi Publik
Transportasi publik dapat diwakili dengan ketersediaan transportasi
publik dalam rasio jumlah kendaraan pada suatu kota terhadap panjang jalan,
dapat dihitung dengan persamaan (PUPR 2017):

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑛𝑑𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑢𝑚𝑢𝑚 (𝑢𝑛𝑖𝑡)


Ratio transportasi publik = 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 (𝑘𝑚)

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑛𝑑𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑢𝑚𝑢𝑚 (𝑢𝑛𝑖𝑡)


Ratio transportasi publik/10.000 penduduk =
10.000 (𝑗𝑖𝑤𝑎)

6) Pengelolaan Sampah
Sistem pengelolaan sampah pada suatu kota dapat dihitung seberapa
baiknya dengan cara menghitung perbandingan antara jumlah tempat
pembuangan sampah dengan jumlah penduduk, selain itu juga dapat
ditentukan dengan menghitung perbandingan antara volume produksi
sampah terhadap luas dari kota, dapat dihitung dengan persamaan:

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑎ℎ (𝑇𝑜𝑛/ℎ𝑎𝑟𝑖)


Pengelolaan Sampah = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑇𝑃𝑆 (ℎ𝑎)

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑎ℎ (𝑇𝑜𝑛/ℎ𝑎𝑟𝑖)


Produksi Sampah = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ (𝑚²)

7) Ruang Terbuka Hijau


Ketersediaan ruang terbuka hijau dapat dihitung dari jumlah ruang
terbuka hijau dan luas masing-masing dari setiap ruang terbuka hijau. Ruang
terbuka hijau dalam perhitungan Green City Index dapat ditentukan dengan
persamaan (Silolo 2018):

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑅𝑇𝐻 (𝑚²)


Presentase RTH Terhadap Luas Wilayah = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ (𝑚²)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑅𝑇𝐻 (𝑚²)


Proporsi RTH Individu = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ (𝑗𝑖𝑤𝑎)

Pembobotan & Normalisasi Pada Setiap Indikator


Setelah semua indikator dihitung kemudian dari masing-masing indikator
dilakukan pembobotan. Pembobotan dari masing-masing indikator dilakukan
sesuai dengan studi pustaka yang mengacu pada IASS (2016). Masing-masing hasil
pembobotan diberi nilai pada rentang 1 hingga 5, dengan teknik normalisasi
menyesuaikan pada jenis atribut. Atribut yang perlu di normalisasi diantaranya
10

Emisi CO2, Penggunaan Energi, Konsumsi Air, Transportasi Publik, Produksi


Sampah, dan Pengelolaan Sampah. Sedangkan untuk Kualitas Udara dan Ruang
Terbuka Hijau menggunakan baku mutu.
Data dinormalisasi pada skala 1 – 5 dan dilakukan dengan menggunakan
nilai maksimum dan minimum pada data tersebut. Selain itu, normalisasi dilakukan
berdasarkan kelompok kota. Normalisasi dapat dihitung dengan persamaan:

4 (𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚)


Normalisasi = +1
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚−𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚

Hasil Skoring dapat dilihat pada tabel 3 sedangkan pembobotan pada setiap
indikator dapat dilihat pada tabel 4, sebagai berikut:

Tabel 3 Skoring indikator Green City (IASS 2016)


Kategori Green City
Indikator Buruk Sedang Baik
1 3 5
Emisi Karbon
Dioksida Maksimum - Minimum
Polutan > Baku Polutan = Baku Polutan < Baku
Kualitas Udara Mutu Mutu Mutu
Penggunaan
Energi Maksimum - Minimum
Konsumsi Air Maksimum - Minimum
Transportasi
Publik Minimum - Maksimum
Produksi
Sampah Maksimum Minimum
Pengelolaan
Sampah Minimum Maksimum
Ruang Terbuka
Hijau 0 - 0,2 0,21 - 0,29 ≥0,3

Tabel 4 Atribut, indikator, dan bobot setiap indikator (IASS 2016)


Teknik
Atribut Indikator Pembobotan
Normalisasi
Emisi Karbon Dioksida
Emisi 50% Min-Maks
Respirasi
Karbon
Emisi Karbon Dioksida
Dioksida 50% Min-Maks
Transportasi
Konsentrasi SO2 33% Baku Mutu
Kualitas
Konsentrasi NO2 33% Baku Mutu
Udara
Konsentrasi PM10 33% Baku Mutu
Penggunaan Energi Listrik Industri 50% Min-Maks
Energi Energi Listrik Rumah Tangga 50% Min-Maks
Konsumsi Air Individu 33% Min-Maks
11

Konsumsi Konsumsi Air Rumah Tangga 33% Min-Maks


Air Konsumsi Air Industri 33% Min-Maks
Ratio transportasi publik 50% Min-Maks
Transportasi
Publik Ratio transportasi
50% Min-Maks
publik/10.000 penduduk
Pengelolaan Pengelolaan Sampah 50% Min-Maks
Sampah Produksi Sampah 50% Min-Maks
Ruang Presentase RTH Terhadap
50% Standar Min
Terbuka Luas Wilayah
Hijau Proporsi RTH Individu 50% Standar Min

Analisis Green City Index


Setelah pembobotan selesai kemudian nilai Green City Index dapat dihitung
dan didapatkanlah nilai Green City Index dari masing-masing kota yang dikaji.
Perhitungan dapat dihitung dengan fungsi:

F = (C, A, E, WC, T, W, G)
GCI = 10%C + 15%A + 10%E + 15%WC + 15%T + 10%W + 25%G
(Keterangan: GCI = Green City Index; C = Emisi Karbon Dioksida; A = Kualitas
Udara; E = Penggunaan Energi; WC = Konsumsi Air; T = Transportasi Publik; W
= Pengelolaan Sampah; G = Ruang Terbuka Hijau)

Presentase dari setiap atribut ditentukan berdasarkan studi literatur yang


menunjukkan seberapa besar kontribusi dari masing-masing atribut dalam
menentukan Green City Index. Ruang Terbuka Hijau memiliki presentase terbesar
karena Ruang Terbuka Hijau memiliki peran dalam menopang kelestarian
lingkungan pada suatu kota dengan menyediakan suplai oksigen serta sebagai
daerah resapan air.

Analisis Korelasi Pendapatan Daerah Terhadap Nilai Green City Index


Analisis korelasi dilakukan dengan menetapkan pendapatan daerah dan nilai
Green City Index sebagai variabel kontinu. Kedua variabel tersebut kemudian
dihitung nilai korelasinya dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson.
Koefisien korelasi Pearson menggambarkan hubungan linear dari dua variabel,
digambarkan dengan nilai koefisien -1 < r < 1. Koefisien Pearson positif
menunjukkan hubungan yang searah antar variabel, sedangkan koefisien Pearson
negatif menunjukkan hubungan yang berlawanan antar variabel.

Gambar 2 Grafik korelasi dua variabel kontinu


12

Perhitungan koefisien korelasi Pearson dapat dihitung dengan persamaan


(Mendenhall et al. 2015):

(Keterangan: rxy = koefisien Pearson variabel x dan y; Sxy = simpangan baku


variabel x dan y; Sxx = simpangan baku dua variabel x; Syy = simpangan baku dua
variabel y)
13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Kondisi Iklim dan Lingkungan Wilayah Kajian


Menurut klasifikasi iklim Koppen dalam Peta Dunia Klasifikasi Iklim oleh
Kottek et. al. (2006), secara umum Indonesia memiliki tipe iklim A (tropis) dengan
rata-rata curah hujan bulanan lebih dari 60 mm, rata-rata suhu udara bulanan lebih
dari 18 °C, dan kelembaban udara yang tinggi. Kota yang dikaji pada penelitian ini
sebagian besar termasuk dalam tipe iklim Af, Am, dan Aw dengan bentuk kota
urban dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Lokasi kota-kota yang dikaji dapat
dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Peta Wilayah Kajian (BPS 2016)

Penentuan wilayah kajian pada penelitian ini didasarkan pada klasifikasi


kota berdasarkan jumlah penduduk. Klasifikasi kota berdasarkan jumlah penduduk
menjadi hal yang jamak dalam penentuan hirarki kota di Indonesia untuk
penyelidikan perkembangan wilayah. Menurut Soegijoko (2005), tipologi kota
ditentukan berdasarkan besaran penduduk kota, fungsi kota dalam wilayah dengan
keberadaan prasarana wilayah dan ekonomi wilayah.

Pendapatan Daerah dari Seluruh Kelompok Kota


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat mewakili pendapatan bruto
dari suatu daerah karena dalam perhitungannya memasukkan 17 lapangan usaha
dari masing-masing kota. Setiap kelompok kota menunjukkan perbedaan dari total
PDRB pada masing-masing kota. Besarnya PDRB pada masing-masing kota dapat
dilihat pada Gambar 4.
14

300

250
Juta Rupiah

200

150

100

50

Malang
Jakarta

Yogyakarta
Padang
Bandung

Tarakan
Cirebon
Makassar

Pontianak

Probolinggo

Langsa

Kotamobagu
Mataram

Prabumulih
Palembang

Surabaya

Bogor

Denpasar

Pekalongan

Ambon

Solok
Pekanbaru
Semarang

Tanjungpinang

Tidore Kepulauan
Gambar 4 Rata-rata PDRB per kapita 2014-2018

PDRB/kapita terbesar dimiliki Kota Jakarta dengan nilai sebesar 265 juta
Rp/thn, sedangkan PDRB/kapita terkecil di Kota Kotamobagu dengan nilai sebesar
20 juta Rp/thn. Secara rata-rata, kelompok kota metropolitan memiliki
PDRB/kapita terbesar dengan nilai 119 juta Rp/thn, diikuti Kota Besar dan Kota
Sedang dengan nilai yang sama yaitu 54 juta Rp/thn, dan yang terkecil oleh
kelompok Kota Kecil dengan nilai 28 juta Rp/thn. Menurut Parmawati et. al. (2011),
perbedaan PDRB yang signifikan antar kelompok kota disebabkan oleh kemajuan
perekonomian yang berbeda. Kota metropolitan memiliki industri yang lebih maju
jika dibandingkan dengan kelompok kota yang lain sehingga memiliki PDRB
terbesar. Selain itu juga kota metropolitan memiliki peran penting dalam
meningkatkan devisa negara dari berbagai sektor khsususnya di sektor industri.

