Kata kunci: Green City Index, pendapatan daerah, analisis korelasi, pembangunan
berkelanjutan
ABSTRACT
BAYU SAKTI WICAKSANA. Development of Green City Index Indicators for
Sustainable Development. Supervised by YON SUGIARTO and RESTI
SALMAYENTI.
The economic development of a region will have an impact on environmental
sustainability. Green City Index is one of the methods used to evaluate the
environmental quality of an area by using seven indicators in its calculation,
including CO2 emissions, air quality, energy use, water consumption, public
transportation, waste management, and green space. This study uses inductive
methods from several previous studies. This calculation produces a Green City
Index value between 2 and 3 on a scale of 1-5. The city with the highest score is
Kota Tidore Kepulauan with a value of 4.6 while the city with the lowest value is
Cirebon City with a value of 2.4. The Green City Index value is then used to analyze
Pearson correlation as the x variable and the GRDP / capita is used as the y variable
to describe the regional income of a city. The correlation results show that there is
no relationship between the Green City Index and the GRDP / capita. This is
because in this study qualitative data indicators were not included so the results
obtained were not representative and needed to be reviewed using additional
indicators and other analytical methods. Good correlation results can be used to
carry out sustainable development planning.
Keywords: Green City Index, regional income, correlation analysis, sustainable
development
PENGEMBANGAN INDIKATOR
GREEN CITY INDEX UNTUK
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2020 ini ialah
pembangunan berkelanjutan, dengan judul Pengembangan Indikator Green City
Index untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Yon Sugiarti S.Si M.Sc dan Ibu
Resti Salmayenti S.Si M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu selama pengumpulan, pengolahan, dan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
METODE 5
Alat dan Bahan 5
Prosedur Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
SIMPULAN DAN SARAN 30
Simpulan 30
Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 43
DAFTAR TABEL
1 Ketersediaan data 5
2 Nilai faktor emisi sesuai jenis kendaraan 8
3 Skoring Indikator Green City 10
4 Atribut, indikator, dan bobot setiap indikator 10
5 Ratio transportasi per panjang jalan dan ratio per 10000 penduduk 21
6 Hasil analisis korelasi pearson 28
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram Alir Penelitian 6
2 Grafik Korelasi Dua Variabel Kontinu 12
3 Peta Wilayah Kajian 13
4 Rata-rata PDRB per kapita 204-2018 14
5 Emisi CO2 Respirasi dan Transportasi 15
6 Konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 16
7 Penggunaan Energi Listrik Industri 17
8 Penggunaan Energi Listri Rumah Tangga 18
9 Konsumsi Air Rumah Tangga 19
10 Konsumsi Air Industri 19
11 Konsumsi Air Individu 20
12 Jumlah Timbulan Sampah per Luas Wilayah 22
13 Pengelolaan Sampah 23
14 Presentase Luas RTH 24
15 Proporsi RTH Individu 24
16 Nilai Green City Index Seluruh Kelompok Kota 25
17 Rata-rata Nilai Green City Index Seluruh Kelompok Kota 27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Metropolitan 34
2 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Besar 34
3 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Sedang 34
4 Jumlah Penduduk dan Emisi CO2 Kota Kecil 35
5 Emisi CO2 Kendaraan Kota Metropolitan 35
6 Emisi CO2 Kendaraan Kota Besar 36
7 Emisi CO2 Kendaraan Kota Sedang 36
8 Emisi CO2 Kendaraan Kota Kecil 36
9 Konsentrasi NO2, SO2, PM10 Kota Metropolitan 36
10 Konsentrasi NO2, SO2, PM10 Kota Besar 37
11 Konsentrasi NO2, SO2, PM10 Kota Sedang 38
12 Konsentrasi NO2, SO2, PM10 Kota Kecil 38
13 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Metropolitan 39
14 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Besar 39
15 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Sedang 39
16 Penggunaan Listrik Rumah Tangga dan Industri Kota Kecil 39
17 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Metropolitan 40
18 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Besar 40
19 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Sedang 40
20 Konsumsi Air Rumah Tangga dan Industri Kota Kecil 40
21 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Metropolitan 40
22 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Besar 41
23 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Sedang 41
24 Jumlah Timbulan dan Pengelolaan Sampah Kota Kecil 41
25 Presentase dan Proporsi RTH Kota Metropolitan 42
26 Presentase dan Proporsi RTH Kota Besar 42
27 Presentase dan Proporsi RTH Kota Sedang 42
28 Presentase dan Proporsi RTH Kota Kecil 42
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar acuan rencana penilaian dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan di kota metropolitan, kota besar, kota sedang,
dan kota kecil di Indonesia dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Karbon Dioksida
Emisi karbon dioksida (CO2) adalah kontributor utama dari faktor
antropogenik yang mengakibatkan perubahan iklim. Emisi CO2 dapat dihitung dari
jumlah kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil, respirasi makhluk hidup,
alih fungsi lahan dan penggunaan energi. Menurut Friedlingstein et al. (2010),
emisi karbon dioksida secara global berkurang sekitar 1,3% di tahun 2009
disebabkan oleh keuangan global dan krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 2008,
hal ini menunjukkan bahwa besarnya emisi CO2 salah satunya dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi.
Kualitas Udara
Kualitas udara merupakan salah satu atribut yang sangat penting untuk
keberlangsungan Green City. Kualitas udara dapat ditentukan dengan menghitung
kadar polutan udara yang disebabkan oleh pencemaran dari senyawa dan partikel
yang berbahaya. Permasalahan kualitas udara juga dapat dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah. Beberapa kota di Asia dengan pendapatan daerah yang tinggi
memiliki kadar emisi sulphur dioksida yang rendah, namun pada kadar emisi
nitrogen dioksida tidak menunjukkan korelasi yang sama (Siemens 2011).
Penggunaan Energi
Kategori energi yang dapat dijadikan indikator dalam penghitungan Green
City Index diantaranya konsumsi energi total, intensitas energi, konsumsi energi
terbaharukan, dan variasi penggunaan energi listrik (EIU 2012). Input energi listrik
yang dominan di Indonesia adalah dengan menggunakan bahan bakar fosil. Tercatat
4
produksi listrik Indonesia tahun 2011 didominasi oleh tiga input bebahan bakar fosil
yang prosesnya melalui pembakaran yaitu gas alam, batubara, dan minyak sebesar
90,33% (Basyiran 2014). Kondisi ini menyebabkan emisi gas rumah kaca,
berwujud emisi kabon dioksida, yang dihasilkan oleh pembangkit listrik di
Indonesia cenderung terus meningkat. Pertambahan intensitas emisi gas rumah kaca
dapat disebabkan oleh adanya konsumsi listrik yang didominasi bahan bakar fosil.
Konsumsi Air
Kebutuhan penggunaan air menjadi salah satu indikator dalam menentukan
Green City Index pada suatu kota. Kebutuhan pada air yang meningkat dengan pesat
dan kelangkaan pasokan air menjadi salah satu permasalahan utama di dunia
(UNEP 2007). Hal ini disebabkan oleh kurangnya manajemen pengelolaan air dan
infrastuktur yang dimiliki oleh suatu kota. Pola konsumsi air dari suatu kota akan
mempengaruhi bidang-bidang lain seperti kesehatan masyarakat, pelayanan
ekosistem, kelangkaan dan kualitas air, dan water footprint (Leeuwen et al. 2012).
Transportasi Publik
Transportasi memiliki pengertian sebagai usaha memindahkan,
menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu benda dari satu tempat ke
tempat lain dimana di tempat lain ini objek tersebut lebih bermanfaat atau dapat
berguna untuk tujuan-tujuan tertentu (Miro 2002). Transportasi merupakan hal
yang penting dalam suatu sistem karena tanpa transportasi hubungan antara satu
tempat dengan tempat lain tidak terwujud dengan baik. Hurst (1974)
mengemukakan bahwa interaksi antar wilayah tercermin pada kondisi fasilitas
transportasi serta aliran manusia, barang, maupun jasa. Penerapan transportasi
publik sebagai indikator dalam menentukan Green City Index dapat dilihat pada
ketersediaan transportasi publik yang ada di suatu kota pada rentang waktu tertentu.
Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah pada suatu kota dapat dijadikan salah satu indikator
dalam menentukan Green City Index. Pengelolaan sampah menunjukkan seberapa
baiknya sistem pembuangan sampah dan besarnya limbah yang dihasilkan dari
konsumsi masyarakat pada berbagai sektor. Menurut UNEP (2007), kota yang
ramah lingkungan akan lebih mempertimbangkan sistem pengelolaan sampah yang
baik dengan cara menyediakan sarana dan prasana yang diperlukan untuk
menunjang sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
METODE
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Microsoft Office, Minitab
18, dan ArcMap 10.3. Bahan yang digunakan diantaranya data-data mengenai
indikator Green City Index dan pendapatan bruto disetiap kota. Data diperoleh dari
instansi terkait sesuai dengan yang terlampir pada tabel 1.
Emisi CO2 dari transportasi dapat dihitung dari faktor emisi, nilai
kalor, dan jumlah bahan bakar total yang digunakan. Setiap jenis kendaraan
memiliki faktor emisi, nilai kalor, dan jumlah bahan bakar yang berbeda-
beda. Menurut Boer et al. (2012), faktor emisi, nilai kalor, dan jumlah bahan
bakar untuk beberapa jenis kendaraan yang umum ada di Indonesia
diantaranya:
2) Kualitas Udara
Kualitas udara dapat ditentukan dengan indikator berupa konsentrasi
dari senyawa sulphur dioksida (SO₂), nitrogen dioksida NO₂, dan
Particulate Matter 10 (PM10) (Siemens 2011). Masing-masing senyawa
tersebut menyebabkan udara ambien tidak dapat dihirup oleh manusia
karena kandungan zat-zat berbahaya yang masuk ke saluran pernafasan.