Analisis Atribut dan Indikator Seluruh Kelompok Kota

Emisi CO2
1200
1000
(Ribu Kg/Thn)

800
600
400
200
0
Jakarta

Prabumulih
Yogyakarta
Padang

Malang
Bandung

Cirebon

Probolinggo
Tarakan

Langsa
Makassar

Pontianak

Kotamobagu
Mataram
Bogor
Surabaya

Denpasar

Tanjung Pinang

Tidore Kepulauan
Pekalongan

Ambon
Palembang

Pekanbaru

Solok
Semarang

(a)
15

4000
3500
3000

(Juta Kg/Thn)
2500
2000
1500
1000
500
0
Jakarta

Malang
Padang

Yogyakarta
Makassar

Tarakan
Bandung

Pontianak

Cirebon

Probolinggo

Mataram

Langsa

Kotamobagu
Bogor

Denpasar

Tidore Kepulauan
Surabaya

Pekalongan

Prabumulih
Tanjung Pinang

Ambon
Palembang

Pekanbaru

Solok
Semarang

(b)
Gambar 5 Emisi CO2 (a) Respirasi & (b) Trasnportasi

Konsentrasi CO2 yang di emisikan di sektor perkotaan sangat dipengaruhi


oleh aktivitas manusia dari berbagai sektor, diantaranya sektor transportasi, sektor
energi, dan respirasi manusia. Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) pada
kendaraan bermotor mempengaruhi besarnya emisi CO2 yang dihasilkan. Besarnya
emisi CO2 respirasi dan transportasi pada setiap kota dapat dilihat pada Gambar 5.
Perbedaan emisi CO2 respirasi terlihat jika dibandingkan antar kota dan
kelompok kota. Sebagai kota dengan jumlah penduduk tertinggi, Kota Jakarta
memiliki nilai emisi CO2 respirasi yang tinggi juga. Sedangkan jumlah emisi
terendah oleh Kota Solok dengan jumlah penduduk 67338 jiwa, sehingga
menghasilkan emisi sebesar 25439 kg CO2/thn. Sedangkan berdasarkan kelompok
kota, nilai emisi tertinggi dimiliki oleh kelompok Kota Metropoltan dengan rata-
rata nilai sebesar 725278 kg CO2/thn, diikuti oleh Kota Besar dengan rata-rata
298015 kg CO2/thn, Kota Sedang 110016 kg CO2/thn, dan terendah oleh Kota Kecil
sebesar 45971 kg CO2/thn.
Di sektor transportasi, Kota Jakarta memiliki jumlah kendaraan terbanyak
jika dibandingkan dengan kota lain sehingga menghasilkan nilai emisi CO 2
transportasi yang tertinggi. Selain Kota Jakarta, kota dengan emisi CO2 transportasi
yang menyentuh nilai lebih dari 1 miliyar kg/tahun adalah Kota Palembang, Kota
Bandung, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Pekanbaru, dan Kota Denpasar.
Menurut Rahardjo (2012), pada tahun 2005, sektor transportasi bertanggungjawab
atas 20,7% dari keseluruhan emisi CO2 Indonesia ke atmosfer. Dalam kelompok
sektor energi, transportasi menduduki urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 23%
dari emisi total, setelah sektor industri (37%) dan sektor pembangkit listrik (27%).
Angka ini menunjukkan posisi penting sektor transportasi relatif terhadap sektor
lainnya dalam konteks mitigasi perubahan iklim. Fakta ini menunjukkan adanya
ketergantungan yang sangat besar dalam pilihan moda transportasi masyarakat pada
kendaraan bermotor pribadi untuk menunjang kegiatan sosial-ekonominya,
khususnya di kota-kota metropolitan, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan
Semarang. Menurut estimasi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup,
pertumbuhan emisi gas-gas rumah kaca yang bersumber dari transportasi jalan
mencapai 8-10% (Bappenas 2009) dan hal ini akan menyebabkan nilai Green City
Index semakin rendah.
16

Kualitas Udara
Data yang diperoleh dari Statistik Lingkungan Hidup (2018) berasal dari 4
titik pengukuran yang mewakili wilayah industri, pemukiman, transportasi, dan
perkantoran. Setiap data kualitas udara yang diperoleh tidak menyediakan
koordinat pada setiap titik pengukuran sehingga tidak dilakukan interpolasi dalam
menentukan hasil. Oleh karena itu dilakukan perhitungan rata-rata konsentrasi dari
seluruh titik pengukuran. Pola dari sebaran konsentrasi ini salah satunya dapat
merepresentasikan nilai Green City Index dari kota yang diamati.
200
(μg/Nm3/thn)

150
100
50
0 Malang
Jakarta

Yogyakarta
Bandung

Padang

Tarakan
Makassar

Pontianak

Cirebon

Probolinggo

Langsa

Kotamobagu
Pekalongan

Mataram
Surabaya

Bogor

Denpasar

Prabumulih
Pekan Baru

Tanjung Pinang

Ambon

Tidore Kepulauan
Palembang

Solok
Semarang

NO2 SO2 PM10

Gambar 6 Konsentrasi NO2, SO2, dan PM10

Sumber utama dari SO2 adalah pembangkit listrik dari hasil pembakaran
bahan bakar fosil dan tenaga batu bara (Cahyono 2011). Terlihat pada Gambar 6,
konsentrasi SO2 tertinggi dimiliki oleh Kota Jakarta yang merupakan salah satu
wilayah industri dengan jumlah kendaraan terbanyak disertai kepadatan penduduk
yang tinggi. Diikuti oleh kota-kota Metropolitan lain dengan konsentrasi SO2
berkisar antara 92-189 μg/Nm3. Menghirup udara dengan SO2 yang tinggi dapat
menyebabkan iritasi pada sistem pernafasan manusia. Paparan dalam jangka waktu
pendek akan menyebabkan penyakit pernafasan (asma, batuk, sesak nafas),
sedangkan dalam jangka waktu panjang akan meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi pernafasan dan berkontribusi pada penyakit asma akut (Basri et. al. 2014).
Sedangkan pada NO2, konsentrasi gas yang di emisikan dari setiap kota
sebagian besar dihasilkan oleh sektor transportasi, diantaranya emisi dari mobil,
truk, bus, dan peralatan off-road. Hal ini menyebabkan Kota Jakarta memiliki nilai
konsentrasi tertinggi, yaitu 135 μg/Nm (di atas ambang batas 100 μg/Nm³ (Farida
2018)³, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh Kota Langsa dengan konsentrasi
sebesar 23 μg/Nm³. Konsentrasi NO2 yang tinggi memiliki dampak yang berbahaya
bagi kesehatan manusia, ternak, dan dapat merusak hasil panen di kawasan
pertanian sehingga tingginya kandungan zat ini dapat sangat merugikan secara
ekonomi. Secara pola grafik, konsentrasi NO2 dan SO2 memiliki pola yang sama.
Tren konsentrasi akan semakin menurun mulai dari kelompok Kota Metropolitan
hingga ke kelompok Kota Kecil.
Selain itu, konsentrasi Particulate Matter 10 (PM10) dihasilkan oleh
aktivitas manusia yang berasal dari kendaraan bermotor dan industri (Haq et. al.
2002), yang menghasilkan emisi partikulat dan hidrokarbon yang tinggi.
Konsentrasi rata-rata PM10 tertinggi berdasarkan kelompok kota dimiliki oleh Kota
Metropolitan dengan nilai sebesar 103 μg/Nm³, diikuti Kota Besar dengan nilai 78
17

μg/Nm³, Kota Kecil 59 μg/Nm³, dan Kota Sedang 57 μg/Nm³. Berdasarkan PP RI


No.41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, ambang batas aman
dari konsentrasi PM10 adalah 50 μg/Nm³ yang ditemukan pada sebagian besar kota-
kota yang diamati. Risiko kesehatan yang ditimbulkan dari senyawa ini adalah
timbulnya infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh endapan PM10 pada
saluran pernafasan daerah bronki dan alveoli (Lundgren et. al. 1996). Secara pola
grafik, konsentrasi PM10 memiliki pola yang berbeda. Kota Solok memiliki
konsentrasi PM10 yang lebih tinggi dari kota-kota di kelompok Kota Besar dan
Kota Sedang. Hal ini disebabkan oleh kasus kejadian kebakaran hutan di Kawasan
Suaka Marga Satwa dan kejadian ini ditahun yang sama dengan proses pengukuran
kualitas udara yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup setempat sehingga
menyebabkan konsentrasi PM10 terukur memiliki konsentrasi tinggi (BNPB 2018)

Penggunaan Energi
Sumber energi listrik yang dominan di kota-kota di Indonesia adalah dengan
menggunakan bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan emisi gas rumah kaca,
berwujud emisi kabon dioksida, yang menyebabkan peningkatan intensitas emisi
gas rumah kaca dan akan memiliki andil dalam perhitungan nilai Green City Index.
450
400
(Ribu KWh/industri)

350
300
250
200
150
100
50
0
Tidore…
Yogyakarta
Malang
Jakarta
Bandung

Padang

Cirebon

Tarakan
Pontianak

Probolinggo

Langsa

Kotamobagu
Makassar

Tanjung Pinang
Bogor

Mataram
Surabaya

Denpasar

Pekalongan

Prabumulih
Ambon
Palembang

Pekanbaru

Solok
Semarang

Gambar 7 Rata- rata Penggunaan Energi Listrik Industri (2014-2018)

Gambar 7 menunjukkan penggunaan energi di sektor industri. Penggunaan


energi listrik industri terbesar secara rata-rata terdapat pada kelompok Kota
Metropolitan dengan rata-rata 232000 KWh/industri. Kota Metropolitan memiliki
nilai penggunaan energi yang tinggi karena sebagian besar pembangkit listrik yang
digunakan menggunakan bahan bakar fosil sehingga emisi yang dihasilkan lebih
tinggi. Selain itu juga karena akses penggunaan listrik yang mudah didapatkan pada
setiap sektor dan pemukiman penduduk. Sedangkan untuk kelompok Kota Besar
dan Kota Sedang memiliki rata-rata penggunaan energi yang hampir sama yaitu
berkisar antara 75000-80000 KWh/industri, hal ini disebabkan oleh penggunaan
energi listrik yang merata dan diimbangi oleh penggunaan sumber energi
terbarukan lainnya seperti tenaga air, tenaga surya, dan tenaga-tenaga terbarukan
lainnya (Basyiran 2014). Kelompok Kota Kecil memiliki nilai penggunaan energi
yang rendah dengan nilai rata-rata sebesar 20 KWh/industri. Hal ini disebabkan
oleh jumlah penduduk dan jumlah industri yang berkembang tidak sebanyak jika
18

dibandingkan dengan kelompok kota yang lain. Selain itu juga sebagian besar
kelompok Kota Kecil telah menerapkan penggunaan energi terbarukan untuk sektor
industri, sebagai contoh Kota Tidore Kepulauan. Menurut Permana et. al. (2012),
Tidore Kepulauan telah mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan yang
berasal dari minyak nabati (biofuel) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi
(Geothermal Power Station).
5000
4500
4000
3500
(KWh/unit)