3) Penggunaan Energi
Penggunaan energi dapat dihitung dari besarnya total penggunaan
listrik dari setiap industri dan rumah tangga yang ada di kota yang dikaji
dengan satuan kilo watt per jam (KWh). Penggunaan energi listrik dari
industri dan rumah tangga dapat di hitung dengan persamaan (Hidayati
2018):
4) Konsumsi Air
Konsumsi air dapat ditentukan dengan melihat penggunaan air oleh
industri maupun rumah tangga. EIU (2012) dalam perhitungan European
Green City Index menggunakan satuan m3/individu untuk konsumsi rumah
tangga dan m3/industri untuk konsumsi air industri. Besarnya konsumsi air
rumah tangga dan industri dapat dihitung dengan persamaan:
9
5) Transportasi Publik
Transportasi publik dapat diwakili dengan ketersediaan transportasi
publik dalam rasio jumlah kendaraan pada suatu kota terhadap panjang jalan,
dapat dihitung dengan persamaan (PUPR 2017):
6) Pengelolaan Sampah
Sistem pengelolaan sampah pada suatu kota dapat dihitung seberapa
baiknya dengan cara menghitung perbandingan antara jumlah tempat
pembuangan sampah dengan jumlah penduduk, selain itu juga dapat
ditentukan dengan menghitung perbandingan antara volume produksi
sampah terhadap luas dari kota, dapat dihitung dengan persamaan:
Hasil Skoring dapat dilihat pada tabel 3 sedangkan pembobotan pada setiap
indikator dapat dilihat pada tabel 4, sebagai berikut:
F = (C, A, E, WC, T, W, G)
GCI = 10%C + 15%A + 10%E + 15%WC + 15%T + 10%W + 25%G
(Keterangan: GCI = Green City Index; C = Emisi Karbon Dioksida; A = Kualitas
Udara; E = Penggunaan Energi; WC = Konsumsi Air; T = Transportasi Publik; W
= Pengelolaan Sampah; G = Ruang Terbuka Hijau)
300
250
Juta Rupiah
200
150
100
50
Malang
Jakarta
Yogyakarta
Padang
Bandung
Tarakan
Cirebon
Makassar
Pontianak
Probolinggo
Langsa
Kotamobagu
Mataram
Prabumulih
Palembang
Surabaya
Bogor
Denpasar
Pekalongan
Ambon
Solok
Pekanbaru
Semarang
Tanjungpinang
Tidore Kepulauan
Gambar 4 Rata-rata PDRB per kapita 2014-2018
PDRB/kapita terbesar dimiliki Kota Jakarta dengan nilai sebesar 265 juta
Rp/thn, sedangkan PDRB/kapita terkecil di Kota Kotamobagu dengan nilai sebesar
20 juta Rp/thn. Secara rata-rata, kelompok kota metropolitan memiliki
PDRB/kapita terbesar dengan nilai 119 juta Rp/thn, diikuti Kota Besar dan Kota
Sedang dengan nilai yang sama yaitu 54 juta Rp/thn, dan yang terkecil oleh
kelompok Kota Kecil dengan nilai 28 juta Rp/thn. Menurut Parmawati et. al. (2011),
perbedaan PDRB yang signifikan antar kelompok kota disebabkan oleh kemajuan
perekonomian yang berbeda. Kota metropolitan memiliki industri yang lebih maju
jika dibandingkan dengan kelompok kota yang lain sehingga memiliki PDRB
terbesar. Selain itu juga kota metropolitan memiliki peran penting dalam
meningkatkan devisa negara dari berbagai sektor khsususnya di sektor industri.
Emisi CO2
1200
1000
(Ribu Kg/Thn)
800
600
400
200
0
Jakarta
Prabumulih
Yogyakarta
Padang
Malang
Bandung
Cirebon
Probolinggo
Tarakan
Langsa
Makassar
Pontianak
Kotamobagu
Mataram
Bogor
Surabaya
Denpasar
Tanjung Pinang
Tidore Kepulauan
Pekalongan
Ambon
Palembang
Pekanbaru
Solok
Semarang
(a)
15
4000
3500
3000
(Juta Kg/Thn)
2500
2000
1500
1000
500
0
Jakarta
Malang
Padang
Yogyakarta
Makassar
Tarakan
Bandung
Pontianak
Cirebon
Probolinggo
Mataram
Langsa
Kotamobagu
Bogor
Denpasar
Tidore Kepulauan
Surabaya
Pekalongan
Prabumulih
Tanjung Pinang
Ambon
Palembang
Pekanbaru
Solok
Semarang
(b)
Gambar 5 Emisi CO2 (a) Respirasi & (b) Trasnportasi
Kualitas Udara
Data yang diperoleh dari Statistik Lingkungan Hidup (2018) berasal dari 4
titik pengukuran yang mewakili wilayah industri, pemukiman, transportasi, dan
perkantoran. Setiap data kualitas udara yang diperoleh tidak menyediakan
koordinat pada setiap titik pengukuran sehingga tidak dilakukan interpolasi dalam
menentukan hasil. Oleh karena itu dilakukan perhitungan rata-rata konsentrasi dari
seluruh titik pengukuran. Pola dari sebaran konsentrasi ini salah satunya dapat
merepresentasikan nilai Green City Index dari kota yang diamati.