3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Jakarta

Malang
Yogyakarta
Padang

Tarakan
Bandung

Pontianak
Makassar

Cirebon

Probolinggo

Langsa
Mataram

Kotamobagu
Bogor

Tidore Kepulauan
Surabaya

Denpasar
Tanjung Pinang

Pekalongan

Ambon

Prabumulih
Palembang

Pekanbaru

Solok
Semarang

Gambar 8 Rata-rata Penggunaan Energi Listrik Rumah Tangga (2014-2018)

Gambar 8 menunjukkan penggunaan energi listrik rumah tangga dari setiap


kota. Penggunaan listrik rumah tangga sebagian besar dipengaruhi oleh gaya hidup
dan lingkungan di masing-masing wilayah. Menurut Wati dan Fatkhuroyan (2017),
Kota Metropolitan memiliki tingkat kepadatan yang tinggi dan kondisi iklim yang
tidak lagi nyaman sehingga menyebabkan masyarakat menggunakan berbagai alat
elektronik untuk menciptakan suasana nyaman ketika berada di rumah. Sedangkan
pada Kota Besar dan Kota Sedang memiliki tingkat populasi yang tidak sepadat
Kota Metropolitan dan gaya hidup yang lebih sederhana sehingga tidak
memerlukan berbagai alat elektronik berdaya tinggi dan dapat diganti
menggunakan alat elektronik yang memiliki daya listrik yang lebih rendah. Pola
hidup yang lebih sederhana dan akses terhadap barang-barang elektronik yang tidak
semudah di kelompok kota yang lain menyebabkan konsumsi energi listrik rumah
tangga pada kelompok kota kecil menjadi yang paling rendah dengan rata-rata daya
penggunaan sebesar 329 KWh setiap rumah tangga. Penggunaan energi listrik
rumah tangga sangat bergantung pada pola hidup masyarakat dan faktor ekonomi.
Menurut Miah et. al. (2010), konsumsi energi rumah tangga meningkat sejalan
dengan kenaikan pendapatan rumah tangga, sedangkan konsumsi energi tradisional
(seperti kayu bakar dan arang) di rumah tangga menurun sejalan dengan kenaikan
pendapatan, bahkan berlaku juga untuk minyak tanah.

Konsumsi Air
Menurut (PERMENKES No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002) air
konsumsi adalah air yang memiliki standar yang layak/boleh untuk dikonsumsi
sebagai air minum dengan ketentuan batas-batas yang telah ditetapkan oleh
PERMENKES tentang batas syarat kandungan kontaminan. Sumber air konsumsi
19

di Indonesia secara umum dibagi dua yaitu air tanah/sumur dan air PAM, sedangkan
pada penelitian ini hanya menggunakan data air PAM (Gambar 9).
600
500
400
(m3/RT)

300
200
100
0

Tidore…
Tarakan
Jakarta

Malang
Padang

Yogyakarta
Bandung

Makassar

Pontianak

Cirebon

Probolinggo

Mataram

Langsa

Kotamobagu
Bogor
Surabaya

Denpasar

Pekalongan

Prabumulih
Tanjung Pinang
Pekanbaru
Palembang

Ambon
Semarang

Solok
Gambar 9 Konsumsi Air Rumah Tangga

Konsumsi air rumah tangga pada masing-masing kota dapat dilihat pada
Gambar 9. Konsumsi tertinggi secara rata-rata oleh kelompok Kota Metropolitan
dengan nilai 286 m3/RT, kemudian dibawahnya terdapat Kota Besar dengan nilai
264 m3/RT, Kota Sedang 251 m3/RT, dan terendah oleh Kota Kecil dengan nilai
169 m3/RT. Kota Yogyakarta memiliki nilai konsumsi tertinggi. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar penduduk Yogyakarta masih menggunakan akuifer dangkal
dalam pemenuh kebutuhan sehari-hari. Kemudian, dilanjutkan oleh riset yang
dilakukan Amrta Institut bersama Yayasan Tifa (2017) bahwa PDAM di
Yogyakarta sendiri masih mengandalkan air tanah sebagai sumber air. Sejak tahun
2010, penggunaan air tanah oleh PDAM di Yogyakarta berada di kisaran 80%.
Bahkan di tahun 2015, PDAM menggunakan sumber air tanah mencapai 86,76.
Sebagai perbandingan, PDAM di Jakarta menggunakan 100% air permukaan dan
di Surabaya sebesar 97%. Hal yang sama juga terjadi pada Kota Tanjung Pinang
yang menggunakan akuifer dangkal dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
sehingga konsumsi air rumah tangga yang dihasilkan memiliki nilai diatas rata-rata.
700

600
(Ratus m3/industri)

500

400

300

200

100

0
Denpasar
Yogyakarta
Jakarta
Bandung

Malang
Padang

Tarakan
Makassar

Pontianak

Cirebon

Probolinggo

Mataram

Langsa

Kotamobagu
Surabaya

Bogor

Pekalongan

Prabumulih
Tanjung Pinang

Ambon

Solok
Palembang

Pekanbaru

Tidore Kepulauan
Semarang

Gambar 10 Konsumsi Air Industri


20

Sedangkan untuk konsumsi air industri salah satunya dipengaruhi oleh


jumlah industri yang ada pada suatu kota. Kota Jakarta mememiliki beberapa
kawasan industri diantaranya kawasan Berikat Nusantara dan kawasan Industri
Pulo Gadung. Industri-industri yang terdapat di Jakarta diantaranya pabrik garmen,
pabrik makanan, pabrik manufaktur, pabrik otomotif dan pabrik-pabrik lain. Hal ini
menyebabkan Kota Jakarta memiliki konsumsi air yang tinggi pada sektor industri.
Kota-kota lain yang memiliki beberapa kawasan industri diantaranya Kota
Surabaya, Kota Bandung, dan Kota Makassar. Sedangkan secara kelompok kota,
Kota Kecil memiliki konsumsi air yang rendah pada sektor industri karena sebagian
besar masyarakatnya bekerja di sektor pertanian dan pariwisata. Kelompok Kota
Besar dan Kota Sedang memiliki rata-rata konsumsi yang hampir sama, yaitu
sebesar 14066 m3/industri dan 15020 m3/industri. Nilai konsumsi pada masing-
masing kota dapat dilihat pada Gambar 10.
180
160
140
120
(Liter/jiwa)

100 Palemba
80 ng
60
40
20
0
Malang
Jakarta

Yogyakarta
Bandung

Padang

Probolinggo
Tarakan
Cirebon
Makassar

Pontianak

Langsa
Mataram

Kotamobagu
Bogor

Denpasar
Surabaya

Pekalongan

Prabumulih
Tanjung Pinang
Pekanbaru

Ambon

Tidore Kepulauan
Palembang

Solok
Semarang

Gambar 11 Konsumsi Air Individu

Pada konsumsi air individu, besarannya sangat bergantung pada gaya hidup
masing-masing masyarakat dan perhitungannya diluar konsumsi air rumah tangga.
Menurut kementrian PUPR (2007), pemakaian air individu minimal di Indonesia
adalah sebesar 70 liter/jiwa yang digunakan untuk kebutuhan pokok seperti minum
dan masak, cuci pakaian, mandi, serta keperluan ibadah. Kota dengan konsumsi air
Indivdu terbanyak adalah Kota Surabaya dengan konsumsi sebesar 158 liter/jiwa,
diikuti oleh Kota Solok dengan 153 liter/jiwa, dan Kota Palembang sebesar 144
liter/jiwa. Sedangkan secara kelompok kota, Kota Metropolitan memiliki rata
konsumsi tertinggi sebesar 128 liter/jiwa, diikuti Kota Sedang sebesar 121 liter/jiwa,
Kota Besar 120 liter/jiwa, dan Kota Kecil 118 liter/jiwa. Semakin tinggi konsumsi
air individu dalam sebuah kota, maka hal tersebut akan mempengaruhi ketersedian
air bersih dan mengancam kelestarian lingkungan di kota tersebut.

Transportasi Publik
Transportasi publik merupakan salah satu indikator penting dalam
menerapkan Green City. Indikator ini juga berhubungan erat dengan indikator
lainnya seperti penggunaan energi dan emisi CO2. Ketersediaan angkutan umum
menjadi prioritas dalam kategori ini karena merupakan salah satu aspek yang
membantu masyarakat dalam beraktivitas. Selain itu, masalah utama di wilayah
21

kota adalah tingginya distribusi kendaraan pribadi roda empat. Tabel 5


menunjukkan ratio jumlah transportasi terhadap panjang jalan dan ratio jumlah
kendaraan setiap 10.000 jiwa penduduk.

Tabel 5 Ratio Transportasi/Panjang Jalan dan Ratio/10000 penduduk


Per-10000
Kelompok Kota Kota Kendaraan/Km
penduduk
Palembang 4,73 0,38
Jakarta 46,46 3,87
Kota Bandung 5,28 0,61
Metropolitan Semarang 0,17 0,01
Surabaya 1,56 0,26
Makassar 9,47 1,49
Pekanbaru 0,96 0,26
Padang 0,35 0,07
Bogor 0,23 0,02
Kota Besar Yogyakarta 5,37 0,13
Malang 4,12 0,09
Pontianak 2,48 0,68
Denpasar 6,9 0,34
Tanjung
3,38 0,13
Pinang
Cirebon 1,15 0,02
Pekalongan 4,2 0,06
Kota Sedang Probolinggo 7,54 0,15
Tarakan 0,19 0,01
Mataram 3,28 1,13
Ambon 1,04 0,03
Langsa 0,27 0,01
Solok 0,41 0,01
Kota Kecil Prabumulih 0,43 0,02
Kotamobagu 0,65 0,02
Tidore
0,59 0,02
Kepulauan

Jenis kendaraan yang digunakan pada penelitian ini mencakup semua jenis
kendaraan umum seperti angkutan kota, mikro bus, bus, mobil penumpang umum,
dan semua jenis kendaraan umum roda empat yang terdaftar secara resmi oleh
Dinas Perhubungan kota setempat. Kota dengan jumlah transportasi publik
terbanyak setiap kilometer adalah Kota Jakarta, diikuti oleh Kota Makassar, dan
Kota Probolinggo. Hal ini menyebabkan penggunaan transportasi pribadi berkurang.
Khusus untuk Kota Jakarta, walaupun transportasi publik yang disediakan sudah
banyak akan tetapi masih banyak masyarakat yang membawa kendaraan pribadi,
22

fenomena ini disebabkan oleh kepadatan penduduk tinggi yang tidak diimbangi
dengan luas wilayah yang memadahi sehingga ketersediaan transportasi yang ada
masih belum mampu mengurai kemacetan dan mengurangi emisi. Sementara di
kota-kota lain jumlah transportasi publik yang memadai mampu mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi, namun gaya hidup penduduk cenderung untuk
memiliki kendaraan pribadi sehingga dibeberapa kota di Indonesia keberadaan
transportasi publik belum efektif untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
dan mengurai kemacetan (Miro 2002). Di negara-negara berkembang,
permasalahan kemacetan sendiri disebabkan oleh banyak hal diantaranya
pendapatan rendah, urbanisasi yang sangat cepat, terbatasnya sumber daya,
khususnya dana, kualitas dan kuantitas data yang berkaitan dengan transportasi,
kualitas sumber daya manusia, tingkat disiplin yang rendah, dan lemahnya sistem
perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi semakin
parah (Tamin 2000).