200
(μg/Nm3/thn)
150
100
50
0 Malang
Jakarta
Yogyakarta
Bandung
Padang
Tarakan
Makassar
Pontianak
Cirebon
Probolinggo
Langsa
Kotamobagu
Pekalongan
Mataram
Surabaya
Bogor
Denpasar
Prabumulih
Pekan Baru
Tanjung Pinang
Ambon
Tidore Kepulauan
Palembang
Solok
Semarang
Sumber utama dari SO2 adalah pembangkit listrik dari hasil pembakaran
bahan bakar fosil dan tenaga batu bara (Cahyono 2011). Terlihat pada Gambar 6,
konsentrasi SO2 tertinggi dimiliki oleh Kota Jakarta yang merupakan salah satu
wilayah industri dengan jumlah kendaraan terbanyak disertai kepadatan penduduk
yang tinggi. Diikuti oleh kota-kota Metropolitan lain dengan konsentrasi SO2
berkisar antara 92-189 μg/Nm3. Menghirup udara dengan SO2 yang tinggi dapat
menyebabkan iritasi pada sistem pernafasan manusia. Paparan dalam jangka waktu
pendek akan menyebabkan penyakit pernafasan (asma, batuk, sesak nafas),
sedangkan dalam jangka waktu panjang akan meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi pernafasan dan berkontribusi pada penyakit asma akut (Basri et. al. 2014).
Sedangkan pada NO2, konsentrasi gas yang di emisikan dari setiap kota
sebagian besar dihasilkan oleh sektor transportasi, diantaranya emisi dari mobil,
truk, bus, dan peralatan off-road. Hal ini menyebabkan Kota Jakarta memiliki nilai
konsentrasi tertinggi, yaitu 135 μg/Nm (di atas ambang batas 100 μg/Nm³ (Farida
2018)³, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh Kota Langsa dengan konsentrasi
sebesar 23 μg/Nm³. Konsentrasi NO2 yang tinggi memiliki dampak yang berbahaya
bagi kesehatan manusia, ternak, dan dapat merusak hasil panen di kawasan
pertanian sehingga tingginya kandungan zat ini dapat sangat merugikan secara
ekonomi. Secara pola grafik, konsentrasi NO2 dan SO2 memiliki pola yang sama.
Tren konsentrasi akan semakin menurun mulai dari kelompok Kota Metropolitan
hingga ke kelompok Kota Kecil.
Selain itu, konsentrasi Particulate Matter 10 (PM10) dihasilkan oleh
aktivitas manusia yang berasal dari kendaraan bermotor dan industri (Haq et. al.
2002), yang menghasilkan emisi partikulat dan hidrokarbon yang tinggi.
Konsentrasi rata-rata PM10 tertinggi berdasarkan kelompok kota dimiliki oleh Kota
Metropolitan dengan nilai sebesar 103 μg/Nm³, diikuti Kota Besar dengan nilai 78
17
Penggunaan Energi
Sumber energi listrik yang dominan di kota-kota di Indonesia adalah dengan
menggunakan bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan emisi gas rumah kaca,
berwujud emisi kabon dioksida, yang menyebabkan peningkatan intensitas emisi
gas rumah kaca dan akan memiliki andil dalam perhitungan nilai Green City Index.
450
400
(Ribu KWh/industri)
350
300
250
200
150
100
50
0
Tidore…
Yogyakarta
Malang
Jakarta
Bandung
Padang
Cirebon
Tarakan
Pontianak
Probolinggo
Langsa
Kotamobagu
Makassar
Tanjung Pinang
Bogor
Mataram
Surabaya
Denpasar
Pekalongan
Prabumulih
Ambon
Palembang
Pekanbaru
Solok
Semarang
dibandingkan dengan kelompok kota yang lain. Selain itu juga sebagian besar
kelompok Kota Kecil telah menerapkan penggunaan energi terbarukan untuk sektor
industri, sebagai contoh Kota Tidore Kepulauan. Menurut Permana et. al. (2012),
Tidore Kepulauan telah mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan yang
berasal dari minyak nabati (biofuel) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi
(Geothermal Power Station).
5000
4500
4000
3500
(KWh/unit)
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Jakarta
Malang
Yogyakarta
Padang
Tarakan
Bandung
Pontianak
Makassar
Cirebon
Probolinggo
Langsa
Mataram
Kotamobagu
Bogor
Tidore Kepulauan
Surabaya
Denpasar
Tanjung Pinang
Pekalongan
Ambon
Prabumulih
Palembang
Pekanbaru
Solok
Semarang
Konsumsi Air
Menurut (PERMENKES No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002) air
konsumsi adalah air yang memiliki standar yang layak/boleh untuk dikonsumsi
sebagai air minum dengan ketentuan batas-batas yang telah ditetapkan oleh
PERMENKES tentang batas syarat kandungan kontaminan. Sumber air konsumsi
19
di Indonesia secara umum dibagi dua yaitu air tanah/sumur dan air PAM, sedangkan
pada penelitian ini hanya menggunakan data air PAM (Gambar 9).