Pengelolaan Sampah
16.00
14.00
12.00
(Ton/km2)

10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Jakarta

Yogyakarta
Malang
Padang

Tarakan
Bandung
Semarang

Makassar

Pontianak

Cirebon

Probolinggo

Mataram

Langsa

Kotamobagu
Denpasar
Pekanbaru

Bogor
Surabaya

Pekalongan

Prabumulih
Tanjung Pinang

Ambon
Palembang

Solok

Tidore Kepulauan

Gambar 12 Jumlah Timbulan Sampah per Luas Wilayah

Jumlah timbulan sampah per luas wilayah per tahun pada masing-masing
kota dapat dilihat pada Gambar 12. Kelompok Kota Metropolitan memiliki
timbulan sampah tertinggi dengan rata-rata sebesar 7,47 ton/km2, diikuti oleh Kota
Besar dengan rata-rata 4,02 ton/km2, Kota Sedang 3,48 ton/km2, dan yang terendah
Kota Kecil dengan rata-rata 0,57 ton/km2. Semakin besar timbulan sampah yang
dihasilkan oleh suatu kota dapat meningkatkan permasalahan lingkungan di kota
tersebut. Selain itu, Iswanto et. al. (2016) menyebutkan bahwa dampak buruk yang
dihasilkan dari jumlah timbulan sampah yang berlebih adalah munculnya
permasalahan-permasalahan baru seperti terganggunya kesehatan dan sanitasi,
berkurangnya lahan produktif yang dapat dikelola, serta pencemaran lingkungan
yang menyebabkan berkurangnya daya dukung lingkungan.
23

100
90
80
(Ton/ha) 70
60
50
40
30
20
10
0

Padang

Cirebon
Malang
Jakarta
Bandung

Yogyakarta

Pontianak

Tarakan
Makassar

Probolinggo

Langsa

Kotamobagu
Mataram
Bogor
Pekanbaru

Denpasar
Tanjung Pinang

Pekalongan

Prabumulih
Surabaya

Ambon
Palembang

Semarang

Solok

Tidore Kepulauan
Gambar 13 Pengelolaan Sampah

Sedangkan pengelolaan sampah pada masing-masing kota ditunjukkan pada


Gambar 13. Pengelolaan sampah menunjukkan seberapa besar timbulan sampah
yang mampu dikelola, ditampung, dan didaur-ulang oleh Tempat Pembuangan
Sampah Akhir (TPA) pemerintah kota sehingga mengurangi permasalahan-
permasalahan lingkungan khususnya yang ditimbulkan akibat timbulan sampah
yang ada. Sampah masih menjadi suatu permasalahan lingkungan khususnya dalam
lingkup kota. Kota dengan pengelolaan sampah yang paling baik pada penelitian
ini adalah Kota Denpasar dengan kemampuan mengelola sampah sebesar 90 ton/ha
sampah setiap tahunnya. Diikuti oleh Kota Pekanbaru dan Kota Makassar dengan
kemampuan mengelola sampah sebesar 87 ton/ha dan 85 ton/ha. Menurut Jo et. al.
(2016), pengelolaan sampah yang baik dapat membantu meminimalisir pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh timbulan sampah yang menumpuk disuatu
wilayah. Pengelolaan sampah mencakup peranan TPA yang dimiliki oleh
pemerintah kota setempat dalam menampung pembuangan akhir dan mendaur
ulang sampah-sampah menjadi lebih bermanfaat.
Salah satu pengelolaan sampah dapat digunakan sebagai sumber energi
pengganti bahan bakar fosil dan dapat dikembangkan sebagai salah satu upaya
untuk merespon perubahan iklim. Menurut Surono (2013), cara ini sebenarnya
termasuk dalam recycle akan tetapi daur ulang yang dilakukan adalah tidak hanya
mengubah sampah plastik langsung menjadi plastik lagi. Dengan cara ini dua
permasalahan penting bisa diatasi, yaitu bahaya menumpuknya sampah plastik dan
diperolehnya kembali bahan bakar minyak yang merupakan salah satu bahan baku
plastik. Teknologi untuk mengkonversi sampah plastik menjadi bahan bakar
minyak yaitu dengan proses cracking atau perekahan.

Ruang Terbuka Hijau


Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu unsur penting dalam
menerapkan konsep kota yang ramah lingkungan. Menurut PP RI No.36 tahun 2002
tentang Hutan Kota, RTH mencakup seluruh area yang penggunaanya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam. Di negara-negara tropis, RTH memiliki peran untuk mengurangi
24

pencemaran dan pemanasan kota. Menurut IASS (2016), salah satu atribut Green
City adalah menerapkan 30% RTH dari total luas wilayah kota. Selain itu proporsi
RTH/individu memiliki peran penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan
dengan standar proporsi RTH tiap individu adalah 20 m², nilai ini disesuaikan
dengan jumlah kebutuhan oksigen dan kenyamanan setiap individu.
90
80
70 Palembang

60
50
(%)

40
30
20
10
0
Tanjungpinang
Denpasar
Jakarta

Yogyakarta
Malang
Bandung

Padang

Tarakan
Semarang

Makassar

Pontianak

Mataram

Probolinggo

Cirebon

Langsa
Kotamobagu
Surabaya

Bogor

Pekalongan

Prabumulih
Palembang

Pekanbaru

Ambon

Solok

Tidore Kepulauan
Gambar 14 Rata-rata Presentase Luas RTH (2014-2018)
120
100
80
(m2/jiwa)

60
40
20
0
Probolinggo

Kotamobagu
Padang

Langsa
Bandung
Jakarta

Yogyakarta
Malang

Tarakan
Makassar

Pontianak

Cirebon
Mataram
Bogor

Denpasar
Palembang

Surabaya

Pekalongan

Prabumulih
Pekanbaru

Ambon
Tanjungpinang
Semarang

Solok

Tidore Kepulauan

Gambar 15 Rata-rata Proporsi RTH Individu (2014-2018)

Gambar 14 dan 15 diatas menunjukkan presentase luas RTH dan proporsi


RTH individu. Kota yang memenuhi syarat persentase RTH dengan luas wilayah
sebanyak 30 persen adalah Kota Semarang, Kota Padang, Kota Bogor, Kota
Tarakan, Kota Prabumulih, Kota Kotamobagu, dan Kota Langsa. Kota-kota
tersebut juga secara langsung telah memenuhi syarat 20 m2 luasan RTH/kapita.
Sedangkan untuk kota-kota lain yang memiliki proporsi individu kurang dari 20 m2
adalah Kota Palembang, Kota Bandung, Kota Jakarta, Kota Makassar, Kota
Denpasar, dan Kota Cirebon.
25

RTH mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan juga sebagai


wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi
wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olahraga ringan
dan lainnya. Demikian pentingnya RTH ini, maka hendaknya semua pihak yang
terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk mengubahnya
(Hakim 2000). Adapun kendala dalam pelaksanaan penataan RTH adalah masalah
pendanaan, pengawasan & penegakan hukum, serta komitmen pemerintah kota
setempat. Political will pemerintah kota dalam membuat kebijakan yang berpihak
pada kepentingan lingkungan ini belum didukung oleh pendanaan yang cukup
memadai maupun komitmen dalam pengawasan dan penegakan hukum. Kurangnya
partisipasi masyarakat dan pihak swasta juga menjadi kendala yang harus
ditingkatkan oleh pemerintah kota dalam mengembangkan RTH (Supratiwi 2018).

Hasil Perhitungan Green City Index Pada Setiap Kota


Konsep pembangunan Green City merupakan sebuah perpanjangan dari
pembangunan berkelanjutan dengan tujuan untuk meningkatkan respon terhadap
dampak buruk dari perubahan iklim dan bencana alam dengan menggunakan
indikator-indikator yang sesuai dengan wilayah yang dikaji. Selain itu, konsep ini
juga digunakan untuk mengukur kualitas lingkungan yang salah satunya ditentukan
oleh kebijakan pemerintah yang dikeluarkan dan berkaitan langsung dengan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Kahn 2006).