600
500
400
(m3/RT)
300
200
100
0
Tidore…
Tarakan
Jakarta
Malang
Padang
Yogyakarta
Bandung
Makassar
Pontianak
Cirebon
Probolinggo
Mataram
Langsa
Kotamobagu
Bogor
Surabaya
Denpasar
Pekalongan
Prabumulih
Tanjung Pinang
Pekanbaru
Palembang
Ambon
Semarang
Solok
Gambar 9 Konsumsi Air Rumah Tangga
Konsumsi air rumah tangga pada masing-masing kota dapat dilihat pada
Gambar 9. Konsumsi tertinggi secara rata-rata oleh kelompok Kota Metropolitan
dengan nilai 286 m3/RT, kemudian dibawahnya terdapat Kota Besar dengan nilai
264 m3/RT, Kota Sedang 251 m3/RT, dan terendah oleh Kota Kecil dengan nilai
169 m3/RT. Kota Yogyakarta memiliki nilai konsumsi tertinggi. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar penduduk Yogyakarta masih menggunakan akuifer dangkal
dalam pemenuh kebutuhan sehari-hari. Kemudian, dilanjutkan oleh riset yang
dilakukan Amrta Institut bersama Yayasan Tifa (2017) bahwa PDAM di
Yogyakarta sendiri masih mengandalkan air tanah sebagai sumber air. Sejak tahun
2010, penggunaan air tanah oleh PDAM di Yogyakarta berada di kisaran 80%.
Bahkan di tahun 2015, PDAM menggunakan sumber air tanah mencapai 86,76.
Sebagai perbandingan, PDAM di Jakarta menggunakan 100% air permukaan dan
di Surabaya sebesar 97%. Hal yang sama juga terjadi pada Kota Tanjung Pinang
yang menggunakan akuifer dangkal dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
sehingga konsumsi air rumah tangga yang dihasilkan memiliki nilai diatas rata-rata.
700
600
(Ratus m3/industri)
500
400
300
200
100
0
Denpasar
Yogyakarta
Jakarta
Bandung
Malang
Padang
Tarakan
Makassar
Pontianak
Cirebon
Probolinggo
Mataram
Langsa
Kotamobagu
Surabaya
Bogor
Pekalongan
Prabumulih
Tanjung Pinang
Ambon
Solok
Palembang
Pekanbaru
Tidore Kepulauan
Semarang
100 Palemba
80 ng
60
40
20
0
Malang
Jakarta
Yogyakarta
Bandung
Padang
Probolinggo
Tarakan
Cirebon
Makassar
Pontianak
Langsa
Mataram
Kotamobagu
Bogor
Denpasar
Surabaya
Pekalongan
Prabumulih
Tanjung Pinang
Pekanbaru
Ambon
Tidore Kepulauan
Palembang
Solok
Semarang
Pada konsumsi air individu, besarannya sangat bergantung pada gaya hidup
masing-masing masyarakat dan perhitungannya diluar konsumsi air rumah tangga.
Menurut kementrian PUPR (2007), pemakaian air individu minimal di Indonesia
adalah sebesar 70 liter/jiwa yang digunakan untuk kebutuhan pokok seperti minum
dan masak, cuci pakaian, mandi, serta keperluan ibadah. Kota dengan konsumsi air
Indivdu terbanyak adalah Kota Surabaya dengan konsumsi sebesar 158 liter/jiwa,
diikuti oleh Kota Solok dengan 153 liter/jiwa, dan Kota Palembang sebesar 144
liter/jiwa. Sedangkan secara kelompok kota, Kota Metropolitan memiliki rata
konsumsi tertinggi sebesar 128 liter/jiwa, diikuti Kota Sedang sebesar 121 liter/jiwa,
Kota Besar 120 liter/jiwa, dan Kota Kecil 118 liter/jiwa. Semakin tinggi konsumsi
air individu dalam sebuah kota, maka hal tersebut akan mempengaruhi ketersedian
air bersih dan mengancam kelestarian lingkungan di kota tersebut.
Transportasi Publik
Transportasi publik merupakan salah satu indikator penting dalam
menerapkan Green City. Indikator ini juga berhubungan erat dengan indikator
lainnya seperti penggunaan energi dan emisi CO2. Ketersediaan angkutan umum
menjadi prioritas dalam kategori ini karena merupakan salah satu aspek yang
membantu masyarakat dalam beraktivitas. Selain itu, masalah utama di wilayah
21
Jenis kendaraan yang digunakan pada penelitian ini mencakup semua jenis
kendaraan umum seperti angkutan kota, mikro bus, bus, mobil penumpang umum,
dan semua jenis kendaraan umum roda empat yang terdaftar secara resmi oleh
Dinas Perhubungan kota setempat. Kota dengan jumlah transportasi publik
terbanyak setiap kilometer adalah Kota Jakarta, diikuti oleh Kota Makassar, dan
Kota Probolinggo. Hal ini menyebabkan penggunaan transportasi pribadi berkurang.