Gambar 16 Rata-rata Nilai Green City Index seluruh kelompok kota (2014-2018)

Gambar 16 menunjukkan hasil perhitungan Green City Index dari masing-


masing kota yang telah dikaji. Perhitungan nilai Green City Index dilakukan dengan
teknik normalisasi berdasarkan masing-masing kelompok kota. Green City Index
memiliki rentang nilai antara 0-5. Nilai Green City Index terendah dimiliki oleh
26

Kota Cirebon dengan nilai 2,4 dan nilai tertinggi dimiliki oleh Kota Tidore
Kepulauan dengan perolehan nilai sebesar 4,6. Rata-rata nilai seluruh kota kajian
sebesar 3,4.
Penyebab Kota Cirebon memiliki nilai Green City Index yang paling rendah
adalah karena beberapa permasalahan lingkungan yang dialami dibandingkan kota-
kota lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh, Kota Cirebon memiliki jumlah
timbulan sampah yang paling tinggi. Dan jumlah sampah yang mampu dikelola
oleh pemerintah Kota Cirebon termasuk yang paling rendah pada kategori kota
sedang. Permasalahan selanjutnya adalah presentase RTH dan proporsi RTH yang
rendah. Atribut RTH memiliki pembobotan paling besar dalam penelitian ini,
sehingga penilaian yang rendah pada atribut RTH akan membuat penilaian akhir
dari Green City Index juga akan rendah. Permasalahan yang sama juga terjadi di
Kota Solok untuk kelompok kota kecil. Selain permasalahan sampah dan RTH, di
Kota Solok juga mengalami permasalahan pada atribut konsumsi air. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Solok memiliki jumlah
konsumsi air yang tertinggi dari kelompok kota kecil pada ketiga indikatornya
sehingga penilaian pada atribut ini menjadi rendah. Sedangkan pada kelompok kota
metropolitan, Kota Jakarta dan Kota Bandung memiliki nilai Green City Index yang
paling rendah untuk kelompok Kota Metropolitan. Permasalahan yang terjadi di
Kota Jakarta adalah emisi CO2 tinggi yang disebabkan oleh tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi. Kepadatan penduduk yang tinggi juga menyebabkan jumlah
timbulan sampah yang dihasilkan juga semakin tinggi. Sedangkan pada Kota
Bandung, permasalahan yang terjadi adalah banyaknya konversi lahan menjadi
pusat industri dan pemukiman warga, sehingga luas RTH yang tersedia juga
semakin menurun, hal ini menyebabkan penilaian pada indikator presentasi dan
proporsi RTH semakin rendah (Prihatin 2018).
Sedangkan penilaian 3 kota dengan nilai Green City Index tertinggi
semuanya diperoleh oleh perwakilan kelompok kota kecil yaitu Kota Prabumulih
dengan nilai 4,1 diikuti Kota Kotamobagu dengan nilai 4,0 dan Kota Tidore
Kepulauan dengan nilai 4,6. Kelompok Kota Kecil pada umumnya memiliki
kepadatan penduduk yang paling rendah jika dibandingkan dengan kelompok kota
lain. Hal ini menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan yang dialami
seperti emisi CO2, penggunaan energi, konsumsi air, dan ketersediaan RTH, juga
semakin sedikit. Kota Tidore Kepulauan dengan nilai Green City Index tertinggi
memperoleh poin 5 pada 13 indikator dari total 16 indikator pada penelitian ini. Hal
ini didukung dengan pengembangan sumber energi terbarukan yang sedang di
kembangkan di Kota Tidore Kepulauan (Permana et. al. 2012), sehingga
permasalahan-permasalahan lingkungan seperti emisi CO2, produksi sampah, dan
penggunaan energi dapat teratasi.

Perbandingan Green City Index Antar Kelompok Kota


Hasil rata-rata dari perhitungan Green City Index untuk setiap kelompok
kota dapat dilihat pada Gambar 17. Kelompok Kota Kecil memiliki nilai rata-rata
tertinggi dengan nilai sebesar 3,8 diikuti oleh kelompok Kota Besar dengan nilai
3,4 Kota Sedang dengan nilai 3,2 dan Kota Metropolitan dengan nilai 3,1.
27

3.8
3.4 3.2
3.1

Kota Kota Besar Kota Sedang Kota Kecil


Metropolitan

Gambar 17 Rata-rata nilai Green City Index setiap kelompok kota (2014-2018)

Kelompok Kota Kecil dengan tingkat kepadatan penduduk rendah dan


pendapatan daerah yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok
kota lain justru memiliki rata-rata nilai Green City Index tertinggi. Pada masing-
masing penilaian indikator, penggunaan energi pada kelompok Kota Kecil lebih
sedikit karena jumlah pengguna yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan
kelompok kota lain. Selain itu, konsumsi air juga lebih sedikit jika dibandingkan
dengan kelompok kota lain, sehingga penilaian pada atribut konsumsi air memiliki
nilai yang paling tinggi. Pada atribut RTH dan sampah juga memiliki penilaian yang
paling tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kota lain. Pengembangan industri
yang masih rendah serta lahan pemukiman yang sedikit menyebabkan kelompok
Kota Kecil memiliki penilaian luas RTH yang tertinggi karena ketersediaan RTH
yang melebihi 30% dari total luas wilayah sehingga membuat kelompok Kota Kecil
memiliki kualitas udara yang baik, ketersediaan air tanah yang mencukupi serta
kenyamanan termal yang memadai.
Choi et. al. (2010) menggambarkan hubungan antara masalah lingkungan
dengan tingkat pertumbuhan suatu kota. Pada tahap awal, pemerintah kota akan
mengembangkan industri untuk meningkatkan output dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, hal inilah yang terjadi pada kelompok Kota Metropolitan.
Ketika industrialisasi meningkat pencemaran pun ikut meningkat. Kota yang
meningkat pertumbuhan ekonominya akan memiliki kemampuan untuk
mengendalikan pencemaran tersebut. Setelah kota tersebut berhasil
mengembangkan metode dan prosedur untuk mengendalikan polusi, maka tingkat
polusi dapat ditahan. Sedangkan pada kota dengan tahap perkembangan yang lebih
lambat seperti kelompok Kota Kecil akan cenderung memiliki kualitas lingkungan
yang lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok kota yang lain.

Korelasi Pendapatan Daerah Terhadap Nilai Green City Index


Besarnya PDRB/kapita dari suatu kota akan mempengaruhi kelestarian
lingkungan pada beberapa aspek. Hasil analisis korelasi pearson dengan
menggunakan variabel PDRB/kapita untuk menggambarkan pendapatan daerah
dari suatu kota dan variabel Green City Index untuk menggambarkan kualitas
lingkungan dari suatu kota dapat dilihat pada Tabel 6.
28

Tabel 6 Hasil analisis korelasi Pearson


Pearson correlation -0,457
Kota Metropolitan
P-value 0,362
Pearson correlation -0,104
Kota Besar
P-value 0,824
Pearson correlation 0,11
Kota Sedang
P-value 0,815
Pearson correlation -0,699
Kota Kecil
P-value 0,189

Nilai korelasi pearson menggambarkan hubungan linear antar dua variabel,


dalam penelitian ini hubungan antara PDRB/kapita dengan nilai Green City Index.
Semakin mendekati angka 1 maka kekuatan hubungan antar variabel akan semakin
besar, sedangkan tanda negatif dan positif menggambarkan arah hubungan antar
variabel. Berdasarkan hasil perhitungan, Kota Kecil memiliki nilai korelasi terbesar,
diikuti Kota Metropolitan, Kota Sedang, dan Kota Besar. Sedangkan untuk arah
hubungan antar variabel, Kota Metropolitan, Kota Besar, dan Kota Kecil memiliki
arah hubungan terbalik dan Kota Sedang memiliki arah hubungan yang searah.
Nilai P-value digunakan untuk menguji hipotesis dengan kriteria tertentu
ketika analisis korelasi dilakukan. Hipotesis dan kriteria yang berlaku adalah:
- H0 = Tidak ada hubungan antara PDRB/kapita dengan Green City Index
- H1 = Ada hubungan antara PDRB/kapita dengan Green City Index
- Kriteria: Tolak H0 jika P-value < 0,05
Nilai P-value dari setiap kelompok kota memiliki nilai lebih dari 0,05 maka
kesimpulan yang diambil adalah tidak menolak H0, hal ini berarti dari setiap
kelompok kota tidak terdapat korelasi antara PDRB/kapita dengan Green City Index
secara linear antar kedua variabel data.
Hasil analisis korelasi yang tidak terdapat hubungan antar variabel pada
penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama karena pada
penelitian ini tidak dimasukkan atribut dan indikator data yang bersifat kualitatif,
penelitian ini hanya menggunakan data-data kuantitatif. Menurut IASS (2016), data
kualitatif pada umumnya digunakan untuk menilai kebijakan pemerintah kota
setempat dibidang lingkungan. Hampir semua indikator kualitatif berhubungan
dengan aksi sosial dan politik mengenai peningkatan kualitas lingkungan yang
secara langsung berhubungan dengan keputusan yang dibuat pemerintah. Akan
tetapi data kualitatif yang tidak dipadukan dengan data kuantitatif tidak dapat
digunakan untuk membandingkan antar kota karena kebijakan pemerintah yang
dikeluarkan setiap daerah berbeda-beda dan tidak memiliki unit khusus yang
digunakan untuk mengukurnya.
Faktor berikutnya adalah metode perhitungan yang digunakan. Penelitian
ini menggunakan metode analisis korelasi pearson yang hanya menujukkan
seberapa kuat hubungan antar variabel dan arah hubungannya, tidak menunjukkan
hubungan sebab akibat antar variabel. Penelitian yang dilakukan oleh Chamid dan
Damayanti (2016) mengenai analisis pola hubungan PDRB dengan Faktor
Pencemaran Lingkungan menggunakan analisis regresi linier dan Geographically
Weighted Regression (GWR). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persebaran
PDRB memiliki hubungan negatif dengan kualitas lingkungan, dimana semakin
29

tinggi PDRB suatu daerah maka akan semakin rendah kualitas lingkungannya.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Choi et. al. (2010) mengenai studi
keterkaitan antara CO2 dengan pertumbuhan dan keterbukaan ekonomi
menggunakan metode analisis Vector Auto Regression (VAR) menyimpulkan
bahwa emisi CO2 dan perdagangan bebas memiliki hubungan berbentuk U terbalik
pada Environment Kuznets Curve (EKC), hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan
ekonomi pada tahap awal akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan akan
membaik pada saat keadaan ekonomi mulai stabil, namun jika tingkat pendapatan
suatu negara tidak cukup tinggi untuk peduli pada lingkungan maka liberalisasi
perdagangan mungkin menjadi faktor penting yang mempengaruhi memburuknya
kualitas lingkungan.
Jumlah indikator yang digunakan pada penelitian ini juga menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan nilai korelasi rendah. Penelitian ini menggunakan 16
indikator dari 7 atribut. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh IASS
(2016), menggunakan 42 indikator dari 7 atribut. Indikator yang bervariasi
digunakan untuk menggambarkan keadaan Green City secara memadai. Semakin
banyak indikator yang digunakan maka data yang digunakan akan semakin
mewakili keadaan sesungguhnya sesuai dengan analisis yang dilakukan (IASS
2016).
30