Khusus untuk Kota Jakarta, walaupun transportasi publik yang disediakan sudah
banyak akan tetapi masih banyak masyarakat yang membawa kendaraan pribadi,
22
fenomena ini disebabkan oleh kepadatan penduduk tinggi yang tidak diimbangi
dengan luas wilayah yang memadahi sehingga ketersediaan transportasi yang ada
masih belum mampu mengurai kemacetan dan mengurangi emisi. Sementara di
kota-kota lain jumlah transportasi publik yang memadai mampu mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi, namun gaya hidup penduduk cenderung untuk
memiliki kendaraan pribadi sehingga dibeberapa kota di Indonesia keberadaan
transportasi publik belum efektif untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
dan mengurai kemacetan (Miro 2002). Di negara-negara berkembang,
permasalahan kemacetan sendiri disebabkan oleh banyak hal diantaranya
pendapatan rendah, urbanisasi yang sangat cepat, terbatasnya sumber daya,
khususnya dana, kualitas dan kuantitas data yang berkaitan dengan transportasi,
kualitas sumber daya manusia, tingkat disiplin yang rendah, dan lemahnya sistem
perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi semakin
parah (Tamin 2000).
Pengelolaan Sampah
16.00
14.00
12.00
(Ton/km2)
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Jakarta
Yogyakarta
Malang
Padang
Tarakan
Bandung
Semarang
Makassar
Pontianak
Cirebon
Probolinggo
Mataram
Langsa
Kotamobagu
Denpasar
Pekanbaru
Bogor
Surabaya
Pekalongan
Prabumulih
Tanjung Pinang
Ambon
Palembang
Solok
Tidore Kepulauan
Jumlah timbulan sampah per luas wilayah per tahun pada masing-masing
kota dapat dilihat pada Gambar 12. Kelompok Kota Metropolitan memiliki
timbulan sampah tertinggi dengan rata-rata sebesar 7,47 ton/km2, diikuti oleh Kota
Besar dengan rata-rata 4,02 ton/km2, Kota Sedang 3,48 ton/km2, dan yang terendah
Kota Kecil dengan rata-rata 0,57 ton/km2. Semakin besar timbulan sampah yang
dihasilkan oleh suatu kota dapat meningkatkan permasalahan lingkungan di kota
tersebut. Selain itu, Iswanto et. al. (2016) menyebutkan bahwa dampak buruk yang
dihasilkan dari jumlah timbulan sampah yang berlebih adalah munculnya
permasalahan-permasalahan baru seperti terganggunya kesehatan dan sanitasi,
berkurangnya lahan produktif yang dapat dikelola, serta pencemaran lingkungan
yang menyebabkan berkurangnya daya dukung lingkungan.
23
100
90
80
(Ton/ha) 70
60
50
40
30
20
10
0
Padang
Cirebon
Malang
Jakarta
Bandung
Yogyakarta
Pontianak
Tarakan
Makassar
Probolinggo
Langsa
Kotamobagu
Mataram
Bogor
Pekanbaru
Denpasar
Tanjung Pinang
Pekalongan
Prabumulih
Surabaya
Ambon
Palembang
Semarang
Solok
Tidore Kepulauan
Gambar 13 Pengelolaan Sampah
pencemaran dan pemanasan kota. Menurut IASS (2016), salah satu atribut Green
City adalah menerapkan 30% RTH dari total luas wilayah kota. Selain itu proporsi
RTH/individu memiliki peran penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan
dengan standar proporsi RTH tiap individu adalah 20 m², nilai ini disesuaikan
dengan jumlah kebutuhan oksigen dan kenyamanan setiap individu.
90
80
70 Palembang
60
50
(%)
40
30
20
10
0
Tanjungpinang
Denpasar
Jakarta
Yogyakarta
Malang
Bandung
Padang
Tarakan
Semarang
Makassar
Pontianak
Mataram
Probolinggo
Cirebon
Langsa
Kotamobagu
Surabaya
Bogor
Pekalongan
Prabumulih
Palembang
Pekanbaru
Ambon
Solok
Tidore Kepulauan
Gambar 14 Rata-rata Presentase Luas RTH (2014-2018)
120
100
80
(m2/jiwa)
60
40
20
0
Probolinggo
Kotamobagu
Padang
Langsa
Bandung
Jakarta
Yogyakarta
Malang
Tarakan
Makassar
Pontianak
Cirebon
Mataram
Bogor
Denpasar
Palembang
Surabaya
Pekalongan
Prabumulih
Pekanbaru
Ambon
Tanjungpinang
Semarang
Solok
Tidore Kepulauan
Gambar 16 Rata-rata Nilai Green City Index seluruh kelompok kota (2014-2018)
Kota Cirebon dengan nilai 2,4 dan nilai tertinggi dimiliki oleh Kota Tidore
Kepulauan dengan perolehan nilai sebesar 4,6. Rata-rata nilai seluruh kota kajian
sebesar 3,4.