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Green City Index dapat dihitung menggunakan data ekonomi, lingkungan,


dan statistik daerah berdasarkan enam atribut yaitu emisi CO 2, kualitas udara,
penggunaan energi, konsumsi air, transportasi publik, pengelolaan sampah, dan
ruang terbuka hijau. Green City Index tertinggi diperoleh kelompok Kota Kecil
karena lebih unggul di hampir semua atribut. Diikuti oleh kelompok Kota Sedang
dan Kota Besar dengan perolehan yang sama. Dan terendah diperoleh oleh
kelompok Kota Metropolitan. Secara individu pada kelompok Kota Metropolitan,
Kota Semarang memiliki nilai tertinggi sebesar 3,8 dan nilai terendah dimiliki Kota
Jakarta dan Kota Bandung sebesar 2,8. Nilai tertinggi dari kelompok Kota Besar
secara individu dimiliki oleh Kota Padang dengan nilai 3,8 dan terendah oleh Kota
Denpasar dengan nilai 3,0. Kota Tarakan memiliki nilai tertinggi untuk kelompok
Kota Sedang dengan nilai 3,7 dan Kota Cirebon dengan nilai terendah sebesar 2,4.
Nilai tertinggi untuk kelompok Kota Kecil dimiliki oleh Kota Tidore Kepulauan
sebesar 4,6 dan nilai terendah dimiliki oleh Kota Solok dengan nilai 2,9. Hasil dari
perhitungan juga menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai Green City Index,
setiap kota perlu melakukan peningkatan dan pengurangan pada beberapa atribut
dan indikator. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat juga perlu ditingkatkan
lagi dalam mewujudkan kota yang hijau, layak ditinggali, dan berkelanjutan.
Sedangkan hasil analisis Korelasi Pearson yang dihitung pada seluruh
kelompok kota memiliki hasil yang berbeda-beda dalam tingkat kekuatan hubungan
dan arah korelasi. Kota Metropolitan memiliki nilai korelasi -0,457, Kota Besar -
0,104, Kota Sedang 0,11, dan Kota Kecil -0,699. P-value dari semua kelompok kota
memiliki nilai diatas 0,05 yang berarti tidak ada korelasi secara data antara
PDRB/kapita dengan nilai Green City Index. Faktor yang mempengaruhi nilai
korelasi ini diantaranya tidak memasukkan data kualitatif pada penelitian ini.
Kemudian faktor lain adalah karena metode yang digunakan hanya menggunakan
data tanpa meninjau lebih dalam mengenai kebijakan pembangunan yang dibuat
oleh setiap kota yang dikaji. Faktor terakhir karena jumlah indikator yang
digunakan masih belum mampu mewakili seluruh keadaan kualitas lingkungan
yang sesungguhnya.

Saran

Kolaborasi antara pemerintah kota dan masyarakat perlu ditingkatkan lagi


dalam penerapan kegiatan yang mampu meningkatkan kelestarian, terutama dalam
upaya peningkatan maupun penekanan indikator. Pemilihan metode, penentuan
indikator, dan pengumpulan data perlu ditingkatkan agar penelitian selanjutnya
dapat lebih menggambarkan hubungan antara perekomian dengan kelestarian
lingkungan sehingga hasil perhitungan ini dapat dijadikan acuan untuk
pembangunan yang berkelanjutan.
31

DAFTAR PUSTAKA

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2018. Data Kejadian Bencana


Kebakaran Hutan dan Lahan.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2009. Indonesia
Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Bappenas, Jakarta,
Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014 – 2018. [Nama Kota Wilayah Kajian] dalam
Angka. Jakarta (ID): BPS Kota [Nama Wilayah Kajian]
Basri S, Bujawati E, & Amansyah M. 2014. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
(Model Pengukuran Risiko Pencemaran Udara terhadap
Kesehatan). Jurnal Kesehatan. 7(2): 427-442.
Basyiran TB. 2014. Konsumsi Energi Listrik, Pertumbuhan Ekonomi dan
Penduduk terhadap Emisi Gas Rumah Kaca Pembangkit Listrik di
Indonesia. Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala.
Boer R, Dewi RG, Siagian UWR, Ardiansyah M, Surmaini E, Ridha DM, Gani M,
Rukmi WA, Gunawan A, Utomo P, Setiawan G, Irwani S, Parinderati R.
2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Jakarta (ID): Kementrian Lingkungan Hidup.
Brilhante O & Klaas J. 2018. Green city concept and a method to measure green
city performance over time applied to fifty cities globally: influence of gdp,
population size, and energy efficiency. Sustainability Journal. 2031(10):
1-23.
Cahyono WE. 2011. Kajian tingkat pencemaran sulfur dioksida dari industri di
beberapa daerah di Indonesia. Berita Dirgantara. 12(4):132-137.
Chamid MS & Damayanti R. 2016. Analisis Pola Hubungan PDRB dengan Faktor
Pencemaran Lingkungan di Indonesia Menggunakan Pendekatan
Geographically Weighted Regression (GWR). Jurnal Sains dan Seni ITS.
5(1): 15732.
Choi E, Heshmati A, & Cho Y. 2010. An empirical study of the relationships
between CO2 emissions, economic growth and openness. Discussion
Paper No. 5304 University of Bonn.
Choi J, Hwang M, Kim G, Seong J, & Ahn J. 2016. Supporting the measurement
of the United Nations’ sustainable development goal 11 through the use of
national urban information systems and open geospatial technologies: a
case study of south Korea. Open Geospatial Data, Software and Standards.
1(1): 1.
[EIU] Economist Intelligence Unit. 2012. The Green City Index. A summary
of the Green City Index research series. Munich (DE): Siemens AG.
Farida D, Nasrullah N, Sulistyantara B. 2018. Analisis Perubahan Konsentrasi
Nitrogen Dioksida (NO2) Pada Area Bervegetasi Dan Tidak Bervegetasi
Di Jalan Simpang Susun. Jurnal Lanskap Indonesia. 10 (1): 13-18.
Friedlingstein P, Houghton RA, Marland G, Hackler J, Boden TA, Conway TJ,
Canadell JG, Raupach MR, Ciais P, Le Quere C. 2010. Update on CO2
emissions. Nature Geoscience. 3: 811-812.
Hakim R. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI
Jakarta. Institut Teknologi Bandung.
32

Haq G, Han WJ, Kim C, & Vallack H. 2002. Benchmarking Urban Air Quality
Management and Practice in Major and Mega Cities of Asia. Seoul: United
Nations Environmental Programme.
Hidayati DN. 2018. Perkiraan Kebutuhan Konsumsi Energi Listrik Di Kabupaten
Pati Pada Tahun 2026 Dengan Menggunakan Metode Gabungan. [Skripsi].
Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hurst MEE. 1974. Transportation Geography. New York (US): McGraw Hill.
[IASS] Institute for Advanced Sustainability Studies. 2016. How green is a “Green
City”. Germany (DE): IASS.
Iswanto, Sudarmadji, Wahyuni ET, & Sutomo AH. 2016. Timbulan Sampah B3
Rumahtangga & Potensi Dampak Kesehatan Lingkungan di Kabupaten
Sleman, Yogyakarta. Jurnal Manusia & Lingkungan. 23(2): 179-188.
Jenkins W & Bauman W. 2009. Sustainability Theory. Great Barrington (US):
Berkshire Publishing Group.
Jo Y, Yu I, Sohn S, & Kim D. 2016. Waste Management in The Age of Alternative
Energy. International Journal of Environmental Science Development.
7(1): 80-84.
Kahn ME. 2006. Green cities: urban growth and the environment. Washington,
DC: Brookings Institution Press.
[KLHK] Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Statistik KLHK.
Jakarta (ID): Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kottek M, Grieser J, Beck C, Rudolf B, & Rubel F. 2006. World map of the
Köppen-Geiger climate classification updated. Meteorologische
Zeitschrift, 15(3), 259-263.
Leeuwen C, Jos F, Annemarie VW, Frans HM. 2012. City blueprints: 24 indicators
to assess the sustainability of the urban water cycle. Water Resources
Manage. 26:2177-2197.
Lundgren DA, Hlaing DN, Rich TA, & Marple VA. 1996. Data from a
Trichofamous sampler. Aerosol Sience and Technology. 25(1): 353-357.
Meijering JV, Kern K, & Tobi H. 2014. Identifying the methodological
characteristics of European Green City rankings. Ecological Indicators.
43(1): 132-142.
Mendenhall W, Beaver RJ, & Beave BM. 2012. Introduction to probability and
statistics. Cengage Learning.
Miah MD, Kabir RRMS, Koike M, Akther S, & Shin MY. 2010. Rural Household
Energy Consumption Pattern in the Disregarded Villages of Bangladesh.
Energy Policy. 38(2): 997–1003.
Miro F. 2002. Perencanaan Transportasi. Jakarta (ID): Erlangga.
Nur R dan Herry P. 2015. Model simulasi emisi dan penyerapan CO2 di kota Bogor.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). 20(1): 47-52.
Parmawati E, Parmawati E, & Sasana H. 2011. Kausalitas Penerimaan, Belanja
Dan PDRB Kabupaten/Kota Di Indonesia (Studi Kasus Periode 2001-
2008) (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).
Permana DA, Sugiyono A, Boedoyo MS. 2012. Perencanaan Energi Daerah
Provinsi Maluku Utara. Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya
Energi, Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi.
Prihatin RB. 2015. Alih Fungsi Lahan di Perkotaan (Studi Kasus di Kota Bandung
dan Yogyakarta). Jurnal Aspirasi. 6(2): 105-118.
33

[PUPR] Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2017. Buku


Informasi Statistik. Jakarta (ID): Kementrian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat.
Rahardjo P. 2012. Pengendalian Pencemaran Udara Di Perkotaan Di Kota Jakarta
Dengan Pendekatan Ekosistem. In Seminar Nasional Avoer.
Rushayati SB. 2012. Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung Jawa Barat
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sasana H. 2006. Analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi di kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah. Jurnal Dinamika
Pembangunan. 3(2): 146-170.
[SIEMENS] Siemens AG. 2011. Asian Green City Index: Assessing Environmental
Performance of Asia’s Major City. Munich (DE): Siemens.
Silolo AP. 2018. Indeks Kota Hijau Untuk Perencanaan Pembangunan Kota
Berkelanjutan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[SIPSN] Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional. 2019. Timbulan Sampah
Per Hari & Info RTH [Internet]. [Dilihat pada 2020 Feb 27]. Tersedia pada:
sipsn.menlhk.go.id/?q=3a-tsph.
Soegijoko BTS, Napitupulu W, Mulyana. 2005. Bunga Rampai Pembangunan
Kota Indonesia: Pengalaman Pembangunan Perkotaan di Indonesia.
Buku II. Jakarta: YSS – URDI.
Supratiwi. 2018. Studi Ruang Terbuka Hijau dalam Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Ilmu
Pemerintahan. 3(2): 89-98.
Surono UB. 2013. Berbagai metode konversi sampah plastik menjadi bahan bakar
minyak. Jurnal Teknik. 3(1): 32-40.
Tamin OZ. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi: Edisi Kedua. Bandung
(ID). Penerbit ITB.
[UNEP] United Nations Environment Programme. 2007. Fourth Global
Environment Outlook: Environment for Development. Geneva,
Switzerland.
[UNEP] United Nations Environment Programme. 2011. Towards a green
economy: Pathways to sustainable development and poverty eradication. A
synthesis for policy makers.
Wati T & Fatkhuroyan. 2017. Analisis Tingkat Kenyamanan Di DKI Jakarta
Berdasarkan Indeks THI (Temperature Humidity Index). Jurnal Ilmu
Lingkungan. 15(1): 57-63.
Yunus HS. 2005. Klasifikasi Kota. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
34