Penyebab Kota Cirebon memiliki nilai Green City Index yang paling rendah
adalah karena beberapa permasalahan lingkungan yang dialami dibandingkan kota-
kota lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh, Kota Cirebon memiliki jumlah
timbulan sampah yang paling tinggi. Dan jumlah sampah yang mampu dikelola
oleh pemerintah Kota Cirebon termasuk yang paling rendah pada kategori kota
sedang. Permasalahan selanjutnya adalah presentase RTH dan proporsi RTH yang
rendah. Atribut RTH memiliki pembobotan paling besar dalam penelitian ini,
sehingga penilaian yang rendah pada atribut RTH akan membuat penilaian akhir
dari Green City Index juga akan rendah. Permasalahan yang sama juga terjadi di
Kota Solok untuk kelompok kota kecil. Selain permasalahan sampah dan RTH, di
Kota Solok juga mengalami permasalahan pada atribut konsumsi air. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Solok memiliki jumlah
konsumsi air yang tertinggi dari kelompok kota kecil pada ketiga indikatornya
sehingga penilaian pada atribut ini menjadi rendah. Sedangkan pada kelompok kota
metropolitan, Kota Jakarta dan Kota Bandung memiliki nilai Green City Index yang
paling rendah untuk kelompok Kota Metropolitan. Permasalahan yang terjadi di
Kota Jakarta adalah emisi CO2 tinggi yang disebabkan oleh tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi. Kepadatan penduduk yang tinggi juga menyebabkan jumlah
timbulan sampah yang dihasilkan juga semakin tinggi. Sedangkan pada Kota
Bandung, permasalahan yang terjadi adalah banyaknya konversi lahan menjadi
pusat industri dan pemukiman warga, sehingga luas RTH yang tersedia juga
semakin menurun, hal ini menyebabkan penilaian pada indikator presentasi dan
proporsi RTH semakin rendah (Prihatin 2018).
Sedangkan penilaian 3 kota dengan nilai Green City Index tertinggi
semuanya diperoleh oleh perwakilan kelompok kota kecil yaitu Kota Prabumulih
dengan nilai 4,1 diikuti Kota Kotamobagu dengan nilai 4,0 dan Kota Tidore
Kepulauan dengan nilai 4,6. Kelompok Kota Kecil pada umumnya memiliki
kepadatan penduduk yang paling rendah jika dibandingkan dengan kelompok kota
lain. Hal ini menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan yang dialami
seperti emisi CO2, penggunaan energi, konsumsi air, dan ketersediaan RTH, juga
semakin sedikit. Kota Tidore Kepulauan dengan nilai Green City Index tertinggi
memperoleh poin 5 pada 13 indikator dari total 16 indikator pada penelitian ini. Hal
ini didukung dengan pengembangan sumber energi terbarukan yang sedang di
kembangkan di Kota Tidore Kepulauan (Permana et. al. 2012), sehingga
permasalahan-permasalahan lingkungan seperti emisi CO2, produksi sampah, dan
penggunaan energi dapat teratasi.
3.8
3.4 3.2
3.1
Gambar 17 Rata-rata nilai Green City Index setiap kelompok kota (2014-2018)
tinggi PDRB suatu daerah maka akan semakin rendah kualitas lingkungannya.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Choi et. al. (2010) mengenai studi
keterkaitan antara CO2 dengan pertumbuhan dan keterbukaan ekonomi
menggunakan metode analisis Vector Auto Regression (VAR) menyimpulkan
bahwa emisi CO2 dan perdagangan bebas memiliki hubungan berbentuk U terbalik
pada Environment Kuznets Curve (EKC), hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan
ekonomi pada tahap awal akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan akan
membaik pada saat keadaan ekonomi mulai stabil, namun jika tingkat pendapatan
suatu negara tidak cukup tinggi untuk peduli pada lingkungan maka liberalisasi
perdagangan mungkin menjadi faktor penting yang mempengaruhi memburuknya
kualitas lingkungan.
Jumlah indikator yang digunakan pada penelitian ini juga menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan nilai korelasi rendah. Penelitian ini menggunakan 16
indikator dari 7 atribut. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh IASS
(2016), menggunakan 42 indikator dari 7 atribut. Indikator yang bervariasi
digunakan untuk menggambarkan keadaan Green City secara memadai. Semakin
banyak indikator yang digunakan maka data yang digunakan akan semakin
mewakili keadaan sesungguhnya sesuai dengan analisis yang dilakukan (IASS
2016).
30
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Haq G, Han WJ, Kim C, & Vallack H. 2002. Benchmarking Urban Air Quality
Management and Practice in Major and Mega Cities of Asia. Seoul: United
Nations Environmental Programme.
Hidayati DN. 2018. Perkiraan Kebutuhan Konsumsi Energi Listrik Di Kabupaten
Pati Pada Tahun 2026 Dengan Menggunakan Metode Gabungan. [Skripsi].
Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hurst MEE. 1974. Transportation Geography. New York (US): McGraw Hill.
[IASS] Institute for Advanced Sustainability Studies. 2016. How green is a “Green
City”. Germany (DE): IASS.
Iswanto, Sudarmadji, Wahyuni ET, & Sutomo AH. 2016. Timbulan Sampah B3
Rumahtangga & Potensi Dampak Kesehatan Lingkungan di Kabupaten
Sleman, Yogyakarta. Jurnal Manusia & Lingkungan. 23(2): 179-188.
Jenkins W & Bauman W. 2009. Sustainability Theory. Great Barrington (US):
Berkshire Publishing Group.