LAMPIRAN

Lampiran 1 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Metropolitan


JUMLAH PENDUDUK
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Palembang 1623099 1602071 1580517 1558494 1535936 1580023,4
Jakarta 1842688 1828364 1820762 1813202 1805712 1822145,6
Bandung 2503708 2497938 2490622 2481469 2493434,25
Semarang 1786114 1757686 1729083 1701114 1672994 1729398,2
Surabaya 2874699 2862406 2848583 2833924 2821929 2848308,2
Makassar 1489011 1469601 1449401 1429242 1408072 1449065,4
EMISI CO2 RESPIRASI
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Palembang 592431,1 584755,9 576888,7 568850,3 560616,6 576708,541
Jakarta 672581,1 667352,9 664578,1 661818,7 659084,9 665083,144
Bandung 913853,4 911747,4 909077 905736,2 910103,5013
Semarang 651931,6 641555,4 631115,3 620906,6 610642,8 631230,343
Surabaya 1049265 1044778 1039733 1034382 1030004 1039632,493
Makassar 543489 536404,4 529031,4 521673,3 513946,3 528908,871

Lampiran 2 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Besar


JUMLAH PENDUDUK
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Pekanbaru 1064566 903038 983802
Padang 927011 914968 902413 889561 876670 902124,6
Bogor 1096828 1081009 1064687 1047922 1072611,5
Malang 866118 861414 856410 851298 845973 856242,6
Pontianak 627021 617459 607618 598097 587169 607472,8
Denpasar 914300 897300 880600 863600 846200 880400
Yogyakarta 422732 417744 412704 407667 402679 412705,2
EMISI CO2 RESPIRASI
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Pekanbaru 388566,6 329608,9 359087,73
Padang 338359 333963,3 329380,7 324689,8 319984,6 329275,479
Bogor 400342,2 394568,3 388610,8 382491,5 391503,1975
Malang 316133,1 314416,1 312589,7 310723,8 308780,1 312528,549
Pontianak 228862,7 225372,5 221780,6 218305,4 214316,7 221727,572
Denpasar 333719,5 327514,5 321419 315214 308863 321346
Yogyakarta 154297,2 152476,6 150637 148798,5 146977,8 150637,398

Lampiran 3 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Sedang


35

JUMLAH PENDUDUK
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Tanjungpinang 207057 204735 202215 204669
Cirebon 305899 305899
Pekalongan 301870 299222 296533 293704 290870 296439,8
Probolinggo 233123 231112 229013 226777 223881 228781,2
Tarakan 227200 218800 223000
Mataram 468509 459314 450226 441064 431876 450197,8
Ambon 427934 411617 395423 363771 399686,25
EMISI CO2 RESPIRASI
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Tanjungpinang 75575,81 74728,28 73808,48 74704,185
Cirebon 111653,1 111653,135
Pekalongan 110182,6 109216 108234,5 107202 106167,6 108200,527
Probolinggo 85089,9 84355,88 83589,75 82773,61 81716,57 83952,28125
Tarakan 82928 79862 81395
Mataram 171005,8 167649,6 164332,5 160988,4 157634,7 164322,197
Ambon 156195,9 150240,2 144329,4 132776,4 145885,4813

Lampiran 4 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Kecil


JUMLAH PENDUDUK
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Langsa 171574 168820 165890 162879 157011 165234,8
Solok 68602 67307 66106 67338,33333
Prabumulih 182128 181579 177078 174477 171804 177413,2
Kotamobagu 123872 121699 122785,5
Tidore
99337 98206 96979 95813 94493
Kepulauan 96965,6
EMISI CO2 RESPIRASI
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Langsa 62624,51 61619,3 60549,85 59450,84 57309,02 60310,702
Solok 25039,73 24567,06 24128,69 24578,49167
Prabumulih 66476,72 66276,34 64633,47 63684,11 62708,46 64755,818
Kotamobagu 45213,28 44420,14 44816,7075
Tidore
Kepulauan 36258,01 35845,19 35397,34 34971,75 34489,95 35392,444

Lampiran 5 Emisi CO2 Kendaraan Kota Metropolitan


Kota Bus Mobil Motor Total
Palembang 41001121,73 685023636,2 1165521751 1891546509
Jakarta 3638540729 14620625569 16766448829 35025615126
Bandung 64811204,63 1524997686 1466176237 3055985128
Semarang 4780062,659 158392926,6 190565570,5 353738559,8
36

Surabaya 28209888,89 1249021910 1859571335 3136803134


Makassar 159740026,5 624508052,5 1338909066 2123157145

Lampiran 6 Emisi CO2 Kendaraan Kota Besar


Kota Bus Mobil Motor Total
Pekanbaru 28376922,54 696438208,9 1395034471 2119849602
Padang 7437562,663 413255008,2 391657823,2 812350394
Bogor 1748751,013 69453180,63 76246835,67 147448767,3
Yogyakarta 14114611,99 216185018,8 456504805 686804435,8
Malang 9923195,245 350890037,7 543893523,4 904706756,4
Pontianak 73000687,26 10355736,52 181053138,1 264409561,9
Denpasar 36027708,22 739475221,8 1380163785 2155666715

Lampiran 7 Emisi CO2 Kendaraan Kota Sedang


Kota Bus Mobil Motor Total
Tanjungpinang 14005046,5 43690310,84 78274831,15 135970188,5
Cirebon 1722254,786 114124578,7 179354660,4 295201493,9
Pekalongan 6230194,027 123864129,4 178263069,8 308357393,2
Probolinggo 16179169,39 43926667,44 132606971,3 192712808,2
Tarakan 519898,9499 29372905,91 109821875,3 139714680,2
Mataram 121488783,5 165967948,4 223904556,6 511361288,5
Ambon 3228959,18 40113447,57 108579885,5 151922292,3

Lampiran 8 Emisi CO2 Kendaraan Kota Kecil


Kota Bus Mobil Motor Total
Langsa 1037649,557 4493263,432 59757846,85 65288759,84
Solok 980181,3879 834504,6749 412401,0678 2227087,131
Prabumulih 1608571,648 4251308,909 103227174,1 109087054,7
Kotamobagu 1922766,777 4916839,345 20758612,09 27598218,21
Tidore
Kepulauan 1969314.204 2533576.926 995103.3708 5497994.501

Lampiran 9 Konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 Kota Metropolitan


NO2 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
JAKARTA 71 8 42 35 39
BANDUNG 25 21 31 25,66667
MAKASSAR 61 17 34 124 59
PALEMBANG 124 45 46 43 64,5
SEMARANG 77 39 45 88 62,25
SURABAYA 78 11 25 38
SO2 (BM: 365)
37

Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata


BANDUNG 29 23 35 29
JAKARTA 60 7 44 17 36 32,8
MAKASSAR 45 53 90 48 59
PALEMBANG 183 41 82 64 365 147
SEMARANG 141 21 144 75 365 149,2
SURABAYA 70 9 125 68
PM10 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
BANDUNG 82 99 66 82,33333
JAKARTA 91 104 120 89 26 86
MAKASSAR 70 36 92 43 150 78,2
PALEMBANG 77 54 51 46 150 75,6
SEMARANG 114 32 74 69 150 87,8
SURABAYA 121 10 65 65,33333

Lampiran 10 Konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 Kota Besar


NO2 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
PADANG 73 46 44 12 43,75
BOGOR 31 31 34 32
PEKAN BARU 49 20 34,5
PONTIANAK 25 81 12 9 31,75
MALANG 72 5 31 36
YOGYAKARTA 51 18 25 32 34 32
DENPASAR 39 13 36 70 18 35,2
SO2 (BM: 365)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
PADANG 42 50 143 82 79,25
BOGOR 33 26 41 33,33333
PEKAN BARU 70 133 365 189,3333
PONTIANAK 69 66 43 28 51,5
MALANG 68 5 34 35,66667
YOGYAKARTA 21 18 19 19 31 21,6
DENPASAR 71 93 136 19 32 70,2
PM10 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
PADANG 102 101 100 127 107,5
BOGOR 75 77 60 70,66667
PEKAN BARU 70 99 150 106,3333
PONTIANAK 78 58 122 11 67,25
MALANG 99 98 137 111,3333
YOGYAKARTA 88 193 69 133 120,75
38

DENPASAR 56 75 29 128 90 75,6

Lampiran 11 Konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 Kota Sedang


NO2 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Tanjungpinang 49 44 28 59 45
Cirebon 31 31 34 32
Pekalongan 27 25 13 76 35,25
Probolinggo 72 5 31 36
Tarakan 56 40 95 14 51,25
Mataram 122 19 109 34 71
Ambon 21 6 32 32 22,75
SO2 (BM: 365)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Tanjungpinang 212 18 149 98 119,25
Cirebon 333 26 41 133,3333
Pekalongan 50 22 68 46,66667
Probolinggo 68 5 34 35,66667
Tarakan 34 86 60
Mataram 67 48 173 80 92
Ambon 29 47 38 37 37,75
PM10 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Tanjungpinang 81 24 51 72 57
Cirebon 55 57 60 57,33333
Pekalongan 33 53 57 47,66667
Probolinggo 69 60 64,5
Tarakan 59 47 53
Mataram 63 57 125 38 70,75
Ambon 54 28 52 64 49,5

Lampiran 12 Konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 Kota Kecil


NO2 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Langsa 21 6 32 32 22,75
Solok 73 46 44 12 43,75
Prabumulih 49 29 12 30
Kotamobagu 21 83 52
Tidore Kepulauan 11 16 132 23 45,5
SO2 (BM: 365)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Langsa 29 47 38 37 37,75
Solok 42 50 143 82 79,25
39

Prabumulih 20 46 58 41,33333
Kotamobagu 20 48 34
Tidore Kepulauan 12 58 245 105
PM10 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Langsa 43 56 48 118 66,25
Solok 102 101 100 127 107,5
Prabumulih 79 83 34 65,33333
Kotamobagu 23 57 45 8 33,25
Tidore Kepulauan 54 28 52 64 49,5

Lampiran 13 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Metropolitan


Kota Rumah Tangga (KWh/unit) Industri (KWh/unit)
Palembang 2214,215996 918262,5746
Jakarta 4513,050781 32872,91387
Bandung 1321,317558 172,0068661
Semarang 3343,030458 64034,39677
Surabaya 2086,952767 3,42521583
Makassar 1449,770093 1351622,23

Lampiran 14 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Besar


Kota Rumah Tangga (KWh/unit) Industri (KWh/unit)
Pekanbaru 2367,654942 618447,2968
Padang 976,1780576 1863568,529
Bogor 889,3058718 842978,1652
Yogyakarta 2208,397487 19654,99154
Malang 497,7643178 19521,98889
Pontianak 1783,807014 390853,4546
Denpasar 506,7794129 311205,8128

Lampiran 15 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Sedang


Kota Rumah Tangga (KWh/unit) Industri (KWh/unit)
Tanjungpinang 1580,514471 203196,2927
Cirebon 1940,010143 401159,6232
Pekalongan 1906,041306 140478,4899
Probolinggo 938,2898739 122840,8566
Tarakan 2372,900985 19774,96688
Mataram 1243,108403 91110,45417
Ambon 1242,01548 93896,73992

Lampiran 16 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Kecil


Kota Rumah Tangga (KWh/unit) Industri (KWh/unit)
40

Langsa 4174,988534 177587,5674


Solok 2395,047758 15375,01195
Prabumulih 142,0639411 27218,05461
Kotamobagu 698,2050587 37346,94604
Tidore Kepulauan 1517,715694 4065,744568

Lampiran 17 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Metropolitan


Rumah Tangga (m^3/unit) Industri (m^3/unit) Individu (m^3/jiwa)
Palembang 323,0866713 1740,877851 43,75802711
Jakarta 235,3967541 665,7840279 11,99584745
Bandung 320,7841493 280,0985463 10,49660997
Semarang 257,8065602 2124,597122 21,2925059
Surabaya 334,0327434 4913,755175 57,55376368
Makassar 244,9531486 29086,31055 25,54277734

Lampiran 18 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Besar


Rumah Tangga (m^3/unit) Industri (m^3/unit) Individu (m^3/jiwa)
Pekanbaru 138,5721229 1423,029016 1,521488193
Padang 197,5582661 238,7830202 19,35236965
Bogor 222,6301878 12468,4 9,126411477
Yogyakarta 562,3344674 13274,15 18,52736475
Malang 193,5564137 264,369073 30,0330005
Pontianak 285,2809748 578,1535311 40,96115985
Denpasar 249,7503694 769,2327301 19,27719949

Lampiran 19 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Sedang


Rumah Tangga (m^3/unit) Industri (m^3/unit) Individu (m^3/jiwa)
Tanjungpinang 528,5935803 157,7272237 29,69847727
Cirebon 292,4931876 485,2742129 40,05802438
Pekalongan 199,5832336 1412,350484 17,11805215
Probolinggo 214,2800335 1528,127512 15,61344816
Tarakan 276,3242066 5558 25,99970951
Mataram 115,0875788 25836,26814 13,97674906
Ambon 134,0619526 695,6 3,329661362

Lampiran 20 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Kecil


Rumah Tangga (m^3/unit) Industri (m^3/unit) Individu (m^3/jiwa)
Langsa 202,786864 1527,314683 11,21332993
Solok 278,6245581 772,5694444 53,42968221
Prabumulih 113,1921946 228,340312 4,051852149
Kotamobagu 125,7727728 679,5931034 16,75745913
Tidore Kepulauan 124,1618665 249,008658 5,395900915
41

Lampiran 21 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Metropolitan


Jumlah Timbulan Luas Luas Sampah/Luas
Sampah TPA Wilayah TPA Sampah/Luas
Nama Kota (Ton/hari) (ha) (km^2) (ton/ha/hari) (ton/km^2/hari)
Palembang 1080,32 25 369,2 43,2128 2,926110509
Bandung 1494,74 25,2 167,7 59,31507937 8,913178295
Jakarta 2191,51 110,3 48,13 19,86863101 45,53313941
Semarang 1270,13 46 373,8 27,61152174 3,39788657
Surabaya 2790,89 37,4 350,5 74,62272727 7,962596291
Makassar 1425 16,86 199,3 84,51957295 7,150025088

Lampiran 22 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Besar


Jumlah Timbulan Luas Luas Sampah/Luas Sampah/Luas
Sampah TPA Wilayah TPA Wilayah
Nama Kota (Ton/hari) (ha) (km^2) (ton/ha/hari) (ton/km^2/hari)
Pekanbaru 745,2 8,6 632,3 86.65116279 1,178554484
Padang 624,24 30,03 695 20,78721279 0,89818705
Bogor 638,81 42,7 118,5 14,96042155 5,390801688
Yogyakarta 335 12,5 46 26,8 7,282608696
Malang 659,88 31,5 145,3 20,94857143 4,541500344
Pontianak 300 30,9 107,8 9,708737864 2,782931354
Denpasar 750 0,3 124 250 6,048387097

Lampiran 23 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Sedang


Jumlah Timbulan Luas Luas Sampah/Luas Sampah/Luas
Sampah TPA Wilayah TPA Wilayah
Nama Kota (Ton/hari) (ha) (km^2) (ton/ha/hari) (ton/km^2/hari)
Tarakan 123,83 3,51 250,8 35,27920228 0,493740032
Mataram 400 8,6 61,3 46,51162791 6,525285481
Tanjungpinang 168 10,82 812,7 15,52680222 0,206718346
Ambon 224,89 7 298,6 32,12714286 0,753148024
Probolinggo 168,27 4,5 56,67 37,39333333 2,969295924
Pekalongan 274,94 5,8 45 47,40344828 6,109777778
Cirebon 273 14,2 37,36 19,22535211 7,307280514

Lampiran 24 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Kecil


Jumlah Timbulan Luas Luas Sampah/Luas Sampah/Luas
Sampah TPA Wilayah TPA Wilayah
Nama Kota (Ton/hari) (ha) (km^2) (ton/ha/hari) (ton/km^2/hari)
Solok 65,62 8,5 57,64 7,72 1,138445524
Prabumulih 146,58 8,5 421,6 17,24470588 0,347675522
Kotamobagu 62,06 5 68,06 12,412 0,911842492
Tidore Kepulauan 90,81 4,8 1550,37 18,91875 0,058573115
Langsa 97,02 16,18 262,4 5,996291718 0,369740854
42

Lampiran 25 Presentase dan Proporsi RTH Kota Metropolitan


Presentase Luas Hutan Luas Wilayah Luas RTH Proporsi
Nama Kota RTH Kota (m^2) (m^2) Individu
Palembang 7,27 2272 369200000 26840840 16,98762183
Bandung 12,2 4,12 167700000 20459400 8,205309605
Jakarta 7,5 1477400 48130000 3609750 1,981043666
Semarang 65 144,1 373800000 242970000 140,4939591
Surabaya 21,78 55,63 350500000 76338900 26,80148869
Makassar 7,58 1234917 199300000 15106940 10,42529895

Lampiran 26 Presentase dan Proporsi RTH Kota Besar


Presentase Luas Hutan Luas Wilayah Luas RTH Proporsi
Nama Kota RTH Kota (m^2) (m^2) Individu
Pekanbaru 26,19 160 632300000 165599370 168,3259131
Padang 77,45 36606,9 695000000 538277500 596,6775543
Bogor 39,6 2,9 118500000 46926000 43,74929786
Yogyakarta 18,77 20 46000000 8634200 20,9209867
Malang 12,8 7,51 145300000 18598400 59,50944341
Pontianak 18,5 2,56 107800000 19943000 32,82945343
Denpasar 11,13677419 124000000 13809600 15,68559746

Lampiran 27 Presentase dan Proporsi RTH Kota Sedang


Presentase Luas Hutan Luas Wilayah Luas RTH Proporsi
Nama Kota RTH Kota (m^2) (m^2) Individu
Tarakan 41,07 448,66 250800000 103003560 461,8993722
Mataram 14,38 11,4 61300000 8814940 19,58014899
Tanjungpinang 11,5 55 812700000 93460500 456,6421881
Ambon 27,5 12 298600000 82115000 205,4486488
Probolinggo 8 8,7 56670000 4533600 19,81631358
Pekalongan 18,23 5,17 45000000 8203500 27,67340958
Cirebon 11,14 3,65 37360000 4161904 13,60548416

Lampiran 28 Presentase dan Proporsi RTH Kota Kecil


Presentase Luas Hutan Luas Wilayah Luas RTH Proporsi
Nama Kota RTH Kota (m^2) (m^2) Individu
Solok 18,2 881,07 57640000 10490480 155.7877166
Prabumulih 30,13 10 421600000 127028080 716,0012896
Kotamobagu 39,66 4,39 68060000 26992596 219,8353714
Tidore
20 4
Kepulauan 1550370000 310074000 3197,773231
Langsa 35 170,2 262400000 91840000 555,8151188
43

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Bayu Sakti Wicaksana, lahir di Pangkalan Bun pada
tanggal 13 Januari 1998. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang
lahir dari pasangan Dwi Hartono Nugroho dan Suntari. Penulis memiliki seorang
kakak laki-laki bernama Satria Perdana Amiwaha. Penulis menyelesaikan
pendidikan sekolah dasar pada tahun 2010 di SDN 2 Mendawai, kemudian
melanjutkan pendidikan ke SMP 1 Muhammadiyah Klaten hingga tahun 2013 dan
menyelesaikan jenjang sekolah di SMA Negeri 2 Klaten pada tahun 2016. Pada
tahun 2016 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur SBMPTN.
Pada tahun 2016 penulis aktif di komunitas Generasi Cerdas Iklim dan UKM
Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB. Ditahun 2017, penulis aktif
sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) IPB. Selain
itu, penulis juga aktif sebagai seorang Senior Resident di Asrama PPKU IPB sejak
tahun 2018 hingga sekarang dan menjabat sebagai Pembina Gugus Disiplin asrama
dan Ketua Lini PSDM. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan di dalam dan luar
kampus. Tahun 2019 penulis mendapat kesempatan untuk mengabdi pada
masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) di kecamatan
Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, Lampung yang diselenggarakan oleh LPPM
IPB dan bekerjasama dengan Universitas Lampung.

Anda mungkin juga menyukai