Jo Y, Yu I, Sohn S, & Kim D. 2016. Waste Management in The Age of Alternative
Energy. International Journal of Environmental Science Development.
7(1): 80-84.
Kahn ME. 2006. Green cities: urban growth and the environment. Washington,
DC: Brookings Institution Press.
[KLHK] Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Statistik KLHK.
Jakarta (ID): Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kottek M, Grieser J, Beck C, Rudolf B, & Rubel F. 2006. World map of the
Köppen-Geiger climate classification updated. Meteorologische
Zeitschrift, 15(3), 259-263.
Leeuwen C, Jos F, Annemarie VW, Frans HM. 2012. City blueprints: 24 indicators
to assess the sustainability of the urban water cycle. Water Resources
Manage. 26:2177-2197.
Lundgren DA, Hlaing DN, Rich TA, & Marple VA. 1996. Data from a
Trichofamous sampler. Aerosol Sience and Technology. 25(1): 353-357.
Meijering JV, Kern K, & Tobi H. 2014. Identifying the methodological
characteristics of European Green City rankings. Ecological Indicators.
43(1): 132-142.
Mendenhall W, Beaver RJ, & Beave BM. 2012. Introduction to probability and
statistics. Cengage Learning.
Miah MD, Kabir RRMS, Koike M, Akther S, & Shin MY. 2010. Rural Household
Energy Consumption Pattern in the Disregarded Villages of Bangladesh.
Energy Policy. 38(2): 997–1003.
Miro F. 2002. Perencanaan Transportasi. Jakarta (ID): Erlangga.
Nur R dan Herry P. 2015. Model simulasi emisi dan penyerapan CO2 di kota Bogor.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). 20(1): 47-52.
Parmawati E, Parmawati E, & Sasana H. 2011. Kausalitas Penerimaan, Belanja
Dan PDRB Kabupaten/Kota Di Indonesia (Studi Kasus Periode 2001-
2008) (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).
Permana DA, Sugiyono A, Boedoyo MS. 2012. Perencanaan Energi Daerah
Provinsi Maluku Utara. Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya
Energi, Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi.
Prihatin RB. 2015. Alih Fungsi Lahan di Perkotaan (Studi Kasus di Kota Bandung
dan Yogyakarta). Jurnal Aspirasi. 6(2): 105-118.
33
LAMPIRAN
JUMLAH PENDUDUK
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Tanjungpinang 207057 204735 202215 204669
Cirebon 305899 305899
Pekalongan 301870 299222 296533 293704 290870 296439,8
Probolinggo 233123 231112 229013 226777 223881 228781,2
Tarakan 227200 218800 223000
Mataram 468509 459314 450226 441064 431876 450197,8
Ambon 427934 411617 395423 363771 399686,25
EMISI CO2 RESPIRASI
Kota 2017 2016 2015 2014 2013 Rata-rata
Tanjungpinang 75575,81 74728,28 73808,48 74704,185
Cirebon 111653,1 111653,135
Pekalongan 110182,6 109216 108234,5 107202 106167,6 108200,527
Probolinggo 85089,9 84355,88 83589,75 82773,61 81716,57 83952,28125
Tarakan 82928 79862 81395
Mataram 171005,8 167649,6 164332,5 160988,4 157634,7 164322,197
Ambon 156195,9 150240,2 144329,4 132776,4 145885,4813
Prabumulih 20 46 58 41,33333
Kotamobagu 20 48 34
Tidore Kepulauan 12 58 245 105
PM10 (BM: 150)
Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Langsa 43 56 48 118 66,25
Solok 102 101 100 127 107,5
Prabumulih 79 83 34 65,33333
Kotamobagu 23 57 45 8 33,25
Tidore Kepulauan 54 28 52 64 49,5
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Bayu Sakti Wicaksana, lahir di Pangkalan Bun pada
tanggal 13 Januari 1998. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang
lahir dari pasangan Dwi Hartono Nugroho dan Suntari. Penulis memiliki seorang
kakak laki-laki bernama Satria Perdana Amiwaha. Penulis menyelesaikan
pendidikan sekolah dasar pada tahun 2010 di SDN 2 Mendawai, kemudian
melanjutkan pendidikan ke SMP 1 Muhammadiyah Klaten hingga tahun 2013 dan
menyelesaikan jenjang sekolah di SMA Negeri 2 Klaten pada tahun 2016. Pada
tahun 2016 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur SBMPTN.
Pada tahun 2016 penulis aktif di komunitas Generasi Cerdas Iklim dan UKM
Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB. Ditahun 2017, penulis aktif
sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) IPB. Selain
itu, penulis juga aktif sebagai seorang Senior Resident di Asrama PPKU IPB sejak
tahun 2018 hingga sekarang dan menjabat sebagai Pembina Gugus Disiplin asrama
dan Ketua Lini PSDM. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan di dalam dan luar
kampus. Tahun 2019 penulis mendapat kesempatan untuk mengabdi pada
masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) di kecamatan
Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, Lampung yang diselenggarakan oleh LPPM
IPB dan bekerjasama dengan Universitas Lampung.